KULTUR MERISTEM TIP DAN KEMOTERAPI UNTUK ELIMINASI VIRUS Onion yellow dwarf virus (OYDV) PADA BAWANG MERAH
AQLIMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kultur Meristem Tip dan Kemoterapi untuk Eliminasi Virus Onion yellow dwarf virus (OYDV) pada Bawang Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016 Aqlima NIM A253130131
RINGKASAN AQLIMA. Kultur Meristem Tip dan Kemoterapi untuk Eliminasi Virus Onion yellow dwarf virus (OYDV) pada Bawang Merah. Dibimbing oleh DINY DINARTI dan BAMBANG SAPTA PURWOKO. Bawang merah merupakan tanaman hortikultura yang umumnya dibiakkan secara vegetatif menggunakan umbi bibit. Sistem perbanyakan yang demikian dapat menjadi jalur penyebaran virus melalui penanaman umbi bibit yang terinfeksi virus dan kemudian terbawa pada generasi selanjutnya. Berbagai kultivar bawang merah lokal saat ini telah ditemukan terinfeksi virus Onion yellow dwarf virus (OYDV). Infeksi virus menyebabkan kualitas dan kuantitas umbi menurun, sehingga mengurangi produktivitas dan kualitas hasil. Eliminasi virus sangat diperlukan untuk menghasilkan tanaman bebas virus dan mengoptimalkan produktivitas. Kultur meristem tip merupakan metode eliminasi virus yang dilakukan dengan mengisolasi bagian kubah apikal beserta satu atau dua primordia daun dan dikulturkan pada media yang sesuai agar pertumbuhannya optimal. Eliminasi virus juga dapat dilakukan menggunakan metode kemoterapi, dengan mengaplikasikan senyawa ribavirin secara in vitro. Percobaan 1 bertujuan untuk mendapatkan media dengan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang paling baik untuk pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah secara in vitro dan mengevaluasi potensi kultur meristem tip dalam mengeliminasi virus OYDV. Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan 3 ulangan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa media tanpa penambahan ZPT merupakan media yang paling efisien untuk pertumbuhan tunas meristem tip. Tunas utama tumbuh tanpa disertai pembentukan kalus. Hasil analisis RT-PCR menunjukkan bahwa seluruh sampel yang dideteksi masih terinfeksi virus OYDV. Percobaan 2 bertujuan untuk mengetahui pengaruh ribavirin terhadap pertumbuhan shoot tip dan mendapatkan konsentrasi ribavirin yang paling sesui untuk mengeliminasi virus OYDV pada dua ukuran shoot tip. Percobaan menggunakan menggunakan RKLT dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi ribavirin secara nyata menghambat pemanjangan tunas cv. Bima Brebes, waktu muncul daun, pemanjangan tunas, dan jumlah daun cv. Tiron. Ukuran shoot tip yang lebih besar (2.1 - 3.0 mm) meningkatkan persentase eksplan tumbuh dan mempercepat waktu muncul daun cv. Bima Brebes dan Tiron. Konsentrasi ribavirin yang diaplikasikan pada percobaan ini belum dapat mengeliminasi virus OYDV pada dua ukuran shoot tip kedua kultivar. Percobaan 3 bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman bawang merah asal kultur meristem tip dan tanaman yang berasal dari umbi serta biji dan mengetahui tingkat infeksi OYDV pada tanaman yang berasal dari bahan tanam yang berbeda. Penelitian ini menggunakan RKLT dengan 3 jenis bahan tanam (tanaman yang berasal dari kultur meristem tip, umbi, dan biji) dan 3 ulangan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tanaman yang berasal dari kultur meristem tip, umbi, dan biji memperlihatkan pertumbuhan yang kurang maksimal. Selama pengamatan ditemukan bahwa tanaman bawang memperlihatkan gejala daun berkerut dan bercak kuning. Persentase tanaman dengan gejala daun berkerut
ditemukan pada tanaman kultur meristem tip, umbi, dan biji, masing-masing 6.7%, 60%, dan 40%. Tanaman yang berasal dari bahan tanam biji yang terinfeksi OYDV berdasarkan hasil deteksi DIBA sebesar 80%, sedangkan tanaman yang berasal dari kultur meristem tip dan umbi 100%. Berdasarkan hasil dari percobaan yang dilakukan, media MS tanpa penambahan ZPT cukup efisien untuk pertumbuhan tunas meristem tip. Aplikasi metode kultur meristem tip dan kemoterapi yang diberikan pada dua ukuran shoot tip menunjukkan kedua metode tersebut belum efektif mengeliminasi OYDV, sehingga efektivitas eliminasi virus dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode kultur meristem tip yang dikombinasikan dengan metode lainnya yang lebih efisien dalam mengeliminasi virus. Kata kunci: DIBA, in vitro, ribavirin, RT-PCR, shoot tip.
SUMMARY AQLIMA. Meristem Tip Culture and Chemotherapy for Elimination of Onion yellow dwarf virus (OYDV) in Shallot. Under Supervision of DINY DINARTI as Chairman and BAMBANG SAPTA PURWOKO as Member of the Advisory Committee. Shallot is horticulture crop propagated through vegetative means using seed bulb. The propagation method is prone to virus spreading in infected seed bulb and then it is brought to the next generation of bulb. Many of local shallot cultivars has been detected to be infected by Onion yellow dwarf virus (OYDV). The virus decreases bulb quality and quantity and thus decrease the crop yield. Virus elimination is desirable to get virus free plant and to improve yield. Meristem tip culture is virus elimination method by isolation of apical dome with one or with two leaf primordia and then it is cultured on suitable media to get optimum growth. Chemotherapy can also eliminate virus by application of ribavirin in vitro. The aims of Experiment 1 were to determine the best media with plant growth regulators (PGRs) for meristem tip growth of cv. Bima Brebes and Tiron and to determine the potential of meristem tip culture in elimination of OYDV. The experiment was arranged in completely randomized block design with 3 replications. The result showed that media without PGR was the most efficient for meristem tip growth. Primary shoot was growing without callusing. RT-PCR analysis showed that all of the tested samples were still infected by OYDV. It indicated that meristem tip culture method did not eliminate OYDV. The aims of Experiment 2 were to evaluate the effect of ribavirin to shoot tip growth and to determine the suitable ribavirin concentration for OYDV elimination in both shoot tip sizes. The experiment was arranged in completely rendomized block design with 4 replications. The result showed that increasing ribavirin concentrations inhibited the time of leaf to emege, leaf length, and leaf number of cv. Tiron. It also suppressed the leaf length of cv. Bima Brebes. Increasing shoot tip size (2.1 - 3.0 mm) influenced percentage of explant growth and speed the time of leaf emergence of cv. Bima Brebes and Tiron. Ribavirin concentrations used in this treatment did not eradicate OYDV in both shoot tip sizes of two the cultivars. The aims of Experiment 3 were to evaluate the shallot growth originating from 3 different propagules (meristem tip culture, bulb, and seed) and to determine the percentage of OYDV infection in different propagules. This experiment was arranged in completely randomized block design with 3 kind of different shallot propagules (plant originated from meristem tip culture, bulb, and seed) and 3 replications. The result showed that plant originated from meristem tip culture, bulb, and seed, exhibited less growth and development. During the observation, it was found that the shallot showed symptoms like wrinkle leaves and yellow spot. The percentage of wrinkle leaf symptom was found in plant planted from meristem tip culture, bulb, and seed, respectively 6.7%, 60%, and 40 %. The percentage of plant from seed infected of OYDV detected by DIBA was 80%, whereas those from meristem tip and bulb were 100%. Based on the result of the experiments, we found that MS medium without additional of PGR was efficient for shoot meristem tip growth. Application of
meristem tip culture and chemotherapy applied to shoot tip sizes showed that both methods were not effective to eliminate OYDV. It is suggested that meristem tip culture must be combined with other methods to eliminate virus effectively. Keywords: DIBA, in vitro, ribavirin, RT-PCR, shoot tip.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KULTUR MERISTEM TIP DAN KEMOTERAPI UNTUK ELIMINASI VIRUS Onion yellow dwarf virus (OYDV) PADA BAWANG MERAH
AQLIMA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Kultur Meristem Tip dan Kemoterapi untuk Eliminasi Virus Onion yellow dwarf virus (OYDV) pada Bawang Merah" berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Dr Ir Diny Dinarti MSi dan Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko MSc selaku komisi pembimbing atas segala pengarahan dan bimbingan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian, serta penulisan tesis 2. Ditjen DIKTI atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negri (BPPDN) yang penulis terima pada tahun 2013-2015 3. Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS selaku ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman serta sebagai dosen penguji luar komisi atas saran dan perbaikan dalam penyempurnaan tesis 4. Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat MSc atas izin dan bimbingan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Virologi Tumbuhan dan Prof Dr Ir Muhammad Syukur MSi atas izin peminjaman kotak kasa di Laboratorium Pemuliaan Tanaman 5. Ibu Siti Kholifah dari Laboratorium Kultur Jaringan 3, Sari Nurulita SP MSi dari Laboratorium Virologi Tumbuhan, dan teknisi Kebun Percobaan Leuwikopo IPB atas arahan dan bantuannya selama penulis melalukan penelitian 6. Staf dan pegawai Pascasarjana khususnya Departemen Agronomi dan Hortikultura atas segala bantuan dan dukungannya 7. Dr Ani Kurniawati SP MSi selaku wakil ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura 8. Teman-teman yang melaksanakan penelitian di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Laboratorium Virologi Tumbuhan, dan Laboratorium Pemuliaan Tanaman atas bantuan dan dukungannya 9. Teman-teman “Baju Daerah” (Ratna, Yudia, Ami, Budi, Eni, Umi, Arin), keluarga besar Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman 2013 dan keluarga WM atas bantuan dan dukungannya 10. Orang tua tercinta, Ayahanda Hasanuddin Abbas (alm.) dan Ibunda Husna Yusuf, Abang (Zulkarnaen), Adik (Safwan, Nurfitriana), serta keluarga besar atas kasih sayang, pengertian, dukungan, dan doanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016 Aqlima
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Hipotesis Penelitian 1.4 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kultur Meristem Tip 2.2 Media Kultur dan Zat Pengatur Tumbuh 2.3 Kemoterapi 2.4 Virus pada Bawang Merah 2.5 Virus Onion yellow dwarf virus (OYDV) 2.6 Deteksi Virus 2.7 Serologi 2.8 Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) 3 KULTUR MERISTEM TIP UNTUK ELIMINASI VIRUS OYDV PADA BAWANG MERAH Abstract Abstrak 3.1 Pendahuluan 3.2 Bahan dan Metode 3.3 Hasil dan Pembahasan 3.4 Kesimpulan 4 KEMOTERAPI UNTUK ELIMINASI VIRUS OYDV PADA BAWANG MERAH Abstract Abstrak 4.1 Pendahuluan 4.2 Bahan dan Metode 4.3 Hasil dan Pembahasan 4.4 Kesimpulan 5 PERTUMBUHAN TANAMAN BAWANG MERAH ASAL IN VITRO, UMBI, DAN BIJI Abstract Abstrak 5.1 Pendahuluan 5.2 Bahan dan Metode 5.3 Hasil dan Pembahasan 5.4 Kesimpulan 6 PEMBAHASAN UMUM 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 7.2 Saran DAFTAR PUSTAKA
vii vii viii 1 1 2 3 4 5 5 6 6 8 8 9 9 10 11 11 11 12 12 17 22 23 23 23 24 25 26 32 33 33 33 34 34 36 39 40 43 43 43 44
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
49 51
DAFTAR TABEL 1. Komposisi media untuk pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah. 2. Komposisi bahan RT-PCR untuk volume reaksi (10 µL). 3. Komposisi bahan PCR untuk volume satu reaksi (25 µL). 4. Primer yang digunakan untuk amplifikasi virus OYDV pada bawang merah menggunakan metode PCR. 5. Waktu muncul daun pada eksplan bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. 6. Respon eksplan (meristem tip) bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron terhadap perlakuan ZPT. 7. Persentase tumbuh dua ukuran shoot tip bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron pada lima taraf konsentrasi ribavirin. 8. Pengaruh konsentrasi ribavirin terhadap waktu muncul daun pada dua ukuran shoot tip bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. 9. Pengaruh konsentrasi ribavirin terhadap jumlah daun, jumlah tunas, jumlah akar, serta tinggi tunas bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. 10. Persentase kejadian penyakit dan hasil uji DIBA pada tiga bahan tanam bawang merah.
14 16 16 16 18 19 26 27
29 37
DAFTAR GAMBAR 1. Alur penelitian kultur meristem tip dan kemoterapi untuk eliminasi virus OYDV pada bawang merah. 2. Meristem tip dengan primordia daun pada tanaman: A. Bawang putih (Pramesh dan Baranwal 2015); B. Anyelir (Ashnayi et al. 2012). 3. Ribavirin beranalog dengan ribonukleotida adenosin dan guanosin dengan memutar rantai C3 - C6. 4. Persentase eksplan tumbuh dua kultivar bawang merah pada 3 MST. 5. Persentase eksplan berdaun dan abnormal pada eksplaan bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. 6. Persentase planlet berakar pada bawang merah cv. Bima Brebes. 7. Kondisi aklimatisasi umbi mikro bawang merah di dalam kotak kasa (kiri) dan persentase tumbuh umbi mikro selama dua minggu aklimatisasi (kanan). 8. Hasil deteksi awal sampel bawang merah cv. Tiron dengan metode DIBA. B (buffer); P (kontrol positif); N (kontrol negatif); 1 - 6 (sampel daun). 9. Amplifikasi fragmen DNA sampel bawang merah dengan RT-PCR menggunakan spesifik primer OYDV. M (1 kb DNA Ladder); P (kontrol positif); N (kontrol negatif); 1 - 3 (sampel komposit hasil kultur meristem tip). 10. Rata-rata jumlah daun planlet bawang merah cv. Bima Brebes (A) dan Tiron (B) pada 1, 2, 3 dan 4 MST.
3 5 7 17 18 20
21 21
22 28
11. Persentase Eksplan hyperhyrdric, eksplan bertunas, dan eksplan berdaun pada bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. 12. Gejala yang muncul pada tanaman bawang merah cv. Bima Brebes 2 minggu setelah aklimatisasi. (a) bercak kuning, (b) daun berlakuk, dan (c) bercak hijau. 13. Elektroforesis agarose gel hasil deteksi RT-PCR menggunakan spesifik primer OYDV. a (shoot tip 1.1 - 2.0 mm); b (shoot tip 2.1 - 3.0 mm); 1 11 (sampel daun yang teramplifikasi fragmen DNA 601 bp); M (1 kb DNA Ladder); P (kontrol positif); N (kontrol negatif). 14. Rata-rata jumlah daun, jumlah tunas, dan tinggi tanaman bawang merah yang berasal dari bahan tanam kultur meristem tip, umbi, dan biji. 15. Hasil deteksi sampel daun bawang merah yang berasal dari bahan tanam yang berbeda terhadap virus OYDV dan penentuan intensitas signal reaksi DIBA pada membran nitroselulosa. B (buffer); P (kontrol positif); N (kontrol negatif); 1 - 8 (kultur meristem tip); 9 - 23 (umbi); 24 - 38 (biji).
30
30
31 36
39
DAFTAR LAMPIRAN 1. Data iklim bulanan selama penelitian di Dramaga, Bogor (di luar screenhouse).
50
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bawang merah merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki arti penting bagi masyarakat Indonesia. Komoditas ini telah lama dikembangkan secara intensif oleh petani di berbagai wilayah produksi (Sumarni dan Hidayat 2005). Umumnya perbanyakan bawang merah dilakukan secara vegetatif melalui umbi bibit. Cara ini lebih disukai petani dan produsen benih karena lebih praktis (Gunaeni et al. 2011). Salah satu faktor yang menentukan kualitas umbi bibit adalah ada tidaknya penyakit tular umbi yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini dapat terjadi karena umbi yang digunakan untuk perbanyakan bawang merah telah terinfeksi virus, sehingga umbi tersebut akan tumbuh menjadi inokulum bagi tanaman sehat lainnya (Gunaeni et al. 2011). Sastry dan Zitter (2014) menyatakan bahwa virus dan penyakit yang ditularkan secara vegetatif merupakan sumber utama infeksi. Kelompok virus yang umumnya menginfeksi tanaman bawang-bawangan adalah Onion yellow dwarf virus (OYDV) dan Leek yellow stripe virus (LYSV) dari kelompok Potyvirus, Garlic common latent virus (GarCLV) dan Shallot latent virus (SLV) dari kelompok Carlavirus, Garlic virus D (GarV-D), Garlic virus B (GarVB) dan Garlic virus C (GarV-C) dari kelompok Allexivirus (Shahraeen et al. 2008). OYDV merupakan salah satu virus yang dapat mengakibatkan infeksi parah pada tanaman bawang, yang berdampak terhadap penurunan ukuran umbi, memperpendek masa dormasi dan menyebabkan kehilangan hasil panen yang dapat mencapai 60% (Brewster 2008). Infeksi OYDV pada tanaman bawang bombay dilaporkan dapat mengurangi 41.8% bobot umbi. Selain itu, infeksi virus juga menurunkan hasil panen bawang putih kultivar Baladi dan Seds 40 di wilayah Giza (Elnagar et al. 2009). OYDV juga telah ditemukan menginfeksi berbagai kultivar bawang merah yang ada di Indonesia, berdasarkan hasil deteksi terhadap 13 kultivar bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan hampir seluruh kultivar tersebut ditemukan terinfeksi OYDV (Gunaeni et al. 2011). Bawang merah kultivar Bima Brebes dan Tiron merupakan dua kultivar lokal yang telah dilepas Kementerian Pertanian sebagai bawang merah unggul nasional. Kedua kultivar memiliki produksi tinggi dan berumur genjah (Basuki 2009; Warintek 2015). Masalah yang sekarang dihadapi dalam pengembangan bawang merah ini adalah hasil deteksi virus yang dilakukan pada kultivar Bima Brebes (Gunaeni et al. 2011) dan Tiron (Swari et al. 2015) menunjukkan bahwa kedua kultivar tersebut telah terinfeksi Potyvirus. Terbatasnya pengetahuan terkait keberadaan virus di lapangan dan sulitnya membedakan gejala yang disebabkan oleh virus atau penyakit lainnya menyebabkan diperlukan adanya metode deteksi khusus yang cepat dan akurat (Agrios 2005). Dot immunobinding assay (DIBA) merupakan metode deteksi serologi yang umum digunakan untuk deteksi virus. Metode ini dapat digunakan dengan mudah, cepat, dan relatif lebih murah, aplikasinya lebih sederhana serta memiliki sensitivitas yang tinggi (Opriana 2009). DIBA telah digunakan untuk
2 deteksi virus pada berbagai tanaman, diantaranya pada tanaman cabai (Opriana 2009), Cucurbita (Ali et al. 2012) dan padi (Chen et al. 2012). Kultur meristem tip merupakan isolasi meristem apikal yang disertai dengan satu atau dua primordia daun, yang bertujuan untuk eradikasi patogen (Kane 2005). Metode ini umum digunakan untuk mengeliminasi virus pada berbagai tanaman dan telah diaplikasikan oleh Taşkin et al. (2013) untuk mengeliminasi virus OYDV dan Leek yellow stripe virus (LYSV) pada tanaman bawang putih. Menurut Salomon (2002) sel yang bersifat meristematik tersebut bebas atau hampir terbebas dari virus, sehingga ketika beregenerasi akan tumbuh menjadi tanaman yang bebas virus. Pemilihan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) pada kultur meristem tip bergantung pada jenis dan ukuran eksplan yang digunakan (Bhojwani dan Dantu 2013). Pemberian NAA dan GA3 pada konsentrasi 0.3 mg L-1 mampu mempercepat pertumbuhan tunas meristem tip bawang putih (Ma et al. 1994). GA3 juga dilaporkan mampu menginduksi pertumbuhan tunas yang normal tanpa adanya multiplikasi pada tanaman anyelir (Ashnayi et al. 2012). Pada umumnya, sitokinin digunakan dalam kultur meristem tip, aplikasi sitokinin (2ip, BAP, dan kinetin) pada konsentrai tinggi dengan kisaran 0.5 - 2.0 mg L-1 dilaporkan dapat menginduksi terjadinya multiplikasi tunas pada meristem tip bawang putih, baik pemberian dalam bentuk kombinasi auksin-sitokinin ataupun sitokinin tunggal (Roksana et al. 2002; Taşkin et al. 2013). Oleh karena itu, optimasi media dilakukan untuk memperoleh kombinasi ZPT yang optimal untuk pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah. Neelamathi et al. (2014) menyatakan bahwa kultur meristem yang dikombinasikan dengan kemoterapi dapat meningkatkan persentase eliminasi virus. Fletcher et al. (1998) mengulturkan shoot tip bawang merah kultivar Mikor dan Jermor pada media MS yang mengandung 50 mg L-1 ribavirin, tingkat eliminasi virus mencapai 60-62%. Sidaros et al. (2005) berhasil mendapatkan tiga kultivar bawang putih bebas virus dengan persentase 100% dengan mengkulturkan tunas pucuk berukuran 3 mm pada media Murashige dan Skoog (MS) yang mengandung 50 mg L-1 ribavirin (1-β-D-ribofurasonil-1,2,4-triazole-3-carboxamide). Berdasarkan uraian diatas, aplikasi metode kultur meristem tip dan kemoterapi diharapkan dapat menghasilkan tanaman bebas virus, sehingga mampu meningkatkan kualitas bibit bawang merah. Alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan kombinasi ZPT yang paling baik untuk pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah secara in vitro dan mengevaluasi potensi kultur meristem tip dalam mengeliminasi OYDV. 2. Mengetahui pengaruh ribavirin terhadap pertumbuhan shoot tip dan mendapatkan konsentrasi ribavirin yang paling sesuai untuk mengeliminasi virus OYDV pada dua ukuran shoot tip. 3. Mengevaluasi pertumbuhan tanaman bawang merah asal kultur meristem tip dan tanaman yang berasal dari umbi serta biji.
