KUALITAS FISIK PELLET RANSUM BROILER MENGANDUNG BAHAN DENGAN UKURAN PARTIKEL YANG BERBEDA PADA PROSES PRODUKSI BERKESINAMBUNGAN
SKRIPSI YULIA AGUSTINA
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
KUALITAS FISIK PELLET RANSUM BROILER MENGANDUNG BAHAN DENGAN UKURAN PARTIKEL YANG BERBEDA PADA PROSES PRODUKSI BERKESINAMBUNGAN
YULIA AGUSTINA D24101019
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
KUALITAS FISIK PELLET RANSUM BROILER MENGANDUNG BAHAN DENGAN UKURAN PARTIKEL YANG BERBEDA PADA PROSES PRODUKSI BERKESINAMBUNGAN
Oleh YULIA AGUSTINA D24101019
Skripsi ini telah disidangkan dihadapan Komisi ujian lisan pada tanggal 28 Desember 2005
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, MSc. NIP. 131 964 510
Erlin Trisyulianti, S.TP., MSi. NIP. 132 158 764
Mengetahui, Dekan Fakultas Peternakan
Dr.Ir.Ronny Rachman Noor, MRur.Sc. NIP. 131 624 188
RINGKASAN Yulia Agustina. D24101019. Kualitas Fisik Pellet Ransum Broiler Mengandung Bahan dengan Ukuran Partikel yang Berbeda pada Proses Produksi Berkesinambungan. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing utama : Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, MSc. Pembimbing Anggota : Erlin Trisyulianti, S.TP., MSi. Penggilingan merupakan proses pengurangan ukuran partikel yang bertujuan untuk menyeragamkan bentuk dan ukuran partikel bahan baku pakan sehingga menghasilkan proses pencampuran ransum yang homogen. Ukuran partikel bahan baku yang dihasilkan pada proses penggilingan dapat mempengaruhi proses pencampuran dan kelancaran proses produksi pakan secara keseluruhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas fisik ransum bentuk pellet. Proses produksi dalam penelitian ini menggunakan proses produksi berkesinambungan untuk menghasilkan ransum bentuk pellet ayam broiler. Screen yang digunakan pada proses penggilingan masing-masing berukuran 2, 3 dan 5 mm. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran partikel bahan terhadap kelancaran proses produksi dan sifat fisik mash dan pellet pada proses produksi berkesinambungan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari penggilingan jagung dan bungkil kedelai dengan menggunakan screen 2, 3 dan 5 mm untuk P1, P2 dan P3. Peubah yang diamati adalah sifat fisik mash dan pellet yang terdiri dari kadar air, berat jenis, daya ambang, sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, densitas dan Pellet Durability Index (PDI) dan waktu produksi, tingkat penyusutan pada setiap alat produksi dan suhu pellet setelah cooling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran partikel berpengaruh nyata terhadap sifat fisik ransum yaitu kadar air dan kerapatan tumpukan baik mash maupun pellet, daya ambang pellet, kerapatan pemadatan tumpukan pellet, sudut tumpukan pellet dan Pellet Durability Index. Sebaliknya ukuran partikel bahan tidak berpengaruh nyata terhadap berat jenis mash dan pellet, daya ambang mash, kerapatan pemadatan tumpukan mash, sudut tumpukan mash, densitas pellet dan suhu pellet setelah cooling. Hasil dari penelitian menunjukkkan bahwa proses produksi berkesinambungan memiliki waktu produksi berkisar antara 64,6-76,3 menit, tingkat penyusutan berkisar antara 2,23-4,39 kg, persentase penyusutan antara 4,51-8,85 %, suhu pellet berkisar antara 35-410C, 40-480C and 42-480C masingmasing setelah mengalami proses pendinginaan selama 30, 40 dan 50 menit. Kata kunci : ukuran partikel, proses produksi berkesinambungan, waktu produksi, penyusutan, kualitas fisik pellet
ABSTRACT Physical Quality of Pelleted Broiler Diet Containing the Different Ingredients Particle Size Produced in Continuous Process Y. Agustina., A. H. Sukria., E. Trisyulianti Feed grinding is one of feed processing undertaken to reduce feed ingredient particle size enabling improvement of mixing characteristics of the ingredients and increase pelleting efficiency and pellet quality. The objective of this research was to study the effect of different particle size on the physical pellet quality of the broiler diets. This research was designed by a completely randomized design with three treatments and three replication. The treatments were ground corn and soyabean meal with 2, 3, and 5 mm screen size for treatment P1, P2, and P3 respectively. Data obtained were analyzed with descriptif analysis for moisture content, shrink and production time, while the physical properties of broiler diet were analyzed by the analysis of variance (ANOVA) and any significant results were futher analyzed by contrast orthogonal test. The result show that particle size significantly (p<0.05) on pellet floating velocity, pellet angle of repose, mash and pellet specific density and pellet compacted density. However, particle size did not give significant effect on mash and pellet specific gravity, mash floating velocity, mash angle of repose and mash compacted density. The result of research show that the production time range from 64.6-76.3 minutes, total of shrink range from 4.51-8.85 % and pellet temperature range from 35-410C, 40-480C and 42-480C after cooling process during 30, 40 and 50 minutes respectively. Keywords: particle size, continuous process, production time, shrink, pellet temperature, physical pellet quality.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1983 di Kota Garut Propinsi Jawa Barat. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Mulyadi dan Ibu Entin Maryatin. Penulis lulus dari SD Negeri Tarogong 04 Garut pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 02 Garut dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMU Negeri 01 Garut dan lulus pada tahun 2001. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Tahun 2001 melalui jalur USMI di Fakultas Peternakan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Kualitas fisik pellet ransum broiler mengandung bahan dengan ukuran partikel yang berbeda pada proses produksi berkesinambungan”. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Juni 2005 di Bagian Industri Makanan ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh ukuran partikel bahan baku yang berbeda terhadap sifat fisik pellet yang dihasilkan pada proses produksi berkesinambungan. Berdasarkan uraian dalam skripsi dapat diketahui pengaruh ukuran partikel bahan dalam memperbaiki kualitas fisik pellet dan mengetahui waktu produksi dan tingkat penyusutan yang terjadi pada proses produksi berkesinambungan. Dengan adanya penjelasan dan informasi dalam skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber referensi bagi pembaca, khususnya bagi mereka yang memproduksi pakan, agar lebih memperhatikan ukuran partikel bahan baku dalam hubungannya dengan proses produksi dan kualitas fisik pellet. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2005
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
ii
ABSTRACT ...............................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................... Perumusan Masalah ....................................................................... Tujuan ............................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
Proses Produksi .............................................................................. Penggilingan (grinding) .................................................... Pencampuran (mixing) ....................................................... Pelleting ............................................................................. Pendinginan (cooling) ........................................................ Ukuran Partikel .............................................................................. Penyusutan ..................................................................................... Ransum Ayam Broiler ................................................................... Sifat Fisik Bahan ............................................................................ Berat Jenis .......................................................................... Kadar Air ............................................................................ Pellet Durability Index (PDI) ............................................. Daya Ambang .................................................................... Kerapatan Tumpukan ......................................................... Kerapatan Pemadatan Tumpukan ...................................... Sudut Tumpukan ................................................................ Densitas ..............................................................................
4 5 5 5 6 6 7 8 9 9 9 10 10 11 11 12 12
METODE ...................................................................................................
13
Lokasi dan Waktu .......................................................................... Materi ............................................................................................. Alat ..................................................................................... Bahan ................................................................................. Rancangan Percobaan .................................................................... Perlakuan ............................................................................ Model .................................................................................
13 13 13 13 14 14 15
Peubah ................................................................................ Analisis Data ...................................................................... Prosedur ......................................................................................... Proses Penggilingan ........................................................... Rangkaian Proses Produksi Berkesinambungan ................ Pengukuran Suhu, Waktu dan Penyusutan Selama Proses Produksi ............................................................................. Pengambilan Sampel .......................................................... Peubah yang Diamati .........................................................
15 15 16 16 17 18 18 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
23
Ukuran Partikel ............................................................................... Kadar Air ........................................................................................ Sifat Fisik Ransum ......................................................................... Berat Jenis .......................................................................... Daya Ambang .................................................................... Sudut Tumpukan ................................................................ Kerapatan Tumpukan ......................................................... Kerapatan Pemadatan Tumpukan ...................................... Mutu Fisik Pellet ............................................................................ Densitas .............................................................................. Pellet Durability Index (PDI) ............................................. Proses Cooling ............................................................................... Proses Produksi .............................................................................. Waktu Produksi.................................................................... Penyusutan .........................................................................
24 25 26 27 28 29 31 34 36 36 37 38 39 39
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
47
Kesimpulan .................................................................................... Saran ...............................................................................................
47 47
UCAPAN TERIMAKASIH .......................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
49
LAMPIRAN ...............................................................................................
53
42
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Formulasi Ransum Ayam Broiler Starter ......................................
14
2. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Ayam Broiler Starter Berdasarkan Perhitungan ...............................................................
24
3. Cara Pengukuran Tingkat Kehalusan .............................................
20
4. Parameter yang Berpengaruh terhadap Kualitas Fisik Ransum.............................................................................................
24
5. Nilai Sifat Fisik Ransum Penelitian ...............................................
27
6. Evaluasi Mutu Fisik Pellet ……………………………………….
36
7. Suhu Pellet Setelah Proses Cooling (0C) .......................................
38
8. Waktu Produksi Pada Proses Produksi Berkesinambungan (menit) ..........................................................................................................
40
9. Penyusutan Bahan Disetiap Mesin Pada Proses Produksi Berkesinambungan (kg) .................................................................
43
10. Persentase Penyusutan Bahan Pada Mesin Produksi (%) ..........................................................................................................
43
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Mesin Penggilingan (Semi Fixed Hammer Mill) .............................
16
2. Screen pada Mesin Penggilingan .....................................................
16
3. Rangkaian Mesin pada Proses Produksi Berkesinambungan ..........
17
4. Skema Rangkaian Proses Produksi Berkesinambungan ..................
18
5. Bahan Baku Jagung Setelah Digiling dengan Menggunakan Screen yang Berukuran 2, 3 dan 5 mm untuk Gambar 1, 2 dan 3 ...........................................................................................................
23
6. Bahan Baku Bungkil Kedelai Setelah Digiling dengan Menggunakan Screen Berukuran 2, 3 dan 5 mm untuk Gambar 1, 2 dan 3 ……………………………………………………………….
23
7. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Kadar Air Ransum Penelitian ………………………………………………...
25
8. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Berat Jenis Ransum Penelitian ………………………………………………...
27
9. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Daya Ambang Ransum Penelitian ………………………………………………...
28
10. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Sudut Tumpukan Ransum Penelitian …………………………………….
30
11. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Kerapatan Tumpukan Ransum Penelitian …………………………………….
32
12. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Ransum Penelitian ………………………..
34
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Ukuran Partikel Jagung dan Bungkil Kedelai …………………...
53
2.
Sidik Ragam Berat Jenis Mash …………………………………..
53
3.
Sidik Ragam Berat Jenis Pellet ………………………………......
53
4.
Sidik Ragam Daya Ambang Mash …………………………........
53
5.
Sidik Ragam Daya Ambang Pellet ................................................
53
6.
Sidik Ragam Sudut Tumpukan Mash ............................................
54
7.
Sidik Ragam Sudut Tumpukan Pellet ............................................
54
8.
Sidik Ragam Kerapatan Tumpukan Mash .....................................
54
9.
Sidik Ragam Kerapatan Tumpukan Pellet ……………………....
54
10. Sidik Ragam Kerapatan Pemadatan Tumpukan Mash …………..
55
11. Sidik Ragam Kerapatan Pemadatan Tumpukan Pellet …………..
55
12. Sidik Ragam Densitas pellet ..........................................................
55
13. Sidik Ragam Pellet Durability Index (PDI) ...................................
55
14. Sidik Ragam Suhu Pellet Setelah Proses Cooling Selama 30 Menit .............................................................................................
56
15. Sidik Ragam Suhu Pellet Setelah Proses Cooling Selama 40 Menit .............................................................................................
56
16. Sidik Ragam Suhu Pellet Setelah Proses Cooling Selama 50 Menit .............................................................................................
