LAPORAN EVALUASI PEMILU 2014
Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi Sosial
LAPORAN EVALUASI PEMILU Di 3 (Tiga) Provinsi: Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Papua Jakarta, 21 Desember, 2014
Kontak Person Alamat Phone Email
: Kurniawan Zein : Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) : 0813-884-494-57 :
[email protected]/
[email protected]
DAFTAR ISI
Daftar isi Bab I.
Pendahuluan
halaman 1
Bab II. Kerangka Evaluasi
7
Bab III. Metode Evaluasi
13
Bab IV. Hasil Evaluasi
17
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
53
Lampiran
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia telah selesai melaksanakan Pemilihan Umum 2014 yang relatif berjalan dengan aman dan damai. Rakyat telah memilih partai politik dan para wakil yang menduduki jabatan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Rakyat juga telah memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai instrumen demokrasi dalam memilih wakil-wakil bagi jabatan politik, pertanyaan apakah pemilu di Indonesia telah memenuhi prinsip berkeadilan (electoral justice), bebas dan jujur (free and fair), menjadi keniscayaan dalam rangka memperkuat pilar demokrasi. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan “bahwa penyelenggaraan pemilihan umum yang berkualitas diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 1 Selanjutnya dalam ketentuan tersebut dikatakan “bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas”.2 Untuk itu, dibutuhkan partisipasi masyarakat sipil dalam memantau dan mengevaluasi proses pemilu. Proses pemilu di Indonesia mengacu kepada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadual Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 dapat diklasifikasi ke dalam 10 (sepuluh) isu pokok pemilu yang tercakup dalam 3 (tiga) tahapan pemilu: (1) persiapan, (2) penyelenggaraan, dan (3) penyelesaian. Kesepuluh isu pokok pemilu tersebut mencakup: (i) sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilih, (ii) logistik, (iii) pendaftaran pemilih, (iv) penetapan daerah pemilihan, (v) kampanye, (vi) pencalonan anggota legislatif dan dewan perwakilan daerah, (vii) pemungutan suara, (viii) rekapitulasi hasil suara, (ix) penetapan hasil suara dan (x) penyelesaian perselisihan pemilu. Pada tahap penyelenggaraan pemilu 2014, satu di antara aspek yang menjadi isu kritis dalam menilai apakah pemilu dapat dilaksanakan secara jujur dan adil (fairness) adalah pendaftaran pemilih. Hasil asesmen LP3ES terhadap pelaksanaan pendaftaran pemilih pemilu legislatif, mulai dari penyiapan Data Penduduk Potensi Pemilih Pemilu (DP4) hingga pada tahap pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS), memperlihatkan problem dalam dua hal: ∎ Pertama: koordinasi kelembagaan antara KPU sebagai pengguna (user) data pemilih
dengan Pemerintah c.q Kementerian Dalam Negeri sebagai penyedia (provider) data dalam melakukan sinkronisasi data pemilih. ∎ Kedua: kapasitas penyelenggara pendaftaran pemilih di tingkat lapangan (adhoc) yang berimplikasi terhadap kualitas daftar pemilih, sehingga dalam Daftar Pemilih 1 2
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, khususnya butir (b) menimbang (konsiderans). Ibid.
1
Sementara (DPS) pemilu legislatif masih tercatat pihak-pihak yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, karena Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) tidak melakukan pencoretan (i) anggota TNI/POLRI, (ii) usia pemilih yang belum genap 17 tahun pada saat pemungutan suara, (iii) nama pemilih yang telah meninggal dunia, dan (vi) nama yang tidak dikenal. Dari sisi akurasi, data dalam daftar pemilih juga memperlihatkan in-akurasi, mulai dari ketidak-cocokan nomor KK, NIK, Nama, Usia, Tanggal Lahir, Jenis Kelamin, dan Alamat. Problem in-akurasi daftar pemilih, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kualitas data awal (DP4) yang sesungguhnya masih memerlukan banyak perbaikan, pada hal data tersebut merupakan basis data tunggal yang digunakan oleh KPU dalam pemutakhiran data pemilih. Problem daftar pemilih sesungguhnya tidak hanya mereflesikan persoalan kapasitas penyelenggara teknis pendaftaran pemilih, lebih dari itu sesungguhnya juga merefleksikan problem sinkronisasi sebagaimana diharuskan oleh undang-undang yang tentunya menuntut kerjasama kelembagaan antara Pemerintah dan KPU. Problem kapasitas penyelenggara di tingkat adhoc sesungguhnya merefleksikan masalah kesiapan penyelenggara menghadapi pemungutan suara selanjutnya, tidak hanya pada tahap pendaftaran pemilih. Kunci persoalannya adalah pada pelaksanaan bimbingan teknis (BIMTEK) apakah telah memberikan pengetahuan yang cukup bagi pelaksana pemilu di tingkat adhoc sehingga dapat mengatasi persoalan dalam pemungutan, perhitungan dan rekapitulasi suara sesuai dengan prosedur aturan yang ada. Lebih mendasar lagi, pakah BIMTEK juga memberikan pengetahuan dan kesadaran mengenai urgensi integritas dan independensi penyelenggara melaksanakan pemilu. Hasil pemantauan terhadap penyelenggara pemilu di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengungkapkan masih terdapat sejumlah PPS dan KPPS yang dilantik menjelang detik-detik pemungutan suara yang tentunya tidak mendapatkan bimbingan teknis sama sekali, dan bahkan terdapat indikasi ketidak-netralan penyelenggara pemilu di tingkat adhoc, mulai dari tingkat KPPS hingga PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Hasil Pemantauan terhadap Kesiapan Penyelenggara Pemilu di Tingkat PPS/KPPS No. Jenis Kasus 1.
2.
Sumatera Utara 1 Kasus di Nias Penyelenggara Selatan PPS dan belum dilantik KPPS belum dilantik 1 Kasus di Nias Selatan PPS dan Penyelenggara KPPS belum belum dilatih diberikan pelatihan/bimtek dari KPUD
Wilayah Maluku 1 Kasus PPK dan PPS yang baru tidak dilantik 1 Kasus bimtek KPU kota Ambon belum dilaksanakan
Papua
Jumlah Kasus
1 Kasus PPDTPS belum dilantik
3
3 Kasus Penyelenggara (PPD-KPPS) tidak dilatih/ tidak diberikan pelatihan bimtek
5
Sumber: Hasil Pemantauan Pemilu 2014 oleh Kemitraan, Data Diolah.
2
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh lembaga pemantau juga mengungkapkan persoalan integritas penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat komisioner, pengawas hingga KPPS dalam bentuk keterlibatan dalam perkara pelanggaran hukum dan netralitas (lihat Tabel 1.2). Tabel 1.2 Hasil Pemantauan terhadap Integritas Penyelenggara Pemilu 2014 No.
Jenis Kasus
1.
Penyelenggara terindikasi punya masalah hukum
2.
Pernyataan/ tindakan penyelenggara yang mengindikasikan keberpihakan
Wilayah Sumatera Utara Maluku Ada 3 Kasus: 1. Ketua KPUD Nias Selatan. 2. Panwas Kota Medan, 3. KPUD Sumetara Utara di laporkan ke DKPP 3 Kasus: 1. PPK Nias Selatan 2. KPPS di Kota Medan. 3. PPS dan PPK di Kelurahan Helvetia Tengah, Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan
Papua
Jumlah Kasus
-
3
-
3
Sumber: Hasil Pemantauan Pemilu 2014 oleh Kemitraan, Data Diolah.
Masalah logistik merupakan isu pemilu yang juga menjadi sorotan media dalam menilai kesiapan pelaksanaan pemilu. Keterlambatan pencetakan dan distribusi surat suara, serta tertukarnya surat suara menjadi problem yang menghambat penyelenggaraan pemilu. Persoalan ini mengindikasikan kelemahan perencanaan dan kontrol dalam pengadaan, serta kesiapan infrastruktur yang mendukung distribusi logistik, sehingga menyebabkan penyelenggaraan pemilu di beberapa wilayah tidak sesuai dengan waktu yang telah diagendakan KPU seperti penundaan pemungutan suara Pemilu Legislatif di 27 TPS di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT) dan 15 distrik di Kabupaten Yahukimo Papua yang disebabkan oleh keterlambatan pengiriman surat suara. Hal lain yang juga mengemuka dalam hal logistik adalah masalah pengamanan logistik. Penundaan 27 TPS di Kabupaten Sikka diberitakan 3 disebabkan oleh hilangnya 200 gembok kotak suara dan alat bantu pencoblosan. Dalam kontek penundaan pemungutan suara di sebagian distrik di Kabupaten Yahukimo, kondisi geografis merupakan kendala tersendiri dalam pendistribusian logistik pemilu yang seharusnya menjadi faktor pertimbangan dalam perencanaan dan koordinasi pendistribusian logistik pemilu oleh KPU. Pada tahap penyelenggaran pemilu, dalam proses pemungutan suara sampai dengan rekapitulasi hasil pemungutan suara, menurut hasil pemantauan Kemitraan, masalah politik uang dan manipulasi suara merupakan kasus pemilu yang cenderung tinggi dibandingkan kasus intimidasi dan kekerasan dalam pemilu legislatif. Modus jual beli suara lebih cenderung dominan dilakukan dengan cara membagi-bagikan uang atau barang kepada masyarakat untuk memilih calon tertentu dan pemberian fasilitas yang
3
www.portalkbr.com, diunduh tanggal 2 Oktober 2014
3
sesungguhnya bersumber dari dana negara, seperti pemberian kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial oleh calon legislatif (lihat Tabel 1.3). Tabel 1.3 Hasil Pemantauan terhadap Praktik Politik Uang Menjelang Pemungutan Suara Pemilu Legislatif 2014 No.
1.
2.
Bentuk JualBeli Suara
Pembagian uang/barang
Pemberian fasilitas/ layanan
Sumatera Utara 5 Kasus: 1. Pemberian uang kepada perkumpulan pengajian Ibu-ibu. 2. Pembagian Kerudung Pasmina. 3. Pembagian Uang dengan syarat warga harus menyoblos berulang-ulang. 4. Pembagian uang dengan mengumpulkan KTP. 5. Tim sukses caleg datang ke masyarakat dengan membagikan uang secara langsung
Wilayah Maluku
Papua
Jumlah Kasus
9 Kasus: 5 kasus 6 Kasus: 3 pemberian Kasus uang, 2 kasus pemberian pemberian uang dari SEMBAKO, caleg dan 3 1 kasus kasus pemberian pembagian material barang berupa bahan TV, kursi dan bangunan, 1 busana kasus muslim pemberian hewan ternak (babi).
20
2 Kasus Pemberian Fasilitas: 1 Pembagian Kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), 2. Penyediaan sarana transportasi untuk mobilisasi pemilih
5
3 Kasus: 2 Kasus menjajikan pemekaran wilayah, 1 kasus memberikan fasilitas membangun rumah
Sumber: Hasil Pemantauan Pemilu 2014 oleh Kemitraan, Data Diolah.
Kasus manipulasi suara pada pemungutan dan rekapitulasi suara, terutama pada pemilu legislatif, adalah dalam bentuk penambahan, pengurangan dan perubahan hasil suara salah satu caleg tertentu sejak tahap perhitungan suara di TPS maupun rekapitulasi suara di tingkat PPK (lihat Tabel 1.4).
4
Tabel 1.4 Hasil Pemantauan terhadap Praktik Manipulasi Pada Saat Pemungutan dan Rekapitulasi Suara Pemilu Legislatif 2014 Bentuk Manipulasi No. Penghitungan Suara
1.
2.
Lokasi/Wilayah Sumatera Utara
Maluku
Papua
Pengubahan hasil penghitungan suara di TPS/KPPS.
2 Kasus Penggelembung an perolehan suara salah satu Caleg
3 Kasus: Penggelembun 3 Kasus: gan pada caleg menambahkan tertentu pada /memanipulasi saat repa perolehan dalam berita suara salah acara (petugas satu Caleg dijanjikan sejumlah uang)
Pengubahan hasil rekapitulasi penghitungan suara di PPS.
2 Kasus: 1 Penggelembung an perolehan salah satu caleg, 1 Caleg membayar sisa surat suara ke PPS
3 Kasus: menambahkan /memanupula si perolehan suara Caleg tertentu
3.
Pengubahan hasil rekapitulasi penghitungan suara di PPK.
2 Kasus Penggelembung an perolehan suara salah satu Caleg
4.
Pengubahan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU kabupaten/ kota.
1 Kasus: KPUD Nias selatan mengabaikan perolehan suara calek hasil penghitungan ditingkat bawah
5.
Pengubahan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU provinsi.
2 Kasus: Mengubah Form C1
5 Kasus: Penggelembun gan suara pada saat rekapitulasi
4 Kasus: Penggelembun gan suara karena dijanjikan mendapatkan uang dari caleg dan ada yang menggelembu ngkan karena mendapat ancaman dari caleg 3 Kasus: Penggelembun gan karena dijanjikan sejumlah uang bahkan ada yang sudah memberikan uang
Jumlah Kasus
8
6
12
4
2
Sumber: Hasil Pemantauan Pemilu 2014 oleh Kemitraan, Data Diolah.
5
Beberapa catatan permasalahan pemilu di atas mendorong LP3ES melakukan evaluasi pemilu untuk memetakan persoalan-persoalan penyelenggaraan pemilu 2014, karena permasalahan tersebut tentu saja berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. Penyelenggaraan pemilu yang berkualitas pada gilirannya dapat mempengaruhi tingkat penerimaan hasil pemilu oleh masyarakat, yang berarti pula menjadi bentuk pengakuan terhadap proses dan hasil pemilu yang legitimate. Di samping itu, penyelenggaraan pemilu yang berkualitas menjadi komitmen seluruh stakeholder pemilu, mulai dari penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), peserta pemilu (parpol dan calon), pemerintah, hingga masyarakat (pemilih). Kualitas penyelenggaraan pemilu coba dievaluasi berdasarkan perspektif seluruh stakeholder pemilu tersebut. Oleh karena itu, proses penyelenggaraan pemilu (pileg dan pilpres) tahun 2014 perlu dievaluasi untuk mengetahui seberapa berkualitasnya, seperti apa mengukur kualitas itu, apa kelebihan dan peluang yang bisa dikembangkan, apa kekurangan dan tantangan/ kendala yang dihadapi dalam rangka perbaikan pemilu yang akan datang. B. TUJUAN Studi evaluasi pemilu 2014 ini bertujuan untuk: 1. Memetakan persoalan, baik yang terkait dengan penyelenggara atau peserta pemilu. 2. Memetakan praktik terbaik dan terburuk penyelenggaraan pemilu. 3. Memberikan nilai kualitas proses pemilu berdasarkan penilaian para pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung; penyelenggara, pengawas, peserta pemilu (partai politik/kandidat), dan pemantau atau CSO. 4. Membuat rekomendasi perbaikan penyelenggaraan pemilu yang akan datang. C. MANFAAT Manfaat hasil studi evaluasi pemilu 2014 ini adalah sebagai masukan dari masyarakat sipil bagi KPU dalam melakukan perbaikan-perbaikan untuk mempersiapkan pemilu yang akan datang, baik untuk pemilu nasional maupun pemilihan kepala daerah. D. POSISI STUDI Studi evaluasi pemilu 2014 ini dipandang perlu untuk dilakukan berdasarkan temuantemuan pemantauan pemilu, baik pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden. Studi evaluasi ini dirancang untuk memperdalam persoalan-persoalan yang mempengaruhi kualitas pemilu berdasarkan prinsip jujur dan adil (electoral justice), sehingga dapat digunakan sebagai instrumen dan bahan bagi KPU dan para-pihak lainnya untuk memperbaiki penyelenggaraan pemilu.
6
BAB II KERANGKA EVALUASI A. PEMILU SEBAGAI INSTRUMEN DEMOKRASI Pemerintahan yang demokratis biasanya menjadikan pemilihan umum (pemilu) sebagai sarana untuk memilih pemimpinnya. Dalam hal ini, demokrasi diartikan sebagai “suatu sistem pemerintahan dimana mereka yang mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan secara langsung ataupun tidak langsung sebagai hasil memenangkan pemilu yang bebas dimana sebagian besar rakyat dimungkinkan untuk berpartisipasi”.4 Pemerintahan yang demokratis, menurut James MacGregor Burns, 5 ditandai dengan adanya “suatu sistem pemilu yang bebas, jujur, dan terbuka” (a system of free, fair, and open elections). Lebih lanjut dikemukakan bahwa terdapat beragam bentuk pemerintahan yang demokratis, akan tetapi pemilu yang demokratis memiliki setidak-tidaknya empat unsur esensial, yaitu: a) Semua warga negara mempunyai hak pemungutan suara yang sama (All citizens should have equal voting power). b) Semua pemilih mempunyai hak akses terhadap fakta, melakukan kritik, menyampaikan gagasan dan pandangan kepada seluruh calon (Voters should have the right of access to facts, criticism, competing ideas, and the views of all candidates). c) Semua warga negara harus bebas berorganisasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan politiknya (Citizens must be free to organize for political purposes). d) Pemilu diputuskan oleh mayoritas – atau sekurang-kurangnya pluralitas (Elections are decided by majorities – or at least pluralities). Dalam hubungan dengan pemilu, demokrasi – Robert A. Dahl menyebutkan tujuh ciri – empat di antaranya dicirikan oleh adanya:6 a) Pejabat yang dipilih (elected officials). b) Pemilu yang bebas dan adil (free and fair elections). c) Hak memberikan suara yang luas (inclusive suffrage). d) Hak untuk menduduki jabatan (rights to run for office). Selain Burns dan Dahl, G. Bingham Powell, Jr menyebutkan adanya pemilihan kompetitif secara berkala antara calon alternatif, partisipasi orang dewasa sebagai pemilih dan calon yang dipilih, serta pemilihan yang bebas sebagai tiga parameter kunci dari lima parameter demokrasi. Inu Kencana menyebutkan adanya pemilu yang bebas sebagai salah satu prinsip utama dari 20 prinsip demokrasi. Frans Magnis Suseno memasukkan pemilu yang bebas sebagai salah satu kriteria inti dari lima kriteria demokrasi. Afan Gaffar 7 menekankan pemilu sebagai salah satu prasyarat dari lima prasyarat untuk mengukur implementasi demokrasi. Dalam konteks tersebut, maka pemilu secara teoritis menjadi sarana demokrasi yang memiliki kemampuan memberikan legitimasi terhadap suatu rejim politik/pemerintahan. 4 5 6 7
James MacGregor Burns, et al. 1989. Government by the People. Englewood Cliffs-New Jersey: Prentice Hall, halm. 3. Ibid, halm. 7-8. Lihat Gotfridus Goris Seran. 2013. Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, halm. 165. Afan Gaffar. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, halm. 7-10.
7
Dengan kata lain, pemilu merupakan aktualisasi dan implementasi nyata dari kedaulatan rakyat yang memiliki ‘otoritas’ untuk memberikan legitimasi terhadap pihak-pihak yang dinilai dapat mewakili aspirasi mereka untuk ditempatkan di dalam legislatif maupun eksekutif. Melalui pemilu, suara rakyat disalurkan untuk memilih aktor-aktor politik yang dipercaya (trusted). Untuk itu, proses pemilu yang dapat dipercaya berlangsung secara jujur dan adil (free and fair) menjadi prakondisi yang diperlukan dalam proses penyelenggaraan pemilu (lihat Gambar 2.1). Gambar 2.1 Skema Proses Pemilu
Parpol
Pemilih
Suara
Kursi
Calon
Berdasarkan undang-undang, 8 warga negara yang telah memiliki hak pilih memberikan suaranya kepada partai politik dan kandidat legislatif atau kandidat presiden dalam pemilu. Suara terbanyak yang diberikan atau diperoleh oleh masing-masing partai politik dan kandidat menjadi standarisasi kelayakan untuk mendapatkan kursi di legislatif atau eksekutif. Untuk mengatur proses tersebut, undang-undang telah menetapkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas menyelenggarakan pemilu agar berlangsung secara jujur dan adil (free and fair), mulai dari verifikasi dan penetapan partai politik yang layak menjadi peserta pemilu, kandidat legislatif, kandidat presiden, penyusunan daftar pemilih, penyelenggaraan pemungutan suara, rekapitulasi suara, dan penetapan hasil pemilu (lihat Gambar 2.2).
