KRITERIA KESAHIHAN HADITS ERLAN NAOFAL, S.Ag, M.Ag. [1] Hakim PA. Sidikalang Pendahuluan Sudah menjadi aksioma dikalangan umat Islam bahwa Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.[2] Nabi Muhammad SAW diutus Allah dengan tujuan menjelaskan ayat-ayat Allah dalam alquran sebagai pedoman hidup manusia. Penjelasan Nabi terhadap Alquran dalam terminologi ulama dikenal dengan sebutan hadits. Sikap terhadap Hadits seperti ini nampak terlihat sejak masa Nabi Muhammad hidup, masa shahabat, tabiin bahkan sampai saat ini. Pada masa Nabi masih hidup, para shahabat jika menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat Alquran atau menemukan problema yang tidak mereka temukan penyelesaiannya dalam Hadits, mereka langsung bertanya kepada Nabi sebagai personifikasi Hadits.[3] Hal ini sebagaimana yang mereka lakukan tatkala mereka menemukan keberatan dan kesulitan dalam memahami kata al-zhulm dalam Alquran Surat alAnam ayat 82 berikut: ا أ ا و ا ا او ا و ه ون Kemudian Rasul menjawab kesulitan yang dirasakan para shahabat dengan menyebutkan bahwa maksud kata al-zhulm dalam ayat tersebut adalah syirk.[4] Menurut M.M A'zhami, Rasul dalam mensosialisasikan Hadits mengambil langkahlangkah sebagai berikut[5]: 1.
Mendirikan sekolah. Hal ini dilakukan oleh Nabi setelah beliau hijrah ke Madinah.
Disamping itu, Rasul mengutus beberapa orang guru dan khatib ke berbagai penjuru diluar Madinah dan memberikan perintah untuk menyampaikan apa saja yang diterimanya dari Nabi. Beliau bersabda;"sampaikanlah pengetahuan dariku walau hanya satu ayat."
2.
Memberikan rangsangan bagi pengajar dan penuntut ilmu dengan memberikan janji
yang akan diperoleh oleh orang yang menyampaikan dan mencari ilmu. Meskipun mendapatkan perhatian yang cukup baik, tapi dalam kenyataannya hadits berbeda dengan Alquran yang disepakati dan diakui sebagai qath'iy al-wurud karena proses periwayatannya yang bersipat tawatur. Sedangkan Hadits bersipat sebaliknya. Proses periwayatannya lebih banyak bersipat ahad dan sedikit sekali yang bersipat mutawatir.[6] Dengan membuka lembaran-lembaran sejarah, kita dapat menemukan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melarang penulisan Hadits meskipun kemudian memberikan izin kepada beberapa shahabat tertentu seperti kepada Abdullah bin Amr bin 'Ash (w. 65 H) dimana tulisannya kemudian dibukukan dengan nama al-Shahifah al-Shadiqah.[7] Larangan penulisan hadits ini memiliki konsekwensi yang cukup serius sehingga dengan terkodifikasikannya hadits pada era formatifnya, menimbulkan pelbagai problema yang dalam batas-batas tertentu bisa menimbulkan skeptisisme terhadap validitas hadits seperti yang kita temukan pada sekelompok orang yang menolak menjadikan hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Alqur'an yang dikenal dengan sebutan kelompok inkar sunnah[8]. Disamping itu, muncul pula masalah pemalsuan