Laporan Kasus KRISIS TIROID PADA SEORANG PENDERITA STRUMA MULTINODULAR TOKSIK YANG DIPICU INFEKSI VIRUS DENGUE I.B. Aditya Nugraha, Pande Dwipayana, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Krisis
tiroid
menduduki
kegawatdaruratan endokrin.
peringkat
pertama
dalam
spektrum
Insidensi kasus ini jarang, tidak lebih dari 10%
pasien yang dirawat dengan tirotoksikosis. Namun, angka kematiannya cukup tinggi dengan rentang 20-30%. Presentasi klinik termasuk demam, takikardia, hipertensi, abnormalitas neurologi dan gastrointestinal (1). Krisis tiroid umumnya terjadi pada pasien dengan hipertiroid yang tidak diberikan terapi yang adekuat dan dipicu oleh adanya infeksi, trauma, pembedahan tiroid, atau diabetes melitus yang tidak terkontrol. Tidak ada satu indikator biokimiawi yang mampu meramalkan terjadinya krisis tiroid, sehingga tindakan kita bergantung pada tanda-tanda klinis yang ada. Dengan tingkat mortalitas yang tinggi, kecurigaan terhadap krisis tiroid cukup untuk menjadi dasar mengadakan tindakan agresif.
Pasien biasanya memperlihatkan keadaan
hipermetabolik yang ditandai oleh demam tinggi, takikardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam keadaan stupor atau koma yang disertai dengan hipotensi (1,2). Infeksi sebagai salah satu hal yang dapat mencetuskan krisis tiroid perlu mendapat sebuah perhatian khusus, seperti halnya infeksi virus dengue. Secara umum infeksi dengue memang jarang yang dapat menyebabkan atau memicu munculnya penyakit atau kelainan di bidang tiroid. Dilaporkan baru terdapat 2 kasus demam berdarah dengan adanya suatu tiroiditis yaitu di Pakistan pada tahun 2012, serta di India pada tahun 2013. Oleh sebab itu menjadi latar belakang diangkatnya kasus ini untuk meningkatkan kewaspadaan dalam mengetahui faktor faktor penyebab dan dapat melakukan penanganan pasien dengan krisis tiroid. (1,3,4).
1
2
Berikut dilaporkan sebuah kasus dengan kecurigaan krisis tiroid pada penyakit struma multinodular toksik yang dipicu oleh infeksi virus dengue.
Kasus Pasien laki-laki, Islam, suku Sunda, 33 tahun, datang dengan keluhan panas badan. Panas badan dikatakan mucul mendadak mulai 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Ketika panas mulai muncul dikatakan pasien sempat gelisah, mendadak menurun kesadarannya, serta mengigau. Selain panas pasien juga mengeluh tangan gemetar, jantung berdebar debar. Kedua keluhan ini muncul bersamaan dengan munculnya keluhan panas. Selain keluhan tersebut pasien juga dikeluhkan mengalami penurunan nafsu makan, dan mengalami mual dan muntah. Mual dan muntah berlangsung hampir setiap setelah makan. Keluhan yang muncul tersebut
yang pertama yang dialami oleh pasien. Tiga hari sebelum
dibawa ke Unit Gawat Darurat RSUD Wangaya, pasien sempat dibawa periksa ke Poliklinik Penyakit Dalam dan sempat disarankan melakukan pemeriksaan fungsi tiroid di laboratorium, dan dikatakan hasilnya terdapat peningkatan nilai fungsi tiroidnya. Tidak ada riwayat keluarga dengan kelainan tiroid. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran pada saat diperiksa gelisah (GCS: E3V4M6), tekanan darah 110/80 mmHg, dengan temperature axilla 37,70C, dengan denyut nadi 110x/menit, frekuensi respirasi 22x/menit, dengan saturasi O2 98%. Pada pemeriksaan fisik mata tidak didapatkan anemia, dan ikterus, dengan reflex pupil dikatakan normal, dan kedua mata tampak eksoftalmus. Pemeriksaan telinga hidung tenggorokan, serta kepala leher didapatkan JVP PR ± 0 cmH2O, kesan tenang, pemeriksaan leher, pada inspeksi didapatkan kesan pembesaran pada kelenjar tiroid, pada palpasi didapatkan pembesaran kelenjar tiroid teraba nodul multiple dengan diameter terbesar 3cm, dengan konsistensi lunak. Pada pemeriksaan jantung dan paru didapatkan kesan frekuensi denyut jantung irregular, meningkat, 110x/menit, tanpa murmur, ronkhi, ataupun wheezing. Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan distensi, auskultasi terdengar bising usus normal, palpasi tidak didapatkan massa, hepar dan lien tidak teraba, perkusi ditemukan timpani di semua lapang perut. Ekstremitas teraba
3
hangat dan lembab oleh karena keringat, tidak didapatkan tremor. Perhitungan skor Burch Wartofsky didapatkan nilai 45. Dari pemeriksaan darah lengkap awal didapatkan hitung leukosit 4,86 x 10³/µL, hemoglobin 16,3 gram/dl, hematokrit 46,5 %, trombosit 157 x 10³/µL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 637 U/L, SGPT 403 U/L, BUN 7,61 mg/dl, kreatinin 1,0 mg/dl, gula darah sewaktu 107 mg/dl, FT4 > 100,0 pmol/L (12,8-20,4 pmol/L), TSHs < 0,05µU/ml (0,3-4,2µU/ml), natrium 138 mmol/L, kalium 4,0 mmol/L, chlorida 97 mmol/L. Karena pada awalnya pasien mengeluhkan panas, dengan pola panas yang menyerupai pola panas dengue, sempat pula dilakukan pemeriksaan Non Structural Antigen 1(NS1) dan didapatkan hasil NS1 positif. Pemeriksaan EKG menunjukan atrial fibrilasi dengan respon ventrikular cepat dengan rate kisaran 110-120 kali per menit. Pada pemeriksaan Ultrasonografi (USG) tiroid didapatkan kesimpulan gambaran struma multi nodular dextra dan sinistra.
Gambar 1. Pemeriksaan EKG dengan kesan atrial fibrilasi respon cepat dengan rate 110120 x/menit.
Dari data-data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien kemudian didiagnosis awal dengan krisis tiroid
4
dengan kecurigaan struma multinodular toksik (Plummer disease) yang dipicu oleh infeksi virus dengue. Awalnya pasien dilakukan observasi di UGD dan diberikan terapi awal dengan IVFD RL 30 tpm, pemberian O2 dengan 2-4 liter per menit, methylprednisolone injeksi 2x62,5 mg intravena, ceftriaxone injeksi 2x1 gram intravena, propranolol 40 mg per oral setiap 6 jam ( via NGT karena pasien tidak mau makan serta mual muntah terus), ondancentron injeksi 4 mg intravena karena pasien dengan keluhan mual dan muntah yang hebat, diazepam injeksi 2mg intravena bila pasien gelisah (k/p), prophyltyuracyl (PTU) tablet 3x200 mg per oral, pemasangan dower cateter, dan pasien direncanakan untuk dirawat di ruang intensif.
Gambar 2. Hasil pemeriksaan USG tiroid sinistra dan dextra pada pasien
Pasien akhirnya mendapat tempat di ruangan HCU (High Care Unit) di RSUD Wangaya, dan dirawat di sana selama 2 hari, pada perkembangannya dilakukan pemeriksaan serial darah lengkap untuk mengamati beberapa parameter seperti trombosit dan hematokrit. Pada perawatan hari ke-3 dengan kesadaran yang makin membaik (GCS E4V5M6) , TD= 130/90 mmHg, denyut nadi = 90x/menit, gambaran EKG normal sinus dengan HR=92x/menit, pasien akhirnya dipindahkan ke ruangan perawatan biasa. Hasil pemeriksaan serial darah lengkap sebagai berikut : hitung leukosit 2,23 x 10³/µL, hemoglobin 16,0 gram/dl, hematokrit 45,4 %, trombosit 126 x 10³/µL.
