Laporan Akhir KAJIAN KESIAPAN UMKM RAMAH LINGKUNGAN DALAM MENDAPATKAN AKSES PEMBIAYAAN
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
KATA PENGANTAR Perhatian terhadap kelestarian lingkungan hidup, kian hari bertambah besar. Hal ini disebabkan kekhawatiran banyak pihak terhadap ketidakmampuan bumi dalam menopang kehidupan manusia diatasnya di satu sisi, sementara di sisi lain kerusakan alam yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang tak terkendali menyebabkan keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus akan menurunkan kualitas lingkungan hidup dan pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia secara menyeluruh. Upaya pencegahan kerusakan lingkungan harus dilakukan dari berbagai sisi, baik secara langsung terhadap aktivitas yang nyata-nyata berdampak langsung pada kerusakan alam, juga melalui aktivitas yang secara tidak langsung menopang terjadinya aktivitas perusakan tersebut. Disadari bahwa kerusakan lingkungan pada dasarnya disebabkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Perilaku yang tidak seimbang, melalui eksploitasi berlebihan terhadap alam yang tidak diimbangi upaya rehabilitasinya, menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan dalam menopang aktivitas manusia. UMKM sebagai pelaku usaha yang menghasilkan berbagai kebutuhan hidup, tanpa disadari menjadi salah satu kontributor penyebab kerusakan lingkungan hidup. Dampak negatif yang disebabkan oleh UMKM terjadi mulai dari upaya memperoleh bahan baku, proses produksi, dan limbah yang dihasilkan baik pada saat produksi atau setelahnya. Upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah melalui kementerian, dinas terkait, maupun pemerhati lingkungan baik lembaga maupun individu agaknya belum menghasilkan sesuatu yang sangat signifikan untuk mengurangi laju kerusakan lingkungan. Bank Indonesia dengan tugas dan wewenang yang tidak terkait langsung dalam penanganan masalah lingkungan, berikhtiar merancang suatu kebijakan yang diharapkan dapat meminimalisir kerusakan lingkungan melalui green lending, yang dapat mendorong UMKM agar lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan, namun tetap mampu menjaga kinerja UMKM dalam menghasilkan produk ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat dalam situasi persaingan yang semakin ketat. Seperti apa kebijakan yang akan diterapkan, hal ini akan ditentukan oleh kondisi dan kesiapan UMKM dalam menjalankan aktivitasnya sesuai kriteria yang ditetapkan masing-masing sektor usahanya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Studi ini dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi awal mengenai kondisi UMKM menuju ramah lingkungan, semoga hasilnya dapat memberikan masukan yang berharga bagi semua pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Desember 2012
i
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kajian ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan karena terjadinya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas ekonomi. Demikian pula UMKM sebagai pelaku ekonomi, perlu terus didorong untuk senantiasa memperhatikan aspek ramah lingkungan dalam setiap proses kegiatannya. Orientasi usaha yang ramah lingkungan diharapkan tidak hanya memberikan nilai positif bagi lingkungan di sekitar UMKM tetapi juga dapat meningkatkan daya saing bagi UMKM itu sendiri. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk: (a) Mengidentifikasikan kriteria usaha ramah lingkungan dan kesiapan UMKM dalam menerapkan usaha ramah lingkungan, (b) Mengidentifikasikan permasalahan atau kendala yang dihadapi baik oleh perbankan dalam menyalurkan kredit terkait lingkungan hidup maupun UMKM ramah lingkungan dalam memperoleh akses pembiayaan, (c) Melakukan need assessment terhadap UMKM, Perbankan dan Pemangku Kepentingan terkait atas akses pembiayaan lingkungan hidup, (d) Memperoleh informasi mengenai skim-skim pembiayaan terkait lingkungan hidup baik yang berasal dari pinjaman lunak pemerintah maupun dana perbankan serta lembaga internasional, (e) Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait dalam rangka mendorong akses pembiayaan lingkungan hidup. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu melalui focus group discussion (FGD) dan pendekatan kuantitatif, yaitu melalui survei yang melibatkan 288 UMKM dari 4 sektor ekonomi (Pertanian, Industri Pengolahan, Pertambangan dan Transportasi), termasuk stakeholder terkait (Instansi/Dinas dan Lembaga Perbankan) baik di tingkat pusat maupun di daerah, yang tersebar di wilayah DKI Jakarta (Jabodetabek), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Hasil kajian ini dapat disarikan dalam beberapa butir berikut: 1. Kriteria usaha ramah lingkungan pada masing-masing sektor usaha yang ditetapkan oleh
kementerian atau dinas terkait, bisa berbeda satu sama lain sesuai dengan ranah aktivitasnya. Namun demikian, kriteria ini memiliki tujuan yang sama yakni menjaga kelestarian ekosistem guna mendukung aktivitas ekonomi secara berkesinambungan. Sebagai contoh: (a) Pada sektor pertanian, kriteria usaha ramah lingkungan dikaitkan dengan Sistem Pertanian Organik, yaitu mengarahkan pelaku usaha untuk menjaga keseimbangan ekosistem guna menjamin keberlanjutan daya dukung alam dalam menyediakan bahan pangan yang sehat dan bermutu serta memenuhi kebutuhan industri, (b) Pada sektor pertambangan, kriteria ramah lingkungan dititikberatkan pada upaya menjaga keseimbangan ekosistem melalui rehabilitasi kembali lahan bekas tambang agar dapat mengembalikan fungsi ekosistem yang telah terganggu, dan (c) Pada sektor industri, Industri Hijau merupakan kriteria usaha ramah lingkungan yang antara lain mengarahkan pelaku usaha agar melakukan konsep 3R (reduce, reuse dan recycle). ii
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan” 2. Sebagian besar UMKM yang ada saat ini, dalam usahanya masih belum menjadikan
kriteria ramah lingkungan sebagai hal yang perlu memperoleh perhatian khusus. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: (a) minimnya pengetahuan akan kelestarian lingkungan, (b) lemahnya aspek manajemen, (c) aspek teknis yang tidak menunjang, serta (d) belum tersedianya sumber pembiayaan yang berorientasi pada ramah lingkungan. Disisi lain kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk ramah lingkungan masih belum tumbuh. 3. Masing-masing kementerian melalui dinas terkait telah mulai melakukan pembinaan
melalui berbagai program agar UMKM di lingkungannya menuju ramah lingkungan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan, terutama terkait koordinasi antar dinas, pendanaan dan SDM. Disamping itu, program pembinaan yang masih diprioritaskan pada peningkatan kualitas dan kuantitas produksi juga perlu mendapat perhatian, karena terkadang tidak sejalan dengan aspek ramah lingkungan. 4. Sebagian besar perbankan masih belum memiliki skim khusus yang ditujukan untuk
mendorong pembiayaan UMKM agar ramah lingkungan, yang saat ini diminta baru sebatas penerapan persyaratan adanya AMDAL bagi calon debiturnya. Meski program inisiasi pembiayaan ramah lingkungan telah diprakarsai oleh lembaga atau negara donor yang bekerjasama dengan KLH, namun program tersebut masih belum menarik minat pihak perbankan untuk melanjutkannya. 5. Kendala yang dihadapi dalam mendorong UMKM agar ramah lingkungan masih cukup
berat, terutama terkait dengan minimnya pengetahuan akan kelestarian lingkungan, lemahnya aspek manajemen, aspek teknis yang tidak menunjang, serta terbatasnya sumber pembiayaan yang berorientasi pada ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu pentahapan pelaksanaan kriteria ramah lingkungan sesuai dengan kondisi UMKM. 6. Untuk mendorong UMKM agar secara bertahap melaksanakan usaha ramah lingkungan,
perlu usaha yang komprehensif dari berbagai pihak. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah penyediaan sumber pembiayaan yang diorientasikan secara khusus untuk menunjang usaha ramah lingkungan. Strategi pembiayaan yang mungkin dipilih adalah mengalokasikan dana CSR guna pembinaan UMK yang belum bankable dan belum feasible, menyediakan skim kredit khusus bagi UMK yang belum feasible namun sudah bankable, serta menyediakan berbagai program insentif bagi UMKM yang telah memulai atau berhasil menjadi ramah lingkungan. 7. Aspek lain yang masih memerlukan dukungan dalam pengembangan UMKM ramah lingkungan adalah mengupayakan peningkatan daya serap pasar produk ramah lingkungan yang saat ini masih terbatas. Oleh karenanya pelaksanaan sosialisasi dan edukasi sangat diperlukan dalam rangka menumbuhkan kesadaran konsumen untuk memanfaatkan produk ramah lingkungan.
iii
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
DAFTAR ISI Halaman I
II
III
IV
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.3. Manfaat Penelitian ...................................................................... 1.4. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................
1 4 5 5
METODE PENELITIAN 2.1. Pendekatan Penelitian ................................................................... 2.2. Pendekatan Kualitatif .................................................................... 2.3. Pendekatan Kuantitatif .................................................................. 2.3.1. Target Responden dan Wilayah Penelitian ........................... 2.3.2. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel ............................. 2.3.3. Pengumpulan Data .............................................................. 2.3.4. Informasi yang Dikumpulkan................................................ 2.3.5. Analisis Data ........................................................................
7 8 8 8 9 10 10 11
PENGEMBANGAN UMKM RAMAH LINGKUNGAN 3.1. Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Negara Lain ............ 3.2. Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Indonesia................ 3.2.1. Kementerian Pertanian (Kementan) .................................... 3.2.2. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) .............................. 3.2.3. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ........................... 3.2.4. Kementerian Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM) ...... 3.2.5. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).................................. 3.2.6. Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop & UMKM)....... 3.2.7. Pemerintah Daerah ............................................................. 3.3. Peran Lembaga Keuangan dalam Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Indonesia..................................................... 3.3.1. Program PKBL Perbankan .................................................. 3.3.1. Pinjaman Lunak Ramah Lingkungan ..................................... HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. UMKM Ramah Lingkungan ............................................................ 4.1.1. Sektor Pertanian .................................................................. 4.1.1.1. Profil Responden ........................................................ 4.1.1.2. Kriteria Usaha UMKM Ramah Lingkungan Subsektor Tanaman Pangan ........................................................ 4.1.1.3. Pengetahuan dan Kegiatan Usaha Ramah Lingkungan
12 12 13 14 14 15 15 17 17 20 24 25
29 29 29 35 39 iv
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.4. Permasalahan UMKM Sektor Pertanian Menuju Ramah Lingkungan ...................................................... 45 4.1.2. Sektor Industri ..................................................................... 4.1.2.1. Profil Responden ........................................................ 4.1.2.2. Kriteria Usaha UMKM Ramah Lingkungan Sektor 4.1.2.3. Industri ....................................................................... 4.1.2.4. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Industri ............................................................ 4.1.2.5. Permasalahan UMKM Sektor Industri Menuju Ramah Lingkungan Sektor Industri .........................................
46 46
4.1.3. Sektor Pertambangan .......................................................... 4.1.3.1. Profil Responden ........................................................ 4.1.3.2. Kriteria UMKM Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan ............................................................ 4.1.3.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Pertambangan ................................................. 4.1.3.4. Permasalahan UMKM Sektor Pertambangan Menuju Ramah Lingkungan ......................................................
62 62
4.1.4. Sektor Transportasi ............................................................. 4.1.4.1. Profil Responden ........................................................ 4.1.4.2. Kriteria UMKM Ramah Lingkungan Sektor Transportasi ................................................................ 4.1.4.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Transportasi ..................................................... 4.1.4.4. Permasalahan UMKM Sektor Transportasi Menuju Ramah Lingkungan ...................................................... 4.2. Stratisikasi UMKM Menurut Aktivitas Ramah Lingkungan .............. 4.2.1. UMKM Sektor Pertanian ...................................................... 4.2.2. UMKM Sektor Industri ......................................................... 4.2.3. UMKM Sektor Pertambangan .............................................. 4.2.4. UMKM Sektor Transportasi .................................................
76 76
4.3. Kesiapan UMKM Menuju Ramah Lingkungan................................. 4.4. Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan ........................................ 4.4.1. Sumber Pembiayaan UMKM ................................................ 4.4.2. Minat Terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan (Green Lending) ................................................................... 4.4.3. Peran Perbankan dan Konsep Pengembangan Skema Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan ..............................
94 96 97
51 54 61
66 71 76
80 81 87 88 88 90 91 93
99 102 v
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 105 5.2. Rekomendasi ................................................................................. 108
VI
LAMPIRAN 6.1. Hasil Focus Group Discussion ......................................................... 110 6.2. Hasil Wawancara Mendalam Terhadap Dinas-Dinas Terkait di Kabupaten/Kota......................................................................... 122 6.3. Contoh – contoh Investasi Lingkungan........................................... 132
vi
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dunia saat ini menghadapi keinginan besar untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim akibat efek gas rumah kaca1 dan aktivitas lainnya yang merusak lingkungan. Berbagai pemimpin negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Cina dan Indonesia telah memberikan komitmennya untuk mengadopsi program-program yang dapat mengurangi laju emisi gas rumah kaca dan perusakan lingkungan. Pada tingkat dunia berbagai kesepakatan telah ditanda-tangani mulai dari Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang menghasilkan Kyoto Protocol. Salah satu poin penting yang dihasilkan oleh Protokol Kyoto ini adalah Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Upaya penyelamatan lingkungan ini dilanjutkan pada konferensi di Indonesia, yaitu di Bali, pada Desember 2007 (UNFCC/ COP XIII), yang menghasilkan Bali Accord. Dalam konferensi ini dibahas rencana kedepan sesudah Kyoto Protocol. Terkait dengan perubahan iklim serta upaya yang tengah dilakukan oleh berbagai negara serta organisasi multinasional untuk mengatasinya, Indonesia memiliki komitmen untuk memberikan kontribusinya melalui berbagai kebijakan yang dituangkan dalam berbagai aktivitas pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi alam sesuai letak geografisnya. Dalam melaksanakan pembangunan, kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia merupakan modal utama. Dalam kajian World Bank (2009) disebutkan bahwa 45% kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia merupakan aset yang berada dibawah tanah, 36% berupa lahan pertanian, dan sumber kekayaan lainnya adalah sumber daya kayu, sumber daya non kayu, kawasan lindung dan lahan pengembalaan. Dalam konsep strategi pembangunan, kekayaan alam berupa sumber daya alam terbarukan dapat dikelola untuk menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan, sedangkan sumber daya alam tak terbarukan disalurkan untuk menghasilkan SDM dan modal yang diproduksi. Dengan tingginya ketergantungan pembangunan Indonesia pada sumber daya alam dan sektor pertanian serta posisi geografisnya, dampaknya adalah Indonesia menjadi rentan akan adanya efek perubahan iklim. ADB (2009) dalam kajiannya memperkirakan biaya seluruh sektor ekonomi akibat perubahan iklim di Indonesia berkisar antara 2,5% hingga 7,0% dari nilai PDB dengan berbagai skenario. Faktor penyebab tingginya biaya tersebut antara lain wilayah Indonesia yang memiliki garis pantai yang relatif panjang, tingkat kepadatan penduduk di wilayah pesisir yang tinggi, ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam dan pertanian, serta kapasitas adaptasi yang relatif rendah. Biaya ekonomi akibat kerusakan lingkungan berasal dari berbagai sumber : a. Perubahan iklim yang diindikasikan dengan meningkatnya suhu, curah hujan, yang berdampak pada penurunan produksi pertanian, meningkatnya permukaan laut, pemanasan 1
2
Efek rumah kaca adalah lapisan gas terutama CO yang meningkatkan pemanasan global.
1
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
air laut yang be rdampak pada penurunan keanekaragaman hayati laut dan menurunnya kesehatan hewan. b. Rusaknya sumber-sumber air bersih serta buruknya sistem sanitasi dan higienitas. Faktor ini berdampak pada kerusakan pada bidang kesehatan, ketersediaan air bersih, kesehatan biota air, timbulnya banjir akibat saluran air yang buruk dan dampak penggunaan air tercemar pada sektor irigasi. c. Pencemaran udara luar ruang. d. Pencemaran udara dalam ruang yang ditunjukkan adanya konsentrasi pencemaran di suatu lingkungan dan waktu yang dihabiskan seseorang pada lingkungan tersebut. e. Kerusakan hutan akibat deforestasi, yang berdampak pada menurunnya kualitas udara, rusaknya persediaan air tanah, dan hilangnya keragaman hayati. f. Kerusakan tanah dengan melihat indeks mutu tanah. g. Kerusakan terumbu karang. Penurunan kualitas hidup manusia dan kuantitas sumber daya alam merupakan permasalahan nyata yang perlu dihadapi dan dipecahkan. Situasi inipun juga yang menggerakkan perusahaan dengan berbagai skala untuk menjalankan proses transformasi bisnis berbasis lingkungan untuk menghadapi isu keberlanjutan (sustainability) sumber daya alam tersebut. Menarik untuk disimak adalah meningkatnya kepedulian lingkungan (environmental concern) sebagai unsur penting yang mempengaruhi lanskap kompetisi. Lingkungan yang awalnya dipandang sebagai faktor eksternal bagi proses dan konten manajemen produksi dan pemasaran, sekarang ini dipandang sebagai faktor sentral dalam berbagai strategi baik produksi maupun pemasaran (Hart, 1995; Srivastava, 1994). Di Indonesia, dampak dari kerusakan lingkungan hidup tersebut akan langsung dirasakan oleh masyarakat khususnya para pelaku usaha yang terkait langsung dengan mutu dan produktivitas sumber daya alam. Sesuai data dari Kementerian Koperasi & UKM dan BPS (tahun 2011) bahwa pelaku usaha di Indonesia masih didominasi oleh UMKM yakni sebesar 99,99% dari total unit usaha atau sebesar 53,8 juta unit usaha yang terdiri dari 53,2 juta unit usaha mikro, 573,6 ribu unit usaha kecil dan 42,6 ribu unit usaha menengah. Secara sektoral, jumlah UMKM pada sektor pertanian paling dominan yakni sebesar 49,6%, hal ini sejalan dengan serapan tenaga kerjanya yang berjumlah 43,0% dari total tenaga kerja. Oleh karenanya kerusakan lingkungan akan berdampak sangat serius pada sektor ini. Faktor utama pemicu besarnya dampak kerusakan lingkungan adalah rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selain itu penegakan peraturan (law enforcement) belum sepenuhnya berjalan. Pemicu lainnya yang tak kalah penting adalah belum sinkronnya kebijakan yang dibuat antar institusi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berbagai upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melakukan edukasi kepada seluruh pemangku kepentingan terkait pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, pemberian insentif (berupa: pembebasan bea impor, pengurangan PPh atas biaya pengolahan limbah, subsidi kompos, dll.), dan pemberian pinjaman lunak lingkungan. Terkait dengan pelaksanaan program lingkungan hidup, Bank Indonesia pada medio 1993 telah menerus pinjaman Dana Pinjaman dari The Overseas Economic Cooperation Fund 2
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
(OECF) untuk program Small Scale Industry Program (SSI Program) dan Pollution Abatement Equipment Program (PAE Program). Khusus untuk Program PAE, BI bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Bank Peserta (BCA, Bank Danamon, BII, Lippo Bank, Bank Umum Nasional, PT. BBD (Persero), PT. BEII (Persero), PT. BNI (Persero), dan PT. Bapindo (Persero)). Sementara itu, di luar Program PAE Kementerian Lingkungan Hidup telah menyalurkan berbagai skim pinjaman lunak meliputi: Industrial Efficiency and Pollution ControlKreditanstalt fur Wiederaufbau (IEPC-KfW) Tahap I dan II, serta pembiayaan Investasi lingkungan bagi UMK (Skema Debt of Nature Swap (DNS)). Setelah Program PAE berakhir diharapkan Bank telah memiliki pengalaman dalam pembiayaan program lingkungan hidup, dan selanjutnya diharapkan dapat meneruskan program tersebut dengan menggunakan dana dari perbankan itu sendiri. Namun dalam kenyataannya hingga menjelang berakhirnya Program PAE, masih sedikit perbankan yang tertarik untuk membiayai program lingkungan hidup. Hal ini diduga karena UMKM yang menjadi target penyaluran dana perbankan belum siap mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam aktivitas usahanya. Perusahaan yang berniat untuk mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam aktivitas usahanya perlu mempersiapkan beberapa aspek yang meliputi: manajemen produksi dan pemasaran serta kesiapan secara teknis yang terkait dengan aspek produksi. Lebih lanjut Kalafatis secara spesifik menyatakan bahwa ada 6 aspek yang perlu mendapat perhatian dunia usaha terkait dengan isu lingkungan yaitu: a. Asal-usul bahan baku, b. Proses produksi bahan dan jenis bahan tambahan, c. Proses pengolahan dan penanganan limbah produksi, d. Bagaimana produk digunakan (konsumsi energi dan limbah yang dihasilkan), e. Bagaimana penanganan limbah produk usai penggunaannya, f. Kesiapan sumberdaya manusia, g. Strategi pemasaran. Di samping manajemen dan aspek produksi, aspek lain yang tidak kalah penting dan memiliki peran krusial agar produsen dapat tumbuh dan berkembang adalah perhatian terhadap aspek pemasaran (marketing). Aspek ini sering dilupakan dalam berbagai kajian tentang produk ramah lingkungan, sehingga ketidakberhasilan program ini dalam jangka panjang disebabkan karena ketidaksiapan pasar dalam menerima produk tersebut. Meski dari berbagai penelitian ditunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan semakin meningkat, namun tindakan nyata yang terkait dengan aktivitas langsung seperti perubahan pola konsumsi dari produk konvensional ke produk ramah lingkungan masih sangat rendah. Oleh karena itu upaya mengetahui sikap dan perilaku konsumen terkait green product menjadi sangat penting untuk diketahui, sehingga produsen dapat merancang strategi green marketing yang tepat. Upaya untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta pelaku usaha atau produsen (UMKM) dalam pelestarian lingkungan mikro maupun global, dapat ditempuh dengan cara mendorong produsen (UMKM) konvensional menjadi UMKM yang ramah lingkungan. Upaya ini dirasakan sangat mendesak mengingat penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah para produsen yang bergerak di berbagai sektor usaha, meski kontribusinya berbeda satu sama lain. 3
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa baru sebagian kecil UMKM yang sudah mulai menerapkan azas ramah lingkungan, itupun disebabkan adanya tekanan dari pihak eksternal dan bukan karena kesadaran yang muncul secara internal. Disadari bahwa untuk menjadi UMKM ramah lingkungan perlu berbagai persyaratan seperti yang disebutkan di atas, di samping masalah pembiayaan yang diperlukan oleh UMKM untuk berbagai persiapan terutama aspek produksi dan pemasaran. Oleh karena itu, untuk mendorong UMKM konvensional menjadi ramah lingkungan diperlukan berbagai informasi baik dari sisi internal maupun eksternal serta berbagai kendala yang dihadapi. Dari sisi internal, aspek yang perlu diketahui meliputi: kesadaran dan persepsi para pelaku usaha terkait isu lingkungan, ketertarikan, minat, serta kesiapan para pelaku usaha dan upaya-upaya yang telah atau sedang mereka lakukan untuk beralih dari sistem konvensional menjadi ramah lingkungan. Dalam pada itu, informasi penting lain yang diperlukan adalah berbagai kendala atau kesulitan yang mungkin dihadapi UMKM baik kendala manajemen, teknis, aspek pemasaran, maupun aspek pembiayaan yang diperlukan oleh pelaku usaha dalam usaha migrasi dari sistem konvensional ke ramah lingkungan. Dari sisi eksternal, aspek krusial yang perlu diketahui adalah peran lembaga keuangan serta pemangku kepentingan terkait (Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah) dalam mendorong dan memfasilitasi UMKM agar menjadi ramah lingkungan. Selaras dengan permasalahan yang telah dijabarkan diatas, Bank Indonesia sangat berkepentingan untuk mengetahui kondisi keterkinian UMKM terkait dengan isu lingkungan, serta peran perbankan dalam aspek pembiayaan UMKM ramah lingkungan. Oleh karenanya aktivitas penelitian dengan topik “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”, sangat mendesak untuk dilakukan. 1.2. a. b.
c.
d.
e.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini meliputi: Mengidentifikasikan kriteria usaha ramah lingkungan dan UMKM ramah lingkungan. Mengidentifikasikan permasalahan atau kendala yang dihadapi baik oleh perbankan dalam menyalurkan kredit terkait lingkungan hidup maupun UMKM ramah lingkungan dalam mengakses pembiayaan. Melakukan need assessment terhadap UMKM, Perbankan dan Pemangku Kepentingan terkait (Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah) atas akses pembiayaan lingkungan hidup. Memperoleh informasi mengenai skim-skim pembiayaan terkait lingkungan hidup baik yang berasal dari pinjaman lunak pemerintah maupun dana perbankan serta lembaga internasional, termasuk dalam informasi ini adalah keragaan skim-skim pembiayaan tersebut. Memberikan rekomendasi kepada pemangku kepentingan terkait dalam rangka mendorong akses pembiayaan lingkungan hidup.
4
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
1.3.
Manfaat Penelitian
a. Bagi Bank Indonesia: hasil kajian dapat dijadikan sebagai bahan dalam rangka menyusun kebijakan pengembangan UMKM ramah lingkungan terkait akses pembiayaan; b. Bagi Pemerintah: hasil kajian dapat sebagai masukan dalam menyusun kebijakan dan program-program pemerintah untuk mendorong pengembangan UMKM ramah lingkungan khususnya untuk meningkatkan akses kepada pembiayaan; c. Bagi Perbankan: hasil kajian dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk menyusun skim-skim pembiayaan kepada UMKM terkait lingkungan hidup; d. Bagi UMKM: hasil kajian dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk meningkatkan bankability dalam rangka memperoleh akses pembiayaan dari perbankan. 1.4.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mempertajam hasil kajian serta memudahkan dalam pelaksanaan teknis, maka kajian ini dibatasi dalam lingkup sebagai berikut: a. Definisi UMKM adalah sebagaimana disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yaitu: 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai 5
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dengan paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah). b. Definisi Lingkungan Hidup, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pembangunan Berkelanjutan, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), Kerusakan Lingkungan Hidup dan Dampak Lingkungan Hidup adalah sebagaimana disebutkan dalam UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No.27 Tahun 2013 Tentang Izin Lingkungan. c. Skim-skim pembiayaan terkait lingkungan hidup yang merupakan program pemerintah dan produk perbankan.
6
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
II. METODE PENELITIAN
2.1. Pendekatan Penelitian Secara umum kerangka penelitian yang dilakukan untuk menjawab tujuan di atas digambarkan pada diagram berikut ini: Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Rangka Mendapatkan Akses Pembiayaan
Program Pemerintah Melalui beberapa Kementerian dalam Pengelolaan Lingkungan
Kebijakan Lembaga Keuangan Bank dalam mendorong UMKM Ramah Lingkungan
Kebijakan Bank Indonesia dalam Mendorong Bank Ramah Lingkungan (BRLH)
Focus Group Discussion
Analisa Penelitian Kuantitatif (Survey Lapangan)
Studi Literatur Diskusi Internal dan Eksternal
Kriteria UMKM Ramah Lingkungan
Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan
Akses Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan
Rekomendasi Kriteria UMKM Ramah Lingkungan dan Peningkatan Akses Kepada Pembiayaan
Gambar 1.
Kerangka Penelitian
7
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Sesuai kerangka penelitian pada diagram di atas, jenis penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kualitatif dan kuantitatif, dengan uraian pelaksanaan sebagai berikut: 2.2. Pendekatan Kualitatif Penelitian kualitatif pada dasarnya ditujukan sebagai upaya untuk menggali secara mendalam berbagai informasi relevan dari sekelompok responden tertentu yang memiliki pengetahuan ataupun pengalaman serta penentu kebijakan sesuai dengan topik kajian. Informasi yang digali meliputi berbagai aspek terkait dengan kondisi riil saat ini, serta alasan atau latar belakang terjadinya suatu tindakan, pandangan atau opini, serta harapan target responden. Pendekatan yang dipilih adalah Focus Group Discussion (FGD), yang melibatkan beberapa responden dari berbagai kelompok yang berbeda. FGD diselenggarakan oleh Bank Indonesia dengan melibatkan peserta dari beberapa pemangku kepentingan terkait seperti: - Kementerian Lingkungan Hidup, - Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional - Kementerian Perindustrian - Kementerian Koperasi dan UKM - Perbankan - Lembaga Donor - Bank Indonesia Hasil dari FGD ini diharapkan dapat memberikan informasi secara komprehensif mengenai aspek yang dikaji dan faktor-faktor yang melatarbelakangi serta keterkaitannya. Sehingga hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu basis dalam pengambilan kesimpulan serta masukan yang akan ditindaklanjuti dalam penelitian kuantitatif, terutama dalam pengembangan kuesioner. 2.3. Pendekatan Kuantitatif Penelitian Kuantitatif pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik dan kondisi populasi yang akan dikaji. Upaya ini ditempuh dengan cara mempelajari sekelompok individu yang mewakili populasinya (sample) yang dipilih dengan kaidah tertentu agar mampu mencerminkan kondisi populasi yang sebenarnya. Beberapa langkah yang akan dilakukan dalam penelitian kuantitatif ini sebagai berikut: 2.3.1. Target Responden dan Wilayah Penelitian Sesuai dengan tujuan dan lingkup penelitian, target responden yang menjadi sumber informasi dalam penelitian ini meliputi: a. UMKM yang saat ini telah menjalankan maupun yang belum menjalankan program kelestarian lingkungan yang tersebar di 4 sektor ekonomi yakni Sektor Pertanian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pertambangan dan Sektor Transportasi. 8
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
b. Lembaga Perbankan dan Instansi/Dinas terkait baik di tingkat pusat maupun di daerah. c. Wilayah penelitian meliputi DKI Jakarta (Jabodetabek), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. 2.3.2. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel Untuk menjawab tujuan penelitian diperlukan informasi yang berasal dari respoden yang berasal dari beberapa kategori. Jenis kategori responden serta jumlahnya dijabarkan sebagai berikut: 1. Responden Perbankan Teknik pengambilan sampel yang digunakan untuk mendapatkan responden perbankan adalah purposive sampling. Faktor yang dipertimbangkan dalam memilih responden ini adalah bank yang pernah mengikuti Program IEPC atau PAE atau program sejenis baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah melalui kementerian terkait maupun lembaga yang bergerak pada pelestarian lingkungan, atau lembaga perbankan yang memiliki potensi dengan dana sendiri memberikan pinjaman lunak ramah lingkungan. Dalam penelitian ini diharapkan ada 5 (lima) bank yang menjadi responden yakni Bank BRI, BNI, Mandiri, CIMB Niaga dan Syariah Mandiri. 2. Responden Instansi Pemerintah Tiga Instansi Pemerintah yang terkait dengan isu lingkungan dan UMKM yang menjadi responden, yaitu Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perindustrian, dan Dinas Pertanian. Dinas-dinas tersebut diwawancarai di masing-masing daerah. 3. Responden UMKM Responden UMKM dalam penelitian ini mewakili 4 sektor ekonomi (Sektor Pertanian, Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pertambangan dan Sektor Transportasi). Dengan menggunakan kaidah Slovin yang berbasis pada sebaran normal, jumlah populasi tak terhingga, dan tingkat kepercayaan 95% serta tingkat kesalahan dugaan sekitar 5.9%, maka jumlah sampel UMKM yang diambil sebanyak 288 responden. Jumlah dan sebaran responden menurut kota disajikan pada Tabel 2.1. berikut: Tabel 2.1. Jumlah dan Sebaran Responden menurut Sektor dan Kota
Wilayah a. b. c. d. e. f. g.
DKI Jakarta (Jabodetabek) Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sumatera Utara Sulawesi Selatan Kalimantan Timur
Pertanian 22 12 19 17 12
Sektor Ekonomi Industri PertamTransportasi bangan Pengolahan 3 2 6
41 38 37 16 12 -
15 9 13 4 5 5
Total 56 72 52 32 36 17 23
9
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan” Jumlah
82
11
144
51
288
Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Multistage Random Sampling yang melibatkan Stratified Random, Simple Random Sampling serta Purposive Sampling. Stratified random sampling digunakan untuk memilih secara acak individu (UMKM) atas dasar strata skala usaha (Mikro, Kecil, dan Menengah), sedangkan simple random sampling digunakan untuk memilih secara acak UMKM pada setiap strata. Sementara itu purposive sampling digunakan untuk mendapatkan secara sengaja UMKM yang telah menerapkan aspek ramah lingkungan dalam usahanya. Hal ini dilakukan, karena jumlah UMKM yang menerapkan aspek ramah lingkungan masih terbatas, oleh karenanya metode ini digunakan untuk memudahkan dalam pencarian individu tersebut di lapangan. 2.3.3. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan bantuan kuesioner terstruktur yang dirancang secara khusus untuk studi ini. Interviewer yang bertugas dalam wawancara adalah mereka yang telah memiliki pengalaman serta spesifikasi khusus sesuai dengan topik kajian. Sebelum wawancara dilakukan, para interviewer diberikan pengetahuan sesuai dengan topik kajian dengan tujuan agar mereka siap dalam menjalankan tugas di lapangan. Untuk setiap wilayah telah ditugaskan interviewer dari wilayah setempat, tujuannya agar dapat efisien secara biaya dan efektif dalam pelaksanaan secara teknis. 2.3.4. Informasi yang Dikumpulkan Untuk menjawab tujuan penelitian yang telah ditetapkan, informasi yang telah dikumpulkan dalam rangka penelitian menurut kategori responden meliputi: a. Perbankan, yaitu Bank BCA, BNI, DANAMON, BII, BPD, Syariah Mandiri, mengemukakan: 1. Keberadaan dan jenis program kredit UMKM ramah lingkungan. 2. Alasan keberadaan program kredit UMKM ramah lingkungan. 3. Pertumbuhan kredit UMKM ramah lingkungan (jumlah dan volume). 4. Jenis usaha UMKM yang dibiayai. 5. Permasalahan dan kendala yang dihadapi Perbankan dalam penyaluran dana UMKM ramah lingkungan. 6. Proyeksi pertumbuhan kredit UMKM ramah lingkungan (jumlah dan volume). b. Dinas, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Koperasi dan UMKM dan Kementerian Perindustrian, menyampaikan: 1. Kebijakan atau Peraturan Kementerian terkait dengan pengembangan UMKM ramah lingkungan. 2. Upaya yang dilakukan Kementerian dan/atau Dinas dalam rangka pembinaan UMKM ramah lingkungan dan mendorong UMKM agar menjadi ramah lingkungan. 10
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
3. Kendala-kendala yang dihadapi Kementerian dan/atau Dinas terkait dalam upaya mendorong UMKM menjadi ramah lingkungan. c. UMKM, mencakup :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Profil UMKM (antara lain bentuk usaha dan demografi). Manajemen usaha terkait aktivitas ramah lingkungan. Aktivitas produksi terkait aspek ramah lingkungan. Akses pembiayaan dan kendalanya terkait aktivitas usaha ramah lingkungan. Jenis produk dan tujuan pemasaran. Aspek pemasaran dan kendalanya. Pengetahuan terhadap aktivitas usaha ramah lingkungan. Minat terhadap usaha ramah lingkungan. Aktivitas nyata yang dilakukan dalam upaya menuju usaha ramah lingkungan.
2.3.5. Analisis Data Analisis data bertujuan untuk mengelola berbagai informasi terkait yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kaidah-kaidah statistika yang lazim. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Analisis Deskriptif, merupakan sekumpulan aktivitas yang bertujuan untuk menggali berbagai informasi dari data yang terkait dengan karakteristik populasi (ukuran pemusatan dan sebaran) yang diduga melalui sample, dan menampilkannya dalam bentuk tabulasi maupun gambar agar mudah dipahami (Tukey, 1980), serta mampu membangkitkan ide atau gagasan (Du Toit, 1972). b. Chi Square Test, suatu teknik analisis yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya keterkaitan atau kecocokan antar dua kategori data. Dalam analisis ini data yang diuji berbentuk tabel kontingensi multi arah (multiway table contingency), hasil dari analisis dapat digunakan untuk melihat tingkat keeratan hubungan (korelasi) antar data yang berbentuk kategori. c. Correspondence Analysis atau Analisis Korespondensi (AK) merupakan analisis yang memperagakan baris dan kolom secara serempak dari tabel kontingensi dwi arah, yang kemudian dapat diperluas untuk tabel kontingensi multi arah. Di bidang psikologi perhitungan analisis ini dikenal dengan penskalaan dual sedangkan dalam ekologi dikenal sebagai perataan timbal balik (Hill, 1974). Peragaan yang diperoleh merupakan penumpangtindihan profil-profil baris dan kolom, yang dalam analisis ini diperoleh dari tabel kontingensi dengan menggunakan jarak khi-kuadrat. d. Thurstone Analysis, metode ini merupakan teknik pemeringkatan sekumpulan atribut yang didasarkan atas ukuran psikometrik, yang didasarkan pada ”Hukum Nilai Perbandingan (The Law of Comparative Judgement)”. Setiap atribut produk atau jasa memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan penggunanya. Oleh karena itu, konsumen umumnya memilih suatu produk yang memiliki atribut-atribut yang diprioritaskan. Proses awal yang dilakukan dalam analisis ini adalah, responden diminta untuk mengevaluasi sejumlah atribut produk atas dasar kepentingannya, kemudian 11
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
melakukan pemeringkatan (ranking) yang didasarkan atas urutan prioritas dalam pemenuhan kebutuhan atau keinginannya.
12
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
III.
3.1.
PENGEMBANGAN UMKM RAMAH LINGKUNGAN
Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Negara Lain
Isu mengenai UMKM ramah lingkungan di negara-negara yang situasinya mirip dengan kondisi di Indonesia seperti kawasan Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir cukup menonjol. Malaysia merupakan negara yang dapat dikatakan pertama di kawasan ASEAN yang melakukan antisipasi terhadap isu ini, yakni dengan munculnya kebijakan penawaran pinjaman lunak ramah lingkungan pada tahun 2010 dari pemerintah dan dinamakan Green Technology Finance Scheme (GTFS). Total dana yang disediakan bernilai 1,5 miliar ringgit ditujukan untuk pinjaman investasi bagi UMKM yang berencana menerapkan usaha ramah lingkungan. Lingkup kegiatan yang didanai meliputi: (1) Reduces the greenhouse gas emissions, (2) Safe for use and promotes a healthy and improved environment for all forms of life, (3) Conserves the use of energy and natural resources, serta (4) Promotes the use of renewable resources. Dalam menyalurkan dana tersebut pemerintah Malaysia bekerjasama dengan lembaga Pusat Teknologi Hijau Malaysia (PTHM). 3.2.
Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Indonesia
UMKM di Indonesia memiliki peran yang sangat krusial dalam bidang ekonomi nasional, baik dalam penyerapan tenaga kerja, penyedia berbagai produk dan jasa yang dibutuhkan serta sebagai sumber pendapatan masyarakat. Meski memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian, namun terkait dengan masalah lingkungan, disinyalir UMKM memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam penurunan kualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah yang dihasilkan dalam berbagai bentuknya, proses produksi yang belum efisien baik dalam penggunaan bahan baku, energi, serta penggunaan bahan penolong lainnya. Sehubungan dengan permasalahan di atas, pemerintah melalui berbagai kementerian dan dinas terkait tengah berupaya mendorong agar UMKM mulai memperhatikan kelestarian lingkungan. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan, serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mendorong UMKM ramah terhadap lingkungan, telah dilakukan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan berbagai kementerian terkait dan perbankan. Informasi yang diharapkan dari perbankan berupa keberadaan ragam produk atau skim kredit UMKM ramah lingkungan, serta rencana yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang dalam upaya mendorong UMKM menjadi ramah lingkungan. Selain melalui FGD, untuk mengetahui aktivitas nyata dari lembaga atau institusi dan dinas terkait yang memiliki wewenang dalam melakukan pembinaan terhadap UMKM, juga telah dilakukan wawancara mendalam (depth interview) guna mendapatkan informasi dari beberapa lembaga perbankan di tingkat pusat (Jakarta) serta dinas-dinas di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang meliputi 7 (tujuh) provinsi sebagai wilayah penelitian. UMKM yang dikaji meliputi 4 (empat) sektor ekonomi yakni Sektor Perindustrian, Pertanian, 13
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Transportasi dan Pertambangan. Aktvitas yang telah dilakukan oleh masing-masing kementerian dan dinas-dinas terkait (Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM)) dalam mendorong UMKM agar ramah lingkungan disajikan berturut-turut sebagai berikut. 3.2.1. Kementerian Pertanian (Kementan) Dalam mendorong UMKM sektor pertanian agar ramah lingkungan, pada awalnya Kementan membentuk gugus tugas yang secara khusus merancang, melaksanakan dan mengevaluasi program pembinaan guna mendorong pelaku usaha tani agar ramah terhadap lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya, efektivitas dan efisiensi gugus tugas tersebut tidak seperti yang diharapkan, oleh karenanya gugus tugas ini dihentikan. Sementara fungsi dan tugas terkait dengan usaha tani ramah lingkungan dikembalikan ke masing-masing bagian atau divisi. Hal ini, dilakukan mengingat lingkup kerja Kementan sangat beragam serta meliputi berbagai subsektor pertanian, sehingga gugus tugas ini kurang fokus dalam menjalankan program yang sudah dirancang. Upaya yang dilakukan Kementan dalam melakukan pembinaan terhadap UMKM sektor pertanian dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui program-program kemitraan dengan petani dalam memprakarsai usaha tani terpadu yang dikenal dengan istilah cluster. Sistem usaha tani yang dilakukan berbasis pada sistem Pertanian Organik (PO). Dalam sistem usaha tani terpadu ini juga dikembangkan adanya Sekolah Lapang (SL) yang dikelola oleh kelompok tani sendiri. Tujuan dari SL adalah sebagai tempat pembinaan dan sekaligus wahana percontohan bagi petani anggota maupun non anggota kelompok dalam menjalankan praktek pertanian organik. Berbagai bantuan yang disalurkan dalam program ini meliputi pengadaan ternak besar (sapi) beserta pembangunan kandang, pengolahan limbah ternak hingga menjadi biogas. Masalah utama yang dihadapi sektor pertanian adalah aspek permodalan dan pemasaran. Rendahnya pertumbuhan konsumen produk pangan organik dalam negeri, menjadikan pertumbuhan Pertanian Organik (PO) tidak sepesat yang diharapkan. Dari sisi permodalan, para pelaku usaha tani yang mayoritas merupakan usaha tani rakyat memiliki banyak kendala yang dihadapi dalam mengakses kredit ke bank. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah kelayakan (feasibility) usaha; petani umumnya memiliki lahan yang relatif sempit, sehingga sulit untuk mencapai usaha yang layak secara ekonomi. Kesulitan untuk beralih kepada usaha tani organik yang lebih ramah lingkungan, di samping masalah permodalan, adalah rendahnya pengetahuan, masih terbatasnya ketersediaan sarana pertanian organik dan harganya yang relatif mahal. Sementara itu dari sisi pemasaran, rendahnya pertumbuhan pasar dalam negeri untuk produk-produk pertanian organik, menjadikan pertumbuhan usaha tani organik menjadi lamban. Sementara isu sentral saat ini yang dihadapi UMKM sektor pertanian yang telah mengusahakan pertanian organik dan melakukan ekspor, adalah keharusan adanya sertifikasi yang meliputi berbagai aspek, seperti sertifikasi lahan untuk subsektor tanaman pangan atau kandang untuk peternakan, penggunaan pupuk dan pembasmi hama penyakit, serta 14
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pengolahan hasil, di mana dalam proses sertifikasi ini biaya yang dibutuhkan cukup besar. Oleh karenanya perlu adanya kebijakan pemerintah untuk membantu mengatasi permasalahan ini. Sebagai acuan dalam pembinaan UMKM pada sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan, Kementan telah merumuskan kriteria ramah lingkungan yang dikenal sebagai Pertanian Organik, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam tatalaksana usaha tani ramah lingkungan. 3.2.2. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Terkait dengan isu lingkungan, Kementerian Perhubungan yang memiliki kewenangan dalam mengatur regulasi sektor transportasi ini, memiliki beberapa program yang ditujukan untuk: a. Penurunan emisi gas buang terutama yang berasal dari kendaraan, b. Pengurangan volume kendaraan yang beroperasi di jalan, c. Penggunaan energi ramah lingkungan seperti Bahan Bakar Gas (BBG), d. Pengurangan penggunaan energi fosil dalam industri pembangkit listrik melalui substitusi dengan penggunaan hydro energy. Sebagai bentuk tindakan antisipasi terhadap isu lingkungan pada saat ini dan masa mendatang, Kemenhub meluncurkan program ASI (Avoid, Shift, Improvement) yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas buang, mengalihkan penggunaan kendaraan bermotor, serta modifikasi mesin kendaraan agar menjadi ramah lingkungan. Namun sayangnya dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh berbagai faktor, sehingga hasilnya belum dapat dirasakan. Terkait dengan UMKM yang bergerak dalam bidang transportasi, Kemenhub belum memiliki program pembinaan secara khusus, karena fokus program Kemenhub saat ini lebih terfokus pada upaya penataan tata ruang dan pengaturan mobilitas masyarakat yang berkaitan dengan pengaturan sarana transportasi yang menjadi isu utama pemerintah terutama di kotakota besar. 3.2.3. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Berkaitan dengan isu kelestarian lingkungan, Kemenperin memiliki program Industri Hijau atau Industri Ramah Lingkungan, di mana salah satu programnya adalah produksi bersih yang bertujuan mendorong pelaku usaha (Industri Kecil Menengah (IKM)) menuju aktvitas usaha ramah lingkungan. Program ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan efisiensi baik dari sisi penggunaan bahan baku dan bahan penolong, serta penghematan penggunaan energi dan air dalam menghasilkan satu satuan produk. Program ini pada dasarnya berbasis pada konsep 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Diharapkan melalui program ini akan berdampak langsung pada pengurangan limbah yang dihasilkan dari proses produksi. Di sisi lain, konsep ini secara tidak langsung akan mendorong industri penopang menjadi lebih efisien dalam menjalankan proses usahanya. Upaya lain dari Kemenperin untuk mendorong para pelaku usaha melaksanakan program Industri Hijau adalah memberi bantuan atau subsidi kepada para pelaku IKM untuk 15
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
meremajakan mesin atau peralatan yang dimiliki. Diharapkan dengan adanya mesin baru, maka konsumsi energi menjadi lebih hemat dan hasil yang diperoleh lebih baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya. Kemenperin memberikan apresiasi dalam bentuk Industry Award atau Green Industry kepada industri atau usaha yang telah menerapkan pola penghematan sumber daya dan penggunaan bahan baku dan energi yang ramah lingkungan serta terbarukan. Tujuan penyelenggaraan program ini adalah untuk mendorong motivasi perusahaan industri dalam mewujudkan Industri Hijau. Sementara ini penghargaan tersebut diberikan khususnya kepada industri yang berskala menengah dan besar. Sementara industri berskala mikro maupun kecil masih belum dilibatkan. Pemikiran penting dari Kemenperin adalah menanamkan green concept yang harus dipahami sebagai rangkaian aktivitas hijau yang dimulai dari hulu, yakni dari penggunaan bahan baku yang jelas asal usulnya, proses produksi yang menerapkan konsep reduce, reuse dan recycle, serta pengendalian dan pengelolaan limbah selama dan usai penggunaan produk-produk yang dihasilkan. 3.2.4. Kementerian Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Kementerian ESDM sesuai dengan tugas dan kewenangannya memiliki program dalam pengembangan energi baru yang terbarukan seperti: a. Pengembangan bioenergy, hydro energy, dan pemanfaatan tenaga surya dan panas bumi. b. Pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro di daerah terpencil maupun pengadaan alat untuk menghasilkan bioenergi untuk memanfaatkan limbah. Berkaitan dengan upaya pembinaan terhadap UMKM, Kementerian ESDM tidak memiliki binaan secara langsung, karena institusi ini tidak memiliki kewenangan untuk membina UMKM. Oleh karenanya aktivitas ESDM hanya sebatas sebagai lembaga penunjang dalam menyediakan sarana atau prasarana yang dibutuhkan oleh berbagai pihak. Secara umum beberapa kementerian sudah memiliki kebijakan yang mengarah pada upaya kelestarian lingkungan, hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan dan program yang sudah dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala baik masalah internal yang meliputi keterbatasan SDM dan pendanaan pada masing-masing kementerian, maupun masalah eksternal seperti lemahnya koordinasi antar lembaga. Akibatnya dalam melakukan pembinaan terhadap UMKM isu sektoral lebih menonjol. Sedangkan upaya optimalisasi program melalui koordinasi lintas kementerian maupun dinas masih sangat terbatas. 3.2.5. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) KLH merupakan kementerian yang memiliki tugas khusus yaitu mengurusi lingkungan hidup. Hal ini tercermin dari misinya yakni: a. Mewujudkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi, guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau;
16
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
b. Melakukan koordinasi dan kemitraan dalam rantai nilai proses pembangunan untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi anggaran ekonomi dan ekologi dalam pembangunan berkelanjutan; c. Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup; d. Melaksanakan tatakelola pemerintahan yang baik serta mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara terintegrasi. Melalui misi tersebut tujuan yang ingin dicapai hingga akhir 2014 adalah: “Terwujudnya pembangunan Indonesia berdasarkan pembangunan berkelanjutan dengan penekanan pada ekonomi hijau (green economy) untuk menahan laju kemerosotan daya tampung, daya dukung, dan kelangkaan sumber daya alam, serta mengatasi bencana lingkungan”. Secara umum, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah mewujudkan perbaikan fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang mengarah pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Sementara itu sasaran khusus yang hendak dicapai adalah: a. Terkendalinya pencemaran dan kerusakan lingkungan sungai, danau, pesisir dan laut, serta air tanah; b. Terlindunginya kelestarian fungsi lahan, keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan; c. Membaiknya kualitas udara dan pengelolaan sampah serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3); d. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi. Di samping tugas-tugas pokok yang harus dijalankan, KLH juga memiliki beberapa program yang terkait dengan upaya pemberian apresiasi, guna mendorong berbagai pihak mulai dari pemda, masyarakat luas dan entitas usaha sadar dan menjaga kelestarian lingkungan seperti: a. Adipura b. Adiwiyata c. Amdal d. Kalpataru e. Langit Biru f. Menuju Indonesia Hijau g. Pantai Laut Lestari h. Penaatan Hukum Lingkungan i. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun j. Perencanaan Lingkungan k. Perlindungan Lapisan Ozon l. Proper
17
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
3.2.6. Kementerian Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM) adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan koperasi dan usaha kecil dan menengah. Tugas pokok dan fungsi kementerian ini antara lain adalah: a. Merumuskan kebijakan pemerintah di bidang pembinaan koperasi dan usaha kecil menengah; b. Mengkoordinasikan dan meningkatkan keterpaduan penyusunan rencana dan program, pemantauan, analisis dan evaluasi di bidang koperasi dan usaha kecil menengah; c. Meningkatkan peran serta masyarakat di bidang koperasi dan usaha kecil menengah; d. Mengkoordinasikan kegiatan operasional lembaga pengembangan sumber daya ekonomi rakyat. Salah satu sasaran dari kementerian ini yang berkaitan dengan pembinaan UMKM ramah lingkungan adalah mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi UMKM untuk memperkuat aspek kelembagaan serta membuka pasar baik domestik maupun internasional bagi produk-produk UMKM. Pada pertengahan tahun 2011, Kemenkop dan UKM bekerjasama dengan pemerintah Korea melalui Green Business Center yang beranggotakan negara-negara dalam kelompok ASEM. Tujuan dari kerjasama ini adalah mengembang bisnis hijau serta untuk saling bertukar informasi yang dibentuk bersama dan dikelola oleh Pengusaha Kecil Menengah (PKM) dari negara-negara anggota ASEM untuk mendukung industri hijau dan mengembangkan teknologi hijau serta penghijauan secara terpadu. Namun hingga akhir tahun 2012 belum ada aktivitas nyata yang direalisasikan di Indonesia, karena keterlibatan PKM di Indonesia menggunakan sistem rekrutmen terbuka dengan persyaratan tertentu, sehingga akhir 2011 ada 9 PKM dari Indonesia yang tergabung dalam kelompok tersebut. Untuk aktivitas pembinaan di dalam negeri, hingga akhir tahun 2012 program utama dari Kemenkop dan UKM masih fokus pada penguatan kemitraan UKM dengan industri besar. Hal ini ditujukan untuk memudahkan aspek pemasaran serta pembinaan pada aspek produksi. Di sisi lain kemitraan ini bertujuan untuk memperkenalkan berbagai produk UKM pada pasar potensial melalui penyelenggaraan pameran di berbagai wilayah di Indonesia bahkan luar negeri. Namun sayangnya pembinaan UMK ke arah ramah lingkungan belum menjadi prioritas utama. 3.2.7. Pemerintah Daerah Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundangundangan. Dengan adanya otonomi daerah ini, keberadaan dinas serta tugasnya disesuaikan
18
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dengan kebutuhan daerah masing-masing. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila antar daerah memiliki struktur dinas yang berbeda-beda. Dalam upaya mendapatkan informasi terkait dengan program pembinaan kepada UMKM terkait kelestarian lingkungan telah dilakukan wawancara mendalam (depth interview) kepada kepala Dinas atau staf yang mewakilinya di masing-masing wilayah survei. Dinas-dinas yang menjadi fokus pengumpulan informasi meliputi: Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Dinas Pertanian dan Dinas Koperasi dan UMK. Informasi dari hasil wawancara kepada dinas di wilayah survei, secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Berikut adalah ringkasan hasil wawancara tersebut. a. BLH merupakan dinas yang memiliki tugas utama mengawasi limbah yang dihasilkan oleh IKM, namun karena keterbatasan sumber daya, BLH memprioritaskan aktivitasnya pada IKM yang menghasilkan limbah B3 yang meresahkan masyarakat. Artinya BLH baru akan melakukan tindakan apabila ada laporan dari masyarakat mengenai pencemaran yang terjadi pada lingkungan di mana IKM tersebut berada. Upaya lain yang dilakukan oleh BLH di samping melakukan pengendalian atas limbah yang dihasilkan, juga melakukan edukasi terhadap IKM, di mana intinya adalah menganjurkan agar IKM sedapat mungkin melakukan pengendalian terhadap limbah yang dihasilkan melalui konsep reduce, reuse dan recycle, dengan tujuan menurunkan tingkat pencemaran yang dihasilkan. Di sisi lain BLH memiliki program bantuan kepada kelompok IKM berupa pemberian alat yang dapat digunakan untuk pengolahan limbah industri, seperti alat daur ulang sampah dan alat pembuat biogas dari kotoran hewan. Tujuannya agar limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali dalam bentuk lain. b. Disperindag merupakan lembaga pemerintah yang berada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Secara umum dinas ini memiliki tugas dalam membina dan mengembangkan industri atau usaha mikro, kecil dan menengah. Terkait dengan isu kelestarian lingkungan dinas ini umumnya memiliki concern yang berbeda-beda terhadap program ramah lingkungan. Prioritas utama dari sebagian besar Disperindag di wilayah survei saat ini adalah peningkatan produksi dan kualitas hasil untuk membuka pasar internasional. Sementara pembinaan terhadap IKM agar ramah lingkungan belum menjadi prioritas utama, kalaupun ada sifatnya hanya membantu dinas provinsi atau dari kementerian terkait. Bahkan beberapa dinas merasakan adanya pertentangan kebijakan yang berasal dari BLH terkait dengan pengendalian limbah. Tantangan utama yang dihadapi oleh dinas Disperindag adalah beragamnya jenis industri yang harus dibina, di sisi lain kesadaran para pelaku usaha terhadap kelestarian lingkungan masih terbilang rendah. Upaya untuk mengatasi permasalahan limbah yang dihasilkan oleh industri (terutama industri makanan) yang umumnya usaha berskala mikro atau kecil yang dikelola oleh keluarga dan berdomisili di lingkungan pemukiman, hanya bisa ditempuh melalui relokasi ke sentra industri. Cara ini membutuhkan biaya yang cukup besar, di samping itu keengganan para IKM untuk pindah ke sentra industri yang juga membutuhkan biaya dan menjauhkan dari target pasar (konsumen).
19
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Praktek ramah lingkungan pada IKM sesuai dengan arahan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan masih belum terkoordinasi dengan baik di tingkat kabupaten/kota, hal ini disebabkan Disperindag tingkat kabupaten maupun kota hanya bersifat membantu program tersebut. Akibatnya IKM yang menjadi sasaran program hanya bersifat volunter belaka. Sementara IKM lain yang jumlahnya banyak dapat dikatakan masih belum tersentuh. Oleh karenanya dapat dikatakan IKM yang omzetnya terkategori kecil bahkan mikro masih belum terlalu mempedulikan aspek ramah lingkungan, apalagi sasaran Disperindag baru sebatas peningkatan produksi dari sisi jumlah dan kualitas, belum merambah pada konsep produksi bersih. Kalaupun ada IKM yang melakukan konsep produksi bersih, hal tersebut kebanyakan dilatarbelakangi oleh motif ekonomi bukan atas kesadaran kelestarian lingkungan. c. Dinas Pertanian dalam mendorong pelaku usaha tani agar melakukan praktek ramah lingkungan (pertanian organik), melakukan kemitraan dengan petani untuk mendirikan Sekolah Lapang, tujuannya sebagai demplot atau tempat penyuluhan dan sekaligus peragaan praktek usaha tani terpadu, mulai dari proses hulu hingga hilir. Dinas menyiapkan dana khusus untuk menyelenggarakan program yang diberikan dalam bentuk bantuan saprotan, pengadaan sapi beserta bantuan pembuatan kandang, serta alat pengolahan kompos menjadi biogas. Masalah utama yang ditemui para petani produk sayuran oganik adalah aspek pemasaran. Ini disebabkan masih belum tumbuhnya konsumen organik disebabkan harganya yang relatif mahal dan kurangnya edukasi. Pertanian khususnya subsektor tanaman pangan merupakan subsektor yang lebih dekat dengan praktek ramah lingkungan. Karena spektrum aktivitasnya cukup luas, usaha tani tanaman pangan ini rentan terhadap klaim organik, karena banyak aspek yang dapat dijadikan dasar klaim petani atau pelaku usaha tani untuk menamai produknya ramah lingkungan, mulai dari penggunaan bibit bersertifikasi, penggunaan pupuk organik, maupun penggunaan biopestisida. Aspek lain adalah sulitnya membedakan secara fisik antara produk organik dengan produk non organik. Oleh karenanya sertifikasi yang dilakukan lembaga independen dan kredibel menjadi kebutuhan yang mendesak. Khusus untuk subsektor perkebunan istilah ramah lingkungan lebih banyak diartikan sebagai upaya untuk: (a) tidak merambah pada pembalakan atau pembukaan hutan alam sebagai perluasan areal perkebunan terutama perkebunan sawit dan karet; (b) menjaga keseimbangan ekosistem dengan cara menyediakan hutan pada sebagian areal perkebunannya sebagai habitat tempat hidupnya berbagai satwa dan tumbuhan lain guna menjaga keragaman hayati. Di samping perhatian terhadap kondisi lingkungan fisik, subsektor perkebunan juga menambahkan konsep kesimbangan sosial ekonomi masyarakat sekitar dengan konsep pro poor, pro growth dan pro job yang pada akhirnya akan bermuara pada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISCO), khususnya untuk perkebunan kelapa sawit. Subsektor lain dari sektor pertanian seperti peternakan unggas atau ruminansia (ternak besar) serta perikanan, masih jauh dari penerapan aspek-aspek ramah lingkungan.
20
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Beberapa usaha perikanan seperti tambak udang sudah ada yang melakukan kegiatan ramah lingkungan, namun ini dipicu karena produknya berorientasi ekspor. d. Sektor pertambangan merupakan aktivitas usaha yang jauh dari ramah lingkungan dilihat dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, tidak saja merubah ekosistem, namun juga pencemaran yang ditimbulkan baik pada lingkungan air (sistem tata air), tanah dan udara. Pertambangan juga merubah tatanan sosial dan kemasyarakatan serta adat-istiadat di mana lokasi tambang tersebut berada. Menyimak hasil pengumpulan informasi dari dinas-dinas di atas berkaitan dengan tugas dan fungsi serta upaya pembinaan terhadap UMKM agar ramah lingkungan, dapat dikatakan bahwa iklim otonomi daerah menyebabkan struktur organisasi masing-masing dinas di tingkat kabupaten maupun kota tidak lagi seragam. Struktur kelembagaan yang menyangkut tugas dan wewenang masing-masing dinas disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pemda sesuai prioritas program pembangunan yang akan dijalankan. Sementara itu koordinasi struktural dengan dinas provinsi maupun pusat hanya sebatas pada program yang terkait dengan isu bersama, dimana peran dinas di tingkat kabupaten atau kota hanya bersifat membantu. Berdasarkan fakta ini bisa terjadi bahwa program yang menjadi prioritas bagi pemerintah pusat atau provinsi, belum tentu menjadi prioritas yang sama bagi daerah lainnya. Di sisi lain dalam melaksanakan tugasnya, setiap dinas berada di bawah koordinasi bupati atau walikota setempat. Oleh karenanya dalam menyusun program kegiatan pembangunan termasuk aktivitas yang mendorong para pelaku usaha agar mengarah pada ramah lingkungan akan sangat ditentukan oleh prioritas yang akan dicapai oleh masing-masing pemkab atau pemkot. 3.3. Peran Lembaga Keuangan dalam Pengembangan UMKM Ramah Lingkungan di Indonesia Pengelolaan lingkungan hidup seringkali dihadapkan pada berbagai kendala serta tantangan, antara lain terbatasnya ketersediaan pendanaan yang memadai bagi investasi lingkungan, serta rendahnya kesadaran terhadap arti penting dari peran lingkungan dalam menopang berbagai aktivitas didalamnya. Berdasarkan eksplorasi terhadap sumber-sumber pendanaan bagi kelestarian lingkungan di Indonesia, pendanaan untuk pengelolaan lingkungan sebagian besar merupakan dana hibah, seperti subsidi kompos, hibah alat pengomposan dari berbagai perusahaan, penghapusan bahan perusak lapisan ozon dan berbagai program hibah lainnya. Ironisnya, skim pendanaan tersebut masih terbatas sebagai program pilot project dan sangat tergantung anggaran dari pemerintah dan negara donor. Sejatinya potensi pendanaan melalui lembaga keuangan khususnya perbankan sangat terbuka, namun dukungan dari lembaga perbankan di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan seperti: a. Sifat investasi lingkungan yang dipahami bersifat cost center dan memerlukan waktu yang panjang.
21
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
b. Perbankan merupakan lembaga yang high regulated, artinya program kerjanya didasarkan atas peraturan yang ketat, di mana dalam memberikan pinjaman (kredit) perlu berbagai pertimbangan sesuai dengan azas 5C. Terkait dengan alasan pertama di atas, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terus berupaya mengubah pemahaman bahwa investasi lingkungan dapat juga mendatangkan keuntungan yang memadai sehingga layak mendapatkan pinjaman. Upaya KLH dimulai sejak tahun 1993 dengan melibatkan perbankan sebagai bank pelaksana dan penyalur dalam skema pinjaman lunak lingkungan. Keterlibatan perbankan selaku bank pelaksana dalam program pemberian insentif kepada kalangan usaha ini, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas perbankan dalam mengenali investasi lingkungan dan prospeknya di masa yang akan datang. Namun sayangnya setelah program tersebut berjalan beberapa periode bahkan hingga akhir tahun 2012, bank pelaksana maupun penyalur tidak menindaklanjuti atau menjadikan program tersebut sebagai inisiasi bagi skim pinjaman sejenis yang didanai oleh perbankan sendiri. Fakta ini menimbulkan berbagai dugaan seperti: apakah investasi lingkungan tidak menguntungkan secara ekonomi dibandingkan dengan produk pinjaman konvensional yang saat ini ada, atau aspek teknis maupun prosedur dari pinjaman lunak ramah lingkungan relatif kompleks sehingga secara teknis sulit dilakukan, atau lembaga perbankan memerlukan landasan peraturan yang lebih komprehensif dari pemerintah, atau bahkan pasar untuk skim kredit ini masih terbatas, sehingga kurang menarik perbankan. Bila dilihat dari dimensi yang lebih luas, lembaga perbankan memiliki andil langsung maupun tidak langsung terhadap pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh UMKM. Hal ini disebabkan oleh perannya dalam investasi dan pembiayaan industri tersebut. Dalam kaitan ini, perbankan sudah sewajarnya menerapkan kebijakan pembiayaan bagi industri yang akan didanai, seperti pemenuhan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun Usaha Pengelolaan Lingkungan dan Usaha Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) bagi usaha berskala besar sebagaimana yang telah diatur oleh Bank Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dalam Kesepakatan Bersama (MoU) tentang "Green Banking" (GB) yang ditandatangani pada tanggal 17 Desember 2010. Ada empat program utama dalam MoU tersebut yakni: a. Persiapan masalah hukum dan pelaksanaan GB. b. Manual dan kepatuhan nasabah pada perlindungan lingkungan, penjabaran teknis antara BI dan KLH, dan direktori konsultan lingkungan. c. Pendidikan dan sosialisasi yang mencakup risiko pelatihan manajemen dan pelatihan sosialisasi. d. Penelitian bersama untuk membangun tinjauan akademik GB. Tujuan dari MOU ini adalah untuk menjawab bagaimana peran aktif dan pengembangan produk-produk perbankan dan lembaga keuangan melalui pembiayaan ramah lingkungan yang mendorong seluruh pelaku ekonomi agar lebih beretika dan ramah lingkungan selaras dengan pembangunan yang berkelanjutan melalui keseimbangan sektor ekonomi, lingkungan dan sosial. Hal ini dilakukan dengan menjelaskan usaha-usaha lembaga keuangan guna memahami ketergantungannya pada lingkungan, serta menunjukkan risiko dan peluang produk dan jasa pembiayaan ramah lingkungan yang telah dikembangkan dan diimplementasikan di seluruh dunia oleh lembaga keuangan konvensional dan Syariah. 22
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Adanya MoU tersebut, mendorong lembaga perbankan untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam melakukan analisis pemberian pinjaman yang diajukan oleh perusahaan. Lembaga perbankan dalam memberikan pinjaman kepada badan usaha dikaitkan dengan program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) yang dilakukan oleh KLH. PROPER merupakan salah satu upaya KLH untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi. PROPER dilakukan melalui berbagai kegiatan yang diarahkan untuk: (i) mendorong perusahaan untuk menaati peraturan perundang-undangan melalui insentif dan disinsentif reputasi, dan (ii) mendorong perusahaan yang sudah baik kinerja lingkungannya untuk menerapkan produksi bersih (cleaner production). Pada periode 2011–2012 sebanyak 1.317 perusahaan dari berbagai sektor yang tersebar di 22 Provinsi seperti: sektor industri, pertambangan, energi, migas, agroindustri, kawasan industri dan jasa telah melalui pemeriksaan kinerja pengelolaan lingkungannya. Hasilnya, jumlah dan komposisi peringkat pada periode ini adalah:
Peringkat Emas berjumlah 12 perusahaan (1%) Peringkat Hijau berjumlah 119 perusahaan (9%) Peringkat Biru berjumlah 771 perusahaan (59%) Peringkat Merah berjumlah 331 perusahaan (25%) Peringkat Hitam berjumlah 79 perusahaan (6%)
Berdasarkan informasi PROPER ini kemudian lembaga perbankan menggunakannya sebagai pertimbangan dalam penyaluran kreditnya. Perlu diketahui bahwa, industri di Indonesia yang berskala mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan pemangku kepentingan yang strategis dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Diakui bahwa UMKM memiliki kontribusi signifikan bagi Pendapatan Domestik Bruto Indonesia (lebih dari 53 persen tahun 2007), namun pada saat yang sama, ribuan UMK di Indonesia juga bertanggung jawab terhadap limbah dan pencemaran yang dihasilkannya. Faktor utama yang diduga menjadi penyebab pencemaran lingkungan oleh UMKM adalah ketiadaan modal guna investasi serta rendahnya pengetahuan terhadap kelestarian lingkungan. Ketiadaan modal ini disebabkan oleh lemahnya akses UMK terhadap lembaga perbankan terkait dengan pinjaman lunak ramah lingkungan. Ironisnya kalaupun UMK memperoleh pinjaman, bunga yang dibebankan akan lebih besar dibandingkan debitur korporasi. Alasan utamanya adalah masalah risiko kredit serta biaya yang harus dikeluarkan perbankan. Dalam pandangan KLH, Bank harus menyetarakan perlakuan terhadap debitur korporasi dan menengah dengan UMK. Bahkan beban bunga bagi UMK seyogyanya lebih rendah guna mendorong dan membuka peluang agar UMK memperoleh dana dan sebagian peruntukannya untuk mengurangi limbah melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih. Kesetaraan juga harus diberikan antara kepentingan investasi pengembangan usaha dengan investasi untuk pengelolaan lingkungan, porsi pembiayaan bank untuk keperluan ini dirasa masih sangat kecil (bila tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali) dibandingkan total dana yang disalurkan.
23
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Keberpihakan bank pada pembangunan yang berkelanjutan seharusnya bisa ditunjukkan dengan memberikan insentif pembiayaan bagi UMK yang mengarah keramah lingkungan. Hingga akhir tahun 2012, belum ada lembaga perbankan yang secara khusus memiliki produk atau skim kredit yang didanai sendiri untuk UMKM yang berorientasi ramah lingkungan. Dari hasil wawancara kepada beberapa bank BUMN maupun BUSN, belum adanya skim pembiayaan bagi UMKM untuk menuju ramah lingkungan disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a. Belum ada peraturan yang menjadi rujukan bagi bank untuk mengadakan kredit atau pinjaman ramah lingkungan. b. Perlu adanya kesiapan khusus untuk menjalankan produk pinjaman ramah lingkungan seperti kriteria teknis yang jelas dalam melakukan penilaian terhadap calon debitur. c. Lembaga perbankan perlu melibatkan atau bekerjasama dengan pihak ketiga yang dapat menjadi penilai dan sekaligus pemantau (assesor) atas pelaksanaan aktivitas ramah lingkungan yang dilakukan oleh calon debitur. d. Kebutuhan UMKM terhadap pendanaan baik untuk modal kerja dan investasi saat ini sudah dapat ditutupi dengan berbagai skim pinjaman yang sudah dimiliki lembaga perbankan, seperti Kredit usaha mikro, Kredit usaha mikro serbaguna atau kredit komersial lainnya, dan juga Kredit Usaha Rakyat (KUR). e. Khusus untuk pembinaan UMK, lembaga perbankan secara umum sudah memiliki Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang dananya bersumber dari program CSR Bank. f. Beberapa bank secara khusus memiliki program yang “diklaim” sebagai kegiatan yang berorientasi ramah lingkungan yang disalurkan melalui program CSR meliputi: 1. Penyediaan sarana dan prasarana penunjang pengadaan air bersih di daerah yang masih kesulitan air. 2. Pengembangan energi terbarukan yang bertujuan untuk memberikan alternatif energi bagi daerah yang belum dialiri listrik dan membantu pengembangan akses masyarakat terhadap listrik dan energi. 3. Penanaman pohon pada lahan kritis untuk menghijaukan kembali bumi Indonesia, mendukung program pemerintah penanaman 1 miliar pohon dan sebagai tindakan pencegahan bencana alam. 4. Penanaman dan pemeliharaan tumbuhan bakau di daerah pantai dengan tujuan untuk mencegah terjadinya abrasi. 5. Pengadaan taman kota yang menggabungkan konsep penghijauan, edukasi, dan ekonomi yang bertujuan untuk menyediakan lahan terbuka hijau dan menyediakan sarana rekreasi dan edukasi bagi masyarakat. 6. Pengembangan eco wisata dengan tujuan memberdayakan masyarakat dalam bidang pariwisata dan menjaga keasrian lingkungan. Menyimak informasi yang diperoleh dari perbankan terkait dengan belum tersedianya pinjaman ramah lingkungan, agaknya cukup beralasan mengingat untuk mengadakan produk pinjaman ramah lingkungan memerlukan berbagai persiapan baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal perlu adanya suatu landasan peraturan yang jelas dan mengikat disertai dengan pedoman teknis agar memudahkan dalam pelaksanaannya di lapangan. 24
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertimbangan lain yang perlu dicermati adalah kondisi UMKM mayoritas saat ini tampaknya belum terlalu mempedulikan aspek kelestarian lingkungan, oleh karenanya perlu adanya suatu strategi bersama yang harus dilakukan oleh lembaga perbankan bekerjasama dengan berbagai instansi terkait untuk melakukan edukasi secara berkelanjutan kepada pelaku UMKM untuk menumbuhkan perilaku sadar lingkungan. Dari sisi internal pihak perbankan perlu menyiapkan kebijakan yang berimbang antara kebijakan yang berorientasi pada pertimbangan bisnis dan kebijakan yang dapat mendorong pada kelestarian lingkungan. Sementara itu program kegiatan CSR yang di “klaim” oleh perbankan sebagai aktivitas ramah lingkungan pada dasarnya tidak terkait dengan program pinjaman yang mendorong UMK untuk melakukan usahanya yang ramah lingkungan, namun lebih kepada upaya aktivitas sosial yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan. 3.3.1. Program PKBL Perbankan Meski saat ini lembaga perbankan belum memiliki skim khusus yang diperuntukkan untuk mendorong UMKM agar ramah lingkungan, namun lembaga perbankan memiliki program CSR yang dalam pelaksanaannya, sebagian diarahkan pada Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL), di mana program ini diarahkan untuk melakukan pembinaan kepada usaha mikro dan kecil tujuannya adalah mendukung perkembangan dan peningkatan kompetensi UMKM yang merupakan roda penggerak perekonomian masyarakat. Dalam PKBL ini UMKM binaan diperlakukan sebagai mitra usaha, agar usaha yang dilakukan cepat berkembang. Pihak perbankan memberikan akses UMKM pada jasa perbankan melalui pinjaman kemitraan non komersial. Dalam program PKBL ini mitra diberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, pameran dan publikasi di media. Melalui pinjaman kemitraan dan pembinaan yang diberikan secara intensif, diharapkan para Mitra Binaan dapat menjadi pengusaha yang tangguh, mandiri dan beretika serta mampu mengakses fasilitas perbankan secara komersial. Program yang dilakukan pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kesulitan UMKM bukan hanya dari sisi permodalan namun juga upaya pengembangan usaha, oleh karenanya UMKM juga membutuhkan dukungan pembinaan berupa pendidikan, pelatihan teknis dan pendampingan. Pihak perbankan telah memberikan pelatihan motivasi dan pembukuan sederhana dengan harapan agar Mitra Binaan dapat membuat laporan keuangan, memiliki insting bisnis dan jiwa leadership yang tinggi serta kemauan yang kuat untuk mengembangkan bisnisnya secara visioner. Masalah utama lain yang dihadapi oleh UMK adalah aspek pemasaran, terkait dengan hal ini beberapa bank melakukan pelatihan pengembangan pemasaran produk-produk UMKM. Untuk tujuan itu para Mitra Binaan diikutkan dalam berbagai kegiatan pameran baik di dalam maupun di luar negeri. Pihak perbankan juga mempromosikan profil usaha dan produk Mitra Binaan di media cetak berskala nasional baik koran maupun majalah. Upaya promosi ini diharapkan dapat memperluas jaringan pemasaran dan meningkatkan produktivitas Mitra Binaan. Selain itu juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat umum khususnya generasi muda untuk memunculkan motivasi berwirausaha. Tujuan akhirnya adalah untuk 25
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
melahirkan lebih banyak pengusaha-pengusaha baru yang gigih dan siap bersaing secara sehat dengan kompetitor di dalam maupun luar negeri. Meskipun program PKBL telah mulai dilakukan oleh lembaga perbankan melalui program CSR, namun bila disimak tujuan yang menjadi sasaran utama adalah peningkatan kualitas dan kuantitas produksi melalui pembinaan kualitas SDM serta membuka peluang usaha atau pasar, serta pemberian pinjaman non komersial. Meski secara umum program ini merupakan suatu langkah terobosan melalui program kemitraan, namun secara kuantitatif jumlah UMK binaan relatif masih sangat sedikit. Sementara masih banyak UMKM yang belum tersentuh sama sekali dengan program sejenis, baik melalui program PKBL maupun program pembinaan yang dilakukan oleh masing-masing dinas terkait. Satu hal yang perlu dicermati adalah, program PKBL ini belum secara langsung menyentuh aspek pembinaan usaha yang ramah lingkungan. Oleh karena itu upaya lembaga perbankan dalam melakukan CSR melalui PKBL ke arah ramah lingkungan perlu segera diinisiasi dengan melibatkan dinas terkait termasuk dengan BLH atau KLH. 3.3.2. Pinjaman Lunak Ramah Lingkungan Hingga akhir tahun 2012 belum ada bank BUMN maupun BUSN yang memberikan pinjaman lunak ramah lingkungan bagi UMKM dari dana sendiri, padahal keterbatasan pendanaan bagi pembiayaan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan. Program Pinjaman Lunak Lingkungan merupakan seperangkat instrumen ekonomi yang bersifat preventif kepada dunia usaha dalam melakukan pengelolaan Lingkungan Hidup melalui pembiayaan investasi lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan beberapa lembaga perbankan mengelola dan menyalurkan dana yang bersumber dari negara asing, yaitu: 1. Program PAE (Pollution Abatement Equipment) dimulai dari tahun 1992-2011 dengan sumber dana dari Jepang melalui JBIC (Japan Bank for International Cooperation)- (JBICPAE) 2. Program IEPC (Industrial Efficiency and Pollution Control) Tahap I dimulai dari Tahun 19982013) dengan sumber dana dari Pemerintah Jerman melalui KfW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau) 3. Program IEPC (Industrial Efficiency and Pollution Control) Tahap II dimulai dari Tahun 20042044 dengan sumber dana berasal dari Pemerintah Jerman melalui KfW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau) 4. Program DNS (Debt for Nature Swap) dimulai dari Tahun 2006-2011 dengan sumber dana dari Pemerintah Jerman melalui KfW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau). Program ini merupakan program penghapusan hutang negara sebanyak dua kali lipat dari dana yang disalurkan oleh program DNS. Keempat program di atas bertujuan untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Usaha Besar dalam pengelolaan lingkungan dan meningkatkan efisiensi produksi, secara tidak langsung program di atas merupakan insentif bagi pelaku usaha untuk merubah proses 26
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
produksinya menjadi usaha yang lebih ramah lingkungan. Pada pelaksanaannya, KLH didampingi oleh konsultan yang disebut TAU (Technical Assisstant Unit) yang bertujuan untuk membantu perbankan dalam mencari calon nasabah dan penilaian kelayakan teknis dari peralatan yang akan diajukan. Khusus untuk program IEPC Tahap I dan program DNS terdapat kegiatan Capacity Building yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas perbankan, efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan dana pinjaman dari bank pelaksana, yang meliputi kegiatan rekomendasi teknis, pemantauan/pengawasan, pelatihan dan workshop. Skema pendanaan lingkungan yang dikembangkan KLH sangat terbatas dan belum mampu menjawab permasalahan keterbatasan dana dunia usaha bagi upaya pengelolaan lingkungan. Peluang pertukaran hutang melalui pembiayaan kegiatan lingkungan atau yang dikenal dengan program DNS merupakan alternatif pendanaan yang potensial dalam melengkapi skema pendanaan lingkungan yang ada, karena dengan pendanaan tersebut UMKM dapat mengatasi permasalahan lingkungannya sekaligus dapat mengurangi hutang Pemerintah Indonesia. Dana pinjaman bersifat bergulir (revolving fund), sehingga akan diterus-pinjamkan kembali kepada dunia usaha yang menerapkan upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan. Ketentuan yang berlaku untuk mendapatkan dana pinjaman lunak lingkungan dijabarkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Skema Pinjaman Lunak Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup JBIC-PAE
Sasaran
Bank Pelaksana
Jenis
IEPC-KfW
IEPC-KfW
Tahap I
Tahap II
Seluruh Skala Usaha
UKM
UKM
UMK
6 Bank Nasional (Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BCA, Bank BII, Bank Danamon dan Bank Lippo)
4 BPD, 1 Bank Nasional (Bank BNI, Bank Jateng, Bank Nagari, Bank Jabar Banten, BPD Bali)
2 APEX Bank (Bank BNI dan Bank BEI) 7 Bank Pelaksana (Bank BNI, Bank BEI, Bank Jateng, Bank Nagari,Bank Niaga, Bank Kalbar dan BPD Yogyakarta
Bank Syariah Mandiri
Investasi
Investasi
Investasi (75%) Modal Kerja (25%)
Investasi (60%) Modal kerja (40%)
SBI
9-14%
Rata-rata 2% dibawah komersial
Sistem bagi hasil (setara bunga 10 %)
Kredit Suku Bunga (efektif)
DNS
27
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Bantuan Teknis
-
Konsultan regional
Tim konsultan
Tim konsultan
Sumber : (Ekonomi Lingkungan) Kementerian Lingkungan Hidup Dana ini dapat diberikan apabila dunia usaha tersebut telah memenuhi kelayakan teknis yang ditentukan berdasarkan penilaian KLH dan kelayakan finansial yang ditentukan berdasarkan penilaian Bank Pelaksana. a. Mekanisme Pengajuan Pinjaman Prosedur mendapatkan pinjaman lunak lingkungan, sebagai berikut: 1. Pengajuan permohonan pinjaman dari Perusahaan kepada Bank Pelaksana. 2. Penilaian aspek finansial oleh Bank Pelaksana. 3. Permohonan penilaian aspek teknis dari Bank Pelaksana kepada KLH. 4. Penilaian aspek teknis oleh KLH. 5. Penyampaian hasil penilaian teknis KLH kepada Bank Pelaksana. 6. Pencairan dana dari Bank Pelaksana kepada Perusahaan Pemohon. b. Komponen Pembiayaan Komponen investasi yang dapat dibiayai: 1. Peralatan pencegahan pencemaran (mesin produksi yang ramah lingkungan, mesin yang lebih efesien dari segi bahan baku, energi dan berkurangnya cacat serta kegagalan produk); 2. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Instalasi Pengendalian Pencemaran Udara (IPPU), Instalasi Pengolahan Limbah Padat (IPLP), Instalasi Daur Ulang Limbah (IDUL); 3. Jasa konsultasi desain sistem dan konstruksi sipil, pencegahan dan pengendalian pencemaran, serta daur ulang; 4. Lahan tapak IPAL. c. Komponen modal kerja yang dapat dibiayai: Modal kerja permanen yang terkait investasi seperti bahan kimia, suku cadang dan lain-lain yang terkait dengan mesin atau alat yang dibiayai (tidak lebih dari 40%). d. Komponen investasi yang tidak dapat dibiayai: Beberapa hal yang tidak termasuk dalam pembiayaan program ramah lingkungan ini meliputi: 1. Biaya administrasi 5. Bangunan pabrik, gudang, kantor, kantin 2. Pajak 6. Kompensasi dan pembebasan lahan pabrik 3. Alat transportasi 7. Biaya operasi dan pemeliharaan 4. Power plant, genset
28
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Hasil wawancara mendalam dengan pihak KLH dan beberapa Bank Pelaksana, program ini cukup berhasil yang dicerminkan dengan meningkatnya jumlah debitur yang memanfaatkan. Sayangnya, meski beberapa Bank Pelaksana sudah memiliki niatan untuk menyertakan dana sendiri untuk pinjaman lunak ini, namun hingga saat ini belum ada satupun lembaga Bank Pelaksana yang merealisasikannya.
29
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
IV.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
UMKM Ramah Lingkungan
Dari paparan terdahulu, permasalahan yang dihadapi UMKM untuk menuju ramah lingkungan seakan bermuara hanya pada aspek permodalan belaka, di mana permodalan ini akan digunakan untuk investasi peralatan guna meningkatkan efisiensi baik dalam proses produksi serta pengurangan limbah yang dihasilkan. Sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh UMKM terkait dengan kelestarian lingkungan tidak semata aspek permodalan, namun ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian yakni masalah pengetahuan mengenai kelestarian itu sendiri dan tingkat kesiapan UMKM dalam menjalankan aktivitas ramah lingkungan. UMKM meski secara modal maupun aset dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, namun bila dilihat dari sisi subsektor usahanya, kondisinya akan sangat beragam, baik dari sisi pengetahuan, kondisi usaha yang meliputi proses produksi maupun kondisi lingkungannya. Oleh karenanya informasi yang komprehensif mengenai kondisi UMKM yang meliputi pengetahuan dan aktivitasnya yang terkait dengan aspek ramah lingkungan perlu diketahui. Untuk mengetahui sejauh mana UMKM sudah menerapkan kaidah ramah lingkungan dalam aktivitas usahanya, tentu perlu adanya suatu kriteria yang jelas. Melalui kriteria ini kemudian dapat ditentukan tingkat kepatuhan UMKM dalam menjalakan aktivitas ramah lingkungan. Berikut adalah paparan kondisi UMKM dari empat sektor ekonomi yang berkaitan dengan usaha ramah lingkungan. Melalui paparan ini diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan isu lingkungan sedikit banyak dapat diketahui dan untuk kemudian dicarikan solusinya. 4.1.1. Sektor Pertanian 4.1.1.1.
Profil Responden
Sektor pertanian memiliki 4 subsektor usaha, yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan, dimana masing-masing subsektor dibedakan lagi menurut jenis komoditasnya. Pada penelitian ini telah diupayakan untuk meliputi sebagian besar jenis serta skala usaha dari masing-masing subsektor dengan harapan dapat diketahui karakteristik yang berhubungan dengan aktivitas dan kondisi UMKM pada sektor ini. Pada Tabel 4.1 disajikan profil usaha responden pada sektor pertanian. Tampak bahwa jumlah responden sektor pertanian untuk sub sektor tanaman pangan, tanaman hias dan hortikultura sebesar 40%, subsektor Perikanan sebesar 28%, Peternakan sebesar 17% dan Perkebunan sebesar 15%. Sementara itu untuk masing-masing subsektor dijelaskan distribusi responden sesuai dengan jenis usahanya.
30
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.1. Profil Responden Sektor Pertanian WILAYAH TOTAL Base Responden : A. PERTANIAN 1. HOLTIKULTURA - Cabe - Sayuran - Jeruk - Jamur - Kentang - Semangka non biji - Salak 2. TANAMAN PANGAN - Padi - Jagung - Beras 3. TANAMAN HIAS - Tanaman hias - Mawar B. PERIKANAN 1. PERIKANAN LAUT - Bandeng - Udang - Udang windu - Gurame - Ebi - Teripang 2. PERIKANAN TAWAR - Ikan lele - Ikan KOI - Ikan Nila C. PETERNAKAN - Ayam Potong - Susu SAPI - Ternak sapi - Ayam potong dan telur - Kelinci - Bebek potong - Sarang Burung Walet D. PERKEBUNAN - Kelapa sawit - Tebu - Karet
81 40% 21% 7% 6% 2% 1% 1% 1% 1% 15% 11% 2% 1% 5% 4% 1% 28% 17% 7% 4% 2% 1% 1% 1% 11% 9% 1% 1% 17% 7% 2% 2% 1% 1% 1% 1% 14% 9% 2% 2%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha Tengah Timur Utara Selatan Timur Mikro Kecil Menengah 12 33% 17% 8% 8% 17% 17% 50% 33% 33% 17% 17% 17% 8% 8% -
22 36% 14% 5% 5% 5% 18% 18% 9% 5% 5% 36% 36% 9% 14% 9% 5% 14% 9% 5% 9% 9% -
19 42% 16% 11% 5% 26% 11% 11% 5% 5% 5% 5% 16% 11% 5% 37% 37% -
16 38% 19% 13% 6% 6% 6% 13% 13% 44% 13% 6% 6% 31% 19% 6% 6% 19% 13% 6% -
12 50% 50% 17% 17% 8% 8% 8% 8% 8% 25% 8% 17% 17% 17%
46 43% 22% 9% 2% 4% 2% 2% 2% 17% 13% 4% 4% 4% 28% 20% 7% 4% 2% 2% 2% 2% 9% 7% 2% 20% 7% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 9% 4% 2% 2%
26 35% 19% 4% 12% 4% 12% 8% 4% 8% 4% 4% 23% 8% 4% 4% 15% 12% 4% 12% 8% 4% 27% 19% 4% 4%
9 33% 22% 11% 11% 11% 11% 44% 33% 22% 11% 11% 11% 22% 11% 11% -
Berdasarkan skala usaha responden, dapat dikategorikan menjadi 57% termasuk usaha mikro, 32% usaha kecil dan 11% usaha menengah. Perlu dijelaskan bahwa untuk sektor pertanian hortikultura dan tanaman pangan serta tanaman hias sebagian besar berskala mikro dan umumnya dikelola oleh perorangan, hal ini disebabkan keterbatasan penguasaan lahan. Kepemilikan lahan umumnya hanya berkisar 0,25 hingga 0,75 Ha. Sementara untuk perikanan,
31
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
peternakan maupun perkebunan, mayoritas berskala kecil. Kendala yang sama dijumpai terkait dengan masalah penguasaan lahan. Sementara itu aset yang dimiliki untuk masing-masing subsektor pertanian disajikan pada Tabel 4.2. Sejalan dengan skala usaha yang dimiliki, berdasarkan aset dari masing-masing subsektor, sebanyak 43% responden memiliki aset sampai dengan Rp50 juta, 42% responden memiliki aset antara Rp50 juta hingga Rp500 juta dan sebanyak 15% responden memiliki aset antara Rp500 juta hingga Rp10 miliar. Tabel 4.2. Aset yang dimiliki Usaha Sektor Pertanian
SUB SEKTOR TOTAL Base Responden : Sampai dengan Rp 50 juta Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar
81 43% 42% 15%
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan 35 51% 37% 11%
10 50% 50% -
18 44% 33% 22%
24 25% 50% 25%
Jumah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tani dari masing-masing subsektor dijabarkan pada Tabel 4.3, tampak bahwa kisaran jumlah tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan usaha tani mayoritas berjumlah antara 5 hingga 19 orang. Hal ini sesuai dengan distribusi skala usaha yang dimiliki. Tabel 4.3. Jumlah SDM yang bekerja pada Subsektor Pertanian
SUB SEKTOR TOTAL Base Responden : 1 - 4 orang (Mikro) 5 - 19 orang (Kecil) 20 - 99 orang (Menengah)
81 30% 49% 20%
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan 35 23% 57% 17%
10 30% 40% 30%
18 39% 50% 11%
24 33% 42% 25%
Dari sisi status ketenagakerjaan SDM yang bekerja pada masing-masing subsektor Pertanian secara keseluruhan hanya 36% yang merupakan pekerja tetap, 64% lainnya merupakan pekerja tidak tetap (Gambar 4.1).
