KAJIAN TERHADAP PENENTUAN UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) DAN IMPLEMENTASINYA BAGI PERUSAHAAN DI KABUPATEN BANYUWANGI
Thoyib Kamino
[email protected]
ABTRAKSI Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) merupakan bentuk kebijakan Pemerintah, jika proses penetapannya di lakukan oleh lembaga yang memiliki kopentensi sebagaimana mestinya dan di implementasikan oleh pihak – pihak yang terkait dengan penuh tanggung jawab maka akan dapat menjaga tumbuh dan berkembangnya Perusahaan, melindungi daya beli masyarakat khususnya masyarakat Pekerja dalam menutupi pengeluaran biaya hidup sehari – hari; mendorong pertumbuhan ekonomi baik kabupaten/kota, Provinsi maupun Nasional serta sebagai daya tarik masuknya investor asing maupun domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penentuan UMK oleh lembaga Dewan Pengupahan yang memiliki kopetensi, sebagai mana penerapan di lapangan dan kendala yang di hadapi serta solusi yang di lakukan, dan bagaimana tanggapan baik oleh Perusahaan maupun Pekerja atas penerapan kebijakan UMK. Selanjutnya dapat di peroleh beberapa pokok kesimpulan dan akhirnya di ajukan beberapa pandangan sebagai implikasi kebijakan lebih lanjut. Kata kunci : UMK, Kebijakan, Implementasi.
ABSTRACT Districtor City Minimum Wage (UMK) is a form of government policies, if done by aprogresse dthrough institutions that have competence where appropriate and a simplemented by there levant partiesin a responsible mannerthen it willbe able tomaintain thegrowth and development ofthe Company, to protect the purchasing power Workers in the community, especially to coverliving expenses;encourage economic growtheither district or city, provincial and nationalas well as the appeal ofthe entry offoreign and domestic investors. This studyaims to determine the process of determining the UMK by Wages Councils institutions that have competence, how it was implemented and the obstacles faced and the solutions will be undertaken, and how to respondeither by the Companyor Workerson the implementation of UMK policy. Furthermore, it can be obtaineds everal principal conclusions and finally proposed some view as afurther policy implications. Keywords : UMK , Policy , Implementation .
1. Pendahuluan Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2013, seperti yang disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Jawa Pos, Radar Banyuwangi, Senin 2 Desember 2013 ) bahwa jumlah angkatan kerja di Indonesia ada sebanyak 118,14 juta orang, dengan rincian yang bekerja 110,80 juta orang dan pengangguran sebanyak 7,39 juta orang dengan tingkat pengangguran sebesar
6,25 persen. Jumlah ini mengalami peningkatan pada bulan Februari 2013, yaitu sebesar 7,17 juta orang dengan tingkat pengangguran sebesar 5,92 persen. Selain hal itu jumlah pekerja tidak penuh mencapai sebesar 36,81 juta orang, dimana 10,89 juta diantaranya adalah setengah menganggur dan 25,42 juta sebagai pekerja paruh waktu. Melihat kondisi tersebut, maka situasi ketenagakerjaan di Indonesia pada masa 226
227 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
depan sangat membutuhkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak yang terkait. Dengan kata lain bahwa secara objektif pasar tenaga kerja Indonesia pada saat ini, ditandai adanya penawaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan dan mutu angkatan kerja yang relatif masih rendah. Selain itu, pada saat yang bersamaan, Pemerintah Indonesiajuga dihadapkan pada pekerjaan besar untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, sehingga diharapkan dapat menekan membengkaknya angka pengangguran. Untuk mewujudkan harapan tersebut maka harus terbangun Hubungan Industrial yang harmonis.Menurut Undang – Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal (1) Ayat (16) yang disebut Hubungan Industrial yaitu suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha akan menimbulkan adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, baik dari pihak pekerja/buruh maupun pihak pengusaha dimanahak dan kewajiban tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengaturan hak dan kewajiban dituangkan didalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Hubungan Industrial tersebut perlu diatur dengan tujuan akhir adalah terciptanya produktivitas atau kinerja perusahaan dalam bentuk peningkatan produktivitas serta kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan pengusaha secara adil. Untuk dapat mencapai tujuan akhir tersebut maka perlu adanya ketenangan kerja atau industrial peace sebagai tujuan antara. Terdapat keterkaitan antarameningkatnya produktivitas dan kesejahteraan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan bahkan saling mempengaruhi. Produktivitas perusahaan yang diawali dengan produktivitas kerja hanya mungkin terjadi apabila didukung
oleh kondisi pekerja/buruh yang sejahtera atau ada harapan yang nyata akan adanya peningkatan kesejahteraan diwaktu yang akan datang. Sebaliknya kesejahteraan semua pihak khususnya para pekerja/buruh hanya mungkin dapat dipenuhi apabila didukung oleh tingkat produktivitas tertentu, atau adanya peningkatan produktivitas yang memadai mengarah pada tingkat produktivitas yang diharapkan. Salah satu persoalan Hubungan Industrial di Indonesia yang setiap tahun selalu muncul kepermukaan adalah seputar penetapan Upah Minimum, baik Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Persoalan ini muncul karena cara pandang pihak – pihak yang berkepentingan yakni masyarakat pengusaha, masyarakat pekerja dan Pemerintah selaku regulator yang mewakili masyarakat luas memang saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya, tetapi masing – masing pihak saling membutuhkan dalam rangka mencapai tujuan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Bagi masyarakat pekerja menginginkan UMK yang tinggi, dengan harapan dapat mencukupi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sementara bagi masyarakat pengusaha menginginkan UMK yang relatif rendah agar biaya produksi dapat di tekan sehingga mampu bersaing dengan perusahaan lain yang sejenis dan atau agar memperoleh keuntungan untuk selanjutnya dapat digunakan ekspansi usahanya. Sedang bagi Pemerintah UMK ditetapkan akan dapat digunakan mengendalikan laju inflasi, menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi selanjutnya untuk dapat menciptakan lapangan kerja baru yang akhirnya dapat mewujudkan cita – cita negara mensejaterahkan rakyatnya. Sejak ditetapkan, kebijakan upah minimum ternyata tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya. Dari sisi pengusaha persoalan meliputi keberatan terhadap kenaikan tahunan upah minimum yang dianggap sebagai beban. Sedangkan bagi pekerja persoalan yang muncul meliputi tidak patuhnya pengusaha
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 228
terhadap ketentuan kenaikan upah minimum. Persoalan lain adalah kebijakan upah minimum yang dimaksud hanya di tujukan pada pekerja lajang dan dengan masa kerja kuramg dari satu tahun. Tetapi banyak di jumpai dalam pelaksanaan, bahwa Upah Minimum di perlakukan pada pekerja yang sudah berkeluarga dengan masa kerja lebih dari satu tahun dan menjadi upah maksimum karena sebagian perusahaan tidak mau memberikan upah lebih dari upah minimum. Karena itu, upah minimum yang perhitungannya didasarkan KHL dan berlaku untuk pekerja lajang, besarnya tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga pekerja yang sudah berkeluarga. Persoalan lain dalam kebijakan upah minimum adalah diberlakukan peluang bagi pengusaha untuk melakukan penangguhan pembayaran upah minimum serta tidak efektifnya pemberlakuan peraturan pemberian sangsi bagi perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pemberian upah minimum yang telah di tetapkan. Disamping persoalan tersebut diatas banyak pihak yang mempertannyakan bahkan mempersoalkan orang – orang yang duduk di kelembagaan Dewan Pengupahan. Ada kecurigaan dan anggapan orang – orang yang didudukkan dalam kepengurusan dewan pengupahan di tunjuk begitu saja tanpa melalui proses, dipilih orang – orang yang bisa di ajak kompromidalam penetapan upah minimum. Atas dasar hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang komprehensip tentang penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari seluruh pemangku kepentingan yakni masyarakat pengusaha dan masyarakat pekerja serta Pemerintah selaku regulator mewakili masyarakat umum secara keseluruhan dan menyadari bahwa perbedaan pandangan itu merupakan keniscayaan. Sejak ditetapkan, kebijakan upah minimum ternyata tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya. Dari sisi pengusaha persoalan meliputi keberatan terhadap kenaikan tahunan upah minimum yang dianggap sebagai beban.
