LAPORAN KEBIJAKAN MONETER Triwulan III 2014
RINGKASAN EKSEKUTIF Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2014 menunjukkan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan yang terjaga serta proses penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih seimbang. Hal ini tercermin pada defisit transaksi berjalan yang menurun dan permintaan domestik yang tetap terkelola. Konsidi tersebut tidak terlepas dari kebijakan stabilisasi ekonomi yang mampu secara konsisten menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Sepanjang tahun 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility (LF) dan suku bunga Deposit Facility (DF) masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan ini dinilai konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi tetap berada dalam lintasan sasaran inflasi 4,5±1% pada 2014 dan 4,0%±1 pada 2015 sekaligus menurunkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat. Kebijakan tersebut juga didukung penguatan koordinasi dengan pemerintah baik dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta dalam rangka mendorong kebijakan yang bersifat struktural untuk memperkuat fundamental perekonomian dalam jangka menengah-panjang. Di sisi global, pemulihan ekonomi dunia masih terus berlanjut meskipun berjalan tidak seimbang. Perbaikan kondisi ekonomi global terutama ditopang oleh perekonomian Amerika Serikat yang terus membaik. Hal itu tercermin dari indikator produksi yang meningkat dan tingkat pengangguran yang menurun. Perkembangan AS ini semakin memperkuat prakiraan terjadinya normalisasi kebijakan The Fed pada pertengahan 2015. Sementara itu, perekonomian Eropa dan Jepang mengalami perlambatan. Sejalan dengan itu, perekonomian Tiongkok juga mengindikasikan kecenderungan yang melambat. Dengan perkembangan tersebut, harga komoditas global masih cenderung menurun, termasuk penurunan harga minyak dunia seiring dengan meningkatnya pasokan di tengah melemahnya permintaan. Seiring dengan permintaan global yang masih melemah, pertumbuhan ekonomi domestik juga cenderung termoderasi. Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2014 tercatat 5,01% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2014 sebesar 5,12% (yoy). Konsumsi meningkat ditopang oleh masih kuatnya konsumsi swasta dan meningkatnya belanja barang Pemerintah. Sementara itu, kegiatan investasi, khususnya investasi nonbangunan, masih lemah. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor masih mengalami kontraksi, terutama bersumber dari melemahnya ekspor komoditas primer, sementara ekspor manufaktur secara konsisten terus membaik. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi regional, dimana sumber perlambatan disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi Sumatera sebagai wilayah pengekspor komoditas. Sementara, pertumbuhan ekonomi di wilayah KTI mengalami peningkatan sejalan dengan kembali diekspornya mineral dan pertumbuhan kawasan Jawa relatif tinggi sejalan dengan terus membaiknya ekspor manufaktur. Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membaik pada triwulan III 2014, terutama ditopang oleh defisit transaksi berjalan yang menurun. Defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2014 mencapai 6,836 miliar dolar AS (3,07% dari PDB), menurun dari defisit pada triwulan II 2014 sebesar 8,689 miliar dolar AS (4,07% dari PDB) dan triwulan III 2013 sebesar 8,635 miliar dolar AS (3,89% dari PDB). Perbaikan transaksi Laporan Kebijakan Moneter|1
berjalan terutama didukung oleh kenaikan yang besar pada neraca perdagangan nonmigas sejalan dengan kebijakan stabilisasi ekonomi yang ditempuh selama ini, ditengah defisit neraca migas yang masih meningkat. Perbaikan tersebut juga didukung oleh masih positifnya ekspor manufaktur, akibat berlanjutnya pemulihan AS, dan mulai pulihnya ekspor tambang pascakeluarnya izin ekspor mineral mentah. Sementara itu, transaksi modal dan finansial mencatat surplus yang cukup besar, terutama ditopang oleh meningkatnya arus masuk modal asing PMA sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian domestik. Aliran masuk modal asing terus berlanjut di Oktober 2014. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Indonesia meningkat menjadi 112,0 miliar dolar AS, setara 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Rupiah mengalami pelemahan akibat pengaruh sentimen global. Pada triwulan III 2014, rupiah secara rata-rata rupiah melemah sebesar 1,2% (qtq) ke level Rp11.770 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu kekhawatiran terhadap normalisasi kebijakan The Fed, dinamika geopolitik, dan perlambatan ekonomi global. Sementara dari faktor internal, pelemahan rupiah dipengaruhi oleh perilaku investor yang menunggu pembentukan kabinet baru dan program kerja pemerintah ke depan. Tekanan terhadap rupiah juga berlanjut di bulan Oktober 2014. Rupiah secara rata-rata melemah 2,01% (mtm) ke level Rp12.142 per dolar AS. Inflasi terjaga dan berada dalam tren yang menurun sehingga mendukung prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1%. Inflasi triwulan III 2014 tercatat 4,53% (yoy), menurun dibandingkan 6,70% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Inflasi yang tetap terjaga tersebut didukung oleh inflasi inti dan volatile food yang terkendali. Terkendalinya Inflasi inti didukung oleh penurunan harga komoditas global, permintaan yang moderat dan ekspektasi inflasi yang terjaga. Sementara itu, inflasi volatile food juga tercatat relatif rendah, seiring dengan tercukupinya pasokan pangan. Sebaliknya, inflasi administered prices meningkat terutama didorong oleh kenaikan TTL RT dan LPG 12 kg. Inflasi yang terkendali berlanjut pada bulan Oktober 2014, meskipun mencatat kenaikan menjadi 4,83% (yoy). Stabilitas sistem keuangan masih solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat. Pada akhir triwulan III 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 19,40%, jauh di atas ketentuan minimum 8%, sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,0%. Dari sisi fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit melambat menjadi 13,16% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan di akhir triwulan II 2014 (17,2%, yoy), sejalan dengan proses penyesuaian dalam perekonomian. Meskipun melambat dibandingkan triwulan II 2014, pertumbuhan DPK pada September 2014 meningkat dibandingkan bulan sebelumnya dan tercatat sebesar 13,32% (yoy). Hal ini seiring dengan operasi keuangan pemerintah yang ekspansif. Sejalan dengan hal tersebut, kondisi likuiditas perbankan pada triwulan III 2014 relatif terjaga. Sementara itu, kinerja pasar modal juga membaik, tercermin pada IHSG yang berada dalam tren meningkat. Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan proses penyesuaian ekonomi masih berlanjut dengan prospek yang membaik dan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mendekati batas bawah 5,1-5,5%, dan akan meningkat pada kisaran 5,4-5,8% pada 2015. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2014 Laporan Kebijakan Moneter|2
diprakirakan lebih rendah dari tahun 2013 akibat kontribusi ekspor dan investasi yang menurun sejalan dengan ekspor mineral yang belum normal, terbatasnya permintaan global, harga komoditas yang tumbuh negatif, serta perilaku wait and see dari investor. Namun, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan meningkat pada tahun 2015-2016 seiring dengan kondisi global yang diprediksi membaik dan kondisi ekonomi serta politik yang lebih pasti. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014, inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5±1%. Pada tahun 2015, kebijakan moneter yang terukur dan didukung koordinasi dengan kebijakan Pemerintah diperkirakan dapat mendorong inflasi menurun di kisaran 4,0±1%. Sementara di sisi keseimbangan eksternal, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan terus membaik seiring dengan meningkatnya ekspor manufaktur dan mineral, serta terkendalinya impor migas. Bank Indonesia akan terus mencermati risiko perekonomian yang berasal dari eksternal dan domestik, termasuk kenaikan ekspektasi inflasi terkait dengan rencana kebijakan BBM bersubsidi. Dari sisi global, risiko yang dihadapi berkaitan dengan normalisasi kebijakan The Fed yang dapat menganggu prospek penanaman modal asing. Risiko global lainnya adalah terkait melemahnya perekonomian negara-negara utama. Dari sisi domestik, Bank Indonesia terus mencermati berbagai risiko inflasi, khususnya rencana penyesuaian harga BBM bersubsidi, yang terindikasi pada mulai munculnya kenaikan ekspektasi inflasi. Menghadapi hal tersebut, Bank Indonesia akan menempuh sejumlah kebijakan untuk memastikan dampak kenaikan BBM terhadap inflasi tetap terkendali dan temporer, termasuk dengan memperkuat koordinasi pengendalian inflasi dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan mempertimbangkan kondisi terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 13 November 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga LF dan suku bunga DF masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut konsisten dengan upaya untuk mengendalikan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4,0±1% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung penguatan struktur perekonomian domestik. Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah akan diintensifkan dalam mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, agar penyesuaian ekonomi tetap terkendali dan mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Laporan Kebijakan Moneter|3
halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Kebijakan Moneter|4
1
PERKEMBANGAN EKONOMI DAN MONETER TERKINI
Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2014 dan Oktober 2014 menunjukkan bahwa stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung proses penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih seimbang. Kondisi ini tercermin dari defisit transaksi berjalan yang menurun dan permintaan domestik yang tetap terkelola, meskipun pertumbuhan ekonomi domestik masih dalam kecenderungan melambat. Kinerja transaksi berjalan triwulan III 2014 membaik terutama didukung oleh kenaikan yang signifikan pada neraca perdagangan nonmigas. Selain itu, stabilitas sistem keuangan pada triwulan III 2014 masih solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari berbagai arah kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan 2013. Selama triwulan I hingga III 2014 serta Oktober 2014, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada 7,50%, dengan suku bunga LF dan suku bunga DF masing-masing sebesar 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut masih konsisten dengan upaya mengendalikan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4,0%±1 pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Kebijakan tersebut diperkuat dengan koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang terus diintensifkan dalam mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, agar penyesuaian ekonomi tetap terkendali dan mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan Ekonomi Dunia Pemulihan ekonomi dunia terus berlanjut, meskipun berjalan tidak seimbang. Pemulihan ekonomi global masih ditopang oleh perekonomian Amerika Serikat yang terus membaik. Hal itu tercermin dari indikator produksi yang meningkat dan tingkat pengangguran yang menurun. Perkembangan AS ini semakin memperkuat prakiraan terjadinya normalisasi kebijakan The Fed pada pertengahan 2015. Sementara itu, perekonomian Eropa dan Jepang mengalami perlambatan. Perekonomian Tiongkok juga mengindikasikan kecenderungan yang melambat. Dengan perkembangan tersebut, harga komoditas global masih cenderung menurun, termasuk penurunan harga minyak dunia seiring dengan meningkatnya pasokan di tengah melemahnya permintaan. Dari jalur perdagangan, perkembangan ekonomi global tersebut akan berpengaruh pada kinerja ekspor Indonesia, dengan terus membaiknya ekspor manufaktur di tengah masih tertahannya ekspor komoditas primer. Sementara dari jalur keuangan, arus masuk modal asing ke Indonesia diperkirakan masih akan terus berlangsung meskipun dengan volatilitas yang masih cukup tinggi sehubungan dengan normalisasi kebijakan the Fed. Bank Indonesia akan terus mewaspadai berbagai risiko eksternal tersebut agar tetap kondusif bagi perekonomian Indonesia. Perekonomian Amerika Serikat terus membaik. Di sisi produksi, PMI manufaktur pada Oktober 14 naik ke 59,0 sejalan dengan peningkatan new order domestik AS dan output produksi yg mencapai puncaknya sejak Mei 2004 (Grafik 1.1). Angka pengangguran menurun dari 5,9% ke 5,8% sejalan dengan pertumbuhan job openings (Grafik 1.2). Hal Laporan Kebijakan Moneter|5
ini terindikasi dari realisasi pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan III-2014 sebesar 2,3% (yoy), sedikit menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 2,6% (yoy). Kondisi tersebut didorong oleh pendapatan individu (personal income) yang menurun sehingga daya beli rumah tangga juga tertahan dan berdampak pada menurunnya penjualan ritel.
Grafik 1.1 PMI Manufaktur AS
Grafik 1.2 Tingkat Pengangguran dan Job Opening AS
Perekonomian Eropa mengalami perlambatan seiring tekanan di sisi eksternal, produksi, dan potensi deflasi yang terus berlanjut. Tekanan dari sisi eksternal terindikasi dari menurunnya pertumbuhan ekspor seiring melambatnya perekonomian Tiongkok (Grafik 1.3). Selain itu, tekanan deflasi dan berlanjutnya permasalahan geopolitik Rusia juga masih menekan sisi produksi. Hal ini terindikasi dari perkembangan indeks manufaktur PMI yang berada dalam tren menurun (Grafik 1.4).
Grafik 1.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Eropa
Grafik 1.4 PMI Manufaktur Eropa
Perekonomian Jepang juga mengalami perlambatan didorong oleh melemahnya sisi produksi. Hal ini terindikasi pertumbuhan indeks produksi yang terus terkontraksi, sementara di akhir triwulan III, PMI Jepang lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik 1.5). Kondisi ini didorong oleh depresiasi yen yang justru menyebabkan pelemahan output akibat tingginya harga impor di tengah terbatasnya perkembangan ekspor. Di sisi lain, permintaan juga belum membaik, terindikasi penjualan department store yang masih negatif (Grafik 1.6). Sementara itu, berdasarkan survei Reuters Tankan, sentimen terhadap perusahaan besar memburuk, baik pada sektor manufaktur maupun non manufaktur. Sentimen negatif tersebut sejalan dengan meningkatnya pajak konsumsi, kenaikan harga input akibat depresiasi nilai tukar, serta melemahnya perekonomian global terutama Tiongkok dan Eropa.
Laporan Kebijakan Moneter|6
Grafik 1.5. PMI Manufaktur Jepang
Grafik 1.6. Penjualan Ritel dan dan Department Store Jepang
Perekonomian Tiongkok masih mengindikasikan kecenderungan yang melambat. Di sisi permintaan, perlambatan tersebut terutama berasal dari turunnya pertumbuhan konsumsi dan investasi (Grafik 1.7). Sementara itu, dari sisi produksi, penurunan pertumbuhan terutama berasal dari sektor real estate (industri tersier) (Grafik 1.8). Dengan perkembangan tersebut, Bank Sentral Tiongkok (PBoC) merespons melalui penerapan relaksasi aturan kredit rumah dengan menurunkan persentase uang muka kredit rumah kedua dari 60% menjadi 30% dari nilai rumah, berlaku sejak awal Oktober 2014.
