Kota yang Menganga Cinthya Yuanita
L
ubang itu semakin hari semakin menganga. Aku ingat ketika pertama kali Bapak membawaku ke kota ini, lubang itu hanya serupa sumur buta. Tetapi, sekarang ia sudah bermetamorfosis menjadi semacam segara. Tadinya lubang tersebut hanya berisikan cairan pekat seperti air berjelaga, namun kini berganti menjadi likuid merah darah yang sesekali meletup-letup bagaikan lava. Nyaliku yang memang tidak pernah bertumbuh dan berkembang secara sempurna sejak dahulu sontak menciut ketika menyadari pertanda akan adanya malapetaka. Gemuruh dahsyat
yang mengiringi letupan lahar itu seolah meneriakkan perintah untuk segera mencari perlindungan. Kantor Bapak adalah satu-satunya tempat yang berkelebat di otakku saat ini, meskipun aku tahu ada risiko besar yang menunggu. Bapak tengah memimpin rapat ketika aku membuka paksa ruangannya. Bak seorang yang kerasukan setan, aku langsung menceracau tentang segala yang aku lihat mengenai lubang di atas bukit itu. “Pak, kita harus segera meninggalkan kota ini! Sebentar lagi akan ada bencana. Lubang di atas bukit itu sepertinya akan memuntahkan lahar!” Aku tidak mengindahkan pandangan sinis
kolega-kolega Bapak. Saat ini yang terpenting adalah menjamin keselamatan kami, syukursyukur jika aku juga bisa menghindarkan seluruh penduduk kota dari musibah. Dengan sigap Bapak menggaet lenganku, setelah sebelumnya ia menganggukkan kepala di hadapan peserta forum tanda meminta permisi. “Aji!!! Rupanya kau benar-benar gila, ya?! Kau tidak lihat Bapak sedang sibuk membahas proyek besar negara? Kamu mau Bapak dipecat hanya karena memelihara anak tidak waras sepertimu? Kalau Bapak kehilangan pekerjaan ini, kau bisa jadi orang miskin seperti dulu! Mau?!” Sepertinya Bapak benar-benar naik pitam. Air liurnya memuncrat ke segala arah ketika ia melontarkan amarah dengan cara setengah berbisik, supaya manusia-manusia haus gunjingan di dalam ruangan itu tidak bisa mencuri dengar. Suara Bapak yang menahan kemurkaan jadi terdengar seperti decitan Tomi, hamster oranye peliharaanku yang mati mengenaskan di tangan Bik Sugi. Lasni, sekretaris pribadi Bapak yang bertubuh sintal, terlihat bersembunyi di balik tumpukan giro yang belum sempat dicairkan. Sepertinya ia takut menjadi korban semburan emosi Bapak selanjutnya karena telah membiarkan aku merangsek masuk dan mengacaukan rapat. Tetapi, tak ada waktu bagiku untuk merasa gentar. Kali ini Bapak harus percaya kepadaku. Harus! “Pak, Bapak ingat ceritaku tentang lubang di atas bukit yang semakin hari semakin bertambah lebar, kan? Hari ini aku melihat lubang itu semakin berbahaya saja, seperti hendak membumihanguskan kota kita. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini, Pak.” Aku tidak lagi meledak-ledak. Kupikir jika aku menurunkan tensiku, Bapak menjadi bisa diajak berkompromi. “Kau jangan ngawur, Aji. Persetan dengan kau dan lubang-lubang brengsek itu. Kita tidak akan pernah pindah dari tempat ini!” Bapak menyudahi pembicaraan secara satu arah dan kembali masuk ke ruang rapat. Aku masih belum mau menyerah. Kalau semua warga kota berhasil aku bujuk untuk pergi, mungkin Bapak baru mau percaya kepadaku. * Usiaku baru menginjak 7 tahun ketika Bapak memintaku berkemas pada suatu malam
secara tiba-tiba. Dia tidak banyak bicara, tetapi aku juga tidak berminat untuk memberondongnya dengan pertanyaan. Ada aturan nonformal yang berlaku di keluarga kami, tepatnya di antara aku dan Bapak. Jika Bapak mengajukan permintaan, aku tidak boleh membalasnya dengan pertanyaan apalagi bantahan. Maka aku segera mengemasi semua harta benda yang kupunya. Tidak banyak. Hanya beberapa helai pakaian, mobil mainan kesayangan, dan secarik foto Bunda. Khusus untuk benda yang terakhir itu, aku memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Kumasukkan foto tersebut ke