A.
Sejarah dan Perkembangan Konsumen Konsumen merupakan istilah yang tidak bisa lepas dari manusia. Semua
manusia termasuk dalam kategori konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy 21 dalam menyampaikan pesan di depan kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat. John mengatakan, “consumers by definition include us all”. 22 Manusia sebagai pemegang predikat konsumen memiliki peran penting dalam perkembangan konsumen. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan, peraturanperaturan, dan lembaga-lembaga untuk kepentingan konsumen sejak tahun 1872 hingga saat ini, baik dalam lingkup internasional maupun nasional. Gerakan, peraturan, dan lembaga konsumen untuk memperkuat keberadaan konsumen tersebut pada awalnya muncul di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Gerakan konsumen secara organisatoris mulai sekitar tahun 1930-an di Amerika Serikat dan pengaturan konsumen dipelopori oleh Inggris sejak lahirnya Sales Act yaitu undang-undang terkait perlindungan konsumen pada tahun 1872 dan tahun 1893. Amerika Serikat sebagai negara yang paling banyak punya andil terhadap
perlindungan
konsumen
melalui
gerakan-gerakan
perlindungan
konsumen berhasil membentuk Liga Konsumen pada tahun 1891 dan Liga Konsumen Nasional (the National Consumer’s League) pada tahun 1898. Bahkan pada tingkat suprastruktur politik, Presiden John F. Kennedy, pada tanggal 5 Maret 1962 mengucapkan pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika 21
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni 1981), hlm. 47. 22 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Serikat terkait perlindungan konsumen berjudul ”A Special Message of Protection the Consumer Interest”. 23 Peristiwa serupa juga terjadi ketika pengganti Kennedy, Presiden L. B. Johnson pada 5 Februari 1964 mengingatkan kembali konsumen dan memperkenalkan konsep hukum yang baru berkenaan dengan perlindungan konsumen, yang sekarang lazim disebut dengan product warranty dan product liability. 24 Peristiwa inilah pemicu adanya pengakuan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui resolusi No. 2111 Tahun 1978. Resolusinya Nomor A/RES/39/248, 16 April 1985 terhadap hak-hak konsumen sehingga lahirlah pedoman PBB tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection of 1985), yang isinya : “Konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”. 25 Hal ini juga semakin
menambah
pentingnya
keberadaan
konsumen
ketika
IOCU
(International Organization of Consumer Union) yang merupakan organisasi internasional untuk konsumen, pada tahun 1995 menetapkan bahwa setiap tanggal 15 Maret diperingati sebagai hari Hak Konsumen Sedunia. 26 Peristiwa di dunia internasional seperti itu memberikan pengaruh yang besar terhadap negara-negara lain untuk mengadakan gerakan-gerakan yang serupa. Indonesia melalui gerakan, lembaga, dan pengaturan juga ikut memperjuangkan hak-hak konsumen. Meskipun sebenarnya pengaturannya sudah ada sejak masa
23
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 45. Ibid. 25 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008), hlm. 17. 26 Imelda Martinelli, Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen dalam Era Hukum No. 11/Th 3/1997, hlm. 66. 24
Universitas Sumatera Utara
pendudukan Belanda, namun pergerakan, lembaga, dan pengaturan yang sah di Indonesia baru ada sejak Indonesia merdeka. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak konsumen setelah kemerdekaan di Indonesia, memulai aksinya melalui advokasi konsumen. Lembaga ini secara popular sering dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia sejak tahun 1973 karena keberadaan YLKI membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Bahkan lembaga ini tidak sekadar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan. 27 Pergerakan YLKI ini juga memunculkan beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumer International (CI). Selain itu juga ada Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai pelosok di Tanah Air. 28 Semangat dan kerja keras YLKI inilah akhirnya yang menjadi pemicu lahirnya UU Perlindungan Konsumen. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh lainnya datang dari keterikatan Indonesia terhadap PBB, dorongan World Trade Organization (WTO), program International Monetary Fund (IMF),
27
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 37 28 Shidarta, Op.Cit., hlm. 49..
