LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN STRATEGIS UNRAM
TEMA KETAHANAN DAN KEAMANAN PANGAN
UJI ADAPTASI, KETAHANAN PENYAKIT BLAS DAN KANDUNGAN ANTOSIANIN GALUR HARAPAN PADI BERAS MERAH DALAM RANGKA PELEPASAN VARIETAS UNGGUL PADI GOGO BERUMUR GENJAH UNTUK DAERAH NUSA TENGGARA BARAT
Peneliti Utama Dr. Ir. Bambang Budi Santoso, MSc.Agr. Anggota Prof. Dr. Ir. I Gusti Putu Muliarta Aryana, MP. Prof. Dr. Ir. I Made Sudantha,MS. Ir. I Nyoman Soemeinaboedhy, M.Agr.
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MATARAM DESEMBER 2012
ii
iii
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN STRATEGIS UNRAM 1.
Judul
:
2 3.
Tema Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP/Golongan d. Jabatan Struktural e. Jabatan Fungsional f. Perguruan Tinggi g. Fakultas/Jurusan h. Pusat Penelitian i. Alamat Kantor j. Telepon/Faks/E-mail k. Alamat Rumah l. Telepon/Faks/E-mail Jangka Waktu Penelitian Pembiayaan
: : : : : : : : : : : : : :
4. 5.
Uji Adaptasi, Ketahanan Penyakit Blas dan dan Kandungan Antosianin Galur Harapan Padi Beras Merah Dalam Rangka Pelepasan Varietas Unggul Padi Gogo Berumur Genjah Untuk Daerah Nusa Tenggara Barat : Ketahanan dan Keamanan Pangan Dr. Ir. Bambang Budi Santoso, MSc.Agr. Laki-laki 196306101989021001/IVb Lektor Kepala Universitas Mataram Pertanian/Budidaya Pertanian Lembaga Penelitian Universitas Mataram Jalan Pendidikan 37 Mataram NTB 83125 370 640744 / 0370 639022 Jl Dr Wahidin Gg.Talaud No. 3A Mataram 0370 628610/
[email protected]. 1 Tahun Rp. 85.000.000 Mataram,
Mengetahui, Fakultas Pertanian Universias Mataram Dekan,
Prof. Ir. M. Sarjn, M.Ag.CP.Ph.D. NIP. 196204061987031002
Desember 2012
Ketua Peneliti,
Dr. Ir. Bambang Budi Santoso, MSc.Agr. NIP. 19630610 198902 1 001
Menyetuji, Lembaga Penelitian Universitas Mataram, Ketua
Ir. Amiruddin, MSi.. NIP. 196212311987031024
iv
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga laporan hasil penelitian Unggulan Strategis Unram yang berjudul “Uji Adaptasi, Ketahanan Penyakit Blas dan Kandungan Antosianin Galur Harapan Padi Beras Merah dalam Rangka Pelepasan Varietas Unggul Padi Gogo Berumur Genjah Untuk Daerah Nusa Tenggara Barat akhirnya dapat terselesaikan pada waktunya. Selama perencana, pelaksaan penelitian hingga penulisan laporan ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan rasa tulus penulis sampaikan rasa hormat serta terima kasih yang mendalam kehadapan 1. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. . 2. Bapak Ir Sunarpi PhD. Selaku rektor Universitas Mataram 3.
Bapak Ir. H. Amiruddin, M,Si. selaku Ketua Lembaga Penelitian UNRAM,
serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian hingga penulisan laporan ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan penulis dalam berbagai hal. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, demi penyempurnaan penulisan laporan di masa mendatang. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca. Mataram, Desember 2012 Penulis
v
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... KATA PENGANTAR................................... ………………………………
ii iii
DAFTAR ISI.......................………………………………………………..
iv
DAFTAR TABEL ……….……….......................………..………………..
v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… vi DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….…….
vii
ABSTRAK………………………................................................................
viii
I
PENDAHULUAN ………………………………..……........……………
1
II
STUDI PUSTAKA………………….............................. ………………...... 5
III
PETA JALAN PENELITIAN.......................................................................... 14
IV
MANFAAT PENELITIAN ……………………………………………..… 17
V
METODE PENELITIAN…… ......................................................…….…… 18
VI
HASIL DAN PEMBAHASN ……………………………………………..… 26
VII
KESIMPULAN DAN SARAN………………............................................... 73 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 74 LAMPIRAN
……………………………………………………………… 79
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Halaman Penampilan rata-rata umur berbunga 20 genotip di 3 lokasi ……………. 27 Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 karakter umur berbunga pada 20 genotip di 3 lokasi ……………………………………………………………….. 27 Penampilan rata-rata tinggi tanaman 20 genotip di 3 lokasi…………… 29 Nilai rerata AUKU 1,AIKU 2 karakter Tinggi tanaman pada 20 genotip di 3 lokasi……………………………………………………………….. 30 Penampilan rata-rata jumlah anakan produktif 20 genotip di 3 lingkungan…………………………………………………………….. 32 Nilai skor dua AUKU1 pertama karakter Jumlah Anakan Produktif pada 20 genotip dan 3 lokasi ………………………………………….. 33 Penampilan rata-rata Jumlah Anakan Non Produktif 20 genotip di 3 lokasi ………………………………………………………………. 35 Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 Karakter jumlah anakan non produktif pada 20 genotip di 3 lokasi……………………………………………… 36 Penampilan rata-rata panjang malai 20 genotip di 3 lokasi……………... 38 Nilai rerata skor AIKU 1, AIKU 2 karakter Panjang Malai pada 20 genotip 3 lokasi……………………………………………………………..……… 39 Penampilan rata-rata jumlah gabah berisi 20 genotip di 3 lokasi……….. 41 Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 karakter Junlah Gabah Berisi pada 20 genotip dan 3 lokasi ……………………………………………………. 42 Penampilan rata-rata jumlah gabah hampa 20 genotip di 3 lokasi…….. 44 Nilai rerata skor AUKU 1,AIKU 2 karakter jumlah Gabah Hampa genotip dan 3 lokasi…………………………………………………… 45 Penampilan rata-rata bobot 100 butir gabah 20 genotip di 3 lokasi……. 47 Nilai Rerata AIKU 1, AIKU 2 karakter Bobot 100 butir genotip dan 48 3 lokasi……………………………………………………………… Penampilan rata-rata bobot gabah per rumpun 20 genotip di 3 lingkungan……………………………………………………………… 50 Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 karakter Bobot Gabah Per Rumpun pada 20 genotipe dan 3 lokasi ……………………………………………… 51 Penampilan rata-rata bobot hasil gabah per hektar 20 genotip di 3lokasi 53 Nilai rerata AIKU 1 ,AIKU 2 karakter Hasil gabah per hektar pada 20 54 genotip dan 3 lokasi………………………………………………… Hasil klasifikasi genotipe spesifik lokasi dan stabil berdasarkan karakter hasil dan komponen hasil ……………………………………. 56 Diskripsi Galur Harapan Padi Beras Merah Genotipe G1 s/d G5 62 Diskripsi Galur Harapan Padi Beras Merah Genotipe G6 s/d G10 63 Diskripsi Galur Harapan Padi Beras Merah Genotipe G11 s/d G15 64 Diskripsi Genotipe Tetua dan Varietas Pembanding……………….. 65 Data Persentase Serangan dan Nilai Skala Kerusakan Genotipe Padi Beras Merah oleh Penyakit Blas ………………………………………. 66 Rerata kandungan antosianin (ppm) genotipe padi beras merah pada tiga Lokasi Berbeda ……………………………………………………. 68 Rerata hasil antosianin (gram/ha) pada genotipe padi beras merah di tiga Lokasi…………………………………………………………………..
69
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Halaman Biplot interaksi model AMMI 2 umur berbunga tiap genotipe dan lokasi ……………………………………………………………………. Biplot AMMI 2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata tinggi tanaman tiap genotipe di tiga lokasi ………………………………………….. Biplot AMMI 2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata jumlah anakan produktif per rumpun tiap genotipe dan lokasi……………………….. Biplot AMMI2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata jumlah anakan non produktif per rumpun tiap genotipe dan lokasi ………………………….. Biplot AMMI2 untuk panjang malai tiap genotipe dan lokasi …………… Biplot interaksi model AMMI 2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata Jumlah Gabah Berisi tiap genotipe dan lokasi …………………………………… Biplot AMMI 2 dari nilai AIKU 2 dan tampilan rerata jumlah gabah hampa per malai tiap genotipe dan lokasi ……………………………………….. Biplot interaksi AMMI2 untuk bobot 100 butir gabah………………….. Biplot interaksi AMMI 2 untuk bobot gabah per rumpun ………………….. Biplot interaksi AMMI 2 untuk hasil gabah per hektar di tiga lokasi……..
28 31 34 37 40 43 46 49 52 55
viii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Analisis varians umur berbunga berdasarkan model AMMI………… 2 Analisis varians tanggi tanaman berdasarkan model AMMI………… 3 Analisis varians jumlah anakan produktif berdasarkan model AMMI……………………………………………………………... 4 Analisis varians Jumlah Anakan Non Produktif berdasarkan model AMMI………………………………………………………………. 5 Analisis varians Panjang Malai berdasarkan model AMMI ……… 6 Analisis varians Jumlah Gabah Berisi berdasarkan model AMMI 7 Analisis varians Jumlah Gabah Hampa berdasarkan model AMMI 8 Analisis varians Bobot 100 butir gabah berdasarkan model AMMI 9 Analisis varians bobot Gabah Per Rupun berdasarkan model AMMI 10 Analisis varians karakter hasil gabah berdasarkan model AMMI…. Kondisi Iklim Pada Tiga Lokasi………………………………………… 11 12 Analisis Varian kandungan antosianin beras merah di tiga Lokasi 13 Analisis Varian kandungan antosianin beras merah di tiga Lokasi
Halaman 79 79 79 80 80 80 81 81 81 82 82 82 83
ix
ABSTRAK Padi beras merah keberadaannya semakin langka (hampir punah) akibat penanaman jenis-jenis padi varietas unggul baru, sehingga peluang untuk melestarikan dan menciptakan varietas baru padi beras merah sangat diharapkan. Dari hasil penelitian perakitan varietas lokal padi beras merah dan padi beras putih lokal NTB melalui metode seleksi Back Cross telah dihasilkan 15 galur harapan padi beras merah toleran kekeringan (Muliarta, dkk, 2006). Galur-galur harapan tersebut sangat berpeluang untuk dilepas sebagai varietas unggul baru padi gogo yang nantinya dijadikan komoditas unggulkan untuk daerah NTB. Untuk dapat dilepas sebagai varietas unggul baru maka perlu dilakukan uji adaptasi, uji ketahanan penyakit serta uji kandungan antosianin beras. Tujuan penelitian 1. Untuk menghasilkan calon varietas unggul padi gogo beras merah berumur genjah yang memiliki stabilitas dan adaptasi hasil tinggi serta dihasilkan kandungan dan hasil antosianin beras serta responnya pada berbagai agroekologi berbeda di pulau Lombok. 2. Dihasilkan tingkat ketahanan terhadap penyakit Blas pada galur-galur harapan padi beras merah. 3. Dihasilkan Diskripsi Calon varietas padi gogo beras merah. Untuk mencapai tujuan di atas dilakukan kegiatan penelitian sebagai berikut : Uji adaptasi dan stabilitas hasil, Uji ketahanan penyakit blas, serta uji kandungan antosianin dengan 20 perlakuan yaitu 15 galur harapan padi beras merah yang berasal dua sumber populasi berbeda ( 7 genotipe dari persilangan back cross Angka x Kenya dan 8 genotipe dari persilangan back cross Piong x Kenya) dan 3 tetua yaitu kultivar Piong, Angka dan Kenya, serta 2 varietas unggul nasional sebagai pembanding yaitu Aek Sibundong ( beras merah) dan Situ Patenggang (tahan blas) yang ditanam pada 3 lokasi ketinggian berbeda. Lokasi dataran rendah di lakukan di desa Mantang Kabupaten Lombok Tengah pada ketinggian 300 mdpl, Lokasi dataran medium di desa Lantang Kabupaten Lombok Tengah pada ketinggian 490 mdpl, Lokasi dataran tinggi di desa sembalun kabupaten Lombok Timur pada ketianggian 1400 dpl. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai Agustus 2012. Rancangan percobaan yang digunakan di tiap lokasi adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) 3 ulangan. Tiap perlakuan ditam pada luasan lahan 4 x 5 m, penanaman dilakukan dengan system gogo, tiap lubang tanam ada 1 tanaman, jarak tanam 25 cm x 25 cm, pemupukan dengan Ponsca dosis 300 kg/ha, Urea 200 kg/ha. Uji ketahanan penyakit blas di laksanakan di laboratorium dan rumah kaca dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 ulangan. Sebagai pembading untuk varietas tahan dipergunakan IR64 dan yang rentan dipergunakan Kencana Bali. Untuk uji adaptasi dan stabilitas hasil dianalisis dengan menggunakan analisis AMMI (additive main effects and multiplicative interaction). Untuk menilai reaksi masing-masing genotipe padi terhadap reaksi ketahanan serangan penyakit digunakan standar evaluasi system for rice (IRRI). Untuk menilai kandungan antosianin beras dihitung dengan menggunakan metode Shi et al. Hasil Penelitian adalah : 1.Genotipe yang stabil dan berdaya hasil diatas nilai reratannya adalah G1, G4, G7, G10, G12 , G13, dan G14 dengan daya hasilnnya secara berurutan 4,9 ton, 4,8 ton, 5,0 ton , 5,3 ton , 5,3 ton, 4,7 ton dan 4,6 ton/ ha. 2. Genotipe G9 dengan daya hasil 4,4 ton /ha merupakan genotipe yang sepesifik lokasi di daerah dataran tinggi . 3. Dihasilkan 15 deskripsi galur harapan padi gogo beras merah. 4. Galur harapan G1, G2, G3, G4, G6, G7, G9, G10, G12, G13 dan G14 menunjukkan respon agak tahan terhadap serangan penyakit blas daun. Sedangkan Galur harapan
x
G5, G8, G11 dan G14 menunjukkan respon agak peka terhadap blas P. gresia. 5. Setiap genotipe memiliki kandungan antosianin yang berbeda, namun memiliki respon yang sama terhadap Lokasi. Lokasi dataran tinggi memberikan kandungan antosianin tertinggi diikuti oleh Lokasi dataran medium, kemudian dataran rendah, kandungan antosianin tertinggi 16,84 ppm dicapai oleh G9 diikuti oleh G14 sebesar 16,60 ppm. 6. Hasil antosianin beras setiap genotipe berbeda disetiap lokasi tumbuh, hasil antosianin beras tertinggi di lokasi dataran rendah terdapat pada G14 yaitu 64,72 gram/ha. Dilokasi dataran rendah hasil antosianin tertinggi terdapat pada G10 yaitu 79,91 kemudian diikuti oleh G12 yaitu 69,10. Di Lokasi Dataran Tinggi hasil antosianin terdapat pada G9 yaitu 27,73 gram/ha. Kata kunci : Adaptasi, varietas, galur, padi beras merah, blas,
BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi beras merah (Oryza sativa) merupakan bahan pangan pokok yang bernilai kesehatan tinggi. Selain mengandung karbohidrat, lemak, protein, serat dan mineral, beras merah juga mengandung antosianin. Antosianin adalah senyawa fenolik yang masuk kelompok flavonoid dan berfungsi sebagai antioksidan. Peran antioksidan bagi kesehatan manusia untuk mencegah penyakit hati (hepatitis), kanker usus, stroke, diabetes, sangat esensial bagi fungsi otak dan mengurangi pengaruh penuaan otak . Kandungan antosianin pada padi beras merah masih sangat beragam dengan kisaran 0,34 – 93,5 µg / g. Saat ini kebutuhan akan beras merah terus meningkat sejalan dengan kesadaran masyarakat tentang manfaat kesehatan ( Muliarta dkk., 2006;Abdel-Aal, 2006; Damanhuri; 2005; Herani dan Rahardjo, 2005;Nirmala, 2001) Padi beras merah di Indonesia merupakan salah satu
plasma nutfah yang
keberadaannya semakin langka akibat penanaman varietas padi unggul baru. Padi beras merah ini penanaman umumnya pada daerah dataran tinggi sebagai padi gogo yang memiliki daya hasil rendah (2 ton/ha), juga bermutu rendah (Muliarta,dkk, 2004). Penampilan genotipe untuk sifat-sifat kuantitatif seperti komponen hasil dan daya hasil, sering berubah dari satu lingkungan ke lingkungan lain karena adanya saling tindak antara genotipe dan lingkungan. Oleh karena itu, maka perlu kiranya dikaji kemungkinan diperoleh suatu varietas yang mempunyai daya adaptasi khusus atau luas dan mempunyai stabilitas hasil yang tinggi, yaitu dengan melakukan pengujian sejumlah galur-galur harapan atau varietas pada berbagai lokasi. Untuk syarat pelepasan varietas unggul padi gogo maka harus dilaksanakan uji adaptasi pada berbagai lokasi dan elevasi (ketinggian tempat), serta sifat lain yang dianggap penting seperti
perlunya diketahui, ketahanan terhadap penyakit Blas,
kandungan antosianin yang dimiliki galur harapan padi beras merah. Di Indonesia potensi hasil varietas padi yang dilepas berkisar antara 5-9 t/ha (Suprihatno et al. 2006), sementara hasil nasional baru mencapai rata-rata 4,32 t/ha (BPS 2001). Dari hasil penelitian Muliarta dkk (2006), Muliarta (2010), melalui seleksi back cros antara kultivar padi beras merah dan putih
asal Nusa Tenggara Barat yang
dilanjutkan dengan seleksi umur genjah dihasilkan 15 galur harapan padi beras merah
2
toleran kekeringan dan berdaya hasil tinggi. Galur-galur harapan ini sangat potensial dilepas sebagai varietas unggul baru padi gogo umur genjah.
B.
Tujuan
Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan varietas unggul padi gogo beras merah berumur genjah, hasil dan mutu tinggi untuk daerah Nusa Tenggra Barat. Tujuan khusus penelitian adalah : 1. Untuk menghasilkan calon varietas unggul padi gogo beras merah berumur genjah yang memiliki stabilitas dan adaptasi hasil tinggi serta dihasilkan kandungan dan hasil antosianin beras serta responnya pada berbagai agroekologi berbeda di pulau Lombok. 2. Dihasilkan tingkat ketahanan terhadap penyakit Blas pada galur-galur harapan padi beras merah. 3. Dihasilkan Diskripsi Calon varietas padi gogo beras merah.
C. Urgensi (Keutamaan) Penelitian Di Indonesia perbaikan varietas padi beras merah belum
mendapatkan
perhatian yang memadai baik sebagai varietas padi gogo maupun varietas padi sawah. Banyak varietas unggul yang sudah dilepas lembaga penelitian hingga kini ada sekitar 233 varietas. Dari 233 varietas yang dilepas baru 1 varietas padi beras merah yang dilepas yaitu varietas Aek Sibundong sebagai padi sawah (Hasil Sembiring, 2010), sedangkan untuk padi gogo hingga saat ini belum ada satu pun yang dilepas. Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan penelitian ke arah pembentukan galurgalur harapan
padi beras merah toleran kekeringan dan berdaya hasil tinggi oleh
Muliarta dkk 2006. Penelitian ini diawali dengan melakukan persilangan antara tetua donor (Kenya) toleran kekeringan dengan tetua berulang kultivar Pujut, Sri, Angka dan Piong. Kemudian dilanjutkan dengan seleksi Back Cross sebanyak 4 (empat) kali dan penggaluran, sehingga diperoleh 20 galur padi beras merah toleran kekeringan. Kegiatan ini dilanjutkan dengan melakukan Uji Daya Hasil Pendahuluan (UDHP) dan Uji Daya Hasil Lanjutan (UDHL) sekaligus
melakukan seleksi galur untuk
menghasilkan galur umur genjah. Dari hasil kegiatan ini dihasilkan 15 galur harapan padi beras merah berumur genjah (rerata 105 hari) dengan daya hasil rata-rata 6,2 ton/ha (Muliarta, 2010). Galur-galur harapan tersebut sangat berpeluang untuk dilepas
3
sebagai varietas unggul baru umur genjah yang cocok di tanam di lahan lahan tadah hujan maupun tegalan sebagai padi gogo. Potensi padi gogo masih sangat besar karena Indonesia memiliki lahan kering mencapai 28 juta hektar. Areal ini tersebar di seluruh indonesia, dan luasan arealnya dari tahun ketahun
cendrung meningkat, diakibatkan oleh pembukaaan hutan dan
pembakaran pada alang-alang untuk pemukliman transmigrasi. Dari luasan lahan kering di atas ada sekitar 11,61 juta ha yang potensial di kembangkan untuk pertanaman padi gogo. Luasan lahan kering yang baru dimanfaatkan untuk padi gogo baru sekitar 1,17 juta ha dengan produksi 2.65 juta ton dan produktivitas 2.27 t/ha. Luasan lahan kering di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terdiri atas dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan Sumbawa adalah 1.673.476 ha atau sekitar 83 % dari luasan wilayah. Hanya sebagian kecil saja lahan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, lahan kering tersebut terdiri atas lahan sawah tadah hujan dan lahan tegalan (BAPPEDA, 2003,: BPS, 2004). Di samping itu melaui penanam padi gogo dengan perbedaan elevasi yang ekstrim akan di ketahui pula perbedaan kandungan antosianin berasnya. Berdasarkan penelitian Clive Lo and Nicholson (1993) serta
Damanhuri (2005) menyatakan
akumulasi antosianin dipicu oleh bermacam-macam lingkungan
seperti cahaya,
temperatur, dan kandungan antosiani meningkat sejalan dengan meningkatnya elevasi hingga 950 m dpl, namun hasil antosianinnya sangat dibatasi oleh elevasi. Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/2006, tentang pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas, memutuskan untuk suatu varietas hasil pemuliaan di dalam negeri maupun introduksi yang diusulkan untuk dilepas harus melalui uji adaptasi hasil pada wilayah agroekologi yang paling sesuai untuk budi daya jenis tanaman yang bersangkutan dan mewakili karakteristik agroekologi wilayah sentral produksi komuditas yang bersangkutan. Uji daya hasil dilakukan minimal di 3 (tiga) lokasi tertentu yang mewakili daerah tersebut. Di samping itu dilaksanakan pula evaluasi dan penilaian terhadap keunggulan dan kesesuaian calon varietas yang akan dilepas seperti
antara lain daya hasil, ketahanan terhadap cekaman lingkungan,
kecepatan berproduksi, mutu hasil, kesesuaian meliputi kebenaran silsilah dan metode pemuliaan
maupun
ketahanan terhadap organisme pengganggu tumbuhan utama
seperti penyakit Blas pada pertanaman padi gogo. Penyakit Blas dapat menyerang daun
4
dan leher malai sehingga dapat menyebabkan kehilangan hasil padi yang sangat besar. Berdasarkan
kompilasi data statistik pertanian IV (SP 1V 2006) oleh Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir luasan serangan penyakit Blas seluas 9.674 ha/th. .Untuk tepat menjaga keanekaragaman hayati yang ada, dalam program perakitan varietas unggul ini tidak hanya untuk pemenuhan varietas unggul adaptasi luas tapi juga spesifik lokasi untuk lebih meningkatkan potensi suatu daerah tertentu. Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan adanya ledakan hama dan penyakit yang meluas. Berdasarkan hal tersebut di atas , maka diusulkan rencana penelitian tentang Uji Adaptasi, Ketahanan Penyakit Blas dan dan Kandungan Antosianin Galur Harapan Padi Beras Merah Dalam Rangka Pelepasan Varietas Unggul Padi Gogo umur genjah Untuk Daerah Nusa Tenggara Barat. Sehingga nantinya terbentuk varietas unggul padi beras merah yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat dijadikan produk unggulkan padi beras merah untuk daerah Nusa Tenggara Barat yang terdiri atas dua pulau besar yaitu Lombok dan Sumbawa.
