LAPORAN AKHIR PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYIMPANAN OBAT KERAS DAN OBAT ANTIBIOTIKA TANPA RESEP TAHUN 2013
Oleh :
Laily Khariyati, SKM, MPH NIP. 19840325 200812 2 001
Lenie Marlinae, SKM, MKL NIP. 19770412 200501 2 002
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2014
SUSUNAN TIM PENELITI
No.
Nama
Kedudukan
Keahlian
Uraian Tugas
dalam Tim 1
2
Laily Khairiyati,
Koordinator
Kesehatan
Mengkoordinir
SKM, MPH
Peneliti
Lingkungan
pelaksanaan penelitian
Lenie Marlinae,
Pembantu
Manajemen
Membantu
SKM, MKL
Peneliti
Kesehatan
pelaksanaan penelitian
Lingkungan
3
Frieda Ani Noor,
Pengolah
SKM, M.Kes
Data
Epidemiologi
Membantu mengolah dan menganalisis data penelitian
4
Nita Pujianti,
Sekretariat
Apoteker
S.Farm., Apt.,
Pengurusan administrasi penelitian
MPH
ii
SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir penelitian yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep Tahun 2013” tepat pada waktunya. Laporan akhir penelitian ini disusun dalam rangka Penelitian Analisis Lanjut Riskesnas 2014. Penelitian ini mengambil topik umum farmasi sesuai dengan indikator kesehatan yang dikumpulkan pada kuesioner Riskesdas 2013 terutama pada blok VI yaitu farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional. Topik farmasi merupakan salah satu topik baru yang ditambahkan setelah peninjauan kembali Riskesdas 2007. Pada awalnya, protokol penelitian ini berjudul Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Obat Antibiotika Tahun 2013, akan tetapi pada laporan akhir, judul penelitian berubah menjadi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep Tahun 2013. Adapun yang mendasari perubahan judul ini ada beberapa sebab, antara lain; ketidaktepatan pemilihan kalimat variabel terikat yaitu “penggunaan obat antibiotika” yang tidak dapat didefinisikan secara operasional sesuai alur pertanyaan dalam kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013 blok VI mengenai farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional, sehingga diputuskan untuk mengambil kalimat yang sesuai dengan laporan Riskesdas 2013
yang
dipublikaskan yaitu pada halaman 43 tabel 3.2.3 mengenai proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut provinsi, Indonesia 2013 , yakni “penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep”. Selain alasan tersebut diatas, tim peneliti menggabungkan antara penyimpanan obat keras dan obat antibiotika dengan alasan karena apabila data yang digunakan hanya penyimpanan obat antibiotika saja, maka data yang terseleksi sangat sedikit sekali (hanya ada 55 data dari provinsi yang diminta pada subset data yaitu provinsi Kalimantan Tengah dan Gorontalo) sehingga tidak memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut. Akhirnya, dengan pertimbangan
xii
keilmuan farmasi, bahwa obat antibiotika adalah bagian dari obat keras maka kedua obat tersebut digabungkan. Selanjutnya data dapat dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan penelitian. Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa informasi faktor penyebab penyimpanan obat keras dan obat antibiotika khususnya di provinsi Kalimantan Tengah dan Gorontalo sehingga dapat memberikan masukan kepada stakeholder dalam perencanaan upaya pencegahan kerugian akibat efek samping maupun resistensi obat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehata n Republik Indonesia yang mendukung dan menjadi sumber pembiayaa n penelitian.
2.
Prof. DR. Dr. Ruslan Muhyi, Sp.A (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat yang telah memberikan izin kepada peneliti.
3.
Para reviewer penelitian dari Balitbangkes yang memberikan kritik dan saran sehingga laporan ini menjadi semakin baik.
4.
Responden penelitian Riskesdas 2013, serta
5.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu proses analisis lanjut penelitian ini. Penulis menyadari bahwa laporan akhir penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata penulis ucapakan terima kasih dan semoga laporan ini bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Banjarmasin,
Desember 2014
Penulis
xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep Tahun 2013 Laily Khairiyati, Lenie Marlinae
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan kesehatan, maka berkembangnya penyakit di masyarakat tidak dapat dielakkan lagi. Berkambangnya penyakit ini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya. Berkenaan dengan hal tersebut pengobatan sendiri menjadi alternatif yang dipilih masyarakat untuk menanggulangi penyakitnya. Pengobatan sendiri dikenal dengan istilah Self medication atau Swamedikasi. Self medication (swamedikasi) biasanya dilakukan untuk penanggulangan secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis, mengurangi beban pelayanan kesehatan pada keterbatasan sumber daya dan tenaga, serta meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang jauh dari puskesmas. Hasil survei Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 35,2% rumah tangga menyimpan obat untuk swamedikasi yang di dalamnya terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Terdapat 86,1% rumah tangga menyimpan antibiotik dan 81,9% rumah tangga juga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep. Secara nasional, provinsi Kalimantan Tengah menduduki proporsi paling tinggi yang menyimpan obat antibiotika tanpa resep yaitu sebesar 93,4% dan 89,7% untuk penyimpanan obat keras. Sedangkan Gorantalo dengan proporsi yang terendah yakni 74,7% dalam penyimpanan obat antibiotik dan 70,8% dalam penyimpanan obat keras. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi perilaku pengobatan sendiri atau swamedikasi oleh masyarakat. Teori Green menjelaskan bahwa xiv
mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung tersebut adalah faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pendapatan), faktor pemungkin (pengaruh iklan, ketersediaan sarana kesehatan), dan faktor pendukung (keluarga, lingkungan). Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep, diantaranya adalah faktor jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan sumber mendapatkan obat. Hasil yang didapatkan adalah pada Provinsi Kalimantan Tengah, distribusi frekuensi jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki (88,5%), tingkat pendidikan terbanyak dengan klasifikasi tingkat pendidikan rendah (60,1%), penggolongan status ekonomi yaitu status ekonomi tinggi (63,1%), dengan sumber mendapatkan obat yang terbanyak adalah melalui sumber formal (55,6%). Sedangkan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep mencapai 75,8%. Setelah melalui uji statistik chi square, didapatkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penyimpanan obat tersebut adalah tingkat pendidikan (p=0,002), status ekonomi (p=0,000), dan sumber mendapatkan obat (p=0,000). Di Provinsi Gorontalo, distribusi frekuensi jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki (89,2%), tingkat pendidikan terbanyak dengan klasifikasi tingkat pendidikan rendah (66,6%), penggolongan status ekonomi yaitu status ekonomi tinggi (68,8%), dengan sumber mendapatkan obat yang terbanyak adalah melalui sumber formal (88,4%). Sedangkan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep sebesar 48,1%. Setelah melalui uji statistik chi square, didapatkan bahwa faktor yang berhubungan dengan penyimpanan obat tersebut adalah hanya sumber mendapatkan obat (p=0,000). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, pada kedua provinsi, yakni Kalimantan Tengah dan Gorontalo, faktor yang sama-sama berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep adalah sumber mendapatkan obat. Sumber mendapatkan obat terbagi menjadi sumber formal yaitu
apotek, pelayanan kesehatan formal (Puskesmas, RS, klinik), tenaga
kesehatan (dokter, apoteker, bidan, mantri, dan perawat). Sedangkan sumber non
xv
formal seperti toko obat/warung, pemberian orang lain, pelayanan kesehatan tradisional, dan penjual jamu/ obat tradisional keliling. Diperlukan suatu modifikasi berupa kebijakan yang berkaitan dengan pengobatan sendiri untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan berupa kerugian ekonomi dan kerugian kesehatan akibat resistensi obat antibiotika. Bagi masyarakat, agar swamedikasi dapat bermutu dan aman ada baiknya memilih produk dengan formula yang paling sederhana.
xvi
ABSTRAK
Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep Tahun 2013 Laily Khairiyati, Lenie Marlinae Pengobatan sendiri dikenal dengan istilah self medication atau swamedikasi. Banyak faktor yang mempengaruhi swamedikasi oleh masyarakat diantaranya adalah faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor pendukung. Secara nasional, hasil Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa provinsi Kalimantan Tengah menduduki proporsi paling tinggi yang menyimpan obat antibiotika tanpa resep yaitu sebesar 93,4% dan 89,7% untuk penyimpanan obat keras. Sedangkan Gorantalo dengan proporsi yang terendah yakni 74,7% dalam penyimpanan obat antibiotik dan 70,8% dalam penyimpanan obat keras. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, status ekonomi, tingkat pendidikan), dan sumber mendapatkan obat dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain potong lintang (cross sectional). Responden penelitian adalah seluruh kepala rumah tangga pada Riskesdas 2013 di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Gorontalo. Instrumen penelitian yaitu kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013, blok VI farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional. Data dianalisis secara statistik menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah, faktor yang mempengaruhi penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep adalah tingkat pendidikan (p=0,002; OR=1,5), status ekonomi (p=0,000; OR=1,8), dan sumber mendapatkan obat (p=0,000; OR=57,6). Sedangkan di Gorontalo hanya faktor sumber mendapatkan obat saja (p=0,000; OR=22,9). Dengan demikian faktor yang sangat mempengaruhi penyimpanan obat keras dan obat antibiotika pada kedua provinsi adalah sumber mendapatkan obat. Diperlukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pengobatan sendiri untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh obat keras dan obat antibiotika.