hadits besar-besaran terutama setelah terjadinya perang saudara dikalangan umat Islam. Perang saudara dikalangan umat Islam tersebut dipicu oleh terbunuhnya Utsman bin 'Affan. Pembunuhan tersebut menyebabkan terjadinya beberapa friksi dikalangan shahabat. Sehingga tidak lama setelah pembunuhan tersebut, terjadilah perang pertama dikalangan umat Islam, yaitu perang diantara pengikut 'Ali bin Abi Thalib dan pengikut Siti 'Aisyah yang dalam lembaran sejarah dikenal sebagai perang saudara pertama. Dalam peperangan tersebut, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Mu'awiyah dan pengikutnya yang menuntut balas atas kematian "Utsman bin 'Affan. Hal ini menyebabkan terjadinya perang siffin yang berakhir dengan kemenangan diplomatis bagi pihak Mu'awiyah. Perpecahan dalam bidang politik menyebabkan lahirnya aliran-aliran teologis dalam Islam yang memberikan kontribusi besar terhadap terjadinya dan tersebarnya hadits-hadist palsu.[9] Disamping perpecahan aliran politik dan perbedaan teologi, ada juga motivasi lain yang
menyebabkan terjadinya pemalsuan hadits yaitu: pertama; pemalsuan hadits dilakukan dalam rangka mendorong orang untuk beribadah kepada Allah. Hal ini dilakukan karena pada saat itu, situasi umat Islam sarat dengan kemaksiatan dan kemunkaran sehingga mendorong sebagian mutashawwif menyusun hadits palsu untuk mengajak orang-orang kepada kebenaran seperti yang dilakukan Maisarat bin Abdurrabih.[10] Kedua; pemalsuan hadits dilakukan dalam rangka menghancurkan umat Islam. Hal ini dilakukan oleh orang yang memusuhi umat Islam, tetapi mereka merasakan kesulitan dalam memerangi Islam secara terang-terangan[11]. Ketiga, pemalsuan hadits dilakukan dalam rangka menjilat penguasa. Dalam rangka memperoleh simpati dari penguasa, tidak sedikit orang yang membuat hadits-hadits palsu. Seperti yang pernah dilakukan Ghiyats bin Ibrahim al-Nakha'i.[12] Keempat, pemalsuan hadits dilakukan dalam rangka mencari rijki. Hal ini banyak dilakukan oleh para pendongeng dan pengemis, seperti yang dilakukan oleh Abu Sa'id al-Madini, Kelima; pemalsuan hadits dalam rangka mencari popularitas seperti yang dilakukan oleh Dihyah bin Hammad al-Nushaibi.[13] Adanya gerakan pemalsuan Hadits, mendorong para ulama Hadits untuk melakukan upaya penyelamatan Hadits dengan cara mengkodifikasikan hadits yang masih berceceran dan menyusun kerangka teoritis berkenaan dengan syarat diterimanya hadits. Pada akhirnya, upaya para ulama tersebut melahirkan 'Ilmu Hadits Dirayah. Salah satu penemuan penting dalam Ilmu Hadits Dirayah adalah tersusunnya kriteria keshahihan hadits secara lebih sistematis. Dalam tulisan ini, penulis berupaya memaparkan kriteria kesahihan hadits sehingga kita bisa mengetahui kriteria suatu hadits dipandang shahih yang berimplikasi pada kehujjahannya sebagai salah satu sumber hukum Islam disamping al-Qur'an dan Ijtihad.
A.
