KONTROVERSI SEJARAH KEHADIRAN ISLAM DI BIMA M. Fachrir Rahman ___________________________________________________________
Abstract Islam did not reach simultaneously many areas in Indonesia in same time, but in very various and large time span depend on location and access way that the areas respectively has. This is why islamization process in one area or island differed in time of beginning and taking from others. Bima, used to be a Hindu Kingdom in Sumbawa island, received Islamic proselytizing in the beginning of 17th century. It was preached by some Moslem traders functioning as proselytizers or might be the proselytizers in origin but pretended as traders. Islam coming to Bima was welcomed and directly embraced by the royal family of Bima Kingdom. It took so great benefit in Islamic preach that almost all people followed them, embracing Islam. All the historical evidences lead us to a conclusion that Islam come to Bima peacefully and spread structurally in terms of it was embraced by the king first and later, following him, by his family and almost all of his people. Islam embraced by Bimanese people less or more has the same type as it embraced by the Makassar people. Some socio-cultural descriptions are presented in this article to explain the connection between the two people especially in the context of islamization in Bima.
Keywords: Islam, Dakwah, Mubalig, Pedagang, Bangsawan, Perdagangan. _______________ KALAU dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, baik di pulau Jawa maupun pulau Sumatera maka Bima termasuk daerah yang agak terlambat dalam menerima pengaruh Islam. Sumatera, misalnya, sudah mendapat pengaruh Islam sekitar abad VII/VIII M, sedangkan di Bima baru mendapat pengaruh Islam pada sekitar abad XVII M.1 Dalam menguraikan tentang proses islamisasi di Bima, perlu dikemukakan di sini faktor-faktor yang mendorong agama Islam masuk ke Bima yang sekaligus menjadi anutan mayoritas masyarakat Bima. Sampai sekarang agama Islam di Bima tetap menjadi agama masyarakat asli Bima, sedangkan agama-agama lain merupakan anutan para pendatang. Selain itu, 1Ismail
20
Ya’kub, Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta:Wijaya, t.t.), 45. Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
perlu juga diungkapkan siapa sebenarnya yang pertama kali menyebarkan agama Islam ke Bima, dari mana asal usul agama Islam yang ke Bima, serta apa dan bagaimana cara atau saluran yang dipakai sehingga agama Islam di Bima dapat tersebar dengan cepat dan meluas. Faktor Pendorong Masuknya Islam Untuk menentukan faktor-faktor yang mendorong masuknya Islam ke Bima memang tidak mudah, tetapi dari fakta-fakta sejarah yang ada dapat dikemukakan bahwa rombongan-rombongan yang datang dari berbagai daerah Sulawesi Selatan, seperti orang-orang Luwu, Tallo, dan Bone adalah para pedagang Muslim yang sekaligus berperan sebagai mubaligh yang menyebarkan agama Islam. Kedatangan mereka adalah membawa barangbarang dagangannya, seperti ci’lok dan kain Bugis, di samping membawa surat resmi dari penguasa Bone untuk penguasa Sape Bima waktu itu yang bergelar Ruma Jena. Surat itu menerangkan bahwa kedatangan delegasi dari Sulawesi itu untuk membawa agama Islam. Untuk jelasnya dapat diketahui sebagaimana yang tercatat dalam BO2 tanah Bima (Tambo) di bawah ini: Sanat 1028 sebelas hari bulan Jumadil Awal telah datang di pelabuhan Sape saudara Daeng Manggali di Bugis Sape dengan orang Luwu dan orang Talo dan orang Bone, kemudian menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan ci’lok dan kain Bugis juga suratnya saudara sepupu Ruma Bumi Jara di Bone yang bernama Daeng Malaba. Adapun surat itu mengabarkan bahwa orang-orang itu adalah pedagang ci’lok dan kain dan keris serta membawa agama Islam.3
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa faktor yang mendorong masuknya Islam ke Bima ialah karena dakwah Islamiyah. Sebab mereka yang datang di Sape merupakan utusan resmi yang sengaja dikirim oleh penguasa di Makasar untuk penguasa di Bima melalui pelabuhan Sape. Pelabuhan Sape waktu itu merupakan satu-satunya pelabuhan di Bima yang menghubungkan jalur utara, sehingga jalan perdagangannya menjadi ramai bahkan sejak dua tahun sebelum tibanya pedagang-pedagang yang membawa agama Islam ke Bima melalui pelabuhan Sape pada tahun 1025 H/1605 M. Sultan Alaudin sebagai penguasa Kerajaan Gowa waktu itu pernah mengirim surat untuk 2BO
adalah himpunan naskah tentang kerajaan Bima yang ditulis oleh petugas yang bergelar Bumi Parise atas perintah Sultan sejak masa kesultanan Bima (abad ke 17) secara turun temurun sampai pemerintahan sultan Bima yang ke 12 yaitu Sultan Ibrahim (19171951). 3BO Tanah Bima, 44 Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
21
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