Sedangkan bagi pekerja persoalan yang muncul meliputi tidak patuhnya pengusaha terhadap ketentuan kenaikan upah minimum. Persoalan lain adalah kebijakan upah minimum yang dimaksud hanya di tujukan pada pekerja lajang dan dengan masa kerja kuramg dari satu tahun. Tetapi banyak di jumpai dalam pelaksanaan, bahwa Upah Minimum di perlakukan pada pekerja yang sudah berkeluarga dengan masa kerja lebih dari satu tahun dan menjadi upah maksimum karena sebagian perusahaan tidak mau memberikan upah lebih dari upah minimum. Karena itu, upah minimum yang perhitungannya didasarkan KHL dan berlaku untuk pekerja lajang, besarnya tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga pekerja yang sudah berkeluarga. 1.1 Rumusan Masalah Masalah penentuan UMK menyangkut kepentingan tiga pihak yaitu pemerintah, pengusaha dan tenaga kerja, di manamasing – masing pihak memiliki perbedaan yang kontradiksi. Oleh karena itu, guna memahami persoalan tersebutsecara lebih mendalam perlu dilakukan kajian secara kuantitatif dan kualitatif di lapangan dengan rumusan masalah sebagai berikut; a. Bagaimana kopetensi dan prosedur penentuan orang – orang dalam lembaga Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota ? b. Bagaimana persepsi anggota Dewan Pengupahan terhadap indikator yang digunakan dasar penetapan UMK Kabupaten/Kota ? c. Bagaimana pelaksanaan UMK oleh perusahaan dan kendalanyadi Kabupaten/Kota ? d. Bagaimana tanggapan perusahaan dan pekerja tentang UMK Kabupaten/Kota ?
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk menganalisis proses penentuan orang – orang yang duduk di kelembagaan dalam
229 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
penentuan UMK di Kabupaten /Kota. b. Untuk menganalisis persepsi masing – masing anggota Dewan Pengupahan dalam menilai indikator penentuan UMK. c. Untuk menganalisis pelaksanaan UMK dan kendalanya. d. Untuk menganalisis tanggapan perusahaan dan pekerja tentang UMK. 2. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Teoritis Tentang Upah Upah atau gaji adalah salah satu bentuk kompensasi finansial yang diberikan oleh organisasi / perusahaan kepada tenaga kerja atau karyawannya. Karena karyawan atau tenaga kerja telah memberikan kontribusi tenaga dan pikirannya pada organisasi/perusahaan.Menurut Sukirno (2008:350351), pembayaran kepada tenaga kerja dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu gaji dan upah. Gaji dalam pengertian sehari – hari diartikan sebagai pembayaran kepada pekerja tetap dan tenaga kerja profesional seperti pegawai pemerintah, dosen, guru, manager dan akuntan. Pembayaran tersebut biasanya sebulan sekali. Upah di maksudkan sebagai pembayaran kepada pekerja kasar yang pekerjaannya selalu berpindah – pindah, seperti misalnya pekerja pertanian, tukang kayu, buruh kasar dan lain sebagainya. Teori ekonomi mengartikan upah sebagai pembayaran atas jasa – jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada pengusaha. Dengan demikian, dalam teori ekonomi tidak di bedakan antara pembayaran pegawai tetap dan pembayaran kepada pegawai tidak tetap. Pengertian Upah menurut Undang – Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Bab 1, pasal 1, Ayat 30.
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja / buruh yang ditetapkan dan di bayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang – undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. 2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Tingkat Upah Pemberian upah kepada karyawan harus adil dan layak, sesuai dengan peraturan pemerintah hal ini terutama disebabkan karena karyawan menganggap bahwa perbedaan upah merupakan suatu perbedaan status sosial dalam perusahaan sehingga stabilitas tidak terganggu. Untuk tercapainya keadilan dan kelayakan tersebut maka, ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat upah. Menurut Ranupandojo (2002;139) faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat upah adalah sebagai berikut : a. Penawaran dan Permintaan Hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja tetap berpengaruh. Untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi upah cenderung tinggi, sedangkan pekerjaan yang mempengaruhi penawaran melimpah, upah cenderung rendah. b. Organisasi Buruh Ada tidaknya organisasi buruh, serta lemah kuatnya organisasi buruh akan ikut mempengaruhi terbentuknya tingkat upah. Adanya serikat buruh yang kuat, yang berarti posisi karyawan juga akan ikut menaikkan tingkat upah, demikian sebaliknya.
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 230
c. Kemampuan untuk Membayar Meskipun serikat buruh menuntut upah yang tinggi tetapi akhirnya realisasi pemberian upah akan tergantung pada kemampuan membayar dari perusahaan. Bagi perusahaan upah merupakan salah satu komponen biaya produksi sampai mengakibatkan kerugian perusahaan, maka jelas permintaan akan tidak mampu memenuhi fasilitas karyawan. d. Produktifitas Jika produktifitas kerja karyawan baik dan banyak maka upah akan semakin besar, sebaliknya kalau produktifitas buruk serta sedikit maka upah yang diterima kecil. e. Biaya Hidup Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah biaya hidup dimana biaya hidup tinggi maka upah juga cenderung tinggi, begitu juga sebaliknya. f. Pemerintah Pemerintah dengan peraturan – peraturannya juga mempengaruhi tinggi rendahnya upah. Penentuan tentang upah minimum merupakan batas bawah dari tingkat upah yang akan dibayarkan. 3. Upah Minimum dalam Perspektif Historis Penetapan upah minimum di banyak negara tidak terlepas dari kebijakan ILO berkenaan upah minimum sebagaimana tercemin dalam sejumlah konvensi dan rekomendasi ILO. Satu konvensi yang terpenting berkenaan upah minimum adalah konvensi ILO No. 131 yang secara khusus mengatur upah minimum negara-negara berkembang, diadopsi tahun 1970. Konvensi ini muncul dikarenakan fakta bahwa perunding bersama dan mekanisme lainya dalam
penentuan upah tidak berjalan seluas dan secepat yang diharapkan (ILO 2000, website version:www.ilo.org). pada pasal 3 dari konvensi tersebut masyaratkan bahwa pihak yang berwenang dalam menentukan upah minimum harus mempertimbangkan beberapa unsur berikut ini: a. Kebutuhan dari pekerja dan keluarganya, dengan mempertimbangkan tingkat upah secara umum di negara bersangkutan, biaya hidup, jaminan perlindungan sosial dan standar kehidupan relative dari kelompok sosial lainnya. b. Faktor ekonomi termasuk tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat produktifitas, dan kemampuan untuk mencapai dan menjaga tingkat pekerjaan yang tinggi. (The desirability of attaining and maintaining a high level of employment). Sejarah perjalanan upah minimum di Indonesia selama lebih dari 40 tahun sejak upah minimum pertama kali di berlakukan, Indonesia telah 4 ( empat) kali menggantikan standar kebutuhan hidup sebagai dasar penetapan upah minimum. Komponen kebutuhan hidup tersebut meliputi; Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang berlaku tahun 1969 – 1995; Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang berlaku tahun 1996 – 2005, kemudian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku tahun 2006 – 2012 (KHL 46 Komponen) dan tahun 2012 hingga sekarang Kebutuhan Hidup Layak (KHL 60 Komponen). Di samping itu, pengertian (definisi) upah minimum dan istilah – istilahnya juga mengalami beberapa kali perubahan seiring perkembangan dan perubahan regulasi 4. Prinsip – Prinsip Dalam Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)
231 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomer 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum setidak-tidaknya ada prinsip-prinsip yang harus di taati dalam penetapan kebijakan upah minimum. Antara lain: a. Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. b. Upah minimum kabupaten/kota yang selanjutnya di singkat UMK adalah upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota. c. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum yang telah ditetapkan. d. Penetapan upah minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. e. Gubernur dalam menetapkan UMK memperhatikan Rekomendasi Dewan Pengupahan Propinsi dan Rekomendasi Bupati/Walikota. f. Rekomendasi Bupati/Walikota berdasarkan saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. g. Upah Minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. h. Upah minimum wajib dibayar bulanan kepada pekerja/buruh. i. Berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha, upah minimum dapat di bayarkan mingguan atau 2 (dua) mingguan dengan ketentuan perhitungan upah minimum
didasarkan pada upah minimum bulanan. j. Bagi pekerja/buruh dengan sistem kerja borongan/sistem harian lepas yang dilaksanakan 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah minimum yang dilaksanakan di perusahaan yang bersangkutan. k. Besaran kenaikan upah di perusahaan yang upah minimumnya telah mencapai KHL atau lebih di tetapkan secara Bipartit di perusahaan masing-masing. l. Pengawasan pelaksanaan upah minimum dilakukan oleh pegawai Pengawas Ketenaga Kerjaan. 5. Mekanisme Tata Cara Penetapan dan Penangguhan Upah Minimum Kabupaten/Kota Berdasarkan Peraturan pelaksanaan terkait upah minimum diatur dalam Pemernakertrans No 7 tahun 2013 tentang upah minimum Juncto Kepmenakertrans No 226/MEN/2000 tentang perubahan beberapa pasal dalam Pemernakertrans No 1 tahun 1999. Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah Upah Minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/Kota. Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur yang penetapannya harus lebih besar dari upah minimum propinsi yang penetapannya dilakukan setiap 1 tahun sekali dan di tetapkan selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum yaitu setiap 1 januari. Kerangka Konseptual Salah satu persoalan Hubungan Industrial di Indonesia yang setiap tahun selalu muncul kepermukaan adalah seputar penetapan Upah Minimum, baik Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Persoalan ini muncul karena cara pandang pihak – pihak yang
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 232
berkepentingan yakni masyarakat pengusaha, masyarakat pekerja dan Pemerintah selaku regulator yang mewakili masyarakat luas memang saling bertolak belakang satu dengan yang lainnya, tetapi masing – masing pihak saling membutuhkan dalam rangka mencapai tujuan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Bagi masyarakat pekerja menginginkan UMK yang tinggi, dengan harapan dapat mencukupi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sementara bagi masyarakat pengusaha menginginkan UMK yang relatif rendah agar biaya produksi dapat di tekan
ditetapkan akan dapat digunakan mengendalikan laju inflasi, menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi selanjutnya untuk dapat menciptakan lapangan kerja baru yang akhirnya dapat mewujudkan cita – cita negara mensejaterahkan rakyatnya. Atas dasar hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang komprehensip tentang penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari seluruh pemangku kepentingan yakni masyarakat pengusaha dan masyarakat pekerja serta Pemerintah selaku regulator mewakili masyarakat umum secara keseluruhan
sehingga mampu bersaing dengan perusahaan lain yang sejenis dan atau agar memperoleh keuntungan untuk selanjutnya dapat digunakan ekspansi usahanya. Sedang bagi Pemerintah UMK
dan menyadari bahwa perbedaan pandangan itu merupakan keniscayaan. Untuk keperluan tersebut diatas di buat kerangka konseptual sebagai berikut.
