KONSTRUKSI SOSIAL ATAS BURUH TANI PEREMPUAN DI MASYARAKAT DESA (Studi Kasus pada masyarakat Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur)
SKRIPSI Disusun untuk memenuhi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi
Oleh :
PATRICIA SURYANI D0308080
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya
menyatakan
dengan
sebenar-benarnya
bahwa
sepanjang
pengetahuan saya, di dalam naskah ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana Sosial) dibatalkan.
Surakarta, Juli 2012
PATRICIA SURYANI NIM. D0308080
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Patricia Suryani, 2012, D0308080, KONSTRUKSI SOSIAL ATAS BURUH TANI PEREMPUAN DI MASYARAKAT DESA (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Karagasri, Kec. Ngawi Kab. Ngawi, Jawa Timur), Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Salah satu wilayah di Kabupaten Ngawi yang nampak aktifitas buruh tani (khususnya perempuan) adalah di kawasan Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi. Di desa ini, sektor industri khususnya bidang pertanian cukup diandalkan. Fokus kajian pada penelitian ini adalah mencoba menggambarkan serta mengurai bagaimana konstruksi sosial atas buruh tani perempuan pada masyarakat Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Untuk menggambarkan serta mengurai konstruksi sosial, digunakan teori konstruksi sosial atas realitas yang dikemukakan oleh Peter L. Berger. Penelitian ini merupakan studi kasus yang membahas konstruksi sosial atas buruh tani perempuan pada masyarakat Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Data bersumber dari informasi yang diperoleh langsung dari informan, studi pustaka, dokumen tertulis dan arsip. Teknik pengumpulan data digunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dipilih secara purposive, dalam hal ini informan dipilih berdasarkan klasifikasi tingkat pendidikan yang pernah ditamatkan seseorang, sehingga informan berjumlah 8 (delapan) orang. Data dianalisis dengan analisis spradley melalui analisis komponensial yang terlebih dahulu mencari/ memilih domain dalam membuat analisis. Validitas data digunakan teknik triangulasi sumber. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa buruh tani perempuan merupakan perempuan-perempuan sebagai tanaga kerja yang dikarenakan beberapa hal menyebabkan mereka bekerja sebagai buruh tani, dengan kata lain, buruh tani perempuan ialah pencari nafkah kedua dalam keluarga. Mereka bekerja bukan atas dasar kewajiban mencari nafkah utama dalam keluarga dan biasanya mereka bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi subsisten. Masyarakat memandang mereka merupakan perempuan-perempuan yang tangguh dan pekerja keras. Hidup dilingkungan pedesaan yang masih cukup memegang budaya patriarki, perempuan-perempuan buruh tani tersebut berhasil mematahkan anggapan bahwa perempuan hanyalah sebagai “konco wingking”. Hal ini dapat dilihat pada fungsi kerja domestik dan fungsi kerja publik mereka. Konstruksi sosial tersebut terbangun atas realitas yang dialami di masyarakat. Konstruksi sosial atas buruh tani perempuan, didasari atas beberapa faktor pembentuk, diantaranya faktor ekonomi (penghasilan, pengeluaran, kemampuan menabung), sosial budaya (interaksi, budaya yang berkembang), pendidikan (pendidikan yang ditempuh buruh tani perempuan tersebut serta pendidikan anak-anaknya).
Kata kunci : konstruksi sosial, buruh tani, buruh perempuan commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Patricia Suryani, 2012, D0308080, SOCIAL CONSTRUCTION OF WOMEN AGRICULTURAL LABORERS IN RURAL COMMUNITY (Case Study In The Village Karangasri, Ngawi, East Java), Thesis, Department of Sociology, Faculty of Social and Politicial Sciences, Sebelas Maret University. One area that appears in the District Ngawi agricultural laborers activity (especially women) are in the Village Karangasri, District Ngawi. In this village, especially the agricultural sector is quite reliable. The focus of this research study is trying to describe and parse how the social construction of women agricultural laborers in the village of Karangasri, District Ngawi, Ngawi district. To describe and parse the social construction, used the theory of social construction of reality put forward by Peter L. Berger. This study is a case study that discusses the social construction of women agricultural laborers in the village of Karangasri, District Ngawi, Regency of Ngawi. Data sourced from information derived directly from the informants, the study of literature, written documents and archives. The data collection techniques used interviews, observation, and documentation. Selection of informants selected purposively, in this case the informants were selected based on the classification level of education a person had attained, so that the informant amounted to 8 (eight). Data were analyzed by Spradley analysis through the componential analysis is to first find / select the domain in making the analysis. The validity of the data used triangulation techniques. From the research, found that women agricultural laborers are these women as workers is due to several things cause them to work as a laborer, in other words, women farm workers are the second income earner in the family. They work rather than on the basis of the primary obligation to earn a living in the family and they usually work only to meet the needs of subsistence economies. The public views these women they are tough and hardworking. In the environment rural life that still holds quite a patriarchal culture, these women agricultural laborers is successfully break that women is just a "konco wingking", this can be seen in domestic work function and the function of their public employment. The social construction of reality experienced waking up in the community. The social construction of women agricultural laborers, based on several factors forming, such as economic factors (income, expenditure, saving ability),sociocultural (interaction, developing cultures), education (education taken by women laborers and their children's education). Key words: social construction, agricultural laborers, women workers
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Don’t follow your dream Just follow your hearth
Learn from Yesterday Life for Today Hope for Tommorow
commit to user HALAMAN PERSEMBAHAN
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dedicated for : My Future.....
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala campur tanganNya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tulisan (skripsi) yang berjudul: Konstruksi Sosial Atas Buruh Tani Perempuan Pada Masyarakat Desa Karangasri (Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi). Berbagai problematika pedesaan sangat menarik untuk dikaji ditengah gencarnya arus modernisasi sekarang ini. Tulisan (skripsi) ini menyajikan pokok-pokok bahasan yang terdiri dari enam bagian, meliputi pendahuluan sebagai bagian utama yang menguraikan mengenai latar belakang mengapa saya tertarik untuk mengkaji buruh tani perempuan. Tujuan serta manfaat dilakukannya penelitian ini juga tercantum pada bagian pendahuluan. Kemudian pada bagian kedua diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang berisi tentang konsep, teori, penelitian yang relevan serta kerangka berpikir, yang kesemuanya berkaitan dengan tema yang saya angkat. Definisi konseptual juga melengkapi bagian tinjuan pustaka. Bagian ketiga berisi tentang metodologi penelitian. Bagian ini menyajikan inti dari kegiatan penelitian yang berisi tentang metode apa yang akan dipakai serta bagaimana teknik pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dokumentasi serta studi pustaka dari berbagai sumber. Bagian keempat berisi deskripsi lokasi penelitian. Hasil dan pembahasan yang didapat dari penelitian yang telah saya lakukan, tertuang pada bagian kelima tulisan (skripsi) ini. Pada bagian ini berdasarkan dari apa yang saya dapat pada saat melakukan penelitian, dapat dikatakan bahwa buruh tani perempuan dikonstruksikan sebagai pencari nafkah kedua dalam keluarga, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi subsisten. Seringkali keberadaan buruh tani perempuan dipandang sebelah mata, namun keberadaan mereka sangat berperan besar bagi sistem ketahanan pangan dalam industri pertanian. Konstruksi sosial tersebut terbentuk karena adanya faktor ekonomi, sosial-budaya serta pendidikan, baik di dalam lingkungan keluarga buruh tani perempuan itu sendiri maupun dari lingkungan tempat to user tinggalnya. Dalam penelitian inicommit saya ingin menyampaikan bahwa keberadaan
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
buruh tani perempuan hendaknya patut untuk dihargai, dan akan terjadi sebuah persoalan nantinya pada sistem ketahanan pangan masyarakat jika keberadaan buruh tani perempuan mulai langka. Terima kasih kepada Dr. Ahmad Zuber, S.Sos, DEA yang telah membimbing hingga terselesaikannya tulisan ini. Kepada seseorang yang memberikan dukungan, bantuan serta memotivasi untuk segera menyelesaikan tulisan ini. Kepada rekan-rekan seperjuangan dan teman-teman Sosiologi 2008 tanpa terkecuali, sahabat-sahabat saya yang juga turut berkontribusi. Last but not least, terimakasih juga saya sampaikan kepada kedua orang tua saya : Marjoko E.P dan Sudiyani. Karya ini saya persembahkan kepada kalian berdua yang selalu menjadikanku kuat disetiap kerapuhanku. Untuk kedua adikku tercinta, Vinna dan Vyta yang selalu kurindukan canda tawanya. Begitu pula untuk seseorang yang telah menjadi bagian dalam perjalanan saya: Galih Iqbal Wibowo, terima kasih atas kesabaranmu. Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulis mempunyai banyak kekurangan dan keterbatasan, walaupun penulis telah mengerahkan segala kemampuan untuk lebih teliti, tetapi penulis masih merasakan adanya kekurangtepatan ataupun kesalahan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari para pembaca agar nantinya tulisan ini dapat bermanfaat bagi orang lain.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN................................................................... iv HALAMAN ABSTRAK........................................................................... v HALAMAN MOTTO................................................................................ vii HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................... viii KATA PENGANTAR.............................................................................. ix DAFTAR ISI............................................................................................. xi DAFTAR TABEL..................................................................................... xiii DAFTAR MATRIK.................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR................................................................................ xv BAB I
Pendahuluan.................................................................. 1 1.1 Latar Belakang......................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah.................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian...................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian.................................................... 6
BAB II
Tinjauan Pustaka............................................................. 8 2.1 Kajian Konsep Penelitian.......................................... 8 2.2 Kajian Teori..........................................................
11
2.3 Penelitian Terdahulu..................................................19 2.4 Kerangka Berpikir..................................................... 22 2.5 Definisi Konseptual................................................... 24 BAB III
Metode Penelitian............................................................ 26 3.1 Rancangan Penelitian.................................................26 3.2 Lokasi Penelitian....................................................... 27 3.3 Alasan Pemilihan Lokasi............................................28 3.4 Sumber Data.............................................................. 28 commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.5 Informan.................................................................... 28 3.6 Teknik Pemilihan Informan.......................................29 3.7 Teknik Pengumpulan Data........................................ 29 3.8 Validitas Data............................................................ 32 3.9 Teknik Analisa Data.................................................. 33 BAB IV
Deskripsi Lokasi Penelitian............................................. 36 4.1 Letak Geografis......................................................... 36 4.2 Luas Wilayah.............................................................36 4.3 Sejarah Desa.............................................................. 36 4.4 Kependudukan.......................................................... 37 4.5 Tingkat Pendidikan....................................................37 4.6 Mata Pencaharian.......................................................38
BAB V
Hasil dan Pembahasan..................................................... 39 5.1 Profil Informan.......................................................... 39 5.2 Pengertian Umum Buruh Tani...................................41 5.3 Buruh Tani Perempuan..............................................46 5.4 Konstruksi Sosial Atas Buruh Tani Perempuan........ 52 5.5 Faktor-faktor Pembentuk Konstruksi Sosial Atas Buruh Tani Perempuan .............................................66 5.5.1 Ekonomi........................................................... 66 5.5.2 Sosial Budaya.................................................. 83 5.5.3 Pendidikan....................................................... 94 5.6 Pembahasan............................................................... 104
BAB VI
Kesimpulan dan Saran.................................................... 116 6.1 Kesimpulan................................................................116 6.2 Saran.......................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tingkat Pendidikan..........................................................36
Tabel 2
Mata Pencaharian.............................................................37
Tabel 3
Worksheet Klasifikasi Buruh Tani...................................105
Tabel 4
Worksheet Fungsi Kerja Perempuan................................107
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR MATRIK
Matrik 5.1
Profil Informan..........................................................................39
Matrik 5.2
Pengertian Umum Buruh Tani.................................................. 43
Matrik 5.3
Klasifikasi Buruh Tani Berdasar Jenis Kelamin....................... 48
Matrik 5.4
Konstruksi Atas Buruh Tani Perempuan...................................59
Matrik 5.5
Faktor Ekonomi sebagai Pembentuk Konstruksi Sosial........... 77
Matrik 5.6
Faktor Sosial Budaya sebagai Pembentuk Konstruksi Sosial...87
Matrik 5.7
Faktor Pendidikan sebagai Pembentuk Konstruksi Sosial .......100
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Keberadaan buruh tani di Ds. Karangasri, Kec. Ngawi, Kab.Ngawi................................................................41 Gambar 5.2 Aktifitas buruh tani di pedesaan.................................................... 43 Gambar 5.3 Aktifitas buruh tani laki-laki saat musim panen............................ 47 Gambar 5.4 Aktifitas buruh tani perempuan saat musim panen....................... 47 Gambar 5.5 Keberadaan buruh tani perempuan di Ds. Karangasri................... 52
commit to user
xv
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten yang terletak di sebelah barat Propinsi Jawa Timur. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Ngawi memiliki potensi industri di berbagai sektor, mulai dari sektor perdagangan barang hingga perdagangan jasa. Hal ini menunjukkan Kabupaten Ngawi memiliki aktifitas perekonomian yang bisa dikatakan tinggi. Pada sektor perdagangan barang, nampak aktifitas industri mebel di Kabupaten ini berkembang pesat atas dukungan sumber daya alam berupa masih terdapatnya Alas Banjarejo yang berada di Kecamatan Mantingan. Selain industri mebel dan ukir-ukiran yang termasuk dalam sektor industri menengah, masih ada pula berbagai sektor industri mikro atau dapat juga disebut sebagai industri rumah tangga, seperti industri kerajinan tas plastik anyaman (polyprophilene), pembuatan genteng/ batu bata, pembuatan kripik tempe dan geti. Industri pertanian juga cukup potensial di Ngawi, dimana sekitar 39 % atau sekitar 504,8 km² wilayah Kabupaten Ngawi merupakan lahan sawah (“Ngawi dalam angka 2010”). Sektor pertanian terbukti
menjadi sektor unggulan, dan sektor ini pula yang menjadi
penyumbang terbesar terhadap total PDRB ( Produk Domestik Regional Bruto ) bagi Kabupaten Ngawi. Sedangkan pada sektor perdagangan jasa, serta atas keberadaan industri–industri di Kabupaten Ngawi, seperti industri rokok, industri rumah tangga dan industri lainnya yang termasuk dalam usaha mikro, kecil dan menengah telah mempengaruhi keberadaan ketenagakerjaan di kabupaten ini. Sehingga tidak jarang ditemui aktifitas perdagangan jasa seperti buruh tani, buruh pabrik, buruh home industry, buruh cuci, buruh toko, dll. Keberadaan buruh–buruh tersebut menjadi fenomena sosial yang commit to user bidang. sering memunculkan polemik di berbagai
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengertian buruh pada saat ini di mata masyarakat awam sama saja dengan pekerja, atau tenaga kerja. Menurut kamus bahasa Indonesia, buruh
diartikan
sebagai
pekerja
kasar,
pekerja
menggunakan tenaga untuk mendapatkan upah.
yang umumnya
Buruh pada dasarnya
adalah mereka yang bekerja pada usaha perorangan dan diberikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian (Tanjil Alamin dalam Hujau Faziel blog, pada 19 Januari 2012). Menurut UU No. 13/2003, buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi pada dasarnya, semua yang bekerja di ( baik diperusahaan/luar perusahaan ) dan menerima upah atau imbalan adalah buruh, namun dalam kultur Indonesia, buruh berkonotasi sebagai pekerjaan rendahan, hina, kasar dan sebagainya. Buruh terdiri dari bermacam-macam jenis, seperti buruh tani, buruh pabrik, buruh toko, buruh rumah tangga, dll. Keberadaan buruh sangat menguntungkan bagi sebagian orang atau perusahaan, karena mereka bisa mendapatkan tenaga kerja tambahan dengan pemberian upah tertentu. Buruh kerap kali dianggap sebagai pekerjaan yang derajatnya rendah, selain dikarenakan tidak berpendidikan tinggi dan tidak memerlukan keahlian khusus, buruh identik pula dengan upah yang rendah. Salah satu jenis buruh adalah buruh tani. Buruh tani adalah tenaga kerja upahan yang dipekerjakan untuk membantu dalam pengerjaan lahan pertanian (Sjamsidar dkk, 1994:76). Buruh tani didefinisikan pula sebagai seseorang yang melakukan suatu kegiatan/pekerjaan di sawah atau ladang pertanian dengan tidak menanggung risiko terhadap hasil panen dan bertujuan untuk mendapatkan upah/imbalan (diambil dari Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan I 2008, pada 21 Januari 2012). Buruh tani dalam pengertian yang sesungguhnya memperoleh penghasilan dari bekerja yang mengambil upah untuk para commitpenyewa to user tanah. Pekerjaan sebagai buruh pemilik tanah atau para petani
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tani bukanlah merupakan suatu pekerjaan utama yang bisa diandalkan, selain dikarenakan upah yang rendah, bekerja di sektor pertanian tentunya sangat bergantung pada musim tanam. Buruh tani bekerja tidak berdasarkan
keahlian
tertentu
yang
dimilikinya,
karena
dalam
kenyataannya hampir seluruh tahapan kegiatan di lahan sawah dapat dikerjakan oleh mereka dan spesialisasi atau keahlian khusus tidak berkembang dalam kegiatan pertanian. Pada beberapa bentuk pekerjaan tertentu, tampak seolah–olah terdapat pembagian kerja yang berdasar keahlian. Secara umum buruh tani diklasifikasikan dalam buruh tani laki– laki dan buruh tani perempuan, hal ini juga mempengaruhi dalam sistem pembagian kerja. Berbagai bentuk pekerjaan yang tampak hanya dilakukan oleh laki-laki atau perempuan saja, sebenarnya lebih didasarkan oleh kebudayaan masyarakat setempat, bukan karena keterbatasan mental. Buruh tani perempuan menjadi salah satu bagian dari klasifikasi buruh tani berdasar jenis kelamin. Buruh tani perempuan merupakan tenaga kerja perempuan yang diberi upah atau imbalan jasa tertentu dalam proses produksi pertanian. Keterlibatan mereka untuk bekerja pada sektor pertanian di pedesaan lebih dikarenakan untuk membantu perekonomian keluarga. Karakteristik yang dapat dilihat dari buruh tani perempuan ialah mereka dituntut untuk bekerja pada sektor domestik maupun publik, pada sektor
domestik,
sebagai
perempuan
mereka
harus
mengerjakan
kewajibannya mengurus rumah tangga, dan di sektor publik mereka menjadi bagian dari suatu sistem ketenagakerjaan. Seperti merujuk pada penelitian yang telah dipublikasikan Universitas Nairobi di Kenya, perempuan yang bekerja di sektor pertanian biasanya terlibat sebagai pekerja lepas. Perempuan yang secara keseluruhan memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, terbatasnya ketrampilan dan kurangnya akses terhadap sumber daya, beban kerja domestik yang berat, faktor sosial budaya serta adanya pemisahan pasar tenaga kerja merupakan beberapa faktor yang berkaitan dengan terbatasnya partisipasi mereka di sektor commitoftoAfrican user Studies Vol.11 (2002). modern”. (Suda, Nordic Journal
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasar hasil pra survey, salah satu wilayah di Kabupaten Ngawi yang nampak aktifitas buruh tani (khususnya perempuan) adalah di kawasan Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi. Di desa ini, sektor industri khususnya bidang pertanian cukup menonjol. Sektor pertanian masih cukup diandalkan di Desa Karangasri, dengan wilayah seluas 494,6 Ha, 202,727 Ha merupakan tanah sawah dan penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani masih cukup banyak jumlahnya. Ditunjang pula dengan letaknya yang terhitung dekat dengan kota Kabupaten, maka banyak faktor
yang mendukung berkembangnya sektor ini. Seperti
misalnya kemudahan dalam mendapatkan alat–alat pertanian, pupuk, benih, pestisida bahkan kemudahan dalam penjualan hasil pertanian ketika musim panen tiba. Buruh tani perempuan pada dasarnya memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat, di satu sisi mereka (buruh tani perempuan) adalah sebagai ibu rumah tangga yang tentunya menjalankan fungsinya dalam keluarga. Namun, di sisi lain mereka juga menjalankan fungsi sosialnya sebagai tenaga kerja wanita produktif yang ada di Ngawi. Keberadaan mereka terkadang menjadi perbincangan di tengah masyarakat karena dianggap sebagai pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. Bagi perempuan dalam rumah tangga miskin, khususnya seperti di pedesaan, bekerja bukan merupakan sebuah tawaran tetapi suatu strategi untuk menopang kebutuhan ekonomi, apalagi bagi rumah tangga yang tidak memiliki akses tanah. Berdasar pra survey, perempuan yang bekerja sebagai buruh tani kerap kali dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang. Kebanyakan orang menganggap bahwa pekerjaan ini merupakan jenis pekerjaan rendahan. Bahkan orang tidak pernah berpikir lebih jauh ketika melihat seorang perempuan pulang dari sawah/ladang dengan berjalan kaki sambil menggendong hasil bumi serta badan sedikit membungkuk menahan beban, dan ketika sampai dirumah ia harus segera to user mengerjakan pekerjaan commit rutin sehari–hari seperti mencuci, memasak,
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengurus anak dan berbagai tugas lain yang tentunya sangat melelahkan. Kenyataan tersebut telah menyatu dalam kehidupan buruh tani perempuan dan nyaris tak bisa dihindari. Buruh tani perempuan sebagai bagian dari wajah kehidupan ini tampil sebagai sosok yang penuh beban dan tanggung jawab. Keberadaan buruh tani perempuan yang dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan tangan dalam pertanian, memberikan kesan bahwa nantinya penggunaan buruh tani perempuan akan menurun jumlahnya seiring adanya modernisasi pertanian (Mien Joebhaar dkk, 1984: 71). Tenaga–tenaga mereka telah tergantikan dengan tenaga mesin. Di era Revolusi Hijau, banyak atau bahkan hampir semua bagian siklus dalam era penanaman telah dimekanisasi (Holzner, 1997: 300), dalam hal ini perempuan jarang diikutsertakan pada pelatihan menggunakan dan memperbaiki mesin, dan yang lebih penting lagi justru pekerjaan perempuan digantikan oleh mesin. Teknologi sangat sering dianggap sebagai biang keladi marginalisasi peran buruh tani perempuan dalam pertanian. Namun persoalan yang terjadi tidak seperti itu. Jika terdapat kemerosotan buruh tani perempuan, hal tersebut lebih mungkin disebabkan oleh perubahan dalam persediaan tenaga buruh, wanita pedesaan akan semakin menolak bekerja berat di ladang dan menuntut hanya akan melakukan pekerjaan non pertanian atau pekerjaan rumah tangga saja (Mien Joebhaar dkk, 1984: 71). Akan tetapi masih ada pula sebagian buruh tani perempuan yang tetap bertahan untuk bekerja sebagai buruh tani ditengah gempuran alat–alat pertanian modern serta tawaran–tawaran pekerjaan di sektor lain yang lebih menjanjikan. Kehidupan buruh tani perempuan nyaris luput dari perhatian, padahal di dalamnya kerap melahirkan paradoks yang memprihatinkan. Hasil kerja kerasnya yang sering kali tidak sepadan dengan perjuangannya menjadikan mereka tetap berada dalam garis kemiskinan. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Fokus kajian pada penelitian ini adalah mencoba mengurai bagaimana konstruksi sosial atas buruh tani perempuan pada masyarakat Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Hal ini menjadi penting sebagai bahan pembahasan mengenai ketenagakerjaan serta fenomena sosial atas keberadaan buruh tani perempuan yang ada di tengah masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik dua rumusan permasalahan yaitu : 1.
Bagaimana konstruksi sosial atas buruh tani perempuan di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi ?
2.