32
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Gambar 4.1. Status Pekerja pada Subsektor Pertanian
Pertanian
49%
Perkebunan
51%
22%
78%
Tenaga Kerja Tetap Peternakan
54%
Perikanan
46%
25%
0%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
75%
20%
40%
60%
80% 100%
Dari sisi subsektor, pekerja tetap lebih banyak dijumpai pada subsektor tanaman pangan, tanaman hias dan hortikultura serta peternakan, sedangkan pada subsektor perkebunan dan perikanan tenaga kerja tak tetap. Bila dilihat dari sisi aktivitas yang dilakukan sangatlah wajar komposisi tersebut, seperti di perkebunan dan perikanan, aktivitas rutin terjadi pada pemeliharaan tanaman, di mana jumlah tenaga kerja tidak terlalu banyak yang dibutuhkan, sementara pada saat panen kebutuhan tenaga kerja lebih banyak. Sementara pada subsektor tanaman pangan, tanaman hias dan hortikultura serta peternakan, pemeliharaan tanaman dan hewan ternak relatif lebih rutin, sehingga kebutuhan tenaga kerjanya relatif lebih banyak. Lama usaha yang sudah dijalani dari masing-masing subsektor mayoritas sudah melebihi waktu 10 tahun (Tabel 4.4). Namun terdapat juga responden yang baru berusaha antara 3-5 tahun, terutama pada subsektor peternakan dan perikanan masing-masing 22% dan 25%. Tabel 4.4. Lama Usaha yang sudah dilakukan
SUB SEKTOR TOTAL Base Responden : 3 – 5 tahun Lebih dari 5 – 10 tahun Lebih dari 10 tahun
81 14% 25% 62%
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan 35 9% 23% 69%
10 0% 50% 50%
18 22% 22% 56%
24 25% 17% 58%
Informasi penting terkait dengan profil responden adalah masalah ada tidaknya badan hukum atas usaha yang dilakukan. Hal ini kelak sangat berkaitan dengan upaya kredit yang akan disalurkan, dimana badan hukum pendirian usaha menjadi salah satu persyaratan dalam pengajuan kredit. Pada Tabel 4.5. disajikan kepemilikan badan hukum usaha tani yang dilakukan.
33
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.5. Kepemilikan Badan Hukum Usaha Sektor Pertanian SKALA USAHA TOTAL Base Responden : 81 Ya 22% Tidak 78%
Usaha Mikro
SUB SEKTOR
Usaha Usaha Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan Kecil Menengah
46 17% 83%
26 27% 73%
9 33% 67%
35 29% 71%
10 100%
18 33% 67%
24 17% 83%
Dari 81 responden sektor pertanian, hanya 22% usaha yang memiliki badan hukum dan selebihnya belum memiliki badan hukum. Subsektor peternakan lebih banyak yang memiliki badan hukum (33%), urutan berikutnya adalah subsektor pertanian, sedangkan perkebunan sama sekali tidak memiliki. Fakta ini menunjukkan bahwa kebanyakan usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat tidak memiliki persyaratan adminsitrasi dalam melakukan akses ke lembaga perbankan. Bentuk badan hukum yang dimiliki adalah Usaha Dagang (UD) sebanyak 72%, sedangkan 28% lainnya adalah CV (Tabel 4.6). Tabel 4.6. Jenis Badan Hukum yang Dimiliki Usaha tani
SKALA USAHA
SUB SEKTOR
TOTAL
Usaha Mikro
Usaha Usaha Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan Kecil Menengah
Base Responden : 18 CV 28% UD (Firma) 72%
8 25% 75%
7 29% 71%
3 33% 67%
10 30% 70%
-
6 33% 67%
4 25% 75%
Sementara itu, berdasarkan jenis perijinan (Tabel 4.7) yang digunakan oleh pemilik usaha tani dalam menjalankan usahnya, mayoritas adalah Surat Keterangan dari Desa atau Kecamatan (69%), namun 27% diantaranya sudah memiliki NPWP dan 26% memiliki SIUP. Sedangkan ijin seperti TDP/TDI, akta pendirian usaha, dan surat ijin gangguan dimiliki tidak lebih dari 10% usaha tani. Tabel 4.7. Surat Izin Usaha yang dimiliki SKALA USAHA
Base Responden : Surat Keterangan Usaha Desa/Kecamatan NPWP SIUP TDP / TDI Akta Pendirian Perusahaan Surat Ijin Gangguan/Lingkungan/HO yang diterbitkan oleh Walikota Surat pendirian kelompok Tidak ada
SUB SEKTOR
TOTAL
Usaha Mikro
81 69% 27% 26% 7% 5%
46 65% 11% 17% 2% 2%
26 73% 38% 27% 8% 12%
9 78% 78% 67% 33% -
35 66% 31% 26% 6% 6%
10 80% 10% -
18 72% 33% 39% 6% -
24 71% 29% 25% 13% 8%
7%
4%
8%
22%
11%
-
6%
4%
1% 20%
26%
4% 15%
-
23%
20%
17%
4% 17%34
Usaha Usaha Kecil Menengah
Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Kondisi perizinan usaha ini pada dasarnya mencerminkan kondisi nyata usaha tani yang ada di Indonesia yang sebagian besar masih dimiliki oleh perorangan, alasan utama yang diperoleh dari hasil wawancara menunjukkan bahwa skala usaha yang mereka miliki relatif kecil, sehingga belum ada keperluan yang mendesak untuk mengurus izin usaha, di samping itu tatacara pemasaran yang mereka lakukan langsung dibeli oleh pengepul, dan modal yang digunakan kebanyakan adalah modal sendiri. Sedangkan bagi usaha dengan skala kecil dan menengah, kebutuhan akan izin usaha sudah mulai muncul karena adanya kemitraan dengan institusi lain seperti pedagang besar atau dengan suatu retailer tertentu yang mensyaratkan adanya izin usaha. Tabel 4.8. Kepemilikan Usaha Tani
SKALA USAHA TOTAL Base Responden : 81 Dimiliki sendiri 85% Keluarga 15%
Usaha Mikro 46 85% 15%
SUB SEKTOR
Usaha Usaha Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan Kecil Menengah 26 81% 19%
9 100% -
35 80% 20%
10 90% 10%
18 89% 11%
24 92% 8%
Dari sisi kepemilikan usaha (Tabel 4.8), mayoritas dimiliki oleh perorangan (85%) selainnya dimiliki oleh keluarga (15%). Status kepemilikan ini serupa hampir di seluruh subsektor. Berdasarkan fakta di lapangan, usaha yang berskala mikro hingga kecil merupakan usaha yang dilakukan secara perorangan, kalaupun kepemilikannya oleh keluarga sebagian besar disebabkan kelompok pengelola berasal dari kepemilikan turun temurun. Hal ini mengisyaratkan bahwa sektor pertanian dengan skala usaha mikro hingga menengah lebih identik sebagai usaha perorangan yang notabene juga dikelola oleh keluarga. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah survei. Bila dikaitkan antara kepemilikan dengan izin usaha yang dimiliki, sangatlah konsisten bahwa usaha pertanian yang mayoritas dimiliki perorangan ataupun keluarga menjadi penyebab izin yang dimiliki bukan faktor utama dalam menjalankan usaha. Namun kesulitannya kelak akan dijumpai saat usaha tani ini berhubungan dengan pihak perbankan sebagai persyaratan dalam memperoleh pinjaman. Berkaitan dengan lokasi usaha, mayoritas usaha tani melakukan usaha sesuai dengan lokasi peruntukannya, demikian juga dengan subsektor peternakan yang menimbulkan konflik, karena berlokasi di dekat pemukiman. Untuk subsektor tanaman pangan seperti; tanaman hortikultura, tanaman pangan, kebanyakan diusahakan di lahan sawah atau ladang. Untuk perkebunan khusus diusahakan di lokasi perkebunan. Namun untuk usaha tanaman hias diantaranya berlokasi di area pemukiman, karena tidak memerlukan area yang luas dengan pengairan khusus.
35
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.2.
Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Subsektor Tanaman Pangan
Sektor pertanian khususnya untuk usaha tanaman pangan, konsep ramah lingkungan yang lazim digunakan adalah sistem pertanian organik. Pertanian organik didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan produksi holistik yang mempromosikan dan mendorong terciptanya keberlanjutan agro-ekosistem, termasuk di dalamnya keaneka-ragaman hayati/biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologis. Sistem ini tidak menggunakan bahan-bahan sintetis, tetapi mengupayakan optimalisasi pemanfaatan metode-metode agronomis, biologis dan mekanis untuk memenuhi atau menjalankan setiap fungsi-fungsi spesifik di dalam sistem. Dengan demikian, terminologi "organik" bukan merupakan product claim, tetapi lebih bersifat process claim (Adiyoga, 2002). Hal senada diungkapkan oleh Pratita (Saputri, 2009), kegiatan usaha tani secara menyeluruh dari proses produksi sampai proses pengolahan hasil yang dikelola secara alami dan ramah lingkungan tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetik sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi. Dalam perkembangannya, sistem pertanian organik menambahkan kriteria baru, yakni sertifikasi lahan sebagai upaya penjaminan akan kondisi lahan yang terbebas dari residu pupuk sintetis guna memastikan bahwa lahan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia sintetis berbahaya yang umumnya berasal dari residu pupuk buatan dari praktek usaha tani konvensional sebelumnya. Adapun tujuan utama pertanian organik, antara lain: a. Menghasilkan pangan berkualitas tinggi yang bebas residu pestisida, residu pupuk kimia organik sintetik, dan bahan kimia lainnya untuk membantu meningkatkan kesehatan masyarakat. b. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati agar dapat berfungsi secara alami dalam mempertahankan interaksi di ekosistem pertanian sesuai sistem alami. c. Memasyarakatkan kembali budidaya organik untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan guna menunjang sistem usaha tani yang berkelanjutan. d. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan sarana produksi dari luar yang harganya mahal dan berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga petani dapat memperhitungkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan pertanian organik dan pengolahannya. e. Mendorong meningkatnya siklus biologi dalam sistem usaha tani dengan melibatkan tanah, tanaman, ternak, flora dan fauna dalam ekosistem. Secara umum, batasan pertanian organik meliputi 6 aspek sebagai berikut: a. Lokasi, lahan dan tempat penyimpanan harus terpisah secara fisik dengan batas alami dari pertanian non organic; b. Masa konversi lahan dari pertanian organik menjadi pertanian organik diperlukan waktu 12 bulan untuk tanaman musiman dan 18 bulan untuk tanaman tahunan; c. Bahan tanaman (benih/bibit) bukan berasal dari rekayasa genetika dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh; d. Media tumbuh tidak menggunakan bahan kimia sintetik; 36
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
e. Perlindungan tanaman tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tapi berupa pengaturan sistem tanam/pola tanam, pestisida nabati, agen hayati dan bahan alami lainnya; f. Pengelolaan produk harus terpisah dari produk non organik dan tidak menggunakan bahan yang mengandung bahan additive. Untuk menjamin agar usaha tani mengarah pada Sistem Pertanian Organik, beberapa aspek yang perlu diperhatikan seperti: a. Aspek Lahan Pada dasarnya semua lahan dapat dikembangkan menjadi lahan Pertanian Organik yang ramah lingkungan. Areal yang terbaik adalah lahan pertanian yang berasal dari praktek pertanian tradisional atau hutan alam yang tidak pernah mendapatkan asupan bahan-bahan agrokimia (pupuk dan pestisida non organik). Namun, bila lahan yang digunakan berasal dari lahan bekas budidaya pertanian konvensional (menggunakan pupuk dan pestisida kimia), maka lebih dahulu perlu dilakukan konversi lahan. Konversi lahan bertujuan untuk meminimalkan kandungan sisa-sisa bahan kimia yang terdapat dalam tanah dan memulihkan unsur fauna dan mikro organisme tanah. Lamanya konversi tergantung dari intensitas pemakaian input kimiawi dan jenis tanaman sebelumnya (sayuran, padi atau tanaman keras). Masa konversi dapat panjang maupun pendek tergantung pada kondisi lahan tersebut sebelumnya. Bila masa konversi telah lewat, maka lahan tersebut dapat dikategorikan sebagai lahan organik. Bila kurang dari itu, maka lahan tersebut masih merupakan lahan konversi menuju organik. Untuk memastikan bahwa lahan yang akan digunakan layak untuk pertanian organik, maka saat ini kepada para petani atau pelaku usaha PO diharuskan melakukan sertifikasi lahan. b. Aspek Benih Benih yang digunakan untuk budidaya pertanian organik adalah benih yang tidak mendapatkan perlakuan rekayasa genetika. Petani sebaiknya menggunakan benih lokal, atau benih hibrida yang telah beradaptasi dengan alam sekitar. Keunggulan menggunakan benih lokal adalah mudah memperolehnya dan murah harganya, bahkan petani bisa membenihkan sendiri. Selain itu, benih lokal memiliki asal usul yang jelas dan sesuai dengan kondisi alam sekitar. Dengan memakai benih sendiri, petani juga tidak tergantung pada pihak luar. c. Aspek Persiapan Tanam Lahan yang digunakan untuk produksi sistem pertanian organik sedapat mungkin dijaga kestabilannya tanpa harus merusaknya, yaitu berpedoman pada metode sedikit olah tanah (minimum tillage). d. Aspek Penanaman Prinsip yang diterapkan dalam praktek penanaman pertanian organik selalu mencerminkan adanya tumpangsari agar tercipta keanekaragaman tanaman (varietas). Perencanaan dan 37
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
teknik penanaman perlu disesuaikan dengan sifat tanaman, prinsip-prinsip pergiliran tanaman dan kondisi cuaca setempat. e. Aspek Pemeliharaan Tanaman Setiap tanaman memiliki sifat karakteristik tertentu, maka pemeliharaan tanaman ditentukan oleh sifat karakteristik tersebut. Dengan mengenali karakteristik tanaman petani dapat dengan mudah melakukan pemeliharaan yang sesuai, sehingga tujuan pemeliharaan tercapai sesuai dengan prinsip "kebahagiaan tanaman itu sendiri". f. Aspek Pemupukan Secara teori, lahan pertanian organik akan semakin subur karena proses-proses yang diterapkan berpedoman pada pemeliharaan tanah. Tetapi realitanya, petani seringkali kurang memahami hal ini sehingga tanah selalu lebih banyak kehilangan unsur hara melalui erosi dan penguapan dibandingkan dengan hara yang diberikan/ditambahkan. Maka prinsip pemupukan ditentukan oleh kepekaan petani dalam mengamati/menilai kapan tanaman kekurangan makanan. g. Aspek Pengendalian Hama Pengganggu Tanaman (HPT)/Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pertanian organik berbasis pada keseimbangan ekosistem. Konsekuensinya semua organisme yang ada (termasuk hama) dipandang ikut berperan dalam proses keseimbangan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada makhluk hidup yang tidak berguna, hanya saja diperlukan upaya mengendalikan hama/penyakit tanaman supaya tidak berada dalam jumlah berlebihan. Pola tumpangsari, pergiliran tanaman, pemberian mulsa, rekayasa teknik menanam, dan manajemen kebun menjadi pilihan metode pengendalian HPT karena sesuai dengan prinsip keseimbangan. Penggunaan pestisida alami diperlukan sejauh petani mengetahui bahwa di lahan pertanian organik sedang terjadi ketidakseimbangan, yang terlihat pada munculnya gangguan hama/penyakit. Kadar pemakaiannya juga tergantung dari tingkat gangguan yang ada. h. Aspek Pemanenan Setiap langkah dalam proses produksi akan dinilai dari hasil panenan. Prinsip dalam panen adalah menjaga standar mutu dengan memanen tepat waktu sesuai kematangan. Cara pemanenan juga perlu berhati-hati sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan hasil yang lebih besar. i.
Aspek Penanganan Pasca Panen Kegiatan pasca panen harus mampu menekan kerusakan hasil seminimal mungkin. Metode pengolahan yang dilakukan tidak boleh mengubah sama sekali komposisi bahan aslinya. Karenanya proses seleksi, pencucian, pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan produk organik perlu kehati-hatian agar kondisi tetap segar dan sehat ketika berada di tangan pembeli. Dalam pertanian organik, kegiatan pasca panen menghindari pemakaian bahan
38
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pengawet atau perlakuan kimiawi lainnya dan seminimal mungkin melakukan proses pengolahan. Dalam pertanian organik berlaku standar yang berfungsi sebagai pedoman bagi petani dan pelaku lain dalam menjalankan usahanya di bidang ini. Standar ini berisi prinsip-prinsip mendasar pertanian organik dan hal-hal umum yang sebaiknya dilakukan dan dihindari dalam bertani organik. Sebagai contoh, pemerintah telah menerbitkan SNI (Standar Nasional Indonesia ) 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik yang dapat menjadi acuan bagi para pelaku terkait pengembangan pertanian organik. Standar ini mengacu pada standar internasional yakni Codex CAC/GL 32/1999, dan cukup selaras dengan standar dasar IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement). Dalam pada itu, BIOCert tengah mengembangkan standar pertanian organik yang selaras dengan pedoman di atas dan sesuai dengan visi dan misinya. Untuk memudahkan pengklasifikasian pertanian organik yang dilakukan oleh petani, pada Tabel 4.9. disajikan ringkasan kriteria pelaksanaan sistem pertanian organik. Tabel 4.9. Pedoman Pertanian Organik (Subsektor Tanaman Pangan, Tanaman Hias dan Hortikultura) No 1
Kegiatan (Activity) Konversi Lahan (Sertifikasi Lahan)
2
4
Persiapan benih (Seed preparation) Pengolahan tanah (Land Preparation) Penanaman (Planting)
5
Pemupukan (Fertilization)
6
Pengendalian hama penyakit (Plantprotection)
3
7
Panen dan pascapanen (Harvest and Post-harvest)
Pertanian Organik (Organic Farming) Untuk meminimalkan kandungan sisa-sisa bahan kimia yang terdapat dalam tanah dan memulihkan unsur fauna dan mikroorganisme tanah Sebagian besar benih/bibiit bersumber dari produksi sendiri dan berasal dari tumbuhan alami Olah tanah minimal untuk memacu perkembangan organisme tanah dan menjaga aerasi tanah Multikultur Rotasi tanaman Kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan tertentu Tanaman pendamping (Companion planting) Penanaman tanaman habitat predator, tanaman pagar, penolak hama, perangkap hama Menggunakan pupuk organik (pupuk hijau, kompos, kandang) Metode pengendalian mekanis (membuang ulat atau memusnahkan tanaman terserang layu) Melakukan pengaturan waktu tanam Memutuskan siklus hidup hama/penyakit (pemberaan lahan, rotasi tanaman dan tidak menggunakan Mulsa tanaman sejenis) Menyemprot dengan bio-pestisida Sanitasi menjaga kebersihan lingkungan di sekitar kebun Terjadwal dan menggunakan kemasan daur ulang Melalukan pengolahan meskipun minimalis 39
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.3.
Pengetahuan dan Kegiatan Usaha Ramah Lingkungan
Pengukuran awareness atau kesadaran (pengetahuan) pelaku usaha terhadap aktivitas ramah lingkungan, dilakukan dengan cara menanyakan secara langsung kepada respoden (pelaku usaha) terkait aktivitas dalam menjalankan usaha yang terkategori ramah lingkungan sesuai yang mereka ketahui. Perlu diketahui bahwa dalam sektor pertanian ini terdiri dari 4 subsektor yakni subsektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan. Jawaban atas pertanyaan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 4.10. Dari 65 responden yang diperoleh secara acak (random) dari sektor pertanian diharapkan dapat menggambarkan kondisi nyata pertanian di wilayah survei. Terlihat bahwa, secara umum pengetahuan mereka terhadap aktivitas usaha ramah lingkungan masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari besarnya persentase atau proporsi petani yang mengetahui kegiatan ramah lingkungan, serta jenis jawaban yang disampaikan. Persentase tertinggi yakni 40% menyatakan bahwa aktivitas ramah lingkungan yang terkait dengan usahanya adalah “perhatian terhadap kebersihan atau kesehatan lingkungan usaha atau produksi sebagai media tumbuh”. Menarik untuk disimak bahwa dalam praktek usaha pertanian kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup atau tumbuh dari tanaman, ikan atau hewan ternak harus selalu terjaga, hal ini untuk menjamin dapat tumbuhnya objek usaha tersebut. Bila disimak kriteria ramah lingkungan sektor pertanian, kebersihan atau kesehatan media tumbuh merupakan prasayarat utama. Persoalannya dari tingginya pernyataan ini bukan pada kecocokannya dengan kriteria ramah lingkungan. Namun tanpa kriteria ramah lingkungan pun para pelaku usaha di sektor ini secara intrinsic (dengan sendirinya) akan melakukan hal tersebut. Hal ini membuktikan bahwa ada perilaku alami yang diklaim sebagai aktivitas ramah lingkungan. Tabel 4.10. Awareness Pelaku Usaha terhadap Kegiatan Ramah Lingkungan Sektor Pertanian WILAYAH Total Base Responden : Memperhatikan kebersihan/kesehatan tanah/kandang/kolam sebagai media tumbuh Menggunakan biopestisida (hayati ataupun nabati) Menerapkan prinsip kejujuran dalam usaha tani Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi, seperti menggunakan pupuk/pakan organik dari limbah pertanian Menggunakan energi terbarukan dalam aktivitas usahatani Menggunakan bibit tanaman/ternak yang memiliki sertifikat Melakukan pergiliran tanaman guna keseimbangan ekologi Menerapkan prinsip perlindungan terhadap konsumen Menerapkan prinsip perlindungan terhadap lingkungan Melakukan efisiensi penggunaan air Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi Melakukan sertifikasi kesehatan lahan/kandang/kolam/tambak Melakukan efisiensi penggunaan energi Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi Menggunakan media tumbuh atau hormon tanaman yang memiliki MSDS/spesifikasi bahan Tidak tahu
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha Tengah Timur Utara Selatan Timur Mikro Kecil Menengah
65
12
22
8
13
10
38
20
7
40%
33%
55%
-
38%
50%
34%
45%
57%
25% 23%
8% 25%
32% 27%
-
15% 15%
60% 40%
16% 18%
40% 25%
29% 43%
23%
25%
14%
-
15%
70%
26%
20%
14%
22% 20% 20% 20% 18% 15% 14% 12% 11% 8%
17% 25% 17% 8% 25% 8% 17% 8% 8%
36% 27% 41% 18% 27% 5% 9% 14% 5% 5%
-
8% 23% 8% 15% 8% 23% 15% 15% 15% 8%
30% 10% 30% 50% 40% 30% 40% 10% 30% 20%
16% 16% 13% 13% 11% 11% 16% 11% 11% 11%
25% 25% 30% 25% 30% 15% 10% 15% -
43% 29% 29% 43% 29% 43% 14% 14% 43% 14%
5%
-
5%
-
8%
10%
3%
5%
14%
55%
67%
41%
100%
62%
30%
61%
50%
43%
40
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Rendahnya pengetahuan pelaku usaha tercermin dari perolehan tertinggi jawaban atau pernyataan yang sesuai dengan kriteria ramah lingkungan seperti “penggunaan biopestisida dalam pemberantasan hama tanaman” dengan persentase 25%. Dalam pada itu jawaban lain yang masih sesuai dengan kriteria adalah “melakukan proses recycle dari limbah yang dihasilkan”, seperti pembuatan pupuk kompos dari limbah ternak, di mana persentasenya sedikit lebih rendah yakni 23%. Menarik untuk disimak bahwa terdapat sebanyak 23% menyatakan “kejujuran dalam menjalankan usaha”, pernyataan ini pada dasarnya tidak termasuk dalam kriteria ramah lingkungan namun bagian dari konsep Good Agriculture Practice (GAP). Fakta ini menandakan bahwa pemahaman pelaku usaha tidak sepenuhnya sesuai dengan kriteria ramah lingkungan. Fenomena menunjukkan bahwa dalam praktek ramah lingkungan khususnya dalam bidang pertanian terdapat aktivitas yang biasa dilakukan oleh petani yang sebenarnya sesuai dengan kriteria ramah lingkungan, namun petani tidak menyadari akan hal tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan aktivitas-aktivitas nyata seperti yang dipaparkan dalam Tabel 4.11. Tabel 4.11. Aktivitas Usaha tani yang dilakukan yang terkait dengan Kriteria Ramah Lingkungan Total Base Responden : Memperhatikan kebersihan/kesehatan tanah/kandang/kolam sebagai media tumbuh Menggunakan energi terbarukan dalam aktivitas usahatani Menerapkan prinsip perlindungan terhadap lingkungan Menggunakan bibit tanaman/ternak yang memiliki sertifikat Menerapkan prinsip perlindungan terhadap konsumen Menerapkan prinsip kejujuran dalam usaha tani Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi Melakukan efisiensi penggunaan air Melakukan pergiliran tanaman guna keseimbangan ekologi Menggunakan biopestisida (hayati ataupun Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi Melakukan efisiensi penggunaan energi Menggunakan media tumbuh atau hormon tanaman yang memiliki MSDS/spesifikasi bahan Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi Melakukan sertifikasi kesehatan lahan/kandang/kolam/tambak Tidak melakukan satupun kegiatan di atas
65
Jawa Tengah 12
Jawa Sumatera Sulawesi Timur Utara Selatan 22 8 13
Kalimantan Timur 10
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 38 20 7
57%
58%
73%
13%
69%
40%
50%
70%
57%
28%
25%
41%
-
15%
40%
26%
30%
29%
26%
25%
41%
-
23%
20%
21%
35%
29%
26%
42%
18%
38%
31%
10%
24%
25%
43%
26%
17%
36%
13%
23%
30%
18%
35%
43%
25%
25%
36%
-
23%
20%
24%
30%
14%
25%
42%
14%
13%
23%
40%
21%
30%
29%
18%
17%
27%
-
31%
-
16%
20%
29%
17%
-
32%
-
8%
30%
11%
30%
14%
9%
8%
18%
-
8%
-
11%
10%
-
8%
8%
5%
-
23%
-
8%
-
29%
6%
8%
9%
13%
-
-
3%
10%
14%
5%
-
9%
-
8%
-
5%
5%
-
5%
8%
-
-
15%
-
5%
5%
-
2%
-
-
-
8%
-
3%
-
-
20%
8%
5%
50%
15%
50%
26%
15%
-
Pada Tabel 4.11 pada dasarnya merupakan aktivitas nyata petani dalam melakukan usahanya yang terkait dengan kriteria ramah lingkungan. Secara umum tampak bahwa aktivitas nyata petani dibanding dengan pengetahuannya terkait kelestarian lingkungan dan keberlanjutan usahanya, persentasenya relatif lebih besar. Namun demikian besarnya nilai ini tidak lebih dari 30%, kecuali mereka yang menjaga kebersihan lingkungan tumbuh objek usahanya mencapai 57%. Hal yang mengejutkan hanya 20% petani tanaman pangan yang 41
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
melakukan pergiliran tanaman, ini menandakan bahwa sepanjang tahun lahannya ditanami tanaman sejenis. Menyimak hasil ini, dapatlah disimpulkan bahwa kegiatan usaha tani ramah lingkungan yang dilakukan oleh para petani, secara umum masih terbilang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil temuan Kipdiyah (2012) yang meneliti tentang petani sayuran organik di wilayah Jawa Barat. Faktor yang melatarbelakangi hal ini adalah sumberdaya yang terbatas seperti luasan lahan, ataupun luasan kolam (tambak) serta rendahnya jumlah ternak yang dapat diusahakan. Di sisi lain, dalam kasus pertanian organik, adanya kriteria sertifikasi lahan merupakan aspek yang cukup memberatkan petani, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Faktor lain yang menyebabkan pertanian organik yang merupakan cerminan ramah lingkungan membutuhkan sertifikasi tidak hanya pada proses produksinya namun juga perlunya adanya sertifikasi produk (BioCert, 2009). Hal ini untuk menghindari self claim dari pihak petani atas produk yang dihasikan, serta untuk memberi kepercayaan pada pasar, bahwa produk pertanian organik yang dihasilkan sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Pada Tabel 4.12. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Kebersihan Media Tumbuh Total Base Responden : 65 MEMPERHATIKAN KEBERSIHAN/KESEHATAN 57% TANAH/KANDANG/KOLAM SEBAGAI MEDIA TUMBUH - Membersihkan lahan/kandang/kolam 32% - Memberikan kapur agar tidak ditumbuhi jamur 8% - Mengganti air kolam 3% Melakukan pengolahan lahan sebelum ditanami (mencangkul 3% lahan) - Memberikan pestisida 3% - Memberikan pupuk organik (seperti pupuk kandang) 3% Membiarkan/mengosongkan lahan beberapa saat setelah 3% beberapa siklus MENGANGGAP TELAH MEMPERHATIKAN KEBERSIHAN/KESEHATAN 3% TANAH/KANDANG/KOLAM SEBAGAI MEDIA TUMBUH - Mutu susu yang dihasilkan dan kandang tidak bau 2% - Membeli bibit yang baru 2% TIDAK MELAKUKAN APA PUN 40%
WILAYAH SKALA USAHA Jawa Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha Tengah Timur Utara Selatan Timur Mikro Kecil Menengah 12 22 8 13 10 38 20 7 58%
73%
13%
69%
40%
50%
70%
57%
33% 8%
45% 14% -
-
38% 8% 8%
20% 10% -
26% 11% -
40% 5% 10%
43% -
8%
5%
-
-
-
3%
5%
-
8% -
5%
-
8% 8%
-
3% -
10%
14% -
-
-
-
15%
-
5%
-
-
8%
5%
-
-
-
3%
-
14%
8% 33%
5% 23%
88%
31%
60%
3% 47%
30%
14% 29%
Pada Tabel 4.12 hingga Tabel 4.18, disajikan aktivitas nyata yang dilakukan petani untuk memastikan (konfirmasi ulang) bahwa apa yang dilakukan persepsinya sesuai dengan kriteria pertanian organik. Terlihat bahwa mulai dari pembersihan media tumbuh (Tabel 4.12), penggunaan EBT (Tabel 4.13), penggunaan bibit atau benih (Tabel 4.14), penggunaan air (Tabel 4.15), penggunaan biopsetisida (Tabel 4.16), proses reuse (Tabel 4.17), dan proses recycle (Tabel 4.18), self claim sangat dominan menjadi argumen bahwa petani telah melakukan usaha tani ramah lingkungan atau pertanian organik. Bila disimak lebih lanjut, apa yang dilakukan oleh petani meskipun nyata dilakukan namun belum tentu sesuai dengan kriteria yang 42
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dipersyaratkan dalam pertanian organik yang sebenarnya. Jika hal ini benar, persentase petani yang benar-benar melakukan pertanian organik juga masih rendah. Pada Tabel 4.13. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan EBT WILAYAH Total Base Responden : MENGGUNAKAN ENERGI TERBARUKAN DALAM AKTIVITAS USAHATANI - Hujan - Cahaya Matahari - Arus pasang surut - Angin MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN ENERGI TERBARUKAN DALAM AKTIVITAS USAHATANI - Kayu Bakar - Air PDAM BELUM MENGGUNAKAN
65
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Usaha Usaha Usaha Tengah Timur Utara Selatan Timur Mikro Kecil Menengah 12 22 8 13 10 38 20 7
28%
25%
41%
-
15%
40%
26%
30%
29%
15% 11% 8% 5%
17% 17% 17% 17%
14% 14% 14% 5%
-
8% 8% -
40% 10% -
13% 11% 8% 5%
20% 15% 5% 5%
14% 14% -
3%
8%
5%
-
-
-
3%
5%
-
2% 2% 69%
8% 67%
5% 55%
100%
85%
60%
3% 71%
5% 65%
71%
Pada Tabel 4.14. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan Bibit/Benih Total Base Responden : MENGGUNAKAN BIBIT TANAMAN/TERNAK YANG MEMILIKI SERTIFIKAT - Cap dari dinas pertanian - Bibit bandeng dari perusahaan benih - Dinas Perikanan - Bibit sawit marihat PPKS Medan MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN BIBIT TANAMAN/TERNAK YANG MEMILIKI SERTIFIKAT Sertifikat pengakuan sendiri (seperti - bibit tanaman yang digunakan bebas dari hama, bibit unggul) - Rumput Stampel label pada ayam sebagai bukti ayam nya sehat BELUM MELAKUKAN
WILAYAH Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Timur Utara Selatan Timur 22 8 13 10
SKALA USAHA Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 38 20 7
65
Jawa Tengah 12
26%
42%
18%
38%
31%
10%
24%
25%
43%
6% 3% 3% 3%
17% 17% -
-
25%
15% 15% -
-
11% 3% -
5% 10%
14% 14% -
12%
17%
14%
13%
15%
-
3%
30%
14%
9%
8%
14%
-
15%
-
-
25%
14%
2%
-
-
13%
-
-
3%
-
-
2%
8%
-
-
-
-
-
5%
-
62%
42%
68%
50%
54%
90%
74%
45%
43%
43
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pada Tabel 4.15. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan Air WILAYAH Total Base Responden : 65 MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN 18% AIR Membatasi penggunaan air (seperti menggunakan air sesuai kebutuhan, 12% hanya menggunakan satu bak untuk pencelupan kain batik) Tidak menggunakan air tanah, tetapi 5% menggunakan air hujan atau air sungai Dilakukan beberapa kali pengurasan kalo sudah kotor di masukan kedalam - mesin pengolahan ,disaring di jadikan 2% air bersih lalu di buang ke pembuangan MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN 2% Dengan menggunakan diesel air untuk 2% menyiram tanaman BELUM MELAKUKAN 80%
Jawa Tengah 12
SKALA USAHA
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Timur Utara Selatan Timur 22 8 13 10
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 38 20 7
17%
27%
-
31%
-
16%
20%
29%
17%
18%
-
15%
-
11%
10%
29%
-
5%
-
15%
-
5%
5%
-
-
5%
-
-
-
-
5%
-
-
-
-
-
10%
-
5%
-
-
-
-
-
10%
-
5%
-
83%
73%
100%
69%
90%
84%
75%
71%
Pada Tabel 4.16. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Penggunaan Biopestisida WILAYAH Total Base Responden : MENGGUNAKAN BIOPESTISIDA (HAYATI ATAUPUN NABATI) - Telor ,kupu kupu untuk membasmi - Daun sereh ,daun nimba - Menggunakan daun pepaya - Tanaman obat Biopetisida alami buatan sendiri dari nabati - Bungkal pohon teh MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN BIOPESTISIDA (HAYATI ATAUPUN NABATI) - Bistan (obat hama (keong)) - Antracol Del - Orsal (vitamin perangsang makan) Shamponen (obat-obatan membasmi hama) - VITASTRES (Vitamin ayam) - TRIMISIN (Obat jika ayam sakit) BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
65
Jawa Tengah 12
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Timur Utara Selatan Timur 22 8 13 10
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 38 20 7
9%
8%
18%
-
8%
-
11%
10%
-
2% 2% 2% 2%
8% -
5% 5%
-
8% -
-
3% 3% 3%
5% -
-
2%
-
5%
-
-
-
3%
-
-
2%
-
5%
-
-
-
-
5%
-
22%
33%
23%
-
15%
30%
16%
35%
14%
3% 3% 2%
8% 8%
5% 9% -
-
-
-
5% 3%
10% -
-
2%
8%
-
-
-
-
3%
-
-
2% 2% 69%
8% 8% 58%
59%
100%
77%
70%
74%
5% 5% 55%
86%
44
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pada Tabel 4.17. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Aktivitas Reuse WILAYAH Total Base Responden : MELAKSANAKAN PROSES REUSE DALAM KEGIATAN PROSES PRODUKSI Kemasan bahan baku/hasil produksi (seperti kaleng, plastik) Ampas/limbah/hasil sampingan produksi (seperti air kolam) Sisa bahan baku/bahan yang tidak - terpakai utk produksi produk utama (seperti potongan kayu) BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
65
Jawa Tengah 12
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Timur Utara Selatan Timur 22 8 13 10
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 38 20 7
8%
8%
5%
-
23%
-
8%
-
29%
5%
8%
-
-
15%
-
5%
-
14%
2%
-
5%
-
-
-
3%
-
-
2%
-
-
-
8%
-
-
-
14%
92%
92%
95%
100%
77%
100%
92%
100%
71%
Pada Tabel 4.18. Konfirmasi Aktivitas Ramah Lingkungan Terkait Kegiatan Recycle WILAYAH Total Base Responden : MELAKSANAKAN PROSES RECYCLE DALAM KEGIATAN PROSES PRODUKSI Ampas/limbah produksi (seperti jerami, kotoran ternak, daun sayuran) Sisa bahan baku/bahan yang tidak terpakai utk produksi produk utama (seperti jeroan ayam, daun tebu, bekas tanaman) BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
65
Jawa Tengah 12
Jawa Sumatera Sulawesi Kalimantan Timur Utara Selatan Timur 22 8 13 10
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 38 20 7
25%
42%
14%
13%
23%
40%
21%
30%
29%
17%
25%
9%
-
23%
30%
16%
15%
29%
6%
8%
5%
13%
-
10%
3%
15%
-
75%
58%
86%
88%
77%
60%
79%
70%
71%
Melihat hasil konfirmasi ulang terhadap apa yang diklaim oleh petani tanaman pangan dalam melakukan usaha taninya terkait dengan pertanian organik, meski terlihat adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi skala usaha yang dimiliki, maka akan semakin besar proporsi aktivitas yang mengarah pada pertanian organik yang dilakukan. Dari hasil ini, dapat dijelaskan bahwa petani yang menjadi reponden survei memang tidak secara khusus melakukan usaha pertanian organik, namun beberapa aktivitas di dalam usaha taninya secara alami sesuai dengan kriteria pertanian organik. Bila dikaitkan dengan pemahaman awal mereka yang rendah terhadap kriteria pertanian organik, maka dapat disimpulkan bahwa adanya dugaan masih rendahnya sosialisasi mengenai pertanian organik yang terkait dengan beberapa aspek seperti sertifikasi lahan, serta aspek saprotan seperti penggunaan bibit atau benih, pupuk bersertifikat, serta pengolahan hasil, atau karena masih rendahnya permintaan pasar terhadap produk organik, sehingga modal serta aset yang terbatas diarahkan pada kepastian pasar.
45
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.1.4.
Permasalahan UMKM Sektor Pertanian Menuju Ramah Lingkungan
Pada Tabel 4.19 disajikan alasan yang dikemukakan oleh UMKM sektor pertanian yaitu belum tertarik untuk menjalankan pertanian organik. Aspek mengenai tatacara atau kriteria bercocok tanam secara organik menjadi alasan utama mengapa 26% UMKM belum melakukan kegiatan ramah lingkungan dalam bidang usahanya. Hal ini diperkuat oleh 16% lainnya yang belum mengetahui teknologi yang dapat digunakan. Hal menarik seperti dipaparkan di atas sesuai dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan yakni masalah pasar yang belum membutuhkan produk pertanian organik (19%) dan biaya produksinya yang mahal (26%). Pada Tabel 4.19. Alasan UMKM sektor belum melakukan Pertanian Organik WILAYAH
Base Responden : Tidak tahu caranya Pasar belum memerlukannya Biayanya mahal Belum mengetahui teknologinya
Total
Jawa Tengah
Jawa Timur
82 26% 19% 26% 16%
12 20% -
22 14% 29% -
SKALA USAHA
Sumatera Sulawesi Kalimant Utara Selatan an Timur 19 73% 18% -
17 33% 17%
12 50% -
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Usaha Menengah
46 19% 24% 10% -
27 57% -
9 33% 33% 33%
Menyimak hasil jawaban yang diperoleh, bahwa faktor sosialisasi menjadi aspek mendasar yang perlu disampaikan kepada UMKM di sektor pertanian. Permasalahan berikutnya adalah masalah biaya produksi yang relatif mahal dibandingkan dengan pertanian konvensional. Bila merujuk pada kriteria ramah lingkungan bidang pertanian khususnya tanaman pangan, salah satu biaya yang cukup besar adalah sertifikasi lahan. Dari hasil diskusi dengan pihak terkait, banyak fakta membuktikan bahwa sebenarnya petani kecil dengan lahan terbatas telah mencoba menerapkan pertanian organik dengan benar namun menghadapi kendala yaitu tidak dapat mengakses sertifikasi lahan dari pihak ketiga karena biaya sertifikasi yang relatif tinggi berkisar Rp20 – 30 juta. Praktek sertifikasi lahan pada awalnya berasal dari negara maju yang lahannya luas, sementara di Indonesia kepemilikan lahan oleh petani relatif sempit. Oleh sebab itu harus ada pilihan dari negara untuk melindungi petani kecil. Untuk melindungi produsen sekaligus konsumen agar mendapatkan bahan pangan yang sehat maka pemerintah diharapkan dapat segera merumuskan kebijakan atau peraturan yang melindungi kedua pihak. Persoalan lain yang dihadapi dalam pemasaran pertanian organik adalah rendahnya pemahaman konsumen akan pangan organik, 80% menganggap pangan organik adalah pangan bebas pestisida, pengawet dan bahan kimia. Hal ini dapat merusak citra produk organik. Sebagai upaya memudahkan UMKM pertanian dalam melakukan sertifikasi lahan munculah UU No.7/1996 tentang pangan. Dampak dari regulasi tersebut adalah berdirinya 8 lembaga sertifikasi organik namun tidak dapat mengakomodir permasalahan dari petani-petani kecil, dimana pertanian di Indonesia khususnya subsektor pangan, merupakan petani kecil/industri skala rumah tangga yang tidak mampu untuk membiayai sertifikasi. Alternatif solusinya adalah perlu adanya kebijakan dari pemerintah dan lembaga keuangan untuk membantu sertifikasi lahan petani tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah mengadopsi
46
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
skim sertifikasi yang lain seperti ICS (Internal Control System) dan PGS (Participatory Guarantee System). Akibat sulitnya dalam melakukan pertanian organik secara lengkap sesuai kriteria yang ada, maka petani tidak sedikit yang mengklaim sendiri (self claim) bahwa produknya merupakan produk organik. Pada dasarnya hal ini diakui secara internasional dan rujukannya ada di dalam ISO/IEC ISO 17050. Standar ini mendefinisikan persyaratan bagi pemasok (termasuk produsen) untuk bertemu ketika mereka membuat klaim resmi bahwa produk, jasa, sistem, proses atau bahan sesuai dengan standar yang relevan, peraturan atau spesifikasi lainnya. 4.1.2. Sektor Industri 4.1.2.1.
