1. Februar 2009
Sakrament: die heilige Taufe
15. Ausgabe Mai 2009
Kulturelles Mandat Christlicher Glaube und Kunst
Mimbar Reformed Injili Indonesia Berlin Ev.-ref. Indonesische Gemeinde in Berlin
REIN
DAFTAR ISI
REIN diterbitkan oleh Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V. REIN diterbitkan dua kali setahun. Penasihat: Ev. Steve Hendra Redaksi (urutan nama berdasarkan abjad): Christian Adi Hartono Erna Chandrawati Herawaty Poppy Permadi Shaniyl Jayakodiy Sonja Mondong Stephen Tahary William Aries Tandarto Pembimbing/Pengawas: Departemen Pembinaan MRII Berlin e.V. Penanggung Jawab: Mimbar Reformed Injili Indonesia di Berlin e.V. c/o Cahyadi Braunschweigerstr. 75 12055 Berlin
Pesan Redaksi
1
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
2
Ev. Steve Hendra
Agama dalam Kebudayaan
22
Ev. Ivan Kristiono
Kekristenan dan Kesenian
27
Poppy Permadi
Terangnya Warnaku
32
Erna Chandrawati
Resensi Buku: God and Culture
37
William Aries Tandarto
Biografi: Albrecht Dürer
40
Sonja Mondong
Semua artikel di dalam Buletin REIN hanya boleh diperbanyak dan dikutip di dalam bentuk artikel yang utuh, tanpa mengurangi atau pun menambahkan isi dari artikel tersebut.
Kesaksian Fungky Hendra
Seputar MRII-BERLIN Cover: Albrecht Dürer, 1471 – 1528 „The Praying Hands” Graphische Sammlung Albertina, Vienna
44
Stephen Tahary
47
1
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
Pesan Redaksi Begitu banyak jenis musik, lukisan, ukiran mau pun seni pahat atau pun tarian dapat dikategorikan sebagai kesenian masa kini. Tetapi yang jarang sekali kita pikirkan yaitu apakah kesenian itu sesuatu yang penting di kehidupan kita sebagai orang Kristen atau hanyalah hasil pemikiran manusia yang diakui eksistensinya. Yang cukup sering diperdebatkan ialah bagaimana suatu karya dianggap berseni atau tidak. Dapat disimpulkan bahwa tema ini pun sangat relevan dalam kehidupan kita. Kali ini kita akan melihat kultur, musik, dan lukisan khususnya dari perspektif kekristenan. Pertanyaan: Apakah setelah membaca edisi ini kita dapat membedakan kesenian yang mana yang dapat dianggap alkitabiah atau tidak? Jawab: Kalau kita ingin melihat dalam berbagai jenis kesenian satu persatu, tentu saja tidak cukup hanya dengan membaca edisi ini. Tetapi beberapa prinsip mendasar yang tersirat untuk itu dapat kita mengerti dan kita aplikasikan dalam kehidupan kita. Lingkup pembaca: Seringkali kita berpikir, bahwa seni sama sekali tidak menarik karena kita tidak mengerti. Dengan edisi ini setiap pembaca akan diajak ke dalam pengertian untuk juga lebih menikmati apa yang disebut seni. Kami bersyukur pada Tuhan kita, Yesus Kristus, bahwa edisi ini pun dapat diterbitkan. Doa kami ialah supaya para pembaca melalui REIN dapat lebih mengenal seni dan kekristenan. Soli Deo Gloria. Redaksi REIN
Keindahan menyuarakan
Bagaimana
Salam sejahtera dalam kasih kristus,
2
Kebenaran? Sebuah Percobaan untuk menetapkan Seni Retorik berdasarkan ilmu Ontologi dan Epistemologi Ev. Steve Hendra
Sudah diketahui secara luas, bahwa keindahan memiliki kekuatan untuk menaklukkan hati manusia. Ia dapat mengutarakan sesuatu dan menuntut ketaatan. Para seniman menggunakan kekuatan ini melalui karya mereka, untuk menyampaikan ide dan dengan itu meyakinkan penonton. Di bawah pengaruh Teori Tindakan Bicara (speech-act) dari John Langshaw, Nicholas Wolterstorf berpendapat dalam Art in Action, bahwa tidak ada satu seniman pun yang hanya mengungkapkan ide melalui karyanya tanpa memperhatikan respons penonton. Setiap seniman tidak hanya ingin mengatakan (locutionary act) dan menyampaikan (illocutionary act) idenya melalui cara tertentu, melainkan juga ingin tujuannya kepada para penonton tercapai (perlocutionary act). Ia mengamati karya seni sebagai sebuah tindakan bicara. Dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan fenomena, mengapa hal itu dapat terjadi demikian melalui Kritik der Urteilskraft (Critique of Judgement) dari Kant dan Der Ursprung des Kunstwerkes (The Origins of the Work of Art) dari Heidegger. Mengapa seorang seniman dapat menyampaikan idenya melalui karyanya? Apakah seni itu? Dan apa kemampuan yang manusia miliki, sehingga penyampaian tersebut menjadi mungkin? Dan bagaimana hal itu dapat berfungsi?
Apakah seni itu? Asal usul karya seni dan seniman adalah seni,1 kata Heidegger dalam tulisannya „Der Ursprung des Kunstwerkes“ (Asal Usul Karya Seni). Untuk menjawab pertanyaan „Apakah arti seni?“, Heidegger meneliti hakekat seni dalam karya yang nyata. Peristiwa kebenaran yang sedang bekerja dalam karya. Heidegger, Martin. Der Ursprung des Kunstwerkes. (Stuttgart: Philipp Reclam jun., 2008), hal. 56.
1
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
3
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
Heidegger mengerti kebenaran sebagai ketersingkapan (Unverborgenheit). Kita mengetahui kebenaran melalui penyingkapan dari keberadaan dan bukan melalui penurunan pengetahuan dari keberadaan dengan metode tertentu. Keberadaan itu terlihat dan dapat kita kenal. Prosedur pengetahuan ontologis ini menggunakan Phenomenologi sebagai teori dasar. Heidegger mengerti peristiwa dalam karya seni ini sebagai perbantahan dalam perdebatan antara dunia dan bumi. Sambil menyajikan sebuah dunia, karya seni menghasilkan bumi. 2 Untuk dapat mengerti kalimat ini, maka kita harus mengerti terlebih dahulu arti kata-kata seperti “Dunia”, “Menyajikan”, “Bumi” dan “Menghasilkan” dengan benar. Heidegger mengerti „Dunia“ bukanlah hanya sebagai kumpulan dari benda-benda ada yang dapat dihitung maupun tidak dapat dihitung, yang dikenal dan tidak dikenal, juga bukanlah hanya sebagai pengelompokan menjadi sejumlah dari yang ada, yang kemudian ditambahkan ke kerangka yang telah dibayangkan. Dunia mendunia merupakan keberadaan sebagai yang dapat dipegang dan diteliti, yang kita percaya tinggal di dalamnya. Dunia tidak pernah merupakan sebuah benda, yang ada didepan kita dan dapat dilihat, melainkan sesuatu yang bukan benda, yang bisa kita raih, sepanjang jalur kehidupan dari lahir dan mati, berkat dan kutuk, dan memegang kita dengan pesona dalam keberadaannya. Sebuah dunia hanya merupakan sebuah keberadaan yang dimiliki oleh akal budi di mana dirinya dapat tinggal dalam keterbukaannya. Dunia dapat dilihat sebagai dunia hidup dari para pemilik akal budi. Dunia dalam hal ini lebih mirip sebuah pandangan dunia (worldview) daripada hanya sebuah benda. Dengan kata „menyajikan“ Heidegger bukan mengungkapkan „hanya membawa“ seperti membawa sebuah karya ke sebuah kumpulan atau di sebuah pameran. Pameran di sini lebih dilihat sebagai mentahbiskan dan memuja, seperti sebuah penataan dari sebuah gambar atau sebuah penampilan suatu tragedi tertentu dalam sebuah perayaan. Pada penyajian dunia di sini ada sikap batin yang khusus dan usaha untuk membuka dan mewujudkan kehadiran dunia dalam karya tersebut. Penyusunan dunia pada karya seni ini terjadi dalam karya, yang terdiri dari bahan – batu, kayu, warna, bahasa, bunyi-, karena itu karya seni harus dimunculkan atau dihasilkan. Bahan-bahan dan segala sifat-sifatnya, di mana karya tersebut menempatkan dirinya dan yang ditampakkan dalam 2
Ibid., hal. 43. Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
4
penempatan diri itu sendiri. Heidegger menyebut ini bumi. Ia adalah ujung bukit yang timbul. Untuk mengerti ini, maka kita harus mengerti perbedaan antara perkakas dan karya oleh Heidegger. Pada „perkakas“ bahan-bahan (dan sifat-sifatnya) hilang melalui pembuatannya dibalik dari fungsi dan penggunaannya. Semakin mudah dia terbenam dalam keperkakasan (sifat perkakas) dari perkakas tersebut, maka semakin baik dan cocoklah bahan tersebut. Tetapi tidak demikian dengan karya seni. Bahan (dan sifatnya) tidak menghilang melalui penyusunan dunia dalam sebuah karya seni, melainkan timbul. Bahan dan sifatnya mengungkapkan dunia yang disusun melalui pembuatan karya seni tersebut. Heidegger memahami „Menghasilkan“ bukan menurut sebagai memproduksi seperti biasanya, melainkan sebagai suatu cara, bagaimana karya terHeidegger: sebut berpaling dan berhenti pada keterbukaan seni adalah suatu dunia, seperti seorang yang menggerakmenyatakan kan kepalanya lalu berhenti karena sudah melihat sesuatu yang ingin dia lihat, lalu posisi kebenaran kepalanya tinggal tetap menatap sesuatu tadi melalui bentuk. Jadi dengan menghasilkan bumi Heidegger berbicara tentang bagaimana seharusnya bahanbahan dan sifat-sifatnya dipertimbangkan dan dibentuk untuk dapat merealisasikan keterbukaan suatu dunia dalam karya atau untuk supaya dapat berfungsi (sebagai suatu karya seni). Agar lebih mudah mengerti, marilah kita memperhatikan contoh berikut ini. Sebuah tiang Dorian dari batu marmer yang dipotong dan dibentuk, menyajikan kepada kita cara hidup suku Dorian. Melalui bentuknya yang sederhana (dibandingkan dengan Tiang Korintian atau Ionik) dan tidak dipolis dan melalui marmer tersebut dengan sifat-sifatnya, tiang tersebut menghadirkan kepada kita pesan tentang tujuan dan cara hidup suku Dorian yang disiplin dan sederhana tetapi jelas sebagai bangsa pejuang. Dunia Dorian ini telah ditahbiskan dan dipuja melalui kesenian dari bumi dalam karya tiang tersebut. Tiang tersebut sebagai suatu karya seni menyingkapkan kepada kita kebenaran tersebut. Tiang Dorian tersebut tidak hanya memperlihatkan apa yang menjadikan keberadaan ini unik, melainkan ia menjadikan ketersingkapan sebagai sesuatu yang mengacu pada keberadaannya secara keseluruhan. Semakin tidak diriasnya tiang tersebut, maka semakin lebih menawan dan lebih dekat dengan seluruh keberadaannya. Keberadaannya yang tersembunyi Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
