LAPORAN HASIL PENELITIAN
.. I
PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus Di Polrestabes Semarang)
PELAKSANA:
.
Dr. Suparmin, SH., M.Hum/ NPP : 09.06.1.0174 Endah Dhardi Wiharyati/NIM : 097010323
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WAHID HAS YIM
SEMARANG 2013
ABSTRAK Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Dalam penulisan ini perumusan yang dikemukakan adalah : 1 ). Bagaimana peraturan melindungi perempuan dari korban KDRT ?, 2). Bagaimana aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap korban KORT ?, 3). Bagaimana proses peradilan pidana dalam perkara KDRT ?. Tujuan dalam penulisan ini adalah : untuk mengetahui peraturan dalam melindungi perempuan dari korban, aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap korban, dan proses peradilan pidana dalam perkara. Dalam penulisan ini metode penelitian yang biasa digunakan dalam penelitian hukum yang dimaksudkan sebagai sarana dalam upaya mendekati dan mencari kebenaran objektif dari pokok permasalahan. Dalam memberikan perlindungan huk:um, aparat penegak huk:um ikut berperan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap korban kejahatan dan kekerasan dalam rumah tangga. Adapun peran aparat penegak hukum adalah : 1 ). Peran Kepolisian, 2). Peran Advokad, 3). Peran Pengadilan. Dalam rnemberikan perlindungan tersebut, aparat penegak hukum dapat bekerjasama dengan: 1). Tenaga kesehatan, 2). Pekerja sosial, 3). Relawan pendamping, 4). Pembimbing rohani. Sebagai wujud perlindungan hukum korban kekerasan terhadap perempuan, peran hakim dalam proses peradilan pidana khususnya mengenai lejahatan kekerasan terhadap perempuan, memegang peranan yang penting dalam perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban. Hal ini didasarkan pada peran hakirn dalam mengungkap fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh di pemeriksaan sidang, yang menentukan jalannya proses peradilan pidana secara adil terhadap pelaku maupun korban kejahatan kekerasan terhadap perempuan.
Kata kunci : Penegakan dan Perlindungan Hukum, Perempuan, Kekerasan
v
.
'
DAFfARISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PEN GANTAR
i
�··ii
:
, � :
iv
................................................................................................................ v'
ABSTRAK
�
DAFTAR ISi.
BAB I PENDAHULUAN
'1
A. Latar Belakang
B. C. D. E.
�.......... Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan......................................................................
l
5 6 7 7
�
9
BAB II TINJAUAN PUSTA.KA
A. B. C. D.
Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi........................................... Pengertian Gratifikasi dan Pengaturannya ...... .... ... .... ..... .. .. ..• .. Asas Pembalikan Behan Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi Tata Cara Pelaporan dan Penentuan Status Gratifikasi.....................
9 16 21 30
�_.............
34
Metode Pendekatan Spesifikasi Penelitian Sumber Data................................................................................... Metode Pengumpulan Data .... .-........................................................ Metode Analisa Data.......................................................................
36 37 37 38 38
BAB III METODE PENELJ;TIAN
A. B. C. D. E. BAB
rv HASIL DAN PEMBAHASAN
A. B. C. D.
...
:...................................
v
Dugaan Kasus Korupsi di KPU Kronologis Kasus Korupsi di KPU Kasus Pengelolaan Dana Taktis KPU Tanggapan Resmi clan Klarifikasi KPU
39
39 50 53 56
BAB III
BAB IV
METODE PENELITI
.
32
A.
Metode pendekatan masalah data
.3 2
B.
Spesipikasi penelitian
.32
B.
Lokasi penelitian
32
C.
Sumber data
33
D.
Metode pengumpulan data
.33
E.
Nara sumber
34
F
Metode analisis data
34
HASIL PENELIT AN DAN PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan Peran Pendamping Dan Bantuan Hukum Dilingkungan Polri Dalam sidang disiplin Anggota Polri 35. 1.
Pemberian Pendamping dan bantuan hukum Anggota Polri Dalam Sidang Disiplin Di Polda Jateng ....
2..
Tahapan I mekanisme permintaan bantuan hukum dan pendamping............................................. ... .. ..... . ..
3.
40
Data pelanggaran yang dilakukan anggota Polri Polda Jateng
4..
35
44
Pemberian Bantuan hukum dan Pendamping yang dilakukan bidkum dalam pelaksanaan dan penyelesaian pelanggaran disiplin..............................................
lX
45
2
kasus. Bandingkan dengan tindak penganiayaan tahun 1997 yang di lakukan laki-laki terdapat 14.177 kasus telah diputus pengadilan. 3 Basil Penelitian Pusat Studi Perempuan UNAIR menunjukk:an nahwa faktor yang memberi peluang terjadinya kekerasan terhadap istri disebabkab terutama anggapan umuni bahwa Iingkup rumah tangga memegang peranan penting karena merupakan lingkup yang pribadi sekali sehingga pihak Iain tidak berhak dan tidak mau untuk campur tangan. Kasus kekerasan terhadap perempuan
yang ditangani oleh
Asosiasi
Perempuan untuk Keadilan (APIK) sebagian besar diantaranya kasus rumah tangga. Dari 39 kasus rumah tangga tersebut, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga menempati urutan pertama, yaitu 29 kasus. Ini berarti bahwa hampir 75 % dari kasus rumah tangga yang ditangani APIK adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga .. Kondisi yang diperoleh penulis menyebutkan, kasus kekerasan dalam rumah tangga mencapai 30 % dari kasus rumah tangga yang ada dan hamper keseluruhannya menyangkut penganiayaan terhadap perempuan. 4 Adapun data statistik yang tercatat di Mitra Perempuan Women:s Crisis Centre sebagai lembaga pelayanan yang mendampingi perempuan "korban"
kekerasan domestik, rata-rata terjadi penambahan 60 kasus kekerasan khususnya kekerasan domestik, yang diterima pengaduan oleh Mitra perempuan setiap semester.
