Paradigma Baru Fiqh Sodaqah: Kontekstualisasi Sodaqah dalam Perspektif Pembangunan Umat H.M. Hasbi Umar Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstract: This essay tries to reformulate the rule of charity, either from its legas basis, its effectivennes or manily, its management, with organized based on both general management and more advanced understanding by giving attention on the sources of Islamic teaching, this charitable institution will remain powerful. Since, amidst social problem and demand on economic welfare in the community recently, the existence of charity becomes extremely strategic. Besides as on of the aspects of Islamic teaching which has spiritual dimension, charity also constitutes social one, which puts stressing on importance of economic welfare. Thus charity as an institution is useful for community development, primarily Islamic community and nation building in general. Keywords: Sodaqoh, kesejahteraan, ibadah
I. Pendahuluan Allah s.w.t. menurunkan agama Islam ke dunia sebagai rahmat bagi alam semesta. Agama Islam mendambakan kedamaian dan kesejah teraan bagi seluruh ummat manusia. Islam memberikan tuntunan bagi tata hidup dan kehidupan manusia, baik yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah (habl min Allah) maupun hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nas). Salah satu sendi pokok ajaran Islam adalah sodaqah, di samping solat, puasa, dan haji. Sodaqah berkaitan dengan harta benda, Islam mengajarkan bahInnovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
361
H.M. Hasbi Umar
wa Allahlah Pemilik seluruh alam semesta dan segala isinya, termasuk harta benda.1 Seseorang yang beruntung memperoleh harta benda, pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanah Allah untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak Pemiliknya, yakni Allah s.w.t. Manusia yang menerima titipan berkewajiban memenuhi ketetapan yang digariskan oleh Maha Pemilik baik dalam pengembangan harta itu maupun dalam penggunaannya. Sodaqah merupakan salah satu ketetapan Allah dalam penggunaan harta. Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan umat manusia seluruhnya, dan karena itu harus diarahkan untuk kegunaan kepentingan bersama. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya berkewajiban untuk menunaikan sodaqah. Begitu pentingnya ibadah sodaqah, sehingga ditetapkan sanksi-sanksi terhadap orang yang enggan melaksanakannya. Sodaqah juga sangat penting artinya bagi peningkatan kehidupan ekonomi ummat dan kesejahteraanya. Firman Allah: “Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.2 “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Mengetahui”.3
Pembangunan telah menumbuhkembangkan usaha-usaha ekonomi diberbagai sektor baik pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perhutanan, perdagangan, perindustrian maupun jasa dan lain sebagainya, yang mendatangkan keuntungan hasil-hasil harta benda. Berkaitan dengan perluasan usaha ekonomi tersebut, perlu adanya rekonstruksi pemahaman sodaqah yang merefleksikan suatu makna konstruktif, kreatif dan kondusif, baik dalam menentukan sumber-sumbernya, cara penghimpunannya maupun dalam cara pengelolaan dan pentasrufannya.