Universitas Sumatera Utara
dan program Bank Dunia juga menjadi alasan lahirnya UU Perlindungan Konsumen. 29 Ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen merupakan payung hukum dalam perlindungan konsumen terhadap peraturan lainnya sejak diundangkannya undang-undang ini. Pembentukan UU Perlindungan Konsumen juga tidak terlepas dari dinamika politik demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan gerakan reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan pergantian Presiden Republik Indonesia dari Soeharto kepada B. J. Habibie, dimana kehidupan
yang
lebih
demokratis
mulai
diperjuangkan. 30
Namun
jika
dibandingkan dengan ketentuan PBB, gerakan di Indonesia melalui YLKI termasuk cukup responsif terhadap keadaan karena mampu mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen. 31 Lahirnya UU Perlindungan Konsumen menunjukkan betapa pentingnya pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia. Hingga pada tahun 2011, konsumen sektor jasa keuangan membutuhkan pengaturan yang kuat terkait perlindungan konsumen, UU OJK hadir untuk memperkuat posisi konsumen sektor jasa keuangan. Nasabah pada perbankan, pemegang polis pada perasuransian, pemodal di pasar modal, dan peserta pada dana pensiun dengan berlakunya undang-undang ini semakin dilindungi dalam hukum positif Indonesia. Bahkan keberadaan konsumen dalam UU OJK semakin terlihat
29
Zulham, Op.Cit., hlm. 37. Ibid., hlm. 36 31 Adrian Sutedi, Tanggungjawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 36. 30
Universitas Sumatera Utara
berkembang dalam pengaturannya. Konsumen yang awalnya dikenal hanya sebagai pengguna, pemakai atau pengguna akhir (konsumen akhir), tetapi melalui UU OJK, konsumen juga diakui sebagai pihak yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa (konsumen antara).
B.
Pengertian Konsumen
1.
Menurut Ketentuan PBB mengenai Perlindungan Konsumen (United Nation Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999) United Nation Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999
atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perlindungan Konsumen, sebagaimana diperluas pada tahun 1999 merupakan aturan yang berkaitan dengan konsumen, yang dikeluarkan pada tahun 1985. Pedoman yang mengatur mengenai prinsip-prinsip umum, pedoman, dan kerjasama internasional terkait perlindungan konsumen ini mengalami perluasan pengaturan dalam rangka memasukkan ketentuan konsumsi berkelanjutan yang merupakan bagian penting dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Definisi konsumen tidak terdapat secara langsung dalam Pedoman PBB ini, tetapi dari beberapa ketentuan dalam pedoman ini dapat diambil kesimpulan bahwa PBB mengartikan konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa. Hal ini dapat dilihat dalam Angka 11 dan 12 Huruf A Romawi Pedoman PBB tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang telah diubah pada tahun 1999 terkait Keselamatan Fisik, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
11.
12.
Governments should adopt or encourage the adoption of appropriate measures, including legal systems, safety regulations, national or international standards, voluntary standards and the maintenance of safety records to ensure that products are safe for either intended or normally foreseeable use. Appropriate policies should ensure that goods produced by manufacturers are safe for either intended or normally foreseeable use. Those responsible for bringing goods to the market, in particular suppliers, exporters, importers, retailers and the like (hereinafter referred to as distributors), should ensure that while in their care these goods are not rendered unsafe through improper handling or storage and that while in their care they do not become hazardous through improper handling or storage. Consumers should be instructed in the proper use of goods and should be informed of the risks involved in intended or normally foreseeable use. Vital safety information should be conveyed to consumers by internationally understandable symbols wherever possible.