3
4
Biro Pusat Statistik 2000, Survey Sosial Ekonomi, Jakarta : BPS, hal.25 Suara AsosiasiPerempuan Untuk Keafilan, Edisi 5, tahun 1997
3
Salah satu Women Crisis Centre di Yogyakarta, Rifka Annisa, melaporkan antara bulan Januari sampai Agustus 2000, menerima konseling kekerasan terhadap istri sebanyak 86 kasus tatap muka, melalui telpon 45, melalui surat 18 orang. Seluruhnya 149 kasus. Perkembangan akhir antara bulan Januari sampai Maret 2001, keseluruhari kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani Rifka Annisa terdapat 110 kasus. 5 Berkaitan :dengan fenomena tersebut, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan bahwa ajakan internasional sesungguhnya sejak lama dilakukan. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Perserikatan Bangsa Bangsa telah menyetuj ui konvensi tingkat tinggi dunia tentang Elimination of Violence Against Women dengan resolusi Nomor 48/104,
dan Konvensi Menentang penyiksaan
dan perlakuan atau
Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia
(Converention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Bahkan pada tahun 1990, misalnya ECOSCOC telah menelurkan resolusi 1990/15, ANNEX (tanggal 24 Mei 1990) yang menyatakan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat merupakan perilaku yang menembus
semua lapisan kelompok penghasilan,
kelas dan
kebudayaan, sehingga perlu segera diambil langkah-langkah efektifuntuk menghapus keadaan seperti ini. 6
5
Rifka Annisa, Bok/et, April 2001 Harkristuti Harkrisnowo, Strategi Pencegahan dan penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, makalah dalm diskusi panel Jakarta, 8-9 Juli 1997 6
,'
\
4
Dalam nonna hukum di Indonesia tidak ada satu aturanpun yang memakai istilah kekerasan terhadap perempuan. Namun demikian sesungguhnya proses · pelaksanaan penegakan hukum merupakan studi pokok yang lurus dikaji dalam penelitian ini, dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya. Sistem Perasilan Pidana .tidak dapat dilepaskan dari "desain prosedur" sistem peradilan pidana yang ditata melalui Ki tab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sistem ini dapat dibagi secara garis besar dalam tiga tahap, yaitu: a. Tahap sebelwn sidang pengadilan atau tahap pra-ajudikasi, b. Tahap sidang pengadilan atau tahap ajudikasi, c. Tahap setelah pengadilan atau puma ajudikasi. Harkristuti Harkrisnowo berpendapat, bahwa kekerasan terhadap perempuan meliputi tetapi tidak terbatas pada perbuatan-perbuatan : a. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual yerhadap anak-anak perempuan dalam rumah tangga. Kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin yang tidak dapat dibayarkan, perkosaan yang tidak terjadi dalam ikatan perkawinan, kerusakan kemaluan perempuan dan praktek-praktek tradisional lain yang merugikan perempuan, kekerasan yang terjadi diluar hubungan suami istri dan kekerasan lain yang berhubungan dengan aksploitasi.
5
b. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum, termasuk perkosaan, pelecehan seksual dan ancaman-ancaman ditempat kerja, di sekolah-sekolah dan dimana saja, serta perdagangan perempuan dan pemaksaan pelacuran. c. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja oleh negara. Makin maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dilepaskan dari
lemahnya penegakan hukum dan lunaknya ancaman hukuman. Proses
penanganan kasus dari pertama sampai dengan dijatuhkannya sanksi hukuman cenderung belum sepadan dengan akibat yang dialami korban kekerasan. Pada tingkat penyidikan hendaknya polisi menguasai teknik penyidikan dengan baik. Apabila , diamati, putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang satu kadang berbeda jauh dengan yang lain. Walau diakui kebebasan dan kemandirian hakim adalah mutlak, namun minimal dengan adanya ketentuan tentang batasan minimal dan maksimal ancaman hukuman untuk perbuatan pidana. yang sama, dapat menjadi pedoman untuk memperkecil perbedaan tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjt dalam penulisan dengan judul : "Penegakan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga"
..
r
6
1.2. Perumusan Masalah Adapun pennasalahan pokok yang penulis rumuskan untuk dikemukakan sebagai objek pembahasan dalam skripsi yaitu:
1. Bagaimana peraturan · yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga? 2. Bagaimana aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap korban dari kekerasan dalam rumah tangga ? 3. Bagaimana proses peradilan pidana dalam penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan dan peran hakim dalam proses peradilan pidana mengenai kej ahatan kekerasan tergadap perempuan ?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan
yang melindungi
perempuan dari
kekerasan dalam rumah tangga, 2. Untuk mengetahui aparat pebegak hukum dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap korban dari kekerasan dalam rumah tangga, 3. Untuk mengetahui proses peradilan pidana dalarn penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan dan peran hakim dalarn proses peradilan pidana mengenai kej ahatan kekerasan tergadap perempuan .
7
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis a. Untuk mendapatk:an manfaat yang positif guna mengembangkan penelitian lebih lanjut. b. Dapay dimanfaatkan atau dipergunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan guna menambah khasanah ilmu pengetahuan. c. Sebagai aplikasi ilmu yang diperoleh dari bangku pendidikan atau pada sekolah dengan gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat.
1.4.2. Manfaat Praktis Dapat dimanfaatkan atau dipergunakan bagi langkah-langkah perbaikan serta memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran kepada negara dan atau masyarakat terhadap perlindungan hukum kepada perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
1.5. Sistematika penulisan Untuk mencapai kesimpulan yang dituju dalam penulisan ini, maka dipergunakan sistematika penulisan sebagai berikut : BABI
PENDAHULUAN Pada bagian bah pendahuluan ini meliputi uraian latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
•
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bah ini mencakup uraian pengertian kekerasan, pengertian kekerasan dalam rumah tangga, ruang lingkup kejahatan kekerasan dalam rumah tangga, sejarah kekerasan dalam rumah tangga, timbulnya perlindungan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bah ini berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, teknik sampling, teknikpengumpulan data, dan metode analisa. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai peraturan-peraturan yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga, peran a�arat penegak hukum dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, serta peran hakim dan proses peradilan pidana kej ahatan kekerasan tergadap perempuan. BABY
PENUTUP
Adapun dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran DAFT AR PUSTAKA LAMP IRAN
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kekerasan Kekerasan diartikan sebagai ancaman, usaha atau penggunaan kekuatan fisik yang dilakukan oleh seseorang atau lebih yang menimbulkan Iuka baik secara fisik maupun non fisik terhadap orang lain. Adapun Soerjono Soekanto mendefinisikan kejahatan kekerasan atau violente crime dengan kejahatan kekerasan ialah suatu istilah yang dipergunakan bagi terjadinya cidera mental atau fisik. Kejahatan kekerasan sebenamya merupakan bagian dari proses kekerasan, yang kadang-kadang diperbolehkan, sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang dianggap keras dan tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila ini terjadi.7 Kejahatan kekerasan atau violente crime menurut Nettler adalah umumnya kejahatan kekerasan diartikan sebagai peristiwa dimana orang secara illegal dan secara sengaja melukai sevara fisik, atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, dimana bentuk-bentuk penganiayaan, perampokan,
7
hal.104
Soerjono Soekanto dan Pudji Santoso, Kamus Kriminologl, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1985,
10
perkosaan dan pembunuhan merupakan contoh klasik dari kejahatan kekerasan yang seruis.8 Martin R.Haskell dan Lewis Y abslonsky sebagaimana dikutip oleh Mulyana W. Kusumah membagi kekerasan dalam empat kategori yang mencakup hamper semua pola-pola kekerasan, yaitu : a. Kekerasan Legal Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan sevara legal, misalnya sport-sport agresif tertentu serta tindak.antindakan untuk mempertahankan diri. b. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi. Suatu factor penting dalarn menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan
atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya, tindakan kekerasan oleh masyarakat atas penzina akan memperoleh dukungan sosial.
