el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
KONTEKSTUALISASI FIQH AL-T}AHA>RAH UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN Miftakhul Arif
Pendahuluan Pelestarian lingkungan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini tidak lain dikarenakan segala kebutuhan manusia kesemuaannya berasal dari alam, baik yang ada di darat, laut ataupun udara. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika lahan tanah sudah tidak bisa lagi dibuat bercocok tanam, udara tidak lagi menyediakan oksigen segar, ikan tidak lagi bisa hidup di lautan, maka saat itulah kehidupan manusia ada diambang kehancuran karena kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti memelihara jiwa (h}ifdh al-nafs), keturunan (h}ifdh al-nasl) dan akal (h}ifdh al-‘aql) tidak lagi dapat terpenuhi. Pada akhirnya agama pun dengan sendirinya akan punah dan harta tiada lagi nilainya. Itulah kenapa pemeliharaan lingkungan oleh sebagian kalangan dapat disetarakan dengan menjaga maqa>s}id al-shari>’ah. Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan ialah dengan menjaga kebersihan. Kebersihan lingkungan merupakan salah satu tolak ukur kualitas hidup masyarakat. Masyarakat yang telah mementingkan kebersihan lingkungan dipandang sebagai masyarakat yang kualitas hidupnya lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang belum mementingkan kebersihan. Salah satu upaya menjaga kebersihan lahiriah --yang saat ini kerap diabaikan banyak orang-- ialah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Dalam konteks kita sebagai warga Indonesia, kesadaran membuang sampah pada tempatnya tergolong masih sangat rendah. Sampah berceceran hampir menjadi pemandangan biasa, baik di rumah, sekolah, kampus, pasar, taman kota serta di berbagai tempat dan fasilitas umum lainnya. Yang patut disayangkan dari itu semua, perilaku membuang sampah tidak pada tempatnya ini bukan hanya dilakukan oleh anak-anak kecil yang belum dewasa atau mereka yang berpendidikan rendah, bahkan seorang agamawan serta mereka yang mengenyam 1
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
pendidikan tinggi pun tidak sedikit yang turut melestarikan kebiasaan tidak terpuji ini. Suatu pemandangan yang cukup aneh, kebiasaan yang tidak baik ini tumbuh subur di negeri dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Tidak berlebihan jika Abd. A’la menyebut Islam di Indonesia ini sebagai agama tanpa penganut1, dalam arti Islam hanya sebagai atribut semata sementara ajaranajarannya banyak yang tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak
faktor
yang
menyebabkan
perilaku
membuang
sampah
sembarangan ini marak terjadi, di samping karena ketersediaan fasilitas (tempat sampah) yang kurang memadai, faktor utama dari itu semua adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep kebersihan dalam Islam, terutama dari sudut pandang ilmu fiqh. Dalam kitab-kitab fiqh klasik, konsep kebersihan dikenal dengan istilah t}aha>rah yang kerap diartikan dengan kesucian, meskipun secara leksikal memiliki arti bersih dari kotoran (al-naz}a>fah wa al-khulu>s} min al-
adna>s )2, baik kotoran inderawi seperti benda-benda najis, ataupun kotoran maknawi seperti sifat hasut, dengki dan lain sebagainya.3 T{aha>rah yang ada dalam kitab-kitab fiqh selama ini selalu berkutat tentang air, benda-benda najis, cara mensucikan najis serta cara bersuci dari hadath kecil dan besar. Di samping itu, kajian t{aha>rah juga lebih berorientasi pada persiapan ibadah ritual seperti
s}ala>t, t}awa>f dan lain sebagainya, bukan upaya penyelesaian problem sosial ataupun problem ekologi. Hal-hal yang terkait dengan kebersihan diri, pakaian, lingkungan ataupun lainnya dalam pengertian yang lebih luas hampir tidak mendapatkan porsi dalam kajian fiqh t}aha>rah. Di komunitas pesantren, inilah kemudian yang secara tidak disadari turut membentuk karakter santri dalam menyikapi kebersihan. Santri umumnya sangat berhati-hati dalam menjaga kesucian (t}aharah), tapi tidak untuk kebersihan (naz}a>fah).
Abd. A’la, Agama tanpa Penganut; Memudarnya Nilai-Nilai Moralitas dan Signifikansi Pengembangan Teologi Kritis, (Yogyakarta : Impulse, 2009). 2 Zakari>ya al-Ans}a>ri>y, Fath} al-Wahha>b bi Sharh} Manha>j al-T}ulla>b, Vol. 1, (Surabaya: al1
Hidayah, t.t.), 3. 3 Abu Bakr Ibn Muh}ammad Shat}a> al-Dimya>t}i, Hashiyah I’a>nat al-T}a>libi>n ‘ala H{ill Alfa>z} Fath} al-Mu’i>n, Vol. 1, (Beirut : Da>r al-Fikr, t.th. ), 27.
2
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Tantangan fiqh di era modern saat ini sudah sangat kompleks. Selain mengawal masalah ritual, fiqh juga harus mengawal isu-sisu sosial serta isu-isu kerusakan lingkungan yang --antara lain-- disebabkan oleh problem sampah dan limbah industri. Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut salah satu upaya yang perlu dilakukan ialah dengan merumuskan kembali konsep fiqh kebersihan, yakni dengan melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep t}aha>rah dan naz}a>fah yang tersebar, baik secara eksplisit ataupun implisit, dalam berbagai ayat alQur’an, hadith serta berbagai literarur keislaman lainnya. Upaya teorisasi kebersihan dalam bingkai fiqh ini sangat penting, terlebih melihat struktur masyarakat kita yang saat ini cenderung fiqh oriented. Bila dulu al-Ghaza>li berhasil merubah tatanan masyarakat dengan memasukkan konsep tasawuf ke dalam bingkai fiqh, maka dalam konteks kajian kebersihan bukan tidak mungkin bila kita memasukkan konsep kebersihan yang ada dalam kajian tafsir, hadith atau etika (akhlak) ke dalam kajian fiqh. Fiqh kebersihan nantinya akan menjadi ‘jembatan penghubung’ antara etika dan undang-undang (legal
formal), sehingga keberadaannya menjadi ‘panduan’ (secara etis) di satu sisi dan ‘peraturan’ (secara normatif) untuk keselamatan manusia dan juga kosmos pada sisi lain. Dikatakan sebagai ‘panduan etis’ karena fiqh mempunyai latar belakang etis, yakni mas}lah}ah dan mafsadah, dan ‘peraturan normatif’ karena fiqh juga mempunyai latar belakang juris, yakni berwujud adanya hukum takli>fi> berupa norma wa>jib, sunnah, muba>h}, makru>h dan h}ara>m.4 Definisi Fiqh al-T{aha>rah Secara terminologi kata fiqh sering diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari sumber-sumbernya yang bersifat terperinci.5 Adapun T}aha>rah atau t}uhr secara etimologi memiliki arti
Ahmad Syafii, “Fiqh Lingkungan: Revitalisasi Ushul al-Fiqh untuk Konservasi dan Restorasi Kosmos”, 5., Draft makalah pada acara Annual Conference of Islamic Studies Direktur Pendidikan Tinggi Islam Depag RI, Surakarta 2-5 Nopember 2009. 5 ‘Abdul Wahab Ka>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh, (t.tp. : Da>r al-Ras}i>d, 2008), 11. 4
3
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
bersih dari najis dan kotoran serta terbebas dari segala aib.6 Definisi serupa juga disampaikan para ulama fiqh seperti al-Dimya>t}i bahwa t}aha>ra>h secara etimologi ialah bersih dari kotoran h}issi>yah (inderawi) seperti benda-benda najis dan
ma’nawi>yah (non-inderawi) seperti sifat hasut, dengki dan lain sebagainya.7 T}aha>rah atau t}uhr merupakan lawan dari kata hayd} (menstruasi)}. Seorang wanita dikatakan suci (bersih) jika darah hayd} yang ia keluarkan telah terhenti.8 Pengertian ini sebagaimana tergambar dalam firman Allah: 9
Jika kamu junub (berhadas besar), maka bersucilah. 10
Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan.
Pengertian t}aha>ra>h dalam arti bersih dari kotoran h}issi>yah itu sebagaimana tergambar dalam firman Allah:
,
11
Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu, bersikanlah !
