KONSTRUKSI MAKNA MEMBACA DI TAMAN BACA MULTATULI CISEEL SOBANG LEBAK BANTEN
Oleh: Ahmad Subhan NIM: 1120011001
TESIS Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Perpustakaan dan Informasi Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Ilmu Perpustakaan & Informasi
YOGYAKARTA 2013
ABSTRAK
Tesis ini berisi hasil penelitian tentang konstruksi makna membaca pada sebuah perpustakaan komunitas di Dusun Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Perpustakaan komunitas ini bernama Taman Bacaan Multatuli (TBM). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, khususnya fenomenologi, yang mengacu pada paradigma konstruktivisme/interpretivisme untuk mengetahui bagaimana konstruksi makna dalam suatu kelompok sosial. Proses pengumpulan data penulis lakukan dengan cara wawancara, baik secara langsung (verbal) maupun tertulis; observasi partisipatif; serta studi dokumentasi. Penulis melihat kelompok dan aktivitas membaca di Ciseel sebagai fenomena sosial dan perpustakaan komunitas sebagai sebuah institusi sosialbudaya tempat berlangsung proses interaksi sosial dan konstruksi makna membaca. Dengan demikian, selain teori dalam Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I), penulis meminjam teori-teori dari ilmu-ilmu sosial dan budaya untuk memahami konstruksi makna membaca dari sudut pandang masyarakat Ciseel dan para pegiat kelompok membaca. Penulis menyusun kerangka teori yang terdiri dari empat bagian, yakni: teori mengenai perpustakaan komunitas, teori mengenai perpustakaan umum dan modal sosial, teori mengenai aktivitas membaca dalam konteks religi dan budaya, serta teori konstruksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli Ciseel Sobang Lebak Banten terdiri atas tiga level, yakni pada tataran Taman Baca Multatuli, tataran masyarakat Ciseel, dan tataran jaringan Komunitas Reading Group. Penulis mengilustrasikan pola konstruksi makna membaca pada tiga level ini seperti piramida terbalik. Pada tataran mikro, TBM menjadi medan interaksi antara pengelola TBM dengan anak-anak Ciseel dalam proses membangun makna bahwa membaca adalah kegiatan yang baik. Pada tingkatan meso atau pertengahan dengan bidang yang lebih luas adalah level konstruksi makna membaca pada tataran masyarakat Ciseel yang percaya bahwa membaca adalah kegiatan yang baik dan keberadaan TBM bermanfaat bagi masyarakat. Level makro adalah jaringan Komunitas Reading Group yang sekaligus menjadi cermin perihal makna membaca bersama dalam konteks yang lebih luas, yakni budaya masyarakat Indonesia yang tak memisahkan antara kelisanan dan keberaksaraan. Kata Kunci: Perpustakaan Keberaksaraan
Komunitas,
vi
Membaca,
Taman
Baca,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i PERNYATAAN KEASLIAN ………………………………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………...…………….. iii PERSETUJUAN TIM PENGUJI TESIS …………………………………….. iv NOTA DINAS PEMBIMBING ……………………………………………….. v ABSTRAK …………………………………………………...………………… vi KATA PENGANTAR ……………………………………..…………………. vii DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ix DAFTAR TABEL ……………………………………………………………... xi DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. xii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………..……………….. xiii DAFTAR SINGKATAN …………………………………..………………… xiv
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................... B. Rumusan Masalah .................................................................... C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. D. Kajian Pustaka.......................................................................... E. Metode Penelitian .................................................................... F. Sistematika Penulisan .............................................................
1 6 7 7 13 25
: KERANGKA TEORI A. Perpustakaan Komunitas sebagai Titik Awal . ........................ B. Perpustakaan Umum dan Modal Sosial .................................. C. Membaca dalam Konteks Religi dan Budaya ......................... D. Konstruksi Sosial . ...................................................................
28 33 36 46
BAB III : KONTEKS LOKAL DAN PROFIL LOKASI PENELITIAN A. Banten, Lebak, Sobang ........................................................... B. Dusun Ciseel ........................................................................ C. Profil Ubaidilah Muchtar ..................................................... D. Taman Baca Multatuli dan Reading Group Max Havelaar ....
49 55 59 70
BAB II
BAB IV : KONSTRUKSI MAKNA MEMBACA DI TAMAN BACA MULTATULI CISEEL SOBANG LEBAK BANTEN A. Konstruksi Makna Membaca di Taman Baca Multatuli .......... B. Konstruksi Makna Membaca bagi Warga Ciseel .................... C. Konstruksi Makna Membaca dalam Jaringan Komunitas Reading Group ........................................................................ D. Tiga Level Konstruksi Makna Membaca ................................
ix
75 82 87 97
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. .. 99 B. Saran-saran …………………………………………………... 101 C. Relevansi dan Refleksi untuk Teori-Praktik Kepustakawanan.. 103
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 106 LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Penelitian ini berawal dari kekaguman penulis pada militansi seorang pengelola perpustakaan komunitas pada sebuah dusun terpencil bernama Ciseel di Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Perpustakaan komunitas tersebut bernama Taman Baca Multatuli (selanjutnya ditulis TBM). Pengelola TBM tersebut, Ubaidilah Muchtar, seorang guru Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap 3 Sobang. Kekaguman penulis berubah menjadi rasa ingin tahu perihal bagaimana seorang pengelola perpustakaan komunitas di suatu kawasan terpencil dapat menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai kebiasaan bagi anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) dan SMP. Anak-anak Ciseel yang menjadikan TBM sebagai pusat aktivitas literasi, membaca dan menulis, bagi penulis bukanlah fenomena yang lumrah bila dibandingkan dengan berbagai contoh perpustakaan komunitas atau taman baca yang penulis ketahui. TBM punya kegiatan pokok berupa membaca bersama sebuah novel berjudul Max Havelaar karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Sebuah novel kelas dunia karena telah diterjemahkan dalam puluhan bahasa di dunia. Kegiatan tersebut mereka lakukan bersama dalam sebuah kelompok baca bernama Reading Group Max Havelaar (selanjutnya ditulis RGMH). Tak sekadar membaca, anak-
2
anak RGMH juga menulis buku harian berisi catatan perihal aktivitas sehari-hari, puisi, catatan perjalanan, maupun ilustrasi-ilustrasi imajinasi mereka. Bila ditumpuk, semua buku harian anak-anak RGMH setinggi tak kurang dari 50 cm. Kenyataan tersebut merupakan sesuatu yang tak lazim bagi penulis, mengingat kegiatan membaca novel kelas dunia dan menulis buku harian bukanlah hal yang lumrah bagi kebanyakan anak-anak usia SD dan SMP. Hal itulah yang menimbulkan pertanyaan penulis mengenai fenomena TBM di sebuah dusun terpencil dengan penduduk yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan buruh musiman. Keingintahuan penulis juga mengenai bagaimana pengelola TBM dapat menjadikan perpustakaan komunitas sebagai pusat aktivitas literasi bagi anak-anak Ciseel. Keingintahuan penulis berdasarkan pada kenyataan perihal kegiatan membaca dan menulis yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia belum menjadi kebiasaan. Kesimpulan tersebut penulis simak pada berbagai tulisan yang kerap memuat hasil kajian tentang Indonesia dengan posisi rendah dalam hal kebiasaan membaca. Pernyataanpernyataan bernada getir perihal kondisi perpustakaan dan perbukuan di Indonesia juga tak jarang menjadi berita di berbagai media massa. Dan pada akhirnya, masyarakat dituduh sebagai biang rendahnya kebiasaan membaca.
3
Tudingan bahwa masyarakat malas membaca adalah persoalan serius bila dikaitkan dengan kenyataan tentang pembahasan seputar kegiatan membaca yang selalu ditempatkan dalam konteks mulia. Pengakuan bahwa membaca adalah aktivitas yang baik telah mengakar di tengah masyarakat. “Rajin membaca adalah kunci sukses”, “Buku adalah jendela dunia”, “Perpustakaan adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya”, dan lain sebagainya, adalah slogan-slogan yang mencerminkan perihal keyakinan bahwa membaca sebagai aktivitas mulia telah mengakar di tengah masyarakat. Kesenjangan antara pengakuan umum bahwa kegiatan membaca adalah sesuatu yang baik dengan kenyataan bahwa aktivitas membaca bukanlah kebiasaan yang membudaya merupakan sebuah keganjilan. Kendati keganjilan tersebut justru menjadi kenyataan sehari-hari sehingga menjadi sesuatu yang sudah lumrah. Paradoks semacam ini pula yang memantik rasa ingin tahu penulis untuk meneliti fenomena literasi di dusun Ciseel. Penulis berpendapat bahwa fenomena perpustakaan komunitas serta kebiasaan membaca dan menulis pada sebuah dusun terpencil di Banten merupakan kasus menarik untuk dikaji. Bagi penulis, eksistensi TBM dengan berbagai aktivitas literasinya merupakan sebuah fenomena sosial-budaya
yang
dapat
menjadi
percontoh
perihal
bagaimana
perpustakaan komunitas menjadi institusi budaya bagi masyarakat yang bersama-sama membangun kenyataan sosial mengenai aktivitas membaca.
4
Kenyataan sosial merupakan objek material dalam bidang ilmu sosial. Disiplin ilmu yang mengkaji institusi, tindakan, dan interaksi sosial ini melatarbelakangi cara pandang penulis dalam mendekati fenomena perpustakaan komunitas serta aktivitas membaca bersama di Ciseel. Dalam menetapkan fenomena perpustakaan komunitas sebagai institusi budaya dan aktivitas membaca sebagai tindakan sosial menjadi objek formal dalam penelitian ini, penulis berpijak pada landasan pemikiran bahwa Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I) sebagai sebuah bidang ilmu yang bersifat interdisipliner. Mengutip Prentice, Pendit mencatat bahwa sebagai sebuah bidang ilmu yang berkarakter interdisipliner IP&I berkembang dalam situasi persinggungan antardisiplin ilmu, baik secara langsung maupun tak langsung melalui program pendidikan dan riset yang bertujuan mengintegrasikan berbagai konsep, metode, dan analisis ilmiah.1 Persinggungan antara IP&I dengan ilmu-ilmu yang mengkaji perilaku sosial tak lepas dari kritik terhadap kecenderungan para peneliti IP&I yang mengabaikan aspek manusiawi. Fokus perhatian para peneliti IP&I banyak tertuju pada persoalan bendawi yang melingkar seputar aktivitas mengumpulkan-menyimpan-menemukan-kembali
dokumen;
perihal
pertumbuhan produksi literatur; atau perihal bagaimana agar perangkat teknologi dapat menjadikan praktik kepustakawanan lebih efisien.
1
Putu Laxman Pendit, ”Apa yang dimaksud dengan Ilmu Perpustakan dan Informasi – sebuah diskusi berkesinambungan”, dalam Putu Laxman Pendit (ed.), Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional Information for Society: Scientific Point of View (Jakarta: ISIPII dan PDII LIPI, 2011), hlm. 313.
5
Kemajuan institusi kepustakawanan, dokumentasi, dan informasi yang didorong oleh hasil-hasil kajian untuk meningkatkan efisiensi kinerja ternyata memunculkan kritik bahwa institusi ini tidak adaptif terhadap pemakainya. Kritik inilah yang memancing reaksi kalangan IP&I mencari pemecahan tidak pada kecanggihan perangkat teknologi, namun dipetik dari pemahaman atas aspek interaksi sosial.2 Konteks interdisiplin dan pergeseran
paradigma
dalam
memandang
persoalan
di
bidang
perpustakaan dan informasi tersebut menjadi latar belakang peralihan fokus perhatian dalam IP&I dari koleksi ke aspek manusia yang menggunakan koleksi.3 Pokok-pokok pikiran perihal IP&I sebagai bidang kajian interdisiplin dalam konstelasi ilmu sosial serta peralihan fokus ke persoalan interaksi sosial merupakan fondasi bagi penulis dalam menetapkan objek material dan objek formal dalam penelitian ini. Pada bagian kerangka teori dan pembahasan hasil temuan, penulis meminjam teori-teori Sosiologi dalam membedah fenomena institusi dan interaksi sosial berupa perpustakan komunitas dan aktivitas membaca bersama yang penulis jadikan sebagai objek formal penelitian ini. Tesis ini berisi hasil penelitian tentang konstruksi makna membaca pada sebuah perpustakaan komunitas di sebuah dusun bernama Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 2
Putu Laxman Pendit, Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi: Sebuah Pengantar Diskusi Epistemologi dan Metodologi (Jakarta: JIP-FSUI, 2003), hlm. 134-135 3 Putu Laxman Pendit, “Membaca sang Pembaca”, dalam http://iperpin.wordpress.com/2009/03/20/membaca-sang-pembaca/, diakses tanggal 25 Juni 2013.
6
Perpustakaan komunitas ini bernama Taman Bacaan Multatuli (TBM). Di taman bacaan ini ada sebuah kelompok membaca yang terdiri dari anakanak usia siswa sekolah dasar dan menengah pertama. Nama kelompok baca ini adalah Reading Group Max Havelaar (RGMH). Mereka membaca novel Max Havelaar (MH) karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. B.
Rumusan Masalah Penelitian ini mengkaji tentang konstruksi makna membaca pada sebuah dusun bernama Ciseel, di Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, khususnya di perpustakaan komunitas bernama Taman Baca Multatuli. Di taman baca ini ada sebuah kelompok membaca bersama yang terdiri dari anak-anak usia SD dan SMP. Bila dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian, rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli Ciseel Sobang Lebak Banten?” Pertanyaan utama tersebut penulis turunkan menjadi beberapa pertanyaan untuk memperdalam pemahaman perihal bagaimana konstruksi makna membaca bagi masyarakat Ciseel, antara lain: ·
Bagaimana konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli?
·
Bagaimana konstruksi makna membaca bagi warga Ciseel secara umum?
7
·
Bagaimana konstruksi makna membaca di kalangan pegiat jaringan komunitas Reading Group?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah mengetahui konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli, Dusun Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sedangkan kegunaan laporan penelitian ini ialah: 1. Gambaran mengenai konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli Ciseel Sobang Lebak Banten dapat menjadi acuan mengenai bagaimana konstruksi makna membaca di masyarakat, khususnya di kawasan terpencil. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan untuk pengembangan Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Indonesia, khususnya
terkait
kajian
perihal
aktivitas
membaca
dan
pengembangan perpustakaan komunitas. D.
Kajian Pustaka Pada bagian ini penulis meninjau beberapa hasil penelitian yang merupakan contoh-contoh penelitian perihal membaca dan perpustakaan komunitas. Selain memberikan gambaran ringkas perihal penelitianpenelitian terdahulu yang memiliki kesamaan dalam hal topik dan fokus kajian, penulis juga memaparkan tentang perbedaan penelitian-penelitian terdahulu dengan isi tesis ini.
8
Laporan penelitian pertama yang penulis jadikan contoh kajian terdahulu adalah hasil pemetaan minat baca masyarakat di tiga kota, yakni Makassar, Pekanbaru, dan Banjarmasin yang dilakukan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) pada tahun 2007. Penelitian kerjasama Depdiknas dan PNRI ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui pemberdayaan perpustakaan oleh masyarakat sebagai sarana informasi; (2) Mengetahui gambaran tingkat minat baca masyarakat di tiga lokasi; (3) Mengetahui faktor yang mempengaruhi perkembangan minat baca masyarakat; (4) Mengetahui kemampuan masyarakat setempat dalam membaca; (5) Memetakan pengembangan minat baca di tiga lokasi; (6) Meningkatkan kerja sama sinergis Depdiknas dengan Perpusnas RI.4 Penelitian kolaboratif antara dua lembaga pemerintah tingkat nasional tersebut berlangsung pada bulan Juni hingga November 2007. Penelitian yang menggunakan metode survei ini mengajukan sembilan hipotesis yaitu: 1) Semakin tua umur seseorang semakin singkat durasi membacanya; 2) Semakin tua umur seseorang semakin rendah frekuensi membacanya; 3) Semakin tua umur seseorang semakin kecil korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan; 4) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin lama durasi membacanya; 5) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi frekuensi membacanya; 6) Semakin 4
Tim Peneliti Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Laporan Penelitian Pemetaan Minat Baca Masyarakat di Tiga Provinsi: Sulawesi Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan. Program Sinergi Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2007), hlm. a.
9
tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin besar korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan; 7) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin lama durasi membacanya; 8) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin tinggi frekuensi membacanya; 9) Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin besar korbanannya untuk mengadakan bahan bacaan. Berdasarkan hasil penelitian, tim peneliti ini menyimpulkan bahwa pada umumnya minat baca masyarakat di Makassar, Pekanbaru, dan Banjarmasin dapat dikategorikan rendah. Berdasarkan cuplikan dari laporan penelitian tim sinergi Depdiknas dan PNRI tersebut nampak bahwa penelitian ini merujuk pada paradigma positivisme. Sebagaimana umumnya penelitian berparadigma positivistik yang bertujuan melakukan generalisasi, maka hasil penelitian tersebut hendak dijadikan bukti ilmiah sekaligus gambaran umum mengenai tingkat minat baca masyarakat di Indonesia yang dianggap rendah. Bila dicermati lagi, diskursus perihal “membaca” didominasi oleh konsep yang seolah baku, yakni “minat baca”. Konsep baku tersebut berkonsekuensi pada munculnya cara pandang serta penelitian-penelitian mengenai minat baca yang cenderung berupa pengukuran tentang seberapa banyak buku yang dibaca; berapa rata-rata jumlah halaman yang dibaca oleh masyarakat pengorbanan
dalam
ekonomi
rentang waktu yang
dikeluarkan
tertentu; oleh
seberapa besar
masyarakat
untuk
mengonsumsi bahan bacaan; dan lain-lain. Cara pandang dominan dalam meninjau minat baca di Indonesia, menurut Pendit, adalah cara pandang
10
positivistik.5 Pendit menyebut ada tiga unsur pandangan positivistik tersebut dalam memandang persoalan minat baca. Untuk keperluan tesis ini penulis hanya mengutip salah satu dari tiga unsur tersebut yang penulis jabarkan di bawah ini. Cara pandang positivistik itu punya rumus sangat sederhana: semakin banyak membaca, semakin cerdaslah si individu. Asumsi positivistik tersebut mengandaikan kegiatan membaca adalah kegiatan memasukkan sesuatu dari luar ke dalam kepala manusia; makin banyak yang dimasukkan, semakin cerdaslah si pemilik pikiran tersebut. Dengan demikian, asumsi ini menggeneralisasikan kecerdasan sebagai sesuatu yang pasif, kumulatif dan bersumber dari luar si pembaca. Sehingga tidaklah mengherankan bila penelitian-penelitian tentang “minat baca” mempertanyakan tentang seberapa banyak orang Indonesia membaca. Bentuk penelitian tersebut biasanya berupa survei untuk mengetahui kondisi kuantitatif masyarakat Indonesia dalam hal membaca.6 Berdasarkan landasan berpikir tersebut di atas, Pendit mengajukan usulan untuk mengkaji kondisi “membaca” di Indonesia yang merupakan alternatif dari pandangan dominan di Indonesia. Usulan yang Pendit ajukan ialah menghentikan penggunaan istilah “minat baca” dan menggantinya dengan istilah “membaca”. Dengan demikian Pendit beranggapan bahwa tak perlu penelitian “minat baca”, karena yang lebih dibutuhkan ialah penelitian perihal “membaca”. 5
Putu Laxman Pendit, “Tentang Membaca – Sebuah tinjauan kritis terhadap pandangan dominan”, dalam http://indonesiabuku.com/?p=10639, diakses tanggal 25 Juni 2013. 6 Ibid.
11
Tesis ini merupakan afirmasi penulis terhadap usul Pendit untuk tak sekadar meneliti perihal minat baca yang selalu menghasilkan kesimpulan, bahkan tuduhan, bahwa masyarakat Indonesia malas membaca. Dalam hal pendekatan penelitian, penulis juga membedakan antara penelitian oleh tim Depdiknas dan PNRI yang positivistik dengan penelitian untuk tesis ini yang merujuk ke paradigma interpretivismekonstruktivis yang berkonsekuensi pada pendekatan metode kualitatif. Penulis tidak bermaksud menjadikan laporan penelitian ini sebagai pedoman untuk generalisasi dalam menilai kondisi aktivitas membaca masyarakat Indonesia. Laporan penelitian kedua yang penulis jadikan bahan kajian pendahuluan tesis ini ialah karya tulis Pamuji untuk Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi pada tahun 2011. Tesis Pamuji tersebut berjudul “Model Pembinaan Minat Baca di Taman Bacaan Masyarakat Cakruk Pintar Nologaten Yogyakarta”.7 Berdasarkan pendekatan kualitatif, penelitian Pamuji menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, Taman Bacaan Masyarakat Cakruk Pintar Nologaten Yogyakarta dalam melakukan pembinaan minat baca masyarakat mempunyai beberapa model, yaitu: 1) Model pembinaan minat baca pada anak-anak; 2) Model pembinaan minat baca pada pemuda; 3) Model pembinaan minat baca pada ibu-ibu; dan 4) Model pembinaan 7
Pamuji, “Model Pembinaan Minat Baca di Taman Bacaan Masyarakat Cakruk Pintar Nologaten Yogyakarta”, Tesis S2 UIN Sunan Kalijaga, 2011.
12
minat baca pada bapak-bapak. Masing-masing model mempunyai caracara tersendiri dalam menumbuhkan minat baca. Kedua, Keberadaan Taman Bacaan Masyarakat Cakruk Pintar cukup memberikan pengaruh bagi masyarakat dusun Nologaten dan sekitarnya. Pengaruh TBM Cakruk Pintar bagi masyarakat di samping sebagai sarana tempat berkumpul, bermain, membaca buku-buku yang disukai secara gratis untuk menambah pengetahuan. TBM Cakruk Pintar juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan kampung seperti pemilihan RT/RW, arisan RT atau dasawisma, penyuluhan, dan kegiatan lainnya.8 Ada beberapa persamaan antara penelitian Pamuji dengan tesis ini, yakni dalam hal lokus penelitian di perpustakaan komunitas dan samasama berpendekatan metode kualitatif.9 Namun Pamuji masih menjadikan “minat baca” sebagai topik penelitian. Sebagaimana argumen yang penulis paparkan di atas, topik penelitian ini tidak menjadikan minat baca sebagai persoalan yang diteliti, namun perihal aktivitas membaca. Perbedaan lain antara penelitian Pamuji dengan laporan ini ialah dalam hal fokus penelitian. Pamuji berfokus pada bentuk-bentuk program yang ada di Taman Bacaan Masyarakat Cakruk Pintar dalam rangka pembinaan minat baca, sedangkan penulis berfokus bentuk-bentuk tindakan sosial yang mengonstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli Dusun Ciseel.
8
Ibid., hlm. 90-91. Meski berpendekatan kualitatif, dalam bab pembahasan hasil temuan penelitian Pamuji justru menggunakan logika kuantitaif sebagaimana dapat dibaca pada bab IV yang berjudul “Pengaruh Taman Baca Masyarakat Cakruk Pintar Nologaten Yogyakarta terhadap Minat Baca Masyarakat Nologaten dan sekitarnya”. Penggunaan istilah pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lain merupakan logika khas dalam penelitian kuantitatif. Ibid., hlm. 73.
9
13
Dengan demikian tesis ini lebih menyoroti proses serta fondasi-fondasi kenyataan sosial yang menjadi landasan konstruksi makna aktivitas membaca. E.
Metode Penelitian Penelitian ini hendak mengetahui bagaimana konstruksi makna dalam suatu kelompok sosial, dengan demikian penulis menggunakan metode
penelitian
kualitatif
yang
mengacu
pada
paradigma
konstruktivisme/interpretivisme.10 Pada bagian ini penulis memuat penjelasan tentang lokasi dan waktu penelitian; jenis penelitian; subyek dan obyek penelitian; serta teknik pengumpulan, analisis, dan pengujian keabsahan data dalam pendekatan penelitian kualitatif. 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung di Taman Baca Multatuli yang berada
Dusun
Ciseel,
Desa
Sobang,
Kecamatan
Sobang,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Peneliti pertama kali datang ke lokasi penelitian pada bulan September 2012 untuk berkenalan dengan pengelola TBM dan Ketua RT di Ciseel. Dalam kedatangan pertama ini penulis terlibat dalam kegiatan RGMH. Pengamatan selanjutnya penulis lakukan secara tak langsung melalui media sosial. Penulis membaca serta mengomentari foto serta keterangan tentang kegiatan TBM yang dikirim oleh pengelola TBM pada
10
Putu Laxman Pendit, Penelitian..., hlm. 134.