yang mempunyai tahta kerajaan Bima karena mereka sama-sama dalam Kerajaan berserikat. Isi pokok dari surat tersebut memberitahukan bahwa kerajaan Gowa dan Talo sudah menerima Islam. Secara lengkap bunyi surat tersebut sebagai berikut: Kemudian dari pada itu bersetuju dengan bunyi perjanjian dengan Kerajaan bersahabat, kakanda yang bertahta atas Kerajaan Gowa dan Talo menjadi kerajaan Islam, yaitu kerajaan yang berpegang atas keyakinan “tiada lain Tuhan yang disembah melainkan Allah, dan Muhammad itu Rasul-Nya” serta dalam memerintah kerajaan ini merasa wajib mencegah keburukan dan menjalankan kebenaran demikian adinda maklum adanya. Tertulis di kota Makasar di dalam Benteng Sombaopu pada sebelas hari bulan Muharam sanad 1025 H dan dibubuhi tanda tangan oleh I Manga’ Rangi Daeng Manra’, Ia bergelar Sultan Alaudin.4
Dari data yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor utama yang mendorong masuknya Islam ke Bima adalah dakwah Islamiyah atau seruan amr ma’rûf nahi munkar sebagai perwujudan dari tanggung jawab dan beban kewajiban untuk menjalankan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Faktor lainnya, seperti perdagangan merupakan faktor alternatif dan pelengkap. Mengenai dakwah dengan tulisan dalam penyebaran Islam bukan hal yang baru. Rasullulah pun berdakwah dengan mengirim surat-surat kepada pembesar-pembesar dunia waktu itu, dan pada umumnya mendapat tanggapan positif dan mencapai sukses. M. Yunan Nasution menyebutkan tentang dakwah Rasullulah dengan surat, “bahwa di zaman jalur-jalur komunikasi belum seperti sekarang ini Rasullulah menyampaikan surat-surat yang merupakan seruan dalam bentuk tulisan kepada beberapa pembesar dunia pada waktu itu dan pada umumnya mendapat sambutan positif dan mencapai sukses”.5 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sarana penyampaian atau dakwah Islamiyah yang diterapkan oleh Sultan Alaudin sebagai penguasa Kerajaan Gowa yang ditujukan kepada penguasa Kerajaan Bima waktu itu sesuai dengan yang diterapkan oleh Rasullulah sendiri. Barangkali Sultan Alaudin mempunyai asumsi bahwa pengaruh dakwah dengan tulisan lebih sesuai dengan situasi dan kondisi waktu itu sehingga beliau mengajak penguasa Bima lewat surat. 4A.
5M.
22
Rahim, L. Masir, Transkripsi BO Tanah Mbojo (Bima: Lambila, 1977), 3. Yunan Nasution, “Dakwah dengan Tulisan”, Panjimas, 249, 15 Juni 1978, 12. Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Asal Usul dan Pembawa Islam ke Bima Di antara pertanyaan yang pelik, tapi memerlukan pemikiran baru sehubungan dengan awal kedatangan Islam ke Bima adalah siapakah pembawa Islam yang pertama ke Bima dan dari mana asal usul mereka. Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang tidak mudah, apalagi hal itu menyangkut peristiwa dan kejadian-kejadian yang telah lewat. Tetapi akses ke masa lalu itu masih mungkin dilakukan melalui warisannya. Sebab warisan atau peninggalan itu dapat di pandang sebagai komunikasi masa kini dengan masa lalu.6 Sedangkan menurut R. Moh. Ali wujud atau bentuk sumber-sumber historis terutama terdiri dari tulisan, prasasti terdapat pada batu atau logam, kitab-kitab atau tulisan, tulisan pada kulit, tulisan pada daun lontar, kertas lama, surat-surat kabar atau majalah.7 Jadi berdasarkan pendapat itu BO kesultanan Bima dapat dipandang sebagai salah satu sumber tertulis. Sebab BO merupakan peninggalan masa lalu yang ditulis dalam kertas lama dengan huruf Arab berbahasa Melayu. Berkaitan dengan masalah siapa pembawa Islam yang pertama ke Bima dalam BO diungkapkan sebagai berikut: Hijratun Nabi SAW Sanat 1028, 11 hari bulan Jumadil Awal telah datang di pelabuhan Sape saudara Daeng Malaba di Bugis dengan orang Luwu, dan Tallo, dan Bone untuk berdagang, kemudian pada malam hari datang menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan Ci’lok dan kain Bugis juga suratnya saudara sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama Daeng Malaba. Adapun surat itu mengkhabarkan bahwa orang-orang itu adalah berdagang Ci’lok dan kain dan keris serta membawa agama Islam.8
Berdasarkan sumber dalam BO tersebut dapat diketahui bahwa masuknya Islam ke Bima adalah tahun 1028 H/1608 M melalui pelabuhan Sape, yang merupakan tempat pertama yang didatangi pedagang dari Gowa Sulawesi Selatan. Mereka ini adalah para pedagang dan sebagai sebagai mubalig yang menyiarkan agama Islam di daerah-daerah yang mereka kunjungi. Peran ini barangkali didasarkan pada doktrin Islam yang mewajibkan kepada pemeluknya untuk melakukan dakwah. Karena setiap muslim adalah mubalig bagi ajarannya, yang harus selalu mendakwahkan ajaran agamanya itu.9 6Sidi
Gazalba, Pengantar Sejarah sebagai Ilmu (Jakarta: Bharata, 1966), 89. Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (Jakarta: t.p., 1963), 9. 8BO… ,44 9Abubakar Aceh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia (Semarang: t.p., 1979), 23. 7R.
