Universa Medicina
April-Juni 2005, Vol.24 No.2
Kualitas tenaga mikroskopis untuk program directly observed treatment short-course-therapy (DOTS) di Pusat Kesehatan Masyarakat Purnawan Junadi Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ABSTRAK Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Dengan diterapkannya strategi directly observed treatment short-course-therapy (DOTS) di Indonesia, maka kualitas tenaga mikroskopis menjadi faktor kritis keberhasilan program. Penelitian ini menggunakan rancangan potong silang pada tujuh kabupaten yang diambil secara purposif dari tujuh propinsi. Kabupaten itu adalah Bandung, Pekalongan, Ogan Komering Ulu (OKU), Bangka, Banjarmasin, Donggala dan Timor Tengah Selatan (TTS). Kemudian secara acak dari setiap kabupaten dipilih empat Pusat Kesehatan Mayarakat (Puskesmas) Rujukan Mikroskopis (PRM) dan 4 Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), kecuali di Kabupaten Pekalongan yang hanya ada tiga PRM dan Kabupaten Donggala yang tidak mempunyai PPM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum seluruh PRM dan PPM yang diteliti mempunyai tenaga mikroskopis yang berasal dari analis kesehatan, meskipun kondisi PRM lebih baik dari PPM, bahkan di Kabupaten TTS tidak ada tenaga analis kesehatannya. Dari tes langsung, sekitar 71,4% tenaga mikroskopis PRM dan hanya 33,3% tenaga mikroskopis PPM yang relatif baik hasilnya. Hasil validasi dari 26 PRM yang diteliti menunjukkan bahwa 16 (61,5%) PRM yang tingkat kesalahannya <5%, sedangkan pada PPM hanya 3 (25,0%) dari 12 PPM. Kata kunci: Directly observed treatment short-course-therapy, kualitas, tenaga mikroskopis, Puskesmas
The quality of the microscopic staff for directly observed treatment short-course-therapy (DOTS) in Health Center ABSTRACT National Health Survey 2001 showed that tuberculosis (TB) is still a leading cause of morbidity and mortality. Directly observed treatment short-course-therapy (DOTS) strategy has been implemented in Indonesia since 1994. In practice this strategy makes the quality of the microscopic staff at health center becomes one of the critical factors. A cross sectional study was conducted at seven districts, which were Bandung, Pekalongan, Ogan Komering Ulu, Bangka, Banjarmasin, Donggala and Timor Tengah Selatan (TTS). At each district, we randomly selected 4 Microscopic Referral Health Centers (PRM) and 4 Independent Health Centers (PPM), except in district Pekalongan where only 3 PRM and in district Donggala where there was no PPM. This study found that not all PRM and PPM sampled had a microscopic staff graduated from health lab school. The worst was in district TTS where the number of alumni was zero. Direct slide test revealed that 71.4% of PRM microscopic staffs and only 33.3% of PPM staffs were relatively had good result. Validation cross check that in PRM 61.5% had error rate less than 5%, while in PPM was 25.0%. Keywords: Directly observed treatment short-course-therapy, quality, microscopic staffs, health center
62
Universa Medicina
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Secara global TB menduduki ranking penyakit infeksi ketiga sebagai penyebab kematian dan cacat, dan setiap tahun insidens TB meningkat sebesar 0 , 4 % . (1) P a d a t a h u n 2 0 0 0 , d i p e r k i r a k a n terdapat 8,2 juta kasus baru TB di seluruh dunia (insidens rate 136/100.000) dan 1,82 juta kematian akibat TB di antaranya 226.000 (12%) terjadi akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV). (2) Interaksi sinergistik antara infeksi HIV dan TB ternyata meningkatkan prevalensi multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) yang merupakan hambatan untuk pengendalian TB. (3) Dalam peta TB dunia, Indonesia dianggap sebagai hot spot, karena jumlah penderitanya menduduki ranking ketiga setelah India dan Cina.