Laporan Akhir
Penggunaan Microscopic Observation Drug susceptibility assay (MODS) untuk diagnosis dan tes sensitivitas TB pada pasien TB dan TB-HIV di Yogyakarta: analisis fisibilitas dan cost-efektivitas (The use of Microscopic Observation Drug susceptibility assay (MODS) for Diagnosis and susceptibility testing of TB in TB and TB-HIV patients in Yogyakarta: feasibility & cost-effective analysis)
Dr. Yanri WIjayanti Subronto, PhD, SpPD Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito Jl. Kesehatan no. 1 Yogyakarta 55284 Tel: 0274 – 553119 Ning Rintiswati, SU Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Sekip Utara Yogyakarta 55281
1
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan dunia karena menyebabkan 1,7 kematian per tahun dan 8 juta kasus baru. Indonesia menduduki rangking ketiga setelah China dan India dalam hal jumlah penderita TB di dunia. Adanya strain M. tuberculosis yang resisten terhadap beberapa dan banyak obat anti-TB (multidrug dan extensive drug resistant) menambah beratnya upaya penanggulangan TB. Selain itu, TB merupakan infeksi oportunistik yang banyak diderita pasien dengan HIV yang mana hal ini memperburuk luaran untuk pasien, baik klinis TB maupun HIV-nya. Salah satu penyebab kegagalan penanggulangan TB adalah tidak tersedianya metode diagnostik dan tes sensitivitas obat yang cepat, simple dan dapat diandalkan. Saat ini diagnosis menggunakan pemeriksaan sputum BTA yang tingkat keberhasilannya sekitar 60%, sementara kultur M. tuberculosis memerlukan waktu cukup lama untuk sampai dinyatakan positif sehingga terjadi keterlambatan pemberian terapi. Sehingga saat ini diperlukan alat diagnsotik cepat dan sederhana dengan haga terjangkau. Metode pemeriksaan Microscopic Observation Drug Susceptibility (MODS) akhir-akhir ini dilaporkan sebagai tes diagnostik yang cukup cepat dan sederhana. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MODS mempunyai sensitivitas 97,8 & dan sensitivitas 99,6% terhadap standard baku. Hasil kultur dengan MODS memerlukan waktu yang cukup pendek dan memakan biaya yang cukup murah. Akan tetapi sampai sekarang belum pernah ada penelitian di Indonesia yang melihat fisibilitas dan costefektivitas dari metode ini.
2
Perumusan Masalah TB merupakan masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia, terlebih lagi hingga saat ini belum ada metode diagnostik yang cepat, sederhana, dengan harga yang terjangkau. Sementra TB juga merupakan sering juga merupakan infeksi oportunistik pada yang sering terjadi pada penderita HIV. Diagnosis TB baik pada pasien HIV maupun non-HIV masih lebih cukup sulit sehingga diperlukan metode yang cepat, lebih sensitifve tapi tetap sedehana dan cukup terjangkau. Metode pemeriksaan dengan MODS akhir-akhir ini diketahui mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik dengan waktu yang pendek, metode yang sederhana dan harga cukup terjangkau. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang fisibilitas dan cost-efektivitas metode MODS yang dilakukan di Indonesia. Penelitian ini berusaha untuk melihat fisibiitas dan cost-efektivitas dari MODS di laboratorium di Yogyakarta. Apabila metode ini terbukti bisa dikerjakan di laboratorium di sini, mungkin bisa diupayakan untuk menjadi kebijakan dari tingkat pusat. Tujuan Penelitian 1. Mempelajari fisibilitas penggunaan metode MODS di laboratorium di Yogyakarta 2. mempelajari cost-efektivitas metode MODS untuk diagnosis TB 3. mempelajari penerimaan/persepsi dari para tehnisi laboratorium
3