14
sebuah akun di jejaring sosial maya facebook dengan nama “Taman Baca Multatuli” maupun di akun pribadi pengelola TBM. Penulis hadir di Ciseel untuk kedua kalinya pada 27-28 April 2013 saat berlangsung perhelatan “Ciseel Day”. Dalam momentum tersebut penulis terlibat dalam berbagai kegiatan perayaan “Ciseel Day”, seperti menonton pementasan drama Saijah-Adinda oleh anak-anak Ciseel, menonton berbagai pertunjukan seni dan hiburan di panggung perayaan “Ciseel Day”, terlibat dalam RGMH, dan turut serta dalam perjalanan ke pemukiman Suku Kanekes (Baduy). Dalam kesempatan ini pula penulis terlibat dalam obrolan dengan pengelola TBM dan para anggota jaringan komunitas Reading Group yang berpartisipasi dalam perhelatan “Ciseel Day”. Pada kedatangan ketiga di bulan Mei 2013 penulis menginap di Ciseel selama delapan hari. Pada kedatangan ini penulis melakukan pengamatan atas aktivitas warga Ciseel, khususnya anak-anak. Penulis juga terlibat dalam kegiatan RGMH serta Reading Group Novelet Saija yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan wawancara secara tertulis kepada anak-anak. Dalam kesempatan ini pula penulis melangsungkan obrolan dengan Ketua RT, Ketua RW, seorang guru SD, dan seorang guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). 2. Jenis Penelitian
15
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu metode penelitian yang dapat digunakan dalam memahami fenomena berdasarkan interaksi sosial. Kajian tersebut bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam dari individu mengenai pengalaman atau peristiwa yang dialaminya (conscious experience) dan cara individu dalam memaknai pengalaman tersebut. Berdasarkan pemikiran fenomenologi, sebuah peristiwa tidak dapat memiliki makna sendiri, kecuali manusia membuatnya menjadi bermakna. Makna itu sendiri harus benar-benar dimiliki dan dipahami bersama. Dalam konteks interaksi sosial, ‘bersama dengan orang lain’ merupakan arena untuk membangun makna. Sebab ketika suatu kelompok masyarakat memiliki pengetahuan yang sama, mereka akan memiliki keyakinan yang sama akan suatu realitas.11 Fenomenologi berkonsentrasi pada upaya menggambarkan kehidupan dan tindakan-tindakan manusia, tanpa didasari atau dipengaruhi oleh pra-konsepsi atau kerangka pikir tertentu. Setiap penelitian fenomenologi dimulai dengan upaya penelitinya untuk menyisihkan pandangan atau persepsi pribadinya secara sementara, agar ia dapat secara murni menangkap semua perasaan, pikiran, dan kesadaran dari orang-orang lain yang sedang ia teliti. Dengan 11
Laksmi, Interaksi, Interpretasi, dan Makna. Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya (Jakarta: Karya Putra Darwati, 2012), hlm. 125.
16
cara ini, seorang peneliti ingin memahami orang lain, sedekat mungkin dengan cara orang lain itu memahaminya. Pemahaman
terhadap
makna
merupakan
refleksi
dari
pengalaman yang dirasakan seseorang pada saat tertentu atau berbagi pengalaman yang dirasakannya selama bertahun-tahun, dan juga pengalaman yang berasal dari orang lain. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, ia bukan hanya menginterpretasi
pengalamannya
pribadi,
tetapi
ia
juga
menginterpretasi pengalaman orang lain yang dilihat atau diceritakan
padanya.
Pengalaman
tersebut
menjadi
dunia
keseharian atau Lebenswelt (life world). Dengan kata lain, fenomenologi
bertujuan
untuk
menganalisis
cara
manusia
menginterpretasikan tindakan sosialnya dan orang lain dan memberinya makna.12 Cara
seseorang
menginterpretasi
pengalaman
tersebut
merupakan hasil konstruksi bersama-sama dengan orang lain, termasuk bersepakat dan negosiasi. Suatu masyarakat yang hidup bersama memiliki pengetahuan bersama tentang sebuah realitas. Kebersamaan, kesepakatan, dan negosiasi tersebut melahirkan pengetahuan bersama, sehingga mereka meyakini bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sebagaimana tampaknya.13 Dalam membangun makna dari penafsiran orang-orang yang diteliti, 12 13
Laksmi, Interaksi …, hlm. 126. Ibid., hlm. 128.
17
seorang peneliti fenomenologi menyingkirkan kediriannya (self) dengan melakukan langkah-langkah berikut14: a. Epoche: mengenali dan menyisihkan bias pribadi untuk meminimalkan dampaknya terhadap hasil penelitian. b. Reduksi
fenomenologis
(phenomenological
reduction):
mengurung (bracketing) informasi-informasi yang dianggap penting dalam analisis, kemudian melakukan horisontalisasi semua informasi lainnya (menempatkan semua informasi dalam kedudukan yang sama, sejajar). Peneliti melakukan evaluasi
terhadap
informasi-informasi
ini,
kemudian
membuat batasan-batasan (delimit) sekali lagi (bracketing lagi) sehingga ia dapat menemukan tema atau kelompok topik. Setelah ini barulah ia mengungkapkan kembali dan menuangkan hasil penelitiannya secara deskriptif. c. Variasi
imajinatif
(imaginative
variations):
peneliti
melakukan refleksi kritis, pemeriksaan yang seksama, dan penilaian (judgement) terhadap deskripsi yang telah ia buat di tahap sebelumnya. Dalam hal ini, terjadi penggabungan antara deskripsi itu dengan interpretasi peneliti. 3. Subyek dan Obyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah pendiri dan pengelola TBM, anak-anak Ciseel yang berkunjung ke TBM dan menjadi peserta
14
Putu Laxman Pendit, Penelitian …, hlm. 290-291.
18
RGMH, beberapa tokoh masyarakat Ciseel, serta orang-orang yang tergabung dalam jaringan Komunitas Reading Group. Orang-orang yang menjadi subyek penelitian dan penulis wawancarai dalam penelitian ini berjumlah sepuluh orang. Sedangkan obyek penelitian ini ialah konstruksi makna membaca di TBM, Ciseel, dan jaringan Komunitas Reading Group. 4. Teknik Pengumpulan Data Pada
bagian
ini
penulis
memaparkan
teknik-teknik
pengumpulan, analisis, serta pengujian keabsahan data yang merupakan konsekuensi dari landasan filosofis serta pendekatanpendekatan penelitian di atas. Sebagaimana pendapat Sugiyono, untuk memperoleh data yang akan dimaknai, hanya cocok diteliti dengan metode kualitatif.15 Teknik-teknik pengumpulan datanya antara lain adalah wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi. a. Wawancara Pada awalnya peneliti menggunakan teknik wawancara tak terstruktur
dengan
tujuan
menginventarisasi
persoalan-
persoalan. Hal ini sesuai dengan pendapat Faisal yang menyatakan bahwa wawancara tak terstruktur bisa secara leluasa melacak ke berbagai segi dan arah guna mendapatkan informasi
15
yang
selengkap
mungkin
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005).
dan
semendalam
19
mungkin.16 Selanjutnya, apabila peneliti sudah memperoleh gambaran persoalan-persoalan kemudian memilih tema-tema apa saja yang hendak peneliti dalami, maka peneliti akan menggunakan teknik wawancara semi terstruktur, yakni suatu wawancara yang menggunakan pedoman wawancara berisi tema-tema yang hendak digali sesuai materi penelitian. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara tak terstruktur atau lebih berupa obrolan dengan beberapa orang seperti pengelola TBM, tiga orang anggota dalam jaringan Komunitas
Reading
Group,
beberapa
anak-anak
yang
berpartisipasi dalam RGMH, Ketua RT, Ketua RW, seorang guru SD, dan seorang guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Berikut ini nama-nama orang yang penulis wawancarai secara langsung maupun tertulis melalui surat elektronik: 1. Ubaidilah Muchtar (Pengelola TBM dan Pemandu RGMH). 2. Sigit Susanto (Anggota Komunitas Reading Group). 3. Akhmad Daurie (Anggota Komunitas Reading Group). 4. Tommas
Titus
Kurniawan
(Anggota
Komunitas
Reading Group). 5. Mamdud Subarnas (Guru SD sekaligus Guru Mengaji). 6. Rusdi Saprudin (Guru MI sekaligus Guru Mengaji). 16
Sanapiah Faisal, Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif, dalam Burhan Bungin (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006).
20
7. Suryati (Peserta RGMH). 8. Irman (Peserta RGMH). 9. Syarif (Ketua RT). 10. Usman (Ketua RW). Penulis memilih orang-orang tersebut di atas dengan tujuan mengetahui pendapat mereka mengenai TBM serta aktivitas membaca di
Ciseel
serta Komunitas
Reading
Group.
Berdasarkan obrolan awal dengan beberapa orang tersebut peneliti memperoleh gambaran awal perihal persoalan apa saja yang perlu diketahui lebih jauh. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara semi terstruktur untuk memperoleh data yang lebih mendalam perihal konstruksi makna membaca di Ciseel. Dalam wawancara dengan anak-anak, penulis melakukan wawancara secara langsung (verbal) dan wawancara tertulis dengan cara mengajukan 18 butir pertanyaan yang dijawab secara tertulis pula oleh anak-anak. b. Observasi Partisipatif Teknik berikutnya ialah observasi partisipatif. Dalam proses penerapan teknik ini, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka.17 Untuk penelitian ini, penulis memilih salah satu dari varian observasi partisipatif,
17
Sugiyono, Memahami …, hlm. 65.
21
yakni observasi partisipatif aktif. Dalam proses observasi partisipatif aktif, peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati serta ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.18 c. Studi Dokumentasi Teknik ketiga yang peneliti gunakan ialah studi dokumentasi. Dalam penerapannya peneliti membaca dokumen-dokumen seperti buku harian anak-anak Ciseel, catatan proses aktivitas Reading Group Max Havelaar yang ditulis oleh pengelola TBM sekaligus pemandu RGMH pada halaman blog Reading Multatuli. Penulis juga menjadikan kiriman-kiriman catatan proses kegiatan TBM pada akun facebook Taman Baca Multatuli, akun facebook pribadi pengelola TBM, serta grup tempat berdiskusi para pegiat Komunitas Reading Group sebagai data. Selain itu, penulis juga menjadikan beberapa media sebagai sumber data yang penulis kaji, seperti dua buah film dokumenter mengenai TBM dan kliping-kliping berita tentang TBM yang dimuat dalam berbagai media massa. d. Teknik Analisis Data “Data don’t speak for themselves. Penelitian yang kaya data tidak akan banyak berarti sama sekali jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna yang baik,” demikian tulis
18
Ibid., hlm. 66.
22
Salim dan Formen.19 Sugiyono menakrifkan proses analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.20 Guna merangkai dan memaknai data yang kelak diperoleh, peneliti menggunakan pedoman tiga tahap analisis data, sebagaimana menurut Miles & Huberman yang dikutip Sugiyono sebagai berikut21: 1) Reduksi Data (Data Reduction). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. 19
Agus Salim dan Ali Formen, Pengantar Berpikir Kualitatif. Menuju Objektivitas Penelitian Sosial di Indonesia, dalam Agus Salim (ed.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). 20 Sugiyono, Memahami …, hlm. 89. 21 Ibid., hlm. 91-99.
23
2) Penyajian Data (Data Display). Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami
apa
yang
terjadi,
merencanakan
kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. 3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification). Ketiga tahap tersebut bukanlah bagian-bagian yang terpisah, namun berlangsung secara simultan dan interaktif. Berikut ini ilustrasi interaksi dan interkoneksi tiga tahap analisis data yang dipinjam oleh Salim dan Formen dari Miles & Huberman.22
Gambar 1.1. Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan & Verifikasi
Komponen Analisis Data Model Interaktif
22
Agus Salim dan Ali Formen, Pengantar …, hlm. 22.
24
e. Rencana Pengujian Keabsahan Data Ada empat pedoman pengujian keabsahan data dalam penelitian
kualitatif,
yakni
kredibilitas,
transferabilitas,
dependabiltas, konfirmabiltas. Berikut ini penjelasan empat kriteria tersebut. 1) Kredibilitas (credibility). Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian
kualitatif
antara
lain
dilakukan
dengan
perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check.23 2) Transferabilitas (transferability). Transferabilitas serupa dengan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas ekternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi dimana suatu sampel diambil.24 3) Dependabilitas (dependability/auditability). Uji dependabilitas dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.25 4) Konfirmabilitas (confirmability). Uji konfirmabilitas mirip dengan uji dependabilitas, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan. 23
Sugiyono, Memahami …, hlm. 121-123. Ibid., hlm. 130. 25 Ibid., hlm. 130. 24
25
Menguji konfimabilitas berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan.26 F.
Sistematika Penulisan Penulis membagi tesis ini menjadi empat bab dengan sistematika sebagai berikut. Bab satu berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua berisi penjabaran mengenai kerangka teori yang penulis gunakan dalam menganalisis fenomena konstruksi makna membaca di TBM. Bab tiga berisi tentang konteks lokal kawasan Banten hingga Dusun Ciseel, serta profil TBM dan pengelolanya. Selain memuat keterangan tentang kondisi geografis dan demografis, penulis juga memberikan deskripsi tentang konteks sejarah, budaya, serta gambaran umum tentang dunia pendidikan di Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak. Konteks lokal tersebut penulis jadikan bingkai untuk kemudian berfokus pada TBM dan RGMH sebagai bagian dari Dusun Ciseel. Penulis juga memuat profil pengelola TBM sekaligus pemandu RGMH serta aktivitas apa saja yang dilakukan di TBM. Bab empat berisi pembahasan hasil penelitian lapangan yang penulis beri judul Konstruksi Makna Membaca di Taman Baca Multatuli Ciseel Sobang Lebak Banten. Bab ini terdiri dari bagian-bagian mengenai konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli, konstruksi makna
26
Ibid., hlm. 131.
26
membaca bagi warga Ciseel secara umum, dan konstruksi makna membaca dalam jaringan komunitas reading group. Terakhir, bab lima merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran, serta catatan akhir mengenai relevansi dan refleksi untuk teori-praktik kepustakawanan yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini.
BAB II KERANGKA TEORI Dalam bagian kerangka teori ini penulis menjabarkan beberapa teori yang penulis gunakan untuk menganalisis dan memahami fenomena di Ciseel. Fenomena tersebut ialah Taman Baca Multatuli (TBM) sebagai institusi sosial serta fenomena aktivitas membaca dan interaksi sosial yang terjadi di TBM sebagai bagian dari konteks sosial-budaya masyarakat di Ciseel sekaligus masyarakat secara umum. A.
Perpustakaan Komunitas sebagai Titik Awal Pada bagian pertama ini penulis memaparkan beberapa pandangan teoritik mengenai perpustakaan komunitas. Kerangka teori ini menjelaskan baik tentang konsep perpustakaan komunitas secara legal-formal maupun secara akademis. Selanjutnya penulis mengajukan teori mengenai perpustakaan komunitas sebagai institusi sosial-budaya yang berperan dalam hal pemberdayaan untuk transformasi masyarakat. Kerangka teori bagian pertama ini diharapkan dapat menempatkan TBM pada posisi yang jelas untuk kemudian dianalisis lebih lanjut mengenai bagaimana perannya di masyarakat. Pasal 20 dalam Undang-undang 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan memuat lima jenis perpustakaan, yakni: Perpustakaan Nasional,
Perpustakaan
Umum,
Perpustakaan
Sekolah/Madrasah,
Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Khusus. Kategorisasi tersebut menunjukkan bahwa apa yang membedakan jenis perpustakaan
28
ialah kriteria pihak penyelenggara perpustakaan, yang mana lembaga pemerintah tingkat nasional menjadi penyelenggara perpustakaan nasional; pihak
perguruan
tinggi
dan
sekolah
merupakan
penyelenggara
perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan sekolah/madrasah; institusi-institusi pemerintah maupun swasta adalah penyelenggara perpustakaan khusus; sedangkan perpustakaan umum diselenggarakan oleh pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa. Khusus mengenai perpustakaan umum, ayat (1) dan ayat (4) pasal 22 dalam undang-undang tersebut memuat keterangan bahwa masyarakat juga dapat menyelenggarakan perpustakaan umum sebagaimana dapat disimak pada ketentuan-ketentuan berikut: (1) Perpustakaan umum diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, serta dapat diselenggarakan oleh masyarakat; (4) Masyarakat dapat menyelenggarakan perpustakaan umum untuk memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Dengan demikian perpustakaan komunitas dianggap sama dengan jenis perpustakaan umum yang diselenggarakan oleh masyarakat.1 Perihal
kemunculan istilah perpustakaan komunitas2, bukan
perpustakaan umum, sudah menjadi kajian secara akademis.3 Beberapa
1
Menurut Pendit, istilah “perpustakaan komunitas” terkesan agak aneh jika dikaitkan dengan perpustakaan umum, mengingat semua jasa perpustakaan umum sebenarnya adalah untuk komunitas. Putu Laxman Pendit, Mata Membaca Kata Bersama (Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2007), hlm. 131. 2 Dalam praktik di lapangan, “perpustakaan komunitas” bukanlah istilah tunggal. Agus. M. Irkham mengajukan istilah alternatif “komunitas literasi” dalam esai berjudul “Matabaru Gerakan
29
penulis sepakat bahwa salah satu faktor yang umum menjadi penyebab kemunculan perpustakaan komunitas adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap perpustakaan-perpustakaan umum yang dikelola oleh pemerintah. Beberapa pernyataan ketidakpuasan tersebut antara lain: 1. Jumlah perpustakaan umum tidak sebanding dengan jumlah penduduk dan kebutuhan informasi masyarakat dan kualitas jasa dan layanan perpustakaan jauh dari memuaskan.4 2. Pelayanan perpustakaan yang tidak maksimal, kurangnya program yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat.5
3. Perpustakaan umum tidak memiliki fasilitas yang memadai atau ruang untuk kegiatan-kegiatan komunitas masyarakat yang dapat dilakukan di perpustakaan.6
Membaca”. Namun dalam esai tersebut Irkham tidak mengajukan apa yang ia maksud dengan konsep “komunitas literasi”. Penulis tersebut menyarankan pembaca untuk memaknai sendiri apa itu “komunitas literasi” berdasarkan definisi-definisi atas istilah-istilah “komunitas” dan “literasi” yang ia kaitkan dengan pengertian keberaksaraan fungsional. Dalam esai itu Irkham memuat 19 nama organisasi yang ia anggap masuk dalam kategori “komunitas literasi”, yang mana komunitas-komunitas ini tersebar di bebeberapa kabupaten/kota antara lain di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sumatera. Irkham menambahkan bahwa penggunaan nama-nama khas oleh para pegiat komunitas literasi tersebut bertujuan menghilangkan hambatan psikologis antara masyarakat dengan perpustakaan. Penyebutan ”Pondok Baca” atau ”Taman Pintar” dinilai terdengar lebih ramah, bersahabat, lumer, dan mendatangkan kesan nyaman, sekaligus merangkul, dibandingkan ”perpustakaan”. Agus M. Irkham, “Matabaru Gerakan Membaca”, dalam http://indonesiabuku.com/?p=3760, diakses tanggal 26 Juni 2013. 3 Secara formal, Program Ilmu Perpustakaan yang bernaung di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menggunakan “perpustakaan komunitas” untuk nama salah satu mata kuliah pada program S1 Reguler Ilmu Perpustakaan, yakni “Manajemen Perpustakaan Komunitas” sebagaimana dapat dilihat dalam profil program studi ini dan halaman berisi detail mata kuliah “Manajemen Perpustakaan Komunitas”. Keterangan ini dimuat dalam http://sap.ui.ac.id/main/sap/298052, diakses tanggal 26 Juni 2013. 4 Harkrisyati Kamil, “The Growth of Community-based Library Services in Indonesia to Support Education”, Paper dipresentasikan dalam Konferensi International Federation of Library Assosiation (IFLA), 1-9 Agustus 2003 di Berlin. Paper ini dimuat dalam http://eprints.rclis.org/5007/, diakses tanggal 26 Juni 2013. 5 Ratri Indah Septiana, “Perkembangan Perpustakaan Berbasis Komunitas: Studi Kasus pada Rumah Cahaya, Melati Baca, dan Kedai Baca Sanggar Barudak”, dalam http://eprints.rclis.org/10557/, diakses tanggal 26 Juni 2013.
30
Berbagai ketidakpuasan terhadap perpustakaan umum milik pemerintah tersebutlah yang membuat masyarakat lebih memilih perpustakaan komunitas sebagai ruang alternatif mengakses bahan bacaan dan melakukan berbagai kegiatan. Sedikitnya ada lima faktor yang menyebabkan masyarakat lebih memilih perpustakaan komunitas, yakni7: 1. Pelayanan yang ramah sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk memanfaatkan taman bacaan. 2. Bahan bacaan yang beragam, semakin banyak ragam bacaan, semakin banyak masyarakat yang berminat untuk datang ke taman bacaan; bacaan yang menarik minat masyarakat adalah agama, komik, dan keterampilan;. 3. Tempat sederhana sehingga membuat masyarakat lebih akrab, yang penting bersih dan cukup luas. 4. Koleksi terus diperbarui. 5. Bahan bacaan bersifat populer, tidak terlalu serius, dan disertai dengan ilustrasi gambar. Selain di Indonesia, reaksi yang ingin mengoreksi pemerintah dalam urusan membaca bersama juga muncul di Inggris, walau tentu dengan wujud reaksi yang berbeda. Ketika perpustakaan umum dan kebiasaan membaca bersama di perpustakaan yang telah berkembang di
6
Savira Anchatya Putri, “Peningkatan Minat Baca dan Budaya Baca Masyarakat: Upaya Forum Indonesia Membaca dalam bersinergi menuju Masyarakat Melek Informasi”, dalam http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20160927-RB13S42pe-Peningkatan%20minat.pdf, diakses tanggal 26 Juni 2013. 7 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Studi tentang Perkembangan Taman Bacaan Masyarakat di Indonesia (Jakarta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2010).
31
sana selama lebih dari satu abad itu terancam ditinggalkan masyarakatnya, pemerintah berupaya mengatasi persoalan ini dengan mengadakan berbagai
perbaikan.8
Istilah
perpustakaan
komunitas
di
Inggris
berkembang sesuai pandangan-pandangan anti-kemapanan yang marak pada dasawarsa 1970an dan merupakan bagian dari gerakan sosial yang berfokus pada masalah-masalah migran, pengangguran, dan persoalanpersoalan kelompok marjinal.9 Berdasarkan fenomena kemunculan perpustakaan di Inggris dan Indonesia, Pendit mengidentifikasi ciri kepustakawanan komunitas yang dekat dan berpihak pada bagian dari masyarakat kurang mampu atau mengalami hambatan ke akses pendidikan. Hal tersebut nampak secara fisik kehadiran perpustakaan jenis ini di lingkungan penduduk miskin di perkotaan, di desa-desa terbelakang, atau di tempat-tempat yang mengalami eksklusi sosial.10 Berdasarkan uraian perihal landasan legal-formal dan sejarah kemunculan istilah komunitas di atas, penulis menempatkan TBM di Ciseel sebagai sebuah perpustakaan umum. Sedangkan dari sudut pandang kajian sosial-humaniora, penulis melihat TBM sebagai sebuah institusi sosial-budaya di Dusun Ciseel. Dari perspektif tersebut penulis meminjam pendekatan kritis yang dikembangkan oleh Riedler dan Eryaman dari gagasan Paulo Freire dalam melihat perpustakaan yang selama ini dianggap kurang berperan dalam proses pemberdayaan dan transformasi 8
Putu Laxman Pendit, Mata …, hlm. 131. Ibid. 10 Ibid., hlm. 132.