56
PENDAHULUAN Latar belakang Ransum yang berkualitas selain dapat menunjang pertumbuhan ternak yang baik juga untuk memperbaiki penampilan dan produktivitas ternak. Kualitas ransum yang baik dipengaruhi oleh bahan baku, komposisi bahan dalam ransum dan proses pengolahan ransum (McElhiney, 1994). Sebelum diberikan kepada ternak, ransum umumnya mengalami proses pengolahan yang bertujuan untuk memperbaiki feeding value seperti konsumsi, kecernaan dan efisiensi penggunaan ransum, menetralisir pakan dari unsur atau organisme berbahaya, menurunkan biaya produksi dan menjaga keseimbangan zat-zat nutrisi dalam ransum (Pathak, 1997). Proses pengolahan ransum di pabrik pakan merupakan proses produksi dengan menggunakan mesin-mesin pemrosesan yang menghasilkan ransum dalam bentuk mash, pellet atau crumble. Sebagian besar bahan baku yang berbentuk butiran dan berukuran kasar di pabrik-pabrik pakan mengalami proses pengurangan ukuran partikel. Proses pengurangan ukuran partikel bahan baku dilakukan untuk menyeragamkan bentuk dan ukuran partikel bahan baku sehingga menghasilkan campuran yang homogen, meningkatkan kecernaan dan efisiensi penggunaan ransum. Cara yang digunakan untuk mengurangi ukuran partikel bahan baku yaitu melalui proses penggilingan dengan menggunakan mesin giling (grinder) yang dilengkapi dengan screen (saringan). Ukuran screen yang digunakan pada pabrik-pabrik pakan dipengaruhi oleh jenis pakan yang diproduksi dan kualitas produk yang diinginkan. Penggunaan ukuran screen pada mesin giling dapat mempengaruhi ukuran partikel bahan baku yang dihasilkan. Perbedaan ukuran partikel bahan baku dapat mempengaruhi kelancaran proses produksi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas fisik ransum yang dihasilkan. Kelancaran proses produksi salah satunya ditentukan oleh waktu produksi dan tingkat penyusutan bahan sedangkan kualitas ransum dapat dilihat dari kandungan nutrisi dan sifat-sifat fisik ransum yang dihasilkan. Proses produksi ransum broiler starter pada penelitian ini menghasilkan ransum bentuk pellet. Ransum dalam bentuk pellet menurut Dozier (2001) dapat meningkatkan ketersediaan zat nutrisi dalam ransum dan mempermudah penanganan 1
sehingga menurunkan biaya produksi dan mengurangi penyusutan. Proses pembuatan pellet broiler starter pada penelitian ini dilakukan melalui proses produksi berkesinambungan (continuous process). Menurut Assauri (1980) proses produksi berkesinambungan adalah proses produksi dengan menggunakan rangkaian mesin pemrosesan yang telah dipersiapkan (set-up) dalam jangka waktu yang lama tanpa mengalami perubahan. Proses produksi berkesinambungan dapat menghasilkan produk dalam jumlah yang banyak tetapi kelemahannya sewaktu-waktu proses produksi mudah terhenti bila terdapat kerusakan atau kemacetan pada salah satu mesin. Rangkaian proses yang berlangsung pada proses produksi berkesinambungan dapat mempengaruhi mutu fisik pellet. Mutu fisik pellet yang dihasilkan dalam suatu proses produksi harus dapat memenuhi harapan konsumen (peternak) karena peternak umumnya masih melihat mutu pellet dari segi fisiknya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian parameter untuk mengetahui kualitas fisik pellet yang ditentukan dari efisiensi proses produksi dan sifat fisik pellet. Parameter untuk melihat efisiensi proses produksi yaitu waktu produksi dan penyusutan sedangkan sifat-sifat fisik pellet meliputi kadar air, berat jenis, daya ambang, sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, densitas dan durability (ketahanan) pellet. Perumusan Masalah Kualitas fisik pellet broiler yang baik dihasilkan dari proses produksi yang berjalan dengan lancar. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui kelancaran proses produksi adalah ukuran partikel bahan baku ransum. Ukuran partikel bahan baku yang berbeda dihasilkan melalui proses penggilingan dengan menggunakan screen berukuran 2 mm (halus), 3 mm (medium) dan 5 mm (kasar). Ukuran partikel bahan baku ransum yang berbeda dapat mempengaruhi waktu produksi dan tingkat penyusutan bahan yang berlangsung selama proses produksi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap sifat fisik pellet yang dihasilkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ukuran partikel bahan dapat memperbaiki kinerja proses produksi sehingga dapat meningkatkan kualitas fisik pellet broiler. Dari hasil penelitian akan diketahui ukuran partikel bahan dengan menggunakan ukuran screen yang kasar, medium atau halus 2
yang dapat mempercepat waktu produksi, tingkat penyusutan yang rendah dan menghasilkan pellet yang kuat dan padat. Tujuan Penelitian ini bertujuan antara lain : 1. Mengetahui pengaruh ukuran partikel bahan terhadap kelancaran proses produksi yaitu waktu produksi dan tingkat penyusutan yang terjadi pada setiap mesin produksi. 2. Mengetahui pengaruh ukuran partikel bahan terhadap sifat fisik mash dan pellet yang meliputi kadar air, berat jenis, daya ambang, sudut tumpukan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, densitas dan Pellet Durability Index (PDI).
3
TINJAUAN PUSTAKA Proses produksi Produksi adalah suatu kegiatan atau proses yang mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) sedangkan dalam arti sempit produksi ialah suatu kegiatan pengolahan dalam pabrik yang menghasilkan produk berupa barang jadi atau barang setengah jadi maupun barang industri (Fuad et al., 2001). Sistem proses produksi dibedakan menjadi dua yaitu sistem produksi berdasarkan proses dan sistem produksi berdasarkan produk. Sistem produksi berdasarkan proses merupakan sistem produksi yang membuat barang-barang khusus menurut permintaan pelanggan dan masing-masing komponen dalam fasilitas sistem ini mengalir dari satu proses ke proses produksi berikutnya secara terputus-putus. Sistem produksi berdasarkan produk adalah sistem produksi yang menghasilkan produk standar yaitu produk yang tiap unit relatif identik (sedikit variasi) dan masing-masing komponen dalam fasilitas sistem ini ditata menurut urutan proses yang dibutuhkan sehingga dapat digunakan secara kontinyu (Buffa dan sarin, 1996). Proses produksi dalam teknologi pengolahan pakan dapat dilakukan melaui proses produksi berkesinambungan (continuos process) dan proses produksi terputusputus
(intermiten
process).
Menurut
Assauri
(1980)
proses
produksi
berkesinambungan (continuos process) adalah proses produksi yang berlangsung secara terus-menerus yaitu mulai dari bahan datang sampai menghasilkan produk melalui satu rangkaian mesin processing. Sedangkan proses produksi terputus-putus (intermiten process) adalah suatu proses yang memproduksi produk secara terputusputus melalui setiap satu jenis mesin processing (batch machine) seperti penggunaan mixer atau pelleter saja untuk menghasilkan produk. Ciri-ciri dari proses produksi berkesinambungan ialah produk yang dihasilkan dalam jumlah yang banyak, penyusunan peralatannya berdasarkan urutan pengerjaan produk yang dihasilkan dan bahan-bahan yang diproduksi dipindahkan dengan menggunakan handling yang fixed seperti conveyor (Assauri, 1980). Rangkaian proses dalam proses produksi berkesinambungan yang digunakan untuk mengolah bahan baku menjadi ransum bentuk pellet terdiri dari proses penggilingan (grinding), pencampuran (mixing), pembuatan pellet (pelleting) sampai dengan pendinginan pellet (cooling). 4
Penggilingan (Grinding) Penggilingan merupakan proses pengurangan ukuran partikel bahan baku untuk meningkatkan nilai zat makanan bahan baku dan meningkatkan kinerja proses pencampuran bahan baku. Penggilingan bertujuan untuk meningkatkan kecernaan dan efisiensi penggunaan pakan, memudahkan proses pencampuran, menyeragamkan bentuk dan ukuran partikel bahan baku (Herrman, 2000). Behnke (2001) menyatakan bahwa ukuran partikel bahan dari hasil proses penggilingan dengan kategori fine (halus) memiliki permukaan yang luas sehingga mudah menyerap air dan menerima panas. Fairfield (1994) berpendapat bahwa karakteristik bahan seperti densitas, kadar air, tekstur dan ukuran partikel bahan dari berbagai bahan dalam formulasi ransum dapat mempengaruhi kualitas dan proses produksi pellet. Pencampuran (Mixing) Proses pencampuran merupakan proses penyatuan bahan baku dengan cara pengadukan untuk mencapai campuran yang homogen sesuai dengan formula yang telah ditetapkan. Herrman (2000) menyatakan bahwa hasil pengadukan yang homogen menentukan kualitas pakan yang dihasilkan dan akan meningkatkan penampilan ternak. Faktor-faktor yang menentukan penyebaran bahan baku adalah ukuran partikel bahan baku, desain mesin pencampur, dan waktu pengadukan. Waktu pengadukan dalam mixing untuk mendapatkan campuran yang homogen adalah selama 10 menit (McElhinney, 1994). Pelleting Pelleting adalah proses pembuatan pakan berbentuk tepung (mash) yang dipadatkan dan ditekan dengan menggunakan roller dan dimampatkan melalui lubang silinder yang disebut die, sehingga dapat menghasilkan pakan bentuk pellet. Proses pemadatan dan pemampatan ditentukan oleh desain pemasangan roller dan die (Thomas dan Van Der Pool, 1997). Khalil dan Suryahadi (1999) menyatakan bahwa beberapa variabel yang mempengaruhi proses pembuatan pellet yaitu karakteristik bahan baku meliputi formulasi ransum, keseragaman, ukuran partikel, kadar air dan kehalusan gilingan sedangkan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pellet antara lain : 1). Rasio antara diameter dan panjang lubang die 5
2). Kecepatan perputaran ring lubang die. 3). Kecepatan aliran bahan baku. 4). Kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan, dan penekanan pada lubang die. 5). Komposisi kandungan zat makanan 6). Temperatur dalam ruang mesin pellet. 7). Kelembaban lingkungan. Pendinginan (Cooling) Proses pendinginan terjadi dengan cara mengalirkan udara kedalam pellet yang ada dalam bin. Pada umumnya proses pendinginan menggunakan sedikit udara untuk mengurangi resiko pengembunan pada pellet. Proses pendinginan bertujuan untuk meminimumkan kerusakan pellet akibat kelebihan kadar air dan suhu yang tinggi (Audet, 1995). Menurut Thomas dan Van Der Pool (1997) alat pendingin berupa kipas angin sangat mempengaruhi proses pendinginan dalam cooler dan kekerasan (hardness) atau ketahanan (durability) pellet. Brooker et all. (1974) bahwa proses pendinginan akan berlangsung secara optimal di dalam cooler bila terdapat lebih dari satu buah kipas penggerak udara yang dapat mengalirkan udara keseluruh bagian cooler. Ukuran Partikel Syarief dan Nugroho (1992) berpendapat bahwa proses reduksi ukuran (size reduction) meliputi pemotongan, pemukulan, penggerusan, dan penggilingan. Proses pengecilan ukuran dicapai dengan cara-cara mekanis tanpa terjadi perubahan kimiawi bahan, dan tujuannya adalah untuk memperoleh butiran yang seragam baik ukuran maupun bentuknya. Lebih lanjut Syarief dan Nugroho (1992) menyatakan bahwa tujuan reduksi ukuran dalam pengolahan hasil pertanian yaitu untuk menghancurkan bahan sampai ukuran tertentu, reduksi ukuran mengakibatkan peningkatan luas permukaan spesifik bahan sehingga dapat mempermudah proses pencampuran, meningkatkan palatabilitas pakan, meningkatkan daya cerna ternak, menghilangkan benda-benda asing dan memperkecil resiko adanya bahan-bahan yang terbuang percuma. Ukuran partikel ransum yang dibutuhkan oleh ternak tergantung pada umur, jenis dan ukuran tubuh ternak. Ternak muda dan kecil seperti ikan dan ayam 6
membutuhkan ransum dengan ukuran partikel bahan yang halus. Berbeda dengan domba dan sapi yang dapat mengkonsumsi ransum dengan ukuran partikel yang kasar. Menurut Ensminger et al. (1990) pengecilan ukuran partikel dilakukan untuk mempermudah konsumsi dan meningkatkan kecernaan pakan sedangkan pembesaran ukuran partikel dilakukan pada pakan sapi atau domba yang tujuannya untuk memperkecil penyusutan bahan, menghindari pemilihan pakan yang lebih disukai ternak dan meningkatkan efisiensi penanganan pakan. Menurut Dozier (2001) semakin kecil ukuran partikel maka semakin luas permukaan partikel sehingga dapat meningkatkan proses pematangan dan gelatinisasi. Ukuran partikel yang optimum untuk meningkatkan durability (daya tahan) pakan unggas dengan kandungan utama jagung-kedelai berada diantara kisaran 650-700 mikron. Penyusutan Penyusutan adalah hilangnya bahan selama proses pengolahan berlangsung dan pada saat penanganan serta penyimpanan bahan (Bala, 1994). Definisi lain penyusutan adalah hilangnya bahan yang terjadi pada saat proses produksi berlangsung (McElhiney, 1994). Penyusutan selama proses produksi dapat terjadi pada setiap alat produksi. Penyusutan bisa berupa debu, uap, terbuang, pencurian dan selama transportasi (pengangkutan/distribusi pakan). Penyusutan yang diharapkan di pabrik pakan adalah yang mendekati nol persen dan persentase penyusutan yang bisa ditolerir yaitu berkisar antara 0,74-0,81 %. Pada umumnya, hampir setiap proses produksi mengalami penyusutan berupa debu, jatuh atau terbuang (McElhiney, 1994). Menurut McElhiney (1994), penyusutan dalam pabrik pakan akan menurunkan keuntungan, meningkatkan harga pakan, menambah biaya produksi dan meningkatkan biaya tenaga kerja. Oleh karena itu penyusutan harus dikurangi dengan cara melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kerja setiap alat produksi. Cara lainnya dengan melakukan sistem perawatan dan kebersihan pada setiap alat produksi selama periode tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kerugian dan mendapatkan keuntungan.
7
Ransum Ayam Broiler Wahju (1992) menyatakan bahwa ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, kalsium dan mineral serta vitamin yang sangat penting artinya selama tahap permulaan hidupnya. Menurut Scott et all. (1982) ransum ayam broiler periode starter hendaknya mengandung 21-24,8 % protein kasar dan energi metabolis sebesar 2800-3300 kkal.kg. Ransum pada umumnya mengalami proses pengolahan menjadi bentuk mash, pellet ataupun crumble. Menurut Pathak (1997) proses pengolahan pakan bertujuan untuk: (1) memperbaiki feeding value seperti konsumsi pakan, tingkat kecernaan dan efisiensi penggunaan pakan, (2) menjaga kualitas pakan selama masa penyimpanan, (3) menetralisir pakan dari unsur atau organisme berbahaya, (4) mencapai biaya produksi yang efektif dan ekonomis, (5) menurunkan kadar air pakan agar dapat disimpan lama, (6) menjaga keseimbangan zat-zat nutrisi dalam pakan. Ransum bentuk pellet merupakan ransum yang terdiri dari bahan-bahan baku yang diolah melalui poses mekanik, yaitu dipadatkan dan ditekan oleh roller dan die, sehingga membentuk silinder (batangan) kecil. Dozier (2001) menyatakan bahwa ransum dalam bentuk pellet dapat meningkatkan ketersediaan zat nutrisi dalam pakan, mempermudah penanganan sehingga menurunkan biaya produksi dan mengurangi penyusutan. Menurut Thomas dan Van Der Pool (1997), pellet memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1. Pellet lebih mudah diangkut ke dalam conveyor dan tidak berubah bentuk fisiknya pada saat dikeluarkan dari silo bila dibandingkan dengan ransum bentuk tepung. 2. Densitas (bulky density) pellet pada umumnya lebih tinggi daripada bentuk tepung sehingga mudah dibawa oleh truk. 3. Komposisi pellet lebih padat pada saat dicampurkan dan campuran bahanbahannya tidak berubah.