Grafik 1.7. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok
Grafik 1.8. Perkembangan Industri Tiongkok
Perekonomian India meningkat dan tumbuh lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya. Peningkatan tersebut didorong oleh aktivitas produksi, terindikasi dari PMI India yang berada pada level ekspansi, sementara pertumbuhan indeks produksi stabil. Selain itu, indeks infrastruktur juga berada dalam tren yang meningkat. Dari sisi domestik, meningkatnya perekonomian terindikasi dari penjualan mobil dalam negeri dan impor yang tumbuh lebih tinggi. Peningkatan perekonomian India seiring dengan adanya sentimen positif paska terpilihnya pemerintahan baru yang mendorong pelaksanaan reformasi struktural, antara lain, di bidang energi, pembangunan infrastruktur dan peningkatan investasi langsung. Dengan perkembangan global yang diwarnai oleh perlambatan ekonomi negaranegara utama dunia tersebut, aktivitas perdagangan internasional menurun. Hal ini terindikasi dari volume perdagangan dunia yang lebih rendah dari prakiraan sebelumnya serta harga komoditas global yang masih cenderung menurun. Rendahnya pertumbuhan volume perdagangan dunia didorong oleh permasalahan geopolitik dan dampak cuaca dingin ekstrim di AS pada semester I yang terus berlanjut pada triwulan III (Grafik 1.9). Pada sisi lain, harga komoditas global juga masih cenderung menurun. Harga batubara menurun Laporan Kebijakan Moneter|7
didorong oleh melimpahnya pasokan dan melemahnya permintaan terutama dari Tiongkok. Pelemahan ekonomi Tiongkok juga berdampak pada menurunnya harga komoditas nikel, timah, aluminium dan karet. Pada sisi lain, harga minyak dunia terus menurun, seiring dengan meningkatnya pasokan di tengah melemahnya permintaan dunia. Pelemahan harga minyak tersebut disebabkan beberapa faktor, antara lain faktor fundamental, persaingan antara negara produsen minyak dan geopolitik. Faktor fundamental terkait dengan semakin besarnya posisi over supply minyak dunia. Sementara itu, faktor persaingan antara negara produsen minyak didorong oleh sikap Saudi Arabia yang belum mau mengurangi produksi di tengah melambatnya permintaan dengan tujuan mempertahankan pangsa pasar. Faktor geopolitik terkait dengan meredanya ketegangan di Timur Tengah dan Afrika Utara yang menyebabkan beberapa kilang minyak di Irak dan Libya kembali dapat beroperasi. Pasar keuangan global mengalami tekanan koreksi didorong oleh menguatnya prakiraan penerapan kebijakan normalisasi the Fed pada pertengahan 2015. Tekanan pada pasar keuangan global juga bersumber dari rilis IMF terkait penurunan pertumbuhan ekonomi dunia sehingga mendorong adanya sentimen negatif. Pada sisi lain, mayoritas mata uang global cenderung melemah terhadap dollar AS, terutama mata uang EM Asia termasuk Indonesia, sejalan dengan meningkatnya kekhawatiran investor atas gejolak geopolitik global. Dengan perkembangan tersebut, bursa saham Asia masih terus bergerak naik meski volume net aliran masuk non residen ke bursa saham Asia terus menurun (Grafik 1.10).
Grafik 1.9. Perkembangan Volume Perdagangan Dunia
Grafik 1.10. Kinerja Bursa Saham Global
Pertumbuhan Ekonomi Seiring dengan permintaan global yang masih melemah, pertumbuhan ekonomi domestik juga cenderung termoderasi. Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2014 tercatat 5,01% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2014 yang sebesar 5,12% (yoy) (Tabel 1.1). Konsumsi meningkat ditopang oleh masih kuatnya konsumsi swasta dan meningkatnya belanja barang Pemerintah. Sementara itu, kegiatan investasi, khususnya investasi nonbangunan, masih lemah. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor masih mengalami kontraksi, terutama bersumber dari melemahnya ekspor komoditas primer, sementara ekspor manufaktur secara konsisten terus membaik. Secara keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan diperkirakan mendekati batas bawah kisaran 5,1-5,5%, dan akan meningkat pada kisaran 5,4-5,8% pada 2015.
Laporan Kebijakan Moneter|8
Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran (%,yoy) Komponen Konsumsi Rumah Tangga
2013 I
II
III
IV
5.2
5.1
5.5
5.3
2013 5.3
I
2014 II
III
5.6
5.6
5.4
Konsumsi Pemerintah
0.4
2.2
8.9
6.4
4.9
3.6
(-0.7)
4.4
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto Ekspor Barang dan Jasa
5.5 3.6
4.5 4.8
4.5 5.2
4.4 7.4
4.7 5.3
6.0 (-0.4)
5.2 (-0.8)
4.0 (-0.7)
(-0.0)
0.7
5.1
(-0.6)
1.2
(-0.7)
(-5.1)
(-3.6)
6.0
5.8
5.6
5.7
5.8
5.2
5.1
5.0
Impor Barang dan Jasa PDB Sumber : BPS
Meskipun masih tumbuh cukup kuat, konsumsi rumah tangga triwulan III 2014 melambat pasca Pemilu. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 tercatat 5,44% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II 2014 yang tumbuh sebesar 5,59% (yoy). Perlambatan ini terjadi seiring dengan berakhirnya akitivas Pemilu legislatif dan presiden yang selama triwulan sebelumnya telah menopang pertumbuhan konsumsi. Optimisme masyarakat yang menurun juga menjadi penyebab perlambatan konsumsi rumah tangga, sebagaimana tercermin pada indeks keyakinan konsumen BPS yang bergerak turun selama triwulan III 2014 (Grafik 1.11). Perlambatan konsumsi rumah tangga juga tercermin dari menurunnya pertumbuhan penjualan mobil dan motor pada triwulan III 2014 (Grafik 1.12). Selain itu, impor barang konsumsi tumbuh lebih rendah pada triwulan III 2014.
Grafik 1.11 Indeks Keyakinan Konsumen - BPS
Grafik 1.12 Penjualan Kendaraan Bermotor
Konsumsi pemerintah tumbuh kuat seiring tingginya realisasi belanja barang. Pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat meningkat signifikan dari -0,71% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,37% (yoy) pada triwulan III 2014, sesuai dengan pola tahunannya. Berdasarkan komponennya, pertumbuhan konsumsi pemerintah didorong oleh akselerasi belanja barang. Kinerja investasi pada triwulan III 2014 melemah, terutama dipicu oleh pelemahan kinerja investasi nonbangunan. Secara keseluruhan, investasi melambat dari 5,21% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,02% (yoy) pada triwulan III 2014. Perlambatan investasi tersebut terutama terjadi pada investasi nonbangunan, seiring dengan kontraksi impor barang modal yang turun lebih dalam pada triwulan III 2014. Kondisi ini terindikasi, antara lain, dari penjualan alat berat domestik yang masih berada di teritori negatif akibat pelemahan sektor pertambangan. Indikasi lainnya adalah penurunan tingkat penggunaan Laporan Kebijakan Moneter|9
kapasitas produksi pada industri yang menunjukkan minimnya insentif pelaku usaha untuk berinvestasi (Grafik 1.13). Seiring perlambatan investasi nonbangunan, investasi bangunan juga tumbuh melambat. Sesuai dengan pola historisnya, kondisi ini disebabkan oleh perilaku wait-and-see investor pasca Pemilu. Indikasi perlambatan investasi bangunan tercermin pada melambatnya penjualan semen dan impor bahan bangunan pada triwulan III 2014 (Grafik 1.14).
Grafik 1.13 Kapasitas Utilisasi
Grafik 1.14 Indikator Investasi Bangunan
Dari sisi eksternal, kinerja ekspor masih mengalami kontraksi. Ekspor pada triwulan III 2014 tercatat tumbuh sebesar -0,70% (yoy), sedikit lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar -0,76% (yoy). Kinerja ekspor yang masih terkontraksi, terutama pada ekspor komoditas primer, disebabkan oleh masih lemahnya permintaan global (Grafik 1.15). Meskipun masih mengalami kontraksi, ekspor mencatat perbaikan. Hal ini didorong oleh masih positifnya ekspor manufaktur dan mulai terealisasinya ekspor SDA (pertambangan) khususnya ekspor konsentrat mineral (Grafik 1.16).
Grafik 1.15 Volume Perdagangan (Impor) Dunia
Grafik 1.16 Pertumbuhan Ekspor Nonmigas Riil
Merespons terbatasnya kinerja ekspor dan investasi nonbangunan, impor triwulan III 2014 mengalami kontraksi. Impor kembali mengalami kontraksi yang lebih kecil pada triwulan III 2014 yakni sebesar -3,63% (yoy) dari -5,05% (yoy) pada triwulan II 2014. Berdasarkan kelompoknya, kontraksi terjadi pada kelompok impor barang modal sejalan dengan melemahnya investasi nonbangunan (Grafik 1.17). Sementara itu, impor barang konsumsi masih terkontraksi akibat berkurangnya impor mobil penumpang, durable goods, maupun nondurable goods. Sebaliknya, impor bahan baku tumbuh positif, antara lain, dalam bentuk bahan makanan (mentah dan olahan) untuk industri, bahan baku untuk industri, serta bahan bakar untuk mesin industri.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 10
Grafik 1.17 Impor Nonmigas Riil
Secara sektoral, melambatnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2014 bersumber dari lebih rendahnya pertumbuhan sektor industri pengolahan dan sektor nontradables (Tabel 1.2). Sektor industri pengolahan tumbuh melambat seiring melemahnya permintaan domestik dan terbatasnya kinerja ekspor. Perlambatan terutama terjadi pada subsektor makanan, minuman, dan tembakau, subsektor kimia, dan subsektor semen. Sektor bangunan juga mengalami kontraksi karena perilaku wait and see pelaku usaha untuk berinvestasi pasca Pemilu. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh melambat karena tertahannya kegiatan perdagangan internasional dan berkurangnya efek Pemilu dari triwulan sebelumnya. Meskipun masih tumbuh tinggi, sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya seiring berakhirnya masa kampanye pemilu. Sementara itu, perlambatan pada sektor keuangan, persewaan, dan jasa terjadi seiring melambatnya pertumbuhan kredit. Di sisi lain, sektor pertanian dan pertambangan tumbuh meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan di sektor pertanian bersumber dari meningkatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan (tabama) terutama jagung dan kedelai. Sektor pertambangan yang mengalami kontraksi pada triwulan I dan II 2014 karena terhambatnya ekspor mineral kembali tumbuh positif pasca penerapan UU minerba. Tabel 1.2 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha (%,yoy) Sektor
2013 I
II
III
IV
Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan
3.7
3.3
3.3
3.8
Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan
0.1 6.0 7.9 6.8 6.5 9.6 8.2
(0.6) 6.0 4.0 6.6 6.4 10.9 7.7
2.0 5.0 3.8 6.2 6.1 9.9 7.6
3.9 5.3 6.6 6.7 4.8 10.3 6.8
I
2014 II
III
3.5
3.2
3.4
3.7
1.3 5.6 5.6 6.6 5.9 10.2 7.6
(0.4) 5.1 4.8 6.7 4.8 10.2 6.1
(0.3) 5.0 8.1 6.4 4.5 9.8 6.2
0.3 4.6 6.2 6.3 4.2 9.0 6.0
2013
Jasa-jasa
6.5
4.5
5.6
5.3
5.5
5.7
5.7
6.5
PDB
6.0
5.8
5.6
5.7
5.8
5.2
5.1
5.0
Sumber : BPS
Secara regional, perlambatan ekonomi nasional terutama bersumber dari melemahnya pertumbuhan ekonomi di Sumatera. Selain Sumatera, perlambatan ekonomi nasional didorong oleh perlambatan ekonomi yang terjadi di DKI Jakarta dan kontraksi di NTB. Perlambatan ekonomi di Sumatera didorong oleh penurunan ekspor komoditas. Perekonomian DKI Jakarta juga tumbuh melambat disebabkan oleh L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 11
melambatnya sektor konstruksi. Sementara itu, NTB mengalami kontraksi pertumbuhan yang cukup signifikan akibat penurunan kinerja sektor pertambangan. Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi di wilayah KTI mengalami peningkatan sejalan dengan kembali diekspornya komoditas mineral. Sementara itu, perekonomian kawasan Jawa (selain DKI Jakarta) tumbuh relatif tinggi dan stabil sejalan dengan terus membaiknya ekspor manufaktur akibat pemulihan ekonomi AS (Gambar 1.1).
Gambar 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2014 Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2014 meningkat. Pada Agustus 2014, tingkat pengangguran tercatat sebesar 5,94%, lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Februari 2014 yakni sebesar 5,70%. Peningkatan ini didorong oleh penurunan tingkat penyerapan tenaga kerja. Penurunan serapan terjadi seiring dengan perlambatan di sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan dan jasa, serta sektor lainnya. Sementara itu, serapan tenaga kerja di sektor pertanian cenderung stabil, bahkan serapan di sektor bangunan dan perdagangan justru meningkat.