Tinjauan Pustaka Tuberkulosis(TB) masih menjadi masalah kesehatan yang utama baik di Indonesia maupun di dunia. Setiap tahun terjadi sekitar 8 juta infeksi / kasus baru dengan kematian sekitar 3 juta. TB, bersama Malaria dan HIV/AIDS merupakan tiga penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia sehingga banyak sekali program yang ditujukan untuk ketiganya (program ATM = AIDS, Tuberculosis, Malaria). Meskipun TB sudah diketahui sejak tahun 1882 oleh Robert Koch tetapi sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan utama. Dan terlebih sejak adanya epidemi HIV, kasus TB menjadi bertambah lebih banyak ditemukan di beberapa negara. Salah satu kendala lain dalam penanggulangan TB adalah tidak adanya alat diagnostik yang cepat, sederhana dan dapat diandalkan. Saat ini diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA (bakteri tahan asam) sputum dan dengan standar bakunya dengan kultur Lowenstein-Jensen (L-J). Pemeriksaan BTA mikroskopik sering memberikan hasil negative, sedangkan pemeriksaan kultur L-J memerlukan waktu 6-8 minggu hingga koloni terlihat dan menyatakan positif atau negative. Beberapa tahun terakhir ini banyak pusat penelitian melakukan berbagai penelitian untuk mencari alat / metode diagnostik TB yang cepat dan sederhana. Metode kultur cair MODS (Microscopic-observed drug susceptibility assay) akhir-akhir ini diketahui bisa untuk diagnosis TB secara lebih cepat dibanding metode kultur lain dengan harga yang lebih murah. Metode kultur cair yang disebut dengan MODS ini ditemukan oleh Luz Caviedes saat melakukan eksperimen di laboratorium di Lima, Peru. MODS ini dikembangkan berdasarkan atas tiga prinsip utama, yaitu: 1. M. Tuberculosis tumbuuh lebih cepat pada media cair daripada media padat; 2. pada media cair, M.
4
Tuberculosis tumbuh dengan karakteristik tangles and cording, yaitu membentuk cord factor, yang dapat terlihat di bawah mikroskop; 3. penambahan obat-obat anti-TB dalam media kultur sejak awal dapat digunakan sebagai tes sensitivitas sampel sputum sekaligus bersamaan (Caviedes & Moore, 2007). Setelah ditemukan, metode ini diteliti lebih lanjut sebagai penelitian operasional di Peru dengan melibatkan 3760 sampel sputum dari pasien TB, suspek TB dan TB-HIV dan membandingkan tiga metode kultur yaitu MODS, automated technique dan kultur L-J. Hasilnya didapatkan sensitivitas untuk ketiga metode tersebut, secara berurutan 97,8%, 89% dan 84%. Waktu yang diperlukan untuk sampai konfirmasi hasil adalah 7 hari (MODS), 13 hari (autmomated technique) dan 26 hari (kultur L-J). Waktu untuk hasil sensitivitas obat adalah 7 hari (MODS), 22 hari (automated technique) dan 68 hari (kultur L-J) (Moore et al., 2006). Bwanga et al. melakukan penelitian meta analisis tentang berbagai metode tes sensitivitas obat-TB pada kasus multidrug resistance TB. Didapatkan 18 penelitian yang dikaji dengan rincian studi menggunakan tehnik pemeriksaan RNA (4 penelitian), MODS (6 penelitian), genotype MTB-DR (3 penelitian) dan genotype MTBDR plus (5 penelitian). Dari hasil kajian tersebut didapatkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas ke-empat metode pemeriksaan tersebut adalah cukup tinggi, rata-rata di atas 90%, sehingga dapat digunakan untuk diagnosis cepat MDR-TB (Bwanga et al., 2009). Di Indonesia, diagnosis TB adalah dengan menggunakan pemeriksaan BTA mikroskopik secara SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) dan secara teori dilakukan konfirmasi dengan kultur BTA pada media padat Lowenstein-Jensen. Beberapa hambatan dari metode tersebut adalah tidak kembalinya pasien untuk diambil sputumnya untuk kedua kalinya dan lamanya waktu untuk mendapatkan hasil kultur sehingga tidak banyak dokter yang
5
langsung memintakan kultur BTA. Hal ini perlu mendapat perhatian dan dicarikan solosinya. Metode MODS seperti yang diulas di atas mungkin bisa digunakan untuk membantu masalah tersebut. Akan tetapi metode tersebut belum pernah diujikan di Indonesia, baik untuk uji fisibilitas di laboratorium maupun operasionalnya. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari fisibilitas dan operasional MODS untuk digunakan di Indonesia.
