KUMPULAN PERATURAN MENTERI 2005 - 2016 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Versi 0.1
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.11/MEN/VI/2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
: a.
bahwa untuk mencegah dan menanggulangi pengaruh buruk terhadap kesehatan, ketertiban, keamanan dan produktivitas kerja akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan yang optimal;
b.
bahwa untuk keberhasilan upaya pencegahan dan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada huruf a diperlukan peran aktif pihak pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh;
c.
bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
: 1.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
4.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698);
Memperhatikan
5.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
6.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional;
7.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Lainnya;
8.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
9.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja;
10.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. 03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.
: 1.
2.
Rekomendasi Seminar dan Lokakarya Tripartit Nasional Program Bebas Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya di Tempat Kerja tanggal 26 Juni 2002; Rekomendasi ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matters (ASOD) di Manila Philipina tanggal 20 - 24 September 2004. MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA DI TEMPAT KERJA. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
2.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syarat pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
3.
Zat adiktif lainnya adalah zat yang berpengaruh psikoaktif di luar yang disebut narkotika dan psikotropika.
4.
Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya adalah penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di luar keperluan medis, tanpa pengawasan dokter dan merupakan perbuatan melanggar hukum.
5.
Peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana.
6.
Pencegahan dan penanggulangan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dan menanggulangi dampak negatif dari penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
7.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
8.
Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
9.
Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. Termasuk tempat kerja adalah semua ruangan, lapangan halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.
10. Perusahaan adalah : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 2 (1)
Pengusaha wajib melakukan upaya aktif pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja.
(2)
Upaya aktif pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. penetapan kebijakan; b. penyusunan dan pelaksanaan program.
(3)
Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, pihak ketiga atau ahli di bidang narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Pasal 3 Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja, pengusaha, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dapat berkonsultasi dengan instansi pemerintah yang terkait. Pasal 4 (1)
Proses penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, harus melalui konsultasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh.
(2)
Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan secara tertulis dan sekurang-kurangnya memuat : a. komitmen pengusaha dalam upaya pencegahan dan penanggulangan; b. komitmen pembentukan unit yang menangani program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja.
(3)
Unit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat merupakan unit tersendiri atau terintegrasi dengan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) atau Pelayanan Kesehatan Kerja.
(4)
Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat diskriminasi.
(1) harus diberlakukan tanpa
Pasal 5 (1)
Pelaksanaan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dilaksanakan dengan cara : a. mengkomunikasikan kebijakan dan program kepada semua pekerja/buruh; b. melaksanakan program penyuluhan, meningkatkan kesadaran pekerja/buruh;
pendidikan
dan
latihan
untuk
c. mengembangkan program bantuan konsultasi bagi pekerja/buruh; d. melaksanakan evaluasi kebijakan dan program secara berkala. (2)
Pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terintegrasi dalam program keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 6
(1)
Pengusaha dapat meminta pekerja/buruh yang diduga menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya untuk melakukan tes dengan biaya ditanggung oleh perusahaan.
(2)
Pelaksanaan tes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh sarana pelayanan kesehatan atau laboratorium yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Hasil tes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijaga kerahasiaannya sebagaimana yang berlaku bagi data rekam medis lainnya.
(4) Berdasarkan hasil tes sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dokter yang telah mendapatkan pelatihan di bidang narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dapat menetapkan apakah pekerja/buruh harus mengikuti perawatan dan atau rehabilitasi. Pasal 7 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pekerja/buruh yang membutuhkan perawatan dan atau rehabilitasi akibat penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. (2)
Pengusaha dapat menjatuhkan tindakan disiplin kepada pekerja/buruh dalam hal pekerja/buruh tidak bersedia untuk mengikuti program pencegahan, penanggulangan, perawatan dan atau rehabilitasi akibat penyalahgunaan narkotika, psikotropika atau zat adiktif lainnya. Pasal 8
(1) Pengusaha atau pekerja/buruh harus segera melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila ditemukan seseorang atau lebih memiliki atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di tempat kerja. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan juga kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota melalui mekanisme pelaporan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau Pelayanan Kesehatan Kerja. Pasal 9 Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Juni 2005 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. FAHMI IDRIS
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh yang mengalami kecelakaan di tempat kerja perlu dilakukan pertolongan pertama secara cepat dan tepat; b. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu menetapkan ketentuan mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan di tempat kerja; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Nomor 4 Tahun 1951); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 120 mengenai Hygiene Dalam Perniagaan dan Kantorkantor (Lembaran Negara Nomor 14 Tahun 1969); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1818); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4279); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
1
7. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P 2007; 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 01/MEN/I/2007 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); MEMUTUSKAN : Menetapkan
: PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1.
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan di tempat kerja selanjutnya disebut dengan P3K di tempat kerja, adalah upaya memberikan pertolongan pertama secara cepat dan tepat kepada pekerja/buruh dan/atau orang lain yang berada di tempat kerja, yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja.
2.
Petugas P3K di tempat kerja adalah pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pengurus/pengusaha dan diserahi tugas tambahan untuk melaksanakan P3K di tempat kerja.
3.
Fasilitas P3K di tempat kerja adalah semua peralatan, perlengkapan, dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan P3K di tempat kerja.
4.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5.
Tempat Kerja ialah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970.
6.
Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia;
7.
Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. Pasal 2
(1) Pengusaha wajib menyediakan petugas P3K dan fasilitas P3K di tempat kerja. (2) Pengurus wajib melaksanakan P3K di tempat kerja.
2
BAB II PETUGAS P3K DI TEMPAT KERJA Pasal 3 (1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memiliki lisensi dan buku kegiatan P3K dari Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan; b. sehat jasmani dan rohani; c. bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K; dan d. memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar di bidang P3K di tempat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat pelatihan. (3) Pemberian lisensi dan buku kegiatan P3K sebagaimana dimaksud pada ayat dikenakan biaya.
(1) tidak
(4) Pedoman tentang pelatihan dan pemberian lisensi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
Pasal 4 Petugas P3K dalam melaksanakan tugasnya dapat meninggalkan pekerjaan utamanya untuk memberikan pertolongan bagi pekerja/buruh dan/atau orang lain yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja.
Pasal 5 (1) Petugas P3K di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditentukan berdasarkan jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja, dengan rasio sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. (2) Pengurus wajib mengatur tersedianya Petugas P3K pada : a. tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja; b. tempat kerja di setiap lantai yang berbeda di gedung bertingkat sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja; c. tempat kerja dengan jadwal kerja shift sesuai jumlah pekerja/buruh dan potensi bahaya di tempat kerja.
Pasal 6 Petugas P3K di tempat kerja mempunyai tugas : a. melaksanakan tindakan P3K di tempat kerja; b. merawat fasilitas P3K di tempat kerja; c. mencatat setiap kegiatan P3K dalam buku kegiatan; dan d. melaporkan kegiatan P3K kepada pengurus.
3
Pasal 7 (1) Pengurus wajib memasang pemberitahuan tentang nama dan lokasi petugas P3K di tempat kerja pada tempat yang mudah terlihat. (2) Petugas P3K di tempat kerja dapat menggunakan tanda khusus yang mudah dikenal oleh pekerja/buruh yang membutuhkan pertolongan. BAB III FASILITAS P3K DI TEMPAT KERJA Pasal 8 (1) Fasilitas P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. ruang P3K; b. kotak P3K dan isi; c. alat evakuasi dan alat transportasi; dan d. fasilitas tambahan berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki potensi bahaya yang bersifat khusus. (2) Alat pelindung diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan peralatan yang disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja yang digunakan dalam keadaan darurat. (3) Peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa alat untuk pembasahan tubuh cepat (shower) dan pembilasan/pencucian mata. Pasal 9 (1) Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dalam hal : a. mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih; b. mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 100 orang dengan potensi bahaya tinggi. (2) Persyaratan ruang P3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. lokasi ruang P3K : 1. dekat dengan toilet/kamar mandi; 2. dekat jalan keluar; 3. mudah dijangkau dari area kerja; dan 4. dekat dengan tempat parkir kendaraan. b. mempunyai luas minimal cukup untuk menampung satu tempat tidur pasien dan masih terdapat ruang gerak bagi seorang petugas P3K serta penempatan fasilitas P3K lainnya; c. bersih dan terang, ventilasi baik, memiliki pintu dan jalan yang cukup lebar untuk memindahkan korban; d. diberi tanda dengan papan nama yang jelas dan mudah dilihat; e. sekurang-kurangnya dilengkapi dengan : 1. wastafel dengan air mengalir; 2. kertas tisue/lap; 3. usungan/tandu; 4. bidai/spalk; 5. kotak P3K dan isi; 6. tempat tidur dengan bantal dan selimut; 7. tempat untuk menyimpan alat-alat, seperti : tandu dan/atau kursi roda; 8. sabun dan sikat; 9. pakaian bersih untuk penolong; 10. tempat sampah; dan 11. kursi tunggu bila diperlukan.
4
Pasal 10 Kotak P3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibawa, berwarna dasar putih dengan lambang P3K berwarna hijau; b. isi kotak P3K sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini dan tidak boleh diisi bahan atau alat selain yang dibutuhkan untuk pelaksanaan P3K di tempat kerja; c. penempatan kotak P3K : 1. pada tempat yang mudah dilihat dan dijangkau, diberi tanda arah yang jelas, cukup cahaya serta mudah diangkat apabila akan digunakan; 2. disesuaikan dengan jumlah pekerja/buruh, jenis dan jumlah kotak P3K sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini; 3. dalam hal tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih masing-masing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah pekerja/buruh; 4. dalam hal tempat kerja pada lantai yang berbeda di gedung bertingkat, maka masingmasing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah pekerja/buruh.
Pasal 11 Alat evakuasi dan alat transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c meliputi: a. tandu atau alat lain untuk memindahkan korban ke tempat yang aman atau rujukan; dan b. mobil ambulance atau kendaraan yang dapat digunakan untuk pengangkutan korban.
BAB IV PENGAWASAN Pasal 12 Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Surat Ketetapan Kepala Djawatan Pengawasan Perburuhan Nomor 1/Bb3/P tanggal 1 Oktober 1956 tentang Peraturan Khusus Untuk Pertolongan Pada Kecelakaan (Peraturan Khusus AA), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
5
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.
6
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA
RASIO JUMLAH PETUGAS P3K DI TEMPAT KERJA DENGAN JUMLAH PEKERJA/BURUH BERDASARKAN KLASIFIKASI TEMPAT KERJA
Klasifikasi Tempat Kerja
Jumlah Pekerja/Buruh
Jumlah petugas P3K
25 - 150
1 orang
>150
1 orang untuk setiap 150 orang atau kurang
≤100
1 orang
>100
1 orang untuk setiap 100 orang atau kurang
Tempat kerja dengan potensi bahaya rendah
Tempat kerja dengan potensi bahaya tinggi
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.,M.Si.
7
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/ VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA
ISI KOTAK P3K
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
ISI Kasa steril terbungkus Perban (lebar 5 cm) Perban (lebar 10 cm) Plester (lebar 1,25 cm) Plester Cepat Kapas (25 gram) Kain segitiga/mittela Gunting Peniti Sarung tangan sekali pakai (pasangan) Masker Pinset Lampu senter Gelas untuk cuci mata Kantong plastik bersih Aquades (100 ml lar. Saline) Povidon Iodin (60 ml) Alkohol 70% Buku panduan P3K di tempat kerja Buku catatan Daftar isi kotak
KOTAK A (untuk 25 pekerja/buruh atau kurang) 20 2 2 2 10 1 2 1 12 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
KOTAK B (untuk 50 pekerja/buruh atau kurang) 40 4 4 4 15 2 4 1 12 3 4 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1
KOTAK C (untuk100 pekerja/buruh atau kurang) 40 6 6 6 20 3 6 1 12 4 6 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.,M.Si.
8
LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.15/MEN/VIII/2008 TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN DI TEMPAT KERJA
JUMLAH PEKERJA/BURUH, JENIS KOTAK P3K DAN JUMLAH KOTAK P3K
Jumlah Pekerja/Buruh
Jenis Kotak P3K
Kurang 26 pekerja/buruh 26 s.d 50 pekerja/buruh 51 s.d 100 pekerja/buruh
Setiap 100 pekerja/buruh
A B/A
C/B/A
C/B/A
Keterangan : 1. 1 kotak B setara dengan 2 kotak A. 2. 1 kotak C setara dengan 2 kotak B
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr.Ir. ERMAN SUPARNO, MBA.,M.Si
Jumlah Kotak P3K Tiap 1 (Satu) Unit Kerja 1 kotak A 1 kotak B atau, 2 kotak A 1 kotak C atau, 2 kotak B atau, 4 kotak A atau, 1 kotak B dan 2 kotak A 1 kotak C atau, 2 kotak B atau, 4 kotak A atau, 1 kotak B dan 2 kotak A
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
:
:
a.
bahwa penggunaan peralatan kerja, mesin dan bahan kimia berbahaya dalam proses produksi dapat menyebabkan tenaga kerja menderita kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
b.
bahwa untuk menetapkan kompensasi bagi tenaga kerja yang menderita karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu dilakukan diagnosis dan penilaian serta penetapan tingkat kecacatannya;
c.
bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran yang berpengaruh terhadap penilaian cacat akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, perlu dilakukan penyempurnaan;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang pedoman diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
1.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1951)
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
3.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
4.
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja;
5.
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
1
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja; 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja; 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja; MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
KESATU
:
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
KEDUA
:
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan sebagai acuan untuk menetapkan diagnosis dan penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja guna menghitung kompensasi yang menjadi hak tenaga kerja.
KETIGA
:
Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEEMPAT
:
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si
2
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008 TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA BIDANG PENYAKIT KULIT I. BATASAN Penyakit kulit akibat kerja, ialah setiap penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja yang berupa faktor risiko mekanik, fisik, kimia, biologik dan psikologik. Kelainan yang terjadi dapat berupa : - Dermatitis kontak - Dermatitis kontak foto - Acne - Infeksi kulit (bakteri, virus, jamur, infestasi parasit) - Neoplasi kulit - Kelainan pigmentasi kulit. II. DIAGNOSIS Setelah identifikasi dan assesment potensial hazards di tempat kerja, maka data pemeriksaan penderita dapat dievaluasi kemungkinannya berupa penyakit akibat kerja. A. Anamnesis. 1. Keluhan 2. Riwayat pekerjaan sekarang - sudah berapa lama bekerja di perusahaan ? - riwayat pekerjaan dalam perusahaan (pernah dibagian mana saja ?) 3. Riwayat pekerjaan sebelumnya. - perusahaan apa saja ? - berapa lama ? Dibandingkan catatan medik sebelum bekerja di perusahaan medical check up").
("pre-employment
4. Riwayat penyakit keluarga 5. Riwayat perjalanan penyakit - Waktu kejadian ? - Rasa gatal ? - Perbaikan selama cuti ? - Pengobatan yang pernah/telah didapat ? B. Pemeriksaaan Fisik 1. Inspeksi - Pemeriksaan seluruh badan termasuk lipatan kulit, misal lipat paha, celah antar jari. - Kondisi higiene umum - Lokasi kelainan
3
2. Palpasi 3. Pemeriksaaan dengan kaca pembesar C. Pemeriksaaan penunjang 1. Pemeriksaaan Laboratorium 1.1. Pemeriksaan hasil kerokan kulit dengan KOH 20% (pemeriksaan jamur). 1.2. Tes serologi untuk sifilis : - VDRL < 1/4 bukan sifilis, bukan pada pasien berisiko tinggi. - VDRL > 1/4 kemungkinan sifilis (perlu dirujuk ke spesialis kulit dan kelamin. 1.3. Kelainan kulit karena HIV : - Western Blot, atau - Elisa 3x dengan metoda berbeda. - Bagi yang tidak punya fasilitas Western Blot dapat dikirim sample darahnya ke laboratorium rujukan 2. Pemeriksaan dengan Lampu Wood : 2.1.
Untuk perubahan warna kulit berupa hipo atau hiper pigmentasi tanpa disertai radang.
2.2. Untuk pemeriksaan psoriasis versicolor (panu) 3. Histopatologi. Khususnya untuk neoplasma pada kulit. 4. Uji tempel. Ada 2 (dua) cara : 4.1. Uji tempel terbuka. Terutama untuk bahan yang bersifat iritan (biasanya bahan mudah menguap, bahan yang dicurigai sebagai iritan dioleskan dibelakang telinga dan dievaluasi 24 jam kemudian). 4.2. Uji tempel tertutup - Dilakukan baik dengan alergen standar ataupun bukan standar dengan pengenceran 1/1000 - 1/100. - Lokasi penempelan di punggung atau lengan atas bagian lateral atau punggung, alergen dioleskan pada unit uji tempel dan setelah 48 jam dibuka, setelah terbuka 15 menit kemudian dievaluasi. III. URAIAN PENILAIAN CACAT Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cacat bidang penyakit kulit sulit diperhitungkan terhadap penurunan kemampuan kerja dan tidak tercakup dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005.
4
BIDANG NEUROLOGI I.
BATASAN Penyakit akibat kerja bidang neurologi adalah penyakit yang mengenai sistem syaraf pusat dan perifer yang penyebabnya antara lain adalah trauma, gangguan vaskuler, infeksi, degenerasi, keganasan, gangguan metabolisme, dan intoksikasi yang bermanifestasi berupa keluhan-keluhan subjektif seperti nyeri, rasa berputar, kehilangan keseimbangan, penglihatan kabur/double, gangguan kognitif (atensi, bahasa, kalkulasi, memory) dan gangguan emosi. Dan keluhan objektif berupa gangguan fungsi sistem motorik, sistem sensorik, sistem autonom.
II.
DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis. 2. Pemeriksaan fisik: a. Umum b. Pemeriksaan Neurologi Pemeriksaan neurologis harus meliputi riwayat pekerjaan dan medis yang akurat mengenai fungsi saraf, hal-hal berikut perlu dievaluasi, status mental, saraf kranial, sistem motorik dan sensorik, refleks, koordinasi, gaya berjalan dan postur tubuh. Evaluasi sistem saraf otonom (refleks cahaya pupil dan fungsi kelenjar lakrimal, ludah, dan pencernaan, kencing dan seksual) harus dilakukan. Pemeriksaan refleks tendon dalam dan kekuatan otot di anjurkan diperiksa dan evaluasi dengan teliti. 3. Pemeriksaan Penunjang Neurologi : a. Pengukuran sensitivitas getaran Pengukuran sensitivitas getaran memberi informasi tentang informasi serabut saraf yang membawa sensasi dalam, dan dianggap sebagai sarana yang baik untuk menilai ganggguan sensorik. Uji ini termasuk pemeriksaan garpu tala (antara 128 - 256 Hz) pada suatu tonjolan tulang. Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menghitung sensitivitas vibrasi dengan getaran yang ditimbulkan secara elektromagnetik atau elektrik. b. Uji neurofisiologis Elektromiografi dapat membantu mendeteksi denervasi serat otot akibat degenerasi akson. Selain itu dapat pula mendemonstrasikan potensial llistrik pada otot yang sedang istirahat, menurunnya rekruitmen unit motorik saat kontraksi otot, dan variasi parameter unit motorik. Elektroneurografi memungkinkan pengukuran kecepatan konduksi impuls serabut motorik maupun sensorik. c. Elektroensefalografi Elektroensefalografi tidak dapat dianjurkan sebagai uji deteksi dini gangguan fungsional sistem saraf pusat. Demikian pula teknik-teknik baru seperti analisis frekuensi elektroensefalografi dan potensial yang dibangkitkan otak. d. Uji psikologis (neuro behavior). Para pekerja yang berisiko tinggi terpapar zat neurotoksik hendaknya menjalani pemeriksaan psikologis secara berkala untuk mencegah terjadinya kemunduran fungsi yang irreversible pada sistem saraf yang lebih tinggi. Kalau mungkin, hendaknya didapat suatu profil dasar sebelum paparan, guna rujukan untuk pemeriksaan selanjutnya. Uji profil dasar dan pengendalian lebih lanjut hendaknya meliputi :
5
Pengukuran dinamisme intelektual (mis., tes RavenPM38) uji daya ingat, meliputi komponen mekanis, visual dan logis (mis., uji daya ingat Wechsler) skrining kepribadian untuk melihat kemungkinan ciri-ciri kepribadian seperti neurotik waktu reaksi. Perhatian khusus hendaknya diberikan pada laporan subjektif tentang kegelisahan emosional dan mental. Perasaan-perasaan ini seringkali merupakan satu-satunya bukti dini dari gangguan fungsi saraf yang lebih tinggi. Bila gejala-gejala tersebut memberi kesan keterlibatan sistem saraf pusat yang lebih berat, pemeriksaan psikodiagnostik yang seksama hendaknya dilaksanakan untuk menggali integritas fungsi sistem saraf pusat termasuk : dinamisme mental dalam hubungannya dengan kapasitas intelektual budaya, daya ingat jangka pendek dan panjang, kemampuan menahan, menyimpan, mereproduksi informasi, kemampuan psikomotor, dan perubahan kepribadian yang mempengaruhi individu tersebut dan lingkungan sosial yang ada. Uji psikologis dianggap dengan indikator yang sensitif untuk gangguan mental dan emosional dini. Akan tetapi seringkali sulit membedakan gangguan psikogenik fungsional dari proses-proses kemunduran organik. Dalam hal ini, profil dasar individual tentu saja merupakan bantuan yang besar untuk diagnosis. Tetapi jika profil dasar tidak ada, hal-hal berikut hendaknya dipertimbangkan dalam diagnosis : gangguan fungsional bersifat kurang spesifik dibandingkan tanda-tanda proses kemunduran organik gangguan fungsional mempunyai pengaruh yang lebih besar pada kepribadian daripada fungsi mental gangguan fungsional berubah sesuai dengan waktu dan dapat pulih.
Dengan mempertimbangkan fasilitas yang terbatas untuk pemeriksaan psikologis yang seksama di banyak negara, maka sulit untuk menganjurkan selang waktu yang dapat diterapkan pada semua situasi. Akan tetapi, selang waktu yang pantas mungkin sekitar 2 tahun. Bilamana mungkin, subjek-subjek dengan gangguan kondisi emosional atau mental hendaknya tidak ditempatkan pada pekerjaan yang melibatkan paparan terhadap agen-agen neurotoksis. e. Pemeriksaan Radiologi dengan CT Scan dan MRI Pemeriksaan penunjang Lumbal punctie/cairan otak Elektro Fisiologi (EEG, EMG) Radiologi (foto kepala, CT Scan, MRI)
III.
URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT Penilaian cacat dilakukan sesuai dengan gangguan fungsi :
6
A. Penilaian cacat factor motorik menggunakan metode Manual Muscle Test (MMT) Nilai 0 1 2
Tingkat Cacat Menurut MMT Kelumpuhan sama dengan amputasi Ada gerak otot tanpa gerak sendi Dapat menggerakkan anggota badan tersebut pada seluruh lingkup gerak sendi tanpa factor gravitasi
Penilaian tingkat cacat 100% 80% 60%
3
Dapat menggerakkan anggota badan tersebut pada seluruh ―LGS‖ dengan faktor gravitasi Nilai 3+ melawan tahanan ringan Nilai 3+ melawan tahanan kuat/penuh
40%
4 5
20% 0%
B. Penilaian cacat pada sistem saraf otonom Ggn Fungsi Otonom Berkeringat Miksi/defekasi
Tak ada 0% 0%
Ggn Sebagian 50% 50%
Ggn Total 100% 100%
C. Penilaian cacat penurunan libido -
untuk yang belum punya anak 40% untuk yang sudah punya anak 20%
D. Syaraf Kranial -
-
N. I. lihat bidang penyakit mata N. VIII, lihat bidang penyakit THT N, IX - X, lihat bidang penyakit orthopaedi.
E. Penilaian tingkat disabilitas dan cacat perdarahan subarachnoid traumatika. Penilaian dilakukan setelah menjalani neurorehabilitasi selama 6 bulan berdasarkan Glasgow Outcome Scale (GOS) : 0 1 2 3
4
= death = vegetatif state (patients exhibits no obvious cortical functions) = severe disability (concious but disable. Patients depends upon others for daily support due to mental or physical disability or both) = moderate disability (disable but independent. Patient is independent as far as daily life is concerned. The disabilities found include. Varying degrees of dysphasia, hemiparesis, or ataxia, as well as intelectual and memory deficits and personal changes) = Good recovery (resumption of normal activities even though there may be minor neurological or psychological deficits)
GOS 1 Status vegetatif, nilai fungsi yang hilang diatas 75% GOS 2 Disabilitas berat, nilai fungsi yang hilang 51 - 75% GOS 3 Disabilitas sedang, nilai fungsi yang hilang diatas 25 - 50% GOS 4 Disabilitas ringan, nilai fungsi yang hilang 1 - 25%
F. Penilaian kecacatan tetap fisik trauma Medula Spinalis. Klasifikasi tingkat dan keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat 72 jam sampai 7 hari setelah trauma, kemudian penilaian kecacatan tetap fisik setelah dilakukan neurorehabilitasi 6 bulan.
7
Impairment scale :
Grade
Tipe
A
Komplit
B
Inkomplit
C
Inkomplit
D
Inkomplit
E
Normal
Gangguan medula spinalis ASIA/IMSOP Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5 Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen sakral S4-S5 Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik utama masih punya kekuatan<3 Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama punya kekuatan >3 Fungsi motorik dan sensorik normal
Persentasi fungsi yang hilang >75% >50 - 75%
>25 - 50%
1 - 25%
0%
G. Penilaian gangguan fungsi Ischialgia dan Brachialgia. Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan kemampuan daya kerja > 50 - 75% sesuai persentase santunan 40%. H. Penilaian gangguan fungsi neuritis akibat jebakan. Penilaian gangguan fungsi setelah program terapi selesai selama 6 bulan dengan kemampuan daya kerja > 25 - 50% sesuai persentase santunan 20%. I. Pekerja yang mengalami Stroke yang terjadi pada saat melaksanakan pekerjaan di tempat kerja kemudian dibawa ke Rumah Sakit dan mengakibatkan kematian tidak lebih dari 24 jam sejak terjadinya stroke dapat di kategorikan sebagai kecelakaan kerja. Penentuan ganti rugi mengacu pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007. Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi neurologik 100% sama dengan 70% dari upah.
BIDANG PENYAKIT DALAM I.
BATASAN Penyakit akibat kerja dalam lingkup penyakit dalam adalah penyakit yang timbul akibat pemaparan oleh faktor risiko di tempat kerja yang mengenai organ : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (sistem kardio vaskuler) Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih Penyakit Saluran Cerna dan Hati Penyakit Sistem Endokrin Penyakit Darah dan Sistem Pembentuk Darah (hemopoetik) Penyakit Otot dan Kerangka Penyakit Infeksi
Kelainan yang terjadi dapat berupa kelainan akut, kelainan kronis dan penyakit keganasan. Yang tersering terjadi adalah penyakit otot dan kerangka, penyakit infeksi dan penyakit darah.
8
II.
DIAGNOSIS A. Secara umum sistematika pemeriksaan penderita adalah sebagai berikut : 1. Anamnesis Dalam melakukan anamnesis penyakit akibat kerja hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut : - Riwayat pekerjaan saat ini (apa yang dikerjakan setiap hari ?, bahan-bahan/alat yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja dan lain-lain) - Riwayat pekerjaan sebelumnya (sama seperti diatas) - Riwayat pekerjaan sampingan/hobi - Hubungan antara keluhan penyakit dan waktu kerja : Kapan keluhan paling sering timbul (bandingkan frekwensi keluhan waktu kerja/hari-hari kerja dengan hari libur); Kapan keluhan tersebut pertama kali timbul (dihitung mulai saat masuk kerja sampai timbulnya keluhan) - Riwayat penyakit keluarga - Riwayat penyakit dahulu 2. Pemeriksaan Fisik Sama seperti penyakit pada umumnya disesuaikan dengan diagnosis yang ada. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan diagnosis yang dibuat meliputi pemeriksaan : - Laboratorium darah, urin, feses dan lain-lain - Radiologi - Patologi anatomi B. Sistematika diagnostik dan penilaian tingkat cacat untuk kelainan setiap sistem adalah sebagai berikut : 1. Penyakit jantung dan pembuluh darah akibat kerja 2. Penyakit ginjal dan saluran kemih akibat kerja 3. Penyakit saluran pencernaan dan penyakit hati akibat kerja 4. Penyakit endokrin akibat kerja 5. Penyakit darah dan sistem pembentuk darah akibat kerja 6. Penyakit otot dan kerangka akibat kerja 7. Penyakit insfeksi akibat kerja ad 1. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Akibat Kerja a. Iskemia dengan menyebabkan penyakit koroner (PJK) 1) Contoh penyebab : - karbon disulfida - karbon monoksida - metilin klorida - debu fibrogenik - nitrat - arsen 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - angina pektoris - faktor risiko PJK lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu - EKG : perubahan ST-T - Exercise stress test
9
3) Tingkat cacat menetap - ringan : tak ada angina pektoris pada beban fisik ringan (sesuai Class I Canadian Cardiovascular Sosial Function Classification). - Sedang : angina pektoris pada beban fisik sedang (sesuai Class II III Canadian Cardiovascular Social Function Classification). - Berat : angina pektoris pada keadaan istirahat (sesuai Class IV Canadian Cardiovascular Social Function Classification). b. Iskemia tanpa menyebabkan PJK 1) Contoh penyebab : - karbon monoksida - metilin klorida - nitrat 2) Kriteria diagnostik - ada kontak dengan agen - angina pektoris - faktor risiko dapat disingkirkan - EKG : perubahan ST-T - Exercise stress test 3) Tingkat cacat : tidak menimbulkan cacat menetap c. Disritmia 1) Contoh penyebab : - fluorocarbon - chlorinated hydrocarbon - nitrat - semua faktor risiko penyebab iskemia 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - palpitasi - sinkope - EKG : disritmia atrium atau ventrikel yang patologis 3) Tingkat cacat yang menetap : Disritmia yang menetap sesudah melalui pemeriksaan baik yang berhubungan iskemia maupun tidak.
yang berulang
d. Kardiomiopati 1) Contoh penyebab : - cobalt - antimon 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - sesak nafas - tekanan darah yang rendah, tekanan nadi kecil - gallop - kardiomegali 3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedan. e. Penyakit pembuluh darah perifer : 1) Contoh penyebab : - karbon disulfida - karbon monoksida - metilin klorida 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klaudikasio/ fenomena Raynaud - faktor risiko penyakit pembuluh darah perifer lain harus disingkirkan
10
3) Tingkat cacat menetap yang timbul adalah cacat menetap sedang. f. Cor pulmonale : 1) Contoh penyebab : debu fibrogenik 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gagal jantung kanan - insufisiensi pernapasan (lihat penyakit paru akibat kerja) 3) Tingkat cacat menetap sesuai dengan penilaian tingkat cacat bidang paru : - ringan : tanpa gejala atau dalam stadium kompensasi (sesuai Class I NYHA) - sedang : dengan gagal jantung ringan - sedang (sesuai Class II - III NYHA) - berat : dengan gagal jantung berat (sesuai Class IV NYHA) ad. 2. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih Akibat Kerja a. Gagal ginjal Akut 1) Contoh penyebab : a) Langsung : - hidrokarbon halogenated misal karbon tetraklorid - glikol, misalnya etilen glikol - pestisida : - organopospat misal paration - organoklorin misal DDT - biripidil misal paraquat b) Tak langsung : - agen hemolitik misal arsen - agen rabdomiolitik misal etilen-glikol - pelarut hidrokarbon - logam berat. 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gejala timbul dalam waktu kurang dari 1 minggu - gejala gastrointestinal misal mual, muntah - kreatinin serum > 1,5 mg% - asidosis metabolik - hiperkalemi (K>5.5 meq/l) - oliguri atau anuri 3) Tingkat cacat menetap penilaiannya dilakukan setelah fase akut diatasi. b. Gagal ginjal kronik 1) Contoh penyebab : - logam berat misal cadmium, timah hitam, berilium - fisik misal radiasi mengion 2) Kriteria diagnostik - ada kontak dengan agen - gangguan gastrointestinal misal mual, muntah - oliguria dan anuria - hipertensi - edema - kreatinin serum > 1,5 mg% - asam urat > 7 mg% - asidosis metabolik - hiperkalemia (K > 5,5 meq/l)
11
3) Tingkat cacat menetap : - ringan : - tes kliren kreatinin 50 - 75 ml/menit - kreatinin serum 1,5 - 4 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia - sedang : - tes kliren kreatinin 25 - 50 ml/menit - kreatinin serum 4 - 6 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia - berat : - tes kliren kreatinin 5 - 25 ml/menit - kreatinin serum 6 - 8 mg% - tidak ada asidosis metabolik - tidak ada hiperkalemia - sangat berat: - tes kliren kreatinin < 5 ml/menit - kreatinin serum > 8 mg% - ada asidosis metabolik - ada hiperkalemia c. Neoplasma pada kandung kemih 1) Contoh penyebab : - beta naftilamin - benzidin - 4-aminodifenil - 4-nitrodifenil - auramin - magenta 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan miksi misal sakit, berdarah dan susah pada waktu kencing - sistoskopi ada massa di kandung kemih - biopsi kandung kemih ditemukan tanda ganas 3) Tingkat cacat menetap tergantung pada jenis keganasan dan stadium pada waktu ditemukan d. Neoplasma pada ginjal 1) Contoh penyebab : paparan asbes, coke-oven workers 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan miksi misal berdarah - benjolan pada daerah ginjal - pielografi intravena ditemukan gangguan fungsi dan ginjal yang membesar - USG ginjal ditemukan ginjal membesar - Gambaran histopatologi keganasan ginjal 3) Tingkat cacat menetap tergantung kepada jenis keganasan dan stadium pada waktu diketemukan.
CATATAN : RUMUS PERHITUNGAN TES KLIREN KREATININ (TKK) : T.K.K (LAKI-LAKI)
= (140 - UMUR) X BERAT BADAN KREATININ PLASMA X 72
T.K.K (WANITA)
= 0,85 X T.K.K
12
LAKI-LAKI
Ad.3. Penyakit Saluran Pencernaan dan Penyakit Hati Akibat Kerja a. Penyakit saluran pencernaan : 1) Esofagitis erosif korosif a) Contoh penyebab adalah zat korosif asam/basa yang tertelan b) Kriteria diagnostik : - Klinik : - Odinofagia (nyeri waktu menelan) - Heart burn (nyeri di bawah tulang dada) - Disfagia - Esofagografi - Esofagoskopi c) Tingkat cacat menetap : - ringan misal odinofagia, heart burn - sedang : - odinofagia, heart burn - disfagia makanan padat - makanan halus masih bisa ditelan - berat : - odinofagia, heart burn - disfagia terhadap makanan cair ataupun halus - berat sekali misal pada disfagia total 2) Pancreatitis akut a) Contoh penyebab adalah metanol, seng, cobalt, merkuri klorid, cadmium, cresol b) Kriteria diagnostik : - klinik - panas - nyeri epigastrium yang berat/hebat - muntah - nyeri tekan pada epigastrium bisa di seluruh abdomen - laboratorium : - lekositosis - amilase meningkat - lipase meningkat - kalsium menurun - gula darah meningkat - ultrasonografi c) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah perawatan fase akut teratasi 3) Pankreatitis kronik a) Contoh penyebab : - sama dengan pankreatitis akut - sebagai kelanjutan pankreatitis akut b) Kriteria diagnostik - klinik : - nyeri epigastrium yang menjalar ke punggung - rasa sakit hilang timbul - sindrom malabsorbsi - berat badan menurun - diare kronik - laboratorium : dalam keadaan eksaserbasi didapat kenaikan kadar amilase - ultrasonografi
13
c) Tingkat cacat menetap : - ringan : - nyeri masih dapat di tolerir - diare yang dapat diatasi dengan diit dan obat preparat enzim. - Sedang : - Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik - Diare menimbulkan malnutrisi - Berat : - Nyeri tidak dapat ditolerir, harus dengan analgetik - Diare menimbulkan malnutrisi 4) Kanker esofagus a) Contoh penyebab : - asbestos - akrilonitrile b) Kriteria diagnostik : - klinik : disfagia - endoskopi - biopsi c) Tingkat cacat menetap dipandang cacat berat 5) Kanker lambung a) Contoh penyebab sama dengan kanker esofagus b) Kriteria diagnostik : - Klinik : - Nyeri epigastrium - Nausea - Anoreksia - Berat badan turun - Anemia - Foto lambung - Gastroskopi - Biopsi c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat cacat berat 6) Kanker kolon a) Contoh penyebab : - asbestos - akrilonitrile b) Kriteria diagnostik : - klinik : - perubahan pola defekasi - diare atau obstipasi - perdarahan per-anum - mules - feses berlendir - berat badan turun - foto kolon - kolonoskopi c) Tingkat cacat menetap dipandang tingkat berat.
14
b. Penyakit hati 1) Penyakit hepatitis akut a) Contoh penyebab : - Anorganik : bahan kimia anorganik misal tembaga, timah hitam, fosfor, antimon, thallium, krom, brom, merkuri. - Organik : bahan kimia organik misal senyawa hidrokarbon alifatik dan aromatik dengan ikatan klor maupun lain (dinitro benzene, hidrazin, eter, alkohol). b) Kriteria diagnostik : - klinik : - riwayat adanya pemaparan dengan agen sebelum timbulnya gejala - rasa lemas, cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin warna air teh/kopi - ikterus, hepatomegali dan nyeri tekan - singkirkan penyebab lain (alkohol, obat, infeksi) - laboratorium : - hiperbilirubinemia (libirubin D>1) - SGOT dan SGPT SGOT < SGPT - HBs Ag negatif IgM anti HAV negatif IgM anti HCV negatif c) Tingkat cacat menetap : tidak ada. 2) Hepatitis akut kolestatik a) Contoh penyebab : resin b) Kriteria diagnostik : sama dengan penyakit hepatitis akut yang sering disertai keluhan gatal. c) Tingkat cacat menetap : sama dengan penyakit hepatitis akut 3) Disfungsi hepatoseluler kronik persisten a) Contoh penyebab : aromatik ―chlorinated‖ (bifenil poliklorida, benzen heksaklorida, dioksin, pestisida). b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - gangguan faal hati hilang timbul (bilirubin, SGOT, SGPT) - sering disertai kelainan kulit (porfiria tarda) - singkirkan penyakit hati kronik lain (histopatologik tidak khas) c) Tingkat cacat menetap : ringan 4) Sirosis hati a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) - hidrokarbon ―chlorinated‖ (CCI4) - aromatik ―chlorinated‖ (PCB, benzen heksaklorida, dioksin, pestisida). b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya penyakit yang disebut di atas (pernah alami penyakit 1 s/d 3) - tanda/ stigmata sirosis hati - USG untuk usus yang stigmatanya minimal c) Tingkat cacat menetap : berat
15
5) Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) - hidrokarbon chlorinated (CCI4, CHCI3, trikloroetilin) b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - eksklusi penyebab lain (virus hepatitis B, aflatoksin) - asites - hepatomegali, keras, berbenjol, kadang terdengar ―bruit‖ - gangguan faal hati - AFP meninggi - Lesifokal (SOL) pada USG c) Tingkat cacat menetap : berat 6) Angiosarkoma a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik) - haloalkil (vinil klorida) b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya paparan dengan agen - hepatomegali, nyeri spontan dan nyeri tekan - asites - gangguan faal hati - lesi fokal (SOL) pada USG c) Tingkat cacat menetap berat 7) Hepatitis granulomatosa (beriliosis) a) Contoh penyebab : ikatan logam (berilium) b) Kriteria diagnostik : - riwayat paparan dengan agen - demam lama - anikterik - fosfatase alkali - transaminase dan globulin sedikit bilirubin normal - berilium dalam urin dan kulit (skin patch) - laparoskopi - biopsi c) Tingkat cacat menetap : - sedang : - kenaikan SGOT dan atau SGPT sampai dengan 2 x nilai normal tertinggi -
Berat : - Kenaikan SGOT dan atau SGPT lebih dari 2 x normal tertinggi
8) Sklerosis hepatoportal. a) Contoh penyebab : - ikatan logam (arsenik, torium dioksida) - haloalken (vinil klorida) b) Kriteria diagnostik : - adanya kontak dengan agen - kelainan fisik tidak jelas, dapat timbul manifestasi hipertensi portal (asistes, edema) - kelainan histologik khas perlu untuk diagnosis pasti - gangguan faal hati ringan, tidak khas
16
c) Tingkat cacat menetap : - ringan : - tes faal hati (bilirubin dan transaminase) sedikit meninggi - tidak ada tanda-tanda hipertensi portal - berat - tes faal hati jelas meninggi - ada tanda-tanda hipertensi portal ( asites, edema, varises esofagus dan hemoroid) Dalam penyakit hati : - klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat 70% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat 50% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30% dari upah sehari. ad.4. Penyakit Endokrin Akibat Kerja. Sistem endokrin. Masalah terpenting dalam sistem ini ditemukan pada fungsi gonad, yaitu gangguan fungsi reproduksi. Bahan yang sudah diketahui dapat menyebabkan kemandulan ialah : - dibromklorpropan - kepone (klordekon = insektisida organoklor) - timah hitam (batere) - timah putih organik (plastik, cat, pestisida) - dietilstilbestrol (produksi DES) - radiasi mengion Derajat cacat untuk kemandulan sukar ditetapkan. Walaupun kewaspadaan harus ditingkatkan demi keselamatan pekerja. ad.5. Penyakit Hematologi Akibat Kerja a. Anemia hemolitik 1) Contoh penyebab : - arsen - stibine - trinitrotoluen (TNT) - naftalen - timah hitam - oksigen hiperbarik (lebih-lebih pada G6PD) 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis - kelelahan umum - sakit kepala difus - mata : - konjunctiva pucat - sklera ikterik +/- laboratorium : - Hb - Rt - SDM : - sferosit - fragmented - basophilic stippling (timah hitam dan arsen) - Hein’bodies (naftalen dan TNT)
17
demikian
- Kimia darah : bilirubin indirek - Urin : hemosiderin (+) 3) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah fase akut diatasi. b. Anemia hipoplasia 1) Contoh penyebab : radiasi mengion, benzene, timah hitam 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : Gejala umum : - konstipasi, muntah - lead line (pada gusi) - neuritis perifer - pucat - hematologi : - Hb - SDM : - basophilic stippling - normokrom, normositer - Kimia darah : kadar timah dalam darah > 40 Ug/ dl 3) Tingkat cacat menetap : dinilai setelah fase akut diatasi c. Methemoglobinemia 1) Contoh penyebab : - aniline dyes - aromatic amine - senyawa nitro substituted benzene - organic/inorganic nitrit/nitrat 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : sianosis - laboratorium : - darah warna coklat - methemoglobin 3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah fase akut diatasi d. Trombositopenia 1) Disertai depresi sumsum tulang a) Contoh penyebab : - benzene - pestisida - radiasi mengion - arsen - TNT b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - ptekia, purpura, ekimosis - perdarahan mukosa - laboratorium : trombosit - aspirasi sumsum tulang : hipoplasia c) Tingkat cacat menetap dinilai sesudah pengobatan. 2) Dengan sumsum tulang normal a) Contoh penyebab : oksigen hiperbarik (scuba divers) b) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : seperti pada trombositopenia yang disertai depresi sumsum tulang - laboratorium : trombosit -
18
c) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan e. Anemia aplasi 1) Contoh penyebab : - benzene - arsen - pestisida - TNT - Radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum - pucat - sering infeksi - perdarahan mukosa - ptekia, purpura, ekimosis - laboratorium : - Lekosit - Trombosit - Aspirasi sumsum tulang : hypoplasia 3) Tingkat cacat menetap : - ringan : HB : 10 - 12 gr% L : 3.000 - 4.000 Tr : 80 - 140.000 - sedang : Hb : 7,5 - 9,9 gr% L : 1500 - 2900 Tr : 30.000 - 79.000 - berat : Hb : < 7,49 L : < 1500 Tr : < 30.000 f. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria 1) Contoh penyebab : - benzene - radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - pucat - urin : coklat kehitam-hitaman - sering nyeri pada abdomen - laboratorium : Hb 3) Tingkat cacat menetap : - ringan : Hb : 10 - 12 gr% - sedang : Hb : 7,5 - 9,9 gr% - berat : Hb : < 7,4% g. Leukemia akut 1) Contoh penyebab - benzene - etilen - pestisida - arsen - TNT - Radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum
19
- sering infeksi - perdarahan mukosa - pucat - ptekia, purpura, ekimosis - hepatosplenomegali - laboratorium : - HB - Leukosit - Trombosit - Sel blas (+) - Aspirasi sumsum tulang : sel blas > 30% 3) Tingkat cacat menetap : dinilai sesudah pengobatan (sedang sampai berat) h. Leukemia limfositik kronik 1) Contoh penyebab : - benzen - radiasi 2) Kriteria diagnostik : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum - pucat - hepatosplenomegali - limphadenopati - laboratorium : - HB N / - Leukosit - Sel blas (+) 3) Tingkat cacat menetap : - Ringan : - HB, trombosit normal - Limfosit > 15.000 - Limfoid terkena < 3 area - Sedang
: - HB, trombosit normal - Limfoid terkena > 3 area - Splenomegali/ hepatomegali
- Berat
: - Hb < 10 g% - Tr < 100.000 - Hepatosplenomegali - Limfoid terkena > 3 area
i. Leukemia mielositik kronik 1) Contoh penyebab : - benzen - radiasi 2) Kriteria penyebab : - ada kontak dengan agen - klinis : - kelelahan umum - pucat - hepatosplenomegali - laboratorium : - Hb - Leukosit - Trombosit N / - Aspirasi sumsum tulang : sel blas (+)
20
3) Tingkat cacat menetap : - ringan : - HB, 10 - 12 g% - leukosit < 100.000 - trombosit normal - sel blas 1 - 5% -
Sedang
: - HB, 7,5 - 9,9 g% - leukosit 101 - 200.000 - trombosit normal - sel blas 6 - 25 %
-
Berat
: - Hb < 7,5 g% - leukosit > 200.000 - trombosit < 100.000 - sel blas > 25 %
Dalam hal penyakit hematologi akibat kerja : - klasifikasi tingkat cacat menetap berat berarti nilai cacat adalah 70% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap sedang berarti nilai cacat adalah 50% dari upah sehari - klasifikasi tingkat cacat menetap ringan berarti nilai cacat adalah 30% dari upah sehari ad.6. Penyakit Otot dan Kerangka Akibat Kerja a. Fenomena Raynaud : - vibration white finger - akroosteolisis 1) Contoh penyebab : - trauma vibrasi - vinil klorida 2) Kriteria diagnostik : - pemaparan terhadap pekerjaan atau alat tersebut, beberapa bulan hingga lebih dari 20 tahun - gejala prodromal : parastesia, anestesia, ujung jari pucat - radiologi : adanya ostreoporis falang distal/ perubahan-perubahan kistik kecil b. Carpal tunnel syndrome 1) Contoh penyebab : sering pada macam-macam pekerjaan operator mesin asembling, yang melakukan pengepakan, pekerjaan tekstil, pekerja lainnya (vibrasi & fleksi yang kuat pada pergelangan tangan maupun ekstensi atau deviasi) 2) Kriteria diagnostik : - karakteristik parastesia, nyeri, lemah pada jari-jari menurut distribusi N. medianus distal - gejala khas tadi memburuk malam hari ataupun sesudah fleksi yang lama misal : pengemudi mobil - hilangnya rasa raba permukaan tangan sebelah medial - kelemahan tenar/atrofi - kesemutan dari pergelangan ke bawah - EMG, hubungan dengan kerja dinilai secara hati-hati, penggunaan tangan, posisi tangan & sering atau beratnya kekuatan atau tekanan pada pergelangan tangan atau vibrasi. - Gejala berkurang sesudah istirahat kerja
21
c. Sindroma kompresi lain : 1) Sindroma pronator a) Contoh penyebab - pronasi yang kuat berlangsung lama menjepit N. medianus di lengan bawah - tugas kerja memutar tuas atau roda. b) Kriteria diagnostik : mirip carpal tunnel syndrome, tetapi kesemutan meluas ke lengan bawah 2) Cubital tunnel syndrome a) Contoh penyebab : N. ulnaris dapat rusak pada siku oleh tekanan langsung atau oleh fleksi ekstensi yang berulang b) Kriteria diagnostik : - pekerja kantor, supir, operator mesin dan juru gambar - semutan daerah ulnar dari telapak tangan dan kelemahankelemahan otot-otot tangan yang dipersarafi N. ulnaris. 3) Wrist drop a) Contoh penyebab : - N. radialis oleh tekanan langsung pada humerus posterior - Mengangkat barang berat yang terus menerus atau menggunakan ban kompresif yang dipakai terus menerus b) Kriteria diagnostik : kelemahan pada pergelangan dan gejala Wirst Drop 4) Obstruksi mulut rongga dada a) Contoh penyebab : - mengangkat barang berat di bahu dan bekerja dengan lengan ke belakang kepala - penggunaan otot-otot bahu yang berlebihan menyebabkan hipertropi otot subclavius. b) Kriteria diagnostik : - riwayat adanya paparan dengan agen - kompresi plexus Brachialis dan arteri Brachialis - insuffisiensi intermitten neurovasculer lengan. 5) Ischialgia a) Contoh penyebab : kompresi eksternal saraf ischiadicus oleh karena duduk yang lama atau duduk pada tempat yang sempit. b) Kriteria diagnostik : gejala sama dengan akibat penyakit discus intervertebrata lumbalis. 6) Sindroma N. cutaneous femoralis lateralis. a) Contoh penyebab : - Kompresi saraf sensoris - Trauma pada pelvis oleh tempat duduk ataupun oleh sabuk yang digunakan. - Tarikan atau gerakan-gerakan tubuh maupun tungkai bawah pada posisi tertentu yang berlebihan. b) Kriteria diagnostik : gejala nyeri yang terasa seperti terbakar dan parestesia pada paha lateral.
22
7) Foot Drop a) Contoh penyebab : N. Peroneous mengalami kompresi langsung atau akibat posisi bungkuk atau melipat badan, jongkok, berlutut. b) Kriteria diagnostik : kelemahan dorsofleksi kaki, bisa juga kehilangan sensoris pada punggung kaki dan tungkai bawah lateral. 8) Tarsal Tunnel Syndrome a) Contoh penyebab : N. tibialis posterior yang melalui bagian bawah pergelangan kaki medial tertekan sepatu yang tidak tepat dan terlalu sempit sebagai penyebab utama. b) Kriteria diagnostik : seperti pada syndrome carpal tunnel menyebabkan parestesia dan rasa terbakar pada jari-jari kaki dan telapak bagian distal. d.
Artritis degeneratif (termasuk pinggang) 1) Contoh penyebab : Sehubungan dengan pekerjaan tertentu yaitu penggunaan berulang dan pembebanan pada sendi-sendi tertentu : - pergelangan siku & bahu : alat-alat vibrasi (bor, gerinda, gergaji) - kaki & pergelangan kaki : penari - siku : pekerja pengecoran - siku & genu : pekerja tambang - genu : pramu wisma - jari tangan dan pergelangan : pekerja tekstil - jari tangan : pemetik kapas 2) Kriteria diagnostik : Kelainan radiologi yang jelas disertai pemeriksaan fisik : - Lokasi sesuai dengan pekerjaan (hanya beberapa sendi) - Telah melakukannya sedikit-dikitnya 10 th dengan gerakan berulang dari sendi yang terkena. - Struktur kontra-lateral tidak kena kecuali pengunaan secara simetris.
e.
Tendinitis 1) Contoh penyebab : - Inflamasi bursa, tendo, ligamen ataupun jaringan sekitar sendi lainnya - Gerakan yang berulang atau trauma langsung. 2) Kriteria diagnostik : - Nyeri setempat atau bengkak. Nyeri terutama pada gerakan tertentu yang diberi perlawanan (tahanan) misal : epicondilitis di samping nyeri setempat juga pronasi yang ditahan. - Radiologi menyingkirkan kelainan pada sendi atau tulang - Jelas pekerjaannya mengenai gerakan berulang atau keras pada sendi tersebut. - Perlu disingkirkan faktor bukan pekerjaan (Gout, RA, GO)
f.
Kontraktur Dupuytren's 1) Contoh penyebab : - Adanya proliferasi noduler jaringan fibrosa pada fascia palmaris - disangka ada kaitannya dengan trauma pekerjaan yang berulang - sekarang diragukan benar tidaknya pengaruh kerja dan trauma 2) Kriteria diagnostik : - Gejala dan tanda jelas - Menimbulkan fleksi jari-jari yang menetap dan progresif - Singkirkan penyebab lain.
23
g. Nyeri pinggang bawah 1) Contoh penyebab : - Sering menyebabkan cacat temporer - Ada kaitannya kerja mengangkat ataupun mengerjakan & mengepak barang - Walaupun pekerjaan apapun sering menunjukkan hampir sama terjadinya kelainan ini. 2) Kriteria diagnostik : - Osteofit maupun penyempitan diskus (radiologi) - Perlu disingkirkan adanya infeksi atau penyakit tulang, saraf, vaskuler dan lain-lain. - Kecenderungan eksaserbasi pada waktu bekerja. h. Nekrosis tulang yang aseptik 1) Contoh penyebab : - Penyelam atau pekerja di bawah air lainnya mempunyai risiko meningkat terutama mengenai tulang panjang. - Ada kaitannya dengan obstruksi vaskuler oleh gelembung nitrogen atau oleh karena dekompresi yang terlalu cepat mengakibatkan ischemia dan infark tulang. 2) Kriteria diagnostik : - Radiografi dan/atau radionuklir - Genu, coxae, bahu, dengan mulainya pelan-pelan berbulan-bulan dan berulang-ulang. i.
Kelainan kolagen 1) Skleroderma a) Contoh penyebab : - Pelarut hidrokarbon aromatik - Debu silikon - Debu karbon (batu bara). b) Kriteria diagnostik : - Kecenderungan pada penderita pneumokoniosis dan silikosis - Kriteria diagnostik sama dengan skleroderma sebab lain. 2) Akroosteolitis a) Contoh penyebab : vinyl clorida monomer b) Kriteria diagnostik : - Kontak dengan vynil chlorida monomer - Waktu laten kurang dari 2 tahun - Hiperglobulinemia - Tes fungsi hati terganggu - Biopsi : - kulit - pembuluh darah
j. Gout sekunder 1) Contoh penyebab : - Timah hitam (Pb) - Berilium 2) Kriteria diagnostik : - Pemaparan sedikitnya 10 - 20 tahun - Klinis sama seperti Gout Primer - Gangguan fungsi organ (hati, ginjal, otak) - Kadar Pb dalam darah tinggi.
24
k. Gangguan tulang metabolik 1) Fluorosis a) Penyebab : fluor b) Kriteria diagnostik : - Kontak kronik (beberapa tahun) dengan fluorida pada tulang dan jaringan - Mobilitas tulang punggung berkurang - Radiologis : - bentuk tulang berubah, ligamen dan tendon mengalami kalsifikasi - osteosklerosis dan kalsifikasi pelvis dan ligamen spinal – laboratorium : - kadar fluor di urine 24 jam, > 1,5 Ng/dl kreatinin - kadar fluor di darah - biopsi tulang. 2) Phosphorous (Phossy Jaw) a) Contoh penyebab : posfor b) Kriteria diagnostik : - Sakit gigi - Gigi tanggal secara progresif - Pyorhea - Disfungsi rahang - Radiologik : nekrosis aseptik progresif pada tulang rahang l. Artralgia & myalgia difus 1) Akut difus a) Contoh penyebab : - Uap logam - Pestisida - Pelarut kimia b) Kriteria diagnostik : - Nyeri difus akut - Myalgia difus 2) Kronik difus a) Artralgia Pb (1) Penyebab : timah hitam inorganik (2) Kriteria diagnostik : - Kontak kronik - Myalgia difus kronik - Terkena sendi besar - Gejala tidak khas, ada gejala umum akibat keracunan Pb. - Kadar timah hitam > 40 Ug/dl b) Fluorosis sistemik (1) Penyebab : fluor (2) Kriteria diagnostik : - Biopsi tulang - Kadar fluor dalam darah. Penyakit kelainan otot dan kerangka akibat kerja, penentuan tingkat cacat menetap dengan menggunakan kriteria tingkat cacat pada orthopaedi.
25
III. PENENTUAN TINGKAT CACAT PENYAKIT OTOT DAN KERANGKA AKIBAT KERJA GANGGUAN FUNGSI 1. Keterbatasan ROM (RGS = Ruang Gerak Sendi) a. Ringan : Keterbatasan sendi 30% b. Sedang : Keterbatasan sendi 30 - 70% c. Berat : Keterbatasan sendiri 70 - 100% 2. Stabilitas sendi a. Ringan : Sendi masih dapat digunakan dengan sedikit gangguan b. Sedang : Sendi sukar digunakan/terbatas c. Berat : Sendi sangat sukar digunakan/sangat terbatas 3. Deviasi/Malformasi a. Ringan : Sedikit menimbulkan kesukaran b. Sedang : Menyukarkan gerakan sendi c. Berat : Sangat terbatas dalam gerakan sendi/tak dapat digunakan 4. Kelemahan otot / Syaraf Tepi a. Ringan : Kekuatan otot 4 - 5 b. Sedang : Kekuatan otot 3 - 2 c. Berat : Kekuatan otot 1 - 0 SENDI - SENDI YANG DAPAT TERKENA -
Bahu Siku Pergelangan MCP (Metacarpo Phalangeal) PIP (Proximal Inter Phalangeal) DIP (Distal Inter Phalangeal)
− − − − −
Coxae Genu Subtarsal Tarso - Metatarsal MTP (Metatarso Phalangeal)
GANGGUAN FUNGSI (STEINBROCKER) 1. 2. 3. 4.
Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 25% Ada beberapa kesukaran dalam melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari : 50% Melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan terbatas / perlu dibantu : 75 % Sangat sukar melaksanakan kegiatan / tugas sehari-hari : 100%
Penyakit infeksi akibat kerja a. Hepatitis B/C 1. Penyebab : virus hepatitis B/C 2. Kriteria diagnostik : - Adanya riwayat kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan, laboratorium, kebersihan), demam/sindroma flu (tak selalu), rasa kelemahan umum, cepat lelah, mual, intoleransi lemak, urin berwarna coklat tua (teh), konjungtiva ikterik, hepatomegali. Hbs Ag (+), lg M Anti HCV (+)
26
3. Tingkat kecacatan : Tingkat kecacatan menetap tidak ada bila sembuh Ringan : bila menjadi hepatitis kronis Sedang : bila menjadi sirosis hati Berat : bila menjadi hepatoma atau fulminan b. Tuberkulosis 1. Penyebab : Mycobacterium tuberculosis 2. Kriteria diagnostik : - Ada kontak dengan droplet (petugas kesehatan, laboratorium), batuk-batuk, CNS : meningitis dll. - Laboratorium : ditemukan kuman Mycobacterium tubercolusis, - Pemeriksaan Radiologis. 3. Tingkat kecacatan : dinilai setelah terapi. c. HIV (Human Immunodeficiency Virus) 1. Penyebab : virus HIV 2. Kriteria diagnostik : - Adanya kontak dengan cairan tubuh penderita (petugas kesehatan, laboratorium, kebersihan). Gejala sindrom flu, bila sudah menjadi AIDS terdapat infeksi oportunistik seperti : TBC, Pneumonia P. carinii, infeksi jamur, infeksi virus Citomegalo, virus Epstein Barr, mudah terjadi infeksi. - Laboratorium : serologi HIV (+), Western Blot (+) 3. Tingkat kecacatan : Berat BIDANG PSIKIATRI I.
BATASAN Psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani sebab-musabab (patogenesis), diagnosis, prevensi, terapi dan rehabilitasi gangguan jiwa serta promosi kesehatan jiwa (Maramis, 1980). Psikiatri industri atau psikiatri okupasional berkaitan dengan prevensi, diagnosis, terapi dan rehabilitasi di tempat kerja Penyakit akibat kerja dan cacat akibat kecelakaan kerja di bidang psikiatri adalah gangguan jiwa yang bersifat sementara maupun menetap, yang berhubungan dengan pekerjaan. Gangguan jiwa yang dapat terjadi berupa : A. Kondisi kejiwaan yang khas di tempat kerja : Anxiestas, depresi, lesu kerja (burn-out), absenteisme dan Histeria Massal B. Gangguan jiwa yang paling banyak terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10 adalah : 1. Gangguan Neurotik 2. Gangguan Somatoform 3. Gangguan yang berkaitan dengan Stress C. Gangguan jiwa yang kadang-kadang terkait dengan kondisi kerja menurut ICD - 10 adalah : 1. F00-F09 : 1. Gangguan Organik, termasuk Gangguan Mental Simptomatik : Demensia dan Delirium 2. Anxietas, Depresi dan Gangguan Kepribadian Akibat Zat Toksik.
27
2. F10-F19 3. F30-F39 4. F50-F59
: Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif. : Gangguan Suasana Perasaan (Mood) : Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologik dan Faktor Fisik : Disfungsi Seksual, Gangguan Makan dan Tidur yang Berkaitan dengan pekerjaan.
D. Gangguan jiwa yang mengakibatkan cacat mental 1. Skizofrenia 2. Gangguan Paranoid 3. Psikosis Organik II.
DIAGNOSIS Diagnosis psikiatri didasarkan atas gejala-gejala yang diperoleh atas dasar wawancara psikiatrik dan pengamatan (observasi) klinik. Kemudian gejala-gejala tersebut disusun menurut kriteria diagnostik yang sudah dibakukan dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia. Gangguan jiwa biasanya terjadi melalui suatu proses perjalanan penyakit yang panjang. Gangguan ini dilandasi oleh faktor-faktor dasar (predisposing factors) dan dibangkitkan oleh faktor pencetus (precipitating factor). Faktor dasar sudah ada sejak awal perkembangan kepribadian seseorang. Individu tersebut telah memiliki kondisi-kondisi tertentu yang diperolehnya melalui proses genetik (herediter, keturunan), atau kondisi yang telah ada pada saat itu, yaitu proses konstitusional. Kondisi awal ini berkembang, baik melalui proses maturasi (pematangan) akibat bertambahnya usia, maupun akibat pengaruh lingkungan. Faktor herediter, organobiologik, konstitusional dan psikososial dapat berkembang menjadi kekuatan dan kelemahan pada individu tersebut. Apabila mendapat pencetus yang berat dan tepat (spesifik), jatuhlah orang tersebut dalam keadaan terganggu jiwanya. Pencetus tersebut misalnya adalah stresor dalam pekerjaan. Kesulitan untuk menentukan adanya hubungan kausalistas antara gangguan jiwa dan kondisi kerja adalah karena hakikat gangguan jiwa yang multi-kasual dan multifaktorial. Lain halnya dengan gangguan mental organik seperti demensia, delirium dan epilepsi yang dapat secara kausal dihubungkan dengan akibat kerja yang bersifat fisik seperti cedera kepala dan intoksikasi otak. Dalam psikiatri, penyebab umum gangguan jiwa terdiri dari faktor organobiologik misalnya faktor hereditas dan lingkungan yang mempengaruhi tubuh, faktor psikologis terutama dari pengalaman belajar dari lingkungan, terutama hubungan interpersonal, dan faktor sosiokultural yang dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya yang ia hidup di dalamnya. Manusia bereaksi secara holistik (keseluruhan) yaitu secara somato-psikososial, sehingga yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya. Perlu ditentukan seberapa jauh hubungan antara akibat kerja sebagai kausa dan gangguan jiwa sebagai akibatnya. Kadang-kadang faktor predisposisinya terlalu kuat, misalnya Skizofrenia dan Psikosis Afektif yang bersifat endogen, artinya memang telah terdapat kelainan neurotransmiter di dalam otak seperti dopamin dan serotonin. Gangguan jiwa tersebut akan timbul walaupun faktor pencetusnya tidak spesifik, misalnya setelah giginya dicabut, dimarahi oleh atasan atau tidak dinaikkan pangkatnya. Dengan demikian keterkaitan dengan kondisi kerja sangat lemah. Berbeda dengan gangguan jiwa yang dikelompokkan dalam Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform, dan Gangguan yang Berhubungan dengan Stres (di tempat) kerja dapat lebih mudah ditentukan.
28
Telah terbukti secara empiris bahwa untuk timbulnya gangguan jiwa kelompok ini memerlukan waktu sedikitnya enam bulan. Misalnya seorang pekerja yang menderita Fobia untuk naik helikopter ke lepas pantai. Depresi Reaktif setelah merasa pekerjaannya tidak cocok dengan yang dijanjikan atau gangguan Stres Pasca-trauma setelah mendapat kecelakaan kerja. Gangguan jiwa atau kondisi kejiwaan yang dianggap khas akibat kerja ialah gangguan jiwa ringan seperti anxietas dan depresi akibat stres yang tak dapat ditanggulangi, gangguan psikosomatik, kecelakaan kerja, absenteisme, lesu kerja (burn-out), histeria massal (mass hysteria atau behavioral contagion), writer's cramp dan sebagainya. Ditentukan melalui pemeriksaan : A.
Anamnesis 1. Identitas : nama, umur, gender 2. Riwayat : a. Perkembangan kepribadian b. Pendidikan c. Penyakit dalam keluarga 3. Riwayat penyakit : a. Timbul mendadak atau pelan-pelan b. Apakah pernah menderita gejala semacam ini sebelumnya c. Adakah stresor psiko-sosial 4. Riwayat pekerjaan : a. Hubungan dengan stres b. Hubungan dengan kelainan organik pada susunan saraf-pusat akibat pekerjaan (pada gangguan psikosis organik)
B. Pemeriksaan Fisik Diagnostik C. Pemeriksaan Neurologik D. Pemeriksaan Psikiatrik Khusus 1. Penampilan umum : a. Kesadaran b. Perilaku dan aktivitas psikomotor c. Pembicaraan d. Sikap 2. Keadaan afektif : a. Perasaan dasar b. Ekspresi afektif c. Empati 3. Fungsi kognitif a. Daya ingat b. Daya konsentrasi c. Orientasi d. Kemampuan menolong diri sendiri 4. Gangguan persepsi : halusinasi, ilusi, depersonalisasi, derealisasi 5. Proses pikir : waham, gangguan asosiasi pikiran 6. Daya nilai sosial 7. Persepsi tentang diri dan kehidupannya
29
E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium 2. Pemeriksaan rontgen 3. Pemeriksaan psikologik, laporan social worker F. Penentuan Hubungan Kausatif Atau Kausalitas Antara Kondisi Kerja Dengan Gangguan Psikiatrik 1. Pasien telah bekerja selama minimal 6 (enam) bulan. Hal ini untuk menghindari kemungkinan bahwa gangguan psikiatrik diakibatkan oleh stress atau kausa sebelum bekerja. 2. Didapatkan faktor pencetus yang objektif pada tempat kerja yang dinyatakan tidak hanya oleh pasien tersebut. 3. Apabila ditemukan beberapa faktor pencetus, harus dapat ditentukan bahwa kondisi kerja merupakan faktor yang paling dominan. III.
URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT Penilaian tingkat cacat penyakit akibat kerja bidang psikiatrik diberikan apabila : Menurut perjalanan penyakit, gangguan jiwa dapat menimbulkan cacat mental (mental disability) misalnya pada gangguan mental organik, skizofrenia, neurosis berat, gangguan kepribadian dan ketergantungan zat. Hal ini dapat ditentukan apabila gangguan jiwa tersebut masih terdapat gejala sisa sehingga merupakan hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Cacat Mental Akibat Kecelakaan Kerja American Medical Association pada tahun 1985 menerbitkan Guides to the Evaluation of Permanent Impairment. Sedangkan Pemerintah Federal Amerika Serikat (1980) mendefinisikan disabilitas sebagai ketidakmampuan untuk berperan dalam setiap aktivitas substansial karena sebab medik yang ditentukan oleh hendaya mental yang berlangsung terus menerus lebih dari 12 bulan. Kaplan (1995) dalam upaya rehabilitasi psikiatrik mendefinisikan sebagai berikut : 1. Hendaya (impairment) adalah gejala positif dan negatif yang khas dan gangguan yang berhubungan dengan abnormalitas kognitif dan afektif, seperti pada Skizofrenia, Gangguan Autistik dan Gangguan Bipolar. 2. Disabilitas (disability) adalah pembatasan (restriksi) yang diakibatkan oleh hendaya dalam ranah (domain) fungsi kehidupan seperti higiene pribadi, mengelola pengobatan sendiri, rekreasi pada waktu luang, dan hubungan keluarga dan sosial. 3. Cacat (handicap) kondisi yang dirugikan sebagai akibat hendaya dan disabilitas yang membatasi atau mencegah pemenuhan peranan yang normal, seperti sebagai pekerja, mahasiswa, warga negara dan anggota keluarga. Pedoman yang diterbitkan oleh American Medical Association tersebut mempunyai lima asas, yaitu : 1. Asas I : Dalam menentukan hendaya yang diakibatkan oleh gangguan mental dan fisik, kriteria empirik harus dilaksanakan secara tepat. Penilaian perlu diperhatikan tiga faktor yaitu derajat hendaya, derajat disabilitas dan derajat kecacatannya.
30
Pada gangguan jiwa, hendaya dapat ditujukan sebagai kehilangan fungsi penting yang disebabkan oleh gangguan mental organik, gangguan fungsi pikir atau gangguan afektif. Disabilitas merujuk pada taraf fungsi sosial dan pekerjaan yang telah diubah oleh hendaya , misalnya seseorang dapat tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang normal karena pikiran yang menetap, atau tidak mampu berhubungan secara produktif terhadap teman sekerjanya karena anxietas atau persepsi yang salah terhadap tindakannya. Untuk menentukan tingkat disabilitas, dapat terjadi dilema untuk membedakan antara orang-orang yang tidak mampu bekerja dan mereka yang tidak mau bekerja karena keuntungan sekunder (secondary gain) yang mereka peroleh dari hendaya. Seorang penyandang cacat (mental) apabila kemampuannya untuk berfungsi dalam sosial dan pekerjaan menghilang atau berkurang karena hendaya yang menetap, dan tidak ada gejala atau perubahan fundamental yang diharapkan. Seorang penyandang cacat mental tidak mampu untuk berfungsi secara memuaskan karena defisit yang khas seperti gangguan pikiran dengan interpretasi salah terhadap realitas. Derajat kecacatan sosial atau pekerjaan sebagian ditentukan oleh reaksi individu terhadap hendaya. 2. Asas II Diagnosis adalah diantara faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menilai parahnya dan lamanya hendaya, untuk kriteria diagnostik dan deskriptif, penilaian harus menggunakan Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders dari American Pshychiatric Association, Edisi ke empat (DSM-IV). Karena DSM-IV telah diterbitkan pada tahun 1994, maka evaluasi multiaksialnya sudah berubah. Evaluasi multiaksial tersebut juga sudah diresmikan oleh Depkes RI pada tahun 1995 melalui buku Suplemen Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (Suplemen PPDGJ-III), sebagai berikut : Aksis I
:
Gangguan Klinis Kondisi Lainnya yang Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis
Aksis II
:
Gangguan Kepribadian Retardasi Mental
Aksis III :
Kondisi Medis Umum
Aksis IV
:
Problem Psikososial dan Lingkungan
Aksis V :
Penilaian Fungsi Secara Global
Penggunaan sistem multiaksial memungkinkan evaluasi yang komprehensif dan sistematik dengan memperhatikan berbagai gangguan jiwa dan kondisi medis umum, problem psikososial dan lingkungan, dan taraf fungsional, yang mungkin saja terlewatkan bila fokus perhatian hanya pada penilaian terhadap problem utama yang diungkapkan saja. Misalnya seorang yang mendapat kecelakaan kerja hingga mengakibatkan cacat fisik, dapat ditegakkan diagnosisnya menurut evaluasi multiaksial sebagai berikut : Aksis I : Depresi Aksis II : Gangguan kepribadian Organik Aksis III : Post-contusio cerebri Epilepsi Aksis IV : Problem pekerjaan Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial Aksis V : Skala GAF (Global Assessment of Functioning Scale) = 41 - 50 : Gejala berat, hendaya berat.
31
Dari semua aksis yang banyak terkait dengan cacat karena kecelakaan kerja adalah aksis V, karena Aksis V digunakan untuk melaporkan penilaian klinik terhadap taraf seseorang secara menyeluruh. Informasi ini berguna dalam perencanaan terapi dan pengukuran hasilnya, memprediksi hasil terapi dan taraf pemulihan, serta derajat kecacatan mentalnya. Pada kondisi tertentu, mungkin bermanfaat untuk menilai disabilitas sosial dan okupasional. 3. Asas III Dalam hal terdapat ketidaksamaan pada evaluasi terhadap sistem organ yang lain, faktor-faktor yang berkaitan dengan situasi keluarga, pendidikan keuangan dan sosial hendaknya diperhatikan, demikian pula taraf fungsi seseorang. Evaluasi perlu dilakukan terhadap fungsi yang sekarang dan masa lampau, dan potensi untuk fungsi yang akan datang. Hal ini meliputi perawatan diri, tanggung jawab terhadap anggota keluarga yang lain dan rumah tangga, serta tanggung jawab terhadap masyarakat. Fungsi pekerjaan pasien yang sekarang harus ditentukan, ketrampilan apa yang masih utuh, dan keterbatasan apa yang terjadi. Misalnya apakah orang tersebut dapat bekerja kembali pada taraf yang lebih rendah daripada sebelum sakit. Pemeriksaan status mental merupakan hal yang utama terhadap evaluasi menyeluruh, atau membantu untuk menentukan derajat defisit yang mempengaruhi cacat kerja dalam taraf berat, sedang atau tidak ada sama sekali. Penilaian juga harus menentukan derajat dan kemungkinan lamanya hendaya, sebagian atau seluruh, merupakan problem jangka pendek atau panjang, dan apakah akan makin memburuk. 4.
Asas IV Karakter (kepribadian) dan sistem nilai dari seseorang merupakan faktor yang penting dalam perjalanan gangguan jiwa fisik. Motivasi untuk sembuh merupakan faktor utama untuk prognosisnya. Untuk beberapa orang, motivasi yang kurang merupakan suatu penyebab utama untuk berlanjutnya malfungsi. Kepribadian seseorang dapat pula merupakan faktor dominan dalam memperoleh keuntungan pada rehabilitasi. Keuntungan sekunder (secondary gain) timbul tidak hanya karena besarnya kompensasi atau keuntungan finansial yang akan diperoleh, tetapi juga gaya hidup seseorang. Hendaya ditambah motivasi yang rendah dapat mengakibatkan cacat menyeluruh, sedangkan hendaya ditambah motivasi yang tinggi dapat mengakibatkan cacat yang minimal.
5.
Asas V Suatu tinjauan yang berkali-kali harus dilaksanakan terhadap metode terapi dan rehabilitasi. Keputusan akhir belum boleh diambil hingga seluruh riwayat penyakit, fase terapi dan rehabilitasi, status mental, fisik dan perilaku yang sekarang terus diperhatikan. Penilaian yang penting adalah terhadap derajat keterbatasan kerja yang diderita oleh seseorang, yang dapat mulai dari minimal hingga menyeluruh. Rehabilitasi merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan dalam pengobatan pasien yang telah sembuh dari fase akut pada gangguan jiwa, terutama gangguan jiwa yang berat.
32
Dengan upaya rehabilitasi yang tepat, jarang didapati hendaya total yang permanen, kecuali pada pasien dengan penyakit organik. Terdapat berbagai derajat hendaya, dan rehabilitasi total dapat dimungkinkan. Sebagai contoh kedokteran fisik, tungkai yang diamputasi dapat diganti dengan tungkai palsu, yang diharapkan dapat berjalan kembali walaupun tidak seperti semula. Analog dengan kehilangan tungkai adalah kehilangan kemampuan sebagai akibat dari gangguan jiwa. Hendaya yang tersisa dari gangguan jiwa berat, dapat seperti hendaya berat sebagai akibat dari penyakit fisik atau kecelakaan. Hubungan antara motivasi dan pemulihan memerlukan pengamatan pada orang-orang yang menderita penyakit fisik dan gangguan jiwa, dan hal ini merupakan tugas dari psikiatri rehabilitasi. Dengan mempertimbangkan latar belakang seseorang dan kepribadian serta sistem nilainya, taraf pendidikan dan sumber keuangan keluarga perlu diperhatikan. Metode untuk penilaian hendaya psikiatrik dapat dilihat pada Tabel I, Tabel ini digunakan apabila telah dilakukan keputusan klinik yang cermat, setelah semua faktor diagnosis, klinik, terapi dan rehabilitasi telah dilaksanakan. Suatu contoh kasus yang memberikan derajat menyeluruh dari seorang pasien setelah dievaluasi menurut status mental seperti pada Tabel II. Tabel I. Evaluasi Hendaya Psikiatrik
Derajat Hendaya
1
2
3
4
5
Persentase Hendaya
0-5%
10 - 20%
25 - 50%
55 - 75%
>75%
1. Inteligensi
Normal atau lebih baik
Retartasi ringan
Retadarsi sedang - ringan
Retardasi sedang-berat
Retardasi berat
2. Daya fikir
Tak ada defisit
Defisit ringan
Defisit sedang
Defisit sedang-berat
Defisit berat
3. Persepsi
Tak ada defisit
Defisit ringan
Defisit sedang
Defisit sedang- berat
Defisit berat
4. Daya nilai
Tak ada defisit
Defisit ringan
Defisit sedang
Defisit sedang-berat
Defisit berat
5. Afek
Normal
Problem ringan
Problem sedang
Problem sedang- berat
Problem berat
6. Perilaku
Normal
Problem ringan
Problem sedang
Problem sedang- berat
Problem berat
33
AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Kemampuan
Mandiri
Perlu sedikit bantuan
Perlu bantuan teratur
Perlu bantuan besar
Tidak dapat dibantu
AKTIVITAS REHABILIASI DAN TERAPI
Potensi
Baik sekali
Baik
Baik untuk pemulihan parsial
Kondisi statis
Kondisi akan lebih buruk
Tabel II. Contoh profil Hendaya Psikiatrik Kategori
Deskripsi Hendaya
Gabungan Hendaya
Setatus Mental 1. Intelegensi
Normal
1
2. Daya fikir
Defisit sedang-berat, tidak mampu menarik kesimpulan minimal dari pernyataan tunggal
4
3. Persepsi
Defisit ringan, tetapi tidak ada gejala waham
2
4. Afek
Antara defisit sedang dan berat, suasana perasaan dari permusuhan hingga ramah
4
5. Perilaku
Defisit sedang hingga berat
4
Aktivitas kehidupan seharihari
Mandiri
Potensi rehabilitasi Dan terapi
Baik untuk pemulihan parsial
Hendaya kolektif
Sedang hingga berat 55% - 75%
1
3 4
A. Telah dilakukan terapi psikiatrik yang optimal selama 1 (satu) tahun
B. Terdapat cacat psikiatrik yang menyebabkan pekerja sama sekali tidak mampu bekerja.
34
BIDANG PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK (THT)
I.
