26/1801.01.3/011/B/ROPP/2012
LAPORAN AKHIR TAHUN 2012
PENGKAJIAN PELUANG PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN REJANG LEBONG
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
LAPORAN AKHIR TAHUN 2012 PENGKAJIAN PELUANG PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN REJANG LEBONG
Oleh Zul Efendi Ruswendi Siswani Dwi Daliani Wahyuni Amelia Wulandari Harwi Kusnadi Erpan Ramon
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
ii
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul kegiatan
:
2. Unit Kerja
:
Pengkajian peluang Pengembangan dan Peningkatan Produktivitas Ternak Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong BPTP Bengkulu
3. Alamat Unit Kerja
:
JL. Irian KM, 6,5 Bengkulu 38119
: :
Zul Efendi, S.Pt Penata Muda TK I /IIIb
: : : :
Peneliti Pertama Kabupaten Rejang Lebong Baru
7. Tahun Dimulai
:
2012
8. Tahun Ke
:
Pertama
9. Biaya Kegiatan TA 2012
:
Rp. 110. 635.000- (Tiga Ratus Empat juta seratus Lima Puluh Tiga Ribu Rupiah).
10. Sumber Dana
:
DIPA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, TA. 2012
4. Penanggung Jawab a. Nama b. Pangkat/Golongan c. Jabatan c1. Struktural c2. Fungsional 5. Lokasi Kegiatan 6. Status Kegiatan (B/L)
Mengetahui Kepala Balai,
Bengkulu, Desember 2012 Penanggung Jawab Kegiatan
Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP. NIP. 19590206 198603 1 002
Zul Efendi, S.Pt NIP.19690227 200701 1001
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Laporan Akhir Tahun Kegiatan Pengkajian Peluang dan Peningkatan Produktivitas Ternak Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu dapat tersusun. Laporan ini dibuat sebagai salah satu pertanggung jawaban terhadap hasil pelaksanaan kegiatan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2012. Kami menyadari bahwa dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ini tentu ada kekurangannya, oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan sangat diharapkan. Kepada semua pihak yang telah berpatisipasi dan membantu pelaksanaan kegiatan ini kami sampaikan terima kasih. Semoga kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi percepatan adopsi inovasi teknologi pertanian.
Bengkulu, Desember 2012
Penyusun,
iv
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
............................................................................
LEMBAR PENGESAHAN
ii
...............................................................
iii
.........................................................................
iv
......................................................................................
v
DAFTAR TABEL .....................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vii
RINGKASAN
……….. ............................................................................
ix
I. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 Latar Belakang............................................................................
1
1.2 Tujuan ......................................................................................
2
1.3 Keluaran ....................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
III. METOTOLOGI ..................................................................................
5
3.1 Ruang lingkup ............................................................................
5
3.2 Lokasi dan waktu ......................................................................
5
3.3 Metode Pengkajian ....................................................................
5
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
8
4.1 Keadaan Umum .........................................................................
8
4.2 Hasil Kegiatan ...........................................................................
9
V. KESIMPULAN ...................................................................................
13
5.1 Kesimpulan ................................................................................
13
5.2 Saran
......................................................................................
13
VI. KINERJA HASIL .................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
15
LAMPIRAN
16
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
......................................................................................
v
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1. Komposisi Ransum Perlakuan Pengkajian Sapi Perah di Kelurahan Air Duku Kabupaten Rejang Lebong ....................................
8
2. Kandungan Gizi Ransum Pengkajian Sapi Perah di Kelurahan Air Duku Kabupaten Rejang Lebong ..................................................................
8
3. Data Populasi Ternak Sapi Perah Setiap Kelompok di Kecamatan Selupu Rejang dan Sekitarnya .............................................................
10
4. Kelemahan dan Kekuatan Pengembangan Usaha Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong ..................................................................
16
5. Rata-rata Produksi Susu Sapi Perah Hasil Pengkajian di Kelurahan Air Duku Kabupaten Rejang Lebong .........................................................
18
6. Kandungan Nutrisi Susu Sapi Perah Hasil Pengkajian di Kelurahan Air Duku Kabupaten Rejang Lebong .........................................................
20
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Dokumentasi Kegiatan Lapangan Pengkajian Sapi Perah di Kalurahan Air Duku Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong..............................................................................................
vii
28
RINGKASAN Dalam usaha perternakan sapi perah, kualitas susu dipengaruhi oleh genetik (bibit), pakan dan tatalaksana pemeliharaan. Pakan merupakan bagian terpenting dan menentukan tinggi rendahnya kualitas susu, pertumbuhan dan pada akhirnya akan menentukan besar kecilnya pendapatan. Tujuan pengkajian adalah mengkaji peluang pemanfaatan bahan baku pakan lokal untuk pengembangan ternak sapi perah dan mengkaji pengaruh pemberian pakan tambahan berbahan baku lokal terhadap peningkatan produktivitas ternak sapi perah. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang dilaksanakan pada kelompok (P4S) Harapan Maju Kelurahan Air Duku, Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan 20 ekor sapi selama 4 bulan, dimulai Januari sampai dengan November 2012 dengan 4 perlakuan 5 ulangan, perlakuan 1 (P1) hijauan 10% dari berat badan ditambah dedak padi 2 kg ditambah konsentrat 0,8 kg ditambah kulit kopi 0,2 kg ditambah ultramineral 0,1 kg ditambah ubi kayu 1,0 kg, Perlakuan 2 (P2) hijauan 10% dari berat badan ditambah dedak padi 2 kg ditambah konsentrat 0,4 kg ditambah kulit kopi 0,6 kg ditambah ultramineral 0,1 kg ditambah ubi kayu 1,0 kg, Perlakuan 3 (P3) ) hijauan 10% dari berat badan ditambah dedak padi 2 kg ditambah kulit kopi 0,1 kg ditambah ultramineral 0,1 kg ditambah ubi kayu 1,0 kg dan Perlakuan 4 (P4) hijauan saja (kontrol). Hasil kegiatan diperoleh data sebagai berikut perlakuan pertama adalah ratarata produksi susu 15 liter/ekor/hari, kadar protein 15,52%, lemak 3,28%, pH 6,72 dan BJ 1,0272, Perlakuan kedua produksi susu 13 liter/ekor/hari, kadar potein 15,168%, lemak 3,78%, pH 6,62 dan BJ 1,0298, perlakuan ketiga produksi susu 12 liter/ekor/hari, kadar protein 14,244%, lemak 3,78%, pH 6,78 dan BJ 1,0247, sedangkan perlakuan keempat (kontrol) produksi susu 8 liter/ekor/hari, kadar protein 12,414%, lemak 4,5%, pH 6,72 dan BJ 1,0285. Kesimpulan Pemberian pakan tambahan berbahan baku lokal dapat meningkatkan kadar protein, kadar lemak, kadar pH dan Berat Jenis susu sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong. Kata kunci : Pakan lokal, produktivitas susu, sapi perah.