3 Umbi bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron terinfeksi virus
In vitro
Percobaan 1 Perlakuan ZPT pada kultur meristem tip
Deteksi virus OYDV
1.
2.
Mendapatkan media dengan kombinasi ZPT yang optimum untuk pertumbuhan meristem tip Mendapatkan tanaman bebas virus
1. 2.
In vivo
Percobaan 2 Perlakuan konsentrasi ribavirin pada dua ukuran shoot tip
Percobaan 3 Evaluasi pertumbuhan dan tanaman bawang merah
Deteksi virus OYDV
Deteksi virus OYDV
1. Mendapatkan konsentrasi ribavirin terbaik untuk eliminasi virus OYDV 2. Memperoleh tanaman bebas virus
1.
Informasi pertumbuhan tanaman bawang merah asal kultur meristem tip, umbi, dan biji
Aplikasi metode kultur meristem tip dan kemoterapi dapat menghasilkan tanaman bebas virus Peningkatan kualitas bibit bawang merah
Keterangan
: output yang diharapkan
Gambar 1 Alur penelitian kultur meristem tip dan kemoterapi untuk eliminasi virus OYDV pada bawang merah.
1.3 Hipotesis Penelitian 1. Terdapat paling sedikit satu jenis kombinasi ZPT yang paling baik dalam menginduksi pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah dan kultur meristem tip berpotensi dalam mengeliminasi OYDV. 2. Ribavirin berpengaruh terhadap pertumbuhan shoot tip dan terdapat konsentrasi ribavirin yang efektif untuk mengeliminasi virus OYDV pada dua ukuran shoot tip.
4 3. Terdapat perbedaan pertumbuhan antara tanaman bawang merah asal kultur meristem tip dan tanaman yang berasal dari umbi serta biji.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga percobaan yang dikerjakan secara terpisah. Percobaan pertama adalah seleksi media dengan kombinasi ZPT yang paling baik untuk pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah, dan tanaman hasil kultur in vitro selanjutnya dilakukan analisis RT-PCR untuk mengetahui keberadaan virus OYDV. Percobaan ke dua mencari konsentrasi ribavirin yang paling efektif dalam mengeliminasi virus OYDV pada dua jenis ukuran shoot tip, selanjutnya tanaman hasil kemoterapi dilakukan analisis RT-PCR untuk memastikan keberhasilan dari eliminasi virus. Percobaan ke tiga yaitu evaluasi pertumbuhan tanaman bawang merah yang berasal dari bahan tanam kultur meristem tip, umbi, dan biji yang dilanjutkan dengan pengujian virus OYDV menggunakan DIBA.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kultur Meristem Tip Kultur meristem tip merupakan isolasi meristem apikal yang disertai dengan satu atau dua primordia daun, yang bertujuan untuk mengeliminasi patogen (Kane 2005) seperti bakteri, fungi dan virus (Bhojwani dan Dantu 2013). Ukuran meristem tip bervariasi bergantung pada kelompok tanaman (Kane 2005). Pada tanaman pisang diameter meristem tip kurang dari 1 mm dan panjangnya 0.2 mm (Lassois et al. 2013), sedangkan pada bawang putih (Gambar 2) dilaporkan berukuran 0.5 - 1.0 mm (Pramesh dan Baranwal 2015). Meristem tip dinyatakan sebagai daerah yang mengandung sedikit konsentrasi virus dan bahkan terbebas dari virus. Hal ini dikuatkan oleh beberapa alasan, yaitu (i) penyebaran virus melalui jaringan vaskular sangat cepat, sementara itu jaringan pada meristem belum mengalami diferensiasi. Penyebaran virus pada daerah non vaskular terjadi melalui plasmodesmata yang cenderung lebih lambat, (ii) daerah meristem kemungkinan dilindungi oleh “virus inactivating system”, yang dapat mencegah meristem dari infeksi, (iii) level auksin endogen yang tinggi pada daerah tersebut diperkirakan dapat menghambat multiplikasi virus, dan (iv) tingginya aktivitas metabolisme pada daerah meristematik dapat menekan terjadinya multiplikasi virus (Wang dan Hu 1980).
Gambar 2 Meristem tip dengan primordia daun pada tanaman: A. Bawang putih (Pramesh dan Baranwal 2015); B. Anyelir (Ashnayi et al. 2012). Dalam kultur meristem, ukuran eksplan merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan eliminasi virus dan berperan dalam menentukan eksplan tersebut dapat tumbuh selama masa pengulturan. Umumnya eksplan dengan ukuran yang lebih besar dapat meningkatkan keberhasilan kultur (Wang dan Hu 1980) dan memberikan respon pertumbuhan yang lebih cepat (Kane 2005), namun tingkat eliminasi virus menjadi menurun. Sementara itu, ukuran eksplan yang sangat kecil mendukung untuk eliminasi virus, akan tetapi kemampuan regenerasinya menurun (Bhojwani dan Dantu 2013). Verbeek (1995) melaporkan bahwa eksplan bawang putih yang dikulturkan dengan ukuran lebih kecil dari 0.4 mm, memiliki persentase regenerasi tanaman yang rendah. Taşkin et al. (2013) menyatakan bahwa metode kultur meristem tip berhasil mengeliminasi virus OYDV dan LYSV dan menghasilkan tanaman bawang putih bebas virus. Teknik kultur meristem juga digunakan secara rutin untuk memperoleh tanaman bawang putih bebas virus, akan tetapi bagi virus-virus yang sulit untuk dieliminasi, maka teknik ini akan dikombinasikan dengan perlakuan panas dan pemberian ribavirin (AVRDC 2001).
6 2.2 Media Kultur dan Zat Pengatur Tumbuh Media dasar yang umum digunakan untuk kultur meristem tip adalah media Murashige and Skoog (MS). Media juga memerlukan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang berguna untuk mendukung perkembangan meristem tip yang optimal (Bhojwani dan Dantu 2013). Pemilihan ZPT dan konsentrasi yang digunakan akan bergantung pada jenis tanaman dan ukuran eksplan meristem yang digunakan (Wang dan Hu 1980). Sitokinin merupakan jenis ZPT yang dapat menstimulasi pembelahan sel dan pembentukan tunas meristem apikal (Gaba 2005). Sidaros et al. (2005) melaporkan bahwa media MS + 0.5 mg L-1 BA dapat meningkatkan persentase eksplan hidup dibandingkan dengan MS + 0.1 mg L-1 NAA pada tiga kultivar bawang putih. Pada bawang merah cv. Sumenep yang dikulturkan oleh Karjadi dan Buchory (2008), penambahan BAP pada konsentrasi 1 mg L-1 dan 2 mg L-1 dapat meningkatkan jumlah daun, akan tetapi pertumbuhan akar terlihat lebih baik dikulturkan pada media MS tanpa ZPT atau dengan penambahan pada konsentrasi yang sangat rendah. Hal ini juga didukung Gaba (2005) yang menyatakan bahwa sitokinin pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat perkembangan akar. Umumnya aplikasi sitokinin (2ip, BA, BAP dan kinetin) pada kultur meristem tip dengan konsentrai tinggi (0.5 - 2.0 mg L-1) dilaporkan dapat menginduksi multiplikasi tunas pada bawang putih, yang dapat diberikan dalam bentuk kombinasi auksin-sitokinin maupun sitokinin tunggal (Roksana et al. 2002; Taşkin et al. 2013). Auksin merupakan ZPT yang dapat merangsang pemanjangan sel dan bersama dengan sitokinin dapat menstimulasi diferensiasi dari xilem dan floem. Kombinasi auksin-sitokinin dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan eksplan, bergantung pada konsentrasi ZPT yang digunakan (Gaba 2005). Ma et al. (1994) menyatakan bahwa konsentrasi NAA yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan tunas dan menyebabkan primordia daun memanjang dan mengeriting. Sementara itu, aplikasi auksin dengan konsentrasi yang rendah dikombinasikan dengan sitokinin yang tinggi (1:10) akan mengarah pada proliferasi dan pertumbuhan tunas. Tunas yang dihasilkan tebal dan pendek, serta menurunkan tingkat multiplikasi tunas. GA3 merupakan ZPT yang penggunaannya dalam kultur biasanya ditujukan untuk menstimulasi pemanjangan tunas ataupun merangsang pembentukan tunas. Ma et al. (1994) mengulturkan eksplan bawang putih pada media MS yang mengkombinasikan giberelin dan auksin (0.3 mg L-1 NAA + 0.3 mg L-1 GA3). Kombinasi ZPT tersebut menyebabkan pemanjangan primordia daun dan membentuk tunas. Ashnayi et al. (2012) juga menambahkan bahwa pertumbuhan tunas yang dikulturkan pada media dengan kandungan GA3 terlihat normal dan persentase planlet yang mengalami vitrifikasi rendah.
2.3 Kemoterapi Kemoterapi merupakan aplikasi penggunaan senyawa kimia yang bertujuan untuk menghentikan infeksi pada tanaman yang telah terinfeksi virus. Senyawa kimia antiviral harus memiliki kemampuan untuk menghambat proses perbanyakan,
7 penyebaran atau gejala yang ditimbulkan dari serangan virus, memiliki aktivitas spektrum yang luas dalam mengeliminasi sejumlah virus penyebab penyakit. Sejumlah senyawa telah teridentifikasi memiliki kemampuan dalam mengeliminasi virus (Sastry dan Zitter 2014). Ribavirin (1-β-D-ribofuranosil-1,2,4-trizole-3-carboxamide) merupakan senyawa yang memiliki kemampuan aktifitas antiviral, yang dapat menghambat proses sintesis RNA dan DNA virus (Streeter et al. 1973). Hal ini dikarenakan senyawa ini mampu menyerupai bentuk purin nukleotida, baik guanosin maupun adenosin dengan cara memutar rantai C3 - C6 180o (Gambar 3). Kemampuan ribavirin memutar rantai C memungkinkannya untuk menargetkan virus dan enzim inang yang berikatan dengan ribonukleotida ataupun nukleotida purin, yang meyebabkan ribavirin memiliki kemampuan sebagai antiviral spektrum luas. Ribavirin atau disebut juga dengan virazole mulai ditemukan pada tahun 1969, yang disintesis dari nukleotida showdomycin dan pyrazomycin. Kedua nukleotida tersebut diisolasi dari kultur bakteri, dan memperlihatkan aktivitas antiviral pada sejumlah virus (Wu et al. 2003). Penggunaan senyawa kimia antiviral secara in vitro dapat memberikan efek fitotoksik pada eksplan yang diberi perlakuan. Oleh karena itu, hal ini menjadi penting untuk mempertimbangkan pemilihan konsentrasi yang efektif dalam mengeliminasi virus dan persentase tanaman yang mampu beregenerasi (Verma et al. 2005).
Gambar 3 Ribavirin beranalog dengan ribonukleotida adenosin dan guanosin dengan memutar rantai C3 - C6. Penggunaan senyawa ribavirin sebagai kemoterapi yang dikombinasikan dengan teknik kultur meristem dalam mengeliminasi virus secara in vitro sudah banyak dilakukan pada berbagai tanaman dan telah berhasil mendapatkan tanaman bebas virus. Kombinasi dari kedua teknik ini juga dapat meningkatkan persentase bebas virus pada tanaman tebu (Neelamathi et al. 2014). Lassois et al. (2013) menyatakan bahwa ketersediaan tanaman bebas virus sangatlah bergantung pada teknik yang dikembangkan dalam mengeliminasi virus, dan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih teknik eliminasi adalah karakteristik virus, tipe jaringan yang diberikan perlakuan, dan jenis tanaman yang digunakan. Dewi dan Slack (1994) menambahkan bahwa efisiensi protokol yang digunakan untuk mengeliminasi virus akan menurun jika eksplan yang digunakan
8 mengandung konsentrasi virus yang tinggi atau telah terinfeksi oleh berbagai jenis virus. Ribavirin dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tanaman, bergantung pada konsentrasi dan genotipe tanaman (Oana et al. 2009). Neelamathi et al. (2014) menyatakan meristem tip tebu yang dikulturkan pada konsentrasi ribavirin yang rendah (2.5, 5.0, dan 7.5 mgL-1) tidak mengakibatkan penghambatan pertumbuhan dan multiplikasi eksplan, akan tetapi konsentrasi tersebut tidak mampu mengeliminasi virus. Ribavirin dengan konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan efek fitotoksik terhadap pertumbuhan eksplan berupa penghambatan pertumbuhan dan multiplikasi. Andriani et al. (2013) berhasil memperoleh tebu yang telah bebas dari virus Sugarcane mosaic virus (SCMV) melalui kultur meristem tip yang dikombinasikan dengan ribavirin 30 mg L-1 dan 40 mg L-1 selama 6 minggu.
2.4 Virus pada Bawang Merah Virus pada tanaman Allium dapat tersebar dari satu tanaman ke tanaman lainnya melalui kutu daun, thrip, dan tungau. Virus yang menginfeksi Allium biasanya memiliki kisaran inang yang sempit, terutama sekali terbatas pada tanaman bawang-bawangan. Penyebaran virus juga dapat terjadi akibat proses perbanyakan tanaman yang dilakukan secara vegetatif, dan bahkan bawang merah biasanya dapat terinfeksi oleh lebih dari satu jenis virus (Brewster 2008). Gunaeni et al. (2011) melaporkan bahwa persentase insiden gejala virus yang muncul antar varietas maupun pada varietas yang sama dapat bervariasi. Hal ini diduga akibat varietas yang dibudidayakan berbeda-beda, asal daerah dimana benih diperoleh, dan berapa generasi suatu varietas tersebut telah dibudidayakan. Kelompok virus yang ditemukan menginfeksi tanaman Allium merupakan kelompok Potyvirus yaitu Onion yellow dwarf virus (OYDV) dan Leek yellow stripe virus (LYSV). Virus dari Kelompok Carlavirus diantaranya adalah Garlic common latent virus (GarCLV) dan Shallot latent virus (SLV), sedangkan dari kelompok Allexivirus yaitu Garlic virus D (GarV-D), Garlic virus B (GarV-B) dan Garlic virus C (GarV-C) (Shahraeen et al. 2008). Virus yang telah dilaporkan menyerang tanaman bawang merah di Indonesia yaitu OYDV, Shallot yellow stripe virus (SYSV) (Gunaeni et al. 2011) dan SLV (Duriat dan Sukarna 1990).
2.5 Virus Onion yellow dwarf virus (OYDV) OYDV merupakan virus yang tergolong dalam genus Potyvirus. Virus jenis ini menyerang berbagai jenis bawang, termasuk bawang merah. Infeksi dari virus ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan rata-rata hasil per tanaman (Elnagar et al. 2009), bahkan tercatat kehilangan hasil mencapai 60%. Umbi yang tanamannya terinfeksi juga berukuran lebih kecil dan masa dormansinya lebih pendek bila dibandingkan dengan tanaman yang sehat (Brewster 2008). Bibit yang terinfeksi selama masa pertumbuhan akan memperlihatkan gejala infeksi pada daun termuda (Crête et al. 1981). Pada kebanyakan virus, infeksi tidak memperlihatkan adanya gejala dan penyakit yang jelas, akan tetapi OYDV
9 dapat menyebabkan penyakit yang serius pada tanaman (Brewster 2008). Gejala yang ditimbulkan dari infeksi OYDV pada bawang merah berupa garis-garis kuning tak beraturan pada bagian daun dan bahkan hampir seluruhnya menguning. Daun melengkung ke bawah, memipih dan mengeriting. Gejala yang ditimbulkan juga akan semakin parah jika infeksi dari virus ini disertai dengan virus lainnya (Diekmann 1997).
2.6 Deteksi Virus Pendeteksian dan identifikasi suatu virus yang dilakukan hanya berdasarkan pada gejala yang ditimbulkan oleh penyakit merupakan suatu hal yang masih belum pasti, karena gejala penyakit akibat infeksi virus dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan gejala penyakit yang muncul dapat disebabkan oleh infeksi satu atau beberapa jenis virus. Pada penyakit yang disebabkan oleh infeksi campuran, hal ini dapat menyulitkan proses pengidentifikasian virus (Hull 2002). Saat ini berbagai metode analisis untuk deteksi dan identifikasi virus telah dikembangkan, diantaranya yaitu menggunakan metode serologi dan molekuler (Salomon 2002).
