KONTESTASI PEMIKIRAN FEMINIS DAN IDEOLOGI PATRIARKI: ANALISIS PADA TIGA TEKS SASTRA BERBUDAYA ARAB– MUSLIM DENGAN PERSPEKTIF FEMINIS MUSLIM Free Hearty Staf Pengajar Jurusan Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta
[email protected] Abstrak Pendekatan budaya feminis, terutama feminis muslim, digunakan untuk mengamati bagaimana gagasan feminis berkembang ketika dominasi lelaki dan citra perempuan sebagai korban atau mereka yang mempunyai potensi untuk berjuang mendapatkan keadilan tampak dalam ketiga novel: Women at Point Zero, Nawal el Saadawi; Wife for my Son, Ali Ghalem; The Beginning and the End, Naguib Mahfudz. Pengamatan ini difokuskan kepada Kontestasi gagasan feminis dan gagasan Patriarki di dalam tiga teks sastra berbudaya Arab- Muslim. Ketiga teks menawarkan titik pandang yang berbeda berkaitan dengan gagasan feminis dan gagasan patriarki. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa perhatian terhadap diskriminasi jender dan keinginan untuk berjuang demi keadilan tersebut tidak serta merta membuat seseorang mampu membuat rencana langkah strategis untuk memperjuangkan keadilan itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa perjuangan feminis bagi perempuan bisa terperangkap juga ke dalam perilaku budaya patriarki itu pula. Sadar atau tidak, mereka terperangkap dalam perilaku yang menyudutkan perempuan dan mengukuhkan kekuasaan lelaki. Kata Kunci: pemikiran feminis, patriarki, feminis muslim
Abstract A Cultural approach of feminist, especially Moslem Feminist, is used to view how feminists ideas develop when the domination of men, and how the image of women as victim, or those having the potention to fight for equality, is presented in the texts of Women at Point Zero (WaPZ) by Nawal El Saadawi, A Wife for My Son ( AWfMS) by Ali Ghalem and The Beginning and The End (TBTE) by Naguib Mahfoudz. The observation focused on the contestation of feminist ideas and patriarchal ideology in the above three Arab-Moslem Culture Literary texts. The three texts offer different points of view in contesting feminist ideas and patriarchal ideology. This difference shows that the concern for gender discrimination and the will of fighting for equality do not necessarily make someone able to plan strategic steps to fight for equality. It also indicates that feminist fighting for women’s preference can be trapped also in a patriarchal cultured behavior. Consciously or not, they are trapped in an attitude forcing out women and confirming men’s power. Key Words: feminist approach, patriachal ideology, moslem feminist
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
1
PENDAHULUAN Hamim Ilyas mengutarakan hal-hal menarik tentang isi Al-Quran yang memberi penekanan pada kehormatan, persamaan manusia, dan kesetaraan jender. Penekanan ini diiringi dengan penegasan untuk menghaspuskan penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Hamim menguraikan bahwa kitab suci melarang enam bentuk kekerasan yang sering terjadi di masyarakat Arab, yaitu 1. membunuh bayi perempuan dan menguburkannya hidup-hidup (QS Al-Taqwir 8:8-9); 2. memukul perempuan (QS An-Nissa’ 4:30); 3. menceraikan istri setelah tua (QS Al-Mujadilah 58:2); 4. membuat perempuan sengsara dan menderita (QS Al-Thalaq 65:6); 5. mengusir perempuan dari rumah (QS Al-Thalaq 65:1); 6. mempersulit kehidupan wanita (QS Al-Baqarah 2:236). Menurut Hamim Ilyas, kalau feminisme dipahami sebagai suatu kesadaran bahwa perempuan itu tertindas, kemudian ada usaha untuk menghapuskan penindasan itu, ajaran Islam dan Sunnah Rasul yang melarang hal tersebut sejalan dengan gagasan