Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
iii
iii
Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS dari Family Health International (ASA/FHI), BPS juga mendapat kepercayaan dari Australian Agency for International Development (AusAID) melalui Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) Phase II untuk melaksanakan survei yang sama di 3 propinsi konsentrasi program IHPCP, yaitu Bali (Kota Denpasar), Nusa Tenggara Timur (Kota Kupang), dan Sulawesi Selatan (Kota Makassar). Sebagaimana SSP untuk 10 propinsi ASA/FHI, pelaksanaan SSP untuk 3 propinsi IHPCP juga dilakukan dengan dukungan teknis dari Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan. SSP di ketiga propinsi tersebut di atas dilaksanakan pada bulan Maret 2003, menggunakan metode survei dan daftar pertanyaan yang sama dengan yang diaplikasikan di 10 propinsi ASA/FHI. Dengan demikian data yang dihasilkan dari kedua paket survei ini terbanding satu sama lain. Laporan hasil survei disusun per-propinsi, memuat data penting mengenai tingkat pengetahuan dan perilaku kelompok berisiko yang menjadi sasaran survei. Buku ini memuat laporan hasil SSP untuk Propinsi tersebut. Kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya survei dan terbitnya laporan ini, terutama kepada IHPCP sebagai penyandang dana dan Ditjen PPM & PL, kami sampaikan penghargaan dan terima kasih. Secara khusus terima kasih kami sampaikan pula kepada Dr. Abby Ruddick, Deputy Team Leader – Policy and Social Research IHPCP, yang telah membantu secara teknis seluruh tahapan kegiatan, tim BPS Pusat dan Ditjen PPM & PL Depkes, serta kepada anggota KPAD dan tim survei di tingkat propinsi yang telah bekerja keras sampai dengan selesainya laporan ini. Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia.
Jakarta,
Agustus 2003
Kepala Badan Pusat Statistik
Dr. Soedarti Surbakti
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
i
i
Kata Pengantar Berdasarkan hasil Surveilans Nasional HIV/AIDS yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, situasi epidemi HIV/AIDS di Indonesia saat ini makin memprihatinkan, dan digolongkan dalam “concentrated level epidemic”. Di beberapa tempat dengan sub-populasi tertentu prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih. Untuk mendapatkan data lain sebagai tambahan informasi tentang situasi epidemi HIV/AIDS di Indonesia Departemen Kesehatan merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk perencanaan program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pada tahap uji coba pengembangan pedoman untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku, Komisi Penanggulangan AIDS mengucapkan terima kasih atas dukungan tehnis kepada Badan Pusat Statistik
(BPS), P2ML Departemen Kesehatan, IHPCP (AusAID), ASA/FHI (USAID),
Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi dan Tim Pelaksana. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada semua pihak baik secara perorangan maupun kelembagaan yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan kegiatan ini. Kami berharap semoga buku ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak.
Jakarta,
Agustus 2003
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS
Dr. Farid W. Husain
ii
ii
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi
i iii
Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci
v vii
1. Pendahuluan
1
Latar Belakang
1
Survei Surveilans Perilaku
1
Sasaran Survei
2
Metode Survei
3
2. Karakteristik Sosial dan Demografi
5
Struktur Umur
5
Status Perkawinan
5
Tingkat Pendidikan
6
Daerah Asal
7
Mobilitas
7
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks
8
Lama Bekerja sebagai Penjaja Seks
8
Tarif Penjaja Seks
9
Rata-rata Pendapatan
9
3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
11
Pernah Mendengar HIV/AIDS
11
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS
11
Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS
12
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
13
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS
15
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
iii
iii
4. Persepsi Berisiko
17
Merasa Berisiko
17
Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko
17
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan
18
5. Pola Perilaku Berisiko Penggunaan Jasa Penjaja Seks
21
Penggunaan Kondom
21
Antara Pengetahuan dan Perilaku
22
Seks Anal dan Narkoba
24
6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
27
Infeksi Menular Seksual (IMS)
27
Jenis Keluhan IMS
28
Tempat Berobat
28
7. Kesimpulan dan Saran
iv
21
31
Pengetahuan dan Persepsi Berisiko
31
Perilaku Berisiko dan Kondom
32
Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
33
Usulan Tindakan
33
iv
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Daftar Gambar Gambar
Judul Gambar
2.1
Struktur umur responden
2.2
Tingkat pendidikan responden
2.3
Propinsi asal responden
2.4
Pasangan seks pertama kali pada responden pria
2.5
Rata-rata uang jasa seks komersial pada hubungan seks yang terakhir
3.1
Responden yang pernah mendengar HIV/AIDS
3.2
Pengetahuan tentang HIV/AIDS
3.3
Pengetahuan tentang cara yang tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS
3.4
Cara yang diketahui agar tidak tertular HIV/AIDS
3.5
Pengetahuan responden pria tentang penggunaan kondom dapat mencegah tertular HIV/AIDS
3.6
Pengetahuan yang salah tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS
4.1
Responden yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS
4.2
Responden yang tidak merasa berisiko tertular HIV/AIDS menurut alasannya
4.3
Responden yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS menurut tingkat pendidikan
5.1
Responden pria yang pernah membeli seks dalam setahun terakhir menurut status perkawinan
5.2
Penggunaan kondom pada seks komersial
5.3
Tahu bahwa kondom dapat mencegah penularan HIV/AIDS tetapi tidak menawarkan dan tidak memakainya dalam hubungan seks komersial terakhir
5.4
Responden pria yang tahu pencegahan HIV/AIDS tetapi tidak menerapkannya dalam hubungan seksual
5.5
Alasan tidak menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
5.6
Responden dan masing-masing pasangan seksnya yang pernah menggunakan narkoba suntik
6.1
Pemakaian kondom pada responden yang mengalami gejala IMS
6.2
Jenis keluhan IMS
6.3
Responden yang pernah mengalami gejala IMS dan cara yang dilakukan saat mengalami gejala IMS tersebut
6.4
Responden yang mengalami gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
v
v
vi
vi
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Tabel Indikator Kunci
Indikator
WPS Langsung
WPS Responden Tidak Pria Langsung
1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS
93,7
89,0
86,9
2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks
86,6
73,1
65,6
3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir
-
-
55,1
4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir
-
-
59,1
7,5
4,0
-
6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir
74,3
41,8
32,9
7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS
30,3
20,9
18,6
0,4
1,1
0,5
9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir
25,0
25,3
17,0
10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir
74,6
45,7
31,2
5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir
8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
vii
vii
viii
vii
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
1
Pendahuluan
Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini nantinya akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia sudah tidak tergolong rendah lagi. Perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir juga sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik. Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, khususnya masyarakat yang berhubungan seks dengan pengidap HIV tanpa menggunakan kondom, dan pengguna alat suntik bersama untuk napza. Untuk itu, upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba.
Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia sudah tidak tergolong rendah lagi, tapi sudah pada tingkat “epidemi terkonsentrasi” dimana hampir 5 persen kelompok berisiko telah terinfeksi
Survei Surveilans Perilaku Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah hilang. Survei Surveilans Perilaku (SSP) adalah suatu kegiatan pengumpulan data secara sampel terhadap perilaku kelompok sasaran yang dilakukan secara sistimatik dan terus menerus yang berkaitan dengan penyebaran dan infeksi HIV. SSP merupakan komponen dari surveilans HIV generasi kedua Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
1
dan respon masyarakat terhadap pencegahan HIV, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku berisiko. Manfaat surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko dan masyarakat yang berperilaku berisiko. Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih efektif.
Sasaran Survei
Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS
Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang melayani transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (Wanita Penjaja Seks Langsung – WPS langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/diskotek/cafe/restoran, dan hotel/motel cottage (Wanita Penjaja Seks tak langsung – WPS tidak langsung). Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu yang cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks, dan atau mempunyai pasangan lain selain isteri/pasangan tetapnya. Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2003 di Indonesia difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung), lelaki yang bekerja sebagai supir dan kernet truk, anak buah kapal (ABK) dan nelayan. Khusus untuk pelaksanaan SSP 2003 di Kupang, kelompok sasaran lelaki adalah anak buah kapal dan nelayan antar pulau. Definisi (batasan) mengenai setiap kelompok sasaran yang dicakup dalam SSP 2003 di Kupang adalah sebagai berikut: a. Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.
2
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
b. WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu. c. Anak buah kapal adalah mereka yang bekerja sebagai anak buah kapal barang, atau muatan; nelayan adalah mereka yang pekerjaan teraturnya mencari ikan di laut. Dalam laporan ini, ABK dan nelayan selanjutnya disebut “responden pria.”
Metode Survei Populasi sasaran SSP 2003 adalah populasi pria dan wanita dewasa yang berisiko tinggi terjangkit HIV. Kelompok tersebut memungkinkan mempunyai kontribusi lebih besar terhadap penyebaran HIV dibanding kelompok masyarakat lainnya. Kelompok pria dewasa yang berisiko tinggi terjangkit HIV pada umumnya adalah pria pelanggan pekerja seks, sedangkan kelompok wanita dewasa adalah mereka yang bekerja sebagai penjaja seks. Perkiraan populasi wanita penjaja seks dan responden pria diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, LSM peduli AIDS, serta Petugas Pelabuhan
Perkiraan populasi wanita penjaja seks dan responden pria diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, LSM peduli AIDS, serta Petugas Pelabuhan. Kegiatan listing juga dilakukan untuk memutakhirkan data dasar yang ada. Dengan bantuan peta (dalam hal ini dipakai peta jalan Kota Kupang) informasi tentang jumlah dan sebaran lokasi kelompok sasaran ini diplot pada peta, diberi nomor urut lokasi, dan dibuat daftarnya. Hal ini dilakukan selain untuk membantu operasional lapangan, juga untuk mempermudah tata cara pengambilan sampelnya. Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Perhitungan dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Realisasi sampel SSP 2003 Kupang dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan rancangan sampel secara lengkap disertakan pada lampiran.
Tabel Realisasi Sampel SSP 2003 Kota Kupang – Nusa Tenggara Timur Kabupaten/ Kota Kota Kupang
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Lokasi
Responden
Lokasi
Responden
Lokasi
Responden
8
268
20
182
2
404
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
3
Penarikan sampel dilakukan 2 tahap. Tahap pertama menarik sampel lokasi kemudian dari lokasi terpilih dilakukan pemilihan responden. Pada tahap penarikan sampel lokasi digunakan kerangka sampel hasil listing yang telah dibuat. Lokasi sebagai primary sampling unit (psu) dipilih dengan cara probability proportional to size (pps) dengan size banyaknya populasi dalam lokasi. Pada penarikan sampel responden dibedakan antara jenis populasi bergerak (mobile) dan tidak bergerak (non-mobile). Pada populasi bergerak dilakukan penarikan sampel secara random atau langsung sesuai dengan yang ditentukan. Sedangkan pada populasi tidak bergerak, penarikan sampel responden digunakan secara sistematik.
4
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
2
Karakteristik Sosial Demografi
Struktur Umur Struktur umur WPS untuk Kota Kupang menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS tidak langsung relatif lebih muda dibanding WPS langsung. Gambar 2.1 menunjukkan bahwa sebagian besar atau lebih dari 70 persen WPS tidak langsung berumur kurang dari 30 tahun, sedangkan untuk WPS langsung sebesar 47 persen.
Sebagian besar WPS tidak langsung berusia di bawah 30 tahun.