8
Sifat Fisik Bahan Sifat fisik merupakan sifat dasar yang dimiliki suatu bahan (material). Sifat fisik bahan pangan maupun pakan mencakup aspek yang sangat luas tetapi informasi mengenai sifat fisik pakan masih terbatas. Pemahaman tentang sifat-sifat fisik bahan serta perubahan yang terjadi pada pakan dapat digunakan untuk menilai dan menetapkan mutu pakan. Pengetahuan tentang sifat fisik digunakan juga untuk menentukan keefisienan suatu proses penanganan, pengolahan, dan penyimpanan (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Sifat fisik bahan selain dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran partikel bahan juga dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan partikel suatu bahan (Wirakartakusumah, 1992). Sifat-sifat fisik bahan yang perlu diketahui adalah sebagai berikut : Berat Jenis Berat jenis juga disebut berat spesifik, merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya. Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan karena menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis yang umum diterapkan pada pabrik pakan. Berat jenis bersama dengan ukuran partikel berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran bahan. (khalil, 1999a). Berat jenis merupakan faktor penentu kerapatan tumpukan dan berpengaruh besar terhadap daya ambang (Khalil, 1999a). Penelitian yang dilakukan oleh Gautama (1998) menunjukkan bahwa berat jenis tidak berbeda nyata terhadap perbedaan ukuran partikel karena ruang antar partikel bahan sudah terisi oleh aquades dalam pengukuran berat jenis. Kadar Air Kadar air adalah persentase banyaknya kandungan air dalam bahan berdasarkan berat kering. Kadar air dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu, dan kelembaban lingkungan (Syarief dan Halid, 1994). Kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung dalam bahan pangan tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air. Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, dan hal ini merupakan salah satu sebab mengapa dalam
9
pengolahan bahan makanan, air tersebut sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan dan pengeringan (Winarno, 1984). Menurut Fairfield (2003) kadar air dalam bahan ransum bentuk mash mempengaruhi kualitas dan tingkat produksi pellet. Kadar air mash berasal dari kandungan air dalam bahan-bahan baku dan penambahan air atau uap (steam) pada saat conditioning. Lebih lanjut Fairfield (2003) menyatakan bahwa terdapat korelasi (hubungan) antara kadar air mash dengan ketahanan pellet. Pellet Durability Index (PDI) Pengukuran PDI dilakukan untuk mengetahui daya tahan (durability) pakan yang dihasilkan. Standar spesifikasi PDI yang digunakan adalah minimum 80 % (Dozier, 2001). Waldroup (2005) berpendapat bahwa ukuran partikel bahan dapat mempengaruhi keutuhan (integrity) atau ketahanan (durability) pellet. Menurut Behnke (2001), ukuran partikel dan tekstur bahan yang halus dapat menghasilkan pellet yang kompak dan padat karena memiliki permukaan yang luas sehingga mudah menyerap air dan menerima panas. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan (durability) pakan bentuk pellet adalah ukuran bahan dalam ransum atau ukuran rata-rata ransum. Makin kecil ukuran bahan maka akan semakin menunjang kekerasan dan ketahanan pellet yang dihasilkan karena semakin banyak pati yang diubah oleh uap panas menjadi perekat maka dapat membantu proses perekatan partikel-partikel dalam bahan baku. Berbeda dengan bahan yang berukuran besar akan memudahkan pellet atau crumble pecah sehingga meningkatkan persentase debu. Yang menjadi masalah adalah semakin halus ukuran bahan yang digunakan maka semakin banyak jumlah penyusutan karena bahan berukuran halus bisa membentuk gumpalan yang melekat pada mesin atau peralatan (Rasidi, 1997). Daya Ambang Daya ambang adalah jarak yang ditempuh oleh suatu partikel bahan jika dijatuhkan dari atas ke bawah selama jangka waktu tertentu dengan satuannya meter/detik. Daya ambang bahan dikatakan besar jika semakin pendek jarak jatuh yang dicapai persatuan waktu. Pada pengangkutan dengan alat screw conveyor harus diperhatikan agar bahan tidak terpisah berdasarkan ukuran dan berat partikel akibat hisapan udara, karena partikel yang lebih kecil ukurannya dengan bobot lebih ringan 10
mempunyai daya ambang lebih besar sehingga akan lebih cepat dihisap oleh alat pengangkut tersebut (Khalil, 1999b). Kerapatan Tumpukan Kerapatan tumpukan (specific density) adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya. Nilai kerapatan tumpukan menunjukkan porositas dari bahan yaitu jumlah rongga udara yang terdapat diantara partikelpartikel bahan (Khalil 1999a). Kerapatan tumpukan akan semakin meningkat dengan semakin banyak jumlah partikel halus dalam suatu ransum (Johnson, 1994). Kerapatan
tumpukan
dan
sudut tumpukan
penting
diketahui
dalam
merencanakan suatu gudang penyimpanan dan volume alat pengolahan (Syarief dan Irawati,
1993).
Kerapatan
tumpukan
memegang
peranan
penting
dalam
memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat tertentu, misalnya pengisian silo, elevator, dan ketelitian penakaran secara otomatis (Khalil, 1999a). Pencampuran bahan ransum dengan ukuran partikel yang sama tetapi mempunyai perbedaan kerapatan tumpukan yang besar (perbedaannya lebih dari 500 kg/m3) akan sangat sulit dicampur dan cenderung terpisah. Bahan ransum dengan kerapatan tumpukan yang rendah (perbedaannya kurang dari 450 kg/m3) membutuhkan waktu jatuh dan mengalir lebih lama sehingga dapat ditimbang dengan teliti menggunakan alat penakar otomatis (Khalil, 1999a). Kerapatan Pemadatan Tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan (seperti penggoyangan). Ukuran partikel dan kandungan air berpengaruh nyata dan konsisten terhadap kerapatan tumpukan (khalil, 1999a). Menurut Sayekti (1999) kerapatan pemadatan tumpukan selain dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran partikel juga turut dipengaruhi oleh ketidaktepatan pengukuran. Oleh karena itu sebaiknya pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan dilakukan dengan menggunakan mesin penggoyang yang terjamin kekuatan dan keakuratannya. Tingkat pemadatan bahan sangat menentukan kapasitas dan akurasi pengisian tempat penyimpanan seperti silo.
11
Sudut Tumpukan Sudut tumpukan (angle of repose) adalah sudut yang terbentuk jika bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah corong yang beralaskan bidang datar, sehingga membentuk sudut antara sisi tumpukan bahan dengan garis horizontal. Sudut tumpukan terbagi menjadi dua yaitu sudut tumpukan statis dan sudut tumpukan dinamis. Sudut tumpukan statis adalah sudut yang terbentuk pada saat bahan padat yang granular meluncur secara bebas sedangkan sudut tumpukan dinamis adalah sudut yang terbentuk ketika bahan padat dikeluarkan dari bin atau silo secara vertikal (Bala, 1994). Soesarsono (1988) berpendapat bahwa nilai sudut tumpukan sangat berperan dalam mendesain corong pemasukan (hopper) atau corong pengeluaran, misalnya pada silo atau pada mesin pengolah. Bahan padat dapat mengalir bebas jika sudut corong pemasukan atau pengeluaran harus sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan bahan. Menurut Fasina and Sokhansanj (1993), sudut tumpukan akan mempengaruhi laju alir suatu bahan terutama pada saat pengangkutan maupun pembongkaran dengan menggunakan alat mekanik seperti traktor, sekop dan conveyor. Selanjutnya Fasina and Sokhansanj (1993) mengklasifikasikan laju alir bahan padat berdasarkan besarnya sudut tumpukan, yaitu sangat mudah mengalir (20-300), mudah mengalir (30-380), sedang (38-450) dan sulit (45-550). Densitas Densitas adalah massa partikel yang menempati satu unit volume tertentu (Wirakartakusumah, 1992). Densitas digunakan untuk mengetahui kekompakan dan tekstur pakan. Tekstur pakan yang kompak akan tahan terhadap pengaruh proses penekanan sehingga ikatan antar partikel penyusun pakan menjadi sangat kuat dan ruang antar partikel bahan pakan tidak terisi rongga udara (Murdinah, 1989).
12
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Juni 2005 bertempat di Bagian Industri Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Alat-alat produksi dalam proses produksi berkesinambungan terdiri dari : Grinder (mesin penggiling) memiliki kapasitas 50-300 kg, Mixer horizontal (mesin pencampur) memiliki kapasitas 100 kg/batch, Pelleter (mesin pellet) memiliki kapasitas 100 kg, cooler (mesin pendingin) memiliki kapasitas 100 kg dan bucket elevator (material handling) memiliki kapasitas 150 kg serta Screw conveyor (material handling) memiliki kapasitas 150 kg. 2. Alat untuk analisa sifat fisik terdiri dari : Vibrator ball mill, satu unit infra red moisture meter, durability tester, gelas ukur 500 ml, balok kaca ukuran 10 x 10 cm, kaki tiga dan papan, jangka sorong, penggaris, sendok, corong, timbangan digital berkapasitas 120 kg, timbangan 1 kg, pengaduk, stopwatch dan termometer 100°C. Bahan Ransum ayam broiler periode starter yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan: jagung, dedak padi, bungkil kedelai, CPO (Crude Palm Oil), tepung ikan, tepung tulang, CaCO3, premiks dan gaplek. Penyusunan formulasi ransum ayam broiler periode starter berdasarkan Scott et all. (1982) dengan menggunakan energi metabolisme 2900 kkal/kg dan protein kasar 21 %. Formulasi ransum disusun menggunakan metode trial and error (coba-coba). Formulasi ransum ayam broiler dan kandungan zat makanannya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2
13
Tabel 1. Formulasi Ransum Ayam Broiler Starter Bahan Makanan
Komposisi (%)
Jagung Kuning
36
Bungkil Kedelai
28
Dedak Padi
18
Tepung Ikan
6
CPO (crude palm oil)
3
CaCO3
0,5
Tepung Tulang
2
Premik
0,5
Gaplek
6
Jumlah
100 Tabel 2. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Ayam Broiler Starter Berdasarkan Perhitungan
Kandungan Zat Makanan
Komposisi
Energi Metabolisme (Kkal/kg)
3007
Protein Kasar (%)
21,39
Serat Kasar (%)
4,95
Kalsium (%)
1,19
Phospor (%)
0,57
Methionin (%)
0,44
Lysine (%)
1,25 Rancangan percobaan
Perlakuan Penelitian ini terdiri dari 3 macam perlakuan yaitu : P1
: Jagung dan bungkil kedelai digiling dengan menggunakan screen 2 mm.
P2
: Jagung dan bungkil kedelai digiling dengan menggunakan screen 3 mm.
P3
: Jagung dan bungkil kedelai digiling dengan menggunakan screen 5 mm.
14
Model Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola 3 perlakuan dan 3 ulangan. Model matematik dari Rancangan Acak Lengkap adalah sebagai berikut : Xij = μ + τi + εij Keterangan : Xij
= Perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
ε ij
= Error (galat) perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Peubah Peubah yang diukur dalam penelitian ini yaitu : 1. Kadar air (%) 2. Berat jenis (g/ml) 3. Daya ambang (m/detik) 4. Sudut tumpukan (0) 5. Kerapatan tumpukan (kg/m3) 6. Kerapatan pemadatan tumpukan (kg/m3) 7. Densitas (g/cm3) 8. Pellet Durability Index (%) 9. Suhu pellet setelah proses cooling (0C) 10. Waktu produksi (menit) 11. Penyusutan bahan (%) Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif untuk kadar air, waktu produksi dan tingkat penyusutan, sedangkan sifat fisik ransum dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of variance) dan jika berbeda nyata akan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal (Steel dan Torie, 1993)
15
Prosedur Proses produksi ransum broiler starter menjadi bentuk pellet yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses produksi berkesinambungan. Proses produksi tersebut berlangsung mulai dari proses penggilingan bahan-bahan baku yang berbentuk butiran dan bertekstur kasar sampai dengan melewati serangkaian proses produksi berkesinambungan. Proses penggilingan Proses penggilingan merupakan salah satu proses penyeragaman ukuran partikel melalui penggunaan screen untuk mengurangi ukuran partikel menjadi lebih halus. Bahan baku yang berbentuk butiran (kasar), yaitu jagung dan bungkil kedelai, digiling dengan menggunakan mesin semi fixed hammer mill dengan ukuran screen yang berbeda. Ukuran screen yang digunakan adalah 2, 3 dan 5 mm. Sedangkan bahan baku yang berbentuk tepung (halus) tidak dilakukan penggilingan. Hammer mill dan screen yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Mesin Penggilingan (Semi Fixed Hammer Mill)
a Keterangan : a. screen 2 mm
b b. screen 3 mm
c c. screen 5 mm
Gambar 2. Screen pada Semi Fixed Hammer Mill 16
Rangkaian Proses Produksi Berkesinambungan Setiap bahan baku yang memiliki komposisi dalam jumlah besar yaitu jagung, bungkil kedelai, dedak padi, dan tepung ikan dimasukkan ke dalam hopper. Kemudian bahan-bahan tersebut diangkut melalui bucket elevator ke dalam mesin mixer, sedangkan bahan-bahan dengan komposisi dalam jumlah kecil seperti CaCO3, CPO, tepung tulang, premik dan tepung gaplek dimasukkan langsung ke dalam mesin mixer. Selanjutnya bahan-bahan tersebut mengalami proses pencampuran (mixing) selama 10 menit. Bahan-bahan yang telah melalui mixing dikeluarkan ke dalam surge bin dan diangkut melalui screw conveyor kemudian masuk ke dalam mesin pellet (Pelleter). Bahan-bahan yang telah masuk ke dalam mesin pellet mengalami proses pemampatan melalui suatu lubang yang disebut die dan proses penekanan sampai akhirnya terbentuk pellet. Pellet yang sudah terbentuk kemudian dialirkan melalui bucket elevator ke dalam pendingin (cooler). Pellet yang keluar dari cooler ditempatkan ke dalam karung goni yang kuat dan tahan bocor untuk menjaga mutu pellet. Skema rangkaian proses produksi berkesinambungan disajikan pada Gambar 3 sedangkan rangkaian mesin produksi terlihat pada Gambar 4.