8
Lihat Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
8
Gambar 2.2 Skema Tata Kelola Pemilu oleh KPU TATA KELOLA PEMILU: Manajemen Pemilu: KPU: Integritas, Independensi, Profesionalitas, Kinerja Kebijakan, Hubungan dan Dukungan Sekretariat terhadap Kinerja Komisioner, Rekruitmen, Kualitas SDM Upgrading, Honor Penyelenggara Pemilu Ad hoc, Dukungan IT, Help Desk
Kualitas Penyelenggaraan Pemilu
Penyelenggaraan Pemilu:
Pemilih, Parpol dan Kandidat Suara dan Kursi
B. PRINSIP DAN INDIKATOR EVALUASI PEMILU Fakta pemilu 2014, baik legislatif dan presiden, memperlihatkan bahwa masih terdapat persoalan yang menjadi catatan tersendiri dalam proses pemilu. Dalam kerangka evaluasi pemilu 2014, terdapat 3 (tiga) aspek evaluasi yang perlu ditinjau dalam penyelenggaraan pemilu yang lalu, yaitu: KPU, pemilih, dan parpol. Di luar ketiga aspek tersebut, terdapat dua aspek lainnya yang memerlukan perhatian dalam proses pemilu yaitu aspek-aspek yang terkait dengan suara dan kursi. Dari sisi tahapan, pemilu memiliki banyak aspek dengan sub isu yang melingkupinya. Untuk menilai berbagai tahapan tersebut membutuhkan instrumen dasar yang dapat dijadikan pedoman umum sebagai nilai prinsip pelaksanaan kegiatan. Prinsip-prinsip Accra9 dengan 11 aspek (values), menjadi alat ukur capaian nilai pemilu yang dapat diukur masing-masing: 1) Integritas, yaitu sejauhmana pelaksanaan berlangsung secara jujur dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga memberikan legitimasi politik terhadap pemilu itu sendiri. 2) Partisipasi, yaitu hak pilih rakyat harus dihargai dan dihormati sehingga mereka dapat memilih secara rahasia, bebas dan berdasarkan keputusan politik yang mandiri. 3) Memiliki aturan hukum yang jelas (lawfulness), yaitu bagaimana pemilu dapat berlangsung sesuai dengan aturan hukum yang menjamin keadilan (justice) bagi semua warga. Hukum tersebut tentunya juga mengandung nilai-nilai (norm) yang secara universal/internasional dapat diterima. 4) Impartial dan fair (Impartiality and fairness), yaitu pemilu menjamin kesamaan perlakuan terhadap pemilih dan kontestan pemilu. Penyelenggara pemilu benarPrinsip ACCRA merupakan prinsip-prinsip pemilu yang berkeadilan (electoral justice) yang dirumuskan oleh para pihak yang tergabung dalam The Electoral Integrity Group (EIG) yang didirikan sejak tahun 2003 oleh Fredrik Galtung dan Jeremy Pope dalam merespon gerakan anti korupsi. Para-pihak yang mendukung perumusan prinsip ACCRA tediri dari UNDEF, Open Society Foundation dan Tiri. Beberapa pertemuan telah diadakan untuk mempromosikan prinsip ACCRA, diantaranya di United Kingdom (Juli 2010), Bali, Indonesia (Januari, 2011), dan Gaborone, Botswana (Maret, 2011). 9
9
benar memberikan arena permainan bagi semua pihak dalam pemilu; pemilih, kandidat, partai politik, media, civil society dan pihak-pihak lainnya. 5) Profesionalisme, yaitu menyelenggarakan (managing) proses pemilu memerlukan pengetahuan teknis terkait dengan isu dan kemampuan (competence) dalam menjalankan proses. Kemampuan manajemen tersebut terlihat dalam perencanaan, pelaksanaan dan menyimpulkan hasil pemilu, baik pada periode sebelum (preelectoral), pada saat pemilu (electoral) dan sesudah pemilu (post-electoral). Indikator kunci dari professionalism adalah, pengalaman (experience), kecakapan (expertise), objektivitas (objectivity), efisien (efficiency), akurat (accuracy), memiliki komitment dan efektif (effectiveness). 6) Independen, yaitu penyelenggara pemilu dapat membuat keputusan yang dihormati dan dijamin oleh hukum tanpa adanya intervensi kepentingan oleh pihak-pihak tertentu. 7) Transparan, yaitu semua informasi tahapan pemilu dapat diakses dan bersedia mengkoreksi setiap kesalahan atau kelalaian dalam penyelenggaraan pemilu sehingga meningkatkan kepercayaan publik. 8) Tepat waktu, yaitu penyelenggaraan pemilu harus lah tepat waktu sesuatu dengan aturan yang telah ditetapkan, termasuk pengambilan keputusan dalam sengketa pemilu. 9) Tidak ada kekerasan (non-violence), yaitu semua tahapan kegiatan pemilu berlangsung tanpa ada kekerasan, intimidasi, paksaan, korupsi dan lainnya. 10) Teratur (regularity), yaitu pemilu dapat dilaksanakan secara berkala yang secara jelas diatur dalam undang-undang. 11) Penerimaan (acceptance), yaitu bahwa semua pihak dapat menerima dan mematuhi hasil pemilu. Hal ini, sebagai bentuk legitimasi atas pemilu, sehingga dapat diterima oleh masyarakat internasional. Berdasarkan skema, tata kelola, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu tersebut di atas dapat dirumuskan indikator-indikator untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemilu 2014 (lihat Tabel 2.1). Tabel 2.1 Indikator Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu 2014 Tahap
Aspek
No 1 2
Tim Seleksi
3 4 5
Pra Pemilu
6 7 8 Komisioner 9 10 11 12
Indikator Transparansi rekrutmen tim seleksi komisioner KPUD/Bawaslu di Daerah Kapasitas dan kapabilitas tim seleksi komisioner KPUD/Bawaslu di Daerah Profesionalitas tim seleksi dalam rekrutmen komisioner KPUD/Bawaslu di Daerah Independensi tim seleksi dalam rekrutmen komisioner Kode etik bagi tim seleksi Uji publik/publikasi profil komisioner KPU/ Bawaslu di Daerah Independensi komisioner KPU/KPUD Independensi komisioner Bawaslu Keterwakilan perempuan dalam komisioner KPU/Bawaslu Kinerja kebijakan KPU Dukungan sekretariat terhadap kinerja KPU Efektivitas layanan informasi pemilu (help desk) 10
Penyelenggara Ad-hoc
Hak Pilih
Masa Pemilu
Parpol dan Kandidasi
Logistik
Daftar Pemilih
13 Batas kewenangan antara KPU dan Bawaslu 14 Kapasitas PPK, PPS dan KPPS 15 Pembatasan masa tugas PPK, PPS dan KPPS Efektivitas pelatihan (upgrading) bagi PPK, PPS dan 16 KPPS Kapasitas pengawas lapangan (Panwascam dan 17 PPL) Kesesuaian honor PPK, PPS, KPPS dengan beban 18 tugas dan tanggung jawab Proporsi dan kecukupan petugas pengawas 19 lapangan (PPL) 20 Fungsi Gakkumdu dalam pemilu 21 Rekam jejak profil petugas PPK, PPS, KPPS Sosialisasi dan pendidikan hak pilih kepada pemilih 22 pemula Sosialisasi dan pendidikan hak pilih kepada pemilih 23 perempuan Sosialisasi dan pendidikan hak pilih kepada 24 kelompok penyandang disabilitas Pengakuan hak pilih bagi kelompok masyarakat 25 marginal Sosialisasi tentang bahaya praktik jual beli suara 26 (vote buying) 27 Sosialisasi profil kandidat anggota legislatif 28 Sosialisasi profil kandidat presiden 29 Sosialisasi tata-cara memilih yang benar Syarat-syarat kelolosan verifikasi parpol memenuhi 30 prinsip keadilan Verifikasi partai politik memenuhi prinsip keadilan 31 dan obyektivitas 32 Tranparansi rekrutmen kandidat 33 Kapasitas dan kapabilitas kandidat Sosialisasi dan uji publik calon anggota legislatif 34 oleh parpol Respons publik terhadap daftar calon sementara 35 (DCS) dan daftar calon tetap (DCT) Keterwakilan 30 persen perempuan dalam 36 pencalonan anggota legislatif di berbagai tingkatan 37 Transparansi pengadaan logistik pemilu Mekanisme kendali mutu (quality control) terhadap 38 standar logistik pemilu 39 Perencanaan distribusi logistik ke wilayah sulit 40 Mekanisme kontrol distribusi logistik Jaminan keamanan logistik dan kerahasiaan 41 dokumen pemilu Kualitas data awal data penduduk potensi pemilih 42 pemilu (DP4) Efektivitas variasi nomenklatur daftar pemilih 43 (DPT, DPTb, DPK, DPKTb) 44 Kapasitas petugas pendaftaran pemilih 11
Kampanye
Pemungutan Suara
Rekapitulasi Suara
Penetapan Hasil
45 Akurasi dan kelengkapan daftar pemilih Akomodasi pemilih penyandang disabilitas dalam 46 format daftar pemilih Perhatian dan partisipasi masyarakat memeriksa 47 daftar pemilih 48 Sosialisasi daftar pemilih kepada masyarakat Keterandalan teknologi sistem informasi dalam 49 pendaftaran pemilih (SIDALIH) 50 Kejelasan aturan penyelenggaraan kampanye 51 Ketiadaan diskriminasi dalam proses kampanye Penegakan hukum dan kepatuhan terhadap aturan 52 kampanye Ketiadaan praktik politik uang/jual beli suara (vote 53 buying) dalam masa kampanye Isi kampanye oleh peserta pemilu bebas dari 54 intimidasi dan kekerasan verbal (SARA) 55 Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye Independensi media massa dalam kampanye 56 politik Aksesibilitas TPS bagi pemilih penyandang 57 disabilitas (cacat fisik, tuna-netra, tuna-rungu) 58 Partisipasi pemilih untuk datang ke TPS Pelaksanaan waktu pemungutan suara sesuai 59 dengan ketentuan aturan Kecakapan dan penguasaan petugas penyelenggara 60 pemilu ad-hoc tentang prosedur pemilu Integritas petugas penyelenggara pemilu ad-hoc 61 terhadap praktik politik uang Efektivitas pengawasan proses pemilu pada saat 62 pemungutan suara oleh petugas pengawas Proses pemungutan suara bebas dari tindak 63 kekerasan dan intimidasi 64 Proses pemungutan suara bebas tindakan curang Proses pemungutan suara bebas dari praktik 65 politik uang Transparansi proses rekapitulasi suara di berbagai 66 tingkatan (PPS, PPK dan KPUD Kab/Kota) Pelaksanaan rekapitulasi suara sesuai dengan 67 jadwal yang telah ditentukan Proses rekapitulasi bebas dari tekanan politik dari 68 partai politik dan kandidat Keamanan dokumen pemilu dalam proses 69 rekapitulasi suara Proses rekapitulasi bebas dari praktik politik uang 70 terhadap petugas 71 Ketepatan waktu penetapan hasil suara 72 Transparansi proses penetapan hasil akhir pemilu 73 Hasil akhir suara dapat diakses oleh publik Penetapan hasil bebas dari penyimpangan dan 74 tekanan politik 12
75 Pasca Pemilu
Sengketa Pemilu
76 77 78
Penetapan hasil akhir pemilu 2014 bebas dari tekanan politik dan praktik politik uang Penyelesaian sengketa pemilu 2014 telah memenuhi prinsip keadilan dan imparsialitas Saksi dan alat bukti dalam penyelesaian sengketa pemilu kredibel dan akurat Profesionalitas hakim MK dan imparsial
13
BAB III METODE EVALUASI A. METODE DAN TAHAPAN EVALUASI Evaluasi pemilu 2014 bersifat sumatif yang dilakukan dengan pendekatan participatory assessment. Penilaian-penilaian terhadap aspek pemilu merupakan penilaian yang diberikan oleh para pihak yang terlibat dan memahami pemilu, sehingga memenuhi kategori bagian dalam kegiatan evaluasi. Penilaian evaluasi dirancang dengan memberikan scoring pada skala nilai tertentu atas isu yang digunakan sebagai instrumen evaluasi pemilu pada 3 tahapan pelaksanaan pemilu, 12 aspek dan 69 isu kritis (yang dikembangkan berdasarkan 11 prinsip electoral justice. Skala penilaian atas isu adalah 1 sampai dengan 5. Nilai 1 berarti sangat buruk, 2 buruk, 3 biasa, 4 baik dan 5 sangat baik. Selanjutnya nilai dari masing-masing isu akan diakumulasikan dan dikelompokkan berdasarkan aspek, sehingga memberikan gambaran umum mengenai kualitas masing-masing aspek. Nilai yang diberikan para-pihak selanjutnya dielaborasi lebih dalam melalui mekanisme wawancara terhadap sejumlah informan kunci yang dianggap secara subjektif dapat memberikan konfirmasi informasi yang dibutuhkan berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan kapasitas mereka dalam proses kepemiluan. Dalam perumusan instrument evaluasi, didahului dengen identifikasi isu-isu kritis dalam pemilu melalui Forum Konsultatif yang melibatkan peserta beberapa NGO dan lembaga kajian yang secara aktif terlibat dalam isu-isu kepemiluan, di antaranya seperti Perludem, JPPR, Correct, LIPI, Puskapol UI, dan staf Ahli KPU. Forum konsulatatif ini selanjutya berfungsi untuk mengkritisi hasil temuan dan rumusan rekomendasi yang disampaikan ke KPU. Pada tahap pengumpulan data, dilakukan dengan metode Focused Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam terhadap sejumlah nara sumber yang dipilih secara purposive berdasarkan pertimbangan subjektif bahwa yang bersangkutan terlibat secara aktif baik sabagai penyelenggara, peserta dan pemantau sehingga memiliki informasi yang dibutuhkan dalam kerangka evaluasi. Selanjutnya dilakukan Lesson Learnt Workshop sebagai bentuk paparan hasil dan mendapatkan masukan dari publik, yang ditindaklnjuti dengan seminar penulisan laporan.
14
Grafik Tahapan Evalulasi Forum Konsultatif Identifikasi Isu Kritis
Perumusan Isntrumen Evaluasi
Pengumpulan Data (FGD dan Wawancara)
Forum Konsultatif pasca Pengumpulan Data (kritisasi temuan)
Perumusan Draft Rekomendasi Forum Konsultatif Kritisasi Rekomendasi
Worshop Lesson Learn Seminar
B. LOKASI DAN WAKTU PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data dilakukan di 3 (empat) wilayah: Sumatera Utara (Medan dan Nias), Jawa Tengah, , dan Papua (Kota Jayapura, Yahukimo dan Jayawijaya). Waktu pengumpulan data dilakukan semala 10 hari di masing-masing wilayah.
15
C. KRITERIA PESERTA DAN INFORMAN Berikut kriteria peserta Focused Group Discussion (FGD) dan nara sumber wawancara dalam pengumpulan data primer evaluasi pemilu.
No 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah
Peserta FGD Perwilayah Peserta Perwakilan KPU Kabupaten/kota Panwaslu kab/kota Eks-PPK Eks-PPS Pemantau Lokal Partai Politik Akademisi
Number 2 2 2 2 2 2 1 13
Nara Sumber Wawancara Perwilayah No
Kriteria
Jumlah
1
KPU Provinsi
1
2
KPU Kabupaten/kota
1
3
Bawaslu
1
4
Panwaslu Kabupaten/Kota
1
5
Eks PPKS
2
6
Eks PPS
2
7
Eks KPPS
2
8
Pemantau lokal
2
9
Partai Politik
2
10
Akdemisi
1
Total
15
Teknik Analisis Data: Data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder, dianalisis secara deskriptif-kualitatif dan melakukan analisis isi (content analysis) terhadap data yang ada, untuk kemudian membuat kesimpulan dan mengajukan rekomendasi.
16
BAB IV HASIL EVALUASI A. TAHAP PRA PEMILU 1. Tim Seleksi Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) PKPU Nomor 2 Tahun 2013 dijelaskan bahwa proses perekrutan dan penetapan anggota tim seleksi yang bertugas menseleksi calon komisioner merupakan kewenangan penuh KPU yang dilakukan secara berjenjang. Pada tingkat provinsi, perekrutan dan penetapan Tim Seleksi menjadi kewenangan KPU Pusat, sementara pada tingkat kabupaten/kota merupakan kewenangan KPU di tingkat Provinsi. Dalam hal evaluasi terhadap proses perekrutan dan penetapan Tim Seleksi, para-pihak melihat Tim Seleksi (Timsel) memiliki peran strategis yang dapat mempengaruhi proses pemilu selanjutnya. Cara pandang ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari kewenangan yang dimiliki Tim Seleksi sebagai pintu masuk bagi penetapan calon komisioner. Di sisi lain, karena Tim Seleksi bekerja dalam mempersiapkan penyelenggara acara politik 5 (lima) tahunan pemilu, maka memiliki kerentanan terhadap tarikan kepentingan. Dalam konteks evaluasi Kinerja Tim Seleksi, para-pihak juga dimintai penilaiannya terhadap tim seleksi Bawaslu di Daerah. Evaluasi atas Tim Seleksi didasarkan atas 5 indikator, yaitu: (1) transparansi rekrutmen tim seleksi oleh KPU/Bawaslu, (2) kapasitas dan kapabilitas, (3) profesionalitas, (4) independensi, dan (5) kode etik (lihat Grafik 4.1). Grafik 4.1: Penilaian Para-pihak atas Aspek Tim Seleksi Calon Komisioner KPU/Bawaslu di Daerah 4
4
3
3 2
3
3
2 1
3
3 2
3
2
1
Transparansi Kapasitas dan Profesionalitas Independensi tim Kode etik bagi tim rekrutment tim Kapabilitas tim tim Seleksi dalam Seleksi dalam seleksi seleksi seleksi rekruitmen rekrutmen komisioner komisioner anggota anggota KPUD/Bawaslu di KPUD/Bawaslu di komisioner komisioner Daerah Daerah KPUD/Bawaslu di Daerah Jawa Tegah
Sumatera Utara
papua
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
17
Penilaian atas Tim Seleksi KPU/Bawaslu di tingkat Provinsi/Kabupaten (lihat Grafik 4.1) menunjukkan bahwa dari kelima indikator yang menjadi dasar penilaian kinerja Tim Seleksi, memperlihatkan bahwa trasparansi rekrutmen tim seleksi di wilayah Sumatera Utara dan Papua dinilai kurang bahkan sangat kurang transparan oleh para-pihak dibandingkat dengan Jawa Tengah, karena proses rekrutmen di lokasi evaluasi di kedua Provinsi; Sumatera Utara dan Papua tidak dapat diketahui oleh publik. Sesungguhnya, proses rekrutmen tim seleksi di Jawa Tengah tidak jauh berbeda, hanya para-pihak di Jawa Tengah menilai bahwa transparansi rekrutmen tim seleksi secara luas dan hanya diketahui oleh pihak-pihak yang memiliki perhatian dan kepentingan terhadap proses rekrutmen Tim Seleksi Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) nomor 2 tahun 2013 tentang Seleksi Komisi Pemilihan Umum, pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa pembentukan Tim Seleksi merupakan kewenangan KPU atau KPU Provinsi. Demikian pula dengan pemebentukan Tim Seleksi Bawaslu Provinsi, memiliki prinsip kerja yang sama dengan KPU, menjadi kewenangan dari Bawaslu. Pembentukan Tim Seleksi baik KPU maupun Bawaslu berdasarkan aturan yang berlaku tidak menjelaskan dan mengharuskan transparansi rekrutmen, dengan kata lain kewenangan tersebut dapat diartikan sebagai hak prerogratif dari KPU maupun Bawaslu. Hanya saja para pihak di ketiga lokasi evaluasi menilai bahwa transparansi rekrutmen Tim Seleksi perlu diketahui oleh publik karena kewenangan dan keputusan Tim Seleksi merekomendasikan calon anggota KPU/Bawaslu akan memiliki implikasi politis.
Selain problem transparansi, Tim Seleksi untuk KPU/Bawaslu di wilayah Sumatera Utara dan Papua juga dinilai kurang dalam hal kapasitas dan kapabilitas serta independensi, terutama pada tingkat Kabupaten/Kota. Nilai tiga yang diberikan oleh para pihak sesungguhnya menunjukkan penilaian yang ambigu dari para-pihak antara baik dan tidak kinerja Tim Seleksi dalam merekrut dan menseleksi calon komisioner KPU/Bawaslu. Persoalan tranparansi dalam rekrutmen Tim Seleksi perlu dilihat dari aspek lain yang menjadi kendala transparansi, yaitu pengaruh dan intervensi politik eksternal dari berbagai kekuatan yang bersaing. Faktor ‘orang titipan’ serta agenda khusus yang harus ‘dimainkan’ – yang umumnya tidak tertulis dan luput dari perhatian publik – telah membuat para personalia Timsel tidak banyak memiliki opsi untuk memaksimalkan perannya untuk menghasilkan kandidat komisioner KPU maupun Bawaslu yang berkualitas. Media lokal juga kurang mendapatkan akses informasi terhadap rencana pembentukan Tim Seleksi (lihat Tabel 4.1). Tabel 4.1: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Tim Seleksi ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Rekrutmen dan bekerjanya Timsel yang kurang transparan (kurang akses publik). Hambatan regulasi yang mengatur rekrutmen Timsel sebagai prerogatif KPU (Pasal 4 ayat 4 PKPU No. 2/2013).
Perlu keterbukaan proses dan mekanisme rekrutmen Timsel dengan melakukan penelusuran kompetensi, profesionalitas dan track record. Perlu penegakan akuntabilitas uji publik dalam proses rekrutmen Timsel. 18
Intervensi eksternal (Parpol dan Birokrasi) seperti adanya titipan, rekomendasi, dan pengaturan calon komisioner, terutama di kabupaten/ kota.
Perlu pemenuhan syarat kompetensi Timsel dalam hal kepemiluan, kepartaian dan demokrasi.
2. Kinerja Komisioner di Daerah (KPU dan Bawaslu) Dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis, keberadaan lembaga penyelenggara pemilu yang terpercaya adalah sangat penting. Legitimasi pemilu dapat rusak apabila lembaga ini berpihak pada salah satu atau beberapa kontestan, perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan pentahapan pemilu yang tidak rapi, pendaftaran pemilih yang diskriminatif, penghitungan suara yang tidak transparan dan sebagainya. Kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu dapat dijaga apabila memperhatikan sejumlah hal dalam desain dan cara bertindak. Lembaga pemilu harus mampu menjalankan kegiatan yang bebas dari campur tangan serta dapat bertanggung jawab atas seluruh proses pemilu. Selain tanggung jawab pada proses pemilu yang terdiri atas beberapa tahapan, penyelenggara pemilu juga bertanggung jawab atas pendidikan politik bagi pemilih serta memastikan bahwa para pejabat pemilu dan staf yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu melaksanakan tugasnya dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga dan komisioner penyelenggara pemilu dapat dinilai berdasarkan perilaku, tindakan dan kinerja yang ditampilkan komisioner selama penyelenggaraan pemilu. Dari aspek komisioner, evaluasi didasarkan atas penilaian dari 5 instrumen, yaitu (1) Mekanisme uji publik, (2) Independensi komisioner KPU di daerah, (3) Independensi komisioner Bawaslu di daerah, (4) Keterwakilan perempuan dalam komisioner KPU/Bawaslu, (5) Batas Kewenangan antara KPU dan Bawaslu. Kelima instrument tersebut digunakan untuk menilai integritas, kapasitas, profesionalitas yang juga mengakomodasi gender (lihat Grafik 4.2). Grafik 4.2: Penilaian Para-pihak atas Komisioner
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
19
Berdasarkan penilaian para pihak (lihat Grafik 4.2), penetapan dan kinerja komisioner baik KPU maupun Bawaslu di daerah telah dilakukan melalui mekanisme yang menjamin independensi, profesionalitas dan keterwakilan perempuan, meski baru pada tahap procedural, yang masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Fakta dilapangan memperlihatkan bahwa tarikan kepentingan menyebabkan upaya uji publik komisioner tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu baik KPU maupun Pengawas Pemilu sesungguhnya dipengaruhi oleh peran partai politik. Realitasnya dalam setiap rekruitmen komisioner, selalu terdapat partai politik yang secara intensif melakukan ‘kegiatan’ yang mempengaruhi netralitas rekruitmen penyelenggara pemilu. Di sisi lain, keberadaan KPU-Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya bersifat saling menopang, menyisakan permasalahan dalam hal koordinasi. Batas kewenangan menjadi penting untuk dinilai karena KPU sebagai penyelenggara memiliki tugas pokok dan fungsi mengambil keputusan terkait dengan penetapan daftar pemilih, keikutsertaan peserta pemilu; partai politik dan calon, serta penetapan hasil pemilu, sementara di sisi lain Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengeluarkan rekomendasi yang secara undang-undang bersifat final dan mengikat dan harus dilaksanakan oleh KPU10. Dengan posisi semacamnya sesungguhnya berpotensi memicu keputusan-keputusan yang tidak produktif apabila tidak terdapat koordinasi yang baik antara KPU dan Bawaslu. Problem lain yang turut menjadi kendala kinerja KPU dan Pengawas (Bawaslu dan Panwaslu) adalah ketepatan waktu rekruitmen para komisioner. Terdapat kesan bahwa pembentukan KPU dan Panwaslu di daerah sangat terlambat sebab proses pembentukannya dilaksanakan ketika sebagian proses pemilu telah berlangsung. Sistematisasi kerja, strategi dan keterampilan para penyelenggara menjadi bermasalah untuk melahirkan sinergi kerja, baik antara KPU dan jajarannya maupun Bawaslu dan jajarannya ataupun antara kelembagaan Bawaslu dan KPU beserta tingkatan jajarannya masing-masing. Kinerja organisasi dan komisioner penyelenggara pemilu sangat ditentukan oleh pola hubungan kerja dan komunikasi yang baik pada seluruh komponen organisasi dan komisioner penyelenggara pemilu. Pola hubungan dan komunikasi yang ideal dihasilkan dari pemahaman yang tepat dan mendalam tentang tugas, fungsi dan tata kerja organisasi di dalam penyelenggara pemilu itu sendiri. Jadi persoalannya terutama bukan hanya pada peraturan yang ada, melainkan pada pemahaman serta penerapannya. Salah satu hal penting dalam perjalanan organisasi adalah kepatuhan komisioner pada kode etik yang berlaku di dalam organisasi itu sendiri. Pengabaian kode etik penyelenggara pemilu dapat menyebabkan turunnya kinerja dan kredibilitas penyelenggara pemilu dan bahkan pemilu itu sendiri. Masalah integritas, independensi dan profesionalitas komisioner KPU/Bawaslu di Daerah tersebut dapat dicermati berdasarkan masalah dan jumlah sengketa pemilu dan pelanggaran kode etik yang diadili oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sejumlah kasus pelangggaran kode etik (PKE) yang dilakukan oleh komisioner 10
Terdapat 2 tahapan dimana rekomendasi bawaslu tidak bersifat final dan mengikat yaitu pada tahapan verifikasi partai politik dan pencalonan.
20
di daerah yang menjadi wilayah studi 11 menunjukkan terjadinya kecurangan oleh komisioner, yaitu: (a) proses pelaksanaan dan hasil pemilu legislatif yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (b) menunda, mengabaikan dan tidak melaksanakan rekomendasi Panwaslu, (c) tidak memberikan salinan C1, D1 dan DA-1 kepada seluruh saksi parpol, (d) terdapat beberapa kotak suara yang telah terbuka dan surat suara sudah tercoblos, (e) terjadi pembiaran anak-anak memberikan hak pilih dalam pemungutan suara ulang, (f) tidak tersedianya bilik untuk pemilih memberikan hak pilihnya, (g) tidak netral dan nepotisme (keluarga kandung) kepada caleg dari partai tertentu, (h) sengaja merusak surat suara yang sudah dicoblos pemilih dengan kuku agar menjadi tidak sah, (i) penggelembungan suara, dalam arti pengurangan suara caleg dari suatu parpol dan penambahan suara kepada caleg dari parpol tertentu, (j) tidak profesional dan salah memberikan rekomendasi pemungutan suara ulang, (k) tidak teliti dan kurang hati-hati menginput data dalam model C1 plano, (l) menerima uang dari caleg parpol tertentu untuk menambah suara pada caleg tersebut (lihat Tabel 4.2). Tabel 4.2: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Komisioner ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Masalah integritas dan independensi komisioner: komersialisasi wewenang, politik uang, dan penggelembungan suara (pengurangan dan penambahan suara pada partai/caleg tertentu). Masalah kompetensi profesionalitas komisioner: latar belakang keilmuan tidak mendukung kinerja kepemiluan dari komisioner. Rendahnya koordinasi dan sinergi kerjakerja pemilu antara KPU dan Bawaslu/Panwaslu.
Perlu penegakan akuntabilitas uji publik dalam proses rekrutmen komisioner. Perlu keterbukaan proses dan mekanisme rekrutmen komisioner dengan melakukan penelusuran kompetensi, profesionalitas dan track record. Perlu peningkatan koordinasi dan sinergi kerja-kerja pemilu antara KPU dan Bawaslu/Panwaslu.
2.1 Kinerja Kebijakan KPU Di samping masalah integritas, independensi dan profesionalitas, kinerja organisasi dan komisioner dapat diukur berdasarkan kebijakan yang diputuskan. Peraturan dan keputusan serta Surat Edaran KPU yang sering berubah-ubah dan tidak secara cepat tersampaikan kepada penyelenggara di tingkat bawah, seringkali menimbulkan hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaannya, apalagi kalau bersifat urgen dan perlu penanganan yang cepat. Hal ini masih dapat diatasi apabila Peraturan, Keputusan dan Surat Edaran KPU dan KPU Provinsi tersebut segera di-upload di halaman website KPU dan KPU Provinsi. Pada praktiknya, sarana teknologi informasi yang dapat digunakan dalam 11
Sumatera Utara: (a) Putusan DKPP Nomor 67/DKPP-PKE-III/2014 dan Putusan PTUN Medan Nomor 42/G/2014/PTUNMedan tertanggal 10 September 2014 membatalkan Putusan DKPP Nomor 67/DKPP-PKE-III/2014. (b) Putusan DKPP Nomor 65 dan 66/DKPP-PKE-III/2014. (c) Putusan DKPP Nomor 53/DKPP-PKE-III/2014. (d) Putusan DKPP Nomor 108/DKPPPKE-III/2014. (e) Putusan DKPP Nomor 138/DKPP-PKE-III/2014. (f) Putusan DKPP Nomor 262/DKPP-PKE-III/2014. (g) Putusan DKPP Nomor 284/DKPP-PKE-III/2014. Jawa Tengah: Putusan DKPP Nomor 132/DKPP-PKE-III/2013. Maluku: (a) Putusan DKPP Nomor 329/DKPP-PKE-III/2014. (b) Putusan DKPP Nomor 170/DKPP-PKE-III/2014. (c) Putusan DKPP Nomor 123/DKPP-PKE-III/2014. (d) Putusan DKPP Nomor 132/DKPP-PKE-III/2014. (e) Putusan DKPP Nomor 7, 8, 9 dan 10/DKPP-PKE-III/2014. Papua: (a) Putusan DKPP Nomor 197 dan 298/DKPP-PKE-III/2014. (b) Putusan DKPP Nomor 154.155/DKPP-PKE-III/2014. (c) Putusan DKPP Nomor 150.158/DKPP-PKE-III/2014. (d) Putusan DKPP Nomor 145 dan 157/DKPP-PKE-III/2014. (e) Putusan DKPP Nomor 196/DKPP-PKE-III/2014. (f) Putusan DKPP Nomor 195 dan 297/DKPP-PKE-III/2014 KPU. (g) Putusan DKPP Nomor 119, 120, 229 dan 319/DKPP-PKE-III/2014. (h) Putusan DKPP Nomor 146, 147, 148 dan 149/DKPP-PKE-III/2014. (i) Putusan DKPP Nomor 256/DKPP-PKE-III/2014. (j) Putusan DKPP Nomor 144/DKPP-PKE-III/2014. (k) Putusan DKPP Nomor 156/DKPP-PKE-III/2014. (l) Putusan DKPP Nomor 84/DKPPPKE-III/2014.
21
mengkomunikasikan kebijakan KPU secara secara cepat ke perangkat penyelenggara pemilu hingga ke tingkat terbawah belum optimal difungsikan. Disisi lain dukungan infrastruktur dan jaringan internet belum memadai dan masih banyak penyelenggara di tingkat bawah yang belum akrab menggunakan sarana komputer dan teknologi informasi. Oleh karena itu diharapkan ke depan KPU dalam menyusun peraturan KPU sudah dapat mengantisipasi atau menjangkau kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang timbul dalam proses implementasinya. Selain itu diharapkan ke depan KPU membangun jaringan komunikasi hotline antara sesama unsur penyelenggara Pemilu yang bisa secara cepat menginformasikan kepada seluruh penyelenggara di bawahnya melalui saluran komunikasi khusus (lihat Tabel 4.3). Tabel 4.3: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Indikator Kinerja Kebijakan Komisioner di KPU ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Kebijakan KPU dalam hal penerbitan Surat Edaran (SE) lebih bersifat responsif terhadap kasus pada saat pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan hasil daripada bersifat antisipatif sehingga tidak terkoordinir dan terkomunikasikan dengan baik hingga ke penyelenggara tingkat bawah (ad hoc).
