UNIVERSITAS INDONESIA
KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN BERJANGKA MENJADI FASILITAS PEMBIAYAAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BANK X)
TESIS
RAHMA ADHYATMIKA 1006829044
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA JANUARI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KONVERSI FASILITAS KREDIT PINJAMAN BERJANGKA MENJADI FASILITAS PEMBIAYAAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BANK X)
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
RAHMA ADHYATMIKA 1006829044
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN SALEMBA JANUARI, 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Konversi Fasilitas Kredit Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah (Studi Kasus Pada Bank X)”. Penelitian tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. 2. Ibu Dr. Yeni Salma Barlinti, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan pikiran di tengah kesibukan beliau untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 3. Kedua orang tua dan mertua tercinta, yang tiada hentinya selalu mengirimkan doa dan memberikan dukungan moril kepada penulis selama penulisan ini. 4. Suami tercinta, Prasetiyo, yang selalu memberikan support tiada hentinya kepada penulis. 5. Kakak, kakak ipar dan adik-adik ipar serta para keponakan penulis, terima kasih atas doanya. 6. Teman-teman penulis di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia 2010, kelas Salemba, yang sudah bersedia menemani dan membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini. Jakarta, 11 Januari 2013 Penulis
iv Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: : :
Rahma Adhyatmika Magister Kenotariatan Konversi Fasilitas Kredit Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah (Studi Kasus Bank X)
Tesis ini membahas tentang pelaksanaan konversi fasilitas kredit Pinjaman Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan syariah pada Bank X. Penerapan konversi ini terdapat ketidaksesuaian dengan peraturan perundangundangan termasuk fatwa-fatwa DSN serta tumpang tindih dengan akadakad lainnya. Status hukum atas jaminan kredit/agunan berkaitan dengan konversi tersebut tidak disesuaikan dengan prinsip syariah. Melalui penelitian normatif dengan tipe penelitian evaluatif, diketahui tanggapan mengenai ketidaksesuaian atas pelaksanaan konversi fasilitas kredit Pinjaman Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan syariah tersebut. Selanjutnya, diharapkan para pelaku perbankan syariah dan notaris memahami pelaksanaan pengalihan fasilitas kredit konvensional menjadi fasilitas pembiayaan syariah.
Kata Kunci : Konversi Syariah, Kredit Pinjaman Berjangka, Pembiayaan Syariah, Pengalihan Utang
vi Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Study Program Title
: : :
Rahma Adhyatmika Magister of Notary The Conversion of Term Loan Credit Facility Into Sharia Financing Facility (Case Study in Bank X)
The thesis discusses about the implementation of conversion from Term Loan credit facility into sharia financing facility in Bank X. There is an inappropriate implementation toward such conversion in connection with the prevailing laws and regulation including Fatwa-Fatwa of National Board of Sharia (DSN) and there is an overlap between its aqad with others. Legal status of credit collateral related to such conversion is not in accordance with the sharia principle. Through normative research method with evaluative research type, it resulted in the inappropriate of implementation of such conversion from Term Loan credit facility into sharia financing facility. Furthermore, the sharia banking perpetrators and notary are expected to understand the implementation of conversion of conventional credit facility into sharia financing facility.
Key words : Sharia Conversion, Term Loan, Sharia Financing, Loan Take Over
vii Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI viii DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
i ii iii iv v vi vii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang
1
1.2.
Pokok Permasalahan
8
1.3.
Metode Penelitian
9
1.4.
Sistemika Penulisan
10
TINJAUAN PUSTAKA
12
Tinjauan Umum Perkreditan
12
BAB 2 2.1.
2.1.1.
Perjanjian
Menurut
Kitab
Undang-undang
x xi
Hukum
12
Perdata 2.1.2.
Perjanjian Kredit Bank
14
2.1.3.
Jenis Kredit
17
2.1.4.
Jaminan Kredit Bank
19
2.1.5.
Jaminan Kebendaan Fidusia dan Hipotek Atas Kapal Laut
21
2.1.5.1. Lembaga Jaminan Fidusia
22
2.1.5.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut
24
Jaminan Perorangan (Personal Guarantee)
27
2.1.6.
2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah
28
2.2. Tinjauan Umum Perbankan Syariah
28
2.2.1.
Tinjauan Mengenai Riba
29
2.2.2.
Tinjauan Mengenai Akad
30
2.2.3.
Akad Perbankan Syariah
37
2.2.4.
Produk Perbankan Syariah di Indonesia
40
2.2.4.1. Penghimpunan Dana
41
2.2.4.2. Penyaluran Dana
42
2.2.4.3. Pelayanan Jasa Perbankan
49
Rahn atau Gadai
53
2.2.5.
2.3. Cabang Syariah dari Bank Konvensional (Unit Usaha Syariah)
55
2.4. Pengaturan Pengalihan Utang Dalam Perbankan Syariah
57
2.4.1.
Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
57
Indonesia 2.4.2.
Fatwa DSN MUI Tentang Pengalihan Utang
59
2.4.3.
Pinjaman Qardh
63
2.5. Notaris Sebagai Pejabat Umum
65
2.6. Analisis Mengenai Mekanisme Konversi Kredit Pinjaman
68
Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah 2.6.1.
Kasus Posisi
68
2.6.2.
Mekanisme Konversi Yang Dilakukan UUS Bank X
70
2.7. Analisis Mengenai Kesesuaian Pelaksanaan Konversi Kredit
73
Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Termasuk Fatwa DSN
2.8.
2.7.1.
Tentang Hawalah
73
2.7.2.
Tentang Qardh
76
2.7.3.
Tentang Pengalihan Utang
78
2.7.4.
Tentang Murabahah
79
2.7.5.
Tentang Akta Notariil dan Peran Notaris
80
Analisis Status Hukum Jaminan Kredit Atau Agunan Yang Telah Diberikan Debitur PT ABC
82
BAB 3
2.8.1.
Lembaga Jaminan Fidusia
82
2.8.2.
Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut
84
2.8.2.
Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut
84
PENUTUP
89
3.1
Simpulan
89
3.2
Saran
90
DAFTAR PUSTAKA
92
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pengalihan Utang Alternatif Pertama
61
Gambar 2.2. Pengalihan Utang Alternatif Kedua
62
Gambar 2.3. Pengalihan Utang Alternatif Ketiga
63
Gambar 2.4. Pengalihan Utang Alternatif Keempat
63
x Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Persetujuan Hawalah; 2. Akta
Addendum
Perjanjian
Kredit
Berdasarkan
Prinsip
Pembiayaan
Murabahah.
xi Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pelaksanaan take over fasilitas kredit dari produk perbankan konvensional ke produk perbankan syariah terkadang belum dipahami oleh para pelaksana perbankan konvensional maupun perbankan syariah serta belum diakomodir dengan kesiapan akta notaris yang bersangkutan sehingga dapat menimbulkan loop hole atas implementasi take over fasilitas kredit tersebut. Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia ini, kegiatan bank dalam pemberian kredit merupakan kegiatan bank yang sangat penting dimana sumber dana yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit bukan dana milik bank sendiri tetapi dana yang berasal dari masyarakat.1 Kredit sendiri berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya. Dalam Black’s Law Dictionary memberikan bahwa kredit adalah : The ability of a business man to borrow money, or obtain goods ontime, inconsequences of the favourable opinion held by particular lender, as to his solvency and reliability.2
1
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank, cet. 2, (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 2.
2
Henry Campbell Black‟s, Black Law Dictionary, 6th ed, (St. Paul Minn : West Publishing Co, 1990), page 367.
Universitas Indonesia
2
Mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 butir 11 mendefinisikan kredit adalah : Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.3 Di dalam pemberian kredit oleh suatu bank, sebelumnya dilakukan penilaian atas permohonan kredit tersebut. Maksud penilaian terhadap permohonan kredit tersebut adalah untuk meletakkan kepercayaan dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari bila kredit ternyata disetujui untuk diberikan. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam penilaian kredit terdiri atas : 1.
Character (watak) Bank harus meyakini bahwa calon debiturnya memiliki reputasi baik, artinya menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan kriminalitas.
2.
Capital (modal) Bank harus meneliti modal calon debitur selain besarnya juga strukturnya untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitasnya.
3.
Capacity (kemampuan) Bank harus mengetahui secara pasti atas kemampuan calon debitur dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu.
4.
Condition of Economic (kondisi ekonomi) Kondisi ekonomi ini perlu menjadi sorotan bagi bank karena akan berdampak baik secara positif atau negatif terhadap usaha calon debitur.
5.
Collateral (jaminan) Jaminan yang diberikan oleh calon debitur akan diikat suatu hak atas jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang diserahkan.4
3
Indonesia, Undang-undang Perbankan, UU No. 10 tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No.3790, Ps. 1 angka 11. 4
Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), (Bandung : Mandar Maju, 2004), hal.16.
Universitas Indonesia
3
Dalam perkembangan perbankan di dunia, khususnya pada negara-negara Islam di Timur Tengah, maka hal tersebut berdampak positif pada perkembangan dunia perbankan di Indonesia tentunya.5 Falsafah dasar perbankan syariah mengacu kepada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran, al-Hadits/asSunnah dan al-Ijtihad.6 Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai prinsip syariah.7 Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan mashlahat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan Islam. Dengan visi dan misi tersebut, maka setiap kelembagaan keuangan syariah akan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1.
Menjauhkan diri dari kemungkinan adanya unsur riba; Penerapan dari ketentuan ini adalah dengan melakukan hal-hal sebagai berikut pada setiap transaksi, yaitu : i.
Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka suatu hasil usaha.
ii.
Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang atau
imbalan
terhadap
simpanan
yang
mengandung
unsur
melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu. iii.
Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya.
iv.
Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela.
2.
Menerapkan prinsip sistem bagi hasil dan jual-beli; Pada sisi pengerahan dana masyarakat lembaga ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpanan dana dengan sistem bagi hasil, dan pada
5
Karnaen Perwaatmadja et al, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 17. 6
Ibid.
7
Ibid., hal. 18.
Universitas Indonesia
4
sisi penyaluran dana masyarakat menyediakan fasilitas pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.8 Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, dan syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar antara bank konvensional dan bank syariah. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu mengenai : 1.
Akad dan aspek legalitas Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi, sebagai perjanjian antara sesama dalam hubungan muamalah, dan ukhrawi, sebagai bentuk ketaatan serta kepatuhan kepada Allah SWT oleh para pihak dalam pelaksanaan akad, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka. Setiap akad dalam perbankan syariah haruslah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat dalam akad.
2.
Lembaga penyelesaian sengketa Jika pada perbankan syariah terdapat perselisihan antara bank dengan nasabahnya, maka para pihak akan menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah yang dikenal dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Sedangkan untuk perbankan konvensional pada umumnya setiap permasalahan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.
3.
Struktur organisasi Unsur organisasi yang cukup membedakan antara bank konvensional dan bank syariah adalah keharusan ditambahkan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan prinsip syariah dimana levelnya sejajar dengan Dewan Komisaris. Penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
8
Ibid., hal. 19.
Universitas Indonesia
5
4.
Bisnis dan usaha yang dibiayai Bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan, yaitu apakah objek pembiayaan
halal
atau
haram,
menimbulkan
kemudharatan
untuk
masyarakat, melanggar asusila, berkaitan dengan perjudian, berkaitan dengan industri senjata illegal, atau proyek tersebut dapat merugikan syiar. 5.
Lingkungan kerja dan corporate culture Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah, baik dalam hal etika, skillfull, reward and punishment, dan cara berpakaian.yang merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam lembaga keuangan syariah.9
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan adanya kedua jenis perbankan tersebut di Indonesia diharapkan dapat menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif. perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia. 10 Dengan melihat karakteristik perbankan syariah tersebut dan perbedaanperbedaan yang mendasar antara perbankan konvensional dengan perbankan 9
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, cet.1, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hal. 29 – 34. 10
“Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia,” http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/, 03 Juli 2012.
Universitas Indonesia
6
syariah, maka dalam perkembangannya sekarang ini banyak kalangan masyarakat yang mengerti hal tersebut justru lebih memilih sistem perbankan syariah untuk kegiatan investasi maupun kegiatan pembiayaannya. Namun adakalanya nasabah yang telah menjadi debitur dari sistem riba pada bank konvensional beralih untuk memilih menjadi debitur dari Unit Usaha Syariah (UUS) pada bank konvensional yang
bersangkutan.
Hal
demikian
dilakukan
oleh
debitur
setelah
mempertimbangkan banyaknya keuntungan dari sisi ekonomi pada sistem perbankan syariah terlepas dari permasalahan agama. Dalam kerangka kredit tentu tidak terlepas dari perjanjian kredit atasnya. Pada praktiknya, bentuk dan materi perjanjian kredit antara bank yang satu dengan bank lainnya tidaklah sama, tetapi disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing. Apabila berbicara mengenai perjanjian kredit tersebut, tidak terlepas dari syarat sahnya kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : a. sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri; b. kecakapan untuk membuat suatu kontrak; c. adanya suatu hal tertentu (objek tertentu); dan d. adanya suatu sebab yang halal. Dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut maka perjanjian atau kontrak itu akan berfungsi untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya serta untuk mengamankan transaksi bisnis yang tertuang dalam kontrak atau perjanjian tersebut. Sehingga, perjanjian kredit tersebut haruslah memenuhi syarat sahnya kontrak tersebut agar fungsi kontrak tersebut dapat tercapai. Apabila dikaitkan dengan perbankan syariah, maka dalam konteks kontrak yang dikenal adalah adanya akad/aqad. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, aqad adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Dalam hukum Islam untuk terbentuknya aqad yang sah dan mengikat harus memenuhi rukun dan syarat akad. Dalam Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah11, rukun dan syarat akad hampir sama dengan syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut di atas. Rukun akad 11
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, PERMA Nomor 2 Tahun 2008.
Universitas Indonesia
7
merupakan syarat penting yang harus ada dalam setiap akad. Tidak adanya salah satu unsur dalam rukun akad dapat mengakibatkan batalnya suatu akad. Rukun akad yang harus ada tersebut adalah : subjek akad (aqid), objek yang diperjanjikan (al-ma’qud), dan sepakat yang dinyatakan (shighatul aqad atau ijab qabul). Sedangkan syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu akad meliputi : a. syarat subjektif subjek akad harus cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan sepakat untuk membuat suatu akad. b. syarat objektif objek akad harus amwal atau halal dan harus merupakan barang yang secara prinsip sudah dimiliki oleh pihak yang akan menyerahkan/menjualnya.12 Pada akad perbankan syariah tersebut juga dikenal dan menganut asas kebebasan berkontrak seperti pada KUHPerdata, namun terdapat hal yang membedakannya bahwa dalam akad tersebut tidak boleh mengandung unsur Maisir (spekulasi atau judi), Gharar (tipu muslihat), Riba (bunga), dan Bathil (kejahatan). Dalam perbankan syariah di Indonesia akad-akad yang digunakan telah disepakati oleh sebagian besar ulama dan sesuai dengan ketentuan syariah untuk diterapkan dalam produk dan instrument keuangan syariah yang ditawarkan kepada nasabah yang meliputi akad-akad untuk pendanaan, pembiayaan, jasa produk, jasa operasional dan jasa investasi. Dengan demikian dalam praktek perbankan dikenal berbagai macam akad syariah sesuai dengan kebutuhannya pada kegiatan perbankan syariah. Banyaknya peralihan kredit atau yang dalam praktek perbankan dikenal dengan istilah ”take over” atau konversi dari fasilitas kredit yang merupakan produk perbankan konvensional menjadi fasilitas pembiayaan yang berbasis perbankan syariah haruslah didukung dengan sumber daya manusia yang tentunya mengerti hal-hal tersebut. Sumber daya manusia ini salah satunya adalah notaris yang seyogyanya memahami skema take over atau konversi kredit tersebut dalam bingkai produk perbankan konvensional dan produk perbankan syariah.
12
Irma Devita Purnamasari dan Suswinarno, Akad Syariah, (Bandung : Kaifa, 2011), hal.89.
Universitas Indonesia
8
Salah satu debitur yang melakukan take over atau konversi kredit tersebut adalah PT ABC yang bergerak di bidang usaha moda transportasi laut untuk pengangkutan hasil tambang. Adapun terhitung sejak bulan Maret 2008, PT ABC sebenarnya telah memperoleh fasilitas kredit dengan jenis fasilitas berupa Pinjaman Berjangka I dan Pinjaman Berjangka II dari Bank X konvensional. Namun demikian pada tahun 2010, PT ABC mengajukan permohonan kepada Bank X konvensional dan Unit Usaha Syariah (“UUS”) Bank X untuk mengkonversi kredit/take over fasilitas kredit dari BII konvensional ke UUS BANK X. Dalam proses konversi kredit tersebut tentunya harus mengacu pada prinsip-prinsip perbankan syariah baik yang tertuang dalam peraturan perundangundangan yang berlaku maupun fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), namun dalam prakteknya proses konversi kredit PT ABC ini menurut penulis masih terdapat beberapa hal yang kurang tepat dalam penggunaan prinsip-prinsip perbankan syariah. Pada akhirnya, kekurangtepatan ini berpotensi menciptakan loop hole yang dapat mengakibatkan cacat hukum pada akad-akad dan dokumentasi konversi kredit tersebut serta berpotensi mempengaruhi kekuatan hukum pengikatan agunan PT ABC.
1.2.
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat dirumuskan
pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah mekanisme konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK X pada kasus debitur PT ABC? 2. Apakah pelaksanaan konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK X pada kasus debitur PT ABC tersebut telah sesuai dengan implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait termasuk implementasi Fatwa–Fatwa DSN? 3. Bagaimanakah status hukum atas jaminan kredit atau agunan yang telah diberikan debitur PT ABC setelah terjadinya konversi/peralihan dari
Universitas Indonesia
9
fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK X?