Keterangan : a. Hopper b. Bucket elevator c. Mixer d. Surge Bin e. Srew conveyor f. Pelleter g.Bucket elevator h. Cooler
Gambar 3. Rangkaian Mesin pada Proses Produksi Berkesinambungan
17
Bahan baku kasar
Penggilingan (Grinding)
Bahan baku halus
Pencampuran (Mixing)
Intake bahan
Pencetakan pellet (Pelleting)
Pellet
Pendinginan (Cooling)
Gambar 4. Skema Rangkaian Proses Produksi Berkesinambungan Pengukuran Suhu, Waktu, dan Penyusutan Selama Proses Produksi Waktu produksi diukur pada setiap mesin produksi yaitu mulai dari bahan dimasukkan ke dalam hopper sampai dengan proses pendinginan (cooling) dengan menggunakan stopwatch. Suhu pellet diukur setelah pellet mengalami cooling selama 30, 40 dan 50 menit. Pengukuran suhu dilakukan pada masing-masing satuan waktu tersebut dengan menggunakan termometer skala 100°C. Penyusutan bahan dihitung pada setiap proses produksi agar dapat diketahui persentase pengurangan jumlah bahan. Penyusutan bahan dihitung dengan cara mengurangi berat awal dengan berat bahan yang tertinggal dalam hopper, mixer, surge bin dan pelleter. Pengambilan sampel Sampel bahan baku untuk analisa secara kualitatif diambil sebanyak 5-10 % dari tiap karung. Pengambilan sampel sebanyak 3 kg dilakukan untuk semua uji sifat fisik baik mash (tepung) maupun pellet.
18
Peubah yang diamati 1. Berat Jenis Berat jenis diukur dengan cara memasukkan sampel bahan sebanyak 100 gram kedalam gelas ukur (250 ml) kemudian dilakukan pengadukan untuk mempercepat jalannya udara antar partikel ransum selama pengukuran. Pembacaan volume akhir dilakukan setelah volume menjadi konstan. Menurut Khalil (1999a) berat jenis dihitung menggunakan rumus : Berat jenis (gram/ml) =
Bobot bahan (gram) Perubahan volume aquades (ml)
2. Kadar Air
Pengukuran kadar air berdasarkan metode menurut Bala (1994). Kadar air mash dan pellet diukur dengan menggunakan infra red moisture meter. Alat tersebut
diletakkan pada bidang datar kemudian jarum skala digeser dan diletakkan pada titik nol. Salah satu kaki penyangganya diputar sehingga jarum “Balance” mengarah pada posisi nol. Batu timbangan 5 gram diletakkan disamping piringan bahan dengan tetap memperhatikan jarum skala pada posisi nol. Piringan bahan diisi dengan sampel yang akan dianalisis seberat batu timbangan yang dipasang sebagai berat awal. Lampu infra red digeser sehingga tepat berada diatas sampel kemudian dilakukan penyinaran selama 2 x 15 menit dengan cara menekan tombol sehingga lampu menyala. Setelah penyinaran selama 2 x 15 menit, jarum skala digeser sehingga jarum “Balance” menunjuk pada angka nol dan sampel bahan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital sebagai berat akhir. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar air (%) =
Berat awal (gram) − Berat akhir (gram) x 100% Berat awal (gram)
3. Daya Ambang
Daya ambang diukur dengan cara menjatuhkan bahan dari ketinggian 3 m yang beralaskan karton putih. Menurut Khalil (1999b) daya ambang dihitung dengan cara membagi jarak yang ditempuh oleh suatu bahan dari atas ke bawah dengan waktu jatuh bahan. Satuan untuk daya ambang adalah meter/detik. 19
4. Pellet Durability Index (PDI)
Pengukuran PDI berdasarkan metode Fairfield (1994) yaitu diukur secara duplo dengan cara memasukkan Pellet masing-masing sebesar 500 gram ke dalam durability tester dan diputar dengan putaran 50 rpm selama 10 menit. Kemudian pellet dikeluarkan dan diayak dengan menggunakan sieve no.8. Pellet yang tertahan
pada sieve no.8 ditimbang sebagai berat akhir. PDI dihitung dengan menggunakan rumus : PDI (%) =
Berat pellet sebelum diputar (gram) x 100% Berat pellet setelah diputar (gram)
5. Tingkat Kehalusan
Alat yang dipakai untuk menentukan tingkat kehalusan, keseragaman, dan ukuran partikel pellet adalah dengan menggunakan vibrator ball mill german the sieve analisis nomor mesh 4, 8, 16, 30, 50, 100, 400. Menurut Henderson dan Perry (1976) tingkat kehalusan diukur dengan cara menimbang bahan sebanyak 500 gram dan diletakkan pada bagian paling atas dari sieve kemudian dilakukan penyaringan. Bahan yang tertinggal pada setiap saringan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berkapasitas 120 kg. Tingkat kehalusan dapat diukur seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Cara Pengukuran Tingkat Kehalusan Nomor perjanjian 7 6 5 4 3 2 1 0 Total
German sieve number 4 8 16 30 50 100 400 Penampung
Jumlah bahan yang tertinggal …. …. …. …. …. …. …. …. ….
% bahan tiap saringan …. …. …. …. …. …. …. …. ….
Tingkat kehalusan bahan diketahui setelah didapatkan dan diperhitungkan dengan nomor perjanjian besar sampel (%) pada tiap mesh dengan rumus : ∑(%bahan yang tertinggal x No. perjanjian pada tiap mesh) Tingkat kehalusan = 100 20
Besarnya ukuran partikel mash dan pellet dapat dikategorikan kedalam nilai Tingkat Kehalusan (TK) dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Nilai tingkat kehalusan 4,1 ≤ x ≤ 7,0 : kategori bahan kasar. 2. Nilai tingkat kehalusan 2,9 ≤ x < 4,1 : kategori bahan sedang. 3. Nilai tingkat kehalusan x < 2,9 : kategori bahan halus. 6. Ukuran Partikel
Ukuran partikel rata-rata dihitung sesuai dengan Henderon dan Perry (1976) yaitu menggunakan rumus = (0,0041) x 2 TK x 2,54 cm 7. Pengukuran Kerapatan Tumpukan
Kerapatan tumpukan dihitung dengan cara mencurahkan bahan dengan bobot tertentu kedalam balok kaca berukuran 10 x 10 cm sampai penuh dan diratakan dengan penggraris kemudian ditimbang menggunakan timbangan 1 kg. Pencurahan bahan dibantu dengan menggunakan sendok, guna meminimumkan penyusutan volume curah akibat pengaruh daya berat bahan itu sendiri saat dicurahkan dan terjadinya guncangan pada balok kaca perlu dihindari. Menurut Khalil (1999a) Kerapatan tumpukan (KT) dihitung dengan menggunakan rumus : KT (g/cm3) =
Berat bahan (gram) Volume ruang (cm 3 )
8. Pengukuran Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Kerapatan pemadatan tumpukan ditentukan dengan cara yang sama dengan penentuan kerapatan pemadatan tumpukan, tetapi volume bahan dibaca setelah dilakukan proses pemadatan selama 5 menit. Menurut Khalil (1999a)Kerapatan pemadatan tumpukan (KPT) dihitung dengan rumus : KPT (g/cm3) =
Berat bahan (gram) Volume ruang setelah pemadatan (cm 3 )
9. Pengukuran Sudut Tumpukan
Pengukuran sudut tumpukan dilakukan dengan cara menjatuhkan atau mencurahkan sampel bahan sebanyak 1,5 kg pada ketinggian 35 cm melalui corong yang dipasang pada kaki tiga yang beralaskan papan kayu berbentuk persegi panjang. Pengukuran diameter (d) dan tinggi (t) tumpukan sampel bahan dilakukan pada sisi yang sama pada semua pengamatan dengan bantuan mistar dan segitiga siku-siku. 21
Menurut Khalil (1999b) sudut tumpukan bahan dinyatakan dengan satuan derajat dan dapat dihitung dengan rumus : δ = Cotg (2t / d) 10. Densitas
Densitas pellet diukur berdasarkan metode yang dilakukan Murdinah (1989) yaitu melalui pengukuran diameter dan tinggi pellet sebanyak 30 buah dengan menggunakan jangka sorong. Kemudian pellet tersebut ditimbang untuk mengetahui beratnya dengan menggunakan timbangan digital. Satuan untuk densitas bahan adalah gram/m3. Densitas pellet dihitung melalui rumus : Densitas (gram/cm3) =
Berat pellet (gram) Volume (cm 3 )
Keterangan: Volume pellet = luas alas x tinggi = π r2 x tinggi
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggilingan merupakan proses merubah bahan baku berbentuk kasar (butiran) menjadi halus. Proses penggilingan dapat dilakukan pada mesin giling tipe semi fixed hammer mill. Bahan baku yang digiling pada penelitian ini yaitu jagung dan bungkil kedelai karena diantara semua bahan baku yang digunakan dalam formulasi ransum, hanya kedua bahan tersebut yang berbentuk butiran dan berukuran kasar. Penggunaan screen (saringan) pada mesin giling yang berukuran 2 mm (halus), 3 mm (medium) dan 5 mm (kasar) masing-masing dapat menghasilkan ukuran partikel bahan yang halus, medium dan kasar. Gambar Bahan baku jagung dan bungkil kedelai setelah digiling dengan menggunakan screen berukuran 2, 3 dan 5 mm dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Gambar 5. Bahan Baku Jagung Setelah Digiling dengan Menggunakan Screen yang berukuran 2, 3 dan 5 mm untuk Gambar 1, 2 dan 3.
Gambar 6. Bahan Baku Bungkil Kedelai Setelah Digiling dengan Menggunakan Screen yang Berukuran 2, 3 dan 5 mm untuk Gambar 1, 2 dan 3. Berdasarkan Gambar 5 dan 6 dapat dilihat bahwa jagung dan bungkil kedelai berukuran dan bertekstur semakin kasar dengan semakin besar ukuran screen yang 23
digunakan. Komposisi jagung dan bungkil kedelai sebesar 60 % dalam formulasi ransum dan oleh karena itu ukuran partikel kedua bahan tersebut sangat mempengaruhi ukuran partikel ransum bentuk mash. Ransum bentuk mash pada penelitian ini adalah ransum yang telah mengalami proses pencampuran untuk kemudian diolah menjadi bentuk pellet. Perbedaan ukuran dalam ransum bentuk mash dapat mempengaruhi kualitas dan proses produksi pellet. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Fairfield (1994) bahwa ukuran partikel bahan dari berbagai bahan dalam formulasi ransum akan mempengaruhi kualitas dan proses produksi pellet. Selain faktor ukuran partikel, parameter lain yang turut berperan dalam kualitas dan proses produksi pellet adalah kadar air. Nilai rataan ukuran partikel dan kadar air disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter yang Berpengaruh Terhadap Kualitas Fisik Ransum Mash Parameter
Pellet
P1
P2
P3
P1
P2
P3
Ukuran partikel (mm)
0,75
0,94
1,01
6,56
6,74
6,60
Tingkat kehalusan
2,84
3,18
3,28
5,98
6,02
5,97
15,53
16,33
16,47
12,93
14,87
15,54
Kadar air
Ukuran partikel
Ukuran partikel merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sifat fisik dan proses produksi pellet. Ukuran screen yang digunakan pada mesin giling adalah diameter pada masing-masing lubang saringan yang dapat berukuran 2, 3 atau 5 mm. Semakin besar diameter lubang tersebut maka semakin kasar partikel bahan yang lolos saringan. Oleh karena itu, ukuran partikel jagung dan bungkil kedelai semakin kasar antar perlakuan sehingga ukuran partikel mash antar perlakuan juga semakin kasar. Perbedaan ukuran partikel mash dapat mempengaruhi kelancaran proses produksi yang pada akhirnya akan mempengaruhi ukuran partikel dan kualitas fisik pellet Penentuan besarnya nilai ukuran partikel bahan berdasarkan tingkat kehalusan yang diperoleh masing-masing perlakuan. Nilai tingkat kehalusan terbagi menjadi tiga yaitu 4,1-7,0 termasuk kategori bahan kasar, 2,9-4,1 termasuk kategori bahan medium dan lebih kecil dari 2,9 termasuk kategori bahan halus. Tabel 4 24
menunjukkan bahwa ukuran partikel mash pada P1 termasuk kategori halus (fine), P2 termasuk kategori sedang (medium), dan P3 termasuk kasar (coarse) karena tingkat kehalusan pada P1 sebesar 2,84, P2 sebesar 3,18 dan P3 sebesar 3,28. Ukuran partikel pellet pada P1, P2 dan P3 secara keseluruhan termasuk kategori kasar (besar) karena tingkat kehalusannya antara 5,98-6,02. Meskipun semua pellet penelitian termasuk kategori besar tetapi dilihat dari nilai rataan maka P1 memiliki ukuran partikel yang kecil, P2 memiliki ukuran partikel yang besar dan P3 memiliki ukuran partikel yang medium. Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu parameter yang dapat mempengaruhi sifatsifat fisik mash dan pellet yang dihasilkan pada proses produksi berkesinambungan. Kadar air adalah persentase banyaknya kandungan air dalam bahan berdasarkan berat kering (Syarief dan Halid, 1994). Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai rataan kadar air mash berkisar antara 15,53-16,47 % dan kadar air pellet berkisar antara 12,93-15,54 %. Nilai rataan kadar air mash dan pellet yang tertinggi ditunjukkan oleh P3 dan yang terendah ditunjukkan oleh P1. Peningkatan nilai rataan
Nilai Rataan Kadar Air (%)
kadar air antar perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1
2
3
Perlakuan mash
pelet
Gambar 7. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Kadar Air Ransum Penelitian Nilai rataan kadar air mash yang semakin meningkat disebabkan oleh kadar air bahan baku ransum dan periode penyimpanan bahan baku yang terlalu lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Fairfield (2003) bahwa kadar air mash berasal dari kadar air bahan baku pakan dan dapat mempengaruhi kualitas pellet. Periode penyimpanan bahan baku pakan yang terlalu lama menyebabkan terjadinya penyerapan uap air dari 25
udara kedalam bahan ransum tersebut. Hal tersebut mengakibatkan bahan baku ransum menjadi lembab sehingga mempengaruhi peningkatan kadar air mash antar perlakuan. Oleh karena itu, bahan baku sebaiknya tidak disimpan terlalu lama dan lebih memperhatikan keadaan suhu dan kelembaban lingkungan sekitarnya. Kadar air pellet penelitian yang semakin tinggi antar perlakuan dikarenakan proses pendinginan yang belum sempurna. Penggunaan kipas angin sebagai alat pendingin mempengaruhi proses pendinginan dalam cooler. Pendinginan dalam cooler terjadi melalui penggunaan aliran udara kipas angin untuk mempercepat proses pengurangan kadar air yang terjadi melalui penguapan. Penguapan tersebut hanya menguapkan air dibagian permukaan bahan (pellet) dan tidak sampai ke bagian dalam pellet. Akibatnya nilai rataan kadar air pellet yang berkisar antara 12,93-15,54% masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan kadar air pellet pada penelitian Anggareni (2004) yaitu antara 9,80-10%. Oleh karena itu sebaiknya terdapat lebih dari satu buah kipas angin dalam cooler. Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa kadar air pellet lebih rendah daripada mash. Hal ini dikarenakan pada saat pelleting (proses pencetakan mash menjadi pellet) berlangsung proses penekanan dan pemadatan mash oleh roller dan die sehingga terjadi gesekan antara mash dengan roller dan die. Gesekan tersebut menimbulkan pemanasan secara mekanik yang menyebabkan penguapan air dalam mash. Akibatnya mash yang telah dicetak menjadi bentuk pellet memiliki kadar air yang lebih rendah. Peubah yang diukur dalam menentukan kelancaran proses produksi adalah waktu produksi dan penyusutan pada setiap alat produksi dan kualitas pellet ditentukan berdasarkan sifat-sifat fisiknya. Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan mengenai pengaruh ukuran partikel bahan terhadap proses produksi dan sifat fisik pellet. Sifat Fisik Ransum
Sifat fisik ransum penelitian yang diukur pada penelitian ini yaitu berat jenis, daya ambang, sudut tumpukan, kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan. Nilai sifat fisik ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
26
Tabel 5. Nilai Sifat Fisik Ransum Penelitian Mash Peubah
Pellet
P1
P2
P3
P1
P2
P3
Berat jenis (g/ml)
1,43
1,40
1,45
1,35
1,35
1,34
Daya ambang (m/detik)
3,15
2,80
3,09
4,62a
3,62b
3,55b
Sudut tumpukan (0)
40,13
38,87
40,74
22,35A
18,27B
22,99A
523a
498b
526a
720A
710A
650B
654
620
652
770a
820b
790a
Kerapatan tumpukan (kg/m3) Kerapatan pemadatan tumpukan (kg/m3)
*)
Superskrip dengan huruf besar pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (p<0,01) *) Superskrip dengan huruf kecil pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05).