Sedangkan t}aha>ra>h dalam arti bersih dari kotoran ma’nawi>yah itu sebagaimana tergambar dalam firman Allah: 12
Ibra>hi>m Must}afa>, et.al., al-Mu’jam al-Wasi>t}, Vol. 2, (t.tp. : Da>r al-Da’wah, t.t.), 568. Lihat pula, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayyu>mi, al-Misba>h} al-Muni>r fi> G}ari>b alSharh} al-Kabi>r li al-Ra>fi’i, Vol. 2, (Beirut : al-Maktabah al-‘Ilmiyah, t.t.), 379. 7 Abu Bakr Ibn Muh}ammad Shat}a> al-Dimya>t}i, Hashiyah I’a>nat al-T}a>libi>n ‘ala H{ill Alfa>z} Fath} al-Mu’i>n, Vol. 1, (Beirut : Da>r al-Fikr, t.th. ), 27. 8 Al-Fayyu>mi, al-Misba>h} al-Muni>r, 379. Lihat pula, Al-Azhari, Tahdzi>b al-Lug{ha>h, Vol. 2, dalam CD. Progam Maktabah Shamelah, Edisi 2, 296. 9 Al-Qur’an, 5: 6. 10 Ibid,. 3: 15. 11 Ibid,. 74: 1-4. 6
4
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Istilah lain yang memiliki makna hampir serupa dengan t}aha>rah adalah
naz}a>fah. Kata naz}a>fah secara etimologi berarti bersih dari kotoran dan noda (inderawi/lahiriah).13 Dari sini dapat kita ketahui bahwa makna t}aha>rah lebih luas dari pada naz}a>fah. T}aha>ra>h mencakup makna kebersihan lahiriah dan batiniah sedangkan naz}a>fah hanya mencakup makna kebersihan lahiriah saja.14 Oleh sebab itu kata ‘bersih’ sering diungkapkan untuk menyatakan keadaan lahiriah suatu benda seperti air bersih, lingkungan bersih, tangan bersih dan lain sebagainya. Sedangkan kata suci untuk ungkapan sifat batiniah seperti jiwa suci. 15 Dengan demikian, seseorang dapat dikatakan bersih secara sempurna apabila ia bersih badannya dari segala kotoran yang bersifat lahiriah (jasmaniah) dan kotoran yang bersifat batiniah (rohaniah). Diantara kotoran yang bersifat lahiriah adalah kotoran yang dapat dilihat, dapat dirasa, dan dapat diketahui dengan panca indera. Sedangkan kotoran yang bersifat rohaniah adalah kotoran yang berkaitan dengan perbuatan kotor, perbuatan keji, rasa iri, rasa dendam, dan sifat-sifat kotor lainnya.16 Menurut Rahman Ritonga, dalam hukum Islam setidaknya ada tiga ungkapan yang menyatakan kebersihan, yaitu: 1. Naz}a>fah, yaitu meliputi bersih dari kotoran dan noda secara lahiriah, dengan alat pembersihnya benda yang bersih seperti air. 2. T}aha>rah, yaitu meliputi kebersihan lahiriah dan batiniah. 12
Ibid., 5: 41. Al-Fayyu>mi, al-Misba>h} al-Muni>r, 612. 14 Menurut ‘Ashma>wi naz}a>fah tidak hanya bisa diartikan bersih secara lahiriah, tapi juga bersih secara maknawiyah berdasarkan hadith, “inna Allah naz}i>f yuhibbu al-naz}a>fah” (sesungguhnya Allah bersih --dari segala sifat yang tidak layak bagi zat-Nya-- dan Allah mencintai yang bersih). Sulayma>n bin Muhammad al-Bujayrami, al-Bujayrami ‘ala al-Khati>b, Vol. 1, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), 93. 15 A. Rahman Ritonga, Fiqh Ibadah, (Jakarta : PT. Gaya Instrumen Pratama, 1997), 25. 16 Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam , (Bogor : Kencana, 2003), 119. 13
5
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
3. Tazkiyah, yaitu membersihkan diri dari sifat atau perbuatan tercela dan menumbuhkan atau memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat yang terpuji.
T}aha>rah dilakukan dengan mengikuti ketentuan shara’ yang secara otomatis membawa kepada kebersihan lahir dan batin. Orang yang bersih secara shara’ akan hidup dalam kondisi sehat. Karena antara kebersihan dan kesehatan sangat erat hubungannya. Dalam sebuah pepatah arab dikatakan bahwa “kebersihan pangkal kesehatan”.17 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fiqh al-
taha>rah adalah pengetahuan praktis tentang ketentuan kebersihan dan kesucian yang digali dari dalil-dalilnya (al-Qur’an dan hadi>th) yang bersifat terperinci.
Fiqh al-Taharah; dari Abad Klasik hingga Modern Generasi fuqa>ha>’ awal seperti Ma>lik bin Anas (w. 179 H) dan Muhammad bin Idris al-Sha>fii (w. 204 H) menggunakan istilah t}aha>rah sebagai simbol fiqh kebersihan yang di dalamnya terhimpun beberapa sub bab (subtansi fiqh) seperti jenis air, najis, wudu, mandi dan lain sebagainya. Hanya saja antara keduanya ada sedikit perbedaan dalam segi sistematika penyusunan karya yang di era setelahnya berkembang menjadi buku induk bagi masing-masing mazhab yang didirikan oleh keduanya. Ma>lik bin Anas memulai karyanya, al-Muwat}t}a’, dengan satu bab tentang waktu salat (wuqu>t al-s}ala>t) yang disusul oleh bab selanjutnya tentang t}aha>rah. Kebalikan dari Ma>lik, al-Sha>fii justeru mengawali karyanya, al-Umm, dengan kita>b al-t}aha>rah sebelum akhirnya menguraikan bab tentang salat.18 Setelah keduanya, istilah t}aha>rah mulai populer di kalangan fuqa>ha>’ generasi berikutnya hingga sekarang, di mana mereka menggunakan istilah Ritonga, Fiqh Ibadah, 26. Lihat; Muhammad bin Idris al-Sha>fii, al-Umm, Vol. 2, (Mans}urah : Da>r al-Wafa>’, 2001). Ma>lik bin Anas, al-Muwat}t}a’, Vol. 1, (t. tp. : Muassasah Zayid bin Sult}a>n, 2004). Awal dari pembahasan yang ada dalam kitab-kitab fiqh biasanya ditandai dengan lima istilah, yaitu kita>b,ba>b, fas}l,far’u dan masalah. Ba>b adalah sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu, dan terkadang sejumlah pengetahuan itu diungkapkan dengan menggunakan istilah kita>b atau fas}l. Jika ketiga istilah tersebut (kita>b,ba>b, fas}l) berkumpul/digunakan dalam satu kitab, maka kita>b berarti sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu yang di dalamnya mencakup beberapa ba>b dan fas}l. Sedangkan ba>b ialah sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu yang di dalamnya mencakup beberapa fas}l. Adapun fas}l ialah sebutan bagi sejumlah pengetahuan tertentu yang di dalamnya terhimpun beberapa masalah (far’u). Lihat; Sulayma>n bin Muhammad al-Bujayrami, alBujayrami ‘ala al-Khati>b, Vol. 1, (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), 91. 17 18
6
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
t}aha>rah sebagai simbol dari salah satu tema kajian fiqh yang ada pada saat itu. Dari segi penyusunan, sistematika al-Sha>fii dapat diterima secara luas di banding sistematika Ma>lik bin Anas. Karya-karya fiqh setelah al-Sha>fii hampir kesemuanya diawali dengan t}aha>rah. Hal ini cukup beralasan karena secara logika sistematika yang dibuat oleh al-Sha>fii lebih kuat. Ini sebagaimana tampak dalam pernyataan al-Buhu>ti, salah seorang ulama mazhab Hanbali, dalam karyanya Kashsha>f al-Qina>’, sebuah komentar (sharah{) dari kitab al-Iqna>’ karya Sharaf al-Di>n Abi al-Naja> al-Maqdisi al-H}ajja>wi. Al-Buhu>ti menulis: Penulis (kitab al-Iqna>’) mengawali tulisannya dengan kita>b al-t}aha>rah karena mengikuti (tradisi kepenulisan) para imam, seperti al-Sha>fii. Hal ini disebabkan rukun Islam yang paling kuat setelah mengucapkan dua kalimat shaha>dat ialah salat. Sedangkan suci adalah syarat sahnya salat dan tentunya syarat harus lebih didahulukan dari pada sesuatu yang disyaratkan (salat).19
Pada pernyataan di atas, tampak pengaruh al-Sha>fii yang demikian dominan sehingga al-Buhu>ti, meskipun secara keilmuan berafiliasi pada mazhab Hanbali, merasa perlu untuk menyebut nama al-Sha>fii secara khusus. Pernyataan serupa juga diungkap oleh al-Burni, al-Shirbi>ni dan al-Rawya>ni (502 H), bahwa salat adalah sebaik-baik ibadah setelah mengucapkan dua kalimat shaha>dat, sedangkan salat membutuhkan kesucian karena ia merupakan syarat sahnya ibadah salat. Syarat harus lebih didahulukan dari sesuatu yang disyaratkan (salat), oleh sebab itu pembahasan t}aha>rah lebih didahulukan dari pada salat dan juga bahasan-bahasan lainnya.20 Kesimpulan yang dapat diambil di sini ialah bahwasannya t}aha>rah adalah salah satu tema kajian fiqh yang masuk dalam korpus fiqh ibadah, sebab keberadaannya merupakan bagian eksternal dari beberapa aktifitas ritual ibadah, khususnya salat. Uraian di atas memperlihatkan bahwa t}aha>rah telah mengalami penyempitan makna, dari makna generiknya yang berarti bersih dari kotoran inderawi (h}issiyah) ataupun non-inderawi (ma’nawiyah), berubah menjadi sebuah Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhu>ti, Kashsha>f al-Qina>’ bi Sharh} Matn al-‘Iqna>’, Vol. 1, (Beirut : ‘A>lam al-Kutub, 1997), 21. 20 Muhammad ‘Ashi>q Ila>hi al-Burni, al-Tashi>l al-D}aru>ri li Masa>il al-Qudu>ri, Vol. 1, (Karaci : Maktabah al-Shaykh, 1411 H), 13. ‘Abd al-Wa>h}id bin Isma>’il al-Rawya>ni, Bah}r al-Mazhab fi> Furu>’ Maz}hab al-Ima>m al-Sha>fii, Vol. 1, (Beirut : Da>r Ih}ya>’ al-Turath al-‘Arabi, 2002), 45. 19