6
Materi dan Metode Desain penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian operasional untuk mempelajari fisibilitas, cost-efektivitas, kepraktisan dan penerimaan metode pemeriksaan MODS untuk digunakan di laboratorium di Indonesia. Sampel penelitian: sputum dari penderita TB dengan atau tanpa koinfeksi HIV Subyek penelitian: pasien TB dengan atau tanpa koinfeksi HIV Responden: tehnisi laboratorium mikrobiologi Jalannya penelitian: 1. Dilakukan persiapan dan studi standarisasi di Laboratorium Mikrobiologi FKUGM 2. Dilakukan pelatihan untuk tehnisi laboratoriium dari Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan BLK Semarang 3. Pemeriksaan oleh para tehnisi dari ketiga laboratorium dengan sumber sampel sputum dari Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, BP4 Propinsi DIY dan BP4 Semarang 4. Subyek penelitian diambil dari Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito, BP4 Yogyakarta dan Semarang. Sampel sputum diambil dari masing-masing subyek untuk kemudian dikiirim ke laboratorium mikrobiologi di Bagian Mikrobiologi FK-UGM, Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang. 5. Di masing-masing laboratoriuml sampel penelitian akan dilakukan homogenisasi untuk kemudian dibagi menjadi 3, yaitu 1. untuk pemeriksaan BTA dengan
7
pengecatan ZN dengan protokol standar.; 2. untuk pemeriksaan kultur Lowenstein-Jensen; 3. untuk pemeriksaan kultur MODS. 6. Pada tahap akhir penelitian dilakukan Focus Group Discussion tentang persepsi dan penilaian terhadap metode pemeriksaan MODS. Protokol pemeriksaan: protokol penanganan sampel dan kultur dengan Lowensten Jensen aalah sesuai protokol standar dan perotokol metode MODS terlampir. Analisa Data: data yang didapat berupa 1. data klinis pasien TB dengan atau tanpa HIV; 2. hasil pemeriksaan mikroskopis BTA; 3. hasil pemeriksaan kultur MODS; 4. hasil pemeriksaan keultur Lowensterin-Jensen; 5. waktu tumbuh dari kultur L-J dan MODS; 6. biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan; 7. hasil Focus Group Discussion untuk persepsi terhadap MODS Beberapa Definisi Operasional. Studi Fisibilitas akan dinilai dari: 1. ada tidaknya alat dan bahan yang diperlukan 2. kepraktisan metode 3. penerimaan dan persepsi metode ini oleh tehnisi laboratorium Studi Cost-efektivitas akan dinilai dari: 1. harga bahan dan alat 2. peralatan yang digunakan 3. waktu untuk melaksanakan pemeriksaan 4. jam orang yang diperlukan Hasil Penelitian Tahap Pertama
8
STANDARDISASI PROTOKOL 1.Pemilihan Metode Dekontaminasi dan dekonsentrasi Proses dekontaminasi dekonsentrasi dilakukan denagn maksud untuk mengurangi pertumbuhan bakteri flora normal dan kontaminan pada specimen. Telah dilakukan beberapa pengujian cara homogenisasi dan dekontaminasi untuk MODS yakni menggunakan Petrof Methods, NAOH-Na citrat-NALC dan modifikasi cara Kubica. Masing-masing metode dilakukan untuk 10 sampel berbeda. Evaluasi dilakukan dengan menginokulasi sisa pellet pada medium agar darah dan Mac. Conkey.