5
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
diterangkan dari bentuknya. Terang tersebut menyusun penampakannya dalam karya tersebut. Penampakan dalam karya tersebut adalah keindahan. Keindahan adalah sebuah cara untuk menunjukan kebenaran sebagai ketersingkapan.3 Demikianlah jawaban atas pertanyaan „Apakah arti seni?“ menurut Heidegger, bahwa seni adalah menyatakan kebenaran melalui bentuk. Itu terjadi dalam Penciptaan sebagai pembuatan ketersingkapan keberadaan tersebut. Menyatakannya dalam sebuah karya berarti juga: Menjalankan dan merealisasikan karya tersebut (berkarya). Dengan demikian seni adalah sebuah proses dan kejadian dari kebenaran.4
Apabila pertanyaan yang sama diajukan kepada Kant, maka Kant memiliki caranya sendiri untuk menjawab pertanyaan tersebut, cara yang berbeda dari Heidegger. Untuk mendefinisikan seni, bukannya meneliti hakekat dari karya seni tersebut, Kant membuat tiga pembatasan antara seni dan alam, ilmu dan kerajinan tangan dalam Kritik der Urteilskraft-nya, baru setelah itu Kant membicarakan seni yang indah. Tiga pembatasan tersebut adalah: 1. Seni dibedakan dari alam, seperti melakukan (facere) dibedakan dari bertindak atau mengerjakan (agere), dan hasil atau akibat dari seni sebagai karya (opus) dibedakan dari hasil atau akibat dari alam sebagai akibat (effektus).5 Point yang membedakan di sini adalah rasio dan kebebasan. Semua tindakan menghasilkan melalui kebebasan dan rasio adalah dasar dari tindakan seni, kalau tidak demikian, harus disebut semata-mata alami atau lebih tepat dikatakan sebuah produk alam. Untuk menghasilkan seni dalam hal ini ada sebuah tujuan, yang menentukan wujud. Jadi di sini, suatu karya Seni selalu adalah karya dari manusia. 2. Seni sebagai kepandaian dari manusia juga dibedakan oleh ilmu pengetahuan (kemampuan dari pengetahuan), sebagai kemampuan praktis dari kemampuan teori, sebagai teknik dari teori. 6 3. Seni dibedakan dari kerajinan tangan; yang pertama berarti bebas, yang lain dapat juga dinamakan seni upahan. Orang melihat seni seakanakan seni adalah suatu permainan, yaitu kesibukan, yang menyenangkan diri sendiri, dapat terlepas dari tujuannya; yang kedua adalah bahwa seni adalah pekerjaan, yaitu kesibukan yang tidak menyenangkan (membe3 4 5 6
Ibid., hal. 55 Ibid., hal. 73 Kant, Immanuel. Kritik der Urteilskraft. (Frankfurt a. Mainz: Suhrkamp, 1957), hal. 237. Ibid., hal. 237. Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
6
ratkan) dirinya sendiri, dan hanya dipikat dengan akibatnya (contohnya: Upah), dan yang juga dibebankan secara terpaksa. 7 Kemudian Kant menyatakan, jika seni dipandang dari pengertian sebuah benda [dalam sebuah ilmu pengetahuan yang indah] yang untuk membuatnya, perlu mengatur tindakan-tindakan yang diperlukan, sehingga dengan demikian seni itu adalah sebuah mekanis. Tetapi jika seni memiliki keinginan akan tujuan secara langsung, maka dinamakan seni yang estetik. Jika tujuan dari seni adalah keinginan untuk mengiringi pemahaman sebagai perasaan semata, maka seni itu disebut seni yang nyaman. Orang membuat seni ini kadang-kadang untuk kesenangan dan kadang-kadang bahkan tidak ada orang yang bertanggung jawab atasnya. Apabila tujuannya adalah mengiringi pemahaman sebagai suatu jenis pengertian, maka seni itu disebut seni yang indah. Seni yang indah sebaliknya adalah suatu jenis pemahaman yang memiliki tujuan bagi dirinya sendiri, dan meski pun tanpa tujuan, tetapi budaya mengakomodasikan kemampuan watak ke pesan yang ramah. Keinginan akan kenikmatan di sini bukanlah semata-mata berasal dari perasaan, melainkan dari refleksi.
menurut Kant: Seni yang indah memiliki tujuan untuk terlihat bebas dari segala paksaan dari hukum yang disengaja, seakan-akan itu adalah hasil alami semata.
Walau pun Kant mengetahui bahwa seni sangat berbeda dengan alam, Kant tetap mengambil alam sebagai acuan untuk menentukan seni yang indah. Seni yang indah memiliki tujuan untuk terlihat bebas dari segala paksaan dari hukum yang disengaja, seakan-akan itu adalah hasil alami semata. Jika seorang seniman membuat sebuah karya seni yang indah, maka haruslah seakan-akan semua tujuan, ketepatan dan persetujuan dengan hukum-hukum terjadi secara alamiah. Karena seni yang indah memiliki sifat-sifat demikian, maka Kant mengatakan, bahwa seni yang indah adalah seni kejeniusan. Jenius adalah watak bawaan (ingenium), di mana melaluinya alam memberikan aturan kepada seni.8 Setiap seni mensyaratkan aturan-aturan tertentu, agar ia dapat disebut 7 8
Ibid., hal. 238. Ibid., hal. 242. Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
7
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
bersifat seni. Tetapi istilah dari seni indah tidak berarti bahwa penilaian tentang keindahan dari hasil seni itu diturunkan dari suatu hukum yang memiliki suatu istilah untuk alasan penetapan, dengan demikian memungkinkan sebuah istilah yang serupa itu ada. 9 Karena seni yang indah tersebut tidak dapat memikirkan hukum-hukum dari dirinya sendiri, sehingga alam harus memberikan hukum-hukum ke subyek seni yang indah tersebut. Kant membedakan jenius dari kepandaian, tepatnya kemampuan atau kepintaran yang tertinggi dari para pemikir besar seperti contohnya Newton. Kepandaian Newton di bidang fisika dapat dipelajari atau ditiru orang lain. Tetapi kejeniusan menurut Kant tidak dapat dipelajari, melainkan sebuah bakat bawaan. Kant memaparkan empat point di sini, bahwa jenius: 1. Sebuah bakat adalah sesuatu yang untuk itu tidak ada hukum tertentu, untuk menghasilkannya; bukan komposisi dari kecerdasan, yang dapat dipelajari berdasarkan hukum tertentu; dengan demikian keaslian merupakan cirinya yang pertama. 2. Karena ketidakmasukakalan yang original bisa terjadi juga, maka adalah suatu keharusan bagi produknya yang juga adalah muster yaitu contoh; maka ia sendiri tidak berasal dari imitasi, dan juga harus berdasarkan penetapan atau hukum dari penilaian. 3. Bagaimana ia menghasilkan produknya, dari dirinya sendiri pun ia tidak dapat menggambarkannya atau pun mengumumkannya secara ilmu pengetahuan, melainkan bahwa alam sebagai pemberi hukum. 4. Bahwa alam melalui kejeniusan bukan melalui ilmu pengetahuan yang menentukan aturan-aturan bagi seni; dan ini juga hanya berlaku untuk seni indah. 10 Kedua Pemikir berusaha untuk memberikan sebuah penjelasan akan seni berdasarkan cara mereka sendiri. Heidegger dengan teori Phenomenologynya menjelaskan tentang hakikat dari seni, sementara Kant memberikan batasan-batasan, agar orang dapat mengenalnya.
Komentar terhadap Heidegger Heidegger memberikan sebuah istilah seni yang mencakup arti pesan dari sebuah karya seni dan bentuk yang menyampaikan pesan itu. Melalui material yang digunakan dan bentuk tertentu dengan sifatnya menampilkan kepada kita sebuah pesan, pandangan dunia dan hidup dari seniman 9 10
Ibid., hal. 242. Ibid., hal. 242-3.
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
8
tersebut. Penjelasan ini menerangkan kepada kita bahwa sebuah karya seni mengandung sebuah kepemilikan batin tertentu, yang ingin disampaikan seniman tersebut kepada kita melalui karyanya. Tetapi di sini masih ada yang kurang, yaitu penjelasan dari perbedaan antara kesenian yang berbedabeda (seni yang mekanis, seni yang nyaman dan seni yang indah – seperti yang terdapat pada Kant). Dan selain itu juga masih kurang akan penjelasan tentang mengapa orang dapat mengerti sebuah seni sebagai seni dan beserta pesannya. Kemampuan yang mana yang manusia miliki untuk itu?