Faktor – faktor apa yang melatarbelakangi terbentuknya konstruksi sosial tersebut ?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang hendak penulis lakukan ialah untuk menggambarkan konstruksi sosial atas buruh tani perempuan di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi serta menguraikan faktor apa saja yang melatarbelakangi terbentuknya konstruksi sosial tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah : 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Dapat memperluas wawasan dan memperdalam kajian tentang sosiologi, khususnya mengenai bagaimana buruh tani perempuan dikonstruksikan oleh masyarakat. b. Dapat mengetahui hal–hal apa saja yang mendasari konstruksi masyarakat atas buruh tani perempuan. commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Dapat memperkaya kajian–kajian teori sosiologi, khususnya teoriteori yang berkaitan dengan konstruksi sosial pada suatu masyarakat tertentu.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pemerintah Kabupaten Ngawi khususnya di bidang ketenagakerjaan.
commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Konsep Penelitian Konsep – konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 2.1.1 Konstruksi Sosial Konstruksi
sosial
adalah
sesuatu
yang
dibangun
berdasarkan klaim tertentu, dan dipercaya oleh sistem patriarkal atau juga merupakan susunan suatu realitas obyektif yang telah diterima dan menjadi kesepakatan umum (Abdullah, 1997: 5). Konstruksi sosial merupakan sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang dan pengetahuan (Basari, 2012: 1). Konstruksi diartikan sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang dan pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari – hari dan juga merupakan dasar dari individu (Basari, 2012: 27). Realitas dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci dari konstruksi sosial. Realitas adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen – fenomen yang memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (Basari, 2012: 1). Individu menciptakan terus menerus realitas yang dimiliki dan dialami secara subyektif (Berger dalam Basari, 2012: 51). Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen–fenomen
itu
nyata
dan
memiliki
karakteristik-
karakteristik yang spesifik (Basari, 2012: 1). Sehingga konstruksi sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang dibangun berdasarkan klaim tertentu dan dipercaya oleh suatu sistem patriarkal, dan merupakan sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan seseorang (Basari, 1990: 62). Konstruksi harus dilakukan sendiri terhadap pengetahuan commit to user itu. Sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Basari, 2012: 64). Konstruksi merupakan jawaban yang khas terhadap harapan yang khas pula, konstruksi menyiapkan pola. Menurut pola tersebut seorang individu harus bertindak dalam situasi khusus. Menurut Berger dan Luckmann (dalam Basari, 2012: 176), individu berpartisipasi dalam dunia sosial. Dengan menginternalisasi konstruksi tersebut secara obyektif menjadi nyata baginya. Setiap orang dianggap sebagai pelaku konstruksi sosial dan dapat dianggap bertanggung jawab untuk menaati norma – normanya, yang bisa diajarkan sebagai bagian dari tradisi dari kelembagaan dan digunakan untuk membuktikan kompetensi semua pelaku, dan dengan demikian berfungsi sebagai pengendali. Salah satu mekanisme pengendalian yang diungkapkan Berger dan Luckmann
adalah
seperti
membujuk,
memperolok–olok,
mendesas–desuskan, mempermalukan dan mengucilkan (dalam Basari, 2012: 75). Mekanisme tersebut diterapkan dalam ruang terbatas yaitu kelompok seperti dalam lingkungan pekerjaan, teman, dan keluarga.
2.1.2 Buruh Tani Buruh tani ialah tenaga kerja upahan dalam proses produksi pertanian (Sjamsidar, 1994: 77), sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, buruh tani diartikan sebagai buruh yang menerima upah dengan bekerja di kebun atau di sawah orang lain. Buruh tani didefinisikan pula sebagai seseorang yang melakukan suatu kegiatan/pekerjaan di sawah atau ladang pertanian dengan tidak menanggung risiko terhadap hasil panen dan bertujuan untuk mendapatkan upah/imbalan (diambil dari Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan I 2008, pada 21 Januari 2012). Umumnya setiap petani yang memiliki lahan pertanian cukup luas, buruh tani menjadi tenaga pokok atau commit to produksi user tenaga andalan dalam proses pertanian.
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain dari definisi diatas, buruh tani juga dapat diartikan sebagai penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam kegiatan bercocok tanam dan membuat keputsan yang otonom tentang proses cocok tanam (Wolf dalam Mahasin, 1984: 10). Pada dasarnya definisi buruh tani dan petani hampir sama, yang membedakan hanyalah pada sistem kepemilikan sawah/ lahan pertanian serta pengawasan atas sistem produksi. Buruh tani lebih ditekankan pada petani penggarap bukan sebagai pemilik tanah/ lahan pertanian dan bukan pula sebagai pengawas atas proses produksi pertanian (Wolf dalam Mahasin, 1984: 16), atau lebih singkatnya, buruh tani adalah petani tak bertanah (Hagul, 1985: xi).
2.1.3 Buruh perempuan Buruh perempuan merupakan pengelompokan buruh berdasar jenis kelamin. Buruh disebut pula dengan angkatan kerja (Batubara, 2008: 2). Dalam menjelaskan buruh atau angkatan kerja perlu
dilakukan
pemahaman
mengenai
penduduk
yang
diklasifikasikan dalam penduduk usia kerja dan bukan usia kerja. Penduduk dalam kategori usia kerja dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja (labour force) ada yang bekerja dan ada yang sedang mencari kerja atau disebut penganggur terbuka. Yang dimaksud dengan bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja tetapi tidak bekerja atau tidak sedang mencari kerja (Batubara, 2008: 2), yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang sedang bersekolah, ibu rumah tangga, termasuk mereka juga yang sakit. Dengan demikian, buruh yang dimaksud dalam kajian ini adalah angkatan kerja yang bekerja dan yang sedang mencari kerja. Sedangkan pengertian buruh perempuan atau angkatan kerja perempuan dalam kaitan studi ini, adalah perempuan yang mempunyai hubungan kerja commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
antara manajemen dengan buruh, tidak termasuk pegawai negeri dan angkatan kerja yang bekerja sendiri.
2.2 Kajian Teori 2.2.1 Teori Karl Marx tentang Buruh Permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji melalui pendekatan studi kasus mengenai buruh tani perempuan. Dalam menjelaskan permasalahan yang ada, terlebih dahulu perlu dikemukakan definisi dari buruh itu sendiri. Buruh disebut pula dengan angkatan kerja (Batubara, 2008: 2). Dalam menjelaskan buruh atau angkatan kerja perlu dilakukan pemahaman mengenai penduduk yang diklasifikasikan dalam penduduk usia kerja dan bukan
usia
kerja.
Penduduk
dalam
kategori
usia
kerja
dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja (labour force) ada yang bekerja dan ada yang sedang mencari kerja atau disebut penganggur terbuka. Yang dimaksud dengan bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja tetapi tidak bekerja atau tidak sedang mencari kerja (Batubara, 2008: 2), yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang sedang bersekolah, ibu rumah tangga, termasuk mereka juga yang sakit. Definisi bekerja secara umum adalah usaha mencapai tujuan. Secara ekonomi, bekerja adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa baik untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Bekerja dalam arti yang sangat mendasar adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan hidup seseorang atau sekelompok orang dalam suatu lingkungan tertentu dimana melalui kegiatan tersebut mereka dapat menemukan jati diri (eksistensi) mereka commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(diambil dari buletin Kalyanamedia Edisi I No. 4 desember 2004: 4). Karl Marx mengatakan bahwa bekerja merupakan aktivitas yang sangat hakiki bagi manusia. Bekerja adalah aktivitas yang menjadi sarana bagi manusia untuk menciptakan eksistensi dirinya. Bekerja pada dasarnya adalah wadah aktivitas yang memungkinkan manusia mengekspresikan segala gagasannya, kebebasan manusia berkreasi, sarana, menciptakan produk, dan pembentuk jaringan sosial (Timboel Siregar, Pekerja Indonesia di Persimpangan Jalan, Jurnal ALNI, September 2003: 78-79) Istilah buruh ada seiring munculnya kapitalisme. Karl Marx menemukan inti masyarakat kapitalis di dalam komoditas, dimana masyarakat terbagi atas dua kelas, yaitu kaum borjuis sebagai pemilik modal dan kaum proletar (proletariat) sebagai pekerja (yang sekarang ini lebih dikenal dengan istilah buruh atau tenaga kerja). Proletariat adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan tidak memiliki alat – alat produksi sendiri (Ritzer, 2006: 62). Kaum proletar (buruh) hanya memproduksi untuk pertukaran dan dalam hal ini otomatis mereka menjadi konsumen, sehingga mereka harus menggunakan upah yang mereka peroleh untuk memenuhi kebutuhan. Hal inilah yang membuat kaum buruh sangat tergantung pada orang yang memberi upah. Di Indonesia, konotasi buruh mulai terspesialisasi saat berada di bawah kepemimpinan Orde Baru, dimana hanya para pekerja pabrik atau para pekerja upah harian yang disebut buruh (diambil dari sejarah unj.bogspot “ketika buruh menjadi sebuah pengantar”, pada 12 Februari 2012, pukul 13.53 WIB). Buruh perempuan menjadi sosok yang termarginalkan dalam pasar tenaga kerja khususnya di Indonesia. Hak-hak terhadap buruh perempuan seringkali dikesampingkan oleh para commit to user pemilik modal yang mempekerjakan mereka. Buruh terdiri atas
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bermacam-macam jenis tergantung jenis pekerjaan dan tempat bekerjanya, seperti buruh pabrik, buruh cuci, buruh tani, dll. Peneltian ini akan mengkaji mengenai buruh tani. Buruh
tani
dalam
pengertian
yang
sesungguhnya
memperoleh penghasilan terutama dari bekerja dengan memperoleh upah dari pemilik tanah atau petani penyewa tanah (Sajogyo, 1988: 158). Biasanya buruh tani termasuk dalam buruh harian lepas. Digolongkan sebagai buruh harian lepas dikarenakan buruh tersebut diikat dengan hubungan kerja dari hari ke hari, jumlah jam kerja atau jenis pekerjaan yang dilakukan serta biasanya hanya mengerjakan pekerjaan yang sifatnya tidak terus menerus tetapi bersifat musiman (Sembiring, 2009: 34). Buruh tani hidup di tingkat terbawah pada lapisan masyarakat, biasanya dalam keadaan yang amat miskin dan merupakan kelompok yang paling banyak berpindah dalam masyarakat desa, karena mereka tidak memiliki harta benda milik sendiri dan selalu berusaha mencari kerja yang paling banyak upahnya atau paling ringan serta banyak dari buruh pertanian tersebut yang berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain. Dalam tingkah lakunya terhadap orang-orang yang di luar kelompoknya, buruh tani biasanya menyerah saja kepada nasibnya. Mereka ingin memperbaiki keadaannya, tetapi tidak tahu caranya dan karena itu mereka menyerah saja terhadap nasibnya. Buruh tani hidup dari hari ke hari saja dan tidak memperhatikan rencana masa depan (misalnya dengan menabung). Banyak buruh tani yang menanam atas dasar bagi hasil (maro) di atas tanah sang pemilik sawah (tuan tanah/ majikan). Sayogyo memberikan ciri-ciri buruh tani yang bekerja dengan upah harian lepas sebagai berikut : commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kegiatan Ekonomi : 1. Buruh tani biasanya dipekerjakan oleh tuan tanah (pemilik tanah) dengan digaji sebagai pekerja harian. 2. Setelah hasil pertanian dipanen, buruh tani diperbolehkan menanami tanah-tanah itu sebelum tanah itu ditanami kembali oleh para pemilik tanah. 3. Diwaktu mereka tidak dipekerjakan sebagai buruh, para buruh tani melakukan perdagangan kecil-kecilan. Kedudukan Sosial : 1. Para buruh tani berada ditingkat terendah dalam lapisan masyarakat. Mereka tidak mungkin jatuh lebih rendah lagi dan mereka tidak mempunyai kedudukan yang akan dipertahankan maupun yang akan hilang. Posisi seperti ini mempunyai pengaruh besar terhadap nilai-nilai norma kelompok itu. 2. Buruh tani hidup untuk menyambung nyawa saja, karena tidak ada benda atau orang yang menjamin kelanjutan hidup mereka di masa depan. Mereka masih cenderung untuk menerima nasib saja, tunduk dan berserah diri. 3. Buruh tani yang sesungguhnya tidak mempunyai latar belakang kecerdasan, juga tidak memiliki pengalaman untuk mengelola pertanian. Mereka telah terbiasa bekerja sebagai buruh tani sepanjang hidup, dan oleh karena itu mereka tahu mengenai pekerjaan di sektor pertanian. 4. Buruh tani sebagai kelompok tidak hanya terikat pada desa mereka, terkadang ada juga yang berasal dari daerah lain dan kalau telah datang waktunya mereka berpindah ke tempat yang baru dimana mereka berharap menemukan kesempatan untuk berhasil atau mendapatkan upah yang lebih besar dan kerja yang lebih ringan. (Sayogjo, 1995: 113-114) commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.2.2 Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger Penelitian ini menggunakan teori konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial memandang bahwa sosiologi adalah suatu bentuk dari kesadaran. Pendekatan konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) merupakan pendekatan yang pertama kali dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul The Social Construction, A Treatise in the Sociology of Knowledge. Perspektif Berger tak mampu dilepaskan pada situasi sosiologi Amerika era 1960-an, dimana dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring ditinggalkan oleh sosiolog muda. Gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan lebih udah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger cenderung tidak melibatkan diri dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber, yaitu historisitas. Kemudian historisitas itu yang dijadikan Berger dalam menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat, masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx). Menurut Berger realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis dunia sosial tergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara obyektif memang ada (Durkheim dan perspektif fungsionalis) tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia obyektif (perspektif interaksionisme simbolis Mead dan Blumer) (Poloma, 2000: 299). Menurut Berger dan Luckmann (dalam Basari, 2012: 1) pemikiran sosiologi berkembang manakala masyarakat menghadapi to user ancaman terhadap commit hal yang selama ini dianggap yang memang
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sudah seharusnya demikian, benar dan nyata. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami. Berger dan Luckmann mendefinisikan konstruksi sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang dan pengetahuan, yang merupakan dasar dari individu (Basari, 2012: 27). Realitas (kenyataan)
dibangun secara sosial,dan proses
terjadinya kenyataan tersebut dapat dianalisa menggunakan sosiologi pengetahuan. Realitas dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci dari konstruksi sosial. Realitas adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen – fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (Basari, 2012: 1). Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen–fenomen itu nyata dan memiliki karakteristikkarakteristik yang spesifik (Basari, 2012: 1). Konstruksi harus dilakukan
sendiri
terhadap
pengetahuan
itu.
Konstruksi
menyiapkan pola, menurut pola tersebut individu harus bertindak dalam situasi khusus. Realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, seperti konsep, kesadaran masyarakat, wacana publik sebagai hasil dari konstruksi sosial (Basari, 1990: 28-29). Individu menciptakan terus menerus realitas yang dimiliki dan dialami secara subyektif (Berger dalam Basari, 1990: 51). Realitas dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivitas, dan internalisasi. Berger dan Luckmann membuat suatu kerangka pemikiran untuk memperlihatkan hubungan antara individu dan masyarakat yang
menjelaskan adanya proses dialektis mendasar antara
individu dengan dunia sosio-kultural yang berlangsung melalui eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi yaitu commit to userdengan makhluk biologis lainnya apabila manusia dibandingkan
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan makhluk yang secara biologis mempunyai kekurangan karena dilahirkan dengan struktur naluri yang tidak lengkap, ialah tidak terarah dan kurang terspesialisasi. Dunia manusia merupakan dunia terbuka yang diprogram secara tidak sempurna, sehingga menurut Berger, dunia manusia ditandai oleh ketidakstabilan yang melekat. Obyektivasi, inti dari proses obyektivasi adalah bahwa kebudayaan yang diciptakan manusia kemudian menghadapi penciptanya sebagai usaha fakta diluar dirinya. Dunia yang diciptakan manusia menjadi sesuatu yang di luarnya menjadi suatu realitas obyektif. Internalisasi, pada saat terjadi internalisasi, dunia yang telah diobyektifasikan itu diserap kembali ke dalam struktur kesadaran subyektif individu. Individu mempelajari makna yang telah diobyektifasikan, mengidentifikasi dirinya
dengan makna
tersebut hingga masuk ke dalam dirinya. Individu tidak hanya memiliki makna tersebut tetapi juga mewakili dan menyatakan. Dengan kata lain, melalui internalisasi fakta obyektif dari dunia sosial menjadi fakta subyektif dari individu. Menurut Berger dan Luckmann, individu berpartisipasi dalam dunia sosial. Setiap orang dianggap sebagai pelaku konstruksi sosial dan dapat dianggap bertanggung jawab untuk menaati norma-normanya, yang bisa diajarkan sebagai bagian dari tradisi dari kelembagaan dan digunakan untuk membuktikan kompetensi semua pelaku dan demikian berfungsi sebagai pengendali. Salah satu mekanisme pengendalian yang diungkapkan oleh Berger dan Luckmann adalah seperti membujuk, memperolokolok, mendesas-desuskan, mempermalukan dan mengucilkan. Mekanisme tersebut diterapkan dalam ruang terbatas yaitu kelompok seperti dalam lingkungan pekerjaan, teman dan keluarga. Dalam
mekanisme
pengendalian
sosial
tersebut,
Berger
mengungkapkan mengenai konsep kontrol sosial. Tidak ada commit to user masyarakat yang bisa ada tanpa kontrol sosial.
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berger dan Luckmann lebih lanjut mengemukakan bahwa realitas terdiri dari realitas objektivitas, realitas simbolis, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk (Basari, 2012: 126). Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi. Seperti
yang
telah
diketahui,
Berger
mencoba
mensintesakan dunia sosial obyektif yang dijelaskan oleh kaum fungsionalis dengan dunia subyektif yang ditekankan oleh ahli psikologi sosial. Hal ini dilakukannya dalam kerangka sosiologi ilmu pengetahuan (sociology of knowledge) yang menganalisa bagaimana manusia membentuk kedua realitas subyektif dan obyektif itu. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah produk manusia dan manusia adalah produk masyarakat. Masyarakat tidak pernah sebagai suatu produk akhir tetapi tetap sebagai
proses
yang
sedang terbentuk.
Dengan
demikian
obyektivitas merancang suatu proses dimana dunia sosial akan menjadi suatu realitas yang mampu menghambat dan juga membentuk para partisipannya. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui internalisasi. Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam eksternalisasi, obyektifasi dan internalisasi serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka kenyataan sosial adalah suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini menuju masa depan. commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.1 Penelitian Terdahulu Adapun kepustakaan dan penelitian terdahulu yang membahas terkait tema dan fokus penelitian ini, diantaranya adalah: Penelitian
berjudul
Konstruksi
Sosial
Masyarakat
Pedesaan tentang Poligini, pada tahun 2010 oleh Lulu Poernama Sari. Penelitian ini mengkaji tentang konstruksi sosial masyarakat pedesaan tentang poligini pada masyarakat Desa Kebak. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa poligini yang muncul dalam masyarakat Desa Kebak disebabkan oleh adanya kultur masyarakat yang sangat tidak memihak wanita. Masyarakat ini mempunyai konstruksi sosial yang menganggap poligini sah-sah saja dilakukan. Karena adanya budaya patrilineal, yang menjunjung tinggi kekuasaan laki-laki dan mengesampingkan hak wanita. Wanita dianggap sebagai pelayan laki-laki, sehingga wanita harus menurut kemauan laki-laki. Selain itu, wanita di desa ini sebagian besar berpendidikan rendah, apatis dan pasrah atas apa yang menimpa dirinya. Mereka mengaku sangat sengsara
saat suaminya
berpoligini, namun mereka tidak sanggup menolak hal tersebut karena terbatasnya pendidikan dan realitas budaya yang sangat tidak memihak wanita. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi tak berperan, serta dokumentasi. Analisa data menggunakan metode model analisa interaktif serta validitas data
menggunakan
triangulasi
data
(Sari,
2010).
Peneliti
menggunakan hasil penelitian tersebut sebagai referensi dimana dalam penelitian ini untuk menguji apakah nantinya konstruksi sosial atas buruh tani perempuan juga dibentuk oleh adanya kultur masyarakat (kebudayaan) yang tidak memihak perempuan. Penelitian berjudul Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Harian Lepas (Aron) di Kelurahan Padang Mas Kecamatan commit to user Kabanjahe Kabupaten Karo, oleh Kristina Sembiring pada tahun
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2009. Penelitian ini
menggambarkan kondisi kehidupan buruh
harian lepas (aron) sebagai sumber tenaga kerja dalam proses produksi komoditi pertanian yang merupakan hasil utama dari daerah Tanah Karo. Kondisi kehidupan sosial ekonomi dalam penelitian ini dilihat melalui indikator kondisi pendapatan, pangan, perumahan, kesehatan, pendididkan anak serta strategi yang digunakan oleh para buruh harian lepas untuk tetap bertahan dengan pendapatan yang minim. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan analisa data kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara serta tabulasi data yang tertuang dalam tabulasi data tunggal (Sembiring, 2009). Hasil
dari
penelitian
tersebut
mengatakan
bahwa
pendapatan para buruh harian lepas (aron) masih sangat rendah sehingga mereka harus berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dengan melakukan strategi seperti mencari pekerjaan sampingan. Kondisi pangan pada umumnya hanya seadanya dan kurang memenuhi standar gizi. Kondisi perumahan pada umumnya adalah menyewa dengan kondisi fisik semi permanen dan papan serta hanya memiliki satu kamar tidur dan apabila ada anggota keluarga yang menderita sakit biasanya hanya dibawa ke puskesmas atau membeli obat di warung, sedangkan pendidikan anak hanya sebagian kecil yang dapat melanjutkan sampai ke tingkat perguruan tinggi (Sembiring,2009). Penelitian yang dilakukan oleh Kristina sembiring ini hanya membahas dari segi kehidupan buruh harian lepas, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini akan menggambarkan bagaimana buruh tani perempuan dikonstruksikan oleh masyarakat. Penelitian berjudul Pembagian Kerja Berdasarkan Gender pada Sistem Pengupahan Buruh Tembakau di Perkebunan commit to user Tembakau PTPN XI Klaten, pada tahun 2006, oleh Siti Andewi
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rahajeng. Penelitian ini mengutarakan tentang sistem pembagian kerja dan pengupahan bagi para buruh tembakau pada perkebunan tembakau milik PT Perkebunan Nusantara XI Klaten. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa buruh tembakau perempuan mendapatkan porsi kerja yang cukup tinggi dan menjadi prioritas dalam mengerjakan suatu jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan keuletan karena dirasa paling cocok dikerjakan oleh buruh perempuan. Selain itu semua buruh mendapatkan upah yang sama sesuai dengan upah minimum Kabupaten (Rahajeng, 2006). Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Rahajeng lebih memfokuskan pada sistem pembagian kerja dan pengupahan bagi para buruh, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini nantinya akan mengurai apakah sistem pembagian kerja dan pengupahan juga berpengaruh dalam pengkonstruksian atas buruh tani perempuan. Merujuk pada sebuah penelitian pada Nordic Journal of African Studies 11 yang berjudul Gender Disparities in The Kenyan Labour Market: Implications for Poverty Reduction, pada tahun 2002, oleh Collette Suda yang menyatakan : “The majority of women are employed in the education and informal sectors. Those who work in the agricultural sector are usually engaged as casuals. Women’s overall lower level of education, limited skills, and access to productive, resources, heavy domestic workload, cultural attitudes and segregation of the labour market are some of the factors associated with their limited participation in the modern sector” Dalam Bahasa Indonesia artinya : “Sebagian besar perempuan bekerja di sektor pendidikan dan informal. Mereka yang bekerja di sektor pertanian commit sebagai to user pekerja lepas. Perempuan yang biasanya terlibat
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara keseluruhan memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, terbatasnya ketrampilan dan kurangnya akses terhadap sumber daya, beban kerja domestik yang berat, faktor sosial budaya serta adanya pemisahan pasar tenaga kerja merupakan beberapa faktor yang berkaitan dengan terbatasnya partisipasi mereka di sektor modern”. (Suda, Nordic Journal of African Studies Vol.11 (2002).