7
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
istilah operasional di kalangan fuqaha>, yang secara khusus mengarah pada pengertian sebuah kondisi atau usaha di mana seseorang atau sesuatu itu terbebas dari hadath dan najis yang bisa menghalangi keabsahan salat. Dengan pengertian ini, t}aharah tidak lagi menjadi sebuah simbol kebersihan secara utuh yang menyediakan beragam konsep kebersihan, mulai kebersihan anggota badan hingga kebersihan lingkungan, sebagaimana dapat dipahami dari makna etimologinya, tapi telah menyempit sebagai bagian dari fiqh ibadah (mah}d}ah) yang korpus kajiannya lebih terbatas pada persoalan bagaimana seseorang terbebas dari hadath ataupun najis. Dari sinilah mulai muncul dikotomi antara kesucian (t}aha>rah) dan kebersihan (naza>fah) yang tersimpul dalam ungkapan ‘suci belum tentu bersih dan bersih belum tentu suci’. Meskipun ungkapan itu tidak salah dan juga tidak sepenuhnya benar, dan meski keduanya juga diyakini sebagai bagian dari ajaran Islam, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa secara praksis kebersihan kerapkali diperlakukan tidak adil oleh sebagian masyarakat muslim bila dibandingkan dengan perlakuan mereka terhadap kesucian. Pengaruh di atas tidak hanya terbatas pada penyusunan kitab-kitab fiqh, tapi juga kitab-kitab hadith yang secara sistematika disusun berdasarkan bab-bab
fiqh seperti sunan Abi Da>wu>d, sunan al-Tirmidzi, sunan al-Nasa>’i, sunan Ibn Ma>jah dan kitab-kitab hadith serupa lainnya. Dikotomi antara t}aha>rah dan
naza>fah itu terlihat jelas, misalnya, pada sunan al-Tirmidzi, di mana t}aha>rah dan naza>fah ditempatkan secara terpisah. Dalam karyanya tersebut t}aha>rah merupakan salah satu bab yang di dalamnya terhimpun beberapa sub bab seperti
istinja>’, wudu, mandi dan lain sebagainya. Adapun naza>fah, ia merupakan sub bab tersendiri dari kajian tentang adab (etika islami). Itupun dikaji secara sepintas dengan mengetengahkan satu hadith saja.21 Agak berberda dengan fuqa>ha lainnya, al-G{aza>li (450-505 H) dalam karyanya Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n mencoba menyatukan tiga disiplin keilmuan (akidah, shariah dan tasawuf/akhlak) yang lambat laun semakin berada dalam
21 Lihat, Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r li al-Tirmidzi, Vol. 1, (t. tp. : Da>r al-G}arb al-Isla>mi, 1996)
8
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
posisi berhadap-hadapan. Dalam masalah t}aha>rah, ia tidak hanya berhenti pada aspek luarnya (fiqh), tapi juga mengkombinasikannya dengan aspek batiniahnya sehingga menghasilkan rumusan fiqh t}aha>rah yang berbeda dengan rumusan fiqh
t}aha>rah pada masanya.22 Dengan usahanya ini, al-G{aza>li telah memberikan nuansa baru dalam perkembangan fiqh, seseorang tidak hanya terjebak pada formalitas ibadah, tapi beribadah yang benar-benar dilandasi kesadaran mendalam, yakni kesadaran dalam bertuhan, kesadaran dalam menjalankan aturan Tuhan dan kesadaran dalam memahami makna (hakikat) di balik perintah Tuhan. Pembatasan t}aha>rah sebagai bagian dari ibadah an sich dapat dimaklumi dengan melihat aspek historisitas fiqh itu sendiri. Menurut Jama>l al-Banna>, di awal-awal abad pertama hijriah kajian fiqh ibadah mendapat porsi yang sangat besar dari kalangan fuqaha>’. Pembahasan tentang salat misalnya, dimulai dari tata cara bersuci, mulai dari wud{u, mandi hingga tayammum. Dari sini kemudian langsung masuk ke pembahasan salat dan kelebihannya. Lalu dilanjutkan dengan pembahasan orang yang meninggalkan salat, waktu salat, waktu yang dilarang melakukan salat dan begitu seterusnya. Hampir tidak ada celah yang tidak dibahas, dan di setiap pembahasan pasti ada perdebatan. Tidak dapat dipungkiri, salat dan aktifitas ibadah-ibadah ritual (mah}d}ah) lainnya adalah sangat penting, namun tanpa disadari dampak dari itu semua ialah masyarakat muslim cenderung menilai tingkat kesalihan diri itu terletak pada intensitas ibadah ritual yang dilakukan seperti salat, puasa dan haji tanpa harus mempedulikan apakah dia jujur, berbuat baik, berani dan lain sebagainya.23 Hal ini pula barangkali yang mempengaruhi sikap sebagian muslim dewasa ini untuk sangat berhati-hati dalam menjaga kesucian diri, pakaian dan tempat yang digunakan untuk salat, namun di lain pihak ia kurang begitu peduli terhadap kebersihan lingkungan
Muhammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi, Mau’iz}at al-Mu’mini>n min Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, (Beirut : Da>r al-Nafa>is, 1981), 55. 23 Jama>l al-Banna>, Manifesto Fiqih Baru 1; Memahami Diskursus al-Qur’an, terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrawi, (Jakarta : Erlangga, 2008), 61-63. 22
9
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
meskipun adagium al-naza>fat min al-i>ma>n (bersih adalah sebagian dari iman) telah melekat dalam benak mereka. Salah satu faktor maraknya fiqh ibadah pada awal-awal abad hijriah, menurut al-Banna>, ialah dikarenakan terjadinya instabilitas politik. Pergeseran
khila>fah ke pemerintah otoriter (dinasti) membuat ulama berada dalam posisi yang dilematis dan membingungkan. Seharusnya mereka melawan kejahatan ini. Akan tetapi otoritarianisme pemerintah telah membentengi diri mereka dengan cukup kuat. Sekuat apapun usaha yang dilakukan, para ulama ini harus berpikir dua kali untuk melawan pemerintah. Karena pemerintah didukung kuat oleh militer di samping juga beberapa faktor lainnya. Dari sini kemudian para ulama
fiqh memilih bersikap pasif untuk tidak semakin memperburuk keadaan.24 Untuk merubah kondisi yang demikian itu, para ulama menempuh jalur pendidikan, salah satunya dengan menggalakkan kajian fiqh ibadah. Ibadah merupakan salah satu sarana untuk memperbaiki jiwa serta mereformasi nurani sehingga kehidupan seseorang tidak dikuasai oleh nafsu ketamakan sebagaimana yang menimpa sebagian kalangan politikus waktu itu. Faktor lain penyebab menggeliatnya kajian fiqh ibadah ini ialah karena ibadah merupakan karakter khusus agama yang dapat membedakannya dari semua aliran yang ada. Selain itu, karena ibadah dalam Islam adalah kewajiban yang dipraktikkan setiap hari. Terlebih lagi semakin banyaknya kalangan nonmuslim, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani serta mawa>li (Persia dan Romawi) yang masuk Islam, yang tentunya sedikit banyak masih mewarisi tradisi agama sebelumnya yang mereka anut, maka di sini fuqaha>’ memiliki kepentingan untuk menformulasikan fiqh ibadah untuk membedakannya dengan ibadah-ibadah yang ada dalam agama-agama lain.25 Jika dalam tradisi Kristen misalnya, kebersihan lahiriah bukanlah sesuatu yang pokok atau bahkan tidak bernilai sama sekali26, 24
Ibid., 50-51. Ibid., 41-dst. 26 Term kesucian (t}aha>rah) dalam tradisi Kristen hanya ditujukan pada kesucian rohaniah, yakni kesucian hati, pikiran dan anggota badan dari najis (dosa) yang bisa mengotori rohaniah manusia. Kesucian dalam tradisi Kristen bukanlah kesucian kedua tangan, kedua kaki dan tubuh (dari kotoran inderawi). Yang demikian itu tidak disebut sebagai kesucian ( t}aha>rah), tapi 25
10
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
maka lain halnya dengan Islam, baik kebersihan lahiriah ataupun batiniah keduanya
adalah
sama-sama
penting.
