Gindi ׀Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum)
Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum) Gindi Cinintia Asmarantaka, M Ricky Ramadhian Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis.Reaksi kusta tipe II atau Erythema Nodusum Leprosum terjadi pada penderita tipe (Multi Basiler) MB dan merupakan reaksi humoral yang sebagai kumpulan nodul merah, maka disebut sebagai Erythema Nodusum Leprosum (ENL). Pasien laki-laki, usia 35 tahun, datang ke Rumah Sakit Provinsi dr. H. Abdoel Moeloek dengan keluhan muncul benjolan kemerahan yang muncul hampir di seluruh tubuh sejak 10 hari sebelum masuk Rumah Sakit (RS). Terdapat nodul eritem dan hiperpigmentasi, multipel, berukuran numuler, konfluen, menyebar generalisata, dominan pada wajah dan pars ekstensor ekstremitas, dilapisi skuama halus selapis berwarna putih. Dua bulan sebelum masuk RS, pasien berobat ke Puskesmas setempat dan didiagnosa dengan kusta tipe multi basiler sejak 2 bulan yang lalu dan mulai mengkonsumsi Multi Drug Therapy (MDT) rutin untuk penyakit kusta yang dideritanya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dan tampak sakit sedang, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 92x/menit, pernafasan 20x/menit, dan suhu badan axila 38,8˚C. Pasien dalam kasus ini diberikan terapi kortikosteroid dengan metylprednisolone injeksi intravena dengan dosis 62,5mg per hari yang di berikan setiap pagi.Pemberian kortikosteroid ini merujuk kepada guideline WHO untuk menangani ENL berat seperti tersebut diatas. Pada pasien juga diberikan terapi suportif berupa infus ringer laktat, keseimbangan cairan dievaluasi setiap 24 jam, parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, dan transfusi packed red cell untuk mengatasi anemia. Kata kunci: erythema nodusum leprosum,kusta, lepra, morbus hansen, reaksi kusta tipe 2 Abstract Leprosy is a chronic granulomatous disease caused by Mycobacterium leprae that attacks the peripheral nerves, then can attack the skin, mucosa, upper respiratory tract, reticuloendothelial system, eyes, muscles, bones and testes. Leprosy reaction type II or Erythema Nodusum Leprosum occur in patients with multibacillary leprosy and a humoral response manifested by red nodules, it is called as Erythema Nodusum Leprosum (ENL). A 35 years man, came to the Provincial Hospital dr. H. Abdoel Moeloek with reddish bumps that appear in almost all the body since 10 days before admission. There are erythematous nodules and hyperpigmentation, multiple, coin size, confluent, spread generalized, predominantly on the face and extensor part of limb, coated with a layer of fine white scales. Two months before admission, the patient went to the local health center and diagnosed with multibacillary leprosy since two months ago and began to consume Multi Drug Therapy (MDT) for leprosy. Physical examination found a fully concious and looked ill being state, blood pressure 130/80mmHg, pulse 92x/minute, respiratory 20x/minute, and axila body temperature 38,8˚C. Patients in this case given metylprednisolone corticosteroid therapy with intravenous injection at a dose of 62.5 mg per day given each morning. Corticosteroids refer to WHO guidelines for dealing with severe ENL as above. In patients also given supportive therapy in the form of infusion of Ringer's lactate, fluid balance is evaluated every 24 hours, paracetamol as an analgesic and antipyretic, and transfusion of packed red cells to treat anemia. Keywords: erythema nodusum leprosum, hansen’s disease, leprosy, type 2 lepra reactions Korespondensi: Gindi Cinintia
[email protected]
Asmarantika,
S.Ked,
Pendahuluan Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraftepi,selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang 1,2 dan testis. Gejala klinis pasien kusta sesuai dengan organ tubuh yang diserang. Gejalanya dibagi menjadi gejala kelainan saraf tepi, gejala pada kulit dan organ lain. Lesi pada kulit umumnya
alamat Jl. Singosari
no.