3.
Metode Penelitian 1. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yakni pemaparan fakta yang terjadi baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk merealisisasi penelitian tersebut sumber data didapat dari responden/masyarakat pengusaha, masyarakat pekerja/buruh dan pemerintah serta Dewan Pengupahan Kabupaten. Data kuantitatif dan kualitatif didapat melalui wawancara (interview) secara mendalam dan kuisioner serta observasi pada tokoh masyarakat
yang di pandang memahami tentang persoalan ( key informant interview). 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian terdiri atas data kuantitatif dan kualitatif. Sedangkan sumber data terdiri atas : a. Data primer, yaitu data yang berasal langsung dari sumber data yang dikumpulkan secara khusus dan berhubungan langsung dengan permasalahan yang diteliti (Cooper dan Emory,1995). Dalam penelitian ini data primer yang dibutuhkan adalah
233 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
pendapat dan informasi dari masyarakat pengusaha, manajer yang mewakili pengusaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pekerja/buruh dalam masingmasing sektor usaha yang didukung dengan sumber data kualitatif seperti catatan hasil obsevasi dan traskrip interview secara mendalam. Data skunder adalah data yang tidak didapatkan secara langsung oleh peneliti tetapi diperoleh dari studi kepustakaan, literatur, jurnal dan majalah-majalah yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
bagian produksi dipilih sebagai responden dengan alasan kelompok pekerja ini umumnya memperoleh upah relatif terendah dalam setruktur pengupahan pekerja dan paling rentan terhadap dampak kebijakan UMK. Wawancara dilakukan diluar jam kerja bisa di perusahaan maupun diluar perusahaan dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang telah disiapkan. Selain itu juga diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan ketenagakerjaan seperti Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Serikat Pekerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Kamar Dagang Indonesia (KADIN) di Kabupaten Banyuwangi.
3.1 Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data penelitian dilakukan dengan wawancara (interview) secara mendalam dan kuesioner serta observasi. Untuk memvalidasi data, dalam penelitian ini juga digunakan Metode Triangulasi yaitu metode pengecekan dan dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Setelah melakukan wawancara mendalam melalui informasi A dan mengklarifikasikannya informasi B serta mengeksplorasinya pada informasi C, sehingga diperoleh data yang relative sama atau tidak ada lagi data atau informasi baru yang diperoleh. Melalui observasi partisipasi atau pengumpulan informasi secara aktual dan terperinci, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet, diharapkan penyajian data lebih akurat. Dari data yang terkumpul melalui metode tersebut diatas akan dilakukan identifikasi masalah, membuat perbandingan atau evaluasi dan menentukan rumusan dan kesimpulan tentang hasil penelitian. Proses penelitian lebih berperan penting daripada hasil, dimana desain penelitian bersifat sementara sebagai bahan untuk penelitian lanjutan. Informasi digali melalui wawancara mendalam ( indepth interview) dengan pimpinan perusahaan, manajer personalia/HRD dan pekerja bagian produksi dari perusahaan sampel. Pekerja
3.2 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi Penelitian Populasi merupakan keseluruhan kelompok yang dapat berupa manusia, kejadian atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu yang menarik minat peneliti untuk mengadakan penelitian (sekaran;2006) populasi penelitian ini adalah 1.179 perusahaan dengan pekerja sejumlah 55.324 orang. 2. Teknik Pengambilan Sampel Sampel adalah bagian dari obyek populasi yang mewakili karakteristik populasinya. Desain pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara nonprobability sampling. Menurut Nur Indriantoro dkk (2002;130), pemilihan sampel dengan metode nonprobability atau secara tidak acak, element – element populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan sampel yang representatif adalah pemilihan Sampel Bertujuan atau Purposive Sampling. Menurut Nur Indriantoro dkk (2002;130) purposive sampling adalah pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh
b.
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 234
dengan menggunakan pertimbangan atau kriteria tertentu, yang umumnya disesuaikan dengan tujuan atau masalah penelitian. Sedang jenis metode
yang digunakan adalah Pemilihan Sampel Berdasarkan Pertimbangan (Judgment Sampling).
Tabel : 1. Distribusi Sampel Perusahaan dan Pekerja Karakteristik Perusahaan Perusahaan (N = 42) Jml % Sektor Pertanian, Perkebunan dan Perikanan 8 19 Pertambangan dan Penggalian 2 5 Industri dan Pengolahan 10 24 Listrik, Gas dan Air 3 7 Bangunan 2 4 Perdagangan Besar, Hotel dan Restoran 4 10 Angkutan, Perdagangan 4 10 Keuangan, Asuransi 3 7 Jasa Kemasyarakatan 6 14
Pekerja (N = 200) Jml % 40 8 50 10 10 30 20 12 20
20 4 25 5 5 15 10 6 10
Skala Usaha Kecil (Jml pekerja < 20) Menengah (Jml pekerja 20 s/d 100) Besar (Jml pekerja diatas 100)
6 29 7
14 69 17
24 145 31
12 73 15
Permodalan PMA PMDN
8 34
19 81
32 168
16 84
Orientasi Pasar Domestik 14 33 70 35 Ekspor 2 5 10 5 Domestik & Ekspor 26 62 120 60 Jumlah 42 100 200 100 Sumber : Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Banyuwangi diolah. Guna memperoleh ketersebaran dan menangkap permasalahan di lapangan penelitian ini dilakukan di berbagai perusahaan baik sekala usaha maupun sektor kegiatan usaha. Responden Perusahaan adalah pimpinan perusahaan, manajer personalia/ HRD atau kepala bagian produksi di perusahaan formal (yang memiliki ijin usaha/SIUP) Industri manufaktur non migas yang dianggap penting, yaitu industri pengalengan ikan, tepung ikan, pembekuan ikan/udang (cold storage),
perkebunan, industri perkayuan, perusahaan pelayaran, hotel dan lestoran, perdagangan dan keuangan mikro serta aneka industri. pemilihan jenis industri atau usaha berdasarkan sumbangan Pendapatan Domestik Regional Bruto yang memiliki siknifikan di Kabupaten Banyuwangi. Jumlah perusahaan yang digunakan sampel 42 perusahaan dari populasi 1.179 perusahaan. Responden pekerja adalah para pekerja formal di perusahaan tersebut dengan kreteria sebagai
235 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
berikut (i) pekerja bagian produksi (ii) masa kerja satu tahun atau lebih (iii) jenjang dan jenis pekerjaan yang berbeda (iv) pekerja trampil atau tidak trampil (v) mempertimbangkan aspek jender (vi) mewakili kelompok pekerja maupun mandor/pengawas dan (vii) masuk dalam kategori pekerja umur muda (dibawah 25 tahun) dan atau (25 tahun atau lebih). Di setiap perusahaan akan di mewawancarai tiga sampai lima orang pekerja sebagai sampel sesuai dengan besarnya sekala usaha dan jenis pekerjaan. Jumlah responden sebanyak 200 orang pekerja dari jumlah populasi 55.324 orang pekerja di Banyuwangi pada tahun 2014. 3.3 Analisis Data Data dan informasi yang dikumpulkan akan dianalisis melalui pendekatan kualitatif. Menurut Jon Jonkers dkk (2011;71) Penelitian Kualitatif adalah penelitian dimana peneliti membuat suatu usaha untuk memahami suatu realitas organisasi tertentu dan fenomena yang terjadi dari perspektis semua pihak yang terkait. Atas dasar hal tersebut analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis kelembagaan dan proses penentuan upah minimum digunakan analisis deskriptif kualitatif; 2. Untuk menganalisis persepsi penilaian terhadap indikator UMK digunakan analisis deskriptif kualitatif dengan cara menggali informasi dari anggota dewan pengubahan yang merupakan lembaga yang memiliki kopetensi terhadap ketentuan upah minimum Kabupaten / Kota. 3. Untuk menganalisis pelaksanaan UMK dan kendalanya di beberapa sampel perusahaan digunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan cara membandingkan antara ketentuan upah minimum dengan upah riil yang dibayar oleh perusahaan pada karyawan.
