KONTRIBUSI WANITA PENGRAJIN KAIN PERCA TERHADAP PENGHASILAN KELUARGA DI KECAMATAN LAKARSANTRI KOTA SURABAYA Nadia Asandimitra* Puri Dian Pertiwi* Widyastuti*
Abstract This study aims at finding out the socioeconomic characteristics of women who make perca or waste cloth crafts in Lakarsantri District-Surabaya, and also the proportion of their income that they contribute to the family income. Using the purposive sampling method, 36 respondents were collected and consisted of housewives whose professions are the waste cloth crafters. The data were collected through observation, interview, and questionnaire. The data were then analysed using descriptive qualitative analysis through percentage technique. The results of the study reveal that most respondents were within the productive age and having a low educational background. Their husbands or other family members worked only as construction builders, known as “embongan.” The husband’s income was not permanent and stable, forcing the wife to work to get extra income for the family, while still maintaining her domestic duties. With the average wage of Rp 500-Rp 800 per kilogram, these women gained as much as Rp 100,000 to Rp. 200,000 monthly. To 61.11% of the respondents, this amount contributed as much as 20%-40% to the family’s income. Key words: housewives, independent, family economy A.
Pendahuluan Dalam era globalisasi dan menyongsong era perdagangan bebas, Indonesia perlu terus mengerahkan semua sektor terutama sektor ekonomi, politik, sosial budaya dan teknologi agar pada kondisi mantap sehingga Indonesia dapat turut serta dalam arena percaturan dunia. Dunia usaha perlu terus didorong agar bersikap agresif dalam menyikapi persaingan yang semakin terbuka. Perhatian terhadap dunia usaha sudah semestinya tidak dominan kepada usaha-usaha skala besar melainkan juga pada sektor industri kecil menengah. Apalagi pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, survei yang dilakukan Kementrian Negara Koperasi dan UKM terhadap 225 ribu UKM tahun 1998 mendapatkan 4% menghentikan usaha,1% berkembang, 64% mempertahankan omzet dan 31% berkurang penjualannya. Juga Bank Pembangunan Asia dalam survei terhadap 500 UKM di Medan dan Semarang 3 tahun kemudian 78% tidak terkena krisis ekonomi. Toeti Aditama menyatakan bahwa industri kecil dan menengah memainkan peranan yang sangat vital dalam perekonomian dan mempunyai andil besar pada kesejahteraan masyarakat. Usaha skala kecil meliputi 99,4% dari jumlah keseluruhan dalam industri non primer, serta memasok 51,5% dari seluruh barang manufaktur (1991:13). Pada bagian lain Menteri Perdagangan Republik Indonesia menyatakan bahwa sektor kerajinan merupakan sektor penting dalam perekonomian karena selain merupakan sumber pendapat dan lapangan pekerjaan bagi berjuta-juta rakyat Indonesia dalam banyak hal juga merupakan penghasilan karya seni warisan budaya dan sebagian besar dari dunia usaha kita terdiri dari pengusaha kecil termasuk pengrajin-pengrajin (Arifin,Serbear,1998 : 19) Salah satu pengrajin yang kini mulai berkembang di daerah pedesaan seperti di Kecamatan Lakarsantri Surabaya adalah pengrajin kain perca. Pengrajin-pengrajin ini memanfaatkan kainkain perca sebagai bahan baku. Produk yang dihasilkan berupa kerajinan-kerajinan rumah tangga yang dikerjakan oleh para wanita. Usaha pengrajin ini sudah saatnya diberi perhatian serius tidak saja karena perkembangannya sendiri melainkan karena pertama, usaha kerajinan kain perca ini juga sangat sesuai dengan konsep pembangunan berwawasan lingkungan yaitu menyelamatkan lingkungan secara fisik dan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia
1
dengan meningkatkan kesejahteraan manusia secara lahir dan batin termasuk di dalamnya peningkatan perekonomian rakyat (Salim, Emil, 1992 : 26). Kedua usaha ini menempatkan wanita sebagai pekerja tanpa harus meninggalkan tugas-tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian peran pokok sebagai pembangun generasi bangsa dapat dilaksanakan karena untuk mencari tambahan nafkah melalui pekerjaan ini para ibu cukup mengerjakannya di rumah bersama sanak saudara pada waktu-waktu luang dalam kegiatan rumah tangganya. Dalam menangani industri kecil, penanaman modal dalam sumber daya manusia teramat penting untuk memenuhi keinginan manusia modern yang semakin kompleks. Secara kuantitas, Indonesia sebenarnya mempunyai sumber daya yang cukup dijadikan modal pembangunan. Biro Pusat Statistik mencatat bahwa di Jawa Timur ada kurang lebih 18.810.800 jiwa penduduk usia 10 tahun ke atas atau sekitar 62% dari total populasi penduduk Jawa Timur tahun 2004. Jumlah tersebut terbagi menjadi 78,70% tenaga pria dan 45,99% tenaga kerja wanita. Sebagian besar dari penduduk wanita tinggal di pedesaan (50,72%) dan sisanya (50,51%) tinggal di perkotaan. Berdasarkan angka-angka di atas dapat dikatakan bahwa partisipasi wanita dalam ketenagakerjaan masih rendah. Tidak mengherankan karena faktor budaya Indonesia masih mempengaruhi mobilitas para wanita. Mayoritas penduduk wanita mempunyai tugas utama mengurus rumah tangga. Dalam dekade terakhir ini masyarakat mulai menyadari betapa besar peran dan tanggung jawab wanita, tidak hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga berperan aktif dalam kegiatan usaha. Bagi wanita-wanita di pedesaan, fenomena wanita bekerja bukan semata-mata didorong oleh tuntutan emansipasi, melainkan lebih dimotivasi oleh tuntutan hidup. Sikap sosial masyarakat menjadikan wanita aktif dalam membina perekonomian keluarga. Atas dasar hal tersebut, maka perlu diadakan penelitian untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi wanita pengrajin kain perca di Kecamatan Lakarsantri Kota Surabaya serta proporsi pendapatan yang disumbangkan oleh para wanita pengrajin terhadap pendapatan keluarga oleh wanita pengrajin kain perca di Kecamatan Lakarsantri Kota Surabaya. Ada beberapa teori yang digunakan untuk menunjang penelitian ini, yaitu teori tentang pendapatan, industri kecil, definisi kerja wanita serta kerja borongan di rumah B. 1.