Komentar terhadap Kant Walau pun Kant dalam bukunya Kritik der Urteilskraft tidak berbicara tentang pesan dari seni seperti Heidegger, tetapi dia membicarakan perbedaan antara seni dengan alam, ilmu pengetahuan dan pekerjaan tangan biasa. Selanjutnya dia membicarakan tentang berbagai macam jenis seni. Di antara berbagai macam seni dia melihat seni yang indah, yang bukan hanya dari perasaan melainkan dari refleksi, sebagai seni dari kejeniusan, karena hanya kejeniusan melalui bakat alami yang dapat memberikan aturan-aturan dalam karya seni semacam itu, sehingga karya seni tersebut menjadi seni. Kant membicarakan seni di bawah judul deduksi dari penilaian estetik murni, setelah dia membicarakan analisa mengenai keindahan dan sublim. Sublim adalah perasaan yang terjadi karena kita menceracap sesuatu keindahan melampaui apa yang dapat kita bayangkan, seperti keindahan alam, dll. Dari sana orang dapat dengan mudah melihat bahwa Kant berpendapat bahwa seni hanya dimungkinkan melalui kemampuan manusiawi. Berbeda dengan Heidegger, Kant berpendapat bahwa seni muncul dalam konteks masyarakat ketika dia membicarakan tentang selera sebagai suatu jenis perasaan bersama (Sensus Comunis). Secara eksplisit Heidegger mengatakan pada akhir dari Der Ursprungs der Kunstwerkes, bahwa seni bukan hanya memasyarakat, melainkan juga menyejarah. Der Urprung des Kunstwerkes: Bersamaan dengan yang menciptakan dan yang memelihara, hal itu dikatakan dalam keberadaan (Dasein) yang menyejarah dari suatu bangsa, dan merupakan seni itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan seni pada hakekatnya merupakan suatu asal usul yaitu suatu cara yang menakjubkan seperti kebenaran menjadi keberadaan, yakni bersifat menyejarah.11
11 Heidegger, Martin. Der Ursprung des Kunstwerkes. (Stuttgart: Philipp Reclam jun., 2008), hal. 80.
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
9
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
Walau pun keduanya berbeda, orang dapat mempersatukan keduanya untuk dapat memahami seni secara lebih baik. Dari pembicaraan hingga saat ini kita dapat menarik kesimpulan berikut ini tentang seni. 1. Seni selalu mengandung arti atau pesan, yang disampaikan kepada kita melalui bentuk (menyajikan dunia, membentuk bumi). Heidegger melihat pesan ini, yang nampak oleh kita, sebagai kebenaran (ketersingkapan), dan seni sebagai peristiwa kebenaran yang sedang bekerja. Seorang seniman membagikan pesan kepada penontonnya melalui karyanya. 2. Seni berkembang dalam suatu masyarakat dan bersifat menyejarah. 3. Seni sebagai karya manusia berbeda dengan alam, karena seni dibuat melalui kebebasan dan rasio sebagai dasar pengerjaannya. Seni juga bukan suatu ilmu pengetahuan, karena seni lebih bersifat praktis dari pada teoritis. Dibandingkan dengan pekerjaan tangan biasa orang melihat bahwa seni bersifat bebas dan nyaman, seolah-olah dia adalah permainan yang tidak berorientasi pada upah. 4. Terdapat berbagai jenis seni, yakni seni mekanis, seni yang nyaman, dan seni yang indah. Di antara jenis-jenis ini Kant hanya melihat seni yang indah, yang berasal dari refleksi sebagai produk dari seorang jenius. 5. Kejeniusan, yang dapat memberikan aturan bagi seni yang indah, merupakan talenta alami sejak manusia dilahirkan. Kejeniusan dapat membuat karyanya bersifat orisinil dan master. Kejeniusan seperti ini hanya terdapat pada seni dan tidak pada ilmu pengetahuan. Teori dari Kant: bagaimana penilaian tentang
dibuat?
keindahan dapat
Tetapi mengapa manusia dapat menerima keindahan ini dan membagikannya dengan yang lain, sehingga pesan melalui suatu karya seni dapat disampaikan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita memperhatikan Kritik der Urteilskraft dari Kant.
I. Mengenai kemampuan manusia untuk mengenali keindahan Kant beranggapan bahwa filsafat merupakan suatu sistem yang terdiri dari 2 bagian, yakni bagian teoritis (menurut konsep alam dan prinsip teknispraktis) dan bagian praktis (menurut konsep kebebasan dan prinsip moralpraktis). Pembagian ini mengikuti wilayah-wilayah dalam keseluruhan kemampuan pengertian kita (pengetahuan dan rasio). Kedua wilayah ini dipersatukan oleh kritik kemampuan penilaian (Kritik der Urteilskraft), yang dapat ditelusuri dari kemampuan penilaian (Urteilskraft). Kemampuan penilaian merupakan anggota ketiga deri kemampuan pengertian kita selain Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
10
pengetahuan dan rasio. Ketiga kemampuan pengertian ini mengakibatkan ketiga kemampuan dan kapasitas jiwa, dan ketiga kemampuan pengertian ini secara a priori berlaku sebagai pemberi hukum terhadap semua kemampuan jiwa tadi. (Pengetahuan untuk kemampuan pengertian, rasio untuk kemampuan menghendaki, dan kemampuan penilaian untuk perasaan suka dan tidak suka). Sebagai anggota dari kemampuan, pengertian kemampuan penilaian berpegang pada hukum yang diberikan oleh pengetahuan secara a priori. Kemampuan penilaian berfungsi melalui penundukan, hal-hal khusus sebagai bagian dari hal-hal yang umum, dan melalui refleksi, jika hanya satu-satuan yang diberikan. Prinsip penilaian adalah sesuatu yang menurut tujuannya : Konsep suatu obyek, tujuan, dan kecocokan suatu benda dengan sifat-sifat benda tersebut, yang mungkin menurut tujuan. Prinsip ini bersifat a priori dan transendental. Pencapaian maksud pada tujuan yang seharusnya terkait dengan perasaan suka. Prinsip untuk kemampuan penilaian yang bersifat refleksi [konsep kemenurut-tujuan-an] menetapkan suatu landasan a priori bagi perasaan suka dan hal itu berlaku bagi setiap orang. Prinsip tersebut berbeda dari semua ke-menurut-tujuan-an praktis dari alam melalui relasi obyek terhadap kemampuan pengertian tanpa memperhatikan kemampuan menghendaki. Ke-menurut-tujuan-an ini dalam pengalaman-mengetahui di keseharian tidak kita sadari, tetapi dalam studi mudah untuk disadari. (jika kita melakukan suatu penelitian, dan kita berhadapan dengan kenyataan bahwa penelitian kita sukses atau gagal). Persyaratan mengenai kemampuan penilaian juga tidak pasti. Kemampuan penilaian kita tidak menetapkan apa pun menurut prinsip kesesuaian alam terhadap kemampuan pengertian kita, sejauh prinsip tersebut mencukupi, apakah prinsip tersebut mempunyai batasannya atau tidak. Walau pun kita dapat menetapkan batasan-batasan berkenaan dengan penggunaan kemampuan pengertian kita secara rasional, tetapi di wilayah pengalaman dalam kenyataannya tidak mungkin ada penetapan batasan. Ke-menurut-tujuan-an alam terkait dengan apa yang semata-mata subyektif dalam konsep suatu obyek, yaitu relasinya dengan subyek. Kesukaan subyek berfungsi sebagai kecocokan obyek terhadap kemampuan pengertian, yang terkait dengan kemampuan penilaian yang bersifat refleksi. Penilaian yang demikian di satu sisi adalah penilaian yang bersifat estetik Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
11
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
12
mengenai ke-menurut-tujuan-an obyek, tapi di sisi lain adalah penilaian logis, tidak peduli apakah alasannya subyektif atau obyektif.
Maka nyaman terkait dengan perasaan. Orang menilai sesuatu sebagai baik melalui rasio dan konsep tujuan.
Untuk membedakan apakah sesuatu itu indah atau tidak, kita mengkaitkan konsep melalui fantasi (mungkin terkait dengan pengetahuan) terhadap subyek beserta perasaan suka dan tidak suka. Penilaian berdasarkan selera ini maka bersifat estetik, atau dapat dipandang sebagai subyektif. Setiap orang harus mengakui pula, bahwa penilaian tentang keindahan, di mana ada sedikit saja kepentingan, sangat berat sebelah dan bukan penilaian yang murni menurut selera, maka selera adalah kemampuan penilaian suatu benda atau suatu konsep melalui suka atau tidak suka tanpa ada kepentingan. Benda dari kesukaan yang demikian lalu disebut indah.
Walau pun penilaian dari selera tidak mempunyai dasar- artinya benarbenar bebas - tetapi orang berpikiran, bahwa seharusnya ada dasar dari perasaan suka bagi setiap orang, dengan demikian setiap orang harusnya bisa mempunyai perasaan suka yang mirip. Tentang keindahan seharusnya dikatakan, seolah-olah keindahan adalah suatu sifat dari suatu benda dan penilaian tersebut adalah logis. Mengenai nyaman orang mempunyai dasar, yaitu perasaan pribadinya, supaya orang dapat mengatakan bahwa setiap orang mempunyai seleranya sendiri. Dan mengenai kebaikan, penilai dengan tepat berlaku bagi setiap orang, karena sesuatu yang baik dipahami melalui konsep sebagai obyek suatu kesukaan yang umum.
The 'Master Electrician' is, of course, Jesus. He is the only one who can replace your dead, 'burned out' spirit with a new, living spirit inside you.
„But if your eyes are bad, your whole body will be full of darkness. If then the light within you is darkness, how great is that darkness!”
Tetapi di mana letak dasar dari keberlakuan-secara-umum dari penilaian selera mengenai keindahan? (Penilaian estetik mempunyai dua sisi, yaitu, selera inderawi dan selera refleksi. Jika yang pertama hanya penilaian pribadi, yang kedua bersifat publik) Sifat umum dari penilaian selera, yang berada pada sisi kedua, tidak berdasarkan atas konsep mengenai obyek, maka dia tidak berisi kuantitas penilaian yang obyektif, melainkan subyektif. Maka keberlakuan-secara-umum yang bersifat obyektif dari penilaian setiap saat bersifat subyektif, ... Tetapi mengenai keberlakuan-secara-umum yang bersifat subyektif, yakni yang bersifat estetik, yang tidak berdasarkan konsep, tidak dapat disimpulkan sebagai yang logis; karena jenis penilaian itu tidak berkenaan dengan obyek.12 Ke-dapat-dibagi-kan yang bersifat subyektif dan umum dari suatu jenis konsep13 yang berlaku untuk setiap orang dalam suatu penilaian selera adalah suasana hati (jiwa) dalam permainan bebas antar fantasi dan pengetahuan. Untuk membagikan suasana hati tersebut berperanlah perasaan suka. Suka, yang kita rasakan, memungkinkan kita berpikir bahwa orang lain pun pasti ada dalam penilaian perasaan itu pula, dan kita melihat, seolah-olah penilaian perasaan tersebut adalah sifat benda, yang disebut indah. Juga dikatakan bahwa untuk Kant, Immanuel. Kritik der Urteilskraft. (Frankfurt a. Mainz: Suhrkamp, 1957), hal. 129. Di sini jenis konsep tersebut mengacu pada pengetahuan, sebagai penentuan oObyek, yang berlaku bagi setiap orang. Melalui pengetahuan ini penilaian berdasarkan selera bukan semata-mata penerimaan pada perasaan inderawi, yang hanya berlaku secara privat. Tanpa jenis konsep ini atau pengetahuan ini keberlakuan secara umum bagi setiap orang tidak mungkin. Konsep ini muncul sebelum kesukaan akan benda tersebut, dan merupakan dasar kesukaan pada harmonis dari kemampuan pengetahuan. Keberlakuan subyektif yang umum dari perasaan suka didasarkan atas sifat umum sekaligus syarat-syarat subyektif dari Penilaian terhadap benda-benda. Perasaan suka ini kita kaitkan dengan Konsep benda yang kita sebut indah. (Ibid., hal. 132-3). 12 13
- Matthew 6:23 -
Dibandingkan dengan itu, kedua kesukaan yang lain terkait dengan kepentingan. Orang menilai sesuatu nyaman, jika sesuatu itu memuaskan dia. Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
13
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
menyebut „indah“ penilaian dari perasaan tidak mempunyai kepentingan, sehingga penilaian dari perasaan tidak mempunyai apa pun sebagai suatu bentuk ke-menurut-tujuan-an suatu benda sebagai alasannya. (karena pada semua tujuan sebagai dasar dari perasaan suka selalu tampillah suatu kepentingan sebagai alasan penentu bagi penilaian suatu benda yang disukai.). Kant bahkan berpendapat, bahwa penilaian selera untuk menyebut „indah“ tersebut tidak murni, jika suatu benda berada di bawah persyaratan suatu konsep tertentu (mis, kesempurnaan, kegunaan, dll.) untuk disebut indah.