5
Pada perawatan hari ke-4 didapatkan kondisi pasien dengan tidak ada panas, NGT sudah dicabut dan sudah bisa diet cair. Pemeriksaan tanda-tanda vital menunjukkan perkembangan yang baik dengan GCS E4V5M6 , TD= 120/80 mmHg, denyut nadi = 92x/menit, gambaran EKG normal sinus dengan HR=88x/menit Hasil pemeriksaan serial darah lengkap sebagai berikut : hitung leukosit 1,72 x 10³/µL, hemoglobin 15,4 gram/dl, hematokrit 44,4 %, trombosit 64 x 10³/µL. Pada perawatan hari ke-5 dengan kondisi yang masih sama dengan hari sebelumnya. Dari pemeriksaan tanda-tanda vital menunjukkan perkembangan yang baik dengan GCS E4V5M6, TD= 130/70 mmHg, denyut nadi = 90x/menit, gambaran EKG normal sinus dengan HR=88x/menit Hasil pemeriksaan serial darah lengkap sebagai berikut : hitung leukosit 5,33 x 10³/µL, hemoglobin 16,48 gram/dl, hematokrit 47,8 %, trombosit 31 x 10³/µL. Dilakukan juga pemantauan untuk tanda-tanda warning sign dengue, pemantauan balance cairan didapatkan hasil balance +500 cc. Pada perawatan hari ke-7 dilakukan pemeriksaan serologi dengue dan dilakukan pemeriksaan serial darah lengkap kembali didapatkan hasil sebagai berikut : IgG anti dengue (+), IgM anti dengue (+), dengan serotipe virus menunjukkan tipe DEN-3. Hasil pemeriksaan darah lengkap dengan hitung leukosit 1,72 x 10³/µL, hemoglobin 15,4 gram/dl, hematokrit 44,4 %, trombosit 64 x 10³/µL. Pada perawatan hari ke-8 dengan parameter klinis membaik, serta hasil pemeriksaan darah lengkap yang cenderung menunjukkan kenaikan trombosit dan penurunan hematokrit, akhirnya pasien dipulangkan dan disarankan untuk tetap kontrol ke bagian poliklinik penyakit dalam 3 hari setelah BPL. Hasil pemeriksaan laboratorium pada hari ke-8 sebagai berikut : hitung leukosit 1,85 x 10³/µL, hemoglobin 15,0 gram/dl, hematokrit 43,5 %, trombosit 85 x 10³/µL. Untuk terapi oral pada saat pulang pemberian obat untuk mengatasi keluhan tiroid diteruskan yaitu dengan propranolol tablet 3x10 mg per oral, serta dengan prophyltyuracyl (PTU) tablet 3x200 mg per oral, dan roburantia 1x1 tablet. Satu bulan setelah pulang pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid (TSHs dan FT4). Pada saat kontrol berikutnya
6
dilakukan pemeriksaan kembali terhadap fungsi tiroid, didapatkan kadar TSHs 0,018 µIU/mL (0,270-4,700 µIU/mL) sedangkan kadar FT4 2,87 ng/dL (0,9331,200 ng/dL). Pemberian propanololol dilanjutkan dengan dosis 3x10 mg, dan PTU dengan dosis 3x200 mg. Kontrol terakhir pada bulan Agustus 2015 dilakukan pemeriksaan terhadap kadar FT4 didapatkan hasil 0,868 (0,933- 1,200 ng/dL) dosis PTU diturunkan menjadi 2x200 mg.
Pembahasan Hormon tiroid merupakan salah satu hormon di dalam tubuh yang berfungsi mengatur fungsi metabolisme agar tetap berjalan normal. Namun apabila terdapat suatu kelainan atau gangguan dam proses produksi hal ini akan menimbulkan suatu gangguam ataupun kelainan pada tubuh. Suatu keadaan hipertiroid dapat berakibat fatal serta dapat mengancam kehidupan. Hal ini sering disebut dengan istilah krisis tiroid (1,3). Istilah
hipertiroidisme
dan
tirotoksikosis
sering
keliru
dalam
penggunaannya. Tiroktoksikosis adalah istilah berkaitan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan apabila suatu jaringan mendapatkan hormon tiroid berlebihan di manapun sumbernya. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi hormon tiroid itu sendiri. Tirotoksikosis terbagi atas kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme dan yang
tidak
berhubungan
dengan
hipertiroidisme.