feminisme. Katanya, ‖... dengan demikian Nabi Muhammad SAW adalah seorang feminis‖ (Ilyas, 2003, xiii). Apabila kaum Muslim meyakini ajaran yang berdasar kepada AlQuran, tentulah konstruksi sosial budaya yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua yang terpinggir dan tertindas bertentangan dengan ajaran Islam. Konstruksi sosial budaya yang bernuansa patriarki seringkali dibenarkan dengan mengacu pada ajaran Al-Quran. Menurut Fatima Mernissi, seorang feminis muslim dari Maroko, feminisme adalah kesadaran kaum perempuan dan laki-laki tentang adanya penindasan dan eskploitasi terhadap kaum perempuan di masyarakat, publik 2
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
dan domestik, yang diikuti oleh tindakan sadar untuk mengubah situasi dan kondisi ini. Lebih jauh Mernissi menegaskan bahwa feminisme tidak berhenti pada kesadaran manusia atau hanya tertuju kepada wanita. Penindasan dan eksploitasi tidak terjadi pada perempuan saja, tetapi juga bisa terjadi pada lelaki. Menurut Mernissi, laki-laki dalam hal-hal tertentu juga mengalami tindakan seperti dialami perempuan. Gagasan Mernissi ini sama dengan yang dikemukakan Naomi Wolf tentang feminis kekuasaan. Menurutnya, perempuan juga harus membangun toleransi terhadap lelaki dan tidak melakukan pembenaran menjadi kekuatan dan kekuasaan dengan menggali potensi diri. Wolf mengkritik perempuan yang kadang juga mengeskploitasi hal-hal yang dikatakan sebagai stereotipik perempuan yang diciptakan laki-laki dengan maksud menyubversi pihak lawan. Sikap seperti ini disebut Wolf sebagai feminis korban, yaitu dengan membuat daftar catatan kejahatan laki-laki terhadap perempuan untuk memperoleh hak. Adanya
beberapa
pandangan
kritis
terhadp
tafsir
Al-Quran
memungkinkan munculnya gagasan feminis muslim untuk melihat Al-Quran dengan perspektif jender. Tujuan gagasan feminis muslim, menurut Siti Ruhaini Dzulhayatin, adalah untuk menjamin keberpihakan Islam terhadap integritas dan otoritas perempuan yang terdistorsi oleh narasi-narasi besar wacana keislaman klasik yang sarat dengan ideologi patriarki (Dzuhayatin: 2002,14). Narasi-narasi besar keislaman klasik ini mendominasi proses sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer yang menyebabkan ideologi patriarki dan dominasi laki-laki semakin kokoh keberadaannya di masyarakat.
Pandangan
Naomi
Wolf
dan
Fatima
Mernissi
dalam
memperjuangkan gagasan feminisme ini digunakan untuk membahas tiga novel bernuansa Arab-Muslim, yakni Women at Point Zero (WaPZ) karya Nawal El
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
3
Saadawi, A Wife for My Son (AwfMS) karya Ali Ghalem dan The Beginning and The End (TBTE) karya Naguib Mahfoudz. ANALISIS Kontestasi pemikiran feminisme dan ideologi patriarki diamati dalam tiga teks berbudaya Arab-Muslim. Teks WaPZ diterbitka 1976 dan AWfMS diterbitkan 1969. Kemudian, teks-teks ini dibandingkan dengan TBTE yang diterbitkan 1949. Ketiga teks merupakan terjemahan bahasa Inggris dari teks asli yang ditulis dalam bahasa Arab. Karya sastra sebagai teks dianggap media yang bisa menyosialisasikan dan membangun wacana baru tentang perempuan. Ketiga novel ini mengungkapkan persoalan ideologi patriarki yang mendominasi kehidupan masyarakat dengan sosial budaya yang bernuansa Arab-Muslim. Meneliti ketiga teks sastra dari Timur Tengah ini menjadi menarik karena pengarangnya, seperti Saadawi dan Ghalem, menunjukkan kesadaran (baca: kepedulian) akan adanya ketimpangan peran jender di masyarakat. Diamati bagaimana teks-teks di atas menampilkan citra perempuan sebagai korban atau citra perempuan yang berpotensi memperjuangkan kesetaraan dalam teks WaPZ, AWfMS, dan TBTE. Bagaimana ideologi feminisme mewujud dalam menghadapi dominasi laki-laki dan kekuasaan patriarki berdasarkan ketiga teks tersebut? Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya feminis Muslim karena teks yang diteliti bernuansa budaya Arab-Muslim. Pendekatan budaya feminis–pandangan Fatima Mernissi yang feminis Muslim digabung dengan pandangan Naomi Wolf yang post-feminisme– digunakan karena penelitian ini menempatkan teks sebagai suatu peristiwa 4