BATASAN Penyakit akibat kerja bidang Telinga, Hidung, dan Tenggorok adalah penyakit atau kelainan pada telinga, hidung dan tenggorok akibat pemaparan faktor-faktor risiko di tempat kerja Kelainan bidang THT yang terjadi dapat berupa : A. Gangguan telinga, sistem pendengaran dan keseimbangan, antara lain : - Gangguan pendengaran akibat bising - Gangguan pendengaran akibat cedera kepala - Gangguan keseimbangan B. Gangguan hidung dan sistem penciuman, antara lain : - Rinitis alergi - Rinitis dan sinusitis kronis - Hiposmia atau anosmia (gangguan penciuman) C. Gangguan tenggorok, antara lain : - Gangguan suara - afoni (tidak ada suara) - disfoni (suara parau) - Cidera laring dan trakea - Gangguan menelan/disfagia, misalnya pada Esofagitis korosi.
II.
DIAGNOSIS A. TELINGA, SISTEM PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis a. umur penderita b. riwayat gangguan pendengaran dalam keluarga c. riwayat penyakit : 1) penyakit telinga yang diderita sebelumnya 2) riwayat trauma sebelumnya 3) gangguan pendengaran datangnya mendadak atau berlahan. 4) Riwayat menggunakan bahan-bahan toksik 5) Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising 6) Apakah ada gangguan keseimbangan d. Riwayat pekerjaan : 1) Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising, apakah pernah ada ledakan keras dekat telinga ? 2) Apakah menggunakan alat pelindung telinga ? kalau ya jenis apa ? 3) Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya pendengaran ? 4) Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja 2. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap b. Pemeriksaan telinga bagian luar yang mencakup : - Liang telinga, apakah ada serumen, sekret, perdarahan - Membran timpani, apakah ada tanda-tanda peradangan Otitis Media Akut (OMA), Otitis Media Efusi (OME), Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK).
35
c. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara : - Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Stepping, Nudge, Past pointing dan tes tunjuk hidung. - Tes posisi dan tes Perasat Hallpike - Tes posturografi (keseimbangan postural) - Tes kalori menggunakan elektro nistagmografi (ENG) d. Pemeriksaan pendengaran untuk menentukan : - Apakah ada kesulitan ? - Apakah jenis kesulitan ? Cara : - tes berbisik jarak 6 meter - tes garpu tala - tes audiometrik e. Pemeriksaan laboratorium f. Pemeriksaan audiometri, dengan persiapan optimal terhadap individu dan tempat (16 - 36 jam bebas pajanan bising). Diagnosis Tuli akibat Bising : 1. Keadaan sebelum kerja : umur, penyakit telinga, pemeriksaan THT, Audiometri. 2. Keadaan bising lingkungan kerja 3. Pekerja : lama pajanan/hari, alat pelindung telinga, pemeriksaan pendengaran tiap 6 bulan. 4. Pemeriksaan pendengaran : tes berbisik dalam jarak 6 meter, audiometri nada murni dengan waktu 16 - 36 jam bebas pajanan bising, dan perhatikan malingering. GANGGUAN KESEIMBANGAN Keseimbangan tergantung dari sistem visual, proprioseptif dan sistem vestibuler sendiri. Untuk mempertahankan keseimbangan sedikitnya 2 atau 3 sistem tersebut dapat berfungsi dengan baik. Bentuk gangguan keseimbangan yang sering dijumpai adalah rasa tidak seimbang (sempoyongan), kepala terasa ringan (melayang), vertigo (berputar). Gangguan keseimbangan tersering dijumpai disebabkan karena gangguan fungsi vestibuler perifer. Hal ini dapat terjadi unilateral atau bilateral dan dapat terjadi kompensasi sentral. Keluhan vertigo dapat disertai rasa mual, muntah dan timbulnya nistagmus. Keluhan ini sering berhubungan dengan gangguan pendengaran dan tinitus. Diagnosis gangguan keseimbangan : 1. anamnesis : ditanyakan apakah timbulnya gangguan keseimbangan bila terjadi perubahan sikap atau posisi tertentu?. Adakah rasa tidak stabil, takut berjalan atau bertambah buruk pada kegelapan. Apakah ada rasa mual dan muntah. Apakah disertai gangguan pendengaran atau keluhan berdenging. 2. Pemeriksaan keseimbangan dengan cara : a. Pemeriksaan keseimbangan sederhana seperti : Tes Romberg, Shap Romberg, Stepping, Post pointing dan tes ujung hidung b. Tes posisi dan tes perasat Hallpike c. Tes postugrafi (keseimbangan postural) d. Tes kalori menggunakan elektro nystagmography (ENG).
36
B. HIDUNG DAN SISTEM PENGHIDU Batasan : Gangguan pada mukosa hidung yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan tekanan udara serta polusi. Pengaruh pajanan polusi terhadap mukosa saluran napas dapat menimbulkan berbagai gangguan pada saluran nafas terutama mukosa hidung dan sistem penciuman, terutama disebabkan asap, iritasi bahan industri. Rongga hidung merupakan lapisan pertama bagi udara yang diisap dari lingkungan. Faktor yang mempengaruhi mukosa hidung ialah suhu udara, kelembaban udara, tekanan udara serta polusi. Polusi udara sering kali terjadi dan mempunyai dampak negatif terhadap mukosa hidung, sehingga insidens rinosinusitis dan alergi meningkat oleh pemaparan asap, seperti asap rokok. Selain itu akibat iritasi bahan industri dapat menyebabkan penyakit kanker. Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis a. umur. b. riwayat keluarga c. riwayat penyakit : - penyakit hidung yang pernah diderita - keluhan yang dirasakan saat ini - kapan mulai dirasakan - apakah ada : - trauma - infeksi kronis - alergi - terpajan oleh zat tertentu d. Riwayat pekerjaan : - Apakah bekerja di tempat dengan faktor risiko kimia ? Kalau ya bahan kimia apa ? dan berapa lama ? - Apakah menggunakan alat pelindung pernapasan ? - Apa jenis alat pelindungnya, apakah selalu digunakan dengan baik?
2. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum b. Pemeriksaan THT lengkap c. Pemeriksaan hidung dan penciuman : Rinoskopi anterior : - Dilihat keadaan mukosa , konka : edema, hipertrofi, hiperemis atau livide - Apakah ada polip atau sekret di meatus medius - Kelainan sinus paranasal d. Pemeriksaan penciuman secara subyektif Kehilangan penciuman disebut anosmia Pemeriksaan penciuman secara subyektif, dipakai 2 zat yaitu: - amonia, selain merangsang alat penciuman, juga merangsang N.Trigeminus - Kopi, hanya merangsang alat penciuman, Cara pemeriksaan penderita diminta untuk menyebutkan nama zat yang diciumkan pada penderita dengan mata tertutup. Perlu diingat adanya malingering
37
3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium. Sekret hidung dan darah tepi , biasanya jumlah eosinofil meningkat dan konsentrasi lgE total meningkat pada alergi. b. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan dengan alergen yang terdapat di tempat kerja (pabrik) c. Pemeriksaan radiologik Dilakukan dengan posisi Waters dan lateral untuk melihat keadaan sinus paranasal. d. Pemeriksaan Histopatologik e. Bila ditemukan jaringan yang mencurigakan pada mukosa hidung maka dilakukan usapan mukosa hidung untuk pemeriksaan sitologi dan diambil jaringan dengan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Hal ini dilakukan pada industri seperti tempat produksi nikel, krom, pembuat sepatu dan tukang kayu/mebel, karena berdasarkan kepustakaan, lingkungan tersebut bersifat karsinogen. Bahan karsinogen dapat menyebabkan displasia epitel mukosa hidung yang merupakan keadaan prekanker. Diagnosis Rinitis Alergi akibat kerja : 1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi antrior 2. Pemeriksaan laboratorium : skret hidung, darah tepi (eosinofil, IgE total) 3. pemeriksaan kulit : dengan jenis alegen yang ada di tempat kerja. Diagnosis Rinitis Kronis dan Rinosinusitis Akibat Kerja : 1. Pemeriksaan klinis : anamnesis, rinoskopi anterior 2. Pemerikaan radiologi : posisi waters, lateral 3. pemeriksaan histopatologi : jaringan abnormal pada industri nikel, krom, sepatu, kayu (diplasia epitel mukosa , merupakan tanda pre kanker) 4. pemeriksaan penghidu : rinitis kronis (hiposmia, anosmia) C. TENGGOROK 1. Anamnesis a. umur b. Riwayat penyakit keluarga c. Riwayat penyakit : 1) Apakah ada gangguan menelan ? 2) Apakah ada sakit tenggorok ? 3) Apakah ada suara parau ? 4) Apakah ada gangguan pernapasan ? d. Riwayat pekerjaan : 1) Apakah ada trauma (mekanis, kimia) di daerah leher ? 2) Apakah bekerja di tempat kerja dengan risiko faktor kimia? kalau ya : - apa saja - sudah berapa lama 2. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum dan pemeriksaan THT lengkap b. Pemeriksaan tenggorok secara khusus : 1) Inspeksi Apakah ada tanda cidera - Bengkak/kemerahan - Perdarahan atau luka pada selaput lendir 2) Palpasi Apakah ada krepitasi pada struktur laring dan trakea ? 3) Pemeriksaan laring tidak langsung dengan kaca tenggorok
38
3. Pemeriksaan penunjang Radiologik : foto jaringan lunak leher D. CIDERA LARING DAN TRAKHEA Cidera laring atau trakea dapat berupa cedera tumpul atau tajam akibat luka sayat, luka tusuk dan luka tembak. Cedera tumpul pada daerah leher selain dapat menghancurkan struktur laring juga dapat menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan seharihari seperti leher terbentur alat-alat kerja. Cedera dapat ringan, hanya terdapat edema atau laserasi mukosa saja. Pada cedera berat, tulang rawan laring dan trakea hancur serta sebagian jaringan hilang. Selain itu dapat ditemukan luka terbuka atau luka tertutup. Ballanger membagi penyebab cedera laring atas : 1. Cidera mekanik eksternal (cedera tumpul dan tajam) dan mekanik internal 2. Cidera akibat luka bakar oleh panas (gas, cairan panas) dan kimia (cairan alkohol, amoniak, natrium hipoklorid dan lisol) yang terhirup. 3. Cidera Otogen akibat pemakaian pita suara yang berlebihan. Boyes membagi cedera laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, dalam 3 golongan : 1. Cidera dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan. 2. Cidera yang mengakibatkan tulang rawan hancur. 3. Cidera yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu sebagai saluran napas yang adekuat. Penegakan Diagnosis 1. Gejala Suara parau, rasa nyeri di daerah yang terkena cedera. Pada keadaan yang berat terdapat sesak napas dan sianosis. Pada luka terbuka terdapat perdarahan. 2. Pemeriksaan 2.1. Inspeksi : Melihat daerah yang terkena cedera, bengkak dan kemerahan, perdarahan ringan atau berat. 2.2. Palpasi : Meraba struktur laring dan trakea, adakah krepitasi 2.3. Pemeriksaan laring tak langsung dengan kaca tenggorok. Kadang-kadang sukar untuk menentukan kelainan. 2.4. Pemeriksaan laring langsung: dapat dilihat kelainan di laring berupa edema, Hiperemis dan perdarahan. 2.5. Pemeriksaan Radiologik : foto jaringan lunak leher. Prognosis : 1. Pada luka terbuka, dengan melakukan penjahitan luka akan dapat sembuh sempurna. 2. Pada kerusakan tulang rawan serta mukosa laring dan trakea mungkin terdapat gejala sisa: 2.1. Suara tetap parau 2.2. Tidak dapat bernafas melalui laring, sehingga harus dilakukan trakeostomi permanen.
39
E. CIDERA KEPALA Cidera kepala dapat disebabkan oleh kecelakaan yang menyebabkan benturan di kepala. Kelainan THT yang disebabkan oleh cedera kepada ialah : 1. Tuli saraf yang disebabkan oleh kerusakan di koklea 2. Kelainan alat keseimbangan 3. Kelumpuhan saraf wajah (nervus fasial) 4. Tuli konduktif, karena membran timpani pecah. 5. Kebocoran likuor serebrospinal ke telinga Pemeriksaan Pada pemeriksaan, selain memperhatikan keadaan kesadaran dengan menentukan skala Glasgow, perlu dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Keadaan umum dan kesadaran 2. Adanya sekret di liang telinga, dapat berupa darah atau likuor serebrospinal. 3. Keadaan membran timpani : Terdapat ruptur, dan tampak darah mengalir ke liang telinga. Membran timpani utuh, tetapi berwarna kebiruan, berarti terdapat darah di kavum timpani. 4. Pemeriksaan audiologik : tuli konduktif atau tuli saraf. 5. Pemeriksaan alat keseimbangan : 5.1. Memeriksa adanya nistagmus posisi. Penderita yang ditidurkan telentang tiba-tiba kepalanya diangkat dan dimiringkan ke satu sisi. Diperhatikan adanya nistagmus yang timbul 5.2. Tes kalori cara Halklpike - Fitzgeral. 5.3. Pemeriksaan yang lebih canggih ialah dengan melakukan pemeriksaan elektronistagmosgrafi (ENG). 6. Pemeriksaan gerak otot wajah, untuk memeriksa adanya kelumpuhan nervus fasial perifer atau sentral. Penderita diminta untuk menutup mata, mengernyitkan dahi, menggelembungkan pipi dan lain-lain. Dilihat apakah simetris atau tidak. F. OESOFAGITIS KOROSIF Kecelakaan karena terminum zat korosif di suatu industri yang menggunakan zat korosif besar kemungkinan terjadi. Keluhan dan gejala yang timbul sebagai akibat tertelannya zat korosif tergantung pada jenis zat korosif (basa kuat, asam kuat atau zat organik). Konsentrasi zat korosif (zat dengan konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan yang lebih hebat), volume yang tertelan, serta lama zat korosif melalui saluran cerna (kerusakan oleh benda padat lebih berat dibandingkan dengan zat cair). Diagnosis 1. Anamnesis : rasa terbakar di mulut dan tenggorok setelah meminum zat korosif. Keluhan ini dapat lebih berat sampai sama sekali tidak dapat menelan. 2. Pemeriksaan fisik : dapat berbagai tingkat, dari keadaan umum masih baik, sampai syok. 3. Pemeriksaan radiologik : dilakukan setelah seminggu kejadian, untuk melihat apakah ada penyempitan esofagus. 4. Esofagoskopi : untuk diagnostik dan terapi dengan melakukan businasi pada penyempitan esofagus.
40
Gambaran Klinik Esofagitis Korosif Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lamanya kontak dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak. Bila muntah, maka mukosa esofagus dua kali dikenai zat korosif, sehingga kerusakan lebih berat. Esofagitis korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka bakar yang ditemukan yaitu : 1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi. Penderia mengalami ganguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa hiperemis tanpa disertai ulserasi. 2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan Penderita mengeluh disfagia ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak dalam yang mengenai mukosa esofagus saja. 3. Esofagitis korosif ulserasi sedang Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih (multipel) 4. Esofagitis korosif ulserasi berat tanpa komplikasi Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan menimbulkan striktur esofagus. 5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis. Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan keseimbangan asam dan basa. Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam 3 fase, yaitu; fase akut, fase laten (intermediate) dan fase kronik (obstruktif). III.
URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT A. TELINGA DAN SISTEM PENDENGARAN 1. Tingkat cacat ditentukan dengan mengukur nilai ambang dengar (Hearing Threshold Level = HTL), yaitu angka rata-rata penurunan ambang dengan dengan dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Penurunan nilai ambang dengar dilakukan pada kedua telinga 1.1. Telinga normal
1.2. Tuli ringan 1.3. Tuli sedang
: Pada pemeriksaan audio metrik ambang dengar tidak melebihi 25 dB dan di dalam pembicaraan biasa tidak ada kesukaran mendengar suara perlahan : Pada pemeriksaan audio-metrik ambang dengar 25 40 dB dan terdapat kesukaran mendengar. : Pada pemeriksaan audio-metrik terdapat ambang dengar antara 40 - 55 dB Seringkali terdapat kesukaran untuk mendengar pembicaraan biasa.
41
1.4. Tuli sedang berat
1.5. Tuli berat 1.6. Tuli sangat berat
: Pada pemeriksaan audiometri terdapat ambang dengar rata-rata antara 55 - 70 dB. Kesukaran mendengar suara pembicaraan kalau tidak dengan suara keras. : Ambang dengar rata-rata antara 70 - 90 dB. Hanya dapat mendengar suara yang sangat keras. : Ambang dengar 90 dB atau lebih. Sama sekali tidak mendengar pembicaraan.
Tingkat cacat : American Medical Association (AMA) Committee on Medical Rating of Physical Imparment, menyatakan bahwa cacat total pendengaran, apabila ambang dengar diatas 92 dB. Jadi ambang tertinggi ialah 93 dB dan batas terendah untuk tuli ialah 25 dB.
2. Penentuan tingkat cacat a. Ketulian monaural dinilai sebagai berikut : 1) Periksa pendengaran pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz, kemudian ambil rata-ratanya. 2) Kurangi dengan 25 dB. 3) Perkalikan sisanya dengan 1,5%, Hasilnya ialah persentase ketulian dari suatu telinga (monaural)
b. Ketulian-binaural dihitung sebagai berikut : 1) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih baik dengan 5. 2) Perkalikan monaural pada telinga yang lebih buruk dengan 1 3) Tambahkan nilai ketulian monaural dari telinga yang lebih baik dan lebih buruk 4) Bagi jumlah ini dengan 6. Hasilnya persentase ketulian binaural (dua telinga). c. Pada pekerja di atas usia 40 tahun, dikurangi 0,5 dB per tahun, tetapi tidak melebihi 12,5 dB. Contoh penentuan tingkat cacat Penentuan tingkat cacat, dilakukan dengan pemeriksaan monaural (satu telinga) dan binaural (dua telinga) 1) Cara perhitungan cacat dengan monaural : Tentukan nilai ambang dengan pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Contoh : Telinga kanan : - 500 Hz = 35 cB - 1000 Hz = 40 dB - 2000 Hz = 45 dB - 4000 Hz = 60 dB 180 dB
-
Telinga kiri : 500 Hz = 40 dB 1000 Hz = 50 dB 2000 Hz = 50 dB 4000 Hz = 60 dB 200 dB
Hasil penjumlahan di bagi 4, didapat nilai ambang dengan rata-rata (average Hearing Threshold Level = HTL rata -rata) : Telinga kanan : 180 : 4 = 45 dB Telinga kiri : 200 : 4 = 50 dB
42
2) Cara perhitungan cacat pendengaran monaural Pada orang muda (usia di bawah 40 tahun) : HTL rata-rata dikurangi 25 dB : Telinga kanan : 45 - 25 = 20dB Telinga kiri : 50 - 25 = 25 dB Konversi HTL rata-rata yang melebihi 25 dB ke dalam presentasi daya dengan dengan mengalikan 1,5 % : Telinga kanan : 20 x 1,5 % = 30% (penurunan) pendengaran monaural Telinga kiri : 25 x 1,5 % = 37,5% (penurunan) pendengaran monaural 3) Cara perhitungan cacat pendengaran binaural adalah 5 (lima) kali penurunan pendengaran monaural terkecil ditambah 1 (satu) kali penurunan pendengaran monaural terbesar dibagi 6 (enam). Konversikan penurunan pendengaran monaural kedalam presentasi binaural. Telinga kanan (lebih baik) : 30% x 5 = 150 % Telinga kiri (lebih buruk) : 37,5 % x 1 = 37,5 % Jumlah : 150 % + 37,5% = 187,5 Jumlah ini dibagi 6 = 187,5 % : 6 = 31,25% Jadi nilai penurunan pendengaran binaural ialah : 31,25%. Penentuan ganti rugi cacat di dasarkan pada cacat pendengaran binaural, sesuai dengan lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. Pada contoh diatas perhitungan presentase cacatnya adalah : 31,25% x 40% = 12,5%. 4) Cara perhitungan cacat pendengaran pada orang tua (presbiakusis) Presbiakusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 dB tiap tahun, dimulai dari usia 40 tahun. Misalnya seorang pekerja sekarang berusia 43 tahun, maka kenaikan ambang dengar karena faktor usia ialah : (43-40) x 0,5 dB = 1,5 dB Contoh pada butir a di atas : - HTL rata-rata dikurangi 25 dB, dikurangi lagi dengan ambang dengan oleh presbiakusis (pada contoh ini = 1,5 dB), sehingga : Telinga kanan : 45 - 25 - 1,5 = 18,5 dB Telinga kiri : 50 - 25 - 1,5 = 23,5 dB - Konversikan HTL rata-rata ke dalam presentase penurunan daya dengan, dengan mengalikan 1,5 : Teling kanan : 18,5 x 1,5 % = 25,75 % (penurunan pendengaran monaural) Telinga kiri : 23,5 x 1,5% = 35,25 % (penurunan pendenganran monaural) - Konversikan penurunan pendengaran monaural ke dalam presentase binaural : Telinga kanan (lebih baik) = 25,75% x 5 = 128,75% Telinga kiri (lebih buruk) = 35,25 % x 1 = 35,25 % Jumlah : 128,75 % + 35,25 % = 164 % Jumlah ini dibagi 6 : 164 % : 6 = 27,33%. - Jadi nilai prosentase penurunan pendengaran binaural ialah 27,33% x 40% = 10,93 %.
43
Penilaian cacat juga dapat dilakukan dengan melihat tabel. Contoh : Pasien A. Telinga kanan - 500 Hz = 15 dB - 1000 Hz = 25 dB - 2000 Hz = 45 dB - 4000 Hz = 55 dB 140 dB
Telinga kiri - 500 Hz = 30 dB - 1000 Hz = 45 dB - 2000 Hz = 60 dB - 4000 Hz = 85 dB 220 dB
Pasien B. Telinga kanan - 500 Hz = 80 dB - 1000 Hz = 90 dB - 2000 Hz = 100 dB - 4000 Hz = 100 dB 370 dB
Telinga kiri - 500 Hz = 75 dB - 1000 Hz = 80 dB - 2000 Hz = 90 dB - 4000 Hz = 95 dB 340 dB
Dapat dilihat pada tabel 1 (di halaman berikut) Perhitungan persentase kehilangan pendengaran monaural, pada: Pasien A : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 dB sesuai dengan 15%, pendengaran telinga kiri adalah 220 dB Pasien B : tingkat pendengaran telinga kanan adalah 370 dB sesuai dengan 100%, pendengaran telinga kiri adalah 340 dB sesuai dengan 90%
Dilihat pada tabel 2 (halaman berikut) Perhitungan persentase kehilangan pendengaran binaural, pada : Pasien A
:
Jumlah tingkat pendengaran telinga kanan adalah 140 dB (lebih baik) kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga kiri yaitu 220 dB (lebih buruk), maka didapat persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 20 %
Pasien B
:
Jumlah tingkat pendengaran telinga kiri adalah 340 dB (lebih baik), kombinasi dengan jumlah tingkat pendengaran telinga kanan yaitu 370 dB (lebih buruk), maka didapat persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 % (catatan : digunakan jumlah tingkat pendengaran maksimum yaitu 368 dB.
Dilihat pada tabel 3 (dibawah) : Perhitungan persentase kehilangan pendengaran dari seluruh tubuh manusia. Pasien A : Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 20% sesuai dengan 7 % dari kecacatan seluruh tubuh. Pasien B :
Persentase kehilangan pendengaran binaural sebesar 92 % sesuai dengan 32% dari kecacatan seluruh tubuh.
44
Tabel 1. Monaural Hearing Loss Impairment (%). *
%
DSHL
%
DSHL
%
100
0.0
105 110 115 120
1.9 3.8 5.6 7.5
190 195 200
33.8 35.6 37.5
285 290 295 300
69.3 71.2 73.1 75.0
125 130 135 140
9.4 11.2 13.1 15.0
205 210 215 220
39.4 41.2 43.1 45.0
305 310 315 320
76.9 78.8 80.6 82.5
145 150 155 160
16.9 18.8 20.6 22.5
225 230 235 240
46.9 48.9 50.5 52.5
325 330 335 340
84.4 86.2 88.1 90.0
165 170 175 180
24.4 26.2 28.1 30.0
245 250 255 260
54.4 56.2 58.1 60.0
345 350 355 360
90.9 93.8 95.6 97.5
31.9
61.9 63.8 65.6 67.5
365 368 or greater
99.4 100.0
185
265 270 275 280
TABLE 3 Relationship of Binaural Hearing Impairment to Impairment of the Whole person
% Binaural hearing Impairment
% Impairment of the whole person
0 - 1.7 1.8 - 4.2 4.3 - 7.4 7.5 - 9.9 10.0 - 13.1 13.2 - 15.9 16.0 - 18.8 18.9 - 21.4 21.5 - 24.5 24.6 - 27.1 27.2 - 30.0 30.1 - 32.8 32.9 - 35.9 36.0 - 38.5 38.6 - 41.7 41.8 - 44.2 44.3 - 47.4 47.5 - 49.9
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
% Binaural hearing Impairment
50.0 54.2 55.8 58.9 61.5 64.6 67.2 70.1 72.9 76.0 78.6 81.8 84.3 87.5 90.0 93.2 95.8 98.9
45
- 53.1 - 55.7 - 58.8 - 61.4 - 64.5 - 67.1 - 70.0 - 72.8 - 75.9 - 78.5 - 81.7 - 84.2 - 87.4 - 89.9 - 93.1 - 95.7 - 98.8 - 100.0
% Impairment of the whole person 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Guides to the Evaluation of Permanent Impairment Table 2. Computation of Binaural Hearing Impairment Worse ear 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160 165 170 175 180 185 190 195 200 205 210 215 220 225 230 235 240 245 250 255 260 265 270 275 280 285 290 295 300 305 310 315 320 325 330 335 340 345 350 355 360 365 368
0 0.3 0.6 0.9 1.3 1.6 1.9 2.2 2.5 2.8 3.1 3.4 3.8 4.1 4.4 4.7 5 5.3 5.6 5.9 6.3 6.6 6.9 7.2 7.5 7.8 8.1 8.4 8.8 9.1 9.4 9.7 10 10.3 10.6 10.9
ANSI 1969
100 105 110 115 120
1.9 2.2 2.5 2.8 3.1 3.4 3.8 4.1 4.4 4.7 5 5.3 5.6 5.9 6.3 6.6 6.9 7.2 7.5 7.8 8.1 8.4 8.8 9.1 9.4 9.7 10 10.3 10.6 10.9 11.3 11.6 11.9 12.2 12.5
3.8 4.1 4.4 4.7 5 5.3 5.6 5.9 6.3 6.6 6.9 7.2 7.5 7.8 8.1 8.4 8.8 9.1 9.4 9.7 10 10.3 10.6 10.9 11.3 11.6 11.9 12.2 12.5 12.8 13.1 13.4 13.8 14.1
5.6 5.9 6.3 6.6 6.9 7.2 7.5 7.8 8.1 8.4 8.8 9.1 9.4 9.7 10 10.3 10.6 10.9 11.3 11.6 11.9 12.2 12.5 12.8 13.1 13.4 13.8 14.1 14.4 14.7 15 15.3 15.6
Catatan :
7.5 7.8 8.1 8.4 8.8 9.1 9.4 9.7 10. 10.3 10.6 10.9 11.3 11.6 11.9 12.2 12.5 12.8 13.1 13.4 13.8 14.1 14.4 14.7 15 15.3 15.6 15.9 16.3 16.6 16.9 17.2
9.4 9.7 10 10.3 10.6 10.9 11.3 11.6 11.9 12.2 12.5 12.8 13.1 13.4 13.8 14.1 14.4 14.7 15 15.3 15.6 15.9 16.3 16.6 16.9 17.2
11.3 11.6 11.9 12.2 12.5 12.8 13.1 13.4 13.8 14.1 14.4 14.7 15 15.3 15.6 15.9 16.3 16.6 16.9 17.2 17.5 17.8 18.1 18.4 18.8
13.1 13.4 13.8 14.1 14.4 14.7 15 15.3 15.6 15.9 16.3 16.6 16.9 17.2 17.5 17.8 18.1 18.4 18.8 19.1 19.4 19.7 20 20.3
15 15.3 15.6 15.9 16.3 16.6 16.9 17.2 17.5 17.8 18.1 18.4 18.8 19.1 19.4 19.7 20 20.3 20.6 20.9 21.3 21.6 21.9
16.9 17.2 17.5 17.8 18.1 18.4 18.8 19.1 19.4 19.7 20 20.3 20.6 20.9 21.3 21.6 21.9 22.2 22.5 22.8 23.1 23.4
18.6 19.1 19.4 19.7 20 20.3 20.6 20.9 21.3 21.6 21.9 22.2 22.5 22.8 23.1 23.4 23.8 24.1 24.4 24.7 25
20.6 20.9 21.3 21.6 21.9 22.2 22.5 22.8 23.1 23.4 23.6 24.1 24.4 24.7 25 25.3 25.6 25.9 26.3 26.6
22.5 22.8 23.1 23.4 23.8 24.1 24.4 24.7 25 25.3 25.6 25.9 26.3 26.6 26.9 27.2 27.5 27.8 28.1
24.4 24.7 25 23.8 25.6 25.9 26.3 26.6 26.9 27.2 27.5 27.8 28.1 28.4 28.8 29.1 29.4 29.7
26.3 26.6 26.9 27.2 27.5 27.8 28.1 28.4 28.8 29.1 29.4 29.7 30 30.3 30.6 30.9 31.3
28.1 28.4 28.8 29.1 29.4 29.7 30 30.3 30.6 30.9 31.3 31.6 31.9 32.2 32.5 32.8
30 30.3 30.6 30.9 31.3 31.5 31.9 32.2 32.5 32.8 33.1 33.4 33.8 34.1 34.4
31.9 32.2 32.5 32.8 33.1 33.4 33.8 34.1 34.4 34.7 35 35.3 35.6 35.9
33.8 34.1 34.4 34.7 35 35.3 35.6 5.9 36.3 36.6 36.9 37.2 37.5
35.6 35.9 36.3 36.6 36.9 37.2 37.5 37.8 38.1 38.4 38.8 39.1
37.5 37.8 38.1 38.4 38.8 39.1 39.4 39.7 40 40.3 40.6
39.4 39.7 40 40.3 40.6 40.9 41.3 41.6 41.9 42.2
41.3 41.6 41.9 42.2 42.5 42.8 43.1 43.4 43.8
43.1 43.4 43.8 44.1 44.4 44.7 45 45.3
45 45.3 45.6 45.9 46.3 46.6 46.9
46.9 47.2 47.5 47.8 48.1 48.4 48.8 49.1 49.4 49.7
48.8 49.1 49.4 49.7 50 50.3 50.6 50.9 51.3
125
Tuli saraf penilaiannya sama seperti pada tuli akibat bising. Tuli hantar dan campuran : tambahnya nilai hantaran udara dan hantaran tulang pada 500, 100, 2000 dan 4000 Hz, kemudian dibagi 8 (delapan). Selanjutnya perhitungannya sama dengan tuli akibat bising.
Penentuan ganti rugi mengacu lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. GANGGUAN KESEIMBANGAN Evaluasi gangguan keseimbangan sebaiknya dilakukan bila kondisi tubuh telah stabil, sehingga dapat dilakukan penilaian secara adekuat. Penilaian gangguan keseimbangan dibagi sebagai berikut: 1. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 0%, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan tanpa ditemukan gejala klinis yang obyektif dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan.
46
2. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 5 - 10 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas yang kompleks seperti bersepeda. 3. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 15 - 30 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali aktivitas ringan seperti berjalan, pekerjaan rumah ringan dan menolong diri sendiri. 4. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 35 - 60%, bila terdapat gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, kecuali menolong diri sendiri. 5. Persentase gangguan keseimbangan dari seluruh tubuh = 65 - 95 %, bila terdapat gejala gangguan keseimbangan dengan adanya gejala klinis yang obyektif, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dan menjalani perawatan di rumah. B. HIDUNG DAN SISTEM PENCIUMAN Penentuan Tingkat Cacat 1. Terdapat perubahan suhu dan kelembaban udara, pada umumnya hidung dapat menyesuaikan diri, sehingga tidak menyebabkan kelainan. 2.
Tentang rinitis alergi akibat kerja, disebabkan oleh kontak alergen di lingkungan kerja. Bila pekerja dipindahkan dari lingkungan itu, maka gejala akan berkurang atau hilang sama sekali, Hal ini tidaklah mudah, oleh karena : 2.1. Kemampuan/keahlian pekerja pada pekerjaan yang khusus, yang kebetulan di daerah yang mengandung alergen itu. 2.2. Lowongan kerja di tempat kerja itu akan dipindahkan, tidak ada atau tidak cocok dengan keahliannnya.
3.
Kelainan penciuman dapat merupakan cacat, oleh karena sering kali tidak dapat sembuh lagi, misalnya yang disebabkan oleh trauma. Penentuan tingkat cacatnya ialah dengan menghitung persentase zat yang dapat dicium oleh penderita pada waktu pemeriksaan, misalnya yang tidak dapat diketahuinya zat yang diciumnya sebanyak 5 buah dari 10 zat yang harus diciumnya = 50% apabila ditentukan bahwa anosmia merupakan cacat 40%, maka tingkat cacat disini ialah 50 x 40% = 20%.
4.
Kelainan hidung yang menyebabkan keluhan menahun / berulang : 4.1. Sinusitis kronis yang meskipun telah dilakukan pengobatan dengan operasi, akan selalu kambuh, apabila lingkungannya mengandung polusi. Hal ini dapat disebut sebagai cacat. Jadi cacatnya 40%. 4.2. Hidung tersumbat sebagai akibat konka hipertrofi pada rinitis kronis, meskipun telah dilakukan tindakan operasi dengan melakukan konkotomi untuk mengurangi konka yang hipertrofi, kadang-kadang akibatnya akan ditemukan gejala "open space syndrome", penderita terus menerus merasakan pusing dan kepala nyeri. Pada keadaan yang demikian pekerja tidak dapat berproduksi dengan baik. Nilai cacatnya ialah 40%.
5.
Tumor ganas hidung dan sinus paranasal : Bila tumor ganas ditemukan pada stadium dini, dan diobati secara dini juga dengan tepat, maka masa bertahan 5 tahun dapat mencapai 90 - 100%. Akan tetapi bila diketahui setelah dalam stadium lanjut, maka prognosisnya tidak baik. Perlu diingat, bahwa waktu inkubasi untuk terjadinya tumor ganas memerlukan waktu, sehingga ada kemungkinan setelah pekerja tidak terpapar lagi oleh zat karsinogenik barulah penyakit itu tampak.
47
Penentuan ganti rugi mengacu kepada lampiran Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993 yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. Ganti rugi fungsi penciuman sama dengan 10% dari upah. C. TENGGOROK CIDERA LARING DAN TRAKEA Penentuan tingkat cacat. 1. Suara tidak keluar sama sekali : 40% 2. Suara parau masih dapat dimengerti kata-kata yang diucapkan : 50 x 40% = 20%. 3. Tidak dapat bernafas melalui laring/trakea, sehingga bernafas melalui lubang trakeostomi : 40%. Presentase cacat akibat kerja atau kecelakaan diambil dari buku tentang perubahan kemampuan daya kerja pekerja di Hongaria : 0 - 40% = sakit akibat kecelakaan 0 - 15% = sakit ringan, kesembuhan dalam waktu singkat dan setelah sembuh dapat bekerja pada profesi semula. 15 - 40% = sakit berat, kesembuhan dalam waktu lama, setelah sembuh dapat bekerja pada profesi semula. 40 - 90% = cacat 40 - 67% = cacat sementara akibat kecelakaan, diharapkan akan tetap bekerja ringan pada profesi lain tanpa mengganggu kesehatannya. 67 - 90% = cacat tetap akibat kecelakaan, tidak dapat bekerja sama sekali, dan karena itu mempunyai hak pensiun. D. CIDERA KEPALA Penilaian cacat : 1. Tuli saraf yang terjadi tidak dapat sembuh. Untuk penilaian cacatnya dihitung seperti pada tuli akibat bising. 2. Kelainan alat keseimbangan dapat disembuhkan, tetapi pengobatannya lama. 3. Kelumpuhan saraf wajah yang letaknya perifer, bila sarafnya tidak terputus, dapat disembuhkan dengan jalan operasi apabila dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2 minggu. E. ESOFAGITIS KOROSIF Penilaian Cacat : Sebagai komplikasi esofagitis korosif ialah terjadinya striktur esofagus. Hanya sebagian kecil dari striktur esofagus yang dapat disembuhkan dengan businasi. Bila tidak tertolong, maka dilakukan reseksi esofagus, serta mengganti esofagus dengan kolon, atau dengan membuat gastrostomi untuk makan penderita. Pada keadaan ini tingkat cacat 40%.
BIDANG ORTHOPAEDI I.
BATASAN Orthopaedi adalah suatu spesialisasi yang mencakup investigasi, prevensi, restorasi dan perkembangan dari bentuk dan fungsi ekstremitas, tulang belakang dan struktur yang berkaitan secara medikamentosa, pembedahan dan dengan metoda fisik (AAOS 1960). Sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan penyakit orthopaedi adalah penyakit yang mengenai sistem muskuloskeletal sehingga menimbulkan gangguan fungsi pergerakan yang kemudian menimbulkan hambatan pada kegiatan si penderita. Terdapat 3 stadia gangguan kegiatan penderita akibat dari suatu penyakit.
48
1. Stadia 'Impairment' (cacat) Stadia dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk merawat diri (self care) sebagai akibat penyakit yang diderita, baik secara anatomi-fisiologis maupun psikologis. Dalam stadia ini penderita tidak mampu melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari, yang biasanya dapat dilaksanakan. Penderita masih memerlukan terapi aktif. 2. Stadia 'Disability' (ilat) Stadium dimana seseorang mendapatkan keterbatasan atau kekurangan kemampuan (akibat impairment) dalam melaksanakan kegiatan dibanding dengan orang sehat. Penderita masih mengalami perbaikan, sehingga sedikit demi sedikit dapat kembali melaksanakan beberapa macam pekerjaan walaupun masih terbatas; dalam stadia ini mungkin masih diperlukan terapi atau modalitas alat bantu. 3. Stadia 'Handicapped' (tuna) Stadia keadaan akhir dimana keadaan penyakit dan gejala sesudah menetap dan disebut cacat menetap (tuna), baik sebagian maupun keseluruhan. Tindakan yang diperlukan, tujuannya adalah membantu semaksimal mungkin agar si penderita secara keseluruhan dapat mandiri (independent) dengan bantuan modalitas untuk mengatasi kecacatan. Gangguan fungsi muskuloskeletal dapat terjadi sebagai akibat : 1. Kelainan sebagian atau seluruh anggota tubuh 2. Kelainan bentuk/anatomi 3. Kekakuan sendi 4. Kelumpuhan Penentuan tingkat kecacatan secara medis sangat penting karena konsekuensinya pada bidang administrasi, finansial dan sosial dalam menentukan bahwa seseorang tidak lagi dapat melakukan pekerjaan seperti semula. Karena itu perlu ada keseragaman dan ketepatan dalam penentuan kecacatan secara medis. II.
DIAGNOSIS A. Anamnesis 1. Apa ada trauma ? 2. Apakah penderita tak dapat kerja sama sekali ? 3. Kidal atau kinan ? 4. Sudah berapa lama ? 5. Sudah dapat terapi ? 6. Sejak kapan dapat terapi ? 7. Masih perlu pengobatan rehabilitasi ? 8. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk kembali kerja ? 9. Keadaan tersebut sudah hasil maksimum/stabil (permanen)? B. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum 2. Pemeriksaan orthopaedik tentang anggota gerak atas, bawah dan tulang belakang secara keseluruhan dengan dasar pemeriksaan : - Look (inspeksi) - Feel (palpasi) - Move (gerakan aktif dan pasif) Kelainan yang dapat ditemukan : - Amputasi - Kelainan sensorik dan motorik - Kelainan tonus otot/lingkar (diameter) - Ukuran panjang atau pendek - Kekakuan atau kelainan sendi - Stabilitas dan gerak lingkup sendi - Kelainan lain seperti: sikatriks, trofi (pertumbuhan), deformitas. - Kelemahan (manual Muscle Test) 3. Pemeriksaan laboratorium rutin
49
4. Pemeriksaan penunjang : a. Pemeriksaan rongent minimal dalam 3 proyeksi Bila perlu dilakukan : - Proyeksi khusus untuk daerah tertentu - Tomografi - Kontras (arthrografi, mielografi, arteriografi) - CT scan/scintigrafi - M.R.I (Magnetic Resonance Imaging) / N.M.R (Nuclear Magnetic Resonance) b. Ultrasonografi (U.S.G) c. Pemeriksaan neurologik Dengan pemeriksaan EMG (Elektromyography) untuk menyatakan apakah gangguan fungsi akibat neurogical deficit, saraf perifer, neuro muscularfunction atau otot. C. Penyakit pada Ortopedi 1. Trauma Trauma pada muskuloskeletal dapat menimbulkan penyakit/kerusakan fungsi akibat kecelakaan kerja : a. kerusakan/perlukaan jaringan lunak b. kerusakan tulang (patah/fraktur) c. kerusakan persendian (merupakan kombinasi 1&2) a. Jaringan lunak - gangguan pada sirkulasi (peredaran darah) dan perdarahan - gangguan pada persyarafan tepi (peripheral nerve) - kerusakan pada otot dan jaringan komponen sendi (ligament serupa sendi) b. Tulang - Patah tulang - Patah tulang rawan c. Sendi - Cerai sendi/dislokasi - Perdarahan sendi - Kerusakan ligament dan simpai sendi ketidakstabilan (instability) dan kekakuan.
(capsul) mengakibatkan:
2. Penyakit Menahun Beberapa macam penyakit pekerjaan dapat timbul akibat keadaan kerja antara lain: - Caisar`s disease : tekanan tinggi yang mendadak berkurang dapat menimbulkan avasculair necrosis dari kaput femoris, menyebabkan kerusakan tulang dan sakit di pinggul - Postural/sikap posisi mengerjakan pekerjaan secara menahun yang dikenal sebagai Low Back Pain (LBP) otot-otot menjadi fatigue menimbulkan unstability dari tulang belakang sehingga timbul proses degenerasi yang dapat menimbulkan keluhan sakit, pegal di daerah pinggang - Pekerjaan kasar, yang harus mengangkat beban, dapat cedera pada diskus yang dikenal sebagai HNP (Hernia Nucleus Pulposus)
III.
URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT A. Amputasi Sebagian atau seluruhnya dari bagian anggota gerak Uraian : - Jelaskan bagian yang hilang - Tentukan daerah / regio amputasi
50
- Tentukan tinggi/level amputasi - Tentukan tingkat gangguan fungsi - Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor : 14 tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005. B. Kelumpuhan (plegia) atau kelemahan (parese) Kelumpuhan dan kelemahan Tentukan daerah/gerakan sendi yang terganggu Tentukan tingkat kekuatan otot (Manual Muscle Test : 0 sampai 5) Tentukan tingkat gangguan fungsi Nilai : - 0 : – 1 : – 2 : –
4 5
: :
tidak ada gerakan otot kehilangan fungsi 100 % Ada gerakan otot, tanpa gerakan sendi kehilangan fungsi 80 % Dapat menggerakkan sendi pada seluruh lingkup gerak sendi, dan dapat melawan gravitasi kehilangan fungsi 60% Nilai 3 ditambah dengan tahanan ringan kehilangan fungsi 20% Nilai 3 ditambah dengan tahanan penuh (normal kehilangan fungsi 0 %.
C. Kekakuan Kehilangan fungsi dihitung dari perubahan derajat lingkup gerak sendi (LGS)/ range of motion (ROM) dengan cara : 1. Membandingkan dengan catatan medik awal 2. Bandingkan dengan LGS sisi yang lain 3. Bandingkan dengan LGS pemeriksa yang normal Contoh : 1) LGS awal 90 ’ (normal) Setelah terjadi kekakuan 60o : kehilangan LGS 90o - 60o = 30o Maka kehilangan fungsi menjadi 30/90 x 100% = 33,3%. 2) Bila suatu sendi terdapat gerakan yaitu fleksi, ekstensi dan abduksi : Gerak
Normal
Fleksi 175 Ekstensi 45 Abduksi 180 400
Hasil pemeriksaan 90 30 30 150
Kehilangan LGS 85 15 150 250 250
Maka kehilangan fungsi akibat kekakuan :
x 100% = 62,5% 400
D. Perpendekan (discrepancy) Cacat akibat perpendekan hanya berlaku untuk anggota gerak bawah (tungkai). Setiap perpendekan 0,5 inchi (2,5 cm) salah satu tungkai, mengakibatkan kehilangan fungsi sebesar 5% dari fungsi kedua tungkai dari pangkal paha ke bawah. Penilaian tingkat cacat mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor : 14 tahun 1993 dan telah disempurnakan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2005.
51
E. Kasus khusus 1. Sendi panggul (nilai/terhadap seluruh badan 50%) : - Non union tanpa koreksi perbaikan : 75% - Dengan arthroplasti, dapat jalan dan berdiri waktu bekerja 40% gerak : 50% - Lingkup gerak dan kedudukan kelainan : 50% 2. Sendi lutut : - Pasca minisektomi – Ruptur ligament krusiatum : – Patelektomi – Gangguan gerak : 00015 -
110 80 60 90
5% 20 % - 30% 20% 5% 15% 35% 40%
3. Pergelangan kaki/kaki Impairment and loss physical handicap (diperhitungkan 80% dari anggota gerak bawah) Sedangkan kekakuan sendi pergelangan kaki lebih besar dari tulang-tulang tarsalia dan tarsal - metatarsal lebih dari jari-jari kaki. 4. Nyeri pada anggota gerak dan tulang belakang : Nyeri sulit dinilai secara objektif dan harus ditentukan apakah merupakan suatu akibat kelainan fisik atau bukan. Bila bukan maka pemeriksaaan dilakukan sesuai dengan pemeriksaan psikiari/psikologi. Penentuan kecacatan sebaiknya dilakukan setelah menjalani pengobatan minimal 6 bulan untuk periode penyembuhan luka dan selama lamanya 24 bulan untuk penyembuhan komplikasi vaskuler. Penilaian kecacatan juga ditentukan sisi mana yang terkena. Sisi yang bukan sisi dominan maka nilai kecacatan dikurangi 5% bila penurunan fungsi sebesar 5% 50% dan dikurangi 10% bila penurunan fungsi sebesar 51% - 100%. Penilaian kecacatan yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja, sebaiknya dilakukan dengan membandingkan dengan kondisi / kemampuan penderita sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu penting adanya catatan kecacatan yang telah ada pada setiap pekerja saat akan mulai bekerja. Penilaian akhir suatu kecacatan sebaiknya juga dengan mempertimbangkan kemampuan pasien bekerja kembali dibandingkan dengan kemampuannya sebelum mengalami penyakit tersebut. Karena itu juga penting mengetahui kemampuan bekerja pekerja (misalnya : jumlah huruf yang mampu diketik oleh seorang juru ketik dalam waktu satu menit). Sebagai pertimbangan dapat digunakan pedoman penentuan kecacatan yang dikemukakan oleh Steinbocker (kemampuan penderita setelah penyembuhan untuk kegiatannya sehari-hari) : a. b. c. d.
Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari : 25 % Terdapat kesukaran melakukan tugas /kegiatan sehari-hari : 50% Dapat melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari dengan bantuan : 75% Dapat melakukan tugas / kegiatan sehari-hari dengan banyak kesulitan : 100%
F. Ketentuan dalam bidang orthopaedi : 1. Penilaian cacat bidang orthopaedi meliputi : a. Penilaian cacat Anatomi akibat kecelakaan kerja / Penyakit Akibat Kerja bisa dilakukan kurang dari 6 bulan s/d 2 tahun setelah luka sembuh.
52
b. Penilaian cacat Fungsi anggota tubuh akibat kecelakaan kerja / Penyakit Akibat Kerja selambat-lambatnya 6 bulan s/d 2 tahun setelah usaha medis secara maksimal dilakukan termasuk rehab medis. 2. Kriteria akibat kecelakaan kerja bidang orthopaedi yaitu : a. Sembuh sempurna : 1) Luka sembuh. 2) Radiologi Union (pada kasus fraktur). 3) Tidak di dapat komplikasi. 4) Fungsi kembali lagi 100%. 5) Waktu maksimal 2 tahun. 6) Tidak ada implant kecuali protesa. b. Sembuh belum sempurna 1) Luka sembuh. 2) Radiologi Union (pada kasus fraktur). 3) Tidak di dapat komplikasi. 4) Fungsi bisa kembali normal, bisa berkurang. 5) Waktu maksimal 2 tahun. 6) Masih ada implant. c. Sembuh tidak sempurna (fungsi berkurang). 1) Telah dilakukan terapi medis secara maksimal. 2) Fungsi berkurang dan dianggap tidak bisa pulih serta tidak dapat dikoreksi dengan terapi medis apapun (hasil akhir). 3) Waktu maksimal 2 tahun. d. Tidak sembuh. 1) Tidak sembuh setelah menjalani terapi maksimal selama 2 tahun karena penyakit tersebut. 2) Selanjutnya pasien dapat ditentukan kecacatannya. 3. Penetapan cacat di bidang Orthopaedi dilakukan setelah dilaksanakan terapi maksimal selambat-lambatnya sampai dengan 2 tahun. 4. Apabila tenaga kerja dinyatakan sembuh akibat kecelakaan kerja/penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa maka selanjutnya diberikan surat keterangan dengan mengisi formulir bentuk KK4 untuk kecelakaan kerja, KK5 untuk penyakit akibat kerja dan ditulis bahwa penilaian kecacatan klinis dilakukan pada hari/dan tanggal penilaian, serta apabila nilai kecacatan dimungkinkan dapat berubah, pasien diberi formulir inform concern yang ditanda tangani oleh pasien. Apabila kondisi tenaga kerja belum sembuh Badan Penyelenggara belum wajib membayar santunan / Jaminan Kecelakaan Kerja. 5. Hernia Nucleus Pulposus (HNP) termasuk kasus Kecelakaan Kerja apabila memenuhi kriteria : Ada riwayat trauma ditempat kerja; ada keluhan akut/mendadak dan ada penyebabnya. 6. Penyakit yang berkaitan dengan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi dapat di kategorikan sebagai penyakit akibat kerja apabila dapat dibuktikan faktor penyebabnya dalam pekerjaan atau lingkungan kerja.
53
7. Orthose/prothese dan alat bantu lainnya diberikan saat layanan rehabilitasi medik dalam masa pemulihan fungsi mencapai stadium lanjut dengan keadaan cacat yang sudah menetap atau permanen.
BIDANG PENYAKIT PARU I.
BATASAN Penyakit paru akibat kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang disebabkan oleh pajanan faktor-faktor risiko di tempat kerja antara lain berupa : debu, gas dan uap.
Kelainan yang terjadi dapat berupa : A. Kelainan akut 1. Trauma inhalasi akut akibat gas iritan, fosgen, asap ; termasuk Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) 2. Toxic Pneumonitis 3. Edema paru akut, misalnya akibat asap, nitrogen, SO2, fosgen 4. Bronkitis akut 5. Hipersensitiviti pneumonitis B. Kelainan kronik 1. Pneumokoniosis Misalnya akibat debu asbes (asbestosis), batubara (pneumoconiosis batubara), silica (silicosis), beryllium (beriliosis) dan lain lain 2. Penyakit pleura (efusi pleura, mesotelioma, plak pleura) Misalnya akibat pajanan debu asbes 3. Bronkitis kronik Misalnya akibat pajanan debu tambang, tepung, talk, asap, gas 4. Asma kerja Misalnya akibat : Isosianat ; Heksametilen diisosianat (HDI), toluene diisosianat (TDI) Tepung gandum Kolofoni pada proses solder elektronik Lateks Bulu binatang tertentu Dan lain-lain 5. Bisinosis Timbul akibat pajanan debu kapas 6. Hipersensitiviti pneumonitis Timbul akibat respons hiperimun terhadap antigen inhalasi antara lain berasal dari mikroorganisme, binatang, tumbuhan dan zat kimia. 7. Kanker paru Kanker paru akibat pajanan di tempat kerja dapat disebabkan antara lain oleh arsen, asbes, krom, uranium, metal eter, nikel, cadmium. 8. Penyakit infeksi : Antraks Coccodiodomycosis Echinococcosis Psitacosis Tuberkulosis
54
II.
DIAGNOSIS A. Anamnesis 1. Riwayat pekerjaan. a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran/hobby yang terus menerus atau ―part time ― secara kronologis b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja : - bahan yang digunakan oleh pekerja - bahan yang digunakan oleh pekerja pembantu. c. Hubungan antara paparan dan gejala yang timbul : - waktu antara mulai bekerja dan gejala pertama - urutan-urutan dan perkembangan gejala - hubungan antara gejala dengan tugas tertentu - perubahan gejala dan waktu libur, jauh dari tempat kerja 2. Keluhan penyakit : Ditanyakan tentang adanya keluhan penyakit berupa : a. Batuk : sifat batuk (kering atau berdahak) waktu batuk (pagi/siang/malam/terusfrekuensi sejak kapan ? - batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun - peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terakhir b. Dahak Warna Jumlah Konsistensi Waktu (pagi/siang/malam/terusSejak kapan ? - batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun - peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terakhir. c. Sesak napas/Napas pendek Ditanyakan sesuai dengan kriteria sesak napas menurut American Thoracic Society (ATS) : 0 1
tidak ada ringan
Tidak ada sesak napas kecuali exercise berat Rasa napas pendek bila berjalan cepat mendatar atau mendaki 2 sedang Berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama umur karena sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan mendatar 3 berat Berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter/beberapa menit, berjalan mendatar 4 Sangat berat Terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan/ melepaskan pakaian Sejak 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak waktu terbangun dari tidur malam d. Nyeri dada Lokasi Deskripsi nyeri dada Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, yang lamanya 1 minggu e. Mengi Disertai napas pendek atau napas normal Sejak kapan?.
55
3. Riwayat Penyakit Dahulu Ditanyakan tentang adanya penyakit / keluhan penyakit yang pernah dideritanya berupa : a. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita : - kecelakaan / operasi daerah dada - gangguan jantung - bronkitis - pneumoni - pleuritis - T B paru - Asma bronkial - Gangguan dada yang lain - Hay fever - Dal lain-lain b. Riwayat atopi/alergi. 4. Riwayat kebiasaan Ditanyakan kebiasaan merokok meliputi : a. Jumlah rokok yang dihisap : - 1 (satu) batang rokok perhari atau 1 batang rokok perbulan atau lebih dari 1 batang rokok - jumlah batang rokok / tembakau perhari / perminggu. b. Lama merokok : Kurang dari 1 tahun / lebih dari 1 tahun. c. Cara mengisap rokok : - dangkal - sedang - dalam d. Umur waktu mulai merokok dengan teratur. e. Jenis rokok : - buatan pabrik / buatan sendiri - menggunakan filter / tidak - rokok tipe kecil / sedang - sering berganti-berganti rokok / kombinasi / tidak - kretek / putih f. Kontinuitas merokok : - pernah mengalami / berhenti merokok / tidak, lamanya - jumlah hari selama merokok (jumlah bulan / tahun ) g. Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : - Ringan : 1 - 200 - Sedang : 201 - 600 - Berat : >600 B. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum dan tanda vital 2. Pemeriksaan pulmonologik a. Inspeksi b. Palpasi c. Perkusi d. Auskultasi C. Pemeriksaan Penunjang 1. Rutin : - laboratorium : darah, urine - foto toraks : PA dan lateral - spirometri.
56
2. Khusus : - uji alergi pada kulit - uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik/non spesifik di tempat kerja - sputum BTA 3x - Sputum sitologi - bronkoskopi - patologi anatomi : biopsi - radiologi : tomogram, bronkografi, CT - scan - kapasitas difusi terhadap CO (DLCO) - uji Cardio Pulmonary Exercise (CPX).
D. Penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dalam bidang paru diperlukan data pendukung berupa kondisi lingkungan kerja apakah terdapat faktor dan bahan-bahan yang menimbulkan penyakit akibat kerja.
III.
URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT A. Uraian Cacat. 1. Kelainan fungsi paru (restriktif dan obstruktif atau campuran) Restriksi (KVP% atau KVP/prediksi%) Normal Ringan Sedang Berat
>80% 60-79% 30-59% <30%
Obstruksi (VEP1/KVP)% atau VEP1% (VEP1/prediksi) >75% 60-74% 30-59% <30%
2. Kelainan anatomi seperti kehilangan sebagian jaringan paru, misalnya lobektomi.
B. Penilaian derajat sesak Derajat O Derajat I Derajat II
: : :
Derajat III
:
Derajat IV :
Tidak sesak kecuali exercise berat Sesak ringan, rasa napas pendek bila berjalan cepat mendatar atau mendaki Sesak sedang, berjalan lebih lambat dibandingkan orang lain sama umur karena sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan mendatar Sesak berat, berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100 meter/beberapa menit, berjalan mendatar Sangat berat terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat mengenakan/melepaskan pakaian
C. Penilaian Cacat. Penilaian cacat pada penyakit paru akibat kerja didasarkan kepada hasil penentuan pemeriksaan spirometri dan derajat sesak sebagai berikut:
57
Derajat sesak
0 1 2 3 4
Ringan Sedang Berat Sangat berat
VEP 1
> 2,5 L 1,6 - 2,5 L 1,1 - 1,5 L 0,5 - 1 L < 0,1L
Persentase cacat fungsi (fungsional disability) 25 % 50 % 75 % 100 %
Penilaian dilakukan setelah penderita mendapat terapi maksimal (bronkodilator) selama 3 bulan dengan hasil menetap. Cara menetapkan penilaian kecacatan fungsi (Functional disability) ditentukan dengan menilai secara subyektif keluhan sesak napas dan penilaian obyektif dengan pemeriksaan spirometri Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi 100% sama dengan 70%.
BIDANG PENYAKIT MATA
I.
BATASAN Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bidang mata adalah penyakit atau kelainan pada mata akibat pemaparan antara lain faktor-faktor risiko di tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan yang dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan aktivitas normal. Kelainan mata akibat kecelakaan kerja dan PAK yang terjadi dapat berupa: 1. Kelainan jaringan penunjang dan adneksa mata: Kelopak mata : laserasi atau ruptur kelopak mata akibat trauma Tulang orbita : fraktur dinding orbita akibat trauma Sistem air mata (lakrima): sumbatan sistem lakrima oleh trauma Konjungtiva : radang konjungtiva (konjungtivitis) akibat kontak iritan atau bahan kimia, benda asing di konjungtiva Otot mata : kelumpuhan otot mata akibat trauma. 2.
Kelainan bola mata - Kornea : ruptur kornea akibat trauma, trauma kimia asam dan basa, trauma termal (panas atau dingin), trauma radiasi (misalnya akibat lampu ultraviolet, ledakan nuklir, sinar-X atau radio-isotop), trauma akibat kontak dengan serangga/tumbuhan, benda asing kornea, dan erosi / abrasi kornea, dry eye syndrome - Sklera : ruptur sklera akibat trauma - Lensa : katarak traumatik, luksasi/subluksasi lensa - Bilik mata depan : hifema akibat trauma - Iris : iridodialisis, siklodialisis, ruptur iris akibat trauma, midriasis atau miosis traumatik - Badan kaca (vitreus) : perdarahan vitreus akibat trauma, benda asing dalam vitreus, endoftalmitis pasca trauma - Koroid : ruptur koroid akibat trauma
58
3.
Kelainan saraf/jaras penglihatan - Retina : edema makula, komosio retina, perdarahan retina dan/atau robekan retina akibat trauma, retinopati toksik (terutama kloroquin), retinopati radiasi (misalnya pada radioterapi), atau retinopati akibat cahaya (efek mekanik, termal atau fotokimia, contohnya solar retinopathy pada pekerja las) - Saraf optik : neuropati optik akibat kontak, inhalasi atau ingesti zat toksik atau nutrisional (lihat tabel), neuropati optik akibat trauma, neuropati akibat radiasi (> 3000 rad), dan avulsi papil n.optik. Berbagai Zat yang dapat menyebabkan Neuropati Optik Toksik
Metanol Etilen glikol (antifreeze) Kloramfenikol Isoniazid Etambutol Digitalis Klorokuin Streptomisin Amiodaron Kuinin Vinkristin and metotreksat Sulfonamides Melatonin dengan Zoloft dalam die Karbon monoksida Timah Merkuri Talium Malnutrisi dengan defisiensi vitamin B-1 Anemia pernisiosa (fenomena malabsorpsi vitamin BArsenik pentavalen Nitrobenzol Karbon disulfida Disulfiram -
Korteks penglihatan : akibat trauma kepala atau intoksikasi, misalnya oleh metil merkuri
II. DIAGNOSIS Diagnosis gangguan mata akibat kerja harus dilaksanakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis yang baik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat. A. Anamnesis: 1. Umur penderita 2. Jenis pekerjaan 3. Apa keluhan okular yang dirasakan pasien? Perlu dirinci: penglihatan buram, mata merah, nyeri pada mata, keluar darah dari mata, melihat ganda/diplopia, floaters, atau fotopsia, dll 4. Apakah terdapat trauma? Bila ya, kapan terjadinya trauma? 5. Bagaimana perjalanan penyakit (misalnya: akut atau kronik)? 6. Apakah terdapat risiko di lingkungan kerja? (termasuk: iritan/polutan, tidak adanya sarana proteksi, dsb) 7. Berapa lama terpapar faktor risiko? 8. Dicari apakah terdapat penyakit sistemik, penyakit dalam keluarga atau riwayat penyakit mata mata sebelumnya.
59
B. Pemeriksaan fisik 1. Keadaan umum 2. Pemeriksaan oftalmologis a. Pemeriksaan tajam penglihatan, baik monokular maupun binokular b. Pemeriksaan mata luar, meliputi pemeriksaan terhadap: kelopak mata konjungtiva sklera kornea bilik mata depan iris pupil lensa Pemeriksaan menggunakan loupe dan senter atau biomikroskop slit lamp di tingkat rujukan. Semua kelainan yang dicatat harus dideskripsikan secara sistematis. Pada kasus trauma, jenis luka (tajam/tembus atau tumpul atau trauma kimia) harus dideskripsikan. c. Pemeriksaan refleks pupil. Dilakukan dengan menyinari mata dengan senter, dicari kelainan pupil seperti anisokoria atau afferent pupillary defect. d. Posisi (alignment) dan gerakan bola mata; dinilai secara binokular ke 8 arah (cardinal gaze). Pada pemeriksaan posisi bola mata dicari tanda-tanda strabismus (esotropia, eksotropia, dan hipertropia). Pada pemeriksaan gerakan bola mata dicari tanda-tanda hambatan gerak. e. Pemeriksaan lapang pandang. Cara paling sederhana yang dapat dilakukan di layanan primer adalah tes Konfrontasi, namun pemeriksaan di tingkat rujukan adalah dengan kampimetri Goldmann. f. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop. Dilakukan penilaian terhadap bagian dalam mata meliputi badan kaca, retina dan pupil saraf optik. g. Pemeriksaan khusus, antara lain meliputi : Tonometri : mengukur tekanan intraokular (TIO). Nilai normal adalah 1021 mmHg; peningkatan TIO dapat ditemukan pada glaukoma. Penglihatan warna : menilai kemampuan melihat warna, mendeteksi buta warna. Binokularitas : menilai kemampuan kedua mata saat melihat secara bersamaan. Dinilai adakah penglihatan ganda, dan apakah kedua mata melihat secara stereoskopis . Berdasarkan Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, paramater gangguan mata akibat kerja adalah tajam penglihatan, lapang pandang, penglihatan warna dan binokularitas. Pemeriksaan terhadap keempat parameter ini akan dibahas dalam uraian di bawah. C. Pemeriksaan terhadap parameter gangguan fungsi penglihatan. 1. Pemeriksaan tajam penglihatan a. Pemeriksaan tajam penglihatan jauh Dasar pemeriksaan: 2 buah titik akan terlihat terpisah bila kedua titik sudah membentuk 1 (satu) menit busur derajat sudut penglihatan mata. Peralatan yang digunakan: Kartu Snellen (Snellen Chart) dan Kartu Kipas Astigmatisme. Alat tersebut dapat tersedia baik di pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier.
60
1) Untuk penilaian tajam penglihatan jauh: - Setiap huruf tertentu pada jarak tertentu akan membentuk 5 menit busur derajat sudut penglihatan - Besar huruf pada kartu untuk dapat dilihat, telah diatur - Warna huruf/angka hitam dengan dasar putih; dan warna huruf/angka putih di atas dasar hitam - Pencahayaan latar belakang sebesar 50 lux, sedangkan pencahayaan pada Kartu Snellen (yang menggunakan lampu) adalah sebesar 500 lux - Jarak baca 6 meter, atau setidaknya 3 meter dengan menggunakan cermin. Pada jarak ini dianggap mata yang diperiksa tidak lagi berakomodasi - Kedua mata diperiksa bergantian, dengan cara menutup satu mata bergantian - Pada orang buta huruf dapat digunakan kartu E atau kartu Landolt dengan prinsip yang sama 2) Refraksi dengan set lensa dan bingkai coba (trial lens dan trial frame) Lensa coba yang tersedia naik bertahap sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri. Kekuatan lensa silinder bertahap naik sebesar minimal 0.5 dioptri dimulai dari lensa terkecil 0.5 dioptri dan tersedia minimum sampai 3 dioptri. Teknik pemeriksaan : Pemeriksaan dilakukan dalam jarak 6 meter Dipasang bingkai coba, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan occluder Penderita diminta untuk membaca sampai baris terkecil yang masih dapat dibaca olehnya. Hasil yang didapat merupakan tajam penglihatan sebelum koreksi. Apabila hasil tajam penglihatan yang didapat tidak mencapai penglihatan normal (6/6), dilakukan koreksi kacamata. Dicoba dengan lensa negatif/positif terkecil dan bila tajam penglihatan menjadi lebih baik ditambah kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat membaca huruf pada baris terbawah. Apabila dengan penambahan lensa negatif/positif belum juga dapat mencapai tajam penglihatan normal, dilakukan pemeriksaan melalui lubang intip (pinhole). Apabila dengan teknik ini tidak terdapat kemajuan tajam penglihatan, maka penglihatan tidak bisa diperbaiki lebih lanjut (kelainan retina / saraf optik). Apabila terdapat kemajuan tajam penglihatan maka diperiksa kemungkinan adanya astigmatisme. Dengan lensa negatif/positif yang memberi hasil terbaik pada masa tersebut ditambahkan lensa positif yang cukup besar (kira-kira S+3 dioptri), membuat kekaburan penglihatan, kemudian diminta untuk melihat kartu kipas astigmat. Ditanyakan adanya garis pada kipas yang paling jelas terlihat (yang paling hitam dan tajam gambarannya). Apabila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmat, maka lensa S+3.0 dioptri diperlemah sedikit demi sedikit, hingga penderita dapat menentukan perbedaan garis yang terjelas dan terkabur. Lensa silinder negatif dipasang dengan sumbu sesuai dengan garis terkabur pada kipas astigmat. Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit hingga semua garis terlihat sama tebalnya pada kipas astigmat tersebut. Pembacaan kartu Snellen dilanjutkan sampai baris terkecil, dengan pengurangan lensa positif yang terpasang atau penambahan lensa negatif. Diperiksa mata sebelahnya, seperti di atas.
61
Penilaian : Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan dengan pembilang merupakan jarak pemeriksaan (biasanya 6 meter) dan penyebut adalah angka yang terkecil yang masih dapat dibaca. Contoh: Tajam penglihatan 6/12 berarti penderita tersebut hanya dapat membaca dalam jarak 6 meter huruf/gambar yang seharusnya dapat dibaca oleh orang normal pada jarak 12 meter. Tajam penglihatan normal adalah 6/6 Hasil koreksi kacamata sesuai dengan ketentuan lensa negatif / positif, dengan / tanpa lensa silinder negatif pada sumbu terpasang. Apabila penderita tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu Snellen, maka dilakukan hitung jari (counting fingers=CF). Tajam penglihatan pada tes hitung jari diberi simbol angka 1/60 hingga 5/60. Pembilang merupakan jarak yang masih dapat dilihat oleh penderita dalam satuan meter. Apabila penderita tidak juga dapat menghitung jari, maka dilakukan tes gerakan tangan (hand movement = HM). Tajam penglihatan pada tes ini diberikan simbol angka 1/300. Apabila penderita hanya dapat membedakan gelap dan terang, tajam kemampuan menentukan arah sumber cahaya (proyeksi baik atau salah) Bila sama sekali tidak dapat menerima langsung rangsang cahaya dinyatakan tajam penglihatan nol (no light perception = NLP) b. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Dekat Dasar : sama dengan dasar penglihatan jauh. Daya akomodasi yaitu kemampuan mata untuk menambah daya bias lensa dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda akan terfokus di retina Peralatan dan persyaratan : Besar huruf bervariasi dalam ukuran 0.5 mm hingga 19.5 mm, dan dinyatakan dalam tingkat Jaeger 1 sampai dengan Jaeger 20. Pencahayaan minimal 100 footcandles pada kartu. Teknik Pemeriksaan : Penderita diperiksa terlebih dahulu penglihatan jauhnya, kemudian diberikan ukuran kacamata yang sesuai. Jarak baca 30-40 cm. Penderita diminta untuk membaca huruf terkecil yang masih bisa dibaca pada kartu baca Penilaian Tajam penglihatan dekat normal adalah Jaeger 1 Kriteria klinik ini dapat dilihat kuantifikasinya secara fungsional sebagai Efisiensi Penglihatan. 2. Pemeriksaan Lapang Pandang Lapang pandang adalah bagian dari ruang di mana semua obyek dapat dilihat secara serentak pada waktu mata berfiksasi ke suatu arah. Dasar : Retina perifer mempunyai kemampuan melihat yang berbeda dengan retina sentral
62
Perimetri merupakan metode klinis untuk mengukur fungsi penglihatan di luar daerah sentral (fovea). Perimetri mampu mendeteksi berbagai kelainan fungsi penglihatan akibat kelainan saraf optik maupun retina. Peralatan : Pada pelayanan mata tingkat primer dan sekunder, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu tes konfrontasi di mana tidak diperlukan alat. Perimeter Goldmann tersedia di pelayanan mata tingkat rujukan/tersier
Tes Konfrontasi : Dasar : membandingkan lapang pandang penderita dengan lapang pandang pemeriksa. Pemeriksa harus mempunyai fungsi mata yang baik, sehingga lapang pandangnya dianggap normal Teknik pemeriksaan : Penderita dan pemeriksa berhadapan muka dengan jarak kira-kira 75 cm (dua kali jarak baca). Mata kiri pemeriksa dan mata kanan penderita ditutup. Mata yang terbuka saling berpandangan; sebuah obyek (misalnya tangan pemeriksa) pada jarak yang sama dari pemeriksa-penderita (bidang tengah) digerakkan dari tidak terlihat ke arah tengah pada 8 meridian. Penderita diminta menyebutkan dengan segera, pada saat obyek (benda, warna) terlihat. Dibandingkan luasnya lapang pandang antara pemeriksa dan penderita Cara lain adalah dengan menyuruh penderita menghitung jari pemeriksa pada keempat kuadran yaitu superotemporal. Inferotemporal, superonasal dan inferonasal. Pemeriksaan dilakukan pada mata sebelahnya
Penilaian Lapang pandang dianggap normal apabila sama luasnya dengan pemeriksa. Lapang pandang dianggap menyempit apabila lebih kecil dari lapang pandang pemeriksa. Apabila penderita tidak dapat menghitung jumlah jari di salah satu kuadran atau lebih, dianggap sebagai abnormal Pada tingkat rujukan (pelayanan mata tingkat tersier) dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan Perimeter Goldmann Perimeter Goldmann : Berupa mangkuk besar berwarna putih (kepala pasien dihadapkan pada alat tersebut, dengan pemeriksa di balik mangkuk tersebut). Pencahayaan 10 apostilb, diameter obyek target 64 mm, persegi (V), pencahayaan obyek 1000 apostilb (4) dan warna obyek target putih. Teknik pemeriksaan : Perlu diterangkan terlebih dahulu perlunya kerjasama pada pemeriksaan dan perlunya fiksasi terus menerus, serta penderita diminta untuk bereaksi cepat bila sudah melihat sinar yang datang dari arah pinggir. Penderita duduk di depan perimetri dengan dagu pada bantalan dagu, mata sebelah ditutup.
63
Mata yang terbuka diberi koreksi penglihatan jauh dan adisi penglihatan dekatnya, lalu diminta berfiksasi pada target yang terletak 33 cm di depan matanya. Obyek yang bercahaya digeser dari pinggir (tidak terlihat), ke arah sentral (daerah terlihat) daerah fiksasi. Penderita diminta segera memberitahu bila melihat cahaya, dengan cara memencet bel yang tersedia, kemudian dicatat pada kartu lapang pandang. Bila ditemukan defek lapang pandang, pemeriksaan diulang Hal ini dilakukan pada 18-20 meridian Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya diplopia (diplopia chart) Penilaian : Gambaran normal adalah apabila batas lapang pandang di daerah temporal 85o, daerah nasal 60 o, superior 45 o, dan inferior 65 o. Hasil pemeriksaan dengan ukuran obyek IV atau V dan pencahayaan obyek 4 pada alat perimetri. Hasil perhitungan dapat menyatakan hilangnya persentase lapang pandang Bentuk defek lapang pandang umumnya menunjukkan lokasi kelainan pada jaras penglihatan. Contoh: neuropati optik akibat intoksikasi akan memberikan skotoma (defek lapang pandang) sekosentral atau sentral 3. Pemeriksaan binokularitas Penglihatan binokular terdiri atas beberapa gradasi yaitu : a. Penglihatan serentak (simultaneous perception), yaitu keadaan di mana kedua mata dapat melihat sekaligus. b. Fusi, yaitu keadaan di mana kedua mata dapat bekerja sama c. Stereopsis, yaitu kemampuan untuk membedakan ruang. Pemeriksaan terhadap binokularitas dapat dilakukan dengan: Tes Worth Four-Dot Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya supresi, deviasi, ambliopia dan fusi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di pelayanan mata baik tingkat primer, sekunder maupun tersier. Dasar : Melalui suatu filter berwarna hanya dapat dilihat benda dengan warna filternya. Warna putih akan berubah oleh filter sesuai dengan warna filternya Peralatan : Kacamata filter merah (pada mata kanan) Kotak hitam dengan 4 lubang (diameter 2-3 cm), susunan ketupat; 2 lubang lateral atau horizontal berwarna hijau, lubang di atas berwarna merah dan lubang bawah berwarna putih. Kotak berjarak 6 meter dari tempat pemeriksaan. Kotak hitam di atas dapat digantikan oleh slide Worth Four-Dot Test, yang umumnya termasuk dalam proyektor Snellen yang dapat tersedia di pelayanan mata tingkat primer, sekunder maupun tersier. Teknik pemeriksaan : Penderita memakai kacamata koreksi diberikan sesuai kacamata dan diberi kaca filter merah pada mata kanan dan filter hijau pada mata kiri. Penderita diperiksa pada jarak 6 meter dan 30 cm Kepala penderita harus dalam posisi tegak dan melihat lurus ke depan. Penderita diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata, sewaktu melihat ”Worth Four Dot”
64
Penilaian : Bila terlihat : 4 sinar berarti ada fusi (melihat dengan 2 mata) 2 merah atau 3 hijau saja, berarti penderita hanya melihat dengan salah satu matanya dan mata lain dalam keadaan tersupresi. Sumber cahaya putih kadang-kadang berwarna merah dan berganti menjadi hijau, berarti pada setiap saat penderita hanya melihat dengan satu mata, berganti-ganti. Bila terlihat 5 titik berarti terdapat diplopia. Catatan : Penilaian ini hanya bermakna apabila tajam penglihatan mata terburuk minimal 6/18 Penilaian ini harus ditunjang dengan pemeriksaan obyektif untuk menilai adanya juling. Bila terdapat diplopia dianggap kehilangan satu mata dengan tajam penglihatan terburuk. Dinilai adanya diplopia pada penglihatan jauh dan penglihatan dekat. Pemeriksaan ini hanya untuk posisi primer, keluhan pada posisi lain harus diperiksa di tingkat rujukan. 4. Penglihatan Warna Orang normal memiliki kemampuan untuk membedakan warna sinar yang masuk berdasarkan fotoreseptor dan reaksi fotokimia retina yang berbeda. Warna dasar yang terlihat adalah hitam-putih, hijau-merah dan kuning-biru. Tes Ishihara : Dasar : dipakai untuk mengenal adanya cacat warna merah-hijau Peralatan : Kartu Ishihara Teknik pemeriksaan : Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang cukup Penderita diminta melihat kartu dan menentukan gambar yang terlihat dalam waktu tidak lebih dari 10 detik Penilaian : Ditentukan ada atau tidaknya buta warna hijau merah. Orang normal dapat mengenali warna gambar dalam waktu 3-10 detik, bila terdapat kelambatan atau kesalahan dalam pengenalan gambar berarti terdapat kelainan penglihatan warna. Dari aspek kompensasi cacat penglihatan penilaian ini hanya bermakna apabila keadaan sebelumnya diketahui, tajam penglihatan 6/6 (dengan koreksi), dan lapang pandang normal. III. URAIAN CACAT DAN PENILAIAN TINGKAT CACAT Perhitungan kecacatan dilakukan adalah setelah semua usaha medis yang optimal telah dilakukan, berdasarkan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (baik dengan kacamata, lensa kontak maupun lensa intraokular). Perhitungan kecacatan dilakukan setelah usaha medis optimal selesai dilakukan.
65
dalam
waktu 3 bulan
Penghitungan tingkat cacat dilakukan dengan menilai komponen
- komponen fungsi
penglihatan. Komponen ini dinilai masing-masing mata dan kemudian diberikan nilai dalam fungsi binokular.
