Program
:
Judul RPI Koordinator Judul Kegiatan
: : :
Sub Judul Kegiatan
:
Pelaksana Kegiatan
:
Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS. Paket Kuantitatif Pertumbuhan dan Hasil Hutan Tanaman Studi Pertumbuhan dan Hasil ( Growth and Yield ) dan Kuantifikasi Tempat Tumbuh Jenis Kayu Bawang Hengki Siahaan S. Hut, M. Sc Agus Sumadi, S. Hut Nasrun, S. Hut
ABSTRAK Peningkatan produktifitas hutan rakyat kayu bawang, baik pola monokultur maupun agroforestri dapat dilakukan melalui pengaturan kerapatan tegakan secara cermat. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pengaturan kerapatan tegakan kayu bawang, baik dari aspek produksi kayu maupun produksi tanaman non kayu. Penelitian dilaksanakan pada 45 plot hutan rakyat kayu bawang yang dikembangkan di Provinsi Bengkulu. Plot pengamatan berukuran 30 m x 30 m dibangun pada berbagai lokasi di Provinsi Bengkulu. Pada setiap plot dilakukan pengukuran tinggi dan diameter semua pohon serta pendugaan produksi tanaman sela. Berdasarkan hasil analisis data dari plot-plot penelitian indeks kerapatan tegakan dan produktivitas kayu bawang di Provinsi Bengkulu diperoleh bahwa persamaan hubungan kerapatan tegakan dengan diameter tegakan rata-rata pada kondisi kerapatan maksimum (under self thinning conditions) dinyatakan dengan persamaan ln N = 11,719 – 1,679 ln DTR (R2 = 98,3%). Indeks kerapatan maksimum tegakan kayu bawang pada pola monokultur adalah sebesar 553, yang menyatakan jumlah pohon maksimum per hektar pada diameter referensi 25 cm. Penilaian indeks kerapatan aktual pada tegakan kayu bawang dapat dihitung dengan persamaan: IKT = N (25/DTR)-1,679. Persamaan IKT dapat diterapkan untuk mengatur kerapatan tegakan kayu bawang, baik agroforestri dengan jenis lain berhabitus pohon seperti sawit maupun dengan jenis berhabitus herbaceous dan perdu. Potensi produksi kopi pada agroforestri kayu bawang dengan kopi, akan tetap tinggi pada IKT < 273 Kata kunci: Indeks kerapatan tegakan; produktifitas; agroforestri; dan kayu bawang A. Pendahuluan Sejalan dengan perkembangan penanaman kayu bawang dalam bentuk hutan rakyat di Provinsi Bengkulu, telah dilakukan penelitian yang mencakup berbagai aspek, termasuk aspek pertumbuhan dan hasil. Penelitian pada aspek Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
31
pertumbuhan dan hasil kayu bawang telah dilakukan sejak tahun 2006 dan beberapa hasil penelitian telah dipublikasikan. Berdasarkan hasil penelitian antara lain diperoleh bahwa riap kayu bawang berbeda pada setiap pola pengembangan. Riap kayu bawang pada berbagai pola tanam adalah 22,03; 14,66; 14,17; 13,15; dan 12,83 m3/ha/th, masing-masing pada pola tanam monokultur, tumpang sari, agroforestri kayu bawang + sawit; agroforestri kayu bawang + kopi, dan agroforestri kayu bawang + kakao. Hasil-hasil penelitian tersebut lebih memberikan penekanan pada produktivitas kayu (m3/ha/tahun) dalam suatu unit pengelolaan tanpa memperhatikan dinamika produksi tanaman non kayu atau tanaman pencampur. Padahal penanaman kayu bawang lebih didominasi oleh pola penanaman agroforestri yang selain menghasilkan kayu juga menghasilkan produk non kayu. Oleh karena itu, pada tahun 2014, penelitian dilakukan untuk melihat keseluruhan potensi yang dapat diperoleh dari suatu pola agroforestri, baik produk kayu maupun non kayu seperti kopi dan sawit. Untuk melihat produktivitas suatu unit pengelolaan, maka dinamika produksi tanaman non kayu perlu diperhitungkan. Produktivitas tanaman non kayu pada umumnya akan menurun dengan semakin tingginya kerapatan dan perkembangan ukuran tanaman pokok (kayu), dan pada umur tertentu maka produksi tanaman non kayu tidak lagi efektif untuk dipanen. Penurunan produksi tanaman non kayu juga ditentukan oleh karakter pertumbuhannya, misalnya apakah tanaman tersebut bersifat toleran atau intoleran, atau seberapa luaskah ruang tumbuh yang dibutuhkan tanaman tersebut. Oleh karena itu penilaian produktifitas agroforestri dilakukan dengan pendekatan indeks kerapatan tegakan kayu bawang. Penilaian indeks kerapatan tegakan diawali pada tegakan kayu bawang monokultur dan kemudian dilakukan pendekatan pada pola agroforetri. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model pengelolaan agroforestri kayu bawang yang optimal, baik dari aspek produksi kayu maupun produksi tanaman non kayu sebagai tanaman non kayu. Sasaran penelitian tahun 2014 adalah sebagai berikut: Penentuan persamaan indeks kerapatan tegakan kayu bawang Pendugaan produksi tanaman non kayu (kopi, sawit) pada pola agroforestri kayu bawang dengan kopi dan sawit. Pengaturan kerapatan tanaman kayu pola-pola agroforestri kayu bawang C. Bahan dan Metode 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada 45 plot hutan rakyat kayu bawang yang dikembangkan di Provinsi Bengkulu. Plot pengamatan berukuran 30 m x 30 m dibangun pada berbagai lokasi di Provinsi Bengkulu meliputi Kabupaten Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
32
Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Bengkulu Selatan, Seluma, Rejang Lebong, dan Kepahiang. 2. Metode Pada setiap plot dilakukan pengukuran tinggi dan diameter semua pohon serta pendugaan produksi tanaman sela. Data diameter individu pohon dalam plot digunakan untuk menentukan indeks kerapatan tegakan. Produksi tanaman sela dihubungkan dengan nilai indeks kerapatan tegakan untuk menduga produktivitas agroforestri, baik kayu maupun non kayu. Penentuan indeks kerapatan tegakan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu dilakukan dengan metode sebagaimana dikemukakan oleh Van Laar dan Akca, 2007 sebagaimana juga digunakan oleh Sadono dan Umroni 2012, sebagai berikut: 1. Menghitung diameter tegakan rata-rata Diameter tegakan rata-rata (quadratic mean diameter) pada seluruh plot pengamatan dihitung dengan rumus (Clutter et al, 1983).
Keterangan: DTR = diameter tegakan rata-rata, n = jumlah pohon dalam plot, Di = diameter pohon ke-i. 2. Membuat pencaran data antara nilai diameter tegakan rata-rata (DTR) dan kerapatan tegakan dalam skala logaritma natural 3. Membagi kisaran nilai logaritma DTR (ln DTR) ke dalam 12 kelas interval dan menentukan titik maksimum kerapatan tegakan pada masing-masing interval kelas. Cara ini dilakukan sebagai pendekatan untuk memperoleh kondisi tegakan berisi penuh (full stock). 4. Menyusun hubungan regresi antara ln DTR dan ln N berdasarkan titik-titik maksimum pada masing-masing kelas interval. 5. Menyusun persamaan indeks kerapatan tegakan (IKT) dengan diameter referensi 25 cm (Reineke, 1933; Daniel et al, 1987; Clutter et al, 1983): …………………………….……………………. (6) Keterangan: IKT = indeks kerapatan tegakan, DTR = diameter tegakan rata-rata, N = jumlah pohon dalam plot dan β = koefisien regresi D. Hasil dan Pembahasan a. Indeks Kerapatan Tegakan 1. Diagram pencar diameter tegakan rata-rata dengan kerapatan tegakan Kerapatan tegakan pada 45 plot pengamatan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu berkisar antara 106 – 1767 pohon/ha dan diameter tegakan Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
33
berkisar antara 10,9 – 34,0 cm. Untuk melihat hubungan ukuran pohon dengan kerapatannya, karakteristik tegakan yang digunakan adalah diameter tegakan ratarata (quadratic mean diameter) yang menyatakan ukuran diameter pohon pada luas bidang dasar rata-rata. Diameter tegakan rata-rata tegakan kayu bawang pada seluruh plot dan seluruh interval pengamatan berkisar antara 11,4 - 35,0 cm atau dalam skala logaritma natural berkisar antara 2,40 – 3,56. 