Penyebab
tersering
hipertiroidisme adalah penyakit Graves lebih kurang sebesar ± 90% (2,3,4). Penyebab berikutnya oleh adenoma soliter toksik atau struma multinoduler toksik. Selain itu penyebab lain dari hipertiroidisme adalah hipersekresi karsinoma tiroid, thyrothropin-secreting pituitary adenoma, teratoma, HCG-secreting hydatiform mole. Pemberian interferon-α dan interleukin-2 dapat mengganggu ikatan tiroksin dengan globulin sehingga kadar tiroksin bebas meningkat sehingga dapat memicu terjadinya hipertiroidisme yang apabila tidak ditangani dengan baik akan memicu terjadinya krisis tiroid (1). Berikut dijelaskan mengenai beberapa penyebab hipertiroid seperti tercantum pada tabel 1.
7
Tabel 1. Etiologi Hipertiroid (1) Penyakit Graves Nodul tiroid toksik Hipertiroidisme neonatal Sekresi TSH yang tidak tepat oleh hipofisis yang dapat disebabkan oleh kondisi tumor, maupun non tumor (sindrom resistensi hormon tiroid) Iodium eksogen Metastatis kanker tiroid Koriokarsinoma dan mola hidatidosa Struma ovarium Karsinoma testikular embrional Pilyostotic fibrous dysplasia (Syndrome Mc-Cune Albright)
Biasa Tidak biasa
Jarang
Beberapa faktor dapat mencetuskan tirotoksikosis menjadi krisis tiroid seperti : pembedahan, trauma, infark miokard, emboli paru, gangguan serebrovaskular,
ketoasidosis diabetikum, toksemia gravidarum, dan infeksi.
Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat tiroid, ditambah dengan terapi dengan dosis yang tidak adekuat juga bisa mempengaruhi terjadinya krisis tiroid ini (1,2,4). Tirotoksikosis ini dapat memberikan tanda serta gejala yang bervariasi pada berbagai sistem organ (1,2). Adapaun berbagai tanda dan gejala dapat terlihat pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Gejala dan Tanda Tirotoksikosis (1) Sistem Organ Neuropskiatri (Neuromuskular)
Gastrointestinal Reproduktif Kelenjar Tiroid Jantung dan Paru
Kulit
Gejala Ketidakstabilan emosional Ansietas Kebingungan Koma Hiperdefekasi Diare Oligomenorrhea Penurunan libido Neck fullness Tenderness Palpitasi Dispneu Nyeri dada Rambut rontok
Tanda Muscle wasting Hiperrefleksia Tremor Periodik paralisis
Gynecomastia Bruit Atrial fibrilasi Sinus takikardi Hyperdynamic precordium Gagal jantung kongestif Pretibia myxedema
8
Mata
Diplopia Iritasi mata
Warm, moist skin Eritema pada palmar Eksoftalmus Ophtalmoplegia
Pada kasus ini didapakan dengan hipertiroidisme yang diduga merupakan suatu struma multi nodular toksik (Plummer disease). Hal ini didukung dengan data bahwa pada kasus terjadi pada usia dewasa, dan didapatkan nodul multipel serta dari hasil laboratorium mengarah kepada tanda-tanda hipertiroid. Hipertiroid pada kasus ini kemudian menjadi krisis tiroid akibat dipicu oleh adanya infeksi. Krisis tiroid adalah keadaan klinis berat dan mengancam jiwa akibat eksaserbasi akut dari tirotoksikosis. Kejadiannya 1-2% dari pasien yang dirawat dengan atau tanpa riwayat pengobatan antitroid sebelumnya.