dalam amplop yang kemudian kubungkus kembali dengan sampul plastik berjaga-jaga jika terkena hujan selama perjalanan. Aku tidak begitu ingat bagaimana caranya kami bisa tiba di kota ini. Saat itu sudah hampir lewat dini hari ketika Bapak membopongku dan koper-koper kami ke dalam sebuah taksi. Aku tertidur pulas sepanjang perjalanan. Yang aku ingat adalah ketika membuka mata pada keesokan paginya, aku sudah berada di rumah ini. “Sudah sampai kita, Pak?” “Sudah. Ini rumah kita yang baru, Ji. Kau mandilah dulu. Bapak mau siap-siap kerja,” ucap Bapak sembari mengenakan baju safari yang tampak begitu licin. Dibandingkan ketika memakai seragam pegawai negerinya yang sudah usang, Bapak terlihat keren dengan kostum itu. Perlente dan klimis, persis seperti pejabatpejabat yang sering pidato di televisi. “Bapak kerja di kantor pajak lagi? Memangnya tidak boleh istirahat dulu barang sehari?” “Sarapan ada di meja. Kau jangan keluar rumah sampai Bapak pulang, ya.” Seperti biasa, selain tidak suka dibantah, Bapak juga gemar mengabaikan omonganku. Suara ketukan di pintu tiba-tiba mengisi keheningan di antara kami. Tepat ketika mengarahkan kepala untuk melihat siapa yang datang, aku seketika terperangah. Apa-apaan ini! Seolah habis bangun dari koma panjang, aku baru sadar dengan suasana di sekitarku. Tempat aku merebah ini bukan terbuat kasur busa, melainkan ranjang empuk berukuran raksasa yang dihiasi ukiran indah di bagian kepalanya. Aroma furnitur yang baru ditelanjangi dari bungkusnya menguar di seluruh kamar.
“Ini Bik Sugi, Ji. Dia yang akan membantu kita di rumah ini.” Di samping Bapak berdiri seorang perempuan yang usianya kira-kira 30-an dengan rambut ikal dikuncir kuda. Bik Sugi tersenyum kepadaku. Entah kenapa aku merasa ada yang janggal ketika ia menyunggingkan senyumnya, tetapi aku tidak dapat mengidentifikasi letak keganjilannya. Selepas kepergian Bapak, Bik Sugi mengajakku berkeliling di rumah baru. Aku ingin tertawa mendengar perempuan itu menggunakan kata “berkeliling” alih-alih sekedar “melihat-lihat”. Akan tetapi, rupanya Bik Sugi memang menggunakan terminologi yang tepat. Butuh waktu kira-kira dua jam bagi kami untuk menelusuri seluruh sudut rumah yang mahabesar. Dan selama itu, aku harus berkalikali menahan rahang bawahku agar tidak copot dari engselnya akibat kebanyakan melongo karena kagum. Ini jelas bukan rumah, melainkan istana. Desain rumah ini menyerupai kastil-kastil Eropa yang hanya pernah aku lihat di buku cerita. Peranti-peranti elektronik canggih dan beraneka barang mewah mengisi setiap ruang di dalam rumah. Aku mengerjapkan mata. Kilauan benda-benda berlapis emas ini agaknya mulai menusuk retinaku yang telanjur akrab dengan pemandangan serba reyot di rumah lama. Otakku tak henti-hentinya bertanya bagaimana mungkin rumah ini adalah milik Bapak. Padahal waktu bermukim di ibu kota, tempat tinggal kami tidak lebih dari sepetak kontrakan di dalam gang sempit dan kumuh. Barang mewah yang kami punya hanyalah televisi tabung dan sepeda motor kreditan. Maklum, Bapak hanya pegawai pajak golongan terendah yang gajinya selalu tiris di minggu kedua. “Ayo Tuan Muda, kita jalan-jalan keluar.” Aku nyaris tersedak ludahku sendiri mendengar panggilan yang diberikan Bik Sugi. Tuan Muda? Memangnya aku ini tampak seperti anak bangsawan atau jelmaan pangeran kerajaan? “Loh, tapi tadi Bik Sugi berjanji sama Bapak supaya tidak membawaku kemana-mana?” “Halah, Tuan Muda. Janji ya janji, soal ditepati atau tidak itu urusan nanti. Itulah yang berlaku di kota ini.” Ternyata semua rumah yang berada di kompleks ini memiliki bentuk yang sama, lengkap