Cara
dekontaminasi yang dipilih adalah yang paling rendah jumlah kuman yang tumbuh pada kedua medium tersebut. Diantara ketiga metode yang paling sesuai adalah NaOH/Na citrate-NALC. 2. Standardisasi Metode inokulasi Menurut Luz Caviedes dkk terdapat 3 prinsip utama metode MODS yakni : bahwa M.tuberculosis tumbuh lebih cepat pada medium cair daripada pada medium padat, pada medium cair akan membentuk tali (cord) yang dapat diamati lebih awal, dan pemeriksaan uji kepekaan kuman dapat dilakukan pada medium cair. Pada penelitian ini dilakukan beberapa protokol yang berbeda dalam hal: -
kontainer : plate 24 lubang, plate 96 lubang dan botol tutup ulir ukuran 3 ml
-
perbandingan pellet (hasil dekontaminasi dan dekonsentrasi) dengan medium cair
-
inkubasi : menggunakan CO2 dan tanpa CO2
-
konsentrasi PANTA
-
cara inokulasi pada plate
9
setelah uji coba pada l12 sampel dapat ditentukan bahwa cara yang paling ideal adalah dengan plate 24 lubang dengan perbandingan pellet yang telah dilarutkan menjadi 2 ml ditambah medium 5, 2 ml MB7H9+OADC(mengandung 200ul PANTA) yang dibagikan pada masing-masing sumuran @ 900ul. Inkubasi tidak perlu menggunakan CO2, konsentrasi PANTA ditingkatkan menjadi 4%, dan cara inokulasi pada plate. Protokol Kerja yang sudah disepakati terlampir. Tahap Kedua PELATIHAN Salah satu kegiatan yang direncanakan dalam proposal penelitian adalah Pelatihan petugas laboratorium dari Laboratorium Kesehatan Daerah (BLK) dan Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) di propinsi DIY dan sekitarnya. Tujuan pelatihan adalah untuk memberi pengetahuan dan ketrampilan yang baru kepada petugas laboratoriumtentang metode kultur M. tuberculosis dengan media cair. Setelah pelatihan, diharapkan petugas tersebut ikut dalam terlibat dalam penelitian dengan menggunakan sampelnya sendiri dan kemudian kami wawancara untuk mengetahui persepsi para petugas terhadap metode tersebut. Dalam wawancara juga ditanyakan kemungkinan metode tersebut bisa diterapkan dalam laboratorium mereka. Jumlah peserta adalah 12 orang yang bersal dari BP4 Semarang, BLK Semarang, BP4 Jogjakarta, BLK Jogjakarta, dan BBKPM Surakarta. Peserta tambahan adalah dari Univ Padjajaran / RS Hasan Sadikin, Bandung. Pelatihan diadakan selama 2 hari dimana pada hari pertama diberikan materi secara ringkas tentang Tuberculosis, metode diagnosis mikrobiologis untuk M. Tuberculosis, serta metode MODS. Setalah teori, peserta menjalani praktikum, dimana yang pertama adalah pembuatan media dan hmogenisasi.
10
Hari kedua, peserta menjalani praktikum dengan melihat hasil dari kultur yang sudah tersedia di bawah mikronskop inverted. Pengisi materi adalah Dr. Yanri, Bu NIng Rintiswati, Sdr. Linda dan Sdr. Sunyi (Materi pelatihan terlampir). Pada akhir pelatihan dilakukan diskusi khusus untuk penelitian yang akan dikerjakan oleh masing-masing laboratorium. Tahap Ketiga Implementasi Metode MODS di BLK Jateng dan BLK DIY dan Pengambilan Data Penelitian Setelah dilakukan pelatihan dilakukan uji coba metode MODS sesuai protokol yang telah dikembangkan di laboratorium Mikrobiologi FK UGM di BLK Jawa Tengah dan BLK DIY. Semua bahan dan peralatan yang diperlukan telah dikirim ke BLK dan BP4 Yogyakarta dan Semarang.
1. Hasil pemeriksaan BTA, kultur MODS dan kultur Lowenstein-Jensen di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM Laboratorium Mikrobiologi FK-UGM melakukan pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J terhadap 138 sampel. Dari 138 sampel, 103 memenuhi syarat untuk analisis. Ke 103 sampel ini diperoleh dari … 103 penderita suspek TB paru, …. 3 ( %) dengan HIV pos. Sebanyak 7 pasien dengan HIV dengan suspek TB tidak bisa mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan.