Neraca Pembayaran Indonesia
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan kinerja yang semakin baik sejalan dengan proses penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih seimbang dan berkesinambungan. Secara keseluruhan, NPI pada triwulan III 2014 mengalami surplus 6,5 miliar dolar AS, meningkat dari 4,3 miliar dolar AS pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.18). Peningkatan surplus NPI terutama didorong oleh defisit transaksi berjalan yang menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan surplus NPI tersebut pada gilirannya mendorong kenaikan posisi cadangan devisa dari 107,7 miliar dolar AS pada akhir triwulan II 2014 menjadi 111,2 miliar dolar AS pada akhir triwulan III 2014. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang luar negeri Pemerintah selama 6,3 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional. Pada Oktober 2014, posisi cadangan devisa kembali meningkat menjadi 112,0 miliar dolar AS (Grafik 1.19).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 12
Grafik 1.18 Neraca Pembayaran Indonesia
Grafik 1.19 Perkembangan Cadangan Devisa
Defisit transaksi berjalan yang menurun ditopang oleh kebijakan stabilisasi yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. Defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 6,8 miliar dolar AS (3,07% PDB), lebih rendah dibandingkan dengan defisit 8,7 miliar dolar AS (4,06% PDB) pada triwulan II 2014 dan defisit pada periode yang sama tahun 2013 sebesar 8,6 miliar dolar AS (3,89% PDB) (Grafik 1.20). Perbaikan kinerja transaksi berjalan tersebut terutama didukung oleh neraca perdagangan barang yang kembali surplus seiring dengan meningkatnya surplus neraca perdagangan nonmigas, di tengah defisit neraca perdagangan migas yang tetap besar (Grafik 1.21). Meningkatnya surplus neraca nonmigas dibandingkan triwulan sebelumnya terutama didorong oleh menurunnya impor nonmigas, khususnya impor bahan baku, sejalan dengan moderasi permintaan domestik. Secara tahunan, impor nonmigas pada triwulan III 2014 masih terkontraksi 2,7%. Ekspor produk primer yang meningkat, antara lain karena mulai pulihnya ekspor mineral pascakeluarnya izin ekspor mineral mentah, juga memberikan kontribusi terhadap perbaikan surplus nonmigas, meskipun ekspor nonmigas secara keseluruhan masih mencatat penurunan. Meskipun secara triwulanan menurun, namun secara tahunan ekspor nonmigas pada triwulan III 2014 kembali tumbuh positif 3,1% setelah dalam dua tahun terakhir mengalami penurunan. Pertumbuhan ekspor nonmigas tersebut ditopang oleh kenaikan harga ekspor dan perbaikan permintaan ekspor, terutama minyak nabati dan produk manufaktur. Seiring dengan berlanjutnya pemulihan AS, beberapa produk ekspor manufaktur mengalami peningkatan seperti TPT, barang dari logam, makanan olahan, dan kendaraan & bagiannya. Di sisi migas, besarnya defisit neraca perdagangan migas pada triwulan III 2014 dipengaruhi oleh masih tingginya impor migas, di tengah ekspor minyak yang menurun seiring dengan turunnya harga minyak dunia. Selain itu, berkurangnya tekanan defisit transaksi berjalan dipengaruhi oleh pola musiman defisit neraca jasa dan pendapatan primer yang lebih rendah.
Grafik 1.20 Neraca Transaksi Berjalan
Grafik 1.21 Neraca Perdagangan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 13
Sementara itu, kepercayaan investor yang masih positif terhadap prospek ekonomi Indonesia mendorong aliran masuk modal asing yang tetap kuat. Pada triwulan III 2014, surplus transaksi modal dan finansial mencapai 13,7 miliar dolar AS, terutama didukung aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi langsung dan penarikan pinjaman luar negeri korporasi (Grafik 1.22). Di sisi lain, aliran masuk investasi portofolio tercatat lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh faktor sentimen, baik yang bersumber dari eksternal maupun domestik. Selain itu, penempatan simpanan swasta domestik di luar negeri juga meningkat. Secara keseluruhan, surplus transaksi modal dan finansial triwulan III 2014 tercatat masih cukup besar dan dapat membiayai sepenuhnya defisit transaksi berjalan, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan surplus triwulan II 2014 sebesar 14,3 miliar dolar AS.
Grafik1.22. Neraca Transaksi Modak dan Finansial
Nilai Tukar Rupiah Rupiah mengalami pelemahan terutama dipengaruhi oleh sentimen global. Pada triwulan III 2014, rupiah secara rata-rata melemah 1,2% (qtq) ke level Rp11.770 per dolar AS. Secara point-to point, rupiah juga mencatat pelemahan sebesar 2,71% ke level Rp12.185 per dolar AS (Grafik 1.23). Tekanan terhadap rupiah dipengaruhi oleh baik faktor eksternal maupun internal. Tekanan eksternal dipicu oleh kekhawatiran terhadap normalisasi kebijakan The Fed, dinamika geopolitik, dan perlambatan ekonomi global. Tekanan eksternal tersebut dialami oleh mata uang di negara kawasan, termasuk Indonesia (Grafik 1.24). Sementara dari faktor internal, pelemahan rupiah dipengaruhi oleh perilaku investor yang menunggu pembentukan kabinet baru dan program kerja pemerintah ke depan. Tekanan depresiasi rupiah pada triwulan III 2014 tercermin pada beberapa indikator eksternal seperti VIX Index dan CDS yang meningkat (Grafik 1.25). Namun demikian, volatilitas nilai tukar rupiah masih terjaga, lebih rendah dibandingkan Lira Turki, Real Brasil, dan Rand Afrika Selatan (Grafik 1.26). Tekanan depresiasi rupiah berlanjut pada bulan Oktober 2014. Rupiah secara ratarata melemah 2,01% (mtm) ke level Rp12.142 per dolar AS, namun secara point-to-point menguat 0,83% dan ditutup pada level Rp12.085 per dolar AS. Berlanjutnya depresiasi ini dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran atas perlambatan ekonomi global. Ke depan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 14
Grafik 1.23 Nilai Tukar Rupiah
Grafik 1.25 VIX & CDS
Grafik 1.24 Nilai Tukar Kawasan
Grafik 1.26 Volatilitas Nilai Tukar – Peer Group
Inflasi Inflasi terjaga dan berada dalam tren yang menurun sehingga mendukung prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1%. Inflasi triwulan III 2014 tercatat 4,53% (yoy), menurun dibandingkan 6,70% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Inflasi yang tetap terjaga tersebut didukung oleh inflasi inti dan volatile food yang terkendali. Terkendalinya Inflasi inti didukung oleh penurunan harga komoditas global, permintaan yang moderat dan ekspektasi inflasi yang terjaga. Sementara itu, inflasi volatile food juga tercatat relatif rendah, seiring dengan tercukupinya pasokan pangan. Sebaliknya, inflasi administered prices meningkat terutama didorong oleh kenaikan TTL RT dan LPG 12 kg. Inflasi yang terkendali berlanjut pada bulan Oktober 2014, meskipun mencatat kenaikan menjadi 4,83% (yoy). Tren penurunan tekanan inflasi pada triwulan III 2014 antara lain ditopang oleh inflasi volatile food yang tercatat relatif rendah. Inflasi kelompok volatile food pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 4,21% (yoy), lebih rendah dibandingkan inflasi triwulan II 2014 yang sebesar 6,74% (yoy) (Grafik 1.27). Penurunan inflasi tersebut terutama didorong oleh cukup tingginya pasokan bahan pangan dan relatif lancarnya distribusi. Harga komoditas aneka bawang yang terkoreksi mendorong turunnya inflasi, seiring melimpahnya pasokan akibat pola musim panen raya yang berlangsung di sentra-sentra produksi. Sementara itu, harga beras pada triwulan ini relatif terkendali sejalan dengan prakiraan tercukupinya pasokan beras di akhir musim gadu. Selain itu, mundurnya El Nino ke triwulan IV juga turut mendukung terjaganya inflasi volatile food di triwulan III ini.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 15
Pada Oktober 2014, inflasi volatile food meningkat meski masih terkendali. Inflasi volatile food meningkat menjadi 0,24% (mtm) dibandingkan bulan sebelumnya (Grafik 1.28). Peningkatan tersebut didorong oleh naiknya harga cabai akibat terjadinya kekeringan di beberapa wilayah sentra produksi (Jawa Barat, Jawa Timur dan D.I. Yogyakarta). Selain itu, naiknya harga beras yang didorong oleh kekeringan di beberapa sentra produksi beras (antara lain Jawa Timur dan D.I. Yogyakarta) serta meningkatnya permintaan dari luar Jawa juga turut menyumbang kenaikan inflasi volatile food. Ke depan, pemerintah akan melakukan impor secara bertahap hingga akhir tahun untuk mengantisipasi kenaikan harga beras yang lebih tinggi. Di sisi lain, inflasi volatile food yang lebih tinggi tertahan karena adanya koreksi harga yang terjadi pada daging ayam ras dan telur ayam ras seiring melimpahnya pasokan dan menurunnya permintaan konsumen akan komoditas tersebut. Selain itu, harga minyak goreng juga terkoreksi didorong oleh menurunnya harga CPO dunia.
Grafik 1.27 Perkembangan Inflasi Tahunan
Grafik 1.28 Pola Inflasi/Deflasi Volatile Food
Penurunan inflasi pada triwulan III 2014 juga ditopang oleh terkendalinya inflasi inti sejalan dengan menurunnya tekanan eksternal dan domestik. Inflasi inti pada triwulan III 2014 tercatat 4,04% (yoy), menurun bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 4,81% (yoy). Penurunan tekanan eksternal terutama didorong oleh penurunan harga global, di tengah tekanan pelemahan rupiah di akhir triwulan III 2014. Dari domestik, meski sempat meningkat akibat permintaan musiman lebaran dan tahun ajaran baru, secara fundamental tekanan permintaan melambat sejalan menurunnya aktivitas perekonomian. Selain itu, ekspektasi inflasi pada triwulan III juga masih terkendali. Terkendalinya inflasi inti berlanjut hingga Oktober 2014. Penurunan tersebut sejalan dengan kegiatan ekonomi domestik yang tumbuh moderat di tengah meningkatnya tekanan inflasi dari sisi eksternal. Menurunnya tekanan permintaan domestik tercermin dari menurunnya realisasi inflasi inti nontraded pada kelompok pangan maupun nonpangan menjadi 0,26% (mtm) dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 0,42% (mtm). Melambatnya inflasi inti nontraded pada kelompok pangan seiring dengan kembali normalnya permintaan pasca musim Idul Adha. Sementara itu, perlambatan inflasi inti nontraded pada kelompok nonpangan terutama didorong oleh menurunnya inflasi di jasa pendidikan seiring berlalunya tahun ajaran baru (Grafik 1.29). Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi ekternal meningkat. Hal ini seiring berlanjutnya depresiasi rupiah dan harga komoditas global yang sedikit meningkat. Secara rata-rata bulanan, nilai tukar rupiah melemah sebesar 2,05% (mtm) dari Rp11.897 (September) menjadi Rp12.141 (Oktober). Pada sisi lain, harga komoditas global sedikit meningkat, terindikasi dari Indeks Harga Imported Inflation (IHIM) meningkat tipis sebesar 0,05% (mtm). Peningkatan tersebut didorong oleh naiknya harga komoditas pangan (gula, jagung, dan gandum) akibat L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 16
tertundanya panen di Amerika Serikat. Sebaliknya, koreksi harga terjadi pada kelompok nonpangan, terutama emas. Koreksi harga emas tersebut ditransmisikan pada harga emas perhiasan domestik. Jika emas dikeluarkan, inflasi inti traded tercatat masih cukup rendah yaitu 0,29% (mtm), sedikit meningkat dari bulan sebelumnya, yakni 0,22% (mtm) (Grafik 1.30).
Grafik 1.29 Inflasi Pendidikan
Grafik 1.30 Inflasi Inti Traded dan Faktor Eksternal
Terdapat indikasi meningkatnya ekspektasi inflasi terkait rencana kenaikan harga BBM. Hal ini tercermin dari meningkatnya ekspektasi inflasi pedagang eceran pada akhir tahun 2014 sejalan dengan menguatnya kekhawatiran naiknya harga BBM (Grafik 1.31). Selain itu, indikasi kenaikan ekspektasi inflasi juga tercermin di sektor keuangan (Grafik 1.32).
Grafik 1.31 Ekspektasi Harga Pedagang Eceran
Grafik 1.32 Ekspektasi Harga Konsumen
Sementara itu, tekanan dari inflasi administered prices meningkat terutama didorong oleh kenaikan TTL RT dan LPG 12 kg. Dampak kenaikan TTL kelompok Rumah Tangga (R-2 dan R-1) tahap I (1 Juli 2014) dan tahap II (1 September 2014) serta penyesuaian tarif untuk golongan R-3 (>6600VA) mendorong tingginya sumbangan inflasi tarif listrik yakni mencapai 0,25% (Grafik 1.33). Selain itu, peningkatan permintaan musiman menjelang hari raya mendorong kenaikan tarif kelompok transportasi seperti angkutan antar kota dan angkutan udara. Tekanan dari inflasi administered prices berlanjut pada Oktober 2014 yang tercatat sebesar 7,57% (yoy), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 6,53% (yoy). Tekanan tersebut terutama bersumber dari kenaikan TTL tahap kedua dan dampak lanjutan meningkatnya harga LPG 12 kg yang memicu kelangkaan serta naiknya harga LPG 3 kg seiring meningkatnya permintaan yang tidak diimbangi kecukupan pasokan. Selain itu, tekanan harga administered prices juga bersumber dari kenaikan tarif angkutan udara (Tabel 1.3).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 17
Tabel 1.3. Penyumbang Inflasi Administered Prices
Grafik 1.33. Kenaikan dan Sumbangan TTL RT 2014 Secara spasial, tekanan inflasi pada triwulan III di berbagai daerah relatif terkendali. Hal ini didukung oleh rendahnya inflasi volatile food seiring tercukupinya pasokan pangan ditengah meningkatnya permintaan pada perayaan hari besar keagamaan. Meski demikian, beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, Banten, dan Kalimantan Barat mencatat tingkat inflasi yg cukup tinggi yakni di kisaran 6 % (yoy), sebagai dampak kebijakan kenaikan TTL dan LPG 12 kg. Laju inflasi tahunan (yoy) di berbagai daerah mengalami kenaikan pada Oktober 2014 sebagai dampak lanjutan dari kenaikan TTL dan LPG 12 kg. Selain itu, tekanan inflasi juga bersumber dari meningkatnya inflasi kelompok volatile food, seiring dengan masuknya masa tanam di tengah kondisi kekeringan akibat kemarau panjang. Beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, mencatat inflasi di atas rata-rata nasional (4,83%), yaitu sekitar 6-7%. Sebaliknya, beberapa daerah lain, seperti Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Timur, mengalami inflasi di bawah rata-rata nasional, yaitu pada kisaran 3,3-4,6%. (Gambar 1.2).
