LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA HAYATI TANAH UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TANAH DAN PENINGKATAN EFISIENSI PEMUPUKAN
Tahun Anggaran 2011
BALAI PENELITIAN TANAH BALAI BESAR LITBANG PENGEMBANGAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2011
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA HAYATI TANAH UNTUK PERBAIKAN PRODUKTIVITAS TANAH DAN PENINGKATAN EFISIENSI PEMUPUKAN
Tahun Anggaran 2011
Oleh
Dr. Subowo, G Drs. Ea Kosman Anwar Ir. Jati Purwani, MSi Ridha Nurlaily, SP
Satker BALAI PENELITIAN TANAH BALAI BESAR LITBANG SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2011
LEMBAR PENGESAHAN
1.
Judul Kegiatan (RPTP/RDHP/RKOT)
:
Penelitian dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Hayati Tanah untuk Perbaikan Produktivitas Tanah dan Peningkatan Efisiensi Pemupukan
2.
Penanggungjawab RPTP/RDHP/RKOT
:
a. Nama
:
Dr. Subowo G
b. Pangkat/Golongan
:
Pembina Utama Muda/IV C
c.1. Fungsional
:
Peneliti Madya
c.2. Struktural
:
-
c. Jabatan
3.
Lokasi Kegiatan
:
Jawa Barat, Banten, Lampung dan Sumsel
4.
Biaya Penelitian/ Pengkajian
:
Rp.241.750.000,- (Dua ratus empat puluh satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
5.
Sumber Dana
:
DIPA Satker : Balai Penelitian Tanah, Tahun Anggaran 2011.
Mengetahui, Kepala Balai Penelitian Tanah
Penanggung Jawab RPTP/RDHP
Dr. Ir. Sri Rochayati, MSc NIP. 19570616 198603 2 001
Dr. Subowo NIP. 19560605 198303 1 00 1
KATA PENGANTAR Penelitian dengan judul “Penelitian dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Hayati Tanah untuk Perbaikan Produktivitas Tanah dan Peningkatan Efisiensi Pemupukan” merupakan kegiatan yang didanai oleh DIPA Satker : Balai Penelitian Tanah, Tahun Anggaran 2011. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1). Mengidentifikasi model peran keaneka-ragaman hayati tanah dalam mendukung produktivitas tanah Ultisol untuk produksi kedele, 2). Menyusun teknologi pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan Ultisol terdegradasi untuk produksi kedele, 3). Mengevaluasi beberapa teknologi pemberdayaan/ameliorasi tanah untuk memberdayakan peranan hayati tanah dalam mendukung peningkatan produktivitas tanah Ultisols terdegradasi untuk produksi kedele, 4). Mendapatkan isolat biofertilizer tanah untuk kedele pada Ultisol lahan pertanian. Laporan ini merupakan Laporan Akhir, beberapa hasil
penelitian yang telah
diperoleh antara lain populasi cacing tanah dan kokon dengan aplikasi bahan organik secara vertical lebih tinggi dibandingkan aplikasi bahan organik secara horizontal di permukaan tanah. Hasil survey pada lokasi pertanaman kedelai menunjukkan lahan dengan tampilan vegetasi subur menunjukkan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relatif lebih tinggi dibandingkan lahan dengan tampilan vegetasi sedang dan kurang.
Ucapan
terima kasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Balai Penelitian Tanah Bogor yang telah memproses rencana penelitian ini, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran penelitian. Semoga hasil dari penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak dan berguna untuk peningkatan pengembangan kegiatan penelitian yang akan datang dan mampu sebagai terobosan dalam pendayagunaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produktivitas tanah lahan kering masam Ultisol. Bogor,
Desember 2011 Kepala Balai
Dr. Ir. Sri Rochayati, MSc NIP. 19570616 198603 2 001
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………. i DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………….ii DAFTAR TABEL……………………………………………………………………………………..iii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………………………..iv RINGKASAN………………………………………………………………………………………….v SUMMARY …………………………………………………………………………………………..vi I.
PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang…………………………………………………………………………1
1.2.
Dasar Pertimbangan………………………………………………………………….2
1.3. Tujuan (tahunan dan jangka panjang)………………………………………………..3 1.4. Luaran Yang Diharapkan………………………………………………………………4 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak dari Kegiatan yang Dirancang…………………..4 II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis…………………………………………………………………………6 2.2. Hasil-hasil Penelitian……………………………………………………………………..9
III. METODOLOGI / PROSEDUR 3.1. Pendekatan/Kerangka Penelitian……………………………………………………...11 3.2. Ruang lingkup kegiatan…………………………………………………………………12 3.3. Bahan dan Metoda Penelitian………………………………………………………….13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………..………………………… .....……...16 4.1. Penelitian 1. Karakterisasi dan evaluasi kesesuaian populasi hayati tanah .terhadap produksi tanaman kedele pada tanah Ultisol. ………..…………………16 4.2. Penelitian 2. Pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan ………….tanah Ultisol terdegradasi,………………………………………………………………26 4.3. Penelitian 3. Teknologi ameliorasi pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol……………………… ..38 V.
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………………………..45
VI. PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN……………………………………………....46 VII. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………47
ii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Dinamika nilai indeks korelasi antara populasi Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik dan kimia tanah Ultisols Rangkasbitung………………………………9 Tabel 2. Pengaruh inokulan cacing tanah dan bahan organik terhadap biomas dan hasil......................................................................................................10 Tabel 3. Hasil Pengamatan Fauna Tanah Menggunakan Metoda Hand sorting dalam Luasan Monolit 100 x 100x20 cm3 pada lokasi pengamatan.Cibaliung, Banten…………………………………………………………………………………...17 Tabel 4. Hasil Pengamatan Fauna Tanah Menggunakan Metoda Hand sorting dalam Luasan Monolit 100 x 100x20 cm3 pada lokasi pengamatan.Lampung………...…18 Tabel 5. Hasil Pengamatan Fauna Tanah Menggunakan Metoda Hand sorting dalam Luasan Monolit 100 x 100x20 cm3 pada lokasi pengamatan.Palembang………...18 Tabel 6. Hasil Pengamatan lokasi.Cibaliung, Banten………………………………………….19 Tabel 7. Hasil Pengamatan lokasi.Lampung……………………………………………………20 Tabel 8. Hasil Pengamatan lokasi Lahat, Sumatera Selatan …………..……………………..21 Tabel 9. Nilai korelasi pada subyek pengamatan Sifat-sifat Agronomi dan Kimia dengan sifat-sifat lainnya…………………………………………………………………………22 Tabel 10. Nilai korelasi pada subyek pengamatan Kimia, Fisika dan Biota dengan sifat-sifat lainnya………………………………………………………………………..23 Tabel 11. Nilai regresi dari faktor pengamatan ………………….………….....…25 Tabel 12. Populasi fungi dan bakteri pada lahan kering Ultisol Banten….....…………….…27 Tabel 13. Karakteristik sifat kimia tanah Ultisol Banten………………………..………….….28 Tabel 14. Populasi Azotobacter sp pada saat inkubasi tanah selama 2 bulan…………….29 Tabel 15. Populasi bakteri Rhizobium sp pada saat saat inkubasi tanah selama 2 bulan..30 Tabel 16. Populasi bakteri pelarut fosfat pada saat saat inkubasi tanah selama 2 bulan .31 Tabel 17. Populasi fungi pada saat inkubasi tanah selama 2 bulan ……………….….......31 Tabel 18. Populasi Cacing Tanah dan Jumlah Kokon setelah biorehabilitasi 2 bulan setelah inkubasi (BSI) di rumah kaca………………………………………………32
iii
Tabel 19. Panjang akar kedelai pada saat berbunga....................................……………..34 Tabel 20. Jumlah bintil kedelai pada saat berbunga ..………………………………………..35 Tabel 21. Bobot segar tanaman kedelai pada saat berbunga.........................……………36 Tabel 22. Bobot kering tanaman kedelai pada saat berbunga ………………..……………37 Tabel 23. Bobot biji kedelai …………………………………………………………...…………38 Tabel 24. Rerata jumlah kokon, jumlah cacing dan kadar air pada 3 minggu setelah Inokulasi ………………………………………………………………………………..40 Tabel 25. Populasi fungi dan bakteri pada lahan kering Ultisol Banten ………….…………41 Tabel 26. Tinggi tanaman dan panjang akar tanaman kedelai di Lebak, Banten pada saat berbunga……………………………….......................................... 42 Tabel 27. Bobot segar dan bobot kering tanaman kedelai di Lebak, Banten pada saat berbunga…………………………………………………………………..……43 Tabel 28. Jumlah bintil dan bobot segar til akar pada tanaman kedelai saat berbunga………………………………………………………………………….. .43 Tabel 29. Bobot brangkasan dan bobot kering kedelai panen (kadar air 12%) di Lebak Banten………......................………………………………………... .44 Tabel 30. Perkembangan populasi biologi tanah setelah panen kedelai……………….. .44
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Daur hara P dalam tanah untuk tanaman …………………………………………...6 Gambar 2. Daur hara N alami di dalam tanah…………………………………………………….7 Gambar3 : Tinggi tanaman pada fase pertumbuhan tanaman 1 sampai dengan 6 minggu setelah tanam (MST)………………………………………………………...33 Gambar 4 : Tinggi tanaman pada umur 6 minggu setelah tanam (MST)……………….......34 Gambar 5. Hamparan lokasi terpilih untuk penelitian pertanaman kedelai (1 A) dan diskusi dengan pemilik lahan dan teknisi lapangan (1 B).................................39
v
RINGKASAN Penelitian dengan judul “Penelitian dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Hayati Tanah untuk Perbaikan Produktivitas Tanah dan Peningkatan Efisiensi Pemupukan” terdiri atas 3 kegiatan yaitu : 1). Karakterisasi dan evaluasi kesesuaian populasi hayati tanah terhadap produksi tanaman kedele pada tanah Ultisol, 2). Pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan tanah Ultisol terdegradasi, dan 3). Teknologi ameliorasi pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol. Karakterisasi dan evaluasi kesesuaian populasi hayati tanah terhadap produksi tanaman kedele pada tanah Ultisol merupakan kegiatan survey dalam rangka inventarisasi dan identifikasi keaneka-ragaman hayati tanah dalam mendukung produktivitas tanah Ultisol untuk produksi kedele. Kegiatan “”Pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan tanah Ultisol terdegradasi” dilakukan di rumah kaca dengan menggunakan tanah kolom, tanaman indikator yang digunakan adalah kedele .varietas Tanggamus. Penelitian di lapang akan dilakukan di Lebak, Banten yaitu “Teknologi ameliorasi pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol.”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tanah Ultisol lahan kering Banten termasuk tidak subur baik dari segi kimia maupun biologi. Lahan dengan tampilan vegetasi “Subur” kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relatif lebih tinggi dibandingkan lahan dengan tampilan vegetasi sedang dan kurang subur. (2) Biorehabilitasi di rumah kaca didapatkan bahwa populasi cacing tanah dan kokon pada perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara vertikal lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara horizontal di permukanaan tanah. (3) Media perbanyakan (rearing cacing tanah) endogaesis Pheretima hupiensis terbaik adalah 6 bagian berat tanah dibanding 1 bagian berat pupuk kandang. (4) Organisme fungsional yang memiliki pengaruh penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah Ultisol Banten adalah cacing tanah, Rhizobium, Azotobacter, dan fungi/bakteri pelarut P. (5) Inokulasi organisme tanah fungsional pada tanah Ultisol Banten yang telah memiliki populasi organisme tanah fungsional memadai tidak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman kedelai. (5) Aplikasi pupuk hayati ke dalam tanah hendaknya juga diikuti perlakuan ameliorasi untuk perbaikan habitat dalam menyediakan hara dan energi bagi organisme fungsional target.
vi
ABTRACT The activities of Research and Development of Biological Resources for Improving Soil Productivity and Fertilization Efficiency " consisted of three activities, they were : 1). Characterization and evaluation of biological soil populations suitability of soybean production on Ultisoll, 2). Technological empowering of biological agent to soil fertility biorehabilitation of degraded Ultisols for soybean growth 3). Soil amelioration technology for empowerment of soil biological resources to increase soybean production on Ultisol The characterization of soil biological population suitability of soybean production on Ultisol was done by survey is to get the inventarisation and identification of soil biodiversity in supporting soybean production. Biological agents empowerment for biorehabilitation on Ultisol degraded land was conducted in a greenhouse using soil columns by using Tanggamus variety of soybean as an indicator plant. The third activity is “Technology biological resources, soil amelioration empowerment to improve production of soybean in Ultisol soil will be done at Lebak, Banten, the treatments of the activity will use by organism that have the good effect on soybean growth in the green house activity. The results showed that: (1) Banten upland Ultisol soil including infertility in terms of both chemistry and biology. Land with a view of vegetation "Fertile" density of soil fauna populations and the number of types of soil fauna is relatively higher than the display area and the vegetation is less fertile. (2) Biorehabilitasion in the greenhouse research found that populations of earthworms and cocoons in the treatment with application of organic material vertically higher than those treated with applications of organic materials horizontally on the surface ground. (3) Best media for multiplication (rearing earthworms) of endogaesis Pheretima hupiensis is 6 parts by weight of soil to 1 part by weight of manure. (4) Functional organisms that have an important influence in supporting the growth of soybean plants in Banten Ultisol soil are earthworms, Rhizobium, Azotobacter, and fungi/bacteria solubilize P. (5) Inoculation of functional soil organisms in Banten Ultisol soil has a enough population of functional soil organisms are not affect to increased growth of soybean plants. (5) The application of biological fertilizer into the soil amelioration treatments should also be followed for habitat improvement in the supply of nutrients and energy for the functional target organisms.