Esensi Hadits. Hadits merupakan istilah yang biasa digunakan para pakar hadits dalam menyebut
sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw, baik itu berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Hadits berfungsi menjelaskan, memperkuat dan menyebutkan hukum yang terdapat dalam Alqur'an. Oleh karena itu hadits menempati peringkat kedua dalam hirarki sumber hukum Islam.[14]
Disamping istilah hadits, terdapat juga istillah yang lainnya yaitu; sunnat, khabar dan atsar. Diantara term-term tersebut yang berkembang dan biasa digunakan ada dua yaitu; sunnat dan hadits. Meskipun demikian, terkadang keduanya dipandang kurang definitive sehingga perlu diperjelas lagi menjadi hadits Nabi atau hadits Nabawi. Sedangkan term khabar dan atsar dipandang tidak begitu berkembang dan jarang digunakan.[15] Meskipun demikian, dalam mendefinisikan hadits dan sunnat terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara ulama-ulama hadits dengan ulama Ushul Fiqh. Hal ini didasari perbedaan mereka dalam memandang sosok Rasulullah.[16] Ulama hadits memandang bahwa rasul adalah seorang pemimpin dan pemberi petunjuk kepada umatnya, dimana perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat beliau perlu dijadikan contoh dan anutan bagi mereka. Oleh karena itu, menurut ulama hadits, hadits dan sunnat adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau. Dan sifat ini baik sifat-sifat fisik, moral maupun prilaku dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi atau sesudahnya.[17] Jadi ulama hadits tidak membedakan pengertian antara hadits dan sunnat meskipun dalam prakteknya, istilah hadits yang lebih sering digunakan. Sementara ulama Ushul Fiqh, membedakan antara sunnat dengan hadits, menurut mereka, sunnat adalah perkataan, perbuatan dan penetapan Nabi s.a.w. jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi itu sebagai sunnat, melainkan sebagai hadits.[18] Hal ini didasarkan pada tugas ulama Ushul, yaitu menggali hukum Islam dari Alqur'an dan Hadits, maka bagi mereka, hal-hal dari Nabi yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam itu adalah perkataan, perbuatan dan penetapan beliau. Sedangkan sifat-sifat Nabi tidak bisa dijadikan sumber hukum Islam. Dari definisi yang dikemukakan oleh Ulama Ushul, pengertian hadits lebih umum dari dari pada sunnat meski istilah sunnat lebih sering mereka gunakan.[19] Sedangkan di kalangan orientalis, sunnat dipahami sebagai suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi. Mereka tidak menghubungkan sunnat kepada Nabi saw. Mereka mendefinisikan hadits berbeda dengan yang dipahami oleh pakar hadits.[20]
Margholiouth berkesimpulan bahwa sunnat sebagai sumber hukum, semula berarti contoh atau norma yang dikenal dalam masyarakat. Hanya pada masa belakangan saja, pengertian sunnat itu terbatas pada perbuatan-perbuatan Nabi saw dengan pendapat seperti ini, Margoliouth seakan-akan menyatakan bahwa sunnat seperti yang dikonotasikan oleh umat Islam selama ini sebagai perbuatan dan perkataan Nabi s.a.w itu tidak pernah ada.[21] Sedangkan Yoseph Schaht, mengatakan bahwa teori klasik tentang fiqh Islam mendefinisikan tentang sunnat adalah perbuatan yang ideal dari Nabi s.a.w. padahal sebenarnya pengertian sunnat yang tepat adalah hal-hal yang sudah menjadi tradisi atau perbuatan yang telah disepakati secara umum. Sementara Ignaz Goldziher berpendapat bahwa sunnat merupakan istilah animisme yang kemudian diambil dan diadaptasi oleh Islam.[22] Sedangkan kedua istilah yang jarang digunakan adalah khabar dan atsar. Menurut istilah, khabar berarti segala sesuatu yang berasal dari Nabi atau dari selainnya. Dari definisi ini khabar lebih umum daripada hadits. Khabar mencakup segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. dan selainnya, seperti perkataan shahabat dan tabi'in. sedangkan hadits hanya dikhususkan kepada Nabi Muhammad s.a.w saja.[23] Sedangkan mengenai atsar, kebanyakan ulama mengartikannya sama dengan khabar, meskipun demikian, ada sekelompok kecil yang memandang bahwa atsar lebih umum daripada khabar, yaitu atsar berlaku bagi segala sesuatu yang berasal dari Nabi s.a.w. maupun selainnya, sedangkan khabar khusus bagi segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saja.[24] Meskipun kedudukan hadits begitu urgennya dalam bangunan Syari'at Islam, tetapi hadits berbeda dengan Alqur'an terutama dari segi wurud-nya. Alqur'an semuanya bersifat tawatur sehingga melahirkan konsekwensi qath'iyy al-wurud. Sedangkan hadits ada yang mutawatir dan ada yang ahad sehingga konsekwensinya, hadits ada yang qath'iyy al-wurud dan ada yang dzannniyy al-wurud, meskipun demikian dari segi dilalat, Alqur'an dan hadits ada yang qat'iyy al-dilalat dan ada yang dzanniyy al-dilalat. Hal inilah yang mendorong ulama hadits menyusun kriteria ke-shahih-an hadits. Hadits terdiri dari tiga unsure pokok yaitu; pertama, sanad atau sandaran hadits, yakni para rawi yang me-riwayat-kan hadits yang kalau diurutkan penyebutan namanya, dimulai dari
mudawwin, gurunya, gurunya guru dan begitu selanjutnya sampai rawi yang pertama kali menerima hadits tersebut. Kedua, rawi yaitu orang yang meriwayatkan hadits, yakni orang yang menerima, memelihara dan menyampaikan hadits mulai dari shahabat sampai mudawwin. Ketiga, matan adalah lafadz atau redaksi hadits.