II. Konsep Ajaran Sodaqah dan Implementasinya Lihat Q.S. al-Maidah : 18. Lihat Q.S. al-Haj : 77 3 Lihat Q.S. Ali Imran : 92 1 2
362
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Paradigma Baru Fiqh Sodaqah
Sodaqah adalah ibadah pokok yang berkaitan dengan harta benda, ibadah yang bercorak sosial. Dalam konteks al-Quran, sodaqah dikategorikan sebagai amal kebaikan yang wajib ditunaikan oleh manusia, karena mendatangkan keberuntungan bagi manusia itu sendiri. Paradigma ini diperjelas oleh firman Allah: Sesungguhnya sodaqah-sodaqah itu, hanyalah untuk orang-orang miskin, pengurus-pengurus sodaqah (zakat), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.4
Bahkan dalam konteks teknis operasionalisasi sodaqah, seperti pola pengambilan hartanya, pihak-pihak yang berhak (mustahiq) mendapatkannya dan jenis-jenis barang yang harus disodaqahkan dijelaskan secara rinci oleh nas-nas yang begitu banyak. Di antara ayat al-Quran yang berkaitan dengan konsep operasionalisasi sodaqah secara umum ialah firman Allah s.w.t. yang bermaksud: “Ambillah sodaqah dari sebagian harta mereka, dengan sodaqah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu menjadi ketenangan jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.5
Dengan demikian, doktrin sodaqah ditempatkan sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang Qat`iyyah al-Dalalah (jelas atau pasti penunjukan lafaznya), walaupun dalam banyak hal, teknis opera sionalisasi pengelolaan sodaqah mengalami berbagai inovasi sebagai upaya pemberdayaan secara optimal sesuai dengan kondisi yang ada. Pelaksanaan sodaqah bagi pemilik kekayaan, karena berbobot hukum wajib, tidak sekedar amal karitatif (kedermawanan), tetapi ia sesuatu ibadah yang bersifat otaritatif (ijbari) yang melibatkan pihak kekuasaan.6 Oleh karena itu, pelaksanaan sodaqah tidak saja dipertanggung jawabkan secara individu, tetapi juga kepada pemerintah (ulil amri), karena dalam pengamalannya lebih berat dibanding dengan 4 5
Lihat Q.S. al-Taubah : 60. Lihat Q.S. al-Taubah : 103.
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
363
H.M. Hasbi Umar
ibadah-ibadah sosial lain,7 sebab terkait dengan hak para mustahiqnya. Dengan kata lain, pelaksanaan sodaqah sifatnya ijbari (keharusan yang bersifat memaksa) di mana tanggung jawab pengelolaannya diserahkan kepada amil yang dibentuk oleh ulil amri (pemerintah). Dengan sifat hukum sodaqah seperti itulah, dalam pelaksana annya sangat diperlukan adanya kepastian dan ketegasan, agar hak-hak masyarakat (para asnaf delapan) terutama hak fakir miskin yang terdapat dalam harta orang kaya, dapat diterima dengan pasti dan demi tegaknya keadilan. Dan kepastian pelaksanaan sodaqah, ditetapkan pula sanksi bagi mereka yang membangkang. Sanksi terhadap pembangkang ibadah sodaqah tidak sama dengan pembangkang ibadah-ibadah wajib lainnya yang hanya bersifat ancaman ukhrawi dan preventif, tapi pembangkang ibadah sodaqah dapat dikenakan sanksi yang keras dan berganda, yaitu sanksi di dunia dan akhirat. Karena pembangkang sodaqah ini telah melakukan dua kesalahan sekaligus, yaitu kepada Allah dan kepada manusia, yakni orang-orang yang mempunyai hak dalam hartanya.8 Khalifah Abu Bakr pernah bertindak keras kepada para pembangkang sodaqah, zakat, dengan mengeluarkan ultimatum: “Aku akan perangi orang yang menolak mengeluarkan sodaqahnya walaupun berupa seekor anak kambing, yang dimana Rasulullah s.a.w. mereka tunaikan”.