vii
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tanah merupakan suatu sistem kehidupan yang kompleks yang mengandung berbagai jenis organisme dengan beragam fungsi untuk menjalankan
berbagai proses vital bagi
kehidupan teresterial. Indonesia merupakan negara megabiodiversity di kawasan tropika basah selayaknya memberdayakan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah. Masalah utama yang dihadapi tanah lahan pertanian di tropika basah adalah laju pelapukan, erosi dan pencucian hara, serta iluviasi liat yang berlangsung intensif. Tanah lapisan olah tipis dan kesuburan tanah rendah akibat rendahnya kandungan bahan organik dan pH, serta terdapatnya lapisan bawah yang padat. Tanah didominasi oleh Oxisol, Ultisol, dan Inseptisol. Pada lahan pertanian intensif dengan perlakuan pengolahan tanah, pemupukan anorganik dan pemberian pestisida yang intensif menekan perkembangan populasi organisme heterotrof (terutama fauna tanah). Populasi organisme tanah didominasi oleh mikroorganisme yang memiliki kemampuan merombak bahan organik dengan dilepaskan sebagai hara dan CO2 semakin cepat, sehingga kandungan bahan organik tanah cepat menurun dan fauna tanah semakin tertekan. Populasi fauna tanah dan konservasi bahan organik tanah pada lahan-lahan pertanian intensif semakin rendah. Mikroba bersama-sama fauna tanah pada prinsipnya memiliki peranan penting dalam melaksanakan berbagai aktivitas metabolisme yang berlangsung di dalam subsistem tanah. Berbagai peran organisme tanah dalam mempengaruhi kesuburan dan produktivitas tanah dapat berlangsung melalui perbaikan sifat fisik tanah, peningkatan ketersediaan hara, konservasi bahan organik dan hara tanah, serta dapat berperan sebagai hama-penyakit tular tanah ataupun sebagai predator. Di dalam daur energi di dalam tanah, fauna tanah memiliki peranan penting dalam menghancurkan secara fisik (fragmentasi) bahan organik, selanjutnya oleh mikroba tanah bahan organik didekomposisi dan dilepaskan sebagai senyawa anorganik (hara) yang dapat diserap oleh tanaman. Adanya aktivitas fauna tanah juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan aerasi tanah, dan juga meningkatkan stabilitas agregat tanah. Terlibatnya fauna tanah dalam menjaga daur energi di dalam tanah dapat memaksimalkan nilai fungsi bahan organik, selain dapat meningkatkan keharaan tanah juga memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah serta mengurangi kecepatan kehilangan bahan organik dari subsistem tanah. Dengan
1
meningkatkan peran serta fauna tanah ini, perlakuan pemupukan dan pemberian bahan organik tanah untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah dapat lebih efektif dan berkelanjutan. Sinkronisasi pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produktivitas tanah dengan menyediakan media tanah yang sesuai untuk mendukung aktivitas masing-masing organisme target akan meningkatkan efisiensi pengelolaan sumberdaya tanah dan dapat berlangsung secara lestari. Giller, et al. (1997) dalam upaya mendukung pengembangan pertanian intensif di kawasan tropika yang sebagian besar petaninya memiliki kemampuan memberikan input/pupuk lemah, pemberdayaan sumberdaya hayati tanah relefan untuk diupayakan. Untuk itu dalam evaluasi kesesuaian lahan pertanian ataupun perbaikan kesuburan tanah hendaknya juga dapat memanfaatkan peranan konsorsia hayati tanah, sehingga seluruh komponen yang mempengaruhi produksi tanaman dapat secara menyeluruh dapat diketahui secara tepat dan terarah sesuai dengan nilai fungsinya. Pengembangan formulasi pupuk konsorsia hayati tanah yang meliputi fauna tanah, fungi dan bakteri tanah diharapkan dapat memperkaya populasi hayati tanah, meningkatkan kesuburan dan konservasi bahan organik tanah 1.2. Dasar Pertimbangan (termasuk hasil yang telah dicapai) Sesuai dengan kondisi tipologi lahan pertanian di Indonesia, sebagian besar tanah mineral memiliki kandungan bahan organik rendah (<2%) (Las dan Setiorini, 2010). Selain itu dengan adanya rencana pengurangan subsidi pupuk buatan (Urea, KCl, dan SP-36), maka pemanfaatan pupuk organik menjadi salah satu alternatif untuk mengatasinya. Masalah yang dihadapi bahwa kandungan hara N, P, K pada bahan organik rendah, sehingga diperlukan dalam jumlah yang besar untuk mampu memulihkan kesuburan tanah. Pemanfaatan bahan organik tanah sebagai sumber energy/makanan untuk memberdayakan sumberdaya hayati tanah yang mampu meningkatkan ketersediaan hara tanah dan perbaikan sifat fisik tanah merupakan langkah yang tepat dan efisien. Selain dapat menjaga kelestarian daya dukung tanah juga murah dalam pengelolaan lahan. Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa inokulasi bakteri penambat N yang hidup bersimbiose (Rhizobium) ataupun hidup bebas (Azotobacter) dan bakteri/fungi pelarut fosfat mampu meningkatkan ketersediaan hara N dan P untuk tanaman. Perlakuan inokulasi
2
cacing tanah endogaesis pada tanah Ultisol mampu meningkatkan produksi kedele dan juga pengembangan predator dapat menekan serangan hama-penyakit tular tanah dan meningkatkan produktivitas tanah. Demikian juga halnya dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan ataupun rehabilitasi lahan yang selama ini dilakukan belum melibatkan peranan hayati tanah, sehingga banyak kasus yang terjadi meskipun berdasarkan hasil evaluasi lahan tanah tersebut layak untuk pengembangan suatu komoditi pertanian, namun pada saat masa produksi ternyata terjadi peledakan serangan hama-penyakit tular tanah yang sangat sulit untuk diatasi, seperti serangan Fusarium pada lahan pisang, Ganoderma pada kebuin sawit, dll. Demikian juga upaya rehabilitasi lahan dengan pemberian bahan organik semata masih banyak mengalami kegagalan akibat cepat merosotnya kandungan bahan organik dan aktivitas hayati tanah yang memiliki peranan penting dalam menjaga dinamika fisiko-kimia tanah kurang diperhatikan secara optimal. 1.3. Tujuan (tahunan dan jangka panjang) Tujuan jangka pendek: 1.Mengetahui peran keaneka-ragaman hayati tanah dalam mendukung produktivitas tanah Ultisol untuk produksi kedele 2. Menyusun teknologi pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan Ultisol terdegradasi untuk produksi kedele 3. Mengevaluasi beberapa teknologi ameliorasi tanah untuk memberdayakan peranan hayati tanah dalam mendukung peningkatan produktivitas tanah Ultisol untuk produksi kedele. 4. Mendapatkan isolat biofertilizer tanah untuk kedele pada Ultisol Tujuan jangka panjang: Mendapatkan paket teknologi pemberdayaan agen hayati tanah pertanian untuk perbaikan sifat-sifat tanah, kesuburan, produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan. 1.4. Luaran Yang Diharapkan Jangka pendek (tahunan) 1. Informasi
model dan rekayasa kesesuaian populasi
hayati tanah dalam mendukung
produktivitas tanah Ultisol untuk produksi kedele.
3
2. Teknologi pemberdayaan agen hayati dan isolat biofertilizer tanah untuk pemulihan kesuburan Ultisol terdegradasi dan peningkatan produksi kedele. 3. Penyempurnaan metoda evaluasi lahan pada Ultisols untuk produksi kedele dengan indikator peran biologi tanah. Jangka panjang : Teknologi pemanfaatan sumberdaya hayati tanah untuk peningkatan produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan lahan pertanian 1.5. Perkiraan manfaat dan dampak dari kegiatan yang dirancang 1. Pemberdayaan sumberdaya hayati tanah sebagai salah satu pelaku ekosistem tanah untuk meningkatkan produktivitas tanah pertanian. Melalui peran agen hayati tanah akan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan ataupun pemanfaatan bahan organik tanah, sehingga biaya pengelolaan lahan lebih murah dan lestari. Diketahuinya pola keseimbangan ekosistem tanah yang ideal untuk produksi pertanian akan dapat memberdayakan sumberdaya alam yang ada secara optimal dengan biaya produksi yang lebih murah. 2. Upaya rehabilitasi lahan terdegradasi dengan memanfaatkan peran organisme tanah yang merupakan salah satu komponen penting dalam mempengaruhi dinamika kesuburan tanah, maka efisiensi input yang diberikan dapat diarahkan selaras dengan target rehabilitasi/perbaikan yang ingin dicapai. Pemberian input hendaknya disesuaikan dengan tahapan kesiapan subsistem tanah yang sedang berlangsung dan diarahkan pada target rehabilitasi yang direncanakan. Pemberdayaan lahan–lahan terdegradasi dapat dilakukan secara tepat sesuai dinamika subsistem tanah yang berlangsung, sehingga pemberian input dapat lebih efisien dan sesuai dengan phase peruntukan dan perbaikan produktivitas dapat lebih cepat dicapai. 3. Penyempurnaan sistem evaluasi kesesuaian lahan dengan melibatkan parameter hayati tanah yang berperan penting dalam menentukan produksi tanaman akan dapat memaksimalkan peranan sumberdaya hayati tanah yang memiliki pengaruh positif terhadap produksi tanaman dan menekan secara proporsional organisme tanah yang berperan sebagai hama-penyakit tular tanah. Dengan pendekatan ini, maka tata ruang peruntukan lahan akan lebih rasional dan efisien sesuai dengan
4
kondisi riil daya dukung sumberdaya tanah di Indonesia yang berada di kawasan megabiodiversity tropika basah. 4. Pengembangan populasi pupuk hayati dalam upaya meningkatkan efisiensi pemupukan, meningkatkan produktivitas, dan keamanan lingkungan. Tersedianya isolat hayati tanah unggul dapat dimanfaatkan sebagai baku untuk formulasi pupuk hayati untuk berbagai tipologi lahan, jenis tanah dan jenis komoditi.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka teoritis Tanah di kawasan tropika basah didominasi oleh tanah-tanah tua yang memiliki kondisi sifat fisika yaitu stabilitas, struktur, hidrolik konduktivitas, dan aerasi cukup baik, namun kapasitas tanah menahan air rendah. Kondisi kimia kurang baik, kekahatan hara, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, sematan P tinggi, dan Al/Fe dapat meracun tanaman (Lal, 1995). Perpanjangan rantai daur hara merupakan langkah yang penting untuk mengurangi pencucian dan juga menahan kehilangan pupuk dan bahan organik. Organisme tanah autotrof seperti algae dan sebagian bakteri tanah dapat memanfaatkan hara bebas yang tidak dimanfaatkan oleh akar tanaman, sehingga dapat terhindar dari pencucian. Demikian pula organisme tanah heterotrof seperti fauna, fungi dan sebagian bakteri tanah dapat memperpanjang daur hara dari bahan organik, sehingga dapat secara bertahap dilepaskan kembali ke dalam tanah dalam bentuk tersedia. Ketersediaan hara P dalam tanah tanpa dukungan organisme tanah akan sangat sulit untuk dapat tersedia bagi tanaman (Gambar 1). Demikian pula halnya peningkatan ketersediaan hara N yang sangat
Tanaman
Hewan
Mikorisa Bahan Organik Tanah (P-organik)
Mikroba Pelarut P
Ortofosfat
P-anorganik (tersemat)
Mineralisasi/Dekomposer
Immobilisasi
Gambar 1. Daur hara P dalam tanah untuk tanaman (Rao, 1994). mobil di dalam tanah akan mudah hilang dalam subsistem tanah, sehingga pengkayaan dengan memanfaatkan bantuan penambatan N yang dilakukan oleh organisme tanah yang hidup bebas ataupun bersimbiose penting untuk diupoayakan (Gambar 2). 6
N2-udara (78% vol, 75% berat)
!
Pabrik Pupuk
Air hujan (cumullus nimbus)
?
UDARA
Tanaman Bahan Organik Tanah/ Mikroba
Megabiodiversity
Penambat N Biologi
TANAH
Mineralisasi
Denitrifikasi NH3 dan NH4 Nitrifikasi
Immobilisasi
Nitrat (NO3)
Gambar 2. Daur hara N alami di dalam tanah. Usahatani di kawasan tropika basah masalah yang penting adalah mengenai kandungan hara tanah, ketersediaan bahan organik tanah, dan kemampuan tanah menahan air (William dan Joseph, 1976). Faktor utama yang mempengaruhi kesuburan tanah tersebut adalah akibat tingginya laju dekomposisi, erosi dan pencucian hara. Upaya menurunkan kehilangan bahan organik tanah dengan melibatkan organisme tanah akan menekan percepatan kehilangan hara dan bahan organik dari subsistem tanah. Meningkatnya aktivitas fauna tanah juga dapat mengkonservasi air melalui perbaikan aerasi, perkolasi dan infiltrasi. Bahkan fungi tanah dapat mengendalikan C-organik tanah, karena dalam proses dekomposisi bahan organik pelepasan C sebagai CO2 sangat rendah dan 30 – 40% C-organik tersimpan kembali sebagai meselium (Alexander, 1977). Pada saatnya setelah organisme tanah mati juga merupakan salah satu sumber bahan organik tanah. Tanaman merupakan organisme autotrof yang dalam pertumbuhannya memerlukan hara dalam bentuk ion (anorganik). Pelepasan hara tanaman yang berasal dari bahan induk tanah ataupun dari bahan organik diawali oleh proses mineralisasi. Proses mineralisasi ini berlangsung secara fisiko-kimia ataupun oleh aktivitas biologis yang dalam kenyataan di lapangan kedua proses ini selalu berlangsung bersama-sama saling melengkapi satu dengan yang lain. Tanpa adanya peran organisme tanah mineralisasi/dekomposisi mineral ataupun bahan organik tanah berlangsung lambat. Adanya aktivitas perombakan bahan organik, harahara yang terkandung di dalamnya dilepaskan dalam bentuk tersedia bagi tanaman, baik hara
7
makro maupun mikro. Edwards dan Lofty (1977) menyatakan bahwa bahan tanah mineral maupun bahan organik yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran dan hara yang lebih tersedia bagi tanaman. Elliot et al., (1991) juga mendapatkan bahwa kotoran cacing tanah secara umum mengandung NO3-, NH4+ dan kelembaban yang tinggi dibanding dengan tanah disekitarnya. Keberadaan hayati tanah di dalam tanah akan menjaga proses dinamika subsistem tanah tetap seimbang. Proses pelapukan bahan organik di dalam tanah secara alami diawali oleh peranan fauna tanah dalam memecah bahan organik dalam ukuran yang lebih sederhana (fragmentasi) dan selanjutnya diteruskan oleh bakteri dan jamur untuk dihasilkan senyawasenyawa yang lebih sederhana. Adanya aktivitas fauna tanah (cacing, insekta, dll) akan memperbaiki aerasi tanah ataupun meningkatkan stabilitas agregat tanah, menahan kehilangan C-organik tanah, dan menyediakan media yang baik bagi kehidupan mikroorganisme tanah. Sementara sumbangan utama mikroorganisme tanah (bakteri, jamur, khamir) dapat melapukan ikatan organik tanah menjadi senyawa-senyawa sederhana (unsur hara) dan tersedia bagi tanaman. Makrofauna tanah dapat mengubah struktur tanah, mempengaruhi infiltrasi, daya antar hidrolik dan pelindian. Di kalangan fauna tanah , makrofauna berpotensi penting dan mempengaruhi secara langsung sifat-sifat fungsional tanah. Pengendalian populasi organisme tanah dengan orientasi untuk meningkatkan produktivitas tanah pertanian merupakan langkah yang tepat untuk dapat memberdayakan sumberdaya tanah yang ada dan meningkatkan efisiensi pengelolaan lahan. Pemberian input yang selektif, baik melalui pengkayaan hayati tanah ataupun pemberian amelioran (bahan organik, kapur, dll) yang tepat sesuai daya dukung tanah memberikan dampak yang besar dan berkelanjutan bagi pemberdayaan sumberdaya tanah untuk pertanian. 2.2.