Situasi
inilah
barangkali
yang
mempersempit cakupan t}aha>rah, sehingga cenderung berkutat pada kebersihankebersihan yang bersifat privat (diri, tempat dan pakaian yang digunakan untuk menjalankan ibadah). Minimnya perhatian fuqaha>’ terhadap kajian fiqh kebersihan lingkungan bisa jadi juga disebabkan kondisi lingkungan waktu itu belum mengalami problem ekologis serius sebagaimana yang terjadi saat ini. Seandainya saat itu telah terjadi problem ekologis serius niscaya para fuqaha>’ akan mengulasnya dalam karya-karya yang mereka tulis. Sampah yang ada waktu itu tidak seperti sampah pada saat ini yang kebanyakan adalah jenis sampah non-organik yang tidak bisa musnah dengan sendirinya. Zakariya al-Ans}a>ri (825-925 H) dalam salah satu karyanya menulis :
Seandainya seseorang membuang sampah, berupa kulit semangka atau yang semisal dengannya atau berupa benda-benda rongsokan lainnya, di lahan miliknya atau di lahan tidak bertuan, atau ketika ia membuang sampah di tempat sampah yang disediakan, maka tiada kewajiban baginya untuk mengganti sesuatu yang rusak darinya karena berlakunya ‘urf (kebiasaan masyarakat) yang membolehkan hal tersebut ketika hal demikian itu dibutuhkan.27
Hal serupa juga ditulis oleh al-Nawawi (w. 676 H) :
kebersihan (naz}a>fah). Kebersihan tersebut tidak akan bisa naik pada level kesucian, karena term kesucian itu merupakan term rohaniah. Lihat, http://www.egcopts.com/vb/showthread.php?t=15830 (7 Mei 2013). 27 Zakariya al-Ans}a>ri, Asna> al-Mat}a>lib fi> Sharh} Rawd} al-T}{a>lib, Vol. 4, (Beirut : Da>r alKutub al-‘Ilmiyah, 2000), 73.
11
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
28
Yang kelima : sampah rumah, kulit semangka, kulit delima serta kulit kacang, ketika seseorang membuangnya di (lahan) miliknya, atau di tanah tidak bertuan, kemudian seseorang terpeleset karenanya dan binasa (meninggal), atau suatu harta benda rusak karenanya, maka tiada kewajiban mengganti. Namun, jika seseorang membuangnya di jalan dan menyebabkan rusaknya suatu barang (harta), maka wajib untuk menggantinya menurut pendapat yang sahih. Pendapat ini dipedomani oleh mayoritas ulama.
Apa yang ditulis oleh seseorang merupakan refleksi dari situasi dan kondisi yang mengitarinya. Pernyataan Zakariya al-Ans}a>ri yang hidup di penghujung abad ke-8 hingga awal abad ke-9 H, dan al-Nawawi yang wafat lebih awal dari al-Ans}a>ri (abad ke-7 H), di atas menyiratkan bahwa sampah pada waktu itu dan juga masa-masa sebelumnya adalah sampah-sampah organik yang bisa musnah dengan sendirinya seperti kulit semangka, delima dan kacang dalam contoh di atas. Sampah non-organik (barang-barang rongsokan) juga ada, tapi mungkin belum menjadi problem serius yang sampai pada taraf membahayakan manusia dan lingkungan. Dengan melihat kondisi yang demikian ini, maka sangat wajar bila para fuqaha>’ cenderung membatasi fiqh t}aha>rah pada kebersihan yang bersifat privat. Sampah baru menjadi masalah serius pada abad ke-19 M seiring dengan dengan terjadinya Revolusi Industri di Inggris. Era industrialisasi ini menimbulkan masalah baru pada masyarakat Inggris berupa munculnya daerah pemukiman kumuh, akumulasi buangan dan kotoran manusia, masalah sosial dan kesehatan, yang terutama terjadi di kota-kota besar. Pada tahun 1832, terjadi
28 Yahya bin Sharaf al-Nawawi, Raud}a>t al-T}a>libi>n, Vol. 7, (Saudi Arabia : Da>r ‘A>lam alKutub, 2003), 117.
12
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
wabah penyakit kolera yang dahsyat di Inggris dan membawa banyak korban jiwa manusia. John Snow (1854) melakukan penelitian epidemiologi terhadap wabah kolera yang terjadi di Broad Street, London, dan membuktikan bahwa penularan penyakit kolera yang terjadi di Inggris pada saat itu disebabkan oleh pencemaran vibrio cholerae pada sumber air bersih yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sejak saat itu, konsep pemikiran mengenai faktor-faktor lingkungan hidup eksternal manusia yang mempunyai pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap masalah kesehatan terus menerus dipelajari dan berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut sebagai Ilmu Kesehatan Lingkungan (Environmental Health).29 Secara teologis, Islam diyakini sebagai ajaran serba lengkap, tidak ada suatu persoalan pun yang terjadi yang tidak direspon oleh ajaran Islam. Dengan demikian, hukum fiqh pun karena diturunkan dari ajaran normatif yang lengkap tadi, juga bersifat meliputi dan lengkap. Akan tetapi, keyakinan ini tampaknya masih verbalistis, karena dalam kenyataannya masih banyak masalah-masalah kontemporer yang belum ditegaskan dalam hukum fiqh, salah satunya lingkungan hidup yang dalam konteks ini kebersihan lingkungan termasuk diantaranya. Namun barangkali, karena problem kebersihan lingkungan baru dirasakan pada abad ke 20 ini, maka fiqh kebersihan lingkungan belum dirumuskan secara spesifik oleh para ulama terdahulu. Oleh karena itu kelengkapan hukum Islam harus dipahami secara kontekstual sesuai watak dan bawaannya. Kelengkapan hukum
Islam
terletak
pada
ketidaklengkapannya
pada
satu
sisi
dan
keterbukaannya untuk menghadapi persoalan baru untuk dirumuskan hukumnya pada sisi lain.30 Pada satu dekade terakhir dari abad 20, seiring dengan terjadinya krisis ekologi dan menggeliatnya kajian fiqh lingkungan (fiqh al-bi>ah), t}aha>rah mulai dikembalikan pada cakupan makna semula yang lebih luas, bukan hanya sebatas 29
http://www.artikellingkunganhidup.com/sejarah-dan-latar-belakang-kesehatanlingkungan.htm (10 Juni 2013) 30 Sukarni, Fikih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan, (Jakarta : Kementrian Agama RI, 2011), 64.