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu komoditas unggulan yang dapat memenuhi kebutuhan protein hewani asal susu. Kabupaten Rejang Lebong merupakan sentra pengembangan sapi perah di Provinsi Bengkulu, populasi sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong saat ini mencapai 387 ekor (BPS Prov. Bengkulu, 2010). Peternak di Kabupaten Rejang Lebong mempunyai potensi untuk dapat mengembangkan usahaternak sapi perah yang sudah berjalan dengan baik beberapa tahun ini, namun produksi susu yang dihasilkan sapi perah paternak masih rendah dan belum optimal hanya berkisar 6 - 8 liter/ekor/hari. Masih jauh dari rata-rata produktivitas induk sapi laktasi kondisi normal mencapai 12 liter/ekor/hari (BAPPENAS, 2006). Rendahnya produksi susu sapi perah karena belum terpenuhinya kebutuhan pakan dan sulitnya dalam penyediaan serta tingginya harga konsentrat yang dibutuhkan sapi perah dalam memproduksi susu, sehingga peternak hanya memberikan pakan hijauan saja. Pada hal dalam memproduksi susu, sapi perah sangat dipengaruhi oleh pemberian tambahan pakan disamping hijauan berupa konsentrat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sapi dalam memproduksi susu. Pengembangan teknologi pakan asal limbah pertanian secara aktif telah memberikan sumbangan positif terhadap kebutuhan pakan ternak sapi perah yang selama ini sulit mendapatkannya. Pada hal disekitar lokasi usaha potensi limbah pertanian sebagai bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara optimal, umumnya
masih
terbuang
atau
dibakar
dilahan
usahatani
yang
juga
mengakibatkan perusakan lahan dan lingkungan usahatani. Sejalan dengan semakin membaiknya pengembangan sektor peternakan termasuk ternak sapi perah, selain memacu peningkatan produksi susu sapi pemberian pakan konsentrat berbahan baku lokal pada ternak sapi perah juga telah mendorong pengoptimalan pemanfaatan hasil limbah pertanian disekitar lokasi usaha sebagai bahan baku lokal penyusun pakan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pakan sapi perah. Disamping itu juga akan dapat memberi nilai tambah dalam pemanfaatan dan pengembangan inovasi teknologi pakan,
2
sekaligus juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat peternakan di Bengkulu. Pemberian pakan tambahan berbahan baku lokal seperti kulit kopi, tongkol jagung, dll pada ternak sapi perah, akan sangat membantu dalam peningkatan produksi susu dan pengembangan usaha sapi perah sekaligus juga dapat menjadi salah satu usaha yang dapat memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan petani peternak dan pencapaian akan kebutuhan susu bagi masyarakat di Bengkulu. Untuk itu perlu dianalisis dampak pemberian pakan tambahan berbahan baku lokal pada pengembangan ternak sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong dan terpenuhinya kebutuhan pakan yang dapat memacu peningkatan produksi susu sapi bagi kecukupan nutrisi pangan, sekaligus penerapan berbagai inovasi teknologi pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pakan sapi perah mendukung
pencapaian
kecukupan
pangan
asal
protein
hewani
yang
lokal
untuk
berlandaskan kearifan lokal. 1.2. Tujuan 1. Mengkaji
peluang
pemanfaatan
bahan
baku
pakan
pengembangan ternak sapi perah. 2. Mengkaji pengaruh pemberian pakan tambahan berbahan baku lokal terhadap peningkatan produktivitas ternak sapi perah. 1.3. Keluaran 1. Diketahuinya potensi bahan pakan lokal untuk pengembangan usaha sapi perah. 2. Diketahuinya peningkatan produktivitas dan kualitas susu sapi perah.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis sapi perah dengan susu sebagai produk utama adalah salah satu usahatani di bidang peternakan, karena susu dikenal sebagai bahan pangan bergizi tinggi yang sangat dibutuhkan oleh manusia terutama untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan. Namun produksi susu Indonesia saat ini baru mencapai 30% dari kebutuhan susu nasional (Sembiring, 2008). Persentase terbesar kapasitas produksi susu sapi perah dalam negeri hanya menghasilkan susu sekitar 12 liter/ekor/hari dan umumnya pada peternakan rakyat masih jauh dibawahnya (Talib et al., 2001). Produksi susu secara umum sampai saat ini belum dapat mencukupi permintaan konsumen, hal ini disebabkan jumlah dan populasi ternak sapi perah masih kurang, daya produksi susu/ekor belum mencapai titik optimum serta kualitas susu yang dihasilkan masih rendah dan penyebab utamanya adalah pengelolaan pakan (kualitas dan kuantitas) yang belum optimum (Sudarwanto, 1999). Usaha peternakan sapi perah saat ini sebagian diarahkan untuk dikelola dalam bentuk usaha skala kecil berupa peternakan rakyat dengan struktur populasi masih tidak beraturan dan belum mempunyai sistem perbibitan yang terarah (Deptan, 2006). Bila produktivitas sapi perah dalam negeri dapat ditingkatkan hingga mapu berproduksi mencapai lebih dari 15 liter/ekor/hari tentu akan dapat memenuhi kebutuhan susu secara nasional sampai 70%. Prospek pengembangan usaha sapi perah saat ini cukup besar mengingat permintaan susu yang terus meningkat seirama denga pertumbuhan ekonomi (Yusdia, 2005). Salah satu faktor penting yang menentukan keberlanjutan pengembangan usaha peternakan sapi perah termasuk di Provinsi Bengkulu dilakukan melalui pendekatan pengembangan agribisnis dan agroindustri, dimana sektor peternakan merupakan salah satu prioritas kebijakan dalam peningkatan produksi
dan
swasembada
pangan
termasuk
susu
sapi.
Aviliani (2008)
menyampaikan bahwa usaha sapi perah merupakan kegiatan agribisnis yang mempunyai peranan cukup strategis dalam penyerapan tenaga kerja dan penyediaan
pangan
nasional
pembangunan
dibidang
pengembangan
inovasi
serta
pertanian. teknologi
pemerataan
pembangunan
Kondisi
juga
secara
4
ini
terpadu
dan
dan
menuntut terencana,
hasil
adanya guna
mendapatkan nilai tambah setiap produk/komoditi pertanian yang belum termanfaatkan. Sesuai dengan arahan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan untuk melakukan pengembangan usaha sapi perah di luar Pulau Jawa serta untuk memenuhi kebutuhan susu di Provinsi Bengkulu, maka pada tahun 2002 usaha peternakan sapi perah telah dikembangkan di Kabupaten Rejang Lebong dan pada tahun 2007 juga dikembangkan di Kabupaten Kepahiang dengan populasi sapi perah saat ini di Provinsi Bengkulu sudah mencapai 688 ekor (Disnak Prov. Bengkulu, 2010). Peningkatan permintaan susu yang semakin terus bertambah dan meningkatnya harga susu saat ini, merupakan peluang yang sangat baik untuk memberdayakan usaha agribisnis sapi perah berbabasis sumberdaya bahan pakan lokal,
disamping
itu
juga
diharapkan
peranan
peternak
untuk
dapat
mengaplikasikan manajemen yang baik terkait dalam pemberian pakan yang dapat meningkatkan produksi susu secara optimal. Sejak pemerintah mencanangkan susu sebagai komoditas strategis, maka kebijakan pemerintah untuk menegembangkan agribisnis persusuan adalah dengan melakukan restrukturisasi persusuan dan salah satu programnya mencakup penyediaan peralatan dan perbaikan mutu pakan (Direktorat Jenderal P2HP, 2007). Karena pakan dapat mempengaruhi performan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan ternak sapi perah. Disamping itu masih banyaknya sumberdaya lokal hasil ikutan agroindustri yang belum termanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku pakan konsentrat, sehigga
optimalisasi
meningkatkan
daya
pemanfaatan dukung
ikutan
wilayah
agroindustri
terhadap
diharapkan
peningkatan
populasi
dapat dan
produktivitas sapi perah dalam satu wilayah dan lebih spesifiknya lagi akan dapat menekan biaya pakan tanpa harus bersaing penggunaannya dengan manusia (Harpini, 2008).