B.
Kriteria kesahihan Hadits Ulama hadits dalam menetapkan dapat diterimanya suatu hadits tidak hanya
mensyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan rawi hadits saja. Hal ini, disebabkan karena hadits sampai kepada kita melalui mata rantai yang teruntai dalam sanad-nya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat diterima dan mana hadits yang harus ditolak. Pada umumnya para pakar hadits mengklasifikasikan hadits kedalam tiga bentuk, yaitu: shahih, hasan dan dha'if.[25] Adapun hadits maudhu' tidak termasuk dalam pembagian tersebut, karena pada dasarnya itu bukan hadits. Penyebutannya sebagai hadits hanya dikatakan oleh orang yang suka membuatnya.[26] Dalam menetapkan kriteria kesahihan hadits, terjadi perbedaaan pendapat di kalangan Muhaditsin. Meskipun demikian, kriteria kesahihan hadits yang banyak diikuti oleh para pakar hadits adalah yang dikemukakan oleh Ibn Shalah yang menyebutkan lima kriteria keotentikan hadits, yaitu: 1.
Sanad-nya bersambung.
Kata ittishal berarti bersambung atau berhubungan. Sanad-nya bersambung artinya setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang sebelumnya dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang pertama. Dengan demikian menurut al-Suyuti, hadits
munqati, mu'dhal, mu'allaq, mudallas dan mursal tidak termasuk kategori hadits shahih karena sanad-nya tidak bersambung. Menurut Ibnu al-Shalah, hadits muttasil meliputi hadits marfu dan hadits mauquf. Sedangkan hadits musnad adalah hadits yang khusus disandarkan kepada rasulullaah Saw. Dengan demikian, ulama hadits umumnya berpendapat bahwa hadits musnad pasti marfu' dan bersambung sanad-nya, sedangkan hadits muttashil tidak mesti bersambung sanad-nya.[27] Sementara al-Bukhari berpendapat bahwa suatu hadits bisa disebut sanad-nya bersambung apabila murid dan guru atau rawi pertama dengan rawi kedua benar-benar pernah bertemu mesti hanya sekali. Sementara menurut Muslim, sanad hadits dapat disebut bersambung apabila ada kemungkinan bertemu bagi kedua rawi diatas. Hal ini bisa terjadi apabila keduanya hidup dalam satu kurun waktu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh menurut ukuran saat itu, meskipun keduanya belum pernah bertemu sama sekali.[28] Berdasarkan hal diatas, syarat yang dikemukakan al-Bukhari lebih ketat daripada yang ditetapkan oleh Muslim. Hal ini menjadikan karya shahih al-Bukhari menempati peringkat pertama dalam hirearki kitab hadits yang paling shahih.[29] Untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad suatu hadits, ada dua hal dapat yang dijadikan obyek penelitian, yaitu: sejarah rawi dan lafadz-lafadz periwayatan.
2.