1.3. Metode Penelitian Guna memperoleh informasi dalam menunjang penelitian ini, maka metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini peneliti bermaksud untuk melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara horizontal atas pelaksanaan konversi/take over kredit sebagaimana pada pokok permasalahan di atas dengan mengacu pada Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2022 tentang Pengalihan Utang dan Fatwa DSN Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah atas proses konversi/take over kredit tersebut yang telah berjalan. Tipologi penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini ditinjau dari segi bentuknya adalah tipe penelitian evaluatif yang bertujuan untuk mengevaluasi atas pelaksanaan konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS Bank X yang telah berjalan. Karena penulisan tesis ini adalah suatu penelitian kepustakaan, maka data yang digunakan adalah data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, buku dan disertasi mengenai hukum jaminan, hukum perdata, hukum perbankan dan perbankan syariah khususnya yang bekaitan dengan konversi/take over dari fasilitas kredit ke fasilitas syariah. Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tertier, yaitu sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer adalah sumber hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 42 tahun 1999, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, KUHPerdata, Peraturan Bank Indonesia terkait dengan produk perbankan
Universitas Indonesia
10
syariah, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam serta Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang, Fatwa DSN Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN Nomor 19/DSNMUI/IV/2001
tentang
Al-Qardh,
Fatwa
DSN
Nomor
04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN Nomor 11/DSNMUI/IV/2000 tentang Kafalah, Fatwa DSN Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily dan Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang digunakan untuk mengetahui informasi dan penerapan dari bahan hukum primer yang diantaranya bertujuan untuk mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin dan pendapat para ahli, terdiri dari : a. Hasil-hasil penulisan yang telah ada sebelumnya mengenai fasilitas kredit di bank konvensional dan fasilitas pembiayaan syariah di bank syariah. b. Kepustakaan (termasuk bahan dan hasil seminar atau diskusi) yang berkaitan seputar fasilitas kredit di bank dan permasalahannya. 3. Bahan hukum tertier yang digunakan adalah kamus hukum yaitu Black’s Law Dictionary serta kamus bahasa Inggris – Indonesia. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yakni mencari dan mengumpulkan data sekunder berkaitan dengan konversi/take over dari fasilitas kredit ke fasilitas syariah serta wawancara dengan Legal Manager pada Bank X konvensional dan Legal Officer dari UUS Bank X tersebut.
1.4. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan serta pemahaman pembaca terhadap tesis ini maka penulis membaginya dalam tiga bab yang terdiri dari pendahuluan, analisis hukum serta penutup. Pada bab pertama yaitu pendahuluan, diuraikan latar belakang masalah yang menjadi dasar penelitian. Selanjutnya, berdasarkan latar belakang masalah
Universitas Indonesia
11
tersebut dibuat pokok permasalahannya. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai metode penelitian dan sistematika penulisan ini. Pada bab kedua yaitu analisis hukum adalah membahas dari segi teori dengan dikaitkan pada peraturan perundang-undangan serta fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional, penelitian yang dilakukan dan analisis hukum itu sendiri terkait dengan tema tesis ini yaitu mekanisme konversi/take over kredit dari fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan pada UUS BANK X beserta pengikatan agunan kredit dalam kerangka pengalihan kredit tersebut. Pada bab tiga yaitu penutup terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan dari bab dua sebelumnya. Sedangkan saran merupakan usul dari penulis terhadap topik yang dibahas.
Universitas Indonesia
12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum Perkreditan Perjanjian kredit termasuk dalam bentuk salah satu jenis perjanjian yang
dibuat antara bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur. Dengan demikian erat kaitannya perjanjian kredit ini dengan pembahasan mengenai perjanjian itu sendiri serta pemahaman mengenai jenis-jenis fasilitas kredit.
2.1.1. Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Berdasarkan pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir dari persetujuan/perjanjian dan undang-undang. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Sumber perjanjian dari undang-undang ini masih terbagi menjadi undang-undang saja dan undangundang karena perbuatan manusia, baik perbuatan yang halal maupun perbuatan melawan hukum. Terhadap perikatan yang bersumber perjanjian dari undang-undang tidak perlu dibahas lebih lanjut. Hal ini mengingat undang-undang tidak mensyaratkan terpenuhinya syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata karena jenis perikatan ini terlepas dari keinginan dan kesepakatan para pihak. Menurut Prof. R. Subekti, SH., mengenai definisi perjanjian : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13 13
Subekti (1), Hukum Perjanjian, cet.10, (Jakarta : Intermaasa, 1986), hal.1.
Universitas Indonesia
13
Dari rumusan definisi tersebut terdapat hubungan hukum diantara dua pihak yang dikenal dengan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian berupa rangkaian perkataan atau kalimat yang mengandung janji atau kesanggupan yang dibuat dalam tulisan oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa.14 Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dimana unsur-unsur syarat tersebut yaitu : a. b. c. d.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal.15
Syarat pertama dan syarat kedua dari pasal tersebut dinamakan syarat-syarat subyektif dimana apabila salah satu atau kedua dari syarat subyektif tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian dimaksud. Untuk syarat ketiga dan syarat keempat tersebut dinamakan syarat-syarat obyektif. Syarat obyektif disini diartikan bahwa jika salah satu atau kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.16 Apabila syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, perjanjian tersebut dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.17
14
Sutarno, op.Cit., hal.74.
15
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH., dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradya Paramita, 2001), pasal 1320. 16
Johannes Ibrahim, op.Cit., hal.25.
17
Ibid.
Universitas Indonesia
14
2.1.2. Perjanjian Kredit Bank Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), Pasal 1 butir 11 mendefinisikan kredit adalah : Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.18 Namun dalam undang-undang tersebut tidak merumuskan pengertian perjanjian kredit itu sendiri. Oleh karenanya perlu dijabarkan pengertian perjanjian kredit yang diutarakan oleh Prof. R. Subekti yang berpendapat :
Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur oleh KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.19 Namun pendapat berlainan disampaikan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa perjanjian kredit memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjammeminjam, dimana perbedaan tersebut terletak pada :
a. Sifat konsensual dari suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian kredit yang dengan jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang konsensual sifatnya. b. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang daari tujuan itu menimbulkan hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit tersebut secara sepihak dan seketika itu juga menagih seluruh outstanding kredit.
18
Indonesia, Undang-undang Perbankan, op.cit.
19
Subekti (2), Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal.13.
Universitas Indonesia
15
c. Yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman uang biasa adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu. Pada perjanjian peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak disyaratkan bagaimana cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu.20 Namun sarjana hukum lain berpendapat bahwa perjanjian kredit itu memiliki identitas dan karakteristik sendiri dimana sebagian dikuasai atau mirip dengan perjanjian peminjaman uang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dan sebagian lain tunduk pada peraturan perbankan.21 Mengenai definisi perjanjian kredit, dalam Undang-Undang Perbankan tidak terdapat ketentuan mengenai definisi perjanjian kredit maupun bentuk bakunya. Namun praktek perbankan berpedoman pada ketentuan-ketentuan berikut : 1. Instruksi Presidium Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967 yang menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya. 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.22
20
Johannes Ibrahim, op.Cit., hal.31.
21
Sutarno, op.Cit., hal. 96.
22
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.263-264.
Universitas Indonesia
16
Dengan mengacu pada definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil. Perjanjian kredit bank sebaiknya memuat klausula-klausula sebagai berikut : 1. ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, di antaranya tentang jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik; 2. suku bunga dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit; 3. kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan/atau rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban penerima kredit; 4. representation dan warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit atas pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan guna pelunasan kredit; 5. condition precedent, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit untuk pertama kalinya; 6. agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan; 7. affirmative dan negative covenants, yaitu kewajiban-kewajiban dan pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya perjanjian kredit; 8. tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelematan kredit; 9. event of default/wanprestasi/cidera janji, yaitu tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul; 10. pilihan domisili/forum/hukum apabila terjadi pertikaian di dalam penyelesaian kredit antara bank dan nasabah penerima kredit;
Universitas Indonesia
17
11. ketentuan mulai berlakunya perjanjian kredit dan penandatanganan perjanjian kredit.23 Akan tetapi dalam praktik perbankan saat ini, terkadang bentuk dan materi perjanjian kredit antara bank yang satu dengan bank yang lainnya tidaklah sama. Hal tersebut mengingat adanya perbedaan kebutuhan dan pertimbangan dari masing-masing bank.
2.1.3. Jenis Kredit Jenis kredit perbankan dapat dibedakan dengan mengacu pada kriteria tertentu. Pengklasifikasian jenis-jenis kredit bermula dari klasifikasi yang dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio kredit secara efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut maka saat ini dikenal jenis-jenis kredit yang didasarkan pada : 1. Jenis Kredit Menurut Kelembagaan Kelembagaan disini dalam arti pihak yang terkait sebagai pihak pemberi dan pihak penerima kredit terutama menyangkut struktur kelembagaan pelaksana kredit itu sendiri, yang terbagi : a.
Kredit perbankan Jenis kredit ini diberikan oleh bank milik negara atau bank swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan untuk konsumsi.
b.
Kredit likuiditas Kredit ini diberikan oleh bank sentral kepada bank yang beroperasi di Indonesia untuk membiayai kegiatan perkreditannya.
c.
Kredit langsung Kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah namun saat ini sudah tidak dapat dilakukan lagi sejak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
d.
Kredit (pinjaman antarbank) Kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana.
23
Ibid., hal.273.
Universitas Indonesia
18
2. Jenis Kredit Menurut Jangka Waktu a.
Kredit jangka pendek (short term loan) Kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun. Bentuk kredit ini dapat berupaa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli dan kredit wesel, juga dapat berbentuk kredit modal kerja.
b.
Kredit jangka menengah (medium term loan) Kredit yang berjangka waktu antara satu tahun sampai tiga tahun yang bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
c.
Kredit jangka panjang Kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun yang bertujuan menambah
modal
perusahaan
dalam
rangka
untuk
melakukan
rehabilitasi, ekspansi usaha dan pendirian proyek baru. Sedangkan fasilitas kredit pinjaman berjangka yang menjadi studi kasus dalam penulisan ini didefinisikan sebagai pinjaman benjangka menengah atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai investasi dan atau modal kerja (term loan).24 3. Jenis Kredit Menurut Penggunaan Kredit a.
Kredit konsumtif Kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang diberikan
kepada
perseorangan
untuk
membiayai
keperluan
konsumsinya untuk keperluan sehari-hari. b.
Kredit produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi Kredit yang digunakan untuk pembiayaan modal tetap serta membiayai rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru.
c.
Perpaduan kedua jenis kredit diatas.
4. Jenis Kredit Menurut Keterikatannya dengan Dokumen a.
Kredit ekspor
24
Kamus Bank Indonesia, http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=3&curpage=12&search=False&rule=last, diakses tanggal 10 November 2012.
Universitas Indonesia
19
Kredit untuk membiayai kegiatan investasi dan modal kerja yang diberikan dalam rupiah dan atau valuta asing kepada eksportir dan atau pemasok. b.
Kredit impor Unsur dan ruang lingkup dari kredit impor pada prinsipnya sama dengan kredit impor.
5. Jenis Kredit Menurut Aktivitas Perputaran Usaha a.
kredit kecil kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil.
b.
kredit menengah kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar daripada pengusaha kecil.
c.
kredit besar dalam pelaksanaan pemberian kredit besar ini bank dengan melihat risiko yang besar juga sehingga dikucurkan dalam kredit sindikasi atau konsorsium.
6. Jenis Kredit Menurut Jaminannya a.
Kredit tanpa jaminan atau kredit blanko (unsecured loan) Pemberian kredit tanpa jaminan materil (agunan fisik).
b.
Kredit dengan jaminan (secured loan) Pemberian kredit yang menyertakan jaminan tambahan atau agunan misalnya berupa tanah, bangunan atau alat-alat produksi.25
2.1.4. Jaminan Kredit Bank Dalam Undang-undang Perbankan tidak mengenal definisi jaminan kredit seperti yang umumnya kita kenal. Pada Pasal 1 angka 23 Undang-undang Perbankan mendefinisikan Agunan sebagai : Jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.26 25
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.5, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal.482 – 489.
Universitas Indonesia
20
Dalam Pasal 1 angka 26 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) mengartikan Agunan yang bermakna sama dengan definisi tersebut di atas, yaitu :
Jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.27 Sedangkan jaminan itu sendiri dalam Penjelasan pasal 8 ayat 1 UU Perbankan dijabarkan sebagai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan si nasabah penerima kredit untuk melunasi kewajibannya sesuai yang telah ditentukan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka bank akan menilai calon nasabah penerima kredit terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon nasabah penerima kredit. Namun dalam penulisan ini tidak terdapat perbedaan istilah yang akan digunakan karena hanya bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Kegunaan jaminan kredit adalah untuk :
a.
b.
c.
memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit; menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah; memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui.28
Dengan demikian bahwa jaminan kredit bank berfungsi untuk menjamin pelunasan utang debitur apabila debitur cidera janji atau pailit. Jaminan kredit bank dapat digolongkan menjadi sebagai berikut : 1. 26
Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian Indonesia, Undang-undang Perbankan, op.cit., Pasal 1 angka 23.
27
Indonesia, Undang-undang Perbankan Syariah, UU No. 21 Tahun 2008, LN No. 94 Tahun 2008, TLN No. 4867, Pasal 1 angka 26. 28 Rachmadi Usman, op.cit., hal.286.
Universitas Indonesia
21
Jaminan jenis ini dilihat dari lahirnya jaminan apakah dari undang-undang atau perjanjian. Contoh jaminan dari undang-undang adalah hak priviledge dan hak retensi. Sedangkan contoh jaminan dari perjanjian adalah gadai, Hipotek, hak tanggungan dan fidusia. 2.
Jaminan umum dan jaminan khusus Dalam jaminan umum semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama dimana pelunasan utangnya dibagi secara seimbang berdasarkan besar kecilnya jumlah tagihan masing-masing kreditur dibandingkan dengan jumlah keseluruhan utang debitur dimana adanya jaminan ini ditentukan dan ditunjuk oleh undang-undang berdasar pada pasal 1131 KUHPerdata. Namun bentuk jaminan umum ini tidak menguntungkan kreditur. Hal demikian diperlukan adanya penyerahan harta kekayaan tertentu milik debitur untuk diikat secara khusus sebagai pelunasan utang debitur. Bentuk jaminan tersebut adalah jaminan khusus dimana kreditur memiliki kedudukan yang diistimewakan atau didahulukan dari kreditur lainnya.
3.
Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, selalu mengikuti benda yang menjadi objek jaminan tersebut, dapat dialihkan serta dapat dipertahankan terhadap siapapun. Pengikatan jaminan kebendaan ini dapat melalui lembaga gadai, fidusia, Hipotek dan hak tanggungan. Sedangkan jaminan perorangan
adalah jaminan
yang
menimbulkan hubungan langsung pada orang tertentu dan hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu. Contoh dari jaminan perorangan adalah personal guarantee, corporate guarantee dan bank guarantee. 4.
Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak Penggolongan jaminan ini didasarkan pada objek bendanya.
5.
Saham sebagai agunan tambahan.29
2.1.5. Jaminan Kebendaaan Fidusia dan Hipotek Atas Kapal Laut Dalam penulisan ini lembaga jaminan yang dititikberatkan adalah lembaga jaminan Fidusia dan Hipotek atas kapal laut. Hal ini dikaitkan dengan kasus yang 29
Ibid, hal. 287-289.
Universitas Indonesia
22
ada dimana jaminan yang diberikan debitur sebagian besar adalah kapal-kapal dan piutang/account receivables.
2.1.5.1. Lembaga Jaminan Fidusia Mengacu pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) pada Pasal 1 angka 1 didefinisikan pengertian dari Fidusia sebagai :
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.30 Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 2 UUJF yang dinamakan Jaminan Fidusia adalah :
Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.31 Melihat dari definisi Jaminan Fidusia maka yang dijadikan objek jaminannya adalah benda berwujud maupun benda tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak dimana benda-benda dimaksud dapat dimiliki dan hak kepemilikannya dapat dialihkan. Dikaitkan dengan perkembangan saat ini maka banyak kreditur yang menjadikan piutang dagangnya dijadikan jaminan pelunasan kreditnya. Dalam Pasal 9 UUJF memberikan kemudahan mengenai hal tersebut bahwa Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih jenis benda termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan atau piutang yang diperoleh kemudian. 30
Indonesia, Undang-Undang Jaminan Fidusia, UU No. 42 Tahun 1999, LN No. 168 Tahun 1999, pasal 1 angka 1. 31
Ibid., pasal 1 angka 2.
Universitas Indonesia
23
Selanjutnya, terhadap pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh kemudian tersebut tidak diperlukan perjanjian jaminan tersendiri mengingat sudah terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda tersebut. Hal ini menegaskan bahwa UUJF menjamin fleksibilitas yang berkenaan dengan hal ihwal benda yang dapat dibebani Jaminan Fidusia bagi pelunasan utang.32 Hak Jaminan Fidusia ini dapat terjadi melalui proses sebagai berikut : a. Adanya janji antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia untuk serah terima benda yang menjadi Jaminan Fidusia yang dicantumkan dalam perjanjian utang-piutang sebagai perjanjian pokoknya. b. Dilanjutkan dengan perjanjian pemberian Jaminan Fidusia yang dibuat notariil yang merupakan Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 1 UUJF. c. Setelah adanya Akta Jaminan Fidusia tersebut, maka tahap terakhirnya adalah dilakukan Pendaftaran atas benda Jaminan Fidusia tersebut di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk dicatat dalam Buku Daftar Fidusia. Lahirnya Jaminan Fidusia tersebut adalah pada saat dicatat di Buku Daftar Fidusia dengan diterbitkannya pula Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan pendaftaran tersebut maka memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemberi dan penerima Fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan termasuk hak yang didahulukan terhadap kreditur lain bagi penerima Fidusia.33 Pada Pasal 17 UUJF ditegaskan larangan diadakannya Fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Tidak dimungkinkannya Fidusia ulang baik oleh debitur maupun pemilik jaminan pihak ketiga mengingat hak milik atas benda tersebut telah beralih kepada Penerima Fidusia. Oleh karena Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dari perjanjian pokoknya sebagaimana diatur Pasal 4 UUJF, maka hapusnya Jaminan Fidusia menurut Pasal 25 UUJF adalah karena : 32
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan Jilid 2, cet. 3, (Jakarta : CV Indhill Co, 2009), hal. 71-72. 33
Ibid., hal. 86.