Profil Responden
Dari 142 responden manufaktur, jenis usaha yang dilakukan sangat beragam, umumnya adalah jenis usaha makanan jadi, industri berbahan baku kayu, industri pakaian jadi, industri kulit dan logam, masing-masing disajikan disajikan pada Tabel 4.20a-4.20c. Untuk industri makanan kecil, mayoritas adalah usaha mikro dan kecil. Sedangkan usaha kayu mayoritas adalah usaha kecil dan menengah, demikian juga untuk industri kulit, dimana produk nya adalah sepatu, sandal atau tas. Sementara itu untuk industri logam cukup bervariasi dari sisi skala usahanya. Melihat hasil ini, sektor industri merupakan sektor yang paling beragam dari sisi jenis produk yang dihasilkan dan skala usahanya bervariasi. Tabel 4.20a. Jenis Usaha Sektor Industri
Base Responden : Industri makanan - Roti - Tahu - Kerupuk - Mie - Cake (seperti blackforest, dll) - Krupuk Udang - Tahu Bakso - Kue lapis Surabaya - Kue Kering - Donat - Keripik Ubi - Tepung Tapioka - Somay - Brownies Kukus - Tape Ketan - Pengasapan Ikan Laut - Tempe - Bandeng Presto - Catering - Kacang telur - Saos - Cireng - Permen asem - Burger
142 32% 5% 4% 3% 3% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1%
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Jabodetabek Barat Tengah Timur Utara 38 39 16 38 11 32% 15% 63% 32% 55% 3% 6% 8% 18% 5% 3% 8% 3% 27% 11% 3% 6% 13% 13% 5% 3% 3% 3% 9% 3% 3% 3% 3% 6% 6% 6% 3% 3% 6% 3% 3% 3% -
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 15 60 67 47% 37% 25% 7% 7% 3% 5% 4% 5% 1% 3% 3% 7% 1% 7% 2% 2% 1% 7% 2% 7% 1% 2% 2% 2% 1% 1% 2% 7% 2% 2% 1% 1% 1% 7% 2% 1%
47
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.20b. Jenis Usaha Sektor Industri
Base Responden : Industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya/ Industri kertas dan barang dari kertas/ Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman - Kusen - Suyok Kering - Furniture - Buku - Sablonan/cetakan - Majalah Buku - Jendela - Jilid Buku - Kardus - Lantai kayu - Ukiran kayu,kusen,lemari - Kayu kaso untuk bangunan - Meubel Industri pakaian jadi - Pakaian - Textile (seperti Sprei, dll) - Sweater - Jaket - Celana jeans - Kaos - Celana
142
WILAYAH
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Jabodetabek Barat Tengah Timur Utara 38 39 16 38 11
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 15 60 67
12%
18%
8%
13%
11%
9%
13%
15%
9%
3% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 11% 5% 1% 1% 1% 1% 1% 1%
5% 3% 3% 3% 3% 3% 11% 3% 3% 3% 3%
3% 3% 3% 21% 10% 3% 3% 3% 3% -
6% 6% -
3% 3% 3% 3% 11% 8% 3% -
9% -
13% 13% 7% 7% -
3% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 8% 7% 2% -
1% 1% 1% 1% 1% 1% 13% 4% 1% 1% 1% 3% 1%
Tabel 4.20c. Jenis Usaha Sektor Industri WILAYAH Jabodetabek Base Responden : Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki - Sepatu - Produk jadi berbahan kulit - Tas Industri barang logam, bukan mesin dan peralatannya - Flat besi - Teralis + Pager Besi - Kanopi - Rak toko - Besi Beton & Tulang Siku - Streples untuk spring bed dan jok mobil - Pagar besi - Cor logam dan kuningan - Cor logam/ornamen pagar - Genteng - Acesories AC
142 10% 8% 1% 1% 9% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1% 1%
38 16% 13% 3% 11% 3% 3% 3% 3%
Jawa Jawa Jawa Sumatera Barat Tengah Timur Utara 39 16 38 11 15% 5% 13% 5% 3% 5% 13% 5% 27% 5% 6% 6% 18% 3% 3% 9% -
SKALA USAHA Usaha Mikro 15 7% 7% -
Usaha Usaha Kecil Menengah 60 67 12% 10% 10% 9% 2% 1% 7% 12% 2% 2% 2% 2% 1% 1% 3% 1% 1% 1% 1%
Dari sisi aset, sektor industri mayoritas berkisar Rp50 juta hingga Rp500 juta (Tabel 4.21), 28% lainnya memiliki aset di atas Rp500 Juta. Namun demikian terdapat 25% yang asetnya kurang dari Rp50 juta. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa untuk sektor industri skala usahanya mayoritas adalah kecil menengah. Hal ini berbeda dengan kasus yang ditemui pada sektor pertanian. 48
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.21. Aset Usaha Sektor Industri WILAYAH Total Base Responden : Sampai dengan Rp 50 juta Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar Lebih dari Rp 50 miliar sampai dengan Rp 100 miliar
Jabodetabek
142 25% 46% 20% 6% 2%
38 37% 50% 11% 3% -
Jawa Barat 39 26% 38% 28% 5% 3%
Jawa Tengah 16 31% 31% 25% 13% -
SKALA USAHA Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha Timur Utara Mikro Kecil Menengah 38 11 15 60 67 16% 9% 67% 40% 3% 55% 55% 33% 57% 40% 18% 27% 3% 40% 5% 9% 12% 5% 4%
Pada Tabel 4.22, disajikan jumlah serapan tenaga kerja yang terdapat pada masingmasing usaha menurut skala usahanya. Tampak bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar serapan tenaga kerjanya, hal ini berlaku untuk semua wilayah. Fakta ini menunjukkan bahwa industri manufaktur di Indonesia masih bersifat semi automatis bahkan tradisional. Tabel 4.22. Jumlah Serapan Tenaga Kerja Sektor Industri WILAYAH Total Base Responden : 1 - 4 orang (mikro) 5 - 19 orang (kecil) 20 - 99 orang (menengah) 100 orang atau lebih (besar)
142 9% 48% 32% 11%
Jabodetabek 38 11% 53% 32% 5%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Barat Tengah Timur Utara 39 16 38 11 10% 25% 3% 41% 19% 55% 73% 31% 38% 34% 27% 18% 19% 8% -
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 15 60 67 33% 10% 3% 53% 70% 27% 13% 18% 49% 2% 21%
Dari sisi status tenaga kerja yang ada antara tenaga kerja tetap dan tidak tetap dapat dikatakan hampir berimbang (Gambar 4.2). Hal ini disebabkan sifat dari aktivitas sektor ini bersifat rutin dalam proses produksinya, tidak seperti pada sektor pertanian di mana terdapat periode menunggu, sementara pada sektor industri merupakan sektor yang tenaga kerjanya bekerja secara intensif. Usaha Mikro
33%
Usaha Kecil
67%
49%
Usaha Menengah
51%
54%
0%
20%
Tenaga Kerja Tetap
46%
40%
60%
80%
100%
120%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
Gambar 4.2. Status Tenaga Kerja Sektor Industri 49
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari sisi pengalaman usaha yang telah dilakukan (Tabel 4.23), mayoritas responden telah berusaha lebih dari 10 tahun, bahkan bila dijumlahkan 86% usaha manufaktur sudah berpengalaman lebih dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini telah terkategori yang established. Tabel 4.23. Lama Usaha yang telah dilakukan SKALA USAHA Total Base Responden : Kurang dari 3 tahun 3 – 5 tahun Lebih dari 5 – 10 tahun Lebih dari 10 tahun
Usaha Mikro Usaha Kecil
142 14% 31% 55%
15 20% 20% 60%
60 18% 38% 43%
Usaha Menengah 67 9% 27% 64%
Dari sisi badan hukum usaha yang dimiliki (Tabel 4.24), 54% usaha sektor ini telah memiliki badan usaha (54%), sementara 46% lainnya belum memiliki. Dari sisi skala usaha, diketahui bahwa semakin besar skala usahnyanya maka kepemilikan badan usaha akan semakin besar. Tabel 4.24. Kepemilikan Badan Usaha SKALA USAHA Total Base Responden : Ya Tidak
142 54% 46%
Usaha Mikro 15 27% 73%
Usaha Kecil 60 35% 65%
Usaha Menengah 67 78% 22%
Bagi yang memiliki badan usaha, surat izin yang dimiliki mayoritas adalah CV (44%), kemudian adalah UD (Firma) (29%) dan PT (25%), sedangkan 1% lainnya adalah perusahaan dagang (Tabel 4.25). Dari sisi skala usaha, mayoritas usaha berskala mikro memiliki bentuk usaha UD, hal ini menandakan bahwa usaha mikro lebih terspesifikasi dari sisi aktivitasnya. Sementara usaha dengan skala menengah bentuk usaha berbentuk PT lebih dominan dibanding skala usaha lainnya. Tabel 4.25.
Bentuk Usaha yang Dimiliki Usaha Sektor Industri SKALA USAHA Total
Base Responden : CV UD (Firma) PT Perseorangan Perusahaan dagang
77 44% 29% 25% 1% 1%
Usaha Mikro Usaha Kecil 4 25% 75% -
21 48% 48% 5% -
Usaha Menengah 52 44% 17% 35% 2% 2%
50
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Sehubungan hal tersebut, untuk menjalankan usaha pada sektor industri, jenis perijinan yang dimiliki disajikan pada Tabel 4.26. Surat keterangan dari Desa/Kecamatan, NPWP, SIUP dan Akta Pendirian serta TDP/TDI mayoritas telah dimiliki oleh usaha ini. Dari sisi skala usaha terlihat bahwa ketaatan usaha kecil menengah cenderung telah memiliki berbagai izin. Hal sebaliknya terjadi pada skala mikro. Tabel 4.26.
Jenis Izin yang dimiliki Sektor Industri SKALA USAHA Total
Base Responden : Surat Keterangan Usaha dari Desa/Kecamatan NPWP SIUP Akta Pendirian Perusahaan TDP / TDI Surat Ijin Gangguan/Lingkungan/HO yang diterbitkan oleh Walikota PIRT dari Depkes/Izin Usaha Depkes Surat izin dari Dinas Perindustrian Surat Dinas Kesehatan Sertifikat halal MUI Surat keterangan dari Dinas Perikanan Surat ijin Denpom BPOM Belum ada
Usaha Mikro
Usaha Kecil
142
15
60
Usaha Menengah 67
69%
60%
68%
72%
66% 65% 48% 42%
40% 33% 7%
53% 50% 27% 27%
84% 85% 78% 63%
35%
13%
17%
55%
4%
-
5%
3%
1%
-
-
3%
1% 1%
-
3% -
1%
1%
7%
-
-
1% 1% 4%
13%
2% 2% 3%
3%
Tabel 4.27. Lokasi Usaha Industri WILAYAH Total Base Responden : Pemukiman Sentra usaha (produk yang dihasilkan homogen) Kawasan industri (produk yang dihasilkan heterogen) Kluster industri (konsentrasi geografi yang saling berhubungan dalam wilayah tertentu) Sentra oleh-oleh
SKALA USAHA
193 79%
48 90%
Jawa Jawa Jawa Sumatera U Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara s Mikro Kecil Menengah a 19 48 23 59 15 77 97 75% 74% 73% 93% 95% 88% 69%
8%
6%
13%
-
10%
7%
5%
5%
11%
6%
2%
4%
9%
12%
-
-
-
12%
4%
2%
4%
9%
5%
-
-
4%
5%
2%
-
4%
9%
-
-
-
3%
2%
Jabodetabek
Menarik untuk disimak adalah masalah lokasi usaha di mana proses produksi dilakukan oleh usaha sektor industri ini. Pada Tabel 4.27 disajikan lokasi usaha tersebut, tampak bahwa mayoritas lokasi usaha dilakukan di daerah pemukiman (79%), hanya sekitar 21% yang berlokasi
51
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
di wilayah sentra usaha. Bahkan bila dilihat dari skala usahanya, skala mikro mayoritas berlokasi di pemukiman (95%), dan merupakan merupakan home industry. Dari hasil diskusi dengan pemangku kepentingan seperti dinas terkait, bahwa masalah utama yang dihadapi usaha yang ramah lingkungan adalah masalah lokasi usaha. Oleh karena itu, persoalan kelestarian lingkungan yang dihadapi dari sisi sektor industri utamanya adalah persoalan pembuangan limbah produksi. Di sisi lain aspek produksi bersih yang menjadi salah satu aspek yang dipersyaratkan oleh Disperindag sama sekali belum tersentuh. Hal ini akan dipaparkan pada bagian berikutnya, sejauh mana usaha manufaktur ini siap menghadapi atau menjalankan usaha sesuai dengan kriteria ramah lingkungan. 4.1.2.2.
Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri
Sektor Industri memiliki peran strategis di samping sebagai penyumbang utama PDRB, juga sebagai pengguna sumberdaya alam dan penyerap tenaga kerja terbesar. Di sisi lain, adanya keterbatasan ketersediaan sumber daya alam dan keterbatasan daya dukung lingkungan dalam menerima limbah dan emisi industri, maka pembangunan industri yang berpedoman pada keberlangsungan nilai ekonomi, keterlibatan sosial, dan perlindungan terhadap kualitas lingkungan hidup harus segera dilakukan. Atas dasar ini, munculah istilah industri hijau yang mengarahkan agar industri mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumberdaya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat kepada masyarakat. Untuk mendorong pelaku usaha pada sektor industri (IKM), Kementerian Perindustrian telah melakukan berbagai upaya guna mendorong berkembangnya Industri Hijau, salah satunya melalui penerbitan pedoman Industri Hijau itu sendiri, serta sertifikasi kepada industri yang telah melaksanakan program Industri Hijau. Upaya lain adalah dengan memberikan penghargaan kepada pelaku industri yang telah melaksanakan upaya penghematan penggunaan sumberdaya alam dan penggunaan sumberdaya ramah lingkungan dan terbarukan Pada sektor industri, pedoman yang digunakan oleh kementerian Perindustrian dalam mendorong atau melakukan penilaian ramah lingkungan suatu industri didasarkan pada 3 aspek2 yaitu: a. Proses Produksi, meliputi bahan baku dan bahan penolong, energi, air, teknologi proses, produk, sumberdaya manusia, dan lingkungan kerja. b. Manajemen Perusahaan, meliputi program efisiensi produksi, community development (CSR), penghargaan yang pernah diterima dan sistem manajemen. c. Pengelolaan lingkungan Industri, meliputi pemenuhan baku mutu lingkungan, sarana pengelolaan limbah dan emisi, dan kinerja pengelolaan lingkungan. Pada Tabel 4.28 disajikan rincian komponen masing-masing aspek pedoman pelaksanaan industri hijau. 2
Pedoman Penilaian Industri Ramah Lingkungan 2012 52
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.28. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri No Kegiatan A PROSES PRODUKSI 1 Bahan baku & Bahan Penolong a. Spesifikasi Bahan baku & Bahan Penolong
b. Substitusi Bahan Baku c. Kepemilikan Sertifikasi Material safety Data Sheet (MSDS) d. Standard Operating Procedure (SOP)
2
Industri Hijau
Bentuk fisik Sifat bahan baku Asal Bahan baku Sertifikasi bahan Sistem penyimpanan dan Neraca bahan Melakukan penggantian ke bahan baku yang bersifat ramah lingkungan Bahan baku dan penolong yang memiliki MSDS
Energi a. Jenis energi yang digunakan
b. Penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) c. Melakukan Audit Penggunaan Energi 3 Air a. Upaya Penghematan b. Melakukan Audit Penggunaan Air 4 Teknologi Proses a. Kepemilikan program pemeliharaan mesin atau peralatan secara periodik
Pemesanan Bahan Baku Penerimaan Bahan Baku Penyimpanan Bahan Baku Pengangkutan Bahan Baku Penghematan energi yang telah dilakukan
Jenis EBT
Rutinitas Audit
Besarnya penghematan penggunaan air Rutinitas Audit
Rutinitas pemeliharaan
53
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.28. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri (lanjutan) No
Kegiatan b. Pelaksanaan efisiensi
c. Melakukan penggantian atau modifikasi peralatan mesin sebagai upaya meningkatkan efisiensi proses produksi. d. Ketersediaan SOP
5 Produk a. Jenis Produk dan kapasitas
b. Kepemilikan eco product c. Penggunaan bahan baku dan penolong dan Produk dihasilkan 6 Sumberdaya Manusia
7 Lingkungan Kerja a. Parameter K3L yang sudah terpenuhi
b. Pemantauan dan penilaian kinerja K3L
Industri Hijau Reduce (mengurangi penggunaan bahan baku atau bahan penolong, termasuk energi, air dan kemasan produk dll.) Reuse (menggunakan kembali bahan baku dan bahan penolong termasuk energi, air dan kemasan produk yang terbuang) Recycle (memanfaatkan kembali bahan baku dan bahan penolong termasuk energi, air dan kemasan produk yang terbuang melalui proses daur ulang) Rutinitas pergantian
Operasional Mesin Material input bahan baku Pemeliharaan mesin
Jenis produk yang dihasilkan Kapasitas produksi Sertifikasi produk Jenis sertifikat atau dokumen pendukung Kapasitas produksi Jumlah bahan baku Jumlah bahan penolong Hasil Produksi Jumlah tenaga kerja keseluruhan Jumlah tenaga kerja di proses produksi Jumlah tenaga kerja yang sudah mengikuti pendidikan atau pelatihan Jumlah tenaga kerja yang sudah memiliki sertifikat Parameter K3L sesuai Kepmenaker No. 51 1999 Iklim kerja, kebisingan, getaran, frekuensi radio atau gelombang mikro, radiasi ultra violet atau gelombang mikro, radiasi ultra violet Khusus untuk IKM Memasang rambu-rambu K3L Menyediakan alat K3L Menyediakan alat perlindungan diri (APD) Memiliki sistem ventilasi yang baik di ruangan proses produksi. 54
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.28. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Industri (lanjutan) No Kegiatan B MANAJEMAN PERUSAHAAN 1 Kebijakan Perusahaan dalam menerapkan Efisiensi Produksi 2 a. Pelaksanaan CD/CSR
b. Besarnya alokasi dana untuk CD/CSR dari keuntungan Bersih 3 Penghargaan terkait Industri Hijau 4 Sistem manajemen
Industri Hijau Komitmen manajemen dalam menjalankan keijakan peningkatan efiensi produksi Keberhasilan pelaksanaan kebijakan Adanya program kegiatan yang memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar Realisasi pelaksanaan CD/CSR Intensitas pelaksanaan CD/CSR Besarnya alokasi dana Ada tidaknya peningkatan jumlah alokasi Pernah tidaknya menerima penghargaan Industri Hijau Sertifikat sistem manajeman yang telah dimiliki ISO 1400S, ISO 9000S, SMK3, OHSAS, GMP, HACCP, lainnya
C
PENGELOLAAN LINGKUNGAN INDUSTRI 1 Pemenuhan Baku Mutu Lingkungan
Persentase pemenuhan baku mutu limbah cair dalam 5 tahun terkahir Persentase pemenuhan baku mutu limbah gas dan debu dalam 5 tahun terkahir 2 a. Sarana Pengelolaan Limbah IPAL dan Emisi, dan lama Incenator pengoperasiannya Bak Sampah dll. b. Ada tidaknya limbah B3 Sarana pengelolaan limbah B3 Perizinan yang dimiliki dalam pengelolaan B3 3 Keikutsertaan dalam PROPER Tahun perolehan
Berdasarkan kriteria tersebut, Kemenperin menyusun secara lebih terstruktur sebanyak 72 komponen untuk menilai tingkat kehijauan suatu industri, di mana masing-masing aspek memiliki bobot yang berbeda, aspek Proses Produksi memiliki bobot 70%, Manajemen Perusahaan 10% dan Pengelolaan Lingkungan Industri 20%. 4.1.2.3.
Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Industri
Pemahaman pelaku usaha pada sektor industri terhadap kegiatan usaha yang ramah lingkungan disajikan pada Tabel 4.29a dan 4.29b. Secara umum tampak bahwa dari 7 aspek kriteria ramah lingkungan dari sektor industri bahwa proses produksi merupakan aspek yang lebih dominan dikaitkan dengan kegiatan ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semua jawaban responden yang terkait dengan usaha ramah lingkungan seluruhnya merupakan 55
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
komponen dari kriteria proses produksi. Namun demikian pemahaman ini masih tergolong relatif rendah. Hal ini dapat dibuktikan bahwa 24% dari 136 responden yang direkrut secara random, menyatakan bahwa kegiatan usaha ramah lingkungan pada sektor industri identik dengan penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan dengan jaminan adanya sertifikat atau izin dari lembaga tertentu. Menariknya adalah, 54% pelaku usaha sama sekali tidak mengetahui aktivitas ramah lingkungan yang terkait dengan usaha yang dilakukan. Ironisnya hal ini dijumpai pada semua skala usaha. Dengan cara pandang terbalik, fakta ini memperkuat suatu fenomena bahwa pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri disebabkan karena rendahnya kesadaran, lebih tepatnya pengetahuan pelaku usaha dalam menjaga lingkungan hidup sekitarnya. Tabel 4.29a. Pemahaman Pelaku Usaha Sektor Industri Terhadap Kegiatan Ramah Lingkungan WILAYAH Total
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Barat Tengah Timur Utara
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah
Base Responden : Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
136 24%
40 28%
37 19%
15 27%
37 30%
7 -
15 27%
58 10%
63 37%
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong terbarukan
22%
8%
19%
40%
38%
-
13%
21%
25%
Melakukan efisiensi dalam penggunaan bahan baku dan bahan penolong
14%
8%
11%
20%
24%
-
27%
2%
22%
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi (memanfaatkan kembali bahan baku dan bahan penolong termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang melalui proses daur ulang)
13%
10%
8%
27%
19%
-
13%
9%
17%
11%
5%
8%
20%
19%
-
13%
5%
16%
10% 10%
5% 5%
8% 3%
20% 20%
14% 19%
-
20% 20%
3% 3%
13% 13%
7%
3%
5%
7%
14%
-
-
3%
11%
7%
5%
5%
13%
8%
-
-
9%
6%
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi (menggunakan kembali bahan baku dan bahan penolong termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang) Melakukan efisiensi penggunaan energi Melakukan efisiensi penggunaan air Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki MSDS/spesifikasi bahan Menggunakan energi terbarukan
56
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.29b. Pemahaman Pelaku Usaha Sektor Industri Terhadap Kegiatan Ramah Lingkungan WILAYAH Total
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Mikro Kecil Menengah
Base Responden : Melaksanakan proses redusce dalam kegiatan proses produksi (mengurangi pemakaian bahan baku dan bahan penolong termasuk penggunaan energi,air, kemasan produk dan lainlain
136
40
37
15
37
7
15
58
63
4%
3%
3%
7%
8%
-
7%
2%
6%
Menggunakan bahan-bahan yang tidak merusak lingkungan
1%
-
-
7%
-
-
-
-
2%
Membuang limbah kimia tidak di saluran air Membuang/memilih sampah sesuai dengan jenisnya (logam, kertas, zat cair kimia) Lingkungan sekitar tidak terganggu pencemaran dan aktivitas produksi Tidak melakukan polusi udara dan pencemaran lingkungan (air limbah) Tidak ada/belum melakukan kegiatan proses produksi ramah lingkungan Tidak tahu
1%
-
-
7%
-
-
-
-
2%
1%
-
-
7%
-
-
-
-
2%
1%
-
-
7%
-
-
-
2%
-
1%
-
3%
-
-
-
-
2%
-
1%
3%
3%
-
-
-
-
-
3%
54%
58%
57%
33%
46%
100%
47%
69%
41%
Pada bagian terdahulu telah dipaparkan pemahaman pelaku usaha terkait aktivitas usaha (proses produksi) ramah lingkungan, pada bagian ini disajikan aktivitas nyata yang dilakukan oleh pelaku usaha sektor industri terkait dengan kriteria ramah lingkungan khususnya untuk proses pengolahan, dimana pada Tabel 4.30 ditunjukkan bahwa persentase pelaku usaha yang menganggap dirinya sudah melakukan sebagian kegiatan ramah lingkungan sesuai kriteria mengalami peningkatan secara signifikan. Tabel 4.30. Aktivitas Usaha Sektor Industri terkait Kriteria Ramah Lingkungan Total Base Responden : Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin Melakukan efisiensi dalam penggunaan bahan baku dan bahan penolong Menggunakan bahan baku dan bahan penolong terbarukan Melakukan efisiensi penggunaan energi Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
Menggunakan energi terbarukan Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
Melakukan efisiensi penggunaan air Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki MSDS/Spesifikasi bahan Belum melakukan satupun kegiatan di atas
Jabodetabek
Jawa Jawa Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Mikro Kecil Menengah
136
40
37
15
37
7
15
58
63
42%
45%
27%
47%
57%
14%
33%
36%
49%
28%
25%
19%
33%
43%
-
47%
19%
32%
23%
3%
22%
53%
38%
-
27%
24%
21%
22%
20%
16%
7%
35%
29%
27%
17%
25%
16%
10%
14%
33%
19%
14%
13%
17%
16%
15%
8%
8%
20%
32%
-
7%
21%
13%
12%
3%
11%
20%
19%
14%
7%
7%
17%
10%
5%
8%
20%
14%
-
33%
3%
10%
4%
3%
3%
7%
8%
-
7%
2%
6%
4%
-
3%
7%
8%
-
-
2%
6%
31%
40%
51%
7%
3%
71%
27%
36%
27%
57
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari semua komponen proses produksi, penggunaan bahan baku bersertifikasi atau memiliki izin merupakan komponen yang terbanyak yang telah dilakukan responden (42%). Masih terkait dengan aspek produksi sebanyak 28% pelaku usaha telah melakukan efisiensi dalam penggunaan bahan baku dan penolong, 23% melakukan efisiensi penggunaan bahan baku dan penolong. Sementara itu, 22% melakukan efisiensi penggunaan energi dan 10% efisiensi dalam penggunaan air. Terkait dengan konsep 3R yakni Reduce, Reuse dan Recycle, baru sebagian kecil responden yang telah menerapkan konsep tersebut, masing-masing adalah 4%, 12% dan 16%. Hanya 4% pelaku usaha yang menggunakan bahan baku dan penolong yang memiliki MSDS. Sehubungan hal tersebut, 31% pelaku usaha sama sekali belum melakukan proses produksi sesuai kriteria ramah lingkungan. Rincian dari masing-masing komponen proses produksi akan dipaparkan pada Tabel 4.31 hingga Tabel 4.36. Tabel 4.31. Jenis Sertifikasi Bahan Baku dan Bahan Penolong yang Digunakan WILAYAH Total
Jawa Jawa Jawa Sumatera Barat Tengah Timur Utara
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah
19 95% 63% 11% 5% -
11 91% 64% 9%
7 100% 71% 14% -
22 95% 86% 5% -
1 100% 100% -
5 100% 60% 20% -
22 95% 68% 5% 5% 5%
33 94% 79% 3% 3% -
5%
-
-
-
-
-
5%
-
5% 5% -
9% 9% 9%
14% -
5% 5% -
-
20% -
5% 5%
3% 3% 3% 3% 3% -
5%
9%
-
-
-
-
5%
3%
-
9%
-
-
-
-
5%
-
2%
5%
-
-
-
-
-
-
3%
2%
-
-
-
5%
-
-
-
3%
Jabodetabek
Base Responden : 60 MENGGUNAKAN BAHAN BAKU BERSERTIFIKASI 95% - SNI 73% - SNI (Terigu dari Bogasari) 3% - Perhutani 3% - Daging sapi yg sehat dan halal 2% - Dural SS 304 2% SNI (Bahan baku yg sudah standar SNI tidak menggunakan - campuran bahan pengawet yg berbahaya buat kesehatan 2% manusia maupun lingkungan) - Sertifikat halal 2% - SNI dan Stempel halal 2% - Menggunakan bahan baku yang sudah berstandar SNI 2% - Sudah menggunakan bahan yang sudah SNI 2% - Sertifikat yang diberikan oleh pabrik baja untuk logam yang akan diproses 2% - Sertifikasi halal baru MUI untuk bahan-bahan 2% - ASME 2% - BPOM 2% MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN BAHAN BAKU 3% BERSERTIFIKASI Menggunakan tinta sablon yang mengandung bahan kimia 2% rendah non toxin - Tidak menggunakan formalin yg tidak baik buat kesehatan BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Secara lebih rinci, jenis sertifikasi bahan baku dan penolong adalah SNI dan sertifikasi halal. Pada Tabel 4.31 terlihat bahwa sedikitnya 73% pelaku usaha telah menggunakan bahan baku dan penolong dengan dengan sertifikasi SNI. Hal menarik terkait dengan sertifikasi ini adalah pelaku usaha mengklaim sertifikasi Halal yang dikeluarkan oleh MUI merupakan salah satu jenis sertifikasi yang termasuk kriteria dalam proses produksi ramah lingkungan. Bahkan sebagian pelaku usaha (3%) salah dalam memahami maksud dari sertifikasi bahan. Fakta ini menunjukkan bahwa pelaku UMKM belum sepenuhnya memahami kriteria ramah lingkungan yang terkait dengan proses produksi. Lebih lanjut terkait dengan penggunaan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki MSDS, terdapat sebagian responden yang telah menggunakannya. Secara lebih rinci hal ini dijelaskan pada Tabel 4.32. 58
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.32 Penggunaan Bahan Penolong yang Memiliki MSDS WILAYAH
SKALA USAHA
Total Jawa Jawa Jawa Sumatera Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Mikro Kecil Menengah Base Responden : MENGGUNAKAN BAHAN BAKU DAN BAHAN PENOLONG YANG - Ragi - Tinta cetak developer - Tinta fixer - Essence - Vanilla - Citrun - Oxigen - Bio Kompos dari PTPN X MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN BAHAN BAKU DAN BAHAN PENOLONG YANG MEMILIKI MSDS/SPESIFIKASI BAHAN - Daging sapi - Mesin penggiling dari cina BELUM MELAKUKAN
7 71% 14% 14% 14% 14% 14% 14% 14% 14%
1 2 100% 50% 50% 50% 100% 100% 100% -
4 75% 25% 25% 25%
0 -
0 -
1 100% 100% -
6 67% 17% 17% 17% 17% 17% 17% 17%
29%
-
50%
25%
-
-
-
33%
14% 14% -
-
50% -
25% -
-
-
-
17% 17% -
Terlihat bahwa ada 7 respoden yang menggunakan jenis bahan penolong dalam proses produksinya yang memiliki MSDS, sebagian besar adalah bahan penolong dalam pembuatan makanan olahan. Terkait hal itu, terdapat 29% dari 7 responden yang salah mengartikan kriteria MSDS dari bahan baku penolong yang digunakannya. Tabel 4.33. Jenis Energi Terbarukan dalam Proses Produksi WILAYAH Total
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Mikro Kecil Menengah
Base Responden : 22 4 3 3 MENGGUNAKAN ENERGI TERBARUKAN 95% 75% - Cahaya Matahari 82% 75% 100% 100% - Angin 41% 25% MENGANGGAP TELAH MENGGUNAKAN ENERGI TERBARUKAN 5% 25% - Gas 5% Penghem 25% Tabel 4.34. Jenis BELUM MELAKUKAN -
12 75% 67% -
2 50% 50% 50% 50% -
12 75% 50% -
8 100% 38% -
Sehubungan hal tersebut, dari 15% responden yang penggunaan energi terbarukan, jenis energi yang digunakan dipaparkan pada Tabel 4.33. Penggunaan cahaya Matahari dan angin dalam proses produksi yang diklaim oleh 82% dan 41% pada dasarnya ditujukan untuk pengeringan produk yang dihasilkan. Penggunaan sinar matahari ini dilakukan secara langsung, tanpa bantuan alat seperti solar cell, yang berfungsi mengubah energi panas menjadi energi listrik. Hal serupa juga dijumpai pada pelaku usaha yang menggunakan energi angin dalam proses produksinya.
59
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.34. Jenis Penghematan Penggunaan Energi WILAYAH Total
MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI Membatasi penggunaan listrik/energi lainnya (seperti - menggunakan penerangan sesuai dengan batas maksimal bekerja, mematikan peralatan listrik bila tidak Mengganti peralatan listrik/energi tak terbarukan lainnya dengan peralatan lain yang tidak menggunakan - listrik/energi tak terbarukan lainnya (seperti menggunakan kipas sate, membuat kolam di dekat sungai sehingga tidak perlu menggunakan pompa air Menggunakan peralatan yang tepat dan sesuai kebutuhan - Menggunakan peralatan listrik yang hemat energi MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI - Bahan bakar solar diganti dgn LPG - Beralih energi dari BBM ke listrik PLN - Selalu memantau meteran listrik tiap hari - Akan melakukan penghematan dan pemakaian energi listrik Pemakaian tabung gas lebih hemat dibandingkan minyak tanah dan lebih murah harganya BELUM MELAKUKAN
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Mikro Kecil Menengah
36 83%
9 89%
8 75%
2 50%
15 87%
5 80%
12 83%
19 84%
56%
56%
50%
50%
60%
80%
42%
58%
19%
22%
13%
-
20%
-
25%
21%
8%
11%
13%
-
7%
-
8%
11%
3%
-
13%
-
-
-
8%
-
14%
-
25%
50%
13%
20%
8%
16%
3% 3% 3% 3%
-
13% 13% -
-
7% 7%
20% -
-
5% 5% 5%
3%
-
-
50%
-
-
8%
-
3%
11%
-
-
-
-
8%
-
Di samping menggunakan energi terbarukan, sebagian responden juga melakukan penghematan energi 22% (Tabel 4.30). Cara yang ditempuh (Tabel 4.34) antara lain dengan membatasi penggunaan listrik saat jam kerja saja atau memadamkan peralatan listrik bila tidak digunakan (56%). Sebagian lain (19%) mengganti peralatan listrik dengan peralatan manual, bahkan menggunakan peralatan yang tepat sesuai kebutuhan (8%). Penggantian ini kebanyakan dilakukan oleh industri yang berskala menengah. Terkait dengan penghematan energi ini, beberapa responden yang kurang tepat dalam memahami penghematan energi ini, yakni memantau penggunaan listriknya, serta mengalihkan penggunaan jenis bahan bakar ke jenis lainnya yang diharapkan lebih murah. Besarnya penghematan ini bila dikaitkan dengan kriteria ramah lingkungan sektor industri, belum dapat diukur besarannya, sehingga dalam penelitian ini baru indikasinya saja yang dapat diinformasikan.
60
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.35. Jenis Penghematan Penggunaan Air WILAYAH Total Base Responden : MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR Membatasi penggunaan air (seperti menggunakan air sesuai kebutuhan, hanya menggunakan satu bak untuk pencelupan Dilakukan beberapa kali pengurasan kalo sudah kotor di - masukan kedalam mesin pengolahan ,disaring di jadikan air bersih lalu di buang ke pembuangan - Ada water treatment - Menggunakan saluran yang tingkat kebocoran airnya kecil Tidak menggunakan air tanah, tetapi menggunakan air hujan atau air sungai
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Mikro Kecil Menengah
24 54%
5 40%
7 43%
3 100%
8 63%
6 83%
10 20%
8 75%
42%
20%
29%
100%
50%
83%
20%
38%
4%
-
14%
-
-
-
-
13%
4% 4%
-
14%
-
13% -
-
-
13% 13%
4%
20%
-
-
-
-
-
13%
MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR 8%
20%
-
-
13%
17%
10%
-
- Melakukan penggantian air PAM dengan sumur - Mengecat dan mencuci kaca BELUM MELAKUKAN
20% 40%
57%
0%
13% 25%
17% 0%
10% 70%
25%
4% 4% 38%
Jenis aktivitas yang dilakukan dalam melakukan penghematan air (Tabel 4.35) yang terbanyak adalah membatasi penggunaan air sesuai dengan kebutuhan (42%), serta penggunaan air hujan atau air sungai (4%). Bila dilihat dari skala usahanya, penghematan yang dilakukan kelompok usaha dengan skala menengah beberpa diantaranya sudah ada yang memiliki water treatment, yakni semacam alat yang digunakan untuk penjernihan air atau pengurangan kadar kandungan limbah sebelum dibuang ke saluran umum. Namun demikian, besarnya nilai penghematan energi pada komponen air ini tidak bisa disajikan karena pelaku usaha tidak melakukan pencatatan terhadapnya. Berdasarkan hasil pemetaan terhadap perilaku UMKM (sektor industri) dalam melakukan kegiatan produksinya yang terkait dengan kriteria ramah lingkungan (industri hijau), dapat disimpulkan masih cukup rendah. Dapat juga diartikan bahwa belum ada industri UMKM dengan berbagai skala usaha yang telah secara komprehensif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan kriteria industri hijau, kalaupun ada hanya bersifat parsial atau sebagian saja. Namun demikian, ada indikasi yang cukup kuat bahwa industri dengan skala menengah memiliki kecenderungan atau perilaku yang sudah mengarah pada aktivitas sesuai dengan kriteria ramah lingkungan yang ditetapkan oleh kemenperin. Menarik untuk disampaikan, motivasi dari beberapa industri dalam melakukan penghematan baik penggunaan energi dan air pada dasarnya lebih disebabkan oleh motif ekonomi yakni penghematan biaya, alih-alih mematuhi aturan ramah lingkungan, hal ini disebabkan pemahaman sebagian pelaku usaha terhadap kriteria ramah lingkungan masih belum dipahami dengan baik.
61
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.2.4.
Permasalahan UMKM Menuju Ramah Lingkungan Sektor Industri
Sektor industri merupakan sektor yang paling beragam jenis produk yang dihasilkan maupun proses produksinya. Persoalan yang dihadapi oleh UMKM pada sektor ini dalam menuju ramah lingkungan cukup beragam juga. Bila merujuk pada kriteria industri hijau yang dikeluarkan oleh Kemenperin yang meliputi 7 aspek, maka banyak hal yang harus dibenahi. Pada Tabel 4.36. Alasan UMKM Sektor Industri Belum Ramah Lingkungan WILAYAH
Base Responden : Harga bahan baku yang bersertifikat lebih mahal SDM belum terampil Skala usaha masih kecil Kesulitan modal mengganti peralatan Pasar masih belum butuh Belum tahu caranya
Total
Jabodeta bek
Jawa Barat
Jawa Tengah
58 25% 12% 16% 24% 18% 45%
41 28% 6% 25% 26% 23%
37 34% 10% 10% 23% 21%
16 71% 23% 11% 14%
SKALA USAHA Jawa Sumatera Timur Utara 38 23% 8% 32% 43%
12 56% 12% 23% 32% 43% 25%
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Usaha Menengah
15 32% 46% 22% 32%
21 14% 5% 5% 15% 18% 21%
32 19% 24% 4% 13% 12%
Pada Tabel 4.36. disajikan alasan UMKM yang masih belum mengarah kepada industri hijau. Terlihat bahwa 45% UMKM belum mengetahui bagaimana kriteria yang berlaku agar dapat mengarah pada kelestarian lingkungan. Bagi sebagian yang mengetahui sekilas mengenai industri hijau, kendala yang dihadapi adalah harga bahan baku yang nantinya untuk produksi lebih mahal dibandingkan dengan harga bahan baku yang saat ini digunakan (25%). Bahkan argumen lain yang diajukan adalah terbentur pada keterbatasan modal yang digunakan untuk meremajakan mesin dan peralatan produksi yang dianggap sudah berumur (24%). Sementara itu, UMKM juga mengalami masalah SDM yang belum terampil (12%). Di samping masalah pengetahuan dan permodalan dan kesulitan bahan baku serta SDM, masalah lain yang sangat krusial dihadapi oleh UMKM adalah aspek pemasaran (18%). Seperti telah dipaparkan sebelumnya, bahwa persoalan mendasar terkait produk hijau adalah masih rendahnya animo pasar, yang disebabkan oleh beberapa hal. Di sisi lain, alasan UMKM belum berminat mengarah pada kelestarian lingkungan adalah karena adanya persepsi bahwa mereka masih berskala kecil atau mikro (16%). Bila disimak permasalahan yang dihadapi UMKM terkait dengan industri hijau meliputi aspek manajeman, pengetahuan teknis, permodalan serta aspek pemasaran. Meski Kementerian dan Dinas terkait memiliki program pembinaan namun karena kapasitas yang terbatas serta prioritas pembangunan daerah pada peningkatan produksi maka perlu adanya suatu upaya khusus yang dapat memotivasi pelaku UMKM mengarah pada kelestarian lingkungan.
62
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.3. Sektor Pertambangan 4.1.3.1. Profil Responden Dalam penelitian ini, jumlah sampel sektor pertambangan hanya berjumlah 11 unit usaha yang tersebar di 3 wilayah, yakni Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur masingmasing berjumlah 2, 3 dan 6 unit usaha. Dari 11 sampel tersebut 3 diantaranya adalah tambang batubara, sedangkan lainnya adalah tambang jenis galian C yang meliputi pasir dan Batu (Tabel 4.37). Tabel 4.37. Jenis Pertambangan WILAYAH
Base Responden : Batubara Pasir Batu dan tanah urugan Batu Belah Batu, tanah urug, pasir Batu merah
11 27% 27% 9% 9% 18% 9%
SKALA USAHA
Jawa Barat
Jawa Timur
Kalimantan Timur
2 50% 50% -
3 33% 67% -
6 50% 33% 17%
Usaha Usaha Kecil Menengah 7 43% 14% 14% 14% 14%
4 75% 25% -
Dari skala usahanya, 7 diantaranya merupakan usaha berskala kecil dan 4 lainnya berskala menengah, di mana tambang batu bara mayoritas adalah berskala menengah dengan omzet antara Rp10 miliar hingga Rp50 miliar, sedangan usaha tambang pasir atau batu mayoritas berskala kecil dengan omzet antara Rp300 juta hingga Rp2,5 milliar (Tabel 4.38). Dari sisi aset yang dimiliki, 64% usaha tambang ini mayoritas berkisar antara Rp500 juta hingga Rp10 milliar, 27% memiliki aset Rp10 milliar hingga Rp50 Milliar, sedangkan lainnya beraset Rp50 – 500 juta (Tabel 4.39). Tabel 4.38. Skala Usaha Pertambangan
Total Base Responden : Kecil (Lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar) Menengah (Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar)
11 64% 36%
WILAYAH SKALA USAHA Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha Barat Timur Timur Kecil Menengah 2 3 6 7 4 100% 67% 50% 100% 33% 50% 100%
63
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.39. Aset Usaha Sektor Pertambangan Total Base Responden : Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar
11 9% 64% 27%
WILAYAH SKALA USAHA Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha Barat Timur Timur Kecil Menengah 2 3 6 7 4 33% 14% 100% 33% 67% 71% 50% 33% 33% 14% 50%
Berdasarkan jumlah karyawan yang dipekerjakan dalam usaha tambang (Tabel 4.40), jumlah pekerja mayoritas berkisar antara 20-99 orang (64%), 27% usaha tambang mempekerjakan 5-19 orang, namun 9% usaha memiliki jumlah karyawan lebih dari 100 orang, yakni pada penambangan pasir. Dari jumlah karyawan ini dapat dijelaskan bahwa umumnya usaha tambang batu bara bersifat padat teknologi,sehingga jumlah karyawan yang dipekerjakan tidak sebanyak pada usaha tambang pasir ataupun penambangan batu, kerena pada usaha yang tergolong tambang galian C ini lebih bersifat padat karya di mana penggunaan teknologi relatif rendah. Tabel 4.40. Jumlah Karyawan Usaha Pertambangan Total Base Responden : 5 - 19 orang (kecil) 20 - 99 orang (menengah) 100 orang atau lebih (besar)
Jawa Barat 2 50% 50%
11 27% 64% 9%
WILAYAH Jawa Kalimantan Timur Timur 3 6 67% 17% 33% 83% -
SKALA USAHA Usaha Usaha Kecil Menengah 7 4 43% 43% 100% 14% -
Berkaitan dengan status tenaga kerja pada usaha pertambangan (Gambar 4.3), 45% merupakan tenaga kerja tetap, mereka sebagian besar bekerja pada usaha tambang batu bara, yang berlokasi di Kalimantan Timur. Sedangkan pada usaha tambang pasir maupun batu, mayoritas pekerjanya berstatus tidak tetap.
25%
Usaha Kecil
75%
75%
Usaha Menengah
0%
20%
Tenaga Kerja Tetap
40%
25%
60%
80%
100%
120%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
Gambar 4.3. Status Pekerja Pertambangan
64
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari sisi lama usaha (Tabel 4.41), 45% usaha tambang ini baru beroperasi antara 3-5 tahun, 36% telah beroperasi 5-10 tahun, sedangkan lainnya beroperasi sudah lebih dari 10 tahun. Tabel 4.41. Lama Usaha Pertambangan
Total Base Responden : 3 – 5 tahun Lebih dari 5 – 10 tahun Lebih dari 10 tahun
11 45% 36% 18%
Jawa Barat 2 50% 50%
WILAYAH Jawa Kalimantan Timur Timur 3 6 33% 50% 67% 33% 17%
SKALA USAHA Usaha Usaha Kecil Menengah 7 4 57% 25% 14% 75% 29% -
Terkait kepemilikan badan hukum, hanya 73% usaha tambang yang disurvei yang memiliki badan hukum (Tabel 4.42). Usaha tambang yang tidak berbadan hukum ini bahkan tidak memiliki bentuk usaha (Tabel 4.43). Dari 8 usaha tambang yang memiliki badan hukum, 63% berbentuk CV, 38% berbentuk Perseroan Terbatas. Tabel 4.42. Kepemilikan Badan Usaha Pertambangan WILAYAH SKALA USAHA Total Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha Barat Timur Timur Kecil Menengah Base Responden : 11 2 3 6 7 4 Ya 73% 100% 33% 83% 57% 100% Tidak 27% 67% 17% 43% Tabel 4.43. Bentuk Usaha Pertambangan Total Base Responden : CV PT
8 63% 38%
WILAYAH SKALA USAHA Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha Barat Timur Timur Kecil Menengah 2 1 5 4 4 100% 60% 75% 50% 100% 40% 25% 50%
Izin yang dimiliki oleh usaha tambang yang tidak memiliki badan hukum berupa izin dari pemangku kepentingan wilayah setempat seperti surat izin dari desa atau kecamatan (Tabel 4.44). Sedangkan perusahan batubara ataupun pasir dan batu yang berskala menengah mayoritas sudah memiliki kelengkapan izin usaha seperti SIUP, NPWP, Akta Pendirian Usaha, TDP/TDI, Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Operasi Produksi Khusus (OPK) bahkan juga Izin Usaha Jasa Pertambangan, serta izin gangguan lingkungan.
65
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.44. Bentuk Usaha Pertambangan WILAYAH Total Base Responden :
11 73% 73%
Jawa Barat 2 100% 100%
Jawa Timur 3 33% 33%
SKALA USAHA
Kalimantan Timur 6 83% 83%
SIUP NPWP Tabel 3.25. Kepemilikan Usaha Pertambangan Surat Keterangan Usaha dari 73% 100% 67% 67% Desa/Kecamatan TDP / TDI 64% 100% 33% 67% Akta Pendirian Perusahaan 64% 100% 33% 67% Surat Ijin Gangguan/Lingkungan/HO yang 55% 50% 33% 67% diterbitkan oleh Walikota Izin Usaha Pertambangan (IUP) 45% 50% 67% Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) Pengangkuran dan 36% 50% 50% Penjualan Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) 36% 67% IUP Operasi Produksi 27% 50% Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) 27% 50%
Usaha Usaha Kecil Menengah 7 4 57% 100% 57% 100% 57%
100%
43% 43%
100% 100%
29%
100%
29%
75%
29%
50%
14% -
75% 75% 75%
Dari sisi kepemilikan usaha, mayoritas usaha pertambangan baik skala kecil maupun menengah dimiliki oleh perorangan (82%) dengan badan bentuk usaha CV atau PT, sementara 18% lainnya dimiliki oleh keluarga (Tabel 4.45).
Tabel 4.45. Kepemilikan Usaha Pertambangan
Total Base Responden : Dimiliki sendiri Keluarga
11 82% 18%
Jawa Barat 2 100% -
WILAYAH Jawa Kalimantan Timur Timur 3 6 67% 83% 33% 17%
SKALA USAHA Usaha Usaha Kecil Menengah 7 4 86% 75% 14% 25%
Hal yang menarik adalah terkait dengan lokasi pertambangan seperti yang disajikan pada Tabel 4.46. Tabel menunjukkan bahwa 36% lokasi tambang berada dekat wilayah pemukiman, bahkan untuk tambang batubara. Fakta ini menunjukkan bahwa izin prinsip yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat terkait dengan pertambangan tidak selalu berorientasi pada aspek tata ruang. Hal ini ini tidaklah mengherankan karena dasar pemberian izin usaha ini juga memperhatikan aspek peluang serapan tenaga kerja untuk meningkatkan pendapatan warga yang tinggal di sekitar area konsesi pertambangan. Oleh karenanya izin gangguan menjadi hal mendasar.