Hasil-hasil penelitian Hasil penelitian Subowo, et al., (2002) didapatkan bahwa dinamika pengaruh populasi
cacing tanah endogaesis Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik dan kimia tanah Ultisols Rangkasbitung, Banten tergantung pada musim (Tabel 1). Cacing tanah mampu menurunkan ketahanan tanah dan meningkatkan daur bahan organik, sehingga berkorelasi negatif nyata dengan nisbah C:N dan ketahanan tanah dan mampu meningkatkan kapasitas tanah menahan air (air tersedia) serta meningkatkan P-HCl pada musim hujan. Sementara di musim peralihan MK ke MH cacing tanah mengkonsumsi P untuk melindungi diri dari tekanan dehidrasi, sehingga 8
cenderung berkorelasi negatif dengan P-HCl. Di kawasan tropika cacing tanah berperanan dalam menekan kecepatan dekomposisi bahan organik yang sangat penting untuk menghambat kehilangan humus dari lahan pertanian (Martin, 1991 dalam Stork and Eggleton, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa cacing tanah merupakan indikator yang penting bagi kualitas tanah kawasan tropika basah, selain mudah juga murah dalam melakukan determinasi/identifikasi. Tabel 1. Dinamika nilai indeks korelasi antara populasi Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik dan kimia tanah Ultisols Rangkasbitung No 1.
Parameter Tanah
Dinamika indeks korelasi dengan populasi P. Hupiensis Musim Kemarau (MK)
Peralihan MK ke MH
Musim Hujan (MH)
-0,33 0,48
-0,44 0,16
-0,48 0,30
0,26 -0,40 ±0,34
-0,12 -0,41 ±0,36
0,68 -0,16 ±0,38
Sifat fisik tanah: - Ketahanan tanah - Air tersedia
2.
Sifat kimia tanah: - P2O5 - HCl 25% - Nisbah C:N Batas nyata 5% Sumber: Subowo, et al., (2002).
Penelitian Yusnaini et al., (2004), pemberian pupuk organik (20 ton/ha) dan pupuk buatan/inorganik serta kombinasinya pada tanah lahan kering masam di Taman Bogo (Lampung) tidak berpengaruh nyata terhadap sifat kimia tanah termasuk C-organik tanah. Namun
populasi cacing tanah berbeda nyata dengan populasi tertinggi pada perlakuan
pemberian kotoran ayam, populasi Mikoriza Vesikular Arboskular (MVA) dapat dijumpai pada seluruh perlakuan, dan produksi jagung terdapat beda nyata dengan produksi tertinggi pada perlakuan kotoran ayam 50% + pupuk NPK 50%. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengaruh pemberian bahan organik ataupun pupuk buatan dalam tanah terhadap produksi tanaman tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Adanya bantuan dari organisme tanah, kandungan hara dalam pupuk dan bahan organik dirombak dan dilepaskan kembali sebagai hara tersedia bagi tanaman. Pemberian inokulan cacing tanah dan bahan organik terhadap pertumbuhan jagung menunjukkan pengaruh interaksi pemberian inokulan cacing tanah dengan bahan organik terhadap berat buah dan biomas (Anwar et al, 2007) Pemberian inokulan cacing tanah
9
menunjukkan respon yang lebih rendah terhadap berat biomas dan hasil (biji) dibanding tanpa inokulan cacing tanah (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh inokulan cacing tanah dan bahan organik terhadap biomas dan hasil Perlakuan (dosis bahan organik)
Berat biomas (gr.pot-1) Tanpa Cacing tanah 10 cm
Berat buah (Jagung pipilan) (gr.pot-1)
Dengan Cacing tanah
20 cm
10 cm
20 cm
Tanpa Cacing tanah 10 cm
20 cm
Dengan Cacing tanah 10 cm
20 cm
Tanpa b.o
146,4 gh
-
83.0 j
-
65,4 d
-
34,9 g
-
2,5t.ha-1 b.o
173,7 fg
163,6 g
205,8 e
163,6 g
72,1 cd
223,2 d
84,8 b
223,2 d
5t.ha-1 b.o
188,7 ef
198,8 e
212,8 de
198,8 e
59,3 de
231,7 cd
83,7 bc
231,7 cd
10t.ha-1 b.o
235,9 cd
281,4 a
241,5 c
281,4 a
89,3 ab
239,7 cd
82,9 bc
239,7 cd
K.K
13,71
6,80
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT Sumber data : Anwar (2006). Pemberian bahan organik 10 t.ha-1 sampai kedalaman 20 cm yang diinokulasi cacing tanah menunjukkan respon terhadap berat biomas dan berat buah yang linier. Pemberian bahan organik sampai dosis 5 t.ha-1 dengan pemberian inokulan cacing tanah meningkatkan hasil dan biomas lebih tinggi dibanding hanya diberi bahan organik dengan dosis dan kedalaman yang sama. Dari hasil ini nampak bahwa sebagai wilayah megabiodiversity layak memberdayakan potensi sumber daya hayati tanah sebagai agen untuk meningkatkan produktivitas tanah melalui peningkatan ketersediaan hara, mencegah kehilangan hara dan bahan organik tanah, memperpanjang daur hara di dalam subsistem tanah, dan memperbaiki sifat fisik tanah.
10
III. METODOLOGI / PROSEDUR 3.1. Pendekatan/ Kerangka Pemikiran Penelitian dilakukan dalam upaya meningkatkan produktivitas tanah untuk produksi pertanian lahan kering dengan pendekatan pemberdayaan sumberdaya hayati tanah. Penelitian ini merupakan penelitian jangka panjang dengan target utama pada tahun 2011 – 2014 akan dihasilkan formula pupuk hayati dan teknologi aplikasi untuk komoditi kedelai dan jagung. Formula pupuk hayati yang akan dihasilkan dapat berupa formula pupuk hayati tunggal maupun formula pupuk hayati konsorsia. Pada tahun pertama (2011) dilakukan penelitian pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk pengembangan tanaman kedelai pada tanah Ultisol. Tanah mineral masam di Indonesia didomonasi oleh Ultisol, areal lahan masam di Indonesia yang sesuai untuk pengembangan tanaman pangan seluas 18,5 juta ha (Mulyani 2006), dan yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman pangan termasuk kedelai baru mencapai sekitar 5 juta ha (BPS 2011), sehingga masih sangat terbuka bagi usaha pengembangan tanaman pangan lebih lanjut, namun permasalahannya adalah kejenuhan Al tinggi, miskin hara makro dan hara mikro (Supadmo 1983, Sudarman 1987, Ritchie 1989, Taufiq dkk. 2004, Subandi dkk. 2009), dan rendahnya populasi mikroba penyedia hara (Prihastuti dkk 2006). Pemberdayaan tanah Ultisol akan memberikan dampak yang besar bagi pengembangan pertanian ke depan. Pemanfaatan sumberdaya hayati tanah yang selama ini belum banyak dilakukan merupakan langkah yang tepat untuk diupayakan. Penelitian untuk mengetahui peranan organisme tanah dalam upaya merehabilitasi tanah Ultisol yang telah terdegradasi, mengetahui kondisi ekosistem biologi tanah yang ideal untuk mendukung kesuburan tanah, dan upaya pengendalian populasi hayati tanah yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan tanaman diharapkan dapat mendukung perbaikan produktivitas tanah Ultisol di Indonesia. Dalam pelaksanaannya penelitian ini diawali dengan pemilihan lokasi penelitian untuk memilih tanah Ultisol yang telah terdegradasi dan lokasi pertanaman kedele yang dikelola langsung oleh petani dan berada pada hamparan tanah Ultisols dengan tingkat penampilan pertumbuhan kurang subur sampai sangat subur sebanyak 6 tingkatan dengan hamparan masing-masing ≥1,0 ha. Pemilihan lokasi ini dilakukan bekerjasama dengan BPTP dan Dinas Instansi terkait sebagai sumber informasi. Untuk selanjutnya dilakukan identifikasi dan karakterisasi tanah, populasi biologi tanah, dan sistem budidaya dari masing-masing lokasi. Untuk lokasi hamparan kedele juga dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan dan produksi kedele, dan dilakukan evaluasi kesesuaian 11
lahannya sesuai dengan pedoman evaluasi kesesuaian lahan yang sementara ini berlaku (Petunjuk Teknis: Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian, Balai Penelitian Tanah, 2003). Evaluasi kesesuaian populasi hayati tanah
terhadap pertumbuhan dan produksi kedele
dilakukan dengan uji korelasi-regresi antara indikator hayati tanah, kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman. Pola hubungan yang terbaik antara populasi hayati tanah dengan produksi kedele digunakan sebagai patokan kondisi ideal populasi hayati tanah untuk mendukung produksi kedele pada tanah Ultisol. Jenis-jenis organisme tanah yang mempunyai peranan penting terhadap peningkatan produksi kedele dikoleksi dan dimanfaatkan sebagai inokulan baku untuk formulasi konsorsia pupuk hayati. Untuk rehabilitasi tanah Ultisol terdegradasi dilakukan penyesuaian antara kondisi saat ini dan target kondisi hayati ideal yang telah ditetapkan. Untuk mencapai target ideal tersebut diperlukan input perlakuan amelioran dan perlakuan inokulasi hayati tanah yang sesuai. Pada tahap awal penelitian dilaksanakan di rumah kaca dengan menggunakan ember/pot plastik. Sedang penyempurnaan evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan memilih salah satu lokasi yang memiliki tingkat kesesuaian lahan rendah, namun potensi sumberdaya hayati tanah yang ada dapat diberdayakan untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan membuat petak percobaan di lokasi tersbut dengan perlakuan yang diarahkan untuk memberdayakan populasi hayati tanah yang berpengaruh positif dan menekan populasi hayati tanah yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan kedele. Untuk evaluasi kelayakan teknologi pemberdayaan hayati tanah oleh petani dilakukan uji langsung dengan petani setempat 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian dilakukan pada hamparan tanah Ultisols. Untuk mencapai sasaran penelitian, kegiatan penelitian ini dibagi dalam 3 sub kegiatan: 1). Karakterisasi dan evaluasi kesesuaian populasi hayati tanah terhadap produksi tanaman kedele pada tanah Ultisol 2). Pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan tanah Ultisol terdegradasi 3). Teknologi ameliorasi pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol. Sejalan dengan sebaran tanah Ultisol, maka lokasi penelitian diadakan di Provinsi Jawa Barat, Banten, Lampung dan Sumatera Selatan
12
3.3. Bahan dan Metode Penelitian 3.3.1. Penelitian 1. Karakterisasi dan evaluasi kesesuaian populasi hayati tanah terhadap produksi tanaman kedele pada tanah Ultisol. Metoda penelitian digunakan metoda survey (purposive sampling) dengan diawali pemilihan dan penetapan lokasi pada hamparan jenis tanah Ultisols yang telah terdapat pertanaman kedele umur muda (vegetatif). Dipilih 6 lokasi dengan tampilan vegetasi yang kurang subur sampai sangat subur, masing-masing dengan luas ≥1,0 ha. Rancangan percobaan : Rancangan Acak Kelompok faktorial dengan 6 ulangan Lokasi penelitian
Perlakuan :
: Banten
: Ulangan I dan II
Lampung
: Ulangan III dan IV
Sumsel
: Ulangan V dan VI
Faktor 1
: (Tampilan vegetasi) : Subur, Sedang dan Kurang (kurus)
Faktor 2
: (Sub sampel) Fisika, kimia dan biologi tanah meliputi kepadatan populasi fauna dan mikroba tanah.
Selanjutnya dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman yang meliputi: -
sistem budidaya dari masing-masing lokasi (utamanya pengelolaan pemberian input)
-
karakterisasi profil tanah dan evaluasi kesesuaian lahan untuk kedele.
-
kesuburan tanah: fisik dan kimia
-
populasi hayati tanah: makro dan mikroorganisme.
-
berat dan jumlah bintil akar.
-
pertumbuhan tanaman: vegetatif dan produksi.
Dari data yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji korelasi-regresi Step Wise antara faktor-faktor kesuburan tanah, hayati tanah dan pertumbuhan tanaman kedele. Sesuai dengan hasil korelasi-regresi terbaik akan diperoleh model hubungan antara populasi hayati tanah yang mampu secara nyata mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedele pada tanah Ultisol, baik pengaruh positif maupun negatif. Hasil ini selanjutnya dimanfaatkan untuk menjadi target bioremediasi pada tanah Ultisol terdegradasi pada penelitian ke-2. Organisme tanah yang memiliki hubungan korelasi nyata dan positif terhadap produksi kedele dimanfaatkan sebagai isolat/inokulan baku untuk kegiatan biorehabilitasi/kegiatan ke-2.
13
3.3.2. Penelitian 2. Pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan tanah Ultisol terdegradasi Rancangan Percobaan dan Ulangan : Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang terdiri atas 2 faktor dengan 3 ulangan. Percobaan tahap 1. Terdiri atas 2 faktor, yaitu Faktor 1 : Cara pemberian amelioran bahan organik (BO/pupuk kandang sapi) dan Faktor 2 : Inokulasi Faktor 1: Cara pemberian amelioran (B) 1.