Universitas Indonesia
24
a. pada saat hapusnya hutang pokok dikarenakan pelunasan dengan bukti keterangan yang dibuat kreditur; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, namun dengan musnahnya barang ini tidak menghapuskan klaim asuransi atas barang tersebut sebagai pengganti objek Jaminan Fidusia.34 Setelah hapusnya Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya Jaminan Fidusia tersebut. Atas pemberitahuan tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar Fidusia kemudian menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.
2.1.5.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut Hipotek pada awalnya diatur dalam KUHPerdata pada Buku II Bab XXI Pasal 1162 sampai 1232. Namun sejak diberlakukannya Undang-undang Pelayaran Nomor 21 Tahun 1992 dan yang terakhir diubah dengan Undangundang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Kapal Laut dengan bobot 20 m3 (dua puluh meter kubik) keatas dapat dijadikan jaminan Hipotek. Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 (UU Pelayaran) yang dimaksud dengan Hipotek Kapal adalah
Hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan uttang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.35 Umumnya lembaga jaminan lainnya, Hipotek mempunyai sifat dari hak kebendaan pada umumnya antara lain : 1.
Accessoir, bahwa Hipotek ini merupakan perjanjian tambahan yang tergantung pada perjanjian pokok hutang-piutangnya.
34
Indonesia, Undang-Undang Jaminan Fidusia, op.cit., pasal 25. Indonesia, Undang-undang Pelayaran, UU No. 17 tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, pasal 1 angka 12. 35
Universitas Indonesia
25
2.
Absolut, hak yang dapat dipertahankan terhadap tuntutan siapapun.
3.
Droit de suite, hak tersebut senantiasa mengikuti bendanya di tangan siapapun benda tersebut berada.
4.
Droit de Preference, seseorang mempunyai hak untuk didahulukan pemenuhan piutangnya diantara orang berpiutang lainnya.36
Namun terhadap penerapan sifat Hipotek Droit de Preference ini dalam UU Pelayaran dibatasi oleh Piutang Pelayaran yang Didahulukan dimana Piutang Pelayaran ini wajib dilunasi lebih dahulu dari eksekusi kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 UU Pelayaran. Dalam Pasal 1 angka 13 UU Pelayaran mendefinisikan Piutang Pelayaran yang Didahulukan sebagai :
Tagihan yang wajib dilunasi lebih dahulu dari hasil eksekusi kapal mendahului tagihan pemegang hipotek kapal.37 Kapal yang dapat dijadikan jaminan utang melalui lembaga Hipotek adalah kapal yang telah terdaftar dalam Daftar Kapal Indonesia. Pembebanan Hipotek ini dilakukan dengan pembuatan akta hipotek dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal. Atas 1 (satu) akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek untuk penerima hipotek. Grosse akta hipotek ini mempunyai kekuatan eksekutorial dalam pelaksanaan eksekusi jaminan hipotek.38 UU Pelayaran membolehkan pembebanan 1 (satu) kapal untuk lebih dari 1 (satu) hipotek. Dengan demikian, pemeringkatan masing-masing hipotek ini ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipoteknya.39 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Dan Kebangsaan Kapal (Permenhub Pelayaran) mengatur secara teknis UU Pelayaran secara khusus mengenai penghapusan (roya) Hipotek dan pengalihan hipotek atas kapal. Dalam Pasal 29 Permenhub Pelayaran diatur bahwa untuk 36
Frieda Husni Hasbullah, op.cit., hal. 95 -96.
37
Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 1 angka 13.
38
39
Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 60. Ibid., pasal 61.
Universitas Indonesia
26
dilakukan pembebanan hipotek atas kapal, maka pemilik kapal atau penerima hipotek kapal atas kuasa dari pemilik kapal mengajukan permohonan kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dengan disertai perjanjian kredit dan asli grosse akta pendaftaran kapal / grosse akta baliknama kapal. Selanjutnya, apabila kelengkapan persyaratan pembebanan hipotek kapal telah terpenuhi maka Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal membuat akta hipotek kapal.40 Dalam UU Pelayaran dan peraturan pelaksananya, khususnya pasal 33 Permenhub Pelayaran diatur mengenai adanya pengalihan hipotek atas kapal. Setiap pengalihan hipotek atas kapal tersebut harus dilakukan dengan pembuatan akta pengalihan hipotek kapal oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar induk kapal. Permohonan pengalihan tersebut dengan disertakan bukti pengalihan hipotek, grosse akta pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal serta grosse akta hipotek kapal. Apabila persyaratan untuk pengalihan tersebut terpenuhi, maka Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal membuat akta pengalihan hipotek kapal.41 Apabila perjanjian hutang-piutang tersebut telah lunas, maka atas kapal yang dijaminkan tersebut dapat dilakukan pencoretan hipotek (roya) oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dimana permintaan tertulisnya dari penerima hipotek. Namun bila permintaan roya tersebut diajukan oleh pemberi hipotek, maka permintaan pencoretan dengan melampirkan surat persetujuan pencoretan dari penerima hipotek.42 Berdasarkan pasal 38 ayat 1 Permenhub Pelayaran, pencoretan hipotek (roya) tersebut dapat dilakukan berdasarkan : a. Permohonan penerima hipotek atas kapal atau penerima pengalihan hipotek atas kapal; b. Permohonan pemberi hipotek atas kapal;
40
Kementerian Perhubungan, Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, Permenhub No. 13 tahun 2012 pasal 29. 41
Ibid., pasal 33.
42
Indonesia, Undang-undang Pelayaran, op.cit., pasal 63.
Universitas Indonesia
27
c. Penetapan Pengadilan Negeri atau putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pencoretan hipotek tersebut dilakukan dengan membuat catatan mengenai berakhirnya pembebanan atas hipotek kapal dimaksud yang selanjutnya catatan tersebut disalin ke grosse akta hipotek kapal. Grosse akta hipotek kapal tersebut dikembalikan kepada pemilik kapal bersama dengan grosse akta pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal. Hal mengenai pencoretan hipotek ini mengacu pada pasal 39 Permenhub Pelayaran.43
2.1.6. Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) Jaminan perorangan merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau pihak ketiga, artinya tidak memberikan hak untuk didahulukan pada benda-benda tertentu, karena harta kekayaan pihak ketiga tersebut hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan borgtocht. Penanggungan menurut Pasal 1820 KUHPerdata adalah :
Suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.44 Selanjutnya Pasal 1822 KUHPerdata menyatakan : 1. Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat daripada perikatan si berutang. 2. Penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk lebih dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, maka perikatan itu tidak sama sekali batal melainkan ia adalah hanya untuk apa yang diliputi oleh perikatan pokoknya.45
43
Kementerian Perhubungan, Permenhub Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, pasal 39.
44
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, op.cit., pasal 1820.
45
Ibid., pasal 1822.
Universitas Indonesia
28
Dengan demikian, untuk jumlah yang kurang, maka perikatan dapat dilangsungkan. Sedangkan apabila lebih besar dari jumlah yang ditentukan maka tidak mengakibatkan batalnya perikatan karena perikatan itu tetap sah hanya saja terbatas pada jumlah yang telah disyaratkan dalam perjanjian pokok. Jika debitur wanprestasi, maka kewajiban memenuhi prestasi dari si penanggung dicantumkan dalam perjanjian tambahannya (perjanjian accessoir) bukan dalam perjanjian pokok sebab tujuan dan isi penanggungan adalah memberikan jaminan pokok, artinya adanya penanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya.46 Dengan demikian, ciri-ciri jaminan perorangan adalah : a.
Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;
b.
Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;
c.
Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan pelunasan utang, misalnya borgtocht;
d.
Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau keseimbangan (konkuren);
e.
Apabila terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda jaminan dibagi di antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masingmasing.47
2.2.
Tinjauan Umum Perbankan Syariah Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiaan usaha berdasarkan
prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Dalam menjalankan usahanya bank syariah menggunakan pola bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam kegiatan dan produk perbankannya. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar dan maysir yang harus dihindarinya.
46
47
Frieda Husni Hasbullah, op.cit., hal. 14. Ibid., hal. 17 – 18.
Universitas Indonesia
29
Sistem perbankan di Indonesia diatur dalam UU Perbankan yang menjelaskan bahwa perbankan di Indonesia terdiri dari 2 jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Kedua jenis bank tersebut melaksanakan kegiatan konvensional atau syariah. Hal ini berarti bahwa Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Semenjak itu bank syariah mulai tumbuh pesat di Indonesia dalam bentuk bank umum syariah atau unit usaha syariah. Bank syariah adalah bank yang menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya dengan menggunakan pola bagi hasil sebagai landasan utamanya.
2.2.1. Tinjauan Mengenai Riba Dalam ekonomi Islam, Allah SWT. telah mengatur dalam Al-Quran tentang pengharaman riba, yaitu dalam Al-Baqarah : 275 yang artinya : Dan Aku halalkan bagimu jual beli, dan Aku haramkan bagimu riba…
Allah SWT. juga telah memberikan isyarat buruknya riba di dalam surat Ar-Rum : 39 yang artinya :
Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). Riba yang disebut di atas merupakan kata yang terdeviasi dari kata raba yang berarti zada, bertambah. Menurut syara‟ riba berarti kelebihan dari nilai tukar yang disyaratkan kepada salah seorang dari dua orang yang bertransaksi. Keadaan pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dan mudarat, antara yang dibolehkan Allah SWT dan yang dilarang sehingga mereka mengatakan jual beli itu sama dengan riba. Selanjutnya Allah SWT menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.48 48
H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2011), hal. 2 dan 5.
Universitas Indonesia
30
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama (HR. Muslim). Adapun makna orang yang menyuruh makan riba adalah yang orang yang memberikannya kepada orang yang mengambilnya. Sedangkan makna saksi dan penulis riba, menurut Imam Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan pengharaman penulisan antara dua orang yang bertransaksi riba dan penyaksian terhadap keduanya dan juga pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada kebatilan.49 Riba ini dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dari perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis yaitu riba karena pertukaran barang sejenis tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadl) dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasiah).50 Riba dayn berarti tambahan, yaitu pembayaran premi atas setiap jenis pinjaman dalam transaksi utang-piutang maupun perdagangan yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman disamping pengembalian pokok yang ditetapkan sebelumnya. Secara teknis riba berarti pengabilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yan dipinjam tanpa memperhatikan
apakah
peinjam
mendapat
keuntungan
atau
mengalami
kerugian.51
2.2.2. Tinjauan Mengenai Akad Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu al-aqdu (artinya akad) dan al-’ahdu (artinya janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Kata ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali
49
Hadist Riba, http://www4.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadist-riba.htm#.UNxkXm83aQM, diakses tanggal 27 Desember 2012. 50 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 13. 51
Ibid.
Universitas Indonesia
31
yang satu. Kata al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.52 Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA., bahwa akad adalah :
1. keterkaitan atau pertemuan ijab dan Kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak dan Kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain; 2. pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain; 3. tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut hukum akad.53 Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHES) saat ini digunakan oleh para hakim sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara bidang ekonomi syariah. Berdasarkan Buku II Tentang Akad dalam KHES, Akad diartikan sebagai
Kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.54 Dalam PBI No.9/19/PBI/2007 pasal 1 angka 7 didefinisikan akad sebagai :
kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.55 52
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 3. 53
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal.68-69. 54
Mahkamah Agung, Perma Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, op.cit., pasal 20 angka 1.
55
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, PBI No. 9/19/PBI/2007, LN No.165 Tahun 2007, pasal 1 angka 7.
Universitas Indonesia
32
Seperti dalam hukum perikatan dalam KUHPerdata mengenal beberapa asas, maka dalam hukum perikatan Islam ini untuk melaksanakan suatu akad haruslah didasarkan oleh asas-asas berikut :
a. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. b. amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji. c. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. d. luzum/tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. e. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak. f. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. g. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. h. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. i. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. j. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. k. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.56 Selanjutnya, KHES menentukan bahwa rukun-rukun akad terdiri dari : a. pihak-pihak yang berakad Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum; b. obyek akad 56
Ibid., pasal 21.
Universitas Indonesia
33
amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masingmasing pihak; c. tujuan-pokok akad untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masingmasing pihak yang mengadakan akad; d. kesepakatan.57
Sedangkan syarat dalam akad ada 4 (empat), yaitu : 1.
syarat berlakunya akad (In’iqod), syarat ini terbagi dari yang umum dan yang khusus. Syarat In’iqod umum berarti syarat yang harus ada dalam setiap akad, seperti syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan shighat akad. Sedangkan syarat In’iqod khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akadakad tertentu, misalnya 2 orang saksi.
2.
syarat sahnya akad (Shihah), yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh. Akad menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
3.
syarat terealisasikannya akad (Nafadz), yang terdiri dari 2 (dua) yaitu kepemilikan barang atas hak penggunaannya dan wilayah.
4.
syarat Lazim, dimana akad dilaksanakan apabila tidak ada cacat.58
Dalam pelaksanaan setiap akad maka wajiblah tidak boleh mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim, risywah, barang haram dan maksiat. Terdapat 2 (dua) prinsip dasar dalam ajaran Islam, yang pertama mengenai ibadah bahwa segala sesuatu adalah dilarang sepanjang hal-hal yang telah diperbolehkan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Akan tetapi mengenai bidang muamalat diatur bahwa segala sesuatu adalah diperbolehkan sepanjang hal-hal yang dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karenanya dalam kenyataan bermuamalat bahwa segala transaksi adalah diperbolehkan kecuali transaksi yang dianggap melanggar hukum. Transaksi yang melanggar hukum disebabkan oleh faktor-faktor berikut : 1.
Melanggar hukum dikarenakan objek yang ditransaksikan adalah terlarang Suatu transaksi dikategorikan melanggar hukum dikarenakan objek yang ditransaksikan, baik barang atau jasa, adalah terlarang. Contoh objek yang
57
58
Ibid., pasal 22 – pasal 25. Ascarya, op.cit., hal. 35.
Universitas Indonesia
34
terlarang adalah minuman beralkohol, babi atau bangkai. Walaupun suatu akad untuk pembelian minuman alkohol tersebut sah, namun tetap transaksi tersebut merupakan tranksaksi yang melanggar hukum. 2.
Melanggar hukum dikarenakan alasan external a.
Tadlis Dalam Islam, setiap tranksasi harus berdasarkan keridhoan dari kedua belah pihak dimana kedua belah pihak memiliki informasi yang lengkap atas transaksi yang akan dilakukan. Oleh karenanya, tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain menyembunyikan informasi yang seharusnya diberitahu kepada pihak lain tersebut. Keadaan menyembunyikan informasi tersebut dinamakan Tadlis. Tadlis ini terdiri dari 4 (empat) dimensi, yaitu kuantitas, kualitas, harga dan waktu.
b.
Taghrir (Gharar) Gharar disini adalah situasi dimana adanya ketidakjelasan dalam transaksi yang dilakukan diantara para pihaknya. Gharar disini hampir sama dengan Tadlis namun perbedaannya dalam Gharar para pihak yang bertransaksi dalam posisi ketidakjelasan sehingga dapat merugikan para pihak, sedangkan Tadlis hanya satu pihak yang dirugikan. Gharar ini dapat terjadi dalam 4 (empat) dimensi seperti pada Tadlis yaitu kuantitas, kualitas, harga dan waktu.
c.
Ikhtikar Ikhtikar ini umumnya hampir dipersamakan dengan bentuk monopoli dalam suatu persaingan usaha dengan menciptakan penghalang bagi pemain baru sehingga pasar tersebut tetap dikuasai oleh pemain lama. Ikhtikar ini dapat terjadi apabila salah satu atau lebih hal-hal berikut terpenuhi, yaitu : a)
menciptakan kelangkaan atas suatu barang, baik melalui penyimpanan maupun dipersulit untuk masuknya barang tersebut;
b)
menjual dengan harga yang lebih tinggi atas barang yang langka tersebut dari harga normalnya;
c)
mengambil keuntungan berlipat (pencatutan) apabila kedua hal di atas tidak tercapai.
Universitas Indonesia
35
d.
Bai’ Najasy Pelanggaran disini terjadi ketika pembeli atau produsen melakukan permainan harga dengan membuat permintaan palsu atas suatu barang sehingga tercipta harga baru yang lebih tinggi dari harga normal. Pelanggaran disini umumnya terlihat pada pasar bursa yang sering terjadi “goreng saham” oleh para pemain bursa untuk menciptakan harga yang lebih tinggi agar menguntungkan pihak-pihak tertentu.
e.
Riba Riba ini terbagi atas Riba Fadl, Riba Nasi’ah dan Riba Jahiliyah. Riba Fadl dapat dijumpai dalam transaksi jual beli mata uang yang tidak dilakukan secara tunai. Untuk Riba Nasi’ah umumnya terjadi pada pembayaran bunga atas kredit yang kita miliki atau juga pendapatan bunga dari tabungan, deposito atau giro. Sedangkan untuk Riba Jahiliyah terjadi pada pengenaan bunga dari kartu kredit dikarenakan tidak dilakukan pembayaran penuh atas tagihan tersebut.
f.
Maysir (Penjudian) Secara singkat Maysir disini adalah permainan yang hasilnya dimana salah satu pihak terbebani oleh tanggung jawab pihak lainnya.
g.
Risywah (penyuapan) Pelanggaran disini terjadi karena tindakan salah satu pihak yang memberikan sesuatu yang bernilai yang bertujuan si pihak pemberi tersebut memperoleh sesuatu yang bukan haknya.
3.
Kontrak yang tidak sah Penyebab lain yang dapat membatalkan akad adalah hal-hal berikut : a.
tidak terpenuhinya Rukun dan Syarat akad; Rukun adalah hal yang penting untuk dipenuhi agar suatu transaksi dapat berjalan. Apabila dalam kontrak tidak memenuhi Rukun, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Disamping Rukun, faktor yang harus ada dalam kontrak adalah Syarat. Syarat ini untuk melengkapi dari Rukun itu sendiri. Dalam suatu kasus, suatu Rukun terpenuhi namun Syarat untuk pelaksanaan akad tersebut tidak terpenuhi, maka transaksi atas akad tersebut adalah fasad (cacat). Hal tersebut sesuai dengan Mazhab Hanafi.