Artinya Pemerintah harus mengadopsi atau mendorong adopsi langkah yang tepat, termasuk hukum sistem, peraturan keselamatan, standar nasional atau internasional, standar sukarela dan pemeliharaan catatan keselamatan untuk memastikan bahwa produk tersebut aman untuk baik dimaksudkan atau biasanya “penggunaan” mendatang. Kemudian, kebijakan yang tepat harus memastikan bahwa barang yang diproduksi oleh produsen yang aman baik untuk dimaksudkan atau “penggunaan” normal mendatang. Mereka yang bertanggungjawab untuk membawa barang ke pasar, khususnya pemasok, eksportir, importir, pengecer dan sejenisnya, harus memastikan bahwa sementara dalam perawatan mereka barangbarang ini tidak diberikan tidak aman melalui penanganan yang tidak tepat atau penyimpanan dan sementara dalam perawatan mereka mereka tidak menjadi berbahaya melalui penanganan yang tidak tepat atau penyimpanan. Konsumen harus diinstruksikan dalam “penggunaan” yang tepat dari barang dan harus diberitahu tentang risiko terlibat dalam “penggunaan” yang dimaksudkan atau
Universitas Sumatera Utara
biasanya mendatang. Informasi keselamatan penting harus disampaikan kepada konsumen dengan simbol dimengerti secara internasional sedapat mungkin. Hal yang serupa juga dapat terlihat dalam Angka 45, 50, dan 54 Huruf G Romawi terkait promosi konsumsi berkelanjutan, yaitu: 45.
Governments should encourage the design, development and use of products and services that are safe and energy and resource efficient, considering their full life-cycle impacts. Governments should encourage recycling programmes that encourage consumers to both recycle wastes and purchase recycled products. 50. Governments, in partnership with the private sector and other relevant organizations, should encourage the transformation of unsustainable consumption patterns through the development and use of new environmentally sound products and services and new technologies, including information and communication technologies, that can meet consumer needs while reducing pollution and depletion of natural resources. 54. Governments and international agencies should take the lead in introducing sustainable practices in their own operations, in particular through their procurement policies. Government procurement, as appropriate, should encourage development and use of environmentally sound products and services.
Artinya
pemerintah
harus
mendorong
desain,
pengembangan
dan
“penggunaan” produk dan jasa yang aman dan energi dan sumber daya yang efisien, mengingat dampak siklus hidup penuh mereka. Pemerintah harus mendorong program daur ulang yang mendorong konsumen untuk kedua limbah daur ulang dan membeli produk daur ulang. Kemudian, pemerintah dalam kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi terkait lainnya, harus mendorong transformasi pola konsumsi yang tidak berkelanjutan melalui pengembangan dan “penggunaan” produk ramah lingkungan dan layanan baru dan teknologi baru, termasuk informasi dan teknologi komunikasi, yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen sekaligus mengurangi polusi dan menipisnya sumber daya alam. Selain
Universitas Sumatera Utara
itu, pemerintah dan badan-badan internasional harus memimpin dalam memperkenalkan berkelanjutan praktik dalam operasi mereka sendiri, khususnya melalui kebijakan pengadaan mereka. Pengadaan oleh pemerintah, sebagaimana mestinya, harus mendorong pengembangan dan “penggunaan” ramah lingkungan produk dan jasa. Ketentuan dalam pedoman tersebut menunjukkan bahwa tidak ada batasan terhadap konsumen akhir maupun konsumen antara sebagaimana yang terdapat dalam pembagian konsumen yang ada, bahkan tidak ada pengertian konsumen dalam pedoman ini. Namun dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konsumen yang dimaksud adalah pengguna barang dan/atau jasa. Hal ini karena beberapa rumusan yang terdapat dalam pedoman ini menempatkan kata “penggunaan barang dan/atau jasa” terkait perlindungan konsumen. Dengan demikian, batasan konsumen dalam pedoman ini yaitu sebagain pihak atau orang sebagai pengguna barang dan/atau jasa.
2.