A. Tajam penglihatan Pada pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, dilakukan koreksi kacamata yang terbaik. Dilakukan konversi ke dalam nilai kehilangan penglihatan. 1. Persentase kehilangan penglihatan jauh (dengan koreksi terbaik) Efisiensi Tajam Penglihatan
Tajam Penglihatan
% Kehilangan
6/6
100
0
6/7,5
95
5
6/12
85
15
6/15
75
25
6/24
60
40
6/30
50
50
6/48
30
70
6/60
20
80
3/60
10
90
1/60
5
95
2. Persentase kehilangan tajam penglihatan dekat (dengan koreksi terbaik) Efisiensi Tajam Penglihatan
Tajam Penglihatan
% Kehilangan
Jaeger 1
100
0
Jaeger 2
100
0
Jaeger 3
90
10
Jaeger 6
50
50
Jaeger 7
40
60
Jaeger 11
15
85
Jaeger 14
5
95
3. Persentase kehilangan tajam penglihatan Jumlah aljabar penglihatan jauh dan dekat dibagi 2. Nilai kehilangan penglihatan jauh dan penglihatan dekat adalah sama. Contoh : penglihatan jauh 6/24 efisiensi penglihatan 40%; penglihatan dekat Jaeger 6 efisiensi penglihatan 50%
66
berarti orang ini mempunyai kehilangan tajam penglihatan sebesar :
( % kehilangan X.P.jauh ) + ( % kehilangan X.P. dekat) 2 =
40 % + 50 %
=
45 %
2 4. Perhitungan Efisiensi Tajam Penglihatan Rumus : Efisiensi penglihatan = 100 % - % kehilangan penglihatan Efisiensi tajam penglihatan pada contoh di atas adalah 100 - 45 = 55% B. Lapang Pandang 1. Lapang pandang dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan perimeter Goldman 2. Dihitung luasnya lapang pandang yang hilang 3. Dihitung luas pandang yang masih ada C. Binokularitas 1. Dilakukan pemeriksaan ‖Worth Four Dot‖ atau dengan perimeter Goldmann 2. Bila terdapat diplopia pada posisi utama dan konvergensi (penglihatan dekat) dianggap telah kehilangan satu mata terburuk 3. Pada pemeriksaan dengan perimeter Goldman, diplopia pada daerah 20 derajat berarti kehilangan penglihatan 100%. D. Penglihatan warna 1. Hanya berlaku apabila keadaan penglihatan warna sebelumnya diketahui 2. Dilakukan pemeriksaan Ishihara 3. Dinilai ada tidaknya kehilangan penglihatan warna merah-hijau 4. Pada kehilangan penglihatan warna, dianggap kehilangan efisiensi penglihatan sebesar 10% Efisiensi penglihatan satu mata Menggunakan rumus efisiensi tajam penglihatan. Efisiensi penglihatan dua mata
( Efisiensi penglihatan terbaik X 3 ) + ( Efisiensi penglihatan terburuk X 1 ) 4
Hasil yang didapat dikalikan dengan persentase kompensasi kecacatan dua mata (Lampiran II, PP No.14 tahun 1993 dan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja) Bila Kehilangan efisiensi penglihatan hanya terjadi pada satu mata, maka penilaian tingkat cacat didasarkan pada rumus efisiensi penglihatan satu mata.
67
BIDANG PENYAKIT AKIBAT RADIASI MENGION I.
BATASAN Penyakit akibat kerja karena radiasi mengion ialah ganguan kesehatan yang disebabkan pemaparan radiasi mengion ditempat kerja. Kelainan yang terjadi dapat berupa : A. Gangguan Stokastik Perubahan biologis karena radiasi mengion yang menimbulkan perubahan sifat sel kearah teratogenik dan karsiogenik, terjadi karena pemaparan dalam waktu yang lama yang tidak tergantung pada Nilai yang Boleh Diterima, antara lain : Kanker: - tulang - paru - thiroid - payudara Leukemia. B. Gangguan non Stokastik Efek biologis yang bersifat akut dan kronik akibat radiasi mengion yang menimbulkan kerusakan sel / jaringan akibat pemaparan diatas Nilai Batas Dosis (NBD), antara lain : - luka bakar - radiodermatitis - sindroma radiasi akut - katarak - infertilitas / sterilitas
II.
DIAGNOSIS A. Anamnesis 1. Umur penderita 2. Riwayat penyakit Keluarga 3. Riwayat Penyakit : a. Timbul gejala mendadak b. Penyakit-penyakit yang pernah diderita sebelumnya. 4. Riwayat Pekerjaan : a. Apakah pernah atau sedang bekerja di lingkungan radiasi mengion. Kalau ya, sudah berapa lama ? b. Apakah menggunakan alat pelindung diri? Terus menerus atau terputus-putus. Kalau ya, jenis apa? Apakah selalu digunakan dengan baik?. c. Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan kesehatan badan berkala? Apakah selalu menggunakan alat pantau diri (misal: film badge). d. Apakah pernah dinyatakan melebihi dosis nilai batas hasil pemantauan? Bila ya, kapan?. B. Pemeriksaan Fisik. 1. Diagnosis fisik secara umum 2. Pemeriksaan lokal sesuai dengan kelainan / penyakit. C. Pemeriksaan Laboratorium. 1. Rutin : - Hb - Iekosit - S.D.M. - Hitung jenis 2. Khusus : - morfologi lekosit - hitung thrombosit - hitung retikulosit
68
D. Pemeriksaan penunjang. 1. Patologi anatomi 2. Radiologi III.
PENILAIAN TINGKAT CACAT Penentuan tingkat cacat penyakit akibat radiasi mengion didasarkan pada penilaian tingkat cacat pada masing-masing sistem organ yang terkena.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si
69
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.04/MEN/II/2009 TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP-27/MEN/2000 TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan perlindungan bagi pekerja/buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu telah diatur di dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta peraturan pelaksanaannya; b. bahwa ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP27/MEN/2000 tentang Program Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, sehingga perlu dicabut dengan Peraturan Menteri. Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana telah beberapa kali diubah, dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007; MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PENCABUTAN KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP-27/MEN/2000 TENTANG PROGRAM SANTUNAN PEKERJA PERUSAHAAN JASA PENUNJANG PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI.
Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000 tentang Program Santunan Pekerja Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2 Bagi Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang saat diterbitkannya Peraturan Menteri ini masih melaksanakan hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu, maka ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000 tetap berlaku hingga berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, dan perusahaan tetap memberikan santunan pekerja/buruh sesuai ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-27/MEN/2000.
Pasal 3 Perusahaan Jasa Penunjang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang akan memberikan santunan kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu dapat mengaturnya di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 4 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. diperbaiki sebagaimana semestinya. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Februari 2009 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), Pasal 9, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu diatur mengenai alat pelindung diri; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu diatur dengan Peraturan Menteri;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 120 Mengenai Hygiene Dalam Perniagaan Dan Kantor-Kantor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2889); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 5. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2009;
84/P Tahun
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI. Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja.
2.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3.
Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4.
Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
5.
Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian atau berhubungan dengan tempat kerja.
6.
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam Jabatan Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 2 (1) Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja. (2) APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku. (3) APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh pengusaha secara cuma-cuma.
2
Pasal 3 (1) APD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. pelindung kepala; b. pelindung mata dan muka; c. pelindung telinga; d. pelindung pernapasan beserta perlengkapannya; e. pelindung tangan; dan/atau f. pelindung kaki. (2) Selain APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk APD: a. pakaian pelindung; b. alat pelindung jatuh perorangan; dan/atau c. pelampung. (3) Jenis dan fungsi APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) APD wajib digunakan di tempat kerja di mana: a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan; b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, korosif, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi atau bersuhu rendah; c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan perairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan; d. dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan; e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan batu-batuan, gas, minyak, panas bumi, atau mineral lainnya, baik di permukaan, di dalam bumi maupun di dasar perairan; f. dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara; g. dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun, bandar udara dan gudang; h. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air; i. dilakukan pekerjaan pada ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan; j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah; k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting; l. dilakukan pekerjaan dalam ruang terbatas tangki, sumur atau lubang; m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran; n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah; o. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan telekomunikasi radio, radar, televisi, atau telepon; p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset yang menggunakan alat teknis; q. dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air; dan r. diselenggarakan rekreasi yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik. 3
(2) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan atau Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat mewajibkan penggunaan APD di tempat kerja selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 Pengusaha atau Pengurus wajib mengumumkan secara tertulis dan memasang ramburambu mengenai kewajiban penggunaan APD di tempat kerja. Pasal 6 (1) Pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko. (2) Pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang disediakan tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan.
Pasal 7 (1) Pengusaha atau Pengurus wajib melaksanakan manajemen APD di tempat kerja. (2) Manajemen APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. identifikasi kebutuhan dan syarat APD; b. pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan kebutuhan/kenyamanan pekerja/buruh; c. pelatihan; d. penggunaan, perawatan, dan penyimpanan; e. penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan; f. pembinaan; g. inspeksi; dan h. evaluasi dan pelaporan. Pasal 8 (1) APD yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi dengan baik harus dibuang dan/atau dimusnahkan. (2) APD yang habis masa pakainya/kadaluarsa serta mengandung bahan berbahaya, harus dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. (3) Pemusnahan APD yang mengandung bahan berbahaya harus dilengkapi dengan berita acara pemusnahan. Pasal 9 Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5 dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970.
4
Pasal 10 Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan. Pasal 11 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. DRS. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR,SH.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 330
5
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI
FUNGSI DAN JENIS ALAT PELINDUNG DIRI 1. Alat pelindung kepala 1.1 Fungsi Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim. 1.2 Jenis Jenis alat pelindung kepala terdiri dari helm pengaman (safety helmet), topi atau tudung kepala, penutup atau pengaman rambut, dan lain-lain. 2.
Alat pelindung mata dan muka 2.1 Fungsi Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia berbahaya, paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di badan air, percikan benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi gelombang elektromagnetik yang mengion maupun yang tidak mengion, pancaran cahaya, benturan atau pukulan benda keras atau benda tajam. 2.2 Jenis Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari kacamata pengaman (spectacles), goggles, tameng muka (face shield), masker selam, tameng muka dan kacamata pengaman dalam kesatuan (full face masker).
3. Alat pelindung telinga 3.1 Fungsi Alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan. 3.2 Jenis Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup telinga (ear muff).
6
4. Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya 4.1 Fungsi Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan udara bersih dan sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia, mikro-organisme, partikel yang berupa debu, kabut (aerosol), uap, asap, gas/ fume, dan sebagainya. 4.2 Jenis Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker, respirator, katrit, kanister, Re-breather, Airline respirator, Continues Air Supply Machine=Air Hose Mask Respirator, tangki selam dan regulator (Self-Contained Underwater Breathing Apparatus /SCUBA), Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA), dan emergency breathing apparatus. 5. Alat pelindung tangan 5.1 Fungsi Pelindung tangan (sarung tangan) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia, benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan jasad renik. 5.2 Jenis Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam,
kulit,
kain kanvas, kain atau kain berpelapis, karet, dan sarung tangan yang tahan bahan kimia. 6. Alat pelindung kaki 6.1 Fungsi Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik, tergelincir. 6.2 Jenis Jenis Pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan, pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan kimia dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang dan lain-lain. 7. Pakaian pelindung 7.1 Fungsi Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, pajanan api dan benda-benda panas, percikan bahan-bahan kimia, cairan dan logam panas, uap panas, benturan (impact) dengan mesin, peralatan dan bahan, tergores, radiasi, binatang, mikro-organisme patogen dari manusia, binatang, tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur. 7
7.2 Jenis Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi (Vests), celemek (Apron/Coveralls), Jacket, dan pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh badan.
bagian
8. Alat pelindung jatuh perorangan 8.1. Fungsi Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak masuk ke tempat yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada pada posisi kerja yang diinginkan dalam keadaan miring maupun tergantung dan menahan serta membatasi pekerja jatuh sehingga tidak membentur lantai dasar. 8.2 Jenis Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari
sabuk pengaman tubuh
(harness), karabiner, tali koneksi (lanyard), tali pengaman (safety rope), alat penjepit tali (rope clamp), alat penurun (decender), alat penahan jatuh bergerak (mobile fall arrester), dan lain-lain. 9. Pelampung 9.1. Fungsi Pelampung berfungsi melindungi
pengguna yang bekerja di atas air atau
dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur keterapungan (buoyancy) pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam (negative buoyant) atau melayang (neutral buoyant) di dalam air. 9.2. Jenis Jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan (life jacket), rompi keselamatan ( life vest), rompi pengatur keterapungan (Bouyancy Control Device). Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. DRS. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
8
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/VII/2010 TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
bahwa dengan berkembangnya penggunaan jenis dan kapasitas pesawat angkat dan angkut maka perlu menyempurnakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/1989 tentang Kwalifikasi dan Syarat-Syarat Operator Keran Angkat dengan Peraturan Menteri;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; 5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2009;
84/P Tahun
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER.05/MEN/1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut;
1
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TRANSMIGRASI TENTANG OPERATOR DAN PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT.
DAN PETUGAS
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan: 1.
Operator adalah tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan memiliki keterampilan khusus dalam pengoperasian pesawat angkat dan angkut.
2.
Petugas adalah tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan memiliki keterampilan khusus di bidang pesawat angkat dan angkut yang terdiri dari juru ikat (rigger) dan teknisi.
3.
Juru ikat (rigger) adalah tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan memiliki keterampilan khusus dalam melakukan pengikatan barang serta membantu kelancaran pengoperasian peralatan angkat.
4.
Teknisi adalah petugas pelaksana pemasangan, pemeliharaan, perbaikan dan/atau pemeriksaan peralatan/komponen pesawat angkat dan angkut.
5.
Pesawat angkat dan angkut adalah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan, mengangkat muatan baik bahan atau orang secara vertikal dan/atau horizontal dalam jarak yang ditentukan.
6.
Peralatan angkat adalah alat yang dikonstruksi atau dibuat khusus untuk mengangkat naik dan menurunkan muatan.
7.
Pita transport adalah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan muatan secara terus menerus (continue) dengan menggunakan bantuan pita.
8.
Pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan adalah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan muatan atau orang dengan menggunakan kemudi baik di dalam atau di luar pesawat dan bergerak di atas landasan maupun permukaan.
9.
Alat angkutan jalan rel adalah suatu alat angkutan yang bergerak di atas jalan rel.
10. Lisensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat Lisensi K3 adalah kartu tanda kewenangan seorang operator untuk mengoperasikan pesawat angkat dan angkut sesuai dengan jenis dan kualifikasinya atau petugas untuk penanganan pesawat angkat dan angkut. 11. Buku kerja (log book) adalah buku kerja yang diberikan kepada seorang operator untuk mencatat kegiatan selama mengoperasikan pesawat angkat dan angkut sesuai dengan jenis dan kualifikasinya atau petugas untuk mencatat penanganan pesawat angkat dan angkut. 12. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
2
13. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 14. Pegawai pengawas ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 15. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 2 Peraturan Menteri ini mengatur kualifikasi, syarat-syarat, wewenang, kewajiban operator dan petugas pesawat angkat dan angkut.
Pasal 3 Pengusaha atau pengurus dilarang mempekerjakan operator dan/atau petugas pesawat angkat dan angkut yang tidak memiliki Lisensi K3 dan buku kerja.
Pasal 4 Jumlah operator pesawat angkat dan angkut yang dipekerjakan oleh pengusaha atau pengurus harus memenuhi kualifikasi dan jumlah sesuai dengan jenis dan kapasitas pesawat angkat dan angkut sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
BAB II KUALIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT Bagian Kesatu Operator Pesawat Angkat dan Angkut Pasal 5 (1) Pesawat angkat dan angkut harus dioperasikan oleh operator pesawat angkat dan angkut yang mempunyai Lisensi K3 dan buku kerja sesuai jenis dan kualifikasinya. (2) Operator pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi operator peralatan angkat, pita transport, pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan, dan alat angkutan jalan rel.
3
Paragraf Kesatu Operator Peralatan Angkat Pasal 6 (1) Operator peralatan angkat meliputi operator dongkrak mekanik (lier), takal, alat angkat listrik/lift barang/passenger hoist, pesawat hidrolik, pesawat pneumatik, gondola, keran mobil, keran kelabang, keran pedestal, keran menara, keran gantry, keran overhead, keran portal, keran magnet, keran lokomotif, keran dinding, keran sumbu putar, dan mesin pancang. (2) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan sebagai berikut: a. operator kelas I; b. operator kelas II; dan c. operator kelas Ill. (3) Pengklasifikasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi operator gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang. Pasal 7 (1) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 23 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (2) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 21 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (3) Operator peralatan angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (4) Operator gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja.
4
Pasal 8 Operator peralatan angkat kelas III dapat ditingkatkan menjadi operator peralatan angkat kelas II dan operator peralatan angkat kelas II dapat ditingkatkan menjadi operator peralatan angkat kelas I dengan persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman sebagai operator sesuai dengan kelasnya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus; dan b. lulus uji operator peralatan angkat sesuai dengan kualifikasinya. Paragraf Kedua Operator Pita Transport Pasal 9 Operator pita transport meliputi operator eskalator, ban berjalan, dan rantai berjalan. Pasal 10 Operator pita transport sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 20 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja.
Paragraf ketiga Operator Pesawat Angkutan di atas Landasan dan di atas Permukaan Pasal 11 Operator pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan meliputi antara lain operator: dump truk, truk derek/trailer, alat angkutan bahan berbahaya, traktor, kereta gantung, shovel, excavator/back hoe, compactor, mesin giling, bulldozer, loader, tanden roller, tire roller, grader, vibrator, side boom, forklift dan/atau lift truk. Pasal 12 Operator forklift dan/atau lift truk sebagaimana dimaksud dalam Pasal diklasifikasikan sebagai berikut: a. operator kelas I; dan b. operator kelas II.
11
Pasal 13 Operator pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan sebagaimana di maksud dalam Pasal 11 kecuali operator forklift dan/atau lift truk harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja.
5
Pasal 14 (1) Operator forklift dan/atau lift truk kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 21 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. (2) Operator forklift dan/atau lift truk kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun membantu pelayanan di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. Pasal 15 Operator forklift dan/atau lift truk kelas II dapat ditingkatkan menjadi operator forklift dan/atau lift truk kelas I dengan persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman sebagai operator sesuai dengan kelasnya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus; dan b. lulus uji operator forklift dan/atau lift truk sesuai dengan kualifikasinya.
Paragraf Keempat Operator Alat Angkutan Jalan Rel Pasal 16 Operator alat angkutan jalan rel meliputi operator lokomotif dan Iori. Pasal 17 Operator alat angkutan jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja.
16 harus
Bagian Kedua Petugas Pesawat Angkat dan Angkut Pasal 18 (1) Pengoperasian pesawat angkat dan angkut dapat dibantu oleh petugas pesawat angkat dan angkut yang mempunyai Lisensi K3 dan buku kerja sesuai jenis dan kualifikasinya. (2) Petugas pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi juru ikat (rigger) dan teknisi.
6
Paragraf Kesatu Juru Ikat (rigger) Pasal 19 Juru ikat (rigger) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTP/sederajat; b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun di bidangnya; c. berbadan sehat menurut keterangan dokter; d. umur sekurang-kurangnya 19 tahun; dan e. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja.
Paragraf Kedua Teknisi Pasal 20 Teknisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sekurang-kurangnya berpendidikan SLTA/sederajat dan/atau berpengalaman di bidangnya sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun; b. berbadan sehat menurut keterangan dokter; c. umur sekurang-kurangnya 21 tahun; dan d. memiliki Lisensi K3 dan buku kerja. BAB III TATA CARA MEMPEROLEH LISENSI K3 DAN BUKU KERJA Pasal 21 Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan Lisensi K3 dan buku kerja operator atau petugas pesawat angkat dan angkut. Pasal 22 (1) Untuk memperoleh Lisensi K3 dan buku kerja operator atau petugas pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pengusaha atau pengurus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: a. copy ijazah terakhir; b. surat keterangan berpengalaman kerja membantu operator atau petugas pesawat angkat dan angkut sesuai bidangnya yang diterbitkan oleh perusahaan; c. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; d. copy kartu tanda penduduk; e. copy sertifikat kompetensi sesuai dengan jenis dan kualifikasinya; dan f. pas photo berwarna 2 x 3 (3 lembar) dan 4 x 6 (2 lembar). (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan dokumen oleh Tim. (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal menerbitkan Lisensi K3 dan buku kerja.
7
Pasal 23 (1) Lisensi K3 dan buku kerja berlaku untuk jangka waktu 5 (lima tahun), dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: a. lisensi K3 lama yang asli; b. buku kerja asli yang telah diperiksa oleh atasannya; c. surat keterangan berbadan sehat dari dokter; d. copy kartu tanda penduduk; e. copy sertifikat kompetensi sesuai dengan jenis dan kualifikasinya; dan f. pas photo berwarna 2 x 3 (3 lembar) dan 4 x 6 (2 lembar).
Pasal 24 Dalam hal sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e dan Pasal 23 ayat (2) huruf e belum dapat dilaksanakan maka dapat menggunakan sertifikat pembinaan K3 yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 25 Buku kerja operator atau petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus diperiksa setiap 3 bulan oleh atasannya. Pasal 26 Lisensi K3 dan buku kerja hanya berlaku selama operator atau petugas pesawat angkat dan angkut yang bersangkutan bekerja di perusahaan yang mengajukan permohonan.
Pasal 27 Lisensi K3 dan buku kerja dapat dicabut apabila operator atau petugas pesawat angkat dan angkut yang bersangkutan terbukti: a. melakukan tugasnya tidak sesuai dengan jenis dan kualifikasi pesawat angkat dan angkut; b. melakukan kesalahan, atau kelalaian, atau kecerobohan sehingga menimbulkan keadaan berbahaya atau kecelakaan kerja; dan c. tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sesuai bidangnya. BAB IV KEWENANGAN OPERATOR DAN PETUGAS Pasal 28 (1) Operator peralatan angkat Kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a berwenang: a. mengoperasikan peralatan angkat sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas lebih dari 100 ton atau tinggi menara lebih dari 60 meter; dan b. mengawasi dan membimbing kegiatan operator Kelas II dan/atau operator Kelas III, apabila perlu didampingi oleh operator Kelas II dan/atau Kelas III.
8
(2) Operator peralatan angkat Kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b berwenang: a. mengoperasikan peralatan angkat sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas Iebih dari 25 ton sampai kurang dari 100 ton atau tinggi menara lebih dari 40 meter sampai dengan 60 meter; dan b. mengawasi dan membimbing kegiatan operator Kelas III, apabila perlu didampingi oleh operator Kelas Ill. (3) Operator peralatan angkat Kelas III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c berwenang mengoperasikan peralatan angkat sesuai jenisnya dengan kapasitas kurang dari 25 ton atau tinggi menara sampai dengan 40 meter. (4) Operator peralatan angkat jenis gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berwenang mengoperasikan gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang. Pasal 29 Operator pita transport sebagaimana dimaksud dalam Pasal mengoperasikan eskalator, ban berjalan, dan rantai berjalan.
9 berwenang
Pasal 30 (1) Operator pesawat angkutan di atas landasan dan di atas permukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang mengoperasikan antara lain operator: dump truk, truk derek/trailer, alat angkutan bahan berbahaya, traktor, kereta gantung, shovel, excavator/back hoe, compactor, mesin giling, bulldozer, loader, tanden roller, tire roller, grader, vibrator, side boom, forklift dan/atau lift truk. (2) Operator forklift dan/atau lift truk kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a berwenang: a. mengoperasikan forklift dan/atau lift truk sesuai dengan jenisnya dengan kapasitas lebih dari 15 ton; dan b. mengawasi dan membimbing kegiatan operator Kelas II. (3) Operator forklift dan/atau lift truk kelas II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b berwenang mengoperasikan forklift dan/atau lift truk sesuai jenisnya dengan kapasitas maksimum 15 ton. Pasal 31 Operator alat angkutan jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 berwenang mengoperasikan lokomotif beserta rangkaiannya dan lori.
Pasal 32 Juru ikat (rigger) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) berwenang melakukan: a. pengikatan barang atau bahan sesuai dengan prosedur pengikatan; dan b. pemberian aba-aba pengoperasian pesawat angkat dan angkut.
9
Pasal 33 Teknisi pesawat angkat dan angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) berwenang melakukan: a. pemasangan, perbaikan, atau perawatan pesawat angkat dan angkut; dan b. pemeriksaan, penyetelan, dan mengevaluasi keadaan pesawat angkat dan angkut. BAB V KEWAJIBAN OPERATOR DAN PETUGAS Pasal 34 (1) Operator pesawat angkat dan angkut berkewajiban untuk: a. melakukan pengecekan terhadap kondisi atau kemampuan kerja pesawat angkat dan angkut, alat-alat pengaman, dan alat-alat perlengkapan lainnya sebelum pengoperasian pesawat angkat dan angkut; b. bertanggung jawab atas kegiatan pengoperasian pesawat angkat dan angkut dalam keadaan aman; c. tidak meninggalkan tempat pengoperasian pesawat angkat dan angkut, selama mesin dihidupkan; d. menghentikan pesawat angkat dan angkut dan segera melaporkan kepada atasan, apabila alat pengaman atau perlengkapan pesawat angkat dan angkut tidak berfungsi dengan baik atau rusak; e. mengawasi dan mengkoordinasikan operator kelas II dan operator kelas III bagi operator kelas I, dan operator kelas II mengawasi dan mengkoordinasikan operator kelas III; f. mematuhi peraturan dan melakukan tindakan pengamanan yang telah ditetapkan dalam pengoperasian pesawat angkat dan angkut; dan g. mengisi buku kerja dan membuat laporan harian selama mengoperasikan pesawat angkat dan angkut. (2) Juru ikat (rigger) berkewajiban untuk: a. melakukan pemilihan alat bantu angkat sesuai dengan kapasitas beban kerja aman; b. melakukan pengecekan terhadap kondisi pengikatan aman dan alat bantu angkat yang digunakan; c. melakukan perawatan alat bantu angkat; d. mematuhi peraturan dan melakukan tindakan pengamanan yang telah ditetapkan; dan e. mengisi buku kerja dan membuat laporan harian sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan. (3) Teknisi berkewajiban untuk: a. melaporkan kepada atasan langsung, kondisi pesawat angkat dan angkut yang menjadi tanggung jawabnya jika tidak aman atau tidak layak pakai; b. bertanggung jawab atas hasil pemasangan, pemeliharaan, perbaikan, dan/atau pemeriksaan peralatan/komponen pesawat angkat dan angkut; c. mematuhi peraturan dan melakukan tindakan pengamanan yang telah ditetapkan; d. membantu pegawai pengawas ketenagakerjaan spesialis pesawat angkat dan angkut dalam pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian pesawat angkat dan angkut; dan e. mengisi buku kerja dan membuat laporan harian sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan.
10
BAB VI PEMBINAAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Pasal 35 (1) Pelaksanaan pembinaan K3 bagi operator dan petugas pesawat angkat dan angkut dilakukan oleh: a. instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan b. perusahaan jasa keselamatan dan kesehatan kerja bidang pembinaan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal berkoordinasi dengan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (2) Dalam hal perusahaan akan melakukan pembinaan secara mandiri (in house training) maka harus mengajukan permohonan ke instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (3) Materi pembinaan K3 bagi operator dan petugas pesawat angkat dan angkut ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
BAB VII PENGAWASAN Pasal 36 Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan. BAB VIII SANKSI Pasal 37 Pengusaha atau pengurus yang mempekerjakan operator dan/atau petugas pesawat angkat dan angkut yang tidak memiliki Lisensi K3 dan buku kerja, dan tidak memenuhi kualifikasi dan jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970.
BAB IX ATURAN PERALIHAN Pasal 38 (1) Bagi operator atau petugas pesawat angkat dan angkut yang telah memiliki Lisensi K3 dan buku kerja sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini tetap berlaku sampai berakhir jangka waktu Lisensi K3 dan buku kerja. (2) Setelah berakhir jangka waktu berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperpanjang sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
11
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/1989 tentang Kwalifikasi dan Syarat-syarat Operator Keran Angkat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan penempatan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR, SH.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 340
12
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.09/MEN/VII/2010 TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT JUMLAH OPERATOR YANG DIPERLUKAN UNTUK SETIAP PENGOPERASIAN PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT
I
Kualifikasi dan Jumlah Operator
Jenis dan Kapasitas Pesawat Angkat dan Angkut
Nomor
Kelas III
Kelas II
Kelas I
Peralatan Angkat 1.1
Keran mobil, keran kelabang, keran portal, keran magnet, keran lokomotif, pesawat hidrolik, dan pesawat pneumatik. s/d 25 ton > 25 ton dan
100 ton
1 orang
1 orang
-
1 orang
1 orang
1 orang
> 300 ton dan
600 ton
2 orang
1 orang
1 orang
2 orang
2 orang
1 orang
Alat angkat listrik/lift barang/passenger hoist, keran overhead, keran pedestal, keran tetap, keran gantry, keran dinding dan keran sumbu putar.
> 25 ton dan
100 ton
1 orang
-
-
-
1 orang
-
> 100 ton dan
300 ton
1 orang
-
1 orang
> 300 ton dan
600 ton
-
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
-
-
Tinggi menara > 40 m s/d 60 m
-
1 orang
-
Tinggi menara > 60 m
-
-
1 orang
> 600 ton Keran menara (tower crane). Tinggi menara s/d 40 m
1.4
-
300 ton
s/d 25 ton
1.3
-
> 100 ton dan
> 600 ton 1.2
1 orang
Gondola, dongkrak mekanik (lier), takal, dan mesin pancang.
non kelas
1 orang
II.
Pita transport.
non kelas
1 orang
III.
Pesawat angkutan di atas landasan dan diatas permukaan.
non kelas
1 orang
IV.
3.1
Jenis forklift dan/atau lift truk s/d 15 ton.
-
1 orang
-
3.2
Jenis forklift dan/atau lift truk > 15 ton.
-
-
1 orang
Alat angkutan jalan ril.
non kelas
1 orang
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2010 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
13
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/X/2011 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, perlu ditetapkan Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat kerja; b. bahwa dalam rangka perlindungan tenaga kerja terhadap timbulnya risiko-risiko bahaya akibat pemaparan faktor bahaya fisika dan kimia, sekaligus meningkatkan derajat kesehatan kerja di tempat kerja sebagai bagian dari pemenuhan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja; c. bahwa meningkatnya tuntutan di kalangan industri, praktisi dan asosiasi untuk memperbarui standar sesuai dengan standar internasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri; Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan; 4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Kesehatan Kerja;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.01/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja; 6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 3. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. 4. Faktor lingkungan kerja adalah potensi-potensi bahaya yang kemungkinan terjadi di lingkungan kerja akibat adanya suatu proses kerja. 5. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badanbadan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 6. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
2
7. Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, m ilik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 8. Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. 9. Kadar Tertinggi Diperkenankan yang selanjutnya disingkat KTD adalah kadar bahan kimia di udara tempat kerja yang tidak boleh dilampaui meskipun dalam waktu sekejap selama tenaga kerja melakukan pekerjaan. 10. Faktor fisika adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika yang dalam keputusan ini terdiri dari iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu, dan medan magnet. 11. Faktor kimia adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat kimia yang dalam keputusan ini meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut, aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan kimia. 12. Faktor kimia mencakup wujud yang bersifat partikel adalah debu, awan, kabut, uap logam, dan asap; serta wujud yang tidak bersifat partikel adalah gas dan uap. 13. Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya, yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah iklim kerja panas. 14. Suhu kering (Dry Bulb Temperature) adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu kering. 15. Suhu basah alami (Natural Wet Bulb Thermometer) adalah suhu yang ditunjukkan oleh oleh termometer bola basah alami (Natural Wet Bulb Thermometer). 16. Suhu bola (Globe Temperature) adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola (Globe Thermometer). 17. Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb Globe Temperature Index) yang selanjutnya disingkat ISBB adalah parameter untuk menilai tingkat iklim kerja yang merupakan hasil perhitungan antara suhu udara kering, suhu basah alami dan suhu bola. 18. Berat molekul adalah ukuran jumlah dari berat atom dari atom-atom dalam molekul atau seluruh unsur penyusunnya. 19. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alatalat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
3
20. Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolakbalik dari kedudukan keseimbangannya. 21. Radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro (Microwave) adalah radiasi elektromagnetik dengan frekuensi 30 Kilo Hertz sampai 300 Giga Herzt. 22. Radiasi ultra ungu (ultraviolet) adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang 180 nano meter sampai 400 nano meter (nm). 23. Medan magnet statis adalah suatu medan atau area yang ditimbulkan oleh pergerakan arus listrik. 24. Terpapar adalah peristiwa seseorang terkena atau kontak dengan faktor bahaya di tempat kerja. 25. Paparan Singkat Diperkenankan yang selanjutnya disingkat PSD adalah kadar zat kimia di udara di tempat kerja yang tidak boleh dilampaui agar tenaga kerja yang terpapar pada periode singkat yaitu tidak lebih dari 15 menit masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan iritasi, kerusakan jaringan tubuh maupun terbius yang tidak boleh dilakukan lebih dari 4 kali dalam satu hari kerja. 26. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. 27. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. 28. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2 (1) Pengurus dan/atau pengusaha wajib melakukan pengendalian faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja sehingga di bawah NAB. (2) Jika faktor fisika dan faktor kimia pada suatu tempat kerja melampaui NAB, pengurus dan/atau pengusaha wajib melakukan upaya-upaya teknis-teknologi untuk menurunkan sehingga memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) Pengurus dan/atau pengusaha wajib melakukan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan faktor fisika dan faktor kimia tertentu sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 (1) NAB faktor fisika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu, dan medan magnet. (2) NAB faktor kimia meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut, aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan kimia. (3) NAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4
BAB II NAB FAKTOR FISIKA Pasal 4 NAB iklim kerja menggunakan parameter ISBB sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 1 Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) NAB kebisingan ditetapkan sebesar 85 decibel A (dBA). (2) Kebisingan yang melampaui NAB, waktu pemaparan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 2 Peraturan Menteri ini. Pasal 6 (1) NAB getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak langsung pada lengan dan tangan tenaga kerja ditetapkan sebesar 4 meter per detik kuadrat (m/det2). (2) Getaran yang melampaui NAB, waktu pemaparan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 3 Peraturan Menteri ini. Pasal 7 NAB getaran yang kontak langsung maupun tidak langsung pada seluruh tubuh ditetapkan sebesar 0,5 meter per detik kuadrat (m/det2) Pasal 8 NAB radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 4 Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1) NAB radiasi sinar ultra ungu ditetapkan sebesar 0,0001 milliWatt per sentimeter persegi (mW/cm2). (2) Radiasi sinar ultra ungu yang melampaui NAB waktu pemaparan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I nomor 5 Peraturan Menteri ini. Pasal 10 NAB medan magnit statis untuk seluruh tubuh ditetapkan sebesar 2 Tesla. Pasal 11 NAB medan magnit statis untuk bagian anggota tubuh (kaki dan tangan) ditetapkan sebesar 600 milli tesla (mT). NAB medan magnit untuk masing-masing anggota badan tercantum dalam Lampiran I nomor 6 Peraturan Menteri ini.
5
BAB III NAB FAKTOR KIMIA Pasal 12 NAB Faktor Kimia di udara tempat kerja tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. Pasal 13 (1) Pengukuran dan penilaian faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja dilaksanakan oleh Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja atau pihak-pihak lain yang ditunjuk Menteri. (2) Persyaratan pihak lain untuk dapat ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 14 Untuk kepentingan hukum dan pengendalian risiko bahaya di tempat kerja, Pegawai Pengawas ketenagakerjaan dapat meminta pengurus dan/atau pengusaha untuk memutahirkan data pengukuran faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja. Pasal 15 Pengurus dan/atau pengusaha berkewajiban melakukan pengukuran faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja sesuai dengan Peraturan Menteri ini dilakukan berdasarkan penilaian risiko dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 16 Pengurus dan/atau pengusaha harus melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan menyampaikan hasil pengukuran pada kantor yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pasal 17 NAB faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja dalam Peraturan Menteri ini dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sekali sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) Faktor Fisika di Tempat Kerja dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE-01/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Tempat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6
Pasal 19 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2011 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Nopember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 684
7
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/X/2011 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA
1. NILAI AMBANG BATAS IKLIM KERJA INDEKS SUHU BASAH DAN BOLA (ISBB) YAN DIPERKENANKAN
Ringan
ISBB (˚C ) Beban Kerja Sedang
Berat
75% - 100%
31,0
28,0
-
50 % - 75%
31,0
29,0
27,5
25% - 50%
32,0
30,0
29,0
0% - 25%
32,2
31,1
30,5
Pengaturan waktu kerja setiap jam
Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas radiasi: ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,2 Suhu bola + 0,1 Suhu kering. Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di dalam atau di luar ruangan tanpa panas radiasi : ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,3 Suhu bola. Catatan : - Beban kerja ringan membutuhkan kalori sampai dengan 200 Kilo kalori/jam. - Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan kurang dari 350 Kilo kalori/jam. - Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan kurang dari 500 Kilo kalori/jam.
8
2. NILAI AMBANG BATAS KEBISINGAN Waktu pemaparan per hari
Intensitas kebisingan dalam dBA
8 4 2 1
Jam
85 88 91 94
30 15 7,5 3,75 1,88 0,94
Menit
97 100 103 106 109 112
28,12 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11
Detik
115 118 121 124 127 130 133 136 139
Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat.
3. NILAI AMBANG BATAS GETARAN UNTUK PEMAPARAN LENGAN DAN TANGAN Jumlah waktu pemaparan Per hari kerja
4 jam dan kurang dari 8 jam 2 jam dan kurang dari 4 jam 1 jam dan kurang dari 2 jam Kurang dari 1 jam
Nilai percepatan pada frekuensi dominan Meter per detik kuadrat ( m/det2 ) 4 6 8 12
Gravitasi 0,40 0,61 0,81 1,22
Catatan: 1 Gravitasi = 9,81 m/det2 4. NILAI AMBANG BATAS RADIASI FREKUENSI RADIO DAN GELOMBANG MIKRO Frekuensi
30 kHz - 100 kHz 100 kHz - 1 MHz 1 MHz - 30 MHz 30 MHz - 100 MHz
Power Density ( mW/cm2 )
Kekuatan Medan listrik ( V/m ) 1842 1842 1842/f 61,4
9
Kekuatan medan magnit ( A/m ) 163 16,3/f 16,3/f 16,3/f
Waktu pemaparan ( menit ) 6 6 6 6
100 MHz - 300 MHz 300 MHz - 3 GHz 3 GHz - 30 GHz 30 GHz - 300 GHz Keterangan : kHz MHz GHz f mW/cm2 V/m A/m
10
61,4
0,163
f/30 100 100 : : : : : : :
6 6 33.878,2/f1,079 67,62/f 0,476
Kilo Hertz Mega Hertz Giga Hertz Frekuensi dalam MHz Mili Watt per senti meter persegi Volt per Meter Amper per Meter
5. WAKTU PEMAPARAN RADIASI SINAR ULTRA UNGU YANG DIPERKENANKAN Masa pemaparan per hari 8 jam 4 jam 2 jam 1 jam
Iradiasi Efektif ( IEff ) mW / cm2 0,0001 0,0002 0,0004 0,0008
30 menit 15 menit 10 menit 5 menit 1 menit
0,0017 0,0033 0,005 0,01 0,05
30 detik 10 detik 1 detik 0,5 detik 0,1 detik
0,1 0,3 3 6 30
6. NAB PEMAPARAN MEDAN MAGNIT STATIS YANG DIPERKENANKAN No.
Bagian Tubuh
Kadar Tertinggi Diperkenankan (Ceiling )
1
Seluruh Tubuh (tempat kerja umum)
2T
2
8T
3
Seluruh Tubuh (pekerja khusus dan lingkungan kerja yang terkendali) Anggota gerak (Limbs)
4
Pengguna peralatan medis elektronik
Keterangan: mT ( milli Tesla)
10
20 T 0,5 mT
NAB medan magnit untuk frekwensi 1 - 30 kHz
No.
Bagian Tubuh
NAB (TWA)
Rentang Frekuensi
1
Seluruh tubuh
60/f mT
1 - 300 Hz
2
Lengan dan paha
300/f mT
1 - 300 Hz
3
Tangan dan kaki
600/f mT
1 - 300 Hz
4
Anggota tubuh dan seluruh tubuh
0,2 mT
300Hz - 30KHz
Keterangan: f adalah frekuensi dalam Hz
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2011 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
11
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/X/2011 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA
NAB FAKTOR KIMIA DI UDARA TEMPAT KERJA Penjelasan NAB Faktor Kimia 1. Kegunaan NAB NAB ini akan digunakan sebagai (pedoman) rekomendasi pada praktek higene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Dengan demikian NAB antara lain dapat pula digunakan: a. Sebagai kadar standar untuk perbandingan. b. Sebagai pedoman untuk perencanaan proses produksi dan perencanaan teknologi pengendalian bahaya-bahaya di lingkungan kerja. c. Menentukan pengendalian bahan proses produksi terhadap bahan yang lebih beracun dengan bahan yang sangat beracun. d. Membantu menentukan diagnosis gangguan kesehatan, timbulnya penyakitpenyakit dan hambatan-hambatan efisiensi kerja akibat faktor kimiawi dengan bantuan pemeriksaan biologik 2. Kategori Karsinogenitas Bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogen, dikategorikan sebagai berikut: A-1 Terbukti karsinogen untuk manusia (Confirmed Human Carcinogen). Bahanbahan kimia yang berefek karsinogen terhadap manusia, atas dasar bukti dari studi-studi epidemologi atau bukti klinik yang meyakinkan, dalam pemaparan terhadap manusia yang terpajan. A-2 Diperkirakan karsinogen untuk manusia (Suspected Human Carcinogen). Bahan kimia yang berefek karsinogen terhadap binatang percobaan pada dosis tertentu, melalui jalan yang ditempuh, pada lokasi-lokasi, dari tipe histologi atau melalui mekanisme yang dianggap sesuai dengan pemaparan terhadap tenaga kerja terpajan. Penelitian epidemologik yang ada belum cukup membuktikan meningkatnya risiko kanker pada manusia yang terpajan. A-3 Karsinogen terhadap binatang. Bahan-bahan kimia yang bersifat karsinogen pada binatang percobaan pada dosis relatif tinggi, pada jalan yang ditempuh, lokasi, tipe histologik atau mekanisme yang kurang sesuai dengan pemaparan terhadap tenaga kerja yang terpapar.
12
A-4 Tidak diklasifikasikan karsinogen terhadap manusia. Tidak cukup data untuk mengklasifikasikan bahan-bahan ini bersifat karsinogen terhadap manusia ataupun binatang. A-5 Tidak diperkirakan karsinogen terhadap manusia. Repr. Menimbulkan gangguan reproduksi pada wanita, seperti abortus spontan, gangguan haid, infertilitas, prematur, kelainan kongenital, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). 3. NAB Campuran Apabila terdapat lebih dari satu bahan kimia berbahaya yang bereaksi terhadap sistem atau organ yang sama, di suatu udara lingkungan kerja, maka kombinasi pengaruhnya perlu diperhatikan. Jika tidak dijelaskan lebih lanjut, efeknya dianggap saling menambah. Dilampaui atau tidaknya Nilai Ambang Batas (NAB) campuran dari bahan-bahan kimia tersebut, dapat diketahui dengan menghitung dari jumlah perbandingan diantara kadar dan NAB masing-masing, dengan rumus-rumus sebagai berikut:
C1
+
NAB (1)
+ ………..
C2 NAB (2)
Kalau jumlahnya lebih dari dilampaui.
Cn
= …………..
NAB (n)
1 (satu), berarti Nilai Ambang Batas Campuran
a. Efek Saling Menambah Keadaan umum NAB
campuran : C1 NAB(1)
+
C2 + NAB(2)
C3 + ………. NAB(3)
=
Contoh 1 a: Udara mengandung 400 bds Aseton (NAB-750 bds), 150 bds Butil asetat sekunder (NAB-200 bds) dan 100 bds Metil etil keton (NAB-200 bds). Kadar campuran =400 bds + 150 bds + 100 bds = 650 bds. Untuk mengetahui NAB campuran dilampaui atau tidak, angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus : 400 + 150 + 100 = 0,53 + 0,75 + 0,5 = 1,78 750 200 200 Dengan demikian kadar bahan kimia campuran tersebut di atas telah melampaui NAB campuran, karena hasil dari rumus lebih besar dari 1 (satu).
13
b. Kasus Khusus Yang dimaksud dengan kasus khusus yaitu sumber kontaminan adalah suatu zat cair dan komposisi bahan-bahan kimia di udara dianggap sama dengan komposisi campuran diketahui dalam % (persen) berat, sedangkan NAB campuran dinyatakan dalam milligram per meter kubik (mg/m3). 1 NAB Campuran = fa + fb + fc + fn NAB (a) NAB (b) NAB (c) NAB (n) Contoh 1 b: Zat cair mengandung :50 % heptan (NAB 400 bds atau 1640 mg/m3), 30 % Metil kloroform (NAB = 350 bds atau 1910 mg/m3), 20 % Perkloroetelin (NAB = 25 bds atau 170 mg/m3). 1
1
NAB campuran =
= 0,5 + 0.3 + 0,2 1640 1910 170
0,00030 + 0,00016 + 0,00018
1
1 =
= 610 mg/m3
0,00030 + 0,00016 + 0,00018
0,00164
Komposisi campuran adalah : 50 % atau (610) (0,5) mg/m3 = 305 mg/m3 Heptan = 73 bds. 30 % atau (610) (0,3) mg/m3 = 183 mg/m3 Metil kloroform = 33 bds. 20 % atau (610) (0,2) mg/m3 = 122 mg/m3 Perkloroetilen = 18 bds. NAB campuran : 73 + 33 + 18 = 124 bds atau 610 mg/m3 c. Berefek Sendiri-Sendiri NAB campuran = C1 = 1; NAB (1)
C2
= 1;
NAB (2)
C3
= 1 dan seterusnya
NAB (3)
Contoh 1 c: Udara mengandung 0,15 mg/mg3 timbal (NAB = 0,15 mg/m3) dan 0,7 Mg/m3 asam sulfat (NAB = 1 mg/m3). 0,15
=
1
:
0,7
0,15
= 0,7
1
Dengan demikian NAB campuran belum dilampaui
14
d. NAB Untuk Campuran Debu-Debu Mineral Untuk campuran debu-debu mineral yang secara biologi bersifat aktif, dipakai rumus seperti pada campuran di A.2. (kasus khusus). CATATAN:
Identitas bahan-bahan kimia dimana diperlukan indikator Pemaparan Biologik (BEI = Biological Exposure Indices) Bahan-bahan kimia yang NAB-nya lebih tinggi dari Batas Pemaparan yan Diperkenankan (PEL) dari OSHA dan atau Batas Pemaparan yang Dianjurkan dari NIOSH Identitas bahan-bahan kimia yang dikeluarkan oleh sumber-sumber lain, diperkirakan atau terbukti karsinogen untuk manusia CAS Chemical Abstracts Services adalah nomor pendaftaran suatu bahan kimia yang diterbitkan oleh American Chemical Society A Menurut kategori A- Karsinogen B Bahan-bahan kimia yang mempunyai komposisi berubah-ubah T Kadar tertinggi BDS Bagian Dalam Sejuta (Bagian uap atau gas per juta volume dari udara terkontaminasi) 3 mg/m Miligram bahan kimia per meter kubik udara (c) Bahan kimia yang bersifat asfiksian (d) NOC = not otherwise classified (tidak diklasifikasikan dengan cara lain) (e) Nilai untuk partikulat yang dapat dihirup (total), tidak mengandung asbes dan kandungan silica kristalin < 1% Serat lebih panjang dari 5µm dan dengan suatu rasio sama atau (f) lebih besar dari 3:1 (g) Nilai untuk material partikulat yang mengandung Kristal silica < 5% (h) Serat lebih panjang dari 5µm; diameter kurang dari 3µm; rasio lebih besar dari 5:1 (i) Partikulat dapat dihirup (j) NAB untuk fraksi respirabel dari material partikulat (k) Pengambilan contoh dengan metoda dimana tidak terambil bentuk uapnya (l) Tidak termasuk stearat-stearat yang berbentuk logam-logam beracun (m) Berdasarkan pengambilan contoh dengan High Volume Sampling (n) Bagaimanapun respirabel partikulat tidak boleh melampaui 2mg/m3 (o) Untuk jaminan yang lebih baik dalam perlindungan tenaga kerja, disarankan monitoring sampel biologi (p) Kecuali minyak kastroli (jarak), biji mete (cashew nut), atau minyakminyak iritan yang sejenis (q) Material partikulat bebas bulu kain diukur dengan vertical elutrior cotton-dust sampler
15
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
BDS
2 Adiponitril (111-69-3)
3 2
Air raksa (sebagai Hg) (7439-97-6) Air raksa senyawa anorganik
-
NAB Mg/m3
PSD/KTD BDS Mg/m3
4 8,8
0,025; A4 0,01 0,1
5
6
-
0,03
Berat Molekul (BM) 7 108,10
Keterangan
8 Iritasi saluran pernafasan atas & bawah
Gangguan sistem saraf pusat dan susunan saraf tepi, kerusakan ginjal
Air raksa senyawa alkyl
Idem
Air raksa senyawa aril
Idem
Akrilamid (79-061)
Akrilonitril (107-13-1)
-
0,03; A3
-
-
71,08
2,A3
4,3;A3
-
-
53,05
0,1
0,23
0,3
0,69
56,06
-
1 0,05;A3
-
-
269,8 364,92
1000
-
-
-
Allil alkohol (107-18-6)
0,5
-
-
-
58,08
Allil klorida (107-05-1)
1
3
2
6;A3
76,50
Allil glisidil eter (AGE) (10692-3)
1;A4
-
-
-
114,14
0,5
-
-
-
148,16
Iritasi saluran pernafasan atas & mata
26,98 bervariasi
Pneumokoniosis; Iritasi saluran pernafasan bawah; keracunan saraf
169,23
Kanker kandung kemih dan hati
Akrolein (107-02-8)
Alakhlor (15972-60-8) Aldrin (309-00-2) Alifatik hidrokarbon/alkana Gas (C1 - C4)
Allil propil disulfida (217959-1) Aluminium metal dan senyawa tidak terlarut (7429-90-5)
1, A4 -
Debu logam
10
Bubuk pyro sbg Al
5
Uap las sbg Al
5
Garam larut sbg Al
2
Alkil yg tidak terklasifikasi sbg Al
2
Aluminium oksida (1344-28-1)
-
-
-
10,A4
-
-
n-Amil Asetat(628-63-7)
100
532
-
-
Sek - amil asetat (626-38-0)
125
665
-
-
-
Kulit, A1
-
-
4-Aminodifenil (92-67-1)
16
Kerusakan susunan saraf pusat, kulit, A4 Kerusakan susunan saraf pusat, kulit Mata & Iritasi saluran pernafasan atas, edema paru; emphysema; Kulit, A4 Hemosiderosis; A3 Kerusakan susunan saraf pusat, hati & ginjal Gangguan jantung; Kerusakan susunan saraf pusat Mata & Iritasi saluran pernafasan atas, Kulit, A4 Mata & Iritasi saluran pernafasan atas, hati dan ginjal Iritasi saluran pernafasan atas; Dermatitis; Mata dan iritasi kulit
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 3-Amino1,2,4 - triazole
3 -
4 0,2;A3
5 -
6 -
Berat Molekul (BM) 7 -
Amitrole (61-82-5)
-
0,2;A3
-
-
84,08
2-Aminoetanol
-
-
-
-
0,5 25
1,9 17
35
24
91,11 17,03
-
10
-
20
53,50
2-Aminopiridin (504-29-0) Ammonia (7664-41-7) Ammonium klorida (1212502-9)
BDS
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
Ammonium perfluoro oktanoat (3825-26-1)
0,01;A3
431,00
Ammonium sulfamat (7773-06-0) Tersier amil metal eter (TAME) - (994-05-8)
10
114,13
20
-
102,2
Amosit Anilin (62-53-3) orto- Anisidin (90-04-0)
para-Anisidin (104-94-9)
0,1;A 4
7,6;A3
93,12 123,15
Antimon dan persenyawaan sebagai Sb (7440-36-2)
0,5
121,75
Sebagai Sb ANTU (alfa naftil tiourea) (86-88-4) ANTU (86-88-4) Antimoni Hidrida (7803-523)
0,3;A4
202,27
0,3;A4 0,1
202,27 124,78
A2
291,5 39,35 0,01;A1
74,92 bervariasi
0,005
Asam Adipic (124-04-9)
2;A3 0,5;A3
123,15
Arsen dan persenyawaan anorganik sebagai As (744038-2) Arsin (7784-42-1)
77,95
5
146,14
72,06
Asam Akrilat (79-10-7)
2;A4
5,9;A4
Asam asetat (64-19-7)
10
25
Asam asetat anhidrid (10824-7) Asam asetil salisilat (aspirin) - (50-78-2) Asam formiat (64-18-6)
5
21
102,09
5
180,15
5
Asam fosfat (7664-38-2)
Asam 2-kloropropionat (59878-7)
8
Lihat etanolamin; Efek tiroid
Kerusakan mata; Iritasi saluran pernafasan atas Kerusakan mata; Iritasi saluran pernafasan atas Kerusakan hati
Kerusakan susunan saraf pusat; Kerusakan embrio/janin Lihat asbestos
0,5;A4
Antimoni Trioksida (130964-4) Argon (7440-37-1)
Keterangan
15
-
10
1
0,1
0,44
-
17
37
60
19
46,02
3
98,00
-
108,53
Kekurangan Met-Hb Kulit Kekurangan Met-Hb Kulit; Kekurangan MetHb Kulit; Iritasi saluran pernafasan atas Efek tiroid; Mual Efek tiroid; Mual Hemolisis, kerusakan ginjal, iritasi saluran pernafasan bawah Kanker paru, pneumokoniosis Asfiksia Kanker paru
Kerusakan sistem saraf tepi, pembuluh darah, ginjal dan hati, reproduksi Iritasi saluran pernafasan atas; Kerusakan Syaraf otonom Kulit; Iritasi saluran pernafasan atas Iritasi saluran pernafasan atas, mata, fungsi paru Iritasi saluran pernafasan atas & mata Iritasi kulit dan mata Iritasi saluran pernafasan atas & mata; Kulit Iritasi saluran pernafasan atas & mata; Kulit Kulit, kerusakan reproduksi pria
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
BDS
5 -
6 -
Asam nitrat (7697-37-2)
2
5,2
4
10
63,02
2
90,04
Iritasi saluran pernafasan atas & mata
0,1
229,11
10
30
74,08
1;A3
10 6,7;A3
166,13 163,39
Dermatitis, iritasi mata, sensitif pada kulit Iritasi saluran pernafasan atas; Iritasi mata, kulit Iritasi mata, Iritasi saluran pernafasan atas Kanker paru, pneumokoniosis, mesotelioma
1
Asam tereftalik (100-21-0) Asam trikloro asetat (76-039) Asbestos semua bentuk (1332-21-4) Asbes biru (crosidolit) dilarang penggunaannya (sesuai peraturan yang berlaku) Asetaldehid (75-07-0)
0,1 serat / ml;A1
TD T 45;A3 25;A3 (c) Aspiksia Sederhana
Asetilen (74-88-2) Asetelin diklorida Aseton (67-64-1)
Aseton sianohidrin sebagai CN (75-88-5)
Asetonitril (75-05-8)
Asetophenon (98-86-2)
Keterangan
4 70
Asam propionat (79-09-4)
Berat Molekul (BM) 7 86,09
3 20
Asam pikrat (88-89-1)
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
2 Asam kromat & kromit Asam metakrilat (79-41-4)
Asam oksalat (144-62-7)
NAB 3 Mg/m
200 500
793 1187,12 ;A4
44,05 26,02
750
1780
58,05
T 4,7
T5
85,10
20;A4
33,95;A 4
41,05
10
49,14
120,15
8 Lihat kromit sebagai Cr Iritasi saluran pernafasan atas & mata Iritasi saluran pernafasan atas & mata, kulit
Iritasi mata dan saluran pernafasan atas Asfiksia Lihat 1,2 dikloroetilen Iritasi mata dan saluran pernafasan atas, kerusakan sistem saraf pusat, efek hematologi Kulit, iritasi saluran pernafasan atas, sakit kepala, hipoksia/sianosis Kulit, iritasi saluran pernafasan bawah Iritasi mata
0,5;A4
Aspal (bitumen) bentuk uap - sbg aerosol terlarut benzene (8052-12-4) Atrasin (1912-24-9)
5;A4
216,06
Kejang - Sistem saraf pusat
Azinfos - methyl (86-50-0)
0,2;A4
317,34
Kulit, penghambat kolinesterase
Barium (7440-39-3) dan persenyawaan larut sebagai Ba Barium sulfat (7727-43-7)
0,5;A4
137,30
10
233,43
Mata, kulit, iritasi pencernaan, stimulasi otot Pneumoconiosis
Benomil (17804-35-2)
Benz (a) antrasen (56-55-3) Benzen (benzol) (71-43-2)
Benzo (b) fluoranten (20599-2) Benzo (a) pyrene (50-32-8) Benzoil klorida (98-88-4)
Iritasi mata dan iritasi saluran pernafasan atas
1;A3, sinsitif
A2 0,5 (A1)
290,32
228,30 78,11
Iritasi saluran pernafasan atas, reproduksi pria & kerusakan saluran testis; Embrio/janin Kanker kulit Kulit; Leukimia
A2
252,30
Kanker
A2
252,30
Kanker
195,50
Iritasi saluran pernafasan atas
A2 2,5
T 0,5 ; A4
18
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Benzil asetat (140-11-4)
Benzidin (92-87-5)
Benzil klorida (100-44-7)
Benzoil peroksida (91-36-0)
BDS 3 10 ; A4
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4 61 ; A4
5
6
Berat Molekul (BM) 7 150,18
A1 1;A3
5,2;A3
126,58
5;A4
242,22
p- Benzoqinon
Berrilium (7440-41-7) dan senyawaannya Bifenil (92-52-4) Bismuth telluride indoped (1304-82-10) sedoped
0,2
0,002;A 2 1,3 10;A4 5;A4
(-)
1 5 1 10
9,01
Sebagai Be
154,20 800,83
Fungsi paru Sebagai B12 Te2
bervariasi
Iritasi saluran pernafasan atas
69,64
Iritasi saluran pernafasan atas & mata
T1
T 10
250,57
Iritasi saluran pernafasan atas
Boron trifluorida (7637-07-2)
T1
T 2,8
67,82
Iritasi saluran pernafasan bawah; Pneumonitis
159,81
Iritasi saluran pernafasan atas & bawah; Kerusakan fungsi paru Kerusakan liver; Iritasi saluran pernafasan atas & mata Efek tiroid
Bromofrom (75-25-2)
Bromasil(314-40-9) Bromoklorometan Brompentafluorida (7789-302)
1,3 Butadien(106-99-0) Butan (106-97-8)
2 Butanon Butanetiol n-Butil alkohol (n-butanol) (71-36-3) n-Butil akrilat (141-32-2)
0,1
0,5;A 3
0,1
2;A2 800
0,66
0,2
1,3
5,2;A3
252,73
10;A3
261,11
0,72
174,92
4,4;A2 1900
54,09
74,12 (T;50) 10;A4
(T;152)
52;A4
128,17
n-Butil laktat (138-22-7)
5
30
146,19
o-sek-Butil fenol (89-72-5)
5
31
150,22
100
303
sek-Butil alkohol (sekbutanol) (78-92-2) tert Butil alohol (tert-butanol) (75-65-0) n-Butil amin (109-73-9)
(-)
Boron tribromida (10294-334)
Brom (Bromine) (7726-95-6)
8 Iritasi saluran pernafasan atas Kulit; Kanker kandung kemih Iritasi saluran pernafasan atas & kulit Iritasi saluran pernafasan atas & kulit
Lihat Quinon
Borat, tetra, garam sodium (1330-96-4) Anhidrat Dekahidrat Pentahidrat Boron oksida1003-86-2)
Keterangan
n-Butil asetat (123-86-4)
100;A 4
150;A 4
Lihat Klorobromometan Iritasi saluran pernafasan atas; Mata & kulit Kanker Lihat gas-gas alifatik hidrokarbon; Alkanas (C1-C4) Lihat metal etil keton Lihat butyl merkaptan Kulit; Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas Pusing; Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas
303;A4
713;A4
T5
T 15
200;A4
950;A4
19
116,16
Kulit; Pusing; Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas
Notasi
BDS
NAB 3 Mg/m
2 sek-Butil asetat (105-46-4)
3 200
4 950
tert-Butil asetat (540-88-5)
200
950
116,16
n-Butil glisidil eter (BGE)(2426-08-6) Butil merkaptan (109-79-5)
25
133
130,21
0,5
1,8
90,19
p- tert- Butyl toluene (98-511)
1
6,1
148,18
2-Butoksi etanol(111-76-2)
25
121
118,17
2,4 D (dichloro pheonoxy aceticacid) (94-75-7) DDT (50-29-3)
10;A4
221,04
1;A3
354,50
Kerusakan hati
0,90;A4
220,98
Penghambat kolinesterase
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
DDVP (Diklorvos) (62-73-7)
0,1;A 4
Debu biji-bijian (jenis gandum) Debu tembakau
5
6
Berat Molekul (BM) 7 116,16
3,5 0,25
Demeton
0,01
0,11
256,34
Diatomaseoues Diboran (19287-45-7)
0,1
0,11
27,69
50
238 0,1;A4
116,16 304,36
0,34;A2
42,04
0,5
3,5
173,29
0,3
3,5
286,26
1
8,6
Diazometan (334-88-3) 1,2 Dibrometan 2-n-Dibutil amino etanol (102-81-8) Dibutil fenil fosfat (2528-361) Dibutil fosfat (107-66-4)
0,2:A 2
0,15
0,75
122,31
2
210,21
5
278,34 380,93 105,14
Dieldrin (60-57-1) Dietanol amine (111-42-2)
0,46
0,25;A4 2
Dietil amine (109-89-7)
5;A4
15;A4
15;A4
45;A4
73,14
2
9,6
117,19
200
705
86,13
5
222,23
4,2
103,17
Dietil eter Dietil keton(96-22-0) Dietil ftalat (84-66-22) Dietil triamin (111-40-0)
Saluran pernafasan atas Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas; Mual Kulit; Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas
Kulit; Konvulsi sistem saraf pusat, penurunan kesadaran Kulit; Inhisi kolinesterase Lihat silika - amorf Iritasi saluran pernafasan atas; Pusing Lihat etilen diamin
Dibutil ftalat (84-74-2)
2-Dietil amino etanol (10037-8)
8 Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas Iritasi kulit, mata & saluran pernafasan atas Reproduksi
Lihat nikotin
0,005
Keterangan
4 (I)
Dekaboran (17702-41-9)
1-2 Diaminoetan Diaseton alkohol (123-42-2) Diazinon (333-41-5)
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
1
Di (2-etil hexi) ftalat Difenil, (Bifeni)
390,54
20
Kulit
Lihat etilen dibromida Kulit; Iritasi saluran pernafasan atas & mata Kulit; Inhibisi kolinesterase Kandung kemih; Iritasi saluran pernafasan atas Kerusakan testis; Iritasi saluran pernafasan atas Kulit; Kerusakan hati Kulit; Kerusakan hati & ginjal Kulit; Iritasi saluran pernafasan atas; Konvulsi sistem saraf pusat Kulit; Iritasi saluran pernafasan atas; Konvulsi sistem saraf pusat Lihat etil eter Iritasi saluran pernafasan atas; Mata Iritasi saluran pernafasan atas Kulit; Mata & Iritasi saluran pernafasan atas; Konvulsi sistem saraf pusat Lihat di-sek-oktil ftalat Lihat bifenil
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Difenil amin (122-39-4)
BDS 3
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4 10;A4
5
6
Berat Molekul (BM) 7
Difenil metan di-isosianat
Diglisidil eter (DGE) (223807-5)
0,1;A 4
25 5
Dihidroksi benzen Diisobutil keton(108-83-8) Diisopropil amin (108-18-9) Diklor asitelin (7572-29-4)
o-Diklorobenzen (95-50-4)
25;A4
150;A4
p- Diklorobenzen (106-46-7)
10;A3
60;A3
147,01
3,3 - Diklorobenzidin (9194-1) 1,4 Dikloro-2 buten (764-410) 1,2 Dikloro etilen (540-59-0)
A3
253,13
0,025;A 2 793
124,99
5,8
142,97
4950;A4
102,92
Sensitisasi jantung
405;A4
98,97
Iritasi mata; Saluran pernafasan atas; Kerusakan hati & ginjal Lihat etilen diklorida Lihat vinilidin klorida Kulit; Iritasi mata; Saluran pernafasan atas;Mual Kulit; Penghambat kolinesterase Kerusakan hati Lihat metilen klorida Saluran pernafasan atas Saluran pernafasan atas
1,2 Dikloroetan 1,1 Dikloroetilen Dikloroetil eter (111-44-4)
Diklorotofos (141-66-2)
0,005; A2 200
1 1000; A4 100;A 4
145 21
142,23 101,19 94,93
50;A4
T.0,39.A 3 301;A4
147,01
96,95
96,95 5;A4
29;A4
10;A4
58;A4
0,25;A4 10
1,3 Dikloropropen (542-756) Dikloro tetra fluoro etan (7614-2) Diklorvos, DDVP (62-73-7)
Dimetil amin (124-4-30)
130,14
T 0,1 A3
Dikloroflurometan (75-43-4) Diklorometan 1,3 - Dikloro - 5,5 dimetil hidantion (118-55-5) 1,1 Dikloro 1-nitro etan (59472-9)
0,53;A4
Lihat Metilen bisfenil isosianat Iritasi saluran pernafasan atas; Kerusakan hati Iritasi saluran pernafasan atas; Kerusakan hati; Gangguan reproduksi pria Lihat hidroquinon
100
1,2 Dikloro propan 2,2 Dikloro propionik asid (75-99-0) Dikloro difluoremetan (7571-8) 1,1 Dikloroetan (75-34-3)
209,83
8 Kerusakan, hati & ginjal, efek hematologi
Difluoro dibromo metan (7561-6)
858
Keterangan
237,21
42 0,2
2
143,02
0,4
102,92 84,93 197,03
12
143,96
1;A4
4,5;A4
110,98
Kulit; Kerusakan ginjal
1000; A4 0,1;A 4 5;A4
6990;A4
170,93
Fungsi paru
0,90;A4
220,98
9,2;A4
15;A4
27,6;A4
45,08
Kulit; Penghambat kolinestrase Saluran pernafasan atas; Gastro intestinal Lihat Xylidin
5;A4 10;A4
25;A4 36;A4
10;A4
50;A4
121,18 87,12
Kulit Kerusakan hati; Embrio dan janin Lihat Xilin Lihat Naled
1,5
6,4
104,20
Iritasi mata; Saluran pernafasan atas; Pusing
Dimetil aminobenzen
Dimetil anilin (121-69-7) N,N Dimetil asetamid (12719-5) Dimetil benzen Dimetil 1,2-dibromo-2,2 dikloretil fosfat Dimetil etoksi silane (1485734-2)
Kulit Mual; Kerusakan sistim saraf tepi Iritasi mata; Saluran pernafasan atas; Kerusakan hati Iritasi mata; saluran pernafasan atas; Kerusakan ginjal Kulit; Kanker kandung kemih; Iritasi mata Kulit; Iritasi mata; saluran pernafasan atas Kerusakan sistem saraf pusat, iritasi mata Lihat Propilen diklorida
0,5
2,1
21
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Dimetil formamid (68-12-2) Dimetil flatlat (131-11-3) 2,6 Dimetil 4 heptanon 1,1 Dimetil hidrazin (57-147) Dimetil karbomil klorida (7944-7)
BDS
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m 5
6
Berat Molekul (BM) 7 73,09 194,19
3 10;A4
4 30;A4 5
0,01; A3
0,025;A 3
60,12
A2
A2
107,54
0,1;A 3
0,52;A3
126,10
0,15
1,0 0,2
168,11 198,13
Dimetil nitroso amin
Dimetil sulfat (77-78-1)
Dimetoksimetan Dinotrobenzen (528-29-0) Dinotro - o - kresol, DNOC (534-52-1) Dinitolmid (148-01-6)
182,15
(90)
88,10
0,2;A4
456,54 142,23
50
233
Dipropilen glikol metal metil eter (34590-94-8)
100
606
Di - sek, oktil ftalat (117-817) Disiklopentadin (77-73-6) Disiklopentadienil iron (10254-5) Disiston,disulfoton,thiodemet on (289-04-04) Disulfiram (97-77-8) 2,6 - Di-tert-butil-p-kresol (128-37-0) Diuron (330-54-1) Divinil benzen (1321-74-0)
Emery (1302-74-5) Endosulfan, benzoepin (11529-7) Endrin (72-20-8)
Enfluran (13838-16-9)
015;A2
Dipropil keton (123-19-3)
Diquat (2764-72-9)
(20)
Dioksation (78-34-2)
198,13
Dinitro toluen (25321-14-6) 1,4-Dioksan (123-91-1)
Epiklorhidrin (106-89-8)
EPN (2104-64-5) 1,2 Epoksipropan
150
909
0,5, A4 0,1, A4
Bervariasi
5;A3 5
10
75
Lihat Dinitolmid; Kerusakan hati Kulit; Kerusakan jantung; Efek reproduksi Kulit; Kerusakan hati Penghambat kolinesterase Iritasi saluran pernafasan atas Kulit Iritasi saluran pernafasan bawah; Katarak
10
27 10 0,05
Enzim
8 Kulit; Kerusakan hati Iritasi mata; Saluran pernafasan atas Lihat Diisobutil keton Kulit; Iritasi mata; Saluran pernafasan atas; Kanker nasal Kanker nasal; Iritasi mata; Saluran pernafasan atas Lihat N-Nitroso dimetil amin Kulit; Iritasi mata; Saluran pernafasan atas Lihat Metilal Kulit/semua isomer Kulit; Metabolisme basal
5;A4
3,5 - Dinitro-o-toluamid
Keterangan
Penghambat Cholinesterase Vasodilatasi; Mual
2;A4 10;A4
296,52
10;A4 53
233,10 130,19
10 (e) 0,1;A4
406,95
Kulit
0,1
380,93
566
184,50
Kulit, kerusakan hati,gangguan syaraf pusat, sakit kepala kerusakan syaraf pusat, kerusakan jantung Asma; Iritasi kulit, Saluran pernapasan atas dan bawah Infeksi saluran pernafasan atas, gangguan reproduksi pria.