Universitas Indonesia
36
Dalam pelaksanaannya, Syarat harus dibedakan dengan Rukun, hal tersebut dengan tidak melakukan hal-hal berikut :
b.
1.
mengubah sesuatu yang halal menjadi sesuatu yang haram;
2.
mengubah sesuatu yang haram menjadi sesuatu yang halal;
3.
meniadakan Rukun;
4.
bertentangan dengan Rukun;
5.
mengelakkan penerapan Rukun.
adanya Ta’alluq; Ta’alluq adalah keadaan dimana pelaksanaan suatu transaksi dihadapkan dengan 2 (dua) kontrak yang saling terkait, yaitu suatu kontrak yang akan berjalan digantungkan dengan kontrak lainnya. Pelaksanaan keadaan tersebut dapat melanggar Rukun akad.
c.
Two in One. Two in One disini adalah kondisi dimana satu transaksi dilakukan dengan dua kontrak secara bersamaan sehingga menimbulkan ketidakjelasan kontrak mana yang harus dipenuhi.59 Berpedoman pada KHES, maka yang dinamakan akad tidak sah apabila
bertentangan dengan hal-hal yang diatur dalam pasal 26, yaitu :
a. b. c. d.
Syariat Islam; Peraturan perundang-undangan; Ketertiban umum; dan/atau Kesusilaan.60
Terhadap hukum keberlakuan dan kebatalan suatu akad, KHES membagi dalam 3 (tiga) kategori, yang kurang lebih sama dengan penjabaran mengenai kontrak yang tidak sah tersebut di atas, yaitu : a. Akad yang sah Dalam akad ini telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan 59
Adiwarman A. Karim, Islamic Banking : Fiqh and Financial Analysis, 3rd Edition, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 28 – 46. 60
Mahkamah Agung, Perma Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, op.cit., pasal 26.
Universitas Indonesia
37
Akad ini terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan mashlahat. c. Akad yang batal/batal demi hukum Akad ini batal karena kurang rukun dan/atau syarat-syaratnya.61
2.2.3. Akad Perbankan Syariah Dalam kaitannya dengan pembahasan perbankan syariah ini, akad yang digunakan adalah turunan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian kegiatan tolong-menolong/tidak mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk mencari keuntungan ini dibagi menjadi transaksi yang mengandung kepastian, dengan prinsip nonbagi hasil, dan transaksi yang mengandung ketidakpastian, dengan prinsip bagi hasil. Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam pembiayaan dan pendanaan. Sedangkan transaksi untuk tidak mencari keuntungan tercakup dalam pendanaan, jasa pelayanan (fee based income), dan kegiatan sosial. Dalam berbagai bentuk akad yang ada dalam praktik perbankan syariah, terdapat klausul yang selalu ada dalam dalam akad tersebut, yaitu : 1. Klausul Jaminan Pada dasarnya pemberian jaminan dalam konsep syariah tidaklah wajib. Namun agar nasabah memenuhi janjinya, pihak bank syariah dapat meminta ditetapkannya suatu jaminan tertentu dalam akad pembiayaannya. Jaminan tersebut digunakan dalam skema jual beli (Murabahah, Salam, Istishna) dan skema kerjasama (Mudharabah dan Murabahah). Dalam skema jual beli, yang digunakan sebagai jaminan adalah barang yang diperjualbelikan itu sendiri atau barang lain yang dapat diikat berdasarkan hukum jaminan dalam hukum positif. Sedangkan dalam skema kerjasama, penetapan jaminan bukan bertujuan menjamin modal yang dimasukkan oleh bank namun penempatan jaminan ini untuk menjaga bank atas kerugian di masa depan apabila si pengelola dana/nasabah lalai atau melanggar akad. 2. Ingkar Janji (Wanprestasi) Ingkar janji (wanprestasi) diatur dalam Pasal 36 KHES yaitu dengan kriteria berikut : 61
Ibid., pasal 27 - pasal 28.
Universitas Indonesia
38
a. tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukannya; atau b. melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikaannya; atau c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; atau d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Dalam akadnya ditetapkan bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya batas waktu yang ditentukan. 3.
Sanksi Sanksi terhadap peristiwa ingkar janji hanya dapat dikenakan apabila : a. pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji; b. sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilewatinya; c. pihak yang ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji itu terjadi karena keadaan memaksa yang berada di luar kuasanya (force majeur).
4.
Ganti Rugi dan Denda Dalam PBI No.9/19/PBI/2007 juncto Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 dinyatakan bahwa apabila terjadi wanprestasi atau kelalaian dari nasabah, bank syariah berhak untuk mengenakan ganti rugi. Pembatasan ganti rugi dibatasi oleh beberapa ketentuan yaitu : a. Ganti rugi dikenakan kepada nasabah yang memang sengaja atau karena lalai melakukan sesuatu yang menyimpang dari akad dan mengakibatkan kerugian pada bank. b. Klausul ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan dipahami oleh nasabah. c. Penetapan ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah. d. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesuai dengan kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian
Universitas Indonesia
39
yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) kkarena adanya peluang yang hilang (opportunity loss). e. Ganti rugi hanya dapat dibebankan pada akad Ijarah dan akad yang menimbulkan utang-piutang, seperti Salam, Istishna serta Murabahah yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai. f. Untuk akad Mudharabah dan Musyarakah, bank sebagai shahibul mal hanya dapat mengenakan ganti rugi pada bagian keuntungan bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib. 5.
Pilihan Hukum (Choice of Law) Pilihan hukum disini adalah syariat Islam mengingat ketentuan yang digunakan mengacu pada hukum Islam.
6.
Penyelesaian Sengketa Pada dasarnya penyelesaian sengketa harus menggunakan prinsip musyawarah mufakat, namun apabila tidak tercapai maka para pihak dapat melalui mediasi perbankan. Apabila melalui mediasi perbankan belum tercapai, maka dapat melalui Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas). Dalam akad syariah, seringkali langsung ditetapkan bahwa apabila terjadi sengketa akan diselesaikan melalui Basyarnas. Sementara itu untuk pelaksanaan putusan arbitrase syariah, bank akan memilih apakah dilanjutkan dengan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri saja.62 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam perjanjian antara bank syariah dan
nasabah mengenai penggunaan jasa tertentu berdasarkan Prinsip Syariah, hendaknya diatur dan ditentukan secara rinci dan jelas mengenai ketentuanketentuan dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh para pihak agar berlaku hubungan hukum antara bank syariah dan nasabah berkenaan dengan transaksi tersebut. Dalam hubungan itu, beliau menyarankan sebaiknya Bank Indonesia dengan bantuan DSN dapat melakukan penyeragaman terhadap perjanjianperjanjian baku yang digunakan oleh bank-bank syariah di Indonesia. Dengan penyeragaman perjanjian-perjanjian baku perbankan syariah, akan dicapai hal-hal berikut : 62
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 13-18.
Universitas Indonesia
40
1.
lingkup dan isi perjanjian transaksi syariah antara bank syariah yang satu dan bank syariah yang lain tidak menjadi berbeda-beda.
2.
penyeragaman perjanjian baku perbankan syariah agar substansi dari perjanjian dapat dibuat jelas dan rinci yang digunakan sebagai acuan apabila terjadi perbedaan pendapat antara nasabah dan bank.
3.
untuk menghindarkan terjadinya pembuatan perjanjian yang berat sebelah oleh pihak bank.63
2.2.4. Produk Perbankan Syariah di Indonesia Secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah terbagi dalam penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa perbankan diatur dalam Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah sebagaimana ditetapkan dalam SEBI No.10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008 perihal produk bank syariah dan unit usaha syariah. Dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut, maka bank syariah dan UUS wajib memenuhi prinsip syariah. Kewajiban pemenuhan prinsip syariah disini bahwa bank syariah dan UUS dalam kegiatannya wajib berpedoman pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atas hal tersebut serta memenuhi prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan objek haram.64 Dalam PBI No.10/17/PBI/2008 diatur bahwa terdapat kewajiban bank syariah atau UUS untuk melaporkan rencana pengeluaran produk bank yang baru sepanjang produk tersebut telah diatur oleh Bank Indonesia. Namun apabila produk baru tersebut tidak termasuk yang sudah diatur oleh Bank Indonesia, maka bank syariah atau UUS tersebut wajib untuk mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Terkait dengan penerbitan dan pelaksanaan suatu produk bank tersebut, maka bank syariah atau UUS wajib menghentikan kegiatan produk bank tersebut apabila produk bank tersebut tidak sesuai prinsip syariah dan peraturan
63
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah : Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, cet.1, (Jakarta : PT Jayakarta Agung Offset, 2010), hal. 143. 64
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
41
perundang-undangan yang berlaku serta tidak melaporkan atau meminta persetujuan kepada Bank Indonesia atas rencana pengeluaran produk bank yang baru.65
2.2.4.1. Penghimpunan Dana Pada produk penghimpunan dana ini terbagi menjadi sebagai berikut : a.
Giro Syariah Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek/bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindahbukuan. Akad yang digunakan adalah Wadi’ah atau Mudharabah. Giro Syariah atas dasar akad Mudharabah maka bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah sebagai pemilik dana dimana terdapat pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah yang disepakati. Produk perbankan syariah ini mengacu pada Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro.
b.
Tabungan Syariah Akad yang digunakan adalah Wadi’ah atau Mudharabah. Apabila Tabungan Syariah atas dasar Wadi’ah maka bank sebagai penerima dana titipan dimana tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan tetapi bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi. Nasabah selaku penitip dana dapat mengambil dananya setiap saat. Sedangkan Tabungan Syariah atas dasar akad Mudharabah maka bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah sebagai pemilik dana dimana terdapat pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah yang disepakati. Nasabah hanya dapat menarik dananya sesuai waktu yang disepakati. Produk Tabungan Syariah ini mengacu paada Fatwa DSN No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
c.
Deposito Syariah Mekanismenya bank sebagai pengelola dana dan nasabah selaku pemilik dana dimana pengelolaan dananya dapat dilakukan sesuai batasan-
65
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah, PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008, LN No. 137 Tahun 2008, pasal 2 dan pasal 7.
Universitas Indonesia
42
batasan yang ditetapkan pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakukan tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharabah mutlaqah). Pembagian keuntungan dalam bentuk nisbah yang disepakati. Nasabah hanya dapat melakukan penarikan dana sesuai waktu yang disepakati. Deposito Syariah ini sesuai dengan Fatwa DSN No.03/DSNMUI/IV/2000 tentang Deposito.
2.2.4.2. Penyaluran Dana a.
Pembiayaan Atas Dasar Akad Mudharabah Akad dalam pembiayaan ini mengacu pada Fatwa DSN No: 07/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) terbagi atas : i).
Mudharabah Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
ii).
Mudharabah Muthlaqah Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana
iii). Mudharabah Muqayyadah Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana b.
Pembiayaan Atas Dasar Akad Musyarakah Fatwa
DSN
No:
08/DSN-MUI/IV/2000
tentang
Pembiayaan
Musyarakah merupakan fatwa yang digunakan dalam pembiayaan ini. Dalam akad Musyarakah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak
Universitas Indonesia
43
berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing. c.
Pembiayaan Atas Dasar Akad Murabahah Berdasarkan Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Mengingat dalam pembiayaan ini menggunakan akad-akad yang lain, maka fatwa-fatwa yang digunakan antara lain : i.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
ii.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
iii.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah
iv.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah
v.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
vi.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah)
Universitas Indonesia
44
vii.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar
viii.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
ix.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah
Berkaitan dengan akad Murabahah, Rukun dan Syarat Akad Murabahah adalah sebagai berikut : a. Subjek Perjanjian Syarat subjek dalam prinsip jual beli ini adalah sama dengan syarat subjek akad seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Dalam praktik perbankan, terkadang bank bertindak selaku penjual , dalam akad murabahah, atau bisa juga sebagai pembeli, dalam akad istishna. Adakalanya sering terjadi dalam praktik perbankan syariah bank diperbolehkan member kuasa kepada nasabah (dengan akad wakalah) untuk membeli barang atas nama bank. b. Objek Kriteria mengenai objek dalam jual beli ini adalah : i.
Barang yang diperjualbelikan harus tertentu jenisnya
ii.
Harga barang yang diperjualbelikan harus jelas
iii.
Barang yang dijual harus secara prinsip sudah beralih kepemilikannya ke tangan penjual
Namun terdapat hal menarik dalam prinsip jual beli syariah bahwa saat ini yang terjadi barang yang dibutuhkan nasabah spesifikasinya diajukan oleh nasabah sendiri (selaku pembeli) kepada bank (selaku penjual). c. Akad (shigat) Kata sepakat melalui ijab qabul harus dinyatakan secara tegas dalam akad.66
66
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 44-45.
Universitas Indonesia
45
Pada prinsipnya jaminan dalam murabahah diperbolehkan untuk mengikat nasabah serius dengan pesanannya. Dalam setiap akad murabahah pada praktik perbankan syariah memang ditetapkan suatu jaminan. Pada skema murabahah yang sederhana (dalam skema pembelian suatu barang dimana barang yang dijual oleh bank dengan margin tertentu), barang yang dijadikan jaminan pembayaran cicilan nasabah kepada bank adalah barang yang dijual tersebut dengan tidak menutup kemungkinan adanya jaminan tambahan yang diminta oleh bank. Pada skema murabahah yang kompleks (dengan skema murabahah tersebut dijadikan sebagai sarana pembiayaan suatu proyek, misalnya proyek konstruksi), maka biasanya yang dijadikan sebagai jaminan tidak hanya objek yang diperjanjikan melainkan bisa juga melibatkan berbagai macam jaminan lain yang dapat diterima oleh hukum positif, seperti hak tanggungan atas fixed asset milik nasabah, fidusia atas tagihan, personal guarantee atau jaminan apapun yang dapat diterima oleh bank syariah.67 Dalam jual beli selain adanya jual beli dengan prinsip murabahah yang halal, ada pula dikenal dengan jual beli secara al inah (bai’ al inah). Bai’ al inah dapat didefinisikan sebagai penjualan dengan pembelian kembali dimana penjual menjual barangnya kepada pembeli dengan harga yang disepakati (dengan kenaikan harga tertentu) yang dibayar oleh pembeli di kemudian hari. Selanjutnya pembeli tersebut menjual kembali barang tersebut kepada penjual secara kontan dengan harga yang lebih rendah dari harga sebelumnya. Secara teknis, pelaksanaan bai’ al inah meliputi 2 (dua) transaksi yaitu (i) al-bay’ al-mutlaq (penjualan dengan cash) dan (ii) murabahah (penjualan kemudian) yang dilaksanakan saling berurutan dimana patut diperhatikan bahwa akad murabahah yang terjadi tersebut merupakan instrument terjadinya bai’ al inah. Dalam praktik institusi perbankan, kontrak penjualan dan penjualan kembali (sale and resale contract) dilakukan baik oleh bank maupun nasabahnya dengan tidak melihat adanya asumsi risiko dan nilai tambah pada keuntungan/profit yang akan diperoleh. Pada kedua transaksi tersebut masing-masing pihak telah memberikan jaminan di awal bahwa pada setiap transaksi penjualan pasti akan ada transaksi penjualan kembali secara otomatis. Bai’ al inah hanya berfungsi sebagai sarana 67
Ibid., hal. 54-55.
Universitas Indonesia
46
yang menggunakan hukum bisnis syariah (dalam hal ini melalui perdagangan dan bisnis) untuk memperoleh uang tunai tampa berimplikasi pada riba; untuk membuat hal yang haram menjadi halal. Objek yang diperjualbelikan hanya merupakan alat untuk mengaburkan penerimaan dan pembayaran bunga. Secara implisit bai’ al inah dapat menciptakan “pintu belakang” untuk bunga. 68 Bai’ al inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama. Hal tersebut diriwayatkan dari „Aisyah, Ibnu „Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya‟by, An-Nakh‟iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza‟iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Ishaq. Di sisi lain, Imam Asy-Syafii dan pengikutnya membolehkan bai’ al inah ini.69 d.
Pembiayaan Atas Dasar Akad Salam Dalam akad Salam transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara
penuh.
Fatwa
DSN
yang
digunakan
Nomor
05/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. e.
Pembiayaan Atas Dasar Akad Istishna’ Transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Fatwa DSN yang digunakan adalah i.
Fatwa DSN No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna‟.
ii.
Fatwa DSN No: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna‟ Paralel.
f.
Pembiayaan Atas Dasar Akad Ijarah Pembiayaan Ijarah ini terdiri dari : 1) Ijarah Transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa
68
Issues In Bay’ Al-‘Inah and Bay’ Al-Dayn and Proposal For Other Concepts Available In Islamic Commercial Law To Be Employed As Alternatives In Contemporary Islamic Finance, http://arzim.blogspot.com/2010/02/issues-in-bay-al-inah-and-bay-al-dayn.html, diakses tanggal 29 Desember 2012. 69
Bay Al Inah : Pengenalan Ringkas, http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/04/bay-al-inahpengenalan-ringkas.html, diakses tanggal 29 Desember 2012.
Universitas Indonesia
47
dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. 2) Ijarah Muntahiya Bittamlik Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa. Fatwa DSN yang digunakan dalam pembiayaan ini adalah : -
Fatwa DSN No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
-
Fatwa DSN No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah al Muntahiyah bi al-Tamlik.
g.
Pembiayaan Atas Dasar Akad Qardh Dalam pembiayaan ini bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan
pinjaman
(Qardh)
kepada
nasabah
berdasarkan
kesepakatan. Oleh karenanya, bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai Akad serta membebankan biaya apapun atas penyaluran Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran. Terhadap pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar Qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati. Namun bila nasabah digolongkan mampu tapi tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah. Fatwa DSN yang digunakan sebagai referensi adalah Fatwa DSN No: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh. h.