Sikap tegas Abu Bakr ini berpedoman kepada Hadis Nabi s.a.w. yang berbunyi: “Aku (Rasulullah) diperintahkan memerangi suatu golongan manusia, sampai mereka mengucapkan dua kalimah syahadah, mendirikan solat dan mengeluarkan sodaqah (zakat)”.9
6 Lihat Idem, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004, h. 37. 7 Seperti wakaf, yang identik dengan sodaqah sunnah yang bersifat sukarela dan tidak ada pihak yang harus dipertanggung jawabkan atas perintah pelaksanaannya. Jika tujuannya diniatkan secara tulus ikhlas oleh si pemberi sodaqah (wakif), maka Allah akan menjamin ganjaran di akhirat kelak yang berlipat ganda dan kontinyu. 8 Lihat Q.S. al-Ma‘arif : 24-25
364
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Paradigma Baru Fiqh Sodaqah
III. Paradigma Baru tentang Sodaqah Dalam Islam, hak milik sebagai fungsi harta kekayaan itu ada ketentuannya. Ketentuan tersebut antara lain: Rizki adalah tiang kehidupan manusia yang disediakan oleh Allah s.w.t. untuk hamba-Nya. Islam mengakui bahwa masyarakat itu bertingkat-tingkat, agar saling memanfaatkan. Islam melindungi hak asasi dan hak milik peribadi. Orang kaya perlu sadar akan tanggung jawabnya terhadap Allah dan masyarakat. Harta itu tidak boleh berputar di antara orang-orang kaya saja. Allah mengecam orang-orang yang menimbun perak dan emas di dalam lemarinya saja, tidak mempergunakannya untuk kepentingan agama dan umat. Allah menilai orang-orang yang tidak memperhatikan nasib tetangganya, terutama yang hidup dalam kemiskinan, sebagai pembohong agama. Sebaliknya, Allah menggembirakan orang yang suka mendermabaktikan harta bendanya di jalan Allah dan untuk kepentingan ummat dengan ganjaran yang berlipat ganda, di dunia dan di akhirat. Allah menegaskan bahwa di dalam kekayaan seseorang itu terkandung hak ummat. Untuk kepentingan agama dan sosial, Islam telah menetapkan bermacam-macam peraturan yang harus ditunaikan oleh pemilik harta dan merupakan dana Bait al-Mal.10 Dari rumusan-rumusan di atas dapat ditarik suatu ketegasan bahwa pada tiap-tiap harta kekayaan itu terkandung dua macam hak, yaitu hak milik peribadi dan hak umat atau sosial. Hak umat itu merupakan amanat Allah kepada tiap-tiap pemilik hak peribadi, yang harus ditunaikan menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. 9 Hadis Nabi s.a.w. yang dijadikan pedoman oleh Abu Bakr akan memerangi pihak yang menolak mengeluarkan sodaqah merupakan landasan teoritik dan operasional yang dijelaskan oleh Nabi s.a.w., meskipun Nabi s.a.w. sendiri, semasa hidupnya, tidak pernah melakukan tindakan tegas memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan sodaqah wajib, karena tidak menemukan tantangan seperti yang disebutkan dalam tersebut, khususnya orang Islam yang menentang kewajiban sodaqah. Tetapi, pada awal pemerintahan Abu Bakr, timbul suatu gerakan yang tidak mau membayarkan sodaqah (zakat) nya kepada pemerintah. Pada masa Khalifah Abu Bakr, berdasarkan kepada hadis tersebut, mengambil suatu kebijakan bahwa golongan yang tidak mau membayar atau mengeluarkan sodaqah dihukum murtad, dan mereka boleh diperangi. Lihat Idem, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, h. 37. 10 Ayat-ayat al-Quran yang mendasari ketentuan-ketentuan tersebut,
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
365
H.M. Hasbi Umar