0,00006
0,5
92,53
0,1
323,31
2
22
Saluran pernafasan atas
Kulit, penghambat kolinesterase Iritasi mata dan saluran pernapasan atas
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 2,3 Epoksi- 1- propanol
Etan (74-84-0) Etantiol
BDS
NAB 3 Mg/m
3 2
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5
6
1000 0,5
Berat Molekul (BM) 7 74.08
Keterangan
323,31
8 Iritasi saluran pernapasan atas, mata, dan kulit Sensitisasi jantung, kerusakan syaraf pusat Iritasi saluran pernapasan atas, kerusakan saraf pusat
62,13
Etanolamin (141-43-5)
3
6
61,08
Iritasi mata, kulit
Etil akrilat (140-88-5)
5
15
100,11
Etil alkohol (etanol) (64-175) Etil amin(75-04-7)
1000
Etil asetat (141-78-6)
400
Etil benzene (100-41-4)
100
Etil bromide (74-96-4)
5
Etil butil keton (106-35-4)
50
Iritasi saluran pernapasan atas, mata, dan pencernaan. Kerusakan saraf pusat, sensitifitas kulit. Iritasi saluran pernapas atas Iritasi mata, Kulit, kerusakan mata Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Iritasi saluran pernapasan atas, mata, kerusakan saraf pusat. Kerusakan hati, kerusakan saraf pusat Kerusakan kulit, iritasi mata dan kulit Penghambat kolinesterasi Kerusakan hati Kerusakan syaraf dan iritasi mata Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Iritasi saluran pernapasan atas dan kerusakan syaraf. Iritasi saluran pernapasan atas dan mata, kerusakan ginjal Asfiksia Kulit Kulit Kerusakan hati dan mual Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Pelebaran pembuluh darah; Pusing Iritasi saluran pernapasan atas; Kerusakan hati dan ginjal Gangguan saraf; Kerusakan hati dan ginjal Kanker; gangguan saraf
46,07
5
Etion (563-12-2)
15
88,10 125
543
106,16
108,98 75
114,19
0,4
384,48
Etil klorida (75-00-3) Etil eter (60-29-7)
100 400
Etil format (109-94-4)
100
74,08
Etil merkaptan (75-08-1)
0,5
62,13
Etil silikat (78-10-4)
10
208,30
200 10
28,05 60,10 187,88 98,96
Etilen (74-85-1) Etilen diamin(107-15-3) Etilen dibromida (106-93-4) Etilen diklorida (107-06-2)
Etilen glikol dinitrat dan/atau Nitrogliserin (628-96-6) Etilen imin (151-56-4)
Etilen klorohidrin (107-07-3)
Etilen oksida (75-21-8) Etilidin klorida (
64,52 74,12
500
10
Etilen glikol aerosol(107-211)
45,08
100
0,05 0,05
62,07
152,06 0,1
43,08
1
80,52
1
44,05
100
98,97
Etilidin norbormen (1621975-3)
5
23
120,19
Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Kerusakan hati dan ginjal Iritasi saluran pernapasan atas dan mata
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
BDS
NAB 3 Mg/m
3 5
4
Etil-amil keton (541-85-5) 2-etoksi etanol (110-80-5) 2-etoksi etil asetat (111-159) Fenamifos (22224-92-6)
25 5 5
131 18 27
128,21 90,12 132,16
0,05
0,1
303,40
0,1 0,1
p-Fenilen diamin (106-50-3)
0,1
6
219,29 108,05 108,5 108,5
Fenil eter (101-84-8)
1
2
170,20
Fenil etilen
20
40
104,16
0,05
110,10
Fenilfosfin (638-21-1)
5
Berat Molekul (BM) 7 115,18
2 n-Etilmorfolin (100-74-3)
Fenasil klorida n-fenil beta neptalin (135-886) O-fenilen diamin (95-54-5) m-fenilen diamin (108-45-2)
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
Fenil glisidil eter (FGE) (12260-1) Fenil hidrazin (100-63-0)
0,1
150,17
0,1
108,14
Fenil merkaptan (108-98-5)
0,1
110,18
5
94,11
Fenol (108-95-2)
Fenotioazin (92-84-2)
5
199,26
Fensulfothion(115-90-2)
001`
308,35
Fention (55-38-9)
0,05
278,34
Ferbam (14484-64-1)
5
416,50
Fero vanadium (12604-58-9)
1
Ferum (iron) sebagai Fe
1
Ferum oksida sebagai Fe (1309-37-1) Ferum penta karbonil sebagai Fe (13463-40-6)
Fluorida sebagai F
Fluorin (fluor) (7782-41-4)
B2
Fonofos (944-22-9) Forat (298-02-2) Formaldehid (50-00-0)
-
5,A4
0,1
0,2
195,90
2,5
Bervariasi
1
Fluorotriklorometan
3
2
38,00
1000
137,38
0,01 0,05
246,32 0,3,A2
24
0,2 0,3
30,03
Keterangan
8 Iritasi saluran pernapasan atas dan kerusakan mata Kulit kulit Penghambat kolinesterase Lihat Klaroaseptofenon Kanker Anemia Kerusakan hati; Iritasi kulit Iritasi saluran pernapasan atas dan sensitisasi kulit Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Mual Kerusakan sistem saraf, iritasi saluran pernapasan atas, neuropati perifer Dermatitis, gangguan hematologi, kerusakan testis Kerusakan testis Anemia; Iritasi mata dan kulit Dermatitis; Gangguan hematologi; Kerusakan testis Iritasi saluran pernapasan atas; Kerusakan paru dan sistem saraf Reaksi fotosensitivitas mata; Iritasi kulit Penghambat kolinesterase Penghambat kolinesterase Gangguan sistem saraf; Gangguan berat badan; Kerusakan limpa Iritasi mata, saluran pernapasan atas dan bawah Iritasi saluran pernapasan atas dan kulit Debu dan Uap Pembengkakan paru; Kerusakan sistem syaraf Kerusakan tulang dan fluorosis Iritasi saluran pernapasan atas, mata dan kulit Sensitifitas jantung Hambatan kolinesterase Kulit Iritasi saluran pernapasan atas dan mata
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Formamid(75-12-7)
BDS 3 10
Fosdrin
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5
6
0,01
Berat Molekul (BM) 7 45,04
224,16
Fosfin (7803-51-2)
0,3
Fosfor kuning (7723-14-0)
0,02
Fofsfor oksiklorida (1002587-3) Fosfor pentaklorida (1002613-8)
0,1
153,35
0,1
208,24
1
34,00
0,2
Fosgen (75-44-5)
0,1
98,92
1
148,11
Ftalik anhidrida (85-44-9)
1
3 0,5
5
222,29 137,35
128,14
Furfural (98-01-1)
2
Furfuril alkohol (98-00-0)
10
15
98,10
Gasolin (8006-61-9)
300
500
-
96,08
Gelasserat atau debu Germanium tetrahidrida (7782-65-2) Gips Glikol monoetil eter
0,2
76,63 10
136,14 90,12
10
92,09
5
Gliserin, mist (56-81-5) Glutaraldehid (111-30-8)
Glisidol (556-52-5
0,05
2
Grafit (7782-42-5)
100,11
0,5
Halotan (151-67-7)
50
0,1
Heksafluoro aseton (684-162) Heksakloroetan (67-72-1)
8 Iritasi mata dan kulit; Kerusakan ginjal dan hati Penghambat kolinesterase Iritasi saluran pernapasan atas dan saluran pencernaan; Sakit kepala; Gangguan sistem saraf
Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Kerusakan hati Kerusakan hati; Kerusakan sistem saraf; Pelebaran pembuluh darah Kerusakan testis dan ginjal Kerusakan hati dan ginjal
236,74
25
Gangguan penciuman Kerusakan reproduksi pria; Kerusakan janin Iritasi saluran pernapasan atas Iritasi saluran pernapasan atas, kulit, dan mata; Gangguan sistem saraf
178,49
166,02
1
Iritasi saluran pernapasan atas dan mata; Kerusakan sistem saraf Lihat fibrous gelas, debu Perubahan hematologi
Iritasi saluran pernapasan atas, mata dan kulit Radang paru-paru
197,39
0,68
Iritasi saluran pernapasan atas Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Iritasi saluran pernapasan atas Iritasi saluran pernasan atas, mata, dan kulit Iritasi saluran pernapasan bawah; Pembengkakan paruparu; Emfisema paru Iritasi saluran pernapasan atas, mata dan kulit Iritasi mata dan saluran pernapasan atas Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Iritasi saluran pernapasan atas dan mata
74,08
2
Hafnium (7440-58-6)
Keterangan
0,1
Fosfor pentasulfida (131480-3) Fosfor triklorida (7719-12-2)
m-Ftalodinitril (626-17-5)
NAB 3 Mg/m
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
BDS
2 Heksakloronaftalen (133587-1) Heksaklorobenzen (118-741)
3
Heksaklorobutadin (87-68-3) Heksaklorosiklopentadien (77-74-4) n-Heksan (110-54-3) isomer-isomer lain
0,02 0,01
Heksametilen diisosianat (822-06-0)
0,005
Heksametil fosforamid (68031-9) 1,6 Heksandiamin (124-094) Hekson
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4 0,2
5
6
0,002
Berat Molekul (BM) 7 334,74 284,78 260,76 272,75 86,18
500
1000
168,22
179,20 0,5
116,21
20
75
100,16
2-Heksanon
Sek-Heksil asetat (108-84-9) Heksilen glikol (107-41-5) Helium (7400-59-7) Heptaklor (76-44-8) dan heptaklorepoksida (1024-573) Heptan (142-82-5) 2- Heptanon 3- Heptanon Herbisida Crag Hidrazin (302-01-2) Hidrogen (1333-74-0) Hidrogen bromida (1003510-6) Hidrogen fluoride, sebagai F (7664-39-3) Hidrogen klorida (7647-01-0) Hidrogen sulfida (7783-06-4) Hidrogen selenida (7783-075) Hydrogen sianida dan garam-garam sianida sbg CN
Hidrogen sianida (74-90-8) Garam-garam sianida (592-01-8; 151-50-8; 14333-9) Hidrogenated terfenil (61788-32-7) 4-Hidroksi-4metil -2pentanon 2- Hidroksipropil akrilat (99961-1) Hidroquinon (123-31-9) Hidrogen peroksida (772284-1) Inden (95-13-6) Indium dan persenyawaannya sebagai In (7440-74-6)
50
295 T 25
T 121
(c) 0,05;A3
400
1640
500
2050
144,21 118,17 4,00 373,32
Keterangan
8 Kerusakan hati; jerawatan Efek porphyrin; Kerusakan kulit; Kerusakan sistem saraf Kerusakan ginjal Iritasi saluran pernapasan atas Gangguan sistem saraf; Iritasi saluran pernapasan atas dan mata Iritasi saluran pernapasan atas; Sensitisasi respon Kanker saluran pernapasan atas Iritasi saluran pernapasan atas dan kulit Iritasi saluran pernapasan atas, pusing dan sakit kepala Lihat metal n- butil keton; Reproduksi
Kulit
389,40 100,20 Lihat metil n- amil keton Lihat etil butyl keton
0,01; A3 (c)
0,013A3
32,05
T3 0,5
1 0,05
T 9,9
1,01 80,92
KTD 2
20,01
KTD 2,A4 5
36,47
KTD 4,7
27,03
Kulit
bervariasi
Kulit
4,9
Kulit
34,08 80,98
KTD 5 0,5
Kulit
241,00 Lihat diaceton alkohol
0,5
2,8
130,14
2;A3
110,11
1;A3
1,4;A3
34,02
10
48 0,1
116,15 49,00
26
Kulit
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Iodine (7553-56-2) Iodoform (75-47-8) Isoamil alkohol (123-51-3) Isoamil asetat (123-92-2) Isobutil alkohol (78-83-1) Isobutil asetat (110-19-0) Isoforon (78-59-1) Isooktil alkohol (26952-21-6) Isoforon diisosianat (409871-9) Isopropoksi etanol (109-591) Isopropil alkohol (67-63-0) Isopropil amin (75-31-0) N-Isopropil anilin768-52-5) Isopropil asetat (108-21-4) Isopropil eter (108-20-3) Isopropil glisidil eter (401614-2) Kadmium, logam dan persenyawaannya sebagai Cd (7440-43-9)
BDS 3
4
0,6 100 100 50 150
10 361 532 152 713
50 0,005
266 0,045
25 400 5 2 250 250 50
106 983 12 11 1040 1040 238
o-Klorinated difenil oksida (31242-93-0) Klorinated kamfer (8001-352)
6 T 1,0
125
452
T 28,A3
Berat Molekul (BM) 7 Bervariasi 393,78 88,15 74,12 116,16 138,21 130,23 222,30 104,15
500 10
1230 24
310 310 75
1290 1300 356
Keterangan
8
Kulit
Kulit
59,08 135,21 102,13 102,17 116,18 112,40 bervariasi
74,10
10 (e)
2;A4
0,001;A 2 2
156,09
Sebagai Cr
56,08
Iritasi saluran pernafasan atas
0,5;A4
80,11
10;(e)A 4 10(e) 12;A4 2 (j),A4 0,2(q)
-
3;A4
19;A4
136,14 152,23 -
Sintetis
113,16
5000 10 25
1;A4 23;A4 0,1;A4 5;A3 5;A4 0,1;A4 3,5;A4 9000 31 29
0,1
1,4
0,3
4,1
331,65
5;A2
31;A2
10;A2
63;A2
153,84
2 5;A3
5,4 23;A3 1;A1
5
13
66,01 110,11
5;A4
Kayu-kayu lunak Ketena (463-51-4) Klorin (7782-50-5)
5 T 0,1
0,01 A2 0,002; (j) A2 5
Kalsium sianamida (156-627) Kalsium silikat (1344-95-2)
Kaptafol (2425-06-1) Kaptan (133-06-2) Karbaril (63-25-22) Karbofuran (1563-66-2) Karbon hitam (1333-86-4) Karbon dioksida (124-38-9) Karbon disulfida (75-15-0) Karbon monoksida (630-080) Karbon tetrabromida (55813-4) Karbon tetraklorida (56-235) Karbonil klorida Karbonil Fluorida (353-50-4) Katekol (120-80-9) Kayu, debu
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
T 5,A3
Kalsium hidroksida (130562-0) Kalsium karbonat (1317-653) Kalsium kromat (13765-190) Kalsium oksida (1305-78-8)
Kalsium sulfat (7778-18-9) Kamfer (76-22-2) Kaolin (1332-58-7) Kapas (debu katun) Kaprolaktam (105-60-2) Debu Uap
NAB 3 Mg/m
10;A4
30.000
3;A4 46;A4
54.000
394,06 300,60 201,20 221,30 44,01 76,14 28,01
Kulit
Kulit, reproduksi Reproduksi
Kulit Lihat fosgen
0,5 0,5;A 4
5 0,86 1,5;A4
1,5 1;A4
10 2,6 2,9;A4
0,5 0,5;A3
1
27
Kulit Kayu-kayu keras tertentu seperti kayu beech dan oak
70,19
Reproduksi
414,00
Reproduksi
377,00
Kulit, reproduksi
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Klorin dioksida (10049-04-4) Klorin trifluorida (7790-91-2) Klordane, Chlordane (57-749) Kloroasetaldehid (107-20-0) Kloro aseton (78-95-2) Kloro asetil klorida (79-04-9) 2-Kloroaseto fenon (532-274) Klorobenzen (108-90-7) O-Klorobenzildin malononitril (2698-41-1) Klorobromometan (74-97-5) 2-Kloro-1,3 butadien Klorodifluorometan (75-45-6)
BDS 3 0,1
Bis (klorometil) eter (542-881) Klorometil metil eter (10730-2) 1-Kloro-1-nitropropan (60025-9) Kloropentafluoroean (76-153) Kloropikrin (76-06-2) B-kloropren(126-99-8) O-Klorostiren (2039-87-4) O-Klorotoluen (95-49-8) 2-Kloro-6 (trikloro metil) piridin Klorpirifos (2921-88-2) Kobalt, (7440-48-4) Logam dan persenyawaan anorganik sebagai Co Kobalt hidrokarbonil (1684203-8) Kobalt karbonil (10210-68-1) Koper (tembaga) (7440-50-8) Uap Debu dan mist sebagai Cu Korundum (Alumunium oksida)(1344-28-1) Kresol (1319-77-3), semua isomer Klopidol (2971-90-6) Krisen (218-01-9) Krisotile
4 0,28
PSD/KTD 3 BDS Mg/m 5 0,3 T 0,1
6 0,83 T 0,38
T1 T1 0,15
T 3,2 T 3,8 0,69
T 0,05;A4
T 0,39;A4
Berat Molekul (BM) 7 67,46 92,46
0,5;A3
0,05 0,05; A4 10;A3
0,23 0,32;A4 46;A3
78,50 92,53 112,95 154,59 112,56 188,61
200
1060
129,39
1000; A4
3540;A4
86,47
1 0,5;A4
266,50 328,40
Kromit, proses tambang (kromat) sebagai Cr Kromium,logam dan persenyawaan anorganik sebagai Cr. (7440-47-3) logam dan persenyawaan krom III
8 Reproduksi Reproduksi Kulit
Kulit
Kulit
42 % klorin, kulit 54 % klor Awas kulit Lihat Epiklorhidrin Lihat etilen klorohidrin Lihat vinil klorida
10;A3
49;A3
119,38
0,001; A1 A2
0,0047; A1 A2
114,96
2
10
123,54
1000
6320
154,47
0,1; A4 10 50 50
0,67;A4
164,39
80,50
36 283 259
75
425
88,54 138,60 126,59 Lihat Nitrapinin
0,2;A4 0,002;A 3
350,57 58,93 bervariasi
0,1
171,98
Sebagai Co
0,1
341,94 63,55
Sebagai Co
Kulit
5
1 10;(e)A 4 22
108,14
Kulit
A3
10;A4 A3
192,06 228,30
(0,2)
Lihat asbestos
Kristobalit
Keterangan
Lihat B. kloropen
Klorodifenil (53469-21-9) Klorodifenil (11097-69-4) 1-Klor 2,3 epoksipropen ( 2 Kloro etanol Kloro etilen Kloroform (67-66-3)
NAB 3 Mg/m
Lihat silika kristalin 0,05;A1
bervariasi
0,5;A4
28
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 persenyawaan krom VI larut di air. NOC persenyawaankrom VI tidak larut dalam air NOC (d) Kromil klorida (14977-61-8) Krosidolit Koal, debu Koal,tar,sebagai benzenterlarut (65996-932) Kroton aldehid (4170-30-3) Kruformat (299-86-5) Kumene (98-82-8) Kwarsa Las (Uap) (NOC) Lindane (58-89-9) Litium hidrida (7580-67-8) LPG (68476-85-7 Magnesit (546-93-0) Marmer Magnesium oksida (130948-4) Malathion, Marcaptothion, Carbofos (121-75-5) Maleik anhidrida (108-31-6) Mangan dan persenyawaan anorganiknya sebagai Mn (7439-96-5) Mangan siklopentadienil trikarbonil (12079-65-1), Sebagai Mn Mesitil oksida (141-79-7) Metan (74-82-8) Metantiol
BDS
NAB 3 Mg/m
3
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5
6
Berat Molekul (BM) 7
8
0,05;A1
0,025
0,01,A1 0,16
154,92
2(g-j) 0,2;A1
-
Lihat Asbestos
2;A3 50
5,7;A3 5;A4 246
Kulit Lihat silika kristal Lihat kalsium karbonit
5;B2
1000
0,5;A3 0,025 1800 10
290,85 7,95
10
40,32
Lihat kalsium karbonat Uap
10;A4
330,36
Kulit
1,0 0,2
98,06 54,94 Bervariasi
0,1
204,10
0,25
15
60
25
100
-
48,11
200
250
32,04
Metil akrilat (96-33-3)
2
-
86,09
Metil akrilonitril (126-98-7)
1
-
67,09
Metilal (109-87-5)
1000
-
76,10
Metil alkohol
200
250
32,04
Metil amil alkohol (108-11-2)
25
40
102,18
Metil amin (74-89-5)
5
15
Metil asetat (79-20-9)
200
250
Metil asitelin (74-99-7)
1000
19
31,06
74,08
40,07
29
Kulit
Kulit
98,14
(c) 0,5
Metanol (67-56-1)
Keterangan
Lihat metil merkaptan Kerusakan hati Pusing, sumbatan saluran mata Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, dan sumbatan saluran mata Gangguan sistem saraf pusat, iritasi mata dan kulit Iritasai mata, gangguan sistem saraf pusat Lihat methanol Pusing, sumbatan saluran mata Lihat metal isobutil karbinol Iritasi saluran pernafasan atas, iritasi mata, gangguan sistem saraf pusat Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, mata, Pusing, iritasi mata, saluran pernafasan atas, kerusakan saraf mata Gangguan sistem saraf pusat
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
BDS
NAB 3 Mg/m 4
PSD/KTD 3 BDS Mg/m 5 1250
6
Berat Molekul (BM) 7 40,07
2 Metil asitelin-propadien
3 1000
Metilen bisfenil isosianat Metilen klorida (75-09-2)
0,005
-
250,26
50
-
84,93
Diklorometan Kekurangan Karboksi hemoglobin, gangguan sistem saraf pusat Iritasi saluran pernafasan atas dan kulit Iritasi saluran pernafasan atas, kerusakan di ginjal Penghambat kolinesterase Neuropathy perifer, sumbatan testikular Saluran pernafasan atas Iritasi mata, kulit, sumbatan di hati dan ginjal Saluran Pernafasan atas, saluran pernafasan bawah, dan iritasi mata Dilihat Etil Amil Keton Keracunan saraf Iritasi mata, kulit, sumbatan di hati dan ginjal Saluran pernafasan atas, saluran pernafasan bawah, dan iritasi mata Dilihat Etil Amil Keton Keracunan saraf Lihat metil merkaptan Kerusakan hati Pusing, sumbatan saluran mata Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas,dan sumbatan saluran mata Gangguan sistem saraf pusat, iritasi mata dan kulit Iritasai mata, gangguan sistem saraf pusat Lihat methanol pusing, sumbatan saluran mata Lihat metal isobutil karbinol Iritasi saluran pernafasan atas, iritasi mata, gangguan sistem saraf pusat Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, mata,
Metil bromide (74-83-9)
1
-
94,95
Metil - tert - butil eter (1634-04-4)
50
-
88,17
Metil demeton (8022-00-2) Metil n- butil keton (591-786) Metil etil keton (78-93-3) Metil etil keton peroksida (1338-23-4)
0,5
230,30
5
10
100,16
200
300
72,10
-
C 0,2
176,24
Metil Format (107-31-3)
100
150
60,05
5-Metil-3-Heptanon
10
-
128,21
-
C 0,2
176,24
Metil Format (107-31-3)
100
150
60,05
5-Metil-3-Heptanon
10
-
128,21
Metantiol
0,5
-
48,11
Metanol (67-56-1)
200
250
32,04
Metil akrilat (96-33-3)
2
-
86,09
Metil akrilonitril (126-98-7)
1
-
67,09
Metilal (109-87-5)
1000
-
76,10
Metil alkohol
200
250
32,04
Metil amil alkohol (108-11-2)
25
40
102,18
Metil amin (74-89-5)
5
15
Metil asetat (79-20-9)
200
250
Metil etil keton peroksida (1338-23-4)
Keterangan
30
19
31,06
74,08
8 Campuran (MAPP) Gangguan sistem saraf pusat Sensitif sist.respirasi
Pusing, iritasi mata, saluran pernafasan atas, kerusakan saraf mata
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
BDS
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5
6
Berat Molekul (BM) 7 40,07
2 Metil asitelin (74-99-7)
3 1000
Metil asitelin-propadien
1000
1250
40,07
Metilen bisfenil isosianat Metilen klorida (75-09-2)
0,005
-
250,26
50
-
84,93
Metil bromide (74-83-9)
1
-
94,95
Metil - tert - butil eter (1634-04-4)
50
-
88,17
Metil demeton (8022-00-2) Metil n- butil keton (591-786) Metil etil keton (78-93-3) Metil etil keton peroksida (1338-23-4)
0,5
230,30
5
10
100,16
200
300
72,10
-
C 0,2
176,24
Metil Format (107-31-3)
100
150
60,05
5-Metil-3-Heptanon
10
-
128,21
Metil akrilonitril (126-98-7)
1
-
67,09
Metilal (109-87-5)
1000
-
76,10
Metil alkohol
200
250
32,04
Metil amil alkohol (108-11-2)
25
40
102,18
Metil amin (74-89-5)
5
15
Metil asetat (79-20-9)
200
250
74,08
Metil Hidrasin (60-34-4)
0,01
-
46,07
Metil Iodida (74-88-4)
2
-
141,95
Metil Isoamil Keton (110-123)
50
-
114,20
Metil Isobutil Keton (108-1112)
20
75
100,16
31
19
31,06
Keterangan
8 Gangguan sistem saraf pusat Campuran (MAPP) Gangguan sistem saraf pusat Sensitif sistem respirasi Diklorometan Kekurangan Karboksi hemoglobin, gangguan sistem saraf pusat Iritasi saluran pernafasan atas dan kulit Iritasi saluran pernafasan atas, kerusakan di ginjal Penghambat kolinesterase Neuropati perifer, Sumbatan testikular Saluran Pernafasan atas Iritasi mata, kulit, sumbatan di hati dan ginjal Saluran pernafasan atas, saluran pernafasan bawah, dan iritasi mata Dilihat Etil Amil Keton Keracunan saraf Gangguan sistem saraf pusat, iritasi mata dan kulit Iritasai mata, gangguan sistem saraf pusat Lihat methanol Pusing, sumbatan saluran mata Lihat metal isobutil karbinol Iritasi saluran pernafasan atas, iritasi mata, gangguan sistem saraf pusat Iritasi mata, kulit, saluran pernafasan atas, mata Pusing, iritasi mata, saluran pernafasan atas, kerusakan saraf mata Iritasi saluran pernafasan atas dan mata, kanker paru, kerusakan di hati Kerusakan mata, gangguan sistem saraf pusat Iritasi saluran nafas atas, iritasi mata, kerusakan di ginjal dan hati, gangguan sistem saraf pusat Iritasi kulit, pusing, sakit kepala
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Metil Iso Propil Keton (56380-4) Metil Isosianat (624-83-9)
BDS 3 200
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5 -
6
Berat Molekul (BM) 7 86,14
0,02
-
57,05 50,49
Keterangan
8 Iritasi saluran nafas atas dan mata Iritasi saluran nafas atas Gangguan sistem saraf pusat, kerusakan di hati dan ginjal, kerusakan di saluran testis, efek teratogenik Gangguan sistem saraf pusat, kerusakan di hati Kerusakan di hati
Metil Klorida (74-87-3)
50
100
Metil Kloroform (71-55-6)
350
450
Metil Merkaptan (74-93-1)
0,5
-
48,11
Metil Metakrilat (80-62-6)
50
100
100,13
Metil n-Amil Keton
50
-
114,18
n-Metil Analin (100-61-8)
0,5
-
107,15
MeHb-emia, gangguan sistem saraf pusat
Metil Paration (298-0-0)
263,2
Metil Propil Keton (107-87-9)
Penghambat kolinesterase Fungsi paru, iritasi mata
Metil-2 Sianokrilat (137-053) Metil Sikloheksan ( 108-872)
Metil Sikloheksanol (2563942-3) O-Metil Sikloheksanon (58360-8)
0,2 150 0,2 400
2460;A4
133,42
86,17 111,10
1610
98,19
50
114,19
50
75
2-Metil Siklopentadienil Mangan tri karbonil sebagai Mn (12108-13-3) Metil Silikat (681-84-5)
1
152,22
Alfa Metil Stiren (98-83-9)
10
118,18
0,01
267,17
0,005
262,35
0,1
198,26
0,1
76,09
4,4 Metilen bis (2 kronoanilin(MOKA) (101-144) Metilen bis (4-Sikloheksil Isosianat) (5124-30-1) 4,4- Metilen dianilin (101-779) 2-Metoksientanol (109-86-4)
0,2
112,17
218,10
Metoksikhlor (72-43-5)
10
345,65
Metomil (16752-77-5)
2,45
162,20
2-Metoksi etil Asetat (11049-6) 4-Metoksi fenol (150-76-5)
Metribuzin (21087-64-9)
Mevinfos (7786-34-7) Mika (12001-26-2) Mineral,serat wool
0,1
118,13 5
124,15
5
214,28
0,01
224,16
3 10;(e)
32
Iritasi saluran nafas atas dan mata, efek berat badan, edema paru Iritasi mata dan kulit
Iritasi mata dan saluran nafas atas Iritasi saluran nafas atas, gangguan sistem saraf pusat, kerusakan pada hati dan ginjal Iritasi mata dan saluran nafas atas Iritasi mata dan saluran nafas atas ; Gangguan sistem saraf pusat Gangguan sistem saraf pusat ; Kerusakan paru, lever dan ginjal Iritasi saluran nafas atas ; Kerusakan di mata Iritasi saluran nafas atas, kerusakan ginjal, dan kerusakan saluran reproduksi wanita Ca kandung
Sensitif respirasi ; Iritasi saluran nafas bawah Kerusakan pada lever Hematologi efek ; Efek reproduksi Kerusakan hati Penghambatan kolinesterase Hematologi efek ; Efek reproduksi Iritasi mata ; Kerusakan kulit Kerusakan hati ; Efek hematologi Penghambatan kolinesterase Pneumokoniosis
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Molibdenum (7439-98-7) sebagai Mo Untuk persenyawaan larut Untuk Metal dan persenyawaan tidak larut Monoklor benzene (Lihat kloro benzene) Monokrotofus (6923-22-4) Morfolin (110-91-8)
BDS 3
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5
6
Berat Molekul (BM) 7 95,95
5 10 3
Keterangan
8 Iritasi saluran nafas bawah idem
10 0,05 20
Naled (300-76-5) Naftalen (91-20-3)..43
NAB 3 Mg/m
112.56
Kerusakan hati
223,16
Penghambat kolinesterase Kerusakan mata ; Iritasi saluran nafas atas Penghambat kolinesterase Efek pada hematologi;Iritasi saluran nafas atas dan mata ; Kerusakan mata Ca kandung kemih Sasak nafas Dermatits pneumokoniosis
87,12 0,1
380,79
10
15
128,19
beta-Naftilamin (91-59-8) Neon (7440-01-9) Nilkel Dasar (7440-02-0)
1,5
58,71
Persenyawaan anorganik tidak larut
0,1
Bervariasi
Ca paru
0,2
bervariasi
(0,12)
170,73
Kerusakan paru ; Ca hidung Ca paru dan hidung
persenyawaan an organik larut Nikel karbonil (13463-39-2) sebagai Ni Nikel sulfide, uap dan debu sebagai Ni
143,18 20,18
0,05
(1,A1)
Nikotin(54-11-5)
0,5
Nitrapirin (1924-82-4)
10
p-Nitroanilin (100-01-6)
3
Nitrobenzen (98-95-3)
4 - Nitrodefenil (92-93-3)
Nitrogliserin (55-63-00) p-Nitroklorobenzen (100-005)
Nitroetan (79-24-3)
20
1
Kerusakan saluran cerna; Gangguan sistem saraf pusat; Gangguan jantung
230,93
Kerusakan hati
138,12
Kekurangan methemoglobin; Kerusakan hati; Iritasi mata Kekurangan methemoglobin
123,11
100
Nitrogen (7727-37-9)
199,20
Ca kandung kemih
75,07
Iritasi saluran nafas atas;Gangguan sistem saraf pusat;Gangguan hati Sesak nafas
14,01
Nitromethane (75-52-5)
20
Nitrogen dioksida (1010244-0) Nitrit oksida (10102-43-9)
3
Nitrogen trifluorida (7783-542)
162,23
61,04
5
46,01
25
30,01
10
71,00
0,05 0,1
227,09 157,56
33
Efek tiroid, iritasi saluran nafas atas; Kerusakan di paru Iritasi saluran napas atas dan bawah Hipoksia/sianosis; Membentuk nitrosil HB Kekurangan methemoglobin; Kerusakan di hati dan ginjal Vasodilatasi Kekurangan methemoglobin
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 2-Nitropropan (79-46-9)
n-Nitrosodimetilamin (62-759) Nitrotoluen (88-72-2)
Nitrotriklormetan (Lihat kloropikrin) Nitrous oksida (10024-97-2)
Nonan, semua isomer (11184-2) Oil mist, mineral
BDS
NAB 3 Mg/m
3 10
4
1 - Nitropropan (108-03-2) Oktakloronaftalen (2234- 131) Oktan (111-65-9) Osmium tetraoksida (20816-12-0) sebagai Os Ozon (10028-15-6) Pekerja berat Pekerja sedang Pekerja keras Pekerja berat,sedang,dan keras(kurang atau sama dengan 2 jam) Parafin, uap lilin (8002-74-2)
Parathion, Thiophas (56-382) Partikulat polisiklik aromatic hirokarbon Lihat (Coal tar) Partikulat tidak terklasifikasi Partikulat inhalabel Partikulat respirabel Partikel-partikel pengganggu (Nuisance particulates) Pelarut karet (naftan) (803030-6) Pentaboran (19624-22-7)
6
2
137,13
0,1
164,39
50
44,02
200
128,26 5 (k)
54,00
25
89,09
0,1
0,3
300
403,74 114,22
0,000 2
Keterangan
8 Kerusakan di hati; Ca hati Ca hati dan ginjal; Kerusakan di hati Kekurangan methemoglobin Iritasi mata; Edema paru Gangguan sistem saraf pusat; Efek hematologi; Kerusakan pada embrio/fetus Gangguan sistem saraf pusat
(10) 0,05
0,0006
0,05 0,08 0,10 0,20
254,20
48,00 Idem Idem Idem
2
Paraqu t (4685-14-7) debu total faksi respirabel
5
Berat Molekul (BM) 7 89,09 74,08
Oksigen difuolrida (7783-417)
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
Sakit kepala; Edema paru; Iritasi saluran pernafasan atas Iritasi saluran pernafasan atas dan mata; Kerusakan di hati Kerusakan pada hati Iritasi saluran nafas atas Iritasi mata,saluran nafas atas, dan kulit
Fungsi paru Idem Idem Idem
Iritasi saluran nafas atas; Mual Kerusakan di paru
0,5 0,1 0,05
257,18 idem 291,27
0,2
Penghambat kolinesterase Kanker
10 (e) 3(e) Lihat partikel-partikel NOC (partikel tidak terklasifikasi) 400
1590
Pentaeritrtitol (115-77-5)
10
136,15
Pentakloropenol, PCP (8786-5)
0,5
266,35
0,5
300,40
Pentakloronaftalen (132164-28) Pentakloronitro benzen (8268-8) Pentan (semua isomer)
0,5
295,36
Konvulsi sistem saraf pusat; Gangguan sistem saraf pusat Iritasi mata dan saluran nafas atas Iritasi saluran nafas atas dan mata; Gangguan sistem saraf pusat; Gangguan jantung Kerusakan di hati; chloracne Kerusakan di hati
72,15
Gangguan saraf tepi
0,005
0,015
600
34
63,17
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 2 - Pentanon (Lihat metil propel keton)
Perlit (93763-70-3)
Persulfat Amonium (7727-54-0) Polasium (7727-21-1) Sodium (7775-27-1) Perkloretilen (Tetrakloroetilen) (127-18-4) Perkloril fluoride (7616-94-6)
Perklorometil merkaptan (594-42-3) Petroleum distilat(Lihat Gasolin, Petroleum distilat, pelarut standard UM & P naftan) Pindon (83-26-1)
3
Perak (silver) (7740-22-4) logam persenyawaan larut sebagai Ag Perfluoroisobutilen (382-21-8)
BDS
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5 150
6
0,1 0,01 0,01
10(e); A4 0,1 0,1 0,1
Berat Molekul (BM) 7 86.17
Keterangan
107.87 variatif
Argyria idem
200,04
Iritasi saluran nafas atas; Mempengaruhi hematologi
bervariasi
8 Mempengaruhi fungsi paru; Iritasi mata
Iritasi kulit
25
100
165.80
Gangguan sistem saraf pusat
3
6
102,46
Iritasi saluran nafas atas dan bawah; Kekurangan methemoglobin; Fluorosis Iritasi mata dan saluran nafas atas
0,1
185,87
0,1
230,35
Koagulasi
Pikloram (1918-02-1)
10
241,48
Piperazin dihidroklorida (142-64-3) Piridin (110-86-1)
5
159,05
Kerusakan di hati dan ginjal Iritasi mata dan kulit; Sensitisasi kulit; Asma Iritasi kulit; Kerusakan di hati dan ginjal Kerusakan di hati dan ginjal; Iritasi saluran nafas bawah Lihat Katekol Lihat Pindon Lihat Kalsium sulfat
1
Piretrum (80003-34-7)
79,10 5
345 (ratarata)
1 0,002 1
195,09 variasi 266.50
Asma ; Iritasi saluran nafas atas Kerusakan hati; Iritasi mata; Cloracne
Poliklorodipenil (54 % chlorine) 11097-69-1
0,5
328.40
Kerusakan hati; Iritasi saluran nafas atas; Cloracne
B1 56,10
Politetrafluororetilen Potasium hidroksida (131058-3) Propan (74-98-6)
Iritasi saluran nafas atas, mata dan kulit Lihat gas-gas aliphatic hidrokarbon: Alkana (C1-C4)
Propan sulfon (1120-71-4)
122,14
kanker
56,06
Iritasi mata; Kerusakan hati dan ginjal
Pirokatekol 2- Pivalil- 1,3 - Indandione Plaster dari Paris Platina (7440-06-4) logam garam-garam terlarut sebagai Pt Poliklorodipenil (42 % chlorine) 53469-21-9
Propargil alkohol (107-19-7)
2
1
2,3
35
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS
BDS 3 0,5
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4
5
6
Berat Molekul (BM) 7 72,06
2 Beta - Propiolakton (57-578) n- Propil alkohol (71-23-8)
100
n- Propil asetat (109-60-4)
200
Propilen (115-07-1)
500
42,08
Propilen diklorida (78-87-5)
100
112,99
Propilene imina (75-55-8)
0,2
Propilen oksida (75-56-9)
20
Propilen glikol dinitrat (642343-4) Propilen glikol monometil eter (107-98-2) n- Propil nitrat (627-13-4) Propin Beta- Propiolakton (57-57-8) Propoxur, Aprocarb (114-261) Quinon (106-51-4) RDX Resorsinol (108-46-3) Rhodium (7440-16-6) Logam Garam-garam tidak larut sebagai Rh Garam-garam larut sebagai Rh
102,13
0,4
57,09
48;A3
58,08 166,09
100
150
90.12
25
40
105,09
0,5
72,06 0,5
209,24
0,1
10;A4
108,09
45;A4
20;A4
90;A4
8 Kanker kulit dan iritasi saluran nafas atas Iritasi mata dan saluran nafas atas; Gangguan sistem saraf pusat Iritasi dan saluran nafas atas Sesak nafas iritasi saluran nafas atas Iritasi saluran nafas atas; Efek terhadap berat badan Iritasi saluran nafas atas; Kerusakan di ginjal Iritasi mata dan saluran nafas atas Sakit kepala; Gangguan sistem saraf pusat Iritasi mata; Gangguan sistem saraf pusat Mual; Sakit kepala Lihat Metil Asetilen Iritasi saluran nafas atas Penghambatan kolinesterase Iritasi mata; Kerusakan di kulit Lihat siklonit
110,11 102,91
1;A4 Bervariasi bervariasi 1;A4 0,01;A4 10;A4
321,57 NA
Rotenon (83-79-4) Rouge
Sianogen klorida (506-77-4)
250
0,05
Ronnel,Fenchlorphos (29984-3) Rosin (8050-09-7)
Sayur, mist minyak Selenium & Persenyawaan sebagai Se (77-82-49-2) Semen Portland (65997-151) Selenium heksa fluoride (7783-79-1) sebagai Se Sellulosa (9004-34-6) Sesium hidroksida (2135179-1) Seson (136-78-7) Sianida asam dan garam sebagai CN Asam sianida (74-90-8) Kalsium sianida (592-01-8) Kalsium sianida (151-50-8) Natrium sianida (143-33-9) Sianamid (420-04-21) Sianogen (460-19-5)
60,09
Keterangan
0,05
5;A4 10 (e); A4 10 0,2
391,41
10 (e)
-
0,16
192,96
10 2
149,92
10;A4
309,13
78,96
T 4,7
T5
Kulit
T5
Kulit
T5
Kulit
T5 10
Sensitizer, pemaparan serendah mungkin
2 21
Kulit 42,04 52,04
T 0,3
36
T 0,75
61,48
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Siheksatin (13121-70-5) Sikloheksan (110-82-7) Sikloheksanol (108-93-0) Sikloheksanon (108-94-1) Sikloheksen (110-83-8) Sikloheksilamin (108-91-8) Siklonit (121-82-4) Siklopentadien (542-92-7) Siklopentan (287-92-3) Silika - Amorf Diatomaseous Earth Uncalcined ) (61790-53-2) Partikel inhalebel Partikel respirabel Prespitad silica (112926-00-8) Uap silica (69012-64-2) Silika, fused (60676-86-0) Silika, gel (11292-00-8) Silika - kristalin Kristabalit (14464-46-1) Kwarsa (14808-60-7) Tridimid (15468-32-3) Tripoli (1317-95-9)
BDS 3 300 50 25;A4 300 10;A4 75 600
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
4 5;A4 1030 206 100;A4 1010 41;A4 (1,5) 203 1720
5
6
Berat Molekul (BM) 7 84,16 100,16 98,14 82,14 99,17 222,26 66,10 70,13
Keterangan
8
Kulit Kulit
Kulit
10 (e) 3 (e) 10 2(j) 0,1 (j) 10 0,05 (j)
60,09
Mengandung kwarsa respiable
0,1 (j) 0,05 (j) 0,1 (j)
Silikon (7440-21-3) Silikon karbida (409-21-2) Silikon tetrahidrida (780362-5) Silan Soap stone Debu inhalabel Debu respirabel Sodium ajid (26628-22-8) Sebagai sodium ajid
5
10 (e) 10 (e), A4 6,6
40,10 32,12 Lihat silikontetrahidrit -
6 (e) 3 (j) 65,02 T 0,29;A4
Sebagai uap asam hidrazoik Sodium bisulfit (7631-90-5)
T 0,11;A4 5;A4
Sodium 2,4 dikloro fenoksietil sulfat Sodium fluoro asetat (62-748) Sodium hidroksida (131073-2) Sodium metabisulfit (768157-4) Starch (Kanji) (9005-25-8) Stearat
104,07 Lihat seson
0,05
100,02 T2
Systoks Stibin (7803-52-3) Stiren monomor (100-42-5)
0,1 (50)
Strikhnin (57-24-9)
0,15
Stoddard, pelarut (8052-413) Strontium kromat (7789-062)
100
Kulit
40,01
5;A4
190,13
10;A4 10;A4
Bervariasi Lihat demeton
0,51 (213)
(100)
(426)
104,16
Kulit
334,40 525
140,00
0,0005; A2
203,61
Subtililsin (1395-21-7)
T. 0,0000 6(m)
37
-
Sebagai Cr
100 % kristal enzim murni
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Sukrose (57-50-1) Sulfometuron metal (7422297-2) Sulfotep (3689-24-5) Sulfur dioksida (7446-09-5) Sulfur heksafluorida (255162-4) Sulfuril fluoride (2699-79-8) Sulfur monoklorida (1002567-9) Sulfur pentafluorida (571422-7) Sulfur tetrafluorida (7783-600) Sulprofos (35400-43-2) 2,4,5T (Triklor phenoxy acetic acid) (93-76-5 Talk tidak mengandung serat asbes (14807-96-6) Talk (mengandung serat asbes) Tantalum, oksida dan logam debu (7440-25-7) sebagai Ta TEDP TEPP (107-49-3) Teflon Tellurium dan persenyawaan sebagai Te (13494-80-9) Tellurium heksofluorida sebagai Te (7783-80-4) Temefos (3383-96-8) Tembakau Ter batubara (benzene, antrasen,fenantren,akridin, krisen,piren) Terfenil (26140-60-3) Terpentin (8006-64-2) Tetra etil timah hitam sebagai Pb (78-00-2) Tetra hidrofuran (109-99-90) 1,1,2,2 tetra bromo etana (79-27-6)
1.1.2.2-Tetrakloro-1.2difluoretan (76-12-0) 1.1.1.2-Tetrakloro-2.2difluoretan (76-11-9) 1.1.2.2- tetrakloroetan (7934-5) Tetrakloroetilen Tetraklorometan Tetrakloronaftalen (1335-882) Tetrametil suksinonitril (33352-6)
Tetrametil timah hitam (7574-1) sebagai Pb
Tetranitrometan (509-14-8) Tetrasodium pirofosfat (7722-88-5)
BDS 3
NAB 3 Mg/m
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
Berat Molekul (BM) 7 342,30 364,38
Keterangan
0,25;A4
322,30 64,07 146,07
Kulit Gangguan fungsi paru
10 T1
42 T. 5,5
102,07 135,03
T. 0,1
T. 0,10
254,11
T. 0,1
T. 0,44
-
4 10;A4 5;A4
1000
0,2;A2 5970
5
21
5
6
1;A4 10;A4
8
322,43 255,49
2 (j) A4 Memakai NAB asbes 5
0,004
0.02
-
0,047
290,20
0.1
127,60
0.1
241,61
10
466,46
Lihat sulfotep Kulit Lihat Politetra fluoroetilen
Lihat Nikotin Lihat koal, tar
T 0.53 100
200 0,1
556 0.1 (o).A4 590
T5
230,31 267,33
250
737
72,10 345,7
500
4170
203,83
500
4170
203,83
1;A4
0.5
0.005; A3
Kulit
Iritasi mata, infeksi saluran pernafasan atas, odem paru, kerusakan hati
167,86
Kulit
165,80
Lihat Perkloroetilen Lihat Karbon tetraklorida
2
265,96
2.8
136,20
Kulit
0.15 (o)
267,33
Kulit
0.04;A3
196,04
5
38
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Tetril (479-45-8)
BDS 3
Thallium (7440-28-0)logam dan persenyawaan larut sebagai TI 4.4 Tiobis (6-tert-butil-mkresol) (96-69-5) Thiram,Thiram (137-26-8) Timah hitam,logam dan persenyawaan anorganik sebagai Pb (7439-92-1) Timah hitam arsenat sebagai Pb3 (AsO4)2 (778440-9) Timah hitam kromat (775897-6)sebagai Pb sebagai Cr
Tionil klorida (7719-09-7) Titanium dioksida (1346367-7) 1.2.4-Trikloro benzene (12082-1) Trikloro fluoro metan (75-694) Trikloro nitro metan 1.2.3-Trikloro propan (96-184) 1.1.2-Trikloro - 1.2.2 Trifluoroetan (76-13-1) Trisiklohexiltin hidrosida Tridimit Trietanolamin (102-71-6) Trimetilik anhidrid (552-30-3) Trimetilamin (75-50-3) Trimetil fosfit (121-45-9) Tripoli Toxaphene
4 1.5
10;A4
358,52
1;A4 0.05;A3
240,44
Keterangan
8
Kulit
0.05;A2 0.012;A 2 2
2 0.1;A4
Kulit Lihat timah hitam arsenat, reproduksi T1
T4,9
118,98 79,90
T5
T37
181,46
T 1000;A4
T5620;A 4
137,38
10;A4
10;A3
60;A3
1000; A4
7670;A4
147,43 1250;A4
9590;A4
Lihat kloropikrin Kulit
187,40 Lihat seheksatin Lihat silica kristalin
5 5 2
12 10
50;A4
188;A4
Toluen -2.4 - diisosianat (584-84-9) o - Tolidin (119-93-7) o - Toluidin (95-53-4)
0.005; A4 A3 2;A3
0.036;A 4 A3 8.8;A3
m - Toluidin (108-44-1) p- Toluidin (106-49-0)
2;A4 2;A3
0,2 1;A4
6
204,37 Bervariasi
Toluen (108-88-3)
5
Berat Molekul (BM) 7 287,15
0.1
Toluol Tributil fosfat (126-73-8) Trietilamin (121-44-8) Trifenil fosfat (115-86-6) Trifluorobromometan ( 7563-8) 1,1,1 - Trikloroetan 1,1,2 - Trikloretan (79-00-5) Trikloroetilen (79-01-6)
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
0.15
Timah putih (7440-31-5) Logam Oksida dan persenyawaan anorganik (kecuali,Sn H4,sebagai Sn) Persenyawaan organic Sn Timbal arsenat
NAB 3 Mg/m
15
T0,04 36
149,22 192,12 101,19 124,08
92,13 0.02;A4
0.14;A4
Lihat silica kristalin Lihat Khlorinated camfen Kulit
174,15
107,15
Kulit Kulit
8.8;A4 8,8;A3
107,15 107,15
Kulit Kulit
266,32 101,19
1000
2,2 4,1;A4 3;A4 6090
10;A4 50;A5
55;A4 269;A5
Lihat Toluena 3,A4
12,A4
Kulit
148,92 Lihat Metilkloroform 100,A5
39
573;A5
Notasi
1
NAMA BAHAN KIMIA DAN NOMOR CAS 2 Triklorometan Trikloronaftalen (1321-65-9) Trimetilbenzen (25551-13-7) 2,4,6 - Trinitrofenol metilnitramin 2,4,6Trinitrotoluen (TNT) (118-96-7) Trifenil amin (603-34-9) Triortokresilfosfat (78-30-8) Tungsten dan persenyawaannya (7440-337) sebagai W Larut tidak larut Uranium (7440-61-1) (persenyawaan larut dan tidak larut sebagai U) Vanadium Pentoksida (V205) sebagai C205 (131462-1) respirabel atau uap logam n- Valeraldehid (110-62-3) Viniliden klorida (75-35-4)
BDS 3
4
25
5 123
5
6
Berat Molekul (BM) 7
(0,5)
227,13
5 0,1;A4
8 Lihat kloroform Kulit
Kulit
368,37 183,85 Bervariasi
1 5 0,2;A1
0,6;A1
0,05;A4
238,03 Bervariasi
181,88
176 20;A3
20;A3
79;A3
86,13 106,96
Vinil asetat (108-05-4) Vinil benzen Vinil bromida (593-60-2) Vinil klorida (75-01-4) Vinil sianida Vinil toluen (25013-15-4) 4 - Vinil sikloheksen (10040-3) Vinil sikloheksen dioksida (106-87-6)
10;A3
35;A3
15;A3
53;A3
86,09
5;A2 5;A1
22;A2 13;A1
50;A4 0,1; A3 0,1; A3
242;A4 0,44;A3
VM & P Nafta (8032-32-4)
300; A5
1370;A3
Lihat striren 106,96 62,50 Lihat Akrilonitril 100;A4
483;A4
0,57;A3
0,1
Xilen (1330-20-7) (0,m,pisomer) m-Xilen (1477-55-0)
100; A4
Xilidin (1300-73-8)
0,5; A3
Zirkonium dan persenyawaannya sebagai Zn (7440-67-7) Zink klorida (7646-85-7) Zink kromat (13530-65-9); sebagai Zn. Zink oksida (1314-13-2) Uap, Debu
Keterangan
120,19
50 5;A3
Yodium Yitrium (7440-65-5) logam persenyawaan Y
PSD/KTD 3 BDS Mg/m
Lihat Tetril
Warfarin, (81-81-2)
NAB 3 Mg/m
434;A4
118,18 108,18
Kulit
140,18
Kulit
308,32 150;A4
651;A4
106,16
Reproduksi
T 0,1
136,20
Kulit; Reproduksi
2,5;A3
121,18
Kulit
1
88,91
Lihat Iodin
5;A4
10;A4
1 0,01;A1
91,22
2
5 10 (e)
136,29 Bervariasi
Uap
81,37
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2011 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs.H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
40
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
: a.
bahwa dalam rangka implementasi pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, perlu disusun pedoman penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi;
b.
bahwa pedoman penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Berbasis Kompetensi;
:
13 Tahun 2003 tentang 1. Undang-Undang Nomor Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 15 Tahun 1997 Tentang 2. Undang-Undang Nomor Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5050);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4408); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4637); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5497); 6. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 24); 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 338); 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 364); 9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Pelatihan Kerja Nasional Di Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1463); MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
2.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.
Standar Internasional adalah standar kompetensi kerja yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu organisasi multinasional dan digunakan secara internasional.
4.
Standar Khusus adalah standar kompetensi kerja yang dikembangkan dan digunakan oleh organisasi untuk memenuhi tujuan internal organisasinya sendiri dan/atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi lain yang memiliki ikatan kerja sama dengan organisasi yang bersangkutan atau organisasi lain yang memerlukan.
5.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.
6.
Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
7.
Pelatihan Berbasis Kompetensi yang selanjutnya disingkat PBK adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat kerja.
8.
Unit Pelaksana Teknis Pusat yang selanjutnya disingkat UPTP adalah lembaga pelatihan kerja milik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
9.
Unit Pelaksana Teknis Daerah yang selanjutnya disingkat UPTD adalah lembaga pelatihan kerja milik pemerintah daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
10. Lembaga Pelatihan Kerja adalah instasi pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. 11. Tenaga Pelatih adalah instruktur atau istilah lain yang setara, yang memiliki kompetensi teknis dan metodologis untuk melakukan pelatihan. 12. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2 (1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan dalam penyelenggaraaan PBK bagi lembaga pelatihan yang dikelola oleh instansi pemerintah, badan usaha, perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan. (2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk: a. meningkatkan sinergitas lembaga pelatihan dengan pengguna tenaga kerja; b. meningkatkan pelayanan dan kinerja lembaga pelatihan; dan c. meningkatkan kompetensi peserta pelatihan.
kebutuhan
Pasal 3 Prinsip dasar PBK: a. dilaksanakan berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan pelatihan dan/atau standar kompetensi; b. adanya pengakuan terhadap kompetensi yang telah dimiliki; c. berpusat kepada peserta pelatihan dan bersifat individual; d. multi-entry/multi-exit, yang memungkinkan peserta untuk memulai dan mengakhiri program pelatihan pada waktu dan tingkat yang berbeda, sesuai dengan kemampuan masing-masing peserta pelatihan; e. setiap peserta pelatihan dinilai berdasarkan pencapaian kompetensi sesuai dengan standar kompetensi; dan f. dilaksanakan oleh lembaga pelatihan yang teregistrasi atau terakreditasi nasional. Pasal 4 (1) Pelaksanaan PBK pada setiap kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan harus memenuhi komponen PBK yaitu: a. standar kompetensi kerja, sebagai acuan dalam mengembangkan program pelatihan kerja; b. strategi dan materi belajar, merupakan cara atau metode penyajian pelatihan kepada masing-masing peserta pelatihan; c. pengujian, merupakan penilaian/asesmen atas pencapaian kompetensi sebagaimana ditentukan dalam standar kompetensi; dan d. KKNI, merupakan acuan dalam pemaketan atau pengemasan SKKNI ke dalam jenjang kualifikasi. (2) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. SKKNI; b. Standar Khusus; dan/atau c. Standar Internasional. Pasal 5 PBK di setiap lembaga pelatihan diselenggarakan melalui tahapan: a. persiapan; b. pelaksanaan; dan c. evaluasi.
BAB II PERSIAPAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Pasal 6 (1) Tahapan persiapan PBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, merupakan proses mempersiapkan dan merencanakan aktivitas pelatihan yang akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan PBK untuk mencapai tujuan pelatihan. (2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. identifikasi kebutuhan pelatihan; b. menyusun program pelatihan; c. melaksanakan rekruitmen dan seleksi; d. menyusun rencana pelatihan; e. menyiapkan sumber daya manusia; f. menyiapkan fasilitas pelatihan; g. menyusun jadwal pelatihan; dan h. menyiapkan administrasi pelatihan. BAB III PELAKSANAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Pasal 7 (1) Pelaksanaan PBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, merupakan interaksi antara tenaga pelatih dan peserta dengan menerapkan berbagai metode dan teknik pelatihan, serta pemanfaatan perangkat media pelatihan yang relevan untuk mencapai tujuan pelatihan. (2) Pelaksanaan PBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan metode pendekatan: a. pelatihan di lembaga pelatihan atau off the job training; dan b. pelatihan di tempat kerja atau on the job training. Pasal 8 (1) Pelaksanaan PBK disetiap kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan mengacu pada: a. jenjang kualifikasi; b. klaster kompetensi; c. unit kompetensi. (2) Pelaksanaan PBK yang mengacu pada jenjang kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan untuk mendapatkan capaian kompetensi berdasarkan jenjang KKNI. (3) Dalam hal kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan belum memiliki penetapan kualifikasi berdasarkan KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaan PBK mengacu pada klaster kompetensi dan/atau unit kompetensi.
(4) Pelaksanaan PBK yang mengacu pada klaster kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas okupasi/jabatan kerja atau nonokupasi/bukan jabatan kerja yang merupakan sekumpulan unit kompetensi untuk melakukan suatu pekerjaan. (5) Pelaksanaan PBK yang mengacu pada unit kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan untuk mendapatkan capaian 1 (satu) unit kompetensi. Pasal 9 Pelaksanaan PBK terdiri atas: a. pelatihan di lembaga pelatihan atau off the job training; b. penilaian/asesmen di lembaga pelatihan; c. pelatihan di tempat kerja atau on the job training; d. penilaian/asesmen di tempat kerja; dan e. penerbitan sertifikat pelatihan dan/atau sertifikat kompetensi. Pasal 10 Lembaga pelatihan yang menyelenggarakan PBK paling sedikit harus memiliki: a. tenaga pelatih yang memenuhi persyaratan; dan b. sarana dan fasilitas pelatihan yang memenuhi standar.
BAB IV EVALUASI PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Pasal 11 (1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, merupakan proses untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program PBK melalui pengumpulan dan pengolahan data dan informasi. (2) Evaluasi PBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. monitoring; dan b. pelaporan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Tahapan penyelenggaraan PBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 13 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A.MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 586
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan nasional saat ini. Upaya tersebut dapat diwujudkan antara lain melalui pelatihan kerja. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Sislatkernas) dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009. Sislatkernas merupakan panduan arah kebijakan bagi terselenggaranya pelatihan kerja secara terarah, sistematis, dan sinergis dalam menyelenggarakan pelatihan di berbagai bidang, sektor, instansi, pusat maupun daerah agar tujuan pelatihan kerja dapat dicapai secara efisien dan efektif. Pelatihan harus dilakukan secara komprehensif mulai dari perencanaan hingga evaluasi, sehingga peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dapat dilakukan. Orientasi pelatihan ditekankan pada peningkatan kemampuan atau kompetensi untuk melakukan pekerjaan yang spesifik sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar kerja atau kebutuhan pengembangan masyarakat dan kawasan Transmigrasi. Pelatihan yang seperti itu disebut Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK). Melalui PBK diharapkan setiap peserta pelatihan dapat mengatasi “gap” kompetensi yang dimilikinya dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja atau jabatan kerja yang dibutuhkan. Untuk dapat menyelenggarakan PBK di lembaga pelatihan, maka diperlukan pedoman penyelenggaraan yang digunakan sebagai acuan bersama. Hal ini penting agar pelaksanaan PBK dapat diarahkan pada peningkatan relevansi, kualitas dan efisiensi pelatihan dengan kebutuhan dunia kerja dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). B. Sasaran Sasaran pedoman penyelenggaraan PBK ini adalah terselenggaranya PBK disetiap lembaga pelatihan di seluruh Indonesia secara efektif dan efisien.
C. Ruang Lingkup Ruang lingkup pedoman penyelenggaraan PBK ini meliputi: 1. Persiapan PBK. 2. Pelaksanaan PBK. 3. Evaluasi. BAB II PERSIAPAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Sebelum melaksanakan PBK langkah/tahapan sebagai berikut:
setiap
lembaga
pelatihan
melakukan
A. Melakukan Identifikasi Kebutuhan Pelatihan. Identifikasi kebutuhan pelatihan adalah suatu proses pengumpulan data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan melalui pelatihan. Identifikasi kebutuhan pelatihan dapat dilakukan secara makro dan/atau mikro. Pada umumnya, identifikasi kebutuhan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga pelatihan adalah bersifat mikro, yaitu proses identifikasi untuk mengetahui kesenjangan atau “gap” kompetensi yang dimiliki oleh angkatan kerja/calon peserta dengan kebutuhan pasar kerja atau persyaratan jabatan. Identifikasi kebutuhan pelatihan dilaksanakan dengan cara membandingkan kondisi riil calon peserta dengan kompetensi yang harus dimiliki untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Identifikasi dapat dilakukan dengan pendekatan: 1. Level Industri Untuk mendapatkan informasi kinerja dari setiap bagian/departemen yang dapat mempengaruhi kinerja, tujuan dan rencana bisnis organisasi secara keseluruhan, sehingga dapat ditentukan kebutuhan pelatihan yang menjadi skala prioritas. 2. Level Jabatan Untuk mendapatkan informasi tugas dan rincian tugas dari suatu jabatan baik untuk waktu sekarang maupun kemungkinannya dimasa yang akan datang, kemudian mengidentifikasi hubungan atau korelasi antar tugas dan informasi dari jabatan yang relevan. 3. Level Individu Identifikasi kebutuhan pelatihan pada level individu dilakukan untuk menganalisis tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh tenaga kerja atau peserta saat ini dibandingkan dengan tingkat yang dipersyaratkan, sehingga dapat ditentukan kebutuhan kompetensi apa yang harus ditambahkan terhadap seorang tenaga kerja atau peserta. Hasil identifikasi kebutuhan pelatihan, tidak selamanya harus direspon dengan kebutuhan pelatihan, tetapi dapat juga hanya menghasilkan respon bukan pelatihan seperti; bimbingan dan konsultasi, re-desain jabatan, dan lain-lain.
2
B. Menyusun Program Pelatihan Program PBK disusun berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan pelatihan. Jika hasil identifikasi kebutuhan pelatihan telah tersedia standar kompetensinya baik SKKNI, standar internasional atau standar khusus, maka program pelatihan disusun berdasarkan standar kompetensi tersebut. Namun, jika standar kompetensinya belum tersedia maka program pelatihan harus disusun berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan pelatihan. Program pelatihan yang disusun dapat dilakukan berdasarkan: 1. Jenjang kualifikasi; 2. Klaster kompetensi: a. Okupasi/jabatan kerja; b. Nonokupasi/bukan jabatan kerja. 3. Unit kompetensi. Program pelatihan yang disusun terdiri dari: 1. Judul/nama program pelatihan Menggambarkan/menunjukkan nama program pelatihan yang akan dilaksanakan. 2. Tujuan Menggambarkan secara garis besar hasil pelatihan yang akan dicapai oleh peserta. 3. Kompetensi yang akan ditempuh Kompetensi yang akan ditempuh oleh peserta pelatihan dituangkan dalam unit-unit kompetensi. 4. Perkiraan waktu pelatihan Perkiraan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pelatihan. Penentuan waktu pelatihan tidak bersifat absolut/mutlak harus diikuti oleh setiap peserta pelatihan. 5. Persyaratan peserta pelatihan Merupakan persyaratan minimal kualifikasi peserta pelatihan, dapat terdiri dari: pendidikan, umur/usia, jenis kelamin. 6. Kurikulum dan silabus Adalah rincian dan uraian unit kompetensi yang akan ditempuh oleh peserta pelatihan. Kurikulum dan silabus menggambarkan: a. Unit kompetensi yang akan ditempuh. b. Elemen kompetensi. c. Kriteria unjuk kerja yang harus dicapai. d. Indikator unjuk kerja. e. Ilmu pengetahuan yang terkait. f. Praktek yang diperlukan untuk mencapai unjuk kerja. g. Sikap kerja yang diperlukan. h. Perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk setiap elemen kompetensi. 7. Daftar bahan dan peralatan Adalah rincian kebutuhan, jumlah dan spesifikasi teknis bahan, alat, mesin yang diperlukan selama pelaksanaan pelatihan. C. Melakukan Rekruitmen dan Seleksi Rekruitmen dan seleksi merupakan proses penyaringan awal untuk mendapatkan calon peserta pelatihan yang memenuhi syarat normatif.
3
Penerapan jenis dan materi uji dalam proses seleksi tergantung pada program pelatihan yang akan diikuti. Secara keseluruhan proses pelaksanakan rekruitmen dan seleksi dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menyebarluaskan informasi tentang program pelatihan yang akan dilaksanakan serta persyaratannya. 2. Melakukan pendaftaran calon peserta. 3. Menyiapkan daftar rekapitulasi calon peserta. 4. Menetapkan metode seleksi yang akan dipakai sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Seleksi dapat dilakukan dengan salah satu atau kombinasi metode sebagai berikut: a. Tes tertulis. b. Wawancara. c. Recognition Current Competency (RCC) atau pengakuan terhadap kompetensi terkini. d. Recognition Prior Learning (RPL) atau pengakuan terhadap hasil pembelajaran sebelumnya (formal, non formal atau pengalaman kerja). 5. Melakukan seleksi terhadap calon peserta. Tujuan dilakukan seleksi: a. Untuk memilih calon peserta sesuai dengan persyaratan yang ditentukan; b. Untuk mengetahui kondisi (pengetahuan, keterampilan) calon peserta pelatihan. Data/informasi dari kedua tujuan tersebut dipakai sebagai dasar dalam memulai pelatihan. 6. Menetapkan hasil seleksi. 7. Mengumumkan hasil seleksi. 8. Menyiapkan daftar peserta yang telah dinyatakan diterima. 9. Membuat data lengkap peserta pelatihan. D. Menyusun rencana pelatihan Rencana pelatihan merupakan dokumen perencanaan tahapan pelatihan yang disusun berdasarkan analisis terhadap isi materi pelatihan secara keseluruhan. Rencana pelatihan digunakan sebagai acuan bagi tenaga pelatih untuk memfasilitasi dan memilih metode pelatihan yang tepat bagi peserta pelatihan sesuai dengan materi pelatihan yang ditempuh masingmasing peserta pelatihan. Rencana pelatihan minimal berisi: 1. Tujuan pelatihan. 2. Metode dan teknik yang digunakan untuk setiap materi pelatihan. 3. Alat bantu dan media pelatihan yang dibutuhkan untuk setiap materi pelatihan. 4. Jenis evaluasi/asesmen yang akan digunakan. E. Menyiapkan Sumber Daya Manusia 1. Penyelenggaraan a. Penerbitan surat keputusan penyelenggaraan pelatihan oleh Kepala Lembaga Pelatihan. Surat keputusan berisi nama kejuruan/sub kejuruan/program pelatihan, nama penanggung jawab, nama pelaksana teknis, dan nama peserta pelatihan. b. Penentuan tempat On the Job Training (OJT) di perusahaan, untuk diintegrasikan dengan program pelatihan di lembaga pelatihan.
4
2. Tenaga Pelatih a. Persyaratan tenaga pelatih 1) Memiliki kompetensi metodologi dan kompetensi teknis. 2) Mendapat penugasan dari Kepala Lembaga Pelatihan melalui surat penugasan. 3) Dapat terdiri dari instruktur, PSM, tenaga ahli, atau istilah lain yang setara dengan itu. Lembaga pelatihan dapat mendatangkan/memanfaatkan tenaga pelatih yang berasal dari luar seperti industri/perusahaan sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan dan persyaratan sebagaimana disebutkan diatas. b. Tugas dan peran tenaga pelatih dalam pelaksanaan PBK 1) Tugas tenaga pelatih sebagai berikut: a) Membantu peserta pelatihan dalam merencanakan proses pelatihan. b) Membimbing peserta melalui tugas-tugas pelatihan yang dijelaskan dalam pelatihan. c) Membantu untuk memahami konsep dan menjawab pertanyaan peserta pelatihan. d) Membantu mencari sumber informasi tambahan yang diperlukan peserta pelatihan. e) Mengorganisasikan kegiatan belajar kelompok jika diperlukan. f) Mendatangkan seorang ahli dari tempat kerja jika diperlukan. g) Menguji/mengamati dan mengumpulkan bukti-bukti serta membuat catatan-catatan kemajuan pelatihan untuk setiap peserta pelatihan. h) Mengevaluasi pencapaian kompetensi peserta per individu. 2) Peran tenaga pelatih yaitu: a) Sebagai narasumber, mengusasi materi teori dan mampu mendemonstrasikan materi praktek. b) Sebagai fasilitator, mampu menjembatani antara peserta dan materi pelatihan. c) Sebagai pembimbing, mampu menolong peserta pelatihan mengembangkan rencana-rencana belajar individu atau kelompok, mendorong cara berfikir kritis dan kemampuan memecahkan persoalan, dan memotivasi peserta pelatihan secara perorangan. d) Sebagai penilai, membuat keputusan mengenai RCC/RPL, menilai capaian kompetensi perorangan menurut kriteria dan standar yang ditetapkan, serta mendokumentasikan hasil-hasil penilaian setiap peserta pelatihan e) Sebagai mechanism, lebih memfokuskan pada proses pelatihan dan mampu menggerakkan proses pelatihan. Dalam proses pelatihan, tenaga pelatih harus dapat mengkombinasikan peran-peran tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi. 3. Peserta Pelatihan a. Merupakan subyek pelatihan. b. Telah mengikuti proses rekruitmen dan seleksi.
5
F. Menyiapkan Fasilitas Pelatihan 1. Peralatan a. Menyiapkan seluruh peralatan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian kompetensi sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum pelatihan. b. Peralatan terdiri atas: mesin, peralatan tangan (handtools), peralatan dan fasilitas pendukung lainnya serta alat-alat keselamatan kerja. c. Sebelum digunakan dalam pelatihan, semua peralatan dipastikan berfungsi dengan baik dan sesuai dengan program pelatihan yang akan dilaksanakan. 2.
Bahan pelatihan a. Bahan pelatihan harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan disesuaikan dengan tujuan kompetensi yang akan ditempuh. b. Bahan pelatihan terdiri atas; bahan pelatihan untuk teori dan/atau untuk praktek. c. Sebelum digunakan, bahan pelatihan dipastikan memenuhi syarat untuk digunakan sesuai dengan program pelatihan yang akan dilaksanakan.
3.
Tempat Pelatihan a. Tempat pelatihan harus tersedia sesuai dengan yang dipersyaratkan. b. Tempat pelatihan terdiri dari ruang kelas, workshop/bengkel/tempat praktek, atau demplot beserta kelengkapannya.
4.
Modul Modul atau materi pelatihan merupakan bahan/sumber pembelajaran yang disusun berdasarkan standar kompetensi kerja. Modul PBK terdiri atas buku informasi, buku kerja dan buku penilaian.
5.
Referensi Buku-buku lain yang relevan untuk mencapai kompetensi, dapat berupa teks book, manual book, Prosedur Operasional Standar (POS), dan referensi lainnya yang terkait.
G. Menyusun Jadwal Pelatihan Jadwal pelatihan disusun oleh bagian penyelenggara pelatihan di setiap lembaga pelatihan dan dikoordinasikan dengan tenaga pelatih. Jadwal dipergunakan sebagai pegangan bagi tenaga pelatih, penyelenggara, dan peserta pelatihan untuk mengetahui tahapan selama latihan berlangsung sesuai dengan program latihan. H. Menyiapkan Administrasi Pelatihan 1. Daftar hadir peserta. 2. Daftar hadir tenaga pelatih. 3. Tanda terima perlengkapan peserta. 4. Tata tertib pelatihan. 5. Sertifikat pelatihan. 6. Formulir-formulir penilaian/asesmen.
6
BAB III PELAKSANAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI A. Persiapan PBK Sebelum menyampaikan pelatihan, tenaga pelatih harus memastikan kesiapan hal-hal sebagai berikut: 1. Seluruh peserta pelatihan telah diketahui kapasitas kompetensi yang dimiliki berdasarkan hasil seleksi. 2. Seluruh peserta telah diberikan/memperoleh buku informasi dan buku kerja sesuai dengan unit kompetensi yang akan di ikuti. 3. Bahan dan peralatan pelatihan sudah tersedia di workshop/ bengkel/tempat praktek/demplot. 4. Rencana pelatihan telah divalidasi kesesuaiannya untuk mencapai tujuan pelatihan. B. Pelaksanaan PBK Terdapat dua teknik atau pendekatan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan pelatihan berbasis kompetensi yaitu: off the job training dan on the job training. Off the job training merupakan suatu proses pelatihan dilaksanakan di ruang kelas dan workshop/bengkel/demplot, sedangkan on the job training merupakan suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja sesuai dengan tuntutan tempat kerja, dan dilaksanakan di tempat kerja yang sebenarnya. 1. Pelatihan di tempat pelatihan (Off The Job Training) Dalam proses PBK ada tiga pendekatan yang dapat digunakan oleh tenaga pelatih. Seorang tenaga pelatih harus dapat memilih pendekatan pelatihan yang paling efektif berdasarkan kondisi riil yang dihadapi dilapangan. Artinya, tenaga pelatih dalam menetapkan pendekatan yang dipilih telah memperhitungkan efektivitas biaya, isi program pelatihan, prinsip-prinsip pembelajaran yang akan diterapkan, fasilitas peralatan dan bahan yang tersedia, kemampuan dan preferensi peserta pelatihan serta kemampuan dan preferensi tenaga pelatih yang bersangkutan. Ketiga pendekatan pelatihan yang dapat digunakan oleh tenaga pelatih, yaitu: a. Belajar secara mandiri/Individu Belajar secara mandiri membolehkan peserta pelatihan untuk belajar secara individu sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing. Peserta dapat menemui tenaga pelatih setiap saat untuk mengkonfirmasikan kemajuan dan mengatasi kesulitan belajar. Agar proses belajar mandiri dapat dilaksanakan secara hal-hal yang perlu dilakukan oleh tenaga pelatih adalah berikut: 1) Mendorong setiap peserta pelatihan untuk membuat tentang target berlajar mandiri yang diinginkan. 2) Memberi bantuan pada setiap peserta pelatihan, sesuai permintaan bantuan yang bersifat spesifik. 3) Menyediakan materi dan sumber belajar yang diperlukan pelatihan.
7
efektif, sebagai pilihan dengan peserta
4) Memberi bimbingan dan bantuan bagi peserta pelatihan dalam hal penggunaan sumber belajar. 5) Membekali peserta dengan keterampilan belajar pada aspek perencanaan: apa, kapan, dan bagaimana cara belajar. 6) Mendorong peserta pelatihan untuk memiliki tanggung jawab individu dalam manajemen pengembangan diri. 7) Membimbing peserta pelatihan untuk mampu memilih dan memanfaatkan sumber pembelajaran yang tersedia. b. Belajar berkelompok Belajar berkelompok memungkinkan peserta untuk berpartisipasi dalam kelompok, walaupun proses belajar memiliki prinsip sesuai dengan kecepatan masing-masing individu, metode ini memungkinkan interaksi sesama peserta dan tenaga pelatih. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh tenaga pelatih dalam melaksanakan belajar kelompok adalah sebagai berikut: 1) Mendorong agar setiap anggota kelompok harus memiliki peran. 2) Membantu peserta agar terjadi interaksi langsung antar anggota kelompok belajar. 3) Membimbing setiap anggota kelompok bertanggungjawab atas hasil belajar dirinya dan anggota kelompoknya. 4) Membantu mengembangkan proses interaksi antar anggota kelompok belajar. 5) Hanya berinteraksi dengan kelompok belajar pada saat diperlukan. c. Belajar terstruktur Belajar terstruktur adalah belajar di kelas secara formal, metode ini umumnya mencakup topik tertentu. Metode belajar terstruktur dapat berupa: ceramah, ceramah bergambar, demonstrasi, tanya jawab, diskusi, dan praktek. Tahapan yang harus dilakukan oleh tenaga pelatih, agar belajar terstruktur dapat efektif yaitu: 1) Tahap Pendahuluan (Introduction/Preparation), meliputi: a) Mengatur ruangan (kelas/bengkel) seperti ventilasi, penerangan. b) Menyiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan waktu mengajar. c) Menentukan bahan dan alat yang akan digunakan peserta pelatihan. d) Menyiapakan alat bantu mengajar seperti projektor, komputer, dan lainnya sesuai dengan kebutuhan. e) Menyiapkan evaluasi yang akan digunakan. f) Mengecek kehadiran peserta pelatihan. g) Memperkenalkan judul pelajaran, disamping diucapkan, juga disampaikan secara tertulis. Kemudian lakukan diskusi singkat dengan peserta pelatihan tentang judul tersebut. h) Melakukan apersepsi, menghubungkan materi yang akan disajikan dengan materi sebelumnya sehingga jelas kaitannya. i) Mengecek pengetahuan peserta pelatihan, dengan melakukan tanya jawab singkat untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan peserta sebelumnya tentang materi yang akan disajikan. Dengan demikian, pelajaran dapat dimulai dari apa yang sudah diketahui peserta pelatihan; 8
j)
Menyampaikan tujuan belajar, agar para peserta pelatihan mengetahui dengan jelas kemampuan apa yang akan diperoleh setelah pelatihan selesai. Dalam hal ini juga disampaikan manfaat apa yang diperoleh termasuk arah yang akan dipelajari.
2) Tahap Penyajian, meliputi a) Pastikan “entry point” untuk memulai proses pelatihan, jelaskan hubungan antara pelatihan dengan harapan peserta. b) Penyajian dilakukan secara bertahap (per unit kompetensi). c) Sampaikan penjelasan secara sederhana, sistematis, jelas dan masuk akal. d) Jelaskan perlahan-lahan, sesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta pelatihan. Jelaskan secara bertahap. e) Jangan menggunakan kata-kata, istilah atau ucapan yang mungkin sulit dimengerti oleh peserta pelatihan. f) Hindari menjelaskan terlalu banyak hal, yang memungkinkan peserta tidak dapat memahami. g) Ciptakan komunikasi dua arah, gunakan teknik mendengar aktif (seperti bahasa tubuh yang positif). h) Berikan kesempatan kepada setiap peserta untuk berbagi pengalaman, dan hubungannya dengan pelatihan yang diikuti. i) Lakukan identifikasi, bagaimana setiap peserta dapat belajar dengan baik (seperti melalui diskusi kelompok, praktek, peragaan dan lain-lain). j) Lakukan interaksi kepada peserta yang kurang berpartisipasi (misalnya dengan pertanyaan yang sederhana). k) Berikan kenyamanan dalam pelatihan terutama bagi peserta yang memiliki kesulitan atau tantangan dalam pelatihan. l) Berikan umpan balik positif, dengan menjelaskan kesalahan atau perbaikan yang harus dilakukan. m) Jika menjelaskan menggunakan tampilan visual, yakinkan bahwa peserta pelatihan dapat memahami dan menginterpretasikan tampilan visual atau gambar ke keadaan yang sebenarnya. n) Jika tenaga pelatih akan mendemonstrasikan materi praktek, atur posisi peserta pelatihan sedemikian rupa sehingga dapat memperhatikan secara jelas dan detail setiap pekerjaan yang didemonstrasikan. o) Lakukan demonstrasi secara perlahan-lahan agar semua peserta pelatihan dapat mengikuti dengan jelas. p) Pada saat demonstrasi, tenaga pelatih wajib menekankan keselamatan dan kesehatan kerja dalam melakukan pekerjaan tersebut. q) Demonstrasikan secara bertahap, beri kesempatan peserta bertanya. r) Bila diperlukan, lakukan demonstrasi berulang-ulang untuk satu pekerjaan, sampai semua peserta pelatihan mengerti. s) Untuk mengetahui tingkat penguasaan terhadap materi pelatihan, ajukan pertanyaan tentang materi pelatihan kepada seluruh peserta pelatihan. t) Lakukan interaksi dengan industri atau pasar kerja (misalnya menghadirkan nara sumber dari perusahaan).
9
u) Lakukan pelatihan secara komprehensif dan berkesinambungan. Artinya setiap materi pelatihan atau unit kompetensi harus diselesaikan secara tuntas, sebelum berpindah ke materi pelatihan/unit kompetensi yang lain. v) Berikan kesimpulan sebagai “key point” di setiap akhir sesi pelatihan. 3) Tahap Aplikasi Untuk materi pelatihan teori dilakukan dengan memberikan tugas-tugas, pertanyaan-pertanyaan yang harus dikerjakan/ dijawab, baik secara lisan maupun tulisan. Tenaga pelatih membetulkan jawaban yang salah, memberikan penguatan terhadap jawaban yang benar dan memberikan pujian. Bila peserta tidak dapat menjawab atau jawabannya kurang tepat, jangan memojokkan peserta karena akan menurunkan semangatnya. Waktu peserta sudah menjawab, jangan buru-buru dikomentari, tetapi buatlah suasana persaingan dengan cara menanyakan pendapat peserta lain terhadap jawaban peserta terdahulu. Untuk materi pelatihan praktek, lakukan langkah-langkah sebagai berikut: a) Sebelum dimulai tekankan kepada peserta pelatihan tentang keselamatan kerja dan kunci kerja yang harus diperhatikan. b) Atur tempat kerja setiap peserta agar tidak saling terganggu. c) Tunjukkan/bagikan/tentukan bahan dan alat yang akan digunakan oleh setiap peserta pelatihan. d) Bagikan lembaran kerja (job sheet) bila itu diperlukan. e) Lakukan pengawasan yang seksama. f) Berikan bantuan bila diperlukan saja, jangan pilih kasih. g) Bila peserta melakukan langkah yang salah, segera hentikan dan betulkan. h) Bila diperlukan, demonstrasikan atau jelaskan kembali. 4) Tahap Penilaian/Asesmen Penilaian/asesmen berbasis kompetensi yang dilaksanakan pada saat pelatihan off the job training, merupakan rangkaian kegiatan tenaga pelatih untuk menilai/memutuskan pencapaian kompetensi dari peserta pelatihan. Dalam proses tersebut tenaga pelatih melakukan pengumpulan informasi/bukti atau pengujian selama proses pelatihan berlangsung, sehingga tenaga pelatih akan memperoleh potret atau profil kemampuan setiap peserta dalam mencapai indikator kompetensi yang telah dirumuskan, sebagai informasi untuk menilai/memutuskan “kompeten atau belum kompeten”. Tenaga pelatih harus dapat menentukan metode atau jenis penilaian yang akan digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi. Penentuan ini sangat penting, mengingat kebanyakan kompetensi bersifat kompleks dan mengandung variabel yang cukup sulit untuk dinilai. Tenaga pelatih dalam melakukan memenuhi prinsip sebagai berikut: a) Validitas.
10
penilaian/asesmen
harus
Artinya teknik/metode asesmen yang digunakan untuk mengukur capaian kompetensi harus sesuai dengan apa yang seharusnya dinilai. Contoh: Kompetensi Teknik/Metode Asesmen Menggunakan peralatan tangan
unjuk kinerja
Jika menggunakan teknik/metode yang lain, maka asesmen menjadi tidak valid b) Reliabilitas Artinya hasil asesmen handal dan dapat dipercaya, asesmen yang handal terdapat konsistensi pada hasil pengujian, jika dilakukan asesmen ulang pada kondisi yang sama diperoleh hasil yang relatif sama. c) Komprehensif Artinya penilaian harus dilakukan secara menyeluruh pada semua aspek kompetensi yang telah ditetapkan dengan menggunakan berbagai teknik dan metode asesmen untuk menilai kompetensi peserta pelatihan. d) Adil. Teknik/metode asesmen dalam pelaksanaan penilaian harus adil untuk semua peserta pelatihan. Menggunakan prosedur, aturan, kriteria dan bahasa yang digunakan harus jelas untuk setiap peserta pelatihan. e) Objektif Artinya proses asesmen yang dilakukan harus terhindar dari pengaruh-pengaruh atau pertimbangan yang bersifat subyektif. f) Berpusat kepada peserta Artinya proses asesmen difokuskan kepada peserta untuk pencapaian kompetensi, bukan kepada penguasaan materi pelatihan. Oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus kepada peserta dalam kurun waktu yang telah ditentukan. g) Efektif dan efisien Artinya tidak membuang-buang sumber daya pelatihan dan efektif dalam menilai kompetensi yang ditetapkan. h) Bagian dari pelatihan Artinya assesmen merupakan bagian dari proses pelatihan dan bukan untuk “menghakimi” atau menggambarkan ketidakmampuan peserta pelatihan, tetapi asesmen harus mampu memberikan informasi positif dan umpan balik terhadap peningkatan capaian kompetensi peserta pelatihan. Dengan demikian hasil asesmen menjadi dasar untuk memotivasi, peningkatan kualitas instruktur dan kualitas proses pelatihan. Untuk melakukan penilaian/asesmen berbasis kompetensi, seorang tenaga pelatih harus: 1. Sudah mengidentifikasi tingkat kemampuan/kompetensi peserta pelatihan 11
2. Menyusun perencanaan asesmen yang meliputi: a. Penetapan indikator capaian kompetensi (biasanya dibuat bersamaan dengan penyusunan silabus pelatihan). Indikator yang disusun jangan hanya satu karena akan mengakibatkan program pelatihan menjadi kaku. Indikator capaian kompetensi disusun berdasarkan standar kompetensi kerja. Setiap capaian kompetensi memerlukan teknik/metode asesmen yang berbeda. b. Penyusunan teknik/metode asesmen, ditetapkan berdasarkan pilihan-pilihan dari berbagai teknik/metode yang sesuai dengan kondisi peserta pelatihan dan sarana/fasilitas yang digunakan. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan cermat untuk menghindari berbagai keterbatasan yang bersumber dari subjektivitas tenaga pelatih. Beberapa teknik/metode asesmen yang digunakan yaitu: 1) Penilaian unjuk kerja (performance) 2) Penilaian tertulis (written test) 3) Penilaian sikap 4) Penilaian penugasan 5) Penilaian produk 6) Penilaian melalui kumpulan hasil kerja peserta pelatihan (portfolio) 7) Penilaian terhadap diri sendiri (self assessment) 8) Penilaian skenario (scenario test) Dari 8 (Sembilan jenis teknik/metode penilaian/asesmen terdapat 4 (empat) jenis teknik/metode yang lebih banyak digunakan di lembaga pelatihan, yaitu: penilaian unjuk kerja, penilaian terhadap diri sendiri, penilaian tertulis, penilaian skenario. 3. Mengupayakan proses asesmen dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. 4. Tidak boleh membandingkan hasil asesmen satu peserta dengan peserta lainnya. Berdasarkan hasil asesmen, bagi peserta pelatihan yang dinyatakan belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, diberikan kesempatan melakukan pengulangan terhadap bagian/unit kompetensi yang belum tercapai tersebut. Pengulangan dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali. Dan apabila setelah pengulangan tersebut, peserta pelatihan tetap belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, maka peserta yang bersangkutan dinyatakan belum kompeten terhadap bagian/unit kompetensi tersebut. Setelah seluruh capaian kompetensi tercapai maka peserta pelatihan dapat mengikuti tahap selanjutnya yaitu On the Job Training.