13
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
rangkaian aktifitas menghilangkan kotoran yang terlihat (najis) atapun yang tidak terlihat (hadath) dengan menggunakan instrumen air atau tanah bersih, tapi lebih pada tanggung jawab manusia untuk menjaga kebersihan lingkungan yang kian hari kian rusak oleh tangan-tangan manusia. Namun karena term t}aha>rah yang telah mapan, maka term lainnya yang sering digunakan untuk menunjuk pada aktifitas menjaga kebersihan dalam arti yang lebih luas ialah naz}a>fah. Meski demikian ahli fiqh modern selalu mempertautkan antara t}aha>rah dan
naz}a>fah karena basis nilai fiqh naz}a>fah itu sendiri diambil melalui ekstensifikasi nilai-nilai etis yang tercakup dalam fiqh t}aha>rah sebagaimana yang terdapat dalam berbagai kitab-kitab fiqh. Diantara tulisan yang menyoroti masalah ini ialah Mustafa Abu Sway dalam artikelnya yang berjudul Toward an Islamic
Jurisprudense of The Environment; Fiqh al-Bi’ah fil Islam. Menurut Abu Sway, melestarikan lingkungan, salah satunya dengan menjaga kebersihan, adalah bagian dari tugas manusia sebagai khali>fah di bumi. Selain itu, Yusuf al-Qard}awi dalam karyanya Ri’a>yat al-Bi>ah fi> Shari>’at al-Isla>m memasukkan pemeliharaan lingkungan sebagai bagian dari upaya pemeliharaan panca jiwa shari>’ah (memelihara agama, jiwa, keturunan, harta dan akal).31 Karyanya ini tidaklah dimaksudkan untuk mengupas fiqh kebersihan secara khusus, meski demikian keberadaannya cukup memberikan inspirasi dan pijakan bagi pengembangan kajian fiqh ramah lingkungan (ekologi) berikutnya, melalui eco-us}u>l al-fiqh yang digagasnya.
Eco-thinkers lainnya adalah Muhammad al-Husayni al-Shayra>zi dengan karyanya Kitab al-Naza>fah (2000), dan Abdullah Qa>sim al-Washli dengan tulisannya yang berjudul al-Tawji>h al-Tashri>’i al-Isla>mi>y fi< Naza>fat al-Bi>ah wa
S}ih}h}atiha (2008), yang dimuat dalam jurnal Ja>miah Umm al-Qura> wa al-Dira>sa>t al-Isla>mi>yah. Berbeda dengan al-Qard}a>wi, kedua tulisan terakhir ini sejak awal secara spesifik memang dimaksudkan untuk menelusuri nilai-nilai etis yang terselip pada teks-teks agama demi memperoleh rumusan yang lebih konkret
31 Mustafa Abu Sway, “Toward an Islamic Jurisprudense of The Environment; Fiqh alBi’ah fil Islam”, dalam: http://homepage.iol.ie/afifi/article/htm. (4 Februari 2012).
14
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
tentang bagaimana Islam melihat doktrin kebersihan. Meski tidak ada penjelasan spesifik mengenai perbedaan term t}aha>rah dan naz}a>fah, namun nampaknya penulis modern lebih suka menggunakan term naz}a>fah, seperti dua judul tulisan di atas, untuk memotret konsep kebersihan Islam yang belum sempat tercover sepenuhnya dalam kajian fiqh t}aha>rah.
Fiqh al-Taharah; Proteksi Kebersihan Lingkungan Sudah saatnya fiqh al-t}aha>rah yang selama ini lebih terfokuskan pada kebersihan yang lebih bercorak ritual-individualis diperluas cakupannya hingga menyentuh pada kebersihan lingkungan, tidak lagi berkutat pada tata cara bersuci dari hadath ataupun najis. Sebab, keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup
merupakan
kunci
kesejahteraan.
Stabilitas
hidup
memerlukan
keseimbangan dan kelestarian di segala bidang, baik yang bersifat kebendaan maupun yang berkaitan dengan jiwa, akal, emosi, nafsu dan perasaan manusia. Pembinaan lingkungan hidup dan pelestariannya menjadi amat penting artinya untuk kepentingan mana aspek-aspeknya tidak dapat terlepas dari air, hewan, tumbuh-tumbuhan
dan
benda-benda
lain
sebagai
unsur
pendukung.
Keseimbangan dan keserasian antara semua unsur tersebut sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sikap rasional manusia yang berorientasi pada kemaslahatan makhluk.32 Jagat raya dan kekayaan alam seperti hutan, sungai, tanah, batu-batuan, gunung, bukit dan tumbuh-tumbuhan adalah tanda kekuasaan Allah yang harus dipelihara dan dikembangkan manusia. Di sinilah fungsi manusia sebagai
khali>fah fi al-ard} yang mengemban tugas memakmurkan bumi ini.33 Allah SWT berfirman :
34
MA. Sa Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta : LKiS, 1994), 369-370. Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sa Mahfudh; antara Konsep dan Implementasi , (Surabaya : Kista, 2007), 113. 34 Al-Qur’an, 2: 29. 32 33
15
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
,
35
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran, dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya.
Pada ayat di atas Allah telah menerangkan bahwa bumi dan seisinya Allah ciptakan demi kesejahteraan hidup manusia. Itu semua merupakan karunia yang Allah berikan kepada manusia. Atas karunia tersebut, Allah tidak menuntut apa-apa dari manusia selain mensyukuri nikmat tersebut dengan menggunakannya untuk taat pada-Nya serta menjaga dan melestarikan bumi dan seisinya itu dari segala tindakan destruktif. Allah berfirman:
36
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Mengambil manfaat dari segala apa yang ada di bumi sembari tetap menjaga dan melestarikannya, itulah keseimbangan. Jika manusia hanya pandai mengeksploitasi, tidak pandai melestarikan, maka bencana suatu saat pasti akan datang melanda. Diantara cara melestarikan bumi dan seisinya tersebut ialah dengan menjaga kebersihan lingkungan, baik tanah (daratan), 35 36
Ibid., 15: 19-20. Ibid., 7: 56.
16
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
air, maupun udara. Tanah, air dan udara merupakan tiga komponen utama yang sangat menentukan kelangsungan hidup manusia. Jika satu saja dari tiga komponen tersebut ada yang rusak, maka kelangsungan hidup manusia bisa terancam.37 a. Kebersihan Tanah (Daratan) Tanah atau daratan merupakan unsur penting bagi kehidupan manusia, ia merupakan tempat bercocok tanam, membangun tempat tinggal, serta berbagai fasilitas umum lainnya seperti tempat ibadah (masjid), jalan, pasar dan taman. Bahkan tanah juga merupakan salah satu instrumen bersuci, baik dari hadath ataupun dari najis. Berkenaan dengan fungsi tanah ini Allah berfirman:
38
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'A
Pencemaran tanah, baik oleh sampah, limbah industri, atau najis semisal air kencing bukan hanya dapat menimbulkan penyakit, tapi juga menyebabkan bau tak sedap, pemandangan tidak indah, bahkan terkadang 37 Tanggung jawab manusia terhadap pelestarian lingkungan setidaknya terlihat dari tiga aspek yang Allah berikan pada manusia, yaitu ki>fah (mandataris Tuhan di bumi), taskhi>r (pengusaan) dan ‘ima>rah (pemakmuran). Sebagai ki>fah, manusia dibekali sejumlah pengetahuan oleh Allah yang dengannya ia menjadi lebih mulia dari malaikat dan memiliki kapabilitas dalam mengelola bumi. Untuk menjalankan tugas tersebut, Allah menundukkan ( taskhi>r) segala apa yang ada di bumi untuk dimanfaatkan manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai kifa>h. Tugas manusia tersebut ialah memakmurkan (‘ima>rah) dunia dalam bingkai ajaran yang telah ditetapkan Allah, salah satunya ialah dengan melesatarikan alam (lingkungan), karena alam itu merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah. Merusak alam, dengan demikian sama nya dengan merusak tanda-tanda kekuasaan Allah. Selengkapnya baca: Mustafa Abu Sway, “Toward an Islamic Jurisprudense of The Environment; Fiqh al-Bi’ah fil Islam”, dalam: http://homepage.iol.ie/afifi/article/htm. (4 Februari 2012). 38 Ibid., 7: 74.
17
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
juga bisa merusak kesuburan tanah. Kondisi demikian ini tentu tidak menguntungkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Rasulullah
s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda :
39
Dari Ubadah bin S}a>mit bahwasannya Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam memutuskan bahwa seseorang tidak boleh membahayakan dirinya sendiri dan juga tidak boleh membahayakan orang lain.