2.7 Serologi Uji serologi merupakan metode yang memanfaatkan reaksi antara antigen dan antibodi (molekul yang berikatan dengan antigen yang dikenal) sehingga dapat menghasilkan antiserum. Antiserum terdiri atas dua jenis, yaitu poliklonal dan monoklonal. Antiserum monoklonal bekerja lebih spesifik dibandingkan jenis poliklonal karena antibodinya bekerja pada antigen tertentu dan dapat digunakan pada strain berbeda dari banyak patogen (Hull 2002). Metode ini memiliki banyak kegunaan dan umum digunakan dalam pendeteksian virus, diantaranya yaitu untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit, mengukur virus yang terkandung dalam tanaman, identifikasi virus yang tidak memperlihatkan adanya gejala penyakit pada tanaman, dan dapat digunakan untuk memurnikan virus (Agrios 2005). Dot-immunobinding assay (DIBA) merupakan salah satu pengembangan dari prosedur serologi yang telah digunakan untuk mendeteksi berbagai virus tanaman, seperti virus ChiVMV dan WSMV dari kelompok Potyvirus (Mahmood et al. 1997; Asniwita 2013). DIBA mampu mendeteksi virus ChiVMV pada tanaman cabai sampai batas pengenceran 1 : 1 000 dengan waktu yang efisien dan penggunaan antiserum yang lebih sedikit (Opriana 2009). DIBA juga digunakan untuk mendeteksi virus dengan antibodi spesifik untuk virus OYDV, SLV dan GCLV pada sampel umbi dan daun tanam bawang yang diperoleh dari growing on test (Wulandari 2016). Kadwati (2013) menyatakan bahwa tingkat sensitivitas DIBA dalam mendeteksi Potyvirus cukup sensitif, yang mampu mendeteksi pengenceran antigen virus mencapai 10-2 sedangkan pengenceran antibodi hingga 10-1 dan 10-2. Mahmood et al. (1997) juga menambahkan metode ini juga cukup sensitif untuk diaplikasikan dan memiliki kesamaan sensitivitas dengan ELISA, akan tetapi lebih sulit dilakukan kuantifikasi. DIBA memiliki prinsip kerja yang hampir sama dengan ELISA, perbedaannya terletak pada antigen atau antibodi yang digunakan, yang nantinya
10 akan berikatan dengan nitrocellulose dan menghasilkan suatu reaksi enzim dalam bentuk tak terlarut (Hibi dan Saito 1985). Prinsip kerja ELISA adalah antigen (patogen) pada sampel pengujian akan terperangkap secara khusus dan terkunci oleh fase padat dari spesifik antibodi. Antibodi spesifik kemudian akan bereaksi dengan antigen yang telah terkunci, sedangkan antibodi yang tidak bereaksi selanjutnya akan dibersihkan atau dikeluarkan. Antibodi yang telah berikatan kemudian diuji dengan pemberian substrat yang sesuai dan akan memberikan warna yang menunjukkan ada atau tidaknya antigen pada sampel yang diujikan sebagai bentuk pengujian secara kualitatif (Clark 1981).
2.8 Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) PCR merupakan metode deteksi yang menggunakan spesifik primer dan lebih sensitif dibandingkan dengan metode serologi dan metode ini umum digunakan dalam pendeteksian virus. Pada virus RNA, PCR dilakukan dengan transkripsi RNA menjadi cDNA yang disebut juga dengan reverse transcription PCR atau RT-PCR. RNA virus bisa didapatkan dengan cara mengekstrak bagian tanaman yang telah terinfeksi virus. Asam nukleat yang terdapat pada virus dapat dikeluarkan melalui proses pemanasan dan dilanjutkan dengan reverse transcription, sehingga cDNA yang didapat nantinya bisa diamplifikasi dan menghasilkan dsDNA (Mahy dan van Regenmortel 2010). Hal yang dianggap penting pada aplikasi metode RT-PCR adalah ketelitian dalam interpretasi suatu hasil dan positif, internal, dan negatif kontrol yang digunakan sangat penting dalam analisis PCR. Selain itu, sampel yang digunakan juga dapat terkontaminasi selama pengerjaan (Mahy dan van Regenmortel 2010). Pemilihan primer sangat bergantung pada sekuens yang ingin dianalisis dan primer yang mengandung nukleotida dengan posisi yang spesifik dapat digunakan untuk membedakan strain suatu virus (Hull 2002). Primer menjadi hal yang penting karena terkait keakuratan selama proses PCR dan berpengaruh terhadap efisiensi kerja (Salomon 2002). Pada tanaman Allium aplikasi RT-PCR telah banyak digunakan untuk deteksi keberadaan virus. Arya et al. (2006) mendeteksi adanya OYDV pada tanaman bawang putih dan bawang bombay, primer spesifik yang digunakan didisain berdasarkan gen RNA-dependent RNA polimerase. Mahmoud et al. (2007) mendeteksi OYDV pada tanaman bawang putih menggunakan dua primer spesifik oligonukleotida untuk mengamplifikasi daerah pusat gen CP dengan panjang sekitar 601 bp, sedangkan kontrol yang merupakan tanaman sehat hasilnya negatif. Selanjutya Kurniawan (2012) menggunakan primer ini untuk mendeteksi OYDV pada bawang merah dengan memodifikasi siklus PCR, akan tetapi hasil yang didapat negatif dan tidak ada pita yang teramplikasi, yang menunjukkan bahwa sampel yang dianalisis tidak terinfeksi virus tersebut.
11
3 KULTUR MERISTEM TIP UNTUK ELIMINASI VIRUS OYDV PADA BAWANG MERAH Abstract The purposes of this study were to determine the best media with PGR for meristem tip growth and to evaluate meristem tip culture potential for OYDV elimination in shallot. This study used combination of PGRs 0.25 mg L-1 GA3, 0.25 mg L-1 (2-ip, BAP, kinetin) with or without 0.1 mg L-1 IAA and media without PGR. This research was conducted saparately in two shallot cultivars (Bima Brebes and Tiron). The research was arranged in completely randomized block design with 8 combination of media levels and 3 replications. The result showed that media without PGR was the most efficient for meristem tip growth. Primary shoot was growing without callusing. RT-PCR analysis showed that all the tested samples were still infected by OYDV. It indicated that meristem tip culture method did not eliminate OYDV. It is suggested that this method must be combined with other methods in order to eliminate virus effectively. Keywords: in vitro, PGR, RT-PCR.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan media dengan kandungan ZPT yang paling baik untuk pertumbuhan meristem tip dan untuk mengevaluasi potensi kultur meristem tip dalam mengeliminasi virus OYDV pada tanaman bawang merah. Penelitian ini menggunakan 0.25 mg L-1 GA3, 0.25 mg L-1 (2-ip, BAP, kinetin) dengan penambahan atau tanpa 0.1 mg L-1 IAA serta media tanpa ZPT. Percobaan dilakukan secara terpisah pada cv. Bima Brebes dan Tiron yang disusun menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan 8 komposisi media dan 3 ulangan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa media tanpa penambahan ZPT paling efisien untuk pertumbuhan meristem tip. Tunas utama yang tumbuh tanpa diikuti pembentukan kalus. Analisis RT-PCR menunjukkan bahwa seluruh sampel yang dianalisis masih terinfeksi OYDV. Hal ini menunjukkan bahwa kultur meristem tip masih belum dapat mengeliminasi virus OYDV, sehingga metode ini perlu dikombinasikan dengan metode lainnya agar dapat mengeliminasi virus secara efektif. Katakunci: in vitro, RT-PCR, ZPT.
12 3.1 Pendahuluan Virus merupakan salah satu masalah yang dianggap penting karena berdampak terhadap menurunnya kualitas dan kuantitas hasil panen (Elnagar et al. 2009). Virus dapat menyebar dengan mudah melalui perbanyakan tanaman yang dilakukan secara vegetatif, yaitu menggunakan benih yang terinfeksi virus dan selanjutnya umbi yang tumbuh dapat menjadi inokulum bagi tanaman sehat lainnya (Gunaeni et al. 2011). Onion yellow dwarf virus (OYDV) merupakan virus yang dianggap berbahaya bagi tanaman bawang (Brewster 2008). Infeksi OYDV dapat mengurangi bobot umbi dan menurunkan hasil panen yang dapat mencapai 60%. Dampak infeksi menjadi lebih parah apabila terdapat infeksi gabungan dengan virus lainya seperti Leek yellow stripe virus (Lot et al. 1998). Namun permasalahan tersebut dapat diatasi, salah satunya yaitu dengan cara penggunaan bahan tanam bebas virus (Agrios 2002). Penggunan bahan tanam bebas virus dapat meningkatkan hasil panen dan mengurangi dampak negatif dari penanaman umbi yang telah terinfeksi virus kronis (Conci et al. 2003). Kultur meristem tip merupakan metode yang umum digunakan untuk mendapatkan tanaman bebas virus. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa bagian kubah apikal bebas dari infeksi virus atau mengandung sedikit konsentrasi virus (Wang dan Hu 1980). Metode ini telah diaplikasikan oleh Verbeek et al. (1995) dan Taşkin et al. (2013) pada bawang putih dan berhasil mendapat tanaman yang bebas dari OYDV. Kultur meristem tip membutuhkan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) agar meristem tip dapat tumbuh dengan optimal. ZPT yang umum digunakan untuk kultur meristem tip, yaitu auksin, sitokinin maupun giberelin (Bhojwani dan Dantu 2013). Aplikasi sitokinin (2-ip, BAP, dan kinetin) dengan konsentrasi 0.5 - 2.0 mg L-1 dilaporkan dapat menginduksi terjadinya multiplikasi tunas pada meristem tip bawang putih, baik pemberian dalam bentuk kombinasi auksin-sitokinin ataupun sitokinin tunggal (Taşkin et al. 2013 ; Gull et al. 2014). Penggunaan GA3 dilaporkan menghasilkan pada pertumbuhan tunas anyelir yang normal tanpa disertai multiplikasi (Ashnayi et al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan media dengan kandungan ZPT yang paling baik untuk pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah secara in vitro dan mengevaluasi potensi kultur meristem tip dalam mengeliminasi OYDV.
3.2 Bahan dan Metode 3.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 dan Labroraturium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB serta Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB, pada bulan Juni 2015 hingga Juni 2016. 3.2.2 Deteksi Awal Virus terhadap Umbi Bawang Merah Deteksi awal hanya dilakukan pada bawang merah cv. Tiron, karena diasumsikan Bima Brebes telah terinfeksi OYDV yang merujuk pada laporan Wulandari (2016) bahwa umbi yang dideteksi 100% telah terinfeksi virus. Deteksi
13 awal menggunakan umbi Tiron yang diperoleh dari pengiriman ke 2 dari penangkar bawang merah di Kabupaten Bantul. Penanaman umbi dilakukan dengan cara mengambil 100 umbi secara acak dari 2 ikat benih umbi (satu ikat benih beratnya ± 2 kg). Ujung umbi dipotong sekitar 1/3 bagian umbi yang bertujuan untuk mempercepat perkecambahan. Selanjutnya umbi ditanam pada media air selama 2 minggu dengan bantuan styrofom yang telah dilubangi sebagai penyangga umbi. Pengambilan sampel daun dari umbi yang ditanam dilakukan secara acak, yaitu sebanyak 49 dari 100 umbi yang ditanam. Metode DIBA dilakukan berdasarkan metode Mahmood et al. (1997) yang dimodifikasi. Jaringan daun tanaman digerus dalam Tris buffer saline (TBS) (TBS: Tris-HCl 0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7.5) dengan perbandingan 1 : 10 (b/v). Cairan daun tersebut kemudian diteteskan pada membran nitroselulosa sebanyak 2 μL. Setelah tetesan sampel mengering, membran direndam dalam 10 mL larutan Blocking non fat milk 2% dalam TBS yang mengandung Triton X-100 dengan konsentrasi akhir 2%. Selanjutnya membran diinkubasi pada suhu ruang sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam menggunakan EYELA Multi shaker MMS. Membran kemudian dicuci 5 kali dengan dH2O, setiap pencucian berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Selanjutnya membran direndam dalam 2 mL TBS yang mengandung antibodi OYDV 2 μL di tambah Non fat milk dengan konsentrasi akhir 2%, membran diinkubasi semalam pada suhu kamar sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali dengan Tween 0.05% dalam TBS (TBST), setiap pencucian berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran direndam dalam 2 mL TBS yang mengandung konjugat 2 μL Goat anti rabbit-IgG (Sigma, USA) ditambah Non fat milk dengan konsentrasi akhir 2%, selanjutnya membran diinkubasi selama 2 jam sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm, yang dilanjutkan pencucian membran dengan TBST sebanyak 5 kali, setiap pencucian berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran direndam dalam larutan campuran Nitro blue tetrazolium (NBT) 66 μL dan Bromo chloro indolil phosphate (BCIP) 30 μL yang dicampur dengan 10 mL Buffer substrat (Tris-HCl 0.1 M, NaCl 0.1 M dan MgCl2 5 mM) selama 5 - 30 menit. Reaksi positif akan ditandai dengan terjadinya perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah ditetesi cairan daun tanaman dan reaksi dapat dihentikan dengan mencuci membran dengan dH2O, dan selanjutnya dikeringkan. Menurut Kadwati (2013), persentase infeksi virus dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : jumlah sampel terinfeksi Persentase infeksi virus = --------------------------------- x 100% jumlah sampel yang diuji 3.2.3 Rancangan Penelitian Percobaan dilaksanakan secara terpisah pada dua kultivar bawang merah, yaitu Bima Brebes dan Tiron. Umbi bibit yang digunakan telah mengalami dua bulan penyimpanan dan diperoleh dari petani penyedia bibit bawang merah di Kabupaten Brebes dan Bantul. Rancangan percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dalam faktor tunggal, yaitu
14 kombinasi ZPT yang terdiri atas 8 kombinasi (Tabel 1). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Satu satuan percobaan terdiri atas 4 tabung kultur dan masing-masing tabung ditanam satu eksplan, sehingga setiap kultivar terdapat 96 satuan pengamatan. Tabel 1 Komposisi media untuk pertumbuhan tunas meristem tip bawang merah. Kode M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
Komposisi ZPT – 0.25 mg L-1 2ip 0.25 mg L-1 BAP 0.25 mg L-1 GA3 0.25 mg L-1 Kinetin 0.25 mg L-1 2ip + 0.1 mg L-1 IAA 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA 0.25 mg L-1 Kinetin + 0.1 mg L-1 IAA
Keterangan: M0: kontrol
3.2.4 Persiapan Eksplan, Media dan Kondisi Kultur Persiapan eksplan diawali dengan membuang kulit terluar dan mencuci bersih umbi bawang merah, selanjutnya disterilisasi menggunakan deterjen selama 7 menit sebanyak 2 kali, dan dibilas dengan air mengalir. Umbi direndam dalam larutan 0.04% streptomisin sulfat dan 0.16% mankozeb selama semalam, dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 2 - 3 kali. Umbi disterilisasi dengan 1.05% NaOCl selama 20 menit. Tahapan selanjutnya dilakukan di Laminar air flow (LAF). Umbi dikupas 1 hingga 2 lapisan, kemudian disterilisasi dengan 0.525% NaOCl selama 25 menit. Eksplan dipotong hingga berukuran 0.5 - 1.0 cm dan dikulturkan pada media MS serta diinkubasi selama 1 hari (24 jam). Eksplan yang sudah dikulturkan pada media MS disterilisasi kembali menggunakan 0.263% NaOCl selama 5 menit. Isolasi eksplan meristem tip berukuran kurang dari 1 mm dilakukan di bawah mikroskop binokular dengan bantuan pinset dan jarum diseksi. Eksplan dikulturkan pada media perlakuan (Tabel 1) yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) dan tanpa ZPT (kontrol) serta dengan penambahan 30 g L-1 sukrosa dan 2 g L-1 Gelrite dengan pH 5.8 - 6.0. Eksplan diinkubasi di ruang kultur dengan intensitas cahaya ± 2000 lux selama 24 jam pada suhu 25 ± 1 oC. Setelah perlakuan media selama 3 minggu, eksplan dipindahkan ke media multiplikasi tunas berupa media MS + 2 mg L-1 2-ip + 0.3 mg L-1 GA3 dan disimpan di ruang kultur dengan kondisi yang sama. Subkultur dilakukan 3-4 minggu sekali sebanyak 3 kali. Tunas yang tumbuh selanjutnya dipindahkan ke media induksi umbi mikro (Dinarti 2012), yaitu media MS + vitamin B5 + sukrosa 120 g L-1 dan diinkubasi di ruang kultur dengan intensitas cahaya ± 2000 lux selama 24 jam pada suhu 30 ± 1 oC selama 8 minggu. Planlet umbi lapis mikro dibersihkan dan direndam dalam larutan bakterisida dan fungisida masing-masing 2 g L-1 selama 5 menit dan dikeringkan dengan kertas tisu. Umbi lapis mikro ditanam dalam wadah gelas plastik yang telah diberi media dengan campuran tanah steril, arang sekam dan pupuk kandang (1:1:1). Penyiraman menggunakan media ½ MS dilakukan 2 hari sekali dan pemberian pupuk daun (Gandasil D) 2 g L-1 dilakukan 1 minggu sekali. Aklimatisasi dilakukan di kotak kasa yang ternaung dari sinar matahari langsung selama 2 - 3 minggu.
15
3.2.5 Pengamatan dan Analisis Data Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga 3 minggu setelah tanam (MST). Peubah yang diamati dari percobaan ini meliputi persentase keberhasilan tumbuh eksplan, persentase eksplan berdaun, persentase eksplan berakar, jumlah akar, jumlah tunas, jumlah daun, waktu muncul daun dan tinggi eksplan. Data penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Perlakuan yang berpengaruh nyata selanjutnya diuji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95%. 3.2.6 Deteksi Virus dengan Metode RT-PCR Metode RT-PCR pada penelitian ini digunakan untuk mendeteksi virus OYDV pada tanaman bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron hasil kultur in vitro yang telah diaklimatisasi. Tahapan metode RT-PCR meliputi tahapan ekstraksi RNA, sintesis complementary DNA (cDNA), amplifikasi cDNA, dan visualisasi hasil amplifikasi. 3.2.6.1 Ekstrasi RNA Total Ekstraksi RNA secara manual mengikuti metode CTAB (Doyle dan Doyle 1987) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 0.1 g sampel daun digerus dengan nitrogen cair, kemudian ditambahkan 500 µl Buffer ekstraksi yang mengandung 1% 2-β merkaptoetanol. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 mL dan diinkubasi dalam penangas air dengan suhu 65 oC selama 30 menit dan setiap 10 menit sekali dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Setelah selesai, tabung diangkat dan didiamkan pada suhu ruang selama 2 menit, kemudian ditambahkan 500 μL campuran kloroform : isoamilalkohol (24 : 1). Campuran kemudian divortek dengan kecepatan tinggi selama 5 menit agar menjadi homogen, lalu disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 11 000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil sekitar 400 μL dan dipindah ke tabung baru, kemudian ditambahkan isopropanol sebanyak 267 μL (2/3 bagian dari campuran). Campuran supernatan selanjutnya dapat disimpan selama semalam atau 1-2 jam pada suhu -80 oC. Setelah itu, campuran supernatan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 11 000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang, dan pelet yang terbentuk ditambahkan dengan etanol 70 % sebanyak 500 μL lalu disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 8 000 rpm. Supernatan dibuang, pelet yang terbentuk dikeringkan selama 15 menit, selanjutnya ditambahkan Buffer TE sebanyak 50 μL. 3.2.6.2 Sintesis Complementary DNA (cDNA) RNA total hasil ekstraksi selanjutnya digunakan sebagai template untuk sintesis cDNA. Sintesis cDNA terjadi melalui proses transkripsi balik RNA menggunakan enzim Transcriptase MmuLV (Moloney Murine Leukimia Virus). Sintesis cDNA dilakukan dengan mencampurkan 2 μL RNA dan primer Poty 1 sebanyak 0.75 μL mikro serta komponen reaksi lainnya (Tabel 2) ke dalam tabung. Selanjutnya DNA disintesis menggunakan mesin Veriti® thermal cycler (Applied biosystem) dengan satu siklus yang terdiri atas 65 oC (5 menit), 42 oC (60 menit)
16 dan 70 oC (10 menit). Produk transkripsi balik berupa cDNA selanjutnya digunakan untuk tahapan amplifikasi. Tabel 2 Komposisi bahan RT-PCR untuk volume reaksi (10 µL). Komponen DTT 50 mM Buffer RT 5x dNTP 10 mM Ribolock MmuLV Free nuclease water Primer Poty 1 RNA Volume total
Volume untuk 1 reaksi (μL) 2.00 2.00 1.00 0.50 0.35 0.15 1.00 3.00 10.00
3.2.6.3 Amplifikasi cDNA Tahapan amplifikasi cDNA diawali dengan menyiapkan semua bahan dalam tabung mikro 1.5 ml (Tabel 3 dan 4). Untuk kontrol positif digunakan cDNA dari tanaman yang terinfeksi virus. Tabel 3 Komposisi bahan PCR untuk volume satu reaksi (25 µL). Komponen dH20 GTG Master mix Primer F 10 mM Primer R 10 mM cDNA Volume total
Volume untuk 1 reaksi (µL) 9.5 12.5 1.0 1.0 1.0 25.0
Tabel 4 Primer yang digunakan untuk amplifikasi virus OYDV pada bawang merah menggunakan metode PCR. Virus target OYDV
Pasangan primer*) (5’.......3’) F : CGAAGCAAATTGCCAAGCAG
Ukuran DNA targer (bp) 601
Sumber pustaka (Mahmoud et al. 2007)
R : CGATTAGCTGCCCCTCTAAC Keterangan : *) R : primer Reverse; F : primer Forward
Amplifikasi dilakukan sebanyak 1 siklus pada 94 oC selama 3 menit, selanjutnya 35 siklus dengan tahapan denaturasi pada 94 oC selama 30 detik, annealing pada 52 oC selama 1 menit, dan sintesis pada 72 oC selama 1 menit, kemudian khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis 72 oC selama 7 menit. Amplifikasi DNA target dilakukan menggunakan mesin Veriti® thermal cycler (Applied biosystem). 3.2.6.4 Visualisasi DNA DNA dielektroforesis pada tegangan 50 volt selama 50 menit menggunakan 1% gel agarosa yang dilarutkan dalam Buffer 0.5x Tris-borate EDTA (TBE), kemudian direndam dalam larutam Etidium bromida selama 15-30 menit. Penanda ukuran DNA yang digunakan adalah 1 kb DNA Ladder (Thermo scientific).