12
2. On the Job Training (OJT) Peserta yang mengikuti program OJT di perusahaan/tempat kerja yaitu yang telah dinyatakan selesai/kompeten dalam pelatihan off the job training. OJT merupakan bagian dari proses pelatihan secara keseluruhan yang dilaksanakan di tempat kerja dengan fokus utama peningkatan dan penguatan nilai-nilai budaya dan etos kerja di perusahaan/tempat kerja. OJT harus dilaksanakan di bawah bimbingan seorang pendamping/ karyawan yang berasal dari perusahaan/tempat kerja. Hal-hal yang harus di perhatikan dalam persiapan dan pelaksanaan OJT antara lain: a. Indikator capaian kompetensi yang di persyaratkan dalam OJT. b. Penetapan pendamping yang berasal dari perusahaan/tempat kerja OJT. c. Penetapan pembimbing dari lembaga pelatihan. d. Monitoring dan evaluasi peserta selama masa OJT. Pelaksanaan On the Job Training Program on the Job Training dilaksanakan dalam kurun waktu sebagaimana ditentukan dalam silabus pelatihan. Materi pelatihan yang diberikan di perusahaan/tempat kerja selama OJT harus sesuai atau merupakan penyempurnaan dari kompetensi yang telah diberikan di lembaga pelatihan. Oleh karena itu, perusahaan/tempat kerja bertanggung jawab sepenuhnya tehadap peserta pelatihan , baik dalam hal pemberian tugas atau pekerjaan, pembimbingan, dan penilaian/asesmen, sehingga peserta dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Asesmen peserta dalam pelaksanaan OJT Asesmen dilakukan oleh pendamping/karyawan di tempat kerja yang diberi tugas, dengan menilai kompetensi dan kinerja peserta OJT selama mengikuti program tersebut. Asesmen dilakukan dengan berbagai indikator, sehingga akan diperoleh hasil pelatihan sesuai dengan tujuan OJT yang telah ditetapkan. Penetapan indikator dimaksud dilakukan secara bersama-sama oleh pendamping/karyawan dan tenaga pembimbing atau tenaga pelatih lembaga pelatihan. Asesmen yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Penilaian perilaku individu atau sikap kerja 2) Penilaian kemampuan teknis Apabila peserta OJT belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, maka peserta pelatihan diberikan kesempatan untuk melakukan pengulangan 1 (satu) kali lagi. Apabila setelah pengulangan tersebut, peserta OJT belum mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan, maka peserta yang bersangkutan dinyatakan belum kompeten dalam OJT. C. Penerbitan sertifikat 1. Sertifikat pelatihan Pada prinsipnya, sertifikat pelatihan diberikan kepada peserta pelatihan yang dinyatakan kompeten, baik untuk pelatihan di lembaga pelatihan (off the job training) maupun pelatihan di tempat kerja (on the job 13
training). Sertifikat pelatihan diberikan kepada peserta pelatihan sesuai dengan jenis program pelatihan yang di ikuti, terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu: a. Sertifikat pelatihan berdasarkan KKNI. b. Sertifikat pelatihan berdasarkan klaster kompetensi. c. Sertifikat pelatihan berdasarkan unit kompetensi. 2. Surat keterangan Surat keterangan dari lembaga pelatihan diberikan kepada peserta yang dinyatakan sebagai berikut: a. Kompeten untuk sebagian unit-unit kompetensi. Surat keterangan berisi unit-unit kompetensi yang telah dinyatakan kompeten, sedangkan unit-unit kompetensi yang dinyatakan belum kompeten tidak dicantumkan. b. Belum kompeten. Surat keterangan berisi bahwa yang bersangkutan pernah mengikuti pelatihan. 3. Sertifikat Kompetensi Sertifikat kompetensi diberikan kepada peserta yang dinyatakan kompeten oleh lembaga sertifikasi profesi atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi setelah melalui uji kompetensi. D. Pengendalian PBK Pengendalian pelaksanaan PBK di lembaga pelatihan dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dari persiapan pelatihan hingga pelaksanaan. Pengendalian pelatihan terdiri dari beberapa aspek, yaitu: 1. Aspek Perencanaan Perencanaan pelaksanaan pelatihan mulai dari persiapan software dan hardware pelatihan, sampai dengan pasca pelatihan dan yang terakhir evaluasi atau umpan balik. 2. Aspek Pengorganisasian Aspek ini berfungsi untuk menentukan mekanisme kerja yang baik mulai dari peserta pelatihan, bahan, peralatan, aktivitas tenaga pelatih, staf untuk mencapai tujuan dan sasaran pelatihan. 3. Aspek Pelaksanaan Aspek pelaksanaan pelatihan, merupakan inti dari semua proses program pelatihan, akan menjadi perhatian khususnya kepada para pelaksana program pelatihan. Pengendalian penyelenggaraan pelatihan melalui koordinasi aktif pelaksana dilapangan yang terpadu antara lembaga pelatihan dengan perusahaan tempat on the job training serta pihak pelaksana sertifikasi didaerah (jika tersedia), sehingga diharapkan tidak menyimpang dari tujuan pelatihan dan sertifikasi.
BAB IV EVALUASI PENYELENGGARAN PBK A. Monitoring Monitoring dilaksanakan selama berlangsungnya kegiatan, mulai dari persiapan, pelaksanaan pelatihan dan hasil pelatihan. Dalam melaksanakan monitoring harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 14
1. Unsur-unsur yang dimonitor a. Persiapan pelaksanaan pelatihan terdiri dari : 1) Pembentukan Tim Pelaksana. 2) Rekruitmen dan seleksi peserta pelatihan. 3) Sarana dan prasarana pelatihan. 4) Tenaga pelatih. 5) Administrasi pelaksanaan pelatihan. b. Proses pelatihan berbasis kompetensi. 1) Kehadiran peserta pelatihan. 2) Kehadiran tenaga pelatih. 3) Pengelolaan bengkel/workshop/tempat praktek. 4) Metode pelatihan yang digunakan. 5) Bahan pelatihan yang digunakan. 6) Referensi penunjang yang digunakan. 7) Penilaian pelatihan. 8) Administrasi penilaian 2. Petugas monitoring Petugas monitoring terdiri dari personil di lembaga pelatihan dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi, Kabupaten/Kota yang ditunjuk untuk melakukan monitoring. Bagi lembaga pelatihan UPTP dilakukan oleh tim yang ditunjuk oleh Kepala lembaga pelatihan UPTP atau Direktorat Jenderal Binalattas. 3. Teknik dan metoda monitoring a. Langsung. Petugas mendatangi lokasi pelaksanaan pelatihan untuk melakukan pengamatan pada saat berlangsungnya kegiatan. b. Tidak langsung. Berdasarkan laporan penyelenggaraan pelaksana pelatihan. B. Evaluasi Evaluasi dimaksudkan untuk mendapatkan masukan berdasarkan temuan hasil monitoring guna penyempurnaan penyelenggaraan pelatihan dimasa mendatang. 1. Aspek-aspek yang dievaluasi. a. Persiapan pelaksanaan pelatihan terdiri dari: 1) Pembentukan Tim Pelaksana. 2) Rekruitmen dan seleksi peserta pelatihan. 3) Sarana dan prasarana pelatihan. 4) Tenaga pelatih. 5) Administrasi pelaksanaan pelatihan. b. Proses pelatihan berbasis kompetensi. 1) Persipan PBK. 2) Kehadiran peserta pelatihan. 3) Kehadiran tenaga pelatih. 4) Pengelolaan bengkel. 5) Metode pelatihan yang digunakan. 6) Bahan pelatihan yang digunakan. 7) Referensi penunjang yang digunakan. 8) Penilaian pelatihan. 9) Administrasi penilaian 2. Petugas evaluasi Petugas evaluasi dapat terdiri dari personil yang ditunjuk oleh lembaga pelatihan kerja. 15
3. Waktu evaluasi Evaluasi dapat dilaksanakan baik pada saat proses pelaksanaan maupun setelah selesai penyelenggaraan pelatihan.
C. Pelaporan Laporan penyelenggaraan PBK dibuat oleh tim pelaksana lembaga pelatihan, lembaga pelatihan UPTP maupun UPTD, selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah seluruh kegiatan selesai, laporan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, yaitu: 1. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh lembaga pelatihan/masyarakat, laporan disampaikan kepada pimpinan lembaga pelatihan yang bersangkutan. 2. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh pemerintah daerah kabupaten/kota laporan disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota dengan tembusan Bupati/Walikota. 3. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh pemerintah daerah Provinsi laporan disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi Ketenagakerjaan Provinsi dengan tembusan Gubernur. 4. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi laporan disampaikan kepada Direktur Jenderal Binalattas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 5. Untuk pelatihan yang dibiayai oleh Kementerian Teknis/Lembaga laporan disampaikan kepada unit eselon I yang terkait. Isi laporan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Persiapan pelatihan 3. Pelaksanaan pelatihan 4. Permasalahan 5. Pemecahan masalah 6. Kesimpulan dan saran 7. Penutup 8. Lampiran, terdiri dari: a. Daftar peserta pelatihan (berdasarkan jenis kejuruan) b. Penempatan/rencana penempatan output pelatihan c. Hasil evaluasi peserta pelatihan (pada akhir pelatihan)
16
BAB V PENUTUP Pedoman penyelenggaraan PBK diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraaan PBK bagi lembaga pelatihan yang dikelola oleh instansi pemerintah, badan usaha, perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
17
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI SKEMA DASAR PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI
a. Langkah 1 Lembaga pelatihan kerja melakukan Identifikasi Kebutuhan Pelatihan atau Training Need Assesmen (TNA).
b. Langkah 2 Melaksanakan rekruitmen dan seleksi peserta pelatihan
18
c. Langkah 3 Melaksanakan pelatihan
19
DIAGRAM ALIR PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Persiapan
Penyebarluasan Informasi
Kembali ke masyarakat
Pendaftaran/ Registrasi
Tes Tertulis Wawancara RCC T
HASIL IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PELATIHAN
PROGRAM KURIKULUM DAN SILABUS
Menentukan Metode Seleksi
Penentuan hasil test Y Registrasi Ulang
Pelaksanaan Pelatihan di Lembaga Pelatihan (off the job training)
Mandiri
Kelompok
Terstruktur
T Asesmen Y Pelatihan di Tempat Kerja (on the job training)
T
Asesmen di Tempat Kerja
Penerbitan Surat Keterangan Y Penerbitan Sertifikat Pelatihan
T Uji Kompetensi
Dokumentasi Y Sertifikat Kompetensi
Pelaporan
Selesai
20
TAHAPAN DAN AKTIVITAS PENYELENGGARAAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI No 1.
2.
Tahapan Persiapan
Penyebarluasan informasi
Aktivitas yang dilakukan
Dokumen
1. Membentuk tim pelaksana pelatihan 2. Rapat-rapat persiapan 3. Menyiapkan kelengkapan dokumen untuk penyebarluasan informasi 4. Mencari tempat bagi pelaksanaan on the job training 5. Mengkomunikasikan kurikulum dan silabus on the job training dengan pihak tempat pelaksananaan OJT 6. Menyiapkan dokumen untuk pendaftaran 7. Menyiapkan materi test seleksi 8. Menyiapkan ruangan tempat pendaftaran 9. Menyiapkan daftar kebutuhan bahan pelatihan 10. Memeriksa kesiapan peralatan pelatihan, jika ada yang rusak segera dilaporkan ke bagian maintenance 11. Menata workshop/tempat latihan sesuai dengan kebutuhan pelatihan 12. Melakukan telaah kesesuaian unit-unit kompetensi yang akan dilatih dengan program dan modul pelatihan. Untuk memastikan bahwa tidak terjadi deviasi antara modul pelatihan dengan unitunit kompetensi yang menjadi target capaian pelatihan. 13. Menyusun lesson plan
1. SK pembentukan tim dari pimpinan lembaga pelatihan 2. Undangan rapat 3. Materi publikasi media cetak dan elektronik 4. Surat permohonan untuk tempat on the job training 5. Kurikulum dan silabus OJT 6. Formulir pendaftaran dan kelengkapannya 7. Soal test tertulis dan panduan test wawancara 8. Lembar isian pemeriksaan kesiapan peralatan pelatihan 9. Standar kompetensi, program dan modu pelatihan 10. Lesson plan untuk masing-masing program pelatihan
1. Menyebarluaskan informasi pendaftaran pelatihan melalui media cetak dan elektronik
1. Petunjuk teknis atau SOP bagi petugas yang melakukan penyebarluasan informasi
21
Penanggung jawab Manajemen lembaga pelatihan (point 1 - 7) Tenaga pelatih (point 8 - 12)
Manajemen lembaga pelatihan
No
Tahapan
Aktivitas yang dilakukan
Dokumen
Penanggung jawab
2. MoU, kontrak kerja atau perjanjian kerjasama dengan media cetak atau media elektronik jika dibutuhkan 3.
Registrasi/ Pendaftaran
1. Melayani calon pendaftar yang membutuhkan informasi lebih detail tentang program pelatihan 2. Melayani proses pendaftaran pelatihan 3. Memberikan informasi tentang proses selanjutnya setelah pendaftaran 4. Menyusun rekap informasi calon peserta pelatihan yang sudah mendaftar
1. Informasi tentang program pelatihan berupa brosur, leaflet, dan lainlain 2. Formulir pendaftaran 3. Informasi tentang alur proses pelatihan mulai dari pendaftaran sampai dengan pelatihan selesai 4. Formulir rekap informasi calon peserta pelatihan 5. Petunjuk teknis atau SOP bagi petugas pendaftaran
Manajemen lembaga pelatihan
4.
Menentukan Metode seleksi
1. Menentukan metode seleksi dan RCC/RPL (Recognize Current Competency/Recognice Prior Learning) calon peserta untuk masingmasig kejuruan sesuai dengan program pelatihan, persyaratan peserta, dan latar belakang calon peserta pelatihan yang telah mendaftar
1. Program pelatihan 2. Rekap informasi calon peserta pelatihan yang telah mendaftar 3. Matriks metode seleksi dan RCC/RPL untuk masing-masing kejuruan 4. Petunjuk teknis atau SOP bagi untuk menentukan metode seleksi
Manajemen lembaga pelatihan
5.
Tes Tertulis, Wawancara RCC/RPL
1. Menyelenggarakan test tertulis bagi kejuruan yang menggunakan metode seleksi dengan test tertulis 2. Menyelenggarakan test wawancara bagi kejuruan yang menggunakan metode seleksi dengan test wawancara 3. Melakukan RCC/RPL dengan menganalisis hasil test tertulis dan
1. Materi test tertulis untuk masingmasing kejuruan 2. Panduan test wawancara untuk masing-masing kejuruan 3. Kunci jawaban test tertulis untuk petugas pemeriksa hasil test tertulis 4. Form isian hasil test wawancara sesuai dengan
Manajemen lembaga pelatihan
22
No
Tahapan
Aktivitas yang dilakukan
Dokumen
test wawancara 4. Menyusun rekap hasil test dan RCC/RPL
masing-masing kejuruan 5. Rekap hasil test dan RCC/RPL 6. Petunjuk teknis atau SOP untuk menyelenggarakan test seleksi dan RCC/RPL
Penanggung jawab
6.
Penentuan hasil test
1. Pemaparan rekap hasil test seleksi calon peserta pelatihan masing-masing kejuruan pada rapat penentuan kelulusan test seleksi 2. Menetapkan jumlah calon peserta pelatihan yang lulus test seleksi berdasarkan peringkat hasil test 3. Menyiapkan pengumuman hasil test seleksi yang ditandatangani oleh pimpinan lembaga pelatihan 4. Mengumumkan hasil test
1. Undangan rapat untuk seluruh jajaran manajemen dan ketua juruan di lembaga pelatihan 2. Rekap hasil test dan RCC/RPL untuk masingmasing kejuruan 3. Pengumuman resmi hasil test 4. Petunjuk teknis atau SOP bagi untuk menentukan hasil test
Manajemen lembaga pelatihan
7.
Registrasi ulang
1. Pendataan kembali calon peserta pelatihan yang lolos seleksi untuk memastikan apakah siap untuk mengikuti proses pelatihan 2. Menghubungi calon peserta pelatihan yang menjadi cadangan jika ada calon peserta pelatihan yang sudah lolos seleksi tetapi mengundurkan diri
1. Formulir registrasi ulang 2. Daftar calon peserta pelatihan yang lolos seleksi dan daftar calon peserta pelatihan yang menjadi cadangan 3. Petunjuk teknis atau SOP bagi untuk pelaksanaan registrasi ulang
Manajemen lembaga pelatihan
8.
Pelaksanaan Pelatihan di Lembaga Pelatihan (off the job training)
1. Melakukan monitoring dan supervisi terhadap proses pelaksanaan pelatihan 2. Mengumpulkan dan merekap daftar hadir peserta pelatihan dan tenaga pelatih 3. Membantu tenaga pelatih untuk mengatasi permasalahanpermasalah yang muncul selama proses pelatihan berlangsung, baik
1. Lembar monitoring proses pelatihan
Manajemen lembaga pelatihan (point 1 - 5 )
23
2. Datfar hadir peserta pelatihan dan daftar hadir tenaga pelatih 3. Kuesioner evaluasi 4. Surat keterengan telah mengikuti pelatihan 5. Lesson plan 6. Learning material berupa media
Tenaga pelatih (point 6 - 8)
No
Tahapan
Aktivitas yang dilakukan
4.
5.
6. 7.
8.
9.
Asesmen
permasalahan teknis maupun permasalahan non teknis Melaksanakan evaluasi terhadap proses pelatihan off the job training Menerbitkan surat keterangan telah mengikuti pelatihan bagi peserta pelatihan yang tidak melanjutkan ke tahapan on the job training Memfasilitasi proses pelatihan sesuai dengan lesson plan Menggunakan metode melatih yang efektif dan melakukan bimbingan kepada masing-masing individu peserta pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat capaian kompetensi masing-masing peserta pelatihan. Membantu peserta pelatihan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam proses pelatihan
Dokumen cetak maupun elektronik 7. Buku-buku referensi penunjang
1. Melakukan penilaian 1. Materi asesmen terhadap capaian 2. Lembar penilaian kompetensi peserta per unit pelatihan secara individu kompetensi saat peserta pelatihan 3. Lembar rekap sudah siap untuk dinilai hasil penilaian 2. Mendiskusikan hasil semua unit penilaian dengan peserta kompetensi pelatihan 3. Memberikan kesempatan kepada peserta pelatihan untuk mengulang unit kompetensi yang belum kompeten atau melanjutkan latihan ke unit kompetensi berikutnya setelah unit kompetensi sebelumnya dinyatakan kompeten melalui proses asesmen oleh tenaga pelatih 4. Membuat rekap hasil penilaian semua unit kompetensi yang ditempuh oleh peserta pelatihan dan 24
Penanggung jawab
Tenaga pelatih (point 1 - 4) Manajemen lembaga pelatihan (point 5)
No
Tahapan
Aktivitas yang dilakukan
Dokumen
Penanggung jawab
menyerahkannya ke pihak manajemen lembaga pelatihan 5. Memfasilitasi peserta pelatihan untuk melaksanakan pelatihan on the job training jika telah melaksanakan asesmen semua unit kompetensi dalam program pelatihan dan dinyatakan kompeten oleh tenaga pelatih 10.
11.
Pelatihan di Tempat Kerja (on the job training)
Asesmen di tempat kerja
1. Menyerahkan peserta pelatihan kepada penanggung jawab teampat pelaksanaan OJT 2. Melakukan monitoring pelaksanaan OJT untuk memastikan pelaksanaan OJT sesuai dengan program yang direncanakan 3. Membantu peserta pelatihan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi selama proses OJT 1. Menilai capaian kompetensi peserta pelatihan berdasarkan target kompetensi yang akan dicapai pada saat OJT 2. Mendiskusikan hasil penilaian denga peserta pelatihan 3. Memberikan kesempatan kepada peserta pelatihan untuk mengulang unit kompetensi yang belum kompeten atau melanjutkan ke unit kompetensi berikutnya apabila teah dinyatakan kompeten dala proses asesmen 4. Membuat rekap hasil penilaian semua unit kompetensi yang ditempuh oleh peserta pelatihan dan menyerahkannya ke pihak penanggung jawab tempat OJT dan manajemen lembaga pelatihan 25
1. Dokumen MoU antara lembaga pelatihan dengan tempat OJT 2. Berita acara serah terima peserta OJT 3. Lembar monitoring pelaksanaan OJT
Manajemen lembaga pelatihan (point 1 - 2)
1. Materi asesmen 2. Lembar penilaian per unit kompetensi 3. Lembar rekap hasil penilaian semua unit kompetensi
Pembimbing di tempat OJT (point 1 -4)
Pembimbing di tempat OJT (point 3)
Manajemen lembaga pelatihan (point 5)
No
Tahapan
Aktivitas yang dilakukan
Dokumen
Penanggung jawab
5. Memberikan surat keterangan telah mengikuti pelatihan bagi peserta pelatihan yang dinyatakan belum kompeten untuk semua unit kompetensi dalam program pelatihan melalui asesmen di tempat kerja 12.
Penerbitan Sertifikat Pelatihan atau surat keterangan
1. Menerbitkan sertifikat 1. Sertifikat pelatihan bagi peserta pelatihan pelatihan yang dinyatakan kompeten melalui proses asesmen di tempat pelatihan dan asesmen di tempat kerja untuk semua unit kompetensi 2. Menerbitkan surat 2. Surat keterangan keterangan bagi peserta pelatihan yang kompeten untuk sebagian unit kompetensi
Manajemen lembaga pelatihan
Manajemen lembaga pelatihan
13.
Dokumentasi
Mengumpulkan semua dokumen terkait dengan pelaksanaan pelatihan sebagai bahan penyusunan laporan mulai dari tahapan persiapan sampai penerbitan sertifikat.
14.
Pelaporan
1. Menyusun laporan 1. Laporan paripurna paripurna pelaksanaan pelaksanaan pelatihan untuk semua kegiatan pelatihan kejuruan denga dilampiri dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pelatihan 2. Mendistribusikan laporan pelaksanaan pelatihan kepada pihak terkait sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan pelatihan
26
Semua dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pelatihan
Manajemen lembaga pelatihan
Manajemen lembaga pelatihan
Formulir 1 ASESMEN PESERTA PELATIHAN (OFF THE JOB TRAINING) KEJURUAN/SUB KEJURUAN PROGRAM PELATIHAN TAHUN NAMA PESERTA TANGGAL
KODE UNIT KOMPETENSI
: ……………. : ……………. : …………… : ………………………………… NO.PESERTA ………….. CAPAIAN KOMPETENSI
JUDUL/NAMA UNIT KOMPETENSI
K
Keterangan (*): K = Kompeten BK = Belum Kompeten
(*)
BK
UMPAN BALIK PESERTA
REKOMENDASI
…………………..,…………20.. Tenaga Pelatih ………………………….
Formulir 2 ASESMEN PESERTA PELATIHAN (ON THE JOB TRAINING) KEJURUAN/SUBKEJURUAN PROGRAM PELATIHAN UNIT KOMPETENSI TAHUN NAMA PESERTA NO
INDIKATOR KOMPETENSI
: ………………. : ……………. : …………….. : ………………. : ………………………………… NO. PESERTA …………..
KOMPETENSI TEKNIS(*) K BK
SIKAP KERJA (**)
UMPAN BALIK PESERTA
REKOMENDASI
Keterangan (*): K = Kompeten BK = Belum Kompeten (**): Sesuai yg dipersyaratkan
…………………..,…………20.. Pendamping Perusahaan ………………………….
27
Formulir 3 FORM PENILAIAN PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI Program Pelatihan : ……………………………………….. Unit Kompetensi : ……………………………………………….. ELEMEN KOMPETENSI 1
NO 1
NAMA PESERTA PELATIHAN
KUK 1.1
KUK 1.2
KUK 1.3
ELEMEN KOMPETENSI 2
KUK 1.4
KUK 1.5
KUK 2.1
KUK 2.2
KUK 2.3
KUK 2.4
KUK 2.5 HASIL AKHIR
1
Peserta 1 Peserta 2
BK
2 3
Peserta 3
BK
4
Peserta 4
5
Peserta 5
6
Peserta 6
7
Peserta 7
8
Peserta 8
2
3
K
1
2
3
1
2
3
1
BK
K
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2 K
3
1
2
3
1
2
3
K/BK
K
BK
K
K
K
K
BK
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K BK
K
K K K ……………………………….,………………20….. Tenaga Pelatih (………………………………………………………)
CATATAN : Setiap kolom KUK diisi dengan keterangan K (Kompten) atau BK (Belum Kompeten) Jika ada satu KUK dalam suatu elemen kompetensi belum kompeten, maka peserta pelatihan dianggap belum kompeten dan wajib mengulang materi pelatihan pada KUK atau elemen kompetensi tersebut Setiap peserta pelatihan mempunyai kesempatan dinilai sebanyak tiga kali - Jika hasil akhir penilaian ada elemen kompetensi yang belum kompeten, maka peserta pelatihan dianggap belum kompeten pada unit kompetensi tersebut.
28
REKAP PENILAIAN PELATIHAN BERBASIS KOMP Program Pelatihan : …………………………………… Tanggal Pelaksanaan : ………………s.d………………… UNIT KOMPETENSI
NO 1
NAMA PESERTA PELATIHAN Peserta 1
KODE UNIT KOMPETENSI 1 K
KODE UNIT KOMPETENSI 2 K
KODE UNIT KOMPETENSI 3 K
2
Peserta 2
K
K
K
3
Peserta 3
K
K
K
4
Peserta 4
K
K
K
5
Peserta 5
K
K
K
6
Peserta 6
K
K
K
7
Peserta 7
K
K
K
8
Peserta 8
K
K
K
9
Peserta 9
K
K
K
10
Peserta 10
K
K
K
11
Peserta 11
K
K
K
12
Peserta 12
K
K
K
13
Peserta 13
K
K
K
14
Peserta 14
K
K
K
15
Peserta 15
K
K
K
16
Peserta 16
K
K
K
KOD KOMP
………………… Tena
(…………………
DAFTAR REKAPITULASI AKHIR HASIL PELATIHA No
No. Induk
Nama Peserta
Jumlah Jam Kehadiran Teori Praktek
Capaian Kompetens
1 2 3 dst
Keterangan (*): K = Kompeten BK = Belum Kompeten (**): Tanggapan terhadap setiap peserta, seperti; berhak mengikuti mendapatkan sertifikat pelatihan, atau untuk pembinaan lebih lanjut.
…………………..,… Tenaga Pel
…………………
EVALUASI PENYELENGGARAAN PELATIHAN
Dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan pelatihan di masa pengukuran kepuasan pelanggan maka kami mohon kesediaan Anda untuk m dengan memberikan tanda (X) pada kotak yang sesuai. Penilaian Anda dijamin Terima Kasih. Keterangan : 5 4 3 2 1
: Baik Sekali : Baik : Cukup/ Sedang : Kurang Baik : Tidak Baik
Nama Pelatihan Tanggal Pelaksanaan
: ………………………………………………………… : …………………………………………………………
Dari mana anda memperoleh informasi tentang pelatihan ini? (Jawaban boleh Media Cetak ( Koran, Pamflet, Brosur, Poster) Media Elektronik ( TV, Radio, SMS) Lainnya, sebutkan……………………….
I. Materi Pelatihan (kurikulum silabus dan modul) 1
Tulisan di dalam materi pelatihan jelas dan mudah di baca Kualitas materi pelatihan dapat menambah tingkat ketrampilan dan 2 pengetahuan anda Tahapan materi pelatihan sudah berurutan dari materi tingkat dasar 3 sampai dengan materi tingkat lanjutan Materi pelatihan mudah di pahami dan mudah diterapkan dalam prak 4 Materi pelatihan telah sesuai dengan harapan anda 5 Komentar / saran tentang materi pelatihan:
II. Tenaga Pelatih
1.
2.
Nama Tenaga Pelatih 3. 4.
3
4
Tenaga pelatih selalu mendemonstra sikan dan menjelaskan jobsheet sesuai dengan prosedur kerja Tenaga pelatih selalu menjelaskan, memberikan contoh, dan mengingatkan peserta pelatihan tentang pentingnya K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di lingkungan kerja
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
B
Kemampuan dalam membawakan materi
1
Tenaga pelatih menjelaskan tujuan pelatihan dan gambaran pelatihan secara umum di awal pelatihan Tenaga pelatih menyajikan pelajaran dengan jelas dan bahasanya mudah di mengerti Tenaga pelatih selalu mendampingi peserta pelatihan selama proses pelatihan Tenaga pelatih memberikan materi sesuai dengan tujuan pembelajaran secara
2
3
4
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
6
7
Tenaga pelatih mendorong partisipasi peserta pelatihan dalam diskusi, demonstrasi, peragaan dan percobaan Tenaga pelatih memperhatikan kebersihan lingkungan dan keamanan peralatan / bahan praktek
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
*) Bagi tenaga pelatih yang hanya mengajar teori saja,peserta jangan m dan 7b C
Kemampuan memahami masalah peserta
1
Tenaga pelatih menciptakan suasana belajar yang kondusif (aman dan nyaman) Tenaga pelatih mendengarka n dan memperhatik an keluhan, usul dan saran dari peserta pelatihan Tenaga pelatih memperlaku kan peserta pelatihan secara adil, tidak memihak atau membedabedakan
2
3
D
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
Penampilan Tenaga Pelatih
3
4
Tenaga pelatih memberikan keteladanan baik di dalam maupun di luar kelas/ bengkel Tenaga pelatih tidak merokok pada saat di ruang kelas/ bengkel maupun gedung kantor
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
Komentar / saran tentang Tenaga pelatih :
III. Sarana / Prasarana A 1 2 3 4 5 6 B 1 2 3 4 C 1 2 D 1 2 3 4
Workshop (Bengkel) Bengkel yang ada telah memiliki kelengkapan alat/mesin untuk praktek dengan jumlah yang cukup Peralatan dan mesin di bengkel dalam kondisi baik dan siap pakai Bengkel dilengkapi instruksi & prosedur cara penggunaan alat/mesin Kelengkapan P3K di bengkel tersedia Kelengkapan alat pelindung diri tersedia Kelengkapan alat kebersihan tersedia dan kondisi baik Ruang Teori Kondisi ruang teori dalam keadaan baik, nyaman dan bersih Diruang teori tersedia alat / media pelatihan dalam kondisi baik Meja dan kursi bagi instruktur dan peserta tersedia dalam kondisi baik dan cuku Kelengkapan alat kebersihan tersedia dan kondisi baik Listrik Sumber listrik untuk peralatan pelatihan dalam keadaan cukup Penerangan lampu pada ruangan pelatihan dan bengkel dalam kondisi cukup dan baik Kamar Mandi dan Toilet Air bersih cukup tersedia Kamar mandi / toilet dalam kondisi bersih,wangi dan tidak licin Kran yang terpasang kondisinya baik Perlengkapan kamar mandi dan toilet tersedia
KOP LEMBAGA PELATIHAN FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PELATIHAN
A. PENDAHULUAN Berisi latar belakang pelaksanaan pelatihan, proses pelatihan
B. DASAR PELAKSANAAN KEGIATAN Berisi dasar pelaksanaan kegiatan yang mengikat secara Undang-Undang, Peraturan Menteri, Peraturan Gubern Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan, Surat Keputusan Kepala dan lain-lain. C. PROGRAM PELATIHAN Berisi kurikulum dan silabus pelatihan.
D. SARAN Berisi masukan untuk perbaikan pelaksanaan pelatihan s ditujukan baik untuk peserta pelatihan, lembaga pelatih instruktur/PSM.
E. PENUTUP Merupakan bagian penutup dari laporan. Dan pada bagian tanggal pembuatan laporan serta di tandatangani oleh yang (instruktur/PSM) LAMPIRAN 1. DAFTAR HADIR PESERTA 2. REKAPITULASI AKHIR HASIL PELATIHAN
CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN DEPAN) KOP LEMBAGA PELATIHAN
LOGO
SERTIFIKAT
KEMENTERIAN ATAU LOGO PEMDA
LOGO LEMBAGA PELATIHAN
Nomor : xxxxxxxxxxxxx Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja .........................berdasarkan Surat Keputusan Penyelenggaraan Pelatihan No……………… tanggal ………… menyatakan, bahwa: Nama : Nomor Peserta : Tempat, Tanggal Lahir : Alamat
:
TELAH MENGIKUTI Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) Program Design Grafis Kejuruan Teknologi Informatika dari tanggal …….. sampai dengan ………. dan dinyatakan KOMPETEN. ……., …..……..20 Pimpinan Lembaga Pelatihan TTD
(………………………………)
36
CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN DEPAN) KOP LEMBAGA PELATIHAN
LOGO KEMENTERIAN ATAU LOGO PEMDA
LOGO
SERTIFIKAT
LEMBAGA PELATIHAN
Nomor : xxxxxxxxxxxxx Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja .........................berdasarkan Surat Keputusan Penyelenggaraan Pelatihan No……………… tanggal ………… menyatakan, bahwa: Nama : Nomor Peserta : Tempat, Tanggal Lahir : Alamat
:
TELAH MENGIKUTI Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) Program Teknik Kendaraan Ringan Kejuruan Teknik Otomotif
Kualifikasi Level 4 dari tanggal …….. sampai dengan ………. dan dinyatakan KOMPETEN. ……., …..……..20.. Pimpinan Lembaga Pelatihan TTD
(………………………………)
37
Formulir sertifikat untuk lembaga pelatihan swasta/perusahaan
CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN DEPAN) KOP LEMBAGA PELATIHAN
SERTIFIKAT
LOGO LEMBAGA PELATIHAN
Nomor : xxxxxxxxxxxxx Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja ..........................berdasarkan Surat Keputusan Penyelenggaraan Pelatihan No……………… tanggal ………… menyatakan, bahwa : Nama : Nomor Peserta : Tempat, Tanggal Lahir : Alamat
:
TELAH MENGIKUTI Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) Kejuruan Bisnis dan Manajemen Jabatan Kerja Asisten Sekretaris dari tanggal …….. sampai dengan ………. dan dinyatakan KOMPETEN. ……., …..……..20 Pimpinan Lembaga Pelatihan TTD
38
(………………………………)
CONTOH SERTIFIKAT PELATIHAN (BAGIAN BELAKANG)
DAFTAR UNIT KOMPETENSI YANG DICAPAI NO
1
UNIT KOMPETENSI
KODE UNIT
Melakukan Komunikasi Di Tempat Kerja.
TIK.PR01. 001.01
4
Menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Tempat Kerja Memilih dan Memakai Software dan Hardware untuk Multimedia Membuat, memanipulasi, dan Menggabung Gambar 2D
TIK.MM02.032.01
5
Membuat dan Memanipulasi Gambar-Gambar Digital
TIK.MM02.053.01
6
Menggabungkan Gambar 2D kedalam Sajian Multimedia
TIK.MM02.070.01
2 3
TIK.JK01.006.01 TIK.MM01.007.01
JUMLAH
……….., …………..20 Kepala bidang/seksi/unit penyelengara pelatihan
ttd (……………………………….)
39
KOP LEMBAGA PELATIHAN FORMAT SURAT KETERANGAN
Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja (*) …………………. mene Nama : ………. Nomor Peserta : ………. Tempat Tanggal Lahir : ……… Alamat : ………
Telah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi selama ….. ja dilaksanakan pada tanggal …….. s.d …….. 20 …. dan dinyatakan KOM kompetensi sebagai berikut: NO KODE UNIT KOMPETENSI JUDUL/NAMA UNIT KO 1. 2. 3. 4. Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
……………………, Kepala Lemb Balai Latih ……………
(*) untuk disesuaikan
Formulir 8
FormulirKOP LEMBAGA PELATIHAN FORMAT SURAT KETERANGAN Kepala Lembaga Pelatihan/Balai Latihan Kerja (*) ……………….. menerangkan: Nama : ………. Nomor Peserta : ………. Tempat Tanggal Lahir : ……… Alamat : ……… Telah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi selama ….. jam pelajaran yang dilaksanakan pada tanggal …….. s.d …….. 20 …. Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
………………, ………………20.. Kepala Lembaga Pelatihan/ Balai Latihan Kerja (*) ……………………….
(*) untuk disesuaikan
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2014 MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, ttd. Drs. H.A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.
41
Kirim ke PNK3 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, efektivitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja melalui penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja perlu dilakukan penilaian; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penyelenggaraan Penilaian Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 untuk seluruh Indonesia dari Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4279); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309); 5. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 Pengawasan Ketenagakerjaan;
tentang
6. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019; MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. 2. Penilaian Penerapan SMK3 yang selanjutnya disebut Audit SMK3 ialah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan dalam penerapan SMK3 di perusahaan. 3. Auditor SMK3 ialah tenaga teknis yang berkeahlian khusus dan independen untuk melaksanakan audit SMK3 yang ditunjuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 4. Lembaga Audit SMK3 adalah badan hukum yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan audit eksternal SMK3. 5. Audit Eksternal SMK3 adalah audit SMK3 yang diselenggarakan oleh Lembaga Audit dalam rangka penilaian penerapan SMK3 di perusahaan. 6. Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7. Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Dinas Provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
2
9. Direktorat Jenderal adalah unit kerja yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan. 10. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan. 11. Menteri adalah Menteri Ketenagakerjaan. Pasal 2 (1) Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan sistem di perusahaan. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi perusahaan: a. mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau b. mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Pasal 3 (1) Perusahaan yang telah melaksanakan penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan penilaian penerapan SMK3 melalui Audit Eksternal SMK3 oleh Lembaga Audit SMK3 yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Penilaian penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. perusahaan yang secara sukarela mengajukan permohonan Audit SMK3; b. perusahaan yang mempunyai potensi bahaya tinggi antara lain perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, minyak dan gas bumi; c. perusahaan yang mempunyai potensi bahaya tinggi berdasarkan penetapan Direktur Jenderal dan/atau Kepala Dinas Provinsi. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian di perusahaan oleh pengawas ketenagakerjaan. BAB II PELAKSANA AUDIT Bagian Kesatu Lembaga Audit SMK3 Pasal 4 (1) Untuk dapat ditunjuk sebagai Lembaga Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), perusahaan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. fotokopi akte pendirian dan/atau akte perubahan Perseroan Terbatas dan tanda bukti pengesahan dari instansi yang berwenang; b. fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP); c. fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. fotokopi Surat Keterangan Domisili Hukum; e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); f. fotokopi bukti kepemilikan kantor cabang paling sedikit di 3 (tiga) wilayah pada Indonesia bagian barat, bagian tengah dan bagian timur; g. fotokopi Wajib Lapor Ketenagakerjaan di tingkat pusat dan cabang;
3
h. fotokopi keputusan penunjukkan auditor eksternal SMK3 yang masih berlaku, paling sedikit 4 (empat) orang auditor eksternal senior SMK3 dan 8 (delapan) orang auditor eksternal yunior SMK3; i. fotokopi sertifikat kepesertaan jaminan sosial; j. dokumen yang membuktikan telah berpengalaman melakukan sertifikasi sistem manajemen; k. struktur organisasi penyelenggara Audit SMK3 kantor pusat dan cabang; l. pas photo berwarna pimpinan perusahaan ukuran 3x4 cm sebanyak 4 (empat) lembar; dan m. dokumen panduan audit sistem manajemen yang digunakan oleh lembaga audit sesuai dengan standar yang berlaku. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (3) Direktur Jenderal melaporkan hasil pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan kepada Menteri dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 5 (1) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Menteri dapat menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Menteri menetapkan keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Pasal 6 (1) Keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (2) Permohonan perpanjangan penunjukan Lembaga Audit SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir jangka waktu berlakunya keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3. (3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Lembaga Audit SMK3 dengan melampirkan: a. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); b. laporan pelaksanaan Audit SMK3 selama 3 (tiga) tahun terakhir; dan c. fotokopi keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 yang masih berlaku. (4) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (5) Direktur Jenderal menetapkan keputusan perpanjangan penunjukan Lembaga Audit SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 7 Lembaga Audit SMK3 yang telah mendapatkan keputusan penunjukan oleh Menteri mempunyai kewajiban: 4
a. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja; b. melaksanakan Audit SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menjaga kerahasiaan perusahaan yang diaudit; dan d. melaporkan hasil Audit SMK3 kepada Menteri, perusahaan yang diaudit, dan Dinas Provinsi. Pasal 8 Lembaga Audit SMK3 yang telah mendapatkan keputusan penunjukan oleh Menteri dilarang: a. melakukan kegiatan konsultasi dalam bidang SMK3; b. melakukan jasa pabrikasi, pemeliharaan, reparasi, dan instalasi teknik K3; c. melakukan pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja; dan d. melakukan jasa pembinaan K3. Pasal 9 (1) Menteri dapat mencabut keputusan penunjukan Lembaga Audit SMK3 apabila Lembaga Audit SMK3 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8. (2) Pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. Bagian Kedua Auditor SMK3 Pasal 10 (1) Pelaksanaan Audit Eksternal SMK3 dilakukan oleh Auditor SMK3 yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. (2) Auditor SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. auditor eksternal junior SMK3; b. auditor eksternal senior SMK3. Pasal 11 (1) Penunjukan auditor eksternal junior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a ditetapkan berdasarkan permohonan tertulis dari pengurus atau pimpinan Lembaga Audit SMK3 kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup; b. surat keterangan sehat dari dokter; c. fotokopi sertifikat pembinaan Auditor SMK3; d. fotokopi ijasah pendidikan terakhir serendah-rendahnya D3 dengan pengalaman kerja minimum 4 (empat) tahun di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dan/atau S1 dengan pengalaman kerja minimum 2 (dua) tahun di bidang keselamatan dan kesehatan kerja; e. fotokopi keputusan penunjukan ahli keselamatan dan kesehatan kerja yang masih berlaku; f. surat keterangan telah melaksanakan Audit Eksternal SMK3 sebagai peninjau sekurang-kurangnya 5 (lima) kali audit yang ditandatangani oleh auditor eksternal senior SMK3; 5
g. surat keterangan telah melaksanakan Audit Eksternal SMK3 sebagai auditor magang sekurang-kurangnya 5 (lima) kali; h. surat rekomendasi dari auditor eksternal senior SMK3; i. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; dan j. surat pernyataan tidak sedang ditunjuk sebagai ahli keselamatan dan kesehatan kerja spesialis. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. (3) Direktur Jenderal menetapkan keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 12 Sertifikat pembinaan Auditor SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c diperoleh setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus dalam pembinaan Auditor SMK3 yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. Pasal 13 (1) Penunjukan auditor eksternal senior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan permohonan tertulis dari pengurus atau pimpinan Lembaga Audit SMK3 kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup; b. surat keterangan pengalaman kerja sesuai persyaratan tingkatan auditor; c. surat keterangan telah melaksanakan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) kali Audit Eksternal SMK3 secara penuh; d. fotokopi keputusan penunjukan sebagai auditor eksternal junior SMK3 yang masih berlaku; e. tanda bukti telah mengikuti pengembangan kemampuan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sekurang-kurangnya 120 (seratus dua puluh) jam; dan f. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. (3) Direktur Jenderal menetapkan keputusan penunjukan auditor eksternal senior SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 14 (1) Keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (3) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. (2) Dalam hal keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 telah diterbitkan, maka yang bersangkutan tidak berhak merangkap sebagai ahli keselamatan dan kesehatan kerja spesialis dan tidak berhak melaksanakan pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan penunjukan spesialisnya.
6
Pasal 15 (1) Permohonan perpanjangan keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diajukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 13 dengan melampirkan: a. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau Pasal 13 ayat (1); b. salinan keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 atau auditor eksternal senior SMK3; c. rekapitulasi laporan kegiatan selama menjalankan tugas; dan d. hasil evaluasi oleh tim evaluasi. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhir jangka waktu berlakunya keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 atau auditor eksternal senior SMK3. (3) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. (4) Direktur Jenderal menetapkan keputusan perpanjangan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 atau auditor eksternal senior SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 16 (1) Keputusan penunjukan auditor eksternal junior SMK3 dan auditor eksternal senior SMK3 dicabut apabila: a. pindah tugas dari Lembaga Audit SMK3; b. mengundurkan diri; c. meninggal dunia; d. dikenakan sanksi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; e. melakukan kesalahan dan kecerobohan sehingga menimbulkan keadaan berbahaya; f. dengan sengaja dan/atau karena kekhilafannya menyebabkan terbukanya rahasia suatu perusahaan dan/atau instansi; g. melaksanakan kegiatan pemeriksaan dan pengujian dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja; h. melakukan kegiatan konsultasi dalam bidang SMK3; dan/atau i. adanya permohonan pencabutan dari pimpinan Lembaga Audit SMK3. (2) Pencabutan keputusan penunjukan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. Pasal 17 Perusahaan yang mengajukan permohonan penunjukan sebagai Lembaga Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan permohonan penunjukan Auditor SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 13 tidak dipungut biaya.
7
Paragraf Kesatu Kewajiban Auditor SMK3 Pasal 18 Auditor SMK3 mempunyai kewajiban: a. melaksanakan Audit SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. merahasiakan hasil Audit SMK3 kepada pihak-pihak yang tidak berkepentingan; dan c. mematuhi peraturan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Paragraf Kedua Kewenangan Auditor SMK3 Pasal 19 Auditor SMK3 mempunyai kewenangan: a. memasuki semua tempat kerja yang terkait dengan Audit SMK3; b. memberikan penilaian hasil Audit SMK3; c. meminta perusahaan memberikan keterangan, menunjukkan dokumen dan menyediakan petugas pendamping dalam pelaksanaan Audit SMK3; dan d. menghentikan pelaksanaan Audit SMK3 apabila belum ada sistem yang dibangun dan/atau keadaan yang membahayakan Auditor SMK3. BAB III MEKANISME AUDIT SMK3 Pasal 20 (1) Pelaksanaan penilaian penerapan SMK3 melalui Audit Eksternal SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan berdasarkan kategori: a. tingkat awal dengan pemenuhan terhadap 64 kriteria Audit SMK3; b. tingkat transisi dengan pemenuhan terhadap 122 kriteria Audit SMK3; dan c. tingkat lanjutan dengan pemenuhan terhadap 166 kriteria Audit SMK3. (2) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan huruf b yang akan melakukan Audit Eksternal SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Audit SMK3 kepada Lembaga Audit SMK3 yang telah ditunjuk oleh Menteri. (3) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c yang akan melakukan Audit Eksternal SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan Audit SMK3 berdasarkan penetapan Direktur Jenderal dan/atau Kepala Dinas Provinsi. (4) Contoh penetapan Direktur Jenderal dan/atau Kepala Dinas Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
8
Pasal 21 (1) Lembaga Audit SMK3 wajib membuat perencanaan pelaksanaan Audit SMK3 dan menyampaikan kepada Menteri atau Direktur Jenderal dengan salinan disampaikan kepada Dinas Provinsi. (2) Pelaksanaan Audit SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui tahapan: a. pertemuan pembuka; b. proses Audit SMK3; c. pertemuan tim Auditor SMK3; d. pertemuan penutup; dan e. penyusunan laporan Audit SMK3. (3) Dalam hal diperlukan, Lembaga Audit SMK3 dapat meminta informasi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan kepada Dinas Provinsi. Pasal 22 Pelaksanaan Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini. Pasal 23 Lembaga Audit SMK3 menyampaikan laporan Audit SMK3 kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Dinas Provinsi dan pengurus perusahaan yang di audit dengan bentuk laporan sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pasal 24 Laporan Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 menjadi pertimbangan Menteri untuk memberikan penghargaan sesuai dengan tingkat penerapan dan kategori penilaian hasil Audit SMK3. BAB IV PENILAIAN HASIL AUDIT SMK3 Pasal 25 Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 meliputi: a. kategori kritikal; b. kategori mayor; dan c. kategori minor. Pasal 26 (1) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori kritikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a ditetapkan terhadap temuan pada peralatan/mesin/pesawat/instalasi/bahan, cara kerja, sifat kerja, lingkungan kerja dan proses kerja yang dapat menimbulkan korban jiwa. 9
(2) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori kritikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditindaklanjuti dengan tindakan koreksi paling lambat dalam jangka waktu 1x24 jam. Pasal 27 (1) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori mayor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b ditetapkan terhadap: a. tidak terpenuhinya peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja; b. tidak melaksanakan salah satu prinsip SMK3; dan c. terdapat temuan minor untuk satu kriteria Audit SMK3 di beberapa lokasi. (2) Tidak melaksanakan salah satu prinsip SMK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuktikan apabila terdapat salah satu kriteria yang berkesinambungan yang tidak dilaksanakan. (3) Temuan minor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibuktikan apabila terdapat 3 (tiga) temuan lokasi dengan kriteria minor. (4) Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori mayor sebagaimana dimaksud ayat (1), harus ditindaklanjuti dengan tindakan koreksi paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan. Pasal 28 Penilaian terhadap kriteria Audit SMK3 dengan kategori minor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c ditetapkan terhadap ketidakkonsistenan dalam pemenuhan persyaratan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan acuan lainnya. Pasal 29 (1) Dalam hal terdapat perbedaan interpretasi penilaian kriteria Audit SMK3 antara perusahaan dengan Lembaga Audit SMK3 maka para pihak yang tidak menerima hasil Audit SMK3 dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal. (2) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan dokumen dan verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja. (3) Direktur Jenderal menetapkan keputusan hasil Audit SMK3 dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja. Pasal 30 (1) Tingkat pencapaian penerapan SMK3 bagi setiap perusahaan yang telah melakukan penilaian penerapan SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) meliputi: a. tingkat penilaian penerapan kurang, apabila tingkat pencapaian penerapan sebesar 0 - 59%; b. tingkat penilaian penerapan baik, apabila tingkat pencapaian penerapan sebesar 60 - 84%; c. tingkat penilaian penerapan memuaskan, apabila tingkat pencapaian penerapan sebesar 85%-100%. 10
(2) Dalam hal perusahaan telah mencapai tingkat penilaian penerapan kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka Direktur Jenderal dapat melakukan: a. tindakan hukum pada perusahaan yang wajib Audit Eksternal SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan/atau b. tindakan pembinaan pada perusahaan yang mengajukan permohonan untuk dilakukan Audit Eksternal SMK3. (3) Dalam hal perusahaan telah mencapai tingkat penilaian penerapan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b maka Menteri dapat memberikan penghargaan berupa: a. sertifikat perak bagi perusahaan tingkat kategori awal, transisi dan lanjutan; dan b. bendera perak bagi perusahaan tingkat kategori lanjutan. (4) Dalam hal perusahaan telah mencapai tingkat penilaian penerapan memuaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c maka Menteri dapat memberikan penghargaan berupa: a. sertifikat emas bagi perusahaan tingkat kategori awal, transisi dan lanjutan; dan b. bendera emas bagi perusahaan tingkat kategori lanjutan. (5) Sertifikat perak dan sertifikat emas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan Lampiran V Peraturan Menteri ini. (6) Bendera perak dan bendera emas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri ini. (7) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki masa berlaku paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 31 Biaya yang timbul akibat pelaksanaan Audit Eksternal SMK3 dibebankan kepada perusahaan yang diaudit. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Audit SMK3 yang dilaksanakan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu penunjukan Lembaga Audit SMK3, Auditor SMK3, dan penghargaan SMK3.
11
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.18/MEN/XI/2008 tentang Penyelenggara Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; dan c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.19/MEN/1997 tentang Pelaksanaan Audit Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 2031
12
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
SISTEM
PEDOMAN PEMBINAAN AUDITOR SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA 1. Kurikulum Pembinaan No.
Jam Pelajaran (JP)
Kurikulum
1
Review Materi Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja 3 SMK3 (PP No. 50 Tahun 2012) 4 Penerapan SMK3 (Lampiran I PP No. 50 Tahun 2012) 5 Mekanisme, Teknik Audit SMK3, Tingkat Penerapan SMK3, dan Sertifikasi SMK3 6 Interpretasi Kriteria Audit 7 Pelaksana Audit SMK3 (Lembaga dan Auditor) 8 Simulasi audit SMK3 9 Evaluasi Jumlah Jam Pelajaran
4 2 2 2 6 10 2 10 2 40
Keterangan: Jumlah jam pelajaran sebanyak 40 JP, masing-masing selama 45 menit.
2. Metode Pembinaan Penyelenggaraan metode pembinaan Auditor SMK3 dapat dilaksanakan dengan cara: a. Internal training atau inhouse training; b. External training diselenggarakan oleh lembaga pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja yang telah mendapat penunjukan sesuai ketentuan peraturan perundangan. Metode Pelatihan dilaksanakan dengan cara: a. Ceramah; b. Diskusi; c. Praktek atau kunjungan. 3. Penilaian Kelulusan Peserta a. Unsur yang dinilai 1) Disiplin kehadiran mengikuti pelatihan; 2) Penguasaan materi yang terdiri simulasi/praktek;
dari
ujian
tertulis
dan
b. Bobot Penilaian (untuk penentuan ranking di kelas) 1) Disiplin kehadiran; Bagi peserta yang tingkat kehadirannya kurang dari 80%, dinyatakan tidak lulus. 2) Penguasaan materi pelajaran dinyatakan lulus apabila ujian tertulis hasilnya 60% dan simulasi/praktek hasilnya 40%. c. Kriteria kelulusan Peserta dinyatakan lulus apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Disiplin kehadiran nilai serendah-rendahnya 60 yaitu apabila tingkat kehadiran peserta yang bersangkutan 80% dari waktu yang ditetapkan. 2) Penguasaan materi pelajaran: a. Nilai ujian teori serendah-rendahnya 60. b. Nilai simulasi/praktek serendah-rendahnya 60. 4. Sertifikasi Pembinaan Peserta yang dinyatakan lulus seleksi oleh Tim Evaluasi diberikan sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal dengan format dan bentuk yang telah ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
2
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
SISTEM
CONTOH PENETAPAN DIREKTUR JENDERAL/KEPALA DINAS PROVINSI TENTANG PERUSAHAAN WAJIB AUDIT EKSTERNAL SMK3 KOP SURAT DINAS Tanggal/bulan/tahun No Lampiran Perihal
: : : Penetapan Perusahaan Wajib Audit Ekesternal SMK3
Yth. Pimpinan Perusahaan Alamat Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja oleh pengawas ketenagakerjaandanmengacu pada ketentuanperaturan perundang-undangankeselamatandankesehatankerja, maka dengan ini menetapkan bahwa perusahaan Saudara mempunyai potensi bahaya tinggi sehingga wajib untuk dilakukan penilaian penerapan SMK3 melalui Audit Eksternal SMK3. Dengan ini kami perintahkan agar Saudara dapat berkoordinasi dengan Lembaga Audit SMK3 yang telah ditunjuk oleh Menteri Ketenagakerjaan dalam waktu segera. Demikian disampaikan, atasperhatiannyadiucapkanterimakasih. Direktur Jenderal/Kepala Dinas Provinsi, ttd Nama Jelas NIP. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PEDOMAN PELAKSANAAN AUDIT EKSTERNAL SMK3 A. PENETAPAN HARI AUDIT SMK3 Penetapan hari Audit SMK3 dilakukan berdasarkan kategori ruang lingkup kegiatan usaha, jumlah tenaga kerja, kompleksitas dan tingkat resiko bahaya kegiatan usaha. Penentuan tingkat resiko mengacu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kriteria yang digunakan dalam penetapan hari Audit SMK3 berdasarkan tingkat kompleksitas dan tingkat resiko bahaya kegiatan usaha, sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 berikut: Tabel 1 Kriteria Penetapan Hari Audit SMK3
JUMLAH TENAGA KERJA 1-5
DURASI AUDIT DI LOKASI (Hari Orang) Risiko Risiko Risiko Tinggi Meneng Renda ah h 2 1 1
JUMLAH TENAGA KERJA
DURASI AUDIT DI LOKASI (Hari Orang) Risiko Risiko Risiko Menengah Rendah Tinggi
626-875
10
8
6
6-10
4
2
2
876-1175
10
8
6
11-15
6
4
2
1176-1550
10
8
6
16-25
6
4
4
1551-2025
10
8
6
26-45
6
6
4
2026-2675
12
10
8
46-65
6
6
4
2676-3450
12
10
8
66-85
6
6
4
3451-4350
12
10
8
86-125
6
6
4
4351-5450
15
12
10
126-175
8
6
4
5451-6800
15
12
10
176-275
8
6
4
6801-8500
20
15
12
276-425
8
6
4
8501-10700
20
15
12
426-625
10
8
6
>10700
25
20
15
Catatan:
durasi waktu Audit SMK3 tidak termasuk waktu perjalanan ke lokasi Audit SMK3 (pergi-pulang) dan kegiatan induksi keselamatan dan kesehatan kerja.
Penetapan hari Audit SMK3 dikelompokkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penetapan hari Audit SMK3 untuk kategori tingkat awal dilakukan sekurang-kurangnya 40% dari Tabel 1 2. Penetapan hari Audit SMK3 untuk kategori tingkat transisi dilakukan sekurang-kurangnya 60% dari Tabel 1 3. Penetapan hari Audit SMK3 untuk kategori tingkat lanjutan dilakukan sekurang-kurangnya 80% dari Tabel 1 B. RUANG LINGKUP AUDIT SMK3 Pelaksanaan Audit SMK3 harus dilakukan pada setiap tempat kerja yang diajukan sebagai ruang lingkup yang disertifikasi. C. METODE PENGAMBILAN CONTOH (SAMPLING) 1. Metode pengambilan contoh (sampling) hanya diberlakukan untuk sektor-sektor usaha yang sifatnya berpindah-pindah tempat dan sejenis berdasarkan ruang lingkup yang akan diaudit, antara lain: a. Sektor usaha kontraktor, yang meliputi kegiatan: 1) Engineering (rekayasa) 2) Konstruksi 3) pemeliharaan dan perbaikan 4) jasa penyedia tenaga kerja. b. Sektor usaha distribusi 2. Jumlah contoh (sample) Audit SMK3 yang diambil untuk sektor usaha kontraktor dan distribusi mengacu kepada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah pengambilan contoh (sample) Audit SMK3 JUMLAH LOKASI PROYEK/KEGIATAN <4 4-7 8-11 12-19
JUMLAH CONTOH (SAMPLE) AUDIT 2 2-3 3-4 4-5
20-29 30-39 40-99 100-199 200-399 400-699 700-999 >1000
5-6 6-7 7 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 27 27 - 32 Lebih dari 32
D. KETENTUAN KHUSUS PENILAIAN AUDIT SMK3 SEKTOR KONSTRUKSI/JASA Untuk kegiatan sektor konstruksi/jasa yang belum memiliki proyek dapat dilakukan audit sistem dokumentasi SMK3 tanpa dilakukan penilaian kegiatan/proyek, selanjutnya harus dilakukan kegiatan Audit SMK3 kembali oleh Lembaga Audit SMK3 terhadap kegiatan/proyek selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak diterbitkan surat keterangan Audit SMK3 oleh Kementerian.
2
Apabila dalam kurun waktu 1 (satu) tahun tidak dapat dilakukan penilaian kegiatan/proyek, maka surat keterangan Audit SMK3 dinyatakan tidak berlaku. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
3
LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BENTUK SERTIFIKAT PERAK TIAP TINGKAT KATEGORI PERUSAHAAN A. SERTIFIKAT PERAK BAGI TINGKAT KATEGORI AWAL
Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna perak - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm
B. SERTIFIKAT PERAK BAGI TINGKAT KATEGORI TRANSISI
Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna perak - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm
2
C. SERTIFIKAT PERAK BAGI TINGKAT KATEGORI LANJUTAN
Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna perak - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
3
LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BENTUK SERTIFIKAT EMAS TIAP TINGKAT KATEGORI PERUSAHAAN A. SERTIFIKAT EMAS BAGI TINGKAT KATEGORI AWAL
Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna Emas - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm
B. SERTIFIKAT EMAS BAGI TINGKAT KATEGORI TRANSISI
Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna emas - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm
2
C. SERTIFIKAT EMAS BAGI TINGKAT KATEGORI LANJUTAN
Keterangan: - Logo SMK3 di sebelah kiri bawah berwarna emas - Ukuran sertifikat: Panjang : 42 cm Lebar : 29 cm Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
3
LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENILAIAN PENERAPAN MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BENTUK BENDERA PERAK DAN BENDERA EMAS A. BENDERA PERAK
Keterangan: 1. Ukuran: a. Panjang : 140 cm b. Lebar : 90 cm c. Tebal border : 3 cm 2. Warna latar belakang putih
SISTEM
B. BENDERA EMAS
Keterangan: 1. Ukuran: a. Panjang : 140 cm b. Lebar : 90 cm c. Tebal border : 3 cm 2. Warna latar belakang putih Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2014 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DAN ANGKA KREDITNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peratu Bersama Menteri Ketenagakerjaan dan Kepala B Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2015 dan Nom Tahun 2015 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peratura Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refor Birokrasi Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jaba Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerj Angka Kreditnya, perlu menetapkan Peraturan Me tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ten Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Repub Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
2.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tent Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indo Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Neg Republik Indonesia Nomor 4279);
3.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tent Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg Republik Indonesia Nomor 5063);
4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apara Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indones Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Neg Republik Indonesia Nomor 5949);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentan Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegaw Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu
6. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5121); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4015), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4332); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4016), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 188, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5467); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4017), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4193); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4019); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 164);
2
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5258); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2014 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang Mencapai Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Fungsional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 58); 17. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2015 tentang Kementerian Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 19); 18. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 235); 19. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019; 20. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka kreditnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1799); MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PETUNJUK TEKNIS JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DAN ANGKA KREDITNYA.
3
Pasal 1 Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan pedoman bagi: 1. Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit; 2. Tim penilai; 3. Pejabat yang mengusulkan angka kredit; dan 4. Pejabat fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja, pada Kementerian Ketenagakerjaan, instansi pusat selain Kementerian Ketenagakerjaan, dan instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan, pengusulan, dan penilaian jabatan fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pasal 2 Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 3 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2015 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 520
n sesuai dengan aslinya la Hukum,
^-'ij /• \
.'
\X t \ A fi,
s r
■''
-..
/
/
/
■^
- /
**
r
K
A y
* -
i
\ \
■> -, :;\
\
/s.
\
-K
Y/
*- v \,
\ -.^
/|J$diman, SH
r-^600324 198903 1 001
4
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG
PETUNJUK TEKNIS JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan tenaga penguji di bidang keselamatan dan kesehatan kerja telah ada sejak era sebelum tahun 2000. Pada masa itu terdapat 12 (dua belas) jabatan teknis sebagai penguji di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yaitu: 1. Penguji Hiperkes Faktor Kimia; 2. Penguji Hiperkes Faktor Fisika; 3. Penguji Hiperkes Faktor Biologi; 4. Penguji Toksikologi Industri; 5. Penguji Kesehatan Kerja; 6. Penguji Gizi Kerja; 7. Penguji Psikologi Kerja; 8. Penguji Hiperkes Faktor Faal Kerja dan Ergonomi; 9. Penguji Air dan Air Limbah Industri; 10. Penguji Mekanik; 11. Penguji Listrik; dan 12. Penguji Alat Pelindung Diri. Dalam rangka pengembangan tenaga penguji di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di atas, Kementerian Ketenagakerjaan mengajukan tenaga penguji di bidang keselamatan dan kesehatan kerja yang sudah ada untuk menjadi pejabat fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja. Dengan meningkatnya kebutuhan akan kompetensi di segala bidang, termasuk di bidang pengujian keselamatan dan kesehatan kerja maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memberlakukan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka Kreditnya. Sebagai pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka Kreditnya maka diperlukan petunjuk teknis pelaksanaan untuk dijadikan pedoman. B. Maksud dan Tujuan 1.
Maksud penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan ini adalah untuk mewujudkan keseragaman persepsi/pemahaman dalam pelaksanaan, pengusulan, dan penilaian angka kredit bagi pejabat fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
5
2. Tujuan penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan ini adalah untuk digunakan sebagai pedoman bagi: a. Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit; b. Tim penilai; c. Pejabat yang mengusulkan angka kredit; dan d. Pejabat fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja, pada Kementerian Ketenagakerjaan, instansi pusat selain Kementerian Ketenagakerjaan, dan instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan, pengusulan, dan penilaian jabatan fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja. C. Pengertian Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan: 1.
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
2.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
3.
Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
5.
Pengujian adalah serangkaian kegiatan penilaian suatu obyek secara teknis atau medis yang mempunyai risiko bahaya dengan cara memberi beban uji atau dengan teknik pengujian lainnya sesuai dengan ketentuan teknis atau medis yang telah ditentukan.
6.
Penguji K3 adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk melakukan kegiatan pengujian K3 dan kompetensi K3.
7.
Kompetensi K3 adalah pengembangan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap/perilaku K3 dalam pelaksanaan profesi di bidang K3.
8.
Kalibrasi adalah kegiatan penyesuaian unjuk kerja alat terhadap standard.
9.
Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan harta benda.
10.
Kejadian berbahaya lainnya adalah suatu kejadian yang faktoral, yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja kecuali kebakaran, peledakan dan bahaya pembuangan limbah.
6
11. Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk hidup. 12.
Manajemen Risiko adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh perusahaan, tenaga kerja, maupun lingkungan sekitar.
13.
Lingkungan kerja atau tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumbersumber bahaya.
14.
Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional penguji K3 dalam rangka pembinaan karier yang bersangkutan.
15.
Pej abat yang menetapkan angka kredit adalah pej abat yang berwenang atau pejabat lain yang ditunjuk menetapkan angka kredit bagi jabatan fungsional Penguji K3.
16.
Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Penguji K3 adalah tim penilai yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan bertugas menilai prestasi kerja pejabat fungsional Penguji K3.
17.
Karya tulis ilmiah adalah tulisan hasil pokok pikiran, hasil penelitian, pengkajian, survey dan evaluasi yang disusun oleh penguji K3, baik perorangan atau kelompok di bidang K3.
18.
Penghargaan adalah tanda jasa, tanda kehormatan atau bentuk penghargaan lain yang diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, negara asing, atau organisasi ilmiah nasional/regional/internasional yang diakui oleh masyarakat ilmiah.
19.
Pejabat Pembina Jabatan Fungsional Penguji K3 adalah Menteri cq. Direktur Jenderal untuk pusat, Gubernur untuk daerah provinsi, dan Bupati/Walikota untuk daerah kabupaten/kota.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. 21.
Direktur Jenderal adalah Direktorat Jenderal Bina Pengawasan Ketenakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
22.
Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
23.
Instansi Pusat selain Kementerian adalah kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor atau lapangan usaha tertentu.
24. Instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota adalah instansi yang bertanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
7
BAB II JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA A. Kode Etik 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penguji K3 berkewajiban meningkatkan keahlian dan menjunjung tinggi profesi sebagai seorang yang terpelajar dengan menjaga kebenaran dan kejujuran, baik kepada diri sendiri maupun kepada umum sehingga tidak menutupi kelemahan dan/atau kekurangannya. Penguji K3 wajib bekerja secara terencana, sistematis mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan bekerja dengan jujur, tekun, teliti, berdisiplin, bersemangat untuk menghasilkan karya yang berkualitas tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Penguji K3 wajib menjunjung tinggi hak, pendapat, atau temuan orang lain sehingga selalu menjauhi perbuatan tercela, antara lain mengambil gagasan orang lain dan senantiasa beritikad tidak akan melakukan tindakan plagiat dalam rangka menghormati dan melindungi hak cipta orang lain. Penguji K3 wajib bersifat terbuka terhadap tanggapan, pendapat, dan kritik yang diberikan oleh Penguji K3 lain dan/atau masyarakat atas hasil yang dicapainya. Penguji K3 wajib berusaha untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman terbaiknya kepada masyarakat guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Penguji K3 harus mengutamakan kesehatan, keselamatan, dan keamanan serta selalu memikirkan dampak penerapan hasil karyanya terhadap umat manusia dan lingkungan hidup.
7.
Penguji K3 wajib menjaga dan memanfaatkan semua sumberdaya secara berdayaguna dan berhasil guna.
8.
Penguji K3 wajib menjaga nama baik profesi keahlian, lembaga tempat kerjanya serta menghindari sikap arogansi intelektual.
9.
Penguji K3 wajib menaati kode etik fungsional Penguji K3 ini sebagai etika profesinya.
B. Instansi Pembina Instansi Pembina Jabatan Fungsional Penguji K3 adalah Kementerian. Unit pelaksana teknis jabatan fungsional Penguji K3 berada pada Direktorat Bina K3 yang mempunyai tugas melaksanakan analisis, perekayasaan, penyusunan standar, penyebarluasan informasi dan kerja sama di bidang pengkajian dan bimbingan teknis pelayanan K3 serta pengembangan sumberdaya manusia dan kompetensi K3. C. Jenjang Jabatan dan Pangkat Jenjang jabatan, pangkat, golongan ruang, dan angka kredit jabatan fungsional Penguji K3 dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi, sebagai berikut:
8
No.
Jabatan
Pangkat
1
Penguji K3 Pertama
2
Penguji K3 Muda
3
Penguji K3 Madya
Penata Muda Penata Muda Tingkat I Penata Penata Tingkat I Pembina Pembina Tingkat I Pembina Utama Muda
Golongan
ruang
Angka kredit
Ill/a IH/b III/c IH/d IV/a IV/b IV/c
100 150 200 300 400 550 700
D. Penilaian Angka Kredit Penilaian angka kredit jabatan fungsional Penguji K3 dibedakan menjadi 2 (dua) unsur, yaitu unsur utama dan unsur penunjang. 1. Unsur Utama a. Pendidikan i) Pendidikan sekolah. 2) Pendidikan dan pelatihan prajabatan. 3) Pendidikan dan pelatihan fungsional bidang K3. b. Pengujian K3 dan Kompetensi K3 1) Perencanaan kegiatan. 2) Pengujian higiene industri. 3) Pengujian kesehatan tenaga kerja. 4) Pengujian ergonomi. 5) Pengujian keselamatan kerja. 6) Pengujian kompetensi K3. 7) Pengendalian K3. 8) Pelaksanaan pekerjaan berisiko tinggi. 9) Pembuatan laporan akhir kegiatan pelayanan K3. 10) Pengkajian K3. c. Pengembangan Profesi
1) 2) 3)
2.
Pembuatan karya tulis/karya ilmiah di bidang K3. Penerjemahan buku dan bahan lainnya di bidang K3. Pembuatan buku pedoman/petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis di bidang K3.
Unsur Penunjang a. Pengajar/pelatih/penyuluh/pembimbing di bidang K3 pada unit organisasi pemerintah. b. Peran serta dalam seminar/ lokakarya/ konferensi/ pelatihan di bidang K3. c. Keanggotaan dalam tim penilai jabatan fungsional Penguji K3. d. Keanggotaan dalam organisasi profesi penguji K3. e. Perolehan penghargaan/tanda jasa. f. Perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
Angka kredit untuk penilaian kenaikan jenjang harus mempunyai komposisi minimal 80% dari unsur utama dan maksimal 20% dari unsur penunjang.
9
Penjelasan unsur-unsur penilaian angka kredit : 1.
Unsur Utama a. Pendidikan 1) Pendidikan sekolah Pendidikan Sekolah dan perolehan Gelar/Ijazah ^™^rw
.i
■^^^
j
*i
Butir Kegiatan 1. 2. 3.
Doktor (S3) Magister (S2) Sarjana (SI)/ Diploma IV
Satuan Hasil Ijazah Ijazah Ijazah
Angka Kredit 200
150 100
Pelaksana -Kli
Semua jenjang
Keterangan: a) Ijazah yang diakui adalah ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta dan telah memperoleh pengesahan atau minimal akreditasi B dari instansi yang berwenang. Ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi luar negeri harus memperoleh pengesahan kesetaraan dari instansi berwenang di Indonesia. b) Ijazah yang lebih tinggi tetapi tidak sesuai dengan bidang kepakaran penguji K3 hanya dinilai sebagai unsur penunjang, kecuali tema disertasi/tesis yang ditulisnya berkaitan dengan bidang kepakarannya. c) Pendidikan tidak bergelar dinilai sebagai pelatihan, penataran, atau kursus ilmiah dan kerja sama penguji K3 dianggap sebagai pendidikan dan pelatihan sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang dipersyaratkan. d) Jika seorang kandidat penguji K3 atau penguji K3 memiliki dua ijazah pada strata yang sama, penilai hanya akan menilai satu ijazah saja. e) Gelar Dr. Honoris Causa tidak dapat dinilai sebagai kriteria pendidikan tetapi sebagai penghargaan ilmiah. Pengusulan penilaian angka kredit dengan menggunakan ijazah harus melampirkan fotocopy ijazah dan transkip nilai yang disahkan pejabat/kepala unit kerja tertinggi di instansi tersebut. 2) Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Prajabatan Yang dimaksud dengan diklat praj abatan adalah diklat yang diperuntukan untuk prajabatan golongan III. Satuan hasil berupa sertifikat dan memperoleh angka kredit 2 (dua) untuk semua jenjang. 3) Pendidikan dan Pelatihan Fungsional di Bidang K3 Memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan Pelatihan atau sertiikat. Butir Kegiatan
Satuan Sertiikat
2
Lama diklat lebih dari 960 JP Lama diklat 641-960 JP
Angka Kredit 15
Sertiikat
9
3.
Lama diklat 481-640 JP
Sertifikat
6
Hasil 1
(STTPP)
Pelaksana Semua jenjang Semua jenjang Semua jenjang
10
4. Lama diklat 161-480 JP
Satuan Hasil Sertifikat
Angka Kredit 3
5. Lama diklat 81-160 JP
Sertifikat
2
6. Lama diklat 30-80 JP
Sertifikat
1
Butir Kegiatan
Pelaksana Semua jenjang Semua jenjang Semua jenjang
Keterangan a) Pendidikan dan pelatihan (diklat) yang dimaksud adalah diklat teknis yang berkaitan dengan kegiatan pengujian K3 dan kompetensi K3, yang sesuai dengan bidang keahlian/kepakaran. Diklat yang diselenggarakan kurang dari 30 JP dinilai sebagai b) unsur penunjang c) Diklat kepemimpinan seperti diklat kepemimpinan tingkat I, II, III, dan IV tidak dinilai. Pengusul melampirkan sertifikat atau Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) dan mata diklat/ajar yang disahkan oleh pejabat/kepala unit kerja tertinggi di instansinya. b.
Pengujian K3 dan Kompetensi K3 1) Perencanaan kegiatan a) penyusunan program kerja; b) mempresentasikan program kerja; c) memeriksa dan menyetujui program kerja; d) melaksanakan kaji ulang permintaan; e) membuat, memeriksa, menyetujui dan mempresentasikan proposal perencanaan kegiatan K3; f) membuat draft kontrak kerja sama; g) melaksanakan bimbingan teknis; h) menyusun skema sertiikasi uji kompetensi K3; i) menyusun dan mempresentasikan perangkat uji kompetensi K3. Satuan hasil berupa program kerja, hasil kaji ulang, proposal, draft kontrak kerja sama, laporan bimbingan, dokumen dan bahan presentasi. 2)
Pengujian Higiene Industri a) melakukan koordinasi pengujian; b) melaksanakan pengujian; c) evaluasi faktor bahaya dan perawatan/kalibrasi peralatan higiene industri. Satuan Hasil berupa notulen, cheklist, hasil kegiatan, hasil survey, Surat Keputusan/SK, laporan, data, hasil analisa, hasil perhitungan, hasil evaluasi, bahan presentasi, dan lembar kerja
3)
Pengujian Kesehatan Tenaga Kerja a) melakukan koordinasi pengujian; b) melaksanakan pengujian, dan perawatan/kalibrasi peralatan kesehatan tenaga kerja. Satuan hasil berupa notulen, checklist, hasil anamnesa, hasil pengujian, data, hasil analisis, hasil perhitungan dan lembar kerja.
11
4)
Pengujian Ergonomi a) melakukan koordinasi pengujian; b) melaksanakan pengujian, dan perawatan/kalibrasi peralatan ergonomi. Satuan hasil berupa notulen, cheklist, data, dan lembar kerja.
5)
Pengujian Keselamatan Kerja a) melakukan koordinasi pengujian; b) melaksanakan pengujian, mengolah data hasil pengujian; c) melakukan analisis; d) melakukan evaluasi dan mempresentasikan faktor bahaya serta perawatan/kalibrasi peralatan keselamatan kerja. Satuan hasil berupa notulen, cheklisty data, hasil pengolahan, hasil analisis, hasil evaluasi, bahan presentasi, dan lembar kerja.
6)
Pengujian Kompetensi K3 a) melakukan uji coba perangkat uji; b) melaksanakan uji; c) melakukan kaji ulang; d) melaksanakan pelatihan; e) merancang/memeriksa/menyetujui sertiikat; f) melakukan perawatan/kalibrasi peralatan pengujian kompetensi. Satuan hasil berupa laporan, draft sertiikat, dan lembar kerja.
7)
Pengendalian K3 a) melakukan observasi/identiikasi permasalahan di tempat kerja; b) melaksanakan pengukuran; c) melakukan analisis masalah; d) menyusun rancangan pengendalian K3; e) membuat, melakukan uji coba dan mempresentasikan produk; f) melaksanakan pengujian; g) melakukan evaluasi; h) melaksanakan modiikasi produk; i) melaksanakan perawatan produk; j) membuat simulasi pengujian kompetensi K3; k) menyusun metode dan sistim pengelolaan database penilaian kompetensi K3; 1) mengevaluasi penyelenggaraan pelatihan di bidang K3; m) melakukan monitoring pemegang sertiikat kompetensi K3. Satuan hasil berupa Surat Perintah, hasil analisis, hasil rancangan, laporan, bahan presentasi, hasil uji, hasil evaluasi, lembar kerja, prosedur kerja, hasil rancangan, hasil uji coba, metode penilaian, dan hasil monitoring.
8)
Pelaksanaan Pekerjaan Berisiko Tinggi a) melakukan supervisi; dan b) pengujian di tempat kerja berisiko tinggi. Satuan hasil berupa hasil supervisi dan hasil pengujian.