Diperlukan review dan sinkronisasi antar regulasi KPU dalam mekanisme dan prosedur pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan hasil (PKPU dan SE).
2.2 Dukungan Sekretariat Terhadap Kinjera Komisioner Dukungan Sekretariat terhadap Kebijakan Komisioner menjadi penting di dalam penyelenggaraan pemilu, sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, khususnya Pasal 55 s/d Pasal 68. Dukungan tersebut di antaranya dapat diukur berdasarkan dua hal berikut: SDM pegawai dan perencanaan anggaran. Dalam hal SDM pegawai, de facto pegawai Sekretariat KPU/Bawaslu di Daerah hampir semuanya berasal dari Pemerintah Daerah. Sering kali, Sekretariat kurang kondusif dan kurang sejalan dengan komisioner karena timbul kompleks psikologis di kalangan pegawai bahwa atasannya bukanlah KPU melainkan Pemerintah Daerah, artinya terjadi dualisme kepemimpinan dan bias kepentingan di KPU. Hal ini pada gilirannya berdampak pada efektivitas kerja dan kinerja KPU di dalam menyelenggarakan pemilu. Ke depan, KPU tentunya harus mempunyai perencanaan, rekrutmen, dan sistem karier pegawai yang memenuhi persyaratan khusus seperti memiliki pengetahuan di bidang kepemiluan, pemerintahan, manajemen keuangan, manajemen SDM, dan manajemen asset. Di samping itu, SDM pegawai KPU juga memiliki reputasi dan rekam jejak yang baik, serta memiliki kredibilitas, integritas, dan kepemimpinan yang baik. Dalam hal perencanaan anggaran, penyediaan anggaran Pemilu 2014 seringkali tidak selaras (sinkron) dengan program kegiatan atau kebutuhan teknis penyelenggaraan Pemilu. Seringkali ditemukan adanya kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan tetapi tidak teranggarkan, sedangkan pada sisi lain ada anggaran-anggaran yang tidak dapat digunakan karena tidak jelas peruntukannya. Selain itu pengalokasian anggaran untuk suatu kegiatan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan kegiatan dan jumlah peserta yang harus dilibatkan. Oleh karena itu, dalam penyusunan anggaran sebaiknya bagian anggaran 22
berkoordinasi dengan bagian program dan teknis penyelenggaraan Pemilu, sehingga tidak terjadi lagi adanya ketidakselarasan penganggaran dengan pelaksanaan kegiatannya (lihat Tabel 4.4). Tabel 4.4: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Indikator Dukungan Sekretariat terhadap Kebijakan KPU ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Sekretariat kebanyakan diisi oleh pegawaipegawai daerah sehingga muncul kesan pimpinannya adalah Pemda, bukan KPU; terjadi dualisme kepemimpinan dan bias kepentingan antara KPU dan Pemda. Perencanaan anggaran bersifat pukul rata dari atas tanpa memperhatikan permasalahan dan kebutuhan daerah (KPU Kabupaten/Kota).
Perlu rekrutmen dan ke depan mempersiapkan pegawai organik KPU. Mendukung komisioner dengan membuat perencanaan anggaran secara tepat dengan memperhatikan masukan kebutuhan dari daerah (KPU Kabupaten/Kota).
2.3 Dukungan Teknologi Informasi dan Help Desk Hal lain yang juga penting adalah pemanfaatan teknologi Informasi (TI) untuk mendukung kinerja KPU (SIPOL, SILOG, SIDALIH, SITUNG) dan help desk: SIPOL: Sistem Informasi Pendaftaran dan Verifikasi Partai Politik, yaitu sistem yang dibangun untuk membantu KPU dan partai politik (parpol) dan pihak-pihak terkait dalam menjalankan pekerjaan yang terkait dengan tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol sebagai peserta pemilu. Dengan bantuan SIPOL, data partai politik beserta komponen-komponennya dapat diproses lebih cepat dan ditingkatkan kualitasnya. Salah satu komponen SIPOL adalah Portal SIPOL yaitu portal yang diperuntukkan bagi parpol untuk memasukkan data partai politik beserta komponen-komponennya. Portal SIPOL dapat diakses padaalamat http://sipol.kpu.go.id. SILOG: Sistem Informasi Logistik Pemilu, yaitu sistem yang dibangun untuk membantu KPU di dalam mengelola logistik pemilu, mulai dari perencanaan, pengadaan, pengawasan, hingga pendistribusian yang merupakan kesatuan manajemen logistik pemilu yang tersistematis pelaksanaannya. KPU mengembangkan aplikasi logistik yang terintegrasi dengan pola manajemen logistik pemilu yang baik dimana aplikasi yang terintegrasi tersebut adalah mengintegrasikan atau menggabungkan semua proses yang terjadi dalam pengelolaan logistik pemilu ke dalam aplikasi berbasis web (online) sehingga dapat diperoleh data yang cepat, tepat dan real time sesuai kondisi lapangan. SIDALIH: Permasalahan daftar pemilih dapat dikatakan sebagai masalah klasik yang tidak pernah dapat diatasi dengan tuntas. Penerapan aplikasi Sistem Informasi Daftar Pemilih (SIDALIH) yang mampu menyimpan data pemilih secara nasional, merupakan suatu lompatan besar dalam sejarah penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Namun demikian beberapa kelemahan dalam Sidalih yang masih belum sempurna menimbulkan permasalahan di tingkat bawah, karena data yang sudah di-upload terkadang tidak tersimpan, sementara data yang seharusnya sudah dihapus (deleted) muncul kembali. 23
SITUNG: Sistem Informasi Penghitungan Suara dalam Pemilu, yaitu sistem yang dibangun untuk membantu KPU di dalam menghitung suara yang diperoleh peserta pemilu. HELP DESK: ketersediaan dan penyediaan layanan informasi pemilu bagi publik. Di wilayah studi ini, help desk pemilu masih jarang dan belum optimal penyediaan dan pelaksanaannya oleh KPU di daerah. Sistem informasi (SIPOL, SILOG, SIDALIH dan SITUNG) sangat membantu kinerja KPU untuk menampilkan layanan informasi on line kepada masyarakat dan peserta pemilu. Dengan keunggulan yang ada pada sistem ini memudahkan KPU memetakan informasi berbasis TI sesuai kegunaan kategorisnya yang dapat diakses oleh pemilih dan peserta pemilu. Meskipun demikian, karena keterbatasan infrastruktur TI dan jarring internet di daerah-daerah terpencil, sehingga sistem ini belum bisa diakses dengan baik. Ke depan perlu kerjasama lintas kelembagaan, sehingga keterbatasan seperti itu bisa diantisipasi, agar dengan sendirinya sistem IT dapat diakses dengan baik oleh pemilih dan peserta pemilu. Problemnya, teknologi Informasi tersebut masih kurang terssosialisasikan secara baik dan bahkan ada yang sudah difungsikan sama sekali, yaitu Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang sesungguhnya bagus bagi publik sebagai sarana transparansi partai politik dan penulusuran rekam jejak partai politik. Secara kelembagaan penguatan SDM pada level KPU Kabupaten/Kota dalam memahami teknis pemanfaatan IT tersebut juga perlu dioptimalkan. Temuan di lapangan, sistem TI ini cukup familiar dengan penyelenggara pemilu pada level KPU Provinsi, namun tidak merata pada KPU Kabupaten/Kota. Aplikasi Sidalih portabel yang digunakan PPK secara off line, misalnya, tidak mudah dioperasikan karena keterbattasan SDM. Perbaikan DPS dan DPSH belum sepenuhnya menggunakan aplikasi portabel, namun dilakukan secara manual dengan cara mencoret nama ganda/meninggal/TNIPOLRI dan menambahkan nama pemilih baru yang belum terdaftar. Hal ini ditemukan pada beberapa daerah studi, karena input perbaikan data pemilih tidak kompatibel dengan sistem yang ada, karena justru dilakukan secara manual. Keterbatasan sosialisasi terhadap fungsi dan manfaatnya mengakibatkan belum banyak pemilih dan calon anggota legislatif yang mengaksesnya secara on line. Pada aspek lain, pemanfaatan help desk pada KPU Provinsi sedemikian efektif, karena ditunjang SDM yang baik. Sementara pada KPU Kabupaten/Kota belum sepenuhnya help desk ini berfungsi dengan baik. Salah satunya karena kurangnya tenaga teknis yang memahami sistem layanan informasi pada help desk tersebut, yakni mengenai bidang hukum, kampanye, dana kampanye dan lainnya. Ini perlu dipikirkan ke depan peningkatan kualitas SDM teknis dalam melayani peserta pemilu dalam menunjang kinerja KPU, terutama pada KPU Kabupaten/Kota.
24
3. Penyelenggara Ad-hoc; PPK, PPS, KPPS, Panwascam dan PPL. UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, khususnya Pasal 10 ayat (1) butir c, ayat (2) butir c, dan ayat (3) butir d, mengatur tentang tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota untuk membentuk penyelenggara ad hoc (PPK, PPS dan KPPS) dalam pemilu legislatif, pemilu presiden, serta pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/ walikota). Pasal 53 UU Nomor 15 Tahun 2011 mengatur tentang persyaratan menjadi penyelenggara ad hoc, di antaranya, berusia paling rendah 25 tahun, mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur dan adil, tidak menjadi anggota parpol, berdomisili di wilayah kerjanya, berpendidikan paling rendah SLTA, dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan. Dalam kaitan dengan penyelenggara ad hoc pengawas pemilu di lapangan (Panwascam dan PPL), UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, khususnya Pasal 85, mengatur tentang persyaratan, di antaranya, untuk Panwascam dan PPL berusia paling rendah 25 tahun, mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur dan adil, memiliki kemampuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu dan pengawasan pemilu, berpendidikan paling rendah SLTA, berdomisili di wilayah kerjanya, mengundurkan diri dari keanggotaan parpol, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan BUMN/BUMD pada saat mendaftar sebagai calon, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan, bersedia bekerja penuh waktu, bersedia tidak menduduki jabatan politik, jabatan di pemerintahan, BUMN/BUMD selama masa keanggotaan apabila terpilih, serta tidak berada dalam satu ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara pemilu. Penilaian atas aspek penyelenggara ad-hoc terdiri dari 7 indikator, yaitu: (1) kapasitas PPK, PPS dan KPPS, (2) pembatasan masa tugas PPK, PPS dan KPPS, (3) efektivitas bimtek, (4) kapasitas pengawas lapangan (Panwascam dan PPL), (5) proporsi dan kecukupan pengawas lapangan (PPL), (6) rekam jejak profil petugas PPK, PPS dan KPPS, dan (7) fungsi Gakkumdu dalam pemilu, memperlihatkan bahwa kapasitas petugas PPK, PPS rendah, karena terdapat persoalan efektivitas bimtek (lihat Grafik 4.3). Grafik 4.3 Penilaian Para-pihak atas Penyelenggara Ad-hoc (Panitia Pemilihan dan Petugas Pengawas)
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
25
PPK, PPS dan KPPS berdasarkan PKPU Nomor 3 Tahun 2011 merupakan panitia pemilihan di tingkat kecamatan, desa dan TPS yang bersifat ad-hoc. Kelemahan sistem ad hoc di lapangan adalah terkait dengan kapasitas dan perekrutan panitia, ketika memulai pekerjaan selalu kembali ke nol lagi dari pemilu ke pemilu. Terutama menyangkut pengelolaan dokumen-dokumen dari pemilu sebelumnya. Hal ini umum terjadi di berbagai wilayah lokasi studi. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan (1) rekrutmen dan penguatan kapasitas panitia pemilihan di tingkat kecamatan, desa dan TPS dan (2) efektifitas pelatihan atau bimbingan teknis (BIMTEK) tentang kepemiluan bagi penyelenggara di tingkat bawah. Rekruitmen panitia pemilihan ad hoc merupakan bagian paling krusial dalam menyiapkan sumber daya manusia pada tahap pemutakhiran data, pemungutan dan penghitungan suara. Hal ini tampaknya disadari oleh KPU dengan mengeluarkan aturan kriteria pemilihan di tingkat kecamatan, desa dan TPS minimal berusia 25 tahun dan berpendidikan paling rendah SLTA, berintegritas, tidak menjadi pengurus atau anggota partai politik sekurang-kurangnya 5 tahun dan tidak pernah dipidana. Kriteria tersebut idealnya akan dapat mendorong kinerja dan kualitas pemilu di tingkat bawah dalam rangka memenuhi prinsip (a) mandiri, (b) jujur, (c) adil, (d) kepastian hukum, (e) tertib, (f) kepentingan umum (g) keterbukaan, (h) proporsionalitas, (i) profesionalitas (j) akuntabilitas, (k) efisiensi dan (l) efektivitas12. Pada praktiknya, kriteria yang ditetapkan oleh KPU dalam rekrutmen dalam rangka mendorong kualitas kinerja pemilu di tingkat bawah berdasarkan 13 prinsip yang harus dilaksanakan oleh PPK, PPS dan KPPS, tidak dapat diimplementasikan sepenuhnya, karena terkendala ketersediaan dan kesediaan orang untuk mendaftar menjadi panitia pemilihan ad hoc. Hal ini merupakan fenomena umum yang terjadi di tiga lokasi evaluasi; Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Papua. KPU Provinsi Jawa Tengah untuk mendapatkan panitia pemilihan ad-hoc sesuai dengan kriteria PKPU, hanya dapat merekrut 60 persen dari total panitia pemilih yang dibutuhkan, hingga perlu dilakukan perekrutan ulang. Akibatnya kebijakan ini (yang penting bisa baca tulis), menyisakan alternatif kepada mantan (eks) panitia penyelenggara Pemilu yang selama ini telah bertugas, bahkan ada yang sejak orde baru. Di Sumatera Utara, minus warga yang mendaftarkan diri sebagai PPK, PPS dan KPPS seperti yang terjadi di Kelurahan Medan Besar, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Ketua PPS meminta kesediaan beberapa orang yang dinilai memiliki kredibilitas untuk menjadi KPPS, bahkan di Nias Selatan, terdapat KPPS yang direkrut dari remaja dibawah usia 25 tahun, tidak menguasai membaca dan menulis. Di sisi lain, keengganan masyarakat menjadi petugas KPPS karena persoalan antara risiko dengan reward tidak sepadan. Keberadaan petugas PPS dan KPPS adalah investasi yang telah dibentuk oleh sistem penyelenggaraan sehingga jika bagus akan senantiasa dipertahankan. Dengan situasi ini, terjadi inkonsistensi penerapan persyaratan dan mekanisme rekrutmen penyelenggar ad hoci atau panitia pemilihan di tingkat bawah. Di satu sisi dapat dipahami bahwa keputusan KPU mengenai pembentukan PPS yang diangkat berdasarkan rekomendasi atau usulan bersama kepala desa/lurah atau badan permusyawaratan desa adalah dalam rangka mempermudah rekrutmen anggota PPS yang benar-benar memahami wilayah kerjanya. Hanya saja aturan tersebut dinilai kontra-produktif karena menyebabkan rekrutmen panitia pemungutan suara dan petugas di bawahnya menjadi tidak terbuka dan rawan kepentingan yang akan berimplikasi kepada netralitas petugas. 12
Terkait dengan syarat calon anggoata PPK, PPS dan KPPS, hal ini diatur di dalam UU Penyelenggara Pemilu No 15/2011. Jadi apa yang dituangkan oleh KPU dalam PKPU merujuk pada peraturan di atasnya
26
Oleh karena itu, keengganan masyarakat untuk bersedia menjadi panitia pemilihan di antaranya disebabkan oleh sistem rekruitmen yang tidak terbuka yang terbatasi oleh kewenangan aparat desa yang diberikan ruang oleh PKPU untuk terlibat dalam proses rekrutmen KPPS. Perekrutan panitia pemilihan pada tingkat ad-hoc, khususnya KPPS, yang terkendala keterbatasan SDM dan adanya peluang campur-tangan pihak desa/lurah yang menyebabkan proses perekrutan memiliki implikasi lanjut terhadap persoalan kapasitas dan integritas yang mempengaruhi kualitas pemilu di tingkat bawah, seperti kesalahan pencatatan dan pemberkasan. Di Nias Selatan, akibat anggota KPPS yang direkrut dari remaja di bawah usia 25 tahun dan belum mengusasi baca dan tulis, serta tidak mengetahui atau memahami syarat pungut dan hitung, terjadi kekeliruan dalam tata cara pengisian dokumen yang kompleks, seperti tidak memisahkan jumlah suara tidak sah dan jumlah surat suara tidak terpakai. Panitia pemilihan; PPK, PPS dan KPPS tidak semuanya berkesempatan diberi dan/atau mengikuti pelatihan. Alasan yang dimunculkan selain karena ketiadaan anggaran, juga karena waktu antara pelantikan mereka dengan waktu pelaksanaan pemilu legislatif sangat dekat, hanya tersisa 29 (dua puluh sembilan) hari dengan hari H pemungutan suara pemilu legislatif. Di Wamena Jayawijaya dan Dekai Yahukimo yang dipahami bimtek oleh PPS dan KPPS adalah pengarahan singkat yang diberikan oleh PPK atau KPU pada saat pembagian logistik pemilu. Dalam kasus Papua, problem keterlambatan pembentukan panitian di tingkat distrik hingga TPS menjadi persoalan tersendiri yang menyebabkan BIMTEK tidak dapat dilakukan. Di Kabupaten Sarmi, panitia adhoc baru terbentuk beberapa hari sebelum pemilu legislatif dilakukan. Di Distrik Wemana Kabupaten Jayawijaya pemilu dilakukan berkejaran dengan waktu waktu sehingga Bimtek terhadap penyelenggara adhoc tidak pernah dilakukan. Di Yahukimo tidak ada bimtek untuk PPD (PPK) dan PPS. Bimbingan teknis (bimtek) penyelenggaraan pemilu yang idealnya dapat memberikan pembekalan dan memperkuat kapasitas panitia pemilihan di tingkat ad hoc (PPK, PPS dan KPPS) ternyata tidak berfungsi optimal dalam memberikan pembekalan pengetahuan pemilu secara benar dan komprehensif, dan cenderung memberikan intepretasi dan pengetahuan yang berbeda dengan praktik dilapangan tentang UU dan aturan, khususnya terkait penggunaan alat peraga pemilu (lihat Tabel 4.5). Tabel 4.5: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Penyelenggara Ad-hod ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Permasalahan rekrutmen: Kurangnya minat masyarakat (terbatasnya ketersediaan SDM) untuk mendaftar menjadi anggota penyelenggara ad hoc. Persyaratan rekrutmen memberatkan (syarat kesehatan, surat keterangan pengadilan, umur minimal 25 tahun, materai, dan domisili). Beban tugas dan tanggung jawab besar, risiko hukum besar, sementara reward (honor) yang diterima kecil,
Persyaratan menjadi penyelenggara ad hoc diperlonggar: Diperlukan syarat umur untuk calon anggota PPS dan KPPS, umur sekurang-kurangnya 17 tahun. Diperlukan syarat administrasi: surat keterangan sehat disederhanakan (surat keterangan cukup dari dokter/puskesmas), domisili anggota KPPS di wilayah PPS. Surat keterangan tidak pernah dipidana, cukup dengan surat pernyataan diri. 27
bahkan jaminan kesehatan dan kecelakaan, serta bantuan hukum tidak ada.
Perlu diatur insentif untuk memperkuat kinerja penyelenggara ad hoc.
Intervensi eksternal seperti adanya titipan, rekomendasi, dan pengaturan calon dan hasil pemilu, sehingga berpeluang besar mencederai integritas dan independensi (penggelembungan: pengurangan dan penambahan suara pada partai/caleg tertentu).
Perlu penegakan akuntabilitas uji publik dalam proses rekrutmen penyelenggara ad hoc. Perlu keterbukaan proses dan mekanisme rekrutmen penyelenggara ad hoc dengan melakukan penelusuran kompetensi, profesionalitas dan track record.
Rendahnya kapabilitas dan kualitas SDM penyelenggara pemilu ad hoc.
Perlu memperbanyak upgrading (pelatihan dan bimtek) untuk memperkuat kemampuan teknis penyelenggaraan pemilu: Fokus spesifik upgrading pada kegiatan-kegiatan tahapan pemilu yang kritikal-strategik (seperti pemutakhiran data pemilih, pemungutan dan penghitungan/ rekapitulasi suara).
3.1 Fungsi Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (GAKKUMDU) Pelanggaran Pemilu Dalam hal fungsi Sentra Gakkumdu, kesulitan penyelenggara yang didukung dengan ketidaksiapan instrumen operasional penegakan hukum pada Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) seolah menyisakan “zona nyaman” bagi pelaku pelanggar hukum pidana pemilu sesuai regulasi yang mengaturnya baik secara konteks maupun konten yang dapat menjerat para pelaku. Paradigma ketertiban dan keamanan yang dimiliki unsur anggota dalam forum Gakkumdu menyebabkan kepentingan ketertiban dan keamanan lebih dikedepankan daripada penegakkan hukum. Di sisi lain, paradigma penegakkan hukum berdasarkan bukti formal materil juga menyebabkan respon Gakkumdu terhadap aduan pelanggaran pemilu menjadi lambat. Fungsi dan kinerja pengawasan dianggap sebatas pemenuhan formalitas pemilu sebab kurang mampu merespon persoalan pada saat pemungutan suara dilakukan. Problem ini sesungguhnya menimbulkan banyak permasalahan terkait integritas, imparsialitas, profesionalisme, independensi, transparansi sebagai prinsip dasar dalam menciptakan free and fair election (lihat Tabel 4.6).
28
Tabel 4.6: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Indikator Fungsi Gakkumdu ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Gakkumdu kurang berfungsi optimal, terkendala dukungan infrastruktur, pemahaman kepemiluan, dan koordinasi; Panwaslu menghendaki penegakkan hukum atas pelanggaran pemilu, Kepolisian lebih mengedepankan ketertiban dan keamana, Kejaksaan mendasarkan kepada bukti formalmateril sebagai syarat P21.
Perlu optimalisasi penegakan hukum terpadu dalam menangani pelanggaran pemilu.
B. MASA PEMILU 4. Hak Pilih Prinsip penyelenggaraan pemilu demokratis mengedepankan aspek partisipasi sebagai instrumen penting jika tidak dikatakan utama. Prinsip dimana hak pilih rakyat dihargai dan dihormati, sehingga penggunaan kekuasaan suara masyarakat melalui sebuah proses memilih yang free and fair. Hal ini merupakan salah satu prinsip selain keberadaan kepastian hukum yang jelas (lawfulness), yaitu bagaimana pemilu dapat berlangsung sesuai dengan aturan hukum yang menjamin keadilan (justice) bagi semua warga. Sosialisasi adalah tahapan penyelenggaraan pemilu yang melibatkan berbagai pihak utamanya penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) serta Partai Politik dan tentunya masyarakat sipil (NGO, CSOs). Materi sosialisasi terkait uji publik kontestan caleg (DCS/DCT)/Capres, bahaya politik uang maupun jual beli suara (vote buying) serta tata cara pemilihan serta keterkaitan pemilu dan hak pemilih. Grafik 4.4 Penilaian Para-pihak atas Aspek Hak Pilih
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
29
Penilaian atas aspek hak pilih terdiri dari 8 indikator, yaitu: (1) sosialisasi dan pendidikan hak pilih kepada pemilih pemula, (2) sosialisasi dan pendidikan hak pilih kepada pemilih perempuan, (3) sosialisasi dan pendidikan hak pilih kepada kelompok penyandang disabilitas, (4) pengakuan hak pilih bagi kelompok masyarakat marginal, (5) sosialisasi tentang bahaya praktik jual beli suara (vote buying), (6) sosialisasi profil kandidat anggota legislatif, (7) sosialisasi profil kandidat presiden, dan (8) sosialisasi tata-cara memilih yang benar (lihat Grafik 4.4). Penilaian pada wilayah penelitian menunjukkan aspek sosialisasi pemilih baik dilakukan untuk perempuan dan sosialisasi profil kandidat presiden dan wakil presiden (skor 4). Selebihnya mengalami penilaian kritis (skor 2) ataupun tidak mengalami perubahan (skor 3). Sementara itu, problem issu sosialisasi profil kandidat anggota legislatif (skor 2) merupakan ukuran kinerja penyelenggara dan panitia yang mestinya memprihatinkan. Ini diakibatkan mekanisme kerja penyelenggara yang masih inkremental dan menggunakan model-model sosialisasi yang terbatas berdasarkan anggaran. Problem anggaran ini, menjadi issu klasik sosialisasi, sehingga pada beberapa tempat menunjukkan keterbatasan dan ketidakefektifan sosialisasi. Berbagai upaya KPUD merangkul ormas, CSO, perguruan tinggi dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat belum berbuah secara baik. Optimalisasi kegiatan, melalui bekerjanya sistem kerja dan metode strategis penyelenggara profesionalitas melalui sosialisasi yang baik meskipun masih terbatas. Penilaian ini menggambarkan terdapat kemunduran aspek sosialisasi jika dibandingkan pemilu sebelumnya. Keberhasilan sosialisasi kepada Perempuan dan sosialisasi profil presiden yang dianggap cukup baik adalah merupakan kontribusi LSM/NGOs terhadap issu perempuan dan kondisi lebih terpusatnya issu sosialisasi profil presiden dan wakil presiden yang dimainkan secara subyektif oleh media massa. Latar belakang serta dasar etis tentang alasan dan tujuan pemilu dalam kerangka sistem demokrasi kurang tereksplorasi. Subtansi sosialisasi hanya bermuatan tata cara mencoblos. Meskipun, ini menjadi pemicu strategis untuk mendorong angka partisipasi tinggi sebagai indikator kesuksesan pemilu. Kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara tetapi juga oleh NGO. Persoalan klasik yang dihadapi adalah anggaran yang lebih disepadankan dengan seberapa berharga partisipasi yang dihasilkan dengan adanya paham masyarakat memilih ketimbang dana yang mesti dikeluarkan untuk efektivitas partisipasi pemilih dalam pemilu 2014. Problem keterbatasan informasi menjadi salah satu isu kritis yang memberikan warna menentukan penyelenggaraan pemilu. Kurang terdapat inovasi oleh Negara (Penyelenggara dan Pemerintah) mendekatkan pemilih dengan informasi. Informasi dibutuhkan untuk lahirnya kesadaran yang memicu partisipasi masyarakat. Sebagaimana regulasi dalam sosialisasi hak pilih menekankan pada 5 segmen, yaitu pemilih pemula, perempuan, marginal, disabilitas, dan keagamaan. Berdasarkan SOP dari KPU RI, maka KPU Kabupaten/Kota membentuk RELASI (Relawan Demokrasi) yang tiap segmen terdapat 5 relawan (jadi total 25 RELASI) untuk melakukan sosialisasi hak pilih di masing-masing segmen. Pelaksanaan sosialisasi berjalan dan menggandeng pihak-pihak lain seperti dari dinas pendidikan, masjid, gereja dan NGO, namun problem ketepatan sasaran sosialisasi menjadi banyak diragukan sebab umumnya banyak dilakukan dalam kerangka pemenuhan program kerja serta bersifat struktural formalistik. Hal inilah yang menjadikan penilaian para pemangku kepentingan memberikan begitu terbatasnya 30
sosialisasi ini dilakukan. Sebagai proses yang mestinya mendapatkan porsi perhatian dari penyelenggara pemilu. Konteks sosialisasi selalu dilihat dari seberapa berhasil informasi yang hendak disampaikan terkait pihak-pihak yang berkepentingan utamanya Penyelenggara dan Kandidat yang berkompetisi utamanya pada bentuk sistem pemilihan dengan model proporsional terbuka dengan suara terbanyak yaitu Kandidat. Implikasi dari keterbatasan informasi ditindaklanjuti oleh gencarnya para calon anggota legislatif kemudian memperburuk sosialisasi yang telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang lebih bersifat netral. Implikasi secara luas, kemudian melahirkan sosialisasi yang sesuai yang menyampaikan dan mendapatkan apresiasi berdasarkan assesmen yang kritis. Penyelenggaraan sosialisasi di tingkat provinsi, KPU Kabupaten/Kota melaksanakan sosialisasi dan pendidikan hak pilih kepada pemilih pemula terkesan lebih formalitas ketimbang subtantif. Umumnya KPU melakukan sosialisasi dengan menggunakan metode pemasangan spanduk dan baliho di berbagai tempat atau memasang iklan di media-media lokal ketimbang melakukan sosialisasi dalam paten bentuk tatap muka. Kondisi latar belakang pendidikan dan ekonomi masyarakat memberikan peran yang penting. Partisipasi parpol dalam melakukan sosialisasi juga minim sehingga pemilih kurang mengenal keberadaan parpol, visi, misi dan program parpol dan caleg. Pada salah satu wilayah mendapatkan 3 (tiga) issu yang sangat kritis, yaitu terkait disabilitas, vote buying dan profil calon anggota legislatif (skor 2). Keadaan ini berarti setiap issu pada aspek sosialisasi terdapat upaya perbaikan meskipun lebih didominasi penilaian yang tidak berubah, walaupun terdapat kondisi bahwa di Sumatera Utara mengalami kemunduran dan pada wilayah Jawa tengah serta wilayah Makassar pada beberapa issu khususnya terkait sosialisasi kandidat (DCS dan DCT). Gambaran tentang aspek hak pilih secara ringkas ditunjukkan pada Tabel 4.7. Partai Politik yang semestinya dapat mendorong pendidikan pemilih baik tentang esensi dan prosedur, tidak juga terlihat memainkan perannya. Sosialisasi pemilu lebih banyak dilakukan oleh calon anggota legislatif atau tim sukses dan terbatas kepada ajakan untuk memilih calon anggota legislatif tersebut dan simulasi cara memilih yang benar atas contoh surat suara yang terdapat gambar, nomor dan nama calon. Sosialisasi cenderung dilakukan dengan pola ‘samar-samar’ melalui media perkumpulan masyarakat; arisan, pengajian, pertemuan desa/dusun yang dididanai oleh calon. Tabel 4.7: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Hak Pilih ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Sosialisasi pemilu kurang menyentuh esensi pemilu, alasan memilih parpol dan calon serta ketidakpatutan politik uang. Keberadaan relawan demokrasi (RELASI) dan mitra PPL tidak dapat sepenuhnya mendorong sosialisasi dan pendidikan pemilu kepada masyarakat, khususnya kepada segmen pemilih: pemula, perempuan, marginal, dan disabilitas.