9
32
masyarakat.11 Pendekatan kritis ini kemudian menawarkan cara pandang baru dalam memaknai perpustakaan, khususnya perpustakaan komunitas. Riedler dan Eryaman mengajukan pandangan alternatif dalam memandang perpustakaan. Menurut mereka, perpustakaan selama ini cenderung berkarakter sebagai sebuah institusi sosial yang netral ala positivisme. Telah menjadi tradisi bahwa perpustakaan-perpustakaan di era modern mengemban peran sebagai lembaga yang menyediakan ruang penemuan, konsultasi, dan diseminasi pengetahuan yang telah dianggap baku, otoritatif, tertib atau sesuai garis-garis batas disiplin ilmu, serta tersedia untuk akses secara individual. Karakter-karakter semacam itu mendudukkan perpustakaan sebagai institusi yang terpisah dengan dunia sosial di sekitarnya, karena dengan mengedepankan prinsip-prinsip tersebut di atas, pengelola perpustakaan berperan sebagai petugas penyimpan dan penjaga pengetahuan dalam rupa koleksi yang terjamin mutu dan obyektivitasnya. Tradisi perpustakaan modern tersebut, menurut Riedler dan Eryaman, tak lagi sesuai dengan konteks kekinian, khususnya terkait konsep pengetahuan ala posmodernis yang memandang pengetahuan bukan sebagai sesuatu yang bersifat murni dan obyektif; dengan semangat demokratisasi produksi dan diseminasi pengetahuan; serta peralihan fokus ke pembelajaran berbasis komunitas yang bersifat kolaboratif dan
11
Martina Riedler dan Mustafa Yunus Eryaman, Transformative Library Pedagogy and Commnunity-Based Libraries: A Freirean Perspective, dalam Gloria J. Leckie, Lisa M. Given, dan John E. Buschman (eds.), Critical Theory for Library and Information Science. Exploring the Social from across the Disciplines (Santa Barbara: Libraries Unlimited, 2010), hlm. 89-99.
33
transformatif. Perubahan-perubahan tersebut perlu menjadi pedoman bagi pengelola perpustakaan untuk meninggalkan peran sebagai sekadar penjaga pengetahuan. Gagasan alternatif tentang wajah baru perpustakaan tersebut mereka beri nama “Transformative and Community-Based Library” (TCBL). Dalam perspektif baru ini Riedler dan Eryaman menawarkan cara pandang yang berbeda sama sekali dari persepsi mengenai perpustakaan sebagaimana uraian di atas. Dalam cara pandang ala TCBL, perpustakaan komunitas
merupakan
wahana
pemberdayaan
dan
transformasi
masyarakat. Berdasarkan teori TCBL, penulis memandang TBM di Ciseel sebagai institusi sosial, selain sekolah dan rumah ibadah, berperan sebagai dalam upaya transformasi pola aktivitas sosial sehari-hari anak-anak di Ciseel yang dari titik inilah kemudian berkembang ke aspek-aspek lain seperti interaksi sosial, modal sosial, serta persilangan antara tradisi kelisanan dan keberaksaraan. B.
Perpustakaan Umum dan Modal Sosial Pada bagian ini penulis memaparkan pandangan teoritik mengenai modal sosial. Teori ini masih terkait dengan pandangan teoritik mengenai peran perpustakaan komunitas sebagaimana diulas di atas. Teori mengenai modal sosial ini penulis gunakan sebagai pisau analisis untuk memahami TBM sebagai perpustakaan komunitas yang berperan dalam hal pemberdayaan masyarakat Ciseel.
34
Ada beragam pengertian modal sosial. Kemajemukan tersebut muncul karena berbagai kalangan dari beragam latar disiplin ilmu dalam lingkup sosial-kemanusian, seperti Sosiologi, Ekonomi, hingga Politik, turut mengkaji modal sosial.12 Kendati berbeda-beda sudut pandang, berbagai kalangan tersebut sepakat bahwa modal sosial itu penting dan terdapat dalam hubungan di dalam masyarakat yang umumnya berupa kebajikan-kebajikan bersama yang terjalin dalam kelompok masyarakat. Salah satu batasan modal sosial yang kerap dirujuk adalah definisi dari Putnam yang menyebutkan bahwa modal sosial terdiri dari tiga elemen pokok, yakni saling-percaya (trust), norma-norma kebersamaan (norms of reciprocity), dan jaringan (networks). Hasil riset bersama tiga peneliti dari Ilmu Perpustakaan dan Informasi serta bidang ilmu sosial menunjukkan bahwa perpustakaan umum merupakan institusi sosial yang penting dapat membangun generalized trust.13 Generalized trust berarti adanya kepercayaan antarindividu atau saling percaya dalam masyarakat, yang mana kepercayaan tersebut tak hanya kepada anggota kelompok sendiri yang mana disebut “particularized trust”. Pendit, sebagaimana dikutip Septiana, mencatat bahwa modal sosial hanya dapat terbentuk jika ada rasa percaya (trust) di antara anggota masyarakat. Sebab itu dikatakan modal sosial karena merupakan kemampuan sosial untuk menciptakan dan mempertahankan rasa percaya
12
Tristan Claridge, “Definitions of Social Capital”, dalam www.socialcapitalresearch.com/literature/definition.html, diakses tanggal 13 Juni 2013. 13 Andreas Vårheim, Sven Steinmo, Eisaku Ide, “Do libraries matter? Public libraries and the creation of social capital”, dalam Journal of Documentation, Vol. 64, No. 6, 2008, hlm. 877-892.
35
di dalam masyarakat. Rasa percaya (trust) merupakan cara orang perorangan mengendalikan hubungan sosial mereka secara informal. Orang yang percaya kepada seseorang lainnya memiliki harapan atau antisipasi tentang perilaku orang yang dipercayanya tersebut.14 Kalangan peneliti bidang IP&I meyakini bahwa perpustakaan umum berpotensi menjadi institusi sosial yang dapat membangun modal sosial di masyarakat. Septiana mencatat bahwa perpustakaan umum adalah salah satu institusi sosial yang sangat penting dalam menghimpun dan meningkatkan modal sosial di seluruh lapisan masyarakat. Dari sejarah pertumbuhannya kita dapat melihat bahwa perpustakaan umum memang dimaksudkan untuk itu, sehingga sejak awal telah dibangun prinsip keterbukaan dan demokrasi yang tidak mengenal sekat-sekat sosial. Perpustakaan umum bekerja dengan visi mewujudkan sebuah masyarakat yang memiliki modal sosial kuat.15 Selain rasa percaya (trust), norma hubungan timbal-balik yang saling mendukung antara anggota masyarakat (norms of reciprocity) dan jaringan (networks) juga elemen-elemen penting dalam terciptanya modal sosial sebagai perekat sekaligus jembatan antarindividu dalam masyarakat untuk bekerjasama dalam upaya mencapai tujuan dan kebaikan bersama. Ketiga elemen pokok modal sosial tersebut menjadi pedoman penulis dalam melihat peran TBM di Ciseel sebagai perpustakaan komunitas atau
14 15
Ratri Indah Septiana, “Perkembangan …”, hlm. 18. Ibid., hlm. 27-28.
36
perpustakaan umum yang dikelola bersama masyarakat sebagai wahana membangun modal sosial. C.
Membaca dalam Konteks Religi dan Budaya Pada bagian ini penulis meminjam beberapa pandangan teoritik mengenai fenomena aktivitas membaca dari bidang kajian humaniora, khususnya bahasa dan sastra. Pandangan teoritik tersebut penulis jadikan perangkat analisis untuk memahami fenomena aktivitas membaca bersama dalam komunitas reading group yang bagi penulis merupakan wujud praktik kelisanan dan keberaksaraan. Perihal konteks religi, penulis merujuk pada pandangan-pandangan konseptual mengenai aktivitas membaca yang diajarkan dalam agama Islam yang kemudian penulis kontekstualisasi dengan tradisi dan persepsi mengenai aktivitas membaca yang berlaku di masyarakat, khusunya para pegiat perpustakaan komunitas dan reading group. Dalam Bab I di atas, penulis sudah mengurai perihal alasan penggunaan istilah “membaca” ketimbang “minat baca”. Pada bagian ini penulis secara ringkas meninjau persoalan tersebut. Penulis juga memuat beberapa pengertian istilah membaca, khususnya konsep mengenai aktivitas membaca dalam konteks ajaran agama Islam. Dalam pandangan penulis, konsep mengenai kegiatan membaca yang dalam ajaran Islam disebut “iqra’” merupakan istilah yang sudah menjadi “common-sense” bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Oleh karena itu penting bagi penulis untuk memuat konsep iqra’ yang juga berarti
37
membaca, di samping beberapa pengertian tentang membaca yang beberapa peneliti kutip sebagai bagian dari landasan penelitian mereka. Pada bagian terakhir, penulis akan menempatkan aktivitas membaca sebagai praktik sosial-budaya berupa kegiatan membaca bersama yang dalam bagian ini penulis kontektualisasi dengan pandangan teoritik mengenai tradisi keberaksaraan dalam masyarakat Indonesia yang bersilangan dengan tradisi kelisanan. Stian Håklev yang pernah melakukan penelitian mengenai sejarah dan pertumbuhan perpustakaan komunitas di Indonesia mengutip pernyataan Azyumardi Azra mengenai pengaruh ajaran Islam terhadap fenomena munculnya perpustakaan-perpustakaan komunitas. Menurut Azra, “Sedikit banyak doktrin Islam - tegasnya ayat pertama al-Qur’an, yaitu ‘Iqra’, bacalah – turut mempengaruhi upaya literasi. Karena itulah, perintah untuk membaca, dan menuntut ilmu ini menjadi kewajiban agama”.16 Håklev juga memuat keterangan mengenai beberapa orang pegiat perpustakaan komunitas di Bandung dan Yogyakarta yang memperoleh inspirasi dari pengertian iqra’ dalam mengajak orang-orang terlibat dalam kegiatan membaca. Menurut Håklev, kenyataan bahwa Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di Indonesia memiliki pengaruh yang penting terhadap perkembangan gerakan literasi dan perpustakan komunitas.17
16
Stian Håklev, “Mencerdaskan Bangsa – Suatu Pertanyaan Fenomena Taman Bacaan di Indonesia”, dalam http://eprints.rclis.org/12294/2/Mencerdaskan_Bangsa__bahasa_Indonesia.pdf, diakses tanggal 26 Juni 2013. 17 Stian Håklev, “Mencerdaskan …”, hlm. 31.
38
Quraish Syihab menafsirkan iqra’ merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia.18 Itulah mengapa iqra’ menjadi tuntunan pertama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia melalui wahyu perdana bagi Nabi Muhammad saw.19 Secara etimologis, meski kata iqra’ terambil dari kata qara’a yang berarti “menghimpun” atau merangkai huruf yang kemudian menjadi kata, Syihab berpendapat bahwa iqra’ tak terbatas pada aktivitas mengeja aksara. Bila iqra’ dikaitkan dengan katakata yang mengikutinya pada ayat ketiga, yakni “wa rabbuka al-akram”, Syihab menafsirkan bahwa ayat ini merupakan dorongan bagi manusia untuk
membangun peradaban.
Karena
“Wa rabbuka Al-Akram”
mengandung pengertian bahwa Dia (Tuhan) dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hambanya yang membaca. 20 Menurut Syihab, ada perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga dalam Surah Al-Alaq. Ayat pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut. Tuhan dalam ayat ketiga ini menjanjikan bahwa saat seseorang
membaca
“demi
karena
Allah”,
maka
Allah
akan
menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga. Mengenai hal ini, Syihab menjelaskan bahwa aktivitas “membaca” ayat Al-Quran 18
Surah Al-Alaq ayat 1-5 merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw yang mana berarti pula sebagai titik awal mulainya masa kenabian/kerasulan Muhammad saw. 19 Quraish Syihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 171. 20 Ibid., hlm. 169.
39
yaitu yang kemudian memunculkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan-pengembangan dikemukakan
merupakan
pendapat
gambaran
dari perihal
yang
telah
perkembangan
pernah ilmu
pengetahuan yang dapat membawa umat manusia pada kemajuan peradaban.21 Selain secara tersurat, membaca dalam konteks ajaran agama Islam juga dapat ditemui dalam praktik sosial-budaya. Kegiatan membaca kitab suci Al-Quran merupakan kebiasaan yang sudah berakar di tengah masyarakat muslim Indonesia. Kenyataan tersebut juga penulis temui di Dusun Ciseel yang seluruh penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Kegiatan membaca Al-Quran atau biasa disebut “mengaji” merupakan aktivitas rutin sehari-hari bagi anak-anak Ciseel usai waktu Maghrib hingga menjelang Isya. Mengaji sebagai suatu bentuk kegiatan membaca kitab yang sama secara bersama-sama juga merupakan sebuah praktik reading group.22 Penulis menemukan penggunaan istilah-istilah khas dalam agama Islam untuk menyebut kegiatan membaca bersama dalam berbagai ulasan maupun pernyataan pengelola TBM. Penggunaan istilah seperti “mengaji” dan “tadarus”, menurut penulis, merupakan bukti bahwa konsep tentang membaca dalam ajaran Islam turut mewarnai pandangan
21
Ibid., hlm. 171. Selain “mengaji”, ada beberapa istilah untuk menyebut model kegiatan membaca dalam tradisi Islam, yakni “sorogan”, “bandongan”, dan “tadarus”. Sorogan merupakan kegiatan khas di kalangan pesantren yang mana santri seorang demi seorang menghadap Kyai atau Ustadz pengajarnya kemudian menyodorkan kitab untuk dibaca atau dikaji bersama. Berbeda dengan sorogan yang dilakukan per individu santri dengan pengajar, bandongan dilakukan secara berkelompok. Sedangkan tadarus merupakan kegiatan mengaji bersama yang mana penggunaan istilah ini lebih umum dan tidak terbatas pada lingkungan pesantren. 22
40
masyarakat Indonesia –khususnya RGMH di Ciseel– dalam hal budaya membaca. Beberapa penulis menawarkan berbagai definisi atas istilah membaca. Definisi-definisi tersebut dikutip dalam beberapa laporan penelitian, antara lain oleh Vera Ginting23 pada tahun 2003 dan penelitian tentang membaca dan minat baca yang dilakukan oleh tim riset gabungan Depdiknas bersama PNRI.24 Berikut ini beberapa definsi kegiatan membaca: “Membaca adalah memperoleh pengertian dari kata-kata yang ditulis orang lain dan merupakan dasar dari pendidikan awal”.25 “… suatu proses penafsiran dan pemberian makna tentang lambang-lambang oleh seorang pembaca dalam usahanya untuk memperoleh pesan yang disampaikan oleh penulis melalui kata-kata atau bahasa tulis.26 “ … kegiatan melisankan (dalam hati) setiap sumber yang tertulis. Melalui aktifitas membaca maka seseorang dapat memperoleh gagasan dan informasi yang terkandung dalam suatu bacaan. Melalui kegiatan membaca ini pula seseorang dapat memperoleh kesimpulan dan mengetahui sudut pandang pengarang bacaan tersebut.27 “Membaca merupakan suatu proses membangun pemahaman dari teks yang tertulis”.28 “Membaca merupakan suatu keterampilan yang kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan yang lebih kecil lainnya … Sebagai proses tanggapan, membaca menunjukkan interpretasi segala sesuatu yang kita persepsi. Proses membaca
23
Vera Ginting, “Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia serta Minat Baca Murid”, dalam Jurnal Pendidikan Penabur, No.04, Th.IV, Juli 2005. 24 Tim Peneliti Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Laporan …, hlm. 13. 25 Ibid. 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Vera Ginting, “Penguatan …”, hlm. 20.
41
juga meliputi identifikasi simbol-simbol bunyi dan mengumpulkan makna melalui simbol-simbol tersebut”.29 “… proses membaca adalah proses ganda, meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol. Oleh karena itu, mata memainkan peranan penting”.30 “ … membaca dapat disimpulkan sebagai suatu proses yang melibatkan penglihatan dan tanggapan untuk memahami bahan bacaan yang bertujuan untuk memperoleh informasi atau mendapatkan kesenangan”.31 Mencermati berbagai definisi di atas, nampak bahwa kegiatan membaca dicirikan sebagai suatu kegiatan teknis. Aktivitas membaca dianggap selalu melibatkan aspek biologis terkait dengan fungsi mata untuk melihat serta aspek kognitif dalam hal interpretasi dan persepsi. Dalam pandangan Pendit, beberapa definisi tersebut di atas – khususnya dari Ratnaningsih dan Razak– yang dikutip dalam laporan penelitian
Depdiknas
bersama
PNRI,
bersifat
positivistik
dan
mengandaikan pembaca sebagai pihak yang pasif.32 Hal ini nampak pada asumsi bahwa membaca adalah memasukkan sesuatu ke dalam pikiran manusia; makin banyak yang dimasukkan (dari luar, yaitu dari buku), semakin cerdaslah si pemilik pikiran tersebut. Logika itulah yang berkonsekuensi pada pandangan mengenai seberapa banyak orang Indonesia membaca sebagai indikator dari tingkat kemelekhurufan, baik secara teknis maupun fungsional.
29
Ibid., hlm. 20-21. Ibid., hlm. 20. 31 Ibid., hlm. 21. 32 Putu Laxman Pendit, “Tentang membaca...” 30
42
Masih menurut Pendit, cara pandang yang positivistik tersebut sangat berkonsentrasi pada aspek teknis dari membaca, khususnya pada faktor kemampuan membaca yang tercermin dalam bentuk indikator melek-huruf. Cara pandang ini kerap menyoroti kemampuan (dan ketidakmampuan) membaca. Berikut ini penulis kutip kritik Pendit terhadap cara pandang ini. “Di balik logika kaum positivis tersebut, kita dapat mengungkap sebuah “ideologi” khas kaum ini, yaitu bahwa sesungguhnya kaum positivis juga adalah kaum yang “memaksakan” konsep membaca seperti yang mereka kehendaki kepada masyarakatnya. Kita dapat menyimpulkan bahwa “pemaksaan” ini dimulai dengan memastikan bahwa semua orang mampu membaca, yaitu lewat sebuah program yang kita kenal dengan nama Pemberantasan Buta Huruf”.33 Cara pandang yang melihat “buta huruf” sebagai salah satu penghambat kemajuan merupakan ciri khas kalangan yang punya praanggapan bahwa masyarakat yang belum mengenal tulisan merupakan masyarakat primitif, sementara masyarakat yang sudah mengenal tulisan disebut masyarakat modern. Dikotomi antara primitif atau tradisional dengan modern inilah yang melandasi tuduhan bahwa “kelisanan” adalah biang keladi rendahnya minat baca. Dan pandangan anti-kelisanan ini sebenarnya merupakan ciri pandangan mereka yang menamakan diri sebagai
kaum
(developmentalist).34
33 34
Ibid. Ibid.
modernis
dan
kaum
“pembangunanisme”
43
Terhadap perspektif khas modernis-developmentalis itu, Pendit mengajukan kontra-pendapat bahwa pemahaman tentang kemampuan dan minat membaca harus terlebih dahulu didasari pada upaya memahami budaya lisan di masing-masing daerah di Indonesia.35 Ia juga mengajukan syarat bahwa kontra-pendapat tersebut harus didasari asumsi bahwa baik budaya lisan maupun budaya tulisan punya hak yang sama untuk hadir di Indonesia. Pendit menolak anggapan bahwa kelisanan merupakan penghalang budaya tulisan (keberaksaraan/literasi).36 Pokok-pokok pikiran dalam pendapat Pendit di atas berkaitan dengan pengamatan Teeuw37 dan Kleden38 mengenai kondisi kelisanan dan keberaksaraan di Indonesia. Teeuw dalam tulisan yang mengesankan seakan-akan Indonesia berada di antara dua kutub, yaitu kutub kelisanan dan kutub keberaksaraan, orality dan literacy, mengajukan pendapat bahwa di Indonesia mengalami empat tahap sekaligus, yakni: kelisanan murni, khirografik, tipografik, dan elektronik dengan kelisanan sekunder.39
35
Ibid. Ibid. 37 A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), hlm. 1-43. 38 Ignas Kleden, Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan, dalam Alfons Taryadi (ed), Buku dalam Indonesia Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 7-55. 39 Mengenai empat tahap tersebut di Indonesia, Teeuw menulis keterangan sebagai berikut: “Di berbagai daerah, paling tidak di pelosok-pelosoknya, tahap kelisanan yang cukup murni masih dijumpai. Kemudian tahap kebudayaan khirografik (tahap kebudayaan manuskrip, khususnya dengan fungsi aural yang masih kuat) juga bukan tak ada lagi, dalam berbagai lingkungan di mana pembacaan naskah sudah lazim dan masih lazim. Kemudian sudah tentu tahap tipografik sudah mulai dimasuki sejak awal abad ke dua puluh ini oleh makin banyak orang, khususnya lewat pendidikan modern. Akhirnya tahap elektronik, dengan kelisanan sekunder, juga sudah luas dihayati orang; di antaranya ada golongan terdidik yang sebelumnya atau sekaligus juga menghayati kebudayaan tipografik, tetapi mungkin ada golongan cukup besar yang masuk tahap keempat ini tanpa interiorization of print culture, pembatinan atau pencernaan tahap membaca yang sungguh-sungguh. A. Teeuw, Indonesia …, hlm. 39. 36
44
Dalam situasi yang kompleks sebagaimana Teeuw ungkap di atas, Kleden menyatakan bahwa kelisanan dan keberaksaraan bukanlah dua tradisi yang mutually exclusive atau saling menolak, tetapi lebih merupakan dua tradisi yang justru saling bergandengan (mutually inclusive).40 Kendati sebetulnya pernyataan Kleden ini merupakan tanggapan atas fenomena dalam dunia sastra mutakhir di Indonesia, penulis beranggapan bahwa pendekatan tersebut dapat dipinjam, bahkan punya kaitan erat dengan fenomena membaca dalam masyarakat Indonesia, khususnya fenomena membaca bersama di perpustakaan. Secara etimologis kata “sastra” itu sendiri sudah berarti tulisan. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat keterangan berikut ini untuk lema sastra41: sas·tra n 1 bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dl kitabkitab (bukan bahasa sehari-hari); 2 kesusastraan; 3 kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; 4 kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); 5 tulisan; huruf; Selain terkait bidang linguisitik, sastra juga dekat dengan perkitaban atau perbukuan. Dalam praktik sosial, kata sastra juga menjadi simbol dalam interaksi sosial. Kleden menjadikan karya pengarang Pramoedya Ananta Toer, khususnya novel Pulau Buru, sebagai cermin realitas sosial. Dalam roman sejarah “Bumi Manusia” terdapat seorang tokoh yang setelah menjadi jurutulis pada sebuah pabrik gula, mengganti namanya menjadi Sastrotomo, sedangkan saudara laki-lakinya yang
40
Ignas Kleden, Buku …, hlm. 32. Kementerian Pendidikan Nasional, “Sastra”, dalam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/, diakses tanggal 27 Juni 2013. 41
45
menjadi jurubayar mengganti namanya menjadi Sastro Kassier. Tindakan sosial
tersebut
bertujuan
menegaskan
bahwa
pekerjaan
mereka
berhubungan dengan “sastra”, yaitu dengan tulis-menulis.42 Cermin tentang dunia sastra mutakhir Kleden kutip juga dari Derks yang berpendapat bahwa usaha untuk mengukur kemajuan sastra Indonesia berdasarkan jumlah judul buku baru, atau besarnya tiras buku sastra, merupakan suatu usaha yang keliru. Dengan berpegang pada jumlah judul-judul buku baru, orang telah (salah) menempatkan sastra Indonesia mutakhir dalam tradisi keberaksaraan-cetak (print literacy), sementara sastra Indonesia mutakhir akan dipahami dinamikanya kalau ditempatkan dalam tradisi kelisanan (orality).43 Wujud kelisanan dari keberaksaraan sastra ialah berupa kegiatan sosial yang dikerjakan bersama-sama dengan orang lain karena sastra di Indonesia sebenarnya sesuatu yang dinikmati bersama.44 Pendapat perihal persilangan antara keberaksaraan dengan kelisanan sebagaimana nampak dalam kegiatan-kegiatan membaca sastra secara bersama-sama inilah yang penulis jadikan sebagai penjelasan teoritis dalam menganalis kegiatan membaca bersama dalam RGMH di Ciseel. Kegiatan membaca di TBM Ciseel menjadi contoh perihal kegiatan membaca yang berakar ganda. Satu sisi, kegiatan ini berakar pada 42
Ignas Kleden, Buku …, hlm. 28. Ibid., hlm. 26. 44 Will Derks, Pengarang Indonesia sebagai Tukang Cerita, dalam Jurnal Kalam, No, 11, 1998, hlm. 90-100; Will Derks, Sastra Pedalaman: Pusat-pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia, dalam Keith Foulcher dan Tony Day (eds.), Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial: edisi revisi ‘Clearing a Space’, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008), hlm. 401430. 43
46
keberaksaraan yang menjadikan novel sebagai produk budaya cetak. Sisi lain, kegiatan membaca ini mengakomodasi kelisanan yang bersifat sosial, komunal, dan partisipatoris. D.
