BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Setiap manusia di dunia ini tidak bisa lepas dari problematika kehidupan.
Bisa dikatakan manusia hidup berdampingan dengan problematika tersebut. Demikian juga dengan sebuah karya sastra. Sastra merupakan sebuah produk dari masyarakat. Seorang pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat, mengungkapkan problematika berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan di lingkungannya melalui karya-karyanya. Sebagai sebuah karya imajiner, karya sastra menawarkan berbagai masalah manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan (Nurgiyantoro, 2005:2). Dalam karya sastra, problematika hidup yang ada merupakan hasil kreativitas pengarang yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Meskipun begitu tidak berarti bahwa kebenaran dalam karya sastra dan kebenaran di dunia nyata itu sama. Hal tersebut dikarenakan dunia fiksi dan dunia nyata masing-masing memiliki hukumnya sendiri. Seperti Wellek dan Waren (1993:278) yang menyatakan bahwa realitas dalam karya fiksi, yakni ilusi, kenyataan dan kesan meyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca, tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Namun, tidak jarang juga dalam dunia sastra ada suatu bentuk karya sastra yang berdasarkan pada fakta. Karya sastra tersebut oleh Abrams (via
1
2
Nurgiyantoro, 2005:4) disebut sebagai fiksi historis (historical fiction) jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografis (biographical fiction) jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis, dan fiksi sains (science fiction) jika yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga karya sastra tersebut dikenal dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction). Selanjutnya dalam suatu karya sastra selalu mengandung pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca agar pembaca dapat mengambil pelajaran dari dalam cerita. Biasanya pesan tersebut berupa pesan moral yang berhubungan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan memperjuangkan hak dan martabat manusia. Pesan moral dalam suatu karya sastra penting keberadaannya agar karya sastra tersebut menjadi bernilai. Moral dalam suatu karya sastra pada umumnya mencerminkan pandangan hidup si pengarang terhadap nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Ia merupakan ‘petunjuk’ yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Nilai-nilai tersebut disampaikan melalui sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh dalam cerita. Salah satu penulis yang ingin menyampaikan pesan moral melalui karyanya adalah Shimada Youshichi. Shimada Youshichi adalah seorang pelawak. Shimada Youshichi lahir di Hiroshima tahun 1950 dengan nama sebenarnya Tokunaga Akihiro. Shimada menghabiskan masa sekolah dasar dan menengahnya di Saga.
3
Pada tahun 1975 Shimada bersama Youhachi membentuk grup lawak manzai 1 “B&B” dan memenangkan penghargaan dalam kontes manzai di NHK. Selain aktif sebagai pelawak, Shimada juga aktif menulis. Novel Saga no Gabai Baachan adalah salah satu karyanya yang banyak mengandung pesan moral. Novel Saga no Gabai Baachan merupakan novel fiksi biografi yang diceritakan dengan gaya bercerita yang ringan, sehingga novel ini menarik dan mudah dipahami. Novel ini menceritakan masa kecil Shimada saat tinggal bersama neneknya di Saga. walaupun mereka dalam kemiskinan, tapi keduanya tetap ceria dan bersemangat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Di era modern ini dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah mulai melupakan hakikat kesederhanaan dalam kehidupan. Saat ini kebahagiaan hanya diukur dari banyaknya materi yang dimiliki. Padahal, pada hakikatnya kesederhanaan dalam hidup yang ditunjukkan dengan cara bersyukur atas apa yang telah dimiliki dan memanfaatkan apa yang ada disekitar dengan baik dapat memberikan kebahagiaan yang sebenarnya. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti pesan moral yang terkandung dalam novel Saga no Gabai Baachan melalui analisis fakta cerita dan tema Robert Stanton. Penelitian ini tidak menganalisis sarana sastra, seperti sudut pandang, nada dan gaya, dengan alasan bahwa pesan moral yang ada dalam novel Saga no Gabai Baachan dapat dilihat melalui analisis tema dan fakta cerita.
1
seni melawak yang dilakukan dua orang atau lebih dengan cara bercakap-cakap di depan penonton, satu berperan sebagai si pintar (tsukkomi) dan satu sebagai si bodoh (boke)
4
1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1.
Bagaimanakah fakta cerita yang terdapat dalam novel Saga no Gabai Baachan karya Shimada Youshichi?
2.
Apakah tema dari novel Saga no Gabai Baachan karya Shimada Youshichi?
3.
Bagaimanakah keterkaitan antarunsur intrinsik novel Saga no Gabai Baachan karya Shimada Youshichi?
4.