Menurut Peraturan Perundang-Undangan Negara lain Negara-negara lain seperti Australia, Pakistan, Malaysia, dan Inggris
memiliki peraturan terkait perlindungan konsumen. Australia memiliki undangundang mengenai perlindungan konsumen pada tahun 1974, Pakistan pada tahun 1995, Malaysia pada tahun 1999, dan Inggris pada tahun 1987. Menurut UU Australia (Trade Practices Amendment (Australian Consumer Law) Bill (No. 2) 2010, an Act No. 103 of 2010 as made An Act to amend the Trade Practices Act 1974 and the Australian Securities and Investments Commission Act 2001): Acquiring goods as a consumer (1) a person is taken to have acquired particular goods as a consumer if, and only if the amount paid or payable for the goods, as worked out under subsections (4) to (9), did not exceed
Universitas Sumatera Utara
$40,000 or if a greater amount is prescribed for the purposes of this paragraph—that greater amount or the goods were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of a vehicle or trailer acquired for use principally in the transport of goods on public roads. (2) However, subsection (1) does not apply if the person acquired the goods, or held himself or herself out as acquiring the goods for the purpose of re-supply or for the purpose of using them up or transforming them, in trade or commerce in the course of a process of production or manufacture or in the course of repairing or treating other goods or fixtures on land. Artinya, konsumen sebagaimana disebutkan bahwa (1) seseorang diambil untuk memperoleh barang-barang tertentu sebagai konsumen jika, dan hanya jika jumlah yang dibayarkan atau terutang untuk barang, seperti bekerja di bawah subbagian (4) ke (9), tidak melebihi $40.000 atau jika jumlah yang lebih besar diresepkan untuk tujuan ayat bahwa jumlah yang lebih besar atau barang yang dari jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga penggunaan atau konsumsi atau barang terdiri dari kendaraan atau trailer yang diperoleh untuk digunakan terutama dalam angkutan barang di jalan umum. (2) Namun, “ayat (1) tidak berlaku jika orang tersebut memperoleh barang, atau dipegang dirinya sendiri sebagai memperoleh barang untuk tujuan pasokan kembali atau untuk tujuan menggunakan mereka atau mengubah mereka, dalam perdagangan atau komersial” dalam jalannya proses produksi atau pembuatan atau dalam proses perbaikan atau mengobati barang atau perlengkapan lain di darat. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Negara Pakistan 1995 (Islamabad Consumer’s Protection Act 1995): 32 Consumer means any person who buy goods for a consideration which has been paid or partly paid and partly promised to be paid or under any 32
Islamabad Consumer’s Protection Act 1995 dalam M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: 2012), hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
system of deferred payment or hire purchase and includes any user of such goods but does not include a person who obtains such goods for re-sale or for any commercial purpose or hires any goods or services for a consideration which has been paid or promised or partly paid and partly promised or under any system of deferred payment and includes any beneficiary of such services. Artinya konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Negara Pakistan merupakan setiap orang yang membeli barang-barang untuk pertimbangan yang telah dibayar atau dibayar sebagian dan sebagian dijanjikan akan dibayar atau di bawah sistem pembayaran ditangguhkan atau menyewa pembelian dan mencakup setiap pengguna barang tersebut tetapi “tidak termasuk orang yang memperoleh barang-barang tersebut untuk dijual kembali atau untuk tujuan komersial atau menyewa barang atau jasa” untuk pertimbangan yang telah dibayar atau dijanjikan atau sebagian dibayar dan sebagian dijanjikan atau di bawah setiap sistem pembayaran ditangguhkan dan mencakup setiap penerima layanan tersebut. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Malaysia 599 Tahun 1999 (Laws of Malaysia Act 599 Consumer Protection Act 1999): 33 Consumer means a person who acquires or uses goods or services of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household purpose, use or consumption and does not acquire or use the goods or services, or hold himself out as acquiring or using the goods or services, primarily for the purpose of resupplying them in trade, consuming them in the course of a manufacturing process or in the case of goods, repairing or treating, in trade, other goods or fixtures on land. Artinya,
konsumen
dalam UU
Perlindungan
Konsumen
Malaysia
merupakan seseorang yang memperoleh atau menggunakan barang atau jasa dari jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga tujuan, 33
Laws of Malaysia Act 599 Consumer Protection Act 1999 [Reprint – 2001] dalam M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta,: 2012), hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