Terus digalakkannya sosialisasi dan pendidikan pemilu kepada segenap segmen masyarakat, termasuk penguatan pemilih pemula, perempuan, marginal, dan disabilitas. Perlu ditingkatkan 31
Parpol sama sekali kurang mendorong sosialisasi dan pendidikan pemilu/politik kepada pemilih. Sosialisasi yang dilakukan oleh calon hanya fokus pada ajakan untuk mencoblos nama/figur calon. Minimnya partisipasi parpol dalam melakukan sosialisasi sehingga pemilih kurang mengenal keberadaan parpol, visi, misi dan program parpol dan caleg.
partisipasi parpol dalam melakukan sosialisasi sehingga pemilih lebih mengenal keberadaan parpol, visi, misi dan program parpol dan caleg.
5. Partai Politik dan Kandidasi 5.1. Verifikasi Partai Politik Peserta pemilu untuk DPR dan DPRD adalah partai politik, sementara untuk DPD adalah perseorangan. Sebelum keduanya menjadi peserta pemilu, didahului dengan verifikasi, baik administratif maupun faktual, oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Khusus berkaitan dengan verifikasi parpol, KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan parpol menjadi peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD:13 ∎ Verifikasi Administratif adalah penelitian yang dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota untuk melihat kelengkapan persyaratan pendaftaran dan kelengkapan persyaratan parpol calon peserta pemilu anggota DPR dan DPRD yang diajukan. ∎ Verifikasi Faktual adalah penelitian dan pencocokan untuk melihat kesesuaian dan kebenaran antara kelengkapan persyaratan pendaftaran dan kelengkapan persyaratan parpol calon peserta pemilu anggota DPR dan DPRD yang diajukan dengan obyek/fakta di lapangan. Penilaian atas persoalan verifikasi parpol di wilayah studi dapat diukur berdasarkan: (1) syarat-syarat kelolosan verifikasi parpol memenuhi prinsip keadilan dan (2) verifikasi partai politik memenuhi prinsip keadilan dan obyektivitas. Terdapat 2 (dua) permasalahan yang muncul dalam kaitan dengan verifikasi parpol di lapangan yaitu (1) keterlambatan diterimanya berkas dokumen persyaratan partai politik yang akan diverifikasi secara faktual ditingkat kabupaten/kota, dan (2) ketidaksinkronan data manual (hard copy) yang diterima langsung oleh KPU Kabupaten/ Kota dari partai politik bakal calon peserta Pemilu dengan fakta dilapangan, menyebabkan KPU Kabupaten/Kota harus bekerja keras melaksanakan verifikasi faktual yang terkendala dengan batasan tahapan, jadual dan waktu pelaksanaannya. Jadual waktu yang disediakan antara verifikasi partai politik tahap I dan Verifikasi partai politik tahap II sangat pendek, hampir berhimpitan. Selain itu banyak ditemukan pada saat melaksanakan verifikasi faktual keanggotaan partai politik, alamat anggota tidak jelas dan tidak lengkap sehingga menyulitkan untuk dilakukan verifikasi faktual. Di Papua, partai politik tidak mampu menghadirkan pengurus dan anggotanya. Di samping itu adanya kebijakan KPU dalam verifikasi faktual yang memperbolehkan partai politik untuk mendatangkan anggotanya di Kantor KPU Kabupaten/Kota dapat disalahgunakan 13
Lihat Pasal 16 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
32
oleh partai politik untuk memobilisasi massa untuk mengaku sebagai anggota dari partai politik tersebut. Dalam penyelenggaran pemilu yang akan datang, sebaiknya dokumen persyaratan partai politik untuk menjadi peserta Pemilu lebih diperketat persyaratannya, dalam arti secara administratif lengkap dan akurat. Oleh karena itu, sebaiknya partai politik bakal calon peserta Pemilu sebaiknya diwajibkan menyampaikan soft file data selain bentuk hard copynya, sehingga data dan dokumen yang diterima oleh Kabupaten/Kota sudah merupakan data yang telah tersusun dengan baik yang berasal dari satu sumber, misalnya dari data Sipol sebagi sistem yang pernah digagas oleh KPU pada pemilu 2009, yang sudah lengkap dan akurat. Hal ini akan mempermudah dan mempercepat proses verifikasi faktual (lihat Tabel 4.8). Kelemahan dari sistem administrasi pendaftaran dan virifikasi parpol menurut hasil consultative forum di Jakarta, 3 Desember 2013, juga bersumber dari keputusan MK yang memerintahkan semua partai politik harus mengikuti proses verifikasi. Keputusan tersebut dinilai memiliki dasar argumentasi yang lemah meski keputusan tersebut terliat populis. Menurut forum, partai pemenang atau papan atas pada pemilu 2009 tidak perlu mengkuti proses seleksi karena partai politik pemenang asumsinya telah memiliki basis konstituen yang jelas, berbeda dengan partai politik yang baru terbentuk atau mendaftarkan diri. Seyoganya pada masa yang akan datang perlu dipertimbangkan sistem atau mekanisme seleksi partai yang mendorong partai bekerja dari bawah, tidak hanya lolos secara administratif, tapi juga melalui seleksi ‘alamiah’ pemilu itu sendiri. Tabel 4.8: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Indikator Verifikasi Parpol ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Keterlambatan diterimanya berkas dokumen persyaratan parpol yang diverifikasi secara faktual di tingkat kabupaten/kota. Ketidaksinkronan data Sipol (Sistem Informasi Partai Politik) dengan data manual (hard copy) yang diterima langsung KPU Kabupaten/Kota dari parpol bakal calon peserta Pemilu. Pelaksanaan verifikasi faktual oleh KPU Kabupaten/Kota yang terkendala dengan batasan tahapan, jadwal dan waktu pelaksanaannya, karena keterlambatan diterimanya berkas dokumen persyaratan parpol dan ketidaksinkronan data Sipol dengan data manual.
Perlu lebih memperketat dokumen persyaratan parpol (dalam arti secara administratif lengkap dan akurat) untuk menjadi peserta Pemilu. Mewajibkan parpol bakal calon peserta Pemilu untuk menyampaikan soft file data dan dokumen persyaratan selain bentuk hard copy-nya. Data dan dokumen persyaratan parpol telah tersusun dengan baik yang berasal dari data Sipol yang sudah lengkap dan akurat sehingga mempermudah dan mempercepat proses verifikasi faktual oleh KPU Kabupaten/Kota.
5.2 Kandidasi Kemudian berkaitan dengan pencalonan (candidacy) dalam pemilu, menjadi sesuatu yang tidak lazim dalam kehidupan politik modern, ketika fungsi partai politik digantikan oleh 33
sosok yang hanya bermodalkan popularitas untuk kemudian dipilih sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat. Keterpilihan melalui sebuah proses rekruitmen partai merupakan proses kaderisasi yang secara sadar dan sengaja diciptakan untuk mewakili kepentingan ideologi rakyat yang menjadi pendukung partai tersebut sehingga merupakan proses yang terstruktur dan sistematis sehingga dapat melahirkan kandidat partai yang kompeten, profesional dan berintegritas terhadap perjuangan politik partai. Tentu ini menjadi persoalan dalam pemilu ketika realitas politik para kandidat hanya memaknai fungsi partai politik sebagai kendaraan untuk mengejar obsesi kekuasaan pribadinya yang secara konstitusional tidak sesuai dengan tujuan dan fungsi partai yang tidak semata-mata untuk mengejar kekuasaan namun juga harus menjaga integritas kebangsaan. Kandidasi dalam proses membangun sistem politik yang baik adalah produk dari reproduksi hasil kinerja peserta kontestasi politik dalam hal ini adalah partai politik dalam mempersiapkan dirinya menghadapi pemilihan umum. Keberhasilan partai politik dalam melakukan penggalangan dan kaderisasi dapat tercermin dari kualitas dan kapasitas partai dalam menghadirkan para kontestan atau calon anggota legislatif pada setiap tingkatan (DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten). Penilaian atas persoalan verifikasi parpol di wilayah studi dapat diukur berdasarkan: (1) tranparansi rekrutmen kandidat, (2) kapasitas dan kapabilitas kandidat, (3) sosialisasi dan uji publik calon anggota legislatif oleh parpol, (4) respons publik terhadap Daftar Calon Sementara (DCS) dan Daftar Calon Tetap (DCT), serta (5) keterwakilan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif di berbagai tingkatan (lihat Grafik 4.5). Grafik 4.5 Penilaian Para-pihak atas Pencalonan Calon Legislatif
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
Penilaian pada setiap wilayah penelitian menunjukkan penilaian kritis (skor 2) atau penurunan jika melihat pembandingnya adalah pemilu 2009 yang tentunya menjadi instrumen pembeda pada pemangku kepentingan pemilu yang menjadi informan pada pengkajian ini. Keadaan tahapan pemilu untuk aspek kandidasi di tiap wilayah memiliki dinamikanya masing-masing. Baik yang lebih bersifat maju atau menunjukkan keadaan 34
biasa atau tidak mengalami perubahan. Issu kapasitas dan kapabilitas serta sosialisasi dan uji publik calon menunjukkan kemajuan-kemajuan yang positif. Sebagian besar proses rekrutmen kandidat anggota legislasi oleh parpol dilakukan secara tertutup karena hal itu dianggap merupakan urusan internal partai. Assesmen ini tentulah menggunakan nilai ideal serta pengalaman pemilu sebelumnya terkait proses kandidasi yang pernah ada. Di Jawa Tengah, terdapat 3 (tiga) issu yang kritis yaitu transparansi rekruitmen, sosialisasi dan uji publik anggota legislatif dan response publik terhadap calon. Keberadaan kuota 30% perempuan dalam pencalonan anggota dewan menimbulkan problem dimana seluruh partai tidak mampu untuk memenuhinya secara ideal dan lebih banyak ditutupi dengan caleg dari luar partai “comotan” yang merupakan hasil dari kekuasaan akan uang dan jabatan di partai. Fenomena ini menjadi realitas umum yang terjadi diseluruh wilayah yang menjadi wilayah penelitian. Keberadaan partai dalam pemilu 2014 dimaknai hanya sebagai kendaraan atau batu loncatan bagi para pencari kuasa untuk dapat dipilih masyarakat. Pada keadaan seperti ini, partai politik hanya berfungsi sebagai event organizer yang menyiapkan kandidat untuk diserahkan kepada KPU untuk diadu. Kondisi kritis lain juga terdapat di ke-tiga lokasi evauasi: Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Papua, dalam proses rekruitmen kandidat tersebut, rekam-jejak dan integritas calon kandidat kurang menjadi dasar pertimbangan partai politik untuk mengajukan seorang calon anggota legislatif. Aspek kemampuan finansial seorang caleg sering kali justru menjadi salah satu faktor penentu untuk diajukan sebagai caleg. Hail ini tentunya merfleksikan kondisi yang kritis terkait kapasitas, uji publik dan perhatian masyarakat terhadap DCS dan DCT. Keadaan ini menempatkan problem sistem keterpilihan dengan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak menjadi salah satu implikasi yang menimbulkan problem yang menimbulkan dilema dan menjadikan proses pemilu khususnya aspek kandidasi dalam partai politik menjadi sangat problematik. Penilaian ini dapat menunjukkan persoalan krusial pada aspek ini, bahwa terdapat hal mendasar yang penting untuk dilakukan perbaikan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu terkait aspek kandidasi, baik yang harus dilakukan oleh partai politik termasuk pihak yang berkepentingan lainnya yaitu penyelenggara pemilu (KPU/Bawaslu) dan masyarakat/pemilih (lihat Tabel 4.9). Tabel 4.9: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Indikator Kandidasi ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Parpol belum optimal menjalankan fungsi rekrutmen dan kaderisasi caleg. Quota perempuan hanya menjadi syarat formal memenuhi quota 30%.
Perlu revitalisasi parpol, khususnya dalam hal rekrutmen dan kaderisasi caleg dan keterwakilan politik perempuan.
6. Logistik Logistik pemilu 14 adalah perlengkapan pemungutan suara yang terdiri atas: (a) kotak suara, (b) surat suara, (c) tinta, (d) bilik pemungutan suara, (e) segel, (f) alat untuk mencoblos pilihan, dan (g) tempat pemungutan suara. KPU bertanggung jawab dalam 14
Pasal 141 dan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Pasal 105 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
35
merencanakan dan menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara. Sedangkan Sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, dan sekretaris KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara. Khusus dalam hal pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara, KPU dapat bekerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penilaian atas persoalan logistik pemilu diukur berdasarkan: (1) transparansi pengadaan logistik pemilu, (2) mekanisme kendali mutu (quality control) terhadap standar logistik pemilu, (3) perencanaan distribusi logistik ke wilayah sulit, (4) mekanisme kontrol distribusi logistik, serta (5) jaminan keamanan logistik dan kerahasiaan dokumen pemilu (lihat Grafik 4.6). Grafik 4.6 Penilaian Para-pihak atas Logistik
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
Pengadaan Logistik yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU Provinsi masih sering terjadi keterlambatan, atau ada beberapa item logistik yang kedatangannya terlambat sehingga waktu yang diperlukan untuk melakukan sortir dan mendistribusikan menjadi tertunda, dan tertumpuk serta seringkali tumpang tindih dengan logistik yang baru datang. Selain itu logistik yang satuannya berdasarkan hitungan dengan menggunakan basis satuan lembar, masih banyak terjadi kekurangan-kekurangan baik dari segi jumlah isi maupun lembar atau tidak tercetaknya beberapa halaman, sehingga proses pemilahan dan penyortiran terganggu menunggu kedatangan penggantian dan penambahan kekurangan tersebut. Sementara tidak tersedianya gudang yang representatif di KPU terutama dalam penyimpanan barang, menjadi kendala hingga saat ini. Logistik dalam kacamata daerah (luar Jawa) adalah masih didominasi oleh pulau Jawa, sehingga berimplikasi kepada berbagai strategi yang digunakan KPU selaku penanggungjawab. Transparansi hingga jaminan keamanan sebagai bagian issu dalam aspek logistik penyelenggaraan pemilu sejak dari penyusunan instrumen kartu pemilih hingga distribusinya masih terkendala khususnya pada beberapa wilayah menjadi satu proses yang terkait . 36
Kebijakan logistik dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia masih terpusat khususnya di Jawa. Hal ini memberi dampak plus minus terutama terkait kondisi kewilayahan atau geografis sebagai keadaan yang harus dihadapi dalam kegiatan pemilu. Tidak mengherankan jika aspek ini mendapatkan penilaian kritis utamanya pada wilayah dengan karakteristik sulit dalam penenganan logistik pemilu, yang dari berbagai pemilu belum dapat terkelola secara baik. Penilaian terkait issu transparansi pengadaan logistik dan perencanaan distribusi logistik (skor 1). Kemunduran penyelenggaraan pada aspek ini dapat dilihat dari asumsi penyelenggara terkait distribusi logistik yang terkesan bahwa penyelenggara menganggap bahwa hal ini merupakan persoalan rutin. Akibatnya, proses pendistribusian logistik pemilu agak kurang terkawal dan berkesan seadanya yang dinilai lebih buruk. Bahkan dikemukakan bahwa proses distribusi kotak suara tanpa penjagaan yang ketat. Polisinya pun terkesan asal-asalan dalam menjaga. Penilaian terhadap issu transparansi, perencanaan untuk daerah sulit serta mekanisme kontrol logistik pemilu menunjukkan kemajuan. Penilaian berbagai wilayah menunjukkan adanya perbaikan pada issu jaminan kemanan logistik dan kerahasiaan Pemilu sementara issu lainnya tidak mengalami perbaikan ataupun penurunan15. Keberadaan regulasi terkait barang milik negara tidak merubah keadaan di KPU yang serba terbatas terkait penyimpanan. KPU menyimpan “sampah” sesuai ketentuan, meskipun telah dilakukan pemisahan antara dokumen yang menjadi rahasia negara dengan kertas-kertas suara yang sudah digunakan. Permasalahan geografis yang berat dan beragam menjadikan sebagian wilayah harus dijangkau dengan pesawat bahkan dengan berjalan kaki16. Salah satu yang menarik terkait logistik selain distribusi tadi adalah kualitas tinta yang tidak begitu baik atau mudah dihapus. Hal lain pada aspek logistik yang tidak mengalami perubahan (skor 3) dari 5 issu yang ada pada tahapan penyelenggaraan pemilu di tahun 2014. Meskipun ini dapat dikatakan sebagai kemampuan penyelenggara dalam mempertahankan capaian pengelolaan logistik dalam pemilu sekaligus tantangan terkait profesionalitas penyelenggara yang semestinya mampu mengoptimalkan capaian prestasi yang telah diperoleh penyelenggara pemilu sebelumnya (lihat Tabel 4.10).
15 16
Assesmen di Jawa Tengah Permasalahan Daerah Papua
37
Tabel 4.10: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Logistik ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Keterlambatan datangnya logistik karena keterlambatan pengadaan. Perencanaan pengadaan dan distribusi logistik kurang memperhatikan kondisi dan karakteristik kewilayahan. Tidak ada contingency plan untuk pengadaan dan distribusi dalam rangka menghadapi kendala dan situasi tertentu. Ketersediaan dan kapasitas penyimpanan logistik pemilu kurang memadai. Keamanan untuk menjamin keaslian dan kerahasiaan dokumen rendah.
Perlu ditinjau kembali proses, mekanisme dan prosedur pengadaan logistik. Perencanaan logistik dan pengamanan dokumen pemilu harus ditempatkan sebagai bagian integral dari manajemen strategik pemilu.
7. Daftar Pemilih Penilaian atas aspek daftar pemilih yang terdiri dari 6 (enam) indikator yang disampaikan, menyangkut (1) kualitas data awal DP4; (2) kapasitas petugas pendaftaran pemilih; (3) akurasi dan kelengkapan daftar pemilih; (4) perhatian dan partisipasi masyarakat memeriksa daftar pemilih; (5) sosialisasi daftar pemilih kepada masyarakat; dan (6) keterandalan teknologi sistem informasi dalam pendaftaran pemilih (SIDALIH), penelitiaan kami memperlihatkan bahwa untuk masyarakat di Maluku cenderung menganggap tidak ada permasalahan serius terhadap 6 (enam) indikator tersebut. Pada penilaian rata-rata cukup, mengesankan bahwa seluruh proses pemilu 2014 tidak ditemukan hal-hal yang mengganggu (lihat Grafik 4.7). Grafik 4.7 Penilaian Para-pihak atas Daftar Pemilih
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
38
Secara prosedural proses pemilu berjalan sebagaimana aturan yang telah ditetapkan. Sementara terdapat penilaian buruk beberapa aspek. Meskipun demikian, secara keseluruhan aspek dimaksud berpotensi menimbukan masalah dan sengkarut di tingkat lapangan. Dengan kualitas DP4 yang buruk bisa dipastikan betapa rendahnya tingkat validitas data pemilih, apalagi kondisi demikian semakin diperburuk dengan tidak cukup akurat dan lengkapnya daftar pemilih, yang semakin menunjukkan rendahnya kualitas daftar pemilih dan kapasitas petugas pendaftaran pemilih. Kondisi ini semakin diperburuk dengan kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat, keterandalan teknologi SIDALIH yang masih dipertanyakan dan keingintahuan masyarakat yang rendah untuk memeriksa daftar pemilih. Dalam konteks Jawa Tengah, sebagai wilayah yang memiliki infra-struktur penyelenggaraan pemilu lebih baik, dalam melakukan penilaian tehadap indikator daftar pemilih, para pihak memberikan apresiasi terhadap kualitas DP4, kapasitas petugas pendaftaran pemilih, akurasi dan kelengkapan daftar pemilih, dan sosialisasi daftar pemilih kepada masyarakat, namun memberikan nilai kurang terhadap indikator terkait perhatian dan partisipasi masyarakat untuk memeriksa daftar pemilih. Sebaliknya, parapihak memberikan nilai baik untuk indikator keterandalan teknologi SIDALIH. Penggunaan sistem teknologi informasi dalam penyusunan daftar pemilih sesunguhnya terobosan tersendiri dalam hal mendorong transparansi dalam pemilu 2014 dan memudahkan publik untuk mengkakses daftar pemilih. Kendala yang dihadapi dalam aplikasi SIDALIH adalah sistem aplikasi yang terpusat dan tidak dapat secara otomatis mengenali data pemilih ganda sehingga tidak dapat langsung terhapus, di lain pihak, KPU Kabupaten/Kota pun tidak dapat melakukan penghapusan data ganda, karena otoritas eksekusi ada pada administrator di KPU Nasional. Selain hal realibilitas sistem tekonologi informasi, SIDALIH juga masih menghadapi kendala payung hukum yang menjadi dasar hukum penghapusan data ganda, apakah berdasarkan fakta domisili atau data yang tercatat secara administratif. Ketidakjelasan dan ketegasan aturan, menyebabkan KPU Kabupaten/Kota sebagai peng-input data pada tingkat yang membawahi wilayah kecamatan dan desa, mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Hambatan lain, yang menyebabkan SIDALIH kurang berfungsi optimal, karena pembangunan SIDALIH dilakukan dari atas dan tidak terintegrasi dengan sistem admnistrasi kependudukan nasional (SIAK) yang dibangun oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dalam konteks Jawa Tengah, KPU Provinsi Jawa Tengah sesungguhnya telah membangun sistem pendaftaran pemilih yang dinamakan dengan SIINDIH, yang digunakan dalam pemilihan Gubernur tahun 2013 yang lalu. Walaupun secara sistem berbeda dengan SIDALIH, seyogyanya sistem pusat dapat mengakomodasi dan mengintegrasikan inisiatif lokal ke dalam sistem SIDALIH. Hasil temuan evaluasi pemilu untuk daftar pemilih di 3 (tiga) wilayah evaluasi ini mendapatkan data dan informasi yang hampir sama yaitu masih menghadapi kendala validitas data. Keberadaan data DP4 Kemendagri beserta jajarannya di daerah, dalam penilaian setiap informan memang sudah bermasalah dari awalnya. Selain itu, beberapa tahapan dalam proses pemutakhiran data pemilih banyak tidak dilakukan secara baik disebabkan tidak bekerjanya Pantarlih sesuai dengan prosedur. Akibatnya DP4 semrawut dengan masih ditemukannya data ganda (kesamaan nama, alamat, tanggal lahir), pemilih yang sudah meninggal (ghost voter) dan pindah domisili tapi masih tetap ada di alamat yang lama. Juga keberadaan daftar pemilih yang belum memenuhi ketentuan pemilih. Verifikasi faktual melalui kunjungan warga secara door to door tidak optimal, karena 39
profesionalitas Pantarlih dalam pendataan yang tidak ada. Akibatnya pada saat menjelang dan pada hari H pencoblosan, ada warga yang sudah masuk DPT tapi tidak mendapat undangan sebagai pemilih, dipihak lain terdapat warga yang tidak ada di DPT dan tidak dapat kartu undangan memilih, tapi saat hari pencoblosan bisa memilih. Namun demikian, secara garis besar pemilu 2014, baik pileg maupun pilpres telah melakukan terobosan yang lumayan baik dalam meningkatkan partisipasi politik publik, sehingga memunculkan banyak nomenklatur daftar pemilih, selain DPT dan DPTb. Cara mendesain partisipasi politik melalui DPK dan DPKTb, dianggap oleh banyak kalangan terutama akademisi dan politisi partai, masih perlu diatur dengan baik karena secara teknis pada tingkat tertentu justru dapat menyulitkan KPU sendiri. Dalam kosultatif forum 3 Desember dengan para-pihak, terungkap bahwa Nomenklatur yang bervariasi, merefleksikan problem data pemilih yang belum solid. Penyusunan daftar pemilih masih dilakukan dalam kerngka kerja yang sangat tergantung dengan momentum pemilu 5 tahun sekali, sehingga daftar pemilih hanya menjadi pekerjaan KPU saat menjelang pemilu, padahal data pemilih seharusnya diperlakukan sebagai data yang dinamis. Dalam undang-undang disebutkan bahwa data pemilu terakhir merupakan salah satu sumber sinkronisasi dan penyusunan daftar pemilih. Sementara, selama ini telah dilaksanakan pemilihan kepala diberbagai wilayah; provinsi dan kabupaten/kota, maka seyogyana daftar pemilih telah dapat dimutakhirkan dengan mudah dan berkelanjutan. Di masa yang akan datang, menurut peserta consultative forum, perlu dirumuskan regulasi yang mengatur format penyusunan daftar pemilih yang dilakukan berkelanjutan (continues list). Salah satu cara mengukur legitimasi politik pemilu adalah dengan besarnya tingkat partisipasi politik. Angka rata-rata partisipasi politik nasional di Indonesia pada pileg dan pilpres 2014 berada di kisaran 69% - 75% 17 . Dan karena dalam sistem pemilu di Indonesia partisipasi politik adalah hak bukan kewajiban, sehingga legitimasi yuridisnya pun diukur dari jumlah suara sah. Oleh karena itu pendidikan politik elektoral kepada pemilih merupakan salah satu aspek penting. Hal ini untuk memastikan pemilih bisa menggunakan hak politiknya secara baik, sah dan benar. Masih adanya pemilih yang keliru menggunakan hak pilih, menandakan bahwa pendidikan elektoral untuk memastikan penggunaan suaranya secara sah dan benar, perlu dilakukan secara masif dan responsive (lihat Tabel 4.11).
