Bidang Ilmu Sosial
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN KEDUA
MODEL PENGEMBANGAN KONSEP DIRI DAN DAYA RESILIENSI MELALUI SUPPORT GROUP THERAPY: UPAYA MEMINIMALKAN TRAUMA PSIKIS REMAJA DARI KELUARGA SINGLE PARENT
Dra. Djudiyah, M.Si M. Salis Yuniardi, S. Psi, M. Psi.
Bibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depertemen Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor:E.5.c/111/DPPM-UMM/IV/2010, Tanggal 12April 2010
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG NOVEMBER 2011
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING
1. Judul Penelitian
: Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent.
2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar b. Jenis Kelamin c. NIP-UMM d. Jabatan Fungsional e. Jabatan Struktural f. Bidang Keahlian g. Fakultas/Jurusan h. Perguruan Tinggi 3. Tim Peneliti : No Nama dan Gelar Akademik
1.
M. Salis Yuniardi, M.Psi
: Dra. Djudiyah, M. Si. : Perempuan : 109.9109.0240 : Lektor : Dosen : Psikologi : Psikologi : Universitas Muhammadiyah Malang Bidang Keahlian
Psikologi Klinis
4. Pendanaan dan Jangka Waktu Penelitian a. Jangka waktu penelitian yang diusulkan b. Biaya total yang diusulkan c. Biaya yang disetujui tahap II tahun 2011
Fakultas
Perguruan Tinggi
Psikologi
UMM
: 2 Tahun ( 2 Tahap) : Rp. 99.725.000,: Rp. .000,Malang, 10 November 2011
Mengetahui Dekan Fak. Psikologi
Ketua Peneliti,
Drs. H. Tulus Winarsunu, M. Si NIP UMM.109.8802.0064
Dra. Djudiyah, M. Si NIP UMM.109.9109.0240
Menyetujui Direktur DPPM-UMM,
Dr. H. Bambang Widagdo, MM. NIP. 195905201985111001
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
RINGKASAN MODEL PENGEMBANGAN KONSEP DIRI DAN DAYA RESILIENSI MELALUI SUPPORT GROUP THERAPY: UPAYA MEMINIMALKAN TRAUMA PSIKIS REMAJA DARI KELUARGA SINGLE PARENT Penelitian yang dilakukan pada tahun kedua ini bertujuan untuk melakukan validasi atas model support group therapy guna mengembangkan Konsep diri dan Daya Resiliensi remaja dari keluarga single parent yang telah dihasilkan di tahun pertama. Single
parent
memiliki
kecenderungan
kurang
optimal
dalam
pengasuhan remaja karena memiliki beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan orang tua yang utuh. Hal ini mengakibatkan remaja kurang mendapat perhatian dan cenderung memiliki perilaku negatif karena pembentukan konsep diri dalam keluarga kurang dapat berjalan secara optimal, sehingga berkecenderungan melakukan perilaku menyimpang seperti: dendam terhadap orang tua, frustasi, mengalami goncangan jiwa, terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang dan bentuk kenakalan remaja lainnya. Konsep diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena konsep diri akan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil belajar atau pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Karena orang yang dikenal individu adalah keluarga, maka dapat dikatakan bahwa dari keluargalah konsep diri anak terbentuk . Orang tua berperan menjadi model dan sumber pengukuhan bagi perasaan dan pikiran anak. Hal-hal yang dirasakan oleh anak dari keluarga bercerai adalah perasaan tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tua, sedih, kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sebagai akibatnya remaja menjadi pendiam, tidak ceria, suka menyendiri, suka melamun, agresif, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat untuk sekolah.
Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya memiliki cara pandang
terhadap dirinya sendiri
sebagai seseorang yang disorganized
(perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari hidupnya. Selain itu remaja juga memiliki self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan, sehingga individu merasa cemas, yaitu suatu perasaan terancam. Cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja dari keluarga single parent ini akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya atau daya kemampuan untuk mengatasi dan bangkit dari masalahnya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam, hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
gabungan
antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang lebih menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistika. Penelitian ini juga menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan desain one group pre test and post test design. Desain one group pre test and post test design merupakan desain eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subyek (kasus tunggal) serta melakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada subyek, namun sampel ditetapkan dengan tidak random. Subyek penelitian ini adalah 32 siswa Sekolah Menengah Umum (SMAN), siswa Sekolah Menengah Kejuruan (STM) serta siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA) yang berasal dari keluarga single parent di
Malang Raya, meliputi : MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari. Metode pengumpul data
Skala,
Wawancara dan Self Report. Sedangkan metode analisis data yang digunakan ada 2 yaitu uji beda paired sample t-test dan analisa deskriptif. Uji beda paired sample t-test digunakan untuk menguji dua sampel yang berpasangan, apakah mempunyai rata-rata yang secara nyata berbeda ataukah tidak (Winarsunu, 2002). Sedangkan metode analisis diskriptif kualitatif digunakan untuk mengetahui efektivitas support group therapy terhadap pengembangan daya resiliensi remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa support group therapy terbukti mampu meningkatkan konsep diri siswa dari keluarga single parent. Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan tingkat signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support group therapy. Support group therapy terbukti mampu mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga single parent. Hal ini dapat terlihat dari para subyek yang awalnya banyak yang merasa tidak memiliki potensi yang dapat dibanggakan (I am), kurang mendapat dukungan utamanya dari keluarga (I have), serta tidak memiliki rencana masa depan, bahkan pesimis melihatnya (I can), namun setelah proses support group therapy keseluruhan subyek dapat menyadari adanya potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia miliki dan menjadi kekuatannya disamping menerima hal-hal yang menjadi kekurangan diri, dapat melihat bahwa masih ada orang-orang di sekitarnya terutama keluarga yang sesungguhnya mendukung mereka dengan ekspresi yang mungkin berbeda dari yang para subyek harapkan, serta mereka mampu melihat kedua hal tersebut sebagai modal mereka untuk optimis melihat masa depan. Perlu pengembangan lebih lanjut dari modul support group therapy sehingga dapat dihasilkan modul
yang lebih lengkap dengan berbagai modifikasi saat berhadapan dengan variasi subyek. Berdasarkan temuan tersebut maka disampaikan saran-saran sebagai berikut : 1)Bagi sekolah, dapat menjalankan program support group therapy secara berkala dalam menangani permasalahan yang dialami siswanya, tidak hanya siswa yang berstatus single parent tetapi juga dapat dilakukan untuk permasalahan-permasalahan lainnya. Selain itu juga dapat lebih memberikan dukungan dengan cara menyediakan kesempatan lebih luas pada setiap siswa untuk mengembangkan potensinya sehingga dengan demikian resiliensi siswa dapat berkembang sebagaimana konsep diri menjadi lebih positif seiring optimisme dan prestasi yang diraih siswa. 2) Bagi orang tua, untuk lebih memberikan perhatian dan dukungan pada anak-anaknya dalam proses pengasuhan sehingga anak mampu mengembangkan resiliensi yang dimiliki karena adanya dukungan dari keluarga akan sangat membantu dalam penanganan masalah-masalah remaja terkait statusnya sebagai single parent. 3) Bagi peneliti selanjutnya, dapat menyempurnakan modul dengan menerapkan pada subyek yang bervariasi sehingga diperoleh modul yang lengkap dengan berbagai variasi modifikasi saat berhadapan dengan berbagai variasi subyek.
SUMMARY
THE DEVELOPMENT MODEL OF SELF CONCEPT AND RESILIENCE THROUGH SUPPORT GROUP THERAPY: EFFORTS TO MINIMIZE TRAUMA OF ADOLESCENT FROM SINGLE PARENT FAMILY The research carried out in the second year aims to validate the model that has been formulated in the first year. Families with single parent have a tendency to less optimal parenting teenagers because they have a heavier burden when compared with intact parents. This resulted in adolescents receive less attention and tend to have negative behavior because of the formation of self concept in the family less able to run optimally, so tend to perform deviant behavior such as: resentment toward parents, frustrated, experiencing shock people, involved the use of narcotics and illicit drugs and other forms of juvenile delinquency. Selfconcept is important in the lives of teenagers since the self concept will determine how one behaves. The self concept is not an innate factor (genetic) but is formed from the results of individual study or experience in interacting with the people around him. Because people who are known individuals are family, it can be said that from family child's self concept is formed. Parents become role models and sources of affirmation for the child's feelings and thoughts. Things that felt by children of divorced families are feeling insecure (insecurity), unwanted, or rejected by parents, sad, lonely, angry, lost, and guilty, and blame themselves. As a result teenagers become quiet, not cheerful, likes to be alone, starry-eyed, aggressive, hard to concentrate and not interested in school. Adolescents who have a negative self-concept typically have the perspective of herself as someone who is disorganized (disorganized feeling), feeling unstable and self are not integrated. The individual does not have enough knowledge about himself, what his strengths and weaknesses or what is valuable from his life. In addition, teenagers also have self-images that do not allow the slightest deviation from what is already established within the
individual in question, so that individuals feel anxious, a feeling threatened. How to view themselves negatively on themselves and their feelings of self worthlessness adolescents from single parent families will have an impact on the development of resilience is recognized power or power the ability to cope with and recover from the problem. If adolescents think that life is cruel, just make her suffer and feel helpless to deal with it will cause the resilience not grow or tend to be low. But when the teenager tried to overcome the problems it faces and trying to rise from their buried and trying to accept what he has now the power will be able to develop resilience are recognized. The approach used in this study is a combination of quantitative and qualitative approaches. The quantitative approach can be interpreted as a further research with emphasis on analysis of numerical data (numbers) are processed using statistical methods. This study also uses an experimental method using the design of one group pre test and post test design. Design a one group pre test and post test experimental design is a design that uses only one group of subjects (single case) and take measurements before and after the treatment on the subject, but not determined by random sample. The subjects of this research are 32 students coming from MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, and SMK Muhammadiyah 3 Singosari. The data collection methods are interview and self report. While the data analysis methods used there are paired t-test and qualitative descriptive analysis. T-test methods used to determine the effectiveness of support group therapy to increase adolescent self-concept of a single parent. While the qualitative descriptive analysis method used to determine the effectiveness of support group therapy on the development of adolescent resilience. The results showed that the support group therapy proven to improve students' self-concept of single parent families. This can be seen from the results of data analysis where there is increased self-concepts in the subject group. This is shown in the results of different test non parametric pre-test and post test with Z score -4,410 and it has significance level of 0.001 which is
smaller than 0.05 thus being significant (H1 accepted) that there are significant differences between the pre test and post test on the subject after being given support group therapy. Support group therapy and modification requires a different approach when applied to homogeneous male participant rapport which allegedly require longer so comfortable to open up it can be ascertained when entering the treatment sessions. Support group therapy proved able to develop the resilience of students from single parent families. This can be seen from the subjects who initially many feel do not have the potential to be proud (I am), less its main support from family (I have), and have no future plans, even pessimistic view (I cans), but after the support group therapy to the whole subject is aware of the positive potential that he actually had and became its strength as well accept things which become self shortage, can see that there are still people around him, especially families who actually support them with an expression that may differ from that of the subjects expected, and they were able to see both of these as their capital for the optimistic view of the future. Based on these findings will be submitted the following suggestions: 1) To school, to use a support group therapy program on a regular basis in dealing with problems experienced by students, not only the student who is a single parent but can also be done for other problems. It also can further provide support by providing wider opportunities to each student to develop their potential so that students can develop resilience as a more positive self-concept as optimism and student achievement. 2) For parents, to give more attention and support to children in the care process so that children can develop resilience owned because of support from family will be very helpful in handling issues related to its status as a teenage single parent. 3) For further research, to improve the module by applying a variety of subjects in order to obtain a complete module with a variety of modifications when dealing with a variety of subjects.
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, hanya karena rahmat dan karunia-Nya maka penelitian yang berjudul : Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent di Malang, akhirnya dapat terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengembangan konsep diri dan daya resiliensi remaja melalui support group therapy dalam bentuk buku panduan dan compact disk (CD) tentang cara mengatasi trauma psikis remaja akibat kondisi keluarga single parent, buku saku tentang pengembangan konsep diri yang positif bagi remaja dan leaflet tentang cara-cara mengatasi trauma psikis yang dihadapi remaja akibat kondisi keluarga single parent, sehingga dapat meminimalkan perilaku menyimpang remaja dan perlakuan orang tua yang selama ini cenderung melemahkan eksistensi remaja dalam keluarga. Sedangkan secara khusus bertujuan mengembangkan konsep diri remaja yang lebih positif dan daya resiliens-nya sehingga memiliki mental
yang tangguh dalam menghadapi
tantangan kehidupan dimasa yang akan datang. Terselesaikannya penelitian ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ucapan terima kasih dan penghargaan peneliti sampaikan kepada yang terhormat : 1.
Direktorat pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian ini.
2.
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan bantuan moril dan materiil dalam pelaksanaan penelitian ini.
3.
Direktur Direktorat
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan dorongan, bantuan dan fasilitas selama pelaksanaan penelitian ini. 4.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malng yang telah memberikan dukungan hingga terselesaikannya penelitian ini.
5.
Kepala Sekolah MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari yang telah memberikan persetujuan sebagai tempat penelitian.
6.
Bapak dan Ibu Guru BK MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari Malang yang telah banyak memberikan bantuan dan fasilitas selama pelaksanaan penelitian
7.
Para asisten : Laksmi Inayati, Iratanti Linda, Tyas Tunjung Pinasti, Ramdhani Tri K.W., Karina Prameswari, Trisinar Budi M., Putri Dewi M. (NIM : 07810227) yang telah banyak membantu dalam pengambilan data penelitian.
8.
Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Semoga budi baik bapak/ibu mendapat balasan yang setimpal dari Allah
SWT, amin. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan penelitian ini boleh dikata perlu adanya penyempurnaan. Oleh sebab itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak demi perbaikan dan kebaikan dimasa mendatang. Penulis berharap semoga apa yang telah dihasilkan dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, amin.
Malang, 10 November 2011 Peneliti
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangan diri setiap anak. Sejak lahir anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa disekitarnya terutama orang tua. Peran orang tua dalam perkembangan anak sangatlah penting karena orang tua dan keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal anak. Orang tua berkewajiban sebagai pendidik utama bagi anak dalam perkembangan kepribadiannya. Orang tua dan keluarga juga merupakan lembaga paling utama dan pertama yang bertanggung jawab ditengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak (Kartono, 1992:7). Namun tak dapat dipungkiri sekarang ini keluarga single parent jumlahnya semakin meningkat. Hal ini selain dikarenakan faktor alamiah yaitu karena salah satu orang tua meninggal dunia juga disebabkan oleh perceraian, dimana angka perceraian sendiri dari hari ke hari jumlahnya semakin meningkat. Kota Malang merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang rentan terhadap perceraian dan bahkan menduduki peringkat pertama dalam kasus ini. Berdasarkan data Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, antara tahun 2007 hingga tahun 2008 terdapat 2306 kasus perceraian (Jawa Pos, Selasa 19 Pebruari 2009). Berbeda dengan kondisi remaja yang memiliki keluarga ayah dan ibu, maka kondisi remaja dari keluarga single parent secara umum mengalami ketimpangan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini diakibatkan selain menghadapi beban psikologis yang cukup berat, mereka juga harus menanggung perlakuan dari masyarakat yang kurang mendukung eksistensi single parent di masyarakat. Single parent memiliki kecenderungan kurang optimal dalam pengasuhan remaja juga karena memiliki beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan orang tua yang utuh. Hal ini mengakibatkan remaja kurang mendapat perhatian dan cenderung memiliki perilaku negatif karena pembentukan konsep diri dalam
keluarga kurang dapat berjalan secara optimal, sehingga berkecenderungan melakukan perilaku menyimpang seperti: dendam terhadap orang tua, frustasi, mengalami goncangan jiwa, terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang dan bentuk kenakalan remaja lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2007: 67) tentang emosi pada ibu single parent menemukan bahwa ibu single parent cenderung memiliki emosi yang kurang stabil dibanding dengan ibu yang tidak single parent. Emosi ibu yang sangat menonjol adalah rasa takut atau cemas, sedih, marah serta kecewa. Penyebab utama rasa takut adalah karena tidak mampu mendidik dan membesarkan anaknya dengan baik, khawatir akan masa depan anaknya, takut anaknya salah pergaulan dan masalah ekonomi. Perasaan sedih muncul karena teringat oleh almarhum atau mantan suaminya serta ketika anak tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Penyebab emosi marah karena kurangnya keuangan untuk kebutuhan sehari hari, anak tidak mau dinasehati , nakal atau melawan. Sedangkan munculnya emosi kecewa disebabkan karena kegagalan dalam perkawinannya serta tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya secara layak. Kondisi psikologis semacam ini akan berdampak pada perlakuan orang tua sigle parent terhadap anak remajanya, karena remaja juga memiliki emosi yang masih labil sebagai akibat dari pertumbuhan fisik dan hormon yang sangat pesat (Monks, dkk. 2001: 265). Disatu sisi, remaja membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang tua, sementara dipihak lain orang tua tidak mampu berperan secara optimal. Hal ini akan mengakibatkan frustrasi pada diri remaja sehingga mereka cenderung melamun, menekuni hobi secara berlebihan dan suka menyendiri (Balson, 1995:96). Pada keluarga single parent, orang tua berperan ganda dalam menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. Hal ini dapat menghambat hubungan antara anak dan orang tua. Baik orang tua maupun anak biasanya kurang mampu beradaptasi dan menerima keadaan tersebut sebagai sesuatu yang harus dijalani. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan konflik antar anggota keluarga, sehingga memunculkan masalah baik dari pihak orang tua maupun anak (Balson, 1993: 95).
Hubungan orang tua dengan anak yang tidak harmonis akan berdampak pada pembentukan konsep diri anak (dalam Calhoun, 1990:66). Konsep diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena konsep diri akan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil belajar atau pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Karena orang yang dikenal individu adalah keluarga, maka dapat dikatakan bahwa dari keluargalah konsep diri anak terbentuk . Orang tua berperan menjadi model dan sumber pengukuhan bagi perasaan dan pikiran anak. Hal-hal yang dirasakan oleh anak dari keluarga bercerai adalah perasaan tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tua, sedih, kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sebagai akibatnya remaja menjadi pendiam,
tidak
ceria,
suka
menyendiri,
suka
melamun,
agresif,
sulit
berkonsentrasi dan tidak berminat untuk sekolah. Riset yang dilakukan oleh Hervinna (2007:38) tentang konsep diri remaja yang memiliki orang tua bercerai di SMU Widya Gama Malang menemukan bahwa konsep diri remaja yang orang tuanya bercerai cenderung negatif. Mereka cenderung memiliki ego yang tinggi seperti: keras kepala, pembangkang, egois, gampang emosi bila mendapatkan kritik dari orang lain. Mereka juga kurang memiliki harapan terhadap dirinya sendiri dan mereka menganggap bahwa dirinya tidak mampu melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Hal ini sangat berpengaruh pada hubungan interpersonal maupun fungsi emosional lainnya. Mereka juga cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya memiliki cara pandang terhadap dirinya sendiri sebagai seseorang yang disorganized (perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari hidupnya. Selain itu remaja juga memiliki self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan, sehingga individu merasa cemas, yaitu suatu perasaan terancam.