2. Persamaan hubungan diameter tegakan rata-rata dan kerapatan tegakan Reineke (1933); Daniel et al (1987); Pretzsch dan Biber (2005) menggunakan hubungan antara diameter tegakan rata-rata (quadratic mean diameter) dan jumlah pohon per satuan luas sebagai dasar penetapan indeks kerapatan tegakan. Persamaan hubungan diameter tegakan rata-rata dengan kerapatan tegakan disusun pada kondisi kerapatan maksimum. Berdasarkan 12 titik maksimum yang telah ditentukan dinyatakan dengan persamaan ln N = 11,719 – 1,679 ln DTR. Persamaan tersebut mempunyai koefisien determinasi R2 sebesar 98,3% menunjukkan bahwa jumlah pohon maksimum dalam satu satuan unit hutan rakyat kayu bawang sangat ditentukan oleh ukuran diameter tegakan rata-rata. Koefisien regresi yang menggambarkan kemiringan kurva sebesar 1,679 menunjukkan nilai yang sedikit berbeda dengan kemiringan kurva yang dikemukakan oleh Reineke (1933) yaitu sebesar -1,605. Hal ini sesui juga dengan pendapat Pretzsch dan Biber (2005) yang menyatakan bahwa kemiringan kurva hubungan kerapatan tegakan dan diameter tegakan rata-rata pada skala ln-ln bersifat spesifik. Kurva berbentuk garis lurus merupakan kurva acuan yang menunjukkan kerapatan maksimum tegakan kayu bawang pada setiap ukuran. Kurva tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kerapatan aktual suatu tegakan, yaitu dengan memproyeksikan pengukuran diameter tegakan rata-rata dan kerapatan aktual pada skala ln-ln. Titik-titik yang berada dibawah garis acuan menggambarkan tegakan-tegakan yang mempunyai stok kurang, demikian sebaliknya tegakan yang titik proyeksinya di atas garis acuan mempunyai stok yang lebih, sehingga perlu dijarangi. 3. Penetapan indeks kerapatan tegakan kayu bawang Indeks kerapatan tegakan merupakan indeks yang menggambarkan derajat pemanfaatan sumberdaya (tapak) pada suatu tegakan tertentu. Kerapatan tegakan bersifat dinamis, sejalan dengan pertumbuhan tanaman, kerapatan tegakan akan terus meningkat hingga mencapai kondisi maksimum. Untuk membandingkan tingkat kerapatan pada tegakan yang mempunyai diameter rata-rata yang berbeda maka diperlukan suatu diameter tegakan referensi. Reineke (1933) menggunakan ukuran diameter referensi sebesar 10 inch atau sekitar 25 cm pada satuan metrik. Ukuran diameter referensi yang lebih kecil digunakan oleh Sadono dan Umroni (2012) yang menggunakan ukuran diameter referensi sebesar 20 cm untuk menyatakan kerapatan tegakan pada hutan rakyat sengon di Kecamatan Pringsurat Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
34
dan Kranggan, Kabupaten Temanggung. Sadono dan Umroni menyatakan bahwa pemilihan ukuran diameter referensi didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam plot pengamatannnya belum ada tegakan yang mencapai diameter rata-rata sebesar 25 cm, tetapi pada umumnya hanya mencapai 20 cm. Pada tegakan hutan rakyat kayu bawang di Propinsi Bengkulu, diameter tegakan rata-rata berkisar antara 11,4 – 35,0 cm, sehingga diameter referensi sebesar 25 cm sebagaimana yang diusulkan oleh Reineke dapat digunakan. Sesuai dengan persamaan hubungan kerapatan tegakan dan diameter tegakan rata-rata pada skala ln-ln yang mempunyai kemiringan sebesar -1,679 dan diameter referensi sebesar 25 cm, maka persamaan indeks kerapatan tegakan pada hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu adalah: IKT = N (25/DTR)-1,679 Persamaan IKT tersebut digunakan untuk menyatakan kerapatan aktual suatu tegakan yang setara dengan tegakan referensi berdiameter rata-rata 25 cm. Persamaan ini setiap saat dapat digunakan untuk membandingkan kerapatan tegakan kayu bawang yang mempunyai ukuran diameter tegakan rata-rata dan jumlah pohon per hektar yang berbeda. Misalnya suatu tegakan mempunyai diameter tegakan rata-rata sebesar 20 cm dan jumlah pohon per hektar sebesar 600 pohon, tegakan kedua mempunyai diameter tegakan rata-rata sebesar 30 cm dan jumlah pohon per hektar sebesar 400 pohon, maka tegakan kedua mempunyai kerapatan yang lebih tinggi dibanding tegakan pertama, karena berdasarkan persamaan 8, IKT tegakan pertama adalah sebesar 413 dan tegakan kedua sebesar 543. b. Indeks Kerapatan Tegakan dan Produktivitas Agroforestri Pengaturan kerapatan dengan pendekatan indeks kerapatan tegakan merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatur kerapatan tegakan tidak hanya pada tegakan sejenis dan seumur, tetapi juga dapat digunakan pada hutan alam tak seumur maupun pada pola agroforestri. Pada tegakan seumur dan sejenis, pengaturan kerapatan tegakan dengan menggunakan metode IKT