KREATIVITAS PEMBELAJARAN SASTRA MELALUI MEDIA BERBASIS FLASH DENGAN MENYISIPKAN NILAI MORAL KEARIFAN BUDAYA LOKAL Muhlis Fajar Wicaksana Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI Madiun
[email protected]
Abstrak Kreativitas dalam pembelajaran adalah hal yang utama harus dilakukan oleh guru. Apalagi yang akan diajarkan permasalahan sastra. Guru harus dapat memunculkan kreativitas tinggi pada saat pembelajaran sastra jika tidak ingin murid-murid mengabaikannya ketika mengajar. Pendidikan nilai-nilai moral kepada anak dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satu bentuk cara pengajaran sastra ini dilakukan melalui komik multimedia berbasis Flash dengan mengadaptasikan kearifan budaya lokal. Tujuan penelitian ini untuk mengintegrasikan pendidikan nilai moral dalam pengajaran sastra dan pengaruh penggunaan media pengajaran sastra yang berbentuk multimedia berbasis Flash dengan mengoptimalkan kearifan budaya lokal di Madiun. Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif, metode penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengajaran sastra melalui media pengajaran yang menarik dapat menarik motivasi siswa dalam belajar. Guru dapat berkreasi melalui karyanya untuk dapat digunakan dalam pembelajaran. Dari kreativitas inilah siswa akan lebih memperhatikan apa yang disampaikan. Siswa merasa ada hal yang baru yang disampaikan oleh guru. Siswa merasa tidak jenuh merasakan pembelajaran yang penuh kreasi. Selain itu, guru dapat menyisipkan apa saja yang diinginkan jika siswa sudah memperhatikan. Dalam hal ini nilai moral yang akan disisipkan pada pembelajaran sastra. Nilai moral yang berasal dari lingkungan siswa. Adapun nilai moral yang diangkat adalah nilai moral cerita Telaga Sarangan. Kata kunci: kreativitas, media pembelajaran, dan nilai moral
A. Pendahuluan Masa-masa sekarang ini kenakalan remaja merupakan suatu permasalahan tersendiri di tengah-tengah masyarakat. Remaja ini merupakan bibit pemegang tampuk 1
pemerintahan negara di masa depan. Lebih parah lagi, berbagai kasus kenakalan remaja telah meresahkan masyarakat, mulai dari kasus pencurian, kasus asusila seperti free sex, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.Oleh karena itu, berbagai praktisi pemerhati anak, pemerhati sosial, dan pemerhati pendidikan. Menurut, Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto,1985:73),mengungkapkan bahwa sejatinya, kenakalan semacam itu normal terjadi pada diri remaja karena pada masa itu mereka sedang berada dalam masa transisi: anak menuju dewasa. Akan tetapi, perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal.Dalam batas-batas kenormalan tersebut tidak mungkin dihapusnya secara tuntas.Dengan demikian, perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batasbatas tertentu dan dilihat pada suatu perbuatan yang tidak disengaja. Pendidikan moral kepada anak diawali saat mereka berada pada lingkungan keluarga terutama orang tua melalui proses sosialisasi norma dan aturan moral dalam keluarga sendiri serta lingkungan dekat pergaulan sosial anak. Kemudian saat anak masuk ke sekolah mulai diperkenalkan dan diajarkan sesuatu yang baru yang tidak diajarkan dalam keluarga. Sekolah adalah sebagai tempat sosialisasi kedua setelah keluarga serta tempat anak ditatapkan kepada kebiasaan dan cara hidup bersama yang lebih luas lingkupnya serta ada kemungkinan berbeda dengan kebiasaan dan cara hidup dalam keluarganya, sehingga berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran moral diri anak. Sejatinya, pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanganan nilai-nilai moral.Nilai-nilai moral seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun dan sebagainya, yang bahwasanya banyak ditemukan dalam karyakarya sastra, baik puisi, cerpen, novel, maupun drama. Bila karya sastra itu dibaca, dipahami isinya, dan maknanya, serta ditanamkan pada diri siswa, maka kemungkinan siswa akan menjunjung tinggi nilai-nilai moral tersebut. B. Pendidikan Nilai Moral Moral sering dikaitkan dengan perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, susila, dan lain-lain. Franz Magnis Suseno (2000: 143) menyatakan bahwa moralitas merupakan kesesuaian sikap, perbuatan, dan norma hukum batiniah yang dipandang sebagai suatu kewajiban. Seorang tokoh dalam cerita dikatakan bermoral tinggi apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk. Namun, pada kenyataannya pandangan mengenai moral dalam hal-hal tertentu bersifat relatif. Karya sastra yang baik senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. 2
Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya, sifatsifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh manusia. Hal inilah yang menjadi asumsi dasar bahwa dalam karya sastra, dalam hal ini cerita rakyat, terkandung nilai pendidikan moral. Nilai-nilai pendidikan moral ini perlu digali dan ditanamkan kepada pada pembaca, terutama kepada generasi penerus bangsa. Pendidikan moral harus direncanakan secara matang oleh stakeholders, baik para pakar Pendidikan moral seperti rohaniawan (tokohagama), pemimpin non formal (tokoh masyarakat), kepala sekolah, guru-guru, orang tua.Pendidikan moral ini harus memperhatikan nilai-nilai secara holistik dan uiniversal.Keberhasilan pendidikan moral ditandai dengan menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi personal dan kompetensi sosial yang memiliki moral. Moral atau moralitas berarti hal mengenai kesusilaan (Burhanudin Salam, 2000:80). Sama halnya Huky (dalam Bambang Daroeso, 1986:22) mengatakan bahwa, kita dapat memahami moral dengan tiga cara, antaralain melalui; a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. b. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu. c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang mengatakan bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya interaksi antara individu-individu di dalam pergaulan”. Dengan demikian moral selalu berhubungan dengan nilai-nilai.Ciri khas yang menandai nilai moral yaitu tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara mau dan tahu; dan tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi (person) manusia dan masyarakat Indonesia (Burhanudin Salam, 2000:74). Dapat ditarik simpulan bahwa, moral adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia, tindakan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disintesiskan bahwa pendidikan nilai moral berkaitan dengan perilaku, sikap, ataupun sifat-sifat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dalam hal ini meliputi nilai-nilai mengenai
3
kesabaran, kesopanan/kesantunan, toleransi atau saling menghormati, kedisiplinan, pendendam, pemaaf, kesombongan, dan kejujuran. C. Pengajaran Sastra Kondisi pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal sejauh ini dapat dikatakan mengecewakan. Kondisi pengajaran sastra berdasarkan hasil penelitian dan para pemerhati pembelajaran sastra tersebut antaralain yaitu; (1) pada dasarnya pembelajaran sastra berpengaruh pada minat murid terhadap sastra, namun, ternyata tidak terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dan kemampuan apresiasi murid; (2) pengajar tidak memiliki waktu serta tidak tahu bagaimana caranya mengikuti perkembangan sastra di luar buku wacana; dan (3) murid tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etis/moral budaya dalam kehidupan. Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sastra di lembaga pendidikan sudah barang tentu disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya, karena pembelajaran sastra merupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum, sarana dan prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum, Depdikbud menyusun
Kerangka
Acuan
Pemasyarakatan
Kebijaksanaan
Pendidikan
dan
Kebudayaan (1993) yang secara tegas menyatakan bahwa “tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik murid sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani
dan
rohani.”
Pendidikan dengan tujuan seperti itu pada dasarnya merupakan pendidikan yang diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat (Aminuddin, 2000:46). Pengajaran sastra memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi ideologis, fungsi kultural, dan fungsi praktis (Jabrohim, Ed., 2001).Fungsi ideologis, yang merupakan fungsi utama pengajaran
sastra
ialah
sebagai
salah
satu
sarana
untuk
pembinaan
jiwa
Pancasila.Fungsi kultural pengajaran sastra ialah memindahkan kebudayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.Fungsi praktis pengajaran sastra memiliki pengertian bahwa pengajaran sastra membekali bahan bahan yang mungkin berguna bagi mahasiswa untuk melanjutkan studi atau bekal terjun di tengah kancah masyarakat. Lain halnya menurut B. Rahmanto (1988:12), menyatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, 4
yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta (4) menunjang pembentukan watak. Pencapaian tujuan pengajaran sastra perlu diupayakan dengan berbagai alternatif media, teknik, ataupun model pembelajaran. Dalam hubungan ini, peneliti mencoba memperkenalkan media berbentuk komik yang berbasiskan flash untuk mengajarkan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam sastra, dengan harapan supaya mahasiswa mengerti mengenai nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat ini. Dengan kata lain, bahwasannya mereka akan melakukan sesuatu hal, mereka harus berpikir ulang sesuai atau tidak terhadap nilai-nilai moral. Salah satu bentuk pengajaran sastra dapat dilakukan melalui komik yang berbasis flash. Pada dasarnya komik adalahKomik adalah Media untuk bercerita dan sebagai media hiburan yang murah meriah dengan tujuan untuk menghibur pembacanya, namun bukan hanya sebagai media untuk menghibur saja, komik juga dapat digunakan sebagai media untuk mendidik.(Arsyad Maidar, 1994:14). Adapun
menurut Sri Anittah (2008:78) Komik adalah suatu kartun yang