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
budaya yang merupakan reaksi atau aksi terhadap fenomena yang ada di tengah budaya masyarakat nyata. Kalau dianalisis tidak dari unsur estetika, tetapi dianalisis dari kontestasi politis, sastra menjadi aspek budaya yang dianggap sebagai wacana yang mampu menyosialisasikan berbagai hal dalam membangun atau meruntuhkan suatu ideologi. Penganalisaan dengan pendekatan budaya seperti ini membantu membongkar ideologi yang ada dalam teks. Penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan budaya feminis tidak bisa memperlakukan teks sebagai bagian yang terpisah dan berdiri sendiri. Menurut Kate Millet bila ingin memahami karya sastra secara benar, konteks sosial budayanya harus dipelajari (lihat Mei 1985, 24). Konteks sosial budaya yang melingkupi sebuah karya ikut mempengaruhi penciptaan karya. Maka, pengetahuan tentang sosial budaya tersebut diperlukan untuk menganalisis karya sastra dimaksud. Hal senada juga diungkapkan oleh Maggie Humm, bahwa “The Project of Feminist Critics is Precisely to Relate Reading to Other Kinds of Society Activity. The Strength of Feminist Criticism is in Its Refusal to Accept the Dislocation of Literatur from Other Social Practice” (Humm: 1986, 19). Ketiga teks dianalisis dengan mengamati bagaimana objek, peristiwa, atau ekspresi dan perilaku tokoh menampilkan konsep, gagasan, perasaan, dan pikiran perempuan dalam cerita. Penelitian lebih ditekankan pada bagaimana posisi narator (dilihat sebagai second self pengarang) dan posisi berbagai tokoh ataupun posisi gagasan dan peristiwa ditempatkan dalam teks. Posisi-posisi ini diamati dan dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk ditempatkan sehingga membawa makna tertentu. Naomi Wolf menjelaskan bahwa ada dua pendekatan dalam debat tentang feminisme, yaitu feminisme korban dan feminisme kekuasaan. Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
5
Feminisme korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni dan mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi atas perempuan-perempuan ―mulia‖ ini, sebagai jalan menuntut hak-hak mereka. Feminisme Kekuasaan (power feminism) menganggap perempuan sebagai manusia biasa yang seksual, individual, tak lebih baik dan tak lebih buruk ketimbang laki-laki yang menjadi mitranya–dan mengkalim hak-haknya atas logika yang sederhana saja; perempuan memang memiliki hak-hak itu (Wolf:1999, xxv). Menurut Wolf feminis korban bergerak berdasarkan anggapan bahwa ada intisari kebaikan perempuan yang berlaku secara universal bersamaan dengan ketidakberdayaan yang juga universal, dan tentu saja laki-laki di sini berperan sebagai penjahat-penjahat kejam. Wolf mengatakan, “Kejujuran seorang perempuan dalam memandang sisi-sisi gelap dalam diri mereka adalah sesuatu yang memberdayakan dan baik secara moral” (Wolf:1999, xxv). Maka, menurutnya, perlu membangun citra baru perempuan. Citra yang akan mendorong perempuan ke arah aksi adalah citra yang agresif, keahlian, dan tantangan ketimbang pencitraan feminis korban. Dengan begitu, “Perempuan tidak lagi perlu minta