Kata-kata Kunci:
penyimpanan obat tanpa resep, obat keras, obat antibiotika, sumber mendapatkan obat.
xvii
DAFTAR ISI Hal. Judul Penelitian ........................................................................................
i
Susunan Tim Peneliti ...............................................................................
ii
Surat Keputusan Penelitian ......................................................................
iii
Kata Pengantar .........................................................................................
xii
Ringkasan Eksekutif ................................................................................
xiv
Abstrak .....................................................................................................
xvii
Daftar Isi ..................................................................................................
xviii
Daftar Tabel .............................................................................................
xix
Daftar Lampiran ......................................................................................
xx
Bab I. Pendahuluan ................................................................................
1
Bab II. Tinjauan Pustaka ........................................................................
5
Bab III. Tujuan dan Manfaat ...................................................................
11
Bab IV. Hipotesis .....................................................................................
13
Bab V. Metode .........................................................................................
14
Bab VI. Hasil ...........................................................................................
17
Bab VII. Pembahasan ..............................................................................
22
Bab VIII. Kesimpulan dan Saran ............................................................
25
Ucapan Terima Kasih ..............................................................................
26
Daftar Kepustakaan .................................................................................
27
Lampiran ..................................................................................................
29
xviii
DAFTAR TABEL
Hal. Tabel 1.
Definisi operasional penelitian ...............................................
15
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Provinsi Kalimantan Tengah ..................................................
17
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Provinsi Gorontalo ..................................................................
17
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden di Provinsi Kalimantan Tengah ..............................................
18
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden di Provinsi Gorontalo ..............................................................
18
Distribusi Frekuensi Status Ekonomi Responden di Provinsi Kalimantan Tengah ...............................................
18
Distribusi Frekuensi Status Ekonomi Responden di Provinsi Gorontalo ...............................................................
18
Distribusi Frekuensi Sumber Mendapatkan Obat di Provinsi Kalimantan Tengah ...............................................
19
Distribusi Frekuensi Sumber Mendapatkan Obat di Provinsi Gorontalo ...................................................................
19
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep di Provinsi Kalimantan Tengah ....... 20 Tabel 11. Distribusi Frekuensi Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep di Provinsi Gorontalo ....................... 20 Tabel 12. Hasil analisis bivariat variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan sumber mendapatkan obat dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep di Provinsi Kalimantan Tengah ............................. 21 Tabel 13. Hasil analisis bivariat variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan sumber mendapatkan obat dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep di Provinsi Gorontalo ............................................. 21
xix
DAFTAR LAMPIRAN Hal. Lampiran 1.
Kuesioner Rumah Tangga Riskesdas 2013 ...................
30
Lampiran 2.
Surat Pernyataan Subset Data ........................................
35
Lampiran 3.
Output SPSS univariat ...................................................
36
Lampiran 4.
Output SPSS bivariat .....................................................
40
Lampiran 5.
Biodata Tim Peneliti ......................................................
53
xx
Lampiran (waktu proposal)
RINCIAN ANGGARAN
Biaya Keseluruhan No
Uraian
Persentase
Jumlah (Rp)
1
Belanja Honor
25%
6.250.000
2
Belanja Bahan
15%
3.750.000
3
Belanja Non Operasional
30%
7.450.000
4
Belanja Perjalanan
30%
7.500.000
Jumlah
100%
24.950.000
Rincian anggaran: 1. Belanja Honor Biaya satuan No
Pelaksana Kegiatan
Volume
Alokasi waktu
Biaya (Rp) (Rp)
1
Ketua Peneliti
1
40.000 x 4 jam x 12 minggu
1.920.000
1.920.000
2
Peneliti 1
1
25.000 x 4 jam x 12 minggu
1.200.000
1.200.000
3
Peneliti 2
1
25.000 x 4 jam x 12 minggu
1.200.000
1.200.000
4
Pengolah Data
1
5
Tenaga administrasi
1
1.030.000 3 bulan Jumlah biaya
xxi
300.000
900.000 6.250.000
2. Belanja Bahan Biaya satuan No
Bahan
Volume (satuan)
Biaya (Rp) (Rp)
1
Kertas HVS A4
5
rim
45.000
225.000
2
Cartidge CANON (Black and White)
2
buah
300.000
600.000
3
Mouse
1
buah
120.000
120.000
4
Pointer
1
buah
100.000
100.000
5
CD-RW
2
box
120.000
240.000
6
Box CD transparant
2
box
122.500
245.000
7
Flash Disk
4
buah
150.000
600.000
8
Note book, kuitansi, buku kas, softmap, dll
2
paket
85.000
170.000
9
Alat tulis (spidol boardmarker, ballpoint, 1 dll)
paket
950.000
950.000
10
Fotokopi dan penggandaan
paket
500.000
500.000
1
Jumlah biaya
3.750.000
3. Belanja Non Operasional
No
Biaya satuan
Volume (satuan)
Bahan
Biaya (Rp) (Rp)
1
Biaya subset data
1
subset
250.000
250.000
2
Pendaftaran seminar analisis data lanjut
2
orang
3.600.000
7.200.000
Jumlah biaya
7.450.000
xxii
4. Belanja Perjalanan
No
1
Biaya satuan Biaya (Rp) (Rp)
Perjalanan pelatihan Transportasi Bjm-Jkt
2
Volume (satuan)
Bahan
1
orang
1
kali
1.500.000
1.500.000
Transportasi dalam kota 1 (Jkt)
orang
1
kali
250.000
250.000
Uang harian
1
orang
2
hari
200.000
400.000
Penginapan
1
orang
1
hari
250.000
250.000
2
orang
1
kali
1.500.000
3.000.000
Transportasi dalam kota 2 (Jakarta)
orang
1
kali
300.000
600.000
Uang harian
2
orang
2
hari
250.000
1.000.000
Penginapan
2
orang
1
hari
250.000
500.000
Perjalanan dinas untuk seminar di Jakarta Transportasi Bjm-Jkt
Jumlah biaya
xxiii
7.500.000
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Undang – Undang No 36 tahun 2009). Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah, tenaga kesehatan maupun masyarakat. Primary Health Care (PHC) diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Di Indonesia, PHC memiliki 3 strategi utama, yaitu kerjasama multisektoral, partisipasi masyarakat, dan penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dengan pelaksanaan di masyarakat (1). Sumber pengobatan di dunia mencakup 3 sektor yang saling terkait, yaitu pengobatan rumah tangga/pengobatan sendiri menggunakan obat, obat tradisional, atau cara tradisional, pengobatan medis yang dilakukan oleh oleh perawat, dokter, puskesmas, atau rumah sakit, serta pengobat tradisional (2). Kriteria yang digunakan untuk memilih sumber pengobatan adalah pengetahuan tentang sakit dan pengobatannya, keyakinan terhadap obat/pengobatan, keparahan sakit, dan keterjangkauan biaya dan jarak (3). Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan kesehatan, maka berkembangnya penyakit di masyarakat tidak dapat dielakkan lagi. Berkambangnya penyakit ini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya. Berkenaan dengan hal tersebut pengobatan sendiri menjadi alternatif yang dipilih masyarakat untuk menanggulangi penyakitnya (4). Pengobatan sendiri dikenal dengan istilah Self medication atau Swamedikasi. Self medication biasanya dilakukan untuk penanggulangan secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis, mengurangi beban
1
