PENELITIAN INSTITUSI
LAPORAN PENELITIAN
HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU DAN FAKTOR BANGUNAN DENGAN KEJADIAN NYERI KEPALA SICK BUILDING SYNDROME PADA STAF EDUKATIF DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG TAHUN 2007 Oleh : KRISWIHARSI KUN SAPTORINI, SKM ETI RIMAWATI, SKM
Dibiayai oleh Universitas Dian Nuswantoro dengan No. Kontrak : 146/ A.35-02/UDN-09/XII/2006 Tahun Anggaran : 2006/ 2007
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG JUNI, 2007
1
RINGKASAN
(Hubungan Faktor Individu dan Faktor Bangunan dengan Kejadian Nyeri Kepala Sick Building Syndrome pada Staf Edukatif di Lingkungan Universitas Dian Nuswantoro Semarang, Kriswiharsi Kun Saptorini, Eti Rimawati, 2007,xi+50 hal)
Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome. Faktor-faktor yang diidentifikasi meliputi faktor individu (umur, jenis kelamin, beban kerja) dan faktor bangunan (kebisingan dan penerangan). Nyeri kepala adalah keluhan yang paling banyak dirasakan oleh penderita SBS. Penyebab SBS paling dominan adalah gedung atau bangunan itu sendiri, di samping polutan-polutan lingkungan yang spesifik. Untuk itu perlu dikaji kejadian nyeri kepala sebagai salah satu gejala SBS, sehingga
dapat memberi pertimbangan tentang kondisi gedung yang baik sebagai tempat yang nyaman untuk bekerja, dan karena itu dapat pula meningkatkan produktifitas kerja karyawan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian explanatory research, metode penelitian adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 85 staf edukatif tetap sebagai responden yang meliputi 5 fakultas dan1 program pasca sarjana. Data primer yang meliputi karakteristik responden, beban kerja, kebisingan dan penerangan diukur secara langsung dengan metode wawancara dan pengukuran dengan luksmeter dan sound level meter. Data sekunder diperoleh dari profil UDINUS dan rekapitulasi penyakit di Poliklinik UDINUS. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitik dengan uji chi square dan rank spearman. Penelitian menunjukkan prevalensi nyeri kepala SBS sebesar 8,6 %. Tidak ada hubungan antara umur (nilai Sig = 0,623), jenis kelamin (p value = 1,0), beban kerja (nilai sig = 0,395), kebisingan (nilai sig = 0,195), penerangan (nilai sig = 0, 373) dengan kejadian nyeri kepala SBS. Hal ini terjadi karena rendahnya prevalensi nyeri kepala SBS. Sindrom gedung sakit baru dapat dipertimbangkan
2
bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor risikonya, bila memungkinkan dengan penelitian kohor, penelitian lain dengan variabel pekerjaan sebaiknya perlu mempertimbangkan pengukuran beban kerja secara keseluruhan maupun faktor-faktor pekerjaan yang lainnya seperti stress kerja, alat kerja, dsb, dan perlunya dilakukan penilaian kualitas udara dalam ruangan kerja secara kontinyu untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya Sick Building Syndrome di kemudian hari. Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan pembiakan kuman.
(Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro, No. Kontrak : 146/ A.35-02/UDN-09/XII/2006)
3
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN 1. a
.Judul Penelitian
:
b. Bidang ilmu c. Kategori penelitian 2. Ketua Peneliti a. Nama lengkap dan gelar b. Jenis kelamin c. Golongan pangkat dan NPP d. Jabatan fungsional e. Jabatan struktural f. Fakultas/ program studi
: : : : : : : : :
3. Alamat ketua peneliti a. Alamat kantor/ telepon
: :
b. Alamat rumah/ telepon
:
4. Jumlah anggota peneliti a. Nama anggota peneliti I 5. Lokasi penelitian 6. Kerjasama dengan institusi lain a. Nama Institusi b. Alamat Institusi c. Telepon/ fax 7. Lama penelitian a. Mulai bulan/ tahun b. Selesai bulan/ tahun
: : : : : : : : : :
4
Hubungan Faktor Individu dan Faktor Bangunan dengan Kejadian Nyeri Kepala Sick Building Syndrome pada Staf Edukatif di Lingkungan Universitas Dian Nuswantoro Semarang Tahun 2006 Kesehatan/ Olahraga Penelitian Pengembangan Institusi Kriswiharsi Kun Saptorini, SKM Perempuan III A/Asisten Ahli/ 0686.11.2000.292 Staf edukatif Fakultas Kesehatan/ S1 Kesehatan Masyarakat Jl. Nakula I/5 Semarang/ (024) 3549948 Jl. Cimandiri Raya no.3 Semarang/ (024) 3557101 Eti Rimawati, SKM Universitas Dian Nuswantoro 6 (enam) bulan Januari/ 2007 Juni/ 2007
8. Biaya penelitian
:
9. Sumber biaya penelitian
:
Rp. 2.000.000 ,(Dua juta rupiah) Universitas Dian Nuswantoro
Semarang, 30 Juni 2007 Mengetahui Dekan Fakultas Kesehatan
Ketua Peneliti
Kriswiharsi Kun Saptorini, SKM NPP: 0686.11.2000.292
dr. Massudi Suwandi, M.Kes NPP: 0686.11.1999.174
Menyetujui Ketua UPT Kualitas dan Komunitas
Zaenal Arifin, SE, M.Kom NPP 0686.11.1993.041
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas limpahan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Hubungan faktor individu dan faktor bangunan dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome pada staf edukatif di lingkungan Universitas Dian Nuswantoro Semarang Tahun 2007”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Dian Nuswantoro dengan dibiayainya peneltian ini. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat : 1.
Rektor Universitas Dian Nuswantoro, DR. Ir. Edi Noersasongko, M.Kom, atas kesempatan yang telah diberikan.
2.
Dekan Fakultas Kesehatan, dr. Massudi Suwandi, M.Kes beserta segenap staf akademik yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini
3.
Staf edukatif di lingkungan Universitas Dian Nuswantoro atas kesediaannya menjadi responden penelitian ini.
4.
Staf Poliklinik UDINUS yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
5.
Mahasiswa peminatan epidemiologi tahun 2004 yang telah menjadi interviewer.
6.
Serta semua pihak yang telah membantu penyusunan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan segala kritik dan saran demi penyempurnaannya. Semoga penelitian ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Semarang, Juni 2007
Penulis
6
DAFTAR ISI
RINGKASAN .............................................................................................................ii LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ......................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi DAFTAR ISI ..............................................................................................................vii DAFTAR TABEL ....................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. .xi I
II
III
IV
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3
Ruang Lingkup .......................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Sick Building Syndrome ........................................................... 5
2.2
Gejala-gejala .............................................................................................. 5
2.3
Sumber pencemaran ................................................................................... 7
2.4
Faktor-faktor yang menimbulkan SBS ..................................................... 8
2.5
Problem kesehatan masyarakat ............................................................... 14
2.6
Upaya Pencegahan .................................................................................. 15
2.7
Kerangka teori .......................................................................................... 17
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1
Tujuan Penelitian ..................................................................................... 18
3.2
Manfaat Penelitian ................................................................................... 18
METODE PENELITIAN 4.1
Kerangka Konsep ..................................................................................... 19
4.2
Hipotesis................................................................................................... 19
4.3
Jenis Penelitian ......................................................................................... 20
4.4
Variabel Penelitian ................................................................................... 20
4.5
Definisi Operasional................................................................................. 20
7
4.6
Populasi dan Sampel ................................................................................ 21
4.7
Instrumen Penelitian................................................................................. 21
4.8
Pengumpulan Data ................................................................................... 21
4.9
Pengolahan Data....................................................................................... 21
4.10 Analisis Data ............................................................................................ 22 V
VI
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Hasil Penelitian ........................................................................................ 23
5.2
Pembahasan .............................................................................................. 36
5.3
Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 44
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan .............................................................................................. 46
6.2
Saran ......................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 48 LAMPIRAN-LAMPIRAN Kuesioner dan pedoman observasi .................................................................... 51 Data responden .................................................................................................. 52 Hasil distribusi frekuesi responden ................................................................... 58 Hasil distribusi silang responden ...................................................................... 60 Hasil uji normalitas data.................................................................................... 63 Hasil uji rank spearman dan chi square ........................................................... 66 Surat permohonan kesediaan sebagai responden .............................................. 68
8
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Sumber pencemaran udara di dalam gedung ......................................................... 7
Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Umur ................................................ 23
Tabel 5.2
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin................................... 24
Tabel 5.3
Distribusi Responden Menurut Beban Kerja ..................................... 24
Tabel 5.4
Distribusi Responden Menurut Unit Kerja ........................................ 24
Tabel 5.5
Distribusi Responden Menurut Kebisingan ....................................... 25
Tabel 5.6
Distribusi Responden Menurut Penerangan ....................................... 25
Tabel 5.7
Distribusi Responden Menurut Kejadian Nyeri Kepala .................... 25
Tabel 5.8
Hubungan antara Umur dengan Kejadian Nyeri Kepala SBS .......... 26
Tabel 5.9
Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Nyeri Kepala SBS..................................................................................................... 26
Tabel 5.10
Hubungan antara Beban Kerja dengan Kejadian Nyeri Kepala SBS..................................................................................................... 27
Tabel 5.11