29,
HP 08127212322 e-mail
diawali dengan bercak putih (hipopigmentasi) bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita mengeluh rasa baal atau kesemutan pada bagian tertentu, serta kesukaran dalam menggerakkan anggota tubuh yang dapat berlanjut menjadi kekakuan sendi. Rambut alis pun dapat rontok dan 3,4,5 terjadi alopesia. Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 69
Gindi ׀Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum)
imun seluler atau respon imun humoral), dengan akibat yang merugikan penderita. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah pengobatan dengan obat kusta.Reaksi kusta dibagi menjadi 2 yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi tipe II merupakan reaksi humoral, yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan adanya komplikasi pada organ 2,3,4 tubuh lainnya. Kasus Pasien laki-laki, usia 35 tahun, datang ke Rumah Sakit Provinsi dr. H. Abdoel Moeloek dengan keluhan muncul benjolan kemerahan yang muncul hampir di seluruh tubuh sejak 10 hari sebelum masuk RS. Benjolan kemerahan, padat dan berisi air pada hampir seluruh tubuh, terasa gatal dan nyeri.Benjolan tersebut pertama kali muncul pada wajah berupa benjolan yang terasa gatal dan nyeri, serta benjolan yang berisi air dan mudah pecah.Setelah beberapa lama, keluhan dirasakan menyebar, khususnya pada wajah, tangan dan bagian kaki.Selain keluhan tersebut, pasien juga mengeluh badannya terasa panas, lemas, dan nyeri pada persendian anggota gerak. Awalnya mulanya, terdapat bercak putih pada tangan yang terasa baal.Kemudian kedua tangan pasien dikeluhkan terdapat perubahan bentuk menjadi lebih kecil dan terasa baal sejak 1 tahun yang lalu dan juga tangan menjadi sulit digerakkan. Dua bulan sebelum masuk RS, pasien berobat ke Puskesmas setempat dan didiagnosa dengan kusta tipe multibasiler sejak 2 bulan yang lalu
dan mulai mengkonsumsi Multi Drug Therapy (MDT) rutin untuk penyakit kusta yang dideritanya. Hingga saat pasien datang ke RS, pengobatan sudah berlangsung selama ± 2 bulan.Di lingkungan pasien tinggal dan keluarga tidak ada yang pernah mengalami hal serupa atau penyakit kulit yang serupa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dan tampak sakit sedang, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 92x/menit, pernafasan 20x/menit, dan suhu badan axila 38,8˚C. Pemeriksaan paru menunjukkan gerak nafas simetris, ekspansi dada baik, suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, dan tidak ditemukan suara nafas rhonki maupun mengi. Pemeriksaan luar jantung tidak menunjukkan adanya kelainan, bunyi jantung I-II normal, tanpa murmur dan gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang datar, bising usus normal, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba besar dan tidak ada nyeri tekan.Pada pemeriksaan ekstremitas ditemukan atrofi otot-otot intrinsik pada tangan kanan dan kiri.Pada pemeriksaan saraf tepi ditemukan pembesaran nervus ulnaris kanan dan kiri. Status dermatologis pada pasien ini dideskripsikan dengan lesi generalisata, berupa nodul eritem dan hiperpigmentasi, multipel, berukuran numuler, konfluen, menyebar generalisata, dominan pada wajah dan pars ekstensor ekstremitas, dilapisi skuama halus selapis berwarna putih. Terdapat pula ulkus dangkal multipel diskret, sebagian berbentuk bula tidak tegang, berisi cairan bening.
Gambar 1. Nodul Eritem dan Hiperpigmentasi yang Muncul pada Wajah Pasien
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 70
Gindi ׀Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum)
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan hasil hemoglobin 5,8 gr/dL, leukosit 13.100/uL, SGOT 90 u/l, SGPT 28 u/l, ureum 71 mg/dl dan kreatinin 0,9 mg/dl. Pembahasan Pasien didiagnosa dengan penyakit kusta tipe multibasiler on therapy dengan reaksi kusta tipe 2 (Erythema NodosumLeprosum) dan anemia. Diagnosis iniditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya terdapat pada pasien, sudah cukup untuk menegakkan diagnosis dari penyakit kusta. Tiga tanda kardinal tersebut, yaitu lesi kulit yang anestesi, penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. lepra sebagai 2,4 bakteriologis positif. Pada kasus ini, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang pada pasien ditemukan dua dari ketiga tanda kardinal tersebut, yaitu lesi kulit yang anestesi dan penebalan syaraf perifer. Gejala kerusakan saraf pada N. ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking
dan jari manis, dan atrofi hiphotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis 2,4,6 medial. Pada pasien ditemukan atrofi pada hipothenar dan otot-otot interoseus tangan yang diakibatkan dari kerusakan nervus ulnaris (N. ulnaris). Deformitas ini merupakan salah satu deformitas yang paling sering 10,11 ditemukan pada kasus kusta. Hal ini juga menjadi salah satu tanda bahwa terjadi kerusakan pada N. ulnaris dan menjadi salah satu penunjang diagnosis kusta. Reaksi kusta adalah gambaran dari episode akut hipersensitivitas terhadap M.leprae yang menyebabkan gangguan dalamkeseimbangan sistem imunologi.Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon imun seluler atau respon imun humoral), dengan akibat yang merugikan penderita.Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah pengobatan dengan obat kusta.Reaksi kusta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe 6