Konstruksi Sosial Pada bagian terakhir ini penulis memaparkan teori konstruksi sosial untuk menganalisis proses interaksi sosial yang terjadi di Taman Baca Multatuli. Teori ini juga penulis jadikan pedoman dalam memahami proses konstruksi makna membaca oleh pengelola TBM dan anak-anak Ciseel yang menjadikan TBM sebagai ruang beraktivitas dan berinteraksi. Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi yang dicetuskan Berger dan Luckmann.45 Teori yang berlandaskan paradigma konstruktivisme ini meyakini bahwa realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang
satu
dengan
manusia
lainnya. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya. Masyarakat merupakan kenyataan objektif sekaligus sebagai kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan objektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu 45
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).
47
sebagai bagian tak terpisahkan. Dengan kata lain, individu adalah pembentuk masyarakat dan sebaliknya masyarakat juga membentuk individu. Berger
dan
Luckmann
mengajukan
tiga
konsep
untuk
menghubungkan antara yang subjektif dan objektif dalam proses dialektika. Tiga konsep tersebut ialah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembagalembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Dialektika tiga hal ini berlangsung secara serentak. Masyarakat dalam pandangan Berger dan Luckmann ialah suatu kenyataan objektif yang di dalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun di atas pembiasaan (habitualisation), di mana terdapat tindakan yang selalu diulang-ulang, sehingga terlihat pola-polanya dan terus direproduksi sebagai tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi ini telah berlangsung maka terjadilah pengendapan dan tradisi. Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan di dalam kesadaran, mengendap, dan akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannya di dalam konteks sosial kehidupannya, dan melalui proses pentradisian, akhirnya jadilah pengalaman itu ditularkan kepada generasi berikutnya.
48
Dalam realitas objektif terdapat pelembagaan dan legitimasi yang mencakup universum simbolis, yaitu proses objektivasi makna-makna baru (logo, motto, slogan, jargon). Simbol-simbol berfungsi mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses pelembagaan atas interaksi sosial. Sehingga juga berfungsi membuat objektivasi yang sudah dilembagakan menjadi masuk akal secara subjektif. Penulis menggunakan teori konstruksi sosial dalam menganalisis konstruksi makna membaca di Dusun Ciseel, khususnya di TBM. Berdasarkan visi teori ini penulis memandang bahwa telah sedang berlangsung konstruksi makna membaca melalui proses pembiasaan (habitualisation) tindakan sosial dalam tiga momentum dialektis (eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi) yang serentak. Pembiasaan tersebut berupa aktivitas membaca, menulis, dan berbagai aktivitas lain yang memiliki atribut terkait makna membaca. Atribut-atribut tersebut dapat berupa slogan, jargon, motto, dan logo yang digunakan oleh para pelaku tindakan sosial di Ciseel dalam proses konstruksi makna membaca.
BAB III KONTEKS LOKAL DAN PROFIL LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini penulis memaparkan perihal profil Taman Baca Multatuli sebagai bagian dari kawasan yang melingkupinya, yakni Dusun Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Deskripsi ini penulis mulai dari profil Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak dalam konteks sejarah dan budaya serta demografi wilayah ini. Kemudian penulis memaparkan secara ringkas konteks pendidikan di Lebak Banten, khususnya mengenai kemelekhurufan dan akses ke pendidikan. Selanjutnya penulis mendeskripsikan Dusun Ciseel sebagai lokasi penelitian yang dilanjutkan dengan profil Taman Baca Multatuli dan Reading Group Max Havelaar. A.
Banten, Lebak, Sobang Banten merupakan sebuah provinsi yang pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 merupakan landasan legal Banten menjadi provinsi tersendiri. Pusat pemerintahan provinsi ini berada di Kota Serang. Wilayah Banten yang terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 154 kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.545 desa ini seluas 9.160,70 km².1 Kata Banten muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan daerah sekelilingnya yaitu Cibanten atau sungai Banten. Rujukan tertulis pertama
1
Data dalam deskripsi ini dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Banten yang kemudian penulis cek-silang dengan publikasi Badan Pusat Statistik, “Statistik Indonesia 2012”, dalam www.bps.go.id/hasil_publikasi/si_2012/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202012, diakses 27 Juni 2013.
50
mengenai Banten dapat ditemukan pada naskah Bujangga Manik yang menyebutkan nama-nama tempat di Banten dan sekitarnya.2 Orang asing kadang menyebut penduduk yang tinggal pada bekas keresidenan ini sebagai Bantenese yang berarti “orang Banten”. Setelah Provinsi Banten terbentuk, sebagian orang menterjemahkan Bantenese menjadi suku Banten sebagai kesatuan etnik dengan budaya yang unik.3 Orang Banten menggunakan bahasa Banten. Bahasa Banten adalah salah satu dialek bahasa Sunda yang lebih dekat kepada bahasa Sunda kuno.4 Namun demikian, di wilayah Banten Selatan seperti Lebak dan Pandeglang menggunakan bahasa Sunda Campuran Sunda Kuno, Sunda Modern, dan bahasa Indonesia; di Serang dan Cilegon, bahasa Jawa Banten digunakan oleh etnik Jawa. Dan, di bagian utara Kota Tangerang, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi juga digunakan oleh pendatang dari etnis Betawi. Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan
2
Bujangga Manik merupakan sebuah naskah kuno berbahasa Sunda yang ditulis dengan genre santri lelana (orang pintar yang berkelana). Naskah ini berisi catatan perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik yang mengelilingi Jawa dan Bali. Bujangga Manik tak satu pun menyebut kata yang berasal dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka, dan Demak menimbulkan perkiraan bahwa naskah ini ditulis akhir tahun 1400an atau awal tahun 1500an. Naskah berisi teks puisi yang ditulis pada daun nipah ini masih tersimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627. Deskripsi ini penulis kutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bujangga_Manik, diakses tanggal 27 Juni 2013. 3 Wikipedia Indonesia, “Suku Banten”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banten, diakses tanggal 27 Juni 2013. Sentimen etnis adalah salah satu isu yang muncul ketika warga Banten membangun solidaritas dalam “gerakan sosial” memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat untuk kemudian menjadi provinsi baru. Selain itu, isu kesenjangan/ketidakadilan ekonomi dan perasaan didominasi oleh kelompok lain merupakan isu-isu pokok yang disuarakan selama gerakan pemisahan itu. Yaya Mulyana, “Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, No. 1, Vol. 5, Juli 2001, hlm. 61-90. 4 Wikipedia Indonesia, “Suku Banten”.
51
dialek Betawi, bahasa Indonesia juga digunakan terutama oleh pendatang dari bagian lain Indonesia.5 Kabupaten Lebak merupakan salah satu dari delapan (8) kabupaten/kota di Provinsi Banten. Rangkasbitung merupakan ibukota kabupaten ini. Lebak berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang di sebelah utara; dengan Provinsi Jawa Barat di sisi timur; Samudra Hindia di pesisir selatan, serta Kabupaten Pandeglang di sebelah barat. Lebak terdiri atas 28 kecamatan, yang dibagi lagi atas 340 desa dan 5 kelurahan.6 Berdasarkan pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Lebak adalah sebesar 1.203.680, yang terdiri dari 618.636 penduduk laki-laki dan 585.044 perempuan. Luas wilayah Kabupaten Lebak sekitar 3.044,72 km2. Selanjutnya penulis hendak memaparkan kondisi Kabupaten Lebak berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).7 Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks dasar yang tersusun dari beberapa dimensi, yakni: (1) Umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan hidup; (2) Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf dan kombinasi dari angka partisipasi sekolah untuk tingkat dasar, menengah dan tinggi; dan (3) Standar hidup yang layak, dalam bentuk Purchasing Power Parity (PPP). Untuk keperluan tesis ini, penulis hanya merujuk pada dimensi kedua terkait pengetahuan yang diukur dengan
5
Ibid. Dutip dari “Data BPS Kab. Lebak 2008”, dalam www.lebakkab.go.id, diakses 27 Juni 2013. 7 Pemerintah Kabupaten Lebak, “Indeks Pembangunan Manusia Kab. Lebak Th. 2010”, dalam www.lebakkab.go.id/files/IPM%20Lebak%202010.pdf, diakses tanggal 27 Juni 2013. 6
52
angka melek huruf dan kombinasi dari angka partisipasi sekolah untuk tingkat dasar, menengah dan tinggi.8 Angka melek huruf di Kabupaten Lebak masih dikategorikan kecil bila dibandingkan rata-rata angka melek huruf Provinsi Banten yang pada tahun 2010 mencapai 96,20%. Khusus di Kabupaten Lebak banyaknya penduduk buta aksara selain merupakan penduduk berusia tua dipengaruhi pula oleh keberadaan suku Baduy, terutama suku Baduy Dalam yang masih menabukan penduduknya untuk mengenyam pendidikan formal. Bila peraturan adat ini tidak dapat berubah maka pencapaian Angka Melek huruf di Kabupaten Lebak tidak akan pernah mencapai 100%.9 Banyak kendala yang dihadapi dalam pemberantasan buta aksara selain akibat banyaknya penduduk usia tua yang masih buta aksara yang menyebabkan kesulitan dalam menyerap materi yang diberikan akibat daya tangkap dan daya ingat yang sudah jauh berkurang. Mereka yang berstatus buta aksara biasanya yang bermukim di wilayah terpencil yang jauh dari fasilitas pendidikan, dengan demikian lokasi juga merupakan faktor penentu dalam tingkat kesuksesan pemberantasan buta aksara.10
8
Pemerintah Kabupaten Lebak, “Indeks …,” hlm. 36. Dokumen IPM Kab. Lebak ini memuat keterangan bahwa indikator melek huruf sama dengan istilah “literacy”. Bedakan dengan istilah “literasi” atau “keberaksaraan” sebagaimana penulis jabarkan dalam Bab I, khususnya pada bagian tentang membaca dalam konteks sosial-budaya. 9 Ibid., hlm. 36-37. Pada bagian ini penulis melihat bahwa IPM yang diadopsi oleh berbagai negara bahkan hingga ke tingkat Kabupaten Lebak adalah khas cara pandang modernis-developmentalis yang beranggapan bahwa semakin tinggi angka melek huruf maka semakin baik. Tudingan terhadap tradisi Orang Kanekes (Baduy) yang menabukan warganya belajar di sekolah formal sebagai “batu sandungan” bagi Kabupaten Lebak untuk mencapai angka melek huruf 100% merupakan sikap khas kalangan modernis-developmentalis yang menuding kelisanan sebagai biang keladi. 10 Ibid., hlm. 37.
53
Indikator Rata-rata Lama Sekolah di Kabupaten Lebak tahun 2010 sebesar 6,24 tahun, angka itu lebih rendah dari angka rata-rata Provinsi Banten yang sebesar 8,32 tahun. Angka rata-rata 6,24 tahun tersebut dimaknai bernilai setara dengan lulus SD.11 Untuk memberikan gambaran lebih lanjut mengenai potret dunia pendidikan di Kabupaten Lebak, penulis akan terlebih dahulu memaparkan gambaran umum perihal dunia pendidikan di Provinsi Banten yang kemudian penulis kaitkan dengan lingkup nasional. Penulis membatasi gambaran umum dunia pendidikan ini seputar angka partisipasi masyarakat Banten pada umumnya dan Lebak pada khususnya. Dokumen Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2012 memuat bab khusus yang membahas perihal kondisi umum pendidikan di Indonesia berdasarkan capaian pada periode 2005-2009.12 Pada bagian itu tercantum gambaran kondisi umum pendidikan di Indonesia pada tiap jenjang, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Pendidikan tinggi serta pendidikan non-formal. Untuk keperluan tesis ini, penulis hanya mengutip keterangan mengenai jenjang pendidikan sekolah dasar hingga menengah. Angka partisipasi sekolah merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran umum perihal seberapa tinggi atau rendah partisipasi masyarakat dalam bersekolah. Indikator angka partisipasi sekolah terdiri dari dua jenis, yakni Angka Partisipasi Kasar (APK) dan 11
Ibid., hlm. 38. Kementerian Pendidikan Nasional, “Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014”, dalam http://kemdikbud.go.id/dokumen/pdf/renstra, diakses tanggal 27 Juni 2013.
12
54
Angka Partisipasi Murni (APM).13 Penulis memilih APM untuk memberi gambaran perihal partisipasi masyarakat yang bersekolah pada jenjang SD, SMP, dan Sekolah Menengah Atas yang disingkat SM.14 Berikut ini data Angka Partisipasi Murni jenjang pendidikan SD, SMP, dan SM di Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak pada periode 2009/2010.
APM-SD APM-SMP APM-SM
Tabel 3.1. Provinsi Banten 96,16% 71,45% 48,43%
Kabupaten Lebak 93,99% 65,74% 34,19%
Angka Partisipasi Murni SD, SMP, dan SM Provinsi Banten dan Kabupaten Lebak periode 2009/2010 Diolah dari APK dan APM 2009/2010 Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP)
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada umumnya semakin tinggi jenjang pendidikan, makin rendah partisipasi anak-anak yang bersekolah. Angka-angka tersebut juga menunjukkan bahwa di Provinsi Banten terdapat lebih dari separuh jumlah total anak usia sekolah menengah yang putus sekolah. Angka putus sekolah tersebut semakin besar di Kabupaten Lebak, karena hanya 34,19% anak usia sekolah menengah di Kabupaten Lebak yang melanjutkan pendidikan. Ini berarti sisanya sebesar 65,81%
13
Pengertian APM adalah perbandingan antara jumlah siswa kelompok umur yang relevan dengan jumlah penduduk usia sekolah jenjang tertentu. Contohnya adalah APM untuk jenjang pendidikan SD adalah persentase dari hasil perhitungan antara jumlah total siswa SD yang berusia pada rentang 7-12 tahun dibagi dengan jumlah total penduduk usia 7-12 tahun. 14 Pusat Data dan Statistik Pendidikan, “APK dan APM 2009/2010”, dalam www.pdsp.kemdiknas.go.id/Pages/DaftarAPKdanAPM.aspx, diakses tanggal 27 Juni 2013. Jenjang SM meliputi: SMA, SMALB, SMK, MA, dan Paket C.
55
yang dalam kenyataan adalah terdapat sebanyak 59.042 orang penduduk Kabupaten Lebak berusia 16-18 tahun yang putus sekolah.15 Indikator angka partisipasi sekolah dapat menjadi cermin perihal sejauh mana upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan telah dicapai. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan bergantung pada program pembangunan sekolah. Ada berbagai faktor yang menyebabkan pemerataan akses terhadap pendidikan belum tercapai, salah satunya dan yang relevan dengan konteks lokasi penelitian ini ialah kondisi geografis. Gambaran umum lokasi penelitian secara demografis dan geografis penulis paparkan di bawah ini. B.
Dusun Ciseel Dusun Ciseel yang berada di Desa Sobang16, Kecamatan Sobang17, merupakan sebuah kawasan terpencil. Secara topografis, Ciseel berada di ceruk perbukitan yang membentuk lembah di mana sungai Ciseel mengalir. Ciseel hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki atau menaiki kendaraan bermotor roda dua. Di sekitar Ciseel terdapat tiga institusi sekolah, yakni: SD Negeri 2 Sobang, Madrasah Ibtidaiyah (MI) AlHidayah Ciseel, dan SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang. Keterangan “Satu
15
Ibid. Desa Sobang adalah pusat pemerintahan Kecamatan Sobang. Penduduk Desa Sobang berjumlah 3.801 orang. Badan Pusat Statistik, “Penduduk Indonesia Menurut Desa. Hasil Sensus Penduduk 2010”, dalam http://bps.go.id/download_file/Penduduk_Indonesia_menurut_desa_SP2010.pdf, diakses tanggal 27 Juni 2013. 17 Kecamatan Sobang berpenduduk sebanyak 28.337 orang yang terdiri dari 14.546 orang laki-laki dan 13.791 orang perempuan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak, Hasil Sensus Penduduk 2010. Data Agregat per Kecamatan Kabupaten Lebak, (Lebak: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak, 2011). 16
56
Atap” untuk SMP ini menunjukkan bahwa Ciseel dan sekitarnya merupakan kawasan terpencil.18 Ciseel terbagi menjadi empat Rukun Tetangga (RT) yang terdiri dari 138 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 270 orang dan 248 orang perempuan.19 Mayoritas profesi penduduk laki-laki Ciseel adalah buruh musiman (tani dan bangunan). Ketika penulis berada di Ciseel dalam proses penelitian ini, sedang berlangsung pembangunan dua buah rumah yang lokasinya berdekatan dengan TBM. Para pekerja yang membangun dua rumah tersebut adalah warga Ciseel. Bila sedang tidak ada pekerjaan di Ciseel, beberapa orang warga pergi ke luar Ciseel untuk mencari kerja di kota, seperti ke Rangkasbitung, Tangerang, dan kota-kota lain. Warga Ciseel juga ada yang bekerja ke luar negeri, seperti ke Malaysia sebagai buruh migran. Salah satu rumah yang sedang dibangun di Ciseel saat penulis hadir di sana ialah milik warga yang masih bekerja di Malaysia. Sebagian kecil penduduk Ciseel berprofesi sebagai pedagang dan membuka warung kelontong yang menjual kebutuhan rumah tangga. Hanya ada seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) aktif, yakni seorang Guru
18
Pada daerah terpencil, terpencar dan terisolir umumnya SMP belum didirikan atau SMP yang sudah ada berada di luar jangkauan lulusan SD setempat. Salah satu cara yang bisa dilakukan pada daerah dengan ciri tersebut adalah mendekatkan SMP ke lokasi konsentrasi anak-anak yang belum mendapatkan layanan pendidikan SMP dengan mengembangkan Pendidikan Dasar Terpadu di SD yang sudah ada atau biasa disebut “SD-SMP Satu Atap”. Pengembangan SD-SMP Satu Atap ini menyatukan lokasi SMP dan lokasi SD dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya dan saranan prasarana yang ada di SD tersebut. Departemen Pendidikan Nasional, “Panduan Pelaksanaan Pengembangan SD-SMP Satu Atap”, dalam http://issuu.com/downloadbse/docs/panduan_pelaksanaan_satap_2008_buku_biru_final, diakses tanggal 27 Juni 2013. 19 Data dalam buku “Data Penduduk Dusun Ciseel 2009-2013” yang penulis peroleh dari Ketua RW Ciseel.
57
SD 2 Sobang, yang adalah penduduk asli dan bermukim di Ciseel. Buku data penduduk Ciseel memuat keterangan MRT, kependekan dari “Mengurus Rumah Tangga”, untuk mayoritas perempuan usia produktif di Ciseel. Listrik baru masuk Ciseel pada pertengahan tahun 2012. Keterpencilan serta kondisi jalanan yang berliku dengan bebatuan licin dan tajam merupakan situasi yang segera penulis temui saat pertama kali datang ke Ciseel pada bulan September 2012. Sebagai gambaran, berikut ini penulis kutip catatan-catatan perjalanan beberapa orang dari luar Ciseel yang pernah mengunjungi dusun ini. “Aku ternyata salah, pemandangannya memang indah, namun tak bisa kunikmati, jalanan aspal hanya sampai Sobang, setelah itu teror dimulai. Jalanan berbatu paling kecil sekepalan tangan tangan bercampur tanah, tanjakan dan turunan menggetarkan emosi. Berkali terbanting dan terpelanting dari jok motor, rasanya lebih mirip naik kuda daripada naik motor. Satu sisi tebing dan hutan, sisi jalanan lainnya jurang”.20 “Jantung saya rasanya berhenti. Wajah sudah pasti pucat pasi. Terutama ketika motor yang saya tumpangi menuruni jalan terjal berbatuan. Di kanan tebing, di kiri jurang yang cukup dalam … Untuk mencapai desa di kaki Gunung Halimun itu, hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki atau menumpang kendaraan beroda dua. Jalanan menuju dusun tersebut terlalu sempit untuk dilalui kendaraan roda empat. Bahkan di beberapa bagian, lebar jalan hanya cukup untuk dilalui satu sepeda motor. Belum lagi di beberapa ruas jalanannya hanya tanah liat yang becek dan licin jika hujan. Beberapa kali sepeda motor yang saya tumpangi harus berakrobat agar tidak
20
Akhmad Daurie, Rekaman Perjalanan: Dari Ciseel Menghentak Dunia, dalam Ubaidilah Muchtar (ed.), Rumah Multatuli. Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli, (Lebak: Taman Baca Multatuli, 2012), hlm. 205-213.
58
terpeleset atau terpaksa berhenti karena rodanya tertancap di lumpur”.21 Sejarah lembaga pendidikan di Ciseel berawal dari inisiatif seorang warga yang mengajar anak-anak Ciseel membaca, menulis, dan berhitung. Warga Ciseel memanggil guru tersebut dengan sebutan Abah Guru, yang nama sebetulnya adalah Abah Palmin.22 Abah Guru inilah yang kemudian menjadi pendiri Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Hidayah Ciseel pada awal tahun 1958. Meski sempat jatuh-bangun, hingga kini MI yang ada di Ciseel masih berdiri dan terus menjalankan aktivitas belajar-mengajar. Pengelola MI ini juga telah mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs), meski saat penulis datang ke lokasi MTs itu sedang tidak aktif.23 Sebagaimana kondisi umum di Kabupaten Lebak dengan angka partisipasi sekolah yang rendah pada jenjang SMP dan SMA, begitu pula dengan di Ciseel. Ketika Ciseel hanya memiliki sebuah MI, anak-anak yang melanjutkan ke jenjang SMP yang harus ke luar Ciseel sangatlah sedikit. Mamdud Subarnas, atau yang biasa dipanggil Pak Barnas, yang kini menjadi guru di SD 2 Sobang adalah generasi pertama yang melanjutkan sekolah usai lulus dari MI Al-Hidayah Ciseel. Guru adalah orang yang berguna bagi masyarakat. Demikian kesimpulan dari Pak Barnas ketika bercerita perihal apa alasan yang
21 Andy F. Noya, “Multatuli dari Dusun Ciseel”, dalam www.kickandy.com/corner/5/21/2293/read/Multatuli-dari-Dusun-Ciseel, diakses tanggal 27 Juni 2013. 22 Sebagaimana diceritakan oleh Pak Barnas dalam wawancara pada hari Rabu, 29 Mei 2013, antara pukul 8 hingga 10 pagi. 23 Berdasarkan dokumen profil dan sejarah ringkas MI Al-Hidayah Ciseel yang penulis peroleh dari Kepala Madrasah: Rusdi Saprudin.
59
mendorong ia memilih profesi sebagai guru. Guru di mata Pak Barnas ketika masih berusia anak-anak ialah sosok tentang seorang anggota masyarakat yang dihormati dan selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan di Ciseel. Hal itu, menurut Pak Barnas, menunjukkan bahwa guru adalah seseorang yang bermanfaat bagi masyarakat. Ingatan tentang sosok guru serta cita-cita untuk mengabdi di Ciseel sebagai guru itulah yang mendorong Pak Barnas terus melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang sarjana di bidang pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah pada sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan di ibu kota Lebak, Rangkasbitung. Saat ini di Ciseel telah ada empat orang warga yang menyandang gelar sarjana yang semuanya berprofesi sebagai Pak Guru. Selain Pak Barnas, ada Pak Rusdi Saprudin yang kini menjadi Kepala MI Al-Hidayah Ciseel, Pak Kosim yang mengajar di MI serta Pak Usman yang selain menjadi guru juga sebagai Ketua RW Ciseel. Selain menjadi guru di sekolah formal, Pak Barnas dan Pak Rusdi juga mengajar mengaji d rumah mereka. Anak-anak Ciseel menyebut Pak Rusdi sebagai ustadz. Sedangkan Pak Barnas sering berperan sebagai khotib di Masjid Ciseel. Orang-orang yang berprofesi sebagai guru menduduki posisi-posisi terhormat di Ciseel. Di tengah medan sosial-budaya seperti inilah pengelola TBM hadir. C.