Individu yang disorganized dan sempit tidak memiliki bagian-bagian mental yang mampu saling menghubung-hubungkan informasi-informasi yang bermasalah untuk diuraikan, tetapi justru mereka mendistrorsi atau menolak informasiinformasi tersebut dalam bentuk defens-defens (dalam Calhoun, 1990:66). Cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga pada diri remaja dari keluarga single parent ini akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam, hanya membuat
dirinya
menderita
dan merasa tidak
berdaya
menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalanpersoalan yang dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat berkembang ( dalam American Psychological association, 2003: 36). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja yang hidup dalam keluarga single parent akan memiliki konsep diri yang negatif serta daya resiliensi yang rendah. Hal ini disebabkan karena orang tua kurang mampu berperan secara optimal karena harus berperan ganda dalam keluarga. Berdasarkan hasil tahun pertama ditemukan bahwa 86,67% subyek memiliki konsep diri yang negatif dan belum mampu menemukenali serta mengembangkan daya resiliensinya. Sebagai dampaknya mereka cenderung memandang diri dan lingkungan dengan negatif, mengalami masalah dalam hubungan sosial, serta pesimis melihat masa depan. Beberapa diantara subyek juga ditemukan indikasiindikasi represi agresi seperti bunuh diri maupun membunuh orang tua yang dianggap kejam ataupun mengakibatkan terjadinya perceraian. Selain itu berdasarkan hasil tahun pertama pula ditemukan bahwa model support group therapy yang telah dirumuskan terbukti mampu meningkatkan konsep diri dan mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga single parent. Namun demikian model ini perlu diuji coba lebih luas sehingga model yang dihasilkan lebih efektif dan valid, selain karena ditemukan saat diterapkan pada kelompok siswa homogen laki-laki ternyata masih kurang mampu membuat perubahan yang positif.
Untuk itulah perlu dilanjutkan penelitian tentang “Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya Resiliensi Melalui
Support Group Therapy: Upaya
Mengatasi Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent”, khususnya di Kota Malang agar dapat menumbuhkan konsep diri positif sekaligus daya resiliensi-nya sehingga mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
B.
Hasil yang Diharapkan. Penelitian ini diharapkan dapat menyusun model pengembangan konsep diri
dan daya resiliensi remaja melalui support group therapy dalam bentuk buku panduan tentang cara mengatasi trauma psikis remaja akibat kondisi keluarga single parent dan leaflet tentang cara-cara mengatasi trauma psikis yang dihadapi remaja akibat kondisi keluarga single parent, sehingga dapat
meminimalkan
perilaku menyimpang remaja dan perlakuan orang tua yang selama ini cenderung melemahkan eksistensi.
BAB II STUDI PUSTAKA
A.
Konsep Diri
1.
Pengertian Konsep Diri Konsep diri merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “self concep”. Istilah
self di dalam psikologi memiliki dua arti yaitu sikap dan perasan seseorang terhadap dirinya sendiri, dan suatu keseluruhan proses psikologis yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian diri. Arti yang pertama dapat disebut pengertian self sebagai objek karena pengertian ini menunjukkan sikap, perasan dan pengamatan serta penelitian seseorang. Sedangkan pengertian self sebagai proses, dalam hal ini self adalah suatu kesatuan yang terdiri dari proses aktif seperti berfikir, mengingat dan mengamati (Suryabrata. 1993: 70). Menurut Cooley (dalam Rakhmat, 1985: 111-112) pengertian self sebagai objek dan sebagai proses dapat terjadi karena seseorang melakukannya dengan melakukannya dengan membayangkan dirinya sebagai orang lain. Lebih lanjut Cooley menyebut gejala ini sebagai “Looking Glass Self” (cermin diri), yaitu seakan-akan seseorang menaruh cermin di depannya. Pertama, seseorang membayangkan bagaimana dirinya tampak pada orang lain, melihat sekilas dirinya seperti dalam cermin. Kedua, seseorang membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilannya, individu berfikir, orang lain menganggap dirinya menarik atau tidak menarik. Menurut Hurlock (1992: 58-59) konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki oleh seorang individu tentang dirinya yang meliputi kondisi fisik, psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi. Konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis diri. Citra fisik diri biasanya terbentuk pertama-tama dan berkaitan dengan penampilan fisik, daya tariknya, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelamin serta pentingnya berbagai bagian tubuh untuk perilaku dan harga dirinya di mata orang lain. Sedangkan citra psikologis diri sendiri didasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi. Citra ini terdiri ats kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat-
sifat seperti keberanian, kejujuran, kemandirian dan kepercayaan diri serta berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Pietrofesa (dalam Hurlock, 1992: 71-74) menyatakan bahwa konsep diri merupakan konsepsi hipotesis yang menyangkut semua nilai, sikap dan kepercayaan terhadap diri seseorang dalam hubungannya dengan lingkungan. Konsep diri ini terdiri dari berbagai persepsi diri yang dalam tingkat yang luas mempengaruhi dan menentukan tingkah laku. Lukisan gamblang tentang konsep diri menurut Pietrofesa terdiri dari tiga dimensi, yaitu: a. Diri yang dilihat oleh diri sendiri b. Diri yang dilihat oleh orang lain atau “beginilah saya kira orang lain memandang saya” c. Diri idaman, mengacu pada “tipe orang yang saya kehendaki tentang diri saya”. Konsep diri merupakan suatu konstruk yang mempengaruhi setiap aspek dari pengalaman hidup manusia seperti cara berfikir, emosi, persepsi dan perilaku individu (Calhoun, 1990:60). Menurut Turner (dalam Calhoun, 1984:145) konsep diri didefinisikan sebagai “one self-conception is the more overriding view of oneself, a sense of self through time “The real me”, or I my self as I really am”, artinya konsep diri sebagai pandangan seseorang atas dirinya sendiri secara riil yang relative stabil dari waktu ke waktu. Chaplin (2001:450) self concept (konsep diri ) merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penialain/penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Berdasarkan beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsep diri (self concept) adalah pandangan seseorang atas dirinya sendiri secara riil yang relative stabil dari waktu ke waktu.
2.
Dimensi Konsep Diri Konsep diri memiliki beberapa dimensi dimana tepat tidaknya seseorang
dalam mempersepsi dimensi yang dimiliki akan menentukan positif atau tidaknya konsep diri orang tersebut (Calhoun-Acocella, 1990:90): a.
Knowledge Knowledge adalah pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri, yakni sejumlah label yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan
orang
tersebut
seperti:
usia,
jenis
kelamin,
kewarganegaraan termasuk juga label-label social seperti: democrat, miskin, golongan menengah kebawah, anggota senat dan lain-lain. Label lain yang menjadi komponen dari knowledge seseorang adalah label-label psikologis yang bersifat kualitatif, karena bersifat relative tergantung pada kelompok pembandingnya, seperti: baik hati, spontan, mandiri, cerdik, dan lain-lain.
b.
Expectations Ekspektasi atau harapan ini mengacu pada ideal self, yaitu harapan terhadap diri sendiri tentang bagaimana diri seharusnya yang diidealkan (I should-be). Konsep diri selalu berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi ekspektasinya.
c.
Evaluation Evaluation yaitu
penilaian seseorang atas dirinya sendiri, yakni
menilai antara “I-could-be” dan “I-Should-be”
(Epstein dalam
Calhoun, 1990:65), atau dengan kata lain yaitu pengukuran antara “saya yang seharusnya” dan “saya yang kenyataannya”. Hasil dari pengukuran ini akan menghasilkan apa yang disebut self-esteem. Semakin besar jarak antara keduanya maka self-esteemnya akan semakin rendah (Rogers, Hingging, et al, dalam Calhoun, 1990:65). Zanden (1984:147) mengatakan dengan bahas lain yaitu sebagai
perbedaan antara ekspektasi dan performa akan menghasilkan konsep diri yang rendah. Evaluasi ini merupakan komponen kekuatan yang cukup ekstrim dari konsep diri (Marsh, 1987), karena evaluasi ini akan muncul berbagai jenis konsep diri sebagai gambaran dari derajat nilai konsep diri seseorang. Namun deskripsi tentang cirri konsep diri positif ataupun negatif disini adalah bersifat ekstrim, dimana seseorang bisa saja berada diantaranya atau bersifat moderat, yaitu : 1.
Konsep diri positif. Wicklund dan Frey (dalam Calhoun, 1990:67) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki konsep diri positif adalah memiliki cukup pengetahuan akan dirinya sendiri. Chodorkoff (dalam Calhoun, 1990) menyatakan bahwa cirri konsep diri positif adalah seseorang yang mampu menerima semua informasi tentang dirinya baik yang negatif maupun yang positif karena mampu melihat kenyataan seperti apa adanya, tetapi bukan berarti tidak merasa terganggu dengan hal yang bersifat negatif. Penerimaan diri seperti ini membuat seseorang juga bisa menerima orang lain apa adanya sebagaimana Erich Fromm ( dalam Calhoun, 1990): “The Love of one self is a prerequisite for loving others”, sehingga mampu membentuk beberapa persahabatan yang sifatnyan intim. Seseorang dengan konsep diri positif menetapkan tujuan hidup secara realistis, walaupun mungkin berfantasai sekali waktu. Harapan dan pemikiran individu tentang kehidupan, yaitu apa yang dianggap bisa ditawarkan oleh kehidupan dan bagaimana cara mencapainya diasimilasikan dengan seluruh pengalaman pribadinya. Hal ini membuatnya tidak merasa terancam dengan informasi baru dan juga tidak cemas terhadapnya. Individu dengan konsep diri negatif hidup dengan berbagai defens sementara itu individu dengan konsep diri positif menghadapi hidupnya dengan bebas. Hidup baginya adalah proses menemukan, karenanya individu tersebut bereaksi dengan penuh semangat, spontan dan simple, dengan begitu seseorang mampu memperlakukan orang lain dengan hangat
dan rasa hormat tanpa ada rasa curiga yang tidak semestinya seperti adanya prasangka-prasangka social. Hal tersebut juga dikarenakan adanya apresiasi yang baik terhadap hal-hal yang menyangkut kemanusiaan, dan membuatnya tidak terlalu terikat pada hal-hal yang bersifat konvensional. Cara menghadapi hidup yang demikian itu membuat seseorang merasa hidup adalah menarik dan berharga. Memiliki inner-strength yang membantunya untuk terus survive dari tekanan
dan menjadikannya kukuh dalam bersikap bahkan ketika
orang lain tidak setuju dengannya. Punya misis dalam hidup dan mampu membuat keputusan sesuai dengan tujuan tersebut meskipun berarti berkorban dan frustrasi sementara. Memiliki ide yang jelas tentang benar dan salah. 2.
Konsep diri negatif. Ada dua tipe konsep diri negatif, yang pertama adalah cara pandang seseorang terhadap dirinya sendiri
sebagai seseorang yang
disorganized (perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari hidupnya. Terutama bagi orang dewasa hal ini merupakan tanda dari pribadi yang tidak adaptif (maladjustment). Tanda
kedua hampir
merupakan kebalikan dari yang pertama yaitu konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu terorganisir (rigid). Individu ini menciptakan suatu self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan. Dua jenis konsep diri negatif ini, sama melahirkan kecemasan, yaitu suatu perasaan terancam. Individu dengan konsep diri yang disorganized dan sempit tidak memiliki bagian-bagian mental yang mampu saling menghubung-hubungkan informasi-informasi yang bermasalah untuk diuraikan, tetapi justru mereka mendistrorsi atau menolak informasi-informasi tersebut dalam bentuk defens-defens.
Dobson dan Shaw (dalam Calhoun, 1990:66) menyatakan bahwa konsep diri negatif seseorang berhubungan dengan depresi klinis. Individu dengan konsep diri negatif berharap terlalu sedikit atau bahkan terlalu besar terhadap dirinya (Rotter, 1954. Artinya seorang individu dengan konsep diri negatif adalah seseorang yang mungkin terlalu keras (rigid) pada diri sendiri karena menganggap dirinya terlalu berharga, sehingga tidak bisa menerima kelamahan yang dimiliki dan biasanya hal ini diproyeksikan dengan cara merendahkan orang lain. Bisa juga sebaliknya, yaitu justru menganggap dirinya tidak cukup berharga sehingga melahirkan perasaan rendah diri secara terbuka. Menurut Symond (dalam Suryabrata, 1982: 300) konsep diri memiliki beberapa aspek yaitu: a.
Bagaimana orang mengamati dirinya sendiri
b.
Bagaimana orang berfikir tentang dirinya sendiri
c.
Bagaimana orang menilai dirinya sendiri
d.
Bagaimana
orang
berusaha
dengan
berbagai
cara
untuk
menyempurnakan dan mempertahankan diri. Pembagian yang lebih rinci dikemukakan oleh Robinson ( dalam Calhoun, 1990: 68) yang menjabarkan konsep diri ke dalam lima kategori yaitu: a.
Diri fisik, pandangan seseorang terhadap fisik, kesehatan, penampilan diri dan gerak motoriknya.
b.
Diri keluarga, pandangan dan penilaian seseorang sebagai anggota keluarga serta harga dirinya sebagai anggota keluarga.
c.
Diri pribadi, bagaimana seseorang menggambarkan identitas dirinya dan bagaimana ia menilai dirinya sendiri.
d.
Diri moral etik, bagimana pandangan dan penilaian seseorang terhadap hubungan pribadi dengan Tuhan YME.
e.
Diri sosial, bagaimana nilai diri seseorang dalam melakukan interaksi sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri mencakup keseluruhan aspek pribadi individu yang didasari atas pandangan, pendapat, perasaan dan penilaian terhadap dirinya sendiri yang sekaligus melahirkan penghargaan bagi dirinya. Aspek yang dimaksud terdiri dari diri fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri keimanan dan diri sosial.
3.
Pembentukan dan Perkembangan Konsep Diri. Konsep diri bukan faktor yang dibawa sejak lahir melainkan faktor yang
dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Konsep diri terbentuk dari proses umpan balik dari individu lain. Orang yang pertama kali dikenal adalah orang tua atau anggota keluarga yang lain. Ini berarti inidividu akan menerima tanggapan (umpan balik) pertama dari keluarga. Barulah selanjutnya setelah mampu melepaskan ketergantungannya individu akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas (Pudjijogyanti (1999:12). Pola kepribadian yang dasarnya telah diletakkan pada masa bayi, mulai terbentuk pada awal masa kanak. Orang tua, saudara kandung dan sanak saudara yang lain merupakan dunia sosial bagi anak, sehingga bagaimana perasaan mereka terhadap anak dan bagaimana perlakuan mereka merupakan faktor penting dalam pembentukan konsep diri dan sebagai inti pola kepribadian. Ini sebabnya dikatakan bahwa konsep diri anak terbentuk dalam hubungan keluarga (Hurlock, 1992: 132). Keluarga yang mampu memberikan rasa aman pada anak, yaitu mampu menerima anak, menghargai dan memberikan patokan yang jelas kepada anaklah yang mampu mengembangkan konsep diri yang positif (Pudjijogyanti, 1999: 36). Menurut Papalia (1990:459) dasar konsep diri adalah pengetahuan kita tentang apa yang kita punya dan apa yang akan kita lakukan. Hal ini akan berfungsi sebagai pemandu kita untuk memutuskan apa yang akan kita lakukan. Adanya kesadaran diri terhadap kenyataan akan dimulai pada masa muda, terpisah dari orang lain dan biasanya diikuti oleh refleksi kegiatan kita pada standar hubungan sosial. Pada usia 3 tahun seseorang akan berfikir bahwa ia lebih banyak
mendapat aturan dari dalam, namun pada usia 6 atau 7 tahun seseorang akan mulai membagi dirinya dalam aturan psikologis yang kemudian akan berkembang terus hingga ia meningktakan konsep “Siapa Dia” (konsep diri yang nyata) dan juga bagaimana ia seharusnya “bertindak seperti apa” (konsep diri yang ideal).
B.
Resiliensi
1.
Pengertian Resiliensi Higgins (dalam Henderson dan Milstein, 2003:7) mendeskripsikan bahwa
resiliensi merupakan proses pertumbuhan dan pembenahan diri. Sedangkan Luthar (2000:6) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah proses dinamis dengan jalan dimana individu-individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi kesengsaraaan yang signifikan. Menurut Grotberg (1999: 6) resiliensi adalah kapasitas manusia untuk menghadapi, menanggulangi, belajar atau bahkan ditransformasikan oleh kesengsaraan. Wollin (dalam Henderson dan Milatein, 2003: 7) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas untuk dapat pulih kembali, bertahan menghadapi penderitaan dan memperbaiki diri. Menurut Mar’at (2005:228) resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok, masyarakat yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi- kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Henderson dan Milstein (2003 :8) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu mencapai kesuksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh
kemampuannya, meski berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal maupun internal. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen posistif dari lingkungannya, untuk membantu mencapai kesusksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, meski berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal maupun internal.
2.
Sumber Pembentukan Resiliensi
Menurut Grotberg (1999 : 12) resiliensi berasal dari 3 sumber, yaitu : 1. Saya Memiliki (I Have) I Have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosisl terhadap dirinya. Beberapa kualitas I have yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu : i.
Satu atau lebih orang di dalam keluarga saya yang dapat saya percaya dan yang mencintai saya tanpa syarat. Satu atau lebih orang di luar keluarga saya yang dapat saya percaya tanpa syarat.
ii.
Batas-batas terhadap perilaku saya.
iii.
Orang-orang yang mendorong saya untuk bersikap independen.
iv.
Model peran yang bagus.
v.
Akses kesehatan, pendidikan dan layanan sosial dan rasa aman yang saya perlukan.
vi.
Keluarga dan komunitas yang stabil.
2. Saya (I Am) I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimilki oleh banyak individu, yang terdiri atas perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang dimiliki I am adalah : i.
Seseorang yang paling disukai oleh kebanyakan orang
ii.
Pada umunya bersifat tenang dan baik.
iii.
Pencapaian yang memiliki rencana ke depan
iv.
Seseorang yang menghormati diri saya dan orang lain.
v.
Bersikap empati dan peduli kepada orang lain.
vi.
Bertanggungjawab terhadap perilaku saya sendiri dan menerima akibat-akibatnya.
vii.
Percaya diri, optimistik, penuh harapan dengan kepercayaan.
3. Aku dapat (I Can) I can merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan individu sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan-keterampilan ini meliputi :
3.
i.
Berkomunikasi
ii.
Memecahkan masalah
iii.
Mengelola perasaan dan impuls-impuls.
iv.
Mengukur temperamen sendiri dan orang lain.
v.
Menjalin hubungan hubungan yang saling mempercayai.