Berat Jenis
Berat jenis merupakan perbandingan antara massa bahan dengan volumenya. Nilai rataan berat jenis mash dan pellet dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai rataan berat jenis mash berkisar antara 1,40-1,45 g/ml sedangkan berat jenis pellet berkisar antara
Nilai Rataan Berat Jenis (g/ml)
1,34-1,35 g/ml. Grafik batang nilai rataan berat jenis disajikan pada Gambar 8.
1.50 1.45 1.40 1.35 1.30 1.25 1
2
3
Perlakuan mash
pellet
Gambar 8. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Berat Jenis Ransum Penelitian. Hasil sidik ragam (ANOVA) berat jenis antar perlakuan, baik mash maupun pellet, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan penelitian Gautama (1998) bahwa berat jenis tidak berbeda nyata terhadap perbedaan ukuran partikel karena ruang antar partikel bahan sudah terisi oleh aquades dalam pengukuran berat jenis. Hasil yang tidak berbeda nyata pada ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi berat jenis mash maupun pellet. Hal tersebut 27
diduga karena ruang antar partikel dalam mash maupun pellet sudah terisi air selama proses pengurangan (pengecilan) ukuran partikel dan selama proses produksi berlangsung. Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai berat jenis mash lebih tinggi dibandingkan dengan berat jenis pellet. Hal ini menunjukkan bahwa mash yang berbentuk tepung memiliki perbandingan massa bahan tiap satuan volume yang lebih tinggi daripada pellet yang berbentuk silinder. Berat jenis ransum penting diketahui karena menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengeluaran bahan dari silo untuk dicampur atau digiling (pada ransum bentuk mash) dan proses pengemasan (pada ransum bentuk pellet). Selain itu, berat jenis bersama dengan ukuran partikel bahan bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan. Daya Ambang
Daya ambang adalah jarak yang ditempuh oleh suatu bahan selama jangka waktu tertentu pada ketinggian tertentu. Nilai rataan daya ambang mash dan pellet masing-masing berkisar antara 2,80-3,15 m/detik dan 3,55-4,62 m/detik. Nilai rataan daya ambang dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai rataan daya ambang mash yang tertinggi ditunjukkan oleh P1 dan yang paling rendah adalah P2, sedangkan nilai rataan daya ambang pellet yang paling tinggi adalah P1 dan yang terendah adalah P3.
Nilai Rataan Daya Ambang (m/detik)
Grafik batang nilai daya ambang mash dan pellet disajikan pada Gambar 9.
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1
2
3
Perlakuan mash
pellet
Gambar 9. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Daya Ambang Ransum Penelitian.
28
Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap daya ambang mash. Nilai daya ambang mash yang cenderung menurun dipengaruhi oleh tingginya kandungan air dalam mash. Hal ini sesuai dengan penelitian Suadnyana (1998) bahwa kadar air bahan yang semakin tinggi menyebabkan berat partikel bahan menjadi meningkat sehingga akan jatuh lebih cepat karena gaya gravitasi yang dialami menjadi besar. Pengangkutan dengan alat screw conveyor harus diperhatikan agar bahan tidak mudah terpisah berdasarkan ukuran dan berat partikel akibat hisapan udara, karena partikel yang lebih kecil ukurannya dengan bobot lebih ringan mempunyai daya ambang lebih besar sehingga akan lebih cepat dihisap oleh alat pengangkut tersebut (Khalil,1999b). .
Sidik ragam menujukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap daya
ambang pellet. Nilai rataan daya ambang pellet tertinggi adalah P1 (4,62 m/detik) dan yang terendah adalah P3 (3,55 m/detik). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa P1 berbeda nyata (p<0,05) dengan P2 dan P3, tetapi P2 tidak berbeda nyata dengan P3. Berdasarkan Gambar 9 dapat terlihat bahwa nilai rataan daya ambang pellet semakin menurun antar perlakuan. Penurunan nilai daya ambang antar perlakuan diduga disebabkan oleh kadar air yang semakin tinggi antar perlakuan. Kadar air yang semakin tinggi tersebut dapat meningkatkan berat partikel dalam pellet sehingga pellet akan jatuh lebih cepat. Akibatnya nilai rataan daya ambang semakin menurun karena waktu jatuh pellet menjadi semakin cepat. Histogram pada Gambar 9 memperlihatkan bahwa nilai daya ambang mash lebih kecil daripada pellet. Hal tersebut menunjukkan bahwa pellet yang berbentuk silinder akan jatuh lebih cepat dibandingkan dengan mash yang berbentuk tepung pada bidang datar dan ketinggian yang sama. Sudut Tumpukan
Sudut tumpukan adalah sudut yang terbentuk jika bahan dicurahkan melalui sebuah corong terhadap bidang datar dan merupakan kriteria kebebasan bergerak partikel dari suatu tumpukan bahan. Nilai rataan sudut tumpukan mash dan pellet dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai rataan sudut tumpukan mash berkisar antara 38,8740,740 sedangkan sudut tumpukan pellet berkisar antara 18,27-22,990. Grafik batang nilai sudut tumpukan mash dan pellet antar perlakuan disajikan pada Gambar 10. 29
Nilai Rataan Sudut 0 Tumpukan ( )
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 1
2
3
Perlakuan mash
pellet
Gambar 10. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Sudut Tumpukan Ransum Penelitian. Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap sudut tumpukan mash. Khalil (1999a) menyatakan bahwa ukuran partikel berpengaruh nyata terhadap sudut tumpukan ransum. Pendapat Khalil (1999a) berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sudut tumpukun mash tidak dipengaruhi oleh perbedaan ukuran partikel mash. Nilai sudut tumpukan mash di duga dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi yang berkisar antara 15,53-16,47%. Nilai rataan kadar air yang semakin tinggi menyebabkan sudut tumpukan mash cenderung meningkat. Berdasarkan Tabel 5 dapat terlihat bahwa mash dengan ukuran partikel yang kasar (P3) memiliki sudut tumpukan tertinggi sedangkan mash yang berukuran partikel medium (P2) menghasilkan sudut tumpukan terendah diantara semua perlakuan. Pola sudut tumpukan mash tersebut cenderung sesuai dengan pola yang terbentuk pada berat jenis dan kerapatan tumpukan mash. Gambar 8 dan 11 memperlihatkan bahwa nilai rataan berat jenis dan kerapatan tumpukan yang tertinggi sama-sama dicapai oleh mash yang berukuran partikel kasar (P3) dan nilai rataan terendah ditunjukkan oleh mash yang berukuran partikel medium (P2). Sidik ragam pada sudut tumpukan pellet menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (p<0,01). Selanjutnya pada uji lanjut diperoleh bahwa P2 berbeda nyata dengan P1 dan P3, tetapi P1 tidak berbeda nyata dengan P3. Perbedaan ukuran partikel pellet mempengaruhi sudut tumpukan pellet. Ukuran partikel pellet yang besar (P2) cenderung menghasilkan sudut tumpukan yang terendah dan sebaliknya pellet yang berukuran partikel medium (P3) cenderung menghasilkan sudut tumpukan yang tertinggi diantara semua perlakuan. Semakin besar ukuran partikel 30
pellet maka sudut tumpukannya cenderung semakin kecil. Hal ini sesuai dengan penelitian Anggraeni (2003) bahwa semakin besar ukuran partikel pellet maka sudut tumpukan semakin kecil. Nilai rataan sudut tumpukan pellet lebih kecil daripada mash (terlihat pada Gambar 10). Hal tersebut menunjukkan bahwa pellet yang berbentuk silinder lebih mudah bergerak bebas dibandingkan dengan mash yang berbentuk tepung saat dicurahkan pada sudut kemiringan yang sama. Bahan yang mudah bergerak bebas saat dicurahkan pada sudut kemiringan tertentu akan membentuk sudut tumpukan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan bahan yang tidak mudah bergerak bebas (Geldart et al., 1990). Sudut tumpukan akan mempengaruhi laju alir suatu bahan terutama pada saat pengangkutan maupun pembongkaran dengan menggunakan alat mekanik seperti traktor, sekop dan conveyor. Fasina and Sokhansanj (1993) mengklasifikasikan laju alir bahan padat berdasarkan besarnya sudut tumpukan, yaitu sangat mudah mengalir (20-300), mudah mengalir (30-380), sedang (38-450) dan sulit (45-550). Mash memiliki nilai rataan sudut tumpukan antara 38,87-40,740, oleh karena itu termasuk kategori bahan dengan laju alir yang sedang. Berbeda dengan pellet yang sudut tumpukannya berkisar antara 18,27-22,990 yang termasuk bahan yang sangat mudah mengalir sehingga lebih mudah diangkut oleh alat mekanik. Kerapatan Tumpukan
Kerapatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya (Khalil, 1999a). Nilai kerapatan tumpukan mash berkisar antara 498-526 kg/m3 dan kerapatan tumpukan pellet berkisar antara 650720 kg/m3. Nilai rataan kerapatan tumpukan mash dan pellet dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai rataan kerapatan tumpukan disajikan dalam bentuk grafik batang pada Gambar 11.
31
Nilai Rataan Kerapatan 3 Tumpukan (kg/m )
800 600 400 200 0 1
2
3
Perlakuan mash
pellet
Gambar 11. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Kerapatan Tumpukan Ransum Penelitian. Sidik ragam kerapatan tumpukan mash menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05). Selanjutnya pada uji lanjut diperoleh hasil bahwa P2 berbeda nyata dengan P1 dan P3, tetapi P1 tidak berbeda nyata dengan P3. Berdasarkan hasil sidik ragam (ANOVA) dapat diketahui bahwa perlakuan proses penggilingan dengan ukuran screen yang semakin besar cenderung meningkatkan nilai kerapatan tumpukan mash. Perbedaan ukuran partikel mash mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan mash. Mash dengan ukuran partikel medium (P2) membentuk nilai kerapatan tumpukan yang terendah sedangkan mash dengan ukuran partikel kasar (P3) memiliki nilai kerapatan tumpukan yang tertinggi diantara semua perlakuan. Ukuran partikel mash yang semakin kasar cenderung meningkatkan nilai kerapatan tumpukannya. Johnson (1994) berpendapat bahwa kerapatan tumpukan akan semakin meningkat dengan semakin banyak jumlah partikel halus dalam ransum. Pendapat Johnson (1994) berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kerapatan tumpukan cenderung semakin meningkat dengan semakin kasar ukuran partikel. Perbedaan tersebut diduga karena kadar air dalam mash yang semakin tinggi antar perlakuan menyebabkan berat bahan meningkat, sehingga kerapatan tumpukan mash juga semakin tinggi. Faktor lain yang juga mempengaruhi besarnya nilai kerapatan tumpukan mash adalah berat jenis. Menurut Khalil (1999a), berat jenis merupakan faktor penentu kerapatan tumpukan dan memberikan pengaruh yang besar terhadap daya ambang. Oleh karena itu berat jenis mash memperlihatkan pola yang sama dengan kerapatan tumpukan mash baik dalam nilai rataan tertinggi maupun yang terendah. 32
Nilai rataan berat jenis dan kerapatan tumpukan mash yang tertinggi sama-sama diperoleh mash yang berukuran partikel kasar (P3) dan yang terendah diperoleh oleh mash dengan ukuran partikel sedang (P2). Berdasarkan Sidik ragam kerapatan tumpukan pellet diperoleh hasil bahwa perlakuan berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap nilai kerapatan tumpukan pellet. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa P3 berbeda nyata dengan P1 dan P2, tetapi P1 tidak berbeda nyata dengan P2. Nilai rataan kerapatan tumpukan pellet pada P1, P2 dan P3 dipengaruhi oleh perbedaan ukuran partikel pellet. Hal tersebut terlihat pada nilai kerapatan tumpukan yang tertinggi ditunjukkan oleh pellet yang berukuran partikel kecil (P1) sedangkan pellet dengan ukuran partikel medium (P3) membentuk kerapatan tumpukan yang terendah. Ukuran partikel pellet yang cenderung semakin besar dapat menurunkan nilai kerapatan tumpukan pellet. Syarief dan Irawaty (1993) menyatakan bahwa kerapatan tumpukan digunakan untuk menentukan volume ruang penyimpanan bahan dengan berat tertentu. Nilai rataan kerapatan tumpukan yang semakin menurun dapat memperbesar volume ruang penyimpanan. Nilai rataan kerapatan tumpukan yang paling tinggi adalah pellet yang berukuran partikel kecil (P1) dan yang paling rendah adalah pellet dengan ukuran partikel sedang (P3). Hal tersebut menunjukkan bahwa pellet pada P3 membutuhkan volume ruang penyimpanan yang lebih besar daripada pellet pada P1 dan P2. Nilai rataan kerapatan tumpukan pellet lebih tinggi daripada kerapatan tumpukan mash (terlihat pada Gambar 11). Hal tersebut menunjukkan bahwa pellet yang berbentuk silinder memiliki berat bahan tiap satuan volume yang lebih tinggi daripada mash yang berbentuk tepung. Mash memiliki kisaran nilai kerapatan tumpukan antara 498-526 kg/m3 dan lebih rendah daripada kerapatan tumpukan pellet yang berkisar antara 650-720 kg/m3 yang menandakan bahwa pellet membutuhkan waktu jatuh dan mengalir lebih singkat daripada mash.. Hal ini sesuai dengan Khalil (1999) bahwa bahan dengan kerapatan tumpukan tinggi membutuhkan waktu jatuh dan mengalir yang lebih singkat daripada bahan ransum dengan kerapatan tumpukan yang rendah.