17 Visualisasi DNA dilakukan di bawah UV Transluminator dan didokumentasikan dengan kamera digital.
3.3 Hasil dan Pembahasan
Eksplan tumbuh (%)
Pertumbuhan awal meristem tip pada 1 MST menunjukkan adanya respon pertumbuhan berupa pemanjangan primordia daun dan pembengkakan pada bagian cakram umbi (basal plate). Keberhasilan tumbuh eksplan dilihat dari kemampuan eksplan untuk tumbuh dan membentuk daun. Persentase tumbuh eksplan Bima Brebes yang paling tinggi diperoleh dari perlakuan kinetin (M4) serta kombinasi 2ip dan IAA (M5), dengan persentase tumbuh yang mencapai 100% (Gambar 4). Sementara itu, persentase tumbuh eksplan yang paling rendah (58%) terdapat pada perlakuan GA3 (M3) serta kombinasi kinetin dan IAA (M7). Persentase eksplan tumbuh yang paling tinggi pada Tiron yaitu 91% terdapat pada perlakuan BAP (M2) dan kombinasi kinetin dengan IAA (M7). 140 120 100 80 60 40 20 0
Bima Brebes
M0
M1
M2
M3 M4 Media
M5
Tiron
M6
M7
M0 = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip M2 = 0.25 mg L-1 BAP M3 = 0.25 mg L-1 GA3 M4 = 0.25 mg L-1 kinetin M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA M7 = 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 IAA M0 = Kontrol
-1 2-ip M1 bawang = 0.25 mg Lmerah Gambar 4 Persentase eksplan tumbuh dua kultivar pada 3 MST. -1
M2 = 0.25 mg L BAP M3 = 0.25 mg L-1 GA3 Rata-rata persentase eksplan Bima BrebesM4 dan= 0.25 Tiron mengalami gagal mg yang L-1 kinetin -1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M5 = 0.25 mg Lpertumbuhan tumbuh masing-masing sebesar 19% dan 28%. Kegagalan eksplan -1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA M6 = 0.25 mg L yang diisolasi dari meristem tip (0.6 - 1.0 mm) bawang putih-1 sebesar 29% juga M7 = 0.25 mg L kinetin + 0.1 mg L-1 dilaporkan Verbeek et al. (1995). Gagalnya eksplan yang IAA tumbuh tidak disebabkan
oleh media, akan tetapi dipengaruhi oleh kontaminasi, perlukaan akibat isolasi M0 = Kontrol eksplan, maupun akibat proses sterilisasi. -1 2-ip M1 = 0.25 mg Lpada Eksplan yang tumbuh rata-rata mulai terbentuk daun 1 hingga 2 MST M2 = 0.25 mg L-1 BAP (Tabel 5). Waktu munculnya daun yang paling cepat terlihat M3 = 0.25 mg L-1 pada GA3 eksplan Tiron M4dari = 0.252mg L-1 kinetin Pembentukan yang dikulturkan pada media tanpa ZPT (kurang minggu). M5 =menginduksi 0.25 mg L-1 2-ip +pembelahan 0.1 mg L-1 IAAsel. daun dapat dipengaruhi oleh aktivitas sitokinin dalam M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA -1 Eksplan meristem tip yang dikulturkan diduga memiliki sitokinin yang M7 = 0.25 mg L-1 kinetinendogen + 0.1 mg L IAA cukup untuk dapat menginduksi pembelahan sel dan menginisiasi pembentukan daun pada meristem. Sementara itu, eksplan yang mengalami defisiensi sitokinin = Kontrol yang sebaliknya dan saat pertumbuhan meristem akan memberikan M0 pengaruh M1 = 0.25 mg L-1 2-ip menyebabkan terhentinya diferensiasi sel daun (Werner al.L-12003 M2 = 0.25etmg BAP ). = 0.25dapat mg L-1 GA 3 Eksplan Bima Brebes berhasil tumbuhM3dan membentuk daun, -1 kinetin M4 = 0.25 mg L sedangkan persentase berdaun eksplan Tiron 13% lebih rendah dari Bima Brebes M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA -1 (Gambar 5). Analisis statistik terhadap kultivar Tiron menunjukkan M6 = 0.25 mg L BAP + 0.1 mg L-1bahwa IAA M7 = 0.25 mg L-1 persentase kinetin + 0.1 mg L-1 perlakuan ZPT tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap eksplan IAA berdaun. M0 = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip M2 = 0.25 mg L-1 BAP M3 = 0.25 mg L-1 GA3 M4 = 0.25 mg L-1 kinetin M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA M7 = 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 IAA
18 Tabel 5 Waktu muncul daun pada eksplan bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu muncul daun (MST)*) Bima brebes Tiron 1.67 ± 0.33 1.33 ± 0.58 1.67 ± 0.38 2.17 ± 0.29 1.89 ± 0.19 2.08 ± 0.14 1.67 ± 0.58 1.67 ± 0.58 1.92 ± 0.14 1.75 ± 0.35 2.08 ± 0.52 2.00 ± 0.00 1.92 ± 0.14 1.75 ± 0.35 1.67 ± 0.58 2.00 ± 0.00
Media Kontrol 0.25 mg L-1 2-ip 0.25 mg L-1 BAP 0.25 mg L-1 GA3 0.25 mg L-1 kinetin 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 IAA
Keterangan : MST (minggu setelah tanam); *)data merupakan rataan dan standar deviasi.
Eksplan berdaun dan abnormal (%)
Selama tiga minggu pengamatan ditemukan eksplan dengan morfologi yang tidak normal seperti vitrifikasi maupun klorosis pada cv. Tiron. Persentase eksplan abnormal antara 0 - 22%. (Gambar 5). Sebagian besar eksplan mengalami vitrifikasi atau disebut juga dengan hyperhidricity mempelihatkan morfologi daun yang tembus cahaya. Eksplan cenderung mengalami pertumbuhan yang lambat dan bahkan tidak mampu bertahan hidup. Wu et al. (2009) menyatakan bahwa tanaman yang mengalami hyperhydric memiliki kandungan air yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan kandungan oksigen, protein dan klorofil pada tanaman rendah. 100 80 60 40 20 0 M0
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M0 = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip M2 = 0.25 mg L-1 BAP M3 = 0.25 mg L-1 GA3 M4 = 0.25 mg L-1 kinetin M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA M7 = 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 IAA
Media M0 = Kontrol Eksplan abnormal (Tiron) M1 = 0.25 mg L-1 2-ip -1 BAP Gambar 5 Persentase eksplan berdaun dan abnormal pada bawang M2 = 0.25 mg Leksplan -1 GA M3 = 0.25 mg L 3 merah cv. Bima Brebes dan Tiron. M4 = 0.25 mg L-1 kinetin M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA Respon pertumbuhan eksplan Bima Brebes M6 dan= Tiron 0.25 mgterhadap L-1 BAP +perlakuan 0.1 mg L-1 media menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata padaIAA jumlah daun dan jumlah M7 = 0.25 mgtunas L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 tunas. Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata pada tinggi cv. Tiron yang IAA Eksplan berdaun (Bima Brebes)
Eksplan berdaun (Tiron)
ditunjukkan pada Tabel 6. Eksplan yang dikulturkan pada media tanpa ZPT (kontrol) memiliki tinggi tunas yang nyata lebih M0 tinggi dibandingkan dengan = Kontrol -1 2-ip M1 =BAP 0.25 mg eksplan pada media yang mengandung 2-ip + IAA dan + LIAA, namun tinggi -1 BAP M2 = 0.25 mg L tunas eksplan kontrol tidak berbeda nyata dengan eksplan yang dikulturkan pada M3 = 0.25 mg L-1 GA3 media yang diberi 2-ip, BAP, GA3, kinetin, dan kombinasi + IAA. Gull et M4 = 0.25kinetin mg L-1 kinetin M5 = yang 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA al. (2014) melaporkan bahwa meristem tip bawang putih dikulturkan pada MS -1 M6 = 0.25 mg L BAP + 0.1 mg L-1 tanpa ZPT tetap dapat tumbuh dan membentuk tunas. IAA Haque et al. (2003) juga melaporkan bahwa eksplan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih+ baik M7 = 0.25 mg L-1 kinetin 0.1 mgdan L-1 IAA tingkat regenerasi tunas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekspan yang dikulturkan pada media yang mengandung ZPT. Bhojwani dan Dantu (2013) M0 = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip M2 = 0.25 mg L-1 BAP M3 = 0.25 mg L-1 GA3 M4 = 0.25 mg L-1 kinetin M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA M7 = 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1
19 menyatakan eksplan dapat tumbuh dan berkembang menjadi planlet disebabkan oleh meristem tip memiliki 1 - 2 primordia daun yang dapat mensuplai auksin dan sitokinin untuk mendukung pertumbuhan eksplan yang normal. Tinggi tunas Bima Brebes pada semua perlakuan ZPT tidak berbeda nyata. Penambahan IAA dalam kombinasi ZPT diperkirakan dapat menghambat pemanjangan tunas (Tabel 6). Ma et al. (1994) menyatakan bahwa pemberian auksin dengan konsentrasi rendah pada kombinasi auksin-sitokinin pada bawang putih dapat mendukung pertumbuhan tunas, akan tetapi menyebabkan tunas menjadi pendek dan tebal. Eksplan yang diberi perlakuan media dengan komposisi ZPT yang berbeda mampu menginduksi pertumbuhan tunas utama tanpa diikuti proses pembentukan kalus. Ashnayi et al. (2012) melaporkan bahwa aplikasi GA3 0.5 mg L-1 pada kultur meristem tip tanaman anyelir dapat mempercepat pertumbuhan tunas dan tunas yang dihasilkan tumbuh normal tanpa disertai multiplikasi, diduga karena konsentrasi ZPT yang diberikan cukup rendah. Menurut Gull et al. (2014), aplikasi sitokinin berpotensi menginduksi multiplikasi tunas pada konsentrasi 0.5 mg L-1. Tabel 6 Respon eksplan (meristem tip) bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron terhadap perlakuan ZPT. No.
1 2 3 4 5 6 7 8
ZPT
Kontrol 0.25 mg L-1 2-ip 0.25 mg L-1 BAP 0.25 mg L-1 GA3 0.25 mg L-1 Kinetin 0.25 mg L-1 2ip + 0.1 mgL-1 IAA 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA 0.25 mg L-1 kinetin +0.1 mg L-1 IAA Uji F
Jumlah tunas 0.89 0.67 0.89 0.67 0.83
Bima Brebes Jumlah Tinggi daun tunas (Helai) (cm) 2.11 2.46 1.75 2.18 2.22 2.11 1.75 2.74 2.00 2.68
0.56 0.81 1.00 0.67 0.75
Tiron Jumlah daun (Helai) 1.89 1.67 2.14 1.83 1.88
Tinggi tunas (cm)*) 1.58 a 1.32 ab 1.23 ab 1.20 ab 1.45 a
Jumlah tunas
0.75
2.00
1.73
0.67
1.50
0.68 bc
0.83
2.17
1.43
0.83
1.33
0.56 c
0.72
1.89
1.97
0.64
1.47
0.86 abc
tn
tn
tn
tn
tn
*
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata, * = berbeda nyata pada taraf α 5%, angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 0.05. *)
Eksplan Bima Brebes yang dikulturkan pada media perlakuan memperlihatkan pertumbuhan akar yang tidak merata (Gambar 6). Pembentukan akar terlihat pada eksplan yang diberi sitokinin dan GA3 (M1-M4), begitu juga dengan kombinasi kinetin + IAA (M7). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Gull et al. (2014), bahwa akar pada planlet bawang putih terbentuk pada MS yang mengandung sitokinin dan bahkan dilaporkan bahwa kombinsi kinetin dan IAA memiliki respon yang paling baik. GadEl-Hak et al. (2011) menambahkan bahwa kombinasi tersebut dapat meningkatkan jumlah akar per eksplan. Hal yang sebaliknya didapat dari penelitian ini, bahwa eksplan yang dikulturkan pada media tanpa ZPT (M0) memperlihatkan persentase berakar yang paling tinggi
20
Planlet berakar (%)
dibandingkan dengan media lainnya. Sementara itu, Tiron memperlihatkan respon yang berbeda, pembentukan akar tidak terlihat selama 3 minggu pengamatan. Sitokinin dan auksin merupakan hormon yang aktivitasnya dapat mempengaruhi perkembangan akar (Gaba 2005). Aktivitas sitokinin selama perkembangan awal primordia daun dapat menghambat pertumbuhan akar (Werner et al. 2003) karena menekan produksi auksin. Namun selama perkembangan primordia daun dan tunas menyebabkan auksin terakumulasi (Aloni et al. 2003). Auksin selanjutnya menginduksi pembentukan dan pemanjangan akar (Gaba 2005). Pembentukan akar pada eksplan bawang merah yang dikulturkan pada media M0 diduga karena konsentrasi auksin endogen eksplan cukup tinggi pada Bima Brebes. 80 60
47.2 33.3
40 16.7
22.2
22.2
16.7
20
0.0
0.0
M5
M6
0 M0
M1
M2
M3
M4
Media
M7
M0 = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip M2 = 0.25 mg L-1 BAP M3 = 0.25 mg L-1 GA3 M4 = 0.25 mg L-1 kinetin M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA M7 = 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 IAA
Gambar 6 Persentase planlet berakar pada bawangM0merah cv. Bima Brebes. = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip M2 = 0.25 mg L-1 BAP 3.3.1 Aklimatisasi M3 = 0.25 mg L-1 GA3 M4 = 0.25 mg L-1 kinetin Aklimatisasi planlet umbi mikro dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA diantaranya ukuran umbi mikro, media, dan wadah tanam, M6 = 0.25 mg pencahayaan L-1 BAP + 0.1 mgserta L-1 IAA intensitas penyiraman. Planlet yang berbentuk umbi mikro -1memiliki tingkat M7 = 0.25 mg L kinetin + 0.1 mg L-1 persentase keberhasilan aklimatisasi yang cukup tinggi, seperti yang dinyatakan IAA
oleh Dinarti (2012), sehingga pada penelitian ini planlet yang diaklimatisasi dalam bentuk umbi mikro. Ukuran umbi mikro yang besarM0 cenderung = Kontrol akan menghasilkan diameter daun yang besar, begitu juga sebaliknya. M1 = 0.25 mg L-1-1 2-ip M2 = 0.25 mg L BAP Busuk pada bagian pangkal batang dan umbi mikro merupakan hal yang M3 = 0.25 mg L-1 GA3 sering terjadi saat aklimatisasi. Umbi mikro dan pangkal batang rentan dengan M4 = 0.25 mg L-1 kinetin -1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M5 = 0.25 mg L kondisi penanaman yang terlalu lembab, karena dapat memicu terjadinya M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 kebusukan. Kondisi yang demikian dapat dihindari dengan mengatur intesitas IAA -1 penyiraman, yang dapat dilakukan 2 - 3 hari sekali.M7Penyiraman dapat+dilakukan = 0.25 mg L kinetin 0.1 mg L-1 IAA seperlunya tanpa membuat kondisi media tanam terlalu lembab. Tanaman aklimatisasi juga membutuhkan cahaya matahari agar dapat tumbuh dengan baik Kontrol dan berfotosintesis. Penanaman dapat dilakukan M0 di =dalam kotak kasa dengan M1 = 0.25 mg L-1 2-ip kondisi pencahayaan matahari secara tidak langsungM2 atau ternaungi. = 0.25 mg L-1 BAP M3 = 0.25 diaklimatisasi mg L-1 GA3 Planlet umbi mikro Bima Brebes dan Tiron yang masingM4 = 0.25 mg L-1 kinetin masing berjumlah 20 dan 10. Keberhasilan aklimatisasi planlet umbi mikro pada M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA -1 penelitian ini cukup baik. Tingkat keberhasilan tumbuh M6 =planlet 0.25 mg Tiron L BAPpada + 0.1minggu mg L-1 IAA pertama dan kedua mencapai 100%, sementara itu planlet Bima Brebes pada M7 = 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 minggu pertama keberhasilannya 90% dan minggu kedua menurun menjadi 85% IAA (Gambar 7). M0 = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip M2 = 0.25 mg L-1 BAP M3 = 0.25 mg L-1 GA3 M4 = 0.25 mg L-1 kinetin M5 = 0.25 mg L-1 2-ip + 0.1 mg L-1 IAA M6 = 0.25 mg L-1 BAP + 0.1 mg L-1 IAA M7 = 0.25 mg L-1 kinetin + 0.1 mg L-1 IAA M0 = Kontrol M1 = 0.25 mg L-1 2-ip
Tanaman hidup (%)
21
100 80 60 40 20 0 1 MSA 2 MSA Minggu setelah aklimatisasi Bima Brebes Tiron
Gambar 7 Kondisi aklimatisasi umbi mikro bawang merah di dalam kotak kasa (kiri) dan persentase tumbuh umbi mikro selama dua minggu aklimatisasi (kanan). 3.3.2 Deteksi Virus Pengujian awal virus menggunakan metode DIBA bertujuan untuk mengetahui persentase sampel tanaman yang terinfeksi. Hasil pendeteksian virus terhadap sampel daun bawang merah cv. Tiron yang ditanam menggunakan metode growing on test menunjukkan bahwa infeksi virus OYDV 100% (Gambar 8). Pendeteksian awal pada penelitian ini tidak dilakukan pada Bima Brebes, karena kultivar ini diasumsikan telah terinfeksi OYDV dengan persentase yang tinggi (100%) berdasarkan hasil deteksi yang dilaporkan Wulandari (2016).