5
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan waktu Pengkajian peluang pengembangan dan peningkatan produktivitas ternak sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2012, berlokasi di Desa Air Duku yang merupakan daerah sentra pengembangan sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan ini termasuk dalam kegiatan pengkajian lapangan yang dilakukan pada lahan petani sercara partisipatif, meliputi peluang pengembangan dan peningkatan produlktivitas sapi perah Petani yang dipilih sebagai kooperator adalah peternak sapi perah yang telah melakukan usahaternak secara berkelompok dan berada dalam satu wialyah pengembangan Ternak sapi yang digunakan adalah sapi perah jenis FH yang telah berproduksi 4 - 7 tahun Kondisi ternak sapi perah yang akan diberi perlakuan pakan tembahan berada dalam kondisi sehat dan sedang dalam keadaan masa laktasi Pakan tambahan yang diberikan memanfaatkan bahan baku sumber daya limbah pertanian yang ada disekitar lokasi usahaternak 3.3. Metode Pengkajian 3.3.1.
Pendekatan Pengkajian peluang pengembangan dan peningkatan produktivitas ternak
sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong, merupakan kajian sosial ekonomi dan adaptif inovasi teknologi spesifik lokasi yang dilakukan melalui pendekatan menggunakan metode dasar on-farm secara partisipatif (Participatory On Farm
Research). Pendekatan ini meliputi instrumen diagnosis dengan metode experimentasi di lapangan untuk menguji kelayakan teknologi pemberian pakan tambahan berbahan baku lokal dan peluang pengembangan sapi perah.
6
3.3.2.
Rancangan pengkajian
(1) Kegiatan Peluang Pemanfaatan Bahan Baku Lokal untuk Pengembangan Ternak Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong Metode yang digunakan untuk mengkaji pengembangan ternak sapi perah adalah metode survei Jumlah responden yang akan digunakan sebanyak 30 orang peternak sapi perah di sekitar lokasi pengkajian Pengumpulam data berupa data skunder dan primer, dilakukan dengan cara wawancara menggunakan daftar isian terstruktur dan semi terstruktur Data sekunder diperoleh dari hasil deskstudy dan wawancara dengan dinas instansi dan petugas terkait meliputi perkembangan usaha dan populasi, pakan, produksi susu dan kesehatan ternak sapi perah serta pemasaran susu dan kendala yang dihadapi. Sedangkan data primer diperoleh dengan cara wawancara menggunakan kuesioner meliputi parameter input dan output berupa kepemilikan, pola pemeliharaan, data produksi, biaya usaha, nilai pendapatan dan keuntungan usaha setelah mendapat perlakuan, kuantitas dan kualitas produk susu serta kondisi sosial dan permasalahan usahaternak sapi perah kooperator. (2) Kegiatan Pengkajian Peningkatan Produktivitas Ternak Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong. Pengkajian peningkatan produktivitas dilakukan melalui pendekatan onfarm secara partisipatif
Pengkajian dilaksanakan di Desa Air Duku Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong pada Bulan Januari sampai dengan November 2012. Sapi yang digunakan adalah sapi perah jenis FH yang sedang laktasi sebanyak 20 ekor. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan lima ulangan. Komposisi ransum perlakuan disajikan pada tabel 1 berikut ini.
7
Tabel 1. Komposisi Ransum Perlakuan Pengkajian Sapi Perah di Kelurahan Air Duku Kabupaten Rejang Lebong. No
Bahan Pakan
Perlakuan II III 0,4 -
1
Konsentrat (kg/ekor)
I 0,8
Kontrol -
2
Dedak Padi (kg/ekor)
2,0
2,0
2,0
-
3
Kulit Kopi (kg/ekor)
0,2
0,6
0,1
-
4
Ultra Mineral (kg/ekor)
0,1
0,1
0,1
-
5
Ubi Kayu (kg/ekor)
1,0
1,0
1,0
-
6
Hijauan (% dari BB)
10,0
10,0
10,0
10,0
Sebelum dilakukan pemberian ransum tambahan terhadap ternak sapi perah, maka terhadap pakan tersebut terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap kandungan gizinya. Kandungan gizi setiap ransum sapi perah dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Kandungan Gizi Ransum Pengkajian Sapi Perah di Kelurahan Air Duku Kabupaten Rejang Lebong. Perlakuan
Air 9/100 g
Protein g/100 g
Lemak g/100 g
Energi kcal/kg
SK g/100 g
Abu g/100 g
Ca g/100 g
P g/100 g
P1
11,00
11,93
3,48
3315
21,88
17,48
2,09
0,53
P2
10,10
8,20
2,37
3163
28,13
20,26
2,12
0,46
P3
9,65
7,59
2,97
31,50
32,50
21,49
1,61
0,54
P4
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber : Hasil analisis proximat laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Parameter yang di Ukur Data yang diamati dari kegiatan pengkajian ini adalah : 1. Data hijauan pakan ternak (potensi, permasalahan dan peluang pemanfaatannya). 2. Data produksi susu ternak sapi perah 3. Data kandungan gizi produk susu sapi perah
8
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Kelurahan Air Duku resmi beralih status dari desa menjadi kelurahan pada tanggal 12 September 2006 berdasarkan PERDA Nomor 4 Tahun 2005 tentang pemekaran/peralihan status dari desa menjadi kelurahan. Kelurahan Air Duku terletak di daerah perbukitan dengan ketinggian 700 – 800 mdpl, dengan temperatur udara yang sejuk dan berangin. Dengan tekstur tanah yang basah dan keya akan material vulkanik. Adapun batas wilayah Kelurahan Air Duku adalah sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kali Padang, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sambirejo, sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan Lindung Bukit Kaba dan Sebelah Utara berbatasan dengan Hutan Lindung TNKS. Jumlah penduduk Kelurahan Air Duku adalah 2.537 jiwa yang terdiri dari 1.360 jiwa laki-laki dan 1.177 jiwa perempuan, 700 kepala keluarga, 15 rukun tetangga dan 3 rukun warga. Luas wilayah Keluarahan Air Duku adalah 512 ha dengan rincian sebagai berikut persawahan ± 50 ha, pekarangan ± 57 ha, tanah kering ± 343 ha, lain-lain ± 62 ha. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Kelurahan Air Duku adalah sebagai berikut Mesjid 1 unit, Mushalla 3 Unit, PAUD 1unit, Sekolah Dasar 1 Unit, Sekolah TK 1 unit, Pos KB 1 unit, Sub KB 7 Unit, Posyandu 1 Unit, sarana air bersih 1 unit, Balai pertemuan 1 unit dan kantor BPP 1 unit. Tingkat pendidikan penduduk di Wilayah Air Duku sebahagian besar adalah sekolah menengah atas bahkan ada yang sampai S1, namum demikian ada sebahagian penduduk yang mempunyai pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Komposisi penduduk Kelurahan Air Duku mayoritas adalah suku Jawa dan Rejang. Komposisi keduanya mencapai 90% jumlah penduduk. Selebihnya adalah suku minang, lembak dan batak. Sebahagian besar penduduk Kelurahan Air Duku adalah sebagai petani, budidaya pertanian yang banyak ditanam adalah sayur-sayuran, palawija dan kopi serta sebagian kecil dari jumlah penduduk yang menanam padi-padian hal ini dikarenakan belum adanya irigasi yang permanen. Pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan pada umumnya sudah cukup baik hal ini terlihat dari pola hidup sehari-hari serta lingkungan yang sudah tertata sesuai dengan anjuran dari Dinas Kesehatan,
9
namum demikian masih ada juga sebagian masyarakat masih kurang kesadarannya terhadap kesehatan lingkungan. Begitu pula kesadaran masyarakat terhadap kewajibannya terutama masalah PBB sudah lumayan baik hal ini terbukti dengan pencapaian
pajak
2011
sebesar
92
persen
dari
jumlah
kewajiban
sebesar
Rp. 11.237.346,Kelurahan Air Duku merupakan salah satu sentra agronomis di Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong, dimana sebagian besar masyarakatnya hidup dari bercocok tanam/bertani sayuran, palawija dan beternak sedangkan yang berprofesi sebagai pedagang hanya sebagian kecil ± 30% dari jumlah penduduk dan ± 5 persennya adalah karyawan atau pegawai. Jumlah populasi ternak yang ada di Kelurahan Air Duku adalah ternak sapi 170 ekor, kerbau 5 ekor, ayam 2.215 ekor, bebek 567 ekor dan kambing 220 ekor. Kelompok peternak sapi potong ada 5 kelompok, kelompok ternak sapi perah 1 kelompok, kelompok tani 8 kelompok dan kelompok wanita tani 2 kelompok. 4.2. Hasil Kegiatan 4.2.1. Identifikasi Ternak Sapi Perah. Dari hasil identifikasi yang dilakukan terhadap populasi ternak sapi perah yang ada di Kecamatan Selupu Rejang dan sekitarnya, terdapat 6 kelompok ternak sapi perah. Data populasi ternak sapi perah perkelompok dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Data Populasi Ternak Sapi Serah Setiap Kelompok di Kecamatan Selupu Rejang dan sekitarnya. No
Nama Kelompok
Anak
Induk
1
Sidomulyo
26
2
Sapirah
8
1
4
12
3
Tani Usaha
10
3
7
20
4
Tani Mulya
9
2
3
14
5
Eka Maju
7
0
0
7
6
P4S
11
0
5
16
Jumlah
71
18
46
154
Keterngan : Diolah dari hasil identifikasi dilapangan.