11
Tabel 1. Hasil pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di laboratorium Mikrobiologi FK-UGM
No
Hasil Pemeriksaan
Frekuensi
%
1
Mikroskopik pos, MODS pos, LJ neg
16/103
15.53
2
Mikroskopik pos, MODS pos, LJ pos
35/103
33.98
3
Mikroskopik neg, MODS pos, LJ pos
6/103
5.82
4
Mikroskopik pos, MODS neg, LJ pos
3/103
2.91
5
Mikroskopik neg, MODS neg, LJ pos
6/103
5,82
6
Mikroskopik pos, MODS neg, LJ neg
5/103
4.85
7
Mikroskopik neg, MODS neg, LJ neg
32/103
30.19
Pemeriksaan MODS disini menggunakan metode yang telah dimodifikasi yaitu dengan cara melakukan pengecatan ZN dari botol kultur MODS dan mencari cord-factor. Total mikroskopik positif adalah 59 dari 103 sampel (57,28%). Total hasil L-J positif adalah 50 (48,54%) dan MODS positif 57 atau 55,33%. Dari hasil tersebut proporsi terbesar adalah dari pemeriksaan ketiganya positif (33,98%). Proporsi hasil mikroskopik negatif, L-J positif dengan MODS positif atau negatif adalah sama, yaitu 5,82%. Proporsi mikroskopik negative, MODS negative dan L-J negative adalah 30,19%. Pada kelompok mikroskopik negatif, pemeriksaan MODS, bersama L-J meningkatkan 5,82% positivity.
Kontaminasi
12
Kontaminasi merupakan masalah yang sering terjadi pada pemeriksaan kultur. Media OADC yang digunakan dalam metode MODS merupakan metode yang ‟kaya‟ sehingga dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan. Hal ini kadang menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme kontaminan. Sehingga prosentase kontaminasi pada MODS sedikit lebih tinggi daripada L-J (10.86% vs 7.25%). Sementara prosentase kontaminasi pada kedua metode hanya 7.25%. Sehingga total prosentase kontaminasi adalah 25.36%. Prosentase yang tinggi tersebut terjadi terutama pada awal penelitian yang kemudian dapat diatasi sejalan dengan waktu penelitian. Metode MODS sebenarnya mempunyai kelebihan berupa minimalisasi kontaminasi dengan cara kultur dalam ‟sealed-plate‟ dan hanya melihat pertumbuhan koloni di bawah inverted microscop tanpa membuka ‟plate‟. Hanya saja perlu diingat bahwa tidak semua laboratorium mempunyai fasilitas inverted microscope dan harga plate (terutama yang sekali pakai) relatif mahal. Tabel 2. Prosentase kontaminasi pada pemeriksaan MODS dan L-J No
Pemeriksaan
Juml
%
1 2 3 4
MODS LJ LJ, MODS Total kontaminasi
15/138 10/138 10/138 35/138
10.86 7.25 7.25 25.36
2. Hasil pemeriksaan di BLK DIY dan Semarang Setelah mendapatkan training tentang MODS dan tentang penelitian ini maka kedua BLK mulai melakukan pemeriksaan MODS terhadap sampel peneletian yang datang dari BP4 Yogyakarta dan Semarang yang telah ditunjuk sebagai institusi yang bekerja sama.
13
BLK Yogyakarta berhasil mendapatkan 14 sampel yang dapat diperiksa. Ke 14 sampel ini diperoleh dari pasien suspek TB paru ,…. % tanpa ada pasien dengan HIV positif. untuk ketiga metode pemeriksaan, dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di BLK Yogyakarta no 1 2 3 4 5
Hasil Pemeriksaan (n=14) Mikroskopik pos, MODS pos, LJ pos Mikroskopik pos, MODS neg, LJ pos Mikroskopik neg, MODS pos, LJ pos Mikroskopik neg, MODS neg. LJ pos Mikroskopik neg, MODS neg, LJ neg Total diperiksa
Positif Negatif Kontaminasi
Jumlah (%) 0 0 2 (14.28) 0 12(85.71) 14
LJ
AFB (n=14)
MODS
20 142
0 14
2 12
14
14
14
Tolong dijelaskan bahwa secara prinsip sampel kurang banyak, belum bisa mewakili yang AFB pos. Dari table tersebut terlihat bahwa pada sampel dengan mikroskopik negatif, pemeriksaan MODS dan L-J meningkatkan 14,28% positivitas. Sementara sebanyak 85,71% adalah negatif dengan ketiga metode pemeriksaan. Jumlah sample tersebut di atas terlalu sedikit sehingga belum bisa mewakili populasi AFB positif.