Rawinya 'adil
Secara bahasa kata 'adl berasal dari 'adala ya'dilu, 'adalat, yang berarti condong, lurus lawan dari dzalim dan pertengahan. Kata 'adl ini kemudian digunakan oleh muhadditsin sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi agar riwayatnya bisa diterima. Menurut Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa, menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing dijalan, makan dijalan dan lain sebagainya.[30]
Sementara al-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuti mendefinisikan 'adalat lebih kongkrit yaitu: muslim, berakal sehat, tidak terdapat sebab-sebab kefasikan, dan terhindar dari hal-hal yang menjatuhkan muru'ah.[31] sedangkan menurut Abdullah bin Mubarak, ada lima kriteria yang digunakan untuk menetapkan 'adalat-nya seorang rawi, yaitu: selalu melaksanakan shalat berjama'ah, tidak meminum khamr, tidak sembrono dalam menjalankan agama, tidak berdusta dan berakal sehat. Muslim menambahkan bahwa seorang rawi bisa disebut adil adalah apabila ia seorang hafidz, maka ia tidak boleh lupa ketika ia menyampaikannya. Kalau ia mempunyai catatan, maka ia hanya boleh meriwayatkan dari kitab asalnya.[32] Dalam menentukan 'adil tidaknya rawi, paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama; pernyataan dari orang-orang adil dan kedua; mashurnya keadilan rawi tersebut.[33] 3.
Rawinya bersipat dhabit.
Dhabit artinya cermat dan kuat hapalannya. Sedangkan yang dimaksud dengan rawi dhabit adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat menerima dan menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima. Dari sudat kuatnya hafalan rawi, ke-dhabit-an ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:pertama, dhabit shadri atau dhabth al-fu'ad, dan kedua dhabth al-kitab. Dhabt al-Shadr artinya kemampuan untuk memelihara Hadits dalam hafalan sehingga apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan dhabth al-kitab adalah terpeliharanya pe-riwayat-an itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya.[34]
4.
Tidak terdapat kejanggalan atau syadz.
Mengenai hadits yang syadz, al-Syafi'i dan ulama Hijaz berpendapat bahwa suatu hadits dipandang syadz jika ia diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat namun bertentangan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqat yang banyak, sementara itu tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya. Sementara al-Khalili, hadits syadz adalah hadits yang sanadnya hanya satu macam, baik rawinya memiliki sipat tsiqat ataupun tidak. Apabila rawinya tidak tsiqat, maka haditsnya ditolak sebagai hujjah. Sedangkan bila rawinya tsiqat, maka hadits tersebut dibiarkan (mauquf), tidak ditolak dan tidak diterima sebagai hujjah. Sedangkan menurut al-Hakim, hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqat, tetapi tidak ada rawi-rawi tsiqat selainnya yang meriwayatkan hadits tersebut. Syadz dalam hadits tidak hanya terjadi dalam matan saja tetapi ditemukan juga pada sanad. Dalam menentukan syadz tidaknya suatu hadits, para ulama menggunakan cara mengumpulkan semua matan dan sanad hadits yang mempunyai masalah yang sama. Secara sepintas hadits syadz itu shahih karena rawinya orang-orang yang tsiqat, tetapi setelah dikaji lebih mendalam ternyata ada sesuatu yang menggugurkan keshahihan hadits tersebut sehingga dalam mengetahui adanya ke-syudzud-an pada suatu hadits sangat sulit. Oleh karena itu, tidak setiap ulama mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang mumpuni dan biasa melakukan upaya penelitian hadits saja yang dianggap mampu melakukan hal tersebut. 5.