pelayanan kesehatan pada keterbatasan sumber daya dan tenaga, serta meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang jauh dari puskesmas (1). Banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi perilaku pengobatan sendiri atau swamedikasi oleh masyarakat. Teori Green menjelaskan bahwa mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung tersebut adalah faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pendapatan), faktor pemungkin (pengaruh iklan, ketersediaan sarana kesehatan), dan faktor pendukung (keluarga, lingkungan) (5). Penelitian Kristina et al (2008) menunjukkan bahwa pengetahuan dan perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan seseorang. Dalam hal ini pendidikan memiliki hubungan yang paling signifikan dibandingkan faktor-faktor lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang paling banyak melakukan pengobatan sendiri adalah kelompok usia di bawah 30 thn (59,5%), jenis kelamin perempuan (61,9%) dan kelompok berpenghasilan tinggi (40,5%) (6). Selain itu hasil penelitian Da Silva (2012) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara mahasiswa kesehatan dan mahasiswa non kesehatan terkait pengetahuannya tentang pengobatan sendiri. Persentase terbesar penduduk Indonesia pada tahun 2001 yang mengeluh sakit dan melakukan pengobatan sendiri (57,7%) lebih rendah daripada tahuntahun sebelumnya. Demikian juga penduduk yang melakukan pengobatan sendiri sebesar 82,7% menggunakan obat (OB), 31,7% menggunakan obat tradisional (OT), dan 9,8% menggunakan cara tradisional (CT). Penduduk yang mengeluh sakit dan menggunakan obat, obat tradisional, dan cara tradisional relatif lebih besar pada penduduk dengan tingkat ekonomi kurang mampu (3). Masyarakat dengan berbagai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan faktorfaktor lain sering kali mengkonsumsi obat tertentu tanpa indikasi yang jelas, tanpa dosis yang yang tepat, dan tidak mengetahui kontraindikasi dan efek samping obat tersebut (3). Penggunaan obat untuk tujuan swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Berdasarkan hal tersebut apabila
2
swamedikasi tidak diimbangi dengan informasi obat yang benar, maka akan menyebabkan dampak negatif pada masyarakat karena penggunaan obat yang tidak rasional dapat menimbulkan terjadinya kekebalan (resistensi) mikroba terhadap antibiotika maupun efek samping lain dari obat yang dikonsumsi (1). Pada awalnya, protokol penelitian ini berjudul Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Obat Antibiotika Tahun 2013, akan tetapi pada laporan akhir, judul penelitian berubah menjadi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep Tahun 2013. Adapun yang mendasari perubahan judul ini ada beberapa sebab, antara lain; ketidaktepatan pemilihan kalimat variabel terikat yaitu “penggunaan obat antibiotika” yang tidak dapat didefinisikan secara operasional sesuai alur pertanyaan dalam kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013 blok VI mengenai farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional, sehingga diputuskan untuk mengambil kalimat yang sesuai dengan laporan Riskesdas 2013
yang
dipublikaskan yaitu pada halaman 43 tabel 3.2.3 mengenai proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut provinsi, Indonesia 2013 , yakni “penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep”. Hasil survei Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 35,2% rumah tangga menyimpan obat untuk swamedikasi yang di dalamnya terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Terdapat 86,1% rumah tangga menyimpan antibiotik dan 81,9% rumah tangga juga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep. Secara nasional, provinsi Kalimantan Tengah menduduki proporsi paling tinggi yang menyimpan obat antibiotika tanpa resep yaitu sebesar 93,4% dan 89,7% untuk penyimpanan obat keras. Sedangkan Gorantalo dengan proporsi yang terendah yakni 74,7% dalam penyimpanan obat antibiotik dan 70,8% dalam penyimpanan obat keras. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional (7). Selain alasan tersebut diatas, tim peneliti menggabungkan antara penyimpanan obat keras dan obat antibiotika dengan alasan karena apabila data yang digunakan hanya penyimpanan obat antibiotika saja, maka data yang
3
terseleksi sangat sedikit sekali (hanya ada 55 data dari provinsi yang diminta pada subset data yaitu provinsi Kalimantan Tengah dan Gorontalo) sehingga tidak memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut. Akhirnya, dengan pertimbangan keilmuan farmasi, bahwa obat antibiotika adalah bagian dari obat keras maka kedua obat tersebut digabungkan. Selanjutnya data dapat dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan penelitian.
B. Perumusan Masalah Penelitian Sebagaimana telah dikemukakan, upaya swamedikasi yang tidak diimbangi dengan informasi obat yang benar, dapat berdampak negatif. Penggunaan obat yang tidak rasional sebagai akibat dari penyimpanan obat tanpa resep menimbulkan bahaya bagi masyarakat itu sendiri sehingga perlu diketahui apakah ada faktor-faktor yang berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep di Provinsi Kalimantan Tengah dan Gorantalo tahun 2013?
C. Pertanyaan Penelitian Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang dapat diajukan adalah bagaimanakah hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi, dan sumber mendapatkan obat terhadap penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep di Provinsi Kalimantan Tengah dan Gorantalo tahun 2013?
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Swamedikasi Pelayanan obat non-resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi merupakan penggunaan dan pemilihan obat secara individual untuk mengobati atau mengatasi penyakit yang dikenali dan diketahui gejalanya dengan berkonsultasi
kepada apoteker (8). Swamedikasi adalah pemilihan dan
penggunaan obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (9). Jadi dapat disimpulkan swamedikasi (pengobatan sendiri) berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotek atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter, tetapi harus berkonsultasi dengan apoteker. Orang yang mempersepsikan penyakitnya sebagai penyakit ringan cenderung untuk memilih pengobatan sendiri (self medication) dengan membeli obat di toko obat atau apotek. Orang yang mengganggap penyakit mereka serius, apabila dalam tiga hari sampai seminggu tidak sembuh maka mereka cenderung untuk memilih pergi ke dokter atau pelayanan kesehatan lain. Mereka yang mempersepsikan bahwa pengobatan profesional sulit untuk dijangkau, mahal dan tidak efektif cenderung untuk beralih ke pengobatan sendiri dan pengobatan alternatif. Dalam sistem penyelenggaraan kesehatan, pengobatan sendiri (selfmedication) menjadi upaya utama dan terbesar yang dilakukan masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat, baik obat modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk mengobati penyakit atau gejalanya yang dapat dikenali sendiri. Pengobatan sendiri adalah tindakan pemilihan dan penggunaan obatobatan oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri. Pengobatan sendiri didefinisikan sebagai tindakan penggunaan obatobatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri.
5
Keuntungan pengobatan sendiri yaitu praktis, ekonomis, mudah diperoleh, efisien, aman apabila digunakan sesuai petunjuk. Kerugiannya yaitu kurangnya pengetahuan tentang obat yang dapat menimbulkan efek samping dari obat (tidak mengetahui tidak memperhatikan peringatan dan kontra indikasi, interaksi obat ) salah diagnosa, salah memilih terapi. The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefinisikan swamedikasi atau self-medication sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan, dan biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain. Pengobatan sendiri merupakan upaya pengobatan yang mengacu pada kemampuan sendiri, tanpa petunjuk dokter atau tenaga medis, untuk mengatasi sakit atau keluhan penyakit ringan dengan menggunakan obat-obat yang di rumah atau membeli langsung ke toko obat atau apotek.
B. Obat Keras dan Obat Antibiotika Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Obat keras adalah obat yang hanya bisa diperoleh dengan resep dokter. Kemasan obat ditandai dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat huruf K berwarna merah yang menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obatobatan yang termasuk dalam golongan ini antara lain: obat jantung, obat darah tinggi/antihipertensi, obat darah rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika dan beberapa obat ulkus lambung. Antibiotik adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan mengobati suatu infeksi karena bakteri. Akan tetapi, istilah antibiotik sebenarnya mengacu pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi, yang menghambat pertumbuhan atau membunuh organisme yang lain (10).
6
Prinsip umum penggunaan antibiotika sama seperti semua produk obat lainnya yaitu dapat memenuhi kriteria sebagai berikut, sesuai dengan indikasi penyakit, diberikan dengan dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu yang tepat, lama pemberian yang tepat, obat yang diberikan harus efektif, mutu terjamin dan aman, tersedia setiap saat dengan harga terjangkau (11). Resistensi terhadap antibiotik bisa di dapat atau bawaan. Pada resistensi bawaan, semua spesies bakteri bisa resisten terhadap suatu obat sebelum bakteri kontak dengan obat tersebut. Yang serius secara klinis adalah resistensi yang di dapat, dimana bakteri yang pernah sensitif terhadap suatu obat menjadi resisten. Resistensi silang juga dapat terjadi antara obat-obat antibiotik yang mempunyai kerja yang serupa seperti penisilin dan sefalosporin. Teori Lawrence Green mengatakan kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku dan di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Faktor pendukung adalah sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, keterampilan adanya referensi. Sedangkan faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat. Pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor tersebut agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya (12).