(4) Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 juga menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian utama di Indonesia, setelah penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh darah) dan infeksi saluran pernapasan lainnya. (5) Untuk mengatasi keadaan tuberkulosis di dunia, World Health Organization (WHO) telah mengembangkan strategi directly obs e r v e d t re a t m e n t s h o r t - c o u r s e t h e r a p y (DOTS), yang terbukti dapat meningkatkan angka kesembuhan penderita TB menjadi >85%. (6) Indonesia telah menerapkan strategi itu sebagai upaya penanggulangan TB nasional sejak 1995. Cara penerapannya dilakukan secara bertahap dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di dua kabupaten di dua propinsi hingga kini mencapai seluruh propinsi. Konsep awal implementasi strategi DOTS di Indonesia, menggunakan sistem pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Puskesmas
Vol.24 No.2
dikelompokkan dalam suatu Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari satu Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan beberapa Puskesmas Satelit (PS). PS berfungsi mengambil dahak sedang pembacaan sediaan dilakukan oleh PRM. Selain PRM dan PS ada Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), yang berfungsi sebagai PRM tetapi tanpa PS, karena terletak di daerah terpencil. (7) Salah satu alasan penggunaan sistem ini adalah menjaga kualitas laboratorium pembaca sediaan dahak. Untuk memelihara kualitas petugas, ia harus dapat membaca 20-40 sediaan seminggu yang dapat tercapai kalau wilayah kerjanya berpenduduk sebanyak 50.000-150.000 orang. Untuk menjaga mutu, Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi atau laboratorium rujukan lain melakukan validasi cross check sediaan yang didiagnosis oleh Puskesmas. Konsep DOTS mendasarkan diagnosis TB menggunakan pemeriksaan mikroskopis, (6) bukan foto toraks, sehingga diagnosis bisa dilakukan tanpa peralatan rontgen yang relatif lebih mahal. Di pihak lain hal ini berarti kualitas petugas mikroskopis mempunyai peran yang sangat menentukan, karena di tangannyalah diagnosis itu dikerjakan. Dalam kaitan ini, isyu yang berkaitan dengan kualitas tenaga mikrokopis menjadi penting. Isyu itu misalnya sebagai berikut (7) : i) sebagian KPP masih belum mempunyai peralatan dengan kualitas yang memadai, ii) banyak tenaga laboratorium yang belum mendapat pelatihan yang memadai, iii) penyediaan bahan laboratorium yang belum teratur, dan iv) beban pemeriksaan sediaan ternyata banyak yang belum memadai, sehingga kemampuan diagnosis kurang terpelihara. Karena itu kualitas tenaga mikroskopis di puskesmas yang menjalankan program DOTS ini menjadi penting untuk diketahui. Tujuan 63
Junadi
penelitian adalah untuk mengetahui hal spesifik yang berkaitan dengan kualitas tenaga mikroskopis, misalnya faktor input seperti pendidikan terakhir, latihan yang diterima dalam 2 tahun terakhir, dan pengalaman kerja. Faktor proses perlu pula diketahui misalnya jumlah pemeriksaan yang dilakukan per minggu sebagai beban kerja yang diperlukan untuk memelihara kualitasnya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengukur secara langsung kualitas tenaga mikroskopis tersebut. METODE Rancangan penelitian Penelitian potong silang secara retrospektif digunakan untuk memperoleh infomasi tentang masukan (input), proses dan keluaran (output) pemeriksaan laboratorium untuk seluruh Puskesmas dalam tahun 20002002. (8) Populasi dan sampel penelitian Populasi penelitian adalah tujuh propinsi wilayah kerja Intensified Communicable Disease Control (ICDC). Secara purposif dipilih satu kabupaten dari setiap propinsi. Meskipun pemilihan kabupaten dilakukan secara purposif, namun dikonsultasikan dengan Departemen Kesehatan. Kabupaten dipilih berdasarkan atas informasi yang berguna untuk penyempurnaan KPP. Selanjutnya secara acak sederhana (simple random sampling) dipilih 4 PPM dan 4 PRM untuk setiap kabupaten terpilih. Subyek penelitian adalah petugas mikroskopis puskesmas di puskesmas terpilih. Dari lima propinsi, yaitu Jawa Barat, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), kabupaten yang terpilih berturut-turut adalah sebagai berikut: i) Kabupaten Bandung 64