dapat dilakukan dengan mudah dengan akurasi yang tinggi, sementara pada tegakan campuran atau agroforestri membutuhkan pengaturan yang lebih rumit. Shaw (2000) mengemukakan metode pengaturan kerapatan pada tegakan yang mempunyai struktur yang tidak teratur yang disebut dengan “summation methods”. Pada metode ini didasarkan pada prinsip bahwa IKT bersifat aditif dan dan dapat dipartisi. Koefisien kurva kerapatan-diameter (skala ln-ln) yang digunakan adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Reineke (1933) yaitu sebesar -1,605, yang dianggap dapat berlaku untuk seluruh jenis yang ada dalam tegakan. Pengaturan kerapatan tegakan pada pola campuran kayu bawang dilakukan dengan dua pendekatan. Pada pola campuran kayu bawang dengan jenis tanaman yang berhabitus pohon, misalnya karet dan sawit maka pengaturan kerapatan dilakukan dengan metode Reineke yaitu menggunakan diameter tegakan rata-rata Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
35
(Dq = quadratic mean diameter) seluruh tegakan dalam plot dengan menggunakan persamaan IKT kayu bawang. Pada pola agroforestri anatara kayu bawang dengan jenis berhabitus herbaceuous dan perdu, perhitungan IKT dilakukan hanya pada jenis kayu bawang. Produktivitas tanaman non kayu per unit luas lahan, misalnya kopi dihitung pada berbagai tingkat kerapatan (IKT) kayu bawang. Pengaturan kerapatan tegakan pada pola agroforestri perlu dilakukan secara cermat, salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode IKT. Misalnya pada agroforestri kayu bawang dengan sawit, produktivitas masing-masing komponen akan menurun dibandingkan jika keduanya ditanam secara monokultur. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa nilai ekonomi produk agroforestri diupayakan melebihi atau minimal setara dengan produk monokultur masing-masing komponen. Pada agroforestri kayu bawang dengan sawit di Provinsi Bengkulu diperoleh bahwa produksi sawit menurun sebesar 65,8%, tetapi diperoleh hasil kayu sebesar 14,1 m3/ha/th atau produksi kayu menurun sebesar 29,5% tetapi diperoleh hasil tambahan berupa sawit sebesar 9,6 ton/ha/th. Bentuk agroforestri lain yang cukup banyak dikembangkan di Provinsi Bengkulu adalah agroforestri kayu bawang dengan kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas kopi tidak akan menurun jika IKT kayu bawang tidak melebihi 273. Pada IKT tersebut produksi kopi tetap tinggi, yaitu mencapai lebih dari 1,5 ton/ha/th. Namun demikian secara umum, pada pola agroforetri dengan kopi terjadi penurunan produk kayu berkisar antara 45,5 – 68,5%. E. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dari plot-plot penelitian indeks kerapatan tegakan dan produktivitas kayu bawang di Provinsi Bengkulu diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Persamaan hubungan kerapatan tegakan dengan diameter tegakan rata-rata pada kondisi kerapatan maksimum (under self thinning conditions) dinyatakan dengan persamaan ln N = 11,719 – 1,679 ln DTR (R2 = 98,3%). 2. Indeks kerapatan maksimum tegakan kayu bawang pada pola monokultur adalah sebesar 553, yang menyatakan jumlah pohon maksimum per hektar pada diameter referensi 25 cm. 3. Penilaian indeks kerapatan aktual pada tegakan kayu bawang dapat dihitung dengan persamaan: IKT = N (25/DTR)-1,679 4. Persamaan IKT dapat diterapkan untuk mengatur kerapatan tegakan kayu bawang, baik agroforestri dengan jenis lain berhabitus pohon seperti sawit dan karet maupun dengan jenis berhabitus herbaceous dan perdu. 5. Potensi produksi kopi pada agroforestri kayu bawang dengan kopi, akan tetap tinggi pada IKT < 273 Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
36
Foto Kegiatan
Gambar 1. Agroforestrikayubawang + kopi dengan IKT berbeda, kanan IKT tinggi (produksi kopi rendah), kiri, IKT rendah (produksi kopi tinggi)
Gambar2. Agroforestrikayubawang + sawitdengan IKT tinggi (kiri) dan IKT rendah (kanan)
Gambar3. PenanamankayubawangpolamonokulturdenganIKT tinggi (kiri) dan IKT rendah (kanan)
Laporan Kegiatan Tahun 2014 - Buku II BPK Palembang
37