5
BAB II. STUDI PUSTAKA
1. Tanaman Padi beras merah Dengan Kandungan Antosianinnya Padi beras merah tergolong dalam famili Gramineae, sub famili Oryzaidae, suku / genus dan spesies Oryza sativa (Rajguru, et al., 2002). Padi spesies Oryza Sativa L. digolongkan menjadi 3 ras atau sub spesies yaitu ras/sub spesies indica, japonica , dan javanica. Ras indica dalam bahasa populernya disebut padi cere atau cempo. Ras japonica atau indo-japonica atau javanica atau padi bulu atau gundil. (Coffman and Herrera, 1980). Warna merah pada beras terbentuk dari pigmen antosianin yang tidak hanya terdapat pada perikarp dan tegmen, tetapi juga bisa di setiap bagian gabah, bahkan pada kelopak daun. Nutrisi beras merah sebagian terletak di lapisan kulit luar (aleuron) yang mudah mengalami pengelupasan pada saat penggilingan. Jika butiran dipenuhi oleh pigmen
antosianin maka warna merah pada beras tidak akan hilang. Kandungan
antosianin pada beras merah
dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik,
hepatoprotektif antihipertensi dan antihiperglisemik. Pigmen
antosianin pada beras
diidentifikasi sebagai cianidin. Pigmen ini dikendalikan oleh gen yang bersifat tunggal (Reddy, 1996 ; Suhardi, 2005b) Secara kimiawi, antosianin merupakan turunan dari struktur aromatik tunggal yaitu sianidin yang terbentuk dari pigmen sianidin
dengan penambahan atau
pengurangan gugus hidroksil, metilasi atau glikosilasi. Antosianidin adalah aglikon antosian yang terbentuk apabila antosianin di hidrolisis dengan asam. Antosianidin yang paling umum sampai saat ini adalah sianidin yang berwarna merah lembayung, merah dan biru umumnya disebabkan oleh delfinidin yang gugus hidroksilnya lebih satu dibandingkan dengan sianidin ( Harborne, 1987). Distribusi antosianin dalam tanaman bervariasi tergantung kepada genotipe, umur dan berbagai faktor biotik dan abiotik. Letak antosianin di vacuola epidermis sel, terdapat pada seluruh bagian tanaman seperti bunga, daun, batang, akar dan organ penyimpanan. (Hernani dan Rahardjo, 2005) Antosianin yang dihasilkan persatuan luas merupakan nilai perkalian antara kandungan antosianin dengan hasil umbi. Korelasi fenotipik dan genotipik antara hasil
6
dengan kandungan dan hasil antosianin positif dan nyata. Nilai heritabilitas kandungan antosianin sebagian besar tinggi serta kemajuan genetik harapan juga tinggi. Ini merupakan gambaran bahwa seleksi untuk mendapatkan klon ubi jalar dengan potensi hasil dan kandungan antosianin tinggi mempunyai peluang besar (Damanhuri, 2005) Di Indonesia belum tersedia varietas unggul padi beras merah, kecuali varietas Aek Sibondang yang dilepas tahun 2006 dan itu tidak meluas pengembangannya. Oleh karena itu, beras merah yang diperdagangkan di berbagai daerah, diduga berasal dari impor atau dari padi gogo lokal yang
berdaya hasil rendah dan berumur dalam
(Suhardi, 2005a). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik pertanian telah melakukan persilangan antara galur BP140F (galur padi tipe baru hasil tinggi), varietas Silogunggo (varietas unggul padi lahan tadah hujan umur genjah), dan O.glaberima dan
galur keturunan pada F4 memiliki sifat
toleran
kekeringan, umur genjah, warna beras merah. (Suhardi, 2005a, Suardi 2006). 2. Adaptasi dan Stabilitas Hasil Adaptasi berhubungan dengan ketangguhan tanaman untuk tetap menghasilkan pada kondisi lingkungan yang beragam. Kemampuan beradaptasi adalah sifat genotipe atau suatu populasi untuk merubah kisaran adaptasi, menanggapi tekanan-tekanan seleksi yang berubah-ubah tanpa keragaman besar pada hasilnya. Perubahan kondisi lingkungan dan keragaman lingkungan terhadap daya adaptasi tanaman ada yang dapat diduga dan ada yang tidak dapat diduga (Allard .1960). Stabilitas hasil pada berbagai lingkungan merupakan bahan pertimbangan yang penting bagi seorang pemulia tanaman dalam menyusun suatu program pemuliaan, sebab untuk sifat kuantitatif seperti hasil, penampakan relatif suatu genotipe sering mengalami perubahan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Dengan
demikian
perlu
kajian
untuk
mengidentifikasi
genotipe
yang
menunjukkan saling tindak yang sekecil-kecilnya terhadap lingkungan dan mempunyai stabilitas hasil yang tinggi ( Seed dan Francis, 1983 ), sehingga di antara genetipe yang tersedia akan diperoleh genotipe yang ideal yang mampu beradaptasi pada kisaran lingkungan yang luas dan berdaya hasil tinggi. Stabilitas hasil ditentukan oleh kemampuan genotipe untuk menghindari fluktuasi hasil pada berbagai lokasi. Stabilitas hasil juga merupakan sifat yang diwariskan pada
7
tanaman. Mekanisme tercapainya stabilitas hasil melalui daya sangga populasi lewat heterogenitas genetik, toleransi pada tekanan lingkungan dan laju penyembuhan setelah tidak ada tekanan beserta adanya kompensasi pertumbuhan komponen hasil ( Kasno dkk, 1991 ). Berdasarkan
respons
terhadap
lingkungan,
genotipe
tanaman
dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama adalah kelompok yang menunjukkan kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang luas, berarti interaksi genotipe x lingkungan
kecil.
Kelompok kedua yaitu kelompok yang berkemampuan untuk
beradaptasi sempit. Berperagaan baik pada sesuatu lingkungan dan berperagaan buruk pada lingkungan berbeda, berarti interaksi genotipe x lingkungannya besar (Sumartono et al.,1992) Analisis mengenai interaksi genotipe x lingkungan berhubungan dengan estimasi secara kuantitatif stabilitas fenotipe dari genotipe yang diuji pada beberapa lingkungan. Beberapa metode statistik dapat digunakan untuk menduga stabilitas dan adaptabilitas fenotipe dari sekelompok genotipe di antaranya adalah dengan AMMI (Additive Main Effects dan Multiplicative Interaction model ). Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi di modelkan dengan model bilinier. Dalam
teknik analisis varians model AMMI, estimasi stabilitas genotipe
didasarkan atas besarnya nilai aksis interaksi G x E dari hasil analisis interaksi komponen utama AIKU ( analisis interaksi komponen utama) atau IPCA (interaction principlel component analysis). Genotipe yang
tumbuh dilintas lingkungan pengujian
dan memberikan nilai IPCA yang mendekati nol, memberikan indikasi bahwa genotipe tersebut bersifat stabil. Jika nilai IPCA sangat jauh dari titik nol menjadi petunjuk bahwa genotipe memiliki daya adaptasi yang spesifik. Gambaran biplot dari nilai IPCA genotipe terhadap lingkungan dapat memberikan kemudahan identifikasi genotipe yang memenuhi kriteria dalam stabilitas dan adaptabilitas (Cornellius, 1993; Gauch, 1992; Ismail et al., 2003). Menurut Bohnet dan Jensen (1996), tanggap tanaman terhadap cekaman kekeringan dibedakan atas toleran dan peka. Tanaman toleran mampu mengakumulasi senyawa terlarut dalam jumlah banyak, sedangkan tanaman peka kurang atau tidak mampu mengakumulasi senyawa terlarut tersebut.
8
Pengetahuan tentang saat fase kritis tanaman sangat penting bagi pemuliaan tanaman dalam kaitannya dengan penentuan saat yang tepat untuk memberikan cekaman kekeringan dalam program seleksi untuk menentukan genotipe-genotipe yang tahan terhadap kekeringan. Karena respons genotipe tanaman terhadap cekaman kekeringan pada saat tersebut menjadi maksimum, sehingga perbedaan keragaan antar genotipe pun menjadi maksimum (Kasno dan Jusuf, 1994). Karena tujuan akhir dari program seleksi umumnya adalah untuk meningkatkan hasil, maka fase kritis tanaman harus diartikan sebagai periode pertumbuhan tanaman di mana cekaman kekeringan akan menyebabkan penurunan hasil. Iklim di Indonesia dicirikan dengan musim penghujan dan kemarau, klasifikasi agroklimat didasarkan pada penyebaran dan lama periode basah dan kering. Satu bulan basah ditetapkan sebagai satu bulan dengan curah hujan rata-rata jangka panjang lebih dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan rata-rata jangka panjang kurang dari 100 mm (Oldemen et al., 1980). Hasil penelitian Matsushima dalam O’Toole dan Chang (1979) menunjukkan tanaman padi yang diberi perlakuan cekaman kekeringan pada awal pertumbuhan vegetatif tidak menunjukkan perbedaan hasil dengan tanaman yang tidak diberi cekaman kekeringan (tanaman kontrol). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa seleksi ketahanan kekeringan tidak dapat dilakukan pada awal pertumbuhan. Tetapi tanaman padi yang mendapat cekaman kekeringan menjelang fase reproduktif nyata berbeda dengan kontrol untuk peubah yang sama. Muliarta, et al. (2002) yang mengevaluasi ketahanan kultivar lokal padi beras merah terhadap kekeringan. Pengairan di lokasi kering dilakukan seminggu sekali hingga umur 50 hari kemudian dikeringkan sampai timbul gejala layu permanen kemudian dinilai indeks kering pucuknya setelah itu diairi untuk menilai penyembuhan. Kultivar yang menunjukkan kekeringan terbaik ditandai oleh indeks kering pucuk dan
ketahanan
terhadap
kemampuan pulih dari
cekaman, dan dimiliki oleh kultivar PBMK2, PBMK10, PBMK20. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Samaullah dkk (1997), pada 90 genotipe gogo yang diuji terdapat 5 varietas unggul (Singkarak, Way Rarem, Jatiluhur, C22 dan Gajah Mungkur) dengan rentang hasil di lingkungan normal 2,80 – 2,92 t/ha dan lingkungan kering 0,90 – 2,36 t/ha. Varietas Gajah Mungkur memberikan potensi hasil terbaik pada lingkungan kering, dan tingkat kehilangan hasilnya sebesar 19,2 % dan dinilai toleran terhadap kekeringan.
9
Kehilangan hasil akibat cekaman kekeringan disebabkan oleh berkurangnya jumlah malai, malai tidak dapat berkembang dengan baik, banyak gabah hampa dan tidak berisi sempurna. 3. Pengaruh Elevasi Terhadap Kandungan Antosianin Kandungan antosianin pada tanaman selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya pengaruh elevasi lokasi. Perbedaan elevasi lokasi akan berpengaruh terhadap temperatur maupun cahaya yang diterima. Berdasarkan perbedaan elevasi dikenal adanya daerah dataran rendah (0 – 400 m dpl), dataran menengah atau medium (400 m dpl – 700 m dpl) dan daerah dataran tinggi (> 700 m dpl). Dari hasil penelitian Damanhuri (2005) tentang pengaruh elevasi terhadap kandungan antosianin, hasil dan komponen hasil ubi pada tanaman
ubijalar
menunjukkan klon dan interaksinya dengan elevasi nyata untuk bobot kering total, hasil ubi, jumlah ubi, bobot per ubi; sedangkan klon dan interaksinya dengan elevasi untuk kandungan antosianin, hasil antosiani tidak nyata. Kandungan antosianin meningkat sejalan dengan peningkatan elevasi hingga 950 m dpl, namun hasil antosianinya sangat dibatasi oleh elevasi. Reddy et al. (1994) mengadakan penelitian tentang pengaruh pemberian sinar matahari terhadap produksi antosianin pada tanaman padi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa bibit yang mendapatkan penyinaran pada interval waktu berbeda, besarnya akumulasi pigmen antosianin juga berbeda. Bibit yang diberi penyinaran lebih lama sampai 30 menit, akumulasi antosianin semakin tinggi, sedangkan bibit yang diperlakukan
pada kondisi gelap tidak mengandung antosianin. Induksi pigmen
terutama terlokalisir pada bagian pucuk tunas, sedangkan pelepah daun hampir tanpa warna, penyinaran matahari tidak berpengaruh terhadap antosianin pada akar tanaman. Temperatur merupakan salah satu faktor luar yang mempengaruhi akumulasi antosianin pada jaringan tanaman. Temperatur rendah meningkatkan
akumulasi
sedangkan peningkatan temperatur menekan akumulasi antosianin. Dari hasil penelitian Phoka et al. (2004) menunjukkan bahwa akumulasi antosianin pada bulir padi sangat dipengaruhi temperatur. Enzim DFR yang mengkatalisa reduksi hydroflavonol menjadi leucountocyanidin dalam jalur biosentesa antosianin. Ekspresi DFR tertekan pada temperatur tinggi dan terpacu pada musim dingin. Transkripsi DFR berkorelasi dengan
10
kandungan antosianin pada bulir padi. Pada kondisi temperatur 20oC kandungan antosianin sebesar 59,496 ppm sedangkan pada temperatur 34o C hanya sebesar 11,266 ppm. Pengaruh lingkungan terhadap kandungan antosianin pada tanaman lettuce telah diteliti oleh Kleinhenz et al. (2003) . Hasil yang diperoleh bahwa tanaman yang ditumbuhkan pada temperatur konstan 30o C pada siang dan malam hari kandungan antosianinnya pada daun 176 ppm, sedangkan yang di tumbukan pada temperatur 30o C siang hari dan 18o C pada malam hari kandungan antosianinnya sebesar 231 ppm bobot basah. Hal ini membuktikan bahwa penurunan temperatur dapat meningkatkan kandungan antosianin. Perbedaan biosintesis antosianin diakibatkan antara lain karena perbedaan kelembaban, suhu mikro maupun kandungan air di kedua lingkungan yang berbeda tersebut. Phoka et al. (2004) menunjukkan bahwa akumulasi antosianin dalam bulir padi sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempengaruhi kerja enzim yang berperanan dalam biosintesis antosianin. Biosintesis ini akan melibatkan (dihydroflavonol 4-reductase) yang berperanan hydroflavonol menjadi
dalam
enzim DFR
mengkatalisa reduksi
leucoantocyanidin. Transkripsi DFR berkorelasi dengan
kandungan antosianin dalam bulir padi. Pada kondisi suhu 20 0C kandungan antosianin sebesar 59,496 ppm, sedangkan pada suhu 34 0C hanya sebesar 11,266 ppm. Reddy et al., (1994) menambahkan pengaruh penyinaran dengan interval waktu berbeda pada bibit padi mengakibatkan terjadi perbedaan akumulasi pigmen antosianin, sedangkan bibit yang diperlakukan pada kondisi gelap tidak mengandung antosianin. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nabhushana dan Reddy (2004), di mana perlakuan kekeringan pada perkecambahan padi beras merah menghasilkan peningkatan kecepatan yang nyata terhadap akumulasi antosianin di daun, pada hampir semua genotipe padi yang diperlakukan yaitu R27, G962, Nagita 22, Prasanna, kecuali galur Hamsa (sedikit warna). Warna yang nampak pada daun sangat dipengaruhi oleh perbedaan genetik tanaman tersebut. Genotipe homozigot resesif pada beberapa lokus atau heterozigot untuk allel yang menghambat warna dominan, akan menghasilkan perubahan warna fenotipe baik pada yang berwarna maupun yang kurang berwarna. Di antara yang diberi perlakuan pengaruh kekeringan nyata lebih efektif dalam memacu lintasan flavonoid dibandingkan dengan perlakuan tanpa cekaman. Sementara semua
11
komponen genotipe menunjukkan peningkatan akumulasi pigmen antosianin akibat stres kekeringan, tertapi bagi genotipe yang tidak berwarna tidak terjadi. Dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa
akumulasi antosianin pada komponen genotipe padi
diakibatkan karena stres kekeringan . 3. Ketahan Penyakit Blas Pada Padi Gogo Penyakit blas yang disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzae Cav. atau Magnaporthe orzae (TeBeest, Guerber dan Ditmore, 2007) merupakan salah satu kendala utama budidaya padi terutama padi gogo. Kerugian yang diakibatkan dapat mencapai 50 – 90 % bahkan dapat menggagalkan panen (Amir dan Kardin, 1991). Penyakit blas menyerang semua stadia pertumbuhan padi, baik pada daun, buku, leher malai maupun gabah, tetapi jarang ditemukan pada pelepah daun (TeBeest et al., 2007). Gejala penyakit blas pada daun berupa becak nekrose berwarna coklat (Gambar 1). Apabila kondisi lingkungan mendukung maka jamur P. oryzae dapat mengadakan sporulasi pada permukaan daun (Gambar 7). Jamur P. oryzae juga menyerang buku, pangkal malai,
malai dan gabah dengan gejala pembusukan pada bagian-bagian
tersebut (Gambar 3, 4 dan 5). Sporulasi jamur P. oryzae dapat juga terjadi pada gabah (Gambar 6).
Gambar 1. Gejala penyakit blas pada daun padi
Gambar 2. Jamur P. oryzae mengadakan sporulasi pada daun padi
12
Gambar 3. Gejala penyakit blas pada leher malai
Gambar 4. Gejala penyakit blas pada malai
Gambar 5. Gejala penyakit blas pada gabah
Gambar 6. Jamur P. oryzae mengadakan sporulasi pada daun gabah
Gambar 7. Koloni jamur P. oryzae pada medium PDA
Gambar 8. Bentuk konidia P. oryzae bersel tiga
Di Indonesia ditemukan 8 ras blas yang dominan (Mukelar dan Edwin, 1987), dan telah ditetapkan tujuh varietas Indonesia sebagai varietas diferensial (Mogi, 1990).