II. Pada Tabel 1 disajikan perbedaan antara reaksi kusta tipe I dan tipe II.
Tabel 1. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe I dan Tipe II Tipe I Tipe II Hipersensitivitas Type IV (Cell mediated Hipersensitifitas Tipe III Delayed Hypersensitivity) (Reaksi Antigen-Antibodi atau ImmuneComplex) Peradangan pada kulit Lesi kulit yang tiba-tiba memerah, Merah, nyeri, ,umcul nodul membengkak, hangat, nyeri namun pada kutaneus/subkutaneus. Biasanya bagian kulit lainnya normal terjadi pada wajah dan sisi ekstensor lengan dan tungkai Keterlibatan Syaraf Neuritis dengan hilangnya fungsi syaraf Keterlibatan syaraf mungkin (hilangnya sensasi dan kelemahan otot) dapat terjadi dan terjadi dengan tiba-tiba Kondisi Umum Baik, dengan demam ringan atau tidak Buruk, dengan demam menetap dan demam sama sekali malaise Keterli-batan Mata Kelemahan otot kelopak mata Penyakit mata dapat terjadi menyebabkan tidak sempurnanya (iritis, iridosiklitis), ditemukan penutupan mata nodul lepromatosa Organ/ Jaringan lain Tidak terlibat Dapat terlibat Gejala Tipe Reaksi
Reaksi kusta tipe II atau ENL terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral karena tingginya respons imun humoral pada penderita BorderlineLepromatous (BL) dan Lepromatous Leprosy (LL), dimana tubuh membentuk antibodi karena salah satu protein M.leprae tersebut
bersifat antigenik. Diperkirakan 50% -75% pasien kusta tipe LL dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL. Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi 2,4,8,9 DrugTherapy (MDT). Banyaknya antibodi yang
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 71
Gindi ׀Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum)
terbentuk disebabkan oleh banyaknya antigen (protein kuman). Antigen yang ada akan bereaksi dengan antibodi dan akan mengaktifkan sistem komplemen membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon inflamasi dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Oleh karena reaksi yang terjadi (pada kulit) nampak sebagai kumpulan nodul merah, maka disebut sebagai ENL dengan konsistensi lunak dan
nyeri. Kompleks imun tersebut umumnya terjadi ekstravaskuler, juga beredar dalam sirkulasi darah sehingga dapat mengendap ke berbagai organ, terutama pada lokasi dimana M. leprae berada dalam konsistensi tinggi yaitu pada kulit, saraf, limfonodus, dan testis.Umumnya menghilang dalam 10 hari atau lebih, dan bekasnya kadang menimbulkan hiperpigmentasi. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu 6,7,8 atau lebih.