Kajian Pustaka Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu bentuk keluaran dalam perekonomian. Keluaran lainnya adalah hasil produksi berupa barang atau jasa. Pendapatan merupakan pembayaran atas jasa-jasa produksi tersebut. Dalam menggerakkan roda perekonomian terdapat dua pihak yang yang berperan yaitu pemerintah dan pihak swasta. Pihak swasta terdiri dari individu-individu dalam masyarakat (rumah tangga konsumen) dan perusahaan ( rumah tangga perusahaan). Secara lebih luas perusahaan dibedakan menjadi perusahaan nasional dan perusahaan asing. Bagaimana arus pendapatan terjadi dapat dipahami melalui lingkaran arus pendapatan (income circular flow) seperti tampak pada gambar di bawah ini
Barang dan jasa Masyarakat
Bisnis Jasa-jasa produksi
2
Gambar 1 Income Circular Flow Sumber : Rosyidi,Suherman, 1998 : 99
Gambar 1 menunjukkan hubungan antara masyarakat dengan perusahaan. Dalam masyarakat terdapat faktor-faktor produksi seperti tanah dan sumber daya alam lainnya, tenaga kerja atau sumber daya manusia, modal dan kecakapan (skill). Faktor-faktor produksi ini dibutuhkan oleh perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Jadi dalam aliran ini masyarakat memberikan jasa-jasa produksi pada perusahaan dan sebagai imbalannya, perusahaan memberikan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Di sisi lain terdapat dua macam aliran uang. Pertama, berasal dari masyarakat yang ditujukan pada perusahaan dalam bentuk transaksi pembelian barang dan jasa. Kedua, berasal dari perusahaan mengalir uang dalam bentuk upah atau gaji, sewa dan bunga. Upah (wages) atau gaji (salary) diperoleh sebagai balas jasa tenaga manusia. Untuk pemakaian faktor produksi tanah atau sumber daya alam lainnya diberikan balas jasa dalam bentuk sewa sedang untuk modal yang terpakai maka diperoleh imbalan berupa bunga. Berdasarkan uraian mengenai lingkaran arus pendapatan (income circular flow) dapat ditemukan konsep pendapatan yaitu sebagai pembayaran dari pihak perusahaan yang diberikan kepada masyarakat atas jasa yang diberikan dalam proses produksi. Oleh masyarakat, pendapatan ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya berupa konsumsi. Bila konsumsi telah terpenuhi dan masih ada sisa pendapatan maka sisa tersebut digunakan untuk menabung. 2.
Industri Kecil Kerajinan Definisi industri kecil kerajinan yang dikemukakan Departemen Perindustrian sebagai berikut: Industri kecil kerajinan adalah industri yang sangat erat kaitannya dengan seni budaya bangsa dengan ciri-ciri yang terdapat dalam pengelolaan dan teknologinya, yaitu : (1) merupakan perpaduan industri kecil dengan menerapkan proses dan ketrampilan tradisional (2) merupakan teknologi tepat guna tingkat madya dan sederhana (3) mengembangkan misi pelestarian budaya bangsa. (Departemen Perindustrian,1995 : 89)
Dalam menangani industri kecil, penanaman modal dalam sumber daya manusia teramat penting. Pengrajin yang sangat terampil memakai alat-alat modern sangat diperlukan. Pengrajin harus mengerti cara memproduksi gaya baru, harus kreatif dalam menggunakan nilai estetikanya. Dalam hal ini sangat diperlukan penanaman modal untuk melatih dan mendidik para pengrajin supaya dapat bekerja dengan konsep baru atau dasar permintaan pasar. 3.
Pendefinisian Kerja Wanita Definisi tentang kerja seringkali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut (Moore,1988 : 43). Bagi masyarakat yang telah mengalami komersialisasi dan berorientasi pasar maka ada perbedaan yang jelas antara kerja upahan dan bukan upahan. Kerja yang dianggap produktif adalah kerja yang mendatangkan pendapatan. Pandangan ini terjadi karena dua bias kultural dalam masyarakat yaitu : a. Bahwa bernilainya suatu kegiatan diukur dengan uang. b. Pada semua gejala yang ada selalu dilakukan perbedaan-perbedaan yang jelas. Oleh karena itu menurut Saptari (1997:14) untuk membedakan kerja wanita yang tampak dan tak tampak dilakukan usaha membagi kerjanya sebagai berikut. a. Kerja produksi/reproduksi Kerja produksi yaitu kerja yang menghasilkan sesuatu untuk kelangsungan hidup anggota. Pengertian kerja reproduksi oleh Edholm dkk (1977) dibedakan antara :
3
1) Reproduksi biologis yaitu melahirkan anak 2) Reproduksi tenaga kerja yang berarti sosialisasi dan mengasuh anak agar menjadi cadangan tenaga kerja berikutnya 3) Reproduksi sosial yaitu kerja yang melestarikan status keluarga atau dalam kegiatankegiatan masyarakat. Lebih jelas kesimpangsiuran definisi kerja produksi dan reproduksi dapat ditinjau dari jenis kegiatan yang dilakukan, tempat pekerjaan itu dilakukan dan tujuan pekerjaan tersebut. Jadi bila seseorang melakukan pekerjaan di rumah belum tentu untuk kebutuhan keluarga begitu juga jika kegiatan tersebut dilakukan di luar rumah belum pasti untuk dijual ke pasar. b. Kerja publik/privat Kebingungan memisahkan definisi kerja produksi dan reproduksi juga terjadi dalam membedakan antara kerja publik dan privat. Henriette Moore (1998 : 53) menyatakan definisi kerja