C. Faktor – Faktor Penyebab Perilaku Faktor-faktor yang merupakan penyebab perilaku dikategorikan dalam tiga jenis yaitu faktor predisposisi (predisposing), faktor pemungkin (enabling) dan faktor penguat (reinforcing)l. Hubungan ketiga faktor dengan perilaku dikenal dengan kerangka kerja PRECEDE dari Green dan Kreuter (1980). Masing-masing faktor mempunyai pengaruh yang berbeda atas perilaku. Faktor predisposing merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku. Termasuk dalam faktor ini adalah
7
pengetahuan, sikap, keyakinan/nilai, pendidikan dan persepsi. Faktor predisposing mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai, pendidikan dan persepsi berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak. Faktor predisposing sebagai preferensi ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat dalam setiap kasus, faktor ini mempunyai pengaruh. Meskipun berbagai faktor demografi seperti sosial ekonomi, umur jenis kelamin dan jumlah keluarga saat ini juga penting sebagai faktor predisposing. Semua ini berada diluar pengaruh langsung program pendidikan kesehatan. Faktor enabling adalah faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk dalam faktor ini adalah ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya serta komitmen pemerintah/ masyarakat. Faktor ini terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya obat-obatan, puskesmas, dan lain-lain yang merupakan sumber daya untuk menunjang perilaku kesehatan. Faktor reinforcing adalah faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang memberikan ganjaran, insentif, hukuman atau perilaku dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu. Termasuk dalam faktor ini adalah perilaku famili, tetangga, guru, petugas kesehatan, dan kader kesehatan. Misalnya ketersediaan/ kelengkapan dari obat generik terutama di fasilitas kesehatan tempat tenaga kesehatan bekerja dan juga dipengaruhi oleh dukungan dari pemerintah atau atasan/direktur tempat dokter bekerja yang mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
D. Faktor-Faktor Penyimpanan Obat a) Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan identitas responden yang dapat digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin juga dapat diartikan sebagai kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat
digunakannya
proses
reproduksi
seksual
untuk
mempertahankan
keberlangsungan spesies itu yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan di kalangan masyarakat Abu Dhabi oleh Abasaeed et al (2009) tidak ditemukan adanya hubungan antara 8
karakteristik jenis kelamin dengan penggunaan antibiotik secara bebas.
b) Tingkat Pendidikan Upaya untuk tercapainya kesuksesan di dalam bekerja dituntut pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang dipegangnya. Pendidikan merupakan suatu bekal yang harus dimiliki seseorang dalam bekerja, dimana dengan pendidikan seseorang dapat mempunyai suatu ketrampilan, pengetahuan serta kemampuan. Dengan tingkat pendidikan yang memadai diharapkan seseorang dapat lebih menguasai pekerjaan yang dibebankan kepadanya karena keterbatasan pendidikan akan mempengaruhi seseorang dalam menentukan pekerjaan yang diinginkannya. Pendidikan saat ini dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendasar bagi setiap orang. Dengan semakin berkembangnya iptek maka setiap orang dituntut untuk memiliki pendidikan yang tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka dapat diasumsikan lebih memiliki pengetahuan, kemampuan serta ketrampilan tinggi. Gilmer dalam Frazer (1992), mengatakan bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah seseorang berpikir secara luas, makin tinggi daya inisiatifnya dan makin mudah pula untuk menemukan cara-cara yang efisien guna menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. c) Status Ekonomi Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. Tingkat sosial ekonomi yang terlalu rendah sehingga tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan kebutuhan- kebutuhan lain yang lebih mendesak.
d) Sumber Mendapatkan Obat Sumber mendapatkan obat terdiri dari sumber formal yang resmi seperti rumah sakit, puskesmas dan non formal seperti warung/ toko obat dan panjual obat
9
tradisional. Termasuk dalam faktor enabling (pendukung) dalam teori perilaku Green. Faktor pendukung adalah sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Faktor ini terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya obat-obatan, puskesmas, dan lain-lain yang merupakan sumber daya untuk menunjang perilaku kesehatan.
10
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT
A. Tujuan Penelitian Tujuan umum yang ingin dicapai yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep di Provinsi Kalimantan Tengah dan Gorontalo tahun 2013 Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
2.
Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
3.
Menganalisis hubungan antara status ekonomi dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
4.
Menganalisis
hubungan antara
sumber
mendapatkan
obat denga n
penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep.
B. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Penentu Kebijakan Memberikan informasi dan gambaran mengenai faktor penyebab
penyimpanan obat keras dan obat antibiotika sebagai indikator swamedikasi sehingga dapat menjadi salah satu masukan dan bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan khususnya Dinas Kesehatan di wilayah setempat dalam upaya perencanaan pencegahan kerugian akibat efek samping maupun resistensi obat.
2.
Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Secara teoritis, penelitian ini memberikan sumbangan dan referensi
pengetahuan untuk kepentingan pendidikan sehingga memperkaya hasil penelitian yang telah ada mengenai faktor-faktor penyimpanan obat sehingga dapat dilakukan upaya intervensi secara keilmuan untuk mencegah risiko penggunaan obat yang tidak tepat.
11
3.
Bagi Masyarakat Umum Bagi masyarakat, diharapkan agar lebih berhati-hati dalam melakukan
upaya swamedikasi karena terkait dampak yang ditimbulkan dari perilaku tersebut.
4.
Bagi Masyarakat Ilmiah Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai proses pembelajaran
ilimiah menurut kaidah ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai topik swamedikasi.
12
BAB IV HIPOTESIS
Faktor Predisposing: Karakteristik Individu Jenis Kelamin Tingkat pendidikan Status ekonomi
Faktor Enabling: Sumber mendapatkan obat
Penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
Faktor Reinforcing
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Dari kerangka konsep diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: 1.
Ada hubungan antara jenis kelamin dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
2.
Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
3.
Ada hubungan antara status ekonomi dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
4.
Ada hubungan antara sumber mendapatkan obat dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep.
13
BAB V METODE
A. Desain dan Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain potong lintang (cross sectional). Jenis penelitian ini berusaha mempelajari dinamika hubungan, pengaruh atau korelasi antara faktor-faktor risiko dengan dampak atau efeknya.
A. Tempat dan Waktu Penelitian ini mengambil tempat di Provinsi Kalimantan Tengah sebagai wilayah yang penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep tertinggi dan Gorontalo sebagai wilayah yang penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep yang terendah.. Waktu penelitian direncanakan pada bulan Oktober – Desember 2014.
B. Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Indonesia. Sampel penelitian yaitu seluruh sampel rumah tangga Riskesdas 2013 masing-masing di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Gorontalo. Dalam hal ini kepala keluarga adalah sebagai responden penelitian.
C. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari : a) Variabel bebas: 1. Karakteristik responden yang terdiri dari: jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status ekonomi 2. Sumber mendapatkan obat antibiotika. b) Variabel terikat: Penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep.
14
D. Definisi Operasional Tabel 1. Definisi Operasional Penelitian Variabel Penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep
Definisi Operasional Yaitu menunjukkan disimpannya salah satu jenis obat keras dan obat antibiotika yang ada di rumah tangga tanpa resep dokter
Kategori Penilaian a. Ya, jika responden menyimpan salah satu jenis obat keras dan obat antibiotika tanpa resep untuk tujuan swamedikasi b. Tidak, jika responden menyimpan jenis obat keras dan obat antibiotika hanya melalui resep dokter
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Karakteristik responden yang dibedakan berdasarkan ciriciri biologis.
a. Laki-laki
Jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil ditamatkan oleh responden
a. Tinggi, jika tamat SLTA/MA, tamat D1/D2/D3, dan tamat PT
b. Perempuan
b. Rendah, jika tidak/ belum pernah sekolah, tidak tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SLTP/MS Status Ekonomi
Status ekonomi keluarga yang ditentukan berdasarkan indeks kepemilikan barang tahan lama dalam rumah tangga.
a. Tinggi, jika Kuintil 3 (menengah), Kuintil 4 (menengah atas), dan Kuintil 5 (teratas) b. Rendah, jika Kuintil 1 (terbawah), dan Kuintil 2 (menengah bawah)
Sumber mendapatkan obat
Obat yang diperoleh atau dibeli responden dari apotek, toko obat, pemberian orang lain, pelayanan kesehatan formal, tenaga kesehatan dll.
a. Formal, jika mendapatkan obat dari apotek, pelayanan kesehatan formal (Puskesmas, RS, klinik), nakes (dokter, apoteker, bidan, mantri, dan perawat) b. Non formal, jika mendapatkan obat dari
15
toko obat/warung, pemberian orang lain, pelayanan kesehatan tradisional, dan penjual jamu/ obat tradisional keliling.
E. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013. Data yang diperlukan adalah data sekunder hasil Riskesdas 2013 terutama informasi karakteristik kepala rumah tangga, dan blok VI (farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional).
F.
Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini mencakup:
a.