Gambar 8 Hasil deteksi awal sampel bawang merah cv. Tiron dengan metode DIBA. B (buffer); P (kontrol positif); N (kontrol negatif); 1 - 6 (sampel daun). Hasil deteksi virus terhadap sampel daun bawang merah cv. Tiron menunjukkan bahwa infeksi virus OYDV mencapai 100%. Deteksi virus terhadap tanaman hasil kultur in vitro menggunakan RT-PCR dikarenakan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, sehingga dapat mendeteksi jaringan tanaman dengan konsentrasi virus yang sedikit. Hasil RT-PCR tanaman yang terinfeksi oleh OYDV ditunjukkan oleh amplifikasi pita yang panjangnya 601 bp. Sampel daun yang digunakan untuk deteksi virus berasal dari tanaman kultur in vitro yang telah diaklimatisasi. Pendeteksian virus dilakukan pada cv. Bima Brebes dan Tiron dan setiap kultivar diambil tiga sampel daun komposit, yang masing-masing komposit mewakili 3 tanaman. Hasil deteksi memperlihatkan adanya pita DNA pada sampel yang dianalisis (Gambar 9), yang mengindikasikan adanya virus OYDV. Hasil ini menunjukkan bahwa metode kultur meristem tip masih belum dapat mengeliminasi virus OYDV pada cv. Bima Brebes maupun Tiron, bagian meristem tip yang digunakan pada penelitian ini diduga masih mengandung virus. Ayabe dan Sumi (2001) menyatakan bahwa virus yang telah menginfeksi sel dapat menyebar ke sel lainnya melalui plasmodesmata, seperti yang dilaporkan oleh
22 Pramesh dan Baranwal (2015). Wang et al. (2008) menyatakan bahwa virus tidak terdeteksi pada sel muda yang belum mengalami diferensiasi yang terdapat pada kubah apikal, sedangkan pada sel yang lebih berkembang telah memiliki plasmodesmata. Namun, Taşkin et al. (2013) melaporkan bahwa 100% tanaman bawang putih bebas virus berhasil diperoleh melalui kultur meristem tip.
Gambar 9 Amplifikasi fragmen DNA sampel bawang merah dengan RT-PCR menggunakan spesifik primer OYDV. M (1 kb DNA Ladder); P (kontrol positif); N (kontrol negatif); 1 - 3 (sampel komposit hasil kultur meristem tip). Keberhasilan eliminasi virus dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti ukuran meristem tip (Verbeek et al. 1995; Ashnayi et al. 2012; Hu et al. 2012), konsentrasi virus di dalam jaringan tanaman (Pramesh dan Baranwal 2015), genotipe tanaman, metode eliminasi (Bhojwani dan Dantu 2013), dan jenis ZPT yang digunakan pada kultur in vitro (Ashnayi et al. 2012). Oleh karena itu, efisiensi eliminasi virus menggunakan kultur meristem tip dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan beberapa metode, agar dapat mengeliminasi OYDV secara efektif pada tanaman yang terinfeksi.
3.4 Kesimpulan Media tanpa penambahan ZPT merupakan media yang paling efisien untuk pertumbuhan tunas meristem tip. Tunas utama yang tumbuh tanpa disertai pembentukan kalus. Hasil analisis RT-PCR menunjukkan bahwa seluruh sampel yang dideteksi masih terinfeksi virus OYDV. Hal ini menunjukkan bahwa kultur meristem tip belum dapat mengeliminasi virus OYDV, sehingga metode kultur meristem tip perlu dikombinasikan dengan metode lainnya agar dapat mengeliminasi virus secara efektif.
23
4 KEMOTERAPI UNTUK ELIMINASI VIRUS OYDV PADA BAWANG MERAH Abstract The objectives of the experiment were to evaluate the effect of ribavirin on shoot tip growth and to determine the suitable ribavirin concentration for OYDV elimination in both shoot tip sizes. The experiment was cunducted at Tissue Culture Laboratory 3, Agronomy and Horticulture Department and Plant Virology Laboratory, Department of Plant Protection of IPB from October 2015 until June 2016. Experiment was arranged in a completely randomized block design with two factors and four replications. Each experimental unit consisted of four bottles with one explant in it. The first factor was ribavirin concentrations, i.e. 0, 5, 10, 15, and 20 mg L-1 and the second factor was shoot tip sizes, i.e. 1.1 - 2.0 mm and 2.1 - 3.0 mm. The result showed that increasing ribavirin concentration inhibited the time of leaf to emerge, leaf length, and leaf number of cv. Tiron. It also suppressed the shoot length of cv. Bima Brebes. Increasing shoot tip size (2.1 - 3.0 mm) influenced percentage of explant growth and speed the time of leaf emergence of cv. Bima Brebes and Tiron. Ribavirin concentrations used in this treatment did not eradicate OYDV in both shoot tipe sizes of the two cultivars. Keywords: in vitro, ribavirin, RT-PCR, shoot tip.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ribavirin terhadap pertumbuhan shoot tip dan mendapatkan konsentrasi ribavirin yang paling sesuai untuk mengeliminasi virus OYDV pada dua ukuran shoot tip. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB, sejak bulan Oktober 2015 hingga Juni 2016. Rancangan percobaan yang digunakan adalah kelompok lengkap teracak faktorial, dengan dua faktor dan empat ulangan. Setiap unit percobaan terdiri atas empat tabung kultur yang ditanam satu eksplan. Percobaan dilakukan secara terpisah pada dua kultivar bawang merah, yaitu Bima Brebes dan Tiron. Faktor pertama adalah konsentrasi ribavirin, yaitu 0, 5, 10, 15 dan 20 mg L-1. Faktor kedua adalah ukuran eksplan (shoot tip), yaitu 1.1 - 2.0 mm dan 2.1 - 3.0 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi ribavirin secara nyata menghambat pemanjangan tunas cv. Bima Brebes, waktu muncul daun, pemanjangan tunas, dan jumlah daun cv. Tiron. Ukuran shoot tip yang lebih besar (2.1 - 3.0 mm) meningkatkan persentase eksplan tumbuh dan mempercepat waktu muncul daun cv. Bima Brebes dan Tiron. Konsentrasi ribavirin yang diaplikasikan pada percobaan ini belum dapat mengeliminasi virus OYDV pada dua ukuran shoot tip kedua kultivar. Kata kunci: in vitro, ribavirin, RT-PCR, shoot tip.
24 4.1 Pendahuluan Bawang merah merupakan tanaman hortikultura unggulan Indonesia setelah kubis dan kentang dengan produksi pada tahun 2014 mencapai 1 233 989 ton. Bawang merah dibudidayakan hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Sentra produksi utama bawang merah berada di pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah (BPS 2016). Masalah yang saat ini dihadapi adalah berbagai kultivar bawang merah yang dibudidayakan telah terinfeksi virus (Gunaeni et al. 2011; Swari et al. 2015; Wulandari 2016). Sistem perbanyakan vegetatif menggunakan umbi bawang merah yang selama ini dilakukan petani menyebabkan akumulasi virus pada generasi berikutnya (Gunaeni et al. 2011). Pengujian virus yang dilakukan oleh Wulandari (2016) menunjukkan bahwa kultivar Bima Brebes 100% terinfeksi Onion yellow dwarf virus (OYDV), sedangkan Tiron dilaporkan telah terinfeksi Potyvirus (Swari et al. 2015). Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan bahwa insiden gejala infeksi virus pada Bima Brebes di lapangan 100% (Gunaeni et al. 2011). OYDV merupakan virus yang termasuk kelompok Potvirus dan berkontribusi terhadap kehilangan hasil panen yang dilaporkan mencapai 60% (Brewster 2008). Protokol eliminasi virus pada tanaman Allium telah banyak dilaporkan dan berhasil mendapatkan tanaman bebas virus secara in vitro, akan tetapi secara umum metode yang digunakan berupa kultur meristem tip yang dikombinasikan dengan metode lainnya. Taşkin et al. (2013) menyatakan bahwa isolasi bagian meristem tip merupakan hal yang sulit dilakukan, membutuhkan banyak waktu dan keahlian khusus. Oleh karena itu, pada penelitian ini metode yang digunakan berupa kultur tunas pucuk (shoot tip culture) yang dikombinasikan dengan metode kemoterapi dengan tujuan untuk mendapatkan persentase eliminasi virus yang tinggi. Kemoterapi merupakan aplikasi penggunaan senyawa kimia yang bertujuan untuk menghentikan infeksi pada tanaman yang terinfeksi virus (Sastry dan Zitter 2014). Ribavirin (1-β-D-ribofuranosil-1,2,4-trizole-3-carboxamide) merupakan senyawa yang memiliki kemampuan aktivitas antiviral yang dapat menghambat proses sintesis RNA dan DNA virus (Streeter et al. 1973). Penggunaan senyawa kimia antiviral secara in vitro dapat memberikan efek fitotoksik pada eksplan yang diberi perlakuan. Oleh karena itu, diperlukan konsentrasi yang paling efektif dalam mengeliminasi virus dan mendapatkan eksplan yang mampu bertahan hidup (Verma et al. 2005). Konsentrasi ribavirin yang diujikan memberikan pengaruh yang berbedabeda pada masing-masing tanaman. Neelamathi et al. (2014) melaporkan bahwa meristem tip tebu yang dikulturkan pada konsentrasi ribavirin rendah (2.5, 5.0, dan 7.5 mg L-1) tidak memperlihatkan adanya penghambatan pada pertumbuhan dan multiplikasi eksplan, akan tetapi konsentrasi tersebut tidak mampu mengeliminasi virus. Sementara itu, ribavirin dengan konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan efek fitotoksik, sehingga dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Andriani et al. (2013) berhasil memperoleh tebu yang bebas dari virus Sugarcane mosaic virus (SCMV) melalui kultur meristem tip dan konsentrasi ribavirin yang paling baik 30 mg L-1 dan 40 mg L-1 tanpa menghambat pertumbuhan secara permanen. Ribavirin juga diaplikasikan oleh Fletcher et al. (1998) dengan konsentrasi 50 mg L-1 pada shoot tip bawang merah yang dikombinasikan dengan termoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan
25 konsentrasi ribavirin terhadap pertumbuhan eksplan dan tingkat eliminasi virus OYDV.
4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB serta Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman pada bulan Oktober 2015 hingga Juni 2016. Percobaan menggunakan bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. Umbi bibit yang digunakan telah mengalami pemecahan dormansi dan diperoleh dari petani penyedia bibit bawang merah di Kabupaten Brebes dan Bantul. 4.2.2 Rancangan Penelitian Percobaan dilakukan secara terpisah pada dua kultivar bawang merah, yaitu Bima Brebes dan Tiron. Penelitian ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan dua faktor, yaitu 5 konsentrasi ribavirin (0, 5, 10, 15 dan 20 mg L-1) dan 2 ukuran eksplan, yaitu D1 (1.1 - 2.0 mm) dan D2 (2.1 - 3.0 mm). Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga terdapat 40 satuan percobaan. Satu satuan percobaan terdiri atas 4 tabung kultur, dan masing-masing tabung ditanam satu eksplan, sehingga setiap kultivar terdapat 160 satuan pengamatan. 4.2.3 Persiapan Eksplan, Media dan Kondisi Kultur Persiapan eksplan dilakukan dengan mencuci umbi hingga bersih dan direndam dengan deterjen selama 7 menit sebanyak 2 kali, umbi dibilas dengan air mengalir dan direndam dalam larutan 0.04% streptomisin sulfat dan 0.16% mankozeb selama semalam. Umbi kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak 2 - 3 kali, kemudian disterilisasi dengan 1.05% NaOCl selama 20 menit. Tahapan selanjutnya dilakukan di Laminar air flow (LAF). Umbi dikupas 1 - 2 lapisan, kemudian disterilisasi dengan 0.525% NaOCl selama 25 menit. Eksplan dipotong hingga berukuran 0.5 - 1.0 cm dan dikulturkan pada media MS dan diinkubasi selama 1 hari (24 jam). Sterilisasi tahap akhir dilakukan dengan merendam eksplan dalam 0.263% NaOCl selama 5 menit. Isolasi eksplan tunas pucuk (shoot tip) berukuran 1.1 - 3.0 mm dilakukan di bawah mikroskop binokular dengan menggunakan pinset dan jarum diseksi. Eksplan dikulturkan pada media MS yang mengandung 2 mg L-1 2ip + 0.3 2 mg L-1 GA3 + ribavirin (sesuai dengan perlakuan). Ribavirin disterilisasi menggunakan Syringe filter 0.22 μm (Omricon scientific) kemudian ditambahkan ke dalam larutan media yang telah disterilisasi menggunakan autoclave. Eksplan diinkubasi pada ruang kultur dengan intensitas cahaya ± 2000 lux selama 24 jam pada suhu 37 ± 2 oC selama 4 minggu. Eksplan selanjutnya disubkultur pada media yang sama tanpa penambahan ribavirin dengan kondisi kultur yang sama selama 5 minggu, kemudian eksplan dipindahkan ke ruang kultur dengan suhu 25 ± 1 oC untuk perbanyakan tunas. Tunas selanjutnya dipindahkan ke media pengumbian yang digunakan oleh Dinarti (2012), yaitu media MS + vitamin B5 + sukrosa 120
26 g L-1 dan diinkubasi pada suhu 30 ± 1 oC selama delapan minggu. Umbi lapis mikro yang diperoleh dari hasil pengumbian kemudian diaklimatisasi dan dilakukan pendeteksian virus OYDV secara molekuler menggunakan metode RT-PCR pada sampel daun tanaman. 4.2.4 Pengamatan dan Analisis Data Pengamatan dilakukan setiap minggu selama empat minggu setelah penanaman terhadap peubah, yang terdiri atas persentase tumbuh eksplan, persentase eksplan bertunas, persentase eksplan hyperhydric, persentase eksplan berdaun, jumlah tunas per eksplan, jumlah daun per eksplan, jumlah tunas per eksplan, jumlah akar per eksplan, waktu muncul daun, dan tinggi planlet (pengukuran dilakuakan pada akhir pengamatan perlakuan). Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan uji F, apabila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95%.
4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Persentase Tumbuh Eksplan Shoot Tip pada Media Ribavirin Dua ukuran eksplan shoot tip cv. Bima Brebes dan Tiron yang diberi perlakuan ribavirin memperlihatkan persentase tumbuh yang tinggi. Persentase tumbuh eksplan dipengaruhi oleh ukuran shoot tip yang dikulturkan. Eksplan dengan ukuran yang lebih besar (D2) memiliki persentase tumbuh 100% dan nyata lebih tinggi dibandingkan eksplan D1 (94.5 - 95%) dengan ukuran yang lebih kecil (Tabel 7). Hal ini dikarenakan kemampuan tumbuh eksplan meningkat sesuai dengan besarnya ukuran eksplan yang diisolasi (Oana et al. 2009). Tabel 7 Persentase tumbuh dua ukuran shoot tip bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron pada lima taraf konsentrasi ribavirin. Bima Brebes (%)*)
Konsentrasi ribavirin (mg L-1) 0 5 10 15 20 Rata-rata Keterangan:
D1 100.00 100.00 91.67 100.00 83.33 95.00 b
D2 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 a
Tiron (%)*) Rata-rata 100.00 100.00 95.83 100.00 91.67
D1 93.75 100.00 100.00 93.75 85.42 94.58 b
D2 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 a
Rata-rata 96.88 100.00 100.00 96.88 92.71
*)
huruf kecil yang sama pada baris dan kultivar yang sama menunjukkan respon tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%; D1: 1.1 - 2.0 mm, D2: 2.1 - 3.0 mm.
Penambahan ribavirin ke dalam media tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase tumbuh eksplan cv. Bima Brebes maupun Tiron. Eksplan D1 yang diberi perlakuan ribavirin 20 mg L-1 cenderung memiliki persentase tumbuh yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
27 4.3.2 Pertumbuhan Eksplan Bawang Merah pada Media Ribavirin Pada kultivar Bima Brebes, pengaruh konsentrasi ribavirin terhadap waktu muncul daun secara statistik tidak berbeda nyata antara kontrol dengan konsentrasi lainnya. Tabel 8 memperlihatkan bahwa peningkatan konsentasi ribavirin (10 - 20 mg L-1) cenderung menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan, sehingga waktu muncul daun menjadi lebih lama dibandingkan kontrol. Perlakuan ribavirin 20 mg L-1 pada eksplan Bima Brebes diketahui dapat menghambat waktu muncul daun 0.59 MST dibandingkan dengan kontrol. Sementara pada kultivar Tiron, ribavirin memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu muncul daun. Penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan Tiron juga memiliki pola yang hampir sama dengan Bima Brebes. Ribavirin dengan konsentrasi 20 mg L-1 diketahui secara nyata menghambat waktu muncul daun 0.44 MST dibandingkan dengan kontrol. Tabel 8 Pengaruh konsentrasi ribavirin terhadap waktu muncul daun pada dua ukuran shoot tip bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron. Konsentrasi ribavirin (mg L-1) 0 5 10 15 20 Rata-rata
Bima Brebes (MST)*) D1 D2 1.63 1.56 1.81 1.92 2.73 1.93 A
1.00 1.00 1.00 1.00 1.06 1.01 B
Rata-rata 1.32 1.28 1.41 1.46 1.90
Tiron (MST)*) D1 D2 1.19 1.08 1.44 1.44 2.00 1.43 A
1.06 1.08 1.08 1.25 1.13 1.12 B
Rata-rata*) 1.13 1.08 1.26 1.35 1.57
b b ab ab a
Keterangan: *) angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti huruf nonkapital yang sama pada kolom yang sma menunjukkan respon tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%; D1 (1.1 - 2.0 mm), D2 (2.1 - 3.0 mm); MST (minggu setelah tanam).
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi waktu muncul daun adalah ukuran eksplan. Eksplan dengan ukuran yang lebih besar memperlihatkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil. Tabel 8 memperlihatkan bahwa perlakuan ribavirin menekan pertumbuhan eksplan D1 (1.1 - 2.0 mm), sehingga mengakibatkan waktu muncul daun nyata lebih lama dibandingkan eksplan D2 (2.1 - 3.0 mm). Semakin tinggi konsentrasi ribavirin yang diberikan (10 - 20 mg L-1) maka waktu muncul daun menjadi semakin lama. Hasil percobaan ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kemampuan ribavirin dalam menghambat pertumbuhan eksplan sangat bergantung pada konsentrasi ribavirin (Klein dan Livingston 1983) dan ukuran eksplan (Oana et al. 2009). Peningkatan konsentrasi ribavirin menekan laju pertumbuhan dan perkembangan eksplan shoot tip, pengaruh tersebut terlihat pada penurunan jumlah daun dan tinggi tunas (Tabel 9). Tunas Bima Brebes yang tumbuh pada media dengan ribavirin 20 mg L-1 memiliki jumlah daun 36% lebih rendah dibandingkan kontrol, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini diduga akibat suhu rak kultur yang tidak homogen (37 ± 2 oC), sehingga menyebabkan keragaman pertumbuhan planlet. Sementara itu, perlakuan ribavirin 20 mg L-1 nyata
28
Rata-rata jumlah daun (Helai)
menurunkan jumlah daun pada kultivar Tiron sebesar 34%. Perlakuan ribavirin diduga menghambat pembentukan daun, hal ini terlihat dari jumlah daun yang terbentuk semakin berkurang setelah penambahan ribavirin 5 hingga 20 mg L-1. Pengaruh ribavirin terhadap rata-rata jumlah daun yang terbentuk setiap minggunya (1 - 4 MST) dapat dilihat pada Gambar 10. 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2
A B
Rata-rata jumlah daun (Helai)
1 MST 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4
2 MST 3 MST Minggu setelah tanam
4 MST
B
0 mg L-1 5 mg L-1 10 mg L-1 15 mg L-1 20 mg L-1
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
Minggu setelah tanam
Gambar 10 Rata-rata jumlah daun planlet bawang merah cv. Bima Brebes (A) dan Tiron (B) pada 1, 2, 3 dan 4 MST. Hasil analisis statistik terhadap tinggi tunas menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ribavirin secara nyata menghambat pemanjangan tunas pada kedua kultivar (Tabel 9). Perlakuan ribavirin 10 hingga 20 mg L-1 pada Bima Brebes menghasilkan tinggi tunas yang nyata lebih rendah dibandingkan kontrol. Tinggi tunas pada perlakuan ribavirin 20 mg L-1 (1.33 cm) tidak berbeda nyata dengan tunas pada 10 dan 15 mg L-1. Pada kultivar Tiron, penghambatan pemanjangan tunas terlihat pada pemberian ribavirin 5 hingga 20 mg L-1. Tinggi tunas pada konsentrasi ribavirin 20 mg L-1 tidak berbeda nyata dengan tinggi tunas pada ribavirin 15 mg L-1, namun berbeda nyata dengan perlakuan ribavirin (0 - 10 mg L-1). Penghambatan tinggi tunas terjadi karena ribavirin merupakan senyawa dengan struktur yang mampu beranalog dengan nukleotida purin (adenin dan guanosin). Ribavirin memungkinkan untuk menargetkan virus dan enzim inang yang berkaitan dengan nukleotida purin (Wu et al. 2003). Mekanisme kerja ribavirin tersebut dapat mengakibatkan efek toksik terhadap sel inang (Parker 2005). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa ribavirin dapat menghambat pertumbuhan tunas dan pada konsentrasi tertentu menyebabkan kematian eksplan (Klein dan Livingston 1983). Pengamatan terhadap jumlah tunas dan jumlah akar menunjukkan bahwa konsentrasi ribavirin tidak berpengaruh nyata (Tabel 9). Rendahnya jumlah tunas dan pembentukan akar pada cv. Bima Brebes dan Tiron diduga akibat suhu inkubasi ekplan yang tinggi (37 ± 2 oC), sehingga menghambat pembentukan dan regenerasi
29 tunas, serta mengakibatkan rendahnya kemampuan tunas untuk membentuk akar. Robert et al. (1998) juga mengamati bahwa perlakuan suhu tinggi (termoterapi) pada umbi bawang putih menyebabkan eksplan yang dikultur memiliki kemampuan regenerasi tunas yang rendah. Hu et al. (2015) menyatakan bahwa secara umum temperatur inkubasi yang tinggi mampu menghasilkan efisiensi eliminasi virus yang tinggi, akan tetapi paparan suhu yang tinggi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan vigor tanaman menurun dan bahkan dapat meningkatkan persentase kematian tunas. Tabel 9 Pengaruh konsentrasi ribavirin terhadap jumlah daun, jumlah tunas, jumlah akar, serta tinggi tunas bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron.