izin kepada siapapun untuk memperoleh kesetaraan sosial” (Wolf:1999, 79). Kesetaraan sosial, menurut Wolf, bukan sesuatu yang dimohon dari orang-orang lain. Perempuan harus siap untuk memiliki tempat yang memang menjadi haknya. Pergeseran titik ini menuntut perempuan agar mulai memandang diri sebagai orang yang potensial bagi perubahan, dengan banyak sumber daya, bukan lagi sebagai korban-korban. Dengan begitu, Wolf lebih menyarankan pendekatan feminis kekuasaan dengan melakukan langkah-langkah praktis yang mempraktikkan toleransi, bukannya pembenaran diri sendiri. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Fatima Mernissi yang mengatakan bahwa 6
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
feminisme adalah kesadaran kaum perempuan dan laki-laki tentang adanya penindasan dan eksplotasi terhadap kaum perempuan di masyarakat, publik dan domestik, lalu melakukan tindakan sadar untuk mengubah keadaan ini. Feminisme, menurut Mernissi, tidak berhenti pada kesadaran manusia saja atau hanya tertuju kepada wanita, tetapi melakukan tindakan lanjutan dan membangun kesadaran dan toleransi terhadap laki-laki, karena laki-laki, dalam hal-hal tertentu, juga mengalami tindakan serupa (Mernissi: 1994, 34). Dengan pendekatan budaya feminis pada teks-teks WaPZ, AWfMS, dan TBTE ditemukan bahwa dalam WaPZ, yang penulisnya dikenal sebagai seorang aktivis feminis yang berjuang meruntuhkan dominasi laki-laki, menampilkan tokoh Firdaus yang dicitrakan pengarang dan Narator sebagai tokoh yang gagah berani. Firdaus digambarkan Nawal dan Narator sebagai tokoh perempuan yang meruntuhkan mitos tentang laki-laki. Dengan ―perkasa‖ tokoh Firdaus mempermainkan lelaki. Namun, dia tetap berada di bawah kekuasaan seorang mucikari. Firdaus kemudian membunuh mucikari tersebut. Ia pun dihukum mati dan menolak mengajukan grasi. Keberanian Firdaus menjalani kehidupan di bawah penindasan lelaki dan mengakhiri hidup dengan menerima hukuman mati dilukiskan Nawal dan Narator sebagai perempuan yang mempunyai keberanian yang dahsyat dan perempuan yang mempunyai kehormatan luar biasa. Namun,
cara
Firdaus
menceritakan
kisah
hidupnya
sendiri
memunculkan citra diri yang berbeda dengan yang dibangun Nawal ataupun Narator. Firdaus lebih memunculkan dirinya sebagai korban yang patut dikasihani dan di bawah dominasi laki-laki. Kehendak menolak dominasi lakilaki, dalam narasi tersebut, tampak lebih mengemukakan kelemahan daripada keberanian perempuan. Firdaus menampilkan dirinya tampak sebagai tokoh yang gampang dibodohi, dirayu, dan emosi karena cinta palsu lelaki. Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
7
Kemudian, dengan marah dan dendam ia kembali menjadi pelacur dan memainkan hasrat lelaki serta membunuh mucikari. Tidak ditampilkan wacana yang membangun citra baru perempuan ataupun potensi perempuan agar mendapatkan hak setara dengan laki-laki. Karya Saadawi (WaPZ) sangat kuat dan tajam menentang budaya patriarki lewat pemberontakan Firdaus. Sebaiknya, Ghalem (AWfMS) dengan pola penceritaan tanpa emosi dan agitasi menggambarkan banyak aspek wanita dan laki-laki dalam mengetengahkan konflik dalam tradisi patriarki. Dengan nada marah Saadawi menghadapi dominasi laki-laki yang merepresi perempuan. Ghalem dengan nada prihatin memaparkan konflik dan tragedi yang dihadapi perempuan. Namun, teks AWfMS tidak memunculkan pertarungan kuat antara pemikiran kritis feminis dan ideologi patriarki. Pergulatan pemikiran muncul sebatas wacana dan gagasan dalam dialog dan argumentasi antartokoh. Kesadaran perempuan tidak teraktualisasi dalam gerakan dan usaha. Aksi yang banyak