14
BLK Semarang mendapatkan 20 sampel penelitian tetapi hanya 17 yang dapat dianalisis mikrobiologis. Ke 17 sampel ini diperoleh dari penderita TB paru dan … % adalah HIV positif.
Tabel 4. Pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di BLK Semarang
Positif Negatif Kontaminasi
L-J
AFB (n=17)
MODS
150 217
0 17
02 175
Kalau ada kontaminasi sebaiknya dimasukan juga aja. Tabel 4. Pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J di BLK Semarang no 1 2 3 4 5 6
Hasil Pemeriksaan (n=17) Mikroskopik pos, MODS pos, LJ pos Mikroskopik pos, MODS neg, LJ pos Mikroskopik pos, MODS pos, LJ neg Mikroskopik neg, MODS pos, LJ pos Mikroskopik neg, MODS neg. LJ pos Mikroskopik neg, MODS neg, LJ neg Total diperiksa
Jumlah (%) 15 (88.23) 0 2 (11.76) 0 0 0 17
Didapatkan bahwa 15 dari 17 sampel (88,23%) mendapatkan hasil mikroskopik positif, MODS positif dan L-J positif. Pada kelompok mikroskopik negatif, pemeriksaan MODS dan L-J tidak banyak menaikkan tingkat positivitas; hanya 2 (11,76%) dengan MODS positif L-J negatif.
3. Biaya dan waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan mikroskopik, MODS dan L-J 15
Biaya bahan untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan ada tertulis dalam table dibawah ini.
Tabel 5. Harga dan lama pemeriksaan mikrokopik, MODS, dan L-J No 1
Pemeriksaan
Harga pemeriksaan Lama pemeriksaan (Rp per sampel) 30.000,2-3 hari
Mikroskopik (SPS) 2 LJ 25.000,3 MODS 50.000,SPS = sewaktu-pagi-sewaktu
4-6 minggu 10-14 hari
16
Kalau bias table dibuat lebih informatif seperti ini : Table 6. Rincian Biaya bahan-bahan unutuk pemeriksaan 100 spesimen BTA, LJ dan MODS No
Bahan Satuan
ZN 1000 pemeriksaan Slide H2SO4,
1. 2.
Bahan habis pakai Bahan cair & reagens
3 3.4
Total Total harga / jumlah 30.000 pemeriksaan
LJ 70 pemeriksaan
MODS 300 pemeriksaan
Tabung reaksi Telur 6 butir Botl 7h9 (… Malacite green … gram) Rp. gram 500.000
25.000
50.0000
Lama pemeriksaan didefinisikan sebagai lamanya waktu yang diperlukan antara saat inokulasi hingga dinyatakan positif. Untuk pemeriksaan MODS, cord factor sudah bisa mulai terlihat pada hari ke-empat sejak inokulasi dan konfirmasi hasil adalah pada hari ke-sepuluh hingga ke-empatbelas. Sementara pada kultur L-J, waktu yang tercepat untuk bisa terlihat koloni adalah 4 minggu. Perlu dicatat bahwa ada kemungkinan sebagian hasil kultur L-J yang dinyatakan negatif pada minggu ke-4 tersebut akan menjadi positif pada minggu-minggu berikutnya (minggu ke-6-8 sesuai pedoman WHO). Perbedaan utama dari kultur MODS dan L-J adalah bentuk media, dimana MODS adalah dengan bentuk media cair dan bening, sementara L-J adalah berupa media solid. Pada kultur L-J, diperlukan waktu yang panjang untuk sampai hasil dibaca, yaitu sampai terbentuknya koloni di permukaan media. Sementara dengan media cair dan bening, pertumbuhan kuman dan penbentukan cord factor sudah bisa terlihat pada 1 minggu pertama.