13
Perkembangan blas dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan varietas yang berbeda yang menyebabkan penyakit yang berbeda pula. Selain itu keberadaan ras di lapangan tergantung pada tempat dan musim (Ahn dan Amir, 1985). Di lapangan dapat terjadi suatu varietas yang semula tergolong tahan setelah ditanam 2 – 3 musim tanam secara berturut-turut ternyata varietas tersebut menjadi peka. Varietas yang tahan pada suatu tempat dapat menjadi peka pada daerah lain (Amir dan Kardin, 1991). Luasan serangan hama dan penyakit padi berdasarkan kompilasi data statistik pertanian IV(SP IV 2006) oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah wereng cokelat 26.542 ha/th, penyakit tungro 13,327 ha/th dan blas 9.674 ha/th. Estimasi kehilangan hasil padi oleh hama dan penyakit utama mencapai 212.984 tGKP/musim tanam (Soetarto et al. 2001). Sehingga hama dan penyakit penting ini perlu mendapat prioritas penanganan
14
BAB. III. PETA JALAN PENELITIAN A. Penelitian yang sudah dilakukan Penelitian yang sudah dilakukan antara lain a. Koleksi dan karakterisasi genotipe padi beras merah yang berasal dari daerah Nusa Tenggra Barat ( Pulau Lombok dan Sumbawa), daerah Nusa Tenggara Timur ( Flores ) dan Bali. Dari hasil penelitian tersebut telah terkoleksi 20 kultivar padi beras merah. Adapun Nama kultivar, asal daerah dan beberapa sifat kuantititatif penting dari masing-masing kultivar tersebut dapat dilihat pada Tabel di bawah ini (Muliarta dan Kantun. 2002) Tabel 1 . Sifat-sifat kualitatif Kultivar padi beras merah hasil koleksi dari beberapa daerah NTB, NTT dan Bali No
Nama lokal /daerah/kultivar
Asal
Warna gabah
Bulu gabah Tidak
1
Fare Kala Isi Tolo
Bima
Kuning
2
Fare Kala Me'e Doro
Bima
3
Beak Ganggas
4 5
Fare Kala Donggo Beras beak Pujut
6 7 8 9 10 11
Fare Keta Soba Beras merah Sri Beras Merah Dhu'u Padi merah isi Piong Padi Beras Merah Angka Padi Beak Gamang
12
Pare Lutung
Lombok Timur Bima Lombok Tengah Bima Bima Dompu Dompu Sumbawa Lombok Barat Lotim
13
Padi Lada
14
Padi Abang Kumbok
15 16 17 18
Monca Kalo Pare jarak Padi Barak Keta Ronci
Lombok Barat Lombok Timur Bima Bima Bali Bima
19
Fare Jara
Dompu
20
Reket beak
Lombok Barat
Warna beras
Bentuk gabah Ramping
Merah
Kuning kehitaman Kuning keemasan Kuning pucat Kuning pucat
Bulu
Merah
Bulu Bulu Tidak
Merah kehitaman Merah muda Merah muda
Agak ramping Agak Ramping Ramping Ramping
Kuning coklat Kuning Pucat Kuning Pucat Kuning Kuning Kuning
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Bulu
Merah Merah Merah Merah Merah Merah
Ramping Ramping Ramping Ramping Ramping Ramping
Kuning
Bulu
Kuning pucat
Bulu
Merah kehitaman Merah
Agak ramping Ramping
Kuning pucat
Bulu
Merah
Ramping
Kuning pucat Kuning Kuning Kuning keemasan Kuning
Tidak Tidak Tidak Bulu
Merah/putih Merah/putih Merah Merah
Ramping Ramping Montok Ramping
Bulu
Merah
Kuning
Tidak
Merah
Agak ramping Ramping
15
Beberapa contoh beras dan gabah dari kultivar padi beras merah tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Gambar 9. Fare Keta Soba
Gambar 10. Kultivar Angka
Gambar 12. Fare Kala Sri
Gambar 13. Kultivar Piong
Gambar 11. Kala Isi Tolo
b. Pembentukan Genotipe padi beras merah tahan kekeringan dengan menggunakan metode seleksi Back cross. Penelitian ini diawali dengan melakukan seleksi untuk memperoleh tetua donor dan tetua berulang, dan diperoleh tetua donor (tahan kering) adalah kultivar Kenya berupa padi beras putih tergolong Sub spesies Japonica, serta tetua berulang (umur genjah, hasil tinggi) adalah kultivar Piong, Angka, Sri dan Pujut yang ke seluruhnya merupakan padi beras merah dan tergolong sub spesies indica. Keturunan persilangan (F1) antara tetua donor (Kenya) dengan tetua berulang berdasarkan
(Pujut, Sri, Angka dan Piong) dievaluasi toleransi terhadap kekeringan indeks kering pucuk dan penyembuhan. Famili hasil seleksi tersebut
disilangkan dengan tetua berulang (Back Cross 1). Genotipe F1BC1 kemudian di evaluasi kembali sifat kekeringannya seperti kegiatan F1, Genotipe terseleksi disilangkan kembali dengan tetua berulang melalui kegiatan Back Cross 2, kegiatan yang sama dilakukan hingga Back Cross 4, sehingga diperoleh 20 genotipe F1BC4, yang terdiri atas 9 genotipe Kenya/Angka dan 11 genotipe Kenya /Piong. Genotpe F1 BC4 ini kemudian di selfing (Muliarta dkk, 2006).
16
c. Pembentukan galur harapan padi beras merah berumur genjah tahan kekeringan
serta
berdaya hasil tinggi. Penelitian ini
dilakukan dengan
menggalurkan genotipe F1BC4 padi beras merah hasil selfing yang berupa genotipe F2BC4. Pelaksanaannya dengan menanam 400 rumpun padi
beras merah per
genotipenya kemudian dilakukan seleksi sebesar 5 % berdasarkan berat gabah per rumpunnya serta umur genjah. Hasil seleksi di Bulk kemudian ditanam kembali sejumlah
100 rumpun per galur dan dilanjutkan dengan seleksi sebesar 5 %
berdasarkan berat gabah per rumpun serta umur genjah. Sehingga terpilih 15 galur padi beras merah toleran kekeringan. Ke 15 galur tersebut terdiri atas 8 galur yang berasal dari hasil perkawinan padi beras merah Piong dengan Kenya dan 7 galur berasal dari hasil perkawinan padi beras merah Angka dengan Kenya. Galur tersebut
masih
memiliki karakteristik yang beragam terutama pada sifat hasil dan komponen hasilnya. Beberapa contoh galur dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Kisaran hasil yang di peroleh dari galur-galur tersebut adalah 4,08 ton/ha hingga 6,2 ton/ha dengan umur rata-rata genjah (105 hari) (Muliarta, 2010).
Gambar 14: Galur harapan 1 s/d 4 Padi beras merah toleran kekeringan
Gambar 15 : Galur harapan 9 s/d 12 Padi beras merah toleran kekeringan
17
BAB IV. MANFAAT PENELITIAN Melalui penelitian ini akan diperoleh beberapa manfaat seperti : 1. Melalui penelitian ini akan dihasilkan calon varietas padi gogo beras merah umur genjah yang berdaya hasil tinggi yang relatif stabil dan atau spesifik lokasi pada daerah dataran rendah, dataran medium , dataran tinggi. 2. Melalui penelitian ini akan tersedia informasi kandungan dan hasil antosianin pada setiap genotipe padi beras merah pada elevasi ketinggian berbeda (dataran rendah, medium dan tinggi) 3. Melalui penelitian ini akan tersedia informasi tentang tingkat ketahanan terhadap penyakit blas serta diskripsi pada genotype – genotype teruji. Dari manfaat yang dihasilkan diatas maka diharapkan penanaman padi gogo dilahan-lahan kering pada berbagai ketinggian dapat diperluas. Sehingga swasembada pangan yang kita raih saat ini tetap dapat dipertahankan. Demikian pula
dengan
membiasakan mengkonsumsi beras merah akan diharapkan mampu meningkatkan kesehatan.
18
BAB V. METODE PENELITIAN A.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini
terdiri atas 4 percobaan. Percobaan I : Uji adaptasi galur
harapan padi beras merah pada tiga elevasi lokasi padi gogo di pulau Lombok. Percobaan II. Diskripsi sifat kuantitatif dan kualitatif galur harapan padi beras merah. Percobaan III. Uji Ketahanan penyakit blas pada galur harapan padi beras merah. Percobaan IV. Uji kandungan antosianin beras pada lingkungan gogo. Percobaan I dilakukan pada 3 lokasi sentral penanam padi gogo di pulau Lombok yaitu di kabupaten Lombok Tengah desa Mantang dataran rendah ( < 400 m dpl), kabupaten Lombok Tengah desa Lantan Duren untuk dataran medium ( 400 – 700 m dpl) dan kabupaten Lombok Timur desa Sembalun untuk daerah dataran Tinggi ( > 700 m dpl); Waktu kegiatan untuk tanam gogo dilakukan mulai bulan Januari – Agustus 2012, Percobaan II dilakukan bersamaan dengan percobaan I. Percobaan II dilakukan di Laboratorium dan rumah kaca Fakultas Pertanian Unram mulai bulan Juni 2012. Percobaan III dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Universitas Brawijaya Malang pada bulan Oktober 2012. A.2. Prosedur Penelitian Percobaan 1
: Uji adaptasi galur-galur harapan padi beras merah 3 elevasi lokasi Gogo di Pulau Lombok
Luaran
: Untuk mendapatkan calon varietas unggul padi gogo beras merah umur genjah dengan daya hasil tinggi yang stabil atau beradaptasi khusus pada masing-masing ketinggian daerah gogo di
pulau
Lombok. Metode
: Kegiatan dilakukan di 3 (tiga) lokasi sentral penanaman padi gogo yaitu dataran rendah, medium dan dataran tinggi. Pada setiap lokasi penanaman dirancang dengan metode Rancangan Acak Kelompok 3 ulangan. Sebagai perlakuan berupa 20 genotipe yaitu 15 galur harapan padi beras merah yang berasal dua sumber populasi berbeda ( 7 genotipe dari persilangan back cross Angka x Kenya
yaitu
AKBC52-16-17-8, AKBC52-16-22-12, AKBC52-16-22-13, AKBC52-
19
16-22-15, AKBC52-16-22-16, AKBC52-16-22-20, AKBC86-47-43-23 dan 8 genotipe dari persilangan
back cross Piong x Kenya yaitu,
PKBC179-168-88-36, PKBC179-168-124-44, PKBC179-168-127-61, PKBC179-168-134-103, PKBC179-168-138-143, PKBC183-173-142146, PKBC186-177-156-167, PKBC186-177-156-172) dan 3 tetua yaitu kultivar Piong, Angka dan Kenya, serta
2 varietas unggul
nasional sebagai pembanding yaitu Situ Patenggang ( padi gogo tahan blas), dan Aik Sibondang (padi sawah beras merah peka blas), Prosedur
:
Penanaman dilakukan seminggu setelah
tanah diolah dan
digemburkan dengan traktor. Penanaman setiap genotipe dilakukan pada luasan lahan 4 x 5 m, dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Penanaman dilakukan dengan cara tugal, 2 benih per lubang tanam yang nantinya di tinggalkan
1 tanaman. Satu hari sebelum tanam tanah ditaburi
dengan Furadan 3 G dengan dosis 5 gram / m2. Pengairan diberikan
berdasarkan air hujan.
Pemupukan
dilakukan dengan tiga tahap; tahap pertama pupuk dasar Ponska dosis 300 kg/ha dan Urea dosis 200 kg/ha . Pupuk ponska diberikan bersamaan dengan saat tanam. Tahap kedua dan ketiga berupa pupuk susulan masing-masing berupa Urea 100 kg/ha diberikan pada umur 30 dan 50 hst. Pemupukan diberikan dengan cara tugal. Penyiangan dilakukan 2 kali, yaitu sehari sebelum pemupukan susulan diberikan. Penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Pengendalian hama walang sangit dilakukan dengan insektisida Matador konsentrasi 2 cc/l dilakukan pada umur tanaman 90 hst. Pemanenan dilakukan setelah
pada saat tanaman 80
%
mencapai kriteria panen, malai telah masak fisiologis, batang dan daun telah mulai menguning serta gabah berwarna kuning dan keras. Pemanenan dilakukan setelah pada saat tanaman 80 % mencapai kriteria panen, batang,daun telah mulai menguning gabah berwarna kuning dan keras. Pengamatan
: Dilakukan pada
tinggi tanaman, panjang malai, umur berbunga,
20
jumlah gabah berisi dan hampa permalai, bobot 100 butir , jumlah anakkan produktif dan non produktif, bobot gabah per rumpun, hasil per hektar Analisis data
: Analisis sidik ragam untuk data setiap lokasi mengikuti Rancangan Acak Kelompok (RAK), kemudian diadakan pengujian homogenitas ragam acak masing-masing lokasi dengan uji F Snedecor (Nasrullah, 1994). Bila ragamnya homogen, dilanjutkan dengan analisis gabungan untuk mengetahui sampai seberapa jauh adanya interaksi antara galur/varietas yang dievaluasi dengan lokasi. Dalam analisis ini pengaruh galur dianggap sebagai pengaruh tetap, sedangkan lokasi dan ulangan dalam lokasi dianggap pengaruh acak. Sehingga model yang digunakan adalah model campuran. Bila dalam analisis ragam gabungan interaksi genotipe dan lingkungan (GxE) nyata maka diteruskan dengan analisis AMMI (Gauch, 1992) untuk memilih genotipe stabil dan spesifik lingkungan. Dalam teknik analisis varian model AMMI, estimasi stabilitas genotipe berdasarkan atas besarnya nilai aksis interaksi G x E
dari hasil analisis
interaksi komponen
utama (Interaction
Principal Componen Axis, IPCA) (Cornellius,1993). Genotipe yang tumbuh di lintas lingkungan pengujian dan memberikan nilai AIKU (aksis interaksi komponen utama) atau IPCA yang mendekati nol, memberikan indikasi bahwa genotipe tersebut bersifat stabil. Jika nilai IPCA sangat jauh dari titik nol menunjukkan genotipe tersebut memiliki daya adaptasi spesifik (Gauch,1992). Percobaan 2
: Diskripsi sifat kuantitatif dan kualitatif pada galur harapan padi beras merah
Luaran
: Untuk menghasilkan deskripsi sifat kuantitatif dan kalitatif
yang
lengkap dan jelas pada masing-masing calon varietas yang diusulkan sehingga memungkinkan untuk identifikasi dan pengenalannya secara akurat Metode
: Penelitian dilakukan
secara diskriptif
dengan mengamati sifat
kuantitatif dan kualitatif galur padi beras merah mulai masa vegetatif,
21
generatif dan pasca panen. Kegiatan ini di lakukan di lapang dan Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Unram.
Rancangan
penamanan untuk perlakuan sama seperti Percobaan 1. Pengamatan
: Pengamatan di lakukan dengan pengukuran terhadap sifat kuantitatif dan kualitatif
pada
sejumlah individu setiap galur harapan dan
tetuanya, yaitu (Berdasarkan
Guidelines for the conduct of tes for
distinctness, homogeneity and stability of rice, 2006) : 1. Umur
50 % berbunga (50 % tanaman telah memiliki malai)
(sangat genjah, genjah, sedang, dalam, sangat dalam) 2. Warna Koleoptil (tidak berwana, hijau atau ungu) 3. Warna daun bagian bawah/pelepah (Hijau, garis-garis ungu, ungu muda atau ungu) 4. Bulu permukaan daun ( sangat lemah, lemah, sedang, kuat atau sangat kuat) 5. Warna lidah daun (tidak berwana, hjau, garis-garis ungu, ungu muda, ungu Daun bendera (tegak, semi-tegak, horizontal, melengkung) 6. Batang (tegak, semi tegak, terbuka, agak terbuka, menyebar) 7. Tinggi tanaman/Panjang batang (sangat pendek, pendek, sedang, panjang, sangat panjang) 8. Ketebalan Batang ( tipis, sedang, tebal). Panjang batang (sangat pendek, pendek, sedang, panjang, sangat panjang) 9. Anakan produktif dan non produktif(sedikit, sedang, banyak) 10. Panjang malai pada cabang utama
(sangat pendek, pendek,
sedang, panjang, sangat panjang) 11. Penampilan malai ( tegak, agak tegak, merunduk, patah) 12. Jumlah malai per rumpun (sedikit, sedang, banyak) 13. Bulu ujung gabah (tidak ada, ada) Warna bulu ujung gabah (Putih kekuningan, coklat kekeringan, coklat, coklat kemerah-merahan, merah muda, merah, ungu, ungu muda, hitam) 14. Umur matang (sangat genjah, genjah, sedang, dalam, sangat dalam)
22
15. Bobot 100 biji ( sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat) 16. Kerontokan gabah (sedikit, sedang, banyak) 17. Warna
beras pecah kulit (putih, coklat muda, bercak-bercak
coklat, coklat tua, merah muda, merah, bercak-bercak ungu, ungu, hitam) 18. Kandungan antosianin (ppm) 19. Ketahanan terhadap penyakit blas (peka, agak tahan/toleran, tahan) Percobaan 3
: Uji ketahanan penyakit Blas pada galur-galur harapan padi beras merah
Luaran
: Untuk mengetahui berbagai tingkat ketahanan/ toleran terhadap penyakit Blas pada galur-galur padi beras merah yang diujikan
Metode
: Kegiatan untuk uji ketahanan
penyakit Blas dilaksanakan di
laboratorium hama penyakit dan rumah kaca Fakultas Pertanian Unram. Penanaman dirancang dengan metode Rancangan Acak Lengkap
3
ulangan. Sebagai perlakuan berupa 21 genotipe. Prosedurnya
: Genotipe yang diuji ditanam pada ember plastik persegi panjang dengan ukuran 30 cm x 20 cm , ditanam secara gogo. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan melakukan pemupukan Ponska dosis 300 kg/ha dan uea 200 kg /ha , pemupukan dilakukan sebelum tanaman ditanam. Miselia pathogen jamur blas Pyricularia Grisea ditumbuhkan pada media potato dektrose agar (PDA), pada umur 5 hari dipindahkan ke media sporulasi yaitu media oatmeal agar (OMA). Pada media OMA, pathogen P. grisea ditumbuhkan selama 1 hari. Pada hari ke 10 diadakan penggosokan koloni untuk membersihkan miselia udara dengan air steril yang mengandung streptomysin 100 ppm. Penggosokan miselia dilakukan dengan menggunakan kwas gambar no 10 yang sudah di sterilkan . koloni yang telah digosokan diinkubasikan ke dalam inkobator bercahaya neon 20 watt selama 2 x 24 jam untuk merangsang sporulasi. Pembuatan larutan konidia sebagai inokulum dilakukan dengan
23
cara menggosokan koloni dengan kuas gambar 10 pada saat umur 12 hari. sebelum digosokan,
pada masing-masin cawan petri
ditambahkan air steril yang mengandung teen 20 sebanyak 0,02 %. Inokulasi dilakukan pada tanaman padi umur 18-21 hari setelah tanam (HST) atau setelah tanaman berdaun 4 sampai 5 helai dengan menggunakan metode penyemprotan. Konsentrasi inokulum yang digunakan 3 x 105 konidia/ml. setelah diinokulasi, tanaman diletakan dalam kamar lembab selama 24
jam . selanjutnya
kerumah kaca dengan kelembaban di atas instensitas serangan blas daun
dipindahkan
90 %. Pengamatan
dilakukan 7 hari setelah inokulasi
dengan menggunakan stanar evaluasi IRRI (IRRI 1996) Pengamatan
: Variabel-variabel yang diamati meliputi: (1). Intensitas penyakit blas dilakukan pada umur 30 hari setelah tanam dengan menghitung jumlah daun yang terserang pada setiap nilai skala kerusakan. Untuk menilai reaksi masing-masing galur padi beras merah terhadap penyakit blas digunakan Standard Evaluation System For Rice (Anonim, 1980) seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai skala kerusakan tanaman padi oleh penyakit blas Nilai Skala
Persentase Serangan (P)
Reaksi Ketahanan
0 1 2 3 4 5
Tidak ada serangan P1% 1%
Sangat Tahan Tahan Agak Tahan Agak Peka Peka Sangat Peka
Untuk menghitung persentase intensitas penyakit blas digunakan rumus: Σ (ni x vi) P=
x 100 % (Z x N)
P = Persentase intensitas penyakit ni = jumlah tanaman pada setiap skala serangan
24
vi = skor dari setiap skala serangan Z = skor dari skala serangan tertinggi (= 5) N = jumlah tanaman yang diamati.
Percobaan 4 : Uji Kandungan Antosianin Beras Merah pada Lingkungan gogo Luaran
: Untuk mengetahui kandungan dan hasil antosianin beras merah pada setiap galur harapan dan responnya jika ditanam pada
lokasi
lingkungan elevasi ketinggian tanam gogo berbeda Metode
: Penelitian dilakukan pada lokasi elevasi gogo dataran rendah, medium dan dataran tinggi. Pada setiap lokasi penanaman dirancang dengan metode Rancangan Acak Kelompok 3 ulangan. Sebagai perlakuan berupa 19 genotipe ( 15 galur-galur harapan padi beras merah), 3 tetua (Piong, Angka dan Kenya) dan 1 varietas pembanding (Aek Sibundong)
Pengamatan
:. Analisis kandungan antosian beras dihitung dengan menggunakan metode Shi et al.(1992) sebagai berikut: Konsentrasiantosianin( mg / ml )
absorbansi max xBM xb
∆ abs max = abs max pada pH 1,0 – abs pada pH 4,5 BM = berat molekul antosianin, misalnya : sianidin 3 glikosida = 445,2 ε = koefisien absorbtivitas. Misalnya : sianidin 3 glikosoda = 26600 mol-1 b = diameter kuvet = 1 cm
Kandunganantosianin(mg / g )
konsentrasi (mg / ml ) Fpolekstrak bobotbahan( sampel )
Fp = faktor pengenceran Prosedur (diagram) pembentukan ekstrak pigmen beras merah dapat dilihat seperti pada pengujian antosianin lahan sawah irigasi teknis (tahun I) Analisis data : Analisis sidik ragam untuk data setiap lokasi mengikuti Rancangan Acak Kelompok (RAK), kemudian diadakan pengujian homogenitas ragam acak masing-masing lokasi dengan uji F Snedecor (Nasrullah, 1994). Bila ragamnya homogen, dilanjutkan dengan analisis gabungan
25
untuk mengetahui sampai seberapa jauh adanya interaksi antara galur/varietas yang dievaluasi dengan lokasi. Dalam analisis ini pengaruh galur dianggap sebagai pengaruh tetap, sedangkan lokasi dan ulangan dalam lokasi dianggap pengaruh acak Data
kemudian dianalisis
berdasarkan Anova 5% dan Uji lanjutnya dengan Duncan .
26
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Uji Adaptasi Dan Stabilitas Hasil Galur Harapan Padi Beras Merah padaTiga Lokasi Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan perbedaan yang nyata pada interaksi genotipe Lokasi terhadap karakter tinggi tanamana, jumlah gabah berisi, jumlah gabah hampa, bobot 100 butir gabah, bobot gabah per rumpun, hasil gabah per ha.Tetapi tidak menunjukkan interaksi genotype x lokasi terhadap umur berbunga, jumlah anakan produktif, jumlah anakan non produktif,panjang malai. Adanya pengaruh genotipe x lokasi yang nyata memungkinkan untuk dilakukannya analisis AMMI (additive main effect and multiplicative interactions) dan mempolakan interaksi genotipe x Lokasi dengan biplot. Dari hasil analisis AMMI (Lampiran 1 – 10) tampak pengaruh interaksi genotipe x Lokasi menghasilkan dua komponen AIKU (Analisis Interaksi Komponen Utama) yaitu AIKU1 dan AIKU2. Nilai rerata genotipe, Lokasi dan nilai AIKU1 dan AIKU2, serta penampilan rata–rata karakteristik tiap – tiap genotipe, dimasing -masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 1, dan 20. 6.1.1 Umur Berbunga Pada 20 Genotip dan 3 Lokasi Hasil analisis ragam genotipe, interaksi genotipe x lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada umur berbunga, tetapi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap lokasi ( Lampiran 1). Pada Table 1 nampak bahwa umur berbunga untuk setiap genotipe di masing-masing lokasi sama. Hasil biplot bahwa
AIKU1 dan AIKU2 pada rerata umur berbunga menunjukkan
antara genotipe memberikan umur berbunga yang sama sedangkan antara
lokasinya berbedanyata. Umur berbunga paling lambat terdapat pada lokasi pada dataran Tinggi (L3) berumur 106,4 hari dan paling cepat pada lokasi dataran rendah L1 dan dataran medium L2 secara berurutan berumur 75,7 hari dan 76,4 hari.