penggunaan atau konsumsi dan “tidak memperoleh atau menggunakan barang atau jasa, atau menahan dirinya keluar sebagai memperoleh atau menggunakan barang atau jasa, terutama untuk tujuan menyediakannya kembali dalam perdagangan”, mengkonsumsinya dalam perjalanan proses manufaktur atau dalam kasus barang, memperbaiki atau merawat, dalam perdagangan, barang-barang lain atau perlengkapan di darat. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Inggris (Consumer Protection Act 1987 in Part III about Misleading Price Indications in Pasal 20 about Offence of giving misleading indication): Consumer is in relation to any goods, means any person who might wish to be supplied with the goods for his own private use or consumption, in relation to any services or facilities, means any person who might wish to be provided with the services or facilities otherwise than for the purposes of any business of his; and in relation to any accommodation, means any person who might wish to occupy the accommodation otherwise than for the purposes of any business of his. Artinya, konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Inggris erat kaitannya dengan barang-barang, yang berarti setiap orang yang mungkin ingin diberikan bersama barang untuk penggunaan pribadi sendiri atau konsumsi, dalam kaitannya dengan layanan atau fasilitas, berarti setiap orang yang mungkin ingin diberikan dengan layanan atau fasilitas “selain untuk tujuan bisnis apapun darinya”, dan dalam kaitannya dengan akomodasi apapun, berarti setiap orang yang mungkin ingin menempati akomodasi selain untuk keperluan bisnisnya. Konsumen yang dimaksud dalam empat undang-undang ini yaitu sebagai orang yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya atau dengan kata lain terlibat memperjualbelikan barang dan/atau jasa yang
Universitas Sumatera Utara
diperolehnya. Berarti batasan konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir. Ini dibuktikan dengan adanya redaksi kata “tidak berlaku dalam perdagangan atau komersial” pada UU Australia, “tidak untuk dijual kembali atau untuk tujuan komersial” pada UU Pakistan, “tidak dalam perdagangan” pada UU Malaysia, dan “selain untuk tujuan bisnis” pada UU Inggris. Artinya secara keseluruhan menghendaki konsumen bukanlah orang yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya.
3.
Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen yaitu setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 34 Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu: a.
Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon).
b.
Pemakai Kata pemakai dalam Penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU Perlindungan Konsumen menekankan pada konsumen adalah konsumen akhir. Pemakai yang dimaksud tidak selalu harus memberikan prestasinya
34
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 2.
Universitas Sumatera Utara
dengan cara membayar uang untuk memperolah barang dan/atau jasa itu. Jadi yang paling penting terjadinya transaksi konsumen berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. 35 c.
Barang dan/atau jasa Pengertian barang menurut Pasal 1 Angka 4 UU Perlindungan Konsumen: 36 “setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”. Pengertian jasa dalam UU Perlindungan Konsumen adalah 37 “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.
d.
Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasar. Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat 1 Huruf e UU Perlindungan Konsumen. Namun dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan
35
Shidarta, Op.Cit., hlm. 7. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 4. 37 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 5. 36
Universitas Sumatera Utara
pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. 38 e.
Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam
definisi
itu
mencoba
untuk
memperluas
pengertian
kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya). f.
Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Barang dan/atau jasa yang tidak untuk diperdagangkan berarti menunjukkan konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa akhir bukan pemakai antara.
Unsur-unsur konsumen tersebut menunjukkan bahwa tidak selalu memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha tidak harus kontraktual (the privity of contract). 39 Hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya berdasarkan hubungan transaksi jual beli saja, melainkan lebih dari pada hal tersebut dapat disebut sebagai konsumen. Karena seseorang tersebut tidak hanya sekedar sebagai pembeli, walaupun tidak
38 39
Shidarta, Op.Cit., hlm. 8. Ibid., hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
sebagai pembeli atau tidak ada hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dari kontrak tersebut, seseorang tersebut sebagai konsumen dapat melakukan klaim atas kerugian yang diderita dari pemakaian produk tersebut, maka jelaslah bahwa konsumen tidak sebatas pada transaksi jual beli saja, akan tetapi setiap orang yang mengkonsumsi atau memakai suatu produk. Senada dengan batasan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius dan para ahli hukum juga menjelaskan bahwa konsumen sebagai pemakai produk terakhir dari benda dan jasa. 40 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pada pemakai terakhir. 41 Menurutnya, konsumen lebih tepatnya dikatakan konsumen akhir. 4.
Menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 Angka 15 UU OJK menjelaskan bahwa konsumen adalah pihak-
pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal
40
E.H. Hondius, “Konsumentenrecht”, dalam Shidarta, Ibid., hlm. 2. UUPK menggunakan tiga istilah, yaitu pemakai,, pengguna dan pemanfaat barang dan/atau jasa, namun tidak memberikan penjelasan siapa yang pemakai, pengguna dan pemanfaat, sehingga membingungkan pemakaiannya. Pada waktu undang-undang ini diproses, tim ahli dari DPR mengusulkan kata “pemakai” digunakan untuk pemakaian barang-barang seperti sandang, pangan dan papan yang tidak mengandung listrik atau elektronik. Kata “pengguna” untuk yang pemakai barang-barang listrik dan elektronik, seperti computer, televise, radio, sedangkan “pemanfaat” diartikan sebagai mereka yang memanfaatkan jasa, seperti jasa angkutan, jasa kedokteran, advokat dan lainnya, dalam www.pemantauperadilan.com/detil.php/=149&tipe, (diakses tanggal 15 Maret 2014). 41
Universitas Sumatera Utara
di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 42 Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu: a.
Pihak-pihak Pihak-pihak tersebut, diantaranya nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian dan peserta pada Dana Pensiun.
b.
Yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia Konsumen yang menempatkan dananya sering disebut sebagai kreditur, tetapi tidak jarang juga disebut sebagai investor atau pemodal. Memanfaatkan biasanya ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen berbentuk jasa (misalnya pemanfaatan jasa asuransi, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa advokat, jasa kesehatan, dan lain-lain). 43 Memanfaatkan dalam ketentuan undangundang ini bersesuaian dengan apa yang berlaku dalam doktrin. Dengan melihat kata penghubung “dan/atau”, menunjukkan adanya pihak-pihak yang dapat menduduki posisi bukan hanya sebagai pihak yang menempatkan dananya tetapi juga pihak yang memanfaatkan pelayanan yang tersedia, misalnya nasabah pada Perbankan dan pemegang polis pada Perasuransian.
42 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 Angka 15. 43 Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
c.
Lembaga Jasa Keuangan Pengertian Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 4 UU OJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Angka 10 UU OJK adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan
sekunder
perumahan,
dan
lembaga
yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. 44
Pihak-pihak atau orang-orang yang memperoleh barang dan/atau jasa dalam ketentuan undang-undang ini akan menjual kembali barang dan/atau jasa yang telah diperolehnya. Dengan demikian, batasan konsumen dalam undang-undang ini bukan hanya sebagai konsumen akhir, tetapi juga sebagai konsumen antara,
44
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XI, Pasal 1 Angka 4.
Universitas Sumatera Utara
karena konsumen dapat diartikan sebagai pihak yang memperjualbelikan atau mengkomersialkan barang dan/atau jasa.
C.
Konsumen pada Sektor Jasa Keuangan Konsumen pada sektor jasa keuangan sebagaimana yang telah disebutkan
dalam UU OJK meliputi nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun serta pihakpihak lain dalam sektor jasa keuangan. Jika merujuk pada UU OJK yang ikut dalam kegiatan sektor jasa keuangan seperti “menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan”, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 15 UU OJK. Namun jika dikaitkan dengan definisi konsumen sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen, maka aktivitas di sektor jasa keuangan identik dengan “memakai jasa”. Berikut batasan konsumen pada sektor jasa keuangan, diantaranya nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun. Nasabah pada perbankan jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka aktivitas nasabah dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan UU OJK) atau “pihak yang menggunakan jasa” (sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Dari ketiga undang-undang ini, nasabah sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau memanfaatkan jasa dan/atau pelayanan”. Ketentuan dalam UU Perbankan membedakan dua tipe nasabah, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah
Universitas Sumatera Utara
yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. 45 Bentuk-bentuk simpanan biasanya berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah bank yang bersangkutan. 46 Nasabah penyimpan dan nasabah debitur termasuk “para pihak yang menggunakan, memakai atau memanfaatkan jasa atau pelayanan”, meskipun nasabah penyimpan juga termasuk “pihak yang menempatkan dananya”. Misalnya, nasabah penyimpan “menempatkan dananya” pada bank tertentu sejumlah uang dalam bentuk tabungan. Dalam hal ini, nasabah penyimpan juga termasuk orang yang menggunakan jasa atau pelayanan bank, yaitu jasa penyimpanan uang. Pemodal di pasar modal jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka aktivitas pasar modal dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 15 UU OJK) atau pihak yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa investasi” (sesuai dengan Pasal 3 huruf (a) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal). Dari ketiga undangundang ini, pemodal sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau memanfaatkan jasa dan menempatkan dana”.