Analisis univariat yaitu analisis setiap variabel dalam bentuk distribusi frekuensi.
b. Analisis bivariat yaitu analisis hubungan atau korelasi antara variabelvariabel bebas dengan variabel terikat menggunakan uji chi square dengan tingkat kepercayaan 95%.
G. Langkah-langkah Penelitian 1. Tahap persiapan berupa pengumpulkan data hasil survei Riset Kesehata n Dasar (Riskesdas) tahun 2013. 2. Tahap pelaksanaan berupa kegiatan pengolahan data dan analisis hubunga n masing-masing variabel. 3. Tahap akhir, yaitu penyajian hasil dalam bentuk laporan penelitian.
16
BAB VI HASIL
A. Analisis Univariat 1.
Jenis Kelamin Responden Sebaran data jenis kelamin responden pada masing-masing Provinsi di
Kalimantan Tengah dan Gorontalo disajikan dalam tabel distribusi frekuensi yang disajikan pada tabel 2 dan 3 berikut ini: Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Provinsi Kalimantan Tengah Jenis Kelamin Frekuensi Persentase Laki-laki
948
88,5
Perempuan
123
11,5
Total
1071
100,0
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di Provinsi Gorontalo Jenis Kelamin Frekuensi Persentase Laki-laki
406
89,2
Perempuan
49
10,8
Total
455
100,0
Dari tabel 2 dan 3 diatas dapat disimpulkan bahwa di provinsi Kalimantan Tengah maupun Gorontalo mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yaitu masing-maing 88,5% dan 89,2%. Hal ini disebabkan karena pada umumnya responden yang diwawancarai pada waktu penelitian berlangsung adalah laki-laki sebagai kepala keluarga/ kepala rumah tangga. 2.
Tingkat Pendidikan Responden Sebaran data tingkat pendidikan responden pada masing-masing Provinsi
di Kalimantan Tengah dan Gorontalo disajikan dalam tabel distribusi frekuensi yang disajikan pada tabel 4 dan 5 berikut ini:
17
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden di Provinsi Kalimantan Tengah Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase Tinggi
427
39,9
Rendah
644
60,1
Total
1071
100,0
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden di Provinsi Gorontalo Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase Tinggi
152
33,4
Rendah
303
66,6
Total
455
100,0
Dari tabel 4 dan 5 diatas, diketahui bahwa sebagian besar responden di provinsi Kalimantan Tengah maupun Gorontalo memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu masing-masing 60,1% dan 66,6%. Tingkat pendidikan rendah mencakup tidak/ belum pernah sekolah, tidak tamat SD/ MI, tamat SD/ MI, dan tamat SLTP/ MS. 3.
Status Ekonomi Responden Sebaran data status ekonomi responden pada masing-masing Provinsi di
Kalimantan Tengah dan Gorontalo disajikan dalam tabel distribusi frekuensi yang disajikan pada tabel 6 dan 7 berikut ini: Tabel 6. Distribusi Frekuensi Status Ekonomi Responden di Provinsi Kalimantan Tengah Status Ekonomi Frekuensi Persentase Tinggi
676
63,1
Rendah
395
36,9
Total
1071
100,0
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Status Ekonomi Responden di Provinsi Gorontalo Status Ekonomi Frekuensi Persentase Tinggi
313
68,8
Rendah
142
31,2
Total
455
100,0
18
Dalam hal status ekonomi, di Provinsi Kalimantan Tengah maupun di Gorontalo, sebagian besar responden masing-masing 63,1% dan 68,8% dikategorikan dengan status ekonomi tinggi seperti terlihat pada tabel 6 dan 7 diatas. Status ekonomi tinggi mencakup nilai Kuintil 3 (menengah), Kuintil 4 (menengah atas), dan Kuintil 5 (teratas). Nilai kuintil ditentukan berdasarkan indeks kepemilikan barang tahan lama dalam rumah tangga.
4.
Sumber Mendapatkan Obat Sebaran data sumber mendapatkan obat pada masing-masing Provinsi di
Kalimantan Tengah dan Gorontalo disajikan dalam tabel distribusi frekuensi yang disajikan pada tabel 8 dan 9 berikut ini: Tabel 8. Distribusi Frekuensi Sumbe r Mendapatkan Obat di Provinsi Kalimantan Tengah Sumber Mendapatkan Obat Frekuensi Persentase Antibiotika Formal
596
55,6
Non Formal
475
44,4
1071
100,0
Total
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Sumbe r Mendapatkan Obat di Provinsi Gorontalo Sumber Mendapatkan Obat Frekuensi Persentase Antibiotika Formal
402
88,4
Non Formal
53
11,6
455
100,0
Total
Dari tabel 8 dan 9 tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar respenden di Provinsi Kalimantan Tengah dan Gorontalo dengan persentase masing-masing sebesar 55,6% dan 88,4% memperoleh obat keras dan obat antibiotika
berasal dari sumber formal seperti
apotek, pelayanan kesehatan
formal (Puskesmas, RS, klinik), tenaga kesehatan (dokter, apoteker, bidan, mantri, dan perawat).
19
5.
Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep Sebaran data penyimpanan obat keras dan obat antibiotika pada masing-
masing Provinsi di Kalimantan Tengah dan Gorontalo disajikan dalam tabel distribusi frekuensi yang disajikan pada tabel 10 dan 11 berikut ini: Tabel 10. Distribusi Frekuensi Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep di Provinsi Kalimantan Tengah Penyimpanan Obat Antibiotika Frekuensi Persentase Tanpa Resep Ya
812
75,8
Tidak
259
24,2
Total
1071
100,0
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Penyimpanan Obat Keras dan Obat Antibiotika Tanpa Resep di Provinsi Gorontalo Penyimpanan Obat Antibiotika Frekuensi Persentase Tanpa Resep Ya
219
48,1
Tidak
236
51,9
Total
455
100,0
Dalam hal penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep, Provinsi Kalimantan Tengah paling banyak menyimpan obat yaitu sebesar 75,8%. Sedangkan Provinsi Gorontalo hanya sebesar 48,1%. Obat keras dan obat antibiotika yang disimpan disini hanya dalam batasan salah satu jenis obat saja, akan tetapi tidak disebutkan jenis, jumlah/ kuantitas dan kondisi obatnya. B. Analisis Bivariat Pada tabel 12 dan 13 berikut ini disajikan masing-masing hasil analisis bivariat per Provinsi di Kalimantan Tengah dan Gorontalo dengan menggunakan uji Chi Square.
20
Tabel 12. Hasil analisis bivariat variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan sumbe r mendapatkan obat dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep di Provinsi Kalimantan Tengah
Variabel
Penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep Ya Tidak
Total
n
%
n
%
n
%
Jenis kelamin
Laki-laki
725
76,5
223
23,5
948
100
Perempuan
87
70,7
36
29,3
123
100
Tingkat pendidikan
Tinggi
302
70,7
125
29,3
427
100
Rendah
510
79,2
134
20,8
644
100
Status ekonomi
Tinggi
487
72,0
189
28,0
676
100
Rendah
325
82,3
70
17,7
395
100
Sumber mendapatkan obat
Formal
343
57,6
253
42,4
596
100
Non formal
469
98,7
6
1,3
475
100
P value
OR
95%CI
0,198
0,743
0,490 - 1,127
0,002
1,575
1,188 -2,089
0,000
1,802
1,324 - 2,452
0,000
57,656
25,356-131,102
Tabel 13. Hasil analisis bivariat variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan sumbe r mendapatkan obat dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep di Provinsi Gorontalo
Variabel
Penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep Ya Tidak
Total
n
%
n
%
n
%
Jenis kelamin
Laki-laki
193
47,5
213
52,5
406
100
Perempuan
26
53,1
23
46,9
49
100
Tingkat pendidikan
Tinggi
65
42,8
87
57,2
152
100
Rendah
154
50,8
149
49,2
303
100
Status ekonomi
Tinggi
143
45,7
170
54,3
313
100
Rendah
76
53,5
66
46,5
142
100
Sumber mendapatkan obat
Formal
169
42,0
233
58,0
402
100
Non formal
50
94,3
3
5,7
53
100
21
P value
OR
95%CI
0,562
1,248
0,689 - 2,259
0,128
1,383
0,934 - 2,048
0,147
1,369
0,920 - 2,038
0,000
22,978
7,048 - 74,911
BAB VII PEMBAHASAN
Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada Riskesdas 2013. Salah satu tujuannya adalah mengetahui proporsi rumah tangga (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kriteria penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep sebesar 78,8% di Provinsi Kaliamantan Tengah dan 48,1% di Provinsi Gorontalo. Untuk pemakaian obat antibiotika dianjurkan untuk tidak menggunakannya dalam pengobatan sendiri karena pemakaian antibiotika yang tidak tepat dengan dosis yang rendah, pemakaian dalam jangka waktu yang lama, yang sudah rusak atau kadaluwarsa menimbulkan terjadinya resistensi atau superinfeksi bahkan timbulnya alergi ataupun syok anafilaksis pada individu tertentu. Sedangkan untuk obat-obatan yang termasuk dalam golongan obat keras bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit, memicu munculnya penyakit lain sebagai efek negatifnya, hingga menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, golongan obat ini hanya boleh diberikan atas resep dokter umum/spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan.