Tabel 1 . Penampilan rata-rata umur berbunga 20 genotip di 3 lokasi Dataran Rendahh Dataran Medium Genotip (L1) (L2)
DataranTinggi (L3)
27
G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20
72,0 73,7 73,7 74,3 74,0 76,0 76,0 76,0 76,7 76,0 77,3 76,0 76,7 77,0 76,7 75,0 75,7 76,7 77,3 77,3
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a
77,0 75,7 77,3 76,0 76,7 76,3 76,3 75,3 75,3 76,3 76,3 77,0 76,7 77,3 76,0 77,3 75,3 77,0 76,3 76,7
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a
104,7 107,0 107,7 105,3 108,3 105,3 103,3 104,0 105,7 108,3 109,0 105,3 105,3 111,3 106,7 107,0 104,7 106,7 108,7 104.0
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a
Rata-rata 75.7 b 76.4 b 106.4 a Ket. Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji gerombol Scott-Knott 5% Tabel 2 . Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 karakter umur berbunga pada 20 genotip di 3 lokasi Genotip/Lokasi
Umur berbunga
AIKU1
AIKU2
G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9
84,6 a 85,4 a 86,2 a 85,2 a 86,3 a 85,9 a 85,2 a 85,1 a 85,9 a
-0,10 0,35 0,16 -0,12 -0,17 0,01 0,13 0,00 -0,09
0,28 -0,24 -0,21 0,05 0,16 0,13 0,00 0,01 0,05
G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 Rata-rata
86,9 a 87,6 a 86,1 a 86,2 a 88,6 a 86,4 a 86,4 a 85,2 a 86,8 a 87,4 a 86,0 a 86.2
-0,24 0,12 0,17 -0,02 0,51 -0,15 0,21 -0,30 -0,81 0,08 0,25
0,26 0,05 -0,09 -0,13 -0,16 0,17 -0,08 -0,21 -0,33 0,14 0,15
L1 L2 L3
75.7 a 76.4 a 106.4 b
0,73 0,22 -0,95
0,42 -0,60 0,18
28
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 1 nampak bahwa ada 19 genotipe yang mempunyai respon stabil di tiga lokasi kecuali G1, merupakan genotipe yang bersifat spesifik lokasi, pada dataran medium (L2). Genotipe yang setabil adalah genotipe yang berada dalam lingkaran. Genotipe G18, merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lain yang mempunyai respon stabil di semua lokasi adalah G3,G5, G10,G11,G13,G14,G15,G16,G18,G4,G19 memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
Gambar 1. Biplot interaksi model AMMI 2 umur berbunga tiap genotipe dan lokasi
6.1.2 Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam
genotipe, lokasi dan interaksi genotipe x lokasi
menunjukkan perbedaan yang nyata
pada
tinggi tanaman
( Lampiran 2).Tinggi
29
tanaman untuk setiap genotipe pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Table 3. Rata – rata tinggi tanaman di lokasi dataran rendah adalah 101,2 cm tinggi tersebut lebih rendah di bandingkan dengan lokasi dataran medium yaitu setinggi 103,7 cm sedangkan di lokasi dataran tinggi menujukkan tinggi tanaman terendah yaitu setinggi 79 cm. Pada lokasi dataran rendah (L1) tinggi tanaman tertinggi di jumpai pada G18 yaitu 127,3 cm dan terendah nampak pada G4. Pada lokasi medium ( L2) tinggi tanaman tertinggi di jumpai pada G18 yaitu 117.8 cm dan terendah nampak pada G1yaitu 117,8 cm. Pada lokasi dataran tinggi ( L3) tanaman tertinggi di jumpai pada G18 yaitu 103,8 cm dan terendah pada G 14 yaitu 55.6 cm
Tabel 3 . Penampilan rata-rata tinggi tanaman 20 genotip di 3 lokasi Dataran rendah Datara medium Dataran Genotip (L1) (L2) tinggi (L3) G1 95,2 b 93,3 b 76,1 c G2 100,7 b 103,4 b 73,8 c G3 100,6 b 94,4 b 78,5 c G4 94 b 103.4 b 77.5 c G5 99.3 b 98.7 b 81.5 c G6 103 b 113 a 85.1 b G7 101.8 b 102.7 b 74.8 c G8 95.8 b 97.2 b 78 c G9 102 b 104.8 a 83.9 b G10 98.6 b 109.1 a 85.6 b G11 96.3 b 100 b 76.6 c G12 95.1 b 96.8 b 64.6 d G13 100.9 b 106,4 a 78,1 c G14 97,8 b 94,4 b 55,6 d G15 105,7 b 115,2 a 89,9 b G16 96,3 b 99,2 b 75,4 c G17 103,3 b 110 a 89,4 b G18 127,3 a 117,8 a 103,8 a G19 107,9 b 109,3 a 79,8 c G20 103,1 b 105,3 a 72,2 c Rata-rata 101,2 103,7 79.0 Ket. Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji gerombol Scott-Knott 5%
Hasil biplot
AIKU1 dan AIKU2 pada rerata tinggi tanaman di tiga lokasi
Tabel 4. menunjukkan bahwa G18 memberikan penampilan tinggi tanaman tertinggi
30
yaitu 116,3 cm, sedangkan genotipe yang menunjukkan tinggi tanaman terendah nampak pada G14 yaitu 82,6 cm. Tinggi tanaman paling rendah terdapat pada lokasi dataran tinggi (L3) 79 cm dan paling Tinggi. Pada lokasi Lantan dataran medium (L2) dan Mantang dataran rendah (L1) secara berurutan tinggi tanaman 103.2 cm dan 101,7 cm.
Tabel 4 . Nilai rerata AUKU 1,AIKU 2 karakter Tinggi tanaman pada 20 genotip di 3 lokasi Genotip/Lokasi tinggi tanaman AIKU1 AIKU2 G1 88,2 d -0,72 0,48 G2 92,6 c -0,56 -0,31 G3 91,2 c -1,32 -1,08 G4 91.6 c 0.40 0.06 G5 93.2 c 0.98 -1.23 G6 100.4 b 0.50 0.03 G7 93.1 c -0.78 0.62 G8 90.3 c 0.21 -0.46 G9 96.9 b 0.69 0.44 G10 97.8 b 1.14 0.17 G11 91.0 c 1.86 0.73 G12 85.5 d -1.85 0.69 G13 95,1 c -0,34 -0,62 G14 82,6 d -0,94 0,18 G15 103,6 b 1,39 0,15 G16 90,3 c -1,15 0,03 G17 100,9 b 1,03 -0,90 G18 116,3 a 0,20 0,50 G19 99,0 b -0,91 -0,42 G20 93,5 c 0,15 0,95 Rerata 94,7 L1 101,2 a -2,12 1,79 L2 103,7 a -1,46 -2,03 L3 79 b 3,58 0,24
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 2 nampak bahwa ada 18 genotipe yang mempunyai respon stabil di tiga lokasi kecuali G14,G18. Merupakan genotipe yang bersifat spesifik lokasi pada dataran rendah. Genotipe yang paling stabil di bandingkan dengan rerata umumnya adalah genotipe yang berada dalam lingkaran yaitu G9,G11,G7,19 merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya.
31
Genotipe lain yang mempunyai respon stabil adalah G13,G9,G19, G10, G15,G17,G6. Memiliki tinggi tanaman lebih tinggi dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
Gambar 2 . Biplot AMMI 2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata tinggi tanaman tiap genotipe di tiga lokasi
6.1.3 Jumlah Anakan Produktif Hasil analisis ragam, interaksi genotipe x lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah anakan produktif, tetapi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap genotipe dan lokasi ( Lampiran 3). Pada Tabel 5 nampak bahwa jumlah anakan untuk setiap genotipe di dataran rendah, medium, tinggi sama mempunyai rerata jumlah anakan produktif per rumpun sama.
32
Tabel
5. Penampilan rata-rata jumlah anakan produktif 20 genotip di 3 lingkungan Datara Dataran Dataran rendah Medium tinggi Genotip (L1) (L2) (L3) G1 22,8 a 21,3 a 25,0 a G2 18,3 a 20,0 a 22,7 a G3 18,0 a 22,1 a 19,2 a G4 20,6 a 21,4 a 29,8 a G5 15,9 a 22,1 a 30,4 a G6 18,9 a 20,0 a 28,8 a G7 18,8 a 16,8 a 20,4 a G8 15,8 a 18,6 a 24,8 a G9 15,1 a 14,8 a 25,4 a G10 18,0 a 19,0 a 31,3 a G11 20,1 a 19,4 a 36,7 a G12 23,2 a 20,2 a 18,7 a G13 16,7 a 19,7 a 22,8 a G14 21,3 a 20,9 a 22,8 a G15 19,7 a 20,9 a 34,4 a G16 19,6 a 19,6 a 20,0 a G17 17,6 a 22,6 a 31,9 a G18 10,6 a 9,7 a 18,0 a G19 11,6 a 13,4 a 14,1 a G20 21,9 a 19,2 a 28,3 a Rata-rata 18,2 19,1 25,3 Ket. Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji gerombol Scott-Knott 5%
Hasil biplot AIKU1 dan AIKU2 pada rerata jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa antara genotipe di tiga lokasi memberikan jumlah anakan produktif yang sama sedangkan antara lokasinya berbeda nyata, jumlah anakan produktif paling banyak terdapat pada lokasi dataran tinggi (L3) yaitu 25,3 buah dan paling sedikit pada lokasi dataran rendah (L1) dan dataran medium (L2) secara berurutan jumlah anakan produktif 18,2 buah dan 19.1.
33
Tabel 6. Nilai skor dua AUKU1 pertama karakter Jumlah Anakan Produktif pada 20 genotip dan 3 lokasi Genotip/Lokasi Jumlah Anakan Produktif AUKU1 AUKU2 G1 23,0 a -0,72 0,48 G2 20,3 a -0,56 -0,31 G3 19,8 a -1,32 -1,08 G4 23.9 a 0.40 0.06 G5 22.8 a 0.98 -1.23 G6 22.6 a 0.50 0.03 G7 18.7 a -0.78 0.62 G8 19.7 a 0.21 -0.46 G9 18.4 a 0.69 0.44 G10 22.8 a 1.14 0.17 G11 25.4 a 1.86 0.73 G12 20.7 a -1.85 0.69 G13 19.7 a -0,34 -0,62 G14 21,7 a -0,94 0,18 G15 25,0 a 1,39 0,15 G16 19,7 a -1,15 0,03 G17 24,0 a 1,03 -0,90 G18 12,7 a 0,20 0,50 G19 13,0 a -0,91 -0,42 G20 23,1 a 0,15 0,95 rerata 20,9 L1 18,2 c -2,12 1,79 L2 19,1 b -1,46 -2,03 L3 25,3 a 3,58 0,24
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 3 nampak bahwa ada 16 genotipe yang mempunyai respon stabil di tiga lokasi kecuali G12,G3,G11 dan G5 merupakan genotipe yang bersifat spesifik lokasi. Pada lokasi Mantang dataran rendah (L1) adalah G12 pada lokasi Lantan dataran medium (L2) G3 dan G5 pada lokasi Sembalun dataran tinggi (L3) yaitu G11. Sedangkan genotipe yang berada dalam lingkaran yaitu G6 dan G16 merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lain yang mempunyai respon stabil di semua lokasi adalah G2, G5, G10,G6,G13,G9,G15,G16,G17,G8,G18,G19,G4 memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
34
Gambar 3. Biplot AMMI 2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata jumlah anakan produktif per rumpun tiap genotipe dan lokasi
6.1.4. Jumlah Anakan Non Produktif Per Rumpun Hasil analisis ragam,
lokasi dan interaksi genotipe x lokasi menunjukkan
perbedaan yang nyata pada jumlah anakan non produktif sedangkan terhadap lokasi lainya ( Lampiran 4). jumlah anakan non produktif untuk setiap genotipe pada masingmasing lokasi dapat dilihat pada Tabel 7. Rata – rata jumlah anakan non produktif di lokasi dataran rendah, medium dan tinggi.
35
Tabel 7 . Penampilan rata-rata Jumlah Anakan Non Produktif 20 genotip di 3 lokasi Dataran Dataran Dataran randah medium tinggi Genotip (L1) (L2) (L3) G1 1,00 a 0,78 a 4,78 a G2 1,11 a 0,22 a 7,89 a G3 0,33 a 1,56 a 4,78 a G4 0,44 a 0,44 a 2,89 a G5 1,11 a 0,89 a 6,89 a G6 0,56 a 0,33 a 5,22 a G7 2,11 a 0,00 a 10,56 a G8 0,67 a 1,00 a 5,67 a G9 0,33 a 0,33 a 4,89 a G10 1,67 a 0,44 a 5,67 a G11 1,11 a 0,44 a 6,89 a G12 1,78 a 0,89 a 9,11 a G13 0,22 a 0,33 a 6,67 a G14 0,22 a 0,56 a 9,67 a G15 1,78 a 0,44 a 5,44 a G16 1,00 a 0,33 a 8,00 a G17 1,67 a 0,33 a 6,78 a G18 0,22 a 0,56 a 1,56 a G19 1,00 a 0,22 a 6,22 a G20 0,78 a 0,67 a 8,56 a Ratarata 0,96 0,54 6,41 Ket. Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji gerombol Scott-Knott 5%
Hasil biplot
AIKU1 dan AIKU2 pada rerata jumlah anakan non produktif di
tiga lokasi Tabel 8. menunjukkan penampilan jumlah anakan non produktif sama antara Genotipe. Jumlah anakan non produktif paling banyak terdapat pada lokasi pada dataran tinggi (L3) yaitu 6,41 buah dan paling sedikit pada lokasi dataran medium L2 dan dataran rendah L1 secara berurutan jumlah anakan non produktif 0,54 buah dan 0,96 buah.
36
Table 8. Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 Karakter genotip di 3 lokasi Genotip/Lokasi Jumlah anakan non produktif G1 2,19 a G2 3,07 a G3 2,22 a G4 1.26 a G5 2.96 a G6 2.04 a G7 4.22 a G8 2.44 a G9 1.85 a G10 2.59 a G11 2.81 a G12 3.93 a G13 2.41 a G14 3,48 a G15 2,56 a G16 3,11 a G17 2,93 a G18 0,78 a G19 2,48 a G20 3,33 a rerata 2,63 L1 0,96 b L2 0,54 b L3 6,41 a
jumlah anakan non produktif pada 20 AUKU1 0,53 -0,47 0,59 0.96 -0.06 0.26 -1.18 0.27 0.34 0.28 -0.14 -0.64 -0,20 -1,04 0,36 -0,50 -0,07 1,34 0,00 -0,63 0,86 1,38 -2,23
AUKU2 0,04 0,11 -0,65 0.04 -0.11 -0.03 0.52 -0.30 -0.12 0.46 0.09 0.07 -0,31 -0,63 0,54 -0,01 0,43 -0,02 0,18 -0,31 1,11 -0,95 -0,16
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 4 nampak bahwa ada dua genotipe yang menunjukkan kestabilan yang bersifat spesifik lokasi dataran tinggi (L3) adalah G7 dan G14, Genotipe yang bersifat spesifik. Sedangkan genotipe yang berada dalam lingkaran yaitu G16 merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lain yang mempunyai respon stabil di semua lokasi adalah ,G2,G12 G20
memiliki
hasil jumlah anakan non produkitif besar dari rerata umumnya
sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
37
Gambar 4 . Biplot AMMI2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata jumlah anakan non produktif per rumpun tiap genotipe dan lokasi
6.1.5 Panjang Malai Hasil analisis ragam genotipe, dan lokasi menunjukakan perbedaan yang nyata pada panjang malai ( Lampiran 5). Panjang malai tanaman untuk setiap genotipe pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Table 9. Rata – rata panjang malai di lokasi dataran rendah, medium, tinggi tiap –tiap genotipe sama.
38
Tabel 9 . Penampilan rata-rata panjang malai 20 genotip di 3 lokasi Dataran Daratan rendah Lantanmedium tinggi Genotip (L1) (L2) (L3) G1 20,5 a 20,8 a 18,5 a G2 21,3 a 21,7 a 17,9 a G3 20,7 a 21,0 a 18,6 a G4 19,5 a 20,1 a 18,6 a G5 21,2 a 20,4 a 19,5 a G6 20,3 a 21,8 a 18,9 a G7 20,7 a 21,9 a 18,6 a G8 20,1 a 21,2 a 19,2 a G9 22,0 a 23,0 a 18,6 a G10 21,0 a 21,7 a 18,5 a G11 20,2 a 20,6 a 18,1 a G12 20,2 a 21,4 a 17,5 a G13 22,0 a 20,6 a 18,4 a G14 20,8 a 21,2 a 16,1 a G15 20,4 a 22,6 a 19,0 a G16 22,1 a 21,4 a 18,2 a G17 19,7 a 22,1 a 19,4 a G18 23,2 a 23,4 a 20,8 a G19 21,4 a 23,1 a 19,4 a G20 20,7 a 19,7 a 17,8 a Rata-rata 20,9 21,5 18,6 Ket. Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji gerombol Scott-Knott 5%
Hasil biplot AIKU1 dan AIKU2 pada rerata panjang malai di tiga lokasi Tabel 10. menunjukkan bahwa pada G18 memeberikan penampilan panjang malai tertinggi yaitu 22,5 cm, sedangkan genotipe yang menunjukkan panjang malai terendah nampak pada G19 dan G4 yaitu 19,4 dan 19,4 cm karakter panjang malai paling pendek terdapat pada lokasi pada dataran tinggi (L3) yaitu 18,6 cm panjang malai tertinggi terdapat pada pada lokasi Lantan dataran medium (L2) dan Mantang dataran rendah (L1) secara berurutan tinggi tanaman 21,5cm dan 20,9 cm.
Tabel 10. Nilai rerata skor AIKU 1, AIKU 2 karakter Panjang Malai
39
pada 20 genotip 3 lokasi Genotip/Lokasi Panjang malai G1 19,9 c G2 20,3 c G3 20,1 c G4 19.4 c G5 20.4 c G6 20.3 c G7 20.4 c G8 20.2 c G9 21.2 c G10 20.4 c G11 19.6 c G12 19.7 c G13 20.3 c G14 19,4 c G15 20,7 c G16 20,6 c G17 20,4 c G18 22,5 a G19 21,3 b G20 19,4 c rerata 20,3 L1 20,9 b L2 21,5 a L3 18,6 c
AUKU1 -0,07 0,39 -0,08 -0.51 -0.16 -0.39 -0.13 -0.52 0.38 0.04 -0.08 0.10 0,56 0,87 -0,38 0,61 -0,80 0,07 -0,19 0,30
AUKU2 0,22 -0,20 0,16 0.37 0.85 -0.20 -0.23 0.14 -0.47 -0.10 0.13 -0.37 0,60 -0,56 -0,50 0,15 -0,29 0,16 -0,41 0,55
1,38 -0,16 -1,22
0,57 -1,41 0,83
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 5 nampak bahwa ada 19 genotipe yang mempunyai respon stabil di tiga lokasi kecuali G14.merupakan genotipe yang bersifat spesifik lokasi. Pada dataran rendah genotipe yang stabil adalah genotipe yang berada dalam lingkaran. Genotipe lainya yang mempunyai respon stabil di semua lokasi adalah G2, G5, G10,G6,G13,G9,G15,G16,G17,G8,G18,G19 memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
40
Gambar 5: Biplot AMMI2 untuk panjang malai tiap genotipe dan lokasi
6.1.6 Jumlah Gabah Berisi Hasil analisis ragam
genotipe,
lokasi dan interaksi genotipe x lokasi
menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah gabah berisi ( Lampiran 6). Untuk setiap genotipe pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Table 11. Rata – rata jumlah gabah berisi di lokasi dataran rendah adalah 98,9 buah berat tersebut sama di bandingkan dengan lokasi dataran medium yaitu 98,9 buah sedangkan di lokasi dataran tinggi menujukkan jumlah gabah berisi terendah yaitu setinggi 37,9 gram. Pada lokasi dataran rendah (L1) jumlah gabah berisi tertinggi di jumpai pada G19 yaitu 183,2 buah.dan terendah nampak pada G18 yaitu 75,6 pada lokasi medium ( L2) jumlah gabah berisi tertinggi di jumpai pada G19 yaitu 150.9 buah dan terendah nampak pada G5 yaitu 76.9 buah. Pada lokasi dataran tinggi ( L3) jumlah gabah berisi tertinggi di jumpai pada G9 yaitu 56,2 buah dan terendah pada G 5 yaitu 42 buah.