66
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.46. Lokasi Pertambangan
WILAYAH
Base Responden : Penambangan Pemukiman Tanah tegal Pegunungan
14 43% 36% 14% 7%
Jawa Barat 2 50% 50% -
Jawa Timur 6 50% 33% 17%
Kalimantan Timur 6 83% 17% -
SKALA USAHA Usaha Usaha Kecil Menengah 8 6 50% 33% 25% 50% 25% 17%
4.1.3.2. Kriteria UMKM Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan Hasil sumber daya alam seperti tambang dan bahan mineral, dapat menjadi salah satu peluang (oportunity) yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia. Sebaliknya, keberadaan pertambangan dapat menjadi ancaman (threat) yang sangat serius terhadap kelestarian lingkungan, sosial budaya, serta dapat mengubah topografi permukaan bumi melalui pembukaan dan penggalian lahan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem (tanah, air dan udara) serta habitat yang hidup dan tumbuh di atasnya. Pada akhirnya akan mengancam sistem kehidupan masyarakat disekitarnya. Agar tambang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat haruslah dijalankan secara berkelanjutan dengan mengedepankan asas keseimbangan alam. Karena sifatnya yang tak terbarukan (unrenewable resources), oleh karenanya hasil-hasil pertambangan harus dapat dikonversi ke dalam bentuk lain (value transformation), sehingga dapat menjadi modal pembangunan dan tetap memberikan kesejahteraan yang berkelanjutan. Sektor pertambangan seperti batubara atau jenis galian C merupakan jenis usaha yang sangat rentan dengan perusakan lingkungan. Hal ini disebabkan jenis usaha ini memiliki aktivitas yang berpotensi mengubah ekosistem kawasan serta topografinya. Bahkan tidak sedikit tambang yang beroperasi di wilayah hutan lindung atau hutan alam, yang menyimpan kekayaan hayati. Dampak lain yang diakibatkan oleh perusahaan tambang adalah berubahnya struktur kemasyarakatan karena perubahan gaya hidup dan sumber kehidupan. Karena potensinya yang demikian besar dalam merusak lingkungan, maka regulasi yang diterapkan oleh pemerintah sangat ketat. Saat ini terdapat beberapa jenis usaha pertambangan, ada tambang yang dikelola oleh negara, swasta dan rakyat, bahkan juga penambang liar. Meski pemerintah mengawasi secara ketat praktek pertambangan, namun karena lokasinya di area yang remote maka sulit melakukan pengawasan secara kontinu. Di sisi lain, usaha pertambangan seakan memiliki “dunianya” tersendiri, apalagi pemerintah daerah sering menjadikan sektor pertambangan sebagai PAD utama tanpa lagi memperhatikan keseimbangan ekosistem jangka menengah maupun panjang. Melihat kondisi yang ada pada saat ini, sektor pertambangan seyogyanya menjadi prioritas terhadap usaha yang harus ramah terhadap lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menerapkan kriteria usaha tambang yang ramah lingkungan meliputi 2 hal, 67
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pertama terkait dengan pembukaan dan rehabilitasinya dan kedua adalah menerapkan proses produksinya yang disetarakan dengan sektor industri. Tujuannya adalah untuk memaksimumkan manfaat pertambangan di satu sisi, serta menekan serendah mungkin dampak negatifnya di sisi lain, pengelolaan pertambangan yang mengedepankan kelestarian lingkungan menjadi salah satu prasyarat utamanya. Pada Tabel 4.47. disajikan kriteria umum yang dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan tambang yang berorientasi ramah lingkungan. Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan Tahapan A. Penambangan
Kegiatan 1. Pengupasan, penimbunan dan atau pengelolaan tanah pucuk
2. Pengupasan, penimbunan dan pengelolaan tanah/batuan penutup
Indikator a. Tanah pucuk tidak tercampur dengan tanah/ batuan penutup b. Tidak terjadi erosi dan atau longsor lebih dari 15% dari luas timbunan tanah pucuk c. Timbunan tanah pucuk ditanami tanaman penutup dengan baik a. Batuan potensial pembentuk asam (PAF) dienkapsulasi b. Tidak terjadi erosi dan atau longsor yang mengganggu enkapsulasi dan/atau lebih dari 15% dari luas timbunan tanah/batuan penutup c. Timbunan tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu terjal dengan kemiringan sesuai dengan kajian geoteknik d. Tidak terjadi rembesan air di kaki timbunan yang pHnya kurang dari 4 e. Timbunan tanah/batuan penutup ditanami tanaman penutup dengan baik
Metode Pengukuran Pengamatan lapangan Citra satelit dan verifikasi lapangan Pengukuran di lapangan Pengamatan lapangan Citra satelit dan verifikasi lapangan
Klinometer dan meteran
pH meter atau pH stick Pengukuran di lapangan
68
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan (lanjutan) Tahapan A. Penambangan
Kegiatan 3. Penggalian dan pengambilan bahan tambang
Indikator
Metode Pengukuran Citra satelit dan verifikasi lapangan
a. Luas permukaan lubang galian yang terbentuk tidak lebih dari 20% dari luas IUP apabila lubangnya terkonsentrasi atau tidak lebih dari 30% dari luas IUP apabila lubangnya terfragmentasi dan setiap lubang tidak lebih dari 20% dari luas IUP b. Jarak tepi lubang galian Citra satelit paling sedikit 500 meter dan verifikasi dari batas IUP (rona awal lapangan berdekatan dengan permukiman) c. Tidak dijumpai pH meter penurunan pH air tanah dan pH stick lebih dari 1(satu) tingkat dari kondisi awal
B. Reklamasi
1. Penataan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya
a. Kemiringan lahan sesuai dengan peruntukan lahan dan kajian geoteknik b. Tidak terjadi genangan permanen, kecuali pada lokasi lubang yang tidak ditutup c. Air permukaan/ genangan pada lubang galian akhir yang tidak ditutup memiliki kualitas yang sesuai dengan baku mutu peruntukan air
Pengukuran di lapangan Pengukuran di lapangan
Mengacu PP 82 Tahun 2001
69
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan (lanjutan) Tahapan B. Reklamasi
Kegiatan
Metode Pengukuran Pengukuran di lapangan
2. Penutupan lubang (yang harus ditutup) dengan tanah/ batuan penutup dari tempat penimbunan
a. Tidak dijumpai batuan potensial masam yang teroksidasi b. Tidak dijumpai penurunan pH air tanah lebih dari 1 (satu) tingkat dari kondisi awal
pH meter dan pH stick
3. Penyebaran tanah pucuk dari tempat Penimbunan menutupi tanah/ batuan penutup pada bekas lubang galian
a. Tanah pucuk tersebar merata pada lebih dari 75% dari keseluruhan lahan Reklamasi b. Tanah pucuk pada zona perakaran memiliki pH tanah yang sesuai dengan peruntukannya a. Tahun pertama: Lebih dari 80% dari luas areal reklamasi ditumbuhi oleh penutup tanah b. Tahun kedua: Lebih dari 80% dari luas reklamasi ditumbuhi oleh tanaman cepat tumbuh Luas permukaan bekas lubang galian yang terbentuk tidak lebih dari 20% dari luas IUP apabila lubangnya terkonsentrasi atau tidak lebih dari 30% dari luas IUP apabila lubangnya terfragmentasi dan setiap lubang tidak lebih dari 20% dari luas IUP
Pengukuran di lapangan
4. Penanaman sesuai dengan peruntukannya
C.Pasca tambang
Indikator
1. Penataan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya
pH meter dan pH stick
Pengukuran di lapangan
Pengukuran di lapangan
Citra satelit dan verifikasi lapangan
70
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.47. Kriteria Usaha Ramah Lingkungan Sektor Pertambangan (lanjutan) Tahapan C.Pasca tambang
Kegiatan 2. Penanaman sesuai dengan peruntukannya
Indikator a. Tahun pertama: Lebih dari 90% luas lahan sesuai peruntukan ditutupi tanaman penutup tanah dan perbaikan kesuburan tanah (peruntukan hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, perikanan darat dan pariwisata) b. Tahun kedua: Lebih dari 90% luas lahan peruntukan hutan ditumbuhi tanaman. Lebih dari 60% luas lahan peruntukan perkebunan, pertanian lahan kering dan sawah ditumbuhi tanaman. Lebih dari 30% lahan peruntukan permukiman dan pariwisata ditumbuhi tanaman c. Tahun ketiga dan seterusnya: Lebih dari 90% lahan sesuai peruntukan ditumbuhi tanaman
Metode Pengukuran Pengukuran di lapangan
Pengukuran lapangan
Pengukuran di lapangan
Selain aspek-aspek utama tersebut, beberapa aspek lain yang diadopsi dari sektor perindustrian juga digunakan untuk melengkapi kriteria ramah lingkungan pada usaha petambangan.
71
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
4.1.3.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Pertambangan Usaha pertambangan merupakan jenis usaha yang sangat rentan terhadap proses perusakan lingkungan hidup, oleh karenanya pemahaman pelaku usaha ini merupakan titik krusial untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesadaran mereka terhadap masalah kelestarian lingkungan. Tingkat kerusakan yang terjadi umumnya berbeda-beda berdasarkan jenis bahan tambang dan cara penambangannya. Kerusakan lingkungan sebagai dampak dari aktivitas penambangan batu bara tidak hanya terjadi di lokasi tambang itu sendiri, akan tetapi juga berdampak pada daerah-daerah sekitarnya. Selain menimbulkan erosi dan sedimentasi, aktivitas penambangan batu bara dapat menyebabkan meningkatnya kandungan logam berat di tanah yang berpotensi masuk ke lingkungan perairan, penurunan kuantitas dan kualitas air. Belum lagi hilangnya habitat dan keragaman hayati, merubah bentang alam, serta gangguan keamanan dan kesehatan di masyarakat sekitar kawasan pertambangan. Persoalan utama yang dihadapi saat ini adalah sejauhmana tingkat kesadaran para pelaku usaha pertambangan terkait dengan kelestarian lingkungan, hal ini menjadi penting karena tindakan seseorang umumnya dicerminkan atas pengetahuannya terhadap suatu permasalahan. Pada Tabel 4.48 disajikan pemahaman pelaku usaha tambang terhadap usaha ramah lingkungan. Tabel 4.48. Pemahaman UMKM Sektor Pertambangan terhadap Kelestarian Lingkungan Total WILAYAH
Base Responden : Melakukan biorehabilitasi lahan bekas tambang Pembuatan terasering untuk menghindari longsor Melakukan penambangan ulang dengan pohon cepat tumbuh Melakukan reklamasi bekas lahan tambang Melakukan penutupan kembali bekas tambang dengan top soil Memperhatikan kontur lahan tambang mlalui pembuatan blok Pemantauan flora dan fauna di lokasi tambang Melakukan pengelolaan kualitas air tambang Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki MSDS/spesifikasi bahan Melakukan efisiensi penggunaan energi Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin Menggunakan energi terbarukan Melakukan efisiensi penggunaan air Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi (Memanfaatkan kembali bahan baku dan bahan penolong termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang melalui proses daur ulang) Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi (menggunakan kembali bahan baku dan bahan penplong termasuk penggunaan energi, air, kemasan produk, dan lainlain yang terbuang) Tidak tahu
11 73% 73% 64% 55% 55% 45% 45% 36%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Kalimantan Barat Timur Timur 2 3 6 50% 67% 83% 100% 67% 67% 50% 100% 50% 50% 83% 50% 83% 50% 67% 33% 67% 67%
Usaha Usaha Kecil Menengah 7 4 57% 100% 57% 100% 57% 100% 43% 75% 43% 75% 29% 75% 14% 100% 14% 75%
27%
-
-
50%
-
75%
18% 9% 9% 9%
-
67% -
17% 17% 17%
14% -
25% 25% 25% 25%
9%
-
-
17%
-
25%
9%
-
33%
-
14%
-
27%
-
33%
33%
43%
-
Secara umum, mayoritas usaha pertambangan berskala usaha menengah, hal ini menunjukkan bahwa usaha ini membutuhkan modal yang cukup besar. Hal menarik yang perlu diungkapkan adalah pemahaman UMKM pertambangan terhadap kelestarian lingkungan bila dibandingkan dengan sektor lainnya relatif lebih baik. Hal ini terlihat dari persentase mereka 72
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
yang mengetahui aspek-aspek atau kriteria ramah lingkungan lebih tinggi, seperti melakukan bio rehabilitasi, pembuatan terasering hingga pengelolaan kualitas air tambang. Namun demikian, terdapat 27% UMKM yang sama sekali tidak mengetahui aspek pengelolaan tambang ramah lingkungan. Bila ditelusuri lebih lanjut UMKM ini merupakan usaha berskala kecil. Umumnya usaha tambang dengan skala mikro ini merupakan usaha rakyat dan izin usahanya hanya izin kepala desa atau camat setempat. Dari hasil ini, terlihat bahwa skala usaha pertambangan memberikan pembeda terhadap pemahamannya terkait usaha ramah lingkungan. Semakin besar skala usahanya, maka semakin memiliki pemahaman yang baik terhadap kelestarian lingkungan hidup. Seperti telah diutarakan sebelumnya pada bahasan kriteria kelestarian pertambangan, pengawasan terhadap usaha pertambangan relatif ketat baik oleh pemerintah maupun pemerhati kelestarian lingkungan. Namun demikian aktivitas nyata yang dilakukan oleh UMKM pertambangan ini akan memberikan fakta yang sebenarnya, bagaimana praktek yang dilakukan UMKM ini dalam melakukan usahanya. Aktivitas nyata yang dilakukan oleh UMKM pertambangan terkait dengan kelestarian lingkungan disajikan pada Tabel 4.49. Dari tabel tersebut terlihat bahwa persentase aktivitas nyata yang dilakukan ternyata lebih rendah dari pemahaman yang mereka miliki. Hal ini menandakan bahwa pemahaman yang baik terhadap kelestarian lingkungan belum tentu akan ditindaklanjuti dalam prakteknya. Berdasarkan fakta di lapangan, ada perbedaan mendasar antara tambang batubara dengan tambang galian tipe C seperti pasir, batu dan tanah liat untuk bahan batubata, hal ini disebabkan oleh keberadaan bahan tambangnya, ada yang di permukaan, di wilayah bukit dan di daerah kedalaman tertentu. Oleh karenanya perlakuan dan teknik penambangannya pun berbeda-beda. Seperti pembuatan terasering hanya diperlukan pada tambang yang bahan tambangnya berada pada kedalaman atau ketinggian tertentu, demikian juga dengan kondisi air tanah. Pada tambang yang mengakibatkan genangan, maka penanganan air (drainase) menjadi penting, hal sebaliknya pada tambang yang bahan tambangnya berada pada ketinggian. Pertambangan batubara, pada dasarnya menggunakan lahan hanya sementara waktu, sehingga sangat penting untuk merehabilitasi lahan sesegera mungkin setelah kegiatan penambangan dihentikan. Dalam praktek yang terbaik, rincian rehabilitasi atau rencana reklamasi dirancang dan disetujui untuk setiap tahapan penambangan batubara, yang mencakup periode dari awal operasi hingga jauh setelah penambangan selesai.
73
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.49. Aktivitas Nyata Pertambangan terkait Kriteria Ramah Lingkungan WILAYAH
SKALA USAHA
Total
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha Barat Timur Timur Kecil Menengah
Base Responden : Melakukan penanaman ulang dengan pohon cepat tumbuh Pembuatan terasering untuk menghindari longsor Melakukan penutupan kembali bekas tambang dengan top soil Melakukan reklamasi bekas lahan tambang
11 73% 73% 64% 45%
2 3 100% 100% 100% 67% 100% 100% -
6 50% 67% 83% 50%
7 71% 57% 57% 43%
4 75% 100% 75% 50%
Memperhatikan kontur lahan tambang melalui pembuatan blok Melakukan biorehabilitasi lahan bekas tambang Pemantauan flora dan fauna di lokasi tambang Melakukan pengelolaan kualitas air tambang Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki MSDS/spesifikasi bahan Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi Melakukan efisiensi penggunaan energi Melakukan efisiensi penggunaan air Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin Menggunakan energi terbarukan Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi Tidak melakukan satu pun kegiatan di atas
36% 18% 18% 18%
100% 67% 33% -
33% 17% 33%
29% 14% -
50% 25% 50% 50%
18%
-
-
33%
-
50%
18% 9% 9% 9%
50% -
33% 33% -
17% 17%
29% 14% 14%
25% -
Bila merupakan pertambangan bawah tanah, tanah permukaan dapat digunakan untuk keperluan lain seperti hutan, penggembalaan ternak dan pertanian. Kegiatan reklamasi tambang dilakukan secara bertahap dengan membentuk dan contouring lahan, melapisi tanah bagian atas dengan yang subur, penanaman dengan rumput dan penanaman pohon daerah sekitar tambang. Bila pertambangan merupakan operasi tambang permukaan, buldoser dan scrapper digunakan untuk menutupi kembali daerah bekas galian. Drainase di dalam dan luar lokasi rehabilitasi, perlu dirancang dengan seksama agar permukaan lahan yang baru menjadi stabil dan tahan terhadap erosi akibat air hujan. Berdasarkan persyaratan, tanah tersebut harus ditanami dan dihijaukan kembali. Tanah reklamasi dapat memiliki banyak kegunaan, termasuk untuk pertanian, kehutanan, habitat satwa liar, dan rekreasi. Perusahaan harus memantau perkembangan rehabilitasi dengan hati-hati dan biasanya melarang penggunaan lahan sampai vegetasi mampu hidup mandiri. Dari aktivitas nyata di lapangan (Tabel 4.49), pembuatan terasering dilakukan oleh 100% UMKM batubara dengan skala menengah, sementara untuk UMKM berskala kecil baru 57% yang melakukannya. Fakta ini bisa diterjemahkan berbeda, yakni saat ini UMKM berskala besar masih dalam tahap penambangan sehingga penanaman ulang baru dilakukan oleh sebagian (75%) UMKM yang sudah melewati fase penggalian, sementara sebagian lainnya belum memasuki fase ini. Di sisi lain penambang dengan skala kecil, karena kemampuannya dalam penggalian hanya mampu menambang pada areal permukaan (khususnya batubara) maka pembuatan terasering belum diperlukan. Karena pembuatan terasering ini diperlukan manakala bahan galian sudah berada pada kedalaman tertentu. Hal lain yang perlu disimak adalah UMKM berskala kecil mencoba efisien dalam usahanya dengan cara menggunakan kembali bahan baku yang masih bisa dimanfaatkan 74
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
(reuse). Sementara proses reduce yang terkait dengan penghematan energi dan bahan penolong belum menjadi prioritas. Di sisi lain proses recycle tampaknya belum ada yang melakukan, dan bahkan untuk beberapa jenis tambang kurang relevan untuk diterapkan sebagai kriteria ramah lingkungan. Sebagai upaya konfirmasi atas aktifitas yang dilakukan oleh UMKM dalam melakukan kegiatan ramah lingkungan, berikut akan disajikan rincian upaya yang telah dilakukan UMKM pertambangan dalam kaitannya dengan upaya melestarikan lingkungan. Pada Tabel 4.50. Aktivitas Rehabilitasi Bekas Tambang
WILAYAH
Base Responden : MELAKUKAN REKLAMASI BEKAS LAHAN TAMBANG - Menutup lubang tambang - Mengurangi bekas galian - Reklamasi MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN REKLAMASI BEKAS LAHAN TAMBANG - Memelihara drainase BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Total
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha Barat Timur Timur Kecil Menengah
11 45% 27% 9% 9%
2 100% 50% 50% -
3 -
6 50% 33% 17%
7 43% 29% 14% -
4 50% 25% 25%
9%
-
-
-
14%
-
9% 45%
-
100%
50%
14% 43%
50%
Salah satu cara yang dilakukan untuk merehabilitasi lahan bekas tambang adalah melakukan reklamasi, jenis reklamasi yang dilakukan oleh respoden (Tabel 4.50) adalah menutup lubang bekas tambang atau mengurangi bekas galian. Mengingat upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ini memerlukan waktu yang cukup lama, maka salah satu aspek yang perlu diperhatikan oleh UMKM adalah secara rutin memelihara saluran drainase, untuk memastikan bahwa sirkulasi air yang ada di lokasi sekitar tambang terus berfungsi. Hal ini untuk menghindari terjadinya erosi yang dapat menyebabkan hilangnya tanah penutup yang akan menjadi media tumbuh tanaman di atasnya, serta menjamin ketersediaan air bagi lahan rehabilitasi. Dari hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Karakteristik lahan bekas tambang pada umumnya adalah terbuka, sangat panas, tingkat kesuburannya sangat rendah, mudah tererosi, berpotensi menghasilkan air asam tambang dan miskin keanekaragaman hayati. Selain masalah utama pada buruknya kondisi tanah, kondisi iklim mikronya yang ekstrem juga dapat menjadi faktor pembatas keberhasilan rehabilitasi pasca tambang. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan perawatan, perbaikan lahan, stabilisasi lahan dan pengendalian erosi dan sedimentasi sebelum upaya penanaman. Setelah melakukan tahap di atas, tahap selanjutnya yang paling penting adalah pemilihan jenis tanaman dalam upaya rehabilitasi atau merestorasi lahan pasca tambang. Pemilihan jenis tanaman bertujuan untuk memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi 75
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
tanah dan iklim mikronya. Ada beberapa jenis tanaman lokal yang mampu beradaptasi dengan iklim suatu kawasan, namun ada juga beberapa jenis tanaman yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi tanahnya. Pada Tabel 4.51. disajikan jenis tanaman cepat tumbuh yang digunakan oleh UMKM pertambangan untuk penghijauan kembali. Sengon merupakan jenis tanaman cepat tumbuh yang paling banyak dimanfaatkan oleh UMKM (36%). Jenis kedua adalah Albasia masing-masing (18%) serta Jati Emas (9%) dan karet (9%). Di samping tanaman kayu, juga ditanami tanaman pangan lain seperti sawit dan padi masing-masing 9%. Tabel 4.51. Jenis Tanaman Cepat Tumbuh untuk Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang WILAYAH Total
Base Responden : MELAKUKAN PENANAMAN ULANG DENGAN POHON CEPAT TUMBUH - Sengon - Albasia - Sawit - Jati emas - Teembesi - Tanaman padi - Karet BELUM MELAKUKAN
11
SKALA USAHA
Jawa Jawa Kalimantan Usaha Usaha Barat Timur Timur Kecil Menengah 2
3
6
7
4
73%
100% 100%
50%
71%
75%
36% 18% 18% 9% 9% 9% 9% 27%
100% 50% -
33% 33% 17% 17% 50%
14% 29% 14% 14% 14% 29%
75% 25% 25% 25% 25%
67% 33% -
Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan antara kriteria kelestarian lingkungan pada masing-masing sektor dengan aktivitas nyata yang dilakukan oleh UMKM dari berbagai sektor terdapat adanya gap yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan rendahnya pemahaman atau kesadaran dari pelaku UMKM terhadap aspek ramah lingkungan. Rendahnya pemahaman UMKM dapat disebabkan oleh berbagai faktor, pertama adalah kosentrasi para pelaku UMKM masih tertuju pada upaya bagaimana menjaga atau bahkan meningkatkan usahanya agar tetap eksis. Kedua adalah kementerian atau dinas terkait yang memiliki wewenang dalam pembinaan UMKM, masih berkutat pada bagaimana meningkatkan kuantitas dan kualitas produk agar dapat meningkatkan nilai tambah dan memperluas pasar dan tetap mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Ketiga adalah, kriteria kelestarian lingkungan yang digunakan oleh kementerian atau dinas terkait agaknya belum tersosialisasikan dengan baik, karena kriteria tersebut lebih banyak digunakan sebagai pedoman untuk memberikan apresiasi kepada UMKM yang telah melakukan kegiatan ramah lingkungan baik sebagian atau seluruhnya, sementara UMKM yang belum melaksanakan kegiatan ramah lingkungan sama sekali belum merasakan adanya pembinaan karena keterbatasan dana dan sumberdaya manusia. Keempat, pembinaan yang dilakukan oleh kementerian atau dinas terkait masih bersifat parsial dan baru memprioritaskan pada subsektor-subsektor yang berpotensi untuk melakukan ekspor. Kelima, belum adanya sanksi yang tegas bagi UMKM yang nyata-nyata melakukan pelanggaran pada aspek utama kelestarian lingkungan, hal ini disebabkan kurang 76
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
jelasnya peraturan, dan juga belum adanya sosialisasi yang komprehensif tentang peraturan itu sendiri. 4.1.3.4. Permasalahan UMKM Sektor Pertambangan Menuju Ramah Lingkungan Sektor pertambangan merupakan sektor yang berpotensi merusak lingkungan hidup, karena proses produksinya mengubah topografi lahan menjadi dearah terbuka dan dapat merusak ekosistem setempat. Upaya utama yang harus dilakukan oleh UMKM dalam mengembalikan fungsi bekas tambang menjadi seperti keadaan semula memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pada Tabel 4.52 disajikan kendala yang dihadapi UMKM sektor pertambangan dalam melakukan usaha ramah lingkungan. Modal merupakan kendala utama yang dihadapi UMKM pertambangan dalam melakukan rehabilitasi lahan. Di sisi lain peran Dinas atau Pemda sangat krusial dalam mengarahkan UMKM agar ramah lingkungan. Dalam pada itu persepsi tidak adanya perjanjian yang harus ditaati oleh pihak UMKM mengakibatkan UMKM lengah terhadap kewajiban ini. Ironisnya UMKM ini menganggap pelanggaran atas kewajibannya untuk melestarikan lingkungan berpedoman pada ada tidaknya teguran yang dilakukan oleh dinas terkait. Tabel 4.52. Alasan UMKM sektor Pertambangan belum Ramah Lingkungan
Base Responden : Terkendala modal karena mengeluarkan biaya tambahan lagi Belum ada anjuran dari dinas pertambangan Tanah yang sudah digali dijadikan lahan sawah Tidak ada perjanjian dengan pihak lain Belum ada teguran dari dinas yang terkait Sudah dilakukan oleh yang punya lahan
Total
Jawa Timur
3
3
33% 33% 33% 33% 33% 33%
33% 33% 33% 33% 33% 33%
SKALA USAHA Usaha Usaha Menenga Kecil h 2 1 50% 50% 50% 50%
100% 100% -
Bercermin dari alasan tersebut, tampak bahwa koordinasi dengan pihak terkait serta keikutsertaan lembaga pemerhati lingkungan menjadi aspek penting dalam mengawasi UMKM agar taat pada kriteria ramah lingkungan. 4.1.4. Sektor Transportasi 4.1.4.1. Profil Responden Total responden yang dilibatkan dalam survei dari sektor transportasi ini berjumlah 51 usaha yang tersebar di 5 wilayah (Tabel 4.53). Terdapat 13 jenis usaha transportasi mulai dari angkutan sewa yang jumlahnya mayoritas (31%) hingga usaha jasa angkutan pariwisata yang berjumlah 2%. Dari sisi skala usaha, jumlah terbesar merupakan usaha jasa angkutan yang 77
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
terkategori usaha skala menengah yaitu sebanyak 34 responden (67%), 13 usaha kecil (24%) dan usaha mikro 4 responden (10%) (Tabel 4.54). Tabel 4.53. Jenis Usaha Jasa Transportasi WILAYAH Total Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Timur Mikro Kecil Menengah 13 4 9 5 5 4 13 34 23% 25% 56% 20% 100% 23% 26%
Base Responden : 51 15 Angkutan sewa (termasuk bajaj) 31% 40% Angkutan bermotor untuk barang umum (dapat mengangkut lebih dari satu jenis barang) 18% 7% 23% 25% Angkutan darat lainnya untuk penumpang 16% 13% 31% Angkutan bus antar kota antar propinsi (AKAP) 6% 8% Angkutan antar kota dalam propinsi (AKDP) bukan bus 6% 15% Angkutan bus antar kota dalam propinsi (AKDP) 4% 25% Angkutan bus pariwisata 4% 13% Angkutan perkotaan bukan bus 4% 13% Angkutan bermotor untuk barang khusus (seperti BBM,alat-alat berat ) 4% 13% Angkutan jalan rel untuk barang 2% Angkutan taxi 2% Angkutan ojek motor 25% Tabel 4.54.2% Skala- Usaha- Jasa Angkutan darat lainnya bukan bus untuk wisata 2% -
22% -
40% 20%
40% 20%
-
31% 23% -
15% 15% 9%
11% -
20% -
-
-
8%
9% 6% 6% 3%
-
8% 8% -
3% 3% 3% 3%
20% 20% Transportasi 11% -
Tabel 4.54. Skala Usaha Jasa Transportasi
WILAYAH Total Base Responden : Mikro (Sampai dengan Rp 300 juta) Kecil (Lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar) Menengah (Lebih dari Rp 2,5 miliar sampai dengan Rp 10 miliar)
51 10% 24% 67%
Jabodetabek 15 20% 27% 53%
Jawa Barat 13 8% 31% 62%
Jawa Tengah 4 25% 75%
Jawa Sumatera Kalimantan Timur Utara Timur 9 5 5 11% 11% 20% 20% 78% 80% 80%
Dengan mayoritas Usaha Jasa Transportasi berskala menengah, ini menunjukkan bahwa sektor transportasi merupakan salah satu jenis usaha yang padat modal. Hal ini tercermin salah satunya dari aset yang dikuasai (Tabel 4.55), di mana mayoritas aset yang dimiliki oleh 67% usaha jasa transportasi berkisar antara Rp500 juta hingga Rp10 miliar. Bahkan 69% usaha yang berskala kecil memiliki aset yang relatif sama. Tabel 4.55. Aset Perusahaan Jasa Transportasi
SKALA USAHA Total Base Responden : Sampai dengan Rp 50 juta Lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta Lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar Lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 50 miliar Lebih dari Rp 50 miliar sampai dengan Rp 100 miliar
51 4% 20% 67% 6% 4%
Usaha Mikro 4 25% 50% 25% -
Usaha Usaha Kecil Menengah 13 34 3% 31% 12% 69% 71% 9% 6% 78
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari jumlah serapan tenaga kerja yang beraktivitas pada sektor ini (Tabel 4.56), terlihat adanya hubungan linear, di mana semakin besar skala usahanya maka semakin besar pula jumlah serapan tenaga kerjanya. Rata-rata jumlah karyawan yang bekerja di sektor ini bervariasi, di mana mayoritas (47%) usaha jasa transportasi menyerap antara 20-99 orang, dengan 62% diantaranya bekerja pada usaha dengan skala menengah. Bahkan 15% dari usaha pada skala ini mempekerjakan lebih dari 100 orang pekerja dengan profesi yang beragam. Tabel 4.56. Jumlah Tenaga Kerja yang Terserap pada sektor Jasa Transportasi. WILAYAH Total Base Responden : 1 - 4 orang (mikro) 5 - 19 orang (kecil) 20 - 99 orang (menengah) 100 orang atau lebih (besar)
Jabodetabek
51 12% 31% 47% 10%
15 13% 47% 40% -
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Timur Mikro Kecil Menengah 13 4 9 5 5 4 13 34 25% 22% 20% 75% 23% 46% 25% 11% 20% 25% 54% 24% 54% 56% 40% 80% 23% 62% 50% 11% 40% 15%
Terkait dengan tenaga kerja yang terserap pada sektor jasa ini, menarik untuk disimak adalah status karyawan yang bekerja (Gambar 4.4). Tampak bahwa 30% pekerja di sektor transportasi ini merupakan tenaga kerja tetap, sedangkan 70% lainnya merupakan karyawan tidak tetap. Usaha Mikro
28%
Usaha Kecil
72%
58%
Usaha Menengah
42%
29%
0%
20%
Tenaga Kerja Tetap
71%
40%
60%
80%
100%
120%
Tenaga Kerja Tidak Tetap
Gambar 3.4. Status Pekerja Transportasi Bila disimak dari sisi skala usaha, usaha mikro dan menengah paling besar mempekerjakan karyawannya dengan cara kontrak atau honorer. Sementara usaha kecil mayoritas karyawannya merupakan pekerja tetap. Tabel 4.57 Lama Usaha Jasa Transportasi WILAYAH Total Base Responden : 3 – 5 tahun > 5 – 10 tahun Lebih dari 10 tahun
51 22% 24% 55%
Jabodetabek 15 27% 13% 60%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Timur Mikro Kecil Menengah 13 4 9 5 5 4 13 34 15% 25% 22% 40% 50% 38% 12% 15% 56% 20% 40% 8% 32% 69% 75% 22% 40% 60% 50% 54% 56%79
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Mayoritas responden pada sektor transpotasi (55%) telah beroperasi lebih dari 10 tahun (Tabel 4.57), bahkan mayoritas usaha ini tersebar ke beberapa skala usaha. Terkait dengan badan usaha yang dimiliki oleh responden, tampak bahwa semakin kecil skala usaha respoden semakin besar peluang usaha tersebut tidak memiliki badan usaha (Tabel 4.58). Tabel 4.58. Kepemilikan Badan Usaha Sektor Transportasi WILAYAH Total Base Responden : Ya Tidak
Jabodetabek
51 69% 31%
15 47% 53%
Jawa Barat 13 62% 38%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Tengah Timur Utara Timur 4 9 5 5 75% 89% 100% 80% 25% 11% 20%
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 4 13 34 25% 46% 82% 75% 54% 18%
Badan hukum yang dimiliki oleh responden dari sektor Transportasi adalah CV (57%), dimana skala usahanya tersebar dari skala mikro hingga menengah. Bentuk badan hukum kedua terbesar lainnya adalah berbentuk PT (34%), dan lainnya adalah UD (Usaha Dagang) (Tabel 4.59). Tabel 4.59. Bentuk Badan Usaha Sektor Transportasi WILAYAH Total Base Responden : CV PT UD (Firma)
Jabodetabek
35 57% 34% 6%
7 71% 14% 14%
Jawa Barat 8 63% 38% -
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Tengah Timur Utara Timur 3 8 5 4 33% 50% 60% 50% 67% 38% 40% 25% 13% -
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 1 6 28 100% 83% 50% 17% 39% 7%
Jenis surat perizinan yang dimiliki usaha transportasi secara lengkap disajikan pada Tabel 4.60. Tampak bahwa 73% usaha sudah memiliki NPWP, 69% memiliki SIUP, 59% memiliki Akta Pendirian Peusahaan. Hal menarik dari tabel tersebut, terdapat hanya 12% yang memiliki Izin dari Dinas Perhubungan (DLLAJR). Tabel 4.60. Surat Perizinan yang dimiliki Usaha Sektor Transportasi WILAYAH Total Base Responden : NPWP SIUP Akta Pendirian Perusahaan Surat Keterangan Usaha dari Desa/Kecamatan TDP / TDI Surat Ijin Gangguan/Lingkungan/HO yang diterbitkan oleh Walikota Surat izin dari Dinas Perhubungan/DLLAJR Surat KIR (Kelayakan Operasi) Dinas kepolisian Tidak ada
51 73% 69% 59%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Jabodetabek Barat Tengah Timur Utara Timur 15 13 4 9 5 5 33% 100% 50% 100% 80% 80% 40% 92% 50% 89% 80% 60% 27% 69% 50% 67% 100% 80%
Usaha Mikro 4 50% 25% 25%
Usaha Usaha Kecil Menengah 13 34 54% 82% 46% 82% 31% 74%
51%
27%
85%
50%
44%
80%
20%
75%
62%
44%
47%
13%
54%
50%
56%
80%
80%
25%
23%
59%
35%
7%
77%
75%
-
60%
20%
25%
38%
35%
12%
7%
31%
25%
-
-
-
-
23%
9%
2% 2% 2%
7% 7%
-
25% -
-
-
-
-
8% 8%
3% -
80
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.61. Kepemilikan Usaha Sektor Transportasi WILAYAH Total Base Responden : Dimiliki sendiri Keluarga Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDM) Modal bersama
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Timur Mikro Kecil Menengah 13 4 9 5 5 4 13 34 54% 75% 89% 60% 40% 100% 62% 56% 38% 25% 11% 40% 40% 23% 41%
51 61% 33%
15 53% 40%
2%
-
-
-
-
-
20%
-
-
3%
4%
7%
8%
-
-
-
-
-
15%
-
Dari sisi kepemilikan, usaha transportasi mayoritas dimiliki oleh perseorangan atau individu (61%). Kepemilikan perorangan ini terdapat pada semua skala usaha, namun semakin besar skala usahanya, proporsi kepemilikan individu semakin mengecil, sebaliknya kepemilikan keluarga semakin membesar pada skala usaha menengah, dan proporsinya hampir berimbang. Dari sisi sebaran wilayah pola kepemilikan yang sama juga terjadi, ini menunjukkan bahwa penguasaan usaha oleh perorangan sangat dominan pada sektor transportasi dan juga pada sektor-sektor lainnya. Lokasi usaha untuk perusahaan di sektor transportasi harus memiliki pos yang digunakan untuk menempatkan kendaraannya dan sekaligus sebagai kantor administrasi. Pada Tabel 4.62 terlihat bahwa mayoritas usaha transportasi ini berada di lokasi pemukiman, 13% berada pada klaster industri, 5% berada di lokasi perkantoran, 4% di terminal, sisanya tersebar di berbagai tempat. Dari sisi skala usaha, tampaknya lokasi tidak membedakan di antara responden. Artinya lokasi pemukiman merupakan tempat yang diminati. Tabel 4.62. Lokasi Usaha Jasa Transportasi WILAYAH Total
Base Responden : Pemukiman Cluster industri Perkantoran Terminal Rumah sakit Kawasan industri Sentra Niaga Ruko
77 69% 13% 5% 4% 4% 3% 1% 1%
Jabodetabek
Jawa Barat
22 73% 5% 14% 5% 5% -
18 94% 6%
SKALA USAHA
Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Tengah Timur Utara Timur 6 50% 33% 17% -
15 67% 27% 7% -
8 50% 38% 13% -
8 38% 63% -
Usaha Usaha Usaha Mikro Kecil Menengah 5 100% -
18 78% 11% 11% -
54 63% 15% 7% 2% 6% 4% 2% 2%
4.1.4.2. Kriteria Ramah Lingkungan Sektor Transportasi Berbagai isu permasalahan transportasi yang mengemuka pada akhir-akhir ini adalah pembangunan transportasi tidak ramah lingkungan dan berkeadilan, salah satu contohnya adalah polusi udara akibat gas buang kendaraan bermotor serta konsumsi energi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk transportasi darat yang tergolong paling tinggi yaitu sebesar 48% dari konsumsi nasional, bila dibandingkan konsumsi sektor industri, listrik maupun rumah tangga. 81
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tumbuhnya pusat-pusat kegiatan baru menyebabkan tingginya volume dan intensitas perjalanan. Semakin tinggi mobilitas masyarakat dalam menggunakan kendaraan bermotor, maka semakin tinggi pula intensitas kebisingan, getaran, dan polusi udara yang dihasilkan gas buang kendaraan bermotor. Polusi udara ini dapat membahayakan kesehatan, lingkungan dan menimbulkan pemanasan global. Inefisiensi pemanfaatan energi sektor transportasi darat secara tidak langsung mengakibatkan cadangan minyak bumi (fossil) semakin kritis. Agar penggunaan BBM dapat diminimalisir, maka telah diperkenalkan energi alternatif berupa Bahan Bakar Gas (BBG) dan Bahan Bakar Nabati (BBN)/biofuel. Namun pada kenyataannya, implementasi pemanfaatan BBG masih tersendat, begitu juga pemakaian BBN untuk kendaraan bermotor (kendaraan pribadi maupun angkutan umum) masih rendah, karena kendala teknologi dan bahan baku. Pembangunan sektor transportasi harus sustainable, yang memperhatikan sisi sosial masyarakat, ekonomi, teknologi maupun lingkungan, serta seminimal mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sistem transportasi yang berkelanjutan merupakan integrasi antara Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan sistem transportasi yang mengkombinasikan moda angkutan tak bermotor, berjalan kaki, dan moda angkutan umum (masal). Ini merupakan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dengan dampak yang sangat minim. Saat ini belum ada secara khusus kementerian atau lembaga baik pemerintah maupun swasta yang memiliki pedoman untuk menilai apakah suatu usaha jasa transportasi ramah terhadap lingkungan atau tidak. Oleh karena itu upaya untuk menilai tingkat keramahan lingkungan jasa ini akan digunakan pedoman umum yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan yang meliputi aspek sebagai berikut: a. Penggunaan sistem transportasi yang rendah emisi (Low Emission Transport); b. Mendayagunakan penggunaan bahan bakar alternatif (Perpres 5/2006); c. Meningkatkan kelayakan sarana kendaraan bermotor; d. Pencegahan dampak negatif pembangunan terhadap lalu lintas; Sosialisasi Tata Cara Mengemudi (Smart Driving); e. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (BBG dan Bioenergy); f. Peningkatan teknologi kendaraan; g. Pelaksanaan uji emisi secara berkala kendaraan.
4.1.4.3. Pemahaman dan Aktivitas Ramah Lingkungan UMKM Sektor Transportasi Kegiatan usaha ramah lingkungan untuk berbagai sektor usaha bermuara pada tujuan yang sama yakni menjaga keseimbangan lingkungan hidup, aspek sosial dan keterjaminan akan keberlanjutan usaha. Bila dikaitkan dengan kriteria usaha ramah lingkungan untuk masingmasing sektor usaha, maka aktivitas yang dicakup memiliki spektrum yang luas dan tidak saja pada aspek produksi namun juga berkaitan dengan aspek-aspek lainnya. Untuk mengetahui sejauh mana para pelaku usaha menyadari hal tersebut, serta memahaminya dan kemudian menerapkannya dalam aktivitas nyata sehari-hari. 82
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pemerintah melalui Kementerian terkait pada level nasional serta Dinas Provinsi dan tingkat Kabupaten yang pada awalnya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, kini dengan adanya otonomi daerah program yang dilakukan terkait dengan kelestarian lingkungan tidak lagi selalu sejalan dalam menerapkan prioritas program pembangunan di wilayah masing-masing. Oleh karena itu, pelaksanaan program kelestarian lingkungan yang diprakarsai oleh pemerintah pusat bisa mendapatkan tanggapan atau disikapi beragam oleh masing-masing dinas. Hal ini akan berlanjut pada para pelaku usaha di masing-masing wilayah dan masing-masing sektor. Apalagi saat ini setiap daerah tengah berupaya meningkatkan kinerjanya yang tercermin dari perolehan PAD atau PDRB, dimana hal ini hanya dapat dicapai melalui peningkatan output daerah dengan cara mengoptimalkan kinerja sektor-sektor unggulan, mendorong sisi produksi baik untuk pemenuhan kebutuhan lokal dan nasional maupun kebutuhan ekspor. Namun sayangnya peningkatan output daerah umumnya belum beriringan dengan kelestarian lingkungan. Banyak faktor yang menjadi penyebab hal tersebut, penelitian ini mencoba menjawab persoalan tersebut dari beberapa sisi baik dari regulator, dalam hal ini adalah pemerintah melalui dinas-dinas terkait, serta pelaku usaha sendiri. Program dan aktivitas dinas terkait dengan upaya mendorong dan membina para pelaku usaha telah dipaparkan sebelumnya. Pada bagian ini akan disajikan perilaku pengusaha dalam menjalankan aktivitas yang dilihat dari sisi kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Langkah awal untuk mengetahui perilaku para pelaku usaha dilakukan melalui tingkat kesadaran (awareness) yang menggambarkan pengetahuan mereka terkait aktivitas ramah lingkungan dalam menjalankan usahanya. Dari pengetahuan ini, kemudian dilanjutkan dengan mengetahui aktivitas nyata yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Berikutnya dipaparkan minat para pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas usahanya berbasis kriteria ramah lingkungan serta kendala yang mungkin akan dihadapi. Meski belum ada kriteria khusus yang dapat digunakan untuk pengklasifikasian industri transportasi ramah lingkungan (green transportation) khususnya untuk UMKM, namun ada beberapa pedoman umum yang dikeluarkan oleh Kemenhub serta instansi terkait yang dapat dijadikan sebagai pegangan awal untuk menilai apakah suatu usaha transportasi ramah terhadap lingkungan atau tidak. Seperti telah dipaparkan pada bagian Kriteria Ramah Lingkungan untuk sektor transportasi, setidaknya ada 7 aspek yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai apakah suatu jasa transportasi ramah lingkungan atau tidak. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman pelaku usaha (UMKM) sektor transportasi terhadap aktivitas usaha ramah lingkungan. Pada Tabel 4.63 dipaparkan hal-hal yang diketahui oleh UMKM transportasi terhadap aktivitas ramah lingkungan. Dari 48 responden yang dipilih secara acak dari wilayah survei, ada 5 aspek utama yang menjadi dasar pengetahuan pelaku UMKM terhadap kegiatan ramah lingkungan yaitu: - Perawatan kendaraan secara rutin - Melakukan uji emisi - Melakukan peremajaan kendaraan - Efisiensi penggunaan BBM - Efisiensi penggunaan air dalam mencuci kendaraan. 83
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.63. Pemahaman Pelaku UMKM Transportasi terhadap aktivitas Ramah Lingkungan WILAYAH Total Base Responden : Melakukan perawatan kendaraan secara rutin Melakukan uji emisi secara berkala (setiap 6 bulan) Melakukan peremajaan kendaraan Melakukan efisiensi penggunaan BBM Melakukan efisiensi penggunaan air Melakukan efisiensi penggunaan energi Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan operasional Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan operasional Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan operasional Menggunakan pewangi mobil yang tidak merusak ozon Menggunakan energi terbarukan Gas buang yang dihasilkan tidak melebihi batas ambang yang membahayakan Tidak tahu
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Timur Mikro Kecil Menengah
48 48% 40% 29% 23% 23% 13% 13% 8% 4% 4% 2%
15 47% 33% 33% 20% 27% 20% 7% 7% -
13 46% 31% 15% 15% 15% 8% 8% 8%
4 75% 50% 50% 50% 25% 25% 25% -
9 44% 33% 44% 33% 33% 11% -
2 -
5 60% 100% 20% 20% 20% 40% 60% 60% 40% -
4 25% 25% 25% 25% 25% 25% 25% -
13 46% 31% 8% 23% 15% 15% 8% 8% 8%
31 52% 45% 39% 23% 26% 16% 13% 10% 3% 3% -
2%
-
-
25%
-
-
-
-
-
3%
48%
53%
54%
25%
56%
100%
-
75% 54%
42%
Meskipun ada aspek lain yang dipahami namun frekuensinya relatif kecil. Pemahaman perawatan terhadap kendaraan baru dipahami oleh 48% responden, sementara aspek lainnya baru berkisar antara 23% hingga 40%. Bahkan pemahaman terhadap ambang batas gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan baru dipahami oleh 2% pelaku usaha. Padahal aspek ini yang terkait langsung dengan pencemaran udara luar. Ironinya, 48% dari pelaku UMKM pada sektor ini menyatakan tidak tahu sama sekali dengan aktivitas ramah lingkungan. Dengan tingkat pemahaman tersebut menunjukkan bahwa pelaku UMKM sektor transportasi belum memiliki pemahaman yang memadai terkait kegiatan ramah lingkungan. Di samping pengukuran tentang pemahaman pelaku UMKM terhadap kegiatan ramah lingkungan, aktivitas nyata yang dilakukan oleh pelaku UMKM juga ditanyakan, pada Tabel 4.64 disajikan aktivitas nyata tersebut. Terlihat bahwa hampir semua pelaku usaha (95%) melakukan perawatan terhadap kendaraan, 56% melakukan uji emisi secara berkala. Sementara dengan tingkat intensitas yang lebih rendah yakni melakukan efisiensi penggunaan BBM sebanyak 21%, 17% melakukan peremajaan kendaraan. Untuk dua aktivitas pertama menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM menyadari akan kelayakan kendaraan serta mematuhi aturan uji emisi berkala yang memang diwajibkan oleh Dinas Perhubungan, namun sayangnya tidak semua pelaku UMKM sektor ini yang melakukannya yakni baru 56%. Padahal uji emisi ini berkaitan dengan uji ambang batas gas buang yang dihasilkan kendaraan yang terkait langsung dengan pencemaran udara luar.