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
23
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Selain BO, juga ada catatan lain yang menjelaskan sebagai berikut: Pada waktu itulah saudara Daeng Mangalai yang bertempat tinggal di Bugis Sape, datang dengan perahu melalui pelabuhan Sape. Datang bersama utusan raja Luwu, Talo, dan Bone. Mereka berempat itu di samping datang untuk berdagang diwajibkan pula untuk menjadi guru agama Islam di Bima. Mereka membawa surat Daeng Malaba dari bugis untuk adiknya yang memimpin wilayah Kecamatan Sape, bernama Awaluddin yang dikenal dengan panggilan Ruma Bumi Jara. Raja Awaluddin itulah yang pertama kali memeluk agama Islam di Bima, kedua ialah Ruma Bicara Lambila Tua, ketiga ialah Raja Manuru Bata Dompu dan keempat ialah La Kai, setelah masuk Islam menggantikan namanya Sultan Abdul Kahir yang mempunyai makam di Danta Raha. Jadi keempat Mubaligh dari Sulawesi Selatan itulah yang pertama membawa agama Islam dan keempat keturunan bangsawan pulalah yang pertama menerima agama Islam.10
Dari sumber-sumber di atas masih agak sulit untuk menentukan siapa nama mubalig yang pertama kali datang dan menyiarkan agama Islam ke Bima, karena tidak ada suatu bukti yang dengan tegas menyebutnya. Dalam catatan BO pun tidak disebutkan, tapi dalam sejarah Bima disebutkan bahwa pada tahun 1050 H/1640 M, setelah berlangsungnya perkawinan Sultan Bima pertama yang bernama Abdul Kahir dengan putri raja Gowa, ia kembali ke Bima dengan Datuk Ri Banda dan Datuk Ri Tiro. Di dalamnya dikemukakan sebagai berikut: Setelah persiapan telah Musta’id, beberapa lama kemudian setelah perkawinan maka didalam bulan Rabiul Awal tahun 1050 H/1640 M berangkatlah iring-iringan raja Bima Sultan Abdul Kahir menuju ke Bima. Baginda ditemani pula oleh dua orang gurunya dari raja Gowa yaitu Datuk dua bersaudara yang berasal dari Pagarujung (Minangkabau) dengan gelar Datuk Ri Banda dan Datuk Ri Tiro. 11
Hamka juga menyebutkan bahwa masuknya agama Islam ke bagian Nusa Tenggara Barat, Sumbawa, Dompu, dan Bima dibawa oleh ketiga Datuk yang juga membawa agama Islam ke Sulawesi Selatan.12 Dari keteranganketerangan tersebut dapat diketahui bahwa kedua mubalig itulah yang setidak-tidaknya telah ikut berjasa dalam penyebaran agama Islam di Bima. 13 Tapi mereka bukanlah yang pertama kali sebab kedua ulama tersebut datang jauh setelah masuknya Islam ke Bima. Mereka juga tidak lama melakukan 10Depdikbud
Kabupaten Bima, Dokumen, (Bima: Depdikbud., t.t.), 2. Amin, Sejarah Bima (Bima: Depdikbud, 1971), 9. 12Hamka, “Mesjid di Indonesia dan Profilnya”, Panjimas, no. 267, Juni 1978, 53. 13Amin, Sejarah …,51 11Ahmad
24
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
aktifitasnya, karena—setelah lima tahun keduanya giat berdakwah dengan bantuan dan fasilitas yang besar dari sultan Bima—mereka dipanggil pulang ke Makassar. Makam Datuk Ri Banda terdapat di Tallo dan pada batu nisannya tertulis Khatib tunggal Datuk Ri Bandang berasal dari kota tengah Minangkabau.14 Sedangkan Datuk Ri Tiro dimakamkan di Bantang.15 Selain kedua mubalig tersbut di atas, juga ada pendapat yang berkembang di kalangan masyarakat Bima yang menganggap bahwa Syekh Umar alBantani merupakan pembawa Islam yang pertama kali di Bima. Anggapan itu memang didukung oleh bukti monumental berupa kuburan yang megah dan indah di Tolo Bali Bima. Tapi setelah penulis mengumpulkan data-data dan mewawancarai beberapa masyarakat, memang Syekh Umar al-Bantani pernah datang ke Bima pada periode selanjutnya yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1636-1681), sultan Bima yang kedua. Beliau diangkat sebagai mufti di istana. Adapun kuburan yang diduga oleh masyarakat Bima sebagai kuburannya ternyata makam Sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin. Tulisan yang tertera di batu nisannya16 menunjukkan bahwa Sultan Abdul Khair wafat hari Rabu 22 bulan Dzulhijjah tahun 1091 H/1681 M. dan tidak ada sama sekali kaitannya dengan Syekh Umar Al Bantani, sayang makam itu sekarang tinggal puing-puing saja. Dari sumber yang tercatat dalam BO disebutkan bahwa Islam pertama kali datang pada tanggal 11 Jumadil Awal tahun 1028 H atau tahun 1608 M. Pendapat ini berlawanan dengan pendapat Ahmad Amin yang mengatakan bahwa Islam mulai masuk ke Bima pada tahun 1050 H/1640 M.17 Jika dianalisis kedua informasi tersebut tidak bertentangan, karena Ahmad Amin menilai bahwa rombongan Sultan Bima I Abdul Kahir beserta kedua gurunya sebagaimana yang sudah diungkapkan di atas merupakan awal dari kedatangan Islam ke Bima. Dalam catatan BO disebutkan bahwa pada tahun 1050 itu sebagai tahun pelantikan Sultan Abdul Kahir sebagai Sultan Bima 14A.
