BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kemajuan di bidang kesehatan serta meningkatnya tingkat sosial ekonomi dunia saat ini bermuara pada meningkatnya kesejahteraan penduduk serta meningkatnya usia harapan hidup (UHH) penduduk dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2004 UHH penduduk Indonesia adalah 68,6 tahun, dan meningkat menjadi 70,6 tahun pada tahun 2009. Akibatnya jumlah dan proporsi penduduk lanjut usia (lansia), yaitu mereka yang berusia 60 tahun ke atas, di Indonesia semakin meningkat terutama dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (Komisi Nasional Lanjut Usia [Komnas Lansia], 2010a). Populasi lansia di Indonesia pada tahun 1971 tercatat 5,3 juta jiwa (4,48% dari total penduduk Indonesia), meningkat menjadi 14,4 juta jiwa (7,18%) pada tahun 2000, dan 19,3 juta jiwa (8,37%) pada tahun 2009 (Komnas Lansia, 2010b). Dengan proporsi lansia yang melebihi 7% tersebut, sejak tahun 2000 Indonesia telah termasuk negara berstruktur tua atau an aged structured population (Komnas Lansia, 2010a). United Nations (UN) (2001) bahkan memproyeksikan bahwa Indonesia akan menempati peringkat kelima sebagai negara dengan penduduk lansia terbanyak pada tahun 2025 (35,0 juta jiwa) setelah China, India, Amerika Serikat, dan Jepang. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) (2009) menunjukkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki proporsi penduduk lansia tertinggi (14,02%) di Indonesia. Proporsi lansia di DIY tersebut lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan (15,23%) daripada laki-laki (12,73%), serta pada penduduk pedesaan (17,62%) dibandingkan perkotaan (12,03%). Keluhan kesehatan para lansia di DIY lebih banyak dialami mereka yang tinggal di pedesaan (56,77%) daripada di perkotaan (51,78%). Angka kesakitan juga lebih tinggi pada para lansia yang tinggal di pedesaan (28,56%) daripada di perkotaan (21,60%). 1
2
Kabupaten Bantul yang merupakan 1 dari 5 kabupaten/kota di DIY juga mengalami hal serupa. UHH di Kabupaten Bantul pada tahun 2008 pada laki-laki adalah 71 tahun dan pada perempuan adalah 72 tahun (BPS Kabupaten Bantul, 2010a). Pada tahun 2009, proporsi penduduk lansia di kabupaten ini mencapai 11%. Proporsi lansia tertinggi terdapat di Kecamatan Sanden (30,50%), Kretek (23,20%), Bambanglipuro (16,70%), Imogiri (14,90%), dan Sedayu (14,30%). Fenomena transisi demografi yang terjadi di Kabupaten Bantul mencerminkan semakin meningkatnya derajat kesehatan di wilayah ini. Di lain pihak, sebagai konsekuensi dari penurunan kemampuan fisik, mental, dan aktivitas fungsional yang terjadi pada lansia, banyak permasalahan yang timbul terutama di bidang kesehatan dan sosial. Permasalahan utama yang timbul dalam bidang kesehatan adalah terjadinya transisi epidemiologi, yaitu meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif, seperti: hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK), stroke, osteoporosis, dan osteoarthritis, menggantikan dominasi penyakit menular di masyarakat (Bustan, 2006; Komnas Lansia, 2010a,b). Kondisi ini juga terjadi di Kabupaten Bantul. Data menunjukkan pada tahun 2007-2009 stroke, PJK, serta gangguan metabolik berupa Diabetes Mellitus (DM) Tipe II mendominasi sepuluh besar penyakit penyebab kematian di RSUD Kabupaten Bantul (Dinas Kesehatan [Dinkes] Kabupaten Bantul (2008, 2009, 2010). Penyakit degeneratif yang kesakitannya bersifat menahun selanjutnya dapat berakibat pada menurunnya kualitas hidup para lansia. Permasalahan lainnya juga terjadi di bidang sosial, yaitu adanya kerawanan sosial pada lansia telantar yang masih banyak jumlahnya di Indonesia (Hadi, 2005). Pada tahun 2007 dilaporkan terdapat sekitar 1.564.286 dari 16.522.311 (10%) lansia di Indonesia dikategorikan telantar (Departemen Komunikasi & Informasi [Depkominfo], 2007). Untuk itu diperlukan upaya penanganan yang komprehensif, terpadu dan berkesinambungan agar para lansia bukan sekadar terbebas dari kesakitan, namun juga mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.
