KONSTRUKSI KEBEBASAN PADA IDENTITAS PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM IKLAN OPERATOR SELULER 3 DENGAN TEMA “Bebas itu Nyata” Oleh: Muhammad Safyan (070915097) – AB
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai konstruksi kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki yang direpresentasikan dalam iklan komersial televisi yaitu operator seluler 3 sebagai produsen dengan tema “Bebas itu Nyata”. Ini menarik untuk diteliti sebab bagaimana konstruksi kebebasan identitas perempuan dan laki-laki masyarakat Indonesia direpresentasikan melalui tanda dan teks. Pada iklan 3 tersebut menawarkan citra dan nilai tentang apa yang disebut kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki masyarakat Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan konstruksi kebebasan pada identitas perempuan, terlihat dalam bentuk melawan atau memberontak di ranah domestik dan marjinal pada kaum perempuan. Ini merupakan gerakan feminisme liberal yaitu memperjuangkan hak yang sama atas prinsip-prinsip maskulinitas. Sedangkan, pada identitas laki-laki tetap dengan segala dominasinya di sektor publik. Dari sistem penandaan tersebut hanya melanggengkan ideologi patriarki, bahwa bentuk perlawanan perempuan semakin mengukuhkan bahwa laki-laki semakin dominan. Gambaran semacam ini terlihat begitu timpang, dan dari sistem tanda tersebut hanya menguntungkan pihak kapital semata. Kata Kunci: Iklan Televisi, Konstruksi Kebebasan, Identitas Perempuan dan Laki-laki. PENDAHULUAN Penelitian ini membahas mengenai makna kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki yang direpresentasikan dalam iklan komersial televisi yakni operator seluler 3 sebagai produsen dengan tema “Bebas itu Nyata”. Kebebasan yang dimaksud adalah sebuah gerakan baru untuk membongkar pembagian identitas peran perempuan dan laki-laki yang masih tradisional, dimana stereotip gender tradisional masih melekat di masyarakat. Konsep kebebasan yang dibentuk oleh operator seluler 3 tersebut direpresentasikan pada identitas perempuan dan laki-laki Indonesia dalam iklan komersial televisi, sebagai sarana dalam mengkritisi persoalan sosial yaitu pembagian identitas peran di masyarakat. Media massa (iklan) menjadi alat persuasif dalam menjual berbagai komoditas (Abdullah, 2003, p. 20). Komoditas yang dijual oleh media (iklan) tidak hanya berupa barang atau jasa, tetapi juga berupa gagasan serta penemuan-penemuan baru yang bertujuan agar khalayak mengetahui dan menggunakan penemuan tersebut. Iklan juga merupakan salah satu media yang digunakan oleh operator seluler 3 dalam menyebarkan dan mengsosialisasikan bahwa identitas perempuan dan laki-laki di masyarakat masih pakem dengan aturan-aturan
budaya atau mitos yang masih tradisional. Sehingga pada iklan 3 ada sebuah gagasan dan penemuan baru yang ditonjolkan kepada masyarakat sebagai calon konsumennya. Kategori dalam beriklan sangat beragam. Selling ada 2 jenis, yaitu ‘hard’ dan ‘soft’. Iklan dengan teknik hard selling telah dijelaskan diatas yaitu menawarkan produknya apa yang didapat oleh calon konsumen. Hal ini sejalan dengan konsep ide iklan dengan tema bebas yang diungkapkan oleh operator seluler XL. Beda halnya dengan iklan dengan teknik soft selling, pada umumnya produsen ingin menampilkan sisi keuntungan tambahan dari pada fungsi pokok produk atau jasa, atau bahkan pembuat iklan menampilkan hyperealitas. Dimana dalam iklan tersebut ditampilkan sebuah imajinasi yang “baik” yang dihubungkan dengan keberadaan produk. Salah satunya adalah iklan dengan tema kebebasan yang dilekatkan pada idenititas perempuan dan laki-laki dari operator seluler 3. Ini bertujuan untuk menyelaraskan identitas perempuan dan laki-laki di masyarakat Indonesia. Konten iklan semacam ini menjadi suatu komoditas yang diperjualbelikan melalui simbol budaya dan sebagai kendaraanya adalah media iklan televisi. Ini selaras dengan latar belakang dari sebuah produksi iklan tersebut yakni ideologi kapitalisme. Pergeseran produksi (dalam hal ini produksi pesan) dari yang didorong oleh kebutuhan, menjadi lebih terdorong atau termotivasi oleh keuntungan. Adorno bahkan menyatakan