dengan mobil-mobil mewah yang berjajar rapi di dalam garasinya. Suasana perumahan sangat sepi, hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sepanjang perjalanan, aku hanya melihat beberapa orang dengan tampilan necis khas orang kaya. Lagi-lagi aku merasa ada yang aneh dengan paras manusia-manusia di kota ini. Namun, aku belum menemukan dimana letak kesalahan wajah mereka. * Malam itu Bapak menyuruhku mengenakan pakaian terbaik. Katanya ia akan mengadakan pesta dan banyak sekali orang penting yang hendak datang. Bapak mengingatkan aku agar menjaga sikap sebab tamu-tamu itu adalah orang terpandang. Aku melengos. Apa susahnya menjadi anak baik-baik kalau itulah yang selama ini aku lakukan. Aku melihat mobil-mobil mewah berendengan datang, membawa pria dan wanita yang tampak begitu bergaya. Sejak kapan Bapak punya kenalan orang-orang kaya seperti ini. Beda sekali dengan Om Piyu atau Om Rudi, sahabat karib Bapak yang sering mampir untuk bermain remi sambil menenggak segalon kopi instan. “Wah, ini anak Pak Samawi? Ganteng ya, seperti bapaknya.” Seorang wanita dengan ram-
but yang disasak tinggi menyapaku. Aku berjengit ngeri. Akhirnya aku tahu apa yang membuat warga kota ini terlihat berbeda. Mulut mereka berbeda dari orang kebanyakan, besar dan lebar sehingga membuat wajah mereka tidak proporsional. Ketika berbicara, khususnya hal-hal yang manis, mulut itu menganga semakin lebar dan menyeramkan. Aku berlari menghampiri Bapak saat seseorang dengan mulut paling besar mulai mengajak aku berbicara sepertinya dia adalah orang yang memiliki kasta paling tinggi di antara para tamu. “Pak, Bapak!” aku menarik ujung kemeja batik Bapak yang terbuat dari sutra. “Aku takut! Kenapa semua orang di kota ini bermulut besar?” “Kenapa kau, Ji? Memangnya mereka bicara apa?” “Bukan mulut besar yang itu, Pak. Ini dalam arti sebenarnya. Bentuk mulut mereka besar dan mengerikan. Tidak seperti manusia normal!” “Ngelantur saja, kau. Mana ada seperti itu!” Bapak mengakhiri perdebatan itu dengan sebuah memar yang tercetak di lengan kiriku. Malam itu hanyalah awal dari pertemuanku dengan mulut-mulut besar di kota ini. Hari-hari selanjutnya, aku semakin terbiasa dengan pemandangan itu. Di pasar, di rumah sakit, di kantor pemerintahan, bahkan di warung kopi sekalipun, orang-orang dengan mulut besar selalu muncul. Aku lantas menciptakan postulat dari apa yang aku lihat. Kalau kuperhatikan, mulut mereka akan bertambah besar setiap kali mereka bergosip, membual, atau menggelontorkan fitnah. Sayangnya, kebanyakan perbincangan yang terjadi di kota ini adalah seputar hujatan, pergunjingan, atau rencana melakukan kecurangan. Maka janganlah heran jika mulut setiap warganya semakin membesar dari hari ke hari. * Aku pernah mencoba membahas hal ini lagi dengan Bapak, sekedar menguji apakah penglihatanku saja yang rusak ataukah memang kenyataannya seperti itu. Sebab aku merasa sudah tidak tahan lagi dengan kota ini. Rupa orangorang itu semakin hari semakin menakutkan saja. Mulut-mulut itu bukan lagi hanya menganga, melainkan juga mengeluarkan bernga dan bau yang busuk. “Pak, aku tak tahan lagi,” kataku suatu malam kepada Bapak yang sedang sibuk meme-
riksa surat-surat di mejanya. Dengan terburuburu, Bapak merapikan semua berkas yang berceceran. Aku sempat melirik sekilas isi meja tersebut. Ada sepucuk surat dari perusahaan tambang batu bara yang proses pembayaran pajaknya tengah bapak tangani. Ada pula sepotong headline koran nasional yang memuat berita soal mafia pajak. “Aji, kau mau Bapak cepat mati menyusul ibumu? Bisakah kau menghentikan omonganmu yang ngaco? Bapak tahu kau sangat terpukul sejak kepergian Ibu, tapi tolonglah jangan kau jadi gila karenanya. Tenang, Bapak akan segera memberikanmu ibu baru yang lebih cantik.” Aku terkesiap. Pada detik itu aku baru menyadari, Bapak tidak seperti dulu lagi. Rupa Bapak menjadi sama seperti orang-orang di sini. Samar-samar wajahnya juga mulai mengganda, seperti muka Bik Sugi ketika sedang menjilat Bapak dengan kata-kata manisnya yang penuh kepalsuan. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi membahas masalah mulut besar dengan Bapak. Apalagi setelah teman-teman Bapak menuduhku gila dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. * Sebulan kemudian, Bapak menggenapi kata-katanya. Ia membawa pulang seorang perempuan muda yang cantik dan tampak begitu terawat. Namanya Andari. Darah remajaku langsung bergolak ketika ia memberikan sejumput senyuman. Tapi tak sampai semenit kemudian, senyum Andari berubah menjadi seringai dan diameter mulutnya kian melebar. Ah, rupanya Andari sama saja seperti yang lain. Sejak kedatangan Andari, aku semakin tidak betah di rumah. Ada sesuatu yang meluap-luap di pusat diriku setiap kali berpapasan dengan wajah ayu dan tubuh mulusnya. Hari itu seperti ada yang menggerakkan kakiku ke bukit di pinggiran kota. Saat itulah yang menjadi awal perkenalanku dengan lubang aneh ini. Seperti yang telah aku katakan tadi, dalam sepuluh tahun belakangan, lubang ini terus menampakkan transformasinya. Menurut pengamatanku, cairan di dalam lubang akan menggelegak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh penduduk kota. Semakin seru mereka membicarakan keburukan orang atau memanipulasi cerita, semakin hebat pula cairan itu bergejolak. Kini, ketika moral penduduk kota semakin gila,
lubang itu semakin mengerikan saja. Pertambahan ukurannya berbanding lurus dengan mulut-mulut penduduk yang kian menganga. Anehnya, tidak ada satupun orang yang tahu akan keberadaan lubang yang kian menganga ini mungkin karena mereka terlalu sibuk korupsi atau kelewat asyik melakukan suap menyuap. Memang ada beberapa tetua-tetua kota yang pernah bercerita tentang lubang misterius di perbatasan kota. Tetapi, menurut pada leluhur, lubang itu malah merupakan sumber pemberi rezeki bagi para penduduknya. * Aku berlari ke pusat kota. Banyak orang berkumpul di luar rumah karena jam-jam sibuk sudah berlalu. Aku mencoba untuk mengabari siapapun yang kutemui di jalan. Tak apalah jika habis ini aku diborgol ke penjara atau disekap di rumah sakit jiwa. Mereka justru akan berterima kasih kepadaku karena menghindarkan kota ini dari bencana. Namun, reaksi masyarakat sama saja dengan Bapak. Kebanyakan dari mereka menertawaiku, sebagian lagi bahkan tak sungkan melempar kerikil ke arahku. “Kau benar-benar gila, Ji!” ”Seorang pegawai pajak yang terkenal cerdas dan lihai ternyata memelihara anak sinting di rumahnya.” “Lubang itu cuma mitos. Lagipula kalau lubang itu benar-benar memuntahkan lahar, artinya kota kita akan ketiban rezeki.” Tiba-tiba semua orang dikejutkan dengan bunyi menggelegar yang berasal dari arah perbukitan. Tak lama kemudian, sesuatu serupa lahar menyembur ke atas langit kemudian melelehkan cairan merah ke pusat kota. Orang-orang bukannya ketakutan, justru kegirangan menyambutnya. Mereka pikir mitos itu benar-benar nyata dan air itu serupa berkah yang diturunkan oleh dewata. Orang-orang mulai membuka mulut-mulut besar mereka tanpa ragu. Dengan rakus, mereka menelan cairan aneh yang mulai membanjiri kota, seperti menahan dahaga terlampau lama. Aku berlari menjauh ke arah menara pandang, menerobos air merah berbau anyir itu. Dari puncak menara aku melihat jalanan sudah berubah warna. Lubang itu seperti keran yang rusak kenopnya dan tidak berhenti membawa air
bah ke arah kota. Cairan merah terus mengalir ke kerongkongan mereka dan menggembungkan perutnya. Orang-orang mulai kalut. Mereka berteriak ingin berhenti minum, tetapi tidak kuasa merapatkan mulutnya yang sudah telanjur menganga lebar. Tak lama kemudian, suasana semakin mengerikan saja. Perut mereka yang menjadi gendut tiba-tiba meledak seperti balon udara kelebihan muatan helium. Satu per satu penduduk kota tumbang. Dan aku melihat Bapak juga berada di antara mereka. ***
Foto : www.citywallpaperhd.com