B1 (pupuk kandang sapi) dicampur dengan tanah)
2.
B2 (pupuk kandang sapi) diberikan dengan cara mulsa vertical
Faktor 2 : Inokilasi 1.
Inokulasi Azotobacter sp
2.
Inokulasi bakteri pelarut P
3.
Inokulasi fungi pelarut P
4.
Inokulasi cacing tanah endogaesis
5.
(Lengkap) Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah
6.
Azotobacter sp + bakteri pelarut P
7.
Azotobacter sp + fungi pelarut P
8.
Kontrol
Tanah diinkubasi selama 2 bulan, tanpa tanaman indicator Percobaan tahap 2 : Percobaan ini merupakan
rangkaian dari percobaan tahap 1 yaitu dengan
menggunakan tanaman indikator kedelai, varietas kedelai yang digunakan adalah Tanggamus. Perlakuan yang dicobakan sama seperti percobaan 1. Setelah tanah diinkubasi 2 bulan, kemudian biji kedelai ditanam sebanyak 3 biji per pot. Setelah tanaman berumur 1 minggu, tanaman kedele disisakan 2 tanaman/pot. Pupuk rekomendasi kedele (50 kg/ha Urea+100 kg/ha SP-36+100 kg/ha KCl+ 1.000 kg kaptan/ha+Rhizobium) digunakan sebagai pupuk dasar.
14
3.3.3. Penelitian 3 Teknologi ameliorasi pemberdayaan sumberdaya meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol.
hayati
tanah
untuk
Rancangan Percobaan dan Ulangan : Sebagai target perlakuan diarahkan pada pemberdayaan sumberdaya hayati tanah yang memiliki korelasi tinggi terhadap pertumbuhan dan produksi kedele pada tanah Ultisol dari hasil inventarisasi keanekaragaman hayati tanah yang dilakukan pada kegiatan penelitian 1. Sekurang-kurangnya akan dipilih 5 jenis organisme tanah yang berperan positif, baik sebagai organisme yang mampu menyediakan hara tanaman (biofertilizer) atau organisme yang mampu menekan/prefdator hama-penyakit) terhadap tanaman kedele. Rancangan Acak Kelompok, dengan 7 perlakuan dengan 3 ulangan, sebagai berikut : 1. Kontrol 2. Rhizobium sp 3. Rhizobium sp+ cacing tanah endogaesis 4. Rhizobium sp + cacing tanah endogaesis + Bakteri P 5. Rhizobium sp + cacing tanah endogaesis + Bakteri P + Azotobacter sp 6. Rhizobium sp + cacing tanah endogaesis + Bakteri P +Azotobacter sp + Fungi P. 7. Cacing tanah endogaesis+ Azotobacter sp+Fungi P Lokasi Kegiatan Penelitian dilaksanakan pada musim hujan 2011 (Agustus – Desember 2011) pada tanah Ultisol di Banten.
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian 1. Karakterisasi dan evaluasi kesesuaian populasi hayati tanah terhadap produksi tanaman kedele pada tanah Ultisol. Telah dilakukan pengambilan sampel untuk analisis Kimia maupun Fisika, masingmasing sampel sedang dianalisis, sampel kimia dianalisis di Lab Kimia dan sampel Fisika dianalisis Lab Fisika. Penelitian dan pengamatan fauna tanah dilakukan langsung di lapangan. Sementara data analisa mikrobiologi tanah dilakukan di laboratorium Biologi Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor Pengamatan fauna tanah dilakukan dengan metoda handsorting pada tanah monolit dengan luas 1 x 1m2 sampai kedalaman 30 cm. Hasil pengamatan untuk lokasi Banten tercantum pada Tabel 3, sedangkan lokasi Lampung pada Tabel 4 dan Sumatera Selatan pada Tabel 5. Lokasi Banten dilakukan di Kecamatan Cibaliung merupakan lahan tanah darat, pemupukan kedele dengan menggunakan Ponska 120 kg.ha-1, dilakukan tanpa olah tanah (TOT) tumpang sari diantara pertanaman Jati, sedangkan Lokasi Lampung dilakukan di Desa Rejo Binangun Lampung Utara, merupakan pertanaman kedele yang ditanam di lahan sawah dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 5 ton.ha-1. Sedangkan lokasi Sumatera Selatan dilakukan di Desa Banjarsari, Kabupaten Lahat Sumatera Selatan pertanaman kedele ditanam di lahan kering yang biasa ditanami palawija (kacang tanah, jagung dll). Total populasi fauna tanah pada lahan upland dengan pola TOT (tanpa olah Tanah) relatif lebih tinggi dibanding populasi fauna tanah pada lahan tanah yang diolah yang mendapat pengolahan tanah yang lebih intensif (Tabel 3). Pada Tabel 3, 4, dan 5 tampak bahwa lahan dengan tampilan vegetasi Subur, menghasilkan kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relative lebih tinggi daripada lahan dengan tampilan vegetasi sedang dan kurang. Lahan Lahan dengan tampilan vegetasi
Sedang, menghasilkan
kepadatan
populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relative lebih tinggi daripada lahan dengan tampilan vegetasi kurang subur.
16
Tabel 3. Hasil Pengamatan Fauna Tanah Menggunakan Metoda Hand sorting dalam Luasan Monolit 100 x100x20cm3 pada lokasi pengamatan.Cibaliung, Banten Lokasi Tampilan Vegetasi
Subur
Sedang
Kurus Pit fall traps: Subur Sedang Kurang
Cibaliung I (Ulangan I) Jenis Jumlah Cacing tanah 32 Kokon 29 Hemiptera 4 Snail 1 Beetles 1 Jangkrik 4 Centipedes 1 Pupa 1 Waps 3 Semut 31 Cacing tanah 21 Kokon 4 Waps 4 Semut 2 Jangkrik 3 Beetles 1 Cacing 2 L.Butle 1 Pupa 1 Waps 2 Cacing tanah 73 Kokon 18 Semut 3
Cibaliung II (Ulangan II) Jenis Jumlah Cacing tanah 31 Kepik 1 Semut 2 Kokon 1
-
-
Semut hitam
1
Semut merah
8
Cacing tanah L.Butle Pupa Waps
2 1 1 2
Waps
3
-
-
Total populasi fauna tanah pada lahan upland dengan pola TOT (tanpa olah Tanah) relative lebih tinggi dibanding populasi fauna tanah pada lahan tanah yang diolah yang mendapat pengolahan tanah yang lebih intensif. Lahan dengan tampilan vegetasi Subur, menghasilkan kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relative lebih tinggi daripada lahan dengan tampilan vegetasi sedang dan kurang. Lahan Lahan dengan tampilan vegetasi Sedang, menghasilkan kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relative lebih tinggi daripada lahan dengan tampilan vegetasi kurang.
17
Tabel 4. Hasil Pengamatan Fauna Tanah Menggunakan Metoda Hand sorting dalam Luasan Monolit 100 x 100x20 cm3 pada lokasi pengamatan Lampung Lokasi Tampilan Vegetasi
Lampung I (Ulangan III) Jenis
Subur
Sedang
Kurus
Lampung II (Ulangan IV)
Jumlah
Jenis
Jumlah
Cacing tanah
1
Snails
1
Larv kepik
1
Milipeds
1
Snails
3
Waps
4
Centiped
1
Rayap
6
Snails
2
Cacing tanah
2
Centiped
1
Centiped
1
Miliped
1
Miliped
1
Semut
1
Snails
1
Larv fly
2
Lrv. Fly
2
Pupa
1
Waps
1
Waps
1
Jangkrik
3
-
-
-
-
Tabel 5. Hasil Pengamatan Fauna Tanah Menggunakan Metoda Hand sorting dalam Luasan Monolit 1 x 1m2 pada lokasi pengamatan Lahat Sumatera Selatan Hand sorting /monolit Subur
Sedang
Kurus
Lokasi Lahat I (Ulangan V)
Lahat II (Ulangan VI)
Jenis Cacing tanah Pupa Rayap
Jumlah 12 1 82
Jenis Cacing tanah Gangsir
Jumlah 20 2
Cacing tanah
12
Cacing tanah
1
Miliped
1
Semut Merah
1
Semut
2
Semut Hitam
1
Kumbang
1
Lrv. Beetle
1
Cacing tanah
7
Cacing tanah
2
Waps
1
Smt merah
8
Beetles
1
Semut
7
18
Tabel 6. Hasil pengamatan lokasi Cibaliung-Banten Nilai pengamatan Hasil (gr/m2) Biomas/tanaman Berat Kulit polong Berat akar Jumlah Bintil Berat bintil pH (H2O) N C C/N P Bray (tersedia) K tersedia P potensial (HCl) K potensial (HCl) B(mg/kg) Mg Ca BD (g/cc) PD (g/cc) Pori drainase(cepat) Pori drainase lambat Ruang pori total Air tersedia (%) Permeabilitas Kadar air (%vol) Cacing tanah Kokon Miliped Centiped Semut Rayap Snails/molusca Wasp/srngga tanah Azotobacter sp Pelarut P Rhizobium sp Jamur/fungi
No. urut pengamatan (n) 3 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Tampilan vegetasi Subur I II 108.8 104.4 97.04 96.25 65.32 68.67 75 0.114 4.84 0.43 1.47 3 3.95 77 254 157 90.7 2.78 12.34 1.24 2.36 11.6 3.2 47.3 7.9 0.73 24.7 32 29 1 31 0 1 3 4,5.108 2.106
12 0.012 6.02 0.34 2.51 7 1099 245 354 463 92.3 5.96 15.89 1.17 2.19 10.1 3.7 46.9 8.9 0.98 27.3 31 1 0 0 2 5.108 0 1.106 1.104
Tampilan vegetasi Sedang I II 24.9 62.8 30.67 60.4 30 39.31 60 0.063 4.71 0.19 1.56 8 4.66 107 252 163 64.38 2.35 10.26 1.19 2.33 9.9 3.7 48.8 10.4 1.19 22.4 21 4
2 4 8.107 6.105 1.105 3.104
27 0.084 6.19 0.39 2.39 6 1.98 183 341 481 97.58 8.65 20.97 1.2 2.19 5.3 3.3 45.2 9.6 2.11 33.4 2 0 2 1.103 3,4.105 7.10+8
Tampilan vegetasi Kurang I II 29.9 60.4 33 37.11 17.34 22.4 39 0.035 4.97 0.38 1.45 4 3.68 88 222 135 58.46 2.45 11.21 1.26 2.34 14.7 4.9 46.2 6.8 1.2 24.7 73 18 3 9.103 3.104 2.105
16 0.064 6.35 0.15 2.23 15 4.96 246 268 484 78.68 9.57 18.59 1.1 2.18 8.1 4.8 49.4 10.4 1.82 25.5 0 0 3 5.108 1.105 2,2.108 2.105
Rata2
65.20 59.08 40.51 38.17 0.06 5.51 0.31 1.94 7.17 186.37 157.67 281.83 313.83 80.35 5.29 14.88 1.19 2.27 9.95 3.93 47.30 9.00 1.34 26.33 26.50 8.67 0.00 0.50 9.50 0.00 1.50 3.33 -
19
Tabel 7. Hasil pengamatan lokasi Lampung Nilai pengamatan Hasil (gr/m2) Biomas/tanaman Berat Kulit polong Berat akar Jumlah Bintil Berat bintil pH (H2O) N C C/N P Bray (tersedia) K tersedia P potensial (HCl) K potensial (HCl) B(mg/kg) Mg Ca BD (g/cc) PD (g/cc) Pori drainase(cepat) Pori drainase lambat Ruang pori total Air tersedia (%) Permeabilitas Kadar air (%vol) Cacing tanah Kokon Miliped Centiped Semut Rayap Snails/molusca Wasp/srngga tanah
No. urut pengamatan (n) 3 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 23 24
Tampilanvegetasi Subur III IV 400 1300 116.05 4.9
7.33
0.093 4.31 0.1 1.14 12 69.36 65 558 77 41.47 0.4 2.09 1.26 2.48
1.146 5.07 0.24 2.13 9 298.27 215 892 180 37.2 0.99 4.44 1.37 2.4
25
6.7
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Tampilan vegetasi Sedang III IV 450 1350 112.25
Tampilan vegetasi Kurang III IV 200 1000 32.58
Rata2
175 651.81
1.82
7.2
1.25
3.25
4.29
0.178 4.18 0.17 1.13 7 183.24 14 694 27 32.85 0.4 1.79 1.32 2.46
0.66 4.4 0.21 1.27 6 76.31 19 606 27 31.21 0.44 2.18 1.35 2.4
0.053 4.33 0.21 1.15 5 192.43 12 751 22 32.75 0.34 1.74 1.34 2.38
0.267 4.69 0.14 1.56 11 174.3 15 733 27 32 0.64 3.14 1.32 2.4
0.40 4.50 0.18 1.40 8.33 165.65 56.67 705.67 60.00 34.58 0.54 2.56 1.33 2.42
12.4
17.1
7.1
17.9
11.7
12.15
4.2 49.4 10 0.14 22.8 1
5.5 42.8 8.7 1.19 15.9 0
5.3 46.4 9.7 0.92 20.7 0
5.5 43.8 9.3 4.23 7.7 2
5.2 43.8 10.3 0.37 22.8 0
4.7 43.8 10.7 1.41 29.7 0
5.07 45.00 9.78 1.38 19.93 0.50
0 1
1 0
6 3 1
0 0 4
1 1 2 1 2 1
1 1 2 0 1 1
0 0 7 2 0 0
0 0 8 1 0 0
0.50 0.50 4.75 1.67 1.00 1.17
1,7.105
9.105
-
1.105
-
-
1.106
-
Azotobacter sp
39
1.104
1.2.106
Pelarut P
40
-
4.106
-
-
Rhizobium sp
41
4.104
4.106
2.106
1.4.105
-
4.106
Jamur/fungi
42
1.105
2.104
1.105
3.104
-
3.104
20
Tabel 8. Hasil pengamatan lokasi Lahat-Sumatera Selatan No. urut Nilai pengamatan
Tampilan vegetasi
pengamatan
Tampilan vegetasi
Subur
Tampilan vegetasi Rata2
Sedang
Kurang
(n)
V
VI
V
VI
V
VI
Hasil (gr/m2)
3
50
190
48
120
20
60
81.33
Biomas/tanaman
6
3.21
8.05
0.073
0.082
0.013
0.029
1.91
Berat Kulit polong
7
Berat akar
8
1.96
1.803
3.01
4.607