Gambar 2. Atrofi Otot-Otot Tangan Akibat Kerusakan N. Ulnaris
Manifestasi ENL berupa nodul kemerahan, nyeri dan dapat berkembang dalam beberapa jam atau beberapa hari.Kadang-kadang lesi membaik dan membentuk plak.Ukuran lesi bervariasi tetapi biasanya kecil dan jika multipel distribusi lesi cenderung bilateral dan simetris.Lesi ENL kadang-kadang lebih mudah dipalpasi, lesi berbentuk kubah dengan batas yang jelas, lunak pada perabaan, mengkilat terletak superfisial dan dapat meluas ke dermis yang lebih dalam atau sampai lemak subkutan.Lesi ENL terasa panas dan pada penekanan terlihat pucat. Lokalisasi lesi seringkali pada sepanjang permukaan ekstensor lengan dan tungkai, punggung, wajah, tetapi dapat terjadi dimana 2,4 saja. Jenis ENL dibagi menjadi beberapa derajat berdasarkan keparahan, durasi, dan keterlibatan organ. ENL ringan dideskripsikan dengan munculnya beberapa nodul
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 72
kemerahan pada kulit, demam yang tidak terlalu tinggi, dan malaise. Hal ini bisa diterapi cukup dengan obat golongan analgesikantipiretik, seperti aspirin atau 12-14 asetaminofen. Pada ENL berat biasanya disertai demam tinggi, nodul kemerahan dan neuritis, disertai lesi ulserasi pustular, kejadian yang rekuren dan adanya gangguan pada organ lain (mata, testis, kelenjar getah bening dan sendi). Jika memungkinkan, kasus ENL berat harus segera ditangani di rumah sakit atau fasilitas rawat inap untuk mendapatkan 15,20 terapi lanjut. Pasien dalam presentasi kasus ini mengalami demam tinggi, malaise, dan nyeri pada sendi. Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan lesi generalisata, berupa nodul eritem dan hiperpigmentasi, multipel, berukuran numuler, konfluen, menyebar generalisata, dominan pada wajah dan pars ekstensor ekstremitas, dilapisi skuama halus selapis berwarna putih. Penemuan ini menunjukkan bahwa pasien mengalami tanda
Gindi ׀Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum)
dan gejala reaksi kusta tipe II atau ENL 15,17,20 berat. Perawatan yang dilakukan di rumah sakit merupakan keputusan yang tepat karena memungkinkan pasien untuk mendapatkan perhatian dan perawatan yang memadai. Terapi pada ENL berat terdiri dari beberapa pilihan.Pertama, pengobatan dengan kortikosteroid.Pengobatan dengan prednisolon merupakan terapi pilihan untuk ENL berat.Pemberian prednisolon biasanya dimulai dengan dosis 30 mg hingga 60 mg per hari, dan ENL biasanya terkendali dalam waktu 24 hingga 72 jam. Dosis diturunkan 10 mg setiap minggunya hingga mencapai dosis 20 mg, lalu diturunkan 5 mg setiap minggu setelahnya. Sebelum memberhentikan pemberian kortiko-steroid secara total, dosis rumatan 5-10 mg per hari harus dipertahankan dalam beberapa hari hingga minggu untuk menghindari rekurensi ENL. Resiko efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang juga tidak boleh lupakan. Masalah yang mungkin timbul diantaranya adalah ulkus peptikum, diabetes, gangguan haid, osteoporosis, depresi, dan 12,13 masalah emosional. Kedua, pengobatan dengan kombinasi klofazimine dan kortikosteroid.Klofazimine merupakan obat yang kurang poten dari kortikosteroid dan seringkali di berikan 4 hingga 6 minggu untuk mendapatkan efek terapinya.Maka dari itu, klofazimine hanya digunakan untuk obat tambahan, bukan sebagai obat utama pada ENL berat. Awalnya terapi diberikan dengan kombinasi prednisolone dan klofazimine sebanyak 300 mg dalam 3 dosis terbagi per hari, kemudian diturunkan menjadi 100 mg per hari dan dipertahankan selama 3 sampai 6 bulan. Reaksi ENL biasanya akan mulai terkendali setelah 2 hingga 4 bulan, kemudian prednisolon dapat dikurangi hingga diberhentikan. Masalah utama dalam pemberian dosis tinggi klofazimine adalah efek samping gastrointestinal, seperti kram perut dan diare. Maka dari itu pemberian klofazimine harus segera dikurangi hingga dosis 12,13 yang mampu ditoleransi oleh pasien. Ketiga, pengobatan dengan thalidomide. Thalidomide juga merupakan salah satu pengobatan efektif untuk ENL. Obat ini memiliki efek samping yang lebih sedikit namun memiliki kekurangan yang serius yaitu