Salah satu fungsi tanah sebagaimana telah dijelaskan di atas ialah sebagai tempat mendirikan bangunan seperti tempat tinggal, tempat ibadah serta fasilitas-fasilitas umum lainnya. Rasulullah menekankan umatnya untuk selalu menjaga kebersihan tempat-tempat tersebut agar manusia terhindar dari penyakit serta merasa nyaman dalam menjalankan aktifitas keseharian. Cukup banyak riwayat yang menyatakan hal di atas, antara lain :
40
Sesungguhnya Allah itu baik (Maha Suci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan zat-Nya) dan mencintai yang baik (halal), bersih (dari sifatsifat kekurangan dan yang tidak layak bagi zat-Nya) dan mencintai yang bersih, pemurah dan mencintai yang pemurah (dermawan), maka bersihkanlah halaman-halaman rumah kalian dan janganlah menyerupai orang-orang Yahudi. Di samping sebagai tempat tinggal, tanah juga berfungsi sebagai jalan (sarana lalu lintas) serta tempat pendirian fasilitas umum seperti sekolah,
S}afa>’ al-D}awwi Ahmad al-‘Adawi, Ihda>’ al-Di>ba>jah bi Sharh} Sunan Ibn Majah , Vol. 3, (t. tp. : Da>r al-Yaqi>n, t.t.), 292. 40 Majd al-Di>n Ibn Muh}ammad al-Jazari Ibn al-Athi>r, Ja>mi’ al-Us}u>l fi> Aha>dith al-Rasu>l, Vol. 4, (t.t. : Maktabah Da>r al-Baya>n, 1970), 766. Lihat pula, Abu al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Ah{mad Ibn Rajab al-H{anbali, Ja>mi’ al-‘Ulu>m wa al-H{ikam, (Beirut : Da>r al-Ma’rifah, 1408 H), 99. 39
18
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
pasar, stasiun, taman dan lain sebagainya. Kesemuaannya itu merupakan tempat yang ramai dikunjungi manusia, terutama jalan (jalur transportasi). Islam sangat menaruh perhatian terhadap keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan. Menyingkirkan batu, duri, atau apapun yang bisa mengancam keselamatan jiwa pengguna jalan merupakan salah satu tanda kesempurnaan iman seseorang, yang karenanya pula seseorang akan memperoleh limpahan rahmat serta ampunan dari Tuhan. Rasulullah s}allalla>h
‘alayh wa sallam bersabda :
41
Dari Abi Hurayrah bahwasannya Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “seseorang yang berjalan melintasi sebuah jalan, lalu ia menemukan potongan ranting yang berduri, kemudian ia mau menyingkirkannya dari jalan, maka Allah memberikan rahmat dan ampunan atasnya”.
42
Dari Abu Barzah, ia berkata, “wahai Nabi Allah! ajarilah saya sesuatu yang dapat bermanfaat bagiku. Rasul pun menjawab, “hilangkanlah sesuatu yang mengganggu dari jalan yang biasa dilalui umat Islam”.
43
Dari Abu Hurayrah, Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “iman itu memiliki 70 atau 60 lebih cabang. Cabang keimanan yang paling utama Muhammad bin Isma>il al-Bukha>ri, S{ah}i>h al-Bukha>ri, Vol. 1, (Beirut : Da>r Ibn Kathi>r, 1987), 233. 42 Abu al-Husayn Muslim bin Hajjaj al-Naysa>buri , S}ah}i>h Muslim, Vol. 8, (Beirut : Dar alJi>l, t.t.), 34. 43 Ibid., 46. 41
19
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
adalah ucapan la> ila>ha illa Allah (tidak ada Tuhan yang berhak di sembah selain Allah), dan cabang keimanan yang terendah ialah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan. Adapun malu adalah salah satu cabang dari keimanan”. Kata ‘al-adza>’ pada hadith di atas mempunyai arti segala sesuatu yang dapat menyakiti (mengganggu) orang yang melintasi jalan seperti batu, duri, tulang, najis, kotoran dan lain sebagainya.44 Sebagaimana Allah memberikan imbalan pahala bagi mereka yang berusaha menyingkirkan apapun yang dapat mengganggu perjalanan umat Islam, Allah juga memberikan ancaman laknat bagi mereka yang berusaha mengganggu umat Islam di jalan-jalan yang mereka lalui. Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda :
45
Dari H}udzaifah bin Usayd bahwasannya Nabi s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “barangsiapa yang menyakiti umat Islam di jalan-jalan yang mereka lalui, maka adalah keharusan baginya memperoleh laknat umat Islam”. Selain jalan umum, Rasul juga sangat melarang umat Islam mengotori tempat-tempat lainnya yang sekiranya sering dikunjungi dan dimanfaatkan manusia untuk berbagai keperluan hidup sehari-hari, mulai dari jalan umum, tempat berteduh (istirahat), tempat bercakap-cakap, hingga sumber air. Hal ini sebagaimana dapat dipahami dari sabda Nabi berikut ini :
46
Dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “takutlah engkau pada tiga tempat terlaknat, yaitu buang hajat di tempat mengalirnya air, di tengah jalan serta di tempat berteduh”. Yu>suf al-Qard}awi, Ri’ayat al-Bi>’ah fi> Shari>’at al-Isla<>m, (t.tp. : Da>r al-Shuru>q, 2001), 77. Abu al-Qa>sim al-T}abra>ni, al-Mu’jam al-Kabi>r, Vol. 3, (Musil : Maktabat al-‘Ulu>m wa alH}ikam, 1983), 179. 46 Abu al-Qa>sim al-T}abra>ni, al-Mu’jam al-Kabi>r, Vol. 20, (Musil : Maktabat al-‘Ulu>m wa al-H}ikam, 1983), 123. 44 45
20
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
b. Kebersihan Air Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk, bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi hewan serta tumbuh-tumbuhan. Bahkan cukup banyak teks al-Qur’an ataupun hadith yang menjelaskan bahwa air merupakan makhluk pertama yang Allah ciptakan, dan dari air itulah kemudian Allah menciptakan makhluk-makhluk lainnya. Berkaitan dengan hal ini, Allah berfirman:
47
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? 48
Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam juga bersabda : 49
Allah ada (pada azal 50), dan tidak ada sesuatu selain Allah (pada azal), dan ‘arsh Allah di atas air. Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni dalam menafsirkan hadith di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan air terlebih dahulu, lalu setelah itu menciptakan ‘arsh yang ‘arsh itu sendiri berada di atas air. Secara berurutan makhluk yang Allah ciptakan pertama kali ialah air, ‘arsh, al-qalam, dan setelah itu langit bumi
47
Al-Qur’an, 21: 30. Ibid., 6: 99. 49 Al-Bukha>ri, S}ah}i>h} al-Bukhari, Vol. 3, 1166. 50 Azal ialah keberadaan sebelum adanya sesuatu selain Allah. 48
21
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
beserta isinya.51 Begitu pentingnya air bagi kehidupan makhluk, maka menjaga air sama halnya dengan menjaga kelangsungan makhluk dari kepunahan. Oleh sebab itu, sikap boros (berlebih-lebihan) dalam menggunakan air, baik untuk minum, bersuci, atau lainnya adalah sesuatu yang terlarang dalam Islam. Allah berfirman: 52
Dan makan serta minumlah, tapi janganlah engkau berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Air, sebagaimana penjelasan ayat di atas, adalah salah satu anugerah yang Allah berikan pada manusia. Boleh dimanfaatkan, tapi tidak boleh dirusak. Tindakan apapun yang berpotensi merusak air adalah terlarang, termasuk dengan mencemarinya dengan sampah, lebih-lebih dengan zat kimiawi yang berbahaya. Indikator bahwa air itu tercemar bisa dilihat dari segi bau, rasa dan warna. Salah satu sabda Nabi yang menunjukkan larangan mencemari air itu antara lain : 53
Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang tenang (tidak mengalir), lalu mandi darinya. Air yang menggenang tersebut bisa jadi adalah air yang ada di penampungan (kolam, bak mandi), telaga atau tempat-tempat lainnya yang pada umumnya dikonsumsi manusia untuk minum atau keperluan lainnya. Larangan ini disebabkan bukan hanya karena air kencing itu bisa membuat najis air yang dikencingi, tapi juga bisa mencemarinya sehingga menjadi sumber penyakit. Di
Ah}mad bin Ali bin H}ajar al-‘Asqa>lani, Fath} al-Ba>ri, Vol. 6, (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1379 H), 289. 52 Al-Qur’an, 7: 31. 53 Al-Naysa>buri, S}ah}i>h{ Muslim, 162. 51
22
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
samping itu, air yang terkena kencing juga akan membuat orang lain merasa jijik dan tidak nyaman untuk menggunakannya.54 Oleh sebab itu Rasul bersabda :
55
Dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “takutlah engkau pada tiga tempat terlaknat, yaitu buang hajat di tempat mengalirnya air, di tengah jalan serta di tempat berteduh”. c. Kebersihan Udara Sebagaimana air, udara merupakan kebutuhan penting bagi manusia dan juga makhluk-makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Udara yang dibutuhkan manusia adalah udara yang bersih dan segar. Udara yang tercemar bukan hanya dapat membahayakan kesehatan manusia, tapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta dapat mengganggu estetika dan kenyamanan. Di antara dampak pencemaran udara bagi kesehatan ialah timbulnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atas seperti asma, bronkitis dan gangguan pernapasan lainnya.56 Pelestarian udara dari polusi yang dapat mengganggu dan membahayakan dapat dideduksikan dari sejumlah hadith Nabi seperti anjuran memakai wangiwangian. Wangi-wangian, dalam batas jumlah tertentu, dapat menjadikan udara terasa sejuk dan nyaman dan yang demikian itu sangat membantu kinerja otak, jantung serta anggota tubuh bagian dalam yang lain.57 Rasulullah bersabda:
58
54
Abdullah Qa>sim al-Washli, “al-Tawji>h al-Tashri>’i al-Isla>mi>y fi< Naz}a>fat al-Bi>ah wa S}ih}h}atiha”, dalam Majalah Ja>miah Umm al-Qura> wa al-Dira>sa>t al-Isla>mi>yah, No. 44, Dzu alQa’dah 1429 H., 388-389. 55 al-T}abra>ni, al-Mu’jam al-Kabi>r, Vol. 20, 123. 56 http://id.m.wikipedia.org/wiki/pencemaran_udara. (12 April 2013) 57 Al-Washli, “al-Tawji>h al-Tashri>’i al-Isla>mi>y, 403. 58 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 1, (Kairo : Muassasah Qurt}u>bah, t.t.) 231.