Keindahan sebagai suatu ideal (master) merupakan suatu keindahan yang dirumuskan melalui suatu konsep dari kemenuruttujuan-an yang obyektif.
Perasaan subyek adalah alasan penentu, maka untuk mencari suatu prinsip selera melalui suatu konsep tertentu adalah suatu usaha yang sia-sia. Ke-dapat-dibagi-kan secara umum dari perasaan terjadi tanpa konsep. Kesepakatan dari semua jaman dan bangsa berkenaan dengan perasaan di dalam konsep benda-benda adalah kriteria empiris dari asal usul suatu selera, yang disampaikan melalui contoh. Selera ini berasal dari dasar umum untuk kesepakatan dalam menilai bentukbentuk, di mana dasar ini sebelumnya terkubur dalam-dalam bagi semua manusia. Menurut bentuk-bentuk inilah benda-benda disodorkan kepada mereka (untuk dinilai).14
Beberapa produk dari selera dapat menjadi contoh, artinya orang dapat memandangnya sebagai master. Dan master tertinggi atau model awal dari selera di sini hanya semata-mata ide, yang harus dimunculkan dengan sendirinya oleh setiap orang, dan melaluinya dia menilai semuanya. Model awal dari selera tersebut berdasarkan atas suatu ide yang tak pasti dari rasio tentang suatu maximum. Model awal ini tidak diperkenalkan melalui konsep, melainkan hanya melalui suatu pemaparan yang bersifat satu-satuan. Dan kemampuan untuk memaparkan ini adalah fantasi. Keindahan sebagai suatu ideal (master) merupakan suatu keindahan yang dirumuskan melalui suatu konsep dari ke-menurut-tujuan-an yang obyektif. Maka keindahan tersebut harus termasuk dalam bagian penilaian selera yang diintelektualisir. Pada alasan-alasan penilaian apa suatu ideal harus 14
Ibid., hal. 149.
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
terjadi? Di sana seharusnya sebuah ide rasio menurut konsep-konsep tertentu menjadi alasannya. Rasio memastikan tujuan secara a priori, yang diatasnyalah kemungkinan batiniah dari benda tersebut didasarkan.15 Di sini terdapat dua aspek dari ideal: Ide normal yang bersifat estetik (suatu pandangan fantasi, yang berfungsi sebagai penuntun dalam menilai) dan ide rasio (yang membuat tujuan-tujuan dari kemanusiaan menjadi prinsip penilaian suatu figur.) Mengenai keindahan orang berpikir, bahwa ada suatu relasi yang mutlak dengan perasaan suka. Kemutlakan ini ada ketika seseorang seharusnya bertindak secara begitu saja tanpa maksud lain terhadap jenis tertentu. Kemutlakan ini hanya dapat disimpulkan dari pengalaman umum dan bukan dari konsep-konsep tertentu, karena penilaian bersifat estetik. Kemutlakan subyektif, yang diberikan oleh penilaian selera ini mensyaratkan suatu perasaan bersama (sensus communis). Sensus Communis merupakan prinsip subyektif yang melalui perasaan dan bukan melalui konsep, tetapi menetapkan, dan berlaku secara umum tentang apa yang disukai dan yang tidak disukai, maka sensus communis memungkinkan ke-dapat-dibagikan-nya suatu perasaan secara meluas. Walau pun kemutlakan persetujuan umum dalam penilaian selera bersifat subyektif, tetapi kemutlakan ini diajukan dengan persyaratan suatu sensus communis sebagai obyektif, karena kita menilai „indah“ berdasarkan perasaan kita, bukan perasaan pribadi, melainkan perasaan bersama. Dengan demikian orang lain dapat bersama-sama merasakannya, walau pun belum tentu setuju dengan penilaian kita.
II. Bagaimana penilaian berdasarkan selera bekerja? Menjadi tugas suatu deduksi kesesuaian-secara-hukum ketika penilaian menuntut kemutlakan. Telah dibicarakan, bahwa suatu penilaian selera bukan penilaian pengetahuan, karena penilaian tersebut tidak didasarkan atas suatu konsep, melainkan atas suka atau tidak suka pada suatu benda. Tetapi dia menuntut keberlakuan secara umum. Di sini penilaian selera mempunyai karakteristik dua sisi dan logis, yakni bersifat umum yang a priori (di sini bersifat umum merupakan suatu satuan penilaian) dan suatu kemutlakan (yang harus berdasarkan dasar yang a priori, tetapi tidak tergantung pada dasar pembuktian a priori)
15
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
14
Ibid., hal. 150. Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
15
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
Pada karakteristik yang pertama, yakni keberlakuan secara umum yang a priori, penilaian berdasarkan selera menentukan benda berkenaan dengan perasaan suka (sebagai keindahan) dengan suatu persetujuan dari setiap orang, apakah penilaian tadi obyektif atau tidak. Bagaimana penilaian dari selera bekerja, tidaklah otomatis, melainkan melalui langkah berikut: Kita mengambil contoh suatu bunga yang indah. Kita menilai bagi kita melalui pengalaman dengan penilaian-penilaian orang lain tanpa orientasi, dan belajar sebelumnya dari kesukaan mereka pada bunga, dengan demikian memutuskan penilaian bukan sebagai mencontoh, melainkan a priori, karena suatu benda memang secara umum disukai. Pada karateristik yang kedua, yakni kemutlakan, penilaian selera tidak dapat ditentukan atas dasar pembuktian, seolah-olah penilaian ini bersifat subyektif. Jika menurut seseorang sesuatu itu tidak indah, sementara orang lain berpendapat bahwa sesuatu itu indah, maka dia akan mencoba untuk menempatkan diri, seolah-olah sesuatu itu juga menyenangkan bagi dia, sepaya tidak dipandang sebagai „tak punya selera“.Sejauh itu dia boleh mulai ragu-ragu, apakah dia sudah cukup melatih seleranya, yakni melalui pengetahuan akan sejumlah benda dari jenis ini secara mencukupi. Tetapi dia juga mendapati, bahwa persetujuan orang lain juga tidak memberikan bukti yang membuat penilaian indah yang berlaku bagi dia. Di sini suatu bukti juga kurang berlaku a priori menurut aturan tertentu untuk menetapkan penilaian tentang keindahan. Orang tidak dapat meyakinkan orang lain dengan bukti yang diberikan, bahwa sesuatu itu indah, jika dia tidak menyukainya. Penilaian selera selalu merupakan suatu satuan penilaian terhadap obyek. Walaupun pengetahuan dapat membuat suatu perbandingan dengan penilaian orang lain, tetapi penilaian tersebut bukan penilaian dari selera, melainkan penilaian secara logis, yakni mengenai hubungan suatu obyek dengan selera untuk predikasi benda-benda tersebut. Hal itu hanya menunjukkan kepada kita, apakah penilaian tersebut berlaku bagi setiap orang atau tidak. Melalui suatu penilaian obyektif atau logis16 para kritiker dapat dan seharusnya berargumentasi secara dangkal, sehingga cukup untuk memperbaiki dan memperluas penilaian selera kita, tetapi penilaian selera tersebut tidak berfungsi seperti itu. Bagaimana pun juga penilaian berfungsi menurut prinsip subyektif penilaian.
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
16
Persyaratan subyektif setiap penilaian adalah kemampuan untuk menilai itu sendiri (urteilskraft). Dia menuntut penyesuaian antara fantasi dan pengetahuan. Karena bagi penilaian di sini tidak ada konsep obyek yang menjadi dasarnya, maka penilaian tersebut hanya merupakan penundukan fantasi di bawah persyaratan-persyaratan tersebut, bahwa pengetahuan menghasilkan konsep-konsep dari pengamatan. Karena fantasi tanpa konsep mentematisasi adalah bebas, maka penilaian selera harus berdasarkan suatu kekuatan perasaan semata dalam kebebasannya, dan dalam pengetahuan dengan kesesuaian-menurut-aturan-an berdasarkan atas perasaan. Perasaan memungkinkan penilaian benda menurut ke-menuruttujuan-an dari konsep terhadap untuk mendukung kemampuan pengetahuan dalam permainan bebasnya. Selera, sebagai kemampuan penilaian subyektif, berisi suatu prinsip penundukan fantasi di bawah pengetahuan.
This fallen world can be a hostile environment in which to live, but salvation from Jesus can protect us, and provide for us that which we need to live.
„But since we belong to the day, let us be self-controlled, putting on faith and love as a breastplate, and the hope of salvation as a helmet.” - 1 Thessalonians 5:8 -
16 Seandainya manusia memahami suatu prinsip umum di antara Prinsip selera, maka manusia tentu dapat meletakan konsep suatu benda dibawahnya dan menarik kesimpulan bahwa benda tersebut indah. Ibid., hal. 215.