Faktor-Faktor Pendukung Resiliensi Faktor-faktor penunjang resiliensi menurut Newman dan Sarah (2002)
dibagi menjadi tiga dimensi : a. Individu Individu memiliki kemampuan sosial yang baik, empatis, rasa humor, intelegensi baik dan aktif, serta mampu membimbing atau mengontrol diri.
b. Keluarga Resiliensi bisa ditingkatkan dengan dukungan orang tua yang hangat, hubungan antara orang tua dan anak yang harmonis dan menghargai tugas-tugas sosial.
c. Lingkungan Lingkungan yang dapat mengembangkan resiliensi yaitu lingkungan yang di dalamnya antar keluarga saling memberi dukungan dan sekolah yang juga mendorong penghargaan terhadap tugas-tugas sosial.
4.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Milstein dan Henderson (2003) melihat dua faktor yang mempengaruhi
resiliensi, yaitu faktor internal (individu) dan eksternal. Kedua faktor ini menjadi sumber sekaligus menjadi ciri dari individu dan lingkungan (termasuk keluarga) yang resilien. a)
Faktor internal
i.
Memberikan kesempatan pada diri untuk melayani orang lain
ii.
Menggunakan kesempatan hidup dengan membuat keputusan yang baik, sikap tegas, mengontrol impuls, dan menyelesaikan masalah.
iii.
Suka bergaul dan mampu menjadi teman dalam hubungan yang positif
iv.
Memiliki rasa humor
v.
Percaya pada kemampuan diri mengatasi pengaruh lingkungan di sekitarnya.
vi.
Mandiri dan bebas.
vii.
Memiliki pandangan positif tentang masa yang akan datang
viii.
Fleksibel.
ix.
Kapasitas untuk mengerti dalam proses belajar
x.
Memiliki motivasi hidup
xi.
Memiliki pandangan baik terhadap kompetensi seseorang
xii.
Memiliki perasaan berharga dan percaya terhadap dirinya
b) Faktor eksternal i.
Mendorong ikatan persahabatan
ii.
Penghargaan dan dorongan akan pendidikan
iii.
Menekankan pada kehangatan yang tinggi dan rendahnya gaya mengkritisi dalam berinteraksi.
iv.
Menetapkan dan menjalankan batas yang jelas (aturan, norma, hukum)
v.
Membina hubungan yang mendukung dengan memberi banyak perhatian
vi.
Mengembangkan tanggung jawab, pelayanan untuk orang lain, “memberikan pertolongan”.
vii.
Menyediakan jalan (sarana) sebagai sumber daya untuk melakukan pertemuan-pertemuan terkait kebutuhan dasar, kesehatan dan rekereasi.
viii.
Memberi kesemaptan ekspresi harapan yang tinggi dan realistis untuk sukses.
ix.
Dorongan untuk menentukan dan meraih cita-cita.
x.
Mendorong pertumbuhan nilai prososial (seperti altruisme) dan ketrampilan kerjasama.
xi.
Adanya kepemimpinan yang membuat keputusan dan kesempatan yang lain untuk ikut dalam peran serta yang bermakna.
xii.
5.
Menghargai bakat atau kemampuan yang unik pada setiap individu.
Upaya Untuk Membangun Resiliensi Pada Individu Menurut American Psychological association (2003 : 37) Ada 13 langkah
yang dapat dipakai untuk membangun resiliensi: 1. Menjalin Hubungan. Hubungan yang baik dengan anggota-anggota keluarga lain atau orang lain adalah penting. Akan memperkuat resiliensi pada diri individu
2. Menghindari melihat krisis sebagai masalah yang tidak dapat diatasi. Selama individu tidak dapat mengubah fakta bahwa kejadian-kejadian yang menekan benar-benar terjadi, individu dapat mengubah bagaimana menginterpretasikan dan merespon kejadian-kejadian tersebut. 3. Menerima bahwa perubahan adalah bagian dari kehidupan. Tujuan-tujuan khusus mungkin tidak lagi dapat dicapai sebagai akibat dari situasi yang merugikan. Penerimaan keadaan yang tidak dapat diubah dapat membantu individu memfokuskan pada keadaan yang dapat individu ubah. 4. Bergerak ke arah tujuan-tujuan individu. Kembangkan beberapa tujuan realistis dan lakukan sesuatu secara reguler yang memudahkan individu untuk bergerak ke arah tujuan individu yang ingin dicapai, meskipun ini nampak seperti pencapaian kecil belaka. 5. Mengambil tindakan tegas. Mengambil tindakan tegas dalam situasi yang merugikan sebanyak mungkin. Mengambil tindakan tegas, bukan mengharapkan masalah dan stres serta keinginan itu jauh dari dhadapan individu. Tindakan yang tegas akan mampu menanggulangi hal-hal yang bermasalah. 6. Mencari peluang untuk menemukan diri sendiri. Kebanyakan orang yang mengalami tragedi dan kesulitan, melaporkan hubungan yang lebih baik, pemahaman yang lebih besar tentang kekuatan personal, bahkan selama perasaannya merasa rentan, pemahaman yang meningkat tentang kebergunaan diri, spiritualitas yang berkembang dan apresiasi yang tinggi terhadap kehidupan. 7. Memelihara pandangan positif terhadap diri individu. Pengembangan kepercayaan dan kemampuan individu dalam memacahkan masalah dan percaya terhadap insting individu akan membantu ketabahan. 8. Menjaga sesuatu dalam perspektifnya. Ketika menghadapi kejadian-kejadian yang menyakitkan, mencobalah untuk mempertimbangkan situasi yang menekan dalam konteks luas dan
menjaga perspektif jangka panjang. Menghindari kejadian yang ada diluar proporsinya. 9.
Mempertahankan pengamatan yang cermat. Pengamatan yang cermat akan memudahkan individu untuk mengharapkan bahwa sesuatu yang baik akan terjadi dalam kehidupan individu. Mencoba untuk menvisualisasikan apa yang individu inginkan, bukan menakutkan apa yang individu takutkan.
10. Menjaga diri sendiri. Mencurahkan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan dan perasaanperasaan individu. Melibatkan diri individu dalam aktivitas-aktivitas yang dapat individu nikmati dan individu temukan dapat memberikan ketenangan. 11. Belajarlah dari pengalaman. Pemfokusan pengalaman-pengalaman masa lalu dan sumber-sumber kekuatan personal dapat membantu individu mempelajari tentang apa strategi-strategi untuk membangun ketabahan individu. 12. Tetaplah bersikap fleksibel. Resiliensi meliputi perawatan fleksibilitas dan keseimbangan dalam kehidupan individu selama individu menghadapi kedaan yang menekan dan kejadian-kejadian traumatik. 13. Menyempurnakan perjalanan diri sendiri. Pengembangan resiliensi adalah sama dengan pengambilan rakit untuk menyusuri sungai. Ketekunan dan kepercayaan terhdapa kemampuan diri sendiri untuk bekerja dengan cara yang baik dan menangani rintanganrintangan lain adalah penting. Individu dapat memperoleh keberanian dan pengetahuan dengan menavigasi diri sendiri melalui air yang jernih.
B.
Support Group Therapy
1.
Pengertian Support Group Therapy Support Group Therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan
kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan (Yalom, 1985). Tujuan utama dari Support Group Therapy adalah tercapainya kemampuan coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami (Gazda, 1989). Support group therapy adalah suatu proses terapi pada suatu kelompok yang memiliki permasalahan yang sama untuk mengkondisikan dan memberi penguatan pada kelompok maupun perorangan dalam kelompok sesuai dengan permasalahnnya (Seligman and Laura, 1990). Menurut Yalom (1985) adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa support group therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan dimana tujuan utamanya adalah tercapainya kemampuan coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami
2.
Karakteristik Support Group Therapy sebagai Terapi Kelompok Workshop Konseling Trauma NAD (2003) menjelaskan bahwa Support
Group Therapy memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan Self Help Groups dan konseling kelompok dalam struktur dan tujuannya, diantaranya : a. Sama-sama menekankan pada interaksi tatap muka antar sesama anggota. b. Sama-sama memiliki tujuan umum dalam perubahan pribadi. Menurut Lakin (1985) :
a. keduanya sama-sama menekankan pada ekspresi emosi dan katarsis. b. Kedunya sama-sama menerapkan perubahan perilaku dan mengajarkan coping strategies yang lebih efektif. Selain memiliki beberapa persamaan dengan group therapy lainnya, support group therapy juga memiliki beberapa karakteristik penting, antara lain : a. Anggota dari support group therapy saling sharing masalah yang sama. b. Masalah yang dihadapi diterima sebagai “stigmatized attribution” atau masalah yang telah mendapat atribusi stigma dari masyarakat. c. Tujuan dasar dari support group adalah meningkatkan kemampuan coping anggotanya. d. Support group juga mengevaluasi setiap aspek terkecil dalam masalah sebagai fungsi grup. Adapun perbedaan karakteristik antara self help groups dengan support group therapy adalah : a.
Pemimpin dari Self Help Group adalah orang yang juga mengalami pengalaman yang sama dengan masalah yang dihadapi klien. Sedangkan pemimpin support group adalah selain orang yang profesional yang mana memiliki
pengetahuan,
memiliki
pengalaman
yang
sama,
dan
bertanggung jawab pada proses dalam group (Seligman & Marshak, 1990). b.
Support group lebih diperuntukkan pada populasi yang belum mampu mengorganisir dirinya sendiri. Seperti halnya anak-anak yang belum mampu membentuk self help group sendiri melainkan lebih cocok berinteraksi dan sharing dengan teman sebaya yang memiliki permasalahan yang sama. Oleh karenanya, support group lebih banyak diperuntukkan untuk anak-anak yang kehilangan harapan, serta anakanak yang mengalami pelecehan seksual (Gitterman & Shulman, 2003).
3.
Faktor – faktor Terapeutik dalam Terapi Kelompok Yalom (1985), mengidentifikasikan 10 faktor terapeutik dalam terapi
kelompok, meliputi: 1. Membangkitkan harapan (instillation of hope) Membangkitkan dan memelihara harapan itu sangat penting dalam semua jenis psikoterapi. Harapan tidak hanya dibutuhkan agar pasien tetap mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapeutik lainnya efektif, tetapi keyakinan terhadap kemanjuran bentuk treatment dapat merupakan faktor terapeutik yang efektif. 2. Universalitas (universality) Dalam terapi kelompok, terutama pada tahapan awal dikonfirmasi perasaan unik pasien merupakan sumber yang kuat dalam menciptakan perasaan lega. Setelah mendengar pengungkapan diri pasien/klien lain, pasien akan lebih merasa lebih dekat dengan dunia dan akan merasa senasib sepenanggungan, seperti yang diumpamakan oleh Yalom “berada dalam kapal yang sama”. Dalam support group therapy, konsep utama yang ditekankan adalah saling memberikan dukungan antar teman sebaya. Sebelum konsep utama ini ditegakkan, setiap klien juga harus mampu mengungkapkan diri dalam kelompok. Selanjutnya terapis memfasilitasi agar apa yang dialami dan dirasakan oleh seorang klien dapat dirasakan juga oleh klien yang lain. Sehingga, terciptalah rasa senasib dan sepenanggungan di kalangan anggota kelompok. 3. Penyampaian informasi (imparting of information) Dalam proses terapi kelompok, pasien/klien akan banyak belajar tentang psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan kelompok, dan proses psikoterapi, yang diberikan terapis secara implisit. Namun, ada juga pendekatan terapi kelompok yang memberikannya melalui pengajaran formal, yang mana bertujuan sebagai faktor pengikat hingga faktor-faktor terapeutik lain terbentuk.
3. Altruism Dalam kelompok terapi, pasien juga menerima melalui memberi, tidak hanya bagian dari sekuen saling memberi dan menerima tetapi juga dari tindakan intrinsik untuk memberi. Pasien atau klien yang baru mengikuti terapi, kadangkala merasa bahwa keberadaan dirinya adalah beban, sehingga ketika pengalaman dirinya memiliki arti penting bagi orang lain, akan menyegarkan jiwa dan meningkatkan harga dirinya. 4. Rekapitulasi korektif kelompok keluarga primer Dalam berbagai aspek, terapi kelompok dapat menyerupai keluarga. Dalam sebuah kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan, sengaja agar konfigurasinya sedapat mungkin mirip dengan keluarga. Pasien atau klien diharapkan dapat berinteraksi dengan semua anggota kelompok terapi seperti halnya berinteraksi dengan orang tua dan saudara mereka di rumah. 5. Pengembangan teknik sosialisasi (development of socializing techniques) Social learning – pengembangan keterampilan sosial dasar – merupakan satu faktor terapeutik yang beroperasi dalam semua kelompok terapi. 6. Perilaku imitatif (imitative behavior) Dalam terapi kelompok yang dinamis dengan aturan-aturan dasar untuk mendorong umpan balik yang terbuka, pasien dapat memperoleh banyak informasi tentang perilaku sosial maladaptif. Misalnya, pasien dapat belajar tentang kecenderungan yang membingungkan untuk menghindari menatap temannya, bercakap-cakap, atau tentang kesan orang lain mengenai sikap angkuhnya, atau tentang berbagai macam kebiasaan sosial lainnya yang tanpa disadari olehnya merupakan penyebab buruknya hubungan sosialnya. Bagi individu yang tidak memiliki hubungan intim, kelompok sering merupakan kesempatan pertama untuk mendapatkan umpan balik interpersonal yang akurat. 7. Belajar interpersonal (interpersonal learning), Mekanisme interpersonal learning sebagai satu faktor terapeutik adalah:
a. Tugas
psikoterapi
adalah
membantu
pasien
belajar
cara
mengembangkan hubungan interpersonal yang bebas distorsi dan memuaskan. b. Kelompok psikoterapi, asalkan perkembangannya tidak terganggu oleh keterbatasan struktural yang parah, berkembang menjadi satu mikrokosme sosial, sebuah penjelmaan mini dari dunia sosial pasien. c. Anggota kelompok, melalui validasi konsensus dan observasi diri, menjadi
sadar
akan
aspek-aspek
penting
dari
perilaku
interpersonalnya: kekuatannya, keterbatasannya, distorsi, dan perilaku maladaptifnya yang menimbulkan respon yang tak diharapkan dari orang lain. Pasien belum pernah belajar membedakan antara aspek-aspek baik dan buruk dari perilakunya. Kelompok terapi, dengan dorongan umpan balik yang tepat, dapat membuat pasien memahami perbedaan itu. 8. Kohesivitas kelompok (group cohesiveness) Yalom (1985) menjelaskan bahwa kohesivitas kelompok dalam terapi kelompok merupakan model utama dalam membantu pasien. Semakin tinggi kohesivitas kelompok, semakin tinggi pula hasil yang didapat. Individu dengan hasil yang positif menunjukkan kepuasan dalam hubungan interpersonal satu sama lain. Dalam kohesivitas kelompok yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat pengungkapan diri (self disclosure). Seperti halnya dalam support group therapy, salah satu titik yang ditekankan dalam proses terapi adalah peserta dapat saling memberikan support satu sama lain. Oleh karenanya, salah satu teknik mengawalinya yang digunakan untuk menjalin keakraban antar peserta dan antar terapis adalah dengan menggunakan metode ice breaking. Hasil berbagai penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa keberhasilan terapi didukung oleh hubungan antara terapis dan pasien, hubungan yang
ditandai dengan kepercayaan, kehangatan, pemahaman empatik, dan penerimaan. 9. Perasaan lega atau katarsis Katarsis adalah mengungkapkan perasaan, baik positif maupun negatif. Katarsis
erat
kaitannya
dengan
kohesivitas
kelompok.
Dengan
melakukan katarsis seseorang akan merasakan kelegaan karena merasa bebannya berkurang. 10. Faktor-faktor eksistensial (existential factors) Pendekatan existential factor therapeutic mengacu pada kesadaran akan kematian, kebebasan, isolasi, dan tujuan hidup.
4.
Pembentukan Kelompok dalam Terapi Kelompok Pertimbangan-pertimbangan
persiapan
sebelum
sebuah
kelompok
mengawali pertemuan, terdapat hal-hal tertentu yang harus diputuskan. Terapis harus menetapkan tempat pertemuan yang tepat dan menetapkan kebijakan mengenai penerimaan anggota baru, frekuensi pertemuan, durasi setiap sesi, dan jumlah anggota kelompok. a. Setting fisik Pertemuan dapat diadakan dalam sembarang setting fisik ruangan asalkan ruangan itu menjamin privasi dan terbebas dari gangguan perhatian. b. Waktu Terapis kelompok pada umumnya sepakat bahwa sekurang-kurangnya 60 menit dibutuhkan untuk pemanasan dan untuk pemaparan dan pembahasan tema utama dalam satu sesi. Juga terdapat konsensus di kalangan para terapis bahwa titik jenuh dicapai sesudah sekitar dua jam : kelompok menjadi letih, bolak-balik, dan tidak efisien. Di samping itu, banyak terapis tampaknya berfungsi terbaik dalam segmen 80 hingga 90 menit; sesi yang lebih lama sering mengakibatkan keletihan, yang membuat terapis kurang efektif dalam sesi-sesi berikutnya pada hari
yang sama. Frekuensi pertemuan bervariasi dari satu hingga lima kali seminggu. Yalom lebih menyukai dua kali seminggu. c. Jumlah Anggota Kelompok Jumlah anggota kelompok dapat berkisar antara 5 hingga 10 orang, tetapi jumlah yang ideal untuk kelompok terapi interaksional adalah 7 atau 8 orang.
C.
Remaja
1.
Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau “ tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Masa Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif, maupun sosial. Masa remaja dimulai pada sekitar usia 11 atau 12 tahun hingga sekitar usia 20an (Erickson dalam Sprinthall & Collins, 1995; Papalia, Old, & Feldman, 2001). Masa remaja adalah masa transisi dalam periode masa kanak-kanak ke periode masa dewasa, yang mana periode ini dianggap sebagai masa yang sanagt penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu. Para ahli membagi masa remaja dalam dua periode, yaitu masa remaja awal (early adolesence) dengan batasan umur antara 13 sampai 17 tahun dan periode remaja akhir dengan batasan umur sekitar 17 sampai 18 tahun (Hurlock, 1992:47). Menurut Monks (2001:219) remaja adalah suatu masa peralihan antara masa remaja dan masa dewasa. Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu masa adolesensi berkisar antara usia 12-18 tahun dan masa pemuda berkisar antara usia 19 – 24 tahun. Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan remaja adalah transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif, maupun sosial, dimana masa remaja dimulai pada sekitar usia 11 atau 12 tahun hingga sekitar usia 20an.
2.
Ciri-ciri remaja. Menurut Hurlock (1992:207-209) ciri-ciri remaja sebagai berikut : 1. Pertumbuhan fisik Remaja akan mengalami perubahan fisik dengan cepat, lebih cepat dibandingkan dengan perubahan masa kanak-kanak dan dewasa. 2. Perkembangan Seksual. Pada remaja sudah timbul ciri-ciri seks primer dan seks skunder 3. Cara berpikir kausalitas. Menyangkut hubungan sebab akibat, remaja sudah mulai mampu berpikir kritis. 4. Emosi yang meluap-luap Remaja masih memiliki emosi yang labil dan emosinya lebih menguasai dirinya dibanding berpikir realita. 5.