Profil Ubaidilah Muchtar
60
Pendiri dan pengelola TBM bernama Ubaidilah Muchtar.24 Warga Ciseel, tua maupun muda, memanggil ia dengan sebutan “Pak Ubai”. Ubaidilah berprofesi sebagai guru yang mengajar Bahasa Indonesia di SMPN Satu Atap 3 Sobang. Ubaidilah yang lahir pada 4 Juli 1980 ini menamatkan pendidikan tinggi di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2004. Sebelum menjadi guru yang berstatus PNS, Ubaidilah sempat bekerja di berbagai tempat. Selama 2004-2005, Ubaidilah menjadi relawan pada sebuah organisasi masyarakat sipil bernama “Inisiatif Bandung”. Profesi sebagai editor di penerbit Grafindo Media Pratama ia lakoni pada tahun 2005. Dalam rentang tahun 2006-2009, Ubaidilah sempat menjalani profesi sebagai guru pada sebuah sekolah swasta di pinggiran kota Jakarta, yakni SD Al-Azhar Syifa Budi Cibubur. Sejak Februari 2009, ia resmi menjadi pengajar di Ciseel, hingga sekarang. Ubaidilah pertama kali datang ke Ciseel pada 1 Februari 2009. Usai mengunjungi Ciseel, ia membutuhkan waktu dua bulan untuk memutuskan apakah menerima atau menolak penempatan dirinya sebagai guru di Ciseel. Karena dorongan keluarga, khususnya istri, Ubaidilah
24
Penulis pertama kali mengenal profil Ubaidilah Muchtar secara tak langsung, melalui rekaman tayangan pada salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. “Kick Andy” merupakan salah satu program acara televisi unggulan di Indonesia. Program acara ini berupa “talk show” antara Andy F. Noya sebagai pembawa acara dengan tamu yang menjadi subyek dalam acara perbincangan tersebut. Program khusus dalam “Kick Andy” yang menampilkan profil Taman Baca Multatuli adalah “Kick Andy HOPE”. Program khusus berslogan “Membawa Harapan, Mengubah Kehidupan” ini berisi cerita-cerita tentang orang-orang terpilih karena dianggap dapat menjadi inspirasi dan harapan bagi masyarakat.
61
memutuskan untuk menerima penempatan dirinya sebagai guru di sekolah di Dusun Cigaclung yang bersebelahan dengan Dusun Ciseel. Awalnya Ubaidilah belum menetap di Ciseel. Selama bulan Februari hingga Juni 2009 Ubaidilah menginap di sekolah tempat ia bekerja. Pada masa inilah Ubaidilah memikirkan tentang kegiatan apa yang tepat dan dapat ia lakukan untuk mengisi waktu selain mengajar di sekolah. Dalam masa perenungan ini Ubaidilah kemudian berdiskusi dengan Sigit Susanto melalui internet. Perihal perbincangan jarak jauh secara tertulis tersebut dapat diverifikasi melalui pernyataan Sigit Susanto berikut ini: “ … aku menawarkan diri kepada Ubai, agar diadakan kegiatan rutin dalam format Reading Group (Baca Menyusuri LorongLorong Dunia jilid-2). Pada buku itu aku paparkan pengalaman mengikuti Reading Group Ulysses di Yayasan James Joyce di Zurich, Switzerland. Ubai menyetujui ajakanku, lantas dicari novel yang punya keterkaitan sejarah dengan di Banten, diputuskan lah novel Max Havelaar.”25 Agustus 2009 Ubaidilah mulai menetap di Ciseel. Ia bersama beberapa orang guru SMP Satap 3 Sobang mengontrak sebagian rumah Pak RT Sarip. Setelah mulai tinggal di Ciseel, selama bulan Agustus hingga November 2009 Ubaidilah mulai menggali informasi dari warga Ciseel tentang aktivitas anak-anak, perihal aktivitas serta keinginan warga, dan melakukan pendekatan dengan para tokoh masyarakat seperti Ketua RT, RW, Sesepuh Kampung, dan pemuda.26 Akhirnya Ubaidilah mulai
25
Dikutip dari jawaban tertulis Sigit Susanto dalam wawancara tertulis melalui surat elektronik dengan penulis pada 2 Juni 2013. 26 Berdasarkan pernyataan Ubaidilah dalam wawancara tertulis melalui surat elektronik dengan penulis pada 8 September 2013.
62
mewujudkan gagasan hasil perenungannya serta diskusi bersama Sigit dengan membawa buku-buku, majalah, dan koran bekas ke Ciseel. Bahanbahan bacaan tersebut ia bawa dari Depok ke Ciseel menggunakan kotak plastik transparan ukuran 60 liter yang diikat di jok sepeda motor. “November 2010 saya berpikir harus berbuat sesuatu untuk anak-anak. Minimal mereka ada aktivitas setelah pulang sekolah, selain menggembala kambing, menggembala kerbau, atau membantu orang tua. Akhirnya saya membawa bukubuku. Dari Depok saya membawa buku, majalah-majalah anak, buku cerita”.27 Desember 2009, Ubaidilah mulai membuat rak buku serta membawa spanduk yang memuat ajakan untuk membaca di TBM. Sejak itulah Ubaidilah mulai secara lebih terencana memperkenalkan TBM dan bahan-bahan bacaan kepada anak-anak Ciseel. Salah satu cara Ubaidilah mengenalkan anak-anak pada TBM ialah mengajak anak-anak didiknya berkunjung ke TBM pada jam istirahat sekolah. Sebagaimana cerita Ubaidilah berikut ini: “Pagi ini saya ingin membawa anak-anak ke Taman Baca Multatuli. Saat maksud ini disampaikan, anak-anak pun menyambut baik. Jadilah acara kunjungan ini. Ada yang membaca komik, novel, memelototi majalah. … Pukul sembilan acara kunjungan harus berakhir. Pelajaran ketiga menunggu di kelas. Anak-anak kembali.”28 Setelah mengenalkan anak-anak Ciseel pada bahan-bahan bacaan di TBM, Ubaidilah mulai berusaha mewujudkan gagasan pembentukan kelompok membaca bersama novel Max Havelaar dengan cara terlebih 27
Pernyataan Ubaidilah dalam film dokumenter mengenai profil TBM, berjudul “Rumah Multatuli” yang diproduksi oleh DAAI TV pada 2011. 28 Ubaidilah Muchtar, “Mencoba Mencari Jejak Multatuli”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/04/mencoba-mencari-jejak-multatuli.html, diakses tanggal 20 Juni 2013.
63
dahulu memperkenalkan profil Multatuli dan Max Havelaar kepada anakanak. Ubaidilah melakukan hal tersebut baik di dalam kelas maupun selama anak-anak berada di TBM. Upaya ini ia lakukan selama November 2009 hingga Maret 2010. Selain memperkenalkan anak-anak pada Multatuli dan Max Havelaar, Ubaidilah juga memancing rasa ingin tahu anak-anak dengan bercerita tentang pemuda dan gadis Lebak, Saijah dan Adinda, yang merupakan bab 17 dalam novel Max Havelaar. Menurut Ubaidilah, rasa ingin tahu tersebut terus dihidupkan agar anak-anak makin penasaran dengan Max Havelaar serta Saijah dan Adinda.29 Selain mengondisikan anak-anak mengenal Multatuli dan Max Havelaar serta Saijah dan Adinda, Ubaidilah juga mempersiapkan diri dengan cara mempelajari Multatuli dan Max Havelaar. Ubaidilah mengaku sudah membaca Max Havelaar ketika masih kuliah pada semester enam di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Ia membaca novel tersebut di sela-sela waktu berjualan buku. Namun ia mengaku waktu itu belum mengenal Multatuli dan Max Havelaar secara mendalam.30 Itulah mengapa kemudian Ubaidilah dua kali menamatkan Max Havelaar sebelum penyelenggaraan RGMH. Beragam cara Ubaidilah lakukan untuk lebih memahami Multatuli dan Max Havelaar. Ia menelusuri secara online berbagai tulisan yang membahas perihal Multatuli dan Max Havelaar. Bahan-bahan bacaan itu menjadi petunjuk bagi Ubaidilah untuk menelusuri jejak-jejak Multatuli 29 30
Ubaidilah Muchtar, wawancara 8 September 2013. Ibid.
64
secara on-site. Dalam tulisan tentang mencari Multatuli di Perpustakaan Nasional, Ubaidilah mencatat pengalaman berikut ini: “Sebelum berangkat ke Perpustakaan Nasional, aku menemukan tulisan yang menyatakan bahwa Tirto Adhi Soerjo (tokoh jurnalis) yang ditetapkan sebagai pahlawan tanggal 10 November 2006 amat meneladani Multatuli. … Hampir setiap tulisannya menyebut nama Multatuli. Aku juga menemukan tesis berjudul “Max Havelaar dan Citra Antikolonial Sebuah Tinjauan Postkolonial” yang ditulis oleh Christina Dewi Tri Murwani dari UGM. Satu minggu yang lalu aku berusaha mencari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan Multatuli. Aku menemukannya. Aku menemukan tulisan yang berisi semangat Multatuli dalam membunuh kolonialisme. Julukan Zamrud Khatulistiwa juga dari Multatuli. Aku juga menemukan tulisan yang mengatakan bahwa Multatuli tidak bisa membedakan tulisan fiksi dan nonfiksi, Multatuli kebingungan mengenai konsep kebenaran.”31 Ubaidilah
mencoba
mencari
jejak
Multatuli
dengan
cara
melakukan perjalanan ke Rangkasbitung. Ia mencari petunjuk dengan bertanya pada penduduk Rangkasbitung mengenai jejak Multatuli di kota itu. Menyimak catatan perjalanan Ubaidilah seakan-akan membaca cerita detektif yang sedang melakukan penyelidikan. Berawal dari dua orang tua, Pak Haji Nisom Rahadi dan istrinya, yang dengan penuh semangat memberinya informasi, Ubaidilah melacak keberadaan Perpustakaan 31 Ubaidilah Muchtar, “Mencari Multatuli di Perpustakaan Nasional”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/04/mencari-multatuli-di-perpustakaan.html, diakses tanggal 20 Juni 2013. Perihal Tirto Adhi Soerjo sebagai seorang Multatulian dapat dilacak dalam buku berjudul “Sang Pemula” karya Pramoedya Ananta Toer. Ulasan bernas perihal hubungan antara Multatuli, Tirto Adhi Soerjo, dan Pramoedya Ananta Toer dapat dibaca dalam tulisan Ragil Nugroho, “Denyar Max Havelaar di Bumi Manusia (Sebuah Percobaan Mengenal Dua Sosok: Multatuli dan Pramoedya)”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2011/05/oleh-ragilnugroho-1-sastra-yang.html, diakses tanggal 20 Juni 2013. Tesis berjudul “Max Havelaar dan Citra Antikolonial. Sebuah Tinjauan Postkolonial” karya Christina ewi Tri Murwani dapat diakses secara fulltext melalui www.maspaul.com/Christina%20Dewi%20Tri%20Murwani.pdf. Sedangkan esai tentang novel Max Havelaar yang membunuh kolonialisme merupakan karya Pramoedya Ananta Toer, “The Book That Killed Colonialism”, dalam www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-book-that-killedcolonialism.html?pagewanted=all&src=pm.
65
Saijah dan Adinda di Rangkasbitung. Ia akhirnya menemukan lokasi perpustakaan tersebut setelah mampir ke beberapa tempat dan bertanya ke penjaga tempat fotokopi dan penjual pulsa. Dari penjaga Perpustakaan Saijah dan Adinda, Ubaidilah melanjutkan pencarian jejak Multatuli ke Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, lantas ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Adjidarmo di mana ia menemukan sisa-sisa rumah yang pernah ditinggali Multatuli.32 Pencarian jejak Multatuli juga Ubaidilah lanjutkan ke beberapa tempat seperti Kantor Arsip Daerah Rangkasbitung serta Pendopo yang berlokasi di kompleks perkantoran Kabupaten Lebak di mana ia memperoleh foto-foto Multatuli, foto tas Multatuli, foto tugu Multatuli, foto rumah Multatuli di Bogor, foto globe milik Multatuli, foto kunci Multatuli, foto piring Multatuli, dan foto rumah Multatuli.33 Dalam catatan perjalanan yang dimuat dalam blog Reading Multatuli pada Desember 2010, Ubaidilah menceritakan perjalanan ke berbagai tempat yang menggunakan nama Multatuli, seperti: Sekolah Dasar (SD) Multatuli, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Multatuli, Apotek Multatuli, dan Klinik Multatuli. Ubaidilah juga mendatangi tempat-tempat yang disebutkan dalam novel Max Havelaar, seperti Parang Kujang yang adalah kampungnya Demang berwatak jahat yang kerap merampas kerbau milik
32
Ubaidilah Muchtar, “Mencoba Mencari Jejak Multatuli.” Ubaidilah Muchtar, “Mencoba Mencari Jejak Multatuli [Bagian 2]”, http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/05/mencoba-mencari-jejak-multatuli-bagian.html, diakses tanggal 20 Juni 2013. 33
66
rakyat. Dan terakhir, Ubaidilah datang ke Desa Badur tempat berlangsung kisah Saijah dan Adinda.34 Ubaidilah melakukan pencarian jejak Multatuli sebelum dan setelah penyelenggaraan RGMH. Persiapan pelaksanaan RGMH juga ia lakukan dengan mencari novel Max Havelaar selama bulan Januari hingga Maret 2010 ke beberapa toko buku dan orang-orang yang ia sebut sebagai pecinta buku, alhasil salah seorang temannya yang bernama Bilven dari Bandung menemukan 20 eksemplar Max Havelaar yang kemudian Ubaidilah beli dengan uang dari bantuan teman-teman.35 Novel-novel tersebut ia bawa ke Ciseel tepat sehari sebelum penyelenggaraan RGMH. Sehari sebelum itu Ubaidilah menulis dengan kapur di papan tulis mengenai penyelenggaraan RGMH. Ia juga mengundang secara pribadi orang-orang yang biasa datang ke Taman Baca Multatuli, juga orangorang yang dituakan di Ciseel.36 Mulailah RGMH perdana pada hari Selasa, 23 Maret 2010, dengan jumlah peserta sebanyak 17 orang anak-anak.37 Dalam catatan berjudul “Reading Groups Max Havelaar”, Ubaidilah bercerita perihal proses
34
Ubaidilah Muchtar, “Menengok Kampung Saijah dan Adinda”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/12/menengok-kampung-saijah-dan-adinda.html, diakses tanggal 20 Juni 2013. 35 Novel Max Havelaar yang Ubaidilah beli dengan harga Rp. 70 ribu/eksemplar tersebut merupakan produk penerbit Narasi, Yogyakarta, edisi 2008. 36 Ubaidilah Muchtar, “Reading Groups Max Havelaar”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/04/reading-groups-max-havelaar.html, diakses tanggal 20 Juni 2013. 37 Tujuh belas anak-anak yang menjadi peserta RGMH perdana ialah: Rohanah, Anisah, Siti Nurhalimah, Pendi, Pepen, Coni, Sumi, Pipih Suyati, Siti Alfiah, Nurdiyanta, Mano Hidayat, Aliyudin, Sujatna, Sanadi, Pahrurroji, Dedi Kala, dan Maman S. Daftar nama ini dikutip sesuai urutan dalam buku berukuran kertas folio dengan keterangan “Daftar Hadir dan Kesan Pesan Peserta Reading Group” pada Selasa, 23 Maret 2010.
67
RGMH perdana. Awalnya ia merasa khawatir bila anak-anak dan orangorang yang ia undang tak datang karena hujan yang turun satu jam sebelum acara. Namun kekhawatirannya hilang seiring hujan reda dan anak-anak pun berdatangan. Secara ringkas, Ubaidilah menulis tentang proses pembacaan novel Max Havelaar dalam RGMH perdana sebagai berikut: “Pembacaan dilakukan dengan pertama-tama aku membacakan per paragraf. Dilanjutkan dengan tanya jawab untuk kata atau kalimat yang tidak dipahami. Kemudian salah seorang peserta mengulangi pembacaan. Setelah peserta mengulangi pembacaan dan tidak ada lagi pertanyaan, aku melanjutkan pembacaan paragraf berikutnya. Begitu selanjutnya. Hingga satu bab pertama selesai sore itu”.38 Pembacaan perdana ini berlangsung dinamis karena terjadi dialog antara Ubaidilah dengan anak-anak maupun di antara anak-anak peserta RGMH. Dialog tersebut lebih sering mengenai kata-kata dan kalimat yang tak dipahami oleh anak-anak. Dalam menjelaskan kata-kata baru bagi anak-anak, Ubaidilah menjelaskan dengan cara memberi contoh. Berikut ini salah satu contoh dialog antara Ubaidilah dengan salah seorang peserta RGMH: “Makelar itu apa?” tanya Aliyudin. “Makelar itu perantara antara pedagang dan pembeli,” jawabku. “Kayak ayahnya Soleh, Pak Nurdin yang mengumpulkan durian untuk dijual kembali,” contohku. “Oh, tengkulak!” seru Pendi. “Ya,” sambutku.39 Berikut ini dialog di antara para peserta dengan Ubaidilah:
38 39
Ubaidilah Muchtar, “Reading Groups Max Havelaar.” Ibid.
68
Di saat yang lain, Pipih bertanya tentang syah [sic] seharga sembilan puluh gulden di kalimat keenam paragfar [sic] keempat. Aku minta Pipih membacakan kalimatnya, “Saya adalah anggota “Artis”, dia memiliki sebuah syal berharga sembilan puluh gulden, meskipun demikian di antara kami tidak pernah ada percakapan bodoh mengenai cinta seperti itu, hal demikian tidak akan beristirahat hingga hal itu ada di ujung bumi.” “Gulden teh mata uang Belanda,” jawab Pepen. “Syal teh kain yang suka dipakai di leher kan?” tanya Oji. “Iya, betul” jawabku.40 Berdasarkan pengalaman semacam itulah, sebelum pelaksanaan RGMH Ubaidilah mencari dan mencatat arti atau makna kata-kata serta kalimat yang ia anggap sukar untuk dipahami oleh anak-anak. Ubaidilah tak segan mengaku tidak tahu apabila ia memang tak dapat menjawab pertanyaan anak-anak. Dalam situasi demikian, ia berjanji akan menjawab pada pertemuan berikutnya. Maka Ubaidilah akan mencari makna kata atau kalimat yang ditanyakan oleh peserta RGMH dengan membuka kamus, mencari di internet, membaca buku sumber, mencari melalui indeks dalam buku-buku yang memuat lema Multatuli, serta bertanya ke beberapa teman.41 RGMH angkatan pertama berlangsung selama 11 bulan, yakni berakhir pada 21 Februari 2011 dengan jumlah peserta sebanyak 40 orang anak-anak. Anak-anak Ciseel yang menamatkan pembacaan novel Max Havelaar pada RGMH perdana, beberapa orang di antaranya sudah lulus SMP pada tahun 2011 dan melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah atas. 40 41
Ibid. Ubaidilah Muchtar, wawancara 8 September 2013.
69
Anak-anak Ciseel angkatan pertama RGMH yang menamatkan SMP itu adalah sebagian dari delapan orang anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMU/SMK. Karena tak ada sekolah menengah atas di Ciseel, anak-anak itu ke luar Ciseel, bersekolah dan mondok di kotakota kecamatan sekitarnya seperti Muncang atau Cipanas. Upaya mendorong agar anak-anak dapat bersekolah hingga ke jenjang sekolah menengah atas merupakan tantangan bagi Ubaidilah. Ia menyatakan bahwa perlu ada upaya menggenjot anak-anak supaya mau melanjutkan ke tingkat SMA. Menurut Ubaidilah, kondisi sebagian besar warga Ciseel yang adalah para petani, petani peladang, harus ditingkatkan. Dan pendidikan, bagi Ubaidilah, merupakan wahana bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Keyakinan Ubaidilah pada pendidikan sebagai wahana menuju kehidupan yang lebih baik dapat diacu pada pengalaman pribadinya. Ubaidilah adalah anak ke-4 dari enam bersaudara dan ia adalah satusatunya anggota keluarga yang melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah hingga tamat kuliah. Ubaidilah mengaku bersedih ketika dua orang adiknya hanya tamat SD dan ia gagal membujuk mereka untuk melanjutkan sekolah.42 Mengenai anak-anak Ciseel yang tak menyelesaikan sekolah atau tak melanjutkan pendidikan usai tamat SMP, Ubaidilah menggunakan istilah “terbawa kardus”. Istilah tersebut ia gunakan untuk fenomena anak-
42
Ibid.
70
anak perempuan di Ciseel yang ikut makelar dan menjadi pekerja rumah tangga di kota. Kebanyakan anak Ciseel tak melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas. Mereka yang putus sekolah itulah, khususnya anak perempuan usia belasan, biasanya pergi ke kota untuk bekerja yang biasanya menjadi pekerja rumah tangga. Ubaidilah menyatakan keyakinan pada pendidikan dan keprihatinan atas situasi di Ciseel sebagai berikut: “Salah satu keprihatinan saya melihat anak-anak di Ciseel dan sekitarnya juga demikian. Orang tua tidak meminta anakanaknya sekolah. Bahkan mengizinkan anaknya pergi ke Jakarta padahal masih bersekolah. Kepedulian orang tua ini harus diingatkan. Bahwa anak-anak perlu sekolah. Anak-anak juga harus diyakinkan bahwa sekolah baik untuk masa depannya. Sekolah atau pendidikan hasilnya tidak langsung dapat dirasakan saat ini. Itu pula yang membuat saya bertahan di Ciseel. Ingin melihat ada anak yang berhasil lulus, lebih bagus jika sampai lulus kuliah”.43 Ubaidilah selalu mendorong anak-anak dan membujuk para orang tua di Ciseel agar menyekolahkan anak-anak mereka hingga tamat sekolah menengah atas. Ubaidilah beserta beberapa teman-temannya yang tergabung dalam Komunitas Reading Group maupun yang pernah mampir ke Ciseel juga menghimpun dana yang digunakan untuk membiayai anakanak Ciseel melanjutkan sekolah.44 D. 43
Taman Baca Multatuli dan Reading Group Max Havelaar
Ibid. Penulis pernah menyaksikan secara langsung Ubaidilah membujuk seorang anak yang ‘terancam’ tak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas karena tak diizinkan oleh orang tuanya. Ada beberapa anak di Ciseel yang potensial namun keluarganya lemah secara ekonomi tetap dapat melanjutkan sekolah karena dukungan biaya yang dihimpun oleh Ubaidilah bersama teman-temannya. Melalui surat elektronik kepada teman-temannya, Ubaidilah menyampaikan tentang perkembangan pendidikan anak-anak Ciseel, seperti mengenai berapa orang yang lulus SMP serta berapa orang yang melanjutkan ke sekolah menengah atas. Penulis turut dilibatkan dalam rangkaian surat elektronik tersebut. 44
71
“Multatuli dijadikan nama taman baca ini sebab secara historis, dia “aku yang banyak menderita” ini pernah menjadi Asisten Residen di Lebak tahun 1856. Selain itu, aktivitas yang memulai di taman baca ini, yaitu pembacaan novel Max Havelaar yang merupakan salah satu karya Multatuli. Novel yang menyuarakan pembelaan terhadap rakyat tertindas. Novel yang ditulis Multatuli setelah terjadinya ‘insiden Lebak’”.45 Kutipan di atas penulis cuplik dari halaman yang memuat keterangan “Tentang Kami” dalam blog resmi Taman Baca Multatuli: www.readingmultatuli.blogspot.com. Blog Reading Multatuli menjadi salah satu sumber yang penulis rujuk dalam menjelaskan perihal profil Taman Baca Multatuli beserta pendiri dan pengelolanya sekaligus pemandu Reading Group Max Havelaar. Adalah Sigit Susanto yang menginspirasi Ubaidilah untuk mendirikan perpustakaan komunitas dan kelompok membaca bersama. Sigit Susanto adalah seorang warga Indonesia yang bekerja dan bermukim di negara Switzerland atau Swiss. Sigit pertama bertemu Ubaidilah ketika Ubaidilah masih aktif sebagai mahasiswa di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Pertemuan kedua pada tahun 2005 dalam acara bedah buku karya Sigit di toko buku Ultimus di kota Bandung.46
Sigit
memiliki
pengalaman
mendirikan
perpustakaan
komunitas bernama Pondok Maos Guyub di tanah kelahirannya, Boja, Kendal, Jawa Tengah. Sigit juga mengikuti sebuah reading group yang membaca novel berjudul Ulysess karya James Joyce di kota Zürich,
45
Ubaidilah Muchtar, “Tentang Kami”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/p/tentangkami.html, diakses tanggal 27 Juni 2013. 46 Berdasarkan jawaban tertulis Sigit Susanto dalam wawancara tertulis melalui surat elektronik dengan penulis pada 2 Juni 2013.