Kualitas tenaga mikroskopis
untuk Jawa Barat, ii) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) untuk Sumatera Selatan, iii) Kabupaten Bangka untuk BangkaBelitung, iv) Kota Banjarmasin untuk Kalimantan Selatan dan v) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) untuk NTT. Jumlah sampel puskesmas didapat sesuai dengan yang direncanakan yaitu 4 PRM dan 4 PPM untuk setiap kabupaten. Dua propinsi lainnya yaitu di Jawa Tengah, penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pekalongan yang hanya memiliki 3 PRM dan di Propinsi Sulawesi Tengah, sebagai sampel adalah Kabupaten Donggala. Ternyata di wilayah ini tidak terdapat PPM sehingga tidak ada PPM yang dapat diteliti. Dari 5 PRM yang diteliti ternyata ada 1 PRM yang berubah fungsi sementara menjadi PS karena tenaga laboratorium sedang meneruskan sekolah ke jenjang D3 Analis di Solo akibatnya pada PRM ini petugas pengumpul data mengalami kesulitan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan laboratorium. PRM dan PPM yang terpilih di setiap kabupaten disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Distribusi Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) berdasarkan kabupaten terpilih
* PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis †
PPM : Puskesmas Pelaksana Mandiri
Universa Medicina
Pengumpulan data Sumber data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang diperoleh dari catatan yang ada di tingkat kabupaten. Informasi dari tenaga mikroskopis yang dikumpulkan mencakup: umur, pendidikan terakhir, lama kerja, dan jumlah pemeriksaan slide dahak per minggu diperoleh dari catatan di puskesmas. Validitas kualitas tenaga mikroskopis Informasi tentang kualitas melakukan pemeriksaan mikroskopis diambil dari dua data. Data pertama berasal dari tes langsung dengan meminta petugas mikroskopis tersebut memeriksa 5 slide dahak penderita TB yang disediakan oleh peneliti. Slide tersebut dibuat dengan bantuan Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Propinsi di Surabaya. Bila kemampuan membaca slide tenaga mikroskopis mencapai >80% benar, maka kualitas tenaga mikroskopis dikategorikan baik. Artinya dari 5 slide hanya boleh maksimum salah 1. Ini adalah hasil kompromi karena keterbatasan jumlah slide, dan waktu penelitian yang tersedia. Data kedua didapatkan dari hasil validasi pemeriksaan silang slide dahak penderita oleh Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi. Kualitas pemeriksaan dinyatakan baik bila tingkat kesalahannya (error rate) <5%. Analisis data Analisis deskriptif menggunakan persentase dan rata-rata per kabupaten untuk menggambarkan perbandingan antar wilayah. Khusus untuk menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan kemampuan petugas mikroskopis melakukan pemeriksaan, dilakukan analisis tabulasi silang antara hasil validasi silang pemeriksaan slide dahak dengan berbagai karakteristik petugas. Uji chi square digunakan untuk melihat kemaknaan hubungannya.
Vol.24 No.2