2.92
0.64
2.49
Jumlah Bintil
9
58
24
26
51
2
6
27.83
Berat bintil
10
1.02
0.21
0.35
1.12
0
0.06
0.46
pH (H2O)
11
4.9
5.3
4.9
6
4.8
8.4
5.72
N
12
0.16
0.09
0.13
0.03
0.14
0.07
0.10
C
13
2.16
1.1
1.77
0.35
1.93
0.84
1.36
C/N
14
14
12
14
12
14
12
13.00
P Bray (tersedia)
15
8.5
11.8
3.4
4
5.9
4.4
6.33
K tersedia
16
432
79
261
63
309
79
203.83
P potensial (HCl)
17
30
66
24
41
23
42
37.67
K potensial (HCl)
18
57
21
36
16
45
19
32.33
B(mg/kg)
19
50.3
41.4
33.4
49.3
39.1
42.8
42.72 2.78
Mg
20
2.39
3.44
2.16
3.36
2.18
3.15
Ca
21
3.68
9.28
3.88
11.43
3.38
10.16
6.97
BD (g/cc)
23
1.05
1.06
0.95
1.18
1.1
1.33
1.11
PD (g/cc)
24
2.14
2.27
2.16
2.33
2.13
2.37
2.23
Pori drainase(cepat)
25
14.9
22.6
23.7
16.5
16.9
12.2
17.80
Pori drainase lambat
26
5.5
4.8
5.4
4.5
4.2
5
4.90
Ruang pori total
27
50.8
53.5
55.9
49.4
48.2
44.1
50.32
Air tersedia (%)
28
7.3
5.1
6.1
8.5
6.4
7.2
6.77
Permeabilitas
29
1.78
4.56
3.48
2.06
2.92
1.57
2.73
Kadar air (%vol)
30
44
39.8
39.8
35.4
39.8
37
39.30
Cacing tanah
31
12
20
12
1
7
2
9.00
Kokon
32
-
-
-
-
-
-
Miliped
33
-
-
-
-
-
-
Centiped
34
-
-
-
-
-
-
1.00
Semut
35
-
-
2
2
7
8
5.00
Rayap
36
82
0
-
-
-
-
41.00
Snails/molusca
37
-
-
-
-
-
-
Wasp/srngga tanah
38
1
-
-
-
-
-
Azotobacter sp
39
2.10
3,1.10
2.10
4.8.10
1.10
2,9.10
-
Pelarut P
40
3.10+4
-
6.10+4
4.10+4
-
8.10+4
-
Rhizobium sp
41
2.10+6
1,2.10+6
3.10+5
8,2.10+8
6.10+6
2.10+6
-
Jamur/fungi
42
1.10
1.10
3.10
7.10
2.10
1.10+6
-
+5
+5
+8
+6
+6
+4
+6
+6
+7
+6
1.50 +6
Keterangan : Cibaliung : Lahan tanah darat, tanaman dipupuk Ponska 120 kg.ha-1, TOT Lampung : Lahan tanah sawah dipupuk kandang 5 ton.ha-1 Palembang : Lahan tanah darat
21
Tabel 9. Nilai korelasi pada subyek pengamatan Sifat-sifat Agronomi dan Kimia dengan sifatsifat lainnya
Subyek pengamatan AGRONOMI Hasil
No. Urut 3
Nilai r Korelasi 0
Subyek pengamatan KIMIA pH (H2O)
No. Urut 11
Nilai r Korelasi 0
Biomas/tanaman Berat Kulit polong P potensial PD (g/cc) Wasp/srngga tanah Miliped Centiped K (tersedia)
6 7 17 24 38 33 34 16
0.9121 0.9046 0.7070 0.7049 -0.7426 0.6579 0.5630 -0.5407
Kokon Ca Mg Wasp/srngga tanah Centiped
32 21 20 38 34
-0.7064 0.6231 0.6050 0.5368 -0.5279
Biomas/tanaman Berat Kulit polong PD (g/cc) P potensial Wasp/srngga tanah Snails/molusca
6 7 24 17 38 37
0
N B Kokon Cacing tanah K potensial C
12 19 32 31 18 13
0 0.6669 0.5902 0.5699 0.5432 0.5044
7 21 34 37 26 19 15 17 29 35
0 1 -1 -1
13 32 16 18 38 24 34 36 19 20
0
Berat Kulit polong Ca Centiped Snails/molusca Pori drainase lambat B P Bray(tersedia) P potensial Permeabilitas Semut
C Kokon K (tersedia) K potensial Wasp/srngga tanah PD (g/cc) Centiped Rayap B Mg
8 38 30 18 10 35 25 9 34 37 32 11
0
14 32 30 23 27 36 16
0
Berat akar Wasp/srngga tanah Kadar air (%vol) K potensial Berat bintil Semut Pori drainase(cepat) Jumlah Bintil Centiped Snails/molusca Kokon pH (H2O)
C/N Kokon Kadar air (%vol) BD (g/cc) Ruang pori total Rayap K (tersedia)
10 33 32 36
15 37 16 36 24 32 38 23 30
0 -0.5688 0
Berat bintil Miliped Kokon Rayap
P Bray(tersedia) Snails/molusca K (tersedia) Rayap PD (g/cc) Kokon Wasp/srngga tanah BD (g/cc) Kadar air (%vol)
0.9722 0.5845 0.5509 -0.5250 0.5012
-0.7387 0.7303 0.6313 0.5545 -0.5266 0.5013
0.6826 -0.6403 0.5881 0.5660 -0.5500 -0.5336 0 1 -1 0.7558 -0.5013 0
-0.7757 0.7238 0.7226 0.6777 -0.6215 -0.6087 0.6036 0.5053 0.5004
-0.6777 0.5980 -0.5800 0.5508 0.5464 0.5002
0.8794 -0.8326 -0.7918 0.7826 -0.6668 0.5101
0.7146 0.6225 0.5139
22
Tabel 10. Nilai korelasi pada subyek pengamatan Kimia, Fisika dan Biota dengan sifat-sifat lainnya Subyek pengamatan KIMIA
No. Urut
Nilai r korelasi
Subyek pengamatan FISIKA
No. Urut
Nilai r korelasi
P potensial BD (g/cc) Kadar air (%vol) Air tersedia (%) Ruang pori total PD (g/cc) Kokon Rayap
17 23 30 28 27 24 32 36
0 0.7527 -0.7653 0.6797 -0.6644 0.6554 -0.6005 -0.5612
BD (g/cc) Ruang pori total PD (g/cc) Kokon Kadar air (%vol) Rayap Snails/molusca Miliped Air tersedia (%)
23 27 24 32 30 36 37 33 28
0 -0.9034 0.8233 0.7372 -0.7130 -0.6339 -0.6157 0.5786 0.5286
K potensial B Mg
18 19 20
0 0.8424 0.8513
PD (g/cc) Kokon
24 32
Ca
21
0.8123
Rayap
Kokon
32
-0.7637
Kadar air (%vol)
Wasp/srngga tanah Pori drainase(cepat) Pori drainase lambat
38 25 26
0.6402 -0.5656 -0.5078
B Ca Mg Pori drainase lambat Wasp/srngga tanah
19 21 20 26 38
0 0.8845 0.7836 -0.7697 0.6311
Mg Ca Kokon PD (g/cc)
20 21 32 24
0 0.9159 -0.6862 -0.6164
Ca Wasp/srngga tanah Kokon Pori drainase lambat
21 38 32 26
0 0.6499 -0.6016 -0.6113
No. Urut
Nilai r Korela si
Cacing tnh Kokon Wasp/sr tnh
31 32 38
0 0.6080 0.5045
Kokon Centiped Snails/mlsca Semut
32 34 37 35
0 1 -1 0.8394
0 0.8208
Miliped
33
36
-0.7894
Semut
35
30
-0.6529
Rayap Wasp/srngga tanah
36
0 0.6621 0.6489
38
0.6202
Centiped Snails/mlsca
34 37
0 0.8101
Semut
35
0
Rayap Snails/mlsca
36 37
0 0.6716
Ruang pori total
27
-0.5058
Centiped
34
0.5021
Pori drain(cepat) Kokon Air tersedia (%) Ruang pori total
25 32 28 27
0 0.6946 -0.6525 0.5250
Pori drain lambat Miliped Semut
26 33 35
0 0.7516 -0.5381
Ruang pori total Snails/molusca Kadar air (%vol) Centiped Air tersedia (%)
27 37 30 34 28
0 0.8330 0.5850 0.5567 -0.5182
Air tersedia (%) Kokon Kadar air (%vol) Permeabilitas Miliped Permeabilitas Kokon Miliped Kadar air (%vol) Miliped Rayap
28 32 30 29 33 29 32 33 30 33 36
Subyek pengamatan BIOTA
0 -0.7590 -0.6036 -0.5560 -0.5397 0 -0.6668 0.5465 0 -0.7906 0.6217
Keterangan : Independen variabel : 2, df variabel : 1, Total ( N : 18, df total : 17, df error : 16, r 5% nyata : 0.545, r 1% nyata : 0.647
23
Total populasi fauna tanah pada lahan kering (upland) dengan pola TOT (tanpa olah Tanah) relatif lebih tinggi dibanding populasi fauna tanah pada lahan tanah yang diolah yang mendapat pengolahan tanah yang lebih intensif dlahan dengan tampilan vegetasi subur memiliki kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relative lebih tinggi daripada lahan
dengan tampilan vegetasi sedang dan kurang. Lahan dengan tampilan vegetasi
sedangmemiliki kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relative lebih tinggi daripada lahan dengan tampilan vegetasi kurang subur. Hal ini menunjukkan bahwa fauna tanah berperan sangat penting terhadap kesuburan tanah, namun dengan pengolahan tanah yang intensif akan mengganggu populasinya. Tampilan vegetasi yang subur tentu didukung oleh tingkat kesuburan tanah yang lebih baik dibandingkan tampilan vegetasi yang tumbuh pada tanah yang kurang subur. Tiap parameter yang diamati merupakan hasil pengamatan dari tiga (3) lokasi, yaitu Cibaliung- Banten, Lampung, dan Lahat- Sumatera Selatan. Masing-masing lokasi terdiri dari 2 ulangan, masing-masing ulangan dibagi menjadi 3 kondisi vegetasi, yaitu subur, sedang dan kurang subur, jadi factor pengamatan (N) ada 18. Jenis parameter yang diamati (n) adalah 42 item, meliputi sifat agronomis tanaman kedelai, status kimia tanah dan sifat fisika tanah tempat kedelai tumbuh, dan keragaman dan populasi biota. Hasil pengamatan tertera dalam Table 1, 2 dan 3. Tabel tersebut memperlihatkan nilai sifat-sifat Agronomis, sifat kimia, sifat fisika dan keragaman dan populasi biota tiap-tiap lokasi berbeda. Nilai-nilai agronomis kedelai pada lokasi Cibaliung dimana kedelai ditanam tumpangsari diantara tanaman jati memberikan nilai lebih rendah dibanding nilai agronomis kedelai dari Lampung yang ditanam monokultur di lahan sawah dan kedelai dari Sumatera Selatan lebih rendah dibanding nilai sifat2 agronomis kedelai dari Lampung dan Cibaliung. Hasil biji kedelai dari Sumatera Selatan 81,3 gr.m-1 hasil dari Lampung 175 g.m-1 dan dari Cibaliung 65,2 g.m-1. Identifikasi awal untuk mengetahui kesesuaian lahan menggunakan uji korelasi antara factor-faktor yang diamati. Factor-faktor yang mempunyai hubungan yang erat yang ditunjukkan dengan nilai korelasi nyata dilanjutkan dengan analisis regresi untuk mengetahui nilai konstanta yaitu nilai apabila x = 0. x = nilai independent variable (variable bebas) atau nilai yang mempengaruhi variable tergantung (dependent variable). Variabel tergantung utama ditetapkan
24
Tabel 11. Nilai regresi dari faktor pengamatan Parameter
Persamaan
Y Max
Konstanta
R2
Hasil x Biomas
y = 0.0001x2 - 0.207x + 77.99
292.2
77.99
R2 = 0.882
Hasil x Kulit polong
y = 0.019x2 - 0.214x + 35.02
65.53
35.02
R² = 0.837
Variabel utama
Hasil x P potensial
y=
- 0.038x + 65.26
72.48
65.26
R² = 0.556
Hasil x PD(g/cm)
y = 5924.x2 - 26363x + 29358
27.8
29358
R² = 0.743
+ 103.8x + 284.2
227.4
284.2
R² = 0.719
y = -6.062x2 + 27.81x + 27.63
59.53
27.63
R² = 0.551
Hasil x Srg Tanah
y=
0.0001x2 -47.45x2
Variabel antara 1 K Polong xPD Lambat
-0.008x2
K Polong x B
y=
+ 2.320x - 89.12
79.08
89.12
R² = 0.536
K Polong x Permeabilitas
y = 72.81x2 - 232.5x + 204.7
19.09
204.7
R² = 0.694
P Potensial x BD
y = 4513.x2 - 8847.x + 4375
17379.3
4375
R² = 0.616
P Potensial x kokon
y = 0.319x2 - 11.40x + 317.6
215.75
317.6
R² = 0.580
y = -0.237x2 + 7.845x + 5.280
200.02
5.28
R² = 0.853
Variabel antara 2
Variabel antara 3 Cacing tanah x Kokon
yaitu hasil (yield), sedangkan factor x (independent variable) utama maupun independen variable antara yaitu sifat-sifat agronomis lain selain hasil, sifat fisika tanah, kimia tanah dan biota yang terdapat dimana kedelai tumbuh. Pada Tabel 4 dan Tabel 5, menunjukkan hasil kedelai berkorelasi dengan factor-faktor lain seperti berat biomas, berat kulit polong, P potensial tanah, Pori Drainase, serangga tanah dll. Faktor kimia tanah yaitu hara tanah berpengaruh terhadap pembentukan kulit polong diantaranya unsur Ca, B (boron), P tersedia maupun P potensial. Pengamatan biota tanah terutama Cacing tanah berkorelasi sangat nyata dengan kokon, pada kondisi upland, cacing tanah sendiri sedikit sekali ditemukan, yang ditemukan adalah jejak cacing dan kokon. Kokon (telur cacing tanah) banyak dipengaruhi atau berpengaruh (berkorelasi) terhadap berbagai factor seperti bintil akar, pH, C, N C/N, K tersedia, K dan P potensial dan Mg, jadi secara tidak langsung factor-faktor tadi berpengaruh atau dipengaruhi oleh cacing tanah, Variabel utama yaitu variabel yang berkorelasi nyata dan langsung dengan hasil (yield), variabel antara 1 yaitu variabel yang berkorelasi nyata dengan variabel utama, variabel antara 2 yaitu variabel yang berkorelasi nyata dengan variabel antara 1, variabel antara 3 yaitu variabel yang berkorelasi nyata dengan variabel antara 2, dan seterusnya.