72
Swiss.47 Berdasarkan diskusi dalam obrolan secara tertulis melalui Internet, Ubaidilah membuat keputusan mendirikan Taman Baca Multatuli dan Reading Group Max Havelaar.48 Taman Baca Multatuli awalnya adalah sebuah ruang seluas 3x5 meter persegi yang menjadi bagian di rumah milik Pak RT Syarif yang ia kontrak sejak Agustus 2009. Di petak kontrakan itulah Ubaidilah menempatkan buku-buku yang pada awal November 2009 ia bawa dari Depok untuk dibaca oleh anak-anak Ciseel. Menurut Ubaidilah, anak-anak berbahagia atas kedatangan buku-buku yang ia bawa karena anak-anak tidak punya hiburan berupa televisi dan radio mengingat Ciseel belum dialiri listrik. Sebelum mengadakan reading group, Ubaidilah berdiskusi dengan para tokoh masyarakat seperti Pak RT, RW, dan beberapa warga Ciseel yang sama-sama berprofesi sebagai guru serta guru mengaji. Ia juga meminta izin kepada mereka untuk mengadakan reading group yang ia harapkan menjadi aktivitas membaca sastra bagi anak-anak Ciseel selama satu kali dalam sepekan, pada sore hari sekitar usai waktu Ashar hingga sebelum bedug Maghrib.
47
Sigit Susanto, Menyusuri Lorong-lorong Dunia Jilid 3 (Yogyakarta: Insist Press, 2012), hlm. xixiv. 48 Awalnya, Ubaidilah memberi nama “Pondok Baca Balarea” untuk perpustakaan komunitas yang ia dirikan, namun kemudian ia ganti setelah berdiskusi dengan Sigit mengenai lokalitas Lebak yang dapat direpresentasikan oleh novel Max Havelaar. Keterangan ini berdasarkan perbincangan penulis dengan Ubaidilah Muchtar pada 16 Mei 2013. Balarea yang merupakan bahasa Sunda berarti “bersama”. Nama lama tersebut memiliki kemiripan dengan perpustakaan komunitas yang Sigit dirikan, yang mana kata “maos” dalam bahasa Jawa berarti “baca/membaca” dan “guyub” berarti “bersama”. Pondok Baca Balarea – Pondok Maos Guyub.
73
RGMH perdana berlangsung selama 11 bulan, yakni berakhir pada 21 Februari 2011 dengan jumlah peserta sebanyak 40 orang anak-anak. Sedangkan RGMH tahap kedua yang mulai sejak 31 Mei 2011 masih belum khatam ketika penulis sedang melakukan penelitian di Ciseel pada medio Mei 2013.49 Pada pembacaan kedua, kebanyakan peserta adalah anak-anak usia SD, hal itulah yang menyebabkan pembacaan kedua jauh lebih lamban ketimbang pembacaan perdana. Taman Baca Multatuli (TBM) kini menempati bangunan baru di atas tanah seluas 90 m2 dengan ruang baca seluas 7x4 meter, 3x2,5 meter kamar tidur, serta 2,5x3 meter dapur dan kamar mandi.50 Rumah baru ini dibangun secara bergotong-royong oleh warga Ciseel dengan dukungan dana dari donatur untuk pembelian material bangunan.51 Bangunan baru tersebut mulai ditempati sejak 23 Oktober 2012. Di tempat baru itu TBM melanjutkan aktivitas-aktivitas yang sudah berjalan selama dua tahun sejak di petak kontrakan dan masih terus berlanjut hingga saat ini. Berikut ini enam aktivitas utama TBM yang penulis kutip dari halaman “Aktivitas” dalam blog “Reading Multatuli”:52
49
Pada akhir September 2013, Ubaidilah mengabarkan bahwa pembacaan angkatan kedua khatam pada 21 Agustus 2013 dan pembacaan angkatan ketiga telah dimulai pada 11 September 2013. Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/ubaidilah.muchtar/posts/10200632411241635, diakses tanggal 22 September 2013. 50 Ubaidilah Muchtar, “Tentang Kami…” 51 Dana hibah sebesar Rp. 50 juta diberikan oleh Tanoto Foundation melalui Kick Andy Foundation yang menjadikan Taman Baca Multatuli sebagai salah satu kelompok terpilih dalam program “Kick Andy Hope” pada tahun 2012. Ubaidilah Muchtar, “Kronologi Pembangunan Rumah Multatuli”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2012/10/kronologi-pembangunanrumah-multatuli.html, diakses tanggal 28 Juni 2013. 52 Ubaidilah Muchtar, “Aktivitas”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/p/kegiatan.html, diakses tanggal 28 Juni 2013. Pada akhir pekan pertama bulan September 2013, Ubaidilah mengabarkan bahwa ada dua aktivitas baru di TBM, yakni “Belajar Bahasa Inggris dan “Layar
74
1. Reading Group Max Havelaar Every Tuesday: 16.00-18.00 Everyone welcome at anytime 2. Reading Group Saijah Adinda Every Thursday: 16.00-17.30 Everyone can join at anytime 3. Pendidikan. Taman Baca Multatuli menyediakan berbagai informasi yang luas, seperti buku, majalah, kumpulan artikel, makalah, esai, dan skripsi. Dokumentasi ini dapat diakses oleh masyarakat umum seperti juga yang terdapat di blog ini. 4. Menulis Catatan Harian. Setiap anak di Kampung Ciseel menulis catatan harian. Anak-anak mencatat aktivitas harian dalam buku tulis yang jika telah habis dapat ditukar dengan yang baru di Taman Baca Multatuli. 5. Bermain Drama. Drama Saijah-Adinda dalam bahasa Sunda telah dimainkan oleh anak-anak Taman Baca Multatuli dengan sangat baik. Mereka memerankan drama ini di waktu senggang setelah Reading Group. Seperti saat kegiatan Sastra Multatuli 2011 (13 Mei 2011) dan kegiatan menyambut tamu. Kegiatan bermain drama ini merupakan kegiatan yang mengasyikan karena menggunakan kerbau sungguhan. 6. Ciseel day/Lebak day Ciseel day/Lebak day merupakan kegiatan tahunan Taman Baca Multatuli. Dalam kegiatan ini berkumpul para sastrawan, akademisi, mahasiswa, dan Multatulian. Ciseel day dilaksanakan dalam bentuk kegiatan, seperti pementasan drama, menyusuri jejak Multatuli, kesenian rakyat, wisata Baduy Dalam, diskusi dan bedah karya Multatuli, menulis catatan perjalanan, dan pemutaran film Max Havelaar.
Tancap 2 Mingguan”, www.facebook.com/ubaidilah.muchtar/posts/10200548490583671, diakses tanggal 7 September 2013.
BAB IV KONSTRUKSI MAKNA MEMBACA DI TAMAN BACA MULTATULI CISEEL SOBANG LEBAK BANTEN Bab pembahasan hasil penelitian ini terdiri dari beberapa bagian mengenai konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli. Penulis membagi pembahasan ini menjadi konstruksi makna membaca bagi pengelola dan serta peserta Reading Group Max Havelaar; konstruksi makna membaca bagi warga Ciseel; serta konstruksi makna membaca dalam jaringan komunitas reading group. A.
Konstruksi Makna Membaca di Taman Baca Multatuli “Hayu urang maca!” Demikian bunyi kalimat pada spanduk berukuran sekitar 1,5 x 3 meter yang menggantung di muka pintu Taman Baca Multatuli. Kalimat dalam bahasa lokal berisi ajakan melakukan aktivitas atau tindakan berupa kegiatan membaca tersebut segera menunjukkan perihal bagaimana pengelola
TBM
membangun
komunikasi
dengan
warga
Ciseel
menggunakan bahasa lokal. Perihal lokalitas itulah yang menjadi ciri khas TBM. Ubaidilah memilih nama Multatuli dan novel Max Havelaar berdasarkan pertimbangan bahwa dua nama tersebut punya kaitan yang erat dengan sejarah lokal Lebak Banten sehingga dapat merepresentasikan lokalitas Lebak Banten di mana TBM berada. Dalam perspektif konstruktivisme, pilihan Ubaidilah tersebut merupakan suatu tindakan
76
berdasarkan pemaknaan atas situasi yang dihadapi.1 Pemaknaan situasi Ciseel oleh Ubaidilah dapat dilacak ke masa enam bulan awal mengenal Ciseel.
Masa-masa
sebelum
ia
memutuskan
untuk
mendirikan
perpustakaan komunitas. Berdasarkan pengamatan atas dunia kehidupan (life world) warga Ciseel, Ubaidilah beranggapan bahwa di tengah kondisi geografis yang terpencil dan kondisi ekonomi masyarakat petani yang bersifat subsisten, bahan bacaan adalah sesuatu yang langka. Tindakan rasional yang Ubaidilah pilih adalah mendirikan perpustakaan komunitas sebagai ruang yang menyediakan bahan bacaan. Penilaian Ubaidilah bahwa perpustakaan komunitas adalah sesuatu yang relevan dengan kebutuhan di Ciseel tentu tak lepas dari sejarah pribadinya. Ubaidilah adalah seorang alumnus dari kampus ilmu pendidikan, khususnya dari jurusan yang mendalami kesusastraan. Ubaidilah juga memiliki pengalaman/pengetahuan secara teori maupun praktik mengenai masyarakat petani. Pengetahuan tersebut ia peroleh selama menjadi aktivis di kampus maupun dari pergaulan dalam organisasi masyarakat sipil yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat petani.2 Kenyataan tersebut sesuai sudut pandang konstruktivisme bahwa pilihan-pilihan seseorang untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh status,
1
Laksmi, Interaksi …, hlm. 31. Dalam kunjungan pertama penulis ke Ciseel pada 18-19 September 2012, salah satu koleksi TBM yang penulis komentari adalah sebuah buku tentang organisasi masyarakat petani. Menanggapi komentar penulis mengenai buku tersebut, Ubaidilah bercerita bahwa memang sejak masih di kampus ia dekat dengan organisasi petani, bahkan ia dan teman-temannya beberapa kali melakukan aksi massa bersama para petani.
2
77
kelas, usia, pendidikan, gender, kekuasaan, dan sebagainya.3 Dengan kata lain, sejarah personal seseorang beserta atribut sosial-budaya yang ia miliki berpengaruh pada cara ia memaknai realita, membuat keputusan, dan melakukan tindakan sosial. Pendirian TBM oleh Ubaidilah merupakan suatu tindakan sosial. Tindakan sosial, dalam perspektif teori konstruksi sosial, merupakan tindakan yang disengaja, artinya dilakukan berdasarkan suatu pemikiran dan memiliki tujuan.4 Tujuan-tujuan tersebut dapat disimak pada pernyataan Ubaidilah berikut ini: “Yang paling penting kelak anak-anak bisa mengenal sejarah Lebak, tidak mengulang apa yang dahulu terjadi, tidak melakukan penindasan, mereka harus memiliki jiwa kesetaraan, mereka harus memiliki kemampuan untuk memahami lingkungannya, harus peka, seperti Multatuli”.5 Perpustakaan komunitas yang Ubaidilah dirikan merupakan sebuah medan interaksi antara dirinya dengan warga Ciseel, khususnya anak-anak. Dalam medan inilah berlangsung interaksi sosial berupa ‘aksi’ yang dilakukan secara timbal balik antara pihak-pihak yang terlibat. Aksi timbal balik tersebut ditandai dengan adanya refleksi, yaitu kegiatan di dalam kognisi yang terdiri dari proses berpikir, merasakan, dan kemauan.6 Pihak-pihak yang terlibat saling melakukan penafsiran atau interpretasi atas tindakan-tindakan masing-masing dalam proses interaksi yang menggunakan simbol-simbol tertentu. Sebagaimana pernyataan Geertz yang dikutip Laksmi, simbol merupakan salah satu representasi 3
Laksmi, Interaksi …, hlm. 6. Ibid. 5 Pernyataan Ubaidilah dalam film dokumenter mengenai profil TBM, berjudul “Rumah Multatuli” yang diproduksi oleh DAAI TV pada 2011. 6 Laksmi, Interaksi …, hlm. 2-3.
4
78
manusia dengan dunianya yang terdiri dari seperangkat nilai dan tujuantujuan yang menggambarkan keinginan; seperangkat norma yang membatasi perilaku; suatu konsepsi mengenai kekuatan dan kemampuan individu.7 Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu.8 Berdasarkan pendekatan tafsir budaya dari kalangan antropologi tersebut, penulis mengidentifikasi simbol-simbol beserta konsepsi yang dipertukarkan di TBM sebagai medan interaksi. Simbol yang penulis pilih ialah bahasa tertulis yang diekspresikan oleh anak-anak Ciseel dalam media interaksi tertulis di TBM, yakni buku kesan-pesan. Bahasa tertulis lainnya penulis anggap sebagai simbol dengan konsepsi makna tertentu yang diekspresikan di TBM adalah slogan-slogan terkait kegiatan membaca. Simbol lainnya adalah atribut-atribut berupa koleksi buku dan foto-foto yang ada di TBM. Semua simbol tersebut, baik berupa bahasa tertulis maupun gambar, yang diekspresikan dalam medan interaksi inilah yang penulis jadikan rujukan dalam membaca konstruksi makna membaca di TBM. Ubaidilah bukanlah pelaku tunggal karena kehidupan sosial bergantung
pada
kesepakatan
pihak-pihak
yang
terlibat
dalam
menciptakan makna atau mendefinisikan situasi.9 Ubaidilah bersama anakanak Ciseel adalah para pelaku yang bersama-sama membangun makna membaca. Tindakan Ubaidilah yang mendirikan perpustakaan komunitas 7
Ibid., hlm. 18. Ibid., hlm. 19. 9 Ibid., hlm. 5.
8
79
dan menyediakan bahan bacaan serta mengadakan kegiatan reading group disambut tindakan anak-anak yang berpartisipasi dalam bentuk aktivitas membaca dan menulis. Aksi timbal balik antara mereka merupakan wujud interaksi dalam proses menciptakan makna bersama. “Buku Jendela Informasi Dunia” dan “Buku Gudang Ilmu, Membaca Kuncinya”. Dua slogan tersebut tertera dalam poster terbuat dari kertas karton yang diusung anak-anak Ciseel dalam karnaval perayaan Isra’ Mi’raj di Desa Sobang pada tahun 2012. Dalam karnaval yang diikuti oleh dusun-dusun dari Desa Sobang tersebut, Ciseel menang sebagai juara pertama. Hal menarik dari fenomena tersebut ialah perihal buku sebagai jendela dunia yang merupakan “commonsense” di tengah masyarakat. Penulis menemui bukti perihal “commonsense” tersebut di TBM. Ubaidilah pernah menyatakan bahwa ia menyediakan bahan bacaan agar anak-anak mengetahui perihal dunia yang lebih luas dari pada Ciseel. Selain pernyatan tersebut, simbol-simbol yang memuat konsepsi tentang dunia yang lebih luas ialah novel Max Havelaar dan beberapa koleksi buku dalam berbagai bahasa. Novel Max Havelaar merupakan sebuah karya kelas dunia, mengingat novel ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pemajangan foto-foto sastrawan kelas dunia serta koleksi buku sastra dalam berbagai bahasa juga menjadi simbol-simbol tentang dunia. Buku sebagai jendela dunia, membaca adalah kuncinya. TBM merupakan ruang di mana “jendela dunia” berada sehingga anak-anak dapat melihat dunia yang lebih luas tersebut.
80
Pada bagian selanjutnya penulis akan memaparkan perihal interaksi sosial yang melibatkan simbol-simbol tersebut berlangsung secara
intensif.
Dalam
medan
interaksi
itu
berlangsung
pembiasaan/habitualisasi yang kemudian membentuk makna bersama tentang membaca yang kemudian menjadi realita sosial di Ciseel. Kegiatan rutin RGMH tiap Selasa atau Rabu sore adalah momentum proses habitualisasi bagi anak-anak Ciseel mengenai kegiatan membaca. Pada momentum ini pula proses eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi berlangsung secara serentak. Anak-anak yang hadir di TBM untuk membaca dan mengikuti RGMH merupakan wujud proses obyektivasi atas makna yang telah dibangun bersama di antara mereka. Dalam proses itu pula para pelaku yang terlibat menyesuaikan diri dalam medan interaksi dengan cara melakukan tindakan sosial sebagai wujud eksternalisasi sekaligus internalisasi. Internalisasi makna membaca nampak dalam tindakan sosial (eksternalisasi) yang berlandaskan pada penerimaan atas makna bersama. Sebaliknya, eksternalisasi berupa mendukung makna bersama menunjukkan bahwa makna itu sudah diinternalisasi. Konstruksi makna membaca berdasarkan proses interaksi sosial yang melibatkan simbol-simbol serta aktivitas-aktivitas membaca dan menulis di TBM turut mencipta realitas sosial baru di Ciseel. Realita itu adalah pola aktivitas baru bagi anak-anak di Ciseel. Sebelum ada TBM, anak-anak Ciseel biasa bermain ke sawah-sawah, sungai, masuk hutan,
81
sembari menggembala ternak kambing, sapi, atau kerbau, atau mencari kayu bakar. Kebiasaan lama tersebut mulai berubah karena tersedia institusi soial baru yang menjadi ruang bermain dan membaca bagi anakanak Ciseel. TBM bukanlah satu-satunya medan interaksi sosial yang membangun makna membaca di Ciseel. Sejak memiliki kebiasaan baru berupa membaca dan menulis buku harian, rumah juga menjadi tempat bagi anak-anak dalam proses membangun makna membaca di Ciseel. Kegiatan membaca dan menulis buku harian merupakan aktivitas yang kasat mata bagi anggota keluarga mereka masing-masing, khususnya para orang tua. Ubaidilah membebaskan anak-anak menulis maupun menggambar buku harian mereka. Dengan kebebasan tersebut, isi buku-buku harian anak-anak Ciseel sangat bervariasi. Secara umum mereka mencatat kronologi peristiwa yang mereka alami setiap hari, sejak bangun tidur di pagi hari, kemudian mandi, siap-siap ke sekolah, suasana di sekolah, saat pulang sekolah, hingga malam hari sebelum tidur. Namun ada juga yang menjadikan buku harian sebagai ruang mencurahkan isi hati yang sedang kecewa, takut, maupun gembira. Catatan khusus dalam buku harian anak-anak ialah catatan perjalanan mereka khususnya ketika perayaan Ciseel Day yang mana mereka menyusuri jejak-jejak Multatuli seperti lokasi bekas rumah Multatuli, jalan Multatuli, pendopo tempat Multatuli pernah berpidato,
82
hingga Apotik dan SD yang menggunakan nama Multatuli. Mereka juga membuat catatan perjalanan ke kawasan pemukiman Orang Kanekes Dalam dan Orang Kanekes Luar pada tahun 2012-2013. Catatan perjalanan yang paling menyenangkan bagi anak-anak Ciseel ialah ketika mereka beramai-ramai mengunjungi Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi di Jakarta pada tahun 2012. Membaca dan menulis merupakan aktivitas yang dekat dengan dunia pendidikan. Selain berhitung, membaca dan menulis merupakan kompetensi yang pertama kali diajarkan di sekolah dasar. Dua aktivitas yang khas dalam proses pembelajaran di sekolah inilah yang membentuk keyakinan bahwa membaca dan menulis identik dengan proses belajar.10 Aktivitas membaca dan menulis yang semakin intensif semenjak TBM berdiri di Ciseel dan nampak jelas di hadapan para orang tua memiliki dampak sosial terhadap warga Ciseel. Dampak sosial inilah yang penulis paparkan di bagian selanjutnya mengenai konstruksi makna membaca bagi warga Ciseel. B.
Konstruksi Makna Membaca bagi Warga Ciseel “Setelah adanya taman baca, anak-anak itu setelah datang dari sekolah, diperkirakan jam dua, jam tiga, itu sudah ada di taman baca. Bahkan taman itu menurut pendapat saya sangat luar biasa. Sangat luar biasanya kenapa? Walaupun adanya di daerah terpencil, di pegunungan ini, Taman Baca Multatuli itu ada reading group, reading group itu kelas dunia bacaannya,
10
Penulis seringkali mendapati komentar pertama yang diucapakan oleh orang yang melihat penulis sedang membaca buku ialah kata “Belajar ya”. Hal tersebut tetap terjadi meskipun sebetulnya penulis sedang membaca sebuah novel, bukan buku teks kuliah. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan membaca, khususnya membaca buku, bagi anggota masyarakat merupakan aktivitas yang sesuai dengan norma yang berlaku bahwa kegiatan membaca menunjukkan bahwa seseorang rajin belajar.
83
Max Havelaar. Bukan bacaan kelas nasional, inikan kelas internasional”.11 Pendapat di atas penulis kutip dari pernyataan Pak Rusdi, Kepala MI Al-Hidayah Ciseel. Pernyataan tersebut mencerminkan perihal Pak Rusdi sebagai orang tua yang mengamati perubahan pola aktivitas anakanak Ciseel, setidaknya anaknya sendiri, semenjak TBM berdiri. Pernyataan mengenai bacaan kelas dunia juga menunjukkan bahwa simbol tentang buku sebagai jendela dunia dan TBM yang menghadirkan dunia di Ciseel sebagaimana sudah penulis paparkan di atas juga disepakati oleh Pak Rusdi. Pak Barnas juga sepakat bahwa TBM bermafaat bagi anak-anak Ciseel. Sebagai seorang guru pada sebuah sekolah dasar, Pak Barnas mengamati bahwa anak-anak Ciseel yang duduk di kelas satu SD tempat ia mengajar memiliki kemampuan lebih cepat belajar membaca ketimbang anak-anak dari dusun sekitar Ciseel. Menurut Pak Barnas, anak-anak Ciseel yang belum bersekolah dan belum dapat membaca dapat berkunjung ke TBM di mana mereka dapat melihat-lihat buku-buku bergambar yang ada tulisannya. Berdasarkan pengamatan penulis selama di TBM, anak-anak Ciseel yang belum memasuki usia sekolah sering berkunjung ke TBM. Meski belum mampu membaca, anak-anak tersebut mengakses koleksi TBM berupa majalah dan buku bergambar. Penulis juga mengamati anak-anak usia pra-sekolah yang meniru suara anak-anak usia sekolah yang membaca 11
Wawancara dengan Pak Rusdi Saprudin di ruang guru MI Al-Hidayah Ciseel pada hari Rabu, 29 Mei 2013, pukul 09.45 hingga 12.00 WIB.
84
koleksi TBM dengan suara keras. Dalam kegiatan RGMH, anak-anak usia pra-sekolah juga turut bergabung. Meski mereka belum dapat membaca, keberadaan mereka di TBM merupakan wujud interaksi, yang berarti juga proses konstruksi makna, khususnya proses internalisasi, perihal kegiatan membaca. Perihal kesepakatan dan kepercayaan warga Ciseel mengenai manfaat TBM di Ciseel inilah yang hendak penulis sampaikan dalam bagian ini, khususnya mengenai bagaimana pengelola TBM membangun kepercayaan (trust) di tengah masyarakat Ciseel. Bahwa TBM dan berbagai aktivitas membaca dan menulis di dalamnya yang bermanfaat bagi anak-anak Ciseel merupakan alasan-alasan mengapa warga percaya dan mendukung TBM. TBM sebagai perpustakaan komunitas yang juga berstatus sebagai perpustakaan umum, berdasarkan perspektif teoritik tentang modal sosial, merupakan wahana membangun “generalized trust”.12 Kepercayaan yang dibangun di Ciseel, terkait keberadaan TBM, penulis temui dalam partisipasi warga Ciseel dalam aktivitas TBM. Restu warga Ciseel untuk pendirian TBM beserta pelaksanaan kegiatan RGMH merupakan modal awal Ubaidilah dalam menjalankan aktivitas yang dalam istilah Ubaidilah adalah sebuah pekerjaan sosial.13
12
Andreas Vårheim, Sven Steinmo, Eisaku Ide, “Do libraries …,” hlm. 877-892. Dalam perbincangan pada 16 Mei 2013, Ubaidilah bercerita pada penulis bahwa ia pernah dipanggil oleh seorang jawara. Jawara itu bertanya pada Ubaidilah mengenai pihak mana yang ada di belakang pendirian Taman Baca Multatuli. Jawara itu khawatir jika kegiatan TBM dan RGMH disusupi kepentingan tertentu, misalnya oleh partai politik. Ubaidilah menjelaskan pada jawara itu bahwa ia melakukan pekerjaan sosial, tidak dibayar. Penulis menyaksikan bagaimana Ubaidilah
13
85
Kepercayaan di kalangan warga Ciseel terus terbangun seiring kegiatan anak-anak di TBM yang intensif dalam membaca dan menulis. Keyakinan bahwa kegiatan membaca dan menulis itu baik turut menjadi landasan kepercayaan pada TBM. Selain percaya bahwa membaca itu baik, warga juga menaruh kepercayaan pada Ubaidilah sebagai pengelola TBM. Bentuk-bentuk kepercayaan itu terbukti pada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh TBM berupa perjalanan ke kawasan pemukiman Orang Kanekes. Para orang tua di Ciseel mengizinkan anak-anak mereka untuk mengikuti perjalanan tersebut karena percaya pada Ubaidilah. Bahkan untuk perjalanan yang lebih jauh lagi, yakni ke Ancol dan Dunia Fantasi di Jakarta, para orang tua juga memberikan izin. Bentuk partisipasi warga yang bersifat “monumental” adalah pembangunan tempat baru untuk TBM. Bermodal dana hibah sebesar Rp. 50 juta dari Tanoto Foundation melalui Kick Andy Foundation, Ubaidilah tak hanya membangun bangunan baru, namun juga sekaligus membangun modal sosial di Ciseel. Ubaidilah yang bersikap transparan mengenai dana hibah yang ia terima turut membangun trust di kalangan warga Ciseel.14 Dana hibah yang ia peroleh dijadikan modal untuk membeli bahan-bahan dalam mengadakan kegiatan-kegiatan di taman baca menggunakan biaya sendiri. Untuk menarik minat anak-anak, Ubaidilah selalu membeli makanan ringan untuk anak-anak yang hadir dalam kegiatan Reading Group Max Havelaar serta pembacaan novelet Saija tiap Rabu dan Kamis sore. Hal yang juga menarik adalah beberapa warga usia dewasa seperti Ketua RT Syarif dan seorang guru SMP, Pak Dadang, juga berpartisipasi dalam menyiapkan makanan ringan untuk anak-anak yang aktif di RGMH. 14 Selain kepada pemberi dana hibah dan warga Ciseel, Ubaidilah juga membagikan catatan proses pembangunan dan penggunaan dana hibah kepada rekan-rekan jaringan komunitas reading group melalui tulisan di blog resmi “Reading Multatuli” dan melalui surat elektronik. Pernyataan Ubaidilah Muchtar pada penulis dalam perbincangan pada 15 Mei 2013.