23
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Dari Anas, sesungguhnya Nabi s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “perkara dunia yang aku cintai yaitu perempuan, wangi-wangian dan dijadikannya ketentraman hatiku pada s}ala>t”. Kebalikan dari wangi-wangian, Rasul tidak suka ketika terdapat salah seorang sahabatnya mengkonsumsi makanan-makanan yang menyisakan bau tidak sedap di mulut seperti bawang, lalu ia masuk ke masjid sebelum membersihkan bau tidak sedap tersebut. Yang demikian itu karena dikhawatirkan bau tidak sedap itu akan mengganggu kekhusukan orang lain, atau membuat orang lain merasa tidak nyaman berkomunikasi secara langsung dengannya. Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda :
59
Sesungguhnya Jabir bin Abdullah berkata bahwasannya Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah ia menjauhi kami, atau masjid kami. Hendaklah ia berdiam diri saja di rumahnya.
60
Dari Ibn ‘Umar bahwasannya Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam bersabda, “barangsiapa makan sayuran ini (bawang), maka janganlah mendekati masjid kami sampai baunya hilang. Karena khawatir menyebarnya bau tak sedap (busuk) pula, yang itu dapat mengganggu kesehatan dan aktivitas manusia, maka Islam mengajarkan kepada umat Islam supaya mengubur orang yang meninggal dunia. Allah berfirman: 61
Al-Bukha>ri, Sahi>h al-Bukha>ri, Vol. 1, 292. Al-Naysa>buri, S}ah}i>h} Muslim, Vol. 2, 79. 61 Al-Qur’an, 77: 25-26. 59 60
24
,
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati. Menurut al-T}aba>ri, ayat di atas mengandung pengertian bahwa bumi adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang hidup dan orang-orang yang meninggal di antara kalian. Mereka yang hidup tinggal dan berkumpul di rumah-rumah yang ada dipermukaan bumi, sedangkan mereka yang sudah meninggal dunia tinggal dan berkumpul di perut bumi, yakni dengan dikuburnya mereka di perut bumi.62 Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam juga bersabda :
63
.
Hisha>m bin ‘Amir berkata, telah datang kaum Ans}a>r pada Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam di hari perang Uhud, lalu mereka berkata, “kami telah ditimpa kekalahan, apakah yang engkau perintahkan pada kami ? Rasul menjawab, “galilah lubang, perluaslah dan letakkan dua atau tiga orang dalam kubur”. Pada riwayat lain, “dan perdalamlah”. Dengan dikuburnya mayat manusia, maka demikian itu tidak hanya mampu menyimpan bau busuk yang timbul darinya, tapi juga mampu melindungi mayat tersebut dari serangan hewan-hewan buas pemakan bangkai. Itulah alasan (hikmah) kenapa Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam pada hadith di atas memerintahkan supaya memperdalam galian liang kubur. Mayat, baik manusia atau lainnya, yang tidak dikebumikan tentu akan menimbulkan bau busuk yang itu pada akhirnya akan menimbulkan wabah penyakit sehingga membuat orangorang tidak betah berlama-lama berada di sekelilingnya. Islam juga mengajarkan beberapa etika ketika seseorang hendak buang air besar, diantaranya ialah tidak buang air besar di tempat keramaian serta tidak
Abu Ja’far al-T}abari< Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’an, Vol. 24. (t.tp. : Muassasah alRisa>lah, 2000), 133. 63 Abu Da>wud al-Sijista>ni, Sunan Abi> Da>wu>d, Vol. 3, (Beirut : Da>r al-Kitab al-‘Arabi, t.t.), 206-207. 62
25
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
buang air besar di tempat berhembusnya angin.64 Larangan ini tentunya sangat terkait erat dengan kebersihan udara. Ketika seseorang buang air besar di tempattempat tadi maka dapat dipastikan bau tidak sedap akan menyebar ke manamana, yang itu tentunya sangat mengganggu orang-orang yang ada di sekelilingnya. Karena itulah Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam ketika hendak buang hajat, beliau mencari tempat yang jauh dari keramaian manusia sebagaimana hadith riwayat Ibn Majah.
65
Dari Ya’la bin Murroh, sesungguhnya Rasulullah s}allalla>h ‘alayh wa sallam ketika hendak pergi buang hajat, maka beliau menjauh (dari tempat keramaian). Ukuran jauh di sini menurut Zakari>ya al-Ans}a>ri ialah tempat yang sekiranya seseorang tidak mendengar bunyi (kentut) ataupun bau dari kotoran yang dikeluarkan oleh orang yang buang hajat>.66 Kontekstualisasi Fiqh al-Taharah Kebersihan lingkungan adalah bagian dari upaya pelestarian (konservasi) lingkungan. Oleh sebab itu, seiring dengan kerusakan lingkungan yang salah satunya disebabkan problem kebersihan, maka para pemerhati lingkungan (ecothinkers) dari kalangan muslim semisal Mustofa Abu Sway, al-Shayra>zi dan Abdullah Qa>sim al-Washli mencoba melakukan
pemaknaan ulang tentang
konsep t}aha>rah. Dalam merumuskan konsep kebersihan dalam Islam, umumnya mereka menempuh beberapa cara (tahapan) sebagai berikut : 1. Menelusuri ayat-ayat al-Qur’an yang secara tersurat ataupun tersirat menunjukkan urgensi kebersihan dalam Islam. 2. Menelusuri pesan-pesan Nabi tentang urgensi kebersihan melalui sabdasabda beliau, baik yang berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan. Al-Qa>simi, Mau’iz}at al-Mu’mini>n, 55. Al-‘Adawi, Ihda>’ al-Di>ba>jah bi Sharh} Sunan Ibn Majah, Vol. 1, 193. 66 Zakari>ya al-Ans}a>ri, Fath} al-Wahha>b, 9. 64 65
26
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
3. Menelusuri pemikiran fuqaha>’ tentang kebersihan sebagaimana yang terdokumentasikan dalam karya-karya mereka, khususnya pada bab
taha>rah. 4. Kontekstualisasi dalil, baik al-Qur’an ataupun hadith yang telah ditelusuri serta melakukan ekstensifikasi (perluasan) terhadap pemikiran
fuqaha>’ khususnya bab taha>rah sehingga menghasilkan konsep yang relevan dengan konteks kebersihan saat ini. Dari metode tersebut lahirlah klasifikasi kebersihan yang cukup beragam seperti kebersihan anggota badan, tempat (tanah), air, makanan dan kebersihan udara yang kesemuannya bisa dikategorikan sebagai kebersihan diri dan lingkungan. Bila ditelusuri dari dalil-dalil (al-Qur’an dan hadith) yang digunakan, konsep kebersihan setidaknya mencakup prinsip 4 K, yaitu keamanan (keselamatan), kebersihan, kesucian dan keindahan. Prinsip keamanan merupakan prinsip yang paling utama karena sejalan dengan salah satu jiwa shariah, yaitu hifz} al-nafs (melindungi jiwa) yang juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (mas}lah}ah d}aruriyah). Dengan prinsip ini, maka sesuatu itu belum dikatakan bersih bilamana masih berpotensi membahayakan keselamatan jiwa (kesehatan) manusia pada khususnya, dan juga keselamatan ekosistem alam pada umumnya. Prinsip keamanan ini juga ditegaskan oleh Zakariya al-Ans}a>ri dalam kaitannya dengan pemanfaatan fasilitas umum. Dalam hal ini ia mengemukakan kaidah, “al-irtifa>q bi al-t}ari>q
mashru>t} bi sala>mat al-‘a>qibah” (pemanfaatan jalan [fasilitas umum] dibolehkan dengan syarat berkesudahan baik).67 Bersih adalah bebas dari kotoran. Lingkungan yang bersih berarti lingkungan yang bebas dari kotoran. Lingkungan yang bersih akan menjauhkan seseorang dari wabah penyakit, sebaliknya lingkungan yang kotor akan mendekatkan seseorang pada penyakit. Jadi, kebersihan merupakan salah satu sarana yang dapat menghantarkan seseorang pada kondisi sehat. Oleh sebab itu, kebersihan di sini bisa ditempatkan sebagai salah satu mas}lah}ah h}a>jiyah 67
Zakariya al-Ans}a>ri, Asna> al-Mat}a>lib, 73.