41
Tabel 11 . Penampilan rata-rata jumlah gabah berisi 20 genotip di 3 lokasi Dataran Dataran Dataran Rendah Medium Tinggi Genotip (L1) (L2) (L3) G1 106,7 b 103,3 b 43,9 a G2 87,4 b 108,4 b 23,5 a G3 88,8 b 86,3 b 32,2 a G4 90,7 b 102,7 b 48,7 a G5 95,2 b 76,9 b 42 a G6 86,5 b 78,9 b 44,3 a G7 108,9 b 87,8 b 43,4 a G8 93,6 b 101,8 b 44,4 a G9 78,4 b 110,6 b 56,2 a G10 109,2 b 97,1 b 34,5 a G11 90,1 b 79,6 b 38,7 a G12 96,4 b 93,2 b 27,4 a G13 123,4 b 113,6 b 36,7 a G14 95,1 b 96,6 b 17,2 a G15 77,2 b 96,1 b 40,8 a G16 106,2 b 99,5 b 35,4 a G17 81,6 b 93,2 b 49,6 a G18 75,6 b 101,8 b 49,4 a G19 183,2 a 150,9 a 26,8 a G20 104,4 b 100,2 b 22,3 a Ratarata 98,9 98,9 37,9 Ket. Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbedanyata pada uji gerombol Scott-Knott 5% Hasil biplot AIKU1 dan AIKU2 pada rerata jumlah gabah berisi di tiga lokasi Tabel 12. menunjukkan bahwa pada G19 memberikan penampilan jumlah gabah berisi tertinggi yaitu 120 buah. sedangkan genotipe yang menunjukkan jumlah gabah berisi terendah nampak pada G14 yaitu 69,6 buah. Karakter jumlah gabah berisi paling berat terdapat pada lokasi pada dataran rendah Mantang (L1) dan Lantan dataran medium(L2) secara berurutan jumlah gabah berisi sama yaitu 98,9 buah dan 98,9 buah. Karakter jumlah gabah berisi paling rendah terdapat pada lokasi pada dataran tinggi (L3) yaitu 37,9 buah.
Tabel 12 . Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 karakter Junlah Gabah Berisi pada 20 genotip dan 3 lokasi
42
Genotip/Lokasi G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 rerata L1 L2 L3
Jumlah gabah berisi 84,6 b 73,1 b 69,1 b 80,7 b 71,4 b 69,9 b 80,0 b 79,9 b 81,7 b 80,3 b 69,5 b 72,3 b 91,2 b 69,6 b 71,4 b 80,4 b 74,8 b 75,6 b 120,3 a 75,6 b 78,6 98,9 a 98,9 a 37,9 b
AUKU1 -0,10 0,35 0,16 -0,12 -0,17 0,01 0,13 0,00 -0,09 -0,24 0,12 0,17 -0,02 0,51 -0,15 0,21 -0,30 -0,81 0,08 0,25
AUKU2 0,28 -0,24 -0,21 0,05 0,16 0,13 0,00 0,01 0,05 0,26 0,05 -0,09 -0,13 -0,16 0,17 -0,08 -0,21 -0,33 0,14 0,15
0,73 0,22 -0,95
0,42 -0,60 0,18
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 6 nampak bahwa ada 17 genotipe yang mempunyai respon stabil di tiga lokasi kecuali G2,G5,G9 merupakan genotipe yang bersifat spesifik lokasi. pada dataran medium dan dataran tinggi. genotipe yang paling setabil di bandingkan dengan rerata umumnya adalah Genotipe yang berada dalam lingkaran.yaitu G13,G12,G17 merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lainya yang mempunyai respon stabil di semua lokasi adalah G4,G7, G10,G16,G8,G18,G19 memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
43
Gambar 6. Biplot interaksi model AMMI 2 dari nilai AIKU dan tampilan rerata Jumlah Gabah Berisi tiap genotipe dan lokasi
6.1.7. Jumlah Gabah Hampa Hasil analisis ragam genotipe, lokasi dan interaksi genotipe x lokasi menunjukakan perbedaan yang nyata pada Jumlah gabah hampa ( Lampiran 7).jumlah gabah hampa untuk setiap genotipe pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Table 13. Rata – rata jumlah gabah hampa di lokasi dataran rendah adalah 21,6 buah. berat tersebut lebih tinggi di bandingkan dengan lokasi dataran medium yaitu 8,6 buah, sedangkan di lokasi dataran tinggi menujukan berat gabah hampa tertinggi yaitu 62,6 buah. Pada lokasi dataran rendah (L1) jumlah gabah hampa tertinggi di jumpai pada G18 yaitu 60,1 buah. dan terendah nampak pada G11 yaitu 10,7. Pada lokasi medium (L2) jumlah gabah hampa tertinggi di jumpai pada G11 yaitu 18,9 buah. dan terendah nampak pada G12 yaitu 3,8 buah. Pada lokasi dataran tinggi ( L3) tanaman tertinggi di jumpai pada G19 yaitu 109,2 buah. dan terendah pada G 17 yaitu 30,7 buah.
44
Tabel 13 . Penampilan rata-rata jumlah gabah hampa 20 genotip di 3 lokasi Dataran Dataran Dataran rendah medium tinggi Genotip (L1) (L2) (L3) G1 15,5 c 4,8 a 59,9 c G2 31,3 b 4,6 a 84,1 b G3 18,4 c 6,9 a 78,4 b G4 12,3 c 12,4 a 77,8 b G5 16,9 c 10,3 a 58,2 c G6 20,7 c 11,6 a 69,7 c G7 32,6 b 18,3 a 70,7 c G8 23,6 c 7,4 a 56,6 c G9 32,5 b 7,7 a 41,9 d G10 10,9 c 8,4 a 55,3 c G11 10,7 c 19,9 a 62,3 c G12 15,9 c 3,8 a 60,4 c G13 17,7 c 4,8 a 68,7 c G14 12,6 c 8,5 a 62,7 c G15 35,9 b 3,9 a 26,2 d G16 11,4 c 8,8 a 68,6 c G17 21,8 c 6,7 a 30,7 d G18 60,1 a 4,2 a 39,3 d G19 20,8 c 9,9 a 109,2 a G20 10,8 c 9,9 a 70,4 c Ratarata 21,6 8,6 62,6
Hasil biplot
AIKU1 dan AIKU2 pada rerata jumlah gabah hampa di tiga
lokasi Tabel 14. menunjukkan bahwa pada G19 memberikan penampilan jumlah gabah hampa tertinggi yaitu 46,6 buah sedangkan genotipe yang menunjukkan jumlah gabah hampa terendah nampak pada G7 yaitu 19,7 buah. karakter jumlah gabah hampa paling banyak terdapat pada lokasi pada dataran tinggi Sembalun (L3) yaitu 62,9 pada lokasi dataran rendah Mantang (L1) yaitu 21,6. Karakter jumlah gabah hampa paling rendah terdapat pada lokasi pada dataran Medium Lantan (L2) yaitu 8,6 buah
45
Tabel 14 . Nilai rerata skor AUKU 1,AIKU 2 karakter jumlah Gabah Hampa genotip dan 3 lokasi Genotip/Lokasi
jumlah gabah hampa
AUKU1
AUKU2
G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 rerata L1 L2 L3
26,7 b 40.0 a 34.6 a 34.2 a 28.5 b 34.0 a 40.5 a 29.2 b 27.4 b 24.9 b 31.0 b 26,7 b 30,4 b 27,9 b 22,0 b 29,6 b 19,7 b 34,5 a 46,6 a 30,4 b 30,9 21,6 b 8,6 c 62,6 a
-0,27 -1.17 -1.59 -1.91 0.05 -0.64 0.22 0.63 2.51 -0.16 -0,63 -0,29 -0,84 -0,66 4,02 -1,24 2,67 4,66 -3,96 -1,42
0,14 -2.58 -0.81 0.52 0.88 0.11 -0.03 -0.01 0.03 1.29 2,55 -0,08 -0,53 0,76 0,04 0,59 1,43 -2,73 -2,27 0,69
5,80 0,99 -6,79
-2,87 4,64 -1,77
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 7 nampak bahwa ada 14 genotipe yang mempunyai respon stabil di tiga lokasi kecuali G19,G2,G15.G18,G11. merupakan genotipe yang bersifat spesifik
lokasi. pada dataran rendah Mantang (L1) yaitu
G15,G18.pada dataran medium Lantan (L2) yaitu G11,G17.
Pada dataran tinggi
Sembalun (L3) yaitu.G19 dan G2 genotipe yang paling setabil di bandingkan dengan rerata umumnya adalah Genotipe yang berada dalam lingkaran.yaitu G6,G7,G8,G9, merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lainya yang mempunyai respon stabil di semua lokasi adalah G4,G3, memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
46
Gambar 7. Biplot AMMI 2 dari nilai AIKU 2 dan tampilan rerata jumlah gabah hampa per malai tiap genotipe dan lokasi
6.1.8 Bobot 100 butir gabah Hasil analisis ragam genotipe, lokasi interaksi genotipe x lokasi menunjukkan perbedaan yang nyata pada boot100 butir gabah (Lampiran 8). Pada Tabel 15 nampak bahwa bobot 100 butir gabah untuk setiap genotipe di masing-masing lokasi sama. Genotipe genotipe ditiap lokasi menunjukkan umur berbunga sama. Rata – rata bobot 100 butir gabah di lokasi dataran rendah adalah 2,7 gram berat tersebut lebih rendah di bandingkan dengan lokasi dataran medium yaitu 2,9 gram.Sedangkan di lokasi dataran tinggi menunjukan berat bobot 100 butir gabah terendah yaitu 2,3 gram. Pada lokasi dataran rendah (L1) bobot 100 butir gabah tertinggi di jumpai pada G18 dan G3 yaitu 3 dan 3 gram dan terendah nampak pada G7 dan G17 yaitu 2,5 dan 2,5 gram. Pada lokasi medium( L2) bobot 100 butir gabah tertinggi di jumpai pada G18 yaitu 3,9 gram. dan terendah nampak pada G1 dan G7 yaitu 2,6 dan 2,6 gram. Pada
47
lokasi dataran tinggi ( L3) bobot 100 butir gabah tertinggi di jumpai pada G18 yaitu 3,9 gram dan terendah pada G 2 yaitu 1,7 gram.
Tabel 15 . Penampilan rata-rata bobot 100 butir gabah 20 genotip di 3 lokasi Genotip G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 Rata-rata
Dataran Rendah (L1) 2,6 2,6 3,0 2.7 2.7 2.9 2.5 2.8 2.8 2.7 2.8 2.6 2.8 2,7 2,7 2,7 2,5 3,0 2,7 2,8 2,7
Hasil biplot
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a
Dataran Medium (L2) 2,6 2,9 3,3 2.9 2.8 2.9 2.6 3.0 3.0 2.7 2.8 2.8 3,2 2,8 2,8 2,8 3,0 3,9 2,8 2,7 2,9
c c b c c c c c c c c c b c c c c a c c
Dataran Tinggi (L3) 2,3 1,7 2,3 2.4 2.4 2.3 1.8 2.3 2.5 2.5 2.1 1.9 2,4 1,4 2,4 1,9 2,6 3,9 2,1 1,9 2,3
b c b b b b c b b b b c b c b c b a b c
AIKU1 dan AIKU2 pada rerata jumlah bobot 100 butir gabah di
tiga lokasi Tabel 16. menunjukkan bahwa pada G18 memberikan penampilan jumlah bobot 100 butir gabah tertinggi yaitu
3.6 gram . sedangkan
genotipe yang
menunjukkan jumlah bobot 100 butir gabah terendah nampak pada G7 dan G14 yaitu 2,3 gram. Karakter jumlah bobot 100 butir gabah paling banyak terdapat pada lokasi pada dataran medium Lantan (L3) yaitu 2,9 pada lokasi dataran rendah Mantang (L1) yaitu 2,7 gram Karakter jumlah bobot 100 butir gabah paling rendah terdapat pada lokasi pada dataran tinggi Sembalun (L3) yaitu 2,3 gram.
Tabel 16 . Nilai Rerata AIKU 1, AIKU 2 karakter bobot 100 butir genotip dan 3 lokasi
48
Genotip/Lokasi G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 retata L1 L2 L3
bobot 100 butir gabah 2,5 a 2,4 a 2,9 a 2,7 a 2,6 a 2,7 a 2,3 a 2,7 a 2,8 a 2,6 a 2,6 a 2,4 a 2,8 a 2,3 a 2,6 a 2,5 a 2,7 a 3,6 a 2,5 a 2,5 a 2,4 2,7 b 2,9 a 2,3 c
AUKU1 -0,10 0,35 0,16 -0,12 -0,17 0,01 0,13 0,00 -0,09 -0,24 0,12 0,17 -0,02 0,51 -0,15 0,21 -0,30 -0,81 0,08 0,25
AUKU2 0,28 -0,24 -0,21 0,05 0,16 0,13 0,00 0,01 0,05 0,26 0,05 -0,09 -0,13 -0,16 0,17 -0,08 -0,21 -0,33 0,14 0,15
0,73 0,22 -0,95
0,42 -0,60 0,18
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 8 nampak bahwa ada satu genotipe yang menunjukkan kestabilan yang bersifat spesifik lokasi Sembalun dataran tinggi adalah G18, sedangkan genotipe yang lainnya mampu beradaptasi di semua lokasi. Genotipe yang paling stabil di bandingkan dengan rerata umumnya adalah genotipe yang berada dalam lingkaran yaitu G7,G8,G9,G11 merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lainnya
yang
mempunyai respon stabil
di
semua lokasi
adalah
G1,G2,G3,G4,G5,G6,G10,G12,G13,G15,G16,G17,G19 memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
49
Gambar 8: Biplot interaksi AMMI2 untuk bobot 100 butir gabah 6.1.9 Total Bobot Gabah Per Rumpun Hasil analisis ragam lokasi dan interaksi genotipe x lokasi menunjukkan perbedaan yang nyata pada total bobot gabah per rumpun ( Lampiran 9). Sedangkan genotipe tidak berbeda nyata. Total bobot gabah per rumpun untuk setiap genotipe pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Table 17. Penampilan rata – rata total bobot gabah per rumpun di lokasi dataran rendah (L1) adalah 36,2 gram, berat tersebut lebih rendah di bandingkan dengan lokasi dataran medium (L2) yaitu setinggi 38,3 gram. sedangkan di lokasi dataran tinggi menujukan berat tanaman terendah yaitu 15,7 gram. Pada lokasi dataran rendah (L1) berat total gabah per rumpun tertinggi di jumpai pada G19 yaitu 48,4 gram dan terendah nampak pada G18 yaitu 19,9 gram. Pada lokasi medium( L2) berat total gabah per rumpun tertinggi di jumpai pada G17 yaitu 45,7 gram dan terendah nampak pada G20 dan G1 yaitu 36 gram. Pada lokasi dataran tinggi ( L3) total berat gabah per rumpun di jumpai pada G9 yaitu 25,8 dan terendah pada G19 dan G12 yaitu 11 gram. .
50
Tabel 17 . Penampilan rata-rata bobot gabah per rumpun lingkungan Genotip G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 Rata-rata
Dataran rendah (L1) 46,6 39,9 39,3 39,4 31,9 39,4 32,4 30,7 27,7 38,9 36,7 39,4 38,1 43,1 27,1 37,6 28,1 19,9 48,4 39,4 36,2
a a a a b a b b b a a a a a b a b b a a
Dataran medium (L2) 36 37,7 43,1 37 41,3 41,5 35,5 35,7 35,8 35,4 34,4 37,9 43,5 38,5 40,8 39 45,7 30,6 40,5 36 38,3
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a
Datara tinggi (L3) 16,4 14,3 12,9 17,8 18 16,5 18,8 14,9 25,8 15,2 14,6 11 12,9 14,1 16,9 12,3 21,7 15,7 11 14 15,7
20 genotip di 3
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a
Ket. Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji gerombol Scott-Knott 5%
Hasil biplot AIKU1 dan AIKU2 pada karakter total bobot gabah per rumpun di tiga lokasi Tabel 18. menunjukkan bahwa antara genotipe meberikan penampilan jumlah bobot gabah per rumpun sama. Sedangkan genotipe yang menunjukkan jumlah total bobot gabah per rumpun terendah nampak pada lokasi dataran rendah Mantang (L1) yaitu 36,2 gram. pada lokasi dataran medium Lantan(L2) yaitu 38,3 total bobot gabah terrendah terdapat pada lokasi pada dataran Tinggi Sembalun (L3) yaitu 15,7 gram.
51
Tabel 18. Nilai rerata AIKU 1,AIKU 2 karakter Bobot Gabah Per Rumpun pada 20 genotipe dan 3 lokasi Genotip/Lokasi G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 retata L1 L2 L3
Bobot gabah per rumpun 33,0 a 30,6 a 31,8 a 31,4 a 30,4 a 32,5 a 28,9 a 27,1 a 29,8 a 29,8 a 28,6 a 29,4 a 31,5 a 31,9 a 28,3 a 29,6 a 31,8 a 22,1 a 33,3 a 29,8 a 30,1 36,2 a 38,3 a 15,7 b
AUKU1 -0,10 0,35 0,16 -0,12 -0,17 0,01 0,13 0,00 -0,09 -0,24 0,12 0,17 -0,02 0,51 -0,15 0,21 -0,30 -0,81 0,08 0,25
AUKU2 0,28 -0,24 -0,21 0,05 0,16 0,13 0,00 0,01 0,05 0,26 0,05 -0,09 -0,13 -0,16 0,17 -0,08 -0,21 -0,33 0,14 0,15
0,73 0,22 -0,95
0,42 -0,60 0,18
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 9 nampak bahwa ada lima genotipe yang menunjukkan kestabilan yang bersifat spesifik lokasi Mantang dataran rendah(L1) adalah G19 dan G1, Pada lokasi Lantandataran medium (L2) yaitu G17. sedangkan genotipe yang bersifat spesifik di lokasi Sembalun dataran tinggi (L3) adalahG18,G9
Sedangkan genotipe yang
lainnya mampu beradaptasi di semua lokasi. genotipe yang paling setabil di bandingkan dengan rerata umumnya adalah Genotipe yang berada dalam lingkaran. yaitu G8. merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lainnya
yang
mempunyai respon stabil
di
semua lokasi
adalah
G2,G3,G4,G5,G6,G13,G14,G17,G19. Memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
52
Gambar 9.: Biplot interaksi AMMI 2 untuk bobot gabah per rumpun
6.1.10. Hasil Gabah per Hektar . Hasil analisis ragam genotipe, lokasi dan interaksi genotipe x lokasi menunjukkan perbedaan yang nyata pada tinggi tanaman ( Lampiran 10). hasil gabah per hektar untuk setiap genotipe pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 19. Rata – rata hasil gabah per hektar di lokasi dataran rendah adalah 5,3 ton/ha.Hasil gabah per hektar tersebut lebih rendah di bandingkan dengan lokasi dataran medium yaitu 6,4 ton/ha. sedangkan di lokasi dataran tinggi menunjukan hasil gabah per hektar terendah yaitu 1,4 ton /ha. Pada lokasi dataran rendah (L1) hasil gabah per hektar tertinggi di jumpai pada G1 yaitu 7,5 ton/ha dan terendah nampak pada G16 yaitu 3.1 ton/ha. Pada lokasi medium( L2) hasil gabah per hektar tertinggi di jumpai pada G12 yaitu 8,5 ton/ha dan terendah nampak pada G18 yaitu. 3,6 ton/ha. Pada lokasi dataran tinggi ( L3) tanaman tertinggi di jumpai pada G9 yaitu 3,3 ton/ha dan terendah pada G8 yaitu 0,7 ton/ha.
Tabel 19. Penampilan rata-rata bobot hasil gabah per hektar 20 genotip di 3lokasi
53
Dataran rendah Dataran medium Dataran tinggi Genotip (L1) (L2) (L3) G1 7,5 a 5,9 b 1,2 a G2 5,2 a 6,1 b 1,0 a G3 5,6 a 6.1 b 0.8 a G4 6,6 a 6.3 b 1.4 a G5 4,2 b 6.6 b 2.1 a G6 4,1 b 5.8 b 1.4 a G7 4,8 b 8.1 a 2.0 a G8 5,3 a 6.3 b 0.7 a G9 3,4 b 6.9 b 3.3 a G10 6,0 a 8.9 a 1.0 a G11 4,5 b 6.3 b 0.9 a G12 6,4 a 8,5 a 1,0 a G13 6,3 a 6,8 b 1,0 a G14 6,9 a 5,9 b 1,0 a G15 3,1 b 6,8 b 1,3 a G16 4,7 b 6,1 b 1,0 a G17 5,5 a 5,0 b 1,7 a G18 3,4 b 3,6 b 1,5 a G19 6,4 a 5,3 b 2,2 a G20 5,1 a 6,3 b 1,2 a Rata-rata 5,3 6,4 1,4 Ket, Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji gerombol Scott- Knott 5%
Hasil biplot AIKU1 dan AIKU2 pada karakter hasil gabah per hektar di tiga lokasi Tabel 20. menunjukkan bahwa pada G10 meberikan karakter hasil gabah per hektar yaitu 5,3 ton/ha sedangkan genotipe yang menunjukkan hasil gabah per hektar terendah nampak pada G18 yaitu 2,8 ton / ha. pada lokasi dataran rendah Mantang (L1) yaitu 5,3 ton/ha pada lokasi dataran medium Lantan(L2) yaitu 6,4 ton/ha hasil gabah per hektar terendah terdapat pada lokasi dataran tinggi Sembalun (L3) yaitu 1,4 ton/ha.
