LAPORAN AKHIR TAHUN TA. 2016
PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
:
Pusat Penelitian Sosial Perikanan
Judul Kegiatan
:
Panel Kelautan (PANELKANAS)
Status
:
Baru/ Lanjutan *)
Pagu Anggaran
:
Rp 2.000.000.000,-
Tahun Anggaran
:
2016
Sumber Anggaran
:
APBN/APBNP *)
Ekonomi Kelautan dan
dan
Perikanan
Nasional
DIPA Satker Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 Pejabat Penanggungjawab Output : (PPO)
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T
Penanggung Jawab Pelaksana Output : (PJPO)
Andrian Ramadhan, M.T
NIP. 19610210 199003 1 001
NIP. 19810703 200502 1 002
Jakarta,
Desember 2016
Pejabat Penanggung Jawab Output
Penanggung Jawab Pelaksana Output
(Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T) NIP.19610210 199003 1 001
(Andrian Ramadhan, M.T) NIP. 19810703 200502 1 002 Mengetahui/Menyetujui:
Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
ii
RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN
TA. 2016
PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan
2016 LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
:
Pusat Penelitian Sosial Perikanan
Judul Kegiatan
:
Panel Kelautan (PANELKANAS)
Status
:
Baru/ Lanjutan *)
Pagu Anggaran
:
Rp 2.000.000.000,-
Tahun Anggaran
:
2016
Sumber Anggaran
:
APBN/APBNP *)
Ekonomi Kelautan dan
dan
Perikanan
Nasional
DIPA Satker Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 Pejabat Penanggungjawab Output : (PPO)
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T
Penanggung Jawab Pelaksana Output : (PJPO)
Andrian Ramadhan, M.T
NIP. 19610210 199003 1 001
NIP. 19810703 200502 1 002
Jakarta,
Januari 2016
Pejabat Penanggung Jawab Output
Penanggung Jawab Pelaksana Output
(Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T) NIP.19610210 199003 1 001
(Andrian Ramadhan, M.T) NIP. 19810703 200502 1 002 Mengetahui/Menyetujui:
Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
ii
RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PUSATPENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1.
JUDUL KEGIATAN
2.
SUMBER DAN ANGGARAN STATUS PENELITIAN
3.
: Panel Kelautan Dan Perikanan Nasional (Panelkanas) TAHUN
: APBN/ APBNP 2016 : Baru
Lanjutan
Perkembangan Kegiatan PANELKANAS Kegiatan PANELKANAS pertama kali diinisiasi pada tahun 2006 ketika Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan terbentuk. Penelitian ini dibentuk atas dasar kebutuhan data mikro usaha kelautan dan perikanan yang terpantau secara berkelanjutan. Harapan utama dari kegiatan ini adalah menjadi penyuplai data bagi perumusan kebijakan terkait usaha kelautan dan perikanan. Secara ringkas kegiatan dan hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 tersaji pada tabel berikut Tahun 2006
Kegiatan - Identifikasi desa-desa kelautan dan perikanan berbasis tipologi - Survey dan Verifikasi Lapangan
-
-
-
-
2007
- Sensus dan Survey rumah tangga : 9 Lokasi (3 PTL, 2 PTPUD, 2 PB, 2 TG)
-
Hasil Jumlah masyarakat nelayan yang penghidupannya bersumber dari perikanan laut umumnya lebih dari 50 % KK dari total KK yang ada di desa–desa pantai/pesisir. Ditinjau dari segi ekonomi masyarakat di desa nelayan ditentukan oleh tingkat pendidikan yang bersumber dari pemanfaatan sumberdaya. Pendapatan rata-rata menurut responden adalah 9 juta per tahun. Teknologi budidaya ditambak masih dilakukan dengan tradisional. Produktivitas usaha budidaya laut masih < 100 ton/tahun (5,95 hingga 40 ton/ha/tahun) atau termasuk kategori rendah Sumber penghasilan masyarakat di desa perikanan tangkap perairan umum lainnya adalah petani, pedagang dan pegawai. Kesejahteraan masyarakat masih cukup rendah yaitu dibawah Rp.750.000.-/bulan Hampir seluruh masyarakat yang tinggal di sekitar desa melakukan kegiatan penangkapan ikan Persentase penggunaan lahan desa lebih dari 50 persen dimanfaatkan sebagai tambak garam dengan rata-rata kepemilikan lahan lebih dari 1 hektar dan luasan petak ratarata 150-300m2. Produktivitas rata-rata 60 - 200 ton per musim tanam per unit usaha. Jumlah trip dalam satu tahun bervariasi dari 244-344 hari per tahun tergantung tahun Pendapatan nelayan tangkap laut dalam satu tahun berkisar antara Rp. 13.502.000/tahun sampai dengan Rp 20.120.000/tahun Pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga berkisar antara Rp. 67.800 sampai dengan Rp. 120.000 per minggu. Pendapatan dari kegiatan perikanan pada nelayan perikanan iii
- Analisis kinerja makro
-
2008
- 200 9
- Survey topik terpilih rumah tangga pd 12 lokasi (4 PTL, 2 PTPUD, 3 PB, 2 TG, 1 WB)
-
Survey rumah tangga lokasi PTL, PTPUD, PB, 2 TG)
13 (5 2 4
-
-
-
-
-
waduk rata-rata adalah sebesar Rp. 7.969.079/tahun dan nelayan rawa banjiran Rp. 6.116.626/tahun Pendapatan dari kegiatan perikanan pada petambak rata-rata adalah sebesar Rp. 24.865.250,-/tahun dan pembudidaya KJA Rp. 47.240.259,-/tahun. Indikator kinerja makro sektor kelautan dan perikanan dengan pendekatan melihat pada faktor Driven, Pressure, State, Impact dan Respons (DPSIR) Pendapatan nelayan tangkap berkisar Rp. 13.502.000/tahun Rp 20.120.000/tahun NTN berkisar dari 0,76 sampai dengan 1,36 Rata-rata penerimaan petambak dari komoditas udang pada tambak polikultur dalam satu tahun sebesar Rp 20,369,531,(36,76%) dan rata-rata penerimaan bandeng sebesar Rp 35,048,438,- (63,24%). Rata-rata total pendapatan keluarga pembudidaya KJA sebesar Rp 20,213,125,-/tahun. Pendapatan keluarga terbesar sebesar Rp 34,500,000,-/tahun keuntungan usaha nelayan ptpud pada tahun 2008 mengalami penurunan dari Rp.7,395,808.- pada tahun 2007 menjadi Rp.4,234,406. pada tahun 2008 keuntungan nelayan rawa banjiran mengalami penurunan dari Rp.13,315,531 menjadi Rp.13,195,217 Dinamika usaha dari hasil survey baseline tahun 2007 dengan hasil monitoring pada 2009, maka terlihat bahwa – meskipun sebagian besar responden mengalami peningkatan – telah terjadi penurunan nilai rasio Penerimaan terhadap Biaya pada beberapa responden di dua lokasi-Desa Ketapang Barat dan Desa Batu Lubang Keuntungan pembudidaya ikan KJA dari tahun 2007-2009 mengalami penurunan sebesar 69.60% dari Rp 36.273.000 pada tahun 2007 menjadi Rp. 9.475.000 pada tahun 2009. Kondisi tersebut memberikan pengaruh pada konsumsi RTP KJA tahun 2009 menurun sebesar 66% dari tahun 2007 menjadi Rp. 15.444.000. Faktor penyebab penurunan keuntungan RTP KJA adalah kenaikan harga pakan dan benih pada komponen biaya. Sedangkan keuntungan usaha dari RTP pembudidaya tambak mengalami kenaikan sebesar Rp. 2.352.000. yaitu dari Rp. 15.791.000 tahun 2008 menjadi Rp 18.143.000 pada tahun 2009 Selama rentang waktu tiga tahun tersebut kondisi usaha penangkapan ikan yang dilaksanakan oleh masyarakat nelayan di perairan umum rawa pada desa contoh tidak banyak mengalami perubahan yang memberikan arti ke arah yang lebih baik bagi kehidupan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa tidak meningkatnya akumulasi aset pada masyarakat nelayan. Dari aspek pendapatan rumah tangga pelaku usaha pariwisata bahari, penyedia jasa transportasi di Karimunjawa dan penyewaan alat selam di Iboih memiliki pendapatan terbesar dibandingkan pelaku usaha pariwisata bahari lainnya dengan masing-masing rata-rata pendapatan per bulan Rp. iv
-
2010
-
2011
Survey rumah tangga 16 lokasi (5 PTL, 2 PTPUD, 5 PB, 4 PK)
-
-
-
-
-
14,908,917,- dan Rp. 18,775,000,Usaha penangkapan perikanan laut yang dilakukan dapat memberikan nilai R/C >1, yang berarti bahwa usaha penangkapan memiliki prospek yang baik untuk diusahakan dan dikembangkan lebih lanjut. Pendapatan rumah tangga nelayan tangkap laut didominasi dari pendapatan utama kepala keluarga, pengeluaran konsumsi pangan berkisar antara 53,41% - 78,01%. Khusus pengeluaran (konsumsi) ikan berkisar antara 12,45% - 40,43%. Pengeluaran konsumsi non pangan berkisar antara 21,99% - 46,59%. Pengeluaran terbesar dari kelompok konsumsi non pangan adalah biaya pendidikan, perawatan rumah dan perlengkapan dapur nelayan perairan sungai dan rawa banjiran hanya beroperasi menangkap ikan selama 81 hari; sedangkan nelayan perairan waduk mampu beroperasi sekitar 200 – 250 hari. Pendapatan rumah tangga petambak garam di Jeneponto, untuk petani petani garam penggarap Rp 14.015.217, untuk petani garam pemilik lahan yang dikerjakan sendiri Rp 16.447.714,- dan untuk petani garam pemilik lahan yang dikerjakan penggarap Rp 24.370.000,-per tahun. Bidang PTL : Usaha penangkapan perikanan laut yang dilakukan dapat memberikan nilai R/C >1. Pendapatan rumah tangga didominasi dari pendapatan utama kepala keluarga. Proporsi pengeluaran konsumsi pangan sebesar 68 %. Kondisi usaha perikanan tangkap perairan umum, baik sungai dan rawa banjiran maupun perairan umum waduk belum sepenuhnya dapat mendukung kehidupan masyarakat nelayan yang melaksanakan penangkapan ikan di perairan tersebut. Kondisi usaha perikanan budidaya, baik budidaya tambak, budidaya laut dan budidaya air tawar (sistem keramba jaring apung dan kolam) belum sepenuhnya dapat mendukung kehidupan masyarakat pembudidaya ikan. Faktor utama yang sangat berpengaruh dalam usaha budidaya ikan pada semua tipe usaha adalah tingginya persentase biaya pakan dalam struktur pembiayaan usaha (mencapai 75%) Rumah tangga petambak garam baik di Jeneponto maupun di Sumenep pada tahun 2010 tidak melakukan aktivitas usaha tambak garam karena hujan berlangsung hampir sepanjang tahun. Kajian Nilai Tukar Perikanan yang menjadi salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan masyarakat perikanan pada tahun 2011 dilakukan terbatas pada empat lokasi penelitian yaitu perikanan tangkap laut di Kabupaten Cirebon, perikanan tangkap perairan umum daratan di Kabupaten OKI, perikanan budidaya di Kabupaten Cianjur, dan produk kelautan di Kabupaten Sumenep. Tren positif dinamika nilai tukar ditunjukkan oleh perikanan tangkap laut di Kabupaten Cirebon, perikanan tangkap perairan umum daratan di Kabupaten OKI dan petambak garam di Kabupaten Sumenep sedangkan tren negatif ditunjukkan pembudidaya di Kabupaten Cianjur. v
2012
Survey rumah tangga 14 lokasi (5 PTL, 2 PTPUD, 5 PB, 2 PK)
2013
Survey rumah tangga 16 lokasi (7 PTL, 2 PTPUD, 5 PB, 2 PK)
- Secara keseluruhan usaha di sektor kelautan dan perikanan baik untuk bidang perikanan tangkap laut, perikanan tangkap perairan umum daratan, budidaya maupun garam masih layak secara finansial. Hal ini dibuktikan dengan nilai NPV yang positif, IRR yang jauh diatas tingkat suku bunga perbankan sebesar 12% yaitu berkisar antara 28%-38%, serta Net B/C yang lebih besar dari 1. - Struktur pendapatan rumah tangga pada tipologi perikanan tangkap laut, perikanan budidaya dan tambak garam masih didominasi dari pekerjaan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor perikanan dengan persentase antara 64-75% - Pengeluaran rumah tangga pada tipologi pelagis kecildemersal secara rata-rata cukup tinggi dimana mencapai Rp.589.638/Kapita/Bulan untuk responden pemilik - Indeks nilai tukar pada tipologi perikanan tangkap laut di wilayah Bitung cenderung mengalami penurunan sedangkan di wilayah Sibolga dan Cirebon mengalami peningkatan. Indeks nilai tukar nelayan di OKI mengalami penurunan. Pada tipologi perikanan budidaya di Cianjur dan Pangkep mengalami peningkatan sedangkan di Klungkung mengalami penurunan. Indeks nilai pada produk kelautan garam mengalami peningkatan. - Berdasarkan pendekatan 14 indikator, pada umumnya rumah tangga kelautan dan perikanan berada pada tingkat kesejahteraan ”kurang sejahtera” dimana kondisi rumah tinggal merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Berdasarkan pendekatan Garis Kemiskinan, diketahui bahwa persentase rumah tangga miskin terbesar terdapat pada rumah tangga perikanan tangkap laut (pelagis kecil dan demersal) di Kab. Cirebon (48%) dan rumah tangga perikanan tangkap perairan umum daratan (waduk) di Kab. Purwakarta (43%) - Kondisi dinamika sosial ekonomi rumah tangga kelautan dan perikanan menunjukkan gejala penurunan usaha. Pada perikanan tangkap, penurunan tersebut disebabkan oleh produktivitas usaha yang semakin menurun. - Pada perikanan budidaya kondisi usaha juga mengalami penurunan usaha. Beberapa lokasi yang mengalami penurunan diantaranya adalah Subang, Klungkung, Cianjur dan Gresik. Kondisi yang sama juga ditunjukkan pada usaha tambak garam yang cenderung mengalami penurunan akibat panjangnya musim hujan - Struktur pendapatan rumah tangga pada tipologi perikanan tangkap laut, perikanan budidaya dan tambak garam masih didominasi dari pekerjaan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor perikanan dengan persentase antara 55%-84% - Nilai tukar nelayan mengalami perkembangan yang cenderung negatif hampir pada semua lokasi. Kondisi ini menunjukkan beban pengeluaran yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Terlebih pada bulan Juni tahun 2013 terjadi kenaikan harga BBM yang membuat harga-harga barang secara umum vi
2014
Survey rumah tangga 8 lokasi (4 PTL, 1 PTPUD, 2 PB, 1 PK)
-
-
-
-
-
-
meningkat. Kondisi dinamika sosial ekonomi rumah tangga kelautan dan perikanan menunjukkan fluktuasi antar tahunnya. Fluktuasi produksi dan harga masih berimbas positif pada penerimaan dan keuntungan usaha. Hal ini terlihat dari perkembangannya yang selalu positif dalam kurun waktu 2010-2013 dengan ratarata peningkatan sebesar 11,8% dan 32,3%. Berdasarkan data monitoring produksi dan harga Data Perikanan Tangkap Pelagis Kecil-Demersal yang dilakukan semenjak tahun 2010 diketahui bahwa produksi terus mengalami penurunan sementara harga yang diterima oleh nelayan secara keseluruhan mengalami peningkatan. Ratarata persentase penurunan produksi -18,5% pertahun. Sebaliknya, harga rata-rata yang diperoleh nelayan per kg ikan naik sebesar 13,2% per tahunnya. Pada umumnya budidaya perikanan mengalami pertumbuhan yang positif dilihat dari sisi penerimaan dan pendapatan usaha. Peningkatan penerimaan terbesar terjadi pada rumput laut (18.38%) yang diikuti dengan KJA (17.6%), tambak (10.4%), dan kolam (7.4%) Produksi perikanan tangkap perairan umum daratan semenjak tahun 2010 terpantau terus mengalami penurunan. Rata-rata penurunan produksi per unit kapal sebesar -11,8%. Penurunan kondisi sumberdaya diduga menjadi penyebab turunnya produksi hasil tangkapan masyarakat. Selain itu harga jual ikan hasil tangkapan yang terus menurun juga membuat minat melakukan penangkapan ikan semakin turun. Produksi garam mengalami penurunan pada tahun 2012 dan tahun 2013. Hal ini disebabkan oleh jumlah hari panas yang berkurang sehingga panen tidak optimal. Pada saat yang bersamaan terjadi perbaikan harga jual garam. Penurunan produksi pada tahun 2012 sebesar 36% dari tahun sebelumnya. Secara rata-rata laju penurunan produksi adalah -12,7% pertahun. Rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan pada tipologi pelagis kecil dan demersal periode tahun 2006-2013 adalah sebesar Rp. 25.169.000/thn. Rata-rata laju kenaikan pendapatan rumah tangga yaitu sebesar 2% per tahun. Besarnya pendapatan rumah tangga perikanan sangat tergantung pada sumber pendapatan dari sektor perikanan, hal ini dapat dilihat dari besarnya distribusi pendapatan dari sektor perikanan mencapai 88% dari total pendapatan rumah tangga dan untuk distribusi pendapatan dari sektor non perikanan sebesar 12%. Besarnya pendapatan rumah tangga yang bersumber dari sektor perikanan (usaha penangkapan ikan) mengindikasikan bahwa rumah tangga nelayan pada tipologi pelagis kecil dan demersal sangat tergantung pada sektor perikanan (sumberdaya perikanan). Fluktuasi pendapatan terbesar terjadi pada tahun 2010-2011, yaitu terjadi peningkatan pendapatan sebesar 82%, namun pada tahun 2011-2012 terjadi penurunan pendapatan sebesar 62%. vii
- Rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan pada tipologi pelagis kecil dan demersal periode tahun 2006-2013 adalah sebesar Rp. 32.633.000,-/thn. Rata-rata laju kenaikan pendapatan rumah tangga yaitu sebesar 9% per tahun. - Tingkat pendapatan rumah tangga nelayan perairan umum daratan masih relatif rendah yaitu sebesar Rp. 24 882 551 per tahun atau sekitar 2 juta rupiah perbulan. Rata-rata pendapatan nelayan perairan umum daratan tersebut mengalami peningkatan sebesar 24% pertahun. - Pendapatan rumah tangga pembudidaya ikan secara umum mengalami peningkatan sebesar 2.6% pertahun. Rata-rata pendapatan rumah tangga pembudidaya ikan dari seluruh sumber pendapatan adalah Rp. 2.868.512 perbulan. - Rata-rata pendapatan rumah tangga petambak garam diketahui sebesar Rp. 26 432 060 atau Rp.2.202.671 perbulan dengan proporsi pendapatan adalah 68% dari usaha tambak garam dan 32% dari non tambak garam. - Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga nelayan pada tipologi pelagis kecil dan demersal periode tahun 2006-2013 yaitu sebesar Rp. 24.585.000,-/tahun. - Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga nelayan pada tipologi pelagis besar periode tahun 2006-2013 yaitu sebesar Rp. 27.917.000,-/tahun. - Rata-rata pengeluaran total rumah tangga perikanan budidaya mengalami kenaikan 6,1% dari tahun 2012 – 2014 yaitu sebesar Rp 37.034.080/tahun. - Indeks nilai tukar perikanan bidang perikanan tangkap laut (tipologi pelagis kecil dan demersal) sangat fluktuatif antar bulan pengamatan. Disaat terjadi musim paceklik kecenderungan indeks nilai tukar nelayan akan berada dibawah 100 dan pada saat musim panen/penangkapan ikan maka indeks nilai tukar nelayan akan berada diatas 100. Secara keseluruhan rata-rata indeks nilai tukar nelayan pada tipologi pelgis kecil dan demersal berkisar antara 90 sampai dengan 97 dengan perkembangan positif rata-rata mencapai 24%. - Nilai tukar pembudidaya berfluktuatif pada bulan pengamatan. Pada umumnya dari bulan Januari 2012 hingga Oktober 2014 semua jenis komoditas yang dipanen, mengalami peningkatan harga. Secara keseluruhan dari tahun 2012 – 2014 rata-rata indeks nilai tukar pembudidaya bergerak naik hampir 10% dari 100 pada tahun 2012 sebagai tahun dasar penghitungan menjadi rata-rata 109,8 pada tahun 2014. 2015
Survey rumah tangga 6 lokasi ( 3 PTL, 1 PB, 1 PTPUD, 1 PK)
- Resiko usaha pada perikanan pelagis besar dari segi produksi hasil tangkapan, risiko yang dihadapi oleh nelayan yaitu hasil tangkapan yang bervariasi, karena sangat tergantung dengan alam dan cuaca atau musim. Risiko lain yang dihadapi oleh nelayan yaitu teknologi dalam penangkapan yang masih menggunakan armada dengan perlengkapan belum memadai viii
seperti perlengkapan peralatan navigasi dan perlengkapan keselamatan. - Pada perikanan pelagis kecil dan demersal dampak yang langsung dirasakan oleh nelayan dari risiko usaha yang semakin sulit untuk diprediksi adalah ketidakpastian penerimaan dan pengeluaran usaha. - Untuk usaha produksi garam di Kabupaten Jeneponto, risiko yang mempengaruhi terbagi menjadi faktor alam dan faktor pasar. Pada perjalannnya, perkembangan kegiatan panelkanas diikuti oleh berbagai perbaikan pada pelaksanaannya. Perbaikan tersebut meliputi metode pengumpulan data dilapangan, sistem database, kedalaman kuesioner sampai dengan sistem validasi data yang dikumpulkan. Pada perjalanannya pula kegiatan panelkanas mengalami permasalahan yang membuat pelaksanaan kegiatan tidak dapat berjalan secara ideal. Rangkuman perkembangan pelaksanaan tersaji pada gambar berikut.
Hasil Penelitian PANELKANAS APBNP Tahun 2015 : Pengembangan Jaringan Pengembangan jaringan dimaksudkan untuk mengumpulkan data sosial ekonomi tingkat rumah tangga nelayan. Data yang dimaksud terdiri dari data karateristik rumah tangga perikanan tangkap laut, struktur dan distribusi penguasaan aset usaha perikanan tangkap laut armada < 5 GT, 6-10 GT dan > 10 GT, struktur biaya usaha penangkapan, struktur penerimaan usaha penangkapan, pendapatan rumah tangga, pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga, serta modal sosial terkait rumah tangga perikanan tangkap laut. Mengingat jumlah target responden yang cukup ix
banyak yang tidak mungkin dilakukan oleh peneliti dalam waktu yang terbatas. Pengembangan jaringan kerjasama dilakukan dengan institusi setempat (Dinas Kelautan dan Perikanan, Pelabuhan Perikanan) dan perguruan tinggi (Politeknik Kelautan dan Perikanan dan Universitas) di wilayah penelitian yaitu di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumbawa, Kota Bitung, Kota Sorong, Tual, dan Kabupaten Pangkep. Penentuan Kawasan Sentra Perikanan Penentuan kawasan sentra perikanan yang dimonitor dilakukan dengan purposive sampling. Sumber data yang digunakan adalah hasil sensus tani 2013 khususnya menyangkut dengan jumlah rumah tangga perikanan tangkap berdasarkan provinsi dan kabupaten dan jumlah produksi perikanan laut menggunakan data statistik perikanan tangkap KKP 2013. Langkah yang dilakukan sebagai berikut : (1) pengelompokan Indonesia kedalam wilayah-wilayah tertentu berdasarkan representasi pulau-pulau besar di Indonesia dan atau gabungan beberapa pulau-pulau yang relatif lebih kecil, yaitu Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Semakin tinggi persentase menunjukkan bahwa provinsi tersebut sebagai salah satu daerah yang memiliki rumah tangga dengan ketergantungan tinggi terhadap sektor perikanan tangkap; (2) mengidentifikasi persentase jumlah produksi pada setiap wilayah menurut provinsi. Sama halnya dengan rumah tangga, persentase produksi tertinggi juga semakin baik karena menunjukkan sentra produksi perikanan tangkap. Kedua indikator tersebut kemudian digabung untuk menghasilkan suatu indeks komposit dengan bobot rumah tangga lebih besar yaitu 0,7 dan bobot produksi sebesar 0,3; (3) pertimbangan pemilihan lokasi ditambah lagi dengan keterwakilan secara spasial dan keterwakilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dengan mengambil peringkat-peringkat tertinggi dari masing-masing wilayah dan dilanjutkan dengan identifikasi WPP yang sudah terwakili oleh provinsi-provinsi tersebut. Pada pelaksanaannya kegiatan penelitian dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya baik finansial, manusia, maupun waktu. Oleh karena itu diperlukan suatu langkah tambahan untuk dapat memilih lokasi yang lebih sempit dari daftar terpilih. Tahapan ini dilakukan dengan pendekatan expert judgement melalui diskusi kelompok terbatas antara tim peneliti dan narasumber kegiatan. Pertimbangan tambahan dalam pemilihan lokasi adalah aksesibilitas dan ketersediaan perguruan tinggi sebagai calon mitra penelitian. Lokasi tersebut antara lain Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumbawa, Kota Bitung, Kota Sorong, Tual, dan Kabupaten Pangkep. Penentuan Indikator Mikro Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kegiatan PANELKANAS dirancang untuk memantau & memahami berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi rumah tangga kelautan dan perikanan. Terdapat empat aspek utama yang menjadi kajian kegiatan yaitu usaha, pendapatan, konsumsi dan kelembagaan. Aspek-aspek tersebut akan dibingkai dengan pendekatan “sustainable livelihood” yang meliputi 4 (empat) aset yaitu modal finansial, modal alam, modal sosial dan modal sumberdaya manusia dengan indikatorindikator yang menyusun setiap aset yang menggambarkan indeks komposit. Hasil penelitian menunjukkan indeks penghidupan nelayan di 6 (enam) lokasi diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tual, Maluku Tenggara sebesar 52 (armada 0-5 GT) dan 56 (armada > 5 GT); Indramayu sebesar 54,93 (armada < 5 GT); Sumbawa sebesar 17,29 (armada < 5 GT), 31,09 (armada 5 – 10 GT) dan 19,50 (armada >10 GT); Bitung sebesar 68,49 (armada < 5 GT), 68,49 (armada 5-10 GT) dan 69,49 (armada > 10 GT); Pangkep sebesar 53,21 (armada < 5GT) dan 57,64 (armada 5-10 GT); Sorong sebesar 60,28 (armada < 5 GT), 61,67 (armada 5 – 10 GT), 64,21 (armada >10 GT).
Indikator penyusun indeks penghidupan nelayan yang paling rendah terletak pada modal alam untuk lokasi Sorong dan Sumbawa sedangkan pada lokasi Tual, Indramayu, Pangkep dan Bitung indikator penyusun indeks terletak pada modal sosial. x
4.
PROGRAM a. Komoditas b. Bidang/Masalah Kedaulatan pangan Kedaulatan Energi dan Kelistrikan Kemaritiman Pariwisata, Industri, IPTEK c.Penelitian Pengembangan
: : :
Penelitian dan Pengembangan KP Perikanan Dimensi pembangunan sektor unggulan
: Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jenis Penelitian: Penelitian Dasar Penelitian Terapan Pengembangan Eksperimental
d.Manajemen Penelitian
: PusatPenelitian Sosial Ekonomi Perikanan
Kelautan dan
e. Isu Strategis Pembangunan KP 2015-2019 : Pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan Pendayagunaan potensi ekonomi sumber daya KP Pengelolaan sumber daya KP secara berkelanjutan Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan Pengembangan SDM dan IPTEK KP f. DukunganTerhadap Agenda Pembangunan Nasional (NawaCita) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi system dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik g. Dukungan terhadap Indikator Kinerja BSC Nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP Pertumbuhan PDB Perikanan (%) Jumlah WPP yang terpetakan potensi di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP untuk pengembangan ekonomi maritim dan kelautan yang berkelanjutan Jumlah rekomendasi kebijakan yang diusulkan untuk dijadikan bahan kebijakan (buah) Jumlah pengguna hasil Iptek litbang di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP (kelompok) Jumlah Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan 6 Jumlah Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2 Karya Tulis Ilmiah Bidang Penelitian Sosial Ekonomi Jumlah Model Kelembagaan Penyebaran IPTEK dan Pemberdayaan Masyarakat Jumlah Model Kebijakan Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan
xi
5.
LOKASI KEGIATAN
: Indramayu, Cilacap, Pangkep, Sorong, Bitung, Maluku Tengah, Sibolga, Batam.
6.
SASARAN PENGGUNA/USER
: Biro Perencanaan, Direktorat Sumber Daya Ikan, Direktorat Kenelayanan, Pusdatin, Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
7.
PENELITI YANG TERLIBAT:
Pendidikan/ Jabatan Fungsional 1. Dr. Ir. Tukul Rameyo S3/ Non Peneliti Adi, M.T
No.
Nama
2. Andrian Ramadhan, S2/Peneliti Muda M.T 3. Tenny Apriliani, M.Si S2/ Peneliti Muda 4. Subhechanis S2/ Peneliti Muda Saptanto, M.SE 5. Hakim Miftakhul S2/ Peneliti Muda Huda, M.Si 6. Christina Yuliaty, S.Sos
Disiplin Ilmu Geografi Pembangunan Wilayah Pesisir Pengelolaan Pesisir dan Laut Ilmu Ekonomi Perencanaan Wilayah
Tugas (Institusi) Penanggung Jawab Output
Alokasi Waktu (OB) 3
Penanggung Jawab Pelaksana Output Anggota
5
Anggota
5
Anggota
5
5
S1/Peneliti Muda
Antropologi
Anggota
5
7. Dr. Umi Muawanah
S3/Peneliti Pertama
Ekonomi Sumberdaya
Anggota
5
8. Riesti Triyanti, S.Si
S1/Peneliti Muda
Kimia
Anggota
5
9. Mira, M.T, M.Sc
S2/ Peneliti Madya
Anggota
5
10. Hikmah, M.Si
S2/ Peneliti Madya
Anggota
5
11. Lindawati, S.Pi
S1/Peneliti Muda
Pembangunan Wilayah Pesisir Pengelolaan Pesisir dan Laut Sosial Ekonomi Perikanan Ilmu Perpustakaan
Anggota
5
PUMK
5
12. Siti Nurhayati, S.Sos
S1/Pustakawan
8. LATAR BELAKANG Penelitian Panel Perikanan Nasional (PANELKANAS) merupakan sebuah Penelitian yang dirancang untuk memonitor dinamika sosial ekonomi desa perikanan sebagai dampak kegiatan pembangunan nasional. Kegiatan ini merupakan studi yang bersifat panel mikro yang memiliki kelebihan untuk menjelaskan perkembangan yang terjadi pada tipologi usaha kelautan dan perikanan xii
serta perbedaan-perbedaannya menurut waktu. Dengan dasar keberadaan manfaat panel tersebut maka Panelkanas menjadi penting untuk dilaksanakan. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan kajian-kajian generik sosial ekonomi kelautan dan perikanan, yang lebih lanjut akan digunakan untuk mendasari penelitian yang bersifat problem solving dan prediksi perkembangan sosial ekonomi kelautan dan perikanan serta pengkajian-pengkajian opsi-opsi kebijakan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan. Untuk itu kegiatan penelitian ini akan bersifat multi-years dengan menggunakan contoh lokasi yang sama sehingga dapat terlihat perkembangan yang terjadi. Panelkanas merupakan suatu kegiatan penelitian terapan yang mengukur kesejahteraan masyarakat. Ukuran kesejahteraan masyarakat tersebut diukur melalui beberapa indikator seperti indikator pendapatan, konsumsi, human capital, natural capital, pendidikan dan kesehatan. Kegiatan panelkanas tersebut sangat mendukung kebijakan pemerintah yang tercantum dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019. Kebijakan tersebut menetapkan 7 (tujuh) arah kebijakan umum yakni : 1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan; 2) meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan; 3) mempercepat pembangunan infrastrukur untuk pertumbuhan dan pemerataan; 4) peningkatan kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana alam dan perubahan iklim; 5) penyiapan landasan pembangunan yang kokoh; 6) meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan; dan 7) mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah. Kebijakan tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam agenda prioritas pembangunan nasional (nawa cita). 9 Agenda Prioritas Pembangunan Nasional (Nawa Cita) untuk mencapai tujuan RPJMN tahun 2015-2019 yaitu : 1) menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; 2) membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya; 3) membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; 4) memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya; 5 ) meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia; 6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasarinternasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; 7) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; 8) melakukan revolusi karakter bangsa; dan 9) memperteguh Ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Di dalam nawa cita terdapat isu terkait dengan sektor strategis ekonomi domestik yang didukung oleh kegiatan panelkanas karena salah satu output panelkanas adalah berbagai indeks yang xiii
sangat terkait dengan sektor strategis seperti kesejahteraan, kedaulatan pangan, dan kemandirian usaha. Hal tersebut juga sangat terkait dengan salah satu isu strategis pembangunan KP 2015-2019 yaitu peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan. Selain itu panelkanas juga mendukung program balitbang terkait dengan keberlanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan dan pemanfaatan sumberdaya KP. Pada tahun 2016 PANELKANAS melakukan pengembangan jaringan pengumpulan data sosial ekonomi rumah tangga kelautan dan perikanan secara nasional yang akan dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah, organisasi profesi/kepakaran maupun institusi lain yang memiliki semangat yang sama untuk mendorong pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
9. TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Data Sosial Ekonomi Dalam Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Data merupakan kebutuhan didalam merencanakan pembangunan. Data akan menjadi dasar bagi analisis baik yang bertujuan untuk perumusan, monitoring maupun evaluasi keberhasilan dari suatu kebijakan pembangunan. Oleh karena data berperan sangat penting didalam seluruh proses kebijakan pembangunan, baik dan buruknya data secara langsung akan berpengaruh terhadap suksesnya pembangunan. Pembangunan
kelautan
dan
perikanan
dilaksanakan
berdasarkan
prinsip-prinsip
pembangunan yang bertanggung jawab sehingga menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Hal ini dapat kita lihat dari UU No 45 Tahun 2009 tentang perikanan yang lahir atas dasar belum terwujudnya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang memberikan manfaat secara berkelanjutan dan berkeadilan. Bila mengacu pada konsep keberlanjutan maka minimal terdapat tiga aspek yang harus menjadi perhatian yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (Dahuri, 2004). Bertolak dari hal tersebut, maka kebutuhan data-data yang terkait menjadi absolute atau bersifat mutlak. Bertolak dari kacamata yang lebih luas, data social ekonomi juga penting untuk memahami kondisi ekonomi suatu wilayah (termasuk didalamnya wilayah pesisir) (Cortright dan Reamer, 1998). Namun sayangnya data-data tersebut seringkali tidak mudah diperoleh. Bahkan data-data tersebut juga tidak jarang tidak tersedia khususnya yang bersifat spesifik seperti data sosial ekonomi sektor kelautan dan perikanan. Data sosial ekonomi secara umum dapat dikategorisasi menjadi beberapa yaitu (Cortright dan Reamer, 1998) : 1. Demografi, mencakup data terkait populasi penduduk, pendidikan, sebaran usia produktif dan lain-lain ; xiv
2. Ketenagakerjaan ; dan 3. Pendapatan dan Pengeluaran. Hal terpenting yang harus dilakukan sebelum menentukan kebutuhan data adalah menentukan indikator yang digunakan. Indikator tersebut yang akan menuntun tentang data apa saja yang seharusnya dikumpulkan. Lima langkah umum yang penting dilakukan ketika merumuskan indikator yang akan digunakan menurut Bowen dan Riley (2003) adalah : a. Merumuskan kerangka indikator yang akan mengarahkan pada pemilihan parameter pengukuran tertentu; b. Menentukan strategi yang efisien dan efektif dalam pengumpulan data; c. Menciptakan dan memelihara sistem manajemen data yang berkelanjutan; d. Bersepakat tentang langkah-langkah analisis data; dan e. Mengembangkan produk laporan yang menyajikan kekayaan informasi dan mudah dipahami oleh pengguna. Bila dilihat secara lebih spesifik pada sektor perikanan, data sosial ekonomi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan pembangunan perikanan cukup luas. Bahkan untuk melakukan analisis sosial ekonomi dalam kerangka pembangunan berkelanjutan juga membutuhkan data diluar lingkup sosial ekonomi sebagaimana tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Data Berdasarkan Indikator Pencapaian Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Yang Berkelanjutan Indikator Pencapaian Sosial Ekonomi Ekonomi 1. Memaksimumkan rente ekonomi 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sosial 8. 9.
Meningkatkan Pendapatan Nelayan Mempertahankan harga yang baik Meningkatkan efektifitas pembiayaan Mengurangi overcapacity Meningkatkan ekspor/devisa Meningkatkan penerimaan negara
Menyediakan lapangan pekerjaan Mengurangi konflik antar nelayan dan stakeholder lainnya 10. Meningkatkan partisipasi perempuan 11. Menjaga hak-hak usaha perikanan skala kecil/tradisional Tekno-ekologi 12. Memaksimumkan tangkapan 13. Menstabilkan stok 14. Memelihara ekosistem yang sehat 15. Memperbaiki kualitas hasil tangkapan 16. Konservasi sumberdaya ikan 17. Mencegah/mengurangi buangan 18. Menstabilkan laju penangkapan
Kebutuhan Data Terkait Struktur biaya dan penerimaan usaha (net price method) Struktur biaya dan penerimaan usaha Dinamika harga Penyaluran Kredit Usaha Perikanan Upaya penangkapan, produksi Pemasaran dan Nilai Produksi perikanan Pajak, Retribusi Penyerapan tenaga kerja Inklusi social Penyerapan tenaga kerja perempuan Kelembagaan
Teknologi penangkapan Kondisi stok ikan Kondisi ekosistem Penanganan pasca panen Tata ruang, kelimpahan sumberdaya, ekosistem Teknologi pengolahan limbah Upaya penangkapan, daya dukung lingkungan
xv
Sumber : dimodifikasi dari Fauzy (2010)
Ekono 6 7
3
1 4
2
8
Sosial 9
10
14 15
12 18 5
1
17 13
16
Ekologi Gambar 1. Diagram Venn Tujuan Pembangunan Perikanan Dalam Dimensi Pembangunan Berkelanjutan Sumber : Fauzy, 2010
Dinamika Usaha Kelautan dan Perikanan Usaha kelautan dan perikanan dapat diamati dari struktur dan biaya usaha, ketenagakerjaan, teknologi dan produktifitas usaha. Perubahan yang terjadi pada keempat faktor tersebut akan memberi dampak yang berarti bagi keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan. Aspek turunan yang perlu diperhatikan adalah kepemilikan aset investasi. Kepemilikan aset dapat dicerminkan sebagai kepemilikan faktor produksi maupun kekayaan oleh suatu rumah tangga yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat pendapatan dan konsumsi rumah tangga. Semakin besar kepemilikan aset oleh suatu rumah tangga akan memperbesar kesempatan rumah tangga tersebut untuk memperoleh tingkat pendapatan yang semakin besar dan rumah tangga tersebut akan mencapai tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi asset yang dimiliki akan membangkitkan laju pendapatan (Sherraden, 2005). Sedangkan semakin rendah kepemilikan aset suatu rumah tangga akan memperkecil kesempatan rumah tangga untuk dapat mengakses pasar dan akan berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Upah dan gaji yang biasa disebut dalam istilah asing
wages and salaries merupakan
pendapatan yang diperoleh rumah tangga keluarga sebagai imbalan terhadap penggunaan jasa sumber tenaga kerja yang mereka gunakan dalam pembentukan produk nasional (Soediyono, 1984).Pendapatan adalah sama dengan pengeluaran. Pendapatan yang dicapai oleh jangka waktu xvi
tertentu senantiasa sama dengan pengeluaran jangka waktu tersebut. Pendapatan senantiasa harus sama dengan pengeluaran karena kedua istilah ini menunjukan hal yang sama hanya dipandang dari sudut pandang lain (Winardi, 1975). Makin tinggi pendapatan perseorangan akan makin sedikit anggota masyarakat yang memilikinya, yang terbanyak menempati ruangan pendapatan yang rendah. Besarnya pendapatan perseorangan akan tergantung pada besarnya bantuan produktif dari orang atau faktor yang bersangkutan dalam proses produksi (Kaslan, 1962). Perbedaan dalam tingkat pendapatan adalah disebabkan oleh adanya perbedaan dalam bakat, kepribadian, pendidikan, latihan dan pengalaman. Ketidaksamaan dalam tingkat pendapatan yang disebabkan oleh perbedaan hal-hal ini biasanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pemerintah yaitu melalui bantuan pendidikan seperti beasiswa dan pemberian bantuan kesehatan. Tindakan-tindakan pemerintah ini cenderung menyamakan pendapatan riil. Pendapatan uang adalah upah yang diterima dalam bentuk rupiah dan sen. Pendapatan riil adalah upah yang diterima dalam bentuk barang/jasa, yaitu dalam bentuk apa dan berapa banyak yang dapat dibeli dengan pendapatan uang itu. Yang termasuk pendapatan riil adalah keuntungan-keuntungan tertentu seperti jaminan pekerjaan, harapan untuk memperoleh pendapatan tambahan, bantuan pengangkutan, makan siang, harga diri yang dikaitkan dengan pekerjaan, perumahan, pengobatan dan fasilitas lainnya (Sofyan, 1986). Besarnya pendapatan perseorangan akan tergantung pada besarnya bantuan produktif dari orang atau faktor yang bersangkutan dalam proses produksi (Kaslan, 1962). Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingat pengeluaran masyarakat. Secara umum diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat pengeluaran (Nurmanaf dkk, 2000). Penelitian Sudaryanto dkk (1999) membuktikan bahwa tingkat pendapatan mempunyai hubungan negatif dengan porsi pengeluaran pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin rendah porsi pengeluaran pangan. Dalam Pakpahan dkk (1993) disebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang bersangkutan. Pengeluaran Dan Konsumsi Rumah Tangga Perikanan Konsumsi atau permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain yang bersifat substitusi atau komplementer, tingkat pendapatan (riil), jumlah dan komposisi umur penduduk serta selera konsumen terhadap barang yang diminta. Setiap rumahtangga atau kelompok rumahtangga memiliki pola atau struktur konsumsi dan pengeluaran yang berbeda. Pola konsumsi dan pengeluaran umumnya berbeda antar agroekosistem, antar xvii
kelompok pendapatan, antar etnis atau suku dan antar waktu (Rachman dan Wahida, 1998; Arifin dan Simatupang, 1988; Suryana dkk, 1988). Struktur pengeluaran rumahtangga dapat pula dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga dengan pangsa pengeluaran pangan yang tinggi tergolong rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan rendah relatif dibanding rumahtangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang rendah (BPS, 1996; Rachman, HPS, 2001). Konsumsi (yaitu pengeluaran untuk konsumsi) tergantung dari pendapatan tetapi kita juga harus mengetahui bahwa pendapatan sebaliknya juga tergantung pada pengeluaran. Seakan-akan kita melihat sebuah lingkaran yang tidak berujung pangkal. Maka akan timbul pertanyaan : apakah kita perlu mengetahui besarnya konsumsi agar dapat menghitung besarnya pendapatan (Sudarsono, 1991). Pengeluaran konsumsi pertama-tama ditentukan oleh tingkat pendapatan, tetapi banyak lagi faktor lain yang mempangaruhi tingkat konsumsi yaitu jumlah anggota keluarga, tingkat usia mereka dan faktor-faktor lainnya seperti harga-harga nisbi berbagai jenis barang konsumsi juga berarti penting sebagai penentu (Sicat dan Arndt, 1991). Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan komponen tunggal terbesar dari pengeluaran keseluruhan aktual, tetapi ada yang menentukan jumlah yang ingin dibelanjakan oleh rumah tangga untuk membeli barang dan jasa untuk konsumsinya dan berapa banyak yang ingin mereka tabung, salah satu faktor yang paling menentukan adalah pendapatan sisa rumah tangga. Dengan meningkatnya pendapatan sisa, rumah tangga mempunyai lebih banyak uang untuk dibelanjakan sebagai konsumsi. Penelitian empiris tentang perubahan pendapatan sisa dari tahun ke tahun dan konsumsi untuk suatu periode selama sepuluh tahun telah menemukan hubungan yang erat antara keduanya. Umumnya, tahun dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi biasanya juga merupakan tahun-tahun dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi daripada rata-rata (Lipsey dan Steiner, 1991). Pengeluaran konsumsi atau private consumption expenditure meliputi semua pengeluaran rumah tangga keluarga dan perseorangan serta lembaga-lembaga swasta bukan perusahaan untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa yang langsung dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembelian barang-barang tahan lama yang baru seperti mobil, pesawat televisi dan sebagainya selain bangunan rumah termasuk variable ekonomi pengeluaran konsumsi (Soediyono, 1984). Indeks Penghidupan Berkelanjutan Penentuan indeks penghidupan nelayan (fisher livelihood index)dapat dilakukan dengan pendekatan
penghidupan
yang
berkelanjutan
(sustainable
livelihood
approach/SLA)
yang
dikembangkan oleh DFID (1999). Pendekatan penghidupan yang berkelanjutan adalah salah satu xviii
metode untuk meningkatkan pemahaman tentang penghidupan rumah tangga miskin menggunakan pendekatan holistik yang mencoba untuk menangkap, dan menyediakan sarana pemahaman, penyebab dasar dan dimensi kemiskinan serta fokus ke hanya beberapa faktor. Selain itu, dibuat sketsa hubungan antara aspek yang berbeda dari kemiskinan, memungkinkan untuk tindakan prioritas yang lebih efektif pada tingkat operasional. Pendekatan SL bertujuan untuk membantu orang miskin mencapai perbaikan kehidupan abadi/mata pencaharian yang berkelanjutan diukur dengan menggunakan indikator kemiskinan yang dapat didefinisikan oleh mereka (diri mereka sendiri) (Sustainable Livelihoods Support Office, 1999). Sebagian besar lembaga pengembangan mengadopsi Chambers dan Conway (1992: 7-8) untuk mendefinisikan mata pencaharian (atau sedikit variasi pada ini) yang menyatakan bahwa: Sebuah mata pencaharian terdiri dari kemampuan, aset (simpanan, sumber daya, klaim dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup. SL dapat mengatasi dan memulihkan dari stres dan guncangan, memelihara atau meningkatkan kemampuan dan aset, serta menyediakan peluang mata pencaharian yang berkelanjutan bagi generasi berikutnya yang memberikan kontribusi keuntungan bersih ke mata pencaharian lain di tingkat lokal dan global dan dalam jangka panjang dan pendek. Aset yang umumnya diakui dalam teori penghidupan yang berkelanjutan, seperti yang dirangkum oleh McLeod (2001), antara lain: modal alam, modal fisik, modal manusia, modal sosial, dan modal keuangan. Lima aspek tersebut penting untuk dilihat khususnya untuk mengenali hubungan penghidupan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan masyarakat terhadap sumber penghidupannya. 10. TUJUAN
:
Penelitian PANELKANAS bertujuan untuk menyediakan data indikator mikro usaha kelautan dan perikanan yang berguna dalam menilai perkembangan pembangunan kelautan dan perikanan serta perumusan kebijakan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Kegiatan ini bersifat multi-years sehingga data-data yang dihasilkan dapat dibandingkan antar periode pengamatan yang dilakukan. Secara lebih spesifik penelitina ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji karakteristik usaha kelautan dan perikanan 2. Mengkaji karakteristik rumah tangga kelautan dan perikanan 3. Mengkaji indeks penghidupan rumah tangga kelautan dan perikanan
xix
11. PERKIRAAN KELUARAN
:
Hasil yang diharapkan pada kegiatan PANELKANAStahun 2016 meliputi jumlah paket data dan informasi, jumlah karya tulis ilmiah dan jumlah laporan hasil riset dengan rincian sebagai berikut: (1) Data dan Informasi
: 6 (enam) buah
(2) Karya Tulis Ilmiah
: 2 (dua) buah
12. METODOLOGI PENELITIAN
:
Kerangka Pemikiran Kegiatan PANELKANAS dirancang untuk memantau & memahami berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi rumah tangga kelautan dan perikanan pada berbagai tipologi. Terdapat empat aspek utama yang akan menjadi kajian kegiatan yaitu usaha, pendapatan, konsumsi dan kelembagaan. Aspek-aspek tersebut akan dibingkai dengan pendekatan “sustainable livelihood”. Keterkaitan aspekaspek tercakup dalam kegiatan Panelkanas dapat diilustrasikan dalam bentuk bagan alir pada Gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 2. Bagan Alir Keterkaitan Aspek Usaha, Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga dan Kelembagaan Usaha Kelautan dan Perikanan Aspek usaha sebagaimana terlihat dari gambar diatas akan meliputi tentang biaya investasi/modal usaha, kepemilikan asset produktif, input produksi termasuk teknologi serta tenaga kerja yang digunakan. Aspek usaha tersebut akan diperdalam melalui monitoring harga input-output serta produksi ikan. Yang kemudian akan diperdalam dengan studi kasus terkait isu-isu kelautan dan xx
perikanan yang berkembang seperti isu kemiskinan, ketahanan pangan maupun kesejahteraan rumah tangga. Selain aspek usaha, monitoring terhadap pendapatan rumah tangga akan dilakukan melalui pengumpulan data berkala meliputi pendapatan usaha dan pendapatan rumah tangga. Pengumpulan data untuk menggambarkan konsumsi rumah tangga juga aka digali meliputi konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga baik yang dikeluarkan harian, bulanan maupun tahunan. Aspek lainnya yang juga dimonitoring adalah kelembagaan pada tingkat pedesaan baik kelembagaan permodalan, input produksi, tenaga kerja hingga pemasaran. Gambar 3 menunjukkan mekanisme pengumpulan data Panelkanas yang akan dilakukan secara berkala. Pengambilan data bulanan dilakukan pada berbagai sumber seperti data harga inputoutput bersumber dari data pedagang input maupun pengumpul ikan, serta data produksi ikan dapat bersumber dari tempat pendaratan ikan yang utama maupun pengumpul/pedagang ikan. Pengumpulan data yang sifatnya tahunan meliputi data usaha KP, pendapatan rumah tangga serta nilai tukar perikanan. Pendalaman terhadap isu-isu terkini juga dapat dilakukan pada setiap tahunny dengan isu yang berbeda. Monitoring dengan jangka waktu lima tahunan dilakukan untuk menggamparkan kondisi kelembagaan baik kelembagaan modal dan investasi, input usaha, aset produksi serta tenaga kerja, serta konsumsi rumah tangga baik pangan maupun non pangan. Sensus Rumah Perikanan juga dilakukan lima tahun sekali, untuk menggambarkan kondisi rumah tangga secara umum pada tingkat pedesaan.
Gambar 3. Monitoring Data Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan secara Berkala Konsep penelitian PANELKANAS dirancang untuk memonitor dinamika sosial ekonomi desa perikanan sebagai dampak kegiatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, menurut Irawan dkk (2006), kegiatan monitoring dan survey serta studi lainnya di dalam kegiatan Penelitian Panelkanas memerlukan beberapa kondisi dalam pelaksanaannya yaitu : 1) konsistensi desa dan rumah tangga contoh; 2) konsistensi metode pengukuran variabel yang diamati; 3) konsistensi kedalaman informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner, dan 4) konsistensi interval waktu yang digunakan dalam mengkaji perubahanvariabel-variabel yang diamati. xxi
Institusi dan Personel Mitra Pengguna Data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian PANELKANAS diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan di sektor kelautan dan perikanan baik di tingkat pusat maupun daerah. Data dan informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk penetapan suatu program dan kebijakan baik mulai dari tingkat yang paling rendah yaitu rumah tangga hingga tingkat yang paling tinggi yaitu secara nasional. Kerangka Jaringan dan Sistem Pendataan Pengumpulan data primer dan sekunder akan melibatkan berbagai institusi diantara BPS, perguruan tinggi, dinas kelautan dan perikanan setempat hingga masyarakat. Seperti pada Gambar 4 dan 5. Tim peneliti tingkat pusat (BBPSEKP) bertugas untuk menyusun panduan pelaksanaan kegiatan, melakukan supervisi, monitoring dan penyiapan kuisoner. Pengambilan data lapang akan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi setempat melalui tenaga-tenaga enumerator yang telah dilatih terlebih dahulu mengenai metode pengambilan data yang baik dan benar. Validasi data dilakukan secara bertahap yaitu dilakukan oleh enumarator lapang, oleh tim perguruan tinggi dan tim peneliti tingkat pusat.