Mulai tertarik dengan lawan jenis Remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya dan mulai berpacaran.
6.
Menarik perhatian lingkungan Remaja mulai menarik perhatian dari lingkungan mereka dan berusaha mendapatkan status dan peran.
7. Terikat dengan kelompok. Remaja lebih tertarik pada kehidupan peer group sehingga seringkali orang tua dinomor duakan dan kelompok harus dinomor satukan.
3.
Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Sepanjang rentang kehidupan, manusia berkembang melewati 13 Fase
(Hurlock,
1992:
10)
yang
dikelompokkan
berdasarkan
ciri-ciri
tugas
perkembangan masing-masing. Setiap fase memiliki tugas-tugas tertentu sebagai fungsi dari peran yang harus dijalani. Tugas-tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut : a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita. c. Menerima kedaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab. e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. f. Mempersiapkan karir ekonomi. g. Mempersiapkan perkawinandan keluarga. h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.
D.
Single Parent (Orang Tua Tunggal)
1.
Pengertian Orang Tua Tunggal (Single Parent) Undang Undang Republik Indonesia No: 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dalam pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Orang tua tunggal adalah orang tua yang didalam membina rumah tangganya hanya seorang diri tanpa adanya pasangan. Orang tua yang demikian ini menjalankan dua peran, yaitu peran sebagai ayah dan sebagai ibu bagi anakanaknya dan lingkungan sosialnya (Balson, 1993:90). Menjadi orang Tua tunggal bisa dikarenakan terjadi perceraian atau kematian salah satu pasangan dalam keluarganya. Menurut Makhfudz (1989:40) perceraian adalah suatu keadaan dimana kedua pasangan yang tadinya bergabung dalam suatu keluarga dimana salah satu anggota keluarga meninggal (terutama orang tua). Keluarga yang berorangtua tunggal faktor keutuhan keluarganya sudah tidak terpenuhi. Yang dimaksudkan keutuhan keluarga ialah keutuhan dalam struktur keluarga yaitu; ayah, ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada ayah atau ibu, maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi (Gerungan, 1988:190). Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orang tunggal (single parent) adalah orang tua yang didalam membina rumah tangganya hanya seorang diri tanpa pasangan.
2.
Faktor Penyebab Terjadinya Orang Tua Tunggal Menurut Makhfudz (1989:43) ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
terjadinya orang tua tunggal, yaitu : a. Perceraian. Ciri ciri keluarga yang cerai adalah : 1. Salah satu dari orang tua sudah tidak tinggal serumah atau pisah ranjang.
2.
Salah satu
dari kedua orang tua pergi jauh tanpa kabar berita
sehingga tidak jelas statusnya cerai atau tidak 3.
Kedua orang tua jelas berpisah/bercerai secara sah.
b. Kematian salah satu pasangan. Kematian orang tua secara tiba-tiba membuat anggota keluarga terguncang hebat. Musibah itu sering menimbulkan kesedihan, rasa berdosa, dan lain sebagainya. Perasaan duka adalah suatu emosi yang wajar, sehingga disini peran orang tua untuk meyakinkan anak dengan sikap empati sambil mengarahkan pikiran anak agar dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan sangat diperlukan, sehingga irama kehidupan keluarga kembali normal dalam waktu yang tidak terlalu lama.
3.
Pengaruh Orangtua Tunggal terhadap Keluarga Seperti telah diketahui bersama bahwa perkawinan adalah langkah pertama
dalam pembentukan suatu keluarga dan perkawinan akan serasi apabila terdapat kesesuaian antara kedua belah pihak. Kesesuaian ini merupakan syarat yang bila tidak terpenuhi maka suatu keluarga akan mengalami kegagalan. Fungsi utama keluarga disini adalah mendidik dan membimbing anakanaknya. Dapat dikatakan bahwa wanita merupakan benteng yang kuat bagi kehidupan keluarga karena seorang ibu lebih dekat dengan anak-anaknya. Apabila dalam suatu keluarga terjadi perceraian atau kematian salah satu orang tua, maka akan terjadi ketimpangan dalam keluarga tersebut. Anak akan menjadi kehilangan rasa aman, kasih sayang, perhatian dan peran figur dalam keluarganya. Perpisahan anak dengan orang
karena perceraian berbeda dengan
perpisahan karena salah satu orang tua meninggal dunia. Perceraian biasanya didahului oleh konflik, yang tentunya suasananya berbeda dengan suasana duka karena ayah atau ibu meninggal. Anak yang orang tuanya meninggal cenderung mengalami depresi dan kesedihan yang mendalam, sementara anak yang orang tuanya bercerai cenderung mengalami ketegangan atau rasa takut atau merasa tidak aman. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang berorang tua tunggal kemungkinan menjadi anak nakal dari pada keluarga yang utuh. Kegagalan peran
dalam rumah tangga berakibat merusak. Penelitian yang dilakukan Goode (1991:205) menemukan bahwa banyak remaja yang memiliki persoalan penyesuaian pribadi lebih banyak berasal dari keluarga dengan konflik perkawinan yang terus menerus atau perpisahan dari keluarga yang terpecah karena perceraian atau kematian.
4.
Problema Orangtua Tunggal Menurut Hoerjan (dalam Sanusi, 1996:150) problema orang tua tunggal
sangat bervariasi meskipun kasusnya berbeda-beda, tetapi tetap ada beberapa kesamaan. Hampir semua orang tua tunggal mula-mula menghayati semacam depresi yang ditandai berkurangnya gairah hidup, kecemasan yang dihayati sebagai rasa takut, khawatir, was-was, gelisah yang tidak tentu dan kebingungan. Berbagai keadaan ini semacam keadaan darurat (krisis) yang perlu dicari jalan keluarnya. Pada pola pengasuhan, secara kultural orang tua tunggal menanggung beban yang tidak ringan, karena pengasuhan anak merupakan tanggungjawab dan cermin keberhasilan dari seorang ibu. Bagi para ibu, hubungan dengan keluarga dan pergaulan dengan masyarakat tidak bisa dianggap sepele dan memerlukan penyesuaian yang baik. Menurut Sadikun (dalam Sanusi, 1996:216) mengatakan bahwa orang tua tunggal akan mengalami dilema antara lain: 1. Kepentingan anak (lahir dan batin) dengan tuntutan di masa modern seperti sekarang ini lebih banyak termasuk kepentingan perkembangan jiwanya. 2. Trauma perkawinan (rasa tercekam dengan pengalaman lalu). 3. Ekonomi 4. Pertimbangan untuk menikah lagi (karena cinta, rasa sepi, kepentingan ststus, dan lain-lain).
E.
Pengembangan Konsep Diri Dan Resiliensi Remaja dari Keluarga Single Parent melalui Support Group Therapy. Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh
seorang anak dalam proses perkembangannya. Menurut Ali dan Asrori (2004) ada beberapa hal yang dibutuhkan anak, yaitu: kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman meliputi perasaan aman secara material dan mental. Perasaan aman secara material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan, dan sarana yang diperlukan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada diluar kemampuan orang tua. Perasaan aman secara mental berarti pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional, menjauhkan ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh penting dan kuat terhadap perkembangan perilaku remaja karena sebagian besar kehidupannya ada dalam keluarga. Apalagi remaja juga masih berada dalam fase krisis identitas mereka memerlukan teladan dan dukungan dari keluarga terutama orang tua. Oleh sebab itu, Jay Kesler (dalam Ali dan Asrori, 2004) menyatakan remaja sangat memerlukan keteladanan dan dukungan dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Hal tersebut tidak didukung oleh fenomena yang ada sekarang ini dengan semakin meningkatnya angka perceraian dan kematian menjadikan ikut meningkatnya komunitas single parent. Menurut Spock (1981) menjadi orang tua tunggal merupakan suatu tanggung jawab yang berat seperti membuat keputusan penting diambil sendiri, menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah, yang terpenting adalah mengasuh dan memberikan pengawasan kepada anak dilakukan seorang diri, karena setiap anak tetap membutuhkan figur ayah dan ibu bagaimanapun keadaannya. Ada beberapa dampak yang akan dialami remaja yang hidup bersama dengan single parent, mereka memiliki permasalahan yang lebih berat dibandingkan dengan remaja dari keluarga utuh yaitu memiliki ayah dan ibu. Pada fase ini remaja sedang mencari – cari pedoman hidup, mencari nasehat, atau
bimbingan, relatif emosi belum stabil, mereka memiliki tugas perkembangan yang sama dengan remaja lainnya. Disisi lain, kenyataannya orang tua tunggal tidak dapat memberikan pola pengasuhan yang optimal karena harus berperan ganda. Orang tua tunggal harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga dalam memberikan pengawasan dan pemenuhan kebutuhan kasih sayang terhadap keluarga kurang maksimal. Dampak kehilangan ayah atau ibu tidak akan menenggelamkan anak berlarut – larut, ketika hubungan keluarga tersebut didasarkan atas penghormatan persamaan, dorongan semangat, dan kepercayaan satu sama lain. Tetapi tidak semua keluarga memahaminya, sehingga berdampak pada hubungan interpersonal remaja, dan minat sosialnya (Balson, 1993). Pola hubungan antara orang tua dengan remaja yang kurang harmonis dapat disebabkan karena kesenjangan umur, remaja yang pada masanya ingin untuk dimengerti tetapi orang tua memiliki aturan – aturan yang harus dipatuhi, sehingga remaja menganggap orang tua tidak dapat mengerti akan kebutuhannya, terlebih ketika orang tua sibuk bekerja, mereka akan merasa diabaikan (Hurlock, 1992). Kurang optimalnya peran orang tua single parent dalam pengasuhan anak karena harus berperan ganda ini dapat berpengaruh pada perkembangan remaja. Namun hal ini juga sangat tergantung tergantung pada bagaimana remaja mempersepsikan keadaannya tersebut. Apabila remaja mampu menemukan halhal positif dari dirinya disamping kekurangan-kekurangannya, maka remaja akan memiliki pandangan proporsional tentang dirinya dan akan memiliki daya resiliensi yang tinggi ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup yang dihadapinya. Namun apabila remaja lebih terpaku pada kekurangan-kekurangan yang dimilikinya maka remaja akan memiliki konsep diri negatif dan akan berpengaruh pada hubungan interpersonal dengan orang lain. Hal ini juga akan berdampak pada perkembangan daya resiliensinya yang juga akan cenderung rendah apabila remaja dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup. Proses adaptasi menurut Schneiders (dalam Desmita, 2008) dipengaruhi oleh bagaimana cara individu bereaksi terhadap manusia disekitarnya termasuk keluarga, benda – benda dan hubungan yang membentuk realitas dan motivasi
yang diberikan terhadap individu. Beberapa perilaku seperti sikap bermusuhan, kenakalan, dan semaunya sendiri, semua itu sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas, selain itu akan mempengaruhi bagaimana remaja memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Hal ini diakibatkan karena adanya ketidak seimbangan antara keharmonisan internal dengan ketegangan jiwa dan kepuasan dari pemenuhan kebutuhan dan motivasi (Ali dan Asrori, 2004). Meski peran orang tua cukup besar pada perkembangan remaja, namun peran kelompok sebaya juga cukup berperan. Salah satu aspek yang berkembang pada remaja adalah perkembangan sosial, disamping perkembangan fisik dan emosi. Remaja mulai mengikatkan diri dengan kelompok dan mulai banyak berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Apabila remaja mampu dan mau melakukan hubungan interpersonal yang harmonis dengan teman sebayanya, maka remaja akan merasa aman untuk bereksplorasi terhadap hal-hal atau potensi yang dimilikinya disamping penerimaan terhadap kekurangan-kekurangannya (Hurlock, 1992 ). Oleh karena itulah support group therapy dianggap cara yang dapat meningkatkan konsep diri positif
dan berkembangnya daya resiliensi
remaja. Support group therapy dapat membantu remaja dalam rangka memahami potensi yang dimiliki, remaja dibantu untuk memiliki harapan, tujuan, standar, rencana, dan strategi pencapaian tujuan hidup dimasa yang akan datang. Remaja mampu mengenali cita-cita masa depan berdasar kekuatan positif yang dimilikinya, mampu membuat rencana-rencana nyata atau konsep untuk mewujudkan impian masa depannya. Selain itu, remaja juga dibantu menemukan gambaran diri dan penghargaan diri yang positif agar memiliki optimisme dalam menghadapi masa depan. Remaja dari kelurga single parent juga dibantu untuk menemukan konsep dirinya yang real (Real Self) serta pengakuan atas kondisi nyata yang telah terjadi pada dirinya, karena pada proses support group therapy setiap anggota kelompok akan berbagi permasalahan dengan teman-temannya, menemukan solusi secara bersama – sama sehingga dapat meningkatkan self support.
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A.
Tujuan Penelitian Tahun Kedua. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengembangkan konsep diri
positif sekaligus daya resiliensi remaja dari keluarga single parent melalui Support Group Therapy, sehingga tersusun alternatif model yang dapat meminimalkan trauma psikis yang dialami remaja Melanjutkan penelitian tahun pertama yang bertujuan untuk merumuskan model support group therapy guna pengembangan konsep diri sekaligus pengembangan daya resiliensi dari remaja yang berasal dari keluarga single parent, maka pada tahun kedua ini bertujuan untuk melakukan validasi atas model yang telah terumuskan.
B.
Manfaat Penelitian Tahun Kedua Tersusunnya model pengembangan konsep diri dan daya resiliensi remaja
berbasis support group therapy akan sangat bermanfaat bagi: 1. Pengembangan Institusi, khususnya lembaga pendidikan (sekolah) dalam melaksanakan mengoptimalkan
otonomi
pendidikan,
upaya-upaya
agar
pemikiran
secara yang
terus-menerus
mengarah
pada
pengembangan kelembagaan bagi remaja yang mengalami trauma, agar memiliki citra diri dan harga diri dalam menjalani kehidupan. 2. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam menyikapi trauma psikis yang dihadapi remaja dari keluarga single parent dalam kehidupan bermasyarakat dengan menyusun model pengembangan konsep diri dan daya resiliensi melalui support group therapy dan panduan operasional yang berupa buku panduan sehingga luaran dari penelitian ini sangat berpotensi untuk mendapatkan HaKI. Selain itu hasil penelitian ini juga berpotensi untuk diterbitkan dalan
jurnal terakreditasi nasional
maupun internasional, serta memperkaya bahan ajar.
3. Pengembangan sosial budaya, khususnya dalam mendorong terjadinya perubahan sosial budaya yang memihak pada remaja dari keluarga single parent yang mengalami trauma psikis, sehingga terjadi pola relasi yang harmonis dalam kehidupan di keluarga.
BAB IV METODE PENELITIAN
A.
Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
gabungan
antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang lebih menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistika. Pada dasarnya pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial (dalam rangka pengujian hipotesis) dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis (Azwar, 2000: 5). Penelitian
ini
merupakan
penelitian
yang
menggunakan
metode
eksperimental, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan memberikan manipulasi yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap perilaku yang diamati (Latipun, 2004: 15). Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen kuasi, yaitu desain eksperimen dimana tidak diberlakukannya randomisasi dalam meneliti hubungan sebab akibat. Dalam penelitian ini, digunakan jenis desain one group pre test and post test design. Desain one group pre test and post test design merupakan desain eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subyek (kasus tunggal) serta melakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada subyek, namun sampel ditetapkan dengan tidak random (Latipun, 2004: 82). Adapun desain experimennya dapat digambarkan sebagai berikut :
Non R O1 -- (X) -- O2
Keterangan : O1
: Pretest ( Konsep Diri & Resiliensi)
X
: Perlakuan (Support Group Therapy)
O2
: Postest ( Konsep Diri & Resiliensi)
Pada saat Pre test semua subyek penelitian diminta mengisi skala Konsep Diri dan di berikan sejumlah pertanyaaan tentang resiliensi melalui teknik wawancara. Setelah skala konsep diri serta gambaran resiliensi telah didapatkan maka subyek penelitian diberi perlakuan
Support Group Therapy. Setelah
serangkaian Support Group Therapy diberikan maka akan dilakukan pengambilan data ke dua (post test) baik tentang konsep diri maupun resiliensi serta dilakukan follow up untuk mengetahui perkembangan terapi yang diberikan tanpa adanya intervensi yang diberikan oleh peneliti. Pengukuran konsep diri dilakukan dengan skala sehingga hasil yang didapat berwujud angka, sehingga model pengambilan datanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Akan tetapi Daya resilensi diukur dengan menggunakan metode wawancara dimana hasilnya berupa kata-kata dan kalimat dan tidak dapat diangkakan mengingat sifatnya yang subyektif. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, selain menggunakan
pendekatan kuantitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2009). Metode penelitian kualitatif bertujuan menerangkan gejala tingkah laku manusia menurut penghayatan dan sudut pandang pelaku sendiri (Bogdan & Taylor, 1995). Selain itu, penelitian kualitatif memberikan data yang kaya dan menyeluruh dengan potensi kuat untuk menangkap kompleksitas sehingga sangat cocok untuk menemukan makna pada suatu peristiwa, proses, atau struktur dalam kehidupan seseorang, tentang persepsi mereka, asumsi, penilaian, serta dugaan (Miles & Huberman, dalam Sugiyono, 2009).
B.
Batasan Istilah Agar penelitian ini terarah dan tidak terjadi penyalah artian konsep, maka
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini diberi penjelasan dan batasanbatasan biar jelas ruang lingkupnya. Adapun konsep-konsep tersebut :
1) Konsep Diri Konsep diri adalah gambaran atau pandangan seseorang tentang dirinya sendiri berdasarkan identitas atau atribut atau label (karakteristik atau kualitas yang menjelaskan atau menggambarkan diri seseorang) yang menyertai. Dimensi konsep diri meliputi : pengetahuan diri, harapan diri serta bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri. Pada aspek pengetahuan diri dapat diuraikan dalam komponen fisik, psikologi dan sosial. Skor tinggi pada skala konsep diri akan menunjuk pada konsep diri yang positif dan skor rendah menunjuk pada konsep diri yang negatif. 2) Resiliensi Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya, agar tercapai kesuksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dengan mengembangkan seluruh kemampuan, meski dalam kondisi tertekan baik internal maupun aksternal. 3) Support Group Therapy Support group therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan menguatkan dengan tujuan utamanya adalah tercapainya kemampuan coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami. 4) Remaja dari keluarga single parent ( Orang Tua Tunggal). Remaja dari kelurga single parent atau orang tua tunggal adalah remaja yang berasal dari atau hidup bersama orang tua orang tua yang didalam membina rumah tangganya hanya seorang diri tanpa pasangan.
C.