Untuk menganalisis tanggapan perusahaan dan pekerja tentang UMK digunakan analisis deskriptif kualitatif. 4.
Hasil dan Pembahasan 1. Kajian Terhadap Kelembagaan Seperti yang telah disampaikan diatas Kelembagaan yang memiliki kopetensi dalam penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebelum ditetapkan oleh Gubernur melalui peraturan gubernur adalah Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Karena itu titik tekan dalam pembahasan kelembagaan ini adalah membahas kopetensi Dewan Pengupahan, proses ferivikasi keanggotaan Dewan Pengupahan dan Periodesasi kepengurusan anggota Dewan Pengupahan. Responden dalam penelitian ini adalah pengurus Asosiasi Perusahaan, Pengurus Serikat Pekerja/Buruh (SP/SB), Aktivis Lembaga Suadaya Masyarakat (LSM) serta PNS di lingkungan Dinas terkait. Secara lengkap kajian terhadap kelembagaan sebagai berikut : a. Kajian terhadap komposisi kelembagaan Dewan Pengupahan Komposisi keanggotaan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan dengan perbandingan 2:1:1 yakni 2 (dua) dari unsur Pemerintah; 1 (satu) dari unsur Pengusaha (APINDO) dan 1 (satu) dari unsur Serikat Pekerja/Buruh (SP/SB) dan jangka waktu periode kepengurusan 4 (empat) tahun. Dalam penelitian ini diperoleh beragam pendapat atau pandangan yakni setuju; tidak setuju dan tidak berpendapat dengan berbagai alasan sebagai berikut : 1. Pandangan/pendapat yang setuju
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 236
Sebagaian besar wakil dari pemerintah (PNS) menyatakan setuju dengan alasan untuk menghindari terjadinya jalan buntu (deat look) dalam mengambil keputusan. 2. Pandangan/pendapat yang tidak setuju Sebagian besar responden Pengusaha dan Pekerja/Buruh serta Aktivis LSM menyatakan tidak setuju dengan alasan komposisi 2:1:1 tidak mencerminkan rasa keadilan dan dianggap tidak menggambarkan tuntutan demokratisasi dan bahkan responden yang di temui menyatakan perlu dilakukan revisi atas komposisi tersebut menjadi 1:1:1. 3. Tidak berpendapat Yang tidak berpendapat atas komposisi 2:1:1 adalah sebagian kecil responden dari unsur pemerintah. b. Kajian terhadap proses verifikasi keanggotaan Dewan Pengupahan Proses verifikasi keanggotaan Dewan Pengupahan di peroleh beragam pandangan terutama dari unsur Pengusaha dan dari unsur Serikat Pekerja/Buruh (SP/SB) sedang dari unsur Pemerintah tidak ada yang mempersoalkan karena penugasan atas jabatan yang melekat pada dirinya. Pandangan dari unsur Pengusaha dan unsur Pekerja/Buruh secara lengkap sebagai berikut : 1. Unsur Pengusaha Sebagian besar responden unsur pengusaha yang di temui menghendaki untuk dilakukan peninjauan terhadap proses yang selama ini dilakukan oleh APINDO, karena dianggap
kurang mencerminkan sektor kegiatan usaha. Untuk itu responden Pengusaha mengusulkan ada 1 (satu) orang yang mewakili sektor kegiatan usaha. 2. Unsur Pekerja/Buruh Pandangan dari responden unsur Pekerja/Buruh atas proses verifikasi sudah dianggap mencerminkan rasa keadilan namun, diharapkan proses verifikasi di lakukan setiap sektor kegiatan usaha. c. Kajian terhadap periodesasi kepengurusan Dewan Pengupahan Sebagian besar responden yang ditemui baik responden Pengusaha maupun responden Serikat Pekerja/Buruh (SP/SB) menghendaki adanya pembatasan yakni maksimal 2 (dua) kali periode seseorang duduk dalam kepengurusan Dewan Pengupahan dengan alasan untuk menghindari terjadinya kompromi (halo efek) dalam setiap pengambilan keputusan. 2. Kajian Persepsi Anggota Dewan Pengupahan Terhadap Indikator Yang Digunakan Sebagai PertimbanganPenetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Penentuan usulan besaran nilai UMK oleh Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dilakukan melalui musyawarah mufakat dan merekomendasiksan kepada Bupati/Walikota dengan mempertimbangkan antara lain : a. Nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diatur dalam Kepmenakertrans No 13 tahun 2012 tentang komponen dan pentahapan pencapaian Kebutuhan Hidup Layak seperti (lampiran 1). Secara teknis pelaksanaannya untuk
237 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
bulan januari sampai dengan agustus berdasarkan hasil survey setiap bulan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi. Sedang bulan September dilakukan dua kali survey oleh Dewan Pengupahan Kabupaten Banyuwangi di tiga pasar tradisional yang telah disepakati untuk tahun 2014 yakni Pasar Banyuwangi, Pasar Muncar dan Pasar Kalibaru. Dilakukan oleh tiga tim survey yang anggotanya berbeda dan di roling antar pasar masing – masing di ikut sertakan 1 (satu) orang tenaga BPS. Untuk bulan Oktober, Nopember dan Desember mengunakan metode least square dengan mendasarkan atas angka inflasi tahunsebelumnya (2012) untuk diperoleh KHL akhir tahun. b. Nilai UMK tahun sebelumnya Di maksudkan untuk menghitung seberapa persen kenaikan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK) dari tahun ke tahun. c. Perhitungan inflasi didasarkan pada asumsi inflasi RAPBN tahun berikutnya.Dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan harga ditingkat pasar. d. Produktifitas, pertumbuhan ekonomi dan usaha yang paling tidak mampu (marginal) di Kabupaten/Kota. Dimaksudkan dengan pertimbangan ekonomi disini adalah perkembangan perekonomian di daerah setempat atau dikenal dengan Prodak Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam hal ini kenaikan upah riil (setelah mempertimbangkan angka inflasi maksimalnya adalah sebesar kenaikan PDRB atau tingkat Upah Minimum yang di tetapkan tidak lebih besar dari
pendapatan perkapita. Sedang usaha yang paling tidak mampu (marginal) bahwa dalam penetapan UMK jika tidak memperhatikan kemampuan usaha marginal maka di khawatirkan akan dapat mempengaruhi kelompok buruh pada usaha marginal. Kondisi seperti ini tentu akan sangat menyulitkan bagi kelompok marginal sehingga dapat berdampak mematikan kelompok usaha tersebut. e. Kondisi Pasar Kerja Kondisi pasar kerja merupakan perbandingan jumlah kesempatan kerja dengan jumlah pencari kerja di daerah tertentu pada periode yang sama. f. Kemampuan Perusahaan Dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi perusahaan untuk menyampaikan pendapat tentang kondisi riil yang dihadapi dalam rangka menjaga kelangsungan hidup perusahaan. g. Prodak Domestik Regional Bruto (PDRB) Menggambarkan tentang pertumbuhan ekonomi untuk daerah tertentu dari waktu kewaktu. Dari ketujuh Indikator diatas Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan faktor dasar dalam menentukan besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Dimana nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) hasil survay di pasar tradisional sedang indikator lainnya yakni produktifitas, pertumbuhan ekonomi dan usaha paling tidak mampu (marginal) serta Prodak Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan faktor penyelaras atas nilai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Dalam situasi tertentu faktor produktifitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha marginal lebih merupakan
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 238
keputusan yang bersifat politis karena bukan merupakan penjumlahan atau produktifitas dan pertumbuhan ekonomi serta pengurangan persentase usaha marginal.