Inflasi Nasional: 0,47%
Gambar 1.2. Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm)
Ke depan, kenaikan UMP diperkirakan berdampak relatif terbatas terhadap inflasi. Sampai dengan minggu I November, kenaikan UMP di 11 provinsi diperkirakan mencapai 10,94% (weighted average), lebih rendah dari tahun sebelumnya yang hampir mencapai 15%. Di tahun 2014, terdapat 16 provinsi yang menetapkan UMP melebihi nilai KHL (kebutuhan hidup layak), sementara beberapa daerah lainnya masih menetapkan UMP dibawah KHL, dengan rata-rata rasio sekitar 84%. Kenaikan KHL yang lebih tinggi L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 18
dibanding dengan kenaikan inflasi IHK akibat tingginya porsi kelompok makanan dalam KHL (Grafik 1.34). Meskipun demikian, dampak kenaikan UMP terhadap inflasi diperkirakan relatif terbatas. Hal ini terindikasi dari besaran kenaikan UMP yang tidak tertransmisikan secara penuh pada upah sektor industri karena level upah nominal yang telah melebihi UMP (Grafik 1.35). Selain itu,dampak kenaikan UMP terhadap upah di sektor informal bangunan dan rumah tangga juga relatif terbatas.
Grafik 1.34 Perkembangan KHL dan Inflasi IHK
Grafik 1.35 Perkembangan Upah Sektor Industri dan UMP
Perkembangan Moneter Perkembangan suku bunga dan uang beredar masih sesuai dengan arah kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Selama triwulan III 2014, suku bunga PUAB relatif stabil sementara suku bunga perbankan masih dalam tren yang meningkat. Peningkatan suku bunga ini, di tengah pertumbuhan ekonomi yang mengalami perlambatan pada triwulan III 2014, kemudian mempengaruhi dinamika likuiditas perekonomian yaitu likuiditas di PUAB relatif stabil sementara likuiditas perbankan cenderung meningkat. Pasar Uang Antar Bank pada triwulan III 2014 ditandai oleh suku bunga PUAB O/N yang relatif stabil sementara rata-rata total volume PUAB relatif menurun. Hal ini menandakan kondisi likuiditas di PUAB O/N relatif stabil. Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N pada triwulan III 2014 relatif sama sebesar 5,86% dibandingkan triwulan sebelumnya. Relatif stabilnya pergerakan suku bunga PUAB O/N memicu spread PUAB O/N dengan DF O/N juga stabil sebesar 11bps, sementara spread dengan BI rate juga stabil di level 164bps, mengindikasikan tidak adanya keketatan likuiditas pada PUAB. Sedangkan rata-rata total volume PUAB relatif menurun dari Rp12,1 triliun menjadi Rp11,8 triliun sementara rata-rata volume DF O/N meningkat menjadi Rp129,4 triliun dari Rp88,5 triliun (Grafik 1.36). Volume PUAB turun dikontribusi tenor O/N yang diikuti frekuensi yang menurun dari Rp4,4 triliun menjadi Rp3,9 triliun. Sementara itu, Rata-Rata Tertimbang (RRT) suku bunga PUAB beberapa tenor relatif stabil dengan kecenderungan menurun terutama di tenor jangka panjang (Grafik 1.37).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 19
10
%, RRT suku bunga beri
1M
9 2W
8 7
1W
6
2‐4D
5
O/N Jan‐13 Feb‐13 Mar‐13 Apr‐13 May‐13 Jun‐13 Jul‐13 Aug‐13 Sep‐13 Oct‐13 Nov‐13 Dec‐13 Jan‐14 Feb‐14 Mar‐14 Apr‐14 May‐14 Jun‐14 Jul‐14 Aug‐14 Sep‐14 Oct‐14
4
Grafik 1.36 Koridor Suku Bunga Operasional Moneter
BI Rate
Grafik 1.37 RRT Suku Bunga PUAB Per Tenor
Suku bunga perbankan pada triwulan III 2014 masih dalam tren yang meningkat. Suku bunga deposito 1 bulan (1b) naik 18bps ke level 8,48% dari 8,30%, sementara RRT suku bunga kredit meningkat 11bps menjadi 12,87% dari 12,76% (Grafik 1.38). Kenaikan suku bunga RRT kredit disumbang oleh kenaikan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar 15bps menjadi 12,78%. Sementara suku bunga Kredit Investasi (KI) naik sebesar 10bps menjadi 12,34%, dan suku bunga Kredit Konsumsi (KK) naik sebesar 8bps menjadi 13,38% (Grafik 1.39). Kenaikan suku bunga kredit ini sejalan dengan jalur transmisi moneter yang masih berlangsung selama triwulan III 2014. Dengan perkembangan tersebut, spread antara suku bunga kredit dan deposito 1b pada triwulan III 2014 menyempit menjadi 439bps dari 446bps seiring dengan kenaikan suku bunga deposito 1b yang lebih tinggi daripada suku bunga kredit. %
%
15
9 8 7
12.87
13
6
17
%
16 15
5
Selisih rKredit ‐ rDepo1: 439 bps
9
8.48 7
4 3 2 1
5
14 13.38 13
Jan‐05 Apr‐05 Jul‐05 Oct‐05 Jan‐06 Apr‐06 Jul‐06 Oct‐06 Jan‐07 Apr‐07 Jul‐07 Oct‐07 Jan‐08 Apr‐08 Jul‐08 Oct‐08 Jan‐09 Apr‐09 Jul‐09 Oct‐09 Jan‐10 Apr‐10 Jul‐10 Oct‐10 Jan‐11 Apr‐11 Jul‐11 Oct‐11 Jan‐12 Apr‐12 Jul‐12 Oct‐12 Jan‐13 Apr‐13 Jul‐13 Oct‐13 Jan‐14 Apr‐14 Jul‐14
Sb Kredit
Sb Dep 1 bln
BI rate
Sb LPS
Grafik 1.38 Spread Suku Bunga Perbankan
12.78
12
0
Spread‐rhs
12.87
11
12.34
Data Per Sep 2014 Jan‐08 Mar‐08 May‐08 Jul‐08 Sep‐08 Nov‐08 Jan‐09 Mar‐09 May‐09 Jul‐09 Sep‐09 Nov‐09 Jan‐10 Mar‐10 May‐10 Jul‐10 Sep‐10 Nov‐10 Jan‐11 Mar‐11 May‐11 Jul‐11 Sep‐11 Nov‐11 Jan‐12 Mar‐12 May‐12 Jul‐12 Sep‐12 Nov‐12 Jan‐13 Mar‐13 May‐13 Jul‐13 Sep‐13 Nov‐13 Jan‐14 Mar‐14 May‐14 Jul‐14 Sep‐14
11
Sb. Kredit
Sb. Kredit Modal Kerja
Sb. Kredit Investasi
Sb. Kredit Konsumsi
Grafik 1.39 Suku Bunga Kredit: KMK, KI dan KK
Peningkatan suku bunga perbankan pada triwulan III 2014 berpengaruh pada dinamika pertumbuhan M2 dan M1. Pertumbuhan M2 pada triwulan III 2014 melambat menjadi 11,9% (yoy) dari 13,3% (yoy). Berdasarkan komponennya, perlambatan M2 terutama dikontribusi oleh turunnya uang kuasi yang tumbuh 12,8% (yoy) dibandingkan triwulan II 2014 yang tercatat 14,1% (yoy). Selain itu, pertumbuhan M1 yang melambat juga mempengaruhi perlambatan M2. Pertumbuhan M1 melambat menjadi 9,4% (yoy) pada triwulan III 2014 dari 10,2% (yoy) dipengaruhi turunnya giro Rupiah. Pertumbuhan giro Rp melambat menjadi 9,1% (yoy) dari 10,3% (yoy), sementara uang kartal (Currency Outside Banks/COB) sedikit melambat menjadi 9,8% (yoy) dari 9,9% (yoy) (Grafik 1.40 dan Grafik 1.41).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 20
25
%yoy, kontribusi
M1
Uang Kuasi
M2
20 15 10 5 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2010
2011
2012
2013
2014
Grafik 1.40 Pertumbuhan M2 dan Komponennya
Grafik 1.41 Pertumbuhan M1 dan Komponennya
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, turunnya Aktiva Luar Negeri Bersih/Net Foreign Assets menjadi faktor utama penurunan M2 di tengah Aktiva Dalam Negeri Bersih/Net Domestic Assets yang cenderung meningkat. Pertumbuhan NFA melambat menjadi 14,6% (yoy) dari 29,2% (yoy), sedangkan NDA justru meningkat dari 8,1% (yoy) menjadi 10,5% (yoy). Penurunan NFA disumbang oleh penurunan cadangan devisa bank sentral dan meningkatnya kewajiban (net) bank umum kepada nonresiden (NR), sedangkan peningkatan NDA disebabkan meningkatnya tagihan ke Pemerintah Pusat (Pempus) (Grafik 1.42).
Grafik 1.42 Pertumbuhan M2 dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Industri Perbankan Stabilitas sistem keuangan masih solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat. Kinerja pasar keuangan relatif terjaga didukung oleh kinerja pasar modal yang relatif baik selama triwulan III 2014 dan peningkatan yield SBN di seluruh tenor secara triwulanan. Laju pertumbuhan kredit melambat disumbang oleh Kredit Modal Kerja (KMK). Per triwulan III 2014, pertumbuhan kredit melambat menjadi 13,2% (yoy) dari 17,2% (yoy); atau tumbuh 8,2% (ytd). Perlambatan laju kredit masih disumbang oleh kredit KMK yang memiliki pangsa 48,0%, (sedangkan pangsa KI dan KK masing-masing sebesar 24,5% dan 27,5%). Berdasarkan penggunaannya; pertumbuhan kredit jenis KMK dan KI turun masingmasing menjadi 13,3% (yoy) dan 16,4% (yoy) dari 17,3% (yoy) dan 22,5% (yoy) pada L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 21
triwulan II 2014. Sedangkan pertumbuhan kredit jenis KK juga turun menjadi 10,1% (yoy) dari 12,7% (yoy) (Grafik 1.43). Secara sektoral, sektor perdagangan masih memiliki pangsa terbesar dari total kredit yang mencapai 22% dan diikuti industri pengolahan yang memiliki pangsa 18%. Melambatnya ekspansi kredit perbankan dikontribusi oleh sektor industri pengolahan dan perdagangan. Sektor industri pengolahan tumbuh melambat menjadi 16,1% (yoy) dari 24,9% (yoy), sedangkan pertumbuhan kredit sektor perdagangan juga melambat menjadi 13,9% (yoy) dari 18,3% (yoy) (Grafik 1.44). 44
%
% yoy
Total
KMK
KI
KK
12
Sep‐14 (Pangsa %)
BI Rate (RHS)
37
11
30
10 9
16
8
9
7
Jun‐14
11.2 13.9
19.5 14.3
Jasa Sosial ‐1.0 6.2
Jasa Dunia Usaha 23
Sep‐14
Lainnya
Pengangkutan
18.2 28.6
Perdagangan
13.9 18.3
Konstruksi Listrik, Air dan Gas Industri Pengolahan
6
2
Jun‐14
5
Pertanian
Sep‐14
Dec‐13
Mar‐14
Jun‐13
Sep‐13
Dec‐12
Mar‐13
Jun‐12
Sep‐12
Dec‐11
Mar‐12
Jun‐11
Sep‐11
Dec‐10
Mar‐11
Jun‐10
Sep‐10
Mar‐10
17.1 7.0
Pertambangan
Per September 2014
‐5
21.1 19.5
‐10
%
Grafik 1.43. Pertumbuhan Kredit Menurut Penggunaan
0
10
20
18.7 17.5 16.1 24.9 21.7 25.4
30
40
Grafik 1.44. Pertumbuhan Kredit Menurut Sektor Ekonomi
Pertumbuhan DPK sedikit melambat dipicu oleh penurunan Current Account Savings Account (CASA) yang terdiri dari giro dan tabungan. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan giro dan tabungan melambat menjadi 7,0% (yoy) dan 7,1% (yoy) dari 10,2% (yoy) dan 9,5% (yoy). Sementara pertumbuhan deposito meningkat menjadi 21,4% (yoy) dari 18,5% (yoy). Dengan demikian, perlambatan pertumbuhan DPK dikontribusi oleh penurunan pangsa giro dan tabungan (CASA) yang turun menjadi 53,1% pada triwulan III 2014 dari 54,2% pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.45). Meskipun melambat dibandingkan triwulan II 2014, pertumbuhan DPK pada September 2014 meningkat dibandingkan bulan sebelumnya dan tercatat sebesar 13,32% (yoy). Hal ini seiring dengan operasi keuangan pemerintah yang ekspansif. Sejalan dengan hal tersebut, kondisi likuiditas perbankan pada triwulan III 2014 relatif terjaga. 30
%, yoy
DPK (RHS) Tab (Pangsa: 30.2%)
25
Giro (Pangsa 22.9%) Depo (Pangsa 46.9%)
25
20
20 15 15 10 10 5
5 Per Sep 2014 Jun‐14
Sep‐14
Dec‐13
Mar‐14
Jun‐13
Sep‐13
Dec‐12
Mar‐13
Jun‐12
Sep‐12
Dec‐11
Mar‐12
Jun‐11
Sep‐11
Dec‐10
Mar‐11
Jun‐10
Sep‐10
‐ Mar‐10
‐
Grafik 1.45. Pertumbuhan DPK
Kondisi perbankan masih cukup terjaga di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kredit seperti tercermin pada beberapa indikator kinerja perbankan. Pada triwulan III 2014, ketahanan permodalan masih cukup memadai dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 19,44%. Sementara itu, dari sisi profitabilitas, ROA perbankan masih cukup baik sebesar 2,81% meski mengalami penurunan dibanding triwulan sebelumnya. (Tabel 1.4). L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 22
Tabel 1.4 Kondisi Umum Perbankan Ringkasan Indikator Industri Perbankan Indikator Utama
Total Aset (T Rp) DPK (T Rp) Kredit (T Rp) LDR (%) NPLs Gross (%) CAR (%) NIM (NII/AP) (%) ROA (%) BOPO (%) Jumlah Bank
Dec-12
Dec-13
Mar-14
Jun-14
Sep-14
4,262.6 3,225.2 2,707.9 83.96 1.87 17.32 5.49 3.08 74.15 120
4,954.5 3,664.0 3,292.9 89.87 1.77 18.36 4.89 3.08 74.03 120
4,933.0 3,618.1 3,306.9 91.40 2.00 19.83 4.28 2.94 77.68 119
5,198.0 3,834.5 3,468.2 90.45 2.16 19.40 4.22 2.95 75.66 119
5,418.8 3,995.8 3,561.3 89.13 2.29 19.44 4.21 2.81 76.24 119
Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara Perkembangan pasar saham domestik selama triwulan III 2014 menunjukkan kinerja positif seiring dengan perbaikan data ekonomi domestik. Kinerja IHSG triwulan III 2014 mencapai level 5.137,58 (30 September 2014) atau naik sebesar 5,3% (yoy) dibandingkan triwulan II 2014 sebesar 4.878,58. Penguatan dipicu oleh euforia pasca pengumuman hasil perhitungan pemilihan Presiden oleh KPU yang sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar, rilis data ekonomi domestik yang membaik, komitmen pemerintah baru membenahi kebijakan energi bersubsidi, serta confidence investor terhadap kepastian politik. Sementara penguatan dari global dipicu oleh peningkatan stimulus moneter oleh bank sentral China dan hasil FOMC meeting the Fed yang tetap mempertahankan kebijakan suku bunga rendah. Kinerja IHSG ini masih di atas kinerja bursa saham Malaysia, Singapura dan Vietnam, meski masih di bawah kinerja bursa saham Philipina dan Thailand (Grafik 1.46). Sementara perkembangan terkini pada Oktober 2014 menunjukkan sedikit pelemahan di bursa saham. Kinerja IHSG Oktober 2014 mencapai level 5.089,55 (31 Oktober 2014) atau turun sebesar 1,3% (yoy) dibandingkan September 2014 sebesar 5.137,58. Pelemahan dipicu kekhawatiran pelaku pasar terhadap dinamika politik di parlemen, ekspektasi inflasi yang meningkat akibat rencana kenaikan harga BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah. Pelemahan ini juga disebabkan sentimen global terkait dinamika politik di Hongkong, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed dan meningkatnya ketegangan di Ukraina (Grafik 1.47).