A. Hubungan antara jenis kelamin dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep Dari hasil tabulasi silang diperoleh bahwa laki-laki paling banyak menyimpan obat antibiotika tanpa resep dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terjadi baik di Provinsi Kalimantan Tengah maupun Gorontalo, karena sebagian besar responden adalah laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin di kedua provinsi tidak berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep dengan masing-masing p=0,198 dan p=0,562. Hal ini sejalan dengan penelitian Utomo (1999) (13), Abasae'ed (2009) dan Djuang (2010) dimana tidak terdapat pengaruh antara jenis kelamin dengan
22
penggunaan antibiotika secara bebas (tidak rasional). Hal ini disebabkan oleh jenis kelamin baik laki-laki
maupun perempuan
tidak ada
perbedaan atau
kecenderungan untuk tetap berpendirian dalam menyimpan suatu obat tertentu.
B. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan berhubungan dengan penyimpanan obat di Kalimantan Tengah (p=0,002), dimana nilai OR=1,575 artinya bahwa tingkat pendidikan yang rendah memiliki peluang/ risiko sebesar 1,5 kali lebih besar untuk seseorang cenderung menyimpan obat bebas dan obat antibiotika dalam rumah tangga. Hasil penelitian Kristina, et al (2008) menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam perilaku pengobatan sendiri adalah tingkat pendidikan. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Chan (1996), Mainous (1997), dan Trepka (1998) dimana tingkat pendidikan rendah mempengaruhi konsep penggunaan antibiotika secara berlebihan dalam pengobatan infeksi saluran pernafasan (14, 15, 16). Sedangkan di Gorontalo, tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan penyimpanan obat (p=0,128). Beberapa hasil penelitian yang sejalan diantaranya adalah hasil penelitian Djuang (2010) bahwa tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan penggunaan antibiotika, dan hasil penelitian Dimara (2012) bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan perilaku konsumsi obat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula menerima pengetahuan yang dimilikinya.
Pendidikan menentukan seseorang dalam memilih pengobatan untuk dirinya. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak pula dia berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Semakin tinggi pendidikan, pengobatan yang dilakukan juga semakin rasional. C. Hubungan antara status ekonomi dengan pe nyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel status ekonomi di Kalimantan Tengah tidak berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep dengan p=0,000 dengan nilai OR=1,8. Artinya status
23
ekonomi yang tinggi memiliki risiko/ peluang sebesar 1,8 kali lebih besar untuk seseorang cenderung menyimpan obat keras dan obat antibiotika dalam ruma h tangga. Interpretasi dari status ekonomi yang tinggi mengindikasikan kemampuan seseorang dalam daya beli obat yang murah maupun yang mahal, sehingga cenderung menyimpan obat untuk tujuan swamedikasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Tamhankar (2010) bahwa faktor sosial ekonomi mempengaruhi perilaku pengobatan sendiri (17). Selain itu hasil penelitian Ilic (2011) menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi mempengaruhi penggunaan antibiotik secara irrasional dan tidak terkontrol (18). Hal ini disebabkan oleh
tingkat sosial ekonomi akan mempengaruhi daya beli serta
mempengaruhi pola penggunaan obat keras maupun obat antibiotika. Sedangkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel status ekonomi di Gorontalo tidak berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika (p=0,147). Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebaran data yang diperoleh adalah dominan tidak menyimpan obat tanpa adanya peresepan resmi dari dokter.
D. Hubungan sumbe r me ndapatkan obat dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik di Kalimantan Tengah maupun Gorontalo, variabel sumber mendapatkan obat berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep dengan masing-masing p=0,000; OR=57,6 dan p=0,000;OR=22,9. Artinya bahwa variabel sumber mendapatkan obat menjadi faktor yang berperan sangat dominan dengan masing-masing risiko berpeluang 57,6 kali dan 22,9 kali untuk cenderung melakukan upaya swamedikasi dengan indikatornya penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor ketersediaan dan akses fasilitas kesehatan yang semakin mudah ditemui terutama sumber obat dari fasilitas kesehatan formal maupun non formal yang tumbuh subur diseluruh pelosok daerah, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan obat-obatan.
24
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Di Provinsi Kalimantan Tengah, distribusi frekuensi jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki (88,5%), tingkat pendidikan terbanyak dengan klasifikasi tingkat pendidikan rendah (60,1%), penggolongan status ekonomi yaitu status ekonomi tinggi (63,1%), dengan sumber mendapatkan obat yang terbanyak adalah melalui sumber formal (55,6%). Sedangkan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep mencapai 75,8%. Setelah melalui uji statistik chi square, didapatkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penyimpanan obat tersebut adalah tingkat pendidikan (p=0,002), status ekonomi (p=0,000), dan sumber mendapatkan obat (p=0,000). Di Provinsi Gorontalo, distribusi frekuensi jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki (89,2%), tingkat pendidikan terbanyak dengan klasifikasi tingkat pendidikan rendah (66,6%), penggolongan status ekonomi yaitu status ekonomi tinggi (68,8%), dengan sumber mendapatkan obat yang terbanyak adalah melalui sumber formal (88,4%). Sedangkan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep sebesar 48,1%. Setelah melalui uji statistik chi square, didapatkan bahwa faktor yang berhubungan dengan penyimpanan obat tersebut adalah hanya sumber mendapatkan obat (p=0,000). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, pada kedua provinsi, yakni Kalimantan Tengah dan Gorontalo, faktor yang sama-sama berhubungan dengan penyimpanan obat keras dan obat antibiotika tanpa resep adalah sumber mendapatkan obat.
B. Saran 1.
Diperlukan suatu modifikasi berupa kebijakan yang berkaitan denga n pengobatan sendiri
untuk
melindungi
masyarakat dari risiko yang
ditimbulkan. 2.
Bagi masyarakat, agar swamedikasi dapat bermutu dan aman ada baiknya memilih produk dengan formula yang paling sederhana.
25
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan yang mendukung dan menjadi sumber pembiayaan penelitian, Prof. DR. Dr. Ruslan Muhyi, Sp.A (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas lambung Mangkurat yang telah memberikan izin kepada peneliti, para reviewer penelitian dari Balitbangkes yang memberikan kritik dan saran sehingga laporan ini menjadi semakin baik, serta responden penelitian Riskesdas 2013.
26
DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Dimara, O. Samuel. Dampak Iklan Obat Terhadap Perilaku Konsumsi Obat. Jurnal Media Medika Muda. Semarang. 2012 2. Holt, Gary A. & Edwin L. Hall. 1986. “The Pros and Cons of Selfmedication”. Dalam Journal of Pharmacy Technology, September /October: 213-218. 3. Supardi S, dkk, 2005. Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek Pada Masyarakat di Desa Ciwelan, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur Jawa Barat Tahun 2005. Jurnal Ilmu Kefarmasian, Vol, II, 3. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2013, dari :http://apotekerputer.com/ma/index2.php 4. Supardi S, dkk, 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Perilaku Pasien Berobat Ke Puskesmas Tahun 2008. Diakses pada tanggal 28 oktober 2012, dari :http://apotekerputer.com/ma/index2.php 5. Supardi, S. Pola Penggunaan Obat, Obat Tradisional, Dan Cara Tradisional Dalam Pengobatan Sendiri Di Indonesia. Litbangkes Depkes RI. 2013. 6. Kristina, SA, Yayi SP. Riswaka S. Perilaku Pengobatan Sendiri yang Rasional pada Masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman. Majalah Farmasi Indonesia. [homepage on the Internet]. c2008 Available from: http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/5._bu_susi.pdf 7. Riskesdas tahun 2013. Badan Pengembangan dan Penelitian Kesehatan, Jakarta. 2013 8. Meriati, E., Goenawi, R., dan Wiyono, W. 2013. Dampak Penyuluhan Pada Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pemilihan Dan Penggunaan Obat Batuk Swamedikasi di Kecamatan Malalayan. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. Manado. 9. Ali, A., Jason, Tiong Kion Kai, Choo Chun Keat, and Dhanaraj ,SA. 2011. Self-Medication Practices Among Health Care Professionals In A Private University, Malaysia. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(10): 302-310. 10. Di Piro, T.J., Talbert, L.R., Yee, G.C., Matzke, G.R., wells, B.G., Posoy, L.M.,. Pharmacotherapy, A Pathophysiologyc Approach, Seventh Edition, Mc Graw Hill Companies, USA. 2008. 11. World Health Organization. The Rational Use Drugs. World Health
Organization, 1987: 1-5.