Tabel 20. Nilai rerata AIKU 1 ,AIKU 2 karakter Hasil gabah per hektar
54
pada 20 genotip dan 3 lokasi Genotip/Lokasi G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 G17 G18 G19 G20 rerata L1 L2 L3
Hasil gabah per hektar 4,9 a 4,1 a 4,2 a 4,8 a 4,3 a 3,8 a 5,0 a 4,1 a 4,5 a 5,3 a 3,9 a 5,3 a 4,7 a 4,6 a 3,7 a 3,9 a 4,1 a 2,8 a 4,6 a 4,2 a 4,3 5,3 b 6,4 a 1,4 c
AUKU1 0,93 0,10 0,30 0,51 -0,55 -0,31 -0,59 0,14 -1,12 -0,11 -0,17 0,11 0,39 0,75 -0,82 -0,09 0,27 -0,21 0,46 -0,01 1,83 -0,90 -0,93
AUKU2 0,10 -0,01 -0,10 0,02 0,17 0,19 -0,37 -0,21 0,44 -1,01 -0,15 -0,87 -0,28 0,05 -0,20 -0,05 0,61 1,02 0,67 -0,02 0,02 -1,46 1,44
Dari hasil biplot AMMI2 pada Gambar 10 nampak bahwa ada satu genotipe yang menunjukkan kestabilan yang bersifat spesifik lokasi Sembalun dataran tinggi adalah G9 Sedangkan genotipe yang laniya mampu beradaptasi di semua lokasi. genotipe yang paling stabil di bandingkan dengan rerata umumnya adalah Genotipe yang berada dalam lingkaran.yaitu G2,G11. merupakan genotipe yang paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lainnya
yang
mempunyai respon stabil
G1,G7,G4,G5,G7,G10,G12,G13,G17,19. sedangkan genotipe lainnya lebih kecil.
di
semua lokasi
adalah
memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya
55
Gambar 10 : Biplot interaksi AMMI 2 untuk hasil gabah per hektar di tiga lokasi
6.1.11. Perbandingan Hasil Klasifikasi Genotipe Antar Karakter
Berdasarkan lokasi dan adaptasi hasil gabah, bobot gabah per rumpun, bobot 100 butir gabah, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah berisi per malai, panjang malai, jumlah anakan non produktif, jumlah anakan produktif, tinggi tanaman dan panjang malai maka diperoleh hasil klasifikasi genotipe spesifik lokasi dan genotipe stabil seperti disajikan pada Table 21.
Tabel 21: Hasil klasifikasi genotipe spesifik lokasi dan karakter hasil dan komponen hasil
stabil berdasarkan
56
No Karakter
Genotipe spesifik lokasi Lokasi Lokasi Lokasi Mantang lantan Sembalun (dataran (dataran (dataran rendah) medium) tinggi)
Genotipe stabil
G2,G3,G,4,G5,G6,G7, G8, G9,G10,G11,G12,G13,G14, G15,G16,G17,G18, G19 G1,G2,G3,G4,G5,G6,G7, 2 TT G14 G18 G8,G9,G10,G11,G12,G1 3,G15,G16 G17,G91.G20 G1,G2,G4,G6,G7,G8,G9, 3 JAP G12,G3 G3,G5. G11 G10,G13,G14,G15,G16,G1 7,G18,G19,G20 G1,G2,G3,G4,G5,G6,G8, 4 JANP G18 G18 G7,G14 G9,G10,G11,G12,G13,G15, G16,G17, ,G19,G20 G1,G2,G3,G4,G5,G6,G7, 5 PM G14 G8,G9,G10,G11,G12,G13, G15,G16,G17,18 ,G19,G20 G1,G3,G4,G6,G7,G8,G10, 6 JGB G5 G2,G9. G5,G9 G11,G12,G13,G15,G16, G17,G18 ,G19,G20 G18,G15, G3,G4,G5,G6,G8,G9,G10, 7 JGH G11,G17 G2,G19 G17 G12,G13,G16,G17,G20 G1,G2,G3,G4,G5,G6,G10, 8 B100 G18 G11,G12,G13,G15,G16, G17,G19.G20 G2,G3,G4,G5,G6,G7,G8, 9 BGPR G1,G19 G17 G10,G11,G12,G13,G14, G9,G18 G15,G16,G20 G1,G2,G3,G4,G5,G6,G7, G8, G10,G11,G12,G13, 10 H G9 G14,G15,G16,G17,G18, G19,G20 Keterangan : JGB = Jumlah gabah berisi; JGH = Jumlah gabah hampa; B100 = Bobot 100 butir gabah; BGPR = Bobot gabah per rumpun; H = Hasil per hektar; UB = Umur Berbunga, TT = Tinggi Tanaman, JAP = Jumlah Anakan Produktif, JANP = Jumlah Anakan Non Produktif, PM = Panjang Malai. 1
UB
G1
6.1.12. Uji Adaptasi dan stabilitas hasil galur harapan padi beras merah Pada Tiga lokasi
Analisis ragam gabungan pengaruh genotipe, lokasi, dan interaksi genotipe x lokasi menunjukkan perbedaan sangat nyata terhadap karakter kuantitatif padi beras merah di tiga lokasi tumbuh yang berbeda (dataran rendah,dataran medium,dataran tinggi) artinnya bahwa peringkat keunggulan suatu genotipe yang diujikan tidak akan
57
sama pada
semua lokasi tumbuh. Hal ini disebabkan tanggap yang berbeda dari
genotipe terhadap satu atau lebih peubah lingkungan fisik ( Nugrahaeni, 1993). Bos dan Caligari (1995) menambahkan besar kecilnya pengaruh interaksi genotipe x lingkungan sangat tergantung pada susunan genetik suatu genotipe dan kompleksitas lokasi yang mempengaruhinya Adapun perbedaan masing-masing lokasi tumbuh yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 11. Adanya interaksi genotipe x lokasi yang tidak nyata perlu diperhatikan dalam memilih keunggulan suatu genotipe dalam kegiatan seleksi. Hasil biplot AIKU1 dan AIKU2 pada rerata jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa antara genotipe di tiga lokasi memberikan jumlah anakan produktif yang sama sedangkan antara lokasinya berbedanyata, jumlah anakan produktif paling banyak terdapat pada lokasi dataran tinggi (L3) yaitu 25.3 buah dan paling sedikit pada lokasi dataran rendah (L1) dan dataran medium (L2) secara berurutan jumlah anakan produktif 18,2 buah dan 19.1 buah. pada rerata jumlah anakan non produktif di tiga lokasi Tabel 8. menunjukkan penampilan jumlah anakan non produktif sama antara genotipe. Jumlah anakan non produktif paling banyak terdapat pada lokasi dataran tinggi (L3) yaitu 6,41 buah dan paling sedikit pada lokasi dataran medium L2 dan dataran rendah L1 secara berurutan jumlah anakan non produktif 0,54 buah dan 0,96 buah Hasil analisis ragam
genotipe,
lokasi dan interaksi genotipe x lokasi
menunjukkan perbedaan yang nyata pada tinggi tanaman ( Lampiran 10). hasil gabah per hektar untuk setiap genotipe pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 19. Rata – rata hasil gabah per hektar di lokasi dataran rendah adalah 5,3 ton/ha.hasil gabah per hektar tersebut lebih rendah di bandingkan dengan lokasi dataran medium yaitu 6,4 ton/ha. sedangkan di lokasi dataran tinggi menujukkan hasil gabah per hektar terendah yaitu 1,4 ton /ha. Pada lokasi dataran rendah (L1) hasil gabah per hektar tertinggi di jumpai pada G1 yaitu 7,5 ton/ha.dan terendah nampak pada G16 yaitu 3.1 ton/ha. Pada lokasi medium( L2) hasil gabah per hektar tertinggi di jumpai pada G12 yaitu 8,5 ton/ha. dan terendah nampak pada G18 yaitu. 3,6 ton/ha. Pada lokasi dataran tinggi ( L3) tanaman tertinggi di jumpai pada G9 yaitu 3,3 ton/ha. dan terendah pada G8 yaitu 0,7 ton/ha.
58
Perbedaan hasil gabah dan komponen hasil di setiap lokasi, terutama diakibatkan oleh perbedaan ketersediaan air pada lingkungan tumbuhnya. Pada penanaman di lokasi dataran rendah Mantang irigasi teknis yang dilakukan pada MK2011, pemberian air diatur sesuai dengan cara bercocok tanam padi sawah berpengairan teknis di lokasi dataran medium Lantan teknis pemberian air sama. Sedangkan yang dilakukan pada MH 2012, pada lokasi dataran tinggi Sembalun pemberian air sangat tergantung pada air hujan. Karakteristik masing-masing lokasi tumbuh lainnya yang berupa jenis tanah, ketinggian tempat, pH tanah suhu udara,dan curah hujan dapat dilihat pada lampiran11. Tanaman yang mengalami kekurangan
air akan menyebabkan perubahan
tekanan
turgor. Turgor sel merupakan pendorong pertumbuhan
tekanan
turgor terganggu maka akan menghambat pertumbuhan
sehingga apabila (Blum, 1993).
Craufurd dan Peacoak 1993 menambahkan bahwa cekaman kekeringan pada fase vegetatif dan generatif akan dapat
menurunkan laju pertumbuhan tanaman,
memperlambat laju perkembangan malai, tinggi tanaman, bobot bulir
sehingga
menurunkan hasil hingga mencapai 87 %. Parsons (1982) mengemukakan tanaman yang mengalami kekurangan air akan mengalami perubahan morfologi dan fisiologi, namun besarnya perubahan tersebut sangat tergantung pada jenis tanaman, jenis kultivar, fase petumbuhan, panjang periode cekaman, dan kemampuan tanaman beradaptasi. Dengan berkurangnya kandungan air pada tanaman akan mengakibatkan merupakan
jumlah klorofil terbentuk berkurang. Klrofil
pigmen hijau dalam kloroplas yang bertanggung jawab terhadap
berlangsungnya fotosintesis. Dengan berkurangnya
kandungan klorofil akan
mengakibatkan menurunnya hasil fotosintesis. Rendahnya hasil fotosintesis akan menyebabkan hasil yang rendah pula nampak jelas pada hasil gabah per hektar di lokasi dataran tinggi Sembalun yaitu 1,4 ton/ha. Dari hasil analisis ragam gabungan menunjukkan perbedaan yang nyata pada interaksi genotipe
Lokasi terhadap karakter tinggi tanamana,jumlah gabah berisi,
jumlah gabah hampa, bobot 100 butir gabah, bobot gabah per rumpun, hasil gabah per ha.Tetapi tidak menunjukkan interaksi genotype x lokasi terhadap umur berbunga, jumlah anakan produktif, jumlah anakan non produktif, panjang malai. Adanya pengaruh genotipe x lokasi yang nyata memungkinkan untuk dilakukannya analisis AMMI (additive main effect and multiplicative interactions) dan mempolakan interaksi
59
genotipe x lokasi dengan biplot. Dari hasil analisis AMMI (Lampiran 1–10) tampak pengaruh interaksi genotipe x lokasi menghasilkan dua komponen AIKU (Analisis Interaksi Komponen Utama) yaitu AIKU1 dan AIKU2.. Nilai rerata genotipe, lokasi dan nilai AIKU1 dan AIKU2, serta penampilan rata–rata krakteristik tiap – tiap genotipe, dimasing -masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 1 - 20. Untuk menentukan suatu genotipe tergolong stabil dan spesifik lokasi dapat dilihat pada biplot AMMI2 yaitu biplot antara skor AIKU1 dengan skor AIKU2. Dari hasil biplot AMM2 terhadap hasil gabah (Gambar 10) dapat dilihat bahwa ada 2 genotipe
memberikan indikasi paling stabil terhadap tiga lokasi. Genotipe yang
memberikan indikasi stabil adalah genotipe yang berada di dalam elips. Genotipe G2,G11merupakan genotipe yang berindikasi paling stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe lainnya yang mempunyai respon stabil di semua lokasi adalah G1,G4,G5,G7,G10,G12,G13,G14, G19 memiliki hasil lebih besar dari rerata umumnya sedangkan genotipe lainnya lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gauch (1992) yang menyatakan genotipe yang tumbuh di lintas lokasi pengujian dan memberikan nilai AIKU yang mendekati nol, memberikan indikasi bahwa genotipe tersebut bersifat stabil, jika nilai AIKU sangat jauh dari nol menunjukan bahwa genotipe memiliki daya adaptasi yang spesifik. Genotipe yang tidak stabil
menunjukkan bahwa
suatu genotipe memiliki
respon yang positif jika ditanam di suatu lokasi dan berespon negatif jika ditanam di tempat lain (bersifat spesifik lokasi). Genotipe yang memberikan indikasi paling spesifik di lokasi dataran tinggi Sembalun adalah G9. Hasil di atas sejalan dengan pernyataan Endang, (2003) dimana pada biplot AMM2, jika suatu genotipe dan lokasi jaraknya berdekatan maka, hal ini menunjukan bahwa genotip tersebut dapat tumbuh dengan baik dilingkungan terkait. Kesesuaian tempat tumbuh dapat juga diinterprestasikan dari besarnya sudut yang dibentuk oleh garis genotip dan lokasi yaitu menginformasikan adanya korelasi antara genotipe dan lokasi tersebut. Semakin kecil sudut yang terbentuk menginformasikan semakin besarnya korelasi yang terjadi diantara genotipe dan lokasi tersebut dan ini memberikan indikasi semakin bersifat spesifik lokasi. Berdasarkan hasil analisis AMMI terhadap stabilitas dan spesifik lokasi karakter kuantitatif padi beras merah
(Tabel 1 - 20)
nampak bahwa genotipe yang
60
diklasifikasikan berindikasi stabil oleh sebagian besar karakter yang diamati adalah genotipe G4. dari 10 karekter yang diamati seluruh karakter menunjukan stabil . Demikian juga untuk genotipe yang spesifik lokasi dapat dijelaskan dengan cara yang sama seperti di atas. Sebagai ilustrasi klasifikasi genotipe yang memberikan indikasi spesifik di lokasi Sembalun dataran tinggi adalah sebagai berikut : genotipe yang diklasifikasikan spesifik lokasi adalah genotipe G9 terhadap 2 karakter yaitu daya hasil dan jumlah gabah berisi. Dari uraian di atas diperoleh gambaran bahwa tidak semua genotipe yang diklasifikasikan stabil atau spesifik lokasi oleh hasil gabah di dukung oleh hasil klasifikasi genotipe bedasarkan karakter yang lainnya. Dan tidak semua genotipe yang stabil atau spesifik lokasi memiliki nilai diatas nilai reratanya. Untuk karakter hasil gabah per hektar genotipe yang stabil dan memiliki hasil gabah diatas nilai reratanya adalah genotipe G1, G4, G7, G10, G12,G13, G14 dan G19 (Tabel 20 Gambar 10). Genotipe stabil tersebut akan memberikan hasil relatif sama baik ditanam pada lokasi dataran rendah Mantang, dataran medium Lantan, maupun lokasi dataran tinggi Sembalun. Sehingga genotipe tersebut dapat rekombinasikan sebagai bahan pemuliaan untuk membentuk varietas unggul padi beras merah. Genotipe yang memberikan indikasi paling spesifik lokasi yang memiliki hasil gabah di atas nilai reratanya (4,5 ton/ha) adalah G9. Faktor penyebab stabilitas hasil suatu genotipe belum diketahui dengan jelas, namun demikian Allard dan Bradshaw (1964) cit Ni’amullah (2003) menduga bahwa mekanisme penyangga individu dan populasi adalah faktor penyebabnya. Mekanisme stabilitas secara umum dapat dikelompokan kedalam empat hal, heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, ketegaran terhadap deraan (stres tolerance) dan daya pemulihan yang cepat terhadap penderaan. sebagai suatu genotipe yang
Dalam hal ini stabilitas didefinisikan
memiliki heterogenitas genetik untuk menghindari
perubahan hasil yang besar diberbagai lokasi. Mekanisme ini muncul sebagai akibat dari hasil kerja sama gen-gen yang berlainan (heterogen) yang terdapat di dalam susunan genetik suatu genotipe. Hal ini dapat dimengerti karena hasil merupakan produk dari berbagai komponen hasil. Dan komponen hasil itu sendiri merupakan produk dari
61
banyak gen. Dengan bervariasinya hasil yang didapat dalam suatu genotipe akibat heterogenitas genotipe sehingga pengurangan hasil dari suatu komponen hasil lainnya akan digantikan dengan komponen hasil lainnya, sehingga akan terjadi kestabilan hasil.
6.2. Diskripsi sifat kuantitatif dan kualitatif pada galur harapan padi beras merah. Untuk menghasilkan deskripsi sifat kuantitatif maupun kwalitatif yang representative pada masingmasing galur harapan padi beras merah yang diujikan maka dilakukan pengamatan mulai dari masa pembibitan hingga panen dan pasca panennya. Pada saat pertumbuhan vegetative dilakukan pengamatan terhadap warna koleotip, warna daun, bulu permukaan daun, warna lidah daun, warna batang, panjang batang. Setelah memasuki masa generative dilakukan pengamatan terhadap umur berbunga, tinggi tanaman, jmlah anakan produktif per rumpun, jumlah anakan non produktif per rumpun, panjang malai, jumlah gabah berisi per malai, jumlah gabah hampa permalai. Kemudian dilanjutkan dengan komponen hasil lainnya seperti bobot 100 butir gabah, bobot gabah per rumpun serta hasil gabah per hektarnya. Untuk pasca panennya diamati kandungan antosianin berasnya. Senyawa ini sangat penting diamati karena fungsinya sangat penting bagi kesehatan disamping itu antosiani beras ini sangat bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Ada pun hasil diskripsi dari masing masing galur harapan padi beras merah dapat dilihat pada table diberikut ini.