3
Kualitas hidup saat ini merupakan sebuah konsep penting yang dijadikan sebagai salah satu kriteria untuk mengevaluasi intervensi pelayanan kesehatan. Menurut World Health Organization (WHO) (2002), kualitas hidup adalah persepsi individual tentang kesehatan fisik, status psikologis, derajat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi, dan hubungan yang istimewa dari seseorang di masyarakat. Oleh Ware (1990) kualitas hidup dinyatakan dalam 2 skala yaitu: kualitas kesehatan fisik/physical component summary (PCS) dan kualitas kesehatan mental/mental component summary (MCS). Berdasarkan definisi dari WHO di atas tampak bahwa ukuran dalam kualitas hidup lebih komprehensif dibandingkan ukuran epidemiologi lainnya. Oleh karena itu, kajian tentang kualitas hidup dari penerima intervensi kesehatan (pasien) kini semakin berkembang. Menurut Croog dan Levine (1988) cit. Murti (1997a) ada 5 alasan yang mendasari pentingnya mengevaluasi kualitas hidup pasien dalam intervensi pelayanan kesehatan. Pertama, meningkatnya insidensi penyakit kronis akan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan yang berujung pada turunnya kualitas hidup pasien. Kedua, jumlah dan proporsi kelompok lansia saat ini semakin meningkat namun rentan mengalami penurunan kualitas hidup. Ketiga, dengan adanya keterbatasan sumber daya maka aspek ekonomis pelayanan dan pemeliharaan kesehatan menjadi perhatian para pembuat kebijakan. Untuk itu perlu dilakukan cost-utility analysis atas intervensi dan manfaatnya terhadap kualitas hidup pasien. Keempat, pelayanan kesehatan yang lebih humanis merupakan tuntutan logis masyarakat yang semakin menyadari harkat, martabat, dan posisinya dalam hubungan dokter-pasien. Oleh karena itu penting diketahui efek dari intervensi yang diberikan terhadap kualitas hidup pasien. Kelima, para peneliti dan klinisi kini semakin menyadari adanya interaksi antara faktor psikososial dan faktor biologis terhadap kesehatan dan penyakit. Oleh karenanya kualitas hidup kini semakin menjadi perhatian dari para peneliti dan klinisi. Terkait perubahan paradigma pelayanan kesehatan yang berkembang saat ini, pemerintah RI menjawabnya melalui Undang-Undang (UU) RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 183 Ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa:
4
“Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lansia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Hal ini mencerminkan bahwa upaya pelayanan kesehatan lansia di Indonesia saat ini ditujukan kepada peningkatan kualitas hidup lansia. Oleh karena itu, saat ini di tingkat dasar telah diselenggarakan bentuk pelayanan kesehatan untuk lansia, seperti: program Puskesmas Santun Lansia serta pos pelayanan terpadu (posyandu) lansia. Menurut Komnas Lansia (2010a) posyandu lansia merupakan wadah yang sangat potensial untuk dikembangkan di masyarakat. Posyandu lansia merupakan suatu bentuk pelayanan di tingkat dasar yang melibatkan lintas sektor terkait, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta masyarakat. Posyandu lansia bisa dikembangkan oleh puskesmas atau oleh masyarakat sendiri. Selain pelayanan kesehatan, di posyandu lansia juga dapat diberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, ketrampilan, olah raga, seni budaya, serta pelayanan lain yang dibutuhkan para lansia. Terkait upaya pelayanan terhadap para lansia, Dinkes Kabupaten Bantul (2010) menyebutkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan lansia dan pralansia di Kabupaten Bantul pada tahun 2009 baru mencapai 46,47%. Cakupan ini masih di bawah standar pelayanan minimal (SPM) kesehatan lansia yaitu sebesar 60%. Cakupan pelayanan kesehatan lansia dan pralansia terendah adalah Puskesmas Bambanglipuro (17,42%). Meskipun demikian, pemanfaatan posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Bambanglipuro oleh penduduk lansia dan pralansia pada tahun 2011 justru lebih besar yaitu 73,30% (Ariyani, 2011). Ini menunjukkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan lansia dan pralansia melalui posyandu lansia di wilayah ini cukup tinggi dan potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan penelitian dari Ariyani (2011) terdapat 4 faktor perilaku yang terbukti berhubungan dengan pemanfaatan posyandu lansia di Puskesmas Bambanglipuro, yaitu: (1) faktor predisposisi (jenis kelamin perempuan, tingkat pengetahuan tentang posyandu lansia yang tinggi, dan sikap positif terhadap posyandu lansia), (2) faktor pemungkin (ketersediaan posyandu, dan jarak yang dekat), (3) faktor pendukung/penguat (adanya dukungan keluarga, peran aktif