Hubungan antara Kebisingan dengan
Kejadian Nyeri
Kepala
SBS..................................................................................................... 27 Tabel 5.12
Hubungan antara Penerangan dengan Kejadian Nyeri Kepala SBS..................................................................................................... 28
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Kerangka Teori................................................................................... 15
Gambar 4.1
Kerangka Konsep ............................................................................... 17
10
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner dan pedoman observasi ........................................................ 51 Lampiran 2 Data Responden .................................................................................... 52 Lampiran 3 Hasil Distribusi Frekuensi Responden .................................................. 58 Lampiran 4 Hasil Distribusi Silang Responden....................................................... 60 Lampiran 5 Hasil uji normalitas data........................................................................ 63 Lampiran 6 Uji Chi Square dan Rank Spearman ..................................................... 66 Lampiran 7 Surat permohonan kesediaan sebagai responden .................................. 68
11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Penyakit akibat lingkungan semakin hari semakin menimbulkan problem kesehatan, terutama pada kondisi lingkungan di bawah standar. Kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta penggunaan bahan kimia dalam gedung, merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulya Sick Building Syndrome (SBS). Sick Building Syndrome (SBS) adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. Berbagai keluhan dan gejala timbul pada saat seseorang berada di dalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada di dalam gedung, Besar kemungkinan karena menderita "Sick Building Syndrome" (SBS) atau "sindrom gedung sakit". Keluhankeluhan dapat timbul dari penghuni gedung pada ruang atau bagian tertentu dari gedung tersebut, meskipun ada kemungkinan menyebar pada seluruh bagian gedung. Berdasarkan penelitian The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) ada enam sumber utama pencemaran udara di dalam gedung, yaitu pencemaran alat-alat di dalam gedung (17%), pencemaran dari luar gedung (11%), pencemaran bahan bangunan (3%), pencemaran mikroba (5%), gangguan ventilasi (52%), dan sumber yang tidak diketahui (12%). Gedung-gedung kantor yang megah yang dilengkapi dengan sistem AC. Kondisi semakin buruk jika gedung yang bersangkutan menggunakan Air Conditioned (AC) yang tidak terawat dengan baik. Gedung-gedung seperti ini biasanya dibuat tertutup dan mempunyai sirkulasi udara sendiri. Tetapi, di pihak lain, kemungkinan adanya gangguan kesehatan pada gedung-gedung
12
seperti itu yang pada akhirnya justru akan menurunkan produktifitas kerja karyawannya yang bekerja di dalam gedung-gedung itu. Kendati sebuah gedung menggunakan kaca dan memakai AC untuk "menjinakkan" panasnya udara luar, bukan berarti orang-orang yang tinggal didalamnya bebas polusi. Polusi jenis ini sumber terbesarnya justru datang dari dalam gedung itu sendiri. Di AS isu polusi udara dalam ruangan ini mencuat ketika Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1989 mengumumkan studi, polusi udara dalam ruangan lebih berat ketimbang di luar. Menurut EPA sebagian masyarakat justru terkena polusi di dalam ruangan. Seperti lingkungan rumah, kantor, atau di dalam mobil yang selama ini dianggap bebas polusi. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan SBS sangat bervariasi. Paling dominan adalah gedung atau bangunan itu sendiri, di samping polutan-polutan lingkungan yang spesifik. Prof. Dr. Juli Soemirat Slamet, MPH, Ph.D, ahli lingkungan dari ITB, menengarai salah satu penyebab gedung sakit lantaran pengelola gedung tidak menghitung secara benar berapa banyak AC yang dibutuhkan. Umumnya yang diperhatikan hanya asal dingin. Padahal semakin dingin sebuah ruangan semakin banyak orang berkumpul sehingga makin banyak yang terkena dampak buruk. Dari pengamatannya, Juli Soemirat melihat bahwa banyak filter AC tidak pernah dicuci dan diberi desinfektan. Padahal asalkan patokan pembersihan filter dilakukan dengan benar, maka akan mencegah berkembangnya sindrom gedung sakit. Namun faktor-faktor yang bersifat individual seperti jenis kelamin wanita, riwayat alergi, stres emosional yang terkait dengan pekerjaan, memberikan andil bagi timbulnya SBS (Aper et al, 1994; Redlich et al, 1997; Menzies, 1997; Norback, 1990). Keluhan-keluhan pada SBS juga dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan, seperti problem pribadi, pekerjaan dan psikologis yang dianggap mempengaruhi kepekaan seseorang terhadap SBS. Gejala-gejala SBS dapat berupa nyeri kepala, batuk kering, gangguan pernafasan, dsb. Penelitian kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Manufacturing, Science and Finance Union (MSF) di City and Guilds
13
Institute London tahun 1990 menunjukkan keluhan yang dirasakan 90 % mengalami sakit kepala. Universitas Dian Nuswantoro adalah salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang yang terletak di tengah kota dengan ciri gedungnya yang bertingkat dan ber-AC. Kondisi tersebut dilatarbelakangi pemenuhan fasilitas kenyamanan
bagi penggunanya, terlebih letaknya yang ditengah kota
sehingga konsep gedung modern dengan penggunaaan AC menjadi salah satu daya tarik yang diandalkan. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa AC di ruangan tertentu yang bising, kurangnya kebersihan filter AC, suhu dalam ruangan yang masih panas meskipun sudah tersedia AC. Sebagai instutusi pendidikan, staf edukatif merupakan salah satu komponen utamanya. Berdasarkan
rekapitulasi
bulanan
data penyakit
di
Poliklinik Dian
Nuswantoro, nyeri kepala termasuk salah satu gejala yang dijumpai setiap bulannya. Dalam 4 bulan terakhir dibandingkan total kunjungan, pada bulan Januari sebesar 7,9 %, bulan Februari 8,5 %, bulan Maret 5,8 %, dan April 4,15 %. Meskipun hanya sebagai gejala, nyeri kepala tetap harus diwaspadai Kondisi-kondisi tersebut memungkinkan menimbulkan Sick Building Syndrome. SBS merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup penting. Upaya untuk mengatasi SBS harus selalu dilakukan oleh para pengelola gedung, baik hotel, perkantoran maupun perumahan sejak tahap perencanaan, konstruksi maupun operasional. Untuk itu perlu dikaji kejadian nyeri kepala sebagai salah satu gejala SBS. Sehingga diharapkan dapat memberi pertimbangan tentang kondisi gedung yang baik sebagai tempat yang nyaman untuk bekerja, dan karena itu dapat pula meningkatkan produktifitas kerja karyawan.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Apakah ada hubungan antara faktor individu (umur, jenis kelamin, beban kerja) dan faktor bangunan (penerangan dan kebisingan) dengan kejadian
14
nyeri kepala Sick Building Syndrome pada staf edukatif di lingkungan Universitas Dian Nuswantoro Semarang ?”
1.3
Ruang Lingkup Penelitian 1.3.1
Lingkup keilmuan Penelitian ini termasuk dalam lingkup keilmuan ilmu kesehatan, khususnya kesehatan masyarakat.
1.3.2
Lingkup materi Materi dalam penelitian ini menekankan pada faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome.
1.3.3
Lingkup obyek/ sasaran Obyek penelitian ini adalah staf edukatif tetap di lingkungan Universitas Dian Nuswantoro.
1.3.4
Lingkup metode Metode pengambilan data dilakukan secara observasi dan wawancara dengan instrumen berupa pedoman observasi dan wawancara.
1.3.5
Lingkup lokasi Lokasi penelitian ini adalah Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
1.3.6
Lingkup waktu Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2007.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.4
Pengertian Sick Building Syndrome Sick Building Syndrome (SBS) adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. (Anies, 2005) Penggunaan istilah SBS apabila terdapat petunjuk-petunjuk utama bahwa gedung sebagai penyebabnya, antara lain (a) adanya gejala-gejala ketika bekerja atau tinggal di dalam gedung, (b) kejelasan berkurangnya gejala-gejala ketika meninggalkan gedung atau bekerja di tempat lain untuk sementara, (c) munculnya gejala-gejala ketika kembali ke gedung, serta (d) adanya gejala-gejala yang dialami oleh banyak orang (Anies, 2005)
1.5
Gejala-Gejala Banyak kasus SBS menunjukkan gejala-gejala yang tidak jelas secara klinis, sehingga tidak dapat diukur. Sebagian besar penderita adalah para pekerja rutin di gedung-gedung (WHO, 1983). Meskipun keluhan dan tanda yang dikemukakan oleh para penderita bersifat kronis dan mencapai 80% dari para pekerja dilaporkan menderita SBS, tetapi seringkali tidak ditemukan polusi yang jelas. (Anies, 2005) Para penghuni gedung yang tidak sehat ini umumnya mengalami gejala-gejala SBS yang bervariasi. Gejala-gejala tersebut meliputi sakit kepala, pening, mual, iritasi pada mata, hidung maupun tenggorokan yang disertai dengan batuk kering. Gejala khas pada kulit, berupa kulit kering dan gatal-gatal. Keluhan SBS yang sering dikemukakan antara lain kelelahan, peka terhadap bau yang tidak sedap serta sulit untuk berkonsentrasi. (Anies, 2005)
16
Gejala dan keluhan tersebut berkaitan dengan penyakit-nenyakit spesifik dan non spesifik. Penyakit-penyakit spesifik tersebut antara lain infeksi standar dalam ruangan seperti tuberkulosis atau legionellosis, alergi terhadap bahan-bahan penyebab alergi dalam ruangan seperti tungau, produk tumbuh-turnbuhan serta jamur. Iritasi biasanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia mudah menguap yang dilepaskan dari lingkungan. Karbon monoksida yang berkaitan dengan asap rokok serta gas-gas buang lain mempunyai andil cukup besar dalam menimbulkan gejala dan keluhan pada SBS. (Anies, 2005) Penyakit-penyakit non spesifik, meskipun dapat bermanifestasi gejala serta keluhan seperti telah disebutkan, tetapi berhubungan dengan berbagai faktor seperti usia yang lebih muda, jenis kelamin wanita, asap rokok serta jenis pekerjaan. Pekerjaan fotokopi, tingkat keramaian kantor, penggunaan karpet di dalam ruangan serta banyak atau sedikitnya ventilasi ruangan, ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS (Hedge, 1989; Mendell, 1993). Gejala-gejala SBS sering dihubungkan dengan tingkat stres emiosional seseorang (Morris and Hawkins, 1987). Faktor-faktor pekerjaan seperti jenjang jabatan dalam pekerjaan, lama menggunakan komputer, tekanan pekerjaan maupun kepuasan juga mempunyai andil dalam menimbulkan SBS. Dalam studi terhadap hampir 4.500 pekerja kantor/ dalam gedung yang ruangannya menggunakan AC, kualitas udara ruangan yang diterima, pemakai komputer,
kepuasan
kerja,
tekanan
pekerjaan
serta
jenis
kelamin,
menunjukkan secara signifikan pengaruhnva terhadap jumlah gejala SBS yang dikeluhkan oleh para pekerja (Hedge et al, 1992; Hedge et al, 1995; Hedge et al, 1996). Keluhan-keluhan yang ada biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan yang penting amat berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang. Sindrom gedung sakit baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa (Tjandra Yoga Aditama, 1991).