Kejadian krisis
tiroid sebagian besar terjadi pada Graves Disease dengan putus obat atau dapat pula pada hipertiroidism yang belum terdiagnosis. Gejala klinis yang sering muncul adalah hiperpireksia, berkeringat, takikardia hingga atrial fibrilasi, mual, muntah, diare, agitasi, dan perubahan kesadaran. Kadang dapat pula disertai ikterus yang menjadi petanda prognosis yang buruk. Pada krisis tiroid, pola peningkatan kadar T4 dan T3 bebas dengan penekanan kadar tirotropin (<0.05µU/mL) sebanding dengan kadar hormon tersebut saat tirotoksikosis. Setelah sintesis dari hormon tiroid, kelenjar tiroid utamanya mensekresikan T4. Diperkirakan 80% dari T3 yang bersirkulasi berasal dari monodeiodinasi T4 di jaringan perifer, dimana hanya 20% T3 yang dihasilkan langsung oleh kelenjar tiroid (11). Infeksi menjadi salah satu faktor yang mencetuskan terjadinya krisis tiroid. Dari berbagai literatur yang kami dapatkan memang infeksi virus sebagai salah satu faktor yang mencetuskan kejadian tiroiditis yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya krisis tiroid. Infeksi oleh virus dengue diduga dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme tiroid sendiri sehingga diduga menjadi salah satu penyebab dari krisis tiroid (1,3,4). Mekanisme imunopatologis kerja virus dengue ini juga dapat menjelaskan bagaimana perubahan regulasi atau pengaturan hormon tiroid terjadi khususnya juga pada kasus terjadinya krisis tiroid ini. Memang belum banyak literatur atau sumber yang secara khusus menjelaskan kasus ini, namun dijelaskan pada kasus
9
infeksi akut dari virus dengue sendiri terjadi penurunan serum T3 secara cepat lebih kurang terjadi dalam 24 jam yang juga disebabkan penurunan dari proses konversi T4 menjadi T3, dan ini menunjukkan peningkatan turnover dari hormone tiroid itu sendiri. Sesuai dengan beberapa teori mengenai patogenesis penyakit demam berdarah dengue juga dijelaskan mengenai keterlibatan respon imun humoral dalam patogenesis dengue. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus. Antibodi terhadap virus dengue ini berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE). Limfosit T baik T-helper (CD-4) dan T-sitotoksik (CD-8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi IFN-γ, IL-2, dan limfokin. Adapun TH2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Monosit dan makrofag yang akan memfagositosis virus dengan opsonisasi oleh antibodi. Namun proses fagositosis ini justru menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian beberapa studi pada kasus demam berdarah dengue di mana menunjukkan dengan diproduksi beberapa sitokin pro inflamasi seperti IL-1, dan IL-6, serta TNF memegang peranan penting dalam penurunan fungsi T3, sehingga dapat mengacaukan aksis hipotalamus-pituitaridan kelenjar tiroid sendiri (9,10,11). Pada kondisi krisis tiroid ini juga dapat ditemukan beberapa gambaran dari laboratorium
yang
berhubungan
dengan
tirotoksikosis,
seperti
contoh
hiperglikemia, hiperkalsemia, leukositosis, abnormalitas enzim hati, peningkatan enzim alkali phospatase, dan peningkatan glikogenolisis (11). Pada beberapa tempat dengan fasilitas laboratorium yang kurang memadai, untuk penegakan diagnosis dari kelainan yang dicurigai krisis tiroid dapat menggunankan kriteria diagnostik dari Burch-Wartofksy tahun 1993 seperti pada tabel 3 berikut. Hal ini menjadi sangat penting karena dengan penegakan diagnosis yang lebih awal akan menentukan langkah selanjutnya dalam terapi sehingga dapat mencegah risiko mortalitas yang lebih buruk (11).