Tiron
Bima Brebes
Kultivar
Konsentrasi ribavirin (mg L-1) 0 5 10 15 20 Uji F 0 5 10 15 20 Uji F
Jumlah daun (Helai)*) 1.62 1.56 1.24 1.25 1.03 tn 1.99 a 1.43 b 1.60 ab 1.53 b 1.31 b *
Jumlah tunas
Jumlah akar
0.36 0.43 0.34 0.40 0.34 tn 0.55 0.38 0.48 0.50 0.31 tn
0.13 0.03 -
Tinggi tunas (cm)*) 2.48 a 2.47 a 1.37 b 1.68 b 1.33 b * 3.13 a 2.18 b 2.25 b 1.86 bc 1.50 c *
Keterangan: *)angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan kultivar yang sama artinya tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf α 5%.
Pengaruh suhu inkubasi eksplan terlihat dari perubahan morfologi tanaman setelah disubkultur dan dipindahkan pada rak kultur yang bersuhu 25 ± 1 oC. Eksplan yang memiliki pertumbuhan normal memiliki daun berwarna hijau, morfologi yang normal, dan terbentuk akar. Sementara itu, pada tanaman yang mengalami hyperhydric dan morfologi tanaman yang tidak normal pada suhu inkubasi tinggi, setelah dipindahkan pada suhu normal eksplan cenderung memperlihatkan pertumbuhan yang tidak normal. Hyperhydricity juga dapat terjadi pada tanaman yang diinkubasi pada suhu normal (25 ± 1 oC), hal ini disebabkan oleh selang subkultur yang lama. Subkultur sebaiknya dilakukan 3 hingga 4 minggu sekali untuk menghindari penurunan vigor pada tanaman. Hyperhydricity merupakan salah satu masalah yang dihadapi pada penelitian ini. Tunas yang mengalami hyperhydric memperlihatkan pertumbuhan dan morfologi tanaman yang abnormal, seperti memiliki daun yang kaku dan tebal, transparan, mengandung air dan ujung daun menguning atau putih. Pembentukan daun menjadi terhambat, dan berdasarkan pengamatan daun yang dihasilkan antara satu hingga dua helai. Wu et al. (2009) juga memaparkan bahwa tanaman hyperhydric memiliki anatomi daun yang abnormal, kemampuan berfotosintesis menurun, multiplikasi tunas terhambat, dan pada kondisi yang parah
30
Eksplan hyperhydric ((%)
mengakibatkan tanaman mati. Persentase eksplan yang mengalami hyperhydric antara 37 - 46% pada cv. Bima Brebes dan 28 - 55% pada Tiron (Gambar 11). Persentase hyperhydricity yang tinggi berpengaruh terhadap rendahnya persentase planlet yang bertunas. Rata-rata persentase eksplan bertunas pada cv. Bima Brebes 34 - 43% dan pada Tiron 32 - 55%. Eksplan bertunas (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
60 50 40 30 20 10 0 0
20
10
15
20
Konsentrasi ribavirin (mg L-1)
Konsentrasi ribavirin (mg L-1) 100 80 60 60 50 40 40 30 20 20 0 10 0
0
5
10
15
ribavirin (mg 0 Konsentrasi 5 10 15
20
Eksplan bertunas (%)
Eksplan hyperhydric ((%) (%) Eksplan berdaun
5
60 Bima Brebes 50 Tiron 40 30 20 10 0
L-1)
0
20
5
10
15
20
50
4.3.3 Aklimatisasi dan Deteksi Virus 40
60
60 50
50 40 diberi 30
hasil kultur in vitro yang perlakuan kemoterapi dapat terhadap umbi mikro Bima tumbuh 20 dengan baik ketika diaklimatisasi. Pengamatan 20 Brebes10pada 2 minggu setelah aklimatisasi memperlihatkan gejala tanaman yang 10 terinfeksi dan kuning pada daun (Gambar 0 0 virus, seperti daun berlekuk, bercak hijau 12). Gejala 0daun berlekuk aklimatisasi, 5 tanaman 10 15 20 5 10 ditemukan 15 20 hampir pada 0seluruh yaitu pada tanaman yang berasal dari dua jenis ukuranKonsentrasi shoot tip.ribavirin (mg L-1) Konsentrasi ribavirin (mg L-1) Eksplan hyperhydric ((%)
(a)
(a)
30Tanaman
Eksplan bertunas (%)
60
Eksplan bertunas (%)
Eksplan hyperhydric ((%)
Gambar 11 Konsentrasi Persentase Eksplan hyperhyrdric, eksplan bertunas, dan Konsentrasi ribavirin (mgeksplan L-1) ribavirin (mg L-1) berdaun pada bawang merah cv. Bima Brebes dan Tiron.
(b)
60 50 40
(b)
30 20 10
(c)
40 30 20
(c)
10
(b) (a) 0 (c) 0 bawang merah cv. Bima Brebes Gambar 12 Gejala yang muncul pada tanaman
60 50 40 30 20 10
5 10 15 5 10 15 20 2 minggu setelah aklimatisasi. (a)0 bercak kuning, (b) 20 daun Konsentrasi ribavirin (mg L-1) Konsentrasi ribavirin (mgbercak L-1) berlakuk, dan (c) hijau.
Eksplan bertunas (%)
Eksplan hyperhydric ((%)
0
60 50 40 30 20 10
31 Gejala infeksi virus yang muncul pada tanaman aklimatisasi menandakan bahwa konsentrasi virus meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman sehingga mampu memperlihatkan gejala terinfeksi virus. Oleh karena itu, waktu yang baik untuk mendeteksi virus tanaman in vitro adalah setelah tanaman tersebut diaklimatisasi. Sampel daun komposit dari seluruh tanaman diambil untuk dilakukan RTPCR, kecuali pada cv. Bima Brebes perlakuan ribavirin 20 mg L-1 dengan ukuran eksplan 1.1 hingga 2.0 mm. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah tanaman yang tumbuh normal pada perlakuan tersebut dan kematian eksplan yang terjadi akibat hal teknis selama perbanyakan tanaman. Hasil pengujian virus menunjukkan bahwa seluruh tanaman dari dua kultivar masih mengandung virus OYDV (Gambar 13). Hasil yang didapat memperlihatkan bahwa perlakuan kemoterapi yang diberikan pada dua ukuran shoot tip (1.1 - 2.0 mm dan 2.1 - 3.0 mm) belum dapat mengeliminasi virus pada tanaman secara total. Konsentrasi ribavirin (5 - 20 mg L-1) yang diaplikasikan pada shoot tip selama 4 minggu dan didukung dengan suhu inkubasi eksplan 37 ± 2 oC belum mampu mematikan virus OYDV yang terdapat pada jaringan tanaman. Keberhasilan metode kemoterapi dalam mengeliminasi virus dipengaruhi oleh konsentrasi ribavirin, diduga konsentrasi tersebut belum dapat mengeliminasi virus sehingga tidak mampu membebaskan tanaman dari infeksi virus. Ribavirin diketahui sebagai senyawa antiviral yang mampu menginduksi mutasi pada genom selama proses replikasi RNA di dalam sel dan menyebabkan genom virus menjadi rusak (Crotty et al. 2000; Parker 2005). Sistem kerja ribavirin yang demikian dilaporkan dapat menekan infeksi virus pada tanaman (Quecini et al. 2008).
Gambar 13 Elektroforesis agarose gel hasil deteksi RT-PCR menggunakan spesifik primer OYDV. a (shoot tip 1.1 - 2.0 mm); b (shoot tip 2.1 - 3.0 mm); 1 - 11 (sampel daun yang teramplifikasi fragmen DNA 601 bp); M (1 kb DNA Ladder); P (kontrol positif); N (kontrol negatif). Konsentrasi ribavirin yang digunakan pada percobaan ini juga diperkirakan masih rendah, sehingga tidak mampu mengeliminasi virus secara total. Persentase eliminasi virus dapat ditingkatkan dengan menaikkan konsentrasi ribavirin (Oana et al. 2009; Hu et al. 2012), akan tetapi semakin tinggi konsentrasi ribavirin maka dapat menurunkan tingkat regenerasi tanaman (Oana et al. 2009). Periode kemoterapi yang lama juga dilaporkan dapat meningkatkan persentase eliminasi virus, namun tingkat efektivitasnya bergantung pada genotipe tanaman
32 (Hauptmanová dan Polak 2011). Eliminasi virus juga dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi metode yang dilaksanakan dalam dua tahapan seperti yang dilaporkan Budiarto et al. (2011). Tahapan pertama berupa perlakuan kemoterapi pada eksplan dan tahapan ke dua dilanjutkan dengan isolasi bagian meristem. Ukuran eksplan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas eliminasi virus. Oana et al. (2009) melaporkan bahwa persentase eliminasi virus mengalami peningkatan dengan mengulturkan eksplan meristem apikal maupun meristem yang disertai satu primordia daun, Ashnayi et al. (2012) juga menyatakan bahwa pada umumnya eksplan yang berukuran besar telah terinfeksi virus. RT-PCR merupakan metode yang umum digunakan untuk pendeteksian virus karena hasil yang diperoleh lebih akurat. Penelitian ini menggunakan sampel daun yang dikompositkan dari beberapa tanaman, sehingga dikhawatirkan hasil deteksi menjadi kurang akurat apabila diantara tanaman yang dikompositkan bebas dari infeksi virus. Oleh karena itu, pendeteksian virus sebaiknya menggunakan sampel daun yang dikoleksi dari masing-masing individu tanaman.
4.4 Kesimpulan Peningkatan konsentrasi ribavirin secara nyata menghambat pemanjangan tunas cv. Bima Brebes, munculnya daun, pemanjangan tunas, dan jumlah daun cv. Tiron. Ukuran shoot tip yang lebih besar (2.1 - 3.0 mm) meningkatkan persentase eksplan tumbuh dan mempercepat waktu muncul daun cv. Bima Brebes dan Tiron. Konsentrasi ribavirin yang diaplikasikan pada percobaan ini belum dapat mengeliminasi virus OYDV pada dua ukuran shoot tip kedua kultivar.
33
5 PERTUMBUHAN TANAMAN BAWANG MERAH ASAL IN VITRO, UMBI, DAN BIJI Abstract The aims of this experiment were to evaluate the shallot growth originating from 3 different propagules (meristem tip culture, bulb, and seed) and to determine the percentage of OYDV infection in different propagules. This experiment was arranged in completely rendomized block design with 3 kind of different shallot propagules (plant originated from meristem tip culture, bulb, and seed) and 3 replications. The result showed that plant originated from meristem tip culture, bulb, and seed, exhibited less growth and development. During the observation, it was found that the shallot showed symptoms like wrinkle leaves and yellow spot. The percentage of wrinkle leaf symptom was found in plant planted from meristem tip culture, bulb, and seed, respectively 6.7%, 60%, and 40 %. The percentage of plant from seed infected by OYDV detected by DIBA was 80%, whereas those from meristem tip and bulb were 100%. Keywords: disease symptoms, DIBA, OYDV, virus detection
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman bawang merah asal kultur meristem tip dan tanaman yang berasal dari umbi serta biji dan mengetahui tingkat infeksi OYDV pada tanaman yang berasal dari bahan tanam yang berbeda. Penelitian ini menggunakan RKLT dengan 3 jenis bahan tanam (tanaman yang berasal dari kultur meristem tip, umbi, dan biji) dan 3 ulangan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tanaman yang berasal dari kultur meristem tip, umbi, dan biji memperlihatkan pertumbuhan yang kurang maksimal. Selama pengamatan ditemukan bahwa tanaman bawang merah memperlihatkan gejala daun berkerut dan bercak kuning. Persentase tanaman dengan gejala daun berkerut ditemukan pada tanaman kultur meristem tip, umbi, dan biji, masing-masing 6.7%, 60%, dan 40%. Tanaman yang berasal dari bahan tanam biji yang terinfeksi OYDV berdasarkan hasil deteksi DIBA sebesar 80%, sedangkan tanaman yang berasal dari kultur meristem tip dan umbi 100%. Kata kunci: deteksi virus, DIBA, gejala penyakit, OYDV.
34 5.1 Pendahuluan Bawang merah merupakan tanaman sayuran yang bagi masyarakat Indonesia dianggap penting. Tanaman hortikultura ini sangat diminati petani karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga budidaya bawang merah dilakukan secara intensif (Sumarni dan Hidayat 2005) hampir di seluruh provinsi di Indonesia (BPS 2016). Pada umumnya, sistem budidaya bawang merah yang diterapkan oleh petani dan penangkar menggunakan umbi bibit, karena dianggap lebih efisien. Namun, hal ini berdampak terhadap menurunnya kualitas umbi yang disebabkan akumulasi virus di dalam umbi bibit dan selanjutnya menjadi inokulum bagi tanaman sehat lainnya (Gunaeni et al. 2011). Onion yellow dwarf virus (OYDV) merupakan salah satu virus yang dilaporkan menginfeksi bawang merah di Indonesia (Gunaeni et al. 2011; Wulandari 2016). OYDV ditemukan menginfeksi berbagai kultivar bawang merah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa daun mosaik bergaris vertikal kuning, bergaris vertikal hijau, klorosis, daun kerdil, melintir, dan terdapat spot-spot hijau (Gunaeni et al. 2011). Selain itu, infeksi campuran dari beberapa virus sering ditemukan di dalam satu umbi, sehingga dapat menimbulkan gejala. Pada tanaman bawang putih di Perancis, virus ini dapat menurunkan rerata bobot umbi 39% dan hasil panen menurun sebesar 60%, persentase tersebut meningkat apabila terjadi infeksi campuran dengan Leek yellow stripe virus (Lot et al. 1998). Virus ini juga ditemukan menginfeksi bawang putih di wilayah Mesir dan menyebabkan bobot siung, jumlah siung per umbi, dan bobot umbi menurun, akan tetapi besarnya tingkat kehilangan hasil panen dipengaruhi oleh kultivar (Elnagar et al. 2009). Pengembangan terhadap tanaman bawang bebas virus memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena mampu meningkatkan hasil panen (Brewster 2008). Evaluasi yang dilakukan pada tanaman bawang putih bebas virus di Argentina menunjukkan bahwa tanaman bebas virus yang ditanam di lapang selama 5 tahun memiliki hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang telah terinfeksi virus kronis (Conci et al. 2003). Namun, sejauh ini penelitian yang mengkaji tingkat infeksi virus pada bawang merah masih terbatas, terutama sekali penelitian yang terkait dengan pengaruh infeksi virus terhadap hasil panen. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman bawang merah asal kultur meristem tip dan tanaman yang berasal dari umbi serta biji dan untuk mengetahui tingkat infeksi OYDV pada tanaman yang berasal dari bahan tanam yang berbeda.
5.2 Bahan dan Metode 5.2.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Screenhouse Kebun Percobaan Leuwikopo IPB (250 m di atas permukaan laut) dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, pada bulan Januari hingga Juni 2016.