25
Kriteria kesesuaian lahan dibagi dalam 3 kriteria, yaitu tidak sesuai, sesuai dan sangat sesuai. Tidak sesuai apabila variable bebas (independen variable) mempengaruhi kepada hasil (nilai y pada persamaan= dependen variabel) dibawah nilai konstanta yaitu nilai x = 0 (Tabel 11), Sesuai apabila variable bebas(dependen variable) mempengaruhi kepada hasil menjadi diatas nilai konstanta, sedangkan sangat sesuai apabila variable bebas mempengaruhi kepada hasil diatas nilai maksimum (y maksimum), x maksimum diperoleh dengan cara keturunan pertama dari persamaan kuadratik = y = 0, seperti contoh y = 0.0001x2 - 0.207x + 77.99 keturunan pertamanya (bentuk kurva diabaikan) adalah
2 x 0.0001 x - 0.207 = 0,
disederhanakan 0.0002x = 0.207(nilai negative karena berpindah posisi berubah menjadi positif (Drapper and Smith, 1976), atau x = 0.207/0.0002 = 1.035. Apabila nilai x maksimum dimasukkan kedalam persamaan, akan diperoleh nilai y maksimum, sedangkan nilai optimum diperoleh dari nilai maksimum + 5% Interkasi hubungan hasil dengan biomas sangat erat, terlihat dengan nilai korelasi yang nyata yaitu 0,882. Pada Tabel 6, biomas adalah independen variable utama artinya variable yang secara langsung berpengaruh dan berkaitan terhadap hasil kedelai. Terlihat
persamaan kuadratik hasil kedelai dengan biomas menunjukkan nilai dugaan y
maximum adalah 292,2 dengan konstanta 77,99 artinya nilai biomas minimal 77,99 gr/m-2 untuk mendapatkan hasil yang maksimum 292,2 gr/m-2, atau setara 2,92 t.ha-1 merupakan nilai potensi rata-rata tertinggi yang bisa dicapai kedelai, sedangkan apabila biomas yang dihasilkan kurang dari 77,99 gr/m-2 maka tanaman kedelai tidak akan menghasilkan. 4.2. Penelitian 2. Pemberdayaan agen hayati tanah untuk pemulihan kesuburan tanah Ultisol terdegradasi. a. Populasi Mikroba dan Analisis sifat kimia tanah Ultisol Kentrong Pengambilan tanah untuk percobaan di rumah kaca dilakukan di Kentrong, Malangsari, Lebak Banten. Dari hasil penghitungan populasi mikroba pada tanah tersebut menunjukkan bahwa populasi fungi total sebanyak 3,0 x 106 cfu/g dan populasi bakteri total sebanyak 3.0 x 107 cfu/g (Tabel 12). Namun dari banyaknya populasi fungi pada tanah tersebut tidak diperoleh fungi pelarut P, sedangkan pada pengamatan bakteri diperoleh bakteri yang dapat melarutkan P. Sehingga tanah tersebut secara biologi masih kurang subur, dikarenakan keaneka ragaman mikroba fungsional penyubur tanah sedikit. Sehingga untuk meningkatkan kesuburannya perlu dilakukan inokulasi dengan mikroba yang adaptif pada lingkungan tanah Ultisol terdegradasi.
26
Untuk memperoleh isolat tersebut, maka dilakukan juga pengamatan mikroba tanah pada daerah risosfer tanaman yang tumbuh pada lahan masam terdegradasi. Fungi yang terdapat pada lokasi tersebut berupa Penicillium sp dan Aspergillus sp, kemungkinan fungi tersebut mempuyai fugsi lain seperti perannya sebagai agen hayati. Tabel 12. Populasi fungi dan bakteri pada lahan kering Ultisol Banten No 1.
2.
Jenis pengamatan
Populasi (CFU/g)
Fungi Fungi Total
3,0 x 106
Fungi pelarut P
-
Bakteri Total Bakteri
3,0 x 107
Rhizobium sp
-
Azotobacter sp
-
Bakteri pelarut P
5,0 x 106
Tanah Ultisol terdegradasi Banten bertekstur liat, bersifat masam, kandungan bahan organik sedang, N, P dan K rendah, kejenuhan basa rendah. Keadaan demikian menunjukkan tingkat kesuburannnya rendah (Tabel 13). Pengamatan terhadap populasi cacing tanah setelah biorehabilitasi disajikan pada Tabel 18. Dari hasil penelitian menunjukkan populasi cacing tanah dan kokon tertinggi ditemukan pada perlakuan B2N5 yaitu 5 ekor cacing tanah dan 11 butir kokon. Cacing tanah dan kokon tersebut banyak ditemukan pada kedalaman 0-40 cm. Pada perlakuan B2N4 ditemukan 7 butir kokon di kedalaman 0 – 20 cm, namun tidak ditemukan cacing tanah pada setiap lapisannya. Diduga cacing tanah pada perlakuan B2N4 mengalami kematian setelah mengeluarkan kokon .
27
Tabel 13. Karakteristik sifat kimia tanah Ultisol Banten No. 1.
2. 3.
4. 5 6.
7. 8.
Penetapan Tekstur Pasir Debu Liat pH H20 KCl Bahan Organik C (%) N (%) C/N P2O5 (HCL 25%, mg/100g) K2O (HCL 25%, mg/100g) P2O5 (Bray 1-ppm) Nilai Tukar Kation Ca (cmol/kg) Mg (cmol/kg) K (cmol/kg) Na (cmol/kg) Jumlah KTK (cmol/kg) Kejenuhan Basa (%)
Hasil 11 32 57
Kriteria
Liat Masam
4,5 3,9 2,58 0,21 12 17 9 3.45
Sedang Sangat rendah
1,88 0,74 0,16 0,15 2,93 11,34 26
Sangat rendah Sangat rendah Rendah Rendah
Rendah Rendah Rendah
Rendah Rendah
b. Populasi Bakteri, Fungi, dan Cacing tanah endogaesis setelah inkubasi 2 bulan Populasi Azotobacter sp pada tanah awal sebelum dilakukan penelitan adalah 0, setelah diaplikasi kan dengan perlakuan menunjukkan bahwa inokulasi Azotobacter sp dapat meningkatkan populasinya pada tanah, namun apabila diberi perlakuan kombinasi antara Azotobacter sp + fungi pelarut P tampak bahwa Azotobacter sp tidak tumbuh (0) baik pada yang diaplikasikan pada tanah dengan bahan organik dicampur dengan tanah (B1) maupun bahan organik vertikal (B2). Tampak bahwa perlakuan bahan organik secara vertikal nyata meningkatkan populasi Azotobacter sp dibandingkan pemberian bahan organik yang dicampur (Tabel 14). Populasi Azotobacter sp tertinggi pada perlakuan dengan Inokulasi fungi pelarut P yaitu sebesar 7.49 log CFU/g.
28
Tabel 14. Populasi Azotobacter sp pada saat inkubasi tanah selama 2 bulan Cara pemberian bahan organik Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
Populasi ( log CFU/g) Inokulasi Azotobacter sp (N1)
6,12 b
6,39 bc
6,26 c
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
0,00 a
4,80 b
2,40 b
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
7,61 b
7,38 c
7,49 d
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
7,50 b
4,67 b
6,08 c
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5)
5,43 b
6,54 bc
5,98 c
Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
7,28 b
6,54 bc
6,91 cd
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
0,00 a
0,00 a
0,00 a
Kontrol (N8)
4,78 b
5,80 b
5,29 c
4,84 A
5,26 B
Rata-rata
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama atau angka-angka yang diikuti huruf besar yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % Populasi Azotobacter awal 0 (tidak ditemukan). B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertical
Populasi Rhizobium sp setelah inkubasi selama 2 bulan berbeda diantara perlakuan, tampak bahwa populasi Rhizobium sp tertinggi pada perlakuan Bahan Organik dicampur (B1) berturut-turut adalah perlakuan Inokulasi fungi pelarut P, Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah, Inokulasi cacing tanah endogaesis, dan Inokulasi bakteri pelarut P dengan populasi Rhizobium sp masing-masing sebesar 7,70, 7,52, 7,39 dan 7,24 Log CFU/g. Sedangkan pada bahan organik yang diberikan secara vertikal (B2) populasi Rhizobium sp tertinggi pada perlakuan inokulasi bakteri pelarut P dan inokulasi Azotobacter sp. Cara pemberian bahan organik berbeda nyata dalam mempengaruhi populasi Rhizobium sp, pemberian bahan organik secara vertikal menunjukkan populasi Rhizobium sp lebih tinggi dibandingkan pemberian secara dicampur dengan tanah di permukaan. Demikian juga pengaruhnya terhadap populasi bakteri pelarut fosfat dan fungi (Tabel 16 dan Tabel 17).
29
Tabel 15. Populasi bakteri Rhizobium sp pada saat inkubasi tanah selama 2 bulan Cara pemberian bahan organik Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
Populasi (log cfu/g) Inokulasi Azotobacter sp (N1)
3,03 a
7,18 c
5,10 b
Inokulasn i bakteri pelarut P (N2)
7,24 c
7,18 c
7,21 b
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
7,70 c
5,16 ab
6,43 b
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
7,39 c
5,70 ab
6,54 bc
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5)
7,52 c
6,68 bc
7,10 c
Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
6,17 bc
6,01 b
6,09 bc
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
0,00 a
6,43 bc
3,21 a
Kontrol (N8)
6,87 bc
5,00 a
5,94 b
5,69 A
6,17 B
Rata-rata
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama atau angka-angka yang diikuti huruf besar yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertical
Dari hasil penelitian menunjukkan populasi cacing tanah dan kokon tertinggi ditemukan pada perlakuan B2N5 (Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah , bahan organik diberikan secara vertikal) yaitu 5 ekor cacing tanah dan 11 butir kokon. Cacing tanah dan kokon tersebut banyak ditemukan pada kedalaman 0-40 cm. Pada perlakuan B2N4 (Inokulasi cacing tanah endogaesis , bahan organik diberikan secara vertical) ditemukan 7 butir kokon di kedalaman 0 – 20 cm, namun tidak ditemukan cacing tanah pada setiap lapisannya. Diduga cacing tanah pada perlakuan B2N4 mengalami kematian setelah mengeluarkan kokon
30
Tabel 16. Populasi bakteri pelarut fosfat pada saat saat inkubasi tanah selama 2 bulan Cara pemberian bahan organik Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
Populasi (log cfu/g) Inokulasi Azotobacter sp (N1)
7.34 c
6.05
6.70 b
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
7.12 c
6.26
6.69 b
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
3.82 b
5.16 ab
4.49 ab
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
5.92 bc
5.07 a
5.49 b
1.00 a
5.22 b
3.11 a
8.35 c
4.52 a
6.44 b
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
1.00 a
6.37 c
3.68 a
Kontrol (N8)
0.00 a
6.00 b
3.00 a
4.32 A
5.58 B
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5) Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
Rata-rata
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama atau angka-angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertical
Tabel 17. Populasi fungi pada saat saat inkubasi tanah selama 2 bulan Cara pemberian bahan organik Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
Populasi (log cfu/g) Inokulasi Azotobacter sp (N1)
5,67 b
5,97 a
5,82 b
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
0,00 a
7,08 b
3,54 a
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
5,13 b
5,94 a
5,53 b
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
6,57 bc
6,79 b
6,68 bc
7,05 bc
7,81 c
7,43 c
Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
7,77 c
7,14 bc
7,46 c
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
0,00 a
6,10 a
3,05 a
Kontrol (N8)
4,43 b
7,03 b
5,73 c
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5)
Rata-rata
P
4,58 A
6,73 B
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama atau angka-angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertical
31
Perlakuan dengan aplikasi bahan organik di permukaan tanah (B1), populasi kokon sangat kecil hanya ditemukan pada perlakuan B1N4 dengan kedalaman 10 – 20 cm sebanyak 1 butir. Populasi cacing tanah tertinggi ditemukan pada perlakuan B1N5 dengan kedalaman 20 – 40 cm sebanyak 9 ekor. Secara umum populasi cacing tanah pada perlakuan aplikasi bahan organik di permukaan tanah banyak ditemukan pada kedalaman 10 cm sampai dengan 40 cm. Tabel 18. Populasi Cacing Tanah dan Jumlah Kokon setelah biorehabilitasi 2 bulan setelah inkubasi (BSI) di rumah kaca Kedalaman Perlakuan
0-10 cm Jumlah Jumlah Cacing Kokon
10-20 cm Jumlah Jumlah Cacing Kokon
20-40 cm Jumlah Jumlah Cacing Kokon
Jumlah total cacing
Jumlah Total kokon
B1N1
0
0
0
0
0
0
0
0
B1N2 B1N3 B1N4 B1N5 B1N6
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 5 0 0
0 0 1 0 0
0 0 0 9 0
0 0 0 0 0
0 0 5 9 0
0 0 1 0 0
B1N7 B1N8 B2N1 B2N2 B2N3
1 0 0 0 1
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
1 0 0 0 0
0 0 0 0 0
2 0 0 0 1
0 0 0 0 0
B2N4 B2N5 B2N6 B2N7 B2N8
0 3 0 8 0
4 6 0 0 0
0 0 0 0 0
3 3 0 0 0
0 2 0 0 0
0 2 0 0 0
0 5 0 8 0
7 11 0 0 0
Hal ini karena cacing tanah endogaesis hidupnya di dalam tanah. Populasi cacing tanah dan kokon pada perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara vertikal ( B2 ) lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara horizontal di permukaan tanah (B1). Hal ini diduga ketersediaan bahan organik untuk kebutuhan cacing tanah endogaesis yang hidupnya di dalam tanah sudah tercukupi (Tabel 18).