10
betina 27
Jumlah
Jantan 12
65
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah populasi ternak sapi perah yang ada di Kecamatan Selupu Rejang dan sekitarnya adalah 154 ekor yang terdiri dari 71 ekor induk, 18 ekor anak jantan dan 46 ekor anak betina. Dari 71 ekor induk sapi perah yang ada, tidak semua yang sedang laktasi sehingga menjadi kendala dalam penentuan ternak yang akan dijadikan sebagai ternak yang mendapatkan perlakuan. Dilihat dari performan sapi perah seecara umum, kondisi fisik rata-rata kurus sampai sedang. Hal ini disebabkan karena para peternak tidak merawat ternak sapi secara baik dan pemberian pakan yang tidak memenuhi standar kebutuhan minimal untuk ternak sapi perah. 4.2.2. Peluang Pengembangan Ternak Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan agribisnis sapi peah diantaranya adalah
ketidakberdayaan
peternak
untuk
mengembangkan
usahanya,
karena
rendahnya pendapatan. Pendapatan yang mereka peroleh selama ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga tidak mampu untuk mengembangkan usaha agribisnis sapi perahnya. Penelitian yang dilakukan Sugiarti et al (1999) di Kabupaten Bandung (Pengalengan, Lembang) dan Bogor (Cisarua) menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata agribisnis sapi perah sebesar Rp. 633.903 perbulan dengan rataan jumlah pemilikan induk sepanjang tahun tiga ekor. Pendapatan usaha agribinsis sapi perah yang masih rendah tersebut akibat skala usaha dan kemampuan berproduksi yang rendah, harga penjualan susu relatif murah dan biaya produksi tinggi. Penanggulangan terhadap masalah tersebut perlu dilakukan agar peternak bukan saja mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga tetapi juga mampu mengembangkan agribisnis sapi perah mereka. Langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebagai berikut: a. Peningkatan Skala Usaha Skala usaha agribisnis sapi perah diartikan sebagai jumlah sapi perah induk yang dipelihara, baik yang sedang laktasi (menyusui) maupun yang sedang tidak laktasi. Jumlah induk yang dipelihara dalam usaha agribisnis sapi perah di Desa Air Duku tergolong usaha kecil dengan skala pemilikan 2 – 5 ekor dan kemampuan berproduksi 10 – 12 liter/ekor/hari (Ditjen Peternakan, 1996). Jumlah sapi perah yang dipelihara sepanjang tahun biasanya mengalami kering kandang sekitar 20 – 30 persen, sehingga sapi yang berproduksi hanya 2 – 4 ekor. Dengan skala usaha kecil,
11
kemampuan berproduksi untuk mendapatkan pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup keluarga, apalagi untuk mengembangkan agribisnis sapi perahnya. Lokakarya kebijakan pengembangan industri peternakan modern yang diadakan pada tahun 2001 oleh Forum Komunikasi Peternakan Bogor, merekomendasikan bahwa peningkatan skala usaha yang ideal untuk agribisnis sapi perah adalah minimum 7 ekor induk yang sedang laktasi sepanjang tahun. Untuk mempertahankan jumlah tersebut, maka jumlah sapi yang dipelihara minimum 10 ekor induk. Peran pemerintah sangat diperlukan guna memberikan fasilitas kredit murah dan lunak. b. Peningkatan Kemampuan Produksi Susu Sapi Perah Induk. Peningkatan skala usaha agribisnis sapi perah tidak akan memberikan dampak ekonomi tanpa disertai dengan peningkatan kemampuan berproduksi sapi perah tersebut, yang umumnya masih dibawah potensi genetiknya. Kemampuan berproduksi sapi perah induk dapat dilakukan melalui:
Memberikan Pakan yang Cukup dan Berkualitas. Pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan berproduksi sapi perah. Pakan sapi perah terdiri dari hijauan dan konsentrat. Pada umumnya hijauan pakan diberikan dalam bentuk limbah pertanian dan rumput lapangan yang berkualitas rendah. Oleh karena itu, konsentrat yang diberikan harus berkualitas tinggi agar
tercapai kemampuan berproduksi yang tinggi pula. Berdasarkan rekomendasi
Standar Nasional Indonesia (SNI), konsentrat yang bagus mengandung kadar protein kasar minimal 18 persen dan energi TDN minimal 75 persen dari bahan kering (Siregar, 1996). Kenyataan di lapang, kualitas dan kuantitas konsentrat sering tidak sesuai dengan yang direkomendasikan, karena sulit untuk mendapatkan bahan pakan khususnya pada musim kering disamping harga yang relatif mahal. Siregar (2003) dalam penelitiannya di daerah pengalengan, Kertasai dan Lembang menunjukkan bahwa penambahan atau suplementasi konsentrat yang lebih tinggi kandungan protein dan energinya (2,0 – 2,5 kg/ekor/hari) dapat meningkatkan kemampuan berproduksi sebanyak 2,7 – 3 liter. Demikian juga penelitian yang dilakukan di sentra agribisnis sapi perah di Jawa Barat menunjukkan bahwa dengan suplementasi kedalam konsentrat dapat meningkatkan kemampuan berproduksi sapi perah induk rata-rata 3 liter/ekor/hari (Jarmani et al, 2005). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan jumlah dan mutu
12
konsentrat, dapat menjadi salah satu elternatif solusi yang dapat ditempuh peternak untuk meningkatkan kualitas susu.