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
17
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
Penginderaan benda merelasikan secara langsung konsep obyek dengan penilaian pengetahuan, sambil menghasilkan penilaian pengalaman.17 Penginderaan ini mengkaitkan juga perasaan suka atau tidak suka dengan perasaan menyukai, supaya dengan demikian penilaian estetik muncul. Penilaian selera seperti ini bersifat sintetik, karena penilaian tersebut keluar melalui konsep dan pengamatan obyek dan terkait dengan perasaan suka atau tidak suka. Dalam suatu penilaian selera yang murni perasaan suka pada suatu benda terkait dengan penilaian bentuknya semata. Perasaan suka tersebut, yang merupakan kemenurut-tujuan-an yang subyektif dari penilaian bagi kemampuan menilai, dapat dipresuposisikan ada pada semua manusia, sehingga persetujuan suatu konsep dapat dianggap berlaku secara a priori bagi semua orang. Karena suka akan keindahan adalah syarat subyektif dari kemungkinan suatu pengetahuan secara umum, maka orang boleh mengasumsikannya ada pada setiap orang untuk pengetahuan yang berlaku umum dan sehat . Juga sudah dibicarakan bahwa selera merupakan suatu jenis sensus communis. Sebagai suatu jenis sensus communis, selera merupakan prinsip subyektif tetapi berlaku secara umum. Di satu sisi selera berperan untuk menghilangkan ilusi,18 yang mungkin mempunyai pengaruh merugikan terhadap penilaian, di sisi lain dia berperan sebagai suatu kemampuan untuk menilai secara a priori ke-dapat-dibagikan-nya perasaan yang terkait dengan suatu pengenalan (tetapi tanpa konsep). (karena ke-dapat-dibagikan-an tersebut tanpa konsep, maka orang tidak dapat menuntut keberlakuan secara umum dari isinya, yakni, orang tidak dapat mengharuskan bahwa suatu perasaan dalam selera adalah sama bagi semua orang) Walau pun tidak ada relasi langsung antara suatu penilaian selera dengan kepentingan (sebagai dasar penentuan), tetapi sebenarnya ada dua relasi tidak langsung19 diantaranya, karena selera bagaimana pun harus dikenali
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
18
dengan terkait pada sesuatu yang lain, untuk dapat mengkaitkan suatu kesukaan pada suatu eksistensi benda dengan perasaan suka terhadap refleksi tentang benda itu.20 Pertama, suatu kepentingan empiris pada keindahan sebagai suatu kecenderungan dari natur manusia akan sesuatu yang indah. Kedua, suatu kepentingan intelektual sebagai ciri suatu kehendak, secara a priori dapat ditentukan melalui rasio. Berkenaan dengan yang pertama, keindahan hanya menarik dalam masyarakat. Di sini Kant melihat, bahwa dorongan untuk bermasyarakat merupakan suatu sifat manusia. Dalam masyarakat seorang manusia cenderung dan terlatih untuk membagikan kesukaannya dengan manusia lain. Suatu obyek tidak memuaskan dia, jika dia tidak dapat merasakan perasaan suka pada obyek itu bersama-sama dengan orang lain. Dalam masyarakat manusia tidak hanya menjadi manusia, melainkan manusia yang lembut. Berkenaan dengan yang kedua selera menyingkapkan suatu peralihan kemampuan penilaian kita dari kenikmatan inderawi (kenyamanan) kepada perasaan norma (kebaikan). Kant berpandangan, bahwa semua kesibukan manusia mengarahkan diri pada kebaikan moral. Mereka memandang ketertarikan akan keindahan sebagai suatu tanda karakter moral yang baik, walau pun menurut pengalaman hal itu juga sering membawa pada bencana. Tetapi Kant menegaskan, bahwa suatu ketertarikan langsung untuk menerima keindahan alam (bukan hanya selera untuk menilainya) setiap waktu merupakan tanda suatu jiwa yang baik, dan bahwa, jika ketertarikan merupakan kebiasaan, menunjukkan setidaknya kepada perasaan moral suatu suasana batin yang menguntungkan, jika cenderung dikaitkan dengan pengamatan kepada alam.21 Dalam kasus seni perasaan suka pada seni yang indah dalam pernilaian selera yang murni tidak terkait secara langsung dengan ketertarikan. Dalam seni terdapat suatu maksud
17 Di sini sebenarnya letak konsep-konsep a priori dari kesatuan sintetik keberagaman pengamatan sebagai dasar bagi penentuan suatu obyek; Konsep-konsep ini (kategorikategori) menuntut suatu deduksi, ..., yang melaluinya penyelesaian tugas tersebut dapat terrealisasikan: Bagaimana penilaian pengetahuan sintetik mungkin secara apriori? Ini merupakan tugas prinsip a priori suatu pengetahuan murni, dan pertimbangan teoretisnya. Ibid., hal. 218. 18 Ilusi ini, yang muncul dari kondisi-kondisi subyektif, dapat dengan mudah dianggap obyektif. Kant menjelaskan bagaimana proses tersebut berjalan melalui suatu persamaan über prinsip umum pengetahuan manusia: 1. Berpikir sendiri, 2. Berpikir pada posisi orang lain, dan 3. Setiap saat memikirkan kesesuaiannya dengan diri sendiri. 19 Di sini orang dapat merasakan, seolah-olah penjelasan Kant tentang kemampuan menilai berkontradiksi, karena mula-mula dia mengatakan bahwa tidak ada kepentingan
dalam penilaian selera, lalu dia membicarakan kepentingan dalam penilaian selera. Di sini orang harus benar-benar memperhatikan, apa yang dimaksud oleh Kant. Mula-mula Kant ingin membicarakan (tanpa kaitan langsung dengan kepentingan) apakah pertimbangan selera sebagai kemampuan manusia. Alasannya nampaknya adalah suatu usaha untuk mendekati penilaian selera pada dirinya (an sich). Belakangan Kant membicarakan dalam keterkaitan tidak langsung dengan kedua kepentingan tadi bagaimana penilaian selera berkerja. Alasan untuk yang kedua nampaknya adalah kenyataan bahwa tidak ada seorang pun hanya membuat suatu penilaian perasaan murni, tanpa menggunakan kemampuan-kemampuan lainnya dalam konteksnya. 20 Ibid., hal. 229. 21 Ibid., hal. 231-2.
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
19
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
ketika mencontoh alam atau membuat ilusi, dsb., manusia mempunyai tujuan tertentu dalam berseni. Dalam semua kebudayaan keindahan dipandang sebagai simbol dari kebaikan normatif. Keterkaitan ini menurut Kant terletak pada: 1. Dalam persetujuan di antara kemampuan pengetahuan level atas kita. Dalam kemampuan ini kemampuan penilaian berperan sebagai pemberi hukum dalam melihat suatu benda dari perasaan suka, sama seperti rasio terhadap kemampuan mengingini. Kemampuan penilaian mengacu pada sesuatu dalam subyek dan di luar subyek (yang bukan alam, juga bukan kebebasan – tanpa konsep dan kepentingan) dengan dasar kebebasan untuk mempersatukan kemampuan teoretis dan praktis. Kemampuan menilai menjembatani secara sempurna pengetahuan dan rasio secara bebas. 2. Melalui analogi-analogi berikut ini kemampuan teoretis dan praktis terkait menjadi satu:22 1) Keindahan disukai secara langsung (tetapi hanya dalam pengamatan refleksi, bukan seperti norma, melalui konsep). 2) Keindahan disukai tanpa kepentingan. 3) Kebebasan fantasi selaras dengan penilaian keindahan dengan ke-menurut-tujuan-an pengetahuan. 4) Prinsip subyektif dari penilaian keindahan dipahami sebagai dikenal secara umum tanpa melalui konsep, sementara prinsip obyektif dari moralitas juga diutarakan sebagai dikenal secara umum (semua pelaku dan tindakan) melalui suatu konsep umum.
Dalam kasus seni Kant memandang kemampuan menilai terutama sebagai suatu kemampuan pengetahuan, yang mempersatukan pengetahuan dan rasio untuk memahami alam, dalam hal ini mengerti dan menilai, dan berbagi perasaan dengan orang lain. Tetapi kemampuan pengetahuan ini juga berfungsi dalam mengerti seni dan melaluinya membagikan perasaan dan pesan. Di sini Kant melihat bahwa seni merupakan kelas dua setelah alam, walau pun Kant tidak menolak, bahwa karya seni mempunyai keorisinilannya sendiri. Alasannya nampak pada kenyataan bahwa Kant ingin membicarakan kemampuan menilai sebagai kemampuan manusia alami.23 Kemam-
Ibid., hal. 298. Latar belakang sejarah dan budaya dari Kant menunjukkan kepada kita alasan untuk ketertarikan Kant dalam meneliti kemampuan alamiah manusia. Lata belakang sejarah dan budayanya adalah pencerahan (Enlightment). Di sini kita mengerti juga, mengapa Kant
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
20
puan ini dimiliki manusia sejak lahir. Dalam suatu masyarakat kemampuan ini berkembang kemudian melalui sharing perasaan kepada orang lain melalui simbol-simbol, seni, dll. Dan kejeniusan berperan sebagai pemberi hukum bagi seni yang indah. Kebenaran mengapa seni merupakan suatu sarana yang baik untuk menyampaikan suatu pesan juga dapat dengan mudah disimpulkan dari pembahasan Kant. Jawabannya adalah kenyataan bahwa di dalam semua kebudayaan keindahan dipandang sebagai simbol dari kebaikan normatif. Jika seseorang memperhatikan suatu karya seni, dan mendapatinya indah, maka secara otomatis orang itu berpikir bahwa pesannya pasti baik.
Hanya jika hati dipenuhi oleh Firman Tuhan, manusia dapat mengerti apa yang indah, baik dan menyenangkan Allah.
Hanya jika seseorang sudah memiliki suatu pemahaman tertentu tentang pesan tersebut sebelumnya, maka orang dapat menilai karya seni tersebut dengan kritis tetapi berat sebelah karena kepentingan tertentu tadi. Dalam kasus tersebut kadang-kadang orang juga harus mengakui, bahwa karya itu indah, walau pun dengan pesannya dia tidak setuju. Atau jika dia setuju dengan pesannya, tetapi karya tersebut tidak menyenangkan dia, toh dia mencoba sejenak untuk dapat menyenanginya.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita dapat memperhatikan di sini, bahwa ada perbedaan antara Kant dan Heidegger. Jika Kant berpendapat, bahwa kekuatan untuk meyakinkan suatu karya seni terletak pada kemampuan manusianya, Heidegger berpendapat, bahwa kekuatan untuk menyakinkan dari suatu karya seni terletak pada ke-karya-seni-an dari suatu karya seni. Saya tidak memihak pada salah satu, melainkan mencoba untuk menggabungnya. Pertama-tama saya mengamati, bahwa Heidegger tidak memisahkan antara karya seni dan seniman, ketika dia berbicara tentang asal usul dari karya seni. Dan Kant mengajarkan, bahwa seseorang dapat membagikan perasaannya kepada orang lain melalui seni. Manusia menciptakan suatu karya seni melalui kemampuannya, sehingga suatu jejak dari kemampuan tersebut tercetak di dalam karyanya. Konteks masyarakat membuat jejak tersebut terbaca dan
22 23
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
memandang pengetahuan sebagai kemampuan manusia yang tertinggi, dan berperan sebagai pemberi hukum bagi yang lain. Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
21
Bagaimana Keindahan menyuarakan Kebenaran?