Subyek Penelitian. Subyek penelitian ini adalah 32 siswa Sekolah Menengah Umum (SMAN),
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (STM) serta siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA) yang berasal dari keluarga single parent di Malang Raya,
meliputi : MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari. Dasar pertimbangan dipilihnya siswa-siswa yang berasal dari enam (6) sekolah yang memiliki karakteristik yang berbeda ini dapat mewakili keseluruhan remaja yang berada di Malang Raya, sehingga hasil yang didapatkan dari penelitian ini dapat mendekati kesempurnaan. Adapun rincian subyek penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 1. Rincian Subyek Penelitian NO
INISIAL
JENIS KELAMIN
SEKOLAH ASAL
1.
HA
L
SMKN 4 MALANG
2.
AL
P
SMKN 4 MALANG
3.
SUR
L
SMKN 4 MALANG
4.
AIS
P
SMKN 4 MALANG
5.
AR
L
SMKN 4 MALANG
6.
ST
P
SMKN 4 MALANG
7.
END
P
SMKM 3 SINGOSASRI
8.
RIN
P
SMKM 3 SINGOSASRI
9.
AM
P
SMKM 3 SINGOSASRI
10.
RN
P
SMKM 3 SINGOSASRI
11.
FAQ
L
SMKM 3 SINGOSASRI
12.
NUR
P
SMKM 3 SINGOSASRI
13.
REN
P
SMAN 9 MALANG
14.
BRY
L
SMAN 9 MALANG
15.
RYN
L
SMAN 9 MALANG
16.
BAG
L
SMAN 9 MALANG
17.
DIL
P
SMAN 9 MALANG
18.
ZN
P
SMAN 9 MALANG
19.
RND
L
SMK SALAHUDDIN
20.
RDY
L
SMK SALAHUDDIN
21.
RON
L
SMK SALAHUDDIN
22.
AGN
L
SMK SALAHUDDIN
23.
DYC
L
SMK SALAHUDDIN
24.
SUN
P
SMKM GALUNGGUNG MALANG
25.
AN
P
SMKM GALUNGGUNG MALANG
26.
CIN
P
SMKM GALUNGGUNG MALANG
27.
FH
L
SMKM GALUNGGUNG MALANG
28.
KHOD
P
MAN 1 MALANG
29.
DW
P
MAN 1 MALANG
30.
RIZ
P
MAN 1 MALANG
31.
HAB
L
MAN 1 MALANG
32.
FEN
P
MAN 1 MALANG
D.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di kota Malang. Pemilihan lokasi tersebut
dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa di lokasi ini terdapat angka perceraian yang tinggi sehingga banyak anak remaja yang tumbuh dalam keluarga single parent dan mengalami berbagai masalah psikologis maupun sosial karenanya. Waktu penelitian yaitu mulai tanggal 7 Mei
sampai dengan
12
Oktober 2011.
E.
Prosedur Penelitian
1.
Tahap persiapan penelitian Ada beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti sebelum melaksanakan
penelitian, tahap persiapan penelitian ini berlangsung pada tanggal 8 April – 30 April 2010. Hal – hal tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a. Persiapan Penelitian Pada tahap persiapan penelitian, ada beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti antara lain: a. Mengurus izin pada sekolah yang bersangkutan
b. Meminta data siswa dari keluarga single parent. c. Mengumpulkan siswa yang telah didata sekolah sebagai anak dari keluarga single parent dan memberikan informed consent.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian. Ada beberapa hal yang dilakukan peneliti pada tahap ini yaitu : 1. Melakukan pre test meliputi memberikan skala konsep diri yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya pada subyek penelitian dan sekaligus wawancara untuk mengungkap gambaran resiliensi subyek. 2. Melakukan support group therapy.
Adapun tahapan-tahapan
support group therapy adalah sebagaimana dalam modul (terlampir). Support Group Therapy diberikan dalam 3 sesi sebagaimana hasil evaluasi penelitian tahun pertama dimana rancangan awalnya tersusun atas 5 sesi. 3. Melakukan post test meliputi memberikan skala konsep diri yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya pada subyek penelitian dan sekaligus wawancara untuk mengungkap gambaran resiliensi subyek.
F.
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer meliputi
Konsep Diri dan Daya Resiliensi remaja dari keluarga single parent. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah : 1.
Skala Konsep Diri Skala adalah sejumlah daftar pertanyaan yang berisi sejumlah item tentang
suatu hal yang akan diteliti dengan tipe respon yang sudah ditentukan. Skala mengandung sejumlah soal dan sejumlah pilihan yang ditentukan dan responden diminta unutk memberikan respon (Azwar, 1999:5). Adapun pertimbangan digunakannya skala sebagai metode pengumpul data dalam penelitian ini adalah :
a. Data yang diungkap oleh skala psikologi berupa konstruk atau konsep psikologi yang menggambarkan aspek kepribadian individu. b. Pada skala psikologi, pertanyaan sebagai stimulus tertuju pada indikator perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diiri subyek yang biasanya tidak disadari oleh responden yang bersangkutan sehingga memungkinkan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin indikasi dari aspek kepribadian yang lebih abstrak. c. Pada skala psikologi, meskipun responden memahami isi pertanyaan, biasanya tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan tersebut. d. Pada skala psikologi respon subyek akan diberi skor melalui proses penskalaan. e. Satu skala psikologi hanya digunakan untuk mengungkap atau mengukur satu atribut tunggal. f. Hasil pengukuran skala psikologi harus teruji reliabilitasnya secara psikometri karena relevansi isi dan konteks kalimat sebagai stimulus pada skala psikologi lebih terbuka terhadap eror. g. Validitas skala psikologi lebih ditentukan oleh kejelasan konsep psikologi yang hendak diukur dan operasionalnya. Skala yang hendak digunakan dalam penelitian ini adalah skala konsep diri. Skala konsep diri
disusun berdasarkan teori Calhoun-Acocella
(1990). Ada 3 komponen konsep diri yaitu : a. Knowledge (Pengetahuan Diri) Knowledge adalah pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri, yakni sejumlah label yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan orang tersebut seperti: usia, jenis kelamin, kewarganegaraan termasuk juga label-label social seperti: democrat, miskin, golongan menengah kebawah, anggota senat dan lain-lain. Label lain yang menjadi komponen dari knowledge seseorang adalah label-label psikologis yang bersifat kualitatif,
karena bersifat relative tergantung pada kelompok pembandingnya, seperti: baik hati, spontan, mandiri, cerdik, dan lain-lain. b. Expectations ( Harapan Diri) Ekspektasi atau harapan ini mengacu pada ideal self, yaitu harapan terhadap diri sendiri tentang bagaimana diri seharusnya yang diidealkan (I should-be). Konsep diri selalu berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi ekspektasinya. c. Evaluation ( Penilaian Diri) Evaluation yaitu penilaian seseorang atas dirinya sendiri, yakni menilai antara “I-could-be” dan “I-Should-be”
(Epstein dalam Calhoun,
1990:65), atau dengan kata lain yaitu pengukuran antara “saya yang seharusnya” dan “saya yang kenyataannya”. Skala konsep diri ini disusun sebanyak 32 item, yang terdiri dari 16 item favourable dan 16 item unfavourable. Adapun rinciannya sebagai berikut : Tabel 2. Blue Print Skala Konsep Diri No.
Indikator Konsep Diri
1.
Nomor Item
Jumlah
Favourable
Unfavourable
a. Fisik
1,17
9,25
b. Psikologis
3,19
11,27
c. Sosial
5,21
13,29
Item
Pengetahuan Diri
12
2
Harapan Diri
2,6,8,18,23
10,14,16,26,31
10
3
Penilaian Diri
4,7,20,22,24
12,15,28,30,32
10
16
16
32
TOTAL
Skala yang digunkan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Skala Likert adalah suatu himpunan butir pertanyaan sikap yang kesemuanya dipandang kirakira sama dengan “nilai sikap”. Subyek menanggapi setiap item dengan mengungkapkan taraf kesetujuan atau ketidaksetujuan (Kerlinger, 2000:795). Penilaian skala ini bergerak dari angka satu sampai empat. Jawaban terhadap item Favuorable; Sangat Setuju (SS) akan diberi skor 4, Setuju (S) akan
diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) akan diberi skor 2 dan Sangat Tidak Setuju (STS) akan diberi skor 1. Namun sebaliknya, pada item unfavourable jawaban Sangat Setuju (SS) akan diberi skor 1, Setuju (S) diberi skor 2, Tidak setuju (TS) akan diberi skor 3 dan Sangat Tidak Setuju (STS) akan diberi skor 3. Adapun rinciannya sebagaimana tabel berikut : Tabel 3. Skoring Skala Konsep Diri Favourable
Unfavourable
Sangat Setuju (SS)
4
1
Setuju (S)
3
2
Tidak Setuju (TS)
2
3
Sangat Tidak Setuju (STS)
1
4
Skala Konsep Diri ini selanjutnya diukur validitas dan reliabilitasnya, yang hasilnya adalah : a) Validitas Validitas berasal dari kata ”validity” yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2007). Suatu alat tes atau instrumen pengukur dapat mempunyai nilai validitas yang tinggi apabbila mampu menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pengukuran. Dalam penelitian ini, validitas diperoleh dari hasil try out skala kepada sejumlah responden yang mana uji validitas dilakukan dengan korelasi product moment dengan bantuan program SPSS 13.0 for windows. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 32 item yang disusun ada 30 item yang dinyatakan valid dan ada 2 item yang dinyatakan tidak valid. Adapun rinciannya sebagaimana tabel berikut :
Tabel 4. Validitas Skala Konsep Diri Faktor
Item Valid
Item Tidak
Jumlah Item
Valid
yang Valid
17
12
-
10
4
9
Pengetahuan Diri a. Fisik b. Psikologis
1,17,3,19,5,21
c. Sosial
9,25,11,27,13,29 2,6,8,18,23
Harapan Diri
10,14,16,26,31 7, 12,15,20,22,24,
Penilaian Diri
28,30,32 Pengukuran dilakukan dengan memberikan skala konsep diri pada subyek sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan yang mana skala yang digunakan adalah model skala Likert. Sebelum diberikan pada subyek penelitian, dilakukan try out skala kepada sejumlah responden. Berdasarkan hasil try out yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh digunakan untuk pengkategorian tingkat. Adapun penghitungannya adalah sebagai berikut : Jenjang =
skor tertinggi – skor terendah 5
Berdasarkan hasil try out yang telah dilakukan diperoleh hasil : Jenjang =
120 – 30 5
= 18 Dengan hasil tersebut, maka kategori konsep diri dapat dibuat menjadi 5 kategori. Adapun kategori tersebut adalah sebagai berikut : 105 - 120 : Sangat Tinggi 86 - 104
: Tinggi
68 - 86
: Sedang
49 - 67
: Rendah
30 - 48
: Sangat Rendah
b) Reliabilitas Konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2007). Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum berubah yang mana dalam penelitian ini menggunakan alpha dari Cronbach. Dari hasil pengolahan data, diperoleh nilai sebagai berikut : Tabel 5. Uji Reliabilitas Skala Konsep Diri Indikator
Alpha
Tabel
Keterangan
1
0,799
0,30
Reliabel
2
0,847
0,30
Reliabel
3
0,859
0,30
Reliabel
c). Uji Keabsahan Data Uji keabsahan data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan uji kredibilitas atau biasa disebut dengan validitas internal. Dalam uji kredibilitas ini menggunakan teknik triangulasi sumber, yaitu untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui berbagai sumber (Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini dilakukan pengecekan kepada orang tua subyek, teman – teman, dan guru. Data yang didapat dari sumber dideskripsikan dan dikategorikan mana pandangan yang sama atau berbeda dan mana yang spesifik diantara sumber yang lain. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan sumber data tersebut. Selain itu, triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi metode. Hasil penelitian juga dilakukan pengecekan antar metode yang digunakan.
2.
Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135). Adapun teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur. Hal ini untuk menciptakan suasana akrab dan bebas antara peneliti dengan pihak-pihak yang diwawancarai. Tujuan dari wawancara pada penelitian ini adalah untuk menemukan permasalahan lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancara dimintai pendapat serta ide – idenya bahkan menggunakan alat bantu bila diperlukan. Adapun hal-hal yang diungkap dengan teknik wawancara adalah : a. Gambaran subyek tentang dirinya sendiri b. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga pada subyek. c. Dukungan sosial yang diberikan oleh teman pada subyek d. Dukungan sosial yang diberikan oleh sekolah pada subyek e. Dukungan sosial masyarakat sekitar terhadap subyek f. Hal-hal positif yang dimiliki subyek. g. Impian atau harapan subyek dimasa mendatang Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dua sessi yaitu pada saat pra terapi dan pasca terapi. Wawancara pada saat pra terapi, bertujuan untuk mengetahui keadaan subyek lebih dalam, mengetahui latar belakang keluarga serta penilaian subyek terhadap dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya, serta pandangan tentang masa depan. Dari hasil wawancara ini akan di gunakan peneliti sebagai pembanding dengan wawancara pasca terapi untuk mengetahui berkembangnya resiliensi yang dimiliki subyek. Wawancara saat pasca terapi dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah terapi diberikan dibandingkan dengan keadaan subyek sebelum terapi, dan untuk mengetahui faktor – faktor yang banyak berperan pada terjadinya perubahan. Wawancara ini dilakukan setelah proses terapi secara keseluruhan selesai dijalankan. Setiap kali melakukan wawancara, probing (menanyakan lebih lanjut jawaban subyek) juga selalu dilakukan.
3.
Self Report. Barker (2001) menyatakan bahwa self report adalah suatu metode yang
meminta klien mengobservasi tingkah laku atau reaksi emosional dirinya sendiri dalam situasi yang ditargetkan. Sebagian besar metode ini digunakan dalam penelitian sosial secara umum, psikologi klinis, dan psikologi konseling untuk mengungkap fakta – fakta dan keterangan. Self report merupakan pelaporan individu tentang keadaan diri sendiri dalam kurun waktu tertentu. Menurut Martin & Pear (dalam Barker, 2001) self report dilakukan karena peneliti tidak mungkin mengobservasi subyek terus menerus dalam situasi yang senyatanya. Namun meski demikian, bukan berarti bahwa data dari self report tidak valid, hanya saja data – data tersebut tidak dapat dipercaya pada semua kasus. Masing – masing metode pengukuran memiliki keterbatasan, dan potensi dari keterbatasan tersebut harus disesuaikan dengan latar analisis dan interpretasi dari kasus yang ada. Self report dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan daya resiliensi subyek setelah dilakukannya Support Group Therapy. Self report dilakukan subyek setelah dilakukannya Support Group Therapy hingga hari ke tujuh. Self report ini nantinya akan dianalisis secara kualitatif dan berbentuk deskriptif.
G.
Informan dan Pengumpulan Data Informan dalam penelitian ini adalah para subyek dan yang menjadi key
informant adalah para guru BK dan orang tua atau wali dari para subyek. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, indepth interview, serta skala sebagaimana tersebeut diatas. Data yang diperlukan meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif terutama digunakan untuk mengetahui kelayakan pengembangan konsep diri dan daya resiliensi apabila menggunakan konsep yang ditawarkan, sementara data kuantitatif digunakan untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan penggunaan model yang dikembangkan. Pada saat pengumpulan data penelitian, peneliti dibantu oleh 7 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang beberapa
diantaranya juga menjadikannya sebagai bagian dari penelitian skripsi yang sedang mereka kerjakan (penelitian payung). Adapun nama keenam mahasiswa yang terlibat tersebut yaitu : 1. Laksmi Inayati (NIM : 05810109) 2. Iratanti Linda (NIM : 06810055) 3. Tyas Tunjung Pinasti (NIM : 06810004) 4. Ramdhani Tri K.W. (NIM : 06810139) 5. Karina Prameswari (NIM : 07810149) 6. Trisinar Budi M. (NIM : 07810151) 7. Putri Dewi M. (NIM : 07810227)
H.
Analisis Data Ada 2 metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu t-test
dan analisis diskriptif kualitatif. Metode t-tes digunakan untuk
mengetahui
efektivitas pemberian support group therapy terhadap peningkatan konsep diri remaja dari single parent. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji beda paired sample t-test. Uji beda paired sample t-test digunakan untuk menguji dua sampel yang berpasangan, apakah mempunyai rata-rata yang secara nyata berbeda ataukah tidak (Winarsunu, 2002). Adapun metode analisis data kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif kualitatif model Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2009), yaitu : 1. Menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan. Penelaahan dilakukan dengan cara menganalisa, mensintesa, memaknai, menerangkan, dan menyimpulkan. Kegiatan penelaahan pada prinsipnya dilaksanakan sejak awal data dikumpulkan. 2. Data Reduction (reduksi data) Reduksi data yaitu merangkum, memilih hal – hal yang pokok, memfokuskan pada hal – hal yang penting yang diperoleh dari lapangan, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. 3. Data Display (penyajian data) Dengan mendisplaykan data, maka akan mudah memahami, apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. Selanjutnya akan dijelaskan selin menggunakan teks yang naratif juga berupa, tabel, grafik, matrik, dan jejaring kerja. 4. Conclusion Drawing / Verification Menyimpulkan dan menverifikasi. Dari kegiatan reduksi selanjutnya dilakukan penyimpulan akhir yang selanjutnya diikuti dengan kegiatan verifikasi atau pengujian terhadap temuan penelitian.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
1.
Model Support group therapy Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama, dapat dirumuskan model
support group therapy untuk meningkatkan konsep diri dan resiliensi siswa dari keluarga single parent yang terdiri dari tiga sesi di luar pre dan post test. Adapun sesi-sesi tersebut adalah : Tabel. 6. Model Support Group Therapy SESI 1
TUJUAN 1. Pembukaan
METODE
ALAT
1. Perkenalan
1. Lembar
2. Mengenali kekuatan 2. Sharing tujuan program diri (I am)
3. Ice breaking : hunting friends 4. Johary Windows 5. Diskusi
:
hunting
friens 2. Lembar
Johary
Windows Kekuatanku
(kepribadian, minat, bakat) 2
1. Mengenali Kekuatan
1. Ice breaking : Alam Rimba atau 1. Lembar Pemburu Gila(dapat diganti)
Lingkungan (I
2. Kartu Sahabat
Have)
3. Diskusi : Cinta dan dukungan
Kartu
Sahabat
dari lingkunganku 3
1. Perencanaan Masa 1. Ice breaking : Titanic Depan (I Can) 2. Penutup
2. My Dreams 3. Diskusi: rencana pengembangan diri untuk masa depan
1. Lembar Impianku 2. Beberapa lembar kertas kosong
2.
Konsep Diri
a.