bahwa hasil kebudayaan, termasuk teks media massa bisa berfungsi untuk mengamankan dominasi modal ekonomi yang berkelanjutan (Fairclough, 1995: 100). Sudut pandang media massa sebagai industri, yang tentunya bertujuan untuk meraup keuntungan ini menarik dijadikan salah satu pokok pembahasan. Sebab hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan kapitalisme turut bermain dibalik proses konstruksi konten iklan. Bagi suatu perusahaan, beriklan adalah kegiatan penting yang harus dilakukan untuk mempromosikan produknya kepada masyarakat luas. Sehingga kedua pasangan tersebut yakni iklan dan media massa menjadi pasangan tidak terelakkan. Kepercayaan perusahaan kepada media massa, bahwa media massa adalah salah satu medium yang baik untuk menginformasikan sebuah produk. Sehingga media massa harus kreatif dalam membentuk program-program agar menarik perhatian pengiklan menyisipkan iklan produknya. Karena dari pengiklan tersebut ada input atau income untuk mendukung program tersebut. Televisi adalah media massa yang mampu mencapai pemirsanya dalam jumlah besar dan lintas batas geografis yang luas. Dalam pandangan Jefkins (1997), televisi merupakan salah satu media periklanan yang tergolong iklan lini atas. Televisi sekarang bukan hal yang baru, terknologi ini sudah menjamur keberadaanya. Bahkan hampir sebagian besar masyarakat dapat memilikinya. Tampilnya sosok identitas perempuan dan laki-laki di media
massa bukan hal baru. Lebih spesifik lagi pada televisi. Bahwa perempuan digambarkan di ranah domestik, mengurusi urusan kerumahtanggan, dan lebih emosional. Beda dengan identitas laki-laki, berada di ranah publik, pencari nafkah, dan rasional. Selain itu, isu gender dalam penelitian ini diambil berdasarkan asumsi bahwa iklan televisi selalu menampilkan identitas perempuan dan laki-laki. Piliang (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998, p. xvi), bahwa media mencerminkan citra tertentu. Dalam pencitraan ini nilai maskulin berada dalam posisi dominan, dan nilai feminim berada dalam posisi marjinal. Artinya, dalam media massa berlangsung perjuangan memperebutkan “hegemoni tanda”, khususnya “hegemoni gender”. Dengan hal ini peneliti akan menjelaskan perbedaan antara seks dan gender. Istilah seks mengarah pada jenis kelamin yang dianggap sebagai konstruksi biologis yang dibawa setiap individu sesuai dengan kodratnya sejak lahir di muka bumi (Kurnia, 2004, p. 18). Sedangkan istilah gender lebih merujuk identitas, peran, aktifitas, perasaan dan sejenisnya yang masyarakat asosiasikan dengan bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki seharusnya (Wood, 2004: 19). Asosiasi tentang pembagian peran identitas sosial pada dasarnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun jika persoalan ini terjadi maka ada pembedaan gender (gender differences), dan pada akhirnya melahirkan ketidakadilan gender. Gender selama ini selalu dikaitkan dengan inferioritas perempuan. Penggambaran inferioritas perempuan bukan hal baru lagi dan pemaknaan tersebut sudah matang dalam budaya patriarkhi. Patriarkhi adalah suatu bentuk pelaksanaan kekuasaan dan dominasi dalam kelompok keluarga besar atau klan yang terorganisasi dalam konteks ekonomi dan kekeluargaan (Hidayat, 2004, p. 113). Penelitian ini mengeksplorasi identitas perempuan dan laki Indonesia digambarkan melalui iklan televisi. Penelitian juga akan mengidentifikasi kondisi atau situasi sosiokultur Indonesia yang ada, diciptakan, dan berlaku di masyarakat. Serta melihat bentuk kebebasan yang digambarkan pada identitas perempuan dan laki-laki sebagai perlawanan mitos yang hidup di masyarakat Indonesia. Kemudian hal ini dikonstruksi ulang oleh media massa yang disebut representasi. Struart Hall juga menyebutkan terdapat dua sistem representasi. Sistem pertama memungkinkan proses pemaknaan dengan membentuk serangkaian korespinden atau rantai ekuivalensi antara hal-hal orang, objek, peristiwa, ide abstrak, dsb – dan dengan sistem konsep manusia. Sistem representasi yang kedua bergantung pada pembentukan serangkaian tanda, yang diatur ke dalam berbagai bahasa yang mewakili konsep-konsep tersebut (Hall, 2002, p. 19).