WPS tidak langsung mempunyai rata-rata umur 26,7 tahun sedangkan WPS langsung 29,8 tahun. Sementara itu untuk responden pria, struktur umur mereka berada pada usia produktif dengan rata-rata umur 30,2 tahun dan sebesar 53 persen dari mereka juga berumur di bawah 30 tahun. Gambar 2.1. Struktur Umur Responden
Responden Pria
5
WPS Tidak Langsung
15
WPS Langsung
8
0 Kurang dari 20 tahun
21
27
20
32
17
14
24
26
22
20 20 - 24 tahun
27
40
Persen
25 - 29 tahun
27
60
30 - 34 tahun
15
80
100
35 tahun atau lebih
Status Perkawinan Sebagian besar responden pria (53,2 persen) berstatus kawin. Persentase responden pria yang berstatus cerai, hanya sedikit sekali, yaitu hanya sebesar 1,5 persen, sedangkan yang berstatus belum kawin sebesar 45,3 persen. Sebagian besar WPS langsung berstatus cerai, yaitu sebesar 70,4 persen, sedangkan WPS tidak langsung yang berstatus cerai sebesar 48,9
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Cukup banyak responden pria berstatus kawin sedangkan WPS banyak yang berstatus cerai
5
persen. Di antara WPS langsung sebesar 24,0 persen menyatakan belum kawin sementara untuk WPS tidak langsung sebesar 37,4 persen. Persentase WPS yang berstatus kawin, sebesar 5,6 persen, sedangkan untuk WPS tidak langsung persentasenya lebih besar, yaitu 13,7 persen.
Tingkat Pendidikan Sebagian besar WPS berpendidikan rendah (tamat SD atau kurang). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.2, WPS yang berpendidikan rendah sangat dominan pada kelompok WPS langsung, yaitu maksimum tamat SD (77,6 persen). Sementara yang berpendidikan SLTA ke atas hanya sebesar 4,8 persen, sedangkan yang berpendidikan tamat SLTP ada sebesar 17,5 persen. Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden
Responden Pria
17
WPS Tidak Langsung
8
WPS Langsung
24
27
Tidak Tamat SD
20 Tamat SD
33
36
41
0
WPS tidak langsung berpendidikan lebih tinggi dibanding WPS langsung
26
29
36
40
Persen
Tamat SLTP
60
18
80
5
100
Tamat SLTA atau lebih tinggi
Hampir separuh (41,4 persen) WPS langsung, berpendidikan tidak tamat SD. Untuk WPS tidak langsung angkanya jauh lebih kecil, yaitu hanya sebesar 8,2 persen WPS tidak langsung lebih banyak yang berpendidikan lebih tinggi dibanding WPS langsung, di antaranya sebesar 29,1 persen berpendidikan SLTA ke atas, sedangkan yang berpendidikan maksimun tamat SD sebesar 35,2 persen. Sebagian besar responden pria mempunyai pendidikan yang relatif memadai, yaitu sebesar 56,9 persen berpendidikan minimal SLTP. Responden pria yang berpendidikan tidak tamat SD sebesar 16,8 persen, sedangkan yang berpendidikan tamat SD sebesar 26,2 persen.
6
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Daerah Asal Sebagian besar WPS adalah pendatang, sebesar 67,9 persen WPS langsung dan 58,2 persen WPS tidak langsung berasal dari Propinsi Jawa Timur. WPS yang berasal dari propinsi setempat (NTT) sebesar 23,5 persen WPS langsung, dan 29,1 persen WPS tidak langsung. Sedangkan WPS yang bukan berasal dari propinsi setempat lainnya berasal dari Jawa Tengah sebesar 3,7 persen untuk WPS langsung, dan 1,6 persen untuk WPS tidak langsung, Sulawesi Selatan sebesar 2,2 persen untuk WPS tidak langsung, Jawa Barat sebesar 2,8 persen untuk WPS tidak langsung, serta beberapa propinsi lain yang angkanya relatif kecil (di bawah 1,50 persen).
Baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung, sebagian besar berasal dari Propinsi Jawa Timur
Sebagian besar responden pria adalah penduduk setempat, yaitu sebesar 65,4 persen, sedangkan yang dari luar NTT berasal dari Jawa Tengah (3,5 persen), Jawa Timur (10,4 persen), Sulawesi Selatan (5,7 persen), Sulawesi Tenggara (5,4 persen) dan Sulawesi Utara (3,5 persen). Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden
Responden Pria
10
65
WPS Tidak Langsung
3
58
WPS Langsung
29
68
0
20
6
22
24
40
60
16
9
4 13
80
100
Persen Jaw a Timur
NTT
Jaw a Tengah
Sulaw esi Selatan
Lainnya
Mobilitas Mobilitas WPS dan responden pria cukup tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung hampir separuhnya pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain (46,3 persen WPS langsung dan 46,2 persen WPS tidak langsung).
Hampir separuh WPS di Kota Kupang pernah bekerja di daerah/kota lain
Dari hasil SSP 2003 menunjukkan bahwa dari responden pria yang pernah berhubungan seks komersial selama setahun terakhir, seluruhnya pernah berhubungan seks di luar Kota Kupang.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
7
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks
Responden pria telah melakukan hubungan seks rata-rata selama 11 tahun
Rata-rata usia responden pria pertama kali berhubungan seks ternyata masih relatif muda, yaitu 19,3 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang, yaitu 30,2 tahun, maka dapat dikatakan bahwa responden pria di Kota Kupang telah melakukan hubungan seks rata-rata selama 11 tahun. Jika dilihat dengan siapa responden pria pertama kali berhubungan seks, ternyata sekitar 14,4 persen responden pria berhubungan seks pertama kali dengan WPS. Meskipun demikian persentase mereka yang berhubungan seks pertama kali dengan pacar/ kekasih merupakan yang tertinggi (49,2 persen). Gambar 2.4. Pasangan Seks Pertama pada Responden Pria
60 49.2
50
Persen
40 30
21.5
20
12.8
14.4
Kenalan/teman
WPS
10 0.5 0 Istri
Pasangan tetap
Pacar/kekasih
Lama Bekerja sebagai Penjaja Seks
Rata-rata pelanggan per minggu WPS langsung dua kali lebih banyak dibanding WPS tidak langsung
8
Lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui karena semakin lama sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV. Dengan demikian WPS langsung lebih berisiko karena pada umumnya mereka sudah menjalani pekerjaan ini selama lebih dari 4 tahun, atau secara rata-rata 4 tahun 2 bulan, dibanding WPS tidak langsung yang rata-rata sudah menjalani pekerjaan ini selama 3 tahun 3 bulan. Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu (seminggu terakhir), ternyata WPS langsung melayani pelanggan hampir dua kali banyaknya dibanding WPS tidak langsung. WPS langsung melayani sebanyak 7 hingga 8 pelanggan, sedangkan WPS tidak langsung sebanyak 4 hingga 5 pelanggan per minggu. Sementara itu frekuensi berhubungan seks dengan WPS selama setahun terakhir untuk responden pria sebanyak 3 hingga 4 kali.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Tarif Penjaja Seks Hasil SSP menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterima oleh WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 66,3 ribu untuk WPS langsung dan Rp 168,3 ribu untuk WPS tidak langsung.