Pelanggar terhadap peraturan-peraturan itu akan dijatuhi sanksi, dan sebaliknya, menunaikan peraturan-peraturan itu akan mendapatkan ganjaran. Adanya sanksi menunjukkan bahwa melaksanakan peraturan-peraturan itu wajib hukumnya; tidak melaksanakan peraturan itu berarti melanggar hak orang lain, yaitu hak sosial yang dititipkan padanya. Peraturan-peraturan itu adalah untuk menuju kepada kesejahteraan umat dengan hidup saling memanfaatkan dan pemerataan kemakmuran dengan cara mengatur perputaran harta kekayaan, di atas asas keseimbangan, yang merupakan landasan substansial dalam system keislaman. Pemaknaan sodaqah secara umum ialah pemberian harta benda dari seseorang kepada pihak lain. Pemaknaan ini, sebenarnya, masih umum mencakup yang wajib dan yang bersifat sukarela (tatawwu’sunnah). Sodaqah yang wajib dibagi menjadi dua bagian: Pertama, sodaqah wajib terbatas, yaitu terbatas jenis, jumlah dan kadar harta benda yang dikenakan sodaqah; dan inilah yang dimaksud dengan zakat. Kedua, sodaqah wajib tidak terbatas, yaitu sodaqah yang dituntut oleh kepentingan umum,11 atau suatu kewajiban bersodaqah, sesudah kewajiban zakat, karena situasi dan kondisi masyarakat menuntutnya untuk kepentingan umum yang mendesak, seperti ada bencana banjir, gunung meletus, kepentingan pembangunan agama atau Negara. Doktrin ajaran ini adalah berdiri di atas asas: harta benda secara keseluruhannya adalah hak milik Allah secara mutlak.12 Ibn Hazm, sebagaimana dikutip ‘Ali abd al-Rasul,13 menetapkan dasar-dasar yang penting dalam masalah ini, yaitu sebagai berikut: 1. Bahwa hak orang-orang fakir dalam harta benda ada pada orangorang kaya, dan tidak terbatas pada zakat saja. 2. Apabila zakat tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan orangorang miskin, maka pemerintah bisa mengambil dari orang-orang antara lain: Q.S. al-Zuhruf : 32; Q.S. al-Hasyr : 7. Q.S. al-Taubah : 34; Q.S. alMa‘un : 1-3; Q.S. al-Baqarah : 261-262; Q.S. al-Zariyat : 9. 11 Lihat Muhammad al-Bahi, al-Fikr al-Islam wa al-Mujtama‘ al-Mu‘asir Musykilah al-Hukm wa al-Tawjih, Mesir: al-Dar al-Wawmiyyah li al-Taba‘ah wa al-Nasyr, t.t.: h. 305. 12 Lihat Q.S. al-Maidah : 18; Q.S. al-Nur : 33. 366
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Paradigma Baru Fiqh Sodaqah
kaya, sesudah zakat, sejumlah kekayaan yang dapat menutupi kebutuhan orang miskin tersebut. 3. Yang menjadi hak orang-orang fakir dan menjadi beban kewajiban atas masyarakat adalah taraf hidup yang layak, dalam hal ini pemerintah wajib menjamin terlaksananya. 4. Taraf kelayakan hidup yang dimaksud adalah: papan, sandang dan pangan. Jadi, pemilik harta kekayaan mempunyai tanggung jawab sosial yang amat esensial dalam menjamin eksistensial solidaritas yang sudah disyari‘atkan oleh Islam. Sebagai dasar hukumnya dapat dikutip dalam teks ayat al-Qur’an, antara lain firman Allah yang bermaksud: “Berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros”.14
Dan firman Allah yang berbunyi: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.15
Teks Ayat-ayat ini memberikan isyarat bahwa di dalam harta benda itu bercampur antara hak milik peribadi, sebagai khilafah, dan hak milik orang lain, sebagai masyarakat. Dengan kata lain, Islam mengakui masing-masing kepentingan individu dan kepentingan orang banyak. Islam memberikan kepada individu hak-hak asasi dan hak peribadinya, dengan suatu cara yang tidak merusak keseimbangan dalam pembagian kekayaan. Pada saat yang sama, Islam mengakui hak milik individu dan hak milik komunal, masing-masing diperhatikan tanpa mengalahkan yang lain. Islam mengakui kemerdekaan individu selama tidak menganggu kemerdekaan individu lain dan keseimbangan masyarakat. Pada satu segi, Islam memberikan kepada individu haknya
13 Lihat ‘Ali Abd Rasul, al-Mabadi‘ al-Iqtisadiyyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt., h. 123. 14 Lihat Q.S. al-Isra’ : 26 15 Lihat Q.S. al-Zariyat : 19. Diterjemahkan dengan: “hak milik”, karena, di dalam ayat, setelah kata “haqq” ada huruf “lam” yang punya arti ‘milik’. 16 Lihat Sjechul Hadi Permono, Sumber-Sumber Penggalian Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 11.