Grafik 1.46. IHSG dan Indeks Bursa Global Triwulan III 2014
Grafik 1.47. IHSG dan Indeks Bursa Global Oktober 2014
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 23
Kinerja positif pasar saham juga dipengaruhi perilaku investor asing. Sepanjang triwulan III 2014, investor asing masih membukukan net beli. Pada triwulan III 2014, positifnya kondisi ekonomi global dan optimisme investor terhadap perekonomian domestik mendorong investor asing menambah kepemilikannya di pasar saham, investor asing mengalami net beli sebesar Rp4,35 triliun meski lebih rendah dibandingkan triwulan II 2014 yang mengalami net beli sebesar Rp19,50 triliun. Sampai dengan triwulan III 2014 posisi kepemilikan saham oleh nonresiden sebesar 65% dan lokal sebesar 35% (Grafik 1.48). Secara bulanan, investor asing membukukan net jual sebesar Rp3,20 triliun dibanding bulan September 2014 yang membukukan net jual sebesar Rp7,40 triliun yang dipicu oleh ketidakpastian kondisi global dan sikap wait and see investor terhadap perkembangan politik domestik (Grafik 1.49). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10%
Residen Resident
Nonresiden Non Resident
0% 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 2011
2012
2013
2014
Grafik 1.48. Porsi Kepemilikan Saham Nonresiden
Grafik 1.49. Kinerja IHSG dan Net Beli/Jual Asing
Perkembangan di pasar Surat Berharga Negara (SBN) secara triwulanan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Yield SBN di seluruh tenor. Peningkatan yield dipicu oleh pelemahan nilai tukar rupiah akibat perilaku investor yang menunggu pembentukan kabinet baru dan program kerja pemerintah ke depan, serta sentimen negatif global dari ketegangan politik di Hongkong. Secara keseluruhan, selama triwulan III 2014 yield meningkat sebesar 31bps menjadi 8,37% dibanding triwulan II 2014 sebesar 8,06%. Yield jangka pendek, menengah dan panjang meningkat masing-masing sebesar 36bps, 34bps dan 19bps menjadi sebesar 7,76%, 8,42% dan 9,06%. Perkembangan terkini pasar SBN pada Oktober 2014 menunjukkan bahwa yield SBN menurun di seluruh tenor. Penurunan yield dipicu oleh sentimen positif kepemimpinan Presiden baru. Sementara sentimen positif dari eksternal antara lain penambahan stimulus ECB serta rilis PMI Cina yang lebih baik dari ekspektasi. Secara keseluruhan selama bulan Oktober 2014, yield menurun sebesar 30,78bps menjadi 7,95% dibanding September-2014 sebesar 8,37%. Yield jangka pendek, menengah dan panjang menurun masing-masing sebesar 30,78bps, 43,83bps dan 51,47bps menjadi sebesar 7,45%, 7,99% dan 8,55% (Grafik 1.50). Pelemahan harga SBN yang diikuti peningkatan yield SBN dimanfaatkan pelaku nonresiden untuk terus menambah kepemilikannya di pasar SBN. Selama triwulan III 2014, investor asing membukukan net beli sebesar Rp43,79 triliun, lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2014 sebesar Rp42,68 triliun. Selama periode yang sama, kepemilikan SBN oleh bank, asing, asuransi dan dana pensiun mengalami peningkatan, sehingga proporsi kepemilikan SBN oleh BI menurun. Investor asing melakukan pembelian SBN di seluruh tenor, sehingga jumlah kepemilikan asing di SBN pada triwulan III 2014 meningkat menjadi 36,17% dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 34,51%. Selama Oktober 2014, investor asing masih membukukan net beli Rp12,49 triliun dibandingkan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 24
bulan September 2014 sebesar Rp13,17 triliun. Sementara itu, selama bulan Oktober 2014 kepemilikan SBN oleh Asing, BI, dan Dana Pensiun mengalami peningkatan, sementara kepemilikan SBN oleh bank dan asuransi menurun. Investor asing melakukan pembelian SBN di tenor menengah dan panjang, sehingga jumlah kepemilikan asing di SBN pada Oktober 2014 meningkat menjadi 36,74% dibandingkan bulan September 2014 sebesar 36,17% (Grafik 1.51).
Grafik 1.50. Perubahan Yield Bulanan (mtm)
Grafik 1.51. Yield SBN dan Net Jual/Beli Asing Bulanan
Pembiayaan Non Bank Pembiayaan ekonomi non bank tetap terjaga meski lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Total pembiayaan pada triwulan III 2014 melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes, promissory notes dan lembaga keuangan lainnya mencapai Rp9,0 triliun. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2013 yang mencapai Rp3,6 triliun. Namun demikian, total pembiayaan sampai dengan triwulan III 2014 sebesar Rp73,2 triliun, lebih kecil dibanding triwulan III 2013 sebesar Rp78,2 triliun. Perkembangan pada Oktober 2014 menunjukkan bahwa total pembiayaan melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes, promissory notes dan lembaga keuangan lainnya mencapai Rp9,6 triliun, lebih tinggi dibandingkan Oktober 2013 yang mencapai Rp9,0 triliun. Berdasarkan komponennya, pembiayaan nonbank pada Oktober 2014 masih didominasi oleh obligasi yakni sebanyak Rp4,0 triliun (Tabel 1.5). Tabel 1.5 Pembiayaan Non Bank
Rp Triliun Okt Q1 Nonbank 9.0 16.3 Saham 6.6 2.8 o/w Emiten sektor keuangan 3.5 0.3 Obligasi 2.1 12.7 o/w Emiten sektor keuangan 2.1 9.9 MTN and Promissory Notes + NCD 0.3 0.8 o/w Emiten sektor keuangan 0.3 0.7 Sumber: OJK dan BEI (diolah)
2013 2014 Q2 Q3 Q4 Total Okt Q1 Q2 Q3 Total 58.3 3.6 34.7 112.9 9.6 23.2 41.1 9.0 82.8 29.3 2.8 22.7 57.5 2.5 8.8 21.3 0.9 33.4 6.0 1.2 9.1 16.6 0.0 3.1 4.3 0.1 7.6 27.7 0.3 9.9 50.5 4.0 12.8 16.0 6.7 39.4 13.5 0.0 7.5 30.8 4.0 6.4 8.2 2.3 20.9 1.3 0.6 2.2 4.9 3.1 1.6 3.8 1.4 10.0 1.3 0.1 1.1 3.2 1.3 1.2 3.2 1.2 7.0
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 25
Perkembangan Sistem Pembayaran Perkembangan sistem pembayaran pada kelompok uang tunai secara umum sejalan dengan perkembangan ekonomi domestik, khususnya dari sektor konsumsi rumah tangga. Rata-rata harian Uang Kartal yang Diedarkan (UYD) pada triwulan III 2014 adalah sebesar Rp491,3 triliun atau tumbuh 12,6% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 13,9% (yoy) namun meningkat dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 11,1% (yoy). Perkembangan UYD ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan Produk Domestik Bruto pada triwulan laporan (Grafik 1.52). Rp triliun 600
20% 16.6%16.1%16.4% 18% 15.6% 16% 14.2% 13.4%13.2%13.9% 12.7% 12.6% 14% 11.1% 12%
18.2% 17.4% 16.8% 16.3%
500 400 300
10% 8%
200
6% 4%
100
2% 0
0% Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III Q‐IV Q‐I Q‐II Q‐III 2011
2012
Nominal (Rp. triliun)
2013
2014
Pertumbuhan (yoy)
Grafik 1.52 Perkembangan UYD (yoy) Di tengah tren pertumbuhan UYD tersebut, Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan kelayakan uang beredar. Selama triwulan III 2014, sejumlah 1,3 miliar lembar/keping Uang Tidak Layak Edar (UTLE) senilai Rp29,7 triliun telah dimusnahkan dan diganti dengan uang rupiah yang layak edar. Jumlah pemusnahan UTLE tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 1,1 miliar lembar/keping atau senilai Rp22,6 triliun. Meningkatnya pemusnahan UTLE tersebut disebabkan meningkatnya jumlah uang dalam kondisi tidak layak edar yang disetorkan oleh perbankan ke Bank Indonesia. Transaksi sistem pembayaran tetap dapat berjalan secara aman dan lancar selama triwulan III 2014. Pada triwulan III 2014 transaksi sistem pembayaran non tunai mengalami peningkatan baik dari sisi nilai maupun volume transaksi. Peningkatan nilai transaksi tercatat sebesar Rp8.742,8 triliun (QtQ naik sebesar 26,97%) dan peningkatan volume transaksi tercatat sebesar 36,12 juta transaksi (QtQ naik sebesar 3,16%) bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Tabel 1.6 dan Tabel 1.7). Pada periode laporan, peningkatan nilai transaksi terjadi pada seluruh kelompok transaksi terutama transaksi moneter. Di lain pihak, peningkatan volume transaksi lebih disebabkan oleh meningkatnya transaksi masyarakat melalui instrumen non tunai seiring dengan perayaan Hari Raya keagamaan dan pelaksanaan pemilihan umum Presiden 2014.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 26
Tabel 1.6 Perkembangan Nilai Sistem Pembayaran Non Tunai Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai BI‐RTGS BI‐SSSS Kliring APMK Kartu Kredit Kartu ATM dan ATM/Debet Uang Elektronik Total
2013 Q I 18,778.31 4,939.05 547.87 901.67 51.09 850.58 0.59 25,167.48
Q II 21,410.40 5,299.70 605.70 989.60 55.23 934.38 0.68 28,306.07
Q III 26,369.50 8,259.90 680.80 1,039.40 57.08 982.36 0.90 36,350.55
Q IV 24,403.80 8,233.40 708.00 1,073.90 59.62 1,014.28 0.74 34,419.79
Q I 23,817.80 7,173.60 667.80 1,082.20 59.78 1,022.42 0.73 33,860.26
Nilai (Rp Triliun) 2014 Q II Q III 24,150.40 29,866.56 6,396.90 9,366.77 710.70 716.36 1,158.52 1,208.91 63.65 64.41 1,094.87 1,144.50 0.83 0.86 32,417.39 41,159.47
Selaras dengan peningkatan nilai dan volume transaksi sistem pembayaran non tunai pada triwulan III 2014, transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS juga mengalami peningkatan baik dari sisi nilai maupun volume. Ketersediaan sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sebagai setelmen dana, BI-SSSS sebagai setelmen surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia, serta SKNBI mencapai 100% pada triwulan III 2014. Nilai transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS meningkat sebesar Rp5.716,17 triliun (QtQ naik sebesar 23,67%) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp24.150,39 triliun menjadi sebesar Rp29.866,56 triliun. Sementara volume transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS meningkat sebesar 48,60 ribu (QtQ naik sebesar 1,09%) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 4,47 juta transaksi menjadi sebanyak 4,52 juta transaksi. Tabel 1.7 Perkembangan Volume Sistem Pembayaran Non Tunai Transaksi Sistem Pembayaran Non Tunai BI‐RTGS BI‐SSSS Kliring APMK Kartu Kredit Kartu ATM dan ATM/Debet Uang Elektronik Total
2013 Q I 4,250.03 34.16 24,341.27 840,748.93 56,730.85 784,018.08 30,728.04 900,102.43
Q II 4,498.99 34.16 25,946.38 917,524.30 59,557.75 857,966.56 34,259.61 982,263.43
Q III 4,263.52 28.52 26,270.70 945,361.63 61,329.42 884,032.21 35,850.06 1,011,774.42
Q IV 4,621.03 35.13 27,751.07 987,952.48 61,543.89 926,408.60 37,063.07 1,057,422.79
Q I 4,526.01 32.92 25,179.21 992,728.89 61,867.08 930,861.82 36,827.86 1,059,294.88
Volume (Ribu) Volume (Thousand) 2014 Q II Q III 4,471.34 4,519.95 38.69 35.57 26,786.05 27,102.83 1,068,963.66 1,099,594.29 64,241.35 63,045.29 1,004,722.31 1,036,549.00 44,245.79 49,374.56 1,144,505.53 1,180,627.20
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 27
2
PROSPEK PEREKONOMIAN
Bank Indonesia memperkirakan perekonomian masih akan mengalami penyesuaian didukung dengan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan berada di batas bawah proyeksi 5,1-5,5%. Hal tersebut disebabkan oleh pertumbuhan PDB dunia yang tidak sekuat prakiraan sebelumnya dan penghematan anggaran APBNP 2014. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih lemah mengakibatkan kinerja ekspor yang tidak sekuat perkiraan sebelumnya, sementara penghematan anggaran pemerintah mendorong melambatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan kembali membaik dan berada pada kisaran 5,4-5,8%. Perbaikan itu seiring dengan perkiraan kondisi ekonomi global yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan juga diprakirakan akan meningkat. Sejalan dengan moderasi pertumbuhan ekonomi, inflasi diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi 2013 dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 2014 sebesar 4,5+1%. Inflasi Triwulan IV-2014 diperkirakan akan kembali meningkat seiring dengan asumsi nilai tukar yang lebih depresiatif, realisasi inflasi Oktober yang tinggi dan kenaikan tarif batas angkutan udara. Dengan perkembangan demikian, inflasi 2014 diperkirakan bias ke atas, namun berada di dalam target proyeksi sebelumnya sebesar 4,5±1%. Inflasi untuk 2015 diperkirakan meningkat terkait dengan penyesuaian sejumlah administered prices seperti tarif batas atas angkutan udara dan harga LPG (Maret dan Agustus 2015), serta proyeksi tingginya tekanan volatile food dan nilai tukar yang lebih terdepresiasi. Namun demikian, inflasi 2015 diperkirakan masih berada dalam kisaran target 4,0±1% Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko yang membayangi proses penyesuaian ekonomi ke depan. Dari global, risiko tersebut antara lain berkaitan dengan rencana normalisasi kebijakan The Fed, kerentanan ekonomi emerging market dan pelemahan ekonomi di sejumlah negara. Dari sisi domestik, risiko yang perlu mendapat perhatian adalah potensi tekanan inflasi akibat penyesuaian administered prices seperti harga BBM bersubsidi dan tarif tenaga listrik. Selain inflasi, risiko domestik juga muncul dari potensi pembalikan arah aliran modal (capital reversal) seiring normalisasi kebijakan the Fed dan tingginya posisi utang luar negeri.