HASIL Berdasarkan data yang tersedia jumlah tenaga mikroskopis yang berhasil dikumpulkan besarnya 51, terdiri dari 27 di PRM dan 24 di PPM. Pendidikan terakhir Dari tujuh kabupaten yang disurvei, ada 5 kabupaten di mana sebagian besar tenaga mikroskopis pada PRM-nya adalah lulusan analis kesehatan. Meskipun begitu, di Pekalongan, hanya 33% tenaga mikroskopis PRM yang diteliti lulusan tenaga analis. Bahkan di TTS, PRM yang diteliti tidak mempunyai tenaga analis kesehatan. (Tabel 2) Kalau dilihat menurut PPM yang diteliti, hanya a d a dua k a b u p a t e n d i m a n a t e n a g a mikroskopisnya adalah analis kesehatan, yaitu OKU dan Banjarmasin. Lima kabupaten lainnya mempunyai tenaga lulusan analis kesehatan ≤ 50%. Kelompok KPP yang diteliti di Banjarmasin relatif lebih baik kondisi tenaga lulusan analis kesehatannya. Namun khusus di Kabupaten TTS tidak ada satupun tenaga lulusan analis kesehatan di KPP, baik PRM maupun PPM. Tabel 2. Distribusi tenaga mikroskopis yang berasal dari lulusan analis kesehatan
* PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis † PPM : Puskesmas Pelaksana Mandiri ‡ N.a : not applicable, sebab di Donggala tidak ada PPM
65
Junadi
Tabel 3. Distribusi tenaga mikroskopis yang pernah mendapat pelatihan TB
‡
Na: not applicable, sebab di Donggala tidak ada PPM * PRM = Puskesmas Rujukan Mikroskopis † PPM = Puskesmas Pelaksana Mandiri
Latihan yang diterima Tabel 3 memperlihatkan, bahwa dari tujuh kabupaten yang disurvei, seluruh tenaga mikroskopis PRM di daerah penelitian umumnya telah dilatih mengenai pemeriksaan TB, kecuali di Kabupaten Bangka (75%). Hal ini disebabkan adanya mutasi pegawai, atau pindahnya tenaga mikroskopis ke fasilitas kesehatan swasta. Menurut PPM, ada lima kabupaten yang sebagian besar tenaga mikroskopisnya telah dilatih (75-100%). Di Kabupaten OKU hanya 50% dari tenaga mikroskopis pada PPM yang telah mendapat pelatihan tentang TB. Hal ini terjadi karena adanya perpindahan dan penggantian tenaga mikroskopisnya. Lama kerja Dari tujuh kabupaten yang disurvei, lama kerja tenaga mikroskopis pada PRM berkisar antara 8-14 tahun, sedang pada PPM 4-16 tahun dan di PS 2-16 tahun. Jadi sebagian besar tenaga mikroskopis telah cukup lama bekerja kecuali di PS yang diteliti di Kabupaten Bandung dan Pekalongan. Namun 66
Kualitas tenaga mikroskopis
ada beberapa KPP seperti di Kabupaten Bangka dan Donggala yang tenaga laboratorium di PS-nya lebih lama bekerja dari PRM-nya. Jumlah pemeriksaan yang dilakukan per minggu Jumlah pemeriksaan slide per minggu perlu cukup banyak untuk memelihara ketrampilan tenaga mikroskopis di puskesmas. Dari tujuh kabupaten yang disurvei, jumlah pemeriksaan preparat per minggu di PRM berkisar antara 18-42 slide, yang relatif lebih besar dibandingkan dengan pemeriksaan preparat di PPM yaitu sekitar 8-15 slide per minggu. Jadi beban pemeriksaan di PRM relatif cukup untuk memelihara keterampilan teknis tenaga mikroskopis. Sedang pemeriksaan di PPM tidak ada yang lebih dari 2 slide per harinya. Hal ini bisa dipahami mengingat PPM umumnya terlihat lebih perifer dibanding PRM, namun hal ini berarti kebutuhan pemeliharaan kemampuan tenaga mikroskopis di PPM lebih tinggi dibandingkan pada PRM (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah pemeriksaan/pembacaan slide TB per minggu
* PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis † PPM : Puskesmas Pelaksana Mandiri ‡ N.a : not applicable, sebab di Donggala tidak ada PPM
Universa Medicina
Vol.24 No.2
Tabel 5. Validasi pemeriksaan silang slide dahak penderita TB berdasarkan PRM dan PPM
* PRM = Puskesmas Rujukan Mikroskopis † PPM = Puskesmas Pelaksana Mandi
Validasi pemeriksaan silang slide dahak penderita TB Tabel 5 menunjukkan gambaran hasil validasi pemeriksaan silang slide dahak penderita TB di tujuh kabupaten. Di Kabupaten Bandung, hasil validasi pada 4 PRM dan 4 PPM yang disurvei, menunjukkan bahwa 2 PRM sudah mencapai > 95% dan dua lainnya masih < 95%. Sedangkan hasil validasi
PPM tidak diketahui karena tidak tersedia data dan 1 PPM ternyata adalah Puskesmas Pembantu (Pustu). Sedang di Kabupaten Pekalongan dari 3 PRM dan 4 PPM yang disurvei, hasil validasi pemeriksaan dahak berkisar antara 85-100%, di mana sebagian besar sudah > 95%. Di Kabupaten OKU, dari 4 PRM dan 4 PPM yang disurvei, hasil 67
Junadi