27
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
(kebutuhan sekunder) atau bahkan mas}lah}ah d}aru>riyah (kebutuhan primer), tergantung tingkat akibat yang ditimbulkan. Jika kondisi kotor itu menyebabkan timbulnya penyakit akut yang dapat merenggut nyawa seseorang, maka kebersihan adalah sebuah kebutuhan utama. Kesucian merupakan salah satu bahasan utama dalam fiqh, karena ia merupakan salah satu syarat sahnya ibadah. Kesucian juga merupakan salah satu prinsip fiqh kebersihan yang bisa ditempatkan sebagai mas}lah}ah tah}si>niyah (kebutuhan tersier), sebab ketiadaan kondisi suci tidak sampai menyebabkan kebinasaan diri seseorang ataupun membuatnya dalam situasi yang menyulitkan. Kesucian diri dari hadath diperoleh melalui berwudu, mandi atau tayammum sebagai pengganti keduanya. Sedangkan kesucian anggota tubuh, pakaian dan tempat dari kotoran najis bisa diperoleh melalui usaha menghilangkan unsurunsur najis yang terdiri dari bau, rasa dan warna. Dalam kaitannya dengan kesehatan, bentuk kesucian yang terakhir ini dalam skala tertentu bisa pula ditempatkan pada mas}lah}ah h}aj> iyah, sama dengan kebersihan. Prinsip terakhir dari fiqh kebersihan adalah keindahan, yakni suatu keadaan di mana sesuatu itu enak, elok dan nyaman untuk dipandang. Keindahan di sini bisa ditempatkan sebagai mas}lah}ah tah}si>niyah (kebutuhan tersier) dalam rangka ‘beautying purpose’, alias mempercantik tujuan kebersihan, yakni keselamatan, kenyamanan dan keamanan bersama. Dalam beberapa sabdanya, Rasulullah s}alla
Allah ‘alayh wa sallam menganjurkan memakai wangi-wangian, berpakaian putih bersih, memakai celak mata serta merapikan rambut. Sebaliknya, Rasul mencela seseorang yang tidak rapi, rambutnya terurai dan sekujur tubuhnya dipenuhi dengan debu (kotoran). Ini semua menunjukkan betapa pentingnya keindahan dan kerapian, karena dengannya seseorang terlihat lebih bersih dan enak untuk di pandang. Paradigma
antropokosmis
sebagai
antitesa
dari
antroposentrisme
meniscayakan sebuah reformasi sikap dan perilaku kita terhadap alam. Kita memandang alam bukan lagi dalam perspektif relasi majikan dengan buruh, tapi memandangnya sebagai satu-kesatuan yang saling memelihara dan menjalankan 28
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
fungsi masing-masing sebagai makhluk Tuhan. Paradigma ini membawa kita pada suatu gagasan mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan yang meliputi kebersihan air, kebersihan udara, dan kebersihan tanah (tempat dan bangunan). Kebersihan lingkungan ini menjadi penting bukan hanya kerena demi keselamatan lingkungan (hifz al-bi>’ah) itu sendiri, tapi juga demi keselamatan manusia. Dalam konteks ini, 4 K (keamanan, kebersihan, kesucian dan keindahan) secara hirarkis perlu dijadikan acuan (standar) dalam upaya pemeliharan kebersihan lingkungan. Dari penelusuran terhadap berbagai dalil dan pendapat para ulama, 4 K tersebut dapat dirumuskan menjadi sebuah kaidah normatif berikut ini : 1) Segala sesuatu yang mencederai (merusak) keselamatan manusia dan ekosistem alam adalah haram. 2) Segala sesuatu yang mencederai kebersihan lingkungan minimal adalah makruh, dan maksimal adalah haram. Pertimbangan makruh dan haram didasarkan pada kadar kerusakan (akibat negatif) yang ditimbulkan. 3) Pada dasarnya menjaga kesucian lingkungan adalah sunnah, dan bisa menjadi wajib manakala keabsahan suatu ibadah tergantung padanya. 4) Segala ikhtiar yang dilakukan demi terwujudnya keindahan lingkungan itu sunnah, selama tidak menyalahi aturan-aturan shari>’at yang telah baku. Empat kaidah di atas merupakan pengejewantahan dari filosofi agama (Islam), yakni jalb al-mas}a>lih wa dar’u al-mafa>sid (mengupayakan kemaslahatan dan menolak kerusakan) sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh al-‘Izz bin ‘Abd al-Sala>m serta beberapa us}u>liyyu>n (pakar teori hukum Islam) lainnya. 4 K (kenyamanan, kebersihan, kesucian dan keindahan) di atas adalah nilainilai umum kebersihan yang digali dari teks (al-Qur’an dan hadith) dengan mengedepankan spirit yang ada, namun tanpa mengabaikan makna literal dari teks itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila pola semacam ini ditempatkan dalam kategori pola pikir moderat, gabungan antara tekstualiskontekstualis, suatu pola pikir yang tidak hanya terpaku pada teks dengan 29
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
mengabaikan konteks (makna), atau sebaliknya, terpaku pada konteks dengan mengabaikan teks, tapi mendudukkan keduanya secara harmoni.68 4 K ini merupakan penguhubung antara masa lalu dan masa sekarang dalam menjawab problem kebersihan yang kian hari kian kompleks. 4 K bisa dijadikan standar dalam menilai kualitas kebersihan, khususnya untuk proyek-proyek besar yang berpotensi menimbulkan pencemaran. Dalam konteks ini, prinsip keselamatan (kesehatan) harus diletakkan sebagai standar utama. Keselamatan yang dimaksud di sini mencakup bukan hanya keselamatan manusia, tapi juga keselamatan biosfer dalam jangka panjang berkesinambungan. Penutup Dibutuhkan konsep kebersihan holistik dalam membumikan kebersihan di masyarakat, meliputi kebersihan iman, kebersihan diri dan lingkungan serta kebersihan moral-spiritual. Dalam kaitannya dengan kebersihan lingkungan, paradigma yang semestinya dipakai ialah paradigma antropokosmis, di mana manusia tidak memposisikan dirinya sebagai penakluk alam, dan juga dengan mempertimbangkan prinsip 4 K, yaitu prinsip keamanan dan keselamatan, prinsip kebersihan, prinsip kesucian serta prinsip keindahan. Empat prinsip tersebut merupakan nilai-nilai umum yang digali dari teks-teks otoritatif yang berkenaan dengan kebersihan, baik secara eksplisit maupun implisit. Untuk menggulirkan konsep tersebut diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan semua lapisan masyarakat dalam mengawal serta mensosialisasikannya, baik melalui jalur pendidikan, hukum ataupun kebijakan-kebijakan strategis lainnya.
68
Ibrahim bin Musa al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t, Vol. 3, (t.tp. : Da>r Ibn ‘Affa>n, 1997), 134.
30