32
Pertumbuhan tanaman kedelai saat berbunga Tinggi tanaman: Pada umumnya tinggi tanaman menunjukkan pola yang sama pada semua perlakuan hingga pertumbuhan tanmanan sampai minggu ke 3. Selanjutnya pada minggu ke 4 tampak bahwa perlakuan B2N1 dan perlakuan B2N2 menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat dibandingkan perlakuan yang lainnya (Gambar 3). Pada minggu ke 6 perlakuan B2N2 menunjukkan tinggi tanaman yang tertinggi yaitu sebesar 106,50 cm (Gambar 4). Tabel 19 menunjukkan bahwa perlakuan cara pemberian bahan organik pengaruh yang berbeda nyata. Perlakuan pemberian bahan organik secara vertikal panjang akar lebih panjang dibandingkan dengan perlakuan bahan organik yang dicampur dengan tanah. Pada perlakuan kontrol baik pada perlakuan bahan organik dicampur dengan tanah maupun dicampur menunjukkan hasil yang sama. Secara umum perlakuan inokulasi menunjukkan panjang akar yang lebih tinggi apabila pemberian bahan organik dengan cara vertikal.
Gambar 3 : Tinggi tanaman pada fase pertumbuhan tanaman 1 sampai dengan 6 minggu setelah tanam (MST)
33
Gambar 4 : Tinggi tanaman pada umur 6 minggu setelah tanam (MST) Tabel 19. Panjang akar kedelai pada saat berbunga Cara pemberian bahan organik Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
………… (cm)……… Inokulasi Azotobacter sp (N1)
21,50 a
24,50 b
23,00 A
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
25,00 b
31,50 c
28,25 C
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
24,50 b
27,00 bc
25,75 B
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
22,00 ab
19,50 a
20,75 A
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P 29,50 c fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5)
30,00 c
29,75 C
Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
21,50 a
30,50 c
26,00 BC
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
19,50 a
23,00 a
21,25 A
Kontrol (N8)
26,50 bc
26,50 bc
26,50 BC
26,56 B
Rata-rata
23,75 A
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama atau angka-angka yang diikuti huruf besar yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertikal
34
Perlakuan inokulasi tunggal Azotobacter sp, fungi pelarut P, cacing tanah endogaesis yang dikombinasikan dengan bahan organik yang dicampur dengan tanah menunjukkan bintil akar kedelai tidak terbentuk. Namun apabila perlakuan tersebut diberikan secara bersama maka bintil akar dapat terbentuk (Tabel 20). Tampaknya pemberian cacing tanah endogaesis dapat merangsang terbentuknya bintil akar dengan kombinasi bahan organik yang diberikan secara vertical dengan jumlah bintil akar yang terbentuk sebesar
10 butir/pot). Selain itu pada
perlakuan Azotobacter sp + bakteri pelarut P tampak bahwa pemberian bahan organik secara vertical menunjukkan jumlah bintil akar lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan Azotobacter sp + bakteri pelarut P yang dikombinasikan dengan bahan organik yang dicampur dengan tanah. Tabel 20. Jumlah bintil kedelai pada saat berbunga Cara pemberian bahan organik Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
…… (butir/pot)…….. Inokulasi Azotobacter sp (N1)
0 a
8 b
4,0 a
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
8 b
2 a
5,0 a
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
0 a
3 a
1,5 a
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
0 a
10 b
5,0 a
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5) Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
9 b
0 a
4,5 a
5 b
13 b
9,0 b
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
0 a
10 b
5,0 a
Kontrol (N8)
8 b
0 a
4,0 a
3,75 A
5,75 B
Rata-rata
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama atau angka-angka yang diikuti huruf besar pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertikal
Bobot segar dan bobot kering tanaman kedelai menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada perlakuan inokulasi yang dikombinasikan dengan pemberian bahan organik secara
35
vertikal.perlakuan inokulasi menunjukkan berat segar tanaman kedelai saat primordia (Tabel 21 dan Tabel 22). Pada perlakuan pemberian bahan organik secara dicampur bobot segar dan bobot kering tertinggi masing-masing dicapai pada perlakuan Inokulasi Azotobacter sp dan Inokulasi bakteri pelarut P masing-masing sebesar 18,16 g/pot dan 9 g/pot. Sedangkan pada perlakuan pemberian bahan organik secara vertical menunjjukkan bobot segar dan bobot kering tertinggi dicapai pada perlakuan Inokulasi bakteri pelarut P dan 14,22 masing-masing sebesar 29,96 g/pot dan 14,22 g/pot.
Tabel 21. Bobot segar tanaman kedelai pada saat berbunga Cara pemberian bahan organik Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
…….( g/pot)…….. Inokulasi Azotobacter sp (N1)
18,16 c
19,67 a
18,91 b
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
17,88 c
29,96 b
23,92 c
9,24 a
17,12 a
13,18 a
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
16,11 bc
20,53 a
18,32 b
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5)
14,33 b
20,81 a
17,57 b
Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
13,64 b
25,58 b
19,61 b
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
11,85 a
26,85 b
Kontrol (N8)
10,80 ab
18,54 a
14,67 a
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertical
Bobot segar tanaman tertinggi pada perlakuan bahan organik yang dicampur (B1) tertinggi pada perlakuan Inokulasi Azotobacter sp (N1), bobot segar tanaman kedelai sebesar 18,61 g/pot. Sedangkan pada perlakuan bahan organik secara vertikal (B2) dengan
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
menunjukkan bobot segar tanaman tertinggi yaitu sebesar 29,96 g/pot.
Perlakuan inokulasi secara nyata
mempengaruhi bobot segar tanaman, yang paling tinggi penagruhnya pada ultisol lebak Banten adalah inokulasi bakteri pelarut P (N3). Sebaliknya terhadap bobot kering tanaman, secara umum perlakuan Inokulasi fungi pelarut P (N3) menunjukkan bobot kering yang tertinggi dengan nilai sebesar 10,85 g/pot (Tabel 22)
36
Tabel 22. Bobot kering tanaman kedelai pada saat berbunga Cara pemberian bahan organic Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
…….( g/pot)…….. Inokulasi Azotobacter sp (N1)
8,74 c
9,36 ab
9,18 b
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
9,00 d
9,87 ab
7,68 a
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
5,49 a
14,22 b
10,85 c
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
7,47 b
12,00 b
9,30 b
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5) Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6)
6,61 b 6,99 b
5,90
a
9,27 ab
6,45 a 8,10 b
Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7)
6,93 b
11,09 b
9,08 b
Kontrol (N8)
7,07 b
14,00 b
7,00 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertical
Hasil kedelai saat panen Hasil kedelai tertinggi pada perlakuan inokulasi yang dikombinasikan dengan bahan organik yang dicampur tanah sebesar 16.71 g/pot dicapai pada perlakuan inokulasi Azotobacter sp. Sedangkan pada kombinasi perlakuan antara inokulasi dan cara pembrian bahan organik secara vertikal bobot biji kedelai dicapai pada perlakuan Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7) dengan sebesar 16,68 g/pot, namun kan [hasil ini tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan Inokulasi bakteri pelarut P dan Azotobacter sp + bakteri pelarut P.Tampaknya pemebrian bahan organik secara vertical sangat mempengaruhi bobot tanaman, namun tidak terhadap bobt biji. Bobot tanaman pada perlakuan inokulasi dan bahan organik secara vertical menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian bahan organik yang dicampur dengan tanah (Tabel 23).
37
Tabel 23. Bobot biji kedelai Cara pemberian bahan organic Perlakuan
B1
B2
Rata-rata
…….( g/pot)…….. Inokulasi Azotobacter sp (N1)
16,71 c
8,81 bc
12,76 b
Inokulasi bakteri pelarut P (N2)
6,98 a
10,08 bc
8,53 ab
Inokulasi fungi pelarut P (N3)
7,72 a
7,58 b
7,65 a
Inokulasi cacing tanah endogaesis (N4)
8,77 b
8,42 bc
8,60 ab
6,30 a
6,40 a
6,35 a
5,89 a
10,67 bc
8,28 ab
11,45 b
16,68 c
14,07 b
4,88 a
3,56 a
4,22 a
Konsorsia Azotobacter sp+pelarut P fungi+pelarut P bakteri+cacing tanah (N5) Azotobacter sp + bakteri pelarut P (N6) Azotobacter sp + fungi pelarut P (N7) Kontrol (N8) Rata-rata
8,59
9,02
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % B1 : Bahan Organik dicampur dengan tanah B2 : Bahan organik diberikan secara vertical
4.3. Penelitian 3. Teknologi ameliorasi pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol Dalam rangka pelaksanaan penelitian Teknologi biorehabilitasi Tanah Ultisol Terdegradasi Untuk Produksi Kedelai pada RPTP “Penelitian dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Hayati Tanah untuk Perbaikan Produktivitas Tanah dan Efisiensi Pemupukan“ telah ditetapkan rencana lokasi percobaan. Lokasi yang dipilih meliputi: 1.
Tanah Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten ini sebenarnya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang diharapkan menjadi pusat pemngembangan kedele. Namun dengan usahatani kedele saat ini kurang menguntungkan dibanding usahatani komoditi pertanian lainnya, maka petani di
38
wilayah ini pada periode Oktober-Maret 2011/2012 tidak melakukan penanaman kedele. Untuk itu percobaan tidak dilakukan di lokasi ini. 2.
Tanah Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Pada kabupaten Lebak, masyarakat sudah biasa melakukan penanaman kedele secara terbatas sesuai dengan kondisi curah hujan dan kesiapan biaya dan tenaga kerja. Beberapa lokasi telah kita lihat dan dikaji dari beberapa aspek: tanah, air dan kondisi lahan serta pertanaman. Adapun lahan pilihan yang kita lihat memiliki koordinat sebagai berikut: 1. LS: 6o 32,121’; BT 106o 23,528’ (elevasi : + 150 m dpl.) 2. LS: 6o 32,093’; BT 106o 23,542’ (elevasi : + 164 m dpl.) 3. LS: 6o 32,014’; BT 106o 23 546’ (elevasi : + 159 m dpl.) Pada akhirnya setelah diskusi dengan pemilik lahan ditentukan lahan dengan titik koordinat: LS: 6o 32,093’; BT 106o 23,542’ (elevasi : + 164 m dpl.) dengan nama pemilik lahan Bpk. Saleh alamat Kampung Cilurah, Desa Sipayung, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Lokasi lahan seperti pada Gambar 1. Untuk melihat karakteristik tanah telah dilakukan pengambilan contoh tanah komposit 0-20 cm. Selanjutnya akan dianalisa sifat kimia dan biologi.
Gambar 5. Hamparan lokasi terpilih untuk penelitian pertanaman kedelai dan diskusi dengan pemilik lahan dan teknisi lapangan. Penelitian dilakukan di Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lebak Provinsi Banten setelah diperoleh hasil pada penelitian ke 2. Penelitian diawali dengan kegiatan evaluasi metode perbanyakan cacing tanah endogaesis Pheretima hupiensis.
39
Rearing Cacing tanah untuk penyediaan inokulan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media budidaya yang terbaik adalah per bandingan tanah terhadap bahan organik pupuk kandang adalah 6:1. Hasil pengamatan jumlah kokon dan cacing tanah dalam penelitian ini, ditunjukkan pada Tabel 24. Cacing tanah endogaesis mempunyai kemampuan reproduksi yang terbatas, sehingga populasi di alam umumnya rendah.Tabel 24 menunjukkan jumlah kokon tertinggi sebesar 15 butir per pot pada perlakuan T3B4 yaitu perlakuan jenis tanah Inseptisol dengan rasio tanah dan bahan organik 6:1 berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lain. Pada jenis tanah Vertisol (T1) jumlah kokon tertinggi ditemukan pada pelakuan rasio tanah dan bahan organik 2:1 namun berbeda tidak nyata dengan jumlah kokon yang ditemukan pada ketiga perlakuan rasio yang lain. Tabel 24. Rerata jumlah kokon, jumlah cacing dan kadar air pada 3 minggu setelah inokulasi No.
Perlakuan
Rerata Jumlah Cacing per Pot (ekor) 4,33 bcd
Rerata Kadar Air (%)
1
T1B1
Rerata Jumlah Kokon per Pot (butir) 0,67 a
2
T1B2
0,00 a
3,33 bc
60,66 de
3
T1B3
6,67 a
5,00 bcd
43,23 abc
4
T1B4
6,33 a
5,00 bcd
34,20 a
5
T2B1
1,67 a
4,33 bcd
54,86 d
6
T2B2
0,00 a
2,67 ab
64,76 e
7
T2B3
2,33 a
3,67 bcd
44,40 bc
8
T2B4
5,67 a
4,00 bcd
41,05 ab
9
T3B1
1,33 a
4,67 bcd
50,88 cd
10
T3B2
0,00 a
0,67 a
60,56 de
11
T3B3
3,67 a
5,67 cd
51,18 cd
12
T3B4
15,00 b
6,33 d
34,19 a
55,64 de
Ket: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT T1: Vertisol ;T2 Ultisol ; T3 : Inseptisol, B1: Tanah : pupuk kandang: 1 : 1, B2 : Tanah : pupuk kandang: 1 : 2, B3 Tanah : pupuk kandang: 2 : 1, B4: Tanah : pupuk kandang: 6:1
40
Jumlah kokon pada perlakuan jenis tanah Ultisol yang tertinggi ditemukan pada rasio tanah dan bahan organik 6:1 berbeda tidak nyata dibandingkan dengan perlakuan rasio lainnya. Jumlah cacing tertinggi ditemukan pada perlakuan tanah Inceptisol dengan rasio 6:1 (T3B4) berbeda nyata dengan jumlah cacing yang ditemukan pada dua jenis tanah dengan ketiga perlakuan rasio lainnya. Hal ini diduga kadar air pada perlakuan T3B4 paling rendah sebesar 34,19 % dibandingkan perlakuan lainnya. Hanafiah et al, 2005 mengemukakan populasi cacing tanah meningkat seiring dengan naiknya kelengasan dari 12% hingga 34%. Kulit cacing tanah memerlukan kelembapan yang cukup tinggi agar dapat berfungsi normal dan tidak rusak. Kondisi udara yang terlalu kering mendorong cacing tanah untuk masuk ke dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya mati. Sebaliknaya bila kelembapan terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah akan menghindar untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya baik karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara melalui kulitnya bukan mengambil oksigen dari air. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembang biakan cacing tanah adalah antara 15% sampai 30% (Anonim, 1992). Tabel 25. Populasi fungi dan bakteri pada lahan kering Ultisol Banten saat siap tanam No 1.