Gambar 4. Alur Kerja Pengumpulan Data PANELKANAS
xxii
Gambar 5. Rancangan Organisasi Pelaksanaa PANELKANAS Ruang lingkup kegiatan penelitian mencakup tipologi perikanan tangkap di laut dan perairan umum daratan, perikanan budidaya dan produk kelautan. Sedangkan aspek yang dimonitor adalah berkaitan dengan perkembangan usaha, pendapatan dan konsumsi rumah tangga. Jenis dan Teknik pengumpulan data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data primer dikumpulkan secara panel. Panel data panel merupakan data berkala yang dikumpulkan dari responden (baik individu maupun keluarga) yang sama. Panel data panel dikumpulkan melalui survei penampang lintang terhadap sejumlah responden yang dilakukan secara berkala. Desa contoh di setiap propinsi dipilih secara sengaja (sesuai dengan tujuan) dengan mempergunakan beberapa pertimbangan keberadaan sistem usaha perikanan (perikanan tangkap dan perikanan budidaya) serta jenis perairan (perairan laut, pantai dan air tawar). Pada tahun 2014, pengumpulan data primer dilakukan melalui mekanisme survei monitoring pada masing-masing lokasi terpilih sesuai dengan aspek atau tema yang ditentukan seperti tertera pada Tabel 2. Pengambilan data primer tersebut dilakukan dengan bantuan instrumen (kuesioner) terstruktur terhadap 40 responden rumah tangga mewakili tipologi yang telah ditentukan lebih dulu setelah sensus dilakukan. Pada tahap awal data primer didapat dari diskusi pakar dan workshop. Diskusi pakar merupakan sarana yang digunakan untuk mendapatkan expert judgement setelah melihat data-data sekunder yang telah didapat. Diskusi pakar dilakukan dalam rangka verifikasi data-data sekunder dengan kondisi dilapangan, untuk menentukan lokasi desa contoh pada masing-masing kabupaten.Workshop atau semiloka dilakukan untuk koordinasi dan mendapatkan masukan dari berbagai lembaga-lembaga terkait dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
xxiii
Tabel 2. Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data dan Kegunaan Data Panelkanas Jenis Data
Teknik Pengumpulan Data
Perkembangan produksi menurut jenis
Survey monitoring
Perkembangan harga menurut jenis
Kegunaan Data di dalam Analisis pada tahun berjalan
Kegunaan Data di dalam Analisis antar tahun
Monitoring Bulanan
Analisis usaha, dinamika produksi, NTP, pendapatan Analisis usaha, dinamika harga, NTP, pendapatan
Tren produksi menurut jenis, analisis perubahan iklim terhadap produksi dan pendapatan, Tren harga menurut jenis, analisis perubahan iklim terhadap pendapatan
Investasi usaha (ex : kapal, alat tangkap etc)
Survey monitoring
Analisis usaha
Perubahan teknologi, perubahan asset produksi
Biaya operasional
Survey monitoring
Status kepemilikan asset
Survey monitoring
Sumber modal Karakteristik anggota rumah tangga (usia, hub keluarga, tingkat pendidikan, pengalaman etc) Jenis pekerjaan menurut bulan
Survey monitoring
Analisis usaha, beban biaya produksi menurut komponen, Keterkaitan kepemilikan asset dengan kesejahteraan Analisis “financial asset”
Perubahan input produksi akibat perubahan aktivitas produksi, perubahan beban biaya produksi Perubahan status dan keterkaitannya dengan perkembangan kesejahteraan Analisis perubahan “financial asset”
Gambaran umum responden, analisis ketenagakerjaan
Analisis perubahan ketenagakerjaan
Curahan tenaga kerja menurut bulan
Survey monitoring
Sumber pendapatan keluarga lainnya Aset berharga Tabungan Hutang Jenis dan volume konsumsi pangan Jenis dan volume konsumsi non pangan Perkembangan harga pangan dan non pangan menurut jenis
Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Monitoring bulanan
Dinamika sumber pendapatan bulanan Besaran waktu yang dicurahkan dan keterkaitannya dengan pendapatan Pendapatan rumah tangga Kesejahteraan rt Kesejahteraan rt Kesejahteraan rt Pengeluaran pangan, ketahanan pangan rt Pengeluaran non pangan
Pola jenis penghidupan masyarakat dan perubahannya Melihat perubahan waktu kerja terkait dengan perubahan aktivitas produksi dan pendapatan Perubahan sumber pendapatan keluarga Perubahan kesejahteraan Perubahan kesejahteraan Perubahan kesejahteraan Perubahan pengeluaran pangan dan ketahanan pangan Perubahan pengeluaran non pangan
Perkembangan harga beberapa jenis barang
Inflasi/ perubahan harga-harga barang antar waktu
Survey monitoring Survey monitoring
xxiv
Metode Sampling Pemilihan sampel lokasi Lokasi penangkapan ikan di Indonesia tersebar dari bagian timur sampai dengan bagian barat Indonesia. Selain itu lokasi penangkapan juga tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang masing-masing memiliki karakteristik sumberdaya perikanan yang berbeda. Sebaran lokasi penangkapan ini pada akhirnya membuat karakteristik penangkapan yang berbeda pula antar satu lokasi dengan lokasi lainnya. Oleh karena itu pemilihan lokasi sampel perlu mencerminkan keragaman usaha penangkapan yang ada. Metode sampling yang digunakan untuk mencapai tujuan diatas adalah purposive sampling. Arti purposive samping adalah sampel yang diambil dengan tujuan tertentu dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria yang digunakan dalam memilih lokasi adalah jumlah rumah tangga perikanan tangkap berdasarkan wilayah, provinsi dan kabupaten. Wilayah yang dimaksud adalah pengelompokan Indonesia kedalam wilayah-wilayah tertentu berdasarkan representasi pulau-pulau besar di Indonesia dan atau gabungan beberapa pulau-pulau yang relatif lebih kecil. Pembagian tersebut adalah wilayah Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Pada setiap wilayah kemudian diidentitifikasi persentase jumlah rumah tangga laut menurut provinsi. Semakin tinggi persentase menunjukkan bahwa provinsi tersebut sebagai salah satu daerah yang memiliki rumah tangga dengan ketergantungan tinggi terhadap sektor perikanan tangkap. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi persentase jumlah produksi pada setiap wilayah menurut provinsi. Sama halnya dengan rumah tangga, persentase produksi tertinggi juga semakin baik karena menunjukkan sentra produksi perikanan tangkap. Kedua indikator tersebut kemudian digabung untuk menghasilkan suatu indeks komposit dengan bobot rumah tangga lebih besar yaitu 0,7 dan bobot produksi sebesar 0,3. Besarnya bobot ditentukan berdasarkan kesepakatan focus group discussion (FGD) oleh internal peneliti dan narasumber kegiatan. Kemudian pemberian peringkat tertinggi diberikan pada provinsi-provinsi dengan indeks komposit yang terbesar. Sumber data yang digunakan adalah hasil sensus tani 2013 khususnya menyangkut dengan jumlah rumah tangga perikanan tangkap berdasarkan provinsi dan kabupaten. Jumlah produksi menggunakan data statistik perikanan tangkap KKP 2013 (KKP, 2014). Hasil yang diperoleh melalui tahapan ini tersaji pada tabel berikut.
xxviii
Tabel 3. Indeks Komposit Sentra Perikanan menurut Provinsi
Wilayah SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA JAWA JAWA JAWA JAWA JAWA JAWA BALI, NTB, NTT BALI, NTB, NTT BALI, NTB, NTT KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN
Nama Provinsi Sumatera Utara Kepulauan Riau Aceh Kep. Bangka Belitung Sumatera Barat Lampung Riau Sumatera Selatan Jambi Bengkulu Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat Banten DKI Jakarta DI Yogyakarta Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
Produksi Penangkapan di Laut 510,552 147,310 148,765 202,565 197,460 144,485 95,609 44,092 46,894 44,561 367,922 256,093 198,978 59,702 219,836 4,094 66,005 132,781 80,413 101,991 131,074 73,775
RTU Penangkapan ikan di Laut 28,952 29,120 17,424 13,746 8,925 10,258 9,201 3,888 3,365 2,775 67,524 32,903 18,622 10,754 2,362 1,352 30,618 20,429 8,804 11,961 9,796 10,634
% RTU Penangkapan ikan di Laut
Bobot Produksi
Bobot RTU Penangkapan ikan di Laut
Indeks Komposit
9.39 2.71 2.74 3.73 3.63 2.66 1.76 0.81 0.86 0.82 6.77 4.71 3.66 1.10 4.04 0.08
4.74 4.77 2.85 2.25 1.46 1.68 1.51 0.64 0.55 0.45 11.06 5.39 3.05 1.76 0.39 0.22
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
3.07 2.08 1.41 1.35 1.06 0.99 0.79 0.34 0.32 0.28 4.89 2.59 1.62 0.78 0.74 0.09
1.21 2.44 1.48 1.88 2.41 1.36
5.02 3.35 1.44 1.96 1.60 1.74
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
1.94 1.54 0.73 0.97 0.92 0.81
% Produksi
xxiv
Wilayah KALIMANTAN KALIMANTAN SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI MALUKU MALUKU PAPUA PAPUA
Nama Provinsi Kalimantan Tengah Kalimantan Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Produksi Penangkapan di Laut
RTU Penangkapan ikan di Laut
% Produksi
54,574 3,792 31,618 4,517 247,173 38,536 196,108 38,578 135,446 35,325 279,031 21,493 42,002 12,232 84,683 8,854 537,262 38,727 150,970 18,601 281,480 23,003 120,329 13,440 5,435,633 610,511 100
1.00 0.58 4.55 3.61 2.49 5.13 0.77 1.56 9.88 2.78 5.18 2.21
% RTU Penangkapan ikan di Laut 0.62 0.74 6.31 6.32 5.79 3.52 2.00 1.45 6.34 3.05 3.77 2.20 100
Bobot Produksi
Bobot RTU Penangkapan ikan di Laut
Indeks Komposit
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
0.37 0.35 2.89 2.75 2.40 2.00 0.82 0.74 3.70 1.48 2.10 1.10
xxv
Setelah didapatkan list lokasi lengkap sebagaimana tabel diatas, pertimbangan pemilihan lokasi ditambah lagi dengan keterwakilan secara spasial dan keterwakilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Langkah yang dilakukan adalah dengan mengambil peringkat-peringkat tertinggi dari masing-masing wilayah dan dilanjutkan dengan identifikasi WPP yang sudah terwakili oleh provinsi-provinsi tersebut. Secara lengkap hasil dari proses ini tersaji pada tabel berikut. Tabel 4. Provinsi Terpilih Berdasarkan Peringkat dan Keterwakilan WPP Provinsi Sumatera Utara Kepulauan Riau Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Maluku Maluku Utara Papua
WPP 571, 572 711 572, 712 712, 573 712, 573 712, 573 713, 573 713, 573 711 713 713 713, 714, 715 713, 714 716, 715 714, 715, 718 715, 716 717, 718
Provinsi yang terpilih melalui proses seleksi diketahui ada 17 provinsi. Jumlah ini merupakan jumlah ideal yang seharusnya dilakukan untuk mendapatkan representasi secara nasional. Namun demikian keterbatasan anggaran, waktu dan tenaga yang tersedia membuat pemilihan lokasi harus dilakukan secara lebih selektif. Untuk mendapatkan provinsi terpilih maka dilakukan terlebih dahulu identifikasi terhadap kabupaten-kabupaten yang terdapat didalam provinsi tersebut diatas. Pembuatan prioritas lokasi menurut kabupaten dilakukan dengan cara yang sama dengan cara untuk mendapatkan lokasi provinsi terpilih. Rekapitulasi 5 peringkat kabupaten teratas dari masing-masing provinsi tersaji pada tabel berikut
xxvi
Tabel 5. Prioritas Lokasi Penelitian Menurut Kabupaten pada Masing-masing Provinsi Terpilih Provinsi
Prioritas Lokasi Penelitian Menurut Kabupaten 1
2
3
4
5
Sumatera Utara
Langkat
571
Asahan
571
Nias Selatan (572)
572
Batu Bara (571)
571
Tapanuli Tengah (572) Karimun (711)
572
Kepulauan Riau
Natuna
711
Lingga
711
Kota Batam (711)
711
Bintan (711)
711
Lampung
Lampung Timur
712
Tanggamus
572
Tulangbawang (712)
712
Lampung Barat (572)
572
Lampung Selatan (712, 572)
712
Jawa Timur
Sumenep
712
Lamongan
712
Banyuwangi (573)
573
Gresik (712)
712
Pasuruan (712)
712
Jawa Tengah
Rembang
712
Cilacap
573
Pati (573)
573
Demak (712)
712
Brebes (712)
712
Jawa Barat
Indramayu
712
Cirebon
712
Sukabumi (573)
573
Karawang (712)
712
Bekasi (712)
712
711
Nusa Timur
Tenggara
Alor
573, 714
Sikka
573, 714
Flores Timur (573, 714)
573, 714
Sumba Timur (573)
573
Manggarai (573, 714)
Barat
573
Nusa Barat
Tenggara
Sumbawa
573, 713
Bima
573, 713
Lombok Timur (573, 713)
573, 713
Dompu (573, 713)
573, 713
Lombok (573, 713)
Barat
573
Kalimantan Barat
Kubu Raya
711
Ketapang
711, 712
Sambas (711)
711
Kayong Utara (711)
711
Bengkayang (711)
711
Kalimantan Timur
Kutai Kartanegara
713
Berau
716
Paser (713)
713
713
713
713
Bone (713)
713
713
715
Kepulauan Selayar Banggai
715
Morowali (715)
715
Poso (715)
715
Donggala (715)
715
Sulawesi Tenggara
Pangkajene Kepulauan Banggai Kepulauan Buton
Kota Bontang (713) Bulukumba (713)
713
Sulawesi Selatan
Kota Balikpapan (713) Takalar (713)
714
Kendari
714
Muna (714)
714
Kolaka Utara (714)
714
Wakatobi (714)
714
Sulawesi Utara
Bitung
716
716
Minahasa Utara (716)
716
714
714
Maluku Tengah (714)
714
Maluku Utara
715
Kepulauan Sula (715)
715
Papua
Merauke
718
718
Biak Numfor (717)
717
Minahasa Selatan (716) Kepulauan Aru (714) Halmahera Utara (715) Kepulauan Yapen (717)
716
Maluku Tenggara Barat Halmahera Barat
Kepulauan (716) Buru (714)
716
Maluku
Kepulauan Sangihe Maluku Tenggara Halmahera Tengah Mappi
Sulawesi Tengah
Dan
715
Talaud
Halmahera Selatan (715) Asmat (718)
714 715 718
713
714 715 717
xxvii
Pada pelaksanaannya kegiatan penelitian dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya baik finansial, manusia, maupun waktu. Oleh karena itu diperlukan suatu langkah tambahan untuk dapat memilih lokasi yang lebih sempit dari daftar terpilih. Tahapan ini dilakukan dengan pendekatan expert judgement melalui diskusi kelompok terbatas antara tim peneliti dan narasumber kegiatan. Pertimbangan tambahan dalam pemilihan lokasi adalah aksesibilitas dan ketersediaan perguruan tinggi sebagai calon mitra penelitian. Hasil diskusi menghasilkan 12 lokasi penelitian pada tahun 2016 adalah sebagai berikut Tabel 6. Lokasi Penelitian Tahun 2016 Provinsi
Kabupaten
WPP
Jawa Barat
Indramayu
712
Sulawesi Selatan
Pangkajene Kepulauan
713
Sulawesi Utara
Bitung
716
Maluku
Tual
714
Papua Barat
Sorong
717
Sumatera Utara
Langkat
571
Tapanuli Selatan
572
Kepulauan Riau
Natuna
711
Kalimantan Timur
Kutai Kertanegara
713
Sulawesi Tenggara
Buton
714
Jawa Timur
Lamongan
712
Papua
Merauke
718
Pemilihan sampel rumah tangga Pemilihan sampel rumah tangga dilakukan dengan metode sampling acak terstratifikasi (stratified random sampling). Stratifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan data yang representatif berdasarkan tingkatan-tingkatan tertentu yang dalam hal ini adalah nelayan berdasaran ukuran armada sehingga data yang diperoleh dapat lebih presisi. Armada yang menjadi objek pengamatan dalam penelitian ini distratifikasi menjadi tiga yaitu dibawah 5 GT, 6-10 GT dan 11-30 GT. Dasar stratifikasi mengikuti pengelompokkan jenis kapal berdasarkan ukuran armada yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, pengamatan juga hanya dibatasi oleh usaha penangkapan ikan berbasis masyarakat sehingga hanya dipilih untuk kapal-kapal dibawah 30 GT. Secara statistik, jumlah 28
kapal dengan ukuran armada dibawah 30 GT secara nasional mencapai 98%. Dengan demikian, pemilihan sampel rumah tangga diharapkan dapat merepresentasikan kondisi usaha perikanan tangkap secara umum. Populasi RT Nelayan < 30 GT
Populasi RT
Populasi RT
Populasi RT
Nelayan < 5 GT
Nelayan 5-10 GT
Nelayan 11-30 GT
Sampel RT Nelayan
Sampel RT Nelayan
Sampel RT Nelayan
10 % dari populasi/ Min
10 % dari populasi/ Min
10 % dari populasi/ Min
40 RT Nelayan
40 RT Nelayan
40 RT Nelayan
Gambar 6. Kerangka Pemilihan Sampling Rumah Tangga Contoh
Metoda Analisis Data Analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan dalam rangka menginterpretasikan perkembangan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di sektor kelautan dan perikanan mencakup gambaran umum daerah penelitian, dinamika usaha perikanan dan kelautan, struktur dan distribusi pendapatan rumah tangga, dinamika pengeluaran dan konsumsi rumah tangga, dan kondisi kelembagaan ekonomi rumah tangga perikanan dan kelautan. Analisis Finansial Usaha Mengetahui perkembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan memerlukan gambaran tentang analisis finansial dari usaha yang dijalankan. Tujuannya untuk memahami kelayakan usaha yang berguna bagi pemerintah, swasta maupun lembaga keuangan dalam pengambilan kebijakan terkait perkembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan seperti penyediaan kredit untuk menumbuhkan kembangkan usaha dimasyarakat. Analisis finansial dapat memberikan gambaran sekaligus estimasi dari 29
penerimaan dan pengeluaran bruto pada masa yang akan datang setiap tahun, termasuk biaya-biaya yang berhubungan dengan produksi dan pembayaran kredit yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga kelautan dan perikanan (Gittinger, 1986).Pada analisis finansial terdapat beberapa indikator yang umum digunakan sebagaimana berikut :
Net Present Value (NPV) NPV member gambaran nilai sekarang dari akumulasi penerimaan dan pengeluaran proyek dengan memprediksikan keseluruhan pengeluaran pada masa sekarang dan mendatang. Nilai NPV harus dibibotkan dengan suatu timbangan tingkat suku bunga tertentu sebagai acuan. Suatu proyek dikatakan feasible jika NPV >0. Rumus yang digunakan untuk menghitung NPV adalah:
Internal rate of Return (IRR) IRR adalah suatu indikator yang menjelaskan pada tingkat suku bunga berapa suatu proyek memberikan nilai NPV = 0. Dengan kata lain suatu proyek dikatakan layak/feasible jika nilai IRR-nya lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Rumus yang digunakan untuk menghitung IRR adalah:
Payback Period (PP) PP adalah suatu periode yang menjelaskan tingkat pengembalian dari nilai investasi yang ditanamkan. Semakin cepat PB tercapai, makin bagus pula analisa atas suatu proyek. Rumus yang digunakan untuk menghitung PP adalah:
Dinamika Usaha (produksi), Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga Sektor Kelautan dan Perikanan Perhitungan dinamika usaha (produksi) perikanan dilakukan berdasarkan kegiatan usaha perikanan yang dihasilkan oleh rumah tangga perikanan pada empat bidang usaha yaitu perikanan tangkap laut, perikanan budidaya, perikanan perairan umum daratan dan produk kelautan (garam). Data yang digunakan merupakan data series data panel sejak tahun 2006, perkembangan produksi dapat menjadi acuan untuk menyusun strategi peningkatan produksi dari perikanan rakyat (budidaya/produk kelautan). 30
Dinamika perubahan pendapatan rumah tangga perikanan terkait bidang perikanan tangkap laut, perikanan budidaya, perikanan perairan umum daratan dan produk kelautan (garam). Dinamika pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan yang diperoleh bagik dari usaha perikanan maupun non perikanan, serta yang dihasilkan oleh kepala keluarga maupun anggota keluarga. Dinamika perubahan pendapatan ini dapat menjadi acuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk kelembagaan perikanan atau mata pencahariaan alternatif untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga perikanan. Dinamika konsumsi merupakan bagian penting dalam penelitian ini untuk menyerap hasil produksi yang dihasilkan oleh rumah tangga perikanan. Pada tahun 2016 ini, konsumsi rumah tangga perikanan yang dipelajari mencakup dua hal : 1) terkait dengan pengeluaran rumah tangga perikanan dikeluarkan untuk konsumsi dan (2) investasi. Untuk konsumsi terdiri dari konsumsi pangan maupun non pangan sedangkan untuk investasi terdiri dari investasi usaha dan pendidikan. Indeks Penghidupan Nelayan Pengembangan indikator yang digunakan dalam menghitung indeks secara umum mengacu pada kerangka penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) yang dikembangkan oleh DFID (1999). Berdasarkan kerangka tersebut, penghidupan dipengaruhi oleh 5 aset modal yaitu, modal finansial, modal alam, modal sumberdaya manusia, modal sosial, dan modal fisik. Lima aspek tersebut penting untuk dilihat khususnya untuk mengenali hubungan penghidupan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan masyarakat terhadap sumber penghidupannya. Namun demikian pemilihan indikator juga harus memperhatikan ketersediaan data dan kemudahan pengumpulan data yang diperlukan sehingga dapat diterapkan secara lebih masif. Pemilihan indikator juga sedapat mungkin yang dapat menghubungkan antara indikator mikro dan indikator makro sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Atas dasar hal tersebut, hasil diskusi panel dengan para narasumber mengerucutkan menjadi 4 aspek yaitu modal finansial, modal alam, modal sosial dan modal sumberdaya manusia. 1. Indeks Modal Finansial Pada dunia bisnis modal finansial dapat diartikan sebagai segala bentuk sumberdaya ekonomi yang diukur terhadap uang yang dibelanjakan untuk membeli kebutuhan produksi dan biaya layanan bisnis yang menopang operasionalisasi kegiatan perusahaan. Konsep tersebut kemudian banyak digunakan pula pada skala rumah tangga untuk mengetahui kemampuan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik pangan dan non pangan. Pendekatan yang digunakan diantaranya adalah pendapatan dan konsumsi 31
a. Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu indikator yang dipilih dalam mengukur indeks penghidupan (livelihood) karena merupakan salah satu elemen yang bersifat dinamis dan melekat pada masyarakat selama masyarakat tersebut itu hidup. Pendapatan merupakan input bagi masyarakat didalam memenuhi kebutuhan hidup yang dengannya mereka melakukan aktivitas jual beli. Memenuhi kebutuhan hidup memang tidak mutlak dilihat dari pendapatan, akan tetapi sebagian besar kebutuhan hidup tidak lagi dapat dipenuhi secara mandiri tanpa adanya pendapatan. Dengan demikian terganggunya pendapatan secara langsung akan menganggu keberlanjutan penghidupan masyarakat. Pada skala makro pendekatan pendapatan juga telah banyak digunakan untuk mengukur pembangunan ekonomi dan pengukuran kemiskinan masyarakat. Hal ini didasarkan oleh tujuan pembangunan ekonomi yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat dimana salah satu ukuran yang dijadikan indikator adalah pendapatan. Pengukuran terhadap tingkat pendapatan masyarakat didasarkan pada garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Semakin jauh diatas garis kemiskinan maka semakin baik pula skor yang diberikan terhadap responden. Begitupula sebaliknya, semakin jauh dibawah garis kemiskinan maka semakin buruk pula skor untuk indikator ini. Tabel 7. Pengukuran Indikator Pendapatan Skor
Kriteria
Keterangan
1 2 3 4
< dari angka garis kemiskinan 100 – 150 % dari angka garis kemiskinan 151 – 200 % dari angka garis kemiskinan Pendapatan 201-300 % dari angka garis kemiskinan 300% > dari angka garis kemiskinan
Buruk Kurang Cukup Baik
5
Sangat Baik
b. Konsumsi Pendekatan konsumsi seringkali digunakan sebagai indikator kemiskinan karena berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga dan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk tetap bisa hidup. Bahkan isu terkait ketahanan pangan rumah tangga telah menjadi salah satu fokus dunia untuk diperhatikan (FAO, 2011). Pendekatan konsumsi juga sering digunakan sebagai pembanding karena dianggap memberikan nilai yang lebih mendekati kenyataan dibandingkan dengan pendapatan yang seringkali bias informasi dari apa-apa yang disampaikan oleh responden (World Bank, 2015). 32
Konsumsi dapat dibedakan kembali menjadi konsumsi pangan dan non pangan. Konsumsi pangan disusun atas dasar pemenuhan kebutuhan pangan sebesar 2150 kilo kalori dan 57 gram protein. Standar tersebut mengacu pada peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Tabel 8. Pengukuran Indikator Konsumsi Skor 1 2 3 4 5
Kriteria <100 % dari angka garis kemiskinan makanan > 100 – 150 % dari angka garis kemiskinan makanan 151 – 200 % dari angka garis kemiskinan makanan Pendapatan 200-300 % dari angka garis kemiskinan makanan > 300 % dari angka garis kemiskinan makanan
Keterangan
Kurang Cukup Baik Sangat Baik
c. Rasio Penerimaan Biaya Rasio penerimaan biaya merupakan konsep umum sederhana yang digunakan dalam mengukur layak tidaknya suatu bisnis untuk terus dijalankan. Konsep ini secara finansial mengukur berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan selama kegiatan usaha. Bila rasio penerimaan biaya sama dengan satu artinya usaha netral tidak merugi akan tetapi juga tidak memberikan keuntungan. Bila faktor waktu digunakan tentu hal ini dapat pula dikatakan sebagai suatu kerugian. Semakin jauh nilai diatas satu semakin mencerminkan baiknya usaha yang dijalankan dilihat dari sisi finansial usaha
33
Tabel 9. Pengukuran Indikator Rasio Biaya Skor 1 2 3 4 5
Kriteria < 0,5 0,5-1 > 1 dan atau < 1,5 1,5 – 2 >2
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
2. Indeks Modal Alam (Natural Capital) Natural kapital menunjuk pada ketersediaan stok sumberdaya yang ada di alam yang darinya terjadi aliran manfaat dan jasa yang mempengaruhi sumber penghidupan manusia (DFID, 1999). Aspek ini penting untuk dinilai karena berkaitan dengan kerentanan sumber penghidupan seperti semakin berkurangnya sumberdaya ikan yang secara langsung mempengaruhi tingkat penghidupan manusia yang tergantung darinya. Dalam pandangan yang lebih luas bahkan digambarkan bahwa umat manusia tidak akan dapat bertahan hidup tanpa adanya aliran manfaat barang dan jasa dari sumberdaya alam. Ketersediaan sumberdaya idealnya dilakukan dengan survey secara langsung terhadap stok sumberdaya tersebut. Namun sayangnya survey semacam tersebut memerlukan pengamatan secara periodik dan memakan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dicari suatu indikator yang dapat mencerminkan kualitas dari sumberdaya dialam secara cepat dan murah. Berdasarkan hasil diskusi dihasilkan dua pendekatan yang dinilai dapat memberikan gambaran terkait sumberdaya yang terkait langsung dengan usaha perikanan tangkap yaitu produksi per unit usaha dan proporsi jenis sumberdaya ikan ekonomis penting. Produksi per unit usaha mengindikasikan produktivitas usaha penangkapan dimana diduga kuat lebih dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dibandingkan dengan teknologi yang digunakan. Hal ini mengasumsikan keragaman tingkat teknologi dan keterampilan yang relatif seragam antar satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sementara proporsi jenis ikan yang tertangkap menggambarkan jenis ikan ekonomis penting yang tersedia pada suatu perairan dimana semakin tinggi proporsi jenis ikan ekonomis penting akan semakin besar pula potensi manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Ikan ekonomis penting yang dinilai dalam hal ini adalah tuna, tongkol, cakalang, kerapu dan udang.
34
Tabel 10. Pengukuran Indikator Produksi perikanan per unit usaha (prod/ jumlah kapal) Skor
Kriteria
Keterangan
1
< 50 % dibawah rata-rata nasional
Buruk
2
50-100 % dari rata-rata nasional
Kurang
3
> 100 – 150 % dari rata-rata nasional
Cukup
4
151 – 200 % dari rata-rata nasional
5
>200 % dari rata-rata nasional
Baik Sangat Baik
Tabel 11. Jenis sumberdaya perikanan kelautan (proporsi ikan ekonomis penting) Skor
Kriteria
Keterangan
1
Proporsi ikan ekonomis penting ≤ 20 %
Buruk
2
Proporsi ikan ekonomis penting 21-40 %
Kurang
3
Proporsi ikan ekonomis penting 41-60 %
Cukup
4
Proporsi ikan ekonomis penting 61-80 %
Baik
5
Proporsi ikan ekonomis penting 81-100 %
Sangat Baik
3. Modal Manusia (Human Capital) Modal manusia merepresentasikan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan bekerja serta kesehatan yang baik dalam rangka memperoleh berbagai strategi penghidupan dan mencapai tujuan dari penghidupan (DFID, 1999). Pada skala rumah tangga tingkat dari modal sumberdaya manusia mencerminkan jumlah dan kualitas ketersediaan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh pengetahuan, ukuran jumlah keluarga, tingkat kesehatan dan juga usia anggota keluarga. a. Tingkat Pendidikan Salah satu indikator didalam sumberdaya manusia adalah pendidikan. Pendidikan merupakan komponen penting yang mempengaruhi kualitas perilaku manusia dalam bertindak. Semakin baik pendidikan diharapkan akan memberi dampak positif terhadap perilaku kehidupan seseorang sehingga mampu meningkatkan taraf penghidupan keluarganya. Misalnya pengetahuan akan berpengaruh pada pengaturan keuangan keluarga dimana selama ini nelayan dikenal sebagai masyarakat yang boros dan sulit untuk menyimpan uang serta menggunakannya untuk meningkatkan aset rumah tangga.
35
Tingkat pengetahuan diukur dari lamanya pendidikan yang ditempuh oleh rumah tangga yang sudah masuk ke dalam usia produktif. Mengacu pada standar BPS usia produktif yang dimaksud adalah setiap orang yang sudah berusia 15 tahun ke atas. Tabel 12. Pengukuran Indikator Pendidikan Skor 1 2 3 4 5
Kriteria 0-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun >12 tahun
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
b. Tingkat kesehatan Kesehatan merupakan komponen penting yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga oleh karena itu tingkat kesehatan juga menjadi salah satu indikator didalam indeks pembangunan manusia. Pada kategori ini tingkat kesehatan diukur dari frekuensi sakit yang diderita oleh rumah tangga. Seseorang dianggap memiliki tingkat kesehatan yang tidak baik bila didalam satu tahun mengalami 12 kali sakit ringan seperti flu, batuk, pusing-pusing, demam, diare dan sejenisnya atau terkena penyakit berat minimal satu kali seperti serangan jantung, DBD, TBC, dan lainnya yang memerlukan penanganan di rumah sakit. Tabel 13. Pengukuran Indikator Kesehatan Skor 1
Kriteria
Keterangan
2
sakit berat minimal 1 kali per tahun sakit ringan > 12 kali per tahun sakit ringan 9-11 kali per tahun
Buruk Kurang
3
sakit ringan 6-8kali per tahun
Cukup
4
sakit ringan 3-5 kali per tahun
Baik
5
sakit ringan kurang dari 3 kali per tahun
Sangat Baik
c. Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga merupakan suatu indikator yang mengindikasikan kekuatan sumberdaya manusia didalam rumah tangga sebagai tenaga yang dapat berkontribusi terhadap 36
penghidupan keluarga. Ukuran jumlah keluarga mengacu pada jumlah orang yang terdaftar didalam satu kartu keluarga atau masih dalam tanggungan kepala keluarga baik itu istri, anak maupun keluarga dan kerabat lainnya. Semakin besar ukuran keluarga maka semakin besar potensi rumah tangga untuk mendapatkan manfaat baik secara ekonomi maupun non ekonomi yang berpengaruh terhadap penghidupan mereka. Terlebih bila anggota keluarga yang ada didalamnya masuk kedalam usia produktif. Tabel 14. Pengukuran Indikator Anggota Keluarga Skor 1 2 3 4 5
Kriteria Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 1 orang Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 2 orang Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 3 orang Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 4 orang Jumlah Anggota Keluarga lebih dari 4 orang
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
d. Usia Anggota Rumah Tangga Usia anggota rumah tangga merupakan suatu indikator yang menunjukkan apakah rata-rata anggota keluarga berada pada rentang usia yang produktif. Semakin banyak anggota rumah tangga yang berada pada selang kelas tersebut maka mengindikasikan bahwa didalam rumah tangga tersebut semakin berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup rumah tangga. Bila rata-rata usia anggota rumah tangga cukup tinggi mendekati usia tidak produktif menunjukkan gejala permasalahan dimana rumah tangga akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup karena minimnya potensi sumberdaya manusia yang dapat bekerja. Tabel 15. Pengukuran Indikator Usia Anggota Rumah Tangga Skor 1 2 3 4 5
Kriteria < 15 dan > 65 tahun 15-20 dan 60-65 tahun 21-26 dan 54-59 tahun 27-32 dan 48-53 tahun 33 - 47 tahun
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2016. Pada tahap persiapan (studi literatur) dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Februari 2016, pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret sampai dengan November 2016, sedangkan penyusunan laporan teknis kegiatan
37
dilakukan pada bulan Desember 2016. Lokasi penelitian merupakan lokasi-lokasi sentra produksi perikanan tangkap laut, lokasi tersebut meliputi : Provinsi Jawa Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Maluku Papua Barat Sumatera Utara Kepulauan Riau Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara Jawa Timur Papua
Kabupaten Indramayu Pangkajene Kepulauan Bitung Tual Sorong Langkat Natuna Kutai Kertanegara Buton Lamongan Merauke
WPP 712 713 716 714 717 571 711 713 714 712 718
13. HASIL YANG TELAH DICAPAI Hasil penelitian yang diperoleh pada tiga tahun terakhir yaitu : (a) Pada tahun 2013 antara lain terkait dengan hal-hal sebagai berikut : (1) Kebijakan KP mengenai intervensi nilai tukar yang terkait dengan penerimaan dan
pengeluaran rumah tangga ; (2)
Rekomendasi terkait kebijakan PNPM sektor KP ; (3) Strategi peningkatan produksi perikanan skala kecil (perikanan tangkap dan budidaya) dan garam rakyat untuk pengentasan kemiskinan ; (4) Strategi peningkatan pendapatan usaha perikanan rakyat untuk meningkatkan kualitas nilai tukar perikanan dan ; (5) Strategi peningkatan konsumsi ikan pada konsumen kota dan di pedesaan. (b) Pada tahun 2014 antara lain terkait dengan hal-hal sebagai berikut : (1) Dinamika usaha kelautan dan perikanan pada rumah tangga pada empat tipologi kelautan dan perikanan; (2) Dinamika pendapatan rumah tangga kelautan dan perikanan pada empat tipologi kelautan dan perikanan; (3) Dinamika pengeluaran rumah tangga kelautan dan perikanan pada empat tipologi kelautan dan perikanan; (4) Dinamika indeks nilai tukar perikanan pada pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan pada empat tipologi kelautan dan perikanan; (c) Pada tahun 2015 antara lain terkait dengan hal-hal sebagai berikut: (1) Pengembangan jaringan penelitian; (2) Penentuan kawasan sentra perikanan; (3) Struktur usaha kelautan dan perikanan pada rumah tangga perikanan tangkap laut; (4) Struktur pengeluaran rumah tangga perikanan tangkap laut; (5) Indeks penghidupan nelayan yang terdiri dari empat aset penghidupan yaitu modal keuangan, modalalam, modal sumber daya manusia dan modal sosial pada tipologi perikanan tangkap laut; selain itu juga diperoleh: (1) Pengukuran risiko usaha pada empat tipologi kelautan dan perikanan; (2) Dampak risiko usaha pada empat tipologi kelautan dan perikanan dan 38
(3) Strategi adaptasi rumah tangga terhadap ketidakpastian usaha pada empat tipologi kelautan dan perikanan. 14. HASIL YANG DIHARAPKAN Hasil yang diharapkan pada kegiatan penelitian tahun 2016adalah menghasilkan kajian terkait dengan hal-hal sebagai berikut: (1) karakteristik usaha kelautan dan perikanan pada kawasan sentra perikanan; (2) karakteristik rumah tangga kelautan dan perikanan pada kawasan sentra perikanan; (3) indeks penghidupan rumah tangga kelautan dan perikanan pada kawasan sentra perikanan. 15. ASPEK STRATEGIS -
Penelitian PANELKANAS pada intinya dirancang untuk memantau dan memahami berbagai perubahan jangka panjang profil rumahtangga di daerah pedesaan dengan empat bidang perikanan dan kelautan yang berbeda. Profil rumah tangga yang dimaksud mencakup berbagai aspek ekonomi dan sosial, terutama yang berkaitan dengan indikator kinerja utama Kementerian Kelautan dan Perikanan dan isuisu strategis pembangunan kelautan dan perikanan yang berkembang. Beberapa hal yang terkait dengan indikator kinerja utama Kementerian Kelautan dan Perikanan, antara lain yaitu ; (1) peningkatan produksi kelautan dan perikanan, (2) nilai tukar perikanan dan (3) tingkat konsumsi ikan serta beberapa isu terkait diantaranya Pembangunan Desa Tertinggal, Millenium Development Goals (MDG’s), Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), GENDER, Program Pemberdayaan (PUMP/PUGAR), Program Cluster 4 dan Rumput Laut di 7 Provinsi.
-
Dukungan terhadap RKP-04 (Penanggulangan Kemiskinan), KP-01 (Industrialisasi), DP-05 MP3KI (PKN)
16. FAKTOR RISIKO DAN KEBERHASILAN Keberhasilan pelaksanaan suatu penelitian dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor sumber daya manusia, sumber daya keuangan/anggaran, serta sumber daya waktu. Ketiga faktor ini harus saling menunjang satu dengan yang lain. Dari sisi sumber daya manusia, tim penelitian PANELKANAS terdiri dari sembilan orang peneliti dan satu orang administrasi keuangan. Dari sisi kuantitas, sumber daya manusia yang terlibat di penelitian PANELKANAS lebih dari cukup namun masing-masing peneliti ada yang terlibat pada lebih dari satu penelitian sehingga dari sisi sumber daya waktu lebih terbatas.Dari sisi sumberdaya keuangan/anggaran, kegiatan penelitian menyesuaikan dengan ketersediaan sumber daya keuangan yang tersedia.Namun secara teknis keterlambatan pencairan anggaran tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan penelitian karena menimbulkan konsekuensi pada jadwal pelaksanaan penelitian. 39
Terkait dengan pelaksanaan survey untuk sektor kelautan dan perikanan sangat dipengaruhi musim/cuaca karena harus menyesuaikan jadwal dengan jadwal kegiatan usaha pelaku usaha kelautan dan perikanan yang sangat bergantung pada musim khususnya untuk tipologi perikanan tangkap laut. Adapun beberapa faktor lainnya yang diperkirakan dapat menghambat pelaksanaan penelitian, antara lain adalah ; (1) penyesuaian koordinasi dalam menentukan pelaksanaan kegiatan lapang yang melibatkan enumerator yang berasal dari perguruan tinggi di lokasi penelitian atau tenaga pendamping lapang yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan terkait koordinasi di lapang; (2) pemahaman enumerator lapang terhadap kuesioner yang harus selalu di ’upgrade’ dan di ’dampingi’; (3) kesesuaian musim di lokasi terpilih khususnya pada lokasi perikanan tangkap laut; (4) kesesuaian jadwal rencana pelaksanaan kegiatan riset dengan pencairan dana yang tersedia; dan (5) keterbatasan fasilitas pendukung penelitian. 17. PEMBIAYAAN MA 521211 521213 521811 522141 522151 524111 524114
Rincian KomposisiPembiayaan Belanja Bahan Honor Output Kegiatan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Sewa Belanja Jasa Profesi
Jumlah (Rp) 147,400,000 112,000,000 60,000,000 112,000,000 156,000,000
Jumlah (%) 7,37 5,60 3,00 5,60 7,80
Belanja Perjalanan Biasa Belanja Perjalanan Dinas Paket Meeting Dalam Kota Jumlah
1,320,600,000 92,000,000 2,000,000,000
66,03 4,60 100
18. JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN
Bulan Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Persiapan, sudi pustaka, prasurvey dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan 1. Penyusunan ROKR 2. Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan/ROKR 3. Pemantapan Kuisioner 4. Perbaikan Kuisioner 5. Persiapan Survey Lapang Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan 1. Survey Lapang 2. Verifikasi dan input data 3. Pengolahan Data 2. Pembuatan Laporan Kemajuan Penyusunan laporan, rekomendasi, dan 5 naskah KTI 1. Penyusunan Laporan - Semester - Teknis 2. Penyusunan Policy Brief
40
JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN
Bulan Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
3. Penyusunan Rekomendasi 4. Penyusunan paket data dan informasi 5. Penyusunan naskah KTI Sosialisasi dengan stakeholder 1. Semiloka Hasil Riset
41
42
19. RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN DAN REALISASI FISIK (PERBULAN DAN PERBELANJA) Rencana Realisasi Anggaran Kegiatan JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN
Rp 1
Judul Kegiatan : Panel Kelautan dan Perikanan Nasional (PANELKANAS) BelanjaBahan
2,000,000
Penyerapan Anggaran (Rp.000) Bulan Ke6 7 8
2
3
4
5
90,220
64,820
317,580
317,580
317,580
317,580
9
10
11
12
317,580
64,320
44,220
44,220
103,700
147,400
-
2,100
3,200
19,280
19,280
19,880
19,280
19,280
2,700
2,100
2,100
38,200
60,000
-
6,000
6,000
6,000
6,000
6,000
6,000
6,000
6,000
6,000
6,000
-
Honor Output Kegiatan
112,000
-
-
-
22,400
22,400
22,400
22,400
22,400
-
-
-
-
Belanja Jasa Profesi
156,000
-
-
19,500
19,500
19,500
19,500
19,500
19,500
19,500
-
-
19,500
BelanjaSewa
112,000
-
-
-
22,400
22,400
22,400
22,400
22,400
-
-
-
-
1,320,600
-
36,120
36,120
228,000
228,000
228,000
228,000
228,000
36,120
36,120
36,120
-
92,000
-
46,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
46,000
155,040
-
90,220
64,820
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5,300 12,000 -
-
2,100 6,000 -
3,200 6,000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
19,500
-
-
19,500
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
72,240 46,000
-
36,120 46,000
36,120 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1,587,900 96,400
-
-
-
317,580 19,280
317,580 19,280
317,580 19,280
317,580 19,280
317,580 19,280
-
-
-
-
30,000
-
-
-
6,000
6,000
6,000
6,000
6,000
-
-
-
-
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
BelanjaPerjalanan Biasa Belanja Perjalanan Paket Meeting Dalam Kota Breakdown per tahapan Persiapan, sudi pustaka, prasurvey dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan BelanjaBahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Honor Output Kegiatan Belanja Jasa Profesi BelanjaSewa BelanjaPerjalanan Biasa Belanja Perjalanan Paket Meeting Dalam Kota Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan BelanjaBahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
43
JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN
Rp 1
Honor Output Kegiatan Belanja Jasa Profesi BelanjaSewa BelanjaPerjalanan Biasa Penyusunan laporan, rekomendasi, dan naskah KTI BelanjaBahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Honor Output Kegiatan Belanja Jasa Profesi BelanjaSewa BelanjaPerjalanan Biasa Sosialisasi dengan stakeholder BelanjaBahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Honor Output Kegiatan Belanja Jasa Profesi BelanjaSewa BelanjaPerjalanan Paket Meeting Dalam Kota
2
3
4
5
Penyerapan Anggaran (Rp.000) Bulan Ke6 7 8
9
10
11
12
112,000
-
-
-
22,400
22,400
22,400
22,400
22,400
-
-
-
-
97,500 112,000 1,140,000 152,760 6,900 18,000 19,500 108,360 103,700 38,200 19,500 46,000
-
-
-
19,500 22,400 228,000 -
19,500 22,400 228,000 -
19,500 22,400 228,000 -
19,500 22,400 228,000 -
19,500 22,400 228,000 -
64,320 2,700 6,000 19,500 36,120 -
44,220 2,100 6,000 36,120 -
44,220 2,100 6,000 36,120 -
103,700 38,200 19,500 46,000
44
Rencana Realisasi FisikKegiatan JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN
Bobot (%)
Rencana Penyerapan realisasi Fisik Bulan Ke- (%) 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
11
1
1
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1 0
1 0
1 0
1 0
1 0
12
Judul Kegiatan : Panel Kelautan dan Perikanan Nasional (PANELKANAS) I. Persiapan
30
Studi literatur
10
1
Pembuatan ROKR
4
4
Pembuatan Kuesioner
5
2
Prasurvey
4
Koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan
7
II. Pelaksanaan
50
Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan
50
III. Pelaporan
15
Penyusunan laporan, rekomendasi, dan naskah KTI
15
IV. Sosialisasi dengan stakeholder
5
3 4
1
1
3
3
3
6 5
20. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2006. Indikator Kinerja Sektor Kelautan dan Perikanan. BBRSE. Jakarta. Chambers, R. and G. Conway. 1992 Sustainable Rural Livelihoods: Practical Concepts for the 21st Century. IDS Discussion Paper 296. Brighton: IDS. Cuddington, J.T. and Urzua, C.M. 1989. Trends and Cycles in the Net Barter Terms of Trade: A New Approach. The Economic Journal, 99 (June 1989): 426-442. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Irawan, B dkk. 2007. Proposal Operasional Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Islam, M.M., S. Sallu, K. Hubacek and J. Paavola. 2014. Vulnerability of fishery-based livelihoods to the impacts of climate variability and change: insights from coastal Bangladesh. Reg. Environment Change. This article is published with open access at Springerlink.com. P. 281-294. Kasryno, F. H. Nataatmadja, C. A. Rasahan. Y. Yisdja. 1986. Profil Pendapatan dan Konsumsi Pedesaan Jawa Timur, Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Mcleod. R. 2001. The impact of regulations and procedures on the livelihoods and asset base of the urban poor: a financial perspective. Paper presented at the International Workshop on Regulatory Guidelines for Urban Upgrading, Bourton-on-Dunsmore, May 17-18, 2001.
Pasandaran, E., P. Simatupang, T. Sudaryanto, A. Suryana, C.A. Rasahan, A. Djauhari. 1989. Prosiding Patanas Perkembangan Struktur Produksi, Ketenagakerjaan dan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan, Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Setiono Dedi NS, 2011. Ekonomi Pembangunan Wilayah : Teori dan Analisis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Soisal Ekonomi Petanian, Jurnal Agroekonomi, 11 (1): 37-50. Singer, H.W. 1984. Terms of Trade Controversy and The Evolution of Soft Financing: Easy Year in the UN: 1947-1951, In M. Meier and D. Seers (Eds), Pioneer in Development. New York, Oxford Univ. Press. Sustainable Livelihoods Support Office (DFID). 1999. Sustainable Livelihoods and Poverty Elimination. http://www.livelihoods.org/info/docs/dec99bbfg.htm. Tanggal akses: 19 Januari 2015. Syukur, M. Erwidodo dan Soentoro. 2000. Perspektif Historis Metodologi Penelitian PATANAS. In Rusastra et al. (eds), Prosiding ‘Perspektif Pembangunan Pertanian Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah’, hal 78-87. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian dan Kehutanan. 397 hal.
46
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................................ii RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN......................................................................................i DAFTAR ISI................................................................................................................................................. i DAFTAR TABEL......................................................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR....................................................................................................................................vii 1 PENDAHULUAN................................................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1 1.2 Tujuan Penelitian..........................................................................................................2 1.3 Perkiraan Keluaran....................................................................................................... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................................... 4 2.1 Kebutuhan Data Sosial Ekonomi Dalam Pembangunan Kelautan Dan Perikanan........ 4 2.2 Pengeluaran Dan Konsumsi Rumah Tangga Perikanan................................................ 7 2.3 Indeks Penghidupan Berkelanjutan..............................................................................9 3 METODOLOGI.................................................................................................................................10 3.1 Kerangka Pemikiran....................................................................................................10 3.1.1 Institusi dan Personel Mitra Pengguna....................................................................... 12 3.1.2 Kerangka Jaringan dan Sistem Pendataan...................................................................12 3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data..........................................................................14 3.3 Metode Sampling....................................................................................................... 18 3.3.1 Pemilihan sampel lokasi.............................................................................................. 18 3.3.2 Pemilihan sampel rumah tangga.................................................................................26 3.4 Metoda Analisis Data................................................................................................. 28 3.4.1 Analisis Deskriptif........................................................................................................ 28 3.4.2 Analisis Finansial Usaha...............................................................................................28 3.4.3 Dinamika Usaha (produksi), Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga Sektor Kelautan dan Perikanan........................................................................................................................29 3.4.4 Indeks Penghidupan Nelayan...................................................................................... 30 3.5 Waktu dan Lokasi Penelitian...................................................................................... 36 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN....................................................................................... 37 4.1 Kondisi Geografis dan Kependudukan pada Lokasi Penelitian................................... 37 4.1.1 Kota Sibolga.................................................................................................................37 4.1.2 Kota Batam..................................................................................................................38 4.1.3 Kab. Indramayu........................................................................................................... 40 4.1.4 Kab. Cilacap................................................................................................................. 42 4.1.5 Kab. Pangkajene Kepulauan (Pangkep)....................................................................... 50 4.1.6 Kota Bitung..................................................................................................................51 4.1.7 Kab. Maluku Tengah....................................................................................................53 4.1.8 Kota Sorong.................................................................................................................54 4.2 Kondisi Usaha Perikanan Tangkap pada Lokasi Penelitian......................................... 58 4.2.1 Kota Sibolga.................................................................................................................58
4.2.2 Kota Batam..................................................................................................................61 4.2.3 Kab. Indramayu........................................................................................................... 76 4.2.4 Kab. Cilacap................................................................................................................. 81 4.2.5 Kab. Pangkajene Kepulauan (Pangkep)....................................................................... 88 4.2.6 Kota Bitung..................................................................................................................93 4.2.7 Kab. Maluku Tengah....................................................................................................97 4.2.8 Kota Sorong...............................................................................................................100 5 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................................................ 107 5.1 Karakteristik Sumberdaya Manusia Rumah Tangga Nelayan................................... 107 5.2 Kesehatan Rumah Tangga Nelayan.......................................................................... 111 5.3 Karakteristik Pendapatan dan Aset Rumah Tangga Nelayan....................................115 5.4 Karakteristik Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan...........................120 5.5 Karakteristik Usaha Penangkapan Ikan Menurut Ukuran Kapal............................... 123 5.5.1 Struktur dan Distribusi Penguasaan Aset Usaha Armada Penangkapan di Indonesia 123 5.5.2 Struktur Ongkos dan Penerimaan Usaha Penangkapan Ikan di Indonesia............... 136 5.6 Modal Sosial Pada Nelayan...................................................................................... 146 6 KESIMPULAN................................................................................................................................ 181 6.1 Simpulan...................................................................................................................181 6.2 Implikasi Kebijakan...................................................................................................182 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................183
ii
DAFTAR TABEL Tabel 2. 1
Kebutuhan Data Berdasarkan Indikator Pencapaian Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Yang Berkelanjutan....................................................5
Tabel 3. 1 Tabel 3. 2 Tabel 3. 3 Tabel 3. 4
Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data dan Kegunaan Data Panelkanas..........16 Indeks Komposit Sentra Perikanan menurut Provinsi..................................... 20 Provinsi Terpilih Berdasarkan Peringkat dan Keterwakilan WPP.....................22 Prioritas Lokasi Penelitian Menurut Kabupaten pada Masing-masing Provinsi Terpilih.............................................................................................. 24 Lokasi Penelitian Tahun 2016.......................................................................... 26 Pengukuran Indikator Pendapatan..................................................................31 Pengukuran Indikator Konsumsi......................................................................31 Pengukuran Indikator Rasio Biaya................................................................... 32 Pengukuran Indikator Produksi perikanan per unit usaha (prod/ jumlah kapal).............................................................................................................. 33 Jenis sumberdaya perikanan kelautan (proporsi ikan ekonomis penting)...... 33 Pengukuran Indikator Pendidikan................................................................... 34 Pengukuran Indikator Kesehatan.................................................................... 34 Pengukuran Indikator Anggota Keluarga.........................................................35 Pengukuran Indikator Usia Anggota Rumah Tangga....................................... 35 Lokasi Penelitian Panelkanas Tahun 2016....................................................... 36
Tabel 3. 5 Tabel 3. 6 Tabel 3. 7 Tabel 3. 8 Tabel 3. 9 Tabel 3. 10 Tabel 3. 11 Tabel 3. 12 Tabel 3. 13 Tabel 3. 14 Tabel 3. 15 Tabel 4. 1 Tabel 4. 2 Tabel 4. 3 Tabel 4. 4 Tabel 4. 5 Tabel 4. 6 Tabel 4. 7 Tabel 4. 8 Tabel 4. 9 Tabel 4. 10 Tabel 4. 11 Tabel 4. 12 Tabel 4. 13 Tabel 4. 14 Tabel 4. 15 Tabel 4. 16
Luas Wilayah Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2014.................................................................................. 39 Banyaknya Tenaga Kerja Di Kota Batam Berdasarkan Sektor Ekonomi Tahun 2009-2013............................................................................................40 Jumlah Penduduk di Kabupaten Indramayu, 2004-2014.................................42 Luas Wilayah Kabupaten Cilacap per Kecamatan...........................................44 Jumlah Penduduk Kabupaten Cilacap Tahun 2010 - 2014..............................45 Jumlah Rumah Tangga di Kabupaten Cilacap................................................. 46 Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Cilacap.......................47 Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha dari Matapencaharian Utama.......47 Matapencaharian Masyarakat Kabupaten Cilacap.........................................48 Warga Negara Indosesia Keturunan di Kabupaten Cilacap............................ 49 Tingkat Pendidikan Masyarakat Kabupaten Cilacap.......................................49 Kelompok Umur Penduduk Kabupaten Cilacap..............................................50 Distrik dan Kelurahan di Kota Sorong Tahun 2013......................................... 55 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Distrik di Sorong, Tahun 2014.....................................................................................................56 Jumlah Penduduk Kota Sorong Menurut Jenis Kelamin, Distrik dan Sex Rasio, Tahun 2014.......................................................................................... 56 Jumlah Kelompok Umur Berdasarkan Jenis Kelamin....................................... 57 iii
Tabel 4. 17 Tabel 4. 18 Tabel 4. 19 Tabel 4. 20 Tabel 4. 21 Tabel 4. 22 Tabel 4. 23 Tabel 4. 24 Tabel 4. 25 Tabel 4. 26 Tabel 4. 27 Tabel 4. 28 Tabel 4. 29 Tabel 4. 30 Tabel 4. 31 Tabel 4. 32 Tabel 4. 33 Tabel 4. 34 Tabel 4. 35 Tabel 4. 40 Tabel 4. 41 Tabel 4. 42 Tabel 4. 43 Tabel 4. 44 Tabel 4. 45 Tabel 4. 46 Tabel 4. 47 Tabel 4. 48 Tabel 4. 49 Tabel 4. 50 Tabel 4. 51 Tabel 4. 52
Perkembangan jumlah rumah tangga perikanan berdasarkan jenis armada dari tahun 2011 – 2015 di Kota Sibolga.............................................58 Jumlah armada kapal penangkap ikan Kota Sibolga Berdasarkan Ukuran pada Tahun 2011 - 2015................................................................................. 58 Jumlah Armada Berdasarkan Alat Tangkap pada tahun 2011 – 2015 di Kota Sibolga.................................................................................................... 59 Jumlah Rumah Tangga Perikanan Menurut Kecamatan dan Jenis Kegiatan di Kota Batam Tahun 2015..............................................................................61 Jumlah Rumah Tangga Perikanan Menurut Jenis Kegiatan di Kota Batam Tahun 2011-2015............................................................................................62 Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kecamatan (Ton) di Kota Batam Tahun 2015.....................................................................................................62 Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2011 – 2015 (Ton)................................. 63 Nilai Produksi Perikanan Menurut Kecamatan (Rupiah) Tahun 2015..............63 Jumlah Armada Tangkap Berdasarkan Gross Tonase Tahun 2015.................. 64 Jumlah Armada Tangkap Berdasarkan Gross Tonase Tahun 2011- 2015........65 Harga Rata-rata Hasil Perikanan di Kota Batam Tahun 2015...........................65 Volume Ekspor Perikanan Kota Batam Ke Beberapa NegaraTahun 2014....... 66 Volume dan Nilai Ekspor Perikanan Kota Batam Tahun 2015......................... 67 Jumlah Sarana dan Prasarana (Alat Tangkap) Kota Batam Tahun 2015.......... 69 Jenis Alat Tangkap, Target, Sifat Alat Tangkap, Waktu, Jam Operasional dan Daerah Penangkapan...............................................................................74 Jumlah Jenis Kapal Penangkap Ikan di Kabupaten Indramayu, 2005-2014..... 77 Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu, 2012-2014................................................................................... 77 Produksi Ikan berdasarkan Jenis Ikan dan Alat Tangkap yang digunakan, 2014................................................................................................................79 Jumlah Nelayan Menurut Status Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan di Kabupaten Indramayu, 2012-2014............................................................. 80 Komposisi species mangrove di Segara Anakan Cilacap..................................82 Jenis Armada Perikanan Tangkap di Kabupaten Cilacap..................................84 Jumlah dan Persentase Alat Penangkapan Ikan di Kabupaten Cilacap........... 85 Alat Tangkap Ikan Dominan pada Fishing Ground di Perairan Cilacap............ 85 Volume Hasil Tangkap Laut Berdasarkan Jenis Ikan........................................ 86 Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Cilacap.................86 Volume Hasil Tangkapan Laut Berdasarkan Jenis Alat Tangkap Ikan...............87 Area Fishing Ground di Nelayan Cilacap..........................................................87 Jumlah Armada Tangkap di Kabuaten Pangkep Tahun 2010-2014................. 90 Data jenis dan jumlah alat tangkap 2010 – 2014 Kabupaten Pangkep...... 91 Produksi Perikanan Per Jenis Alat tangkap di Kabupaten Pangkep Tahun 2010-2014.......................................................................................................91 Produksi Perikanan berdasarkan Jenis Alat tangkap di Kabupaten Pangkep dan Jenis Ikan yang tertangkap Tahun 2014................................... 92 Jumlah Penggunaan Alat Tangkap dan Armada di PPS Bitung Tahun 2013.....94 iv
Tabel 4. 53 Tabel 4. 54 Tabel 4. 55 Tabel 4. 56 Tabel 4. 57 Tabel 4. 58 Tabel 4. 59 Tabel 4. 56 Tabel 4. 57 Tabel 4. 58 Tabel 4. 59 Tabel 5. 1 Tabel 5. 2 Tabel 5. 3 Tabel 5. 4 Tabel 5. 5 Tabel 5. 6 Tabel 5. 7 Tabel 5. 8 Tabel 5. 9 Tabel 5. 10 Tabel 5. 11 Tabel 5. 12 Tabel 5. 13 Tabel 5. 14 Tabel 5. 15 Tabel 5. 16 Tabel 5. 17 Tabel 5. 18 Tabel 5. 19
Sebaran Jumlah Nelayan Berdasarkan Alat Tangkap dan Ukuran Kapal..........95 Sebaran Nelayan Berdasarkan Kartu Nelayan Tahun 2013............................. 96 Volume Produksi Ikan di PPS Bitung Tahun 2010-2014...................................96 Jumlah Produksi 3 Komoditas Ikan Utama di PPS Bitung tahun 2010-2014....97 Jumlah Armada penangkapan di Kab. Maluku Tengah....................................98 Jumlah Alat Tangkap di Kab. Maluku Tengah.................................................. 99 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Laut di Kab. Maluku Tengah.......................................................................................................... 100 Jumlah Nelayan di Kota Sorong, Tahun 2009 – 2014.................................... 104 Jumlah Perahu/Kapal Perikanan di Kota Sorong, Tahun 2009 – 2014...........104 Jumlah Alat Tangkap Perikanan di Kota Sorong, Tahun 2009 – 2014............105 Produksi Perikanan di Kota Sorong, Tahun 2013 – 2014...............................106 Karakteristik Usia Responden Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada........... 108 Karakteristik Pengalaman Usaha Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada...... 109 Tingkat Pendidikan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada........................... 110 Karakteristik pendidikan Anak Usia Produktif Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada.............................................................................................111 Frekuensi Sakit Ringan pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada..........................................................112 Persentase Sakit Berat pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada..........................................................112 Tindakan yang Dilakukan untuk Sakit Ringan pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada.................................113 Tindakan yang Dilakukan untuk Sakit Berat pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada.................................113 Keikutsertaan Rumah Tangga Nelayan pada Asuransi Kesehatan Berdasarkan Ukuran Armada........................................................................114 Frekuensi Penggunaan Asuransi Kesehatan pada Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada........................................................................115 Karakteristik Kepemilikan Sumber Pendapatan Sampingan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada........................................................................115 Jenis Pekerjaan Sampingan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada.............. 116 Jenis Sumber Pendapatan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada................ 117 Persentase Istri dan Anggota Keluarga Nelayan yang Bekerja Berdasarkan Ukuran Armada........................................................................117 Jumlah Pendapatan Anggota Keluarga Menurut Sumbernya Berdasarkan Ukuran Armada.............................................................................................118 Persentase Kepemilikan Aset Rumah Tangga Berdasarkan Ukuran Armada......................................................................................................... 119 Nilai Kepemilikan Aset Rumah Tangga Berdasarkan Ukuran Armada........... 119 Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada......................................................................................................... 120 Nilai Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Berdasarkan Ukuran Armada...... 121 v
Tabel 5. 20 Tabel 5. 21 Tabel 5. 22 Tabel 5. 23 Tabel 5. 24 Tabel 5. 25 Tabel 5. 26 Tabel 5. 27 Tabel 5. 28 Tabel 5. 29 Tabel 5. 30 Tabel 5. 31 Tabel 5. 32 Tabel 5. 33 Tabel 5. 34 Tabel 5. 35
Nilai PengeluaranRumah tangga Non Pangan Berdasarkan Ukuran Armada......................................................................................................... 122 Struktur dan Distribusi Kepemilikan Aset Usaha Armada Penangkapan Ikan di Indonesia.......................................................................................... 124 Struktur dan Distribusi Kepemilikan Mesin Armada Penangkapan Ikan di Indonesia...................................................................................................... 125 Struktur dan Distribusi Kepemilikan Alat Tangkap Armada Penangkapan Ikan di Indonesia.......................................................................................... 126 Struktur dan Distribusi Kepemilikan Aset Pendukung Usaha Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia...................................................... 128 Umur Ekonomis dan Nilai Aset Kapal Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia................................................................... 130 Umur Ekonomis dan Nilai Aset Mesin Kapal Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia................................................................... 131 Umur Ekonomis dan Nilai Alat Tangkap Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia................................................................... 132 Umur Ekonomis dan Nilai Alat Pendukung Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia...................................................... 133 Sumber Modal Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia...................................................................................................... 135 Struktur Biaya Tetap Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia..................................................................................................137 Struktur Biaya Variabel Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan < 5 GT di Indonesia...............................................................................138 Struktur Biaya Variabel Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan 5 - 10 GT di Indonesia...........................................................................139 Struktur Biaya Variabel Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan > 10 GT di Indonesia.............................................................................140 Produksi dan Penerimaan Usaha Per Trip..................................................... 141 Keuntungan dan R/C Ratio Usaha Penangkapan Ikan Berdasarkan Kelas Armada......................................................................................................... 146
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Diagram Venn Tujuan Pembangunan Perikanan Dalam Dimensi Pembangunan Berkelanjutan............................................................................6
Gambar 4. 1 Gambar 4. 2 Gambar 4. 3 Gambar 4. 4 Gambar 4. 5 Gambar 4. 6 Gambar 4. 7 Gambar 4. 8 Gambar 4. 9 Gambar 4. 10
Wilayah Administratif Kota Sibolga.................................................................37 Peta Administrasi Kabupaten Indramayu....................................................... 41 Peta Kab. Cilacap.............................................................................................45 Piramida Penduduk Bitung Tahun 2013......................................................... 52 Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2013............................................53 Peta Administratif Kota Sorong.......................................................................55 Produksi ikan di Kota Sibolga tahun 2011 – 2015 (ton).................................. 60 Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Kabupaten Indramayu, 2014.................. 78 Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Kabupaten Indramayu,............................78 Peta Daerah Penangkapan Ikan...................................................................... 80
vii
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Panel Perikanan Nasional (PANELKANAS) merupakan sebuah Penelitian yang dirancang untuk memonitor dinamika sosial ekonomi desa perikanan sebagai dampak kegiatan pembangunan nasional. Kegiatan ini merupakan studi yang bersifat panel mikro yang memiliki kelebihan untuk menjelaskan perkembangan yang terjadi pada tipologi usaha kelautan dan perikanan serta perbedaanperbedaannya menurut waktu. Dengan dasar keberadaan manfaat panel tersebut maka Panelkanas menjadi penting untuk dilaksanakan. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan kajian-kajian generik sosial ekonomi kelautan dan perikanan, yang lebih lanjut akan digunakan untuk mendasari penelitian yang bersifat problem solving dan prediksi perkembangan sosial ekonomi kelautan dan perikanan serta pengkajianpengkajian opsi-opsi kebijakan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan. Untuk itu kegiatan penelitian ini akan bersifat multi-years dengan menggunakan contoh lokasi yang sama sehingga dapat terlihat perkembangan yang terjadi. Panelkanas merupakan suatu kegiatan penelitian terapan yang mengukur kesejahteraan masyarakat. Ukuran kesejahteraan masyarakat tersebut diukur melalui beberapa indikator seperti indikator pendapatan, konsumsi, human capital, natural capital, pendidikan dan kesehatan. Kegiatan panelkanas tersebut sangat mendukung kebijakan pemerintah yang tercantum dalam Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019. Kebijakan tersebut menetapkan 7 (tujuh) arah kebijakan umum yakni : 1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan; 2) meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan; 3) mempercepat pembangunan infrastrukur untuk pertumbuhan dan pemerataan; 4) peningkatan kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana alam dan perubahan iklim; 5) penyiapan landasan pembangunan yang kokoh; 6) meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan; dan 7) mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah. Kebijakan tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam agenda prioritas pembangunan nasional (nawa cita). 9 Agenda Prioritas Pembangunan Nasional (Nawa Cita) untuk mencapai tujuan RPJMN tahun 20152019 yaitu : 1) menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; 2) membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola 1
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya; 3) membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; 4) memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya; 5 ) meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia; 6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasarinternasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; 7) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; 8) melakukan revolusi karakter bangsa; dan 9) memperteguh Ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Di dalam nawacita terdapat isu terkait dengan sektor strategis ekonomi domestik yang didukung oleh kegiatan panelkanas karena salah satu output panelkanas adalah berbagai indeks yang sangat terkait dengan sektor strategis seperti kesejahteraan, kedaulatan pangan, dan kemandirian usaha. Hal tersebut juga sangat terkait dengan salah satu isu strategis pembangunan KP 2015-2019 yaitu peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan. Selain itu panelkanas juga mendukung program balitbang terkait dengan keberlanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan dan pemanfaatan sumberdaya KP. Pada tahun 2016 PANELKANAS melakukan pengembangan jaringan pengumpulan data sosial ekonomi rumah tangga kelautan dan perikanan secara nasional yang akan dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah, organisasi profesi/kepakaran maupun institusi lain yang memiliki semangat yang sama untuk mendorong pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian PANELKANAS bertujuan untuk menyediakan data indikator mikro usaha kelautan dan perikanan yang berguna dalam menilai perkembangan pembangunan kelautan dan perikanan serta perumusan kebijakan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Kegiatan ini bersifat multi-years sehingga data-data yang dihasilkan dapat dibandingkan antar periode pengamatan yang dilakukan. Secara lebih spesifik penelitina ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji karakteristik usaha kelautan dan perikanan 2. Mengkaji karakteristik rumah tangga kelautan dan perikanan 3. Mengkaji indeks penghidupan rumah tangga kelautan dan perikanan
2
1.3 Perkiraan Keluaran Hasil yang diharapkan pada kegiatan PANELKANAStahun 2016 meliputi jumlah paket data dan informasi, jumlah karya tulis ilmiah dan jumlah laporan hasil riset dengan rincian sebagai berikut: (1) Data dan Informasi
: 6 (enam) buah
(2) Karya Tulis Ilmiah
: 2 (dua) buah
3
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebutuhan Data Sosial Ekonomi Dalam Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Data merupakan kebutuhan didalam merencanakan pembangunan. Data akan menjadi dasar bagi analisis baik yang bertujuan untuk perumusan, monitoring maupun evaluasi keberhasilan dari suatu kebijakan pembangunan. Oleh karena data berperan sangat penting didalam seluruh proses kebijakan pembangunan, baik dan buruknya data secara langsung akan berpengaruh terhadap suksesnya pembangunan. Pembangunan kelautan dan perikanan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan yang bertanggung jawab sehingga menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Hal ini dapat kita lihat dari UU No 45 Tahun 2009 tentang perikanan yang lahir atas dasar belum terwujudnya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang memberikan manfaat secara berkelanjutan dan berkeadilan. Bila mengacu pada konsep keberlanjutan maka minimal terdapat tiga aspek yang harus menjadi perhatian yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (Dahuri, 2004). Bertolak dari hal tersebut, maka kebutuhan datadata yang terkait menjadi absolute atau bersifat mutlak. Bertolak dari kacamata yang lebih luas, data social ekonomi juga penting untuk memahami kondisi ekonomi suatu wilayah (termasuk didalamnya wilayah pesisir) (Cortright dan Reamer, 1998). Namun sayangnya data-data tersebut seringkali tidak mudah diperoleh. Bahkan data-data tersebut juga tidak jarang tidak tersedia khususnya yang bersifat spesifik seperti data sosial ekonomi sektor kelautan dan perikanan. Data sosial ekonomi secara umum dapat dikategorisasi menjadi beberapa yaitu (Cortright dan Reamer, 1998) : 1. Demografi, mencakup data terkait populasi penduduk, pendidikan, sebaran usia produktif dan lainlain ; 2. Ketenagakerjaan ; dan 3. Pendapatan dan Pengeluaran. Hal terpenting yang harus dilakukan sebelum menentukan kebutuhan data adalah menentukan indikator yang digunakan. Indikator tersebut yang akan menuntun tentang data apa saja yang seharusnya dikumpulkan. Lima langkah umum yang penting dilakukan ketika merumuskan indikator yang akan digunakan menurut Bowen dan Riley (2003) adalah : a. Merumuskan kerangka indikator yang akan mengarahkan pada pemilihan parameter pengukuran tertentu; 4
b. Menentukan strategi yang efisien dan efektif dalam pengumpulan data; c. Menciptakan dan memelihara sistem manajemen data yang berkelanjutan; d. Bersepakat tentang langkah-langkah analisis data; dan e. Mengembangkan produk laporan yang menyajikan kekayaan informasi dan mudah dipahami oleh pengguna. Bila dilihat secara lebih spesifik pada sektor perikanan, data sosial ekonomi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan pembangunan perikanan cukup luas. Bahkan untuk melakukan analisis sosial ekonomi dalam kerangka pembangunan berkelanjutan juga membutuhkan data diluar lingkup sosial ekonomi sebagaimana tersaji pada Tabel 1. Tabel 2. 1
Kebutuhan Data Berdasarkan Indikator Pencapaian Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Yang Berkelanjutan
Indikator Pencapaian Sosial Ekonomi Ekonomi 19. Memaksimumkan rente ekonomi 20. 21. 22. 23. 24. 25. Sosial 26. 27.