Tabel 22 : Diskripsi Galur Harapan Padi Beras Merah Genotipe G1 s/d G5
62
Keterangan : G1 =AKBC52-16-17-8, G2=AKBC52-16-22-12,G3= AKBC52-16-22-13,G4= AKBC52N0 1
Kreteria Umur 50 % berbunga ( % tanaman telah memiliki malai) (hst = hari setelah tanamsangat genjah Warna Koleopit (tidak berwana, hijau atau ungu) Warna daun bagian bawah/pelepah (Hijau, garis-garis ungu, ungu muda atau ungu) Bulu permukaan daun ( sangat lemah, lemah, sedang, kuat atau sangat kuat) .Warna lidah daun (tidak berwana, hjau, garis-garis ungu, ungu muda, ungu Daun bendera (tegak, semi-tegak, horizontal, melengkung) Warna kaki Warna Batang Warna telinga daun Batang (tegak, semi tegak, terbuka, agak terbuka, menyebar) Tinggi tanaman ( terata cm) Warna buku pada batang ( tidak ada, ada,ungu) Warna Putik (anak bunga) (putih, hijau muda, kuning, ungu muda, ungu) Ketebalan Batang ( mm) Anakan produktif dan non produktif
G1 73
G2 74
G3 74,5
G4 75,50
G5 74,50
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
hijau
Garis ungu kuat
hijau
Garis ungu kuat
ungu
ungu
95.22 Tidak ada
100,67 ungu
Ungu
Ungu muda 6,5 18,33/1,1
10,56 Tidak ada Ungu muda 8,8 18/0,33
20,54 merunduk
18
Panjang malai pada cabang utama (cm) Penampilan malai ( tegak, agak tegak, merunduk, patah) Bulu ujung gabah (tidak ada, ada)
19
Bentuk gabah
Ramping 103 2,53 sedang Merah
21,28 merundu k Tidak ada Agak ramping 104 2,38 sedang merah
20,65 merundu k Tidak ada Agak ramping 105 2,84 sedang merah
Tidak berwana Semi tegak Hijau hijau putih Agak terbuka 94 Tidak ada Ungu muda 6,5 20,56/0,4 4 19,50 merundu k Tidak ada Agak ramping 106 2,64 sedang Merah
ungu
hijau hijau putih tegak
Ungu muda Semi tegak Hijau Hijau putih tegak
5,36 7.48 7,84
7,70 5,20 6,06
7,58 5,64 6,10
6,55 6,61 7,01
11,47 4,23 6,61
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
20 21 22 23
24 25 26
Umur matang (hst) Bobot 100 biji Kerontokan gabah (sedikit, sedang, banyak) Warna beras pecah kulit (putih, coklat muda, bercak-bercak coklat, coklat tua, merah muda, merah, bercak-bercak ungu, ungu, hitam) Kandungan antosianin (ppm) Rata rata hasil (ton/ha) Potensi hasil 16-22-15, G5=AKBC52-16-22-16
kuat Tidak berwarna, Semi tegak
5,4 22/1
Tidak ada
sedang
Semi tegak hijau hijau Putih tegak
Tabel 23 : Diskripsi Galur Harapan Padi Beras Merah Genotipe G6 s/d G10
lemah
Semi tegak Hijau hijau putih Agak terbuka 99.33 Tidak ada Ungu muda 8,8 15,89/1,1 21,22 Merundu k Tidak ada Agak ramping 105 2,69 sedang merah
63
N0 1 2
Keterangan : G6= AKBC52-16-22-20,G7= AKBC86-47-43-23, G8= PKBC179-168Kreteria G6 G7 G8 G9 G10 Umur 50 % berbunga ( % tanaman telah 77 77 77 77,50 76,60 memiliki malai) (hst = hari setelah tanamsangat genjah Warna Koleopit (tidak berwana, hijau atau ungu) Warna daun bagian bawah/pelepah (Hijau, garis-garis ungu, ungu muda atau ungu)
hijau
ungu
ungu
hijau
ungu
Garis ungu Bulu permukaan daun ( sangat lemah, lemah, kuat
hijau
hijau
hijau
lemah
kuat
lemah
Garis ungu kuat
Ungu
ungu
ungu
ungu
Semi tegak Hijau Hijau putih Agak terbuka
Semi tegak Hijau hijau putih Tegak
tegak
102 ungu
98,56 ungu
Ungu muda 6,6 15,11/0 ,33 22,04 merund uk Tidak ada Agak rampin g 108 2,83 sedang Merah
Ungu muda 6,5 18/1,67
20 21 22 23
Ungu muda Ketebalan Batang ( mm) 5,4 7,6 Anakan produktif dan non produktif 18,89/0,5 18,78/2 6 ,11 Panjang malai pada cabang utama (cm) 20,25 20,69 Penampilan malai ( tegak, agak tegak, merundu merund merunduk, patah) k uk Bulu ujung gabah (tidak ada, ada) Tidak ada Tidak ada Bentuk gabah Agak Agak ramping rampin g Umur matang (hst) 107 107 Bobot 100 biji 2,72 2,32 Kerontokan gabah (sedikit, sedang, banyak) sedang sedang Warna beras pecah kulit (putih, coklat muda, Merah merah
Semi tegak hijau hijau Putih Agak terbuk a 95,78 Tidak ada Ungu muda 7,8 15,78/ 0,56 20,13 merun duk Tidak ada Agak rampin g 107 2,68 sedang merah
24 25 26
bercak-bercak coklat, coklat tua, merah muda, merah, bercak-bercak ungu, ungu, hitam) Kandungan antosianin (ppm) Rata rata hasil (ton/ha) Potensi hasil
13,39 5,28 6,35
16,84 3,41 6,94
15,70 5,98 8,84
3 4 5 6 7 8 9 10
sedang, kuat atau sangat kuat) .Warna lidah daun (tidak berwana, hjau, garis-garis ungu, ungu muda, ungu Daun bendera (tegak, semi-tegak, horizontal, melengkung)
ungu
Semi tegak Warna kaki hijau Warna Batang hijau Warna telinga daun putih Batang (tegak, semi tegak, terbuka, agak tegak terbuka, menyebar)
11 12
Tinggi tanaman ( terata cm) Warna buku pada batang ( tidak ada, ada,ungu)
103 100,67 Tidak ada ungu
13
Warna Putik (anak bunga) (putih, hijau muda, kuning, ungu muda, ungu)
Ungu
14 15 16 17 18 19
8,33 4,14 5,88
7,83 4,80 8,07
Hijau hijau putih Agak terbuka
20,97 Merund uk Tidak ada Agak rampin g 107 2,66 sedang merah
64
88-36,G9= PKBC179-168-124-44,G10= PKBC179-168-127-61 N0 1
Kreteria Umur 50 % berbunga ( % tanaman telah memiliki malai) (hst = hari setelah tanamsangat genjah Warna Koleopit (tidak berwana, hijau atau ungu) Warna daun bagian bawah/pelepah (Hijau, garis-garis ungu, ungu muda atau ungu) Bulu permukaan daun ( sangat lemah, lemah, sedang, kuat atau sangat kuat) .Warna lidah daun (tidak berwana, hjau, garis-garis ungu, ungu muda, ungu Daun bendera (tegak, semi-tegak, horizontal, melengkung) Warna kaki Warna Batang Warna telinga daun Batang (tegak, semi tegak, terbuka, agak terbuka, menyebar) Tinggi tanaman ( terata cm) Warna buku pada batang ( tidak ada, ada,ungu) Warna Putik (anak bunga) (putih, hijau muda, kuning, ungu muda, ungu) Ketebalan Batang ( mm) Anakan produktif dan non produktif
G11 78
G12 77
G13 77,50
G14 77,50
G15 77
hijau
hijau
hijau
Garis ungu
hijau
hijau
Tidak berwarna hijau
Tidak berwarna ungu
Sangat kuat
kuat
kuat
kuat
lemah
Garis ungu
Garis Ungu Semi tegak Hijau Hijau putih tegak
Tidak berwarna tegak
Garis ungu Semi tegak Hijau hijau putih Tegak
ungu
97,78 ungu
105,67 Tidak ada
20,115 merunduk
18
Panjang malai pada cabang utama (cm) Penampilan malai ( tegak, agak tegak, merunduk, patah) Bulu ujung gabah (tidak ada, ada)
19
Bentuk gabah
20 21 22 23
Umur matang (hst) Bobot 100 biji Kerontokan gabah (sedikit, sedang, banyak) Warna beras pecah kulit (putih, coklat muda, bercak-bercak coklat, coklat tua, merah muda, merah, bercak-bercak ungu, ungu, hitam) Kandungan antosianin (ppm) Rata rata hasil (ton/ha) Potensi hasil
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
24 25 26
Semi tegak hijau hijau putih Agak tegak 96,33 ungu Ungu
95,11 ungu
hijau hijau Putih Agak terbuka 100,89 Tidak ada
tegak Hijau hijau putih menyebar
Ungu muda 7,8 16,67/0,22
Ungu muda 7,6 21,33/0,22
Ungu muda 10,4 19,67/1,78
22,03 merunduk
22,83 merunduk
20,44 Merunduk
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Agak ramping 108 2,55 sedang Merah
Ungu muda 7,6 23,22/1,7 8 20,18 merundu k Tidak ada Agak ramping 107 2,43 sedang merah
Agak ramping 108 2,79 sedang merah
Agak ramping 108 2,29 sedang Merah
Agak ramping 107 2,68 sedang merah
16,39 4,47 6,27
15,96 6,40 8,51
11,96 6,29 6,71
16,60 6,87 7,08
11,49 3,14 6,78
7,6 20,11/1,11
Tidak ada
Tabel 24 : Diskripsi Galur Harapan Padi Beras Merah Genotipe G11 s/d G15 Keterangan : G11= PKBC179-168-134-103,G12= PKBC179-168-138-143, G13= PKBC183-173-142-146, G14= PKBC186-177-156-167, G15= PKBC186-177-156-172)
65
N0
Kreteria
G16 (Angka)
G17 (Piong)
G18 (Kenya)
1
Umur 50 % berbunga ( % tanaman telah memiliki malai) (hst = hari setelah tanamsangat genjah Warna Koleopit (tidak berwana, hijau atau ungu) Warna daun bagian bawah/pelepah (Hijau, garis-garis ungu, ungu muda atau ungu) Bulu permukaan daun ( sangat lemah, lemah, sedang, kuat atau sangat kuat) .Warna lidah daun (tidak berwana, hjau, garis-garis ungu, ungu muda, ungu Daun bendera (tegak, semi-tegak, horizontal, melengkung) Warna kaki Warna Batang Warna telinga daun Batang (tegak, semi tegak, terbuka, agak terbuka, menyebar) Tinggi tanaman ( terata cm) Warna buku pada batang ( tidak ada, ada,ungu) Warna Putik (anak bunga) (putih, hijau muda, kuning, ungu muda, ungu) Ketebalan Batang ( mm) Anakan produktif dan non produktif
74
75,50
hijau ungu
7,6 19,56/1
Ungu muda 7,6 17,56/1,67
22,08 merunduk
19,67 merunduk
18
Panjang malai pada cabang utama (cm) Penampilan malai ( tegak, agak tegak, merunduk, patah) Bulu ujung gabah (tidak ada, ada)
Tidak ada
Tidak ada
19
Bentuk gabah
20 21 22
Umur matang (hst) Bobot 100 biji Kerontokan gabah (sedikit, sedang, banyak) Warna beras pecah kulit (putih, coklat muda, bercak-bercak coklat, coklat tua, merah muda, merah, bercak-bercak ungu, ungu, hitam) Kandungan antosianin (ppm) Rata rata hasil (ton/ha) Potensi hasil
Agak ramping 104 2,46 sedang
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
23
24 25 26
G20 (Aik Sibondang)
77
G19 (Situ Pateng gang) 78
hijau
hijau
hijau
hijau
Garis ungu Sangat kuat Ungu muda Semi tegak Hijau Hijau putih Agak terbuka 103,33 ungu
hijau
hijau
Garis ungu
kuat
kuat
lemah
hijau
hijau
Garis ungu
Semi tegak hijau hijau Putih terbuka
tegak
Semi tegak
Hijau hijau putih Tegak
Hijau hijau putih tegak
127,33 Tidak ada kuning
107,89 Tidak ada kuning
103,11 Tidak ada
10,8 11,56/1
7,6 21,87/0,78
21,39 merund uk Tidak ada Agak ramping 108 2,66 sedang
20,71 Merunduk
Agak ramping 106 2,69 sedang
9,8 10,56/0, 22 23,22 merund uk Tidak ada Agak bulat 107 3,46 sedang
Merah
merah
putih
Putih
merah
15,96 4,67 6,10
13,43 5,47 6,01
0 3,38 3,89
0 6,37 6,73
15,32 5,08 6,27
Sangat kuat Garis ungu tegak hijau hijau putih Agak tegak 96,33 ungu Ungu
Tabel 25 : Diskripsi Genotipe Tetua dan Varietas Pembanding
78,50
Ungu muda
Tidak ada Agak ramping 109 2,46 sedang
66
Keterangan : G16= Piong, G17= Angka G18 Kenya, G19= Situ Patenggang (padi gogo tahan blas), G20= Aik Sibondang (padi sawah beras merah peka blas)
6.3.
Evaluasi Ketahanan Genotipe padi Beras Merah Terhadap Penyakit Blas di Rumah Kaca.
Tabel 26. Data Persentase Serangan dan Nilai Skala Kerusakan Genotipe Padi Beras Merah oleh Penyakit Blas No Genotipe 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 Angka Piong Kenya Situ Patenggang Aik Sibondang IR64 Kencana Bali
Ulangan Persentase Serangan (%) 1 2 3 0 5 5 5 5 5 0 10 0 15 20 25 20 25 20 0 5 5 5 5 5 10 15 20 20 20 25 5 5 0 20 20 15 5 5 5 5 5 5 0 5 5 25 20 20 5 5 0 0 5 5 5 5 5 0 0 1 25 25 20 0 0 0 75 80 80
Rerata
3.33 5.00 3.33 20.00 21.67 3.33 5.00 15.00 21.67 3.33 18.33 5.00 5.00 3.33 21.67 3.33 3.33 5.00 0.33 23.33 0.00 78.33
Nilai Reaksi Skala ketahanan Kerusakan 2 2 3 3 3 2 2 3
2 2 3
2 2 2 3
Agak tahan Agak tahan Agak peka Agak peka Agak peka Agak tahan Agak tahan Agak peka Agak tahan Agak tahan Agak peka Agak tahan Agak tahan
2 2
Agak taha Agak peka Agak tahan Agak tahan
2 0 3 0 5
Agak tahan Tahan Agak Peka Tahan Sangat Peka
Genotipe padi beras merah yang diujikan terhadap blas ras P.griseria asal edemik tanaman padi gogo dari kecamatan Mantang kabupaten Lombok Baratyang dilaksakan di rumah kaca menunjukkan respon ketahanan yang beragam terhadap penyakit blas daun. (Tabel 26.).
67
Perbedaan respon genotipe padi beras merah yang diujikan dapat disebabkan karena perbedaan gen ketahanan yang terdapat pada tanaman dan diakibatkan oleh patogenisitas dari ras P.grisea (Ou, 1985). Dari 15 galur harapan yang diujikan tidak ada galur harapan yang menunjukkan tahan terhadap ras P. grisea yang berasal dari sentral penanaman padi gogo di daerah Mantang kabupaten Lombok Barat. Sebanyak 11 galur harapan menunjukkan respon agak tahan terhadap ras P.grisea yaitu nampak pada galur G1, G2, G3, G4, G6, G7, G9, G10, G12, G13 dan G14. Sedangkan Galur-galur harapan G5, G8, G11 dan G14 menunjukkan agak peka terhadap blas P. gresia. Genotipe tetua yaitu Piong, Angka dan Kenya menunjukkan tingkat agak tahan terhadap serangan blas P. glseria. Varietas Situ Patenggang dan IR64 yang memiliki gen ketahanan terhadap penyakit blas
Pita, Piz-1,Pib,Pi20 dan 1 unknow gen ( Fukuta et al. 2007) pada
penelitian ini menunjukan sifat tahannya terhadap blas. Varietas
Aik Sibondang
menunjukkan tingkat agak peka terhadap penyakit blas. Sedangkan varietas Kencana Bali sebagai varietas kontrol sangat peka terhadap peyakit blas yang diujikan. Beberapa varietas unggul yang diujikan merupakan varietas yang tahan terhadap blas saat di lepas seperti Situ Patenggang dan IR64. Pada saat dipergunakan pada penelitian ini tetap menunjukkan
sifat ketahanan yang dimilikinya, demikina pula
dengan varietas kencana Bali dengan sifat sangat pekanya/ rentan terhadap blas yang diujikannya. Pengendalian penyakit blas dengan menggunakan varietas tahan selain harus disesuaikan dengan ras-ras yang dominan yang terdapat di lokasi, juga sebaiknya digunakan beberapa varietas
yang memiliki gen ketahanan yang berbeda
penyakit blas untuk menciptakan
keragaman genetic tanaman pada
terhadap
suatu areal
pertanaman. Dengan adanya keragaman genetik pada suatu tanaman akan mengurangi tekanan seleksi terhadap pathogen (Garret dan Mundi, 1999). 6.4. Uji Kandungan dan Hasil Antosianin Beras Pada Berbagai Lokasi Tumbuh Berbeda 6.4.1. Kandungan Antosianin Beras Pada Lampiran 12 nampak bahwa analisis ragam gabungan terhadap pengaruh genotipe, lingkungan menunjukkan perbedaan nyata terhadap kandungan antosianin beras, tetapi tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata pada interaksi genotipe x lingkungan. Pada Tabel 27 nampak bahwa genotipe G9 memiliki kandungan antosianin
68
beras tertinggi yaitu sebesar 16,84 ppm, kemudian diikuti oleh genotipe G15 sebesar 16,60 ppm. Genotipe yang memiliki kandungan antosianin rendah adalah G1 dengan kandungan 5,36 ppm. Tabel 27. Rerata kandungan antosianin (ppm) genotipe padi beras merah pada tiga Lokasi Berbeda No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 B 1 2 3
Perlakuan Genotipe G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 (Piong) G17(Angka) G20 (Aik Sibondang) Rerata Lokasi Dataran Rendah Dataran Medium Dataran Tinggi Rerata
Kandungan antosianin beras (ppm) 5.36 7.70 7.58 6.55 11.47 8.33 7.85 13.39 16.84 15.70 16.39 15.95 11.96 16.60 11.49 15.96 13.43 15.96 12,14 12,14 11,51 12,02 12,88 12,14
j h h i f g h d a c ab bc e a f bc d bc
c b a
Keterangan : Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 1%
Rerata Kandungan antosianin beras
tertinggi terdapat pada penanaman di
Lokasi Dataran Tinggi kemudian diikuti di dataran medium dan dataran rendah dengan rerata nilainya secara berurutan adalah 12,88 ppm, 12,02 ppm dan 11,51 ppm. 6.4.2. Hasil Antosianin Beras Pada Lampiran 13 nampak bahwa analisis ragam gabungan terhadap pengaruh genotipe, lokasi menunjukkan perbedaan nyata terhadap kandungan antosianin beras, demikian pula terhadap interaksi genotipe x lokasi. Hasil antosianin per ha untuk setiap genotipe di masing-masing lingkungan dapat dilihat pada Tabel 28. Rata-rata hasil antosianin beras di lokasi dataran tinggi
69
adalah 9,56 gram/ha, hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rerata hasil di lokasi dataran rendah dan dataran medium, berturut-turut yaitu 33,27gram/ha dan 46,04 gram/ha. Pada lokasi dataran tinggi, genotipe G9 mempunyai rerata hasil tertinggi, yaitu 27,73 gram/ha. Hasil terendah diperoleh pada G3 yaitu 3,28 gram/ha. Pada lokasi dataran rendah, genotipe G14 mempunyai rerata hasil antosianin tertinggi yaitu 64,72 gram/ha. Hasil terendah diperoleh pada genotipe G6 yaitu 13,59 gram ton/ha. Pada lokasi dataran medium, genotipe G12 dan G10 mempunyai rerata hasil antosianin tertinggi yaitu secara berurutan 69,10 dan 79,91 gram/ha. Hasil terendah diperoleh pada genotipe G1 yaitu 22,00 gram/ha. Tabel 28: Rerata hasil antosianin (gram/ha) pada genotipe padi beras merah di tiga Lokasi No
Genotipe Dataran Rendah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10 G11 G12 G13 G14 G15 G16 (Piong) G17(Angka) G20 (Aik Sibondang) Rerata
14.91 19.51 22.10 21.41 26.81 13.59 17.93 41.19 27.56 58.31 40.01 50.66 35.59 64.72 18.09 38.65 42.98 44.85 33.27
ef(B) de(B) de (B) de (A) de(B) ef(B) ef(B) bc(A) de(B) ab(B) bc(B) bc(B) cd(B) a(B) de(B) cd(B) bc(A) bc(B)
Lingkungan Dataran Medium 22.00 24.86 30.41 22.47 44.62 32.97 35.16 45.45 61.77 79.91 59.28 69.10 46.74 54.35 43.40 61.35 35.87 59.07 46.04
de(A) de(A) cd(A) de(A) bc(A) cd(A) cd(A) bc(A) ab(A) a(A) ab(A) a(A) bc(A) ab(B) bc(A) ab(A) cd(B) ab(A)
Dataran Tinggi 4.97 6.43 3.28 5.26 14.57 5.50 12.53 4.01 27.73 7.43 9.30 9.17 7.21 8.44 7.45 11.09 15.47 12.14 9.56
gh(C) gh(C) I (C) gh(B) ef(C) gh(C) ef(B) i(B) ce(B) g(C) efg(C) efg(C) gf(C) fg (C) g(C) ef(C) ef(C) ef(C)
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang didampingi oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata; angka-angka
dalam baris yang di damping oleh huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 1%
6.4.3. Kandungan dan Hasil Antosianin Beras Pada Genotipe dan Lingkungan Tumbuh
Hasil analisis ragam gabungan pengaruh genotipe dan lingkungan menunjukan perbedaan nyata terhadap
kandungan antosianin beras, namun tidak menunjukan
perbedaan nyata pada interaksi genotipe x lingkungan. Dari Tabel 27 nampak bahwa kandungan antosianin beras tertinggi di dapat pada genotipe G14 yaitu sebesar 16,60 ppm. Genotipe ini berasal dari hasil persilangan
70
silang balik tetua Kenya dengan Piong. Jika dibandingkan dengan asal tetuanya yaitu Piong dengan kandungan antosianin yang dimiliki sebesar 15,96 ppm. Maka genotipe G14 mengalami peningkatan
kandungan antosianin sebesar 4,86 %.
Peningkatan
kandungan antosianin ini juga di jumpai pada genotipe G11 dan G9 secara berurutan sebesar sebesar 2,67 % dan 5,23 % (kandungan antosianin G11 adalah 16,39 ppm dan G9 adalah 16,84 ppm). Dari hasil perkawinan silang balik tetua Kenya dengan Angka tidak dihasilkan peningkatan kandungan antosianin
secara nyata jika dibandingkan dengan tetua
Angka. Dari pengaruh lokasi, nampak bahwa kandungan antosianin tertinggi diperoleh pada lokasi dataran tunggi kemudian menurun dengan menurunnya lokasi ketinggian penanaman. Dari hasil percobaan tentang pewarnaan antosianin pada padi yang dilakukan Reddy (1996) nampak bahwa pembentukan pigmen atosianin di sebabkan oleh tiga gen dasar
yaitu
C(chromogen), A(activator) dan P (distributor). Dasar genetik
biosintesa antosianin pada padi adalah dimana gen dapat dikelompokkan dalam gen struktural dan gen pengatur. Sejumlah gen struktural adalah C, A, Rc (brown pericarp), Rd (brown pericarp) menyandi enzim-enzim, sedangkan gen pengatur (regulator) adalah P(purple) dan Prp (purple pericarp) dengan bermacam-macam allel
yang
menggambarkan lemahnya pengaturan pewarnaan. Dengan demikian pola pewarnaan antosianin pada padi utamanya ditentukan oleh status alel individu gen dan interaksi yang kompak antar allel. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sbe et al. (1997), menyatakan bahwa genotipe padi Nigita 22 bersifat homozigot dominan pada alle I-ib penghambat warna daun dan meniadakan pigmen antosianin. Terdapat hal yang menarik pada Nigita 22 yaitu kemampuannya untuk mengakumulasi antosianin bila diberikan perlakuan stres kekeringan yang ditandai dengan nilai A530, hal ini menunjukkan adanya expresi induksi stres terhadap gen yang relevan, ini juga mungkin, bahwa pengaturan lintasan flavonoid dilaksanakan secara pintas pada siklus regulasi yang meliputi kerja gen I-ib. Tanaman kedelai menunjukan toleransi yang luar biasa terhadap kekeringan, dengan mengakumulasi tiga sampai empat kali lebih banyak antosianin selama proses dehidrasi dibandingkan di dalam kondisi suka air (Chalker,1999.).
71
Penghindaran kekeringan
umumnya nampak pada tanaman-tanaman yang
mampu menurunkan potensial osmotik daun-daunnya sampai ke titik evapotranspirasi minimum. Konsentrasi antosianin akan secara de facto menurunkan potensial osmotik daun (yaitu membuat semakin
negatif), yang mengurangi potensial air daun dan
barangkali mendukung penurunan
konduktansi stomata yang tampak pada
daun
Brachystegia, Photinia X Fraseri ‘Red Top’ (Chalkerl, 1999.). Hasil antosianin beras yang diperoleh per satuan luas merupakan nilai perkalian antara kandungan antosianin dengan hasil beras.
Hasil antosianin beras secara
komulatif sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi tanaman tersebut. Meskipun kandungan antosianin per satuan bobot sama, namun jika produktivitas yang dicapai berbeda, maka hasil antosianin komulatif yang diperoleh juga berbeda. Semakin tinggi produktivitas tanaman, hasil antosianin komulatif juga semakin tinggi. Hasil analisis ragam gabungan pengaruh interaksi genotipe x lingkungan menunjukan perbedaan nyata terhadap hasil antosianin beras, artinya hasil antosianin suatu genotipe akan mengalami perubahan dengan berubahnya lingkungan tumbuh. Pada Tabel 28 tampak bahwa hasil antosianin tertinggi di lokasi dataran rendah di hasilkan oleh genotipe G14 sebesar 64,74 gram/ha. Genotipe tersebut di atas bila ditanam di lokasi dataran medium dan dataran tinggi akan mengalami penurunan hasil antosianin beras. Hasil antosianin terendah bila ditanam di lokasi dataran tinggi, hal ini disebabkan karena hasil gabah tertinggi di peroleh pada lokasi dataran rendah, kecuali beberapaa genotype di okasidataran medium lebih tinggi dibandingkan dengaan lokasi dataran rendah. Bila dilihat hubungan antara hasil gabah, hasil antosianin dan kandungan antosianin dengan lingkungan tumbuh, nampak secara umum bahwa terjadi penurunan hasil gabah dan hasil antosianin dengan bertambahnya ketinggian tempat, tetapi sebaliknya dengan kandungan antosianinnya secara relatif terjadinya peningkatan, namun peningkatan kandungan antosianin karena bertambahnya ketinggian tempat tidak sebanding dengan penurunan hasil gabah.