ditampilkan justru menunjukkan kekuasaan tradisi yang kental nuansa patriarki. Ideologi feminisme (dalam arti luas) tidak muncul dari sikap dan perilaku tokoh. Bahkan, ada benturan dan perbedaan antara pemikiran dan perilaku seorang tokoh. Fatima menuntut perubahan dan menolak kawin paksa, tetapi menerima saja dipaksa kawin dengan lelaki yang tidak pernah ia kenal. Ia ingin mandiri, tetapi sangat tergantung dengan suami. Seorang tokoh lelaki yang tampak setuju dengan gerakan perempuan malah ditampilkan memerkosa teman ibunya, hanya untuk membuktikan keperkasaan dirinya sebagai lakilaki. Cara Narator menyorot gagasan feminisme yang diusung Fataouma dan menempatkan gagasan tersebut sebagai ideologi yang dibawa dari Barat (baca: Eropa dan Amerika) menunjukkan pandangannya yang secara implisit tidak 8
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
menyetujui gagasan tersebut. Namun, sesuai dengan budaya Arab yang tidak terbuka dan tidak membuka diri bagi perjuangan perempuan, Ghalem mengakhiri kisah dengan simbol kelahiran anak perempuan. Sama seperti Nawal, Ghalem tidak merekonstruksi wacana baru bagi perempuan. Bahkan, ada kesan bahwa perubahan yang ditampilkan Narator dengan nada positif adalah perubahan yang tetap menempatkan perempuan sebagai “pendamping” setia suami. Gagasan feminisme yang diusung Fataouma dengan makna lebih luas dipinggirkan dalam cerita. Fataouma dan gagasannya tidak mendapat tempat berarti dalam cerita. Bahkan, nama dan cara Narator menceritakan feminisme Fataouma pun terkesan negatif. Tidak ada pemberontakan yang berarti dari tokoh-tokoh perempuan, kecuali di akhir kisah Fatima melarikan diri dari rumah mertua setelah harapan yang ditunggu sia-sia, dan ia ditolak pula oleh orang tuanya. Menunggu dan mengharap inilah citra perempuan yang ditampilkan dalam teks. AWfMS terkesan merupakan bentuk teks pembelaan terhadap laki-laki, kekhawatiran laki-laki terhadap perubahan, dan perjuangan perempuan di arena lebih luas. Namun, tidak mengangkat gagasan feminisme dalam konteks peran jender. Mahfoudz dalam TBTE tidak menunjukkan minat dan perhatian kepada perjuangan perempuan. Hal ini bisa diamati dari nada dan cara penggambaran tokoh dan peristiwa dalam teks. Perempuan tetap di posisi sebagai orang rumahan. Laki-laki dianggap bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga. TBTE menyorot perempuan dari sisi yang berbeda, tetapi melihat kekuatan dan potensi perempuan. Boleh jadi ini merupakan bentuk lain kepedulian Mahfoudz kepada potensi perempuan yang bisa dikembangkan, tetapi tetap menempatkan perempuan di ruang domestik. Hal ini jelas menunjukkan pandangan Mahfoudz yang patriarkis. Sikap Samira, tokoh wanita, lebih
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
9
ditonjolkan sebagai sikap orang kecil yang mempunyai harga diri saat meminta hak yang seharusnya dimiliki kepada seorang besar yang berkuasa. Mahfoudz menyorot sikap jujur, ikhlas, dan luhur yang ada dalam diri tokoh yang dianggap sampah masyarakat. Sementara tokoh terhormat digambarkan bersikap sewenang-wenang tanpa kejujuran dan keikhlasan dalam memperlakukan golongan bawah. Ketimpangan ini yang menjadi sorotan dan kritikan Mahfoudz. Mahfoudz menampilkan potensi perempuan tidak dengan perspektif feminisme dan diskriminasi jender dan tidak dalam konteks mengajak perempuan ikut serta aktif di arena publik. Namun, ketika potensi perempuan disorot, tanpa kesadaran jender pengarangnya, gambaran ini meruntuhkan mitos-mitos yang membagi kerja laki-laki dan perempuan secara otomatis. Gambaran ini membangun citra baru perempuan yang kuat, tegas, dan
mandiri.