Perbedaan tarif WPS tidak langsung hampir tiga kali lipat dibanding WPS langsung
Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, dapat diduga bahwa mereka rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat.
Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir
Responden Pria
32
168
WPS Tidak Langsung
66
WPS Langsung 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Ribuan Rp
Cukup menarik untuk dilihat, bahwa rata-rata uang yang dibayarkan oleh responden pria kepada WPS sekitar Rp 32 ribu, dari hal ini tersirat bahwa responden pria umumnya adalah pelanggan dari WPS langsung.
Rata-rata Pendapatan Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dengan uang yang diterima maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan rata-rata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu sekitar Rp 523,8 ribu atau sekitar Rp 1,6 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung sekitar Rp 673,2 ribu seminggu atau sebesar Rp 2,0 juta sebulan. Besarnya pendapatan ini lebih tinggi dari rata-rata pendapatan per bulan yang diterima karyawan yang bekerja di Kota Kupang, yaitu sebesar Rp 830,5 ribu per bulan (BPS, diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002). Apabila dibandingkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) Propinsi Nusa Tenggara Timur yang sebesar Rp 330 ribu per bulan (BPS, 2003. “Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002”), maka rata-rata penghasilan kotor seorang WPS, terutama WPS tidak langsung memang jauh lebih besar.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Rata-rata penghasilan seorang WPS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata upah minimum seorang buruh/ karyawan.
9
10
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
3
Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pernah Mendengar HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui oleh setiap orang, terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS.
Sebagian besar responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS
Hasil SSP di Kupang menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara ketiga kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah WPS langsung, yaitu sebesar 93,7 persen. Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS
Responden Pria
87
WPS Tidak Langsung
89
WPS Langsung
94
0
20
40
60
80
100
Persen
Pengetahuan mengenai HIV/AIDS Meskipun persentase yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS besar, namun sebagian tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Tidak terdapat perbedaan yang cukup berarti antara WPS langsung dan WPS tidak langsung tentang pemahamannya mengenai HIV/AIDS. Sekitar 45 persen saja yang dapat secara cermat memberikan informasi lebih detil tentang HIV/AIDS yaitu mengatakan bahwa AIDS adalah penyakit kelamin. Sedangkan yang mengatakan AIDS adalah penyakit yang tak bisa disembuhkan sebesar 55,2 persen untuk WPS langsung dan 50,6 persen WPS tidak langsung. Untuk responden pria,
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS
11
yang mengatakan bahwa AIDS adalah penyakit kelamin sebesar 52,2 persen, sedangkan yang mengatakan AIDS adalah penyakit yang tak bisa disembuhkan 49,0 persen. Di kalangan WPS langsung 10 persen menyatakan tidak mengetahui HIV/AIDS meskipun pernah mendengarnya, sementara WPS tidak langsung sekitar 5 persen dan responden pria sebesar 5,9 persen. Gambar 3.2. Pengetahuan tentang HIV/AIDS 60
55
52
51 50
49
45
44
Persen
40 Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin
30
Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan
20 10 10
5
6
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS
Responden Pria
Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Di antara ketiga kelompok sasaran, tidak terdapat perbedaan yang cukup berarti pada tingkat pengetahuannya tentang cara mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS. Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Sebagian besar responden tidak tahu cara yang tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS
12
Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan kelompok orang yang berperilaku berisiko, ternyata kurang dari 50 persen dari kelompok sasaran yang mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui seseorang tertular HIV atau tidak. Di antara WPS langsung hanya sebesar 45,8 persen yang menjawab dengan benar ketika ditanyakan hal tersebut. Sekitar seperempat dari seluruh kelompok sasaran menyatakan tidak tahu, sementara yang lainnya memberi jawaban yang salah.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Gambar 3.3. Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Tertular HIV/AIDS
Responden Pria
37
WPS Tidak Langsung
26 49
WPS Langsung
26
46 0
10
20
20 30
40
50
60
70
80
Persen Tes darah
Tidak tahu
Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menjadi tuntunan untuk melakukan tindak pencegahan yang benar. Di pihak lain perilaku seseorang tidak selalu sejalan dengan tingkat pengetahuannya.
Pemahaman tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas
Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan “teoritis” dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku, maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui “probing” (dengan menyebutkan jenisjenis cara pencegahan HIV). Paling tidak ada empat cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, serta hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV dan yang tidak punya pasangan lain. Keempat cara tersebut ditanyakan dalam 2 tahapan seperti sistem bertanya di atas. Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh WPS langsung (78,0 persen). Demikian juga kalangan responden pria, namun dengan proporsi yang lebih kecil (43,3 persen). Setelah digali lebih jauh (probing), yang menjawab bahwa virus HIV bisa dicegah penularannya dengan menggunakan kondom ketika berhubungan seks, menjadi lebih besar proporsinya.
..... meskipun kaum perempuan secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya tidak mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan yang menarik bagi mereka.
Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini tidak berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuknya.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
13
Dengan cara mendapatkan jawaban responden melalui jawaban spontan dan probing, persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban “berhubungan seks hanya dengan satu pasangan”, yang naik dari 16,4 persen dari jawaban spontan menjadi 70,2 persen ketika dilakukan probing pada WPS langsung. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun kaum perempuan tersebut secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya tidak seorang pun di antara mereka yang mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan yang menarik bagi mereka. Ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan, karena WPS memberikan pelayanan seks, dan pengetahuan tersebut menjadi tidak relevan bagi WPS. Gambar 3.4. Cara yang Diketahui Agar Tidak Tertular HIV/AIDS
Tidak melakukan hubungan seks 100
Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan
70
69 59
57
15
15
14
16 WPS-L
66
Resp. Pria
59
78
WPS-TL
73 65
WPS-L
69
60
64
64
60
40
43 21
19 WPS-TL
20
Menghindari penggunaan jarum suntik bersama
87
WPS-L
Persen
80
Menggunakan kondom saat berhubungan seks
23
20
24
Setelah diprobing
Resp. Pria
WPS-TL
Resp. Pria
WPS-TL
WPS-L
Resp. Pria
0
Jaw aban Spontan
Dari ketiga kategori kelompok berisiko terlihat bahwa secara umum pengetahuan WPS lebih baik dari responden pria, terutama WPS tidak langsung. Menarik untuk dicatat bahwa lebih banyak WPS dibandingkan responden pria yang secara spontan menyatakan cara mencegah tertular HIV dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks.
14
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Gambar 3.5. Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS 100
Persen
80
66
64
63
38
41
60 40
43
20
Setelah diprobing
0
Jaw aban spontan Kupang
Denpasar
Makassar
Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan responden pria tentang penggunaan kondom dapat mencegah tertular HIV/AIDS, relatif tidak berbeda nyata antara hasil SSP di Kota Kupang, Denpasar, dan Makassar. Sebelum diprobing, persentasenya berkisar antara 38 persen hingga 43 persen, dan setelah diprobing meningkat menjadi antara 63 persen hingga 66 persen.
Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang berpemahaman rendah tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (13,8 persen), WPS tidak langsung (4,9 persen), dan responden pria (11,4 persen). Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok sasaran terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terutama terlihat pada kalangan WPS, meski juga tidak sedikit proporsi responden pria yang berpemahaman salah. Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah infeksi menular seksual (IMS) oleh WPS, baik WPS langsung (44,8 persen), maupun WPS tidak langsung (30,8 persen). Lebih dari 26 persen responden pria juga berfikir bahwa minum obat juga dapat melindungi mereka dari kemungkinan tertular IMS atau HIV/AIDS.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja
...... kondomlah satusatunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangannya.
15
Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berfikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu-satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Gambar 3.6. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS
50
Makan makanan yang bergizi
43 WPS Langsung
37
WPS Tidak Langsung 31
Tidak menggunakan secara bersama alat makan
26 21
Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain
12 26 27
Minum obat sebelum berhubungan seks
31 45 0
Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Departemen Kesehatan, persentase WPS yang mendapat suntikan pencegahan IMS dan HIV masih cukup tinggi
16
Responden Pria
25
20
40
Persen
60
80
100
Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu di antaranya adalah memperoleh suntikan untuk pencegahan IMS dan HIV secara reguler. Ada perbedaan yang cukup nyata antara WPS langsung dan WPS tidak langsung yang memperoleh suntikan ini. Di antara WPS langsung sebanyak 49,6 persen yang memperoleh suntikan ini, sementara WPS tidak langsung angkanya hanya 18,1 persen. Departemen Kesehatan sudah tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila “petugas kesehatan” masih memberikan suntikan, itu adalah di luar program Departemen Kesehatan. Bila penyuntikanpenyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan, maka bahaya lain dapat muncul yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali), tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media efektif untuk penyebaran penyakit lain, seperti Hepatitis.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
4
Persepsi Berisiko
Merasa Berisiko Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan sesuatu yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Bahkan di antara responden pria hanya sebesar 32,2 persen yang merasa berisiko.
WPS merasa lebih berisiko, daripada responden prianya
Pemahaman tentang risiko lebih tinggi pada kelompok WPS, di mana lebih dari setengahnya yang merasa berisiko, baik pada kelompok WPS langsung maupun WPS tidak langsung. WPS langsung yang merasa berisiko sebanyak 54,6 persen, sedangkan WPS tidak langsung sebanyak 53,1 persen. Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS
Responden Pria
32
50
18 Merasa Beresiko
WPS Tidak Langsung
53
32
Tidak Merasa
15
Tidak Tahu WPS Langsung
55
0
20
26
40
Persen
60
19
80
100
Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Sebagian besar WPS langsung (62,7 persen) yang merasa tidak berisiko, memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar), tetapi di antara WPS tidak langsung persentase tertinggi adalah yang menyatakan bahwa “yakin pasangannya bersih”, yang sebesar 46,2 persen (pemahaman yang salah), lihat pada Gambar 4.2.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
17
Tidak seorang pun responden pria yang tidak merasa berisiko dengan alasan berobat terlebih dahulu. Kelompok yang merasa tidak berisiko, sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok yang merasa tidak berisiko tetapi dengan pemahaman yang salah. Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya
100
Persen
80
63
60
46
40
29
27 14
20
19
18 4
0
0 Karena selalu menggunakan kondom
Karena yakin pasangannya bersih
WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Karena berobat terlebih dahulu