Meningkatkan Frekuensi Pemberian Pakan. Sapi perah induk yang berkemampuan tinggi dalam berproduksi membutuhkan pasokan zat-zat gizi yang relatif lebih banyak. Apabila kualitas pakan rendah, maka jumlah pakan yang diberikan harus lebih banyak. Agar jumlah yang relatif banyak itu mampu dikonsumsi sapi perah, pemberian pakan harus lebih dtingkatkan. Para peternak pada umumnya memberikan konsentrat kepada sapi perahnya yang sedang berproduksi tidak kontinui, sedangkan pemberian hijauan paling banyak dilakukan sebanyak 3 kali sehari semalam. Frekuensi pemberian hijauan dapat dilakukan sesering mungkin dan pemberiannya dimulai pada sekitar 1,5 – 2 jam setelah pemberian konsentrat.
Meningkatkan Frekuensi Pemerahan. Pada umumnya frekuensi pemerahan dilakukan 2 kali setiap hari. Namun demikian, pada sapi induk yang memiliki kemampuan tinggi dalam memproduksi susu, frekuensi pemerahan dapat ditingkatkan menjadi 3 kali atau lebih dalam sehari. Penelitian yang dilakukan di Institut Penelitian Ternak di Denmark mendapatkan terjadinya peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah induk rata-rata 154,78 persen dengan melakukan frekuensi pemberian konsentrat dan pemerahan dari 2 kali menjadi 4 kali dalam sehari semalam (Mc Cullough, 1973). Kendala yang dihadapi oleh peternak di Air Duku adalah fasilitas yang dimiliki umumnya belum memungkinkan untuk menampung dan memasarkan susu apabila pemerahan dilakukan lebih dari 3 kali dalam satu hari. Dalam
ambing
sapi
perah
terdapat
alveol-alveol
yang
berkembang
memproduksi susu. Sapi perah induk yang mempunyai potensi genetik yang tinggi dalam berproduksi, diikuti dengan pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan yang baik, terutama pada permulaan laktasi atau pada fase baru melahirkan, alveol akan mempercepat memproduksi susu, sehingga ambing cepat penuh. Alveol akan berfungsi secara optimal apabila ambing telah kosong karena diperah dan akan menurun fungsinya dalam memproduksi susu kalau ambing sudah penuh dengan susu. Dengan demikian jarak pemerahan harus disesuaikan sedemikian rupa agar alveol berfungsi terus secara optimal sehingga berdampak terhadap pencapaian kemampuan berproduksi
yang maksimal. Apabila frekuensi pemerahan
dapat dilakukan 3 kali dalam sehari semalam, maka jarak pemerahan harus dilakukan
13
24 : 3 x 1 jam = 8 jam. Hal ini berarti jarak pemerahan yang pertama dengan pemerahan berikutnya adalah 8 jam. c. Harga Jual Susu di Tingkat Peternak. Penerimaan utama agribisnis sapi perah adalah dari penjualan susu harian. Besar kecilnya penerimaan ini sangat ditentukan oleh jumlah susu yang diproduksi dan harga penjualan susu tersebut. Jumlah susu yang diproduksi ditentukan pula oleh jumlah sapi perah yang berproduksi dan kemampuan berproduksi. Makin banyak jumlah sapi yang berproduksi dengan kemampuan tinggi, semakin banyak susu yang dapat dijual atau dipasarkan. Demikian juga penerimaan yang tinggi akan
dicapai
apabila harga yang ditawarkan tinggi pula. Harga yang tinggi pada agribisnis sapi perah diartikan sebagai harga yang akan memberi keuntungan pada pada agribisnis sbiaya pakan sapi perah. Harga jual susu didasarkan pada biaya produksi. Pada agribisnis sapi perah biaya produksi yang terbesar adalah pada pakan konsentrat. Penelitian yang telah dilakukan pada agribisnis sapi perah di daerah Pengalengan mendapatkan, bahwa biaya pakan konsentrat mencapai 54,56 persen dari total biaya produksi susu (Daryono et al 1989).
Menekan Biaya Produksi. Dalam agribisnis sapi perah, peternak tidak hanya memelihara sapi induk laktasi dan kering kandang, tetapi juga sapi perah yang belum berproduksi. Sapi perah non produktif ini terdiri dari pedet, dara muda ataupun dara dewasa. Sapi perah non produktif dipelihara untuk menggantikan sapi perah induk yang sudah tidak ekonomis lagi untuk dipelihara terus. Dalam pengelolaan, biaya pemeliharaan sapi perah non produktif tersebut menjadi beban dari sapi perah yang sedang berproduksi. Dengan demikian dalam perhitungan agribisnis, sapi perah laktasi disamping harus membiayai dirinya sendiri, juga harus menanggung biaya sapi-sapi perah non produktif. Oleh karena itu makin banyak sapi perah non produktif yang dipelihara akan sangat memberatkan sapi perah yang berdampak terhadap perolehan keuntungan yang semakin kecil. Salah satu penyebab rendahnya pendapatan agribisnis sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong dikarenakan terlalu banyaknya memelihara sapi perah non produktif dan tidak sebanding dengan jumlah pemeliharaan sapi perah laktasi. Untuk menyiasati hal tersebut Kusnadi et al 1983 menyatakan bahwa perimbangan antara pemeliharaan sapi perah laktasi dengan sapi non produktif agar tidak terlalu memberatkan beban
14
sapi perah laktasi adalah 1 : 0,40. Artinya satu ekor sapi perah laktasi hanya mampu menanggung biaya pemeliharaan 0,40 Animal Unit (AU) sapi perah non produktif.
Pengolahan HMT. Hijauan makanan ternak (HMT) seperti hasil pertanian lainnya bersifat mudah rusak,
maka
HMT
yang
berlebih
pada
musim
hujan
harus
dilakukan
pengolahan/penyimpanan untuk memenuhi kebutuhan HMT pada musim kemarau. Pengolahan HMT dapat dilakukan dalam dua cara yaitu dalam bentuk basah atau silase atau dalam bentuk olahan berupa bahan kering dan bahan padatan (hay). Cara pengolahan yang umum ditemukan (konvensional) adalah: a) pembuatan bahan pakan kering (hay) dengan penjemuran atau pengeringan, sampai dengan kadar air maksimal 18 persen dan b) pengolahan dalam bentuk silase rumput atau leguminosa dipotongpotong 5 – 10 cm, mencampur hijauan dengan dedak, setiap 100 kg HMT dengan 2 kg dedak, dimasukkan ke dalam lubang tanah atau kantong plastik, dipadatkan dan dibiarkan selama lebih kurang 1 minggu- 3 bulan sampai volume HMT maksimal 30 persen dari awalnya, dengan kadar air antara 30 – 40 persen. Permasalahan dalam Agribinsis HMT Permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis HMT antara lain a). Oleh koperasi adalah dalam hal permodalan karena pengajuan kredit perbankan untuk kegiatan ini belum pernah disetujui, b) petani belum banyak yang tertarik melakukan agribisnis HMT karena lebih memilih melakukan agribisnis pertanian seperti padi, jagung, kacang tanah, kedelai maupun sayur-sayuran. Disamping HMT diperoleh dari budidaya, hijauan makanan ternak juga dapat diperoleh dari limbah tanaman pangan dan perkebunan, baik yang dilaksanakan di sawah, tegalan maupun areal perkebunan yang bervariasi sesuai dengan potensi daerah seperti lamtoro, jerami padi, jerami jagung, kulit kopi, kulit kakao, maupun limbah industri seperti dedak, ampas tahu, dll. Identifikasi faktor internal dilakukan untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan yang dihadapi usaha sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong. Berdasarkan hal tersebut, maka kekuatan dan kelemahan usaha sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong dapat dilihat pada Tabel 4.