5
petugas posyandu, sikap positif petugas posyandu, peran aktif kader, dan sikap positif kader), serta (4) faktor kebutuhan akan manfaat dari posyandu lansia. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa faktor pendukung/penguat berupa peran aktif petugas posyandu dan kader merupakan 2 faktor utama dalam pemanfaatan posyandu lansia. Ini menunjukkan bahwa posyandu lansia memiliki potensi yang cukup besar untuk membantu upaya peningkatan kualitas hidup para lansia apabila dukungan berupa peran aktif petugas dan kader dioptimalkan. Peran aktif ini sesungguhnya terkait erat dengan fungsi pelayanan yang diberikan, yaitu: jenis, frekuensi, dan kualitas kegiatan pelayanan posyandu lansia. Penelitian-penelitian sebelumnya membuktikan bahwa beberapa program atau kegiatan pada lansia berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih baik. Program/kegiatan yang dimaksud adalah: aktivitas fisik (Acree et al., 2006; Katula et al., 2008; Lobo et al., 2008; Levasseur et al., 2008; White, 2009), program nutrisional (Nijs et al., 2006), program edukasional (Rana et al., 2009), program perawatan lansia (Jacob et al., 2007; Chiang et al., 2007), serta program keagamaan (Idler et al., 2009). Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia adalah jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi (Butler & Ciarrochi, 2007;
Masel et al., 2009; Pramoni, 2010), serta permasalahan
kesehatan yang disandang, seperti: hipertensi (Robbins et al., 1994), arthritis, penyakit kronis (Masel et al., 2009), dan obesitas (Vasiljevic et al., 2008). Pengaruh program/kegiatan tersebut terhadap kualitas hidup pesertanya cenderung massal, sedangkan pengaruh faktor lainnya individual. Ini menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan yang diberikan oleh suatu lembaga pelayanan lansia, termasuk posyandu lansia, memiliki nilai yang strategis dalam upaya peningkatan kualitas hidup para lansia. Studi pendahuluan di posyandu lansia “Pusat Santunan dalam Keluarga (PUSAKA) Wahyu Teratai” Sidomulyo, Bambanglipuro memperkuat konsep tersebut. Menurut Dinas Sosial dan Komisi Daerah (Komda) Lansia Kabupaten Bantul posyandu ini dinilai memiliki kegiatan yang cukup komprehensif. Kegiatan yang dimaksud adalah: pemeriksaan kesehatan, pemberian makanan tambahan (PMT), olah raga, pemberdayaan ekonomi, pembinaan kesenian,
6
pembinaan spiritual, serta program rekreasi. Melalui wawancara dengan beberapa lansia peserta maupun pengurus posyandu lansia ditemukan bahwa para peserta merasa atau tampak lebih sehat dan lebih aktif secara sosial setelah aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan. Menurut Ketua Komda Lansia Kabupaten Bantul hal tersebut mendorong keinginan kelompok lansia atau masyarakat lainnya untuk menyelenggarakan model kegiatan serupa. Namun dengan adanya keterbatasan sumber daya dan dana di masyarakat menyebabkan hanya beberapa jenis kegiatan dalam model tersebut yang dapat diselenggarakan. Untuk itu perlu disusun prioritas kegiatan posyandu lansia sehingga dapat dipilih kegiatan yang paling sesuai dengan kondisi yang ada di masyarakat. Mengingat potensi dari posyandu lansia terhadap upaya peningkatan kualitas hidup lansia maka penting untuk dilakukan studi lebih lanjut. Diperlukan suatu analisis mendalam untuk mengetahui hubungan serta manfaat partisipasi aktif dalam masing-masing kegiatan posyandu lansia terhadap kualitas hidup pesertanya, baik dalam skala kualitas kesehatan fisik maupun kualitas kesehatan mental, serta jenis kegiatan apa yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup (kualitas kesehatan fisik dan kualitas kesehatan mental) yang baik. Dengan diketahuinya hal tersebut diharapkan dapat direkomendasikan prioritas kegiatan posyandu lansia. Oleh karena itu, dengan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk menganalisis status partisipasi dalam kegiatan posyandu lansia dalam hubungannya dengan kualitas hidup peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan antara status partisipasi dalam kegiatan posyandu, yaitu: pemeriksaan kesehatan, PMT, olah raga, pembinaan spiritual, pembinaan kesenian, pemberdayaan ekonomi, dan rekreasi, dengan kualitas kesehatan fisik peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro?