Prospek Perekonomian Global Perekonomian global ke depan diperkirakan tetap dalam tren membaik, meskipun lebih moderat dari prakiraan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi global di 2014 dan 2015 diperkirakan masing-masing sebesar 3,3% (yoy) dan 3,6% (yoy), sedikit menurun dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,4% dan 3,8%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh optimisme terhadap ekonomi AS yang mengalami rebound di triwulan II dan III 2014 setelah mengalami perlambatan di triwulan I 2014 akibat cuaca dingin yang ekstrim. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Jepang dan Eropa direvisi ke bawah sejalan dengan perkembangan indikator terkini yang memburuk. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara berkembang secara umum juga mengalami revisi ke bawah namun tetap tinggi. Volume perdagangan dunia (world trade volume atau WTV) di tahun 2014 L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 28
diperkirakan tumbuh lebih rendah dari asumsi sebelumnya. Hal tersebut disebabkan angka realisasi semester pertama yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya terkait permasalahan geopolitik serta Tabel 2.1 cuaca dingin ekstrim di AS. Proyeksi PDB Dunia (%) Pemulihan ekonomi global Proyeksi 2013 diperkirakan terus berlanjut 2014 2015 dan didukung oleh perbaikan PDB Dunia 3.3 3.3 3.6 ekonomi negara maju. Negara Maju 1.4 1.8 2.3 Pertumbuhan ekonomi AS untuk Amerika Serikat 2.2 2.2 3.0 tahun 2014 dan 2015 masingKawasan Eropa -0.4 0.8 1.3 masing diperkirakan sebesar 2,2% Jepang 1.5 0.9 0.8 (yoy) dan 3,0% (yoy). Perbaikan Negara Berkembang 4.7 4.4 4.6 ekonomi AS tersebut sejalan Tiongkok 7.7 7.4 7.1 dengan pergerakan indikator India 4.6 5.6 6.4 produksi yang meningkat dan Negara Emerging Market Lainnya 3.1 2.7 3.0 menunjukkan indikasi rebound. Tingkat pengangguran terus Sumber: Bank Indonesia menurun ke level 5,8% sejalan dengan peningkatan pertumbuhan job openings. Sementara itu, pemulihan ekonomi Eropa masih tertahan akibat tekanan di sisi eksternal dan produksi. Pertumbuhan ekspor menurun terkait dengan berkurangnya permintaan ekspor terutama dari Tiongkok. Selain itu, potensi deflasi dan permasalahan geopolitik Rusia juga masih berlanjut. Ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh sebesar 0,8% (yoy) di 2014 dan meningkat menjadi 1,3% (yoy) di 2015. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan masih rendah disebabkan oleh pelemahan sisi produksi sejalan dengan pertumbuhan capital yang terbatas. Pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan sebesar 0,9% di 2014 dan 0,8% (yoy) di 2015 (Tabel 2.1). Berbeda dengan prospek negara maju yang membaik, pertumbuhan ekonomi negara berkembang diperkirakan masih relatif terbatas. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok masih dalam tren menurun, diperkirakan tumbuh sebesar 7,4% dan 7,1% (yoy) di 2014 dan 2015. Di sisi demand, perlambatan tersebut terutama berasal dari turunnya pertumbuhan konsumsi dan investasi. Di sisi produksi, penurunan pertumbuhan terutama berasal dari sektor real estate (industri tersier). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi India diperkirakan tumbuh lebih tinggi dari asumsi sebelumnya. Sentimen positif terjadi paska terpilihnya pemerintahan baru dengan agenda reformasi perekonomian yang menjanjikan. PMI India berada di level ekspansi dan pertumbuhan indeks produksi tercatat stabil. Pertumbuhan volume perdagangan dunia 2014 diperkirakan lebih rendah dibandingkan asumsi sebelumnya. Pertumbuhan WTV yang lebih rendah tersebut disebabkan angka realisasi semester pertama yang lebih rendah dibanding perkiraan terkait permasalahan geopolitik serta cuaca dingin ekstrim di AS. Data WTV terbaru (Agustus 2014) menunjukkan pertumbuhan WTV adalah sebesar 2,63% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,72% (yoy). Berdasarkan data WEO IMF Oktober 2014, WTV diperkirakan tumbuh 3,8% (yoy) di 2014 dan 5,0% (yoy) di 2015. Harga Komoditas Non Migas (IHEX) pada 2014 diperkirakan tumbuh sesuai dengan asumsi sebelumnya, sementara IHEX di 2015 diperkirakan tumbuh negatif dan lebih rendah dibandingkan dengan asumsi sebelumnya. Penurunan pertumbuhan IHEX di 2015 sejalan dengan proyeksi World Bank dan IMF yang memperkirakan penurunan harga non migas. IHEX 2015 diproyeksikan tumbuh negatif -0.16% seiring L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 29
dengan penurunan pertumbuhan harga batubara sebagai respon terhadap pasokan yang melimpah. Permintaan terhadap batubara juga terus menurun khususnya dari Tiongkok konsumen terbesar batubara – yang sedang mengalami perlambatan ekonomi.
Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pada triwulan IV-2014, PDB diprakirakan tumbuh sedikit melambat. Melambatnya prakiraan PDB ini terutama bersumber dari prakiraan rendahnya konsumsi pemerintah terkait program penghematan anggaran. Ekspor masih akan tumbuh terbatas sejalan dengan prakiraan masih lemahnya volume perdagangan dunia dan pelemahan kembali harga komoditi. Konsumsi RT diprakirakan masih tumbuh melambat seiring ekspektasi pendapatan konsumen yang tidak menunjukkan peningkatan dan indikator penjualan yang masih terbatas. Sebagai respons atas prospek perkembangan ekspor dan aktivitas usaha pascapemilu, investasi diprakirakan tumbuh membaik. Sementara itu, impor diprakirakan akan mengikuti lintasan kinerja ekspor sehingga masih dalam pertumbuhan negatif pada triwulan IV-2014. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi di tahun 2014 diprakirakan menjadi sebesar 5,1-5,5% atau lebih rendah dari tahun 2013. Laju pertumbuhan di tahun 2015 diprakirakan meningkat dan berada di kisaran 5,4-5,8%. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kinerja perekonomian domestik diprakirakan akan meningkat sejalan dengan perkiraan kondisi ekonomi global membaik dengan kontribusi ekspor yang meningkat. Selain faktor eksternal, faktor internal seperti peningkatan penghasilan dan inflasi yang berada dalam tren menurun diperkirakan memberikan dorongan terhadap permintaan domestik. %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000
Tabel 2.2 Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran (%,yoy) Komponen
2013
2013
I
2014 II
III
I
II
III
IV
Konsumsi Rumah Tangga
5.2
5.1
5.5
5.3
5.3
5.6
5.6
5.4
Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa
0.4 5.5 3.6 (0.0)
2.2 4.5 4.8 0.7
8.9 4.5 5.2 5.1
6.4 4.4 7.4 (0.6)
4.9 4.7 5.3 1.2
3.6 6.0 (0.4) (0.7)
(-0.7) 5.2 (0.8) (5.1)
4.4 4.0 (0.7) (3.6)
PDB
6.0
5.8
5.6
5.7
5.8
5.2
5.1
5.0
2014*
2015*
5.2 - 5.6
5.0 - 5.4
0.8 4.9 (0.5) (3.2) -
1.2 5.3 (0.1) (2.8)
5.1 - 5.5
4.9 6.3 4.2 3.5
-
5.3 6.7 4.6 3.9
5.4 - 5.8
Sumber : BPS * Proyeksi Bank Indonesia
Konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh melambat pada triwulan IV-2014 seiring dengan ekspektasi pendapatan konsumen yang tidak meningkat dan indikator penjualan yang masih lemah. Berbagai ukuran pendapatan konsumen menunjukkan indikasi perlambatan konsumsi. Rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi tahun 2015 (data sementara 19 propinsi) secara nominal hanya sebesar 13,73% atau lebih rendah dari tahun 2014 yang sebesar 16,17%. Kenaikan gaji PNS tahun 2015 ditetapkan sebesar 6% atau sama dengan tahun 2014. Indikator daya beli konsumen kelompok buruh nonformal juga tumbuh rendah dan melambat. Nilai Tukar Petani tumbuh melambat, begitu pula pertumbuhan upah buruh tani riil. Selain itu, faktor ketidakpastian atas kondisi perekonomian ke depan, termasuk kenaikan harga BBM, turut mempengaruhi keyakinan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 30
konsumen. Pertumbuhan beberapa indikator penjualan eceran mengonfirmasi perlambatan konsumsi RT. Penjualan mobil turun pada Oktober, melanjutkan perlambatan pada bulan sebelumnya. Penjualan motor nasional juga turun pada Oktober dan diprakirakan hanya akan tumbuh landai hingga akhir tahun. Secara keseluruhan, perkembangan indikator konsumsi rumah tangga tersebut sejalan dengan hasil CLI konsumsi rumah tangga, yang cenderung tidak meningkat. Konsumsi pemerintah diprakiraan mengalami kontraksi pertumbuhan sejalan dengan penghematan anggaran. Menurut pola tahunan, konsumsi pemerintah akan tumbuh meningkat pada triwulan terakhir. Namun demikian, realisasi anggaran hingga triwulan III 2014 masih cenderung rendah akibat program penghematan belanja pemerintah. Secara nominal, konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh hanya 2,9% (yoy) pada triwulan IV-2014, sejalan dengan melambatnya belanja barang pemerintah. Investasi diprakirakan tumbuh terbatas pada triwulan IV-2014 sejalan dengan prospek ekspor yang masih lemah dan konsumsi RT yang melambat. Investasi diprakirakan tumbuh terbatas sebesar 4,39% (yoy) sejalan dengan turunnya indeks tendensi bisnis BPS pada triwulan IV-2014. Untuk keseluruhan tahun 2014, BKPM menargetkan investasi hanya sebesar Rp450 triliun atau tumbuh 15%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun 2013 sebesar 25%. Sementara itu, dukungan pendanaan investasi menurun seperti tercermin dari penyaluran kredit investasi riil dari perbankan yang termoderasi pada bulan Oktober 2014. Dukungan dari sisi belanja modal pemerintah juga terbatas sebagai dampak program penghematan pemerintah. Sampai dengan bulan September 2014, realisasi belanja modal baru mencapai Rp59,8 triliun (37,2% dari target) dan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp72,3 triliun (37,5% target). Belanja modal diprakirakan baru memuncak pada triwulan IV sesuai pola serapan anggaran pada tahun-tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ekspor pada triwulan IV-2014 tertahan seiring dengan lemahnya volume perdagangan baik di negara emerging markets maupun advanced economies. Volume perdagangan emerging markets (EM) pada triwulan III-14 (s.d. Agustus) dalam tren menurun dan diperkirakan berlanjut seiring dengan asumsi rendahnya pertumbuhan PDB di kawasan EM. Penurunan ini diperkirakan mengakibatkan perbaikan ekspor sektor industri menjadi turut tertahan. Sementara itu, serapan impor dari negara maju juga cenderung melemah seperti terindikasi dari volume perdagangan impor advanced economies (AE) yang melambat pada Agustus. Tren perlambatan harga komoditas ekspor nonmigas semakin memberi tekanan pada kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan. Sejalan dengan kinerja ekspor, impor pada triwulan IV-2014 masih tumbuh negatif. Rendahnya impor pada triwulan IV dipengaruhi oleh kontraksi impor barang modal, seperti terindikasi dari masih menurunnya impor barang modal hingga September. Prakiraan ini terkait dengan investasi nonbangunan yang masih lemah sehingga mengurangi insentif untuk melakukan impor barang modal. Namun demikian, terdapat potensi perbaikan impor khususnya dari impor bahan baku. Pada September 2014, impor bahan baku sudah tumbuh positif (8,3% yoy) antara lain dalam bentuk bahan makanan (mentah dan olehan) untuk industri, bahan baku untuk industri, serta bahan bakar untuk mesin industri. Konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh sebesar 5,0-5,4% di tahun 2015. Angka pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan lebih rendah dan terkait dengan L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 31
dampak Pemilu yang diselenggarakan pada awal 2014 (base effect). Selain itu, lebih rendahnya konsumsi rumah tangga tahun 2015 terkait pula dengan perkiraan inflasi yang lebih tinggi (memperhitungkan rencana kenaikan LPG dan TTL di tahun 2015) yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli rumah tangga. Namun demikian, pertumbuhan konsumsi RT yang di atas 5% tersebut masih tergolong tinggi karena didukung oleh besarnya penduduk usia produktif. Konsumen Indonesia juga cenderung lebih optimis seperti tercermin dari survei Global Consumer Confidence Nielsen pada triwulan III 2014 yang menempatkan konsumen Indonesia nomor 2 tertinggi di seluruh dunia. Investasi di tahun 2015 diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan berada di kisaran 6,3-6,7%. Pertumbuhan investasi ini terutama disumbang oleh investasi bangunan terkait dengan masih besarnya kebutuhan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Setelah melalui tahun politik 2014, pertumbuhan investasi diprakirakan meningkat di tahun 2015 sejalan dengan kondisi ekonomi dan politik yang lebih pasti. Selain itu, pertumbuhan investasi juga didukung oleh persepsi positif investor terhadap iklim usaha di Indonesia. Hasil survei Ease of Doing Business dari World Bank terkini menunjukkan adanya perbaikan daya saing Indonesia di beberapa bidang. Hasil survei Economics Intelligent Unit (EIU) terhadap pelaku industri dunia juga menunjukkan bahwa di luar negara-negara BRICS, Indonesia adalah negara yang paling menjanjikan dalam hal potensi pertumbuhan. Pertumbuhan ekspor di keseluruhan tahun 2015 diprakirakan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan pertumbuhan ekspor ini sejalan dengan perkiraan membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia dan perkiraan mulai pulihnya ekspor mineral. Pertumbuhan ekspor Indonesia ke negara-negara maju seperti AS dan Jerman diprakirakan dapat mengimbangi terbatasnya pertumbuhan ekspor ke negara-negara tujuan ekspor yang sedang mengalami moderasi seperti Tiongkok dan Jepang. Kinerja ekspor juga akan didukung oleh langkah-langkah peningkatan daya saing seperti nilai tukar yang lebih kompetitif, inflasi yang terjaga, dan diversifikasi pasar dan produk. Pertumbuhan impor tahun 2015 diprakirakan meningkat sejalan dengan membaiknya permintaan domestik dan meningkatnya kegiatan ekspor. Sejalan dengan pertumbuhan investasi yang diperkirakan tumbuh lebih tinggi, impor barang modal dalam bentuk mesin dan perlengkapan juga diprakirakan cenderung meningkat. Kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan permintaan ekspor diperkirakan juga mendorong permintaan bahan baku impor. Sementara itu, impor barang konsumsi diprakirakan masih akan tetap tumbuh sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat. %Y-o-Y, Tahun Dasar 2000