27
12. Notoatmojo. Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2003.
13. Utomo, Supriyanto. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional di Puskesmas se Kabupaten Sambas Kalimantan Barat tahun 1999. Tesis ui FKM tahun 2000. 14. Chan CS. What do patients expect from consultations for upper respiratory tract infections?. Fam Pract. 1996;13:229–235. [PubMed] 15. Mainous AG, Zoorob RJ, Oler MJ, Haynes OM. Patient knowledge of upper respiratory infections: implications for antibiotic expectations and unnecessary utilization. J Fam Pract. 1997;45((1):75–83. [PubMed] 16. Trepka MJ, Belongia CA, Davis JP. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention; 1998. Knowledge, attitudes and practices of caregivers regarding antibiotic use for children’s upper respiratory infections (abstract). Presented at the International Conference on Emerging Infectious Diseases, Atlanta, 1998; p. 68. 17. Tamhankar, AJ., Johansson, Eva and Lundborg, Cecilia S. Antibiotic use, resistance development and environmental factors: a qualitative study among healthcare professionals in Orissa, India. . BMC Public Health 2010, 10:629. 18. Ilić, Katarina., Jakovljević, Emil., and Škodrić-Trifunović, Vesna. Socialeconomic factors and irrational antibiotic use as reasons for antibiotic resistance of bacteria causing common childhood infections in primary healthcare. Eur J Pediatr. 1-11) DOI 10.1007/s00431-011-1592-5. 21 September 2011.
28
LAMPIRAN
29
Lampiran 3
OUTPUT SPSS UNIVARIAT
A. Provinsi Kalimantan Tengah Jenis Kelamin
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
laki-laki
948
88.5
88.5
88.5
Perempuan
123
11.5
11.5
100.0
1071
100.0
100.0
Total
DIDIK
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
TINGGI
427
39.9
39.9
39.9
RENDAH
644
60.1
60.1
100.0
1071
100.0
100.0
Total
EKO2
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
TINGGI
676
63.1
63.1
63.1
RENDAH
395
36.9
36.9
100.0
1071
100.0
100.0
Total
36
SUMBER
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
FORMAL
596
55.6
55.6
55.6
NON FORMAL
475
44.4
44.4
100.0
1071
100.0
100.0
Total
B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ya
259
24.2
24.2
24.2
Tidak
812
75.8
75.8
100.0
Total
1071
100.0
100.0
37
B. Provinsi Gorontalo Jenis Kelamin
Frequency Valid
laki-laki
Valid Percent
Cumulative Percent
406
89.2
89.2
89.2
49
10.8
10.8
100.0
455
100.0
100.0
Perempuan Total
Percent
DIDIK
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
TINGGI
152
33.4
33.4
33.4
RENDAH
303
66.6
66.6
100.0
Total
455
100.0
100.0
EKO2
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
TINGGI
313
68.8
68.8
68.8
RENDAH
142
31.2
31.2
100.0
Total
455
100.0
100.0
38
SUMBER
Frequency Valid
FORMAL NON FORMAL Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
402
88.4
88.4
88.4
53
11.6
11.6
100.0
455
100.0
100.0
B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
ya
236
51.9
51.9
51.9
Tidak
219
48.1
48.1
100.0
Total
455
100.0
100.0
39
Lampiran 4
OUTPUT SPSS BIVARIAT
A. Provinsi Kalimantan Tengah 1. Crosstab jenis kelamin*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya Jenis Kelamin
laki-laki
Count Expected Count % within Jenis Kelamin
Perempuan
Count Expected Count % within Jenis Kelamin
Total
Count Expected Count % within Jenis Kelamin
40
Tidak
Total
223
725
948
229.3
718.7
948.0
23.5%
76.5%
100.0%
36
87
123
29.7
93.3
123.0
29.3%
70.7%
100.0%
259
812
1071
259.0
812.0
1071.0
24.2%
75.8%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Exact Sig. (2-sided)
1.960a
1
.162
Continuity Correctionb
1.659
1
.198
Likelihood Ratio
1.887
1
.169
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.179
Linear-by-Linear Association
1.958
N of Valid Cases
1071
1
.100
.162
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 29.75. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin (laki-laki / Perempuan)
.743
.490
1.127
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
.804
.597
1.082
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
1.081
.960
1.218
N of Valid Cases
1071
41
2. Crosstab tingkat pendidikan*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya DIDIK
TINGGI
RENDAH
Total
Count
Tidak
Total
125
302
427
Expected Count
103.3
323.7
427.0
% within DIDIK
29.3%
70.7%
100.0%
134
510
644
Expected Count
155.7
488.3
644.0
% within DIDIK
20.8%
79.2%
100.0%
259
812
1071
Expected Count
259.0
812.0
1071.0
% within DIDIK
24.2%
75.8%
100.0%
Count
Count
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
10.038a
1
.002
Continuity Correctionb
9.582
1
.002
Likelihood Ratio
9.919
1
.002
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
.002 10.029
1
.002
1071
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 103.26. b. Computed only for a 2x2 table
42
Exact Sig. (1-sided)
.001
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for DIDIK (TINGGI / RENDAH)
1.575
1.188
2.089
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
1.407
1.139
1.737
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
.893
.830
.960
N of Valid Cases
1071
3. Crosstab status ekonomi*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya EKO2
TINGGI
RENDAH
Count
Total
189
487
676
Expected Count
163.5
512.5
676.0
% within EKO2
28.0%
72.0%
100.0%
70
325
395
95.5
299.5
395.0
17.7%
82.3%
100.0%
259
812
1071
Expected Count
259.0
812.0
1071.0
% within EKO2
24.2%
75.8%
100.0%
Count Expected Count % within EKO2
Total
Tidak
Count
43
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Exact Sig. (2-sided)
14.250a
1
.000
Continuity Correctionb
13.698
1
.000
Likelihood Ratio
14.725
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (1-sided)
.000 14.237
1
.000
.000
1071
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 95.52. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for EKO2 (TINGGI / RENDAH)
1.802
1.324
2.452
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
1.578
1.235
2.015
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
.876
.820
.935
N of Valid Cases
1071
44
4. Crosstab sumber mendapatkan obat*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya SUMBER
FORMAL
Count
343
596
144.1
451.9
596.0
42.4%
57.6%
100.0%
6
469
475
Expected Count
114.9
360.1
475.0
% within SUMBER
1.3%
98.7%
100.0%
259
812
1071
259.0
812.0
1071.0
24.2%
75.8%
100.0%
% within SUMBER
Total
Total
253
Expected Count
NON FORMAL
Tidak
Count
Count Expected Count % within SUMBER
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
244.559a
1
.000
Continuity Correctionb
242.318
1
.000
Likelihood Ratio
307.941
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
.000 244.331
1
.000
1071
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 114.87. b. Computed only for a 2x2 table
45
Exact Sig. (1-sided)
.000
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for SUMBER (FORMAL / NON FORMAL)
57.656
25.356
131.102
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
33.606
15.092
74.833
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
.583
.544
.625
N of Valid Cases
1071
B.