Responden Pria
Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan
Dibandingkan WPS, responden pria kurang menyadari adanya risiko tertular HIV
18
Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP di Kota Kupang menunjukkan bahwa asumsi tersebut tidak seluruhnya benar. Tidak tergambar pola yang mendukung asumsi tersebut. WPS langsung yang tamat SD dan merasa berisiko sebesar 62,5 persen, justru lebih tinggi persentasenya dibanding yang tamat SLTP sebesar 52,3 persen.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Pendidikan Tertinggi 100 80
69
67
Persen
62 60 46
53
52
47
44 34
40
33
33
26
20 0 WPS Langsung Tidak tamat SD
WPS Tidak Langsung Tamat SD
Tamat SLTP
Responden Pria Tamat SLTA atau lebih tinggi
Untuk WPS tidak langsung, justru yang tamat SLTA atau lebih persentasenya paling kecil, yaitu hanya sebesar 44,0 persen. Sementara WPS tidak langsung yang tamat SLTP sebesar 67,3 persen yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS. Secara umum bisa dikatakan bahwa jika dibandingkan dengan WPS, responden pria kurang menyadari adanya risiko tertular HIV, bahkan di antara mereka yang berpendidikan relatif tinggi.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
19
20
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
5
Pola Perilaku Berisiko
Penggunaan Jasa Penjaja Seks Banyaknya responden pria yang menyatakan pernah berhubungan seks dengan penjaja seks dalam setahun terakhir adalah sebanyak 55,1 persen. Komposisi yang pernah membeli seks komersial berdasarkan status perkawinan responden adalah sebanyak 45,6 persen berstatus kawin dan 66,0 persen yang berstatus belum kawin. Cukup besarnya persentase pelanggan seks yang berstatus kawin yang melakukan hubungan seks komersial menunjukkan cukup potensialnya penyebaran penyakit kelamin dan HIV ke dalam lingkungan keluarga. Gambar 5.1. Responden Pria yang Pernah Membeli Seks dalam Setahun Terakhir menurut Status Perkawinan 80 66 60
55
Persen
46 40
20
0 Tidak Kaw in
Kaw in
Total
Penggunaan Kondom Responden yang menggunakan kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (untuk responden pria) atau selama seminggu terakhir (untuk WPS) secara umum sekitar 52,0 persen. Di antara ketiga kelompok sasaran, WPS langsung persentasenya paling tinggi, yaitu sebesar 74,3 persen, sedangkan WPS tidak langsung sebesar 41,8 persen dan responden pria sebesar 32,9 persen.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Responden pria lebih berisiko tertular HIV, dilihat dari kecilnya proporsi mereka yang selalu menggunakan kondom
21
Jika diteliti lebih jauh lagi di lingkungan WPS langsung ada 30,3 persen yang selalu menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir, sedangkan WPS tidak langsung yang selalu mengggunakan kondom proporsinya lebih sedikit, yaitu sebesar 20,9 persen. Sebaliknya, responden pria merupakan yang paling kecil proporsinya (18,6 persen). Gambar 5.2. Penggunaan Kondom pada seks Komersial 100
Persen
80
74
60 42 40
33
30 21
20
19
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Pakai kondom dalam seks komersial terakhir Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (responden pria) atau seminggu terakhir (WPS)
Antara Pengetahuan dan Perilaku WPS langsung lebih banyak memakai kondom dibanding WPS tak langsung
Data pada Bab 2 menunjukkan bahwa WPS tidak langsung, umumnya lebih muda, lebih berpendidikan, cukup lama bekerja di bidang tersebut, dan mempunyai tarif lebih tinggi dibandingkan WPS langsung. Namun demikian perilaku WPS tidak langsung dan WPS langsung ternyata tidak jauh berbeda. Dugaan semula WPS tidak langsung yang relatif lebih berpendidikan, dan pelanggannya dari kelompok yang lebih peduli pada perilaku seks yang aman, justru jauh lebih rendah persentase penggunaan kondomnya. Persentase WPS langsung yang tahu mencegah HIV pakai kondom tapi tidak memakainya pada hubungan seks terakhir hanya 21 persen, yang berarti 77,3 persen menggunakan kondom pada seks terakhir dan 1,7 persen responden tidak ingat. Sementara itu WPS tidak langsung hanya 52,8 persen saja yang menggunakan kondom pada seks terakhir.
22
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Gambar 5.3. Tahu bahwa Kondom Dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 100
Persen
80
Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pernah menaw arkan kondom kpd pelanggan
60 46
Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir
40 21
20
20 6 0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Di kalangan responden pria polanya tampak tidak menentu, meski di sebagian besar tempat mangkal mereka kondom mudah di peroleh. Boleh jadi mereka tidak menggunakan kondom karena alasan lain, seperti karena merasa kurang enak, ditambah lagi karena mereka kurang peduli untuk mengenakannya ketika berhubungan seks. Gambar 5.4 memperlihatkan perilaku tersebut. Gambar 5.4. Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam Hubungan Seksual
Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir
41
Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi mempunyai lebih dari satu pasangan seks
59
Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi pernah berhub seks dg WPS setahun terakhir
55
Tahu pencegahan tidak melakukan hub seks tetapi melakukan hub seks dg WPS selama setahun terakhir
57
0
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
20
40 Persen
60
80
100
23
Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji adalah dalam penggunaan kondom. Responden yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya, dan sangat menarik bahwa responden wanita (WPS) dan responden pria menunjukkan jawaban yang konsisten, yaitu sebagian besar karena pelanggan (responden pria) tidak menghendaki pakai kondom karena “merasa kurang enak,” seperti terlihat pada Gambar 5.5, angkanya lebih dari 40 persen.
..... keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak, pada umumnya ada pada pelanggan
Gambar 5.5. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada seks Komersial Terakhir
100
Persen
80
Pelanggan
WPS
60 41 40 24
41
30 19
20
10
7
6
18
4
0 Tidak ada/tidak tersedia
Pelanggan tdk mau/terasa kurang enak
Pasangan bersih
Tanpa alasan
Lainnya
Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena “ketidak inginan” kaum lelaki untuk menggunakannya, memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada WPS. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak pada umumnya ada pada pelanggan.