privat dan publik sangat tergantung sejarah dan budaya suatu bangsa. Bagi negara barat terdapat pemisahan yang ketat antara kerja domestik di rumah dengan kerja produktif di tempat kerja. Sedang di negara lain, pemisahan ini tidak tampak. Begitu juga dengan definisi kerja domestik selalu berisi kegiatan yang sama namun kenyataannya kegiatan tersebut bisa berubah tergantung teknologi, akses ke sumber daya dan kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. c. Kerja upahan/bukan upahan Menurut Walby (1990 : 5) hubungan horisontal dan vertikal antara seseorang dengan orang lain dipengaruhi atas dasar upah sehingga kerja dibagi menjadi kerja upahan dan bukan upahan. Namun sekali lagi pembagian ini menimbulkan kebingungan karena 1) Batasan antara kerja upahan dan bukan upahan kurang jelas. Dalam kenyataannya seseorang bisa melakukan kerja upahan dan bukan upahan sekaligus. 2) Upah maupun bukan upahan tidak langsung memberikan gambaran eksploitasi yang dialami seseorang tapi tergantung pada konteks sosial ekonomi secara keseluruhan. 3) Anggapan kerja bukan upahan hanya terjadi pada wanita. Tetapi kenyataan dalam bentuk masyarakat atau sistem ekonomi tertentu bisa juga terjadi pada laki-laki dan wanita. Karena kesimpangsiuaran definisi-definisi kerja wanita di atas maka yang utama bukanlah perbedaannya melainkan konteks sosial ekonomi dan politik dari bentuk kerja tersebut. Sehingga dapat definisi kerja wanita adalah segala hal yang dikerjakan oleh wanita baik untuk kelangsungan hidupnya, untuk diperdagangkan dan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga serta masyarakat. (Moore,1988 : 42) 4. Kerja Borongan Di Rumah (Home Working) Adalah kerja upahan yang dilakukan di rumah atas dasar satuan kerja yang dilakukan (Saptari, 1997 : 374). Pekerjaan ini bisa merupakan pesanan perantara yang menjual hasil tersebut ke perusahaan/toko atau langsung ke konsumen. Sering juga terjadi perusahaan mempunyai hubungan langsung dengan pekerjaan borongan di rumah di mana bagian tertentu dari produk dikerjakan di pabrik sedang bagian yang lain dikerjakan secara borongan di rumah-rumah. Atau keseluruhan proses produksi dikerjakan secara di rumah-rumah. Arti kerja borongan bagi wanita tidak dapat digeneralisasi secara umum tetapi kasus per kasus tergantung industri yang memberikan kerja borongan dan latar belakang ekonomi wanita pekerja borongan. Penelitian Haryastuti dan Hudayana tentang pekerja di rumah untuk industri tenun, bordir dan konveksi di Yogjakarta (1991) menyimpulkan pekerjaan borongan bukan merupakan pekerjaan sampingan dan dikerjakan pada waktu senggang tetapi merupakan pekerjaan pokok dan memakan waktu berjam-jam setiap harinya atas dasar kebutuhan akan penghasilan yang lebih besar dan mengikuti permintaan pemesan. Bahwa mayoritas pekerja borongan di rumah adalah wanita bisa dimaknai dari dua segi, yaitu segi permintaan dan penawaran. Dari segi permintaan, merupakan pertimbangan ekonomis dan ideologis pemberi kerja. Karena homeworking akan menguntungkan bila dikerjakan di rumah pekerja dan upah dapat ditekan serendah mungkin. Perusahaaan seringkali menawarkan kerja
4
borongan ini kepada ibu rumah tangga dan dianggap sebagai kerja sampingan yang dikerjakan pada waktu luang. Dari sisi penawaran bisa ditinjau dari dua dimensi. Pertama, dimensi ideologis beranggapan bahwa wanita tinggal di rumah dan laki-laki sebagai sumber nafkah keluarga. Dimensi yang kedua adalah dimensi sosial yaitu wanita terpaksa tinggal di rumah karena anak tidak bisa dititipkan pada ibu atau ibu mertua. Ada 2 ha yang akan diuraikan dalam tulisan ini, yaitu: (1) mengetahui karakteristik sosial ekonomi, dan (2) proporsi pendapatan yang disumbangkan terhadap pendapatan keluarga oleh wanita pengrajin kain perca di Kecamatan Lakarsantri Kotamadya Surabaya. C.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, karena penelitian dilakukan dengan survey dengan menggunakan metode statistik melalui pengamatan atau pengumpulan data untuk menggambarkan kontribusi wanita yang bekerja sebagai pengrajin kain perca dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga. Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling yaitu purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,2005:78). Teknik ini dilakukan dalam penelitian ini karena jumlah populasi tidak diketahui dengan pasti sehingga interview dilakukan dengan sembarang wanita pengrajin kain perca yang ditemui pada waktu proses pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode observasi, wawancara dan angket. Observasi dilaksanakan pada awal penelitian untuk memperoleh gambaran umum yang diperlukan dalam pengidentifikasian masalah. Pengamatan dilakukan secara langsung di rumah pengrajin dan produsen kain perca. Angket dipakai dalam rangka mengumpulkan data primer langsung dari responden dengan cara menyebarkan kuesioner. Wawancara dilakukan terhadap pengrajin, produsen kain perca dan aparat desa setempat sebagai bahan analisis . D.