c. Kekerasan rasional. Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan . . Misalnya, pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi. d. Kekerasan yang tidak berperasaan, 'irrasional violence "
8
Neetler. Dalam Etgar F.Burgata dan Marie L, Burgatta, Encylopedla Of Sociology, UndangUndang OfAmerica: Macmillan Publising Company. 1991.Hal. 2228
11
Yang terjadi tanpa adanya propokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya Dapat digolongkan didalamnya adalah apa yang dinamakan "raw violence" yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam · saat tertentu kehidupannya.9
2.2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang dimaksud kekerasan dalam rurnah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 10 Beberapa ahli mendefinisikan kekerasan dalam keluarga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa yang menciptakan ancaman atau menciderai secara fisik yang dilakukan pasangan atau mantan pasangannya. 11 Secara khusus Neil Alan dkk, membatasi ruang lingkup kekerasan dalam · keluarga kepada wife abuse (kekerasan kepada istri) sebagai korban, namun secara
9
Mulyana W. Kusumah. Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan, Jakarta, Ghalia Indonesia. 1982. Hal. 25-26 10 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 11 Kyriacon ON. "Emergency Depertment-based Study on Risk Faktor for Acute Injury From Domestic Vilionce Against Women" dalam Budi Sampuma, Mentikapi Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta 24 Mei 2000
,,
r
12
umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun istri sesungguhnya sama, Wife
abuse didefinisikan sebagai tindakan yang menimbulkan kerugian fisik yang dikaitkan dengan perempuan sebagai pasangannya. Ketika kekerasan yang dilakukan terhadap istri itu dianggap sebagai problem sosial, definisi kekerasan tersebut meluas kepada pengertian seksual, penyalahgunaan wewenang, perkosaan dalam rumah tangga atau bahkan pada pomografi. 12
2.3. Asas dan Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : - Penghormatan hak asasi manusia; - Keadilan dan kesetaraan gender; - Non diskriminasi; - Perlindungan korban. Dan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut : - Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; - Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; - Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; - Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
2.4. Ruang Lingkup Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 12
Ibid
.,__
13
Terminologi kejahatan kekerasan dalam rumah tangga sesungguhnya berhubungan dengan ibu rumah tangga atau istri sebagai korban. Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat pada umumnya dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violonce,family violonce, wife abuse. Namun demikian, Lisa
Fredmann
mengemukakan
bahwa
kekerasan
domestik
tidak
selalu
menggambarkan · situasi yang sebenamya. Meski demikian, Jane Robert Chapman mengungkapkan, bahwa dari 90 negara yang diteliti selalu ditemukan tindak kekerasan dalam keluarga dan dalam perilaku tersebut yang paling sering terjadi adalah tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai korban. 13 Berbagai penelitian mengenai kekerasan dalam rumah tangga diantaranya dilakukan oleh Pusat Studi Perempuan UNS �i untuk mengidentifikasi beberapa hal seperti : Faktor-faktor yang menimbulkan kekerasan suami terhadap istri, Perilaku istri yang dianggap sebagai penyebab timbulnya kekerasan suami terhadap istri, Bentuk-bentuk tindak kekerasan suami terhadap istri, Reaksi istri terhadap kekerasan suami, Penyebab langsung tindak kekerasan suami terhadap istri. Hasil dari penelitian dari Pusat Studi Perempuan UNS tersebut menunjukkan bahwa factor hubungan structural antara suami istri menjadi prakondisi terjadinya
13
Harkristuti Harkrisnowo. Wajah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia. Jakarta 26-27 Januari 1999
..·,
14
kekerasan suami terhadap istri. Artinya hubungan yang timpang dimana suarru memiliki kekuasaan yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya. Sedangkan perilaku istri yang dianggap menimbulkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri adalah (berurutan secara gradual dari kekerasan rendah ke kekerasan tinggi) menurut suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit, suami mabuk, ngomel, keras kepada anak. Adapun
bentuk kekerasannya
berupa peringatan dengan
kata-kata :keras",
membanting benda, memukul dan mengucapkan kata-kata cerai. Dalam penelitian ini juga terungkap sebagai suami, diyakini bahwa melakukan tindak kekerasan terhadap istri adalah dibenarkan. Hal ini juga diyakini oleh pihak istri sendiri, apabila mereka mengalami tindak kekerasan dari suaminya
'
.
akan cenderung diam dan tidak membantah. Sebagai perbandingan misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Dobash and Dobash di Inggris yang dikutip Allison Morris, mengungkapkan lebih dari 1000 kasus kekerasan dalam rumah tangga, ditemukan hamper sebagian besar (2/3) pelakunya adalah suami. Hanya ada 10 kasus dimana perempuan sebagai pelaku. Kenyataannya kekerasan yang dilakukan perempuan tersebut semata-mata hanya untuk membela diri. 14
14
Allison Morris. Women Crime and Criminal Justice. USA :Basil Blackweel Inc. 1987.
hal.182
.,__
..
15
2.5. Sejarah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tindakan kekerasan dalam rumah tangga diakui sebagai problem sosial yang awalnya adalah tindakan kekerasan terhadap anak (abuse of children). Definisi ini hanya terbatas pada penganiayaan dan pentiksaan, namun perkembangannya diperluas kekerasan dalam bentuk kekurangan gizi, kekrasan seksual, penelantaran pendidikan, kesehatan yang tak terurus, dan kekerasan secara mental. Perkembangan ruang lingkup selanjutnya adalah bentuk penganiayaan terhadap istri. Diakui bahwa kekerasan terhadap istri menjadi problem masyarakat bersama, sehingga ruang lingkup kejahatan ini tennasuk juga kekerasan seksual, perkosaan dalam rumah tangga, dan pomografi. 15 Kekerasan dalam rumah taugga ini semula dianggap sebagai persolaan privat, namun dalm perkembangannya persoalan kekerasan dalam rumah tangga ini menjadi
persoalan umum yang terbuka untuk dibicarakan kepada siapa saja. Strauss (1974) sebagaimana dikutip Richad J. Gelles mengemukakan beberapa alasan mengenai kekerasan rumah tangga yang terjadi bersifat pribadi menjadi masalah umum: Pertama,
Para ilmuan sosial dan masyarakat menjadi semakin terhadap kekerasan.