Untuk menganalisis tentang identitas perempuan dan laki-laki dalam kerangka representasi iklan televisi operator seluler 3 ini peneliti akan menggunakan metode analisis semiotika. Unit analisis dari penelitian ini adalah gambar dan bahasa narator dalam iklan 3. Analisa data menggunakan teori semiotik Roland Barthes, yang membagi menjadi dua yakni denotasi dan konotasi. Kemudian dari makna konotasi tersebut terdapat eksplorasi tentang mitos, yaitu sistem nilai dominan atau ideologi dari masyarakat tertentu. Tanda denotatif yang terdiri atas penanda dan petanda, pada bersamaan juga merupakan penanda konotatif. Penanda konotatif atau konotasi yang muncul dari tanda denotatif tersebut, menurut Barthes (dalam Sobur, 2003, p. 71) identik dengan operasi ideologi, yang disebut Barthes sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Metode ini dipilih, sebab tidak hanya akan menganalisis representasi identitas perempuan dan laki-laki Indonesia yang dikonstruksi oleh iklan televisi operator seluler 3. Namun juga melihat mitos dan ideologi yang melingkupinya, mengapa identitas perempuan dan laki-laki Indonesia direpresentasikan seperti itu. Mengapa kajian ini menjadi penting adalah karena apa yang direpresentasikan oleh media massa, memiliki pengaruh signifikan terhadap audiens (Byerly, 2006, p. 40). Bahwa jika dilihat dari konsep ide iklan 3 yaitu isu gender yang kemudian ditandai melalui dua identitas gender yang berbeda merupakan penyampaian ideologi kepada masyarakat. Merujuk pernyataan Fairclough (1995, p. 43), bahwa nilai dan norma dari suatu ideologi kemudian akan dianggap sebagai nilai dan norma dari masyarakat itu sendiri oleh karena penetrasinya yang tak terlihat dan umumnya tidak disadari. Oleh karenanya Barker (2001, p. 67), menyatakan bahwa proses semacam ini pada akhirnya melanggengkan status quo yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut,
menarik
kemudian
untuk
membongkar makna dari gambar dan narasi yang dinyatakan oleh narator dalam iklan 3 “Bebas itu Nyata” versi perempuan dan laki-laki.Bahwa gambar dan narasi dalam iklan 3 mengandung latent meaning. Mengapa kedua identitas tersebut direpresentasikan seperti itu. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik analisis tekstual. Diharapkan dapat menghasilkan data yang diinginkan, yaitu makna kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki dalam iklan televisi operator seluler 3 adalah kebebasan mengakses internet.
PEMBAHASAN Penelitian ini mengkaji mengenai konstruksi kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki Indonesia dalam iklan komersial operator seluler 3 dengan tema “Bebas itu
Nyata”. Konstruksi kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki Indonesia dalam iklan komersil televisi menjadi penting untuk diteliti karena dengan segala kekuatannya tidak hanya menjual produk operator seluler 3 selaku produsen tetapi lebih dari itu, iklan menawarkan konsep kebebasan baru bagi identitas perempuan dan laki-laki Indonesia dalam pesan-pesan yang dibawanya. Begitupun
dengan
iklan
kebebasan
pada
identitas
yang
bertujuan
yang
merepresentasikan tentang identitas perempuan dan laki-laki di Indonesia. Yakni dengan menawarkan nilai-nilai baru kepada khalayak tentang apa yang yang disebut identitas sosial baru, yang selama ini masih pakem dengan aturan-aturan tradisional. Sehingga diharapkan khalayak tertarik, terpengaruh, dan mau ‘membeli’ konsep kebebasan yang direpresentasikan dalam iklan sehingga tujuan dari operator seluler 3 untuk kebebasan mengakses internet dapat tercapai. Modernitas Fashion Pada Identitas Perempuan Indonesia Fashion, pakaian, busana sudah menjadi bagian penting dari gaya, trend, penampilan keseharian. Sebagai fenomena budaya dan komunikasi, fashion sesungguhnya bisa berucap banyak tentang identitas pemakainya (Ibrahim, 2007, p. 241). Konsep tampilan perempuan Indonesia yang modern dikonstruksi dalam iklan 3. Bahwa perempuan Indonesia