Pembahasan 1. Kondisi Fisik Kecamatan Lakarsantri Kecamatan Lakarsantri berada di wilayah Surabaya Barat dan merupakan perbatasan antara Kotamadya Surabaya dan Gresik. Terdiri 6 kelurahan meliputi kelurahan Jeruk, kelurahan Lidah Wetan, kelurahan Lidah Kulon, kelurahan Sumur Welut, kelurahan Lakarsantri, kelurahan Bangkingan.Meskipun terletak di daerah pinggiran kota Surabaya tetapi daerah ini mulai berubah ke arah perkotaan. Dibeberapa tempat sekitar Kecamatan Lakarsantri terdapat beberapa industri seperti garment, pengolahan makanan dan rotan. Perubahan yang terjadi di kecamatan Lakarsantri tidak hanya disebabkan oleh industri-industri tersebut melainkan juga oleh pengembang perumahan yang banyak menjalankan bisnisnya di sana. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi masyarakat asli Kecamatan Lakarsantri saat ini berada pada masa transisi. Meskipun mereka dihadapkan dengan fenoma baru dan memaksa mereka beradaptasi, namun tradisi lama belum sepenuhnya ditinggalkan. Fred W. Rings menggunakan istilah masyarakat transisi dalam perubahan sosial sebagai perpaduan antara masyarakat tradisioanal dan modern di mana praktek-praktek kebiasaan sisa masa silam masih berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam lingkungan baru, ide-ide baru tumpang tindih dengan ide-ide tradisional. Demikian juga di bidang sosial budaya, di satu pihak terdapat satu kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi sedang dipihak lain sebaliknya. Semua ciri tersebut melekat pada kehidupan masyarakat di Kecamatan Lakarsantri. Contoh yang jelas dari segi pendidikan, berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2000 dari jumlah penduduk sebanyak 32.767 orang, 21,18% tidak tamat sekolah, 32,36% tamat SD, 15,74% tamat SLTP dan 26,78% tamat SLTA sedangkan lulusan perguruan tinggi hanya 3,94%. Kondisi seperti ini sudah dapat menjelaskan bagaimana kualitas sumber daya manusia dalam rangka menyingkapi perubahan lingkungan. Jelas mereka belum siap turut serta dalam berbagai kemajuan-kemajuan yang ada disekelilingnya.
5
Lebih memprihatinkan lagi bahwa adanya pengembang perumahan yang memilih wilayah Surabaya Barat sebagai ladang bisnisnya sehingga membuat lahan pertanian yang merupakan mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Lakarsantri sedikit demi sedikit mulai berkurang. Sementara di pihak lain jelas mereka tidak memiliki ketrampilan yang memadai untuk berkiprah pada tuntutan-tuntutan baru. Alternatif mata pencaharian yang kemudian muncul di antaranya pengrajin/industri kecil, buruh industri, buruh bangunan dan sektor transportasi. 2. Kondisi Umum Pengrajin Kain Perca Pengrajin kain perca adalah salah satu bentuk usaha yang kini sedang berkembang di Kecamatan Lakarsantri dan sekitarnya. Berlokasi disekitar daerah Lidah Kulon, Lidah Wetan dan Sepat. Usaha ini, menurut keterangan aparat terkait, awalnya berasal dari upaya industri garment dalam rangka mengurangi limbah industri dan mencari nilai ekonomis lain di samping produksi utamanya. Namun sejalan dengan makin berkembangnya usaha ini, bermunculanlah produsenprodusen kain perca atau yang biasa disebut pengepul yang sekaligus merupakan supplier bahan bagi pengrajin. Bahan tersebut bahkan ada yang didatangkan dari Jakarta dan Jawa Barat. Demikian pula pemasaran hasil kerajinan ini tidak terbatas hanya lokal saja melainkan sampai ke dua daerah tersebut. Berdasarkan sumbernya, pendapatan pengrajin kain kerja dibedakan menjadi tiga. Pertama, sebagai upah borongan yang diberikan oleh produsen kain perca. Kedua pendapatan yang diperoleh dengan menjual kembali kepada pengepul hasil kerajinan perca tersebut. Dan yang ketiga pendapatan yang diusahakan dengan memasarkan sendiri produknya. Alternatif pertama dilakukan dengan mengambil bahan dari pengepul tanpa dikenakan biaya apapun, kemudian diolah di rumah masing-masing bersama sanak keluarga atau tetangga. Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa produktivitas pengrajin perca ini merupakan produktivitas kelompok. Bahan kain perca ini diberikan dalam jumlah per kilogram. Alternatif ini biasanya diambil oleh pengrajin yang menghasilkan kain ampal. Upah produk hasil menjahit kain ampal berkisar antara Rp 500 sampai dengan Rp 800/kg tergantung dari jenis kain perca yang disediakan oleh pengepul. Setiap setoran hasil menjahit kain ampal harus menyertakan sisa kain perca yang tidak terolah. Hal ini berfungsi sebagai alat kontrol mengingat pengajin tidak dibebani biaya apapun dalam hal bahan baku kain perca. Sehingga berapa banyaknya bahan yang diolah tetap diukur dengan satuan kilogram. Alternatif kedua dan ketiga pada umumnya diambil oleh pengrajin yang menghasilkan produk keset. Bahan kain perca dibeli dari pengepul dengan harga Rp 1400 sampai dengan Rp 1.500/kilo kemudian diolah di rumah masing-masing bersama sanak keluarga atau tetangga. Hasil olahan tersebut kemudian dijual sendiri atau dijual kembali ke pengepul. Jika dijual sendiri, per produk dihargai Rp 3000 sedangkan jika dijual kembali ke pengepul per produk dihargai Rp 2500 per produk. Namun pengrajin keset seperti ini sangat jarang atau minoritas karena pengrajin harus mengeluarkan modal sendiri untuk mendapatkan bahan baku. Usaha sebagai pengrajin kain perca tampaknya memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pendapatan keluarga. Indikasinya antara lain adanya gejala yang semakin berkembang yang berarti usaha ini memang diminati masyarakat. Alasannya usaha ini mudah dilaksanakan bahkan tanpa modal sedikitpun. Syaratnya hanya keterampilan dan ketekunan. Oleh karena itu hampir seluruhnya pengrajin kain perca merupakan ibu-ibu rumah tangga. 3. Usia Pengrajin Ditinjau dari sisi usia, seperti tampak pada Tabel 1, 61,11% pengrajin berusia antara 34 tahun sampai lebih dari 41 tahun. Selebihnya, 33,33% pengrajin berusia antara 27 tahun sampai kurang dari 34 tahun dan sebagian kecil (5,56%) berusia kurang dari 27 tahun. Gambaran ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengrajin termasuk golongan usia produktif. Tabel 1 Usia Responden Usia 20 th - < 27 th
Frekuensi 2
% 5,56%
6
27 th - < 34 th 34 th - ≥41 th Jumlah Sumber: Data primer diolah
12 22 36 orang
33,33% 61,11% 100%
4.