45
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Bab I, Pasal 1 Angka 17 46 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bab I, Pasal 1 Angka 18.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan dalam UU Pasar Modal menempatkan pemodal sebagai pihak yang terlibat dalam jual beli efek karena merupakan pihak yang menempatkan dananya pada suatu emiten (pihak yang menjual efek kepada masyarakat) dengan memanfaatkan jasa investasi. Pemegang polis pada perasuransian jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka aktivitas pemegang polis dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 15 UU OJK) atau pihak yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa penanggulangan resiko” (sesuai dengan Pasal 3 huruf (a) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian). Dari ketiga undang-undang ini pemegang polis sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau memanfaatkan jasa dan menempatkan dana”. Ketentuan dalam UU Usaha Perasuransian mengartikan pemegang polis sebagai pihak yang memiliki alat bukti yang kuat yang menunjukkan telah terjadi asuransi melalui persetujuan atau kesepakatan bebas dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis. Pemegang polis merupakan pihak yang menempatkan dananya pada suatu perusahaan asuransi (disebut premi) dan akan mendapatkan jasa penanggulangan risiko sesuai dengan premi yang dibayar. Peserta pada dana pensiun jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka aktivitas peserta dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 15 UU OJK) atau pihak
Universitas Sumatera Utara
yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa penanggulangan resiko” (sesuai dengan UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun). Dari ketiga undangundang ini peserta sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau memanfaatkan jasa dan menempatkan dana”. Peserta sesuai dengan UU Dana Pensiun merupakan pihak yang menempatkan dananya (disebut iuran) dengan memanfaatkan jasa investasi atau pengelolaan dana pensiun.
D.
Pemodal di Pasar Modal Pemodal di pasar modal sangat erat kaitannya dengan jual beli surat
berharga atau yang sering disebut efek dalam istilah pasar modal. UndangUndang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) memberikan
pengertian
pasar
modal,
yaitu
merupakan
kegiatan
yang
bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar modal pada dasarnya menyediakan sumber pembiayaan dengan jangka waktu yang lebih panjang, yang diinvestasikan sebagai modal untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja yang akan meningkatkan volume aktivitas perekonomian yang profitable dan sehat. Modal yang bisa berupa dana produksi atau dana untuk pengadaan barang modal seperti barang atau benda, pabrik dan peralatannya yang digunakan secara aktual untuk memproduksi barang
Universitas Sumatera Utara
dan jasa. 47 Maka dapat disimpulkan bahwa pasar modal merupakan kegiatan yang terkait dengan investasi, dimana terjadinya transaksi jual beli surat-surat berharga. Investasi dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi menggunakan istilah investment (investasi) yang mempunyai arti: “penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (dimana investor menempatkan uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya”. 48 Investasi di Pasar Modal, investornya tidak perlu hadir secara fisik, sebab pada umumnya (mungkin untuk kasus-kasus tertentu investor mau memiliki perusahaan secara permanen dengan perhitungan bisnis tentunya tidak cukup menjanjikan pendapatan) tujuan utama dari investor bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali. Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan kata lain, jenis investasi seperti, yang diharapkan oleh investor adalah capital again, artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di bursa efek. Efek sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UU Pasar Modal) adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial,
47
M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 15. 48 John Downes dan Jordan Elliot Goodman dalam Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm. 31.