Kedua,
Munculnya gerakan
perempuan
yang
memainkan
peran,
khususnya dengan mengungkap tabir permasalahan rumah tangga dan menyampaikan permasalahan mengenai perempuan yang
15
Neil Op Cit. hal. 107
..,__
16
teraniaya secara terbuka. Ketiga,
Adanya kenyataan perubahan model consensus masyarakat yang diungkapkan oleh para ilmuan sosial, dan tantangan berikutnya adalah bagaimana menghasilkan model konflik atau aksi sosial mengantisipasi perubahan tersebut
Keempat,
Ada kemungkinan lain, dengan ditunjukkan penelitian mengenai kekerasan daqlam rumah tangga yang dapat dilakukan untuk mengungkap lebih mendalam sisi kekerasan rumah tangga. 16
Adapun yang terjadi di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan (istri) seringkali tidak dianggap masalh besar karena beberapa alasan : 1. Ketiadaan statistic yang \.akurat, 2. Kekerasan seksual adalah masalah tempat tidur yang sangat pribadi dan berkaitan dengan kesucian rumah, 3. Berkaitan dengan budaya, 4. Ketakutan istri terhadap suami. Di Indonesia sejak tahun 1960-an, secara berangsur-angsur hukuman fisik
terhadap .perempuan pada umumnya (sebagaimana dilakukan terhadap anak) tidak lagi diterima dalam masyarakat sebagai tindakan rnendidik untuk mengoreksi dan mengendalikan perilaku perempuan. Batasan intensitas kekerasan fisik sangat relative. Adanya "rule of thumb" yang dikenal sebagai patokan derajat kekerasan, namun hasil atau akibat tindakan 16
Richard J. Golles, Domestic Violence, dalam Neil, Op Cit. hal, 109
17
tersebut tidak dapat dipastikan, oleh karena bergabung pada jenis bendanya, cara melakukan kekerasan dan bagian tubuh mana yang dijadikan sasaran dilakukannya kekerasan. Bila didapati beberapa luka memar dan biru, memar di wajah, dan IukaIuka lainnya yang khas, maka jelas menunjukkan adanya kekerasan akibat • 17 pengamayaan.
2.6. Timbulnya Perlindungan Hukum terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terj adi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam
·,
rumah tangga. Pembaruan hukum yanmg · berpihak pada kelompok, khusunya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena Undang-Undang yang
ada belum memadai dan tidak sesuai
lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan dan penelantaran orang yang perlu diberikan natkah dan kehidupan.
17
Budi Sampuma, Op.Cit. hal. 7
.,__
18
Undang-Undang tentang kekerasan dalam ruma tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain : Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan UndangUndang Nomor 39 tahun I 999 tentang Hak Asasi Manusia. Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan melaksanakan tindakan pencegahan, dan edukasi tentan�\pencegahan kekerasan dalamk rumah tangga. Berdasrkan pemikiran tersebut sudah saatnya dibentuk Undang-Undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang diatus secara konfrenhensif, jelas dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat nahwa segala tindak kekerasan dalam rurnah tangga merupakan kejahatan martabat manusia.18
2.7. Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang pemghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu Pasal 5 dengan ketentuan "Setiap orang dilarang
18
Undang-Undang Nomor 23 t5ahun 2004, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumab Tangga
.,__
19
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara : a.
Kekerasan fi.sik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
b. Kekerasan psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. c.
Kekerasan seksual, adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain urttl1f tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
d. Penelantaran rumah tangga, adalah menelantarkan orang dalam lingkup rumag tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.19
19
Ibid
20
BAB III METODE PENELITIAN Di dalam suatu penelitian agar hasil penulisan dapat terarah dan tidak
menyimpang dari tujuan semula, maka penelitian harus didasarkan pada metodemetode tertentu. Hal itu disebabkan suatu penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.20 Menemukan, dalam hal ini adalah berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan. Sedangkan mengembangkan, berarti memperluas dan menggali apa yang sudah ada. Selanjutnya menguji kebenaran yang dimaksudkan adalah apabila yang sudah ada masih diragukan kebenarannya. Usaha-usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan mefode ilmiah, yaitu suatu cara kerja untuk mendapatkan dan memahami objek menjadi sasaran atau tujuan penelitian yang dilakukan. Suatu penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, sehingga dalam proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan telah diolah. Dalam hal ini metode penelitian yang dipergunakan harus disesuaikan dengan cabang ilmu yang menjadi induknya, tanpa meninggalkan metode ilmiah pada umumnya.21
20 21
Soetrisno Hadi. Metodologi, Yayasan penerbit Fak.Psikologi UGM, Yogyakarta. 1979. hai.4 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji. Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta. Hal.11
..,__
21
Di dalam penelitian bidang hukum ini, mempergunakan metode penelitian hukum yang mempunyai cirri-ciri tertentu yang merupakan identitasnya, karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmu pengetahuan lainnya, disamping itu metode penelitian ilmiah dalam ilmu sosial lainnya akan dapat membantu, karena dalam pengertian ilmiah penelitian dilakukan untuk menemukan fakta yang didasarkan pada teori. Hal tersebut di dalam kajian-kajian ilmu sosial merupakan suatu proses yang berupa rangkaian · langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memperoleh pemecahan terhadap permasalahan tersebut. Suatu hal yang penting dalam penelitian ini adalah bahwa fakta atau data yang diperoleh harus benarbenar valid dan langkah-langkah yang dilakukan hams saling mendukung satu sama lair\ untuk mendapatkan kesimpulan yang tidak meragukan. 22
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan metode penelitian yang biasa digunakan dalam melakukan penelitian hukum. Penggunaan metode penelitian tersebut dimaksudkan sebagai sarana dalam upaya mendekati dan mencari kebenaran objektif dari pokok permasalahan yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah :
3.1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis, karena itu disamping menerapkan ilmu hukum, juga menerapkan ilmu sosial lainnya
22
Roni Hanutejo Soemitro. Metodologi Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1986. Hal. 19
.,__
22
Adapun pengertian yuridis adalah bahwa dalam mengadakan pendekatan, prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dipergunakan dalam meninjau dan melihat serta menganalisa masalahnya. Sosiologis artinya peneliti-peneliti mengadakan pendekatan secara langsung kepada sebagian orang yang bersangkutan dengan objek penelitian. Jadi pendekatan secara yuridis sosiologis di sini maksudnya adalah menggunak:an asas-asas dan prinsip hukum di dalam meninjau dan melihat serta menganalisa masalahnya, peneliti juga mengadakan pendekatan kepada responden dengan cara terjun langsung diantara mereka di Pengadilan N egeri Semarang.