Status Perkawinan Pengrajin Status perkawinan para pengrajin, seperti tampak pada tabel 2 didominasi oleh ibu rumah tangga bersuami (33 orang atau 91,67%) dan selebihnya 2 orang (5,56%) berstatus janda dan hanya seorang (2,77%) yang belum menikah. Data ini sesuai dengan keterangan sebelumnya bahwa pengrajin hampir seluruhnya dilakukan oleh ibu rumah tangga. Tabel 2 Status Perkawinan Respondem Status Kawin Janda Belum Kawin Jumlah Sumber: Data primer diolah
Frekuensi 33 2 1 36 orang
% 91,67% 5,56% 2,77% 100%
5.
Pekerjaan Suami/Anggota Keluarga Pada penelitian ini terdapat variabel penghasilan keluarga selain usaha sebagai pengrajin. Bagi pengrajin yang berstatus kawin tentu penghasilan keluarga diperoleh dari suaminya. Namun bagi mereka yang berstatus janda atau belum kawin, yang dimaksud dengan penghasilan keluarga bisa diperoleh dari sanak saudara yang telah bekerja. Menurut tabel 3 penghasilan keluarga selain usaha pengrajin diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh bangunan menduduki urutan pertama (22 orang atau 61,11%), buruh industri (5 orang atau 13,89%), tidak tetap (4 orang atau 11,11%), tukang sapu (2 orang atau 5,56%), supir,pengepul dan makelar masing-masing 1 orang atau 2,78% Tabel 3 Pekerjaan Suami/Anggota Keluarga Jenis pekerjaan Buruh bangunan Supir Tukang sapu Buruh industri Pengepul Makelar Tidak tetap Jumlah Sumber: Data primer diolah
Frekuensi 22 1 2 5 1 1 4 36orang
% 61,11% 2,78% 5,56% 13,89% 2,78% 2,78% 11,11% 100%
6.
Tingkat Pendidikan Pengrajin Tingkat pendidikan pendidikan terakhir yang ditempuh para pengrajin, seperti tampak pada tabel 4 didominasi dengan kelompok pendidikan sekolah dasar dengan prosentase sebesar 63,89% atau 23 orang dan selebihnya 12 orang (33,33%) berpendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama dan hanya seorang (2,78%) yang berpendidikan sekolah lanjutan tingkat atas. Tabel 4 Tingkat Pendidikan Responden
7
Kelompok Pendidikan SD SLTP SMA PT Jumlah Sumber: Data primer diolah
Frekuensi 23 12 1 0 36
Prosentase 63,89% 33,33% 2,78% 0 100%
7.
Kuantitas bahan Banyaknya bahan yang telah diolah dalam proses produksi setiap bulan oleh pengrajin seperti yang tampak pada tabel 5 paling mononjol berkisar 200 kg sampai dengan 300 kg sebanyak 75% atau 27 orang. Selanjutnya lebih dari 400 kg sebesar 19,44% atau 7 orang. Dan seorang atau 2,78% menggunakan bahan kurang dari 200 kg bahan dan seorang lagi menggunakan bahan berkisar 300 kg sampai dengan 400 kg. Tabel 5 Kuantitas Bahan per bulan Jumlah < 200 kg 200 kg - < 300 Kg 300 kg - < 400 kg ≥ 400 kg Jumlah Sumber: Data primer diolah
Frekuensi 1 27 1 7 36
Prosentase 2,78% 75% 2,78% 19,44% 100%
8.
Pengalaman Pengrajin Lama pengrajin telah menekuni pekerjaannya, seperti tampak pada tabel 6 yang paling menonjol pengrajin yang telah menekuni pekerjaan ini lebih dari 5 tahun karena berdasarkan hasil wawancara dengan responden, kerajinan ini memang dilakukan secara turun temurun sehingga bukanlah hal yang luar biasa jika terdapat ibu rumah tangga yang telah menekuni kerajinan ini selama bertahun-tahun. Selebihnya 15 orang atau 41,67% pengrajin menekuni pekerjaannya berkisar 1 sampai 5 tahun dan sisanya 4 4 orang atau 11,11% menekuni pekerjaannya kurang dari 1 tahun. Tabel 6 Pengalaman Responden Lama Kurang 1 Th 1 - 5 Th Lebih dr 5 Th Jumlah Sumber: Data primer diolah
Frekuensi 4 15 17 36
Prosentase 11,11% 41,67% 47,22% 100
9.