3. Kajian terhadap Implementasi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) pada Perusahaan di Kabupaten Banyuwangi
Tabel. 2 Karakteristik Pekerja di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2014 Sektor Usaha *) Karakteristik Pekerja 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis kelamin : - Laki – laki 25 6 15 8 8 18 12 7 12 - Perempuan 15 2 35 2 2 12 8 5 8 Kelompok Umur : - 15 – 24 thn 2 0 2 1 2 6 4 0 4 - 25 – 34 thn 13 2 19 6 5 17 12 5 12 - 35 – 44 thn 8 4 12 1 2 4 3 6 3 - 45 – 55 thn 12 2 12 2 1 2 1 1 1 - > 55 thn 5 0 5 0 0 1 0 0 0 Tingkat Pendidikan : - Setingkat SLTP 28 5 43 1 7 21 11 2 12 - Di atas SLTP 12 3 7 9 3 9 9 10 8 Tingkat Keterampilan - Tidak Terampil 10 1 8 2 3 14 6 4 4 - Terampil 30 7 42 8 7 16 14 8 16 Status Pekerja - Bulanan 18 1 20 3 2 3 2 2 3 - Kontrak Bulanan 2 1 10 5 6 8 12 2 6 - Harian Tetap 12 2 10 1 1 9 2 2 11 - Harian Lepas 8 1 7 1 1 6 4 4 0 - Borongan 0 3 3 0 0 4 0 2 0 Total 40 8 50 10 10 30 20 12 20 % 20 4 25 5 5 15 10 6 10 Sumber : Data primer diolah a. Kajian Terhadap Karakteristik Pekerja Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa lebih dari separuh pekerja memiliki tingkat pendidikan SLTP kebawah, terutama yang bekerja di sektor perkebunan, pertambangan dan galian, sektor industri terutama pengalengan ikan dan Coldtorage, bangunan, perdagangan, angkutan dan jasa kemasyarakatan pada umumnya tidak membutuhkan tingkat pendidikan tinggi sedang di sektor listrik, gas
Jml
Total %
111 89
55 45
21 91 43 34 11
11 45 42 17 5
130 70
65 3,5
52 148
26 74
54 52 50 32 12 200
27 26 25 16 6 100
dan air serta sektor keuangan lebih di dominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan diatas SLTP. Jumlah tenaga laki – laki dan perempuan relatif seimbang, pekerja di sektor industri pengalengan ikan dan pembekuan ikan di dominasi pekerja perempuan, sedang sektor yang lain lebih banyak tenaga laki – laki dari aspek umur, kebanyakan pekerja kelompok dewasa ( sekitar 25 – 34 tahun) di temui disemua sektor usaha, jumlah kelompok pekerja terampil lebih dominan
239 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
jika di bandingkan dengan yang tidak terampil. Di lihat dari status pekerja, teryata dominan pekerja kontrak bulanan, harian tetap dan harian lepas dan hanya sekitar seper empat jumlah pekerja sudah menjadi pekerja bulanan tetap dan hanya sekitar lima persen sebagai pekerja borongan.
Dari data diatas menunjukkan bahwa nampak cukup sulit bagi pekerja untuk menjadi pekerja bulanan tetap karena perusahaan sengaja membatasi jumlah pekerja tetap untuk menghindari kuwajiban memberikan uang pesangon atau uang tali asih apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
b. Kajian Penerapan UMK Diperusahaan Tabel : 3 Penerapan UMK Perusahaan di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2014 Perusahaan UMK *) I II III Total Sektor : - Pertanian, Perkebunan, Perikanan 8 8 - Pertambangan dan penggalian 1 1 2 - Industri pengolahan 7 3 10 - Listrik, gas dan air 2 1 3 - Bangunan 1 1 2 - Perdangangan besar, Hotel dan 3 1 4 Restoran 3 1 4 - Angkutan dan perdangangan 3 3 - Keuangan dan asuransi 5 1 6 - Jasa kemasyarakatan Permodalan : - Kecil - Menegah - Besar
5
3 1
-
3 6
PMDN : - Kecil - Menegah - Besar
2
2 15 -
4 10 -
6 25 2
7
21
14
42
Total
Keterangan *) : I : UMK sebagai gaji pokok II : UMK sebagai gaji pokok ditambah tunjangan III : Rata – rata tingkat upah dibawah UMK Sumber : Data Primer diolah.
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 240
Dari 42 (empat puluh dua) perusahaan yang di kunjungi ternyata sepertiga masih menerapkan upah di bawah UMK, hanya dua pertiga dari perusahaan yang telah memberikan upah sesuai UMK. Hanya seperenam perusahaan yang memperlakukan UMK sebagai aturan yaitu gaji pokok. Selebihnya UMK yang di masukkan adalah total gaji/upah yang di terima pekerja, termasuk tunjangan tidak tetap. Upah yang di bawah UMK banyak di jumpai pada industri padat karya (pengalengan ikan, pembekuan udang/ikan dan tepung ikan) sedang upah sesuai UMK pada perusahaan besar dan PMA. Perbedaan penerapan UMK juga terlihat pada beberapa kelompok sub sektor industri. Perusahaan industri padat karya (seperti pengalengan ikan, pembekuan udang/ikan dan tepung ikan) hampir sebagian besar memberikan upah di bawah UMK. Sedang perusahaan industri padat modal sudah menerapkan UMK sesuai aturan. Besarnya upah/gaji oleh pekerja di perusahaan PMA umumnya diatas UMK. Upah sesuai UMK ini biasanya di perlakukan bagi pekerja yang baru masuk bekerja. Penerapan upah kerja selanjutnya di dasarkan pada tingkat senioritas, keahlian, status dan lama kerja. Bagi perusahaan yang dapat menerapkan UMK, penerapan upah terkecil di berikan kepada pekerja yang baru masuk dan tidak di bedakan jenis pekerjaannya. Beberapa perusahaan memberlakukan upah di bawah UMK untuk pekerja dengan status tertentu
(diperusahaan perkebunan yang di sebut pekerjaan un organik). c. Kajian Penerapan UMK Terhadap Pekerja Penerapan UMK terhadap pekerja pada umumnya berkaitan erat dengan sekala usaha dan kemampuan perusahaan untuk menggaji karyawannya, setatus pekerja, jabatan atau jenjang kepangkatan serta pengalaman kerja memperlihatkan penerapan UMK terhadap pekerja. Setelah upah/gaji berdasarkan pekerja di konfersikan satu sama lain upah di atas UMK lebih banyak pada tenaga kerja bulanan yakni 27% dan pekerja kontrak bulanan yakni 26%. Tingkat kesesuaian berikutnya di terima oleh pekerja harian tetap yakni 15%, sementara untuk pekerja harian lepas hannya 8,5%. Walaupun jumlah upah/gaji yang di terima pekerja bororngan seluruh responden di atas UMK yakni 6% pada kenyataannya mereka harus bekerja melebihi jam kerja yang berlaku. Beberapa pekerja di perusahaan kecil dan menengah terpaksa menerima upah di bawah UMK karena tidak mempunyai pilihan kerja lainya. Sebagian pekerja sering mengeluh karena upah yang di terima tidak sebanding dengan kenaikan harga – harga barang untuk kebutuhan hidup sehari – hari. Pekerja borongan umumnya kurang memperhatikan apakah upahnya sesuai dengan UMK atau tidak. Hal ini karena penetapan upah pekerja borongan biasanya tidak dikaitkan dengan UMK. Namun, apabila harga barang – barang mengalami peningkatan, misalnya sebagai akibat kenaikan harga BBM, beberapa pekerja kadang meminta kenaikan upah.