Secara nasional partisipasi pemilih pada pemilu legislatif mencapai 75,11% lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan presiden hanya 69,58% 17
40
Tabel 4.11: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Daftar Pemilih ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Kualitas sumber data untuk daftar pemilih (DP4) kurang memadai, tidak valid, dan tidak akurat. Masalah-masalah klasik yang sering muncul adalah: (a) data ganda NIK, nama, tempat tanggal lahir, dan domisili. (b) tidak tersedia data pekerjaan untuk mendeteksi TNI/POLRI yang masuk sebagai pemilih dan data jenis disabilitas yang disandang pemilih. (c) masih terdapat data pemilih yang usianya belum genap 17 tahun pada saat pemungutan suara, nama pemilih yang telah meninggal dunia, nama pemilih yang tidak dikenal/pemilih siluman, dan pemilih yang telah pindah domisili tetapi masih tetap ada di alamat yang lama.
Perlu dioptimalkan data tunggal identitas kependudukan sebagai basis penyusunan daftar pemilih. Ada dua alternatif rekomendasi, yaitu: ∎ Alternatif 1: DP4 tanggung jawab pemerintah (provider) dan KPU sebagai pengguna akhir (user), agar dapat ditambah ketentuan yang mengakomodasi bahwa KPU dapat mengembalikan DP4 ke pemerintah setempat apabila data tersebut bermasalah, tidak valid, dan tidak akurat (perlu memaksimalkan koordinasi dan sinkronisasi dalam rangka penyusunan DP4). ∎ Alternatif 2: KPU memiliki kewenangan untuk melakukan pendataan dan memelihara Data Pemilih secara berkelanjutan.
Sistem, mekanisme dan prosedur pendaftaran pemilih belum terintegrasi.
Perlu dikembangkan sistem pendaftaran pemilih terintegrasi dengan SIAK (UU No. 23/2006) dan berkelanjutan.
8. Kampanye Penilaian atas aspek kampanye dapat dilakukan berdasarkan 7 (tujuh) indikator, yaitu: (1) kejelasan aturan penyelenggaraan kampanye; (3) penegakan hukum dan kepatuhan terhadap aturan kampanye; (4) transparansi dan akuntabilitas dana kampanye; (5) ketiadaan praktik politik uang/jual beli suara (vote buying) dalam masa kampanye; dan (7) independensi media massa dalam kampanye politik (lihat Grafik 4.8).
41
Grafik 4.8 Penilaian Para-pihak atas Kampanye
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
Penilaian atas aspek kampanye memperlihatkan bahwa masyarakat di Maluku memiliki pemahaman dan orientasi politik yang cukup baik dengan memberikan penilaian rata-rata cukup terkait 7 (tujuh) indikator yang disampaikan di atas. Bahkan masyarakat Maluku memberikan penilain baik, khusus untuk indikator tentang ketiadaan diskriminasi dalam proses kampanye; dan isi kampanye oleh peserta pemilu bebas dari intimidasi dan kekerasan verbal (SARA). Artinya, ada tingkat kematangan politik yang cukup dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat pemilih di Maluku. Bahkan pada tingkat tertentu, menjaga situasi dan kondisi keamanan tetap kondusif menjadi nilai penting mengingat ada persoalan traumatik masyarakat Maluku atas konflik masa lalu. Barangkali hal yang mengejutkan justru ditunjukkan oleh masyarakat Sumatera Utara dengan skeptisnya penilaian mereka terhadap berbagai indikator dalam aspek kampanye tersebut, dengan memberikan penilaian rata-rata kurang bagi seluruh indikator dalam aspek kampanye. Fenomena ini tentu menarik mengingat Medan sebagai ibukota Provinsi Sumut merupakan salah satu indikator politik nasional di Indonesia. Artinya, perlu ada penelusuran yang lebih mendalam terhadap penilaian masyarakat Sumut atas indikator aspek tersebut. Namun demikian alur logik penilaian yang diberikan oleh masyarakat di Maluku dan Sumut relatif lebih baik dibanding penilaian yang ditunjukkan oleh masyarakat di Jawa Tengah dan Papua yang cenderung sangat dinamis dalam penilaian per-indikator. Untuk masyarakat di Jawa Tengah, misalnya, mereka memberikan penilaian rata-rata cukup untuk indikator ketiadaan diskriminasi dalam proses kampanye, penegakkan hukum dan kepatuhan terhadap aturan kampanye, dan isi kampanye oleh peserta pemilu bebas dari intimidasi dan kekerasan verbal (SARA), namun memberikan penilaian buruk untuk indikator kejelasan aturan penyelenggaraan kampanye, transparansi dan akuntabilitas dana kampanye, dan independensi media massa dalam kampanye politik. Bahkan memberikan penilaian sangat buruk khusus untuk indikator ketiadaan praktik politik uang/jual beli suara (vote buying) dalam masa kampanye. Artinya, penilaian ini menunjukkan tingkat kekritisan masyarakat di Jawa Tengah dalam menilai situasi politik 42
yang secara sadar mereka lihat akan memberikan dampak signifikan bagi kehidupan mereka ke depan. Hal yang cukup mencengangkan justru ditunjukkan oleh masyarakat Papua dalam memberikan penilaian atas berbagai indikator aspek tersebut. Masyarakat Papua memberikan penilaian cukup untuk indikator aspek kejelasan aturan penyelenggaraan kampanye, transparansi dan akuntabilitas dana kampanye, dan independensi media massa dalam kampanye politik, namun memberikan penilaian kurang untuk aspek indikator ketiadaan diskriminasi dalam proses kampanye, penegakkan hukum dan kepatuhan terhadap aturan kampanye, dan isi kampanye oleh peserta pemilu bebas dari intimidasi dan kekerasan verbal (SARA). Bahkan secara khusus mereka memberikan penilaian sangat kurang untuk aspek indikator ketiadaan praktik politik uang/jual beli suara (vote buying) dalam masa kampanye. Fenomena ini menarik karena menunjukkan adanya kemajuan signifikan masyarakat Papua dalam melihat persoalan perpolitikan nasional di Indonesia. Bersamaan dengan itu, hasil temuan evaluasi pemilu untuk indikator aturan main kampanye menunjukkan bahwa semua parpol menilai KPU sudah cukup adil dan baik. Seperti soal pengaturan jadwal kampanye, semua parpol bisa menerimanya meski tidak semua parpol memanfaatkan jadwal kampanye yang sudah dibuat oleh KPU karena terbatasan sumber daya dan sumber dana. Barangkali hal yang bisa dilihat sebagai persoalan yang membingungkan terkait adanya jadwal kampanye yang tidak membedakan antara jadwal kampanye untuk tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, sehingga menimbulkan persaingan diantara caleg untuk kegiatan kampanye dilokasi yang sama. Pelanggaran kampanye pada umumnya masih sering dilakukan oleh calon incumbent pada masa sosialisasi, terutama terkait mencuri start kampanye maupun penggunaan fasilitas umum (khususnya rumah ibadah). Selain itu, kasus pelibatan anak dalam kampanye juga masih ditemukan. Modus lain yang juga menjadi pola pelanggaran semasa kampanye adalah dengan memasang atribut di lokasi-lokasi yang dilarang oleh peraturan. Berbagai bentuk pelanggaran ini terjadi akibat masih cukup lemahnya Bawaslu/Panwaslu sebagai unsure pengawas pemilu. Selain pelanggaran yang terkait dengan alat peraga, bentuk pelanggaran yang kerap muncul semasa kampanye adalah praktik money politics. Praktik semacam ini ditengarai cukup meluas. Ada kecenderungan praktik ini telah menjadi semacam budaya di masyarakat, dan oleh karenanya, dianggap sebagai kelaziman. Uang atau imbalan materi yang diberikan para caleg kepada pemilih terlanjur dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Dari berbagai sumber yang diwancara, terungkap bahwa besarnya uang yang diterima oleh setiap pemilih berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu. Ada kalanya praktik money politics juga muncul dalam bentuk imbalan materi. Modus yang kerap terjadi adalah pemberian sembako, beras, sarung, mukena dsb. Sama halnya dengan pelanggaran dalam alat peraga, pelanggaran pemilu dalam bentuk money politics dapat dikatakan luput dari pengawasan pihak Panwas. Selain karena dilakukan melalui operasi senyap yang melibatkan jaringan tim sukses yang bergerak di level komunitas, sulitnya mengidentifikasi praktik ini secara faktual juga disebabkan oleh sikap diam para penerima uang. Fenomena money politics dalam pemilu 2014 lalu mengindikasikan bahwa kampanye nampaknya kehilangan esensinya sehingga pemilu yang notabene semestinya menempatkan partai politik sebagai mekanisme fungsi kontestasi politik bergeser menjadi 43
kontestasi antar caleg terutama dalam internal partai politik itu sendiri. Jika pemilu merupakan ajang evaluasi masyarakat terhadap hasil pemilu sebelumnya, maka dengan sistem yang ada saat ini tidak bisa dilakukan sebab evaluasi yang diberikan bukan kepada partai melainkan kepada figur yang tidak terikat secara ideologis maupun program dengan masyarakat, melainkan popularitas semata. Pemilu sebagai bagian dari proses yang berkesinambungan akan sangat rentan terhadap berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu yang akan menyeret pemilu sebagai media kejahatan seperti pencucuian uang. Pelaporan pendanaan yang tidak dilakukan secara komprehensif akan memungkinkan hal tersebut terjadi terutama dengan keberadaan model paket DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bahkan dengan DPD sebagai satu kesatuan yang sulit dipisahkan siapa membiayai apa. Definisi biaya politik (political cost) dan politik uang (money politics) dimaknai secara berbeda. Terdapat sebagaian yang mengemukakan bahwa pemberian uang saat Kampanye merupakan biaya transport maupun pengganti kerja atas partisipasi yang diberikan atas kehadiran pada kegiatan yang dilakukan para caleg. Hal tersebut, bukanlah merupakan politik uang dan merupakan biaya politik yang harus dikeluarkan yang bisa dianggap sebagai pemberian biasa hingga sadaqah. Hal ini juga disinyalir sebagai budaya politik uang yang telah terbangun pada seleksi kepala desa di Jawa yang sejak lama menggunakan pengaruh uang dalam memengkan kompetisi utamanya pemilihan kepala desa. Hal lain mengapa kampanye atau sosialisasi berubah menjadi bazar politik uang adalah karena ketidakmampuan pengawas dalam melakukan penindakan bahkan larut dalam kegiatan politik uang. Ketidakmampuan melakukan tindakan itu tidak dilakukan sekalipun para pengawas telah memiliki informasi dan cukup bukti tetapi tetap tidak melakukan tindakan. Disini telihat bahwa panwas lebih mementingkan terpenuhinya pemenuhan materil ketimbang melaksanakan jiwa volunteer yang mestiya ada pada panitia pemilihan yang seharusnya bersifat kesukarelaan tersebut. Hampir semua kandidat melanggar. Dalam hal pelaporan dana kampanye, KPU telah melakukan koordinasi dan sosialisasi terhadap peserta pemilu, namun pelaksanaannya terdapat kelemahan terutama pada teknis, periode dan format pelaporan karena kurangnya koordinasi atau sosialisasi dari LO (koordinator) maupun peserta pemilu kepada bendahara/pengelola keuangan maupun calon anggota legislatif. Selain itu kurangnya sumber daya partai politik yang menguasai administrasi pengelolaan dan pelaporan keuangan partai politik menyulitkan petugas help desk dana kampanye dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada petugas penghubung partai politik. Permasalahan lainnya, padatnya kegiatan kampanye calon anggota legislatif yang melakukan kunjungan ke masyarakat, menjadi salah satu alasan sulit ditemuinya oleh LO (Koordinator) masing-masing peserta pemilu. Dalam penyelenggaraan ke depan sebaiknya partai politik peserta pemilu diwajibkan memiliki menempatkan petugas yang memiliki keahlian administrasi keuangan dan bukan calon anggota legislatif (lihat Tabel 4.12).
44
Tabel 4.12: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Kampanye ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Pelaporan dana kampanye (penerimaan dan penggunaan) masih bersifat formaladministratif. Penindakan terhadap pelanggaran kampanye (pemasangan alat peraga kampanye tidak sesuai ketentuan, penggunaan sarana negara dan fasilitas umum, serta pelibatan anak-anak) tidak tegas.
Perlu ada kesimpulan (opini hasil audit oleh Akuntan Publik) terhadap laporan dana kampanye dan tindak lanjut terhadap peserta pemilu. Perlu diperkuat penindakan hukum atas pelanggaran kampanye pemilu.
9. Pemungutan Suara Dalam aspek pemungutan suara terdapat 8 (delapan) indikator yang dikaji dalam evaluasi, yakni: (1) aksesibilitas TPS bagi kelompok masyarakat disabilitas (cacat fisik, tuna-netra, tuna-rungu); (2) pelaksanaan waktu pemungutan suara sesuai dengan ketentuan aturan; (3) kecakapan dan penguasaan petugas penyelenggara pemilu ad-hoc tentang prosedur pemilu; (4) integritas petugs penyelenggara pemilu ad-hoc terhadap praktik politik uang; (5) efektivitas pengawasan proses pemilu pada saat pemungutan suara oleh petugas pengawas; (6) proses pemungutan suara bebas dari tindak kekerasan dan intimidasi; (7) proses pemungutan suara bebas dari tindakan curang; dan (8) proses pemungutan suara bebas dari praktik politik uang (lihat Grafik 4.9). Grafik 4.9 Penilaian Para-pihak atas Pemungutan Suara
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
Pelanggaran yang cukup dominan adalah banyak ditemukannya TPS yang tidak menjalankan ketentuan terkait ketepatan dimulai dan berakhirnya waktu pemungutan suara hingga penghitungan. Hal ini terjadi antara lain karena distribusi surat suara yang terlambat. Ada sejumlah kasus di mana pelaksanaan pemungutan suara baru dilakukan pada H+1 sehingga mengakibatkan semua tahapan setelahnya molor. Namun demikian, persoalan semacam ini tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pihak panitia 45
pelaksana ad hoc mengingat kasus ini biasanya lebih disebabkan oleh faktor medan yang kerap menjadi penghambat distribusi logistik pemilu. Sejauh yang dapat diamati di lapangan, akses terhadap kelompok penyandang disabilitas dalam penggunaan hak suara sejauh ini tidak ditemukan kasus TPS yang menghambat kelompok kelompok ini. Akses kelompok ini untuk menggunakan hak suaranya di TPS relatif tidak menemui hambatan yang berarti. Di sisi lain, tak jarang ditemukan proses pemungutan suara yang melanggar ketentuan waktu, seperti: masih dibukanya kesempatan pemungutan suara sekalipun telah melewati batas waktu yang ditetapkan, yakni pukul 13:00 waktu setempat. Alasan yang banyak mengemuka adalah karena masih banyaknya pemilih yang belum mencoblos. Oleh karena itu petugas KPPS masih memberikan kesempatan kepada pemilih untuk mendaftar di TPS menunggu pemanggilan untuk pemungutan suara, sekalipun sudah melewati batas waktu yang telah ditetapkan. Kalaupun mereka sudah terdaftar di TPS, sementara waktu pencoblosan sudah lewat sesuai ketentuan, KPPS masih meneruskan proses pemungutan suara. Pada umumnya para petugas KPPS berprinsip bahwa yang penting semua hak pilih warga bisa terakomodir. Modus lainnya adalah ditutupnya waktu pemungutan suara sebelum batas waktunya. Akibatnya, pemilih gagal menggunakan hak suaranya. Secara umum proses pemungutan suara berlangsung sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Namun demikian, di sejumlah lokasi masih ditemukan pemungutan suara yang dilakukan di luar prosedur yang ada. Bahkan, terdapat KPPS yang justru melakukan sendiri pemungutan suara atau pencoblosan terhadap seluruh kertas suara. Ada kalanya juga ditemukan kasus di mana sekelompok pemilih dimobilisasi untuk memilih caleg tertentu dengan imbalan sejumlah uang. Namun, kasus ini sulit dideteksi baik oleh panitia maupun pengawas ad hoc karena deal antara caleg dan pemilih sudah dilakukan sebelum hari H. Sementara itu, praktek money politics pada panitia di tingkat KPPS agak sulit dilakukan, mengingat masyarakat cukup leluasa untuk memantau jalannya proses pemungutan suara. Dengan demikian, unsur untuk sengaja melakukan kecurangan sangat beresiko bagi petugas di TPS, kecuali kasus di Nias Selatan. Kasus money politics umumnya baru muncul pada saat proses rekapitulasi pada jajaran panitia di atas KPPS. Namun demikian, praktek money politic pada tahap pemungutan suara – sekalipun tidak dominan – muncul di beberapa wilayah. Modus yang dilakukan adalah dengan membacakan nama caleg tertentu sekalipun tidak terdapat nama yang bersangkutan di kertas suara dengan maksud agar petugas pencatat menambahkan perolehan suara namanya di form rekapitulasi (lihat Tabel 4.13). 9.1 Noken Akomodasi noken sebagai instrumen pemungutan suara dalam penyelenggaraan pemilu di wilayah Papua, patut diapresiasi sebagai bentuk kompatibilitas kearifan lokal dengan sitem demokrasi yang menghendaki kedaulatan individual.18 Mekanisme noken merupakan sistem pemilihan dengan menjadikan tas khas papua (tempat sayuran atau ayunan bayi). Pemilih menaruhkan suaranya dalam kantung-kantung yang bersisi nama calon tertentu. Sebelumnya, biasanya, telah ada kesepakatan antara kepala suku dan masyarakat tentang kantung yang akan diisi surat suara. 18
lihat putusan MK nomor 47/81/PHPU.A/VII/2009.
46
Sejauh ini, belum ada kajian pemilu tentang noken, berdasarkan penulusuran wawancara terdapat dua mekanisme noken, (1) suara yang dimasukkan ke dalam kantung diserahkan kepada kepala suku, atau (2) pemilih mewakilkan kepada kepala suku untuk menaruh suaranya ke dalam kantung tertentu. Berdasarkan hasil pemantauan, tidak semua wilayah Papua melaksanakan noken. Hampir semua Papua wilayah pegunungan melaksanakan noken. Beberapa wilayah Papua di bagian pesisir, seperti Kota Jayapura, noken cenderung tidak digunakan. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa pelaksanaan noken baik pada saat pemilu legislatif dan presiden rawan dengan jual-beli suara, karena (1) tidak ada transparansi pemungutan suara dan diwarnai dengan intimidasi. Di Yahukimo, Distrik Kei-kei, TPS dibangun namun pemungutan suara pileg di lakukan di teras rumah kepala kampung, hanya beberapa orang yang datang ke TPS untuk memilih. Pada saat pilpres tidak ada pemungutan suara di tingkat TPS. Isu yang berkembang di masyarakat bahwa setiap pemilih akan diambil fotonya menjadi bentuk intimidasi tersendiri sehingga membuat masyarakat tidak bisa memberikan suara dengan baik 19, (2) surat suara tidak dicoblos oleh pemilih, tidak juga oleh KPPS. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua Nomor: 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 Tentang Petunjuk Teknis Tata cara Pemungutan Suara Dengan Menggunakan Noken Sebagai Pengganti Kotak Suara menyebutkan bahwa kertas suara harus dicoblos oleh petugas KPPS, dalam pelaksanaannya tidak dilaksanakan dengan baik. Ketidak-jelasan pengadministrasian dan mekanisme pencoblosan oleh KPPS, sesungguhnya rawan terhadap manipulasi dan kecurangan pemungutan suara, terlebih dengan ketiadaan pengawasan. Tabel 4.13: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Pemungutan Suara ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Rendahnya kapasitas penyelenggara ad hoc (KPPS) dalam menyelenggarakan pemungutan suara. Vote buying antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu di tingkat bawah (PPK, PPS, KPPS). Noken rentan terhadap praktik jual-beli suara. Orientasi partisipasi pemilih dimotivasi oleh imbalan uang. Penyalahgunaan form C6, pemilih menggunakan C6 milik orang lain. Pemungutan suara ulang karena kecurangan. Rendahnya kapasitas saksi parpol. Jumlah PPL tidak sesuai dengan jumlah TPS.
Perlu dioptimalkan rekrutmen dan bimtek penyelenggara ad hoc. Perlu peningkatan pengawasan, pengaduan dan penegakan hukum terhadap praktik jual-beli suara. Perlu ditinjau kembali mekanisme noken sebagai instrumen pemilu. Perlu penguatan pendidikan pemilih oleh parpol, penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil untuk pemilu jurdil. Penguatan fungsi pengawasan dalam proses pemungutan suara.
47
10. Rekapitulasi Suara Dalam aspek rekapitulasi perhitungan suara terdapat enam indikator yang dievaluasi, yaitu: (1) Transparasi proses rekapitulasi suara di berbagai tingkatan (PPS, PPK dan KPU Kab/Kota), (2) Pelaksanaan rekapitulasi suara sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, (3) Proses rekapitulasi bebas dari tekanan politik dari partai politik dan kandidat, (4) Keamanan dokumen pemilu dalam proses rekapitulasi suara, (5) Proses rekapitulasi bebas dari praktik politik uang terhadap petugas, dan (6) Rekapitulasi (lihat Grafik 4.10). Grafik 4.10 Penilaian Para-pihak atas Rekapitulasi Suara
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
Secara umum proses perhitungan suara pada tingkat TPS umumnya tidak banyak ditemukan persoalan yang cukup serius. Selain itu, proses perhitungan di tingkat TPS juga dilakukan dengan cara yang relatif transparan 20 . Para saksi, media massa dan pemantau independen dari berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil memiliki akses yang cukup leluasa untuk menyaksikan seluruh proses perhitungan suara di tingkat TPS. Namun demikian, terkait ketepatan waktu dimulai dan berakhirnya pencoblosan hingga penghitungan masih banyak ditemukan persoalan molornya waktu. Ada sejumlah kasus di mana persoalannya lebih terletak pada aspek penghitungan suara yang cukup panjang (berjenjang), mulai dari DPRRI-DPDRI, DPRD Provinsi, dan DPRD kab/kota yang masing-masing harus pula menghitung perolehan dari masing-masing caleg untuk setiap partai. Oleh karenya, tidak sedikit TPS yang baru selesai menghitung suara hingga keesokan hari pasca Hari H. Ada kalanya perhitungan memunculkan beberapa persoalan menyangkut sah atau tidaknya surat suara. Akibatnya, di sejumlah TPS di kota ini sempat terjadi ketegangan antara petugas KPPS dan saksi dari parpol. Ketegangan terutama berkisar soal penafsiran masing-masing pihak tentang apa yang mereka anggap merupakan pemberian suara yang dianggap benar. Jika sosialisasi tentang tata-cara pemberian suara yang benar dilakukan dengan efektif oleh KPU jauh sebelum Hari H tentu persoalan seperti ini tidak perlu muncul ke permukaan. 20
Di Wilayah Sumatera utara
48
Di sisi lain, dalam pelaksanaan perhitungan atau rekapitulasi suara terdapat persoalan yang agak serius sekalipun tidak muncul di semua wilayah, seperti di Kabupeten Nias Selatan. Di beberapa lokasi terdapat temuan di mana di satu desa yang umumnya hanya terdiri dari 1-2 TPS, rekapitulasi suara dilakukan di saat itu juga dengan dihadiri PPS. Hal ini terjadi dalam pilpres 2014. Padahal seperti diketahui bersama, aturannya menyatakan bahwa rekapitulasi di tingkat desa dilakukan sehari setelah perhitungan suara di tingkat TPS selesai dilakukan. Ada kalanya proses rekapitulasi bisa dilakukan tanpa melibatkan penyelenggara di TPS. Terdapat dua modus yang dilakukan KPU Kabupaten terkait upaya mengamankan agenda mereka. Pertama, dengan sengaja memilih KPPS yang buta huruf. Jika hal itu tidak memungkinkan, pilihan jatuh kepada opsi kedua, yakni memilih anggota PPS atau KPPS yang berstatus pegawai negeri sipil setempat atau yang terkait dengan status honorer dengan maksud agar dapat diposisikan sebagai person yang dapat dipengaruhi atasannya. Untuk KPPS yang tidak bisa baca-tulis, maka terdapat alasan untuk melakukan penghitungan suara ke tingkat yang lebih atas. Akibatnya, KPUD secara leluasa dapat melakukan penghitungan sendiri. KPPS hanya tinggal menandatangani berita acara penghitungan. Sementara itu, untuk KPPS yang berstatus pegawai negei sipil daerah, posisinya tidak dapat mengabaikan desain kepala daerah yang nota bene adalah atasan strukturalnya. Menyimpang dari desain bupati akan menghadapi resiko dimutasikan atau dipecat. Kasus lain yang kerap muncul di provinsi adalah proses migrasi suara atau penggelembungan suara yang dilakukan secara ilegal dari satu caleg ke caleg lain dalam satu partai yang sama. Proses ini umumnya terjadi pada level di atas KPPS, terutama di level PPS dan PPK pada tahap rekapitulasi suara. Hal ini agaknya merupakan cermin dari persoalan integritas petugas pelaksana ad hoc yang ditengarai melakukan deal dengan para caleg dengan imbalan sejumlah uang (lihat Tabel 4.14). Tabel 4.14: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Rekapitulasi Suara ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Rekapitulasi suara rawan kecurangan dalam bentuk perusakan/mutasi/penambahan/ pengurangan suara antar caleg, khususnya internal partai/DPD: perusakan surat suara oleh oknum KPPS dimana modusnya merusak surat suara dengan kuku saat penhitungan suara Pilpres, penambahan suara DPD oleh PPS atas perintah Panwaslu. Terdapat perbedaan perhitungan suara antara penyelenggara KPPS, PPL dan saksi. Perhitungan suara tidak dilengkapi form C1/C1 Plano.