efek teratogen. Untuk pasien yang tidak respon terhadap kedua terapi sebelumnya, dianjurkan pemberian thalidomide. Terapi dimulai dengan dosis 200 mg, dua kali sehari, atau 100 mg yang diminum 4 kali sehari. ENL biasanya terkendali dalam waktu 72 jam.Dosis dapat diturunkan secara berkala, dan terkadang bagi beberapa kasus ENL kronis dibutuhkan dosis rumatan 50-100 mg perhari.Pemberian thalidomide harus mendapatkan pengawasan karena memiliki efek teratogen.Wanita premenopause harus menjalani pemeriksaan tes kehamilan terlebih dahulu sebelum mengkonsumsi obat. Setelah tes kehamilan dinyatakan negatif maka terapi 12,14 dapat diberikan. Pasien dalam kasus ini diberikan terapi kortikosteroid dengan metylprednisolone injeksi intravena dengan dosis 62,5 mg per hari yang di berikan setiap pagi. Pemberian kortikosteroid ini merujuk kepada pedoman dari World Health Organization (WHO) untuk menangani ENL berat seperti yang telah disebutkan sebelumnya.Menurut guideline, penggunaan kortikosteroid yang dianjurkan adalah prednisolon 30 mg sampai 60 mg per hari. Namun, pada pasien ini digunakan metilprednisolon sebanyak 62,5 mg per hari dengan pertimbangan keterbatasan obat. Metilprednisolon sebanyak 62,5 mg ekuivalen dengan prednisolon sebanyak 78 mg. Setelah reaksi ENL berkurang, dilakukan tappering off yang mengacu pada pedoman. Untuk mengantisipasi efek samping penggunaan kortikosteroid pada saluran pencernaan, diberikan pula omeprazol oral 20 mg sebanyak 2 kali sehari. Pada pasien juga diberikan terapi suportif berupa infus ringer laktat 30 tetes per menit, keseimbangan cairan dievaluasi setiap 24 jam, parasetamol tablet 3 x 500 mg/hari sebagai analgesik dan antipiretik, dan transfusi packed red cell 500 mL/hari selama 4 hari untuk mengatasi anemia. Anemia yang terjadi pada pasien dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah Dapsone Hypersensitivity Syndrome (DHS) dan anemia hemolitik mikroangiopati.DHS merupakan gejala yang ditimbulkan dari intoleransi konsumsi dapson. Gejala DHS umumnya berupa trias: demam, erupsi kulit, dan keterlibatan organ tubuh 6 (paru, hati, sistem saraf dan sebagainya), dapat juga disertai malaise, dermatitis eksfoliatif, ikterus
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 73
Gindi ׀Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum)
disertai nekrosis hati, limfadenopati, 21 methemoglobinemia, dan anemia. Anemia hemolitik mikroangiopati terjadi karena adanya lesi vaskuler yang luas saat reaksi ENL berat. Hal ini terjadi karena kompleks antigenantibodi yang tersebar di pembuluh darah akan menstimulasi rangkaian tahap reaksi peradangan yang ditandai dengan vasodilatasi, pembengkakan endotel, eksudasi, hingga nekrosis pada pembuluh 22 darah kapiler. Pemberian Multi Drug Treatment (MDT) pada pasien dengan ENL harus tetap 12,13 berlanjut. Pemberian MDT pada kusta multibasiler terdiri dari rifampicin 600 mg/bulan, klofazimine 300 mg/bulan, keduanya diminum hari pertama pengobatan. Dilanjutkan dengan pengobatan dengan dapsone 100 mg/hari dan 2,4,6 klofazimine 50 mg/hari. Pengobatan ini tetap dilanjutkan pada pasien hingga 1 tahun. Namun, pemberian dapson pada kasus ini merupakan kontraindikasi relatif mengingat pasien mengalami anemia dengan kadar hemoglobin 5.8 gr/dl. Maka dari itu, regimen dapsone dalam kasus ini diganti dengan 23 ofloxacin tablet 400 mg/hari. Ofloxacin memiliki aktivitas bakterisid untuk M.leprae dengan menghambat replikasi DNA dengan 24 menginaktivasi enzim DNA gyrase. Dengan terapi yang adekuat, diharapkan reaksi ENL dapat dikendalikan dalam waktu singkat. Biasanya reaksi ENL akan berkurang dan 25 menghilang dalam waktu 2 sampai 4 minggu. Simpulan Telah dilaporkan satu kasus kusta tipe multibasiler dengan reaksi kusta tipe 2 atau ENL dan anemia.Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien dalam kasus ini diberikan terapi kortikosteroid sebagai pilihan pengobatan.Setelah reaksi ENL berkurang, dilakukan tappering off yang mengacu pada pedomanWHO. Pada pasien juga diberikan terapi suportif berupa infus ringer laktat, keseimbangan cairan dievaluasi setiap 24 jam, parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, dan transfusi packed red cell untuk mengatasi anemia. Pemberian MDT pada pasien dengan ENL harus tetap berlanjut.Dengan terapi yang adekuat, diharapkan reaksi ENL dapat J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 74