Seks Anal dan Narkoba Ancaman HIV juga datang dari berhubungan sesama pria (seks anal) dan penggunaan narkoba suntik
Ancaman lain terhadap kaum lelaki dalam hal berperilaku seks tidak hanya datang dari hubungan seks mereka dengan WPS, tetapi ada juga yang berasal dari berhubungan seks dengan sesama mereka. Dengan demikian bagi kaum lelaki yang senang berhubungan seks sesamanya, kecenderungan seperti ini harus disikapi secara serius. Di Kota Kupang, meski sedikit, ditemukan responden pria yang pernah berhubungan seks dengan waria pada setahun terakhir, yaitu sekitar 1,2 persen. Di kalangan kelompok sasaran di Kota Kupang, penggunaan narkoba atau obat-obatan terlarang juga terungkap, terutama di kalangan WPS tidak langsung (1,1 persen). Sementara pengguna narkoba di kalangan
24
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
WPS langsung dan responden pria persentasenya relatif lebih kecil (0,4 persen di kalangan WPS langsung dan 0,5 persen di kalangan responden pria). Gambar 5.6. Responden dan masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik
4 3.3
Persen
3 1.9
2
1.5 1.1
1
0.5
0.4 0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Pernah menggunakan narkoba suntik Pasangan seks pernah menggunakan narkoba suntik
Para pengguna narkoba suntik ini umumnya melakukannya dengan sadar, atau tahu bahwa tindakannya berisiko. Di Kota Kupang, meski kecil persentasenya (sekitar 1,5 hingga 3,3 persen), ada juga pasangan seks baik WPS maupun responden pria yang menggunakan narkoba suntik. Selain itu, yang juga mengkhawatirkan adalah pria pengguna narkoba suntik ini juga punya banyak pasangan seks dan sangat jarang menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pasangannya. Ini merupakan penyebar virus HIV yang sangat potensial.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Ada juga pasangan seks responden yang menggunakan narkoba suntik
25
26
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
6
IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan
Infeksi Menular Seksual (IMS) Dari ketiga kelompok berisiko, cukup banyak dari kalangan WPS yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir. Persentasenya relatif sama antara WPS langsung dan WPS tidak langsung, masing-masing sekitar 25 persen. Dari kalangan responden pria, angkanya sebesar 17,0 persen Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami IMS 80
75
71
Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir
60
Persen
48 Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial setahun terakhir
40
20
15
14 8
0 WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Informasi di atas adalah dari apa yang dilaporkan oleh responden. Kenyataannya barangkali jauh lebih besar, karena pada perempuan tidak menunjukkan gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan. Penyakit tersebut mereka terima terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi mereka yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial.
Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita infeksi penyakit menular (IMS)
Di kalangan WPS tidak langsung, sebesar 71,4 persen yang terkena gejala IMS adalah mereka yang tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kalangan responden pria angkanya lebih tinggi lagi (75,0 persen), sedangkan WPS langsung angkanya justru lebih rendah (48,5 persen).
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
27
Jenis Keluhan IMS Keluhan IMS pada perempuan dan laki-laki tidak selalu sama. Ada keluhan tertentu yang dialami perempuan tetapi tidak dialami laki-laki, demikian juga sebaliknya. Misalnya, penyakit kencing nanah dikeluhkan lelaki, sebaliknya penyakit keputihan dikeluhkan perempuan. Secara umum keputihan disertai bau tak sedap merupakan gejala IMS yang banyak diderita oleh kalangan WPS. Persentase yang menderita gejala ini pada WPS sangat tinggi, yaitu 88,1 persen untuk WPS langsung dan 89,1 persen untuk WPS tidak langsung. Banyak juga WPS yang menderita luka/koreng di daerah alat kelamin, di mana besarnya adalah 20,9 persen untuk WPS langsung, dan 23,9 untuk WPS tidak langsung. Ini perlu mendapat perhatian serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya. Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS 100
89
88
80
Persen
64 60 46 40 21 20
19
51 Luka/koreng di daerah alat kelamin Benjolan di sekitar alat kelamin
24
Keputihan disertai dengan bau tak sedap
6 0
Kencing nanah WPS Langsung
WPS Tidak Langsung
Responden Pria
Sementara itu, keluhan berupa luka/koreng dan benjolan di sekitar alat kelamin, serta kencing nanah merupakan keluhan IMS yang kerap dialami responden pria. Sebagian besar responden pria menderita luka/ koreng di daerah alat kelamin (63,9 persen), sementara yang menderita kencing nanah sebesar 50,8 persen dan benjolan sekitar alat kelamin sebesar 45,9 persen.
Tempat Berobat Pada umumnya (74,6 persen) WPS langsung berobat ke petugas kesehatan bila mengalami keluhan IMS. Sementara itu untuk WPS tidak langsung angkanya sebesar 45,6 persen, sedangkan responden pria
28
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
sebesar 31,2 persen. Pilihan lain yang pada umumnya dipilih setelah berobat ke petugas kesehatan adalah melakukan pengobatan sendiri dengan antibiotik, di mana angkanya adalah 14,9 persen untuk WPS langsung, 21,7 persen WPS tidak langsung, dan 32,8 persen untuk responden pria. Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien, karena hasil SSP di Kupang juga mengungkapkan bahwa sekitar 43 persen dari WPS langsung, 56 persen dari WPS tidak langsung, dan 75 persen dari responden pria yang berobat sendiri, akhirnya pergi ke tempat pelayanan kesehatan juga. Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS dan Cara yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut
31
Responden Pria
21
46
WPS Tidak Langsung
22
0
20
11
19
75
WPS Langsung
6 2
28
15
40
60
7
80
2
30
100
Persen Berobat ke petugas kesehatan
Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik
Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain
Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati
Berobat ke dukun/tabib
Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati IMS yang dialami, ternyata berbeda antar kelompok sasaran seperti terlihat pada Gambar 6.4. Baik WPS langsung (60,0 persen) maupun WPS tidak langsung (47,6 persen), pada umumnya mengunjungi klinik yayasan apabila mengalami gejala IMS, sedangkan responden pria lebih memilih ke rumah sakit (42,1 persen).
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung, pilihan pertama tempat berobat adalah klinik yayasan , sedangkan responden pria lebih memilih rumah sakit
29
Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan
5
Responden Pria
WPS Tidak Langsung
42
28
WPS Langsung
6
Dokter praktek
5
19
20
Rumah sakit
40
Pustu/Puskesmas
5
0
48
60
4 4
0
21
21
4
Persen
60
Klinik/Yayasan
22
80
100
Mantri kesehatan
Lainnya
Pilihan kedua bagi WPS langsung adalah mengunjungi klinik lokalisasi (22,0 persen), sementara WPS tidak langsung lebih memilih mengunjungi dokter praktek (28,6 persen). Responden pria, selain rumah sakit, juga memilih Pustu/Puskesmas atau klinik yayasan, di mana persentasenya sama, yaitu 21,0 persen. Tidak jelas apa alasan pilihan ini, bisa karena akses yang mudah, karena sudah langganan, atau biaya berobat yang berbeda.