17
. 1.6
Sumber pencemaran The National lnstitute for Occupational Safety and Health (NIOSH), suatu badan untuk kesehatan dan keselamatan kerja di Amerika Serikat menunjukkan enam sumber utama pencemaran udara di dalam suatu gedung sebagaimana tampak pada tabel 2.1 (Tjandra Yoga Aditama, 1991). Tabel 2.1 Sumber pencemaran udara di dalam gedung Persentase
Sumber
Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung
17%
Pencemaran dari luar gedung
11 %
Pencemaran akibat bahan bangunan
3% 5%
Pencemaran mikroba Gangguan ventilasi
52%
Tak diketahui
12%
Sumber : Laporan NIOSH, 1984.
Yang dimaksud dengan pencemaran oleh alat-alat di dalam gedung adalah pencemaran akibat mesin foto kopi, asap rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan dan lain-lain. Sementara itu yang dimaksud dengan pencemaran dari luar gedung meliputi masuknya gas buang kendaraan bermotor yang lalu lalang, gas dari cerobong asap atau dapur yang terletak di dekat gedung, yang kesemuanya dapat terjadi akibat penempatan lokasi lubang pemasukan udara yang tidak tepat. Pencemaran akibat bahan bangunan meliputi antara lain formaldehid, lem, asbes, fiber glass dan bahan-bahan lain yang merupakan komponen bangunan pembentuk gedung tersebut. Di pihak lain, pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin (AC) beserta seluruh sistemnya. Akhirnya, gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, buruknya distribusi udara dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara temyata punya peranan besar dalam menentukan sehat tidaknya lingkungan udara di dalam suatu gedung.
18
(Tjandra Yoga Aditama, 1991).
1.7
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan SBS (Anies, 2005) Faktor-faktor yang dapat menimbulkan SBS sangat bervariasi. Paling dominan adalah gedung atau bangunan itu sendiri, di samping polutan-polutan lingkungan yang spesifik. a.
Faktor individu Faktor-faktor yang bersifat individual seperti jenis kelamin wanita, riwayat alergi, stres emosional yang terkait dengan pekerjaan, memberikan andil bagi timbulnya SBS (Aper et al, 1994; Redlich et al, 1997; Menzies, 1997; Norback, 1990). 1)
Umur
Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikanpenyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur. Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola kesakitan atau kematian menurut golongan umur (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Umur menyangkut perubahan-perubahan yang dirasakan individu sehubungan dengan pengalaman maupun perubahan kondisi fisik dan mental seseorang, sehingga nampak dalam aktivitas sehari-hari. Produktivitas seseorang menurun dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan adanya keterampilan fisik seperti kecepatan, kelenturan, kekuatan dan koordinasi yang menurun dengan bertambahnya umur. Tetapi produktivitas tidak hanya tergantung umur saja tetapi seseorang yang sudah lama bekerja artinya sudah bertambah tua mengalami peningkatan karena pengalaman dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. (Makmuri, 1994).
19
2)
Jenis Kelamin
Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih tinggi dikalangan wanita sedangkan angka kematian lebih tinggi dikalangan pria, juga pada semua golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih lanjut. Perbedaan angka kematian ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor intinsik (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Penelitian Margaretha Winarti, gender perempuan memperbesar risiko NK SGS. Bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki, pekerja perempuan mempunyai risiko NK SGS hampir 3 kali lipat lebih besar (OR suaian = 2,96; 95% CI: 1,29-6,75). (Margaretha Winarti)
3)
Beban kerja
Faktor psikososial berkaitan dengan kondisi kejiwaan, seperti stres, hubungan antara rekan kerja dan kesiapan pekerja dalam menerima sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya beban atau porsi pekerjaan. (Hendrawati, 2004). Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban dimaksud mungkin fisik, mental atau sosial. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, atau mental, atau sosial. Namun sebagai persamaan yang umum, mereka hanya mampu memikul beban sampai suatu berat tertentu. Bahkan ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat. Atau pemilihan tenaga kerja tersehat untuk pekerjaan yang tersehat pula. Derajat tepat suatu penempatan meliputi kecocokan
pengalaman,
ketrampilan,
motivasi
dan
lain-lain
sebagainya. (Suma’mur,1994). Menurut SK Mendiknas No. 074/U/2000, tentang tata kerja tim penilai dan tata cara penilaian angka kredit jabatan dosen PT, dan SK Mendiknas No. 36/D/O/2001, tentang petunjuk teknis pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan dosen, beban kerja dosen maksimal 12
20
SKS per semester. (Diknas, 2000)
b.
Faktor bangunan 1)
Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi-bunyi yang tidak dikehendaki yang didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis. Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah sound level meter. Alat ini mengukur kebisingan di antara 30 - 130 dB dari frekwensifrekwensi dari 20- 20.000 Hz. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : KEP-51.MEN/ 1999, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan untuk waktu kerja 8 jam sehari adalah 85 dB. Pengaruh utama dari kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan kepada
indera-mdera
pendengar,
yang
menyebabkan
ketulian
progresif, dan akibat ini telah diketahui dan diterima umum untuk berabad-abad lamanya. Dengan kemampuan higiene perusahaan dan kesehatan kerja, akibat-akibat buruk ini dapat dicegah. Kebisingan mempunyai efek merugikan kepada daya keria. Pengaruhpengaruh negatif demikian adalah sebagai berikut (Suma’mur,1994) : 1. Gangguan. Kebisingan sering-sering mengganggu, walaupun terdapat variasi di antara penerangan dalam besarnya gangguan atas jenis dan kekerasan suatu kebisingan. Umumnya, kebisingan bernada tinggi sangat
mengganggu,
lebih-yang
terputus-putus
atau
yang
datangnya secara tiba-tiba dan tak tentu. Pengaruhnya sangat terasa, apabila sumber kebisingan tersebut tidak diketahui. 2. Komunikasi dengan pembicaraan. Risiko
potensil
pembicaraan
pendengaran
harus
dijalankan
terjadi, dengan
apabila berteriak
komunikasi sehingga
menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan, terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru.
21
3. Efek pada pekerjaan Kebisingan menganggu perhatian yang perlu terus-menerus dicurahkan. Ada tenaga kerja yang sangat peka terhadap kebisingan, terutama pada nada tinggi, salah satu sebabnya mungkin
reaksi
psikologis.
Juga
kebisingan
berakibat
meningkatnya kelelahan. Pada pekerjaan yang lebih banyak memikir, kebisingan sebaiknya ditekan serendah-rendahnya. (Suma’mur, 1994)
2)
Penerangan
Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan seorang tenaga kerja melihat pekerjaannya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu, serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Sifat-sifat dari penerangan yang baik ditentukan oleh (Suma’mur, 1994): 1. Pembagian luminensi dalam lapangan penglihatan 2. Pencegahan kesilauan 3. Arah sinar 4. Warna 5. Panas penerangan terhadap keadaan lingkungan. Alat-alat pengukur penerangan adalah luksmeter. Menurut PMP No. 7 tahun 1964 tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan serta penerangan dalam tenaga kerja, terdapat ketentuan antara lain sbb (Soekidjo Notoatmojo, 2003) : 6. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang hanya membedabedakan barang kasar seperti mengerjakan bahan besar, arang/ abu, barang besar, bahan tanah/ abu, gang/tangga di dalam gedung, gudang penyimpanan paling sedikit mempunyai kekuatan 50 luks. 7. Penerangan yang cukup untuk pekerja yang membedakan barang kecil secara sepintas seperti pemasangan yang kasar, mengerjakan barang besi dan baja setengah selesai, penggilingan padi,
22
pengupasan,
pengambilan
dan
penyisihan
bahan
kapas,
mengerjakan bahan pertanian lain, kamar mesin dan uap, alat pengangkut orang dan barang, ruang penerimaan dan pengiriman dengan kapal, tempat penyimpanan barang sedang dan kecil, kakus, tempat mandi dan urinoir paling sedikit mempunyai kekuatan 100 luks 8. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang membeda-bedakan barang kecil yang agak teliti seperti pemasangan alat yang sedang, pekerjaan mesin dan bubut yang kasar, pemeriksaan/ percobaan terhadap barang-barang, menjahit tekstil/ kulit berwarna muda, perusahaan
dan
pengawasan
bahan
makanan
kaleng,
pembungkusan daging, mengerjakan kayu, melapis perabot pang sedikit mempunyai kekuatan 200 luks. 9. Penerangan yang cukup untuk pekejaan pembedaan yang teliti dari barang kecil dan halus seperti pekerjaan mesin yang teliti, pemeriksaan yang teliti, percobaan yang teliti dan halus, pembuatan tepung, penyelesaian kulit/ katun/ wol berwarna muda, pekerjaan kantor yang berganti-ganti menulis, membaca dan arsip paling sedikit mempunyai kekuatan 300 luks. 10. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang halus dengan kontras yang sedang dan dalam waktu yang lama seperti pemasangan yang hakus, pekerjaan mesin yang halus, pemeriksaan yang halus penyemiran yang halus dan pemotongan gelas kaca, pekerjaan kayu yang halus, menjahit barang wol berwarna tua, akuntan, pekerjaan kantor yang lama dan teliti harus mempunyai kekuatan antara 500 – 1000 luks. 11. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang-barang yang sangat halus untuk waktu yang lama seperti pemasangan elastis halus, pemerikan/ percobaan ekstra halus, tukang las dan intan penilaian dan penyisihan hasil tembakau, penyusunan huruf dan pemeriksaan kopi dalam percetakan,
23
pemeriksaan dan penjahitan bahan pakaian berwarna tua harus mempunyai kekuatan paling sedikit 2000 luks. Akibat-akibat penerangan buruk adalah : 12. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan effisiensi kerja 13. Kelelahan mental 14. Keluhan-keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala sekitar mata 15. Kerusakan alat penglihat, 16. Meningkatnya kecelakaan. (Suma’mur, 1994)
3)
AC dalam ruangan
Pada faktor fisik,
yang
cenderung memberikan
efek
faktor
mikrobiologi yang terdapat pada AC, terutama dengan sistem sentral. Keberadaan
kuman
Legionella
pneumonia
dalam
AC
sering
menyebabkan gangguan pernapasan seperti flu, pegal-pegal, bahkan sakit berat yang memaksa seseorang beristirahat selama beberapa hari. Jenis mikroorganisme lainnya adalah virus dan jamur. (Hendrawati, 2004) Salah satu bakteri yang sering ditularkan melalui media udara ruangan adalah legionella, bertanggung jawab terhadap kejadian SBS di suatu gedung atau bangunan. (Annies, 2005) Itulah sebabnya, perawatan AC sangat penting diperhatikan. Perawatan AC sentral perlu dilakukan setidaknya tiga bulan sekali. Akan lebih baik lagi jika jendela-jendela juga dibuka minimal seminggu sekali agar terjadi pergantian udara. Temperatur yang ideal dan letak AC juga harus diperhitungkan agar tidak membuat pekerja terganggu. (Hendrawati, 2004) Juli Soemirat, pakar lingkungan ITB, menengarai salah satu penyebab gedung sakit lantaran pengelola gedung tidak menghitung secara benar berapa banyak AC yang dibutuhkan. Umumnya yang diperhatikan hanya asal dingin. Padahal semakin dingin sebuah ruangan semakin banyak orang berkumpul sehingga makin banyak yang terkena dampak buruk. Dari pengamatannya, banyak filter AC
24
tidak pernah dicuci dan diberi desinfektan. Padahal asalkan patokan pembersihan filter dilakukan dengan benar, maka akan mencegah berkembangnya sindrom gedung sakit.