Provinsi Gorontalo
1. Crosstab jenis kelamin*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya Jenis Kelamin
laki-laki
Count Expected Count % within Jenis Kelamin
Perempuan
Count Expected Count % within Jenis Kelamin
Total
Count Expected Count % within Jenis Kelamin
46
Tidak
Total
213
193
406
210.6
195.4
406.0
52.5%
47.5%
100.0%
23
26
49
25.4
23.6
49.0
46.9%
53.1%
100.0%
236
219
455
236.0
219.0
455.0
51.9%
48.1%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.534a
1
.465
Continuity Correctionb
.336
1
.562
Likelihood Ratio
.534
1
.465
Pearson Chi-Square
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (1-sided)
.545
Linear-by-Linear Association
.533
N of Valid Cases
455
1
.281
.465
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.58. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin (laki-laki / Perempuan)
1.248
.689
2.259
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
1.118
.818
1.527
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
.896
.675
1.188
N of Valid Cases
455
47
2. Crosstab tingkat pendidikan*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya DIDIK
TINGGI
Tidak
Count
87
65
152
78.8
73.2
152.0
57.2%
42.8%
100.0%
149
154
303
Expected Count
157.2
145.8
303.0
% within DIDIK
49.2%
50.8%
100.0%
236
219
455
Expected Count
236.0
219.0
455.0
% within DIDIK
51.9%
48.1%
100.0%
Expected Count % within DIDIK RENDAH
Total
Total
Count
Count
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
2.635a
1
.105
Continuity Correctionb
2.322
1
.128
Likelihood Ratio
2.643
1
.104
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
.112 2.629
1
.105
455
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 73.16. b. Computed only for a 2x2 table
48
Exact Sig. (1-sided)
.064
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for DIDIK (TINGGI / RENDAH)
1.383
.934
2.048
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
1.164
.973
1.392
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
.841
.679
1.043
N of Valid Cases
455
3. Crosstab status ekonomi*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya EKO2
TINGGI
RENDAH
Count
Total
170
143
313
Expected Count
162.3
150.7
313.0
% within EKO2
54.3%
45.7%
100.0%
66
76
142
73.7
68.3
142.0
46.5%
53.5%
100.0%
236
219
455
Expected Count
236.0
219.0
455.0
% within EKO2
51.9%
48.1%
100.0%
Count Expected Count % within EKO2
Total
Tidak
Count
49
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
2.401a
1
.121
Continuity Correctionb
2.098
1
.147
Likelihood Ratio
2.401
1
.121
Pearson Chi-Square
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (1-sided)
.130 2.396
1
.074
.122
455
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 68.35. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for EKO2 (TINGGI / RENDAH)
1.369
.920
2.038
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
1.169
.953
1.433
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
.854
.702
1.038
N of Valid Cases
455
50
4. Crosstab sumber mendapatkan obat*penyimpanan obat Crosstab B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter ya SUMBER
FORMAL
Count Expected Count % within SUMBER
NON FORMAL
% within SUMBER Count Expected Count % within SUMBER
Total
233
169
402
208.5
193.5
402.0
58.0%
42.0%
100.0%
3
50
53
27.5
25.5
53.0
5.7%
94.3%
100.0%
236
219
455
236.0
219.0
455.0
51.9%
48.1%
100.0%
Count Expected Count
Total
Tidak
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-sided)
df
51.305a
1
.000
Continuity Correctionb
49.231
1
.000
Likelihood Ratio
60.014
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (2-sided)
.000 51.192
1
.000
455
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.51. b. Computed only for a 2x2 table
51
Exact Sig. (1-sided)
.000
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for SUMBER (FORMAL / NON FORMAL)
22.978
7.048
74.911
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = ya
10.240
3.401
30.831
For cohort B6AK6.1: Apakah dibeli dengan resep dokter = Tidak
.446
.390
.509
N of Valid Cases
455
52
Lampiran 5 BIODATA TIM PENELITI 1.
Koordinator Peneliti
1. NAMA Laily Khairiyati, S.KM., M.PH 2. ALAMAT Fakultas Kedokteran Prodi Kesehatan Masyarakat Telp (0511) 4772747 Email :
[email protected] 3. PENDIDIKAN PROFESIONAL SKM : UNLAM, Banjarbaru, 2006 MPH : UGM, Yogyakarta, 2012 4. RIWAYAT PEKERJAAN Asisten Ahli : 2013 5. PENGALAMAN PENELITIAN 5 TAHUN TERAKHIR a. Penerapan program Care Motherhood sebagai upaya peningkatan status gizi dan perubahan perilaku ibu hamil di desa Sungai Alat Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar (2011) b. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Demografi dan Budaya dengan Kondisi Rumah Sehat di Kecamatan Banjarmasin Selatan Kota Banjarmasin (2012) c. Hubungan kualitas fisik udara, mikrobiologi udara dan status gizi dengan kejadian Sick Building Syndrome pada petugas perpustakaan (Studi Observasional di Bapustarda Provinsi Kalimantan Selatan) (2013) d. Kajian Persepsi Masyarakat dengan Kejadian Stunting pada Anak Periode Window of Opportunity di Wilayah Puskesmas Cempaka, Banjarbaru (Tinjauan Terhadap Faktor Risiko dan Upaya Penanggulangan) (2013) e. Analisis Perbedaan Faktor Risiko Kejadian Penyakit Diare antara Daerah Bantaran Sungai dan Daerah Daratan di Kabupaten Banjar (2014)
f. Perbedaan Indeks Jentik dan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Daerah Endemis dan Daerah Sporadis Demam Berdarah Dengue di Kota Banjarbaru (2014).
53
2.
Pembantu Peneliti
1. NAMA Lenie Marlinae, S.KM, M.KL
2. ALAMAT JL. A.Yani km 36 Banjarbaru. Telp (0511) 4772747 Email :
[email protected] 3. PENDIDIKAN PROFESIONAL S.KM : FKM UNAIR Surabaya tahun 2002 M.KL : FKM UNAIR Surabaya tahun 2011 4. RIWAYAT PEKERJAAN Asisten Ahli : 2006 Lektor
: 2008
Lektor Kepala : 2014 5. PENGALAMAN PENELITIAN 5 TAHUN TERAKHIR a. Tingkat Prevalensi Filaria Di Kabupaten Banjar b. Peningkatan Kemampuan Daya Larvasida Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val) Terhadap Larva Aedes aegypti Penyebab Dengue Hemmorrhargic Fever (DHF) c. Hubungan Perilaku Masyarakat Dengan Peningkatan Kejadian Skabies di Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru d. Potensi Daya Larvasida Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) Terhadap Larva Aedes Aegypti Vektor Penyakit Dengue Hemmorrhargic Fever (DHF) e. Faktor – Faktor Lingkungan Rumah terhadap kejadian Pneumonia pada balita f. Tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap penyakit DBD di kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru g. Evaluasi Pengendalian Vektor DBD didaerah endemis di provinsi Kalsel tahun 2010 h. Hubungan Budaya Patriaki dengan kejadian IMT Bawah Normal Pada Balita di Kecamatan bati- Bati Tanah laut i. Potensi tanaman masyrakat Dayak sebagai anti Malaria dan Diare melalui program Tanggap Malaria dan Diare (Tamadi) j. Pemanfaatan Arang Bambu dan arang Bakau sebagai arang aktif pada pengolahan air bekas pertambangan (Studi Kasus di Kecamatan Cempaka)
54
3. Pengolah Data 1.
NAMA
2.
Frieda Ani Noor, S. KM., M. Kes ALAMAT Jl.Karang Anyar 2 Komp.Griya Megah block Adelia No. 25 Banjarbaru Kalimantan Selatan
3.
PENDIDIKAN PROFESIONAL S1 : UNAIR, 2008 S2 : UNAIR, 2011
4.
RIWAYAT PEKERJAAN Dosen kontrak sejak 2011 sd sekarang di PS Kesehatan Masyarakat FK Unlam
5.
PENGALAMAN PENELITIAN 5 TAHUN TERAKHIR
a.
Penelitian kajian model program peningkatan ketahanan pangan ruma h tangga yang terintegrasi dengan pengantasan kemiskinan pada dua tipologi wilayah (studi di Kabupaten rawan pangan Madura Jatim) (2009)
b.
Survei penyelenggaraan otonomi Daerah terhadap peningkatan kinerja Pemerintahan di kota Bontang (2010)
c.
Survey kebutuhan dan harapan terhadap rumah sakit dengan citra rumah sakit bertaraf internasional (2010)
d.
Survey Indeks Kepuasan RSUD Dr. Soetomo Surabaya (2011)
e.
Riset Fasilitas Kesehatan (2011)
55
4.
Sekretariat
6.
NAMA PENGUSUL
7.
Nita Pujiati, S.Farm., Apt., MPH ALAMAT Jl. Galaksi No 3 RT 27 Guntung Manggis Banjarbaru
8.
PENDIDIKAN PROFESIONAL S1
: UII lulus 2008
Profesi
: UII lulus 2009
S2 9.
: UGM lulus 2010
RIWAYAT PEKERJAAN Dosen kontrak sejak 2011 sd sekarang di PS Kesehatan Masyarakat FK Unlam
10. Pengalaman Penelitian 5 tahun terakhir a.
Aktivitas Antingiogenik Kulit Buah Rambutan
b.
Dampak Penerapan Unit Dose Dispensing
c.
Hubungan Faktor Resiko Terhadap Kejadian Bayi Lahir Mati di Kab. Banjar
d.
Upaya Peningkatan Pengetahuan Masyarakat tentang Swamedikasi untuk Diare di Desa Bincau
e.
Peningkatan Pengetahuan Anak Tentang Jajanan Sehat Melalui Permainan Ular Tangga
f.
Peningkatan Aspek religi dan kesehatan melalui program ASEP (anak sehat pembatuan).
56