Tidak terdapat cacat ('illat)
Menurut Ibn Shalah, 'illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak shahih. hadits yang mengandung unsure 'illat tersebut disebut dengan hadits mu'allal dan ma'lul. Dalam menentukan 'illat tidaknya suatu hadits, para ulama menentukan beberapa langkah yaitu, pertama, mengumpulkan semua riwayat hadits, kemudian membuat perbandingan antara sanad dan matan-nya, sehingga bisa ditemukan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya akan diketahui dimana letak 'illat dalam hadits tersebut. Kedua, membandingkan susunan rawi dalam setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalam keumuman sanad. Ketiga, pernyataan seorang ahli yang dikenal keahliannya, bahwa hadits tersebut mempunyai 'illat dan ia menyebutkan letak 'illat pada hadits tersebut..
Sebagaimana dalam syudzud, 'illat ini juga, bukan hanya terdapat pada sanad hadits, tetapi ada juga terdapat pada matn hadits. Ketiga kriteria pertama, yaitu: 'adhalat, dhabit dan ittishal, berkaitan erat dengan rawi. Sedangkan 'illat dan syadzdz berhubungan dengan matn, meski ada juga sebagian ulama yang menyebutkan 'illat dan syadz ada pada sanad.
Kesimpulan
1.
Hadits menempati posisi yang sentral dalam khazanah hukum Islam. Hadits
secara hirarkis menempati posisi kedua setelah Alqur'an sebagai sumber hukum Islam. Sedangkan secara fungsional hadits berfungsi menjelaskan, menguatkan dan menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Alqur'an. 2.
Hadits ditinjau dari segi wurud dan periwayatannya berbeda dengan Alqur'an.
Alqur'an itu bersifat tawatur sehingga qat'iyyul wurud sedangkan periwayatan hadits kebanyakan besar bersifat ahad dan sedikit sekali yang diriwayatkan secara tawatur sehingga hadits kebanyakan bersifat dzanniyatul wurud. 3.
Dalam perjalanan sejarahnya, hadits pernah mengalami pemalsuan besar-besar
dengan berbagai motif dan alasan yang beraneka ragam. Hal ini mendorong muhaditsin secara gigih membersihkan dan memilah-milah hadits yang dijamin otentisitasnya. 4.
Salah satu hasil daripada upaya para ulama hadits tersebut, adalah terbentuknya
Ilmu Musthalahul Hadits yang salah satu bahasannya berkenaan dengan kriteria kesahihan hadits. Muhadditsin telah merumuskan 5 kriteria kesahihan hadits yang meliputi: pertama, rawinya memiliki sifat 'adalah (integritas moral). Kedua, rawi memiliki sifat dhabit (kafasitas intelektual). Ketiga, sanadnya muttashil (bersambung). Keempat, sanadnya tidak mengandung 'illat. Kelima, sanadnya tidak syadz. Wallahu a'lam bis shawab
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mahmud Yunus, Ilmu Musthalah al-Hadits. ( Jakarta : Sa'adiyah Putera,tt)
2.
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. 12
3.
Ali as-Shabuni, al-Tibyan fi 'Ulum Alqur'an, ( Jakarta : Dinamika Berkah Utama, tt)
4.
M, Azhami, Memahami Ilmu Hadits, trj. Met Kieraha, ( Jakarta :Lentera, 2003), cet.3
5. Muh. Zuhri, Hadits Nabi tela'ah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) 6.
Mushtafa Ya'kub, Kritik Hadits,( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000) Cet. Ketiga.
7. Dhiya al-Umari, Buhuts fi al-Tarikh al-Sunnat al-Musyarrafat, (Beirut: Dar al-Fikri, 1983), cet.4 8. Al-Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib al-Rawi, Ed. Abdul Wahhab al-Latief, (Cairo : Darul Kutub al-Haditsah, 1966) 9.