Meningkatkan Pendapatan Nelayan Mempertahankan harga yang baik Meningkatkan efektifitas pembiayaan Mengurangi overcapacity Meningkatkan ekspor/devisa Meningkatkan penerimaan negara
Menyediakan lapangan pekerjaan Mengurangi konflik antar nelayan dan stakeholder lainnya 28. Meningkatkan partisipasi perempuan 29. Menjaga hak-hak usaha perikanan skala kecil/tradisional Tekno-ekologi 30. Memaksimumkan tangkapan 31. Menstabilkan stok 32. Memelihara ekosistem yang sehat 33. Memperbaiki kualitas hasil tangkapan 34. Konservasi sumberdaya ikan 35. Mencegah/mengurangi buangan 36. Menstabilkan laju penangkapan
Kebutuhan Data Terkait Struktur biaya dan penerimaan usaha (net price method) Struktur biaya dan penerimaan usaha Dinamika harga Penyaluran Kredit Usaha Perikanan Upaya penangkapan, produksi Pemasaran dan Nilai Produksi perikanan Pajak, Retribusi Penyerapan tenaga kerja Inklusi social Penyerapan tenaga kerja perempuan Kelembagaan
Teknologi penangkapan Kondisi stok ikan Kondisi ekosistem Penanganan pasca panen Tata ruang, kelimpahan sumberdaya, ekosistem Teknologi pengolahan limbah Upaya penangkapan, daya dukung lingkungan
Sumber : dimodifikasi dari Fauzy (2010)
5
Ekono 6 7
3
1 4
2
8
Sosial 9
10
14 15
12 18 5
1
17 13
16
Ekologi Gambar 1.
Diagram Venn Tujuan Pembangunan Perikanan Dalam Dimensi Pembangunan Berkelanjutan Sumber : Fauzy, 2010
Dinamika Usaha Kelautan dan Perikanan Usaha kelautan dan perikanan dapat diamati dari struktur dan biaya usaha, ketenagakerjaan, teknologi dan produktifitas usaha. Perubahan yang terjadi pada keempat faktor tersebut akan memberi dampak yang berarti bagi keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan. Aspek turunan yang perlu diperhatikan adalah kepemilikan aset investasi. Kepemilikan aset dapat dicerminkan sebagai kepemilikan faktor produksi maupun kekayaan oleh suatu rumah tangga yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat pendapatan dan konsumsi rumah tangga. Semakin besar kepemilikan aset oleh suatu rumah tangga akan memperbesar kesempatan rumah tangga tersebut untuk memperoleh tingkat pendapatan yang semakin besar dan rumah tangga tersebut akan mencapai tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi asset yang dimiliki akan membangkitkan laju pendapatan (Sherraden, 2005). Sedangkan semakin rendah kepemilikan aset suatu rumah tangga akan memperkecil kesempatan rumah tangga untuk dapat mengakses pasar dan akan berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Upah dan gaji yang biasa disebut dalam istilah asing wages and salaries merupakan pendapatan yang diperoleh rumah tangga keluarga sebagai imbalan terhadap penggunaan jasa sumber tenaga kerja yang mereka gunakan dalam pembentukan produk nasional (Soediyono, 1984).Pendapatan adalah sama 6
dengan pengeluaran. Pendapatan yang dicapai oleh jangka waktu tertentu senantiasa sama dengan pengeluaran jangka waktu tersebut. Pendapatan senantiasa harus sama dengan pengeluaran karena kedua istilah ini menunjukan hal yang sama hanya dipandang dari sudut pandang lain (Winardi, 1975). Makin tinggi pendapatan perseorangan akan makin sedikit anggota masyarakat yang memilikinya, yang terbanyak menempati ruangan pendapatan yang rendah. Besarnya pendapatan perseorangan akan tergantung pada besarnya bantuan produktif dari orang atau faktor yang bersangkutan dalam proses produksi (Kaslan, 1962). Perbedaan dalam tingkat pendapatan adalah disebabkan oleh adanya perbedaan dalam bakat, kepribadian, pendidikan, latihan dan pengalaman. Ketidaksamaan dalam tingkat pendapatan yang disebabkan oleh perbedaan hal-hal ini biasanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pemerintah yaitu melalui bantuan pendidikan seperti beasiswa dan pemberian bantuan kesehatan. Tindakan-tindakan pemerintah ini cenderung menyamakan pendapatan riil. Pendapatan uang adalah upah yang diterima dalam bentuk rupiah dan sen. Pendapatan riil adalah upah yang diterima dalam bentuk barang/jasa, yaitu dalam bentuk apa dan berapa banyak yang dapat dibeli dengan pendapatan uang itu. Yang termasuk pendapatan riil adalah keuntungan-keuntungan tertentu seperti jaminan pekerjaan, harapan untuk memperoleh pendapatan tambahan, bantuan pengangkutan, makan siang, harga diri yang dikaitkan dengan pekerjaan, perumahan, pengobatan dan fasilitas lainnya (Sofyan, 1986). Besarnya pendapatan perseorangan akan tergantung pada besarnya bantuan produktif dari orang atau faktor yang bersangkutan dalam proses produksi (Kaslan, 1962). Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingat pengeluaran masyarakat. Secara umum diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat pengeluaran (Nurmanaf dkk, 2000). Penelitian Sudaryanto dkk (1999) membuktikan bahwa tingkat pendapatan mempunyai hubungan negatif dengan porsi pengeluaran pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin rendah porsi pengeluaran pangan. Dalam Pakpahan dkk (1993) disebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang bersangkutan.
2.2 Pengeluaran Dan Konsumsi Rumah Tangga Perikanan Konsumsi atau permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain yang bersifat substitusi atau komplementer, tingkat pendapatan (riil), jumlah dan 7
komposisi umur penduduk serta selera konsumen terhadap barang yang diminta. Setiap rumahtangga atau kelompok rumahtangga memiliki pola atau struktur konsumsi dan pengeluaran yang berbeda. Pola konsumsi dan pengeluaran umumnya berbeda antar agroekosistem, antar kelompok pendapatan, antar etnis atau suku dan antar waktu (Rachman dan Wahida, 1998; Arifin dan Simatupang, 1988; Suryana dkk, 1988). Struktur pengeluaran rumahtangga dapat pula dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga dengan pangsa pengeluaran pangan yang tinggi tergolong rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan rendah relatif dibanding rumahtangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan yang rendah (BPS, 1996; Rachman, HPS, 2001). Konsumsi (yaitu pengeluaran untuk konsumsi) tergantung dari pendapatan tetapi kita juga harus mengetahui bahwa pendapatan sebaliknya juga tergantung pada pengeluaran. Seakan-akan kita melihat sebuah lingkaran yang tidak berujung pangkal. Maka akan timbul pertanyaan : apakah kita perlu mengetahui besarnya konsumsi agar dapat menghitung besarnya pendapatan (Sudarsono, 1991). Pengeluaran konsumsi pertama-tama ditentukan oleh tingkat pendapatan, tetapi banyak lagi faktor lain yang mempangaruhi tingkat konsumsi yaitu jumlah anggota keluarga, tingkat usia mereka dan faktorfaktor lainnya seperti harga-harga nisbi berbagai jenis barang konsumsi juga berarti penting sebagai penentu (Sicat dan Arndt, 1991). Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan komponen tunggal terbesar dari pengeluaran keseluruhan aktual, tetapi ada yang menentukan jumlah yang ingin dibelanjakan oleh rumah tangga untuk membeli barang dan jasa untuk konsumsinya dan berapa banyak yang ingin mereka tabung, salah satu faktor yang paling menentukan adalah pendapatan sisa rumah tangga. Dengan meningkatnya pendapatan sisa, rumah tangga mempunyai lebih banyak uang untuk dibelanjakan sebagai konsumsi. Penelitian empiris tentang perubahan pendapatan sisa dari tahun ke tahun dan konsumsi untuk suatu periode selama sepuluh tahun telah menemukan hubungan yang erat antara keduanya. Umumnya, tahun dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi biasanya juga merupakan tahun-tahun dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi daripada rata-rata (Lipsey dan Steiner, 1991). Pengeluaran konsumsi atau private consumption expenditure meliputi semua pengeluaran rumah tangga keluarga dan perseorangan serta lembaga-lembaga swasta bukan perusahaan untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa yang langsung dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembelian barang-barang tahan lama yang baru seperti mobil, pesawat televisi dan sebagainya selain bangunan rumah termasuk variable ekonomi pengeluaran konsumsi (Soediyono, 1984).
8
2.3 Indeks Penghidupan Berkelanjutan Penentuan indeks penghidupan nelayan (fisher livelihood index)dapat dilakukan dengan pendekatan penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood approach/SLA) yang dikembangkan oleh DFID (1999). Pendekatan penghidupan yang berkelanjutan adalah salah satu metode untuk meningkatkan pemahaman tentang penghidupan rumah tangga miskin menggunakan pendekatan holistik yang mencoba untuk menangkap, dan menyediakan sarana pemahaman, penyebab dasar dan dimensi kemiskinan serta fokus ke hanya beberapa faktor. Selain itu, dibuat sketsa hubungan antara aspek yang berbeda dari kemiskinan, memungkinkan untuk tindakan prioritas yang lebih efektif pada tingkat operasional. Pendekatan SL bertujuan untuk membantu orang miskin mencapai perbaikan kehidupan abadi/mata pencaharian yang berkelanjutan diukur dengan menggunakan indikator kemiskinan yang dapat didefinisikan oleh mereka (diri mereka sendiri) (Sustainable Livelihoods Support Office, 1999). Sebagian besar lembaga pengembangan mengadopsi Chambers dan Conway (1992: 7-8) untuk mendefinisikan mata pencaharian (atau sedikit variasi pada ini) yang menyatakan bahwa: Sebuah mata pencaharian terdiri dari kemampuan, aset (simpanan, sumber daya, klaim dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup. SL dapat mengatasi dan memulihkan dari stres dan guncangan, memelihara atau meningkatkan kemampuan dan aset, serta menyediakan peluang mata pencaharian yang berkelanjutan bagi generasi berikutnya yang memberikan kontribusi keuntungan bersih ke mata pencaharian lain di tingkat lokal dan global dan dalam jangka panjang dan pendek. Aset yang umumnya diakui dalam teori penghidupan yang berkelanjutan, seperti yang dirangkum oleh McLeod (2001), antara lain: modal alam, modal fisik, modal manusia, modal sosial, dan modal keuangan. Lima aspek tersebut penting untuk dilihat khususnya untuk mengenali hubungan penghidupan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan masyarakat terhadap sumber penghidupannya.
9
3
METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran Kegiatan PANELKANAS dirancang untuk memantau & memahami berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi rumah tangga kelautan dan perikanan pada berbagai tipologi. Terdapat empat aspek utama yang akan menjadi kajian kegiatan yaitu usaha, pendapatan, konsumsi dan kelembagaan. Aspekaspek tersebut akan dibingkai dengan pendekatan “sustainable livelihood”. Keterkaitan aspek-aspek tercakup dalam kegiatan Panelkanas dapat diilustrasikan dalam bentuk bagan alir pada Gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 2. Bagan Alir Keterkaitan Aspek Usaha, Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga dan Kelembagaan Usaha Kelautan dan Perikanan Aspek usaha sebagaimana terlihat dari gambar diatas akan meliputi tentang biaya investasi/modal usaha, kepemilikan asset produktif, input produksi termasuk teknologi serta tenaga kerja yang digunakan. Aspek usaha tersebut akan diperdalam melalui monitoring harga input-output serta produksi ikan. Yang kemudian akan diperdalam dengan studi kasus terkait isu-isu kelautan dan perikanan yang berkembang seperti isu kemiskinan, ketahanan pangan maupun kesejahteraan rumah tangga. Selain aspek usaha, 10
monitoring terhadap pendapatan rumah tangga akan dilakukan melalui pengumpulan data berkala meliputi pendapatan usaha dan pendapatan rumah tangga. Pengumpulan data untuk menggambarkan konsumsi rumah tangga juga aka digali meliputi konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga baik yang dikeluarkan harian, bulanan maupun tahunan. Aspek lainnya yang juga dimonitoring adalah kelembagaan pada tingkat pedesaan baik kelembagaan permodalan, input produksi, tenaga kerja hingga pemasaran. Gambar 3 menunjukkan mekanisme pengumpulan data Panelkanas yang akan dilakukan secara berkala. Pengambilan data bulanan dilakukan pada berbagai sumber seperti data harga input-output bersumber dari data pedagang input maupun pengumpul ikan, serta data produksi ikan dapat bersumber dari tempat pendaratan ikan yang utama maupun pengumpul/pedagang ikan. Pengumpulan data yang sifatnya tahunan meliputi data usaha KP, pendapatan rumah tangga serta nilai tukar perikanan. Pendalaman terhadap isu-isu terkini juga dapat dilakukan pada setiap tahunny dengan isu yang berbeda. Monitoring dengan jangka waktu lima tahunan dilakukan untuk menggamparkan kondisi kelembagaan baik kelembagaan modal dan investasi, input usaha, aset produksi serta tenaga kerja, serta konsumsi rumah tangga baik pangan maupun non pangan. Sensus Rumah Perikanan juga dilakukan lima tahun sekali, untuk menggambarkan kondisi rumah tangga secara umum pada tingkat pedesaan.
Gambar 3. Monitoring Data Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan secara Berkala Konsep penelitian PANELKANAS dirancang untuk memonitor dinamika sosial ekonomi desa perikanan sebagai dampak kegiatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, menurut Irawan dkk (2006), kegiatan monitoring dan survey serta studi lainnya di dalam kegiatan Penelitian Panelkanas memerlukan beberapa kondisi dalam pelaksanaannya yaitu : 5) konsistensi desa dan rumah tangga contoh; 6) konsistensi metode pengukuran variabel yang diamati; 7) konsistensi kedalaman informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner, dan 8) konsistensi interval waktu yang digunakan dalam mengkaji perubahanvariabel-variabel yang diamati. 11
3.1.1
Institusi dan Personel Mitra Pengguna Data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian PANELKANAS diharapkan dapat bermanfaat
bagi para pengambil kebijakan di sektor kelautan dan perikanan baik di tingkat pusat maupun daerah. Data dan informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk penetapan suatu program dan kebijakan baik mulai dari tingkat yang paling rendah yaitu rumah tangga hingga tingkat yang paling tinggi yaitu secara nasional.
3.1.2
Kerangka Jaringan dan Sistem Pendataan Pengumpulan data primer dan sekunder akan melibatkan berbagai institusi diantara BPS,
perguruan tinggi, dinas kelautan dan perikanan setempat hingga masyarakat. Seperti pada Gambar 4 dan 5. Tim peneliti tingkat pusat (BBPSEKP) bertugas untuk menyusun panduan pelaksanaan kegiatan, melakukan supervisi, monitoring dan penyiapan kuisoner. Pengambilan data lapang akan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi setempat melalui tenaga-tenaga enumerator yang telah dilatih terlebih dahulu mengenai metode pengambilan data yang baik dan benar. Validasi data dilakukan secara bertahap yaitu dilakukan oleh enumarator lapang, oleh tim perguruan tinggi dan tim peneliti tingkat pusat.
12
Gambar 4. Alur Kerja Pengumpulan Data PANELKANAS
Gambar 5. Rancangan Organisasi Pelaksanaa PANELKANAS Ruang lingkup kegiatan penelitian mencakup tipologi perikanan tangkap di laut dan perairan umum daratan, perikanan budidaya dan produk kelautan. Sedangkan aspek yang dimonitor adalah berkaitan dengan perkembangan usaha, pendapatan dan konsumsi rumah tangga.
13
3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data primer dikumpulkan secara panel. Panel data panel merupakan data berkala yang dikumpulkan dari responden (baik individu maupun keluarga) yang sama. Panel data panel dikumpulkan melalui survei penampang lintang terhadap sejumlah responden yang dilakukan secara berkala. Desa contoh di setiap propinsi dipilih secara sengaja (sesuai dengan tujuan) dengan mempergunakan beberapa pertimbangan keberadaan sistem usaha perikanan (perikanan tangkap dan perikanan budidaya) serta jenis perairan (perairan laut, pantai dan air tawar). Pada tahun 2014, pengumpulan data primer dilakukan melalui mekanisme survei monitoring pada masing-masing lokasi terpilih sesuai dengan aspek atau tema yang ditentukan seperti tertera pada Tabel 2. Pengambilan data primer tersebut dilakukan dengan bantuan instrumen (kuesioner) terstruktur terhadap 40 responden rumah tangga mewakili tipologi yang telah ditentukan lebih dulu setelah sensus dilakukan. Pada tahap awal data primer didapat dari diskusi pakar dan workshop. Diskusi pakar merupakan sarana yang digunakan untuk mendapatkan expert judgement setelah melihat data-data sekunder yang telah didapat. Diskusi pakar dilakukan dalam rangka verifikasi data-data sekunder dengan kondisi dilapangan, untuk menentukan lokasi desa contoh pada masing-masing kabupaten.Workshop atau semiloka dilakukan untuk koordinasi dan mendapatkan masukan dari berbagai lembaga-lembaga terkait dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
14
15
Tabel 3. 1
Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data dan Kegunaan Data Panelkanas Jenis Data
Perkembangan produksi menurut jenis Perkembangan harga menurut jenis Investasi usaha (ex : kapal, alat tangkap etc) Biaya operasional Status kepemilikan asset Sumber modal Karakteristik anggota rumah tangga (usia, hub keluarga, tingkat pendidikan, pengalaman etc) Jenis pekerjaan menurut bulan Curahan tenaga kerja menurut bulan Sumber pendapatan keluarga lainnya Aset berharga Tabungan Hutang Jenis dan volume konsumsi pangan Jenis dan volume konsumsi non pangan Perkembangan harga pangan dan non pangan menurut jenis
Teknik Pengumpulan Data Survey monitoring Monitoring Bulanan Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Survey monitoring Monitoring bulanan
Kegunaan Data di dalam Analisis pada tahun berjalan
Kegunaan Data di dalam Analisis antar tahun
Analisis usaha, dinamika produksi, NTP, pendapatan Analisis usaha, dinamika harga, NTP, pendapatan
Tren produksi menurut jenis, analisis perubahan iklim terhadap produksi dan pendapatan, Tren harga menurut jenis, analisis perubahan iklim terhadap pendapatan
Analisis usaha
Perubahan teknologi, perubahan asset produksi
Analisis usaha, beban biaya produksi menurut komponen, Keterkaitan kepemilikan asset dengan kesejahteraan
Perubahan input produksi akibat perubahan aktivitas produksi, perubahan beban biaya produksi Perubahan status dan keterkaitannya dengan perkembangan kesejahteraan
Analisis “financial asset”
Analisis perubahan “financial asset”
Gambaran umum responden, analisis ketenagakerjaan
Analisis perubahan ketenagakerjaan
Dinamika sumber pendapatan bulanan
Pola jenis penghidupan masyarakat dan perubahannya
Besaran waktu yang dicurahkan dan keterkaitannya dengan pendapatan
Melihat perubahan waktu kerja terkait dengan perubahan aktivitas produksi dan pendapatan
Pendapatan rumah tangga
Perubahan sumber pendapatan keluarga
Kesejahteraan rt
Perubahan kesejahteraan
Kesejahteraan rt
Perubahan kesejahteraan
Kesejahteraan rt
Perubahan kesejahteraan
Pengeluaran pangan, ketahanan pangan rt
Perubahan pengeluaran pangan dan ketahanan pangan
Pengeluaran non pangan
Perubahan pengeluaran non pangan
Perkembangan harga beberapa jenis barang
Inflasi/ perubahan harga-harga barang antar waktu
16
17
3.3 Metode Sampling 3.3.1
Pemilihan sampel lokasi Lokasi penangkapan ikan di Indonesia tersebar dari bagian timur sampai dengan bagian barat
Indonesia. Selain itu lokasi penangkapan juga tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang masing-masing memiliki karakteristik sumberdaya perikanan yang berbeda. Sebaran lokasi penangkapan ini pada akhirnya membuat karakteristik penangkapan yang berbeda pula antar satu lokasi dengan lokasi lainnya. Oleh karena itu pemilihan lokasi sampel perlu mencerminkan keragaman usaha penangkapan yang ada. Metode sampling yang digunakan untuk mencapai tujuan diatas adalah purposive sampling. Arti purposive samping adalah sampel yang diambil dengan tujuan tertentu dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Kriteria yang digunakan dalam memilih lokasi adalah jumlah rumah tangga perikanan tangkap berdasarkan wilayah, provinsi dan kabupaten. Wilayah yang dimaksud adalah pengelompokan Indonesia kedalam wilayah-wilayah tertentu berdasarkan representasi pulau-pulau besar di Indonesia dan atau gabungan beberapa pulau-pulau yang relatif lebih kecil. Pembagian tersebut adalah wilayah Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Pada setiap wilayah kemudian diidentitifikasi persentase jumlah rumah tangga laut menurut provinsi. Semakin tinggi persentase menunjukkan bahwa provinsi tersebut sebagai salah satu daerah yang memiliki rumah tangga dengan ketergantungan tinggi terhadap sektor perikanan tangkap. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi persentase jumlah produksi pada setiap wilayah menurut provinsi. Sama halnya dengan rumah tangga, persentase produksi tertinggi juga semakin baik karena menunjukkan sentra produksi perikanan tangkap. Kedua indikator tersebut kemudian digabung untuk menghasilkan suatu indeks komposit dengan bobot rumah tangga lebih besar yaitu 0,7 dan bobot produksi sebesar 0,3. Besarnya bobot ditentukan berdasarkan kesepakatan focus group discussion (FGD) oleh internal peneliti dan narasumber kegiatan. Kemudian pemberian peringkat tertinggi diberikan pada provinsi-provinsi dengan indeks komposit yang terbesar. Sumber data yang digunakan adalah hasil sensus tani 2013 khususnya menyangkut dengan jumlah rumah tangga perikanan tangkap berdasarkan provinsi dan kabupaten. Jumlah produksi menggunakan data statistik perikanan tangkap KKP 2013 (KKP, 2014). Hasil yang diperoleh melalui tahapan ini tersaji pada tabel berikut.
18
19
Tabel 3. 2
Wilayah SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA SUMATRA JAWA JAWA JAWA JAWA JAWA JAWA BALI, NTB, NTT BALI, NTB, NTT BALI, NTB, NTT KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN
Indeks Komposit Sentra Perikanan menurut Provinsi
Nama Provinsi Sumatera Utara Kepulauan Riau Aceh Kep. Bangka Belitung Sumatera Barat Lampung Riau Sumatera Selatan Jambi Bengkulu Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat Banten DKI Jakarta DI Yogyakarta Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Tengah
Produksi Penangkapan di Laut 510,552 147,310 148,765 202,565 197,460 144,485 95,609 44,092 46,894 44,561 367,922 256,093 198,978 59,702 219,836 4,094 66,005 132,781 80,413 101,991 131,074 73,775 54,574
RTU Penangkapan ikan di Laut 28,952 29,120 17,424 13,746 8,925 10,258 9,201 3,888 3,365 2,775 67,524 32,903 18,622 10,754 2,362 1,352 30,618 20,429 8,804 11,961 9,796 10,634 3,792
% RTU Penangkapan ikan di Laut
Bobot Produksi
Bobot RTU Penangkapan ikan di Laut
Indeks Komposit
9.39 2.71 2.74 3.73 3.63 2.66 1.76 0.81 0.86 0.82 6.77 4.71 3.66 1.10 4.04 0.08
4.74 4.77 2.85 2.25 1.46 1.68 1.51 0.64 0.55 0.45 11.06 5.39 3.05 1.76 0.39 0.22
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
3.07 2.08 1.41 1.35 1.06 0.99 0.79 0.34 0.32 0.28 4.89 2.59 1.62 0.78 0.74 0.09
1.21 2.44 1.48 1.88 2.41 1.36 1.00
5.02 3.35 1.44 1.96 1.60 1.74 0.62
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
1.94 1.54 0.73 0.97 0.92 0.81 0.37
% Produksi
20
Wilayah KALIMANTAN SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI MALUKU MALUKU PAPUA PAPUA
Nama Provinsi Kalimantan Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Produksi Penangkapan di Laut
RTU Penangkapan ikan di Laut
% Produksi
31,618 4,517 247,173 38,536 196,108 38,578 135,446 35,325 279,031 21,493 42,002 12,232 84,683 8,854 537,262 38,727 150,970 18,601 281,480 23,003 120,329 13,440 5,435,633 610,511 100
0.58 4.55 3.61 2.49 5.13 0.77 1.56 9.88 2.78 5.18 2.21
% RTU Penangkapan ikan di Laut 0.74 6.31 6.32 5.79 3.52 2.00 1.45 6.34 3.05 3.77 2.20 100
Bobot Produksi
Bobot RTU Penangkapan ikan di Laut
Indeks Komposit
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
0.35 2.89 2.75 2.40 2.00 0.82 0.74 3.70 1.48 2.10 1.10
21
Setelah didapatkan list lokasi lengkap sebagaimana tabel diatas, pertimbangan pemilihan lokasi ditambah lagi dengan keterwakilan secara spasial dan keterwakilan wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Langkah yang dilakukan adalah dengan mengambil peringkat-peringkat tertinggi dari masing-masing wilayah dan dilanjutkan dengan identifikasi WPP yang sudah terwakili oleh provinsi-provinsi tersebut. Secara lengkap hasil dari proses ini tersaji pada tabel berikut. Tabel 3. 3
Provinsi Terpilih Berdasarkan Peringkat dan Keterwakilan WPP Provinsi
Sumatera Utara Kepulauan Riau Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Maluku Maluku Utara Papua Sumber : Sensus Tani (2013) dan KKP (2014), diolah
WPP 571, 572 711 572, 712 712, 573 712, 573 712, 573 713, 573 713, 573 711 713 713 713, 714, 715 713, 714 716, 715 714, 715, 718 715, 716 717, 718
Provinsi yang terpilih melalui proses seleksi diketahui ada 17 provinsi. Jumlah ini merupakan jumlah ideal yang seharusnya dilakukan untuk mendapatkan representasi secara nasional. Namun demikian keterbatasan anggaran, waktu dan tenaga yang tersedia membuat pemilihan lokasi harus dilakukan secara lebih selektif. Untuk mendapatkan provinsi terpilih maka dilakukan terlebih dahulu identifikasi terhadap kabupaten-kabupaten yang terdapat didalam provinsi tersebut diatas. Pembuatan prioritas lokasi menurut kabupaten dilakukan dengan cara yang sama dengan cara untuk mendapatkan lokasi provinsi terpilih. Rekapitulasi 5 peringkat kabupaten teratas dari masing-masing provinsi tersaji pada tabel berikut.
22
23
Tabel 3. 4
Prioritas Lokasi Penelitian Menurut Kabupaten pada Masing-masing Provinsi Terpilih
Provinsi Prioritas Lokasi Penelitian Menurut Kabupaten 1
2
3
4
5
Sumatera Utara
Langkat
571
Asahan
571
Nias (572)
Selatan
572
Batu (571)
Kepulauan Riau Lampung
Natuna
711
Lingga
711
Kota Batam (711)
711
Bintan (711)
Lampung Timur
712
Tangga mus
572
Tulangbawang (712)
712
Lampung Barat (572)
Jawa Timur
Sumenep
712
712
Gresik (712)
Rembang
712
573
Banyuwangi (573) Pati (573)
573
Jawa Tengah
Lamon gan Cilacap
573
Demak (712)
Jawa Barat
Indramayu
712
712
Sukabumi (573)
573
Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat
Alor
573, 714
Cirebo n Sikka
573, 714
Flores Timur (573, 714)
573, 714
Karawang (712) Sumba Timur (573)
Sumbawa
573, 713
Bima
573, 713
Lombok Timur (573, 713)
573, 713
Dompu (573, 713)
Kalimantan Barat Kalimantan Timur
Kubu Raya
711
711
713
711, 712 716
Sambas (711)
Kutai Kartanegar a Pangkajen e Dan Kepulauan Banggai Kepulauan Buton
Ketapa ng Berau
Paser (713)
713
Kepula uan Selayar Bangga i Kendari
713
Bone (713)
713
Kayong Utara (711) Kota Balikpapan (713) Takalar (713)
715
Morowali (715)
715
Poso (715)
714
Muna (714)
714
Bitung
716
716
Minahasa (716)
714
714
Maluku (714)
Maluku Utara
Maluku Tenggara Barat Halmahera Barat
715
Kepulauan (715)
Papua
Merauke
718
Kepula uan Sangih e Maluku Tengga ra Halmah era Tengah Mappi
Kolaka Utara (714) Kepulauan Talaud (716)
718
Biak (717)
Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara
Maluku
713
715 714
715
Bara
57 1
Tapanuli Tengah (572) Karimun (711) Lampung Selatan (712, 572) Pasuruan (712) Brebes (712) Bekasi (712) Manggarai Barat (573, 714) Lombok Barat (573, 713)
572
Bengkayan g (711) Kota Bontang (713) Bulukumba (713)
711
71 5 71 4 71 6
Donggala (715) Wakatobi (714) Minahasa Selatan (716)
715
71 1 57 2 71 2 71 2 71 2 57 3 57 3, 71 3 71 1 71 3 71 3
711 712 712 712 712 573 573
713 713
714
Utara
716
716
Tengah
714
Buru (714)
71 4
Kepulauan Aru (714)
714
Sula
715
Halmahera Selatan (715)
71 5
Halmahera Utara (715)
715
Numfor
717
Asmat (718)
71 8
Kepulauan Yapen (717)
717
Sumber : Sensus Tani (2013) dan KKP (2014), diolah
24
25
Pada pelaksanaannya kegiatan penelitian dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya baik finansial, manusia, maupun waktu. Oleh karena itu diperlukan suatu langkah tambahan untuk dapat memilih lokasi yang lebih sempit dari daftar terpilih. Tahapan ini dilakukan dengan pendekatan expert judgement melalui diskusi kelompok terbatas antara tim peneliti dan narasumber kegiatan. Pertimbangan tambahan dalam pemilihan lokasi adalah aksesibilitas dan ketersediaan perguruan tinggi sebagai calon mitra penelitian. Hasil diskusi menghasilkan 8 lokasi penelitian pada tahun 2016 adalah sebagai berikut Tabel 3. 5
Lokasi Penelitian Tahun 2016 Provinsi
Kabupaten
WPP
Jawa Barat
Indramayu
712
Sulawesi Selatan
Pangkajene Kepulauan
713
Sulawesi Utara
Bitung
716
Maluku
Ambon
714
Papua Barat
Sorong
717
Sumatera Utara
Sibolga
572
Kepulauan Riau
Batam
711
Jawa Tengah
Cilacap
573
3.3.2
Pemilihan sampel rumah tangga Pemilihan sampel rumah tangga dilakukan dengan metode sampling acak terstratifikasi
(stratified random sampling). Stratifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan data yang representatif berdasarkan tingkatan-tingkatan tertentu yang dalam hal ini adalah nelayan berdasaran ukuran armada sehingga data yang diperoleh dapat lebih presisi. Armada yang menjadi objek pengamatan dalam penelitian ini distratifikasi menjadi tiga yaitu dibawah 5 GT, 6-10 GT dan 11-30 GT. Dasar stratifikasi mengikuti pengelompokkan jenis kapal berdasarkan ukuran armada yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, pengamatan juga hanya dibatasi oleh usaha penangkapan ikan berbasis masyarakat sehingga hanya dipilih untuk kapal-kapal dibawah 30 GT. Secara statistik, jumlah kapal dengan ukuran armada dibawah 30 GT secara nasional mencapai 98%. Dengan demikian, pemilihan sampel rumah tangga diharapkan dapat merepresentasikan kondisi usaha perikanan tangkap secara umum.
26
Populasi RT Nelayan < 30 GT
Populasi RT
Populasi RT
Populasi RT
Nelayan < 5 GT
Nelayan 5-10 GT
Nelayan 11-30 GT
Sampel RT Nelayan
Sampel RT Nelayan
Sampel RT Nelayan
10 % dari populasi/ Min
10 % dari populasi/ Min
10 % dari populasi/ Min
40 RT Nelayan
40 RT Nelayan
40 RT Nelayan
Gambar 6. Kerangka Pemilihan Sampling Rumah Tangga Contoh
27
3.4 Metoda Analisis Data Analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 3.4.1
Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan dalam rangka menginterpretasikan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat pedesaan di sektor kelautan dan perikanan mencakup gambaran umum daerah penelitian, dinamika usaha perikanan dan kelautan, struktur dan distribusi pendapatan rumah tangga, dinamika pengeluaran dan konsumsi rumah tangga, dan kondisi kelembagaan ekonomi rumah tangga perikanan dan kelautan. 3.4.2
Analisis Finansial Usaha Mengetahui perkembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan memerlukan gambaran
tentang analisis finansial dari usaha yang dijalankan. Tujuannya untuk memahami kelayakan usaha yang berguna bagi pemerintah, swasta maupun lembaga keuangan dalam pengambilan kebijakan terkait perkembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan seperti penyediaan kredit untuk menumbuhkan kembangkan usaha dimasyarakat. Analisis finansial dapat memberikan gambaran sekaligus estimasi dari penerimaan dan pengeluaran bruto pada masa yang akan datang setiap tahun, termasuk biaya-biaya yang berhubungan dengan produksi dan pembayaran kredit yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga kelautan dan perikanan (Gittinger, 1986).Pada analisis finansial terdapat beberapa indikator yang umum digunakan sebagaimana berikut : Net Present Value (NPV) NPV member gambaran nilai sekarang dari akumulasi penerimaan dan pengeluaran proyek dengan memprediksikan keseluruhan pengeluaran pada masa sekarang dan mendatang. Nilai NPV harus dibibotkan dengan suatu timbangan tingkat suku bunga tertentu sebagai acuan. Suatu proyek dikatakan feasible jika NPV >0. Rumus yang digunakan untuk menghitung NPV adalah:
Internal rate of Return (IRR) IRR adalah suatu indikator yang menjelaskan pada tingkat suku bunga berapa suatu proyek memberikan nilai NPV = 0. Dengan kata lain suatu proyek dikatakan layak/feasible jika nilai IRR-nya lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga yang berlaku di pasar. Rumus yang digunakan untuk menghitung IRR adalah: 28
Payback Period (PP) PP adalah suatu periode yang menjelaskan tingkat pengembalian dari nilai investasi yang ditanamkan. Semakin cepat PB tercapai, makin bagus pula analisa atas suatu proyek. Rumus yang digunakan untuk menghitung PP adalah:
3.4.3
Dinamika Usaha (produksi), Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga Sektor Kelautan dan Perikanan Perhitungan dinamika usaha (produksi) perikanan dilakukan berdasarkan kegiatan usaha
perikanan yang dihasilkan oleh rumah tangga perikanan pada empat bidang usaha yaitu perikanan tangkap laut, perikanan budidaya, perikanan perairan umum daratan dan produk kelautan (garam). Data yang digunakan merupakan data series data panel sejak tahun 2006, perkembangan produksi dapat menjadi acuan untuk menyusun strategi peningkatan produksi dari perikanan rakyat (budidaya/produk kelautan). Dinamika perubahan pendapatan rumah tangga perikanan terkait bidang perikanan tangkap laut, perikanan budidaya, perikanan perairan umum daratan dan produk kelautan (garam). Dinamika pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan yang diperoleh bagik dari usaha perikanan maupun non perikanan, serta yang dihasilkan oleh kepala keluarga maupun anggota keluarga. Dinamika perubahan pendapatan ini dapat menjadi acuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk kelembagaan perikanan atau mata pencahariaan alternatif untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga perikanan. Dinamika konsumsi merupakan bagian penting dalam penelitian ini untuk menyerap hasil produksi yang dihasilkan oleh rumah tangga perikanan. Pada tahun 2016 ini, konsumsi rumah tangga perikanan yang dipelajari mencakup dua hal : 1) terkait dengan pengeluaran rumah tangga perikanan dikeluarkan untuk konsumsi dan (2) investasi. Untuk konsumsi terdiri dari konsumsi pangan maupun non pangan sedangkan untuk investasi terdiri dari investasi usaha dan pendidikan.
29
3.4.4
Indeks Penghidupan Nelayan Pengembangan indikator yang digunakan dalam menghitung indeks secara umum mengacu
pada kerangka penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) yang dikembangkan oleh DFID (1999). Berdasarkan kerangka tersebut, penghidupan dipengaruhi oleh 5 aset modal yaitu, modal finansial, modal alam, modal sumberdaya manusia, modal sosial, dan modal fisik. Lima aspek tersebut penting untuk dilihat khususnya untuk mengenali hubungan penghidupan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan masyarakat terhadap sumber penghidupannya. Namun demikian pemilihan indikator juga harus memperhatikan ketersediaan data dan kemudahan pengumpulan data yang diperlukan sehingga dapat diterapkan secara lebih masif. Pemilihan indikator juga sedapat mungkin yang dapat menghubungkan antara indikator mikro dan indikator makro sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Atas dasar hal tersebut, hasil diskusi panel dengan para narasumber mengerucutkan menjadi 4 aspek yaitu modal finansial, modal alam, modal sosial dan modal sumberdaya manusia. 1. Indeks Modal Finansial Pada dunia bisnis modal finansial dapat diartikan sebagai segala bentuk sumberdaya ekonomi yang diukur terhadap uang yang dibelanjakan untuk membeli kebutuhan produksi dan biaya layanan bisnis yang menopang operasionalisasi kegiatan perusahaan. Konsep tersebut kemudian banyak digunakan pula pada skala rumah tangga untuk mengetahui kemampuan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik pangan dan non pangan. Pendekatan yang digunakan diantaranya adalah pendapatan dan konsumsi a. Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu indikator yang dipilih dalam mengukur indeks penghidupan (livelihood) karena merupakan salah satu elemen yang bersifat dinamis dan melekat pada masyarakat selama masyarakat tersebut itu hidup. Pendapatan merupakan input bagi masyarakat didalam memenuhi kebutuhan hidup yang dengannya mereka melakukan aktivitas jual beli. Memenuhi kebutuhan hidup memang tidak mutlak dilihat dari pendapatan, akan tetapi sebagian besar kebutuhan hidup tidak lagi dapat dipenuhi secara mandiri tanpa adanya pendapatan. Dengan demikian terganggunya pendapatan secara langsung akan menganggu keberlanjutan penghidupan masyarakat. Pada skala makro pendekatan pendapatan juga telah banyak digunakan untuk mengukur pembangunan ekonomi dan pengukuran kemiskinan masyarakat. Hal ini didasarkan oleh tujuan pembangunan ekonomi yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat dimana salah satu ukuran yang dijadikan indikator adalah pendapatan.
30
Pengukuran terhadap tingkat pendapatan masyarakat didasarkan pada garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Semakin jauh diatas garis kemiskinan maka semakin baik pula skor yang diberikan terhadap responden. Begitupula sebaliknya, semakin jauh dibawah garis kemiskinan maka semakin buruk pula skor untuk indikator ini. Tabel 3. 6
Pengukuran Indikator Pendapatan
Skor
Kriteria
Keterangan
1 2 3 4
< dari angka garis kemiskinan 100 – 150 % dari angka garis kemiskinan 151 – 200 % dari angka garis kemiskinan Pendapatan 201-300 % dari angka garis kemiskinan 300% > dari angka garis kemiskinan
Buruk Kurang Cukup Baik
5
Sangat Baik
b. Konsumsi Pendekatan konsumsi seringkali digunakan sebagai indikator kemiskinan karena berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga dan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk tetap bisa hidup. Bahkan isu terkait ketahanan pangan rumah tangga telah menjadi salah satu fokus dunia untuk diperhatikan (FAO, 2011). Pendekatan konsumsi juga sering digunakan sebagai pembanding karena dianggap memberikan nilai yang lebih mendekati kenyataan dibandingkan dengan pendapatan yang seringkali bias informasi dari apa-apa yang disampaikan oleh responden (World Bank, 2015). Konsumsi dapat dibedakan kembali menjadi konsumsi pangan dan non pangan. Konsumsi pangan disusun atas dasar pemenuhan kebutuhan pangan sebesar 2150 kilo kalori dan 57 gram protein. Standar tersebut mengacu pada peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Tabel 3. 7 Skor 1 2 3 4 5
Pengukuran Indikator Konsumsi Kriteria <100 % dari angka garis kemiskinan makanan > 100 – 150 % dari angka garis kemiskinan makanan 151 – 200 % dari angka garis kemiskinan makanan Pendapatan 200-300 % dari angka garis kemiskinan makanan > 300 % dari angka garis kemiskinan makanan
Keterangan
Kurang Cukup Baik Sangat Baik
31
c. Rasio Penerimaan Biaya Rasio penerimaan biaya merupakan konsep umum sederhana yang digunakan dalam mengukur layak tidaknya suatu bisnis untuk terus dijalankan. Konsep ini secara finansial mengukur berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan selama kegiatan usaha. Bila rasio penerimaan biaya sama dengan satu artinya usaha netral tidak merugi akan tetapi juga tidak memberikan keuntungan. Bila faktor waktu digunakan tentu hal ini dapat pula dikatakan sebagai suatu kerugian. Semakin jauh nilai diatas satu semakin mencerminkan baiknya usaha yang dijalankan dilihat dari sisi finansial usaha. Tabel 3. 8 Skor 1 2 3 4 5
Pengukuran Indikator Rasio Biaya Kriteria < 0,5 0,5-1 > 1 dan atau < 1,5 1,5 - 2 >2
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
2. Indeks Modal Alam (Natural Capital) Natural kapital menunjuk pada ketersediaan stok sumberdaya yang ada di alam yang darinya terjadi aliran manfaat dan jasa yang mempengaruhi sumber penghidupan manusia (DFID, 1999). Aspek ini penting untuk dinilai karena berkaitan dengan kerentanan sumber penghidupan seperti semakin berkurangnya sumberdaya ikan yang secara langsung mempengaruhi tingkat penghidupan manusia yang tergantung darinya. Dalam pandangan yang lebih luas bahkan digambarkan bahwa umat manusia tidak akan dapat bertahan hidup tanpa adanya aliran manfaat barang dan jasa dari sumberdaya alam. Ketersediaan sumberdaya idealnya dilakukan dengan survey secara langsung terhadap stok sumberdaya tersebut. Namun sayangnya survey semacam tersebut memerlukan pengamatan secara periodik dan memakan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dicari suatu indikator yang dapat mencerminkan kualitas dari sumberdaya dialam secara cepat dan murah. Berdasarkan hasil diskusi dihasilkan dua pendekatan yang dinilai dapat memberikan gambaran terkait sumberdaya yang terkait langsung dengan usaha perikanan tangkap yaitu produksi per unit usaha dan proporsi jenis sumberdaya ikan ekonomis penting. Produksi per unit usaha mengindikasikan produktivitas usaha penangkapan dimana diduga kuat lebih dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dibandingkan dengan teknologi yang digunakan. Hal ini mengasumsikan keragaman tingkat teknologi dan keterampilan yang relatif seragam antar satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sementara proporsi jenis ikan yang tertangkap 32
menggambarkan jenis ikan ekonomis penting yang tersedia pada suatu perairan dimana semakin tinggi proporsi jenis ikan ekonomis penting akan semakin besar pula potensi manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Ikan ekonomis penting yang dinilai dalam hal ini adalah tuna, tongkol, cakalang, kerapu dan udang. Tabel 3. 9
Pengukuran Indikator Produksi perikanan per unit usaha (prod/ jumlah kapal)
Skor
Kriteria
Keterangan
1
< 50 % dibawah rata-rata nasional
Buruk
2
50-100 % dari rata-rata nasional
Kurang
3
> 100 – 150 % dari rata-rata nasional
Cukup
4
151 – 200 % dari rata-rata nasional
5
>200 % dari rata-rata nasional
Tabel 3. 10
Baik Sangat Baik
Jenis sumberdaya perikanan kelautan (proporsi ikan ekonomis penting)
Skor
Kriteria
Keterangan
1
Proporsi ikan ekonomis penting ≤ 20 %
Buruk
2
Proporsi ikan ekonomis penting 21-40 %
Kurang
3
Proporsi ikan ekonomis penting 41-60 %
Cukup
4
Proporsi ikan ekonomis penting 61-80 %
Baik
5
Proporsi ikan ekonomis penting 81-100 %
Sangat Baik
3. Modal Manusia (Human Capital) Modal manusia merepresentasikan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan bekerja serta kesehatan yang baik dalam rangka memperoleh berbagai strategi penghidupan dan mencapai tujuan dari penghidupan (DFID, 1999). Pada skala rumah tangga tingkat dari modal sumberdaya manusia mencerminkan jumlah dan kualitas ketersediaan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh pengetahuan, ukuran jumlah keluarga, tingkat kesehatan dan juga usia anggota keluarga. a. Tingkat Pendidikan Salah satu indikator didalam sumberdaya manusia adalah pendidikan. Pendidikan merupakan komponen penting yang mempengaruhi kualitas perilaku manusia dalam bertindak. Semakin baik pendidikan diharapkan akan memberi dampak positif terhadap perilaku kehidupan seseorang sehingga mampu meningkatkan taraf penghidupan keluarganya. Misalnya pengetahuan akan berpengaruh pada 33
pengaturan keuangan keluarga dimana selama ini nelayan dikenal sebagai masyarakat yang boros dan sulit untuk menyimpan uang serta menggunakannya untuk meningkatkan aset rumah tangga. Tingkat pengetahuan diukur dari lamanya pendidikan yang ditempuh oleh rumah tangga yang sudah masuk ke dalam usia produktif. Mengacu pada standar BPS usia produktif yang dimaksud adalah setiap orang yang sudah berusia 15 tahun ke atas. Tabel 3. 11
Pengukuran Indikator Pendidikan
Skor 1 2 3 4 5
Kriteria 0-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun >12 tahun
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
b. Tingkat kesehatan Kesehatan merupakan komponen penting yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga oleh karena itu tingkat kesehatan juga menjadi salah satu indikator didalam indeks pembangunan manusia. Pada kategori ini tingkat kesehatan diukur dari frekuensi sakit yang diderita oleh rumah tangga. Seseorang dianggap memiliki tingkat kesehatan yang tidak baik bila didalam satu tahun mengalami 12 kali sakit ringan seperti flu, batuk, pusing-pusing, demam, diare dan sejenisnya atau terkena penyakit berat minimal satu kali seperti serangan jantung, DBD, TBC, dan lainnya yang memerlukan penanganan di rumah sakit. Tabel 3. 12 Skor 1
Pengukuran Indikator Kesehatan Kriteria
Keterangan
2
sakit berat minimal 1 kali per tahun sakit ringan > 12 kali per tahun sakit ringan 9-11 kali per tahun
Buruk Kurang
3
sakit ringan 6-8kali per tahun
Cukup
4
sakit ringan 3-5 kali per tahun
Baik
5
sakit ringan kurang dari 3 kali per tahun
Sangat Baik
34
c. Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga merupakan suatu indikator yang mengindikasikan kekuatan sumberdaya manusia didalam rumah tangga sebagai tenaga yang dapat berkontribusi terhadap penghidupan keluarga. Ukuran jumlah keluarga mengacu pada jumlah orang yang terdaftar didalam satu kartu keluarga atau masih dalam tanggungan kepala keluarga baik itu istri, anak maupun keluarga dan kerabat lainnya. Semakin besar ukuran keluarga maka semakin besar potensi rumah tangga untuk mendapatkan manfaat baik secara ekonomi maupun non ekonomi yang berpengaruh terhadap penghidupan mereka. Terlebih bila anggota keluarga yang ada didalamnya masuk kedalam usia produktif. Tabel 3. 13 Skor 1 2 3 4 5
Pengukuran Indikator Anggota Keluarga Kriteria Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 1 orang Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 2 orang Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 3 orang Jumlah Anggota Keluarga sebanyak 4 orang Jumlah Anggota Keluarga lebih dari 4 orang
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
d. Usia Anggota Rumah Tangga Usia anggota rumah tangga merupakan suatu indikator yang menunjukkan apakah rata-rata anggota keluarga berada pada rentang usia yang produktif. Semakin banyak anggota rumah tangga yang berada pada selang kelas tersebut maka mengindikasikan bahwa didalam rumah tangga tersebut semakin berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup rumah tangga. Bila rata-rata usia anggota rumah tangga cukup tinggi mendekati usia tidak produktif menunjukkan gejala permasalahan dimana rumah tangga akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup karena minimnya potensi sumberdaya manusia yang dapat bekerja. Tabel 3. 14 Skor 1 2 3 4 5
Pengukuran Indikator Usia Anggota Rumah Tangga Kriteria < 15 dan > 65 tahun 15-20 dan 60-65 tahun 21-26 dan 54-59 tahun 27-32 dan 48-53 tahun 33 - 47 tahun
Keterangan Buruk Kurang Cukup Baik Sangat Baik
35
3.5 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2016. Pada tahap persiapan (studi literatur) dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Februari 2016, pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret sampai dengan November 2016, sedangkan penyusunan laporan teknis kegiatan dilakukan pada bulan Desember 2016. Lokasi penelitian merupakan lokasi-lokasi sentra produksi perikanan tangkap laut, lokasi tersebut meliputi : Tabel 3. 15
Lokasi Penelitian Panelkanas Tahun 2016
Provinsi Jawa Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Maluku Papua Barat Sumatera Utara Kepulauan Riau Jawa Tengah
Kabupaten Indramayu Pangkajene Kepulauan Bitung Maluku Tengah Sorong Sibolga Batam Cilacap
WPP 712 713 716 714,715 717 572 711 573
36
4
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografis dan Kependudukan pada Lokasi Penelitian 4.1.1
Kota Sibolga Kota Sibolga merupakan salah satu kabupaten yang terletak pada pesisir provinsi Sumatera Utara.