Universitas Sumatera Utara
saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyetoran kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Perusahaan yang menjual efeknya kepada masyarakat umum, misalnya berupa saham biasa (common stock), berarti perusahaan tersebut menjual sebagian kepemilikannya. Sebagai pemilik sebagian, maka pemegang saham atau pemodal baru ini akan menanggung sebagian resiko sebagai pemilik, dan juga nilai kepemilikannya dapat berubah setiap waktu sesuai dengan naik turunnya harga saham yang beredar di pasar modal. 49 Saham biasa ini terjual oleh perusahaan kepada pemodal pada pasar perdana. Setelah saham dijual, uang yang didapat masuk ke perusahaan. Apabila pemodal sudah membeli saham pada pasar perdana, pada umumnya pemodal tidak dapat menjual kembali saham tersebut kepada perusahaan, namun mereka dapat menjualnya kepada pemodal lain yang ingin membeli sham tersebut. Penjualan ini disebut pasar sekunder. Berapa pun harga saham tersebut terjual pada pasar sekunder, segala keuntungan ataupun kerugian ada sepenuhnya pada pemegang saham yang membeli atau menjual. 50 Jual beli dalam pasar modal sangat bertolak belakang dengan makna konsumen “tidak untuk diperdagangkan” pada UU Perlindungan Konsumen. Sebagaimana layaknya suatu pasar yang mempunyai sifat pelaku yang antara lain terdiri dari penjual, pembeli, dan pemasok barang, pasar modal juga terdiri dari banyak pihak yang masing-masing memiliki peran sendiri. Menurut Asri
49 50
Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Ibid., hlm. 199. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Prabosinta Prabowo, 51 para pihak atau yang lebih sering disebut sebagai pelaku pasar modal, meliputi diantaranya investor/pemodal. Pemodal menurutnya adalah perorangan dan/atau lembaga yang menanamkan dananya dalam efek. Pasar modal sebagaimana yang dikemukakan Asri Sitompul, bahwa pasar modal Indonesia sebagai salah satu lembaga yang memobilisasi dana masyarakat dengan menyediakan sarana atau tempat untuk mempertemukan penjual dan pembeli dana jangka panjang yang disebut efek. 52 Merumuskan doktrin yang ada, pemodal atau investor dalam perspektif UU Perlindungan Konsumen lebih tepat diartikan sebagai pelaku usaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut. 53 1.
2.
3.
Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya; Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatanm narkotika dan sebagainya; dan Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atatu memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, took, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara dan sebagainya.
51
Asri Prabosinta Prabowo dalam Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 177. 52 Asril Sitompul dalam Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Ibid., hlm. 165. 53 Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
Membandingkan definisi yang terdapat antara UU OJK dengan UU Perlindungan Konsumen, maka ada perbedaan terutama terkait kata “tidak untuk diperdagangkan”. Hal ini tentu tidak berlaku bagi investor atau pemodal di pasar modal. Pemodal di pasar modal pada dasarnya menempatkan dananya dengan harapan akan memperoleh keuntungan di kemudian hari melalui penjualan yang dilakukannya terhadap surat-surat berharga yang dimilikinya. Artinya terjadi aktivitas jual beli yang dilakukan oleh pemodal di pasar modal, karena surat-surat berharga tersebut diperdagangkan. Jika dikaitkan dengan doktrin tadi, maka kedudukan pemodal di pasar modal bisa dikatakan sebagai pelaku usaha atau investor dalam UU Perlindungan Konsumen, yang dalam UU OJK justru disebut konsumen. Batasan (definisi) selalu diperlukan untuk memperjelas ruang lingkup dan pegangan dalam pembahasan pokok permasalahan. Rumusan mengenai konsumen dua undang-undang ini tampak berbeda. UU Perlindungan Konsumen tidak memperbolehkan konsumen yang memakai barang dan/atau jasa dengan tujuan komersial, sedangkan UU OJK memperbolehkan konsumen memanfaatkan jasa dengan tujuan komersial. Artinya, jika batasan konsumen pada UU Perlindungan Konsumen hanya mencakup konsumen akhir, pada UU OJK, konsumen bukan hanya konsumen akhir tetapi juga konsumen antara. Pemodal di pasar modal mendapatkan tempat sebagai konsumen dala UU OJK. Dengan batasan tersebut, pemodal sebagai konsumen di pasar modal mendapatkan perlindungan khusus dalam UU OJK.
Universitas Sumatera Utara