Pesan moral apakah yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Saga no Gabai Baachan melalui fakta cerita dan temanya?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu teoritis dan praktis. Secara teoritis
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur cerita novel Saga no Gabai Baachan yang berupa fakta cerita (alur, tokoh dan penokohan, latar) dan tema dengan menggunakan teori fakta cerita Robert Stanton. Selain itu juga untuk menganalis pesan moral yang terdapat dalam cerita tersebut. Sedangkan tujuan praktisnya adalah memperkenalkan kepada pembaca salah satu karya Shimada Youshichi, yaitu novel Saga no Gabai Baachan. 1.4
Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fakta cerita dan tema
Robert Stanton. Sedangkan untuk menganalisis pesan moral penulis menggunakan konsep analisis moral Nurgiyantoro Burhan.
5
1.4.1. Fakta Cerita Robert Stanton dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Fiction yang diterjemahkan oleh Sugihastuti (2007:20-71) menyatakan bahwa karya sastra memiliki unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya sebagai sesuatu yang saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan makna. Terkait dengan unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra, Robert Stanton membagi unsur-unsur fiksi menjadi tiga unsur utama, yaitu fakta, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita dalam sebuah karya sastra meliputi alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Kemudian, sarana sastra meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi. Sedangkan, tema merupakan sesuatu yang menjadi dasar cerita. Menurut Stanton (2007:22) fakta cerita terdiri dari karakter (tokoh dan penokohan), alur, dan atar. Ketiganya berfungsi sebagai catatan imajinatif sebuah cerita. Bila dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. 1.4.1.1 Alur Secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26)
6
Eksistensi sebuah alur sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Ketiga unsur itu mempunyai hubungan yang mengerucut: jumlah cerita dalam sebuah karya fiksi banyak sekali, tapi belum tentu semuanya mengandung konflik. Jumlah konflik juga relatif banyak, tapi hanya konflik utama tertentu yang dapat dipandang sebagai klimaks. Konflik (conflict) mengacu pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang, jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith dan Fitzgerald dalam Nurgiyantoro, 2005:122). Konflik adalah kejadian yang tergolong penting dan merupakan unsur yang esensial dalam perkembangan alur. Konflik mengacu pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak nyaman yang terjadi atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita. Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan aksi dan respon (Wellek dan Warren, 1990:285). Konflik yang meruncing dan sampai pada titik puncak disebut klimaks. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi (Stanton, 2007:32). Klimaks adalah titik temu antara kekuatan-kekuatan konflik yang menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Dalam sebuah cerita seringkali konflik-konflik pendukung yang juga terdapat dalam cerita itu mempunyai potensi untuk sampai ke klimaks. Dengan demikian mungkin saja dalam sebuah cerita terdapat lebih dari satu klimaks, tergantung jumlah konflik yang dibangun.
7
Berdasarkan kriteria urutan waktu, secara teoritis dikenal alur maju atau progressif dan alur mundur atau flashback. Sebuah karya fiksi dikatakan beralur maju jika peristiwa diceritakan secara berurutan. Cerita diawali dengan tahap awal kemudian diikuti peristiwa-peristiwa berikutnya. Sebaliknya alur mundur merupakan alur dengan urutan kejadian yang tidak berurutan. Secara teoritis alur dapat diurutkan ke dalam tahap-tahap tertentu yang disebut dengan struktur alur. Aristoteles mengemukakan teori tahapan alur yang terdiri atas : tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), tahap akhir (end). Tahapan alur yang dikemukakan oleh Tasrif (dalam Mochtar Lubis via Nurgiyantoro, 2005:149) dibedakan ke dalam: 1.
Tahap Situation: tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita dan pemberian informasi.
2.
Tahap Generating Circumstances: tahap pemunculan konflik, masalah dan peristiwa menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan
3.
Tahap Rising Action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan
pada
tahap
sebelumnya
semakin
berkembang
kadar
intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatis yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. 4.
Tahap Climax: tahap klimaks, konflik atau pertentangan yang terjadi pada tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
8
5.
Tahap Denounment: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian atau ketegangan dikendorkan.