10
Tabel 3. Kriteria Burch-Wartofsky untuk diagnosis krisis tiroid (11) Disfungsi pengaturan panas Suhu (dalam 0 Fahrenheit) 99-99,0 5 100-100,9 10 101-101,9 15 102-102,9 20 103-103,9 25 >104,0 30 Efek pada susunan saraf pusat Tidak ada 0 Ringan(agitasi) 10 Sedang(delirium,psikosis,letargi berat) 20 Berat(koma,kejang) 30 Disfungsi gastrointestinal-hepar Tidak ada 0 Ringan(diare,nausea/muntah/nyeri perut) 10 Berat(ikterus tanpa sebab yang jelas) 20
Disfungsi kardiovaskular Takikardia ( dalam x/menit) 99-109 5 110-119 10 120-129 15 130-139 20 >140 25 Gagal jantung Tidak ada Ringan(edema kaki) Sedang(ronki basal) Berat(edema paru) Fibrilasi atrium Tidak ada Ada Riwayat pencetus Negatif Positif
0 5 10 15 0 10 0 10
Keterangan tabel : ≥45 kecurigaan sangat tinggi (highly suggestive) ; 25-44 mengarahkan kemungkinan (suggestive of impending storm) ; <25 tidak seperti (unlikely thyroid storm)
Pada
kasus
didapatkan
berdasarkan
kriteria
Burch-Wartofsky
mendapatkan skor 45, didapatkan dengan rincian untuk skor disfungsi pengaturan fungsi nafas dengan skor 10 (tax 39,50C), kemudian awal saat masuk dengan kondisi penurunan kesadaran (delirium) dengan skor 20, dan pada skor disfungsi kardiovaskular dengan kondisi takikardia 110-119 kali per menit dengan skor 10, dengan total skor 45 menunjukkan suatu kecurigaan yang sangat tinggi untuk terjadinya krisis tiroid. Pilihan terapi pada pasien krisis tiroid adalah sama dengan pengobatan yang diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme hanya saja obat yang diberikan lebih tinggi dosis dan selang waktu pemberiannya. Pada pasien dengan krisis tiroid harus segera ditangani ke instalasi gawat darurat atau ICU. Diagnosa dan terapi yang sesegera mungkin pada pasien dengan krisis tiroid adalah penting untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari kelainan ini (12,13,14,15). Pada kasus krisis tiroid, hyperpyrexia harus segera diatasi secara cepat. Dalam hal ini pemberian obat jenis asetaminopen lebih dipilih dibandingkan aspirin yang dapat meningkatkan kadar konsentrasi T3 dan T4 bebas dalam serum. Pemberian beta-bloker merupakan terapi utama penting dalam pengobatan
11
kebanyakan pasien dengan hipertiroid. Propanolol merupakan obat pilihan pertama yang digunakan sebagai inisial yang bisa diberikan secara intravena. Dosis yang diberikan adalah 1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan tercapai atau 2-4 mg/ 4jam secara intravena atau 60-80 mg/ 4jam secara oral atau melalui nasogastric tube (NGT) (13,14,15). Pemberian tionamide seperti methimazole atau PTU untuk memblok sintesis hormon. Tionamide memblok sintesis hormon tiroid dalam 1-2 jam setelah masuk. Namun, tionamide tidak memiliki efek terhadap hormon tiroid yang telah disintesis. Beberapa pendekatan dengan menggunakan PTU dibanding tionamide sebagai pilihan pada krisis tiroid karena PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3 ditingkat perifer. Methimazole memiliki waktu durasi yang lebih lama dibandingkan PTU sehingga lebih efektif. Pemberian glukokortikoid juga menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan memiliki efek langsung dalam proses autoimun jika krisis tiroid berasal dari penyakit Graves. Dosis yang digunakan adalah 100 mg/ 6-8jam secara intravena pada / kasus krisis tiroid. Apabila telah stabil dapat dipertimbangkan pemberian hidrokortison 15-30 mg per oral/ hari atau dosis ekuivalen : prednison 5-7,5 mg per oral/ hari, deksametason 0,75-1,25 mg per oral/ hari. Dosis dapat diberikan sekali sehari (pagi) atau terbagi dengan dosis pagi lebih banyak dari sore hari (11-15). Dalam penatalaksanaan pada pasien telah dilakukan sesuai teori yaitu dengan pemberian IVFD RL 30 tpm, pemberian O2 dengan 2-4 liter per menit, methylprednisolone injeksi 2 x 62,5 mg intravena, ceftriaxone injeksi 2x1 gram intravena, propranolol tablet 3x10 mg per oral ( via NGT karena pasien tidak mau makan serta mual muntah terus), ondancentron injeksi 4 mg intravena karena pasien dengan keluhan mual dan muntah yang hebat, diazepam injeksi 2mg intravena bila pasien gelisah, prophyltyuracyl (PTU) tablet 3x200 mg per oral, pemasangan dower cateter, dan pasien direncanakan untuk dirawat di ruang intensif. Kemudian dilakukan juga penelusuran pada faktor pencetus dari krisis tiroid, di mana diduga dari infeksi akibat virus dengue. Dilakukan pemeriksaan NS1 pada hari 1 demam dengan didapatkan hasil positif, dan serologi, serta antibodi didapatkan hasil serotype virus DEN-3, dan IgG dan IgM positif pada perawatan hari ke-8 dengan gejala klinis demam mulai 5 hari sebelum MRS,
12
dengan klinis lemas, penurunan nafsu makan, nyeri seluruh badan, dan pada laboratorium didapatkan penurunan kadar trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit
sesuai
dengan
diagnosis
demam
berdarah
dengue.