71.
Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-Ma’arif, 1981),
15Saifudin
Zuhri, Sejarah Kembangkitan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 432. ilahukum ilahu wahid la ilaha illa huwa al-hayyul qayyum la ta’khudhuhu sinatu wala naum. Al-hamdulillahi rabbil alamin wassholatu wassalamu ala sayyidina Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Waffaqal lahu al-marhum al-mubarak Sultan Nuruddin Abubakar Ali Ibnu Sultan Abdul Khoir Sirajuddin Ibnu al-Sultan Abdul Qahir. Yaumul arba’ itsna wa isyrin min dhil hijjah ihda wa tis’in wa alf hijratun nubuwwah min darid dunya yaumal arba’. 17Amin, Sejarah …, 10. 16Wa
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
25
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
yang pertama dan sekaligus peresmian berdirinya kesultanan Bima. Dalam BO tertulis: “Hijratun Nabi SAW 1050 genap pada lima belas hari bulan Rabiul Awal. Maka dinobatkanlah Ruma Mabata Wadu menjadi raja kerajaan Bima.”18 Berdasarkan informasi dalam BO itu jelaslah bahwa tahun 1050 H/1640 M, bukan sebagai awal kedatangan Islam ke Bima, tetapi merupakan tahun resmi perubahan Kerajaan Bima menjadi kerajaan Islam, Kesultanan Bima. Adapun masuknya Islam itu sendiri ke Bima diperkirakan terjadi jauh sebelum tahun tersebut. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa agama Islam mulai masuk ke Bima melalui pelabuhan Lawadue, yang dibawa oleh kedua Datuk dari Bugis. Konon cerita yang disampaikan orang tua dari keturunan Dari Ngaji yang berkewajiban mengingatkan dari keturunan yang satu kepada keturunan yang selanjutnya bahwa riwayat masuknya agama Islam ke daerah Bima ini mulamula dari kedua utusan Datuk Ri Banda dan Datuk Ri Tiro yang bernama Abdurrahman dan Abdurrahim. Keduanya berlayar dari Makassar dengan perahu Bugis menuju daerah Bima memasuki Lawadue.19 Keterangan di atas memberikan kesan kepada kita bahwa pembawa Islam yang mula-mula ke Bima adalah dua Datuk itu, dan pelabuhan yang pertama kali didatangi mereka adalah pelabuhan Lawadue. Hal ini kurang bisa diterima karena bertentangan dengan data yang tertulis dalam BO. Di dalam BO tercatat bahwa Islam pertama kali masuk ke Bima pada tahun 1028/1608 M.20 Sedangkan kedatangan kedua Datuk tersebut terjadi pada tahun 1050 H/1640 M.,21 jauh setelah Islam datang ke Bima. Demikian pula pelabuhan Lawadue bukan sebagai tempat yang pertama didatangi oleh Islam, tetapi pelabuhan Sape.22 Dari manakah sumber atau asalnya agama Islam yang datang pertama kali ke Bima? Apakah Islam itu yang datang pertama kali itu dari Jawa atau dari Sulawesi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak gampang. Nugroho Notosusanto mengatakan tentang arah Islam yang datang ke Bima yaitu dari Jawa dan Sulawesi, sehingga agama Islam datang ke Bima dari dua arah secara bersamaan, seperti yang dinyatakannya: “Di Nusa Tenggara kerajaan 18BO…,
44. Yahya, Perkembangan Yayasan Islam Kabupaten Bima (Bima: t.p., 1971), 2. 20BO…, 44. 21Amin, Sejarah …, 50. 22BO…, 44. 19Mahfud
26
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Bima mempunyai arti penting. Di daerah ini Islam datang dari dua arah, yaitu dari Jawa dan Sulawesi Selatan.”23 Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan terhadap pendapat Nugroho di atas. Kalau yang dimaksudkan oleh pernyataan itu adalah sebagai awal masuknya Islam ke Bima dan sumber datangnya, maka data yang ada banyak menunjukkan bahwa Islam masuk ke Bima bersumber dari Makassar dan lewat jalur utara. Dalam BO tercatat “sesudah genap dua tahun mak datanglah Duli yang dipertuan kita dari Makassar datang membawa Islam.”24 Selain data tertulis banyak juga bukti-bukti yang tidak tertulis yang menunjang pendapat yang menyatakan Islam di Bima bersumber dari Makassar seperti adanya pengaruh dalam bentuk bangunan (rumah tradisional Bima adalah rumah panggung, sama dengan di Sulawesi), bentuk bangunan makam, pakaian kebesaran kerajaan seperti “Baju Bodo”, dan kebahasaan, misalnya, adanya panggilan Daeng kepada seseorang baru dikenal. Hal ini dapat juga ditilik dari adanya beberapa persamaan kosa kata dalam bahasa daerah Bima dan Makassar sebagaimana tertera dalam contoh berikut: Bima kadera Piso Lampa belanja Ada
Makassar kadera piso lampa belanja ada
Indonesia kursi pisau berjalan jual beli budak/hamba
Memang ada data yang menunjukkan bahwa mubalig-mubalig dari Jawa pernah datang menyebarkan agama Islam ke Bima. Tapi kedatangan itu jauh setelah Islam berkembang yaitu pada masa pemerintahan Sultan Bima II, Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1638-1681). Salah seorang mubalig dari Jawa yang ikut menyebarkan agama Islam ke Bima Syekh Umar al-Bantani, yang wafat di Bima dan kuburannya ada di Tolo Bali Bima. Kuburan itu erat sekali hubungannya dengan sejarah perkembangan Islam di Bima. Ia datang ke Bima setelah mubalig-mubalig dari Gowa yang membawa agama Islam ke Bima. Kedatangan mubalig dari Jawa itu setelah Islam masuk ke Bima dan ikut mematangkan ajaran-ajaran Islam yang telah datang sebelumnya. 23Nugroho 24BO…,
Notosusanto, Sejarah Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), 87. 42.