mengungkapkan suatu karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat dihubungkan dengan gambar dan dirancang untuk memberi hiburan kepada pembaca. Komik merupakan suatu bentuk cerita bergambar yang terdiri atas berbagai situasi cerita bersambung, kadang bersifat humor. Lubis (dalam Soeparno, 1988:67) memaparkan komik adalah “Media komunikasi Alternatif”, komik dianggap sebagai salah satu media komunikasi yang identik dengan gambar meskipun komik memberi kesempatan berekspresi secara verbal dan visual akan tetapi sebagai media seni. komik tetap berada dalam batas-batas komunikasi. Komik juga diartikan sebagai bentukan dari; tujuan komersial-ekonomis yang berusaha memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan, informasi, dan pendidikan. Tujuannya hanya dapat berhasil apabila persyaratan produksi, distribusi, persepsi, dsn kemungkinan pengaruhnya dihubungkan satu sama lain. Adapun langkah-langkah pembuatan media pengajaran sastra yang berbentuk komik berbasis flash adalah sebagai berikut. 1. Membuka aplikasi macromediaflash 8. 2. Pada Frame 1 membuat judul yang berisi judul, button close dan button ok. 3. Frame 2 membuat petunjuk yang berisi petunjuk menggunakan media komik berbasis flash 4. Frame 3 sampai dengan frame 18 membuat isi cerita. Terdiri dari : a. Frame 3 membuat cerita 1, button close dan alur cerita. 5
b. Frame 4 membuat cerita 2, button close dan alur cerita. c. Frame 5 membuat cerita 3, button close dan alur cerita. d. Frame 6 membuat cerita 4, button close dan alur cerita. e. Frame 7 membuat cerita 5, button close dan alur cerita. f. Frame 8 membuat cerita 6, button close dan alur cerita. g. Frame 9 membuat cerita 7, button close dan alur cerita. h. Frame 10 membuat cerita 8, button close dan alur cerita. i. Frame 11 membuat cerita 9, button close dan alur cerita. j. Frame 12 membuat cerita 10, button close dan alur cerita. k. Frame 13 membuat cerita 11, button close dan alur cerita. l. Frame 14 membuat cerita 12, button close dan alur cerita. m. Frame 15 membuat cerita 13, button close dan alur cerita. n. Frame 16 membuat cerita 14, button close dan alur cerita. o. Frame 17 membuat cerita 15, button close dan alur cerita. p. Frame 18 membuat akhir cerita 16, button close dan alur cerita. 5. Tahap akhir adalah cek ulang bentuk komik media flash. Adapun media komik berbasis flash dapat digambarkan sebagai berikut:
6
D. Kearifan Budaya Lokal Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau local wisdom tersebut. Menurut Agus Maladi Irianto (2009:2), Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious) .Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal bermanfaat pula sebagai jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antargenerasi. Oleh karena itu, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk terus menggali dan ”memproteksi” 7
kearifan lokal yang terdapat pada setiap etnik lokal lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya melalui pendidikan baik formal maupun informal. Berkaitan dengan dunia pendidikan, kearifan lokal melalui pendidikan budaya diharapkan tidak terperangkap dalam situasi keterasingan. Atau menjadi “orang lain” dari realitas dirinya dalam pengertian “menjadi seperti (orang lain)”. Hal inilah yang dikhawatirkan dalam dunia pendidikan dan kebangsaan. Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik simpulan bahwa, Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. E. Simpulan Pendidikan nilai moral melalui pengajaran sastra merupakan salah satu bentuk metode atau teknik penenaman nilai-nilai moral pada diri siswa. Melalui pengajaran ini siswa dapat merasakan sendiri nilai-nilai moral apa yang harus ia pahami untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu bentuk pengajaran sastra yang menarik untuk diikuti siswa dalam pengajaran salah satunya adalah bentuk media yang belum pernah atau asing di mata siswa. Bentuk media ini salah satunya adalah komik berbasis flash, komik yang disampaikan adalah komik yang berhubungan dengan tempat tinggal atau lingkungan sekitar mahasiswa bermukim. Dengan seringya siswa menelaah karya sastra melalui media pengajaran yang menarik diharapkan siswa dapat menemukan nilai-nilai moral dalam sebuah karya sastra.Berawal dari menemukan tersebut, kemudian dipahami, selanjutnya untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru. Arsyad Maidar.1994.Bahasa dan Proses Pengejaran Menyimak. Departemen P dan K Ditjen Dikdasmen.PPPG Bahasa.
B.Rahmanto. 1988. metode pengajaran sastra pegangan guru mengajar sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Burhanuddin Salam.1997. LogikaMaterial Filsafat; Ilmu Pengetahuan Filsafat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 8
E. Mulyasa. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosda Karya. Frans Magnis Suseno. 1986. KuasadanMoral. Jakarta: PT Gramedia. Henri Guntur Tarigan. 2008. MenyimakSebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
Jabrohim (ed), 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya Angkasa. Soerjono Soekanto. 1985. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali. Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: PT Intan Pariwara. Sri Anittah. 2008. Media Pembelajaran. Surakarta: UNS Press.
9