Hasil Pre Test dan Post Test Para Subyek Pada Setiap Sekolah Deskripsi data diperoleh dari hasil pengukuran skala konsep diri dan
wawancara serta self report resiliensi yang ditunjukkan masing-masing subyek, yaitu pada saat pre-test, post test, dan follow up. Pretest dilakukan sebelum terapi, post test dilakukan setelah terapi dilakukan, dan pengukuran follow up dilakukan satu bulan setelah post test untuk mengetahui seberapa kuat dampak positif terapi melekat pada subyek penelitian. Analisis skala konsep diri didasarkan total skor yang diperoleh dari skala yang memiliki aspek : pengetahuan diri, penerimaan diri, dan penghargaan diri. Sedangkan analisis resiliensi diperoleh dari wawancara dan self report yang menemukenali aspek I am (hal positif dari diri/internal), I have (hal positif dari diri eksternal), serta I can (rencana ke depan untuk pengembangan diri). Berikut adalah data dari setiap sekolah :
a.1. SMK Negeri 4 Malang Berdasarkan hasil perhitungan pada skala konsep diri diperoleh total skor masing-masing subyek pada saat pretest dan posttest sebagai berikut: Tabel 7. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Kelompok Subyek SMK Negeri 4 Malang Pretest
Nama Subyek
Post Test
Total Skor
Kategori
Total Skor
Kategori
HA
105
Sangat Tinggi
115
Sangat Tinggi
AL
84
Sedang
110
Sangat Tinggi
SUR
79
Sedang
96
Sedang
AIS
110
Sangat Tinggi
111
Sangat Tinggi
AR
69
Sedang
105
Sangat Tinggi
ST
91
Tinggi
101
Tinggi
Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa semua subyek mengalami peningkatan pada saat post test, jika dibandingkan dengan hasil pretest. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan konsep diri pada kelompok subyek SMK Negeri 4 Malang. Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif
terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga dihasilkan data sebagai berikut: Tabel 8. Perbedaan Skor Pre test dan Post Test SMK Negeri 4 Malang Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -2.207a .027
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Untuk mengetahui efektivitas support group therapy pada pretest, post test, dan follow up pada kelompok subyek SMK Negeri 4 Malang digunakan uji statistik non parametrik diperoleh hasil sebagai berikut : Hasil uji pretest dan post test pada subyek SMK Negeri 4 Malang diperoleh nilai Z score -2,207 dengan tingkat signifikansi 0,027 yang berarti tingkat signifikansi kurang dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H0 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok terapi SMK Negeri 4 Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif dalam meningkatkan konsep diri remaja single parent pada siswa SMK Negeri 4 Malang.
a.2. SMK Muhammadiyah 3 Singosari Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek pada saat pretest dan posttest untuk kelompok subyek SMK Muhammadiyah 3 Singosari adalah sebagai berikut :
Tabel 9. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek SMK Muhammadiyah 3 Singosari Pretest
Nama Subyek
Post Test
Total Skor
Kategori
Total Skor
Kategori
END
81
Sedang
110
Sangat Tinggi
RIN
75
Sedang
100
Tinggi
AM
88
Tinggi
107
Sangat Tinggi
RN
90
Tinggi
108
Sangat Tinggi
FAQ
89
Tinggi
101
Tinggi
NUR
90
Tinggi
105
Sangat Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy. Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif
terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga dihasilkan data sebagai berikut : Tabel 10. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test Kelompok Subyek SMK Muhammadiyah 3 Singosari Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -2.201a .028
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z score -2,301 dengan tingkat signifikansi 0,028 yang berarti tingkat signifikansi lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek SMK Muhammadiyah 3 Singosari.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMK Muhammadiyah 3 Singosari. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada subyek dengan latar belakang SMK Muhammadiyah 3 Singosari.
a.3. SMAN 9 Malang Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek pada saat pretest dan posttest untuk kelompok subyek SMAN 9 Malang adalah sebagai berikut : Tabel 11. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek SMAN 9 Malang Pretest
Nama Subyek
Post Test
Total Skor
Kategori
Total Skor
Kategori
REN
82
Sedang
88
Tinggi
BRY
85
Sedang
95
Tinggi
RYN
89
Tinggi
89
Tinggi
BAG
83
Sedang
88
Tinggi
DIL
84
Sedang
100
Tinggi
ZN
87
Tinggi
94
Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy. Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif
terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 12. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test Kelompok Subyek SMAN 9 Malang Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -2.023a .043
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z score -2,023 dengan tingkat signifikansi 0,043 yang berarti tingkat signifikansi lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan (H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek SMAN 9 Malang. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMAN 9 Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada subyek dengan latar belakang SMAN 9 Malang.
a.4. SMK Salahuddin Malang Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek di SMK Salahuddin pada saat pretest dan posttest sebagai berikut : Tabel 13. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek SMK Salahuddin Malang Pretest
Nama Subyek
Post Test
Total Skor
Kategori
Total Skor
Kategori
RND
78
Sedang
94
Sedang
RDY
91
Sedang
93
Sedang
RON
81
Rendah
94
Sedang
AGN
88
Rendah
96
Sedang
DYC
114
Sangat Tinggi
94
Sedang
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy. Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif
terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 14. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test Kelompok Subyek SMK Salahuddin Malang Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -2.023a .043
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z score -2,023 dengan tingkat signifikansi 0,043 yang berarti tingkat signifikansi lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek SMK Salahuddin Malang. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMK Salahuddin Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada subyek dengan latar belakang SMK Salahuddin Malang.
a.5. SMK Muhammadiyah Galunggung Malang Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek pada saat pretest dan posttest untuk kelompok subyek SMK Muhammadiyah Galunggung Malang adalah sebagai berikut :
Tabel 15. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek SMK Muhammadiyah Galunggung Malang Pretest
Nama Subyek
Post Test
Total Skor
Kategori
Total Skor
Kategori
SUN
29
Sangat Rendah
116
Sangat Tinggi
AN
30
Sangat Rendah
115
Sangat Tinggi
CIN
31
Sangat Rendah
115
Sangat Tinggi
FH
30
Sangat Rendah
115
Sangat Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy. Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif
terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 16. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test Kelompok Subyek SMK Muhammadiyah Galunggung Malang Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -2.000a .046
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z score -2,000 dengan tingkat signifikansi 0,046 yang berarti tingkat signifikansi lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek SMK Muhammadiyah Galunggung Malang. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMK
Muhammadiyah Galunggung Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada subyek
dengan latar belakang
SMK
Muhammadiyah Galunggung Malang.
a.6. MAN 1 Malang Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek pada saat pretest dan posttest di MAN 1 Malang adalah sebagai berikut : Tabel 17. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek MAN 1 Malang Pretest
Nama Subyek
Post Test
Total Skor
Kategori
Total Skor
Kategori
KHOD
84
Sedang
96
Tinggi
DW
81
Sedang
95
Tinggi
RIZ
88
Tinggi
95
Tinggi
HAB
103
Tinggi
111
Sangat Tinggi
FEN
79
Sedang
92
Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy. Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif
terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga dihasilkan data sebagai berikut : Tabel 18. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test Kelompok Subyek MAN 1 Malang Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -2.023a .043
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z score -2,023 dengan tingkat signifikansi 0,043 yang berarti tingkat signifikansi lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek MAN 1 Malang. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek MAN 1 Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada subyek dengan latar belakang MAN 1 Malang.
b.
Analisa Keseluruhan Subyek Untuk mengetahui efektivitas support group therapy pada pretest, post test,
dan follow up pada kelompok subyek digunakan uji statistik non parametrik diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 19. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test Seluruh Subyek Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -4.410a .000
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan tingkat signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support group therapy. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek yang diberi
support group therapy. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada para subyek.
2.
Resiliensi Hasil analisis data pada saat post test menemukan adanya perubahan yang
cukup signifikan pada para subyek. Berdasarkan hasil wawancara dan self report saat pre test dapat diketahui bahwa hampir semua subyek merasakan tidak bahagia dengan diri dan keluarganya. Pada saat pre test ada subyek yang merasa kurang diperhatikan oleh orang tuanya, ada yang orang tuanya otoriter dalam memperlakukan dirinya, ada yang orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga anaknya dititipkan pada orang lain, ada orang tua yang melakukan kekerasan fisik pada keluarganya karena ayahnya sedang stres, ada yang merasa ada perubahan secara materi sehingga membuat subyek perlu waktu lama untuk bisa menerima perubahan-perubahan yang terjadi. Beberapa diantaranya bahkan mengalami trauma masa lalu yang menyedihkan, terutama konflik dan kekerasan dalam keluarga dan perceraian, yang hingga saat pengambilan data para subyek mengaku masih sangat sulit untuk memaafkan. Semua trauma tersebut ditambah dengan pengabaian orang tua yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ataupun sebab lain semisal sibuk dengan “pacar” barunya membuat banyak dari para subyek merasa dirinya tidak cukup berharga sebagai seorang anak yang berasal dari keluarga single parent. Hal ini membuat mereka membangun konsep diri yang cenderung negatif, merasa tidak cukup memiliki potensi ataupun kekuatan positif, menjadi pribadi yang tertutup, dan cenderung tidak percaya diri di lingkungan sosial. Namun pada saat post test para subyek mulai memahami mengapa peristiwa itu terjadi dan tidak perlu ada yang disalahkan. Para subyek berusaha melihat peristiwa yang terjadi sebagai pengalaman pahit yang bukan untuk disesali, bukan untuk diratapi, bukan harus dipikirkan terus menerus, bukan sesuatu yang memalukan namun harus diterima dengan ikhlas, diambil hikmahnya dan dijadikan pelajaran yang berharga dimasa mendatang.
Para subyek merasa bahwa masih ada nenek, kakek, om dan tante, bude, ibu, ayah dan saudara kandung, ibu panti asuhan, ibu asrama yang memberikan perhatian, memberikan materi, perlindungan, nasehat, informasi, kasih sayang, tempat mengadu, menjadi pengganti ibu atau ayah serta contoh yang patut ditiru oleh subyek. Kepedulian mereka terhadap para subyek sangat membantunya dalam proses penerimaan diri, menerima peristiwa yang terjadi dengan lapang dada, mencari sisi positif dari peristiwa yang dihadapi dan lebih mendekatkan dirinya pada Allah. Selain itu para subyek merasa bahwa, melalui support group therapy, mereka menemukan adanya teman yang senasib atau sama dengan dirinya, sehingga ia merasa bebas mengutarakan apapun pada temannya, tidak perlu malu, tidak perlu sungkan. Hal ini membuat para subyek terlatih untuk mampu mengutarakan atau mengekspresikan keluar kemarahan-kemarahan, kekesalankekesalan, ketidaksukaan, kebencian-kebencian, kecemburuan, kegembiraankegembiraan yang sedang dialami pada temannya. Hal ini dapat membuat mereka merasa lega karena biasanya para subyek hanya memendamnya sendiri. Para subyek sekarang menjadi lebih mengerti bahwa ada teman yang dapat menerima dirinya dengan baik atau apa adanya dan ada teman yang kurang suka kalau dirinya mengeluhkan keadaannya. Para subyek menyadari bahwa tidak setiap orang dapat mendukung dirinya, namun demikian akan selalu ada orang yang perduli dengan mereka dan terpenting lagi adalah bagaimana mereka bisa bermakna untuk diri dan lingkungan mereka. Selanjutnya, para subyek juga mulai menemukan sifat-sifat positif yang dimilikinya. Ada yang mengatakan bahwa ia lebih mandiri, lebih sabar, lebih toleran, lebih percaya diri, lebih mampu menyatakan keluar apa yang dipikirkan atau dirasakan (asertif), mudah bergaul dengan orang lain dan orang yang baru ditemuinya, memandang peristiwa hidup dari sisi positif, lebih luwes dalam penyesuaian diri dan tahan banting, mampu memotivasi diri sendiri, optimis dalam menghadapi peristiwa hidup, respect pada orang yang lebih tua, lebih bisa mengontrol emosinya. Banyak subyek baru menyadari sifat-sifat positifnya ini
ketika ia mau membuka dirinya dengan teman-temannya serta mau menerima kritik dan saran dari teman-temannya. Melalui proses dalam support group therapy, para subyek juga sudah mulai memikirkan rencana ke depan untuk mengubah diri dan nasibnya sekarang berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, bakatnya, minatnya atau model dari orang sekitarnya, materi yang dimiliki serta support dari orang sekitarnya. Ada yang ingin berwirausaha, meneruskan kuliah ke luar negeri, meneruskan kuliah di FISIPOL jurusan Hubungan Internasional, fakultas kedokteran, FKIP, kuliah di fakultas ekonomi, Akademi Kepolisian, Desain, Akademi Musik, teknik informatika dan mencari kerja karena tidak memiliki biaya. Rencana jangka pendek maupun rencana jangka panjang yang disusun terkadang masih kurang operasional atau kemungkinan kecil dapat terealisasi atau masih terlalu ideal. Meski demikian, hal ini dapat membuatnya memiliki semangat atau motivasi yang sangat tinggi untuk mencapai cita-citanya. Terakhir, para subyek juga ingin membahagiakan ayah, ibu, saudara kandung dengan cara menjadi anak yang dapat dibanggakan dan dapat mengangkat derajat keluarganya. Sejak sekarang mereka akan belajar sungguhsungguh, memiliki disiplin diri yang tinggi serta pantang menyerah bila ada halangan dalam pencapaian citacitanya. Membahagiakan keluarga akan dijadikan motivator bagi subyek bila motivasi mereka sedang turun karena mereka beranggapan bahwa orang tua atau saudara kandungnya sudah banyak menderita serta berkorban karena peristiwa di masa lalunya. Kalau memungkinkan mereka mau menyatukan kembali keluarganya yang saat ini bercerai berai dan mereka dapat hidup rukun kembali. Hasil diatas dapat dirangkum dalam tabel berikut : Tabel 20. Rangkuman Gambaran Resilien Para Subyek Pre-Test I am
Merasa
tidak
Post-Test memiliki
Mampu
menemukenali
hal
kemampuan ataupun hal yang
positif, meliputi sikap, minat,
positif dalam diri
bakat, ataupun kemampuan
dalam diri
Tertutup dan tidak percaya diri dalam kehidupan sosial
Mampu
memahami
bahwa
setiap manusia pasti memiliki kelebihan
dan
kekurangan
sehingga tidak perlu menjadi sombong ataupun sebaliknya rendah diri
Menjadi lebih percaya diri dan yakin akan kemampuan diri sendiri
I Have
Merasa sebagai anak yang tidak
Bisa memahami atas masalah
berharga, terbuang, diabaikan
ataupun masa lalu yang terjadi dan
Merasa tidak memiliki keluarga
dan memaafkan masa lalu
Memiliki teman namun terbatas
dan tidak terlalu dekat dalam arti banyak
hal
yang
pentingnya
untuk lebih fokus masa depan
yang mendukung dirinya
memahami
Bisa
memahami
bahwa
bagaimanapun juga orang tua
masih
masih menyayangi dirinya dan
disembunyikan
bersyukur
masih
memiliki
orang tua
Bisa memahami pentingnya teman dan arti dari berbagi sehingga tidak lagi tertutup dalam pergaulan
I can
Beberapa memiliki cita-cita masa
Mampu merumuskan cita-cita
depan sekalipun masih abstrak,
masa depan berdasarkan atas
sedang beberapa yang lain sama
bakat dan minat yang mereka
sekali tidak memiliki gambaran cita-cita dan bahkan cenderung pesimis
miliki
Mampu
menyusun
dan
menjaankan rencana-rencana
Tidak memiliki rencana bagaimana
dan langkah-langkah untuk
langkah yang akan ditempuh untuk
mewujudkan cita-cita tersebut
mewujudkan
cita-cita,
mengembangkan potensi dan bakat minat, ataupun membuat suasana keluarga dan lingkungan lebih baik
Mampu melakukan perubahan perilaku yang bisa membuat keluarga
dan
lingkungan
menjadi lebih baik dan lebih mendukung diri para subyek
B.