1.8
Problem Kesehatan Masyarakat Berbagai gejala dan keluhan SBS merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius dan memerlukan penangaaaan dengan cermat. Sekecil apapun sesuatu bahan tertentu, tanpa penanganan yang cermat, dikhawatirkan akan menurunkan produktivitas kerja dan dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai penyakit atau kelainan yang tidak terprediksi sebelumnya. (Anies, 2005) Salah
satu
problem
kesehatan
masyarakat
yang
semakin
mengkhawatirkan, berkaitan dengan bahan-bahan yang menimbulkan radiasi, baik radiasi pengion maupun non pengion. Efek radiasi pengion terhadap tubuh manusia dapat dibagi menjadi dua, berupa efek stokastik dan efek deterministik. Efek stokastik adalah efek yang kemunculannya pada individu tidak dapat dipastikan, tetapi munculnya efek tersebut dapat diperkirakan berdasarkan data statistik yang ada. Efek ini berkaitan dengan penerimaan radiasi dosis rendah oleh tubuh manusia. Sedangkan efek deterministik adalah efek yang pasti muncul apabila jaringan tubuh terkena paparan radiasi pengion dengan dosis tertentu, yang berkaitan dengan penerimaan radiasi dosis tinggi (Akhadi, 2002). Efek stokastik paparan radiasi dosis rendah dapat muncul pada tubuh manusia dalam jangka panjang dalam bentuk kanker maupun kelainan genetik. Problemnya di sini, dalam efek stokastik tidak dikenal adanya dosis ambang. Sekecil apapun dosis radiasi yang diterima oleh tubuh, terdapat kemungkinan menimbulkan kelainan somatik maupun genetik. Pemunculan efek stokastik berlangsung lama setelah terjadinya paparan. Efek ini akan muncul pada beberapa anggota kelompok secara acak. Tinggi rendahnya dosis yang diterima oleh kelompok tidak mempengaruhi keparahan efek stokastik yang muncul, melainkan hanya berpengaruh pada frekuensi kejadian efek tertentu
25
dalam suatu kelompok yang terkena paparan (Anies, 2005). Kemungkinan
terjadinya
efek
stokastik
memenuhi
hubungan
probabilistik antara dosis dan efek. Apabila dosis yang diterima oleh kelompok populasi dalam waktu tertentu semakin tinggi, frekuensi terjadinya efek stokastik tertentu juga semakin besar. Frekuensi timbulnya efek stokastik dapat dikurangi dengan menurunkan penerimaan dosis, tetapi efek stokastik tidak dapat dihindari sepenuhnya, karena diasumsikan efek ini dapat terjadi pada setiap nilai dosis radiasi, meskipun sangat rendah. Radon yang merupakan unsur pencemar ruangan gedung yang berasal dari bahan -bahan bangunan, efek stokastiknya berupa risiko kanker paru-paru (Anies, 2005). Meskipun radiasi elektromagnetik yang berasal dari berbagai peralatan listrik di dalam gedung termasuk non pengion, tetapi efek pajanannya dalam jangka panjang perlu diwaspadai. Berbagai penelitian menunjukkan, pajanan radiasi elektromagnetik jangka panjang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain terhadap sistem-sistem darah, kardiovaskular, saraf, reproduksi, hormonal serta yang dikenal dengan reaksi hipersensitivitas atau electrical sensitivity (Anies, 2001).
1.9
Upaya Pencegahan Pencegahan SBS harus dimulai sejak perencanaan sebuah gedung untuk suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu, penggunaan bahan bangunan mulai fondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat ruangan, bahan perekat (lem) dan cat dinding yang dipergunakan, tata letak peralatan yang mengisi ruangan sampai operasional peralatan tersebut (Anies, 2005). Perlu kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan, terutama yang berasal dari hasil tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar rumah didesain berdinding tipis serta memihki sistem ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas, partikel dan mikroorganisme di dalam ruangan, dapat dilakukan dengan pemberian tekanan yang cukup besar di dalarn ruangan. Peningkatan sirkulasi udara seringkali menjadi upaya yang sangat efektif untuk mengurangi polusi di dalam ruangan. Dalam kondisi tertentu,
26
yaitu konsentrasi polutan sangat tinggi, dapat diupayakan dengan ventilasi pompa keluar (Anies, 2005). Bahan-bahan kimia tertentu yang merupakan polutan, sumbernya dapat berada di dalam ruangan itu sendiri. Misalnya bahan perekat, bahan pembersih, pestisida dan sebagainya. Bahan-bahan ini sebaiknya diletakkan di dalam ruangan atau di dalam ruangan khusus yang berventilasi dan di luar ruang kerja. Karpet, yang dipergunakan untuk pelapis dinding maupun lantai, secara rutin perlu dibersihkan dengan penyedot debu dan apabila dianggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan pencucian. Demikian pula pembersihan AC secara rutin harus selalu dilakukan (Anies, 2005). Tata letak peralatan elektronik memegang peranan penting. Tata letak yang terkait dengan jarak pajanan peralatan penghasil radiasi elektromagnetik ini tidak hanya dipandang dari segi ergonomik, tetapi juga kemungkinan perannya memberikan andil dalam menimbulkan SBS (Anies, 2005). Pendidikan dan komunikasi merupakan bagian penting dari program pengelolaan kualitas udara, dalam hal ini terutama kualitas udara di dalam ruangan. Para penghuni maupun pemelihara gedung harus benar-benar mengerti masalah yang ada dan saling berkomunikasi, sehingga dapat saling bekerja sama secara efektif untuk mencegah SBS (Anies, 2005). Kebutuhan para penghuni ruangan untuk merokok tidak dapat hindari. Perlu
disediakan
ruangan
tertentu
berventilasi
cukup,
Bila
tidak
memungkinkan untuk meninggalkan gedung. Hal ini untuk mencegah kumulasi asap rokok yang temyata mempunvai andil dalam menimbulkan SBS (Anies, 2005). Ada beberapa jenis tanaman atau pepohonan yang manipn mengurangi polusi di dalam ruangan karena merupakan penyaring udara paling efisien, antara lain palem kuning, pelem bamboo, palem funiks, waregu, karet kebo, paku sepat (Anies, 2005).
27
1.10 Kerangka Teori
Faktor individu : Umur Jenis kelamin Beban kerja Sick Building Syndrome (SBS) Faktor bangunan Penerangan Kebisingan Air Conditioned
Sumber : Michael J. Hodgson, Sick Building Syndrome
Gambar 2.1 Kerangka Teori
28
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.11 Tujuan Penelitian Tujuan Umum
1.
Mengetahui hubungan faktor individu dan faktor bangunan dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome pada staf edukatif di lingkungan UDINUS Tujuan Khusus
2.
Mengetahui faktor individu responden yang meliputi : umur, jenis kelamin, beban kerja.
Mengidentifikasi faktor bangunan yang meliputi kebisingan dan penerangan.
Mengidentifikasi kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
Mengetahui hubungan umur, jenis kelamin, beban kerja dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
Mengetahui hubungan kebisingan, penerangan dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
1.12 Manfaat Penelitian 1.
Bagi Institusi Sebagai informasi tentang faktor risiko kejadian Sick Building Syndrome sehingga dapat dimanfaatkan dalam upaya pembenahan lingkungan kerja sehingga akan menghasilkan lingkungan kerja yang kondusif yang dapat meningkatkan kinerja karyawan.
2.
Bagi peneliti Sebagai pembelajaran kegiatan penelitian dan meningkatkan kemampuan sesuai keilmuan.
29
BAB IV
METODE PENELITIAN
1.13 Kerangka konsep Variabel bebas
Variabel terikat
Faktor Individu: Umur Jenis Kelamin Beban kerja Kejadian Nyeri Kepala Faktor Bangunan: Kebisingan Penerangan Gambar 4.1 Kerangka Konsep
1.14 Hipotesis Penelitian
Ada hubungan umur dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
Ada hubungan beban kerja dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
Ada hubungan kebisingan dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
Ada hubungan penerangan dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome
30
1.15 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian explanatory research yaitu suatu penelitian yang menjelaskan hubungan antara variable yang ingin diteliti dan menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan pendekatan cross sectional dimana hanya dilakukan sesaat untuk mengetahui kejadian berdasarkan data yang dikumpulkan.