Jarak Kota Sibolga dari Kota Medan adalah 344 Km kearah selatan. Kota ini berada pada sisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Secara geografis Kota Sibolga terletak pada 1°43’- 1°44’ Lintang Utara (LU) dan 98°47’ - 100°47 Bujur Timur (BT). Bentuk Kota memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti garis pantai, dimana sebelah Timur terdiri dari gunung, dan lautan di sebelah Barat. Bentuk Kota Sibolga adalah memanjang dengan lebar rata-rata kota adalah 500 meter yang dihitung dari garis pantai dan kaki gunung yang dijadikan perumahan. Luas wilayah administratif Kota Sibolga adalah 3.536 Ha (35.36 Km2) yang terdiri dari daratan seluas 1.127 ha, 5 buah pulau seluas 238 ha, dan lautan 2171 ha. Kota Sibolga berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah pada wilayah sebelah Utara, Timur dan Selatan. Sedangkan pada sebelah barat berbatasan secara langsung dengan Samudera Indonesia.
Gambar 4. 1
Wilayah Administratif Kota Sibolga Sumber : Google Map, 2012
37
Pada tahun 2010, jumlah penduduk Kota Sibolga sebanyak 30.082 jiwa dengan pertumbuhan penduduk dari tahun 2000 sampai dengan 2010 adalah 0.3%.. Dari jumlah tersebut, penduduk laki-laki sebanyak 15.198 jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 14.844 jiwa. Kepadatan penduduk cukup tinggi yakni 95.80 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani (16.5%) Kota Sibolga memiliki 5 (lima) pulau-pulau kecil dengan luas keseluruhan 137,08 Ha. Keberadaan pulau – pulau tersebut memberikan peluang dalam pengembangan wisata bahari dan perikanan budidaya. Sebagaimana diketahui, dengan panjang garis pantai mencapai 21,84 km termasuk 10,41 km garis pantai pulau – pulau kecil, maka pantai kota sibolga memiliki potensi pengembangan budidaya ikan melalui sistem Keramba Jaring Apung (KJA).
4.1.2
Kota Batam Kota Batam terletak di jalur pelayaran internasioal, tepatnya di Selat Malaka yang merupakan
jalur pelayaran yang sangat sibuk dan ramai. Luas Kota Batam adalah 3.990 km2 terdiri dari wilayah darat dan laut. Kota ini termasuk dalam wilayah administrative Provinsi Kepulauan Riau, yang berbatasan sebelah Utara dengan Singapura dan Malaysia, bebelah Selatan dengan Kabupaten Lingga, sebelah Barat dengan Kabupaten Karimun dan Laut Internasional, sebelah Timur dengan Kabupaten Bintandan Kota Tanjung Pinang. Wilayah Kota Batam terletak antara 00o 25’ 29’’-10 o15’ 00’’ Lintang Utara dan 103 o 34’35’’ - 104 o 26’ 04’’ Bujur Timur. Kota Batam terdiri dari dari 12 kecamatan dan 64 kelurahan, yang tersebar di pulau utama (main island) yaitu Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau kecil lainnya. Daerah ini beriklim tropis dengan suhu berkisar 21,40C -34,80 C dan terdapat dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Jumlah hari hujan pada tahun 2015 tercatat 215 hari hujan dengan curah hujan sebesar 2.330,7 mm. Suhu udara rata-rata 26,40 C – 28,60 C, dengan kelembapan udara di Kota Batam rata-rata berkisar antara 79-86% dan keadaan tekanan udara rata-rata berkisar antara 1.007,9 mb – 1.011,0 mb (BPS Kota Batam, 2015). Wilayah Kota Batam merupakan bagian dari paparan kontinental, pulau-pulaunya merupakan sisasa erosi atau penyusutan dasaratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia dan Singapura sampai dengan Puau-pulau Moro, sedangkan pada bagian selatan dengan Pulau Karimun. Pulau-pulau di Kota Batam pada umumnya dapat digolongkan datar dengan variasi disana sini berbukitbukit dengan ketinggian maksimum 160 m diatas permukaan laut. 38
Jumlah penduduk di Kota Batam pada tahun 2014 mencapai 1.135.412, jiwa yang terdiri dari 591.180 jiwa penduduk laki-laki dan 544.232 jiwa penduduk perempuan. Kepadatan penduduk Kota Batam adalah 40.241 jiwa/km2. Konsentrasi penduduk terbesar berada di Kecamatan Batu Aji yaitu sebesar 176.491 jiwa, namun kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Bengkong yaitu 9.554 jiwa/km2.
Jumlah penduduk Kota Batam berdasarkan jenis kelamin, Kecamatan dan Kepadatannya
disajikan pada Tabel 4. 1. Tabel 4. 1 No
Luas Wilayah Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2014 Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Luas wilayah (Km2)
Penduduk (jiwa) Laki-laki
Belakang Padang 69,120 12.353 Bulang 158,753 5.886 Galang 350,764 8.785 Sei Beduk 106,447 52.890 Nongsa 114,546 33.403 Sekupang 68,302 71.962 Lubuk Baja 11,426 47.089 Batu Ampar 11,187 46.575 Batam Kota 38,964 60.183 Sagulung 54,780 85.302 Batu Aji 41,337 94.216 Bengkong 13,214 65.836 Jumlah 1.038,840 591.180 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Batam, 2015
Perempuan
Jumlah
11.784 5.413 7.634 55.038 28.737 65.510 51.325 40.411 55.729 79.969 82.275 60.407 544.232
24.137 11.299 16.419 107.928 62.140 137.472 98.414 86.989 115.912 165.271 176.491 126.243 1.135.412
Kepadatan (jiwa/Km2) 349 71 47 1.014 542 2.013 8.613 7.776 2.975 3.017 4.270 9.554 40.241
Jumlah tenaga kerja di Kota Batam jika dikaitkan dengan sektor ekonomi, mencapai total 375.070 tenaga kerja (data tahun 2013). Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Kota Batam adalah sektor industri pengolahan, penyerapan tenaga kerja sektor ini mencapai 192.917 tenaga kerja (51% dari total tenaga kerja). Sektor perikanan menyerap sekitar 19.426tenaga kerja (5% dari total tenaga kerja). Jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor ekonomi di Kota Batam dari tahun 2009 sampai 2013 disajikan pada Tabel 4. 2
. 39
Tabel 4. 2 No
Banyaknya Tenaga Kerja Di Kota Batam Berdasarkan Sektor Ekonomi Tahun 2009-2013. Sektor ekonomi
2009 Pertanian 2.720 Perikanan 10.733 2 Pertambangan 377 3 Industri Pengolahan 158.327 4 Listrik, Gas dan Air 662 5 Bangunan 26.485 6 Perdagangan dan Hotel 24.512 7 Pengangkutan dan 3.033 Komunikasi 8 Keuangan 19.173 9 Jasa-Jasa 30.142 Total 276.164 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Batam 1
4.1.3
Jumlah Tenaga Kerja (Jiwa) 2010 2011 2012 2.623 2.511 2.549 12.203 12.209 12.233 438 488 726 170.118 174.048 183.592 735 476 934 29.987 33.130 34.509 23.201 34.478 40.418 3.246 3.470 4.062
2013 2.532 19.426 738 192.917 1.069 37.190 41.280 4.482
19.920 39.158 305.629
24.765 50.671 375.070
24.896 45.512 331.263
25.601 49.282 354.562
Kab. Indramayu Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak pada posisi 107°52'-108°36' BT dan 6°15'–6°40'
LS. Batas wilayah Kabupaten Indramayu terdiri dari sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang; sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Cirebon; sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon. Cakupan wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Indramayu saat ini terdiri dari 31 Kecamatan, 307 desa dan 8 kelurahan, dengan luas wilayah sebesar 204,011 ha atau 2.040.110 km yang membentang sepanjang pantai utara antara Cirebon-Subang. Berdasarkan topografinya ketinggian wilayah pada umumnya berkisar antara 0-18 m di atas permukaan laut berupa rawa, tambak, sawah, pekarangan. Kabupaten Indramayu sebagian permukaan tanahnya berupa dataran dengan kemiringan antara 0%-2% seluas 201.285 ha (96,03%) dari total wilayah. Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan tinggi maka daerah -daerah tertentu akan terjadi genangan air dan bila kemarau akan mengakibatkan kekeringan (Pemerintah Kabupaten Indramayu, 2011). Kabupaten Indramayu memiliki wilayah pesisir dengan garis pantai sepanjang 147 km yang merupakan garis pantai terpanjang di Provinsi Jawa Barat (Dinas Perikanan dan Kelautan Indramayu, 2005). Untuk wilayah Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan penyumbang utama (sekitar 51 %) dari produksi perikanan laut yang ada. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu (2010a), produksi perikanan laut di Kabupaten Indramayu termasuk stabil dan pada tahun 2009 mencapai 108.554,6 ton dengan nilai sekitar Rp 1.383.687.650.000. Hal ini disamping karena jumlah usaha perikanan di lokasi banyak, jumlah usaha perikanan tersebut umumnya dikembangkan dalam skala 40
menengah ke atas. Aktivitas usaha perikanan tersebut umumnya berbasis di Karangsong, Pabean Udik, dan Singaraja. Karangsong sangat terkenal dengan tempat pendaratan ikannya (TPI Karangsong) yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat Indramayu melalui Koperasi Perikanan Laut (KPL) Mina Sumitra. Meskipun tidak banyak mendapat bantuan fasilitas pengelolaan dari Pemerintah, tetapi aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Indramayu (terutama TPI Karangsong) termasuk paling sibuk dan stabil di Propinsi Jawa Barat.
Gambar 4. 2
Peta Administrasi Kabupaten Indramayu
Sumber : Bappeda Kabupaten Indramayu, 2014 Kondisi demografi penduduk di Kabupaten Indramayu rata-rata mengalami kesamaan untuk tipa kecamatan yaitu yang paling ramai berada di pusat kecamatan karena disana banyak dijumpai roda perekonomian, sedangkan permukiman yang lain menyebar di wilayah sekitarnya. Jumlah penduduk Kabupaten Indramayu tahun 2014 sebanyak 1.708.551 jiwa, dengan komposisi jumlah laki-laki sebanyak 880.024 jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 828.527 jiwa, keadaan ini menunjukkan adanya kenaikan sebesar 11.060 jiwa, dengan demikian laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Indramayu Tahun 2013 2014 sebesar 0,65%. Laju Pertumbuhan mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sedangkan sex ratio sebesar 106,22. Jumlah rumah tangga Kabupaten Indramayu tahun 2014 sebanyak 488.546 KK. Komposisi Penduduk Kabupaten Indramayu menurut struktur umur dan jenis kelamin dapat digambarkan dengan jelas oleh piramida penduduk. Dari piramida penduduk dapat dilihat 41
bahwa selama lima tahun terakhir telah terjadi penurunan fertilitas. Luas wilayah Kabupaten Indramayu kurang lebih 2.099,42 km2. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1.708.551 jiwa, kepadatan penduduk di Kabupaten Indramayu kurang lebih sebesar 813,82 jiwa/Km2. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Karangampel yaitu sebesar 2.125,46 jiwa/Km2, sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Cikedung 267,13 jiwa/Km2. Tabel 4. 3
Jumlah Penduduk di Kabupaten Indramayu, 2004-2014
Tahun Laki-laki Perempuan 2004 860.588 825.994 2005 865.682 832.304 2006 870.895 838.233 2007 875.126 842.667 2008 882.530 850.144 2009 888.579 856.318 2010 858.913 809.240 2011 862.846 812.944 2012 866.795 816.665 2013 874.171 823.320 2014 880.024 828.527 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu, 2015
4.1.4
Jumlah 1.686.582 1.697.986 1.709.128 1.717.793 1.732.674 1.744.897 1.668.153 1.675.790 1.683.460 1.697.491 1.708.551
Kab. Cilacap Kabupaten Cilacap merupakan salah satu wilayah di Propinsi Jawa Tengah di bagian barat
selatan dan perupakan wilayah batas yang berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat. Wilayah ini terkenal dengan sebutan daerah industri di Jawa Tengah karena terdapat beberapa industri besar seperti Pertamina, industri semen, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kabupaten Cilacap memiliki luas wilayah 225.361 Km2 dan garis pantai sepanjang ± 105 km. Secara geografis Kabupaten Cilacap terletak diantara 108 o 4’ 30“ – 109o 22’ 30“ garis bujur timur dan 7o 30’ 20“ - 7o 45’ 20“ garis lintang selatan, dan berada di bagian wilayah selatan Provinsi Jawa Tengah yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Secara administrasi Kabupaten Cilacap berbatasan dengan Kabupaten Banyumas pada bagian Utara, sebelah Selatan Samodera Hindia, sebelah Timur Kabupaten Kebumen dan sebelah Barat Kabupaten Ciamis. Letak wilayah Kabupaten Cilacap terbagi menjadi 24 Kecamatan, 15 Kelurahan dan 269 Desa.
42
Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai dan perbukitan
dengan ketinggian antara 6 – 198 m dari permukaan laut. Iklim di Wilayah Kabupaten Cilacap adalah iklim tropis dengan musim hujan dan musim kemarau yang silih berganti setiap tahunnya, suhu minimum 21,30 derajat Celsius maximum 31,30 derajat Celsius dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 5,92 sampai dengan 6,4 mm, dengan demikian Kabupaten Cilacap termasuk beriklim sedang. Keberadaan wilayah Kabupaten Cilacap di pesisir selatan Pulau Jawa menjadikan daerah
ini juga memiliki potensi perikanan yang besar. Dengan dukungan fasilitas pelabuhan perikanan nusantara/samudera dan beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di sepanjang pantai, Kabupaten Cilacap merupakan wilayah yang memiliki aktifitas perikanan tangkap laut yang tinggi. Dalam mendukung produksi perikanan tangkap perairan laut, Kabupaten Cilacap di topang oleh 10 tempat pendaratan ikan dan 1 pelabuhan perikanan yang juga berfubgsi sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sementara itu untuk produksi perikanan tangkap perairan umum darat (sungai, genangan dan rawa) berasal dari 24 Kecamatan yang ada di Kabupaten Cilacap dengan potensi luas perairan sluas 1.593 ha. Batas administrasi Kabupaten Cilacap terletak di ujung barat-selatan Propinsi Jawa Tengah dan berjarak kurang lebih 250 km dari ibukota propinsi Semarang. Kabupaten Cilacap memiliki batas dengan wilayah administrasi lain, yaitu: - Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas - Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen - Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pengandaran Propinsi Jawa Barat Secara administratif, Kabupaten Cilacap terbagi menjadi 24 kecamatan dengan luas wilayah mencapai 213.850 Ha (tidak termasuk Pulau Nusakambangan), atau sekitar 6,94 % luas Propinsi Jawa Tengah (Tabel 4. 4). Sebagian besar wilayahnya merupakan daratan, tapi di bagian selatan Kabupaten memiliki wilayah laut dari kota cilacap memanjang ke timur hingga 43
perbatasan dengan Kabupaten Kebumen. Di bagian barat, Kabupaten Cilacap memiliki perairan Laguna Segara Anakan yang terlindung oleh Pulau Nusakambangan. Tabel 4. 4
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Luas Wilayah Kabupaten Cilacap per Kecamatan
Kecamatan Dayehluhur Wanareja Majenang Cimanggu Karang Pucung Cipari Sidareja Kedungreja Patimuan Gandrungmangu Bantarsari Kawunganten Kampung Laut Jeruk Legi Kesugihan Adipala Maos Sampang Kroya Binangun Nusawungu Cilacap Selatan Cilacap Tengah Cilacap Utara Luas Total Sumber (BPS Kabupaten Cilacap, 2015)
Luas Wilayah (Ha) 18.506 18.973 13.856 16.744 11.199 12.148 5.495 7.143 7.530 14.319 9.553 12.062 14.598 9.679 8.231 6.119 2.804 2.730 5.883 5.142 6.126 911 2.215 1.884 213.850
44
Peta Kab. Cilacap Sumber: BPS Kabupaten Cilacap
Gambar 4. 3
Jumlah penduduk Kabupaten Cilacap sesuai data Sensus Penduduk 2010 sebanyak 1.641.031 jiwa dan berdasarkan registrasi penduduk tahun 2010 sebanyak 1.744.128 jiwa, serta dengan jumlah penduduk miskin sebesar 346.732 jiwa (19,88%) dan mengalami penurunan penduduk miskin rata-rata 1,35%/tahun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sementara itu, jumlah penduduk Kabupaten Cilacap pada tahun 2104 meningkat menjadi 1.774.649 jiwa, yang terdiri dari 888.928 jiwa laki-laki dan 885.721 jiwa perempuan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir sebesar 0,35% (Tabel 4. 5). Dari jumlah penduduk tersebut, kepadatan rata-rata penduduk di Kabupaten Cilacap adalah 830 jiwa/km2. Tabel 4. 5
Jumlah Penduduk Kabupaten Cilacap Tahun 2010 - 2014
Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan 2010 875.825 872.880 2011 879.198 876.070 2012 883.390 880.613 2013 885.812 882.690 2014 888.928 885.721 Sumber: BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2015 Tahun
Jumlah Total
Pertumbuhan
1.748.705 1.755.268 1.764.003 1.768.502 1.774.649
0,26 0,38 0,50 0,26 0,35
45
Jumlah total rumah tangga di Kabupaten Cilacap adalah 466.411 rumah tangga dengan rata-rata penduduk per rumah tangga sebesar 3,8 jiwa. Jumlah rumah tangga terbesar terdapat di wilayah Kecamatan Gandrungmangu, yaitu sebanyak 25.681 rumah tangga. Sementara itu jumlah rumah tangga terkecil terdapat di Kecamatan KAmpung Laut yang berjimlah 4.201 rumah tangga (Tabel 4. 6). Tabel 4. 6
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jumlah Rumah Tangga di Kabupaten Cilacap
Kecamatan Rumah Tangga Rata-rata Penduduk per Rumah Tangga Dayehluhur 15.649 3,2 Wanareja 27.955 3,5 Majenang 33.324 3,8 Cimanggu 23.302 4,2 Karang Pucung 18.890 3,9 Cipari 14.694 4,3 Sidareja 16.022 3,6 Kedungreja 19.654 4,1 Patimuan 12.824 3,6 Gandrungmangu 25.681 4,1 Bantarsari 21.585 3,2 Kawunganten 19.796 4,1 Kampung Laut 4.201 4,1 Jeruk Legi 16.923 3,9 Kesugihan 28.721 3,4 Adipala 22.297 3,5 Maos 10.537 4,6 Sampang 10.930 3,5 Kroya 24.831 4,2 Binangun 16.652 4,0 Nusawungu 21.097 3,7 Cilacap Selatan 19.245 4,1 Cilacap Tengah 23.511 3,6 Cilacap Utara 18.090 3,9 Jumlah 466.411 3,8 Sumber: BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2015
46
Sementara itu jumlah total Rumah Tangga Perikanan/Perusahaan Perikanan di perairan laut Kabupaten Cilacap adalah sebanyak 4.725 usaha. Jumlah tersebut terdiri dari RTP nelayan tanpa perahu (1.015 usaha), RTP nelayan dengan perahu tanpa motor (173 unit), RTP nelayan dengan perahu motor tempel (3160 usaha), dan RTP nelayan dengan menggunakan kapal motor (377 usaha). Berdasarkan data di atas, RTPdi Kabupaten Cilacap mayoritas merupakan nelayan perahu dengan motor temple (Tabel 4. 7). Tabel 4. 7
Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Cilacap
RTP
Jumlah (unit/usaha)
Persentase (%)
Tanpa perahu 1.015 21,5 Perahu tanpa motor 173 3,7 Perahu motor temple 3.160 66,9 Kapal motor 377 8,0 Jumlah 4725 100 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015 Mata pencaharian penduduk Kabupaten Cilacap pada tahun 2014 terbanyak adalah sektor pertanian yang mencapai 540.441 penduduk. Sektor lain yang menjadi sumber mata pencaharian adalah industri (74.063), perdagangan (100.993), Angkutan dan komunikasi (22.369), jasa (90.065) serta sektor-sektor lain (113.360) penduduk (Tabel 4. 8). Tabel 4. 8
No
Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha dari Matapencaharian Utama
1 2 3 4 5 6
Lapangan Usaha
Pertanian Industri Perdagangan Angkutan dan komunikasi Jasa Lainnya Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2015
Jumlah (jiwa) 540.441 74.063 100.993 22.369 90.065 113.360 941.291
47
Dalam data statistik, matapencaharian nelayan merupakan bagian dari sektor pertanian secara umum. Pada tahun 2014, banyaknya nelayan yang merupakan representasi dari matapencaharian sektor perikanan dan kelautan berjumlah 12.926 penduduk. Jumlah nelayan memang lebih sedikit dari jumlah buruh tani yang mencapai 259.283 penduduk, buruh industri (40.846 penduduk), buruh bangunan (50.342 penduduk), serta PNS/POLRI (28.273 penduduk) (Tabel 4. 9). Tabel 4. 9
Matapencaharian Masyarakat Kabupaten Cilacap
No 1 2 3 4 5 6
Matapencaharian Jumlah Buruh Tani 259.283 Nelayan 12.928 Buruh Industri 40.846 Buruh Bangunan 50.324 PNS/POLRI 28.273 Pensiunan 10.815 Jumlah 402.469 Sumber: BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2015
Persentase (%) 64,4 3,2 10,1 12,5 7,0 2,7 100
Sementara itu menurut data Statistik Perikanan Tangkap Di Perairan Laut Dan Perairan Umum Darat Tahun 2015, jumlah nelayan yang beraktifitas pada tahun 2015 tercatat sebanyak 13.608 orang. Lebih lanjut dirinci bahwa nelayan yang memiliki Kartu Nelayan sampai dengan Desember 2015 sebanyak 11.431 orang. Dari jumlah tersebut, nelayan yang menjadi anggota Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) di Kabupaten Cilacap tercatat sebanyak 13.000 orang dan nelayan yang menjadi anggota KUD Mino Saroyo sebanyak 8.301 orang. Kabupaten Cilacap merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, mayoritas penduduknya merupakan suku Jawa. Namun demikian, wilayah Kabupaten Cilacap sebelah barat berbatasn langsung dengan Propinsi Jawa Barat, sehingga di wilayah tersebut terdapat masyarakat suku Sunda. Sementara itu, Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Kabupaten Cilacap pada tahun 2013 berasal dari China, Arab dan WNI keturunan lain. Jumlah total WNI keturunan di Kabupaten Cilacap pada tahun 2015 tercatan sebanyak 3900 jiwa. WNI keturunan China tercatat sebanyak 3.288 jiwa yang terdiri dari 1.621 laki-laki dan 1.667 perempuan. WNI 48
keturunan Arab tercatat sebanyak 402 jiwa yang terdiri dari 208 laki-laki dan 194 perempuan. Sedangkan WNI keturunan lain tercatat sebanyak 210 yang terdiri dari 100 laki-laki dan 110 perempuan (Tabel 4. 10). Tabel 4. 10
Warga Negara Indosesia Keturunan di Kabupaten Cilacap
WNI Laki-Laki Perempuan Keturunan China 1621 1667 Arab 208 194 Lainnya 100 110 Jumlah 1929 1972 Sumber: BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2015
Jumlah 3.288 402 210 3900
Tingkat pendidikan masyarakat Cilacap usia 5 tahun ke atas sebagian besar pada tingkat Sekolah Dasar/SD atau sederajat yang mencapai 38,3 %. Masyarakat yang berpendidikan tinggi (akademi/perguruan tinggi) hanya mencapai 2,4 %. Sementara itu di wilayah ini masih terdapat masyarakat yang belum/tidak pernah sekolah yang mencapai 8,3 % serta yang belum/tidak tamat SD mencapai 23,4 %. Data selengkapnya tingkat pendidikan masyarakat Cilacap disajikan pada Tabel 4. 11. Tabel 4. 11
No 1 2 3 4 5 6
Tingkat Pendidikan Masyarakat Kabupaten Cilacap
Pendidikan Jumlah Belum/tidak pernah sekolah 134.552 Belum/tidak tamat SD 379.167 SD sederajat 619.984 SLTP sederajat 266.071 SLTA sederajat 182.556 Akademi/PT 38.327 Jumlah 1.620.657 Sumber: BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2015
Persentase (%) 8,3 23,4 38,3 16,4 11,3 2,4 100
Berdasarkan katagori umur, penduduk Kabupaten Cilacap termasuk dalam katagori sedang dimana jumlah penduduk yang berusia di bawah 15 tahun (penduduk anak-anak) sebesar 26,42% dengan dengan angka rasio ketergantungan sebesar 51,57% (setiap 100 orang produktif harus menanggung 52 orang usia non produktif) (Tabel 4. 12).
49
Tabel 4. 12
Kelompok Umur Penduduk Kabupaten Cilacap
Kelompok Umur (tahun) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65Jumlah
Jumlah (jiwa) Persentase (%) 154.122 8,7 156.911 8,8 157.868 8,9 151.145 8,5 119.702 6,7 109.635 6,2 121.554 6,8 128.132 7,2 132.750 7,5 129.433 7,3 115.346 6,5 94.296 5,3 68.826 3,9 134.929 7,6 1.774.649 100
Sumber: BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2015 4.1.5
Kab. Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dengan luas Wilaya 1.112,29km2 atau111.229 Ha dan
mempunyai ketinggian tempat rata – rata 8 meter diatas permukaan Laut. Secara Geografis Kabupaten Pangkajene dan kepulauan terletak diantara 40 40’ LS Sampai 8000’ LS dan diantara 1100 BT sampai dengan 119048’67’’BT . Adapun batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan PangkajeneKepul auan adalah: ▪ Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Barru; ▪ Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros; ▪ Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Maros; ▪ Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan memiliki 13 Kecamatan. Kecamatan Terjauh dari Ibu kota Kabupaten adalah Kecamatan Liukang Tangaya yaitu sejauh 291,29 KmKabupaten Pangkajene dan Kepulauan merupakan daerah yang mempunyai Iklim Tropis Basa ( Type B ) dengan musim kemarau. Curah Hujan disuatu Wilaya ( Tempat ) dipengaruhi oleh keadaan iklim geografi dan perputaran/pertemuan arus udara . oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak 50
stasiun pengamat. Pada tahun 2012 rata-rata curah hujan perbulan sekitar 201,33 mm.Dalam RTRW dijelaskan bahwa pada wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terdapat beberapa sungai Besar yang melitansi kabuapten Pangkajene dan Kepulauan yaitu Sungai Tabo-tabo, Sungai Segeri, Sungai Leang Londrong, Sungai Binti Mala, Sungai Kali Bone. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dengan pusat pemerintahan di Kecamatan Pangkajene merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi, yakni mencapai 872 jiwa/Km2. Jumlah rumah tangga yang tercatat sebanyak 9.359 KK, dengan jumlah penduduk keseluruhan 41.350 jiwa. Luas wilayah Kecamatan Pangkajene tercatat 47,39 km2 yang meliputi 9 kelurahan. Angka pertumbuhan penduduk Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan khususnya tiga tahun terakhir (tahun 2009 - 2011) cenderung mengalami penurunan rata-rata 3,5 % pertahun. 4.1.6
Kota Bitung Kota Bitung terletak pada posisi geografis 1° 23′ 23″ – 1° 35′ 39″ LU dan 125° 1′ 43″ -1 25° 18′ 13″
BT dengan batas wilayah : Sebelah Utara : Kec. Likupang (Kab.Minahasa Utara) dan Laut Maluku Sebelah Timur : Laut Maluku Sebelah Selatan : Laut Maluku Sebelah Barat : Kecamatan Kauditan (Kab. Minahasa Utara) Wilayah daratan Kota Bitung mempunyai luas 33.279,10 ha, terbagi dalam delapan wilayah kecamatan serta 69 kelurahan yang sebelumnya terdiri dari 5 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Kecamatan Ranowulu memiliki 11 kelurahan, Kecamatan Matuari memiliki 8 kelurahan, Kecamatan Girian memiliki 7 kelurahan, Kecamatan Madidir memiliki 8 kelurahan, Kecamatan Maesa memiliki 8 kelurahan, Kecamatan Aertembaga memiliki 10 kelurahan, Kecamatan Lembeh Utara memiliki 10 kelurahan dan Kecamatan Lembeh Selatan memiliki 7 kelurahan. Dari delapan kecamatan tersebut Kecamatan Ranowulu memiliki luas terbesar seluas 17.117 Ha dibandingkan 7 kecamatan lainnya. Dilihat dari aspek topografis, keadaan tanah sebagian besar daratan Bitung atau 45,06 persen berbukit dan 32,73 persen bergunung. Hanya 4,18 persen merupakan dataran landai serta sisanya 18,03 persen berombak. Mulai dari bagian Timur, dari pesisir pantai Aertembaga, sampai dengan Tanjung Merah di bagian Barat, merupakan daratan yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0 – 15 derajat, sehingga secara fisik dapat dikembangkan sebagai wilayah perkotaan, industri, perdagangan dan jasa serta pemukiman. Pada bagian utara keadaan topografi semakin bergelombang dan berbukit-bukit. Bagian utama dari lahan tersebut merupakan kawasan pertanian, perkebunan, hutan lindung dan cagar 51
alam. Di bagian selatan terdapat sebuah pulau yaitu Pulau Lembeh yang keadaan tanahnya kasar dan ditutupi oleh tanaman kelapa, hortikultura dan palawija. Potensi perikanan di Pulau ini juga tinggi terutama untuk ikan pelagis besar dan cumi-cumi. Kependudukan Jumlah penduduk Kota Bitung berdasarkan data Sensus Penduduk tahun terakhir sebesar 198.257 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata setiap tahunnya mencapai 3 persen. Dilihat dari sebaran penduduk per kecamatan sebagian besar penduduk Bitung terkonsentrasi di Kecamatan Maesa sebesar 19 % dari total penduduk Bitung tinggal di kecamatan ini. Secara demografis penduduk Kota Bitung tergolong mempunyai struktur umur muda. Hal ini terlihat dari pola piramida penduduk menurut kelompok umur pada Gambar 1. Pada bagian tengah struktur piramida menunjukkan pola menjorok ke luar yang artinya proporsi penduduk yang dominan pada usia muda.
Gambar 4. 4
Piramida Penduduk Bitung Tahun 2013
Sebagian besar penduduk Kota Bitung berasal dari suku Minahasa dan suku Sangir yang berprofesi sebagai nelayan dan bekerja di usaha perikanan. Terdapat juga komunitas etnis Tionghoa. Para pendatang berasal dari suku Jawa, Halmahera dan Gorontalo dimana sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan buruh. Penduduknya yang multietnis tersebut sebagian besar memeluk agama Kristen 52
Protestan, sedangkan Islam dianut oleh para pendatang dari Jawa dan Gorontalo. Sedangkan komunitas etnis Tionghoa menganut agama Budha dan Konghucu. Struktur perekonomian Kota Bitung dapat dilihat dari kontribusi masing-masing sektor dalam pembentukan total PDRB Daerah. Pada tahun 2012 kontribusi sektor angkutan berada pada urutan pertama terhadap total PDRB yakitu sebesar 23,03 %, diikuti oleh sektor industri sebesar 20,74% dan ketiga sektor pertanian sebesar 17,99%. Keberadaan industri perikanan yang cukup berkembang menyumbang perekonomian yang cukup signifikan bagi Kota Bitung.
Gambar 4. 5
4.1.7
Struktur Perekonomian Kota Bitung tahun 2013
Kab. Maluku Tengah Kabupaten Maluku Tengah merupakan wilayah kepulauan dengan luas wilayah 275.907 Km2
yang terdiri dari Luas Lautan : 264.311,43 Km2 (95,80 %), Luas Daratan : 11.595,57 Km2 (4,12 %), dan Panjang Garis Pantai : 1.375,529 Km. ulau, sedangkan yang tidak dihuni sebanyak 36 buah pulau. Berdasarkan pendekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kesaman perekonomian dan potensi sumberdaya alam, maka wilayah kabupaten Maluku Tengah Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Maluku di kelompokan dalam gugus pulau III yang meliputi : Pulau Seram, Ambon, Haruku, Saparua, Banda, Manowaka, Teon Nila Serua dan Pulau Buru dalam satu gugus pulau. Keadaan perairan umumnya jernih terutama tampak jelas di daerah/tempat sebaran terumbu karang. Pada Tempat-tempat tersebut terutama pada saat air mengalami pasang surut berbagai jenis karang hidup dapat terlihat dari permukaan. Keadaan arus di perairan selat atau antara 53
pulau-pulau yang ada umumnya sangat kuat dan di beberapa tempat terlihat putaran arus yang kadang-kadang dapat membahayakan bagi nelayan yang menggunakan perahu-perahu kecil tanpa mesin.Keadaan dasar perairan pada umumnya mempunyai substrat padat, substrat berpasir dan variasi antara berpasir dan berlumpur. Pada substrat dasar berbatu umumnya ditumbuhi koloni karang hidup, sedangkan dibeberapa tempat dengan substrat berpasir dan berlumpur ditumbuhi padang lamun dan mangrove. Iklim Kabupaten Maluku Tengah sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung seirama dengan iklim musim yang terdapat di daerah ini. Musim yang berlangsung di Kabupaten Maluku Tengah terbagi atas 2 (dua) musim yaitu Musim Barat/Utara dan Musim Timur/Tenggara yang diselingi oleh musim pancaroba yang merupakan transisi antara kedua musim tersebut. Musim hujan dan Musim panas di daerah ini tidak bersamaan waktunya. Pada waktu musim Barat/Utara berlangsung dari Bulan Oktober sampai Maret diselingi musim Pancaroba di Bulan April. Musim Timur/Tenggara berlangsung dari Bulan April sampai September. Ditinjau dari aspek Ekologinya pada perairan Maluku Tengah dapat dijumpai adanya berbagai tipe Ekosistem yang secara keseluruhan merupakan lingkungan hayati yang penting bagi terselenggaranya daur hidup biota didalamnya. Potensi Perikanan Laut sebesar 835.400 Ton / Tahun dengan Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 667.800 Ton / Tahun. Potensi tersebut baru dimanfaatkan sampai Tahun 2015 sebesar 131.806,39 Ton. 4.1.8
Kota Sorong Kota Sorong merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi Papua Barat. Kota Sorong
terletak di antara 131´17°LS dan 0´53°LS. Menurut faktor geografisnya Kota Sorong dibatasi oleh : Sebelah Barat
: Selat Dampir
Sebelah Utara
: Selat Dampir dan Kabupaten Sorong (Distrik Makbon)
Sebelah Timur
: Kabupaten Sorong (Distrik Makbon)
Sebelah Selatan
: Kabupaten Sorong (Distrik Aimas) dan Kabupaten Raja Ampat (Distrik
Salawati). Luas Kota Sorong adalah 1.105 Km², dan membawahi 6 (enam) Distrik dan untuk lebih jelasnya distrikdistrik yang berada di wilayah kota Sorong dapat dilihat pada Tabel 4. 13 di bawah ini :
54
Tabel 4. 13
Distrik dan Kelurahan di Kota Sorong Tahun 2013
No. Nama Distrik 1. Sorong 2. Sorong Timur 3. Sorong Barat 4. Sorong Manoi 5. Sorong Utara 6. Sorong Kepulauan Sumber: Laporan Dinas KP, Tahun 2014
Nama Kelurahan Remu Utara, Klademak, kampung baru, Klakubik, Klasuur Klawuyuk, Klasama, Klablim, Klawalu, Klamana, Giwu, Klasuat Klabala, Rufey, Tanjung Kasuari, Klawasi, Saoka Klaligi, Malawei, Malabutor, Klasabi, Remu Selatan Klagete, Malanu, Matalamagi, Malaingkedi, Sawagumi Dum Barat, Dum Timur, Raam, Soop
Wilayah Kota Sorong terdiri atas daratan, lautan dan pulau-pulau yang dapat di kategorikan sebagai wilayah Sorong daratan dan wilayah Sorong Kepulauan yang ditunjukkan oleh peta administratif pada Gambar 5 sebagai berikut.
Gambar 4. 6
Peta Administratif Kota Sorong
Sumber : http://georegionalindonesia.blogspot.co.id/2011/04/profil-kota-sorong.html
Luas wilayah Kota Sorong menurut kecamatan tahun 2014 sebagai berikut : Sorong Barat (23%); Sorong Utara (20,79%); Sorong Kepulauan (18,11%); Sorong Timur (14,32%); Sorong Manoi (12,31%); Sorong (11,48%). 55
Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut distrik di Sorong dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 4. 14
Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Distrik di Sorong, Tahun 2014
Distrik Sorong Barat Sorong Timur Sorong Kepulauan Sorong Sorong Manoi Jumlah Sumber : BPS (2015)
Luas Daerah (Km2) 254,15 158,21 200,10 229,71 135,97 1.105,00
Penduduk 37.376 38.738 9.893 51.587 49.293 218.799
Kepadatan per Km2 156 191 55 219 351 193
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa Sorong Barat merupakan wilayah yang paling luas. Sorong merupakan wilayah yang jumlah penduduknya paling banyak dan kepadatan penduduk tertinggi ada di wilayah Sorong Manoi. Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya di setiap distrik jumlah laki-laki lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 4. 15
Jumlah Penduduk Kota Sorong Menurut Jenis Kelamin, Distrik dan Sex Rasio, Tahun 2014
Distrik Sorong Barat Sorong Timur Sorong Kepulauan Sorong Sorong Utara Sorong Manoi Jumlah Sumber : BPS (2015)
Laki-laki 19.522 20.363 5.121 16.448 26.873 25.888 114.215
Perempuan 17.854 18.375 4.772 15.464 24.714 23.405 104.584
Sex Rasio 109 110 107 106 108 110 109
56
Jika digolongkan menurut kelompok umur, dapat dilihat pada Tabel 4. 16 berikut. Tabel 4. 16
Jumlah Kelompok Umur Berdasarkan Jenis Kelamin
Kelompok Umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Jumlah Sumber : BPS (2015)
Laki-laki 13.436 12.228 10.777 10.569 11.914 12.338 10.607 8.533 7.397 5.52 4.412 3.111 1.681 881 454 351 114.215
Perempuan 12.585 11.858 10.204 9.833 10.929 11.215 9.616 7.838 6.533 5.006 3.642 2.326 1.365 740 438 456 104.584
Jumlah 26.021 24.086 20.981 20.402 22.843 23.553 20.223 16.371 13.930 10.532 8.054 5.437 3.046 1621 892 807 218.799
57
4.2 Kondisi Usaha Perikanan Tangkap pada Lokasi Penelitian 4.2.1
Kota Sibolga
Tabel 4. 17
Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Perikanan Berdasarkan Jenis Armada dari tahun 2011 – 2015 di Kota Sibolga TAHUN
JENIS ARMADA 2011 KTM MT < 10 GT 10 - 30 GT
2012
2013
2014
2015
53 163 71 126
28 203 75 126
28 204 79 126
25 287 73 126
25 291 73 126
> 30 GT
45
45
45
113
108
JUMLAH
458
477
482
624
623
Secara umum, armada penangkapan ikan masih terbuat dari bahan kayu. Untuk melihat perkembangan jumlah armada perikanan di Kota Sibolga dapat dilihat sepertiu pada tabel berikut : Tabel 4. 18 No.
1
Jumlah Armada Kapal Penangkap Ikan Kota Sibolga Berdasarkan Ukuran pada Tahun 2011 - 2015
Jenis Armada
Jumlah (Unit) 2011
2012
2013
2014
2015
28
28
28
20
20
267
282
297
305
250
0 – 10 GT
73
77
81
85
196
10 – 30 GT
150
150
150
151
116
> 30 GT
122
122
122
148
93
640
659
678
702
675
2
Perahu tanpa motor Motor tempel
3
Armada perikanan
JUMLAH
Jumlah armada kapal perikanan dari tahun – ketahun menunjukkan angka peningkatan. Pada tahun 2015, terjadi penurunan jumlah armada sejumlah 27 unit. Penurunan jumlah kapal armada kapal penangkapan ikan ini terjadi hampir diseluruh jenis alat tangkap. Penurunan jumlah armada ini didominasi oleh armada pukat ikan karena adanya Permen KKP RI No. 02 Tahun 2015. 58
Jenis alat penangkap ikan utama yang terdapat di Kota Sibolga adalah purse seine, bagan terapung, bagan tancap, rawai tetap, gill net, trammel net, pukat ikan, pancing ulur dan bubu. Dari keseluruhan alat tangkap tersebut yang dominan digunakan masyarakat nelayan Kota Sibolga adalah alat tangkap gill net. Keseluruhan alat tangkap yang ada di Kota Sibolga di masih operasikan secara tradisional yaitu dengan memanfaatkan tenaga manusia dalam penebaran (setting) dan penarikan jaring (hauling). Bagi masyarakat Kota Sibolga, alat tangkap gill net dikenal dengan berbagai nama antara lain jaring salam, jaring aso – aso, jaring gagole. Tabel 4. 19 No.
Jumlah Armada Berdasarkan Alat Tangkap pada tahun 2011 – 2015 di Kota Sibolga Jenis alat penangkap ikan
Jumlah (Unit)
1
Pukat cincin
2011 106
2012 106
2013 106
2014 108
2
Bagan terapung
104
104
94
94
97
3
Bagan tancap
96
97
67
88
96
4
Jaring insang (Gill net)
63
82
107
128
123
5
Pukat ikan
20
20
46
46
26
6
Pancing ulur
168
168
169
161
162
7
Bubu
34
34
34
34
39
10
10
13
13
3
38
38
42
37
37
639
659
678
709
675
8 9
Jaring insang berlapis (Trammel net) Serok JUMLAH
2015 92
Tahun 2015, terjadi penurunan jumlah alat tangkap untuk setiap jenis alat tangkap. Penurunan ini seiring dengan terjadinya penurunan jumlah armada kapal penangkapan ikan. Penurunan armada penangkapan ikan disebabkan oleh berbagai hal antara lain: perpindahan domisili pemilik kapal, kesulitan dalam memperoleh kayu dalam merehabilitasi kapal dan perubahan fungsi kapal. Produksi ikan di Kota Sibolga hampir sepenuhnya dihasilkan dari sektor usaha perikanan tangkap. Kegiatan perikanan tangkap itu sendiri merupakan sektor utama penggerak perekonomian di Kota Sibolga. Melalui sektor ini, kegiatan usaha lain sebagai usaha pendukung memberikan peran dalam menciptakan lapangan kerja sebagai sumber pendapatan masyarakat.
59
Dilihat dari perkembangannya, produksi ikan dari tahun – ketahun mengalamai kenaikan. Kenaikan ini dipengaruhi oleh semakin bertambahnya armada penangkapan yang ada di Kota Sibolga. Untuk melihat perkembangan produksi tersebut dapat di lihat pada grafik dibawah ini.
Gambar 4. 7
Produksi ikan di Kota Sibolga tahun 2011 – 2015 (ton)
Produksi perikanan Kota Sibolga pada tahun 2011 hingga 2015 mengalami peningkatan yang bervariasi persentasenya. Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan produksi ialah keadaan laut yang cukup kondusif bagi para nelayan untuk pergi melaut, penambahan armada kapal penangkap ikan, bertambahnya bagan pancang serta adanya rekondisi alat tangkap nelayan dengan adanya bantuan – bantuan alat tangkap yang disalurkan oleh pemerintah Kota Sibolga kepada nelayan. Pada tahun 2015, produksi hasil ikan di Kota Sibolga mengalami penurunan ± 4,37% yang diakibatkan berkurangnya jumlah kapal Pukat ikan yang beroperasi akibat keluarnya Permen KKP RI No. 02 tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela atau trawl dan pukat tarik atau seine net di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Selain itu, penurunan produksi juga masih diakibatkan oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan masalah dalam memperoleh BBM. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan yang didaratkan di Kota Sibolga terdiri dari berbagai jenis ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar, ikan demersal, ikan karang konsumsi, dan lain-lain. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain adalah Tuna (Cakalang dan Madidihang), Tongkol, Kembung, Kakap Merah, Kakap Putih, Bawal Putih, Bawal Hitam, Selar, Layang, Manyung, Tembang, Lemuru, Japuh, Beloso, Teri, Kurisi, Swangi (Mata Besar), Banyar, Tenggiri, Kerapu, Layur, Cucut, Pari, Tetengkek, Ekor Kuning, Bawal, Peperek, Belanak, Lencam, Sotong, Cumi-cumi, dan lain-lain.
60
4.2.2
Kota Batam Rumah tangga perikanan (RTP) merupakan komponen utama di dalam pembangunan perikanan
dan kelautan baik sebagai subjek maupun objek pembangunan.RTP di Kota Batam pada tahun 2015 berjumlah 19.787 RTP.RTP di Kota Batam didominasi oleh RTP tangkap sebesar 14.297 RTP yang tersebar hampir diseluruh kecamatan, kecuali Kecamatan Senggulung. RTP tangkap yang terbanyak tersebar di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Belakang Padang (4.306 RTP), Kecamatan Bulang (4.120 RTP), dan Kecamatan Galang (4.032 RTP) seperti terlihat pada Tabel 4. 20. Tabel 4. 20
Jumlah Rumah Tangga Perikanan Menurut Kecamatan dan Jenis Kegiatan di Kota Batam Tahun 2015
No
Kecamatan
Perikanan Tangkap
1
Belakang Padang
4.306
2
Bulang
4.120
3
Galang
4.032
4
Sei Beduk
298
5
Nongsa
590
6
Sekupang
237
7
Lubuk Baja
107
8
Batu Ampar
57
9
Batam Kota
87
10
Sagulung
-
11
Batu Aji
311
12
Bengkong
153
Jumlah
14.297
Sumber: BPS Kota Batam (2015) Berdasarkan data yang di peroleh dari BPS Kota Batam (2015), sejak tahun 2011 RTP Kota Batam terus mengalami peningkatan (Tabel 4. 21).Peningkatan RTP yang cukup tinggi terjadi dari tahun 2012 ke tahun 2013, yaitu hampir 1,5 kali lipat.
61
Tabel 4. 21
Jumlah Rumah Tangga Perikanan Menurut Jenis Kegiatan di Kota Batam Tahun 20112015
No. Tahun 1 2011 2 2012 3 2013 4 2014 5 2015 Sumber: BPS Kota Batam (2015)
Jumlah RTP 9.492 9.501 14.134 14.099 14.297
Produksi perikanan di Kota Batam pada tahun 2015 mencapai 35.345,68 ton, sebagian besar berasal dari perikanan tangkap laut (30.396,57 ton) dan didukung oleh produksi perikanan budidaya air tawar (2.507,325 ton), serta produksi perikanan budidaya laut (2.441,80 ton). Produksi perikanan tangkap terbesar berada di Kecamatan Bulang (10.602,13 ton), Kecamatan Nongsa (8.745,71 ton), dan Kecamatan Galang (6.550,45 ton).Produksi Perikanan terbesar yang bersumber dari 3 kegiatan produksi perikanan (tangkap, budidaya laut, budidaya air tawar) adalah Kecamatan Bulang (11.382,175 ton), Kecamatan Nongsa (9.184,738 ton), dan Kecamatan Galang (7.395,190 ton) (Tabel 25).Produksi perikanan Kota Batam dari tahun 2011 sampai 2015 berkisar antara 30 ribu ton sampai 35 ribu ton. Produksi untuk perikanan laut antara 26 ribu ton sampai 30 ribu ton. Tabel 4. 22 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kecamatan (Ton) di Kota Batam Tahun 2015 Kecamatan
Belakang Padang Bulang Galang Sei Beduk Nongsa Sekupang Lubuk Baja Batu Ampar Batam Kota Batu Aji Sagulung Bengkong Jumlah Sumber: BPS Kota Batam (2015)
Perikanan Laut 3.508,01 10.602,13 6.550,45 59,17 8.745,71 246,55 47,33 0,00 57,94 0,00 562,94 16,33 30.396,57
62
Tabel 4. 23
Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2011 – 2015 (Ton)
Tahun
Perikanan Tangkap
2011
26.220
2012
26.293
2013
30.555
2014
30.095,75
2015
30.396,57
Sumber: BPS Kota Batam (2015) Nilai produksi perikanan di Kota Batam pada tahun 2015 mencapai Rp. 1.198.903.850.352,yang terdiri dari perikanan tangkap senilai Rp. 1.034.266.015.580, sisanya dari perikanan budidaya laut dan air tawar.
Kecamatan dengan nilai produksi perikanan tertinggi adalah Kecamatan Bulang yaitu Rp.
401.598.728.030 dan Kecamatan Nongsa senilai Rp. 311.571.409.440.Kedua Kecamatan ini juga merupakan nilai produksi tertinggi untuk perikanan tangkap, Kecamatan Bulang yaitu Rp. 360.472.440.060 dan Kecamatan Nongsa senilai Rp. 297.354.112.120 (Tabel 4. 24). Tabel 4. 24
Nilai Produksi Perikanan Menurut Kecamatan (Rupiah) Tahun 2015
No
Kecamatan
Perikanan Laut
1
Blk. Padang
119.272.435.200
2
Bulang
360.472.440.060
3
Galang
222.715.229.280
4
Sei Beduk
2.011.465.500
5
Nongsa
297.354.112.120
6
Sekupang
8.629.429.900
7
Lubuk Baja
1.609.172.400
8
Batu Ampar
340.976.000
9
Batam Kota
2.149.148.700
10
Batu Aji
-
11
Sagulung
19.140.017.120
12
Bengkong
571.589.300
Jumlah
1.034.266.015.580
Sumber: BPS Kota Batam (2015) 63
Armada penangkapan ikan berdasarkan gross tonase yang digunakan di Kota Batam terdiri dari perahu tanpa motor, perahu motor tempel, kapal kurang dari 5 GT, kapal 5 sampai kurang 10 GT, kapal 10 sampai kurang 20 GT, kapal 20 sampai 30 GT, dan kapal diatas 30 GT. Sebagian besar armada yang digunakan di Kota batam adalah perahu motor temple (3.800 unit), kapal 1 sampai kurang 5 GT (3.404 unit), dan perahu tanpa motor (2.969 unit). Ketiga jenis armada tersebut tersebar di seluruh Kecamatan kecuali Kecamatan Batu Aji.Armada penangkapan bertonase tinggi (diatas 30 GT) hanya terdapat di Kecamatan Galang (33 unit), Kecamatan Bulang (17 unit), Kecamatan Belakang Padang (11 unit), dan Kecamatan Nongsa (4 unit) (Tabel 28).Perkembangan armada penangkapan ikan di Kota Batam dari tahun 2011 sampai tahun 2015 (Tabel 29), tidak terlalu signifikan. Perubahan yang sidikit mencolok terlihat pada jumlah armada 1 sampai dibawah 5 GT yang menurun dari 3.895 unit (2011) menjadi 3.321 unit (2012), dan armada perahu motor tempel yang meningkat dari 3.380 unit (2014) menjadi 3.800 unit (2015). Tabel 4. 25
Jumlah Armada Tangkap Berdasarkan Gross Tonase Tahun 2015 Armada Tangkap
Perahu No Kecamatan Tanpa Motor 1 Blk. Padang 700 2 Bulang 903 3 Galang 466 4 Sei Beduk 57 5 Nongsa 360 6 Sekupang 55 7 Lubuk Baja 49 8 Batu Ampar 15 9 Batam Kota 68 10 Batu Aji 0 11 Sagulung 196 12 Bengkong 100 Jumlah 2.969 Sumber: BPS Kota Batam (2015)
Perahu Motor Tempel 1406 1096 619 104 117 76 75 33 39 0 156 79 3.800
1-5 GT
5 -10 GT
10-20 GT
20-30 GT
> 30 GT
467 1030 1293 38 244 12 14 21 6 0 256 22 3.404
78 79 82 6 79 7 2 8 3 0 17 4 365
22 23 25 0 40 1 111
10 13 16 0 17 56
11 17 33 0 4 66
64
Tabel 4. 26
Jumlah Armada Tangkap Berdasarkan Gross Tonase Tahun 2011- 2015 Armada Tangkap
No
Tahun
Perahu Tanpa Motor
Perahu Motor Tempel
1- 5 GT
5 -10 GT
10-20 GT
20-30 GT
> 30 GT
1
2011
3.035
3.116
3.895
342
85
45
55
2
2012
2.974
3.145
3.321
353
88
47
55
3
2013
2.885
3.365
3.354
357
88
47
59
4
2014
2.912
3.380
3.370
362
111
56
65
5
2015
2.969
3.800
3.404
365
111
56
66
Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan Kota Batam Jenis ikan yang merupakan hasil perikanan di Kota Batam sebagian besar merupakan ikan laut, antara lain Kakap, Bawal, Tongkol, Kerapu, Selar, Kembung, Sotong, Udang, Kepiting, Gonggong, dan lainya (Tabel 4. 27). Harga ikan berkisar antara Rp. 15.000 sampai Rp. 50.000 ditingkat produsen, berkisar antara Rp. 18.000 sampai Rp.100.000 ditingkat pengumpul, dan berkisar antara Rp. 22.000 sampai Rp. 150.000 ditingkat konsumen. Perbedaan harga yang tinggi ditingkat produsen dan konsumen adalah Ikan Kerapu Merah (produsen=Rp50.000, konsumen=Rp150.000) dan Udang Putih (produsen=Rp50.000, konsumen=Rp85.000). Tabel 4. 27
Harga Rata-rata Hasil Perikanan di Kota Batam Tahun 2015
No
Komoditi
Tingkat Harga (Rp/Kg) Pengumpul 35.000
1
Kakap merah
Produsen 25.000
Konsumen 55.000
2
Kakap putih
24.000
34.000
44.000
3
Bawal
35.000
40.000
45.000
4
Tongkol putih
20.000
25.000
35.000
5
Tongkol Hitam
15.000
20.000
28.000
6
Kerapu Merah
50.000
100.000
150.000
7
Benggol
15.000
20.000
23.500
8
Selar
25.000
27.000
31.000
9
Selikur
20.000
23.000
25.000 65
No
Komoditi
Produsen
Tingkat Harga (Rp/Kg) Pengumpul
Konsumen
10
Kembung
25.000
30.000
34.000
11
Gembung Kuning
15.000
20.000
25.000
12
Baronang
20.000
30.000
34.000
13
Pelata
15.000
18.000
22.000
14
Kaso
18.000
20.000
22.000
15
Bandeng
40.000
43.500
47.500
16
Sotong
40.000
42.000
47.000
17
Udang Putih
50.000
55.000
85.000
18 19 20 21 22
Kepiting Besar Siput Isap Gonggong Lome Kerapu hitam
45.000
50.000
60.000
Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan Kota Batam Ikan dan udang dari Kota Batam di ekspor ke Jepang, Cina, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Volume ekspor tahun 2014 mencapai 37.867,202ton, dengan tujuan ekspor tertinggi adalah Negara Singapura (Tabel 31), pada tahun 2015 mengalami peningkatan menjadi 539.279 ton (Tabel 4. 28) dengan nilai Rp23.294.050.000. Komoditas yang paling tinggi diekspor adalah kepiting hidup (229.431 ton dengan nila Rp11.471.550.000) dan bilis kering (103.766 ton dengan nila Rp5.188.300.000). Tabel 4. 28 No 1 2 3 4 5
Volume Ekspor Perikanan Kota Batam Ke Beberapa Negara Tahun 2014 Negara Tujuan
Cina Jepang Malaysia Singapura Thailand Jumlah
Volume Ekspor (Kg) 27.000 19.820 485 36.673.927 1.145.970 37.867.202
Sumber : BPS Kota Batam (2014)
66
Tabel 4. 29
Volume dan Nilai Ekspor Perikanan Kota Batam Tahun 2015
No
Komoditas
Volume (ton)
Nilai (Rp)
1
Rajungan Hidup
122.330
2.446.600.000
2
Kepiting Hidup
229.431
11.471.550.000
3
Ikan Kerapu Hidup
71.937
3.596.850.000
4
Lobster Hidup
11.815
590.750.000
5
Bilis Kering
103.766
5.188.300.000
Jumlah
539.279
23.294.050.000
Sumber : BPS Kota Batam (2015) Jenis alat tangkap yang digunakan di Kota Batam terdiri dari jaring tenggiri, jarring bawal, jarring karang, jarring pari, empang, rawai, bento, buu, kelong bilis, kelong pantai, dan purse sein (Tabel 4. 30). Alat yang paling banyak digunakan adalah bento (263.300unit), jaring karang(64.870 piece), dan bubu (49.450 unit). Ketiga alat ini digunakan diseluruh Kecamatan yang terdapat nelayan di Kota Batam. Alat tangkap yang tidak banyak digunakan adalah purse sein (35 unit), alat ini haya terdapat di Keamatan Belakang Padang (14 unit), Kecamatan Bulang (14 unit), Kecamatan Nongsa (4 unit), Kecamatan Galang (2 unit), dan Kecamatan Sei Beduk (1 unit). Alat tangkap jaring pari pun hanya terdapat di Kecamatan Bulang (180 piece) dan Kecamatan Belakang Padang (120 piece).