12
9)
Pembuatan Laporan Akhir Kegiatan Pelayanan K3 a) membuat laporan akhir; b) mempresentasikan, memeriksa dan menyetujui laporan kegiatan pelayanan K3; dan c) membuat rangkuman laporan kegiatan pelayanan K3. Satuan hasil berupa laporan dan bahan presentasi.
10) Pengkajian K3 a) membuat dan mempresentasikan project statement; b) membuat, mempresentasikan uji coba kuesioner pengkajian; c) mengumpulkan data sekunder; d) mengumpulkan dan memveriikasi data primer; e) mengolah data; f) melakukan analisis dan interpretasi data/uji statistik; g) menyusun, mempresentasikan, memeriksa, menyetujui laporan akhir pengkajian K3; h) pembuatan database pelayanan K3. Satuan hasil berupa proposal, kuesioner, data, hasil pengolahan, hasil analisis, laporan, bahan presentasi, data sistem informasi. c.
Pengembangan Profesi 1) Pembuatan karya tulis/karya ilmiah di bidang K3 a) membuat karya tulis/karya ilmiah hasil penelitian, pengujian, survei di bidang K3 yang dipublikasikan dalam bentuk: (1) Buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional. Satuan hasil: buku. (2) Majalah ilmiah yang diakui oleh LI PI. Satuan hasil: naskah. b) membuat karya tulis, karya ilmiah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri di bidang K3 yang dipublikasikan dalam bentuk: (1) Buku Satuan hasil: buku (2) Makalah Satuan hasil: makalah c) membuat karya tulis, karya ilmiah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri di bidang K3 yang tidak dipublikasikan dalam bentuk: (1) Buku Satuan hasil: buku. (2) Makalah Satuan hasil: makalah. d) membuat karya tulis/karya ilmiah populer di bidang K3 yang disebarluaskan melalui media massa. Satuan hasil berupa buku. e) membuat karya tulis, karya ilmiah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri di bidang K3 yang disampaikan dalam pertemuan ilmiah. Satuan hasil berupa naskah.
13
2)
Penerjemahan buku dan bahan lainnya di bidang K3 a) menerjemahkan/menyadur buku dan bahan lain di bidang K3 yang dipublikasikan dalam bentuk: (1) Buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional. Satuan hasil: buku. (2) Majalah ilmiah yang diakui oleh LI PL Satuan hasil: naskah. b) menerjemahkan/menyadur buku dan bahan lain di bidang K3 yang tidak dipublikasikan dalam bentuk: (1) Buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional. Satuan hasil: buku. (2) Majalah ilmiah yang diakui oleh LI PL Satuan hasil: naskah. c) membuat abstrak tulisan penerbitan. Satuan hasil: naskah.
3)
ilmiah
yang
dimuat
dalam
Pembuatan buku pedoman/petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis di bidang K3 a) membuat buku pedoman di bidang K3. Satuan hasil: pedoman. b) membuat petunjuk pelaksanaan pengelolaan kegiatan di bidang K3. Satuan hasil: juklak. c) membuat petunjuk teknis pengelolaan kegiatan di bidang K3. Satuan hasil: juklak.
2. Unsur Penunjang a. Pengajar/pelatih/penyuluh/pembimbing di bidang K3 pada unit organisasi pemerintah 1) mengajar atau melatih di bidang K3. Satuan hasil: Jam/Pelajaran (JPL). 2) memberi Bimbingan pada mahasiswa magang Satuan hasil: Jam/Pelajaran (JPL). 3) Memberi Bimbingan pada peserta study banding Satuan hasil: Jam/Pelajaran (JPL). 4) Memberikan bimbingan pada level dibawahnya Satuan hasil: JPL b. Peran serta dalam seminar, lokakarya, konferensi, pelatihan di bidang K3 1) Mengikuti seminar, lokakarya, konferensi, dan pelatihan sebagai: a) Pemrasaran Satuan hasil: Sertiikat/Surat Tugas/Surat Keterangan b) Narasumber, Moderator, dan Pembahas Satuan hasil: Sertiikat/Surat Tugas/Surat Keterangan c) Peserta Satuan hasil: Sertiikat/Surat Tugas/Surat Keterangan 2)
Mengikuti delegasi ilmiah sebagai a) Ketua Satuan hasil: Sertiikat/Surat Tugas/Surat Keterangan b) Anggota Satuan hasil: Sertiikat/Surat Tugas/Surat Keterangan
14
3)
Keanggotaan secara aktif dalam Tim Penilai Jabatan Fungsional Penguji K3 sebagai: a) Ketua/Wakil Ketua Satuan Hasil: Surat Tugas. b) Anggota Satuan Hasil: Surat Tueas.
c.
Keikutsertaan dalam organisasi profesi fungsional penguji K3 tingkat nasional/internasional sebagai: 1) Pengurus aktif Satuan Hasil: Surat Tugas. 2) Anggota Aktif Satuan Hasil: Surat Tugas.
d.
Penghargaan Memperoleh penghargaan berupa tanda jasa Satya Lancana Karya Satya: 1) 30 (tiga puluh) Satuan hasil: tanda jasa 2) 20 (dua puluh) Satuan hasil: tanda jasa 3) 10 (sepuluh puluh) Satuan hasil: tanda jasa
e.
Perolehan gelar kesarjanaan lainnya Memperoleh gelar kesarjanaan lainnya yang tidak sesuai dengan bidang tugas. 1) Sarjana (Sl)/Diploma IV Satuan hasil: Gelar/Ijazah 2) Diploma III Satuan hasil: Gelar/Ijazah 3) Diploma II Satuan hasil: Gelar/Ijazah
15
BAB III DAFTAR USUL PENETAPAN ANGKA KREDIT DAN PENETAPAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
A. Angka Kredit Angka kredit diperlukan bagi: 1. PNS yang pertama kali akan diangkat menjadi Ahli Pertama dalam jabatan fungsional Penguji K3; dan 2. Pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Pertama sampai dengan Penguji K3 Ahli Madya yang akan naik jabatan /pangkat. Angka kredit diperoleh berdasarkan hasil penilaian atas prestasi dari pelaksanaan setiap butir rincian kegiatan fungsional Penguji K3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang j abatan fungsional Penguji K3 dan angka kreditnya. Setiap Penguji K3 perlu memahami dengan benar setiap kegiatannya agar dapat mencapai prestasi dan memperoleh angka kredit. B. Perhitungan Angka Kredit Untuk memperlancar pengusulan angka kredit, setiap tahun para fungsional Penguji K3 harus mengusulkan dan mengisi Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit (DUPAK). Pengusulan DUPAK dilakukan 1 (satu) kali dalam setahun walaupun jumlah angka kredit yang diusulkan belum memenuhi jumlah yang dipersyaratkan untuk kenaikan pangkat atau jenjang. Sehubungan hal tersebut maka akan dikeluarkan Penetapan Angka Kredit (PAK) Sementara. Pengisian DUPAK dilakukan pada akhir bulan Desember untuk periode kenaikan pangkat bulan April tahun berikutnya dan pada akhir bulan Juni untuk periode kenaikan pangkat bulan Oktober tahun yang sama. Bukti pelaksanaan kegiatan yang diperoleh di luar masa penilaian yang karena satu dan lain hal tidak diajukan pada masa penilaian sebelumnya, maka kegiatan tersebut tidak dapat dinilaikan. Contoh: Seorang Penguji K3 mengajukan DUPAK dengan Masa Penilaian 1 Januari 2013 sd. 30 Juni 2014. Apabila dalam DUPAK tersebut diusulkan butir kegiatan yang dilaksanakan pada bulan April 2012. Butir kegiatan dari kegiatan tersebut tidak dapat dinilai. C. Komposisi Persentase Angka Kredit 1. Jumlah angka kredit kumulatif paling rendah yang harus dipenuhi oleh setiap PNS untuk dapat diangkat dalam jabatan dan kenaikan jabatan/pangkat fungsional Penguji K3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang jabatan fungsional Penguji K3 dan angka kreditnya. 2.
Jumlah angka kredit kumulatif paling rendah sebagaimana dimaksud pada angka 1, yaitu: a. paling rendah 80% (delapan puluh persen) angka kredit berasal dari unsur utama, tidak termasuk unsur pendidikan; dan b. paling tinggi 20% (dua puluh persen) angka kredit berasal dari unsur penunjang
16
c.
Jumlah angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi oleh pejabat fungsional Penguji K3 adalah sebagai berikut:
No 1.
Jenjang Jabatan Penguji K3 Ahli Pertama
2.
Penguji K3 Ahli Muda
3.
Penguji K3 Ahli Madya
Gol. Ruang Ill/a Ill/b
Angka Kredit 100 150
m/c
200 300 400 550 700
Ill/d IV/a IV/b IV/c
3.
Penguji K3 Ahli Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a yang akan naik pangkat menjadi Penata Muda Tingkat I, golongan ruang Ill/b angka kredit yang disyaratkan paling sedikit 2 (dua) angka kredit dari unsur pengembangan profesi.
4.
Penguji K3 Ahli Pertama, pangkat Penata Muda Tingkat I, golongan ruang Ill/b yang akan naik jenjang jabatan dan pangkat menjadi Penguji K3 Muda, pangkat Penata, golongan ruang III/c angka kredit yang disyaratkan paling sedikit 4 (empat) angka kredit dari unsur pengembangan profesi.
5.
Penguji K3 Muda, pangkat Penata, golongan ruang III/c yang akan naik pangkat menjadi Penata Tingkat I, golongan ruang Ill/d angka kredit yang disyaratkan paling sedikit 6 (enam) angka kredit dari unsur pengembangan profesi.
6.
Penguji K3 Muda, pangkat Penata Tingkat I, golongan ruang Ill/d yang akan naik jenjang jabatan dan pangkat menjadi Penguji K3 Madya, pangkat Pembina, golongan ruang IV/a angka kredit yang disyaratkan paling sedikit 8 (delapan) angka kredit dari unsur pengembangan profesi.
7
Penguji K3 Madya, pangkat Pembina, golongan ruang IV/a yang akan naik pangkat menjadi Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b angka kredit yang disyaratkan paling sedikit 10 (sepuluh) angka kredit dari unsur pengembangan profesi.
8
Penguji K3 Madya, pangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b yang akan naik pangkat menjadi Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c angka kredit yang disyaratkan paling sedikit 12 (dua belas) angka kredit dari unsur pengembangan profesi.
9.
Penguji K3 yang memiliki angka kredit melebihi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut diperhitungkan untuk kenaikan pangkat berikutnya.
10
Penguji K3 Ahli Pertama Pada tahun pertama telah memenuhi atau melebihi angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan pangkat dalam masa pangkat yang didudukinya. pada tahun kedua wajib mengumpulkan paling kurang 20% (dua puluh persen) angka kredit dari jumlah angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi yang berasal dari kegiatan pengujian K3 dan kompetensi K3.
17
11. Penguji K3 Madya, pangkat Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c, setiap tahun sejak menduduki pangkatnya wajib mengumpulkan paling kurang 20 (dua puluh) angka kredit dari kegiatan tugas pokok dan pengembangan profesi. 12. Penguji K3 yang secara bersama-sama membuat karya tulis ilmiah di bidang K3 diberikan angka kredit dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila terdiri dari 2 (dua) orang penulis maka pembagian angka kreditnya adalah 60% (enam puluh persen) bagi penulis utama dan 40% (empat puluh persen) bagi penulis pembantu; b. apabila terdiri dari 3 (tiga) orang penulis maka pembagian angka kreditnya adalah 50% (lima puluh persen) bagi penulis utama dan masing-masing 25% (dua puluh lima persen) bagi penulis pembantu; c. apabila terdiri dari 4 (empat) orang penulis maka pembagian angka kreditnya adalah 40% (empat puluh persen) bagi penulis utama dan masing-masing 20% (dua puluh persen) bagi penulis pembantu; dan d. jumlah penulis pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 3 (tiga) orang. D. Masa Penilaian Angka Kredit 1. Sarjana (SI)/Diploma IV yang pertama kali diangkat menjadi fungsional Penguji K3 baru dapat diangkat dalam jabatan Penguji K3 setelah yang bersangkutan menjadi PNS. Masa penilaian angka kredit yang bersangkutan dihitung sejak diangkat sebagai calon PNS. 2. Untuk kenaikan jabatan/pangkat Penguji K3, masa penilaian angka kredit didasarkan pada masa penilaian angka kredit yang terakhir. E. Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit (DUPAK) Pejabat fungsional Penguji K3 membuat DLTPAK yang berisi hasil penilaian sendiri atas prestasi kerjanya. 1. Pengisian Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit (DUPAK) a. Langkah-langkah Pengisian DUPAK oleh Penguji K3: 1) mengumpulkan bukti isik dan/atau dokumen pendukung pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan; 2) memilah bukti tersebut berdasarkan unsur dan sub unsur kegiatan; 3) mengisi formulir surat pernyataan melakukan kegiatan Pengujian K3 dan Kompetensi K3 dilengkapi dengan bukti; 4) mengisi formulir Surat Pernyataan melakukan kegiatan pengembangan profesi dilengkapi dengan bukti; 5) mengisi formulir surat pernyataan melakukan kegiatan penunjang dilengkapi dengan bukti; 6) mengisi formulir surat pernyataan melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan; 7) menilai sendiri dengan mengisi angka kredit berdasarkan butir-butir kegiatan Penguji K3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang jabatan fungsional Penguji K3 dan angka kreditnya; 8) semua surat pernyataan beserta buktinya disusun berurutan sesuai dengan masa penilaian; 9) hasil penilaian semua butir kegiatan dihimpun dalam 1 (satu) DUPAK;
18
10) DUPAK, surat pernyataan, dan bukti isik disahkan oleh pejabat yang berwenang serendah-rendahnya Eselon III. Semua berkas tersebut dilampirkan pada DUPAK sebagai bukti untuk diajukan ke Tim Penilai. b. Langkah-langkah Pengisian DUPAK oleh oleh Tim Penilai: 1) mengisi nomor sesuai kode penomoran DUPAK instansi yang bersangkutan; 2) mengajukan penilaian yang telah diisi sesuai dengan masa/ periode waktu yang diajukan; 3) mengisi kolom keterangan data fungsional Penguji K3 perorangan yang dinilai. Tim Penilai mengisi kolom penilaian sesuai dengan hasil penilaian dan bukti. c.
2.
Lampiran Pendukung DUPAK, yaitu: 1) surat pernyataan melakukan kegiatan penguji K3; 2) surat pernyataan melakukan kegiatan pengembangan profesi; 3) surat pernyataan melakukan kegiatan penunjang; 4) dokumen lainnya. Hak untuk menilai dan mengesahkan DUPAK adalah pada ketua dan anggota Tim Penilai.
Pengajuan Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit (DUPAK) a. Usul Penetapan Angka Kredit Penguji K3 diajukan oleh: 1) Pejabat Eselon I: Direktur Jenderal untuk angka kredit bagi Penguji K3 Madya, pangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b dan pangkat Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c di Kementerian dan instansi selain Kementerian. 2) Pejabat Eselon II, meliputi: a) Pejabat Eselon II yang membawahi bidang K3 di Kementerian. Dalam hal ini adalah Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja; b) Pejabat Eselon II yang membawahi bidang K3 di instansi pusat selain Kementerian; c) Pejabat Eselon II yang membawahi bidang K3 di instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota. 3) Pejabat Eselon III, meliputi: a) Pejabat Eselon III yang membidangi kepegawaian pada unit kerja Eselon II yang membidangi K3 Kementerian untuk angka kredit bagi Penguji K3 Ahli Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III / a sampai dengan Penguji K3 Madya, pangkat Pembina, golongan ruang IV/a di Kementerian. b) Pejabat Eselon III yang membidangi kepegawaian pada unit kerja Eselon II yang membawahi bidang K3 instansi pusat selain Kementerian kepada Pejabat Eselon II yang membidangi K3 di instansi pusat selain Kementerian untuk angka kredit bagi Penguji K3 Ahli Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III / a sampai dengan Penguji K3 Madya, pangkat Pembina, golongan ruang IV/a di instansi pusat selain Kementerian.
19
c)
d)
Pejabat Eselon III yang membidangi kepegawaian pada unit kerja Eselon II yang membawahi bidang K3 di instansi daerah provinsi kepada Pejabat Eselon II yang membawahi bidang K3 provinsi untuk angka kredit bagi Penguji K3 Ahli Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a sampai dengan Penguji K3 Madya, pangkat Pembina, golongan ruang IV/a di instansi daerah provinsi. Pejabat Eselon III yang membidangi kepegawaian pada unit kerja Eselon II yang membawahi bidang K3 di instansi daerah kabupaten/kota kepada Pejabat Eselon II yang membawahi bidang K3 kabupaten/kota untuk angka kredit bagi Penguji K3 Ahli Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a sampai dengan Penguji K3 Madya, pangkat Pembina golongan ruang IV/a di instansi daerah kabupaten/kota.
b. Penilaian dan Penetapan Angka Kredit 1) Penilaian dan penetapan angka kredit terhadap setiap Penguji K3 dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. 2) Prestasi kerja Penguji K3 mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember harus dinilai dan ditetapkan paling lambat bulan Januari tahun berikutnya. 3) Penilaian dan penetapan angka kredit untuk kenaikan pangkat Penguji K3 dilakukan 3 (tiga) bulan sebelum periode kenaikan pangkat PNS, dengan ketentuan sebagai berikut: a) untuk kenaikan pangkat periode April angka kredit ditetapkan paling lambat pada bulan Januari tahun yang bersangkutan; dan b) untuk kenaikan pangkat periode Oktober angka kredit ditetapkan paling lambat pada bulan Juli tahun yang bersangkutan. 4) Penetapan angka kredit Penguji K3 ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit. 5) Penetapan angka kredit asli disampaikan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara/ Kepala Kan tor Regional Badan Kepegawaian Negara, dan tembusannya disampaikan kepada: a) Penguji K3 yang bersangkutan; b) Sekretaris Tim Penilai yang bersangkutan; c) Kepala Biro/Badan Kepegawaian Daerah; dan d) Pejabat lain yang dianggap perlu.
20
BAB IV TIM PENILAI JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
A. Tim Penilai Jabatan Fungsional Penguji K3 Tim Penilai terdiri dari: 1. unsur teknis yang membidangi K3; 2. unsur kepegawaian; 3. pejabat fungsional Penguji K3. Berdasarkan tempat kedudukan dan tugas, Tim Penilai Penguji K3 secara umum dibagi menjadi 5 (lima) yaitu: 1. Tim Penilai Pusat (TP). 2. Tim Penilai Unit Kerja (TPUK). 3. Tim Penilai Instansi (TPI). 4. Tim Penilai Provinsi (TPP). 5. Tim Penilai Kabupaten/Kota (TPK) 1.
Tim Penilai Pusat (TP) TP berkedudukan di Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3. Tim ini dikhususkan untuk memberi penilaian terhadap prestasi kerja pejabat fungsional Penguji K3 tingkat tertinggi, yaitu Penguji K3 Ahli Madya IV/b dan IV/c. Lingkup layanan penilaian Tim Penilai Pusat adalah pejabat fungsional Penguji K3 di seluruh Indonesia. TP terdiri dari: a. Direktorat Bina K3; dan b. Biro Organisasi dan Kepegawaian, Sekretaris Kementerian, yang dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Jenderal,
Direktur Bina K3 bertindak sebagai pelaksana teknis dari Direktur Jenderal. Anggota TP serendah-rendahnya adalah pejabat fungsional Penguji K3 Madya golongan IV/b atau pejabat struktural dan non PNS yang kompeten di bidang pengujian K3. 2.
Tim Penilai Unit Kerja (TPUK) TPUK adalah tim penilai yang berkedudukan di Direktorat Bina K3. Tim ini dibentuk dan ditetapkan oleh Direktur Bina K3 untuk mengusulkan dan menyusun PAK bagi pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Pertama golongan III/a sampai dengan pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Madya golongan IV/a di Direktorat Bina K3 dan UPTP K3, serta di instansi pusat selain Kementerian yang belum memiliki tim penilai. Sebagai tim penilai di instansi pembina, TPUK berkewajiban memberikan bantuan teknis kepada tim penilai pejabat fungsional Penguji K3 di instansi pusat selain Kementerian.
21
3.
Tim Penilai Instansi (TPI) TPI adalah tim penilai yang berkedudukan di instansi pusat selain Kementerian. Tim Penilai Instansi dibentuk dan ditetapkan oleh kepala instansi untuk mengusulkan dan menyusun PAK bagi pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Pertama golongan Ill/a sampai dengan pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Madya golongan IV/a di instansinya.
4.
Tim Penilai Provinsi (TPP) TPP adalah tim penilai yang berkedudukan di instansi daerah provinsi. TPP dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian provinsi untuk mengusulkan dan menyusun PAK bagi pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Pertama golongan Ill/a sampai dengan pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Madya golongan IV/a di instansinya dan di kabupaten/kota yang belum mempunyai tim penilai.
5.
Tim Penilai Kabupaten/kota (TPK) TPK adalah tim penilai yang berkedudukan di instansi daerah kabupaten/kota. Tim Penilai ini dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian kabupaten/kota untuk mengusulkan dan menyusun PAK bagi pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Pertama golongan III/a sampai dengan pejabat fungsional Penguji K3 Ahli Madya golongan IV/a di instansinya.
6.
Organisasi Tim Penilai Tim penilai dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri yang mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: a. memeriksa dan menilai butir kegiatan dalam DUPAK; b. memeriksa kebenaran dokumen DUPAK; c. menyusun konsep PAK untuk disampaikan kepada pejabat yang berwenang menetapkan PAK Penguji K3 Ahli Pertama sampai dengan Penguji K3 Ahli Madya; d. membantu memeriksa dan menilai DUPAK Penguji K3 Ahli Madya golongan IV/b dan Penguji K3 Ahli Madya golongan IV/c yang diajukan oleh pejabat yang berwenang kepada TPP melalui Kepala Pusat K3 sebagai unit Eselon II pembina; e. membina pengembangan karir fungsional pej abat fungsional Penguji K3; f. mengelola data base pejabat fungsional Penguji K3 di instansinya; g. mengikuti sidang penilaian pejabat fungsional Penguji K3; h. menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri.
22
Tabel: Ringkasan Tata Kerja dan Tata Cara Penilaian Jabatan Fungsional Penguji K3 H"M"I'HF ■ ilji.l
No. 1.
2.
Uraian Yang menetapkan Tim Penilai Penilai
3.
Kedudukan Penilai
4.
Yang dinilai
5.
Kedudukan yang dinilai
6.
Yang mengesahkan PAK
TPI Kepala Instansi
TT
TPUK Direktur Bina K3
Minimum Penguji K3 Ahli Madya IV/b Biro Organisasi dan Kepegawaian serta Pusat K3 Penguji K3 Ahli Madya IV/b sd. IV/c Seluruh Indonesia
Penguji K3 Ahli Minimum Penguji K3 Minimum Minimum Penguji K3 Minimum Muda Ill/d Penguji K3 Ahli Ahli Muda Ill/d Ahli Muda III/d Muda Ill/d Instansi pusat Instansi daerah daerah Instansi Direktorat Bina K3 kabupaten/kota selain provinsi Kementerian Penguj i K3 Ahli Penguji K3 Ahli Penguji K3 AhliPenguji K3 Ahli Madya IV/a Madya IV/a Madya IV/a Madya IV/a
Direktur Jenderal
Direktorat Bina K3 dan UPTP atau instansi lain Kepala Biro dan Organisasi Kepegawaian
Instansi pusat selain Kementerian Pembina kepegawaian instansi
TPP
LU«JJL. JL
TP Direktur Jenderal
Pejabat pembina kepegawaian provinsi
Instansi provinsi kab/kota
daerah atau
Pembina kepegawaian provinsi
TPK Pejabat pembina kepegawaian kabupaten/ kota
Instansi kabupaten/kota
daerah
Pembina kabupaten/kota
kepegawaian
Catatan: Tim Penilai di luar TPP bertugas membantu penyusunan DUPAK Penguji K3 Ahli Madya IV/b sd. Penguji K3 Ahli Madya IV/c .
23
7.
Susunan dan Persyaratan Tim Penilai a. Susunan Tim Penilai Tim Penilai sekurang-kurangnya terdi anggota dengan susunan sebagai berikut: 1) 1 (satu) orang Ketua merangkap ang 2) 1 (satu) Wakil Ketua merangkap ang 3) 1 (satu) Sekretaris merangkap anggo 4) sekurang-kurangnya 4 (empat) orang
b. Persyaratan menjadi anggota Tim Penilai: 1) jabatan/pangkat paling ren jabatan/pangkat Penguji K3 yang din 2) paling rendah Pejabat Fungsional Pe Muda Tingkat 1/ golongan ruang Ill 3) memiliki kompetensi untuk menilai Fungsional Penguji K3; 4) dapat aktif melakukan penilaian; 5) menyatakan kesediaan secara tertuli Tim Penilai dengan sepengetahuan a 6) apabila anggota Tim Penilai tidak da fungsional Penguji K3 maka a diangkat dari PNS lain yang m menilai prestasi kerja Pejabat fun jumlah anggota Pejabat fungsion paling sedikit 2 (dua) orang. c. 8.
Sekretaris Tim Penilai harus berasal da
Masa Kerja Tim Penilai a. 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang u jabatan berikutnya. b. Anggota Tim Penilai yang telah menjad masa jabatan berturut-turut dapat melampaui tenggang waktu 1 (satu) mas
Contoh: Penilai A memberikan nilai angka k unsur utama sebesar 70 dan unsur p Penilai B memberikan angka kredit utama sebesar 75 dan unsur penunj maka nilai yang digunakan adalah h
d. Bila selisih angka kredit hasil penilaia Penilai lebih dari 20%, maka nilai akhir penilaian penilai ketiga dengan memp kedua penilai sebelumnya. Contoh: Penilai A memberi nilai angka kre Unsur Utama sebesar 150 dan Unsu Penilai B memberi angka kredit 15 Utama sebesar 125 dan Unsur Penu Mengingat selisih antara penilai A (155) lebih besar dari 20% ((155maka Ketua Tim Penilai menunjuk Hasil penilai C adalah nilai akhir yan e. f.
Hasil penilaian disampaikan kepada Ke bentuk Konsep PAK. Sekretaris Tim membuat PAK lalu disa yang berwenang untuk menandatangan oleh Ketua Tim. Hasil setiap pertemuan penilaian haru Risalah Pertemuan dan disimpan oleh Se
11. Prosedur penilaian angka kredit dilakukan m berikut: a. penerimaan berkas usulan; b. pemeriksaan kelengkapan administrasi da c. pengembalian berkas usulan dari tim pe persyaratan; d. pembuatan lembar pengantar penilaian ya Ketua Sekretariat selaku sekretaris tim p
BAB V PEMBINAAN KARIR JABATAN FUNG PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHA
Penguji K3 sebagai pejabat fungsional dituntu memberikan kinerja maksimal dalam melaksa Pelaksanaan tugasnya tersebut menjadi bagian d mereka sehingga dicapai karir yang tinggi. Penge dilakukan berbasis fungsional.
A. Pengangkatan Pertama dalam Jabatan Fungsional Pengangkatan pertama seorang PNS ke dalam K3 dapat dilakukan apabila PNS bersa persyaratan yang ditentukan sebagai berikut: 1. berijazah paling rendah Sarjana Strata 1 (SI dengan kualiikasi yang ditentukan oleh unit rendah memiliki pangkat Penata Muda golo 2. bekerja di bidang K3 minimal 2 (dua) tahun 3. melampirkan surat pernyataan tugas di bida 4. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan (d Penguji K3 dan dinyatakan lulus diklat yan Instansi Pembina atau instansi lain yang tel Instansi Pembina; 5. setiap unsur penilaian prestasi kinerja /SKP) paling kurang bernilai baik dalam 1 6. usia calon Penguji K3 paling tinggi 50 (lim 7. memenuhi kelengkapan administrasi, yaitu SK PNS, SK Pangkat terakhir, dan daftar riw 8. tingkat jabatan Fungsioal Penguji K3 yang d angka kredit yang ditentukan; 9. diputuskan dalam sidang Tim Penilai Pusat Instansi/Daerah bagi instansi yang sudah penilaian dan penetapan angka kredit da dengan surat keputusan instansi pembina; 10. TMT jabatan Fungsional Penguji K3 diteta
6.
telah mengikuti pendidikan dan pelatihan (d Penguji K3 dan dinyatakan lulus diklat Instansi Pembina atau instansi lain yan Instansi Pembina; 7. memenuhi kelengkapan administrasi, yaitu K SK PNS, SK Pangkat terakhir, dan daftar riw 8. tingkat jabatan Fungsioal Penguji K3 yang di angka kredit yang ditentukan; 9. diputuskan dalam sidang Tim Penilai Pusat d Instansi/Daerah bagi instansi yang sudah penilaian dan penetapan angka kredit da dengan surat keputusan instansi pembina; 10. melampirkan surat pernyataan alih jabatan jabatan kejabatan fungsional Penguji K3 y pimpinan unit kerja tertinggi yang bersangku 11. TMT jabatan fungsional Penguji K3 ditetapk berikutnya setelah sidang. 12. bagi calon pejabat fungsional Penguji K3 menduduki jabatan struktural dan atau fun pengangkatan jabatan fungsional Penguji K persetujuan/pertimbangan teknis Kepala Ba (BKN)/Kepala Kan tor Regional Badan Kepega bersangkutan.
C. Kenaikan Jabatan dan Pangkat Kenaikan jabatan fungsional Penguji K3 da ketentuan sebagai berikut: 1. menduduki jabatan fungsional Penguji K3 paling kurang sudah 2 (dua) tahun. 2. memiliki surat keputusan jabatan fungsiona berlaku. 3. memenuhi angka kredit yang ditentukan un setingkat lebih tinggi atau lebih. 4. Angka kredit yang diperoleh adalah angka sebelum TMT jabatan terakhir.
b. PNS Pusat yang menduduki jabatan fungs Pertama pangkat Penata Muda Golongan II Muda Tingkat I, Golongan Ruang Ill/b sampa Madya, pangkat Pembina Tingkat I Golonga dengan Keputusan Pejabat Pembina Kepegaw c. Kenaikan pangkat PNS daerah provinsi y fungsional Penguji K3 Ahli Pertama pangka ruang Ill/a untuk menjadi Penata Muda Ti Ill/b sampai dengan Penguji K3 Ahli Muda, pa ruang IV/a ditetapkan dengan keputu Kepegawaian daerah provinsi yang bersang persetujuan teknis Kepala Badan Kepegawa bersangkutan. d. Kenaikan pangkat PNS daerah kabupaten jabatan Penguji K3 Ahli Pertama pangkat ruang Ill/a untuk menjadi Penata Muda Ti Ill/b sampai dengan Penguji K3 Ahli Muda, pa ruang IV/a ditetapkan dengan keputu Kepegawaian daerah kabupaten/kota yan mendapat persetujuan teknis Kepala Bada (BKD) yang bersangkutan. 4.
Penguj i K3 yang memiliki angka kredit mel ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setin aturan sebagai berikut: a. Kelebihan angka kredit dapat diperhi jabatan/pangkat berikutnya. Contoh: Sdr. Kuswara, ST, NIP. 19751016 199 K3 Ahli Muda, pangkat Penata, golong mulai tanggal 1 April 2014. Pada wak Penata, golongan ruang III/c yang angka kredit sebesar 210. Adapun angka kredit kumulatif untuk Penata, golongan ruang III/c yakni 200.
c.
Berdasarkan penilaian prestasi kerja Ja 31 Desember 2012, Sdr. Fachri, S.Si kredit sebesar 45 sehingga dalam tah yang didudukinya 31 Maret 2013 telah dapat dipertimbangkan untuk kenaika golongan ruang III/c yakni sebesar 205. Dalam hal demikian, pada tahun k didudukinya 31 Maret 2014 untuk Penata, golongan ruang III / c s mengumpulkan angka kredit paling ku kredit. Syarat kenaikan jabatan sebagaimana dimak adalah paling kurang telah 2 (dua) tahun da penilaian kinerja (Sasaran Kinerja Pegawai/SK (satu) tahun terakhir.
D. Pembebasan Sementara Pembebasan sementara karena tidak dapat meng diberikan kepada pejabat fungsional Penguji K3 be 1. Penguji K3 Ahli Pertama-III/a sampai dengan Pe IV/b, dibebaskan sementara dari jabatanny waktu 5 (lima) tahun berturut-turut tidak dap kredit minimal yang ditentukan untuk kenaik lebih tinggi. Contoh: Sdr. Drs. Agus Wijaksono, M.Si, NIP. pangkat Pembina, golongan ruang IV/ Oktober 2008, jabatan Kabid Pelayana K3. Yang bersangkutan diangkat d Penguji K3 Ahli Muda terhitung mulai angka kredit sebesar 285. Mengingat jenjang jabatan yang bers pangkat yang dimiliki maka apabila d tahun sejak diangkat dalam Jabatan F Muda yaitu 1 Juni 2009 sampai denga
3. Penguji K3 Madya IV/a sampai dengan Peng telah berusia 58 tahun atau lebih tidak d kredit yang dipersyaratkan maka dibebask (satu) tahun dari jabatan Penguji K3 dan menambah angka kredit yang ditentukan. 4. Pembebasan sementara bagi Penguji K3 seb angka 1, angka 2 dan angka 3 didahului de oleh instansi yang bersangkutan paling lamba batas waktu pembebasan sementara diberlaku 5. Pada masa pembebasan sementara sebag angka 1, angka 2 dan angka 3, Penguji K3 melaksanakan tugas Penguji K3 dengan m tanpa memperoleh tunjangan jabatan. 6. Pembebasan sementara dari jabatan Penguji apabila: a. dijatuhi hukuman disiplin PNS berupa sedang dan berat berupa penurunan pan peraturan perundang-undangan tentang b. diberhentikan sementara sebagai PNS s perundang-undangan; c. ditugaskan secara penuh di luar jabatan d. cuti di luar tanggungan negara kecuali dan seterusnya; e. menjalani tugas belajar lebih dari 6 (ena pada bulan ke tujuh setelah TMT tugas b f. ditugaskan secara penuh di luar unit Pen secara penuh sebagai pejabat struktu pada bulan pertama setelah yang ber pejabat struktural yang dimaksud ; atau g. angka kredit yang diperoleh Penguji K3 sementara dapat diajukan sebagai an jabatan setingkat lebih tinggi atau lebi atau bersamaan dengan proses aktif kem 7. Pembebasan sementara bagi Penguji K3 A dengan Penguji K3 Ahli Madya IV/c dite
F. Pemberhentian dari Jabatan Fungsional Penguji K 1. Seorang Penguji K3 yang dijatuhi hukuman telah memiliki kekuatan hukum tetap se perundang-undangan tentang disiplin PNS disiplin berupa penurunan pangkat dan dib Penguji K3. 2. Bagi Penguji K3 yang diberhentikan setel pembebasan sementara karena tidak mem kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi ata mengajukan kembali usulan jabatan Peng 3. Seorang Penguji K3 yang mencapai Batas U dengan peraturan perundang-undangan tent yang mencapai batas usia pensiun ba diberhentikan dari jabatan Penguji K3. 4. Bagi Penguji K3 Ahli Madya yang pada sa Penguji K3 usianya sudah melebihi 58 (lima diberhentikan sebagai PNS dengan kepegawaian sesuai dengan peraturan p berlaku. 5. Pemberhentian pejabat fungsional Penguji dengan Penguji K3 Ahli Madya ditetapka Kepegawaian Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
G. Pengangkatan Kembali dalam Jabatan Fungsional Pejabat fungsional Penguji K3 dapat dib jabatannya disebabkan tidak dapat mena dipersyaratkan dan karena hukuman disiplin. 1. Pejabat fungsional Penguji K3 yang dibe j abatannya disebabkan tidak dapat menam dipersyaratkan untuk kenaikan jabatan set lebih dapat diangkat kembali ke dalam jaba tingkat lebih tinggi atau lebih dari jab berdasarkan ketentuan sebagai berikut: a. semua persyaratan yang diwajibkan fungsional Penguji K3 satu tingkat atau l
c.
d. e.
apabila telah melampaui TMT masa jab wajib menambah angka kredit setingkat jabatan semula paling lambat 1 (satu disiplin tersebut berakhir; usia Penguji K3 masih dibawah Batas U dengan peraturan yang berlaku; melampirkan surat keputusan pembeba pangkat terakhir, serta surat keputusa kembali di unit yang bersangkutan.
H. Pemberhentian Tetap dari Jabatan Fungsional Pen Perekayasa akan diberhentikan dari jabatan f bersangkutan: 1. dalam waktu 1 (satu) tahun setelah pembe kurang angka kredit bagi Penguji K3 Ahli Ill/a sampai dengan Penguji K3 Ahli Madya, dapat memenuhi angka kredit yang pangkat / j abatan; 2. dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat kekuatan hukum tetap berupa pemberhen peraturan perundang-undangan tentang disipl 3. dijatuhi hukuman penjara atau kurungan berd pengadilan yang telah mempunyai kekuatan 4. berhenti dari PNS karena permintaan sendiri 5. mengajukan permohonan berhenti sebagai P I.
Batas Usia Pensiun (BUP) BUP bagi Pejabat Fungsional Penguji K3: BUP untuk Pejabat Fungsional Penguji K3 A Ahli Madya adalah 60 tahun.
J.
Pembinaan Karir Pejabat Fungsional Penguji K3 Untuk menjamin adanya persamaan perseps dalam pembinaan fungsional Penguji K3 m instansi pembina jabatan fungsional Penguji K
10. evaluasi dan fasilitasi pengusulan tunjangan jabatan fungsional Penguji K3; 11. evaluasi dan monitoring penerapan standar dan kode etik pengujian K3, pedoman teknis pengujian, dan administrasi jabatan fungsional Penguji K3; 12. sosialisasi dan bimbingan penerapan metodologi, standar, pedoman teknis pengujian K3, kode etik, dan organisasi profesi Pengujian K3.
BAB VI PENUTUP PETUNJUK TEKNIS JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DAN ANGKA KREDITNYA Petunjuk teknis ini disusun sebagai pedoman bagi: 1. Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit; 2. Tim penilai; 3. Pejabat yang mengusulkan angka kredit; dan 4. Pejabat fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja, pada Kementerian, instansi pusat selain Kementerian, dan instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan, pengusulan, dan penilaian jabatan fungsional Penguji K3. Demikian petunjuk pelaksana teknis ini disusun untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI IJalimn sesuai dengan aslinya a Biro Hukum, A
r S
*
Budiman, SH 19600324 198903 1 001
33
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PENYESUAIAN JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peraturan Bersama Menteri Ketenagakerjaan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2015 dan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka Kreditnya, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penyesuaian Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
2.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
3.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5949);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2797);
6. Peraturan Pemeintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5121); 7.
Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4015), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4332);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4016), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 188, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5467); 9.
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4017), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4193);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4019); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 164); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5258); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2014 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang Mencapai Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Fungsional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 58); 17. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2015 tentang Kementerian Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 19); 18. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 235); 19. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019; 20. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka kreditnya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1799); MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PENYESUAIAN JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA. Pasal 1
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penyesuaian Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan pedoman bagi: 1. Pejabat pembina jabatan fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja 2. Pejabat yang membidangi kepegawaian; 3. Tim penilai angka kredit jabatan fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja; 4. Pejabat fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja,
pada Kementerian Ketenagakerjaan, instansi pusat selain Kementerian Ketenagakerjaan, dan instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyesuaian jabatan fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pasal 2 Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penyesuaian Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 3 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2015 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIFDHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 521
Salman sesuai dengan aslinya r Ke^&lapfp Hukum, L, t *v
'
N
^
SH ^19&30324 198903 1 001
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PENYESUAIAN JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 3 Peraturan Bersama Menteri Ketenagakerjaan dan Kepala badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2015 dan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka Kreditnya mengamanatkan untuk pengaturan lebih lanjut oleh Menteri Ketenagakerjaan atas hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka Kreditnya. Ruang lingkup Peraturan Bersama 2 (dua) Menteri dimaksud meliputi: 1. Tugas Pokok, Jenjang Jabatan dan Pangkat, Golongan Ruang Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 2. Penilaian Angka Kredit bagi Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang Melaksanakan Tugas Tidak Sesuai dengan Jenjang Jabatan. 3. Pejabat yang Berwenang Mengangkat Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Penguji Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 4. Pengusulan, Penilaian dan Penetapan Angka Kredit. 5. Spesimen Pejabat Berwenang Menetapkan Angka Kredit, Tim Penilai, Tugas Tim Penilai dan Tim Teknis. 6. Kenaikan Pangkat, Kenaikan Jabatan, dan Angka Kredit Pengembangan Profesi. 7. Pembebasan Sementara dan Penurunan Jabatan, 8. Pengangkatan Kembali. 9. Pemberhentian. 10. Penyesuaian dalam Jabatan dan Pangkat. Ketentuan yang mengatur penyesuaian dalam jabatan dan pangkat sebagaimana dimaksud pada angka 10 di atas, diatur hal-hal antara lain: 1. persyaratan dapat disesuaikan (di-inpassing) dalam jabatan fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan angka masa kerja; 2. angka kredit komulatif; 3. masa kerja untuk dapat disesuaikan; 4. pemberlakuan penyesuaian. Sehubungan uraian di atas, pelaksanaan penyesuaian dalam jabatan dan pangkat fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan diperlukan suatu petunjuk teknis pelaksanaan yang diatur oleh Menteri Ketenagakerjaan sebagai pembina jabatan fungsional Peguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Petunjuk teknis pelaksanaan ini kemudian akan menjadi pedoman dalam melakukan pembinaan dan pengembangan karier
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjalankan tugas pengujian keselamatan dan kesehatan kerja serta kompetensi keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. B. Maksud dan Tujuan 1.
Maksud penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan ini adalah untuk mewujudkan keseragaman persepsi/pemahaman dan mekanisme dalam pembinaan dan pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjalankan tugas pengujian keselamatan dan kesehatan kerja serta kompetensi keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Tujuan penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan ini adalah untuk digunakan sebagai pedoman bagi: a. Pejabat pembina jabatan fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja; b. Tim penilai angka kredit jabatan fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja; c. Pejabat fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja, pada Kementerian Ketenagakerjaan, instansi pusat selain Kementerian Ketenagakerjaan, dan instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyesuaian jabatan fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja. C. Pengertian Dalam petunjuk teknis pelaksaaan ini yang dimaksud dengan: 1.
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
2.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
3.
Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
5.
Penguji K3 adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk melakukan kegiatan pengujian K3 dan kompetensi K3.
6.
Kompetensi K3 adalah pengembangan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap/perilaku K3 dalam pelaksanaan profesi di bidang K3.
7.
Pengujian adalah serangkaian kegiatan penilaian suatu obyek secara teknis atau medis yang mempunyai risiko bahaya dengan cara memberi beban uji atau dengan teknik pengujian lainnya sesuai dengan ketentuan teknis atau medis yang telah ditentukan.
8.
Penyesuaian Penguji K3 yang selanjutnya disebut penyesuaian (inpassing) Penguji K3 adalah proses penyesuaian PNS dalam pangkat/ golongan yang dimiliki dengan jenjang dan jabatan fungsional penguji K3.
9.
Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional penguji K3 dalam rangka pembinaan karier yang bersangkutan.
10. Pejabat yang menetapkan angka kredit adalah pejabat yang berwenang atau pejabat lain yang ditunjuk menetapkan angka kredit bagi jabatan fungsional Penguji K3. 11. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Penguji K3 adalah tim penilai yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan bertugas menilai prestasi kerja pejabat fungsional Penguji K3. 12. Pejabat Pembina Jabatan Fungsional Penguji K3 adalah Menteri cq. Direktur Jenderal untuk pusat, Gubernur untuk daerah provinsi, dan Bupati/Walikota untuk daerah kabupaten/kota. 13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. 14.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bina Pengawasan Ketenakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
15. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. 16. Instansi Pusat selain Kementerian adalah kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor atau lapangan usaha tertentu. 17. Instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota adalah instansi yang bertanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
BAB II PENYESUAIAN {INPASSING) DALAM JABATAN DAN PANGKAT A.
Tata Cara Penyesuaian [Inpassing] 1.
PNS yang dapat disesuaikan {di-inpassing) dalam jabatan fungsional Penguji K3 yaitu PNS yang pada saat ditetapkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Angka Kreditnya telah dan masih menjalankan tugas di bidang K3 atau melaksanakan tugas pengujian K3 serta kompetensi K3.
2.
PNS yang akan disesuaikan (di-inpassing) dalam jabatan fungsional Penguji K3 harus memenuhi persyaratan: a. berijazah paling rendah Sarjana Strata Satu (SI)/Diploma IV; b. pangkat paling rendah penata muda, golongan ruang Ill/a; c. pengalaman kerja minimal 3 (tiga) tahun di bidang K3. d. tidak sedang menjalani/dijatuhi hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dengan tingkat hukuman disiplin sedang atau berat pada masa penyesuian {inpassing); e. tidak sedang menjalani pembebasan sementara dari jabatan fungsional tertentu; f. tidak sedang menjalankan tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan pada masa penyesuaian (inpassing) (1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015). g. tidak sedang menjalani cuti diluar tanggungan negara pada masa penyesuaian {inpassing). h. penilaian prestasi kerja (Sasaran Kinerja Pegawai/SKP) paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.
3.
Pejabat pembina jabatan fungsional Penguji K3 pusat, provinsi dan kabupaten/kota menyampaikan usul kepada Menteri untuk mendapatkan rekomendasi, dengan melampirkan berkas/dokumen: a. surat pernyataan dari atasan langsung dan/atau pimpinan unit kerja /instansi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan masih dan telah menjalankan tugas di bidang K3 atau melaksanakan tugas pengujian K3 dan kompetensi K3 berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang. Contoh bentuk surat pernyataan sebagaimana Format 1 Lampiran Peraturan Menteri ini. b. fotocopy ijazah paling rendah Sarjana Strata Satu (Sl)/Diploma IV; c. fotocopy surat keputusan kenaikan pangkat terakhir; d. fotocopy penilaian prestasi kerja (Sasaran Kinerja Pegawai/SKP) 1 (satu) tahun terakhir yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang; e. fotocopy surat keputusan pengangkatan dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional lainnya; f. surat pernyataan bersedia diangkat dalam jabatan fungsional penguji K3, tidak rangkap jabatan, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas. Contoh bentuk surat pernyataan sebagaimana Format 2 Lampiran Peraturan Menteri ini.
4.
Berkas/dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan verifikasi oleh Pejabat yang membidangi kepegawaian di Kementerian.
8
5.
Sehubungan dengan pengajuan usulan rekomendasi kepada Menteri, Pejabat yang membidangi kepegawaian di Kementerian sebagaimana dimaksud pada angka 4 juga melakukan veriikasi terhadap; a. kesesuaian antara PNS yang diusulkan dengan formasi jabatan fungsional Penguji K3; dan b. kesesuaian pendidikan, pangkat dan golongan ruang, masa kerja kepangkatan terakhir untuk menentukan jenjang jabatan dan jumlah angka kredit dalam jabatan fungsional Penguji K3.
6.
Sehubungan dengan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada angka 3, Menteri melakukan penilaian administrasi terhadap formasi jabatan fungsional Penguji K3 yang kosong.
7.
Penilaian administrasi sebagaimana dimaksud pada angka 6 diberikan oleh Menteri cq. Direktorat Jenderal dibuat dalam bentuk formulir. Contoh bentuk formulir sebagaimana Format 3 Lampiran Peraturan Menteri ini.
8.
Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5 yang dinyatakan tidak lengkap dan tidak sesuai, maka Menteri cq. Biro Organisasi dan Kepegawaian mengembalikan usulan penyesuaian (inpassing) Penguji K3 kepada Pejabat Pembina Jabatan Fungsional Penguji K3 yang mengajukan usul dengan disertai alasan pengembalian usulan.
9.
Apabila hasil veriikasi sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5 dinyatakan lengkap dan sesuai, maka Menteri dapat memberikan rekomendasi kepada PNS bersangkutan untuk dilakukan penyesuaian (inpassing) Penguji K3. Contoh surat rekomendasi Menteri atas penyesuaian (inpassing) Penguji K3 sebagaimana Format 4 Lampiran Peraturan Menteri ini.
10. Berdasarkan rekomendasi Menteri sebagaimana dimaksud pada angka 9, Pejabat Pembina Jabatan Fungsional Penguji K3 pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota menetapkan pengangkatan penyesuaian (inpassing) penguji K3 kepada PNS bersangkutan. B.
Jangka Waktu Penyesuaian (Inpassing) Penguji K3 Batas waktu pengusulan penyesuaian (inpassing) Penguji K3 dilakukan paling lambat pada tanggal 3 Agustus 2015.
C.
Perhitungan Angka Kredit Kewajiban pengumpulan angka kredit oleh PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional Penguji K3 melalui jalur penyesuaian (inpassing) Penguji K3 ditentukan berdasarkan perhitungan sebagai berikut: 1. Kewajiban pemenuhan angka kredit kumulatif sekurang-kurangnya sebesar 10% dari jumlah angka kredit untuk kenaikan pangkatnya setingkat lebih tinggi, pada akhir tahun pertama, terhitung mulai tanggal yang bersangkutan diangkat sebagai jabatan fungsional Penguji K3.
2.
Kewajiban pemenuhan angka kredit kumulatif sekurang-kurangnya sebesar 30% (10% pada tahun pertama dan 20% pada tahun kedua) dari jumlah angka kredit untuk kenaikan pangkatnya setingkat lebih tinggi, pada akhir tahun kedua, terhitung mulai tanggal yang bersangkutan diangkat sebagai jabatan fungsional Penguji K3.
3.
Kewajiban pemenuhan angka kredit kumulatif sekurang-kurangnya sebesar 60% (10% pada tahun pertama, 20% pada tahun kedua, dan 30% pada tahun ketiga) dari jumlah angka kredit untuk kenaikan pangkatnya setingkat lebih tinggi, pada akhir tahun kedua, terhitung mulai tanggal yang bersangkutan diangkat sebagai jabatan fungsional Penguji K3.
BAB III PENUTUP Petunjuk pelaksana teknis ini disusun sebagai pedoman bagi: 1 Pejabat pembina jabatan fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja; 2 Pejabat yang membidangi kepegawaian; 3 Tim penilai angka kredit jabatan fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja; 4 Pejabat fungsional penguji keselamatan dan kesehatan kerja, pada Kementerian Ketenagakerjaan, instansi pusat selain Kementerian Ketenagakerjaan, dan instansi daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyesuaian jabatan fungsional Penguji K3. Demikian petunjuk pelaksana teknis ini disusun untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
SaKVj&Q sesuai dengan aslinya a Bipe Hukum, V L_
f
^ '.
»A
/
^—■■
i_.
^^
/
\v
'
/■'■■"'
,' ^diman, SH -Nlf ^00324 198903 1 001 cv
10
Format 1 SURAT PERNYATAAN ATASAN/PIMPINAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIP Instansi Jabatan menyatakan bahwa Nama NIP Pangkat/Gol. Ruang TMT Unit Kerja telah dan masih menjalankan tugas di bidang keselamatan dan kesehatan kerja untuk disesuaikan (di-inpassing) dalam jabatan fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Yang membuat pernyataan
NIP.
11
Format 2 SURAT PERNYATAAN BERSEDIA DIANGKAT Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIP Pangkat/Gol. Ruang TMT Unit Kerja Dengan ini menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa saya: 1. bersedia diangkat dalam jabatan fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); 2. tidak rangkap jabatan, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional lainnya; 3. bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengujian keselamatan dan kesehatan kerja. Demikian surat pernyataan sebagaimana mestinya.
ini
saya
buat untuk
dapat
dipergunakan
Yang membuat pernyataan
NIP.
12
Format 3 PENILAIAN ADMINISTRASI FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nama NIP Pangkat/Gol. Ruang Jabatan Umur TMT Masa Kerja Pendidikan Terakhir Pengalaman Kerja
Lampiran: 1) fotocopy ijazah pendidikan formal; 2) fotocopy SK Kenaikan Pangkat Terakhir; 3) fotocopy SK Pengangkatan dalam Jabatan Struktural dan Jabatan Fungsional; 4) fotocopy penilaian kinerja (Sasaran Kinerja Pegawai/SKP) 1 (satu) tahun terakhir.
*
**
*%
Mengetahui (eselon II)
NIP.
NIP.
13
Format 4 REKOMENDASI PENYESUAIAN {INPASSING) JABATAN PENGUJI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
A
j«bHP'
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA * *?
Nomor Hal
■ ■ •*
j
*
**
: : Rekomendasi
Yth. Pejabat Pembina Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Berdasarkan Surat usulan dari Pejabat Pembina Jabatan Fungsional Penguji Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nomor ... tanggal ... hal kepada Pegawai Negeri Sipil dengan data sebagai berikut: NO
NAMA
1.
2
PANGKAT/ GOL. RUANG 3
,
ANGKA KREDIT 5
JENJANG JABATAN 4
1. 2 dst dapat disesuaikan Kesehatan Kerja.
dalam
jabatan
Demikian rekomendasi sebagaimana mestinya.
ini
fungsional
dibuat
Penguji
untuk
Keselamatan
dapat
dan
dipergunakan
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
M. HANIF DHAKIRI Tembusan: 1. Kepala Dinas Ketenagakerjaan yang bersangkutan; 2. Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota atau Biro/Bagian Kepegawaian Instansi yang bersangkutan;*) 3. Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit; 4. Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara/Kepala Biro/Bagian Keuangan Daerah yang bersangkutan;*) 5. Pejabat Instansi yang berkepentingan. *)Coret yang tidak perlu atau disesuaikan.
14
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LISTRIK DI TEMPAT KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf q dan Pasal 3 ayat (1) huruf q Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Belakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1918); 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4279); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309);
6. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2015 tentang Kementerian Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 19); 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.02/MEN/1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER.04/MEN/1995 tentang Perusahaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
Nomor Jasa
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LISTRIK DI TEMPAT KERJA.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. 2.
Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber bahaya, termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.
3.
Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerj akan pekerj a/ buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerj akan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4.
Pembangkitan Listrik adalah kegiatan untuk memproduksi membangkitkan tenaga listrik dari berbagai sumber tenaga.
5.
Transmisi Listrik adalah kegiatan penyaluran tenaga listrik dari tempat pembangkit tenaga listrik sampai ke saluran distribusi listrik.
6.
Distribusi Listrik adalah kegiatan menyalurkan tenaga listrik dari sumber daya listrik besar sampai ke pemanfaat listrik.
dan
7. Pemanfaatan Listrik adalah kegiatan mengubah energi listrik menjadi energi bentuk lain. 8.
Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut PJK3 adalah Perusahaan yang usahanya di bidang jasa keselamatan dan kesehatan kerja untuk membantu pelaksanaan pemenuhan sy arat-sy ar at keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9. Instalasi Listrik adalah jaringan perlengkapan listrik yang membangkitkan, memakai, mengubah, mengatur, mengalihkan, mengumpulkan atau membagikan tenaga listrik. 10. Perlengkapan Listrik adalah setiap benda yang digunakan untuk keperluan pembangkitan, konversi, transmisi, distribusi atau pemanfaatan energi listrik. 11. Peralatan Listrik adalah barang pemanfaatan listrik yang merupakan unit lengkap dan dapat mengubah energi listrik menjadi energi bentuk lain. 12. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 13. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Listrik adalah Pengawas Ketenagakerjaan yang mempunyai keahlian khusus di bidang K3 listrik yang berwenang untuk melakukan kegiatan pembinaan, pemeriksaan, dan pengujian bidang listrik serta pengawasan, pembinaan, dan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 14. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. 15. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu Perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan Perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 16. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja bidang Listrik yang selanjutnya disebut Ahli K3 bidang Listrik adalah tenaga teknis dari luar instansi yang membidangi ketenagakerjaan yang mempunyai keahlian di bidang K3 listrik yang ditunjuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 17. Teknisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik yang selanjutnya disebut Teknisi K3 Listrik adalah tenaga teknis yang mempunyai keterampilan di bidang K3 listrik dan memiliki lisensi dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 18. Dinas Provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
3
19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 2 Pengusaha dan/atau Pengurus wajib melaksanakan K3 listrik di tempat kerja. Pasal 3 Pelaksanaan K3 listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan: a. melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja dan orang lain yang berada di dalam lingkungan tempat kerja dari potensi bahaya listrik; b. menciptakan instalasi listrik yang aman, handal dan memberikan keselamatan bangunan beserta isinya; dan c. menciptakan tempat kerja yang selamat dan sehat untuk mendorong produktivitas.
BAB II RUANG LINGKUP Pasal 4 (1) Pelaksanaan K3 listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 merupakan pelaksanaan persyaratan K3 yang meliputi: a. perencanaan, pemasangan, penggunaan, perubahan, pemeliharaan; b. pemeriksaan dan pengujian. (2) Persyaratan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada kegiatan: a. pembangkitan listrik; b. transmisi listrik; c. distribusi listrik; dan d. pemanfaatan listrik; yang beroperasi dengan tegangan lebih dari 50 (lima puluh) volt arus bolak balik atau 120 (seratus dua puluh) volt arus searah.
BAB III PERENCANAAN, PEMASANGAN, PENGGUNAAN, PERUBAHAN, DAN PEMELIHARAAN Pasal 5 (1) Kegiatan perencanaan, pemasangan, penggunaan, perubahan, dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a yang dilaksanakan pada kegiatan pembangkitan, transmisi, distribusi dan pemanfaatan listrik wajib mengacu kepada standar bidang kelistrikan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat instalasi, perlengkapan, dan peralatan listrik.
(1) dilakukan terhadap
(3) Standar bidang kelistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Standar Nasional Indonesia; b. Standar Internasional; dan/atau
4
c. Standar Nasional Negara lain yang Ketenagakerjaan Spesialis K3 Listrik.
ditentukan
oleh
Pengawas
Pasal 6 (1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat dilakukan pada pemasangan dan perubahan untuk kegiatan pembangkitan, transmisi, distribusi dan pemanfaatan listrik.
(1) wajib
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dilakukan pada penggunaan untuk kegiatan pembangkitan, transmisi, distribusi dan pemanfaatan listrik. (3) Perencanaan, pemasangan, perubahan, dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan oleh: a. Ahli K3 bidang Listrik pada Perusahaan; atau b. Ahli K3 bidang Listrik pada PJK3. (4) Dalam hal kegiatan yang dilaksanakan berupa pemasangan dan pemeliharaan pada pembangkitan, transmisi, distribusi dan pemanfaatan listrik, dapat dilakukan oleh: a. Teknisi K3 Listrik pada perusahaan; atau b. Teknisi K3 Listrik pada PJK3. Pasal 7 Untuk perusahaan yang memiliki pembangkitan listrik lebih dari 200 (dua ratus) kilo Volt-Ampere wajib mempunyai Ahli K3 bidang Listrik. Pasal 8 Ketentuan dan tata cara penunjukan PJK3, Ahli K3 bidang Listrik dan Teknisi K3 Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN Pasal 9 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b merupakan kegiatan penilaian dan pengukuran terhadap instalasi, perlengkapan dan peralatan listrik untuk memastikan terpenuhinya standar bidang kelistrikan dan ketentuan peraturan perundang-undangan (2) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b merupakan kegiatan penilaian, perhitungan, pengetesan dan pengukuran terhadap instalasi, perlengkapan dan peralatan listrik untuk memastikan terpenuhinya standar bidang kelistrikan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan pada perencanaan, pemasangan, penggunaan, perubahan, dan pemeliharaan untuk kegiatan pembangkitan, transmisi, distribusi dan pemanfaatan listrik.
5
(4) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu kepada standar bidang kelistrikan dan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 10 (1) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh: a. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Listrik; b. Ahli K3 bidang Listrik pada Perusahaan; dan/atau c. Ahli K3 bidang Listrik pada PJK3. (2) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan: a. sebelum penyerahan kepada pemilik/pengguna; b. setelah ada perubahan/perbaikan; dan c. secara berkala.
(1)
(3) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Listrik dan Ahli K3 bidang Listrik pada PJK3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c digunakan sebagai bahan pertimbangan penerbitan pengesahan dan/atau pembinaan dan/atau tindakan hukum. (4) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b yang dilakukan oleh Ahli K3 bidang Listrik pada Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan sebagai bahan pertimbangan pembinaan dan/atau tindakan hukum oleh Pengawas Ketenagakerjaan. (5) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Kepala Dinas Provinsi. Pasal 11 (1) Pemeriksaan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c dilakukan paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. (2) Pengujian secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c dilakukan paling sedikit 5 (lima) tahun sekali. (3) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi. (4) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan sebagai bahan pertimbangan pembinaan dan/atau tindakan hukum oleh Pengawas Ketenagakerjaan Pasal 12 Perusahaan yang menggunakan perlengkapan dan peralatan listrik wajib menggunaKan periengKapan aan peraiata] listrik yang telah mempunyai sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga atau berwenan
6
BAB V PENGAWASAN Pasal 13 Pengawasan pelaksanaan K3 listrik di tempat kerja dilaksanakan oleh Pengawas Ketenagakerjaan. BAB VI SANKSI Pasal 14 Pengusaha dan/atau pengurus yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.75/MEN/2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Nomor SNI 04-0225-2000 mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 16 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 April 2015 MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
7
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN,DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
a.
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (6), Pasal 27 ayat (2), Pasal 30 ayat (4), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (2), Pasal 45 ayat (5) dan Pasal 57 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan
Program
Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelengaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015; b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
-2-
Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor
150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2.
Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 3,
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor
154, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5714); 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5716) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5730);
5,
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
-3-
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN, DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketengakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun.
2.
Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
3.
Jaminan Kematian yang selanjutnya disingkat JKM adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,
4.
Jaminan Hari Tua yang selanjutnya disingkat JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat Peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
5.
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
-4-
6.
Pemberi Kerj a Selain Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha atau badan-badan lainnya ■
yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7.
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerj a paling singkat 6
(enam) bulan di
Indonesia yang telah membayar iuran. 8.
Pekerja adalah setiap orang yang bekerj a dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
9.
Kecelakaan Kerj a adalah kecelakaan yang terj adi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja,
10.
Penyakit Akibat Kerj a adalah penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
11.
Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota
yang secara
langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. 12.
Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta dan/atau pemberi kerja.
13.
Upah adalah hak pekerj a yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
14.
Dokter Pemeriksa adalah dokter yang memeriksa dan/atau merawat pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
-5-
15. Dokter Penasehat adalah dokter yang diangkat oleh Menteri Ketenagakerjaan yang mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan pertimbangan medis dalam menentukan besarnya persentase kecacatan akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. 16. Petugas Pemeriksa BPJS Ketenagakerjaan adalah Pegawai BPJS Ketenagakerjaan yang diangkat oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan dan ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas kepatuhan pemberi kerja selain penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 17. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. BAB II PENDAFTARAN KEPESERTAAN Pasal 2 (1) Setiap Pemberi Kerja wajib • mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta dalam program JKK, JKM, dan JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan mengisi formulir sebagai berikut: a.
pendaftaran perusahaan;
b.
pendaftaran pekerja;
c.
rekapitulasi rincian pembayaran iuran; dan
d.
rincian iuran pekerja.
(2) Pemberi Kerja wajib menyampaikan formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diisi secara lengkap meliputi data dirinya, data pekerjanya dan anggota keluarganya kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima dari BPJS Ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan tanda
-6-
terima. (3)
BPJS Ketenagakerjaan wajib mengeluarkan nomor kepesertaan paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(4) Kepesertaan program JKK, JKM, dan JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mulai berlaku sejak nomor kepesertaan dikeluarkan. (5) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat dilakukan secara manual maupun elektronik Pasal 3 (1) Pendaftaran kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat
(1), BPJS Ketenagakerj aan
menetapkan besarnya iuran JKK sesuai dengan kelompok tingkat risiko lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun
2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. (2)
BPJS Ketenagakerjaan menerbitkan sertifikat kepesertaan bagi perusahaan, kartu kepesertaan bagi Pemberi Kerja dan seluruh pekerja paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(3)
Pemberi Kerja menyampaikan kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan kepada masing-masing peserta paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak diterima dari BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 4
(1)
Pekerja wajib menyampaikan perubahan data dirinya dan keluarganya secara lengkap dan benar kepada pemberi kerja paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadi perubahan.
-7-
(2) Pemberi Kerja wajib melaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan apabila terjadi: a.
perubahan data perusahaan;
b.
perubahan data pekerja;
c.
penambahan pekerja;
d.
pengurangan pekerj a karena pekerj a berhenti bekerj a atau meninggal dunia; dan
e.
perubahan data upah pekerja.
(3) Pelaporan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah data diterima dari peserta dan/atau setelah terjadi perubahan data. (4)
Dalam hal Pemberi Kerja tidak melaporkan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan terjadi resiko, BPJS Ketenagakerjaan menghitung manfaat berdasarkan data terakhir yang ada pada BPJS Ketenagakerj aan.
(5) Kekurangan pembayaran manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) menjadi tanggung jawab
Pemberi Kerja. Pasal 5 (1)
Pemberi Kerja yang memiliki perusahaan lebih dari 1 (satu) wajib ikut dalam program JKK dan JHT pada masing-masing perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pemberi Kerja yang memiliki perusahaan lebih dari 1 (satu) wajib ikut dalam program JKM pada salah satu perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Iuran JKK dan JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayar oleh masing-masing perusahaan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [aimana
(4)
dimaksud pada ayat (1) hanya diterbitkan 1 (satu) kali dengan diberikan kode khusus oleh BPJS Ketenagakerj aan.
-8-
Pasal 6 (1)
Pekerja penerima upah yang bekerja pada beberapa perusahaan wajib diikutsertakan dalam program JKK, JKM, dan JHT oleh masing-masing perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Iuran JKK, JKM, dan JHT dibayar oleh masing-masing perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3)
Kartu kepesertaan bagi pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diterbitkan 1 (satu) kali dengan
diberikan
kode
khusus
oleh
BPJS
Ketenagakerjaan. BAB III TATA CARA PELAPORAN DAN PENETAPAN JAMINAN BAGI PESERTA BPJS KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Jaminan Kecelakaan Kerja Pasal 7 (1)
Pemberi Kerja wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang menimpa pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak terjadinya kecelakaan kerja sebagai laporan tahap I.
(2)
Pemberi Kerja wajib melaporkan akibat kecelakaan kerj a atau penyakit akibat kerj a kepada BPJS Ketenagakerjaan dan Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak pekerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II, berdasarkan
surat
keterangan dokter
yang
menerangkan bahwa: a.
keadaan
Sementara
Tidak
(STMB) telah berakhir; b.
cacat total tetapj
c.
cacat sebagian anatomis;
Mampu
Bekerja
-9-
d.
cacat sebagian fungsi; atau
e.
meninggal dunia.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
sekaligus merupakan pengajuan manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerj aan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a.
fotokopi kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c.
surat
keterangan
dokter
yang
memeriksa/merawat dan/atau dokter penasehat; d.
kuitansi biaya pengangkutan;
e.
kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan; dan
f.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(4) Kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat dimintakan
penggantian
kepada
BPJS
Ketenagakerjaan dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan belum bekerj asama dengan BPJS Ketenagakerjaan karena di lokasi tempat terjadinya kecelakaan tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerj aan. (5) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lengkap, BPJS Ketenagakerjaan menghitung dan membayar kepada yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak
lengkap,
BPJS ketenagakerjaan
memberitahukan kepada Pemberi Kerja paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak laporan tahap II diterima. (7) Mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan baik secara manual dan/atau melalui media elektronik.
-10-
Bagian Kedua Jaminan Kematian Pasal 8 (1) Pemberi Kerja atau ahli waris melaporkan dan mengajukan permohonan manfaat JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan persyaratan sebagai beikut: a.
kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c.
surat keterangan kematian dari pejabat yang berwenang;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan ahli waris dari pejabat yang berwenang; dan
f.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(2) Berdasarkan pelaporan dan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPJS Ketenagakerjaan
membayar manfaat JKM kepada ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dipenuhinya persyaratan secara lengkap dan benar kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bagian Ketiga Jaminan Hari Tua Pasal 9 Tata
cara
dan
persyaratan
pembayaran
manfaat JHT
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan* BAB IV TATA CARA PELAPORAN DAN PENETAPAN JAMINAN BAGI PEKERJA BUKAN PESERTA BPJS KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Jaminan Kecelakaan Kerja Pasal 10 Pemberi Kerja yang dalam
belum mengikutsertakan pekerjanya
program JKK kepada
BPJS
Ketenagakerjaan,
-11-
apabila terjadi resiko terhadap pekerjanya, pemberi kerja wajib membayar hak pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1)
Pemberi Kerja atau pekerja atau ahli warisnya wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang menimpa pekerjanya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sej ak terj adinya Kecelakaan Kerj a sebagai laporan tahap I.
(2)
Pemberi Kerja atau Pekerja atau ahli warisnya wajib melaporkan akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak pekerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II, berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa: a.
keadaan
Sementara
Tidak
Mampu
Bekerja
(STMB) telah berakhir; b.
cacat total tetap;
c.
cacat sebagian anatomis;
d.
cacat sebagian fungsi; atau
e.
meninggal dunia.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pengawas Ketenagakerjaan melakukan
pemeriksaan dan penelitian atas kebenaran dari laporan tersebut. (4)
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian, Pengawas Ketenagakerjaan membuat penetapan besarnya manfaat JKK dan mewajibkan Pemberi Kerja untuk membayar hak pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tidak diterima salah satu pihak, pihak yang tidak
-12-
menerima dapat meminta penetapan Menteri. (6)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak, Bagian Kedua Jaminan Kematian Pasal 12
Dalam
hal
pekerjanya
Pemberi dalam
Ketenagakerjaan,
Kerja program
apabila
belum
mengikutsertakan
JKM
terjadi
kepada
resiko
BPJS
terhadap
pekerjanya, Pemberi Kerja wajib membayar hak pekerja i
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 (1) Ahli waris Pekerja wajib melaporkan dan mengajukan permohonan pembayaran manfaat JKM kepada Pemberi Kerj a dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
b.
surat keterangan kematian dari pejabat yang berwenang;
c.
fotokopi kartu keluarga;
d.
surat keterangan ahli waris dari pejabat yang berwenang; dan
e.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(2) Berdasarkan pelaporan dan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemberi Kerja wajib
membayar manfaat JKM kepada ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dipenuhinya persyaratan secara lengkap dan benar kepada Pemberi Kerja. (3)
Dalam hal Pemberi Kerja tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ahli waris Pekerja dapat melaporkan kepada Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(4) Berdasarkan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3),
Pengawas
Ketenagakerjaan
melakukan
-13-
pemeriksaan dan penelitian untuk mengetahui kebenaran dari pengaduan tersebut. (5) Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Pengawas
Ketenagakerjaan mewajibkan Pemberi Kerja untuk membayar manfaat jaminan kematian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BABV PEMBAYARAN MANFAAT Bagian Kesatu Manfaat JKK Pasal 14 (1) Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau menderita penyakit akibat kerja berhak atas manfaat JKK
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan. (2)
Peserta yang meninggal mendadak di tempat kerja dianggap sebagai Kecelakaan Kerja dan berhak atas manfaat JKK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
Pekerja pada saat bekerja di tempat kerja tibatiba meninggal dunia tanpa melihat penyebab dari penyakit yang dideritanya;
b.
Pekerja pada saat bekerja di tempat kerja mendapat serangan penyakit kemudian langsung dibawa ke dokter, atau unit pelayanan kesehatan atau rumah sakit dan tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam kemudian meninggal dunia. Pasal 15
(1) Dalam hal Pemberi Kerja menunggak iuran JKK sampai dengan 3 (tiga) bulan berturut-turut dan terjadi Kecelakan Kerja atau penyakit akibat kerja, BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat JKK kepada Peserta atau ahli warisnya.
-14-
(2) Dalam hal Pemberi Kerja yang menunggak iuran JKK lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut dan terjadi Kecelakan Kerja atau penyakit akibat kerja, Pemberi Kerja wajib membayar terlebih dahulu manfaat JKK kepada Peserta atau ahli warisnya. (3)
Dalam hal Pemberi Kerja telah melunasi seluruh tunggakan iuran dan denda yang menjadi kewajibannya, Pemberi Kerja dapat meminta penggantiannya kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(4)
Pemberi Kerja mengajukan permintaan penggantian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Pemberi Kerja membayar hak pekerja.
(5)
BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar penggantian manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 7 (tujuh) hari kerj a sej ak surat permintaan dan dokumen pendukung diteima secara lengkap dan benar oleh BPJS Ketenagakerjaan. Bagian Kedua Manfaat JKM Pasal 16
Peserta yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas manfaat JKM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 (1) Dalam hal Pemberi Kerja menunggak iuran JKM sampai dengan 3 (tiga) bulan berturut-turut dan peserta meninggal dunia bukan karena kecelakan kerja atau penyakit akibat kerja,
BPJS
Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat JKM kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. (2)
Dalam hal Pemberi Kerja yang menuiggak iuran JKM lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut dan peserta meninggal dunia bukan karena Kecelakan Kerja atau
-15-
penyakit akibat kerja wajib membayar terlebih dahulu manfaat JKM kepada ahli waris. (3)
Dalam hal Pemberi Kerja telah melunasi seluruh tunggakan iuran dan denda yang menjadi kewajibannya, Pemberi Kerja dapat meminta penggantiannya kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(4)
Pemberi Kerja mengajukan permintaan penggantian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Pemberi Kerja membayar hak pekerja.
(5)
BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar penggantian manfaat JKM sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak surat permintaan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap dan benar oleh BPJS Ketenagakerjaan. Bagian Ketiga
Pemberian dan Persyaratan Memperoleh Manfaat Beasiswa Pendidikan Anak Dalam Program JKK dan JKM Pasal 18 (1)
Pekerja yang meninggal dunia atau cacat total tetap akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak mendapat manfaat beasiswa pendidikan anak.
(2) Persyaratan untuk memperoleh manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
pekerja memiliki anak usia sekolah;
b.
umur anak pekerja maksimal 23 tahun;
c.
berlaku hanya untuk 1 (satu) orang anak;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi; dan
f.
belum menikah,
(3) Besarnya beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebesar Rpl2.000.000,00
(dua belas juta rupiah) dibayarkan sekaligus dan
-16-
diberikan hanya 1 (satu) kali selama menjadi Peserta. (4) Dalam hal perusahaan menunggak iuran lebih dari 3 (tiga)
bulan,
manfaat
beasiswa
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah Pemberi Kerja melunasi tunggakan iuran beserta denda. Pasal 19 (1)
Pemberi Kerja dan/atau ahli waris Pekerja mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa
pendidikan
anak kepada BPJS
Ketenagakerjaan. (2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Ketenagakerjaan waj ib membayar manfaat beasiswa pendidikan anak kepada Pekerja atau ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2). Pasal 20 (1)
Pekerja yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak mendapat manfaat beasiswa pendidikan anak apabila telah memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun.
(2) Persyaratan untuk memperoleh manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
pekerja memiliki anak usia sekolah;
b.
umur anak pekerja maksimal 23 tahun;
c.
berlaku hanya untuk 1 (satu) orang anak;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi; dan
f.
belum menikah.
(3) Besarnya beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebesar Rpl2.000,000,00
(dua belas juta rupiah) dibayarkan sekaligus dan diberikan hanya 1 (satu) kali.
-17-
(4) Dalam hal perusahaan menunggak iuran lebih dari 3 (tiga)
bulan, manfaat beasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah Pemberi Kerja melunasi tunggakan iuran beserta denda. Pasal 21 (1)
Pemberi Kerja dan/ atau ahli waris Pekerja mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa
pendidikan
anak kepada BPJS
Ketenagakerj aan, (2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat beasiswa pendidikan anak kepada Pekerja atau ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Bagian Keempat Penggantian Biaya Santunan Berupa Uang Pasal 22 (1)
Pemberi Kerja wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan dan santunan sementara tidak mampu bekerja. :antian santunan
(2)
berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS Ketenagakerjaan pada saat pelaporan Kecelakaan Kerja tahap 2 dengan melampirkan: a. kuitansi biaya pengangkutan dan pertolongan pertama pada kecelakaan; dan b.
bukti pembayaran upah selama pekerja tidak mampu bekerja atau santunan sementara tidak mampu bekerja.
-18-
(3) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), BPJS Ketenagakerj aan paling lambat
7
(tujuh) hari kerja melakukan verifikasi dan membayar penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VI PENYELESAIAN PERBEDAAN PENDAPAT DALAM PROGRAM JKK
Pasal 23 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja antara Pemberi Kerja dan/atau Pekerja/keluarganya dan/atau BPJS Ketenagakerjaan, salah satu pihak meminta
penetapan
kepada
Pengawas
penetapan
Pengawas
Ketenagakerj aan. (2)
Sambil
menunggu
Ketenagakerj aan, Pemberi Kerj a waj ib membayar terlebih
dahulu
biaya
pengangkutan,
biaya
pertolongan pertama pada kecelakaan, dan santunan sementara tidak mampu bekerja kepada pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas Ketenagakerjaan melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap kecelakaan dan bila diperlukan Pengawas Ketenagakerjaan dapat berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan.
(4) Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Pengawas
Ketenagakerjaan membuat penetapan Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja. (5)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tidak diterima oleh salah satu pihak, pihak yang tidak *
menerima dapat meminta penetapan kepada Menteri.
-19-
(6)
Dalam hal Menteri menetapkan Kecelakaan Kerja, BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar JKK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
Dalam hal Menteri menetapkan bukan Kecelakaan Kerja, BPJS Ketenagakerjaan melakukan koordinasi dengan BPJS Kesehatan terkait pelayanan kesehatan pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Pasal 24 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai persentase cacat akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja, Pekerja dapat meminta penetapan kepada Pengawas Ketenagakerj aan setempat.
(2)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas Ketenagakerjaan setempat meminta pertimbangan medis kepada Dokter Penasehat daerah untuk menetapkan persentase cacat.
(3) Berdasarkan pertimbangan medis Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pengawas
Ketenagakerjaan setempat membuat penetapan manfaat JKK berdasarkan persentase cacat. (4)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diterima salah satu pihak, pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan Menteri.
(5)
Penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan pemeriksaan, penelitian, data pendukung, dan bila diperlukan dapat meminta pertimbangan medis kepada Dokter Penasehat pusat.
-20-
(6) Berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri menetapkan besarnya manfaat JKK berdasarkan persentase cacat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Pasal 25 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai besarnya manfaat santunan berupa uang yang diterima oleh Pekerja atau keluarganya disebabkan adanya pelaporan upah yang tidak benar oleh Pemberi Kerj a kepada BPJS Ketenagakerj aan, Pekerja atau keluarganya dapat meminta perhitungan kembali kepada Pengawas Ketenagakerjaan setempat.