35 5.2.2 Rancangan Penelitian Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor, yaitu bahan tanam yang terdiri atas 3 taraf berupa tanaman bawang merah hasil kultur meristem tip dan umbi cv. Tiron, serta biji cv. Bima Brebes. Setiap taraf perlakuan terdapat 3 ulangan, sehingga terdapat 9 satuan percobaan. Satu satuan percobaan terdiri atas 5 polybag dan setiap polybag ditanam satu tanaman, sehingga terdapat 60 tanaman satuan pengamatan. 5.2.3 Persiapan Bahan Tanam, Media dan Pelaksanaan Bibit yang digunakan pada percobaan ini diperoleh dari umbi lapis mikro hasil kultur meristem tip yang sudah diaklimatisasi sekitar dua hingga tiga minggu di kotak kasa ketat serangga. Tanaman selanjutnya dipindahkan ke polybag dan ditanam di screenhouse dengan cara diberi penutup menggunakan kotak yang terbuat dari kain kasa dan plastik. Penanaman biji bawang merah dilakukan dengan cara dikecambahkan selama 2 minggu di dalam polybag, sedangkan bahan tanam umbi langsung ditanam di wadah polybag dengan cara memotong 1/3-1/4 bagian ujung umbi untuk mempercepat pertumbuhan dan umbi yang digunakan berukuran kecil (≤ 1.5 g). Penanaman bawang merah di screenhouse dilakukan di dalam polybag berkapasitas ± 5 kg media. Media tanam yang digunakan berupa campuran tanah steril, pupuk kandang, dan arang sekam (1:1:1) (Darma 2015). Pupuk dasar SP-36 (250 kg/ha) diberikan 3 hari sebelum tanam. Pupuk susulan menggunakan NPK 16:16:16 (600 kg/ha) diberikan seminggu sekali dengan cara dicor disekitar tanaman (Balitsa 2013). 5.2.4 Pengamatan dan Analisis Data Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dilakukan setiap minggu hingga delapan minggu setelah penanaman atau sebelum pengambilan sampel daun dilakukan. Peubah yang diamati, yaitu jumlah daun, tinggi tanaman, jumlah tunas, gejala infeksi virus. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan rataan dan standar deviasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil daun dari masingmasing tanaman dan dimasukkan ke dalam plastik serta diberi keterangan, kemudian disimpan sementara dalam kotak pendingin sebelum dibawa ke laboratorium. Di Laboratorium Virologi Tumbuhan, sampel daun tersebut digunting menjadi potongan-potongan kecil, ditimbang, dan disimpaan di lemari pendingin -80 oC. Pengujian sampel daun dilakukan dengan metode DIBA menggunakan antibibodi OYDV berdasarkan metode Mahmood et al. (1997) yang telah dimodifikasi. Menurut Gunaeni et al. (2011), tingkat serangan virus dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Jumlah tanaman terserang Persentase tanaman terserang = ------------------------------------- x 100% Jumlah tanaman yang diamati
36 5.3 Hasil dan Pembahasan
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah tunas
Jumlah daun (Helai)
Berdasarkan data iklim yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor menunjukkan bahwa selama penelitian (Februari - Mei 2016) rata-rata suhu 26.5 oC, kelembaban 86%, dan intensitas radiasi matahari 299.5 kal cm-2 hari-1 (Lampiran 1) . Pengamatan selama di screenhouse memperlihatkan bahwa pertumbuhan bawang merah tidak maksimal baik yang berasal dari bahan tanam kultur meristem tip, umbi maupun biji. Pertumbuhan tanaman yang kurang maksimal dipengaruhi oleh beragai faktor, seperti pemupukan, penyiraman, dan kondisi lingkungan saat penanaman. Pemupukan dilakukan setiap minggu seperti yang disarankan oleh Balitsa (2013), akan tetapi pemberian pupuk dan penyiraman yang dilakukan sepertinya tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan bawang merah yang optimal. Selama pengamatan, umbi cv. Tiron dapat menghasilkan 4 hingga 7 tunas. Tunas yang muncul selanjutnya menghasilkan daun yang jumlahnya 2 hingga 4 kali dari jumlah tunasnya. Oleh karena itu, tanaman asal umbi memperlihatkan kurva pertumbuhan jumlah daun dan tunas yang berbeda dibandingkan dengan bibit yang berasal dari tanaman in vitro dan biji (Gambar 14). 24 20 16 12 8 4 0 1
2
3 4 5 6 Minggu setelah tanaman (MST)
1
2
3 4 5 6 Minggu setelah tanam (MST)
7
8
10 8 6 4 2 0 7
8
30 25 20 15 10 5 0
Hasil kultur meristem tip Umbi Biji 1
2
3 4 5 6 Minggu setelah tanaman (MST)
7
8
Gambar 14 Rata-rata jumlah daun, jumlah tunas, dan tinggi tanaman bawang merah yang berasal dari bahan tanam kultur meristem tip, umbi, dan biji. Pengamatan terhadap tanaman asal in vitro memperlihatkan bahwa tanaman ini menghasilkan antara satu hingga tiga tunas, hal ini dikarenakan meristem tip
37 yang dikultur secara in vitro tumbuh dan menghasilkan tunas utama, akan tetapi selama pertumbuhannya dapat mengalami multiplikasi tunas, sehingga menghasilkan beberapa tunas. Tanaman ini selama pertumbuhannya memperlihatkan vigor yang rendah, dikarenakan kondisi penanaman yang kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman dan memiliki kemampuan regenerasi akar yang kurang baik. Kondisi yang demikian menyebabkan pertumbuhan tanaman asal in vitro menjadi terhambat. Tanaman juga cenderung mengalami pembusukan pada bagian umbi dan pangkal batang, sehingga menyebabkan tanaman mati. Sementara itu, tanaman asal biji terlihat memiliki pola pertumbuhan jumlah daun dan tunas yang hampir sama dengan tanaman asal in vitro, hal ini disebabkan tanaman yang berasal dari biji hanya dapat menghasilkan maksimal satu anakan (Darma 2015). Hasil pengamatan terhadap bawang merah yang ditanaman di screenhouse menunjukkan bahwa beberapa tanaman memperlihatkan gejala penyakit dengan daun berlekuk dan bercak kuning pada daun (Tabel 10). Gejala ini mulai terlihat sejak 3 MST. Gejala yang muncul pada tanaman tidak terlihat begitu jelas dan beragam seperti yang diamati oleh Gunaeni et al. (2011) dan Kadwati (2013), yang melaporkan bahwa gejala yang ditemukan pada tanaman bawang merah yang terinfeksi berupa daun mosaik bergais vertikal kuning terputus-putus, klorosis, keriting, bergaris vertikal hijau, daun pipih, daun berlekuk, dan daun berukuran kecil. Gejala yang terlihat juga dilaporkan berbeda-beda bergantung pada varietas, asal daerah pembudidayaan benih, dan lama generasi suatu tanaman telah dibudidayakan. Selain itu, dalam satu umbi bawang merah juga dapat terinfeksi oleh beberapa jenis virus, sehingga infeksi yang kompleks tersebut dapat memperlihatkan gejala (Gunaeni et al. 2011). Namun, hasil yang diperoleh dari percobaan ini memperlihatkan bahwa gejala yang muncul pada tanaman bawang merah tersebut terdeteksi OYDV berdasarkan hasil pengujian virus menggunakan metode DIBA. Tabel 10 Persentase kejadian penyakit dan hasil uji DIBA pada tiga bahan tanam bawang merah. Bahan Tanam
Ulangan
Umbi
1 2 3
Rata-rata Kultur meristem tip (in vitro) Rata-rata Biji
1 2 3 1 2 3
Rata-rata
Daun berlekuk (%)*) 40.0 100.0 40.0 60.0 20.0 0.0 0.0 6.7 20.0 60.0 40.0 40.0
Bercak kuning (%)*) 0.0 60.0 0.0 20.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 40.0 20.0
Virus OYDV + + + + + + + + +
Keterangan: *)data merupakan rataan.
Data persentase gejala yang muncul (kejadian penyakit) pada tanaman bawang merah disajikan pada Tabel 10. Persentase kejadian penyakit yang ditemukan pada tanaman bervariasi bergantung pada bahan tanam yang digunakan.
38 Gejala yang banyak ditemukan selama pengamatan, yaitu daun berlekuk. Persentase gejala virus ditemukan lebih tinggi pada tanaman asal umbi dibandingkan dengan tanaman asal kultur meristem tip dan biji, diduga karena perbanyakan bawang merah yang dilakukan oleh petani atau produsen benih cenderung menggunakan umbi yang disisihkan dari penanaman sebelumnya. Penggunaan umbi bibit yang telah terinfeksi virus secara terus menerus dapat mengakibatkan infeksi yag lebih parah dan persentase kejadian penyakit kemungkinan akan semakin tinggi. Gunaeni et al. (2011) juga melaporkan hal yang sama dan diperkuat oleh data hasil pengujian awal virus yang memperlihatkan bahwa infeksi OYDV mencapai 100% pada sampel umbi bibit yang ditanam. OYDV merupakan salah satu virus yang menginfeksi tanaman Allium. Virus ini dapat ditularkan melalui perbanyakan tanaman yang dilakukan secara vegetatif menggunakan umbi, akan tetapi virus ini tidak ditularkan melalui biji. Meskipun demikian, virus juga dapat menginfeksi tanaman lainnya melalui aphid sebagai vektor virus (Brewster 2008). Screenhouse yang digunakan untuk penanaman merupakan rumah kasa yang tidak bebas seragga, sehingga masih memungkinkan serangga untuk masuk dan hinggap di tanaman. Hasil pengamatan terhadap tanaman yang berasal dari biji memperlihatkan gejala daun berlekuk (40%) dan bercak kuning (20%). Gejala daun berlekuk juga ditemukan pada bahan tanam asal in vito, namun persentasenya rendah (6.7%). Selama penanaman di screenhouse, tanaman asal in vitro ditutup dengan kotak transparan yang terbuat dari plastik dan kasa yang bertujuan agar tanaman terhindar dari serangan aphid ataupun vektor lainnya yang membawa virus, sedangkan tanaman lainnya tanpa penutup. 5.3.1 Deteki Virus Pengambilan sampel daun bawang merah dilakukan pada umur 8 MST untuk selanjutnya dilakukan pengujian virus menggunakan metode DIBA. Hasil pendeteksian virus memperlihatkan reaksi positif lemah, signal warna yang dihasilkan terlihat lebih lemah bila dibandingkan dengan kontrol positif dan pengujian awal virus menggunakan sampel daun cv.Tiron yang yang dikoleksi 2 minggu setelah penanaman umbi menggunakan metode growing on test. Lemahnya signal warna yang muncul diduga karena rendahnya konsentrasi virus pada jaringan daun, yang disebabkan oleh pengambilan sampel daun dilakukan pada 8 MST dengan kondisi pertumbuhan daun yang mulai menurun. Dovas et al. (2002) melaporkan bahwa daun muda tanaman bawang putih yang pertumbuhannya aktif ditemukan memiliki konsentrasi virus OYDV yang tinggi. Konsentrasi virus selanjutnya menurun pada kondisi daun yang telah menua, sehingga hal ini dapat menjadi acuan dalam penentuan waktu pengambilan sampel daun. Hasil deteksi DIBA terhadap sampel daun ditampilkan pada Gambar 15. Penentuan infeksi virus pada sampel daun dilakukan dengan pemberian skor terhadap intensitas signal rekasi DIBA yang muncul pada membran nitroselulosa. Hal ini dikarenakan terjadi kontaminasi pada larutan buffer dan signal warna yang dihasilkan sampel lemah, sehingga untuk mempermudah perhitungan terhadap persentase infeksi virus dilakukan scoring. Skor yang digunakan, yaitu 1, 2, dan 3. Berdasarkan nilai skor terhadap signal warna, maka dapat ditentukan bahwa persentase tanaman yang berasal dari bahan tanam kultur meristem tip dan umbi yang memiliki skor 2, yaitu 100%, sedangakan pada tanaman yang berasal dari
39 penanaman biji 80%. Persentase tersebut mengindikasikan bahwa tingkat infeksi OYDV pada bahan tanam biji masih lebih rendah dibandingkan dengan bahan tanam hasil kultur meristem tip dan umbi yang seluruhnya telah terinfeksi oleh OYDV. Persentase tanaman asal biji terlihat paling rendah dikarenakan beberapa sampelnya memiliki signal warna yang sangat lemah (skor 1) dan diperkirakan warna yang muncul tersebut akibat buffer yang telah terkontaminasi.
Gambar 15 Hasil deteksi sampel daun bawang merah yang berasal dari bahan tanam yang berbeda terhadap virus OYDV dan penentuan intensitas signal reaksi DIBA pada membran nitroselulosa. B (buffer); P (kontrol positif); N (kontrol negatif); 1 - 8 (kultur meristem tip); 9 - 23 (umbi); 24 - 38 (biji).
5.4 Kesimpulan Tanaman yang berasal dari kultur meristem tip, umbi, dan biji memperlihatkan pertumbuhan yang kurang maksimal. Selama pengamatan ditemukan bahwa tanaman bawang memperlihatkan gejala daun berkerut dan bercak kuning. Persentase tanaman dengan gejala daun berkerut ditemukan pada tanaman kultur meristem tip, umbi, dan biji, masing-masing 6.7%, 60%, dan 40% dan gejala tersebut terdeteksi mengandung OYDV. Tanaman yang berasal dari bahan tanam biji yang terinfeksi OYDV berdasarkan hasil deteksi DIBA sebesar 80%, sedangkan tanaman yang berasal dari kultur meristem tip dan umbi 100%.
40
6 PEMBAHASAN UMUM Bawang merah merupakan tanaman hortikultura yang sangat diminati petani karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga budidaya bawang merah dilakukan secara intensif (Sumarni dan Hidayat 2005) hampir di seluruh provinsi di Indonesia (BPS 2016). Pada umumnya, sistem budidaya bawang merah yang diterapkan oleh petani dan penangkar menggunakan umbi bibit, karena dianggap lebih efisien. Namun, hal ini berdampak terhadap menurunnya kualitas umbi yang disebabkan akumulasi virus di dalam umbi bibit dan selanjutnya menjadi inokulum bagi tanaman sehat lainnya (Gunaeni et al. 2011). Berbagai kultivar bawang merah yang saat ini dibudidaya di Jawa Tengah, seperti Tiron dan Bima Brebes ditemukan telah terinfeksi virus OYDV (Swari et al. 2015; Wulandari 2016), yaitu virus diketahui menyebabkan menurunnya bobot dan ukuran umbi serta memperpendek masa dormansi umbi, sehingga mengakibatkan kualitas dan kuantitas umbi menjadi rendah (Brewster 2008). Hal ini yang selanjutnya membuktikan, bahwa setelah eliminasi virus dilakukan pada tanaman yang terinfeksi maka proses eliminasi virus berpotensi meningkatkan hasil panen (Conci et al. 2003). Metode yang dikembangkan untuk mengeliminasi virus sangat bervariasi, namun kultur meristem tip merupakan metode yang paling umum digunakan (Bhojwani dan Dantu 2013). Pecobaan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang diaplikasi terhadap kultur meristem tip pada penelitian ini menunjukkan bahwa ZPT tidak memberikan pengaruh terhadap persentase tumbuh eksplan, waktu muncul daun, dan persentase eksplan berdaun. Namun, berdasarkan hasil ini didapati bahwa ratarata persentase eksplan yang mengalami gagal tumbuh 19 - 28%, eksplan mulai membentuk daun pada 1 - 2 MST dan pembentukan daun juga terlihat cukup cepat pada eksplan yang dikulturkan pada media tanpa ZPT. Rata-rata eksplan Bima Brebes yang berhasil membentuk daun 100%. Eksplan Tiron 13% lebih rendah dibandingkan Bima Brebes dan beberapa diantaranya memperlihatkan morfologi yang abnormal, seperti vitrifikasi maupun klorosis dengan persentase 0 - 22%. Eksplan yang diberi perlakuan ZPT tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas dan jumah daun, perlakuan ZPT berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas Tiron. Eksplan yang dikulturkan pada media tanpa ZPT (kontrol) memiliki tinggi tunas yang tidak berbeda nyata dengan eksplan yang dikulturkan pada media dengan penambahan 2-ip, BAP, kinetin, GA3, dan kombinasi kinetin + IAA. Media tanpa ZPT juga terlihat paling efisien untuk pertumbuhan meristem tip. Bhojwani dan Dantu (2013) menyatakan hal ini dikarenakan primordia daun yang terdapat pada meristem mampu mensuplai auksin dan sitokinin untuk pertumbuhan eksplan. Selain itu, pada penelitian ini juga didapati bahwa tunas utama tumbuh tanpa diikuti oleh pembentukan kalus. Kemoterapi merupakan eliminasi virus menggunakan senyawa kimia yang bertujuan untuk menghentikan infeksi pada tanaman yang telah terinfeksi virus (Sastry dan Zitter 2014). Pengujian ribavirin pada dua ukuran shoot tip memperlihatkan bahwa perlakuan ribavirin tidak berpengaruh nyata terhadap persentase tumbuh eksplan, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh jenis ukuran eksplan yang dikulturkan. Ukuran eksplan yang lebih besar (2.1 - 3.0 mm) memiliki persentase tumbuh yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan yang lebih kecil. Eksplan berukuran lebih besar juga memiliki pertumbuhan yang nyata lebih
41 cepat dibandingkan dengan yang kecil. Konsentrasi ribavirin juga mempengaruhi pertumbuhan ekspan, semakin tinggi konsentrasi ribavirin yag diberikan (10 - 20 mg L-1), maka waktu muncul daun menjadi semakin lama. Peningkatan konsentrasi ribavirin juga dapat menghambat pembentukan daun. Jumlah helaian daun semakin menurun setelah penambahan ribavirin 5 - 20 mg L-1. Tunas Bima Brebes dan Tiron yang tumbuh pada media Ribavirin 20 mg L-1 memiliki jumlah daun masing-masing 36% dan 34% lebih rendah dibandingkan kontrol. Konsentrasi ribavirin juga secara nyata menghambat pemanjangan tunas. Tinggi tunas Bima Brebes secara nyata menurun setelah penambahan ribavirin 10 - 20 mg L-1, sedangkan pertumbuhan tunas Tiron mulai terhambat pada penambahan ribavirin 5 - 20 mg L-1. Penghambatan pertumbuhan tunas terjadi karena ribavirin merupakan senyawa kimia dengan struktur yang dapat beranalog dengan nukleotida purin, sehingga ribavirin dapat menargetkan virus dan enzim inang yang berkaitan dengan nukleotida purin (Wu et al. 2003), serta menggantikan nukleotida inang. Mekanisme kerja ribavirin yang demikian dapat mengakibatkan efek fitotoksik terhadap tanaman (Parker 2005). Percobaan eliminasi virus menggunakan metode kemoterapi juga didukung dengan suhu inkubasi eksplan yang tinggi (37 ± 2 oC). Suhu yang tinggi diduga menghambat pembentukan dan regenerasi tunas, serta rendahnya kemampuan tunas membentuk akar. Suhu tinggi juga menyebabkan tunas menjadi hyperhydric, yang memperlihatkan pertumbuhan dan morfologi tanaman yang abnormal. Persentase tanaman yang mengalami hyperhidric antara 37 - 46% pada Bima Brebes dan 28 - 55% pada Tiron. Pengujian virus pada tanaman hasil kultur meristem tip menggunakan metode RT-PCR memperlihatkan bahwa seluruh sampel tanaman yang berasal dari cv. Bima Brebes dan Tiron masih terinfeksi virus OYDV. Hasil ini menunjukkan bahwa kultur meristem tip belum dapat mengeliminasi virus. Eksplan meristem tip berukuran kurang dari 1 mm yang digunakan pada penelitian ini diduga masih mengandung virus. Meristem tip merupakan bagian tanaman yang aktif membelah dan belum memiliki jaringan pembuluh yang menjadi jalur cepat penyebaram virus pada tanaman (Wang dan Hu 1980). Namun, virus dapat menginvasi sel melalui plasmodesmata yang terdapat pada sel-sel meristem tip (Ayabe dan Sumi 2001). Oleh karena itu, agar virus yang terdapat pada meristem tip dapat dirusak atau dihambat penyebarannya maka dibutuhkan kombinasi metode eliminasi virus. Termoterapi merupakan metode yang cukup efisien digunakan untuk eliminasi virus. Pramesh dan Baranwal (2015) melaporkan bahwa eradikasi virus pada tanaman bawang putih berhasil dilakukan. Eliminasi virus tidak hanya terbatas pada virus OYDV, akan tetapi juga pada GarCLV, SLV, dan GarV-X. Termoterapi yang digunakan, yaitu aplikasi udara panas pada suhu 42oC selama 21 hari ataupun aplikasi panas matahari yang dipaparkan secara langsung pada umbi selama 10 hari, kemudian dilanjutkan dengan kultur meristem tip. Bhojwani dan Dantu (2013) menyatakan bahwa aplikasi termoterapi secara in vivo berguna untuk menekan replikasi virus, menghambat sintesis coat protein (CP) dan bagian virus yang mengkode movement protein pada virus, yang berguna untuk pergerakan virus dari sel ke sel. Pengujian virus yang dilakukan pada tanaman hasil kemoterapi memperlihatkan bahwa seluruh tanaman dari cv. Bima Brebes dan Tiron masih mengandung virus OYDV. Hasil deteksi virus tersebut menunjukkan bahwa
42 konsentrasi ribavirin (5 - 20 mg L-1) yang diaplikasikan pada dua jenis ukuran shoot tip selama 4 minggu dan didukung dengan suhu inkubasi 37 ± 2 oC belum mampu mengeliminasi virus OYDV pada tanaman. Sistem kerja ribavirin yang mampu menghambat multiplikasi virus pada tanaman diduga menyebabkan konsentrasi OYDV pada jaringan tanaman menurun, sehingga untuk mengetahui besarnya konsentrasi virus pada tanaman dibutuhkan metode deteksi virus yang sesuai, seperti metode ELISA (Budiarto et al. 2011) ataupun Real-time PCR (Taşkin et al. 2013). Tanaman stok hasil kemoterapi yang masih dikulturkan secara in vitro selanjutnya dapat dilakukan isolasi bagian meristem tip dan dikulturkan pada media induksi tunas. Pengujian virus kemudian dilakukan pada tanaman hasil kultur meristem tip, dengan dua tahapan eliminasi virus tersebut diharapkan dapat menghasilkan tanaman-tanaman bebas virus. Penelitian yang mengkaji pengaruh infeksi virus terhadap penurunan hasil panen tanaman bawang putih sejauh ini telah banyak dilakukan (Conci et al. 2003; Elnagar et al. 2009; Perotto et al. 2010). Namun penelitian yang mengkaji pengaruh infeksi virus terhadap tanaman bawang merah masih sangat terbatas. Pada percobaan ini, evaluasi terhadap tanaman yang berasal dari kultur meristem tip, umbi, dan biji selama di lapangan memperlihatkan bahwa gejala penyakit yang muncul pada tanaman tidak terlihat jelas dan beragam seperti yang diamati oleh Gunaeni et al. (2011) dan Kadwati (2013). Gejala yang ditemukan selama pengamatan berupa bercak kuning dan daun berlekuk. Persentase gejala daun berlekuk ditemukan pada tanaman asal kultur meristem tip, umbi, dan biji masingmasing sebesar 6.7%, 60%, dan 40%. Pengujian virus OYDV secara kualitatif menggunakan metode DIBA pada tanaman bawang merah menunjukkan bahwa persentase tanaman yang berasal dari bahan tanam biji yang terinfeksi OYDV mencapai 80%, sedangkan pada tanaman asal kultur meristem tip dan umbi mencapai 100%. Pengujian virus pada percobaan ini sebaiknya dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, sehingga dapat diketahui dan dibandingkan konsentrasi virus dari masing-masing bahan tanam. Selain itu deteksi virus juga perlu dilakukan pada virus lainnya, yaitu Shallot latent virus (SLV) dan Leek yellow stripe virus (LYSV). Hal ini bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi virus lain pada tanaman yang berasal dari bahan tanaman yang berbeda, karena infeksi virus lain juga dapat mempengaruhi gejala infeksi yang muncul dan juga berguna mengetahui perbedaan virus yang menginfeksi pada bahan tanaman yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, belum dapat diketahui pengaruh infeksi virus terhadap produksi tanaman bawang merah disebabkan oleh pertumbuhan tanaman yang belum optimal. Conci et al. (2010) menyatakan bahwa dengan mengetahui persentase virus yang menginfeksi tanaman, selanjutnya dapat diketahui seberapa besar pengaruh infeksi terhadap hasil panen.