84
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.64. Aktivitas Ramah Lingkungan Sektor Transportasi WILAYAH Total
Base Responden : Melakukan perawatan kendaraan secara rutin Melakukan uji emisi secara berkala (setiap 6 bulan) Melakukan efisiensi penggunaan BBM Melakukan peremajaan kendaraan Melakukan efisiensi penggunaan air Melakukan efisiensi penggunaan energi Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan operasional Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan operasional Menggunakan energi terbarukan Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan operasional
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Timur Mikro Kecil Menengah
48 96% 56% 21% 17% 15% 6%
15 100% 47% 13% 13% 27% 13%
13 100% 69% 15% 15% -
4 100% 25% 25% 25% 25% -
9 100% 67% 44% 22% 11% 11%
2 50% -
5 80% 80% 20% 20% 20% -
4 100% 50% 50% 50% 25% 25%
13 100% 46% 23% 8% -
31 94% 61% 16% 16% 19% 6%
4%
7%
8%
-
-
-
-
-
-
6%
2%
7%
-
-
-
-
-
-
-
3%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sementara itu pengehematan penggunaan BBM baru dilakukan oleh 21% pelaku UMKM, dengan presentase lebih rendah (17%) pelaku UMKM melakukan peremajaan kendaraan. Rendahnya kedua aktivitas terakhir ini pada dasarnya terkendala oleh teknologi yang digunakan oleh kendaraan (mesin) untuk penghematan dan ketersediaan modal. Disisi lain, proses penerapan 3R juga masih sangat rendah terutama terkait dengan bahan habis pakai seperti ban dan oli, yang umumnya diserahkan (dijual) kepada pihak lain untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Jenis perawatan kendaraan yang dilakukan (Tabel 4.65) meliputi perawatan mesin (88%) serta ganti oli dan kanvas rem dengan presentase masing-masing sebesar 25% dan ganti ban 17%. Rendahnya pergantian oli mesin, kanvas rem dan ban disebabkan karena persepsi pengusaha yang dipengaruhi oleh periode yang berbeda-beda dalam waktu tertentu, sehingga sebagian dianggap rutin dan sebagian tidak. Bila disimak lebih mendalam, apa yang sebenarnya dilakukan oleh pelaku UMKM dalam merawat kendaran, merupakan kegiatan yang harus dilakukan untuk menjamin agar kendaraan yang dioperasikan tetap dapat berfungsi dan layak jalan, oleh karenanya aspek ini pada dasarnya bukan merupakan aktivitas yang bersifat khusus, karena memang demikian seharusnya. Namun hal ini menjadi kriteria yang harus dipenuhi.
85
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tebel 4.65. Jenis Perawatan Kendaraan yang Rutin Dilakukan. WILAYAH Total Base Responden : MELAKUKAN PERAWATAN KENDARAAN SECARA RUTIN - Mesin kendaraan - Ganti oli - Kanvas rem - Ban - Body - Lampu - AC mobil - Kopling BELUM MELAKUKAN
48
15
96%
100%
100%
100%
100%
50%
80%
100%
100%
94%
88% 25% 25% 17% 8% 8% 6% 2% 4%
87% 40% 47% 7% 13% 27% -
92% 23% 31% 46% 8% 8% -
100% 25% 25% 25% -
89% 22% 11% 11% -
50% 50%
80% 20% 20% 20%
75% 50% 50% 25% 25% -
92% 31% 23% 23% -
87% 19% 23% 16% 13% 10% 10% 6%
Jabodetabek
Jawa Tengah 4
Jawa Timur 9
SKALA USAHA
Jawa Barat 13
Sumatera Kalimantan Utara Timur 2 5
Usaha Mikro 4
Usaha Kecil 13
Usaha Menengah 31
Sesuai dengan ketentuan DLLAJR (bagian dari Dinas Perhubungan), uji emisi harus rutin dilakukan, khususnya kendaraan umum atau kendaraan sewa, minimal dalam 6 bulan sekali. Tempat yang lazim melakukan uji emisi adalah di Dinas Perhubungan/DLLAJR (31%) atau di bengkel kendaraan tertentu yang sudah mendapat izin dari lembaga terkait (17%). Sementara tempat lainnya di lokasi uji KIR atau bengkel resmi. Dari 48 usaha jasa transportasi ini, 40% diantaranya belum pernah melakukan uji emisi sama sekali (Tabel 4.66). Fakta ini menggambarkan bagaimana tingkat kepatuhan pengusaha dalam memenuhi suatu peraturan. Tabel 4.66. Tempat Melakukan Uji Emisi WILAYAH Total Base Responden : MELAKUKAN UJI EMISI SECARA BERKALA (SETIAP 6 BULAN) - Dinas Perhubungan/DLLAJR - Bengkel - Dealer mobil resmi - Tempat uji KIR MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN UJI EMISI SECARA BERKALA (SETIAP 6 BULAN) - SAMSAT BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Jabodetabek
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Sumatera Kalimant Timur Utara an Timur
Usaha Mikro
Usaha Usaha Kecil Menengah
48
15
13
4
9
2
5
4
13
31
56%
47%
69%
25%
67%
-
80%
50%
46%
61%
31% 17% 6% 2%
27% 7% 13% -
62% 8% -
25% -
22% 44% -
-
20% 40% 20%
50% -
31% 8% 8%
35% 16% 10% -
4%
7%
-
-
11%
-
-
-
-
6%
2% 40%
47%
31%
75%
11% 22%
100%
20%
50%
54%
3% 32%
Salah satu biaya operasional terbesar dalam menjalankan usaha transportasi adalah biaya BBM, oleh karena itu penghematan pada komponen ini akan memberikan dampak yang besar terhadap pendapatan usaha transportasi. Dari hasil survei ini, upaya yang dapat dilakukan oleh UMKM untuk menghemat BBM, bukan menggantinya dengan bahan bakar jenis lain seperti LPG atau biodiesel yang ramah lingkungan, akan tetapi dengan perawatan mesin, membatasi pemakaian kendaraan untuk hal-hal yang tidak perlu, serta melakukan modifikasi atau penyesuaian terhadap beberapa komponen kendaraan yang terkait sistem pembakaran (karburator). Bahkan beberapa UMKM beralih menggunakakn mesin diesel agar dapat
86
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
mengganti bensin dengan solar yang harganya lebih murah, namun hal ini kurang ramah lingkungan. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melakukan penghematan BBM dan sekaligus menjaga agar kendaraan tetap layak jalan adalah menggantikannya dengan kendaraan yang menggunakan teknologi terbaru yang lebih hemat energi dan sekaligus mengurangi emisi gas buang. Namun cara ini membutuhkan modal yang cukup besar, sehingga tetap berada pada skala usaha yang ekonomis. Keuntungan lain dengan melakukan peremajaan kendaraan adalah biaya operasionalnya relatif lebih murah, dan jam operasional kendaraannya tinggi. Sebaliknya kendaraan yang cukup berumur umumnya akan lebih boros, baik dalam pemakaian BBM, ongkos perawatan dan jam operasionalnya lebih rendah, bahkan kadang sudah tidak lagi layak jalan karena kondisi strukturnya sudah “lelah”. Tabel 4.67.
Aktivitas dalam Meningkatkan Efisien BBM WILAYAH
Total Jabodetabek Base Responden : MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN BBM Melakukan perawatan kendaraan secara rutin - Membatasi pemakaian BBM yang tidak perlu Melakukan penyesuaian di beberapa bagian kendaraan (seperti menyetel mesin dan karburator, mengganti dengan LPG, menggunakan alat penghemat BBM) Menentukan rute yang akan dilalui secara tepat Menggunakan kendaraan dengan jenis atau tipe tertentu (seperti kendaraan dengan kapasitas mesin/cc lebih kecil, tidak menggunakan kendaraan 4 tak) - Menggunakan mobil yang go green MENGANGGAP TELAH MELAKUKAN EFISIENSI PENGGUNAAN BBM Menggunakan solar sebagai bahan bakar harganya lebih murah BELUM MELAKUKAN
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Barat Tengah Timur Utara Timur
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Usaha Menengah
48 21%
15 13%
13 15%
4 25%
9 44%
2 -
5 20%
4 50%
13 23%
31 16%
4%
-
-
-
22%
-
-
25%
-
3%
4%
13%
-
-
-
-
-
25%
-
3%
4%
-
15%
-
-
-
-
-
15%
-
4%
-
8%
-
11%
-
-
-
8%
3%
4%
-
-
25%
-
-
20%
-
8%
3%
2%
-
-
-
11%
-
-
-
-
3%
2%
-
-
-
-
-
20%
-
-
3%
2%
-
-
-
-
-
20%
-
-
3%
77%
87%
85%
75%
56%
100%
60%
50%
77%
81%
87
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.68. Usia Kendaraan yang Dilakukan Peremajaan oleh UMKM Transportasi WILAYAH Total Base Responden :
Jabodetabek
SKALA USAHA
Jawa Jawa Jawa Sumatera Kalimantan Usaha Usaha Usaha Barat Tengah Timur Utara Timur Mikro Kecil Menengah
48
15
13
4
9
2
5
4
13
31
17%
13%
15%
25%
22%
-
20%
50%
8%
16%
8% 8%
13%
15%
25% -
22% -
-
20% -
50%
8%
13% 3%
USIA KENDARAAN LEBIH DARI 5 TAHUN
38%
40%
46%
50%
44%
-
-
50%
8%
48%
- Tahun 2007 - Tahun 2006 - Tahun 2004 - Tahun 2005 - Tahun 1994 - Tahun 2003 - Tahun 2000 - Tahun 1985 - Tahun 1980 BELUM MELAKUKAN
8% 6% 6% 4% 4% 2% 2% 2% 2% 46%
7% 7% 13% 7% 7% 47%
8% 8% 8% 8% 8% 8% 38%
25% 25% 25%
22% 11% 11% 33%
100%
80%
50% -
8% 85%
6% 6% 10% 6% 6% 3% 3% 3% 3% 35%
USIA KENDARAAN TIDAK LEBIH DARI 5 TAHUN - Tahun 2009 - Tahun 2008
Pada Tabel 4.68 disajikan usia kendaraan yang akan diremajakan oleh Pemilik UMKM. Terdapat 55% UMKM yang akan melakukan peremajaan kendaraannya, 38% UMKM melakukan peremajaan kendaraan yang telah berusia lebih dari 5 tahun, sedangkan 17% lainnya kurang dari 5 tahun. Sementara 46% UMKM lainnya belum pernah mengganti kendaraannya, denganusia kendaraan yang cukup bervariasi. Untuk mengganti kendaraan dengan yang baru, sudah barang tentu akan membutuhkan modal atau pinjaman dari bank. Dari sisi skala usahanya, terlihat bahwa usaha dengan skala menengah melakukan peremajaan kendaraannya yang telah berusia lebih dari 5 tahun, sedangkan skala usaha Mikro dan Kecil melakukan peremajaan kendaraannya relatif baru atau mayoritas kurang dari 5 tahun. 4.1.4.4. Permasalahan UMKM Sektor Transportasi Menuju Ramah Lingkungan Sektor transportasi merupakan sektor yang belum banyak tersentuh terkait upaya untuk mendorong kearah usaha ramah lingkungan. Bila dilihat dari sisi regulasi atau kriteria ramah lingkungan yang lazim ditemui pada sektor lain, sektor transportasi agaknya perlu mendapat perhatian yang sangat khusus, mengingat sektor ini memiliki dampak langsung pada pencemaran udara luar melalui emisi gas buang yang dihasilkannya. Di sisi lain, dampak yang ditimbulkannya dan tidak terlihat adalah oli bekas yang dihasilkan hingga saat ini belum jelas proses recycle yang dilakukan oleh pihak lain. Hal ini dikarenakan pada umumnya hasil buangan oli bekas ditampung pada awalnya untuk kemudian diserahkan pada pihak ketiga dan diproses lebih lanjut. Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM sektor tranportasi ini disajikan pada Tabel 4.69. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sektor ini tidak jauh berbeda dengan sektor lainnya, yakni pertama masalah pengetahuan yang relatif rendah terhadap kelestarian lingkungan, serta adanya persepsi bahwa apa yang dilakukan tidak berdampak pada pencemaran udara. Terlihat bahwa 17% UMKM sektor transportasi menyatakan bahwa mereka 88
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
memiliki kendala dengan aspek permodalan yang harus disiapkan untuk melakukan efisiensi penggunaan energi, yang akan dilakukan dengan peremajaan kendaraan. Kedua adalah masalah ketiadaan pengetahuan untuk melakukan efisiensi energi (10%), serta adanya anggapan belum tersedianya peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan hal tersebut (3%). Sedangkan 3% lainnya adalah masalah kemacetan yang menjadi pemicu pencemaran udara serta borosnya pemakaian BBM per kilometernya (3%). Tabel 4.69. Alasan UMKM sektor Transportasi belum Ramah Lingkungan WILAYAH
Base Responden : Terkendala dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan efisiensi penggunaan BBM Tidak tahu cara efisiensi BBM Tidak ada pengalaman untuk melakukan efisiensi penggunaan BBM Belum tersedia peralatan untuk melakukan efisiensi penggunaan BBM Kondisi jalanan macet jadi boros BBM
SKALA USAHA Usaha Mikro
Usaha Kecil
1
2
8
Usaha Menenga h 20
-
-
50%
-
20%
-
33%
-
-
-
15%
-
25%
33%
-
-
13%
5%
-
-
-
-
-
-
-
5%
9%
-
-
-
-
-
-
5%
Total
Jabodeta bek
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
30
9
11
2
4
3
17%
11%
36%
-
-
10%
11%
-
50%
7%
-
-
3%
11%
3%
-
Sumatera Kalimant Utara an Timur
4.2. Stratifikasi UMKM menurut Aktivitas Ramah Lingkungan Aspek penting untuk mendorong UMKM agar ramah lingkungan adalah mengetahui kesiapan mereka yang dicerminkan dari aktivitas nyata yang saat ini telah dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting untuk mengetahui terkait tingkat pengetahuan mereka, serta praktek nyata atas apa yang mereka ketahui dan pelaksanaannya. Untuk membantu memudahkan pengenalan atas UMKM terkait pelaksanaan aktivitas ramah lingkungan dalam usahanya, dilakukan stratifikasi atau pengelompokkan terhadap UMKM yang didasarkan atas berbagai aspek yang menjadi kriteria ramah lingkungan. Melalui hal ini diharapkan dapat diketahui kelompok UMKM yang sudah cukup siap, kurang siap dan tidak siap dalam menjalankan usaha ramah lingkungan. Untuk melakukan stratifikasi atau pengelompokan ini digunakan Cluster Analysis, dimana UMKM yang berada pada kelompok yang sama memiliki sifat yang relatif sama atas aktivitasnya terkait dengan aspek ramah lingkungan. 4.2.1. UMKM sektor Pertanian Berdasarkan hasil analisis cluster dengan menggunakan 16 kriteria ramah lingkungan mengelompokkan 81 UMKM sektor pertanian menjadi 3 strata diperoleh proporsi dan sebaran seperti disajikan pada Tabel 4.70. serta Gambar 3.5.
89
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.70. Proporsi Strata UMKM Sektor Pertanian Strata 1 2 3
Jumlah 3 12 66 81
Total
Persen 4% 15% 81% 100%
5
REGR factor score 1 for analysis
1
4
3
2
1 Cluster Number of Ca
Strata 3
0
Strata 2 -1
Strata 1 -3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
REGR factor score 2 for analysis
1
Gambar 3.5. Sebaran UMKM Sektor Pertanian Tampak bahwa hanya ada tiga UMKM yang berada pada Strata 1 (4%), 12 UMKM (15%) masuk ke dalam Strata 2, dan mayoritas atau 66 UMKM (81%) berada pada strata 3. Karakteristik masing-masing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.71. Tabe 4.71. No
Karakteristik UMKM Sektor Pertanian Atas Aktivitas Ramah Lingkungan
Aktivitas Ramah Lingkunga yang dilakukan
Klaster 1
Klaster 2
Klaster 2
Rataan
1
Memperhatikan kebersihan/kesehatan tanah/kandang/kolam
100,0%
91,7%
16,7%
30,9%
2
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
100,0%
66,7%
4,5%
17,3%
3
Menggunakan biopestisida (hayati ataupun nabati)
33,3%
66,7%
6,1%
16,0%
4
Menerapkan prinsip kejujuran dalam usaha tani
100,0%
58,3%
3,0%
14,8%
5
Menggunakan energi terbarukan dalam aktivitas usahatani
100,0%
41,7%
4,5%
13,6%
6
Melakukan efisiensi penggunaan air
100,0%
41,7%
4,5%
13,6%
7
Menggunakan bibit tanaman/ternak yang memiliki sertifikat
100,0%
33,3%
4,5%
12,3%
8
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap lingkungan
100,0%
50,0%
1,5%
12,3%
9
Menerapkan prinsip perlindungan terhadap konsumen
100,0%
58,3%
0,0%
12,3%
10
Melakukan pergiliran tanaman guna keseimbangan ekologi
33,3%
33,3%
4,5%
9,9%
11
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
33,3%
8,3%
7,6%
8,6%
12
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan proses produksi
13
Melakukan sertifikasi kesehatan lahan/kandang/kolam/tambak
14
Melakukan efisiensi penggunaan energi Tidak ada/belum melakukan kegiatan proses produksi ramah lingkungan
15
0,0%
50,0%
0,0%
7,4%
100,0%
16,7%
0,0%
6,2%
33,3%
0,0%
3,0%
3,7%
0,0%
8,3%
1,5%
2,5%
90
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan” 16
Menggunakan media tumbuh atau hormon tanaman
33,3%
0,0%
Rataan
66,7%
39,1%
Jumlah UMKM
3
12
1,5% 4,0% 66
2,5% 11,5% 81
Berdasarkan 16 kriteria aktivitas ramah lingkungannya, tampak bahwa UMKM pada Strata 1, 66.7% aktivitas usahanya sudah mengarah pada aspek ramah lingkungan. UMKM pada Strata 2 baru mencapai 39.1%, sedangkan Strata 3 hanya 4,0%. Sedangkan secara keseluruhan baru 11.5% aktivitas UMKM sektor pertanian yang mengarah pada aspek ramah lingkungan. Hasil ini menggambarkan bahwa mayoritas UMKM sektor pertanian masih harus memperbaiki diri untuk menuju usaha yang ramah lingkungan. 4.2.2. UMKM Sektor Industri Dari 141 UMKM sektor industri, berdasarkan hasil analisis cluster yang menggunakan 11 kriteria ramah lingkungan, dikelompokkan menjadi 3 strata UMKM. Proporsi UMKM masing – masing kelompok dan sebaran seperti disajikan pada Tabel 4.72. serta Gambar 3.6. Tabel 4.72. Proporsi Strata UMKM Sektor Industri Strata 1 2 3 Total
Jumlah 9 17 115 141
Persen 6% 12% 82% 100%
6
4
2
0 Strata
-2
Strata 1 Strata 2
-4
Strata 3 -1
0
1
2
3
4
REGR factor score 1 for analysis
5
2
Gambar 3.6. Sebaran UMKM Sektor Industri 91
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Dari 141 UMKM, 9 UMKM diantaranya berada pada Strata 1 (6%), 17 UMKM (12%) masuk ke dalam Strata 2, dan 115 UMKM (82%) berada pada strata 3. Karakteristik masingmasing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.73. Tabel 4.73. No
Karakteristik UMKM Sektor Industri Atas Aktivitas Ramah Lingkungan Aktivitas Ramah Lingkungan
Strata 1
Strata 2
Strata 3
Rataan
1
Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
55,6%
23,5%
14,0%
17,9%
2
55,6%
100,0%
0,0%
15,7%
3
Menggunakan bahan baku dan bahan penolong terbarukan Melakukan efisiensi dalam penggunaan bahan baku dan penunjang
100,0%
0,0%
5,3%
10,7%
4
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan proses produksi
55,6%
11,8%
4,4%
8,6%
5
Melakukan efisiensi penggunaan energi
77,8%
5,9%
2,6%
7,9%
6
Melakukan efisiensi penggunaan air
55,6%
17,6%
1,8%
7,1%
7
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan proses produksi
33,3%
35,3%
0,9%
7,1%
8
Menggunakan energi terbarukan Tidak ada/belum melakukan kegiatan proses produksi ramah lingkungan
22,2%
29,4%
0,0%
5,0%
0,0%
0,0%
5,3%
4,3%
Melaksanakan proses redusce dalam kegiatan proses produksi Menggunakan bahan baku dan bahan penolong yang memiliki MSDS
33,3%
5,9%
0,0%
2,9%
11,1%
0,0%
0,9%
1,4%
Rataan
45,5%
20,9%
3,2%
8,1%
Jumlah UMKM
9
17
9 10 11
115
Secara keseluruhan baru 8,1% aktivitas ramah lingkungan yang dilakukan oleh UMKM sektor industri. Terkait hal itu, UMKM pada Strata 1 merupakan kelompok dengan aktivitas ramah lingkungan yang sudah mencapai 45,5%. UMKM pada Strata 2 baru melaksanakan 20,9%, sedangkan UMKM pada Strata 3 yang merupakan kelompok mayoritas masih sangat sedikit dalam melaksanakan aktivitas ramah lingkungan yakni 3.2%. Berdasarkan hasil ini, UMKM sektor industri yang merupakan kelompok aktivitas terbesar masyarakat masih jauh dari ketaatannya melakukan usaha yang ramah lingkungan. Oleh karenanya upaya yang cukup besar yang memerlukan perhatian dan kerjasama berbagai pihak untuk mendorong mereka lebih menghargai lingkungan sebagai ekosistem yang perlu dijaga kelestariannya. 4.2.3. UMKM sektor Pertambangan Dalam penelitian ini, jumlah sample UMKM sektor pertambangan hanya berjumlah 11. Berdasarkan hasil analisis cluster dengan 11 kriteria ramah lingkungan, sampel ini dikelompokkan menjadi 3 strata UMKM. Proporsi UMKM masing–masing kelompok dan sebaran seperti disajikan pada Tabel 4.74. serta Gambar 3.7.
92
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.74. Proporsi Strata UMKM Sektor Pertambangan Strata 1 2 3 Total
Jumlah 2 3 6 11
Persen 18% 27% 55% 100%
1,5
1,0
,5
0,0
-,5
Strata Strata 2
-1,0
Strata 3 -1,5
strata 1
-1,5
-1,0
-,5
0,0
,5
1,0
1,5
REGR factor score 1 for analysis
2,0
3
Gambar 3.7. Sebaran UMKM Sektor Pertambangan Dari 11 UMKM sektor pertambangan, 2 UMKM masuk kedalam Strata 1 (18%), 3 UMKM (27%) masuk ke dalam Strata 2, dan 6 UMKM (55%) berada pada strata 3. Karakteristik masingmasing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.75 berikut. Tabe 4.75. Karakteristik UMKM Sektor Pertambangan Atas Aktivitas Ramah Lingkungan No
Aktivitas Ramah Lingkungan
Strata 1
Strata 2
Strata 3
Rataan
1
Melakukan reklamasi bekas lahan tambang
100%
67%
50%
64%
2
Melakukan penambangan ulang dengan pohon cepat tumbuh
100%
100%
33%
64%
3
Pembuatan terasering untuk menghindari longsor
100%
100%
17%
55%
4
Melakukan biorehabilitasi lahan bekas tambang
100%
100%
0%
45%
5
Melakukan penutupan kembali bekas tambang dengan top soil
100%
67%
0%
36%
6
Melakukan efisiensi penggunaan air
100%
33%
0%
27%
7
Belum melakukan kegiatan penambangan dan penggalia
0%
0%
33%
18%
8
Memperhatikan kontur lahan tambang mlalui pembuatan blok
100%
0%
0%
18%
9
Pemantauan flora dan fauna di lokasi tambang
50%
33%
0%
18%
93
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan” 10
Menggunakan bahan baku yang memiliki sertifikat/izin
11
Melakukan pengelolaan kualitas air tambang
100%
0%
0%
18%
50%
0%
0%
9%
Rataan
81,8%
45,5%
12,1%
33,9%
Jumlah UMKM
2
3
6
11
Secara keseluruhan baru 33,9% aktivitas ramah lingkungan yang baru dilakukan oleh UMKM sektor Pertambangan. Dalam pada itu UMKM pada Strata 1 merupakan kelompok dengan aktivitas ramah lingkungan sudah mencapai 81,8%. UMKM pada Strata 2 sudah melaksanakan 45,5%, sedangkan UMKM pada Strata 3 yang merupakan kelompokk mayoritas masih sangat sedikit dalam melaksanakan aktivitas ramah lingkungan yakni 12.1%. Berdasarkan hasil ini, UMKM sektor pertambangan relatif sudah lebih baik dibanding sektor pertanian dan industri, ini disebabkan sektor pertambangan mendapatkan perhatian yang sangat memadai dari pemerintah terkait isu kerusakan lingkungan. Meskipun demikian, upaya untuk mendorong sektor ini agar lebih baik dalam penerapan aktivitas ramah lingkungannya masih memerlukan perhatian dan kerjasama berbagai pihak untuk lebih menghargai lingkungan sebagai ekosistem untuk tempat kehidupan. 4.2.4. UMKM sektor Transportasi UMKM sektor pertambangan yang berjumlah 51, berdasarkan hasil analisis cluster dengan 9 kriteria ramah lingkungan, dikelompokkan menjadi 3 strata UMKM. Proporsi UMKM masing–masing kelompok dan sebaran seperti disajikan pada Tabel 4.76. serta Gambar 3.8. Tabel 4.76. Proporsi Strata UMKM Sektor Transportasi Strata 1 2 3 Total
Jumlah 6 11 34 51
Persen 12% 22% 66% 100%
94
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
6
4
2
0
Strata -2
Strata 2 Strata 1
-4
Strata 3 -1
0
1
2
3
REGR factor score 1 for analysis
4
4
Gambar 3.8. Sebaran UMKM Sektor Pertambangan Dari 51 UMKM sektor transportasi, 6 UMKM masuk kedalam Strata 1 (12%), 11 UMKM (22%) masuk ke dalam Strata 2, dan 34 UMKM (66%) berada pada strata 3. Karakteristik masing-masing strata UMKM disajikan pada Tabel 4.77 berikut. Tabe 4.77. Karakteristik UMKM Sektor Transportasi Atas Aktivitas Ramah Lingkungan No
Aktivitas Ramah Lingkungan
Strata 1
Strata 2
Strata 3
Rataan
1
Melakukan perawatan kendaraan secara rutin
83%
100%
24%
47%
2
Melakukan uji emisi secara berkala (setiap 6 bulan)
17%
73%
0%
18%
3
Melakukan efisiensi penggunaan BBM
83%
0%
9%
16%
4
Melakukan efisiensi penggunaan energi
17%
27%
0%
8%
5
Melakukan efisiensi penggunaan air
83%
18%
0%
14%
6
Melakukan peremajaan kendaraan
100%
82%
0%
29%
7
Melaksanakan proses Recycle dalam kegiatan operasional
17%
0%
0%
2%
8
Melaksanakan proses Reuse dalam kegiatan operasional
0%
9%
0%
2%
9
Melaksanakan proses Reduce dalam kegiatan operasional
17%
0%
0%
2%
Rataan
46,3%
34,3%
3,6%
15,3%
Jumlah UMKM
6
11
34
51
Secara keseluruhan baru 15,3% aktivitas ramah lingkungan yang baru dilakukan oleh UMKM sektor transportasi. UMKM Strata 1 merupakan kelompok dengan aktivitas ramah lingkungan sudah mencapai 46,3%. UMKM pada Strata 2 sudah melaksanakan 34,3%, sedangkan UMKM pada Strata 3 yang merupakan kelompokk mayoritas, namun masih sangat sedikit dalam melaksanakan aktivitas ramah lingkungan yakni 3.6%. 95
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Berdasarkan hasil ini UMKM sektor transportasi masih relatif rendah dalam melaksanakan usaha yang ramah lingkungan, ini disebabkan sektor transportasi merupakan sektor yang padat teknologi. Meski saat ini upaya yang dilakukan oleh pihak terkait sudah mengarah pada upaya kearah yang lebih baik, namun keterkaitan dengan sektor lain sangat erat seperti perencanaan tata-ruang serta penggunaan Bahan bakar yang ramah lingkungan yang semakin meningkat. 4.3. Kesiapan UMKM menuju Ramah Lingkungan Upaya mendorong UMKM agar ramah lingkungan tidak cukup dilakukan dengan membuat kebijakan dari satu sisi saja. Hal ini disebabkan permasalahan yang dihadapi oleh UMKM relatif kompleks tidak hanya dari sisi permodalan belaka, namun aspek-aspek lain seperti pengetahuan terhadap kelestarian lingkungan, beragamnya bidang, dan kondisi usahanya. Bila dikaitkan dengan kriteria ramah lingkungan sesuai sektornya, kondisi sebagian besar UMKM secara internal masih jauh dari kondisi siap dalam menjalankan kegiatan ramah lingkungan. Namun demikian, dari hasil penelitian yang telah diperoleh menunjukkan adanya tren yang cukup jelas bahwa semakin tinggi skala usaha UMKM kesiapan terhadap program ramah lingkungan semakin tinggi pula. Hal ini terlihat dari tingginya pengetahuan serta banyaknya aktivitas usaha yang sudah mulai mengarah ke ramah lingkungan. Masalah lain terkait kesiapan UMKM ramah lingkungan adalah masalah peningkatan kesadaran dari pelaku UMKM terhadap kelestarian lingkungan untuk menggerakkan perusahaan beralih secara bertahap atau melakukan transformasi bisnis berbasis lingkungan guna menghadapi isu keberlanjutan (sustainability) sumber daya alam. Menarik untuk disimak, bahwa lambat namun pasti, adalah meningkatnya kepedulian lingkungan (environmental concern) dari berbagai lapisan masyarakat sebagai unsur penting yang mempengaruhi lanskap kompetisi dalam dunia usaha. Lingkungan yang awalnya dipandang sebagai faktor eksternal bagi proses dan konten manajemen pemasaran, sekarang ini dipandang sebagai faktor sentral dalam strategi pemasaran (Hart, 1995; Srivastava, 1994). Di sisi lain, rendahnya pemahaman akan kelestarian lingkungan pelaku UMKM akan berdampak pada aktivitas yang tak terkendali dalam upaya menjalankan usahanya. Namun demikian, tidak sedikit UMKM yang sudah mulai melakukan usaha mengikuti kaidah-kaidah ramah lingkungan namun terbentur pada berbagai kendala. Jorgensen (2002) dan Kalafatis et al. (1999) mensinyalir dalam tulisannya, bahwa kendala utama yang dihadapi oleh pelaku usaha yang menghasilkan green product yaitu istilah yang populer dihasilkan oleh produsen yang memperhatikan kelestarian lingkungan dalam memproduksinya adalah aspek pemasaran dan meningkatnya biaya produksi yang berdampak pada harga jual produk. Meski isu green product (produk ramah lingkungan) telah lama disosialisasikan, namun pertumbuhan pasarnya tidak sepesat yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: (1) Harga produk ramah lingkungan relatif lebih mahal dibanding produk konvensional, bahkan selisih harganya bisa mencapai 25 hingga 30%; (2) Daya beli masyarakat yang cenderung tidak meningkat, menjadi salah satu penyebab produk ramah lingkungan kurang diminati; (3) manfaat produk ramah lingkungan masih belum dapat dirasakan langsung oleh konsumen; 96
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
(4) masih tersedianya produk konvensional dan tersedia di berbagai tempat, hal ini berbeda dari produk ramah lingkungan, yang hanya tersedia di tempat tertentu saja. Berdasarkan kondisi ini menjadi alasan beberapa industri besar menyesuaikan kembali strategi perusahaannya untuk tetap memproduksi produk-produk yang kurang ramah lingkungan karena lebih diminati (Yudis, 2012). Secara umum, istilah dari kesadaran lingkungan (environmental consciousness) digunakan bagi dimensi kognitif dari sikap terhadap lingkungan, sedangkan kepedulian lingkungan merujuk pada disposisi emosi individu atau pengusaha terhadap kerusakan alam. Temuan berkaitan dengan sikap terhadap rencana atau perilaku sebenarnya (actual behavior) sering kontradiksi dan inkonklusif (Kalafatis et al., 1999; Schlegelmilch et al., 1996). Terkait dengan diskusi di atas, salah satu aspek penting yang perlu digali terkait rendahnya animo pelaku usaha dalam mentrasformasikan bisnisnya menjadi ramah lingkungan adalah kendala apa yang sebenarnya dihadapi oleh pelaku usaha tersebut. Jawaban atas persoalan ini diharapkan dapat menuntun pada perancangan strategi kedepan guna membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha tepatnya UMKM. Menurunnya kualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh berbagai aktivitas UMKM dalam menjalankan usahanya menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan dan kenyamanan kehidupan dengan segala dimensinya. Kondisi ini memaksa berbagai kalangan untuk lebih meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. UMKM yang merupakan kelompok entitas usaha yang memiliki kontribusi terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup berdasarkan hasil penelitian ini menghadapi banyak permasalahan terkait dengan usaha ramah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a. Minimnya sosialisasi dan edukasi usaha ramah lingkungan terhadap pelaku UMKM yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian dan dinas-dinas terkait menyebabkan minimnya pengetahuan dan kesadaran UMKM terhadap aspek-aspek usaha ramah lingkungan, sehingga hal ini berdampak pada perilakunya yang kurang menghargai terhadap kelestarian lingkungan. b. Keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah menyebabkan pemantauan terhadap pelaku usaha masih terkonsentrasi pada usaha dengan skala besar yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan secara luas. Akibatnya UMKM yang jumlahnya sangat besar belum mendapatkan perhatian yang memadai. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya koordinasi antar dinas dalam melakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap UMKM agar ramah lingkungan menyebabkan hasilnya masih jauh dari harapan. c. Sifat intrinsik dari UMKM itu sendiri yang mayoritas berawal dari usaha rumah tangga, di mana lokasi usahanya menyatu dengan wilayah pemukiman, sehingga upaya pengelolaan dan penanganan limbah dari proses produksi mengalami banyak kendala. d. Tidak adanya aturan yang jelas dalam penerapan sanksi atau hukuman bagi UMKM yang melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan. e. Masih rendahnya kesadaran sosial masyarakat umum terhadap kelestarian lingkungan yang tercermin dari lambannya pertumbuhan penggunaan produk-produk ramah lingkungan, sehingga tidak mampu memberikan tekanan kepada UMKM yang berperan sebagai produsen agar menerapkan usaha ramah lingkungan. 97
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
f. Kurangnya permodalan yang dimiliki oleh UMKM sehingga memaksa usaha yang dilakukan masih terfokus atau berorientasi pada upaya pencapaian hasil produksi baik secara kuantitas maupun kualitas, sementara aspek efisiensi dan efektivitas baik dalam penggunaan bahan baku, energi, serta sumberdaya produksi lainnya masih belum diperhatikan karena membutuhkan investasi yang tidak sedikit, apalagi upaya penanganan maupun pengelolaan limbah produksi tentu masih belum menjadi skala prioritas bila tidak dapat dikatakan masih terabaikan. 4.4. Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan Sesuai dengan tujuan penelitian, salah satu aspek yang ingin diketahui adalah sumbersumber pembiayaan yang digunakan oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Berkaitan dengan sumber pembiayaan ini juga telah dilakukan penelusuran terhadap ketersediaan skema pembiayaan yang bersifat ramah lingkungan dan hal-hal terkait dengan upaya UMKM untuk menuju usaha ramah lingkungan. Jenis-jenis pinjaman atau kredit yang digunakan oleh UMKM dalam menjalankan usahanya disajikan pada Tabel 4.78 berikut:
Tabel 4.78. Jenis Kredit yang dimanfaat oleh UMKM Total
SKALA USAHA SEKTOR USAHA Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
Base: semua responden yang dalam 5 tahun terakhir pernah memiliki pinjaman dari bank
129
18
39
72
72
26
27
4
KUR
21%
28%
23%
18%
24%
19%
15%
25%
Kredit usaha kecil (KUK)
21%
17%
10%
28%
21%
12%
30%
25%
Kredit modal kerja
11%
6%
8%
14%
13%
8%
7%
25%
Kredit Tanpa Agunan (KTA)
5%
6%
8%
4%
6%
8%
4%
-
Kredit investasi
4%
-
-
7%
6%
-
4%
-
KMK (Kredit Mikro Kecil)
4%
6%
3%
4%
6%
4%
-
-
Kredit untuk UKM
3%
11%
5%
-
6%
-
-
-
Tidak tahu nama programnya
17%
17%
33%
8%
15%
31%
11%
-
Dari 129 UMKM yang melakukan pinjaman, mayoritas memanfaatkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) serta Kredit Usaha Kecil (KUK), masing-masing sebesar 21%. Sementara itu 11% memanfaatkan Kredit Modal Kerja (KMK) dan KTA sebesar 5%. Hal menarik adalah hanya 5% bahkan kurang dari itu yang melakukan pinjaman dengan tujuan investasi, Kredit Mikro Kecil dan khusus Kredit untuk UKM. Bahkan yang mengejutkan adalah 17% dari responden UMKM tidak mengetahui jenis kredit yang digunakan. Dari hasil wawancara di lapangan terungkap bahwa kredit yang diterima adalah kredit yang bersifat program khusus dari dinas terutama pada sektor pertanian dan industri dan disalurkan melalui lembaga perbankan. Dilihat dari proporsi jumlah sample, UMKM dari sektor pertambangan lebih banyak yang memanfaatkan pinjaman bank, sementara UMKM dari sektor Pertanian dan Transportasi relatif 98
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
lebih rendah. Menyimak hasil diatas, kredit yang dimanfaatkan oleh UMKM atau kredit yang ditawarkan oleh lembaga keuangan/perbankan tidak terdapat kredit yang terkait dengan kelestarian lingkungan hidup. Dari sisi skala usaha, UMKM berskala menengah lebih banyak memanfaat pinjaman di Bank. Hal ini dapat dimengerti karena UMKM pada skala ini relatif lebih banyak yang bankable ketimbang UMKM pada skala yang lebih rendah. 4.4.1. Sumber Pembiayaan UMKM Dari sisi lembaga atau bank yang memberikan pinjaman, terlihat bank BRI merupakan sumber utama bagi UMKM dalam mendapatkan kredit yaitu sebesar 40% sebagaimana dikemukakan dalam Tabel 4.79, kemudian diikuti oleh Bank Mandiri 21%, BCA 12%, sedangkan bank lainnya kurang dari 10%. Tabel 4.79. Bank Sumber Pembiayaan UMKM SKALA USAHA Total
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
Base: semua responden yang dalam 5 tahun terakhir pernah memiliki pinjaman dari bank
129
18
39
72
72
26
27
4
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
40%
56%
46%
32%
38%
58%
22%
75%
Bank Mandiri
21%
-
21%
26%
24%
8%
30%
-
Bank Central Asia (BCA)
12%
-
3%
19%
13%
4%
19%
-
Bank Danamon
8%
6%
10%
7%
8%
4%
11%
-
Bank Negara Indonesia (BNI)
6%
-
-
11%
7%
-
7%
25%
Bank Niaga
5%
6%
5%
4%
6%
-
7%
-
BTPN
3%
6%
3%
3%
3%
4%
4%
-
Tingginya peran BRI sebagai sumber pembiayaan UMKM pada dasarnya tidak terlepas dari sebaran bank ini yang dijumpai hampir diseluruh wilayah bahkan sampai tingkat kecamatan. Disisi lain BRI juga memiliki skim khusus untuk usaha mikro yang disalurkan melalui BRI unit dan dibantu dengan adanya teras BRI. Sementara Bank Mandiri lebih banyak memberikan pinjaman pada skala Kecil dan Menengah, demikian juga dengan BCA. Sementara Bank Danamon dengan program DSP (Danamon Simpan Pinjam), Bank Niaga serta BTPN memiliki profil yang hampir sama dengan BRI, namun Bank BNI lebih banyak mengucurkan kredit pada usaha skala Menengah. Terkait dengan prosedur yang harus dilalui UMKM dalam memperoleh pinjaman, terungkap bahwa dari 162 UMKM yang pernah mengajukan pinjaman diketahui 13% UMKM menyatakan kesulitan dalam melakukan akses pinjaman. Kebanyakan adalah UMKM yang berskala Mikro dan Kecil. Hal ini dijumpai pada UMKM yang berusaha pada sektor Pertanian dan Transportasi. Sementara sektor Industri dan Pertambangan yang notabene banyak bermasalah dengan kelestarian lingkungan justru relatif mudah dalam mendapatkan pinjaman.