30
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
7
Kesimpulan dan Saran
Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dalam masa itu, kita telah belajar banyak tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Di Kota Kupang, intervensi pendidikan seperti ini meski belum mencakup seluruh kelompok sasaran, namun cakupannya sudah cukup luas. Ini terlihat dari cukup banyaknya proporsi WPS yang pernah hadir dalam program promosi pencegahan penularan HIV/AIDS, yaitu 80 persen untuk WPS langsung dan 52,8 persen untuk WPS tidak langsung. Namun sayangnya, sedikit sekali kalangan pelanggan yang terjangkau forum seperti ini, yaitu hanya 30,1 persen. Hasil SSP di antaranya juga memperlihatkan, lebih dari 40 persen kalangan WPS, baik langsung maupun tidak langsung, mengatakan bahwa mereka pernah mengetahui atau memperoleh program cara pencegahan HIV dalam setahun terakhir. Satu hal yang dapat dipelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Orang perlu motivasi, kepandaian/keterampilan dan jasa untuk menindaklanjuti informasi yang mereka terima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang dalam konteks Kota Kupang. Hasil ini mengungkapkan adanya perilaku berisiko pada tingkat yang tinggi dan adanya ancaman yang kuat akan meluasnya epidemi HIV di daerah ini. Bagian ini memberikan ringkasan mengenai beberapa temuan utama dari surveilans perilaku di Kota Kupang, dan tantangan yang muncul, serta usulan tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut.
TEMUAN KUNCI Pengetahuan dan Persepsi Risiko •
Banyak orang pernah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan rinci tentang HIV, tentang cara pencegahannya masih sangat rendah.
•
Ada kesenjangan yang lebar dalam pengetahuan di antara lelaki dengan perilaku berisiko tinggi, khususnya mengenai penting dan efektifnya penggunaan kondom untuk mencegah tertular IMS atau HIV.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
31
•
Adalah sangat berbahaya adanya kepercayaan yang begitu meluas bahwa menggunakan obat sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV.
•
Meski responden mempunyai pengetahuan yang cukup, namun mereka tidak selalu siap untuk mengubah perilaku mereka ke perilaku yang sehat.
•
Banyak responden yang tahu bagaimana HIV ditularkan, namun mereka tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut. Dengan jelas mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Ada ketidaksesuaian yang substansial di antara responden yang merasa diri berisiko, dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan.
Perilaku Berisiko dan Kondom
32
•
Sekitar 50 persen kaum lelaki dalam kelompok responden SSP melakukan hubungan seks sebelum menikah, lebih dari separuh lelaki berstatus kawin melaporkan juga berhubungan seks dengan bukan pasangan nikahnya (termasuk WPS). Lebih dari separuh kaum lelaki membeli jasa seks dari WPS, dan menolak menggunakan kondom.
•
WPS tidak langsung merupakan pengguna kondom yang paling rendah di antara WPS, namun pelanggan mereka lebih parah lagi (lebih dari 80 persen tidak selalu memakai kondom).
•
Terlepas dari tidak selalu digunakannya kondom tersebut, pada kenyataannya kondom cukup tersedia di mana transaksi seks berada, termasuk di sebagian besar tempat responden pria berkumpul.
•
Alasan sebagian besar WPS tidak menggunakan kondom adalah karena pelanggannya tidak suka atau tidak mau menggunakannya, meskipun kebanyakan mereka selalu menawarkannya.
•
Proporsi kaum lelaki yang melaporkan melakukan hubungan seks melalui anal dengan waria memang kecil, namun seluruh aktivitas yang berisiko tinggi ini dilakukan tanpa perlindungan kondom sehingga sangat berbahaya.
•
Proporsi responden yang menggunakan narkoba suntik memang kecil, namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV dan prevalensinya cenderung menaik. Adanya pasangan mereka yang menggunakan narkoba suntik dengan jumlah yang juga cukup berarti juga sangat mengkhawatirkan.
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan •
Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi yang dapat diukur dari tingginya persentase responden yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas yang pernah tertular IMS adalah mereka yang melaporkan tidak menggunakan kondom.
•
Banyak orang dengan gejala awal IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri. Bila upaya mereka gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan.
•
Tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh WPS adalah klinik yayasan. Sebaliknya responden pria lebih memilih rumah sakit. Tidak jelas benar apakah para medis ini mendapat pelatihan cara menangani IMS atau tidak.
•
Proporsi yang cukup tinggi dari WPS yang melaporkan telah menerima injeksi secara rutin untuk “melindungi” diri dari HIV dan IMS merupakan tantangan bagi pemerintah, karena membiarkan kaum perempuan berada dalam kondisi yang berbahaya (merasa aman dengan adanya injeksi dimaksud).
Usulan Tindakan •
Menjamin tersedianya akses universal terhadap informasi yang relevan, rinci dan benar tentang HIV, dan cara pencegahannya untuk orang-orang yang berisiko tinggi.
•
Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya dan pengorganisasian “kampanye penggunaan kondom” yang menyediakan insentif bagi kaum lelaki yang berisiko yang tidak pernah menggunakan untuk mencobanya.
•
Mempertimbangkan pelaksanaan promosi dan distribusi kondom di kalangan ABK/nelayan dan di tempat-tempat lain di mana kaum lelaki dengan perilaku risiko tinggi dapat secara berkala ditemui.
•
Dalam semua aktivitas promosi kondom, perlu ditekankan akan kebutuhan/pentingnya penggunaan kondom pada kegiatan seks berisiko.
•
Bekerja sama dengan pemilik atau pengelola lokalisasi, rumah bordil dan panti pijat/bar/karaoke atau sejenisnya untuk menganjurkan para penanggungjawab/germo/mucikari/mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom langsung
•
Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek-praktek penyuntikan massal bagi pekerja seks. Mempertimbangkan sanksi
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur
33
hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek bagi orang-orang yang menyediakan “jasa” tersebut. •
Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan IMS dan nasehat perlindungannya, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obatobatan yang tepat.
•
Bekerja dengan para pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk mengerahkan WPS agar terlatih secara personil dalam skrining IMS dan perawatannya. Mempertimbangkan untuk mengenalkan “kartu sehat” bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang pernah dialami.
•
Melakukan penilaian secara rinci mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersial, dan memulai program pengurangannya bila diperlukan.
----- ooo0ooo -----
34
Laporan Hasil SSP 2003 – Nusa Tenggara Timur