15
Tabel 4. Kelemahan dan Kekuatan Pengembangan Usaha Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong. Faktor –Faktor Strategis Internal No 1
Kekuatan Iklim Mendukung
No 1
2 3
Luas lahan yang mendukung Budaya masyarakat Kabupaten Rejang Lebong dalam memalihara sapi perah Ketersediaan pakan dan limbah pertanian Motivasi peternak Sarana dan prasarana yang mendukung Menciptakan lapangan pekerjaan Perekonomian peternak akan cenderung lebih baik
2 3
4 5 6 7 8
5 6
Kelemahan Sumber permodalan usaha masih kurang Kelemahan kelompok masih lemah Sumber daya manusia (SDM) masih rendah (pengetahuan peternak tentang teknologi yang masih kurang) Sistem pemeliharaan yang masih kurang baik Rencana tata ruang belum ada Daya simpan susu rendah
7 8
Ketersediaan bahan baku Kurangnya petugas lapang
9
Produksi rendah
4
dan
produktivitas
ternak
Analisis SWOT terhadap peluang ketersediaan dan pemanfaatan HMT di Kabupaten Rejang Lebong menunjukkan a) strenght: Lahan cukup tersedia, teknologi pengolahan HMT cukup sederhana, mudah dikerjakan dan bahan baku melimpah pada musim penghujan, b) wearkness antara lain: kesulitan permodalan karena pengajuan kredit penbankan untuk kegiatan ini belum pernah disetujui, merupakan usaha sampingan, c) opportunities: permintaan susu meningkat, skala usaha sapi perah meningkat, dukungan Pemda, Dinas Peternakan dalam penyediaan lahan dan bibit hijauan makanan ternak, d) kebijakan pemerintah belum mendukung terutama dalam hal permodalan, adanya kebijakan impor susu. 4.2.3. Produksi Susu Sapi Perah Dari hasil pengkajian yang dilakukan, bahwa penggunaan bahan pakan lokal sebagai bahan pencampuran ransum ternak sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong memberikan pengaruh terhadap produksi susu terlihat pada masing-masing rata-rata perlakuan P1 = 15 liter perhari. P2 = 13 liter perhari dan P3 = 12 liter perhari bila dibandingkan dengan kontrol (P4) yang hanya 8 liter perhari, Peningkatan produksi susu rata-rata selama pengkajian perekor perhari pada masing-masing perlakuan adalah P1:75 Liter = (35 ltr), P2: 65 liter = (25 ltr)
16
dan P3:60 liter = (20 ltr)
dibandingkan dengan P4 (kontrol) yang hanya = 40 leter, (Tabel Produksi susu) perlakuan pada P1 adalah menunjukkan hasil produksi susu tertinggi, hal ini di sebabkan oleh kandungan zat nutrien pada pakan pada perlakuan P1 lebih sempurna dibandingkan dengan perlakuan yang lain, yaitu kosentrat dengan kandungan protein 11,93 gram/100 gram perbedaan produksi susu disetiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan protein pakan konsentrat yang terkandung pada pakan cukup berpariasi yaitu perlakuan P1 = 11,93 g/100 g, P2 = 8,20 g/100 g, P3 = 7,59 g/100 g, sedangkan kontrol tanpa pemberian konsentrat (hijauan saja). Dari
hasil
pengkajian
yang
dilakukan,
bahwa
penggunaan
bahanpakanlokalsebagai bahan pencampuran ransum ternak sapi perah di kabupaten Rejang Lebong memberikan pengaruh terhadap produksi susu terlihat pada masingmasing rata-rata perlakuan P1: 15 liter perhari. P2 : 13 liter perhari dan P3 : 12 liter perhari bila dibandingkan dengan kontrol (P4) yang hanya 8 liter perhari,Peningkatan Produksi
susurata-rataselama
pengkajian
perekor
perhari
padamasing-masing
perlakuan adalahP1:75 Liter = (35 ltr), P2: 65liter = (25 ltr) dan P3:60 liter = (20 ltr) dibandingkan dengan P4 (kontrol) yang hanya = 40 leter, (Tabel Produksi susu) perlakuan pada P1 adalah menunjukan hasil produksi susu tertinggi, hal ini di sebabkan oleh kandungan zat nutrien pada pakan pada perlakuan P1 lebih sempurna dibandingkan dengan perlakuan yang lain, yaitu kosentrat dengan kandungan protein 11,93 g/100 g perbedaan produksi susu disetiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan protein pakankonsentratyang terkandungpadapakancukupberpariasiyaituperlakuan P1 = 11,93 g/100 g, P2 = 8,20 g/100 g, P3 = 7,59 g/100 g, sedangkan kontrol tanpa pemberian konsentrat (hijauan saja). Hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan produksi susuber pengaruh dengan kandungan protein, energi dan lemak akan tetapi serat kasar (SK) yang terdapat pada P1 lebih kecil dari perlakuan manapun hanya 21,88 gram/100g hal ini menunjukan bahwa pakan yang baik adalah apabila mengandung serat kasar (SK) yang rendah dalam memproduksi susu, (Zein. S, 1984). Pemberian bahan pakan lokal sebagai pakan ternak perah dapat diberikan untuk meningkatkan produksi susu, hal ini terlihat pada perlakuan P1, yang diikutiP2 dan P3 hal ini disebabkan oleh meningkatnya kandungan protein disetiap level P1 : 11,93, P2 : 8,20, P3 : 7,59. hal ini sesuai dengan pendapat (AA, 1995), kandungan
protein pada pakan selain untuk memelihara
jaringan tubuh juga sangat berpengaruh terhadap produksi susu pada ternak pada masa produksi/laktasi, (Zein. S, 1984).
17
ngan
Tabel 5. Rata-rata Produksi Susu Sapi Perah Hasil Pengkajian di Kelurahan Air Duku Kabupaten Rejang Lebong.