validasi pemeriksaan dahak berkisar antara 41-97%, namun sebagian besar masih < 95%. Hal yang positip adalah data validasi tersedia lengkap meskipun hasilnya belum memuaskan, karena aktifnya Wakil Supervisor (Wasor) Kabupaten. Sedang di Kabupaten Bangka, dari 4 PRM dan 4 PPM yang disurvei ternyata 1 PPM dan 1 PRM yang tidak tersedia datanya. Hasil validasi pemeriksaan dahak berkisar antara 46-95%. Namun, hanya 1 PRM yang mencapai 95%. Di Kabupaten Banjarmasin, dari 4 PRM dan 4 PPM yang disurvei, hasil validasi PRM sebagian besar sudah mencapai 100% hanya 1 PRM masih < 95%. Hasil validasi PPM hanya satu yang diketahui, yaitu 93,7%. Selebihnya data tidak tersedia. Sedang di Kabupaten Donggala dari data yang diperoleh, hasil validasi pemeriksaan dahak s e l u r u h n y a s u d a h > 9 5 % . Te r a k h i r, d i K a b u p a t e n Ti m o r Te n g a h S e l a t a n h a s i l validasi menunjukkan bahwa hanya 1 PRM yang memenuhi syarat toleransi kesalahan maksimal 5%, sedangkan pada PPM yang diteliti tidak dilakukan validasi. Secara umum hasil validasi menunjukkan, bahwa dari 27 PRM yang diteliti, tersedia data validasi untuk 26 PRM, dan dari sejumlah itu sebanyak 16 PRM mempunyai nilai validasi yang baik, atau sekitar 61,5%. Sedang jika dilihat PPMnya, dari 28 sampel, hanya tersedia data untuk 12 sampel, dan dari sejumlah itu hanya 3 PPM (25%) yang tingkat kesalahannya < 5% Tes membaca slide DOTS Seperti diuraikan di dalam metode kepada setiap tenaga mikroskopis dilakukan tes membaca 5 slide dahak penderita TB yang telah difiksasi. Hasilnya ditampilkan pada Tabel 6. Jika hasil tes pembacaan slide ini direkapitulasi menurut PRM dan PPM, maka secara umum didapatkan bahwa pada PRM tes 68
Kualitas tenaga mikroskopis
membaca slide yang benar relatif lebih baik dibandingkan dengan di PPM, kecuali di Kabupaten Banjarmasin. Sebanyak 5 (71,4%) kabupaten yang diteliti hasil tes membaca slide tenaga mikroskopis di PRM mencapai 80% benar atau lebih. Sedang untuk PPM, hanya ada 2 (33,3%) kabupaten yang mencapai standard 80% atau lebih. Tabel 6. Distribusi hasil membaca slide benar menurut PRM dan PPM di daerah penelitian
‡
Na: not applicable, sebab di Donggala tidak ada PPM
* PRM = Puskesmas Rujukan Mikroskopis †
PPM = Puskesmas Pelaksana Mandiri
Hubungan antara usia, lama kerja dan tingkat kesalahan tenaga mikroskopis Kualitas tenaga mikroskopis pada penelitian ini, antara lain tercermin dalam tingkat kesalahan hasil validasi silang slide dahak. Pertanyaannya adalah, apakah faktor individu mempengaruhi tingkat kesalahan ini. Dalam hal ini, usia dan lama kerja menunjukkan faktor individu yang bersangkutan. Hubungan antara usia dan lama kerja dengan hasil validasi disajikan pada Tabel 7. Persentase tenaga mikroskopis yang memiliki tingkat kesalahan < 5% meningkat pada usia 31-40 tahun, namun menurun lagi pada usia 41 tahun ke atas. Demikian juga persentase tenaga
Universa Medicina
Vol.24 No.2
Tabel 7. Hubungan antara usia, lama kerja tenaga mikroskopis dan error rate
mikroskopis dengan tingkat kesalahan < 5% meningkat pada petugas dengan lama kerja 510 tahun lalu menurun lagi pada lama kerja > 10 tahun. Namun, hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan. Hubungan antara jenis pendidikan, latihan, fasilitas laboratorium dan tingkat kesalahan petugas mikroskopis Pertanyaan berikutnya apakah jenis pendidikan, latihan dan fasilitas laboratorium ikut mempengaruhi tingkat kesalahan tenaga
mikroskopis. Analisis hubungan ini ditampilkan pada Tabel 8. Persentase jenis pendidikan tenaga mikroskopis yang memiliki tingkat kesalahan < 5% relatif lebih banyak terdapat pada kelompok non analis dibanding lulusan analis. Tenaga mikroskopis yang mendapat latihan dan mempunyai fasilitas laboratorium yang baik mempunyai nilai tingkat kesalahan < 5% relatif lebih besar dibandingkan tenaga mikroskopis yang tidak mendapat pelatihan dan fasilitas laboratoriumnya kurang baik. Jadi kelihatannya latihan lebih penting