Citra
perempuan
seperti
ini
memungkinkan
mereka
memperlihatkan kemampuan dan perjuangan untuk mendapatkan hak agar setara dengan laki-laki. Mahfoudz, umpamanya, menggambarkan sikap Samira yang lebih “fatherly” daripada tokoh ayah yang lembut dan bersifat “motherly” dalam mendidik anak-anaknya. Samira tampil kuat, rasional, dan tegas menjalani hidup setelah suaminya meninggal. Mengontraskan sikap ayah dan ibu menunjukkan kenyataan bahwa sifat-sifat yang dicitrakan melekat pada jenis kelamin dibuktikan bukan sebagai hal yang alamiah. Gambaran yang dimunculkan dengan memindahletakkan sifat ini, menunjukkan bahwa sifat tersebut bukanlah kodrati. Kekuatan perempuan yang muncul dalam TBTE menggambarkan kemampuan perempuan untuk mencapai kesetaraan, seperti gagasan feminis kekuasaan. Menurut Wold ... tokoh perempuan ciptaan Mahfoudz tidak menampakkan citra feminis korban, tetapi membangun citra baru perempuan 10
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
yang mempunyai toleransi dan kekuatan untuk mandiri, yang sebenarnya memang dimiliki perempuan. SIMPULAN Dari hasil penelitian teks WaPZ menunjukkan bahwa kesadaran kritis Narator yang membangun citra Firdaus sebagaia tokoh yang kuat dan berani berbenturan dengan sikap dan perilaku tokoh utama Firdaus yang menarasikan kisah hidupnya sendiri. Firdaus menggambarkan dirinya dengan membeberkan daftar kejahatan lelaki terhadap dirinya sebagai korban, sedangkan kesadaran kritis tokoh perempuan Fatima dalam teks AWfMS tidak sejalan dengan apa yang dilakukannya. Pergulatan pikirannya tentang kebebasan bertolak belakang dengan sikap dan perilaku yang menggantungkan dirinya pada putusan orang tua dan suami. Kedua teks ini, dalam narasi lebih menampilkan sikap dan citra perempuan tradisional yang menjadi korban penindasan lelaki tanpa menggambarkan perjuangan untuk membela diri. Tokoh utama perempuan, Firdaus dalam WaPZ dan Fatimah dalam AWfMS, tidak menunjukkan perjuangan yang bisa membangun wacana tentang citra baru perempuan. Cara memunculkan gagasan feminisme menggunakan pola feminisme korban. Cara ini menurut Naomi Wolf adalah dengan menyodorkan catatan penderitaan perempuan dikarenakan kejahatan lelaki, untuk mendapatkan hak (Wolf:1992, 72–74). Sebaliknya, teks TBTE menampilkan sikap tokoh-tokoh perempuan tidak sebagai korban. Tokoh perempuan yang muncul dalam teks TBTE tidak menampilkan diri sebagai korban yang memberikan daftar kehancuran hidupnya dengan maksud menyubversi pihak lawan, seperti yang disebut Naomi Wolf sebagai gerakan feminis korban. Tokoh perempuan Mahfoudz lebih
menunjukkan
potensi
dan
kekuatan
diri
mereka
Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
menghadapi 11
permasalahan, seperti gagasan feminis kekuasaan, daripada hanya sebagai korban penindasan lelaki. Apa yang tidak dimiliki perempuan adalah ruang dan kesempatan untuk menunjukkan potensi diri tersebut. Seperti digagas oleh Naomi Wolf dan Fatima Mernissi serta feminis Muslim lainnya, perjuangan perempuan tidak pada tuntutan kesetaraan saja, tetapi juga memerhatikan cara menuntut dan memperjuangkannya sehingga tidak menciptakan kendala lain. Maka, Naomi Wolf mengimbau, “Jika perempuan ingin melanjutkan perjalanan menuju era egalitarian, mereka harus memantapkan iklim dimana laki-laki yang membebaskan diri dari baju zirah tradisional – dominasi – dijamin aman” (Wolf:1999, 30). Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa beberapa hal perlu diperhatikan dalam cara memperjuangkan gagasan feminisme. Pertama, cara mengangkat kejahatan lelaki dan cara menggambarkan perempuana-perempuan yang menjadi korban kejahatan. Tanpa menggambarkan perlawanan berarti dan menampilkan potensi perempuan hanya mempertagas pandangan patriarki tentang kelemahan dan ketidakberdayaan perempuan. Kedua, cara yang tidak memberikan toleransi dan melakukan pembenaran terhadap diri sendiri tidak membuat lelaki sadar, bahwa perempuan memang mempunyai hak setara dengan mereka. Dengan begitu, kehendak feminis untuk memperjuangkan kesetaraan, secara sadar atau tidak, akan semakin mendapat perlawanan keras dari laki-laki, bahkan dari perempuan korban sendiri. Keadaan ini semakin menyudutkan perempuan. Sebaliknya, dengan memberikan gambaran potensi yang dimiliki perempuan menunjukkan bahwa perempuan siap memiliki tempat setara dengan lelaki yang memang menjadi haknya karena kesetaraan sosial bukan sesuatu yang dimohon dari orang lain.