99
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.80. Tingkat Kesulitan UMKM dalam Mengakses Pinjaman SKALA USAHA Total Base: semua responden yang pernah mengajukan pinjaman ke bank
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
162
28
51
83
90
38
30
4
Sangat sulit
3%
11%
2%
1%
-
8%
7%
-
Sulit
10%
25%
8%
6%
10%
18%
-
-
Antara mudah dan sulit
14%
25%
18%
8%
11%
18%
17%
25%
Mudah
61%
29%
61%
72%
67%
39%
73%
50%
Sangat mudah
12%
11%
12%
12%
12%
16%
3%
25%
Fakta ini menunjukkan bahwa bank dalam menjalankan program pinjaman kepada UMKM lebih berorientasi pada aspek kelayakan usaha, artinya isu lingkungan belum menjadi aspek yang menjadi pertimbangan. Hal ini terungkap saat wawancara dengan pihak perbankan bahwa azas 5C menjadi dasar utama dalam penyaluran kreditnya. Tabel 4.81. Jenis Kesulitan yang Dialami UMKM dalam Mengakses Pinjaman SKALA USAHA Total Base: semua responden yang menganggap tidak mudah mengakses kredit di bank Persyaratan pinjaman terlalu rumit Suku bunga pinjaman yang ditetapkan oleh bank terlalu tinggi Bank tidak tertarik untuk membiayai usaha yang dijalankan Cara pembayaran angsuran yang ditetapkan oleh bank tidak sesuai dengan masa produksi Tidak ada produk pinjaman dari bank yang sesuai dengan karakteristik usaha Plafon pinjaman lebih besar dari yang di butuhkan (plafon tidak sesuai dengan yang di harapkan) Lokasi usaha jauh dari bank
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
44
17
14
13
19
17
7
1
77%
88%
64%
77%
63%
88%
86%
100%
43%
41%
29%
62%
58%
29%
43%
-
27%
12%
43%
31%
37%
12%
29%
100%
18%
24%
14%
15%
21%
24%
-
-
9%
6%
7%
15%
16%
-
14%
-
2%
-
-
8%
5%
-
-
-
2%
-
7%
-
5%
-
-
-
Alasan yang dikemukakan oleh UMKM terkait dengan kesulitan dalam melakukan akses pinjaman ke bank disajikan pada Tabel 4.73. Masalah persyaratan tampaknya menjadi faktor utama mengapa UMKM sulit mendapatkan pinjaman di Bank sebagaimana dialami oleh 77% dari 44 responden UMKM yang merasa kesulitan dalam mengakses pinjaman di Bank. Masalah berikutnya adalah suku bunga pinjaman yang dianggap tinggi (43%), dan Bank tidak tertarik dengan usaha yang dilakukan oleh UMKM (27%). Hal menarik adalah cara pembayaran yang diterapkan oleh bank tidak sesuai dengan karakteristik usaha yang dilakukan UMKM, hal ini terjadi pada sektor pertanian di mana petani umumnya mendapatkan hasil pada saat panen. Menyimak hasil yang terkait dengan skim pinjaman, tingkat dan jenis kesulitan yang dialami UMKM tampak bahwa banyak UMKM yang masih memiliki masalah dalam mendapatkan pinjaman dari bank. Penyebabnya tidak saja pada kelayakan usaha namun juga 100
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
adanya sektor-sektor yang memiliki karakteristik khusus dalam memperoleh penghasilannya. Disisi lain skim pinjaman yang ada saat ini lebih menitik beratkan pada pinjaman yang bertujuan untuk menambah modal maupun investasi, sedangkan para pengusaha yang berskala mikro masih terkendala untuk memperoleh akses perbankan. Sementara skim pinjaman yang bernuansa lingkungan dapat dikatakan belum ada sama sekali, meskipun ada bank yang sudah memiliki skim ini namun sesuai hasil survei bahwa belum ada UMKM yang mendapatkan pinjaman terkait dengan aspek ramah lingkungan. 4.4.2. Minat Terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan (Green Lending) Berkaitan dengan upaya perintisan pinjaman yang mengarah pada upaya untuk mendorong UMKM agar ramah lingkungan bahwa 77% responden UMKM menyatakan minatnya untuk mendapatkan pinjaman jenis ini. Meskipun demikian terdapat sekitar 17,4% UMKM lainnya dengan tegas menyatakan tidak berminat.
Tabel 4.82. Minat UMKM Mendapatkan Pinjaman Ramah Lingkungan SKALA USAHA Total Base: semua responden
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
283
65
106
112
141
81
51
10
Sangat tidak berminat
0,4%
2%
-
-
1%
-
-
-
Tidak berminat
17%
28%
15%
13%
10%
28%
22%
-
Antara berminat dan tidak
6%
6%
8%
4%
6%
7%
4%
-
Berminat
59%
42%
58%
70%
67%
40%
61%
90%
Sangat berminat
18%
23%
20%
13%
16%
25%
14%
10%
Hampir semua UMKM dari berbagai sektor usaha berminat mendapatkan pinjaman ramah lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya niatan dari para pelaku UMKM untuk mengarahkan usahanya pada kelestarian lingkungan. Namun demikian informasi ini perlu dicermati dengan hati-hati, karena konsep ramah lingkungan belum dipahami dengan baik oleh pelaku UMKM. Untuk memperjelas hal ini kepada UMKM ditanyakan peruntukan pinjaman tersebut, dan hasilnya dijabarkan pada Tabel 4.83.
101
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.83. Rencana Peruntukan Pinjaman Ramah Lingkungan SKALA USAHA Total Base: semua responden yang berminat memanfaatkan pinjaman lunak untuk kegiatan ramah lingkungan Modal kerja yang menunjang kegiatan ramah lingkungan Investasi yang menunjang kegiatan ramah lingkungan Pengadaan peralatan pengendalian dan pencegahan pencemaran Kegiatan pengendalian dan pencegahan pencemaran Menambah lahan parkir Belum tahu untuk apa
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
214
42
81
91
117
51
37
9
57%
60%
54%
59%
58%
71%
38%
56%
21%
17%
22%
23%
20%
14%
32%
44%
13%
14%
15%
10%
15%
6%
16%
-
7%
7%
5%
8%
4%
8%
14%
-
0,5% 1%
2%
1% 2%
-
1% 2%
2%
-
-
Pinjaman ramah lingkungan yang coba ditawarkan kepada UMKM tersebut direncanakan akan digunakan untuk menambah modal (57%), dan investasi 21%. Hanya sebagian saja yang menyatakan secara eksplisit bahwa pinjaman tersebut akan diperuntukan guna pengadaan peralatan (13%) dan kegiatan pengendalian dan pencegahan pencemaran (7%). Fakta ini menunjukkan bahwa pinjaman ramah lingkungan harus dirancang sedemikian rupa agar peruntukannya sesuai dengan target yang diharapkan. Bila tidak maka para pelaku UMKM akan menggunakan pinjaman tersebut seperti layaknya pinjaman konvensional. Informasi lainnya yang menarik adalah adanya tingkat kesetujuaan UMKM bila pinjaman Bank hanya diperuntukkan bagi UMKM yang sudah menjalankan usaha ramah lingkungan dipaparkan pada Tabel 4.84. Tabel 4.84. Tingkat Kesetujuan Bila Pinjaman Hanya Untuk UMKM Ramah Lingkungan SKALA USAHA Total Total
277
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan 64 103 110 141 77 50 9
Sangat tidak setuju
1%
3%
-
1%
1%
3%
-
-
Tidak setuju
24%
20%
24%
26%
26%
19%
28%
11%
Antara setuju dan tidak
8%
9%
5%
10%
7%
8%
10%
11%
Setuju
55%
50%
57%
55%
55%
55%
58%
44%
Sangat setuju
12%
17%
14%
7%
11%
16%
4%
33%
Tampak bahwa hanya 25% responden UMKM tidak setuju bila pinjaman hanya diperuntukan bagi mereka yang sudah menjalankan program ramah lingkungan. Alasan UMKM tidak setuju dengan program tersebut disajikan pada Tabel 4.85.
102
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.85. Alasan Tidak Setuju terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan SKALA USAHA Total
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
Base: semua responden yang tidak setuju bila bank hanya akan memberi pinjaman kepada debitur yang telah menerapkan aspek ramah lingkungan dalam kegiatan usahanya
70
15
25
30
38
17
14
1
Pengusaha yang belum ramah lingkungan juga membutuhkan pinjaman untuk mengembangkan usahanya
33%
40%
36%
27%
34%
35%
29%
-
20%
20%
16%
23%
21%
12%
29%
-
14%
27%
12%
10%
13%
29%
-
-
13%
13%
16%
10%
11%
24%
-
100%
9%
-
4%
17%
11%
-
14%
-
3%
-
4%
3%
5%
-
-
-
Karena tidak semua usaha yang telah menerapkan ramah lingkungan membutuhkan pinjaman dari bank Sebaiknya diberikan penyuluhan/pelatihan kegiatan ramah lingkungan bagi perusahaan yang membutuhkan pinjaman namun belum melakukan kegiatan ramah lingkungan Belum mengerti bagaimana kegiatan yang ramah lingkungan Perusahaan yang belum ramah lingkungan juga memerlukan pinjaman dana untuk kegiatan ramah lingkungan Karena tidak semua usaha menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan
Ketidaksetujuan UMKM terkait pinjaman ramah lingkungan umumnya berasal dari UMKM yang belum melakukan usaha yang ramah lingkungan. Sementara 20% lainnya menyatakan bahwa UMKM tidak semuanya mampu menjalankan usaha yang bersifat ramah lingkungan. Alasan yang bersifat positif adalah 14% UMKM perlu bimbingan dalam bentuk pelatihan atau sejenisnya agar mampu mengarah pada usaha ramah lingkungan. Bahkan 13% UMKM belum memahami sama sekali istilah ramah lingkungan. Sementara dari 67% UMKM yang menyatakan setuju dengan adanya program pinjaman ramah lingkungan berpendapat pada Tabel 4.86, bahwa program ini mendorong agar pelaku UMKM peduli terhadap kelestarian lingkungan (17%). Sementara 10% menyatakan alasan senada agar UMKM memiliki kewajiban memelihara lingkungan. Alasan yang diberikan pada dasarnya menunjukkan adanya kepedulian UMKM terhadap lingkungan.
103
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Tabel 4.86. Alasan Setuju terhadap Pinjaman Ramah Lingkungan SKALA USAHA Total Base: semua responden yang setuju bila bank hanya akan memberi pinjaman kepada debitur yang telah menerapkan aspek ramah lingkungan dalam kegiatan usahanya Agar pengusaha peduli terhadap lingkungan dengan berusaha melaksanakan kegiatan ramah lingkungan dalam usahanya Untuk menjaga dari dampak pencemaran lingkungan Membantu mencegah pencemaran lingkungan Agar lingkungan sehat Sudah melestarikan lingkungan Agar debitur mau menerapkan kegiatan ramah lingkungan dalam setiap usahanya Untuk menciptakan kawasan yang disiplin terhadap kegiatan ramah lingkungan Supaya para pengusaha giat menerapkan aspek ramah lingkungan buat seluruh kegiatan usahanya Karena bisa mendidik pengusaha agar melakukan proses produksi yang ramah lingkungan
SEKTOR USAHA
Usaha Usaha Usaha Industri Pertanian Transportasi Pertambangan Mikro Kecil Menengah Pengolahan
185
43
73
69
93
54
31
7
17%
14%
15%
20%
22%
15%
10%
-
10%
5%
11%
12%
12%
9%
6%
-
6%
7%
4%
7%
6%
6%
6%
-
5% 5%
9% 2%
4% 5%
3% 6%
5% 5%
7% 6%
3%
-
5%
5%
4%
6%
3%
4%
10%
14%
4%
5%
4%
4%
6%
-
6%
-
4%
2%
3%
7%
4%
4%
6%
-
3%
2%
5%
1%
3%
4%
3%
-
Memperhatikan hasil yang terkait dengan pinjaman ramah lingkungan, dapat diartikan bahwa UMKM sebagian besar memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, namun pemahan mereka terhadap hal tersebut masih terbatas, oleh karenanya sosialisasi kepada UMKM perlu dilakukan secara masif dan berkesinambungan. Sementara instrumen perbankan dalam bentuk skim pinjaman ramah lingkungan perlu dikaji lebih mendalam karena banyak kendala yang akan dihadapi, tidak saja masalah terbatasnya pemahaman UMKM juga adanya persepsi yang keliru dalam memahami usaha ramah lingkungan. 4.4.3. Peran Perbankan dan Konsep Pengembangan Skema Pembiayaan UMKM Ramah Lingkungan Secara sekilas, lembaga perbankan sepertinya tak terpengaruh atas masalah lingkungan yang ada saat ini. Meski secara internal, lembaga perbankan itu sendiri umumnya menerapkan aspek ramah lingkungan dalam menjalankan aktivitasnya. Namun, secara eksternal, bila disimak lebih mendalam hubungan yang terjadi antara lembaga perbankan dengan entitas pengguna produk perbankan, maka kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh entitas pengguna jasa perbankan ini sangat signifikan. Dengan kata lain, lembaga perbankan yang berperan sebagai mediator dalam mempengaruhi kegiatan industri, secara tidak langsung akan berhadapan dengan risiko terkait dengan kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya, merosotnya kualitas lingkungan hidup serta daya dukungnya terhadap kegiatan ekonomi di dalamnya diperkirakan dapat mempengaruhi kualitas aktiva dan ekspektasi pengembalian pembiayaan dalam jangka panjang. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi lembaga perbankan untuk menerapkan go green dan berperan pro-aktif. Bahkan lembaga perbankan dapat berperan sebagai lokomotif
104
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dalam aspek kelestarian lingkungan hidup melalui prinsip pembiayaan yang berpihak pada kelestarian lingkungan. Kebijakan yang diterapkan lembaga perbankan sedikit banyak akan memaksa industri (UMKM) untuk melakukan investasi melalui manajemen lingkungan yang tepat guna. Jika kebijakan ini diimplementasikan secara proporsional sesuai dengan kondisi UMKM, maka tidak mustahil kebijakan ini menjadi instrumen yang sangat efektif dalam mencegah kerusakan lingkungan. Bahkan lembaga perbankan dapat berperan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan etika dan tanggungjawab sosial perusahaan melalui penerapan kebijakan investasi yang mempertimbangkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan citra, daya saing dan memberi keunggulan komparatif tersendiri bagi perbankan yang bersangkutan. Tantangan akan kelestarian lingkungan hidup di Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan semakin berat, ini disebabkan Indonesia masih sangat bergantung pada devisa yang berasal dari sumberdaya alam. Oleh karenanya industri ekstraktif tetap akan berkembang, sehingga tekanan terhadap lingkungan akan semakin tinggi. Atas dasar ini lembaga perbankan diharapkan sesegera mungkin menerapkan kebijakan ramah lingkungan serta memberikan kemudahan penyaluran kredit kepada UMKM yang guna menerapkan usaha ramah lingkungan. Jadi tidak hanya sebatas memberikan dorongan belaka kepada nasabah atau debiturnya namun perlu political will yang kuat disertai dengan tindakan nyata sebelum semuanya terlambat. Menyimak pentingnya peran lembaga perbankan sebagai salah satu institusi yang turut menentukan arah kebijakan terhadap kelestarian lingkungan, serta memperhatikan kondisi UMKM yang sangat bervariasi untuk menerapkan usaha ramah lingkungan, maka konsep pengembangan skema pembiayaan usaha ramah lingkungan adalah: a. Bekerjasama dengan lembaga terkait seperti dinas-dinas yang mengelola lingkungan hidup, perindustrian dan perdagangan serta pertambangan untuk melakukan stratifikasi atau assesment secara berkala atau periodik terhadap UMKM yang memiliki potensi pencemaran lingkungan. Pihak perbankan juga melakukan assesment terhadap aspek feasibility usaha dan aspek bankable-nya terhadap UMKM dimaksud. Hasil assesment akan diperoleh stratifikasi atau pengelompokkan UMKM berdasarkan aspek kelayakan usaha dan aspek lingkungan yaitu potensi pencemaran. Selanjutnya, kelompok UMKM dimaksud dapat memiliki kriteria sebagai UMKM yang feasible dan bankable serta ramah lingkungan, atau kriteria sebaliknya. b. Berdasarkan stratitifikasi tersebut dapat dirancang bentuk bantuan teknis dan skema pembiayaan yang sesuai dengan kondisi masing-masing strata UMKM atau kriteria yang dimiliki. Rancangan dimaksud dapat didiskusikan dengan dinas terkait, sedangkan usulan skema pembiayaan termasuk sumber pembiayaan dapat diusulkan melalui pemanfaatan dana dari program CSR dan didiskusikan lebih lanjut dengan lembaga perbankan. c. Rancangan dan implementasi program bantuan teknis dalam rangka pengembangan UMKM ramah lingkungan merupakan program multi years dan berkesinambungan. Secara garis besar terdapat kelompok UMKM yang feasible, namun belum memiliki potensi sebagai usaha ramah lingkungan sehingga diupayakan pemberian pinjaman/pembiayaan dengan 105
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
suku bunga yang menarik. Untuk kelompok UMKM dengan keterbatasan kemampuan dari sisi keuangan dan kemampuan diupayakan peningkatan kemampuan teknis sehingga akan mendorong UMKM menjadi feasible seraya diarahkan usahanya memenuhi kriteria ramah lingkungan. d. Dukungan pemerintah dan lembaga domestik melalui edukasi dan sosialisasi secara terencana dan berkesinambungan kepada UMKM dan masyarakat sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap pentingnya kelestarian lingkungan, diantaranya penggunaan produk-produk ramah lingkungan serta adanya sanksi yang tegas dan bersifat mendidik bila diperlukan.
106
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
V.
5.1.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Sesuai dengan pelaksanaan penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Usaha ramah lingkungan merupakan aktivitas usaha yang senantiasa berupaya meminimalisir kerusakan terhadap lingkungan hidup, seperti pencemaran melalui limbah yang dihasilkan, dan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan ekosistem maupun lingkungan masyarakat yang berada di sekitar wilayah usaha. Keberadaan usaha ramah lingkungan diharapkan akan meningkatkan keterjaminan dan keberlanjutan keseimbangan ekosistem di masa mendatang. b. Kriteria usaha ramah lingkungan masih terus dikembangkan, namun masing-masing kementerian atau dinas memiliki kriteria tersendiri sesuai dengan aktivitasnya. Berikut kriteria usaha ramah lingkungan berdasarkan sektor usaha yang menjadi bagian dari ruang lingkup penelitian : 1. Kriteria usaha ramah lingkungan pada sektor pertanian dikaitkan dengan Sistem Pertanian Organik, yaitu mengarahkan pelaku usaha untuk menjaga keseimbangan ekosistem guna menjamin keberlanjutan daya dukung alam dalam menyediakan bahan pangan yang sehat dan bermutu serta memenuhi kebutuhan industri. 2. Kriteria Industri Hijau merupakan kriteria usaha ramah lingkungan pada sektor industri, antara lain mengarahkan pelaku UMKM agar melakukan konsep 3R (reduce, reuse dan recycle). 3. Kriteria ramah lingkungan yang dikembangkan pada sektor pertambangan, adalah menitikberatkan pada upaya menjaga keseimbangan ekosistem melalui rehabilitasi kembali lahan bekas tambang agar dapat mengembalikan kembali fungsi ekosistem yang telah terganggu. 4. Sektor transportasi merupakan sektor ekonomi yang tidak memiliki kriteria khusus dalam mengarahkan pelaku UMKM agar menjaga kelestarian lingkungan. Pengelolaan transportasi merupakan bagian integral dari sistem tata ruang wilayah, oleh karenanya kriteria yang digunakan mengacu pada sistem yang dikembangkan sesuai RUTR, di mana pengurangan emisi gas buang menjadi isu utama pada kriteria yang diterapkan. Upaya ini dapat ditempuh melalui penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, modifikasi mesin agar lebih hemat energi, serta mengintegrasikan sistem angkutan untuk meminimalisir limbah emisi yang dihasilkan. c. Secara umum, UMKM belum memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan usaha ramah lingkungan dengan kendala yang dihadapi antara lain minimnya pengetahuan dan kesadaran terhadap ramah lingkungan, keterbatasan akan kemampuan teknis, aspek
107
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
permodalan serta lemahnya aspek manajemen. Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan usaha ramah lingkungan, adalah : 1. Sektor pertanian merupakan sektor yang secara alami lebih siap menuju ramah lingkungan, namun pasar produk pertanian organik masih membutuhkan edukasi dan pengembangan agar terjadi keseimbangan antara input dan output yang saling menguntungkan. 2. Sektor industri merupakan sektor yang memiliki keragaman aktivitas usaha. Permasalahan utama yang dihadapi sektor industri adalah pengolahan limbah yang dihasilkan. Saat ini, lokasi industri umumnya berada di pemukiman sehingga perlu upaya merelokasikannya ke sentra industri untuk memudahkan pengolahan limbahnya. Upaya ini terkendala dengan tingginya biaya untuk membangun sentra industri sehingga solusi 3R (reduce, reuse dan recycle) sebagai pilihan yang logis untuk dilaksanakan melalui pembinaan yang berkesinambungan oleh Kementerian dan Dinas terkait. 3. Sektor pertambangan merupakan sektor yang paling rentan terhadap kerusakan lingkungan, namun pengetahuan UMKM sektor dimaksud terhadap kegiatan ramah lingkungan relatif lebih baik walaupun dalam prakteknya masih terjadi gap yang cukup lebar. 4. Kriteria ramah lingkungan pada sektor transportasi mengacu pada RUTR yang mengedepankan aspek keseimbangan lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa usaha transportasi memiliki dampak langsung pada pengotoran udara luar, maka UMKM yang berada pada sektor ini diarahkan pada upaya meminimalisir emisi gas buang melalui pengalihan penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Kendala utama yang dihadapi terletak pada permodalan untuk peremajaan kendaraan dan modifikasi mesin agar lebih hemat dalam penggunaan bahan bakar. d. Pemerintah melalui kementerian dan dinas terkait menghadapi kendala dalam melakukan sosialisasi dan edukasi atau pembinaan terhadap UMKM agar menuju usaha ramah lingkungan. Sebagaimana diketahui jumlah UMKM yang cukup banyak dengan kondisi yang sangat variatif dari sisi skala maupun jenis usaha. Kendala ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti keterbatasan dana dan SDM yang handal, lemahnya koordinasi antar instansi atau dinas, ditambah lagi prioritas pembinaan UMKM saat ini masih terfokus pada upaya peningkatan produksi baik dari sisi kualitas maupun kuantitas guna memenuhi kebutuhan serta tingkat persaingan yang semakin meningkat. e. Dalam pengembangan UMKM terdapat beberapa pinjaman lunak ramah lingkungan yang merupakan pinjaman atau hibah dari negara lain, seperti Industrial Efficiency and Pollution Control (IEPC) –Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) yang merupakan program Debt for Nature Swap (DNS) yang berasal dari pemerintah Jerman. Program ini dilaksanakan sejak tahun 2002 hingga sekarang dan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang disalurkan melalui beberapa bank kepada UMK. Tujuan dari pinjaman ini adalah untuk mendorong agar UMK dapat mengurangi limbah produksi melalui peningkatan efisiensi 108
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
dalam penggunaan energi, bahan baku dan pengolahan limbah. Pada tahun 1992 terdapat program Pollution Abatement Equipment, dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC), namun sayangnya hingga program tersebut berakhir belum ada lembaga perbankan di Indonesia yang menginisiasi peluncuran skim pinjaman atau pembiayaan untuk UMKM ramah lingkungan dengan mengadopsi program sejenis untuk tujuan serupa. f.
Saat ini belum satupun lembaga perbankan di Indonesia yang memiliki kebijakan atau skim pinjaman untuk mendorong UMKM ramah lingkungan. Skim pinjaman atau pembiayaan yang tersedia saat ini bagi UMKM masih bersifat umum dan kriterianya didasarkan pada aspek kelayakan usaha dengan berpedoman pada azas 5C. Namun demikian dalam hal perbankan akan meluncurkan skema pembiayaan untuk mendorong UMKM ramah lingkungan atau dapat disebutkan dengan green lending, maka perlu menambahkan kriteria Commitment sebagai kesungguhan UMKM untuk mematuhi kriteria ramah lingkungan yang diterapkan oleh kementerian terkait.
g. Strategi yang perlu diterapkan untuk mendukung UMKM ramah lingkungan sebagai berikut: 1. Menyusun kriteria UMKM ramah lingkungan yang mencakup aspek pengendalian terhadap lingkungan dan juga kelayakan usaha, dilanjutkan dengan penyusunan stratifikasi (pemetaan) UMKM ramah lingkungan dimaksud. Kegiatan ini memerlukan mitra kerja yang berperan sebagai assesor independen dan terpercaya yang dapat menilai kesiapan dan memantau UMKM dalam menerapkan kriteria ramah lingkungan, serta merancang program insentif untuk percepatan terciptanya UMKM ramah lingkungan. 2. Meningkatkan pembinaan kepada UMKM agar memiliki minat atau memulai untuk menerapkan usaha ramah lingkungan secara bertahap, melalui sosialisasi dan edukasi bekerjasama antara kementerian dan dinas terkait serta lembaga domestik seperti perbankan. 3. Meningkatkan edukasi pasar untuk pemilihan dan pemanfaatan produk ramah lingkungan. Di sisi lain perlu adanya dukungan dan subsidi pemerintah terhadap produkproduk ramah lingkungan agar harga produk dimaksud dapat bersaing dengan produk konvensional. h. Stratifikasi UMKM disusun berdasarkan aktivitas nyata yang dilakukan terkait dengan aspek lingkungan. Secara umum UMKM masih jauh dari perilaku ramah lingkungan. Dari keempat sektor yang dikaji, UMKM sektor pertambangan menunjukkan performa lingkungan yang relatif lebih baik dari sektor lainnya. Hal ini disebabkan sektor pertambangan sering menjadi sorotan umum terkait dampak yang ditimbulkan dalam perusakan lingkungan. UMKM sektor industri yang merupakan sektor dengan jumlah UMKM terbanyak serta UMKM sektor transportasi, ternyata menunjukkan perilaku lingkungan yang memprihatinkan.
109
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
5.2.
Rekomendasi
Memperhatikan hasil penelitian serta kesimpulan yang telah dipaparkan di atas maka rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai berikut : a. Pengetahuan dan kesadaran UMKM serta masyarakat terhadap ramah lingkungan masih terbatas, oleh karenanya perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi yang terarah serta berkesinambungan mengenai berbagai aspek dan kriteria ramah lingkungan sesuai sektornya. Tujuannya agar UMKM dan masyarakat memahami makna dan manfaat ramah lingkungan, sekaligus menyiapkan UMKM untuk menjalankan usaha ramah lingkungan dalam jangka menengah dan panjang. Berkaitan dengan hal ini perlu pendalaman kriteria ramah lingkungan agar mudah dipahami dan dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing sektor usaha termasuk perbankan. b. Penyediaan skim pinjaman atau pembiayaan telah diprakarsai oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui pinjaman lunak ramah lingkungan, namun langkah ini belum diikuti oleh perbankan dalam mengembangkan usaha ramah lingkungan. Untuk itu, kedepannya diperlukan pengaturan dalam rangka mendukung usaha ramah lingkungan yang membutuhkan permodalan. Hal ini penting untuk mendorong perbankan memasukkan aspek perlindungan terhadap kelestarian lingkungan hidup melalui pinjaman yang pro lingkungan (green lending) dan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab lembaga perbankan dalam melestarikan lingkungan hidup serta juga memudahkan untuk mendapatkan akses keuangan bagi UMKM. c. Inisiasi skim pinjaman atau pembiayaan ramah lingkungan (green lending) memerlukan prinsip kehati-hatian dan implementasi secara bertahap mengingat sebagian besar UMKM belum siap menjalankan program ramah lingkungan. Dalam pelaksanaan implementasinya memerlukan kerjasama antara pihak perbankan dan tenaga assesor yang terpercaya guna melakukan penilaian dan evaluasi usaha ramah lingkungan dengan menggunakan kriteria yang jelas dan terukur. d. Berkenaan dengan usulan penyediaan skim pinjaman ramah lingkungan di atas, perbankan dapat mengawali dengan melakukan: (1) Pembinaan kepada UMKM yang belum bankable dan belum feasible melalui program CSR. Kegiatan ini dapat bekerja sama dengan kementerian atau lembaga lainnya. (2) Penyediaan kredit dengan bunga khusus bagi UMKM yang belum feasible namun telah bankable. (3) Pemberian insentif khusus kepada UMKM yang sudah bankable dan feasible. e. Disadari bahwa lembaga perbankan tidak memiliki sumber daya manusia yang mencukupi untuk melakukan pembinaan kepada UMKM dalam penyaluran kredit ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu kerjasama dengan pihak ketiga yang berperan sebagai assesor dalam menilai tingkat ramah lingkungan UMKM yang akan dibina maupun diberi pinjaman kredit ramah lingkungan. 110
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
f. Aspek lain yang masih memerlukan dukungan dalam pengembangan UMKM ramah lingkungan adalah mengupayakan peningkatan daya serap pasar produk ramah lingkungan yang saat ini masih terbatas. Oleh karenanya pelaksanaan sosialisasi dan edukasi sangat diperlukan dalam rangka menumbuhkan kesadaran konsumen untuk memanfaatkan produk ramah lingkungan.
111
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
LAMPIRAN 1 Hasil Focus Group Discussion
Topik Utama Bila ada green lending yang hanya diperuntukkan bagi usaha dengan green concept, bagaimana tanggapan dari Kementan? Akankah menjadi bumerang atau pemicu bagi pihak kementerian dan bank? Bagaimana tanggapan dari Kementan yang membawahi sektor industri dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak dan penyedia bahan baku industri? Tanggapan: 1. Kementerian Pertanian (Sitimawan D.S, Staff Pengolahan PPHP Kementan Jakarta) Kementerian Pertanian dalam hal ini Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian (PPHP) memiliki tugas pure untuk mengurus teknologi pengolahan. Terkait dengan isu dampak lingkungan, PPHP menangani bagian budidaya. Budidaya dalam lingkup pertanian sendiri ada berbagai macam: budidaya tanaman pangan (di bawah Dirjen Pangan), sayuran (di bawah Dirjen Hortikultura), buah-buahan (di bawah Dirjen Perkebunan), hingga kepada pengolahan lahan dan air (Dirjen Pengelolaan Limbah dan Air). PPHP memiliki beberapa program terkait pembinaan dalam hal pengolahan, diantaranya adalah Dana Tugas dan Bantuan ke petani. Program ini dikenal sebagai dana teknologi alat yang diberikan oleh Kementan setiap tahunnya bagi 64 kabupaten yang tersebar pada 20-30 provinsi. Untuk mendapatkan dana bantuan tersebut dilakukan dengan mengajukan proposal terlebih dahulu. Kendala yang dihadapi dalam program ini adalah ketika pihak Kementan mensubsidi alat usaha terkait, yang dibantu mengalami kesulitan dalam hal pengadaan modal sehingga kesulitan juga untuk membangun rumah produksi. Hal tersebut terjadi karena usaha tersebut tidak memiliki akses untuk melakukan pinjaman (lending) ke bank, sementara Dinas Pertanian tidak bisa menjembatani pemilik usaha tersebut (yang umumnya berada di daerah terpencil) dengan pihak bank. Oleh karenanya, Kementan tidak bisa mengcover seluruh kebutuhan usaha pertanian kecil seperti itu.
112
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertanyaan Sisipan 1: Bagaimana dengan masalah ketersediaan bahan baku yang ramah lingkungan (go green) seperti misalnya pupuk organik? Tanggapan Untuk bagian produksi sendiri sebenarnya berada di bawah Dirjen-dirjen yang terkait jenis produk (Dirjen Pangan untuk tanaman pangan, dsb). Kementan juga memiliki program “Go Organik 2010” namun yang menjadi kendala utama adalah mahalnya biaya untuk bertani organik. Di proses hilir juga terkendala masalah pemasaran di mana konsumen tanaman organik masih sedikit dan seringkali produk pertanian organik yang harga jualnya mahal, kurang dapat bersaing dengan produk pertanian non organik (konvensional). Pertanyaan Sisipan 2: Dapat disimpulkan adanya dua permasalahan utama bagi usaha kecil dengan green concept di bidang pertanian: modal dan pemasaran. Apa usaha yang sudah dilakukan Kementan untuk menanggulangi dua kendala tersebut? Tanggapan: Di Kementan sebenarnya ada Direktorat Pemasaran Domestik. Direktorat tersebut membuat pasar tani di setiap sentra tani yang potensial. Contohnya Kota Malang dengan komoditas utama buah dan produk utama keripik buah. Direktorat Pemasaran Domestik akan membangun sentra tani di dekat daerah pasar dan tempat wisata. Ada juga Sub Terminal Agribisnis (STA). Contohnya Brebes dengan komoditas bawangnya. Pihak Direktorat Pemasaran Domestik akan membuat STA di mana di lokasi tersebut akan didisplay bawang yang menjadi icon dari Brebes lengkap dengan informasi dan kelebihannya, sehingga investor yang datang dapat melihat potensi bawang yang ada di Brebes. Pameran juga diadakan setiap tahun, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tujuannya untuk mempromosikan produk pertanian dari dalam negeri. Pertanyaan Sisipan 3: Apakah ada program khusus yang dibuat Kementan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan secara langsung? Tanggapan: Kementan sempat memiliki Subdit Pengolahan Hasil dan Lingkungan Hidup, namun dibubarkan 2 tahun terakhir ini dengan alasan efisiensi. Akhirnya subdit tersebut dikembalikan dan bergabung dengan masing-masing subdirektorat yang ada. Kriteria good factory (green factory) ada di masing-masing subdirektorat terkait. Kementan juga memiliki program Good Manufacture Practice (GMP), hasil kerjasama antara Kementan dengan 113
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Direktorat Mutu dan Standardisasi. Fungsi program tersebut adalah untuk meninjau kelayakan dari rumah produksi. Mengingat tugas yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup tersebar di beberapa direktorat maka narasumber mengusulkan untuk melibatkan Dirjen Perkebunan, Dirjen Hortikultura, Dirjen Tanaman Pangan, dan Dirjen Pengolahan Air dan Limbah dalam dialog ini. 2. Kementerian Perhubungan (Rudi Abisena, Kasi Dampak Transportasi dan Hikmat H. P, Staff Dampak Transportasi) Tanggapan: Terkait isu lingkungan sebenarnya terdapat 4 hal yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perhubungan: - Pengurangan kemacetan lalu lintas. Hal tersebut berkaitan dengan efisiensi penggunaan BBM. -
Mendorong penggunaan transportasi masal, khususnya di kota besar dan kota metropolitan. Seperti implementasi Transjakarta dan Transjogja.
-
Pemanfaatan teknologi kendaraan bermotor. Dalam hal ini adalah upaya konservasi sumber energi baru terbarukan dan mesin yang mendukung energi tersebut. Sumber energi kendaraan bermotor yang kini sedang dikembangkan meliputi Hydro Energy dan BBG.
-
Mendorong pembangunan jalur nonmotorized seperti jalur sepeda dan trotoar untuk pejalan kaki, sehingga mengurangi kepadatan lalu lintas.
Pada PP No. 61 tahun 2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Kementerian Perhubungan memiliki misi “ASI” : Avoid, Shift, Improvement. - Avoid Tindakan pencegahan. Seperti misalnya untuk memisahkan mana aktivitas yang harus melakukan mobilisasi menggunakan kendaraan bermotor (penggunaan BBM), mana yang bisa tercover dengan jalan kaki ataupun naik sepeda. Pencegahan juga dilakukan melalui penataan kota dan infrastruktur. Misalnya melalui pemerataan fasilitas sehingga mengurangi mobilisasi pada masyarakat. -
Shift Perpindahan/mengalihkan. Caranya melalui penataan angkutan umum agar pengguna kendaraan pribadi mau beralih ke transportasi masal.
-
Improvement Dilakukan melalui modifikasi kendaraan bermotor agar mesin lebih hemat energi.
Sementara itu, program “ASI” diimplementasikan sebagai berikut: 114
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
-
Pengadaan ITS (Intelligent Traffic System) berupa kamera untuk memonitor kondisi lalu lintas dan detector khususnya pada traffic light yang mengatur nyala lampu sesuai dengan kepadatan jalan. Teknologi tersebut sudah tercover oleh dana dari APBN dan APBD.
-
Andalalin (Analisis Dampak Lalu Lintas) atau TIC (Traffic Impact Control) di mana setiap pembangunan infrastruktur seperti; pusat kegiatan masyarakat ataupun pemukiman, yang mempengaruhi sistem lalu lintas harus dilengkapi dengan penelitian. Hal tersebut tercantum pada UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ. Misalnya apakah pengembang perlu membangun halte pada lokasi yang ingin dibangun dan apakah membutuhkan tempat parkir (seluas apa dan seperti apa).
-
Manajemen parkir, di mana lokasi parkir dilengkapi dengan tanda parkir penuh/kosong dan berapa sisa tempat parkir.
-
Penarikan retribusi bagi kendaraan yang masuk ke lokasi tertentu untuk biaya pemeliharaan sarana dan prasarana.
-
Tiap kota besar dan kota metropolitan harus punya sistem transportasi transit seperti Transjakarta dan Transjogja. Program ini akan memperoleh pembiayaan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib untuk membantu, khususnya dalam pengadaan armada.
-
Peremajaan angkutan umum. Misal bila batas umur kendaraan adalah 10 tahun, maka kendaraan umum diatas 10 tahun harus dihentikan operasinya. Kemenhub tengah mempertimbangkan pembelian terhadap kendaraan umum tua agar pemilik mau mengganti kendaraannya.
-
Penggunaan BBG sudah diberlakukan sejak tahun 2007 namun progresnya masih tertatih-tatih karena kendala infrastruktur. BBG sendiri disalurkan melalui 2 jalur, pertama melalui kredit. Jalur kredit diberikan melalui kredit kepada pengguna, namun kegiatan ini berada di luar ranah Kementerian Perhubungan. Kedua melalui bantuan teknis. Cara inilah yang selama ini diterapkan di mana BBG diberikan secara langsung dari pemerintah ke pengelola angkutan umum. Kendala utama yang dihadapi program konversi ini adalah pengadaan infrastruktur dimana energi sudah tersedia namun stasiun pengisian dan armada khusus pengangkut energi tidak tersedia. Seperti misalnya di Bogor, sejak tahun 2010 rencana pembangunan stasiun pengisian BBG belum juga terlaksana. Padahal penggunaan BBG dapat mengurangi emisi sampai 19%. Terlebih dengan harga yang lebih murah, bila dibandingan dengan harga premium dengan harga Rp. 4.500,- per liter, sedangkan harga BBG hanya sebesar Rp. 3.100,- per liter.
115
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertanyaan Sisipan 1: Apakah Kementerian Perhubungan ada usaha/binaan yang lebih riil. Misal program Amdal kendaraan bermotor atau angkutan jalan raya yang harus disetujui oleh Kemenhub? Tanggapan: Kementerian Perhubungan hanya mengurus Andalalin, bukan Amdal. Jelas 2 hal yang berbeda. Tujuannya agar kemacetan berkurang dan emisi gas rumah kaca berkurang. Pihak yang bertanggung jawab melaksanakan Andalalin tentu saja pihak pengembang. Kemudian pada akhirnya harus disetujui oleh tiga pihak: PU, Dephub, dan Polri, untuk skala nasional. Sedangkan pada di tingkat provinsi maka harus memperoleh persetujuan dari gubernur. Pertanyaan Sisipan 2: Terkait izin usaha angkutan umum seperti angkot dan taksi misalnya, apakah Kementerian Perhubungan juga mengurus hal tersebut? Tanggapan: Perizinan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan ada 3, salah satunya seperti yang dimaksud tadi adalah AKAP (Angkutan Antarkota Antar provinsi), bagian yang mengurusnya adalah Direktorat DLLAJ tepatnya di bagian Subdit Angkutan Jalan. Subdit berfungsi mengurus perizinan, monitoring, evaluasi, termasuk keterkaitannya dengan sektor pariwisata. Angkutan yang melayani perjalanan antarkota diurus oleh pemerintah kota sedangkan angkutan yang melayani perjalanan antar provinsi diurus oleh pemerintah di tingkat provinsi. Pertanyaan Sisipan 3 Salah satu hal yang krusial terkait pencemaran lingkungan adalah pencemaran air dan udara. Penyumbang polutan udara terbesar adalah emisi dari kendaraan bermotor, khususnya kendaraan umum yang beroperasi setiap hari dan jumlahnya banyak. Bagaimana tanggapan dari Kemenhub? Tanggapan: Pencemaran udara, tepatnya adalah udara ambien yaitu udara yang sudah tercampur dengan berbagai macam partikel selain polutan dari emisi kendaraan. Kemenhub hanya bisa berbuat untuk menangani sumbernya yaitu dengan melakukan Uji Tipe pada kendaraan. Uji emisi diberikan kepada kendaraan-kendaraan baru dan berlaku 6 bulan. Uji berkala dilakukan pada angkutan umum, juga berlaku 6 bulan. Untuk masalah pemeliharaan kendaraan, kemenhub tidak bisa berbuat banyak hingga hal yang paling detail. Hal yang bisa dan telah dilakukan adalah dengan mengumpulkan
116
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
pemilik kendaraan umum di suatu tempat dan kami berikan pelatihan selama 1-2 hari tentang cara mengemudi yang baik, bagaimana merawat kendaraan agar hemat energi, dsb. “Hal yang paling krusial yang bisa segera direalisasikan adalah keringanan fiskal untuk pengadaan infrastruktur seperti tabung dan truk BBG misalnya. Bayangkan, Palembang mau mengimpor truk dengan harga 2 miliar, dua kali lipat harga truk biasa di Indonesia.” – Kementerian Perhubungan”. 3. Kementerian Perindustrian (Sri Gadis P. Bekti, Kasie Kerjasama Industri Hijau dan Bayu F. N., Kasie Kerjasama) Tanggapan: Pada dasarnya Kemenperin memiliki kebijakan industri nasional di mana berdasarkan PP No 28 tahun 2008 menyatakan bahwa suatu industri tidak hanya mengejar faktor ekonomi, tetapi juga memiliki tanggung jawab terhadap isu sosial dan lingkungan. Dari sisi kebijakan, sejak tahun 2010, Kemperin memiliki program Tingkat Kinerja Lingkungan. Sejak tahun 2010 juga memiliki penghargaan untuk industri hijau (Industry Award) untuk semua ukuran industri. Aspek penilaian Industry Award terdiri dari 70% proses industri, 20% manajemen, dan 10% pengelolaan lingkungan. Proses industri dinilai melalui penggunaan teknologi yang lebih efisien, dengan emisi kecil, dan kapasitas produksi yang optimal tanpa mengganggu kualitas dari barang itu sendiri. Prinsip industri hijau menurut pemahaman Kemperin adalah industri yang efisien dalam penggunaan energi, sumber daya, dan bahan baku, serta ramah lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat. Kemenperin juga mendorong industri agar menggunakan bahan baku alami agar ramah lingkungan, misalnya pada bahan pewarna tekstil. Manajemen industri dinilai melalui ketaatan suatu industri pada standar operasional prosedur (SOP). Pengelolaan lingkungan dinilai melalui PROPER yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup. Hasil akhir penilaian menempatkan suatu industri di level I hingga V. Kementerian Perindustrian tidak memberlakukan punishment pada industri yang dapat dikategorikan kurang/tidak ramah lingkungan karena program yang dirancang pada dasarnya adalah pembinaan. Sampai saat ini Kementerian Perindustrian memiliki 7 macam penghargaan bagi industri yang concern pada masalah lingkungan. Penghargaan yang ada diberikan langsung oleh Presiden. Tujuan utama dari penghargaan tersebut adalah peran suatu industri dalam penghematan energi, konservasi energi, serta pengurangan emisi di beberapa sektor industri. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian fokus kepada 8 sektor industri dengan penggunaan energi dan risiko merusak lingkungan paling besar seperti industri semen, baja, dan tekstil. Kedepan Kementerian Perindustrian berharap dapat menjangkau semua sektor industri. Pada tahun 2011 pesertanya ada 37 dan pada tahun 2012 ada 51 industrri, namun sayangnya hanya sedikit sekali IKM yang ikut di dalamnya.