Tabel 8. Hubungan jenis pendidikan, pelatihan dan fasilitas laboratorium dengan tingkat kesalahan petugas mikroskopis
69
Junadi
dari pada pendidikan, hal ini tentunya berkaitan dengan penyegaran, karena pendidikan bisa saja didapat sudah lama, sedang pelatihan adalah dalam 2 tahun terakhir. Meskipun hasil ini menggembirakan, tetapi secara statistik perbedaan ini tidak bermakna, sehingga dapat dikatakan faktor ini tidak secara jelas berhubungan dengan tingkat kesalahan hasil validasi. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas tenaga mikroskopis untuk membaca slide dahak penderita TB yang telah difiksasi untuk program DOTS besarnya 71,4% pada PRM dan hanya 33,3% pada PPM. Hasil ini tidak berbeda dengan laporan dari Bergstrom yang menyatakan salah satu kendala untuk meningkatkan strategi DOTS adalah belum memadainya tenaga kesehatan termasuk tenaga mikroskopis di tingkat Puskesmas. (8) Masalah ini juga dinyatakan sebagai salah satu masalah utama dalam penanggulangan TB di dunia. (9) Negara berkembang seperti Indonesia sangat membutuhkan tenaga kesehatan yang mempunyai ketrampilan dan kemampuan yang baik dalam jumlah yang memadai dan ditempatkan di daerah yang membutuhkan. (10) Hasil yang tidak bermakna antara berbagai faktor individu dengan kemampuan petugas mikroskopis dalam hal kesalahan membaca slide menunjukkan beberapa kemungkinan. Kemungkinan yang sederhana hasil ini terjadi karena kurangnya jumlah sampel, sehingga perlu dilakukan penelitian ulangan dengan sampel yang lebih besar. Kemungkinan berikutnya adalah bahwa faktor yang dominan bukanlah pada karakteristik petugas yang sifatnya individual, melainkan lebih pada faktor manajemen yang berkaitan dengan kewilayahan. Artinya kemampuan 70
Kualitas tenaga mikroskopis
petugas mikroskopis lebih tergantung pada bagaimana sistem penjagaan mutu dijaga, mulai dari pelatihan yang berkala, validasi yang terus menerus dan supervisi dari kabupaten. Pernyataan ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan di Argentina, yang menunjukkan bahwa perbaikan supervisi dan pelatihan untuk membaca slide dahak penderita TB sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan program DOTS. (11) Untuk mengimplementasikan program DOTS secara baik diperlukan dukungan berbagai pihak. Departemen Kesehatan dan insitusi lain yang berkaitan dengan program DOTS harus bekerja sama untuk meningkatkan kemampuan tenaga mikroskopis sesuai dengan standar yang telah ditetapkan baik secara nasional maupun internasional. Tanpa pelatihan yang teratur implementasi program DOTS sulit mencapai sasaran yang diharapkan. Pada tahun 2001, di India dilakukan Revised National Tuberculosis Cont ro l P ro g r a m m e ( R N T P ) y a n g j u g a menggunakan program DOTS. Program ini antara lain meningkatkan kualitas tenaga mikroskopis di 3000 laboratorium, melatih 200.000 tenaga kesehatan dan menyediakan obat-obatan bag penderita TB. Ternyata pengobatan yang sukses mencapai 83%. (12) Perencanaan yang komprehensif bagi sumber daya manusia (SDM) yang meliputi elemen untuk meningkatkan kemampuan petugas kesehatan termasuk petugas mikroskopis perlu dilakukan. Hal ini terutama penting di negara yang prevalensi TBnya masih cukup tinggi, termasuk Indonesia. (13) KESIMPULAN Belum seluruh PRM dan PPM yang diteliti mempunyai tenaga mikroskopis yang berasal dari analis kesehatan, meskipun
Universa Medicina