Agama Dalam Kebudayaan
dapat dimengerti, sehingga muncullah kekuatan untuk meyakinkan. Maka suatu karya seni yang baik dapat mempersatukan pesan dan bentuk di dalam dirinya, karena semakin baik dan jelas persatuan itu, makin kuatlah kekuatan untuk meyakinkan dari karya seni tersebut. Apa yang Kant bicarakan, menyingkapkan suatu rahasia kemampuan manusia, Dalam pengertian ini kita sebagai orang Kristen dapat mempelajari sesuatu dari dia dan menggunakannya. Kemampuan manusia merupakan wahyu umum dari Allah dalam wilayah ciptaan. Kita dapat belajar, bagaimana kita dapat menggunakannya secara benar dan mengembangkannya dan menghindarkan diri, dari kesalahan dalam pemakaiannya. Apa yang harus kita perhatikan di sini, adalah kenyataan, bahwa Kant di bawah pengaruh dari pencerahan (Entlightment) untuk memahami manusia tidak mengacu pada manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Kant memandang manusia sebagai yang sudah dewasa, supaya mereka dengan rasio dapat menentukan, apa yang baik dan yang salah. Pada akhir modernisme kenyataan menunjukkan kepada kita, bahwa idealisme ini salah. Perbedaan kedua dengan Alkitab adalah pendapat, bahwa pengetahuan adalah pemberi hukum tertinggi dalam kehidupan manusia. Alkitab mengajarkan, bahwa hati adalah keberadaan yang paling dalam dari manusia adalah pemberi hukum yang tertinggi. Hanya jika hati dipenuhi oleh Firman Tuhan, manusia dapat mengerti apa yang indah, baik dan menyenangkan Allah. Perbedaan ini menyebabkan kegagalan dunia modern. Konsep Heidegger tentang seni mengungkap fenomena seni dengan sangat baik. Di sini terdapat banyak jejak kekristenan, karena dia berfilsafat di bawah pengaruh dari Karl Barth. Tetapi dia tidak mengatakan apa-apa tentang seni yang kristen. Menurut dia semua seni adalah sama. Seni dapat menjadi analogi bagaimana ciptaan menyatakan kemuliaan Tuhan sang Penciptanya, karena ciptaan sebagai karya Allah mengandung jejak dari Penciptanya. (Rom 1:20)
Agama dalam Kebudayaan Ev. Ivan Kristiono A. Pendahuluan Dalam paper ini, saya ingin membahas tentang relasi antara agama dan budaya. Pandangan yang dijadikan acuan adalah pemikiran Calvin yang akan dibahas dalam bagian B. Sedang di bagian selanjutnya, saya ingin memaparkan fakta historis untuk membuktikan teori Calvin tentang budaya. Tulisan yang dijadikan acuan adalah dari Herbert Read.
B. Agama dan Kebudayaan Ada beberapa pandangan mengenai relasi antara agama dan kebudayaan. Para anthropolog umumnya menaruh agama sebagai salah satu hasil dari budaya, disamping bahasa, sistem sosial, kesenian, dan sebagainya. Jadi posisi agama adalah di bawah payung besar budaya. Ernst Cassirer contohnya, mengatakan bahwa religi hanyalah ungkapan perasaan dan pemikiran religius dalam bentuk simbol-simbol. Semua agama di dunia memang beragam, namun kalau kita jeli melihat, mereka sebenarnya memiliki persamaan kegiatan simbolis. Itu sebabnya ia mengatakan una est religio in rituum varietate ( Agama satu, ritus bermacam-macam).24 Religi adalah mitos ciptaan manusia yang mencapai puncak perkembangannya hingga dapat dijelaskan secara rasional, seperti yang dilakukan para teolog abad pertengahan. Namun Cassirer berpendapat bahwa religi tetap tidak konsisten, karena kalau mereka membuang misteri dari tubuh mereka, mereka sedang menyingkirkan jantung mereka. Pandangan yang lain berusaha mendualismekan antara agama dan kebudayaan. Mereka berpandangan bahwa kedua hal tersebut tidak saling bersentuhan. Misalnya, Tertullian membedakan antara Yerusalem (agama) dan Athena (budaya). Di mana baginya kedua hal tersebut terpisah. Tertullian juga menyarankan untuk menjauhi kebudayaan dan bersifat kontra budaya. Agama berasal dari atas, sedang budaya berasal dari bawah. Richard Niebuhr memberikan contoh dari Benedictus yang menentang budaya dengan tujuan diarahkan kepada prestasi kehidupan Kristen yang terpisah dari peradaban, dalam ketaatan kepada hukum-hukum Kristus, dan dalam usaha mngejar suatu kesempurnaan sepenuhnya berbeda dengan tujuan24
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
22
Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Gramedia, 1990) 111 Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
23
Agama Dalam Kebudayaan
Agama Dalam Kebudayaan
24
tujuan yang dicari manusia dalam politik dan ekonomi, dalam ilmu pengetahuan dan seni.25 Tolstoy sebagaimana dikutip oleh Niebuhr mengatakan bahwa kebejatan manusia berdiam di dalam sifat alami manusia; kejahatan yang dilawan manusia ada hanya di dalam kebudayaan mereka.26
dalam tiap budaya. Jadi Kebudayaan tidak pernah vacuum atau pun netral. Kebudayaan mengandung worldview dari pembuatnya. Worldview yang benar dan memuliakan Tuhan, atau pun worldview yang melawan Tuhan dan meninggikan diri sendiri.
Pandangan yang lain berusaha meletakkan agama dan kebudayaan sejajar, dan saling melengkapi (substitute). Misalnya pandangan Hamka yang mengatakan bahwa agama dan kebudayaan itu identik, yang diharapkan dari agama tidak terdapat dalam kebudayaan dan sebaliknya.27 Sehingga kekurangan dalam agama akan di genapi dalam kebudayaan. Sedang ide-ide tertinggi yang tak dapat dicapai kebudayaan di tuntaskan dalam agama.
C. Agama dalam kebudayaan
Calvin memiliki pandangan yang berbeda dengan semua pandangan di atas. Baginya manusia adalah makhluk yang religius. Jadi Agama bukanlah salah satu bagian dari kehidupan manusia, melainkan keseluruhan eksistensi dari manusia. Paul Tillich dengan senada mengatakan, bahwa agama merupakan substansi dari kebudayaan, dan kebudayaan adalah bentuk (form) dari agama. Jadi pendapat ini menentang pula pandangan bahwa agama merupakan way of life. Kebudayaan adalah ekspresi dari panggilan manusia untuk melayani Tuhan.28 Dengan pengertian diatas, kita dapat katakan bahwa budaya sekuler itu tidak ada. Apalagi jika kita melihat definisi agama yang benar, yang dimengerti sebagai tunduknya seseorang terhadap worldview tertentu yang membentuk presuposisi dalam pikirannya. Yang dimaksud dengan sekularisme budaya adalah desakralisasi (hal-hal yang adikodrati di perlakukan/ dimasukkan dalam lingkungan profan dan kekuasaan manusia) sampai memutuskan segala hubungan dengan Tuhan.29 Bagi Calvin, sumber dari manusia untuk berbudaya adalah sensus deitatis (the sense of God) yang berupa semen religionis (the seed of faith) yang ditanamkan Tuhan dalam diri tiap manusia.30 Perasaan ini di ungkapkan/ di ekspresikan dengan alam sebagai sarananya. Para Reformed Fathers memiliki semboyan ora et labora. Dari semboyan ini kita bisa melihat adanya kesadaran relasi yang kuat antara agama dan budaya, di mana ada pemikiran agama H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper & Row Publisher, 1956) 56 Ibid 60 27 J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1999) 18 28 Henry R. Van Til, The Calvinistic Concept of Culture (Philadelphia: The Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1972) 37 29 J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1999) 48 30 Henry R. Van Til, The Calvinistic Concept of Culture (Philadelphia: The Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1972) 25 26
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Sejarah kebudayaan membuktikan bahwa tak ada kebudayaan yang tidak memuat unsur-unsur religi. Baik yang primitif, modern, Theis, mau pun atheis, semuanya kental akan nilai-nilai religi. Bahkan usaha manusia untuk menciptakan budaya lepas dari religi pun tidak mengubah kenyataan pandangan Calvin. Untuk itu, mari kita melihat secara sepintas apa yang terjadi di dunia kebudayaan. Kalau kita melihat perkembangan sejarah kebudayaan, akan tampak bahwa agama dan kebudayaan muncul bersama-sama dalam masa-masa yang suram. Sejarah kebudayaan dari tingkat primitif sampai pada puncak pencapaiannya di masa Klasik atau Gothic bersamaan dan bergantung kepada perkembangan sikap emosional manusia terhadap alam semesta. Jarak yang menyolok antara sebuah patung Negro kuno dengan patung ciptaan Praxiteles adalah sejajar dengan jarak yang menyolok antara agama animistis Negro dengan pandangan intelektual seorang Yunani dalam titik puncak peradabannya.31 Orang-orang Yunani sampai pada suatu tingkat keseimbangan religius di mana mereka tidak lagi takut terhadap alam (sementara orang-orang Negro masih memiliki ketakutan terhadap alam). `Mereka dapat bersimpati terhadap alam, sehingga karya mereka lahir tanpa prasangka dalam bentuk suatu idealisasi alam. Dalam keadaan ini, manusia melihat keindahan di mana-mana. Orang-orang Yunani juga mempunyai rangsangan inspirasi lebih dalam dengan kemajuan konsep religi mereka. Kisah-kisah para dewa yang mendebarkan, mengharukan dan imaginatif tentunya lebih menimbulkan nuansa indah dari pada dewa kematian primitif yang terlalu misterius dan menyeramkan. Pada masa prasejarah, kita melihat bahwa keberadaan agamawan tak bisa di pisahkan dari budayawan. Para tokoh magi dan pendeta adalah seniman atau budayawan yang terampil pula.32 Misalnya yang terdapat dalam Mesir kuno dan Babilonia Kuno. Kebudayaan saat itu lahir sebagai suatu fungsi dalam pemujaan atau untuk mendapatkan simpati dari yang di puja. Kalau kita melihat semua jenis karya dari primitif sampai abad Pertengahan, kita 31 32
Herbert Read, Pengertian Seni (Yogyakarta: ASRI, 1973) 9 Ibid 11 Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
25
Agama Dalam Kebudayaan
Agama Dalam Kebudayaan
26
melihat ekspresi nilai-nilai transendental yang berbeda dalam derajat pemahamannya, namun memiliki suatu akar yang jelas, yaitu reaksi dari seed of faith yang Tuhan sudah berikan.