Kesimpulan dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa para buruh perempuan yang bekerja di sektor pertanian (buruh tani) lebih terlibat sebagai pekerja lepas dan rendahnya partisipasi mereka dalam sektor modern lebih dipengaruhi karena tingkat pendidikan yang lebih rendah, terbatasnya ketrampilan, kurangnya akses terhadap sumber daya, beban kerja domestik yang berat, faktor sosial budaya serta adanya pemisahan pasar tenaga kerja. Berdasar temuan di atas, maka perlu dilakukan penelitian terkait konstruksi sosial atas buruh tani perempuan agar dapat menjadi masukan bagi banyak pihak terkait fenomena yang ada dalam masyarakat, khususnya membahas mengenai buruh tani perempuan. Maka, penelitian ini mengambil judul Konstruksi Sosial atas Buruh Tani Perempuan pada Masyarakat Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi.
2.3 Kerangka Berpikir Perempuan selalu terpojokkan dalam konsep – konsep marginalisasi, domestikasi dan pengiburumahtanggaan. Hal ini muncul atas dasar perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin pada dasarnya merupakan perbedaan gender yang berarti bahwa perbedaan antara laki – laki dan perempuan merupakan hasil pengkotakan yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta user didukung oleh nilaicommit – nilaito tertentu, bukan merupakan perbedaan
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang disebabkan karena perbedaan biologis semata (Saptari, 1997: 37). Kaum perempuan pun memandang adanya ketimpangan relasi antara laki – laki dan perempuan bertalian erat dengan kesadaran sosial yang berhasil dibentuk dan dibangun oleh budaya patriarki (diambil dari women labour and migrant care, pada 13 Februari 2012, pukul 11.30 WIB). Hal tersebut memunculkan dikotomi – dikotomi dengan melihat kerja yang dilakukan perempuan. Dikotomi – dikotomi tersebut misalnya produksi/ reproduksi, domestik/ bukan domestik, atau kerja upahan/ bukan upahan perempuan (Saptari, 1997: 38). Dikotomi – dikotomi ini mulai disoroti sebagai bagian dari kerja perempuan yang selama ini tidak pernah diakui dan tidak kentara. Kerja reproduksi perempuan dalam hal pengasuhan anak dan kerja domestik lainnya, oleh masyarakat luas (penganut ideologi patriarkal) dianggap bukan kerja, dan harus dilakukan oleh seseorang untuk kelangsungan hidup masyarakat tersebut. Akibatnya, kerja upahan perempuan di luar rumah dianggap sebagai pekerjaan sampingan. Kerja perempuan juga perlu ditelaah mengenai konsep rumah tangga, dan konsep ini sering kali dilandaskan pada berbagai asumsi yang keliru. Bahkan banyak kebijakan yang tidak membawa banyak keuntungan bagi perempuan walaupun bertujuan memperbaiki posisi mereka, karena mengasumsikan adanya berbagai ciri rumah tangga yang pada kenyataannya tak banyak terlihat. Rumah tangga memiliki keterkaitan dalam struktur sosial. Berbagai alternatif yang dimiliki perempuan atau berbagai hambatan yang dihadapi perempuan tak lepas dari posisi rumah tangga mereka dalam struktur sosial yang ada, terutama jangkauan rumah tangga mereka atas sumber daya (Saptari, 1997: 39). Hal inilah yang nantinya akan menentukan perempuan akan dilihat to user ataukah yang terdiferensiasi, sebagai kelompokcommit yang homogen
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serta menentukan pula kebijakan yang menyangkut perempuan harus seragam atau berbeda. Pendekatan dalam mendeskripsikan dan menjelaskan terjadinya konstruksi sosial, stigma/ labelling perlu dibuat suatu kerangka berpikir yang digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pengembangan berbagai konsep dan teori dalam penelitian untuk menjawab persoalan – persoalan penelitian dalam rangka memenuhi tujuan penelitian. Mengacu pada konsep dan teori yang telah disebutkan di atas maka kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Bagan 1 Kerangka Berpikir
Ekonomi
Sosial Budaya
Buruh Tani Perempuan
Konstruksi Sosial
Pendidikan Stigma/ Labeling
2.4 Definisi Konseptual Konsep penelitian bertujuan untuk merumuskan dan mendefinisikan istilah-istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian ini. Maka dari itu, definisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.
Konstruksi Sosial Konstruksi sosial merupakan sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, dikarenakan terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan sekitarnya.
2.
Buruh Tani Buruh tani merupakan tenaga kerja yang bekerja untuk orang lain (pemilik modal) dengan imbalan tertentu (sistem upah) dan dalam jangka waktu tertentu (kontrak) pada proses produksi pertanian.
3.
Buruh Perempuan Buruh perempuan merupakan jenis klasifikasi tenaga kerja buruh yang didasarkan atas jenis kelamin.
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif (qualitative research) dengan menggunakan metode studi kasus yang merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus
dilakukan
secara
intensif,
mendalam,
mendetail
dan
komprehensif (Faisal, 2005: 22). Robert K Yin memberikan definisi yang lebih tegas dan bersifat teknis mengenai studi kasus yaitu studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana: multi sumber bukti dimanfaatkan (K Yin dalam Bungin, 2005: 20). Sebuah kasus harus memiliki dua hal, yaitu spesifik dan mempunyai batasan (Denzin dalam Salim, 2001: 93) Metode ini akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu (Sevilla dalam Bungin, 2005:19). Di samping itu, studi kasus juga mampu memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga dan berbagai unit sosial lainnya. Studi kasus bertujuan untuk mempelajari gejala-gejala sosial melalui analisis yang terus menerus tentang kasus yang dipilih (Slamet, 2006:10). Dalam penelitian suatu kasus, bisa melahirkan pernyataan– pernyataan yang bersifat eksplanasi, namun eksplanasi tersebut tidak bisa diangkat sebagai suatu generalisasi. Studi kasus memberikan ciri tunggal terhadap data yang sedang dipelajari dan menghubungkan keanekaragaman fakta–fakta terhadap kasus tersebut (Slamet, 2006: 10). commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ada beberapa alasan mendasar dalam penelitian studi kasus, diantaranya : 1. Studi kasus mampu memberikan deskripsi yang padat. 2. Studi kasus mampu memberikan perspektif eksperiensial. 3. Studi kasus bersifat holistik dan seperti kehidupan (lifelike), mampu menyajikan sebuah gambaran yang dapat dipercaya bagi partisipan sebenarnya. 4. Studi kasus mampu menyederhanakan kisaran data yang diminta seseorang untuk dipertimbangkan, hal ini dapat dibuat seindah mungkin sehingga dapat memerankan tujuan dengan sebaikbaiknya yang ada di dalam pikiran peneliti. 5. Studi kasus memfokuskan perhatian pembaca dan memperjelas makna (Ahmadi, 2005: 36-37).
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian
akan
dilaksanakan
di
Desa
Karangasri,
Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Desa Karangasri merupakan salah satu desa di Kecamatan Ngawi yang terletak di sebelah timur pusat pemerintahan Kabupaten Ngawi. Luas wilayah Desa Karangasri adalah 494,6 Ha yang terdiri dari : -
Tanah sawah
: 202,727
Ha
-
Tanah pekarangan seluas
: 113,418
Ha
-
Tanah pategalan
: 158,7
Ha
-
Fasilitas umum
:
9
Ha
-
Lain-lain
: 10,815
Ha
(Sumber: RPJM Ds. Karangasri 2009-2014). Bila dilihat dari data yang ada, menunjukkan bahwa Desa Karangasri memiliki tanah sawah yang luasnya menduduki tingkat teratas dalam rincian luas wilayah keseluruhan desa. Tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah penduduk yang bermata pencaharian commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai petani cukup banyak jumlahnya, sehingga keberadaan buruh tani pun tak kalah penting pada sektor pertanian di desa ini.
3.3 Alasan Pemilihan Lokasi Pengambilan lokasi penelitian di Desa Karangasri ini didasarkan atas 3 (tiga) alasan, yaitu : 1.
Berdasarkan
informasi
yang
diperoleh,
daerah
tersebut
memenuhi syarat guna melakukan penelitian, yakni industri pertanian masih nampak eksistensinya dengan dibuktikan masih memiliki lahan sawah yang cukup luas (202,727 Ha) sehingga memungkinkan adanya tenaga buruh tani khususnya perempuan. 2.
Masih cukup banyak pencaharian
sebagai
warga masyarakat yang bermata petani
yang
secara
otomatis
juga
mempekerjakan buruh tani perempuan untuk membantu mengerjakan sawah mereka. 3.
Daerah tersebut juga dekat dengan Kota Kabupaten sehingga dapat menunjang berjalannya sektor pertanian dan lebih mudah untuk memperoleh data penunjang dari berbagai pihak ataupun instansi terkait penelitian ini.
3.4 Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari : 1.
Informasi tentang konstruksi sosial atas buruh tani perempuan dari warga Desa Karangasri yang bersedia menjadi informan
2.
Observasi langsung terhadap buruh tani perempuan, keluarga buruh tani perempuan serta masyarakat sekitarnya.
3.
Arsip serta dokumen–dokumen pendukung dari instansi terkait
3.5 Informan Penelitian kualitatif lebih terfokus pada representasi commit to bertolak user terhadap fenomena sosial dan dari asumsi tentang realitas
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Data atau informasi harus ditelusuri sedalam mungkin sesuai dengan variasi yang ada, sehingga mampu mendeskripsikan fenomena yang diteliti secara utuh. Sesuai dengan tujuan penelitian kualitatif, maka dalam prosedur sampling yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian. Informan yang dipilih dalam penelitian ini ialah beberapa orang yang diklasifikasikan berdasar tingkat pendidikan. Berdasar tingkat pendidikan digolongkan pada orang berpendidikan tinggi (rentang pendidikan minimal sarjana), pendidikan menengah (rentang pendidikan
SMP-SMA),
serta
berpendidikan
rendah
(rentang
pendidikan SD ataupun putus sekolah).
3.6 Teknik Pemilihan Informan Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive. Informan ditentukan/ diambil berdasarkan pada ciri tertentu yang dianggap mempunyai hubungan erat dengan tujuan penelitian. Informan ditentukan dengan sengaja berdasarkan kemampuan dan pengetahuannya tentang keadaan obyek penelitian. Bilamana pada proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi, maka tidak perlu lagi mencari informan baru. Dalam hal ini, jumlah informan bisa sedikit atau pun banyak tergantung dari tepat atau tidaknya pemilihan informan kunci dan kompleksitas serta keragaman fenomena sosial yang diteliti.
3.7 Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang commit toini user dipergunakan dalam penelitian meliputi :
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.
Wawancara Mendalam ( Indepth Interview ) Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung yang merupakan proses memperoleh data untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab tatap muka antara pewawancara dengan responden/ informan (Sutanto, 2006: 128). Wawancara mendalam tidak dilakukan dengan struktur yang ketat, melainkan bersifat “open ended” dan dilakukan secara informal guna menyatakan pendapat responden tentang suatu peristiwa tertentu. Kelonggaran ini akan berguna untuk memudahkan proses wawancara. Wawancara dapat dilakukan pada waktu dan konteks yang dianggap tepat guna mendapatkan data yang mempunyai kedalaman, dan dapat dilakukan berulang – ulang demi penjelasan masalah yang dipelajarinya (Sutopo, 1988: 24). Wawancara ini bisa dilakukan dengan cara menanyakan permasalahan yang akan diteliti kepada salah satu responden, kemudian apabila jawabannya dirasa kurang menjelaskan permasalahan yang dimaksud, maka wawancara bisa dilakukan lagi kepada responden lainnya dengan materi wawancara yang sama dan begitu seterusnya sampai kejelasan masalah yang diteliti dapat tercapai. Pada intinya, wawancara adalah suatu bentuk dari wacana. Gambaran-gambaran khususnya mencerminkan struktur dan tujuan wawancara yang berbeda, yaitu bahwa wacana dibuat dan diorganisir dengan menanyakan dan menjawab pertanyaanpertanyaan. Suatu wawancara adalah suatu produk bersama (joint product) tentang apa yang dibicarakan oleh orangresponden dan pewawancara serta bagaimana mereka berbicara satu sama lain (Ahmadi, 2005: 71). Catatan sebuah wawancara commit to user digunakan di dalam pekerjaan yang peneliti buat dan kemudian
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
analisa dan interpretasi adalah sebuah penggambaran atau representasi dari percakapan tersebut. 2.
Observasi Observasi
ialah
pengamatan
dan
pencatatan
yang
sistematis terhadap gejala–gejala yang diteliti (Susanto, 2006: 126). Istilah observasi dalam penelitian kualitatif telah menjadi sinonim dengan penelitian lapangan, kerja lapangan atau observasi tidak terkontrol, observasi partisipan dan non partisipant (Guban dan Lincoln dalam Ahmadi, 2005: 101). Tujuan pengumpulan data melalui observasi adalah untuk mendeskripsikan latar yang diobservasi, kegiatan-kegiatan yang terjadi di latar itu, orang-orang yang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan, dan makna latar, kegiatan-kegiatan, dan partisipasi mereka dalam orang-orangnya (Patton dalam Ahmadi, 2005: 101). Observasi memungkinkan untuk merekam perilaku atau peristiwa ketika perilaku dan peristiwa tersebut terjadi. Selltiz (1959) menjelaskan bahwa aset utama observasi adalah memungkinkannya untuk merekam perilaku ketika terjadi (Selltiz dalam Ahmadi, 2005: 101). Observasi lapangan pada penelitian ini dilakukan dengan jalan
formal
maupun
nonformal.
Metode
ini
mampu
mengarahkan peneliti untuk mendapatkan sebanyak mungkin pengetahuan yang berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian. 3.
Dokumentasi Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen (Sutanto, 2006: 136). Dokumen disini mengacu pada material (bahan) seperti fotografi, video, film, memo, surat, rekaman kasus dan jenis-jenis lainnya yang dapat digunakan sebagai commitsebagai to user bagian dari kajian kasus yang informasi suplemen
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sumber data utamanya adalah wawancara dan observasi (Bogdan & Biklen dalam Ahmadi, 2005: 114). Dapat ditambahkan pula seperti: usulan, buku tahunan, selebaran berita, karangan di surat kabar. Data-data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi pada penelitian ini berupa data kabupaten dalam angka, monografi kecamatan, monografi desa, dinas pemerintah, surat kabar, dll.
3.8 Validitas Data Untuk meningkatkan validitas data yang diperoleh selama penelitian, maka perlu dilakukan review informan. Review informan merupakan salah satu cara yang penting pada akhir wawancara juga pada saat penelitian berlangsung. Peneliti mengulangi dalam garis besarnya apa yang telah dikatakan oleh informan dengan maksud agar dapat memperbaiki bila ada kekeliruan atau menambah apa yang masih
kurang.
Peneliti
memeriksa
hasil
wawancara
untuk
mendapatkan pengertian yang tepat, atau melihat kekurangankekurangan yang mungkin ada untuk lebih dimantapkan (Sutopo, 2002: 83). Untuk meningkatkan kredibilitas data selama proses penelitian, dilakukan dengan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu. Denzin membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori (Moleong, 2001: 178). Penelitian ini menggunakan triangulasi dengan sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dapat dicapai dengan: 1.
Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil commit to user wawancara.
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3.
Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
4.
Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain, seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
5.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen (Moleong, 2001:178).
3.9 Teknik Analisa Data Analisa/ analisis data merupakan bagian yang penting dalam penelitian dengan pendekatan studi kasus, yang merupakan cara spesifik
untuk
menghimpun
data,
mengorganisir
data,
menganalisa data. Tujuannya untuk menghimpun data
dan yang
mendalam, sistematis, komprehensif tentang kasus yang diambil. Analisa data dalam penelitian kualitatif sejak awal peneliti terjun lapangan, yakni sejak mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membuat catatan-catatan lapangan. Dalam penelitian kualitatif, data diinterpretasi dengan memberikan makna, menerjemahkan, atau membuatnya dapat dimengerti. Makna yang diberikan dimulai dari sudut pandang orang-orang yang distudi dengan menemukan bagaimana orang-orang yang distudi melihat dunia, bagaimana mereka mendefinisikan situasi atau apa maknanya bagi mereka. Menurut
Neuman,
analisis
data
merupakan
suatu
pencarian (search) pola-pola dalam data-perilaku yang muncul, objekobjek atau badan pengetahuan (body of knowledge) (Neuman dalam Ahmadi,2005: 147). Sekali suatu pola itu diidentifikasi, pola itu commit to user teori sosial atau latar dimana diinterpretasi ke dalam istilah-istilah
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
teori sosial itu terjadi. Analisis data mencakup menguji, menyortir, mengkategorikan, mengevaluasi, membandingkan, mensintesakan dan merenungkan (contemplating) data yang direkam, juga meninjau kembali data mentah dan terekam. Spradley mengetengahkan bahwa jenis analisis apapun termasuk cara berpikir (Spradley, 2005: 147). Penelitian
ini
menggunakan
analisis
data
yang
dikemukakan oleh Spradley. Seperti dalam tulisan Spradley (1980), dikemukakan ada empat teknik analisis data, yaitu analisis data domain,
analisis
taksonomi,
analisis
tematik
dan
analisis
komponensial. Penelitian ini menggunakan analisis komponensial yang terlebih dahulu mencari/ memilih domain dalam membuat analisis. Pada setiap domain terdapat sejumlah warga atau anggota, kategori-kategori, atau included terms. Domain tersebut dan included terms atau kategori-kategori yang tercakup di dalamnya telah diidentifikasi sewaktu analisis domain; kesamaan-kesamaan dan hubungan internalnya telah dipahami melalui analisis taksonomis. Pada analisis komponensial, yang diorganisasikan adalah kontras antar elemen dalam domain yang diperoleh melalui observasi dan atau wawancara terseleksi. Analisis komponensial mencakup seluruh proses penelitian kontras-kontras, menyortir kontras-kontras tersebut, mengelompokkan satu sama lain sebagai dimensi kontras dan memasukkan seluruh informasi ke dalam suatu paradigma. Masing-masing warga dari suatu domain sesungguhnya mempunyai diasosiasikan
atribut
/
karakterisitik
dengannya.
tertentu
Atribut/karakteristik
yang
umumnya
itulah
yang
membedakannya satu dari yang lain, dengan kata lain kontras itulah yang membedakan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan semacam itulah yang diselesaikan oleh analisis komponensial. Dengan mengetahui warga suatu domain (melalui analisis domain), kesamaan user disuatu domain (melalui analisis dan hubungan internalcommit antar to warga
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
taksonomis), dan perbedaan antar warga dari suatu domain (melalui analisis komponensial), kita akan memperoleh pengertian yang komprehensif, menyeluruh, rinci, kita telah memahami makna dari masing-masing warga domain secara holistik. Dengan
menggunakan
observasi
terseleksi
dan
pertanyaan-pertanyaan pengkontrasan (contras questions), sejumlah dimensi yang kontras di antara warga suatu domain akan dapat diidentifikasi. Persoalan kontras semacam itulah yang menjadi perhatian dalam analsis komponensial. Sebagaimana halnya analisisanalsis terdahulu (analisis domain dan analisis taksonomis), analisis komponensial juga baru dilakukan setelah peneliti mempunyai cukup banyak fakta/informasi dari hasil wawancara atau observasi yang melacak kontras-kontras di antara warga suatu domain. Kontraskontras tersebut oleh peneliti difikirkan/dicarikan dimensi-dimensi yang bisa mewadahinya.
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1
Letak Geografis Desa
Karangasri
terletak
diantara
desa-desa
di
Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi yang berbatasan langsung dengan desa sebagai berikut : -
Sebelah Utara
: Ds. Ngawi dan Kelurahan Ketanggi
-
Sebelah Timur
: Ds. Kartoharjo dan Ds. Karangtengah Prandon
4.2
-
Sebelah Selatan : Ds. Kartoharjo
-
Sebelah Barat
: Ds. Beran dan Kelurahan Margomulyo
Luas Wilayah Luas wilayah Desa Karangasri adalah 494,6 Ha Terdiri dari : -
Tanah sawah
: 202,727 Ha
-
Tanah pekarangan : 113,418 Ha
-
Tanah pategalan
: 158,7
Ha
-
Fasilitas umum
:
Ha
-
Lain-lain
: 10,815 Ha
9
(Sumber: RPJM Ds. Karangasri 2009-2014) Sangat jelas ditunjuukan bahwa di Desa Karangasri, tanah sawah merupakan wilayah yang paling luas bila dibandingkan lainnya, termasuk bila dibandingkan dengan luas pemukiman penduduk yang masuk dalam kategori lain-lain. 4.3
Sejarah Desa Pada jaman penjajahan Belanda di Indonesia, ketika Belanda masuk, di desa ini masih banyak kegiatan – kegiatan yang dilarang oleh agama dan adat istiadat masyarakat setempat, sehingga commitdisebut to user dusun Nglarangan, selanjutnya
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketika para penjajah Belanda sampai pada suatu dusun mencari para pejuang dan tidak menemukan ( Clingusan = bahasa jawa ), kemudian dusun tersebut diberi nama dusun Dungus, selanjutnya ketika para pejuang berhasil mengusir para penjajah, mereka bergembira dan bersuka ria sehingga tempat tersebut dinamakan dusun Sooko. Setelah Belanda terusir, para pejuang membuat pertahanan yang sangat kokoh ibarat batu karang dan masyarakatnya merasa aman dan tanaman – tanaman yang tumbuh di desa ini tumbuh subur dan berseri sehingga tampak asri dipandang dan selanjutnya desa ini dinamakan Desa Karangasri. (Sumber: RPJM Ds. Karangasri 2009-2014) 4.4
Kependudukan Total jumlah penduduk Desa Karangasri : 7.918 jiwa Terdiri dari :
Laki – laki
: 3.929 jiwa
Perempuan
: 3.989 jiwa
Dengan jumlah Kepala Keluarga : 2.346 jiwa (Sumber: RPJM Ds. Karangasri 2009-2014) 4.5
Tingkat Pendidikan Tabel 1 Jumlah Penduduk berdasar Tingkat Pendidikan (Jiwa) Tidak tamat SD 466
Tamat SD 412
Tamat
Tamat
SMP
SMA
422
613
Sarjana 143
(Sumber: RPJM Ds. Karangasri 2009-2014) Data di atas menunjukkan bahwa penduduk Desa Karangasri yang menamatkan pendidikan setingkat SMA menduduki peringkat teratas dan peringkat kedua ialah tidak sampai tamat SD, termasuk penduduk yang tidak pernah commit to user sekolah.
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.6
Mata Pencaharian Tabel 2 Mata Pencaharian Penduduk (Jiwa) No
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
1
Petani
517
2
Buruh Tani
311
3
PNS
432
4
Wiraswasta
624
5
Lain-lain
462
(Sumber: RPJM Ds. Karangasri 2009-2014) Dari data di atas, buruh tani merupakan salah satu jenis mata pencaharian bagi penduduk Desa Karangasri, namun dalam data tersebut tidak diberikan jumlah perincian buruh tani laki-laki dan buruh tani perempua. Hal ini dikarenakan, penduduk yang bekerja sebagai buruh tani seringkali berubahubah, khususnya bagi buruh tani perempuan yang jumlahnya selalu berubah, dalam artian tidak semua buruh tani perempuan akan ikut menjadi buruh tani lagi pada musim tanam berikutnya. Selain itu, mereka bisa pula bekerja serabutan lain ataupun menjadi buruh di luar pertanian, sehingga apabila dilihat pada data tersebut, mata pencaharian paling besar terdapat pada jenis pekerjaan wiraswasta.
