Kumpulan Cerpen proyek menulis
Kasih tak sampai Buku empat
Nulisbuku©2015
2
Daftar isi Ending Lose Sari Handayani Di Ruang Saya Saja Fitra Mamonto Amira Zarra Ovitte Kasih dan Ujung Pesawat Kertas Si Pagar Shindy Farrahdiba Dindadari Arum Jati Reuni Lihatlah Hatiku Rikma Haryani Menunggu Lelaki Sore Heditia Damanik Merah Inez Kriya Awi Chin One Year Later Pangeran Di Tanah Seberang Dian Nafi Jihan Muthia Zalfa Perahu, Laut dan Janji Pelayaran Perempuan Pelukis Senja Wanda Sp Pernikahan Derick Adeboi Pesan Yang Tertinggal Zahra Maemunah Nur Afifah Widyaningrum Saga bagi Ananka Ivana The Sang Kurir Cinta Sayap-Sayap Patah Kupu-Kupu Malam Chakra Budi Nugraha Sebuah Kisah Pagi Dua Hari Sekali Cappucinored Sepenggal Lagu Untuk Kisah Kita Siska Permata Sastra Surat Untuk Capung Iskandar Tak Tersampaikan Luqyana Salsabila Siti Yuanda Putri Terakhir Kali
3
4
Ending Lose Sari Handayani
“Aku sungguh mengagumimu, hingga aku tak tahu rasa apa yang sebenarnya menggerogoti hati ini. Wanita sepertimu, jelas tak sedikit lelaki yang begitu menginginkanmu. Namun aku, hanya sebatas bisa memandangmu dari balik rasa malu.” Begitu. Lihaiku menuliskan beberapa kalimat pada naskah yang akan segera kukirim ke penerbit nanti. Tepat pukul 03.00 pagi sekarang. Krukk krukk krukk, kuletakkan kedua telapak tanganku ke atas bidang datar perutku. Aku lapar ternyata…. Di seberang ujung jalan masih ada warung yang menyediakan beberapa jenis masakan. Memang sudah tidak lengkap tetapi lumayan untuk mengganjal perut. “Walah, Gus… Gus, lah kok ya sarapan jam segini toh?” Warung ini memang buka sejak pukul 13.00 siang hingga pukul 04.00 pagi nanti. Alasannya karena memang banyak orang-orang disini yang makan pada tengah malam. Sang pemilik –Bu Retna namanya – sendiri pun sangat heran waktu pertama kali berjualan disini. Tahun pertama membuka warung ini dengan jam normal –sejak pagi hingga
sore hari –masakan Bu Retna jarang laku. Hingga akhirnya 5 tahun belakangan ini ia mengerti di mana letak waktu rezekinya. “Mau gimana, Bu. Saya laparnya memang jam segini. Untung aja ibu masih punya stok makanan enak untuk saya.” “Cuma telur ceplok pake sambel ijo kok enak! Sambel ijo sisa iwak lele pula.” “Yang penting kenyang, Bu.” Oh ya, ibu Retna mempunyai seorang anak gadis yang begitu cantik dan sebaya denganku. Seperti namanya, Cantika. Setengah jam sudah aku duduk di kursi kayu di tempat aku makan. Para demonstran di perutku sedang bersenang-senang di dalam, aku bisa santai sekarang. Bersantai untuk kembali berjalan pulang. Di akhir perjalanan selepas makan malam, hem, pagi ini aku langsung disuguhkan pemandangan yang “aduhai”. Bukan “aduhai” untukku, melainkan untuk sepasang penggila nafsu pagi buta. “Kenapa bukan aku yang berada di posisi lelaki itu sekarang. Di dalam mobil berdua dengan wanita cantik. Menikmati merah bibir rasa ceri. Lalu tanganku dengan bebas merajai bagian tubuhnya yang kuinginkan.” Aku begitu terbius dengan pemandangan ini hingga membuatku merasa jijik sendiri. Ah sial, kakiku ngilu namun terus memaksakan tubuhku untuk berputar –setelah melihat ciuman mereka terlepas. Kemudian lelaki itu berpamitan, sang wanita keluar dari mobil dan lambaian lentik tangan wanita cantik pun mengudara. Aku menghela nafas. Tuhan memang tidak adil. 2
Ҩ
Mentari cerah mengiringi kakiku yang masih gemetar. Entah kenapa? Aku masih belum melangkah dari depan pintu kamar kosku, menatap kaki jenjang yang perlahan keluar dari kamar kos lain dan jarijari lentiknya mengunci pintu agar kamar tetap aman. “Gusti,” terdengar sedikit teriakan dari depan pagar rumah koskosan ini. Aku menoleh dan merenggangkan kembali urat-urat saraf lutut yang tiba-tiba mati. Cantika yang memanggilku, anak ibu Retna. Dia merupakan mahasiswi satu kampus denganku namun tidak satu hati. Kami memang biasa berangkat bersama. Kami memang dekat, hingga Cantika sempat merasa bahwa aku adalah lelaki yang dicintainya. Padahal, sangat bertolak belakang dengan perasaanku. “Udah siap naskahnya?” “Ya, tinggal kirim saja.” “Sini, aku bantu kirimkan, Gus.” Ucapnya dengan tulus ingin membantuku menyerahkan naskah ke penerbit. “Ini naskah pertamamu, kan? Boleh aku membacanya?” “Boleh, sih. Tapi ndak, ah. Malu.” Aku memang berniat menjadi penulis, tapi banyak penghalang yang membuatku selalu gagal mengirimkan tulisanku ke penerbit. “Kenapa malu? Nanti aku bantu kamu mengedit, deh.” “Beneran kamu?” Cantika tersenyum. Aihhh, senyumnya memancarkan kecantikan yang sangat cantik. Mana mungkin aku menolak bantuan wanita secantik Cantika –walau aku sudah menolak cintanya. Kuserahkan 3