Pembiayaan Multijasa Pembiayaan ini dengan menggunakan akad Ijarah atau akad Kafalah. a. Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Ijarah Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah. Pengembalian dana yang telah dikeluarkan bank tersebut dapat dilakukan dengan angsuran maupun sekaligus, namun tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang atau pembebasan utang.
Universitas Indonesia
48
b. Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Kafalah Bank sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga. Obyek penjaminan tersebut harus merupakan kewajiban orang yang meminta jaminan; jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya;
tidak
bertentangan
dengan
syariah
(tidak
diharamkan). Bank dapat memperoleh imbalan yang disepakati yang ditetapkan dalam nominal yang tetap serta dapat meminta jaminan. Apabila nasabah tidak memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga, maka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak ketiga dengan memberikan dana talangan sebagai pembiayaan atas dasar akad Qardh yang harus diselesaikan oleh nasabah. Fatwa DSN yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 44/DSN-MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa. Perlu ditambahkan bahwa Kafalah disini adalah dalam posisi bank sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga atau Garansi Bank sebagai bentuk layanan jasa perbankan. Terkait dengan analisis kasus dalam penulisan ini maka Kafalah dikaitkan dengan pemberi jaminan adalah non bank, yaitu personal (Personal Guarantee) dimana jenis kafalah tersebut yaitu Al-Kafalah bin Nafs. Kafalah yang diatur dalam konsep syariah ini bisa dikatakan sama persis dengan konsep pemberian jaminan (borg) yang diatur dalam hukum positif yang diatur dalam Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah sebagai pedomannya. Rukun dan Syarat Kafalah adalah sebagai berikut : 1. Pihak Penjamin (Kafil) i.
Baligh (dewasa) dan berakal sehat
ii.
Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela
(ridha) dengan tanggungan
kafalah tersebut 2. Pihak orang yang berutang (Makful anhu ashil) a) Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin
Universitas Indonesia
49
b) Dikenal oleh penjamin 3. Pihak orang yang berpiutang (Makful lahu) a) Diketahui identitasnya b) Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa c) Berakal sehat 4. Objek penjaminan (Makful bihi) a) Merupakan tanggungan pihak yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan b) Bisa dilaksanakan oleh penjamin c) Harus merupakan piutang mengikat (lazim) yang tidak mungkin dihapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan d) Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya e) Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan).70
2.2.4.3. Pelayanan Jasa Perbankan a.
Letter of Credit (L/C) Impor Syariah Akad yang digunakan dalam L/C ini adalah Wakalah bil Ujroh dan Kafalah. Dalam mekanisme ini bank dapat bertindak sebagai wakil dan pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban importer terhadap eksportir dalam melakukan pembayaran. Atas pelayanan jasa tersebut, bank dapat memperoleh imbalan/fee/ujroh yang disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap, tidak dalam prosentase. Nasabah yang menjalankan usaha importer tersebut harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor (akad wakalah bil ujroh). Apabila importer tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor, maka bank dapat memberikan dana talangan (qardh) dan bank dapat bertindak sebagai shahibul maal bagi importer sebesar harga yang diimpor. Apabila importer tidak memiliki cukup dana pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor dan pembayaran belum dilakukan, maka utang kepada eksportir dialihkan oleh importir
70
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 140-141.
Universitas Indonesia
50
menjadi hutang kepada bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor (akad Wakalah bil Ujroh dan Wakalah). Fatwa yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 34/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah. b.
Bank Garansi Syariah Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga. Kontrak (akad) jaminan memuat kesepakatan antara pihak bank dan pihak kedua yang dijamin dan dilengkapi dengan persaksian pihak penerima jaminan. Bank dapat memperoleh imbalan yang disepakati di awal dalam jumlah nominal yang tetap. Bank dapat meminta jaminan atas nilai penjaminan. Apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga, maka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak ketiga dengan memberikan dana talangan (qardh). Fatwa DSN yang digunakaan adalah Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah.
c.
Penukaran Valuta Asing (Sharf) Bank dapat bertindak, baik sebagai pihak yang menerima penukaran maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada nasabah. Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta asing) hanya dapat dilakukan dalam bentuk transaksi spot. Dalam hal transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap mata uang berlainan jenis dalam kegiatan money changer, maka transaksi harus dilakukan secara tunai dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan. Fatwa yang digunakan adalah Fatwa DSN No. 28/DSNMUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf). Pelayanan jasa bank syariah dan UUS juga mengenal Hawalah
sebagaimana dalam SEBI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Dua ulama fiqih Mazhab Hanafi mengemukakan definisi Hawalah yang berbeda : Ibnu Abidin mengatakan bahwa hawalah ialah pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang
Universitas Indonesia
51
berutang (muhil) kepada orang yang berutang lainnya, (muhil ‘alaih); sedangkan Kamal bin Hummam mengatakan bahwa Hawalah pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya atas dasar saling mempercayai. Menurut Mazhab Maliki, Hambali dan Syafi‟I bahwa Hawalah ialah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak lain. Perbedaan definisi-definisi tersebut terletak pada kenyataan bahwa Mazhab Hanafi menekankan pada segi kewajiban membayar utang, sedangkan ketiga mazhab lainnya menekankan pada segi hak menerima pembayaran utang.71 Dalam SEBI tersebut dijelaskan bahwa dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah terdiri dari : a. Hawalah Mutlaqah yaitu transaksi yang berfungsi untuk pengalihan utang para pihak yang menimbulkan adanya dana keluar (cash out) Bank; b. Hawalah Muqayyadah yaitu transaksi yang berfungsi untuk melakukan set-off utang piutang diantara 3 (tiga) pihak yang memiliki hubungan muamalat (utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar (cash out). Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga; b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah bagi nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara
71
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 345.
Universitas Indonesia
52
lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek usaha (Condition); d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad pengalihan utang atas dasar Hawalah; e. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal; f. Bank menyediakan dana talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang nasabah kepada pihak ketiga; g. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada nasabah; dan h. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada nasabah. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah sebagaimana dimaksud di atas, kecuali huruf a, huruf f dan huruf g; b. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya Bank memiliki utang kepada nasabah; dan c. Jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil-alih oleh Bank, paling besar sebanyak nilai utang Bank kepada nasabah. Menurut Mazhab Hanafi, dalam Hawalah ini terdapat rukun-rukunnya yang terdiri dari : i.
adanya ijab (pernyataan melakukan Hawalah) dari pihak pertama;
ii.
adanya qabul (pernyataan menerima Hawalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.72
Sedangkan Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali menjelaskan bahwa rukun Hawalah ini terdiri dari 6, yaitu :
72
i.
adanya muhil;
ii.
pihak muhal;
Ibid., hal. 347.
Universitas Indonesia
53
iii.
pihak muhal ‘alaih;
iv.
adanya utang muhil kepada muhal yang sama sifat dan jumlah utangnya;
v.
adanya utang muhal ‘alaih kepada muhil yang sama sifat dan jumlah utangnya;
vi.
adanya sigah (pernyataan Hawalah).73
Namun dalam praktik perbankan, penggunaan akad Hawalah ini sulit untuk diterapkan mengingat bank jarang sekali dalam posisi yang memiliki utang kepada nasabah. Untuk selanjutnya, sangat jarang terjadi bank diminta oleh nasabahnya untuk membayarkan utang bank kepada nasabah tersebut ke pihak ketiga yang ditunjuk nasabah.
2.2.5. Rahn atau Gadai Dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah memang tidak diatur mengenai Rahn walaupun Rahn ini juga merupakan salah satu pembiayaan syariah. Rahn atau Gadai ini pada prinsip secara syariah sama dengan gadai biasa yang diatur dalam hukum adat dan hukum positif. Pengaturan Rahn ini dalam Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 dimana prinsip Rahn yaitu : a. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai. b. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang. c. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seizin pemilik barang. d. Jika penerima gadai memanfaatkan barang yang digadaikan dengan seizin pemilik barang, penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan.74 73
74
Ibid. Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal.130.
Universitas Indonesia
54
Sistematika akad Rahn terdiri dari : 1. Tanggal dan nomor akad Jika dibuat secara dibawah tangan antara kedua pihak, nomor akad adalah nomor yang diberikan oleh bank syariah, sedangkan jika dibuat dihadapan notaris, nomor tersebut adalah nomor akta notaris yang bersangkutan. 2. Para pihak atau subjek akad a)
Pihak yang menggadaikan (Rahn atau Rahin)
b)
Pihak yang menerima gadai (Murtahin atau bank syariah)
3. Isi perjanjian a)
Kesepakatan para pihak , yaitu bank selaku kreditur sebagai penerima
gadai
(Murtahin)
setuju
untuk
memberikan
pembiayaan dengan jumlah tertentu dan nasabah (Rahin) menerima pembiayaan tersebut. b)
Murtahin
menerima
barang
yang
digadaikan
dengan
memberikan sejumlah dana tertentu dan Rahin berkewajiban untuk membayar biaya sewa tempat penitipan dan asuransi atas barang yang digadaikan. c)
Jaminan dari pihak Rahin bahwa objek yang digadaikan adalah benar-benar miliknya, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa dan bebas dari sitaan.
d)
Kuasa untuk melakukan debit rekening Rahin jika pembayaran dilakukan oleh Rahin melalui suatu rekening tertentu (tidak langsung).
e)
Kuasa untuk menjual atau melelang barang yang digadaikan apabila sampai tiba jangka waktunya, Rahin tidak dapat mengembalikan dana yang diterimanya dari Murtahin.
4. Penutup Lokasi dibuatnya perjanjian dan diakhiri dengan ditandatanganinya oleh para pihak.75
75
Ibid., hal. 131.
Universitas Indonesia
55
Rahn yang diatur menurut prinsip syariah ini dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu : 1. Rahn Hiyazi Bentuk Rahn ini yang sangat mirip dengan konsep gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif. Pada Rahn Hiyazi ini barang yang akan digadaikan dikuasai oleh kreditur, apabila utang debitur sudah lunas barulah barang yang digadaikan bisa diambil kembali. 2. Rahn Tasjily Merupakan bentuk Rahn dengan barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan digunakan oleh pemberi gadai. Konsep ini dalam hukum positif mirip dengan konsep lembaga jaminan fidusia seperti diuraikan sebelumnya.76 Rahn Tasjily ini diatur dalam Fatwa DSN Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 dengan ketentuan sebagai berikut : a.
Rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada Murtahin.
b.
Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke Murtahin.
c.
Rahin memberikan wewenang kepada Murtahin untuk mengeksekusi barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya.
d.
Pemanfaatan barang Marhun oleh Rahin
harus dalam batas
kewajaran sesuai kesepakatan. e.
Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang Marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang ditanggung oleh Rahin.
2.3.
Cabang Syariah dari Bank Konvensional (Unit Usaha Syariah) Bank umum konvensional yang membuka kantor cabang syariah, selain
wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) juga diwajibkan membentuk UUS. UUS ini merupakan satuan kerja di kantor pusat bank umum yang berfungsi 76
Ibid., hal. 127-128.
Universitas Indonesia
56
sebagai kantor induk atau koordinator bagi kantor-kantor cabang syariah, yang kedudukannya satu tingkat dibawah Direksi sehingga bertanggung jawab langsung ke Direksi. Kantor cabang syariah bertanggung jawab dan koordinasi dengan UUS dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, mengikuti ketentuan dan peraturan perbankan syariah dan mengikuti ketentuan akuntanasi syariah. UUS dan kantor cabang syariah tidak diperkenankan menginduk pada kantor cabang bank konvensional. Mengingat Divisi/Urusan dan kantor cabang bank konvensional mengikuti ketentuan dan peraturan perbankan konvensional serta ketentuan akuntansi perbankan konvensional. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian syariah dari pelaksanannya.77 Berdasarkan Pasal 19 ayat 2 UU Perbankan Syariah, Kegiatan usaha UUS meliputi sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e. f.
g. h.
menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
77
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, cet.1, (Jakarta : Penerbit LPFE Usakti PT Sardo Sarana Media, 2009), 52 – 54.
Universitas Indonesia
57
i.
j. k.
l. m. n. o.
2.4.
membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan Pengalihan Utang Dalam Perbankan Syariah Pengalihan utang merupakan pengalihan perjanjian utang antara nasabah
bank konvensional menjadi perjanjian utang antara nasabah dengan bank syariah atau unit usaha syariah suatu bank konvensional. Pengaturan pengalihan utang dalam perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas dari peranan DSN yang memberikan pengaturannya dalam bentuk fatwa. 2.4.1. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia Fatwa merupakan cermin dari respons para ulama terhadap suatu masalah yang memerlukan jawaban dari aspek agama Islam sehingga ia bersifat dinamis dan juga merupakan cermin refleksi dari pemikiran intelektual masyarakat tertentu.78 Kehadiran Dewan Syariah Nasional (DSN) yang baru dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1999 memberi pengaruh terhadap peraturan perbankan syariah. Adanya fatwa-fatwa DSN yang baru ditetapkan pada
78
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, cet.1, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2011), hal.105.
Universitas Indonesia
58
tahun 2000 menjadi satu-satunya pedoman sebagai pegangan dalam melakukan kegiatan perekonomian syariah pada saat itu.79 Pengaruh fatwa DSN terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perbankan syariah memberi pengaruh yang sangat besar. Diawali dengan pengaturan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia, kemudian meningkat ke dalam Undang-undang. Diawali dengan ketentuan yang secara implisit atas pengakuan terhadap fatwa DSN, kemudian meningkat secara yuridis formal dengan ketentuan secara eksplisit yang mengakui fatwa DSN sebagai suatu hukum syariah yang berlaku.80 Dalam Pasal 35 PBI No.11/3/PBI/2009 tersebut diatas dinyatakan bahwa untuk melakukan usahanya, Bank Umum Syariah diwajibkan merujuk pada fatwa DSN serta meminta fatwa terlebih dahulu untuk produk baru bank yang belum ada fatwanya. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan kedudukan fatwa DSN dalam sistem hukum nasional bahwa :
1.
2.
3.
Pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN adalah untuk menghindari adanya perbedaan keterangan yang dibuat olehh DPS masing-masing Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dibuat dalam fatwa karena tidak ada peraturan yang mengatur kegiatan ini untuk semua pelaku ekonomi syariah. Kedudukan fatwa DSN dalam sistem perundang-undangan dilihat pada 4 (empat) komponen : a. fatwa DSN sebagai prinsip syariah yang merupakan pedoman pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah yang harus ditaati; b. Fatwa DSN menjadi pedoman bagi DPS dalam mengawasi kegiatan usaha LKS; c. Isi ketentuan dalam fatwa DSN diserap ke dalam peraturan perundang-undangan. d. Fatwa DSN menjadi landasan hukum bagi LKS dalam menjalankan produk kegiatan usahanya. Hakim akan menggunakan fatwa DSN karena ketentuan ekonomi syariah merupakan hal yang baru yang tidak ditemukan pada fatwa terdahulu dan telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Hakim tetap tidak memandang fatwa sebagai ketentuan hukum yang harus diikuti karena bukan sumber hukum Islam yang utama dan tidak
79
Yeni Salma Barlinti, ”Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia,” (Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2010), hal.255. 80
Ibid., hal. 258.
Universitas Indonesia
59
termasuk peraturan perundang-undangan. Hakim dan arbiter harus mengutamakan fatwa DSN sebagai pertimbangan hukum dalam memutuskan perkaranya karena fatwa DSN adalah hukum yang mengikat secara yuridis.81
2.4.2. Fatwa DSN MUI Tentang Pengalihan Utang Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/IV/2002 tentang Pengalihan Utang Pelunasan/pembayaran utang adalah fatwa yang dipakai sebagai pedoman dalam penyelesaian kasus ini. Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa pengalihan utang adalah proses transaksi keuangan dari transaksi keuangan non syariah menjadi berpindah ke transaksi syariah. Guna memenuhi karakteristik tujuan dari transaksi ini, maka dalam fatwa ini diberikan 4 (empat) alternatif metode pengalihan utang tersebut agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan kegiatan ekonomi syariah tersebut, yaitu : Alternatif 1 1.
LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya. Dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2.
Nasabah menjual aset dimaksud pada angka 1 kepada LKS dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3.
LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.
4.
Fatwa DSN nomor : 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh dan Fatwa DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif 1 ini.
81
Ibid., hal. 469-470.
Universitas Indonesia
60
Gambar 2.1 : Pengalihan Utang Alternatif Pertama (5) menjual barang ke nasabah dengan akad murabahah
Bank Syariah
(1) memberi qardh
Nasabah
(2) membayar kewajiban
Bank Konven
(4) menjual barang agunan dan melunasi qardh
(3) menerima agunan
Alternatif 2 1.
LKS membeli sebagian aset nasabah dengan seizin Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) sehingga dengan demikian terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
2.
Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana angka 1 adalah bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3.
LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.
4.
Fatwa DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif 2 ini.
Universitas Indonesia
61
Gambar 2.2 : Pengalihan Utang Alternatif Kedua (2) menjual barang secara murabahah
Bank Konven
Nasabah
Bank Syariah
(1) membeli sebagian aset nasabah dengan ijin LKK (syirkah al milk)
Alternatif 3 1.
Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
2.
Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan
prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
19/DSN-MUI/IV/2001. 3.
Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksud angka 2 di atas.
4.
Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka di atas.
Universitas Indonesia
62
Gambar 2.3: Pengalihan Utang Alternatif Ketiga (2) dapat membantu menalangi kewajiban nasabah (jika perlu)
Bank Syariah
(3) Imbalan Ijarah
Nasabah
Bank Konven
(1) Ijarah atas pengurusan kepemilikan asset penuh
Alternatif 4 1.
LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya. Dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2.
Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3.
LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
4.
Fatwa DSN nomor : 19/DSN-MUI/III/2012 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor : 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi alTamlik berlaku pula dalam pelaksanaan pembiayaan pengalihan utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif 4 ini.