Perlu optimalisasi pengawasan pemilu. Peningkatan kepatuhan administrasi pemilu sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pemilu.
49
11. Penetapan Hasil Dalam aspek penetapan hasil terdapat lima indikator utama yang dijadikan fokus eveluasi, yakni: (1) Ketepatan waktu penetapan hasil suara; (2) Transparansi proses penetapan hasil akhir pemilu; (3) Hasil akhir suara dapat diakses oleh publik; (4) Penetapan hasil bebas dari penyimpangan dan tekanan politik, dan (5) Penetapan hasil akhir pemilu 2014 bebas dari tekanan politik dan praktik politik uang (lihat Grafik 4.11). Grafik 4.11 Penilaian Para-pihak atas Penetapan Hasil
Sumber: Hasil Evaluasi LP3ES, 2014. Skala Nilai: 1 Sangat buruk, 2 Buruk, 3 Biasa saja, 4 Baik, 5 Sangat baik.
Sejauh yang dapat diidentifikasi lapangan, tidak terdapat intervensi dari pihak eksternal, baik parpol maupun birokrasi terhadap penetapan hasil pemilu, sekalipun terdapat kepala daerah dan wakilnya yang berstatus sebagai pengurus parpol. Pokok persoalannya agaknya lebih terletak pada proses penghitungan dan rekapitulasi di level PPS dan PPK. Penetapan hasil, oleh karenanya, hanyalah merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya. Penting untuk dicatat bahwa setelah rekapitulasi dari tingkat PPS ke tingkat kecamatan terdapat gejala intervensi caleg untuk merubah hasil suara di bawah21. Yang tidak kalah penting adalah dominasi birokrasi lokal yang kadang kala ikut menentukan prosesnya. Namun kalangan masyarakat sipil di Sumatera Utara mengakui bahwa untuk pemilu kali ini telah ada kemajuan di tingkat penyelenggaraan, karena sudah ada pengiriman data C1 ke KPU pusat. Penetapan hasil suara pemilu dinilai oleh berbagai kalangan agak bermasalah karena dianggap tidak konsisten dengan aturan yang ada. Proses penetapan hasil akhir oleh penyelenggara, walaupun terkesan melanggar prinsip keadilan, namun secara normatif dianggap transparan karena hasilnya bisa diakses oleh publik dan diekspos di media massa. Selain itu, parpol juga mempublikasikan hasil akhir penghitungan suara tersebut di internal, termasuk kepada konstituen mereka (lihat Tabel 4.15).
21
Di Provinsi Sumatera Utara
50
Tabel 4.15: Pemetaan Isu Kritikal dan Rekomendasi: Aspek Penetapan Hasil ISU KRITIKAL
REKOMENDASI
Terdapat indikasi kecurangan dalam penetapan hasil di Papua, dalam hal inkonsistensi penetapan hasil di wilayah Papua pegunungan sebagai implikasi adopsi dalam pemungutan suara.
Perlu ditinjau mekanisme noken instrumen pemilu.
kembali sebagai
12. Penilaian Umum Secara umum, hasil evaluasi pemilu 2014 berdasarkan pendapat para pihak di lapangan/ wilayah studi ditunjuk pada Tabel 4.17. Tabel 4.17. Rekapitulasi Hasil Evaluasi Pemilu 201422 Aspek
Jawa Tengah Skor Nilai
Sumatera Utara Skor Nilai
Skor
Papua Nilai
Tim Seleksi
17
Baik
12
Buruk
10
Sangat buruk
Komisioner
17
Baik
13
Buruk
10
Sangat buruk
Penyelenggara Ad-hoc
19
Buruk
16
Buruk
9
Sangat buruk
Hak Pemilih
24
Baik
19
Buruk
26
Baik
Kandidat
12
Buruk
10
Sangat buruk
13
Buruk
Logistik
17
Baik
11
Sangat buruk
10
Sangat buruk
Daftar Pemilih
17
Buruk
13
Sangat buruk
10
Sangat buruk
Kampanye
16
Buruk
14
Sangat buruk
16
Buruk
Pemungutan Suara
24
Baik
17
Sangat buruk
18
Buruk
Rekapitulasi
19
Baik
10
Sangat buruk
10
Sangat buruk
Penetapan Hasil
19
Baik
11
Buruk
10
Sangat buruk
Dari dua belas aspek evaluasi, aspek kinerja Tim Seleksi, Komisioner, Hak Pilih, Logistik, Kampanye, Pemungutan Suar, Rekapitulasi Suara, dan Penetapan Hasil mendapatkan penilaian yang baik di Wilayah Provinsi Jawa Tengah. Dari hasil penilaian terhadap 12 aspek evaluasi pemilu, wilayah Sumatera Utara, terutama di wilayah Nias Selatan dan Papua merupakan wilayah yang mengindikasikan sebagai wilayah dengan tingkat kualitas pemilu yang rendah.
22
Skala Penilaian Aspek (nilai tertinggi indikator dikali jumlah variabel): I. Nilai Aspek Tim Seleksi, Komisioner, Kandidat, Logistik, Rekapitulasi, dan Penetapan Hasil, dengan skala: 21-25 (Baik), 16-20 (Biasa saja), 11-15 (Buruk), 5-10 (Sangat buruk). II. Nilai Aspek Penyelenggara Ad-hoc, Kampanye, Hak Pilih, dan Pemungutan Suara, dengan skala: 29-35 (Baik), 21-28 (Biasa saja), 15-20 (Buruk), 7-14 (Sangat buruk). III. Nilai Aspek Daftar Pemilih, dengan skala: 25-30 (Baik), 19-24 (Biasa saja), 13-18 (Buruk), 6-12 (Sangat buruk). IV. Nilai Aspek Sengketa Pemilu, dengan skala: 13-15 (Baik), 10-12 (Biasa saja), 7-9 (Buruk), 3-6 (Sangat buruk).
51
Dalam kasus Jawa Tengah, aspek kinerja penyelenggara di tingkat bawah, kandidat, daftar pemilih, dan kampanye merupakan aspek pemilu yang memiliki kualitas rendah. Hal yang perlu digaris-bawahi, berdasarkan temuan dalam evaluasi ini adalah rendahnya kapasitas dan lemahnya pengawasan terhadap penyelenggara ad-hoc, dan adanya persoalan integritas, merupakan determinan yang menyebabkan kinerja penyelenggara pemilu di tingkat ad-hoc menjadi rendah.
52
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap seluruh proses dan tahapan pelaksanaan pemilihan umum 2014 (berdasarkan 11 prinsip Accra) terdapat beberapa aspek yang tergolong paling kritis yang tidak hanya memerlukan catatan khusus, tetapi juga memerlukan langkah-langkah perbaikan. Berikut ini adalah beberapa aspek yang dinilai paling kritis terkait dengan seluruh proses dan tahapan pelaksanaan pemilihan umum 2014: ∎ Panitia ad hoc dinilai sangat kritis mengingat proses rekrutmennya yang tergolong
longgar (kurang ketat). Akibatnya, figur-figur titipan serta faktor kedekatan dengan penyelenggara di level atasnya kerap mewarnai personalia panitia ad hoc. Temuan studi menunjukkan bahwa panitia ad hoc rentan terhadap intervensi pihak eksternal, terutama dari para caleg. Faktor integritas menjadi faktor paling krusial yang memberi kontribusi terhadap kurangnya kinerja pelaksanaan pemilu.
∎ Aspek rekam-jejak dan integritas agak kurang menjadi dasar pertimbangan partai
politik untuk mengajukan seorang calon anggota legislatif. Aspek kemampuan finansial seorang caleg sering kali justru menjadi salah satu faktor penentu untuk diajukan sebagai caleg. Telah umum diketahui bahwa harga ‘tiket’ untuk meraih posisi sebagai caleg tergolong tidak murah. Di sisi lain, kebutuhan internal parpol untuk mendanai kegiatan operasionalnya relatif terjawab dengan figur-figur eksternal yang telah siap membeli ‘tiket’ dengan harga tinggi untuk didaftar dan dicalonkan sebagai anggota dewan. Jenis calon eksternal semacam ini umumnya memperlakukan parpol tak lebih sekadar alat atau instrumen kepentingan pribadinya.
∎ Data untuk daftar pemilih (DP4) dianggap kurang memadai untuk digunakan sebagai
acuan dalam pemilu. Selain tidak valid, data tersebut juga acap kali tidak akurat. Akibatnya, sering muncul permasalahan data ganda NIK, nama, tempat tanggal lahir, domisili. Di samping itu tidak tersedia data pekerjaan untuk mendeteksi TNI/POLRI yang masuk sebagai pemilih dan data jenis disabilitas yang disandang pemilih. Juga masih terdapat data pemilih yang usianya belum genap 17 tahun pada saat pemungutan suara, nama pemilih yang telah meninggal dunia, nama pemilih yang tidak dikenal/pemilih siluman, dan pemilih yang telah pindah domisili tetapi masih tetap ada di alamat yang lama. Di sisi lain, sistem, mekanisme dan prosedur pendaftaran pemilih masih belum terintegrasi ke dalam sebuah data base system.
∎ Penindakan terhadap berbagai pelanggaran kampanye (pemasangan alat peraga
kampanye tidak sesuai ketentuan, penggunaan sarana negara dan fasilitas umum, serta pelibatan anak-anak) sering kali tidak tegas dan konsisten. Di sisi lain, pelaporan dana kampanye (penerimaan dan penggunaan) masih bersifat formal-administratif. Patut ditengarai bahwa dana kampanye yang dilaporkan cenderung lebih kecil dari belanja politik yang sesungguhnya. ∎ Aspek paling krusial pada aspek pemungutan suara dalam pemilu terletak pada
persoalan integritas pada panitia ad hoc. Vote buying antara peserta pemilu dengan 53
penyelenggara pemilu di tingkat bawah (PPK, PPS dan KPPS) merupakan modus paling umum dan menonjol selama proses penghitungan dan rekapitulasi suara. Selain itu, problem pada tahap penghitungan dan rekapitulasi suara juga dilatarbelakangi oleh rendahnya kapasitas penyelenggara ad hoc (KPPS) dalam menyelenggarakan pemungutan suara. ∎ Rekapitulasi suara juga merupakan tahapan pemilu yang paling rentan terhadap
manipulasi. Bentuk manipulasi yang paling umum dan menonjol pada tahap ini adalah migrasi suara dalam pengertian penggelembungan suara – baik pengurangan suara maupun penambahan suara – yang dilakukan secara ilegal antar caleg dari partai politik yang sama.
B. REKOMENDASI Temuan evaluasi pemilu 2014 memberikan 23 butir rekomendasi, yang dikelompokkan berdasarkan aspek penyelenggara, penyelenggaraan, penyelesaian sengketa, pendidikan pemilih, serta partai politik dan kandidasi, sebagai berikut: ∎ Penyelenggara:
1.
2. 3. 4. 5.
6.
7.
Proses rekrutmen seleksi, penilaian dan penetapan tim seleksi dan calon komisioner di daerah perlu dilakukan dengan mekanisme yang lebih terbuka, sehingga lebih dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Di samping itu, yang juga penting adalah perlu dipikirkan seleksi dan pergantian komisioner serentak seiring dengan penyelenggaraan Pemilu Nasional (pemilu anggota DPR dan DPD, serta pemilu Presiden-Wakil Presiden) serentak dan Pemilu Daerah (pemilu anggota DPRD dan pemilu Kepala Daerah) serentak. Sebaiknya pergantian komisioner serentak dilakukan setelah selesai pemilu 1 tahun dan terpilih untuk bekerja 4 tahun menyiapkan pemilu. Untuk mendukung kinerja komisioner, sekretariat (perencanaan dan rekrutmen SDM pegawai) KPU perlu dipersiapkan dan ditingkatkan sebagai struktur organik KPU. Diperlukan pemerataan fungsi panitia pemilihan di tingkat TPS: pembagian fungsi yang merata di antara anggota KPPS. Dalam hal mekanisme rekrutmen panitia pemilihan di tingkat TPS (KPPS) perlu dipermudah persyaratannya, dan pra-syarat usia sebaiknya disejajarkan dengan syarat minimal pemilih (17 tahun). Mekanisme perekrutan dilakukan oleh KPU secara lebih terbuka dengan mempertimbangkan aspek kompetensi, tanpa menyertakan rekomendasi dari kepala desa/lurah/Badan Permusyawaratan Desa, dalam rangka membuka ruang partisipasi masyarakat secara luas dan adil. Bimbingan teknis bagi panitia pemilihan di tingkat kecamatan (PPK), desa/kelurahan (PPS) dan TPS (KPPS) perlu diperluas dan mencakup semua anggota panitia pemilihan di berbagai tingkatan. Perlu diperbanyak upgrading (pelatihan dan bimtek) untuk memperkuat kemampuan teknis penyelenggaraan pemilu: Fokus spesifik upgrading penyelenggara ad hoc pada kegiatan-kegiatan tahapan pemilu yang kritikal-strategik (seperti pemutakhiran data pemilih, pemungutan dan penghitungan/rekapitulasi suara). Keterwakilan perempuan (gender mainstreaming) perlu diperkuat dalam penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan dengan memperhatikan aspek kompetensi, kapabilitas dan akuntabilitas. 54
∎ Penyelenggaraan:
8. 9.
10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Diperlukan review dan sinkronisasi antar regulasi KPU dalam mekanisme dan prosedur pemungutan, penghitungan suara dan penetapan hasil (PKPU dan SE), dengan memperhatikan peta persoalan pemilu di lapangan. Dalam hal penyelenggaraan, perlu dibangun mekanisme komunikasi dan koordinasi antar lembaga KPU, Bawaslu dan DKPP dalam pengambilan keputusan penetapan partai politik, kandidat, dan pelanggaran pemilu, sehingga tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan dan in-konsistensi putusan antar lembaga yang terkait dengan pemilu: KPU, Bawaslu dan DKPP. Fungsi DKPP perlu dikembalikan sebagai badan etik penyelenggara pemilu. Perlu dibangun regulasi dan mekanisme pendaftaran pemilih yang berkelanjutan (continuous list), berbasis pada identitas tunggal kependudukan, sehingga dapat disusun daftar pemilih yang solid dan akurat. Daftar pemilih merupakan lampiran produk hukum yang dihasilkan oleh KPU dan Pemerintah c.q Kementerian Dalam Negeri. Sistem Daftar Pemilih (SIDALIH) perlu diperkuat dengan mengintegrasikannya ke dalam Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK). Perencanaan pengadaan dan distribusi logistik perlu dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi antara waktu, biaya, karateristik wilayah, dan infrastruktur. Surat suara perlu dirancang lebih sederhana yang dapat menekan tingkat kesalahan distribusi dan pemungutan suara. Diperlukan penguatan penegakan hukum dengan meningkatkan fungsi penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran dan kejahatan pidana pemilu dalam lembaga pengawasan, dengan mekanisme lex specialis. Dalam hal laporan dana kampanye (penerimaan dan penggunaan), perlu ada kesimpulan (opini hasil audit) dan tindak lanjut hasil audit laporan dana kampanye, sebagai salah satu dasar penelusuran rekam jejak calon. Mekanisme noken dalam pemungutan suara perlu ditinjau kembali dan memerlukan perbaikan sebagai instrumen pemilu. Diperlukan mekanisme yang dapat mempercepat proses rekapitulasi, sehingga hasil pemilu dapat segera diketahui oleh publik. Diperlukan kajian dan evaluasi suara tidak sah dengan mekanisme membuka kotak suara baik periode pemilihan umum legislatif dan presiden. Diperlukan regulasi dan mekanisme yang memungkinkan untuk mengetahui faktor suara tidak-sah.
∎ Penyelesaian Sengketa:
21. Perlu penyelesaian sengketa pemilu di tingkat provinsi/kabupaten/kota yang dilakukan oleh Bawaslu.
∎ Pendidikan Pemilih:
22. Perlu penguatan pendidikan pemilih oleh partai politik, penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil untuk pemilu jujur dan adil.
∎ Partai Politik dan Kandidasi:
23. Revitalisasi fungsi partai politik khususnya dalam hal rekrutmen dan kaderisasi calon anggota legislatif, keterwakilan politik perempuan, dan saksi.
55
Hasil Evaluasi Pemilu 2014 dan Perbandingannya dengan Pemilu 2009 Aspek KPU
Indikator
Masalah Pemilu 2009
Masalah Pemilu 2014
Integritas
Masalah integritas anggota KPU, seperti komersialisasi kewenangan & money politik.
Independensi
Problem independensi dan integritas komisioner dimulai sejak proses rekrutmen anggota komisioner yang diindikasi terlibat partai politik dalam mempromosikan orang tertentu dan atau kader dari partai politi sebagai calon komisioner
Profesionalitas
Kompetensi dan profesionalitas: latar belakang keilmuan tidak mendukung kinerja KPU.
Rekomendasi KPU Pemilu 2009
Rekomendasi LP3ES Pemilu 2014
Penegakan akuntabilitas uji public dalam proses rekrutmen anggota komisioner KPU dan Bawaslu
Proses rekrutmen anggota komisioner perlu dilakukan terbuka dengan mekanisme penulusuran aspek kompetensi, profesionalitas dan rekam jejak KPU dan Bawaslu.
Dalam hal penyelenggaraan, perlu dibangun mekanisme komunikasi dan koordinasi antar lembaga KPU, Bawaslu dan DKPP dalam pengambilan keputusan penetapan partai politik, kandidat, 56
dan pelanggaran pemilu, sehingga tidak tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan antar lembaga yang terkait dengan pemilu; KPU, Bawaslu dan DKPP.
Kinerja Kebijakan KPU
Hubungan dan Dukungan
Kebijakan KPU dalam hal penerbitan Surat Edaran (SE) lebih bersifat responsif terhadap kasus pada saat pelaksanaan pemungutan, perhitungan dan penetapan suara, daripada bersifat antisipatif, sehingga tidak terkoordinir dan terkomunikasikan dengan baik hingga ke tingkat penyelenggara di tingkat bawah. Pemahaman dalam Organisasi: KPU mengarahkan, Pemahaman dalam Organisasi: Kurangnya pemahaman sedangkan sekretariat Perlu dilakukan orientasi
Fungsi DKPP perlu dikembalikan sebagai badan etik penyelenggara pemilu.
Diperlukan review dan sinkronisasi antar regulasi KPU dalam mekanisme dan prosedur pemungutan, rekapitulasi dan penetapan hasil. (PKPU dan SE)
Untuk mendukung kinerja komisioner, 57
Sekretariat terhadap Kinerja Komisioner
Rekruitmen Penyelenggara Pemilu Ad hoc (PPK, PPS,
akan tugas, fungsi dan tata kerja organisasi antara KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, PPK dan PPS dengan Sekretariat (sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, PKPU Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tata Kerja Setjen KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota, PKPU Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tata Kerja PPK, PPS dan KPPS) sehingga berimplikasi pada hubungan kerja dan pola komunikasi yang kemudian mempengaruhi kinerja dalam melaksanakan tahapan pemilu. Masih ada pemahaman bahwa Sekretaris KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Sekjen KPU dalam hal pelaporan keuangan dengan mengabaikan KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi. Persyaratan Rekruitmen Penyelenggara Adhoc: Persyaratan rekruitmen
pemahaman tentang tugas, melaksanakan perintah fungsi dan tata kerja teknis, administratif organisasi dan Sekretariat, dan anggaran. Masih konsolidasi organisasi, ada kendala koordinasi melakukan training khusus antara KPU dan pola komunikasi dan perlu sekretariat, terutama dibuatkan pedoman pada KPU Kab/Kota, operasional kelembagaan karena Sekretaris KPU penyelenggara pemilu secara masih mudah periodik. dikendaikan bupati dan Perlu adanya penegasan Sekda. bahwa Sekretaris KPU
sekretariat KPU perlu ditingkatkan sebagai struktur organik KPU.
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota harus melaporkan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan kepada rapat pleno KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
aparat desa menjadi Pantarlih, karena ada kewenangan kepala merekomendasikan hal
Persyaratan Rekruitmen Penyelenggara Adhoc: Diperlukan syarat umur untuk
Dalam hal mekanisme rekrutmen panitia 58
KPPS, Pantarlih)
Kualitas SDM Penyelenggara Pemilu Ad hoc (PPK, PPS, KPPS, Pantarlih) Upgrading Penyelenggara Pemilu Ad hoc (PPK, PPS,
PPK, PPS, dan KPPS memberatkan (syarat kesehatan, surat keterangan pengadilan, umur minimal 25 tahun, materai, dan domisili)
tersebut. Proses rekrutmen KPPS berdasarkan rekomendasi kepala desa rawan dimanfaatkan pihakpihak tertentu, contoh kasus Cilacap: pemecatan salah seorang petugas KPPS membawa poster salah satu pasangan capres saat pembagian undangan memilih (C6)
calon anggota PPS dan KPPS, umur sekurang-kurangnya 17 tahun. Diperlukan syarat administrasi: surat keterangan sehat disederhanakan (surat keterangan cukup dari dokter/puskesmas), domisili anggota KPPS di wilayah PPS. Surat keterangan tidak pernah dipidana, cukup dengan surat pernyataan diri.
pemilihan ditingkat TPS perlu dipermudah dan pra-syarat usia disejajarkan dengan syarat minimal pemilih. Mekanisme perekrutan dilakukan oleh KPU dengan lebih terbuka dengan mempertimbangkan aspek kompetensi, tanpa menyertakan rekomendasi dari kepala desa/lurah/Badan Permusyawaratan Desa/Dewa Kelurahan, dalam rangka membuka ruang ruang partisipasi masyarakat.
Kapasitas KPPS rendah karena proses BIMTEK terbatas.
BIMTEK terkendala anggaran, waktu dan material. Terdapat anggota KPPS
24. Bimbingan Teknis bagi panitia pemilihan di tingkat kecamatan, desa 59
KPPS, Pantarlih)
yang tidak mau mengikuti/diupgrade informasi kepemiluan karena merasa sudah sangat paham tentang aturan pemilu, karena sudah sering menjadi panitia pemilu, seperti fungsi DPKTB dengan penggunaan surat keterangan domisili sebagai syarat pencoblosan
Honor Penyelenggara Pemilu Ad hoc (PPK, PPS, KPPS, Pantarlih)
Honor petugas ad-hoc rendah, risiko hukum akibat kesalahan kerja tinggi
Dukungan IT
Kurang Optimalnya Dukungan Teknologi Informasi: Tidak optimalnya dukungan Tekonologi Informasi dalam tugas-tugas dan fungsi KPU (Silog, Situng, Sipancul, Simak, dll). Banyak data yang tidak bisa masuk ke KPU dari KPU Kabupaten/Kota karena keterbatasan kemampuan server KPU. Peluang pemanfaatan teknologi informasi belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung penyelenggaraan pemilu di luar negeri secara efisien dan
Sidalih belum dioptimalkan dalam pemutakhiran data pemilih, karena minimnya kemampuan SDM dalam mengoperasikan SIDALIH ditambah lagi dengan keterbatasan infrastruktur. Dukungan IT KPU pusat tentang CV kandidat, Sistem informasi Partai politik, Sistem data pemilih,
dan TPS perlu diperluas dan mencakup semua anggota panitia pemilihan di berbagai tingkatan.
Dukungan Teknologi Informasi: Tersedianya infrastruktur dan personil TI dari pusat sampai daerah guna mendukung tugas-tugas KPU. Server di KPU perlu diperbesar untuk menerima data dari KPU Kabupaten/Kota secara cepat (dalam waktu yang bersamaan). Pemilu di luar negeri: Peluang pemanfaatan teknologi informasi harus dimanfaatkan secara maksimal dalam pemilu di luar negeri pada masa mendatang, mulai dari tahap penyusunan DPT hingga pada
Sistem Daftar Pemilih (SIDALIH) perlu diperkuat dengan mengintegrasikanny a ke dalam Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK).
60
efektif. Padahal potensi kemajuan IT dapat mendukung sejak penyusunan proses awal penyusunan DPT sampai dengan penghitungan dan rekapitulasi suara pemilu.
Sarana dan Teknologi Informasi: Pemasangan jaringan oleh pihak Telkom, akan tetapi bila mengalami kendala tidak dapat memberikan solusi. Tidak adanya dukungan IT yang resmi untuk komunikasi dan informasi antara KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten Kota. Tidak adanya feasibility study dalam memilih jenis dukungan IT yang dibutuhkan untuk komunikasi dan informasi antara KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota.