33
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan. Nilai rataan kerapatan pemadatan tumpukan mash dan pellet masing-masing berkisar antara 620-654 kg/m3 dan 770-820 kg/m3. Grafik hubungan antara perlakuan dengan
Nilai Rataan Kerapatan Pemadatan 3 Tumpukan (kg/m )
nilai kerapatan pemadatan tumpukan mash dan pellet disajikan pada Gambar 12.
1000 800 600 400 200 0 1
2
3
Perlakuan mash
Pellet
Gambar 12. Histogram Hubungan Antara Perlakuan dengan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Ransum Penelitian. Hasil sidik ragam (ANOVA) kerapatan pemadatan tumpukan mash menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Nilai rataan kerapatan pemadatan tumpukan mash yang tertinggi adalah P1 (654 kg/m3) dan yang terendah adalah P2 (620 kg/m3). Perbedaan ukuran partikel mash tidak mempengaruhi kerapatan pemadatan tumpukan mash. Khalil (1999a) menyatakan bahwa kandungan air dan ukuran partikel berpengaruh nyata terhadap semua jenis pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan pemadatan tumpukan cenderung meningkat antar perlakuan. Hal tersebut dikarenakan kadar air mash yang semakin tinggi menyebabkan berat mash tiap satuan volume menjadi meningkat sehingga tingkat pemadatan mash menjadi meningkat. Pemadatan pada bahan yang mempunyai berat jenis tinggi akan meningkatkan tingkat kepadatannya, sehingga berat bahan tiap satuan volume akan meningkat (Gautama, 1998). Oleh karena itu, kerapatan pemadatan tumpukan mash yang tinggi cenderung terjadi pada mash yang memiliki berat jenis tinggi dan begitu pula sebaliknya. Selain berat jenis yang mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan tumpukan, faktor lain yang berpengaruh menurut Sayekti (1999) adalah intensitas
34
dan cara pemadatan. Intensitas dan cara pemadatan yang berbeda pada setiap perlakuan dapat mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan tumpukan ransum. Sebaiknya pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan ransum dilakukan dengan metode atau cara pemadatan yang sama atau konsisten sehingga menghasilkan pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan yang akurat. Hasil analisa dari pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan pellet berkisar antara 770-820 g/cm3. Nilai rataan kerapatan pemadatan tumpukan pellet dapat dilihat pada Tabel 5. Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai kerapatan pemadatan tumpukan pellet. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa P2 berbeda nyata (p<0,05) dengan P1 dan P3 sedangkan P1 tidak berbeda nyata dengan P3. Ukuran partikel pellet selain mempengaruhi sudut tumpukan dan kerapatan tumpukan juga mempengaruhi besarnya nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Hal ini sesuai dengan Khalil (1999) bahwa ukuran partikel bahan berpengaruh nyata terhadap kerapatan pemadatan tumpukan pakan. Pellet dengan ukuran partikel yang kecil (P1) dapat membentuk kerapatan pemadatan tumpukan yang paling rendah sedangkan pellet berukuran partikel besar (P2) membentuk kerapatan pemadatan tumpukan paling tinggi diantara semua perlakuan. Semakin besar ukuran partikel pellet maka kerapatan pemadatan tumpukannya cenderung semakin tinggi. Berdasarkan histogram pada Gambar 12 dapat terlihat bahwa nilai rataan kerapatan pemadatan tumpukan mash lebih kecil daripada kerapatan pemadatan tumpukan pellet. Hal tersebut menunjukkan bahwa mash yang berbentuk tepung memiliki tingkat pemadatan yang rendah sedangkan pellet yang berbentuk silinder menghasilkan tingkat pemadatan yang tinggi. Kerapatan pemadatan tumpukan berguna untuk menentukan kapasitas dan akurasi pengisian tempat penyimpanan seperti silo, kontainer dan kemasan. Semakin tinggi nilai kerapatan pemadatan tumpukan maka volume ruang yang ditempati menjadi lebih kecil dan sebaliknya. Nilai rataan kerapatan pemadatan tumpukan tertinggi adalah P2 (820 kg/m3) dan yang terendah adalah P1 (770 kg/m3). Hal tersebut menunjukkan bahwa pellet pada P2 memerlukan volume ruang yang lebih kecil daripada Pellet pada P1 dan P3.
35
Mutu Fisik Pellet
Pengukuran densitas dan nilai Pellet Durability Index (PDI) digunakan untuk mengetahui mutu fisik pellet. Mutu fisik pellet di pabrik pakan penting diketahui karena selain dapat meningkatkan selera konsumen (peternak) juga dapat menurunkan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Mutu fisik pellet ditandai dengan pellet yang memiliki tekstur relatif kompak, rapat dan padat sehingga kuat dan tidak mudah hancur selama penanganan dan pengangkutan (transportasi). Nilai rataan densitas dan nilai PDI dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Evaluasi Mutu Fisik Pellet. Perlakuan
Peubah P1 3
Denisitas (g/cm ) PDI (%)
P2
182,58 91,50
P3
178,15 A
177,09 B
86,20
83,20B
Keterangan : Superskrip dengan huruf berbeda menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (p<0,01)
Densitas
Hasil sidik ragam (ANOVA) densitas menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Nilai rataan densitas tertinggi adalah P1 (182,58 g/cm3)dan yang terendah adalah P2 (177,09 g/cm3). Nilai rataan densitas pellet disajikan pada Tabel 6. Sidik ragam densitas menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi densitas pellet. Hal ini dikarenakan ransum yang digunakan pada ketiga perlakuan memiliki komposisi dan kandungan nutrsi yang sama. Menurut Wirakartakusumah (1992) bahan-bahan yang memiliki kandungan nutrisi yang sama pada umunya akan menghasilkan densitas yang sama pula. Densitas digunakan untuk mengetahui kekompakan dan tekstur ransum bentuk pellet. Tekstur pellet yang relatif kompak dipengaruhi oleh proses pemadatan dan penekanan dalam pelleter. Densitas pellet yang tertinggi ditunjukkan oleh P1 dan yang terendah adalah P3. Densitas pellet yang tinggi menunjukkan bahwa pellet tersebut memiliki tekstur yang kompak dan rapat sehingga kuat dan tidak mudah hancur selama penanganan dan transportasi.
36
Pellet Durability Index (PDI)
PDI adalah nilai yang menujukkan besarnya daya tahan (durability) suatu bahan (ransum bentuk pellet). Hasil dari pengukuran durability menunjukkan kisaran antara 91,5-83,2 % dan dapat dilihat pada tabel 19. Kisaran ini sesuai dengan Dozier (2001) bahwa nilai durability untuk pellet broiler adalah minimum 80 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa pellet pada penelitian ini termasuk pellet yang kuat dan tidak mudah hancur selama penanganan dan pengangkutan (transportasi). Pellet yang kuat, kokoh, dan tidak mudah hancur dapat memenuhi selera konsumen (peternak). Hasil Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai rataan PDI. Nilai rataan durability tertinggi ditunjukkan oleh P1 sebesar 91,5 % dan yang terendah ditunjukkan oleh P3 sebesar 83,2 %. Hasil Uji lanjut menunjukkan bahwa P1 sangat berbeda nyata (p<0,01) dengan P2 dan P3 sedangkan P2 tidak berbeda nyata dengan P3. Ukuran partikel bahan mempengaruhi nilai PDI pellet. Hal ini sesuai dengan pendapat Waldroup (2005) bahwa Ukuran partikel bahan dapat mempengaruhi keutuhan (integrity) atau ketahanan (durability) pellet. Penggilingan jagung dan bungkil kedelai dengan menggunakan ukuran screen yang semakin besar dapat menurunkan nilai rataan PDI pellet antar perlakuan. Jagung dan bungkil kedelai pada P1 berukuran lebih kecil (halus) sehingga ransum yang diberi perlakuan P1 cenderung mengandung bahan baku yang lebih halus daripada ransum yang diberi perlakuan P2 dan P3. Hal tersebut menyebabkan nilai rataan PDI pellet pada P1 lebih tinggi daripada P2 dan P3 karena bahan ransum yang lebih halus dan berukuran partikel lebih kecil dapat menghasilkan pellet yang kompak dan padat. Hal ini sesuai dengan Behnke (2001) bahwa ukuran partikel dan tekstur bahan yang halus dapat menghasilkan pellet yang kompak dan padat karena memiliki permukaan yang luas sehingga mudah menyerap air dan menerima panas. Ransum yang diberi perlakuan P1 berukuran dan bertekstur lebih halus sehingga pada saat pelleting semakin banyak pati yang diubah oleh uap panas menjadi perekat pada proses pellet. Perekat tersebut akan membantu meningkatkan proses perekatan partikel-partikel dalam pellet sehingga meningkatkan ketahanan pellet. Akibatnya nilai PDI pada P1 lebih besar daripada P2 dan P3. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasidi (1997) bahwa semakin kecil ukuran bahan baku ransum
37
maka akan semakin menunjang kekerasan dan ketahanan pellet yang dihasilkan karena semakin banyak pati yang diubah oleh uap panas menjadi perekat sehingga dapat membantu proses perekatan partikel-partikel dalam pellet. Berbeda dengan bahan yang berukuran besar akan memudahkan pellet atau crumble pecah. Bahan baku ransum yang semakin halus menyebabkan kuatnya ikatan antara partikel-partikel dalam pellet sehingga lebih mudah dipadatkan pada saat pencetakan pellet. Akibatnya pellet yang terbentuk padat, kuat dan kompak. Hal ini sesuai dengan Behnke (2001) menyatakan bahwa bahan dengan ukuran partikel yang kecil lebih mudah dipadatkan dalam proses pembuatan pellet bila dibandingkan dengan ukuran partikel bahan yang besar. Proses Cooling
Hasil uji sidik ragam (ANOVA) suhu pellet setelah cooling selama 30, 40, dan 50 menit antar perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara P1, P2, dan P3. Ukuran partikel bahan baku yang berbeda tidak mempengaruhi suhu pellet dalam cooler. Nilai rataan suhu pellet dapat dilihat pada Tabel 7. Suhu pellet dalam cooler selama 30 menit berkisar antara 35-410C, sedangkan
selama 40 menit
berkisar antara 41-480C dan selama 50 menit berkisar antara 42-480C. Tabel 7. Suhu Pellet Setelah Proses cooling (0C) Suhu (0C)
Lama Pendinginan (menit) P1
P2
P3
30
41
35
37
40
41
40
48
50
48
42
47
Suhu pellet yang cenderung semakin tinggi dengan semakin lamanya waktu pendinginan diduga dipengaruhi oleh alat pendingin yang berada dibawah cooler. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas (1997) bahwa alat pendingin berupa kipas angin dapat mempengaruhi proses pendinginan yang pada akhirnya akan mempengaruhi suhu pellet. Posisi kipas angin yang berada dibawah cooler dan hanya terdapat satu buah menyebabkan aliran udara kipas angin tidak bergerak secara merata keseluruh bagian pellet dalam cooler. Akibatnya proses pendinginan pellet didalam cooler berlangsung tidak sempurna. 38
Lamanya waktu pendinginan juga tidak dapat menurunkan suhu pellet secara maksimal. Berdasarkan Tabel 6 dapat terlihat bahwa semakin lama waktu pendinginan maka semakin suhu pellet semakin tinggi. Hal tersebut diduga karena pergerakan aliran udara kipas angin hanya menguapkan panas dibagian luar pellet dan tidak sampai ke bagian dalam pellet. Selain itu, didalam cooler tidak terjadi pertukaran antara uap udara dalam pellet dengan udara di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, didalam cooler sebaiknya terdapat lebih dari satu buah kipas angin. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Brooker et al. (1974) bahwa proses pendinginan akan berlangsung secara optimal didalam cooler bila terdapat lebih dari satu buah kipas penggerak udara yang dapat mengalirkan udara keseluruh bagian cooler. Proses pendinginan yang diharapkan dalam produksi pakan adalah yang berlangsung secara optimal. Proses pendinginan yang optimal bertujuan untuk mengurangi kelebihan kadar air dan suhu pellet agar terjadi proses perekatan antar partikel-partikel dalam pellet secara sempurna, sehingga membentuk tekstur yang relatif kompak dan tidak mudah hancur sesuai dengan standar mutu pellet. Proses Produksi
Proses produksi pakan memerlukan pengedalian dan pengawasan agar dapat menghasilkan pakan yang berkualitas dan memenuhi selera konsumen. Pengendalian dan pengawasan ini dimaksudkan agar pabrik pakan dapat memproduksi pakan dengan biaya yang rendah tetapi dapat meningkatkan keuntungan. Waktu produksi dan penyusutan merupakan dua faktor yang berperan dalam menentukan keefisienan suatu proses produksi. Pakan yang dapat diproduksi dalam waktu yang singkat dengan tingkat penyusutan yang rendah dapat meningkatkan keuntungan pabrik. Menurut Fairfield (1994) ukuran partikel bahan mempengaruhi proses produksi pakan. Oleh karena itu pada penelitian akan dilihat seberapa besar pengaruh ukuran partikel bahan terhadap proses produksi, yaitu waktu produksi dan penyusutan pada alat-alat produksi. Waktu Produksi
Waktu produksi adalah waktu yang dibutuhkan dalam proses produksi yang memberikan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan. Waktu produksi diukur
39
pada saat proses produksi berlangsung yang meliputi intake, mixing, pelleting dan cooling. Nilai rataan waktu produksi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 8 . Waktu Produksi pada Proses Produksi Berkesinambungan (menit) Perlakuan Proses produksi
P1
P2
P3
Intake
10,7
13,4
9,5
Mixing
10
10
10
Pelleting
25,6
15,7
15,1
Cooling
30
30
30
Total waktu produksi
76,3
69,5
64,6
Nilai rataan waktu intake (pemasukan) bahan kedalam hopper berkisar antara 9,5-13,4 menit. Nilai rataan waktu intake yang paling lama adalah P2 (13,4 menit), sedangkan nilai rataan waktu intake yang paling cepat adalah P3 (9,5 menit). Waktu pemasukan bahan kedalam hopper menuju bucket elevator dipengaruhi oleh sudut kemiringan pada hopper. Sudut kemiringan pada hopper dalam proses produksi berkesinambungan ditentukan berdasarkan besarnya sudut tumpukan mash. Hal ini sesuai dengan pendapat Soesarsono (1988) bahwa sudut tumpukan berperan dalam mendesain corong pemasukan (hopper) atau corong pengeluaran, misalnya pada silo atau pada mesin pengolah. Sudut kemiringan pada corong pemasukan (hopper) dalam proses produksi berkesinambungan yaitu sebesar 66,50 sedangkan sudut tumpukan mash berkisar antara 38,87-40,740. Sudut kemiringan pada hopper tersebut lebih besar daripada sudut tumpukan mash sehingga bahan tidak bisa mengalir secara bebas dan tidak dapat terangkut dengan baik oleh bucket elevator. Hal ini menyebabkan waktu intake bahan antar perlakuan cenderung sangat lama yaitu antara 9,5-13,4 menit. Oleh karena itu, perlu dibuat hopper dengan sudut kemiringannya harus sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan mash agar bahan mudah mengalir secara bebas sehingga mudah diangkut oleh bucket elevator dan waktu intake bahan menjadi lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Soesarsono (1988) yang menyatakan bahwa bahan dapat mengalir bebas jika sudut corong pemasukan atau pengeluaran harus sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan bahan.