Jumlah Anggota Keluarga Banyaknya mereka yang hidup bersama dan menetap dalam rumah tangga pengrajin baik suami, istri, maupun sanak saudara lainnya yang telah bekerja seperti yang nampak pada tabel 7 berkisar antara 3 sampai 5 orang atau 80,56%. Selebihnya jumlah anggota keluarga responden lebih dari 5 orang atau 16,67% dan hanya seorang atau 2,78% yang jumlah anggota keluarga 2 orang. Jumlah
Tabel 7 Jumlah anggota keluarga Frekuensi
Prosentase
8
≤ 2 orang 3 - 5 orang > 5 orang Jumlah Sumber: Data primer diolah
1 29 6 36
2,78% 80,56% 16,67% 100
10. Penghasilan Keluarga di Luar Usaha Sebagai Pengrajin Untuk menghitung pendapatan rumah tangga selama satu bulan digunakan pendekatan ratarata pengeluaran keluarga selama satu bulan. Hal ini dilakukan karena tidak mudah untuk memperoleh data penghasilan riil suatu rumah tangga. Terlebih lagi sebagian besar pekerjaan suami/anggota keluarga adalah buruh bangunan dimana sifat penghasilannya tidak tetap. Penghasilan keluarga seperti yang nampak pada tabel 8, paling menonjol berkisar antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000 yaitu sebesar 28 orang atau 77,78%. Selebihnya 6 orang atau 16,67% berpenghasilan Rp 1.000.000 atau lebih. Sedangkan sisanya 2 orang atau 5,56% hanya berpenghasilan kurang dari Rp 500.000,Tabel 8 Penghasilan Keluarga Di Luar Usaha Sebagai Pengrajin Jumlah < Rp. 500.000 Rp.500.000 – < Rp. 1.000.000 ≥ Rp 1.000.000 Jumlah Sumber: Data primer diolah
Frekuensi 2 28 6 36
Prosentase 5,56% 77,78% 16,67% 100
11. Pendapatan Pengrajin Kain Perca Upah dalam satu bulan yang diperoleh pengrajin setelah hasil produksinya diserahkan kepada produsen kain perca seperti yang nampak pada tabel 9 didominasi antara Rp 100.000 sampai dengan Rp 200.000 yaitu 25 orang atau 69,44%. Selebihnya upah antara Rp. 300.000 sampai dengan Rp 400.000 diperoleh 5 orang atau 13,89%. Pendapatan antara Rp. 200.000 sampai dengan Rp 300.000 diperoleh 4 orang atahu 11,11%. Sisanya seorang yang berpendapatan lebih dari Rp 400.000 dan seorang lagi berpendapatan kurang dari Rp 100.000. Tabel 9 Pendapatan Pengrajin Kain Perca Jumlah < Rp. 100.000 Rp.100.000 - < Rp. 200.000 Rp.200.000 -
Frekuensi 1 25 4 5 1 36
Prosentase 2,78% 69,44% 11,11% 13,89% 2,78% 100
12. Kontribusi Pengrajin Kain Perca Terhadap Pendapatan Keluarga Besarnya kontribusi pendapatan yang dapat disumbangkan oleh para pengrajin pun beragam. Kontribusi dihitung dengan membagi besarnya pendapatan yang diperoleh dari hasil kerajinan kain perca dengan pendapatan rumah tangga tiap bulan dikali 100%. Tabel 10 berikut ini menyajikan komposisi kontribusi pengrajin kain perca terhadap pendapatan keluarga. Besarnya kontribusi pengrajin kain perca terhadap penghasilan keluarga pun beragam. Dari 36 pengrajin yang diteliti,
9
sekitar 61,11% memiliki kontribusi sebesar 20% sanpai dengan 40% terhadap pendapatan keluarga mereka. Dan sekitar 19,44% memberikan kontribusi sebesar 40% sampai dengan 60% terhadap pendapatan keluarga. Selanjutnya sekitar 11,12% pengrajin memberikan kontribusi sebesar kurang dari 20% terhadap pendapatan keluarga. Sedangkan pengrajin yang mampu memberikan kontribusi sebesar lebih besar dari 60% terhadap penghasilan keluarga hanya sekita 8,33% dari responden. Tabel 10 Kontribusi Pengrajin Kain Perca Terhadap Pendapatan Keluarga Kontribusi < 20 % 20% - < 40% 40% - < 60% ≥ 60% Jumlah Sumber: Data primer diolah
Frekuensi 4 22 7 3 36
Prosentase 11,12% 61,11% 19,44% 8,33% 100%
13. Karakteristik Sosial Ekonomi Pengrajin Untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi pengrajin kain perca di Kecamatan Lakarsantri maka digunakan variabel-variabel penelitian di atas. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sebagian besar pengrajin kain perca di Kecamatan Lakarsantri (61,11%) berusia antara 34 tahun sampai lebih dari 41 tahun. Usia ini masih digolongkan kelompok usia produktif. Hal ini terkait dengan tingkat kreativitas para pengrajin dalam membuat kreasi model kerajinan kain perca. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa sebagian besar pengrajin (63,89%) berlatar belakang pendidikan sekolah dasar . Hal ini sesuai dengan jenis kerajinan ini yang tidak memerlukan pendidikan tinggi karena hanya membutuhkan ketekunan dan ketrampilan tersendiri yang biasanya dikerjakan oleh wanita yaitu menjahit dan menganyam. Berdasarkan data pada tabel 5.2 status perkawinan pengrajin sebagian besar didominasi oleh ibu rumah tangga bersuami (33 orang atau 91,67%). Karena kerajinan kain perca ini di samping dapat nenambah penghasilan keluarga, waktu pengerjaannya juga fleksibel yaitu dapat dikerjakan tanpa meninggalkan kewajiban utama mengurus rumah tangga. Bila ditinjau dari pekerjaan suami atau anggota keluarga yang lain didominasi (61,11%) oleh pekerjaan sebagai buruh bangunan atau lazim disebut “Embongan” dimana suami atau anggota keluarga lain akan memperoleh penghasilan jika ada proyek pembangunan atau pembuatan jalan.. Karena penghasilan suami atau anggota keluarga yang lain sifatnya tidak pasti sehingga para istri berusaha mencari tambahan penghasilan tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai pengurus rumah tangga. Kerajinan kain perca ini juga merupakan kerajinan yang sifatnya turun temurun karena hampir 50 % pengrajin menekuni kerajinan ini lebih dari 5 tahun bahkan ada yang sampai 30 tahun. Kebanyakan masyarakat di daerah pinggiran yang masih erat memegang prinsip kekeluargaan dan pola hidup “matrialis”. Hal itu terjadi pula pada keluarga pengrajin kain perca di Kecamatan Lakarsantri dimana 80,56% anggota keluarganya berkisar antara 3 sampai 5 orang. Sebagian besar pendapatan dalam satu bulan yang diperoleh setiap anggota keluarga, baik suami atau sanak saudara lainnya yang telah bekerja berkisar antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000 dimana penghasilan ini tergolong rendah. Di tambah lagi anggota keluarga yang harus dinafkahi sampai 5 orang. Kondisi ini menjadi motivasi pengrajin untuk mendapat tambahan pendapatan dengan melakukan kerajinan kain perca. Jika dihubungkan dengan pekerjaan suami atau anggota keluarga lain yang berkerja maka keadaan ini sesuai dengan penghasilan yang diperoleh sebagai buruh bangunan.