Produksi * 1 2 3 4 5
6
P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P1.5 Jumlah Rata-rata P2.1
16 15 14 15 15 75 15 11
7 8 9 10
11 12 13 14 15
16 17 18 19 20
P2.2 P2.3 P2.4 P2.5 Jumlah Rata-rata P3.1 P3.2 P3.3 P3.4 P3.5 Jumlah Rata-rata P4.1 P4.2 P4.3 P4.4 P4.5 Jumlah Rata-rata
Pakan yang tidak baik selama induk bunting dan berproduksi susu akan mempengaruhi kesehatan ternak itu sendiri, (Retno, dkk 2011). Berdasarkan hasil analisis statistik, pemberian bahan pakan lokal pada pakan ternak sapi perah disetiap perlakuan menunjukan peningkatan produksi susu, pada (Kontrol) P4 sangat berbeda nyata dibandingkan dengan P1, sedangkan P1 berbedanya terhadap P2 dan P3 pada taraf 0,05, (P<0,05) (A A Gomes, 1995). Pada umumnya para peternak sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang memerah susunya sebanyak 2 kali yaitu pada pagi hari dan sore hari. Namun demikian pada sapi induk yang memiliki kemampuan tinggi dalam memproduksi susu, frekunsi pemerahan dapat dtingkatkan menjadi 3 kali atau lebih dalam sehari. Dalam ambing sapi perah terdapat alveol-alveol yang berkemampuan memproduksi susu. Sapi perah
18
13 15 14 12 65 13 13 13 13 11 10 60 12 9 6 11 6 8 40 8
induk yang mempunyai potensi gentik yang tinggi dalam berproduksi susu, diikuti dengan pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan yang baik, terutama pada permulaan laktasi atau pada fase baru melahirkan, alveol akan mempercepat memproduksi susu, sehingga ambing cepat sembuh. 4.2.4. Karakteristik Fisik dan Kimia Susu a. Kadar Lemak Lemak merupakan sumber utama dalam susu. Baik manusia maupun sapi menyediakan sekitar 50 % energi sebagai lemak. Pada umumnya komposisi susu sapi terdiri atas air dan bahan kering. Lemak termasuk ke dalam jenis bahan kering susu. Lemak susu merupakan komponen yang penting seperti halnya protein. Lemak dapat memberikan energi yang lebih besar daripada protein maupun karbohidrat. Di samping itu, di dalam susu, lemak terdapat globula atau emulsi, yaitu bulatan-bulatan minyak atau lemak berukuran kecil didalam serum Rataan kadar lemak susu hasil pengkajian dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar lemak susu sapi tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) dari setiap perlakuan. Rataan kadar lemak susu sapi dari setiap perlakuan masih berada dalam standar SNI 01 – 2782 untuk susu sapi yaitu 3%, walaupun ada beberapa sapi yang mempunyai kadar lemak susu yang kurang dari standar tersebut, hal ini diduga disebabkan oleh keadaan fisik ternak sapi yang kurang maksimal. Pakan yang diberikan pada sapi perah juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kandungan lemak dalam susu dan berhubungan dengan tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan. Pemberian pakan pada sapi perah dapat berpengaruh meningkatkan produksi susu dan persentase kandungan lemak dalam susu. Kekurangan pakan pada sapi perah dari semestinya, akan menurunkan produksi susu. b. Berat Jenis (BJ) Pengujian ini bertujuan untuk menentukan berat jenis susu. Berat jenis suatu bahan adalah perbandingan antara berat bahan tersebut dengan berat air pada suhu dan volume yang sama. Berdasarkan batasan ini, maka berat jenis tidak ada satuannya.
Berat jenis susu rata-ratanya adalah 1,032.
Berat jenis susu
dipengaruhi oleh padatan total dan padatan tanpa lemak. Kadar padatan total susu akan diketahui jika diketahui berat jenis dan dan kadar lemaknya. Kandungan berat jenis susu sapi perah hasil pengkajian dapat dilihat pada tabel 6.
19
Tabel 6. Kandungan Nutrisi Susu Sapi Perah Hasil Pengkajian No 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
11 12 13 14 15
16 17 18 19 20
Perl. ulangan P1.1 P1.2 P1.3 P1.4 P1.5 Jumlah Rata-rata P2.1 P2.2 P2.3 P2.4 P2.5 Jumlah Rata-rata P3.1 P3.2 P3.3 P3.4 P3.5 Jumlah Rata-rata P4.1 P4.2 P4.3 P4.4 P4.5 Jumlah Rata-rata
Keterangan :
* **
Protein * 13,80 17,33 17,09 17,96 11,46 77,64 15,528 11,10 19,14 12,35 16,50 16.75 75,84 15,168 13,25 19,75 11,82 13,50 12,90 71,22 14,244 11,11 14,17 12,59 11,00 13,20 62,07 12,414
Lemak * 2,6 1,5 4,3 3,5 4,5 16,4 3,28 3,1 3,6 4,4 3,0 4,8 18,9 3,78 4,1 4,5 2,7 4,2 3,4 18,9 3,78 5,8 3,0 5,9 3,7 4,1 22,5 4,5
pH ** 6,5 6,9 6,9 6,8 6,5 33,6 6,72 6,6 6,7 6,7 6,5 6,6 33,1 6,62 7,3 6,9 6,5 6,7 6,5 33,9 6,78 6,5 6,9 6,8 6,7 6,7 33,6 6,72
B J ** 1,0217 1,0357 1,0269 1,0222 1,0269 5,1360 1,0272 1,0289 1,0294 1,0290 1,0325 1,0295 5,1493 1,0298 1,0185 1,0160 1,0306 1,0295 1,0290 5,1236 1,0247 1,0268 1,0291 1,0281 1,0291 1,0297 5,1428 1,0285
= Hasil analisa proksimat laboratorium kimia UNIB = Hasil analisa proksimat laboratorium kesehatan
Rataan berat jenis susu sapi perah hasil pengkajian adalah perlakuan 1 (P1) 1,0272, perlakuan 2 (P2) 1,0298, Perlakuan 3 (P3) 1,0247 dan perlakuan 4 (P4) 1,0285. Berat jenis susu biasanya ditentukan dengan menggunakan lactometer. Lactometer adalah hydrometer dimana skalanya sudah disesuaikan dengan berat jenis susu. Prinsip kerja alat ini mengikuti hukum Archimedes yaitu jika suatu benda dicelupkan ke dalam cairan maka benda tersebut akan mendapatkan tekanan ke atas sesuai dengan berat volume cairan yang dipindahkan atau diisi. Jika lactometer dicelupkan ke dalam susu yang rendah berat jenisnya maka lactometer akan tenggelam lebih dalam dibandingkan jika lactometer tersebut dicelupkan dalam susu yang berat jenisnya tinggi. Laktodensimeter dimasukkan kedalam gelas ukur, diputarputar sepanjang dinding gelas ukur agar suhunya merata, dan dicatat berat jenis dan
20
suhu dari susu tersebut. Berat jenis susu yang dipersyaratkan dalam SNI 01-3141-1998 adalah minimal 1,0280 sehingga dapat diketahui bahwa susu tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh SNI 01-3141-1998. BJ yang lebih kecil disebabkan oleh: perubahan kondisi lemak dan adanya gas yang timbul didalam air susu. Selain itu juga disebabkan oleh karena susu umurnya sudah lama dan disimpan dalam freezer dalam keadaan terbuka sehingga uap air masuk ke dalam susu. Air susu mempunyai berat jenis yang lebih besar daripada air. BJ air susu umumnya 1.027 - 1.035 dengan rata-rata 1.031. Akan tetapi menurut codex susu, BJ air susu adalah 1.028. Codex susu adalah suatu daftar satuan yang harus dipenuhi air susu sebagai bahan makanan. 4.2.5. Uji Warna, Bau, Rasa dan Kekentalan Bertujuan
mengetahui
kelainan-kelainan
pada
susu
secara
organoleptik
(menggunakan panca indera). Adanya perubahan warna, bau, dan konsistensi pada susu dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini : a. Warna Warna susu yang baik adalah putih kekuning-kuningan. Warna putih karena adanya penyebaran butiran-butiran koloid lemak, kalsium kaseinat (dispersi koloid yang tidak tembus cahaya) sedangkan warna kekuning-kuningan pada susu adalah adanya karoten (berasal dari pakan yang diberikan) dan riboflavin. Sedangkan jika terjadi perubahan warna pada susu seperti kebiruan karena adanya penambahan air atau pengurangan lemak. Warna kemerahan pada susu terjadi karena susu mengandung darah dari sapi penderita mastitis. Variasi warna ini terjadi karena faktor keturunan disamping juga karena faktor pakan yang diberikan. b. Bau. Lemak susu sangat mudah menyerap bau dari sekitarnya, seperti bau hewan asal susu perah. Susu memiliki bau yang aromatis, hal ini disebabkan adanya perombakan protein menjadi asam-asam amino. Bau susu akan lebih nyata jika susu dibiarkan beberapa jam terutama pada suhu kamar. Kandungan laktosa yang tinggi dan kandungan klorida rendah diduga menyebabkan susu berbau seperti garam.