melakukan inovasi fashion dari jaman ke jaman dalam penampilannya. Tampilan fashion perempuan Indonesia yang dimaknai bahwa terjadi transformasi fashion dari jaman ke jaman. Ini ditunjukkan melalui konsep busana yang tidak biasa yang dilekatkan pada tubuh perempuan tersebut. Yaitu cenderung melakukan inovasi dalam cara berpakaian. Misalnya, kaos tanpa lengan, mini dress yang jelas-jelas menunjukkan lekuk tubuh si perempuan dalam iklan tersebut. Menariknya, cara berpakaian semacam ini adalah gaya busana yang digunakan oleh orang barat yang tidak menutupi lekuk tubuhnya di depan umum. Selain itu, ini bentuk dari sebuah modernitas dari segi fashion. Fashion merupakan ciri penting modernitas yang ditafsirkan sebagai suatu era sejarah yang ditandai oleh inovasi terus-menerus, dengan penghancuran yang lama dan penciptaan yang baru (Berman dalam Ibrahim, 2007). Maka peneliti melihat bahwa ini sebuah inovasi fashion yang terus menerus, dengan penghancuran cara berpakaian tradisional perempuan Indonesia. Dan bentuk modernitas tersebut dilekatkan kepada tubuh perempuan Indonesia. Tampilan gaya busana dalam iklan 3 versi perempuan menandai bahwa perempuan dalam iklan tersebut dengan atribut fashion tertentu. Dimana budaya Barat telah masuk sebagai bentuk modernitas dari cara berpakaian. Misalnya saja, saat ia menggunakan kaos tanpa lengan dan mini dress. Sehingga perempuan tersebut terlihat lebih fashionable. Ini
sejalan dengan fashion yang kekinian atau up to date. Konstruksi semacam ini tidak hanya melihat dari segi pesannya saja, namun juga melibatkan logika kapitalisme. Keuntungan komersil seperti apa yang didapat. Produksi tanda dan teks melalui tubuh perempuan Indonesia yang dilekatkan dengan gaya fashion barat tidak sekedar digerakkan oleh kebutuhan audience akan informasi, namun beralih menjadi produksi yang digerakkan oleh keuntungan melalui tanda fashion tersebut. Stereotip Perempuan Indonesia dalam Bingkai Domestikasi Peran dan Persoalan Kepribadian Pada subbab ini, akan membahas mengenai isu domestikasi peran dan soal kepribadian yang melekat pada tanda dan teks perempuan dalam iklan. Bahwa pada tanda dan teks tersebut dimaknai bahwa peran perempuan Indonesia masih di bingkai domestik. Prof Dr Burhan Bungin (2003, p. 125), mengungkapkan dalam kehidupan sosial, pada hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuan selalu ditempatkan pada posisi “wengking”, “orang belakang”, “subordinasi”, perempuan selalu kalah, namun sebagai “pemuas” pria, pelengkap dunia laki-laki. Dea Lestari adalah bentuk refleksi dari perempuan Indonesia. Yakni dilekatkan dengan segala atribut gender yang masih tradisional. Yakni menempatkan posisi perempuan di dalam rumah, memakai rok panjang, dan sebagai kaum perempuan yang marjinal kedudukannya. Hal ini juga didukung oleh budaya masyarakat Timur dengan stereotip perempuan Indonesia yang masih tradisional. Dengan media iklan semacam ini aka sejalan dengan langgengnya ideologi patriarkhi. Yaitu ideologi yang memberikan privilege atau keistimewaan terhadap nilai-nilai maskulin, ketimbang nilai feminin (Carter, 1998, p. 13). Menariknya, dari persoalan domestikasi dan marjinalnya perempuan tersebut dan media ikut serta dalam menyampaikan konsep gender. Bahwa perempuan Indonesia masih dilekatkan dengan simbol-simbol stereotip gender tradisional. Pengukuhan ideologi semacam ini terus sistematis dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Pengukuhan ideologi tersebut melalui pelbagai institusi tradisional dan (pasca-) modern dengan kecanggihan operasi dan manifestasinya untuk menompang status quo. Ini menunjukkan bahwa gambaran stereotip perempuan tradisional, bahwa perempuan Indonesia masih berada di ranah domestik dan posisinya masih marjinal. Ini senada dengan kekuasaan ide-ide patriarki. Media massa membatasi kaum wanita beserta kepentingan mereka (Strinati, 2009, p. 277). Serta mendeskripsikan bahwa kepribadian perempuan Indonesia itu lemah dan tidak berdaya, ini terlihat dari segi teknik kamera yang menyudutkan perempuan tampak kecil seakan-akan lemah dan posisinya masih marjinal dibandingkan laki-laki. Ide domestikasi