kondisi PRM lebih baik dari PPM, bahkan di Kabupaten TTS tidak ada tenaga analis kesehatannya. Seluruh Tenaga mikroskopis PRM telah mengikuti pelatihan TB kecuali di di Kabupaten Bangka. Pada PPM, tenaga mikroskopisnya belum semua dilatih kecuali di Kabupaten Bandung dan Banjarmasin. Pemeriksaan slide per minggu di PRM sekitar 18-42 slide, jauh lebih besar dibandingkan dengan PPM, yaitu sekitar 8-15 slide per minggu. Dari tes langsung, sekitar 71,4% tenaga mikroskopis PRM dan hanya 33,3% tenaga mikroskopis PPM yang relatif baik hasilnya. Hasil validasi menunjukkan bahwa hanya 61,5% PRM yang tingkat kesalahannya < 5%, sedangkan pada PPM hanya 25,0% yang tingkat kesalahannya < 5%. SARAN Hal yang paling penting dalam pengembangan program di masa depan adalah mengakui bahwa sumber daya manusia merupakan aset terpenting. Pengembangan program penanggulangan TB juga tidak terkecuali dalam hal ini, bahkan lebih penting lagi karena program ini bertumpu pada petugas dilapangan, salah satunya adalah tenaga mikroskopis di puskesmas. Oleh karena itu, peningkatan kualitas haruslah menjadi prioritas pertama. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat disarankan. Pertama, program perlu menjamin bahwa semua pemeriksaan slide dahak penderita TB dilakukan oleh petugas analis kesehatan. Jadi diperlukan distribusi tenaga analis kesehatan pada puskesmas yang belum mempunyainya, dan memberikan pelatihan TB pada petugas yang belum dilatih mengingat masih dijumpainya puskesmas yang tidak mempunyai tenaga analis kesehatan, maupun yang pernah
Vol.24 No.2
dilatih tentang TB. Kedua, program perlu menjaga kemampuan petugas dengan cara yang lebih murah, misalnya secara berkala petugas mikroksopis perlu dilatih dengan slide TB yang telah dipersiapkan agar ketrampilannya tetap terjaga. Slide ini dapat disimpan di Dinas Kesehatan Kabupaten, maupun di Puskesmas, sehingga petugas bisa berlatih sendiri tanpa harus ikut latihan di propinsi yang lebih mahal biayanya. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini mendapatkan dukungan dana dari Departemen Kesehatan R.I. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
6.
World Health Organization. Reducing risks, promoting healthy life. The World Health Report 2002. Geneva : World Health Organization; 2002. Corbett EL, Watt CJ, Walker N, Maher D, Wiliams BG, Raviglione MC, et al. The growing burden of tuberculosis : global trend and interactions with the HIV epidemic. Arch Intern Med 2003; 163: 1009-21. Poznial A. Multidrug-resistant tuberculosis and HIV infection. Ann N Y Acad Sci 2001; 953: 192-8. World Health Organization. Global tuberculosis control: surveillance, planning, financing. The World Health Report 2003. Geneva: World Health Organization; 2003. Tim Surkenas. Survei kesehatan nasional 2001: laporan studi mortalitas 2001, pola penyakit penyebab kematian di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2002. World Health Organization. DOTS : the inter-
71
Junadi
7.
8.
9.
72
national recommended TB control strategy. WHO; 2005. Available at: http://www.who/int/ tb/dots/whatisdots/en/print.htm Diakses tanggal 1 Maret 2005. Department of Health Republic of Indonesia. National TB programme strategic planning 2002-2006. Jakarta: Department of Health Republic of Indonesia; 2002. Bergstrom K. Training for better control, human resource developmen for TB control: a better strategic approach within country support. Geneva: World Health Organization; 2002. Alwan A, Hornby P. The implications of health sector reform for health resources development. Bull World Health Org 2002; 80: 56-60.
Kualitas tenaga mikroskopis 10. Junadi P. Reasesmen konsep penggunaan KPP dalam penerapan strategi DOTS di Indonesia. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2004. 11. Kusznierz GF, Latini OA, Sequeira MD, Quality assessment of smear microscopy for acidfast bacilli in the Argentine tuberculosis laboratory network, 1983-2001. Int J Tuberc Lung Dis 2004; 8: 1234-1. 12. Khatri GR, Frieden TR, Wells CR, Thorpe L. Progress toward tuberculosis control - India, 2001. JAMA 2002; 287: 1796-7. 13. World Health Organization. Human resources development for TB control. Geneva : World Health Organization; 2004.