117
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Kementerian Perindustrian sudah memiliki rencana induk untuk pengembangan industri hijau dan ada targetnya. Tahun ini berhasil menghijaukan sekian persen industri dan harapannya di tahun 2031 semua industri di Indonesia sudah bisa menghijaukan diri. Pembinaan kami lakukan khususnya pada industri kecil dan menengah yaitu untuk produksi bersih (cleaner production). Kementerian Perindustrian juga mendorong program revitalisasi mesin yang diatur oleh peraturan menteri. Mesin yang sudah tua cenderung menghabiskan banyak energi namun kapasitas produksinya rendah. Program ini diterapkan melalui potongan sebesar 25% untuk harga mesin yang diberikan kepada industri tekstil, produk tekstil, penyamakan kulit, gula rafinasi, dan alas kaki pada semua skala usaha. Dengan catatan, mesin yang digunakan adalah mesin buatan dalam negeri. Khusus untuk pemberian nominasi Industry Award, Kementerian Perindustrian selalu memeriksa industri terkait dari ketaatan pajaknya (berhubungan dengan Dirjen Pajak) dan status PROPERnya (berhubungan dengan KLH). Sejauh ini nominasi Industry Award kerapkali jatuh pada industri besar. Harapannya, industri kecil dan menengah bisa mulai mengejar ketertinggalannya. Pertanyaan Sisipan 1: Klasifikasi skala usaha di Kementerian Perindustrian seperti apa? Tanggapan: Kementerian Perindustrian mengklasifikasikan skala usaha berdasarkan kepemilikan tenaga kerja, kami mengacu kepada informasi BPS. Khusus untuk penetapan klasifikasi ini masih berada dalam tahap finalisasi RPP, masih didiskusikan. Sementara pemetaan industri berdasarkan kepemilikan tenaga kerja dibedakan menjadi 3 kelompok yakni: kelompok kecil (SDM ≤ 19), menengah (19 ˂ SDM ≤ 100), dan besar (SDM > 100). Pertanyaan Sisipan 2: Seperti apa pola pembinaan yang dilakukan Kementerian Perindustrian? Apa prioritas program dari Kementerian Perindustrian? Tanggapan: Misi dari Industry Award sendiri adalah untuk mengapresiasi industri yang memberikan sumbangsih bagi sektor ekonomi dan lingkungan. Kementerian Perindustrian fokus pada proses produksi yang diterapkan. Harapannya adalah semua industri bisa ikut dalam penilaian Industry Award. Berbeda dengan PROPER yang melaksanakan penilaian di akhir tahun, penilaian Industry Award sudah mulai berjalan pada bulan-bulan ini (Oktober). Kementrian Perindustrian juga sudah meluncurkan katalog bahan baku ramah lingkungan, lengkap dengan harganya. Misal bila ada industri keramik yang mencari glasur warna ramah lingkungan, Kementerian Perindustrian menyediakan informasi tersebut. 118
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pertanyaan Sisipan 2: Bila ternyata hanya industri dengan sertifikat green concept yang memperoleh lending dari bank, bagaimana pendapat dari Kementerian Perindustrian? Tanggapan: Masalah utama untuk mencapai industri dengan green concept adalah biaya operasionalnya, kemudian usaha untuk memperoleh sertifikatnya. Memang sulit untuk memperoleh sertifikatnya namun harus semua industri memiliki sertifikat tersebut, kecil maupun besar. Ada industri kecil yang memiliki ISO, mengapa industri lain tidak bisa? Pemerintah dapat membantu industri dengan memberikan IPAL COMUNNAL seperti yang dilakukan pada industri pengalengan ikan di Surabaya. Kementerian Perindustrian memiliki 22 balai yang dapat membantu memberikan kesadaran dan pengertian tentang pentingnya suatu industri menjadi ramah lingkungan melalui pelatihan produksi bersih. Menurut hemat kami bila suatu industri sudah melakukan produksi bersih, industri tersebut sudah bisa dikatakan mengusung konsep 3R (Reduce, Recycle, Reuse). Produksi bersih dalam pengertian kami adalah produksi yang melakukan penghematan energi serta adanya tata letak intsrumen produksi yang baik sehingga tidak ada bahan baku dan energi yang tercecer sehingga jatuhnya lebih hemat. Tentunya penilaian yang dilakukan terhadap suatu industri harus dibedakan karena skala dan sektor industri yang berbeda mengalami kesulitan yang berbeda dalam pencapaian green concept. Kalau IKM sudah bisa melakukan efisiensi energi dan bahan baku walaupun kecil, harus diapresiasi. Kementerian Perindustrian tidak setuju bila suatu industri harus benar-benar hijau dan bersertifikat untuk memperoleh lending dari bank, karena roadmap yang dibuat menargetkan pada Tahun 2031 untuk menghijaukan semua industri di Indonesia. Menurut Kementerian Perindustrian ada beberapa tahap yang urgent atau menentukan dalam pencapaian industri hijau yaitu : - Kesadaran - Produksi bersih Optimalisasi dan minimalisasi penggunaan bahan baku serta bahan penolong merupakan elemen terpenting dalam penerapan konsep produksi bersih pada industri. Dengan penggunaan bahan baku secara efisien akan berdampak positif terhadap pengurangan biaya produksi sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Pemenuhan tingkat rasio satu satuan penggunaan bahan baku terhadap satu satuan produk yang dihasilkan dari rata-rata industri merupakan sasaran penerapan produksi bersih. - IKM berorientasi domestik - IKM berorientasi ekspor
119
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Kendala utama pencapaian green concept menurut Kemenperin adalah biaya operasional yang besar bagi pelaku industri. Meski pemerintah memberikan potongan harga bagi alat produksi namun belum mendukung pembiayaan alat pengolahan limbah. Kementerian Perindustrian mendefiniskan industri hijau adalah industri yang sudah memikirkan ‘hijau’ dari proses hulunya (preventif di bahan baku dan proses), bukan di akhir saja (pengolahan limbah). 4. Kementerian ESDM (Arief H. Kuncoro, Kasubdit Tekno Ekonomi Energi dan Robi Kurniawan, Staff Tekno Ekonomi Energi) Tanggapan: Energi di negara kita didominasi oleh energi fossil yang menghasilkan emisi CO 2. Di tahun 2020 Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebanyak 26% atau sekitar 767 juta ton CO2. Arah kebijakan yang KESDM lakukan adalah dengan mengoptimalkan pemakaian energi baru terbarukan (hydro dan panas bumi fokus saat ini) di mana sekarang (tahun 2012) pengunaannya baru 5-6% sedangkan PP No 5 tahun 2006 menargetkan penggunaan energi tersebut sebesar 17% untuk tahun 2025. Terkait dengan energi bersih, menurut ESDM adalah energi yang baru terbarukan dan konservasinya tidak merusak lingkungan. Energi yang baru terbarukan meliputi bioenergy, geothermal, solar energy, hydro, dan angin. Energi yang potensial saat ini adalah hdyro, bioenergy, sekam padi, energi dari sampah, dan sebagainya. Di india pemanfaatan energi surya sangat luas sekarang dan pemerintah sangat mendukung khususnya dari segi pembiayaan. Sementara itu energi nuklir adalah pilihan terakhir bagi kita. Konservasi energi yang dilakukan meliputi pengefisienan energi di semua sektor, termasuk diversifikasi energi dengan memberikan berbagai energi alternatif seperti hydro, cobalt-methan, dan nuklir. Regulasi yang tengah kami rampungkan adalah mengenai pemanfaatan energi angin dan surya. Khusus energi surya terkait dengan pemasangan sel surya pada rooftop. Kedua energi tersebut masuk ke dalam roadmap energi baru terbarukan kami. Dukungan dari pihak perbankan akan banyak membantu usaha yang dilakukan. ESDM telah berupaya melakukan banyak aktivitas, salah satunya adalah Desa Mandiri Energi (detailnya dapat dilihat di Direktorat Bioenergi dan Aneka Energi). Prinsipnya adalah dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada. Misalnya bila daerah tersebut memiliki banyak peternak, maka biomass yang akan menjadi fokus pengembangan energi, yakni melalui pembuatan reaktor untuk biomass agar energi output bisa siap pakai, untuk memasak misalnya. Bila daerah tersebut memiliki energi potensial hydro yang baik (terjunan air), bahkan sudah kami mengeluarkan regulasi agar PLN membeli energi bangkitan lokal tersebut. “Masalah utama dari kegiatan konservasi energi tersebut adalah informasi lokasi pengembangan energi yang terbatas sehingga kurang memasyarakat dan bank tidak bisa menangkap dan memahami potensi yang ada. Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu juga harus mempermudah sistem perpajakan dan perpabeanan untuk energi baru terbarukan.” 120
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
5. Bank BRI (Irwan Junaedy, Wakadiv Agribisnis dan Gilang Ramadhan S., Staff Agribisnis) Tanggapan: Bank merupakan institusi yang high regulated, taat pada peraturan dari Kementerian Keuangan dan BI. Kami adalah user dari peraturan yang telah dibuat dan untuk green lending ini, bank (BRI) siap berpartisipasi. Dari sisi perbankan, ada 2 hal yang perlu dicermati terkait sistem pembiayaan: yaitu kelayakan dan accessibility. Kelayakan meliputi aspek 5C: - Character. Meliputi karakter pribadi dari industri dan karakter industri sebagai bagian dari warga negara untuk menaati peraturan pemerintah. - Capacity. Terkait tentang kapasitas industri tersebut. Jelas peralihan sistem produksi ke arah green concept akan meningkatkan biaya operasional dan harga jual produk. Tantangannya apakah dengan peralihan ini suatu industri bisa mempertahankan finasialnya dengan tetap memasarkan produk di tengah kompetisi. - Colateral. Merupakan second way out bagi kami. First way out terkait dengan apa yang kami biayai. - Condition - Capital. Jelas bahwa industri besar memiliki capital yang besar dan tidak bermasalah dengan constraint ini. Masalah terjadi pada industri kecil seperti UKM. Dari sisi accessibility muncul pertanyaan: UKM mana yang dapat kami biayai? Apakah yang kecil dan di lever dasar? Untuk UKM jenis tersebut kami berikan secara cumacuma melalui CSR. Naik lagi di atasnya ada usaha jenis kemitraan di mana perusahaan tersebut merupakan binaan dari perusahaan yang besar. Di atasnya lagi ada usaha yang sudah berani jalan sendiri tetapi masih disubsidi sekitar 7%, yaitu usaha yang berada di sektor Pengembangan Energi dan Revitalisasi Pembangunan. Terakhir adalah kelompok yang komersil mulai dari KUR pemula. Kelompok terakhir ini merupakan kelompok yang feasible tetapi tidak bankable karena perijinan yang belum sempurna. Aspek yang perlu diperhatikan dari rencana green lending ini adalah biaya operasional bagi industri, timing untuk memperoleh sertifikat (di mana kebutuhan modal bagi suatu industri tidak bisa menunggu), dan terakhir konsistensi. Konsistensi ini terkait jenis usaha dan lokasi usaha yang tidak boleh dibeda-bedakan. 6.
Bank Mandiri (Wahyu Wardanto, SRM comm risk dan Agus Dharyanto)
Tanggapan: Menanggapi keluhan dari Kemenhub, kami tegaskan bahwa Bank siap membantu untuk meningkatkan sistem transportasi dan perhubungan di Indonesia. Hanya saja terkadang informasi tidak sampai kepada kami dan infrastruktur belum memadai. Terkait dengan kementerian ESDM, Bank Mandiri sendiri sudah membantu pembangkit energi Micro Hydro seperti halnya di Bank Muamalat karena sudah ada dan jelas end to end processnya: regulasi, ketentuan, harga jual dan harga pokok dari pemerintah, juga sistem pembelian dari PLN. Program tersebut sudah kami layani hingga ke 121
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Nusa Tenggara. Untuk masalah lingkungan pada khususnya, jelas bagi kami, BNI, dan BRI, kami mempertimbangkan status PROPER suatu industri sebelum memberikan kredit. 7. Bank BNI (Sudarmono Arifin, AUP PKBL) Tanggapan: Secara prinsip BNI mendukung adanya green lending. Kami juga memiliki program kerja terkait isu lingkungan seperti Ciliwung Bersih. Di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung kami melakukan pembinaan lingkungan dan pemberdayaan UMKM dan usaha mikro. Kami juga memiliki kampung BNI di mana pada suatu peternakan sapi potong, kotorannya kami manfaatkan untuk dijadikan biomass dan urine nya digunakan sebagai pupuk. Aspek yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan baru ini nantinya adalah regulasinya harus diatur secara jelas. 1.1.1. Kesimpulan FGD Dari hasil FGD yang telah dilakukan, secara umum dapat disarikan kedalam beberapa butir kesimpulan sebagai berikut: a. Green concept meski peristilahannya tidak dibahas secara khusus dalam FGD, namun dipahami sebagai upaya pelestarian lingkungan melalui berbagai aktivitas yang sedapat mungkin mampu menurunkan atau mencegah pencemaran terhadap lingkungan yang meliputi air, tanah dan udara. b. Terkait dengan green concept tersebut, masing-masing kementerian memiliki program baik langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan, yang disesuaikan dengan wewenang dan lingkup kerjanya. c. Kementerian Pertanian pada awalnya memiliki gugus tugas yang secara khsusus menangani kelestarian lingkungan, namun efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan tugasnya tidak seperti diharapkan, oleh karenanya tugas dan fungsi upaya pelestarian lingkungan yang menjadi tugas dari kementan dikembalikan ke masing-masing bagian atau divisi. Hal ini sangat wajar mengingat lingkup kerja kementan sangat beragam dan meliputi berbagai aspek pertanian dalam arti luas. d. Masalah utama yang dihadapi sektor pertanian khususnya direktorat tanaman pangan adalah aspek pemasaran dan modal usaha tani. Rendahnya pertumbuhan konsumen bahan pangan organik dalam negeri, ditambah besarnya modal yang harus dikeluarkan untuk memproduksi tanaman pangan organik, menjadikan pertumbuhan sektor tanaman pangan organik tidak sepesat yang diharapkan. e. Kementerian perhubungan menyikapi green concept melalui upaya penurunan emisi gas buang terutama yang berasal dari kendaraan. Pengurangan volume kendaraan yang beroperasi di jalan, penggunaan BBG dan hydro energy. Meski Kemenhub memiliki slogan ASI, namun sayangnya belum ada aktivitas nyata dan signifikan yang dilakukan terkait dengan upaya pengurangan emisi gas buang. 122
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
f. Kementerian perindustrian, memiliki program produksi bersih sebagai antisipasi terhadap upaya pelestarian lingkungan. Program ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan efisiensi baik dari sisi bahan baku dan bahan penunjang serta energi yang digunakan dalam menghasilkan satu satuan produk. Melalui cara ini limbah yang dihasilkan dengan sendirinya akan turut menurun. g. Upaya mendorong para pelaku usaha melaksanakan program produksi bersih, kemenperindag memberi bantuan atau subsidi bagi para pelaku UMK untuk meremajakan mesin yang dimiliki UMK. Diharapkan dengan mesin baru konsumsi energinya menjadi lebih hemat dan hasil yang diperoleh lebih baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya. h. Upaya lain untuk mendorong parapelaku usaha menerapkan program produksi bersih (penghematan pengunaan energi, air, bahan baku utama dan penunjang), kemenperindag memberikan apresiasi dan terus mendorong para pelaku usaha (IKM) untuk menjalankan program produksi bersih, kemenperindag memberikan penghargaan (Industry Award) kepada para pelaku usaha yang telah menerapkan program tersebut secara terpadu. i.
Pemikiran penting dari Kemenperindag adalah green concept harus dipahami sebagai rangkaian aktivitas hijau yang dimulai dari hulu, yakni dari penggunaan bahan baku yang jelas asal usulnya, proses produksi yang menerapkan konsep reduce, reuse dan recycle, dan memperhatikan limbah selama dan usai penggunaannya.
j.
Kementerian ESDM terkait dengan green concept menterjemahkannya dalam bentuk program pengembangan energi baru yang terbarukan seperti bioenergi, hydro energy, pamanfaatan tenaga surya dan panas bumi.
k. ESDM memprakarsai pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro didaerah terpencil maupun pengadaan alat untuk menghasilkan bioenergi sebagai upaya pemanfaatan limbah. l.
Pihak perbankan pada dasarnya merupakan lembaga pemberi pinjaman yang didasarkan atas azas 5C. Terkait dengan upaya kelestarian lingkungan pihak perbankan secara khusus belum memiliki program atau produk (seperti bank syariah Mandiri) yang diperuntukan untuk mendorong UMK melakukan aktivitas ramah lingkungan. Pada dasarnya pihak perbankan lebih bersifat menunggu terkait masalah peraturan dan kejelasan perkembangan situasi usaha yang berbasis lingkungan, serta ada tidaknya potensi pasar bagi penyaluran kredit. Hal ini disebabkan perbankan merupakan lembaga yang high regulated.
m. Butir penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pinjaman ramah lingkungan adalah pelaku usaha tidak bisa menunggu pinjaman hingga keluarnya sertifikasi ramah lingkungan, karena kebutuhan modal usaha umumnya bersifat mendesak, oleh karenanya penerapan program green lending ini perlu dilakukan secara bertahap dan ada prioritas. n. Dari hasil diskusi tersebut, secara umum tampak banyak masalah yang dihadapi oleh masing-masing kementerian terkait pelaksanaan kegiatan pelestarian lingkungan, baik masalah yang berasal dari internal lembaga kementerian, maupun masalah eksternal seperti ketiadaan koordinasi antar instansi, di mana masing-masing kementerian berjalan masing-masing sesuai dengan lingkup kerjanya. 123
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
LAMPIRAN 2. Hasil Wawancara Mendalam Terhadap Dinas-Dinas Terkait di Kabupaten/Kota Sebagai upaya mendapatkan informasi terkait aktivitas dinas-dinas yang berada di tingkat kabupaten atau kota dalam pelestarian lingkungan, telah dilakukan wawancara mendalam (depth interview) kepada kepala Dinas atau staf yang mewakilinya. Dinas-dinas yang menjadi fokus pengumpulan informasi di masing-masing wilayah survei adalah: - Badan atau Dinas Lingkungan Hidup - Dinas Perindustrian - Dinas Pertanian - Dinas Koperasi dan UMK. Perlu dijelaskan bahwa iklim otonomi daerah menyebabkan struktur organisasi masingmasing dinas ditingkat kabupaten maupun kota berbeda satu sama lainnya. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing wilayah tersebut sesuai prioritas program pembangunan yang akan dijalankan. Sementara itu koordinasi struktural dengan dinas provinsi maupun pusat, hanya sebatas pada program yang terkait dengan isue bersama. Sementara itu aspek teknis pelaksanaannya akan tergantung pada dinas mana yang memiliki program dan dana. Berdasarkan fakta ini bisa terjadi bahwa program prioritas yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat menjadi bukan prioritas bagi daerah terentu, demikian pula sebaliknya. 1. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Program pembangunan sektor industri dan perdagangan dibeberapa wilayah survei memiliki kosentrasi yang berbeda-beda. Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari dinas ini adalah bagaimana mampu meningkatkan produksi dan juga kualitas dari IKM yang ada di masing-masing wilayah, serta memiliki daya saing nasional maupun internasional sebagai upaya untuk tujuan membuka pasar ekspor. Disisi lain upaya mengetahui program kerja dari masingmasing dinas ini lebih ditujukan untuk melihat sejauhmana masing-masing dinas memiliki prioritas program dalam pelestarian lingkungan secara langsung maupun tak langsung. Berikut adalah salah satu program kerja salah satu dinas di wilayah survei yang dianggap cukup memberikan gambaran mengenai aktivitas yang akan dilakukan: 1. Pemberdayaan dan Penataan Basis Produksi dan Distribusi Program ini bertujuan untuk (a) meningkatkan dan mengembangkan IKM; (b) meningkatkan dan memperkuat basis produksi industri, utamanya melalui pengembangan industri pendukung (supporting industries); (c) mengembangkan agroindustri skala kecil dan menengah; (d) mengembangkan sistem informasi dan distribusi daerah dalam kesatuan pasar nasional; (e) meningkatkan database statistik industri dan perdagangan.
124
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
2. Perluasan dan Penguatan Lembaga Pendukung Usaha Kecil dan Menengah Program ini bertujuan untuk : (a) mengembangkan kluster IKM yang berbasis potensi sumberdaya unggulan daerah; (b) memperkuat penajaman dan pemantapan perencanaan program industri dan perdagangan; (c) mengembangkan pola kemitraan industri dan dagang kecil menengah; (d) meningkatkan jasa layanan teknis kepada industri kecil dan menengah (IKM); (e) meningkatkan penguasaan pasar dalam negeri, utamanya melalui promosi dan informasi dan peningkatan nasionalisme dalam pemberdayaan produk dalam negeri; (f) mengembangkan klinik layanan bisnis (HAKI, ISO, pengembangan SDM, pembiayaan, teknologi, promosi dan informasi). 3. Pengembangan Ekspor. Program ini ditujukan untuk (a) meningkatkan penerapan sistem manajemen mutu industri dan perdagangan berorientasi ekspor; (b) meningkatkan penetrasi dan perluasan pasar luar negeri; (c) meningkatkan akses pasar luar negeri melalui pendekatan bilateral, multilateral, regional yang lebih proaktif dan efektif; (d) mengembangkan sistim informasi ekspor dan impor; (e) meningkatkan uji mutu produk orientasi ekspor. 4. Penguatan Institusi Pendukung Pasar Program ini bertujuan untuk (a) meningkatkan operasional kemetrologian;(b) meningkatkan kesadaran masyarakat industri dan perdagangan untuk melakukan tera ulang; (c) penguatan usaha dan kelembagaan perdagangan; (d) meningkatkan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dari 7 wilayah survei ada 4 dinas perindustrian dan perdagangan yang dapat diwawancarai yakni dinas Perindustrian dan perdagangan (Disperindag) Semarang, Medan, Jawa Timur, Balikpapan. Dari sisi program Disperindag yang terkait dengan program kelestarian lingkungan, masing-masing wilayah memiliki program yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat prioritas di setiap wilayah. Sementara itu kordinasi dengan kementerian terkait terkesan kurang harmonis, karena masing-masing memiliki prioritas yang berbeda-beda. Bahkan beberapa program kementerian tidak bisa dijalankan di tingkat kabupaten ataupun kota. Namun demikian untuk menjalankan program yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan masing-masing memiliki institusi memiliki cara tersendiri dalam menterjemahkan ke dalam program kegiatan. Dari hasil wawancara dengan beberapa kepala Disperindag provinsi, fokus utama program mereka adalah saat ini lebih menitik beratkan pada aspek peningkatan kuantitas dan kualitas produk-produk yang dihasilkan oleh IKM, cara ini dilakukan dengan melalui pembinaan atau kemitraan. Peningkatan kualitas ini pada dasarnya berorientasi pada pasar ekspor. Sementara itu isue terkait proses produksi ramah lingkungan agaknya saat ini belum menjadi prioritas berbagai disperindag di wilayah survei. Hal ini yang membedakan dengan prioritas yang dimiliki Kemenperindag. Namun demikian upaya ke arah tersebut tetap diupayakan.
125
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pandangan beberapa kepala Dinas Perindustrian terkait issue lingkungan yang dikaitkan dengan aktivitas IKM di masing-masing wilayah disarikan kedalam beberapa butir berikut: a. Isue lingkungan yang terkait dengan UMK pada dasarnya sangat berkaitan dengan limbah buangan dari proses produksi, di mana limbah cair dibuang di saluran air, atau sungai, sementara limbah padat dibuang di tempat sampah, terkadang bercampur dengan limbah lainnya. b. Sementara pengelolaan limbah tersebut hampir dikatakan tidak mungkin karena IKM umumnya atau mayoritas berdomisili di lingkungan tempat tinggal warga seperti kerajinan batik, industri pembuatan tahu atau industri pengolahan makanan lainnya, sehingga tidak memungkinkan dibuatkan sarana pengelolaan limbah, terutama limbah cair, karena memerlukan lahan yang cukup luas untuk menampung dan mengolah limbah cair tersebut. c. Penanganan masalah limbah pada umumnya dilakukan apabila ada protes atau keluhan dari warga lingkungan UMK, yang dilaporkan kepada pengurus lingkungan setempat. Apabila tidak ada keluhan, maka dianggap limbah yang dibuang masih pada ambang toleran. d. Terkait dengan masalah limbah ini, pihak Badan Lingkungan Hidup (BLH) provinsi Semarang, memprioritas penanganan limbah lebih bersifat end of pipe, artinya bagaimana mengendalikan limbah yang dihasilkan oleh suatu industri, belum sampai pada upaya pengurangan limbah, apalagi produksi bersih sama sekali belum tergarap. e. Cara lain yang diusulkan untuk mengatasi limbah ini adalah melakukan relokasi UMK yang berdomisili di pemukiman warga ke suatu tempat yang secara khusus disediakan bagi UMK yang berpotensi menghasilkan limbah berbahaya. Di mana lokasi tersebut sudah dilengkapi oleh berbagai fasilitas pengolahan limbah serta sarana lainnya yang diperlukan. f. Dalam aktivitas keseharian tampaknya koordinasi antar instansi di wilayah Propoinsi Semarang kurang terjalin dengan baik, artinya masing-masing instansi menjalankan program ramah lingkungan sesuai dengan definisi masing-masing disesuaikan dengan wewenang dan tanggungjawabnya. Ketidak-sinkronnya program antara Dinas Pertindustrian dengan BLH terungkap saat wawancara dilakukan, di mana program yang dilakukan BLH sering bertentangan dengan program yang dilakukan oleh Dinas Perinsdustrian. g. Koordinasi dengan pusat atau Kemenperindag, biasanya dilakukan untuk program berskala nasional yang dilakukan oleh kementerian. Sedangkan pihak Dinas Provinsi ataupun Kabupaten hanya sekedar mengetahui. h. Salah satu upaya yang berhasil dilakukan oleh Disperindag Balikpapan adalah melakukan relokasi terhadap industri tahu, yang dulunya tersebar di pemukiman warga, sekarang menempati wilayah khusus yang telah dipersiapkan dan dilengkapi dengan sarana pengolahan Limbah.
126
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
2. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Badan Lingkungan Hidup Provinsi merupakan badan yang menginduk ke KLH atau dikenal sebagai dekosentrasi Kementerian Lingkungan Hidup, tugas utama KLH pada tingkat provinsi adalah tercapainya upaya penurunan beban pencemaran, meningkatnya ketaatan pengendalian pencemaran air, udara, sampah dan limbah B3 serta penghentian kerusakan lingkungan. Sementara itu secara khusus BLH memiliki tugas utama lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Proper yaitu Pengendalian Pencemaran Lingkungan, yang meliputi: 1. Pengawasan Pelaksanaan Pengelolaan Kualitas Air dan Udara serta Pengelolaan Limbah B3 melalui Program PROPER, 2. Pemantauan kualitas udara perkotaan. 3. Pemantauan dan evaluasi kualitas air perkotaan. Dekonsentrasi Program PROPER untuk tahun 2012 ini akan melibatkan 21 Badan Lingkungan Hidup Provinsi, di mana tahun sebelumnya kegiatan PROPER hanya melibatkan 8 Badan Lingkungan Hidup Provinsi. Peningkatan ini seiring dengan penambahan target peserta industri PROPER dari 1002 perusahaan menjadi 1355 perusahaan di tahun 2012. Badan Lingkungan Hidup Provinsi diharapkan dapat bersama-sama Kementerian Lingkungan Hidup secara konsisten menjaga kredibilitas dan akuntabiitas pelaksanaan PROPER dengan menjalankan etika Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dengan baik dan benar. Program Pemantauan Kualitas Udara Perkotaan akan melaksanakan Dekonsentrasi bersama 33 Badan Lingkungan Hidup Provinsi di Indonesia. Kegiatan ini meliputi spot cek uji emisi, pemantauan kualitas udara jalan raya, kinerja lalu lintas serta pemantauan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) di mana hasil pemantauannya menjadi bahan penilaian Program Adipura 2012. Sedangkan Dekonsentrasi Program Pemantauan dan Evaluasi Kualitas Air Sungai di Perkotaan diserahkan kepada 16 Provinsi yang meliputi 22 kota metropolitan dan kota besar yang bertujuan untuk mendapatkan data kualitas air sungai perkotaan sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat untuk meningkatkan kualitas air sungai perkotaan dengan cara menurunkan tingkat pencemaran dari usaha dan atau kegiatan maupun rumah tangga. Hasil pemantauan kualitas air sungai perkotaan ini juga akan dijadikan komponen penilaian Program Adipura 2012. Sesuai dengan penjelasan di atas tampaknya tugas utama KLH melalui BLH tingkat provinsi akan terkosentrasi pada kualitas lingkungan luar, hal ini diistilahkan sebagai proses akhir produksi (end of pipe). Sementara itu program Proper yakni program ketaatan industri terhadap aspek-aspek ramah lingkungan hanya ditujukan pada perusahaan atau industri berskala besar yang umumnya sudah go public. Oleh karenanya skala usaha yang masih kecil atau bahkan mikro belum menjadi ranah kerja utama dari BLH. Dari hasil wawancara dengan beberapa ketua BLH provinsi seperti Jawa Tengah (Semarang), Jawa Timur (Surabaya) dan Samarinda (Kaltim), Sumatera Utara (Medan) terungkap bahwa program kerja BLH terkait dengan pengawasan kegiatan ramah lingkungan dari UMK lebih difokuskan pada limbah produksi. Dalam prosesnya BLH lebih bersifat menunggu dari hasil laporan masyarakat yang merasa terusik karena lingkungan sekitarnya tercemar oleh limbah dari UMK yang beroperasi di 127
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
wilayah sekitar. Selama tidak ada laporan tersebut maka pihak BLH tidak menganggapnya sebagai suatu masalah. 3. Dinas Koperasi dan UMKM Berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan, fungsi dan tugas pokok Dinas Koperasi dan UMKM pada tingkat provinsi dijabarkan sebagai berikut: 1. Perumusan kebijakan teknis dibidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. 2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah. 3. Pembinaan dan fasilitasi bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah lingkup Provinsi dan Kabupaten/Kota. 4. Pelaksanaan tugas di bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta pemberdayaan koperasi simpan pinjam lingkup Provinsi dan Kabupaten/Kota. 5. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah lingkup Provinsi dan kabupaten/Kota. 6. Pelaksanaan kesekretariatan dinas. 7. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut, tidaklah mengherankan bila saat wawancara dilakukan, informasi yang diperoleh terkait tugas dan wewenang dari dinas ini yang mengarah pada aspek kelestarian lingkungan dapat dikatakan sama sekali tidak ada. Hal ini disebabkan Dinas Koperasi dan UMKM lebih berkosentrasi pada aspek kelembagaan, bukan pada proses produksi maupun pemasaran. 4. Dinas Pertanian dan Perkebunan Otonomi daerah menyebabkan struktur kelembagaan Dinas Pertanian di tingkat kabupaten maupun kota berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pemkab maupun pemkot tersebut dalam upaya pengembangan wilayahnya. Tidaklah mengherankan bila di beberapa wilayah dinas ini digabung dengan dinas dari sektor lain seperti perkebunan dan juga kadang dengan sektor kehutanan. Terlepas dari perbedaan struktur tersebut, dinas pertanian memiliki sektor kerja yang lebih luas, karena mencaku subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan (unggas, ruminansia atau ternak besar), dan perikanan, bahkan di beberapa wilayah sektor perikanan dipilah lagi menjadi perikanan laut dan darat. Terkait dengan program kerja dinas pertanian di masing-masing wilayah, fokus utama sasaran kerja sebagian besar dinas pertanian adalah: a. Peningkatan yang berkeberlanjutan produksi pangan baik kualitas maupun kuantitas untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah dalam rangka mencapai ketahanan pangan. b. Terlaksananya pembangunan ekonomi pedesaan yang berwawasan agribisnis berkelanjutan dan ramah lingkungan. 128
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
c.
d. e. f. g.
Pengembangan ketahanan pangan dalam rangka penganekaragaman sumberdaya pangan, peningkatan produktivitas hasil pertanian, penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Meningkatnya pelaksanaan kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan lahan marjinal. Penyediaan basic data pertanian yang akurat untuk menunjang perencanaan pembangunan pertanian dalam arti luas. Pengembangkan agroindustri pengolahan hasil dan unit pengolahan hasil dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan peluang pasar hasil pertanian dalam arti luas Menumbuhkan kelembagaan agribisnis dan agroindustri yang bertumpu pada pasar.
Sementara itu untuk subsektor perkebunan beberapa sasaran yang ingin dicapai meliputi: a. Tercapainya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perkebunan yang berorientasi bisnis dan berwawasan lingkungan. b. Terwujudnya peningkatan pendapatan, nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan perkebunan. c. Tersedianya peluang bagi semua lembaga yang ada pada masyarakat untuk mengembangkan diri dengan memanfaatkan seluruh sumber daya dalam proses produksi, pengolahan dan distribusi. d. Tersedianya Pangan berbasis perkebunan. e. Tercapainya percepatan penerapan teknologi dalam bidang tehnik, ekonomis, manajemen dalam status skala usaha yang optimal pada tiap sentra - sentra produksi. f. Meningkatkan efisiensi usaha tani melalui skala usaha ekonomi dan mempunyai keunggulan lokal spesifik. g. Meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan yang mempunyai prospek tinggi. h. Meningkatkan koordinasi yang intensif dengan menumbuhkembangkan jejaring kerja diantara para pelaku. i. Meningkatkan ketersediaan pangan berbasis perkebunan dalam jumlah, mutu, dan keragaman. Hasil wawancara kepada beberapa kepala Dinas Pertanian terkait dengan program ramah lingkungan dari masing-masing dinas dalam penyediaan bahan pangan bermutu bagi masyarakat luas, masing-masing dinas memiliki program kemitraan dengan petani dengan cara mendirikan Sekolah Lapang (SL). Tujuannya adalah memberikan contoh secara nyata bagaimana praktek bertani secara organik yang sebenarnya dari hulu hingga hilir. Pendirian Sekolah Lapang, dilakukan dengan cara memilih satu atau beberapa petani yang memiliki kemampuan baik dari sisi pengetahuan agronomi, kemampuan komunikasi dan sekaligus memiliki luasan lahan yang cukup dalam mempraktekan usaha tani terpadu. Dalam melakukan kemitraan ini dinas pertanian setempat memberikan bantuan mulai dari pengadaan sapi dan pembuatan kandangnya, peralatan untuk pengolahan limbah atau kotoran sapi untuk diolah menjadi pupuk kompos serta biogas. Bahkan petani mitra memiliki kemampuan untuk membuat biopestisida dari bahan tanaman, yang digunakan untuk pemberantasan hama. Fungsi dari sekolah lapang di samping sebagai sarana demplot (usaha 129
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
tani percontohan) dan juga sekaligus sebagai tempat praktek bagi petani disekitarnya. Dari hasil pantauan peneliti ke wilayah survei, sekolah lapang ini dijumpai di Balikpapan dan Ungaran Semarang. Pola kemitraan ini merupakan program nasional dari kementerian pertanian, meski dalam prakteknya masing-masing dinas menterjemahkannya disesuaiakan dengan kondisi di masing-masing wilayah, seperti pemilihan komoditas pertanian yang diusahakan. Persoalan utama dari usaha tani terpadu ini adalah aspek pemasaran dari produkproduk usaha tani pangan yang dihasilkan. Berdasarkan informasi dari kepala Dinas Pertanian Balikpapan hingga saat ini belum ada jalan keluar untuk mengatasi masalah pemasaran ini. Disisi lain petani menjual produk organik yang dihasilkan masih sebatas pada pemasaran langsung ke konsumen akhir. Bila dikaji lebih lanjut, dinas pertanian hanya membantu dari sisi produksi, namun aspek pemasaran sepertinya belum menjadi prioritas terkait dengan pemasaran produk organik, oleh karenanya konsumen belum teredukasi secara baik, sehingga permintaan terhadap produk pertanian organik belum meningkat secara signifikan, apalagi harga produk pertanian organik relatif lebih mahal dibanding produk pertanian konvensional. Perlu diketahui bahwa skala usaha petani organik dari petani mitra masih tergolong kecil bahkan skala mikro bila dilihat dari sisi omzetnya. Sementara itu untuk mendorong petani mitra meningkatkan usahanya terkendala oleh terbatasnya luas lahan yang dikuasai, serta keterbatasan tenaga kerja setempat. Untuk mengatasi hal ini dinas pertanian mencoba mendorong terbentuknya kelompok tani organik sehingga luas keseluruhan lahan yang diusahakandapat mencapai skala usaha yang menguntungkan karena jumlah dan jenis tanama yang dihasilkan dapat bervariasi. Dari hasil wawancara mendalam dengan para kepala dinas, di samping adanya pola kemitraan yang dilakukan oleh petani untuk menarik petani lain agar mempraktekkan usaha tani organik. Di Wilayah Ungaran dan Berastagi (Sumut) terdapat kelompok tani yang telah mengusahakan pertanian organik secara komersial. Dinas pertanian memberikan bantuan teknis serta beberapa peralatan saprotan untuk mendorong kelompok tani dapat meningkatkan produksinya. Namun masalah yang sama dihadapi oleh kelompok tani ini adalah aspek pemasaran yang masih terbatas, sementara daya serap pasar masih terbatas pada pasar-pasar modern saja, sementara pasar tradisional agaknya belum masih dominan menjual produk pertanian konvensional sesuai dengan daya beli konsumennya. Dari hasil pemantauan di lapang, pertanian organik masih dominan diusahakan untuk tanaman hortikultur, petani atau kelompok tani umumnya juga memiliki ternak sapi untuk menjamin supply pupuk kompos. Sementara itu untuk kebutuhan biopestisida petani belum sepenuhnya mampu menghasilkan sendiri, oleh karenanya ada yang masih menggunakan campuran dengan bahan kimia lainnya dengan kadar yang ringan. Disisi lain bibit kadang menggunakan hasil pembibitan sendiri, bukan menggunakan bibit bersertifikasi. Menarik untuk disimak bahwa dari hasil wawancara dan pengamatan dilapang, pertanian organik memiliki spektrum yang luas, mulai dari penggunaan bibit yang bersertifikasi, menggunakan pupuk organik saja, pemberantasan hama terpadu, penggunaan biopestisida, hingga sertifikasi lahan. Dari sisi pemasaran, klaim yang dilakukan oleh petani atau penjual umumnya adalah tanaman organik, meski terkadang hanya satu aspek saja yang digunakan. 130
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Oleh karenanya untuk mengatasi hal ini perlu peran lembaga sertifikasi untuk memastikan pada tingkat apa suatu produk dikatakan organik. Sementara itu untuk subsektor lain, seperti perkebunan dan peternakan maupun perikanan darat, masih belum menjadi prioritas program kerja dinas pertanian untuk mendorong ke ranah usaha pertanian organik. Dalam prakteknya di lapangan subsektor perkebuanan masih intensif menggunakan pupuk anorganik dan pestisida buatan dalam proses usaha taninya. Sementara itu untuk subsektor perikanan dan peternakan unggas bahan pakannya masih bertumpu pada bahan pakan jadi yang umumnya disupply oleh industri, yang dalamproses produksinya masih belum diketahui apakah dalam proses produksinya maupun bahan yang digunakan sudah memperhatikan aspek ramah lingkungan atau tidak. 5. Dinas Pertambagan dan Energi (Distamben) Praktek Industri tambang khususnya di Kalimantan Timur yang ada saat ini telah menimbulkan banyak masalah dan konflik, akibat tumpang tindihnya peraturan dan surat keputusan Menteri terkait. Ini bisa dilihat dengan banyaknya jumlah pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak bawaan masyarakat adat yang sebenarnya telah melenceng dari konstitusi NKRI itu sendiri. Praktek-praktek pengelolaan pertambangan oleh perusahaan besar maupun kecil tak membawa dampak kesejahteraan, kesehatan dan kebaikan bagi masyarakat adat seperti apa yang selama ini dikomunikasikanoleh pihak perusahaan dan pemerintah. Terutama menyangkut nasib pewaris wilayah adat yang telah turun-temurun bermukim di wilayah tersebut. Praktek pertambangan hingga saat ini telah membuktikan dengan jelas bahwa hasilnya bagi masyarakat adat adalah: menjadi penonton di atas tanah sendiri, tidak mendapatkan keuntungan dari hasil tambang itu. Sementara sifat semena-mena pertambangan yang melakukan ekploitasi mineral tambang secara besar-besaran, menghasilkan kerusakan Lingkungan, kerusakan hutan, pencemaran air, tanah dan udara, perubahan sosial budaya, rusaknya tatanan adat, dan dampak-dampak negatif lainnya. Sementara itu, komunitas masyarakat adat semakin terdesak oleh kebijakan-kebijakan baik itu tingkat lokal maupun nasional yang justru melindungi praktek-praktek buruk yang dilakukan oleh pihak perusahaan tambang. Contoh yang paling nyata dari praktek pertambangan batubara oleh perusahaan besar di Kalimantan. Selain praktek industri pertambangan batubara skala besar, praktek pertambangan yang buruk juga dapat ditemukan dalam pertambangan batubara illegal yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, di mana orang sudah tidak menerapkan prinsip-prinsip kerja pertambangan yang baik dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Pertambangan Illegal telah memberikan dampak buruk juga bagi Lingkungan, kesehatan, dan keselamatan manusia sebagai pelaku itu sendiri. Meskipun kerusakan Lingkungan dan dampak negatif dari pertambangan Illegal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaanperusahaan pertambangan skala besar. Dari hasil wawancara dengan beberapa pemangku kepentingan terkait dengan usaha pertambangan, hanya sebagian kecil saja perusahaan tambang batubara yang peduli lingkungan, itupun hanya skala kecil yang dituangkan dalam program CSR, namun kerusakan 131
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
lingkungan akibat eksploitasi tidak akan dapat diperbaiki dalam jangka panjang. Di sisi lain adanya dana rehabilitasi yang diwajibkan bagi pengusaha tambang sebagai kompensasi atas hasil usahanya guna memperbaiki lingkungan yang rusak hanya sebagian kecil yang dapat direalisasikan. Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Dinas Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap dinas yang diwakili oleh kepala dinas sendiri atau jajarannya, dapatlah disimpulkan sebagai berikut: a. Dinas dalam melakukan tugas dan wewenangnya yang terkait dengan aktivitas ramah lingkungan, memiliki program dan sasaran yang berbeda-beda sesuai dengan prioritas pembangunan yang dilakukan oleh masing-masing pemkab/pemkot. Hal ini disebabkan prinsip otonomi daerah, dimana kabupaten/kota memiliki wewenang dalam memprioritaskan program pembangunan yang akan dilakukan. Sementara itu koordinasi baik antar dinas dalam satu kabupaten atau kota menjadi wewenang kepala daerah yang bersangkutan. Sementara koordinasi dengan dinas pada tingkat provinsi maupun Kementerian terkait bersifat membantu. b.
BLH merupakan dinas yang bertugas mengawasi limbah yang dihasilkan IKM, namun karena keterbatasan sumberdaya, BLH akan memprioritaskan aktivitasnya pada IKM yang menghasilkan limbah B3 yang meresahkan masyarakat. Edukasi yang dilakukan terhadap IKM, BLH sebatas menganjurkan agar IKM sedapat mungkin melakukan pengendalian terhadap limbah yang dihasilkan melalui konsep reduce, reuse dan recycle, dengan tujuan menurunkan tingkat pencemaran yang dihasilkan.
c.
Disperindag kabupaten atau kota di wilayah survei memiliki concern yang berbeda-beda terhadap program ramah lingkungan. Prioritas utama mayoritas disperindag di wilayah survei saat ini adalah peningkatan produksi dan kualitas hasil untuk membuka pasar internasional. Sementara pembinaan terhadap IKM agar ramah lingkungan belum menjadi prioritas utama, kalaupun ada sifatnya hanya membantu dinas dari provinsi atau dari kementerian terkait. Bahkan beberapa dinas merasakan adanya pertentangan kebijakan yang berasal dari BLH terkait dengan pengendalian limbah, sementara untuk memindahkan atau merelokasi ke sentra industri terumatama IKM (pengusaha tahu, batik) yang umumnya berdomisili di lingkungan pemukiman membutuhkan dana yang besar.
d.
Praktek ramah lingkungan pada IKM sesuai dengan arahan kementerian perindustrian dan perdagangan masih belum terkoordinasi dengan baik ditingkat kabupaten/kota, hal ini disebabkan disperindag tingkat kabupaten maupun kota hanya bersifat membantu program tersebut. Akibatnya IKM yang menjadi sasaran program hanya bersifat volunter belaka. Sementara IKM lain yang jumlahnya banyak dapat dikatakan masih belum tersentuh. Oleh karenanya dapat dikatakan IKM yang omzetnya terkategori kecil bahkan mikro masih belum terlalu mempedulikan aspek ramah lingkungan, apalagi sasaran Disperindag baru sebatas peningkatan produksi dari sisi jumlah dan kualitas, belum merambah pada konsep produksi bersih. Kalaupun ada IKM yang melakukan konsep 132
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
produksi bersih, hal tersebut kebanyakan dilatarbelakangi oleh motif ekonomi bukan atas kesadaran kelestarian lingkungan. e.
Dalam mendorong pelaku usaha tani melakukan praktek ramah lingkungan (pertanian organik) Dinas pertanian melakukan kemitraan dengan petani untuk mendirikan Sekolah Lapang, tujuannya sebagai demplot atau tempat penyuluhan dan sekaligus peragaan praktek usaha tani terpadu, mulai dari proses hilir hingga hulu. Dinas menyiapkan dana khusus untuk menyelenggarakan program yang diberikan dalam bentuk bantuan saprotan, sapi beserta bantuan pembuatan kandang , dan pengolahan biogas.
f.
Masalah utama yang ditemui para petani produk sayuran oganik adalah aspek pemasaran. Ini disebabkan masih belum tumbuhnya konsumen organik disebabkan harganya yang relatif mahal dan kurangnya edukasi.
g.
Pertanian khususnya subsektor tanaman pangan merupakan subsektor yang lebih dekat dengan praktek ramah lingkungan. Karena spektrum aktivitasnya cukup luas, usaha tani tanaman pangan ini rentan terhadap klaim organik, karena banyak aspek yang dapat dijadikan dasar klaim petani atau pelaku usaha tani untuk menamai produknya ramah lingkungan, mulai dari penggunaan bibit bersertifikasi, penggunaan pupuk organik, maupun penggunaan biopestisida. Aspek lain adalah, sulitnya membedakan secara fisik antara produk organik dengan produk non organik. Oleh karenanya sertifikasi yang dilakukan lembaga independen dan credible menjadi kebutuhan yang mendesak.
h.
Khusus untuk subsektor perkebunan istilah ramah lingkungan lebih banyak diartikan sebagai upaya, pertama adalah tidak merambah pada pembalakan atau pembukaan hutan alam sebagai perluasan areal perkebunan terutama perkebunan sawit dan karet. Kedua adalah menjaga keseimbangan ekosistem dengan cara menyediakan hutan pada sebagian areal perkebunannya sebagai habitat tempat hidupnya berbagai satwa dan tumbuhan lain guna menjaga keragaman hayati. Di samping perhatian terhadap kondisi lingkungan fisik, subsektor perkebunan juga menambahkan konsep kesimbangan sosial ekonomi masyarakat sekitar dengan konsep, pro poor, pro growth dan pro job yang pada akhirnya akan bermuara pada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISCO), khususnya untuk perkebunan kelapa sawit.
i.
Subsektor lain dari sektor pertanian seperti peternakan unggas atau ruminansia (ternak besar) serta perikanan, masih jauh dari penerapan aspek-aspek ramah lingkungan. Sektor pertambangan merupakan aktivitas usaha yang jauh dari ramah lingkungan dilihat dari sisi kerusakan yang ditimbulkan, tidak saja merubah ekosistem alam, namun juga pencemaran yang ditimbulkan baik pada lingkungan air (sistem tata air), tanah dan udara. Pertambangan juga merubah tatanan sosial dan kemasyarakatan serta adat-istiadat dimana lokasi tambang tersebut berada.
133
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Lampiran 3. Contoh-Contoh Investasi Lingkungan
Sabut Kelapa
Produk Sabut Kelapa
Produk Sabut Kelapa
Proses Vulkanisir Ban
Mesin Pemintal
Roll Press
Mesin Oven
Mesin Sentrivius
Pemanasan Ban Vulkanisir
134
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Pengolahan Limbah Domestik/Sampah
135
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
Sumber : (Ekonomi Lingkungan) Kementerian Lingkungan Hidup 136
Laporan “Kajian Kesiapan UMKM Ramah Lingkungan Dalam Mendapatkan Akses Pembiayaan”
137