Pembahasan
Berdasarkan hasil deskripsi data dan analisa data, dapat diketahui : pertama, nilai perubahan signifikan diperoleh dari hasil pengujian pada keseluruhan subyek antara pre test – post test, pre – test – follow up, maupun post test – follow up. Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan tingkat signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support group therapy. Hasil ini menunjukkan bahwa support group therapy efektif untuk meningkatkan konsep diri para siswa dari keluarga single parent. Konsep diri terdiri atas 3 komponen yaitu pengetahuan diri, penilaian diri, dan harapan diri. Remaja dari keluarga single parent yang menjadi subyek dari penelitian cenderung belum mampu mengembangkan ketiga komponen dari konsep diri tersebut. Oleh karenanya, support group therapy dirancang agar subyek mampu untuk terbuka satu sama lain, mengenali dirinya, memahami dan
menerima segenap kelebihan dan kekurangan terkait dengan status keluarga sebagai single parent, dan menggali potensi-potensi dalam diri. Melalui support group therapy, pada sesi I, para subyek diajak untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri baik melalui refleksi diri ataupun feedback dari subyek yang lain. Melalui kegiatan ini pada akhirnya para subyek mampu menemukenali dirinya lebih baik termasuk, bakat, minat, dan potensi diriya. Lebih dari itu, para subyek jadi memahami bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga tidak perlu menjadi sombong karena kelebihan yang dimiliki ataupun menjadi rendah diri karena kelemahan yang dimiliki, termasuk status sebagai anak dari keluarga single parent. Para subyek yang awalnya merasa tidak berharga dan menilai negatif mengenai keluarga dan lingkungannya sehingga memendam banyak emosi negatif seperti kekecewaan dan kemarahan, pada sesi II diajak untuk menemukenali sisisisi positif dari keluarga dan lingkungan sehingga pada akhir sesi mampu memahami lebih positif atas segala permasalahan di keluarganya. Pada akhir sesi para subyek menjadi memahami bahwa terlepas dari apapun yang terjadi di keluarganya, ternyata keluarganya masih memiliki kepedulian pada mereka dan mereka lebih beruntung daripada yang tidak memiliki keluarga. Pemahaman tersebut menimbulkan bangkitnya perasaan positif terkait keluarga dan pada akhirnya subyek menjadi lebih menerima diri dan keluarga mereka. Pada sesi terakhir, mereka dipandu untuk menetapkan cita-cita masa depan sekaligus membangun rencana secara terinci dan konkret langkah-langkah untuk mengembangkan diri dan mewujudkan masa depan. Hal ini menjadikan para subyek mampu lebih menghargai diri dan membangun harapan diri. Beberapa indikasi yang mengarah pada individu dengan konsep diri positif menurut Calhoun (1990) antara lain memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, penerimaan diri yang mengarah ke kerendahan hati dan kedermawanan daripada ke keangkuhan dan ke egoisan, dan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis. Oleh karenanya, support group therapy yang mana menitikberatkan pada ketiga komponen konsep
diri dan dukungan teman sebaya dalam kelompok mampu meningkatkan konsep diri remaja dari keluarga single parent. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui pula bahwa support group therapy dapat digunakan untuk mengembangkan resiliensi remaja dari keluarga single parent. Keseluruhan subyek penelitian mampu mengembangkan resiliensi yang dimiliki, hal ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya faktor I am, I have, dan I can yang dapat dilihat dari perubahan hasil wawancara pada pre test, post test dan self report pada follow up. Keseluruh subyek penelitian selama proses terapi rata – rata mampu menjalankan serangkaian prosedur yang telah ditetapkan bersama secara bertahap baik dari proses pra terapi hingga masa follow up selesai sehingga mereka dapat bangkit kembali dalam berbagai kesulitan yang sedang dialami. Pengembangan faktor I am terlihat pada semua subyek, mereka dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, meyakini bahwa setiap orang juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Support gruop therapy yang diberikan membuat peserta mampu mengenali dirinya, memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan kekurangan dan juga sejarah masing-masing, serta bisa menerima dirinya. Erikson (dalam Dahlan, 2009) mengatakan bahwa remaja berkaitan erat dengan perkembangan sense of identity vs role confusion, yaitu perasaan atau kesadaran dirinya, apabila remaja berhasil memahami dirinya dan makna hidup beragama, maka remaja akan menemukan jati dirinya, sebaliknya apabila gagal, maka akan mengalami kebingungan yang akan berdampak pada kesulitan menyesuaikan diri. Dengan lebih memahami tentang kelebihan dan kekurangan dirinya, membuat semua subyek lebih percaya diri baik ketika berhubungan dengan orang lain maupun pada kemampuan yang dimiliki, suatu hal yang belum dipahami subyek sebelumnya. Selain itu keyakinan dan kepasrahan tiap-tiap subyek terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan perwujudan dari I am yang ada didalam diri masing-masing subyek, sehingga membuat mereka kuat dan tabah menjalani cobaan. Sebagai contoh keyakinan ini awalnya tidak ada dalam diri beberapa subyek, namun berubah setelah proses treatment. Menurut Hurlock (1980), bagi remaja keraguan
religius ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, sedangkan remaja lain berusaha untuk mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut oleh keluarganya. Beberapa subyek awalnya cenderung menyalahkan Tuhan atas apa yang telah menimpa keluarganya, sehingga subyek berfikir bahwa tidak ada gunanya beribadah karena Tuhan tidak adil terhadap diri dan keluarganya. Tetapi setelah diberikan perlakuan yang membuatnya lebih bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang, keyakinan mereka kepada Tuhan berubah, meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya, selain itu subyek yakin bahwa cobaan yang ada, membawa banyak hikmah melatih dirinya untuk bersyukur dan lebih tegar. Hal yang sama terjadi terkait pandangan mereka mengenai diri dan juga keluarga. Mereka awalnya merasa minder dan tidak percaya diri, serta merasa tidak memiliki kelebihan. Selain itu mereka juga merasa kurang mendapat dukungan dari orang tua, dimana orang tua yang tersisa, baik itu ayah ataupun ibu, sering diterima sebagai figur yang selalu hanya memarahi serta jarang memberi mereka pujian ataupun dukungan. Namun demikian melalui proses support group therapy para subyek diajak untuk melihat dan fokus pada sisi sebaliknya, menemukenali hikmah dibalik kemalangan, sehingga memunculkan sikap penerimaan diri, kebanggaan, dan optimisme. Hal ini sesuai dengan diungkap Henderson (2002) bahwa bahwa selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian dan klien memiliki potensi untuk menemukan hikmah
tersebut
dan
menggunakannya
untuk
bangkit
kembali
dari
keterpurukannya, potensi inilah yang disebut Resiliensi. Tidak ada definisi yang universal mengenai resiliensi, namun demikian secara umum pengertian yang mudah dimengerti adalah apa yang diungkap Wolin (1993, dalam Henderson, 2002) : “kemampuan untuk bangkit kembali”. Lebih lengkap diungkap pada makalah yang disusun International Resiliency Projecets, bahwa resiliensi adalah kemampuan setiap orang, kelompok, atau komunitas, untuk mencegah, meminimalkan, atau mengatasi dampak buruk suatu kemalangan atau masalah (dalam Henderson, 2002). Sebuah kapasitas mental untuk bangkit kembali dari
sebuah kesengsaraan dan untuk terus melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera (Vaillant & Mills, 1995). Resiliensi menawarkan dua pesan penting : 1) kemalangan atau masalah tidak selalu membawa pada disfungsi melainkan dapat memberi variasi hasil pada individu yang mengalaminya (lihat bagan 2). 2) sekalipun ada reaksi awal yang disfungsi sekalipun, setiap orang tetap memiliki kemungkinan membalikkannya. Resiliensi ini sangat penting karena orang yang resilien mengetahui bagaimana mengembalikan mental dari suatu kemalangan atau kesengsaraan dan membaliknya menjadi sesuatu yang lebih baik, bahkan dibandingkan keadaan sebelum kemalangan itu sendiri. Mereka maju dengan cepat dalam perubahan yang berlangsung terus menerus karena mereka fleksibel, cerdas, kreatif, secara cepat menyesuaikan diri, sinergik, dan belajar dari pengalaman. Mereka dapat mengendalikan kesulitan – kesulitan besar, dengan lebih baik meski ketika dipukul oleh kemunduran besar, mereka tetap tidak mengeluh dengan kehidupannya yang tidak wajar (Siebert, 2000).
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. 1.
KESIMPULAN Support group therapy terbukti mampu meningkatkan konsep diri siswa dari keluarga single parent. Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan tingkat signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support group therapy. Hasil ini menunjukkan bahwa support group therapy efektif untuk meningkatkan konsep diri para siswa dari keluarga single parent.
2.
Support group therapy terbukti mampu mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga single parent. Hal ini dapat terlihat dari para subyek yang awalnya banyak yang merasa tidak memiliki potensi yang dapat dibanggakan (I am), kurang mendapat dukungan utamanya dari keluarga (I have), serta tidak memiliki rencana masa depan, bahkan pesimis melihatnya (I can), namun setelah proses support group therapy keseluruhan subyek dapat menyadari adanya potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia miliki dan menjadi kekuatannya disamping menerima hal-hal yang menjadi kekurangan diri, dapat melihat bahwa masih ada orang-orang di sekitarnya terutama keluarga yang sesungguhnya mendukung mereka dengan ekspresi yang mungkin berbeda dari yang para subyek harapkan, serta mereka mampu melihat kedua hal tersebut sebagai modal mereka untuk optimis melihat masa depan.
B. SARAN 1. Bagi sekolah Dapat menjalankan program support group therapy secara berkala dalam menangani permasalahan yang dialami siswanya, tidak hanya siswa yang berstatus single parent tetapi juga dapat dilakukan untuk permasalahanpermasalahan lainnya. Selain itu juga dapat lebih memberikan dukungan dengan cara menyediakan kesempatan lebih luas pada setiap siswa untuk mengembangkan potensinya sehingga dengan demikian resiliensi siswa dapat berkembang sebagaimana konsep diri menjadi lebih positif seiring optimisme dan prestasi yang diraih siswa. 2. Bagi orang tua Untuk lebih memberikan perhatian dan dukungan pada anak-anaknya dalam proses pengasuhan sehingga anak mampu mengembangkan resiliensi yang dimiliki karena adanya dukungan dari keluarga akan sangat membantu dalam penanganan masalah-masalah remaja terkait statusnya sebagai single parent. 3. Bagi peneliti selanjutnya Dapat menyempurnakan modul dengan menerapkan pada subyek yang bervariasi sehingga diperoleh modul yang lengkap dengan berbagai variasi modifikasi saat berhadapan dengan berbagai variasi subyek.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, B., 2003. Critical social theories : an introduction. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Kritik, Penerapan dan Implikasi. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Anggraini, N. 2007. Emosi pada ibu single parent. Skripsi. Malang: Fakultas psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Association Psychological America. 2003. Ten (10) way to build resilience. Clinic @u.Washington.edu.
Azwar, S. 2000. Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Balson. 1993. Psychology of family. New york : Mac Garw-Hill, Co.
Barker, C., 2004. Cultural studies, theory and practice. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta.: Kreasi Wacana.
Barker, C. 1994. Research method in clinical and counseling psychology. USA : Wiley.
Beilharz, P., 2003. Social theory : a guide to central thinkers. Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Calhoun, James F & Acocella, Joan Ross . 1990. Psychology of adjustment and human relationships. United State of America : McGraw-Hill, Inc.
Dahlan. 2009. Psikologi perkembangan. Jakarta : Arcan.
Erikson, E. H., 1968. Identity, youth, and crisis. New York: International University Press. Gazda, G. M., 1989. Group counselling : a developmental approach 4rd ed. Boston : Allyn and Bacon.
Gerungan. 1988. Psikologi sosial. Bandung : Eresco
Goode. 1991. Social psychology. New York : Mc Graw-Hill, Co.
Grotberg. 2002. Origins of resilience.
[email protected].
Handayani, T., Sugiarti, 2002. Konsep dan teknik analisis gender. Malang : UMM Press.
Henderson, N. dan Milstein, M. M., 2003. Resiliency in schools. California : Corwin Press, Inc.
Hervinna. 2007. Konsep diri remaja yang memiliki orang tua bercerai di SMU widya gama malang. Skripsi. Malang: Fakultas Psikologi UMM. Hurlock, E. B., 1980. Developmental psychology : a life span approach, 5th ed. Boston: Mc Graw-Hill
Kartono, K. 1992. Psikologi Keluarga. Jakarta : PT. Raja Garfindo Persada.
Kerlinger. 2000. Azas azas penelitian behavioral. Yogyakarta : Gadha Mada University Press.
Latipun. 2004. Psikologi eksperimen. Malang : UMM Press.
Laurent, A., 1997. Keys to culture change. Government Executive Magazine.
Longwe, S., 1991. Gender awareness : the missing element in a development project. in
Candida March and Tina Wallace (Eds), Changing
Perception : New Writing on Gender and Development, Oxfam.
Luthar, dkk.
2000. Risk and resiliency adaptation in change time.
www.resiliency.com
Makhfudz. 1989. Problem-problem dalam perkawinan. Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya. Mar’at, S. 2005. Psikologi perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Miles, M. & Huberman, M., 1994. Analisis data kualitatif. Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Mikkelsen, B., 2003. Metode penelitian partisipatoris dan upaya-upaya pemberdayaan. Sebuah buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Diterjemahkan oleh Matheos Nalle. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, J. 2009. Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P. Dan Haditono, S.R. 2001. Psikologi perkembangan. Yogyakarta : Gadjah mada University Press.
Papalia. 1990. Psikologi perkembangan. Jakarta: Arcan.
Pudjijogyanti, C. R. 1999. Konsep diri dalam pendidikan. Jakarta : Arcan.
Rakhmat, J. 1998. Psikologi komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sanusi. 1996. Problem-problem dalam perkawinan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Siebert, A. 2000. The five levels of resiliency. www.resiliencecenter.com
Sudikan, S.Y., 2001. Metode penelitian kebudayaan. Surabaya :Citra Wacana.
Sugiono. 2009. Memahami penelitian kualitatif. Bandung:Alfabeta
Sukesi, K., Sugiyanto, 2002. Paradigma baru pemberdayaan perempuan di era globalisasi. Malang : Pusat Penelitian Peranan Wanita, Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya.
Suryabrata, S. 1999. Pengembangan alat ukur psikologi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen pendidikan dan Kebudayaan.
Vaillant dan Mills. 1995. Resilience and social work practice : three case study. www.americaassociation.scholl.html.
Winarsunu, T. 2002. Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan. Malang: UMM Press.
Wolins. 1993. Resiliency and factor difined. California : Corwin Press.
Women Workers and the islamic patriarchy, buletin of Concerned Asian Scholars, 15(2): April-June. 2000.
Yalom, I., 1985. The Theory and practice of group psychotherapy 3rd . New York : Basic Books.
Zanden, James W. Vander 1984. Social psychology. New York : Random House, Inc.
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG Jl. Raya Tlogomas No: 246 Malang Telp. (0341) 464318 ext:233
IDENTITAS : Nama
: …………………………………..
Jenis Kelamin
: …………………………………..
Usia
: …………………………………..
Tinggal bersama
: …………………………………..
Anak ke/ dari berapa
: ……………/……………Saudara
Pekerjaan Ibu/Ayah
: …………………………………..
Lama hidup dengan keluarga Single parent : ……………..
Petunjuk Pengisian Dibawah ini terdapat beberapa pernyataan – pernyataan tentang diri anda. Anda diminta untuk membaca dengan teliti dan mengisi pernyataan tersebut yang paling sesuai dengan kondisi anda saat ini, dengan cara memberikan tanda silang ( X ) pada kolom jawaban yang telah tersedia. SS
: Sangat setuju dimana pernyataan sangat sesuai dengan kondisi anda.
S
: Setuju dimana pernyataan sesuai dengan kondisi anda.
TS
: Tidak setuju dimana pernyataan tidak sesuai dengan kondisi anda
STS
: Sangat tidak setuju dimana pernyataan sangat tidak sesuai dengan kondisi
anda Dalam mengisi pernyataan ini tidak ada jawaban yang salah, semua jawaban anda adalah benar. Kerahasiaan jawaban anda akan kami jaga sepenuhnya. Atas kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
No.
Pernyataan
SS
1.
Wajah saya menarik terlepas dari adanya kekurangan.
2
Saya memiliki beberapa potensi yang bisa saya kembangkan untuk masa depan saya
3
Saya memiliki beberapa sifat positif yang membuat saya percaya diri
4*)
Saya memiliki prinsip – prinsip pribadi yang teguh saya pegang
5
Saya adalah orang yang menyenangkan dalam pergaulan
6
Saya adalah orang yang selalu optimis terhadap masa depan saya.
7
Saya percaya diri dengan keyakinan – keyakinan saya
8
Saya lebih focus mengembangkan kelebihan sebagai modal masa depan yang lebih baik Saya tidak cukup tampan atau cantik karena adanya
9
beberapa bagian muka yang kurang pas atau jelek
10
Saya
tidak
memiliki
potensi
yang
bisa
saya
kembangkan 11
Saya sering minder dengan beberapa sifat jelek saya
12
Saya sering tidak punya pendirian dan mudah terpengaruh apa kata teman
13
Saya sering kesulitan untuk bergaul dengan kalangan luas
14
Saya pesimis dengan masa depan saya
15
Saya sering tidak percaya diri dengan apa yang saya yakini
16
Saya terlalu banyak
memiliki kekurangan hingga
membuat saya tidak yakin dengan masa depan saya 17*) Tubuh saya sempurna dengan segala kelebihan dan
S
TS
STS
kekurangannya 18
Saya
yakin
dengan
kemampuan
saya
untuk
mewujudkan impian – impian saya untuk masa depan saya 19
Saya menyadari dan berusaha memperbaiki sifat jelek saya
20
Saya yakin dengan keputusan yang saya ambil
21
Teman – teman merasa kehilangan saat saya tidak ada ditengah – tengah mereka.
22
Saya
merasa
orang
cukup
menghormati
pemikiran/usulan/pandangan saya 23
Saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk masa depan saya
24
Saya merasa dihargai saat bergaul
25
Saya sering tidak percaya diri dengan bentuk tubuh ataupun wajah saya
26
Saya tidak yakin dengan kemampuan saya untuk mewujudkan impian – impian saya
27
Saya lebih banyak memiliki sifat jelek daripada yang positif
28
Saya sering bingung untuk mengambil keputusan menyangkut diri saya sendiri.
29
Kehadiran saya tidak memberi arti bagi teman – teman saya
30
Saya merasa tidak cukup mampu membuat orang menghargai pendapat saya
31
Saya bingung dengan apa yang harus saya lakukan untuk masa depan saya
32
Saya merasa tidak cukup dihargai dalam pergaulan.
Keterangan : *) = item gugur (tidak valid)
GUIDE INTERVIEW RESILIENSI
IDENTITAS : Nama
: …………………………………..
Jenis Kelamin
: …………………………………..
Usia
: …………………………………..
Tinggal bersama
: …………………………………..
Anak ke/ dari berapa : ……………/……………Saudara Pekerjaan Ibu/Ayah
: …………………………………..
Lama hidup dengan keluarga Single parent: ……………..
I HAVE (dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya). Keluarga 1. Bagaimana hubungan Anda dengan keluarga anda? 2. Bagaimana keluarga memperlakukan dan menerima anda? 3. Seperti apa bentuk-bentuk dukungan yang anda dapatkan dari keluarga? 4. Bagaimana anda melihat dan menerima itu semua? 5. Adakah perubahan hubungan keluarga yang terjadi antara ketika keluarga masih utuh dengan sekarang? 6. Bagaimana anda memandang perubahan tersebut? 7. Adakah hikmah yang anda rasakan terkait perubahan tersebut? 8. Dengan demikian hal-hal positif apa yang anda lihat ada pada keluarga anda sekarang? 9. Adakah sesuatu hal yang positif lainnya yang malah anda rasakan dari keluarga setelah ortu pisah/meninggal?
Lingkungan (teman-sekolah-masyarakat) 1. Selain keluarga, adakah yang lain yang menurut anda sangat mendukung anda? Ceritakan! 2. Adakah perubahan bentuk penerimaan dan dukungan mereka (temansekolah-masyarakat) antara sebelum keluarga anda pisah dengan kondisi sekarang? 3. Adakah hal positif/hikmah anda lihat dari perubahan tersebut? 4. Adakah sesuatu hal yang positif lainnya yang malah anda rasakan dari lingkungan (teman-sekolah-masyarakat) setelah ortu pisah/meninggal?
I AM 1. Sifat-sifat positif apa yang ada pada anda? 2. Bagaimana anda melihat diri anda sekarang, dalam hal yang positif? 3. Kemampuan/ketrampilan/bakat apa yang anda punya dan itu membanggakan anda? 4. Hal-hal apa yang pada diri anda yang membuat anda bahagia memilikinya? 5. Sejauh mana anda sekarang merasa bahagia? 6. Hal-hal apa yang telah anda lakukan dan membuat anda merasa bangga mengingatnya? 7. Menyangkut masa lalu, hal-hal positif apa saja yang menurut anda telah terjadi pada anda? 8. Hal-hal positif apa yang anda punya yang membuat anda merasa cukup mampu memaafkan hal-hal buruk yang telah terjadi pada anda? 9. Sejauh mana anda dapat memaafkan hal-hal buruk yang terjadi pada masa lalu? 10. Bagaimana anda memandang masa depan anda? Sejauh mana anda optimis memandang masa depan? 11. Hal-hal apa yang ada pada diri anda dan membuat anda merasa optimis terhadap masa depan anda karena memilikinya?
I CAN 1. Apa yang anda impikan untuk masa depan anda? Apa yang anda ingin lakukan di masa depan anda? 2. Apa yang akan anda lakukan untuk mewujudkannya? 3. Apa
yang
anda
rencanakan
untuk
mengembangkan
kemampuan/ketrampilan/bakat yang anda punya? 4. Sejauh mana semua rencana tersebut sudah anda lakukan? 5. Apa yang anda rencanakan untuk mengatasi hal-hal yang barangkali akan menghalangi anda mewujudkan impian anda? 6. Apa yang anda lakukan untuk terus memelihara optimisme yang anda punya? 7. Apa yang akan anda lakukan untuk dapat memaafkan masa lalu anda? 8. Apa yang anda rencanakan untuk membuat keluarga anda lebih baik? 9. Jikalau rencana anda untuk membuat keluarga lebih baik ternyata mengalami hambatan, apa rencana anda selanjutnya? 10. Apa yang anda rencanakan untuk membuat lingkungan anda lebih baik?