67
68
Tabel 4. 30
Jumlah Sarana dan Prasarana (Alat Tangkap) Kota Batam Tahun 2015 Alat Tangkap
Jaring Jaring Jaring Jaring Empang Tenggiri Bawal Karang Pari (Unit) (Piece) (Piece) (Piece) (Piece) 1 Blk. Padang 650 2.300 12.680 120 83 2 Bulang 650 2.000 15.870 180 45 3 Galang 970 1.000 18.530 120 4 Sei Beduk 4320 6 5 Nongsa 80 3.750 8 6 Sekupang 420 860 1 7 Lubuk Baja 120 1.210 3 8 Batu Ampar 140 400 9 Batam Kota 200 670 2 10 Batu Aji 2.200 8 11 Sagulung 890 1 12 Bengkong 3.490 2 Jumlah 3.230 5.300 64.870 300 279 Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan KehutananKota Batam No
Kecamatan
Rawai (Unit)
Bento (Buah)
Bubu (Buah)
59 97 148 7 15 3 12 3 2 8 4 2 360
75.200 87.600 65.350 9.550 3.750 2.250 3.000 200 1.600 10.500 800 3.500 263.300
18.520 14.580 11.755 905 1.700 250 300 230 220 600 50 340 49.450
Kelong Bilis (Buah) 3 54 4 4 2 67
Kelong Pantai (Buah) 912 1.320 1.444 30 80 4 15 3 12 103 4 65 3.992
Purse Sein (Unit) 14 14 2 1 4 35
69
70
Gambaran umum Desa Sample Pengambilan desa sampel di Kota Batam dilakukan di dua desa, yaitu Desa Setoko dan Desa Kasu. Pemilihan desa tersebut berdasarkan rekomendasi dari Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Batam. Desa Kasu merupakan desai kepulauan dan dapat ditempuh dalam waktu empat puluh menit dari pelabuhan Tanjung Riau. Desa Setoko merupakan desa kepulauan juga tetapi dapat dijangkau dengan kendaraan darat kurang lebih 30 menit dari Tanjung Riau. Desa Kasu Desa Kasu mencakup pulau Kasu, Pulau Lingga dan Pulau Gare. Jumlah warga kelurahan Kasu kurang lebih 1000 Keluarga atau mencapai 4000-5000 orang. Pertumbuhan ekonomi Desa Kasu cukup bagus. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokotoko dan warung di dalam Pulau. Sepeda motor juga lalu lalang di Desa Kasu tersebut. Menurut warga, geliat ekonomi banyak dipengaruhi faktor perikanan dan non perikanan. Para pengumpul mengirimkan hasil tangkapan ikannya ke Singapure (untuk udang) dank ke Batam untuk komoditas ikan dan rajungannya. Para warga juga banyak yang bekerja di sektor jasa baik di Singapura, Malaysia maupun Batam. Warga desa cukup bagus status pendidikannya terutama generasi yang berumur 20-40 an. Banyak dari generasi mudanya telah mengenyam pendidikan sarjana. Salah satu anak warga adalah anggota wakil rakyat di DPRD Batam. Penangkapan perikanan menggunakan beberapa alat tangkap yaitu: tekuk (penangkap udang), jaring, bubu, bento dan lain-lain. Warga Desa Kasu mengeluh bahwa tidak ada ikan di sekitar pulau Kasu dibanding waktu mereka masih kecil, hasil tangkapan sangat sedikit dan untungnya harga jual ikan membaik dikarenakan dijual ke singopura atau Malaysia. Dalam hal aspek management sumber daya perikanan, warga sudah sadar bahwa sumber daya ikan sudah sangat menurun dan jumlah nelayan sudah terlalu banyak dan terus menambah. Akan tetapi, warga merasa tidak bisa melarang siapapun yang ingin mencari ikan atau menjadi neyalan di desa nya. Sebetulnya masalah open access dari sumber daya ini masih sangat terjadi. Beberapa generasi muda yang mengenyam pendidikan ke luar kampong, sudha mendapat pekerjaan di kota tersebut atau di Jawa. Sekilas, hal ini adalah voluntary exit dari sector perikanan. Akan tetapi, jumlah nelayan lain dari pulau lain yang menjadi warga pulau Kasu dan menjadi nelayan lebih banyak dibanding yang voluntary exit tadi.
71
Menurut penyuluh Desa kasu, bu Nabila, jumlah KUB yang aktif di desa Kasu sekitar sepuluh KUB. Sehari-hari penyulush menjadi sumber informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan dan fasilitator untuk pembentukan KUB tersebut. Beberapa KUB lain kurang lancer , salah satu sebab karena missal, kurang amanahnya si ketua KUB. Penyuluh KUB memberikan fasilitas hanya kepada KUB yang anggotanya para nelayan, bukan warga masyarakat lain dengan profesi lain. Karena penyuluh disini adalah fasilitator dari Dinas Kelautan dan Perikanan. KUB bersifat seperti lembaga micro ekonomi yaitu mengumpulkan tabungan warganya untuk disimpan pinjamkan ke warga lain yang sangat membutuhkan. Fungsi lain adalah sebagai wadah penerima dana bantuan atau alat yang bisa digulirkan dengan cara pembayaran kepada
kelompok sehingga warga kelompok lain bisa meminjam dan
membeli alat tangkap yang dibutuhkan. Wawancara dengan bu Ipah, miniplan kepiting di desa Kasu menyebutkan bahwa ada sekitar 4-5 miniplant dan pengumpul rajungan di desa Kasu. Para pengumpul kepiting ini sekaligus mengolahnya yaitu merebus dan menjual daging rajungan kepada perusahan pengolahan daging rajungan, dalam hal ini perusahaan OCS di Batam. Volume produksi miniplan ini mencapai 30-40 kg daging per hari dengan harga jual di Batam Rp 100-140 rebu per kg. Biaya tranportasi untuk mengantar daging rajungan dan mengambil rajungan mentah dari pengumpul kecil di Pulau-pulau sekitar kurang lebih 25 liter bensin per hari. Miniplant biasanya membeli dari para nelayan kepiting dengan harga mentah Rp 25000 per kg rata-rata. Pada kenyataannya, tiap ukuran rajungan dibeli dengan harga berbeda-beda mulai dari 15 rebu sampai dengan 40000 untuk kepiting rajungan. Miniplant ini adalah sebuah industry rumah tangga dan hanya mengandalkan hasil tangkapan para nelayan binaannya. Untuk membantu stabilitas bisnisnya, para pengumpul biasanya juga berjualan alat-alat penangkapan dan alat-alat rumah tangga lainnya. Miniplant ibu Ifah ini sudah berdiri sejak tahun 2005 dengan berbagai gelombnag pasang surut bisnisnya. Saat ini bu Ifah mempunyai 20 pekerja yaitu 15 orang pickers (pengupas rajungan) dan operator (yang merebus dan antar jemput rajungan dari dank e Pulau Kasu). Ibu-ibu picker ini digaji kurang lebih Rp 25000 per kg daging (10-13 kepiting mentah). Sehari dapat mengupas 3-4 kg pada saat tidak banyak kepiting masuk miniplant. Para operator digaji rb 40-50 per hari. Ditanyakan kepada ibu ipah, apakah ada proses pendokumentasian
tangkapan,
ukuran
tangkapan
dalam
system
CDT
(catch,
72
Dokumentation dan tracebility). Untuk miniplan ini belum ada. CDT ini diterapkan oleh beberapa perusahan pengolahan dan exporter Rajungan seperti Phillips.ltd. Desa Setoko Desa Setoko mempunyai 724 KK dan termasuk wilayah Kecamatan Bulang. Fasilitas pendidikan yang ada mulai dari PAUD (3), SD (3), SMP (1), SMA (1), Puskesmas (7) dan masjid (7). Kegiatan penangkapan relatif tidak menemui kendala. Hasil tangkapan selalu ada walaupun mengalami penurunan dibanding sepuluh tahun yang lalu, khususnya sejak tahun sejak tahun 2000. Dulu ikan banyak akan tetapi harga murah. Berbeda dengan sekarang, ikan tidak terlalu banyak akan tetapi harga lebih baik. Alat tangkap yang banyak digunakan salah satunya adalah jaring apolo dengan target udang. Permasalahan lingkungan yang terjadi yaitu polusi dari daratan ke lautan. Hal ini terasa sejak pembangungan jembatan di tahun 1994-1998 sehingga tanah bakau longsor, penimbunan kayu-kayu di hutan bakau. Hutan bakau ini adalah habitat ketam. Pemboman juga sering terjadi tetepi tidak di Desa Setoko melainkan di P. Riau dan P. Lingga.
73
Tabel 4. 31
Jenis Alat Tangkap, Target, Sifat Alat Tangkap, Waktu, Jam Operasional dan Daerah Penangkapan
Alat Tangkap Jaring apolo
Target
Sifat Alat Tangkap Aktif
udang
Jaring tengiri (nilon Tenggiri dan tangsi) 3,5 inch Jaring bawal (7 inch) Bawal putih, hitam
Jam Operasional
Daerah Penangkapan
Hari 12-25 bulan hijriah Pagi-siang Bulan oktober-desember ikan mengalami kenaikan harga karena nelayan thailand dan vietnam tidak bsia melaut
galang
Hari 17-25
Sore-malam
Bulan 6- bulan 10
Siang-malam
Daerah petong-galang-bulu patah (12-13 meter) Daerah petong-galang-bulu patah (pada daerah yang tidak terlalu dalam, 6 meter)
Pasif aktif aktif
Sepanjang waktu Sepanjang waktu
Siang-malam Siang-malam Sore, pagi
aktif
Sepanjang waktu
Pagi-siang
Air kering
malam
aktif bawal aktif
Bento (bubu) Rajungan jaring rajungan Jaring tamban (tangsi, tamban 1 inch) Pancing Kurau, timun, kakak tua (tarap) Jaring karang Kurau, timun, kakak tua (tarap) Rawai Pari, kurau, baracuda Tekup Udang Batu Sumber : Data Primer (2016)
Waktu
74
Penangkapan tenggiri terancam dengan semakin banyaknya kapal-kapal tanker/ peti kemas. Saat ini masih belum terganggu akan tetapi bila semakin banyak jumlahnya akan merugikan nelayan tenggiri. Jumlah kapal tanker/ peti kemas yang sudah ada sekarang berjumlah 20 buah.
Nelayan belum memahami daerah baru bila harus
berpindah dalam penangkapan ikan. Daerah baru pun telah di kavling oleh nelayan lain akibat persaingan penangkapan ikan semakin tinggi. Penangkapan ikan bila dipaksakan dekat dengan kapal-kapal tersebut maka jaring terancam rusak dan hilang karena tersangkut dengan jangkar. Saat ini terjadi perubahan lahan pesisir menjadi wilayah terbangun. Banyaknya galangan kapal membuat wilayah penangkapan semakin menyempit. Misalnya, pada tahun 1990an, nelayan biasanya menjaring sampai dengan 5 jam. Saat ini jaring sudah harus ditarik paling lama 3 jam. Jika tidak, maka akan tersangkut kapal kargo. Wilayah perairan di sekitar setokok memiliki dasar berlumpur yang cocok untuk penangkapan udang dan ikan dasar. Nelayan Setoko mempunyai kearifan lokal terhadap pemakaian jaring udang. Secara kelompok, para nelayan menyepakati untuk tidak menjaring udang di malam hari. Nelayan hanya boleh mencari udang dengan jaring pada siang hari. Alasannya adalah bahwa pengambilan udang dimalam hari akan menangkap lebih banyak udang dan nelayan lain yang menjaring di pagi hari tidak mendapat sisa udang lagi. Di Desa Setoko, Koperasi Unit Bersama (KUB) cukup maju. Dengan adanya KUB nelayan merasa terbantu. Misalnya, Toke tidak berani meminjami sampai 15 juta, KUB dapat meminjami sampai 15-20 juta. 1 KUB terdiri dari kurang lebih 15 orang. Kedepan berpikir untuk bisa mandiri, tidak lagi terikat dengan toke. Hanya saja sekarang belum bisa karena telah banyak jasa toke terhadap nelaya selama ini. KUB mulai berdiri tahun 2010 akhir. Dahulu banyak kredit macet. Awalnya 40 anggota, sekarang 15 anggota. Pengurangan jumlah tersebut disebabkan adanya seleksi terhadap orang-orang yang tidak komitmen terhadap mekanisme pengembalian bantuan. Kelompok secara aktif mengeluarkan anggota karena bila tidak dilakukan dapat menular kepada anggota yang aktif. Saat ini KUB berjumlah 549 di seluruh Batam. KUB baik semenjak kebijakan dari dinas untuk tidak memberikan bantuan dalam bentuk hibah melainkan bantuan bergilir. Penilaian terhadap KUB salah satu ukurannya adalah rutinitas tabungan KUB. Kondisi ini berat bagi KUB yang baru. Kondisi ini menyebabkan bantuan hanya mengalir
75
kepada kelompok-kelompok yang baik performanya. Hal ini kadang-kadang menimbulkan kecemburuan. Para penyuluh adalah sumber informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan ke para anggota KUB dan nelayan secara umum. Saat ini rasa percaya nelayan terhadap dinas sudah lebih baik dibandingkan dahulu. Informasi bantuan lebih terbuka. “Boleh dikatakan dinas kita hebat sekarang ini” syukur “Perubahan KUB nelayan drastis dengan mekanisme saat ini” Kelompok menerima bantuan dalam bentuk uang tetapi harus dibelanjakan dalam bentuk barang operasional. Kontrol pembelian barang dilakukan dengan penyertaan bukti barang dan dibeli di koperasi dinas. Koperasi dinas dipercaya karena nelayan juga menjadi anggota pada koperasi tersebut. Bantuan kapal INKAMINA butuh biaya operasional sekitar 30 juta. Sempat berjalan 1,5 tahun tapi kalah bersaing dengan kapal lain yang memiliki alat tangkap lebih baik. 7 bulan sudah tidak beroperasi dan sedang mengajukan ijin baru dengan menggunakan alat tangkap yang baru. Alat tangkap yang akan digunakan adalah bubu. Permasalahan lamanya kapal tidak beroperasi disebabkan proses perijinan yang memakan waktu cukup lama.
4.2.3
Kab. Indramayu Kabupaten Indramayu merupakan basis usaha perikanan tangkap yang sangat
diperhitungkan. Bagi Kabupaten Indramayu, usaha perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi dominan dan paling banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal. Usaha perikanan tangkap mendukung aktivitas ekonomi berbasis perikanan dan pengembangan usaha pendukung seperti usaha perbekalan, sumber energi, jasa pelabuhan, dan lainnya. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pengembangan usaha perikanan terutama yang berbasis pada penangkapan akan menjadi cikal bakal pengembangan ekonomi kawasan, karena dapat mendorong berkembangnya kegiatan pendukung baik dalam pengadaan bahan/peralatan operasi penangkapan, distribusi hasil tangkapan, maupun jasa pelabuhan. Perkembangan jumlah armada penangkapan terjadi peningkatan dari tahun 2005 hingga tahun 2014, namun terjadi kenaikan pada tahun 2012 (Tabel 4. 32). Kapal motor tempel mendominasi jumlah armada secara keseluran dan merupakan kapal yang
76
sebagian besar berukuran 5 GT, dengan kekuatan mesin 20 PK dan berbahan bakar solar. Kapal motor terjadi penurunan jumlah yang pesat pada tahun 2012 penurunan ini karena perubahan jenis armada nelayan dari kapal motor berukuran 5-10 GT dan 10-30 GT ke motor tempel, sehingga terjadi pertambahan jumlah nelayan skala kecil. Tabel 4. 32
Jumlah Jenis Kapal Penangkap Ikan di Kabupaten Indramayu, 2005-2014
Tahun
Motor Tempel Kapal Motor (< 10 GT) (> 10 GT) 2005 285 5.656 2006 285 5.656 2007 303 5.725 2008 303 5.725 2009 697 5282 2010 N/A N/A 2011 N/A N/A 2012 4.954 1.132 2013 3.466 2.591 2014 4.925 1.112 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu, 2015
Jumlah 5.941 5.941 6.028 6.028 5.979 N/A N/A 6.057 6.057 6.066
Energi terutama solar merupakan bahan utama yang dibutuhkan untuk mendukung operasi penangkapan ikan menggunakan jaring insang hanyut (JIH), jaring insang tetap (JIT), payang, rawai tetap, handline, dan jaring klitik. Pengumpulan kerang merupakan usaha perikanan tangkap skala kecil, namun banyak digemari oleh remaja dan ibu-ibu sehingga terkadang dianggap usaha sampingan. Jumlah alat tangkap berdasarkan jenis alat tangkap disajikan pada Tabel 4. 33 berikut. Tabel 4. 33
Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu, 2012-2014
Tahun
2012 2013 2014
Jaring Kelitik
Bubu
Pancing
Sero
Payang
Dogol
1107 1107 404
129 129 1.400
235 235 1.000
1.045 1.045 78
447 447 616
238 238 634
Jenis Alat Tangkap Pukat Pukat Jaring Pantai Cincin Ins. Hanyut 1.173 188 3.242 1.173 188 3242 1.461 9 1080
Jaring Ins.Lingkar
Lainnya
0 0 318
1.326 1.326 1.187
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu, 2015 Sesuai dengan letaknya yang berada di pesisir pantai, Indramayu merupakan salah satu kabupaten penghasil ikan. Produksi ikan laut segar selama tahun 2014 mencapai 126.782,92 ton. Nilai Produksinya mengalami peningkatan dari Rp. 1.829.994.727,03,- pada tahun 2013 menjadi Rp. 2.139.360.709,60,- pada tahun 2014 (Gambar 4. 8). Produksi dan nilai produksi ikan pada bulan Agustus dimungkinkan terjadi
77
penurunan karena nelayan tidak melaut saat menjelang maupun setelah lebaran, kira-kira selama tiga minggu sampai dengan satu bulan, mengakibatkan pproduksi sangat rendah pada bulan tersebut. Sedangkan selama lima tahun terakhir terjadi dinamika produksi dan nilai produksi di Kabupaten Indramayu (Gambar 4. 9).
Gambar 4. 8
Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Kabupaten Indramayu, 2014
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, 2015
Gambar 4. 9
Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Kabupaten Indramayu, 2010-2014
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, 2015
78
Jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan di Kabupaten Indramayu bervariasi terdiri dari ikan jenis pelagis dan demersal yang ditangkap berdasarkan musim puncak maupun paceklik.
Jumlah produksi berdasarkan jenis ikan dan alat tangkap yang digunakan
disajikan pada Tabel x berikut. Selanjutnya ikan yang tersebut dipasarkan dalam bentuk beku, ikan asin, ikan pindang dan terasi yang dijual oleh pedagang lokal (kecamatan) untuk dipasarkan ke Jakarta, Bekasi, Bandung, maupun Kalimantan. Jumlah pedagang di Kabupaten Indramayu sebanyak 977 orang yang tersebar di 31 kecamatan.
Tabel 4. 34
Produksi Ikan berdasarkan Jenis Ikan dan Alat Tangkap yang digunakan, 2014 Jenis Alat Tangkap Bubu Pancing
Sero
Uraian
Jaring Kelitik
Produksi
3.364
789
2.084
788
Jenis Ikan yang tertangkap
Layang Tembang Tiga Waja Kembung Tengiri Udang Kepiting Rajungan
Rajunga n
Manyung Kakap Merah Cucut
Cumi Soto ng
Jarin g Cumi 5.22 5 Cumi
Payang
Dogol
Pukat Pantai
Pukat Cincin
7.787
24.504
3.027
3.294
Selar Bawal Hitam Tembang Peperek Kembun g Tengiri Tongkol Layur
Peperek Kuniran Tiga Waja Kembun g Layur Cucut Pari Udang Sotong
Selar Layang Kakap Teri Pepere k Tiga Waja Kembu ng Tengiri Tongkol Udang Cumi Sotong
Manyun g Temban g Kembun g Tengiri Tongkol Cumi
Jaring Ins. Hanyut 65.849
Jaring Ins.Lingk ar 5.820
Bawal Hitam Bawal Putih Kakap Putih Tembang Teri Kakap Merah Tiga Waja Tengiri Tongkol Cucut Pari
Bawal Hitam Bawal Putih Belanak Tengiri
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu, 2015 Salah satu faktor yang mempengaruhi di dalam penangkapan ikan adalah nelayan. Nelayan berdasarkan fungsinya dan permodalannya dibagi menjadi dua yaitu nelayan juragan dan nelayan bendega. Nelayan bendega atau disebut nelayan buruh merupakan orang yang bekerja mencari ikan atau melaut tetapi tidak memiliki kapal maupun alat tangkap. Banyaknya nelayan menurut status nelayan mengalami peningkatan dari tahun 2012 hingga tahun 2014 seperti pada Tabel x. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu mengalami over explotation yang mengakibatkan penurunan hasil tangkapan bagi nelayan dari tahun ke tahun.
79
Tabel 4. 35
Jumlah Nelayan Menurut Status Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan di Kabupaten Indramayu, 2012-2014
Tahun
Status Nelayan Pemilik (RTP) Buruh (RTBP) 2012 6.057 34.488 2013 5.934 34.611 2014 8.146 31.253 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu, 2015
Jumlah (RTP) 40.545 40.545 39.399
Pemilik
Wilayah penangkapan ikan kapal 5 GT terletak di sekitar pantai Indramayu sampai Pulau Biawak. Wilayah penangkapan ikan kapal 20 GT di Laut Jawa hingga Selat Karimata. Kapal 30 GT melakukan operasi penangkapan ikan di perairan Karimunjawa, Masalembu, dan Selat Karimata. Operasi penangkapan ikan kapal 40-60 GT di perairan Masalembu, Karimun Jawa, Selat Karimata, dan Natuna (Lintang 1-3) (Gambar 4. 10).
Gambar 4. 10
Peta Daerah Penangkapan Ikan
Sistem pemasaran yang dilakukan di pasar grosir (TPI) Indramayu pelaksanaanya diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat yang baru yaitu Peraturan Daerah
80
Nomor: 10 dan 11 Tahun 1998. Kebijaksanaan yang diterapkan sudah cukup baik karena sudah memperhatikan nasib para nelayan. Persentase yang diambil sesuai dengan Perda No. 11 Tahun 1998 dimana pembagian persentasenya adalah sebagai berikut: 1. Bakul dipungut sebesar 3% 2. Nelayan dipungut 2%, sebelumnya nelayan dipungut 5% (Perda no. 15/1984) Produksi hasil laut memiliki peranan yang cukup besar bagi pemasukan devisa negara dari sektor non migas. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi hasil tangkapan berbagai jenis ikan komoditas ekspor. Adapun yang menjadi komoditas ekspor perikanan laut Indramayu adalah kakap merah (Lutjanus sp), bawal putih (Pampus argentus), udang jerbung (Penaeus merguiensis), teri nasi (Stolepherus sp) dan cumi-cumi (loligo sp). 4.2.4
Kab. Cilacap
Potensi Ekosistem Mangrove Kabupaten Cilacap memiliki potensi sumberdaya ekosistem mangrove yang berada di Kawasan Segara Anakan. Kawasan ini terletak pada koordinat 07º34’29.42” LS - 07º47’32.39” LS dan 108º46’30.12” BT - 109º03’21.02” BT yang meliputi wilayah kurang lebih 34.018 Ha. Berdasarkan PERDA no. 6 tahun 2001 tentang Tata Ruang Kawasan Segara Anakan, kawasan tersebut dibagi menjadi kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya. Kawasan ini mempunyai potensi sumberdaya yang cukup besar baik di bidang perikanan, kehutanan, pertanian serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang ada. Disamping itu, kawasan tersebut juga mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting sebagai tempat nursery, spawning dan feeding ground biota estuarin dan biota laut termasuk yang bernilai ekonomi penting, serta berperan sangat penting dalam suplai unsur hara ke lingkungan perairan di sekitarnya termasuk lautan di selatan Cilacap. Pada tahun 1997, luas hutan mangrove Segara Anakan sekitar 13.577 Ha (Tomascik et al, 1997), akan tetapi mengalami kerusakan dan penurunan sebesar 192,9 Ha per tahun (Ardli and Widyastuti, 2001). Luas hutan mangrove Segara Anakan (21.185 ha pada tahun 1983), di mana terdapat 26 species mangrove, dengan beberapa species dominant dan bernilai ekonomi penting seperti Rhizophora apiculata,R. mucronata and Bruguiera gymnorrhiza (White et al, 1989). Luasan mangrove mengalami fluktuasi yang
81
diakibatkan adanya penebangan disamping adanya penambahan seiring dengan semaikin luasnya tanah timbul. Berkurangnya luasan mangrove seiring dengan semakin luasnya areal pertanian/sawah (Ardli & Wolff, 2008). Pada tahun 2003 lebih dari 50% area mangrove di wilayah Segara Anakan bagian barat mengalami kerusakan atau gangguan (BPKSA, 2003). Penebangan hutan bakau dilakukan guna kepentingan pemukiman penduduk, material bahan bangunan, lahan pertanian, lahan pertambakan dan juga bahan bakar industri. Konversi mangrove menyebabkan beberapa masalah diantaranya adalah turunnya produksi perikanan, berkurangnya biodiversitas ekosistem mangrove, hilangnya habitat dan area nursery, berkurangnya productivitas mangrove dan juga perairan, pengasaman tanah, polusi, dan interusi air laut (Tejakusuma, 2006). Komposisi species mangrove di Segara Anakan dibedakan menjadi tiga komponen utama, yaitu major component, minor component, dan mangrove associate. Lebih lanjut, masing-masing komponen utama memiliki family mangrove dan dapat dispesifikasi dengan species (Tabel 4. 40). Tabel 4. 40
Komposisi species mangrove di Segara Anakan Cilacap
Komponen
Familia
Species
Major component
Avicenniaceae
Avicennia alba Avicennia officinalis Bruguiera cylindrica Bruguiera gymnorrhiza Ceriops tagal Ceriops decandra Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Nypa fruticans Acrostichum aureum Aegiceras corniculatum Aegiceras floridum Excoecaria agallocha Heritiera littoralis Scyphiphora hydropyllacea Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Acanthus ilicifolius Calophylum inophylum
Rhizophoraceae
Sonneratiaceae Minor component
Palmae Pteridaceae Myrsinaceae Euphorbiaceae Sterculiaceae Meliaceae
Mangrove associate
Acanthaceae Guttiferae
82
Komponen
Familia
Species
Leguminosae Asclepiadaceae Malvaceae Rutaceae
Derris trifoliate Finlaysonia obovata Hibiscus tiliaceus Merope angulata
Sumber : Data Primer, 2007 Potensi Perikanan
Kabupaten Cilacap merupakan satu wilayah yang memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar. Dengan garis pantai mencapai 201,9 km dan berbatasan langsung lebih kurang 80 km dengan Samudera Indonesia, Kabupaten Cilacap memberikan peluang yang sangat besar untuk kegiatan-kegiatan kelautan dan perikanan, antara lain perikanan tangkap laut, pengolahan hasil perikanan laut, jasa kelautan (docking kapal, galangan kapal, pelabuhan perikanan), wisata bahari, pertambangan, harta karun dan energi gelombang air laut. Dari jumlah kecamatan di wilayah ini adalah 24 Kecamatan yang terbagi atas 284 Desa/Kelurahan. Sebagai Kabupaten di wilayah pesisir, Cilacap memiliki 11 kecamatan yang mempunyai wilayah pantai dengan 72 Desa. Produksi perikanan tangkap di wilayah Cilacap berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, potensi bidang perikanan yang dimiliki oleh Kabupaten Cilacap dan prospektif untuk dikembangkan meliputi usaha penangkapan (potensi sebesar 56.360 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 8.671,83 ton) Nilai yang diperoleh dari total pemanfaatan sumberdaya laut melalui kegiatan penangkapan adalah sebesar 54 miliyar rupiah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap, 2006). Pada tahun 2012 volume produksi perikanan tangkap laut di Cilacap mencapai 21.866 ton dengan nilai 285 miliyar rupiah. Pada tahun 2013, volume produksi mengalami penurunan menjadi 15.454 ton dengan nilai 274 miliyar rupiah. Pada tahun 2014 produksi mengalami penurunan lagi hingga mencapai 13.810 ton dengan nilai 171 miliyar rupiah. Pada tahun 2015, volume produksi ikan hasil tangkapan di perairan laut tercatat sebanyak 14.386 ton dengan nilai sekitar 282 miliyar rupiah. Jumlah tersebut didominasi dengan hasil tangkapan jenis pelagis besar 5.243 ton, ubur-ubur dan cumi-cumi sebesar 2.806 ton, udang-udangan sebesar 1.852 ton, kemudian berturut-turut kelompok
83
demersel kecil, pelagis kecil, dan terakhir kelompok demersal besar 1.217 ton. Nilai nominal tertinggi adalah kelompok ikan pelagis besar (Rp. 124,9 M), kemudian secara berurutan diikuti oleh kelompok udang-udangan (Rp. 78,5 M), ikan demersal kecil (Rp. 37,7 M), ikan demersal besar (Rp. 24,6 M), ubur-ubur dan cumi-cumi (Rp. 9.765 M), dan ikan pelagis kecil (Rp. 8,6 M). Jenis dan ukuran kapal, jenis alat tangkap, jenis ikan (volume produksi, harga, nilai), lokasi fishing ground, system bagi hasil Jenis dan Ukuran Kapal Armada perikanan yang beroperasi di Pangkalaan Pendaratan Ikan (PPI) Kabupaten Cilacap sebanyak 3.936 unit, yang tersebar mulai dari TPI Jetis di wilayah Timur hingga wilayah Barat (Kecamatan Kampung Laut). Jumlah tersebut meliputi tiga jenis armada, yaitu perahu tanpa motor, perahu tempel dan kapal motor. Jumlah armada terbesar adalah jenis perahu tempel yang mencapai 3.226 unit atau 82 % dari keseluruhan armada perikanan di Kabupaten Cilacap. Kemudian jenis kapal motor sebanyak 528 unit yang terdiri dari kapal berukuran 10 – 20 GT yaitu sebanyak 235 unit diikuti kapal motor berukuran 21 – 30 GT sebanyak 213 unit dan 80 Unit berukuran >30 GT, (Tabel 4. 41). Tabel 4. 41
No 1 2
3
Jenis Armada Perikanan Tangkap di Kabupaten Cilacap
Jenis Armada Perahu tanpa motor Perahu tempel - Perahu fibre - Compreng Kapal motor 10 – 20 GT 21 – 30 GT > 30 GT Jumlah
Jumlah (unit) 182 2534 692
Persentase (%) 5 82
235 213 80 3.936
13 100
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015
84
Jenis Alat Tangkap Jumlah Alat Penangkapan Ikan (API) di Kabupaten Cilacap pada tahun 2015 tercatat sebanyak 13.608 unit. Jumlah tersebut dikatagorikan menjadi 5 jenis API, yaitu Pukat Hela, Gill net, Pancing, Perangkap, Alat pengumpul ikan dan katagori lain-lain. Persentase terbesar API di wilayah perairan KAbupaten CIlacap adalah Gill net (47%). Jumlah dan persentase API di Kabupaten selengkapnya disajikan pada Tabel 4. 42. Tabel 4. 42
Jumlah dan Persentase Alat Penangkapan Ikan di Kabupaten Cilacap
Jenis Alat Tangkap 1. Pukat Hela 2. Gill Net 3. Pancing 4. Perangkap 5. Alat Pengumpul Ikan 6. Lain-lain Jumlah
Jumlah 3.578 6.454 1.266 1.482 516 312 13.608
Persentase (%) 26 47 9 11 4 2 100
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015 Sementara itu, penggunaan API sangat dipengaruhi oleh karakteristik perairan dimana aktifitas penangkapan dilakukan. Berdasarkan area penangkapan ikan (fishing ground), dapat diketahui alat tangkap ikan yang dominan digunakan, seperti terlihat pada Tabel 4. 43. Tabel 4. 43
Alat Tangkap Ikan Dominan pada Fishing Ground di Perairan Cilacap
Wilayah Perairan Wilayah perairan Cilacap
Alat Tangkap Dominan - Payang, Gill net hanyut (sirang), jarring klitik, jala tebar, jarring hanyut - Jaring apong, wadong, gillnet sirang, widei, waring surungan, rawai dasar Wilayah perairan Kebumen, Cilacap dan Kebumen - Arad, gill net sirang, kantong (perahu fibre) - Kantong/ciker (compreng) Lepas pantai Yogyakarta (110 BT) sampai perairan Jaring gill net oseanik / nylon Pelabuhan Ratu (107 BT) Lepas pantai Yogyakarta (110 BT) sampai Bengkulu Rawai tuna / tuna long line (100 BT) Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015
85
Jenis Ikan (volume produksi, harga, nilai) Jenis ikan yang ditangkap dikatagorikan dalam 6 jenis, yaitu ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal besar, demersal kecil, moluska (binatang lunak) dan krustacea (binatang kulit keras). Total hasil tangkapan dari keenam jenis ikan tersebut adalah sebesar 13.386 ton. Jenis yang paling banyak ditangkap oleh nelayan Cilacap adalah ikan pelagis besar, yaitu sebesar 4.243 ton (32% total hasil tangkap). Sedangkan jenis ikan yang paling sedikit tertangkap adalah ikan demersal beesar yang hanya mencapai 1.217 ton (9% total hasil tangkapan) (Tabel 4. 44). Tabel 4. 44
Volume Hasil Tangkap Laut Berdasarkan Jenis Ikan
Jenis Ikan Volume (ton) Persentase (%) Pelagis besar 4.243 32 Pelagis kecil 1.281 10 Demersal besar 1.217 9 Demersal kecil 1.987 15 Moluska 2.806 21 Krustacea 1.852 14 Jumlah 13.386 100 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015 Pada tahun 2015, volume produksi ikan tangkapan mencapai 14.386 ton dengan nilai sebesar 282 milyar rupiah. Secara umum, hasil tangkapan laut dari tahun 2012 mengalami penurunan. Namun demikian secara nilai nominal, nilai hasil tangkapan laut berfluktuasi sesuai dengan harga ikan di pasaran. Nilai hasil tangkapan hasil laut meningkat dari 2 tahun sebelumnya, namun menurun dibandingkan nilai hasil tangkap pada tahun 2012 (Tabel 4. 45). Tabel 4. 45
Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Cilacap
Tahun
Volume Produksi (ton)
Nilai (miliar rupiah)
2012
21.866
285
2013
15.454
274
2014
13.810
171
2015
14.386
282
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015
86
Hasil tangkapan laut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis alat tagkap ikan (Tabel 4. 46). Dari tabel tersebut jeni alat tangkap ikan yang menghasilkan paling besar adalah jarring arad, yaitu sebesar 4.746 ton (33 %) Tabel 4. 46
Volume Hasil Tangkapan Laut Berdasarkan Jenis Alat Tangkap Ikan
Jenis Alat Tangkap Ikan Volume (ton) Persentase (%) Payang 1.579 10,97 Arad 4.746 32,99 Gillnet hanyut 1.396 9,70 Gillnet tetap 325 2,26 Gillnet nylon 2.248 15,62 Jaring klitik 527 3,66 Tramel net 1.202 8,35 Rawai tuna 1.709 11,88 Rawai non tuna 404 2,81 Rawai dasar 149 1,04 Jaring apong 48 0,33 Bubu kepiting 35 0,24 Penggaruk 5 0,03 Jala tebar 15 0,10 Jumlah 14.388 100,00 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015 Daerah penangkapan ikan bagi nelayan laut di Kabupaten Cilacap tersebar mulai dari bagian Timur hingga bagian Barat Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 732). Daerah penangkapan ikan tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4. 47. Tabel 4. 47 No 1
Area Fishing Ground di Nelayan Cilacap
Wilayah Perairan Wilayah perairan Cilacap
2
Wilayah perairan Kebumen, Cilacap dan Kebumen
3
Lepas pantai Yogyakarta (110 BT) sampai perairan Pelabuhan Ratu (107 BT) Lepas pantai Yogyakarta (110 BT) sampai Bengkulu (100 BT)
4
Sub Wilayah - Sepanjang Pantai Teluk Penyu, Srandil hingga Nusawungu - Perairan Sungai Donan dan di Kawasan Segara Anakan Sepanjang pantai Kebumen, Nusawungu, Srandil, Teluk Penyu hingga pantai Pengandaran Lepas pantai Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, Nusawungu, Srandil, Teluk Penyu, Pengandaran hingga Pelabuha Ratu (WPP 732) Lepas pantai Yogyakarta, Cilacap, Pengandaran, Pelabuhan Ratu hingga Bengkulu (WPP 732)
87
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap di Perairan Laut dan Perairan Umum Darat Tahun 2015 4.2.5
Kab. Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Wilayah perairan kabupaten Pangkep memiliki 3 habitat utama perairan tropis
yakni hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan sebaran yang tidak merata. Luas mangrove di kabupaten Pangkep adalah 1101,70 hektar. Mangrove tumbuh di daerah intertidal dimana banyak ditemukan kehidupan biota laut maupun biota darat seperti burung. Ekosistem mangrove mempunyai peran yang sangat penting khususnya di dearah pesisir pantai. Ekosistem Mangrove terdapat pada empat kawasan, yaitu ; Liukang Tangaya, Liukang Kalmas dan Liukang Tuppabiring Utara serta Daratan utama. Dari luas mangrove yang ada di Kabupaten Pangkep teridentifikasi jumlah pohon mangrove per hektar mencapai 1.000 – 1.300 pohon, ratarata 1.100 pohon perhektar, dengan jumlah permudaan 450 - 500 pohon perhektar. Terumbu karang merupakan endapan massive kalsium karbonat (kapur) yang diproduksi oleh binatang karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme lain penghasil kalsium karbonat. Kondisi alam yang cocok untuk pertumbuhan karang di antaranya adalah pada perairan yang bertemperatur di antara 18 - 30 oC, kedalaman air kurang dari 50 meter, salinitas air laut 30 – 36 per mil (‰), laju sedimentasi relatif rendah dengan perairan yang relatif jernih, pergerakan air/arus yang cukup, perairan yang bebas dari pencemaran, dan substrat yang keras. Habitat terumbu karang diperairan Kabupaten Pangkep sekitar 116.303,99 hektar. Terumbu karang ini tersebar di empat kecamatan Liukang Kalmas, Liukang Tangaya, Liukang Tupabbiring dan Tuppabiring Utara. Dalam penilaian kondisi terumbu karang, parameter yang diukur adalah
kondisi penutupan karang hidup (Live Coral, Dead coral, Algae, Abiotic
dan Other). Lamun (Sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan akar. Rhizoma yaitu batang yang merayap secara mendatar dan juga mempunyai bentuk fisik yang berbuku-buku. Dengan rhizoma dan akarnya inilah tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap gelombang dan arus. Tumbuhan lamun yang sebagian berumah dua, yaitu hanya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan dan bunga etina saja. Lamun juga mempunyai sifat
88
pembiakan yang khas karena mamu melakukan penyerbukan di dalam air (hydropillous pollination) dimana buahnya dapat terendam dalam air (Nontji. A, 1987). Secara umum didapatkan 4 jenis lamun di Perairan Pangkep yaitu Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Dari ke-4 jenis lamun tersebut yang memiliki sebaran luas dan tutupan yang tinggi yaitu Enhalus acoroides. Berdasarkan nilai total penutupan lamun, maka dapat dinyatakan bahwa kondisi padang lamun di kabupaten Pangkep bervariasi dari kategori rusak sampai sangat bagus. Berikut ini penggambaran kondisi ekosistem lamun pada lokasi pengamatan. Potensi Perikanan Tangkap Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar ini memiliki potensi perikanan laut yang sangat besar
dan merupakan pensuplai ikan
terbesar di Kota Makassar atau wilayah Sulawesi Selatan lainnya. Sebanyak 69.000 rumah tangga atau 81 % dari seluruh rumah tangga di Pangkep bermukim di kecamatan pulau dan pesisir dimana ketergantungan akan sumberdaya pesisir dan laut sangat tinggi. Data jumlah nelayan tangkap nelayan tangkap. Angka ini
yang tercatat tahun 2014 berkisar 13.569
mengalami
fluktuasi
setiap tahunnya, namun tidak
mengalami perubahan yang siginifikan dalam kurun waktu empat tahun dari tahun 2010 hingga 2014. Armada Perikanan Tangkap Karakter perikanan tangkap kabupaten Pangkep dapat di bagi kedalam tiga kategori yaitu: perikanan pantai, pesisir dan laut dalam. Ketiga karakter ini di bedakan berdasarkan armada dan alat tangkap yang di gunakan. Perikanan pantai merupakan kegiatan penangkapan ikan yang di lakukan di areal perairan yang dangkal dengan menggunakan armada tangkap yang bergerak (active fishing gear) seperti seperti sampan (lepa-lepa) maupun yang tidak bergerak (Passive fishing gear) sepeti Bubu atau jenis perangkap ikan lainnya. Penggunaan sampan pada perikanan pantai lebih bersifat sebagai alat transportasi. Berdasarkan hasil pendataan terdapat sejumlah 617 unit armada untuk jenis perikanan pantai. jumlah ini setara 20,41 % dari total alat tangkap keseluruhan yang terdapat di Kabupaten Pangkep. Perikanan pesisir
merupakan aktivitas penangkapan ikan yang wilayah
penangkapannya (fishing ground) berada pada kisaran jarak hingga 2 mil laut dari
89
daratan utama, atau pada kisaran kedalaman hingga 200 meter baik menggunakan alat tangkap bergerak ataupun tidak bergerak. Terdapat sekitar 840 unit armada kapal nelayan atau 27,79 % dari total armada alat tangkap. Golongan ini merupakan kedua terbesar setelah armada kapal motor atau perahu tanpa motor (DKP Pangkep, 2015). Aktivitas penangkapan yang wilayah penangkapannya berada di kisaran wilayah lebih dari 2 mil laut atau kedalaman lebih dari 200 meter. Jenis penangkapan ini menggunakan alat tangkap bergerak seperti perahu motor dan alat tangkap tidak bergerak semisal rumpon laut dalam. Nelayan Kabupaten Pangkep di dominasi pada jenis ini dimana pada tahun 2014 jenis ukuran kapal tangkap kapal motor sebanyak 1.559 unit atau setara 51,57 % dari total armada yang ada. Tabel 4. 48
Jumlah Armada Tangkap di Kabuaten Pangkep Tahun 2010-2014
Perahu Tanpa Motor Tahun Jukung Kecil Sedang 2010 0 134 0 2011 0 50 0 2012 7 511 0 2013 14 574 0 2014 7 617 0 Sumber: Statistik Perikanan DKP Kabupaten Pangkep, 2015
Besar 0 0 0 0 0
Motor Tempel 745 700 797 805 840
Kapal Motor 1505 1887 1546 1536 1559
Jumlah 2384 2637 2861 2929 3023
Jenis Alat Tangkap Penangkapan Ikan dilakukan oleh nelayan pangkep dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap antara lain ; alat tangkap jaring lingkar/pukat cincin (purse seine), jaring insang tetap (set gill net), jaring klitik, bagang tancap, bagang perahu. Secara umum waktu operasional di bedakan berdasarkan jenis armada dan alat tangkap
yang di gunakan.
Jenis
nelayan harian (one day fishing) umumnya
menggunakan alat tangkap jenis pancing (line gear) dengan target tangkapan adalah ikan demersal atau ikan yang hidup di sekitar dasar perairan seperti sunu (siganus sp), ikan merah (Nemipterus furcosus), Biji nangka serta ikan pelagis kecil yang hidup di permukaan seperti
layang (Decapterus), Tembang (Sardinella), dan kembung
(Rastellinger). Secara keseluruhan, jumlah total alat tangkap yang beroperasi di Kabupaten Pangkep berdasarkan data tahun 2015 adalah 3.767 unit. Jenis alat tangkap yang terbesar yaitu jaring insang tetap (set gill net) dengan total unit sebanyak 863 unit, kemudian jenis pancing lainnya 1.062 dan pancing cumi-cumi sebanyak 804 unit. Jenis
90
yang tercatat paling sedikit masing masing adalah jala 0 unit, jaring insang hanyut 15 unit, dan sero 34 unit. Tabel 4. 49 No.
Data Jenis Dan Jumlah Alat Tangkap 2010 – 2014 Kabupaten Pangkep Jenis Alat Tangkap
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Jumlah
2010 117 8 1.128 58 58 66 631 15 22 37 85 10 82 0 2.317
Pukat Cincin Jaring Klitik Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Bagan Tancap Dogol/Cantrang Pancing Lainnya Jala Serok Sero Pancing Cumi-Cumi Jaring Insang Hanyut Bubu Pengumpul Teripang
Tahun 2012 186 11 973 66 63 94 758 15 11 521 23 128 14 2.862
2011 179 8 1.344 60 57 68 658 35 42 80 10 14 82 0 2.637
2013 185 15 924 68 68 86 730 155 10 514 15 11 135 14 2.930
2014 185 139 863 71 73 108 1.062 76 34 804 15 0 273 64 3.767
Sumber : Statistik Perikanan DKP Pangkep 2015
Produksi Perikanan Tangkap Hasil tangkapan nelayan dipengaruhi oleh kondisi musim dimana pada musim atau bulan tertentu tangkapan melimpah atau sebaliknya. Berdasarkan hasil survey lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan potensi perikanan tangkap di Kabupaten Pangkep dominan menggunakan armada dengan berbagai ukuran antara <5 GT. Fakta ini berpengaruh pada produksi perikanan tangkap. Produksi total perikanan Kabupaten Pangkep tahun 2014 tercatat 8,793.8 ton. Bila dibandingkan tahun sebelumnya, peningkatan hanya 11,80 ton atau 0,13 %. Kondisi Perikanan tangkap di Kabupaten Pangkep tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana perikanan tangkap dalam kurun waktu lima tahun sejak 2010 hingga 2014 mengalami kenaikan rata-rata 6,88 % . Tabel 4. 50
Produksi Perikanan Per Jenis Alat tangkap di Kabupaten Pangkep Tahun 2010-2014
No.
Jenis Alat Tangkap
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pukat Cincin Jaring Klitik Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Bagan Tancap Dogol/Cantrang Pancing Lainnya Pengumpul Teripang Serok Sero Pancing Cumi-Cumi
Tahun (ton) 2010
2011 1766,6 374 2518,8 1441,2 266 290,1 296,2 17,9 75,7 54,8 114,6
2012 275,7 413,4 2818,9 2005,8 381,3 284,1 339,4 23,5 90,1 76 218,2
2013 1870,1 308,4 1567,1 2000,1 100,9 529,8 1441,6 0 11,6 417,5 197,7
2014 1929,6 257,7 1525,7 1879,8 100,8 570,1 1471,1 65,8 18,3 476,3 187,6
2308.8 179.5 1258.5 2025.7 81.8 506.4 1569.1 32.5 6.3 430.2 48.6
91
12 13 14
Jaring Insang Hanyut Bubu Jala Jumlah Sumber : Statistik Perikanan DKP Pangkep 2015
24,1 0 28,7 7.268,7
21,7 35,6 26,1 7.009,8
31,4 147,9 0 8.624,1
31,4 267,8 0 8.782,0
31.4 315 0 8.793,8
Pada Tabel 4. 51 terlihat produksi terbesar dengan menggunakan alat tangkap pukat cicin dengan produksi mencapai 2308,8 ton. Jenis ikan yang tertangkap yaitu Banyar, Bawal hitam, Cakalang, Ekor kuning, Kembung, Kuwe, Layang, Siro, Lolosi biru, Selar, Sungilar, Terubuk, Tetengkek, Tongkol krai. Jenis alat tangkap yang dapat mencpai produksi 2025.7 ton adalah alat tangkap bagan perahu dengan jenis ikan yang tertangkap Cumi, Teri, Kebung, Layang, Japuh, Siro, Selar, Talang-talang, Tembang, Cakalang, Banyar, Tetengkek. Tabel 4. 51 No 1
Produksi Perikanan berdasarkan Jenis Alat tangkap di Kabupaten Pangkep dan Jenis Ikan yang tertangkap Tahun 2014
Jenis Alat Tangkap Pukat Cincin
Produksi (Ton) 2308,8
2
Jaring Klitik
179,5
3
Jaring Insang Tetap
1258,5
4
Bagan Perahu
2025,7
5
Bagan Tancap
81,8
6
Dogol/ Cantrang
506,4
7
Pancing Lainnya
1569,1
8 9
Serok Sero
10 12 13 14
Pancing Cumi Jaring Insang Hanyut Bubu Pengumpul Teripang
32,5 6,3 430,2 48,6 315 31,4
Jenis Ikan yang tertangkap Banyar, Bawal hitam, Cakalang, Ekor kuning, Kembung, Kuwe, Layang, Siro, Lolosi biru, Selar, Sungilar, Terubuk, Tetengkek, Tongkol krai Udang putih, udang windu, udang kipas, rajungan, udang lainnya Rajungan, Terubuk, Baronang, Belanak, Ekor kuning, Gulamah, Manangi, Kembung, Asaasa Cumi, Teri, Kebung, Layang, Japuh, Siro, Selar, Talang-talang, Tembang, Cakalang, Banyar, Tetengkek Teri,Peperek, Japuh, layang, Tembang, Cumi, Udang lain, Titang Udang putih, udang windu, udang dogol, udang flower, udang lain, Bji nangka, Kuniran, Kurisi, Kerapu, Sebelah, Gurita, Beloso, Pari Kerapu, Baronang, Lencam, Kakap Merah, Kakap putih, Mandidihang, Tongkol Abu-abu, Layaran, Kurisi, Cucut, Ekor kuning, Gerotgerot, Kapas-kapas, Kuwe, Cenro, Rejung, Pinjalo, Swanggi Udang rebon, Udang lain Belanak, Baronang, Titang, Rajungan, Udang putih Cumi-cumi Tengiri, Talang-talang, Asa-asa, Cenro Rajungan, Kerapu, Kurisi Teripang pasir, Teripang Koro, Teripang Batu
Sumber : Statistik Perikanan DKP Pangkep 2015
92
4.2.6
Kota Bitung Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kota Bitung cukup beragam
mulai dari perikanan pelagis besar, pelagis kecil maupun demersal dengan total tangkapan mencapai 111.315.530 ton/tahun (PPS Bitung, 2014). Diantara jumlah tersebut 89% diantaranya adalah penangkapan ikan tuna, cakalang dan tongkol (TCT) yang merupakan tipologi perikanan pelagis besar. Selebihnya adalah perikanan pelagis kecil dan demersal yang secara total keduanya hanya menyumbang sebesar 11% atau 11.748.214 ton/ tahun. Penangkapan ikan berbasis masyarakat menggunakan armada dari berbagai ukuran mulai dari kurang dari 5 GT, 5-10 GT dan 10-30 GT. Sementara penangkapan berbasis industri atau perusahaan mayoritas berukuran diatas 30GT dan minimal berukuran 10-30 GT. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa sebaran kapal berdasarkan ukuran armada di dominasi oleh kapal berukuran di bawah 5 GT (36%), sedangkan sebaran kapal lainnya relatif tersebar cukup merata yaitu 22% (5-10 GT), 20% (10-30 GT) dan 22% (> 30 GT). Sebaran menurut ukuran kapal seperti ini menunjukkan bahwa Bitung merupakan salah satu pendaratan utama bagi kapal-kapal berukuran besar. Jumlah kapal berukuran di atas 10 GT jauh melebihi proporsi kapal diatas 10 GT secara nasional dimana hanya tercatat sebesar dibawah 10 % (reference )saja. Berdasarkan alat tangkap yang digunakan, pancing ulur merupakan alat tangkap paling dominan (32%) digunakan oleh nelayan. Hal ini didasari oleh ketersediaan sumberdaya dan biaya investasi yang relatif lebih murah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Pencing ulur dapat digunakan oleh kapal-kapal kecil mulai dari ukuran 1 GT sampai dengan ukuran diatas 10 GT. Pada ukuran kapal 5 GT sampai dengan 30 GT di dominasi oleh dua alat tangkap utama yaitu purse sein dan kapal lampu. Kapal yang juga cukup banyak beroperasi di wilayah Bitung adalah kapal pengangkut. Namun operasional kapal pengangkut mengalami gangguan karena terkena peraturan moratorium kapal pengangkut melalui permen No. 56 dan 57. Kapal ini umumnya berukuran besar sehingga dampak dari berhenti operasi kapal pengangkut juga cukup signifikan pada tahun 2015.
93
Tabel 4. 52
Jumlah Penggunaan Alat Tangkap dan Armada di PPS Bitung Tahun 2013 Kapal
No
Alat Tangkap
<5 GT
> 30 GT
122
12
Pancing Ulur (Tuna Hand Line)
2
Pancing Tonda
3
Kapal Latih
4
Sero (Set Net)
5
Kapal Pengangkut
7
29
144
6
Kapal Lampu
33
76
7
7
Rawai Tuna (LongLine)
14
44
8
Huhate (Pole and Line)
5
27
9
Jaring Insang (Gill Net) Hanyut Oceanik
10
Pukat Cincin (PurseSeine) Pelagis Kecil(PK) Pukat Cincin (PurseSeine) Pelagis
1 1 3
28 3
40
64 56
13
Besar(PB) Pancing Rawai Dasar (Bottom Long Line) Pancing Cumi (Squid Jigging)
14
Pukat Ikan
15
Bagan Perahu/Rakit
35
Jumlah
568
12
264
10–30 GT
1
11
502
5–10 GT
10 25
1 12 345
311
341
Sumber: DKP Bitung & PSDKPBitung, 2013 Distribusi jumlah nelayan tidak linear dengan proporsi jumlah armada. Hal ini dikarenakan serapan tenaga kerja yang berbeda pada setiap kelas armada. Pada kapal pancing ulur dibawah 5 GT serapan tenaga kerja rata-rata adalah 5 orang per armada. Umumnya pemilik kapal jenis ini merupakan penduduk lokal yang juga turut melakukan penangkapan ikan dengan merangkap sebagai nahkoda.Pada kapal-kapal berukuran 5-10 GT, rata-rata tenaga kerja pada setiap armada mencapai 9 orang. Sementara pada kapalkapal berukuran 10-30 GT serapan ternaga kerja per armada adalah 13 orang.Pada ukuran ini, pemilik kapal sudah mulai banyak yang tidak melaut. Mereka lebih berperan sebagai juragan darat dengan menyerahkan operasional penangkapan pada nahkoda.
94
Tabel 4. 53 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sebaran Jumlah Nelayan Berdasarkan Alat Tangkap dan Ukuran Kapal
AlatTangkap Pancing Ulur (Tuna Hand Line) Pancing Tonda Kapal Latih Sero (Set Net) Kapal Pengangkut Kapal Lampu Rawai Tuna (LongLine) Huhate (Pole and Line) Jaring Insang (Gill Net) Hanyut Oceanik Pukat Cincin (PurseSeine) Pelagis Kecil(PK) Pukat Cincin (PurseSeine) Pelagis Besar(PB) Pancing Rawai Dasar (Bottom Long Line) Pancing Cumi (Squid Jigging) Pukat Ikan Bagan Perahu/Rakit Jumlah
Jumlah Nelayan <5 GT 5–10 GT 2.510 1.848 5
11– 30 GT 1.830
>30 GT 240
Jumlah 6.428 5 10
1.440 35 660 675
1.714 547 870 800
700
700
10 42 132
60
1000
232 380 210 125
1.152
75
2.645
3.027
3.939
2.212 1.120
1.120
200 15 300
200 90 300
5.375
14.996
Distribusi nelayan yang ada di Kota Bitung tersebar kedalam 8 kecamatan dengan proporsi terbesar berada di Kecamatan Aertembaga. Nelayan yang tercatat tidak semuanya merupakan penduduk lokal akan tetapi juga banyak yang merupakan pendatang yang tidak tinggal secara menetap. Kebanyakan ABK khususnya pada kapalkapal diatas 10 GT yang bekerja pada perusahaan mengontrak kamar atau rumah secara bersama-sama selama dalam masa tertentu. Masyarakat yang melakukan penangkapan ikan banyak terdapat di Pulau Lembeh yang terbagi menjadi 2 Kecamatan yaitu Lembeh Selatan dan Lembeh Utara.
95
Tabel 4. 54
Sebaran Nelayan Berdasarkan Kartu Nelayan Tahun 2013
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama kecamatan Madidir Matuari Girian Lembeh selatan Lembeh utara Aertembaga Maesa Ranowulu Jumlah Sumber : PPS Bitung 2015
JUMLAH NELAYAN 1.022 179 365 912 800 1.413 681 670 6.042
Volume produksi ikan yang didaratkan di PPS Bitung dalam 5 tahun terakhir (2010-2014) mengalami peningkatan rata-rata per tahun 34,43 % seperti yang terlihat pada Tabel 4. 55. Hasil tangkapan yang didaratkan berasal dari nelayan lokal maupun nelayan andon serta hasil pengumpulan di sentra-sentra produksi ikan di sekitar Kota Bitung.