86
bangunan yang disediakan oleh warga. Dana yang dipakai untuk membeli bahan bangunan tersebut mereka sepakati menjadi uang kas Dusun Ciseel. Trust tersebut menjadi fondasi penting dalam proses pembangunan bangunan baru TBM. Berlandaskan trust tersebut warga Ciseel bersedia bergotong-royong dalam proses pembangunan. Gotong-royong merupakan salah satu wujud modal sosial dan gotong-royong di Ciseel dalam membangun TBM merupakan dua proses konstruksi sekaligus, yakni fisik maupun non-fisik. Secara fisik, gotong-royong warga Ciseel menghasilkan sesuatu yang bersifat konkret, yakni sebuah bangunan baru untuk TBM. Secara non-fisik, proses gotong-royong juga berarti bekerjanya modal sosial sekaligus terbangunnya trust di kalangan penduduk Ciseel. Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpukan bahwa TBM sebagai sebuah perpustakaan komunitas/umum merupakan sebuah institusi sosial yang dapat menjadi generator modal sosial. Peran TBM ini juga sesuai dengan teori “Transformative and Community-Based Library” (TCBL) yang diajukan oleh Riedler dan Eryaman. Dalam pendekatan TCBL, perpustakaan komunitas merupakan wahana pemberdayaan dan transformasi masyarakat. Poin mengenai pemberdayaan dan transformasi tersebut terbukti melalui transformasi pola aktivitas sosial sehari-hari anak-anak di Ciseel yang menjalani proses habitualisasi aktivitas membaca dan menulis semenjak kehadiran TBM di Ciseel. TBM juga turut membangun trust sebagai modal sosial di kalangan penduduk Ciseel yang kemudian
menggerakkan
warga
untuk
melakukan
gotong-royong
87
membangun TBM. Proses timbal-balik tersebut merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial yang mengonstruksi makna membaca di Ciseel. C.
Konstruksi Makna Membaca dalam Jaringan Komunitas Reading Group “Reading group ini membaca intensif. Anak-anak di kampung Ciseel ini bisa belajar sastra, mengenal sastra dunia, meskipun mereka berada di daerah yang tidak ada dalam peta. Namun pengetahuan mereka, bacaan mereka bacaan kelas dunia. Max Havelaar. Mengapa harus reading formatnya? Karena cara belajar sastra yang murah, massal, dan ada nilai sosialnya, ya reading group”.15 Asal-usul pembentukan RGMH adalah proses diskusi antara Ubaidilah dengan Sigit Susanto melalui jejaring sosial media di Internet. Cerita Sigit mengenai pengalaman ia terlibat dalam reading group yang membaca novel berjudul Ulysess karya James Joyce di kota Zürich, Swiss, menginspirasi Ubaidilah mendirikan sebuah kelompok membaca bersama karya sastra yang dapat merepresentasikan lokalitas Lebak Banten, yakni novel Max Havelaar karya Multatuli. Selain RGMH, Ubaidilah juga mengadakan pembacaan novelet Saija berbahasa Sunda dalam Reading Group Saijah-Adinda.16 Sigit Susanto yang kini berdomisili di negara Swiss adalah warga Indonesia asal Boja, Kendal, Jawa Tengah. Sigit yang adalah lulusan akademi bahasa asing di Semarang pada tahun 1988 ini sempat merantau ke Pulau Bali dan berprofesi sebagai pemandu wisata bagi turis berbahasa
15
Pernyataan Ubaidilah dalam film dokumenter profil TBM, berjudul “Rumah Multatuli” yang diproduksi oleh DAAI TV pada 2011. 16 Novelet Saija berbahasa Sunda merupakan versi terjemahan dalam bahasa Sunda dari Bab 19 novel Max Havelaar. Karena tipis, Reading Group Saija-Adinda sudah berkali-kali menamatkan novelet itu.
88
Jerman.17 Penulis tiga jilid buku berjudul “Menyusuri Lorong-lorong Dunia” yang berisi catatan perjalanan ke berbagai negara ini juga berperan sebagai pengelola sebuah grup diskusi di Internet berupa mailing-list bernama “APSAS” yang merupakan kependekan dari “Apresiasi Sastra”.18 Selain berdiskusi di dunia maya, grup APSAS beberapa kali mengadakan kegiatan yang juga bernama APSAS, yakni acara diskusi novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi serta esai. Berawal dari pengalaman dan gagasan Sigit mengenai reading group itulah kemudian berdiri RGMH. Dalam rentang tiga tahun kemudian muncul beberapa reading group di berbagai tempat. Saat penulis sedang melakukan penelitian ini pada medio Mei 2013, ada 16 reading group yang berjaringan dalam Komunitas Reading Group19, yakni: 1. Reading Group Novel Ulysess karya James Joyce di Yayasan James Joyce di Zürich, Switzerland. 17
Aris Mulyawan, “Sigit Susanto, Penulis “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” Membawa “Virus” Sastra Dunia ke Boja”, dalam www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/06/20/228331/Membawa-Virus-SastraDunia-ke-Boja, diakses tanggal 21 Juni 2013. 18 Istilah “Apresiasi Sastra” pernah digunakan oleh seseorang yang dianggap sebagai “guru” dan dijuluki sebagai “Presiden Malioboro” oleh para sastrawan Yogyakarta, yakni Umbu Landu Paranggi. Kegiatan apresiasi sastra atau sekadar ‘apresiasi’, Umbu adakan di berbagai tempat seperti gedung sekolah, kampus universitas, rumah orang, dan bahkan di wilayah pantai atau pegunungan. Pertemuan-pertemuan itu diisi dengan pembacaan puisi dan diskusi. Will Derks, Sastra …, hlm. 416. 19 Komunitas ini memiliki tempat berdiskusi di jejaring media sosial facebook pada alamat www.facebook.com/groups/270206816353578/. Pada akhir pekan ke-3 bulan September 2013, Ubaidilah menulis bahwa kini telah ada 17 buku yang dibaca dengan format reading group, kelompok pembaca ke-17 ialah Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) yang merupakan unit kegiatan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang mana Ubaidilah pernah menjadi aktivis unit kegiatan ini ketika masih sebagai mahasiswa UPI. UKSK menjadikan buku “Pendidikan Kaum Tertindas” karya Paulo Freire sebagai bahan bacaan bersama. Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/ubaidilah.muchtar/posts/10200632411241635, diakses tanggal 22 September 2013.
89
2. Reading Group Novel Max Havelaar karya Multatuli di Taman Baca Multatuli di Ciseel Lebak Banten. 3. Reading Group Novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway di Pondok Maos Guyub di Kendal, Jawa Tengah. 4. Reading Group Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari di Pondok Baca Ajar di Kenal, Jawa Tengah. 5. Reading Group Novel Animal Farm karya George Orwell di Komunitas Teater Angin di Victoria Park, Hongkong. 6. Reading Group Novel Jalan Raya Pos Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer di Gelaran Buku Jambu di Kediri, Jawa Timur. 7. Reading Group Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata di Rumahkata di Serang, Banten. 8. Reading Group Novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami di Komunitas Sahaja di Bali. 9. Reading Group Primbon Betaljemur Attasadhur Adammakna karya Harya Tjakraningrat di Gelaran Indonesia Buku di Yogyakarta. 10. Reading Group Novelet Saija karya terjemahan RTA Sunarya di Taman Baca Multatuli di Lebak, Banten. 11. Reading Group Novel The Castle karya Franz Kafka di Group Membaca Karya Franz Kafka di Facebook.20 12. Reading Group Novel Gadis Jeruk karya Jostein Gaarder di Rumah Baca Tikungan di Jember, Jawa Timur. 13. Reading Group Novel Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma di Dbuku Bibliopolis, di Surabaya. 14. Reading Group Novel Ibunda karya Maxim Gorky di Facebook.21 15. Reading Group Novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi. 16. Reading Group Novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer di Bandung. Para pegiat reading group yang aktif dalam grup diskusi di jejaring sosial facebook “Komunitas Reading Group” memiliki slogan-slogan khas. Slogan-slogan tersebut selalu diulang-ulang, semacam upaya 20 21
Pada alamat www.facebook.com/groups/252713648090123/. Pada alamat www.facebook.com/groups/267887679981742/.
90
internalisasi nilai-nilai baik dari reading group. Istilah-istilah dan sloganslogan khas itu ialah: “Reading Group terus menular bagai virus yang tak ada obatnya. Membuat Anda kecanduan. Kecanduan yang intelek”.22 “Reading Group bisa membuat Anda kecanduan. Kecanduan yang baik, yang positif, yang intelek”.23 Penulis hendak membahas lebih lanjut istilah-istilah dalam sloganslogan tersebut. Istilah “virus” mengandaikan bahwa kegiatan “reading group” ibarat sesuatu yang bersifat menular; dapat menimbulkan ketagihan, oleh karena itu seperti orang yang kecanduan; kegiatan tersebut juga dipercaya bersifat baik, positif, dan intelek. Sebagaimana analisis atas interaksi sosial yang melibatkan simbol-simbol dan slogan-slogan yang terjadi di TBM, penulis kembali menemukan bahwa proses internalisasi nilai-nilai juga terjadi di Komunitas Reading Group. Nilai-nilai yang disampaikan melalui slogan-slogan mengenai sisi baik dari aktivitas membaca. Khususnya mengenai istilah “virus”, penulis menemukan istilah tersebut digunakan berkali-kali dalam komunitas reading group dan ulasan mengenai komunitas ini. Dalam pandangan penulis, virus yang dimaksud itu ialah gagasan mengenai kegiatan reading group. Sebagaimana umumnya penggunaan istilah virus yang berarti sesuatu yang bersifat 22
Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/337326069641652/, diakses tanggal 30 Juni 2013. 23 Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/422671031107155/, diakses tanggal 30 Juni 2013.
91
menyebar dan menyebabkan orang-orang di suatu wilayah yang “dihinggapi” virus itu kemudian tertular, virus reading group menjadi metafor yang tepat bila menyaksikan pertumbuhan beberapa reading group di berbagai kawasan yang telah “tertular” virus gagasan reading group. Istilah virus ini juga digunakan oleh salah seorang jurnalis yang menulis tentang kiprah Sigit Susanto yang telah membawa virus sastra dunia ke Boja.24 Virus reading group dari penulis buku “Menyusuri Lorong-lorong Dunia” ini pun mempengaruhi seorang mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Nusantara PGRI Kediri bersama rekan-rekannya membentuk Reading Group Jalan Raya Pos Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer.25 Keterangan bahwa ide awal pembentukan reading group berasal dari Sigit yang mengetahui bentuk kegiatan membaca bersama itu dari sebuah kota di Swiss dapat menggiring anggapan bahwa reading group merupakan ide yang diimpor dari Swiss sehingga tak punya akar sejarah dan budaya di Indonesia. Bagi penulis, adalah benar bahwa gagasaan awal pembentukan reading group datang dari Sigit yang ia adopsi dari Swiss, namun kenyataan bahwa reading group dapat tumbuh di Indonesia perlu diperiksa lagi. Khususnya perihal bagaimana sebuah ide dari negeri asing,
24
Aris Mulyawan, “Sigit …”. Di bawah sub judul “Dari Inspirasi Menuju Aksi”, penggagas Reading Group Jalan Raya Pos Jalan Daendels itu mengaku bahwa ide pendirian reading group muncul setelah membaca buku “Menyusuri Lorong-lorong Dunia Jilid 2” karya Sigit Susanto. Ahmad Ikhwan Susilo, “Perjamuan Buku di Sudut Perpustakaan”, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/doc/318651024842490/, diakses tanggal 30 Juni 2013. Dokumen tersebut merupakan pemuatan ulang tulisan dalam majalah mahasiswa UNP Kediri, Buletin Djiwa. 25
92
dengan budaya yang tentu saja berbeda, dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia. Untuk menjawab persoalan tersebut, penulis menggunakan pendekatan teoritik mengenai kelisanan dan keberaksaraan dalam konteks sejarah-budaya Indonesia sebagaimana diulas oleh beberapa penulis dari bidang ilmu budaya, khususnya bahasa dan sastra. Berdasarkan pendapat orang-orang tersebut, penulis hendak menunjukkan bahwa ide reading group dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia karena wujud kegiatan tersebut sesuai dengan tradisi masyarakat terkait kelisanan dan keberaksaraan. Penulis akan mulai menganalisis mengenai kaitan antara reading group dan tradisi kelisanan-keberaksaraan masyarakat Indonesia dengan terlebih dahulu mengidentifikasi karakter reading group sebagaimana penggagas dan pegiat reading group menunjukkan karakter kegiatan membaca bersama ini. Bagian pengantar penyunting dalam buku karya Sigit Susanto, “Menyusuri Lorong-lorong Dunia Jilid 3”, memuat tanya-jawab antara Sigit Susanto dengan penyunting buku itu mengenai berbagai hal terkait buku-buku yang Sigit tulis, maupun persoalan di luar isi buku. Dalam bagian tersebut Sigit menjawab pertanyaan mengenai dirinya yang juga dikenal sebagai orang yang dekat dengan perpustakaan komunitas.26 Khusus mengenai reading group, Sigit menjawab sebagai berikut: “Format Reading Group ini punya ciri-ciri murah, sosial, dan intensif. Murah, karena gratis dan praktiknya mudah. Sosial, 26
Sigit Susanto, Menyusuri …, hlm. xiii.
93
karena melibatkan massa. Ini menentang arus, biasanya orang belajar sastra secara individual semata. Intensif, karena superlelet, bukan yang serba cepat”. Dalam berbagai wawancara dan ruang diskusi “Komunitas Reading Group”, Ubaidilah sering menyebut tiga ciri reading group, yakni: murah, massal, dan ada nilai sosialnya. Tiga ciri tersebut menunjukkan bahwa membaca bukanlah suatu aktivitas yang pada umumnya dilakukan sendirian. Beberapa penulis menyamakan antara kegiatan reading group dengan kegiatan mengaji.27 Pegiat Reading Group Jalan Raya Pos Jalan Daendels punya istilah “Tadarus Sastra” untuk menyebut
kegiatan
mereka
membaca
bersama.
Ubaidilah
juga
menggunakan istilah “khatam” untuk menjelaskan bahwa para peserta reading group di Ciseel sudah menamatkan bacaan mereka. Dalam dialog mengenai apa itu reading group di halaman facebook “Taman Baca Multatuli”, Ubaidilah menulis sebagai berikut28: “Ya, reading group mengaji seperti di surau. Namun yang dibaca novel. Satu orang membaca kalimat demi kalimat. Peserta memegang novel yang sama. Jika bertemu kata atau kalimat yang belum dipahami didiskusikan. Bahkan diperagakan. Maka di taman baca multatuli ada lesung, caping, ikat kepala, dll. Sebab di Max Havelaar disebutkan. Itu sebagai alat peraga. Membaca menjadi mengasyikkan. Membaca mendakam [sic]. Terus menerus demikian”.
27 Hervin Saputra dan Angga Haksoro, “Kelompok Membaca Multatuli (1). Mengaji Max Havelaar”, dalam www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2654, diakses tanggal 30 Juni 2013; Niduparas Erlang, “Pengajian yang Lain”, dalam http://niduparas.blogspot.com/2013/05/pengajian-yang-lain.html, diakses tanggal 30 Juni 2013. Tulisan Erlang ini pertama kali dimuat dalam rubrik “Editorial” di Tabloid Banten Muda, edisi 16 Mei 2013. Penggunaan istilah-istilah khas ini menunjukkan perihal ajaran agama Islam yang mewarnai pandangan umum mengenai kegiatan membaca bersama. 28 Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=548142671896296&id=190962834280950, diakses tanggal 28 Juni 2013.
94
Ubaidilah berkali-kali menulis tentang ciri-ciri reading group. Di bawah ini penulis muat beberapa kutipan tulisan Ubaidilah mengenai karakter reading group. “Salam Sastra. Reading Group cara belajar sastra yang murah, massal, dan ada nilai sosialnya”.29 “Salam Reading Group. RG cara belajar sastra yang bisa dilakukan di mana saja, murah, massal, dan ada efek sosialnya. Mengajarkan sastra dengan menyenangkan. Membaca novel dengan murah meriah. Mengenalkan sastra dunia kepada masyarakat”.30 “RG MH, RG TOMATS, RG JRPJL, RG RDP, RG LP, RG NW, RG AF mengajarkan sastra dengan sesama”.31 “Reading group membaca rombongan. Tidak bikin introvertir [sic]. Mungkin inilah bagian dari sastra yang partisifatif [sic]”.32 “Berbahagia kawan-kawan yang memiliki komunitas. Tempat bertemu dan berkumpul warga sekitar. Juga anak-anak dan pemuda. Maka Reading Group bisa dimulai dengan pelan dan sepenuh yakin dilaksanakan. Bagi yang sudah memulai, menjaga agar tetap berlangsung adalah suatu keniscayaan, tentu!”33 “Reading Group cara belajar sastra yang murah, massal, dan ada nilai sosialnya. Reading Group cara belajar sastra yang murah sebab dapat dilaksanakan di mana saja dan gratisan. Massal karena dapat diikuti oleh banya [sic]orang. Jadi belajar sastra tidak selalu sukar dan ekslusif [sic], masyarakat biasa bisa mengakses sastra--dalam hal ini novel di perpustakaan 29
Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/342328202474772/, diakses tanggal 28 Juni 2013. 30 Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/422671031107155/, diakses tanggal 28 Juni 2013. 31 Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/274209919286601/, diakses tanggal 28 Juni 2013. 32 Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/571466799560910/, diakses tanggal 28 Juni 2013. 33 Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/485482811492643/, diakses tanggal 28 Juni 2013.
95
atau taman baca atau komunitas yang di dalamnya ada reading group. Di sana letak sosialnya”.34 Mencermati istilah-istilah khas yang digunakan para penggagas dan pegiat reading group dalam menjelaskan dan menggambarkan karakter reading group, penulis menyimpulkan bahwa kelompok membaca ini merupakan sebuah aktivitas yang memiliki ciri-ciri kelisanan sekaligus keberaksaraan. Kesimpulan tersebut penulis tarik dari penjelasan mengenai ciri-ciri kelisanan dan keberaksaraan. Teeuw menjelaskan bahwa perbedaan antara kelisanan dan keberaksaran berdasarkan pada sarana komunikasi yang digunakan dalam dua tipe komunikasi tersebut. Dalam kelisanan, suaralah yang menjadi sarana komunikasi yang terpenting, suara yang dihasilkan oleh mulut langsung disambut oleh kuping.35 Pola komunikasi kelisanan berbeda dengan mata yang menjadi indera utama dalam keberaksaraan. Perbedaan yang menonjol antara penglihatan dan pendengaran: penglihatan (dan pembacaan sebagai aktivitas yang khusus ditentukan oleh penglihatan) memecahbelahkan dan mengindividualisasikan, sedangkan pendengaran, sound, mempersatukan. Hal ini juga jelas dari contoh sederhana tentang komunikasi dalam sekolah atau pada kesempatan ceramah: kalau para guru atau penceramah berbicara; seluruh audience, para pendengar, langsung ikut menanggapi dan menghayati kata dan pikiran pembicara.
34
Ubaidilah Muchtar, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/408117105895881/, diakses tanggal 28 Juni 2013. 35 A. Teeuw, Indonesia …, hlm. 21-22.
96
Namun dalam situasi membaca, misalnya murid masing-masing membaca sendiri buku bacaan, terjadi proses pemecahbelahan dalam kelas. Walaupun teks yang mereka baca sama, namun jalan pikiran, pemahaman, penghayatan murid-murid belum tentu mengikuti jalan yang sama. Suara mempersatukan dan memadukan, penglihatan memecahbelahkan dan mengindividualisasikan.36 Pandangan teoritik Teeuw kemudian dilanjutkan oleh Derks yang mengamati perkembangan sastra Indonesia modern. Derks beranggapan bahwa usaha untuk mengukur kemajuan sastra Indonesia berdasarkan jumlah judul buku baru, atau besarnya tiras buku sastra, merupakan suatu usaha yang keliru. Dengan berpegang pada jumlah judul-judul buku baru, orang telah (salah) menempatkan sastra Indonesia mutakhir dalam tradisi keberaksaraan-cetak (print literacy)37, sementara sastra Indonesia mutakhir akan dipahami dinamikanya kalau ditempatkan dalam tradisi kelisanan.38 Menurut Derks, aktivitas sastra yang khas di Indonesia tidak seperti di negara-negara yang sudah benar-benar membatinkan budaya cetak selama berabad-abad, yang mana novel sebagai ikon budaya cetak dibaca secara menyendiri dalam diam. Aktivitas sastra di Indonesia marak oleh kegiatankegiatan yang melibatkan banyak orang, seperti pembacaan puisi, diskusi cerpen, dan berbagai kegiatan yang menjadikan suara sebagai media 36
Ibid., hlm. 26-27. Analisis mengenai keberaksaraan, khususnya perkembangan sastra, dalam masyarakat Indonesia yang menggunakan indikator pertumbuhan jumlah produk cetak buku-buku sastra merupakan pendekatan yang sering dipakai oleh beberapa penulis yang juga sastrawan sebagaimana terekam dalam Jurnal Prisma no. 4, thn. VIII, April 1979 dengan tema “Siapa Masih Membaca Sastra?” dan Prisma no. 8, thn. XVIII, 1988 yang bertema “Sastera dan Masyarakat Orde Baru”. 38 Will Derks, “Pengarang …,” hlm. 90-91.
37
97
komunikasi. Karena sastra di Indonesia sebenarnya adalah sesuatu yang dinikmati bersama.39 Kenyataan semacam itulah yang menurut Kleden bahwa aktivitas sastra di Indonesia mencerminkan bahwa kelisanan dan keberaksaraan bukanlah dua tradisi yang mutually exclusive atau saling menolak, tetapi lebih merupakan dua tradisi yang justru saling bergandengan (mutually inclusive).40 Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa reading group sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pegiat komunitas reading group di Indonesia, khususnya RGMH di Ciseel41, pada satu sisi berakar pada keberaksaraan yang menjadikan novel sebagai produk budaya cetak dan sisi lain berakar pada kelisanan yang bersifat sosial, komunal, dan partisipatoris. D.