Tabel 2.3 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Lapangan Usaha (%,yoy) Sektor Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan Pertambangan & Penggalian
2013 I
II
III
IV
3.7 0.1
3.3 (0.6)
3.3 2.0
3.8 3.9
2013 3.5 1.3
I
2014 II
III
3.2 (0.4)
3.4 (0.3)
3.7 0.3
2014*
2015*
3.3 - 3.7 0.0 - 0.4
3.1 - 3.5 2.3 - 2.7
Industri Pengolahan
6.0
6.0
5.0
5.3
5.6
5.1
5.0
4.6
4.6 - 5.0
4.7 - 5.1
Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi
7.9 6.8
4.0 6.6
3.8 6.2
6.6 6.7
5.6 6.6
4.8 6.7
8.1 6.4
6.2 6.3
6.1 - 6.5 6.4 - 6.8
5.9 - 6.3 6.4 - 6.8
Perdagangan, Hotel & Restoran
6.5
6.4
6.1
4.8
5.9
4.8
4.5
4.2
4.3 - 4.7
5.1 - 5.5
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan
9.6 8.2
10.9 7.7
9.9 7.6
10.3 6.8
10.2 7.6
10.2 6.1
9.8 6.2
9.0 6.0
9.3 - 9.7 6.0 - 6.4
9.7 - 10.1 6.0 - 6.4
Jasa-jasa
6.5
4.5
5.6
5.3
5.5
5.7
5.7
6.5
5.6 - 6.0
4.7 - 5.1
PDB
6.0
5.8
5.6
5.7
5.8
5.2
5.1
5.0
5.1 - 5.5
5.4 - 5.8
Sumber : BPS * Proyeksi Bank Indonesia
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 32
Sektor pertanian pada triwulan IV-2014 diperkirakan tumbuh melambat. Melambatnya pertumbuhan diprakirakan bersumber dari menurunnya produksi padi sesuai dengan Angka Ramalan produksi padi BPS dan menurunnya produksi kelapa sawit. Produksi kelapa sawit PT Astra Agro Lestari (AALI) tercatat mengalami perlambatan pada triwulan III-2014. Namun demikian, terdapat faktor positif yaitu meningkatnya produksi tabama selain padi seperti jagung dan kedelai. Meningkatnya produksi tersebut terkait dengan musim kemarau yang lebih panjang sehingga menyebabkan petani mengalihkan penggunaan lahan dari produksi padi ke produksi jagung. Kinerja subsektor perikanan menunjukkan perbaikan seperti tercermin dari ekspornya yang meningkat pada Tw III2014. Kinerja sektor pertambangan diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pulihnya ekspor mineral dan perbaikan lifting minyak. Pada akhir September 2014, Newmont sudah mulai dapat melakukan ekspor konsentratnya ke beberapa negara tujuan seperti Jerman, Korea Selatan, India, Bulgaria, dan Swedia dengan volume ekspor mencapai 50 ribu ton setiap bulannya. Produksi Freeport juga terus meningkat khususnya produksi emas yang meningkat 43% (yoy) pada triwulan III-2014. Di tengah turunnya harga batubara, produksi PT Adaro masih mencatatkan kenaikan sebesar 2,2% (yoy) di triwulan III-2014 yang dicapai melalui efisiensi jam operasional dan penuruan stripping ratio perusahaan. Kinerja sektor industri pengolahan diprakirakan tumbuh melambat pada triwulanIV 2014. Perkiraan tersebut antara lain terindikasi dari berbagai indikator seperti angka penjualan mobil dan motor yang masih mengalami kontraksi hingga Oktober 2014. Sementara itu, pertumbuhan Indeks Produksi Industri dari BPS hingga triwulan-III 2014 terpantau lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Purchasing Manager Index (PMI) HSBC juga mengkonfirmasi pelemahan kinerja sektor manufaktur sampai dengan Oktober 2014. Pelemahan juga ditunjukkan oleh indikator produksi CPO yang melemah pada triwulan-III 2014. Pertumbuhan sektor LGA pada triwulan IV-2014 diprakirakan masih melambat. Produksi manufaktur yang melambat berdampak pada konsumsi listrik yang lebih rendah. Selain itu, kenaikan harga TTL secara bertahap baik untuk kelas konsumen maupun bisnis diperkirakan mempengaruhi kinerja subsektor listrik. Kinerja subsektor gas kota juga terindikasi melambat seperti tercermin dari pertumbuhan distribusi gas oleh PT. PGN. Kinerja sektor bangunan pada triwulan IV 2014 diperkirakan membaik sesuai pola historis pasca Pemilu. Berdasarkan informasi dari konsultan properti Jonas Lang Lasalle, investor cenderung menahan investasinya terkait dengan penyelenggaraan pemilu presiden yang lalu untuk menghindari resiko. Hal ini juga dikonfirmasi dari stagnasi sovereign rating versi S&P yang menunjukkan bahwa rating Indonesia tertahan pada BB+ disebabkan oleh rendahnya skor efektivitas pemerintahan. Kinerja sektor PHR diperkirakan tumbuh membaik pada triwulan IV-2014 seiring mulai membaiknya perdagangan ekspor. Perkiraan membaiknya kinerja sektor PHR terindikasi dari pertumbuhan Indeks Penjualan Eceran yang meningkat pada pada bulan Oktober 2014. Sementara, indikator subsektor hotel hingga September 2014 juga mengalami peningkatan. Kinerja sektor pengangkutan dan komunikasi pada triwulan IV-2014 diprakirakan masih tumbuh tinggi ditopang oleh meningkatnya angkutan udara dan angkutan rel. Peningkatan pertumbuhan subsektor angkutan udara terindikasi dari meningkatnya jumlah penumpang dan pembukaan rute baru oleh sejumlah maskapai penerbangan. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 33
Kinerja subsektor pengangkutan ditopang oleh subsektor angkutan rel yang tumbuh tinggi pasca beroperasinya double track Jakarta-Surabaya. Di sisi lain, moderasi pertumbuhan sektor ini berasal dari subsektor komunikasi yang diprakirakan melambat seiring berakhirnya masa kampanye dan pemilu. Angkutan jalan juga menyumbang moderasi pertumbuhan seiring kondisi infrastruktur yang masih belum kondusif bagi angkutan logistik. Pada triwulan IV-2014, sektor keuangan, persewaan, dan jasa diprakirakan masih tumbuh terbatas. Data pertumbuhan kredit bank dan pembiayaan LKBB sampai dengan bulan September 2014 tercatat melambat. Di sisi lain, kinerja subsektor real estate diperkirakan membaik sejalan dengan pola historis sektor bangunan pasca Pemilu. Pada 2015, Sektor Industri Pengolahan diprakirakan tumbuh di kisaran 4,7-5,1%. Pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan lebih rendah dan harga komoditas dunia yang diperkirakan masih tumbuh negatif menjadikan permintaan terhadap barang industri dari luar negeri melemah. Namun demikian, pertumbuhan di sektor ini diperkirakan tetap terjaga karena didukung oleh realisasi sektor industri pengolahan (sekunder) sebagai tujuan utama investasi asing sepanjang periode 2010 hingga triwulan II-2014. Di tengah optimisme tersebut, prospek kinerja sektor Industri Pengolahan dihadapkan pada tantangan berupa rencana kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) bagi kelompok industri secara bertahap di sepanjang tahun 2015. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) diprakirakan relatif stabil pada kisaran 5,1-5,5%. Tumbuhnya sektor PHR didorong oleh tetap kuatnya daya beli masyarakat seiring dengan ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Ritel sebagai penopang utama sektor ini diperkirakan akan tumbuh pesat, termasuk di luar Jawa. Pertumbuhan sektor ini didukung pula oleh prospek pariwisata yang diprakirakan terus menguat, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun domestik antara lain melalui sinergi pemasaran dan promosi 18 destinasi pariwisata. Optimisme tersebut pada gilirannya berdampak positif terhadap perkembangan berbagai industri pendukung, antara lain hotel, restoran, transportasi, dan retail. Meski demikian, sektor ini juga menghadapi tantangan seperti kenaikan biaya sewa, upah pekerja, dan biaya perizinan. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi diperkirakan tetap melanjutkan tren positif dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu tumbuh di kisaran 9,7-10.1%. Aktivitas perdagangan dan ekspor-impor yang semakin meningkat mampu mendorong kinerja subsektor pengangkutan. Dari sisi angkutan darat, proyek smelter diperkirakan dapat mendongkrak bisnis logistik terkait potensi meningkatnya kebutuhan pengangkutan komoditas tambang dari lokasi pertambangan ke smelter. Sejalan dengan strategi penguatan konektivitas nasional, Pemerintah juga akan membangun sarana transportasi antara lain 75 unit bus perintis dan 48 unit KRDI. Dari sisi angkutan laut, Pemerintah terus melakukan upaya penguatan konektivitas dan jaringan logistik berbasis maritim, salah satunya melalui penetapan Kuala Tanjung dan Bitung sebagai pelabuhan hub international. Sementara itu, sejalan dengan perkembangan teknologi dan ekspansi kelas menengah, kebutuhan akan jaringan komunikasi akan terus bertambah. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa tingkat kecepatan download, yang merepresentasikan tingginya kebutuhan jaringan broadband maupun mobile, terus meningkat. Namun demikian, posisi Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain sehingga masih banyak potensi peningkatan kapasitas data komunikasi.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 34
Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan diprakirakan tumbuh moderat di kisaran 6,0-6,4%. Prospek industri perbankan diperkirakan mulai membaik, ditandai oleh pertumbuhan kredit yang mulai menguat setelah sempat melambat pada 2014 sebagai konsekuensi dari proses stabilisasi ekonomi. Peningkatan ekspansi kredit tersebut pada gilirannya dapat meningkatkan margin bunga bersih (net interest margin/NIM). Sektor Pertambangan diprakirakan tumbuh membaik hingga mampu mencapai kisaran 2,3-2,7%. Dari sisi domestik, prospek ini sejalan dengan rencana 15 smelter yang diperkirakan mulai beroperasi pada tahun 2015 sehingga mampu mendorong kinerja sektor pertambangan dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku. Namun demikian, dari sisi eksternal, prakiraan harga komoditas nonmigas internasional yang masih negatif berpotensi menahan laju perbaikan kinerja sektor pertambangan. Sementara itu, kinerja subsektor Migas diperkirakan meningkat, antara lain ditopang oleh peningkatan produksi (ramp up) minyak di blok Cepu yang berpotensi meningkatkan lifting minyak sebesar 165 ribu barel per hari. Sementara itu, sejumlah proyek hulu yang didominasi sektor gas juga diperkirakan mampu mendorong kinerja sektor ini. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih (LGA) diprakirakan tumbuh di kisaran 5,9-6,3%. Subsektor listrik memberikan kontribusi pertumbuhan yang besar seiring dengan rencana penambahan kapasitas listrik di tahun 2015 sebesar 2.761 MW, di antaranya didukung oleh rencana dioperasikannya Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Bali dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) di Karimunjawa. Dari subsektor gas, Pemerintah terus berupaya meningkatkan alokasi pemanfaatan gas bumi, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri, kelistrikan, dan pupuk. Lebih dari 59% produksi gas akan dialokasikan guna memenuhi kebutuhan domestik. Sektor Bangunan diprakirakan akan mengalami pertumbuhan yang stabil di tahun 2015, yakni pada kisaran 6,4-6,8%. Perkembangan sektor ini ditopang salah satunya oleh upaya Pemerintah dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan infrastruktur. Rencana Kerja Pemerintah 2015 terkait proyek infrastruktur antara lain meliputi pembangunan jalan baru sepanjang 143,1 km, rel kereta api sepanjang 264,7 km, pembangunan 50 pelabuhan penyeberangan, pembangunan 21 buah waduk, hingga 15 bandar udara baru. Selain proyek infrastruktur, prospek sektor bangunan bersumber dari masih tingginya kekurangan jumlah tempat tinggal (backlog). Pada tahun 2015, Pemerintah mentargetkan penurunan angka backlog tersebut menjadi 11,5 juta rumah dibanding tahun 2014 yang diperkirakan mencapai 15 juta rumah. Kondisi ini berpeluang mendorong pembangunan perumahan layak huni. Sementara itu, prospek positif sektor bangunan juga didukung sektor industri manufaktur melalui rencana pembangunan 13 kawasan industri di luar Jawa dan 2 kawasan industri di Jawa, serta pembangunan smelter. Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan diprakirakan meningkat dan berada di kisaran 3,1-3,5%. Sejalan dengan strategi Pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan, sektor pertanian diperkirakan tetap tumbuh antara lain melalui upaya pemenuhan target produksi padi sebanyak 73,4 juta ton dan jagung 20 juta ton. Namun demikian, harga komoditas nonmigas internasional yang diasumsikan masih tumbuh negatif berpotensi menjadi salah satu faktor penghambat perbaikan kinerja sektor ini. Sementara itu, indikasi gangguan cuaca global El Nino pada tingkat lemah hingga moderat pada awal tahun 2015 diperkirakan berdampak pada menurunnya luas tanam beberapa bahan pangan utama. Sektor perkebunan diperkirakan tetap mencatat pertumbuhan positif seiring dengan perkiraan berlanjutnya kebijakan kewajiban pencampuran bahan bakar minyak dengan bahan bakar nabati (biodiesel) sehingga mampu mendorong produksi CPO. L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 35