23
3.2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitiann yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analistis, yaitu dengan cara mengumpulkan data melalui studi kepustakaan dengan menelaah, menganalisa serta mengkaji berbagai literatur dan berbagai ketentuan yang ada kaitannya dengan pokok bahasan ini kemudian dikaitkan dengan hasil penelitian langsung.
24
3.3. Populasi dan Teknik Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah bahwa seluruh perlindungan dari aparat penegak hukum bagi perempuan dalam kekerasan rumah tangga di wilayah Semarang.
23
24
Roni Hanutejo Soemitro. Metode Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1986. Hal. 19 . Masri Singaribun dan Sofyan Efendi, Metodologi Penelitlan Survey, Cetakan 6, LP3ES
Jakarta
.:. .
23
Dan sampel yang dipilih adalah perlindungan adalah perlindungan bagi perempuan terhadap kekerasan rumah tangga di Pengadilan Negeri Semarang. Penarikan sample dilakukan dengan cara penetapan sample yang dipilih didasarkan pada cirri-ciri dan sifat yang sudah ditentukan yaitu bagi perempuan yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, mendapatkan perlindungan hokum yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004.
3.4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang obyektif, di dalam pengumpulan data penulis melak:ukan dengan berbagai cara : 1. File Risearch (penelitian lapangan) dengan mela.kukan secara langsung pada objek yang dijadikan masalah dalam penulisan skripsi ini. Adapun untuk mendapatkan data, penulis melakukan dengan : a. Observasi lapangan, yaitu pengamatan secara langsung kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ada di Pengadilan Negeri Semarang. b. Pengamatan data-data yang ada di Pengadilan Negeri Semarang mengenai tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan membaca buku-buku, Undang-Undang, Keputusan Mentri dan lainnya, yang berhubungan dengan pokok masalah penulisan .
..,__
24
3.5. Metode Analisa Metode analisa yang dipakai dalam penelitian adalah metode analisa kualitatif karena setelah data yang terkumpul dari hasil wawancara maupun kepustakaan, data tersebut dianalisa dalam bentuk kalimat yang diuraikan untuk kemudian ditarik kesimpulan dengan menghubungkan masalah-masalah yang telah dirumuskan sehingga dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan .
.,__
30
dan pekerja sosial agar proses pengadilan berjalan sebagaimana mestinya. c.
Peran Pengadilan Sementara itu, Undang-Undang Penghapusan KDRT tak luput mengatur bagaimana perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perliridungan.
d. Peran Pekerja Sosial Dalam melayani korban kasus KDRT, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial: - Melakukan konseling untuk menguatkan korban; - Menginformasikan mengenai hak-hak korban; - Mengantarkan korban ke rumah aman (shelter); - Berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi kepentingan korban. e.
Peran Relawan Pendamping Sementara itu salah satu terobosan hukum lain dari UU PKDRT adalah diaturnya perihal peran dari Relawan Pendamping. Menurut UU ini ada beberapa hal yang menjadi tugas dari Relawan Pendamping, yaitu : - Menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping; - Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan
... _
31
kekerasan yang dialaminya secara obyektif dan lengkap; -
Mendengarkan segala penuturan korban;
- Memberikan penguatan kepada korban secara psikologis dan fisik. f;
Peran Pembimbing Rohani
Demi kepentingan korban, maka pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman serta taqwa.
Mekanisme Perintah Perlindungan
!
Korban KDRT ,.__
)....,. - Tenaga Kesehatan
- Pekerj a Sosial - Relawan Pendamping
'I/
I
Keluarga
- Pembimbing Rohani
I
'I/ Kepolisian Wajib: Memberikan Perlindungan Sementara
/
-
Meminta Surat Penetapan Perintah -
I/
I" ·
Perlindungan dari Pengadilan Melakukan Penyelidikan
I/
Pengadilan wajib mengeluarkan Surat Penetapan mengenai Perintah Perlindungan Bagi Korban dan Anggota Keluarga
32
Mekanisme Pelanggaran Terhadap Perintah Perlindungan
.. Korban
Pelaku melanggar perintah
� pendamping
perlindungan Contoh
mengintimidasi
Kepolsian menangkap ·
atau
korban � dan menahan pelaku
melapor kepolisian
'korban
I
I
Pengadilan mewajibkan Pelaku untuk menulis surat pemyataan tidak
Pengadilan memanggil
fE--
pelaku dan melakukan pemeriksaan
Kepolisian dan korban
K
mengajukan laporan pelanggaran perintah
akan lagi melakukan
perlindungan ke -
pelanggaran perintah
Pengadilan
perlindungan
Jika pelaku melanggar surat-, peryataan yang dibuat, maka '----------/�
pelaku dapat ditahan sampai30 hari
33
Peran Hakim Dan Proses Peradilan Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Terminologi Hukum pidana dapat didefinisikan dengan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang berlandaskan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: a.
Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, tang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut,
b.
Menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan, c.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Adapun pidana diartikan : a.
Pidana itu pada hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan,
b.
Pidana itu diberikan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan atau wewenang,
c.
Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang.
\
34
Dengan demikian hukum pidana tennasuk ke dalam hukum public. Ia mengatur hubungan individu-individu dengan masyarakat - Negara; ia diterapkan untuk kepentingan masyarakat dan
hanyalah apabila kepentingan tersebut
menghendakinya. Sifat hukum pidana ini nampak, yaitu di dalam banyak hal sifat dapat diukurnya sesuatu tindakan itu tetap ada walaupun tindakan tersebut telah dilakukan dengan persetujuan orang, terhadap siapa tindakan itu sehingga menurut ketentuan seharusnya penuntutannya tergantung pada orang yang dirugikan oleh tindakan yang dapat di hukum itu. Penuntutan tersebut dibebankan kepada suatu organ dari kekuasaan negara, yaitu pada penuntut umum.
Tahap-tahap Peradilan Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan
Sebelum Adjukasi Sebagaimana penanganan perkara pidana pada umumnya, penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan berlaku sesuai dengan sistem peradilan pidana di Indonesia
yaitu mulai
dari proses
penyidikan,
penuntutan,
peradilan dan
kemasyarakatan. Proses penyidikan yang merupakan kompetensi penyidik polri meliputi tahapan : penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara pada Penuntut Umum. Dari setiap penyelidikan telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Namun penyidikan tindak kekerasan terhadap perempuan baik menjadi pelaku maupun korban adalah perempuan. Polri memberi
35
perhatian khusus terhadap penanganan perkara dimaksud dengan mengedepankan polisi wanita (Polwan) sesuai dengan tahapan penyidikan. Tindak kekerasan terhadap perempuan boleh dikatakan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang paling tidak dilaporkan korban atau keluarganya pada lembaga yang
berwenang menanganinya,
yaitu kpolisian.