40
Menurut Herrmann (2000) Mixing adalah proses penyatuan bahan baku dengan cara pengadukan untuk mencapai campuran yang homogen sesuai dengan formula yang telah ditetapkan. Menurut McElhinney (1994) waktu pengadukan dalam mixing untuk mendapatkan campuran yang homogen adalah selama 10 menit. Oleh karena itu, lamanya mixing bahan yang digunakan dalam penelitian adalah selama 10 menit. Hasil pengukuran lamanya waktu pencetakan pellet berkisar antara 15,1-25,6 menit. Nilai rataan waktu pencetakan pellet yang paling lama adalah P1 (25,6 menit) dan yang paling cepat adalah P3 (15,1 menit). Hal tersebut menunjukkan bahwa ransum yang mengandung bahan yang berukuran partikel lebih kecil dan bertekstur lebih halus (P1) memiliki rataan waktu pencetakan pellet lebih lama dibandingkan dengan ransum yang diberi perlakuan P2 dan P3. Lamanya waktu pencetakan pellet disebabkan oleh kecepatan aliran bahan baku kedalam pelleter yang tidak konstan antar perlakuan, adanya bahan asing (seperti kayu, logam, batu dan bahan asing lainnya) yang menyebabkan pelleter macet, dan kadar air yang tinggi dalam mash menyebabkan kemacetan pada mesin sehingga menghambat kelancaran proses pellet (pelleting). Oleh karena itu diperlukan pengawasan yang lebih khusus pada saat pelleting berlangsung, terutama pada kecepatan perputaran ring lubang die, untuk menjaga supaya benda asing tidak masuk dan kecepatan aliran bahan tetap konstan. Faktor lain yang mempengaruhi lamanya pencetakan pellet adalah sudut kemiringan hopper pada pelleter yang ditentukan berdasarkan sudut tumpukan mash. Sudut kemiringan hopper pada pelleter yaitu 440 yang lebih besar daripada sudut tumpukan mash yang berkisar antara 38,87-40,740, sehingga bahan tidak dapat mengalir secara bebas kedalam pelleter yang mengakibatkan waktu pelleting antar perlakuan cenderung cukup lama yaitu antara15,1-25,6 menit. Waktu pelleting dapat menjadi lebih cepat jika sudut kemiringan pada hopper sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan mash yaitu antara 38,87-40,740. Nilai rataan waktu pelleting berkisar antara 25,6-15,1 menit untuk memproduksi pakan sebanyak 50 kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelleter pada proses berkesinambungan memiliki kapasitas sebesar 117,14-198,94 kg/jam. Kapasitas produksi ini dapat berubah bila waktu pembuatan pellet menjadi lebih cepat. Agar waktu pencetakan pellet menjadi lebih cepat maka harus diperhatikan
41
formulasi ransum, kehalusan gilingan, kualitas bahan baku yang baik dan kandungan air dalam bahan baku (Khalil dan Suryahadi, 1997). Cooling adalah proses pendinginan yang bertujuan untuk menurunkan kadar air dan suhu pellet secara maksimal. Waktu pendinginan yang digunakan dalam penelitian ini adalah selama 30, 40 dan 50 menit. Berdasarkan Tabel 7 dapat terlihat bahwa waktu pendinginan dalam cooler selama 30 menit memiliki nilai rataan suhu pellet yang lebih rendah daripada waktu pendinginan selama 40 dan 50 menit. Oleh karena itu, waktu selama 30 menit dianggap merupakan waktu yang optimal untuk mendinginkan pellet dalam proses berkesinambungan. Berdasarkan Tabel 7 dapat terlihat bahwa semakin lama waktu pendinginan maka semakin meningkat suhu pellet. Hal tersebut disebabkan oleh aliran udara kipas angin yang bergerak secara tidak merata ke seluruh bagian cooler, sehingga suhu pellet semakin tinggi antar perlakuan. Berdasarkan Tabel 8 dapat terlihat bahwa proses produksi berkesinambungan memiliki rataan waktu produksi secara keseluruhan antara 64,6-76,3 menit dengan kapasitas produksinya berkisar antara 39,30-46,48 kg/jam. Waktu produksi secara keseluruhan yang paling lama ditunjukkan oleh ransum yang diberi perlakuan P1 sedangkan waktu produksi yang paling cepat ditunjukkan oleh ransum yang diberi perlakuan P3. Hal tersebut menunjukkan bahwa ransum yang berukuran partikel kasar dapat memproduksi pakan lebih cepat dan memiliki kapasitas produksi lebih tinggi daripada ransum yang berukuran partikel halus. Penyusutan
Penyusutan adalah hilangnya bahan selama proses produksi berlangsung dan pada saat penanganan serta penyimpanan bahan. Penyusutan selama proses produksi dapat terjadi pada setiap alat produksi. Nilai rataan jumlah dan persentase penyusutan bahan pada setiap alat produksi disajikan pada Tabel 9 dan 10.
42
Tabel 9. Penyusutan Bahan Disetiap Mesin pada Proses Produksi Berkesinambungan (kg) Perlakuan Mesin
P1
P2
P3
Hopper
0,53
0,24
0,19
Mixer
3,23
1,67
2,47
Surge bin
0,50
0,23
0,14
Pelleter
0,13
0,09
0,034
Penyusutan total
4,39
2,23
2,28
Tabel 10. Persentase Penyusutan Bahan pada Mesin Produksi (%) Penyusutan (%) Alat Produksi
P1
P2
P3
Hopper
1,06
0,48
0,38
Mixer
6,53
3,36
4,96
Surge bin
1,08
0,48
0,3
Pelleter
0,28
0,19
0,07
Penyusutan total
8,85
4,51
5,71
Penyusutan yang terjadi pada bagian hopper berkisar antara 0,19-0,53 kg dan persentase penyusutannya berkisar antara 0,38-1,06 %. Penyusutan bahan ransum didalam hopper dipengaruhi oleh sudut kemiringan pada hopper dan metode pemasukkan bahan yang kurang tepat. Soesarsono (1988) menyatakan bahwa sudut tumpukan bahan berperan dalam menentukan sudut kemiringan pada corong pemasukan (hopper). Besarnya sudut kemiringan pada hopper yaitu 66,50 sedangkan sudut tumpukan mash berkisar antara 38,87-40,740. Hal ini menunjukkan bahwa sudut kemiringan pada hopper lebih besar daripada sudut tumpukan mash yang menyebabkan bahan yang dimasukkan tidak dapat mengalir secara bebas bahkan cenderung menumpuk di bagian hopper sehingga tidak dapat terangkut dengan baik oleh bucket elevator. Penyusutan bahan dalam hopper dapat dikurangi jika dibuat hopper dengan sudut kemiringannya harus sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan mash agar bahan dapat mengalir secara bebas. Hal ini sesuai dengan pendapat Soesarsono (1988) yang menyatakan bahan dapat mengalir secara bebas 43
jika sudut corong pemasukan (hopper) sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan bahan. Faktor lain yang mempengaruhi penyusutan dalam hopper adalah metode pemasukkan bahan yang kurang tepat yang mengakibatkan besarnya jumlah bahan yang terbuang dalam bentuk debu. Hal ini sesuai dengan McElhiney (1994) bahwa penyusutan bahan bisa berupa debu dan uap yang hilang pada saat proses produksi berlangsung. Oleh karena itu, pemasukkan bahan ke dalam hopper harus konstan baik cara maupun jumlah bahan untuk mengurangi besarnya jumlah dan persentase penyusutan. Nilai rataan penyusutan mixer berkisar antara 1,67-3,23 kg dan persentase penyusutannya berada diantara 3,36-6,53 %. Nilai rataan jumlah dan persentase penyusutan tertinggi adalah bahan berukuran partikel halus (P1) dan yang terendah adalah bahan yang berukuran partikel sedang (P2). Perbedaan ukuran partikel bahan hasil penggilingan sangat mempengaruhi jumlah penyusutan dalam mixer. Semakin halus ukuran partikel bahan maka semakin tinggi jumlah dan persentase penyusutan bahan. Hal tersebut dikarenakan partikel-partikel yang halus mudah menempel di dinding mixer dan mudah terbuang dalam bentuk debu. Berbeda dengan partikelpartikel yang kasar yang tidak mudah menempel pada dinding mixer Nilai rataan penyusutan bahan dalam surge bin berada diantara 0,14-0,50 kg dan kisaran persentase penyusutan antara 0,30-1,08 %. Perbedaan ukuran partikel bahan mempengaruhi jumlah penyusutan dalam surge bin. Nilai rataan jumlah dan persentase penyusutan tertinggi adalah bahan berukuran partikel halus (P1) dan yang terendah adalah bahan berukuran partikel kasar (P3). Semakin kasar ukuran partikel bahan hasil penggilingan maka jumlah dan persentase penyusutan dalam surge bin semakin rendah. Hal ini terkait dengan salah satu sifat fisik mash yaitu daya ambang. Nilai rataan daya ambang dapat dilihat pada tabel 5. Menurut Khalil (1999b) keefisienan pengangkutan bahan dengan alat penghisap (conveyor) ditentukan oleh nilai daya ambang. Bahan dengan ukuran partikel yang kasar memiliki daya ambang yang lebih rendah sehingga mudah terpisah berdasarkan ukuran dan bentuk partikel yang menyebabkan lebih mudah dihisap oleh conveyor dari surge bin dibandingkan dengan bahan berukuran partikel yang halus. Akibatnya jumlah dan persentase
44
penyusutan bahan berukuran partikel yang kasar lebih rendah daripada bahan dengan ukuran partikel yang halus. Besarnya sudut kemiringan pada surge bin ditentukan berdasarkan sudut tumpukan mash. Sudut kemiringan pada surge bin yaitu 27,50 dan lebih kecil daripada sudut tumpukan mash yang berkisar antara 38,87-40,740. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan dapat mengalir secara bebas dari surge bin menuju screw conveyor sehingga tingkat penyusutan dalam surge bin masih cukup rendah. Menurut Soesarsono (1988) bahan dapat mengalir bebas dan lancar jika sudut corong pemasukan atau pengeluaran sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan bahan. Nilai rataan penyusutan bahan dalam pelleter berada diantara 0,13-0,03 kg dan persentase penyusutan bahan berkisar antara 0,07-0,28 %. Nilai rataan penyusutan tertinggi adalah P1 dan yang terendah adalah P3. Perbedaan ukuran partikel sangat mempengaruhi jumlah penyusutan dalam pelleter. Semakin halus ukuran partikel bahan hasil penggilingan maka semakin besar jumlah penyusutan dalam pelleter. Penyusutan bahan terjadi pada saat pencetakan pellet melalui perputaran die dalam pelleter. Kecepatan perputaran die yang semakin meningkat menyebabkan bahan dengan ukuran partikel yang halus mudah jatuh dan terbuang dalam bentuk debu. Sebaliknya bahan dengan ukuran partikel yang kasar memiliki partikel-partikel yang lebih berat sehingga tidak mudah terjatuh dan terbuang. McElhiney (1994) menyatakan bahwa penyusutan bahan pada saat pelleting terjadi karena bahan mudah jatuh, terbuang, dan kurangnya perawatan dan kebersihan pelleter. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol dan pengawasan yang lebih teliti pada saat proses pembentukan pellet (pelleting). Penyusutan bahan dalam pelleter juga dipengaruhi oleh sudut kemiringan hopper pada pelleter yang ditentukan berdasarkan besarnya sudut tumpukan mash. Sudut kemiringan hopper pada pelleter yaitu sebesar 440 sedangkan sudut tumpukan mash berkisar antara 38,87-40,740. Sudut kemiringan hopper lebih besar daripada sudut tumpukan mash yang mengakibatkan bahan tidak dapat mengalir dengan lancar kedalam pelleter, sehingga jumlah dan persentase penyusutan dalam pelleter masih cukup tinggi. Sudut kemiringan hopper harus sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan mash untuk mengurangi jumlah dan persentase penyusutan dalam pelleter.