7
2. Apakah ada hubungan antara status partisipasi dalam kegiatan posyandu, yaitu: pemeriksaan kesehatan, PMT, olah raga, pembinaan spiritual, pembinaan kesenian, pemberdayaan ekonomi, dan rekreasi, dengan kualitas kesehatan mental peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro? 3. Bagaimanakah persepsi peserta posyandu lansia tentang manfaat kegiatan posyandu yang diikuti terhadap kualitas hidupnya?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status partisipasi dalam kegiatan posyandu dengan kualitas hidup peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro. 2. Tujuan khusus: a. Untuk mendeskripsikan kualitas hidup, baik kualitas kesehatan fisik maupun kualitas kesehatan mental peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro. b. Untuk mendeskripsikan status partisipasi peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro dalam kegiatan posyandu. c. Untuk mengetahui ada/tidaknya hubungan antara status partisipasi dalam kegiatan posyandu (pemeriksaan kesehatan, PMT, olah raga, pembinaan spiritual, pembinaan kesenian, pemberdayaan ekonomi, dan rekreasi) dengan kualitas hidup (kualitas kesehatan fisik dan kualitas kesehatan mental) peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro. d. Untuk mengetahui status partisipasi dalam kegiatan posyandu yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup (kualitas kesehatan fisik dan kualitas kesehatan mental) peserta posyandu lansia di Kecamatan Bambanglipuro. e. Untuk mengeksplorasi persepsi peserta posyandu lansia tentang manfaat kegiatan posyandu yang diikuti terhadap kualitas hidupnya.
8
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas Bambanglipuro: Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan pada lansia khususnya pengembangan kegiatan posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Bambanglipuro. 2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul: Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan kebijakan terkait upaya peningkatan kualitas hidup penduduk lansia di Kabupaten Bantul, yang berbasis pada kearifan lokal serta terpadu lintas sektoral antara Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan Komda Lansia. 3. Bagi masyarakat: Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan model kegiatan posyandu lansia yang dinilai lebih optimal dalam dalam pencapaian kualitas hidup yang baik serta sesuai untuk diaplikasikan di masyarakat, termasuk dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada. 4. Bagi para lansia: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada para lansia dalam memilih kegiatan-kegiatan yang diikuti di posyandu lansia yang sesuai dengan kondisi mereka. 5. Bagi penulis: Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut terkait kualitas hidup lansia di Kecamatan Bambanglipuro di masa yang akan datang.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kualitas hidup lansia serta faktor-faktor yang berhubungan dengannya telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Judul penelitian beserta persamaan dan perbedaan dari penelitian tersebut dengan penelitian ini ditampilkan dalam Tabel 1.
9
Tabel 1. Keaslian Penelitian No
Peneliti
1.
Jacob et al. (2007)
Judul Penelitian The Effect of Community Based Daycare on Mental Health and Quality of Life of Elderly in Rural South India: a community intervention study
a.
Persamaan dengan Penelitian Ini jenis penelitian: observasional variabel terikat: salah satunya adalah kualitas hidup subjek penelitian: lansia populasi: penduduk lansia di daerah pedesaan
Perbedaan dengan Penelitian Ini a. rancangan penelitian ini adalah cross sectional, rancangan penelitian tersebut kohort prospektif b. variabel bebas penelitian ini adalah status partisipasi dalam kegiatan posyandu dengan kovariat faktor sosiodemografi, status hipertensi, dan status kecacatan, variabel bebas penelitian tersebut perawatan lansia berbasis masyarakat
b. c. d.