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
27
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Pada zaman kekuasaan kerajaan Islam Demak pada awal abad 16 M, Demak merupakan pusat penyebaran agama Islam sampai ke luar Jawa. Daerah-daerah penyiarannya sampai ke Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Madura.25 Menurut catatan sejarawan, pada saat itu Demak sampai pula menundukkan Lombok dan Sumbawa, 26 tapi sinar Islam rupanya tidak sampai ke Bima, karena berdasarkan data yang ada belum menunjukkan bahwa Islam waktu itu sampai ke Bima. Bahkan pada zaman itu Bima berada dalam pemerintahan seorang raja Hindu yang bernama Sangaji. Agama Hindu merupakan anutan masyarakat Bima sampai saat kedatangan Islam pada abad XVII M. Hingga abad XVI M—ketika kerajaan Islam Demak berjaya di Jawa—Bima diperintah oleh para Ncuhi,27 yaitu sosok kharismatik yang berfungsi sebagai pemimpin adat dan spiritual sekaligus—mempunyai kemampuan dan pengetahuan agama dan pemerintahan—yang dipatuhi dan diteladani oleh masyarakat yang dipimpinnya.28 25Solihin
93.
26Utrech,
Salam, Sekitar Wali Songo (Kudus: Menara Kudus, 1978), 37. Sejarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok (Bandung: Sumur Bbg., 1962),
27Kata ncuhi berasal dari kosakata bahasa Bima yang berarti “awal kehidupan”. Kata ini memiliki persamaan arti dengan kata ncuri dalam dunia tumbuhan yang artinya “awal pertumbuhan tunas muda yang keluar dari batang, cabang atau akar pohon”. Dalam ungkapan tradisional Bima tentang Ncuhi dikatakan: “Ndei tangara kai ncuhi ede du dumu dou,
ina mpu’una ba weki ma rimpa, ndei batu wea lelena, ndei siri weata nggawona”, artinya “Yang disebutkan dengan nama ncuhi itu ialah orang mulia (kepala suku), cikal bakal kita semua untuk diteladani tingkah lakunya, numpang bernaung di bawah kebijaksanaannya”. Lihat Abdullah Tajib, Sejarah Bima Dana Mbojo (Jakarta: Harapan Masa PGRI, 1995), 48. M. Hilir Ismail mengartikan ungkapan “Ncuhi adalah manusia utama, penghulu masyarakat seasal (serumpun), untuk diikuti arah condongnya, diharapkan pengayomannya”. M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara (Mataram: Lengge, 2004), 25. 28Sebelum abad ke-14 daerah Bima belum merupakan daerah kerajaan, akan tetapi sudah mengenal tatacara mengatur masyarakat yang terdiri dari berbagai suku yang mendiami lima bagian daerah Bima, yakni di bagian selatan, barat, utara, timur, dan tengah yang masing-masing dipimpin oleh seorang Ncuhi, yaitu: Ncuhi Parewa yang menguasai daerah bagian selatan, Ncuhi Bolo yang menguasai daerah bagian barat, Ncuhi Bangka Pupa yang menguasai daerah bagian utara, Ncuhi Dorowoni yang menguasai daerah bagian timur, dan Ncuhi Dara yang menguasai daerah bagian tengah. Ncuhi Dara adalah yang menjadi kepala dari semua Ncuhi yang ada dan
berkedudukan di kampung Dara yang kemudian menjadi tempat kedudukan pusat pemerintahan Kerajaan Bima. Wilayah Ncuhi Dara inilah yang disebut dengan Rasa Mbojo atau Negeri Mbojo yang mempunyai batas kewenangan ke selatan sampai Ni’u, ke timur sampai Oi Fo’o, dan ke utara sampai Torotampa, dan ke barat berbatasan dengan laut (Teluk Bima). Lihat Siti Maryam R. Salahuddin, Sejarah dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Bima (Mataram: Samparaja, 2005), 7.