kaum wanita ini ternyata semakin menegaskan ideologi patriarki, bahwa wanita dituntut bekerja di ranah domestik dan hanya laki-laki dengan segala maskulinitasnya terlihat dominan. Dengan visualisasi tanda serta maknanya dalam iklan 3 versi perempuan ini, yang menggambarkan keseluruhan stereotip gender tradisional terhadap perempuan sekaligus melanggengkan ideologi kapitalisme. Adorno menyebutkan hasil kebudayaan, termasuk teks media massa berfungsi untuk mengamankan dominasi modal ekonomi berkelanjutan (Fairclough, 1995, p. 100). Citra Pemberontakan dan Konsep Normalitas Perempuan: Sisi Paradoks dalam Pelawanan Terhadap Ideologi Dominan Perlawanan terhadap pandangan gender tradisional, yakni perempuan Indonesia, yang dinegoisasikan salah satunya dengan melekatkan citra tertentu. Perempuan dalam iklan 3 adalah sentral tanda pemberontakan atau rebel terhadap pandangan gender tradisional. Identitas perempuan Indonesia yang ingin sebuah kebebasan dibentuk melalui figur yang ‘menentang’ seluruh isu domestikasi terhadap dirinya. Yakni dominan, aktif, agresif, otoritatif, maupun melakukan berbagai macam peranan yang penting dan beragam yang sering kali menuntut profesionalisme, efisiensi, dan rasionalitas (Strinati, 2009, p. 282). Pembahasan pada poin ini menemukan pendekripsian lain dalam tanda dan teks identitas perempuan Indonesia. ini terartikulasi pada konstruksi identitas perempuan Indonesia dalam figur sebagai pemberontak atau rebel. Misalnya, menghadirkan identitas dengan karakteristik kebebasan yang dilekatkan kepada figur perempuan Indonesia. Dengan segala tanda dan teks dalam perempuan yang direpresentasikan dengan karakteristik kebebasan tersebut menghasilkan sebuah gerakan feminisme. Dimana ini terlihat dari pemaknaan tanda. Misalnya perempuan berada di depan jendela, rok yang diangkat sebagian, perempuan menari bebas hingga pagi, dan yang terakhir perempuan yang bebas memilih jodoh. Sehingga muncul sebuah gerakan kaum wanita yang di gadang-gadang yaitu feminisme liberal. Asumsi dasar feminisme liberal berakar dalam pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan (Fakih, 2007, p. 81). Mengingat produsen adalah operator seluler 3 yang bergerak di bidang jasa komunikasi, iklan dengan konsep isu gender tersebut tidak ada hubungannya sama sekali. Pada tayangan akhir dari iklan operator seluler 3, tampak terlihat teknik iklan yang digunakan adalah teknik hard selling. Produsen operator seluler 3 menawarkan produknya dengan
menampilkan berbagai keunggulan yang akan didapat oleh calon konsumen di bagian akhir iklan. Sehingga yang dimaksud keseluruhan tanda dan narasi dalam iklan yang dilekatkan dengan identitas laki-laki adalah kebebasan mengakses internet. Iklan 3 tidak sekedar melabeli perempuan sebagai pemberontak, namun juga mengkontruksi perlawanan tersebut sebagai suatu kewajaran. Dengan selain menampilkan perempuan Indonesia dalam figur yang melawan konformitas gender tradisional juga dilakukan dengan cara mengkontruksinya dalam figur se-normal mungkin. Misalnya saja, rok harus di bawah lutut dan jangan pulang terlalu larut malam pada identitas Dea Lestari. Ini bertujuan untuk menghindari kaum perempuan Indonesia sebagai sex object. Friedan juga menyatakan dalam investigasinya, nasib perempuan Amerika pada tahun 1950-an, era yang menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam ranah publik menurun karena mereka tunduk kepada ‘The Feminine Mystique’ yang mendefinisikan perempuan sebagai orang yang ‘sehat, cantik, terpelajar (hingga titik tertentu), hanya memikirkan tentang suami, anak-anak, dan rumah tangganya’ (1963, 13) dalam Hollows (2010, p. 15). Dari analisis resistansi yang dilekatkan pada perempuan dalam iklan adalah demi