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
367
H.M. Hasbi Umar
mengenai milik perseorangan dan haknya dalam melakukan tindakan terhadap kekayaan. Di segi yang lain, ia mengikat tiap-tiap hak dan tiap-tiap tindakan ini dengan berbagai ikatan moral dari dalam dan ikatan perundang-undangan dari luar, dengan tujuan agar supaya sumber-sumber kekayaan tidak terkumpul pada satu tempat secara besar-besaran, hingga masing-masing memperoleh bagiannya yang sah dan pantas.16 Kepentingan peribadi adalah fitrah, dan kepentingan masyarakat juga fitrah manusia. Oleh karena itu, ikatan antara dua kepentingan itu sangat erat. Antara keduanya harus ada keselarasan, keserasian dan keseimbangan, bukan persaingan apalagi pertentangan. Dalam kesejahteraan individu terletak kesejahteraan masyarakat, dan begitu juga sebaliknya, dalam kesejahteraan masyarakat terletak kesejahteraan individu. Kesejahteraan individu dan masyarakat bersama-sama menghendaki supaya antara nafsu, yang cenderung hanya mementingkan diri sendiri (egoisme), dan jiwa, yang mengutamakan kepentingan orang lain (altruisme), terdapat keselarasan dan keseimbangan yang sehat.17 Kenapa sodaqah berhukum wajib bagi yang mampu? Karena Islam menghendaki agar keselarasan dan keadilan sosial bisa terwujud. Gagasan fundamental sodaqah bagi orang yang memiliki kemampuan harta, dalam ukuran tertentu, bertujuan untuk memberdayakan kaum fakir miskin dan mereka yang membutuhkan lainnya secara ekonomi, sehingga dimungkinkan untuk dapat mencukupi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, al-Quran mengutuk keras terhadap orang yang sudah mapan secara ekonomi, tetapi tidak menunjang apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial, seperti enggan mengeluarkan sodaqah (wajib terbatas, seperti zakat; dan sodaqah wajib tidak terbatas), infaq atau pinjaman kebajikan (qard al-hasan) kepada fakir miskin yang memiliki kemampuan berusaha. Sebab, dengan pendekatan demikian17 Lihat Abul ‘A‘la al-Maududi, Dasar-dasar Ekonomi Dalam Islam, Penterj. Abd Allah al-Suhaili, Bandung: al-Ma‘arif, 1980, h. 14. 18 Lihat Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi Ibnu Rusyd, Bidayat alMujtahid, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, h. 251.
368
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Paradigma Baru Fiqh Sodaqah
lah maksud dari sodaqah itu akan tercapai, yaitu untuk memperbaiki kehidupan para fakir miskin. Sehingga mereka, untuk masa mendatang, tidak lagi menjadi orang yang berhak menerima sodaqah, zakat, melainkan menjadi orang yang wajib mengeluarkan sodaqah. Individu seperti inilah yang dikehendaki oleh ajaran Islam.