(2)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas Ketenagakerjaan melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh data upah sebagai dasar perhitungan manfaat santunan berupa uang.
(3)
Berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengawas Ketenagakerjaan setempat menghitung kembali besarnya manfaat santunan berupa uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diterima oleh Pemberi Kerja atau Pekerja atau keluarganya atau BPJS Ketenagakerj aan, pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan Menteri.
(5)
Dalam hal diperlukan, Menteri dapat memerintahkan Pengawas Ketenagakerjaan pusat untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian ulang.
(6)
Berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri membuat penetapan besarnya manfaat santunan berupa uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-21-
(7)
Dalam hal penetapan besarnya manfaat santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) lebih besar dari penetapan BPJS Ketenagakerjaan, kekurangannya wajib dibayar oleh Pemberi Kerja.
(8)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak. BAB VII PERTIMBANGAN MEDIS DAN MEKANISME KERJA DOKTER PENASEHAT Pasal 26
(1)
Dalam hal BPJS Ketenagakerjaan ragu terhadap besarnya persentase cacat dan diagnosis penyakit akibat kerja sehingga tidak dapat menghitung besarnya JKK dan memerlukan pertimbangan medis Dokter Penasehat, BPJS Ketenagakerjaan meneruskan kasus tersebut kepada Pengawas Ketenagakerjaan dengan melampirkan data medis dan data pendukung lainnya.
(2)
Data medis dan data pendukung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
laporan Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja tahap pertama dan tahap kedua;
b.
surat keterangan dokter pemeriksa;
c.
riwayat penyakit dan data rekam medis (medical record) Pekerja;
d.
riwayat pekerjaan Pekerja; dan
e.
data lain yang diperlukan.
(3) Pengawas Ketenagakerjaan meminta pertimbangan medis kepada Dokter Penasehat paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya penyerahan kasus dari BPJS Ketenagakerjaan dengan menggunakan formulir A sebagaimana
tercantum
Peraturan Menteri ini.
dalam
Lampiran
I
-22-
(4)
Dalam hal data belum lengkap, Pengawas Ketenagakerjaan mengembalikan data tersebut kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk dilengkapi.
(5)
BPJS Ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja melengkapi data dan menyerahkan kepada Pengawas Ketenagakerjaan untuk proses lebih
f
lanjut. (6)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Dokter Penasehat mempelajari data medis dan data pendukung lainnya dan bila diperlukan dapat berkonsultasi dengan dokter spesialis dan/atau melakukan pemeriksaan terhadap Pekerja.
(7)
Dokter Penasehat memberikan pertimbangan medis dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan teknis dan administratif dengan menggunakan formulir B sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 27
(1)
Pertimbangan medis Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (7) digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pengawas Ketenagakerjaan dalam membuat penetapan Kecelakan Kerja dan/atau penyakit akibat kerja.
(2)
Pengawas Ketenagakerjaan menyampaikan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 3 (tiga) hari kerja.
-23-
BABVIII PENYAMPAIAN DAN PENAN GANAN PENGADUAN Pasal 28 Dalam hal Peserta tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, Peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada BPJS Ketenagakerjaan melalui: a.
kantor BPJS Ketenagakerjaan setempat; dan
b.
media elektronik (telepon, email website, dll).
Pasal 29 (1)
Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Peserta tidak puas terhadap pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, Pemberi Kerja dan/ atau Pekerja
dapat
menyampaikan pengaduan secara lisan atau tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerj aan setempat dan/atau Kementerian Ketenagakerj aan. (2)
Di dalam pengaduan diuraikan ketidakpuasan Pemberi Kerja dan/atau Peserta terhadap pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan termasuk pelayanan terhadap hak normatif Pemberi Kerj a dan/atau Pekerja yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dilampirkan dengan bukti.
(3) Instansi
yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerj aan
menugaskan
Pengawas
Ketenagakerjaan untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian atas kebenaran dari pengaduan tersebut. (4) Apabila pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terbukti
kebenarannya,
instansi
yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan mengeluarkan teguran kepada BPJS Ketenagakerjaan agar melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-24-
(5) Dalam hal pengaduan tidak terbukti kebenarannya, instansi
yang bertanggungj awab di bidang
ketenagakerjaan memberikan jawaban tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Pekerja atas ketidakbenaran pengaduan tersebut. Pasal 30 (1)
Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Pekerja tidak puas terhadap pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Pemberi Kerja dan/atau Pekerja dapat menyampaikan pengaduan baik secara lisan maupun tertulis kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional.
(2) Di
dalam
pengaduan
diuraikan
ketidakpuasan ■
Pemberi Kerja dan/atau Peserta terhadap pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan. (3) Berdasarkan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat
menyampaikan pengaduan tersebut kepada direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Peraturan Menteri Tenaga Kerj a dan Transmigrasi Nomor: PER. 12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan. Jaminan Sosial Tenaga Kerja; dan b, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER.04/MEN/1993
Kecelakaan Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
tentang
Jaminan
- 25-
Pasal 32 Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal diundangkan
Agar
setiap
pengundangan
orang
mengetahuinya,
Peraturan
Menteri
memerintahkan ini
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2015
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2015
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1510
i 4
V* ^
1-
o
~>
esuai dengan aslinya Biro Hukum, ,V
12. \ ^
<
J
6NU £9>
\*
iman, SH 00324 198903 1 001
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG TATACARAPENYELENGGARAANPROGRAMJAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN,
DAN JAMINAN HARI
TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH
Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupa ten / Ko t a
20 Nomor Lampiran Perihal
Permintaan Perimbangan Medis
Kepada Yth:
dr selaku Dokter Penasehat
di
Sehubungan dengan hasil pemeriksaan Pengawas Ketenagakerjaan pada tanggal /Surat dari BPJS Ketenagakerjaan
nomor
tanggal
perihal permintaan pertimbangan medis, bersama ini disampaikan data pekerja agar dapat diberikan pertimbangan medis untuk penyelesaian jaminan kecelakaan kerja.
Nama pekerja Umur Jenis pekerjaan Nomor kepesertaan Nama Perusahaan Alamat perusahaan Lampiran data
1. Laporan kecelakaan 2. Surat keterangan dokter pemeriksa 3. Rekam medis pekerja 4. Hasil pengujian lingkungan kerja 5. Hasil pemeriksaan lapangan pengawas ketenagakerjaan 6 7. Data lainnya Demikian atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih
Mengetahui Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupaten/ Kota
(
Pengawas Ketenagakerjaan,
) (
)
NIP NIP
Tembusan: 1 2
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
o-
v*
£T / -?
^*
Ujf o.
k. UJ
^
+
sesuai dengan aslinya Biro Bbikum,
> v-
o
& V_-_
ynot
■_*
diman, SH 600324 198903 1 001
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG TATACARAPENYELENGGARAANPROGRAMJAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN, DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH
FORMULIR DOKTER PENASEHAT
No. Lampiran Hal Yth
Berdasarkan surat
Nomor
tanggal
permintaan pertimbangan medis, dengan ini saya Penasehat, - sesuai dengan Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan
menerangkan dengan sesungguhnya bahwa: 1. Nama Pekerja Nomor Kepesertaan Jenis Pekerjaan 2. Nama Perusahaan Jenis usaha Alamat perusahaan 3. Kecelakaan kerja tanggal 4. Pemeriksaan tanggal 5, Setelah membaca dan mempelajari: a. Laporan Kec. Kerja Tahap I b. Laporan Kec. Kerja Tahap II c. Surat Keterangan dokter bentuk Melakukan pemeriksaan ulang tanggal Nama Umur Pekerjaan
kepada:
perihal , jabatan
Dokter ,
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diberikan pertimbangan medis sebagai berikut
6. Keterangan lain yang diperlukan :
Dokter Penasehat,
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN, DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
a.
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (6), Pasal 27 ayat (2), Pasal 30 ayat (4), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (2), Pasal 45 ayat (5) dan Pasal 57 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan
Program
Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelengaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015; b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
-2-
Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor
150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2.
Undang-Undang Nomor
24 Tahun
2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 3,
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor
154, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5714); 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5716) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5730);
5,
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
-3-
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN, DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketengakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun.
2.
Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
3.
Jaminan Kematian yang selanjutnya disingkat JKM adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,
4.
Jaminan Hari Tua yang selanjutnya disingkat JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat Peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
5.
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
-4-
6.
Pemberi Kerj a Selain Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha atau badan-badan lainnya ■
yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7.
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerj a paling singkat 6
(enam) bulan di
Indonesia yang telah membayar iuran. 8.
Pekerja adalah setiap orang yang bekerj a dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
9.
Kecelakaan Kerj a adalah kecelakaan yang terj adi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja,
10.
Penyakit Akibat Kerj a adalah penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
11.
Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota
yang secara
langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. 12.
Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta dan/atau pemberi kerja.
13.
Upah adalah hak pekerj a yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
14.
Dokter Pemeriksa adalah dokter yang memeriksa dan/atau merawat pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
-5-
15. Dokter Penasehat adalah dokter yang diangkat oleh Menteri Ketenagakerjaan yang mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan pertimbangan medis dalam menentukan besarnya persentase kecacatan akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. 16. Petugas Pemeriksa BPJS Ketenagakerjaan adalah Pegawai BPJS Ketenagakerjaan yang diangkat oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan dan ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas kepatuhan pemberi kerja selain penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 17. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. BAB II PENDAFTARAN KEPESERTAAN Pasal 2 (1) Setiap Pemberi Kerja wajib • mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta dalam program JKK, JKM, dan JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan mengisi formulir sebagai berikut: a.
pendaftaran perusahaan;
b.
pendaftaran pekerja;
c.
rekapitulasi rincian pembayaran iuran; dan
d.
rincian iuran pekerja.
(2) Pemberi Kerja wajib menyampaikan formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diisi secara lengkap meliputi data dirinya, data pekerjanya dan anggota keluarganya kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima dari BPJS Ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan tanda
-6-
terima. (3)
BPJS Ketenagakerjaan wajib mengeluarkan nomor kepesertaan paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(4) Kepesertaan program JKK, JKM, dan JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mulai berlaku sejak nomor kepesertaan dikeluarkan. (5) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat dilakukan secara manual maupun elektronik Pasal 3 (1) Pendaftaran kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat
(1), BPJS Ketenagakerj aan
menetapkan besarnya iuran JKK sesuai dengan kelompok tingkat risiko lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun
2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. (2)
BPJS Ketenagakerjaan menerbitkan sertifikat kepesertaan bagi perusahaan, kartu kepesertaan bagi Pemberi Kerja dan seluruh pekerja paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(3)
Pemberi Kerja menyampaikan kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan kepada masing-masing peserta paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak diterima dari BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 4
(1)
Pekerja wajib menyampaikan perubahan data dirinya dan keluarganya secara lengkap dan benar kepada pemberi kerja paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadi perubahan.
-7-
(2) Pemberi Kerja wajib melaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan apabila terjadi: a.
perubahan data perusahaan;
b.
perubahan data pekerja;
c.
penambahan pekerja;
d.
pengurangan pekerj a karena pekerj a berhenti bekerj a atau meninggal dunia; dan
e.
perubahan data upah pekerja.
(3) Pelaporan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah data diterima dari peserta dan/atau setelah terjadi perubahan data. (4)
Dalam hal Pemberi Kerja tidak melaporkan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan terjadi resiko, BPJS Ketenagakerjaan menghitung manfaat berdasarkan data terakhir yang ada pada BPJS Ketenagakerj aan.
(5) Kekurangan pembayaran manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) menjadi tanggung jawab
Pemberi Kerja. Pasal 5 (1)
Pemberi Kerja yang memiliki perusahaan lebih dari 1 (satu) wajib ikut dalam program JKK dan JHT pada masing-masing perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pemberi Kerja yang memiliki perusahaan lebih dari 1 (satu) wajib ikut dalam program JKM pada salah satu perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Iuran JKK dan JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayar oleh masing-masing perusahaan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [aimana
(4)
dimaksud pada ayat (1) hanya diterbitkan 1 (satu) kali dengan diberikan kode khusus oleh BPJS Ketenagakerj aan.
-8-
Pasal 6 (1)
Pekerja penerima upah yang bekerja pada beberapa perusahaan wajib diikutsertakan dalam program JKK, JKM, dan JHT oleh masing-masing perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Iuran JKK, JKM, dan JHT dibayar oleh masing-masing perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3)
Kartu kepesertaan bagi pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diterbitkan 1 (satu) kali dengan
diberikan
kode
khusus
oleh
BPJS
Ketenagakerjaan. BAB III TATA CARA PELAPORAN DAN PENETAPAN JAMINAN BAGI PESERTA BPJS KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Jaminan Kecelakaan Kerja Pasal 7 (1)
Pemberi Kerja wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang menimpa pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak terjadinya kecelakaan kerja sebagai laporan tahap I.
(2)
Pemberi Kerja wajib melaporkan akibat kecelakaan kerj a atau penyakit akibat kerj a kepada BPJS Ketenagakerjaan dan Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak pekerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II, berdasarkan
surat
keterangan dokter
yang
menerangkan bahwa: a.
keadaan
Sementara
Tidak
(STMB) telah berakhir; b.
cacat total tetapj
c.
cacat sebagian anatomis;
Mampu
Bekerja
-9-
d.
cacat sebagian fungsi; atau
e.
meninggal dunia.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
sekaligus merupakan pengajuan manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerj aan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a.
fotokopi kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c.
surat
keterangan
dokter
yang
memeriksa/merawat dan/atau dokter penasehat; d.
kuitansi biaya pengangkutan;
e.
kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan; dan
f.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(4) Kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat dimintakan
penggantian
kepada
BPJS
Ketenagakerjaan dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan belum bekerj asama dengan BPJS Ketenagakerjaan karena di lokasi tempat terjadinya kecelakaan tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerj aan. (5) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lengkap, BPJS Ketenagakerjaan menghitung dan membayar kepada yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak
lengkap,
BPJS ketenagakerjaan
memberitahukan kepada Pemberi Kerja paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak laporan tahap II diterima. (7) Mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan baik secara manual dan/atau melalui media elektronik.
-10-
Bagian Kedua Jaminan Kematian Pasal 8 (1) Pemberi Kerja atau ahli waris melaporkan dan mengajukan permohonan manfaat JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan persyaratan sebagai beikut: a.
kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c.
surat keterangan kematian dari pejabat yang berwenang;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan ahli waris dari pejabat yang berwenang; dan
f.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(2) Berdasarkan pelaporan dan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPJS Ketenagakerjaan
membayar manfaat JKM kepada ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dipenuhinya persyaratan secara lengkap dan benar kepada BPJS Ketenagakerjaan. Bagian Ketiga Jaminan Hari Tua Pasal 9 Tata
cara
dan
persyaratan
pembayaran
manfaat JHT
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan* BAB IV TATA CARA PELAPORAN DAN PENETAPAN JAMINAN BAGI PEKERJA BUKAN PESERTA BPJS KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Jaminan Kecelakaan Kerja Pasal 10 Pemberi Kerja yang dalam
belum mengikutsertakan pekerjanya
program JKK kepada
BPJS
Ketenagakerjaan,
-11-
apabila terjadi resiko terhadap pekerjanya, pemberi kerja wajib membayar hak pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1)
Pemberi Kerja atau pekerja atau ahli warisnya wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang menimpa pekerjanya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sej ak terj adinya Kecelakaan Kerj a sebagai laporan tahap I.
(2)
Pemberi Kerja atau Pekerja atau ahli warisnya wajib melaporkan akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak pekerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II, berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa: a.
keadaan
Sementara
Tidak
Mampu
Bekerja
(STMB) telah berakhir; b.
cacat total tetap;
c.
cacat sebagian anatomis;
d.
cacat sebagian fungsi; atau
e.
meninggal dunia.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pengawas Ketenagakerjaan melakukan
pemeriksaan dan penelitian atas kebenaran dari laporan tersebut. (4)
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian, Pengawas Ketenagakerjaan membuat penetapan besarnya manfaat JKK dan mewajibkan Pemberi Kerja untuk membayar hak pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tidak diterima salah satu pihak, pihak yang tidak
-12-
menerima dapat meminta penetapan Menteri. (6)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak, Bagian Kedua Jaminan Kematian Pasal 12
Dalam
hal
pekerjanya
Pemberi dalam
Ketenagakerjaan,
Kerja program
apabila
belum
mengikutsertakan
JKM
terjadi
kepada
resiko
BPJS
terhadap
pekerjanya, Pemberi Kerja wajib membayar hak pekerja i
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 (1) Ahli waris Pekerja wajib melaporkan dan mengajukan permohonan pembayaran manfaat JKM kepada Pemberi Kerj a dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
b.
surat keterangan kematian dari pejabat yang berwenang;
c.
fotokopi kartu keluarga;
d.
surat keterangan ahli waris dari pejabat yang berwenang; dan
e.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(2) Berdasarkan pelaporan dan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemberi Kerja wajib
membayar manfaat JKM kepada ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dipenuhinya persyaratan secara lengkap dan benar kepada Pemberi Kerja. (3)
Dalam hal Pemberi Kerja tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ahli waris Pekerja dapat melaporkan kepada Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(4) Berdasarkan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3),
Pengawas
Ketenagakerjaan
melakukan
-13-
pemeriksaan dan penelitian untuk mengetahui kebenaran dari pengaduan tersebut. (5) Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Pengawas
Ketenagakerjaan mewajibkan Pemberi Kerja untuk membayar manfaat jaminan kematian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BABV PEMBAYARAN MANFAAT Bagian Kesatu Manfaat JKK Pasal 14 (1) Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau menderita penyakit akibat kerja berhak atas manfaat JKK
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan. (2)
Peserta yang meninggal mendadak di tempat kerja dianggap sebagai Kecelakaan Kerja dan berhak atas manfaat JKK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
Pekerja pada saat bekerja di tempat kerja tibatiba meninggal dunia tanpa melihat penyebab dari penyakit yang dideritanya;
b.
Pekerja pada saat bekerja di tempat kerja mendapat serangan penyakit kemudian langsung dibawa ke dokter, atau unit pelayanan kesehatan atau rumah sakit dan tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam kemudian meninggal dunia. Pasal 15
(1) Dalam hal Pemberi Kerja menunggak iuran JKK sampai dengan 3 (tiga) bulan berturut-turut dan terjadi Kecelakan Kerja atau penyakit akibat kerja, BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat JKK kepada Peserta atau ahli warisnya.
-14-
(2) Dalam hal Pemberi Kerja yang menunggak iuran JKK lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut dan terjadi Kecelakan Kerja atau penyakit akibat kerja, Pemberi Kerja wajib membayar terlebih dahulu manfaat JKK kepada Peserta atau ahli warisnya. (3)
Dalam hal Pemberi Kerja telah melunasi seluruh tunggakan iuran dan denda yang menjadi kewajibannya, Pemberi Kerja dapat meminta penggantiannya kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(4)
Pemberi Kerja mengajukan permintaan penggantian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Pemberi Kerja membayar hak pekerja.
(5)
BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar penggantian manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 7 (tujuh) hari kerj a sej ak surat permintaan dan dokumen pendukung diteima secara lengkap dan benar oleh BPJS Ketenagakerjaan. Bagian Kedua Manfaat JKM Pasal 16
Peserta yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas manfaat JKM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 (1) Dalam hal Pemberi Kerja menunggak iuran JKM sampai dengan 3 (tiga) bulan berturut-turut dan peserta meninggal dunia bukan karena kecelakan kerja atau penyakit akibat kerja,
BPJS
Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat JKM kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. (2)
Dalam hal Pemberi Kerja yang menuiggak iuran JKM lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut dan peserta meninggal dunia bukan karena Kecelakan Kerja atau
-15-
penyakit akibat kerja wajib membayar terlebih dahulu manfaat JKM kepada ahli waris. (3)
Dalam hal Pemberi Kerja telah melunasi seluruh tunggakan iuran dan denda yang menjadi kewajibannya, Pemberi Kerja dapat meminta penggantiannya kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(4)
Pemberi Kerja mengajukan permintaan penggantian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Pemberi Kerja membayar hak pekerja.
(5)
BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar penggantian manfaat JKM sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak surat permintaan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap dan benar oleh BPJS Ketenagakerjaan. Bagian Ketiga
Pemberian dan Persyaratan Memperoleh Manfaat Beasiswa Pendidikan Anak Dalam Program JKK dan JKM Pasal 18 (1)
Pekerja yang meninggal dunia atau cacat total tetap akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak mendapat manfaat beasiswa pendidikan anak.
(2) Persyaratan untuk memperoleh manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
pekerja memiliki anak usia sekolah;
b.
umur anak pekerja maksimal 23 tahun;
c.
berlaku hanya untuk 1 (satu) orang anak;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi; dan
f.
belum menikah,
(3) Besarnya beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebesar Rpl2.000.000,00
(dua belas juta rupiah) dibayarkan sekaligus dan
-16-
diberikan hanya 1 (satu) kali selama menjadi Peserta. (4) Dalam hal perusahaan menunggak iuran lebih dari 3 (tiga)
bulan,
manfaat
beasiswa
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah Pemberi Kerja melunasi tunggakan iuran beserta denda. Pasal 19 (1)
Pemberi Kerja dan/atau ahli waris Pekerja mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa
pendidikan
anak kepada BPJS
Ketenagakerjaan. (2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Ketenagakerjaan waj ib membayar manfaat beasiswa pendidikan anak kepada Pekerja atau ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2). Pasal 20 (1)
Pekerja yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak mendapat manfaat beasiswa pendidikan anak apabila telah memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun.
(2) Persyaratan untuk memperoleh manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
pekerja memiliki anak usia sekolah;
b.
umur anak pekerja maksimal 23 tahun;
c.
berlaku hanya untuk 1 (satu) orang anak;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi; dan
f.
belum menikah.
(3) Besarnya beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebesar Rpl2.000,000,00
(dua belas juta rupiah) dibayarkan sekaligus dan diberikan hanya 1 (satu) kali.
-17-
(4) Dalam hal perusahaan menunggak iuran lebih dari 3 (tiga)
bulan, manfaat beasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah Pemberi Kerja melunasi tunggakan iuran beserta denda. Pasal 21 (1)
Pemberi Kerja dan/ atau ahli waris Pekerja mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa
pendidikan
anak kepada BPJS
Ketenagakerj aan, (2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat beasiswa pendidikan anak kepada Pekerja atau ahli waris paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Bagian Keempat Penggantian Biaya Santunan Berupa Uang Pasal 22 (1)
Pemberi Kerja wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan dan santunan sementara tidak mampu bekerja. :antian santunan
(2)
berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS Ketenagakerjaan pada saat pelaporan Kecelakaan Kerja tahap 2 dengan melampirkan: a. kuitansi biaya pengangkutan dan pertolongan pertama pada kecelakaan; dan b.
bukti pembayaran upah selama pekerja tidak mampu bekerja atau santunan sementara tidak mampu bekerja.
-18-
(3) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), BPJS Ketenagakerj aan paling lambat
7
(tujuh) hari kerja melakukan verifikasi dan membayar penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VI PENYELESAIAN PERBEDAAN PENDAPAT DALAM PROGRAM JKK
Pasal 23 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja antara Pemberi Kerja dan/atau Pekerja/keluarganya dan/atau BPJS Ketenagakerjaan, salah satu pihak meminta
penetapan
kepada
Pengawas
penetapan
Pengawas
Ketenagakerj aan. (2)
Sambil
menunggu
Ketenagakerj aan, Pemberi Kerj a waj ib membayar terlebih
dahulu
biaya
pengangkutan,
biaya
pertolongan pertama pada kecelakaan, dan santunan sementara tidak mampu bekerja kepada pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas Ketenagakerjaan melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap kecelakaan dan bila diperlukan Pengawas Ketenagakerjaan dapat berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan.
(4) Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Pengawas
Ketenagakerjaan membuat penetapan Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja. (5)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tidak diterima oleh salah satu pihak, pihak yang tidak *
menerima dapat meminta penetapan kepada Menteri.
-19-
(6)
Dalam hal Menteri menetapkan Kecelakaan Kerja, BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar JKK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
Dalam hal Menteri menetapkan bukan Kecelakaan Kerja, BPJS Ketenagakerjaan melakukan koordinasi dengan BPJS Kesehatan terkait pelayanan kesehatan pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Pasal 24 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai persentase cacat akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja, Pekerja dapat meminta penetapan kepada Pengawas Ketenagakerj aan setempat.
(2)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas Ketenagakerjaan setempat meminta pertimbangan medis kepada Dokter Penasehat daerah untuk menetapkan persentase cacat.
(3) Berdasarkan pertimbangan medis Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Pengawas
Ketenagakerjaan setempat membuat penetapan manfaat JKK berdasarkan persentase cacat. (4)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diterima salah satu pihak, pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan Menteri.
(5)
Penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan pemeriksaan, penelitian, data pendukung, dan bila diperlukan dapat meminta pertimbangan medis kepada Dokter Penasehat pusat.
-20-
(6) Berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri menetapkan besarnya manfaat JKK berdasarkan persentase cacat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Pasal 25 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai besarnya manfaat santunan berupa uang yang diterima oleh Pekerja atau keluarganya disebabkan adanya pelaporan upah yang tidak benar oleh Pemberi Kerj a kepada BPJS Ketenagakerj aan, Pekerja atau keluarganya dapat meminta perhitungan kembali kepada Pengawas Ketenagakerjaan setempat.
(2)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas Ketenagakerjaan melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh data upah sebagai dasar perhitungan manfaat santunan berupa uang.
(3)
Berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengawas Ketenagakerjaan setempat menghitung kembali besarnya manfaat santunan berupa uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diterima oleh Pemberi Kerja atau Pekerja atau keluarganya atau BPJS Ketenagakerj aan, pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan Menteri.
(5)
Dalam hal diperlukan, Menteri dapat memerintahkan Pengawas Ketenagakerjaan pusat untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian ulang.
(6)
Berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri membuat penetapan besarnya manfaat santunan berupa uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-21-
(7)
Dalam hal penetapan besarnya manfaat santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) lebih besar dari penetapan BPJS Ketenagakerjaan, kekurangannya wajib dibayar oleh Pemberi Kerja.
(8)
Penetapan Menteri merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak. BAB VII PERTIMBANGAN MEDIS DAN MEKANISME KERJA DOKTER PENASEHAT Pasal 26
(1)
Dalam hal BPJS Ketenagakerjaan ragu terhadap besarnya persentase cacat dan diagnosis penyakit akibat kerja sehingga tidak dapat menghitung besarnya JKK dan memerlukan pertimbangan medis Dokter Penasehat, BPJS Ketenagakerjaan meneruskan kasus tersebut kepada Pengawas Ketenagakerjaan dengan melampirkan data medis dan data pendukung lainnya.
(2)
Data medis dan data pendukung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
laporan Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja tahap pertama dan tahap kedua;
b.
surat keterangan dokter pemeriksa;
c.
riwayat penyakit dan data rekam medis (medical record) Pekerja;
d.
riwayat pekerjaan Pekerja; dan
e.
data lain yang diperlukan.
(3) Pengawas Ketenagakerjaan meminta pertimbangan medis kepada Dokter Penasehat paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya penyerahan kasus dari BPJS Ketenagakerjaan dengan menggunakan formulir A sebagaimana
tercantum
Peraturan Menteri ini.
dalam
Lampiran
I
-22-
(4)
Dalam hal data belum lengkap, Pengawas Ketenagakerjaan mengembalikan data tersebut kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk dilengkapi.
(5)
BPJS Ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja melengkapi data dan menyerahkan kepada Pengawas Ketenagakerjaan untuk proses lebih
f
lanjut. (6)
Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Dokter Penasehat mempelajari data medis dan data pendukung lainnya dan bila diperlukan dapat berkonsultasi dengan dokter spesialis dan/atau melakukan pemeriksaan terhadap Pekerja.
(7)
Dokter Penasehat memberikan pertimbangan medis dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan teknis dan administratif dengan menggunakan formulir B sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 27
(1)
Pertimbangan medis Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (7) digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pengawas Ketenagakerjaan dalam membuat penetapan Kecelakan Kerja dan/atau penyakit akibat kerja.
(2)
Pengawas Ketenagakerjaan menyampaikan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 3 (tiga) hari kerja.
-23-
BABVIII PENYAMPAIAN DAN PENAN GANAN PENGADUAN Pasal 28 Dalam hal Peserta tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, Peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada BPJS Ketenagakerjaan melalui: a.
kantor BPJS Ketenagakerjaan setempat; dan
b.
media elektronik (telepon, email website, dll).
Pasal 29 (1)
Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Peserta tidak puas terhadap pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, Pemberi Kerja dan/ atau Pekerja
dapat
menyampaikan pengaduan secara lisan atau tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerj aan setempat dan/atau Kementerian Ketenagakerj aan. (2)
Di dalam pengaduan diuraikan ketidakpuasan Pemberi Kerja dan/atau Peserta terhadap pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan termasuk pelayanan terhadap hak normatif Pemberi Kerj a dan/atau Pekerja yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dilampirkan dengan bukti.
(3) Instansi
yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerj aan
menugaskan
Pengawas
Ketenagakerjaan untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian atas kebenaran dari pengaduan tersebut. (4) Apabila pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terbukti
kebenarannya,
instansi
yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan mengeluarkan teguran kepada BPJS Ketenagakerjaan agar melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-24-
(5) Dalam hal pengaduan tidak terbukti kebenarannya, instansi
yang bertanggungj awab di bidang
ketenagakerjaan memberikan jawaban tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Pekerja atas ketidakbenaran pengaduan tersebut. Pasal 30 (1)
Dalam hal Pemberi Kerja dan/atau Pekerja tidak puas terhadap pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Pemberi Kerja dan/atau Pekerja dapat menyampaikan pengaduan baik secara lisan maupun tertulis kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional.
(2) Di
dalam
pengaduan
diuraikan
ketidakpuasan ■
Pemberi Kerja dan/atau Peserta terhadap pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan. (3) Berdasarkan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat
menyampaikan pengaduan tersebut kepada direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Peraturan Menteri Tenaga Kerj a dan Transmigrasi Nomor: PER. 12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan. Jaminan Sosial Tenaga Kerja; dan b, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
PER.04/MEN/1993
Kecelakaan Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
tentang
Jaminan
- 25-
Pasal 32 Peraturan Menteri ini berlaku sejak tanggal diundangkan
Agar
setiap
pengundangan
orang
mengetahuinya,
Peraturan
Menteri
memerintahkan ini
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2015
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2015
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1510
i 4
V* ^
1-
o
~>
esuai dengan aslinya Biro Hukum, ,V
12. \ ^
<
J
6NU £9>
\*
iman, SH 00324 198903 1 001
LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG TATACARAPENYELENGGARAANPROGRAMJAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN,
DAN JAMINAN HARI
TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH
Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupa ten / Ko t a
20 Nomor Lampiran Perihal
Permintaan Perimbangan Medis
Kepada Yth:
dr selaku Dokter Penasehat
di
Sehubungan dengan hasil pemeriksaan Pengawas Ketenagakerjaan pada tanggal /Surat dari BPJS Ketenagakerjaan
nomor
tanggal
perihal permintaan pertimbangan medis, bersama ini disampaikan data pekerja agar dapat diberikan pertimbangan medis untuk penyelesaian jaminan kecelakaan kerja.
Nama pekerja Umur Jenis pekerjaan Nomor kepesertaan Nama Perusahaan Alamat perusahaan Lampiran data
1. Laporan kecelakaan 2. Surat keterangan dokter pemeriksa 3. Rekam medis pekerja 4. Hasil pengujian lingkungan kerja 5. Hasil pemeriksaan lapangan pengawas ketenagakerjaan 6 7. Data lainnya Demikian atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih
Mengetahui Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupaten/ Kota
(
Pengawas Ketenagakerjaan,
) (
)
NIP NIP
Tembusan: 1 2
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
o-
v*
£T / -?
^*
Ujf o.
k. UJ
^
+
sesuai dengan aslinya Biro Bbikum,
> v-
o
& V_-_
ynot
■_*
diman, SH 600324 198903 1 001
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG TATACARAPENYELENGGARAANPROGRAMJAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN, DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA PENERIMA UPAH
FORMULIR DOKTER PENASEHAT
No. Lampiran Hal Yth
Berdasarkan surat
Nomor
tanggal
permintaan pertimbangan medis, dengan ini saya Penasehat, - sesuai dengan Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan
menerangkan dengan sesungguhnya bahwa: 1. Nama Pekerja Nomor Kepesertaan Jenis Pekerjaan 2. Nama Perusahaan Jenis usaha Alamat perusahaan 3. Kecelakaan kerja tanggal 4. Pemeriksaan tanggal 5, Setelah membaca dan mempelajari: a. Laporan Kec. Kerja Tahap I b. Laporan Kec. Kerja Tahap II c. Surat Keterangan dokter bentuk Melakukan pemeriksaan ulang tanggal Nama Umur Pekerjaan
kepada:
perihal , jabatan
Dokter ,
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diberikan pertimbangan medis sebagai berikut
6. Keterangan lain yang diperlukan :
Dokter Penasehat,
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT SEKTOR AGRIBISNIS HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
a.
bahwa sektor agribisnis hortikultura mempunyai karakteristik tersendiri mengingat sifat dari tanaman hortikultura khususnya buah dan sayuran yang bersifat mudah rusak dan penyebab terjadinya fluktuatif buah dan sayuran antara lain variasi umur panen, jarak lokasi, cuaca dan iklim yang menyebabkan waktu panen menjadi bervariasi sehingga perlu diatur tersendii;
b.
bahwa untuk melaksanaan ketentuan Pasal ayat
(4)
dan Pasal
77
78 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Sektor Agribisnis Hortikultura;
-2-
Mengingat
: 1.
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1951
tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik
Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 2.
Undang-Undang Nomor Ketenagakerjaan Indonesia Tahun
13 Tahun
2003 tentang
(Lembaran Negara Republik 2003 Nomor
39,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3.
Undang-Undang Nomor
13 Tahun
2010 tentang
Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170); 4.
Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;
5.
Keputusan Presiden Nomor
121 / P Tahun
2014
tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019; 6. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411); 7.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja: dan Transmigrasi nomor KEP-102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur; MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG WAKTU
KERJA
DAN WAKTU
AGRIBISNIS HORTIKULTURA.
ISTIRAHAT SEKTOR
-3-
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Waktu Kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada suatu periode tertentu. 2.
Waktu Istirahat adalah waktu yang digunakan untuk pemulihan setelah melakukan pekerjaan.
3.
Periode Kerja adalah waktu tertentu bagi p ekerj a/ buruh untuk melakukan pekerj aan sesuai dengan jadual kerja yang ditetapkan.
4.
Waktu Kerja Lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.
5.
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
6.
Perusahaan adalah: a.
setiap bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerj a/ buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7.
Pengusaha adalah: a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menj alankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menj alankan perusahaan bukan miliknya;
-4-
c.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah
8.
Indonesia. Hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan hortikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut, dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika.
9.
Usaha Hortikultura adalah semua kegiatan untuk menghasilkan produk dan/ atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan hortikultura.
10. Kawasan Hortikultura adalah hamparan sebaran usaha hortikultura yang disatukan oleh faktor pengikat tertentu, baik faktor alamiah, sosial budaya, maupun faktor infrastruktur fisik buatan. 11. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 2 Peraturan Menteri ini meliputi pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan di dalam perusahaan sektor agribisnis hortikultura. Pasal 3 (1)
Perusahaan di sektor agribisnis hortikultura dapat memilih dan menetapkan salah satu dan/ atau beberapa Waktu Kerja dan Waktu Istirahat sesuai dengan kebutuhan operasional perusahaan sebagai beikut: a.
Waktu Kerja 6 (enam) hari dalam 1 (satu) minggu dan Waktu Istirahat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu dengan ketentuan 7 (tujuh) jam dalam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1
b.
(satu) minggu; Waktu Kerja 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu dan Waktu Istirahat 2 (dua) hari dalam 1 (satu) minggu dengan ketentuan 8 (delapan) jam dalam
-5-
1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu; c.
apabila Periode Kerja dilaksanakan selama 2 (dua) minggu berturut-turut, diberikan
2 (dua) hari
istirahat pengganti; d.
apabila Periode Kerja dilaksanakan selama 3 (tiga) minggu berturut-turut, diberikan
3 (tiga) hari
istirahat pengganti; e.
(2)
apabila Periode Kerja dilaksanakan selama
4
(empat) minggu berturut-turut, dibeikan (empat) hai istirahat pengganti.
4
Dalam hal perusahaan menerapkan Periode Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, Waktu Kerja paling lama 12 (dua belas) jam sehari tidak termasuk Waktu Istirahat selama 1 (satu) jam.
(3)
Perusahaan yang menggunakaii Waktu Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib membayar Upah Kerja Lembur sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai Waktu Kerja Lembur dan upah kerja lembur. Pasal 4
Pemilihan pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diatur dalam Perjanjian Kerja, Kerja Bersama.
(1)
Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian
Pasal 5 Pengusaha dapat melakukan penggantian dan/atau perubahan Peiode Kerja dengan memilih dan menetapkan kembali Periode Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pergantian dan/atau perubahan Periode Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disepakati terlebih dahulu oleh Pekerja/Buruh dengan (3)
Pengusaha. Pergantian dan/atau perubahan Peiode Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberitahukan
-6-
secara tertulis kepada instansi yang jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
bertanggung
Pasal 6 Dalam hal Pekerj a/Buruh dan Pengusaha telah memilih dan menetapkan Periode Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan ternyata Pekerja/Buruh dipekerjakan kurang dari Periode Kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan, Pengusaha wajib membayar upah sesuai dengan periode kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan. Pasal 7 Dalam hal Pekerja/Buruh
dipekerjakan pada hari libur
resmi yang jatuh pada Periode Kerja yang telah dipilih dan/atau ditetapkan, dihitung sebagai bekerja lembur. Pasal 8 Waktu yang dipergunakan untuk perjalanan Pekerj a/Buruh dai tempat tinggal yang diakui oleh pengusaha ke tempat kerja adalah termasuk Waktu Kerja apabila perjalanan tersebut memerlukan waktu 24 (dua puluh empat) jam atau lebih. Pasal 9 (1)
Pengusaha wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Waktu Kerja dan Waktu Kerja Lembur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setiap 3 (tiga) bulan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat;
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
memuat: a.
periode kerja dan jam kerja yang dipilih dan/atau ditetapkan;
b.
bagian-bagian yang dipekerjakan lembur;
c.
jumlah pekerja/buruh yang dipekerjakan; dan
d.
daftar upah kerja lembur.
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LISTRIK DI TEMPAT KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a.
bahwa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2015 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja sudah tidak sesuai dengan prosedur pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja listrik di tempat kerja;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
12 Tahun
2015 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1951
tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 No.
23 dari Republik
Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
- 2-
2.
Undang-Undang Nomor Keselamatan Kerja
1 Tahun
1970 tentang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1918); 3.
Undang-Undang Nomor Ketenagakerjaan
13 Tahun
(Lembaran
Indonesia Tahun
2003 tentang
Negara Republik
2003 Nomor
39,
Tambahan
Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4279); 4.
Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun
Kementerian Ketenagakerjaan
2015 tentang
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 15); 5.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
8 Tahun
2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411); 6.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
12 Tahun
2015 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja
(Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 540);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PERUBAHAN
MENTERI ATAS
KETENAGAKERJAAN PERATURAN
TENTANG
MENTERI
KETENAGAKERJAAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LISTRIK DI TEMPAT KERJA.
- 3-
Pasal I
Ketentuan Pasal
10
dalam Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor
12
Tahun
2015
tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Listrik di Tempat Kerja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 540), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10 (1) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh: a.
Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Listrik;
b.
Ahli
K3
bidang
Listrik
pada
Perusahaan;
dan/atau c.
Ahli K3 bidang Listrik pada PJK3.
(2) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a.
sebelum penyerahan kepada pemilik/pengguna;
b.
setelah ada perubahan/perbaikan; dan
c.
secara berkala.
(3) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) digunakan sebagai bahan
pertimbangan pembinaan dan/atau tindakan hukum oleh Pengawas Ketenagakerjaan. (4) Dihapus. (5) Dihapus.
Pasal II
Peraturan
Menteri
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
- 4-
Agar
setiap
pengundangan
orang
mengetahuinya,
Peraturan
memerintahkan
Menteri
midengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2015
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2015
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1535
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN BAGI PEKERJA HARIAN LEPAS, BORONGAN, DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU PADA SEKTOR USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 56 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun
2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dan Pasal 6 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pekerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Usaha Jasa Konstruksi;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1951
tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
- 2-
2.
Undang-Undang Nomor
40 Tahun
Sistem Jaminan Sosial Nasional Republik Indonesia Tahun
2004 tentang
(Lembaran Negara 2004 Nomor
150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456 ); 3.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Republik Indonesia Tahun
(Lembaran Negara 2011
Nomor
116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelengaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Indonesia Tahun
(Lembaran Negara Republik
2015 Nomor
154,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5714); 5.
Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013
Nomor 253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN BAGI PEKERJA HARIAN LEPAS, BORONGAN, DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU PADA SEKTOR USAHA JASA KONSTRUKSL
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah
manfaat berupa uang tunai dan/atau
pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat Peserta
- 3-
mengalami
Kecelakaan
Kerja
atau
penyakit
yang
disebabkan oleh lingkungan kerja. 2.
Jaminan Kematian yang selanjutnya disingkat JKM adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika Peserta meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja.
3.
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
4.
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. 5.
Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. 6.
Cacat Sebagian Anatomis adalah Cacat yang mengakibatkan hilangnya sebagian atau beberapa bagian anggota tubuh.
7.
Cacat Sebagian Fungsi adalah Cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi sebagian atau beberapa bagian anggota tubuh.
8.
Cacat Total Tetap adalah Cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan.
9.
Pemberi Kerja Jasa Konstruksi adalah orang perseorangan,
pengusaha,
badan
hukum,
atau
badanbadan lainnya yang mempekerjakan pekerja pada proyek Jasa Konstruksi dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. 10.
Pengguna Jasa Konstruksi adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
- 4-
11. Penyedia Jasa Konstruksi adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. 12. Pekerja Jasa Konstruksi yang selanjutnya disebut Pekerja adalah setiap orang yang bekerja pada proyek Jasa Konstruksi dengan menerima gaji atau upah. 13. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa pada proyek perencanaan
pekerjaan
konstruksi,
proyek
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan proyek pengawasan pekerjaan konstruksi. 14.
Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pada proyek perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lainnya.
15.
Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi.
16.
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
17.
Petugas Pemeriksa BPJS Ketenagakerjaan adalah pegawai BPJS Ketenagakerjaan yang diangkat oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan dan ditugaskan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja selain penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 5-
18.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
19.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
BAB II KEPESERTAAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN
Pasal 2 (1)
Setiap Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib mendaftarkan pekerjanya dalam Program JKK dan JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(2) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
meliputi Pengguna Jasa Konstruksi dan Penyedia Jasa Konstruksi
pada proyek jasa
perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pada Pekerjaan Konstruksi. (3)
Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja harian lepas, pekerja borongan, dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 3 (1)
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2
mencantumkan nama dan jumlah pekerja/buruh, alamat pekerja/buruh, harga satuan upah dari masing-masing jenis pekerjaan atau upah dari masing-masing pekerja/buruh bila upah diketahui. (2)
Dalam hal komponen upah tidak diketahui atau tidak tercantum maka besarnya iuran didasarkan pada nilai Kontrak Kerja Konstruksi.
(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilakukan dengan menggunakan formulir pendaftaran
- 6-
proyek Jasa Konstruksi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah Surat Perintah Kerja diterbitkan. (4) BPJS Ketenagakerjaan paling lambat
1 (satu) hari
kerja setelah menerima formulir pendaftaran proyek Jasa Konstruksi dan iuran pertama dibayar lunas wajib menerbitkan sertifikat kepesertaan, nomor kepesertaan masing-masing proyek Jasa Konstruksi dan bukti pembayaran iuran masing-masing proyek Jasa Konstruksi kepada Pemberi Kerja Jasa Konstruksi. (5) BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan bukti kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4)
kepada Pemberi Kerja Jasa Konstruksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja. (6) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dapat dilakukan secara manual maupun elektronik.
Pasal 4 (1)
Dalam hal terjadi perubahan data pekerja/buruh karena adanya pergantian pekerja/buruh maka Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib melaporkan perubahan tersebut kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
(2)
Apabila terjadi resiko terhadap pekerja/buruh sebelum melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
hakhak
BPJS
Ketenagakerjaan
pekerja/buruh
wajib
sesuai
membayar ketentuan
peraturan perundang-undangan. (3)
Apabila terjadi resiko terhadap pekerja/buruh setelah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib membayar hak-hak pekerja/buruh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 7-
Pasal 5 (1)
Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib menyampaikan daftar harga satuan upah pekerja berdasarkan kelompok pekerjaan yang dikeluarkan oleh instansi yang menangani urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum, data upah dari masing-masing pekerja, dan copy Surat Perintah Kerja.
(2)
Daftar harga satuan upah pekerja, data upah dari masing- masing pekerja, dan copy Surat Perintah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar penetapan JKK.
Pasal 6 Bentuk
formulir
kepesertaan
diatur
pendaftaran, dengan
sertifikat, Peraturan
dan
kartu
Direksi
BPJS
Ketenagakerjaan.
BAB 111 BESARAN DAN TATA CARA PEMBAYARAN IURAN
Pasal 7 (1)
Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib membayar iuran kepada BPJS Ketenagakerjaan secara sekaligus atau secara bertahap.
(2) Tahapan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
tahap pertama sebesar
50 (lima puluh) persen
dari total iuran yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja Jasa Konstruksi; b.
tahap kedua sebesar 25 (dua puluh lima) persen dari total iuran yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja Jasa Konstruksi;
c.
tahap ketiga sebesar 25 (dua puluh lima) persen dari total iuran yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja Jasa Konstruksi.
(3)
Dalam hal Pemberi Kerja Jasa Konstruksi tidak dapat membayar iuran secara lunas maka pembayaran iuran
- 8-
dapat dilakukan berdasarkan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan seluruh iuran harus sudah dibayar lunas paling lambat pada saat Pemberi Kerja Jasa Konstruksi meneima pembayaran dari Pengguna Jasa Konstruksi sebelum tahap Pekerjaan Konstruksi berakhir.
Pasal 8 (1)
Setiap Pengguna Jasa Konstruksi wajib mensyaratkan perhitungan besarnya iuran program JKK dan JKM dalam dokumen lelang.
(2)
Setiap
Penyedia
Jasa
Konstruksi
wajib
memperhitungkan besarnya iuran program JKK dan JKM pada saat penawaran pekerjaan.
Pasal 9 (1)
Dalam hal komponen upah Pekerja tidak diketahui atau
tidak
tercantum,
maka
besarnya
iuran
JKK
dihitung berdasarkan nilai Kontrak Kerja Konstruksi dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Pekerjaan Konstruksi sampai dengan nilai kontrak RplOO.000.000,00 (seratus juta rupiah), Iuran JKK sebesar 0,21% (nol koma dua puluh satu persen) dari nilai kontrak;
b.
Pekerjaan Konstruksi dengan nilai kontrak di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) sampai
dengan Rp500.000.000,00
(lima ratus juta
rupiah), Iuran JKK sebesar penetapan nilai Iuran JKK huruf a ditambah 0,17% (nol koma tujuh belas persen) dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi setelah dikurangi RplOO.000.000,00 (seratus juta rupiah); c.
Pekerjaan Konstruksi di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar penetapan nilai Iuran JKK huruf b ditambah 0,13% (nol koma tiga belas persen) dari selisih
-9 -
nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi setelah dikurangi Rp500.000.000,00
(lima ratus
juta rupiah); d.
Pekerjaan Konstruksi di atas Rpl.000.000.000,00 (satu
milyar
rupiah)
sampai
dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebesar penetapan nilai Iuran JKK huruf c ditambah 0,11% (nol koma sebelas persen) dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi setelah dikurangi Rpl.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); dan e.
Pekerjaan Konstruksi di atas Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebesar penetapan nilai Iuran JKK huruf d ditambah 0,09% (nol koma nol sembilan persen) dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi setelah dikurangi Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2)
Dalam hal komponen upah Pekerja tercantum dan diketahui, maka iuran JKK bagi pekerja harian lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu yang bekerja pada Pemberi Kerja Jasa Konstruksi ditetapkan sebesar 1,74% (satu koma tujuh puluh empat persen) dari upah sebulan.
Pasal 10 (1)
Dalam hal komponen upah Pekerja tidak diketahui atau
tidak
tercantum,
maka
besarnya
iuran
JKM
dihitung berdasarkan nilai Kontrak Kerja Konstruksi dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Pekerjaan Konstruksi sampai dengan nilai kontrak RplOO.000.000,00 (seratus juta rupiah), Iuran JKM sebesar
0,03% (nol koma nol tiga
persen) dari nilai kontrak; b.
Pekerjaan Konstruksi dengan nilai kontrak di atas RplOO.000.000,00
(seratus juta rupiah) sampai
dengan Rp500.000.000,00
(lima ratus juta
rupiah), Iuran JKM sebesar penetapan nilai Iuran
- 10-
JKM huruf a ditambah 0,02% (nol koma nol dua persen) dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja
Konstruksi
setelah
dikurangi
RplOO.000.000,00 (seratus juta rupiah); c.
Pekerjaan Konstruksi di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rpl.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar penetapan nilai Iuran JKM huruf b, ditambah 0,02% (nol koma nol dua persen) dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi setelah dikurangi Rp500.000.000,00
(lima ratus juta
rupiah); d.
Pekerjaan Konstruksi di atas Rpl.000.000.000,00 (satu
milyar
rupiah)
sampai
dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebesar penetapan nilai Iuran JKM huruf c, ditambah 0,01% (nol koma nol satu persen) dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja Konstruksi setelah dikurangi Rpl.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); dan e.
Pekerjaan Konstruksi di atas Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebesar penetapan nilai Iuran JKM huruf d, ditambah 0,01% (nol koma nol satu persen) dari selisih nilai, yakni dari nilai Kontrak Kerja
Konstruksi
setelah
dikurangi
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2)
Dalam hal komponen upah pekerja tercantum dan diketahui, maka iuran JKM bagi pekerja harian lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu yang bekerja pada Pemberi Kerja Jasa Konstruksi ditetapkan sebesar 0,30% (nol koma tiga puluh persen) dari upah sebulan.
- 11 -
Pasal 11 Nilai Kontrak Kerja Konstruksi yang dipergunakan sebagai dasar
perhitungan
iuran
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 9 dan Pasal 10 setelah dikurangi Pajak Pertambahan Nilai.
BAB IV BESARAN DAN TATA CARA PEMBAYARAN MANFAAT
Pasal 12 (1) Pekerja
yang
mengalami
Kecelakaan
Kerja
atau
Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKK. (2) Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berupa: a.
Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis yang meliputi: 1.
Pemeriksaan dasar dan penunjang;
2.
Perawatan tingkat pertama dan lanjutan;
3.
Rawat inap kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;
4.
Perawatan intensif;
5.
Penunjang diagnostik;
6.
Pengobatan;
7.
Pelayanan khusus;
8.
Alat kesehatan dan implan;
9.
Jasa dokter/medis;
10. Operasi; 11. Transfusi darah; dan 12. Rehabilitasi medik. b.
Santunan berupa uang meliputi: 1.
Penggantian biaya pengangkutan Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerj a atau Penyakit Akibat Kerja, ke rumah sakit dan / atau kerumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;
2.
Santunan sementara tidak mampu bekerja;
- 12 -
3.
Santunan Cacat Sebagian Anatomis, Cacat Sebagian Fungsi, dan Cacat Total Tetap;
4.
Santunan kematian dan biaya pemakaman;
5.
Santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila Peserta meninggal dunia atau Cacat Total Tetap akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja;
6.
Biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu
(orthose) dan/atau alat pengganti
(prothese); 7.
Penggantian biaya gigi tiruan; dan/atau
8.
Beasiswa pendidikan anak bagi setiap Peserta yang meninggal dunia atau Cacat Total Tetap akibat Kecelakaan Kerja.
(3) Beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b angka
8, diberikan sebesar
Rpl2.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta. (4)
Manfaat JKK dan tabel persentase Cacat sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 13 (1)
Pekerja yang meninggal dunia bukan karena Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKM.
(2)
Manfaat JKM dibayarkan kepada ahli waris Peserta, apabila Peserta meninggal dunia dalam masa aktif, terdiri atas: a.
Santunan sekaligus Rpl6.200.000,00 (enam belas juta dua ratus ribu rupiah);
b.
Santunan berkala Rp4.800.000,00
24 x Rp200.000,00
=
(empat juta delapan ratus ribu
rupiah) yang dibayar sekaligus; c.
Biaya pemakaman sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan
- 13 -
d.
Beasiswa pendidikan anak diberikan kepada setiap Peserta yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja dan telah memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
huruf d diberikan sebanyak
Rpl2.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta. (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan persyaratan memperoleh beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 14 Peserta yang meninggal mendadak di tempat kerja dianggap sebagai Kecelakaan Kerja dan berhak atas manfaat JKK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
Pekerja pada saat bekerja di tempat kerja tiba-tiba meninggal dunia tanpa melihat penyebab dari penyakit yang dideritanya; atau
b.
Pekerja pada saat bekerja di tempat kerja mendapat serangan penyakit kemudian langsung dibawa ke dokter, unit pelayanan kesehatan atau rumah sakit dan tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam kemudian meninggal dunia.
BAB V TATA CARA PELAPORAN
Pasal 15 (1)
Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib melaporkan Kecelakaan
Kerja atau
Penyakit Akibat
Kerja yang
menimpa Pekerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan
- 14 -
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat. (2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
merupakan laporan tahap I yang harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 2 x 24 jam sejak terjadi Kecelakaan Kerja atau sejak didiagnosis Penyakit Akibat Kerja dengan menggunakan formulir Kecelakaan Kerja tahap I yang telah ditetapkan. (3)
Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib melaporkan akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat.
(4)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
merupakan laporan tahap II yang harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 2 x 24 jam sejak Pekerja dinyatakan sembuh, Cacat, atau meninggal dunia berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa: a.
Keadaan sementara tidak mampu bekerja telah berakhir;
b.
Cacat Total Tetap untuk selamanya;
c.
Cacat Sebagian Anatomis;
d.
Cacat Sebagian Fungsi; atau
e.
Meninggal dunia.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
sekaligus merupakan pengajuan manfaat JKK kepada BPJS
Ketenagakerjaan
dengan
melampirkan
persyaratan yang meliputi: a.
formulir pendaftaran proyek Jasa Konstruksi dan bukti pembayaran iuran terakhir;
b.
Kartu Tanda Penduduk;
c.
Surat
keterangan
dokter
yang
memeriksa/merawat dan/atau dokter penasehat; d.
Kuitansi biaya pengangkutan;
e.
Kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan, bila
fasilitas
pelayanan
kesehatan
yang
- 15-
digunakan belum bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan yang disebabkan karena tidak terdapat fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan di tempat terjadinya Kecelakaan Kerja; dan f.
Dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(6) Apabila data sebagaimana dimaksud pada ayat
(5)
telah lengkap, BPJS Ketenagakerjaan menghitung dan membayar manfaat JKK kepada yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Apabila data sebagaimana dimaksud pada ayat tidak
lengkap,
BPJS
(5)
Ketenagakerjaan
memberitahukan kepada Pemberi Kerja Jasa Konstruksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja tahap II diterima. (8)
Mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dapat dilakukan secara manual maupun elektronik.
Pasal 16 (1)
Dalam hal perhitungan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) tidak diterima salah satu pihak dan terjadi perbedaan pendapat antara Pekerja, Pemberi Kerja Jasa Konstruksi, dan/atau
BPJS Ketenagakerjaan
mengenai penetapan Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja, akibat Kecelakaan Kerja, persentase Cacat dan besarnya JKK, maka penetapan manfaat JKK dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan setempat. (2)
Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterima salah satu pihak, maka pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan Menteri.
- 16-
(3) Penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan penetapan akhir yang wajib
dilaksanakan oleh para pihak.
Pasal 17 (1)
Pekerja yang telah dinyatakan sembuh berdasarkan surat keterangan dokter berhak mendapatkan manfaat JKK dari BPJS Ketenagakerjaan paling lambat
7
(tujuh) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan teknis dan administratif. (2) Dalam hal BPJS Ketenagakerjaan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
dikenai sanksi ganti rugi sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal santunan yang harus dibayar untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada Peserta.
Pasal 18 (1)
Dalam hal Pekerja yang mengalami Kecelakaan Kerja meninggal dunia maka hak atas manfaat JKK diberikan kepada ahli warisnya.
(2) Ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
meliputi: a.
Janda, duda, atau anak;
b.
Dalam hal janda, duda, atau anak tidak ada, maka manfaat JKK diberikan sesuai urutan sebagai berikut: 1.
Keturunan sedarah pekerja/buruh menurut garis lurus ke atas dan kebawah sampai derajat kedua;
2.
Saudara kandung;
3.
Mertua;
4.
Pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh pekerja; dan
5.
Bila tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pihak lain yang mengurus pemakaman, sedangkan santunan
- 17 -
kematian
diserahkan
ke
Dana
Jaminan
Sosial.
Pasal 19 (1)
Ahli waris Pekerja yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja berhak atas manfaat JKM.
(2) Manfaat JKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada ahli waris yang sah, meliputi: a.
Janda, duda, atau anak;
b.
Dalam hal janda, duda, atau anak tidak ada, maka manfaat JKM diberikan sesuai urutan sebagai berikut: 1.
Keturunan sedarah menurut garis lurus keatas dan kebawah sampai derajat kedua;
2.
Saudara kandung;
3.
Mertua;
4.
Pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh pekerja; dan
5.
Bila tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada perusahaan atau pihak lain yang mengurus pemakaman, sedangkan santunan sekaligus dan santunan berkala diserahkan ke Dana Jaminan Sosial.
(3)
Pembayaran manfaat JKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja, sejak diterimanya surat permohonan pengajuan JKM dengan dilampirkan surat keterangan kematian, surat keterangan ahli waris, dan fotocopy nomor kepesertaan untuk masing-masing proyek Jasa Konstruksi yang bersangkutan.
(4) Dalam hal BPJS Ketenagakerjaan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat dikenakan ganti rugi sebesar
(3),
1% (satu persen) dari
nilai nominal santunan yang harus dibayar untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada ahli waris Peserta yang bersangkutan.
- 18 -
Pasal 20 Bentuk formulir pelaporan Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja dan formulir pelaporan kematian ditetapkan oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan.
BAB V PENGAWASAN
Pasal 21 Pengawasan terhadap ditaatinya Peraturan Menteri ini dilaksanakan
oleh
Ketenagakerjaan dan
Petugas Pegawai
Pemeriksa
Pengawas
BPJS
Ketenagakerjaan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-196/MEN/1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan Dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Jasa Konstruksi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 19 -
Pasal 23 Peraturan
Menteri
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan t
*
mi dengan Peraturan Menteri pengundangan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2015
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2015
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 2076
^^A^KSUAI HI-NGAN ASLINVA t-\.
—
«
c
*f*>> ■^ ,
/
& /
y
V. ■:•.
v^
/
/
/
<
\
V
fJTi*
va
SH
LAM PI RAN PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN
MENTERI
TENTANG JAMINAN
KETENAGAKERJAAN
PENYELENGGARAAN KECELAKAAN
KEMATIAN
BAGI
PROGRAM
KERJA DAN JAMINAN
PEKERJA
HARIAN
LEPAS,
BORONGAN,
DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU
TERTENTU
PADA
SEKTOR
USAHA
JASA
KONSTRUKSI MANFAAT JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN TABEL PRESENTASE CACAT I.
MANFAAT JKK Peserta penerima Upah yang mengalami Kecelakaan
Kerja atau
Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKK, berupa; a.
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya, antara lain meliputi: 1.
pemeriksaan dasar dan penunjang;
2.
perawatan tingkat pertama dan lanjutan;
3.
rawat inap kelas I rumah sakit Pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;
4.
perawatan intensif;
5.
penunjang diagnostik;
6.
pengobatan;
7.
pelayanan khusus;
8.
alat kesehatan dan implan;
9.
jasa dokter/medis;
10. operasi; 11. transfusi darah; dan 12. rehablitasi medis. b.
Santunan berupa uang meliputi: 1.
Penggantian biaya pengangkutan Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan, meliputi:
- 2-
a)
bila menggunakan angkutan darat, sungai, atau danau paling banyak Rpl.000.000,00 (satu juta rupiah);
b)
bila menggunakan angkutan laut paling banyak Rpl.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
c)
bila menggunakan angkutan udara paling banyak Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah); atau
d)
bila menggunakan lebih dari
1 (satu) angkutan, maka
berhak atas biaya paling banyak dari masing-masing angkutan yang digunakan. 2.
Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB): a)
STMB untuk 6 (enam) bulan pertama diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari Upah.
b)
STMB untuk 6 (enam) bulan kedua diberikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Upah.
c)
STMB untuk 6
(enam) bulan ketiga dan seterusnya
diberikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Upah. STMB dibayar selama Peserta tidak mampu bekerja sampai Peserta dinyatakan sembuh, Cacat Sebagian Anatomis, Cacat Sebagian Fungsi, Cacat Total Tetap, atau meninggal dunia berdasarkan surat keterangan dokter yang merawat dan/atau dokter penasehat. 3.
Santunan Cacat, meliputi: a)
Cacat Sebagian Anatomis sebesar = % sesuai tabel x 80 x Upah sebulan,
b)
Cacat Sebagian Fungsi
= % berkurangnya fungsi x %
sesuai tabel x 80 x Upah sebulan c) 4.
Cacat Total Tetap = 70% x 80 x Upah sebulan;
Santunan kematian sebesar = 60% x 80 x Upah sebulan, paling sedikit sebesar JKM.
5.
Biaya pemakaman Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
6.
Santunan berkala dibayar sekaligus= 24 x Rp200.000,00 = Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah).
7.
Rehabilitasi berupa alat bantu {orthese) dan/atau alat ganti (prothese) bagi Peserta yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat Kecelakaan Kerja untuk setiap kasus dengan patokan harga yang ditetapkan oleh Pusat Rehabilitasi Rumah Sakit Umum Pemerintah ditambah 40%
- 3-
(empat puluh
persen)
dari
harga
tersebut
serta
biaya
rehabilitasi medik. 8.
Penggantian biaya gigi tiruan paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
9.
Bantuan beasiswa kepada anak Peserta yang masih sekolah sebesar Rpl2.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta, apabila Peserta meninggal dunia atau Cacat Total Tetap akibat Kecelakaan Kerja.
II.
TABEL PERSENTASE CACAT TETAP SEBAGIAN
DAN CACAT-CACAT
LAINNYA. CACAT TETAP SEBAGIAN Lengan kanan dari sendi bahu kebawah
% X UPAH 40
(untuk kidal berlaku sebaliknya) Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah
35
Lengan kanan dari atau dari atas siku ke
35
bawah (untuk kidal berlaku sebaliknya) Lengan kiri dari atau dari atas siku ke
30
bawah Tangan kanan dari atau dari atas
32
pergelangan ke bawah Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan
28
ke bawah (untuk kidal berlaku sebaliknya) Kedua belah kaki dari pangkal paha ke
70
bawah Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah
35
Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah
50
Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah
25
Kedua belah mata
70
Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan
35
Dekat Pendengaran pada kedua belah telinga
40
Pendengaran pada sebelah telinga
20
Ibu jari tangan kanan
15
Ibu jari tangan kiri
12
- 4-
CACAT TETAP SEBAGIAN
% X UPAH
Telunjuk tangan kanan
9
Telunjuk tangan kiri
7
Salah satu jari lain tangan kanan
4
Salah satu jari lain tangan kiri
3
Ruas pertama telunjuk kanan
4,5
Ruas pertama telunjuk kiri
3,5
Ruas pertama jari lain tangan kanan Ruas pertama jari lain tangan kiri
2
1,5
Salah satu ibu jari kaki
5
Salah satu jari telunjuk kaki
3
Salah satu jari kaki lain
2
Terkelupasnya kulit kepala Impotensi
10-30 40
Kaki memendek sebelah: kurang dari 5 cm
10
5 cm sampai kurang dari 7,5 cm
20
7,5 cm atau lebih
30
Penurunan daya dengar kedua belah telinga
6
setiap 10 desibel Penurunan daya dengar sebelah telinga
3
setiap 10 desibel Kehilangan daun telinga sebelah
5
Kehilangan kedua belah daun telinga
10
Cacat hilangnya cuping hidung
30
Perforasi sekat rongga hidung
15
Kehilangan daya penciuman
10
•
Hilangnya kemampuan kerja phisik
-
51%-70%
40
-
26% - 50%
20
-
10% - 25%
5
Hilangnya kemampuan kerja mental tetap Kehilangan sebagian fungsi penglihatan Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi penglihatan kanan
70 7
- 5-
CACAT TETAP SEBAGIAN
% X UPAH
dan kiri berbeda, maka efisiensi penglihatan binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) + % efisiensi penglihatan terburuk Kehilangan penglihatan warna
10
Setiap kehilangan lapangan pandang 10%
7
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI -;^^tiNAN SESUAI DENGAN ASLINYA
S
:Y*I_-_i^,-,o \f
yy
/M
RQ HUKUM;
x
/
*
*/
A *
£
t
LU **
»•
m
r
7$
> ^*
i■
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN, DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA BUKAN PENERIMA UPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
13 ayat (3),
Pasal 28 ayat (3), Pasal 30 ayat (4), Pasal 39 ayat (3), Pasal 42 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2015 tentan Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Bukan Penerima Upah;
['
-2 -
Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor
40 Tahun
2004
tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor
150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Republik Indonesia Tahun
(Lembaran Negara 2011
Nomor
116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 3.
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
238, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5481); 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor
154,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5714); 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5716) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua Indonesia Tahun
(Lembaran Negara Republik
2015 Nomor
187,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5730); 6.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2015 tentang Kementerian Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 19);
-3-
7.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
; PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA, JAMINAN KEMATIAN, DAN JAMINAN HARI TUA BAGI PESERTA BUKAN PENERIMA UPAH.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
2.
Jaminan Kematian yang selanjutnya disingkat JKM adalah manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja.
3.
Jaminan Hari Tua yang selanjutnya disingkat JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami Cacat Total Tetap.
4.
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum,
atau
badan-badan
lainnya yang
-4-
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. 5. Peserta Bukan Penerima Upah adalah orang perorangan yang melakukan kegiatan usaha secara mandiri untuk memperoleh penghasilan. 6.
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju Tempat Kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
7.
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
8.
Wadah atau Kelompok Tertentu adalah organisasi atau asosiasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk Peserta yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.
9.
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat
6
(enam) bulan di
Indonesia, yang telah membayar iuran. 10. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana pekerja bekerja atau yang sering dimasuki oleh pekerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. 11.
Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.
12.
Cacat Sebagian Anatomis adalah cacat yang mengakibatkan hilangnya sebagian atau beberapa bagian anggota tubuh.
13.
Cacat Sebagian Fungsi adalah cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi sebagian atau beberapa bagian anggota tubuh.
14.
Cacat Total Tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan.
-5-
15. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta dan/atau pemberi kerja. 16. Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan bagi Peserta Bukan Penerima Upah adalah kartu tanda kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang memiliki nomor identitas tunggal. 17. Dokter Penasehat adalah dokter yang mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan pertimbangan medis dalam menentukan besarnya persentase kecacatan akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja. 18. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 19.
Kanal Pelayanan adalah jaringan pelayanan BPJS Ketenagakerj aan untuk memberikan informasi program, pendaftaran Peserta, penerimaan Iuran, pelayanan jaminan baik milik BPJS sendiri maupun bekerjasama dengan pihak ketiga.
20. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagake rj aan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
BAB II TATA CARA PENDAFTARAN KEPESERTAAN DAN PERSYARATAN Pasal 2 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah wajib mendaftarkan dirinya
kepada
BPJS
penahapan kepesertaan.
Ketenagakerjaan
sesuai
-6-
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau melalui Wadah atau Kelompok Tertentu yang dibentuk oleh Peserta. (3) Pendaftaran secara sendiri-sendiri dilakukan melalui kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan atau Kanal Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan. (4) Pendaftaran melalui Wadah atau Kelompok Tertentu dilakukan
melalui
kantor
cabang
BPJS
Ketenagakerj aan. (5)
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),
ayat (3), dan ayat (4) dilakukan dengan menggunakan formulir pendaftaran yang telah ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. (6) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dapat dilakukan secara manual dan/atau melalui media elektronik.
Pasal 3 Peserta Bukan Penerima Upah wajib mengikuti 2 (dua) program yaitu JKK dan JKM dan dapat mengikuti program JHT secara sukarela.
Pasal 4 (1)
Pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi yang dipekerjakan pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara, apabila mengalami Kecelakaan Kerja dianggap sebagai pekerja dan berhak atas manfaat JKK,
(2)
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang mempekerjakan pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi wajib mendaftarkan pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi ke dalam program JKK kepada BPJS Ketenagakerj aan.
-7-
(3) Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara tidak
mengikutsertakan pekerj a sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam Program JKK maka bila terj adi Kecelakaan Kerj a, Pemberi Kerj a waj lb memberikan manfaat JKK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5 (1)
Persyaratan pendaftaran bagi Peserta Bukan Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a,
memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan
b.
belum mencapai usia
56 (lima puluh enam)
tahun. (2) Persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan sistem administrasi kependudukan.
Pasal 6 (1)
BPJS Ketenagakerj aan waj ib menerbitkan Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta Iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan paling lama 3 (tiga) hari kerja wajib
menyerahkan
Kartu
Peserta
BPJS
Ketenagakerjaan secara langsung kepada Peserta atau melalui Wadah atau Kelompok Tertentu yang dibentuk oleh Peserta. (3)
Kepesertaan dalam program JKK, JKM dan/atau JHT bagi Peserta Bukan Penerima Upah mulai berlaku sejak pendaftaran dan Iuran dibayar lunas.
Pasal 7 (1)
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang mempekerjakan pekerja magang, siswa kerja praktek,
-8-
tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi wajib mendaftarkan pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi ke dalam program JKK melalui kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan atau pada Kanal Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan dengan persyaratan: a.
mengisi formulir pendaftaran;
b.
memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Kartu Tanda Penduduk
(KTP) atau surat
keterangan dari Pemberi Kerja; dan c.
belum mencapai usia
56 (lima puluh enam)
tahun. (2)
BPJS Ketenagakerjaan wajib menerbitkan Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta Iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(3)
Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan kepada masing-masing Peserta paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterima dari BPJS Ketenagakerjaan.
(4)
Kepesertaan program JKK bagi Peserta pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi berlaku sejak pendaftaran dan Iuran dibayar lunas.
BAB III TATA CARA PEMBENTUKAN WADAH ATAU KELOMPOK TERTENTU
Pasal 8 (1) Pembentukan Wadah atau Kelompok Tertentu harus memenuhi persyaratan: a.
berbentuk badan atau organisasi;
b.
memiliki anggota;
-9-
c.
memiliki ketua yang ditunjuk dan diangkat oleh anggota; dan
d.
memiliki surat keterangan dari lurah atau kepala desa setempat.
(2)
Wadah atau Kelompok Tertentu yang telah terbentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus: a.
mendapat kuasa dari anggota untuk mewakili anggota dalam pelaksanaan penyelenggaraan program JKK, JKM, dan/atau JHT pada BPJS Ketenagakerjaan;
b.
membuat perjanjian kerja sama dengan kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan yang memuat hak dan kewajiban para pihak; dan
c.
tidak dalam sengketa kepengurusan atau tidak dalam perkara di pengadilan;
(3)
Wadah
atau
Kelompok
Tertentu
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: a.
mengurus
pendaftaran
kepesertaan
para
■
anggotanya ke BPJS Ketena gakerjaan; b.
mengumpulkan dan menyetorkan Iuran kepada kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan;
c.
membantu menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan program JKK, JKM, dan/atau JHT; dan
d.
melakukan pendampingan kepada anggota dalam pengurusan
klaim
kepada
BPJS
Ketenagakerj aan.
BAB IV TATA CARA PEMBAYARAN IURAN
Pasal 9 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib membayar Iuran kepada BPJS Ketenagakerjaan yang dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau melalui Wadah atau Kelompok Tertentu yang dibentuk oleh Peserta.
- 10-
(2)
Pembayaran Iuran dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan Iuran yang bersangkutan.
(3)
Pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setiap bulan atau secara sekaligus dimuka.
(4) Pembayaran Iuran secara sekaligus dimuka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan memilih periode pembayaran sebagai berikut: a.
3 (tiga) bulan;
b.
6 (enam) bulan; atau
c.
1 (satu) tahun.
Pasal 10 (1) Pemberi Kerja selain
penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib membayar Iuran program JKK bagi Peserta pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Upah yang dijadikan dasar dalam membayar Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada upah terendah dari pekerja yang melakukan pekerjaan yang sama di perusahaan tersebut. (3) Pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal
15 (lima belas)
pada bulan Iuran yang bersangkutan.
BABV TATA CARA PEMBAYARAN TUNGGAKAN IURAN
Bagian Kesatu Jaminan Kecelakaan Kerja
Pasal 11 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah yang menunggak Iuran JKK sampai dengan 3 (tiga) bulan berturut-turut dan terjadi Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja,
- 11 -
maka
BPJS
Ketenagakerjaan
wajib
memberikan
manfaat JKK berupa: a.
pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan b.
santunan berupa uang setelah Peserta dinyatakan
sembuh berdasarkan
surat
keterangan dokter yang merawat dan telah melunasi tunggakan Iuran. (2) Tunggakan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilunasi oleh Peserta atau ahli warisnya dari jumlah santunan berupa uang yang seharusnya diterima. (3) Peserta Bukan Penerima Upah yang menunggak Iuran JKK lebih dari
3 (tiga) bulan berturut-turut dan
Peserta mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja, maka Peserta atau ahli warisnya tidak berhak atas manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12 (1)
Dalam hal Peserta Bukan Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) akan melanjutkan kepesertaannya kembali dalam program JKK, Peserta, tidak diwajibkan untuk membayar tunggakan Iuran sebelumnya.
(2) Kepesertaan dalam program JKK bagi Peserta Bukan Penerima Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku sejak Iuran dibayar lunas.
Pasal 13 (1) Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat
(1)
menunggak Iuran JKK sampai dengan 3 (tiga) bulan berturut-turut dan terjadi Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja, maka BPJS Ketenagakerjaan wajib memberikan manfaat JKK berupa:
- 12-
a.
pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
b.
santunan berupa uang setelah Peserta dinyatakan
sembuh berdasarkan
surat
keterangan dokter yang merawat dan telah melunasi tunggakan Iuran. (2)
Tunggakan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilunasi oleh Pemberi Kerja Peserta pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi atau ahli warisnya dari jumlah santunan berupa uang yang seharusnya diterima.
(3) Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal menunggak Iuran JKK lebih dari
10 ayat
(1)
3 (tiga) bulan
berturut-turut dan Peserta mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja, Pemberi Kerja wajib memberikan manfaat JKK kepada Peserta pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Jaminan Kematian
Pasal 14 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah yang menunggak Iuran JKM sampai dengan 3 (tiga) bulan berturut-turut dan Peserta meninggal dunia bukan karena Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja, maka BPJS Ketenagakerjaan wajib memberikan biaya pemakaman kepada ahli waris Peserta.
(2)
Manfaat JKM berupa santunan sekaligus, santunan berkala, dan beasiswa pendidikan anak diberikan kepada ahli waris Peserta apabila tunggakan Iuran telah dilunasi.
- 13-
(3)
Tunggakan Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilunasi oleh ahli warisnya dari jumlah santunan yang seharusnya diterima.
(4)
Dalam hal Peserta Bukan Penerima Upah menunggak Iuran JKM lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut dan Peserta meninggal dunia bukan karena Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja, maka ahli waris tidak berhak atas manfaat JKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
BAB VI TATA CARA PELAPORAN PERUBAHAN DATA KEPESERTAAN
Pasal 15 (1)
Apabila terj adi p erubahan data Peserta Bukan Penerima Upah dan keluarganya, perubahan kegiatan usaha, atau pekerjaan, Peserta wajib menyampaikan perubahan data tersebut secara lengkap dan benar kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadi perubahan.
(2)
Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara langsung kepada BPJS Ketenagakerjaan atau melalui Wadah Atau Kelompok Tertentu yang dibentuk oleh Peserta.
(3)
Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir perubahan data yang telah ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
- 14-
BAB VII MANFAAT JAMINAN
Bagian Kesatu Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja
Pasal 16 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah, pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi yang mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKK.
(2)
Manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, meliputi: 1)
Pemeriksaan dasar dan penunjang;
2)
Perawatan tingkat pertama dan lanjutan;
3)
Rawat inap kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;
4)
Perawatan intensif;
5)
Penunjang diagnostik;
6)
Pengobatan;
7)
Pelayanan khusus;
8)
Alat kesehatan dan implan;
9)
Jasa dokter/ medis;
10) Operasi; 11) Transfusi darah; dan/atau 12) Rehabilitasi medik. b.
Santunan berupa uang meliputi: 1)
Penggantian biaya pengangkutan Peserta yang
mengalami
Kecelakaan
Kerj a
atau 4
Penyakit Akibat Kerja, ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan; 2) Santunan sementara tidak mampu bekerja;
- 15-
3)
Santunan Cacat Sebagian Anatomis, Cacat Sebagian Fungsi, dan Cacat Total Tetap;
4)
Santunan kematian dan biaya pemakaman;
5)
Santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila Peserta meninggal dunia atau Cacat Total Tetap akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja;
6)
Biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu
{orthose) dan/atau alat pengganti
[prothese); 7)
Penggantian biaya gigi tiruan; dan/atau
8)
Beasiswa pendidikan anak bagi Peserta yang meninggal dunia atau Cacat Total Tetap akibat Kecelakaan Kerja.
c.
Beasiswa pendidikan anak, diberikan sebesar Rpl2.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta yang memiliki anak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17 Hak untuk menuntut manfaat JKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 menjadi gugur apabila telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak Kecelakaan Kerja terjadi.