Sistem informasi logistik, DPS, DPT, Scan C1, dan Sistem informasi penghitungan membuat masyarakat bisa mengakses informasi tersebut dengan mudah.
pemungutan dan penghitungan dan rekapitulasi suara pemilu di luar negeri. Ketentuan ini hendaknya tertuang secara jelas dalam suatu regulasi untuk memberi landasan hukum bagi pelaksanaannya. Selain itu, untuk proses pemungutan dan penghitungan/ rekapitulasi suara dapat dipertimbangkan penerapan secara bertahap Electronic Voting Machine yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara. Sarana dan Teknologi Informasi: Diperlukan adanya pemeriksaan jaringan secara rutin dari Telkom sehingga tidak ada kendala dalam pengoperasian jaringan. Tersedianya dukungan IT yang resmi untuk komunikasi dan informasi antara KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, antara lain: pengadaan email resmi untuk anggota dan sekretariat dengan menggunakan domain resmi kpu.go.id. Pembentukan milis resmi terkait dengan tugas-tugas KPU. Perlunya feasibility study dalam memilih jenis dukungan IT yang dibutuhkan untuk komunikasi dan informasi antara KPU, KPU
61
Help Desk (Layanan Informasi Pemilu)
PEMILIH
Kualitas Data Awal (DP4 dan Upaya Sinkronisasi)
Aturan Teknologi Informasi: Belum ada payung hukum yang secara eksplisit mengatur layanan informasi hasil penghitungan suara sementara dengan teknologi informasi. Belum adanya dasar hukum yang jelas terkait pengadaan dan penyelenggaraan Teknologi Informasi Pemilu. Seringnya terjadi ketidaksiapan KPU dalam menyiapkan dan memberikan informasi kepada publik.
Keberadaan Help Desk (layanan Informasi Pemilu) berperan untuk membantu KPU belum di maksimalkan hal ini karena keterbatasan SDM
Penggunaan data kependudukan sebagai sumber daftar pemilih (vide Pasal 32 (1) dan Pasal 33 (1) UU Nomor 10 Tahun 2008) merugikan KPU karena datanya terbukti tidak valid. Sumber data untuk pendaftaran pemilih (DP4) kualitasnya kurang memadai, tidak valid, ada beberapa daerah yang kosong.
kualitas data awal (DP4) buruk; data pemilih legislatif Jateng menggunakan data pemilih dari data pemilu (pilkada gubernur) terkahir, sementara pusat menghendaki penggunaan data dari DP4. terdapat ribuan kesalahan
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Aturan Teknologi Informasi: Diperlukan perangkat hukum di tingkat undang-undang tentang layanan informasi hasil penghitungan suara sementara, dan KPU berkewajiban menyusun peraturan sebagai dasar pengaturan layanan informasi tersebut. Perlu adanya dasar hukum yang jelas dalam rangka pengadaan IT KPU. Perlu peningkatan fungsi Data dan Informasi dan Hubungan Partisipasi Masyarakat guna mendukung kesiapan KPU dalam menyiapkan dan memberikan informasi kepada publik. Dalam rangka pemberlakukan UndangUndang No. 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik. Ada dua alternatif rekomendasi yaitu: Alternatif 1: DP4 tanggung jawab pemerintah dan KPU sebagai pengguna akhir, agar dapat ditambah ketentuan yang mengakomodasi bahwa KPU dapat mengembalikan DP4 ke pemerintah setempat
Perlu dibangun regulasi dan mekanisme pendaftaran pemilih yang berkelanjutan (continues list), berbasis pada indentitas tunggal kependudukan, sehingga dapat disusun daftar 62
Pemutakhiran
Pemutakhiran Data Pemilih
penulisan data pemilih; apabila data tersebut penulisan nomor KK bermasalah atau tidak (16.897 no KK), NIK valid. (3.523), nama (797), Alternatif 2: KPU tempat tanggal lahir memiliki kewenangan (579), status perkawinan untuk melakukan (4.410), Jenis Kelamin pendataan dan memelihara (387), alamat (2.610). (3) Data Pemilih secara para pemilih pemula yang berkelanjutan. telah memenuhi syarat Perlu melakukan perubahan tidak masuk dalam daftar sistem pendataan pemilih. pemilih hasil Pendataan pemilih menjadi pemutakhiran data kewenangan KPU, dengan tugas: Pendaftaran, Pemeliharaan, dan Pemutakhiran secara terus menerus. Sumber data dapat berasal dari berbagai sumber Depdagri dan BPS. Jika rekomendasi di atas tidak memungkinkan. Maka DP4 dari pemerintah harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut: Nama, Umur/tanggal lahir, Status perkawinan, Lokasi/domisili, Pekerjaan, dan Jenis cacat. Perlu juga dilakukan Standarisasi format data dan perlu dilakukan Status up date terakhir. Dalam hal ini perlu ada bukti bahwa setiap rumah sudah didata atau dimutakhirkan dengan dibuktikan melalui penandaan stiker tiap rumah. para pemilih pemula yang Pemutakhiran Data Pemilih Pileg: idem
pemilih yang solid dan akurat. Daftar pemilih merupakan lampiran produk hukum yang dihasilkan oleh KPU dan Pemerintah c.q Kementerian Dalam Negeri.
63
Data Pemilih
Pileg: Tidak sinkronnya Pasal 34 (3) UU Nomor 10 tahun 2008 dengan Pasal 42 (3) UU Nomor 22 Tahun 2007 bahwa PPK dan PPS sudah dibentuk paling lambat 6 bulan sebelum penyelenggaraan Pemilu. Adanya regulasi untuk menggunakan hak pilih dalam Pasal 20 UU Nomor 10 Tahun 2008 (untuk dapat menggunakan hak memilih WNI harus terdaftar sebagai pemilih). Keterlambatan juknis pemutakhiran data pemilih yang diterima oleh PPDP di daerah. Belum efektifnya Pusat Pengaduan untuk menampung masukan/ tanggapan dari masyarakat terhadap DPS. Rentang waktu pemutakhiran terlalu singkat, terutama untuk daerah yang kondisi geografisnya sulit. Penyusunan DPS dan DPT belum sepenuhnya melibatkan RT/RW setempat. Kurangnya masa Jabatan PPK dan PPS (Pasal 42 (2) dan Pasal 45 (3) UU Nomor
telah memenuhi syarat tidak masuk dalam daftar pemilih hasil pemutakhiran data, mobilitas warga dan waktu pemutakhiran data yang singkat menyulitkan pelaksanaan coklit. pemilih kurang aktif memeriksa daftar pemilih, pengumuman daftar pemilih tidak tepat karena kualitas data yang kurang valid (data ganda).
Harus ada sinkronisasi regulasi (paket perundangundangan Pemilu). Pembentukan perangkat pelaksana pada tingkat PPK, PPS harus dilaksanakan sebelum tahapan. Perlu dibuat Penjelasan Pasal 20 tersebut dengan memasukkan amar putusan MK Nomor 102/ PUUVII/2009. Sepanjang program SIN (Single Identity Number) pemerintah belum tuntas NIK tidak wajib menjadi persyaratan DPT. Upaya penyesuaiannya antara lain berupa: Sistem administrasi kependudukan harus sudah siap sesuai UU No 23/2006; Penyusunan DP4 harus berbasis RT/RW sehingga memudahkan PPDP dalam pemutakhiran data; Menggunakan data pemilu terakhir sebagai sumber data alternatif; Tingkatkan koordinasi dan konsolidasi dengan instansi yang berwenang (Disdukcapil). Juknis tentang pemutakhiran data pemilih dibuat tidak boleh terlambat.
64
22 Tahun 2007, PPK, PPS dibentuk 6 bulan sebelum Pemilu, sementara Pasal 32 UU Nomor 10 tahun 2008 menyatakan bahwa DP 4 harus sudah disampaikan oleh Pemerintah kepada KPU 12 bulan sebelum pemungutan suara, sehingga terjadi kevakuman dalam pemutakhiran data selama 6 bulan. Pembiayaan/honorarium Petugas Pemutakhiran Data Pemilih per TPS belum proposional. Kurangnya anggaran yang mendukung kegiatan pengumuman DPS dan DPSHP hingga ke RT/RW. Sistem administrasi kependudukan (SIAK) belum optimal dilaksanakan Pemda. Belum adanya sistem on line daftar pemilih antara KPU dengan Dispenduk. Media pengumuman DPS dan DPT belum optimal. Aplikasi/software (DP tool) sering hang. Tidak ada sistem pembersihan data dari Pileg-Pilpres, di MK ada sistem data ganda sementara KPU tidak ada. (software). Kesulitan program Excel/software
Perlu diefektifkan pusat pengaduan untuk menampung masukan/ tanggapan masyarakat terhadap DPS. Rentang waktu pemutakhiran diperpanjang. Sebaiknya harus ada keterlibatan RT/RW dalam penyusunan DPS dan DPT. Idealnya pembentukan PPK dan PPS paling lambat 12 bulan sebelum pemungutan suara sehingga perlu atau harus ada revisi Pasal 42 (3) dan 45 (3) UU No. 22 tahun 2007. Sebaiknya pembiayaan/honorarium Petugas Pemutakhiran Data Pemilih dihitung berdasarkan jumlah pemilih. Perlu penambahan anggaran yang mendukung kegiatan pengumuman DPS dan DPSHP hingga ke RT/RW. Perlu ketegasan adanya kepastian pelaksanaan SIAK di seluruh wilayah Indonesia secara serempak. Diperlukan sistem on line untuk mengontrol dan pengendalian data. Harus ada pemberitahuan segera kepada KK terhadap pengumuman DPS. KPU perlu membuat
65
yang ada untuk melakukan cek DPT. Peraturan berubah-ubah, dan tidak konsisten. Peraturan yang ada seringkali kurang realistis dan kurang mampu mengantisipasi potensi masalah di lapangan. Kinerja PPDP banyak yang kurang optimal karena tidak diawasi secara ketat. Banyak verifikasi hanya dilakukan di belakang meja. Sementara peraturan KPU tidak mengatur tentang pengawasan atas kinerja PPDP ini. Alur, mekanisme, business process, pelaksana, pihak terkait dan tugas dari masing-masing pihak serta timeline kegiatan dalam proses pemutakhiran daftar pemilih kurang terencana secara baik sehingga sering kali menimbulkan permasalahan dalam prakteknya di lapangan. Terjadi lempar tanggung jawab antar KPU di setiap tingkatan. Identifikasi terhadap potensi masalah dan strategi antisipasinya kurang direncanakan.
aplikasi/software verifikasi daftar pemilih yang lebih mudah dan akurat. Beberapa KPU daerah (misalnya Sulawesi Selatan) membuat inovasi dalam bentuk aplikasi verifikasi. Terkait dengan hal ini, KPU perlu mengambil best-practices ini sebagai bahan pertimbangan dalam membuat aplikasi. Proses penyusunan peraturan KPU terutama untuk beberapa peraturan yang penting (misalnya pendafataran pemilih, pemungutan dan penghitungan suara, dan lainlain) perlu didahului dengan simulasi untuk memperoleh gambaran tentang potensi masalah dan cara mengantisipasinya. Kinerja PPDP dalam proses verifikasi daftar pemilih perlu disupervisi. Peraturan KPU perlu mencantumkan ketentuan ini. Best-practice yang dilakukan KPU Sulawesi Selatan dengan membuat kontrak kerja dengan petugas PPDP perlu dipertimbangkan, karena terbukti efektif dalam mengikat PPDP. Skenario planning DPT perlu disusun secara matang dengan mencakup aspek:
66
Jadwal pelaksanaan Pelaksana dan pembagian tugas serta tanggung jawab Pihak-pihak lain yang terkait serta peran mereka Pembiayaan Potensi masalah Antisipasi KPU perlu membuat perencanaan anggaran secara tepat dengan memperhatikan masukan dari KPUD Perlu dipastikan agar Parpol mendapatkan DPT. DPT diberikan dalam bentuk soft copy (terproteksi) untuk menghemat anggaran
Pemutakhiran Data Pemilih Pilpres: Kondisi geografis wilayah Nusantara yang sedemikian kompleks juga menjadi
Pemutakhiran Data Pemilih Pilpres: Mekanisme pemutakhiran data pemilih seharusnya didukung oleh waktu dan pembiayaan yang cukup, serta diperlukan partisipasi aktif masyarakat dan stakeholder Pemilu. Perlu perbaikan SOP internal KPU dan mengoptimalkan sosialisasinya kepada KPUD. KPU perlu membuat system manajemen arsip yang baik sehingga laporan yang sudah dikirimkan tidak hilang, tapi terpelihara dengan baik.
67
masalah dalam hal pemutakhiran daftar pemilih, yang membuat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota membutuhkan waktu lebih panjang dari waktu yang telah ditetapkan untuk mengumpulkan semua data secara valid. Petugas PPDP sering mengalami hambatan dalam proses validasi, berkaitan dengan keterbatasan waktu, jarak, dan lokasi. Keterbatasan dapat dilihat dari waktu dan dari jarak tempuh yang jauh (geographical distance) serta kondisi daerah yang sulit dijangkau bahkan masih terisolir (geographical difficulties), ditengarai mempengaruhi hasil atas validasi itu. Manajemen di KPU dalam menerima laporan DPT dari daerah kurang tersosialisasi dengan baik sehingga banyak daerah yang tidak mengetahui kepada staf KPU yang mana laporan tersebut diserahkan. Hal ini mengakibatkan adanya beberapa laporan yang hilang. Arsip di KPU pusat tidak terorganisir dengan baik, sehingga banyak laporan
68
yang sudah menjadi hilang.
dikirimkan
Ketepatan Waktu Pengumuman Daftar Pemilih Variasi Nomenklatur Daftar Pemilih (DPS, DPSHP, DPT, DPTb, DPK, DPKTb)
Partisipasi Pemilih terhadap Daftar Pemilih
Partisipasi Pemilih untuk Datang ke TPS
pengumuman daftar pemilih tidak tepat karena kualitas data yang kurang valid (data ganda). variasi daftar pemilih dan istilah baru pemilu menyulitkan/membingun gkan panitia pemilu adhoc Banyak masyarakat yang tidak mengetahui apakah sudah atau belum terdaftar dalam Daftar Pemilih. Minimnya partisipasi masyarakat dan peserta PEMILU untuk memberi tanggapan terhadap Daftar Pemilih.
partisipasi masyarakat Diperluas pengumuman di keagamaan, perkumpulan dalam memeriksa data warga, siaran keliling, dan pemilih masih sangtat radio sesuai kondisi kurang. Masyarakat masyarakat setempat. baru mengurus Diperlukan peningkatan dokumen pendidikan politik bagi kependudukan ke pemilih. disdukcapil untuk mendapatkan kartu undangan memilih Pemilih di Papua, terutama di Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo memiliki ketertarikan yang sangat besar pada pemilihan calon anggota legislatif Kabupaten/kota (DPRD). Antusiasme pemilih untuk menggunakan hak suara pada proses pemilihan anggota DPRD cenderung mengabaikan
Perlu penguatan pendidikan pemilih oleh partai politik, penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil untuk pemilu Jujur dan adil.
Idem
69
proses pemilihan anggota legislatif lainnya seperti DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD. Harapan pemilih agar memiliki wakil rakyat yang duduk di DPRD Kabupaten membuat proses pemungutan suara “menyimpang” dari ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh KPU. Dari 1.052 TPS di Nias Selatan di Pilpres, 179 TPS partisipasi politiknya 100 %, 24 TPS partisipasi politiknya 102 %, 5 TPS partisipasi politiknya 103 TPS, serta 4 TPS yang partisipasi politiknya 104 % dan 105 % . Terdapat pemilih yang tidak ke TPS, karena tidak diberikan undangan (C6) Pengetahuan Pemilih tentang suara sah dan tidak sah (klasifikasi suara)
Pengetahuan pemilih tentang klasifikasi suara tidak begitu baik hal tersebut disebabkan oleh sosialisasi yang kurang.
Data Pemilih Difabel
KPU sulit meindentifikasi pemilih difabel dalam daftar pemilih karena pemilih
idem
70
difabel tidak mau diperlakukan berbeda PARPOL DAN CALON
Syarat Lolos Verifikasi (Administrasi dan Faktual)
Pelaksanaan Verifikasi Partai
Pendaftaran Peserta Pemilu: Tidak konsistennya penerapan Parliamentary Threshold dari Pusat sampai daerah. Dalam pendaftaran, verifikasi administrasi dan faktual serta penetapan Parpol sebagai peserta Pemilu, terdapat beberapa Parpol yang mengajukan gugatan melalui Pengadilan TUN atas penetapan KPU yang tidak meloloskan Parpol tersebut sebagai peserta Pemilu. Tidak ditetapkannya Parpol tersebut sebagai peserta Pemilu 2009 pada umumnya tidak dipenuhinya syarat dukungan anggota, keberadaan kepengurusan, keberadaan kantor tetap, dan jumlah kepengurusan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Terjadi keterlambatan penyampaian data atau berkas partai politik dari KPU kepada KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota. Penetapan Peserta Pemilu: Banyaknya kepengurusan
Syarat verifikasi Pendaftaran Peserta Pemilu: Perlu revitalisasi parpol, administratif dilakukan Penerapan PT tidak hanya khususnya dalam hal untuk DPR tetapi juga untuk oleh KPU Pusat. rekrutmen dan kaderisasi DPRD. Persyaratan partai caleg Sedangkan syarat dan keterwakilan politik untuk menjadi peserta politik perempuan. verifikasi faktual pemilu memenuhi sekurangdilakukan KPU daerah, kurangnya memenuhi 5% dengan melakukan suara sah secara nasional. pengecekan jumlah Persyaratan parpol sebagai anggota, keberadaan peserta Pemilu harus sekretariat (kantor). diperketat sebagai upaya Terdapat kesulitan melaukan veirifkasi factual tersebut karena parpol kesulitan menghadirkan jumlah anggota sesuai jadwal KPU.
penyederhanaan peserta Pemilu, mengingat parpol yang baru terbentuk menjelang pelaksanaan Pemilu pada umumnya belum siap, baik dalam pembentukan. Tidak diperkenankan adanya pergantian kepengurusan setelah penyerahan berkas.
Tidak semua partai Penetapan Peserta Pemilu: mampu menghadirkan Pasal 12 dan Pasal 69 ayat 3
71
Politik
ganda partai politik dan pergantian pengurus pada saat proses verifikasi. Ketidakjelasan parameter mempersulit proses verifikasi, misalnya persyaratan memiliki kantor tetap, ternyata dalam prakteknya ada parpol yang kantornya menjadi satu dengan kios bensin, hanya ada satu meja dan kursi. Persyaratan anggota yang hanya dibuktikan dengan KTA mempersulit verifikasi. Persyaratan 30 % keterwakilan perempuan yang tanpa disertai dengan ancaman sanksi mempersulit proses verifikasi.
pengurus dan anggotanya saat pelaksanaan verifikasi partai politik baik ditingkat kabupaten/kota hingga kelurahan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 ada ketidakadilan antara peserta partai politik dan perseorangan. Perlu penambahan persyaratan calon DPD tentang asas domisili dan nonpartisan di dalam Undang-undang. Syarat calon anggota DPD perlu ditambah bahwa calon anggota DPD tidak dalam kedudukan sebagai anggota atau pengurus parpol, mengingat keterwakilan penduduk telah ada wadahnya yaitu melalui parpol dan keterwakilan wilayah/daerah melalui DPD. UU Pemilu perlu mencantumkan secara jelas parameter dalam setiap persyaratan parpol untuk menjadi peserta Pemilu untuk mempermudah kerja KPU dalam melakukan verifikasi. Misalnya syarat keanggotaan dibuktikan dengan KTA dan KTP, parameter status kepemilikan kantor, dan lainlain. Perlu dibuat pengaturan yang lebih ketat/berat agar jumlah partai politik di dalam pemilu menjadi lebih sederhana. Ketentuan parliamentary threshold diberlakukan untuk DPR dan DPRD (layak untuk dipertimbangkan).
72
UU juga perlu mengatur secara tegas sanksi terhadap pelanggaran atas ketentuan kuota 30 % keterwakilan perempuan. Pengaturan ini perlu dicantumkan dalam UU dan bukan di Peraturan KPU agar lebih tinggi daya ikatnya. Tidak ada partai politik yang melakukan pendidikan politik dan pemilu, hanya caleg yang melakukan sosialisasi menjelang pemilu
Keterlibatan Parpol dalam Pendidikan Politik dan Pemilu
Rekrutmen Kandidat/Calon
Pencalonan: Belum diatur mekanisme check and recheck terhadap kemungkinan calon mendaftar di lain level atau di lain daerah (adanya calon yang mencalonkan di dua tempat atau di dua lembaga perwakilan yang berbeda). Terkait dengan syarat pencalonan dimintakan tanggapan dari masyarakat, dan kemudian KPU mengembalikan kepada Parpol untuk menanggapi. Dalam hal ini tidak ada kewenangan KPU untuk melakukan verifikasi faktual. Pemilih kurang mengenal nama asli calon (lebih mengenal nama
Parpol belum optimal Pencalonan: menjalankan fungsi KPU perlu membuat suatu sistem aplikasi (software) yang rekrutmen dan berfungsi untuk mengetahui kaderisasi caleg.
calon yang ganda atau sistem pencalonan secara online. Jika ditemukan caleg ganda maka KPU mencoret kedua-duanya calon tersebut. Perlu diatur tegas bahwa penelitian pencalonan setelah mendapatkan tanggapan masyarakat, hanya dapat ditindaklanjuti apabila terdapat bukti pendukung yang otentik. Penulisan nama dalam DCS/DCT disesuaikan dengan nama yang tercantum di dalam ijazah. Perlu pengaturan sanksi terhadap calon di dalam UU,
Revitalisasi fungsi partai politik khususnya dalam hal rekrutmen dan kaderisasi calon anggota legislatif dan keterwakilan politik perempuan, saksi.
73
Akuntabilitas Dana Politik dan Kampanye
panggilan/alias) sehingga pemilih salah memberikan suara. Terdapat beberapa pengaduan dari caleg terkait dengan proses penjaringan yang dianggap tidak demokratis sehingga melanggar UU. Sering terjadi masalah dan complain terkait dengan persyaratan terutama menyangkut syarat pendidikan dan kesehatan. Syarat pendidikan banyak terkait dengan laporan ijasah palsu. Syarat kesehatan terkait dengan ketidaksamaan standard surat keterangan sehat di beberapa daerah. Ada yang cukup surat keterangan puskesmas, ada yang harus general check up, dll. Belum adanya aturan hukum tentang pengawasan terhadap Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit dana kampanye. Belum adanya sanksi yang jelas bagi akuntan publik yang melakukan pelanggaran didalam melakukan audit dana kampanye. Hasil audit tidak ada kesimpulan (ditolak atau diterima).
bukan pembebanan sanksi kepada KPU. Diperlukan pengaturan yang terperinci dan terstandarisasi sehingga dapat terwujud kesamaan perlakuan di semua daerah. KPU dan KPUD perlu lebih proaktif dalam melakukan koordinasi dengan pihak lain guna mengantisipasi pelanggaran persyaratan. Perlu ketegasan sikap KPU terhadap calon yang tidak memenuhi persyaratan.
Pelaporan dana Diperlukan adanya kontrak kerja yang jelas antara KPU kampanye (penerimaan dengan Kantor Akuntan dan penggunaan) Publik khususnya terhadap masih bersifat formalhubungan antara KAP dengan administratif
Peserta Pemilu yang di audit Laporan dana kampanye Proses penegakan kode etik KAP perlu melibatkan KPU. hanya formalitas; hasil Hasil audit yang dikeluarkan audit tidak ada oleh KAP harus ada kesimpulan ditolak atau kesimpulan diterima atau diterima tidak dan diumumkan di media oleh KPU. Di SUMUT ada anggota
Dalam hal laporan dana kampanye, perlu ada kesimpulan dan tindak lanjut hasil audit laporan dana kampanye, sebagai salah satu dasar penelusuran rekam jejak calon.
74
DPD RI dan Parpol yang didiskualifikasi sebagai peserta Pemilu, karena tidak melaporkan dana kampanye
Saksi direkrut 3 atau 1 hari sebelum pemungutan suara. Akibatnya saksi banyak yang tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik
Rekrutmen dan Kinerja Saksi Parpol dalam Pemungutan Suara
Rendahnya kapasitas saksi parpol. sistem proportional terbuka dengan penentuan calon berdasarkan suara terbanyak menggeser kompetisi antar partai menjadi antar caleg internal partai
Kompetisi antar Caleg dalam Internal Partai
Keterwakilan Perempuan 30 %
Pasal 53 dan Pasal 55 UU No. 10/2008 tidak ada punishment terhadap pelanggaran ketentuan pemenuhan 30% calon perempuan.
Quota perempuan hanya menjadi syarat formal memenuhi quota 30%.
Parpol yang tidak memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan 30% dikenakan sanksi dibatalkan sebagai peserta Pemilu pada Dapil tersebut.
Revitalisasi fungsi partai politik khususnya dalam hal rekrutmen dan kaderisasi calon anggota legislatif dan keterwakilan politik perempuan, saksi. 75
Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi
Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi: Pasal 24 ayat (2) dan 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak bisa dilaksanakan/diimplementa sikan bagi provinsi maupun kabupaten/kota yang mengalami perubahan jumlah penduduk yang berimplikasi pada jumlah kursi khususnya bagi daerah yang mengalami pemekaran. Terjadi ketidakseimbangan keterwakilan dalam pembagian kursi DPR RI dan DPRD Provinsi serta DPRD Kab/Kota di setiap provinsi dan Kab/Kota. Kontradiksi aturan dalam UU nomor 10/2008. Penentuan dapil dan alokasi kursi di daerah induk dan pemekaran, pada umumnya sudah memadai, namun yang menjadi masalah adalah intervensi Pemda terkait dengan data penduduk yang menjadi dasar penentuan dapil dan kursi. Kasus di NTT, terdapat daerah pemekaran yang hanya 1 dapil. Banyak daerah pemilihan yang melebihi jumlah maksimal kursi yang diatur
Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi: Diperlukan: Revisi Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) UU No. 10/2008, dimungkinkan pada Pemilu 2014 ada perubahan jumlah kursi per dapil, karena adanya perubahan jumlah penduduk di wilayah tersebut; Jumlah dapil dan kursi disesuaikan dengan jumlah penduduk dan dengan memperhatikan letak geografis; Pasal 29 ayat (4) UU No 10 Tahun 2008 dihapus dan disesuaikan dengan perkembangan daerah pemekaran dan jumlah penduduk; Penetapan dapil ditetapkan oleh KPU berdasarkan usulan KPU Kab/Kota melalui KPU Provinsi. Oleh sebab itu alokasi kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota dilakukan secara proporsional Diperlukan revisi UU dengan ketentuan: Sumber data penduduk yang dipergunakan dalam menentukan dapil dan alokasi kursi adalah data
76
dalam undang-undang
LOGISTIK
Pengadaan dan Distribusi
Distribusi logistik pemilu selama Pemilu 2009 adalah terjadinya keterlambatan dan ketidaktepatan dalam pengadaan dan distribusi logistik pemilu. Luas dan beragamnya kondisi daerah di Indonesia memang merupakan tantangan tersendiri untuk dapat mendistribusikan secara tepat waktu dan tepat sasaran dari semua logistik pemilu. Meski demikian akibat kurangnya perencanaan, kurang tepatnya pendelegasian wewenang, kurang sinkronnya aturan tentang logistik tambahan serta kelemahan perencanaan membuat terjadinya berbagai kesalahan dalam pengadaan dan distribusi.