Universitas Indonesia
63
Gambar 2.4: Pengalihan Utang Alternatif Keempat
(5) menyewakan ke nasabah dengan akad IMBT
Bank Syariah
(1) memberi qardh
Nasabah
(4) menjual barang agunan dan
(2) membayar kewajiban
Bank Konven
(3) asset yang dibeli dengan
melunasi qardh
kredit milik nasabah
2.4.3. Pinjaman Qardh Sesuai dengan fungsi bank syariah harus melaksanakan fungsi sosial yaitu melaksanakan transaksi yang sifatnya tolong-menolong melalui pinjaman Qardh. Pinjaman Qardh ini dilakukan bank syariah dalam transaksi talangan haji, talangan cerukan atau overdraft dari rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah dan sejenisnya. Al-Qardh adalah akad pinjaman kepada nasabah tertentu dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang disepakati antara nasabah dan LKS. Rukun Al-Qardh adalah sebagai berikut : a.
Peminjam/Muqtaridh
b.
Pemilik dana atau pemberi pinjaman/Muqridh
c.
Jumlah dana/Qardh
d.
Ijab Kabul/Shighat.82
Dan untuk Syarat Al-Qardh adalah sebagai berikut : a.
Kerelaan dua pihak melakukan akad; dan
b.
Dana yang akan digunakan ada manfaatnya dan halal.83
82
Wiroso, op.cit., hal. 322.
83
Ibid., hal. 323.
Universitas Indonesia
64
DSN menetapkan aturan tentang Al-Qardh sebagaimana dalam fatwa DSN nomor 19/DSN-MUI/IX/2000 yang substansinya adalah : 1.
Ketentuan umum Al-Qardh a. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. b. Nasabah Al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. c. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah. d. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. e. Nasabah Al-Qardh dapat memberikan sumbangan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad. f. Jika nasabah tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada
saat
yang
telah
disepakati
dan
LKS
memastikan
ketidakmampuannya, LKS dapat :
2.
a)
Memperpanjang jangka waktu pengembalian; atau
b)
Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Sanksi a. Apabila nasabah tidak menunjukan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah. b. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah tersebut dapat berupa, tidak terbatas pada, penjualan barang jaminan. c. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.
3.
Sumber dana Al-Qardh a. Bagian modal LKS; b. Keuntungan LKS yang disisihkan; c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Universitas Indonesia
65
2.5.
Notaris Sebagai Pejabat Umum Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang dinamakan Notaris adalah
Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.84 Dalam Penjelasan UUJN diterangkan mengenai kewajiban Notaris yang berbunyi bahwa :
Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.85 Penjabaran kewajiban Notaris tersebut di atas juga dikaitkan dengan kewajiban dalam bersikap dan bertindak seorang Notaris. Kewajiban dalam bersikap dan bertindak tersebut diatur sebagaimana dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (a) UUJN bahwa Notaris berkewajiban :
Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.86 Apabila dikaitkan dengan hubungan hukum antara bank syariah dengan para nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Setiap perjanjian di bank syariah diwujudkan dalam bentuk tertulis (akad) yang dibuat antara bank dan nasabahnya. Terdapat pertimbangan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 mengapa akad
84
Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2004, pasal 1 angka 1. 85
Ibid., penjelasan paragraf 5.
86
Ibid., pasal 16 ayat 1 huruf (a).
Universitas Indonesia
66
bank syariah yang dilaksanakan harus dibuat secara tertulis dengan akta notarial, yaitu :
Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya maka hendaklah dia menuliskannya. Kutipan ayat tersebut berbicara tentang anjuran kewajiban menulis utang-piutang dan disaksikan di hadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. Menurut M. Quraish Shihab dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis (notaris), yaitu (1) kemampuan menulis; (2) pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian; (3) kejujuran.87 Mengacu pada Pasal 1868 KUHPerdata bahwa sumber otentisitas akta Notaris yang merupakan juga dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut : a.
akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum.
b.
Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
c.
Pejabat umum, dimana akta tersebut dibuat, haruslah mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.88 Mengingat produk notaris berupa akta otentik, maka dapat dilihat
mengenai anatomi suatu akta notariil tersebut dengan memperhatikan Pasal 38 UUJN yaitu terdiri dari :
1. awal akta atau kepala akta, yang memuat : a. judul akta b. nomor akta c. jam, hari, tanggal, bulan dan tahun d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris
87
H.R. Daeng Naja, op.cit., hal. 61.
88
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, cet.1, (Bandung : PT Refika Aditama, 2011), hal. 9.
Universitas Indonesia
67
2. badan akta, yang memuat : a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap; c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan; d. nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. 3. akhir atau penutup akta, yang memuat : a. uraian tentang pembacaan akta; b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta bila ada; c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; d. uraian tentang ada tidaknya perubahan dalam pembuatan akta yang berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.89 Apabila melihat anatomi akta sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UUJN tersebut, maka skema akad syariah secara umum kurang lebih sama yang berisikan hal-hal berikut : 1.
Pembuka Terkadang ditulis Basmalah namun tidak mutlak tergantung kebijakan masing-masing bank.
2.
Kepala akta Judul akta (akad pembiayaan) dan nomor akta serta hari dan tanggal pelaksanaan akad dan nama notaris.
3.
Komparisi Pada bagian komparisi ini menyebutkan para pihak yang berakad beserta kecakapan bertindak masing-masing.
4.
Premis Premis ini berisikan latar belakang dibuatnya akad.
5.
Isi akad Dalam bagian isi, menjabarkan mengenai Definisi (apabila perlu), nilai pembiayaan, tujuan pembiayaan, margin keuntungan dari bank, pernyataan nasabah, klausula jaminan serta peristiwa kelalaian nasabah yang dapat memutuskan perjanjian.
89
Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, op.cit., pasal 38.
Universitas Indonesia
68
6.
Penyelesaian sengketa Dapat diatur bahwa dalam hal terjadi sengketa, akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak ada jalan keluar, maka dapat dipilih arbitrase penyelesaian sengketa melalui Basyarnas.
7.
Klausul tambahan Dapat disebut sebagai Ketentuan Peralihan
8.
Akhir Akta Disebutkan mengenai penyelesaian dan pelaksanaan penandatanganan akad dan saksi-saksi.90
2.6.
Analisis Mengenai Mekanisme Konversi Kredit Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah
2.6.1. Kasus Posisi Dalam kasus ini PT ABC telah menerima fasilitas kredit dari Divisi Komersial Bank X (konvensional) berupa Pinjaman Berjangka (“PB”) berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor 12 tanggal 11 Juni 2008 yang telah dilegalisasi oleh Notaris AA, SH pada tanggal 11 Juni 2008 dibawah nomor 26/Legalisasi/2008 dan Syarat Dan Ketentuan Umum Perjanjian Kredit tanggal 11 Juni 2008 Nomor 274/SKU/SCBC-Thamrin/2008 yang telah dilegalisasi oleh Notaris AA, SH juncto Perubahan Perjanjian Kredit Nomor 07 tanggal 11 Agustus 2009 yang dibuat dihadapan Notaris AA, SH juncto Perubahan Perjanjian Kredit Nomor 13 tanggal 14 Juni 2010 yang dibuat dihadapan Notaris AA, SH, yaitu sebagai berikut : 1. PB II yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp.32.545.407.994,- dengan jaminan sebagai berikut : a. 1 (satu) unit Kapal Tug Boat yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek; b. 4 (empat) unit kapal Tongkang yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek; c. Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT KSM yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia; d. Personal Guarantee (PG) dari Tuan KL dan Tuan HE. 90
Irma Devita Purnamasari, op.cit., hal. 19.
Universitas Indonesia
69
2. PB III yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp.36.354.449.333,- dengan jaminan sebagai berikut : a. Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT SSDK yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia; b. Barang-barang inventory berupa bahan baku, bahan setengah jadi dan bahan jadi yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia; c. 3 (tiga) unit kapal tongkang yang pengikatan Hipoteknya dilaksanakan setelah tanggal 30 Juni 2010; d. Personal Guarantee (PG) dari Tuan KL dan Tuan HE. 3. PB IV yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp. 11.055.673.826,38,- dengan jaminan 1 (satu) unit Kapal Tongkang yang dijaminkan dengan lembaga Hipotek. 4. PB V yang sampai dengan tanggal 30 Juni 2010 outstanding kreditnya (pokok utang tanpa bunga) sebesar Rp. 18.838.942.453,77 dengan jaminan sebagai berikut : a. Mesin-mesin yang dibiayai dengan PB V yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia; b. Piutang dagang hasil sewa Crane dan mesin-mesin pendukung lainnya kepada PT GM yang dijaminkan dengan lembaga Fidusia. Setelah berjalannya pengucuran dan penggunaan fasilitas kredit PB tersebut dari tahun 2008, pada tahun 2010 PT ABC bermaksud untuk mengkonversi atau take over kredit PB tersebut menjadi fasilitas pembiayaan syariah yang menurut penghitungan keuangan PT ABC dirasa menguntungkan untuk
menggunakan fasilitas
pembiayaan syariah dibandingkan
dengan
menggunakan fasilitas kredit PB konvensional. Atas hal tersebut, maka UUS Bank X menyampaikan surat perihal Persetujuan Hawalah tanggal 30 Juni 2010 kepada PT ABC yang ditandatangani antara PT ABC dan UUS Bank X dimana substansi yang disampaikan yaitu : a. mengalihkan utang dari fasilitas kredit PB PT ABC atau meng-Hawalahkan piutang Divisi Komersial Bank X (konvensional) kepada UUS Bank X tersebut;
Universitas Indonesia
70
b. UUS Bank X memberikan dana talangan atau Qardh sebesar Rp. 658.292.778,67 yang digunakan oleh PT ABC untuk pembayaran bunga berjalan bulan Juni 2010 atas fasilitas kredit PB PT ABC; c. Jaminan-jaminan yang diikat berdasarkan perjanjian kredit sebelumnya tetap melekat, mengikat dan menjamin pinjaman yang diperoleh PT ABC melalui fasilitas pembiayaan syariah. Selanjutnya, pada tanggal yang sama dengan Surat Persetujuan Hawalah tersebut yaitu 30 Juni 2010, dibuat dan ditandatangani Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan Murabahah Nomor 94 tanggal 30 Juni 2010 yang dibuat dihadapan Notaris OHCU, SH (“Addendum PK Murabahah”) yang menuangkan konversi kredit PT ABC menjadi sebagai berikut : a. PB II menjadi Murabahah II; b. PB III menjadi Murabahah III; c. PB IV menjadi Murabahah IV; d. PB V menjadi Murabahah V; serta seluruh jaminan yang diikat berdasarkan
perjanjian kredit terdahulu,
sebagaimana jaminan-jaminan yang sudah disebutkan di atas, tetap melekat, mengikat dan menjamin untuk fasilitas pembiayaan Murabahah. 2.6.2. Mekanisme Konversi Yang Dilakukan UUS Bank X Untuk melakukan konversi fasilitas kredit PB II – PB V PT ABC tersebut, UUS Bank X melakukan metode pengalihan utang dengan cara Hawalah melalui Surat Persetujuan Hawalah. Adapun dalam Hawalah tersebut dimasukkan pula metode Qardh serta pernyataan bahwa seluruh jaminan-jaminan PT ABC yang menjamin seluruh fasilitas kredit PB II – PB V terdahulu dinyatakan tidak hapus dengan konversi melalui metode Hawalah. Setelah dilakukannya Hawalah dan Qardh tersebut, maka transaksi konversi dimaksud dilanjutkan dengan metode Murabahah atas barang-barang milik PT ABC yang sebelumnya dibiayai dengan fasilitas kredit dan merupakan barang-barang jaminan atas PB II – PB V PT ABC. Hal ini terlihat pada Pasal 2 Addendum PK Murabahah yang menyebutkan :
Universitas Indonesia
71
Pasal 2 Objek Akad Objek akad ini adalah Barang yang dibiayai oleh Bank dan atau menurut pengakuan NASABAH adalah yang dibiayai dari fasilitas kredit yang diperoleh NASABAH berdasarkan Perjanjian Kredit terdahulu dengan spesifikasi sebagaimana diuraikan dalam Lampiran I Akad ini yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan akad ini. Untuk pembelian barang-barang tersebut, UUS Bank X memberikan fasilitas pembiayaan Murabahah yang jumlahnya sesuai dengan sisa utang pokok PT ABC yang diperoleh dalam fasilitas kredit PB masing-masing ditambah dengan margin keuntungan UUS Bank X sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Addendum PK Murabahah. Dalam pasal 3 tersebut dijelaskan bahwa dalam fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut diawali dengan kesepakatan jual beli dimana UUS Bank X menjual kepada PT ABC barang sebagaimana dimaksud pasal 2 di atas dan PT ABC sepakat membeli barang tersebut dari UUS Bank X. Setelah melakukan jual beli tersebut, UUS Bank X memberikan fasilitas pembiayaan Murabahah (Murabahah II – Murabahah V) kepada PT ABC untuk pembelian barang tersebut dengan komposisi harga jual terdiri dari harga beli ditambah margin keuntungan bagi bank.
Universitas Indonesia
72
Gambar 2.5. Kasus Posisi Bank X
PT ABC Debitur
Konvensional
Unit Usaha Syariah Take Over / Konversi
Perjanjian Kredit
Surat Persetujuan Hawalah (Utang Pokok PB II, PB III, PB IV, PB V)
PB II
PB III
Agunan A Agunan A
PB IV Agunan A
Qardh (Bunga PB II, PB III, PB IV, PB V)
Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Pembiayaan Murabahah
PB V Agunan A
Murabahah II Agunan A Murabahah III
Murabahah IV
Murabahah V
Agunan A Agunan A
Agunan A
Universitas Indonesia
73
2.7.
Analisis
Mengenai
Kesesuaian
Pelaksanaan
Konversi
Kredit
Pinjaman Berjangka Menjadi Fasilitas Pembiayaan Syariah Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Termasuk Fatwa DSN Bank yang menjadi pembahasan ini adalah Bank X dimana merupakan bank umum konvensional yang memiliki UUS untuk menjalankan kegiatan usaha perbankan syariahnya berdasarkan pasal 19 ayat 2 UU Perbankan Syariah.
2.7.1. Tentang Hawalah Mengacu pada Fatwa DSN No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah dijelaskan bahwa pertimbangan adanya Hawalah ini bertujuan untuk pemindahan penagihan utang seseorang kreditur kepada pihak lain yang dirasa mampu untuk menanggung (membayar) utangnya si berutang. Berdasarkan Fatwa DSN tersebut, maka Rukun Hawalah adalah sebagai berikut : a. adanya muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang; b. adanya muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil; c. muhal ‘alaih yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhal d. muhal bih yaitu utang muhil kepada muhtal; dan e. sighat atau ijab qabul. Menurut Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali dapat ditambahkan Rukun Hawalah sebagai berikut : a. adanya muhil; b. pihak muhal; c. pihak muhal ‘alaih; d. adanya utang muhil kepada muhal yang sama sifat dan jumlah utangnya; e. adanya utang muhal ‘alaih kepada muhil yang sama sifat dan jumlah utangnya; f. adanya sigah (pernyataan Hawalah). Hawalah tersebut dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal dan muhal ‘alaih yang dituangkan dalam akad dengan menyatakan secara tegas kedudukan dan kewajiban para pihak.
Universitas Indonesia
74
Dengan berpatokan pada surat Persetujuan Hawalah tersebut dan Fatwa DSN tentang Hawalah dapat dikatakan bahwa mekanisme konversi utang PT ABC tidak tepat menggunakan akad Hawalah mengingat akad Hawalah diperuntukan bagi nasabah debitur dan kreditur (bank) dalam posisi yang samasama saling memiliki utang dan bukan untuk pengalihan utang oleh nasabah debitur. Hal ini didasari bahwa pada kenyataannya, sangat jarang terjadi suatu bank memiliki utang kepada nasabah debiturnya. Adapun akad Hawalah ini jika dianalogikan ke dalam hukum positif secara prinsipnya hampir mirip dengan mekanisme Set Off atau Perjumpaan Utang/Kompensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1425 KUHPerdata91 yang mensyaratkan adanya 2 (dua) pihak yang saling berutang satu sama lain, hanya saja perbedaannya mekanisme di KUHPerdata tidak mensyaratkan 3 (tiga) pihak sebagaimana halnya Fatwa DSN tentang Hawalah. Melihat pada surat Persetujuan Hawalah tersebut, dapat dikatakan surat tersebut tidak memenuhi unsur-unsur akad Hawalah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN mengenai Hawalah karena tidak menyatakan secara tegas kedudukan dan kewajiban para pihak (tidak diuraikan apa saja kewajiban muhil, kewajiban muhal dan kewajiban muhal ‘alaih). Selanjutnya, untuk keberlakuan Hawalah tersebut harus dengan persetujuan 3 (tiga) pihak yaitu muhil, muhal dan muhal ‘alaih, sedangkan surat Persetujuan Hawalah UUS Bank X hanya ditandatangani oleh 2 (dua) pihak yaitu PT ABC dengan UUS Bank X (dalam surat tersebut Divisi Komersial Bank X (konvensional) tidak ikut tanda tangan sebagai tanda persetujuannya) sehingga menjadi tidak jelas mana pihak yang berposisi sebagai muhil, muhal dan muhal ‘alaih dalam surat Persetujuan Hawalah dimaksud. Berdasarkan pembahasan teori sebelumnya mengenai bentuk akad syariah secara umum atau anatomi suatu akta, maka dapat dikatakan surat Persetujuan Hawalah bukanlah bentuk suatu akta akad yang dimaksud dalam pembahasan sebelumnya atau bentuk yang dapat dipersamakan dengan suatu bentuk akad mengingat hal-hal berikut :
91
Pasal 1425 KUHPerdata berbunyi : “Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, dengan cara dan dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah ini”.