10
Untuk bahan yang telah diolah dalam proses produksi setiap bulan oleh pengrajin paling banyak berkisar 200 kg sampai dengan 300 kg. Hal ini dimungkinkan oleh karena sifat pekerjaan ini bagi pengrajin merupakan pekerjaan sampingan. Artinya pengrajin mengerjakannya pada waktu-waktu luang. Sangat berlainan dengan mereka yang menjadikan ini sebagai mata pencaharian pokok dimana produksi dilakukan sepanjang waktu. Karena banyaknya bahan yang diolah oleh pengrajin dalam satu bulan tergolong sedikit maka upah dalam satu bulan yang diperoleh pengrajin setelah hasil produksinya diserahkan kepada produsen kain perca juga tergolong rendah yaitu berkisar antara Rp 100.000 sampai dengan Rp 200.000. Hal ini dimungkinkan karena upah yang deberikan tergolong murah hanya berkisar Rp 500 sanpai Rp 800 per kg . 14. Kontribusi Pendapatan Pengrajin Wanita Pengrajin kain perca yang berkembang di Kecamatan Lakarsantri dan sekitarnya, kebanyakan berlokasi disekitar daerah Lidah Kulon, Lidah Wetan dan Sepat. Munculnya kerajinan ini disebabkan karena upaya pengusaha garmen untuk mengurangi limbah yang dihasilkan berupa sisa-sisa potongan kain yang biasa disebut kain perca sekaligus mendapat tambahan penghasilan dari limbah tersebut. Kain perca tersebut dapat diolah menjadi kain ampalan yang digunakan sebagai kain lap untuk mesin industri mapun untuk mesin kapal dan dapat dijadikan alas kaki atau keset serta penutup hidung atau masker. Dengan berjalannya waktu, ternyata usaha pengolahan kain perca ini memiliki prospek yang menguntungkan sehingga produsen-produsen kain perca atau yang biasa disebut pengepul yang sekaligus merupakan supplier bahan bagi pengrajin. Untuk mengatasi keterbatasan pasokan kain perca dari Jawa Timur, pengepul bahkan mendatangkan bahan kain perca tersebut dari Jakarta dan Jawa Barat. Demikian juga dalam memasarkan hasil kerajinan ini tidak terbatas hanya lokal saja melainkan sampai ke dua daerah tersebut bahkan juga dikirim ke Sulawesi. Sebagian besar responden yang ditemui oleh peneliti adalah pengrajin kain ampalan. Hal ini mungkin disebabkan karena pembuatan kerajinan kain ampalan tidak memerlukan ketrampilan khusus hanya diperlukan pengetahuan dasar menjahit dan ketekunan serta sedikit kreativitas. Bahkan untuk mendapatkan bahan baku, pengrajin cukup menelepon pengepul yang sudah cukup terkenal di daerah tersebut dan segera diantar ke rumah tanpa dikenai biaya pembelian bahan baku. Ditambah lagi tidak ada pembatasan waktu pengolahan kain perca tersebut oleh pengepul. Semakin cepat terselesaikan kerajinan kain ampalan tersebut maka semakin cepat pengrajin mendapat upah. Banyaknya bahan baku kain perca yang diantar ke rumah pengrajin minimum 1 karung atau dikenal dengan istilah 1 glasing. Satu karung/glasing minimum berbobot 50 kg bahkan ada yang mencapai 60 kg. Dengan kemudahan-kemudahan di atas yang diperoleh pengrajin kain ampalan tidak heran upah yang diterima juga minimum hanya berkisar Rp 500 sampai dengan Rp 800 tergantung jenis kain perca apakah berwarna putih atau berwarna-warni. Untuk kerajinan kain perca dalam bentuk alas kaki atau keset, perlakuan sedikit berbeda. Pengrajin harus membeli sendiri bahan baku berupa kain perca yang dihargai Rp 1.400/ kg sampai Rp 1.500/kg. Juga dalam memproduksi sebuah keset juga diperlukan alat khusus untuk menganyamnya. Bentuk alat tersebut amat sederhana dan dibuat sendiri oleh pengrajin. Selain memerlukan alat untuk membuatnya, kerajinan keset ini juga membutuhkan ketekunan serta kreativitas yang cukup tinggi untuk memadukan kain perca yang berwarna-warni agar diperoleh keset-keset dengan warna-warna yang menarik. Karena dibutuhkan kreativitas yang cukup tinggi serta ketekunana maka harga jual keset tersebut cukup tinggi berkisar Rp 2.500 bila pengrajin menjual pada pengepul dan Rp 3.000 jika pengrajin menjualnya sendiri. Namun hal tersebut jarang terjadi. Pembeli yang biasanya membeli langsung pada pengrajin adalah orang-orang yang sudah mengenal pengrajin dan merupakan saudara atau warga di sekitar daerah pengarjin. Sistem pemasaran kerajinan kain perca yang lebih banyak kepada pengepul akan berpengaruh terhadap besarnya kontribusi pengrajin terhadap pendapatan keluarga. Tetapi faktor yang paling mempengaruhi besarnya kontribusi pengrajin terhadap pendapatan keluarga adalah kuantitas hasil kerajinan kain perca yang diproduksi oleh pengrajin itu sendiri. Semakin besar kuantitasnya maka makin besar pula upah yang diterima.