1.16 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel Bebas:
Umur
Jenis kelamin
Beban kerja
Kebisingan
Penerangan
4.4.2 Variabel Terikat:
Kejadian Nyeri Kepala Sick Building Syndrome
1.17 Definisi Operasional
Umur: jumlah tahun yang dihitung dari tanggal lahir responden sampai ulang tahun terakhir Skala : ordinal
Jenis kelamin: status sex responden Skala : nominal
Beban kerja : jumlah Sistem Kredit Semester yang diampu responden yang dihitung pada semester genap TA 2006/2007 Skala : ordinal
Kebisingan: ukuran yang menunjukkan kebisingan ruangan tempat kerja responden yang diukur dengan Sound level meter Skala : ordinal
31
Penerangan: ukuran yang menunjukkan penerangan ruangan tempat kerja responden yang diukur dengan luxmeter Skala : ordinal
Kejadian Nyeri Kepala : ada tidaknya keluhan nyeri kepala secara menetap yang dirasakan responden dalam 2 minggu terakhir Skala : ordinal
1.18 Populasi dan Sampel Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah total populasi yaitu staf edukatif tetap UDINUS. Dalam pelaksanaan pengambilan data, didapatkan sejumlah 85 responden.
1.19 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dan pedoman observasi.
1.20 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan melalui pengukuran kebisingan, penerangan sedangkan wawancara dilakukan untuk mencari data tentang umur, beban kerja, kejadian nyeri kepala.
1.21 Pengolahan Data Langkah-langkah pengolahan data melalui tahapan :
Editing : pengolahan kelengkapan data, kesinambungan data dan keseragaman data
Koding : pemberian kode pada data penelitian yang sudah dibuat
Entry data : memasukkan data ke dalam computer dan menganalisa data
Tabulasi : mengelompokkan data sesuai tujuan penelitian dengan menggunakan table distribusi frekuensi
32
1.22 Analisa Data 4.10.1 Analisa univariat Data disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi dan melakukan analisa secara deskriptif pada variabel-variabel yang diteliti. 4.10.2 Analisa bivariat
Uji Rank Spearman bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan skala data ordinal dan ordinal. Dilakukan dengan karena sebaran datanya berdistribusi tidak normal Kriteria hasil uji : Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 artinya ada hubungan antara variable bebas dengan variable terikat Jika nilai signifikansi > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara variable bebas dengan variable terikat
Uji Chi-square (x2) bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan skala data nominal dan ordinal. Syarat uji Chi-square ; a. Bila dalam populasi terdiri atas 2 atau lebih klas hipotesis b. Data dalam bentuk nominal c. Mempunyai sampel besar Kriteria hasil uji : Jika p value ≤ 0,05 artinya ada hubungan antara variable bebas dengan variable terikat Jika p value > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara variable bebas dengan variable terikat
33
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Pengamatan 5.1.1 Gambaran Umum Universitas Dian Nuswantoro
Sejarah Universitas Dian Nuswantoro Pada tahun 1986, didirikan sebuah lembaga kursus komputer IMKA yang berlokasi di kota Semarang. Karena kegigihannya dalam membuka dan menciptakan peluang pasar serta ketahanannya dalam menghadapi pelbagai rintangan, IMKA berhasil tumbuh dan berkembang serta menyebar ke beberapa kota besar di Pulau Jawa, seperti Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung dan Jakarta. Disamping itu, karena mutu dan kualitas pendidikannya yang baik, pada tahun 1989, IMKA diangkat sebagai Ketua Subkonsorsium Komputer, Pengawas dan Penguji Ujian Nasional Pendidikan Komputer. Pada tanggal 30 September 1993, IMKA juga berhasil meraih akreditasi dari NCC (The National Computing Centre) London, dimana dengan akreditasi ini, IMKA mempunyai kewenangan
untuk
mengajar
dan
menerbitkan
International
Certificate. Ahli-ahli komputer dari IMKA ditambah sekelompok ilmuwan kemudian mendirikan Yayasan Dian Nuswantoro yang tertuang dalam Akte Notaris Siswadi Aswin, S.H., No. 18 tanggal 18 Juli 1990. Berdasarkan SK Mendikbud No. 0686/O/1990 tanggal 12 Desember 1990 Yayasan ini diperkenankan menyelenggarakan Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Dian Nuswantoro
34
yang dikenal dengan nama AMIK Dian Nuswantoro. Kuliah pertamanya diikuti oleh 54 Mahasiswa Wawasan keyakinan bahwa pendidikan tinggi harus dikembangkan ke arah suatu sistem demi kepentingan nasional telah mendorong
pihak
Yayasan
untuk
merumuskan
serangkaian
kebijakan mengenai perubahan bentuk dari Akademi menjadi Sekolah Tinggi. Kemudian berdasarkan SK MENDIKBUD No. 10/D/O/1994, tanggal 3 Maret 1994, AMIK Dian Nuswantoro secara resmi berubah bentuk menjadi Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Dian Nuswantoro. Kini pada tahun 2001, STMIK Dian Nuswantoro menempati kampus seluas 20.000 m2 dengan berbagai bangunan megah, laboratorium komputer yang sedemikian lengkap dan canggih, memiliki mahasiswa aktif lebih dari 9.000 orang, dan telah meluluskan 1.106 Sarjana Komputer serta 2.994 Ahli Madya Komputer. Tanpa adanya suatu prestasi, tak mungkin semua itu dapat diraih dalam waktu yang sedemikian singkat. Pengembangan program pendidikan terus dilakukan. Pada tanggal 1 Juni 1999, Program Studi Manajemen Informatika (D3) dan Teknik Informatika (D3) mendapatkan Status Disamakan berdasarkan SK Mendikbud No. 273/Dikti/Kep/1999. Selanjutnya, pada tanggal 27 Juni 2000, berdasarkan SK Mendikbud Nomor 210/DIKTI/Kep/2000, Program Studi Manajemen Informatika (S1) dan Teknik Informatika (S1) juga menerima Status Disamakan. Sekali lagi, pada tanggal 10 Agustus 2000, berdasarkan SK No. 019/BAN-PT/Ak-IV/VIII/2000, Manajemen
kedua
program
Informatika (S1) dan Teknik
studi
yaitu
Informatika (S1)
memperoleh Status Terakreditasi. Melengkapi Program Studi yang telah ada, maka dibukalah Program Studi Komputerisasi Akuntansi
35
(D3) berdasarkan SK Mendiknas No. 66/Dikti/Kep/2000 tanggal 15 Maret 2000. Menghadapi era globalisasi dimana persaingan dunia usaha semakin ketat, maka pada tanggal 22 Februari 1999 berdasarkan SK Mendikbud No. 26/D/O/99, Yayasan Dian Nuswantoro mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Dian Nuswantoro, dengan Program Studi : Manajemen S1 dan D3, Akuntansi S1 dan D3, serta Perpajakan D3. Jumlah mahasiswa yang diterima pada angkatan pertama tahun akademik 1999/2000 sebanyak 187 orang dan pada tahun 2000/2001 sebanyak 359 orang. Menyadari betapa pentingnya peranan bahasa asing dalam segala aktivitas kehidupan manusia, maka pada tanggal 15 Maret 2000 Yayasan Dian Nuswantoro mendirikan Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Dian Nuswantoro. Pendirian STBA Dian Nuswantoro ini didasarkan pada SK Mendiknas No. No. 27/D/O/2000, dengan program studi : Sastra Inggris (S1), Bahasa Inggris (D3), Bahasa Jepang (D3), dan Bahasa Cina (D3). Dengan dibukanya Program Studi Bahasa Cina, berarti STBA Dian Nuswantoro merupakan perguruan tinggi ketiga di Indonesia yang memiliki Program Studi Bahasa Cina, setelah Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Dharma Persada (Unsada) Jakarta yang keduanya dibuka sebelum tahun 1965. Jumlah mahasiswa yang diterima pada angkatan pertama tahun akademik 2000/2001 sebanyak 466 orang. Ahli-ahli pendidikan dari Yayasan Dian Nuswantoro ditambah dengan sekelompok dokter dan ahli kesehatan, kemudian mendirikan Yayasan Lintang Nuswantoro. Yayasan ini kemudian mendirikan
Sekolah
Tinggi
Kesehatan
(STKES)
Lintang
Nuswantoro yang merupakan salah satu perintis sekolah tinggi kesehatan di Indonesia. Pendirian STKES Lintang Nuswantoro ini
36
disahkan dengan terbitnya SK Mendiknas No.103/D/O/2000 tanggal 7 Juli 2000, dengan program studi : Kesehatan Masyarakat (S1) dan Hiperkes (D3). Untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja pengelolaan perguruan tinggi, maka mulai tahun akademik 2001/2002 keempat perguruan tinggi di bawah Yayasan Dian Nuswantoro dan Yayasan Lintang Nuswantoro (STMIK-STIE-STBA Dian Nuswantoro dan STKES Lintang Nuswantoro) digabung menjadi Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) berdasarkan SK Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No. 169/D/O/2001 tanggal 30 Agustus 2001. Sehingga berdasarkan
SK tersebut Universitas Dian
Nuswantoro kini memiliki 5 Fakultas, yaitu :
Fakultas Ilmu Komputer (d.h. STMIK Dian Nuswantoro)
Fakultas Ekonomi (d.h. STIE Dian Nuswantoro)
Fakultas Bahasa dan Sastra (d.h. STBA Dian Nuswantoro)
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
(d.h.
STKES
Lintang
Nuswantoro)
Fakultas Teknik. Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) terus berusaha
untuk meningkatkan mutu dan kualitasnya, sehingga predikat perguruan tinggi yang berkembang pesat segera disandangnya dan akhirnya pada tanggal 5 Juli 2002 UDINUS telah menambah 2 (dua) program lagi, yaitu program studi Teknik Industri di bawah Fakultas Teknik berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 1336/D/T/2002. Dan program Pasca Sarjana Magister Komputer berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 1322/D/T/2002.
Visi
37
Menjadi Universitas Pilihan Utama di bidang pendidikan dan kewirausahaan
Misi 1) Menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas 2) Menumbuhkembangkan
kreatifitas
dan
inovasi
civitas
akademika yang bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.