17
Untuk biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan per sampel, kultur dengan L-J adalah lebih murah dibandingkan MODS. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut adalah bahan baku dan alat yang digunakan. Bahan baku untuk kultur L-J adalah sudah „home made atau in-house made) yang artinya sudah tersedia dan cukup mudah penyiapannya. Tempat/wadah yang digunakan juga cuma berupa botol gelas yang bisa dipakai ulang. Sementara bahan baku kultur MODS berbeda dengan L-J. Untuk komponen OADC, bahan baku sudah berupa semacam paket yang harganya sekitar Rp. 800.000,- yang bisa digunakan untuk sekitar 100 sampel. Komponen yang cukup mahal lain adalah PANTA yaitu campuran bari beberapa antobiotika, yang harganya sekitar Rp. 1.2000.000,- yang bida untuk 100 sampel. Sehingga dari dua komponen tersebut harga per sampel adalah Rp. 20.000,-. Tempat untuk kultur MODS adalah dengan „24-well sealed-plate´yang harganya sekitar Rp. 40.000,- yang bisa digunakan untuk 2 sampel. Apabila ditambahkan semua maka harga per sampel adalah sekitar Rp. 40.000,-. Apabila ditambah hal-hal kecil lain, maka total biaya per sampel adalah Rp. 50.000,-. Perlu mendapat perhatian adalah harga kultur MODS yang relatif lebih tinggi ini adalah untuk mendapatkan hasil yang cukup jauh lebih cepat dibandingkan dengan kultur L-J (410 hari vs 4-6 minggu).
4. Fisibilitas penggunaan MODS di laboratorium Untuk menilai fisibilitas metode MODS untuk dilaboratorium dilakukan beberapa penilaian secara obyektif dan subyektif. Penilaian obyektif adalah terhadap ketersediaan dan atau kemudahan adanya alat dan bahan (sebagian sudah diulas di atas). Sementara
18
penilaian secara subyektif adalah dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) pada tehnisi laboratorium. Secara obyektif, MODS memerlukan peralatan yang belum menjadi standar dan tersedia di semua laboratorium di Indonesia, yaitu inverted microscope dan 24-well sealed-plate sehingga perlu dilakukan modifikasi protokol MODS untuk bisa digubakan. Selain itu, para tehnisi belum terbiasa melihat „cord factor‟ di bawah mikroskop, sehingga perlu pelatihan dan praktek terus menerus supaya terbiasa. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terhadap 5 tehnisi laboratorium BLK Jawa Tengah yang terlibat dalam penelitian ini. Diskusi dilakukan di ruang laboratorium dalam suasana yang cukup nyaman. Tujuan FGD adalah untuk: 1. mendapatkan gambaran persepsi para tehnisi terhadap metode kultur cair MODS (modifikasi). Persepsi yang ditanyakan adalah meliputi aspek kemudahan, kepraktisan, keamanan, dan kemungkinan menganjurkan untuk tehnisi lain di masa mendatang. 2. mendapatkan data tentang ”waktu” yang dibutuhkan untuk mengerjakan pemeriksaan sampel, dari mulai persiapan bahan hingga penanganan limbah Hasil Focus Group Discussion adalah: a.
Secara umum para tehnisi mengatakan bahwa metode kultur cair modifikasi ini cukup mudah untuk dipelajari dan dilakukan. Akan tetapi mereka juga mengatakan bahwa mereka perlu pelatihan yang lebih intensif selama beberapa hari sampai merasa cukup terampil.
19
b.
Untuk persiapan bahan, metode MODS bisa cukup mudah karena bahan-bahan sudah berupa kit sehingga tidak perlu meracik dan menimbang berbagai bahan. Selain itu tehnisi sedikit mengalami kesulitan untuk membagi sampel dan memasukkannya dalam sumuran plate, dikatakan bahwa hal tersebut hanya karena ‚belum terbiasa‟.
c.
Secara umum persepsi tentang „kemudahan“ antara kultur Lowenstein-Jensen dan MODS adalah bahwa metode MODS lebih mudah dibanding L-J.
d.