Ibn al-Atsir, Jami' al-Ushhul fi Ahadits al-Rasul, (Maktabat al-Halwani, t.t)
10. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi,. Terj. M. Bagir, Jakarta , 1993 11. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa Musthalahuhu, (Beirut : Dar al-Fikri, 1979) 12. Musthafa al-Shiba'i, al-Sunnat wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, (Beirut : alMaktab al-Islami, 1978) 13. Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadits (Damasqus: Dar al-Fikri, 1981) 14. Usman Sya'rani, Otentisitas Hadits menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002) 15. Hammam bin Abdurrahim Sa'id, al-Fikr al-Manhaji 'inda al-Muhadditsin, (Qatar : Ri'asat al-Mahakim al-Syar'iyyat wa al-Syuun al-Diniyyat, 1998), cet. I
16. Al-Baghdadi, al-Kifayat fi Ilm al-Riwayat, (Ttp, al-Maktabat al-Ilmiyyat, tth) 17. Ibnu Hajar, Hadyu al-Sari Muqaddimat Fath al-Bari, (Beirut: Darul Fikr, 1991) 18. Endang Soetari, Ilmu Hadits Dirayat dan Riwayat, ( Bandung : Amal Bakti Press,2000), cet.3.
[1] Hakim
Pengadilan Agama Kelas 2B Sidikalang, Medan Sumatera Utara.
Ada dua jenis hubungan antara Alqur'an dan Hadits, pertama adalah hubungan secara struktural. Hadits merupakan sumber kedua setelah Alqur'an, kedua hubungan secara fungsional, hadits berfungsi menjelaskan kandungan Alqur'an yang bersifat global. Hal ini dilandasi argumentasi rasional bahwasanya pelaksanaan hukum-hukum Alqur'an tidak akan bisa terlaksana tanpa disertai penjelasan dari hadits, seperti teknis pelaksanaan shalat, zakat, haji dll. Lihat Mahmud Yunus, Ilmu Musthalah al-Hadits. ( Jakarta : Sa'adiyah Putera,tt), h. 4-5. [2]
[3]
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. 12, h. 39.
[4]
Ali as-Shabuni, al-Tibyan fi 'Ulum Alqur'an, ( Jakarta : Dinamika Berkah Utama, tt), h. 64
[5]
M, Azhami, Memahami Ilmu Hadits, trj. Met Kieraha, ( Jakarta :Lentera, 2003), cet.3,h. 35-
37 Endang Soetari, Ilmu Hadits Dirayat dan Riwayat, ( Bandung : Amal Bakti Press,2000), cet.3, h.93. [6]
Ada dua versi riwayat tentang kebolehan menulis hadits. Menurut al-Khatib al-Baghdadi, hadits yang berisi larangan ada tiga jalur yaitu melalui Abu Huraerah, Zaid bin Tsabit dan Abu Sa'id al-Khudri. Dari ketiga jalur tersebut, hanya jalur Abu Sa'id yang dapat dipertanggung jawabkan validitasnya. Sedangkan hadits yang mengijinkan bahkan menyuruh penulisan hadits, ada delapan riwayat dengan kualitas shahih. Para ulama hadits dalam menyikapi dua riwayat yang kelihatannya kontradiktif tersebut menempuh alternatif-alternatif berikut: pertama, haditshadits yang mengijinkan penulisan hadits dipandang me-nasakh hadits-hadits yang melarang penulisan. Kedua, larangan penulisan hadits itu dilandasi argumentasi khawatirnya Alqur'an bercampur dengan hadits.