2.
Kerse et al. (2008)
Does a Functional Activity Programme Improve Function, Quality of Life, and Falls for Residents in Long Term Care? Clustered randomized controlled trial (RCT)
a. subjek penelitian: lansia b. salah satu variabel terikatnya adalah kualitas hidup
a. jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan cross sectional, jenis penelitian tersebut eksperimental dengan rancangan penelitian clustered RCT b. variabel bebas penelitian ini adalah status partisipasi dalam kegiatan posyandu dengan kovariat faktor sosiodemografi, status hipertensi, dan status kecacatan, variabel bebas penelitian tersebut program aktivitas fungsional c. variabel terikat penelitian ini kualitas hidup, variabel terikat penelitian tersebut ada tiga: kapasitas fungsional, kualitas hidup, dan frekuensi jatuh pada lansia
3.
Nurhasanah (2008)
Hubungan Tingkat Depresi dengan Kualitas Hidup pada Masyarakat Daerah Bencana Paska Gempa Bumi di Kabupaten Sleman Tahun 2008
a. jenis penelitian: observasional b. rancangan penelitian: crosssectional c. variabel terikat: kualitas hidup d. alat ukur kualitas hidup: Kuesioner SF-36
a. b.
c.
subjek penelitian ini adalah lansia, subjek penelitian tersebut penduduk dewasa muda dan lansia populasi penelitian ini adalah penduduk lansia di Kecamatan Bambanglipuro, populasi penelitian tersebut masyarakat daerah bencana paska gempa bumi di Kabupaten Sleman tahun 2008 variabel bebas penelitian ini adalah status partisipasi dalam kegiatan posyandu dengan kovariat faktor sosiodemografi, status hipertensi, dan status kecacatan, variabel bebas penelitian tersebut tingkat depresi dengan kovariat faktor demografi
10
4.
5.
6.
Oktavia (2009)
Pramoni (2010)
Ariyani (2011)
Hubungan Antara Bentuk a. jenis penelitian: Interaksi Sosial dengan observasional Kualitas Hidup Lansia di Panti b. rancangan penelitian: crossSosial Tresna Werdha (PSTW) sectional Abiyoso Pakem, Yogyakarta c. subjek penelitian: lansia d. variabel terikat: kualitas hidup e. alat ukur kualitas hidup: Kuesioner SF-36
a.
Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kualitas Hidup Peserta Posyandu Lanjut Usia di Kabupaten Sleman
a. jenis penelitian: observasional b. rancangan penelitian: crosssectional c. variabel terikat: kualitas hidup d. subjek penelitian: lansia e. alat ukur kualitas hidup: Kuesioner SF-36
a.
a. jenis penelitiannya observasional b. rancangan penelitiannya adalah cross-sectional c. subjek penelitiannya adalah lansia d. lokasi penelitiannya di Kecamatan Bambanglipuro
a. variabel bebas penelitian ini adalah status partisipasi dalam kegiatan posyandu dengan kovariat faktor sosiodemografi, status hipertensi, dan status kecacatan, sedangkan variabel bebas penelitian tersebut faktor perilaku b. variabel terikat penelitian ini kualitas hidup, variabel terikat penelitian tersebut pemanfaatan posyandu lansia
Identifikasi Faktor Perilaku dalam Pemanfaatan Posyandu Lansia di Puskesmas Bambanglipuro Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011
b.
b.
populasi penelitian ini adalah penduduk lansia di Kecamatan Bambanglipuro, populasi penelitian tersebut para lansia penghuni PSTW Abiyoso, Pakem, Yogyakarta variabel bebas penelitian ini adalah status partisipasi dalam kegiatan posyandu dengan kovariat faktor sosiodemografi, status hipertensi, dan status kecacatan, variabel bebas penelitian tersebut bentuk interaksi social
variabel bebas penelitian ini adalah status partisipasi dalam kegiatan posyandu dengan kovariat faktor sosiodemografi, status hipertensi, dan status kecacatan, variabel bebas penelitian tersebut asupan zat gizi populasi penelitian ini adalah lansia di Kecamatan Bambanglipuro, populasi penelitian tersebut lansia di Kabupaten Sleman