21
c. Rasa. Pahit bila terkontaminasi kuman pembentuk peptone, rasa lobak bila terkontaminasi bakteri E.coli, rasa sabun bila terkontaminasi bakteri Bacillus Lactis Saponei, rasa tengik karena kuman asam mentega, serta hanyir atau amis oleh kuman-kuman lainnya. d. Kekentalan (visikositas). Susu akan berlendir bila terkontaminasi oleh kuman-kuman cocci dari air,sisa makanan atau dari alat-alat susu. e. Uji Konsistensi. Susu yang sehat memiliki konsistensi baik, hal ini terlihat tidak adanya butiranbutiran pada dinding tabung setelah tabung digoyang, susu yang baik akan membasahi dinding tabung dengan tidak akan memperlihatkan bekas berupa lendir atau butiran-butiran yang lama menghilang. Susu yang konsistensinya tidak normal (berlendir) disebabkan oleh kegiatan enzim atau penambahan asam, biasanya mikroba kokus yang berasal dari air, sisa makanan atau alat-alat susu. Realisasi Anggaran Realisasi
anggaran
Kegiatan Pengkajian Peluang dan Peningkatan
Produktivitas Ternak Sapi Perah di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu dengan pagu dana Rp. 110.635.000,- dana yang digunakan untuk kegiatan sebesar Rp. 95.625.400,- (90,45%).
22
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1.
Budidaya hijauan makanan ternak (HMT) khususnya rumput raja dan rumput gajah telah dilaksanakan oleh peternak maupun kelompok peternak sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong untuk memenuhi kebutuhan ternak sapi sendiri. Lahan yang digunakan masih terbatas dipinggir kebun dan khusus untuk HMT, Sebagian peternak belum menanam HMT melainkan hanya mengandalkan rumput liar di jalan-jalan kebun dan padang pengembalaan.
2.
Selain menggunakan HMT sebagai pakan ternak sapi perah, sebagian peternak
di
Kabupaten
Rejang
Lebong
juga
memanfaatkan
limbah
perkebunan seperti kulit kopi, dedak, sebagai pakan tambahan. 3.
Pemberian pakan tambahan dari bahan lokal dapat memperbaiki performan induk sapi dan meningkatkan produktivitas ternak sapi perah.
5.2. Saran 1.
Agribisnis HMT mempunyai prospek cukup baik, khususnya di daerah kantong-kantong peternakan, namun peternak belum terbiasa dengan budidaya HMT, untuk itu sosialisasi tentang budidaya HMT perlu ditingkatkan dengan memperbanyak demplot-demplot HMT.
2.
Pemberian pakan tambahan sebaiknya dilakukan secara kontinu pada induk sapi yang sedang laktasi.
23
VI. KINERJA HASIL Pada kegiatan pengkajian peluang pengembangan dan peningkatan produktivitas ternak sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong sampai bulan Desember 2012 telah dilakukan. 1.
Pemberian pakan tambahan berbasis limbah pakan lokal memberikan pengaruh yang baik sebagai pakan tambahan sapi perah sedang laktasi.
2.
Terjadinya peningkatan produksi dan kualitas susu sapi yang diberikan pakan tambahan dibandingkan dengan sapi perah yang tidak diberikan pakan tambahan.
24
DAFTAR PUSTAKA Aviliani. 2008. Dukungan Pebankan Terhadap Agribisnis Sapi Perah Menyongsong Perdagangan Bebas 2020. Bank Rakyat Indonesia. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Perbankan Indonesia. Jakarta. Anonymous (1999). CODEX STAN 281-1971. Codex Standard for Evaporated Milk. BAPPENAS. 2006. Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Pusat. Jakarta. BPS Bengkulu. 2010. Bengkulu Dalam Angka 2010. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Daryono, JM dan A.B.D.Martanegara. 1989. Analisis Ekonomi Usaha sapi perah dengan Usaha tani sayuran di Kecamatan Pengalengan, Bandung. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Puslitbangnak Peternakan, Bogor. Deptan. 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Perah yang Baik. Permentan Nomor 55 Tahun 2006. Departemen Pertanian. Jakarta. Disnak Provinsi Bengkulu. 2010. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu. Pemerintah Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Dirjennak. 2005. Buku Statistik Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Direktorat
Jenderal
Peternakan.
Direktorat Jenderal P2HP. 2007. Program Aksi Bantuan Peralatan Gapoknak. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Harpini, B. 2008. Upaya Mendorong Industri Pengolahan dan Pemasaran susu Pada Peternakan Rakyat. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Kusnadi. M, Soeharto P dan S. Praharani, 1983. Efisiensi usaha peternakan sapi perah yang tergabung dalam koperasi di Yogyakarta. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar Puslitbang Peternakan, Bogor. Mc. Cullough, M.E, 1973. Optimum Feeding of Dairy Animal for Milk and Meat. The University Georgia Press, Athens. M. Zein Syarief. Ir dan R. M. Sumoprastowo C. D. A, 1985, Ternak Perah Untuk Sekolah Pertanian Pembangunan CV. Yasaguna Jakarta. Sembiring, H. 2008. Kebijakan Insentif dan Tarifikasi Industri Susu Menyongsong Perdagangan Bebas 2020. Prosd. Prospek Industri sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Pust Peneltian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbangan Indonesia. Bogor. Siregar. S.B, 1996. Sapi Perah. Jenis Teknis Pemeliharaan dan Analisis Usaha. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
25
Siregar, S.B, 2003. Peluang dan tantangan Peningkatan Produksi Susu nasional. Wartazoa, 2 : 48 – 55. Sugiarti, 1999. Dampak Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak Sapi Perah di Daerah Jawa Barat. Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol. 4 No. 1 – 6. Susdarwanto, M. 1999. Usaha Peningkatan Produksi Susu Melalui Program Pengendalian Mastitis Subklinis. Orasi Ilmiah Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor. Talib, C., A. Anggraeni, K. Diwyanto dan E. Kurniatin. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Sapi Perah dibawah manajemen Perusahaan Komersial. Jurnal Ilmiah Pertanian Volume IV(2). Jakarta. Yusdia, Y. 2005. Kebijakan Ekonomi Agribisnis Sapi Perah di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 3, Nomor 3. Departemen Pertanian. Jakarta.
26
Lampiran
27
Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan Lapangan Pengkajian Sapi Perah di Kelurahan Air Duku Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong.
Gambar 1. Dedak padi sebagai bahan dasar penyusun ransum
Gambar 2. Kulit kopi sebagai bahan campuran ransum
28
Gambar 3. Ultra Mineral sebagai sumber mineral pada ransum
Gambar 4. Singkong (ubi kayu) sebagai campuran ransum.
29
Gambar 5. Proses Pencampuran Ransum Sapi Perah
Gambar 6 Proses Pencampuran Ransum Sapi Perah
30
Gambar 7. Rumput King grass sebagai sumber pakan ternak sapi perah di Kab. Rejang Lebong
Gambar 8 Jenis rumput lapangan sebagai sumber pakan ternak sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong
31
Gambar 9. Peternak sapi perah sedang membersihkan kandang dari kotoran sapinya.
Gambar 10 Induk sapi perah milik peternak kooperator yang sedang laktasi.
32
Gambar 11 Alat pemerah susu sapi milik peternak di Kabupaten Rejang Lebong
33