[7]
Kelompok Inkar Sunnah berdasarkan urutan waktunya terbagi dua, yaitu, pertama: Inkar Sunnah Klasik. Kelompok ini muncul pada abad pertama dan berkembang pada abad kedua hijriyah dan lenyap dari peredaran pada abad ketiga hijriyah. Pada awalnya, kelompok inkar sunnah ini merupakan sikap-sikap individual dan timbul karena ketidaktahuan tentang [8]
kedudukan sunnah itu sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, yakni abad kedua, beberapa aliran teologi Islam seperti Khawarij, Syi'ah dan Mu'tajilah dipandang sebagai inkar Sunnah klasik, meski hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Inkar Sunnah klasik telah dilumpuhkan oleh alSyafi'i melalui perdebatan panjang sebagaimana yang termuat dalam kitab al-Umm. Kedua: Inkar Sunnah Modern. Kelompok ini pertama kali lahir di Mesir dengan tokohnya Syeikh Muhammad Abduh yang kemudian diikuti muridnya yaitu Sayyid Rasyid Ridla meskipun pada akhir hayatnya beliau menjadi pembela sunnah. Diamping kedua tokoh tadi, tercatat pula Abu Rayyah, Ahmad Amin, Ismai; Adham dan Taufiq Sidqy. Inkar Sunnah modern sebenarnya hanya mengingkari hadits-hadits ahad. Mushtafa Ya'kub, Kritik Hadits,( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000) Cet. Ketiga. h. 39-59) dan yang menolak seluruh hadits meskipun bersifat mutawatir, hanyalah madzhab Qur'ani yang dipelopori oleh Ghulam Ahmad Parwez. Sedangkan pembela sunnah modern yang banyak mementahkan argumen-argumen pendukung Inkar Sunnah adalah Muhammad Musthafa Azhami dan Musthafa al-Siba'i (Muh. Zuhri, Hadits Nabi tela'ah Historis dan Metodologis ( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997. h. 17) [9] Dhiya al-Umari, Buhuts fi al-Tarikh al-Sunnat al-Musyarrafat, (Beirut: Dar al-Fikri, 1983), cet.4, h. 22-23, 31-32.
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Tadrib al-Rawi, Ed. Abdul Wahhab al-Latief, ( Cairo : Darul Kutub al-Haditsah, 1966,h. 196
[10]
[11]
Ibid., h. 284
[12]
Ibn al-Atsir, Jami' al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, (Maktabat al-Halwani, t.t), h. 137-138
[13]
Al-Suyuthi, op.cit, h. 289
[14]
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi,. Terj. M. Bagir, Jakarta , 1993, h. 17
[15]
Musthafa Ya'kub, op.cit, h. 32
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits wa Musthalahuhu, (Beirut : Dar al-Fikri, 1979), h. 154
[16]
Musthafa al-Shiba'i, al-Sunnat wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, (Beirut : al-Maktab alIslami, 1978)
[17]
[18]
Abd Wahhab Khallaf, op.cit, h. 36
[19]
Nuruddin 'Itr, Manhaj al-Naqd fi 'Ulum al-Hadits (Damasqus: Dar al-Fikri, 1981), h. 27
[20]
Musthafa Ya'kub, op.cit, h.34
[21]
Ibid.
[22]
Ibid.
[23]
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 28
Usman Sya'rani, Otentisitas Hadits menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), h. 13 [24]
Hammam bin Abdurrahim Sa'id, al-Fikr al-Manhaji 'inda al-Muhadditsin, (Qatar : Ri'asat al-Mahakim al-Syar'iyyat wa al-Syuun al-Diniyyat, 1998), cet. I, h. 57. Muhammad Jalaluddin al-Qasimi, Qawa'id al-Tahdits, (Beirut : Dar al-Naghatis, 1984) , cet. 2 hal. 103
[25]
[26]
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 303. Al-Suyuthi, op.cit, h. 30-31.
[27] Al-Baghdadi, al-Kifayat fi Ilm al-Riwayat, (Ttp, al-Maktabat al-Ilmiyyat, tth), h. 21. alSuyuthi, op.cit, h. 115 [28]
Ibnu Hajar, Hadyu al-Sari Muqaddimat Fath al-Bari, (Beirut: Darul Fikr, 1991), h. 12
[29]
Al-Suyuthi, op.cit.h. 51
[30]
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 231-232
[31]
Al-Suyuthi, op.cit, hal. 197
[32]
al-Khatib al-Baghdadi, op.cit., h. 79
[33]
Al-Suyuthi, op.cit., h. 198
[34]
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, op.cit., hal 232