2.
Jenis pengamatan
Populasi (…cfu/g...)
Fungi Fungi Total
1 x 107
Fungi pelarut P
-
Bakteri Total Bakteri
1 x 107
Rhizobium sp
1 x 105
Azotobacter sp
1 x 106
Bakteri pelarut P
6 x 1066
Lokasi kegiatan penelitian lapang pada tanah Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan pH tanah masam dan kandungan bahan organik sedang (Tabel 13). Untuk itu pada penelitian ini dilakukan perlakuan amelioran dasar dengan pemberian 5,0 ton pupuk kandang/ha dan 1,0 ton kapur/ha yang dilakukan dengan dicampur dalam tanah bersamaan pengolahan tanah. Percobaan lapang dimulai bulan Oktober 2011.
41
Tabel 26. Tinggi tanaman dan panjang akar tanaman kedelai di Lebak, Banten pada saat berbunga Tinggi tanaman Panjang akar No. Perlakuan ………………. cm…………………. 1.
Kontrol
32,42
b
26,08
c
2.
R
29,46
a
24,17
a
3.
R + CT
34,63
b
25,46
bc
4.
R + CT + BP
33,38
b
26,58
c
5.
R + CT + BP + A
30,92
a
24,67
bc
6.
R + CT + BP + A + FP
31,33
ab
23,79
a
7
CT + A + FP
30,63
a
27,92
c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.
Pengamatan terhadap tinggi tanaman pada saat tanaman kedelai fase berbunga menunjukkan bahwa perlakuan Kontrol, R + CT dan R + CT + BP menunjukkan tinggi tanaman tertinggi dan tidak berbeda nyata dibanding kontrol. Tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan R + CT yaitu sebesar 34,63 cm. Sedangkan akar terpanjang dicapai pada perlakuan CT + A + FP yaitu sebesar 27.92 cm (Tabel 26) . Bobot tanaman segar dan tanaman kering tertinggi juga dicapai pada perlakuan R+CT (Tabel 27) namun perlakuan ini juga tidak berbeda nyata dibanding kontrol. Bahkan perlakuan lain dengan inokulasi mikroba penambat N maupun pelarut P cenderung lebih rendah dibanding kontrol. Sementara jumlah dan bobot bintil akar (Tabel 28) serta berat kering panen kedele (Tabel 29) perlakuan kontrol lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya, namun tidak menunjukkan perbedaan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dasar dengan pemberian bahan organik dan kapur masing-masing sebanyak 5 ton/ha dan 1,0 ton/ha mampu memperbaiki daya dukung tanah untuk pertumbuhan populasi hayati tanah native yang memiliki jumlah populasi cukup tinggi dan pertumbuhan tanaman kedele.
42
Tabel 27. Bobot segar dan bobot kering tanaman kedelai di Lebak, Banten pada saat berbunga. No.
Perlakuan
1.
Kontrol
2.
R
3.
Bobot segar tanaman
Bobot kering tanaman
………………. g/rumpun…………………. 11,13 a
3,31 ab
8,60 a
2,62 a
R + CT
11,73 b
3,36 ab
4.
R + CT + BP
10,39 ab
3,86 b
5.
R + CT + BP + A
9,36 ab
2,57 a
6.
R + CT + BP + A + FP
9,29 ab
2,74 ab
7
CT + A + FP
9,94 ab
2,90 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.
Hal ini juga terlihat bahwa populasi organisme tanah fungsional, seperti bakteri penambat N non simbiotik Azotobacter, bakteri penambat N simbiotik Rhizobium, bakteri pelarut P, dan fungi pelarut P tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan, termasuk pada kontrol yang tidak dilakukan inokulasi (Tabel 30). Tabel 28. Jumlah bintil dan bobot segar bintil akar pada tanaman kedelai saat berbunga No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7
Perlakuan Kontrol R R + CT R + CT + BP R + CT + BP + A R + CT + BP + A + FP CT + A + FP
Jumlah bintil
Bobot segar bintil
…… butir/rumpun…..
…….. g/rumpun….
16,33 10,17 14,75 15,25 13,25 11,83 8,08
A a a a a a a
0,31 0,18 0,29 0,37 0,22 0,18 0,19
b a a b a a a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.
43
Tabel 29. Bobot brangkasan dan bobot kering biji kedelai panen (kadar air 12%) di Lebak, Banten No.
Perlakuan
Bobot brangkasan kering panen
Bobot kedelai kering (kadar air 12%)
………………. ton/ha…………………. 1.
Kontrol
0,66 a
1,09 a
2.
R
0,49 a
1,01 a
3.
R + CT
0,61 a
1,00 a
4.
R + CT + BP
0,66 a
1,37 a
5.
R + CT + BP + A
0,46 a
0,83 a
6.
R + CT + BP + A + FP
0,51 a
1,01 a
7
CT + A + FP
0,65 a
0,93 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % R: Rhizobium sp, CT: cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A: Azotobacter sp, FP: fungi P.
Dari hasil ini menunjukkan perlakuan inokulasi organisme tanah (biofertilizer) kedalam suatu habitat (tanah) hendaknya juga diikuti dengan perlakuan perbaikan habitat yang mampu memberikan dukungan untuk kehidupan/aktivitas dari organisme target tersebut. Demikian juga apabila di dalam tanah telah tersedia organisme alami (native) yang memadai perlakuan pemberian/pengkayaan organisme tanah dari luar (pemupukan hayati) tidak perlu dilakukan. Untuk itu sebelum perlakuan pemupukan dengan pupuk hayati (biofertilizer) hendaknya dilakukan pengamatan terlebih dahulu akan ada tidaknya organisme target yang dibutuhkan. Tabel 30. Perkembangan populasi biologi tanah setelah panen kedelai No.
Perlakuan
Rhizobium (cfu/g)
Azotobacter (cfu/g)
Bakteri P (cfu/g)
Fungi P (cfu/g)
1.
Kontrol
2,57.105
5,72.106
1,17.105
2,63.105
2.
R
2,00. 104
5,27. 105
1,00. 104
7,03. 105
3.
R + CT
1,33.104
4,15.106
5,48.106
2,77.105
4.
R + CT + BP
2,39.107
4,61.106
4,33.105
3,35.106
5.
R + CT + BP + A
1,67.107
9,69.107
2,00.104
8,33.105
6.
R + CT + BP + A + FP
1,65.107
2,2.107
1,73.106
5,37.105
7
CT + A + FP
1,33.104
1,07.107
3,07.107
1,33.104
Keterangan : R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.
44
V. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Lahan dengan tampilan vegetasi subur, menghasilkan kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relatif lebih tinggi daripada lahan dengan tampilan vegetasi sedang dan kurang subur.
2.
Total populasi fauna tanah pada lahan upland dengan pola TOT (tanpa olah tanah) relatif lebih tinggi dibanding populasi fauna tanah pada lahan yang diolah yang mendapat pengolahan tanah yang lebih intensif.
3.
Populasi cacing tanah dan kokon pada perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara vertikal ( B2 ) lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara horizontal di permukanaan tanah (B1)
4.
Media perbanyakan (rearing cacing tanah) endogaesis Pheretima hupiensis terbaik adalah 6 bagian berat tanah dibanding 1 bagian berat pupuk kandang.
5.
Organisme fungsional yang memiliki pengaruh penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah Ultisol Banten adalah cacing tanah, Rhizobium, Azotobacter, dan fungi/bakteri pelarut P.
6.
Hasil isolasi mikroorganisme tanah diperoleh 5 isolat yaitu 2 isolat Azotobacter, 2 isolat, 1 isolat Rhizobium sp, 1 isolat fungi pelarut P, dan 1 isolat bakteri pelarut P.
7.
Perlakuan inokulasi mikroba tanah fungsional pada tanah Ultisol Banten yang telah memiliki populasi organisme tanah fungsional memadai tidak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman kedelai.
8.
Aplikasi pupuk hayati ke dalam tanah hendaknya juga diikuti perlakuan ameliorasi untuk perbaikan habitat dalam menyediakan hara dan energi bagi organisme fungsional target.
45
VI. PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN 1.
Pemberdayaan sumberdaya hayati tanah sebagai salah satu pelaku ekosistem tanah untuk meningkatkan produktivitas tanah pertanian, melalui peran agen hayati tanah akan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan ataupun pemanfaatan bahan organik tanah, sehingga biaya pengelolaan lahan lebih murah dan lestari. Diketahuinya pola keseimbangan ekosistem tanah yang ideal untuk produksi pertanian akan dapat memberdayakan sumberdaya alam yang ada secara optimal dengan biaya produksi yang lebih murah.
2.
Upaya rehabilitasi lahan terdegradasi dengan memanfaatkan peran organisme tanah yang merupakan salah satu komponen penting dalam mempengaruhi dinamika kesuburan tanah, maka efisiensi input yang diberikan dapat diarahkan selaras dengan target rehabilitasi/perbaikan yang ingin dicapai. Pemberian input hendaknya disesuaikan dengan tahapan kesiapan subsistem tanah yang sedang berlangsung dan diarahkan pada target rehabilitasi yang direncanakan. Pemberdayaan lahan–lahan terdegradasi dapat dilakukan secara tepat sesuai dinamika subsistem tanah yang berlangsung, sehingga pemberian input dapat lebih efisien dan sesuai dengan phase peruntukan dan perbaikan produktivitas dapat lebih cepat dicapai.
3.
Penyempurnaan sistem evaluasi kesesuaian lahan dengan melibatkan parameter hayati tanah yang berperan penting dalam menentukan produksi tanaman akan dapat memaksimalkan peranan sumberdaya hayati tanah yang memiliki pengaruh positif terhadap produksi tanaman dan menekan secara proporsional organisme tanah yang berperan sebagai hama-penyakit tular tanah. Dengan pendekatan ini, maka tata ruang peruntukan lahan akan lebih rasional dan efisien sesuai dengan kondisi riil daya dukung sumberdaya tanah di Indonesia yang berada di kawasan megabiodiversity tropika basah.
4.
Pengembangan populasi pupuk hayati dalam upaya meningkatkan efisiensi pemupukan, meningkatkan produktivitas, dan keamanan lingkungan. Tersedianya isolat hayati tanah unggul dapat dimanfaatkan sebagai baku untuk formulasi pupuk hayati untuk berbagai tipologi lahan, jenis tanah dan jenis komoditi.
46
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction of Soil Microbiology. John Wiley and Sons, New YorkChichester-Brisbane-Toronto-Singapore, 467 p. Anwar, E.K. 2007. Pengaruh Inokulan Cacing Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Kesuburan dan Produktivitas Tanah Ultisols. Jurnal Tanah Tropika , Vol. 12, No. 2, p: 121 – 130. Djaenudin, D., Marwan, H., Subagjo, H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian, 154 p. Edwards, C.A., and J.R.Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press Boo, John Wiley & Sons, New York. 333 p. Elliot, P.W., D.Knight,and J.M.Anderson.1991.Variables Controlling Denitrification from Earthworm Cast and Soil in Permanent Pastures. Biol. Fertil. Soils 11p:24 - 29 Giller. K.E., M.H. Beare, P. Lavelle, A.M.B. Izac, and M.J. Swift. 1997. Agricultural Intensification, Soil Biodiversity, and Agroecosystem Function. Applied Soil Ecology, 6 (1997), p: 3 – 16. Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humic Tropics. United Nations University Press, Tokio-New York-Paris, p: 25 – 29. Las, I. dan D. Setiorini. 2010. Kondisi Lahan, Teknologi, Arah dan Pengembangan Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik. Semnas Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor 24 Februari 2010. 47 p. Martin, A. 1991. Short and Long-term Effects of Endogeic Earthworm Milsonia anomala (Omodeo) (Megascolecidae, Oligochaeta) of Tropical Savanna, on Soil Organic Matter. Biol. Fertil. Soils 11 : 234 – 238 Prihastuti. Sudaryono dan Tri Wardani 2006. Kajian mikrobiologis pada lahan kering masam. Lampung. Agritek Vol. 14. no. 5. ISSN 0852-5426. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Institut Pertanian Malang. Malang. Hal. 1110-1125. Rao, S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan pertumbuhan Tanaman. Penerbit Indonesia, 354 p.
Universitas
Stork, N.E., and P. Eggleton. 1992. Invertebrates as determinants and indicators of soil quality. American Jour. of Alternative Agriculture, Vol.7, No.1 and 2, p: 38– 47.
47
Subandi, M. Adie, A. Kasno, Sukarman, dan A. Harsono. 2009. Percepatan pelepasan calon varietas kedelai dan perakitan teknologi dengan konsorsium kedelai. Laporan Akhir 2009. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Subowo, I. Anas, G. Djajakirana, A. Abdurachman, dan S. Hardjowigeno. (2002). Pemanfaatan Cacing Tanah untuk Meningkatkan Produktivitas Ultisols lahan Kering. Jurnal Tanah dan Iklim, No. 20, Desember 2002, p: 35 – 46. Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate Soil and Crop Production in Humic-tropics. Kualalumpur, Oxford University Press. London. Yusnaini, M.A.S. Arif, J. Lumbanraja, S.G. Nugroho, dan M. Monaha. 2004. Pengaruh Jangka Panjang Pemberian Pupuk Organik dan Inorganik serta Kombinasinya Terhadap Perbaikan Kualitas tanah Masam Taman Bogo. Pros. Semnas. Pendayagunaan Tanah masam, Buku II, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, p: 283 – 293.
48