1.4.1.2 Tokoh dan Penokohan Menurut Stanton (2007:33) karakter memiliki dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh individu yang ditampilkan dalam cerita, sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Dengan demikian, karakter dapat berarti pelaku cerita (tokoh cerita) dan dapat juga berarti perwatakan (watak) yang keduanya saling berkaitan. Hal tersebut diperkuat oleh Nurgiyantoro (2005:165) yang mengatakan bahwa istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau si pelaku cerita, sedangkan penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Sedangkan menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2005:165) tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Artinya tokoh sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pembuat cerita kepada pembaca. Pembedaan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya fiksi ada bermacammacam. Salah satunya dilihat dari peran tokoh-tokoh, ada tokoh utama (central character, main character), yaitu tokoh yang tergolong penting dan
muncul
terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita, dan tokoh tambahan (peripheral character) yaitu tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali
9
dalam cerita dan dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 2005:176-178). 1.4.1.3 Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita. Latar dapat berwujud tempat, waktu-waktu tertentu (hari, bulan, tahun) dan kondisi sosial masyarakat (Stanton, 2007:35). Latar tempat menunjuk deskripsi tempat suatu peristiwa terjadi. Unsur tempat yang digunakan mungkin tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin juga lokasi tertentu tanpa nama jelas. Melalui tempat terjadinya peristiwa diharapkan dapat menggambarkan tradisi masyarakat, tata nilai, tingkah laku, suasana, dan hal-hal lain yang mungkin berpengaruh pada tokoh dan karakternya (Sayuti, 2000:127). Keberhasilan latar tempat dari sebuah karya fiksi ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau waktu yang dapat dihubungkan dengan peristiwa sejarah. Rangkaian peristiwa tidak mungkin terjadi jika dilepaskan dalam perjalanan waktu, yang dapat berupa jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakanginya (Sayuti, 2000:127). Menurut Sayuti (2000:127), latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
10
berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. 1.4.2 Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia (Stanton, 2007:36). Stanton juga mengatakan bahwa tema dapat disinonimkan dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2005:25) tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Menurut Nurgiyantoro (2005:83) tema dibedakan menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang tersirat dalam sebagian besar cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagianbagian tertentu saja. Sedangkan tema minor adalah makna-makna lain yang terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita. Tema mayor terungkap dan muncul melalui masalah-masalah yang paling berpengaruh dalam keseluruhan cerita, berpengaruh menimbulkan berbagai konflik yang ada sehingga melingkupi hampir keseluruhan waktu dalam cerita. Tema minor muncul sebagai efek samping atau tema tambahan yang mendukung tema yang paling berpengaruh, waktunya adalah waktu sela yang tidak terlalu lama.
11
Tema berfungsi menyatukan unsur-unsur dalam sebuah karya fiksi. Dengan demikian, tema haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan unsur pembangun cerita yang lain (Nurgiyantoro, 2005:66). Jadi sebuah tema dalam sebuah karya sastra fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kesatuan. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika berkaitan dengan unsur-unsur lainnya. Tema tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan secara implisit, untuk itu perlu dilakukan sebuah penafsiran. 1.4.3 Moral Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005:321) Menurut Nurgiyantoro (2005:321) moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan. Dengan pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi tentu berbeda efeknya dibandingkan lewat tulisan nonfiksi. Moral, kadang-kadang, diidentikkan pengertiannya dengan tema walau sebenarnya tidak selalu mengacu pada maksud yang sama. Moral dan tema, karena keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, diambil dari cerita, dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun tema bersifat lebih kompleks daripada moral di samping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditujukan kepada pembaca (Kenny via Nurgiyantoro, 2005:320).
12
Secara umum pesan moral dalam karya sastra berwujud moral religius dan kritik sosial. Keduanya, masalah religius dan sosial, banyak memberikan inspirasi bagi para pengarang. Hal tersebut disebabkan karena banyakn masalah kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan pengarang. Pesan moral tersebut disampaikan pengarang dengan cara langsung dan tidak langsung. Pesan moral yang disampaikan secara langsung dilakukan pengarang dengan cara ‘memberi tahu’ pembaca secara langsung dan eksplisit sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami pesan moral yang terkandung dalam karya sastra tersebut (Nurgiyantoro, 1998:335). Sedangkan secara tidak langsung, pengarang menyampaikan pesan moralnya melalui sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik yang terjadi (Nurgiyantoro, 2005:339).