241 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
Sebagian perusahaan melakukan penyesuaian upah borongan tanpa di minta oleh pekerja ketika terjadi perubahan peraturan UMK atau kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Berkaitan dengan pendidikan pekerja, informasi dari lapangan menunjukkan tidak adanya kaitan yang erat antara tingkat upah dengan tingkat pendidikan pekerja. Sebagian besar tenaga dengan tingkat pendidikan di bawah SLTP memperoleh upah di atas UMK. Ternyata aspek keterampilan pekerja lebih berperan dalam menentukan besarnya upah di bandingkan dengan masa kerjanya. Sebanyak 145 pekerja responden (98% dari 148 pekerja terampil yang di temui mendapat upah di atas UMK dan hanya 20 pekerja (38%) dari 52 pekerja tidak terampil yang menerima upah di atas UMK. Sementara itu, berkaitan dengan masa kerja, mereka yang masa kerjanya kurang dari 2 tahun tidak ada yang menerima upah sebesar UMK, bahkan ada 17 responden pekerja yang masa kerjanya dua sampai empat tahun menerima upah di bawah UMK. Sedangkan pekerja yang masa kerjanya diatas empat tahun secara keseluruhan menerima upah sama atau diatas UMK. Hal ini menunjukkan bahwa masa kerja berpengaruh siknifikan terhadap penerapan UMK bagi pekerja. d. Kajian Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 1. Keberadaan serikat pekerja di perusahaan dan peranannya Umumnya serikat pekerja telah terbentuk di perisahaan sekala besar. Sebagian besar mengunduh pada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Beberapa perusahaan juga membentuk atau memiliki serikat pekerja lain misalnya Serikat Pekerja Independen (SPI),
Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI), Gabungan Serikat Pekerja Perkebunan (SPBUN). Sebagian perusahaan menengah dan kecil belum memiliki Serikat Pekerja dengan berbagai alasan, antara lain Serikat Pekerja belum di perlukan, jumlah pekerja masih sedikit, pekerja enggan membentuk Serikat Pekerja karena harus membayar iuran anggota. Di perusahaan yang telah mempunyai Serikat Pekerja, apabila ada persoalan yang muncul atau informasi baru, termasuk ada peraturan baru dari pemerintah, biasanya perusahaan melakukan musyawarah dengan pengurus Serikat Pekerja. Beberapa perusahaan telah membekali para pekerja dengan pelatihan, termasuk memberikan informasi tentang peraturan tersebut, kebijakan perusahaan serta visi dan misi perusahaan, sebelum pekerja tersebut di tempatkan. Pada perusahaan tersebut, semua kebijakan yang menyangkut pekerja dan perusahaan di atur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang akan ditinjau secara berkala setiap satu tahun atau dua tahun sekali. Salah satu contoh hasil kesepakatan kerjasama semacam ini adalah di beberapa perusahaan besar menyediakan fasilitas kredit lunak perumahan untuk pekerja dengan masa kerja lebih dari lima tahun, kredit lunak untuk uang muka pembelian sepeda motor, dan memberikan informasi mengenai aturan tentang tunjangan – tunjangan, uang pesangon dan uang jasa. Perwakilan pekerja biasanya mengadakan pertemuan berkala, yaitu setiap bulan sekali. Perusahaan yang bernaung dalam group memiliki Pengurus Unit Kerja (PUK) atau salah satu seorang pengurus PUK SPSI di
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 242
setiap perusahaan selaku wakil pekerja dalam pertemuan groupsetiap keputusan yang menyangkut pekerja biasanya di tentukan berdasarkan keputusan group. Kadang kala keputusan group tidak selalu memuaskan pekerja di semua perusahaan yang masuk dalam satu group, hal ini karena kondisi antar perusahaan dalam group dan kepedulian masing – masing perusahaan kepada pekerja tidak selalu sama. Kebanyakan kepengurus SPSI di pilih berdasarkan pemilihan anggota, walaupun ada beberapa pengurus SPSI yang di tunjuk dan diangkat oleh perusahaan. Wakil pekerja yang duduk dalam pengurus SPSI di anggap cenderung menyuarakan aspirasi perusahaan dari pada aspirasi pekerja. Biasanya pekerja ini oleh perusahaan di bebaskan dari pekerjaannya sebagai buruh, sementara SPSI di perusahaan PMA umumnya sudah “mewakili’’ aspirasi pekerja. 4. Tanggapan Perusahaan Tentang UMK a. Tanggapan Umum Perusahaan Semua responden perusahaan mengeluhkan kebijakan UMK yang dilakukan setiap tahun sekali. Sementara itu sebagian besar perusahaan keberatan dengan kebijakan UMK, baik mengenai isi kebijakan itu sendiri maupun komponen yang terkandung di dalamnya. Namun ada beberapa perusahaan yang menilai positif dan mendukung kebijakan tersebut. Beberapa responden mengkritisi tentang ketentuan dalam peraturan perundang – undangan yang mengatur UMK yakni upah pokok ditambah dengan tunjangan tetap, dengan ketentuan upah pokok serendah – rendahnya 75%
dari upah minimum. Hal ini berkaitan dengan aturan Permennakertrans No 1/Men/1999 dan diganti dengan Permennakertrans No 7/Men/2013 bahwa UMK berlaku bagi pekerja lajang yang mempunyai masa kerja kurang dari satu tahun, juga karena UMK merupakan upah terkecil yang berlaku di suatu perusahaan sebagai pekerja baru, biasanya pekerja tersebut belum menerima tunjangan, apalagi tunjangan yang bersifat tetap. Sehingga dari segi peraturan, kebijakan UMK ini masih membingungkan. Ada yang menerapkan UMK sebagai gaji pokok ada pula yang menganggap UMK adalah jumlah keseluruhan upah, termasuk di dalamnya tunjangan tidak tetap. Sebagian perusahaan juga menganggap bahwa penerapan UMK yang di perlakukan pemerintah lebih di dorong oleh adanya isi hak asasi manusia atau tekanan dari pekerja dalam bentuk unjuk rasa dan sabotase. Pandangan sebagian perusahaan tentang peraturan pemerintah, termasuk kebijakan UMK cenderung negative dalam artian pemerintah di anggap tidak memperhatikan aspek lain dalam menetapkan peraturan misalnya dalam menerapkan UMK dan kenaikannya sering kali kebijakan tersebut tidak memperhitungkan unsur produktifitas dan kurang memperhatikan kondisi perusahaan yang saat ini rata – rata kesulitan karena akibat krisis ekonomi. Pemerintah di nilai hannya memikirkan kepentingan pekerja. Sebagai contoh pemberlakuan peraturan tentang uang
243 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
pesangon dan uang jasa yang mengharuskan perusahaan memberikan uang jasa kepada pekerja yang di keluarkan/PHK, termasuk yang di PHK karena alasan mencuri atau melakukan tindakan kejahatan di perusahaan. Beberapa perusahaan juga menyatakan bahwa kebijakan UMK telah menyebabkan hilangnya alat kontrol untuk mendorong produktivitas, karena pekerja yang malas menerima upah/gaji yang besarnya sama dengan mereka yang rajin. Kenaikan UMK juga telah menyebabkan perusahaan tidak mampu lagi menaikan upah pekerja sebagai suatu insentif. Pada akhirnya hal ini menimbulkan iklim tidak kondusif, yang mengakibatkan pekerja tidak berkeinginan untuk meningkatkan produktivitasnya, bahkan mungkin semakin tidak bergairah kerja. Di usulkan kenaikan UMK di sesuaikan dengan laju inflasi dan/atau pertumbuhan ekonomi sehingga perusahaan masih mempunyai ruang untuk meningkatkan produktifitasnya. Sebagai contoh UMK Kabupaten Banyuwangi 2014 seharusnya sebesar Rp 1.156.000 atau naik 6,46%, tidak Rp 1.240.000 atau naik 14,14%. Bagi perusahaan padat karya seperti perusahaan pengalengan ikan, pembekuan udang, tepung ikan, perkebunan kenaikan UMK sangat besar mempengaruhi pengeluaran untuk upah, pada hal margin keuntungan yang di terima umumnya kecil, bahkan perusahaan perkebunan harga jual atas komoditasnya sangat di pengaruhi oleh harga pasar, dan bahkan perusahaan dapat menderita kerugian karena
faktor biaya tersebut belum di perhitungkan dalam perjanjian kontrak dengan pembeli/pelanggan. Pada umumnya perusahaan industri padat karya prihatin dengan kondisi saat ini. Dengan adanya kebijakan UMK, pekerja akan mmemanfaatkan kebijakan ini untuk unjuk rasa apabila upahnya tidak segera di naikkan tanpa memperdulikaan kondisi perusahaan. Penundaan pelaksanaan kebijakan UMK oleh perusahaan mengakibatkan pemogokan kerja yang menyebabkan pengiriman barang tertunda serta berakibat pada pembatalan kontrak oleh pemesan. Selanjutnya perusahaan akan bangrut karena omzet perusahaan menurun dan akhirnya ini semua akan juga merugikan pihak pekerja, hal ini akan berimbas pada pengurangan tenaga kerja secara besar – besaran. Apabila perusahaan memberlakukan tindakan keras, pekerja mengancam pihak perusahaan agar di PHK dengan harapan mendapat uang pesangon. b. Kendala Perusahaan Dalam Penerapan UMK Secara umum kendala yang di hadapi perusahaan utamanya perusahaan padat karya dalam menerapkan UMK antara lain (i) tidak semua perusahaan mempunyai kemampuan untuk membayar UMK sesuai dengan yang telah di tetapkan, (ii) pembayaran upah yang tinggi tidak di ikuti dengan peningkatan kinerja (misalnya pekerja malas – malasan dan tidak disiplin), (iii) akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berakibat pada peningkatan harga – harga