Tabel 4. 55 No
Volume Produksi Ikan di PPS Bitung Tahun 2010-2014
Bulan
1 Januari 2 Februari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah (Ton) Rata-rata
Tahun 2010
2011
2012
2013
2014
1.399,45 1.130,67 2.258,73 1.899,68 1.901,91 1.444,25 1.317,25 1.196,37 1.417,03 1.342,41 1.140,41 1.255,73 17.703,89 1.475,32
824,75 882,69 1.011,61 1.603,91 1.614,69 1.031,98 1.145,69 1.157,12 1.405,90 1.784,39 1.754,46 1.715,76 15.932,95 1.327,75
1.475,35 1.876,83 2.118,33 2.323,78 2.421,63 1.861,83 2.072,46 3.058,17 3.824,83 4.330,17 2.724,26 1.931,04 30.018,68 2.501,56
4.489,72 5.255,16 6.688,19 6.736,11 6.017,87 6.254,09 6.931,35 5.674,81 6.013,46 6.808,89 6.611,65 5.544,84 73.026,14 6.085,51
5.287,4 6.508,30 8.185,67 10.721,60 12.712,85 11.269,82 11.940,59 14.074,89 8.737,03 10.813,64 7.406,05 3.657,66 111.315,53 9.280,41
Kenaikan Ratarata (%) 201020132014 2014 14,16 15,09 27,10 19,25 3,90 18,29 28,80 37,17 31,99 52,66 29,84 44,51 35,45 41,95 41,14 59,68 32,50 31,17 39,25 37,03 35,03 10,73 12,88 -51,60 32,28 34,43 32,28 34,43
Sumber : Statistik Perikanan PPS Bitung,2014 Jenis ikan yang didaratkan di PPS Bitung adalah ikan pelagis baik pelagis kecil maupun pelagis besar. Terdapat 3 jenis ikan yang mayoritas dihasilkan nelayan di Bitung. Kelima komoditas tersebut adalah ikan cakalang, madidihang (tuna sirip kuning) dan ikan layang. Selama 5 tahun terakhir jumlah produksi ketiga jenis ikan tersebut selalu mengalami peningkatan (Tabel 4. 56 ).
96
Tabel 4. 56 No
Jumlah Produksi 3 Komoditas Ikan Utama di PPS Bitung tahun 2010-2014
Jenis Ikan
Tahun 2010
2011
2012
2013
2014
1
Cakalang
9.660,53
10.871,88
20.611,67
47.597,32
68.755,12
2
Layang
3.452,13
2.290,45
2.977,49
6.443,94
7.211,47
3
Madidihang
2.830,95
1.555,99
4.592,44
11.303,28
21.894,50
Sumber : Statistik Perikanan PPS Bitung,2014 Pemasaran hasil perikanan dari PPS Bitung berupa produk ikan segar dan produk beku. Daerah tujuan distribusi meliputi lokal, antar kota, antar provinsi dan ekspor. Untuk distribusi lokal tujuannya adalah ke pasar tradisional untuk konsumsi masyarakat dan perusahaan pengolahan ikan yang ada di kota Bitung. Sedangkan distribusi antar kota meliputi Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Tomohon, Tondano dan Manado. Sedangkan untuk antar provinsi distribusi ikan ditujukan untuk perusahaan pengolahan ikan. Ikan layang biasa digunakan untuk bahan baku ikan pindang sehingga mayoritas ikan tersebut langsung dikirim ke perusahaan pengolah ikan di Jakarta dan Surabaya. Sedangkan ikan tuna dan cakalang biasanya dibekukan oleh perusahaan ikan yang ada di Bitung dan sekitar kemudian diekspor. 4.2.7
Kab. Maluku Tengah Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah
sangat tergantung pada potensi sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang dimiliki. Jumlah pulau sebanyak 42 buah (termasuk pulau besar, Pulau Seram) dengan panjang garis pantai 1.375.529 km,dan luas perairan wilayah kelola 7.436,29 km2. Potensi sumberdaya perairan yang dimiliki Kabupaten Maluku Tengah mampu mendukung pembangunan ekonomi wilayah serta ekonomi masyarakatnya. Sumberdaya potensial yang dimiliki adalah hutan mangrove, padang lamun, alga dan terumbu karang serta sumberdaya ikan, moluska, ekinodermata dan krustase. Kegiatan yang dapat dikembangkan untuk tujuan pengembangan ekonomi masyarakat terfokus pada perikanan tangkap, budidaya perairan dan pengolahan hasil perikanan skala kecil, pengembangan sentra usaha dan klaster perikanan. Armada penangkapan ikan di Maluku Tengah didominasi oleh armada dengan ukuran kecil. Perahu tanpa motor di Maluku Tengah pada tahun 2015 mencapai 10.920 97
unit. Seiring dengan perkembangan teknologi dan kemampuan ekonomi nelayan, jumlah perahu tanpa motor semakin berkurang, sementara itu jumlah perahu dengan motor tempel semakin bertambah. Armada penangkapan ikan yang paling besar berukuran kurang dari 50 GT. Tabel 4. 57
Jumlah Armada penangkapan di Kab. Maluku Tengah
Jumlah Alat tangkap Alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Maluku Tengah pada umumnya berbentuk pancing dan jaring insang. Berbagai jenis pancing yang terdapat di Maluku Tengah diantaranya adalah pancing ulur, pancing tonda, pancing tegak, pancing cumi, dan huhate. Armada dengan ukuran kurang dari 5 GT biasanya beroperasi tidak jauh dari garis pantai. Sementara itu armada dengan ukuran besar, khususnya yang lebih dari 10 GT banyak yang beroperasi di luar Kab. Maluku Tengah seperti Seram bagian utara dan Sorong.
98
Tabel 4. 58
Jumlah Alat Tangkap di Kab. Maluku Tengah
Produksi dan Nilai Produksi Produksi perikanan tangkap laut di Maluku Tengah didominasi oleh ikan pelagis baik kecil maupun besar. Beberapa jenis ikan pelagis seperti cakalang, tuna dan tongkol menjadi jenis ikan utama yang tertangkap oleh nelayan di Maluku Tengah. Selain itu beberapa jenis ikan karang juga ditangkap oleh nelayan walaupun jumlahnya tidak terlalau banyak. Perkembangan produksi perikanan di Kab. Maluku Tengah dalam lima tahunterakhir (2011-2015) masih mengalami tren peningjkatan produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa perikanan di Maluku Tengah masih dalam kondisi yang baik. Perkembangan produksi perikanan tangkap laut di Maluku Tengah dapat dilihat pada tabel berikut.
99
Tabel 4. 59
4.2.8
Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Laut di Kab. Maluku Tengah
Kota Sorong Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Sorong sebagai berikut :
Mangrove Hutan maangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai yang berfungsi untuk produksi, perlindungan dan pelestarian alam juga sebagai penyeimbang (interface) antara eksosistem daratan dengan eksosistem lautan. Wilayah pesisir Kota Sorong memiliki 3 habitat utama perairan tropis yakni hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan sebaran yang tidak merata. Kondisi hutan mangrove sampai saat ini mengalami tekanan-tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Sebaran mangrove yang berada di Kota Sorong terdapat di distrik Sorong Timur dan Sorong Kepulauan dengan luas total kurang lebih 1.379,66 Ha. Jumlah jenis mangrove berkisar antara 7-12 jenis untuk tipe mangrove muara, yaitu Avicenia sp dan Sonneratia sp merupakan zonasi terluar selanjutnya ke arah
100
dalam diikuti oleh Rizhophora sp dan Bruquiera sp serta Nypha fruticans sp dan Xylocarpus sp. Hampir seluruh tipe hutan mangrove di Kota Sorong terutama estuari, didominasi oleh Rhizophora sp, Bruquiera sp dan Avicennia sp. Luasan mangrove yan ada di Kota Sorong teridentifikasi jumlah pohon mangrove perhektar mencapai 1000-1300 pohon, rata-rata 1100 pohon perhektar, dengan jumlah permudaan 450-500 pohon perhektar. Kerusakan mangrove di wilayah pesisir Kota Sorong umumnya disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pemukiman seperti wilayah belakang bandara. Terumbu karang Terumbu karang berasal dari kalsium karbonat (kapur) yang diproduksi oleh binatang karang dengan sedikit tambahan dai alga berkapur dan organisme-organisme lain penghasil kalsium karbonat. Klasifikasi ilmiah menunjukkan bahwa karang ini termasuk kelompok binatang dan bukan sebagai kelompok tumbuhan. Terumbu karang perairan Kota Sorong memiliki luasan 55,08 Ha dari 120.057 Ha luas total di wilayah Kab. Sorong atau sebesar 46% dari luas total. Terumbu karang di pesisir Kota Sorong tersebar di beberapa lokasi yakni di Pulau Doom, Pulau Sop, Pulau Raam dan Tanjung Kasuari. Kondisi terumbu karang yang masih baik kondisinya ada di beberapa titik yaitu di Pulau Doom, Pulau Sop, Pulau Raam dan Pulau Neena. Lamun Lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah menyesuaikan diri hidup di dasar laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan akar. Adanya rhizoma ini menyebabkan tumbuhan tersebut tahan terhadap gelombang dan arus. Terdapat 7 (tujuh) jenis lamun di Perairan Kota Sorong yaitu Enhalus acoroides, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodocea cerrualata, Cymodocea rotundata, Syringodium iticifolius dan Thallasodendrum sp. Dari ketujuh jenis lamun tersebut yang memiliki sebaran luas dan tutupan tinggi adalah Enhalus acoroides. Luasan lamun di Kota Sorong terdapat sekitar 81,15 Ha. Kondisi ini berada dalam kategori jarang sampai sedang/terganggu terdapat pada daerah sekitar muara Sungai Bozwesen, muara sungai belakang bandara, muara Sungai Victory, Tambang Batu, Sekitar Pulau Nana’a, sekitar Pulau Umbrew dan bagian selatan Pulau Dom. Kondisi lamun yang masih baik terdapat di Pulau Raam, Pulau Dom bagian Utara dan Barat, Pulau Sop dan Aspor sedangkan yang termasuk kondisi paling baik dapat ditemukan di Tanjung Kasuari.
101
Kegiatan Penangkapan Ikan Kota Sorong berhadapan langsung dengan Selat Dampir memiliki potensi perikanan laut yang cukup besar. Kegiatan penangkapan ikan di Kota Sorong dipengaruhi oleh kondisi musim, dimana beriklim basah tropik yang mempunyai 4 bulan basah dan 4 bulan kering serta dipengaruhi oleh musim angin barat dan musim angin timur. Musim angin barat terjadi pada bulan Januari hingga Maret yang diikuti dengan musim penghujan dengan keadaan angin yang sangat kencang dengan gelombang besar. Hal ini menyebabkan nelayan rakyat tidak dapat melaut. Nelayan tidak melaut pada saat transisi musim angin barat yaitu pada Bulan Desember hingga awal Maret. Jumlah nelayan di Kota Sorong mengalami peningkatan yang tidak terlalu signifikan dalam enam tahun terakhir. Pada tahun 2009 jumlah nelayan sebesar 4.529 orang. Sementara pada tahun 2014 jumlah nelayan sebesar 4.771 orang yang terdiri dari nelayan rakyat (58.47%) dan nelayan industri (41.53%). Sedangkan jumlah perahu kapal perikanan di Kota Sorong, terjadi penurunan dalam enam tahun terakhir. Proporsi paling banyak adalah perahu motor tempel sebesar 980 buah. Sementara untuk kapal motor hanya 328 buah dan perahu tanpa motor sebesar 203 buah.
Dari proporsi jumlah armada
mencerminkan bahwa perikanan tangkap laut di Kota Sorong lebih dominan perikanan rakyat. Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk kegiatan penangkapan cukup bervariasi antara lain pancing dasar, pancing tonda, jarring insang, jarring hiu, bagan perahu, jarring kantong (purse seine), perangkap, pole and line, pukat ikan, pukat udang dan lainnya. Dari seluruh alat tangkap tersebut, alat tangkap yang paling dominan adalah pancing dasar, pancing tonda, dan jarring insang. Dilihat dari jenis alat tangkap yang digunakan, jenis ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan pelagis dan demersal. Jenis ikan pelagis antara lain teri, layang, selar, kuning, lemuru, kembung, tenggiri, cakalang, alualu, daun bambu, tembang, terbang, peperak, julung-julung, belanak, tetengkek. Jenis ikan demersal antara lain kurisi, ekor kuning, layur, kuwe, kerapu, kakap, lencam, bawal. Jenis lain yang tertangkap hiu, kerang dara, udang, teripang. Dari seluruh jenis tersebut, ikan teri, layang, dan cakalang adalah jenis ikan yang paling besar produksinya. Karakteristik masyarakat nelayan yang ada di Kota Sorong terdiri dari Etnis Seram, Buton, Bone, Jawa, dan Bugis yang merantau ke Kota Sorong sudah puluhan tahun.
102
Keluarga inti umumnya merupakan perpaduan antar etnis namun jarang nelayan pendatang menikah dengan orang lokal (etnis papua). Tingkat pendidikan masih rendah, rata-rata hanya lulus pendidikan dasar 12 tahun (lulus SD, SMP dan SMA). Teknologi penangkapan sebagian besar diwariskan dari orang tua nelayan, hanya beberapa orang yang pernah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong. Nelayan di Kota Sorong hanya memiliki satu pekerjaan sebagai nelayan pemilik, nahkoda atau ABK, sedangkan pendapatan rumah tangga dibantu oleh istri (wiraswasta) dan anaknya (ABK). Rata-rata asset rumah tangga yang dimiliki termasuk jenis aset non produktif seperti rumah tinggal, perlengkapan elektronik, dan peralatan transportasi, jarang nelayan yang memiliki tabungan berupa uang atau perhiasan (emas). Tingkat kesehatan cenderung tinggi, penyakit yang diderita adalah penyakit ringan seperti flu, sakit kepala, masuk angin, dll, pengobatan sering kali dibiarkan, beli obat di warung atau pergi ke puskesmas. Hanya beberapa nelayan yang terserang penyakit berat sampai dirawat/diopname. Seluruh nelayan di Kota Sorong sudah mempunyai BPJS Kesehatan sebagai antisipasi pengobatan penyakit berat, namun tidak ada nelayan yang memiliki asuransi jiwa. Modal sosial nelayan terdiri dari partisipasi dan rasa percaya (trust). Partisipasi sosial, organisasi dan politik cenderung rendah. Frekuensi bertemu dengan anggota keluarga besar jarang yaitu hanya 6 bulan sekali atau 1 tahun sekali. Beberapa keluarga inti atau keluarga besar terlibat dalam usaha penangkapan, namun ABK/tenaga kerja usaha berasal dari luar anggota keluarga. Nelayan mengalami kesulitan untuk mencari ABK dan sering kali mendatangkan dari daerah asalnya dengan menanggung biaya perjalanan dari daerah asal menuju Kota Sorong terutama ketika musim ikan terbang yang memerlukan keberanian dan keahlian dalam mencari telur ikan terbang tersebut. Ketika kesulitan untuk biaya operasional atau modal dalam usaha penangkapan, nelayan meminjam ke keluargainti, keluarga besar, lembaga formal dan lembaga non formal (juragan). Hanya beberapa nelayan yang berpartisipasi dalam organisasi diantaranya organisasi keagamaan, kenelayanan dan olahraga, dan tidakadanelayan yang berpartisipasi dalam organisasi politik. Istilah sumberdaya ikan tidak terbatas pada lingkup pengertian yang sempit, namun mencakup seluruh organisme-organisme yang hidup di air. Sumberdaya ikan laut Indonesia pada dasarnya dikelompokan berdasarkan taksonomi, yaitu ikan (pisces) dan non ikan (molusca, crustacea, holoturadea, reptilia, dan mamalia), biasanya didaratkan
103
oleh armada penangkapan ikan
yang sebagai Home Base, baik Ekspor, Produksi,
Pengolahan, dan pengiriman ikan ke luar Kota Sorong di daerah yang ada di Indonesia. Jumlah nelayan di kota Sorong tahun 2009 – 2014 mengalami peningkatan yang tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2009 jumlah nelayan sebesar 4.529 orang. Sementara pada tahun 2014 jumlah nelayan sebesar 4.771 orang. Tabel 4. 56 No
Jumlah Nelayan di Kota Sorong, Tahun 2009 – 2014 Nelayan
Tahun 2009
2010
2011
2012
2013
2014
1
Rakyat
2.637
2.663
2.769
2.650
2.734
2.790
2
Industri
1.892
1.892
1.987
1.987
2.086
1.981
Total
4.529
4.555
4.756
4.637
4.820
4.771
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong (2014) Jumlah perahu kapal perikanan di Kota Sorong, Tahun 2009 – 2014 terjadi penurunan. Pada tahun 2009 jumlah kapal total 1.548 sementara pada tahun 2014 jumlah armada kapal sebesar 1.511 buah. Proporsi paling banyak adalah perahu motor tempel pada tahun 2014 sebesar 980 buah. Sementara untuk kapal motor hanya 328 buah dan perhau tanpa motor sebesar 203 buah.
Dari proporsi jumlah armada
mencerminkan bahwa perikanan tangkap laut di Kota Sorong lebih dominan perikanan rakyat. Tabel 4. 57
Jumlah Perahu/Kapal Perikanan di Kota Sorong, Tahun 2009 – 2014
Tahun Perahu/Kapal Perikanan 2009 2010 2011 2012 1 Perahu tanpa 882 193 203 203 motor 2 Perahu motor 572 897 924 934 tempel 3 Kapal Motor 94 273 310 325 Total 1.548 1.363 1.437 1.462 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong (2014) No
2013 203
2014 203
980
980
328 1.511
328 1.511
Alat tangkap yang digunaka nelayan untuk kegiatan penangkapan cukup bervariasi antara lain pancing dasar, pancing tonda, jaring insang, jaring hiu, bagan perahu, jaring kantong (purse seine), perangkap, pole and line, pukat ikan, pukat udang dan lainnya. Dari seluruh alat tangkap tersebut, alat tangkap yang paling dominan adalah pancing dasar, pancing tonda, dan jaring insang. 104
Tabel 4. 58 No
Jumlah Alat Tangkap Perikanan di Kota Sorong, Tahun 2009 – 2014
Perahu/Kapal Perikanan
2009 2010 Pancing dasar 3.570 3.748 Pancing tonda 1,186 992 Jaring insang (gill net ) 927 919 Jaring hiu 120 120 Bagan perahu 119 119 Jaring kantong (purse seine) 21 30 Perangkap (sero,bubu, jerat ) 1,709 418 Pole and line (huhate) 375 375 Pukat ikan (mid mater trawl) 21 30 Pukat udang (bottom trawl) 39 39 Lainya 22 22 Total 8,109 6,812 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong (2014) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tahun 2011 2012 3.748 3.748 992 992 919 919 120 120 119 119 30 30 418 418 375 375 30 30 39 39 22 22 6,812 6,812
2013 3.673 995 873 132 119 30 438 375 35 42 22 6.734
Dilihat dari jenis alat tangkap yang digunakan, jenis ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan pelagis dan demersal. Jenis ikan pelagis antara lain teri, layang, selar, kuning, lemuru, kembung, tengiri, cakalang, alu-alu, daun bambu, tembang, terbang, peperak, julung-julung, belanak, tetengkek. Jenis ikan demersal antara lain kurisi, ekor kuning, layur, kuwe, kerapu, kakap, lencam, bawal. Jenis lain yang tertangkap hiu, kerang dara, udang, teripang. Dari seluruh jenis tersbut, ikan teri, layang, dan cakalang adalah jenis ikan yang paling besar produksinya pada tahun 2015.
105
2014 3.673 995 873 132 119 30 438 375 35 42 22 6.734
Tabel 4. 59
Produksi Perikanan di Kota Sorong, Tahun 2013 – 2014
NO
URAIAN VOLUME (KG) A. Sumber – sumber Pelagis 2013 2014 1 Teri 780.675 843.129 2 Layang 329.050 451.312 3 Selar Kuning/Oci 114.812 112.515 4 Lemuru/Simbula 181.370 181.315 5 Kembung/lema 152.796 198.634 6 Tenggiri 14.783 132.000 7 Cakalang/Tuna/tongkol 502.410 378.012 8 Alu-alu / Maskada 73.132 58.505 9 Daun Bambu/Lasi 4.147 19.054 10 Tembang/Maki 11.242 254.354 11 Terbang 27.567 13.783 12 Peperak/Perak-perak 50.735 55.808 13 Julung-julung/Sako 22.258 14.693 14 Belanak 8.692 5.215 15 Tetengkek 22.695 12.886 Sub Total 2.716.364 2.731.215 B. Sumber – sumber Demersal 1 Kurisi 21.418 21.846 2 Ekor Kuning / Lalosi 42.737 55.058 3 Layur 13.058 11.164 4 Kuwe/bubara 81.278 97.534 5 Kerapu 29.680 37.100 6 Kakap/Ikan Merah 110.346 140.001 7 Lencam/Gutila 40.145 48.174 8 Bawal 23.011 24.161 9 Beronang 19.656 20.228 10 Cucut 2.240 721 Sub Total 383.569 455.987 C. Sumber – sumber lainnya 1 Sirip Hiu 53.754 30.102 2 Teripang 24.126 21.713 3 Kerang dara 30.292 9.693 4 Udang 15.584 16.259 5 Lainnya 42.455 43.728 Sub Total 166.211 121.495 Total 3.266.144 3.308.697 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong (2014)
106
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Sumberdaya Manusia Rumah Tangga Nelayan Sumberdaya manusia merupakan modal penting yang dimiliki oleh masyarakat didalam mengembangkan kondisi ekonomi rumah tangga. Beberapa indikator yang dapat dilihat dari sumberdaya manusia diantaranya adalah usia, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan pengalaman usaha. Tingkat pendidikan anak nelayan merupakan salah satu indikator yang cukup penting khususnya mereka yang telah memasuki usia produktif. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak nelayan yang sudah memasuki usia produktif akan menjadi penunjuk yang baik pengembangan kualitas sumberdaya manusia pada keluarga nelayan. Harapan yang diinginkan adalah semakin tinggi tingkat pendidikan akan mengurangi ketergantungan keluarga nelayan terhadap keberadaan sumberdaya. Responden nelayan dari kegiatan Panelkanas berjumlah 608 orang, yang terbagi menjadi 3 (tiga ) kelas armada, yaitu armada kelas satu berukuran < 5 GT berjumlah 334 orang responden, armada kelas dua berukuran 5-10 GT berjumlah 137 orang responden dan armada kelas tiga berukuran 11-30 GT berjumlah 137 orang responden. Nelayan yang berada pada armada di bawah kurang dari 5 GT jika dilihat dari usianya paling banyak ada pada kisaran usia 31-45 tahun yakni sebesar 50% dan selang usia 46-60 tahun sebesar 36,2%. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan dengan armada < 5 GT pada umumnya berada pada usia produktif. Rata-rata usia responden 44 tahun, yang paling muda berada pada usia 20 tahun dan yang paling tua ada di usia 77 tahun. Nelayan yang berada pada kelas armada 5-10 GT jika dilihat dari usianya paling banyak yang berada pada kisaran usia 31-45 tahun yakni sebesar 50,4% dan dan 46-60 tahun ada sekitar 37,2%. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan dengan armada 5-10 GT pada umumnya juga berada pada usia produktif yaitu rata-rata usia responden 44 tahun, yang paling muda berada pada usia 24 tahun dan yang paling tua ada di usia 66 tahun. Nelayan pada armada antara 11 dan 30 GT jika dilihat dari usianya paling banyak yang berada pada kisaran 31-45 tahun yakni sebesar 43,8% dan 46-60 tahun sebesar 40,1%. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan dengan armada 11-30 GT pada umumnya berada pada usia produktif. Rata-rata usia responden yaitu 46 tahun, yang paling muda berada pada usia 26 tahun dan yang paling tua ada di usia 70 tahun. Tabel karakteristik usia responden nelayan berdasarkan ukuran armada sebagai berikut.
107
Tabel 5. 1
Karakteristik Usia Responden Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
Kriteria Usia
< 15 tahun 15 – 30 tahun 31 – 45 tahun 46 – 60 tahun > 60 tahun Total Responden
< 5 GT Jumlah % Responde n 0 0,0% 22 6,6% 167 50,0% 121 36,2% 24 7,2% 334
Rata-Rata Usia Minimum Maksimum Standar Deviasi Sumber : Data Primer (diolah), 2016
100,0% 44 20 77 10,40
Ukuran Armada 5 - 10 GT Jumlah % Respond en 0 0,0% 9 6,6% 69 50,4% 51 37,2% 8 5,8% 100,0 137 %
11 - 30 GT Jumlah % Respond en 0 0,0% 9 6,6% 60 43,8% 55 40,1% 13 9,5% 100,0 137 % 44 24 66 9,13
Berdasarkan pengalaman usahanya, nelayan yang terdapat pada kelas armada kurang dari 5 GT umumnya memiliki pengalaman yang cukup banyak yakni pada umumnya berada pada selang lebih dari 20 tahun yaitu sebesar 39,2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa nelayan telah cukup lama menggantungkan hidupnya dari laut sebagai nelayan. Berdasarkan statistik deskriptifnya nelayan memiliki rata-rata pengalaman usaha selama 20 tahun. Pada kelas armada 5-10 GT pada umumnya nelayan memiliki pengalaman yang cukup banyak yakni berada pada selang lebih dari 20 tahun yaitu sebesar 30,7%. Hal tersebut menunjukkan bahwa nelayan telah cukup lama bekerja sebagai nelayan. Berdasarkan statistik deskriptifnya nelayan memiliki rata-rata pengalaman usaha selama 17 tahun.Sedangkan pada kelas armada 11-30 GT umumnya memiliki pengalaman yang cukup banyak yakni juga berada pada selang lebih dari 20 tahun sebesar 32,1%. Berdasarkan statistik deskriptifnya nelayan memiliki rata-rata pengalaman usaha selama 19 tahun. Pengalaman usaha nelayan berdasarkan ukuran armada ditunjukkan oleh Tabel 5. 2
108
Tabel 5. 2
Karakteristik Pengalaman Usaha Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
Kriteria
< 5 GT Jumlah Responden
Ukuran Armada 5 - 10 GT Jumlah % Responde n 11 8,0%
%
11 - 30 GT Jumlah % Responde n 8 5,8%
< 5 Tahun
23
6,9%
5-10 Tahun
63
18,9%
38
27,7%
33
24,1%
11-15 Tahun
53
15,9%
21
15,3%
20
14,6%
16-20 Tahun
64
19,2%
25
18,2%
32
23,4%
> 20 Tahun
131
39,2%
42
44
334
100,0%
137
32,1% 100,0 % 19
Rata-Rata
20
30,7% 100,0 % 17
Minimum
0
0
0
Maksimum
54
49
52
10,88
10,78
10,67
Total Responden
Standar Deviasi Sumber : Data Primer (diolah), 2016
137
Berdasarkan tingkat pendidikannya, nelayan yang berada pada armada kurang dari 5 GT paling banyak yang berada pada selang 1-6 tahun atau berada pada tingkat sekolah dasar yakni sebesar 64,7%. Hal ini masih menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan di kalangan nelayan karena pada umumnya mereka bekerja sebagai nelayan sejak kecil karena membantu kedua orangtuanya untuk memenuhi tuntutan ekonomi. Rata-rata pendidikan nelayan adalah 6,6 tahun. Nelayan yang berada pada armada 5-10 GT paling banyak yang berada pada selang 1-6 tahun atau berada pada tingkat sekolah dasar yakni sebesar 40,9% dan selang 10-12 tahun sebanyak 30,7%. Rata-rata pendidikan nelayan adalah 8 tahun. Nelayan yang berada pada armada 11-30 GT paling banyak yang berada pada selang 1-6 tahun atau berada pada tingkat sekolah dasar yakni sebesar 38% dan pada selang 10-12 tahun sebesar 31,4%. Rata-rata pendidikan nelayan adalah 9 tahun. Tabel berikut menggambarkan tingkat pendidikan nelayan berdasarkan ukuran armada.
109
Tabel 5. 3
Tingkat Pendidikan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
Kriteria
0 tahun
< 5 GT Jumlah % Responde n 17 5,1%
Ukuran Armada 5 - 10 GT Jumlah % Responde n 4 2,9%
11 - 30 GT Jumlah % Responde n 6 4,4%
1-6 tahun
216
64,7%
56
40,9%
52
38,0%
7-9 tahun
42
12,6%
30
21,9%
27
19,7%
10-12 tahun
57
17,1%
42
30,7%
43
31,4%
> 12 tahun
2
0,6%
5
3,6%
9
6,6%
334
100,0%
137
100,0%
137
100,0%
Total Responden Rata² Pendidikan
8
9
0
0
Minimum
6,6 0
Maksimum
16
16
17
3,30
3,76
3,69
Standar Deviasi Sumber : Data Primer (diolah), 2016
Pendidikan bagi generasi penerus bangsa merupakan salah satu faktor yang menentukan keunggulan sumberdaya manusia di suatu wilayah, tidak terkecuali pada anak-anak nelayan pada kelas armada kurang dari 5 GT. Pendidikan yang paling banyak terdapat pada anak nelayan ada di kisaran belum sekolah sebanyak 47,7% dan 7-9 tahun sebesar 32,0%. Sedikit yang melanjutkan sampai ke tingkat perguruan tinggi dan SMU yakni hanya sebesar 6,3%. Pendidikan yang paling banyak terdapat pada anak nelayan di kelas armada 5-10 GT ada di kisaran 7-9 tahun yakni sebesar 46,7% dan belum bersekolah sebanyak 38,5%. Pada kelas armada 11-30 GT, pendidikan anak nelayan ada pada pada 0 tahun atau belum sekolah sebesar 37,6% dan selang 7-9 tahun sebesar 33,1%. Rata-rata pendidikan anak nelayan adalah 7 tahun. Tabel berikut menggambarkan karakteristik pendidikan anak usia produktif berdasarkan ukuran armada.
110
Tabel 5. 4
Karakteristik pendidikan Anak Usia Produktif Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
Kriteria
Ukuran Armada 5 - 10 GT Jumlah % Responden 47 38,5%
< 5 GT Jumlah Responden 143
47,7%
1-6 tahun
23
7,7%
2
1,6%
5
3,8%
7-9 tahun
96
32,0%
57
46,7%
44
33,1%
10-12 tahun
19
6,3%
8
6,6%
17
12,8%
> 12 tahun
19
6,3%
8
6,6%
17
12,8%
Total Responden
300
100,0%
122
100,0%
133
100,0%
0 tahun
Rata-Rata Pendidikan Minimum Maksimum Standar Deviasi
%
11 - 30 GT Jumlah % Responden 50 37,6%
6
7
7
0
0
0
16
15,5
17
5,37
5,28
5,69
Sumber : Data Primer (diolah), 2016
5.2 Kesehatan Rumah Tangga Nelayan Kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia, begitu juga halnya dengan kesehatan pada rumah tangga nelayan. Hal ini dikarenakan, apabila dalam suatu rumah tangga mengalami sakit (khususnya kepala keluarga yang merupakan pencari nafkah utama) akan sangat merugikan. Mereka tidak dapat pergi melaut yang berdampak pada kehilangan terhadap pendapatan yang seharusnya mereka peroleh. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibahas terkait dengan jenis dan frekuensi sakit dari rumah tangga, metode penyembuhan yang dilakukan serta jaminan kesehatan yang dimiliki baik yang merupakan program pemerintah, swasta dan jenis jaminan kesehatan lainnya. Berdasarkan hasil wawancara terkait dengan kesehatan rumah tangga nelayan selama satu tahun terakhir dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu sakit ringan dan sakit berat. Kategori sakit ringan jika menderita flu, sakit kepala, masuk angin dan sebagainya. Sedangkan sakit berat jika membutuhkan tindakan rawat inap, seperti tipes, DBD, TBC dan penyakit lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk armada di bawah 5 GT dan frekuensi terbanyak sakit ringan dalam satu tahun sebanyak 3-5 kali dengan persentase sebesar 38,3%. Begitu pun juga dengan armada ukuran 5-10 GT dan 11-30 GT menunjukkan bahwa frekuensi sakit ringan yang pernah mereka derita selama setahun 111
terakhir adalah sebanyak 3-5 kal dengan frekuensi kejadian masing-masing sebesar 37% dan 35,8% seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 5. 5
Frekuensi Sakit Ringan pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada
< 5 GT Jumlah % 1 0 – 2 kali 86 27,5% 2 3 – 5 kali 120 38,3% 3 6 – 8 kali 35 11,2% 4 9 – 11 kali 27 8,6% 5 > 12 kali 45 14,4% Sumber : Data Primer (diolah), 2016 No.
Keterangan
5-10 GT Jumlah % 38 31,9% 44 37,0% 14 11,8% 15 12,6% 8 6,7%
11-30 GT Jumlah % 42 34,1% 44 35,8% 16 13,0% 13 10,6% 8 6,5%
Sedangkan untuk sakit berat, berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa untuk semua ukuran kelas armada sebagian besar
menjawab bahwa mereka tidak
pernah menderita sakit berat selama setahun terakhir dengan persentase masing-masing sebesar 81,4%, 83,9% dan 82,5%. Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa mereka pernah mengalami sakit berat seperti tipes sehingga menyebabkan mereka tidak pergi melaut. Persentase sakit berat pada rumah tangga nelayan selama setahun terakhir tersaji pada tabel berikut. Tabel 5. 6
Persentase Sakit Berat pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada
< 5 GT Jumlah % 1 Pernah 62 18,6% 2 Tidak Pernah 272 81,4% Sumber : Data Primer (diolah), 2016 No.
Keterangan
5-10 GT Jumlah % 22 16,1% 115 83,9%
11-30 GT Jumlah % 24 17,5% 113 82,5%
Terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh responden apabila mereka menderita sakit ringan dan sakit berat adalah dengan dibiarkan saja, beli obat di warung, puskesmas, berobat ke dokter, pengobatan alternatif ataupun ke rumah sakit. Dari alternatif kegiatan tersebut, frekuensi yang paling besar untuk ukuran armada di bawah 5 GT adalah dengan melakukan pembelian obat diwarung dan berobat ke puskesmas. Frekuensi paling besar adalah untuk membeli obat di warung dan puskesmas dengan persentase masing-masing sebesar 45,8% dan 28,2%. Begitu juga untuk armada ukuran 510 GT, frekuensi paling besar untuk membeli obat di warung dan berobat ke rumah sakit.
112
Hal ini dikarenakan biaya yang mereka keluarkan lebih kecil atau lebih terjangkau dibandingkan dengan ke dokter ataupun rumah sakit. Sedangkan untuk ukuran armada 11-30 GT selain melakukan tindakan dengan membeli obat di warung, berobat ke puskesmas dan ke dokter agar penyakit yang mereka derita cepat sembuh.
Tindakan
yang dilakukan oleh responden jika menderita sakit ringan tersaji pada tabel berikut. Tabel 5. 7
Tindakan yang Dilakukan untuk Sakit Ringan pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada
< 5 GT Jumlah % 1 Dibiarkan 26 7,0% 2 Beli obat warung 170 45,9% 3 Puskesmas 136 36,8% 4 Dokter 25 6,8% 5 Pengobatan alternatif 6 1,6% 6 Rumah sakit 7 1,9% Sumber : Data Primer (diolah), 2016 No.
Keterangan
5-10 GT Jumlah % 12 8,5% 65 45,8% 40 28,2% 18 12,7% 3 2,1% 4 2,8%
11-30 GT Jumlah % 14 9,6% 55 37,7% 40 27,4% 32 21,9% 1 0,7% 4 2,7%
Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh responden pada berbagai kelas ukuran armada apabila pernah mengalami sakit berat adalah dengan melakukan pengobatan ke rumah sakit dengan persentase berkisar antara 66,7%-82,6%. Hal ini mereka lakukan agar penyakit yang dideritanya segera sembuh, sehingga mereka bisa melakukan kegiatan melaut kembali seperti tersaji pada tabel berikut. Tabel 5. 8
Tindakan yang Dilakukan untuk Sakit Berat pada Rumah Tangga Nelayan dalam Setahun Terakhir Berdasarkan Ukuran Armada
< 5 GT Jumlah % 1 Dibiarkan 1 1,6% 2 Beli obat warung 1 1,6% 3 Puskesmas 8 12,7% 4 Dokter 8 12,7% 5 Pengobatan alternatif 3 4,8% 6 Rumah sakit 42 66,7% Sumber : Data Primer (diolah), 2016 No.
Keterangan
5-10 GT Jumlah % 0 0,0% 0 0,0% 2 9,5% 3 14,3% 2 9,5% 14 66,7%
11-30 GT Jumlah % 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 4 17,4% 0 0,0% 19 82,6%
Terkait dengan jaminan kesehatan yang dimiliki oleh responden meliputi Jamkesmas, BPJS/ASKES dan Asuransi swasta. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin. BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
113
Kesehatan) sebelumnya adalah ASKES merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. Asuransi kesehatan adalah jaminan kesehatan yang dikelola oleh perusahan swasta dimana peserta harus membayar premi setiap bulannya. Berdasarkan hasil wawancara, pada ukuran armada di bawah 5 GT, jaminan kesehatan yang dimiliki oleh responden adalah BPJS/Askes dan Jamkesmas dengan persentase masing-masing sebesar 49,8% dan 27,2%. Selain itu sebanyak 90 orang responden (22,1%) belum memiliki jaminan kesehatan. Sedangkan untuk ukuran armada 5-10 GT menunjukkan bahwa sebanyak 68 orang (45,3%) memiliki jaminan kesehatan berupa BPJS/Askes, dan sebesar 33,3% tidak memiliki. Untuk ukuran armada 11-30 GT sebanyak 79 reponden (57,7%) reponden belum memiliki. Keikutsertaan rumah tangga nelayan pada asuransi kesehatan tersaji pada tabel berikut. Tabel 5. 9
Keikutsertaan Rumah Tangga Nelayan pada Asuransi Kesehatan Berdasarkan Ukuran Armada
< 5 GT Jumlah % 1 Jamkesmas 111 27,2% 2 BPJS/ Askes 203 49,8% 3 Asuransi swasta 4 1,0% 4 Tidak memiliki 90 22,1% Sumber : Data Primer (diolah), 2016 No.
Keterangan
5-10 GT Jumlah % 29 19,3% 68 45,3% 3 2,0% 50 33,3%
11-30 GT Jumlah % 10 7,3% 43 31,4% 5 3,6% 79 57,7%
Terkait dengan frekuensi penggunaan jaminan kesehatan pada rumah tangga menunjukkan bahwa semua ukuran kelas armada sering menggunakan asuransi tersebut dengan persentase mencapai 100%. Alasan responden menggunakan asuransi tersebut adalah agar biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan menjadi lebih murah bahkan sampai gratis. Frekunsi penggunaan asuransi kesehatan pada rumah tangga nelayan tersaji pada tabel berikut.
114
Tabel 5. 10
Frekuensi Penggunaan Asuransi Kesehatan pada Rumah Tangga Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
< 5 GT Jumlah % 1 Sering 334 100,0% 2 Jarang 0 0,0% 3 Tidak Pernah 0 0,0% Sumber : Data Primer (diolah), 2016 No.
Keterangan
5-10 GT Jumlah % 137 100,0% 0 0,0% 0 0,0%
11-30 GT Jumlah % 137 100,0% 0 0,0% 0 0,0%
5.3 Karakteristik Pendapatan dan Aset Rumah Tangga Nelayan Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, pekerjaan sebagai nelayan merupakan salah satu pekerjaan utama mereka.
Selain sebagai nelayan,
sebagain responden juga memiliki pekerjaan sampingan. Berdasarkan hasil wawancara, pekerjaan sampingan nelayan ada yang berhubungan dengan kegiatan perikanan maupun di luar perikanan. Biasanya pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh nelayan adalah sebagai bakul/pengepul/pedagang ikan,
perbengkelan, pembuat perahu, tukang
bangunan, buruh, tukang ojek dan lain sebaginya. Karakteristik kepemilikan sumber pendapatan sampingan nelayan berdasarkan ukuran armada disajikan pada tabel berikut. Tabel 5. 11
Karakteristik Kepemilikan Sumber Pendapatan Sampingan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
Kriteria
Memiliki Pekerjaan Sampingan Tidak Memiliki Pekerjaan Sampingan Total Responden
< 5 GT Jumlah % Responde n
Ukuran Armada 5 - 10 GT Jumlah % Responden
11 - 30 GT Jumlah % Responde n
45
13,5%
15
10,9%
13
9,5%
289
86,5%
122
89,1%
124
90,5%
334 100% Sumber : Data Primer (diolah), 2016
137
100%
137
100%
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa rata-rata responden tidak memiliki pekerjaan sampingan kecuali sebagai nelayan, baik untuk ukuran armada < 5 GT, 5-10 GT dan 11-30 GT dengan persentase masing-masing sebesar 86,5%, 89,1% dan 90,5%. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan sangat tergantung kepada sumberdaya
115
perikanan untuk menghidupi keluarganya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
responden, pekerjaan sampingan dilakukan nelayan apabila pada waktu tidak melaut karena gelombang tinggi atau musim badai.
Biasanya pekerjaan sampingan yang
dilakukan nelayan tidak tetap atau sifatnya hanya bersifat sementara/musiman. Pada Tabel 5. 12 juga ditunjukkan mengenai jenis pekerjaan sampingan nelayan yang berasal dari jenis pekerjaan perikanan dan non perikanan. Nelayan melakukan pekerjaan sampingan apabila saat gelombang besar atau musim angin kencang, sehingga tidak bisa melakukan kegiatan penangkapan ikan. Jenis pekerjaan yang dilakukan nelayan biasanya sebagai kuli bangunan, warung maupun tukang ojek. Sedangkan pekerjaan sektor perikanan biasanya sebagai pengolahan dan pemasaran ikan. Tabel 5. 12
Jenis Pekerjaan Sampingan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
Kriteria
Perikanan - Perikanan Budidaya
< 5 GT Jumlah Responden 4
% -
Ukuran Armada 5 - 10 GT Jumlah % Responden 0
-
11 - 30 GT Jumlah % Responden 4 -
0
0%
0
0%
0
0%
2
6%
0
0%
3
25%
2
6%
0
0%
1
8%
31 Sumber : Data Primer (diolah), 2016
89%
11
100%
8
67%
- Pengolahan dan Pemasaran Ikan Buruh Usaha Perikanan Non Perikanan
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pada umumnya jenis pekerjaan sampingan nelayan baik untuk armada < 5 GT, 5-10 GT maupun 11-30 GT adalah dari sektor non perikanan dengan persentase masing-masing sebesar 89%; 100% dan 67%. Terdapat tiga macam sumber pendapatan nelayan yaitu pendapatan dari pekerjaan utama sebagai nelayan, pekerjaan sampingan perikanan dan pekerjaan sampingan non perikanan. Jika dibandingkan dari ketiga kelas armada, sumber pendapatan dari nelayan yang paling tinggi adalah untuk armada ukuran 11-30 GT yaitu sebesar Rp. 134.317.647,-/tahun, sedangkan untuk kelas armada ukuran 5-10 GT sebesar Rp. 57.432.500,-/tahun dan armada ukuran < 5 GT Rp. 31.549.418,-/tahun. Tingginya pendapatan rata-rata untuk ukuran armada 11-30 GT dikarenakan hasil tangkapan lebih banyak sehingga hal tersebut selaras dengan nilai pendapatanyang diperoleh.
116
Tabel 5. 13
Jenis Sumber Pendapatan Nelayan Berdasarkan Ukuran Armada
Sumber Pendapatan < 5 GT Nilai Rataan (Rp/Tahun) Nelayan
31.549.418
Sampingan Perikanan
13.528.571
%
56% 24%
Sampingan Non 19% Perikanan 10.812.903 Sumber : Data Primer (diolah), 2016
Ukuran Armada 5-10 GT Nilai % Rataan (Rp/Tahun) 57.432.500 1.000.000 21.409.091
72% 1% 27%
11-30 GT Nilai Rataan % (Rp/Tahun) 134.317.647 87.992.000 32.650.000
53% 35% 13%
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa persentase sumber pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan memiliki persentase yang paling besar. Untuk ukuran armada < 5 GT persentase pekerjaan sebagai nelayan sebesar 56%, armada 5-10 GT frekuensi sumber pendapatan sebagai nelayan sebesar 72%, sedangkan untuk ukuran armada 1130 GT persentase sumber pendapatan sebagai nelayan sebesar 53%. Jika dilihat dari sumber pendapatan sampingan terlihat bahwa untuk pekerjaan sampingan perikanan yang paling besar adalah untuk ukuran armada 11-30 GT, yaitu sebesar Rp. 87.992.000,/tahun, dimana pendapatan tersebut diperoleh dari pekerjaan sebagai pemasar ikan (penjual ikan) dan pekerjaan sampingan non perikanan sebesar Rp 32.650.000,-/tahun. Selain kepala keluarga, istri dan anggota keluarga lain seperti anak dan keponakan juga berkontribusi dalam menambah penghasilan keluarga. Pada umumnya istri memiliki persentase pendapatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan yang tidak memiliki pendapatan, persentase masing-masing untuk ukuran kelas armada adalah sebesar 21,27%, 16,10% dan 21,95%seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 5. 14
Persentase Istri dan Anggota Keluarga Nelayan yang Bekerja Berdasarkan Ukuran Armada Istri
Kriteria < 5 GT Memiliki Pendapatan
21,27%
Tidak Memiliki 78,73% Pendapatan Sumber : Data Primer (diolah), 2016
5-10 GT
Anggota Keluarga Lainnya 11-30 GT
< 5 GT
5-10 GT
11-30 GT
16,10%
21,95%
34,52%
32,43%
73,08%
83,90%
78,05%
65,48%
67,57%
26,92%
117
Sumber pendapatan anggota keluarga (istri dan anggota keluarga lainnya) dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu dari perikanan dan non perikanan. Untuk pendapatan istri yang paling tinggi mayoritas berasal dari non perikanan untuk armada < 5 GT dan 510 GT sedangkan untuk armada 11-30 GT pada umumnya pendapatan istri berasal dari perikanan. Sumber pendapatan istri yang melakukan aktivitas usaha perikanan seperti berdagang ikan maupun pengolah hasil usaha perikanan (pembuatan terasi, kerupuk, abon, ikan asin dan sebagainya).
Jumlah pendapatan anggota keluarga menurut
sumbernya seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 5. 15
No. 1.
2.
Jumlah Pendapatan Anggota Keluarga Menurut Sumbernya Berdasarkan Ukuran Armada
Sumber Pendapatan
< 5 GT Nilai Rataan (Rp/Tahun)
5-10 GT %
Nilai Rataan (Rp/Tahun)
11-30 GT %
Nilai Rataan (Rp/Tahun)
%
Istri : Perikanan Non Perikanan Anggota Keluarga lainnya: Perikanan Non Perikanan
14.282.353
44%
18.644.444
42%
57.800.000
58%
18.518.182
56%
26.200.000
58%
41.252.941
42%
1.265.150
71,7%
2.420.438
98,2%
2.116.788
70,3%
499.401
28,3%
43.796
1,8%
893.431
29,7%
Sumber : Data Primer (diolah), 2016 Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pendapatan sektor perikanan dari istri yang berada pada armada < 5 GT memiliki persentase 44%, untuk armada 5-10 GT memiliki persentase 42% dan armada 11-30 GT dengan persentase 58%. Jika dilihat dari nilai rata-rata, ukuran armada 11-30 GT memiliki pekerjaan sebagai pemasar ikan dengan skala besar. Sedangkan untuk anggota keluarga lainnya dengan armada kurang dari 5 GT dan 5-10 GT sumber penghasilannya berasal dari sektor non perikanan. Selanjutnya dibahas mengenai masalah kepemilikan aset rumah tangga. Harta didefinisikan sebagai segala jenis barang, tanah atau ternak yang dianggap bernilai dan dimiliki oleh anggota rumah tangga baik secara individu maupun bersama dengan ART lain atau orang lain di luar ART. Jadi meskipun harta tersebut dalam keadaan rusak, namun jika tetap dianggap bernilai oleh responden tetap dianggap sebagai harta. Aset rumah tangga dibatasi hanya untuk rumah, lahan, alat transportasi, perhiasan/emas,
118
hewan ternak, perlengkapan elektronik dan jumlah tabungan yang dimiliki. Persentase kepemilikan aset rumah tangga berdasarkan ukuran armada terlihat pada tabel berikut. Tabel 5. 16
Persentase Kepemilikan Aset Rumah Tangga Berdasarkan Ukuran Armada
Aset Rumah Tangga
Rumah Lahan Alat Transportasi Perhiasan/Emas Hewan Ternak Perlengkapan Elektronik Tabungan
< 5 GT Memiliki Tidak (%) memiliki (%) 93% 7% 12% 88% 49% 51% 32% 68% 19% 81% 88% 12% 15% 85%
Ukuran Armada 5-10 GT Memiliki Tidak (%) memiliki (%) 76% 24% 18% 82% 85% 15% 31% 69% 11% 89% 93% 7% 12% 88%
11-30 GT Memiliki Tidak (%) memiliki (%) 90% 15% 72% 42% 18% 90% 25%
10% 85% 28% 58% 82% 10% 75%
Sumber : Data Primer (diolah), 2016 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa untuk ukuran armada < 5 GT, rumah menempati asset terbesar yang dimiliki oleh respoden yaitu sebesar 93%, untuk armada 5-10 GT, aset terbesar adalah peralatan elektronik (televisi, kulkas dan lain sebagainya) yakni masing-masing sebesar 93%. Sedangan untuk armada 11-30 GT, aset terbesar adalah rumah dan perlengkapan elektronik, yakni sebesar 90%. Nilai aset yang dimiliki oleh masing-masing armada ditunjukkan pada tabel sebagai berikut. Tabel 5. 17
Nilai Kepemilikan Aset Rumah Tangga Berdasarkan Ukuran Armada
Aset < 5 GT Rumah Tangga Rumah 47.788.190 Lahan 230.665.432 Alat Transportasi 13.439.384 Perhiasan/Emas 510.189 Hewan Ternak 286.405 Perlengkapan Elektronik 1.140.680 Tabungan 7.477.297 Sumber : Data Primer (diolah), 2016
5-10 GT Nilai (Rp) 110.490.196 84.461.308 23.936.752 412.791 319.000 1.642.036 7.875.000
11-30 GT 166.550.806 606.216.765 56.389.244 583.125 244.917 1.642.042 43.539.355
119
5.4 Karakteristik Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan Pengeluaran konsumsi rumah tangga nelayan di Indonesia sebagian besar adalah untuk konsumsi pangan. Pengeluaran konsumsi pangan untuk armada < 5 GT adalah Rp 6.507.989/kapita/tahun, 5-10 GT adalah Rp 10.597.319/kapita/tahun dan armada 11-30 GT adalah Rp 13.590.357/kapita/tahun. Ukuran armada penangkapan yang digunakan, tidak mempengaruhi proporsi pengeluaran untuk pangan walaupun jumlah pengeluaran lebih besar. Hal ini dapat dijelaskan dari tabel dibawah dimana prosentase pengeluaran untuk pangan armada < 5 GT (68%) lebih besar dari armada 11 – 30 GT (62%). Sedangkan armada 5-10 GT mempunyai pengeluaran pangan terbesar yaitu 71%. Di lain pihak pengeluaran konsumsi non pangan secara berturut-turut sebesar 3.108.772/kapita/tahun; 4.369.492/kapita/tahun dan
8.190.211/kapita/tahun. Berbeda dengan pengeluaran
pangan, prosentase pengeluaran non pangan berbanding lurus dengan besaran armada. Nilai pengeluaran pangan dan non pangan untuk setiap kategori armada penangkapan disajikan pada Tabel 5. 18. Tabel 5. 18
Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga Nelayan Armada Armada < 5 GT
No.
Berdasarkan Ukuran
Armada 5-10 GT
Armada 11-30 GT
Pengeluaran
Nilai (Rp/kapita/ tahun)
%
Nilai (Rp/kapita/ tahun)
%
Nilai (Rp/kapita/tahun)
%
1
Pangan
6.507.989
68
10.597.319
71
13.590.357
62
2
Non Pangan
3.108.772
32
4.369.492
29
8.190.211
38
9.616.761
100
14.966.811
100
21.780.568
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Diolah (2016 Konsumsi pangan responden terdiri dari konsumsi makanan dan konsumsi bahan lainnya. Konsumsi makanan yang dimaksudkan adalah nilai konsumsi makanan yang dikonsumsi keluarga, yang terdiri dari karbohidrat/bahan pokok, protein hewani, protein nabati dan bahan lain yang sehari-hari dikonsumsi. Nilai konsumsi makanan ini dihitung untuk jangka waktu satu tahun. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh responden adalah beras dan umbi-umbian, untuk protein hewani seperti daging, ikan dan telur. Sedangkan protein nabati terdiri dari tempe dan tahu, serta bahan lain terdiri dari sayur-sayuran, rokok, susu, minyak goreng, buah-buahan, gula, kopi, teh, bumbu, makanan jadi dan minuman. Diantara berbagai jenis konsumsi pangan, alokasi pengeluaran untuk pangan sumber karbohidrat masih dominan dalam struktur pengeluaran rumah tangga nelayan. 120
Rumah tangga nelayan dengan armada < 5 GT dan 5-10 GT pengeluaran tertinggi adalah untuk konsumsi bahan pokok; sumber protein (ikan) dan tembakau. Sedangkan untuk rumah tangga nelayan dengan armada 11-30 GT pengeluaran terbesar adalah untuk pembelian konsumsi bahan pokok; sumber protein (ikan) dan minuman/makanan jadi. Sumber protein ikan juga menjadi pengeluaran pangan tertinggi pada rumah tangga nelayan. Ikan merupakan sumberdaya yang mudah diperoleh dan menjadi konsumsi sehari-hari bagi rumah tangga nelayan. Sementara sumber protein lainnya seperti daging dan ikan, jarang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga nelayan. Harga jual yang lebih mahal terutama untuk daging menjadikan sumber protein ini hanya dikonsumsi pada waktu tertentu. Tembakau (rokok) juga menjadi salah salah satu komponen pengeluaran terbesar pada semua jenis armada termasuk pada armada perahu 11 – 30 GT. Merokok telah menjadi bagian gaya hidup bagi nelayan. Tersaji pada tabel 2, bahwa prosentase pengeluaran rokok di atas 12% dari total pengeluaran pangan rumah tangga nelayan. Pada nelayan besar (11 – 30 GT), pengeluaran makanan dan minuman mencapai 15% dari total pengeluaran, digunakan untuk membeli minuman bersoda dan alkohol. Pada nelayan kecil < 5 GT dan 5 – 10 GT, prosentase pengeluaran minuman mencapai 8-9%. Minuman ini banyak dikonsumsi oleh nelayan dengan alasan digunakan sebagai minuman penghangat oleh karena kondisi angin laut yang dingin. Secara lengkap nilai pengeluaranpanganrumah tangga nelayan untuk berbagai ukuran armada per kapita per tahun dapat dilihat pada Tabel 5. 19. Tabel 5. 19
Nilai Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Berdasarkan Ukuran Armada
Pengeluaran Pangan
Padi-padian Umbi-umbian Ikan/Udang/Cumi /Kerang Daging Telur dan Susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan Lemak Bahan Minuman
Armada < 5GT Nilai % (Rp/kapita/t ahun) 1.444.198 22 97.556 1 827.738 13
Armada 5-10 GT Nilai % (Rp/kapita/t ahun) 1.550.281 15 228.905 2 1.574.981 15
Armada 11-30GT Nilai % (Rp/kapita/t ahun) 2.512.241 18 343.121 3 1.723.542 13
160.927 429.941 345.813 66.815 160.748 389.564
2 7 5 1 2 6
543.083 713.589 425.174 71.470 454.325 586.497
5 7 4 1 4 6
821.926 1.191.996 566.095 121.607 372.504 576.080
6 9 4 1 3 4
563.842
9
479.845
5
658.432
5
121
Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan Minuman Jadi Tembakau dan Sirih Jumlah
367.057 241.609 493.881
6 4 8
467.365 370.400 1.000.811
4 3 9
561.298 538.244 2.024.938
4 4 15
918.301
14
2.130.593
20
1.578.334
12
6.507.989
100
10.597.319 100
13.590.357 100
Sumber : Data Primer Diolah (2016) Konsumsi non pangan terdiri dari konsumsi rutin bulanan dan konsumsi tahunan. Konsumsi rutin bulanan adalah konsumsi berupa rekening listrik, rekening telepon/pulsa, pendidikan, bensin/solar, elpiji/minyak tanah, perlengkapan mandi dan cuci serta lainnya. Konsumsi non pangan tertinggi yang dikeluarkan oleh rumah tangga nelayan adalah untuk aneka barang dan jasa yang meliputi lebih dari 40% total pengeluaran non pangan. Secara lengkap nilai pengeluaran non pangan rumah tangga nelayan pada berbagai kelas armada dapat dilihat pada Tabel 5. 20. Tabel 5. 20
Nilai PengeluaranRumah tangga Non Pangan Berdasarkan Ukuran Armada
Pengeluaran Non Pangan
Armada < 5GT Nilai % (Rp/kapita/tahun) Perumahan dan 1.082.992 35 Fasilitas Rumah Tangga Aneka Barang dan 1.386.402 45 Jasa Pakaian, Alas Kaki 318.978 10 dan Tutup Kepala Barang Tahan 100.045 3 Lama Pajak, Pungutan 55.047 2 dan Asuransi Keperluan Pesta 165.309 5 dan Upacara/Kenduri Jumlah 3.108.772 100
Armada 5-10 GT Nilai % (Rp/kapita/tahun) 1.529.087 35
Armada 11-30GT Nilai % (Rp/kapita/tahun) 2.628.308 32
2.088.257
48
3.782.686
46
407.134
9
618.845
8
42.228
1
46.683
1
114.690
3
312.375
4
188.095
4
801.315
10
4.369.492 100
8.190.211 100
Sumber : Data Primer Diolah (2016)
Semakin besar armada penangkapan yang digunakan semakin besar pengeluaran non pangan rumah tangga nelayan. Biaya terbesar dikeluarkan untuk pembelian aneka barang dan jasa kebutuhan rumah tangga seperti sabun mandi/cuci, komestik, perawatan rambut/muka, biaya pendidikan, transportasi dan sumbangan. Data menyebutkan untuk
122
semua jenis armada perahu, prosentase pengeluaran untuk aneka barang dan jasa hampir mencapai 50%. Pengeluaran terbesar disumbang oleh biaya pendidikan yang terdiri dari biaya transportasi berangkat dan pulang sekolah serta uang saku. Tingginya biaya transportasi disebabkan karena jauhnya jarak dari rumah ke sekolah dan minimnya sarana transportasi, sehingga menggunakan jasa angkutan ojeg motor.