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Profil Informan Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yang terdiri dari masyarakat umum dan dari buruh tani perempuan sendiri, diantara kedelapan informan tersebut adalah : 1. Dra. Maria Viktoria Nesi, M.Si Berusia 48 tahun, beralamat di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec.Ngawi. Pendidikan terakhir Sarjana Strata Dua (S2) dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) yang menjabat Kepala UPT BPPKB wilayah Kecamatan Ngawi. 2. Aris Niti Winarno, S.Pd, M.Pd Berusia 33 tahun, beralamat di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec. Ngawi. Pendidikan terakhir Sarjana Strata Dua (S2) dan bekerja sebagai staf pengajar (dosen) salah satu perguruan tinggi swasta di Madiun. 3. Drs. H. Madin Berusia 60 tahun, beralamat di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec. Ngawi. Pendidikan terakhir Sarjana Strata Satu (S1) dan merupakan pensiunan pegawai negri dari Dinas Kesehatan. 4. Fitri Berusia 29 tahun, beralamat di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec. Ngawi. Pendidikan terakhir Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pekerjaan sehari-hari sebagai Ibu Rumah Tangga. 5. Parmi Berusia 30 tahun, tinggal di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec. Ngawi. Pendidikan terakhir tamat sekolah dasar (SD) dan bekerja sebagai buruh tani. Memiliki 2 orang anak yang keduanya masih menempuh pendidikan commitsekolah to user menengah pertama (SMP).
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Waginah Berusia 49 tahun, tinggal di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec.Ngawi. Tidak tamat sekolah dasar (SD), menempuh sekolah dasar hanya sampai kelas 3. Bekerja sebagai buruh tani, memiliki 2 anak yang kesemuanya sudah menikah (berumah tangga). 7. Suginem Berusia 45 tahun, bertempat tinggal di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec.Ngawi. Pendidikan terakhir tamat sekolah dasar (SD). Bekerja sebagai petani sekaligus juga terkadang sebagai buruh tani. Memiliki seorang anak yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN). 8. Sri Utami Berusia 51 tahun. Bertempat tinggal di Rw 05 Ds. Karangasri, Kec.Ngawi. Pendidikan terakhir menempuh jenjang SMP. Bekerja sebagai petani dan terkadang juga menjadi buruh di sawah orang lain. Memiliki 3 orang anak yang kesemuanya sudah menikah. Kedelapan informan di atas dapat dilihat pada matrik di bawah ini Matrik 5.1 Profil Informan No
Nama Informan
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
1.
Dra. Maria Viktoria Nesi,
48 th
Sarjana (S2)
PNS
33 th
Sarjana (S2)
Dosen
60 th
Sarjana (S1)
Pensiunan
M.Si
2.
Aris Niti Winarno, S.Pd, M.Pd
3.
Drs. H. Madin
PNS 4.
Fitri
29 th commit to user
SMK
Ibu Rumah
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tangga 5.
Parmi
31 th
SD
Buruh Tani
6.
Waginah
50 th
Tidak tamat
Buruh Tani
SD 7.
Suginem
45 th
SD
Petani dan Buruh Tani
8.
Sri Utami
51 th
SMP
Petani dan buruh tani
Sumber: Data Primer, diolah Juni 2012 Dari matrik di atas menunjukkan bahwa informan berada pada kisaran usia 30-60 th, dan terdiri dari golongan berpendidikan
tinggi,
berpendidikan
menengah
serta
berpendidikan rendah. Informan juga berasal dari berbagai jenis pekerjaan yang dilakoni.
5.2
Pengertian Umum Buruh Tani Buruh tani merupakan salah satu komposisi masyarakat pedesaan. Keberadaan buruh tani sangat penting dalam masyarakat pedesaan, dikarenakan sektor pertanian masih memegang peranan penting di pedesaan. Salah satu daerah pedesaan yang masih cukup tampak aktifitas buruh tani ialah di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Desa ini memiliki lahan pertanian yang cukup luas, sehingga keberadaan buruh tani dengan mudah dapat dijumpai. Buruh tani mengandung pengertian orang yang bekerja di sawah orang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ibu Fitri (29 th)
“..Buruh tani itu ya orang yang kerjanya di sawah. Tapi bukan di sawahnya sendiri, sawahnya orang lain, yang namanya buruh kan bekerja pada orang mbak..” (Wawancara 20 Mei 2012) commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Buruh tani bekerja di sawah orang lain bukan tanpa alasan. Mereka bekerja di sawah orang lain dikarenakan tidak memiliki tanah/ lahan pertanian untuk bercocok tanam sendiri atau tidak memiliki cukup tanah yang berkualitas baik guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok. Sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Bapak Aris (33 th) sebagai berikut :
“..Buruh tani itu ya orang yang kehliannya bertani, tetapi tidak memiliki lahan sendiri. Dengan kata lain, orang yang tenaganya digunakan oleh orang lain untuk mengerjakan lahannya/ sawah..” (Wawancara 14 Mei 2012)
Dengan kata lain, buruh tani bekerja di sawah orang lain dikarenakan tidak memiliki modal pokok dalam usaha pertanian, modal pokok yang dimaksudkan dalam bentuk tanah/ lahan pertanian, sehingga mereka mengerjakan lahan milik orang untuk mendapatkan upah. Buruh tani merupakan kelompok yang menempati tingkat terbawah dalam lapisan masyarakat desa walaupun keberadaan mereka menempati posisi yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang masih sangat dekat dengan industri pertanian.
commit user Gambar 5.1: Keberadaan buruhtotani di Ds. Karangasri, Kec. Ngawi, Kab. Ngawi
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Buruh
tani
dalam
pengertian
yang
sesungguhnya
memperoleh penghasilan terutama dari bekerja dengan mengambil upah untuk para pemilik tanah atau para petani penyewa tanah (Sajogyo, 1988: 158). Sebagian besar dari mereka bekerja dalam jangka pendek, dipekerjakan dan dilepas dari hari ke hari, hanya sebagian kecil dari mereka yang merupakan buruh upahan yang menetap, misalnya dalam jangka waktu beberapa bulan hingga satu tahun. Upah yang diterima cenderung tidak pasti dan jumlahnya
sedikit,
tergantung
dari
pemilik
lahan/
yang
mempekerjakan mereka, seperti yang disampaikan oleh informan seorang PNS yang juga memiliki sawah. Berikut penuturan dari Ibu Maria (48 th) :
“...upah yang didapatkan buruh tani ini cenderung tidak stabil dibanding buruh-buruh lainnya, lha kan buruh tani kerjanya berpindah-pindah dan tidak terus menerus. Kemudian upah yang mereka dapatkan juga berbeda-beda di tiap sawah orang yang mereka kerjakan...” (Wawancara 23 April 2012)
Mereka mendapatkan upah yang terkadang tidak pasti disebabkan karena banyak hal, selain tergantung dari kesepakatan antara buruh tani dan pihak yang mempekerjakan (petani pemilik sawah), upah para buruh tani juga tergantung dari harga-harga sarana pendukung pertanian (harga pupuk, harga bibit, dll) serta hasil panen. Hal tersebut seperti penuturan yang dilanjutkan oleh Ibu Maria (48 th) :
“Kalau saya melihat dari tetangga saya yang sering mempekerjakan buruh tani di sawahnya, dia memberi upah kelihatannya juga tergantung dari biaya perlengkapan pertanian, misalnya kalau harga pupuk lagi naik biasanya upah yang diberikan sedikit dikurangi, seperti tetangga itu, dulunya dia memberi upah pada commitsaya to user buruh tani yang bekerja di sawahnya Rp 25.000/hari,
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kalau sekarang yang saya tahu katanya cuma diberi Rp 20.000/hari, kalau harga gabah dipasaran sedang anjlok kan juga otomatis pendapatan petani juga turun, jadi mau gak mau upah buruh tani-nya juga dikurangi. Trus kadang upahnya juga bukan dalam bentuk uang tapi juga hasil panen, gabah atau damen (batang padi).” (Wawancara 23 April 2012)
Gambar 5.2: Salah satu aktifitas buruh tani di pedesaan
Secara keseluruhan dari pendapat informan mengenai pengertian umum buruh tani, dapat dilihat pada matrik berikut ini :
Matrik 5.2 Pengertian umum buruh tani menurut masyarakat berdasar tingkat pendidikan Golongan Masyarakat No
Berdasar Tingkat
Nama
Pengertian Buruh Tani
Informan
Pendidikan Ibu Maria 1.
Pendidikan Tinggi
-
Buruh tani adalah orang yang bekerja di bidang pertanian.
-
Buruh tani mendapatkan upah setelah bekerja
Upah yang didapatkan buruh tani commit- to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cenderung tidak stabil dibanding buruh-buruh lainnya serta upah yang didapat
bergantung
pada
orang/
petani yang mempekerjakan -
buruh tani kerjanya berpindah-pindah dan tidak terus menerus.
Bapak Aris
-
Buruh
tani
adalah
orang
yang
keahliannya bertani. -
Buruh tani bekerja pada orang lain, karena tidak memiliki lahan sendiri/ mengerjakan lahan orang lain.
Bapak Madin
-
Buruh
tani
ialah
orang
yang
dipekerjakan di lingkup pertanian, istilah kasarnya mburuh neng sawah. Ibu Fitri
-
Buruh tani adalah orang yang bekerja di sawah.
2.
-
Pendidikan
Disebut buruh tani karena bekerja pada orang lain.
Menengah Ibu Sri Utami
-
Buruh tani adalah orang yang bekerja menggarap sawah orang lain.
Ibu Waginah
-
Buruh tani adalah orang bekerja ikut orang dan tidak memiliki keahlian lain selain bertani.
3.
Pendidikan Rendah
Ibu Suginem
-
Buruh tani ialah orang yang bekerja di sawah orang lain.
Ibu Parmi
-
Buruh tani bekerja ikut orang dan mengerjakan sawah milik orang lain karena tidak memiliki sawah.
Sumber: Data pimer, diolah Juni 2012 commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5.3
Buruh Tani Perempuan Secara umum buruh tani diklasifikasikan berdasar jenis kelamin, yaitu buruh tani laki–laki dan buruh tani perempuan. Pengklasifikasian ini juga berpengaruh dalam sistem pembagian kerja yang sering disebut pembagian kerja secara seksual dimana beberapa tugas dilaksanakan oleh perempuan dan beberapa tugas lain semata-mata dilakukan oleh laki-laki. Berbagai bentuk pekerjaan yang tampak hanya dilakukan oleh laki-laki atau perempuan saja, sebenarnya lebih didasarkan oleh kebudayaan masyarakat setempat, bukan karena keterbatasan mental. Keberadaan buruh tani perempuan di Desa Karangasri cukup banyak, namun jumlahnya tidak pasti, karena tidak semua buruh tani perempuan turut serta dalam setiap kali musim tanam yang berlangsung empat kali dalam satu tahun. Pekerjaan buruh tani perempuan lebih banyak terlihat di saat memasuki fase menanam, merawat tanaman serta memanen. Berbeda dengan aktifitas buruh tani laki-laki yang terlihat banyak berperan dalam mempersiapkan
tanah
sebelum
ditanami
(membajak,
mempersiapkan sistem pengairan), pemupukan, penyemprotan pestisida, dan pekerjaan berat lainnya. Berdasar penuturan Bapak Aris (33 th), pada intinya buruh tani laki-laki maupun perempuan sama-sama orang yang bekerja di sawah/ lahan orang lain untuk memperoleh upah, yang membedakan ialah jenis pekerjaan mereka. Berikut penuturan beliau :
“Pada intinya pengertiannya sama, hanya spesifikasi pekerjaannya tidak membutuhkan tenaga yang berat tetapi membutuhkan ketekunan dan ketelitian sesuai sifat alami perempuan” (Wawancara 14 Mei 2012) Pendapat tersebut juga disampaikan pula oleh Ibu Fitri (29 commit to user th) yang merupakan seorang Ibu Rumah Tangga. Ibu Fitri juga
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan contoh perincian bidang kerja buruh tani perempuan. Seperti diutarakan beliau sebagai berikut :
“...umumnya kalau buruh tani yang perempuan itu kerjanya ya tandur, ndaut, pokoknya pekerjaan yang identik tenaga-tenaga perempuan...” (Wawancara 20 Mei 2012) Setelah ditanyakan pada buruh tani perempuan, ternyata apa yang dikatakan kedua informan diatas benar adanya. Hal ini terungkap seperti apa yang dikatakan seorang buruh tani bernama Ibu Suginem (45 th) berikut
“Menawi tanemanipun pari, niku nggih tandur, matun, panen. Tapi menawi tanemanipun melon nggih mulai tonjo, ngrabuk, nali bethek, nali palang, lan sanesipun.” (“Jika tanam padi, ya menanam, mencabuti rumput disekitar tanaman padi, panen. Tapi bila tanamannya melon ya tonjo, memupuk, mengikat bethek, mengikat palang dan lain sebagainya.”) (Wawancara 6 Mei 2012)
Klasifikasi berdasar jenis kelamin turut pula berperan dalam pembagian kerja antara buruh tani laki-laki dan perempuan. Bidang kerja buruh tani perempuan identik dengan kerja-kerja yang
membutuhkan
ketelatenan,
ketelitian
dan
keuletan.
Sedangkan buruh tani laki-laki identik dengan kerja-kerja yang cukup berat dan menguras tenaga.
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 5. 3: Aktifitas buruh tani laki-laki saat musim panen (Kegiatan merontokkan bulir padi dari batangnya menggunakan blower oleh buruh tani laki-laki)
Gambar 5. 4: Aktifitas buruh tani perempuan saat musim panen (Kegiatan memilah-milah batang padi yang telah selesai dirontokkan bulir padinya)
Perbedaan jenis kelamin pada dasarnya merupakan perbedaan gender yang berarti bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan merupakan hasil pengkotakan yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta didukung oleh nilai-nilai tertentu, bukan merupakan perbedaan yang disebabkan karena perbedaan biologis semata. commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Secara keseluruhan, klasifikasi buruh tani menurut masyarakat dapat dilihat pada matrik berikut ini :
Matrik 5.3 Buruh Tani Berdasar Klasifikasi jenis Kelamin No.
Golongan
Klasifikasi Buruh Tani
Masyarakat berdasar
Informan
Tingkat
Buruh Tani Laki-
Buruh Tani
Laki
Perempuan
Pendidikan Ibu Maria
- Tenaga
kerja
- Buruh tani yang
pertanian yang
mengerjakan
pekerjaannya
pekerjaa pertanian
membutuhkan
yang
tenaga
yang
perempuan,
besar
sesuai
bidangnya
pekerjaan
kemampuan
memerlukan
tenaga
ketelatenan.
laki-
yang
laki. 1.
Pendidikan Bapak Aris Tinggi
- Orang
yang
- Orang
keahliannya
keahliannya
bertani
bertani
dan
yang
dan
spesifikasi
spesifikasi
pekerjaannya
pekerjaannya
membutuhkan
memerlukan
tenaga
ketekunan
berat.
yang
dan
ketelitian
sesuai
sifat
alami
perempuan. Bapak
- Pekerjaan commit to user
- Buruh
tani
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Madin
buruh laki-laki
perempuan
lebih
pekerjaannya
kasar
dan pekerjaan-
tidak
pekerjaan
pekerjaan-
yang
lebih
jauh
dari
pekerjaan
yang
menguras
memerlukan
tenaga.
ketelatenan, keuletan,
dan
ketelitian. Ibu Fitri
- Buruh
tani
perempuan adalah
adalah buruh
perempuan-
tani
perempuan
yang
- Menangani pekerjaan-
2.
Menengah
Ibu Utami
Sri
tani
laki-laki
kerjanya kasar
Pendidikan
- Buruh
kerjanya
yang sebagai
buruh tani, - Umumnya buruh
pekerjaan
tani
perempuan
yang
berat-
kerjanya
berat,
seperti
ndaut,
tandur, pekerjaan
mencangkul,
yang
membajak,
tenaga-tenaga
dll.
perempuan.
- Laki-laki yang
identik
- Perempuan
yang
bekerja
kerjanya
sebagai buruh
burung tani untuk
tani
mencari uang
untuk
mendapatkan uang - Pekerjaannya seperti ngluku, commit to user
sebagai
- Pekerjaannya seperti menanam benih,
ndaut,
derep, panen dan
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mupuk,
dll
pekerjaan
yang termasuk
pertanian
kerja
mampu dilakukan
berat-
berat Ibu Parmi
yang
perempuan
- Laki-laki yang
- Perempuan
yang
bekerja
bekerja
sebagai buruh
buruh tani yang
tani yang
sebagai
- mengerjakan
- mengerjakan
pekerjaan ringan-
pekerjaan
ringan
berat-berat
menanam
seperti
(tandur),
mencangkul,
membersihkan
membajak
rumput
sawah,
dan
seperti padi
(ndaut)
dan sejenisnya.
pekerjaan 3.
berat lainnya.
Pendidikan Rendah
Ibu
- laki-laki
Waginah
tani
- perempuan
tani
yang kerjanya
yang
kerjanya
mbajak,
tandur(menanam),
ngluku, macul
matun(membersih
dan pekerjaan-
kan rumput disela
pekerjaan
tanaman),
laki-laki.
derep(memangkas padi yang sudah siap
dipanen).
Pekerjaan
yang
umumnya
bisa
dilakukan commit to user
perempuan
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ibu
- Laki-laki yang
Suginem
bekerja
di
sawah,
- Buruh
tani
perempuan
yang
tugasnya
- pekerjaannya
menanam,
merupakan
mencabuti rumput
pekerjaan
disekitar tanaman
berat
dan
membutuhkan tenaga
yang
padi, panen. - Apabila tanamannya
besar, seperti
melon
ngluku,
pekerjaannya
ndiesel,
dan
maka
seperti
tonjo,
pekerjaan
memupuk,
berat lain
mengikat bethek, mengikat dan
palang lain
sebagainya
yang
mampu dikerjakan oleh perempuan. Sumber: Data Primer diolah 2012
5.4
Konstruksi
Sosial
yang
Terbentuk
Atas
Buruh
Tani
Perempuan Fokus penelitian ini ialah pada buruh tani perempuan, dikarenakan marginalisasi,
kondisi
perempuan
domestikasi
dan
seringkali
mengalami
pengiburumahtanggaan.
Keberadaan buruh tani perempuan di Desa Karangasri cukup banyak, namun jumlahnya tidak pasti, karena tidak semua buruh tani perempuan turut serta dalam setiap kali musim tanam yang berlangsung empat kali dalam satu tahun. Keterangan ini didukung commit to user pula dengan belum adanya data yang pasti mengenai berapa
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jumlah buruh tani perempuan dari kantor Desa Karangasri. Penyebabnya, kebanyakan perempuan Desa Karangasri yang bekerja menjadi buruh tani memiliki anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarga, karena yang paling utama berkewajiban mencari nafkah adalah suami. Dengan kata lain, para perempuan tersebut bekerja sebagai buruh tani hanya untuk membantu mencari tambahan pemasukan keluarga, khususnya bagi keluarga yang terdesak ekonomi.
Gambar 5.5: Keberadaan Buruh Tani Perempuan di Desa Karangasri
Perempuan yang bekerja di luar rumah jarang diakui keberadaannya di masyarakat, apalagi untuk perempuan yang bekerja kasar atau bekerja pada jenis-jenis pekerjaan tingkat rendah. Bahkan bagi buruh tani perempuan itu sendiri cenderung tidak mengakui pekerjaannya sebagai buruh tani, karena dengan bekerja menjadi buruh tani tidak ada hal yang bisa dibanggakan (tidak ada prestise). Sehingga mereka mempunyai kecenderungan untuk menyebut pekerjaan utama mereka sebagai ibu rumah tangga. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari penemuan sosial. Konstruksi yang akan dibahas adalah konstruksi sosial yang commit to user diberikan oleh masyarakat umum atas buruh tani perempuan.
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Fenomena buruh tani perempuan nyata adanya di masyarakat, seperti yang masih terdapat cukup banyak di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Namun keberadaaanya masih belum mendapat pengakuan sebagai salah satu bentuk pekerjaan inti ataupun pekerjaan utama. Bahkan ketika salah seorang informan buruh tani perempuan ditanya mengenai pekerjaannya sehari-hari, beliau lebih memilih untuk menyebutkan pekerjaannya/ kegiatannya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Secara tidak langsung, pekerjaan domestik perempuan dalam rumah tangga lebih diakui daripada kerja perempuan di luar rumah. Seperti yang dinyatakan oleh Ibu Suginem (45 th) yang lebih menganggap bekerja sebagai buruh tani merupakan pekerjaan serabutan, berikut ungkapannya
“Sehari-hari nggih ibu rumah tangga mbak, nggih kalian sampingan kerjo dateng sabin (sawah).” (Wawancara 6 Mei 2012)
Beliau lebih menyebutkan pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga daripada sebagai buruh tani. Hal ini mungkin dikarenakan beliau hanya menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga lah yang diakui menjadi sebuah pekerjaan utama, sesuai kodratnya sebagai perempuan dan pekerjaan sebagai buruh tani hanya sebuah pekerjaan sampingan untuk mencari tambahan pemasukan dalam keluarga, sehingga tidak diakui. Selain dianggap sebagai pekerjaan serabutan dan tidak pasti, maka kebanyakan orang menganggap perkerjaan sebagai buruh tani merupakan pekerjaan rendahan/ pekerjaan kelas bawah. Salah satunya diutarakan oleh Bapak Aris (33 th) berikut :
“Buruh tani itu digolongkan sebagai jenis pekerjaan commitkenapa to user seperti itu alasannya karena, strata bawah,
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertama, orang yang mau jadi buruh tani karena terpaksa, dan biasanya tidak punya keahlian lain untuk bekerja di luar bidang pertanian. Kedua, upah yang diperoleh rendah yaitu kurang dari 50.000/hari” (Wawancara 14 Mei 2012)
Kebanyakan orang menyebut pekerjaan sebagai buruh tani adalah pekerjaan kelas rendah dikarenakan pekerjaan tersebut tidak mampu memberikan jaminan kesejahteraan sehingga orang yang mau melakukan pekerjaan tersebut lebih banyak dilakukan karena keterpaksaan, seperti yang dikatakan Ibu Fitri (29 th), seorang ibu rumah tangga
“...lha sekarang perempuan mana yang mau bekerja rendahan dan kasar seperti itu kalau memang tidak benerbener kepepet, sebagai ibu rumah tangga saja mungkin tenaga mereka sudah banyak terkuras untuk mengurus rumah tangga, sudah capek, apalagi masih mau kerja di sawah itu kan artinya ada sesuatu yang ingin diperoleh...” (Wawancara 20 Mei 2012)
Pekerjaan
sebagai buruh tani belum mendapatkan
pengakuan yang layak di masyarakat, apalagi menjadi buruh tani bagi perempuan, dimana di Indonesia yang masih memegang teguh budaya patriarki, perempuan bekerja di luar rumah masih belum banyak diakui keberadaannya. Padahal sumbangsih mereka cukup besar utamanya dalam membantu perekonomian keluarga. Bagi perempuan dalam rumah tangga miskin, khususnya seperti di pedesaan, bekerja bukan merupakan sebuah tawaran tetapi suatu strategi untuk menopang kebutuhan ekonomi, apalagi bagi rumah tangga yang tidak memiliki akses tanah. Bagi perempuanperempuan di pedesaan yang masih berusia muda lebih banyak memilih untuk keluar dari desa dan mencari pekerjaan di kota, sedangkan perempuan-perempuan commit to user desa yang berusia paruh baya
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apalagi sudah berkeluarga, memiliki kecenderungan untuk memilih lapangan pekerjaan yang ada di desa, yang pastinya tidak jauh dari industri pertanian/ usaha tani dengan menjadi buruh tani. Karakteristik lain yang dapat dilihat dari buruh tani perempuan ialah mereka dituntut untuk bekerja pada sektor domestik maupun publik, pada sektor domestik, mereka harus mengerjakan kewajibannya mengurus rumah tangga, dan di sektor publik mereka menjadi bagian dari suatu sistem ketenagakerjaan, hal ini mereka lakukan untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Mereka mencoba melaksanakan kedua tugas tersebut secara selaras, tanpa mengabaikan salah satu. Menurut Bapak Madin (60 th), para perempuan yang bekerja sebagai buruh tani tersebut merupakan salah satu contoh perempuan-perempuan yang mau berusaha dan bertanggung jawab, seperti penuturan beliau
“Menurut saya mereka tetap menjalankan keduanya secara imbang, sebelum berangkat bekerja kemungkinan besar mereka sudah menjalankan tanggung jawabnya di rumah, pulang dari sawah mereka biasanya juga hanya bisa istirahat sebentar dan kemudian bersih-bersih rumah, masak dan mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya. Itu hebatnya mereka, wis awak kesel mari ko sawah, tapi kabeh tetep ditandangi mbak (Itu hebatnya mereka, sudah badan capek, tetapi semua (pekerjaan rumah) tetap dikerjakan).” (Wawancara 16 Mei 2012)
Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu Fitri (29 th) selaku Ibu Rumah Tangga yang kesehariannya bekerja dalam ranah domestik. Seperti berikut penuturannya :
“Ya itu hebatnya mereka, mereka tetap bertanggung jawab dengan tugas rumah tangga walaupun juga bekerja di luar rumah. Biasanya sebelum berangkat ke sawah, mereka sudah menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga commit to user terlebih dahulu, jadi waktu ditinggal ke sawah semua
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
tanggungan di rumah sudah dikerjakan, tidak ada yang diabaikan..” (Wawancara 20 Mei 2012)
Pendapat kedua informan tersebut mendapat pembenaran dari Ibu Waginah (49 th), seorang buruh tani yang tidak melalaikan tugas serta kewajibannya dirumah. Berikut penuturan beliau :
“Yo sedurunge bidal teng sabin nggih resik-resik omah riyin kalian masak. Kulo kan namung urip kalian bapak, dadose radi enteng, namung masak nggo wong 2, sing dimasak yo sak enek’e wae. Sampun bakdo sedoyo mbak menawi ajeng bidal teng sabin ngateniku, cawisan kagem bapak nggih sampun wonten, dados tanggung jawabe tetep terlaksana.” (“ya sebelum berangkat ke sawah bersih-bersih rumah terlebih dahulu serta memasak. Saya kan hanya tinggal sama Bapak (suami), jadi agak ringan, cuma masak sedikit untuk berdua, yang dimasak juga seadanya saja. Sudah selesai semua mbak (pekerjaan rumah tangga) jika akan berangkat ke sawah, suguhan (kopi) juga sudah disediakan, jadinya tanggung jawab (dirumah) tetap dilaksanakan”) (Wawancara 08 Mei 2012)
Pembenaran tersebut juga terbukti melalui apa yang diungkapkan oleh Ibu Parmi (30 th), seorang buruh tani perempuan yang juga memiliki 2 anak usia sekolah, dimana beliau harus mengurus anak, mengurus suami serta menyelesaikan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu sebelum berangkat ke sawah untuk bekerja sebagai buruh tani. Seperti ungkapan beliau di bawah ini :
“...Ngaten mbak, wayahe subuh ngateniku sampun tangi, trus resik-resik omah kaliyan masak, pokoke sederenge bidal teng sabin, sarapan mpun wonten, mangke sangu nggih dicepakne teng mejo sederenge kulo bidal. Lha nek bidale ngrantos commitlare-lare to user mangkat sekolah nggih kawanen mbak...”