43
7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Perlakuan ZPT pada kultur meristem tip menunjukkan bahwa media tanpa penambahan ZPT paling efisien untuk pertumbuhan meristem tip. Tunas utama yang tumbuh tanpa diikuti pembentukan kalus. Aplikasi kemoterapi yang dikombinasikan dengan ukuran shoot tip menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi ribavirin secara nyata menghambat pemanjangan tunas cv. Bima Brebes, waktu muncul daun, pemanjangan tunas, dan jumlah daun cv. Tiron. Ukuran shoot tip yang lebih besar (2.1 - 3.0 mm) meningkatkan persentase eksplan tumbuh dan mempercepat waktu muncul daun cv. Bima Brebes dan Tiron. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, maka diketahui bahwa metode kultur meristem tip dan kemoterapi masih belum dapat mengeliminasi virus OYDV. Evaluasi terhadap tanaman bawang merah memperlihatkan gejala daun berkerut dan bercak kuning. Persentase tanaman dengan gejala daun berkerut ditemukan pada tanaman kultur meristem tip, umbi, dan biji, masing-masing 6.7%, 60%, dan 40%. Tanaman yang berasal dari bahan tanam biji yang terinfeksi OYDV berdasarkan hasil deteksi DIBA sebesar 80%, sedangkan tanaman yang berasal dari kultur meristem tip dan umbi 100%.
7.2 Saran Dalam upaya pengembangan tanaman bebas virus, diperlukan pengujian mengenai efektivitas eliminasi virus menggunakan kultur meristem tip yang dikombinasikan dengan metode lain yang efisien dalam mengeliminasi virus, seperti termoterapi. Selain itu, pengujian virus terhadap tanaman hasil eliminasi virus membutuhkan metode yang tepat dan pendeteksian virus sebaiknya dilakukan pada masing-masing tanaman, agar hasil yang didapat menjadi lebih jelas dan akurat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi gejala penyakit selama di lapangan adalah pertumbuhan tanaman yang optimal, penanganan dan penyungkupan tanaman. Sementara itu, hal yang dapat mempengaruhi hasil pengujian virus adalah waktu pengambilan sampel daun dan metode pendeteksian virus. Hal tersebut merupakan faktor penting yang harus diperhatikan selama proses evaluasi terhadap tingkat kejadian penyakit dan pengujian virus terhadap tanaman di lapang.
44
DAFTAR PUSTAKA Agrios G N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Burlington (US): Elsevier Academic. Ali A, Mohammad O, Khattab A. 2012. Distribution of viruses infecting cucurbit crops and isolation of potential new virus-like sequences from weeds in Oklahoma. Plant Dis. 96:243-248. Aloni R, Schwalm K, Langhans M, Ullrich CI. 2003. Gradual shift in sites of freeauxin production during leaf-primordium development and their role in vascular differentiation and leaf morphogenesis in Arabidopsis. Planta. 216:841-853. Andriani M, Ermavitalini D, Nurmalasari. 2013. Eliminasi Sugarcane mosaic virus melalui kemoterapi pada tebu (Saccharum officinarum) varietas NXI-2T secara in vitro. J Sains & Seni Pomitis. 2(2):2337-3520. Arya M, Baranwal VK, Ahlawat YS, Singh L. 2006. RT-PCR detection and molecular characterization of Onion yellow dwarf virus associated with garlic and onion. Current Sci. 91(9):1230-1234. Ashnayi M, Kharrazi M, Sharifi A, Mehrvar M. 2012. Carnation etched ring virus elimination through shoot tip culture. J Biol Environ Sci. 6(17):175-180. Asniwita. 2013. Karakterisasi Chili veinal mottle virus strain lemah dan potensinya sebagai agen proteksi silang [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ayabe M, Sumi S. 2001. A novel and efficient culture method ‘stem-disc dome culture’ for producing virus-free garlic (Allium sativum L.). Plant Cell Rep. 20:503-507. [AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center. 2001. AVRDC Report 2000. Tainan (TW): AVRDC. Basuki RS. 2009. Preferensi petani Brebes terhadap klon unggulan bawang merah hasil penelitian. J Hort. 19(3):344-355. Bhojwani SS, Dantu PK. 2013. Production of virus-free plants. In: Bhojwani SS, Dantu PK, editor. Plant Tissue Culture: an Introduction Text. New Delhi (ID). Springer India. p 227-243. doi 10.1007/978-81-322-1026-9_16. Brewster JL. 2008. Onions and Other Vegetable Alliums. 2nd ed. King’s Lynn (UK): CABI. Budiarto K, Marwoto B, Sanjaya L, Soedarjo M, Rahardjo IB. 2011. Elimination of CVB (Chrysantemum virus B) from a range of Chrysantemum varieties by apical meristem culture following antiviral agent and heat treatments. Biotropia. 18(2):94-101. [Balitsa] Balai Tanaman dan Sayuran. 2013. Budi daya bawang merah. [Internet]. [diunduh 2016 Februari 14]. Tersedia pada http://www.balitsa.litbang.pertanian.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi tanaman sayuran. [Internet]. [diunduh 2016 Juni 6]. Tersedia pada http://www.bps.go.id. Chen Z, Liu J, Zeng M, Wang Z, Yu D, Yin C, Jin L, Yang S, Song B. 2012. Dot immunobinding assay method with chlorophyl removal for the detection of Southern rice black-streaked dwarf virus. Molecules. 17:6886-6900. Clark MF. 1981. Immunosorbent assays in plant pathology. Ann Rev Phytopathol. 19:83-106.
45 Conci VC, Canavelli AE, Lunello P. 2003. Yield losses associated with virusinfected garlic plants during five succesive years. Plant Dis. 87:1411-1415. Conci VC, Canavelli AE, Balzarini MG. 2010. The distribution of garlic viruses in leaves and bulb during the first year of infection. J Phytopathol. 158:186193. Crotty S, Maag D, Arnold JJ, Zhong W, Lau JYN, Hong Z, Andino R, Cameron CE. 2000. The broad-spectrum antiviral ribonucleoside ribavirin is an RNA virus mutagen. Article. Nature madicine. 6(12):1375-1379. Crête R, Tartier L, Devaux A. 1981. Diseases of Onions in Canada. Publication 1716. Canada (US): Agriculture Canada. Darma WA. 2015. Alternatif bahan tanam selain umbi pada budidaya bawang merah (Allium ascalonicum L.) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewi IS dan Slack A. 1994. Therapy cycling to eliminate high-titered, multiple virus infection in vitro potato plantlets. Bul Agron. 22(2):35-43. Diekmann M. 1997. FAO/IPGRI Technical Guidelines for the Safe Movement of Germplasm. No. 18. Allium spp. Rome (IT): IPGRI. Dinarti D. 2012. Perbanyakan dan induksi umbi lapis mikro bawang merah secara in vitro [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dovas CI, Mamolos AP, Katis NI. 2002. Fluctuation in concentration of two potyviruses in garlic during the growing period and sampling conditions for reliable detection by ELISA. Ann appl Biol. 140:21-28. Doyle JJ, Doyle JJ. 1987. A rapid DNA isolation of procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem Bull. 19:11-19. Duriat AS, Sukarna E. 1990. Deteksi penyakit virus pada klon bawang merah. Bull Penel Hort.18 EK(1):146-153. Elnagar S, El-Sheikh MAK, Abdel Wahed AS. 2009. Effect of natural infection with Onion yellow dwarf virus (OYDV) on yield of onion and garlic crops in Egypt. 4th Conference on Recent Technologies in Agriculture. p 34-39. [Internet]. [diunduh 2015 Desember 17]. Tersedia pada http://www.conf2009.agr.cu.edu.eg/res/5.pdf. Fletcher PJ, Fletcher JD, Lewthwaite SL. 1998. In vitro elimination of Onion yellow dwarf and Shallot latent viruses in shallots (Allium cepa var. ascalonicum L.). New Zealand J Crop and Hort Sci. 26:23-26. Gaba VP. 2005. Plant growth regulators in plant tissue culture and development. In: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. Boca Raton (US): CRC Pr. p 87-99. GadEl-Hak SEH, Ahmed KZ, Moustafa YMM, Ezzat AS. Growth and cytogenetical properties of micro-propagated and succesfully acclimatized garlic (Allium sativum) clones with a modified shoot tip culture protocols. 2011. J Hort Sci & Ornamen Plants. 3(2):115-129. Gull I, Noreen A, Aslam MS, Athar MA. 2014. Comperative effect of different pythohormones on the micropropagation of Allium sativum. Pak J Biochem Mol Biol. 47(1-2):121-124. Gunaeni N, Wulandari AW, Duriat AS, Muharam A. 2011. Penyakit tular virus umbi pada tiga belas varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah. J Hort. 21(2):164-172.
46 Haque MS, Wada T, Hattori K. 2003. Shoot regeneration and bulblet formation from shoot and root meristem of garlic cv. Bangladesh local. Asian J Plant Sci. 2(1):23-27. Hauptmanová A, Polák J. 2011. The elimination of Plum pox virus in plum cv. Bluefree and apricot cv. Hanita by chemotherapy of in vitro cultures. Hort Sci (Prague). 38(2):49-53. Hibi T, Saito Y. 1985. A dot immunobinding assay for the detection of Tobacco mosaic virus in infected tissue. J Gen Virol. 66:1191-1194. Hu G, Dong Y, Zhang Z, Fan X, Ren F, Zhou J. 2015. Virus elimination from in vitro apple by thermotherapy combination with chemotherapy. Plant Cell Tiss Organ Cult. doi 10.1007/s11240-015-0714-6. Hu GJ, Hong N, Wamg LP, Hu HJ, Wang GP. 2012. Efficacy of virus elimination from in vitro-cultured sand pear (Pyrus pyrifolia) by chemotherapy combined with thermotherapy. Crop Protection. 37:20-25. Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. 4th ed. San Diego (US). Academic Press. Kadwati. 2013. Deteksi virus utama bawang merah (Allium cepa L.) dan bawang putih (A. sativum L.) dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor (ID): Institut pertanian Bogor. Kane ME. 2005. Shoot culture procedures. In: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. Boca Raton (US). CRC Pr. p 145-157. Karjadi AK, Buchory A. 2008. Pengaruh komposisi media dasar, penambahan BAP, dan pikloram terhadap induksi tunas bawang merah. J Hort. 18(1):1-9. Klein RE, Livingston CH. 1983. Eradication of viruses X and S from potato shoottip cultures with ribavirin. Phytophatology. 73:1049-1050. Kurniawan A. 2012. Deteksi dan identifikasi virus dan tungau pada bibit bawang merah impor dan lokal [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lassois L, Lepoivre P, Swennen R, Houwe IVD, Panis P. 2013. Thermotherapy, chemotherapy, and meristem culture in banana. In: Lambardi M, Ozudogru EA, Jain SM, editor. Protocols for Micropropagation of Selected Economically-Important Horticultural Plants. Methods in Molecular Biology. New York (US): Humana Press. p 419-433. doi 10.1007/978-162703-074-8_32. Lot H, Chovelon V, Souche S, Delecolle B.1998. Effects of Onion yellow dwarf and Leek yellow stripe viruses on symptomatology and yield loss of three French garlic cultivars. Plant Dis. 82(12):1381-1385. Ma Y, Wang HL, Zhang CJ, Kang YQ. 1994. High rate of virus-free plantlet regeneration via garlic scape-tip culture. Plant Cell Report. 14:65-68. Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single Wheat curl mite. Plant Dis. 81:250-253. Mahmoud SYM, Maaty SAAE, El-Borollosy AM, Abdel-Ghaffar MH. 2007. Identification of Onion yellow dwarf potyvirus as one of the major viruses infecting garlic in Egypt. AmericanEurasian J Agric & Environ Sci. 2(6):746-755. Mahy BW, van Regenmortel MHV. 2010. Desk Encyclopedia of Plant and Fungal Virology. San Diego (US): Elsevier.
47 Neelamathi D, Manuel J, George P. 2014. Influence of apical meristem and chemotherapy on production free sugarcane plants. Res J Recent Sci. 3 (ISC2013):305-309. Oana D, Erdei L, Vidacs L, Danci M, Baciu A, David I, Berbentea F. 2009. Influence of ribavirin on potato plants regeneration and virus eradication. J Hort, Forestry and Biotech. 13:421-425. Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap infeksi Chili veinal mottle potyvirus (ChiMV) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Parker WB. 2005. Metabolism and antiviral activity of ribavirin. Virus Research. 107:165-171. Perotto MC, Cafrune EE, Conci VC. 2010. The effect of additional viral infections on garlic plants initially infected with Allexiviruses. Eur J Plant. 126:489495. Pramesh D, Baranwal VK. 2015. Production of virus-free garlic (Allium sativum L.) through meristem tip culture after solar or hot air treatment of cloves. J Hort Sci & Biotech. 90(2):180-186. Quecini V, Lopes ML, Pacheco FTH, Ongarelli MDG. 2008. Ribavirin, a guanisine analogue mammalian antiviral agent, impairs Tomato spotted wilt virus multiplication in tobacco cell cultures. Archives of Phytophatology and Plant Protection. 41(1):1-13. Robert U, Žel J, Ravnikar M. 1998. Thermotherapy in virus elimination from garlic: influences on shoot multiplication from meristems and bulb formation in in vitro. Sci Hort. 73:193-202. Roksana R, Alam MF, Islam R, Hossain MM. 2002. In vitro bulblet formation from shoot apex in garlic (Allium sativum L.). Plant Tissue Cult. 12(1):11-17. Salomon R. 2002. Viruses diseases in garlic and the propagation of virus-free plants. In: Rabinowitch HD, Currah L, editor. Allium Crops Science: Recent Advances. Wallingford (UK). CABI. p 311-327. Sastry KS, Zitter TA. 2014. Management of virus and viroid diseases of crops in the tropics. In: Sastry KS, Zitter TA. Plant Virus and Viroid Diseases in the Tropics. Volume 2. Epidemiology and Management. New Delhi (ID): Springer. p 149-480. doi: 10.1007/978-94-007-7820-7_2. Shahraeen N, Lesemann DE, Ghotbi T. 2008. Survey for viruses infecting onion, garlic, and leek crops in Iran. Bull OEPP/EPPO Bull. 38:131-135. Sidaros SA, Omar RA, El-Kewey SA, El-Khalik SA. 2005. Elimination of a virus infecting garlic plants using different techniques [abstract]. International J Virol. 1:33. Streeter DG, Witkowski JT, Khare GP, Sidwell RW, Bauer RJ, Robins RK, Simon LN. 1973. Mechanism of action of 1-β-d-ribofuranosyl-1,2,4-triazole-3carboxamide (virazole), a new broad-spectrum antiviral agent. Proc Nat Acad Sci USA. 70(4):1174-1178. Sumarni N, Hidayat A. 2005. Budidaya Bawang Merah. Bandung (ID). Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran. Swari FSP, Subandiyah S, Hartono S. 2015. Deteksi dan identifikasi virus-virus yang menginfeksi bawang merah di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(5):961-968.
48 Taşkin H, Baktemur G, Kurul M, Büyükalaca S. 2013. Use of tissue culture techniques for producing virus-free plant in garlic and their identification through real-time PCR. Research Article. The Scientific World Journal. Hindawi. Article ID 781285. 2013:1-5. Verbeek M, van Dijk P, van Well MA. 1995. Efficiency of eradication of four viruses from garlic (Allium sativum) by meristem-tip culture. European J Pathol. 101:231-239. Verma N, Ram R, Zaidi AA. 2005. In vitro production of Prunus necrotic ringspot virus-free begonians through chemo- and thermotherapy. Scientia Hort. 103:239-247. Wang PJ dan Hu CY. 1980. Regeneration of virus-free plants through in vitro culture. Advances in Biochem Engineer. 18:61-99. Wang Q, Ceullar WJ, Rajamaki M-L, Hirata Y, Valkonen JPT. 2008. Combined thermotherapy and cryotherapy for efficient virus eradication: relation of virus ditribution, subcellular changes, cell survival and viral RNA degradation in shoot tips. Molecular Plant Path. 9(2):237-250. Werner T, Motyka V, Laucou V, Smets R, Onckelen HV, Schülling T. 2003. Cytokinin-deficient transgenic arabidiopsis plants show multiple developmental alteration indicating opposite functions of cytokinins in the regulation of shoot and root meristem activity. The Plant Cell. 15: 25322550. Wu JZ, Lin CC, Hong Z. 2003. Ribavirin, viramidine and adenosine-deaminasecatalysed drug activation: implication for nucleoside prodrug design. J Antimicrob Chem. 52:543-546. Wu Z, Chen LJ, Long YJ. 2009. Analysis of ultra structure and reactive oxygen species of hyperhydric garlic (Allium sativum L.) shoots. In vitro Cell Dev Biol –plant. 45:483-490. Wulandari AW. 2016. Deteksi dan eliminasi virus pada umbi bawang merah [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Warintek] Warung Informasi dan Teknologi. 2015. Perbenihan bawang merah (Allium ascalonicum) varietas Tiron Bantul. [Internet]. [diunduh 2015 Desember 1]. Tersedia pada http://warintek.bantulkab.go.id.
49
LAMPIRAN
50 Lampiran 1 Data iklim bulanan selama penelitian di Dramaga, Bogor (di luar screenhouse). Bulan Suhu Kelembaban Intensitas radiasi (oC) (%) matahari (Cal/cm2) Feb-16 25.7 89 250 Mar-16 26.4 86 316 Apr-16 26.7 85 337 Mei-16 27.1 84 295 Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dramaga.
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Kotalintang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang pada tanggal 22 Februari 1987 dari Ayahanda Hasanuddin Abbas (alm.) dan Ibunda Husna Yusuf. Penulis merupakan anak ke dua dari empat bersaudara. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 7 Banda Aceh dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Magister melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negri (BPPDN) pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.