SELF REPORT RESILIENSI Nama
: ..............................................
Sekolah : .................................
Tgl Pengisian : ............................................... Ceritakan hal-
AKU
hal positif yang PUNYA...
......................................................................................
anda dapatkan
......................................................................................
dari keluarga,
......................................................................................
teman, sekolah,
......................................................................................
ataupun
......................................................................................
masyarakat
......................................................................................
sekitar anda
...................................................................................... ...................................................................................... ...................................................................................... ......................................................................................
Ceritakan halhal
AKU
positif ADALAH
(sifat,
...
..................................................................................... .....................................................................................
kelebihan,
.....................................................................................
kemampuan,
.....................................................................................
ketrampilan)
.....................................................................................
dalam
.....................................................................................
diri
anda
..................................................................................... ..................................................................................... .....................................................................................
Ceritakan
AKU
rencana-
AKAN....
rencana
yang
..................................................................................... .....................................................................................
akan
anda
.....................................................................................
lakukan untuk
.....................................................................................
mengembangk
.....................................................................................
an
hal-hal
.....................................................................................
yang
.....................................................................................
anda
miliki
.....................................................................................
(dari
diri
.....................................................................................
sendiri maupun
.....................................................................................
keluarga
.....................................................................................
positif
dan
lingkungan)
.....................................................................................
guna
.....................................................................................
mengoptimalka
.....................................................................................
n diri dan masa
.....................................................................................
depan
.....................................................................................
cerah
lebih
.....................................................................................
VALIDITAS DAN RELIABILITAS SKALA KONSEP DIRI
1. Aspek Pengetahuan Diri
Warni ngs The space sav er method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or used in the analy sis.
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
43 0 43
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all v ariables in the procedure.
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha .782
N of Items 12
Item Statistics y1 y 17 y3 y 19 y5 y 21 y9 y 25 y 11 y 27 y 13 y 29
Mean 2.58 2.58 3.00 3.28 3.02 2.86 2.23 2.49 2.49 2.60 2.49 2.98
St d. Dev iation .794 .698 .655 .734 .636 .710 .611 .736 .798 .877 .856 .707
N 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43
Item-Total Statisti cs
y1 y 17 y3 y 19 y5 y 21 y9 y 25 y 11 y 27 y 13 y 29
Scale Mean if Item Deleted 30.02 30.02 29.60 29.33 29.58 29.74 30.37 30.12 30.12 30.00 30.12 29.63
Scale Variance if Item Deleted 19.690 22.118 19.054 19.558 19.916 19.862 20.811 19.629 19.629 19.000 19.677 19.096
Corrected Item-Total Correlation .402 .083 .642 .470 .499 .440 .353 .457 .408 .442 .361 .575
Cronbach's Alpha if Item Delet ed .770 .799 .747 .762 .761 .765 .774 .764 .769 .766 .775 .752
Reliability
Warni ngs The space sav er method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or used in the analy sis.
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
43 0 43
a. Listwise deletion based on all v ariables in the procedure.
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha .799
N of Items 11
% 100.0 .0 100.0
Item Statistics y1 y3 y 19 y5 y 21 y9 y 25 y 11 y 27 y 13 y 29
Mean 2.58 3.00 3.28 3.02 2.86 2.23 2.49 2.49 2.60 2.49 2.98
St d. Dev iation .794 .655 .734 .636 .710 .611 .736 .798 .877 .856 .707
N 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43
Item-Total Statisti cs
y1 y3 y 19 y5 y 21 y9 y 25 y 11 y 27 y 13 y 29
Scale Mean if Item Deleted 27.44 27.02 26.74 27.00 27.16 27.79 27.53 27.53 27.42 27.53 27.05
Scale Variance if Item Deleted 19.062 18.214 18.671 19.000 18.949 19.646 18.588 18.493 17.821 18.588 18.093
Corrected Item-Total Correlation .350 .622 .458 .490 .431 .388 .471 .436 .477 .379 .586
Cronbach's Alpha if Item Delet ed .795 .768 .783 .781 .785 .790 .781 .785 .781 .793 .770
2. Aspek Harapan Diri
Warnings The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or used in the analysis.
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
43 0 43
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all v ariables in the procedure.
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha .837
N of Items 10
Item Statistics y2 y6 y8 y 18 y 23 y 10 y 14 y 16 y 26 y 31
Mean 3.33 3.23 3.16 3.21 1.91 3.28 3.14 2.98 3.21 2.84
St d. Dev iation .644 .611 .721 .742 .718 .549 .833 .771 .804 .843
N 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43
Item-Total Statisti cs
y2 y6 y8 y 18 y 23 y 10 y 14 y 16 y 26 y 31
Scale Mean if Item Deleted 26.95 27.05 27.12 27.07 28.37 27.00 27.14 27.30 27.07 27.44
Scale Variance if Item Deleted 18.093 18.188 17.391 18.400 19.811 18.714 17.647 16.406 17.114 16.252
Corrected Item-Total Correlation .562 .581 .611 .414 .197 .542 .464 .734 .576 .680
Cronbach's Alpha if Item Delet ed .820 .819 .814 .833 .852 .823 .830 .801 .818 .806
Reliability
Warni ngs The space sav er method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or used in the analy sis.
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
43 0 43
a. Listwise deletion based on all v ariables in the procedure.
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha .852
N of Items 9
% 100.0 .0 100.0
Item Statistics y2 y6 y8 y 18 y 10 y 14 y 16 y 26 y 31
Mean 3.33 3.23 3.16 3.21 3.28 3.14 2.98 3.21 2.84
St d. Dev iation .644 .611 .721 .742 .549 .833 .771 .804 .843
N 43 43 43 43 43 43 43 43 43
Item-Total Statisti cs
y2 y6 y8 y 18 y 10 y 14 y 16 y 26 y 31
Scale Mean if Item Deleted 25.05 25.14 25.21 25.16 25.09 25.23 25.40 25.16 25.53
Scale Variance if Item Deleted 16.474 16.599 16.027 16.759 17.039 15.945 14.769 15.282 14.588
Corrected Item-Total Correlation .558 .570 .565 .412 .545 .477 .750 .618 .700
Cronbach's Alpha if Item Delet ed .838 .838 .837 .853 .841 .848 .817 .832 .822
3. Aspek Penilaian Diri
Warni ngs The space sav er method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or used in the analy sis.
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
43 0 43
a. Listwise deletion based on all v ariables in the procedure.
% 100.0 .0 100.0
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha .847
N of Items 10
Item Statistics y4 y7 y 20 y 22 y 24 y 12 y 15 y 28 y 30 y 32
Mean 3.19 3.16 3.21 2.74 3.05 2.91 3.00 2.40 2.84 3.16
St d. Dev iation .627 .652 .638 .727 .615 .811 .787 .695 .754 .754
N 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43
Item-Total Statisti cs
y4 y7 y 20 y 22 y 24 y 12 y 15 y 28 y 30 y 32
Scale Mean if Item Deleted 26.47 26.49 26.44 26.91 26.60 26.74 26.65 27.26 26.81 26.49
Scale Variance if Item Deleted 19.588 17.161 16.824 18.372 17.483 16.576 17.328 17.623 16.869 16.303
Corrected Item-Total Correlation .208 .657 .746 .359 .637 .591 .487 .520 .598 .701
Cronbach's Alpha if Item Delet ed .859 .823 .816 .849 .826 .828 .839 .835 .828 .817
Reliability
Warnings The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or used in the analysis.
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
43 0 43
% 100.0 .0 100.0
a. Listwise deletion based on all v ariables in the procedure.
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha .859
N of Items 9
Item Statistics y7 y 20 y 22 y 24 y 12 y 15 y 28 y 30 y 32
Mean 3.16 3.21 2.74 3.05 2.91 3.00 2.40 2.84 3.16
St d. Dev iation .652 .638 .727 .615 .811 .787 .695 .754 .754
N 43 43 43 43 43 43 43 43 43
Item-Total Statisti cs
y7 y 20 y 22 y 24 y 12 y 15 y 28 y 30 y 32
Scale Mean if Item Deleted 23.30 23.26 23.72 23.42 23.56 23.47 24.07 23.63 23.30
Scale Variance if Item Deleted 16.121 15.528 16.730 16.011 15.110 15.921 16.162 15.430 14.740
Corrected Item-Total Correlation .581 .726 .392 .649 .606 .485 .527 .606 .740
Cronbach's Alpha if Item Delet ed .844 .832 .862 .839 .842 .855 .849 .842 .827
Reliability (Keseluruhan Aspek)
Warni ngs The space sav er method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or used in the analy sis.
Case Processing Summary N Cases
Valid Excludeda Total
43 0 43
a. Listwise deletion based on all v ariables in the procedure.
Reliabi lity Statisti cs Cronbach's Alpha .898
N of Items 29
% 100.0 .0 100.0
Item Statistics y1 y2 y3 y5 y6 y7 y8 y9 y 10 y 11 y 12 y 13 y 14 y 15 y 16 y 18 y 19 y 20 y 21 y 22 y 24 y 25 y 26 y 27 y 28 y 29 y 30 y 31 y 32
Mean 2.58 3.33 3.00 3.02 3.23 3.16 3.16 2.23 3.28 2.49 2.91 2.49 3.14 3.00 2.98 3.21 3.28 3.21 2.86 2.74 3.05 2.49 3.21 2.60 2.40 2.98 2.84 2.84 3.16
St d. Dev iation .794 .644 .655 .636 .611 .652 .721 .611 .549 .798 .811 .856 .833 .787 .771 .742 .734 .638 .710 .727 .615 .736 .804 .877 .695 .707 .754 .843 .754
N 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43
ANALISIS 32 SUBYEK
NPar Tests Descriptive Statistics
N pretest posttest
32 32
Mean 80.25 101.38
Std. Dev iat ion 21.475 8.965
Minimum 29 88
Maximum 114 116
25th 79.00 94.00
Percentiles 50th (Median) 84.00 100.00
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N posttest - pretest
Negativ e Ranks Positiv e Ranks Ties Total
a. posttest < pretest b. posttest > pretest c. posttest = pretest
Test Statisticsb
Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest pretest -4.410a .000
a. Based on negat iv e ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
1a 30b 1c 32
Mean Rank 23.00 15.77
Sum of Ranks 23.00 473.00
75th 89.75 110.00
CURRICULUM VITAE
A. DENTITAS PRIBADI 1. Nama
: Dra. Djudiyah, M.Si
2. Jenis Kelamin
: Perempuan
3. Tempat dan Tanggal Lahir
: Jombang, 10 Desember 1965
4. Agama
: Islam
5. NIPUM/Golongan
: 109910240 / 3c
6. Jabatan Fungsional
: Lektor
7. Jabatan Struktural
: Pembantu Dekan II
8. Fakultas
: Psikologi
9. Bidang Keahlian
: Psikologi Kepribadian
10. Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang
B. RIWAYAT PENDIDIKAN No
Jenjang
Lembaga
Lulus
Spesialisasi
Pendidikan
Pendidikan
1.
Sarjana
UGM Yogjakarta
1990
Psikologi
2.
Magister
UGM Yogyakarta
2003
Psikologi
C. PENGALAMAN PENELITIAN 1. Pengaruh Sensitivitas Gender Keluarga Terhadap Perilaku Remaja Dalam Pengambilan Keputusan, 2001, dana UMM. 2. Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Studi Aspek Psikologis Masa Pubertas Anak Jalanan di Kota Malang), 2002, dana UMM. 3. Motivasi Remaja Membaca Komik Jepang (Studi pada Siswa SLTP Muhamaddiyah 6 Malang) , 2003, Dana UMM.
4. Lingkungan dan Kepuasan Konsumen Hotel, 2004, Dana UMM 5. Pengaruh Tayangan Sinetron Mistik di Televisi Terhadap Perkembangan Psikologis Remaja, 2005, Dana UMM
D. PENULISAN BUKU 1. Psikologi Kepribadian, 2001, Dana UMM 2. Psikologi Konsumen, 2003, Dana UMM 3. Psikologi Perkembangan, 2005, Dana UMM
E. PELATIHAN/SEMINAR/LOKAKARYA 1. Trainer pada Guru-Guru di Aceh Pasca Konflik, 2004. 2. Trainer Service Excellent pada Karyawan UMM, 2005. 3. Trainer Smart and Sensitivity pada Security di UMM, 2005 4. Volunteer di Aceh Pasca Bencana Alam Tsunami, 2005 5. Volunteer di Jember Pasca Banjir Bandang, 2006.
F. PENGABDIAN MASYARAKAT 1. Pendampingan Konseling Trauma di Nangro Aceh Darussalam. 2003 2. Pendampingan Konseling Trauma di Maluku dan Pulau Buru, 2004 3. Pendampingan Konseling Trauma di Jember, Jawa Timur, 2005 4. Pendampingan Konseling Trauma di Yogyakarta, 2006 5. Pendampingan Konseling Trauma di Sidoarjo, Jawa Timur, 2007
Malang, 10 Nopember 2011
Dra. Djudiyah, M.Si
CURRICULUM VITAE
A. DENTITAS PRIBADI 1. Nama
: M. Salis Yuniardi, M. Psi
2. Jenis Kelamin
: Laki-laki
3. Tempat dan Tanggal Lahir
: Magetan, 05 Juni 1977
4. Agama
: Islam
5. NIPUM/Golongan
: 109 0203 0368 / 3b
6. Jabatan Fungsional
: Asisten Ahli
7. Jabatan Struktural
: Kepala UPT. Bimbingan Konseling UMM
8. Fakultas
: Psikologi
9. Bidang Keahlian
: Psikologi Klinis
10. Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
No
Jenjang
Lembaga
Lulus
Spesialisasi
Pendidikan
Pendidikan
1.
Sarjana
UNAIR Surabaya
2001
Psikologi
2.
Magister
UI Jakarta
2006
Psikologi
C. PENGALAMAN PENELITIAN 1. Alcohol Expectations Pada Remaja Alkoholik, 2003, dana UMM. 2. Analisis Potensi Resiliensi Pengungsi Korban Lumpur Panas Sidoarjo, 2007, dana UMM. 3. Peran Ayah Dalam Keluarga Dari Remaja Laki-Laki Dengan Perilaku Antisosial, 2008, Dana UMM 4. Identitas Diri Para Slanker, 2009, Dana UMM
5. Model Support Group Therapy untuk meningkatkan konsep diri dan resiliensi remaja dari keluarga single parent, 2009-1011, Hibah DIKTI.
D. PENULISAN BUKU/KARYA TULIS ILMIAH 1. Daily Interpersonal Experiences, Context, and Alcohol Consumption: Crying in Your Beer and Toasting Good Times. Jurnal Psikodinamik. 2002 2. Psikologi Lintas Budaya, 2004, Dana UMM 3. Mengembangkan Potensi Diri Membangun Masyarakat Madani, UMM Press (tahun 2006) 4. Membangun Kompetensi Insani Mengembangkan Kepemimpinan Madani, UMM Press (tahun 2007) 5. Identifikasi Gangguan Pada Anak, UMM Press (tahun 2008).
E. PELATIHAN/SEMINAR/LOKAKARYA ILMIAH 1. Peserta pada Lokakarya Manajemen Penelitian oleh DIKTI dan Lemlit UMM, 2003. 2. Peserta pada Lokakarya Hubungan Terapis – Klien oleh UGM, 2003 3. Peserta pada Semiloka International Workshop Management oleh UMM, 2004 4. Peserta pada Penataran Dan Lokakarya Metodologi Penelitian oleh DIKTI dan Lemlit UMM, 2004 5. Peserta pada Congress of The Asian Council of Psychology di Jakarta, 2005 6. Peserta pada Konferensi dan Workshop Neurodevelopmental II di Jakarta, 2005. 7. Pemakalah pada Kongres Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) di Malang, 2006. 8. Peserta pada Seminar Cross Cultural Psychology oleh UMM dan Cross Cultural Psychologist Association, 2007
9. Pemakalah pada Workshop dan Lokakarya Anak Berkebutuhan Khusus diselenggarakan oleh PSLB dan UMM di Malang, 2009 10. Pemakalah pada Seminar Nasional Pendidikan Inklusi diselenggarakan oleh PSLB dan UMM di Malang, 2009. 11. Narasumber pada Workshop Penjara Anak Ramah Anak oleh Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur di Surabaya, 2009. 12. Pemakalah pada Kongres Psikoterapi Indonesia III, Jakarta, 2010. 13. Pemakalah pada International Conference of Resiliency, Jakarta, 2011.
F. PENGABDIAN MASYARAKAT 1. Trainer pada Achievement Motivation Training karyawan Pembangkit Jawa Bali (PJB) di Pandaan, 2002 2. Anggota Team Monitoring dan Evaluasi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM, 2003 3. Trainer dan Pendampingan Konseling Trauma di Nangro Aceh Darussalam, 2003 4. Trainer dan Pendampingan Konseling Trauma di Makasar, 2004 5. Trainer dan Pendampingan Konseling Trauma di Ternate, 2004 6. Pendampingan Konseling Trauma di Sidoarjo, Jawa Timur, 2007 7. Trainer Konseling Focus on Resiliency Pada Guru Bimbingan dan Konseling SMU/SMK Muhammadiyah se-kota Malang. 2007. 8. Narasumber pada Pelatihan Penyuluh Narkoba Badan Narkotika Nasional di Malang, 2007 9. Pemakalah pada Workshop Pencegahan Peredaran Narkoba di Malang, 2008 10. Trainer pada pelatihan Konseling Pada Guru Bimbingan dan Konseling SMP/SMU/SMK se-kota Malang. 2008. 11. Trainer pada pelatihan Konseling Pada Guru Bimbingan dan Konseling SMP/SMU/SMK se-kabupaten Malang. 2008. 12. Trainer pada pelatihan Konseling Pada Guru Bimbingan dan Konseling TK/SD se-kabupaten Lumajang. 2008. 13. Pendampingan Program Akselerasi di Kota dan Kabupaten Malang, 2008
14. Trainer pada Pelatihan Quantum Teaching guru-guru SD Probolinggo, 2008 15. Pendampingan Program Inklusi di Kota dan Kabupaten Malang, 2008 16. Penerapan Base On Resiliency Pada Lembaga Bimbingan Konseling Sebagai Bagian Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, DIKTI, 2009 Malang, 10 Oktober 2011
M. Salis Yuniardi, S. Psi, M. Psi
JADWAL KERJA PENELITIAN
Penelitian tahun kedua yang dilaksanakan tahun anggaran 2011, dilaksanakan selama 8 bulan, dengan rancangan jadwal kerja sebagai berikut :
Bulan ke No
Jenis Kegiatan
1.
Persiapan/Perijinan
2.
Pengambilan data
3.
Analisis Data
4.
Pelaporan
1
2
3
4
5
6
x
x
x
x
x
7
8
x
x x