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(“..begini mbak, waktu subuh sudah bangun, kemudian bersih-bersih rumah dan masak, pokoknya sebelum berangkat ke sawah, sarapan sudah ada, nanti uang saku juga sudah disediakan di meja sebelum saya berangkat. Kalau berangkat menunggu anak-anak berangkat sekolah ya saya kesiangan mbak..”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Pada dasarnya, dalam keluarga yang tidak mampu, perempuan mempunyai peran yang lebih penting dalam rumah tangga. Beban yang ditanggung seorang perempuan berbeda-beda, beban terberat ditanggung oleh perempuan yang berasal dari keluarga tidak mampu, karena untuk semua pekerjaan harus dilakukan sendiri. Makin tidak mampu sebuah keluarga tersebut, makin berat beban yang harus ditanggung. Meskipun keberadaan buruh tani perempuan seringkali dianggap remeh oleh sebagian besar orang. Namun tak sedikit pula yang berempati terhadap mereka, melihat kerja keras dan usaha para buruh tani perempuan demi membantu perekonomian keluarga. Seperti yang diungkapkan Ibu Maria (48 th), yang mengatakan :
“Jujur saja ya, saya tidak begitu mempedulikan, tapi kalau melihat mereka dalam hati saya cukup bangga dengan mereka, istilahnya mereka bekerja sekuat tenaga, bekerja di sawah, panas-panasan, apapun mereka kerjakan. Kalau kita tanya, rata-rata mereka selalu menjawab untuk sekolah anaknya, bukan untuk makan lo biasanya jawabannya. Gak pernah jawab untuk makan, selama ini mereka yang saya tanya selalu jawab “ya untuk sekolah anakku”. Berarti kan hebat to kalau seperti itu..” (Wawancara 23 April 2012)
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa konstruksi commit to user sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penemuan sosial. Masyarakat umum mempunyai pandangan tersendiri mengenai buruh tani perempuan. Pengetahuan yang terbentuk dalam masyarakat terhadap buruh tani perempuan merupakan realita yang mereka lihat sehari-hari, buruh tani perempuan ialah para perempuan yang bekerja/ menggarap sawah milik orang lain dengan mengambil upah dari pemilik lahan/ sawah yang digarap tersebut dan pekerjaan yang dilakukan para buruh tani perempuan
ialah
pekerjaan-pekerjaan
yang
membutuhkan
ketelitian, keuletan serta ketekunan seperti naluri yang dimiliki perempuan, tidak seperti pekerjaan laki-laki yang berat. Realitas yang terbentuk di masyarakat mengenai buruh tani perempuan menyebutkan bahwa buruh tani perempuan merupakan bagian dari tenaga kerja di pedesaan, seperti yang diutarakan oleh Bapak Madin (60 th) berikut :
“buruh tani perempuan merupakan perempuanperempuan yang berpartisipasi sebagai tenaga kerja” (Wawancara 16 Mei 2012)
Pekerjaan yang dilakoninya di sawah memunculkan suatu pengetahuan di masyarakat bahwa mereka merupakan perempuanperempuan yang tidak kenal lelah karena selain bekerja diluar rumah (di sawah), mereka juga tidak melupakan pekerjaannya di sektor domestik sebagai bu rumah tangga. Salah satunya seperti apa yang diungkapkan informan bernama Ibu Fitri (29 th), seorang perempuan yang hanya sebagai ibu rumah tangga
“Sebagai sesama perempuan, saya melihat mereka sebagai orang yang gigih, gak nduwe kesel mbak. Sebagai ibu rumah tangga saja, saya harus mengurus suami, mengurus anak dan mengurus rumah itu rasanya capek. Lha mereka malah sudah jadi ibu rumah tangga, juga harus bekerja commitdito sawah user yang tempatnya seperti itu, bayarane yo ora cucuk.”
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(“Sebagai sesama perempuan, saya melihat mereka sebagai orang yang gigih, tidak punya rasa lelah. Sebagai ibu rumah tangga saja, saya harus mengurus suami, mengurus anak dan mengurus rumah itu lelah. Mereka menjadi ibu rumah tangga tetapi juga harus bekerja di di sawah yang seperti itu, upahnya pun tidak sesuai.”) (Wawancara 20 Mei 2012)
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Bapak Madin (60 th). Beliau melihat pekerjaan buruh tani merupakan pekerjaan yang cukup berat, apalagi bila dilakukan oleh perempuan. Berikut ungkapannya
“....pekerjaan menjadi buruh tani bagi perempuan merupakan pekerjaan yang cukup berat dan cukup menguras tenaga, apalagi upah yang didapatkan juga cukup minim sekali jumlahnya, tidak sesuai lah dengan apa yang sudah mereka kerjakan, mereka harus mulai bekerja dari pagi hingga siang...” (Wawancara 16 Mei 2012) Secara keseluruhan dari apa yang diungkapkan para informan, dapat dilihat dari matrik berikut ini : Matrik 5.4 Konstruksi terhadap Buruh Tani Perempuan No Penggolongan Masyarakat Berdasar Tingkat
Buruh Tani Perempuan Nama
Konstruksi Sosial Tugas
Tugas
terhadap Buruh Tani
Domestik
Publik
Perempuan
Ibu
- Mencuci
- Buruh
Maria
- Memasak
tani
perempuan
- Mengasu
- Buruh
merupakan
Informan
Pendidikan
1.
Pendidikan Tinggi
h anakto user Cuci commit
- Buruh
perempuan-
tani
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
- dan
- Buruh
perempuan yang
tugas-
Asuh
hebat.
tugas
Anak
- Bekerja
rumah
- dan
tanpa
mengenal lelah.
tangga
pekerja
lainnya
an
rendah daripada
serabut
buruh tani laki-
an
laki.
lainnya
- Berupah
lebih
- Mereka
tidak
pernah
minder
dengan pekerjaannya sebagai
buruh
tani. - Ada juga (buruh tani perempuan ) yang
kurang
kepedulian terhadap
orang-
orang disekitarnya. - Terkadang mereka itu tata kramanya kurang - Etos
kerjanya
tinggi. - Rata-rata
hanya
mau melaksanakan pekerjaan commit to user
tanpa
yang
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menggunakan pemikiran. Bapak
- Mencuci
- Sebagai
Aris
- Memasak
buruh
kelompok
- Mengasu
tani
perempuan yang
h anak - dan
- Merupakan
posisinya sangat penting
dalam
tugas-
bidang
ketahan
tugas
pangan
rumah
- Keberadaannya
tangga
tidak
bisa
lainnya
dianggap sebelah mata. - Merupakan perempuanperempuan tangguh - Menjadi penopang kehidupan keluarga. - Keberadaan buruh
tani
perempuan terkadang
tidak
begitu dipedulikan/ dianggap remeh, karena pekerjaan di commit to user
luar
rumah
bagi perempuan
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lebih cenderung tidak
diakui,
apalagi
untuk
pekerja rendahan seperti
buruh
tani. Bapak
- Mencuci
- Sebagai
Madin
- Memasak
buruh
perempuan-
- Mengasu
tani
perempuan yang
h anak - dan
- Merupakan
berpartisipasi sebagai
tenaga
tugas-
kerja di bidang
tugas
pertanian,
rumah
- Keikutsertaannya
tangga
dalam
mencari
lainnya
uang
didasari
rasa
ingin
membantu mencari tambahan penghasilan
di
dalam keluarganya. - Merupakan perempuanperempuan tidak mengenal
lelah
dan tidak udah putus asa 2.
Pendidikan
Ibu Fitri
- Mencuci - Sebagai commit to user
- Umumnya
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menengah
- Memasak
buruh
merupakan
- Mengasu
tani
perempuan-
h anak
perempuan yang
- dan
terdesak
akan
tugas-
kebutuhan
tugas
ekonomi
rumah
- Bekerja
untuk
tangga
membantu suami
lainnya
mencari
nafkah
tambahan
bagi
keluarga Ibu Utami
Sri - Mencuci
- Petani
- Menjadi
buruh
- Memasak - Buruh
tani
- Mengasu
merupakan
Tani
h anak
bukan
pekerjaan utama,
- dan
karena
menjadi
tugas-
buruh tani bukan
tugas
merupakan
rumah
pekerjaan
tangga
dan tidak pasti.
tetap
lainnya
3.
Pendidikan Rendah
Ibu
- Mencuci
- Sebagai
- Umumnya,
Parmi
- Memasak
buruh
bekerja
sebagai
- Mengurus
tani
bentuk
kegiatan
anak - dan
ekonomi subsisten, hanya
tugas-
sebagai
tugas
pemenuhan
rumah
kebutuhan untuk
tangga commit to user
makan
serta
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lainnya
kehidupan seharihari
sehingga
sulit
dalam
menyisihkan pendapatan. Ibu
- Mencuci
- Sebagai
Waginah - Memasak - dan
- Bagi perempuan,
buruh
menjadi
buruh
tani
tani
hanya
tugas-
merupakan
tugas
pekerjaan
rumah
sampingan
tangga lainnya Ibu
- Mencuci
- Sebagai
Suginem - Memasak - Mengurus anak
buruh
di
tani
sering
- Pengurus
- dan
posyand
tugas-
- Keberadaannya
u
dianggap
sebagai pekerjaan rendah. - Bagi perempuan
tugas
- Ketua
desa,
rumah
Pokja
buruh
tangga
- Ketua
lainnya
masyarakat
menjadi tani
seringkali
Pengajia
diakui
n
sebuah
tidak sebagai
pekerjaan, pekerjaan utama yang adalah ibu commit to user Sumber: Data Primer diolah Juni 2012
tangga.
diakui sebagai rumah
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5.5
Faktor-Faktor Pembentuk Konstruksi Sosial Atas Buruh Tani Perempuan
5.5.1 Ekonomi Partisipasi perempuan saat ini bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti
bagi
pembangunan
dalam
masyarakat.
Partisipasi
perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi (domestik) mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Peran transisi perempuan sebagai tenaga kerja dengan turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan. Keterlibatan perempuan mulai terlihat sekarang ini namun secara jelas belum bnayak diakui di masyarakat, padahal keterlibatan perempuan membawa dampak terhadap peranan perempuan dalam kehidupan keluarga. Fenomena yang banyak terjadi di masyarakat sekarang ini adalah banyaknya perempuan yang membantu suami untuk mencari tambahan penghasilan, utamanya karena didorong oleh kebutuhan ekonomi keluarga. Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi kecenderungan perempuan untuk berpartisipasi di
pasar
kerja
agar
dapat
membantu
meningkatkan
perekonomian keluarga. Bekerja mencari nafkah tambahan yang dilakukan perempuan dalam keluarga tidak mampu ternyata sudah menjadi sebuah kebiasaan. Partisipasi tenaga kerja perempuan disebabkan karena beberapa hal, diantaranya : commit to user
dapat
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a.
Dalam
memenuhi
kebutuhan
pokok,
tenaga
kerja
perempuan dibutuhkan untuk menambah tenaga yang ada. Misal dalam bidang pertanian. b.
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti tersedianya pekerjaan yang cocok bagi perempuan, maka terbukalah kesempatan kerja bagi perempuan.
c.
Majunya pendidikan (Pudjiwati Sajogyo, 1983: 132) Dengan
adanya
faktor-faktor
diatas,
maka
akan
mendorong lebih banyak perempuan untuk bekerja mencari tambahan pemasukan bagi keluarga, terlebih pada masalah pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan keluarga yang kurang mampu (keluarga miskin). Di wilayah pedesaan kaum perempuan umumnya banyak terlibat dalam pasar kerja di sektor pertanian sebagai buruh tani, perempuan memiliki peran cukup besar dalam memelihara ketahanan pangan. Banyak perempuan desa yang bekerja di sektor pertanian karena didasari permasalahan perekonomian keluarga. Konstruksi yang terbangun dalam masyarakat pedesaan terhadap buruh tani perempuan didasari atas realitas bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama bagi kebanyakan perempuan desa (yang keluarganya tidak memiliki lahan (sawah) sebagai sumber pendapatan) memilih untuk bekerja di lahan (sawah) orang lain. Seperti yang diungkapkan Bapak Madin (60 th) yang memiliki tetangga seorang buruh tani perempuan. Berikut penuturannya :
“....memang jika dilihat, pekerjaan menjadi buruh tani bagi perempuan merupakan pekerjaan yang cukup berat commit to user tenaga, apalagi upah yang dan cukup menguras
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
didapatkan juga cukup minim sekali jumlahnya, tidak sesuai lah dengan apa yang sudah mereka kerjakan, mereka harus mulai bekerja dari pagi hingga siang, ya menurut saya, mereka (perempuan-perempuan buruh tani) mau bekerja seperti itu alasan pertamanya mungkin karena alasan ekonomi. Sekarang ini, mana mau perempuan bekerja sperti itu kalau benar-benar tidak terdesak ekonomi, apalagi untuk masyarakat desa yang tingkat perekonomiannya cukup sulit, mereka jelas akan mau bekerja, apapun resikonya, yang penting bisa mendapatkan uang...” (Wawancara 16 Mei 2012)
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Ibu Fitri (29 th), seorang Ibu rumah tangga yang memiliki tetangga seorang buruh tani dan bahkan saudaranya ada pula yang bekerja sebagai buruh tani. Seperti ungkapan beliau di bawah ini
“..lha sekarang perempuan mana yang mau bekerja rendahan dan kasar seperti itu kalau memang tidak benerbener kepepet? sebagai ibu rumah tangga saja mungkin tenaga mereka sudah banyak terkuras untuk mengurus rumah tangga, sudah capek, apalagi masih mau kerja di sawah itu kan artinya ada sesuatu yang ingin diperoleh, yo opo meneh nek dudu duit..” (“...sekarang perempuan mana yang mau pekerjaan rendahan dan kasar seperti itu kalau memang tidak terdesak? Sebagai ibu rumah tangga saja mungkin tenaga mereka sudah banyak terkuras untuk mengurus rumah tangga, sudah lelah, apalagi masih mau bekerja di sawah itu berarti ada sesuatu yang ingin diperoleh, apalagi kalau bukan uang....”) (Wawancara 20 Mei 2012)
Secara langsung, ungkapan dari informan tersebut menyiratkan bahwa adanya pandangan yang beranggapan bahwa posisi rendah perempuan di pasar tenaga kerja (upah rendah atau pekerjaan yang dinilai lebih rendah dari pekerjaan laki-laki dan commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak membutuhkan ketrampilan tinggi) disebabkan karena posisi mereka di dalam rumah tangga. Pada dasarnya, perempuan desa yang bekerja sebagai buruh tani termasuk dalam golongan masyarakat miskin, dan para perempuan tersebut bekerja menjadi buruh tani dikarenakan terdesak ekonomi dan ingin membantu menambah penghasilan keluarga. Seperti alasan yang dibenarkan oleh Ibu Suginem (45 th) seperti berikut :
”Nggih sing utama niku kagem mbantu ekonomi keluarga, mbantu suami..” (“ Ya yang paling utama itu untuk membantu ekonomi keluarga, untuk membantu suami (mencari nafkah)”) (Wawancara 6 Mei 2012)
Dari petikan wawancara tersebut, untuk membantu perekonomian keluarga dijadikan sebagai alasan utama mengapa Ibu Suginem (45 th) mau bekerja sebagai buruh tani, padahal sebetulnya beliau pun juga memiliki lahan pertanian (sawah). Namun Ibu Suginem biasanya hanya menjadi buruh tani apabila sawahnya tidak berproduksi, atau menjadi buruh tani di pertanian selain padi, seperti melon meskipun sawahnya juga berproduksi (ditanami padi). Demi membantu perekonomian keluarga juga dijadikan alasan bagi Ibu Parmi (30 th). Menurut beliau, apabila hanya mengandalkan pendapatan suami dirasa sangat kurang untuk memenuhi berbagai macam kebuthan rumah tangga. Seperti penuturan beliau berikut :
“....lhawong pemasukan suami mawon kurang, kagem sehari-hari nggih kurang mbak menawi namung njagakne suami...” commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(“...pemasukan (pendapatan) suami saja kurang, untuk (kebutuhan) sehari-hari saja ya kurang mbak kalau hanya mengandalkan suami....”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Bagi Ibu Parmi (30 th) yang memiliki dua orang anak yang masih duduk di bangku SMP, bekerja menjadi buruh tani merupakan sebuah pilihan demi mencari tambahan penghasilan suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anaknya. Hal tersebut dikarenakan sangat sedikit lapangan pekerjaan yang ada di pedesaan. Berikut penuturan beliau :
“Lha nggih pripun mbak, lha wontene nggih niku mawon, sekitaran mriki kathah ingkang dados buruh tani..” (“mau bagaimana lagi mbak, adanya cuma itu, (orangorang) sekitar sini banyak yang menjadi buruh tani..”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Bekerja sebagai buruh tani pun sebenarnya belum menyelesaikan permasalahan ekonomi keluarga mereka, karena upah yang diperoleh dari bekerja sebagai buruh tani jumlahnya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Bagi buruh tani perempuan, upah yang diterima lebih kecil bila dibandingkan dengan buruh tani laki-laki, bahkan upah tersebut teramat kecil jumlahnya dan tidak sebanding dengan harga-harga kebutuhan pokok yang sekarang ini semakin mahal. Diungkapkan oleh seorang informan bernama Ibu Waginah ( 49 th) seorang buruh tani perempuan, yang mengatakan seperti berikut ini :
“Nek putri mbak, kerjo mulai jam enem sampe jam sepuluh kuwi olehe Rp 15.000, tapi nek sampek sore inggih Rpcommit 30.000.to Nek user kakung mbak setengah hari Rp
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
20.000, trus sedino inggih Rp 40.000. Tapi byasane mangke angsal sarapan mbak..” (“Kalau putri mbak, kerja mulai jam 06.00 sampai jam 10.00 itu dapatnya Rp 15.000, tapi kalau sampai sore ya Rp. 30.000. Kalau laki-laki, setengah hari Rp 20.000, kalau sehari Rp. 40.000. tapi byasanya nanti dapat sarapan mbak.”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Hal senada juga diungkapkan oleh buruh tani perempuan lainnya, seperti Ibu Suginem (45 th), walaupun beliau memiliki lahan pertanian (sawah) tapi terkadang juga bekerja sebagai buruh tani. Upah yang didapat Ibu Suginem (45 th) bahkan lebih rendah dari upah yang diperoleh Ibu Waginah (49 th). Seperti pernyataan beliau berikut ini
“Ngateniku harian mbak itunganipun, menawi sedinten niku dugi jam 1 ongkosipun menawi piyantun putri niku Rp 20.000, piyantun kakung Rp 30.000..” (“seperti itu harian mbak hitungannya, kalau sehari itu sampai jam 1 (siang) upahnya untuk (buruh tani) perempuan Rp 20.000, untuk laki-laki Rp 30.000”) (Wawancara 6 Mei 2012)
Dari apa yang dikatakan oleh kedua informan diatas dapat diketahui bahwa upah yang mereka dapatkan sangat sedikit jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian kerja yang terjadi
atas
dasar
gender
menyebabkan
perbedaan
dalam
pengupahan. Jumlah upah yang sedikit tersebut tentunya tidak mampu mencukupi berbagai kebutuhan sehari-hari. Seperti pengakuan dari Ibu Sri Utami (51 th) berikut
“Cekap mboten cekap nggih dicekap-cekapne mbak, wong yo opahe mung sithik.” commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(“Cukup tidak cukup ya dicukup-cukupkan mbak, upahnya juga sedikit.”) (Wawancara 9 Mei 2012)
Pengakuan serupa juga datang dari Ibu Parmi (30 th) seperti di bawah ini
“Nggih mboten cekap mbak, tapi nggih kulo cekapcekapne, lha pripun, nggih namung diparingi sakmonten niku.” (“ya tidak cukup mbak, tapi ya saya cukup-cukupkan, lha bagaimana cuma diberi segitu.”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Bagi Ibu Parmi (30 th) yang memiliki dua orang anak yang masih sekolah, upah yang didapatkan tersebut terasa sangat sedikit. Beliau pun menyatakan bahwa pengeluaran terbesar dalam keluarga adalah untuk membiayai sekolah kedua anaknya, seperti ungkapan beliau berikut ini :
“Kagem lare sekolah mbak, yogo kulo kalih (2), taksih SMP sedoyo. Kagem sangu nipun mawon, lare setunggal niku Rp 5.000, menawi lare 2 mawon sedinten Rp 10.000, sisane kan namung Rp 5.000 menawi upah kulo mawon Rp 15.000, dereng malih menawi mangke butuh mbayar sekolah, mulane kagem maem nggih mpun sak wontenipun mawon, teng ndeso ngateniki maem nggih mboten macemmacem mbak, sing penting wonten sekul, lawuh kalian sayur.. (“untuk anak sekolah mbak, anak saya 2, masih SMP semua. Untuk uang sakunya saja tiap anak Rp 5.000, kalau untuk 2 anak sehari Rp 10.000, sisanya kan Cuma Rp 5.000, itu jika upah saya Rp 15.000, belum lagi nanti perlu membayar biaya sekolah, makanya untuk urusan makan ya seadanya saja, di desa urusan makan tidak macam-macam mbak, yang penting ada nasi, lauk dan sayur.”) (Wawancara 8 Meito2012) commit user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagi buruh tani perempuan yang masih memiliki anak usia sekolah biasanya upah yang mereka dapat diutamakan untuk digunakan bagi keperluan biaya sekolah anaknya, terutama untuk uang saku harian. Sedangkan bagi buruh tani perempuan yang sudah tidak memiliki anak usia sekolah, biasanya upah yang didapatkan digunakan sebagai tambahan penghasilan suami untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, seperti untuk makan, membayar tagihan listrik, air serta untuk membayar arisan. Hal tersebut berdasar apa yang diungkapkan oleh Ibu Waginah (49 th) sebagai berikut
“Ngene mbak. Kulo saniki pun mboten ngragati anak, mergo anak-anaku wis podo rabi (nikah) kabeh, dadi kebutuhan paling gedhe inggih kagem sehari-hari, kagem maem mben dinten, bayar banyu, arisan, bayar listrik. Nggih mpun radi enteng mbak pun mboten ngopeni anak.” (“Begini mbak, saya sekarang sudah tidak membiayai anak karena anak-anak saya sudah berkeluarga (menikah) semua, jadi kebutuhan terbesar ya untuk sehari-hari, untuk makan tiap hari, membayar (tagihan) air, arisan, membayar (tagihan) listrik. Ya sedikit ringan mbak sudah tidak membiayai anak.”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Kedua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa peran perempuan
dalam
keluarga
ekonomi
lemah
juga
perlu
diperhitungkan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan-perempuan tersebut tidak hanya pasrah serta berpangku tangan mengandalkan penghasilan suami saja, tetapi juga ikut berusaha mencari tambahan penghasilan suami dengan bekerja, walaupun hanya pekerjaan sebagai buruh tani yang upahnya kecil. Upah dan pengeluaran yang tidak sepadan menyebabkan to user mereka kesulitan commit untuk mengelola keuangan keluarga. Sebagai
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perempuan, mereka tentunya yang diberi tanggung jawab untuk mengatur keuangan dalam keluarga. Upah yang mereka dapatkan saja, seringkali tidak bersisa setelah digunakan untuk pemenuhan kebutuhan bahkan terkadang juga kurang. Hal ini lah yang menyebabkan
mereka
jarang
memiliki
kemampuan
untuk
menabung. Terungkap dari apa yang disampaikan oleh Ibu Suginem (45 th) ketika ditanya apakah bisa menabung dari upah yang diperoleh beliau tersebut, seperti berikut ini
”Nggih mboten mbak, napane sing ajeng ditabung.” (“ya tidak mbak, apanya yang bisa ditabung”) (Wawancara 6 Mei 2012)
Keseluruhan informan buruh tani perempuan yang penulis wawancarai menyatakan bahwa mereka tidak mampu menyisihkan upah mereka untuk ditabung, karena biasanya upah tersebut sudah habis digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dan bahkan tidak cukup. Apabila mereka mengalami kesulitan keuangan, dalam artian ada beberapa kebutuhan yang sulit terpenuhi karena upah yang didapatkan telah habis sebelum tercukupi semua kebutuhan ataupun ada kebutuhan mendesak yang datangnya tidak bisa diduga, jalan satu-satunya yang mereka tempuh adalah berhutang, baik berhutang pada saudara ataupun tetangga. Seperti yang diutarakan oleh Ibu Parmi (30 th) dibawah ini
”Nggih kulo ngampil dateng sederek nopo tonggo mbak, menawi pancen kepepet. Ajeng nyade utawi nggadek’aken nggih nopo sing ajeng disade utawi digadek’aken, wong mboten gadhah nopo-nopo.”
commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(“ya saya pinjam saudara atau tetangga mbak, kalau memang mendesak. Mau menjual atau menggadaikan ya apa yang mau dijual atau digadaikan, tidak punya apaapa.”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Bagi mereka yang benar-benar tidak memiliki simpanan, berhutang kepada saudara atau tetangga menjadi jalan utama yang mereka pilih. Sedangkan ada pula yang tidak menjadikan hutang sebagai jalan keluar utama, tergantung seberapa besar dan seberapa pentingnya kebutuhan tersebut. Sebagai contoh seperti yang disampaikan oleh Ibu Suginem (45 th) berikut
“Yo didelok-delok mbak, kantun kebutuhane gede menopo cilik, nek misal kebutuhane cilik lan iseh iso dicukupi karo sing dinduweni ora perlu utang, umpami wonten njagong(kondangan) nek mboten gadah arto nggih ngedol pithik utawi bebek taseh saget. Sami kalih sak niki mbak,yogo kula ngerjaaken skripsi. Butuh ragat akeh lan sak wektu-wektu. Nggih kulo pados silehan dateng sederek, mangke mbalekaken sak kesanggupan kulo byasane pas sampun panen.” (“ya dilihat-lihat mbak, tinggal kebutuhannya besar atau kecil, misalkan kebutuhannya kecil dan masih bisa dicukupi dengan yang dimiliki ya tidak perlu hutang, seumpama ada undangan hajatan kalau tidak punya uang ya bisa jual ayam atau bebek kan bisa. Kalau sekarang mbak, anak saya sedang mengerjakan skripsi. Butuh biaya banyak dan sewaktu-waktu. Ya saya cari pinjaman ke saudara, nanti mengembalikannya tergantung menyanggupinya, biasanya waktu panen.”) (Wawancara 6 Mei 2012) Selain mencari pinjaman (berhutang), ada pula yang memilih untuk menjual aset yang memiliki nilai jual misalnya seperti hewan ternak. Walaupun dari kesemua informan yang bekerja sebagai buruh tani menyatakan tidak menyisihkan upahnya commit to user untuk ditabung, namun pada kenyataannya mereka tidak menyadari
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa sebenarnya secara tidak langsung mereka memiliki tabungan dalam bentuk hewan peliharaan (hewan ternak). Hal tersebut dapat penulis simpulkan berdasar pernyataan Ibu Suginem (45 th) seperti berikut ini
“Kadang menawi dateng ndeso kan kebanyakan gadah open-open (ternak) mbak, paling nggih ternak niku. Open-open ayam, bebek, sapi, wedhus (kambing). Mangke menawi wonten kebutuhan mendadak kersane saget di sadhe (dijual).” (“Terkadang di desa sebagian besar mempunyai hewan peliharaan, ya hewan ternak itu. Memelihara ayam, bebek, sapi, kambing. Nanti jika ada kebutuhan mendadak supaya bisa dijual sewaktu-waktu.” (Wawancara 6 Mei 2012)
Selain dalam bentuk hewan ternak, mereka juga menyimpan uang dengan mengikuti arisan.
Berikut seperti
penuturan Ibu Sri Utami (51 th)
“...pengeluarane kagem maem, kebutuhan rumah tangga, bayar arisan, bayar listrik, nggih kebutuhan-kebutuhan ngateniku mbak...” (“...pengeluaran untuk makan, kebutuhan rumah tangga, membayar arisan, membayar listrik, ya kebutuhankebutuhan lain seperti itu..”) (Wawancara 9 Mei 2012)
Secara tidak langsung, kegiatan arisan merupakan salah satu cara untuk menyimpan uang, walaupun tidak bisa diambil sewaktu-waktu ketika dibutuhkan. Sehingga mereka lebih sering menganggap arisan bukan sebagai bentuk menabung, tetapi sebagai suatu kebutuhan yang memang harus dipenuhi. Bahkan, ketika tiba waktunya untuk membayar arisan dan mereka tidak memiliki commit to user cukup uang untuk membayar, mereka akan mencari pinjaman
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk kewajiban membayar arisan. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Sri Utami (51 th)
“Yo nek kiro-kiro wayahe arisan tapi ngepasi ora nduwe duit, kulo biasane ngampil lare-lare riyin mbak, sinten ingkang gadhah,,,” (“Ya kalau kira-kira waktunya arisan tetapi kebetulan tidak punya uang, saya biasanya pinjam anak-anak dulu mbak, siapa yang punya,,”) (Wawancara 9 Mei 2012)
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagaian buruh tani perempuan lebih menganggap bahwa arisan merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar, bukan sebagai sarana untuk menyimpan uang. Dari keseluruhan buruh tani perempuan yang menjadi informan, hanya satu orang yang menyadari dan menganggap bahwa arisan sebagai salah satu sarana menyimpan uang/ menabung. Informan tersebut ialah Ibu Waginah (49 th) yang menyatakan seperti ini
“Nabunge nggih dateng arisan ngateniku mbak, menawi dateng bank nggih mboten” (“nabunge ya lewat arisan seperti itu mbak, kalau (menabung) di bank ya tidak”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Selain sebagai sarana menyimpan uang (menabung), arisan juga merupakan sarana untuk mempererat silaturahmi, seperti penuturan Ibu Waginah (49 th) yang dilanjutkan berikut ini
“...arisan niku kan selain saget kagem nabung, nggih saget ngraketaken warga RT mbak, kersane rukun, silaturahmi kalian warga, amargi pelaksanaane niku commit to user pindah-pindah dateng griyane warga digilir. Sinten sing
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
angsal arisan nggih arisan berikutnya wonten griyane warga sing angsal niku...” (“...arisan itu kan selain bisa untuk menabung, juga bisa untuk mempererat warga RT mbak, supaya rukun, silaturahmi dengan warga, karena pelaksanaannya itu berpindah-pindah, bergilir. Siapa yang dapat arisan ya arisan berikutnya dirumah warga yang mendapat arisan tersebut..”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Berdasar keseluruhan informasi yang didapat dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama para perempuan desa dari keluarga kurang mampu memilih bekerja menjadi buruh tani. Agar lebih jelasnya, perincian faktor ekonomi akan diuraikan pada matrik berikut :
Matrik 5.5 Faktor Ekonomi sebagai Pembentuk Konstruksi Sosial atas Buruh Tani Perempuan Golongan No .
Faktor Ekonomi
Masyaraka
Nama
t Menurut
Informa
Tingkat
n
Pendapatan
Pengeluaran
Kemampuan Menabung
Pendidikan Ibu Maria
1.
Pendidikan Tinggi
- Upah
yang - Biaya
- Kesulitan
didapatkan
pendidikan
dalam
buruh
anak.
menyisihkan
tani
cenderung
- Kegiatan
upah
yang
tidak
stabil
ekonomi
didapat,
dan
sedikit
subsisten
sehingga sangat
(≤ Rp. (hanya untuk commit to user 20.000-Rp makan)
sulit
untuk
menabung.
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
25.000). Bapak Aris
- Upah
yang - Pengeluaran
diterima
- Kemampuan
terbanyak
menabung
digunakan
jarang terjadi
perempuan
untuk biaya
karena
sangat
sekolah,
umumnya
baru
mereka
buruh
tani
rendah
(<
Rp. 50.000/hari).
- Keperluan makan
dan
bekerja hanya untuk
biaya hidup
memenuhi
sehari-hari.
ekonomi subsisten
Bapak Madin
- Upah yang
- Biaya
- Buruh
didapat
sekolah
perempuan
sangat
yang paling
jarang
sedikit
terlihat
memiliki
besarnya
kemampuan
anggaran.
untuk
- Bekerja sebagai pembantu
- Sedangkan
suami
untuk
dalam
makan kan
mencari
sudah
nafkah
menjadi
- Bahkan menjadi
menabung
kebutuhan sehari-hari.
pencari nafkah utama keluarga 2.
Pendidikan Ibu. Fitri
tani
- Pendapata - Pengeluara commit to user
- Belum
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menengah
n
suami
n
upah tani
memiliki
kecil,
buruh
sehingga
perempuan
untuk
mau
digunakan
menabung,
bekerja
untuk
untuk sekedar
sebagai
makan,
memiliki
buruh tani
biaya
barang
walaupun
sekolah
berharga saja
upahnya
anak
juga
yang masih
sedikit
memiliki
bagi
anak
kemampuan
sangat jarang.
usia
sekolah serta kebutuhan sehari-hari. Ibu Sri Utami
- Upah yang - Pengeluara paling
- Secara
tidak
didapat
n
sedikit
banyak
arisan
ialah
jumlahnya
untuk
salah
satu
bertani, jika
cara
musim
menyisihkan
bercocok
upah,
selain
tanam,
arisan
juga
karena juga
melakukan
memiliki
saving dalam
sawah
bentuk
sendiri.
perhiasan
Tetapi jika
emas
tidak commit to user
modal
ada
langsung,
untuk
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk bertani, pengeluaran biasanya untuk keperluan makan, kebutuhan rumah tangga, membayar arisan, membayar listrik,
air,
dll. Ibu Parmi
3.
Pendidikan Rendah
- Upah yang - Pengeluara
- Tidak
diterima
n terbanyak
memiliki
Rp 15.000
untuk
kemampuan
untuk
sekolah
untuk
setengah
anak,
hari
10.000
uang/
pukul
untuk uang
menabung,
06.00-
saku 2 anak
dikarenakan
10.00 dan
yang
upah
Rp 30.000
keduanya
didapat sudah
untuk
masih
habis
sehari
duduk
mulai
bangku
kebutuhan
pukul
SMP.
yang
dari
Rp
di
06.00Pengeluara commit to user 13.00 n lainnya
menyisihkan
yang
untuk
memenuhi
terkadang juga kurang
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari Ibu Waginah
- Upah yang - Kebutuhan
- Kemampuan
diterima
paling besar
menyisihkan
Rp 15.000
untuk
upah
untuk
keperluan
didapat
setengah
sehari-hari,
dengan
hari
untuk
melalui
pukul
makan
arisan.
06.00-
setiap hari,
10.00 dan
membayar
Rp 30.000
air,
untuk
dan arisan.
dari
yang
listrik
sehari mulai pukul 06.0013.00 . Ibu Suginem
- Upah yang - Pengeluara
- Kemampuan
diterima
n terbanyak
menyisihkan
Rp. 20.000
digunakan
uang
dengan
untuk
bentuk hewan
jam
membiayai
peliharaan/ter
kuliah anak.
nak
kerja
mulai
dalam
yang
pukul
nantinya
07.00-
dapat
13.00.
sewaktu-
commit to user
waktu
dijual
jika
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membutuhkan uang. Sumber: Data Primer, diolah Juni 2012
5.5.2
Sosial Budaya Lingkungan pedesaan umumnya memiliki kearifan yang masih terjaga. Kerukunan warga masyarakat, kegotongroyongan masih terjaga dengan baik, serta masih menjunjung tinggi toleransi antar warga masyarakat tanpa membedakan status, golongan, dan kelas sosial. Kehidupan para buruh tani perempuan di masyarakat juga tidak jauh dari hubungan sosial (pergaulan) mereka dengan sanak saudara, tetangga dan lingkungan sekitarnya.
Kerukunan yang terjalin antara pada
sesama buruh tani baik laki-laki maupun perempuan sangat terlihat sekali, hal ini utamanya dikarenakan bidang pekerjaan mereka yang sama, sehingga muncul rasa senasib diantara rekan sesama buruh tani, apalagi untuk buruh tani perempuan, karena ppada dasarnya perempuan memilki naluri yang lebih peka daripada laki-laki. Seperti apa yang disampaikan oleh Ibu Fitri (29 th) ketika menjelaskan hubungan yang terbentuk antar sesama buruh tani seperti berikut
“...para buruh tani-buruh tani perempuan itu biasanya malah dekat sekali dengan sesamanya (sesama buruh tani perempuan), apalagi biasanya rumah mereka juga berdekatan, bahkan masih ada pula yang memiliki hubungan keluarga. Ya mungkin karena mereka merasa senasib, jadi mereka bahkan merasa dekat seperti keluarga sendiri...” (Wawancara 20 Mei 2012) commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasar apa yang Ibu Fitri (29 th) lihat, beliau dapat menyimpulkan bahwa para buruh tani, khususnya buruh tani perempuan memiliki ikatan kerukunan sudah hampir seperti ikatan kekeluargaan. Selain Ibu Fitri (29 th), informan lain yaitu Bapak Aris (33 th) juga mengatakan bahwa ikatan kebersamaan sesama buruh tani khususnya perempuan sangat erat, berikut penuturan beliau :
“..yang saya tau, mereka umumnya cenderung rukun, ya karena pekerjaan mereka sangat tergantung pada interaksi dengan lingkungan sekitar. Sering kan kita lihat mereka biasanya berangkat ke sawah bergerombol jalan kaki menuju tempat kerjanya, rasa kebersamaannya itu sangat kuat..” (Wawancara 14 Mei 2012)
Kedua informan diatas melihat pola hubungan sosial dari sesama buruh tani. Ternyata kerukunan tersebut juga tidak hanya terjadi antara rekan sesama buruh tani saja, namun juga terjadi pula pada hubungan dengan warga sekitar. Hal ini disampaikan oleh Ibu Suginem (45 th), seorang petani yang terkadang juga menjadi buruh tani, seperti berikut
“Alhamdulillah raket mbak, sak lingkungan mriki takseh sami raket. Menawi wonten ingkang kerepotan nggih tulung tinulung, kulo akui taksih eco mbak. Menawi wonten ingkang sakit, nggih sami ngendangi” (“Alhamdulilah rukun mbak, satu lingkungan disini masih rukun. Apabila ada yang repot ya saling tolong menolong, saya akui masih bagus mbak. Apabila ada yang sakit ya sama-sama menjenguk.”) (Wawancara 6 Mei 2012)
Pernyataan tersebut juga disetujui melalui apa yang to user diutarakan oleh commit Ibu Parmi (30 th), seorang buruh tani, ketika
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditanya bagaimana hubungan beliau dengan tetangga ataupun masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
“..lha nggih to mbak, lhawong sampun dangu urip sareng wonten deso mriki, dadose mboten mbeda’-mbedaaken nyambut damelipun nopo, nggih rukun, raket mbak...” (“..lha iya to mbak, sudah lama hidup bersama di desa ini, jadi tidak membeda-bedakan pekerjaannya apa, ya rukun, erat mbak..”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Buruh tani perempuan merupakan bagian dari masyarakat pedesaan, dimana kebaikan masyarakat di lingkup pedesaan selalu erat dalam hubungan persaudaraan dan saling mengenal satu sama lain, dan oleh karena itu tidak pernah terjadi saling menonjolkan materi ataupun kedudukan sosial, hidupnya sederhana dan dalam hubungan masyarakat satu dengan yang lain saling menghormati. Masyarakat desa yang walaupun taraf hidupnya rendah tetapi pada umumnya tampak pula sedikit banyak penghargaan dan perhatian terhadap pergaulan hidup yang bersandarkan bertani. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi sosial buruh tani perempuan dengan lingkungan sekitarnya masih terjaga dengan baik, dan saling berdampingan tanpa membeda-bedakan status sosial, golongan maupun kelas sosial. Meskipun perempuan dan bekerja sebagai buruh tani, tidak semua warga masyarakat yang memandang remeh para perempuan tersebut, warga masyarakat lain memakhlumi dan lebih cenderung berempati pada mereka. Hal ini terungkap dari pernyataan Ibu Maria (48 th) commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Aku sangat menghargai mereka ya, karena kalau tidak ada mereka siapa yang akan mengerjakan sawah, trus kita makan apa? ya to? Aku juga sangat menghargai mereka dalam upaya mencari atau mempertahankan hidup, yang terpenting kerja halal daripada mencuri atau memintaminta. Andai kata aku sugih (kaya) ya aku akan bantu mereka. Aku bangga lo melihat buruh-buruh tani perempuan itu, mereka itu perempuan tapi kog ya tenaganya kuat, bahkan ada yang mengerjakan bagian yang harusnya dikerjakan laki-laki, hebat ya mereka. Ya terkadang aku juga merasa kasihan, cuma kalau buat aku yang namanya kasihan ya artinya kita harus bisa memberi gak cuma ngomong doang. Namanya orang kan berbedabeda, yang penting kita saling menghargai saja lah dengan sesama.” (Wawancara 23 April 2012)
Setelah hal tersebut ditanyakan pada salah satu informan buruh tani perempuan, menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Ibu Maria (48 th) ada benarnya. Berikut ungkapan dari Ibu Sri Utami (51 th) :
“Mboten mbak, mboten wonten, menawi tiyang-tiyang warga mriki nggih biasa mawon, lhawong kebanyakan yo wong tani lan buruh tani. Menawi tiyang-tiyang njobo nggih mboten ngertos, paling –paling wonteno nggih namung sanjang ‘wong ra nduwe’ ngaten..” (“Tidak mbak, tidak ada, kalau warga sekitar sini ya biasa saja, kebanyakan juga orang tani dan buruh tani. Kalau orang-orang luar ya tidak tau, mungkin kalau ada ya hanya berkata “orang tidak punya” begitu..” (Wawancara 9 Mei 2012)
Rasa empati tersebut muncul berdasar realita yang ada bahwa pekerjaan sebagai buruh tani bukan merupakan pekerjaan yang gampang, akan tetapi banyak dilakukan oleh para perempuan yang harusnya lebih mengutamakan pekerjaan di commit to user sektor domestik. Namun, budaya patriarki yang ada di Indonesia
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sejak jaman dahulu ternyata sekarang ini perlahan sudah mengalami sedikit pergeseran, apalagi bagi masyarakat desa yang berada pada masyarakat ekonomi lemah. Dahulu, perempuan yang hanya dianggap sebagai “konco wingking” perlahan sudah mengalami pergeseran. Perempuan tidak hanya dianggap sebagai “teman di belakang” yang hanya bertugas mengurus suami, mengurus anak dan rumah tangga, tetapi juga berfungsi sebagai penopang perekonomian keluarga, walaupun hanya membantu mencari tambahan pendapatan suami. Anggapan perempuan sebagai “konco wingking” sudah mulai tidak berlaku di masyarakat sekarang ini, khususnya bagi masyarakat miskin di pedesaan. Hal ini dibenarkan berdasar penuturan Ibu Parmi (30 th) seperti berikut
“....sakniki nggih mpun mboten kados ngateniku mbak, teng ndeso mpun mboten kados rumiyin. Sakniki malah tiyang estri niku mboten saget nek namung dateng griyo mawon, nggih sami kados tiyang kota, tiyang estri saget tumut kerjo, pados arto kagem tambah-tambah kebutuhan mbak...” (“..sekarang sudah tidak seperti itu mbak, di desa sudah tidak seperti dulu. Sekarang malahan perempuan tidak bisa kalau hanya dirumah saja, ya sama seperti orang kota, perempuan bisa ikut kerja, mencari uang untuk menambah pemenuhan kebutuhan mbak...”) (Wawancara 8 Mei 2012)
Selain Ibu Parmi (30 th), Ibu Sri Utami (51 th) juga menyampaikan pendapatnya tentang mulai pudarnya anggapan perempuan sebagai “konco wingking” seperti berikut ini
“Konco wingking? Tiyang estri mboten angsal medal nopo kerjo woten wedal ngaten to mbak ? Menawi kados commit to user ngateniku mboten wonten mbak ketingale, lha nek tiyang
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
estri namung wonten dalem mawon namung njagakne penghasilane bojo, lha nggih nek cekap, wong sakniki kebutuhan nopo-nopo larang. Malah biasane dadi rasanrasan tonggo mbak menawi wonten ingkang ngertos liyaliyane podo kerjo mrono-mrene kok malah dhewek’e neng omah wae mung njagakne bojone, padahal asile bojone yo mung sithik.” (“Konco wingking? Perempuan tidak boleh keluar atau kerja di luar begitu to mbak? Kalau seperti itu tidak ada mbak sepertinya, kalau perempuan hanya dirumah saja cuma mengandalkan penghasilan suami iya kalau cukup, sekarang kan kebutuhan apa-apa mahal. Malah terkadang biasanya jadi omongan tetangga mbak kalau ada (seorang perempuan) yang tau lainnya (perempuan/teman/tetangga) kerja kesana kemari tapi (seorang perempuan tersebut) hanya dirumah mengandalkan suaminya, padahal hasil yang didapat suaminya juga cuma sedikit.”) (Wawancara 9 Mei 2012)
Keseluruhan ungkapan yang disampaikan para informan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor sosial-budaya dapat menjadi pendorong terciptanya konstruksi sosial terhadap buruh tani perempuan. Agar lebih jelasnya, dapat dilihat pada rincian matrik di bawah ini :
Matrik 5.6 Faktor Sosial Budaya sebagai Pembentuk Konstruksi Sosial atas Buruh Tani Perempuan Penggolongan Masyarakat No.