Ketentuan dan Delegasi Wewenang: Pendelegasian kewenangan KPU dalam pengadaan Barang Jasa sebagaimana diatur dalam UU Pileg dan Pilpres hanya sampai di
penduduk dari BPS. Evaluasi komposisi dapil dan alokasi kursi dilakukan setiap dua kali pemilu (10 tahun) sesuai siklus sensus BPS. Prinsip-prinsip dalam pembentukan dapil dan alokasi kursi dimuat dalam UU. Penetapan dapil dan alokasi kursi dilakukan oleh KPU berdasarkan ketentuan UU. Kecamatan sebagai dapil dapat dipecah namun harus ada parameter mengapa memecah kecamatan (parameter jumlah penduduk).
Pengadaan Logistik yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU Provinsi masih sering terjadi keterlambatan, atau ada beberapa item logistik yang kedatangannya terlambat sehingga waktu yang diperlukan untuk melakukan sortir dan mendistribusikan menjadi tertunda, dan tertumpuk serta seringkali tumpang tindih dengan logistik
Ketentuan dan Delegasi Wewenang: Diperlukan delegasi kewenangan tidak sampai di tingkat provinsi saja tetapi diusulkan sampai di tingkat Kabupaten/Kota. Ketentuan mengenai penjabaran kelengkapan logisitik pada pemilu
Perencanaan pengadaan dan distribusi logistik perlu dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi antara waktu, biaya, karateristik wilayah, dan infrastruktur.
77
tingkat provinsi. Hal demikian tidak efektif khususnya dalam pengadaan formulir dalam Pileg serta penggandaan DPT. UU No. 22/2007, UU No. 10/2008 Aturan tentang daftar kelengkapan logistik yang terlalu rigid dan rumit menghambat proses pengadaan, pendistribusian maupun implementasinya di lapangan. Tidak sinkronnya Pasal 150 UU No. 10 Tahun 2008 bahwa penyebaran surat suara per TPS adalah DPT per TPS ditambah 2%, sementara di Pasal 145 UU No. 10 Tahun 2008 mengenai pengadaan surat suara adalah DPT ditambah 2%, sehingga terjadi plus minus penyebaran surat suara per TPS. Waktu dan Lemahnya Rencana: Dalam konteks waktu/durasi, pelaksanaan tender akan selalu mengalami keterlambatan apabila harus mematuhi secara rigid pada Keppres No. 80/2003, sementara jika tidak mengacu ada risiko hukumnya. Pengadaan tidak sesuai
mendatang lebih disederhanakan (difokuskan pada jenis logistik yang substansial saja). Anggaran distribusi singkronisasi logistik tidak disesuaikan Diperlukan pasal-pasal terkait dengan kondisi fisik penambahan surat suara di wilayah, terutama di Pasal 150 dan Pasal 145 UU daerah kepulauan No. 10 Tahun 2008. Kapasitas gudang/Storage tidak sesuai dengan kuantitas logistik (pra-masa-paska pemilu
yang baru datang
Waktu dan Lemahnya Rencana: Perlu revisi Keppres No. 80 Tahun 2003 agar dapat mengakomodir persoalan waktu yang mendesak dalam pelaksanaan Pemilu. KPU perlu menyusun: Persiapan panitia, Dokumen, Jadwal, Inventarisasi jenis barang, Volume. Perlu seleksi SDM sortir. Pengesetan dilakukan di kab/kota dengan dibantu oleh PPK. Perlu ada tempat inventarisasi dan penyimpanan/pelaksanaan sortir dan keamanan logistik
78
target karena kurang perencanaan yang matang. Pengesetan dan distribusi masih bermasalah menyangkut keamanan tingkat kekeliruan dan kecepatan.
Kesalahan Distribusi: Terdapat kesalahan dalam distribusi, baik dalam jenis, bentuk, jumlah dan peruntukannya (contohnya tertukarnya surat suara antar Dapil dan jenis-jenis formulir). Pengadaan Surat Suara (SS) serta lemahnya penyortiran sehingga rawan tertukar dan kurang jumlahnya.
harus dianggarkan. Harus ada alat kontrol penerimaan barang terutama Surat Suara dan hasil sortir. Prosedur sortir: kondisi fisik Surat Suara, jelas/tidaknya warna/gambar pudar, Dapil yang benar. Kesalahan Distribusi: Dilakukan diklat manajemen dan distribusi logistik secara berjenjang bekerja sama dengan instansi terkait. Ketentuan sortir tidak dibuat secara swakelola. Perlu pengaturan tata cara sortir yang lebih aman dan teliti. Perusahaan penyedia jasa distribusi harus melakukan pengawasan dan monitoring sampai ke lokasi. Perlu diberikan tanda khusus seperti tulisan Dapil di bagian luar/ belakang Surat suara. Perlu ada mekanisme untuk memastikan kebenaran SS sesuai dengan Dapil. Ditentukan bahwa pencetakan Surat Suara: DPR dan DPD oleh KPU; DPRD Prov oleh KPU Prov; DPRD Kab/Kota oleh KPU Prov. Perlu ada revisi pasal 141 dan 142 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2008 perihal pendelegasian pengadaan
79
logistik hanya sampai pada KPU Prov, padahal ada komponen yang bisa didelegasikan ke KPU Kab Kota. Perlu ada panduan pengadaan barang pemilu yang khusus karena Pemilu merupakan kondisi khusus, atau perlu revisi panduan pengadaan Kepres 80. Perlu ada pendelegasian dengan pembagian kerja pengadaan diusulkan sebagai berikut: KPU: di wilayah yang tidak tersedia mitra pengadaan, membuat masternya saja, tinta, SS DPR dan DPD, dan standarisasi barang dan jasa; KPU Prov: Surat suara DPRD Prov dan KK, segel, formulir, kekurangan kota bilik, sampul; KPU KK: Karet, Spidol, ballpoint, stiker dan perlengkapan TPS.
Kesulitan Penyimpanan dan Pemeliharaan: KPU mengalami kesulitan untuk menyimpang barangbarang inventaris pemilu. Hal ini antara lain karena tidak tersedianya gudang untuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota,
Kesulitan Penyimpanan dan Pemeliharaan: KPU perlu berkoordinasi dengan Mendagri agar kepada Kepala Daerah untuk dapat menyediakan lahan tanah untuk pembangunan gedung kantor KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Harus ada anggaran untuk
80
KPU juga kesulitan dalam hal mendapatkan hibah tanah untuk pembangunan gedung kantor. Di samping itu, pengelolaan barang inventaris pemilu dan kantor belum mempunyai pedoman. Bagi KPU Kabupaten/ Kota yang sudah memiliki gudang, ternyata belum tersedianya biaya pemeliharaan. Tidak ada/belum memadai gudang untuk menyimpan logistik menyebabkan barangbarang mudah rusak dan hilang. Masalah lainnya adalah kurangnya jelasnya kategori jenis barang yang dapat dihapuskan dan kurang jelasnya mekanisme penghapusan logistik pemilu.
SUARA KURSI
DAN Surat Pemberitahuan dan Formulir A5
pemilih tidak tahu mekanisme pencoblosan di luar wilayah domisili, dengan menggunakan A5
biaya pengadaan gudang. Perlu pedoman dan pelatihan pengelolaan barang inventaris pemilu dan kantor. Perlu peningkatan terhadap kekurangan dana sewa dengan dimasukkan di mata anggaran 076 khususnya biaya sewa gudang. Perlu anggaran penyediaan gudang (ditambah dari 4 bulan menjadi 12 bulan). Pelaksanaan penghapusan menunggu surat dari Arsip Nasional (ANRI) tentang referensi Surat Suara dan formulir. Pelaksanaan penghapusan oleh KPU Prov perlu delegasi wewenang. Perlu anggaran sewa gudang dan anggaran penghapusan. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menyusun pedoman tentang kategori jenis barang yang dapat dihapuskan dan mekanisme penghapusan logistik pemilu. Hal ini akan diatur dalam level peraturan KPU.
Surat suara perlu dirancang lebih sederhana yang dapat menekan tingkat kesalahan distribusi dan pemungutan suara. 81
Pemungutan Suara Ganda Mobilisasi Pemilih dari Luar TPS
Noken
Saksi Pemungutan dan Penghitungan Suara
Pemungutan Suara Ulang
Masih dipraktekkannya metode Noken rentan terhadap pemberian suara yang tidak praktik jual-beli suara. sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan menggunakan tradisi daerah (noken di Papua).
Saksi tidak mengikuti rapat Proses rekapitulasi suara pemungutan dan perhitungan di PPS dan PPK suara hingga selesai. dianggap sangat tidak transparan. Saksi parpol dalam rekapitulasi suara di PPK PPS berbeda saksi caleg saat penghitungan.
Perlu diterbitkan peraturan khusus untuk daerah-daerah yang masih memiliki tradisi tersebut, tetapi mekanisme penghitungan dan rekapitulasi penghitungan tetap harus dituangkan dalam Formulir Berita Acara dan ditandatangani oleh penyelenggara dan saksi yang hadir. Saksi wajib mengikuti pembukaan pemungutan suara. Ketentuan pasal tentang saksi yang hadir pada penghitungan suara dihapus (agar saksi mengetahui seluruh proses pemungutan dan penghitungan).
Mekanisme noken dalam pemungutan suara perlu ditinjau kembali dan memerlukan perbaikan sebagai instrument pemilu.
saksi caleg pada saat pencoblosan dan penghitungan lebih banyak membela kepentingan caleg yang membayar ketimbang membela kepentingan parpol secara keseluruhan pemunguatan suara ulang terjadi karena tertukarnya surat suara/salah dapil, perusakan surat suara oleh KPPS,
82
penggelumbungan suara
Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS
Pemungutan dan Penghitungan Suara: Dasar Hukum tentang pemberian tanda pada surat suara sering berubah-ubah. Dasar Hukum tentang Hak dan Kewajiban Saksi yang kurang lengkap. Waktu pelaksanaan penghitungan suara sangat terbatas dalam Pemilu Legislatif. Partai peserta Pemilu terlalu banyak menyebabkan waktu penghitungan suara menjadi lama. Waktu (tanggal/hari) bertepatan hari raya keagamaan. Terlalu banyak varian dalam penentuan suara sah/tidak sah menyebabkan sulit dalam menentukan suara sah/tidak sah. Peraturan KPU Nomor 11/2009 dan Peraturan KPU Nomor 46/2009 tidak mengatur secara memadai tentang prosedur lengkap mengenai metode pemungutan suara pemilu legislatif dan Pilpres melalui Pos dan pemungutan melalui Antaran. Sementara sekitar 90% perolehan suara
Pemungutan dan Penghitungan Suara: Harus ada regulasi yang konsisten tentang pemberian tanda di surat suara. Diperlukan adanya regulasi yang jelas yang mengatur tentang hak dan kewajiban saksi. Perlu ada perubahan dalam Undang-Undang mengenai waktu pelaksanaan penghitungan suara agar lebih memadai dalam Pemilu Legislatif. Diperlukan penyederhanaan jumlah Partai peserta Pemilu. Waktu pemungutan suara harus memperhatikan hari raya keagamaan, dll. Aturan Penentuan suara sah/tidak sah harus lebih tegas. Perlu dibuat regulasi yang memadai sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan dua metode pemungutan suara melalui Pos dan Antaran tersebut. Disarankan agar penyelenggaraan Pemilu di luar negeri pada masa mendatang, hanya untuk Pemilu Presiden/Wakil Presiden saja. Namun,
83
Pemilu 2009 di luar negeri dilaksanakan melalui 2 metode tersebut di atas. Salah satu faktor yang mengurangi minat WNI di luar negeri dalam memberikan suaranya untuk calon anggota Legislatif wilayah DKI karena dirasakan tidak ada kaitan (primordial) mereka dengan para pemilih/konstituen luar negeri yang banyak berasal dari luar DKI. Ditemukannya formulir Berita Acara Penghitungan suara dengan berbagai macam versi yang tidak sama dengan yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu. Penyerahan sertifikat penghitungan suara dari TPS ke PPK melewati batas waktu yang ditentukan (tidak dalam hari yang sama). Pemilih yang memberikan suara di TPS lain tidak dikategorikan sebagai pemilih tambahan. Pemilih yang memberikan suara di TPS lain tidak dikategorikan sebagai pemilih tambahan.
terdapat juga saran yang mengusulkan agar suara pemilih dari luar negeri untuk Pemilu Legislatif tetap dilaksanakan, tetapi untuk memilih calon dari warga negara/masyarakat Indonesia yang berasal dari/bermukim di luar negeri, bukan dari DKI. Formulir Berita Acara Penghitungan Suara agar dibuat dengan menggunakan kertas berpengaman khusus (security paper), dan dibuat rangkap 4 eksemplar (diumumkan di PPS, PPK, KPU Kab/Kota/ Provinsi). Formulir yang dibagikan kepada saksi peserta pemilu yang hadir adalah berupa salinan yang telah diotorisasi oleh penyelenggara pemilu. Redaksional UU yang mengatur perlu diperbaiki. Penghitungan suara diselesaikan pada hari yang sama, apabila belum diselesaikan maka dilanjutkan dan diserahkan kepada PPK melalui PPS pada kesempatan pertama setelah diselesaikan. Pemilih yang memberikan suara di TPS lain tidak dikategorikan sebagai pemilih tambahan. Pemilih yang memberikan
84
Rekapitulasi Elektronik (REKAPITULA SI ELEKTRONIK PADA PEMILU 2014 yang ada adalah penyediaan soft sopy aplikasi EXCEL untuk rekapitulasi di setiap tingkatan)
Rekapitulasi Suara: Waktu rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK sangat singkat bagi PPK yang memiliki jumlah TPS di wilayah kerjanya sangat banyak, sementara peran PPS dalam rekapitulasi PPK tidak jelas. Kurang tegasnya peran PPS dalam proses rekap di tingkat PPK, karena PPS tidak lagi diberi kewenangan melakukan rekapitulasi di tingkat PPS dan dan tugasnya diserahkan ke PPK, yang mengakibatkan beban pekerjaan PPK semakin berat. Ditemukannya formulir Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dengan berbagai macam versi yang tidak sama dengan yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu Putusan MK tentang kasus PHPU yang materinya mengabulkan permohonan pemohon dan mengubah hasil penetapan KPU tentang hasil pemilu, apakah harus mengubah keputusan KPU tentang penetapan
Rekapitulasi nasional banyak form yang belum discan dan dikirim KPU Kab/Kota. Hal tersebut umumnya terjadi karena kendala jaringan internet.
suara di TPS lain tidak dikategorikan sebagai pemilih tambahan. Rekapitulasi Suara: Disarankan agar waktu rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK harus disesuaikan dengan jumlah TPS dan kondisi geografis di wilayah kerja PPK. Artinya perlu penetapan rentang waktu penyelesaian proses rekapitulasi sebanding dengan jumlah TPS di wilayah kerja PPK bersangkutan. Perlu regulasi tentang mengembalikan fungsi PPS dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara di TPS. Formulir Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara agar dibuat dengan menggunakan kertas berpengaman khusus (security paper), dan dibuat rangkap 4 eksemplar (diumumkan di PPS, PPK, KPU Kab/Kota/Propinsi). Formulir yang dibagikan kepada saksi peserta pemilu yang hadir adalah berupa salinan yang telah diotorisasi oleh penyelenggara pemilu. Perlu dilakukan perubahan keputusan KPU tentang penetapan hasil pemilu secara nasional, karena pada dasarnya
85
hasil pemilu? Apabila harus diubah, apakah perubahan itu hanya pada keputusan KPU tingkat tertentu saja atau sampai pada keputusan di tingkat nasional? Materi gugatan di MK ternyata tidak hanya sebatas pada persengketaan hasil pemilu namun juga meliputi proses pemilu. Adanya ancaman pidana bagi Anggota KPU dalam hal melanggar ketentuan batas waktu maksimal 30 hari rekapitulasi tingkat nasional. Proses rekapitulasi di PPK membutuhkan waktu yang lama.
Jenjang Rekapitulasi (TPS - PPS PPK - KPU Kab/Kota KPU Prov KPU RI
Vote Buying
penetapan hasil pemilu di daerah menjadi dasar untuk penetapan hasil pemilu secara nasional. Hal ini harus diatur secara tegas Perlu dipertegas definisi tentang hasil pemilu yang dapat dijadikan dasar gugatan yang dapat diterima oleh MK. Perlu diatur syarat-syarat dan hal-hal tertentu yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan ke MK dalam Undang-Undang Pemilu. Ketentuan tersebut harusnya tidak masuk dalam kategori pelanggaran pidana, melainkan administratif. rekapitulasi dan penetapan hasil suara untuk tingkat TPS masih belum dilakukan secara transparan dan akuntabel. Untuk level PPS dan PPK dilakukan kurang transparan. Seperti kota masohi dimana penghitungan dilakukan pada saat terjadinya listrik mati
Vote buying antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu
1. Diperlukan penguatan penegakkan hukum
Diperlukan mekanisme yang dapat mempercepat proses rekapitulasi, sehingga hasil pemilu dapat segera oleh publik.
86
di tingkat bawah (PPK, PPS, KPPS).
dengan meningkatkan fungsi penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran dan kejahatan pidana pemilu dalam lembaga pengawasan, dengan mekanisme leksspesialis.
Ada proses pungut hitung di tingkat TPS yang tidak dilengkapi dengan Form C1, hal ini membuka peluang penyelenggara di tingkat adhoc untuk melakukan praktek-praktek curang dengan menambah atau menghilangkan perolehan suara caleg.
Perbedaan Catatan Hasil Suara Form C1 antara KPU dan Partai Politik Penetapan Kursi
Dalam daftar perolehan suara dalam form C1 petugas KPPS tidak memisahkan jumlah suara tidak sah dan jumlah surat suara yang tidak terpakai. Penetapan Kursi: Dalam pembagian kursi DPR masih belum jelas antara sisa suara dengan perolehan suara yang tidak memenuhi BPP.
Penetapan Kursi: Ketentuan dalam undangundang mengenai pembagian kursi sisa suara agar diperjelas. Formula perolehan kursi DPR dan DPRD dilakukan dengan
87
Masih terdapat perumusan norma tentang formula perolehan kursi yang menimbulkan multi tafsir. Terdapat perbedaan formula dalam penetapan perolehan kursi DPRD dan DPR.
Penetapan Calon Terpilih
Penetapan Calon Terpilih: Adanya inkonsistensi antara UU No. 10 Tahun 2008 dengan Peraturan KPU No.15 Tahun 2008 tentang Penetapan Calon Pengganti Terpilih Anggota DPRD Kab/Kota. Kewenangan parpol yang mengganti calon terpilih pada saat sebelum penetapan calon terpilih oleh KPU Kabupaten/Kota dengan berbagai alasan. Putusan MK yang membatalkan Pasal 214 UU 10/2008 tidak diikuti dengan revisi UndangUndang, namun hanya diatur dalam Peraturan KPU NO 15 Tahun 2009. Terdapat kasus keputusan KPU tentang penetapan
dua tahap saja. Perlu perumusan penetapan perolehan kursi secara lebih jelas. Bila diperlukan simulasi tentang formula penetapan kursi dirumuskan dalam penjelasan pasal dalam Undang-Undang Pemilu. Perlu penyamaan formula penetapan perolehan kursi DPRD dan DPR. Formula perolehan kursi DPR dan DPRD dilakukan dengan dua tahap saja. Penetapan Calon Terpilih: Disarankan proses pergantian calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya. Seharusnya ada penegasan dalam UU Pemilu yang tidak membenarkan mengganti calon legislatif yang sudah memenuhi syarat perolehan suara sebelum dilantik.
88
calon terpilih berubah. Laporan dana kampanye hanya diwajibkan pada peserta pemilu, padahal kampanye pemilu DPR dan DPRD tahun 2009 lebih banyak juga dilakukan oleh calon dikarenakan adanya ketentuan tentang penetapan calon terbanyak dipengaruhi oleh jumlah dana kampanye yang diperoleh dan dibelanjakan oleh peserta pemilu.
KAMPANYE
Laporan Dana Kampanye
Kesetaraan dalam Kebijakan
Laporan dana kampanye hanya formalitas; hasil audit tidak ada kesimpulan ditolak atau diterima
Perlu diatur jumlah dana yang dapat diterima dan dibelanjakan oleh masing-masing peserta pemilu dalam kurun waktu tertentu (tiap tahun).
Masih ada peserta pemilu yang tidak taat dalam pelaporan dana kampanye. Di SUMUT ada anggota DPD RI dan Parpol yang didiskualifikasi sebagai peserta Pemilu, karena tidak melaporkan dana kampanye
Parpol melakukan pelaporan atas dana kampanye namun laporan tersebut sebatas laporan formal saja. Sehingga sulit untuk membuktikan penyelewengan dana kampanye
Kampanye Pileg:
parpol masih belum transparan dan akuntabel dalam pelaporan dana kampanye, karena parpol tidak melaporkan pengeluaran dana yang sebenarnya. Dalam praktek terjadi Kampanye Pileg: beberapa bentuk
89
Kampanye
Kurang jelasnya beberapa Pasal dalam UU No. 10 tahun 2008 yang mengatur tentang pemasangan alat peraga kampanye yang bersifat multitafsir. Sanksi dan penegakan hukum kurang tegas dan kurang tepat. Belum adanya sinkronisasi antara pasal yang mengatur dengan institusi penegak hukum. Belum adanya Pasal yang mengatur tentang siapa yang berhak melakukan pembersihan atribut kampanye. Jumlah partai yang banyak menimbulkan kesulitan dalam penyusunan jadwal. Pengaturan jadwal dan lokasi pemasangan alat peraga seringkali menimbulkan problem antara peserta pemilu, KPU, Panwas dan Pemerintah Daerah. Definisi kampanye menimbulkan perdebatan antara KPU, Panwas, peserta pemilu dan penegak hukum, karena harus terpenuhinya semua unsur kampanye (kumulatif). Masa tenang seringkali dimanfaatkan untuk
diskriminasi dalam Beberapa Pasal dalam UU kampanye. Penyebabnya No. 10 tahun 2008 yang karena beberapa caleg mengatur tentang memiliki pengaruh, pemasangan alat peraga menggunakan uang, dan kampanye yang bersifat mengerahkan Ormas. multitafsir perlu diatur lebih jelas. Pelanggaran kampanye Perlu dibuat Peraturan yang pada umumnya masih jelas mengenai jenis sanksi sering dilakukan oleh dalam prosedur berita acara atas pelanggaran kampanye calon incumbent pada yang bersifat administratif. masa sosialisasi, Diperlukan sinkronisasi antara terutama terkait aturan yang satu dengan mencuri start aturan yang lain khususnya kampanye maupun tentang penegakan hukum. penggunaan fasilitas Diperlukan sanksi yang lebih umum (khususnya berat kepada Peserta Pemilu rumah ibadah) yang tidak mau membersihkan atribut kampanye pasca kampanye. Disarankan Parpol peserta Pemilu agar tidak terlalu banyak. Perlu mekanisme koordinasi penetapan lokasi pemasangan dan proses pembersihan alat peraga kampanye antara pemerintah daerah, panwas dan KPU. Pengaturan siapa yang memiliki otoritas melakukan hal tersebut harus dipertegas menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, dengan pertimbangan masalah kebersihan dan ketertiban umum adalah milik
90
melakukan kegiatan yang serupa dengan kampanye. Penyelenggara kampanye seringkali hanya diartikan mereka yang terdaftar dalam daftar Tim Kampanye, faktanya banyak sekali pihak-pihak yang melakukan hal serupa dengan kampanye. Perbedaan kondisi geografis di seluruh wilayah Indonesia yang berdampak adanya perbedaan waktu menyebabkan suatu wilayah harus memulai atau mengakhiri kampanye pada kondisi yang tidak sesuai (sudah terlalu terang atau sudah sangat gelap). Pemahaman money politics yang berbeda sering menimbulkan persoalan dalam penegakan sanksi.
Pemda. Penggunaan atribut yang sulit dibersihkan agar tidak diperbolehkan, contoh stiker (bahan perekat permanen). Perlu dipertegas definisi kampanye, di mana untuk menentukan kategori kampanye tidak harus dipenuhi semua unsur kumulatif. Yang penting adalah dapat dibuktikan bahwa tindakan seseorang atau kelompok itu bertujuan untuk memenangkan peserta pemilu tertentu. Untuk persoalan penyalahgunaan masa tenang, maka masa tenang dihilangkan dari tahapan pemilu. Pihak manapun yang melakukan kegiatan untuk memberikan dukungan kepada peserta pemilu, walaupun tidak terdaftar dalam susunan Tim Kampanye yang diserahkan ke KPU harus dikategorikan sebagai penyelenggara pemilu sehingga dapat dikenai hak, kewajiban dan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan mengenai kampanye. Kampanye terbuka diatur
91
tidak berdasarkan pada jam berapa dimulai atau diakhirinya kampanye, tetapi dapat didasarkan pada durasi yang sama dengan daerah lain. Kampanye Pilpres: Frekuensi debat kandidat ditambah sesuai dengan materi visi dan misi sehingga lebih banyak diketahui oleh publik. Pelaksanaan debat perlu menampilkan kandidat secara berpasangan untuk menggambarkan kemampuan pasangan calon serta kerjasama dalam menyelesaikan persoalan.
Kampanye Pilpres: Debat Kandidat dirasakan tidak mencukupi frekuensinya, karena banyaknya materi yang harus diketahui oleh pemilih. Menampilkan salah satu kandidat saja tidak menggambarkan kemampuan yang utuh dari pasangan calon tersebut. masih maraknya penggunaan mobil dinas dan gedung pemerintahan (fasilitas negara) untuk kampanye
Penggunaan Sarana Negara
Penindakan terhadap pelanggaran kampanye (pemasangan alat peraga kampanye tidak sesuai ketentuan, penggunaan sarana negara dan fasilitas umum, serta pelibatan anak-anak) tidak tegas. Pelanggaran yang terjadi mencakup penggunaan fasilitas negara,
92
Pelibatan Anakanak
keterlibatan PNS, dan penempatan alat peraga ketidak-pahaman masyarakat tentang pelibatan anak-anak dalam kampanye Pelibatan anak dalam kampanye tidak disertai sanksi yang tegas
93