12
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Leyla. 1992. Women anda Gender in Islam. Historical Roots of a Modern Debate. London: Yale University. Amin, Qasim. 1995. Sejarah Penindasan Perempuan. Menggugat “Islam Lakilaki”, Menggurat “Perempuan Baru”. Penerjemah: Syaiful Alam. Yogyakarta: IRCiSoD. Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Arkoun, Muhammed. 2001. Islam Kontemporer. Menuju Dialog Antar Agama. Terjemahan Ruslaini. Jakarta: Pustaka Pelajar. Armstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Terjemahan Zainul Am. Bandung: Mizan. Badran, Margot. 1993. “Independent Women. More than A Century of Feminism in Egypt”. Dalam buku Yudith. E. Tucker Arab Women. Old Boundaries, New Frontier. Bloomington and Indianapolis: Indian University Press. Bhasin, Kamla. 2002. Memahami Gender. Penerjemah: Moh. Zaki Hussein. Jakarta: TePLOK Press. Boulatta, Isa J. 2001. Dekonstruksi Tradisi. Terjemahan Imam Khoiri. Yogyakarta: LKIS. Duanta, Melani. 2002. “Pendekatan Feminis Terhadap Wacana”, dalam Analisis Wacana. Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Aminuddin dkk. Yogyakarta: Penerbit Kanal. Earhol, Robyn R. and Diane Price Herndl. 1997. Feminism. An Anthology of Literary Theory and Criticsm. New Jersey: Rutgers University Press. Fakih, Mansour, dkk. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ghalem, Ali. 1984. A Wife for My Son. Translation. G. Kazolias. Chicago: Banner Press. Guindi, Fadwa El. 2003. Jilbab. Antara Kesopanan, Kesalehan, dan Perlawanan. Penerjemah: Mujiburahman. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Kontestasi Pemikiran Feminis dan Ideologi Patriarki Analisis pada Tiga Teks Sastra Berbudaya Arab–Muslim dengan Perspektif Feminis Muslim (Free Hearty)
13
Humm, Maggie. 1986. Feminist Critism. Women as Contemporary Critics. The Harverster Press. Ilyas, Hamim, dkk. 2003. Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis “Misginis”. Ed. Mochamad Sodik. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. Megawangi, Ratna. 1998. Membiarkan Berbeda. Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Mernissi, Fatima. 1991. The Veil and Male Elite. Translation Mary Jo Lakeland. Addison Wesley Publishing. Mernissi, Fatima. 1992. Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan. Terjemahan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKIS. Mernissi, Fatima. 1993. The Forgotten Queen of Islam. Translation Mary Jo Lakeland. Minneapolis: Minnesota Press. Mernissi, Fatima. 1994. Women and Islam. An Historical and Theological Enquiry. Translation Mary Jo Lakeland, Oxford: Blackwell. Mernissi, Fatima. 1997. Beyond The Veil. Seks dan Kekuasaan. Terjemahan Masyhur Abadi. Surabaya: Al Fikr. Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Pop Culture. New York: Harverster Wheatsheaf. Umar, Nasaruddin. 1998. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender. Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender. Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina. Wolf, Naomi. 1999. Gegar Gender, Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21. Terjemahan Omi Intan Naomi. Ed. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Irwan Abdulah, Mansour Fakih. Yogayakarta: Pustaka Semesta Press. Yamani, Mai. 1999. Feminis dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
14
LINGUA Vol.10 No1, April 1—14