38
Tujuan 1) Terciptanya atmosfir akademik yang dinamis dan bertanggung jawab 2) Terciptanya manajemen pendidikan yang berorientasi pada mutu 3) Menghasilkan penelitian yang tepat guna bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni 4) Terselenggaranya program pengabdian pada masyarakat yang tepat sasaran sebagai bentuk implementasi Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni 5) Terjalinnya kerjasama / kemitraan dalam berbagai bidang, baik dengan lembaga pemerintahan maupun swasta, di tingkat nasional maupun internasional 6) Terciptanya sistem pelayanan dan program kerja yang berorientasi pada kepuasan stakeholder.
Sasaran 1) Meningkatnya kualitas Lulusan
Meningkatnya index prestasi lulusan
Meningkatnya persentase lulusan yang tepat waktu
Berkurangnya waktu tunggu dalam mendapatkan atau menciptakan pekerjaan
Meningkatnya lulusan yang berwirausaha
2) Atmosfir akademik yang semakin dinamis
Meningkatnya otonomi keilmuan, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik
Meningkatnya
prasarana,
sarana
dan
dana
yang
memungkinkan terciptanya interaksi akademik antar sivitas akademika
Meningkatnya program dan kegiatan akademik untuk menciptakan suasana akademik (seminar, symposium, lokakarya, bedah buku, penelitian bersama, dll)
39
Meningkatnya
Program
pembinaan
akademik,
pengembangan sikap mental cendikiawan, serta pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan. 3) Terciptanya manajemen pendidikan yang berorientasi pada mutu
Terselenggaranya fungsi-fungsi organisasi sesuai dengan tugas dan tangung jawab setiap satuan kerja
Terselenggaranya sistem perencanaan dan garis besar rencana jangka panjang, menengah, dan tahun dalam kaitannya dengan visi, misi dan sasaran institusi
Terselenggaranya pengelolahan administrasi yang baik
Terselenggaranya kerjasama dan kemitraan institusi dengan instasi atau pihak-pihak tertentu di luar perguruan tinggi
Terselenggaranya sistem monitoring dan evaluasi
Ketersediaan direktori, katalog, dan atau dokumen tertulis yang menjelaskan keseluruhan kegiatan institusi; yang mencakup isi dan pemanfaatan.
4) Menghasilkan penelitian yang tepat guna bagi pengambangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni
Tersedianya agenda penelitian, yaitu rancangan dan implementasi kegiatan penelitian untuk mendapatkan jawaban atau informasi ilmiah atau penerapan ilmu pengetahuan, pengembangan teknologi baru mengenai berbagai isu yang dihadapi masyarakat dan pembangunan
Meningkatnya produktivitas penelitian yang berkualitas, berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha
Terselenggaranya perlindungan hasil penelitian dan hak paten
5) Terselenggaranya program pengabdian pada masyarakat yang tepat sasaran sebagai bentuk implementasi Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni
40
Meningkatnya keterlibatan dosen dan mahasiswa
Meningkatnya jenis dan jumlah kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang relevan dengan institusi dan atau hasil penelitian yang dilakukan oleh dosen
Meningkatnya
dampak
kegiatan
pengabdian
kepada
masyarakat, program pembangunan pemerintah dan dunia usaha
Meningkatnya sumber dana pengabdian kepada masyarakat
6) Terjalinnya kerjasama / kemitraan dalam berbagai bidang, baik dengan lembaga pemerintah maupun swasta. ditingkat nasional maupun internasional
Meningkatnya jumlah mitra kerjasama
Meningkatnya kualitas program kerjasama
7) Terselenggarnya sistem pelayanan dan program kerja yang berorientasi pada kepuasan stakeholder
Fasilitas Gedung 1) Gedung A : (Gedung berlantai 2)
Lantai 2 : Ruang Perpustakaan Pusat
Lantai 1 : Ruang BIUM, ruang BIAK, ruang BIKU, ruang BIMA, ruang UPT KK, ruang TU Fakultas Ilmu Komputer, ruang Rumah Tangga.
2) Gedung B : (Gedung berlantai 5)
Lantai 5 : Ruang Pasca Sarjana
Lantai 4 : Ruang kuliah Fakultas Teknik, ruang Dosen Fakultas Teknik & studio Radio Swara Dian
Lantai 3 : Ruang Dekanat Fakultas Ilmu Komputer, Lab. Elektro, ruang rapat Fakultas Ilmu Komputer & ruang Serba Guna
Lantai 2 : Ruang Dosen Fakultas Ilmu Komputer
Lantai
1
:
Rektorat
Sekretariat
41
Universitas
Dian
Nuswantoro,
3) Gedung C : (Gedung berlantai 5)
Lantai 5 : Ruang Dekanat Fakultas Kesehatan, ruang Dosen Fakultas Kesehatan, ruang rapat.
Lantai 4 : Lab. Komputer, ruang kuliah, ruang TU Fakultas Kesehatan
Lantai 3 : Ruang kuliah & ruang kemahasiswaan Fakultas Ekonomi
Lantai 2 : Lab. Akuntansi, ruang kuliah, ruang Dosen Fakultas Ekonomi & ruang BEM FE
Lantai 1 : Ruang Dekanat Fakultas Ekonomi, Bank BPD Jateng Capem UDINUS, ruang TU Fakultas Ekonomi & mushola
4) Gedung D : (Gedung berlantai 5)
Lantai 5 : ruang kuliah
Lantai 4 : Ruang kuliah & ruang kemahasiswaan Fakultas Bahasa & Sastra Asing
Lantai 3 : Ruang Dekanat, ruang Dosen Fakultas Bahasa & Sastra Asing, ruang TU, ruang kuliah, Lab. Bahasa Fakultas Bahasa & Sastra Asing & Self Access Center
Lantai 2 : Lab. Komputer, ruang laboran
Lantai 1 : Ruang kuliah & ruang kemahasiswaan Fakultas Ilmu Komputer
5) Gedung E
Studio TVKU
Ruang Serbaguna
Dinus Tech
Kesemua gedung tersebut merupakan gedung bertingkat yang dilengkapi AC (Air Conitioned) dengan ventilasi berupa jendela berbahan kaca.
42
5.1.2 Analisis Univariat
Umur
Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Umur Umur 15 – 49 tahun ≥ 50 tahun Total
Frekuensi 82 3 85
% 96,5 3,5 100,0
Berdasarkan tabel 5.1, sebagian besar responden termasuk dalam kelompok umur 15 – 49 tahun (96,5 %).
Jenis kelamin
Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi 49 36 85
% 57,6 42,4 100,0
Berdasarkan tabel 5.2, sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (57,6 %).
Unit Kerja
Tabel 5.3 Distribusi Responden Menurut Unit Kerja Unit kerja FIK FE FBS F.KES FT Pasca Sarjana Total
Frekuensi 37 9 14 14 8 3 85
43
% 43,5 10,6 16,5 16,5 9,4 3,5 100,0
Berdasarkan tabel 5.3, sebagian besar responden bekerja di Fakultas Ilmu Komputer (FIK) yaitu sebesar 43,5 %.
44
Beban kerja
Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Beban kerja Beban kerja >12SKS ≤ 12 SKS Total
Frekuensi 52 33 85
% 61,2 38,8 100,0
Berdasarkan tabel 5.4, sebagian besar responden yaitu sebesar 61,2 % mempunyai beban kerja pada semester genap TA. 2006/2007 mencapai > 12 SKS.
Kebisingan
Tabel 5.5 Distribusi Responden Menurut Kebisingan Kebisingan ≥ 85 dB (A) < 85 dB (A) Total
Frekuensi 22 63 85
% 25,9 74,1 100,0
Berdasarkan tabel 5.5, sebagian besar responden tidak mengalami kebisingan karena kebisingannya < 85 dB (A) (74,1%).
Penerangan
Tabel 5.6 Distribusi Responden Menurut Penerangan Jenis Kelamin < 200 luks ≥ 200 luks Total
Frekuensi 100,0 0 85
45
% 100,0 0 100,0
Berdasarkan tabel 5.6, semua responden (100 %) mengalami penerangan < 200 luks sehingga termasuk dalam kondisi yang tidak sesuai untuk jenis pekerjaan yang dilakukan agak teliti.
46
Kejadian Nyeri kepala SBS
Tabel 5.7 Distribusi Responden Menurut Kejadian Nyeri Kepala SBS Kejadian nyeri kepala SBS Nyeri kepala SBS Tidak nyeri kepala SBS Total
Frekuensi 5 80 85
% 8,6 91,4 100,0
Berdasarkan tabel 5.7, sebagian besar responden tidak mengalami nyeri kepala SBS (91,4 %).
5.1.3 Analisis Bivariat
Hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS
Tabel 5.8 Hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS Umur 15 – 49 tahun ≥ 50 tahun
Kejadian nyeri kepala SBS Nyeri kepala Tidak Nyeri kepala ∑ % ∑ % 5 6,1 77 93,9 0 0 3 100,0
Jumlah ∑ % 82 100,0 3 100,0
Berdasarkan tabel 5.8, pada responden yang mengalami nyeri kepala berumur 15 – 49 tahun (6,1 %).
Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,623 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS.
47
Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS
Tabel 5.9 Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS Kejadian nyeri kepala SBS Nyeri kepala Tidak Nyeri kepala ∑ % ∑ % 3 6,1 46 93,9
Jenis kelamin
Lakilaki Perempuan
2
5,6
34
94,4
Jumlah ∑ % 49 100,0 36
100,0
Berdasarkan tabel 5.9, pada responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang berjenis kelamin laki-laki (6,1 %) sedikit lebih besar daripada yang berjenis kelamin perempuan (5,6 %).
Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p = 1,0 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS.
Hubungan antara beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS
Tabel 5.10 Hubungan antara beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS Beban kerja > 12 SKS ≤ 12 SKS
Kejadian nyeri kepala SBS Nyeri kepala Tidak Nyeri kepala ∑ % ∑ % 2 3,8 50 96,2 3 9,1 30 90,9
Jumlah ∑ % 52 100,0 33 100,0
Berdasarkan tabel 5.10, pada responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang mempunyai beban kerja ≤ 12 SKS (9,1 %) lebih besar daripada yang mempunyai beban kerja > 12 SKS(3,8 %). Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,395 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS.