Adanya non-reporting
ini
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain : a.
Korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya, baik secara fisik, psikologis, dan sosiologis.
b.
Korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini belum tentu dapat dipidananya pelaku,
c.
Korban khawatir bahwa dengan diprosesnya kasus ini akan membawa cemar \ yang lebih tinggi pada dirinya (misalnya melalui publikasi media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yang dirasanya membuat makin terluka),
d.
Korban khawatir akan retaliasi atau pembalasan dari pelaku (terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya),
e.
Sulitnya untuk membuktikan di pengadilan, khususnya dalam kasus perkosaan, terutama apabila peristiwa ini hanya diketahui oleh perempuan dan pelakunya sendiri (one to one) .. Fenomena kekerasan terhadap istri sesungguhnya akibat reaksi sosial yang
menyudutkan bahkan mempermasalahkan perempuan. Konsekwensinya, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga j arang tercatat statistic criminal resmi atau formal dan kasus yang sampai ke pengadilanpunjarang
36
Seorang korban dari suatu kejahatan bisa adil dalam proses pidana, dengan dua kwalitas yang berbeda. Pertama korban hadir sebagai saksi, dengan fungsi korban memberim kesaksian dalam
rangka pengungkapan kejahatan pada
proses
pemeriksaan, baik dalam proses penyidikan maupun tahap penuntutan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memungkinkan penggabungan gugatan ganti ketugian dari mkorban dengan perkara pidana sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 98 · KUHAP, dapat dianggap sebagai awal diperhatikannya korban dalam proses pidana. Pasal 98 suatu (1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam \ pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. (2) ·Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam · hal penuntut umum tidak hadir permintaan diajukan selambatlambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Pasal di atas menjukkan bahwa permintaan ganti kerugian dari korban hanya dapat diajukan bila perkara itu memang sampai di tingkat penuntutan dan hanya dapat
37
dikabulkan apabila kesalahan terdak:wa terbukti oleh karena hanya terdakwa yang bersalah dibebani kewajiban untuk membayar kerugian.
Adjukasi Di dalam persidangan korban harus hadir sebagai saksi utama atau saksi korban yang diperiksa pertama kali. Kesaksian korban adalah sangat penting untuk membuk:tikan
kesalahan terdak:wa sebagai
pelaku kej ahatan. Korb an
dalam
memberikan kesaksian biasanya sangat susah karena trauma melihat orang yang telah menodainya, meskipun sidangnya tertutup untuk umum. Kesusahan ini timbul ketika menghadiri sidang yang rnungkin tidak pemah terlintas dipikirannya, harus menghadapi majelis hakim, penuntut umum, penasehat hokum, dan terdakwa. Setelah Adjukasi Penderitaan korban tidak habis dengan selesainya penjatuhan sanksi pada terdakwa. Aib yang menimpa dirinya, penderitaan lahir maupun sosial, rasa malu akibat adanya perhatian lingkungan·, - disertai dengan adanya kemungkinan ancaman dari pelaku, bahkan perceraian yang tidak dapat dielakkan. Oleh karenanya sering kali pertimbangan untuk mengajukan masalah penganiayaan kekerasan dalam rumah tangga sangat j arang diajukan ke pengadilan25.
is Hasil wawancara dengan Bapak Hastopo,SH,MH. Hakim Pengadilan Negeri Semarang, tanggal 19 Desember 2012
38
Peran Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana Pendapat yang memberi dominant pada tahap ajudikasi mendasarkan diri pada KUHP yang menyatakan bahwa baik dalam putusan bebas, maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada "fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan sidang". Suatu proses huum yang adil dimana terdapat keyakinan akan adanya pengadilan yang bebas adalah sangat penting bagi rasa aman masyarakat, bahlan tidak kalah penting dari usaha menanggulangi kejahatan itu sendiri. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 menyatakan bahwa tugas peradilan
adalah
untuk menerima,
memeriksa
dan
mengadili
serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Kata yang terpenting dalam kelaimat tersebut di atas adalah "mengadili". Sebenamya kata "mengadili" adalah -bertujuan dan berintikan "memebrikan suatu keadilan". Untuk memberikan suatu keadilan itu, hakim melakukan kegiatan dan tindakan. Pertama-tama terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Setelah itu mempertimbangkan dengan memeberikan penilaian atas peristiwa itu, serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya memberikan suatu kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa itu. Dalam mengadili itu, hakim melaksanakan hukum yang berlaku dengan
39
dukungan rasa keadilan yang ada padanya. Karena itu, bias dikatakan bahwa hakim atau pengadilan .adalah penegak hukum26• Judge atau hakim didefinisikan dengan "secara umum untuk menyebutkan gelar bagi orang bertindak sebagai hakim untuk memutuskan perkara pada perselisihan dan masalah lain yang diumumkan oleh pengadilan untuk memutuskan perkara. Paling tidak seorang hakim pada pengadilan adalah seseorang yang memenuhi criteria dan pengalaman pada hukum materi maupun praktek hukum, meskipun tidak jarang mereka krang memenuhi criteria kerana berasal dari omag awam. Donald Black mendefinisikan judge atau hakim dengan : "Pejabat yang melakukan pekerjaannya, yang berkenaan dengan pengadilan yang menjadi tanggung jawabnya. Tugas dan peran peranannya sebagai penegak hukum yang lainnya, yaitu sebagai "pembentuk hukum". Tugas dan peranan ini, artinya sangatlah menjadi lebih penting dalam rangka pembinaan dan pembaharuan hukum di negara kita Indonesia. Menurut ketentuan Surat Edaran Menetri Kehakima Nomor M.1861-KP.04.12 tahun 1984 tentang kedudukan hakim, disebutkan bahwa hakim sebagai pegawai negeri (pasal 14 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986, Lembaran Negara Republik Indonesia 1986-20) juga sebagai penggali dan perumusan nilai-nilai yang hidup di masyarakat (pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970. Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak
26
Hasil wawancara dengan Bapak Hastopo,SH,MH. Hakim Pengadilan Negeri Semarang, tanggal 19 Desember 2012
... _
40
arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan kebenaran material. Bersifat aktif 0
dan dinamis, berlandaskan pada pemagkat hukum yang positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara pada putusan yang dijatuhkannya yang dipertanggung jawabkan dari aspek · ilmu hukum itu sendiri, hal asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri, serta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan utama hukum adalah memberi pidana yang seimbang dengan kesalahan pelaku. Pengadilan hanya memerlukan informasi tentang fakta-fakta perbuatan kejahatannya dan catatan riwayat pelaku sebagai seorang penjahat (kalau ada). Pembelaan oleh penasehat uokum pada dasarnya mengajukan hal-hal yang dapat dipertimbangkan hakim dalam meringankan hpkuman pelaku. Tugas jaksa adalah menuntut berat ringannya pidana, dalam pendekatan ini adalah relative mudah.