28
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Jika yang dimaksud oleh pernyataan Nugroho Notosusanto itu adalah Jawa sebagai asal masuknya Islam ke Bima untuk pertama kali maka, hal itu tidak sesuai dengan data yang ada baik yang tertulis dalam BO maupun pengaruh yang berkembang dalam masyarakat Bima seperti dalam adat istiadat, bahasa, dan bentuk bangunan makam atau rumah. Pada puncak kejayaan Kerajaan Gowa pada awal abad XVII M(1616) disebutkan bahwa Bima sebagai salah satu daerah pengaruhnya. Di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Kerajaan Gowa meluaskan kekuasaanya melalui penyebaran Islam ke luar daerah Sulawesi, di antaranya ke Bima dan Pulau Sumbawa pada tahun 1616 M.29 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Sulawesi merupakan sumber pertama agama Islam yang datang ke Bima. Gelombang Islam yang dating berikutnya bersumber dan dibawa oleh para mubalig dari Jawa. Mereka dipandang sebagai aktor ikut mendukung dan memapankan perkembangan agama Islam di Bima. Demikian juga mengenai pembawa Islam yang pertama kalinya tidak dapat diketahui secara pasti. Informasi dalam BO menunjuk dua nama penting, yaitu Datuk Ri Banda dan Datuk Ri Tiro sebagai pembawa-awal Islam ke Bima. Syekh Umar al-Bantany termasuk di antara para mubalig yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di Bima, tapi mereka itu bukan yang pertama kali, sebab kedatangan mereka sudah memasuki periode kesultanan, yaitu sejak 1050 H/1640 M. Pembawa Islam ke Bima periode selanjutnya adalah para mubalig yang berasal dari daerahdaerah, baik di Sulawesi maupun Jawa. Cara Masuknya Islam ke Bima Secara umum dapat diketahui bahwa masuknya Islam ke Indonesia adalah dengan jalan damai. Hal ini disebabkan sebelum masuknya Islam ke Indonesia masyarakatnya sudah mengenal kepercayaan, yaitu Hindu dan Buddha. Bahkan sebelum Hindu dan Buddha datang ke Indonesia penduduk Nusantara ini sudah mempunyai kepercayaan yaitu Animisme dan Dinamisme. Begitu pula masuknya Islam ke Bima, juga dengan jalan damai pula. Karena yang membawa Islam ialah pedagang Muslim yang mempunyai prinsip-prinsip damai, bijaksana, dan tanpa pemaksaan dalam penyebaran Islam sebagai pencerminan firman Allah dalam Qs. al-Nahl (16):125,30 dan 29Said
Raksakasumah, Perjuangan Rakyat Sulsel (Bandung: Sanggar Buana, 1978), 20. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan jalan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu 30Terjemahnya:
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
29
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Qs. al-Baqarah (2):256.31 Kedua ayat itu menjadi inspirator dalam misi dakwah para pembawa Islam ke Bima bahwa seseorang masuk Islam harus atas dasar kesadaran sendiri dan keyakinan akan kebenaran Islam, bukan karena bujukan materi apalagi paksaan. Prinsip damai dan tidak ada paksaan dalam agama, benar-benar dipraktikkan oleh mubalig dan atau pedagang Muslim dari Gowa dalam rangka mengislamkan masyarakat Bima pada periode awal masuknya Islam. Hal ini tercatat dalam BO sebagai berikut: “Hijratun Nabi SAW sanat 1028 sebelas hari bulan Jumadil Awal telah datang di labuhan Sape saudara Daeng Manggali di Bugis dengan orang Luwu, Tallo, dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan ci’lok dan kain Bugis dan suratnya saudara sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama Daeng Malaba. Adapun surat itu mengabarkan bahwa orang-orang itu adalah berdagang ci’lok dan kain dan membawa agama Islam.”32
Dengan memperhatikan keterangan yang ada dalam BO di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa penyebaran Islam ke Bima melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh mubalig-mubalig yang merangkap menjadi pedagang, atau pedagang-pedagang yang merangkap sebagai/menjadi mubalig. Ciri yang demikian itu merupakan pertanda yang khas penyiaran agama Islam di Indonesia. Berita tentang datangnya mubalig dari Gowa yang disebut di atas itu tersebar luas ke desa-desa di pedalaman Sape. Dua tahun kemudian empat orang keluarga raja sebagai orang-orang yang pertama memeluk agama Islam di Bima, dengan tidak terburu-buru bahkan lebih dulu mereka mempelajari agama Islam. Kejadian tersebut dicatat dalam BO sebagai berikut: “Maka pada 10 lima hari bulan Rabiul Awal sanat 1030 genap raja berempat itu mengucapkan Syahadat dengan saksi empat gurunya mubalig.”
Keempat keluarga kerajaan tersebut setelah masuk Islam mengubah namanya masing-masing sebagai berikut:
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 31Terjemahnya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah.” 32BO …, 44.