1.5
Tinjauan Pustaka Untuk mengetahui kebaruan penelitian ini, dilakukan tinjauan pustaka baik
dari segi objek material maupun objek formal. Sejauh yang penulis temukan, dari segi objek material, penelitian terhadap novel Saga no Gabai Baachan pernah dilakukan oleh Vina Amelia, mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang FKIP Universitas Riau pada tahun 2012 dengan judul Makna Hidup Dalam Fenomena Eksistensi Tokoh Baachan Dalam Novel Saga no Gabai Baachan Karya Shimada Youshichi (Pendekatan Psikologi Eksistensialisme). Dalam penelitian yang dilakukan Vina tersebut terungkap bahwa tokoh nenek Osano menunjukkan eksistensialisme yang khas, dengan cara-cara yang dilakukan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Prinsip kebebasan dan tanggung jawab selalu ada dalam diri nenek Osano. Tokoh ini merupakan individu yang selalu
13
mempunyai kebebasan dalam menentukan keputusan dalam hidup. Di samping kebebasan, nenek Osano juga mengedepankan tanggung jawab atas hal-hal yang telah ia putuskan. Unsur spiritualitas menunjukkan bahwa nenek Osano merupakan manusia yang memiliki keluhuran dalam hidup karena mempunyai hati nurani baik. Selain itu penelitian terhadap novel Saga no Gabai Baachan juga pernah dilakukan oleh Sinta Rustam, mahasiswa Universitas Bina Nusantara pada tahun 2012, dengan judul Analisis Konsep Ganbare pada Dua Tokoh Novel Saga no Gabai Baachan. Dalam penelitian tersebut Sinta membagi simpulan menjadi dua bagian, yaitu simpulan konsep ganbare yang terdapat pada tokoh Aku dan simpulan konsep ganbare yang terdapat pada Nenek Osano. Konsep ganbare yang terdapat pada tokoh Aku adalah pantang menyerah dan melakukan yang terbaik, sedangkan konsep ganbare pada nenek Osano adalah melakukan yang terbaik dan semangat. Dari segi objek formal, penelitian dengan menggunakan teori fiksi Robert Stanton pernah dilakukan pada tahun 2004 oleh Erna Tri Widarti, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada dengan judul Tema dan Fakta Cerita Novel Sukreni Gadis Bali Karya AA Panji Tisna. Dalam penelitian tersebut tema sentral
yang terdapat dalam novel Sukreni Gadis Bali adalah ambisi atau
keinginan terhadap sesuatu sebaiknya ditempuh dengan jalan yang benar. Analisis fakta cerita yang dilakukan menunjukkan bahwa hubungan antarunsur dalam novel tersebut dapat membentuk suatu totalitas yang mendukung kesatuan dan kepaduan cerita.
14
Selain itu penelitian moral dengan menggunakan teori Robert Stanton pernah dilakukan oleh Sarah Aulia Nurwahid, mahasiswa Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013 dengan judul Ajaran Moral Dalam Cerpen Hasire Merosu Karya Dazai Osamu: Analisis Tema dan Fakta Cerita. Dalam penelitian yang dilakukan Sarah tersebut diperoleh pesan moral yang terkandung dalam cerpen Hasire Merosu karya Dazai Osamu antara lain untuk mencapai keberhasilan manusia harus berjuang dan bekerja keras, berani menyuarakan kebenaran, tidak boleh berputus asa dan fokus terhadap tujuan yang diinginkan, jadilah seorang penyayang dan bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang dilakukan, serta menjadi seorang pengusaha harus bijaksana dan adil. Penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sarah tersebut. Meskipun teori yang digunakan penulis sama dengan teori yang digunakan oleh Sarah, akan tetapi objek materialnya berbeda. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, dapat diketahui bahwa berbagai penelitian yang terlebih dahulu dilakukan ada kesamaan dari segi objek material dan formal. Akan tetapi penelitian dengan objek material novel Saga no Gabai Baachan dengan meneliti pesan moral baru sekarang ini dilakukan. 1.6
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat menjelaskan dan menggambarkan. Pada penelitian kualitatif, data yang dikumpulkannya umumnya berbentuk kata-kata, gambar, dan kebanyakan bukan berupa angka-angka (Danim, 2002:61). Sedangkan untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi
15
ini digunakan metode studi pustaka yaitu pengumpulan data dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Langkah yang dilakukan antara lain: 1.
Menentukan objek material penelitian yaitu novel Saga no Gabai Baachan karya Shimada Youshichi dan objek formal penelitian, yaitu analisis fakta cerita dan tema Robert Stanton.
2.
Menganalisis fakta cerita dan tema yang terdapat dalam novel Saga no Gabai Baachan karya Shimada Youshichi.
3.
Menganalisis keterkaitan unsur fakta cerita dan tema.
4.
Menganalisis pesan moral yang ingin disampaikan pengarang.
5.
Mengambil kesimpulan.
1.7
Sistematika Penyajian Penulisan laporan ini terdiri atas 4 bab. Bab pertama berupa pendahuluan,
meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua berupa analisis fakta cerita dan tema. Bab ketiga berupa analisis pesan moral. Bab empat berupa kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.