Faktor-Faktor Yang Dipertimbangkan Hakim Dalam Menjatuhakan Pidana Pada hakekatnya putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan, Di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970) adalah : a.
Pasal 14 ayat (1) : "pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
a,
T
41
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukuman tidak/kurangjelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya" b.
Pasal 23 ayat (1) : "segala putusan pengadilan selain harus memuat alasanalasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tertulis. Di dalam perundangan-undangan maupun teori-teori hukum maupun doktrin-
doktrin, tidak ada yang mengatur yang menjadi criteria, atau tolok ukur untuk menjatuhkan pidana terhadap terhadap terdakwa yang terbukti melakukan kejahatan. KUHP di dalam pasal-pasalnya hanya menyebutkan maksimum pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, tetapi batas minimumnya tidak ada. Hal tersebut menyebabkan keaneka ragaman putusan hakim.
\
Di dalam prektek peradilan, yang dijadikan ukuran untuk menjatuhkan pidana adalah kesalahan terdakwa disertai dengan hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan bagi terdakwa. Disamping itu juga dimasukkannya unsur kesalahan dari korban sendiri untuk mendorong terdakwa melakukan perbuatan, pribadi atau kelakuan terdakwa, motif perbuatannya, tingkat kesadisan dari terdakwa, serta tingkat pengaruh perbuatan tersebut terhadap keamanan dan ketertiban umum (masyarak:at). Pedoman pemberian pidana
memberikan
kemungkinan
bagi hakim
untuk
memperhitungkan seluruh facet kejadian, yaitu berat ringannya delik atau cara delik
.,__
42
itu dilakukan, pribadi perbuatan, umumnya tingkat kecerdasannya, keadaan-keadaan, serta suasana waktu perbuatan pidana tersebut dilakukan27• Mahkamah Agung sesungguhnya telah memberikan tanggapan yang positif mengenai ketentuan kekerasan terhadap perempuan (perkosaan) dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal Dengan Berat Dan Sifat Kejahatannya. SEMA Nomor 1 tahun 2000 ini mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal dengan beratnya dan sifatnya tindak pidana tersebut dan jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan dalarn masyarakat. Dengan memberikan suatu keadilan dan juga sekaligus yang menyatakan hukum yang barn, seyogyanya hakim dap�t membuat putusan yang meyakinkan semua pihak. Karena itulah, sejalan dengan UU Nomor 14 tahun 1970 dalam pasal 23 mensyaratkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus pula memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dij adikan dasar untuk mengadili. Wiacker dalam W.Van Gervan menunjuk lima factor yang dapat menjadi pedoman hakim dalam penemuan hukum tidak tertulis di luar Undang-Undang, yakni:
(1) Asas-asas yang dinyatakan dalam Undang-Undang atau naskah dasar lainnya,
27
Hasil wawancara dengan Bapak Hastopo,SH,MH. Hakim Pengadilan Negeri Semarang, tanggal 19 Desember 2012
.-
43
(2)
Standar atau kecenderungan hidup (trends of life) berdasarkan norma yang diterima secara budaya bersama,
(3) Asas-asas putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (yurisprudensi), (4) Asas-asas yang berasal dari Undang-Undang Dasar, (5) Asas-asas keadilan dari yurisprudensi yang telah mendapat kepastian dan ajaran yang berlaku ilmu pengetahuan dan peradilan sejauh dapat dipertanggung j awabkan. Selanjutnya untuk mencapai pidana yang pantas (proper sentence) maka halhal yang perlu dipertimbangkan hakim adalah : (a)
Perlunya informasi yang Iengkap tentang tindak pidana dan pelaku tindak \ pidana,
(b) Analisa terhadap informasi yang telah diperoleh tentang tindak pidana, hakekat dakwaan, tingkat gravitas tindak pidana. Dalam hal ini akan diperhitungkan pula baik hal-ahal yang memperberat maupun yang meringankan (aggravate or misgate circumstances) tindak pidana, (c)
Pertimbangan yang berkaitan denganpandangan korban dan masyarakat,
(d) Perhatian terhadap setiap asas pemidanaan dan petunjuk-petunjuk, baik yang bersumber
dari
perundang-undangan,
yurisprudensi,
maupun
dari
kecenderungan-kecenderungan lain seperti : resolusi-resolusi lnternasional dan sebagainya,
.>..
44
(e)
Perhatian terhadap bobot (level) pemidanaan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus yang telah diputuskan oleh pengadilan lain,
(f)
Pertimbangan terhadap tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan,
(g)
Hal-hal yang meringnkan, yang melekat pada pelaku tindak pidana,
(h)
Apabila lebih dari satu pidana diterapkan, perlu dilakukan pemeriksaan atau peninjauan sampai seberapajauh efek keadilan tercapai,
(i)
Apabila pidana yang pantas (proper sentence) jauh lebih berat atau lebih ringan dari normal putusan (sentence), rnaka harus diberikan alasan-alasan yangjelas.
Ketentuan Pemidanaan ,di Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tim Perancang KUHP Nasional membuat kategori bahwa sebelum seorang hakim menjatuhkan pidana, hal-hal yang harus dipertimbangkan berdasarkan pasal 51 Rancangan KUHP edisi 2000 adalah sebagai berikut :
..
( a)
Kesalahan pemuat,
(b)
Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana,
( c)
Sikap batin pembuat,
( d)
Riwayat hid up dan keadaan sosial ekonomi pembuat,
( e)
Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana,
(f)
Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat,
45
(g) Pengaruh masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, (h) Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, (i) · Tindak pidana dilakukan dengan berencana
Disparitas Disparitas adalah penerpan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang
sama,
atau
terhadap
tindak pidana
yang sifat
berbahayanya . dapat
diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Penyeban disparitas bersumber pada diri hakim, baik internal maupun ekstemal. Hood dan Spark mengungkapkan sifat internal dan ekstemal ini kadang sulit dipisahkan, karena sudaa terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai "human equation "atau "personality ofo the judge" dalam arti luas yang menyangkut
pengaruh-pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial. Selanjutnya disparitas berkaitan dengan persepsi hakim terhadap ''philosophy ofpunishment" dan "the aims ofpunishment" yang oleh Molly Cheang
dikatakan sebagai "the basic difficult" sangat memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana. Mengingat bahwa KUHP hanya mengatur jenis pidana dan ancaman maksimum pidana, sedangkan pedoman pemidanaan yang diatur masih sangat terbatas sekali, maka diskresi penjatuhan pidana yang diberikan kepada hakim sangat besar sekali. Akibatnya ialah dalam praktek pemidanaan terlihat disparitas pidana
46
yang sangat menyolok untuk tindak pidana sejenis dan pelaku yang mempunyai latar belakang yang bersamaan pula. Masalah disparitas pidana ini telah lama menjadi bahan penelitian dan diskusi para pakar hukum dan peradilan, baik di Indonesia maupun di Internasional. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNAFEI secara teratur membicarakan masalah ''formation of sound sentesing policy" lebih lanjut dikemukakan Everson pemah meneliti prkatek pernidanaan 42 Hakim Magistrate di New York City terhadap 155.000 terpidana yang melakukan kejahatan ringan yang diputus pada tahun 1914 dan tahun 1916. Penelitian menunjukkan variasi atau disparitas pidana yang dijatuhkan. Dari penelitian itu Everson menyimpulkan bahwa pribadi masing-masing hakim merupakan factor, terjadinya disparitas pidana. Oleh karena itu tepat kiranya Van Gerven: Hakim adalah orang yang mencari penyelesaian, bukanlah sebagai orang yang tahu penyelesaiannya terlebih dahulu. Hakim yang baik bukan hanya terletak pada kewibawaan dan pengetahuan sernata, Namun yang terpenting ialah kejujuran dan kelurusan hati nuraninya.