30
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
1. Ruma Bumi Jara mengubah nama dengan Awaluddin. Makamnya terletak di Doro Saninu Tonggo Risa Bima. 2. Rumata ma Bata Wadu alias La Kai mengubah namanya menjadi Abdul Kahir. Dialah yang kemudian menjadi Sultan Bima I dalam sejarah Kesultanan Bima. Makamnya terletak di Doro Danta Raha. 3. La Mbila Manuru Suntu mengubah nama dengan Jalaludin. Makamnya terletak dimuka SDN 3 Suntu Bima. 4. Ruma Manuru Bata tidak jelas namanya setelah memeluk Islam, kemungkinan menjadi Sultan di Dompu yang pertama.33 Setelah selesai diislamkan, keempat keluarga raja tersebut kembali ke Desa Kalodu dan di sana mereka mendirikan mesjid yang pertama dalam sejarah pendirian mesjid di daerah Kabupaten Bima. Mesjid di Kalodu ini berbentuk segi empat, bertiang delapan dan segi delapan. Menurut tradisi lisan masyarakat setempat, angka delapan tersebut sebagai pertanda atas pengislaman keempat keluarga raja itu dan untuk mengingatkan keempat orang gurunya dari Gowa yang mengislamkan mereka. Bahkan sampai sekarang tiang bendera bekas kesultanan Bima juga bersegi delapan, demikian pula tiang-tiang rumah rakyat kebanyakan bersegi delapan. Hal ini tiada lain untuk melanjutkan tradisi sebelumnya.34 Berita Islamnya keempat keluarga raja Bima Sangaji tersebut meluas ke pelosok masyarakat pedalaman sehingga mereka berbondong-bondong ingin mengetahui ajaran baru itu dan sekaligus menerimanya sebagai agama mereka. 33Abdulah
Tayib, Perjuangan Bersejarah di Bima (Bima: Depdikbud, 1980), 6. delapan juga berhubungan dengan falsafah tradisional masyarakat Bima tentang kepribadian yang sempurna yang dikenal dengan Nggusu Waru (Nggusu berarti “bersusun membentuk satu kesatuan”, Waru berarti “delapan”). Nggusu Waru berarti delapan karakteristik pribadi yang sempurna yang dapat dijadikan sebagai pemimpin dan teladan orang banyak, yang meliputi: (1) dou ma dei ro paja ilmu, artinya orang yang dalam dan luas ilmunya; (2) dou ma dahu di ndai Ruma, artinya orang yang takut pada Tuhan; (3) dou ma taho ruku ro rawi, artinya orang yang baik budi dan perilakunya; (4) dou ma taho ntanda ba dou londo ro maina, orang yang berasal dari keturunan terpandang dan disegani; (5) dou ma dodo tando tambari kontu, tengi angi labo dou toi, orang yang memperhatikan kepentingan rakyat di manapun mereka berada, berpihak pada rakyat jelata; (6) dou ma mbeca wombona, orang berada; (7) dou ma sabua nggahi labo rawi, orang yang satu kata dengan perbuatannya; (8) dou ma disakai ma poda, dahukai ma dapoda, orang yang berani semata-mata atas dasar kebenaran. Kandungan Nggusu Waru sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam. Lihat Mukhlis, Jawharat alMa‘ârif (Permata Kearifan dari Khazanah Naskah Kuno Kesultanan Bima (Mataram: Samparaja, 2005), 76-86 34Angka
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
31
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________ “Tersiarlah berita kepedalaman Sape atas kedatangan utusan dari Gowa (Bugis) dan timbullah keinginan untuk mengetahui yang diterima oleh penduduk di Buncu Sape. Dengan perantaraan orang, diberitakanlah kebaikan ajaran utusan itu dengan panjang lebar. Rupanya rakyat pedalaman Sape tertarik atas semua cerita itu dan berduyunduyunlah datang menjemput utusan tersebut dengan menerimanya ajaran yang dibawa oleh utusan itu”.35
Selain tertarik pada ajaran yang dibawa oleh saudagar atau utusan itu, ternyata pesona pribadi mereka pun juga menimbulkan ketertarikan masyarakat sehingga mendukung kesuksesan misi mereka. Mereka memandang orang yang mendatanginya sebagai saudara kandungnya. Mereka telah menyebarkan agama Islam dengan perkataan dan perbuatan. Pergaulan mereka yang tidak menyisihkan diri, sambil mengajak dengan lemah lembut, sampai tertanam suka dan cinta dalam hati. Kemudian berangsur-angsur menghilangkan keragu-raguan dalam hati mereka, dan membawa kepada sifat-sifat yang cerdas, segera menunjukkan jalan yang baik dengan tidak perlu terlebih dahulu memburuk-burukkan kebiasaan mereka dan mencela kebiasaan mereka. Cara-cara seperti ini lebih menarik dari pada terus menunjukkan perbuatan mereka yang buruk.36 Sikap dan tindakan mubalig seperti itulah yang menyebabkan masyarakat cepat tertarik kepada ajaran yang dibawa oleh utusan dari Gowa (Bugis). Perkembangan Islam di Bima semakin lancar dan pesat karena agama ini dianut juga oleh raja sehingga rakyat Bima pun, dikarenakan oleh kepatuhan mereka terhadap pemimpinnya, ikut menganut agama Islam yang dianut rajanya. Pola kepatuhan seperti ini telah berlangsung lama