dikendalikan dalam waktu singkat. Biasanya reaksi ENL akan berurang dan menghilang dalam waktu 2 sampai 4 minggu. Dalam kasus ini perlu diperhatikan bahwa pentingnya kemampuan diagnosis dan mengenali reaksi kusta tipe II atau ENL yang tanda dan gejalanya beragam.Penatalaksanaan untuk ENL berat sangat baik bila dilakukan di rumah sakit atau fasilitas rawat inap.Dosis dan durasi pemberian obat untuk mengurangi reaksi dapat disesuaikan oleh seorang dokter untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasien. Daftar Pustaka 1. Burns, T., Breathnach, S. Rook’s Textbook of Dermatology, Eight Edition, Volume 2. Wiley-Blackwell; 2010. hlm. 29.1-32.19. 2. Thomas, R, Robert, L. Leprosy. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition, Vol.2, Chapter 189; 2008. hlm. 1786-1796. 3. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua, Cetakan Pertama. EGC : Jakarta; 2005. 4. Wolff, K., Johnson, R. A. Fitzpatrick's color atlas and synopsis of clinical dermatology. New York: McGraw-Hill Medical; 2009. hlm. 156-7 5. Zulkifli. Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkannya [internet]. Medan: Zulkifli dan Asosiasi; 2012 [diakses tanggal 30 April 2015]. Tersedia dari :http://library.usu.ac.id/download/fkm/fk m-zulkifli2.pdf. 6. Kosasih, A., Wisnu, I. M., Daili, E. S., Menaldi, S. L. Kusta. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. hlm. 73-88. 7. Depkes RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVIII. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia ; 2006. 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Ditjen PPM & PL; 2012. hlm. 4-138. 9. Prawoto. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008. 10. Pandhi, D. Immune reconstitution inflammatory syndrome in an HIV
Gindi ׀Laki-laki 35 Tahun dengan Lepra Multi Basiler dan Reaksi Lepra Tipe II (Erythema Nodosum Leprosum)
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
seropositive leprosy patient. Lepr Rev. 2006; 77(1):76-80. Van Brakel, W. H., Saunderson, P., Shetty, V., Brandsma, J. W., Post, E., Jellema, R., McKnight, J. International workshop on neuropathology in leprosy--consensus report. Leprosy review. 2007; 78(4):416. Natasja HJ, Van Veen, Diana NJ, Lockwood, Wim H, Van Brakel, et al. Interventions for erythema nodosum leprosum. Lepr Rev. 2009; 80(1):355-372. World Health Organization. Chemotherapy of Leprosy. Geneva: WHO Study Group, WHO Technical Report Series 847, WHO; 1994. Walker, S.L., Waters, M.F., Lockwood, D.N.J., The role of thalidomide in the management of erythema nodosum leprosum. Lepr Rev. 2007; 78: 197-215. WHO Expert Committee on Leprosy. TRS 874. Geneva: World Health Organization; 1998. Yawalkar, S.J. Leprosy For Medical Practitioners And Paramedical Workers. Edisi ke-7. Basel: Novartis Foundation; 2002. Cook, G., Zumla, A. Manson's tropical diseases. Edisi ke-21. UK: Elsevier Health Sciences; 2002. World Health Organization. Guide to eliminate leprosy as a public health problem. Geneva: World Health Organization; 2000.
19. World Health Organization. The final push strategy to eliminate leprosy as a public health problem: questions and answers. Geneva: World Health Organization; 2003. 20. Welsh, O., Gomez, M., Mancias, C., Ibarra‐Leal, S., Millikan, L. E.A new therapeutic approach to type II leprosy reaction. Int J Dermatol. 1999; 38(12):931-933. 21. Gunawan, S.G., R. Setiabudy, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. 22. Freitas, T. C., Fleury, R. N. Hematologic profile of leprosy patients in reactional episode of erythema nodosum leprosum. Hansen Int. 1996; 21(1):59-66. 23. Pandhi, D. Immune reconstitution inflammatory syndrome in an HIV seropositive leprosy patient. Lepr Rev. 2006; 77:76-80. 24. Williams, D. L., Gillis, T. P. Drug-resistant leprosy: monitoring and current status. Lepr Rev. 2012; 83(3):269. 25. Verma, K. K., Srivastava, P., Minz, A., Verma, K. Role of azathioprine in preventing recurrences in a patient of recurrent erythema nodosum leprosum. Lepr Rev. 2006; 77(3):225.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 75