Bagian Kedua Manfaat Jaminan Kematian
Pasal 18 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah yang meninggal dunia bukan karena Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Manfaat JKM dibayarkan kepada ahli waris Peserta apabila Peserta meninggal dunia dalam mas a aktif, terdiri atas: a.
santunan
sekaligus
sebesar
Rpl6.200.000,00
(enam belas juta dua ratus ribu rupiah);
- 16-
b.
santunan berkala
24 x Rp200.000,00
=
Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah); c.
biaya pemakaman sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan
d.
beasiswa
pendidikan
Rpl2.000.000,00
anak
sebesar
(dua belas juta rupiah)
diberikan kepada setiap Peserta yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja dan telah memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Manfaat Jaminan Hari Tua
Pasal 19 (1)
Manfaat program JHT adalah sebesar nilai akumulasi seluruh Iuran yang telah disetor ditambah hasil pengembangannya yang dicatat dalam rekening perseorangan Peserta.
(2)
Tata cara, persyaratan, dan pembayaran manfaat program JHT dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII TATA CARA PELAPORAN DAN PENETAPAN JAMINAN BAGI PESERTA BUKAN PENERIMA UPAH
Bagian Kesatu Jaminan Kecelakaan Kerja
Pasal 20 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah atau Wadah atau Kelompok
Tertentu
Kecelakaan
Kerja atau
wajib
melaporkan
setiap
Penyakit Akibat Kerja yang
menimpa Peserta kepada BPJS Ketenagakerjaan dan
- 17-
dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat dalam waktu tidak leb ih dari 2 x 24 j am sej ak terj adiny a Kecelakaan Kerja sebagai laporan tahap I. (2)
Peserta Bukan Penerima Upah atau Wadah atau Kelompok Tertentu wajib melaporkan akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja yang menimpa Peserta kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak Peserta dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II, berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa: a.
keadaan sementara tidak mampu bekerja telah berakhir;
b.
Cacat Total Tetap;
c.
Cacat Sebagian Anatomis;
d.
Cacat Sebagian Fungsi; atau
e.
meninggal dunia.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
sekaligus merupakan pengajuan manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan
dengan melampirkan
persyaratan sebagai berikut: a.
fotokopi Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c.
surat
keterangan
memeriksa/merawat dan/atau
dokter
yang Dokter
Penasehat; d.
kuitansi biaya pengangkutan;
e.
kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan; dan
f.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(4) Dalam hal lokasi di tempat terjadinya Kecelakaan Kerj a tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan, maka kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan
- 19-
sejak terjadinya Kecelakaan
Kerja sebagai laporan
tahap I. (2)
Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak Peserta dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II, berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa: a.
keadaan sementara tidak mampu bekerja telah berakhir;
b.
Cacat Total Tetap;
c.
Cacat Sebagian Anatomis;
d.
Cacat Sebagian Fungsi; atau
e.
meninggal dunia.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
sekaligus merupakan pengajuan manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan
dengan melampirkan
persyaratan sebagai berikut: I
a.
fotokopi Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c.
surat
keterangan
dokter
yang
memeriksa/merawat dan/atau Dokter Penasehat; d.
kuitansi biaya pengangkutan;
e.
kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan; dan
f.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(4) Dalam hal lokasi di tempat terjadinya Kecelakaan Kerja tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan, maka kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat dimintakan
penggantiannya
kepada
BPJS
Ketenagakerj aan, (5) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada
-20-
ayat
(3) telah lengkap, BPJS Ketenagakerjaan
menghitung dan membayar manfaat JKK kepada yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak lengkap, BPJS Ketenagakerjaan
member itahukan kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara paling lambat 3 (tiga) hai kerja sejak laporan tahap II diterima. (7)
BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat JKK kepada Peserta pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorarium, atau narapidana dalam proses asimilasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan teknis dan administratif.
(8)
Dalam hal BPJS Ketenagakerjaan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dikenai denda ganti rugi sebesar 1 % (satu persen) dari nilai nominal santunan yang harus dibayar untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada Peserta.
(9)
Mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan secara manual dan/atau melalui media elektronik.
Pasal 22 (1)
Dalam hal Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meninggal dunia, maka hak atas manfaat JKK diberikan kepada ahli warisnya.
(2) Ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
meliputi: a.
janda, duda atau anak;
b.
dalam hal janda, duda, atau anak tidak ada, maka manfaat JKK diberikan sesuai urutan *
sebagai berikut: 1)
Keturunan sedarah Peserta menurut garis lurus ke atas dan ke bawah sampai derajat kedua;
-21 -
2)
Saudara kandung;
3)
Mertua;
4)
Pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh Peserta; dan
5)
Bila- tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pihak lain yang mengurus
pemakaman,
sedangkan
santunan kematian diserahkan ke Dana Jaminan Sosial.
Bagian Kedua Jaminan Kematian
Pasal 23 bukan
(1)
Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak atas manfaat JKM. (2) Manfaaat JKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada ahli waris yang sah meliputi: a.
janda, duda atau anak;
b.
dalam hal janda, duda, atau anak tidak ada, maka manfaat JKK diberikan sesuai urutan sebagai berikut: 1)
Keturunan sedarah Peserta menurut garis lurus ke atas dan ke bawah sampai derajat kedua;
2)
Saudara kandung;
3)
Mertua;
4)
Pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh Peserta; dan
5)
Bila tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pihak lain yang mengurus
pemakaman,
sedangkan
santunan kematian diserahkan ke Dana Jaminan Sosial. (3)
Ahli waris Peserta Bukan Penerima Upah atau Wadah atau Kelompok Tertentu melaporkan dan mengajukan
-22-
permohonan manfaat JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a.
Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan;
b.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c.
surat keterangan kematian dari pejabat yang berwenang;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan ahli waris dari pejabat yang berwenang; dan
f.
dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan.
(4) Berdasarkan laporan dan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) BPJS Ketenagakerjaan
membayar manfaat JKM kepada ahli waris paling lambat
3
(tiga) hari kerja sejak dipenuhinya
persyaratan secara lengkap dan benar. (5) Dalam hal BPJS Ketenagakerjaan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(4),
dikenakan denda ganti rugi sebesar 1 % (satu persen) dari nilai nominal santunan yang harus dibayar untuk setiap keterlambatan dan dibayarkan kepada ahli waris Peserta yang bersangkutan.
Bagian Ketiga Persyaratan Memperoleh Manfaat Beasiswa Pendidikan Anak
Pasal 24 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah dan Peserta pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi yang meninggal dunia atau Cacat Total Tetap akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak mendapatkan manfaat beasiswa pendidikan anak.
(2)
Persyaratan untuk memperoleh manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
-23-
a.
Peserta memiliki anak usia sekolah;
b.
umur anak Peserta maksimal 23 (dua puluh tiga) tahun;
c.
berlaku hanya untuk 1 (satu) orang anak;
d.
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi; dan
f.
belum menikah.
(3) Besarnya beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Rpl2.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dibayarkan sekaligus dan dibeikan hanya 1 (satu) kali selama menjadi Peserta.
Pasal 25 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah atau ahli warisnya dan Peserta pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi atau ahli warisnya mengajukan permohonan untuk mendapatkan. beasiswa pendidikan anak kepada BPJS Ketenagakerj aan.
(2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat beasiswa pendidikan anak kepada Peserta atau ahli warisnya paling lambat 3 (tiga) hari kerja se telah
dipenuhinya
persyaratan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).
Pasal 26 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja berhak mendapatkan manfaat beasiswa pendidikan anak apabila telah memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun.
(2) Persyaratan untuk memperoleh manfaat beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
Peserta memiliki anak usia sekolah;
-24-
b.
umur anak Peserta maksimal 23 tahun;
c.
berlaku hanya untuk 1 (satu) orang anak;
cL
fotokopi kartu keluarga;
e.
surat keterangan dari sekolah/perguruan tinggi; dan
f.
belum menikah.
(3) Besarnya beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Rpl2.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dibayarkan sekaligus dan diberikan hanya 1 (satu) kali selama menjadi Peserta.
Pasal 27 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah atau ahli warisnya mengajukan permohonan untuk mendapatkan beasiswa
pendidikan
anak
kepada
BPJS
Ke tenagake rj aan. (2) Berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar
manfaat beasiswa pendidikan anak kepada ahli waris Peserta paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah dipenuhinya . persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
Bagian Keempat Penggantian Biaya Santunan Berupa Uang
Pasal 28 (1)
Peserta Bukan Penerima Upah wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan pada saat Peserta mengalami Kecelakaan Kerja ke rumah sakit dan/atau ke rumah termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan.
(2)
Peserta Bukan Penerima Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta penggantian santunan berupa uang kepada BPJS Ketenagakerjaan pada saat pelaporan
Kecelakaan
Kerja
tahap
II
dengan
-25-
melampirkan
kuitansi
biaya
pengangkutan
dan
pertolongan pertama pada kecelakaan.
Pasal 29 (1) Pemberi Kerja selain
penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan pekerja magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana dalam proses asimilasi yang mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja ke rumah sakit dan/atau ke rumah termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan dan santunan sementara tidak mampu bekerja. (2)
Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta penggantian santunan berupa uang kepada BPJS Ketenagakerjaan pada saat pelaporan Kecelakaan Kerja tahap II dengan melampirkan kuitansi biaya pengangkutan dan pertolongan pertama pada kecelakaan serta bukti pembayaran upah selama Peserta tidak mampu bekerja atau santunan sementara tidak mampu bekerja.
BAB IX PENYELESAIAN PERBEDAAN PENDAPAT DALAM PROGRAM JKK
Pasal 30 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai Kecelakaan Kerja, Penyakit Akibat Kerja, dan besarnya JKK yang telah ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, Peserta dapat meminta penetapan kepada Pengawas Ketenagakerjaan setempat.
(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
Pengawas Ketenagakerj aan setempat
melakukan pemeriksaan, penelitian, dan membuat penetapan
sesuai
perundangundangan.
ketentuan
peraturan
-26-
(3)
Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan setempat merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Pasal 31 (1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai besarnya prosentase cacat akibat Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja yang telah ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, Peserta dapat meminta penetapan kepada Pengawas Ketenagakerjaan setempat.
(2) Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengawas Ketenagakerjaan setempat meminta pertimbangan medis kepada Dokter Penasehat provinsi untuk menetapkan besarnya prosentase cacat. (3) Berdasarkan pertimbangan medis Dokter Penasehat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2),
Pengawas Ketenagakerjaan membuat penetapan JKK sesuai ketentuan peraturan perundang undangan. (4)
Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan setempat merupakan penetapan akhir yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.
BABX
PENYAMPAIAN DAN PENANGANAN PENGADUAN Pasal 32 Dalam hal Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak puas terhadap pelayanan kesehatan dalam program JKK yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, Peserta dapat menyampaikan pengaduan secara tertulis maupun melalui media elektronik (telepon, email, website) kepada: a.
kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan setempat; dan
b.
Kanal Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan.
*
-27-
Pasal 33 (1) Dalam hal Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal anan Ketenagakerjaan, Peserta dapat menyampaikan pengaduan secara lisan atau tertulis kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerj aan
setempat
dan / atau
Kementerian Ketenagakerjaan. (2)
Di dalam pengaduan diuraikan ketidakpuasan Peserta terhadap pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan termasuk pelayanan terhadap hak normatif Peserta.
(3)
Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat menugaskan Pengawas Ketenagakerjaan untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian atas kebenaran pengaduan tersebut.
(4) Apabila pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terbukti
kebenarannya,
dinas
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat mengeluarkan teguran kepada BPJS Ketenagakerjaan agar melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan p erundang-undangan. (5)
Dalam hal pengaduan tidak terbukti kebenarannya, dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerj aan
setempat
memberikan
*
jawaban tertulis kepada Peserta atas ketidakbenaran pengaduan tersebut.
Pasal 34 (1) Dalam hal Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) tidak puas terhadap pelayanan BPJS
Ketenagakerjaan, Peserta dapat menyampaikan pengaduan secara lisan maupun tertulis kepada DJSN.
-28-
(2) Di dalam pengaduan diuraikan ketidakpuasan Peserta terhadap pelayanan yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerj aan. (3) Berdasarkan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), DJSN dapat menyampaikan pengaduan
tersebut kepada Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja; dan *
b.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 718), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36 Peraturan
Menteri
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
- 29 -
Agar
setiap
oran
meneetahuinva,
memerintahkan •
pengundangan
Peraturan
Menteri
ini
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Februari 2016
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Februari 2016
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 243
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN BAGI PEKERJA/BURUH DI PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun
7 ayat (3)
2015 tentang
Pengupahan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang
Nomor 3
Tahun
1951
tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 No.
23 Dari Republik
Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4); 2.
Undang-Undang Nomor Ketenagakerjaan Indonesia Tahun
13 Tahun
(Lembaran 2003 Nomor
2003 tentan
Negara 39,
Republik Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
-2-
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747);
4.
Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2015 tentang
Kementeian Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 19); 5.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor Tahun
8
2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Pembentukan
Rancangan
Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemeintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Beita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG TUNJANGAN
HARI
RAYA
KEAGAMAAN
BAGI
PEKERJA/BURUH DI PERUSAHAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Mentei ini yang dimaksud dengan: 1.
Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang
wajib
dibayarkan
oleh
Pengusaha
kepada
*
Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan.
-3-
2.
Hai Raya Keagamaan adalah Hai Raya Idul Fitri bagi Pekerja/Buruh yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi Pekerja/Buruh yang beragama Kisten Katholik dan Kristen Protestan, Hari Raya Nyepi bagi Pekerja/Buruh yang beragama Hindu, Hai Raya Waisak bagi Pekerja/Buruh yang beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi Pekerja/Buruh yang beragama Konghucu.
3.
Pengusaha adalah: a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdii sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4.
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan meneima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 2 (1)
Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih.
(2)
THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibeikan kepada Pekerj a/ Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
-4-
BABII BESARAN DAN TATA CARA PEMBERIAN THR KEAGAMAAN
Pasal 3 (1) Besaran THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a.
Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah;
b.
Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja
1
(satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dai
12 (dua belas) bulan, diberikan secara
proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: masa kerja x 1 (satu) bulan upah. 12 (2) Upah 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdii atas komponen upah: a.
upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atau
b.
upah pokok termasuk tunjangan tetap.
(3) Bagi Pekerja/Buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah
1 (satu) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai berikut: a.
Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih, upah
1 (satu)
bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diteima dalam
12 (dua belas) bulan terakhir
sebelum Hari Raya Keagamaan; b.
Pekerja/ Buruh yang mempunyai masa kerj a kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1
(satu)
bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diteima tiap bulan selama masa kerja.
-5-
Pasal 4 Apabila penetapan besaran nilai THR Keagamaan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perj anj ian kerj a bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih
besar dari nilai THR Keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1), THR
Keagamaan yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.
Pasal 5 (1) THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dibeikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masingmasing Pekerja/Buruh. (2) Dalam hal Hari Raya Keagamaan yang sama terjadi lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, THR Keagamaan diberikan sesuai dengan pelaksanaan Hari Raya Keagamaan. (3)
THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing Pekerja/Buruh, kecuali ditentukan lain sesuai dengan kesepakatan Pengusaha dan Pekerja/Buruh yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(4)
THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibayarkan oleh Pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hai Raya Keagamaan.
-6-
Pasal6 THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diberikan dalam bentuk uang dengan ketentuan menggunakan
mata
uang
rupiah
Negara
Republik
Indonesia.
Pasal 7 (1)
Pekerja/buruh yang hubungan kerj any a berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hai sebelum Hai Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.
(2)
THR Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk tahun berjalan pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh Pengusaha.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pekerja/Buruh yang hubungan kerj any a berdasarkan perj anjian kerj a waktu tertentu, yang berakhir sebelum Hari Raya Keagamaan.
Pasal 8 Pekerja/Buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, berhak atas THR Keagamaan pada perusahaan yang baru, apabila dai perusahaan yang lama Pekerj a/ Buruh yang bersangkutan belum mendapatkan THR Keagamaan.
BAB III PENGAWASAN
Pasal 9 Pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan.
-7-
BABIV DENDA DAN SANKSI ADMINISTRATE
Pasal 10 (1)
Pengusaha yang terlambat membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(4) dikenai denda sebesar
5% (lima
persen) dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. (2)
Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap
membayar THR Keagamaan kepada
Pekerja/Buruh. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan
dipergunakan
untuk
kesejahteraan
Pekerj a/ Buruh yang diatur dalam p eraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 11 (1) Pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BABV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Mentei Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan
Hari
Raya
Keagamaan
Bagi
Perusahaan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pekerja
di
- 8-
Pasal 13 Peraturan
Menteri
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Aearsetiap pengundangan
orang
mengetahuinya,memerintahkan
Peraturan
Menteri
mi
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Maret 2016
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Maret 2016
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 375
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DALAM PEKERJAAN PADA KETINGGIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf i dan Pasal
3 ayat ( 1) huruf a Undang-Undang Nomor
1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Pekerjaan Pada Ketinggian;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang
Nomor 3
Tahun
1951
tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor
23 Dari Republik
Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); 2.
Undang-Undang Nomor Keselamatan Kerja
1
Tahun
1970
tentang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Nomor
1918);
-2-
3.
Undang-Undang Nomor
13 Tahun
2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 4. Undang-Undang Nomor Pemerintahan Daerah
23 Tahun
2014 tentang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309);
6. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN
MENTERI
KESELAMATAN
DAN
KETENAGAKERJAAN KESEHATAN
PEKERJAAN PADA KETINGGIAN.
KERJA
TENTANG DALAM
-3-
BABI KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan Tenaga Kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
2.
Bekerja Pada Ketinggian adalah kegiatan atau aktiiitas pekerjaan yang dilakukan oleh Tenaga Kerja pada Tempat Kerja di permukaan tanah atau perairan yang terdapat perbedaan ketinggian dan memiliki potensi jatuh yang menyebabkan Tenaga Kerja atau orang lain yang berada di Tempat Kerja cedera atau meninggal dunia atau menyebabkan kerusakan harta benda.
3. Perangkat Pelindung Jatuh adalah suatu rangkaian peralatan untuk melindungi Tenaga Kerja, orang lain yang berada di Tempat Kerja dan harta benda ketika Bekerja Pada Ketinggian agar terhindar dari kecelakaan dan kerugian finansial. 4.
Perangkat Pencegah Jatuh adalah suatu rangkaian peralatan untuk mencegah Tenaga Kerja memasuki wilayah berpotensi jatuh agar terhindar dari kecelakaan dan kerugian finansial.
5.
Perangkat Penahan Jatuh adalah suatu rangkaian peralatan untuk mengurangi dampak jatuh Tenaga Kerja agar tidak cidera atau meninggal dunia.
6. Alat Pelindung Diri yang selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di Tempat Kerja.
-4-
7.
Lantai Kerja Tetap adalah semua permukaan yang dibangun atau tersedia untuk digunakan secara berulang kali dalam durasi yang lama.
8.
Lantai Kerja Sementara adalah semua permukaan yang dibangun atau tersedia untuk digunakan dalam durasi yang tidak lama, terbatas pada jenis pekerjaan tertentu atau ada kemungkinan runtuh.
9.
Angkur yang digunakan untuk bekerja pada ketinggian yang selanjutnya disebut angkur adalah tempat menambatkan Perangkat Pelindung Jatuh yang terdiri atas satu titik tambat atau lebih yang ada di alam, struktur bangunan atau sengaja dibuat dengan rekayasa teknik pada waktu atau pasca pembangunan gedung.
10. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 11. Pengusaha adalah: a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
12.
Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu Tempat Kerj a atau bagiannya yang berdiri sendiri.
13.
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai
-5-
Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 14.
Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja adalah Pengawas Ketenagakerjaan yang mempunyai keahlian khusus di bidang K3 lingkungan kerja yang berwenang untuk melakukan kegiatan pembinaan, pemeriksaan, dan pengujian bidang lingkungan kerja serta pengawasan, pembinaan, dan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
15. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerj a yang selanjutnya disebut Ahli K3 adalah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar ins tan si yang membidangi ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri. 16. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana Tenaga Kerja bekerja, atau yang sering dimasuki Tenaga Kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya. 17. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan dan keselamatan dan kesehatan kerja. 19.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
-6-
Pasal 2 Pengusaha
dan/atau
Pengurus
wajib
menerapkan
K3
dalam Bekerja Pada Ketinggian.
Pasal 3 Bekerja Pada Ketinggian
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 wajib memenuhi persyaratan K3 yang meliputi: a.
perencanaan;
b.
prosedur kerja;
c.
teknik bekerja aman;
d.
APD, Perangkat Pelindung Jatuh, dan Angkur; dan
e.
Tenaga Kerja.
BAB II PERENCANAAN
Pasal 4 (1)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan bahwa semua kegiatan Bekerja Pada Ketinggian yang menjadi tanggung jawabnya telah direncanakan dengan tepat, dilakukan dengan cara yang aman, dan diawasi.
(2)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan bahwa Bekerja Pada Ketinggian hanya dilakukan jika situasi dan kondisi kerja tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan Tenaga Kerja dan orang lain.
Pasal 5 (1)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memperhatikan dan melaksanakan penilaian risiko dalam kegiatan atau aktifitas pekerjaan pada ketinggian.
(2) Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan bahwa Bekerja Pada Ketinggian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
2
hanya dilakukan jika
-7-
pekerjaan dimaksud tidak dapat dilakukan di lantai dasar. (3)
Dalam hal pekerjaan dilakukan pada ketinggian, Pengusaha dan/ atau Pengurus wajib melakukan langkah-langkah yang tepat dan memadai untuk mencegah kecelakaan kerja.
(4) Langkah-langkah untuk mencegah kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terbatas pada: a.
memastikan bahwa pekerjaan dapat dilakukan dengan aman dan kondisi ergonomi yang memadai melalui jalur masuk (access) atau jalur keluar [egress) yang telah disediakan; dan
b.
memberikan peralatan keselamatan kerja yang tepat untuk mencegah Tenaga Kerja jatuh jika pekerjaan tidak dapat dilakukan pada tempat atau jalur sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(5) Dalam hal langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak dapat menghilangkan risiko
jatuhnya Tenaga Kerja, Pengusaha dan/atau Pengurus wajib: a.
menyediakan
peralatan
kerja
untuk
meminimalkan jarak jatuh atau mengurangi konsekuensi dari jatuhnya Tenaga Kerja; dan b.
menerapkan sistem izin kerja pada ketinggian dan memberikan instruksi atau melakukan hal lainnya yang berkenaan dengan kondisi pekerjaan.
-8-
BAB III PROSEDUR KERJA
Bagian Kesatu Umum
Pasal 6 (1)
Pengusaha dan/ atau Pengurus wajib mempunyai prosedur kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b secara tertulis untuk melakukan pekerjaan pada ketinggian.
(2) Prosedur kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
teknik dan cara perlindungan jatuh;
b.
cara pengelolaan peralatan;
c.
teknik
dan
cara
melakukan
pengawasan
pekerjaan; d.
pengamanan Tempat Kerja; dan
e.
kesiapsiagaan dan tanggap darurat.
(3) Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan bahwa prosedur kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui dan dipahami dengan baik oleh Tenaga Kerja dan/atau orang yang terlibat dalam pekerjaan sebelum pekerjaan dimulai.
Bagian Kedua Daerah Berbahaya
Pasal 7 (1)
Setiap Pengusaha dan/ atau Pengurus wajib memasang perangkat pembatasan daerah kerja untuk mencegah
masuknya
orang
yang
tidak
berkepentingan. (2) Pembatasan daerah kerja sebagaimana dimaksud ayat (1)
dibagi
menjadi
3
(tiga)
kategori
wilayah
-9-
berdasarkan tingkat bahaya dan dampak terhadap keselamatan umum dan Tenaga Kerja. (3) Pembagian kategoi wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a.
wilayah bahaya, merupakan daerah pergerakan Tenaga Kerja dan barang untuk bergerak vertikal, bergerak horizontal, dan titik penambatan;
b.
wilayah waspada, merupakan daerah antara wilayah bahaya dan wilayah aman yang luasnya diperhitungkan sedemikian rupa agar benda yang terjatuh tidak masuk ke wilayah aman; dan
c.
wilayah aman, merupakan daerah yang terhindar dari kemungkinan kejatuhan benda dan tidak mengganggu aktivitas Tenaga Kerja;
(4)
Pembagian wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dibuat denah horizontal dan denah vertikal di lokasi kerja sebagai pedoman bagi Tenaga Kerja, penanggung jawab lokasi, dan Pengawas Ketenagakerj aan.
(5)
Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b hanya boleh dimasuki oleh Tenaga Kerja dan Pengawas Ketenagakerjaan.
(6)
Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanda yang mudah terlihat dan dipahami oleh setiap orang yang melintas atau berada di sekitar lokasi kerja.
Bagian
Ketiga
Benda Jatuh
Pasal 8 (1) Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan bahwa tidak ada benda j atuh yang dapat menyebabkan cidera atau kematian. (2) Pengusaha
dan/atau
Pengurus
membatasi
berat
- 10-
barang yang boleh dibawa Tenaga Kerja pada tubuhnya di luar berat APD dan alat pelindung jatuh maksimum 5 (lima) kilogram. (3) Dalam hal berat barang melebihi 5 harus dinaikkan
(lima) kilogram,
atau diturunkan dengan
menggunakan sistem katrol.
Bagian Keempat Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat
Pasal 9 (1)
Pengusaha
dan/ atau
Pengurus
wajib
membuat
rencana tanggap darurat secara tertulis. (2)' Rencana tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a.
daftar Tenaga Kerja untuk melakukan pertolongan korban pada ketinggian;
b.
peralatan yang waj ib disediakan untuk menangani kondisi darurat yang paling mungkin terjadi;
c.
fasilitas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) serta sarana evakuasi;
d.
nomor telepon dari pihak-pihak terkait dalam penanganan tanggap darurat; dan
e.
denah lokasi dan jalur evakuasi korban menuju rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
(3)
Rencana tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipahami oleh Tenaga Kerja yang terlibat dalam pekerjaan.
(4)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan kesiapsiagaan tim tanggap darurat pada saat berlangsung pekerjaan pada ketinggian.
(5)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib melakukan evaluasi ulang persyaratan K3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
- 11 -
BAB IV TEKNIK BEKERJA AMAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 10 (1)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan dan melaksanakan teknik bekerja aman untuk mencegah Tenaga Kerja jatuh atau mengurangi dampak jatuh dari ketinggian.
(2) Teknik bekerja aman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
bekerja pada Lantai Kerja Tetap;
b.
bekerja pada Lantai Kerja Sementara;
c.
bergerak secara vertikal atau horizontal menuju atau meninggalkan lantai kerja;
d.
bekerja pada posisi miring; dan
e.
bekerja dengan akses tali.
Bagian Kedua Bekerja Pada Lantai Kerja Tetap
Pasal 11 (1) Upaya untuk mencegah jatuh pada Lantai Kerja Tetap dapat berupa: a.
pemasangan dinding atau tembok pembatas, pagar pengaman yang stabil dan kuat yang dapat mencegah Tenaga Kerja jatuh dari Lantai Kerja Tetap;
b.
memastikan setiap Tempat Kerja sudah memiliki jalur masuk [access) atau jalur keluar
(egress)
yang aman dan ergonomis; dan c.
memastikan panjang tali pembatas gerak (work
- 12-
restraint) tidak melebihi jarak antara titik Angkur dengan tepi bangunan yang berpotensi jatuh. (2)
Upaya mengurangi dampak jatuh dari ketinggian dapat
menggunakan
alat
penahan
jatuh
kolektif
berupa jaring atau bantalan.
Bagian Ketiga Bekerja Pada Lantai Kerja Sementara
Pasal 12 (1) Upaya untuk mencegah jatuh dari Lantai Kerja Sementara dapat menggunakan alat penahan jatuh perorangan berupa: a.
tali ulur tarik otomatis [retractable lanyard)] atau
b.
tali ganda dengan pengait dan peredam kejut (double lanyard with hook and absorber).
(2) Penggunaan tali ulur tarik otomatis
(retractable
lanyard) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dipastikan jarak dan ayunan jatuh yang aman. (3) Penggunaan tali ganda dengan pengait dan peredam kejut
(double lanyard with hook and absorber)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengait harus ditambatkan lebih tinggi dari kepala. (4)
Dalam hal Angkur untuk pengait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tersedia, pengait dapat ditambatkan pada ketinggian sejajar dada.
Pasal 13 Lantai Kerja Sementara dan struktur pendukungnya tidak boleh menimbulkan risiko runtuh atau terjadi perubahan bentuk
atau
penggunaan.
dapat
mempengaruhi
keselamatan
- 13-
Paragraf 1 Permukaan Rapuh, Perancah, dan Tangga
Pasal 14 Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan tidak ada Tenaga Kerja yang mendekati, melewati, dan melakukan pekerjaan pada atau dekat dengan permukaan yang rapuh.
Pasal 15 (1)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan pekerjaan pada ketinggian yang menggunakan perancah dan/atau tangga memenuhi persyaratan K3.
(2)
Persyaratan K3 perancah dan/atau tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2 Bekerja Pada Ketinggian Di Alam
Pasal 16 Pengusaha dan/atau Pengurus wajib memastikan Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan pada ketinggian di alam melaksanakan persyaratan K3 sebagaimana diatur dalam Peraturan Men ten mi.
Bagian Keempat Bergerak Secara Vertikal Atau Horizontal Menuju Atau Meninggalkan Lantai Kerja
Pasal 17 (1)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib menyediakan alat pengangkut orang untuk pergerakan Tenaga Kerja menuju atau meninggalkan lantai kerja.
(2)
Dalam hal jenis pekerjaan dan kondisi tertentu tidak dapat dipasang alat pengangkut orang sebagaimana
- 14-
dimaksud pada ayat
(1), pergerakan Tenaga Kerja
dapat dilakukan dengan teknik bergerak sebagai berikut: a.
Perangkat Penahan Jatuh perorangan vertikal;
b.
Perangkat Penahan Jatuh perorangan horizontal;
c.
alat penahan jatuh perorangan dengan tali ganda pengait dan peredam kejut;
d.
Perangkat Penahan Jatuh perorangan dengan pemanjatan terpandu (lead climbing); dan
e.
Perangkat Penahan Jatuh perorangan dengan tali ulur tarik otomatis.
(3)
Teknik bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan alat atau mekanisme peredam kejut.
Pasal 18 (1) Teknik bergerak dengan menggunakan Perangkat Penahan Jatuh perorangan vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat
(2) huruf a harus
dipastikan: a.
Angkur ditempatkan pada garis lurus vertikal dengan posisi Tenaga Kerja;
b.
sudut deviasi maksimum dari garis lurus vertikal sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak boleh lebih dari 15 (lima belas) derajat; dan
c.
setiap perangkat hanya digunakan oleh seorang Tenaga Kerja.
(2) Teknik bergerak dengan menggunakan Perangkat Penahan Jatuh perorangan horizontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf b harus
dipastikan: a,
mampu menahan beban jatuh sejumlah pekerja yang terhubung; dan
b.
jarak bentangan antara 2 (dua) titik Angkur idak boleh lebih dari 30 (tiga puluh) meter.
- 15-
(3)
Teknik bergerak dengan menggunakan alat penahan jatuh perorangan dengan tali ganda pengait dan peredam kejut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c harus dipastikan: a.
pengait harus ditambatkan lebih tinggi dari kepala atau ditambatkan pada ketinggian sejajar dada;
b.
kedua pengait tidak ditambatkan pada struktur yang sama;
c.
pengait tidak ditambatkan pada struktur yang dapat menambah jarak jatuh;
d.
pengait ditambatkan secara bergantian ketika bergerak; dan
e.
sling Angkur dapat digunakan apabila pengait tidak cukup lebar untuk dikaitkan langsung ke struktur.
(4)
Teknik bergerak dengan menggunakan Perangkat Penahan Jatuh perorangan dengan pemanjatan terpandu (lead climbing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d harus dipastikan: a.
sling Angkur harus cukup kuat menahan beban jatuh;
b.
posisi sling Angkur terakhir harus lebih tinggi dari kepala atau ditambatkan pada ketinggian sejajar dada;
c.
tali
keselamatan terhubung dengan alat
pemegang tali yang mencengkeram secara otomatis apabila terbebani; d.
alat pemegang tali keselamatan terhubung langsung ke Angkur yang mampu menahan beban jatuh; dan
e.
alat pemegang tali keselamatan dioperasikan oleh pemandu (bellayer) yang mengatur jarak jatuh seminimal mungkin tetapi masih cukup nyaman untuk bergerak.
- 16-
(5)
Teknik bergerak dengan menggunakan Perangkat Penahan Jatuh perorangan dengan tali ulur tarik otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e harus dipastikan jarak dan ayunan jatuh yang aman.
Bagian Kelima Bekerja Pada Posisi Miring
Pasal 19 (1)
Bekerja pada posisi miring dapat dilakukan dalam hal bekerja pada Lantai Kerja Tetap atau Lantai Kerja Sementara tidak dapat dilakukan atau pekerjaan mengharuskan Tenaga Kerj a b ekerj a pada posisi miing.
(2)
Dalam hal bekerja pada posisi miring tidak dapat dihindari, Tenaga Kerja wajib menggunakan Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan alat pemosisi kerja.
(3)
Alat pemosisi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tali yang dapat menahan beban Tenaga Kerja dan peralatan yang dibawa agar dapat bekerja dengan aman dan nyaman.
Bagian Keenam Bekerja Dengan Akses Tali
Pasal 20 (1)
Bekerja dengan akses tali dapat dilakukan dalam hal bekerja pada Lantai Kerja Tetap atau Lantai Kerja Sementara tidak dapat dilakukan atau pekerjaan mengharuskan Tenaga Kerja bekerja dengan akses tali.
(2)
Dalam hal bekerja dengan akses tali tidak dapat dihindari, maka wajib memenuhi persyaratan:
- 17-
a.
mempunyai 2 (dua) tali tertambat pada minimal
(line) masing-masing 2 (dua) titik tambat
terpisah berupa: 1)
tali keselamatan, yang dilengkapi dengan perangkat perlindungan jatuh perorangan bergerak (mobile personal fall arrester) yang mempunyai mekanisme terkunci sendiri mengikuti pergerakan Tenaga Kerja; dan
2)
tali kerja, yang dilengkapi dengan alat untuk naik dan turun.
b.
menggunakan sabuk tubuh (full body harness) yang sesuai.
BABV ALAT PELINDUNG DIRI, PERANGKAT PELINDUNG JATUH, DAN ANGKUR
Bagian Kesatu Alat Pelindung Diri
Pasal 21 (1)
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib menyediakan APD secara cuma-cuma dan memastikan Tenaga Kerja menggunakan APD yang sesuai dalam melakukan pekerjaan pada ketinggian.
(2) APD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan p erundang-undangan.
- 18-
Bagian Kedua Perangkat Pelindung Jatuh
Paragraf 1 Umum
Pasal 22 Pengusaha
dan/atau
Pengurus
wajib
memastikan
Perangkat Pelindung Jatuh memenuhi persyaratan K3.
Pasal 23 Perangkat Pelindung Jatuh terdiri atas: a.
Perangkat Pencegah Jatuh kolektif dan Perangkat Pencegah Jatuh perorangan; dan
b.
Perangkat Penahan Jatuh kolektif dan Perangkat Penahan Jatuh perorangan.
Paragraf 2 Perangkat Pencegah Jatuh Kolektif
Pasal 24 Perangkat Pencegah Jatuh kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a harus memenuhi persyaratan: a.
dinding, tembok pembatas, atau pagar pengaman dengan tinggi minimal 950 (sembilan ratus lima puluh) milimeter;
b.
pagar pengaman harus mampu menahan beban minimal 0,9 (nol koma sembilan) kilonewton;
c.
celah pagar memiliki jarak vertikal maksimal (empat ratus tujuh puluh) milimeter; dan
d.
tersedia pengaman lantai pencegah benda jatuh (toeboard) cukup dan memadai.
470
- 19-
Paragraf 3 Perangkat Pencegah Jatuh Perorangan
Pasal 25 Dalam hal Perangkat Pencegah Jatuh kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tidak tersedia, Tenaga Kerja wajib menggunakan Perangkat Pencegah Jatuh perorangan yang paling sedikit terdiri atas: a.
sabuk tubuh (full body harness); dan
b.
tali pembatas gerak (work restraint).
Paragraf 4 Perangkat Penahan Jatuh Kolektif
Pasal 26 (1)
Perangkat Penahan Jatuh kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b berupa jala atau bantalan yang terpasang pada arah jatuhan.
(2)
Perangkat Penahan Jatuh kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a.
dipasang secara aman ke semua Angkur yang diperlukan; dan
b.
mampu menahan beban minimal 15 (lima belas) kilonewton dan tidak mencederai Tenaga Kerja yang jatuh.
Paragraf 5 Perangkat Penahan Jatuh Perorangan
Pasal 27 (1) Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal menahan kilonewton.
23 huruf b harus mampu
beban jatuh minimal
15
(lima belas)
-20-
(2) Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.
bergerak vertikal;
b.
bergerak horizontal;
c.
tali ganda dengan pengait dan peredam kejut;
d.
terpandu; dan
e.
ulur tarik otomatis.
(3) Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus mempunyai alat pengunci otomatis yang membatasi jarak jatuh Tenaga Kerja maksimal 1,2 (satu koma dua) meter. (4)
Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus mempunyai alat pengunci otomatis yang mencengkeram tali pada posisi jatuh.
(5)
Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus mempunyai panjang maksimal 1,8 (satu koma delapan) meter dan mempunyai sistem penutup dan pengunci kait otomatis.
(6)
Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d harus menggunakan tali kermantle yang mempunyai elastisitas memanjang minimal 5% (lima persen) apabila terbebani Tenaga Kerja yang jatuh.
(7)
Perangkat Penahan Jatuh perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e harus mempunyai sistem pengunci otomatis yang membatasi jarak jatuh maksimal 0,6 (nol koma enam) meter.
Bagian Ketiga Angkur
Pasal 28 (1) Angkur terdiri atas:
-21 -
a. Angkur permanen; dan b. Angkur tidak permanen. (2) Angkur harus mampu menahan beban minimal
15
(lima belas) kilonewton. (3) Dalam hal Angkur lebih dari 1 (satu) titik harus mampu membagi beban yang timbul.
Pasal 29 (1) Angkur permanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a harus: a.
dilakukan pemeriksaan dan pengujian pertama;
b.
memiliki akte pemeriksaan dan pengujian; dan
c.
dilakukan pemeriksaan dan pengujian secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun.
(2) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilakukan oleh
Pengawas
Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja. (3)
Dalam hal Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, pemeriksaan dan pengujian dapat dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 lainnya.
(4)
Dalam hal Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tersedia, pemeriksaan dan pengujian dapat dilakukan oleh Ahli K3 pada perusahaan dan/atau perusahaan jasa K3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30 Angkur tidak permanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b dipakai pada saat Angkur
-22-
permanen
tidak
tersedia
dan
harus
diperiksa
serta
dipastikan kekuatannya.
BAB VI TENAGA KERJA
Pasal 31 ■
Pengusaha dan/atau Pengurus wajib menyediakan Tenaga Kerja yang: a. kompeten; dan b. berwenang di bidang K3; dalam pekerjaan pada ketinggian.
Pasal 32 (1)
Tenaga Kerja yang kompeten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a harus mengacu pada standar kompetensi
sesuai
ketentuan
peraturan
perundangundangan. (2)
Tenaga Kerja yang kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.
(3)
Sertiikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh melalui uji kompetensi oleh lembaga yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-und angan.
Pasal 33 (1)
Tenaga Kerja yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b dibuktikan dengan Lisensi K3 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.
(2)
Lisensi K3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
-23-
Pasal 34 Ketentuan Tenaga Kerja bidang perancah, pesawat
angkat
angkut dilaksanakan
gondola,
sesuai
dan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 35 Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31
meliputi: a.
Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat 1 (satu);
b.
Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat 2 (dua);
c.
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 1 (satu);
d.
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 2 (dua); dan
e.
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 3 (tiga).
■
Pasal 36 (1) Tenaga Kerj a bangunan tinggi tingkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1
(s atu)
35 huruf a
merupakan Tenaga Kerja yang bekerja pada Lantai Kerja Tetap dan/atau Lantai Kerja Sementara. (2) Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat
1
(satu)
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mempunyai
tugas dan kewenangan: a.
bekerja pada Lantai Kerja Tetap dan/atau pada Lantai Kerja Sementara dengan alat pelindung jatuh berupa jala, bantalan, atau tali pembatas gerak (work restraint); dan
b.
bergerak menuju dan meninggalkan Lantai Kerja Tetap atau Lantai Kerja Sementara dengan menggunakan tangga.
Pasal 37 (1) Tenaga
Kerja
sebagaimana
Bangunan dimaksud
Tinggi dalam
Tingkat
Pasal
35
2
(dua)
huruf b
merupakan Tenaga Kerja yang bekerja pada Lantai Kerja Tetap dan/atau Lantai Kerja Sementara serta bekerja
-24-
atau bergerak menuju dan meninggalkan lantai kerja tetap atau sementara secara horizontal atau vertikal pada struktur bangunan atau dengan posisi atau tempat kerja miring. (2) Tenaga Kerja Bangunan Tinggi Tingkat
2
(dua)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan kewenangan: a. bekerja pada Lantai Kerja Tetap dan/atau pada Lantai Kerja Sementara dengan alat pelindung jatuh berupa jala, bantalan, atau tali pembatas gerak (work restraint); b. bergerak menuju dan meninggalkan Lantai Kerja Tetap atau Lantai Kerj a Sementara dengan menggunakan tangga; c. bergerak menuju dan meninggalkan lantai kerja tetap atau sementara secara horizontal atau vertikal pada struktur bangunan; d. bekerja pada posisi atau tempat kerja miring; e. menaikkan dan menurunkan barang dengan sistem katrol; dan f. melakukan upaya pertolongan dalam keadaan darurat.
Pasal 38 Tenaga Kerja pada ketinggian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c, huruf d, dan huruf e, merupakan Tenaga Kerja yang mampu bekerja dan berwenang bekerja pada Lantai Kerja Tetap, Lantai Kerja Sementara, bergerak menuju dan meninggalkan Lantai Kerja Tetap atau Lantai Kerja Sementara secara horizontal atau vertikal pada struktur bangunan, bekerja pada posisi atau tempat kerja miring, akses tali dan/atau menaikkan dan menurunkan barang dengan sistim katrol atau dengan bantuan tenaga mesin, dengan tugas dan kewenangan: a.
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 1 (satu):
-25-
1)
membuat Angkur di bawah pengawasan Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 2
(dua) dan/atau
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 3 (tiga); dan 2) b.
melakukan upaya pertolongan diri sendiri;
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 2 (dua): 1)
membuat Angkur secara mandiri;
2)
mengawasi Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 1 (satu) dalam pembuatan Angkur;
3)
mengawasi Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 1 (satu); dan
4)
melakukan upaya pertolongan dalam keadaan darurat pada ketinggian untuk tim kerja.
c.
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 3 (tiga): 1)
menyusun perencanaan sistim keselamatan Bekerja Pada Ketinggian;
2)
melakukan pemeriksaan Angkur untuk keperluan internal;
3)
mengawasi Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 2 (dua) dan/atau Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 1 (satu); dan
4)
melakukan upaya pertolongan dalam keadaan darurat pada ketinggian.
BAB VII PENGAWASAN
Pasal 39 Pengawasan dilakukan
terhadap oleh
ditaatinya
Pengawas
Peraturan
Menteri
Ketenagakerjaan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
ini
sesuai
-26-
Pasal 40 Dalam hal Pengawas Ketenagakerj aan menemukan pelanggaran terhadap syarat-syarat K3 yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, Pengawas Ketenagakerjaan dapat menghentikan sementara kegiatan sampai dipenuhinya syarat-syarat K3 oleh Pengusaha dan/atau Pengurus.
BAB VIII SANKSI
Pasal 41 Pengusaha dan/ atau Pengurus yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42 (1) Lisensi K3 yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya dan dapat diperpanjang dengan mengikuti persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan •
•
»
Menteri mi (2) Lisensi teknisi akses tali 1 (satu), teknisi akses tali 2 (dua), dan teknisi akses tali 3 (tiga) yang diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini, menjadi lisensi Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 1 pada ketinggian tingkat 2
(satu), Tenaga Kerja
(dua), dan Tenaga Kerja
pada ketinggian tingkat 3 (tiga).
-27-
Pasal 43 (1)
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Di Sektor Ketenagakerjaan Bidang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Sub Bidang Bekerja Di Ketinggian sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
KEP.325/MEN/XII/2011 diberlakukan paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. (2)
Sebelum diberlakukannya SKKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diterbitkan sertifikat pembinaan K3 oleh Direktur Jenderal dengan ketentuan telah mengikuti pembinaan K3.
(3)
Pedoman pembinaan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BABX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor KEP.45/DJPPK/IX/2008 tentang Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bekerja Pada Ketinggian Dengan Menggunakan Akses Tali [Rope Access), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45 Peraturan
Menteri
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
- 28 -
Agar
setiap
orang
pengundangan
mengetahuinya,
Peraturan
Menteri
memerintahkan mi
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 386
SESUAI DENGAN ASLINYA
^ ^
V
vr
*A &
*
Rt
1
^
u j kj h~
*
LU
<>
&
*
•
%
t
m
•* \ W^* *> * \ \
*J
£
©
O HUKUM,
&
D^
#»
6 9
N, SH NIP. 19600324 198903 1 001
LAMPIRAN PERATURAN
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DALAM PEKERJAAN PADA KETINGGIAN
PEDOMAN PEMBINAAN K3
A.
Jenis Materi Pembinaan K3, meliputi: a. materi dasar; b. matei inti; w
c. materi penunjang; d. evaluasi. Materi dasar, disampaikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dan/atau Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja. Materi inti dan materi penunjang,
disampaikan oleh Pengawas
Ketenagakerjaan Spesialis K3 Lingkungan Kerja dan/atau praktisi yang berkompeten.
B.
Persyaratan Tenaga Kerja Pada Ketinggian Tenaga Kerja pada ketinggian terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu a.
Tenaga Kerja bangunan tinggi; Tenaga Kerja bangunan tinggi terdiri dari Tenaga Kerja bangunan *
tinggi tingkat 1 (satu) dan Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat 2 (dua) yang memiliki kualifikasi untuk Bekerja Pada Ketinggian dengan menggunakan metode pencegahan jatuh /fall protection. b.
Tenaga Kerja pada ketinggian; Tenaga Kerj a pada ketinggian terdiri dari Tenaga Kerj a pada ketinggian tingkat 1 (satu), Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 2 (dua), dan Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 3 (tiga) yang memiliki kualifikasi untuk Bekerja Pada Ketinggian dengan menggunakan metode pencegahan jatuh//a?Z protection dan akses tali/ rope access.
-2-
Untuk memiliki kualifikasi di atas, Tenaga Kerja pada ketinggian harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1.
Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat 1 (satu): a.
mampu membaca, tulis, dan matematika sederhana;
b.
sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki kekurangan fungsi *
tubuh yang dapat menyebabkan bahaya saat bekerja di ketinggian; dan c.
lulus evaluasi pembinaan K3 Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat 1 (satu).
2.
Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat 2 (dua): a.
minimum pendidikan SD atau sederajat;
b.
sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki kekurangan fungsi tubuh yang dapat menyebabkan bahaya saat bekerja di ketinggian; dan
c.
lulus evaluasi pembinaan K3 Tenaga Kerja bangunan tinggi tingkat 2 (satu).
3.
Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 1 (satu): a.
minimum pendidikan SD atau sederajat;
b.
sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki kekurangan fungsi tubuh yang dapat menyebabkan bahaya saat bekerja di ketinggian; dan
c.
lulus evaluasi pembinaan K3 Bekerja Pada Ketinggian tingkat 1 (satu).
4. Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 2 (dua): a.
minimum pendidikan SLTP atau sederajat;
b.
sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki kekurangan fungsi tubuh yang dapat menyebabkan bahaya saat bekerja di ketinggian;
c.
memiliki sertiikat pelatihan K3 Bekerj a Pada Ketinggian tingkat 1 (satu) dan lisensi kerja yang masih berlaku;
d.
telah mempunyai pengalaman 500 jam kerja pada ketinggian tingkat 1 (satu) yang dibuktikan dalam buku kerja; dan
e.
lulus evaluasi pembinaan K3 Bekerja Pada Ketinggian tingkat 2 (dua).
-3-
5. Tenaga Kerja pada ketinggian tingkat 3 (tiga): a. minimum pendidikan SLTA atau sederajat; b. sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki kekurangan fungsi tubuh yang dapat menyebabkan bahaya saat bekerja di ketinggian; c.
memiliki sertifikat pelatihan K3 Bekerja Pada Ketinggian tingkat 2 (dua) dan lisensi kerja yang masih berlaku;
d. telah mempunyai pengalaman 1000 jam kerja pada ketinggian tingkat 2 (dua) yang dibuktikan dengan buku kerja; e.
memiliki sertifikat pelatihan pertolongan pertama dengan lisensi keterampilannya yang masih berlaku; dan
f.
lulus evaluasi pembinaan K3 Bekerja Pada Ketinggian tingkat 3 (tiga).
C.
Kurikulum Pembinaan Kuikulum pembinaan K3 Bekerja Pada Ketinggian, meliputi: 1.
Kelompok materi dasar, yang disampaikan oleh tenaga pembina dari
Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
di
bidang
ketenagakerjaan; 2.
Kelompok materi inti dan penunjang, yang disampaikan oleh Instruktur K3 Bekerja Pada Ketinggian yang terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan asosiasi terkait;
3.
Evaluasi awal dan akhir pembinaan;
4.
Setiap 1 (satu) jam pelajaran setara dengan 45 (empat puluh lima) menit.
D.
Tata Cara Memperoleh Sertifikat Pembinaan K3 dan Lisensi K3 1.
Perusahaan Jasa K3 sebagai penyelenggara pembinaan K3 menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan diketahui oleh dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat.
-4-
2.
Perusahaan Jasa K3 melaporkan pelaksanaan pembinaan K3 kepada Direktur Jenderal, sekaligus menyampaikan permohonan penerbitan Sertifikat Pembinaan K3 dan Lisensi K3 dengan dilampiri dokumen pendukung yang lengkap dan benar.
3.
Direktur Jenderal menerbitkan Sertifikat Pembinaan K3 dan Lisensi K3 yang berlaku selama 5 (lima) tahun.
4.
Lisensi Tenaga Kerja pada ketinggian terdiri atas: a.
Tenaga Kerja bangunan tinggi dengan metode pencegahan jatuh tingkat 1 (satu);
b.
Tenaga Kerja bangunan tinggi dengan metode pencegahan jatuh tingkat 2 (dua);
c.
Tenaga Kerja pada ketinggian dengan metode akses tali tingkat 1 (satu);
d.
Tenaga Kerj a pada ketinggian dengan metode akses tali tingkat 2 (dua); dan
e.
Tenaga Kerja pada ketinggian dengan metode akses tali tingkat 3 (tiga).
-5-
E.
Kurikulum Pembinaan Tenaga Kerja Bangunan Tinggi 1.
Tenaga Kerja Bangunan Tinggi Tingkat 1 (satu) Jumlah Materi Pembinaan
No.
i.
(jp)
KELOMPOK DASAR Peraturan
Perundang-Undangan
K3
dalam
2
pekerjaan pada ketinggian
ii.
KELOMPOK INTI
i.
Karakteristik Lantai Kerja Tetap dan Lantai
2
Kerja Sementara 2.
Alat pencegah dan penahan jatuh kolektif serta
2
alat pembatas gerak 3.
Prinsip Penerapan Faktor Jatuh
III.
KELOMPOK PENUNJANG
1.
Teori dan praktek penggunaan tangga
IV.
1
1
EVALUASI
1.
Teori
1
2.
Praktek
1
Jumlah
10
-6-
2.
Tenaga Kerja Bangunan Tinggi Tingkat 2 (dua) Jumlah Materi Pembinaan
No.
(JP)
I.
KELOMPOK DASAR
1.
Peraturan
Perundang-Undangan
K3
dalam
2
pekerjaan pada ketinggian
II
KELOMPOK INTI
1
Karakteristik Lantai Kerja Tetap dan Lantai
1
Kerja Sementara 2
Alat pencegah dan penahan jatuh kolektif serta
1
alat pembatas gerak 3
Prinsip penerapan faktor jatuh
1
4
Prosedur kerja aman pada ketinggian
2
5
Teori dan praktek bergerak horizontal atau
4
vertikal menggunakan struktur bangunan 6
Teori dan praktek teknik bekerja aman pada
1
struktur bangunan dan bekerja dengan posisi miring dan struktur miring 7
Teori
dan praktek teknik menaikkan
dan
1
menurunkan barang dengan sistem katrol
III. 1.
KELOMPOK PENUNJANG Teori dan praktek upaya penyelamatan dalam
2
keadaan darurat
IV.
EVALUASI
1.
Teori
2
2.
Praktek
3
Jumlah
20
-7-
F.
Kurikulum Pembinaan Tenaga Kerja Pada Ketinggian 1.
Tenaga Kerja Pada Ketinggian Tingkat 1 (satu) Jumlah
No.
i.
Materi Pembinaan
(jp)
KELOMPOK DASAR Perundang-undangan K3 dalam pekerjaan pada
2
ketinggian
ii.
2.
KELOMPOK INTI Identifikasi bahaya dalam kegiatan akses tali
1
Pengetahuan
1
tergantung
kondisi (suspension
ketidaktahanan intolerance)
dan
penanganannya 3.
Penerapan prinsip-prinsip faktor jatuh
[fall
1
factor) dalam akses tali. 4.
Pemilihan,
pemeriksaan,
dan
pemakaian
1
peralatan akses tali yang sesuai 5.
Simpul dan Angkur dasar
2
6.
Teknik manuver pergerakan pada tali
10
7.
Teknik pemanjatan pada struktur
3
III.
KELOMPOK PENUNJANG
1.
Teknik penyelamatan diri sendii dan korban
2
menuju arah turun dengan alat turun
IV.
EVALUASI
1.
Evaluasi teori
2
2.
Evaluasi praktek
5
Jumlah
30
-8-
2.
Tenaga Kerja Pada Ketinggian Tingkat 2 (dua) Jumlah
No.
Materi Pembinaan
(jp)
i.
KELOMPOK DASAR
i.
Dasar-dasar K3 dan peraturan perundangan
3
yang terkait dengan bekerja di ketinggian.
ii.
KELOMPOK INTI
i.
Teknik penyelamatan korban pada tali
12
2.
Sistem jalur penambat
10
[anchor line) tingkat
lanjutan 3.
Teknik
pemanjatan
pada
struktur
tingkat
2
(exclusion
1
lanjutan
III. 1
KELOMPOK PENUNJANG Penentuan "zona khusus terbatas"
zone) dan perlindungan untuk pihak ketiga
IV.
EVALUASI
1.
Evaluasi teori
2
2.
Evaluasi praktek
5
Jumlah
35
-9-
3.
Tenaga Kerja Pada Ketinggian Tingkat 3 (tiga)
No.
Materi Pembinaan
Jumlah (JP)
I.
KELOMPOK DASAR
1.
Kebijakan K3 dan peraturan perundangan yang
3
terkait dengan bekerja di ketinggian 1
2.
Pengenalan SMK3
II.
KELOMPOK INTI
1.
Merencanakan
danmenerapkansistem
2
manajemen peralatan akses tali 2.
Pemilihan penambat (anchor) yang tepat.
2
3.
Pemilihan metode untuk mengakses tempat
2
kerja 4.
Teknik penyelamatan korban pada tali tingkat
15
lanjutan III.
KELOMPOK PENUNJANG
1.
Membuat dan menerapkan penilaian risiko (risk
2
assessment) di tempat kerja. IV.
EVALUASI
1.
Evaluasi teori
3
2.
Evaluasi praktek
5
Jumlah
35
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PROGRAM KEMBALI KERJA SERTA KEGIATAN PROMOTIF DAN KEGIATAN PREVENTIF KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 49 ayat dan Pasal
50 ayat
(2)
(2) Peraturan Pemerintah Nomor
44
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang Keselamatan Kerja
Nomor
1
Tahun
1970
tentan
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1918); 2.
Undang-Undang Nomor Ketenagakerjaan Indonesia Tahun
13 Tahun
(Lembaran 2003 Nomor
2003 tentang
Negara 39,
Republik Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
-2-
3.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun Sistem Jaminan Sosial Nasional Republik Indonesia Tahun
2004 tentang
(Lembaran Negara 2004 Nomor
150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 4.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Republik Indonesia Tahun
(Lembaran Negara 2011
Nomor
166,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5714;
6.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
; PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PROGRAM KEMBALI KERJA SERTA KEGIATAN PROMOTIF DAN KEGIATAN PREVENTIF KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau
-3-
pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. 2.
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
3.
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. 4.
Program Kembali Kerja {Return to Work Program) yang selanjutnya disebut Program Kembali Kerja adalah rangkaian tata laksana penanganan kasus Kecelakaan Kerja maupun Penyakit Akibat Kerja melalui pelayanan kesehatan, rehabilitasi, dan pelatihan agar pekerja dapat kembali bekerja. 5.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah sarana yang digunakan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan rehabilitasi yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau swasta.
6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 7. Trauma Center BPJS Ketenagakerjaan adalah fasilitas pelayanan kesehatan berupa klinik, puskesmas, balai pengobatan, praktek dokter bersama dan rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja. 8. Dokter Penasehat adalah dokter yang diangkat oleh Menteri untuk memberikan pertimbangan medis dalam menentukan besarnya persentase kecacatan akibat Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerj a, menentukan cacat total tetap, serta memberikan rekomendasi Program Kembali Kerja.
-4-
9.
Manajer Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang selanjutnya disebut Manajer Kasus adalah petugas pelayanan BPJS Ketenagakerjaan yang berkompeten dan dibei tugas untuk melakukan monitoring, pendampingan tenaga kerj a dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan Program Kembali Bekerja.
10. Kegiatan Promotif adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja guna mencegah Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja. 11. Kegiatan Preventif adalah upaya yang dilakukan baik secara mandiri maupun bersama-sama untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Kerja dan/ atau Penyakit Akibat Kerja. 12. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat
6 (enam) bulan di
Indonesia, yang telah membayar iuran. 13. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 14. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang memperkerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah,
atau imbalan
dalam bentuk
lainnya. 15. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
BAB II PROGRAM KEMBALI KERJA
Pasal 2 Setiap Pekerja yang mengalami Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja dapat memperoleh manfaat Program Kembali Kerja.
-5-
Pasal3 (1) Manfaat Program Kembali Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2
dapat diberikan berdasarkan
rekomendasi Dokter Penasehat. (2) Rekomendasi Dokter Penasehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan: a. dalam proses pengobatan dan perawatan; atau b. setelah
Pekerja dinyatakan sembuh dengan
kecacatan yang dapat diberikan Program Kembali Kerja.
Bagian Kesatu Manfaat
Pasal 4 (1) Manfaat Program Kembali Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2
diberikan secara
komprehensif mulai dari pelayanan kesehatan, rehabilitasi, dan pelatihan kerja. (2) Pemberian manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Trauma Center BPJS Ketenagakerjaan, fasilitas rehabilitasi, dan fasilitas pelatihan kerja baik milik Pemerintah, pemeintah daerah dan/atau milik swasta yang memenuhi persyaratan dan menjalin kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Bagian Kedua Persyaratan
Pasal 5 Pekerja
yang
mengalami
Kecelakaan
Kerja
dan/atau
Penyakit Akibat Kerja dapat memperoleh manfaat Program Kembali Kerja dengan persyaratan: a.
terdaftar sebagai Peserta BPJS Ketenagakerjaan dalam program JKK;
b.
Pemberi Kerja tertib membayar iuran;
-6-
c.
mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja yang mengakibatkan kecacatan;
d.
adanya rekomendasi Dokter Penasehat bahwa Pekerja perlu difasilitasi dalam Program Kembali Kerja; dan
e.
Pemberi Kerja dan Pekerja bersedia menandatangani surat persetujuan mengikuti Program Kembali Kerja.
Bagian Ketiga Mekanisme Penyelenggaraan
Pasal 6 (1)
Pemberi Kerja wajib melaporkan Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja yang menimpa Pekerja sebagai laporan tahap I kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat, tidak lebih dari 2x24 jam sejak terjadi Kecelakaan Kerj a dan/ atau diagnosis Penyakit Akibat Kerj a dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Manajer Kasus BPJS Ketenagakerjaan
melakukan verifikasi untuk mempertimbangkan pemberian Program Kembali Kerja sesuai persyaratan yang telah ditetapkan berkoordinasi dengan Dokter Penasehat. (4)
Berdasarkan hasil verifikasi dan data pendukung dari BPJS Ketenagakerjaan, Dokter Penasehat memberikan rekomendasi kepada Peserta untuk memperoleh Program Kembali Kerja.
Pasal 7 (1) Berdasarkan
rekomendasi
Dokter
Penasehat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) Manajer
-7-
Kasus
BPJS
Ketenagakerjaan
melakukan
pendampingan kepada Peserta. (2)
Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada
saat proses
pelayanan
kesehatan,
rehabilitasi, pelatihan kerja, dan tindak lanjut surat keterangan penempatan Peserta kembali bekerja.
Pasal 8 (1)
Selama Peserta mengikuti Program Kembali Kerja maka santunan sementara tidak mampu bekerja tetap dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan sampai Peserta selesai mengikuti pelatihan kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
M anaj er Kasus BPJ S Ketenagakerj aan melakukan monitoring dan evaluasi tingkat keberhasilan dari Program Kembali Kerja.
Pasal 9 (1) Dalam menyelenggarakan Program Kembali Kerj a, BPJS Ketenagakerjaan dapat bekerja sama dengan: a.
fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b.
fasilitas pelayanan rehabilitasi;
c.
fasilitas pelatihan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3)
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
huruf c dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan: a.
lembaga pelatihan kerja baik milik Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau swasta;
b.
lembaga keselamatan dan kesehatan kerja;
(4) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Jenis pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh lembaga
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
-8-
dilakukan sesuai dengan kebutuhan, peminatan, jenis dan kondisi kecacatan masing-masing Peserta. (6)
Setelah Peserta dinyatakan selesai mengikuti Program Kembali Kerj a, lembaga pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) mengeluarkan surat
keterangan yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan
sebagai
pertimbangan
dalam
menempatkan kembali Peserta.
Pasal 10 (1)
BPJS Ketenagakerjaan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Program Kembali Kerja.
(2)
BPJS Ketenagakerjaan melakukan evaluasi pasca penempatan Peserta di tempat kerja paling lama 3 (tiga) bulan untuk mengetahui tingkat keberhasilan Program Kembali Kerja.
BAB III KEGIATAN PROMOTIF DAN KEGIATAN PREVENTIF KECELAKAAN KERJA DAN/ATAU PENYAKIT AKIBAT KERJA
Bagian Kesatu Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif
Pasal 11 Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif dalam mencegah terjadinya Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja merupakan tanggung jawab Pemberi Kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12 (1) Pemberi Kerja dalam melaksanakan Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11
dapat
Ketenagakerj aan
bekerja dengan
sama
dengan
BPJS
memper timbangkan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja nasional.
-9 -
(2)
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dapat dilakukan dalam bentuk nota kesepahaman atau bentuk lain yang disepakati bersama.
Pasal 13 (1) Selain kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dalam melaksanakan Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif, BPJS Ketenagakerjaan dapat bekerja sama dengan lembaga: a.
balai keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
perusahaan jasa keselamatan dan kesehatan kerja;
c.
lembaga profesi
keselamatan
dan
kesehatan
kerja; dan/atau d.
lembaga terkait lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dapat dilakukan dalam bentuk nota kesepahaman atau bentuk lain yang disepakati bersama. (3)
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 (1) Kegiatan Promotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 meliputi: a.
kampanye keselamatan berlalu lintas dalam mencegah terj adinya Kecelakaan Kerj a dalam perjalanan;
b.
promosi dan kampanye perilaku hidup bersih dan sehat;
c.
pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja;
d.
peningkatan budaya keselamatan dan kesehatan kerja; dan/atau
e.
peningkatan gizi Pekerja.
(2) Kegiatan Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 meliputi:
- 10-
a.
pemeriksaan kesehatan/ medical check up Peserta;
b.
pemeriksaan lingkungan kerja;
c.
peny ediaan alat pelindung diri dan sarana keselamatan dan kesehatan kerja;
d.
peny ediaan sarana komunikasi, informasi, dan edukasi dalam pencegahan Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja; dan/atau
e.
pelatihan dan implementasi safety riding.
Bagian Kedua Pelaksanaan Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif
Pasal 15 Untuk
memperoleh
Preventif,
Pemberi
Kegiatan Kerja
Promotif
sebagaimana
dan
Kegiatan
dimaksud
dalam
Pasal 12 harus memenuhi persyaratan: a.
tertib dalam membayar iuran;
b.
telah menjadi Peserta BPJS Ketenagakerjaan paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c.
telah mengikutsertakan seluruh pekerjanya dalam program jaminan sosial
sesuai
penahapan
kepesertaan.
Pasal 16 BPJS Ketenagakerjaan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif yang dilaksanakan oleh Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Bagian Ketiga Pengajuan Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif
Pasal 17 (1)
Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mengajukan usulan Kegiatan Promotif dan Kegiatan
- 11
Preventif kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan kerja sama yang disepakati. (2)
Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BPJS Ketenagakerjaan melakukan verifikasi untuk menentukan pemberian jenis Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif sesuai persyaratan yang telah ditetapkan.
(3)
Penyampaian usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
(4)
Tata cara pemberian dan pelaksanaan Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif diatur oleh BPJS Ketenagakerj aan.
BAB IV PELAPORAN
Pasal 18 Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 melaporkan hasil pelaksanaan Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kegiatan selesai dilaksanakan.
Pasal 19 (1)
BPJS Ketenagakerjaan melaporkan hasil pelaksanaan Program Kembali Kerja serta Kegiatan Promotif dan Kegiatan Preventif Kecelakaan Kerj a dan / atau Penyakit Akibat Kerja kepada Menteri secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama setiap tahun.
1 (satu)
- 12 -
BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Peraturan
Menteri
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan. Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan *
•
Peraturan Menteri mi dengan pengundangan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016 MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 387
.-- S5EJNAN SESUAI DENGAN ASLINYA /
■—>
,-••*',■
t
•y /^wtL /
■:->
/
-* J
<••.
RO HUKUM,
/
t
II N/
-\
-r *v '
>> s /.
m SH ,
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DAN BESARAN TARIF DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (7) dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Pelayanan Kesehatan dan Besaran Tarif Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Keselamatan Kerja
Nomor
1
Tahun
1970
tentang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1918); 2.
Undang-Undang Nomor Ketenagakerjaan Indonesia Tahun
13 Tahun
(Lembaran 2003 Nomor
2003 tentang
Negara 39,
Republik Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
-2-
3.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun Sistem Jaminan Sosial Nasional Republik Indonesia Tahun
2004 tentang
(Lembaran Negara 2004 Nomor
150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 4.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun Badan
Penyelenggara
2011 tentang
Jaminan
Sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); 5.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor
154,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5714); 6.
Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2015 tentang
Kementerian Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 19); 7.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2015
Tentang Tata
Pembentukan
Cara Mempersiapkan
Rancangan
Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Beita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DAN BESARAN TARIF DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA.
-3-
BABI KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. 2.
Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang selanj utnya disebut Pemberi Kerj a adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badanbadan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
3.
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
4.
Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
5.
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
6.
Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.
-4-
7. Dokter Pemeriksa adalah dokter yang memeriksa, mengobati dan merawat peserta yang mengalami kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja. 8. Dokter Penasehat adalah dokter yang diangkat oleh Mentei untuk memberikan pertimbangan medis dalam menentukan besarnya persentase kecacatan akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. 9. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 10. Trauma Center BPJS Ketenagakerjaan adalah fasilitas pelayanan kesehatan berupa klinik, puskesmas, balai pengobatan, praktek dokter bersama dan rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja. 11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan.
BAB II PELAYANAN KESEHATAN
Pasal 2 (1)
Pelayanan kesehatan bagi Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja diberikan melalui fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah atau milik swasta yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan dan/atau Trauma Center BPJS Ketenagakerjaan.
-5-
(2)
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kebutuhan medis yang meliputi: a. pemeriksaan dasar dan penunjang; b. perawatan tingkat pertama dan lanjutan; c. rawat inap kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah atau rumah sakit swasta yang setara; d. perawatan intensif; e. penunjang diagnostik; f.
pengobatan;
g. pelayanan khusus; h. alat kesehatan dan implan; i.
jasa dokter/medis;
j.
operasi;
k. transfusi darah; dan/atau 1. rehabilitasi medik.
Pasal 3 (1)
Apabila di lokasi tempat terjadinya Kecelakaan Kerja tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Peserta dapat menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang terdekat.
(2)
Dalam hal Peserta menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberi kerja wajib membayar terlebih dahulu biaya pelayanan kesehatan kepada fasilitas pelayanan kesehatan lain.
(3)
Biaya pelayanan kesehatan yang telah dikeluarkan oleh Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimintakan penggantiannya kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-6-
Pasal 4 (1)
Apabila Peserta membutuhkan pelayanan kesehatan rawat inap, maka kelas yang digunakan adalah ruang perawatan kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah atau rumah sakit swasta yang setara.
(2)
Dalam hal Peserta menggunakan ruang perawatan rawat inap yang lebih tinggi dari standar tarif kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah atau rumah sakit swasta, maka selisih biaya ruang perawatan rawat inap dibebankan kepada Pemberi Kerja.
BAB III BESARAN TARIF PELAYANAN KESEHATAN
Pasal 5 (1) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), besarnya tarif ditetapkan sebagai
berikut: a. bagi
fasilitas
pelayanan kesehatan milik
pemerintah atau pemerintah daerah setempat berpedoman pada standar tarif fasilitas pelayanan *
kesehatan
kelas
I
pada
fasilitas
pelayanan
kesehatan yang bersangkutan; b. bagi fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta berpedoman pada standar tarif tertinggi fasilitas pelayanan kesehatan kelas I milik pemerintah atau pemerintah daerah di provinsi setempat yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan atau sesuai dengan kebutuhan medis Peserta; (2) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk biaya administrasi.
-7-
Pasal 6 (1)
Besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan tata cara pembayaran dari BPJS Ketenagakerjaan kepada
fasilitas
berdasarkan
pelayanan
kesepakatan
Ketenagakerjaan
dengan
kesehatan
bersama
ditetapkan
antara
fasilitas
BPJS
pelayanan
kesehatan. (2)
Kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat dalam bentuk Perjanjian Kerja Sama antara BPJS Ketenagakerjaan dengan masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan baik milik pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta dengan berpedoman pada besaran tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
(3)
Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan BPJS Ketenagakerj aan.
BAB IV MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 7 (1)
BPJS Ketenagakerjaan berperan aktif melakukan pengendalian mutu dan pengendalian biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
(2)
BPJS Ketenagakerjaan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan paling lama setiap 6 (enam) bulan.
-8-
(3) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
meliputi: a. persyaratan administrate dan operasional sebagai fasilitas pelayanan kesehatan; b. sarana dan prasarana; dan c. kualitas pelayanan. (4)
Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perpanjangan Perjanjian Kerja Sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
(5)
Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada Menteri paling lama setiap 1 (satu) tahun.
Pasal 8 (1)
Mentei atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan monitoring terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan setiap 1 (satu) tahun.
(2)
Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang pengawasan ketenagakerjaan.
BABV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 9 Pada saat Peraturan Mentei ini mulai berlaku, maka Perj anj ian Kerj a S ama antara B PJS Ketenagakerj aan dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang sedang berjalan tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian kerja sama.
- 9-
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Peraturan
Menteri
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan Agar
setiap
pengundangan
orang
mengetahuinya,
Peraturan
Menteri
memerintahkan *
4
ini
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016 MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIFDHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 388
PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG DEWAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a.
bahwa
dalam
rangka
mendukung
kebijakan
Pemerintah di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, perlu dibentuk dewan keselamatan dan kesehatan kerja; b.
bahwa pembentukan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.125/MEN/82 tentang Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 155/MEN/84 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini sehingga perlu disempurnakan;
- 2-
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang
Nomor
Keselamatan Kerja
1
Tahun
1970
tentang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 2.
Undang-Undang Nomor Ketenagakerjaan Indonesia Tahun
13 Tahun
(Lembaran
2003 tentang
Negara
2003 Nomor
39,
Republik Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3.
Undang-Undang Nomor Pemerintahan Daerah Indonesia Tahun
23 Tahun
2014 tentang
(Lembaran Negara Republik
2014 Nomor
244,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5309);
5.
Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengesahan Convention Concerning The Promotional Framework
For
Health/ Convention
Occupational 187,
2006
Safety
And
(Konvensi Mengenai
Kerangka Kerja Peningkatan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja/Konvensi
187,
2006)
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 89);
- 3-
6.
Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2015 tentang
Kementerian Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 19); 7.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor
8 Tahun
2015 tentang Tata Cara Mempersiapkan Pembentukan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Serta Pembentukan Rancangan Peraturan Menteri di Kementerian Ketenagakerjaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 411);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
TENTANG
DEWAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1.
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional yang selanjutnya disebut DK3N adalah dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri di bidang keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat nasional.
2.
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Provinsi yang selanjutnya disebut DK3P adalah dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada gubernur di bidang keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat provinsi.
3.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
- 4-
4.
Dinas Provinsi adalah dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi.
5.
Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan.
6.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan.
BAB II DEWAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA NASIONAL
Bagian
Kesatu
Pembentukan
Pasal 2 DK3N dibentuk oleh Menteri.
Bagian Kedua Tugas
Pasal 3 DK3N
mempunyai
pertimbangan
tugas
kepada
memberikan
Menteri
dalam
saran
dan
merumuskan
kebijakan nasional di bidang K3.
Bagian Ketiga Keanggotaan
Pasal 4 Keanggotaan DK3N terdiri dari unsur pemerintah, serikat pekerja/serikat
buruh,
organisasi
pengusaha,
profesi di bidang K3, dan/atau akademisi.
organisasi
-5-
Pasal 5 Susunan keanggotaan DK3N terdiri atas a.
ketua;
b.
wakil ketua;
c.
sekretaris; dan
d.
komisi;
Pasal 6 (1)
Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah Direktur Jenderal secara ex officio.
(2)
Wakil ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5
huruf b berasal dari unsur di luar pemerintah. (3)
Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c berasal dari unsur pemerintah yang membidangi pengawasan norma K3 dari Direktorat Jenderal yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan.
(4)
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d berasal dari unsur pemerintah, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, organisasi profesi di bidang K3, dan/atau akademisi.
Pasal7 (1)
DK3N
dapat
membentuk
komisi
sesuai
dengan
kebutuhan, paling banyak 5 (lima) komisi. (2)
Masing-masing komisi terdiri atas seorang ketua dan paling banyak 5 (lima) orang anggota.
(3)
Susunan keanggotaan dan tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh ketua DK3N.
Pasal 8 (1)
Ketua, wakil ketua, dan sekretaris, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c dan ketua komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2)
Anggota komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh ketua DK3N.
-6-
Bagian Keempat Sekretariat
Pasal 9 (1)
Untuk mendukung kelancaran tugas, DK3N dibantu oleh sekretariat.
(2)
Sekretariat
sebagaimana
dimaksud
pada ayat
( 1)
ditetapkan oleh ketua DK3N.
BAB III DEWAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROVINSI
Pasal 10 (1) DK3P dapat dibentuk oleh gubernur sesuai dengan kebutuhan. (2) DK3P mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan
kepada
gubernur
mengenai
pelaksanaan kebijakan di bidang K3 di tingkat provinsi.
Pasal 11 Dalam
hal
gubernur
membentuk
DK3P,
susunan
keanggotaan DK3P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a.
ketua;
b.
wakil ketua;
c.
sekretaris; dan
d.
komisi.
Pasal 12 ( 1) Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a adalah kepala Dinas Provinsi secara ex officio. (2) Wakil ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf b berasal dari unsur di luar pemerintah.
11
- 7-
(3) Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11
huruf c berasal dari unsur pemerintah yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan pada Dinas Provinsi. (4)
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d berasal dari unsur pemerintah, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, organisasi profesi di bidang K3, dan/atau akademisi.
Pasal 13 (1)
DK3P
dapat
membentuk
komisi
sesuai
dengan
kebutuhan, paling banyak 3 (tiga) komisi. (2)
Masing-masing komisi terdiri atas seorang ketua dan paling banyak 5 (lima) orang anggota.
(3) Susunan keanggotaan dan tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh ketua DK3P.
Pasal 14 (1) Ketua, wakil ketua, dan sekretaris, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, huruf b, huruf c dan ketua komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh gubernur. (2)
Anggota komisi sebagaimana dalam Pasal
13 ayat (2)
diangkat dan diberhentikan oleh ketua DK3P.
Pasal 15 DK3P kerja
dalam sama
melaksanakan dengan
badan
tugasnya
dapat
pemerintah/non
melakukan pemerintah
provinsi dan/atau kabupaten/kota melalui Dinas Provinsi.
- 8-
BAB IV TATA KERJA
Pasal 16 DK3N dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat melakukan kerja sama dengan badan pemerintah/non pemerintah baik nasional maupun internasional melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan.
Pasal 17 DK3N mengadakan rapat paling sedikit 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) bulan dan dipimpin oleh ketua DK3N.
BAB V
PENDANAAN
Pasal 18 Pendanaan
untuk
pelaksanaan
tugas
dan
fungsi
DK3N
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB VI PELAPORAN
Pasal 19 (1)
DK3N
melaporkan
rencana
kegiatan
dan
hasil
pelaksanaan tugas kepada Menteri. (2)
Laporan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
dilakukan secara periodik setiap 6 (enam) bulan.
( 1)
- 9-
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.125/MEN/82 tentang Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja; dan
b.
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
Nomor
KEP. 155/MEN/84 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 125/MEN/82 tentang Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21 Peraturan
Menteri
diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
- 10 -
Agar
setiap
pengundangan
orang
mengetahuinya,
Peraturan
Menteri
memerintahkan ini
dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei 2016
MENTERI
KETENAGAKERJAAN
REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. HANIF DHAKIRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 2016
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 718
SALINAN SESUAI DENGAN ASLINYA r m **
IRO HUKUM,
K
: * *r -
V.St ' +}
*0
Ar ■7
>" :: s
a-^;
C)
i
v>
0
"OXR*
4i -^
W an, sh \> /
DAFTAR REVISI
TANGGAL 28/11/2016
PERUBAHAN Penerbitan Pertama ( Versi 0.1 )