Untuk metode L-J dikatakan „lebih repot“ terutama kalau terjadi kontaminasi, dimana harus melakukan pemisahan kultur kemudian dilakukan dekontaminasi. Pada tahun 2009, kejadian kontaminasi dengan L-J adalah sekitar 5%.
e.
Untuk masalah „keamanan kerja“ dirasa tidak ada perbedaan antara kultur L-J dan MODS. Pemeriksaan MODS sebenarnya lebih aman bila dilakukan dengan plate yang tertutup karena tidak perlu ada kontak aerosol dengan spesimen. Di BLK Jawa Tengah tidak terdapat masker (yang selalu mudah diakses) yang dispossible, dan tingkat laboratorium mikrobiologi adalah BSC level 3
f.
Hasil FGD tentang „waktu“ yang dibutuhkan untuk pemeriksaan. Pertanyaan yang diajukan adalah untuk menghitung beban kerja dalam arti alokasi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan 10 sampel dengan pengecatan ZN, kultur MODS dan kultur L-J. Secara ringkas, waktu yang dibutuhkan untuk masingmasing pekerjaan adalah sebagai berikut (Tabel 7):
Tabel 76. Waktu yang diperlukan untuk persiapan bahan hingga pembacaan hasil ZN
MODS
L-J
20
Persiapan bahan
1 jam
4 jam
4 jam
Penanganan spesimen
0,25 jam
1 jam
2- 3 jam
0,25 jam
0,25 jam
Proses (pewarnaan / 1 jam inokulasi) Pembacaan hasil 0,25 – 0,5 jam Penanganan limbah
0,5 jam
TOTAL 3 jam WAKTUTotal waktu SAMPAI TERBACA HASILkerja Total waktu dengan 1 hari wkaktu tunggu
0,5 jam (3x dalam 0,25 jam (8x dalam 2 minggu) 2 bulan) 2 jam 2 hari x 1 jam 8 jam 15 menit
10 jam 15 menit
14 hari
2 bulan
Pada akhirnya, secara umum para tehnisi menyatakan bahwa mereka pada prinsipnya bersedia menggunakan metode MODS untuk pemeriksaan M. tuberculosis. Lebih jauh pada tehnisi bersedia menganjurkan metode ini untuk tehnisi laboratorium lain apabila akan menjadi prosedur standar nasional.
Kesimpulan Telah dilakukan penelitian tentang kemungkinan penggunaan metode kultur cair (modifikasi) MODS pada sampel sputum penderita TB dengan atau tanpa koinfeksi HIV. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Metode pemeriksaan M. tuberculosis dengan kultur cair MODS memberikan hasil yang lebih cepat daripada kultur media padat Lowenstein-Jensen (4-10 hari vs 4-6 minggu) 2. Metode pemeriksaan M. tuberculosis dengan kultur cair MODS meningkatkan angka positivitas 5.82% dari pemeriksaan mikroskopik
21
3. Biaya untuk pemeriksaan MODS lebih tinggi daripada kultur L-J tetapi dengan waktu diagnosis yang lebih pendek 4. Metode kultur cair modifikasi MODS dirasa „lebih praktis‟ dibanding kultur L-J, dan memerlukan waktu yang lebih pendek untuk persiapan bahan hingga pembacaan hasil 5. Pemeriksaan dengan metode kultur cair modifikasi MODS ini memerlukan alat „inverted microscop‟ yang belum secara luas tersedia di laboratorium di Indonesia 6. Angka kontaminasi dengan metode kultur cair MODS cukup tinggi. Perlunya ketrampilan para tehnisi untuk mengatasi hal tersebut Implikasi penelitian ini terhadap program nasional untuk TB dan HIV adalah bahwa diagnosis TB dengan MODS merupakan metode yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis TB baik dengan atau tanpa HIV. Akan tetapi masih diperlukan beberapa persiapan untuk bisa diimplementasikan di Indonesia, antara lain fasilitas inverted microscope, pelatihan dan sosialisasi kepada tehnisi dan klinisi serta advokasi kepada pengambil kebijakan.
22