11
Berdasarkan hasil penelitian, besarnya kontribusi pengrajin kain perca terhadap penghasilan keluarga pun beragam. Dari 36 pengrajin yang diteliti, sekitar 61,11% memiliki kontribusi sebesar 20% sampai dengan 40% terhadap pendapatan keluarga. Dan sekitar 19,44% memberikan kontribusi sebesar 40% sampai dengan 60% terhadap pendapatan keluarga. Selanjutnya sekitar 11,12% pengrajin memberikan kontribusi sebesar kurang dari 20% terhadap pendapatan keluarga. Sedangkan pengrajin yang mampu memberikan kontribusi sebesar lebih besar dari 60% terhadap penghasilan keluarga hanya sekita 8,33% dari responden. Distribusi kontribusi pengrajin terhadap pendapatan keluarga sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 5.10 tersebut di atas menggambarkan bahwa ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai pengrajin kain perca mampu memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam menopang perekonomian keluarga tanpa harus meninggalkan kewajiban domestik mereka. E. 1.
Kesimpulan Dan Saran Simpulan Karakteristik sosial ekonomi wanita pengrajin kain perca di Kecamatan Lakarsantri yaitu sebagian besar merupakan ibu rumah tangga yang berada pada kelompok usia produktif dengan tingkat pendidikan hanya setingkat sekolah dasar. Dengan latar belakang pekerjaan suami atau anggota keluarga yang lain hanya sebagai buruh bangunan atau lazim disebut “Embongan” dimana penghasilan berkisar Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000 ditambah lagi anggota keluarga yang dinafkahi cukup banyak sehingga para istri berusaha mencari tambahan penghasilan tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai pengurus rumah tangga. Karena sifatnya sampingan maka bahan kain perca yang diolah pengrajin hanya berkisar 200 kg sampai 300 kg maka upah dalam satu bulan yang diperoleh pengrajin setelah hasil produksinya diserahkan kepada produsen kain perca juga tergolong rendah yaitu berkisar antara Rp 100.000 sampai dengan Rp 200.000. Hal ini dimungkinkan karena upah yang diberikan tergolong murah hanya berkisar Rp 500 sanpai Rp 800 per kg . Ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai pengrajin kain perca ternyata mampu memberikan kontribusi yang cukup berarti (20 % sampai dengan 40%) dalam menopang pendapatan keluarga tanpa harus meninggalkan kewajiban domestik mereka. 2. Saran Dari hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa kontribusi yang cukup berarti dari usaha kerajinan kain perca terhadap ekonomi dan kesejahteraan hidup perngrajin yang tergolong berpendapatan rendah. Untuk itu sudah waktunya memberikan perhatian dan penanganan serius terhadap usaha kerajinan ini. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan kerjasama antar instansi atau organisasi terkait misalnya pemerintah daerah dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, organisasi PKK dan Lembaga Pendidikan Tinggi (melalui program kuliah kerja nyata atau pengabdian pada masyarakat) terutama untuk memberikan pembinaan keterampilan kepada masyarakat yang membutuhkan guna meningkatkan daya kreativitas dan diversifikasi produk Dari hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pendapatan pengrajin dari usaha ini masing tergolong rendah. Untuk itu intervensi perlu dilakukan terhadap produsen kain perca agar menetapkan upah yan layak bagi para pengrajin. Sebagai upaya meningkatkan pendapatan pengrajin, perlu juga untuk membantu membuka jalan bagi pemasaran produk mereka misalnya lewat koperasi, pameran-pameran atau promosi tidak langsung.
Daftar Pustaka Adhitama, Toeti. (1991) Industri Kecil dan Pembinaannya. Jakarta : Rajawali. Arifin, Serbear (1998) Makalah Seminar Membina dan Menjaring Pengrajin dan Industri Kecil dalam Ekspor Non Migas. Jakarta
12
Badan Pusat Statistik (2004) Hasil Survei Ekonomi Nasional Tahun 2004 Propinsi Jawa Timur.Surabaya -------------------------- (2004) Statistik Kesejaheraan Rakyat 2004.Jakarta Departemen Perindustrian (1995) Kebijakan dan Strategi serta Program Lima Tahunan Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil dan Menengah dalam Pelita VI. Jakarta. Hartanto (1998) Makalah Seminar Membina dan Menjaring Pengrajin dan Industri Kecil dalam Ekspor Non Migas. Jakarta Haryastuti, S. dan B. Hudayana (1991) Pekerja Wanita pada Industri Rumah Tangga Sandang di Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta. Seri Studi Wanita No. 6. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogjakarta. Hong,Evelyn (1984) Rural Woman in Development. Ideas and Action : Special Issue on Rural Women. FFHC/FAO-Roma Mather, C. (1983) Industrialization in the Tangerang Regency of West Java : Women Workers and the Islamic Patriarchy. Buletin Of Concerned Asian Scholars. 15(2). April-June. Moore,Henrietta.L. (1988) Gender and Status : Explaining the Position of Women. Feminism and Anthropology. Cambridge : Polity Press. Moser,C.(1989) Gender Planning in the Third World : Meeting Practical and Strategic Gender Needs.World Development, Vol. 17,No. 7. Ngadisah (1991) Pekerjaan Wanita di Kabupaten Bowe, Studi Kasus di Desa Ujung Tanah, Kecamatan Mare Kabupaten Balas Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Salim, Emil. (1992) Konsep Pembangungan Berwawasan Lingkungan Hidup. Departemen Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner (1997) Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta : PT Pustaka Utama Graffiti. Saridjambak,M.C. (1998) Industri Kecil : Prospek dan Penanganannya. Jakarta : Rajawali. Tellis-Nayak. J. (1982) Education and Income Generation : Nonformal Approaches. Delhi : Indian Social Institute. Walby, S.(1990) Theorizing Patriarchy. London : Polity Press. Wolf, D. (1986). Factory Daughters, Their Families, and Rural Industrialization in Central Java. Disertasi Ph.D pada Cornell University.
13