Untuk
penatalaksanaan selanjutnya juga telah diamprahkan pada ruangan intensif, sehingga dapat dipantau lebih ketat. Dalam perkembangannya pasien ditemukan dalam kondisi membaik dan pada akhirnya dipulangkan pada hari ke-8 perawatan. Pemantauan berikutnya dianjurkan pasien untuk kontrol ke Poliklinik Penyakit Dalam setiap bulannya untuk pemantauan fungsi tiroidnya.
Ringkasan Telah dilaporkan sebuah kasus, laki-laki, suku Sunda, usia 33 tahun, dengan diagnosis krisis tiroid dengan struma multinodular toksik yang dipicu oleh infeksi virus dengue. Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang secara mendadak menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan tindakan pembedahan. Infeksi virus dengue sendiri sebagai salah satu penyebab yang dapat menimbulkan kejadian krisis tiroid ini. Dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting
untuk mencegah terjadinya
mortalitas.
Daftar Pustaka
1.
Talib SH, Sainani R, Chordiya A. Expanded Dengue Syndrome : Presenting as Overt Thyrotoxicosis without stigmata of Graves disease ( A Case Report). JDMS 2013; 5(3): 4-6.
2.
Bahn RS, Burch HB, Cooper D, Garber JR, Greenle CM, Klein I, et al. Hyperthroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis : Management Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of Clinical Endocrinologists.Endocr. Pract. 2013;17(3): 1-65.
3.
Desailloud R, Hober D. Viruses and thyroiditis : an update Review. Vir. J. 2009; 6(5): 1-14.
4.
Wacharasindhu S, Bunjobpudsa Y, Tongmeesee S. Endocrine changes in children with dengue virus infection. Asian Biomedicine 2009; 3(5): 557-61.
13
5.
Lee LS, Guzman MG, Martinez E, Tan LH, Hung NT. Overview, differential diagnosis, and dengue diagnostics. In: Akbar N, Aloun DS, eds. Handbook For Clinical Management of Dengue. 1st ed. Genewa : WHOTDR Publication; 2012: 1-20.
6.
Guzman MG, Rosario D, Kouri G. Molecular Biology of the Flaviviruses. In: Kalitzky M, Borowski P, eds. Diagnosis of dengue virus infection. 1st ed. London : Horizon Bioscience; 2009: 21-40.
7.
Kumarasamy V. Evaluation of a commercial dengue NS1 antigen-capture ELISA for laboratory diagnosis of acute dengue virus infection. J. Vir. Methods 2007; 140(1): 75-9.
8.
Varquez S. Serological Markers during dengue 3 primary and secondary infections. J. Clin. Vir. 2005; 32: 132-37.
9.
Juffrie M, Meer GM, Hack CE, Hassnoot K, Veerman AJ, Thijs LG. Inflammatory Mediators in dengue virus infection in children : Interleukin-6 and it’s relation to C-Reactive Protein and Secretory Phospholipase A2. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2001; 65: 70-5.
10. Langouche L, Berghe V. The dynamic neuroendocrine response to critical illness. Endocrinol. Metab. Clin. N. Am. 2006; 35: 777-91. 11. Migneco A, Ojetti V, Testa A, Lorenzo D, Silveri NG. Management of thyrotoxic crisis. Eur. Rev. Med. Pharmacol. 2005; 9: 69-74. 12. Sarlis JN, Gourgitotis F. Thyroid Emergencies. Rev. End. Metab. Dis. 2003; 4: 129-36. 13. Jiang Y, Karen AH, Bartelloni P. Thyroid Storm Presenting as Multiple Organ Dysfunction Syndrome. Chest 2000; 118: 877-79. 14. Djokomoeljianto, R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta : Interna Publishing; 2009: 1993-2008. 15. Jameson L, Weetman A. Disorders of the thyroid gland. In: Branwald E, Fauci A, Kasper D, eds. Harrison Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011: p.2060-84.