Peran Aktif Hakim
Sebagai Agenda Masa Depan Dalam
Perlindungan Terhadap Perempuan Pro Aktif Hakim Peran hakim dalam proses peradilan pidana khususnya mengenai kej ahatan kekerasan terhadap perempuan memegang peranan yang paling penting dalam
47
perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban. Hal ini didasarkan pada peran hakim dalam mengungkap fakta dan keadaan dan serta alat pembuktian yang diperoleh di pemeriksaan sidang, yang menentukan jalannya proses peradilan pidana secara adil terhadap pelaku maupun korban kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, putusan hakim dapat memberikan efek tertentu yang bersifat seperti pembinaan, pencegahan/prevensi, pemulihan keseimbangan, penjeraan, penyaluran nafsu balas dendam manusia secara propporsional. Kecenderungan putusan hakim mengenai kekerasan terhadap perempuan adalah: (a)
Motivoring (Pemyataan singkat yang dipakai untuk mengadakan putusan
hakim) sehagian besar dapat dipenuhi dengan baik oleh hakim. \ (b)
Hubungan pelaku dengan korbam.
(c)
Pola/bentuk-bentuk kekerasan.
(d)
Adanya kategori bentuk-bentuk kekerasan umumnya penganiayaan.
(e)
Alasan terdakwa melakukan tindak pidana cukup bervariatif.
(f)
Pertirnbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan secara umum menunjukkan kesesuaian dengan kategori perbuatan pidana, maupun kesalahan yang dilakukan terdakwa.
(g)
Perlindungan sanksi pidana berdasarkan ketentuan jaksa dan putusan yang dijatuhkan tidak banyak menunjukkan perbedaan. Meskipun ada kasus putusan di mana terdakwa dibebaskan dengan alasan memiliki penyakit
.,__
48
kejiwaan, padahal tuntutan Jaksa Penuntut Umum cukup tinggi yaitu 5 tahun penJara (h)
Putusan hakim terhadap pelaku masih terbatas pada sanksi pidana penjara dan denda kepada Negara. Menyadari peran hakim yang begitu penting dalam memutuskan perkara,
seyogyanya
diimbangi
dengan
pertimbangan
secara
komprehensif.
Artinya
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tidak sebatas pada apa yang memberatkan dan yang meringankan bagi terdakwa. Pertimbangan hendaknya juga didasari pada latar belakang.
,.l..
•
49
BABV
PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5 .1.1.
Dasar hukum yang digunakan untuk melindungi
perempuan/korban
kekerasab dalam rumah tangga adalah sebagai berikut : a.
Peraturan Dasar (1)
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM,
(2)
Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1998 tentang Konvesnsi Tergantung, Penyiksaan dan Penghukuman yang Kejam,
,
(3)
Keppres RI N omor 181 tahun 1998 ten tang Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
(4)
Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
5.1.2.
Peran Aparat Hukum dalam melindungi dan melayani korban kekerasan dalam rumah tangga, adalah sebagai berikut : a.
Peran Kepolisian
b.
Peran Advokad
c.
Peran Pengadilan
Dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, aparat penegak hokum dapat bekerj asama dengan :
50
5.1.3.
a.
Tenaga Kerja
b.
Pekerja Sosial
c.
Relawan Pendamping
d.
Pembimbing rohani
Selain perlindungan hukum di atas, terkait dengan peran hakim dalam proses pengadilan pidana, khususnya mengenai kejahatan kekerasan terhadap perempuan, hakim memegang peranan yang penting dalam perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban. Hal ini didasarkan pada peran hakim dalam menyingkap fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh di pemeriksaan sidang, yang adil terhadap pelaku maupun korban
\
5.2.
kejahatan kekerasan terhadap perempuan.
Saran - saran ( 1) Perempuan yang kebanyakan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, hendaknya diberikan perlindungan hukum dari negara dan atau masyarakat untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. (2) Agar mutu perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga lebih baik, hendaknya aparat penegak hukum ikut berperan di dalam pemberian perlindungan hukum. (3) Walaupun aparat penegak hokum sudah berperan dalam memberikan
.,__
51
perlindungan hkum, sebaiknya dapat bekerjasama denga pekerja sosial, tenaga kesehatan, relawan pendamping, dan pembimbing rohani. (4)
Hakim dalam proses peradilan pidana, khusunya mengenai kejahatan kekerasan terhadap perempuan, hendaknya ikut berperan di dalam proses peradilan pidana terhadap kejahatan kekerasan pada perempuan.
l
DAFTAR PUST AKA
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti. Bandung. 1996. Harkristuti Harkrisnowo.
Tindakan Kekerasan Rehadap .Perempuan
Dalam
Perspektif Sosio Yuridis, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta, 2001. K. Wantjik Saleh. Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia. Jakarta. 1997. Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti. Bandung. 1996. Muladi. Perlindungan Wanita Terhadap Tindak Kekerasan, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi. 1995. Moeljatno. Azaz-azaz Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. 1987, Mulyana W.
Kusumah.
Analisa Kriminologi
tentang
Kejahatan-Kejahatan
Kekerasan. Ghalia, Indonesia. Jakarta. 1989 Soerjono Soekamto, Pudji Santoso. Kamus Kriminologi. Ghalia, Indonesia. Jakarta. 1985. Sophia Mallopa. Kejahatan kekerasan Kultural. Majalah Prisma. 1998. Majalah. Forum keadilan. 20 oktober 1993. Republika, 30 juli 1997.