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 244
bahan baku menyebabkan biaya produksi dan biaya operasional meningkat, sementara harga jual tidak dapat di naikkan dan (iv) order untuk pasar domestik dan ekspor menurun akibat krisis global di berbagai Negara tujuan ekspor. c. Efek Upah Sundulan Mereka yang berpandangan positif, biasanya perusahaan besar dan PMA yang rata – rata perusahaan padat modal adalah perusahaan yang tidak mengalami masalah dan mempunyai kemampuan menerapkan UMK. Kenaikan UMK masih di anggap wajar, walau demikian bukan berarti tidak ada masalah, masalah yang di hadapi adalah kenaikan UMK juga mengharuskan kenaikan upah/gaji yang ada di perusahaan meskipun rata – rata sudah di atas UMK. Kenaikan di maksud dengan sebutan efek sundulan. Yaitu perusahaan harus menyesuaikan gaji/upah tidak saja bagi pekerja yang standar UMK, tetapi juga kepada seluruh pekerja/karyawan termasuk manajer yang besarnya nilai kenaikan sesuai dengan presentase kenaikan UMK tahun sebelumnya. Kebijakan kenaikan upah/gaji ini sering disebut sebagai efek sundulan. Disamping itu kebijakan menaikkan upah serta menyulitkan perusahaan terutama dalam melakukan perencanaan dan perhitungan cash flow. Perusahaan besar padat modal dalam Negeri (bukan PMA) juga menilai kebijakan UMK baik, tetapi mengritik tentang persentase kenaikan terlalu tinggi dan dianggap tidak logis dan kenaikannya
merupakan tekanan kepentingan politik. Kenaikan UMK dapat diterima karena di sadari kenaikan tersebut dapat menopang biaya hidup yang semakin berat. d. Keringanan dan Penangguhan UMK Dari empat puluh dua perusahaan yang di kunjungi tidak satupun perusahaan melakukan pengajuan keringanan atau penagguhan pelaksanaan kebijakan UMK, perusahaan enggan mengajukan keringanan atau panangguhan UMK karena persyaratanya sangat sulit bisa di penuhi antara lain audit dari accuntan public yang biasanya sangat mahal dan memerlukan waktu yang cukup panjang. Umumnya perusahaan takut melakukan penagguhan kenaikan UMK karena takut menghadapi unjuk rasa para pekerja yang justru akan mengakibatkan kerugian lebih besar. Sebetulnya di beberapa perusahaan utamanya perusahaan padat karya seperti perusahaan pengalengan ikan, perusahaan pembekuan udang/ikan (coldstorage) dan perusahan perkebunan dari hasil pemantauan yang dilakukan tidak menerapkan UMK sebagai mana mestinya namun tidak mengajukan penagguhan. Fakta ini sebenarnya diketahui oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, namun pihak Dinsosnakertrans setempat memberikan toleransi kepada perusahaan tersebut karena bila ketetapan UMK di paksakan maka perusahaan akan bangrut dan pengangguran justru akan meningkat. e. Harapan Perusahaan Terhadap Penerapan UMK
245 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
Berikut adalah beberapa harapan yang dikemukakan perusahaan dalam penerapan UMK antara lain: 1. Pemerintah perlu melakukan penegakan hukum, baik kepada perusahaan maupun pekerja. Pekerja boleh mogok tetapi harus sesuai dengan prosedur yang berlaku dan bila tidak sesuai harus ditindak, karena dapat merugikan perusahaan dan pekerja sendiri. 2. Undang – undang atau peraturan harus adil atau berimbang, tidak memihak kepada pemerintah maupun perusahaan. 3. Pemerintah harus netral agar tidak dalam posisi sulit dan kehilangan wibawa. Sebagai contoh, hendaknya kebijakan jangan bersifat populis dan tidak dilakukan dengan ancaman. 4. Komposisi kepengurusan di Dewan Pengupahan yaitu 2:1:1 dianggap tidak mencerminkan keadilan, karena itu perlu ada peninjauan dengan komposisi 1:1:1. 5. Kenaikan UMK juga diharapkan tidak terlalu tinggi, yakni lebih kecil atau sama dengan rata – rata pertumbuhan ekonomi tiga atau lima tahun terakhir, sehingga masih ada celah bagi perusahaan untuk meningkatkan produktifitas pekerja. 6. Baik perusahaan maupun pekerja mengharapkan terjaminnya kondisi aman yang memungkinkan perusahaan dapat bekerja secara baik dan konsumen tidak takut belanja di pasar, moll atau
toko – toko. Beberapa perusahaan menginginkan stabilnya nilai mata uang. Bagi perusahaan, besar kecilnya nilai tukar uang tidak menjadikan masalah, yang penting stabil sehingga perusahaan dapat melakukan perhitungan biaya dan harga jual produknya secara tepat. 7. Perlu ada peraturan yang jelas antara UMK di perlakukan yang masa kerja kurang dari satu tahun di satu sisi dan aturan tentang gaji/upah terdiri dari 75% gaji/upah pokok dan 25% tunjangan tetap. f. Pengawasan terhadap penerapan UMK Pengawasan terhadap penerapan UMK dapat dilakukan oleh pekerja dan instansi pemerintah (Disnakertran). Pengawasan dari disnaker dilakukan dengan meninjau ke lapangan, mengharuskan perusahaan membuat laporan berkala setiap bulan, enam bulan atau satu tahun sekali. Pengawasan juga dapat dilakukan melalui program jamsostek yakni ketika perusahaan membayar premi jamsostek. Sementara itu, pengawasan pada perusahaan kecil dan sedang hampir tidak dilakukan oleh pemerintah. Tampaknya instansi pemerintah yang berwenang memaklumi bahwa perusahaan kecil dan menengah yang belum mampu menerapkan UMK karena kondisi usahanya. Karena alasan yang sama para pekerja di perusahaan tersebut juga dapat memaklumi apabila perusahaan belum menerapkan UMK, meskipun
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 246
mereka mengetahui besaran UMK tahun berjalan. Menurut para pengusaha, pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan UMK sangat lemah dan insensitasnya tidak teratur. Kesan bahwa telah ada kerjasama antara pengusaha dan aparat instansi pengawas untuk menutupi praktek menyimpang dari penerapan UMK. Diakui oleh pengurus SPSI (serikat pekerja seluruh Indonesia) hal – hal semacam ini sebenarnya sudah sering dilaporkan kepada bagian pengawas Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tetapi hingga kini belum ada tindakan ataupun tindak lanjut dari keluhan tersebut. Pengusaha juga mengakui adanya petugas yang mendatangi mereka dan mengingatkan. 5. Tangapan Pekerja terhadap UMK a. Tanggapan pekerja secara umum Meskipun kebijakan UMK bertujuan untuk melindungi pekerja, namun pada kenyataannya banyak pekerja menilai bahwa kebijakan tersebut justru menempatkan pekerja pada posisi lemah. Pekerja menilai pengusaha hanya mengunakan aturan UMK sebagai tolok ukur utama dalam menerapkan upah sehingga perusahaan – perusahaan yang sebenarnya mampu memberikan upah/gaji lebih besar kepada pekerjanya, hanya memberikan upah yang besarnya sekitar ketentuan UMK karena adanya penetapan UMK tersebut. Bagi pekerja yang sudah lama bekerja diperlakukannya UMK menyebabkan mereka kurang puas karena upah/gaji yang diterima tidak jauh
berbeda atau hampir sama dengan gaji pekerja baru. Mereka merasa pengalaman yang dimiliki dan masa kerjanya kurang dihargai. Selain itu, menurut pekerja, pelaksanaan peraturan UMK sering terlambat (antara 3-6 bulan dari ketetapan peraturan). Apabila pekerja menuntut justru akan mendapat tekanan dan intimidasi dari perusahaan, bahkan akan di berhentikan tanpa memperoleh uang pesangon. Hal ini sering terjadi pada perusahaan – perusahaan yang pekerjanya belum memiliki serikat pekerja, dimana posisi tawar pekerja sangat lemah. Meskipun perusahaan tidak menerapkan sesuai dengan ketentuan UMK, sebagian pekerja tetap bersedia dan bertahan bekerja dengan berbagai alasan, antara lain memaklumi kondisi perusahaan. Alasan lainnya adalah mereka mendapat perlakuan baik dari perusahaan, berangkat dan pulang kerja di sediakan angkutan (truk atap tertutup) pekerjaan di tempat kerjanya dinilai cukup santai di banding tempat lain atau dengan alasan tidak ada alternative pekerjaan lain. Alasan yang lain terutama karyawan perempuan yang suaminya bekerja menganggap upah/gaji yang di terima sebagai tambahan penghasilan keluarga. Harapan pekerja dalam penentuan UMK Sementara itu pihak pekerja mengemukakan beberapa harapan dalam penetapan UMK antara lain sebagai berikut : 1) Pekerja dapat memperoleh persamaan tunjangan sebagaimana yang berlaku di perusahaan lain yang sejenis. Selain itu pekerja borongan juga berharap memperoleh tunjangan seperti yang berlaku bagi
247 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
2)
3)
4)
5)