IV. Aspek Pengembangan Paradigma Baru Al-Quran tidak merinci secara eksplisit tentang jenis harta yang harus disodaqahkan. Al-Quran hanya menggunakan lafaz yang umum, yaitu amwal, yang bermakna ‘segala macam jenis harta’, meskipun dalam hadis Nabi s.a.w. telah disebutkan beberapa nama dan jenis harta yang wajib disodaqahkan, tetapi tidak membatasi nama dan jenis harta kekayaan tersebut.18 Nama dan jenis harta itu ialah: 1. al-Masyiyyah (beberapa jenis hewan) 2. Zahab-fiddah (emas-perak) 3. ‘Urud al-tijarah (harta perdagangan) 4. Zuru’ tsimar (hasil pertanian dan tumbuh-tumbuhan tertentu) 5. Rikaz ma’din (harta temuan dan galian, pertambangan). Dari lima jenis harta yang disebutkan dalam beberapa hadis dan dalam kitab-kitab fiqh pada umumnya adalah bersifat kondisional berdasarkan kenyataan pertumbuhan ekonomi dan produksi pada waktu itu. Analisis fuqaha yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqh tersebut tidaklah salah, yang keliru adalah pemahaman sebagian orang karena belum mampu memahami pengertian masing-masing dari nama dan jenis harta yang wajib disodaqahkan, seperti yang tersebut dalam hadis dan fiqh klasik. Misalnya pengertian ‘urud tijarah.19 ‘Urud Tijarah adalah beberapa jenis dan bentuk barang atau jasa yang diperjualbelikan atau diperdagangkan. Sekarang, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, jenis dan bentuk barang yang diperdagangkan itu sudah sangat banyak macam ragamnya. Di antaranya perdagangan komoditi dan jasa yang menghasilkan uang 19 Sesungguhnya penyebutan nama dan jenis harta kekayaan dalam beberapa hadis nabi s.a.w. itu, bukanlah sebagai penetapan yang
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
369
H.M. Hasbi Umar
yang banyak sehingga menjadi kaya, seperti perdagangan atau usaha dalam bidang peternakan unggas, jasa telekomunikasi, jasa dokter, jasa hukum, transportasi, pengobatan, kecantikan dan sejenisnya. Semuanya itu termasuk ‘urud al-tijarah yang wajib dikeluarkan sodaqahnya. Dalam artian, kita bukan mensodaqahkan ayam, udang dan lain sebagainya, tetapi mensodaqahkan hasil usaha dari mata benda yang diperdagangkan pada masa sekarang dan masa mendatang, yang mengandung nilai ekonomi. Kemudian, yang perlu diorientasikan adalah pengertian zahab (emas) dan fiddah (perak), yang selama ini diartikan emas dan perak batangan atau yang sudah berbentuk dalam wujud lain selain perhiasan wanita. Sesungguhnya zahab fiddah hanyalah ‘symbol kekayaan’ yang dimiliki seseorang pada masa lalu. Pada masa sekarang, harta benda dan kekayaan itu bisa berbentuk lain seperti sejumlah uang yang diperoleh dari hasil usaha yang baik dan halal. Misalnya upah, honorarium, uang jasa, hasil keuntungan bisnis, gaji (penghasilan tetap) dan seluruh komoditi dan produk yang bersumber dari perut bumi. Semua kekayaan tersebut wajib dikeluarkan sodaqahnya (zakat) apabila telah mencapai ketentuan umumnya.20 Dengan demikian, seluruh harta kekayaan yang berkembang sekarang dan akan datang merupakan kebutuhan pokok hidup seharihari yang mempunyai nilai ekonomi wajib dikeluarkan sodaqahnya, dengan mengqiyaskan kepada jenis-jenis harta kekayaan konvensional tersebut dalam hadis nabi di atas. Paradigma ini diperjelas lagi oleh mengecualikan (takhsis) atas harta dan jenis barang yang lain, tetapi, pada saat itu, harta yang menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan yang memiliki nilai ekonomi, khususnya di kalangan masyarakat Jazirah Arab, masih terbatas pada jenis-jenis tersebut. Sedangkan pada masa sekarang, sudah banyak muncul jenis harta dan kekayaan baru, karena pesatnya perkembangan Iptek dan kebudayaaan yang melahirkan kreasi dan produkproduk baru, baik berupa hasil penggalian potensi alam maupun hasil potensi sumber daya manusia, bahkan mengalahkan pertumbuhan jenis-jenis harta kekayaan konvensional. Lihat Idem, Paradigma Baru Wakaf, h. 47. 20 Dengan kemajuan iptek serta tingkat pertumbuhan ekonomi modern, muncul berbagai jenis kekayaan baru yang lebih potensial dan produktif, meskipun jenis dan nama harta yang baru itu tidak disebut secara eksplisit 370