5.5 Karakteristik Usaha Penangkapan Ikan Menurut Ukuran Kapal Indonesia memiliki potensi yang besar di bidang perikanan. Aktivitas perikanan tangkap di Indonesia umumnya didominasi oleh armada perikanan skala kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT. Pada penelitian panelkanas, kondisi ini menyebabkan jumlah responden per ukuran kapal menjadi timpang atau tidak dapat memenuhi kondisi yang ideal (masing – masing kelompok responden berjumlah lebih dari 30 orang). Jumlah responden ukuran kapal < 5 GT, lebih besar jika dibandingkan responden nelayan ukuran kapal 5 – 10 GT dan > 11 GT. 5.5.1
Struktur dan Distribusi Penguasaan Aset Usaha Armada Penangkapan di Indonesia Armada kapal penangkapan ikan di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan jenis
perahu atau kapalnya yaitu perahu motor tempel dan perahu motor dalam. Maksud dari konsep perahu motor tempel adalah perahu atau kapal yang menggunakan alat pendorong mesin yang dapat dilepaskan dari badan kapal. Sedangkan maksud dari perahu motor dalam adalah perahu atau kapal dimana alat pendorong mesinnya menyatu dengan badan kapal. Jenis perahu/kapal pada tiga kelas armada mempunyai karakteristik yang berbeda. Pada armada kurang dari 5 GT lebih didominasi oleh perahu motor tempel sedangkan pada kelas armada 5-10 GT dan kelas armada 11-30 GT didominasi oleh perahu motor onboard atau mesin dalam. Masyarakat nelayan dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT pada umumnya menggunakan jenis kapal longboat. Kapal jenis ini digerakkan oleh mesin tempel yang berada di belakang bodi kapal. Karakteristik kapal yang ramping akan memudahkan pergerakan kapal meskipun hanya menggunakan mesin tempel. Daya dorong kapal yang bertumpu pada bagian belakang bodi, mampu menggerakkan kapal seluruhnya.
123
Berbeda halnya dengan jenis kapal berukuran besar (lebih dari 11 GT). Jenis kapal ini pada hakikatnya memerlukan mesin kapal yang menyatu pada badan kapal untuk menunjang pergerakan kapal di atas perairan. Semakin besar ukuran kapal, maka daya posisi tempat mesin untuk mendorong kapal tidak cukup hanya berada di belakang body kapal, melainkan harus menyatu dengan badan kapal seluruhnya. Tabel 5. 21
Struktur dan Distribusi Kepemilikan Aset Usaha Armada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT
Jenis Perahu/kapal
Distri busi (%)
Perahu Motor Tempel Perahu Motor
5 - 10 GT
Baru (%)
Beka s (%)
38
33
61
10
Kondisi Pembelian Bar Beka u s (%) (%) 91 9
63
45
55
90
63
Kondisi Pembelian Baru (%)
Bekas (%)
83
73
27
15
79
21
> 11 GT
Distrib usi (%)
Kondisi Pembelian
Distrib usi (%)
37
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 Terkait dengan kondisi pembelian jenis kapal baru ataupun bekas, sangat tergantung kepada beberapa hal, pertama, tingkat pendapatan masyarakat nelayan. Semakin besar pendapatan nelayan dari penangkapan ikan, maka peluang untuk membeli kapal baru akan semakin besar. Kedua, harga bahan baku dan ketersediaan bahan baku untuk pembuatan kapal. Semakin murah harga bahan baku dan banyaknya ketersediaan bahan baku, maka peluang nelayan untuk mendapatkan kapal baru akan semakin besar. Ketiga, Ketersediaan kapal – kapal nelayan bekas, dimana ketersediaan kapal bekas ini dapat berasal dari kondisi usaha nelayan yang semakin sulit, artinya usaha nelayan terus menerus merugi, sehingga kapal nelayan harus dijual untuk menutupi kerugian usaha. Selain kerugian usaha, juga bisa berasal dari umur teknis kapal, dimana semakin lama umur teknis kapal, maka biaya untuk perawatan kapal akan semakin besar. Ketika nelayan terbebani oleh biaya perawatan, maka peluang untuk menjual kapal semakin besar. Pada Tabel 5. 21, terlihat bahwa responden masyarakat nelayan kelas armada kurang dari 5 GT dan kelas armada 11-30 GT di Indonesia umumnya memiliki kapal dalam kondisi baru dibandingkan bekas, sedangkan nelayan dengan armada 5-10 GT lebih banyak yang mendapatkan kapalnya melalui pembelian bekas. Besaranya proporsi nelayan kurang dari 5 GT yang membeli perahu dalam kondisi baru terutama disebabkan
124
dengan harga perahu yang masih relatif terjangkau oleh nelayan kecil pada umumnya dan tingkat ketahanan atau keawetan perahu. Adapun untuk kelas armada 11-30 GT, beberapa alasan kondisi perolehan baru terutama dikarenakan untuk mendapatkan umur ekonomis kapal yang tahan lama, selain itu banyaknya kapal baru juga berasal dari bantuan – bantuan yang diadakan oleh pemerintah. Sementara itu, pada kelas armada 510 GT pembelian kapal bekas sedikit lebih banyak dibandingkan pembelian kapal baru. Distribusi kepemilikan mesin bagi armada penangkapan ikan di
Indonesia
berhubungan erat dengan ukuran armada perahu/kapal yang digunakan. Semakin besar ukuran GT, maka ukuran mesin juga akan semakin besar. Untuk armada kurang dari 5 GT pada umumnya menggunakan mesin dengan ukuran 5-30 PK (91%). Adapun untuk armada perahu/kapal ukuran 5-10 GT pada umumnya menggunakan mesin pada ukuran kisaran 11-50 PK (82%) dengan didominasi mesin ukuran 11-30 PK (48%). Kelas kapal dengan ukuran 11-30 GT menggunakan ukuran mesin dengan daya yang lebih besar lagi yaitu pada umumnya pada kisaran 71 hingga lebih dari 200 PK dengan dominasi pada ukuran mesin kisaran 101-200 PK (48%). Tabel 5. 22
Ukuran Mesin
Struktur dan Distribusi Kepemilikan Mesin Armada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT Kondisi Pembelian Distribus i (%) Baru Bekas (%) (%)
5 - 10 GT Kondisi Distrib Pembelian usi Baru Beka (%) (%) s (%)
Distri busi (%)
> 11 GT Kondisi Pembelian Baru Beka (%) s (%)
< 5 PK
2
67
33
1
100
0
1
100
0
5 – 10 PK
31
89
11
1
0
100
0
0
0
11 – 30 PK
60
67
33
48
48
48
5
50
50
31 – 50 PK
4
50
50
34
39
61
10
91
9
51 – 70 PK
0
100
0
1
100
0
2
50
50
71 – 100 PK
0
100
0
9
11
89
13
40
60
101 – 200 PK
1
100
0
3
0
100
48
62
38
> 200 PK
0
100
0
2
50
50
22
84
16
Jumlah
100
100
100
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 Kondisi mesin pda waktu pembelian pada umumnya dalam kondisi baru khususnya untuk armada kurang dari 5 GT dan lebih besar dari 11 GT. Walaupun didominasi oleh pembelian dalam kondisi baru , namun jumlah pembelian mesin dalam kondisi bekas juga cukup banyak. Cukup banyaknya nelayan yang membeli mesin dalam kondisi bekas 125
terutama dengan alasan harga yang relatif murah dibandingkan dengan kondisi baru, walaupun dengan konsekuensi kualitas mesin yang tidak sebagus mesin baru. Kondisi perairan dan ketersediaan sumberdaya ikan di suatu lokasi mempengaruhi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Selain itu, alat tangkap yang dioperasikan juga disesuaikan dengan ukuran armada yang digunakan. Tabel dibawah ini memperlihatkan struktur dan distribusi kepemilikan alat tangkap pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia. Pada armada kurang dari 5 GT lebih didominasi oleh pancing ulur, jaring insang hanyut, jaring tiga lapis dan pancing cumi. Sementara itu untuk armada ukuran 5-10 GT pada umumnya menggunakan alat tangkap jaring tiga lapis, pukat cincin, pancing ulur dan jaring insang hanyut. Adapun armada pada ukuran 11-30 GT pada umumnya menggunakan pukat cincin, bagan perahu, jaring insang hanyut, dan huhate. Tabel 5. 23
Nama Alat Tangkap Dogol Pukat pantai Pukat cincin Jaring insang hanyut Jaring tiga lapis Bagan perahu/rakit Bagan tancap Serok dan Songko Sero Jaring angkat lainnya Rawai tuna Rawai hanyut lain selain rawai tuna Rawai tetap Rawai dasar tetap
Struktur dan Distribusi Kepemilikan Alat Tangkap Armada Penangkapan Ikan di Indonesia
Distrib usi (%)
< 5 GT Kondisi Pembelian Baru (%)
Bekas (%)
0 1 1 19
100 100 100 90
0 0 0 10
13
100
1
Distrib usi (%)
5 - 10 GT Kondisi Pembelian
> 11 GT Kondisi Pembelian Distrib Bar usi (%) Beka u s (%) (%) 1 100 0 0 0 0 41 80 20 18 87 13
Baru (%)
Bekas (%)
0 1 23 18
0 100 61 88
0 0 39 13
0
27
89
11
1
100
0
67
33
0
0
0
20
96
4
5 1
94 100
6 0
1 0
100 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 1
100 100
0 0
0 1
0 0
0 100
0 1
0 100
0 0
0 0
0 100
0 0
0 0
0 0
0 0
3 1
100 100
0 0
0 2
0 100
0 0
1 0
100 0
0 0
0 1
0 100
0 0
126
Nama Alat Tangkap Huhate Pancing tonda Pancing ulur Pancing tegak Pancing cumi Pancing yang lain Serok dan songko Bubu Perangkap lainnya Garpu dan tombak Jumlah
Distrib usi (%)
< 5 GT Kondisi Pembelian Baru (%)
Bekas (%)
0 7
0 100
0 0
28 0 10 1
100 100 100 100
1
Distrib usi (%)
5 - 10 GT Kondisi Pembelian
> 11 GT Kondisi Pembelian Distrib Bar usi (%) Beka u s (%) (%) 7 100 0 1 100 0
Baru (%)
Bekas (%)
0 1
0 100
0 0
0 0 0 0
23 0 0 0
100 0 0 0
0 0 0 0
5 0 0 0
100 0 0 0
0 0 0 0
100
0
0
0
0
0
0
0
5 4
100 100
0 0
6 0
100 0
0 0
1 0
100 0
0 0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
100
100
100
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 Kondisi pembelian alat tangkap, secara umum nelayan membeli alat tangkapnya dalam kondisi baru. Hal ini sedikit berbeda dengan kondisi saat pembelian perahu/kapal dan mesin yang hampir berimbang antara pembelian dalam kondisi baru dan bekas. Alasan dari pembelian alat tangkap dalam kondisi baru pada umumnya karena haraga alat tangkap yang relatif terjangkau dan kualitas alat tangkap baru yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan alat tangkap bekas pakai. Pembelian alat tangkap dalam kondisi bekas yang cukup besar hanya terjadi pada alat tangkap pukat cincin. Hal ini terjadi karena harga alat tangkap pukat cincin tergolong mahal sehingga nelayan dengan modal terbatas tidak jarang menggunakan alat tangkap bekas. Dalam menjalankan operasional penangkapan ikan, armada penangkapan ikan selain menggunakan aset perahu/kapal, mesin dan alat tangkap juga didukung dengan alat bantu penangkapan ikan yang lain. Semakin besar ukuran armada penangkapan ikan, biasanya menggunakan aset pendukung usaha yang lebih lengkap. Tabel di bawah ini menunjukan struktur dan distribusi kepemilikan aset pendukung usaha penangkapan ikan di Indonesia. Aset pendukung usaha juga merupakan sarana yang sangat penting bagi kapal – kapal berukuran besar. Pola pengoperasian kapal yang cukup lama (hari per trip) menjadi salah satu alasan mengapa alat pendukung usaha harus komplit. Selain itu,
127
terdapat juga aspek keselamatan yang menjadi kewajiban pemilik kapal berukuran besar, seperti ketersediaan pelampung, GPS, dan lainnya. Apabila ukuran kapal tersebut tidak mampu memenuhi kewajiban, maka akan menjadi masalah apabila di laut terdapat pemeriksaan kapal nelayan baik oleh unsur TNI, Polri maupun kapal pengawas KKP. Tabel 5. 24
Aset Pendukung Usaha
Generator Accu Lampu Peralatan Memasak Mesin Penarik Jaring GPS Fish finder Peralatan komunikasi/HT Rumpon Kompresor Pelampung Rumah Bagan Alat selam Alat Snorkeling Ganco Layang-layang Box Pendingin(coolbo x) Layar Lainnya
Struktur dan Distribusi Kepemilikan Aset Pendukung Usaha Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT Kondisi Distribus Pembelian i kepemili Baru Bekas kan aset (%) (%) (%)
5 - 10 GT Distrib Kondisi usi Pembelian kepemi Bek likan Baru as aset (%) (%) (%) 38 86 14 53 89 11 95 98 2 59 94 6
Distrib usi kepemi likan aset (%) 85 68 96 77
> 11 GT Kondisi Pembelian Baru (%)
Bekas (%)
85 89 96 94
15 11 4 6
26 15 78 11
93 92 99 100
7 8 1 0
3
73
27
25
78
22
55
84
16
7 4 7
79 57 91
21 43 9
43 24 14
90 97 56
10 3 44
64 32 47
93 95 90
7 5 10
2 2 15 4 2 4 17 3 56
100 60 86 92 100 73 98 100 96
0 40 14 8 0 27 2 0 4
8 2 53 1 0 3 23 2 65
90 100 91 100 0 100 93 100 91
10 0 9 0 0 0 7 0 9
23 12 60 2 2 8 27 4 50
100 94 95 100 100 100 97 100 97
0 6 5 0 0 0 3 0 3
0 14
0 91
0 9
3 5
100 86
0 14
0 24
100 94
0 6
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 Aset pendukung usaha yang pada umumnya dimiliki oleh armada kurang dari 5 GT adalah lampu dan cool box. Lampu yang digunakan pada umumnya sebagai penerangan ketika melakukan perjalanan penangkapan ke daerah penangkapan ikan ketika malam hari, selain itu pada beberapa jenis alat tangkap juga menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk menarik berkumpulnya ikan. Adapun cool box hampir dimiliki oleh sebagian
128
besar nelayan kurang dari 5 GT karena digunakan sebagai tempat menyimpan ikan hasil tangkapan agar tetap segar. Pada armada ukuran 5-10 GT aset pendukung usaha yang pada umumnya dimiliki oleh nelayan diantaranya adalah lampu, cool box, peralatan memasak, accu, pelampung, dan GPS. Pada sebagian besar armada ukuran 5-10 GT juga dilengkapi dengan peralatan memasak karena satu trip penangkapan ikan tidak jarang dilakukan lebih dari satu hari sehingga memerlukan ketersediaan ransum anak buah kapal. Adapun GPS juga banyak digunakan oleh armada kelas 5-10 GT karena daerah penangkapan ikan yang relatif jauh sehingga memerlukan alat pemandu arah. Beberapa aset yang pada umumnya dimiliki oleh armada ukuran 11-30 GT diantaranya adalah lampu, generator, peralatan memasak, accu, GPS, pelampung, dan box pendingin/cool box. Lampu digunakan terutama pada kapal pukat cincin untuk menarik berkumpulnya ikan target. Sebagian kapal ukuran armada 11-30 GT juga sudah dilengkapi dengan fishfinder (31%). Hal ini menunjukkan bahwa teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan sudah semakin canggih dengan memanfaatkan teknologi yang ada, tidak hanya mengandalkan tanda-tanda alam atau pengalaman saja. Hampir sama dengan cara perolehan alat tangkap yang didominasi dari pembelian barang dalam kondisi baru, pada aset pendukung usaha pada umumnya nelayan juga memperolehnya dalam kondisi baru. Beberapa komponen aset usaha pendukung yang dibeli dalam kondisi bekas diantaranya adalah HT dan fish finder. Armada penangkapan ikan baik pada ukuran kecil maupun besar mempunyai umur ekonomis rata-rata lebih besar dari 10 tahun. Tabel dibawah ini memperlihatkan umur ekonomis kapal dan nilai aset kapal pada armada penangkapan ikan di Indonesia. Dari tabel tersebut terlihat bahwa rata – rata nilai kapal berukuran < 5 GT berkisar pada Rp 11 juta rupiah untuk perahu motor tempel dan Rp 24 juta untuk perahu motor dengan mesin dalam. Nilai kapal/perahu motor tempel rata-rata sebesar Rp 104 juta sedangkan perahu motor sebesar Rp 69 juta. Sementara itu, nilai rata-rata armada kapal 11-30 GT mencapai Rp 166 juta untuk jenis motor tempel dan Rp 338 juta untuk jenis perahu motor mesin dalam.
129
Tabel 5. 25
Jenis Kapal Perahu Motor Tempel Perahu Motor
Umur Ekonomis dan Nilai Aset Kapal Perikanan Pada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT Umur (tahun) 12
11.005.911
9
24.301.316
Nilai (Rp)
Armada
5 - 10 GT Umur Nilai (Rp) (tahun) 15 104.680.556
Umur (tahun) 18
166.500.000
16
16
338.429.126
69.733.333
> 11 GT Nilai (Rp)
Sumber: Data Primer (diolah), 2016
Terkait dengan umur ekonomis kapal, secara umum kapal – kapal nelayan dapat bertahan lebih dari 10 tahun. Umur ekonomis kapal, setidaknya akan ditentukan oleh dua hal yaitu pertama, jenis bahan atau kayu yang digunakan dalam pembuatan kapal. Semakin baik kualitas kayu yang digunakan maka otomatis umur ekonomis kapal akan semakin lama, meskipun dengan harga yang relatif lebih mahal. Kedua, Kualitas bahan untuk kontruksi kapal juga harus dibarengi dengan alokasi waktu, tenaga, maupun anggaran yang disediakan oleh nelayan untuk melakukan perawatan dan perbaikan kapal. Umumnya, nelayan melakukan proses perawatan kapal untuk docking minimal 1 tahun sekali. Pekerjaan yang dilakukan adalah melakukan cat ulang kapal ataupun melakukan pergantian kayu yang telah rusak di salah satu bagian body kapal. Mesin kapal yang digunakan nelayan dengan armada kurang dari 5 GT pada umumnya kurang dari 10 tahun, sedangkan untuk armada 5-10 GT dan 11-30 GT rata-rata umur ekonomis kapal sekitar 10-13 tahun. Umur ekonomis mesin kapal sangat dipengaruhi oleh status/kondisi pembelian mesin dalam kondisi baru atau bekas, selain itu dipengaruhi juga oleh tingkat kerajinan dan keterampilan dalam pemeliharaan mesin. Mesin kapal yang rajin dirawat dengan pemeliharaan berkala akan cenderung dapat digunakan dalam waktu lama.
130
Tabel 5. 26
Umur Ekonomis dan Nilai Aset Mesin Kapal Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT
Ukuran mesin (PK) <5 5 – 10 11 – 30 31 – 50 51 – 70 71 – 100 101 – 200 > 200
Umur Ekonomis (tahun) 7 7 8 8 1 3 17 10
Nilai (Rp) 4.122.233 3.191.333 8.617.708 17.830.000 1.500.000 25.000.000 49.833.333 4.000.000
5 - 10 GT Umur Ekonomis (tahun) 1 10 10 11 10 11 7 14
Nilai (Rp) 25.000.000 1.700.000 16.762.000 22.636.364 65.000.000 36.111.111 48.333.333 50.000.000
> 11 GT Umur Ekonomis (tahun) 10
50.000.000
13 12 8 13 11 10
12.583.333 27.736.364 19.500.000 34.933.333 53.954.547 60.160.019
Nilai (Rp)
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 Terkait dengan nilai mesin kapal, harga mesin kapal sangat bervariasi di kalangan nelayan. Harga mesin kapal akan sangat ditentukan oleh ketersediaan mesin kapal tersebut di pasaran dan jenis mesin kapal yang akan digunakan, apakah mesin yang baru ataukah mesin bekas. Harga mesin kapal yang sering digunakan nelayan ukuran kurang dari 5 GT (5-30 PK) berkisar pada Rp 3 juta sampai dengan Rp 8 jutaan. Sementara itu, untuk nelayan dengan armada 5-10 GT pada umumnya menggunakan mesin dengan ukuran 11-50 PK dengan nilai rata-rata mesin sebesar Rp 16 juta sampai dengan Rp 22 jutaan. Adapun kapal dengan ukuran armada 11-30 GT pada umumnya menggunakan mesin dengan ukuran lebih besar dari 71 PK sampai dengan lebih besar dari 200 PK dengan nilai mesin Rp 34 juta sampai dengan Rp 60 jutaan. Tinggi rendahnya nilai mesin terutama sangat dipengaruhi oleh merek mesin dan status/kondisi mesin (baru/bekas). Tabel dibawah ini menunjukan umur ekonomis dan nilai alat tangkap yang digunakan oleh responden nelayan di Indonesia. Secara umum, alat tangkap perikanan yang memiliki nilai atau harga terbesar adalah pukat cincin, bagan, dan rawai tuna. Nilai rata-rata pukat cincin untuk armada 11-30 GT mencapai Rp 127 juta untuk satu unit armada penangkapan ikan.
131
Tabel 5. 27
Nama Alat Tangkap Dogol Pukat pantai Pukat cincin Jaring insang hanyut Jaring tiga lapis Bagan perahu/rakit Bagan tancap Serok dan Songko Jaring angkat lainnya Rawai tuna Rawai hanyut lain selain rawai tuna Rawai tetap Rawai dasar tetap Huhate Pancing tonda Pancing ulur Pancing tegak Pancing cumi Pancing yang lain Serok dan songko Sero Bubu Perangkap lainnya Garpu dan Tombak
Umur Ekonomis dan Nilai Alat Tangkap Perikanan Pada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT Umur Nilai (Rp) Ekonomis (tahun) 1 3
175.000 680.000
3
1.326.890
5 - 10 GT Umur Nilai (Rp) Ekonomis (tahun)
Armada
> 11 GT Umur Nilai (Rp) Ekonomis (tahun)
0 35 8 3
0 200.000.000 190.780.645 1.531.250
2 0 8 8
5.000.000 0 127.517.866 5.883.333
25
661.919 21.383.333
0
2.856.243 0
7
21.111.111
5 1
10.258.824 400.000
10 0
25.000.000 0
0 0
0 0
5
5.090.000
3
20.000.000
12
70.000.000
0 0
0 420.000
0 0
0 0
2 8
11.500.000 1.500.000
0 2
0 954.286
1 0
5.000.000 0
0 4
0 5.000.000
0 2 23 12 1 1 1
0 337.091 226.655 160.000 57.765 100.000 400.000
0 1
0 20.000
0 2
21.111 2.000.000
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
9 3 2
550.000 1.185.563 96.687
0 3 0
0 3.131.250 0
0 4 0
0 400.000 0
5
160.000
0
0
0
0
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 Berbagai jenis aset pendukung usaha penangkapan ikan pada umumnya mempunyai umur ekonomis kurang dari 5 tahun. Kondisi ini menyebabkan nelayan harus menyediakan tambahan modal investasi hampir setiap tahun karena beberapa aset pendukung usaha harus diganti setiap tahunnya karena habisnya umur ekonomis/tidak berfungsinya lagi aset tersebut.
132
Secara umum, nilai aset pendukung usaha oleh nelayan sangat bervariasi. Investasi aset pendukung usaha yang terbesar adalah pada rumpon dan mesin penarik jaring (yang umumnya digunakan oleh nelayan pukat cincin). Rumpon bagi masyarakat nelayan di Indonesia, merupakan alat pendukung perikanan yang sangat vital, tidak hanya digunakan oleh nelayan pukat cincin, tetapi juga oleh nelayan pancing tonda maupun pukat ulur. Dengan adanya rumpon maka, ikan akan terkonsentrasi pada satu titik, dengan kata lain, peluang keberhasilan penangkapan akan semakin besar. Hasil tangkapan nelayan pada rumpon, umumnya adalah ikan tuna, tongkol, cakalang, kembung dan selar. Biaya terbesar pembuatan rumpon berada pada tali yang mengikat badan rumpon dengan jangkar yang ada di bawah perairan. Semakin dalam laut tempat meletakkan rumpon maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatannya. Tabel 5. 28
Aset Pendukung Usaha Generator
Umur Ekonomis dan Nilai Alat Pendukung Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT Umur Nilai (Rp) Ekonomi s (tahun) 4 2.502.299
5 - 10 GT Umur Nilai (Rp) Ekonomi s (tahun) 5 3.953.846
> 11 GT Umur Nilai (Rp) Ekonomi s (tahun) 5 10.658.83 6 3 1.649.355 2 1.853.119 3 1.287.762
Accu Lampu Peralatan Memasak Mesin Penarik Jaring GPS Fish finder Peralatan komunikasi/H T Rumpon
3 1 4
950.918 249.203 478.541
2 1 2
1.094.375 462.823 603.750
4
1.833.500
2
9.620.588
3
6 6 4
3.175.000 4.657.143 1.490.909
4 3 5
3.291.102 3.419.697 1.147.632
6 5 5
1
2.085.000
3
24.845.455
4
Kompresor Pelampung Rumah Bagan Alat selam Alat Snorkeling Ganco Layanglayang Box Pendingin(co olbox)
6 1 5 6 5
2.300.000 115.543 1.928.571 1.658.333 327.000
3 2 3 0 3
1.800.000 271.127 1.650.000 0 166.667
5 4 8 2 2
35.885.00 0 4.009.375 1.609.189 7.000.000 2.150.000 457.955
4 2
94.589 366.500
3 6
47.656 1.050.000
5 1
61.361 56.200
3
788.226
3
1.834.355
3
3.234.045
10.427.02 7 4.099.425 5.055.682 3.952.381
133
Layar Lainnya
0 46
0 484.708
0 2
478.000 261.429
0 6
0 12.152.86 8
Sumber: Data Primer (diolah), 2016
Tabel dibawah ini menunjukan sumber modal usaha yang digunakan oleh responden nelayan di
Indonesia. Secara umum, responden nelayan di
Indonesia,
terdapat tiga sumber modal yang dominan, yaitu modal yang berasal dari diri sendiri, kredit formal melalui bank dan bantuan pemerintah. Pola bantuan pemerintah untuk nelayan, biasanya untuk dua komponen yaitu kapal ikan, dan mesin kapal. Kedua komponen tersebut memang cukup krusial dalam aktivitas penangkapan ikan. Alasan lain adalah harganya yang cukup mahal dibandingkan dengan komponen lainnya. Berdasarkan tabel tersebut, dapat pula dikatakan bahwa nelayan di Indonesia umumnya mampu menyediakan sumber modal secara mandiri.
134
Tabel 5. 29
Sumber Modal Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia < 5 GT
Aset Usaha Perikanan Perahu Mesin Alat Tangkap Aset Pendukung Usaha a. Generator b. Accu c. Lampu d. Peralatan Memasak e. Mesin Penarik Jaring f. GPS g. Fish finder h. Peralatan komunikasi/HT i. Rumpon j. Kompresor k. Pelampung l. Rumah Bagan m. Alat selam n. Alat Snorkeling o. Ganco p. Layang-layang q. Box Pendingin(coolbox) r. Layar s. Lainnya
Mod al Send iri 57 58 15
Kredi t Form al 1 2 81
76 90 91
5 – 10 GT
Kredit Infor mal
Bantuan Pemerin tah
Keluar ga
Campur an
1 5 0
4 7 0
2 4 1
1 1 0
Mod al Send iri 28 56 4
2 0 0
5 0 0
11 6 1
5 2 1
1 2 0
94 93 92
106
0
0
0
0
0
80 75 79
0 0 0
0 4 0
0 13 0
20 8 14
100 83 83 63 100 83 100 86 100
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 17 0 0 17 0 0 0
0 0 0 29 0 0 0 0 0
90 0 94
0 0 0
0 0 2
1 0 0
Kredi t Form al 3 3 93
> 11 GT
Kredit Infor mal
Bantuan Pemerin tah
Keluar ga
Campur an
0 1 0
1 1 0
1 0 0
5 8 3
Mod al Send iri 53 67 4
0 0 0
2 0 1
0 0 0
2 0 1
0 7 5
84 86 88
86
0
0
1
0
9
0 0 0
94 85 73
0 0 0
0 2 0
0 2 3
3 2 3
0 0 0 4 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
95 91 100 77 100 0 75 100 67
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 10 0 0 0 0 0
0 0 0
1 0 4
83 125 100
0 0 0
1 0 0
3 0 0
Kredi t Form al 2 3 91
Kredit Infor mal
Bantuan Pemerin tah
1 2 0
0 1 1
91
0 10 18
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Keluar ga
Campur an
4 4 1
0 1 0 0
3 8 1 0
2 2 2
6 2 2
1
1
0
2 0 2 0
5 5 4 4
83 83 77
1 0 0
1 1 2
4 6 7
3
5
0 0 0 10 0 0 0 0 33
81 72 94 80 67 100 91 89 100
0 3 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0
5 3 6 11 0 0 0 0 0
3 5 2
3 5 5
9 0 0
91 0 85
0 0 0
0 0 3
1 0 3
0 0 1 33 0 0 0 0 0
3 0 4 0 0 0 0 0 4
0 0
0 6
Sumber: Data Primer (diolah), 2016
135
5.5.2
Struktur Ongkos dan Penerimaan Usaha Penangkapan Ikan di Indonesia Dalam menjalankan usaha perikanan tangkap, umumnya nelayan mengeluarkan
sejumlah biaya – biaya yang termasuk ke dalam kategori biaya tetap (fixed cost). Biaya tetap yang dimaksud diantaranya adalah perijinan usaha, pemeliharaan kapal, pemeliharaan mesin dan pemeliharaan alat tangkap.
Terkait dengan biaya perizinan usaha perikanan oleh nelayan di Indonesia, Tabel dbawah memperlihatkan bahwa nelayan dengan armada 5-10 GT mengeluarkan biaya perizinan sekitar Rp 500 ribu per tahun sedangkan untuk armada 11-30 GT rata-rata mengalokasikan biaya perijinan mencapai Rp 3 juta. Meskipun kapal berukuran kurang dari 5 GT dibebaskan dari segala macam biaya perizinan, namun nelayan tetap saja harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk keperluan aktivitas usaha perikanannya. Seperti misalnya mengurus izin usaha perikanan yang memerlukan biaya transportasi kepada orang yang ditunjuk untuk mengurus perizinan. Biaya lain yang dikeluarkan oleh nelayan adalah biaya perbaikan kapal. Biaya pemeliharaan kapal sangat tergantung kepada besarnya ukuran kapal, jenis kerusakan badan kapal, dan harga bahan baku yang tersedia untuk pemeliharaan kapal. Pemeliharaan kapal oleh nelayan umumnya dilakukan sebanyak 1 – 2 kali dalam setahun. Jenis pemeliharaan perahu yang dimaksud adalah perbaikan ringan (menggantu sebagian kayu yang keropos), perbaikan besar (docking kapal) dan pengecetan badan kapal. Jenis – jenis kerusakan kapal biasanya terjadi pada daerah geladak, lambung, alas kapal, sekat kapal dan ambang palkah. Dalam satu tahun, kisaran biaya perbaikan kapal yang dikeluarkan adalah sekitar Rp 2 juta hingga Rp 13 juta. Terkait dengan perbaikan mesin, umumnya adalah biaya pergantian oli mesin dan servis mesin. Pergantian oli mesin kapal oleh nelayan sangat tergantung kepada preferensi nelayan itu sendiri. Pada nelayan yang sadar dan paham bahwa mesin merupakan komponen yang sangat penting, umumnya akan mengganti oli mesin lebih sering, seperti misalnya lima kali trip langsung diganti oli mesin, meskipun kemampuan oli mesin lebih dari lima trip. Selain preferensi nelayan, juga dipengaruhi oleh harga oli yang digunakan. Umumnya, dalam satu liter, harga oli yang digunakan berkisar antara 35 ribu hingga 50 ribu rupiah. Jenis mesin yang sering digunakan oleh nelayan dengan perahu
136
motor tempel adalah jenis mesin 2 tak yang memang mengkonsumsi oli mesin lebih banyak dibandingkan mesin 4 tak. Terkait dengan servis mesin, nelayan secara umum memiliki kemampuan untuk melakukan servis mesin secara mandiri. Kemampuan ini memang harus dimiliki oleh setiap nelayan untuk mengantisipasi kerusakan mesin pada saat di tengah laut. Pada kapal yang berukuran besar, biasanya terdapat satu orang yang berperan sebagai spesialisasi mesin. Tugasnya adalah untuk menjaga mesin berfungsi dalam keadaan yang baik. Tabel 5. 30
Struktur Biaya Tetap Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan di Indonesia
Jenis Biaya Tetap
Satuan
Ijin Usaha/Ijin Penangkapan. retribusi. pajak
Rp / tahun
Pemeliharaan/Perbaikan Perahu (pengecatan. ganti kayu. dll)
Rp / tahun
Pemeliharaan/Perbaikan Mesin (ganti Oli)
Rp / tahun
Pemeliharaan/Perbaikan Tangkap
Alat
< 5 GT
Rp tahun
/
Docking kapal
Rp tahun
/
Lainnya
Rp tahun
/
Rp / tahun
Jumlah
5 - 10 GT
> 11 GT
52.859
545.401
3.131.343
2.226.413
6.319.102
13.207.056
1.025.704
3.567.409
7.178.355
1.874.638
6.744.891
9.700.847
162.006
1.120.438
5.260.219
-
1.460
273.285
5.341.620
18.298.701
38.751.104
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 Pada ketiga tabel dibawah ini menunjukan biaya usaha tiga bulanan pada usaha perikanan tangkap responden nelayan di Indonesia. Secara umum, biaya tidak tetap pada usaha penangkapan ikan yang terbesar adalah pengeluaran untuk bahan bakar, ransum dan es balok.
137
Tabel 5. 31
Struktur Biaya Variabel Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan < 5 GT di Indonesia
Jenis Biaya Variabel
Satuan
BBM Solar Bensin murni Bensin Campur Oli campur Minyak tanah Es balok Umpan yang dibeli Ransum (beras. kopi.rokok.dll) Upah bongkar muat Upah pembersihan kapal Jasa pemasaran Jasa pelelangan Baterai Sewa Genset Lainnya Jumlah
Liter Liter Liter Liter Liter Liter Buah Kg Paket Orang Orang Orang Orang Paket Paket Paket
Januari-Maret Volume Nilai (Rp) 727 5.996.622 80 654.504 323 2.574.467 324 2.767.651 13 340.718 31 188.507 233 1.437.883 26 621.396 49 2.365.143 3 166.347 1 89.521 1 86.527 0 26.946 12 127.868 1 55.329 11.502.810
April - Juni Volume Nilai (Rp) 726 5.939.711 79 641.668 308 2.444.322 339 2.853.722 13 353.038 27 196.608 197 1.318.189 29 757.828 48 2.562.847 4 270.419 1 115.569 2 195.329 0 44.910 12 125.940 1 48.862 11.929.251
Juli - September Volume Nilai (Rp) 669 5.513.324 77 634.672 299 2.382.255 293 2.496.397 12 361.785 34 220.871 160 1.185.813 26 714.612 47 2.406.693 4 221.198 1 110.778 1 102.695 0 53.892 11 118.600 1 49.581 11.059.843
Oktober - Desember Volume Nilai (Rp) 778 6.363.515 76 579.659 307 2.453.379 395 3.330.478 12 339.602 35 227.163 211 1.465.374 30 750.774 50 2.568.726 4 282.754 2 138.623 1 155.090 0 35.928 10 126.913 1 52.455 12.506.917
Persentase (%) 51 5 21 24 3 2 12 6 21 2 1 1 0 1 0 0 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2016
138
Tabel 5. 32
Struktur Biaya Variabel Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan 5 - 10 GT di Indonesia
Jenis Biaya Variabel BBM
Satua n
Januari-Maret Volum Nilai (Rp) e
April - Juni Volume
Nilai (Rp)
Juli - September Volum Nilai (Rp) e
Oktober - Desember Volum Nilai (Rp) e
Persentase (%)
Liter Liter Liter Liter
3.086 1.491 1.231 364
35.442.974 9.585.704 22.982.847 2.874.423
2.895 1.336 1.264 294
29.162.920 8.609.445 18.441.723 2.111.752
2.704 1.266 1.110 328
18.787.668 8.125.445 8.093.577 2.568.646
2.813 1.497 1.051 265
19.682.321 9.401.080 8.145.650 2.135.591
39 14 22 4
Oli campur
Liter
34
1.123.737
38
1.259.424
33
1.061.147
37
1.174.659
2
Minyak tanah Es balok Umpan yang dibeli Ransum kopi.rokok.dll)
Liter Buah Kg
281 386 108
1.143.577 5.983.724 1.944.964
108 358 103
457.007 5.464.147 2.662.942
145 341 98
607.664 5.228.771 2.590.533
233 368 100
959.197 5.651.578 3.304.131
1 8 4
Paket
103
27.589.532
109
28.520.189
99
26.296.102
91
27.559.250
42
Upah bongkar muat
Orang
29
2.253.869
16
1.323.285
6
296.058
11
556.131
2
Upah pembersihan kapal
Orang
2
245.036
2
235.182
1
206.496
2
235.839
0
Jasa pemasaran
Orang
4
745.255
3
558.394
1
159.854
1
151.825
1
Jasa pelelangan
Orang
1
5.693
0
3.796
-
-
-
-
0
Baterai Sewa Genset
Paket Paket
6 -
200.737 -
7 -
296.956 -
8 -
360.182 -
8 -
331.905 -
0 0
Lainnya Jumlah
Paket
-
76.679.099
1
394.161 70.338.403
2
656.934 56.251.410
2
512.409 60.119.247
1 100
Solar Bensin murni Bensin Campur
(beras.
Sumber: Data Primer (diolah), 2016
139
Tabel 5. 33
Struktur Biaya Variabel Usaha Perikanan Pada Armada Penangkapan Ikan > 10 GT di Indonesia
Jenis Biaya Variabel BBM
Satuan
Januari-Maret Volume Nilai (Rp)
April - Juni Volume Nilai (Rp)
Juli - September Volume Nilai (Rp)
Oktober - Desember Volume Nilai (Rp)
Persentas e (%)
Liter Liter Liter
7.794 7.184 541
53.713.834 48.756.523 4.458.851
7.622 7.033 484
51.873.176 46.974.999 4.106.688
7.274 6.705 438
49.120.227 43.906.740 4.214.451
6.297 5.716 475
43.198.494 38.374.794 3.984.846
47 42 4
Liter Liter Liter Buah Kg
69 36 425 1.100 234
498.460 1.156.075 1.797.774 15.565.358 3.357.353
105 38 361 858 285
791.489 1.226.985 1.525.723 13.318.912 3.819.082
130 49 396 924 320
999.036 1.407.335 1.725.679 13.037.168 4.864.474
107 55 451 989 339
838.854 1.218.350 1.843.686 13.683.029 5.390.457
1 1 2 13 4
Paket Orang
132 27
30.182.865 2.173.743
118 21
30.673.815 1.924.948
132 18
33.570.171 1.576.886
165 23
30.559.457 1.899.863
30 2
Upah pembersihan kapal
Orang
2
168.613
2
183.212
1
141.898
1
Jasa pemasaran Jasa pelelangan
Orang Orang
15 0
758.759 10.949
11
549.270 7.299
5 0
249.270 3.650
Baterai Sewa Genset
Paket Paket
25 -
322.035 -
23 -
258.165 -
22 0
217.712 4.380
Lainnya Jumlah
Paket
1
140.540 109.347.898
1
67.416 105.428.003
1
Solar Bensin murni Bensin Campur Oli campur Minyak tanah Es balok Umpan yang dibeli Ransum (beras. kopi.rokok.dll) Upah bongkar muat
66.613 105.985.462
136.642
0
15 0
741.606 43.796
1 0
23 0
291.134 3.650
0 0
1
153.912 99.164.076
0 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2016 140
Secara umum dapat hasil tangkapan berbanding lurus dengan ukuran kapal yang digunakan. Selain itu produksi juga dipengaruhi oleh kondisi musim yang dapat dibagi menjadi tiga yaitu musim paceklik, musim sedang dan musim puncak. Dari data yang diperoleh dilapangan diketahui bahwa secara rata-rata produksi ikan kapal kurang dari 5 GT pada saat normal mencapai 93 Kg dengan nilai hasil tangkapan mencapai 2,4 juta rupiah per trip. Pada ukuran kapal 5-10 GT hasil produksi juga cukup tinggi dimana mencapai 1.153 Kg per trip dengan nilai mencapai 33 juta rupiah. Pada kelas kapal 11-30 GT hasil yang diperoleh melonjak jauh dengan produksi mencapai 4,7 ton dan nilai produksi lebih dari 87 juta rupiah. Pada saat musim paceklik hasil yang diperoleh kapal-kapal penangkapan ikan mengalami penurunan cukup tajam dimana dapat mencapai hanya 33% sampai dengan 43% dari hasil normal. Kondisi ini menunjukkan usaha perikanan yang pada satu sisi cukup menjanjikan secara ekonomi akan tetapi juga memiliki resiko usaha yang tinggi. Tabel 5. 34 No
Ukuran Kapal
1
< 5 GT
2
5-10 GT
3
11-30 GT
Produksi dan Penerimaan Usaha Per Trip paceklik Vol (Kg)
Nilai (Rp)
sedang Vol (Kg)
Nilai (Rp)
puncak Vol (Kg)
Nilai (Rp)
Rata-rata Vol (Kg)
Nilai (Rp)
32
582.864
93
2.432.056
106
2.648.900
210
5.275.244
500
8.140.196
1.153
33.343.165
1.921
34.610.214
3.240
70.666.777
1.785
21.060.290
4.785
87.308.125
6.107
111.400.124
11.487
205.728.346
Berdasarkan penggabungan data dari semua lokasi, diketahui musim puncak penangkapan ikan pada semua kelas armada terjadi pada sekitar bulan September. Bulan September di Indonesia secara umum masih merupakan musim peralihan dari musim timur ke musim barat. Hasil tangkapan yang cukup tinggi juga terekam pada sekitar bulan April dimana merupakan masa transisi dari musim barat ke musim timur. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa waktu yang terbaik untuk melakukan penangkapan ikan adalah pada saat musim peralihan. Sementara bulan-bulan yang mengalami penurunan produksi terjadi diantara bulan Juni sampai dengan Agustus yang diketahui merupakan musim timur dimana pada beberapa wilayah terjadi angin kencang dan gelombang besar. Selain itu diketahui pula pada beberapa wilayah seperti Laut Banda, Laut Maluku, Selat Malaka dan Laut Jawa juga diketahui mengalami kesuburan terendah pada saat musim timur (Realino dkk, 2007). Dinamika produksi hasil tangkapan menurut armada tersaji pada gambar berikut.
141
Gambar 5. 1
Dinamika Produksi Hasil Tangkapan Menurut Kelas Armada Sumber : Data Primer, Diolah
Komposisi hasil tangkapan nelayan sangat dipengaruhi dengan besarnya skala armada. Pada armada kurang dari 5 GT didominasi oleh ikan pelagis kecil seperti layang dan kembung. Ikan pelagis besar yang cukup banyak tertangkap adalah tongkol. Data yang menarik adalah tingginya hasil tangkapan lain-lain. Hal ini menunjukkan keragaman jenis ikan hasil tangkapan nelayan pada kelas ini. Berbeda dengan kelas 5-10 GT yang hasil tangkapannya didominasi oleh jenis tongkol. Data ini menunjukkan adanya fokus penangkapan ikan pada jenis ikan tongkol dimana biasa tertangkap dengan menggunakan alat tangkap sejenis purse sein. Sementara itu, pada armada 11-30 GT terdapat tiga jenis tangkapan utama yaitu tongkol, cakalang dan layang. Pada kelas ini juga terlihat adanya fokus target ikan tangkapan meski hasil sampingan lainnya juga turut tertangkap. Ikan Cakalang merupakan yang paling menonjol dimana pada dua kelas sebelumnya tidak kehilatan justru cukup banyak tertangkap pada kelas ini. Cakalang umumnya ditangkap dengan menggunakan huhate atau biasa dikenal juga dengan pool and line.
142
Gambar 5. 2
Komposisi Hasil Tangkapan Menurut Kelas Armada Sumber : Data Primer, Diolah
Penerimaan yang diperoleh nelayan sangat dipengaruhi oleh produksi dan rata-rata harga ikan yang diperoleh. Pada kapal skala kurang dari 5 GT mengalami periode penurunan nilai produksi mulai dari bulan April sampai dengan Agustus. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya produksi dan juga harga ratarata yang diterima khususnya pada saat bulan Agustus. Hal ini terjadi karena adanya perubahan komposisi jenis ikan yang ditangkap. Nelayan yang mengalami musim paceklik karena adanya angin timur masih berusaha melakukan penangkapan ikan meski harus mengganti target spesies. Nilai produksi mengalami peningkatan antara bulan September dan Oktober. Pola yang hampir serupa terlihat pada kapal ukuran 510 GT, dimana musim puncak tercatat terjadi pada bulan September dan Oktober dan musim paceklik terjadi pada saat bulan Juli-Agustus.
143
Gambar 5. 3
Dinamika Nilai Produksi Hasil Tangkapan Menurut Kelas Armada Sumber : Data Primer, Diolah
Pada kapal ukuran 11-30 GT, memiliki pola yang agak berbeda meski musim paceklik terjadi pada waktu yang relatif sama yaitu pada bulan Agustus dan Desember sehingga banyak nelayan yang tidak melakukan aktifitas penangkapan. Pada kapal ukuran besar, target ikan tangkapan relatif tidak berubah menurut musim sebagaimana terjadi pada kapal-kapal berukuran kurang dari 5 GT. Oleh karena itu, nilai produksi yang diterima mengikuti pola produksi yang dihasilkan.
144
Gambar 5. 4
Komposisi Nilai Produksi Menurut Jenis Ikan dan Kelas Armada
Berdasarkan data pengeluaran dan penerimaan perbulan maka dapat diperoleh keuntungan usaha dalam satu tahun. Keuntungan usaha tampak seiring dengan besarnya ukuran kapal, dimana semakin besar ukuran kapal akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar pula. Rata-rata keuntungan perbulan adalah 4,1 juta rupiah untuk kapal kurang dari 5 GT, 11 juta rupiah untuk kapal 5-10 GT, dan 45,1 juta rupiah perbulan. Nilai ini masih merupakan hasil kotor sebelum bagi hasil dan tidak termasuk dari hasil tangkapan yang dibawa pulang atau jatah ikan ABK pada setiap trip tangkapan.
145
Tabel 5. 35 No.
Bulan
Keuntungan dan R/C Ratio Usaha Penangkapan Ikan Berdasarkan Kelas Armada < 5 GT Keuntungan (PenerimaanBiaya)
5 - 10 GT R/C (penerimaan/ biaya)
Keuntungan (PenerimaanBiaya)
> 11 GT R/C (penerimaan/ biaya)
Keuntungan (PenerimaanBiaya)
R/C (penerimaan/ biaya)
1
Januari
3.280.323
1,74
6.851.247
1,24
46.306.948
2,23
2
Februari
1,48
37.938.129
1,92
Maret
1,83 2,06
11.949.071
3
3.633.804 4.268.777
4.518.343
1,16
37.913.692
1,95
4
April
4.388.641
2,00
8.826.423
1,32
48.698.275
2,21
5
Mei
3.959.376
1,87
5.964.425
1,22
56.290.590
2,50
6
Juni
3.316.660
1,77
11.489.560
1,57
50.925.024
2,36
7
Juli
3.445.592
1,87
5.966.281
1,28
52.266.231
2,32
8
Agustus
2.978.710
1,75
9.000.656
1,43
36.446.444
2,08
9
September
4.381.840
1,98
22.200.511
2,17
48.037.758
2,14
10
Oktober
4.893.256
2,02
18.537.243
1,98
47.668.891
2,15
11
November
3.444.855
1,75
14.493.574
1,64
42.220.732
2,11
12
Desember
4.216.915
1,95
13.017.898
1,57
37.099.315
2,27
Jumlah
49.582.353
Rata-rata Perbulan
4.131.862
132.815.231 1,95
11.067.935
541.812.029 1,50
45.151.002
2,19
5.6 Modal Sosial Pada Nelayan Modal sosial menjadi salah satu faktor penting untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Modal sosial dipercaya dapat menolong komunitas meningkatkan kesejahteraannya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Prinsip dasar modal sosial adalah bahwa hanya komunitas yang memiliki seperangkat nilai sosial dan budaya yang menghargai pentingnya kerjasama yang dapat maju dengan kekuatannya sendiri ( Syahra,2004). Modal sosial menekankan pada kemampuan kelompok untuk bekerjasama mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Modal sosial dapat menjadi pendekatan alternatif bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat hubungan horisontal antar orang sebagai anggota dalam masyarakat. Modal sosial terdiri dari “networks of civic engagements” yaitu
146
jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh norma-norma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat. Dua hal yang perlu dilihat di definisi Putnam ini yaitu jaringan dan norma ( Putnam,1993). Adanya jaringan memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi sehingga bisa menimbulkan rasa percaya antar anggota. Trust (rasa percaya) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan hal yang sama, saling mendukung, tidak akan merugikan diri dan kelompoknya.Menurut Putnam, trust memiliki impilkasi positif dalam masyarakat. Modal sosial menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar indivisu dalam suatu kelompok dan antar kelompok.Modal sosial meliputi shared values dan rules bagi perilaku , trust dan commonsense tanggungjawab terhadap masyarakat sehingga menjadikannya lebih dari kumpulan individu. Pada bagian ini , mengacu pada van Beuningen dan Schmeets dalam tulisannya Developing a Social Capital Index for the Netherlands yang juga mencoba mengukur indek modal sosial pada level mikro, yang menyatakan dua dimensi dalam modal sosial yaitu partisipasi dan trust. Penelitian ini membagi modal sosial juga ke dalam dua dimensi yaitu Partisipasi (yang didalamnya dibagi lagi menjadi partisipasi sosial, partisipasi organisasi, dan partisipasi politik) dan rasa Percaya / Trust yang didalamnya terdapat rasa percaya antar masyarakat untuk penjualan hasil dan peminjaman modal usaha, peminjaman non usaha, rasa percaya kepada organisasi kenelayanan dan institusi pemerintah yang dianggap dapat mendukung usaha kenelayanan
PARTISIPASI Patisipasi sosial Partisipasi sosial adalah seberapa jauh anggota masyarakat memiliki kontak sosial dengan anggota yang lain baik formal dan informal sehingga terlihat kontak sosial diantara anggota masayarakat. Kontak sosial merupakan merupakan inti dari modal sosial karea dianggap dapat menggambarkan alur informasi dalam masyarakat. Partisipasi sosial yang dibahas pada bagian ini meliputi frekuensi interaksi dengan anggota keluarga, intensitas keterlibatan anggota keluarga dalam usaha penangkapan, dan keterlibatan keluarga dalam penyediaan modal usaha penangkapan. Diagram di bawah ini memperlihatkan intensitas pertemuan keluarga besar pada nelayan di lokasilokasi penelitian. Frekuensi pertemuan sangat sering dengan intensitas > 50% pada keluarga nelayan < 5 147
GT. Sementara untuk keluarga nelayan 5-10 GT dan 11-30 GT, intensitas frekuensi pertemuan keluarga besar jarang.
Gambar 5.5. Frekuensi Pertemuan Keluarga Besar Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Frekuensi intesitas interaks dengan tetangga sebagai anggota masyarakat berbagai kelas terlihat masih sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 50% untuk semua armada ukuran kapal. Responden merasa pentingnya berinteraksi dengan tetangga sekitar karena saat itulah digunakan untuk bertukar informasi tentang harga, angin bahkan peluang berpindah tempat bagi para nahkoda dan anak buah kapal.
148
Gambar 5.6. Frekuensi Interaksi dengan Tetangga Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Keterlibatan keluarga dalam kegiatan usaha penangkapan ikan untuk ketiga jenis armada masih < 40%. Sulitnya kehidupan nelayan yang membentuk pola pikir nelayan untuk tidak membiarkan anak mereka menjadi nelayan. Hal ini mengakibatkan anak nelayan memilih bekerja selain sebagai nelayan bahkan diluar perikanan seperti di pabrik.
Gambar 5.7. Keterlibatan Keluarga Inti dalam Kegiatan Usaha Penangkapan Ikan Sumber : Data Primer Diolah, 2016
149
Penelitian ini juga ingin melihat seberapa besar keterlibatan keluarga besar (extended family) dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Pada bagian ini, penelitian ingin melihat sejauh mana keluarga besar ikut bekerja, ikut serta dalam kegiatan penangkapan. Armada < 5GT dan 5-10 GT tidak memperlihatkan keterlibatan besar keluarga besar dalam usaha penangkapan. Sebagian besar awak dalam armada penangkapan tidak memiliki hubungan kekerabatN. Sementara untuk armada kelas 11-30 GT, sebanyak 50% responden menjawab adanya keterlibatan keluarga besar. Hal ini kemungkinan di karenakan banyaknya ABK yang dibutuhkan dalam satu perahu dan lebih mudah merekrut kerabat sebagai ABK dibandingkan diluar kerabat.
Gambar 5.8. Keterlibatan Keluarga Besar dalam Kegiatan Usaha Penangkapan Ikan Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Peran keluarga inti dan keluarga luas (extended family)l dalam penyediaan modal usaha kegiatan penangkapan ikan untuk ketiga kelas armada kapal di Indonesia masih sangat kecil. Nelayan sebagian besar memilih untuk tidak melibatkan peran keluarga inti dan luas dalam pengadaan modal usaha mereka. Nelayan, dalam hal ini diwakili responden di lokasi penelitian lebih memilih untuk menggunakan uang pribadi mereka tanpa meminjam dari pihak keluarga. Hanya < 15% dari responden Nelayan kelas armada < 5 GT yang melibatkan keluarga inti dalam penyediaan modal usaha kegiatan penangkapan mereka. Sebagian besar adalah modal dari orangtua 150
kepada anaknya yang nelayan ataupun sebaliknya modal dari anak kepada orangtuanya yang nelayan. Tabel di bawah ini memperlihatkan responden lebih memilih untuk menggunakan uang pribadi mereka tanpa meminjam dari pihak keluarga.
Gambar 5.9. Keterlibatan Keluarga Inti dan Keluarga Luas dalam Penyediaan Modal Usaha Penangkapan Ikan Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Responden, lebih dari 50% dari ketiga jenis armada memilih untuk tidak meminjamkan uang kepada keluarga inti dan keluarga luas. Keterbatasan ekonomi menjadi alasan untuk tidak meminjamkan uang untuk modal usaha kepada keluarga mereka. Nelayan merasa belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga sehingga memilih tidak meminjamkan uang mereka kepda pihak lain. Lebih jelasnya kita bisa lihat diagram dibawah ini. Nelayan kelas armada 5-10 GT dan 11-30 GT lebih memilih mengajukan pinjaman ke Bank untuk menambah modal usaha penangkapan ikan daripada ke pihak keluarga.
151
Gambar 5.10. Meminjamkan Uang untuk Modal Usaha kepada Keluarga Inti dan Keluarga Luas Sumber : Data Primer Diolah, 2016 PARTISIPASI ORGANISASI Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana partisipasi responden dalam organisasi yang ada di masyarakat.
Antara
lain
Karang
Taruna/
kepemudaan,
Organisani
Perikanan,
Organisasi
pendidikanPosyandu/Puskesmas /kesehatan, Olahraga, Organisasi budaya, Organisasi Masjid/ Keagamaan lainnya, Organisasi kenelayanan, Arisan RT. Partisipasi dari ketiga jenis armada penangkapan terlihat dalam diagram dibawah ini masih sangat rendah. Sebagian besar responden memberikan alasan ketiadaan waktu senggang karena mereka harus bekerja keras di laut. Sebaliknya kaum ibu yang lebih aktif dalam partisipasi daam organisasi yang ada di masayrakat, seperti pengajian dan arisan RT. Kegiatan penangkapan ikan yang menghabiskan waktu dan tenaga nelayan membuat nelayan tidak dapat mengikuti banyak kegiatan organisasi di masyarakat. Belum lagi kegiatan penangkapan banyak dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari.
152
Gambar 5.11. Keikutsertaan dalam Organisasi Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Nelayan berpendapat bahwa keikutsertaan mereka dalam organisasi yang ada dalam masyarakat tidak atau setidaknya belum memberikan dampak kemudahan bagi usaha penangkapan ikan. Hanya sebesar 25,4% nelayan dari kelas armada 5-10 GT yang merasa keterlibatan dalam organisasi sedikit memberikan kemudahan dalam usaha pengangkapan ikan. Namun untuk kedua armada lainnya, sebesar lebih dari 60% menyatakan keterlibatan dalam organisasi tidak akan memberikan kemudahan dalam menjalan usaha penangkapan ikan.