pekerja harian, yaitu tidak hanya menerima gaji/upah borongan seperti yang biasa mereka terima. Hal ini berkaitan dengan lama (pengalaman kerja) banyak pekerja borongan yang sudah bertahun – tahun bekerja. UMK yang sekarang berlaku di nilai masih belum memadai, perlu ada kebijakan yang dapat mendorong perusahaan besar agar memperlakukan tinkat upah sesuai dengan kemajuan perusahaan, tidak hanya berkisar pada UMK. Perlu ada perbedaan gaji ataupun tunjangan yang cukup signifikan antara pekerja ahli/terampil dan telah lama bekerja dengan pekerja yang baru bekerja di suatu perusahaan. Selain itu status pekerja juga perlu mendapat perhatian, misalnya pekerja harian bagian produksi setelah bekerja dalam jangka waktu tertentu dapat di angkat sebagai pekerja tetap. Perlu ada perlindungan bagi pekerja yang belum memiliki serikat pekerja agar terhindar dari tekanan atau intimidasi oleh pengusaha, terutama dalam hal penetapan tingkat upah dan status kerja mereka. Pengurus Serikat Pekerja/Buruh (SP/SB) di tingkat unit mempertanyakan orang – orang yang di dudukkan atau di angkat dalam kepengurusan dewan pengupahan. Ada anggapan bahwa ada orang yang tidak mengetahui persoalan yang di alami dilapangan, karena itu perlu dilakukan verifikasi yang ketat tentang keterwakilannya. Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang
kebijakan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) memiliki pengaruh yang sangat siknifikan terhadap pengambilan keputusan strategis bisnis di perusahaan, terutama dalam kebijakan penetapan harga. Baik harga pokok prodak maupun harga jual prodak serta kebijakan yang lainnya di dalam rangka menjaga eksitensi dan pengembangan bisnis. Implikasi Kebijakan Dari hasil kajian melalui pembahasan dan kesimpulan diatas ada beberapa implikasi kebijakan yang di ajukan pada pihak – pihak terkait antara lain : 1. Agar tercipta rasa keadilan, komposisi kepengurusan dalam Lembaga Dewan Pengupahan perlu dilakukan peninjauan, sementara yang berjalan selama ini sesuai peraturan Presiden No: 107 tahun 2004 tentang Dewan Pemgupahan komposisinya : 2 (dua) dari unsur Pemerintah; 1 (satu) dari unsur Pengusaha dan 1 (satu) dari unsur Pekerja menjadi : 1 (satu) dari unsur Pemerintah; 1 (satu) dari unsur Pengusaha dan 1 (satu) dari unsur Pekerja. 2. Untuk menjamin keterwakilan yang memiliki kopetensi dari orang – orang yang duduk dalam pengurus Lembaga Dewan Pengupahan, perlu dilakukan verifikasi secara ketat dalam setiap periodesasi kepengurusan. 3. Periodesasi Kepengurusan Dewan Pengupahaan perlu ada pembatasan yang tegas maksimal 2 (dua) periode seseorang duduk dalam kepengurusan, hal ini untuk menghindari terjadinya bentuk kompromi (hallo effect) 4. Agar tingkat kenaikan UMK tidak terlalu tinggi dari tahun ketahun, maka indikator penentuan UMK tidak hanya dominan dari hasil survey harga Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar, tetapi
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 248
juga memperhitungkan indikator lain terutama rata – rata pertumbuhan ekonomi tiga atau lima tahun terakhir. 5. Agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain tentang pengertian dan pelaksanaan Upah Minimum di usulkan upah minimum adalah upah/gaji pokok bagi pekerja lajang dengan masa kerja tidak lebih dari satu tahun dan tidak termasuk tunjangan tetap. 6. Agar informasi tentang UMK di dengar secara menyeluruh disetiap perusahaan, maka perlu sosialisasi baik melalui mass media atau kelompok usaha sejenis di tingkatkan, jika di pandang perlu di setiap perusahaan di pasang atau di tempel pengumuman tentang pelaksanaan UMK. 7. Perlu adanya pengawasan dan tindakan yang tegas dari Dinas terkait bagi perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan pelaksanaan UMK. DAFTAR PUSTAKA Aditia, Nico, 2013. Angka Kebangkrutan di Thailand Naik Imbas Kenaikan Upah Minimum. Pegawai Sekretariat Jenderal Keuangan. Diakses di Internet, Juni 2013.
Penerbit Fakultas Universitas Indonesia.
Ekonomi
Gianie, 2004. Pengaruh Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Berpendidikan Rendah di Sektor Industri dan Perdagangan. Tesis, Jakarta Universitas Indonesia. Islam I dan Nazara. S, 2000. Wage and The Welfane Of Indonesia, Wonkers Occasional Discussion Paper No 3. Jakarta, ILO. Jan Jonker, Bartjan J, W, Penniak dan Sari Wahyuni, 2011. Metodologi Penelitian, Panduan untuk Master dan Ph.d. di Bidang Manajemen.Penerbit Salemba Empat. Nur Indriantoro dkk, 2002. Metodologi Penelitian Bisnis; Untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta, BPFE Yogyakarta. Pratomo, Devanto Shasta dan Putu Mahardika Adi Saputra, 2011. Kebijakan Upah Minimum Untuk Perekonomian Yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 1945. Journal of Indonesia Applied Economics Vol. 5 No. 2 Oktober 2011, 269-285. Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya.
Budiyono, 2007. Penetapan Upah Minimum Dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan. Tesis: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Diakses di Internet, Juni 2013.
Pemimpin Redaksi “ Kebijakan pembanguan ketenagakerjaan di Era Global” Radar Banyuwangi; 2 desember 2013, halama 26.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyuwangi, judul Banyuwangi dalam Angka Tahun 2012.
Rahayu, Sri Kusumastuti, dkk. 2003. Penerapan Upah Minimum di Jabotabek dan Bandung. Lembaga Peneliti SMERU, Maret 2003.
Dewi
Hanggraeni, 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Lembaga
Pemimpin Redaksi “ Jakarta kota termahal, Banyuwangi termurah”, Jawa Pos, 3 januari 2014, halaman 1.
Rokhadi Priyo Santoso, 2012. Ekonomi Sumber Daya Manusia dan
249 ANALISA: Vol. 2 No. 2, Agustus 2014 : 226-250
Ketenagakerjaan, YKPTI.
UPP
STIM
Santoso, Budi dan Kamal Halili Hassan............... Enforcing the minimum wage through criminal santions: A case of Indonesia. Labour Law Research Center, Brawijaya University, Indonesia. Faculty Of Law, the National University of Malaysia. Diakses di Internet, tanggal 13 juni 2013. Sholeh, Maimun. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja serta Upah : Teori serta Beberapa Potretnya di Indonesia. Staf Pengajar FISE Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses di Internet, Juni 2013. Simanjuntak.P.J. 1985 Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. SMERU, Lembaga Penelitian, Menuju Upah Layak.
Witjaksono, Mit. 2009. Dualisme Pasar Tenaga Kerja dan Dampak Upah Minimum. JESP-Vol. 1, No. 1, 2009, halaman 67-73. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. Peraturan Perundang – Undangan Instruksi Presiden Republik Indonesia, Nomer 9 Tahun 2013 Tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam rangka keberlangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan pekerja. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomer : 231/Men/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum. Keputusan Menakertrans Nomor : Kep266/Men/2000, Tentang Perubahan Pasal 1,3,4,8,11,20 dan 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per. 01/Men/1999 Tentang Upah Minimum.
2001.
Sukirno, Sadono, 2008. Mikro Ekonomi, Teori Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sumanto, 2014. Hubungan Industrial, Jakarta: PT. Buku Seru Jakarta Sumarsono, Sonny, 2009. Ekonomi Sumber Daya Manusia, Teori dan Kebijakan Publik. Jogjakarta, Graha Ilmu. Sidamuk, Maikas, 2013. Kebijakan Pengupahan di Indonesia; Tinjauan Kritis dan Panduan Menuju Upah Layak, Bumi Intitama Sejahtera. Tjandraningsih, Indrasari dan Herawati, 2009. Menuju Upah Layak: Survai Upah Buruh Tekstil dan Garmen di Indonesia. Hasil Penelitian, November 2009, yang dipublikasikan di Media Internet, diakses Juni 2013.
Keputusan Presiden Nomor : 107 tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan. Konvensi ILO yang Deratikasi Indonesia, Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja Bekerjasama dengan ILO Jakarta,1999. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01/Men/1999 Tentang Upah Minimum. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per17/Men/VIII/2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Kamino : Kajian Terhadap Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK) Dan Implementasinya Bagi Perusahaan Di Kabupaten Banyuwangi 250
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 tahun 2013 Tentang Upah Minimum.
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 78 Tahun 2013 Tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2014.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.