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Paradigma Baru Fiqh Sodaqah
hadis Rasulullah s.a.w. “Kunna nu’maruna nakhruja al-sodaqat mimma nu`iddu lilbai`” (Kami (para sahabat) diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. supaya mengeluarkan sodaqah atas sesuatu barang yang biasa diperjualbelikan). Dalam hadis yang lain Rasulullah berkata: “Dalam setiap harta kekayaan terdapat kewajiban zakat”. Menurut Yusuf al-Qardawi,21 karakteristik dan jenis harta yang wajib dikeluarkan sodaqahnya adalah sebagai berikut: 1. Semua harta benda dan kekayaan yang mengandung illat kesuburan dan berkembang, baik dengan sendirinya atau dikembangkan dengan cara diinvestasikan, diternakkan atau didagangkan. 2. Semua jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang mempu nyai harga dan nilai ekonomi. 3. Semua jenis harta benda yang bernilai ekonomi yang berasal dari perut bumi atau dari laut, baik berwujud padat atau cair. 4. Semua harta kekayaan yang diperoleh dari berbagai usaha dan penjualan jasa. Selanjutnya, Syekh Taqiy al-Din berpendapat bahwa seluruh jenis harta benda yang diharapkan bisa berkembang, baik dengan sendirinya maupun dikelola oleh orang lain, wajib dikeluarkan sodaqahnya. Pengertian ‘sifat berkembang’ (nama’) atau ‘dikembangkan’ (Istinma’) adalah membawa untung atau income. Dalam arti lain, harta benda itu mempunyai sifat produktif, dapat menambah penghasilan. Dari keterangan di atas dapat diambil suatu ketegasan bahwa semua harta benda yang memiliki nilai ekonomi wajib dikeluarkan sodaqahny, baik bergerak maupun tidak bergerak.
V. Kesimpulan Sodaqah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang dalam al-Quran dan al-Hadis, tetapi itu bukan menjadi pengecualian (takhsis) atas bentuk dan jenis harta kekayaan lain, yang tidak disebutkan dalam nas, tidak wajib disodaqahkan. 21 Lihat Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Dar al-Irsyad, 1969.
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
371
H.M. Hasbi Umar
yang telah memenuhi syarat-syaratnya, telah memiliki kelebihan harta dari keperluan, dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hati, tetapi kalau terpaksa ‘dengan tekanan penguasa’. Agama menetapkan ‘amilin’ atau petugas-petugas khusus untuk mengelola sodaqah, yang ditetapkan melalui wewenang ulil almri (penguasa). Terhadap pembangkang sodaqah akan dikenakan sanksi-sanksi duniawi dan ukhrawi, karena mereka telah melakukan kesalahan ganda, yaitu kesalahan kepada Allah dan kesalahan kepada manusia.
372
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
Paradigma Baru Fiqh Sodaqah
BIBLIOGRAFI Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Anonim, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004 Abul ‘A‘la al-Maududi, Dasar-dasar Ekonomi Dalam Islam, Penterj. Abd Allah al-Suhaili, Bandung: al-Ma‘arif, 1980 Ali Abd Rasul, al-Mabadi‘ al-Iqtisadiyyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt. Muhammad al-Bahi, al-Fikr al-Islam wa al-Mujtama‘ al-Mu‘asir Musykilah al-Hukm wa al-Tawjih, Mesir: al-Dar al-Wawmiyyah li al-Taba‘ah wa al-Nasyr, t.t. Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950 Sjechul Hadi Permono, Sumber-Sumber Penggalian Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993 Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah, Beirut: Dar al-Irsyad, 1969
Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011
373