Berdasar Tingkat
Faktor Sosial Budaya Nama Informan
Interaksi dengan
Budaya di
sekitar
masyarakat
Pendidikan 1.
Pendidikan Tinggi
Ibu Maria
- Para buruh tani -
commit to perempuan user
Adanya budaya
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhitung
ramah
patriarki,
dengan
warga
yang
sekitar.
mengalibatka
- Terkadang
n kedudukan
kurang tata krama
perempuan lebih rendah dari laki-laki, sehingga perempuan yang bekerja di luar rumah, seringkali tidak diakui keberadaanny a.
Bapak Aris
-
Buruh
tani -
Budaya
perempuan
patriarki,
ramah
yang
dengan
orang-orang
menganggap
disekitarnya,ap
kedudukan
abila
laki-laki lebih
bertemu
orang
yang
tinggi,
dikenal
pasti
sehingga
menyapa,
tugas utama
sopan.
perempuan
Walaupun
ialah sebagai
dijalan bertemu
ibu rumah
orang
yang
tangga, bukan
tidak
dikenal
biasanya commit to user menyapa
juga dan
pencari nafkah
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ramah
pada
setiap
orang
yang ditemui Bapak
-
Madin
-
Ibu Fitri 2.
-
Pergaulan
-
Adanya
dengan sesama
anggapan
buruh
tani
bahwa tugas
saling
akrab,
perempuan
rukun,
rasa
yang paling
kekeluargaan
utama hanya
tinggi
mengurus
(karena
merasa senasib
rumah tangga,
sepenanggunga
sehingga
n)
perempuan
Dengan
yang bekerja
masyarakat luas
mencari
di sekitar juga
nafkah di luar
sopan,
rumah
ramah,
tapi terkadang
seringkali
ada
yang
tidak
sungkan
atau
mendapat
segan terhadap
pengakuan,
orang
apalagi untuk
yang
mereka anggap
pekerjaan
lebih
rendah
tinggi
status
sebagai buruh
sosialnya.
tani.
Pergaulan
- Sekarang
Pendidikan
buruh
Menengah
perempuan
tani
dengan orangcommit to user
ini
masyarakat sudah
mulai
sadar,anggapan
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang
-
-
sekitar
bahwa
baik-baik saja,
perempuan
bisa
hanya
membaur
sebagai
dengan
orang
“konco
lain,
tidak
wingking”
menutup diri.
sudah
Tidak
tidak
membeda-
perempuan itu
bedakan kaya-
hanya dirumah
miskin
saja.
dalam
mulai berlaku,
Banyak
pergaulan
perempuan-
sehari-hari,
perempuan
tidak ada yang
desa yang juga
mengucilkan.
bekerja,
Saling
yang merantau,
menghormati
ada juga yang
satu sama lain
bekerja
dan
adanya
saling
ada
apa
tolong
disekitar
menolong bila
tempat tinggal.
ada
yang
membutuhkan bantuan. Ibu Sri Utami
-
Rukun dengan - Perempuan
di
sesama anggota
desa saat ini
masyarakat,
tidak
saling
mengandalkan
membantu serta
suami
saja
tolong
dalam
hal
menolong bila commit to user ada yang
hanya
mencari nafkah,
tapi
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesusahan.
juga
ikut
berusaha membantu mencari nafkah dan
mereka
tidak
hanya
dirumah
saja
melaksanakan tanggung jawabnya sebagai
ibu
rumah tangga, tetapi
juga
bekerja
untuk
mencari uang. Ibu Parmi
3.
Pendidikan
-
Rukun
satu - Budaya
yang
sama lain, tidak
berkembang di
membeda-
desa saat ini
bedakan,
sudah
memiliki
seperti dahulu
hubungan yang
yang
erat satu sama
menunjukkan
lain.
bahwa
Rendah
tidak
perempuan tugasnya hanya mengurus anak,suami dan rumah tangga. Akan bagi commit to user
tetapi keluarga
ekonomi
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rendah, perempuan juga
berupaya
untuk mencari uang
demi
keluarga. Ibu
- Hubungannya
Waginah
- Budaya
yang
erat, di desa pasti
menganggap
rukun satu sama
bahwa
lain, jarang terjadi
perempuan
pertengkaran atau
hanya
permusuhan,
“konco
sebagai
apabila
ada
sedikit
masalah
sudah
dengan
tetangga
tergeser,
harus
segera
wingking”
dengan
mulai
alasan
diselesaikan,
apabila
jangan
perempuan
sampai
terjadi
hanya dirumah
permusuhan.
saja
maka
untuk memenuhi kebutuhan dirasa jika
kurang hanya
mengandalkan pendapatan suami saja. Jadi sah-sah saja bla perempuan ikut commit to user
bekerja
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mencari nafkah. Ibu
- Kerukunan masih - Anggapan
Suginem
sangat
terjaga,
saling
tolong
bahwa perempuan
menolong,
hanya
sebagai
toleransinya
“konco
tinggi
wingking” sudah
mulai
bergeser, karena perempuan sekarang
ini
mampu bekerja di luar rumah Sumber: Data primer, diolah Juni 2012
5.5.3 Pendidikan Pendidikan memegang peranan penting di setiap sendi kehidupan manusia. Pendidikan inilah yang nantinya mampu mempengaruhi tingkah laku seseorang. Sarana dan fasilitas pedidikan di lingkup pedesaan sangat berbeda dengan lingkup perkotaan. Hal ini sering menyebabkan munculnya anggapan di masyarakat
bahwa
umumnya
masyarakat
pedesaan
berpendidikan rendah. Anggapan
terhadap
tinggi
rendahnya
pendidikan
masyarakat pedesaan tercermin dari kegiatan perekonomian sehari-hari mereka. Apabila dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan termasuk pekerjaan yang hanya membutuhkan tenaga dan berupah rendah, dapat dipastikan orang yang bergelut pada commit to user pekerjaan tersebut kebanyakan berpendidikan rendah.
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masyarakat umum melihat perempuan-perempuan yang bekerja sebagai buruh tani dikarenakan kurangnya tingkat pendidikan mereka. Menurut Bapak Aris (33 th), umumnya para buruh tani perempuan tersebut berpendidikan hanya setingkat sekolah dasar, seperti yang disampaikan beliau berikut :
“Setau saya, mereka rata-rata lulusan SD, bahkan ada yang gak sekolah ataupun putus sekolah. Ya hanya sekedar bisa baca dan tulis yang penting, dan bisa berhitung. Kalaupun ada yang sampai SMP mungkin jarang sekali, ada pun hanya 1-2 orang saja.” (Wawancara 14 Mei 2012)
Dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah, maka untuk mencari pekerjaan yang lebih layak pun dirasa sulit karena terbentur kemampuannya (Sumber Daya Manusianya rendah). Mereka
(para
buruh
tani
perempuan)
hanya
bekerja
mengandalkan tenaganya, bukan dengan kemampuan berpikir. Ungkapan tersebut seperti disampaikan oleh Ibu Maria (48 th) dalam melihat latar belakang pendidikan para buruh tani perempuan
“...mereka cuma mau mengerjakan saja, gak mau kalau disuruh berpikir. Ya soalnya SDMnya itu rendah. Mereka itu mayoritas tidak sekolah, atau putus sekolah, kalaupun ada ya mungkin cuma lulusan SD. Lulusan SMP paling cuma satu dua orang. Ya itu yang menyebabkan mereka istilahnya bekerja dengan menjual tenaganya saja. Mengandalkan kemampuan fisiknya saja, kalau untuk berpikir kayaknya yo rodo angel. Memang pada intinya terletak pada SDMnya dek.” (“..mereka hanya mau mengerjakan saja, tidak mau berpikir. Dikarenakan SDMnya rendah. Mereka mayoritas tidak sekolah, atau putus sekolah, kalaupun ada (yang sekolah) mungkin hanya lulusan SD. Lulusan SMP paling hanya adacommit 1-2 orang. Hal itu yang menyebabkan mereka to user bekerja hanya dengan menjual tenaganya saja.
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mengandalkan kemampuan fisiknya saja, kalau untuk berpikir sepertinya agak sulit. Memang pada intinya terletak pada SDM dek.”) (Wawancara 23 April 2012)
Keempat informan buruh tani perempuan yang penulis wawancarai menunjukkan bahwa memang benar mereka hanya berpendidikan rendah. Ungkapan tersebut datang dari Ibu Waginah (49 th)
“Kulo namung sekolah SD mbak tapi ora tutuk, mung tekan kelas 3 mbak, ora sampe lulus” “Saya hanya bersekolah di SD (sekolah dasar) mbak tapi tidak selesai, hanya sampai kelas 3 mbak, tidak sampai lulus” (Wawancara 8 Mei 2012)
Ungkapan serupa juga disampaikan oleh Ibu Suginem (45 th) seperti berikut
“Tamatan SD mbak, niku mawon kulo nekat sampek lulus SD” (“Tamatan SD mbak, itu saja saya nekat sampai lulus SD”) (Wawancara 6 Mei 2012)
Apa yang disampaikan Ibu Suginem (45 th) menunjukkan bahwa beliau mampu untuk menyelesaikan pendidikannya disekolah dasar harus melalui perjuangan yang berat karena memerlukan kenekatan dalam mencapainya. Beliau pun menuturkan alasan kenekatan tersebut seperti penuturannya berikut commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Wong tuo riyen niku kolot mbak, sebenarnya mampu, sawahe ombo, open-openane akeh, bapak ibu kula riyin pamong deso(perangkat desa). Tapi inggih niku, pikirane kolot. Jaman riyin teng desa wong tuo nopo pengen to putrane pinter ugi berpendidikan.Opo maneh anak wedok,Sing penting biso ngetung duit wis cukup ra usah neko-neko.” (“Orang tua jaman dulu itu kolot mbak, walaupun sebenarnya mampu, sawahnya luas, ternaknya banyak, bapak-ibu saya dulu perangkat desa. Tapi ya itu, pikirannya masih kolot. Jaman dulu di desa, orang tua tidak ada yang menginginkan anaknya pintar dan berpendidikan. Apalagi untuk anak perempuan, yang penting bisa menghitung uang sudah cukup, tidak perlu macam-macam”) (Wawancara 6 Mei 2012)
Namun tidak semua buruh tani berpendidikan rendah, ada juga yang berpendidikan menengah, walaupun hanya setingkat SMP. Seperti yang dialami oleh Ibu Sri Utami (51 th), berikut penuturan beliau
“Kulo ngantos SMP mbak” (“Saya sampai SMP mbak”) (Wawancara 9 Mei 2012)
Ketika ditanya mengapa tidak melanjutkan pendidikan sampai jenjang SMA, beliau mengutarakan alasan biaya menjadi kendala utama, dikarenakan beliau memiliki jumlah saudara yang cukup banyak, sehingga harus mengalah dan bergantian dengan adik-adiknya untuk mengenyam pendidikan. Berikut penuturan beliau
“Mboten wonten biaya mbak, tunggal kulo niku kathah, pengene podo sekolah kabeh. Dadose nggih gantian commit ngragati-ne mbak”to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(“Tidak ada biaya mbak, saudara saya banyak, inginnya sekolah semua. Jadi ya gantian membiayai-nya”) (Wawancara 9 Mei 2012)
Sumber Daya Manusia dianggap penting dalam mencapai taraf hidup yang lebih baik. Tingkat pendidikan dan sumber daya manusia mampu memberikan penilaian tersendiri terhadap seseorang, begitu pun penilaian terhadap buruh tani perempuan. Berdasar penelitian yang telah dilakukan di lapangan, ternyata menunjukkan bahwa tingkat pendidikan/ SDM yang rendah dapat pula memunculkan stigma negatif terhadap buruh tani perempuan tersebut, seperti penuturan Ibu Maria (48 th) berikut
“...menurut yang saya ketahui insyaallah mereka ramah. Ya hanya itu ya, mohon maaf aja, ada juga yang kurang kepedulian terhadap orang-orang disekitarnya, trus juga terkadang mereka itu tata kramanya kurang. Aku bilang gitu soalnya aku pernah liat ada yang ngambil punya saya tanpa minta ijin saya, ya petik mangga, petik pisang tanpa ijin. Itu petik pisang, petik mangga didepan situ, padahal aku duduk disini. Ya dalam hati aku bilang gak apa apa lah, mungkin dia butuh, hanya kembali seperti yang saya bilang, etika-nya kurang ya karena pendidikannya. Sehingga ya anggap aja itu hal biasa bagi mereka. Tapi ya emang ramah kog mereka, hanya itu, mereka sering ngambil tanpa ngomong ke yang punya. Mereka gak berpikir tekan kono, mungkin bagi mereka hal seperti itu ya sudah biasa gitu lo ya, tapi mohon maaf bukan dalam artian mencuri, kalau mencuri itu kan takut dan mengambilnya sembunyi-sembunyi, ini tidak. Meskipun aku duduk disini, ya mereka cuek gitu lo petik mangga, petik pisang. Seakan-akan itu milik sendiri, dengan PeDe-nya petik-petik gitu tanpa liat kiri-kanan, tanpa rasa takut. Mboh itu milik sopo-sopo gak peduli. Aku bisa mengatakan seperti itu sesuai kenyataan yang aku lihat didepanku.” (Wawancara 23 April 2012) commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Meskipun muncul penilaian bahwa mereka (buruh tani perempuan) kurang tata krama, namun hal tersebut bisa dimakhlumi dan masyarakat berusaha mentoleransi hal tersebut dengan membiarkan, memperbolehkan dengan diam-diam serta tidak mencela dan menganggap bahwa mereka memang membutuhkan itu. Akan tetapi tidak semua masyarakat umum menilai bahwa para buruh tani perempuan kurang tata krama. Setelah ditanyakan pada informan lain, seperti Bapak Aris (33 th) memberikan tanggapan yang berbeda, seperti berikut
“Itu kan gak semuanya, kadang orang-orang tu kalau menilai kayak “digebyah uyah” begitu lo, padahal kan itu tergantung individunya, paling cuma satu dua orang saja. Kalaupun ada, ya mungkin di desa hal seperti itu sudah biasa, misalnya tetangganya punya pohon mangga atau pohon apa begitu ya biasanya mereka tinggal ambil paling juga secukupnya. Ya biasalah kalau di desa itu kan ikatan kekerabatannya kental, jadi apa-apa ya seperti tidak ada jarak antara tetangga satu sama lain” (Wawancara 14 Mei 2012)
Sebagaian masyarakat menganggap hanya sebagian buruh tani perempuan saja yang kurang tata krama dan tidak bisa dipukul rata untuk semua buruh tani perempuan. Walaupun para buruh tani perempuan tersebut beserta suaminya rata-rata hanya berpendidikan rendah setingkat SD, namun hal tersebut sekarang ini tidak dialami oleh anak-anak mereka. Munculnya kesadaran mengenai pentingnya pendidikan menyebabkan mereka (buruh tani perempuan serta suami) berusaha menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari kedua orang tuanya, minimal sampai setingkat SMA. Seperti diungkapkan oleh Ibu Sri Utami (51 th) commit to user berikut ini
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menawi bapak lulusan SD. Lare-lare alhamdulillah ingkang jaler saget ngantos STM, ingkang estri ngantos dumugi SMA. Nggih kepengenane kulo kalian bapak niku saget nyekolahaken lare-lare radi duwur tinimbang wong tuane mbak, kersane luwih berpendidikan ngaten lo, ben ora bodho koyo wong tuane ngeneki. (“Bapak lulusan SD. Anak-anak alhamdulillah yang lakilaki bisa sampai STM (Sekolah Teknik Mesin/SMK), yang perempuan sampai SMA. Keinginan saya sama bapak bisa menyekolahkan anak-anak lebih tinggi dari kedua orang tuanya, agar lebih berpendidikan, supaya tidak bodoh seperti orang tua-nya ini”) (Wawancara 9 Mei 2012)
Mereka (keluarga buruh tani perempuan) menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang lebih tinggi dari orang tuanya dengan harapan agar kehidupan anak-anaknya bisa lebih baik dari orang tua-nya, supaya tidak terus menerus hidup susah. Bahkan ada seorang informan yaitu Ibu Suginem (45 th) yang menyatakan bahwa sekarang ini anaknya menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Berikut penuturannya
“Anaku 1 mbak,kuliah neng Solo.” (Wawancara 6 Mei 2012)
Dikerenakan hanya memiliki seorang anak, maka Ibu Suginem (45 th) dan suami bertekad untuk memberikan pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi, tidak hanya sekedar SMA (Sekolah Menengah Atas). Seperti yang dialami sendiri oleh informan bernama Bapak Madin (60 th) yang orang tuanya dahulu petani, beliau merasakan sendiri bahwa orang tua jaman sekarang sudah berpikiran
lebih maju dalam commit to user pernyataannya
hal
pendidikan.
Berikut
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“....orang tua jaman sekarang ini pikirannya sudah tidak kolot seperti orang tua jaman dulu. Mereka sekarang ini memiliki kesadaran tinggi tentang pendidikan anakanaknya, karena mereka merasa jika anak-anaknya tidak disekolahkan (yaa minimal sampai tingkat SMA), nanti nasibnya juga tidak akan jauh berbeda dengan mereka, bukan hanya untuk anak laki-laki saja, tapi anak perempuan juga. Makanya sekarang bisa dilihat, anakanak petani maupun buruh tani juga sekolah tinggi, bahkan ada pula yang sampai jenjang perguruan tinggi agar nasib anak-anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya...” (Wawancara 16 Mei 2012)
Pada dasarnya, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pembentuk konstruksi sosial terhadap buruh tani perempuan. Agar lebih jelasnya dapat dilihat pada matrik berikut ini
Matrik 5.7 Faktor Pendidikan sebagai Pembentuk Konstruksi Sosial atas Buruh Tani Perempuan Penggolongan Masyarakat No.
Berdasar Tingkat
Faktor Pendidikan Nama Informan
Pendidikan Ibu Maria
1.
Pendidikan Tinggi
Pendidikan yang
Pendidikan
ditempuh para
Anggota keluarga
buruh tani
buruh tani
perempuan
perempuan (anak)
- Mayoritas
- Pendidikan
tidak sekolah,
anak-anaknya
atau
lebih baik dari
putus
sekolah,
kedua
kalaupun ada
tuanya
ya commit to user
mungkin
orang
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cuma lulusan SD. Lulusan SMP
paling
hanya
ada
satu
dua
orang. Bapak Aris
- Rata-rata
- Anak-anaknya
lulusan
SD,
mengenyam
bahkan
ada
pendidikan
yang
tidak
yang
lebih
sekolah
baik,
karena
ataupun putus
sekarang
sekolah.
kan kesadaran
- Hanya
ini
masyarakat
sekedar
bisa
akan
baca dan tulis
pentingnya
yang penting,
pendidikan
dan
cukup tinggi.
bisa
berhitung
- Mereka berupaya menyekolahka n
anak-
anaknya minimal sampai setingkat SMA Bapak Madin
- Mereka
- Anak-anak
kebanyakan
petani maupun
pendidikanny
buruh
a commit to user
kurang,
sekarang
tani ini
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rata-rata
juga
sekolahnya
mengenyam
saja
belum
sekolah tinggi,
tentu
lulus,
bahkan yang
ada tidak
sekolah.
bahkan
ada
pula
yang
sampai jenjang perguruan tinggi
agar
nasibnya
bisa
lebih baik dari orang tuanya. Ibu Fitri
- Rata-rata hanya SD,
- Paling lulus
bahkan
tidak
pendidikan untuk
anak-
ada pula yang
anaknya
bisa
tidak sekolah
lebih baik dari
maupun putus
bapak ibunya,
sekolah.
ya
minimal
anaknya 2.
Pendidikan
disekolahkan
Menengah
sampai tingkat SMA/SMK Ibu Sri Utami - Pendidikan
- Pendidikan
terakhir tamat
terakhir anak-
SMP.
anak
sampai
jenjang Sekolah Menengah (SMA/SMK). 3.
Pendidikan
Ibu Parmi - Hanya sampai - Masih commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rendah
lulus Sekolah
menempuh
Dasar
pendidikan
di
Sekolah Menengah Pertama Ibu Waginah
- Putus
- Anak-anak bisa
sekolah,
menempuh
menempuh
pendidikan
pendidikan
sampai
hanya sampai
STM/ SMK.
tamat
kelas 3 SD. Ibu Suginem
- Hanya
- Memiliki
tamatan SD.
seorang
anak
yang saat ini sedang menempuh pendidikan
di
perguruan tinggi. Sumber: Data Primer, diolah Juni 2012
5.6
Pembahasan Hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi memberikan penggambaran mengenai kondisi buruh tani yang ada di desa tersebut, dalam menganalisa keberadaan buruh tani di Desa Karangasri digunakan analisa
data
yang
dikemukakan
oleh
Spradley.
Sebelum
menggunakan analisis komponensial yang terlebih dahulu mencari/ memilih domain dalam membuat analisis. Pada setiap domain terdapat sejumlah warga atau anggota, commit to user kategori-kategori, atau included terms. Setelah memilih domain
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemudian langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan kontras antar elemen dalam domain yang diperoleh melalui observasi dan atau wawancara terseleksi. Masing-masing warga dari suatu domain sesungguhnya mempunyai atribut / karakterisitik tertentu yang umumnya diasosiasikan
dengannya.
Atribut/karakteristik
itulah
yang
membedakannya satu dari yang lain, dengan kata lain kontras itulah yang membedakan antara yang satu dengan yang lain. Dengan mengetahui warga suatu domain (melalui analisis domain), kesamaan dan hubungan internal antar warga disuatu domain, dan perbedaan antar warga dari suatu domain (melalui analisis komponensial),
kita
akan
memperoleh
pengertian
yang
komprehensif, menyeluruh, rinci, kita telah memahami makna dari masing-masing warga domain secara holistik. Dengan
menggunakan
pertanyaan-pertanyaan
observasi
pengkontrasan
terseleksi
(contras
dan
questions),
sejumlah dimensi yang kontras di antara warga suatu domain akan dapat diidentifikasi. Persoalan kontras semacam itulah yang menjadi perhatian dalam analsis komponensial. Sebagaimana halnya analisis-analsis terdahulu (analisis domain dan analisis taksonomis), analisis komponensial juga baru dilakukan setelah peneliti mempunyai cukup banyak fakta/informasi dari hasil wawancara atau observasi yang melacak kontras-kontras di antara warga suatu domain. Kontras-kontras tersebut oleh peneliti difikirkan/dicarikan dimensi-dimensi yang bisa mewadahinya. Keberadaan buruh tani masih banyak dijumpai di Desa Karangasri, dikarenakan masih cukup luasnya lahan pertanian. Buruh tani tersebut jika diklasifikasikan berdasar jenis kelamin maka dibedakan menjadi buruh tani laki-laki dan buruh tani perempuan. Pengklasifikasian ini juga berpengaruh dalam sistem to userdisebut pembagian kerja secara pembagian kerja commit yang sering
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seksual dimana beberapa tugas dilaksanakan oleh perempuan dan beberapa tugas lain semata-mata dilakukan oleh laki-laki. Selain pembagian kerja secara seksual, klasifikasi
tersebut juga
berpengaruh pada sistem pembagaian upah, dimana buruh tani perempuan upahnya lebih sedikit bila dibanding buruh tani lakilaki. Agar lebih jelas analisisnya, dapat dilihat pada lembar kerja paradigma (worksheet) berikut ini :
Tabel 3 Lembar Kerja Paradigma (Worksheet) Klasifikasi Buruh Tani No.
Tani 1.