Terdapat indikasi bahwa genotipe
hasil seleksi silang balik hingga empat kali memberikan hasil antosianin tertinggi bila dilakukan penanaman di lingkungan dataran rendah.
72
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. KESIMPULAN 1. Genotipe yang stabil dan berdaya hasil diatas nilai reratannya adalah G1, G4, G7, G10, G12 , G13, dan G14 dengan daya hasilnnya secara berurutan 4,9 ton, 4,8 ton, 5,0 ton , 5,3 ton , 5,3 ton, 4,7 ton dan 4,6 ton/ ha 2. Genotipe G9 dengan daya hasil 4,4 ton /ha merupakan genotipe yang sepesifik lokasi di daerah dataran tinggi . 3. Dihasilkan 15 deskripsi galur harapan padi gogo beras merah 4. Galur harapan G1, G2, G3, G4, G6, G7, G9, G10, G12, G13 dan G14 menunjukkan respon agak tahan terhadap serangan penyakit blas daun. Sedangkan Galur harapan G5, G8, G11 dan G14 menunjukkan respon agak peka terhadap blas P. gresia. 5. Setiap genotipe memiliki kandungan antosianin yang berbeda, namun memiliki respon yang sama terhadap Lokasi. Lokasi dataran tinggi memberikan kandungan antosianin tertinggi diikuti oleh Lokasi dataran medium, kemudian dataran rendah, kandungan antosianin tertinggi 16,84 ppm dicapai oleh G9 diikuti oleh G14 sebesar 16,60 ppm. 6. Hasil antosianin beras setiap genotipe berbeda disetiap lokasi tumbuh, hasil antosianin beras tertinggi di lokasi dataran rendah terdapat pada G14 yaitu 64,72 gram/ha. Dilokasi dataran rendah hasil antosianin tertinggi terdapat pada G10 yaitu 79,91 kemudian diikuti oleh G12 yaitu 69,10. Di Lokasi Dataran Tinggi hasil antosianin terdapat pada G9 yaitu 27,73 gram/ha.
7.2. SARAN Untuk galur – galur harapan yang stabil dengan daya hasil di atas nilai reratannya dapat ditingkatkan daya hasilnya dengan melakukan percobaan dengan menggunakan pemupukan anorganik, dan perlu dicobakan penanamannya pada lingkungan sawah.
DAFTAR PUSTAKA
73
Abdel – Aal, E.S. M; J. C. Young and I. Rabalski, 2006. anthocyanin composition in Black, Pink, purple, and red cereal grains. J . Agric. Food Chem. 54, 469 – 4704. Ahn, S. W. dan M. Amir. 1985. Rice Blast Management Under Upland Condition Second International Upland Rice Conference Jakarta. AlIard, R.W. 1960. Principles of plant breeding, John Wiley and Sons Inc., New York. 485 p. Amir, M. dan M. K. Kardin. 1991. Padi III. Balai Penelitian Tanaman Bogor. Anonim, 1980. Standard Evaluation System for Rice. International Rice Testing Program. IRRI Philippines. 44 p. Anonim. 2006. Guidelines for the conduct of test for distinctness, homogeneity and stability of rice (Oryza sativa L.). Departemen Pertanian Republik Indonesia. Pusat Perlindungan Varietas Tanaman Anwari,M. 1992. Pemuliaan Tanaman Padi. Proseding Simposium Pemuliaan Tanaman I Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia Komisariat Daerah Jawa Timur. BAPPEDA, Nusa Tengara Barat, 2003. Bank data pembangunan propensi dartah TK I Nusa Tenggara Barat. 166 h Basuki, 2005. genetika kuantitatif, Unit Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. 115 h Bohnert, H.J. and R.G. Jensen. 1996. Strategies for engineering water stress tolerance in plants. TIBTECH 14 : 89-97 BPS. 2004. Statistik Indonesia. Jakarta Burham, C.R. 1961. Methods in plant genetics. University of Minnescota, Minneapolis, 267 pp. Cabunagan, R. C.; Z. M. Flores; E. R. Tiongco dan H. Hibino. 1986. Diagnostic Techniques for Rice Tungro Disease. Rice Tungro Virus Technical Meeting. Maros. 9 hal. Cabautatan, P. Q. dan H. Hibino. 1984. Incidence of Rice Tungro Bacilliform (RTBV) and Rice Tungro Sperical Virus (RTSV) on Susceptible Rice Cultivars. IRRN 9:3. Chang.T.T. and E.A. Bardenas. 1965. The morphology and varietals characteristics of the rice plant, Tech. Bull. IRRI 4 : 40 pp. Clive Lo,S.C and R.L. Nicholson. 1988. Reductions of light-induced anthocyanin accuulation in inoculated sorgom mesocotyls. Plant Physiologi 116:979-989 Coffman.W.R and R.M. Herrera. 1980. Hybridization of crop plants in Rice. American society of Agronomy – Crop Science . S. Segoe Road. Madison. P. 511 - 522. Cornellius, PL. 1993. Statistical test and retention of term in the AMMI model for cultivar trial. Crop Sci. 33: 1186-1193. Crowder,L.V. 1981. Pemuliaan tanaman. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 204 h. Dahlan,M. dan S. Slamet. 1992. Pemuliaan tanaman jagung. Dalam A Kasno, M Dahlan dan Hasnam (ed.). Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I. Komda Jawa Timur. h. 17-38. Damanhuri. 2005. Pewarisan antosianin dan tanggap klon tanaman ubijalar (Ipomea batatas (L.) Lamb) terhadap lingkungan tumbuh. (Disertasi) Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. 106 h. Drake, D,L., S.E. Gebardt, and R.H. Matthews, 1989. Composition of foods; Cereal Grains and Pasta. United States Department of Agriculture. Eberhart, S.a. and W.A. Russel . 1966 Stability parameter for omparing varieties. Crop Sci. 6 : 36-40
74
Falconer, D.S.1970. Introduction to quantitative genetic, The Ronald Press Company. New York. 365 p. Finlay, K.W. and G.N. Wilkinson. The analysis of adaptation in plant breeding program. Austr. J. Agron. Res. 14 : 742-754 Fucuta,Y., L.A. Ebron and N. Kobayashi. 2007. Genetic and Breeding Analysis of Blast resistence in ellite Indica-Type rice (Oryza sativa L.) bred in Internasional Rice Research Institute. JARQ 41(2):101-114 Gauch, Jr. 1992. Factorial designs for yield trial. Additive main effects and multiplicative interaction, AMMI Model. Elsevier Publ. Co.358p. Garrett, KA. And CC. Mundt. 1999. Epidemiology in mixed host population. Phytopathology 89 :894-990. Gomez, A.A. and K. A.Gomez. 1984. Statistical procedures for agricultural research. John Wiley and Son. New York Chiskester, Biro Bore. Toronto, Singapore. P. 272- 356. Hasil Sembiring, 2010. Ketersediaan anovasi teknologi unggulan dalam rangka meningkatkan produksi padi menunjang swasembada dan ekspor. Buku 1. Proseding seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. h 1-16. Harbome, J.B. 1987. Metode fotokimia. Penuntun cara modern menganalisa tumbuhan. ITB. Bandung (terjemahan). Herani dan M. Rahardjo. 2005. Tanaman berkhasiat antioksidan. Penebar Swadaya. Jakarta. 99 p. Kasno,A. 1991. Pemuliaan tanaman kacang-kacangan. Makalah pada simposium pemuliaan tanaman I. Perhimpunan pemuliaan tanaman Indonesia. Komisariat Jawa Timur. Malang 27-28 Agustus 1991. hal 46-61. Kasno, A. Dan M. Jusuf. 1994. Evaluasi plasma nutfah kedelai untuk daya adaptasi terhadap kekeringan. J. II. Pert.Indon. vol. 4(1): 12-15 Mayo. 1983. The theory of plant breeding. second edition. Claredon press. Oxford. 168 p. Mogi, S. 1990. Prosen Status of Rice Disease Study in Jatisari. Proceding of Seminar on Progress in Plant Pathology during the Twenty Years of Japan – Indonesia Joint Research Program and Strategies for the Future Research Mukelar, A. dan R. Edwin. 1987. Ketahanan varietas/galur padi terhadap 8 ras dominan jamur P. oryzae Cav. Kongres Nasional IX Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. p 183 – 188. Muliarta dan Kantun. 2002. Koleksi plasma nutfah padi beras merah dari berbagai daerah (Bali, Lombok dan Sumbawa) Penelitian Dosen Muda (tidak dipublikasikan). 21 h. Muliarta, U.M. Yacob, E. Listiana, Idris, N,. Kantun. 2003. Kajian nilai heritabilitas dan korelasi penotipe beberapa galur padi beras merah yang ditanam pada lahan sawah berpengairan teknis. Jurnal Penelitian Unram.Edisi A: Sains dan Teknologi 2 (4) : 18-23. Muliarta, N. Kantun. Kisman, Sanisah dan N. Soemenaboedhy. 2004. Penampilan fenotipe dan beberapa parameter genetik 16 genotipe padi beras merah. Agroteksos 14 (3) : 162-167.
75
Muliarta, N. Kantun, Sanisah dan N. Soemenaboedhy. 2006. Upaya mendapatkan padi beras merah tahan kekeringan melalui metode seleksi “Back Cross”. Penelitian Hibah Bersaing XI/4 (tidak dipublikasikan) 125 h. Muliarta, 2007. Kandungan antosianin genotipe padi beras merah yang berasal dari beberapa daerah Indonesia (tidak dipublikasikan) 20 h. Muliarta, 2008. Penampilan Fenotipe dan Parameter Genetik Karakter Kuantitatif Padi Beras pada berbagai lingkungan tumbuh berbeda (Disertasi). Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 189 h. Muliarta, 2010. Seleksi Perbaikan Penampilan Fenotipe dan Umur Padi Beras Merah Hasil Seleksi Balik (tidak dipulikasikan) 30 h. Murdan dan Fauzi, M. T. 1999. Perkembangan Serangan Penyakit Tungro dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya. Prosiding Kongres dan Seminar Ilmiah PFI XV di Purwokerto. Nasrullah,1994. Plant Breeding Vulume 2. Agriculture. Shoot Course. Indonesia Australia Eastern University Project (AIDAB). 136 p Nirmala, 2001. Beras merah sumber vitamin B serat dan protein. PT NaryaGunatra. 96 h. Oeke,E.C.,D.W.Dehne, F.Schobeck F., and A.Weber. 1994. Crop production and crop proctection:estemated losses in major food and cash crops. In: Global yield loss, economic impact. Crop Protection Compendium. CAB Internasional.2001 edition. O’Toole,J.C. and T.T. Changi. 1979. Drought resistance in cereals-Rice: A case study in Mussell, H. And R.C. Staples (Eds). Stress physiology in crop plants. John Willy and Sons New York, p. 374 – 483. Ou,S.SH. 1985. Rice disease. Commonealth, Mycological Institute, Kew. Surrey Enland.P. 125-132 Pert, F.C. and K.J. Fre. 1966. Genotypic correlations, dominannce, and heritability of quantitative characters in oats. Crop Sci. 6 : 259 – 262 Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar ilmu pemuliaan tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bekerja sama dengan Lembaga Sumberdaya InformasiIPB. Bogor. 169 h’ Rajguru, N.R. Burgos. D.R. Gealy, C.H. Sneller, and J.McD. Stewar. 2002. Genetic Diversity of red rice in Arkansas. In Rice research studies.. Arkansas Agricultural Experiment Station , Fayetteville, Arkansas 72701. p. 99 – 104. Reddy,V.S. K.V. Goud, R. sharma and S.R. Reddy. 1994. Ultraviolet-B-responsive anthocyanin production in rice cultivar is associated with specific phase of phenylalanine ammonia lyase biosyntesis. Plant physiology 105: 1059-1066 Reddy,A,r, 1966. genetic andmolecular analysis of anthocyanin pigmentation pathhway in rice. Proceedings of the third international rice genetics symposium. 16-20 Oct995. IRRI. Manila.Phillipines. Sama, S.; A. Hasanuddin dan B. Suprihatno. 1983. Penelitian Penyakit Tungro dan Wereng Hijau. Balittan Maros. 37 hal. Samaullah,M.Y., TarjatT., Z. Simanulang dan Ismail BP. 1997. Perakitan padi Gogo Toleran kekeringan. Kumpulan Makalah Hasil Penelitian 1996/1997 Buku I. Balai Penelitian Tanaman Padi Pusat Penelitian dan Pengembanagan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. h 70-77
76
Seed,M and C.A. Prancis.1983. Yield stability in relation to maturity in grain sorgum. Crp Sci.23:683-689 Shafii,B. K.A Mahler WJ. Price and D.L.Auld. 1992. Genotype-Enviroment interaction effects on winter rapeseed yield and oil content. Crp Sci. 32:922-927 Shi,Z.; M.Lin; F.j. Prancis. 1992. Stability of anthocyanin from Trandescantia pallida. J. Food Sci. 57: 758-780 Singh, R.K. and B.D. Chaudary. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis, Kalyani Publishers. New Delhi. 304 p. Soetarto,A., Jasis,S.W.G. Subroto, M.Siswanto, dan E. Sudiyanto.2001. Sistem peramalan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) mendukung sistem produksi padi berkelanjutan. Implementasi kebijakan strategis untuk meningkatkan produksi padi berwawasan agrobisnis dan lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan.247 h. Soewito,T. 1988. Analisis stabilitas hasil beberapa galur mutan di berbagai lingkungan aplikasi isotop dan radiasi. Risalah Simposium III.Jakarta. Steel, R.G.D and J.H. Torrie. 1995. Principles and procedures of Statisticts. McGrawHill inc. Suardi D. 2005a. Padi Beras Merah : Pangan Bergizi yang terabaikan ?. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian 27 (4) : 1-3. _______. 2005b. Potensi beras merah untuk peningkatan mutu pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Indonesian Agricultural Research and Development Journal 24(3) : 93-100. _______. 2006. Galur padi beras merah toleran kekeringan, umur genjah, dan protein tinggi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. 3 h. Sudantha, I. M., Tarmizi dan I. G. P. Muliarta. 2007. Uji ketahanan Beberapa galur Harapan Padi Hasil Persilangan Varietas Lokal “Keta Monca” dengan IR-36 terhadap Penyakit Tungro pada Musim Hujan dan Kemarau. CROP AGRO Jurnal Ilmiah Budidaya Pertanian, Volume 1 No. 1 Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Sudika dan Muliarta, 2006. keragaan sifat kuantitatif dan kualitatif beberapa kultivar padi beras merah ras cere dan bulu. (tidak dipublikasikan) 30 h. Sumbawanto, G. B., B. Subagio dan G. Raka. 1995. Perkembangan Penyakit Tungro dan Usaha pengendaliannya di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Makalah Seminar Sehari Hasil-Hasil Penelitian di Bidang Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram. 11 hal. Suprihatno B,A.A. Derajat, Satoto,S.E. Bahaki, N.Widiana,A.Setyono,S.D. Indrasti,O.S. Lesmana, dan H Semiring.2006. Deskripsi varietas padi. Balai Besar Penelelian Tanaman Padi.78 h. Toekidjo, 1994. Analisis Stabilitas hasil beberapa varietas kedelai. (Thesis). Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 74 h Whirter K.S., 1979. Breeding of cross-pollinated crops. In A. Course manual in plant breeding. Knight. R. (Ed). Ausralian Vide-Chancellor’s Committee. Brisbane. p 77-121.
77
Lampiran 1 . Analisis varians karakter Umur berbunga berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip xl okasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0 114
JK 38292.00 37263.00 157.00 36881.00 327.00 225.00 157.00 69.00 0.00 702
KT 214.00 632.00 8.00 18440.00 55.00 6.00 8.00 4.00
F
F_prob
102.54 1.34 338.18 8.85 0.96 1.27 0.62
0.00 0.17 0.00 0.00 0.54 0.21 0.88
6
Lampiran 2 . Analisis varians tanggi tanaman berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKI 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0 114
JK 39237.0 33565.0 9067.0 22234.0 1213.0 2265.0 1491.0 774.0 0.0 4459.0
KT 219.0 569.0 477.0 11117.0 202.0 60.0 75.0 43.0
F
F_prob
14.5 12.2 55.0 5.2 1.5 1.9 1.1
0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0464 0.0182 0.3627
39.0
Lampiran 3. Analisis varians karakter jumlah anakan produktif berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0 114
JK 9039.00 5073.00 1992.00 1781.00 400.00 1300.00 1136.00 164.00 0.00 3566
KT 50.50 86.00 104.80 890.70 66.70 34.20 56.80 9.10
F
F_prob
2.75 3.35 13.35 2.13 1.09 1.82 0.29
0.00 0.00 0.00 0.05 0.35 0.03 1.00
31.3
Lampiran 4. Analisis varians karakter Jumlah Anakan Non Per Produktif berdasarkan model AMMI
78
Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0 114
JK 2516.00 1589.40 115.60 1285.90 39.30 187.90 174.10 13.80 0.00 887.4
KT 14.06 26.94 6.08 642.94 6.55 4.95 8.71 0.77
F
F_prob
3.46 0.78 98.16 0.84 0.64 1.12 0.10
0.00 0.72 0.00 0.54 0.94 0.34 1.00
7.78
Lampiran 5. Analisis varians karakter Panjang Malai berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0 114
JK 698.90 438.60 92.00 284.60 110.70 62.00 35.00 27.00 0.00 149.5
KT 3.90 7.43 4.84 142.31 18.45 1.63 1.75 1.50
F
F_prob
5.67 3.69 7.71 14.07 1.24 1.33 1.15
0.00 0.00 0.00 0.00 0.19 0.17 0.32
1.31
Lampiran 6 . Analisis varians karakter Jumlah Gabah Berisi berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0 114
JK 257916.00 200923.00 22435.00 149138.00 22425.00 29349.00 24426.00 4923.00 0.00 34568.00
KT 1441.00 3405.00 1181.00 74569.00 3738.00 772.00 1221.00 274.00
F
F_prob
11.23 3.89 19.95 12.33 2.55 4.03 0.90
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.58
303.00
Lampiran 7 . Analisis varians karakter Jumlah Gabah Hampa berdasarkan model AMMI Sumber ragam
db
JK
KT
F
F_prob
79
Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals
179 59 19 2 6 38 20 18 0
Error
114
150828.00 124781.00 6981.00 95018.00 4980.00 22782.00 19537.00 3245.00 0.00
843.00 2115.00 367.00 47509.00 830.00 600.00 977.00 180.00
21067.0
11.44 1.99 57.24 4.49 3.24 5.29 0.98
0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.49
185.0
Lampiran 8 . Analisis varians karakter Bobot 100 butir gabah berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0
JK 43.70 33.80 13.04 13.21 0.36 7.55 6.56 0.99 0.00
KT 0.24 0.57 0.69 6.60 0.06 0.20 0.33 0.06
114
9.54
0.08
F
F_prob
6.85 8.20 111.56 0.71 2.37 3.92 0.66
0.00 0.00 0.00 0.64 0.00 0.00 0.85
Lampiran 9 . Analisis varians karakter bobot Gabah Per Rupun berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
db 179 59 19 2 6 38 20 18 0 114
JK 29875.00 22911.00 1070.00 18633.00 1546.00 3208.00 2635.00 573.00 0.00 5418.0
KT 167.00 388.00 56.00 9316.00 258.00 84.00 132.00 32.00
F
F_prob
8.17 1.18 36.16 5.42 1.78 2.77 0.67
0.00 0.28 0.00 0.00 0.01 0.00 0.83
48.0
Lampiran 10 . Analisis varians karakter hasil gabah berdasarkan model AMMI Sumber ragam Total
db 179
JK 1296.70
KT 7.24
F
F_prob
80
Perlakuan Genotip Lokasi Ulangan/Lokasi Interaksi Genotip x Lokasi AIKU 1 AIKU 2 Residuals Error
59 19 2 6 38 20 18 0 114
1006.00 58.80 818.80 104.60 128.40 75.20 53.20 0.00 186.1
17.05 3.10 409.39 17.43 3.38 3.76 2.95
10.45 1.90 23.48 10.68 2.07 2.30 1.81
0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03
1.63
Lampian 11 Kondisi Iklim Pada Tiga Lokasi
No
Iklim pada masing –
Dataran
Dataran
Dataran
lokasi
(l1) (L3)
1
Tinggi tempat
300 m -dpl
490 m - dpl
1450 m - dpl
2
Jenis tanah
Lempung
Lempung
Lempung –
81
3
Ph
6,7
6,5
6 -7
4
Curah hujan
2408
1250
1826- 2000
Lampiran 12. Analisis Varian kandungan antosianin beras merah di tiga Lokasi Source Model L U(L) G L*G Error Corrected Total
DF 56 2 3 17 34 50 106 R-Square 0.992809
Sum of Squares 1793.148151 34.163860 122.609276 1626.300912 4.897830 12.988474 1806.136624 CoeffVar 4.198027
Mean Square 32.020503 17.081930 40.869759 95.664760 0.144054 0.259769
Root MSE 0.509676
F Value 123.27 65.76 157.33 368.27 0.55
H Mean 12.14084
Pr> F <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.9639
82
Lampiran 13. Analisis Varian Hasil antosianin beras merah di tiga Lokasi Source Model L U(L) G L*G Error Corrected Total
DF 56 2 3 17 34 51 107 R-Square 0.911543
Sum of Squares
45903.18987 24683.83088 2474.76183 11601.46840 7143.12876 4454.46242 50357.65229 Coeff Var 31.54838
Mean Square
F Value
819.69982 12341.91544 824.92061 682.43932 210.09202 87.34240
9.38 141.30 9.44 7.81 2.41
Root MSE 9.345716
H Mean 29.62344
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0022
Pr > F