Prospek Inflasi Prospek inflasi pada tahun 2014 dan 2015 diperkirakan akan berada dalam kisaran targetnya 4,5±1% dan 4,0±1%. Terkendalinya tekanan inflasi tersebut didukung oleh kebijakan stabilisasi makroekonomi yang ditempuh selama ini, termasuk koordinasi dengan Pemerintah. Selain itu, penurunan inflasi juga didukung termoderasinya permintaan domestik dan harga komoditas global yang cenderung masih lemah. Meskipun meningkat pada triwulan IV, inflasi untuk keseluruhan tahun 2014 diperkirakan berada dalam kisaran targetnya. Inflasi triwulan IV 2014 diperkirakan kembali meningkat seiring dengan asumsi nilai tukar yang lebih depresiatif, realisasi inflasi Oktober yang tinggi, dan kenaikan batas atas tarif angkutan udara. Di sisi lain, harga-harga di pasar global masih tergolong rendah karena stok yang cukup tinggi dari hasil panen yang membaik. Tren penurunan harga ke depan terutama bersumber dari komoditas emas, gandum, minyak dunia serta kedelai. Dengan perkembangan tersebut, inflasi untuk keseluruhan tahun 2014 diperkirakan bias ke atas dari proyeksi sebelumnya. Inflasi tahun 2015 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Inflasi tahun 2015 diprakirakan berada dalam rentang atas sasaran inflasi sebesar 4,0±1%. Ekspektasi inflasi diperkirakan masih tetap terjaga sejalan dengan dukungan kebijakan dan koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Tekanan inflasi dari sisi eksternal diprakirakan tidak terlalu besar karena peningkatan harga-harga komoditas internasional relatif terbatas di tengah perbaikan perekonomian dunia yang masih berlangsung secara gradual. Tekanan inflasi inti tahun 2015 diprakirakan moderat. Tekanan inflasi inti tahun 2015 diprakirakan berada di kisaran rata-rata historisnya. Tekanan inflasi inti dari sisi eksternal relatif terjaga sejalan dengan terbatasnya peningkatan harga komoditas internasional. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi nilai tukar tidak sebesar tahun sebelumnya menimbang tren depresiasi yang lebih terbatas di tahun 2015. Tekanan inflasi dari sisi permintaan juga relatif minimal. Meningkatnya permintaan domestik diprakirakan masih dapat direspons oleh kapasitas produksi nasional yang utilisasinya tercatat relatif rendah dan tercermin pula dari pertumbuhan PDB yang masih berada di bawah tingkat potensialnya. Selain itu, ekspektasi inflasi juga terindikasi relatif terjaga seiring dengan bauran kebijakan dan koordinasi yang ditempuh oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Inflasi dari kelompok volatile food pada tahun 2015 diprakirakan sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Inflasi volatile food yang meningkat tersebut terkait dengan potensi perubahan iklim serta nilai tukar yang lebih terdepresiasi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim hujan di tahun 2014 dimulai di bulan Desember, atau terlambat satu bulan dari perkiraan semula. Namun, musim kemarau diperkirakan akan datang di bulan April 2015 sehingga periode ketersediaan air untuk tanaman akan semakin pendek bila dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Untuk meredam tekanan inflasi volatile food tersebut, perlu adanya peningkatan produksi diiringi dengan manajemen stok dan tata niaga yang lebih baik. Pada tataran teknis, dibutuhkan solusi berupa peningkatan kapasitas serta perbaikan saluran irigasi, dan penyediaan waduk di daerah tangkapan air hujan. Inflasi kelompok administered prices 2015 diperkirakan lebih rendah dari tahun 2014 dan sedikit di atas kisaran rata-rata historisnya. Di tahun 2015, diperkirakan terdapat beberapa penyesuaian harga barang dan jasa yang bersifat strategis seperti Tarif Tenaga Listrik untuk pelanggan 6600 VA serta harga gas LPG 12 kg dan 3 kg. Selain itu, L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 36
mengingat masih besarnya beban Pemerintah untuk subsidi energi, tidak tertutup kemungkinan adanya penyesuaian lebih lanjut terhadap harga-harga barang dan jasa yang diatur oleh Pemerintah.
Faktor Risiko Ke depan, Bank Indonesia mencermati beberapa risiko terhadap perekonomian baik yang berasal dari eksternal maupun domestik. Perekonomian global yang semakin terintegrasi membuat keterkaitan suatu negara dengan negara lainnya semakin tinggi. Gejolak ekonomi di eksternal kemudian dapat berdampak terhadap perekonomian nasional yang merambat melalui jalur perdagangan dan jalur finansial. Sementara itu, dinamika perekonomian domestik juga menimbulkan sejumlah risiko tersendiri antara lain berupa potensi tekanan harga dan potensi pembalikan aliran modal. Dari sisi global, risiko yang dihadapi masih berkaitan dengan ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed. Pada rapat FOMC Oktober 2014, Bank Sentral AS (The Fed) masih mempertahankan kebijakan akomodatif dan menyatakan secara eksplisit bahwa perbaikan di sektor tenaga kerja dan inflasi terjadi lebih cepat dari perkiraan semula. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya percepatan kenaikan suku bunga kebijakan AS (Fed Fund Rate atau FFR). Survei Bloomberg pada 16 Oktober 2014 menemukan bahwa sebagian besar pelaku pasar memprakirakan kenaikan FFR akan tetap terjadi di pertengahan 2015 (responden yang memperkirakan kenaikan FFR pada triwulan I-2015 menurun dari 8% menjadi 6%, sementara responden yang memperkirakan kenaikan FFR pada triwulan IV-2015 meningkat dari 11% menjadi 15%). Risiko global juga muncul dari kerentanan ekonomi emerging market dan pelemahan ekonomi di sejumlah negara. Risiko Indonesia terkait kerentanan ekonomi emerging market masih termasuk baik bila dibandingkan dengan negara peer-nya. Namun demikian, posisi Indonesia sedikit menurun akibat realisasi pertumbuhan PDB yang lebih rendah, tekanan depresiasi nilai tukar dan membaiknya posisi negara-negara lain. Sementara itu, risiko global akibat pelemahan ekonomi utamanya berasal dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang diperkirakan tumbuh sebesar 7,4% (yoy) di 2014 dan 7,1% (yoy) di 2015. Proses pemulihan ekonomi Eropa juga diperkirakan lebih lambat dibandingkan proyeksi semula. Di Jepang, kinerja produksi tertekan seiring meningkatnya sentimen negatif akibat meningkatnya pajak konsumsi, depresiasi nilai tukar dan pelemahan stok kapital, tenaga kerja dan TFP. Dari sisi domestik, terdapat sejumlah faktor risiko tersendiri yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian. Risiko inflasi muncul dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan berlanjutnya kelangkaan LPG 3 kg yang menyebar ke berbagai daerah. Penyesuian terhadap tarif tenaga listrik (TTL) Rumah Tangga dan Industri juga dapat menyebabkan tambahan tekanan inflasi. Di sisi lain, inflasi akibat kenaikan harga pangan diperkirakan masih cenderung moderat. Selain inflasi, risiko domestik muncul dari potensi pembalikan arah aliran modal (capital reversal) seiring normalisasi kebijakan the Fed. Potensi outflow utamanya diprediksi berasal dari investor SUN non residen. Risiko domestik lain yang juga perlu diwaspadai adalah tingginya posisi utang luar negeri seperti tercermin dari kenaikan indikator kerentanan debt to GDP ratio dan debt to export ratio. Meskipun demikian, indikator kerentanan debt to service ratio (DSR) tercatat menurun ke level 42,9% pada triwulan III 2014 dari 48,5% pada triwulan sebelumnya.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 37
3
RESPONS KEBIJAKAN MONETER
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 13 November 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut masih konsisten dengan upaya untuk mengendalikan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4±1% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank Indonesia menilai bahwa kebijakan stabilisasi ekonomi yang ditempuh selama ini mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung proses penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih seimbang. Hal ini tercermin pada defisit transaksi berjalan yang menurun dan permintaan domestik yang tetap terkelola. Ke depan, Bank Indonesia mewaspadai indikasi kenaikan ekspektasi inflasi terkait dengan rencana kebijakan BBM yang akan ditempuh Pemerintah. Untuk itu, Bank Indonesia akan memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung penguatan struktur perekonomian domestik. Selain itu, koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah akan diintensifkan dalam mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, agar penyesuaian ekonomi tetap terkendali dan mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 38
Boks: Kenaikan Harga Properti Melambat
Kenaikan harga properti terlihat melambat akibat kebijakan LTV dan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Implementasi kebijakan LTV berdampak pada menurunnya permintaan properti. Hal tersebut mampu menahan kenaikan harga properti residensial, terutama dalam setahun terakhir. Sejalan dengan itu, indikasi bubble di pasar properti juga menurun sebagaimana tercermin dari melambatnya price to rent ratio. Sementara itu, perlambatan kenaikan harga juga terjadi pada properti komersial yang terlihat sejak dua tahun terakhir. Hal tersebut sejalan dengan melambatnya aktivitas perekonomian. Selain itu, perlambatan harga juga didukung oleh menurunnya aktivitas pasar tercermin dari kondisi supply-demand yang menurun tajam, terutama pada perkantoran (office), ritel dan lahan industri.
I.
Perkembangan Properti Residensial
Kenaikan harga properti residensial cenderung menurun sejak pertengahan tahun 2013. Perlambatan tersebut dialami properti residensial yang berukuran kecil, sedang maupun besar (Grafik 1). Sejalan dengan itu, pertumbuhan KPR dan KPA juga melambat dalam setahun terakhir (Grafik 2). Perlambatan harga properti residential terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Namun, kenaikan harga masih mencapai double digit di Makassar, Manado, dan Surabaya, akibat permintaan yang masih cukup tinggi (Tabel 1). Secara umum, perlambatan harga jual properti yang cukup dalam telah mendorong turunnya price to rent, yang mengindikasikan meredanya risiko gelembung harga properti.
Grafik 1. Harga Properti Residensial Grafik 2. Pertumbuhan Kredit Properti Pasar Primer Tabel 1. Heatmap Inflasi Properti Residensial
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 39
II.
Perkembangan Properti Komersial
Perlambatan kenaikan harga properti juga dialami properti komersial, seperti perkantoran, apartemen, industri, dan ritel, sejalan melambatnya aktivitas ekonomi (Grafik 3). Permintaan lahan perkantoran yang menurun dalam hampir dua tahun terakhir turut mendorong perlambatan harga jual dan sewa kantor. Dalam beberapa tahun ke depan, pasokan diperkirakan meningkat cukup tinggi sehingga tingkat occupancy rate berpotensi menurun dan tekanan harga juga melambat (Grafik 4).
Grafik 3. Harga Properti Komersial
Grafik 4. Proyeksi Supply-Demand Perkantoran
Aktivitas sub-sektor retail pada tahun 2014 cenderung menurun dibanding tahuntahun sebelumnya. Permintaan terhadap sub-sektor ritel cenderung menurun disertai dengan pasokan yang juga terbatas sehingga menahan akselerasi kenaikan harga (Grafik 5). Pada sub-sektor lahan industri, penjualan juga relatif menurun. Hal ini terutama disebabkan oleh tambahan pasokan lahan industri yang relatif terbatas akibat terkendala oleh infrastruktur penunjang (Grafik 6). Di tengah terbatasnya pasokan, permintaan juga menurun terindikasi dari penjualan dalam tiga tahun terakhir.
Grafik 5. Supply - Demand Retail Space Jakarta
Grafik 6 Supply - Demand Lahan Industri
Selanjutnya, kondisi supply-demand apartemen (strata title) cenderung melonggar, sehingga mendorong perlambatan kenaikan harga jual. Meski demikian, permintaan sewa apartemen ditengarai masih meningkat sehingga mendorong kenaikan tarif sewa(Grafik 7). Dengan demikian, rental rate kembali naik setelah sebelumnya terus menurun dalam tiga tahun terakhir (Grafik 8).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 40
Grafik 7. Harga Jual dan Sewa Apartemen (Rp/m2)
Grafik 8. Rental Rate Apartemen (Tahunan)
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 41
Laporan Kebijakan Moneter dipublikasikan secara triwulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Selain dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 58 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, laporan ini berfungsi untuk dua maksud utama, yaitu: (i) sebagai perwujudan nyata dari kerangka kerja antisipatif yang mendasarkan pada prakiraan ekonomi dan inflasi ke depan dalam perumusan kebijakan moneter, dan (ii) sebagai media bagi Dewan Gubernur untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai berbagai pertimbangan permasalahan kebijakan yang melandasi keputusan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Divisi Pengaturan dan Komunikasi Kebijakan Grup Kebijakan Moneter Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Telp: +62 21 2981 8334/6902 Fax: +62 21 345 2489 Email:
[email protected] Website: http//www.bi.go.id
Dewan Gubernur Agus D.W. Martowardojo – Gubernur Mirza Adityaswara – Deputi Gubernur Senior Halim Alamsyah – Deputi Gubernur Ronald Waas – Deputi Gubernur Perry Warjiyo – Deputi Gubernur Hendar – Deputi Gubernur
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 42