153
Gambar 5.12. Keterlibatan dalam Organisasi dan Kemudahan dalam Usaha Penangkapan Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Partisipasi Politik Partisipasi responden
dalam kegiatan politik
masih sangat rendah. Terlihat dalam diagram
dibawah ini lebih dari 90% responden menyatakan tidak ikut terlibat dalam keanggotaan dalam partai politik. Bahkan responden dari kelas armada kedua, 5-10 GT sebesar 100 % menyatakan tidak terlibat dalam keanggotaan partai politik. Responden menyatakan keterlibatan politik tidak akan mempengaruhi usaha penangkapan, ini yang mendasari tindakan mereka untuk tidak ikut aktif dalam partai politik. Ketidakaktifan dalam partai politik tidak berarti responden bersikap apolitis. Responden menyatakan ikut aktif dalam kehidupan politik negara dengan ikut serta dalam pesta politik baik berupa Pemilu maupun Pilkada. Responden berpendapat bahwa keikutsertaan mereka dalam pesta politik merupakan wujud nyata mereka dalam mendukung negara dan ikut serta membangun kehidupan bernegara yang lebih baik.
154
Gambar 5.13. Partisipasi Politik responden Sumber : Data Primer Diolah, 2016
II.
Rasa Percaya Rasa percaya merupakan salah satu variabel dari modal sosial. Kepercayaan diwujudkan percaya
antar masyarakat, percaya terhadap organisasi sosial percaya pada politik. Frekuensi masing-masing indikator dijelaskan sebagai berikut : 1. Rasa Percaya Antar Masyarakat Kepercayaan antar masyarakat meliputi kepercayaan responden dalam hal penjualan hasil tangkapan, pinjaman untuk modal usaha, pendidikan/sakit/sosial dan bantuan untuk pendidikan/sakit/sosial. Pada gambar xxx. digambarkan tingkat kepercayaan nelayan dalam melakukan penjulan ikan hasil tangkapan.
155
Gambar 5.14. Kepercayaan Nelayan Dalam Penjualan Hasil Tangkapan Ikan Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Gambar diatas menjelaskan bahwa responden tidak pernah menjual ikan hasil tangkapan kepada pemilik kapal dan pemilik modal operasional. Responden selalu menjual kepada bakul/pedagang atau pengepul. Untuk kapal < 5 GT, lebih dari 65% responden tidak menjual kepada pemilik kapal dan lebih dari 80% tidak pernah menjual kepada pemilik modal operasional dan hampir 60% memilih menjual ikan kepada bakul/pedagang/pegepul. Kondisi ini juga dialami oleh nelayan 5 – 10 GT dimana lebih adri 40% responden dan lebih dari 50% responden kapal 11 – 30 GT selalu menjual kepada bakul/pedagang dan pengepul. Rasa percaya nelayan kepada bakul dapat dikaitkan dengan harga jual bersaing yang diberikan oleh pedagang dan sistem pembayaran yang terjadwal. Disisi lain, adanya keterikatan modal usaha dengan bakul juga menjadi alasan penjualan ikan harus ke bakul/pedagang. Selanjutnya terkait dengan tempat meminjam modal usaha. Modal usaha perikanan dikaitkan dengan pemilik kapal, pemilik modal operasional dan bakul/pedagang/pengepul seperti dalam gambar xxx.
156
Gambar 5.15. Rasa Percaya Responden Dalam Meminjam Modal Usaha Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Data xxx. mendiskripsikan bahwa bahwa mayoritas responden tidak pernah meminjam modal kepada pemilik kapal, pemilik modal operasional dan bakul/pedagang/pengepul. Pernyataan ditersebut dinyatakan lebih dari 60% responden baik dari perahu < 5 GT, 5 – 10 GT dan 11 – 30 GT. Responden hanya kadan-kadang meminjam modal kepada 3 aktor pelaku usaha tersebut. Dari jumlah responden yang kadang-kadang meminjam modal usaha kepada pemilik modal, lebih dari 10% nelayan meminjam kepada bakul/pedagang/pengepul. Modal usaha ini biasanya digunakan sebagai biaya operasional nelayan dan bakul telah mempersiapkan kebutuhan operasional nelayan seperti BBM dan ransum. Tingkat kepercayaan yang lainnya dalam penelitian ini adalah bantuan untuk pendidikan/sakit/sosial dan lainnya dapat dilihat pad gambar xxx.
157
Gambar 5.16. Bantuan Pendidikan/Sakit/Sosial Untuk Nelayan, 2016 Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Sejalan dengan rasa percaya tempat meminjam modal, sebagian besar respoden juga tidak pernah meminjam bantuan untuk pendidikan/sakit/sosial dan lainnya kepada pemilik kapal, pemilik modal operasioan dan bakul/pedagang. Baik nelayan < 5 GT, 5-10 GT dan 11-30GT diatas 60% respoden tidak pernah meminjambantuan pendidikan/sakit/sosial dan lainnya ke pemilik modal. Hanya lebih dari 10% responden yang kadang-kadang meminjam ke bakul/pedagang/pengepul. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemilik modal seperti pemilik kapal, pemilik modal operasional dan bakul/pedagang/pengepul rata-rata hanya memberikan bantuan dalam usaha perikanan. Untuk nelayan kapal besar, pemilik modal memberikan bonus atau pendapatan tambahan dari hasil penjualan ikan, dan hal tersebut menjadi bantuan untuk nelayan. Sementara untuk ikatan nelayan dalam menjual hasil tangkapan dapat dilihat pada gambar xxx.
158
Gambar 5.17. Keterikatan Nelayan dalam Penjualan Hasil Tangkapan Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Data menunjukkan bahwa tidak ada keterikatan penjualan ikan hasil tangkapan baik ke pemilik kapal, pemilik modal operasional dan pedagang dengan besaran lebih dari 70% responden menyatakan hal tersebut. Ikatan penjualan hasil tangkapan terbanyak masih terjadi antara nelayan dengan pedagang. Ikatan penjualan dengan pedagang masih terdapat di semua kelas kapal dengan rincian 27% pada respoden < 5 GT, 34% nelayan 5 – 10 GT dan 24 % nelayan 11 – 30 GT. Ikatan penjualan terjadi karena ikatan modal usaha yang yang berasal dari pedagang sehingga harus menjual ikan hasil tangkapannya kepada pemberi modal. Modal usaha nelayan juga dapat diperoleh melalui kelompok usaha bersama (KUB) dan dapat dilihat pada tabel xxx.
159
Gambar 5.18. Peminjaman/Mendapatkan Bantuan Lewat KUB di Kota Bitung Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Modal usaha tidak hanya dapat diperoleh dari kelembagaan informal seperti dari pemilik kapal, pemilik modal usaha atau pedagang. Akes bantuan dapat juga diperoleh melalui kelompok usaha bersama (KUB). Data menyatakan lebih dari 70% tidak pernah mendapatkan bantuan dari KUB, karena sebagian besar responden tidak tergabung ke dalam KUB. Hanya 15% responden < 5 GT, 22% nelayan 5-10 GT dan 12% nelayan 11 – 30 GT kadang-kadang mendapatkan bantuan dari KUB. Responden yang pernah mendapatkan bantuan biasanya tergabung dalam KUB dan KUB ini terbentuk karena inisiasi dinas KP dalam rangka mekanisme penerimaan bantuan.
2. Rasa Percaya Terhadap Organisasi Sosial Rasa percaya terhadap organisasi sosial dijelaskan sebagai rasa percaya terhadap organisasi HNSI (rasa percaya dalam penyampaian aspirasi dan keuangan; Rasa percaya terhadap Syahbandar; rasa percaya terhadap Polairud dan rasa percaya terhadap Lembaga adat seperti tersaji pada gambar xxxx.
160
Gambar 5.19. Rasa Percaya Terhadap Organisasi Sosial Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Data menjelaskan bahwa kepercayaan nelayan pada organisasi yang terkait nelayan berada pada level percaya. Kepercayaan tertinggi ditunjukkan kepada rasa percaya kepada syahbandar untuk perahu 5 – 10 GT dan perahu 11 – 30 GT. Sedangkan untuk perahu < 5GT level percaya tertinggi diberikan kepada lembaga adat. Rasa percaya terhadap syahbandar di atas 70% dan kepercayaan ini dikaitkan syahbandar dalam tugas dan fungsinya menjamin keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan ( KEPMEN KP NO. 03/PERMEN-KP/2013 tentang ke Kesyahbandaran Di Pelabuhan Perikanan)
3. Rasa Percaya Politik Rasa percaya terhadap instusi kepemerintahan digambarkan dalam rasa percaya terhadap terhadap pemerintah daerah, pemerintah pusat serta DPRD & DPR. Data dalam gambar xxx memberikan gambaran reaksi para responden atas kepercayaan politik.
161
Gambar 5.20. Rasa Percaya Politik Masyarakat Nelayan Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Tabel diatas memberikan gambaran bahwa nelayan sepakat untuk percaya dengan pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan terhadap DPR serta DPRD. Rasa percaya politik nelayan < 5 GT; 5 – 10 GT dan 11- 30 GT belum menyentuh pada level sangat percaya. Rasa percaya nelayan terhadap pemerintah ditunjukkan dengan diikutinya aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait usaha kelautan dan perikanan. Nelayan melengkapi dokumen administrasi dan teknis untuk usaha perikanan seperti surat ijin berlayar dari syahbandar perikanan, surat laik operasi kapal perikanan dll. Salah satu responden menyatakan dengan kebijakan pemberantas illegal fishing penenggelaman kapal asing, wilayah operasi penangkapan ikan semakin dekat terutama untuk nelayan dengan armada perahu kecil dengan lama penangkapan menjadi lebih pendek yang berdampak pada biaya operasiona. Ditambahkan bahwasanya sebelum penenggelaman kapal asing, banyak kapal asing yang lalu lalang di laut melakukan penjarahan ikan. Responden mempunyai kepercayaan rendah terhadap DPR dan DPRD. Hal ini ditengari karena dinamika politik yang tinggi terjadi di DPR dan DPRD.
162
III.
Nilai Dan Norma Nila dan norma dalam kajian ini meliputi aturan lokal atau adat dan sanksi pelanggaran tentang gotong royong; serta aturan lokal atau adat tentang kewajiban membantu orang lain dan sanksi pelanggaran aturan adat bila melanggar kewajiban. Tabel di bawah ini menyajikan keterikatan nelayan dengan aturan lokal masyarakat di Indonesia.
Gambar 5.21. Nilai dan Norma Sosial Masyarakat Nelayan Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Merujuk pada data di atas, data nasional menyebutkan bahwa tidak ada kewajiban bagi nelayan bagi nelayan untuk mengikuti aturan lokal atau adat dalam kegiatan gotong royong. Berbeda halnya dengan aturan lokal atau adat pada kewajiban membantu orang lain yang sedang kesusahan dimana mayoritas responden masih mengikuti aturan tersebut. Hanya nelayan di bawah < 5 GT yang memilih tidak mempunyai kewajiban membantu orang lain yang sedang kesusahan. Meskipun demikian aturan lokal/adat yang ada tidak memiliki sangsi yang kuat untuk nelayan yang tidak mematuhi aturan. Hal ini dikarenakan 163
waktu produktif nelayan yang banyak bekerja dikapal dengan lama penangkapan mencapai waktu mingguan dan bulanan. Oleh karenanya aturan tersebut tidak mengikat dan bersifat lunak. Nelayan < 5 GT yang tidak memilih untuk tidak membantu orang lain jika mengalami kesusahan, dikarena tingkat pendapatan nelayan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
5.7 Indeks Penghidupan Nelayan Berkelanjutan
Indeks penghidupan nelayan didasarkan pada konsep yang memperhatikan aspek modal finansial, modal sumberdaya manusia dan modal sosial. Konsep ini merupakan ekstrasi dari konsep yang diusung oleh DFID (1999) yang menggunakan dua indikator tambahan yaitu modal fisik dan modal alam. Modal fisik yang dimiliki oleh nelayan telah menjadi dasar pembagian pembahasan menurut kelas armada sehingga tidak lagi dijadikan indikator penentu. Modal alam tidak dijadikan indikator tersendiri karena berhubungan erat dengan hasil tangkapan yang menjadi dasar keragaan dalam modal finansial. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai indeks yang terbesar terletak pada kelas armada 11-30 GT. Data ini menunjukkan bahwa nelayan pada kelas tersebut memiliki kondisi penghidupan berkelanjutan yang lebih baik. Namun demikian, semakin besar ukuran armada tidak selalu menunjukkan hubungan yang positif karena nilai indeks yang terkecil justru terjadi pada kelas armada 5-10 GT. Hal ini lebih disebabkan oleh keragaan modal finansial pada kelas kurang dari 5 GT yang lebih baik pada kelas 5-10 GT. Tabel 5.36. Indeks Penghidupan Nelayan Berkelanjutan No 1 2 3
5.7.1
Parameter Indeks Modal Finansial Indeks Modal Sumberdaya Manusia Indeks Modal Sosial Indeks Penghidupan Nelayan Berkelanjutan
< 5 GT 2,64 2,27 2,64 2,5175
5-10 GT 2,46 2,42 2,46
11-30 GT 3,58 2,50 3,58
2,445 3,218333
INDEKS MODAL FINANSIAL Pada dunia bisnis modal finansial dapat diartikan sebagai segala bentuk sumberdaya ekonomi yang
diukur terhadap uang yang dibelanjakan untuk membeli kebutuhan produksi dan biaya layanan bisnis yang menopang operasionalisasi kegiatan perusahaan. Konsep tersebut kemudian banyak digunakan pula pada skala rumah tangga untuk mengetahui kemampuan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup 164
baik pangan dan non pangan. Pada rumah tangga nelayan, maka komponen utama yang diperhitungkan berasal dari usaha penangkapan ikan yang dijalankan. Selain itu juga memperhitungkan rasio keuangan keluarga yang membagi antara pendapatan dan pengeluaran. Rasio penerimaan biaya merupakan konsep umum sederhana yang digunakan dalam mengukur layak tidaknya suatu bisnis untuk terus dijalankan. Konsep ini secara finansial mengukur berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan selama kegiatan usaha. Bila rasio penerimaan biaya sama dengan satu artinya usaha netral tidak merugi akan tetapi juga tidak memberikan keuntungan. Bila faktor waktu digunakan tentu hal ini dapat pula dikatakan sebagai suatu kerugian. Semakin jauh nilai diatas satu semakin mencerminkan baiknya usaha yang dijalankan dilihat dari sisi finansial usaha. Pada rasio penerimaan dan biaya (R/C Ratio) dari usaha yang dijalankan diketahui masih menguntungkan untuk semua kelas armada. Secara teori semakin besar investasi diharapkan akan semakin besar pula nilai rasio. Konsekuensinya semakin besar ukuran kapal maka semakin besar pula rasio yang diterima. Dari ketiga kelas kapal, terlihat bahwa nilai R/C Ratio terbesar pada 11-30 GT. Namun demikian nilai R/C yang terkecil justru terletak pada kapal berukuran antara 5-10 GT. Hal ini menunjukkan minimnya manfaat pertambahan modal dari kelas kurang dari 5 GT ke kelas 5-10 GT. Pertambahan biaya operasional yang lebih besar pada kapal 5-10 GT lebih besar dari bertambahnya penerimaan usaha. Terlebih terjadi fenomena munculnya ikan-ikan pelagis kecil pada sekitar wilayah pesisir dimana kelompok yang paling banyak menikmati adalah kapal kelas kurang dari 5 GT seperti yang terjadi di beberapa wilayah pengamatan seperti Sibolga, Bitung, Maluku Tengah dan Sorong. Penghitungan indeks pada rasio penerimaan dan biaya didasarkan pada klasifikasi nilai R/C ratio. Pengkelasan Nilai Indeks berdasarkan kelas nilai R/C ratio tersaji pada tabel berikut Tabel 5.37 Klasifikasi Nilai Indeks R/C Ratio Kelas R/C Ratio No <1 1 2 1-1,5 3 1,6-2 4 >2 Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Klasifikasi Nilai Indeks 1 2 3 4
165
Pada aspek keuntungan usaha tampaknya hasil lapangan sesuai dengan teori yang diharapkan. Semakin besar ukuran armada menunjukkan keuntungan usaha yang semakin besar. Namun keuntungan usaha tersebut belum menghitung bagi hasil antara pemilik, nahkoda dan ABK kapal. Semakin besar ukuran kapal juga diiringi dengan semakin besarnya tenaga kerja yang digunakan sehingga besarnya keuntungan usaha tidak selalu berbanding lurus dengan pendapatan dari nelayan pemilik kapal khususnya pada kelas kurang dari 5 GT dan 5-10 GT. Keuntungan usaha pada kelas 11-30 GT rata-rata mencapai lebih dari 45 juta rupiah perbulan, 5-10 GT mencapai 11 juta rupiah perbulan dan kurang dari 5 GT 4 juta rupiah perbulan. Penghitungan indeks berdasarkan keuntungan usaha didasarkan pada rata-rata keuntungan usaha yang diperoleh pada setiap bulannya. Tiap-tiap kelas armada dihitung nilai bawah dan nilai tertinggi dari keuntungan per bulan yang diperoleh sehingga diperoleh klasifikasi nilai indeks sebagaimana tabel berikut Tabel 5.38. Klasifikasi nilai indeks keuntungan usaha berdasar kelas armada penangkapan Klasifikasi Nilai Indeks 1
Kapal < 5 GT < 3000000
Kapal 5-10 GT < 10.000.000
Kapal 11-30 GT < 40.000.000
3.000.000 - 3.999.999
10.000.000-14.999.999
40.000.000 - 44.999.999
3 4.000.000 - 4.999.999 4 > 5.000.000 Sumber : Data Primer Diolah, 2016
15.000.000-19.999.999 > 20 Juta
45.000.000 - 49.999.999 > 50.000.000
2
Pada aspek keuntungan usaha tampaknya hasil lapangan sesuai dengan teori yang diharapkan. Semakin besar ukuran armada menunjukkan keuntungan usaha yang semakin besar. Namun keuntungan usaha tersebut belum menghitung bagi hasil antara pemilik, nahkoda dan ABK kapal. Semakin besar ukuran kapal juga diiringi dengan semakin besarnya tenaga kerja yang digunakan sehingga besarnya keuntungan usaha tidak selalu berbanding lurus dengan pendapatan dari nelayan pemilik kapal khususnya pada kelas kurang dari 5 GT dan 5-10 GT. Keuntungan usaha pada kelas 11-30 GT rata-rata mencapai lebih dari 45 juta rupiah perbulan, 5-10 GT mencapai 11 juta rupiah perbulan dan kurang dari 5 GT 4 juta rupiah perbulan. Rasio keuangan keluarga nelayan dihitung atas dasar pendapatan dan pengeluaran keluarga nelayan. Rasio yang baik menunjukkan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran yang dilakukan. Rasio ini penting untuk diperhatikan karena menggambarkan kemampuan keluarga nelayan dalam mengelola keuangan yang dimiliki. Meski demikian, indikator ini harus diikuti dengan salah satu indikator 166
lainnya yaitu pengeluaran perkapita karena nilai indeks yang sama tidak secara equal menggambarkan kondisi ekonomi rumah tangga. Perilaku masyarakat yang konsumtif selalu mengiringi pertambahan pendapatan dengan pengeluaran. Oleh karena itu tidak jarang ditemui masyarakat tidak memiliki tabungan meskipun tingkat pendapatan meningkat.
Tabel 5.39. Rasio Keuangan Keluarga Nelayan
Total Pendapatan Responden (Rp/ Kapita/ Tahun)
< 5 GT
5 - 10 GT
> 11 GT
9.181.143
14.752.586
28.206.124
Total Pengeluaran (Rp/kapita/ tahun) 9.896.084 14.954.319 22.229.865 Rasio keuangan keluarga nelayan (pendapatan dan pengeluaran rumah tangga) 0,93 0,99 1,27 Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Pendapatan dan pengeluaran nelayan semakin tinggi seiring dengan semakin besarnya armada penangkapan. Secara cepat terlihat adanya hubungan yang positif antara pendapatan dan pengeluaran dengan besaran armada. Sayangnya hal serupa tidak terlalu tercermin dari rasio keuangan keluarga nelayan. Meski ada perbedaan besar dari sisi pendapatan, tetapi rasio keuangan keluarga nelayan antara armada kurang dari 5 GT dengan 5-10 GT hampir tidak berbeda bahkan berada dibawah 1. Kondisi tersebut menunjukkan adanya sedikit gap, dimana pengeluaran ternyata sedikit lebih besar dari pendapatan yang diterima. Kondisi nilai yang positif hanya diterima pada nelayan dengan armada 11-30 GT.
Tabel 5.40 Klasifikasi Nilai Indeks Rasio Keuangan Keluarga Nelayan
No
Rasio Keuangan Keluarga Nelayan
1 <1 2 1-1,5 3 1,6-2 4 >2 Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Klasifikasi Nilai Indeks 1 2 3 4
167
Tabel 5.41. Klasifikasi Nilai Indeks Rasio Pengeluaran Terhadap Garis Kemiskinan Rasio Pengeluaran No Terhadap Garis Kemiskinan 1 <1 2 1-1,5 3 1,6-2 4 >2 Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Klasifikasi Nilai Indeks 1 2 3 4
Berdasarkan seluruh indikator yang digunakan pada indeks modal finansial diketahui bahwa armada dengan ukuran 11-30 GT memiliki nilai indeks yang paling besar yaitu sebesar 3,58 dari skala 4. Sementara pada ukuran kapal < 5 GT dan 5-10 GT memiliki nilai yang tidak berbeda jauh. Informasi ini menunjukkan bahwa perubahan yang signifikan dan memberikan manfaat yang maksimal baru akan terjadi secara finansial bila nelayan-nelayan beropreasi dengan kapal-kapal berukuran 11-30 GT. Namun demikian secara umum keragaan modal finansial nelayan pada seluruh ukuran armada masih dapat dikatakan cukup baik. Tabel 5.42. Indeks Modal Finansial Nelayan Berdasar Kelar Armada Rasio Penerimaan Biaya (R/C Ratio)
Keuntungan Usaha
Rasio Keuangan Keluarga (Pendapatan/ Pengeluaran)
Nilai RataRata
Indeks
Nilai RataRata (Rp/ Bulan/ Armada)
Indeks
Nilai RataRata
Indeks
< 5 GT
1,94
3
4.131.862
3
0,93
1
5 - 10 GT
1,50
2
11.067.935
2
0,99
1
11-30 GT
2,19
4
45.151.002
3
1,27
2
Ukuran Kapal
Rasio Pengeluaran Terhadap Garis Kemiskinan
Rata-rata Indeks
Nilai RataRata
Indeks
2,18
4
2,64
3,29
4
2,46
4,89
4
3,58
Sumber : Data Primer Diolah, 2016
168
5.7.2
INDEKS HUMAN CAPITAL
Beberapa indikator yang digunakan dalam penghitungan Indeks Modal Manusia pada penelitian Panelkanas meliputi pendidikan nelayan, pendidikan anak nelayan, kesehatan dan pengalaman usaha. Indikator pendidikan merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Pendidikan nelayan baik formal maupun informal akan mempengaruhi kegiatan usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Tingkat pendidikan anak nelayan menunjukkan seberapa besar kemampuan nelayan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Data pada 8 lokasi Panelkanas untuk 3 ukuran armada tangkap menunjukkan indeks human capital untuk indikator pendidikan nelayan adalah pada kelas armada 11-30 GT yaitu sebsar 2.02, dengan lama pendidikan tertinggi adalah 10-12 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa dari sisi pendidikan nelayan dengan ukuran kapal 11-30 GT lebih baik dibandingkan 2 kelas armada lainnya. Demikian halnya dengan pendidikan anak nelayan, kelas armada 11-30 GT menunjukkan indeks yang paling tinggi dibandingkan 2 kelas armada lainnya yaitu sebesar 1.97. Secara lengkap indeks modal manusia untuk indikator pendidikan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 5.43. Indikator Pendidikan pada Indeks Modal Manusia (Indeks Human Capital) Nelayan di Lokasi Penelitian Panelkanas Tahun 2016 Kelas Ukuran Kapal < 5 GT
5-10 GT
11-30 GT
Lama Pendidikan (Tahun) 0-6 7-9 10-12 > 12 Total 0-6 7-9 10-12 > 12 Total 0-6 7-9 10-12 > 12 Total
Sumber : Data Primer Diolah, Tahun 2016
Uraian Indeks Pendidikan Nelayan Pendidikan Anak Nelayan 0.70 0.55 0.25 0.64 0.51 0.19 0.02 0.25 1.49 1.64 0.44 0.40 0.44 0.93 0.92 0.20 0.15 0.26 1.94 1.80 0.42 0.41 0.39 0.66 0.94 0.38 0.26 0.51 2.02 1.97
169
Indikator kedua yang digunakan dalam penghitungan Indeks Human Capital adalah kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu indikator yang digunakan mengingat usaha penangkapan ikan membutuhan kesehatan fisik nelayan. Dari ke 3 kelas armada, nelayan dengan ukuran kapal 5-10 GT memiliki indeks untuk indikator kesehatan yang paling tinggi yang sebesar 3,20 dibandingkan 2 kelas lainnya meskipun perbedaan nilainya tidak signifikan. Sebagian besar nelayan hanya mengalami sakit ringan berupa masuk angin, sakit kepala atau flu dan batuk saja dengan pengobatan sendiri atau membeli obat di warung. Tingginya indeks kesehatan ini menunjukkan bahwa nelayan secara fisik sangat mendukung untuk melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan. Secara lengkap indeks untuk indikator kesehatan nelayan pada 3 kelas armada dapat dilihat pada Tabel 5.43. Tabel 5.44. Indikator Kesehatan pada Indeks Modal Manusia (Indeks Human Capital) Nelayan di Lokasi Penelitian Panelkanas Tahun 2016 Ukuran Kelas Kapal
Frekuensi Sakit dalam Setahun
Sakit Berat Sakit Ringan >12 kali < 5 GT Sakit ringan 6-11 kali Sakit Ringan < 5 kali Total Sakit Berat Sakit Ringan >12 kali 5-10 GT Sakit ringan 6-11 kali Sakit Ringan < 5 kali Total Sakit Berat Sakit Ringan >12 kali 11-30 GT Sakit ringan 6-11 kali Sakit Ringan < 5 kali Total Sumber : Data Primer Diolah, Tahun 2016
Uraian Indeks Kesehatan Nelayan 0.19 0.23 0.48 2.14 3.05 0.16 0.11 0.61 2.31 3.20 0.18 0.11 0.58 2.31 3.17
Pengalaman usaha merupakan indikator ketiga yang digunakan dalam pengukuran Indeks Human Capital. Pengalaman usaha akan menentukan seberapa besar kemampuan nelayan dalam menjalankan usaha penangkapan serta menempa keterampilan nelayan untuk melakukan penangkapan ikan. Penghitungan Indeks Human Capital tiga kelas armada tangkap menunjukkan 170
bahwa pengalaman usaha nelayan pada kelas armada ukuran < 5 GT adalah yang paling tinggi dibandingkan dua kelas lainnya yaitu sebesar 2,91. Kondisi ini menunjukkan bahwa nelayan pada kelas armada <5 GT memiliki pengalaman dalam menjalankan usaha penangkapan ikan serta mampu bertahan dalam
usaha ini. Secara lengkap Indeks Human Capital untuk indikator
pengalaman usaha dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Tabel 5.45. Indikator Pengalaman Usaha pada Indeks Modal Manusia (Indeks Human Capital) Nelayan di Lokasi Penelitian Panelkanas Tahun 2016 Kelas Ukuran Kapal
Pengalaman Usaha (Tahun)
< 10 11-15 < 5 GT 16-20 > 20 Total < 10 11-15 5-10 GT 16-20 > 20 Total < 10 11-15 11-30 GT 16-20 > 20 Total Sumber : Data Primer Diolah, Tahun 2016
Indeks Pengalaman Usaha 0.45 0.32 0.57 1.57 2.91 0.64 0.31 0.55 1.23 2.72 0.54 0.29 0.70 1.28 2.82
Berdasarkan nilai indeks pada 4 indikator yang dipilih, diperoleh hasil rata-rata indeks seperti pada Tabel … Nelayan dengan ukuran armada kapal 11-30 GT memiliki rata-rata indeks Human Capital yang paling tinggi diantara kelas armada lainnya yaitu sebesar 2,5. Hal ini menunjukkan bahwa modal manusia dari sisi pendidikan, kesehatan dan pengalaman usaha untuk nelayan kelas 11-30 GT lebih baik disbanding 2 kelas lainnya.
171
Tabel 5.46. Indeks Human Capital Nelayan Pada Lokasi Panelkanas, Tahun 2016 Indeks pada Masing-masing Indikator Ukuran Armada Kapal
Pendidikan Nelayan
Pendidikan Anak Nelayan
Kesehatan Nelayan
1.64 1.80 1.97
3.05 3.20 3.17
< 5 GT 1.49 5-10 GT 1.94 11-30 GT 2.02 Sumber : Data Primer Diolah, Tahun 2016
Pengalaman Usaha 2.91 2.72 2.82
Ratarata Indeks 2.27 2.41 2.50
5.7.3 INDEKS SOSIAL CAPITAL Modal sosial ,meskipun bentuknya tidak jelasseperti layaknya uang, menjadi salah satu bagian penting yang harus ada bagi pembangunan manusia, ekonomi, politik dan sosial. Putnam (1993) mendefinisikan sebagai tampilan dari organisasi sosial, seperti trust, norma (resiprositas) dan jaringan yang menunjukkan efisiensi masyarakat degan memfasilitasi tindakan yang terkoordinasi.Menurut Putnam, modal sosial adalah kemampuan warga untuk megatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Modal sosial menekankan bukan pada potensi individu, melainkan potensi kelompok atau potensi komunitas dan pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok yang di dalamnya adlaah jaringan sosial, norma, nolai , trust yang lahir dari anggota kelompol dan menjadi norma kelompok. Modal sosial berupa shared values dan rules yang mengikat individu –individu dalam kelompok sehingga masyarakat bukan hanya sekumpulan individu saja. Modal sosial didapatkan atau diwariskan melalui proses belajar dari satu generasi ke generasi selanjutnya agar tetap menjadi nilai dan aturan yang dianut bersama (shared values and rules). Modal sosial yang berwujud norma dan jaringan keterikatan merupakan prakondisi bagi perkembangan ekonomi dengan alasan : 1. Adanya jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dpt menimbulkan rasa saling percaya (trust) 2. Trust memiliki implikasi positif dlm kehidupan bermasyarakat. Keterkaitan org2 yang memiliki rasa saling percaya (Mutual trust) memperkuat norma 2 keharudsan saling membantu 3. Berbagai kebebrjasulan dicapai melalui kerjasama dan jaringan ini mendorong keberlanjutan kerjasama
172
Mengikuti unsur modal sosial dari Schmeets dan Te Riele
Penilaian indeks modal sosial berdasarkan klasifikasi nilai indeks. Pengkelasan nilai indeks berdasrkan kelas nilai modal sosial seperti pada tabel di bawah ini Tabel 5.47 Klasifikasi Nilai Indeks Modal Sosial Kelas nilai modal Klasifikasi Nilai sosial Indeks >1-2 rendah 2 >2-3 sedang 3 >3-4 tinggi Sumber : Data Primer Diolah, 2016
No 1
Partisipasi merupakan variabel yang digunakan untuk melihat intensitas kontak sosial yang ada di tengah masyarakat. Didalamnya terdapat partisipasi sosial, partisipasi organisasi dan partisipasi politik. Variabel Partisipasi Sosial terbagi ke dalam unsur-unsur pertemuan dengan keluarga besar, interkasi dengan tetangga, kemungkinan meminjam modal usaha dari anggota keluarga luas (extended family) dan meminjamkan modal usaha kepada keluarga luas (extended family). Nilai indeks Pertemuan keluarga besar yang tertinggi terlihat pada armada kecil yaitu armada < 5 GT dengan nilai Indeks 3,03. Demikian pula untuk indeks Interaksi dengan tetangga yang ditunjukkan dengan nilau indeks 3,75. Hal ini dikarenakan usaha penangkapan pada armada <5 GT umumnya one day fishing sehingga memiliki waktu dan kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan keluarga dan tetangga. Meskipun demikian, kelas armada lainnya, yaitu 5-10 GT dan 11-30 GT memiliki nilai indeks yang juga masuk dalam kategori tinggi.
173
Indeks partisipasi sosial dalam penelitian ini juga melihat kemungkinan kelompok untuk meminjam uang kepada kerabat luas dan meminjamkan uang kepada kerabat luas untuk tujuan menambahkan modal usaha. Pada bagian ini, kesemua armada penangkapan menunjukkan indeks yang rendah yaitu < 2. Nilai indeks partisipasi sosial secara keseluruhan masuk dalam kategori sedang, yaitu untuk kelas armada < 5 GT dengan nilai 2,45. Kelas armada kedua, armada 5-10 GTdengan nilai 2,23 dan untuk kelas armada ketiga, 11-30 GT dengan nilai 2,28. Tabel 5.48. Nilai Indeks Partisipasi Sosial No 1
2
3
4
Jenis Partisipasi Sosial Pertemuan dengan keluarga Besar Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering Berinteraksi tetangga Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering
Bobot
Partisipasi
5-10 GT Nilai Akhir
Frek
Bobot
3,03 0,08 0,26 0,12 0,51
1 2 3 4
0,08 0,52 0,37 2,05
1 2 3 4
0,02 0,04 0,27 3,41
0,07 0,50 0,18 0,24
1 2 3 4
1 2 3 4
0,61 0,56 0,31 0,04
0,01 0,21 0,21 0,56
1 2 3 4
1 2 3 4
0,60 0,59 0,31 0,02 2,45
Bobot
0,07 1,01 0,55 0,96
0,01 0,42 0,64 2,25
0,62 0,3 0,05 0,03
1 2 3 4
0,62 0,60 0,15 0,12
0,07 0,40 0,18 0,35
1 2 3 4
1 2 3 4
0,59 0,66 0,18 0,09 2,23
0,07 0,81 0,53 1,38 3,46
0,03 0,14 0,16 0,66
1 2 3 4
0,03 0,28 0,49 2,66 1,39
0,71 0,21 0,06 0,02
1 2 3 4
1,51 0,59 0,33 0,06 0,02
Nilai Akhir 2,79
1,49
1,52 0,60 0,29 0,10 0,01
Frek
3,32
1,51 0,61 0,28 0,10 0,01
11-30 GT Nilai Akhir 2,59
3,74 0,02 0,02 0,09 0,85
Meminjamkan Uang untuk Modal Usaha Kepada Anggota Keluarga Luas (Extended Family) Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering Indeks
Frek
dengan
Meminjam Modal dari Anggota Keluarga Luas Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering
Nilai Sosial
< 5 GT
0,71 0,41 0,18 0,09
1,45 0,65 0,26 0,08 0,02
1 2 3 4
0,65 0,51 0,23 0,06 2,28
Sumber : Data Primer Diolah, 2016
174
Variabel selanjutnya adalah Partisipasi Organisasi. Dalam variabel ini, peneliti ingin melihat sejauh mana keterlibatan nelayan dalam kegiatan yang ada dalam kelompok masyarakat, keaktifan nelayan dalam organisasi dan pengaruh organisasi dalam usaha penangkapan. Tujuannya adalah untuk melihat kemungkinan pengembangan organisasi yang ada dalam komunitas nelayan untuk pengembangan usaha penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan tingkat partisipasi nelayan yang rendah di ketiga kelas armada. Nelayan di lokasi penelitian memilih untuk tidak ikut berpartisipasi dalam organisasi kepemudaan, kenelayanan dan politik. Nilai Indeks partisipasi organisasi untuk armada < 5 GT adalah 1,34 , untuk kelas armada 5-10 GT sebesar 1,43 serta untuk kelas armada 11-30 GT adalah 1,29. Hasil ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan yang akan menggunakan organisasi untuk pengembangan usaha nelayan. Tabel 5.49. Nilai Indeks Partisipasi Organisasi
No
1
2
3
Jenis Partisipasi Organisasi Karang Taruna/ Kepemudaan
< 5 GT Frek
Bobot
5-10 GT Nilai Akhir
Frek
Bobot
11-30 GT Nilai Akhir
Frek
Bobot
1.0902
Nilai Akhir
1.0451
1.198
Ya
0,07
1
Tidak
0,93
4
Organisasi Kenelayanan
0,066
0,03
1
0,03
0,02
1
0,02
3,736
0,97
4
3,88
0,98
4
3,94 1.7727 0,26
1,741
Ya
0,25
1
Tidak Organisasi Politik Ya
0,75
4
0,247 3,013
2.1818 0,39
1
0,39
0,26
1
0,61
4
2,42
0,74
4
2,97
1.076
1.0229
1
0,025
0,01
1
0,01
0,02
1
1.0677 0,02
4 Tidak 0,97 Nilai Indeks Partisipasi organisasi
3,898
0,99
4
3,97
0,98
4
3,91
0,03
1.34
1.43
1.29
Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Variabel ketiga adalah partisipasi politik. Pada bagian ini peneliti ingin melihat keaktifan nelayan dalam partai politik, dalam kepengurusan partai politik hingga keteribatan yang dapat memberikan kemudahan dalam menjalankan usaha penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan indeks partisipasi
175
politik yang rendah yaitu untuk kelas armada < 5 GT sebesar 1,06 , armada 5-10 GT sebesar 1,01 dan untuk armada 10-30 GT sebesar 1,07. Rendahnya nilai indeks partisipasi politik nelayan di lokasi penelitian tidak mengindikasikan kehidupan nelayan yang apolitis. Nelayan tetap ikut serta dalam kehidupan politik seperti dalam pesta politik yaitu Pemilu dan Pilkada. Tabel 5.50. Nilai Indeks Partisipasi Politik
No 1
< 5 GT
5-10 GT
11-30 GT
Jenis Partisipasi Politik
Frek
Bobot
Nilai Akhir
Frek
Bobot
Nilai Akhir
Frek
Bobot
Nilai Akhir
Aktif dalam Salah satu partai Politik Tidak aktif
0,97
1
0,968
0,99
1
0,985
0,96
1
0,962
Kurang aktif
0,01
2
0,019
0,01
2
0,03
0,01
2
0,015
3
0,047
0,00
3
0
0,03
3
0,092
4
0,025
0,00
4
0
0,00
4
0
Aktif
0,02 Sangat aktif 0,01 Nilai Indeks Partisipasi Politik
1.06
1.01
1.07
Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Variabel selanjutnya adalah trust atau rasa percaya. Variabel ini dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu rasa percaya antar anggota masyarakat dan rasa percaya terhadap organisasi yang ada di dalam komunitas. Rasa percaya terhadap masayarakat akan melihat pada dua unsur yaitu pilihan tempat meminjam uang untuk kebutuhan selain usaha antara lain pendidikan atau sakit atau kebutuhan sosial lainnya. Nelayan memilih untuk tidak meminjam uang kepada pemilik kapal, pemilik modal operasional maupun bakul untuk kebutuhan diluar usaha penangkapan. Nelayan di lokasi penelitian sebagian besar juga tidak pernah mendapatkan bantuan diluar usaha penangkapan seperti untuk pendidikan, sakit maupun kebutuhan sosial lainnya. Hasilnya nilai indeks rasa percaya antar masyarakat nelayan di lokasi menunjukkan nilai indeks yang rendah, yaitu kurang dari 2. Ketida armada menunjukkan nilai indek yang sama yaitu sebesar 1,1 sehingga masuk dalam kategori rendah.
176
Tabel 5.51. Nilai Indeks Rasa Percaya antar Masyarakat No
1
2
Rasa Percaya antar Masyarakat Tempat Meminjam Untuk Pendidikan/sakit/sosi al Pemilik Kapal Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering Pemilik Modal Operasional Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering Bakul / Pedagang / Pengepul Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering Bantuan Untuk Pendidikan/sakit/sosi al lainnya Pemilik Kapal Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering Pemilik Modal Operasional Tidak Pernah Jarang Sering Sangat Sering Bakul / Pedagang / Pengepul Tidak Pernah Jarang Sering
< 5 GT Frek
Bobot
5-10 GT Nilai Akhir
Frek
Bobot
11-30 GT Nilai Akhir
Frek
Bobot
Nilai Akhir
0.9544 0.0358 0.0065 0.0033
1 2 3 4
1.13 1.06 0.95 0.07 0.02 0.01
0.9678 0.0257 0.0032 0.0032
1 2 3 4
1.04 0.97 0.05 0.01 0.01
0.9 0.1 0 0
1 2 3 4
1.10 0.90 0.20 0.00 0.00
0.952 0.04 0 0.008
1 2 3 4
1.06 0.95 0.08 0.00 0.03
0.8165 0.1139 0.0443 0.0253
1 2 3 4
1.28 0.82 0.23 0.13 0.10
0.9 0.08 0.02 0
1 2 3 4
1.12 0.90 0.17 0.05 0.00
0.898 0.078 0.023 0
1 2 3 4
1.13 0.90 0.16 0.07 0.00
0.82 0.17 0.02 0
1 2 3 4
1.14 1.20 0.82 0.33 0.05 0.00
0.846 0.114 0.033 0.008
1 2 3 4
1.13 1.20 0.85 0.23 0.10 0.03
1.08
1.10
1.10
0.9547 0.0421 0 0.0032
1 2 3 4
1.05 0.95 0.08 0.00 0.01
0.86 0.13 0.01 0
1 2 3 4
1.15 0.86 0.26 0.02 0.00
0.871 0.105 0.024 0
1 2 3 4
1.15 0.87 0.21 0.07 0.00
0.9709 0.0291 0 0
1 2 3 4
1.03 0.97 0.06 0.00 0.00
0.95 0.05 0 0
1 2 3 4
1.05 0.95 0.11 0.00 0.00
0.96 0.04 0 0
1 2 3 4
1.04 0.96 0.08 0.00 0.00
0.873 0.1079 0.0159
1 2 3
1.15 0.87 0.22 0.05
0.91 0.08 0.01
1 2 3
1.10 0.91 0.17 0.02
0.913 0.071 0.016
1 2 3
1.10 0.91 0.14 0.05
177
Sangat Sering 0.0032 4 Nilai Indeks Rasa Percaya antar Masyarakat Sumber : Data Primer Diolah, 2016
0.01
0
4
1.10
0.00
0
4
1.12
0.00 1.11
Unsur selanjutnya dilakukan penghitungan terhadap rasa percaya nelayan kepada organisasi Sosial yang ada. Organisasi tersebut antara lain HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Syahbandar, Polairud dan Lembaga adat. Keempat organisasi yang dipilih dianggap memiliki pengaruh dalam kegiatan usaha penangkapan. Tujuannya adalah mengitung kepercayaan nelayan terhadap kinerja organisasi tersebut dalam mmendukung usaha penangkapan. Indeks tingkat kepercayaan nelayan terhadap masing-masing organisasi termasuk pada tingkat sedang, dengan kisaran nilai 2 – 3 dengan toal indeks kepercayaan terhadap organisasi 2,5 untuk armada< 5 Gt dan 11-30 GT sementara 2,6 untuk armada 5-10 GT. Tabel 5.56. Nilai Indeks Rasa Percaya terhadap Organisasi Sosial No
1
2
3
4
Rasa Percaya Thd Org Sosial Rasa percaya terhadap organisasi HNSI tidak sama sekali Kurang Percaya Percaya sangat Percaya Rasa percaya terhadap Syahbandar tidak sama sekali Kurang Percaya Percaya sangat Percaya Rasa percaya terhadap Polairud tidak sama sekali Kurang Percaya Percaya sangat Percaya Rasa percaya terhadap Lembaga adat tidak sama sekali Kurang Percaya Percaya sangat Percaya
< 5 GT Bobo t
Nilai Akhir
1 2 3 4
2.28 0.26 0.43 1.52 0.06
0.17 0.16 0.64 0.03
1 2 3 4
2.53 0.17 0.33 1.91 0.13
0.17 0.16 0.64 0.02
1 2 3 4
0.14 0.07 0.76 0.03
1 2 3 4
Frek
0.26 0.22 0.51 0.02
5-10 GT Bob Nilai Frek ot Akhir
1 2 3 4
2.67 0.11 0.31 2.04 0.21
0.06 0.10 0.80 0.04
1 2 3 4
2.83 0.06 0.19 2.40 0.18
2.52 0.17 0.33 1.93 0.09
0.07 0.13 0.77 0.03
1 2 3 4
2.68 0.14 0.14 2.28 0.11
0.32 0.07 0.60 0.01
1 2 3 4
0.11 0.16 0.68 0.05
11-30 GT Frek
Bobot
Nilai Akhir
1 2 3 4
2.25 0.33 0.24 1.55 0.13
0.13 0.06 0.75 0.06
1 2 3 4
2.74 0.13 0.12 2.24 0.24
2.76 0.07 0.27 2.31 0.12
0.16 0.09 0.72 0.02
1 2 3 4
2.61 0.16 0.18 2.17 0.09
2.29 0.32 0.14 1.80 0.03
0.30 0.05 0.60 0.05
1 2 3 4
2.40 0.30 0.11 1.80 0.19
0.33 0.12 0.52 0.03
178
No
Rasa Percaya Thd Org Sosial
Frek
< 5 GT Bobo t
Nilai Indeks Rasa Percaya Thd Org Sosial Sumber : Data Primer Diolah, 2016
Nilai Akhir
5-10 GT Bob Nilai Frek ot Akhir
2.50
11-30 GT Frek
Bobot
2.64
Nilai Akhir
2.50
Unsur kepercayaan selanjutnya adalah kepercayaan terhadap iklim politik negara yang mencakup kepercayaan terhadap pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat , dan juga lembaga legislatif (DPR dan DPRD). Pada bagian ini, peneliti ingin menghitung indeks kepercayaan nelayan terhadap kondisi politik negara. Sebagian besar nelayan berpendapat kondisi politik daerah secara khusus dan kondisi negara secara umum sangat mempengaruhi iklim usaha perangkapan ikan. Hal ini berdampak dukungan penuh nelayan terhadap pemerintah baik daerah mapupun pusat dengan cara ikut aktif dalam pemilihan umum dan pilkada memilih pemimpin yang dianggap mewakili aspirasi mereka sebagai nelayan. Dari Tabel di bwah ini, kita bisa melihat indek rasa percaya nelayan kepada pemerintah daerah dan pusat lebih tinggi daripada nilai indeks rasa percaya terhadap legislatif. Salah satu lokasi dimana nelayan selaku responden kami menyatakan sangat percaya terhadap pemerintah pusat dan daerah adalah Kota Sibolga. Nelayan di Kota Sibolga merasa kebijakan pemerintah pusat saat ini sangat berpihak kepada mereka, nelayan kecil, dengan dikeluarkannya peraturan pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang. Nilai indeks rasa perc aya politik nelayan di lokasi penelitian berada pada kategori sedang yaitu dengan nilai >2 – 3. Armada kelas < 5 GT memiliki nilai indeks 2,71 sementara kelas armada 5-10 GT memiliki nilai indeks 2,66 dan terakhir kelas armada ketiga 11-30 GT memiliki nilai indeks 2,68 Tabel 5.57. Nilai Indeks Rasa Percaya terhadap Politik No
Rasa Percaya Politik
1
Rasa percaya tidak sama sekali Kurang Percaya Percaya sangat Percaya Rasa percaya tidak sama sekali Kurang Percaya Percaya sangat Percaya Rasa percaya tidak sama sekali Kurang Percaya
2
3
Frek
< 5 GT Bobo
0.0247 0.1327 0.8086 0.034
1 2 3 4
0.0309 0.1019 0.8148 0.0525
1 2 3 4
0.1115 0.387
1 2
Nilai 2.85 0.02 0.27 2.43 0.14 2.89 0.03 0.20 2.44 0.21 2.40 0.11 0.77
Frek 0.07 0.15 0.76 0.02 0.09 0.09 0.75 0.07 0.19 0.19
5-10 GT Bob Nilai 2.74 1 0.07 2 0.30 3 2.29 4 0.09 2.80 1 0.09 2 0.18 3 2.26 4 0.27 2.46 1 0.19 2 0.39
Frek 0.05 0.18 0.72 0.03 0.06 0.12 0.78 0.03 0.16 0.21
11-30 GT Bobot Nilai 2.75 1 0.05 2 0.37 3 2.18 4 0.15 2.79 1 0.06 2 0.24 3 2.36 4 0.12 2.50 1 0.16 2 0.43
179
Percaya 0.4892 sangat Percaya 0.0124 Indeks Rasa Percaya Sumber : Data Primer Diolah, 2016
3 4
1.47 0.05 2.71
0.6 0.02
3 4
1.79 0.09 2.66
0.59 0.03
3 4
1.79 0.12 2,68
Variabel yang ketiga dalam modal sosial pada penelitian ini adalah Nilai dan Norma. Variabel ini dibagi lahgi kedalam dua unsur yaitu aturan yang mewajibkan setiap anggota masyarakat untuk ikut dalam kegiatan bergotong royong dan aturan lokal yang mewajibkan anggota masyarakat membantu orang lain yang sedang kesusahan. Pada bagian ini penelitian ingin melihat apakah ada atauran yang mengikat setiap anggota masyarakat, dalam hal ini nelayan, untuk membantu anggota masyarakat lainnya. Ini merupakan bagian penting jika membicarakan shared values and rules dalam modal sosial. Hasil penelitian menunukkan aturan yang ada terkait keharusan bekerjasama dan membantu orang lain berada pada kategori sedang yang ditunjukkan dengan nilai > 2-3 untuk ketigga jenis armada.
Tabel 5.58. Nilai Indeks Nilai No 1
Nilai dan Norma
Frek
Aturan lokalyang Ya 0.5093 Tidak 0.4907 2 Aturan lokal Ya 0.4099 Tidak 0.5901 Indeks nilai dan Sumber : Data Primer Diolah, 2016
< 5 GT Bobo 4 1 4 1
Nilai 2.53 2.04 0.49 2.23 1.64 0.59 2.38
Frek 0.6 0.4 0.61 0.39
5-10 GT Bob Nilai 2.80 4 2.40 1 0.40 2.84 4 2.45 1 0.39 2.82
Frek
11-30 GT Bobot
0.618 0.382
4 1
0.554 0.446
4 1
Nilai 2.85 2.47 0.38 2.66 2.22 0.45 2.76
Tabel Rekapitulasi Nilai indeks Modal sosial dari kegi variabel, yaitu Partisipasi, Trust atau rasa percaya dan Nilai adalah sebagaia berikut di bawah ini. Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa indeks partisipasi nelayan di lokasi penelitian termasuk dalam kategori rendah yaittu > 1-2. Indeks Trust atau rasa percaya nelayan berada pada kategori sedang yaitu > 2-3. Sementara indeks nilai nelayan di lokasi penelitian berada pada kategori sedang yaitu > 2 -3. Tabel 5.59. Indeks Variabel dalam Modal Sosial No
Variabel Partisipasi Nilai Indeks Partisipasi Sosial Nilai Indeks Partisipasi organisasi Nilai Indeks Partisipasi politik Trust Rasa percaya antar masy Rasa percaya terhadap organisasi Rasa percaya terhadap politik Nilai
< 5 GT Nilai Akhir 1.62 2.45 1.34 1.06 2.10 1.10 2.50 2.71
5-10 GT Nilai Akhir 1.56 2.23 1.43 1.01 2.14 1.12 2.64 2.66
11-30 GT Nilai Akhir 1.52 2.28 1.2 1.07 2.10 1.11 2.50 2.68
180
nilai dan norma Sumber : Data Primer Diolah, 2016
2.38
6
2.82
2.76
KESIMPULAN
6.1 Simpulan
•
Usia nelayan aktif terkonsentrasi pada usia 31-45 tahun dan 46-60 tahun. Nelayan sebagai pekerjaan utama baru ditekuni setelah kurang mendapatkan manfaat ekonomi dari bidang pekerjaan lainnya
•
Ketergantungan nelayan terhadap usaha penangkapan ikan masih sangat tinggi, kecil jumlah nelayan yang memiliki sumber pendapatan alternatif. Hal ini menyebabkan nelayan cukup rentan terhadap gangguan terhadap sumberdaya baik yang sifatnya alamiah seperti iklim dan cuaca buruk maupun perubahan lingkungan pesisir akibat aktifitas manusia
•
Lemahnya manajemen keuangan keluarga rumah tangga nelayan. Kepemilikan aset liquid dan produktif rumah tangga nelayan kecil, sementara aset non produktif seperti perlengkapan elektronik tinggi
•
Usaha nelayan sangat tergantung dari BBM yang berkisar 60-70 % dari biaya operasional. Perubahan kebijakan pada BBM akan sangat mempengaruhi keragaan usaha penangkapan ikan pada seluruh ukuran armada.
•
Secara umum usaha nelayan masih menguntungkan pada semua kelas armada. Namun perubahan yang signifikan dan memberikan manfaat yang maksimal baru akan terjadi secara finansial bila nelayan-nelayan beropreasi dengan kapal-kapal berukuran 11-30 GT. Namun demikian secara umum keragaan finansial nelayan pada seluruh ukuran armada masih dapat dikatakan cukup baik. 181
•
Kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah secara umum masih cukup tinggi meski kepercayaan kepada syahbandar dan polairud masih relatif rendah (kurang dari 50 %)
6.2 Implikasi Kebijakan
-
Perlunya proyeksi pertumbuhan jumlah nelayan yang dibutuhkan sehingga jumlah pertambahan nelayan dapat terkendali. Adanya keinginan generasi baru keluar dari usaha perikanan harus disertai dengan pembekalan yang sesuai sehingga mendapat kesempatan bekerja diluar sektor penangkapan ikan. Secara simultan juga perlu dilakukan pembinaan terhadap generasi baru nelayan mengenai penangkapan ikan yang efektif, efisien tetapi tetap berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan kegiatan pelatihan.
-
Perlunya program pendidikan manajemen keuangan keluarga nelayan. Perilaku boros keluarga nelayan membuat hasil yang diperoleh tidak memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan rumah tangga. Dengan dilakukannya pelatihan dan intervensi penguatan kelembagaan keuangan mikro diantara masyarakat nelayan diharapkan dapat mengubah pola konsumsi keluarga nelayan
-
Perlunya menjaga stabilitas harga BBM untuk menjamin kelancaran usaha nelayan. Melepas harga BBM ke mekanisme pasar akan membuat usaha penangkapan ikan rentan khususnya dari keragaan finansial usaha yang selanjutnya berdampak pada usaha nelayan
182
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2006. Indikator Kinerja Sektor Kelautan dan Perikanan. BBRSE. Jakarta. Chambers, R. and G. Conway. 1992 Sustainable Rural Livelihoods: Practical Concepts for the 21st Century. IDS Discussion Paper 296. Brighton: IDS. Cuddington, J.T. and Urzua, C.M. 1989. Trends and Cycles in the Net Barter Terms of Trade: A New Approach. The Economic Journal, 99 (June 1989): 426-442. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Irawan, B dkk. 2007. Proposal Operasional Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Islam, M.M., S. Sallu, K. Hubacek and J. Paavola. 2014. Vulnerability of fishery-based livelihoods to the impacts of climate variability and change: insights from coastal Bangladesh. Reg. Environment Change. This article is published with open access at Springerlink.com. P. 281-294. Kasryno, F. H. Nataatmadja, C. A. Rasahan. Y. Yisdja. 1986. Profil Pendapatan dan Konsumsi Pedesaan Jawa Timur, Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Mcleod. R. 2001. The impact of regulations and procedures on the livelihoods and asset base of the urban poor: a financial perspective. Paper presented at the International Workshop on Regulatory Guidelines for Urban Upgrading, Bourton-on-Dunsmore, May 17-18, 2001.
Najid, A. 2012. Penerapan Iptek Untuk Pengembangan Model Kawasan Industri Garam Rakyat. Bahan Presentasi disajikan dalam Workshop Sehari Riset Kelautan Dalam Mendukung Pembangunan Nasional Kelautan dan Perikanan , Jakarta 30 Januari 2012 . Hal 25
183
Pasandaran, E., P. Simatupang, T. Sudaryanto, A. Suryana, C.A. Rasahan, A. Djauhari. 1989. Prosiding Patanas Perkembangan Struktur Produksi, Ketenagakerjaan dan Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan, Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Putnam,R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. USA: Princenton University Press Saleh,S.E, 2014. Strategi penghidupan penduduk sekitar Danau Limboto Provinsi Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo. Laporan Akhir Penelitian Disertasi Doktor. 94 Halaman. Setiono Dedi NS, 2011. Ekonomi Pembangunan Wilayah : Teori dan Analisis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Soisal Ekonomi Petanian, Jurnal Agroekonomi, 11 (1): 37-50. Singer, H.W. 1984. Terms of Trade Controversy and The Evolution of Soft Financing: Easy Year in the UN: 1947-1951, In M. Meier and D. Seers (Eds), Pioneer in Development. New York, Oxford Univ. Press. Sustainable Livelihoods Support Office (DFID). 1999. Sustainable Livelihoods and Poverty Elimination. http://www.livelihoods.org/info/docs/dec99bbfg.htm. Tanggal akses: 19 Januari 2015. Syukur, M. Erwidodo dan Soentoro. 2000. Perspektif Historis Metodologi Penelitian PATANAS. In Rusastra et al. (eds), Prosiding ‘Perspektif Pembangunan Pertanian Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah’, hal 78-87. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian dan Kehutanan. 397 hal. Syahra,R. 2004. Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi dalam buku Dinamika Kekuatan Masyarakat Lokal Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Politik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
184