48
Hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS
Tabel 5.11 Hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS Kebisingan > 85 dB (A) ≤ 85 dB (A)
Kejadian nyeri kepala SBS Nyeri kepala Tidak Nyeri kepala ∑ % ∑ % 0 0 22 100,0 5 7,9 58 92,1
Jumlah ∑ % 22 100,0 63 100,0
Berdasarkan tabel 5.11, pada responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang kebisingannya ≤ 85 dB (A) (7,9 %) lebih besar daripada yang kebisingannya > 85 dB (A) (0 %). Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,195 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS.
Hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS
Tabel 5.12 Hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS Penerangan ≥ 200 luks < 200 luks
Kejadian nyeri kepala SBS Nyeri kepala Tidak Nyeri kepala ∑ % ∑ % 0 0 0 0 5 5,9 80 94,1
Jumlah ∑ % 0 0 85 100,0
Berdasarkan tabel 5.12, pada responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang mempunyai penerangan < 200 luks (5,9 %) lebih besar daripada yang mempunyai penerangan ≥ 200 luks (0 %). Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,373, sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS.
49
5.2
Pembahasan 5.2.1 Prevalensi nyeri kepala Sick Building Syndrome
Sick Building Syndrome (SBS) adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. Gejala-gejala tersebut meliputi sakit kepala, pening, mual, iritasi pada mata, hidung maupun tenggorokan yang disertai dengan batuk kering. Sebagian besar penderita adalah para pekerja rutin di gedung-gedung (Anies, 2005). Penelitian
kesehatan
dan
keselamatan
kerja
yang
dilakukan
Manufacturing, Science and Finance Union (MSF) di City and Guilds Institute London tahun 1990 menunjukkan 90 % mengalami sakit kepala, 74% mengalami lethargy, 61 % mengalami mata kering, 58 % mengalami nyeri tenggorok dan gejala lain yang dialami pekerjanya . Banyak kasus SBS menunjukkan gejala-gejala yang tidak jelas secara klinis, sehingga tidak dapat diukur (Anies, 2005). Dalam penelitian ini diperoleh 8,6 % responden yang mengalami nyeri kepala Sick Building Syndrome (SBS). Rendahnya prevalensi nyeri kepala SBS dalam penelitian ini dimungkinkan terjadi karena gejala SBS bersifat individual yang sulit diukur secara obyektif, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata (Anies, 2005) serta bersifat menetap dalam waktu tertentu (Kompas, 2001). Secara lebih spesifik dr. Tjandra Yoga Aditama, D.S.P., D.T.M & H, dokter spesialis paru mengatakan keluhan-keluhan SBS biasanya menetap setidaknya dalam waktu dua minggu. Sindrom gedung sakit baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa (Tjandra Yoga Aditama, 1991).
50
5.2.2 Analisis Univariat
Umur responden Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur. Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Dalam penelitian ini, kelompok umur dibagi menurut tingkat kedewasaannya.WHO membagi menjadi 3 kelompok umur yaitu 0 - 14 tahun (bayi dan anak-anak), 15 - 49 tahun (orang muda dan dewasa), 50 tahun keatas (orang tua). (Soekidjo Notoatmodjo, 2003) Menurut
kelompok
umur
tersebut,
sebagian
besar
merupakan kelonpok umur 15 – 49 tahun. Kelompok ini adalah usia produktif tenaga kerja. Produktivitas seseorang menurun dengan
bertambahnya
umur.
Hal
ini
disebabkan
adanya
keterampilan fisik seperti kecepatan, kelenturan, kekuatan dan koordinasi yang menurun dengan bertambahnya umur. Tetapi produktivitas tidak hanya tergantung umur saja tetapi seseorang yang sudah lama bekerja artinya sudah bertambah tua mengalami peningkatan karena pengalaman dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. (Makmuri, 1994)
Jenis kelamin Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih tinggi dikalangan wanita sedangkan angka kematian lebih tinggi dikalangan pria, juga pada semua golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih lanjut. Perbedaan angka kematian ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor intinsik.
51
Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin atau perbedaan hormonal sedangkan yang kedua diduga oleh karena berperannya faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria mengisap rokok, minum minuman keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaanpekerjaan berbahaya, dan seterusnya) (Soekidjo Notoatmodjo, 2003). Dalam penelitian ini, sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (57,6%).
Beban kerja Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban dimaksud mungkin fisik, mental atau social (Suma’mur, 1994). Dalam penelitian ini, beban kerja yang dimaksud pada staf edukatif tetap UDINUS adalah beban mengajar pada semester genap TA 2006/2007. Menurut SK Mendiknas No. 074/U/2000, beban kerja dosen maksimal 12 SKS per semester. (Diknas, 2000). Suma’mur dalam bukunya Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerje menyatakan agar terjamin keadaan kesehatan dan produktivitas kerja setinggi-tingginya, perlu keseimbangan 3 faktor yaitu
beban
kerja,
beban
tambahan
dan
kapasitas
kerja
(Suuma’mur, 1994). Dalam penelitian ini yang diukur hanyalah beban kerja, dimana sebagian besar responden mempunyai beban mengajar yang tergolong berat karena > 12 SKS. Sedangkan beban tambahan dan kapasitas kerja tidak diukur. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan produktifitas tenaga kerja.
Kebisingan Kebisingan adalah bunyi-bunyi yang tidak dikehendaki yang didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis.
52
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah sound level meter. Dari hasil pengukuran sound level meter, diketahui sebagian besar berada dalam kisaran kebisingan 52 sampai 89 dB (A). Ditinjau dari kriteria kebisingan yang dianjurkan untuk kantor-kantor, hal ini masih terlampau tinggi karena > 55 dB (A). Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : KEP51.MEN/ 1999, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan untuk waktu kerja 8 jam sehari adalah 85 dB. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden kebisingannya < 85 dB (A) (74,1%). Kebisingan mempunyai efek merugikan kepada daya keria. Pengaruh-pengaruh negatif demikian adalah sebagai berikut (Suma’mur,1994) :
Kebisingan sering-sering mengganggu, kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, lebih-yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba dan tak tentu. Pengaruhnya sangat terasa, apabila sumber kebisingan tersebut tidak diketahui.
Apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak
karena
terdapat
kebisingan,
menyebabkan
terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan, terutama pada peristiwa penggunaan tenaga baru.
Kebisingan menganggu perhatian yang perlu terus-menerus dicurahkan.
Pada tenaga kerja yang sangat peka terhadap
kebisingan berakibat meningkatnya kelelahan. Pada pekerjaan yang lebih banyak memikir, kebisingan sebaiknya ditekan serendah-rendahnya. (Suma’mur, 1994).
Penerangan Penerangan
yang
baik
adalah
penerangan
yang
memungkinkan seorang tenaga kerja melihat pekerjaannya dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu, serta membantu
53
menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Alat-alat pengukur penerangan adalah luksmeter. Dalam penelitian ini, semua responden (100 %) mengalami penerangan < 200 luks sehingga termasuk dalam kondisi yang tidak sesuai untuk jenis pekerjaan yang dilakukan agak teliti. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja. Upaya mata yang melelahkan menjadi sebab kelelahan mental. Gejala-gejalanya seperti sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, daya konsentrasi dan kecepatan berpikir..
5.2.3
Analisis Bivariat
Hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,623 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS. Hal tersebut menunjukkan bahwa umur tidak menunjukkan perbedaan dalam kejadian nyeri kepala. Dilihat dari persentase menurut umur pada responden yang mengalami nyeri kepala berumur 15 – 49 tahun (6,1 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dr M Stafford dkk dari Department of Epidemiology and Public Health, University College London Medical School dalam penelitiannya “Building health: an epidemiological study of "sick building syndrome" in the Whitehall II study “ yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek umur dengan keberadaan gejala SBS.
54
Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS Hasil uji Chi Square diperoleh nilai
p = 1,0 sehingga
disimpulkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS. Dilihat dari persentase menurut jenis kelamin pada responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang berjenis kelamin laki-laki (6,1 %) hampir sebanding dengan yang berjenis kelamin perempuan (5,6 %). Hal tersebut menunjukkan antara yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan untuk terjadinya nyeri kepala SBS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dr M Stafford dkk dari Department of Epidemiology and Public Health, University College London Medical School dalam penelitiannya “Building health: an epidemiological study of "sick building syndrome" in the Whitehall II study “ yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek jenis keamin dengan keberadaan gejala SBS. Penelitian Margaretha Winarti menunjukkan hasil yang berbeda. Gender perempuan memperbesar risiko nyeri kepala SBS. Bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki, pekerja perempuan mempunyai risiko NK SGS hampir 3 kali lipat lebih besar (OR suaian = 2,96; 95% CI: 1,29-6,75) (Margaretha Winarti).
Hubungan antara beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS Responden dalam penelitian ini adalah staf edukatif di lingkungan
Universitas
Dian
Nuswantoro.
Menurut
SK
Mendiknas No. 074/U/2000, tentang tata kerja tim penilai dan tata cara penilaian angka kredit jabatan dosen PT, dan SK Mendiknas
55
No. 36/D/O/2001, tentang petunjuk teknis pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan dosen, beban kerja dosen maksimal 12 SKS per semester (Diknas, 2001). Secara keseluruhan, sebagian besar responden yaitu sebesar 61,2 %
mempunyai beban kerja > 12 SKS. Namun pada
responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang mempunyai beban kerja ≤ 12 SKS (9,1 %) lebih besar daripada yang mempunyai beban kerja > 12 SKS (3,8 %). Nyeri kepala merupakan salah satu gejala dari Sick Building Syndrome (SBS). Michael J. Hodgson menyatakan bahwa pekerjaan (yang terkait dengan aktifitasnya) merupakan salah satu faktor risiko SBS.