Universitas Indonesia
75
1. tidak adanya kepala akta yang menyebut judul dan nomor akta serta hari dan tanggal pelaksanaan akad Hawalah; 2. tidak adanya komparisi dari para pihak serta kecakapan bertindak para pihak tersebut yang membuat akad Hawalah; 3. tidak ada latar belakang dibuatnya akad; 4. tidak jelasnya isi akad mengenai pelaksanaan Hawalah tersebut; 5. tidak diaturnya mengenai penyelesaian sengketa. Berdasarkan pada SEBI 10/14/DPbS yang telah diuraikan pada bagian 2.2.3.3, dapat dikatakan bahwa surat Persetujuan Hawalah tersebut tidak dapat juga dikategorikan memenuhi unsur Hawalah Mutlaqah dimana salah satu syarat Hawalah Mutlaqah adalah nilai pengalihan utang yang tertera di akad haruslah sebesar nilai nominal seluruh utangnya, sedangkan dalam surat Persetujuan Hawalah tersebut yang dialihkan hanyalah outstanding pokok hutang PT ABC saja, adapun hutang bunga PT ABC ditalangi dengan Qardh (dengan kata lain, Qardh hanya digunakan untuk melunasi hutang bunga PT ABC kepada Divisi Komersial Bank X (konvensional), padahal semestinya Qardh tersebut digunakan untuk melunasi seluruh outstanding pokok hutang berikut bunganya sekaligus). Melihat mekanisme pengalihan utang dengan menggunakan Hawalah tersebut juga terdapat keganjilan mengingat pelaksanaan hawalah tersebut dikombinasikan dengan pelaksanaan Qardh untuk pelunasan utang bunga PT ABC. Atas hal tersebut dan dikaitkan dengan Fatwa DSN No.12/DSNMUI/IV/2000 tentang Hawalah, maka terdapat kesalahan penerapan Hawalah. Ini dikarenakan tidak ada dalam praktik perbankan syariah dimana Hawalah dikombinasikan dengan akad Qardh. Perlu disampaikan bahwa sampai dengan penulisan ini, akad Hawalah yang memenuhi unsur-unsur pembuatan akad yang baik (dari sisi rukun dan syaratnya) tidak pernah dibuat oleh pihak UUS Bank X. Informasi yang diperoleh penulis dari internal pihak Bank X menyampaikan bahwa surat Persetujuan Hawalah tersebut mereka persamakan dengan akad
Hawalah dan mereka
menganggap surat Persetujuan Hawalah dimaksud sudah benar sehingga tidak perlu dibuat lagi suatu akad Hawalah tersendiri yang terpisah dari surat Persetujuan Hawalah.
Universitas Indonesia
76
Dalam praktik perbankan syariah, konsep Hawalah ini ada yang menerjemahkannya sebagai konsep Take Over Pembiayaan dengan tidak menggunakan akad Hawalah itu sendiri. Sedangkan apabila menggunakan akad Hawalah, akad yang digunakan haruslah akad tabarru’ yang pada prinsipnya merupakan akad tolong-menolong yang murni bersifat sosial dan tidak boleh mengambil keuntungan dari peristiwa akad tersebut. Dengan demikian, mekanisme konversi utang disini juga tidak sesuai dengan yang diatur dalam SEBI 10/14/DPbS tersebut. Disamping itu, dalam pelaksanaan Hawalah tersebut dapat menimbulkan pelanggaran hukum atas akad Hawalah dikarenakan dapat terjadi Two in One atas suatu tindakan, yaitu Hawalah untuk pelunasan outstanding hutang pokok fasilitas kredit dan Qardh untuk pelunasan bunga berjalan yang dijadikan dalam satu akad.
2.7.2. Tentang Qardh SEBI 10/14/DPbS yang telah diuraikan di atas mengatur adanya dana talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang untuk terjadinya akad Hawalah tersebut dari Divisi Komersial Bank X (konvensional) kepada UUS Bank X. Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa Rukun Al-Qardh adalah sebagai berikut : a.
Peminjam/Muqtaridh
b.
Pemilik dana atau pemberi pinjaman/Muqridh
c.
Jumlah dana/Qardh
d.
Ijab Kabul/Shighat.
Syarat Al-Qardh adalah sebagai berikut : a.
Kerelaan dua pihak melakukan akad; dan
b.
Dana yang akan digunakan ada manfaatnya dan halal. Pemberian qardh pada kasus ini dapat dikatakan memenuhi Rukun Al-
Qardh tetapi tidak dapat dikatakan telah memenuhi Syarat Al-Qardh karena dana yang digunakan belum dapat dikatakan memberikan manfaat secara maksimal mengingat dana talangan qardh tersebut hanya diberikan untuk pembayaran bunga berjalan saja, tidak diberikan juga untuk pembayaran outstanding utang pokoknya. Hal ini bertentangan dengan tujuan dana talangan (qardh) yang
Universitas Indonesia
77
sebenarnya diberikan bahwa dana talangan adalah digunakan untuk memberikan pelunasan bagi nasabah atas seluruh utang-utangnya di bank konvensional. Di lain sisi terdapat keganjilan dalam pemberian qardh tersebut karena pelaksanaan akad qardh tersebut dicampur dengan pelaksanaan akad Hawalah. Dalam pemberian dana talangan tersebut, ternyata tidak di-cover dengan adanya akad Qardh antara UUS Bank X dan PT ABC untuk melunasi utang kepada Divisi Komersial Bank X (konvensional). Hal tersebut dapat menimbulkan celah bagi nasabah untuk tidak berlaku jujur atas jumlah dana qardh yang diperolehnya mengingat dalam Fatwa DSN no. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang AlQardh menjelaskan bahwa nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, seharusnya UUS Bank X membuat akad Qardh tersendiri untuk pemberian dana talangan tersebut bagi PT ABC. Pembuatan akad tersebut bertujuan guna melindungi kepentingan UUS Bank X mengingat dalam pemberian dana talangan tersebut, bank dapat meminta jaminan kepada nasabah guna menjaga kepentingan bank apabila nasabah wanprestasi untuk pengembalian dana talangan tersebut. Pelaksanaan Qardh tersebut terdapat kesalahan yaitu dengan pemberian dana talangan dari UUS Bank X kepada PT ABC untuk pembayaran bunga berjalan sampai dengan tanggal dilakukannya konversi fasilitas kredit menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah. Dalam pembahasan di sub bab sebelumnya terdapat hadist dari Jabir ra, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama (HR. Muslim). Apabila dikaitkan dengan pemberian qardh oleh UUS Bank X, maka berdasarkan hadis tersebut UUS Bank X dapat dikategorikan sebagai pihak yang memberikan riba kepada PT ABC untuk melakukan pembayaran bunga berjalan tersebut dimana bunga dalam konteks prinsip syariah adalah termasuk riba. Dengan demikian adalah suatu tindakan yang tidak tepat dan diharamkan secara syariah pemberian qardh oleh UUS Bank X untuk pembayaran bunga berjalan. Sehingga, dalam pemberian dana talangan ini terjadi suatu bentuk penyelundupan hukum yang berupa jumlah dana talangan yang tidak dapat digunakan untuk melunasi seluruh utang PT ABC. Hal ini berdampak pada objek-
Universitas Indonesia
78
objek jaminan yang diberikan PT ABC tetap mengacu pada perjanjian kredit PB sebagai perjanjian pokoknya, padahal di lain sisi, fasilitas kredit PB tersebut telah beralih menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah.
2.7.3. Tentang Pengalihan Utang Apabila dikaitkan dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang dalam pertimbangannya bahwa salah satu jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini adalah membantu pengalihan transaksi non syariah (konvensional) yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Dalam pembahasan fatwa pengalihan utang pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa pengalihan utang dapat dilakukan melalui 4 (empat) alternatif yang dapat dipilih. Terhadap keempat alternatif yang diberikan dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa tidak terdapat akad atau skema Hawalah yang digunakan sebagai pengalihan utang dari transaksi non syariah (konvensional) ke transaksi syariah. Jadi, dapat disimpulkan keberadaan akad Hawalah tersebut pada kasus yang diangkat, adalah tidak tepat mengingat untuk maksud pengalihan utang sebagaimana yang dilakukan PT ABC lebih tepat jika menggunakan salah satu dari 4 (empat) alternatif yang diatur dalam Fatwa DSN Pengalihan Utang tersebut. Skema alternatif pengalihan utang berdasarkan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 yang juga dijelaskan dalam Gambar 1 Pengalihan Utang Alternatif Pertama tersebut diatas, salah satunya adalah dengan menggunakan akad Qardh terlebih dahulu dari LKS sebagai pinjaman untuk melunasi utang nasabah ke bank konvensional kemudian dilanjutkan dengan fasilitas pembiayaan Murabahah antara nasabah dengan LKS. Melihat pada Addendum PK Murabahah tersebut, maka fasilitas kredit PB yang diperoleh PT ABC dikonversi menjadi pembiayaan Murabahah dengan sebelumnya UUS Bank X mengucurkan pinjaman dengan akad Qardh yang digunakan hanya untuk pembayaran bunga dari kredit PB tersebut. Namun dalam Fatwa DSN Pengalihan Utang, LKS memberikan Qardh untuk melunasi utang/kreditnya sehingga aset nasabah yang dibeli dengan kredit dari LKK yang belum lunas tersebut, menjadi aset LKS. Dengan demikian terjadi kesalahan penerapan Qardh atau tidak sesuai fatwa
Universitas Indonesia
79
tersebut mengingat yang dinamakan utang disini adalah sejumlah pokok ditambah bunga yang wajib diberikan pinjaman Qardh, sedangkan Qardh yang didapat oleh PT ABC hanya untuk pembayaran bunga tanpa pokok utangnya sehingga tidak melunasi seluruh utang PT ABC. Terhadap skema Murabahah dalam kasus tersebut yang digunakan untuk pembiayaan atas barang-barang yang telah dibeli PT ABC melalui fasilitas kredit sebelumnya, telah sesuai dengan maksud dari Fatwa DSN tentang Pengalihan Utang tersebut. Hal ini dapat disimpulkan pada Pasal 2 Addendum tersebut bahwa yang menjadi objek akad di Addendum adalah barang yang dibiayai oleh bank (dalam hal ini Divisi Komersial Bank X) melalui fasilitas kredit PB berdasarkan perjanjian kredit terdahulu. Dalam Pasal 3 Addendum tersebut juga dijelaskan bahwa bank (dalam hal ini UUS Bank X) menjual barang kepada nasabah (PT ABC) dan nasabah sepakat untuk membeli barang dimaksud dimana dijelaskan oleh bank nilai harga barang dimaksud dan margin/keuntungan yang diminta oleh bank dari Murabahah II sampai dengan Murabahah V. Melihat pada kasus bahwa pelaksanaan pengalihan utang tersebut tidak sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang dengan merujuk pada alternatif-alternatif yang ada, maka dapat disimpulkan akad tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya akad (Shihah). Dalam pembahasan di atas dijelaskan bahwa syarat sahnya akad (Shihah), yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh. Akad menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berdampak juga terhadap akad Murabahah yang telah dibuat dimana dapat menjadi tidak sah sebagaimana pada pembahasan pelanggaran hukum dalam kontrak di atas. Dengan demikian, akad pengalihan utang ini dapat dianggap bertentangan dengan Fatwa DSN tersebut.
2.7.4. Tentang Murabahah Sesuai Fatwa Murabahah Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 bahwa dalam mekanisme Murabahah, bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga jual senilai harga beli plus
Universitas Indonesia
80
keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Apabila skema murabahah di atas dihubungkan dengan transaksi murabahah antara UUS Bank X dengan PT ABC, maka dapat diuraikan 2 (dua) tahapan sebagai berikut : a. Jual beli 1 Dalam tahap ini, PT ABC menjual secara prinsip kapal-kapal tersebut kepada UUS Bank X. Adapun nilai kapal-kapal yang dijual secara prinsip tersebut jumlahnya setara dengan nilai outstanding hutang pokok yang berasal dari fasilitas kredit PB. Transaksi tersebut seolah-olah dilakukan secara sah namun tidak demikian kenyataannya. Kapal – kapal milik PT ABC tersebut sebenarnya tidak pernah berpindah secara prinsip dari PT ABC kepada UUS Bank X. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk bai’ al inah. Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bai’ al inah dikategorikan oleh sebagian besar jumhur ulama sebagai tindakan riba. Dengan demikian, jual beli 1 ini dapat dikategorikan sebagai jual beli bai’ al inah. b. Jual beli 2 Untuk “menghalalkan” transaksi jual beli 1 tersebut, maka UUS Bank X menjual kembali kapal-kapal tersebut secara prinsip kepada PT ABC. Dalam kenyataannya, objek yang sebenarnya “diperjualbelikan” adalah nilai utang pokok PT ABC yang telah ditambah sejumlah margin, bukan nilai kapalnya tersebut. Hal tersebut dilakukan agar seolah-olah terjadi jual beli kapal-kapal secara prinsip. Dengan demikian terdapat kesalahan penerapan akad murabahah dalam kasus tersebut yang menimbulkan bai’ al inah sebagai bentuk salah satu riba.
2.7.5. Tentang Akta Notariil dan Peranan Notaris Memperhatikan akta Addendum PK Murabahah, maka dapat dijelaskan bahwa secara anatomi akta sebagaimana dimaksud pasal 38 UUJN yang terdiri dari awal akta, badan akta dan akhir akta, akta Addendum PK Murabahah tersebut telah sesuai dengan bentuk anatomi suatu akta notariil. Hanya saja sekilas terdapat keganjilan pada bagian judul akta Addendum PK Murabahah tersebut judul akta
Universitas Indonesia
81
tertulis
“Addendum
Perjanjian
Kredit
Berdasarkan
Prinsip
Pembiayaan
Murabahah”. Namun hal ini dapat dipahami bahwa subjek dalam perjanjian kredit dan akad murabahah adalah pihak yang sama yaitu Bank X dan debitur PT ABC walaupun pada kenyataannya terjadi peralihan piutang dalam institusi Bank X dari Divisi Komersial yang notabene berdasarkan prinsip perbankan konvensional kepada UUS Bank X yang menjalankan operasional perbankan berdasarkan prinsip syariah, tetapi masih dalam 1 (satu) institusi perbankan. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk memuat akta otentik sejauh mana pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik tersebut selain diharuskan oleh peraturan perundang-undangan,
juga
karena
dikehendaki
oleh
pihak-pihak
yang
berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Berkaitan dengan kewajiban Notaris sebagai pejabat umum tersebut, maka dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (a) UUJN dijelaskan bahwa salah satu kewajiban Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Ditambahkan pula dalam Penjelasan UUJN bahwa Notaris juga mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta otentik tersebut sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yang salah satu caranya dengan memberikan informasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta tersebut. Dengan berlandaskan pada kewajiban-kewajiban seorang Notaris, maka seharusnya Notaris OHCU tersebut bertindak secara seksama, mandiri, tidak berat kepada salah satu pihak saja guna menjaga kepentingan para pihak yaitu PT ABC dan Bank X sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau membuat salah satu pihak memiliki posisi tawar yang lebih besar dibanding pihak lainnya. Apabila dikaitkan dengan kesalahan mekanisme konversi fasilitas kredit PB menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah, maka seorang Notaris juga dituntut berperan mengetahui segala informasi peraturan perundang-undangan termasuk Fatwafatwa DSN yang terkait dengan transaksi yang akan dilakukan PT ABC dan Bank
Universitas Indonesia
82
X tersebut guna menghindari kesalahan penerapan Fatwa Pengalihan Utang. Dengan mengerti dan memahami seorang Notaris terhadap peraturan perundangundangan yang digunakan dalam suatu transaksi, maka peran edukasi hukum seorang Notaris pun berjalan dengan baik sehingga pada akhirnya dapat meminimalisasi timbulnya sengketa di kemudian hari.
2.8.
Analisis Status Hukum Jaminan Kredit Atau Agunan Yang Telah Diberikan Debitur PT ABC Perlu disampaikan bahwa dalam kasus tersebut, jaminan kredit atau
agunan yang diberikan oleh PT ABC dapat dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kelompok lembaga jaminan. Lembaga jaminan tersebut yaitu Fidusia atas Piutang PT ABC, Hipotek atas Kapal Laut serta Jaminan Perorangan berupa Personal Guarantee.
2.8.1. Lembaga Jaminan Fidusia Pada kasus tersebut PT ABC memberikan jaminan kepada Bank X Divisi Komersial (konvensional) berupa Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT KSM atas fasilitas kredit PB II, Account Receivables (AR) atau Piutang kepada PT SSDK serta barang-barang inventory atas fasilitas kredit PB III, serta Piutang dagang hasil sewa Crane dan mesin-mesin pendukung lainnya kepada PT GM atas fasilitas kredit PB V yang kesemuanya telah didaftarkan dengan adanya Sertifikat Fidusia. Pada Pasal 4 UUJF disebutkan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian accessoir atas perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak. Mengacu pada pasal 4 UUJF tersebut, dapat dikatakan piutang-piutang tersebut merupakan accessoir atas perjanjian pokoknya yang berupa Perjanjian Kredit PB II, Perjanjian Kredit PB III dan Perjanjian Kredit PB V. Namun fasilitas-fasilitas kredit tersebut telah dikonversi menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah II, fasilitas pembiayaan Murabahah III dan fasilitas pembiayaan Murabahah V yang menggunakan mekanime dana talangan (qardh) atas bunga berjalan. Mengacu pada analisis 2.6 di atas mengenai dana talangan (qardh) bahwa dana talangan hanya diberikan untuk pembayaran bunga berjalan tidak
Universitas Indonesia
83
termasuk pembayaran utang pokoknya (pelunasan seluruh utang), maka hal tersebut dapat menimbulkan penyelundupan hukum atas pelaksanaan Jaminan Fidusia. Penyelundupan hukum dalam pelaksanaan Fidusia dilakukan dengan mekanisme pemberian dana talangan yang tidak untuk pelunasan seluruh utang debitur PT ABC atas fasilitas kredit PB II sampai PB V sehingga diharapkan dana talangan dapat melunaskan utang PT ABC berupa PB II sampai PB V, selanjutnya fidusia atas piutang-piutang, barang inventory dan mesin-mesin tersebut menjadi hapus. Namun kenyataannya dalam kasus tersebut tidak demikian dimana Fidusia yang digunakan untuk pembebanan atas piutang-piutang dari PB II sampai PB V tetap berjalan walaupun PB II sampai PB V tersebut telah dikonversi menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah. Mengacu pada pasal 25 UUJF bahwa Jaminan Fidusia hapus karena halhal berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Seharusnya agar sesuai dengan penerapan pasal 25 UUJF tersebut, Bank X melakukan penghapusan/roya atas piutang-piutang, barang-barang inventory dan mesin-mesin yang masih dibebankan dengan mengacu pada perjanjian kredit untuk selanjutnya dilakukan pembebanan fidusia yang baru untuk menjamin fasilitas pembiayaan Murabahah hasil konversi dari fasilitas PB tersebut. Pembebanan Fidusia yang baru tersebut adalah dengan melaksanakan akad Rahn Tasjily sebagaimana telah dibahas pada sub bab 2.2.5. sebelumnya. Rahn Tasjily adalah pemberian jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin (atau pemberi fidusia) dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada Murtahin (atau penerima fidusia) sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN Nomor 68/DSNMUI/III/2008. Dalam konteks pelaksanaan konversi fasilitas kredit PB menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut, maka terdapat kesalahan pelaksanaan pembebanan jaminan-jaminan yang terkait dengan fidusia tersebut dimana jaminan-jaminan tersebut tetap menggunakan akta pembebanan fidusia untuk
Universitas Indonesia
84
fasilitas kredit PB – PB tersebut. Akad Rahn Tasjily, yang dilakukan antara UUS Bank X dengan PT ABC, merupakan accessoir dengan akad Murabahah dimana PT ABC menyerahkan bukti-bukti kepemilikan barang/mesin-mesin yang dijadikan jaminan serta daftar piutang dagang beserta kontrak dagang – kontrak dagang PT ABC dengan pihak ketiga. Guna mengikatkan jaminan-jaminan tersebut maka setelah pelaksanaan akad Rahn Tasjily tersebut, dilanjutkan dengan akta notaris tentang pembebanan Jaminan Fidusia serta mendaftarkannya ke Kantor Fidusia. Dengan seharusnya dilaksanakan akad Rahn Tasjily tersebut maka seharusnya dapat terlaksana penerapan prinsip syariah, baik terhadap fasilitas pembiayaan Murabahah juga terhadap pembebanan jaminan atas fasilitas pembiayaan Murabahah-nya.