Dalam hal ini, para budayawan Renaissance tidaklah lebih baik dari para dukun primitif. Karena mereka sedang berpindah dari suatu ketakutan dan penaklukan diri kepada jenis ketakutan dan penaklukan diri yang lain.
Selama berabad-abad secara fenomena kedua hal ini berjalan berdampingan. Sampai lima ratus tahun yang lalu, pemisahan antara agama dan religi mulai tampak terlihat di Eropa. Jurang pemisah ini tampak makin meluas dengan sampainya peradaban manusia di zaman Puncak Renaissance. Para seniman Renaissance ingin melepaskan ikatan mereka dengan agama. Semboyan yang mereka pakai adalah seni untuk seni. Mereka banyak sekali dipengaruhi oleh paham humanisme klasik. Namun kita tetap saja dapat melihat bahwa konsep seni untuk seni itu tidak konsisten. Para penganut paganisme Renaissance telah membuat konsep seni adalah abdi bagi dirinya, persis seperti dukun-dukun magis primitif. 33
Dalam perjalanan waktu, di abad ke enam belas dan ke tujuh belas humanisme kehilangan elemen identitasnya. Seluruh peradaban berkembang menuju ke arah materialistis. Akhirnya, para ahli budaya pada zaman itu memilih mengabdi pada masyarakat yang sangat materialistis, atau mengabdi pada dirinya sendiri. Dengan demikian pemikiran bahwa budaya dapat lepas dan independen dari agama adalah suatu konsep yang tidak masuk akal dan tidak terbukti. Tidak mungkin ada seorang seniman yang dapat menghasilkan kebudayaan hanya berdasarkan kepekaannya sendiri tanpa dukungan emosi masyarakat serta cita-cita tradisional, kendati pun ia besar, bebas dan bergembira , apalagi bermimpi menyaingi kebesaran seni religius. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa religi memang tak dapat dipisahkan dari agama. DAFTAR PUSTAKA
Bakker, J.W.M., Filsafat Kebudayaan ,Yogyakarta: Kanisius, 1999 Cassirer, Ernst, Manusia dan Kebudayaan, Jakarta: Gramedia, 1990 Niebuhr, H. Richard , Christ and Culture , New York: Harper & Row Publisher, 1956 Read, Herbert , Pengertian Seni, Yogyakarta: ASRI, 1973 Van Til, Henry R., The Calvinistic Concept of Culture ,Philadelphia: The Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1972
„God did this so that men would seek him and perhaps reach out for him and find him, though he is not far from each one of us.” - Acts 17:27 33
Ibid 12 Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
27
Kekristenan dan Kesenian
Kekristenan dan Kesenian Poppy Permadi
Kesenian Pada Abad Permulaan Sejak lebih dari 2000 tahun umur Kekristenan, makna dan posisi kesenian telah mengalami banyak perubahan. Pengetahuan terakhir menunjukkan, bahwa pada dua abad pertama gereja mula-mula tidak mengenal gambar atau karya lukis apa pun juga. Alasan mengapa hal tersebut terjadi dicatat di Alkitab, tepatnya di kitab Keluaran 20 ayat 4, yang berbunyi: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.“ Gambaran atau karya seni yang dilarang adalah semua patung dewa-dewi kafir atau gambar serta lukisan kaisar romawi, karena di hadapan Tuhan yang sejati dan tidak kelihatan, penyembahan berhala tersebut adalah sampah dan terkutuk. Pada akhir abad kedua, larangan tersebut dicabut dengan alasan yang dipelopori oleh Clemens von Alexandrien, seorang theolog abad permulaan yang menganjurkan di dalam bukunya yang bejudul Paidagogos, supaya orang Kristen menggunakan simbol-simbol Kristen sebagai pertanda iman dan (atau) harta benda milik mereka. Alhasil, motiv-motiv ini kemudian sering sekali dipakai: Ikan yang menandakan Kristus (penjaring manusia), kapal dengan tiang layar ynag menandakan salib Kristus, jangkar sebagai lambang fondasi iman, gembala dan pendoa yang melambangkan hubungan kasih Tuhan terhadap manusia.
Kekristenan dan Kesenian
28
melambangkan kesucian dan kasih Tuhan terhadap manusia, sedangkan motif sang gembala adalah gambaran Tuhan Yesus yang paling pertama dibuat manusia. Baru pada tahun 430, di atas bukit Aventin di Roma, ditemukanlah untuk pertama kali ukiran yang menggambarkan penyaliban Kristus. Ukiran tersebut yang sekarang disimpan di British Museum di London diperkirakan berasal dari Italia utara. Berbeda dengan motif Kristus, yang pada jaman Konstantin digambarkan begitu megah sebagai Raja atas segala raja, motif penyaliban Kristus ini terlihat begitu ekspresiv dan penuh emosi terhadap penderitaan dan kematian; dua tema yang sering muncul di karya seni abad pertengahan akhir. Bukan hanya untuk jaman itu saja, juga untuk para seniman di abad ke-20 (terlepas apakah mereka orang-orang percaya atau tidak) seperti Picasso atau Bacon, motif Kristus yang disalib adalah motif penting sebagai pedoman berefleksi tentang diri dan jaman. Pada abad ke-5 dan 6 dimulailah penyembahan lukisan atau gambargambar (icon, Ikon) dengan motif ”wajah“ Kristus, Maria dan orang-orang suci. Banyak „orang Kristen“ yang berdoa kepada gambar-gambar tersebut, mereka bahkan berlutut dan berharap akan mujizat yang akan terjadi. Bapak-bapak gereja pada jaman itu tentu saja menolak aksi dosa seperti itu dan menolak dekorasi di dalam ruangan kebaktian yang begitu mewah tapi tidak berarti. Hieronymus mengecam: ”Untuk apa dinding gereja yang penuh permata, jika sesamamu mati kelaparan? Bukankah hal ini menandakan suatu kemurtadan terhadap Roh Perjanjian Baru?“ Agustinus menambahkan:“Benda-benda tersebut tergolong ke hal yang paling tidak berguna dalam hidup manusia.“
Setelah abad permulaan yang di dalamnya karya seni lukis dilarang, mulailah ditemukan lukisan-lukisan dengan elemen-elemen Kekristenan, khususnya di dinding katakombe (makam masal di bawah tanah). Lukisanlukisan di dinding katakombe tersebut merupakan pencetus gambar/seni lukis yang berelemen Kristen, yang sejak zaman pemerintahan Kaisar Konstantin mengalami perkembangan, yang sampai akhirnya diakui sebagai karya seni tinggi (Hochkunst). Motif yang paling sering dipakai adalah sang gembala dan orant (orang yang digambarkan sedang berdoa dengan berlutut dan menengadahkan kedua tangan ke atas). Motif pendoa
Dengan perluasan Kekristenan di abad ke-4 dan 5, telah berkembang juga bersamaan dengan penyembahan ikon gambar-gambar ”wajah“ Jesus, juga penyembahan holy relicts (“benda-benda suci“ yang konon pernah digunakan oleh Yesus, para rasul, martir mau pun orang suci lainnya). Botol-botol minyak yang berada di makam suci di Yerusalem, kain milik Veronika yang menggambarkan wajah Tuhan Yesus (yang bahkan sampai jaman Albrecht Dürer diakui keasliannya!) atau kain dari Turin, yang konon adalah kain pembungkus jenazah Tuhan Yesus adalah contoh kecil dari yang disebut sebagai ”benda-benda suci“, yang penemuannya pasti diwarnai oleh cerita-cerita mujizat. Bahkan tempat-tempat di mana bendabenda tersebut ditemukan kemudian otomatis dijadikan tempat ziarah. Di dalam gereja sendiri antara tahun 726 sampai 843 terjadi perpecahan, satu
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Dari Katakombe Sampai Penyembahan Ikon
29
Kekristenan dan Kesenian
kubu yang mengutuk penyembahan tersebut sebagai penyembahan berhala dan kubu lainnya, yang tetap melegitimasikan aksi penyembahan ikon tersebut. Sampai saat ini toelogi penyembahn ikon masih dapat ditemukan di gereja-gereja timur yang berada atau berasal dari Yunani, Rusia dan negara-negara Balkan lainnya. Untuk gereja-gereja di barat, teologi ikon adalah salah satu bentuk penyembahan berhala, karena hanya Tuhan saja yang patut dan harus disembah. Tetapi lambat laun terjadi perubahan terhadap keputusan tersebut. Paus Gregor I. (590-610) mencetuskan suatu pemikiran, yaitu tidak mendukung, tetapi tidak juga menolak teologi ikon. Pemikiran beliau adalah untuk menggunakan gambar-gambar tersbut sebagai littera laicorum atau tulisan untuk pengabaran Injil terhadap kaum awam, yang hampir seluruhnya buta huruf dan tentu saja tidak bisa membaca Alkitab. Pemikiran inilah yang kemudian pada abad pertengahan menjadi pedoman dan argumentasi untuk melegitimasikan penggunaan karya seni lukis di gereja.
Reformasi – Kelahiran modernitas? Dalam rangka pameran ”Luther dan konsekuensinya untuk seni“ di Aula Seni Hamburg (1983/84) Werner Hofmann memperdebatkan, bahwa Luther mewakili satu definisi seni yang baru, yang melaluinya modernitas dimulai. ”Gambar-gambar itu bukan yang satu atau pun yang lain, mereka tidak baik dan juga tidak jahat, orang dapat memilikinya atau pun tidak memilikinya.“ Dengan blangko mandat ini modernitas dimulai, kata Hofmann. Luther menyangkal keabsahan terakhir dari gambar, terlepas dari peristiwa penerimaan, dan merujuk kepada hati orang beriman dan kepada firman Tuhan, yang benar dalam semua kasus. Orang bisa saja melalui itu merasa sikap Luther terhadap gambar itu revolusioner – satu sikap, yang membuka dua garis argumentasi. Dalam khotbah-khotbah Invocavit dia menyatakan dengan penekanan hati, bahwa penerimaan gambar dalam iman adalah penerimaan yang lain dari pada penerimaan di dalam ketidakberimanan. Hal ini adalah pertanyaan mengenai gambargambar sebagai benda-benda (Adiaphora) yang bebas dan dapat digunakan di dalam iman atau satu subordinasi dari gambar di bawah firman Tuhan.