Tiga Level Konstruksi Makna Membaca Penulis mengilustrasikan pola konstruksi makna membaca pada tiga level tersebut di atas seperti piramida terbalik. Pada tataran mikro, TBM menjadi medan interaksi antara pengelola TBM dengan anak-anak
39
Ibid. Ignas Kleden, Buku …, hlm. 32. 41 Dalam perhelatan “Ciseel Day 3” pada 27-28 April 2013 yang mana penulis hadir, kegiatan RGMH menjadi salah satu mata acara dalam rangkaian perayaan tersebut. RGMH tersebut memang tak seperti biasanya, namun ketidakbiasaan tersebut menurut penulis justru mempertegas perihal fenomena RGMH sebagai wujud praktik kelisanan dan keberaksaraan dalam bentuk kegiatan apresiasi sastra. RGMH tersebut dilakukan di atas panggung terbuka yang berada di tengah jalan utama Dusun Ciseel sehingga menjadi tontonan bagi warga Ciseel dan para tamu. Aspek kelisanan RGMH ini menjadi semakin jelas karena pemandu RGMH menggunakan pengeras suara saat membaca novel sehingga suaranya terdengar seantero Ciseel. Fenomena tersebut mengingatkan penulis pada catatan Teeuw mengenai “sastra untuk diperdengarkan” atau “sastra sebagai performing art” ketika menceritakan pengalamannya tentang acara “Pesta Api Empat Penyair: Dramatic reading. Poetry Singing” di Yogyakarta. Kendati Teeuw tak dapat hadir dalam acara tersebut, ia mengaku dapat mendengar acara tersebut secara langsung lantaran penggunaan pengeras suara, sehingga suara dalam acara sastra tersebut terdengar hingga ke pelosok kampus UGM Bulaksumur. A. Teeuw, Indonesia …, hlm. 292. 40
98
Ciseel dalam proses membangun makna bahwa membaca adalah kegiatan yang baik. Pada tingkatan meso atau pertengahan dengan bidang yang lebih luas adalah level konstruksi makna membaca pada tataran masyarakat Ciseel yang percaya bahwa membaca adalah kegiatan yang baik dan keberadaan TBM bermanfaat bagi masyarakat. Level makro adalah jaringan Komunitas Reading Group yang sekaligus menjadi cermin perihal makna membaca bersama dalam konteks yang lebih luas, yakni budaya masyarakat Indonesia yang tak memisahkan antara kelisanan dan keberaksaraan. Pada level ini, membaca juga diyakini sebagai kegiatan yang baik dan bermanfaat. Ilustrasi pola konstruksi makna membaca pada tiga level tersebut terlihat sebagaimana gambar 5.1. Gambar 5.1. Jaringan Komunitas Reading Group
Masyarakat Ciseel
Taman Baca Multatuli
Tiga Level Konstruksi Makna Membaca di Taman Baca Multatuli
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan
pembahasan
pada
bab-bab
di
atas,
penulis
membangun kesimpulan bahwa konstruksi makna membaca di Taman Baca Multatuli Ciseel Sobang Lebak Banten terdiri atas tiga level, yakni pada tataran Taman Baca Multatuli, tataran masyarakat Ciseel, dan tataran jaringan Komunitas Reading Group. Berikut ini penjelasan atas konstruksi makna membaca pada masing-masing level tersebut: Pertama, konstruksi makna membaca pada level Taman Baca Multatuli dibangun berdasarkan interaksi sosial antara pengelola TBM sekaligus pemandu RGMH dengan anak-anak yang berkunjung ke TBM serta peserta RGMH. Proses konstruksi makna tersebut berlangsung dalam interaksi sehari-hari, kegiatan rutin membaca novel Max Havelaar dan novelet Saija, serta dalam berbagai aktivitas yang menjadi program TBM seperti menulis buku harian, menulis catatan perjalanan, serta perayaan Ciseel Day. Makna membaca dibangun berdasarkan keyakinan bahwa membaca merupakan kegiatan yang baik. Hal tersebut tercermin dalam slogan-slogan “Buku adalah Jendela Informasi Dunia” dan “Buku adalah Gudang Ilmu, Membaca Kuncinya”. Selain dua slogan utama tersebut, peneguhan keyakinan bahwa membaca merupakan kegiatan yang baik juga dilakukan oleh anak-anak Ciseel melalui berbagai imbauan dan ajakan untuk rajin membaca di TBM sebagaimana tercantum dalam buku
100
catatan harian mereka serta buku kesan-pesan mengikuti RGMH. Proses konstruksi makna membaca di TBM inilah yang menciptakan kenyataan sosial berupa transformasi pola aktivitas anak-anak Ciseel yang sebelumnya melakukan berbagai aktivitas seperti bermain ke sawah dan hutan berubah menjadi kunjungan ke TBM dan melakukan aktivitas membaca dan bermain di perpustakaan komunitas ini. Kedua, masyarakat Ciseel meyakini bahwa keberadaan TBM berdampak baik pada anak-anak. Pengarahan para orang tua kepada anakanak mereka agar aktif di TBM serta mengikuti kegiatan RGMH merupakan wujud kepercayaan warga Ciseel kepada pengelola TBM. Para orang tua juga memberi kepercayaan pada pengelola TBM yang mengajak anak-anak mereka melakukan kegiatan perjalanan ke luar Ciseel. Proses membangun kepercayaan berlangsung secara timbal-balik, salah satu bentuknya ialah pengelola TBM yang bersikap transparan dalam mengelola dana hibah sebagai modal membangun bangunan untuk TBM dan dukungan warga dalam bergotong-royong membangun TBM. Dengan demikian, TBM sebagai perpustakaan komunitas/umum juga berperan sebagai institusi sosial yang membangun generalized trust dalam masyarakat Ciseel. Terbangunnya modal sosial berupa kepercayaan warga Ciseel pada TBM sekaligus menjadi cermin perihal kepercayaan warga bahwa membaca merupakan aktivitas yang baik. Proses timbal-balik antara warga Ciseel dan pengeloa TBM dalam membangun trust paralel dengan proses konstruksi makna membaca di Ciseel.
101
Ketiga, makna membaca dalam jaringan Komunitas Reading Group memiliki ciri-ciri khas belajar dan apresiasi sastra yang bersifat sosial, komunal, dan partisipatoris. Ciri-ciri khas tersebut dibangun bersama oleh para pegiat dalam jaringan Komunitas Reading Group. Penggunaan istilah-istilah khas dalam tradisi Islam seperti “mengaji” dan “tadarus” menunjukkan bahwa ajaran Islam mewarnai pandangan para pegiat dalam jaringan Komunitas Reading Group dalam membangun makna membaca sebagai suatu kegiatan bersama. Dalam konteks budaya, membaca bersama dalam reading group merupakan wujud persilangan antara kelisanan dalam hal melibatkan banyak orang, serta keberaksaraan dalam hal menjadikan novel sebagai bahan bacaan. B.
Saran-saran Selama proses penelitian di Ciseel, penulis mengamati kegiatan TBM, khususnya RGMH, berfokus pada anak-anak usia SD dan SMP. Hal tersebut menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi anak-anak usia lulusan SMP untuk bergabung. Hal tersebut, dalam pandangan penulis, dapat berisiko mengikis kebiasaan membaca pada anak-anak yang sudah lulus SMP, karena tak ada aktivitas yang dapat mengakomodasi mereka untuk tetap aktif dalam kegiatan di TBM, dengan demikian dapat mengondisikan mereka untuk tetap memiliki kegiatan rutin membaca. Penulis juga mengamati munculnya kekhawatiran pengelola TBM dan pegiat dalam jaringan Komunitas Reading Group semenjak Ciseel dialiri listrik sehingga anak-anak mulai memiliki kebiasaan menonton televisi yang
102
dikhawatirkan dapat menyita waktu yang sebelumnya mereka isi dengan kegiatan membaca. Persoalan ketiga berdasarkan pengamatan serta diskusi penulis dengan Ubaidilah Muchtar dan Sigit Susanto mengenai peran Ubaidilah yang sendirian dalam mengelola TBM dan RGMH. Menurut penulis, persoalan tersebut berisiko macetnya aktivitas TBM dan RGMH apabila Ubaidilah tak hadir di Ciseel. Kekhawatiran juga disampaikan oleh Sigit Susanto mengenai risiko Ubaidilah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang suatu saat dapat dipindahtugaskan ke tempat lain. Untuk persoalan-persoalan tersebut, penulis mengajukan saransaran berikut ini: 1. Pengelola Taman Baca Multatuli perlu mengadakan kegiatan yang dapat mengakomodasi anak-anak usia lulusan SMP agar mereka memiliki aktivitas rutin di TBM. Aktivitas rutin tersebut diharapkan dapat menjaga kebiasaan membaca yang sudah terbangun. 2. Pengelola Taman Baca Multatuli perlu melakukan kaderisasi dengan cara melibatkan anak-anak Ciseel yang aktif di TBM dan RGMH serta memiliki potensi untuk menjadi pembimbing bagi anak-anak yang lain dalam berbagai kegiatan. Upaya kaderisasi ini bertujuan mengantisipasi kemacetan aktivitas TBM dan RGMH apabila Ubaidilah tak dapat hadir di Ciseel
103
atau bahkan bila Ubaidilah dipindahtugaskan dari sekolah tempat ia bekerja saat ini. 3. Saran terakhir ini penulis tujukan kepada para pembaca tesis ini. Semenjak listrik masuk yang menjadikan televisi hadir di ruang-ruang keluarga warga Ciseel, patut diduga bahwa media elektronik ini berdampak pada upaya habitualisasi kegiatan membaca. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut agar kelak dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana upaya habitualisasi kegiatan membaca pada anakanak di tengah daya tarik media elektronik. C.
Relevansi dan Refleksi untuk Teori-Praktik Kepustakawanan Dalam Bab II tentang kerangka teori penulis memuat beberapa tinjauan kritis terhadap praktik pengelolaan perpustakaan di Indonesia. Beberapa kritik tersebut ditujukan pada kecenderungan pengelola dan pengelolaan perpustakaan yang lebih berorientasi teknis, yang melingkar seputar aktivitas mengumpulkan, menyimpan, dan menemukan kembali koleksi.
Kecenderungan
teknis
tersebut
menyebabkan
pengelola
perpustakaan mengabaikan aspek manusiawi dan kenyataan sosial-budaya yang melingkupi perpustakaan. Hal tersebut kemudian berdampak pada citra perpustakaan yang kaku dan tak menyenangkan. Itulah mengapa kemudian
beberapa
anggota
masyarakat
berinisiatif
mendirikan
perpustakaan-perpustakaan komunitas dengan beragam sebutan seperti taman bacaan, pondok baca, rumah baca, rumah pintar, dan berbagai
104
sebutan lain yang dianggap lebih ramah sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk berkunjung. Menurut penulis, pengelola perpustakaan dan akademisi bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IP&I) perlu membaca berbagai kritik tersebut sebagai bahan refleksi mengenai pengelolan perpustakaan selama ini dan kemudian menjadikannya sebagai acuan untuk melakukan reorientasi pendidikan IP&I supaya dapat lebih adaptif terhadap kenyataan sosial-budaya. Usulan semacam ini pernah muncul dalam suatu diskusi mengenai tantangan kepustakawanan Indonesia masa kini.1 Usulan tersebut berlandaskan pada kritik terhadap kecenderungan pendidikan IP&I yang berfokus pada pengembangan keterampilan teknis penyediaan perangkat informasi sehingga menjadikan pustakawan lebih banyak berkutat pada urusan teknis mengelola fasilitas akses informasi. Perlu ada upaya mengubah orientasi pendidikan IP&I yang membekali calon pengelola perpustakaan dengan pengetahuan dan keterampilan sosial, sehingga mereka kelak banyak bersikap sebagai aktivis sosial-budaya ketimbang sebagai ahli-ahli teknis.2
1
Putu Laxman Pendit, “Dari Cicak vs Buaya sampai Pencitraan Hari Kiamat: Tantangan Kepustakawanan Indonesia”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar “Libraries and Freedom” di Petra Toga Mas Surabaya, tanggal 8 Desember 2009, hlm. 11. 2 Perihal kecenderungan teknis ini tak lepas dari sejarah perpustakaan di Indonesia yang merupakan warisan tradisi kepustakawanan kolonial dengan sistem tertutup dan katalogisasi yang tertib. Pendidikan bagi calon pengelola perpustakaan pada masa awal Indonesia merdeka yang menangani kelanjutan kepustakawanan peninggalan Belanda pun diarahkan untuk meneruskan tradisi tersebut. Putu Laxman Pendit, “Profesionalisme Pustakawan Pelat-Merah. Analisa kritis tentang hubungan antara Ikatan Pustakawan Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia”, dalam http://www.pnri.go.id/Attachment/LiteraturKelabu/Dr.%20Putu%20Laxman%20Pendit.pdf, diakses tanggal 22 September 2013.
105
Kritik sekaligus usulan tersebut di atas sesuai dengan pendapat Riedler dan Eryaman mengenai perpustakaan komunitas transformatif. Perpustakaan yang selama ini dikelola sebagai sebuah institusi sosial yang netral ala positivisme telah menjadikan perpustakaan sebagai institusi yang terpisah dengan dunia sosial di sekitarnya. Dengan demikian gagasan Riedler dan Eryaman mengenai “Transformative and Community-Based Library” (TCBL) yang mana perpustakaan komunitas sebagai wahana pemberdayaan untuk transformasi masyarakat menjadi relevan untuk diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak, Hasil Sensus Penduduk 2010. Data Agregat per Kecamatan Kabupaten Lebak, Lebak: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak, 2011.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990.
Daurie, Akhmad, Rekaman Perjalanan: Dari Ciseel Menghentak Dunia, dalam Ubaidilah Muchtar (ed.), Rumah Multatuli. Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli, Lebak: Taman Baca Multatuli, 2012.
Derks, Will, Sastra Pedalaman: Pusat-pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia, dalam Keith Foulcher dan Tony Day (eds.), Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial: edisi revisi ‘Clearing a Space’, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008, hlm. 401-430.
Faisal, Sanapiah, Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif, dalam Burhan Bungin (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Kleden, Ignas, Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan, dalam Alfons Taryadi (ed.), Buku dalam Indonesia Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Laksmi, Interaksi, Interpretasi, dan Makna. Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya, Jakarta: Karya Putra Darwati, 2012.
Muchtar, Ubaidilah (ed.), Rumah Multatuli. Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli, Lebak: Taman Baca Multatuli, 2012.
Pamuji, “Model Pembinaan Minat Baca di Taman Bacaan Masyarakat Cakruk Pintar Nologaten Yogyakarta”, Tesis S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.
107
Pendit, Putu Laxman, Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi: Sebuah Pengantar Diskusi Epistemologi dan Metodologi, Jakarta: JIP-FSUI, 2003.
___________________, Mata Membaca Kata Bersama, Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2007.
___________________, “Dari Cicak vs Buaya sampai Pencitraan Hari Kiamat: Tantangan Kepustakawanan Indonesia”, Paper dipresentasikan dalam acara Seminar “Libraries and Freedom” di Petra Toga Mas Surabaya, tanggal 8 Desember 2009.
___________________, “Apa yang dimaksud dengan Ilmu Perpustakan dan Informasi – sebuah diskusi berkesinambungan”, dalam Putu Laxman Pendit (ed.), Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional Information for Society: Scientific Point of View, Jakarta: ISIPII dan PDII LIPI, 2011.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Studi tentang Perkembangan Taman Bacaan Masyarakat di Indonesia, Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2010.
Riedler, Martina dan Mustafa Yunus Eryaman, Transformative Library Pedagogy and Commnunity-Based Libraries: A Freirean Perspective, dalam Gloria J. Leckie, Lisa M. Given, dan John E. Buschman (eds.), Critical Theory for Library and Information Science. Exploring the Social from across the Disciplines, Santa Barbara: Libraries Unlimited, 2010.
Salim, Agus dan Ali Formen, Pengantar Berpikir Kualitatif. Menuju Objektivitas Penelitian Sosial di Indonesia, dalam Agus Salim (ed.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005.
Susanto, Sigit, Menyusuri Lorong-lorong Dunia Jilid 3, Yogyakarta: Insist Press, 2012.
108
Syihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1995.
Teeuw, A, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994.
Tim Peneliti Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Laporan Penelitian Pemetaan Minat Baca Masyarakat di Tiga Provinsi: Sulawesi Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan. Program Sinergi Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2007.
JURNAL Derks, Will, “Pengarang Indonesia sebagai Tukang Cerita”, dalam Jurnal Kalam, No. 11, 1998, hlm. 90-100.
Ginting, Vera, “Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia serta Minat Baca Murid”, dalam Jurnal Pendidikan Penabur, No.04, Th.IV, Juli 2005.
Mulyana, Yaya, “Dimensi Gerakan dalam Proses Pembentukan Propinsi Banten”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, No. 1, Vol. 5, Juli 2001, hlm. 61-90.
Vårheim, Andreas, Sven Steinmo, dan Eisaku Ide, “Do libraries matter? Public libraries and the creation of social capital”, dalam Journal of Documentation, Vol. 64, No. 6, 2008, hlm. 877-892.
FILM DOKUMENTER Tandiono, Mansjur dan Hong Tjhin, “Rumah Multatuli”. Produksi DAAI TV, 2011.
109
WEB Badan Pusat Statistik, “Penduduk Indonesia Menurut Desa. Hasil Sensus Penduduk 2010”, dalam http://bps.go.id/download_file/Penduduk_Indonesia_menurut_desa_SP201 0.pdf. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Badan
Pusat Statistik, “Statistik Indonesia 2012”, dalam www.bps.go.id/hasil_publikasi/si_2012/index3.php?pub=Statistik%20Indo nesia%202012. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Claridge, Tristan, “Definitions of Social Capital”, dalam www.socialcapitalresearch.com/literature/definition.html. Akses tanggal 13 Juni 2013.
Departemen Pendidikan Nasional, “Panduan Pelaksanaan Pengembangan SDSMP Satu Atap”, dalam http://issuu.com/downloadbse/docs/panduan_pelaksanaan_satap_2008_buku_biru_final. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Erlang,
Niduparas, “Pengajian yang Lain”, http://niduparas.blogspot.com/2013/05/pengajian-yang-lain.html. tanggal 30 Juni 2013.
dalam Akses
Håklev, Stian, “Mencerdaskan Bangsa – Suatu Pertanyaan Fenomena Taman Bacaan di Indonesia”, dalam http://eprints.rclis.org/12294/2/Mencerdaskan_Bangsa__bahasa_Indonesia.pdf. Akses tanggal 26 Juni 2013.
Irkham, Agus M, “Matabaru Gerakan Membaca”, http://indonesiabuku.com/?p=3760. Akses tanggal 26 Juni 2013.
dalam
Kamil, Harkrisyati, “The Growth of Community-based Library Services in Indonesia to Support Education”, Paper dipresentasikan dalam Konferensi International Federation of Library Assosiation (IFLA), 1-9 Agustus 2003 di Berlin. Paper ini dimuat dalam http://eprints.rclis.org/5007/. Akses tanggal 26 Juni 2013.
110
Kementerian Pendidikan Nasional, “Renstra Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, dalam http://kemdikbud.go.id/dokumen/pdf/renstra. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Kementerian Pendidikan Nasional, “Sastra”, dalam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Mulyawan, Aris, “Sigit Susanto, Penulis “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” Membawa “Virus” Sastra Dunia ke Boja”, dalam www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/06/20/228331/Me mbawa-Virus-Sastra-Dunia-ke-Boja. Akses tanggal 21 Juni 2013.
Murwani, Christina Dwi Tri, “Max Havelaar dan Citra Antikolonial. Sebuah Tinjauan Postkolonial”, dalam www.maspaul.com/Christina%20Dewi%20Tri%20Murwani.pdf. Akses tanggal 20 Juni 2013.
Noya, Andy F, “Multatuli dari Dusun Ciseel”, dalam www.kickandy.com/corner/5/21/2293/read/Multatuli-dari-Dusun-Ciseel. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Pemerintah Kabupaten Lebak, “Data BPS Kab. Lebak 2008”, dalam www.lebakkab.go.id. Akses tanggal 27 Juni 2013.
________________________, “Indeks Pembangunan Manusia Kab. Lebak Th. 2010”, dalam www.lebakkab.go.id/files/IPM%20Lebak%202010.pdf. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Pusat Data dan Statistik Pendidikan, “APK dan APM 2009/2010”, dalam www.pdsp.kemdiknas.go.id/Pages/DaftarAPKdanAPM.aspx. Akses tanggal 27 Juni 2013.
Putu Laxman Pendit, “Membaca sang Pembaca”, dalam http://iperpin.wordpress.com/2009/03/20/membaca-sang-pembaca/. Akses tanggal 25 Juni 2013.
111
___________________, “Tentang Membaca – Sebuah tinjauan kritis terhadap pandangan dominan”, dalam http://indonesiabuku.com/?p=10639. Akses tanggal 25 Juni 2013.
___________________, “Profesionalisme Pustakawan Pelat-Merah. Analisa kritis tentang hubungan antara Ikatan Pustakawan Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia”, dalam http://www.pnri.go.id/Attachment/LiteraturKelabu/Dr.%20Putu%20Laxm an%20Pendit.pdf. Akses tanggal 22 September 2013.
Putri, Savira Anchatya, “Peningkatan Minat Baca dan Budaya Baca Masyarakat: Upaya Forum Indonesia Membaca dalam bersinergi menuju Masyarakat Melek Informasi”, dalam http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20160927RB13S42pe-Peningkatan%20minat.pdf. Akses tanggal 26 Juni 2013.
Ragil Nugroho, “Denyar Max Havelaar di Bumi Manusia (Sebuah Percobaan Mengenal Dua Sosok: Multatuli dan Pramoedya)”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2011/05/oleh-ragil-nugroho-1-sastrayang.html. Akses tanggal 20 Juni 2013.
Saputra, Hervin dan Angga Haksoro, “Kelompok Membaca Multatuli (1). Mengaji Max Havelaar”, dalam www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=2654. Akses tanggal 30 Juni 2013.
Septiana, Ratri Indah, “Perkembangan Perpustakaan Berbasis Komunitas: Studi Kasus pada Rumah Cahaya, Melati Baca, dan Kedai Baca Sanggar Barudak”, dalam http://eprints.rclis.org/10557/. Akses tanggal 26 Juni 2013.
Susilo, Ahmad Ikhwan, “Perjamuan Buku di Sudut Perpustakaan”, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/doc/318651024842490/. Akses tanggal 30 Juni 2013.
Toer, Pramoedya Ananta, “The Book That Killed Colonialism”, dalam www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-book-that-killedcolonialism.html?pagewanted=all&src=pm. Akses tanggal 20 Juni 2013.
112
Ubaidilah Muchtar, “Aktivitas”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/p/kegiatan.html. Akses tanggal 28 Juni 2013.
_______________, “Kronologi Pembangunan Rumah Multatuli”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2012/10/kronologi-pembangunanrumah-multatuli.html. Akses tanggal 28 Juni 2013.
_______________, “Mencari Multatuli di Perpustakaan Nasional”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/04/mencari-multatuli-diperpustakaan.html, diakses tanggal 20 Juni 2013.
_______________, “Mencoba Mencari Jejak Multatuli”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/04/mencoba-mencari-jejakmultatuli.html. Akses tanggal 20 Juni 2013.
_______________, “Mencoba Mencari Jejak Multatuli [Bagian 2]”, http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/05/mencoba-mencari-jejakmultatuli-bagian.html. Akses tanggal 20 Juni 2013.
_______________, “Menengok Kampung Saijah dan Adinda”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/12/menengok-kampung-saijahdan-adinda.html. Akses tanggal 20 Juni 2013. _______________, “Reading Groups Max Havelaar”, dalam http://readingmultatuli.blogspot.com/2010/04/reading-groups-maxhavelaar.html. Akses tanggal 20 Juni 2013. _______________, “Tentang Kami”, http://readingmultatuli.blogspot.com/p/tentang-kami.html. Akses tanggal 27 Juni 2013. _______________, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/3423282024747 72. Akses tanggal 27 Juni 2013.
113
_______________, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/4226710311071 55. Akses tanggal 27 Juni 2013. _______________, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/2742099192866 01. Akses tanggal 27 Juni 2013. _______________, dalam www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/571466799560910. Akses tanggal 27 Juni 2013. _______________, dalam
www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/485482811492643. Akses tanggal 27 Juni 2013. _______________, dalam
www.facebook.com/groups/270206816353578/permalink/408117105895881. Akses tanggal 27 Juni 2013. _______________, dalam
www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=548142671896296&id=19096283 4280950. Akses tanggal 27 Juni 2013. _______________, dalam
www.facebook.com/ubaidilah.muchtar/posts/10200548490583671. Akses tanggal 7 September 2013. _______________, dalam
www.facebook.com/ubaidilah.muchtar/posts/10200632411241635. Akses tanggal 22 September 2013. Wikipedia Indonesia, “Banten”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Banten. Akses tanggal 27 Juni 2013. _________________, “Bujangga Manik”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Bujangga_Manik. Akses tanggal 27 Juni 2013. _________________, “Suku Banten”,
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banten. Akses tanggal 27 Juni 2013.