Dalam artikelnya berjudul Sick Building
Syndrome, faktor-faktor pekerjaan terdiri dari stress kerja, waktu yang dihabiskan dengan penggunaan mesin fotokopi, komputer, dll (Michael J. Hodgson). Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban dimaksud mungkin fisik, mental atau sosial. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja (Suma’mur, 1994). Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai
sig 0,395 sehingga disimpulkan tidak ada
hubungan beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS. Artinya, responden dengan beban kerja yang cukup dan berat dapat mengalami nyeri kepala. Hal ini kemungkinan terjadi karena beban kerja dalam penelitian ini hanya didasarkan pada beban mengajar, belum terkait dengan beban lain seperti beban administratif maupun beban sosial. Selain itu, faktor pekerjaan yang lain seperti stress kerja dan alat kerja juga tidak diukur.
56
Hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS Kebisingan adalah bunyi-bunyi yang tidak dikehendaki yang didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis. Secara keseluruhan 74,1% responden kebisingannya ≤ 85 dB (A), 25,9 % responden yang kebisingannya > 85 dB (A). Kebisingan mengganggu pelaksanaan tugas. Ditempat bising, berpikir sulit dilakukan. Kebisingan mengganggu kenyamanan kerja, berpengaruh buruk terhadap komunikasi, perhatian sehingga konsentrasi dan kesigapan mental menurun. Selain itu tidak menguntungkan terhadap efisiensi. Kegiatan-kegiatan yang bersifat belajar biasanya lebih terganggu daripada kegiatan rutin (Suma’mur, 1989). Berdasarkan observasi pada saat pengumpulan data, sumber kebisingan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bersumber pada Air Conditioned (AC) di ruang kerja. Kebisingan ini bersifat kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas. Namun dalam penelitian ini, hanya mengukur kebisingan pada suatu waktu dan suatu tempat dan tidak menunjukkan dosis kumulatif tenaga kerja yang meliputi waktu-waktu kerjanya (Suma’mur, 1994). Hal ini karena jenis penelitian ini adalah cross sectional dimana pengukurannya dilakukan pada suatu saat. Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,195 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS. Hal ini mungkin terjadi karena pada responden yang mengalami nyeri kepala tidak mengalami kebisingan. Sehingga menunjukkan bahwa faktor kebisingan tidak berhubungan dengan terjadinya nyeri kepala.
57
Hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS Penerangan membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Sumber penerangan dapat berasal dari penerangan alami (cahaya matahari) maupun buatan (lampu) (AM. Sugeng Budiono, 1991). Menurut PMP No. 7 tahun 1964 tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan serta penerangan dalam tenaga kerja, Nilai Ambang Batas (NAB) penerangan untuk pekerjaan yang agak teliti
harus paling sedikit mempunyai
kekuatan 200 luks (Suma’mur, 1994). Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,373, sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS. Dalam penelitian ini, faktor penerangan diukur berdasarkan penerangan di meja kerja, tanpa mempertimbangkan sumber penerangannya. Secara keseluruhan, semua responden (100%) penerangannya ≤ 200 luks. Pada responden yang mengalami nyeri kepala, semuanya mempunyai penerangan yang tidak sesuai. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada responden yang nyeri kepala dan tidak nyeri kepala, terpapar penerangan yang tidak sesuai (≤ 200 luks).
5.3
Keterbatasan penelitian
1. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional dimana variable bebas dan terikat diukur secara bersamaan hanya pada suatu saat. 2. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah total populasi, tetapi sampai berakhirnya waktu pengambilan data (8 Juni 2007) hanya diperoleh sejumlah 85 responden.
58
3. Faktor nyeri kepala bersifat individual sehingga sulit diukur secara obyektif. Selain itu, nyeri kepala ditentukan bila dirasakan dalam waktu yang menetap minimal dalam waktu 2 minggu, sehingga sulit ditemukan responden dengan keadaan ini. 4. Beban kerja dalam penelitian ini hanya diukur berdasarkan beban mengajar, sedangkan beban yang lain diabaikan
59
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
5.4
Kesimpulan
1. Prevalensi kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome (SBS) 8,6 %. Rendahnya
prevalensi
nyeri
kepala
SBS
dalam
penelitian
ini
dimungkinkan terjadi karena gejala SBS bersifat individual yang sulit diukur secara obyektif, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata (Anies, 2005) serta bersifat menetap
dalam waktu tertentu (Kompas,
2001). 2. Tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS (nilai Sig = 0,623). Hal tersebut menunjukkan bahwa tinggi rendahnya umur tidak terkait dengan kemungkinan terjadinya nyeri kepala. 3. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS (p value = 1,0) Hal tersebut menunjukkan antara yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan untuk terjadinya nyeri kepala SBS. 4. Tidak ada hubungan beban kerja dengan kejadian nyeri kepala (nilai sig = 0,395). Hal tersebut menunjukkan bahwa besar kecilnya beban mengajar tidak berhubungan dengan terjadinya nyeri kepala. 5. Tidak ada hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS (nilai sig = 0,195). Hal tersebut menunjukkan bahwa tinggi rendahnya nilai kebisingan tidak berhubungan dengan terjadinya nyeri kepala. 6. Tidak ada hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS (nilai sig = 0, 373). Hal tersebut menunjukkan tinggi rendahnya nilai penerangan tidak berhubungan dengan terjadinya nyeri kepala.
60
5.5
Saran
5. Penelitian ini merupakan survei pendahuluan tentang kejadian SBS. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor risikonya, bila memungkinkan dengan penelitian kohor. 6. Penelitian
lain
dengan
variabel
pekerjaan
sebaiknya
perlu
mempertimbangkan pengukuran beban kerja secara keseluruhan maupun faktor-faktor pekerjaan yang lainnya seperti stress kerja, alat kerja, dsb. 7. Perlunya dilakukan penilaian kualitas udara dalam ruangan kerja secara kontinyu untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya Sick Building Syndrome di kemudian hari. Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan pembiakan kuman.
61
DAFTAR PUSTAKA
-----------, “H & S Guidance Sick Buildng Syndrome”, http://www.devonline .gov.uk/index/information_and_services/environmental_health/ehhealthandsafety-intro/eh-hs-guidance/eh-hs-sickbuilding.htm, (25 Juni 2007) ------------, “Sick Building Syndrome causes, effects and control”, http://www.lhc.org.uk/members/pubs/books/sbs/sb05.htm, (9 Maret 2007) ------, ”Mengatasi Sick Building Syndrome”, http://www.properti.net/ berita /?q=2115, (10 November 2006) ------------, 1994, ”Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja”, CV. Haji Masagung, Jakarta. -------------, 2000, SK Mendiknas No. 074/U/2000, “Tata kerja tim penilai dan tata cara penilaian angka kredit jabatan dosen PT, dan SK Mendiknas No. 36/D/O/2001, tentang petunjuk teknis pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan dosen”, Diknas, Jakarta A F Marmot, J Eley, M Stafford, S A Stansfeld, E Warwick & M G Marmot, ” Building health: an epidemiological study of "sick building syndrome" in the Whitehall II study”, http://oem.bmj.com/cgi/content/abstract/63/4/283, (12 April 2007) AM. Sugeng Budiono, 1991, “Bunga rampai hiperkes dan Keselamatan Kerja”, PT. Tri Tunggal Tata Fajar. Surakarta Anies, 2005, ”Mewaspadai Penyakit Lingkungan (Berbagai Gangguan Kesehatan Akibat Pengaruh Faktor Lingkungan)”, Elex Media Komputindo, Jakarta. Bourbeau J, Brisson C, Allaire S., “Prevalence of the sick building syndrome symptoms in office workers before and after being exposed to a building with an improved ventilation system”, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=ShowDetail View&TermToSearch=8704863&ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PE ntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVAbstractPlus, (25 Juni 2007) Budiman Chandra,1997, ”Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi”, EGC, Jakarta.
62
Chih-Shan Li, Chu-Wan Hsu, Mei-Luan Tai, Archives of Environmental Health,May-June, 1997, “Indoor pollution and sick building syndrome symptoms among workers in day-care centers “ , http://findarticles.com/p/articles/mi_m0907/is_n3_v52/ai_19478914, (25 Juni 2007) Depnakertrans RI, 2001, ”Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja”, Depnakertrans, Jakarta. Juli Soemirat Slamet, 1994, ”Kesehatan Lingkungan”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Kompas, 2001, “Gedung Tertutup bisa menyebabkan sakit”, http://www.indomedia.com/intisari /2001/Sept/ khas_airud.htm, (10 November 2006) Margaretha Winarti, ”Pengaruh Kecepatan Gerakan Udara, Gender, dan Kebiasaan Sarapan Terhadap Risiko Nyeri Kepala Sindrom Gedung Sakit (SGS) Pada Pekerja PT "D" di Jakarta”, http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/ng/detail.jsp?id=72845 &lokasi=lokal, (10 November 2006) Michael J. Hodgson, “Sick Building Syndrome”, http://www.ilo.org/encyclopedia/?doc&nd=857400188&nh=0,(9 Maret 2007) Niven RM, Fletcher AM, Pickering CA, Faragher EB, Potter IN, Booth WB, Jones TJ, Potter PD., “Building sickness syndrome in healthy and unhealthy buildings: an epidemiological and environmental assessment with cluster analysis”,http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=S howDetailView&TermToSearch=10935944&ordinalpos=3&itool=Entrez System2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVDocSum, (25 Juni 2007) Nordström K, Norbäck D, Akselsson R.” Influence of indoor air quality and personal factors on the sick building syndrome (SBS) in Swedish geriatric hospitals”, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=ShowDetail View&TermToSearch=7735389&ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PE ntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVAbstractPlus, (25 Juni 2007) Ooi PL, Goh KT, Phoon MH, Foo SC, Yap HM, “ Epidemiology of Sick Building Syndrome and its associated risk factors in Singapore”, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd=Retrieve&db=PubMed&lis t_uids=9624270&dopt=Abstract, (25 Juni 2007)
63
Soekidjo Notoatmodjo, 2003, ”Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat”, Rineka Cipta. Jakarta Suma’mur, 1989, “Ergonomi untuk Produktivitas kerja”, CV. Haji Masagung, Jakarta. Tjandra Yoga Aditama, 1991, "Sindrom Gedung Sakit”, Cermin Dunia Kedokteran No. 70, 1991 25 , Jakarta. Vincent Gaspersz, 1991, “Teknik Penarikan Contoh untuk Penelitian Survei”, Penerbit Tarsito, Bandung.
64