45
Penyusutan diketahui melalui selisih antara berat awal dengan berat akhir. Berat akhir diketahui melalui penyusutan di bagian hopper, mixer, surge bin, pelleter, bucket elevator dan conveyor. Tetapi jumlah penyusutan hanya dapat diketahui pada bagian hopper, mixer, surge bin, dan pelleter. Nilai rataan jumlah dan persentase penyusutan disajikan pada Tabel 9 dan 10. Nilai rataan penyusutan total berkisar antara 5,53-6,87 kg dengan nilai rataan penyusutan tertinggi adalah bahan berukuran partikel halus (P1) dan yang terendah adalah bahan dengan ukuran partikel kasar (P3). Hal ini menunjukkan bahwa bahan yang berukuran partikel lebih kasar menghasilkan tingkat penyusutan lebih rendah daripada bahan berukuran partikel lebih halus. Persentase penyusutan bahan penelitian berkisar antara 4,51-8,95 % dan kisaran ini lebih besar daripada kisaran menurut McElhiney (1994) yaitu antara 0,740,81 %. Hal tersebut menujukkan bahwa persentase penyusutan masih tinggi dalam proses produksi berkesinambungan. Tingginya persentase penyusutan dapat mengakibatkan tingginya biaya produksi, mempercepat kerusakan mesin produksi, menghambat kelancaran proses produksi dan menurunkan kualitas fisik pellet serta menurunkan keuntungan pabrik pakan. Penyusutan dalam proses produksi berkesinambungan dapat dikurangi dengan cara melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kerja setiap alat produksi yang memungkinkan bahan dapat terjatuh atau terbuang dalam bentuk debu dan perlu dibuat hopper yang besar sudut kemiringannya sesuai dengan besarnya sudut tumpukan mash. Cara lainnya yaitu dengan melakukan sistem perawatan dan kebersihan pada setiap mesin-mesin produksi selama periode tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan pabrik.
46
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai pengaruh ukuran partikel terhadap proses produksi dan sifat fisik pellet pada proses produksi berkesinambungan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Ukuran partikel berpengaruh nyata terhadap sifat fisik ransum yaitu daya ambang pellet, sudut tumpukan pellet, kerapatan tumpukan baik mash maupun pellet, kerapatan pemadatan tumpukan pellet, dan Pellet Durability Index. Namun ukuran partikel bahan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap berat jenis mash dan pellet, daya ambang mash, kerapatan pemadatan tumpukan mash, sudut tumpukan mash, densitas pellet dan suhu pellet dalam cooler. 2. Proses produksi berkesinambungan memiliki waktu produksi berkisar antara 64,6-76,3 menit, tingkat penyusutan berkisar antara 2,23-4,39 kg dan persentase penyusutan antara 4,51-8,85 %. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa perlakuan yang menggunakan screen 5 mm (kasar) memiliki waktu produksi lebih cepat dan perlakuan yang menggunakan screen 3 mm (medium) menghasilkan tingkat penyusutan lebih rendah daripada perlakuan yang menggunakan screen 2 mm (halus). 3. Densitas pellet berkisar antara 177,09-182,58 g/cm3 dan nilai PDI pellet berkisar antara 83,20-91,50 % dengan densitas dan nilai PDI yang tinggi ditunjukkan oleh ransum berukuran partikel halus sedangkan densitas dan nilai PDI yang rendah ditunjukkan oleh ransum berukuran partikel kasar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin halus ukuran partikel bahan baku dalam ransum maka pellet yang dihasilkan memiliki tekstur relatif semakin kompak dan padat sehingga lebih kuat dan tidak mudah hancur. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mengarah kepada perbaikan rancangan proses produksi berkesinambungan seperti memperbaiki bentuk dan sudut kemiringan hopper serta desain cooler untuk mengurangi penyusutan bahan dan memperlancar waktu produksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi.
47
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan karunia dan rahmat-NYA yang tak terhingga maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada mamah dan bapak yang telah banyak membantu dalam materi, motivasi, nasehat dan kasih sayang yang tiada henti diberikannya. Terimakasih juga kepada Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, MSc dan Erlin Trisyulianti, S.TP., MSi yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan proposal sampai dengan tahap akhir penulisan skripsi. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, MSc yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama mengikuti pendidikan di IPB ini. Terimakasih juga kepada Dr. Ir. Rita Mutia, MSc selaku penguji seminar, Dr. Ir. Sumiati, MSc dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M Agr. Sc selaku penguji sidang yang telah banyak memberi masukan, saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada keluarga teh Iis, keluarga teh Ida, dan keluarga aa Ace yang telah memberikan motivasi, semangat dan kasih sayang yang tiada henti diberikan. Terimakasih juga kepada Lyna, Aryu, Devi, Wine, Maya, Ezi, Pram, Ikhwanul dan teman-teman INMT 38 lainnya yang telah banyak memberi bantuan, saran dan semangat selama penulis melakukan penelitian. Penulis ucapkan banyak terimakasih kepada mba Anis, pak Hadi, pak Atip dan pak Ukat atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Terimakasih juga kepada Hilman atas bantuan, semangat dan kasih sayang yang diberikan. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman di Istana 200: Fany, Nungsri, Krisye, Diaz, Nino, Yeni, Ii, Muna, Fitri, Riza, Dian, Indah, Tika, Lyli, ika, Wela, Sarie, Atve, Intan, Nana dan Nita yang telah banyak membantu dan memberikan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terakhir penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak termasuk civitas akademika Fakultas Peternakan IPB yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Januari 2005 Penulis
48
DAFTAR PUSTAKA
Anggareni, C. S. 2004. Pengaruh penambahan tepung gaplek sebagai perekat terhadap sifat fisik ransum broiler bentuk pellet. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor Assauri, S. 1980. Manajemen Produksi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Audet, L. Emerging feed mill technology : keeping competitive. J. Anim. Feed Sci. and Tech. 53: 157-170. Bala, B. K. 1994. Drying and Storage of Cereal Grains. Science Publisher, Inc. Enfield, Plymouth. Behnke, K. 2001. Pig indusri-processing factors influencing pellet quality feed. J. Anim. Feed Manufacturs Association. 5 (4): 150-155. Brooker, D. B., F. W. B. Arkema and C. W. Hall. 1974. Drying Cereal Grains. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Buffa, E. S dan R. K. Sarin. 1996. Manajemen Operasi dan Produksi Modern (Buku Pertama). Binarupa Aksara, Jakarta. Dozier, W. A. 2001. Pellet quality for more economical poultry meat. J. Feed International. 52 (2): 40-42 Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Heinemann. 1990. Feed and Nutrition. 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California. Fairfield, D. 1994. Pelleting Cost Center. Dalam: R. R. McElhiney (Editor). Feed Manufactuing Industry IV. American Feed Industry Association Inc, Arlington. Fairfield, D. A. 2003. Pelleting For Profit-Part I. http://www.ngfa.org/members/ff 11-13-03.pdf. [15 September 2005]. Fasina, O. O. and Sokhansanj. 1993. Effect of moisture content on bulk handling properties of alfafa pellets. J. Canad. Agric. Engin. 35 (4): 269-273. Fuad, M. C., Handayani., Nurlaela., Sugiarto dan Y. E. F. Paulus. 2001. Pengantar Bisnis. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gautama. P. 1998. Sifat fisik pakan lokal sumber energi, sumber mineral dan hijauan pada kadar air dan ukuran partikel yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Geldart, D. M., F. Mallet and N. Rolfe. 1990. Assesing The Flowability of Powder Using Angle of Repose Powder. Handling and Processing. 2 (4): 341-345. Henderson, S. M and R. L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd Edition. The AVI Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut. Herrman, T. J. 2000. Feed Quality Assurance. American Soybean Association, Singapore.
49
Johnson, J. R. 1994. The Realities of Bulk Solid Properties Testing. Bulk Solid Handling. 14 (1) : 129-132. Khalil. 1999a. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal : kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, dan berat jenis. Media Peternakan. 22 (1) : 1-11. Khalil. 1999b. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal : sudut tumpukan, daya ambang, faktor higroskopis. Media Peternakan. 22 (1) : 33-41. Khalil dan Suryahadi, 1997. Pengawasan mutu dalam industri pakan ternak. Majalah Poultry Indonesia Edisi 213 (November):45-62. Murdinah. 1989. Studi stabilitas dalam air dan daya pikat makanan udang berbentuk pellet. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. McElhinney, R. R. 1994. Feed Manufacturing Industry IV. American Feed Industry Association Inc. Arlington. Muchtadi, R. T dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan. Petunjuk Laboratorium Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pathak, N. 1997. Texbook of Feed Processing Technology. Vikas Publishing House PVT. Ltd, New Delhi. Rasidi. 1997. 302 Formulasi Pakan Lokal Alternatif Untuk Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta. Sayekti, W. B. R. 1999. Karakteristik sifat fisik berbagai varietas jagung (Zea mayz.). Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soesarsono.1988. Teknologi Penyimpanan Komoditas Pertanian. Fakultas Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Scott, M. L., M. C. Nesheim and R. J. Young. 1982. Nutrition of The Chicken 3rd Edition. M. L. Scott and Associates. Ithaca, New York. Steel, R. G. D dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: M. Syah. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Syarief, A. M dan E. A. Nugroho. 1992. Teknik Reduksi Ukuran Bahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R. dan Halid., 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta. Syarief, R dan Irawati, A. 1993. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Thomas, M and A. F. B. Van der Poel. 1997. Physical quality of pelleted animal feed 2: Contribution of processes and its condition. J. Anim. Feed Sci. and Tech. 64: 59-78. Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 50
Waldroup, D. W. 2005. Particle Size of Grains and Its Significance in Poultry Nutrition. http://www.asasea.com. [13 September 2005]. Wirakartakusumah, M. A. 1992. Sifat Fisik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktora Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 1. Ukuran Partikel Jagung dan Bungkil Kedelai Peubah
Jagung
Bungkil Kedelai
Screen (mm)
Screen (mm)
2
3
5
2
3
5
Ukuran Partikel
0,65
0,90
1,28
0,91
0,97
1,01
Tingkat Kehalusan
2,64
3,11
3,62
3,13
3,23
3,28
Lampiran 2. Sidik Ragam Berat Jenis Mash SK
Db
JK
KT
Perlakuan
2
0,007
0,0033
Error
6
0,010
0,0017
Total
8
0,017
F.hit tn
1,936
F0,05
F0,01
5,14
10,92
Lampiran 3. Sidik Ragam Berat Jenis Pellet SK
Db
JK
KT
F.hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
0,0004
0,0002
0,0006tn
5,14
10,92
Error
6
1,8305
0,3051
Total
8
1,8309
Lampiran 4. Sidik Ragam Daya Ambang Mash SK
Db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
0,212
0,106
3,153tn
5,14
10,92
Error
6
0,201
0,034
Total
8
0,413
Lampiran 5. Sidik Ragam Daya Ambang Pellet SK Perlakuan P1 VS P2P3
Db
JK
KT
F hit
2
2,150
1,075
8,520*
1
2,142
2,142
P2 VS P3
1
0,007
0,007
Error
6
0,757
0,126
Total
8
2,906
F0,01
5,14
10,92
**
5,99
13,75
tn
5,99
13,75
16,981 0,058
F0,05
53
Lampiran 6. Sidik Ragam Sudut Tumpukan Mash SK
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
2,331
1,166
0,272tn
5,14
10,92
Error
6
25,730
4,288
Total
8
28,062
Lampiran 7. Sidik Ragam Sudut Tumpukan Pellet SK
Db
Perlakuan
2
P2 VS P1P3
1
JK 42,579 42,351
KT 21,289 42,351
P1 VS P3
1
0,228
0,228
Error
6
5,130
0,855
Total
8
47,709
F.HIT
F0.05
F0.01
**
5,14
10,92
**
5,99
13,75
tn
5,99
13,75
24,901 49,534 0,267
Lampiran 8. Sidik Ragam Kerapatan Tumpukan Mash SK
db
JK
KT
F hit
F0.05
F0.01
Perlakuan
2
0,00149
0,00074
6,70*
5,14
10,92
P2 VS P1P3
1
0,00142
0,00142
12,8*
5,99
13,75
tn
5,99
13,75
P1 VS P3
1
0,00007
0,00007
Error
6
0,00067
0,00011
Total
8
0,00216
0,60
Lampiran 9. Sidik Ragam Kerapatan Tumpukan Pellet SK
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
0,0075
0,0037
14,609**
5,14
10,92
P3 VS P1P2
1
0,0072
0,0072
28,174**
5,99
13,75
P1 VS P2
1
0,0003
0,0003
1,043tn
5,99
13,75
Error
6
0,0015
0,0003
Total
8
0,0090
54
Lampiran 10. Sidik Ragam Kerapatan Pemadatan Tumpukan Mash SK
Db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
0,002
0,001
0,711tn
5,14
10,92
Error
6
0,008
0,001
Total
8
0,009
Lampiran 11. Sidik Ragam Kerapatan Pemadatan Tumpukan Pellet SK
db
Perlakuan
2
P3 VS P1P2
JK 0,0034
1
0,0029
KT 0,0017
F hit *
F0,01
5,14
10,92
0,0029
10,580
*
5,99
13,75
tn
5,99
13,75
P1 VS P2
1
0,0004
0,0004
Error
6
0,0017
0,0003
Total
8
0,0050
6,040
F0,05
1,500
Lampiran 12. Sidik Ragam Densitas Pellet SK
Db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
98,264
49,132
0,507tn
5,14
10,92
Error
6
581,462
96,910
Total
8
679,726
Lampiran 13. Sidik Ragam Pellet Durability Index (PDI) SK Perlakuan P1 VS P2P3
db 2 1
JK 177,350 173,069
KT 88,675 173,069
P3 VS P2
1
4,280
4,280
Error
6
40,462
6,744
Total
8
217,811
F hit
F0,05
F0,01
**
5,14
10,92
**
5,99
13,75
tn
5,99
13,75
13,149 25,664 0,635
55
Lampiran 14. SK
Sidik Ragam Suhu Pellet Setelah Proses Cooling Selama 30 Menit
Db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
49,556
24,778
2,149tn
5,14
10,92
Error
6
69,167
11,528
Total
8
118,722
Lampiran 15. SK
Sidik Ragam Suhu Pellet Setelah Proses Cooling Selama 40 Menit
Db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
114
57
1,096tn
5,14
10,92
Error
6
312
52
Total
8
426
Lampiran 16. SK
Sidik Ragam Suhu Pellet Setelah Proses Cooling Selama 50 Menit
Db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
2
65,7
32,861
1,282tn
5,14
10,92
Error
6
153,8
25,639
Total
8
219,6
Keterangan : * = berbeda nyata (p<0,05) ** = sangat berbeda nyata (p<0,01) tn = tidak nyata
56