2.8.2. Lembaga Jaminan Hipotek atas Kapal Laut Dalam kasus tersebut pada PB II PT ABC memberikan jaminan Hipotek berupa 1 (satu) unit Kapal Tug Boat dan 4 (empat) unit kapal Tongkang, 3 (tiga) unit kapal tongkang untuk jaminan Hipotek pada PB III dan 1 (satu) unit Kapal Tongkang atas jaminan kredit fasilitas PB IV. Berdasarkan pasal 60 ayat 1 dan ayat 2 UU Pelayaran bahwa kapal yang yang telah terdaftar Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan Hipotek yang dibuat dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal ditempat kapal didaftar dan dicatatkan dan sebagai bukti kapal tersebut telah dibebani Hipotek dengan adanya Grosse Akta Hipotek Kapal. Atas suatu kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) Hipotek dimana peringkatnya tergantung dari tanggal dan nomor urut akta Hipotek tersebut. Dalam peraturan pelaksana UU Pelayaran yaitu Permenhub Pelayaran pada Pasal 37 dan Pasal 38 dijelaskan bahwa kapal yang tidak lagi dibebankan Hipotek, maka dilakukan pencoretan Hipotek (roya) yang dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal. Permohonan roya ini dapat dilakukan baik oleh pemberi maupun penerima hipotek atau karena adanya putusan Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap. Lembaga jaminan Hipotek Kapal ini juga mengenal adanya pengalihan Hipotek kapal dengan pembuatan akta pengalihan hipotek kapal oleh Pejabat
Universitas Indonesia
85
Pendaftar Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar induk kapal yang bersangkutan. Pengalihan Hipotek ini dimohonkan oleh si calon penerima pengalihan hipotek dengan mengajukan kepada Pejabat Pendaftar Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dengan buktinya diterbitkan Grosse Akta Pengalihan Hipotek Kapal sebagaimana diatur alam Permenhub Pelayaran tersebut. Apabila dikaitkan dengan kasus konversi utang PT ABC dan memperhatikan bahwa Hipotek adalah accessoir dengan perjanjian pokoknya, maka Hipotek tersebut tidak hapus dikarenakan konversi tersebut. Hal ini mengingat adanya penyelundupan hukum dalam pemberian dana talangan. Seharusnya dengan dilakukan konversi utang tersebut, maka jaminan kredit atas kapal melalui Hipotek ikut dialihkan atau dilakukan roya untuk diubah menjadi nama pemegang Hipotek baru. Jaminan kredit atas kapal tersebut seharusnya dapat dilakukan pengubahan nama pemegang Hipotek, baik dengan roya atau dengan pengalihan hipotek kapal. Pelaksanaan roya dapat dilakukan dengan permohonan yang diajukan, baik oleh UUS Bank X atau Divisi Komersial Bank X. Untuk selanjutnya dilakukan pembebanan Hipotek kembali atas nama UUS Bank X yang dilakukan dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal. Mekanisme lain untuk pengubahan nama pemegang Hipotek adalah dengan pengalihan hipotek kapal tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mengubah status jaminan kredit tersebut dari pemegang Hipotek awal Bank X Divisi Komersial menjadi pemegang Hipotek yang sesuai dengan akta fasilitas pembiayaan Murabahah yaitu UUS Bank X. Mengingat fasilitas pembiayaan yang diperoleh PT ABC setelah konversi utang adalah fasilitas pembiayaan Murabahah, maka perlu dilakukan pengikatan akad Rahn terlebih dahulu. Akad Rahn, sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002, sebaiknya yang dilakukan oleh UUS Bank X dengan PT ABC untuk memperbaiki kesalahan pada penerapan konversi fasilitas kredit PB – PB menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah. Akad ini bersifat accessoir dengan akad fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut. Oleh karenanya guna menjamin atas kapal-kapal milik PT ABC tersebut, PT ABC dan UUS Bank
Universitas Indonesia
86
X mengadakan akad Rahn tersebut dengan dilanjutkan pembuatan pembuatan akta hipotek dihadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.
2.8.3. Lembaga Jaminan Personal Guarantee (PG) PG dalam kasus tersebut digunakan sebagai jaminan kredit tambahan selain dari Fidusia atas piutang, inventory dan mesin-mesin serta Hipotek atas kapal-kapal. PG ini diberikan oleh Tuan KL dan Tuan HE sebagai jaminan kredit PB II dan PB III yang pembebanannya melalui akta notariil PG. PG merupakan jenis jaminan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu yang memberikan PG tersebut, tidak memberikan hak untuk didahulukan pada benda-benda tertentu. Berdasarkan pasal 1822 KUHPerdata bahwa penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk syarat yang lebih berat dari perikatan si berutang, namun penanggungan hanya boleh diadakan hanya untuk sebagian saja dari utangnya si debitur. Perjanjian penanggungan ini adalah perjanjian accessoir atas perjanjian pokoknya sehingga apabila perjanjian pokoknya batal maka perjanjian penanggungan ini juga batal, hal tersebut tercantum dalam pasal 1821 KUHPerdata. Mengacu pada kasus bahwa terjadinya konversi utang yang salah satu caranya dengan mekanisme pemberian dana talangan yang tidak untuk pelunasan seluruh utang debitur PT ABC atas fasilitas kredit PB II sampai PB V sehingga diharapkan dana talangan dapat melunasi utang PT ABC berupa PB II sampai PB V, selanjutnya PG yang melekat menjadi hapus. Namun kenyataannya dalam kasus tersebut tidak demikian, dimana PG-PG yang diberikan sebagai jaminan kredit untuk PB II sampai PB V tetap berjalan walaupun PB II – PB V tersebut telah dikonversi menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah. Berdasarkan pasal 1821 KUHPerdata tersebut di atas dan dikaitkan dengan kasus PT ABC tersebut, maka seharusnya PG – PG tersebut diikat kembali dengan akta notariil dengan merujuk pada akad fasilitas pembiayaan Murabahah untuk menggantikan akta notariil pengikatan PG yang masih merujuk kepada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya.
Universitas Indonesia
87
Pengikatan PG – PG tersebut tentunya dengan menggunakan prinsip syariah yaitu akad Kafalah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN Nomor 11/DSN-MUI/IV/2000. Sebagaimana telah dibahas pada sub bab sebelumnya yaitu 2.2.4.2 butir (h) mengenai Kafalah, dengan Rukun dan Syaratnya sebagai berikut : 1. Pihak Penjamin (Kafil) Pihak penjamin dalam kasus ini adalah Tuan KL dan Tuan HE. 2. Pihak Orang Yang Berutang (Makful ‘anhu ashil) Debitur atau orang yang berutang adalah PT ABC. 3. Pihak Orang Yang Berpiutang (Makful lahu) Kreditur atau orang yang berpiutang adalah UUS Bank X 4. Objek Penjaminan (Makful bihi) Dalam hal ini objek penjaminan adalah kapal-kapal yang dimiliki PT ABC yang diperoleh dari fasilitas kredit sebelumnya. Mengingat telah dilakukannya konversi/take over atas fasilitas kredit PB menjadi fasilitas pembiayaan muarabahah, maka konsekuensi hukumnya adalah jaminanjaminan yang melekat pada fasilitas kredit agar disesuaikan juga dengan prinsip syariah, salah satunya PG – PG tersebut. Penyesuaian dengan prinsip syariah tersebut adalah dengan dilakukannya akad Kafalah sebagai pengganti konsep penjaminan personal guarantee yang melekat di fasilitas kredit konvensional tersebut. Dalam kasus ini PG – PG tersebut tetap dilakukan dengan akta penjaminan tanpa diubah dengan akad Kafalah atas penjaminan yang dilakukan oleh Tuan KL dan Tuan HE selaku Kafil dalam fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut. Seharusnya, agar PG – PG tersebut tetap melekat sebagai jaminan dalam fasilitas pembiayaan Murabahah tersebut maka Tuan KL dan Tuan HE tersebut melaksanakan akad Kafalah sebagai bentuk penjaminan pribadi sesuai dengan prinsip syariah. Hal tersebut perlu dilaksanakan mengingat dalam akta penjaminan PG – PG tersebut menuangkan penjaminan atas fasilitas kredit PT ABC, yang tentunya fasilitas kredit dari Divisi Komersial (konvensional). Dengan demikian jaminan PG – PG dalam pelaksanaan konversi/take over ini dapat mengakibatkan
Universitas Indonesia
88
percampuran antara pelaksanaan perbankan konvensional yang haram dengan prinsip syariah yang halal.
Universitas Indonesia
89
BAB 3 PENUTUP
3.1. SIMPULAN Berdasarkan yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Mekanisme konversi/take over kredit atas debitur PT ABC dari fasilitas kredit pada Bank X konvensional menjadi fasilitas pembiayaan syariah pada UUS Bank X dimulai saat tahun 2010 dimana PT ABC melakukan take over fasilitas kredit yang telah diperoleh yaitu Pinjaman Berjangka II sampai Pinjaman Berjangka V melalui Divisi Komersial Bank X menjadi fasilitas pembiayaan Murabahah II sampai Murabahah V melalui UUS Bank X. Pelaksanaan take over atau konversi tersebut dengan metode hawalah yang di dalamnya dikombinasi dengan akad qardh untuk menalangi atas bunga berjalan. Setelah pelaksanaan hawalah tersebut dilanjutkan dengan metode murabahah yaitu pembelian atas barang-barang milik PT ABC yang sebelumnya dibiayai dengan fasilitas kredit tersebut.
2.
Terdapat hal-hal yang tidak sesuai atau kesalahan dalam pelaksanaan konversi fasilitas kredit Pinjaman Berjangka menjadi fasilitas pembiayaan syariah berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk Fatwa DSN. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut : -
Ketidaksesuaian menggunakan akad hawalah untuk melaksanakan konversi utang PT ABC tersebut;
-
Kesalahan penggunaan akad qardh untuk menalangi bunga berjalan karena mengakibatkan riba;
Universitas Indonesia
90
-
Pelaksanaan konversi fasilitas kredit menjadi fasilitas pembiayaan syariah tersebut tidak sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 31/DSNMUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang;
-
Kesalahan penerapan akad murabahah yang menimbulkan bai’ al inah;
-
Peran edukasi hukum seorang Notaris belum berjalan dengan baik guna meminimalisasi timbulnya sengketa di kemudian hari.
3.
Terkait status hukum jaminan kredit atau agunan yang telah diberikan debitur PT ABC, terdapat kesalahan pembebanan jaminan-jaminan yang diberikan PT ABC yaitu sebagai berikut : a.
Atas barang-barang yang dibebankan melalui lembaga jaminan fidusia tidak didahului dengan pelaksanaan akad Rahn Tasjily.
b.
Pengikatan Hipotek atas kapal-kapal jaminan PT ABC tidak dilakukan dengan pelaksanaan akad Rahn.
c.
Terhadap jaminan Personal Guarantee tidak dilakukan penyesuaian dengan prinsip syariah tersebut yaitu dengan dilakukannya akad Kafalah sebagai pengganti konsep penjaminan personal guarantee yang melekat di fasilitas kredit konvensional tersebut.
3.2. SARAN Dengan memperhatikan teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang telah dibahas dan diuraikan dalam bab sebelumnya, maka Penulis menyarankan sebagai berikut : 1.
Para pelaksana kegiatan perbankan syariah dan Notaris pembuat akta fasilitas pembiayaan syariah hendaknya mengetahui, memahami dan menerapkan fatwa-fatwa DSN mengenai kegiatan ekonomi perbankan syariah secara tepat dan dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan kegiatan perbankan syariah. Khususnya pihak bank tersebut seharusnya menjelaskan secara detail bisa atau tidaknya pelaksanaan pengalihan utang di Bank X tersebut guna meminimalisir risiko cacatnya pelaksanaan akad perbankan syariah tersebut.
Universitas Indonesia
91
2.
Dewan Pengawas Syariah, selaku pengawas kegiatan syariah di UUS Bank X, hendaknya dapat memberikan saran dan pendapat yang jelas atas pelaksanaan
kegiatan
perbankan
syariah
terutama
terkait
dengan
permasalahan konversi fasilitas kredit menjadi fasilitas pembiayaan syariah. 3.
Pemerintah seharusnya memberikan jalan keluar berupa produk-produk perundang-undangan dan/atau kebijakan-kebijakan dalam perbankan syariah guna mendorong pertumbuhan kegiatan perbankan syariah.
3.
Lembaga keuangan khususnya perbankan syariah, baik yang berupa unit usaha syariah maupun bank syariah, hendaknya menelaah kembali substansi standar akad-akadnya terutama mengenai pelaksanaan konversi/take over utang dari fasilitas kredit konvensional menjadi fasilitas pembiayaan syariah. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih antara akad satu dengan akad lainnya yang pada prinsipnya bertentangan.
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka I. Buku
Adjie, Habib. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Cet.1. Bandung : PT Refika Aditama, 2011. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press, 2001.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah : Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. Black’s, Henry Campbell. Black Law Dictionary. St. Paul Minn : West Publishing Co. 1990.
Dewi, Gemala, Wirdyaningsih, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Djumhana, Muhamad. Hukum Perbankan Indonesia. Cet.5. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan Jilid 2. Cet. 3. Jakarta : CV Indhill Co, 2009.
Ibrahim, Johannes. Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi). Bandung : Mandar Maju, 2004.
Karim, Adiwarman A. Islamic Banking. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Universitas Indonesia
Lestari, Ahdiana Yuni dan Endang Heriyani. Dasar-Dasar Pembuatan Kontrak dan Aqad. Yogyakarta : MocoMedia, 2009.
Nafis, M. Cholil. Teori Hukum Ekonomi Syariah. Cet.1. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). 2011.
Naja, H. R. Daeng. Akad Bank Syariah. Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011.
Perwaatmadja, Karnaen et al. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2005.
Purnamasari, Irma Devita dan Suswinarno. Akad Syariah. Bandung : Kaifa, 2011.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah : Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya. Cet.1. Jakarta : PT Jayakarta Agung Offset, 2010.
Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank. Bandung : Alfabeta, 2004.
Subekti (1). Hukum Perjanjian. Cet.10. Jakarta : Intermaasa, 1986.
Subekti (2). Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung : Alumni, 1982.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wiroso. Produk Perbankan Syariah. Cet.1. Jakarta : Penerbit LPFE Usakti PT Sardo Sarana Media, 2009.
II. Peraturan Indonesia. Undang-undang Perbankan. UU No. 10 tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998. TLN No.3790.
Universitas Indonesia
________. Undang-undang Perbankan Syariah. UU No. 21 Tahun 2008. LN No. 94 Tahun 2008 TLN No. 4867.
____________. Undang-Undang Jaminan Fidusia. UU No. 42 Tahun 1999. LN No. 168 Tahun 1999.
____________. Undang-undang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. LN No. 64 Tahun 2008.
____________. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2004.
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. PBI No. 9/19/PBI/2007. LN No.165 Tahun 2007.
____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008.
____________. Peraturan Bank Indonesia tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah. PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008. LN No. 137 Tahun 2008.
Kementerian Perhubungan. Peraturan Menteri Perhubungan tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal. Permenhub No. 13 Tahun 2012.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH., dan R. Tjitrosudibio. Jakarta : Pradya Paramita, 2001.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA No. 2 tahun 2008.
Universitas Indonesia
III. Disertasi Barlinti, Yeni Salma. ”Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia”. Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2010.
IV. Internet
Kamus Bank Indonesia. http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=3&curpage=12&search =False&rule=last. diakses tanggal 10 November 2012.
Hadist Riba. http://www4.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadistriba.htm#.UNxkXm83aQM. diakses tanggal 27 Desember 2012. Issues In Bay’ Al-‘Inah and Bay’ Al-Dayn and Proposal For Other Concepts Available In Islamic Commercial Law To Be Employed As Alternatives In Contemporary Islamic Finance. http://arzim.blogspot.com/2010/02/issuesin-bay-al-inah-and-bay-al-dayn.html. diakses tanggal 29 Desember 2012.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Persetujuan Hawalah
Lampiran 2 :
Addendum Perjanjian Kredit Berdasarkan Prinsip Pembiayaan Murabahah