Dimensi Kontras
Domain Klasifikasi Buruh
Jenis Pekerjaan
Buruh tani laki-laki
Mencangkul,
Upah yang diterima Lebih tinggi dari
membajak sawah, buruh
tani
menangani sistem perempuan irigasi, pemupukan, pengangkutan hasil panen 2.
Buruh tani perempuan
Penanaman benih, Lebih rendah bila perawatan
dibanding buruh
tanaman, panen
tani laki-laki
Kondisi perempuan dalam konteks yang sangat beraneka ragam, makin tampak bahwa dalam berbagai segi, perempuan dari berbagai lapisan atau kelas sosial mengalami suatu kondisi marginalisasi,
domestikasi
dan
pengiburumahtanggaan.
Marginalisasi merupakan suatu bentuk proses pengucilan dimana commit to user perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau dari jenis-jenis kerja
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
upahan tertentu, sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar tenaga kerja (kecenderungan bagi perempuan untuk bekerja pada jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup tidak stabil, yang berupah rendah ataupun dinilai tidak terampil), sebagai proses feminisasi/ segregasi (adanya pemusatan tenaga kerja perempuan ke dalam jenis pekerjaan tertentu, bisa dikatakan bahwa jenis pekerjaan tersebut sudah terfeminisasi, sedangkan segregasi merupakan pemisahan pekerjaan yang semata-mata dilakukan oleh laki-laki dan oleh perempuan). Domestikasi berarti proses pembatasan ruang gerak perempuan ke arena
domestik
saja.
Sedangkan
pengiburumahtanggaan
merupakan proses pendefinisian sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga terlepas dari apakah mereka memang ibu rumah tangga atau bukan, pendefinisian ini berarti bahwa perempuan secara ekonomis tergantung pada suami (Saptari, 1997:7). Dari hasil observasi dan wawancara tentang domain fungsi kerja perempuan dapat diketahui bahwa menangani pekerjaan urusan kerumahtanggaan berlangsung rutin setiap hari, tidak mendapatkan upah/penghasilan, umpamanya dikerjakan di dalam rumah tangga, tanpa pengawasan pihak/orang luar, dan sebagainya; bekerja sebagai buruh tani pada orang / pemberi kerja, dilakukan pada musim bercocok tanam dan masa panen, disertai pekerja / buruh lainnya secara bersama-sama, mendapat makan dan upah dari pemberi kerja, selama bekerja biasanya diawasi oleh pemberi kerja , dsb.
Dari informasi tersebut, dapat dinyatakan, misalnya
bahwa dimensi kontrasnya terletak pada: 1.
Letak (tempat) melakukan kegiatan.
2.
Karakteristik rutinitas Kegiatan
3.
Perolehan upah
4.
Independensi dalam melakukan kegiatan commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masing-masing warga domain “fungsi kerja perempuan” selanjutnya dapat dimasukkan data kontrasnya pada keempat dimensi kontras tadi, yang hasilnya dimasukkan ke dalam lembaran kerja oleh Spradley disebut dengan lembar kerja paradigma atau paradigma worksheet, seperti berikut ini
Tabel 4 Lembar Kerja Paradigma (Worksheet) Fungsi Kerja Perempuan Domain Fungsi
No .
Dimensi Kontras
Kerja
Karakteris Jenis Kerja
Perempu
Letak
tik
Kegiatan
Rutinitas
an 1.
2.
Kegiatan
Kerja
- Menangani
Sektor
Pekerjaan
Domesti
Rumah
k
Tangga
Kerja
Rumah
- Bekerja
Setiap hari
Peroleha
Independ
n Upah/
ensi
Imbalan
Bekerja
Tanpa
Independ
upah
en
Sawah
Pada saat Mendapa
Bekerja
Sektor
sebagai
milik
musim
tkan
atas
Publik
Buruh Tani
orang lain
bercocok
upah
pengawa
tanam dan
san yang
panen
mempek erjakan
- Partisipasi
Lingkunga Tidak
Tidak
Berada
dalam
n
mendapa
dalam
Kegiatan
tinggal
tkan
pengawa
apa upah
san serta
tempat tentu,
Lingkungan
commit to user
tergantung dari yang
kontrol
sudah
dari
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dijadwalka
orang-
n
orang di lingkung an sekitarny a.
Berdasar penelitian yang telah dilakukan, juga diperoleh hasil mengenai konstruksi sosial atas buruh tani perempuan di Desa Karangasri, maka untuk menganalisisnya dapat digunakan pendekatan konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Luckmann. Pekerjaan sebagai buruh tani bagi perempuan merupakan sebuah fenomena nyata yang terjadi di lingkup pedesaan. Menurut
Berger
dan
Luckmann,
selain
realitas,
pengetahuan juga merupakan istilah kunci dari konstruksi sosial. Berger dan Luckmann mendefinisikan konstruksi sebagai sebuah realitas
yang
dibentuk
oleh
pengalaman
seseorang
dan
pengetahuan, yang merupakan dasar dari individu (Basari, 2012: 27). Realitas (kenyataan)
dibangun secara sosial,dan proses
terjadinya kenyataan tersebut dapat dianalisa menggunakan sosiologi pengetahuan. Teori konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subyektif dan obyektif. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia individu dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas obyektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi (Berger dan Luckmann, 1990: 28-29). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
Realitas yang terjadi pada masyarakat Desa Karangasri mengenai buruh tani perempuan memberikan pengetahuan bahwa buruh tani perempuan merupakan tenaga kerja informal di bidang pertanian. Keterlibatan perempuan dalam bidang pertanian seringkali tidak terlihat (invisible). Hal ini karena pengakuan terhadap kontribusi kerja konkret mereka tidak pernah ada. Kerja mereka dipandang sekedar sampingan (secondary) atau bagian dari tenaga kerja berupah rendah. Kebanyakan dari buruh tani perempuan merupakan golongan keluarga tidak mampu, biasanya mereka bekerja untuk membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga karena sang suami pun biasanya juga bekerja sebagai buruh tani atau buruh serabutan yang pendapatannya tidak tentu. Konstruksi yang terbentuk di masyarakat, menunjukkan bahwa buruh tani perempuan merupakan tenaga kerja pertanian yang keberadaannya seringkali hanya dipandang sebelah mata, karena buruh tani merupakan jenis pekerjaan kelas bawah, apalagi bagi perempuan. Budaya masih patriarki yang masih terdapat di pedesaan menandakan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, sehingga tugas dan kewajiban utama mencari nafkah dalam keluarga adalah untuk laki-laki bukan perempuan, dan tugas utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga bagi yang sudah berkeluarga. Keadaan tersebut memang benar adanya dan diungkapkan sendiri oleh informan buruh tani perempuan. Informan perempuan yang menjadi buruh tani tersebut lebih menyebutkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga ketika ditanya mengenai pekerjaannya. Tugas mereka dalam ranah domestik sebagai ibu rumah tangga misalnya mencuci, memasak, mengasuh anak, dll. Sedangkan menjadi buruh tani merupakan tugas di ranah publik. Menurut beberapa pendapat masyarakat, selain menjadi commitbiasanya to user mereka juga termasuk pekerja buruh tani perempuan,
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serabutan, seperti menjadi buruh cuci, buruh asuh anak, dll. Namun, dalam penelitian ini ditemui pula seorang buruh tani yang ternyata memiliki tugas lain di ranah publik, yaitu turut aktif dalam berbagai kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggalnya, yaitu sebagai pengurus posyandu, ketua pokja 1 dan ketua pengajian. Ternyata apa yang dikonstruksikan masyarakat umum terhadap buruh tani perempuan tidak selalu sesuai dengan penilaian mereka, karena ternyata ada pula buruh tani perempuan yang tidak hanya diam di rumah saja ketika tidak bekerja sebagai buruh tani. Hal ini menandakan bahwa buruh tani perempuan tersebut juga memiliki kemampuan dalam lingkungan sosialnya. Buruh tani perempuan merupakan fenomena nyata tenaga kerja perempuan yang terjadi di pedesaan. Keberadaanya sering kali tidak diperhitungkan dalam masyarakat, bahkan bagi buruh tani perempuan itu sendiri, cenderung malu untuk mengakui pekerjaannya. Namun tidak secara keseluruhan semua buruh tani perempuan malu untuk mengakui pekerjaannya sebagai buruh tani. Buruh tani perempuan dianggap memiliki etos kerja yang tinggi, ini didasari atas nalurinya sebagai perempuan yang memiliki ciri khas tekun dan teliti bila mengerjakan suatu pekerjaan. Bekerja sebagai buruh tani bagi perempuan, ternyata juga belum mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi keluaga mereka, karena upah yang didapat hanya sedikit jumlahnya dan biasanya akan habis untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah anak ataupun pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, bahkan sangat jarang mereka memiliki kemampuan untuk menyisihkan upahnya (menabung). Sehingga bagi perempuan desa yang bekerja menjadi buruh tani, pekerjaan tersebut hanya dilakukan hanya untuk kegiatan ekonomi subsisten, dalam artian bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan semata dan bukan commit to user sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Hal ini hampir mirip
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan hasil penelitin yang dilakukan oleh James Scott mengenai moral ekonomi petani. James Scott menemukan bahwa bahwa banyak petani di Asia tenggara yang hasil panennya hanya digunakan sebagai bahan pangan saja. Mereka menggunakan hasilnya untuk kebutuhan hidup, selebihnya dijual untuk membeli beberapa barang kebutuhan seperti garam, kain dan untuk memenuhi tagihan-tagihan dari pihak luar (Scott, 1981:4-5). Sifat resiprositas dan prinsip ”dahulukan selamat” masih melekat pada masyarakat ini. Sudah menjadi suatu konsensus yang tak terucapkan mengenai resiprositas pada petani untuk menolong kerabat, teman dan tetangga dari kesulitan dan akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka dalam kesulitan. Normanorma inilah yang telah melekat dalam moral ekonomi petani (Scott, 1981:19). Akan tetapi ketika petani mengalami pungutanpungutan terhadap hasil produksi mereka, maka muncul moral ekonomi
untuk melakukan suatu tindakan yang benar agar
subsistensi mereka tidak terancam. Para petani, menurut James Scott mulai mencari pekerjaan-pekerjaan sampingan. Seperti berjualan kecil-kecilan, menjadi tukang kecil, buruh lepas atau malah berimigrasi. Kesan dari pandangan Scott ini seakan memandang bahwa petani adalah kaum yang lemah dan hanya mampu melakukan resistensi (tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya) kecilkecilan dan sekedar subsisten atau hanya mampu menghidupi ekonominya di hari itu saja. Ini sama halnya seperti yang terjadi pada buruh tani perempuan, dimana kebanyakan dari mereka justru tidak memiliki lahan pertanian sendiri. Walaupun budaya patriarki yang menjunjung tinggi dan lebih mengutamakan laki-laki masih terdapat di pedesaan, namun to user anggapan bahwa commit perempuan hanya sebagai “konco wingking”
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perlahan-lahan mulai tergeser. Sekarang ini banyak perempuan desa yang bekerja di luar rumah tanpa mengesampingkan kewajibannya dirumah, bahkan suami dan anak pun mengijinkan. Hal
ini
mereka
lakukan
utamanya
dikarenakan
terdesak
perekonomian, sehingga mau tidak mau, para perempuan rumah tangga tersebut harus ikut serta mencari tambahan pemasukan bagi keluarga, salah satunya dengan menjadi buruh tani. Selain faktor ekonomi serta sosial-budaya, konstruksi tersebut juga dibentuk berdasar faktor pendidikan. Pendidikan yang ditempuh para buruh tani perempuan tersebut rata-rata hanya sampai jenjang sekolah dasar, bahkan ada pula yang tidak mengenyam pendidikan ataupun putus sekolah. Pendidikan rendah tersebut yang menyebabkan pula mereka memiliki SDM yang rendah, biasanya mereka hanya mau mengerjakan pekerjaan yang hanya tinggal dilaksanakan saja, bukan pekerjaan yang harus melalui pemikiran terlebih dahulu. Selain itu, rendahnya SDM juga memberi pengaruh pada pemberian stigma/ pelabelan negatif pada buruh tani perempuan. Pelabelan bahwa buruh tani perempuan terkadang kurang memiliki tata krama muncul dari penilaian masyarakat. Namun pelabelan tersebut lebih ditujukan pada individunya saja dan tidak semua buruh tani perempuan seperti itu. Pendidikan rendah tersebut juga terkadang juga sama dengan suaminya. Namun, mereka tidak ingin keadaan tersebut terjadi pada anak-anaknya dan mereka berusaha agar pendidikan anakanaknya bisa lebih tinggi untuk kehidupan anak-anaknya agar lebih baik. Pandangan dan pengetahuan atas buruh tani perempuan dari lapisan masyarakat berpendidikan tinggi, menengah serta rendah adalah suatu bentuk realitas sosial yang diperoleh dari penemuan-penemuan sosial. Oleh karena itu konstruksi sosial akan commit to user melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Eksternalisasi adalah apabila manusia dibandingkan dengan makhluk biologis merupakan makhluk yang secara biologis mempunyai kekurangan karena dilahirkan dengan struktur naluri yang tidak lengkap, yaitu tidak terarah dan kurang terspesialisasi. Eksternalisasi merupakan bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosio-kulturalnya. Dengan kata lain, eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam suatu pola perilaku interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar (Bungin, 2008: 16). Fenomena buruh tani perempuan mendapat sorotan dari masyarakat dari berbagai strata pendidikan masyarakat. Budaya muncul sebagai parameter dalam menyoroti/ memberikan penilaian terhadap buruh tani perempuan tersebut. Obyektivasi berarti bahwa kebudayaan yang diciptakan manusia kemudian menghadapi penciptanya sebagai usaha fakta diluar dirinya. Dunia yang diciptakan manusia tersebut menjadi suatu realitas obyektif (Berger, 1991: 4-5). Obyektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Dengan demikian, individu melakukan obyektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Hal ini dapat berlangsung tanpa melalui tatap muka. Obyektivasi tersebut bisa pula terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial. Budaya patriarki merupakan suatu produk sosial yang digunakan dalam menyoroti/ to user memandang buruh commit tani perempuan.
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Internalisasi, pada saat terjadi internalisasi, dunia yang telah diobyektifasikan itu diserap kembali ke dalam struktur kesadaran subyektif individu. Individu mempelajari makna yang telah diobyektifasikan, mengidentifikasi dirinya
dengan makna
tersebut hingga masuk ke dalam dirinya. Dengan kata lain, internalisasi merupakan suatu proses penerimaan suatu definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Diterimanya definisi-definisi tersebut, individu bahkan hanya mampu memahami definisi orang lain. Akan tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi secara bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara sekaligus perubah masyarakat (Berger, 1991: 4-5). Pada intinya, buruh tani perempuan adalah tenaga kerja perempuan dalam bidang pertanian yang bekerja pada orang lain yang memiliki sawah, dan pekerjaan yang ditanganinya merupakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak jauh dari kerja-kerja (naluri) perempuan, seperti pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan, ketelitian serta ketrampilan. Perempuan bekerja sebagai buruh tani, bukan merupakan suatu tugas utama dalam mencari nafkah, karena tugas utama mereka adalah sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas segala pekerjaan di rumah tangga.
commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian ini, peneliti menarik kesimpulan berdasarkan hasil wawancara dengan informan, observasi di lapangan, study dokumentasi, serta analisis data yang telah dilakukan. Kemudian penulis juga akan memaparkan beberapa implikasi dan saran yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu Bagaimana Konstruksi Sosial yang Terbentuk atas Buruh Tani Perempuan 6.1 Kesimpulan Buruh tani perempuan merupakan salah satu komposisi ketenagakerjaan di wilayah pedesaan. Buruh tani perempuan sebagai bagian dari wajah kehidupan ini tampil sebagai sosok yang penuh beban dan tanggung jawab. Namun keberadaanya justru sering dipandang sebelah mata di masyarakat. Buruh tani perempuan merupakan sebuah realitas yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan ini akan terus menerus ada di dalam kehidupan sosial masyarakat pedesaan. Pekerjaan sebagai buruh tani dipandang sebagai pekerjaan kelas bawah, dan masyarakat menilai apabila perempuan bekerja menjadi buruh tani, pasti dikarenakan ada beberapa faktor penyebab.
6.1.1 Konstruksi Sosial Atas Buruh Tani Perempuan
Melalui pendekatan konstruksi sosial atas realitas sosial, Berger menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan terus menerus suatu realitas yang mereka miliki dan mereka alami. Buruh tani perempuan merupakan suatu relitas yang ada di dalam masyarakat commit to user dan akan terus menerus ada di dalam kehidupan sosial, khususnya
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
di
masyarakat
pedesaan.
Berger
dan
Luckmann
(1990)
mengemukakan bahwa konstruksi sosial merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari penemuan sosial. Masyarakat umum
mempunyai
pandangan
tersendiri
dalam
menilai/
mengkonstruksikan buruh tani perempuan dan buruh tani perempuan sendiri juga mempunyai pandangan tersendiri dalam melihat diri mereka. Pengetahuan yang terbentuk pada masyarakat umum dalam melihat buruh tani perempuan ialah sebagai bagian dari tenaga kerja di pedesaan dalam bidang pertanian, keberadaan mereka seringkali tidak diperhitungkan oleh masyarakat luas, karena menjadi buruh tani merupakan pekerjaan orang-orang kelas bawah, apalagi untuk perempuan yang selama ini banyak terpojokkan
pada
konsep
marginalisasi,
domestikasi
serta
pengiburumahtanggaan. Perempuan bekerja sebagai buruh tani, bukan merupakan suatu tugas utama dalam mencari nafkah, karena tugas utama mereka adalah sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas segala urusan rumah tangga. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa buruh tani perempuan dikonstruksikan sebagai pencari nafkah kedua dalam keluarga, buruh tani perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi subsisten dan buruh tani perempuan
merupakan salah satu bagian dari perempuan
pedesaan yang mengalami suatu kondisi marginalisasi, domestikasi dan pengiburumahtanggaan. Perempuan pedesaan termarginalkan pada pekerjaan upahan yang berupah rendah seperti pekerjaan buruh tani, terdomestikasi melalui jenis pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan pekerjaan domestik dirumah, serta mengalami kondisi pengiburumahtanggaan melalui pemahaman bahwa kodrat serta pekerjaan utama mereka ialah sebagai ibu rumah tangga. commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6.1.2 Faktor-Faktor Pembentuk Konstruksi Sosial
Faktor utama yang menyebabkan para perempuan tersebut bekerja sebagai buruh tani lebih dikarenakan terdesak kebutuhan ekonomi, sehingga mau tidak mau mereka harus membantu mencari tambahan pemasukan bagi keluarga. Hal inilah yang memberikan penilaian bahwa buruh tani perempuan merupakan perempuan-perempuan tangguh yang mampu bekerja keras tanpa kenal lelah. Pada masyarakat yang masih menganut budaya patriarkal, mencari nafkah merupakan tugas utama seorang laki-laki (suami) dan tugas seorang perempuan (istri) adalah mengurus rumah tangga. Meskipun masih menganut budaya patriarkal, namun anggapan bahwa perempuan hanya sebagai “konco wingking” perlahan-lahan mulai tergeser dan sekarang ini perempuan pun mulai menunjukkan perannya di luar rumah tangga, yaitu sebagai tenaga kerja ataupun kegiatan lain di luar rumah, misalnya kegiatan di lingkungan tempat tinggal mereka. Faktor sosial budaya inilah yang menjadi faktor kedua dalam pembentukan konstruksi sosial atas buruh tani perempuan. Faktor
ketiga
pembentuk
konstruksi
yaitu
faktor
pendidikan. Perempuan-perempuan tersebut hanya mampu bekerja sebagai buruh tani dikarenakan sumber daya manusianya yang rendah disebabkan pendidikan rendah. Rata-rata mereka hanya mengenyam pendidikan hingga tamat sekolah dasar (SD), putus sekolah bahkan ada pula yang tidak sekolah. Rendahnya sumber daya manusia inilah yang terkadang juga memunculkan stigma negatif bagi mereka, yaitu kurang tata krama. Bagi
buruh tani perempuan sendiri, mereka merepresentasikan commit dirinyato user sebagai ibu rumah tangga yang
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pekerjaan sehari-hari tidak jauh-jauh dari kegiatan rumah tangga, bukan sebagai buruh tani. Selama ini yang tertanam di benak mereka, mencari nafkah utama adalah tugas suami, sedangkan apabila mereka bekerja, hanya sebagai pencari tambahan penghasilan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dengan kata lain sebagai kegiatan ekonomi subsisten seperti makan dan uang saku anak sekolah.
6.2 Saran Pada proses akhir selesainya penelitian ini, maka dapat ditarik saran agar dapat digunakan sebagai masukan dalam pembuatan suatu kebijakan dan dapat pula digunakan untuk kepentingan penelitian lebih lanjut. Maka rekomendasi yang dapat disampaikan ialah sebagai berikut : 1. Saran bagi Pemerintah a. Berkaitan dengan faktor ekonomi yang menjadi faktor utama dalam pembentuk konstruksi, menandakan bahwa kehidupan para buruh tani perempuan bisa dikatakan belum sejahtera. Hal ini dapat dilihat dari besarnya upah yang diterima sebagai parameter. Selama ini, pemerintah daerah memberikan acuan dalam pemberian UMR, namun acuan tersebut lebih banyak diterapkan dalam pengupahan buruh, khususnya buruh pabrik yang intensitas dan jam kerjanya cenderung lebih stabil bila dibanding buruh tani. Maka dari itu, pemerintah
perlu membuat kebijakan lain yang
menyangkut buruh tani. Pertama, dengan cara memberi patokan harga gabah di pasaran agar tetap stabil dan relatif tinggi, sehingga petani mampu memberi upah yang layak bagi buruh tani, khususnya bagi buruh tani perempuan. commit to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedua ialah dengan memberikan patokan harga-harga sarana produksi pertanian, seperti pupuk, benih, dll. b. Pemerintah
perlu
membuat
kebijakan
dalam
usaha
memberikan pelatihan-pelatihan ataupun penyuluhan dalam hal bercocok tanam, sehingga kemampuan para buruh tani bisa lebih ditingkatkan sehingga produksi pertanian pun mampu untuk ditingkatkan. 2. Saran bagi Masyarakat a. Tokoh masyarakat dan masyarakat perlu membangkitkan semangat para buruh tani, baik buruh tani laki-laki maupun perempuan serta memberikan apresiasi yang cukup baik pada mereka. b. Keberadaan buruh tani memegang peranan penting dan berjasa dalam sistem ketahanan pangan, sehingga buruh tani sendiri tidak perlu merasa malu ataupun minder dengan status sosial mereka 3. Saran Penelitian Lebih Lanjut a. Penelitian ini hanya terfokus pada konstruksi sosial atas buruh tani perempuan serta faktor-faktor yang mendasari pembentukan konstruksi sosial tersebut. Hal yang belum diungkapkan pada penelitian ini ialah mengenai bagaimana keberlanjutan
keberadaan
buruh
tani
perempuan
di
pedesaan. Keberlanjutan keberadaan buruh tani perempuan di pedesaan sangat menarik untuk diteliti, dikarenakan keberadaan buruh tani perempuan sangat penting bagi keberlangsungan sektor pertanian, namun pekerjaan sebagai buruh tani dianggap sebagai pekerjaan kelas bawah karena tidak mampu memberikan kesejahteraan, dan yang menjadi permasalahan, bagaimana nantinya keberlangsungan sektor pertanian jika tidak ada perempuan yang bekerja sebagai commit to user buruh tani? Karena umumnya sekarang ini, banyak
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perempuan-perempuan desa yang memilih keluar dari desa untuk mencari pekerjaan di kota bahkan ke luar negeri. Bagi peneliti yang tertarik pada tema penelitian mengenai studi pedesaan, perlu pula membuat penelitian lebih lanjut tentang keberlanjutan keberadaan buruh tani perempuan di pedesaan, yaitu penelitian mengenai kelangkaan buruh tani perempuan atau penelitian mengenai bagaimana cara mengatasi kelangkaan buruh tani perempuan nantinya.
commit to user