Kekristenan dan Kesenian
30
mana firman Tuhan ditulis di dinding gereja sedemikian rupa sehingga semua orang bisa melihatnya. Melalui reformasi dan banyak kaum Calvinis di Perancis, gereja Katolik merasa perlu untuk mengambil posisi. Dewan Trient di tahun 1563 memutuskan ”Penyembahan orang suci dan gambar“, yang memuat: ”Selanjutnya gambar Kristus, ibu perawan Tuhan dan orang-orang suci lainnya seharusnya dimiliki dan dipertahankan di gereja-gereja. Kita harus memberikan penghormatan dan peyembahan kepada mereka, bukan karena kita percaya, bahwa ada sesuatu yang ilahi atau kekuatan tinggal di dalam mereka, melainkan karena penghormatan terhadap mereka menunjukkan satu gambar asal yang mewakili mereka.“
Barok: Rembrandt dan Ruben Tidak ada era lain dalam Kekristenan yang memakai gambar sebanding untuk melambangkan iman seperti dalam era Barok. Sekarang hanya gereja itu sendiri yang merayakan Kristus, Maria, orang martir dan orang suci. Biasanya era Barok diidentikkan dengan Katolik, bahkan ada orang yang menyebut seni Barok sebagai ”Seni dari lawan reformasi“. Kalau kita menghubungkan lukisan dari Belanda dalam zaman keemasan (Golden Age) dengan dasar tema mereka dengan Calvinisme, maka Rembrandt dianggap menjadi pribadi pelukis yang merupakan satu profil yang khas protestan. Rembrandt, pelukis favorit dari yang berpendidikan di abad ke-19, dibandingkan dengan Ruben yang Katolik. Ruben bertujuan untuk melambangan dan mewujudkan secara tampak isi iman Kristen. Profil artistik Rembrandt nyata secara khusus di dalam subyektivitas yang hingga saat itu belum diketahui. Di dalam karyanya yang selanjutnya dia sering menampilkan diri sebagai Rasul Paulus dan dengan demikian mengekspresikan hubungan kepada ”Pembenaran hanya melalui iman“. Pemikiran diterima oleh Tuhan walau pun bersalah dan berdosa memungkinkan dia menangkap lipatan, keriput dan perubahan warna wajah yang gendut tanpa dipercantik.
Kekristenan, seni modern, dan seni postmodern
Pengaruh Calvin di seni tidak hanya mengakibatkan pelepasan gambar di gereja, tetapi menyebabkan munculnya kosmos gambar baru yang sekuler: adegan genre, pemandangan alam, seni maritim dan gambar pohon dan bunga dari pada kesenian Belanda. Di dalam gereja yang dikosongkan dari gambar muncul di dalam lingkungan Calvinisme suatu estetika tulisan, di
Dalam era Barok ikonografi Kristen di negara Barat kehilangan ikatannya. Jika era Barok mencapai satu akhir dari pada gambar sejarah Kristen-Barat, maka susunan seni dan agama harus direlokasi ulang. Patut ditanyakan, bagaimana setelah akhir ini iman Kristen dan agama bisa dibawa ke dalam kesadaran mengenai seni yang mendidik. Pemandangan dari Caspar David Friedrichs sebagai suatu usaha untuk mengartikulasikan agama dengan cara
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
31
Kekristenan dan Kesenian
yang baru dan membawa gambar yang mulia, memberi sinyal akan satu permulaan baru. Pemandangan pada lembaga agama dalam abad ke-19 tidak ada kontroversi. Gerakan perlawanan dari Nazarener, Beuroner dan pelukis terhadap gambar Kristus yang natural seperti Fritz von Uhde memberikan bukti. Oleh ekspresionisme, di mana gambar Tuhan dan tematik alkitab berperan penting pada awalnya, akan terlihat, bahwa persepsi subyektif dari seniman menentukan penanganan bahan alkitab. Karya seni berkualitas, yang berhasil masuk dalam gereja, jumlahnya sedikit. Kalau orang di zaman sekarang memikirkan tentang karya seni dalam ruang gereja, maka orang dapat bertanya: Hubungan apa yang ada di antara gambar-gambar ini dengan pemberitaan firman Tuhan? Dalam melambangkan suatu ide, orang bicara pertama-tama tentang tujuan dan kecantikan. Tuhan telah menganugerahkan kita sebagai mahkota ciptaan kedua kemampuan tersebut, apa yang dapat menjadi jawaban terbaik dari pada mempergunakan kedua kemampuan ini untuk kemuliaan nama-Nya. Soli Deo Gloria!
„God preordained, for his own glory and the display of His attributes of mercy and justice, a part of the human race, without any merit of their own, to eternal salvation, and another part, in just punishment of their sin, to eternal damnation.” - John Calvin -
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Terangnya Warnaku
32
Terangnya Warnaku Erna Chandrawati
K eindahan warna, siapakah yang tidak menyadarinya. Di hari yang cerah dengan langitnya yang biru dan awannya yang putih yang selalu berubah bentuk karena tertiup angin, sewaktu memandangnya serasa melihat seorang pelukis sedang melukiskan sesuatu, seakan langitnya yang biru itu sebagai layar di belakangnya dengan awannya sebagai pena putih. Ku tebak-tebak apa yang dilukisnya waktu itu. Bunga mawar yang merah dangan daun yang hijau tersinari oleh teriknya matahari, sambil bergoyanggoyang lembut dihelai oleh tiupan angin. Rambutku yang hitam ini juga turut merasakan tiupannya. Hari yang cerah itu tidak lama berlalu, datanglah mendung dengan awannya yang gelap menutupi langit biru itu, datanglah hujan dengan airnya yang membersihkan pagar kebun dan menyirami bunga mawarku. Kilat menyambar-nyambar diikuti dengan halilintar menggelegar yang dengan perkasanya seakan berkata akulah penguasa langit. Cepat-cepat aku masuk ke rumah mencari perlindungan. Peristiwa-peristiwa alam seperti ini yang manusia alami, memberikan banyak interpretasi terhadap warna-warna yang dilihatnya. Misalnya warna putih seperti salju, menggambarkan kesucian, kebersihan, kebijaksanaan. Warna merah darah melambangkan cinta yang dalam, seperti gejolak jantung yang makin keras memompa darah. Alkitab pun memakai warna untuk menggambarkan sesuatu, contoh di Yesaya 1:18, Mikah 3:6, dsb. Terima kasih kepada Tuhan karena Dia telah menciptakan mata kita yang bisa membedakan warna. Kalau kita teliti bagian mata kita, di bagian retina mata, terdapat 2 macam syaraf (Photoreceptor cell). Yang pertama yaitu rods (deutsch: Stäbchen), syaraf yang bisa membedakan intensitas cahaya, terang gelapnya suatu warna. Yang kedua yaitu cones (deutsch: Zapfen), yang terdiri dari 3 macam, yaitu yang bisa menerima warna biru (S cones), hijau (M cones) dan merah (L cones). Dengan cones yang terdiri dari warnawarna dasar ini manusia bisa membedakan bermacam-macam warna (lebih dari 3), dan dengan rods, bermacam-macam warna itu bisa dibedakan lagi dengan terang gelapnya warna tersebut. Jadi secara total manusia bisa Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
33
Terangnya Warnaku
membedakan lebih dari beribu2 warna. Jika syaraf-syaraf ini tidak berfungsi dengan benar pada seseorang, maka orang itu menderita buta warna. Kali ini aku akan menginterpretasi warna putih dengan sisi kekudusan orang percaya. Mari kita lihat perpaduan warna di bawah ini.
1
2
Warna yang sama ada di dalam ellipse 1 & 2, tetapi ellipse 1 terlihat seperti warna abu-abu yang mengotori warna putih di sekelilingnya, sedangkan ellipse 2 di dalam latar belakang yang hitam, terlihat seperti warna putih yang bercahaya di dalam warna hitam di sekelilingnya. Ellipse 2 seakan terlihat lebih terang dari ellipse 1. Hal ini terjadi karena intensitas cahaya dari warna putih lebih tinggi dari warna abu-abu pada ellipse 1 & 2, sedangkan warna pada ellipse tersebut berintensitas cahaya lebih tinggi dari warna hitam. Di artikel ini aku membuat perbandingan warna: 1. warna yang ada di ellipse 1 & 2 melambangkan warna putih seperti salju yang mewakili kekudusan orang percaya (Yesaya 1:18: Marilah, baiklah kita berperkara! -firman TUHAN-- Sekali pun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekali pun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.) 2. warna putih mewakili warna lambang kekudusan Tuhan (Matius 17:2: Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang.) 3. warna hitam mewakili kegelapan dunia yang orang berdosa (Yohanes 3:19: Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.)
Terangnya Warnaku
34
cahaya yang paling tinggi dibanding dengan warna lainnya, karena putih adalah kehadiran dari semua warna yang ada dengan intensitas cahaya yang maximum. Sedangkan hitam adalah ketidakhadiran sedikit pun warna atau cahaya di dalamnya. Sewaktu TUHAN menghapus dosa kita, Dia memberikan kesempurnaan (kehadiran seluruh warna dalam putih) kepada kita untuk menjadi terang di dalam dunia yang gelap ini (Matius 5:14: Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.). Seperti yang terjadi pada ellipse 2, sewaktu kita lihat, dia berubah menjadi terang sewaktu ditempatkan di latar belakang hitam. Tetapi ellipse yang sama (ellipse 1) itu diterangi oleh putih yang berkilauan dari Tuhan (Yohanes 8:12: Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak, kata-Nya: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.) Sebagai warna putih yang ditentukan Tuhan, sudahkah kita berperan dengan baik? Sudahkah kita memancarkan terang kepada sekeliling kita dari intensitas cahaya yang telah Tuhan berikan? Sewaktu aku menikah, aku memakai baju putih yang melambangkan kesucian. Aku ingat waktu itu susah sekali menjaga baju itu tetap bersih. Karena warnanya yang putih, sedikit saja kotor langsung terlihat. Demikian juga kita sewaktu dibersihkan dari dosa, dikuduskan atau dengan kata lain dikhususkan, dipisahkan dari dosa, apakah kita sudah menjaga kekudusan kita? Bagaimana kita menjaga kekudusan kita? Dengan berjalan di dalam terang Kristus (Yohanes 8:12)
TUHAN menghapus dosa kita menjadi putih seperti salju bahkan di Mazmur 51:9 tertulis lebih putih dari salju. Putih mempunyai intensitas Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009
Buletin REIN Edisi 15 - Mei 2009