semenjak Islam belum menyentuh wilayah Bima. Pada zaman Ncuhi masyarakat Bima menganut faham animisme dan dinamisme, karena Ncuhi (kepala kelompok) menganut faham tersebut. Demikian pula pada zaman Sangaji mereka menganut agama Hindu karena Sangaji beragama Hindu. “Sudah menjadi kebiasaan bahwa di samping pengertian dan kesadarannya sendiri, maka apabila raja telah menganut suatu agama rakyat pun turut menganut agama tersebut. Demikian pula halnya dengan rakyat Bima pada masa itu mereka seluruhnya memeluk agama Islam kecuali sebagian kecil yang menolak dan terdesak menghindarkan diri ke pegunungan, mereka itu adalah orang-orang Donggo yang terkenal dangan sebutan Dou Donggo (dou = orang, donggo = gunung)”.37
35Yahya,
Perkembangan …, 2. “Dakwah Islamiyah”, Panjimas, no.269, Januari 1978, 21. 37Amin, Sejarah …, 50. 36Hamka,
32
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Jadi dengan dianutnya suatu agama oleh pimpinan/raja masyarakatnya pun ikut, sebab mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh rajanya, bila rajanya memeluk agama Islam maka masyarakat pun mengikutinya. Secara psikologis hal itu menunjukkan kepatuhan dan kataatan rakyat terhadap pemimpinnya. Secara kejiwaan maka rakyat umumnya memandang pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawanya sebagai contoh-contoh yang baik utuk diikuti dan demikian pula apabila seorang pemimpin atau bangsawan mereka memeluk agama Islam maka rakyat secara keseluruhannya mengikutinya.38
Memang ada informasi yang berkembang dalam masyarakat menjelang Islam masuk ke Bima, sedang terjadi kekacauan dalam istana kerajaan, akibat raja Salisi bergelar Ruma Ta Mantau Asi Peka mengantikan raja Bima bergelar Ruma Ta Mantau Asi Sawo dengan cara menyisihkan dan membunuh putera mahkota yang sah (Jena Teke). Peristiwa yang terjadi dalam istana kerajaan tersebut bila dikaitkan dengan kondisi Islam masuk ke Bima bukan sebagai alat penyebaran Islam tapi hal itu terjadi di kalangan keluarga raja-raja yang bermotifkan politik dalam perebutan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan Uka Tjandra Sasmita, sebagai berikut: “…apabila situasi politik dikerajaan-kerajaan itu mengalami kekacauan dan kelemahankelemahan disebabkan perebutan kekuasaan dikalangan raja-raja, maka agama Islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau raja-raja yang menghendaki kekuasaan itu.”36
Jadi, konflik yang terjadi pada pusat kekuasaan (istana kerajaan) adalah skandal bermotifkan politik, perebutan kekuasaan antar keluarga raja. Penutup Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor utama masuknya Islam ke Bima ialah dakwah Islamiyah atau seruan amar ma’ruf nahi mungkar, sebagaimana yang dapat dipahami dari isi surat penguasa kerajaan Gowa yang merasa berkewajiban untuk menjalankan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Adapun faktor perdagangan merupakan sarana yang digunakan untuk mendukung tercapainya tujuan dakwah.
38Tjandra 36Ibid.,
99.
Sasmita, Sejarah …, 108.
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005
33
M. Fachrir Rahman, Kontroversi Sejarah Kehadiran Islam di Bima
______________________________________________________________________
Agama Islam yang datang ke Bima pertama kali adalah dari Sulawesi baru kemudian disusul oleh mubalig dari Jawa yang ikut mematangkan dan mengembangkan agama Islam di Bima. Proses masuknya agama Islam ialah dengan cara damai, ajakan dan seruan yang dilakukan oleh saudagar-saudagar dan atau mubaligh-mubaligh dari Gowa. Dengan penampilan para utusan tersebut yang menyenangkan dan lemah lembut, di samping dari segi ajaran agama Islam itu sendiri menyebabkan masyarakat Bima merasa tertarik dan memeluk Islam. Apalagi Islam pertama kali masuk ke Bima diterima oleh para pemimpin (bangsawan) sehingga membawa pengaruh yang besar dikalangan masyarakat Bima untuk memeluk agama baru ini. Adapun siapa pembawa Islam pertama kalinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Hanya diketahui Datuk Ri Banta dan Datuk Ri Tiro demikian juga Umar al-Bantani termaksud mubalig-mubalig yang berjasa dalam penyebaran Islam di Bima. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh saudagar/mubaligh dari Gowa pada priode awal berjalan dengan aman dan damai, karena saluran yang dipakai oleh mereka itu melalaui jalan perdagangan. Demikianlah apa yang diungkapkan dalam tulisan ini semoga berguna, paling tidak upaya awal dalam penulisan sejarah lokal di Nusa Tenggara terutama di Bima. Wa al-Lâh a‘lamu bi al-shawâb.●
34
Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005