kepentingan kapital semata. Pergeseran teknik iklan semacam ini semakin melanggengkan ideologi kekuasaan, bahwa media hanya meraup keuntungan dari objek perempuan Indonesia tersebut. Gaya Busana Pada Identitas Laki-Laki Analisis gaya busana untuk diteliti karena pakaian merupakan salah satu visual appearance yang memudahkan peneliti untuk meneliti tampilan maskulinitas yang dikonstruksi oleh iklan 3. Selain itu, pakaian merupakan alat semiotika (Barnard, 2011, p. 113). Konsep tampilan identitas laki-laki maskulin dikonstruksi oleh iklan 3, ini ditunjukkan melalui konsep busana yang biasa aja atau simple. Yang terlihat adalah warna yang cenderung gelap, kaos, dan jacket. Temuan gaya busana melalui tanda pakaian identitas laki-laki. Hal ini ditandai dengan gaya fashion yang dipakai oleh Kemas Rudy mencerminkan maskulinitas. Bahwa laki-laki pada umumnya dekat dengan warna-warna konservatif yaitu hitam dan putih pada kaos yang digunakan, serta jacket juga melambangkan kemaskulinan seorang laki-laki. Konstruksi semacam ini adalah bentuk pengukuhan mitos dan ideologi kepada audiens, bahwa laki-laki yang sebenarnya adalah yang seperti ini. Yakni simple dan apa adanya dengan warna-warna konservatif. Penampilan laki-laki dengan gaya busana semacam ini sejalan dengan konsep maskulinitas tradisional (Beynon, 2002, p. 59). Selain itu juga, konstruksi atas tanda melalui fashion diatas juga melibatkan logika kapitalisme. Bahwa jika diingat, iklan 3 tidak langsung memberikan pesan produknya melainkan dengan isu gender sebagai konsep iklannya.
Sehingga jika mengingat hal itu, tanda dan imaji yang ditampilkan adalah salah satu keuntungan dalam produksinya. Stereotipe Maskulinitas Pada Identitas Laki-Laki Gambaran laki-laki di berbagai kesempatan adalah sebuah stereotip yang melekat pada identitas laki-laki. Bahwa laki-laki itu harus lah kuat, macho, cool, dan pelindung wanitanya. Ini dikonstruk oleh media iklan televisi yang produsennya adalah operator seluler 3. Menurut Hary Bord juga berpendapat mengenai gambaran maskulinitas pria sejati, yaitu “persisting images of masculinity hold that “real man” are physically strong, aggressive, and in control of their work.” (Katz, 1995, p. 135). Analisis stereotip dominan masih dikuasai kaum lelaki. Hal ini ditandai dalam beberapa bentuk tayangan di atas, bahwa laki-laki itu harus berotot, pahlawan, dekat dengan olahraga, dan pemimpin atas perempuan. Penampilan laki-laki dengan stereotip maskulin dan dominan semacam ini sejalan dengan konsep maskulinitas tradisional (Beynon, 2002, p. 59). Sehingga tayangan semacam ini adalah sebuah pengekalan ideologi kepada audiens, bahwa seorang lelaki itu harus nampak maskulin dan dominan. Gambaran maskulnitas semacam ini adalah bentuk kepentingan kapital semata. Identifikasi Karakter Kebebasan dalam Figur Laki-Laki Indonesia Analisis karakteristik kebebasan seperti apa yang diungkapkan oleh laki-laki yakni yang berperan sebagi aktor utama dalam iklan 3. Peneliti melihat tanda dan teks dalam iklan 3 versi laki-laki untuk menunjukkan sebuah kebebasan tidak begitu menonjol atau mainstream. Dimana perannya masih begitu dominan sehingga peneliti beranggapan bahwa di media massa masih terjadi perebutan wacana gender. Merujuk pernyataan Abdullah (1995), asosiasi semacam itu menimbulkan ketimpangan gender terus menerus, karena dalam proses sosialisasi, wanita disosialisasikan ke dalam suatu nilai dan ukuran sosial budaya yang pilihannya ditentukan laki-laki dalam kerangka struktural patriakal (ideologi kelaki-lakian). Temuan tanda dan teks pada versi laki-laki, yaitu menyatakan kebebasan memilih teman, laki-laki sebagai pemimpin, laki-laki kelas pekerja, dan laki-laki bebas memilih jodoh. Ini merupakan konsep maskulinitas tradisional sebelum era 80-an. Sosok laki-laki yang muncul adalah figur laki-laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas perempuan (Beynon, 2002, p. 59). Mengingat produsen adalah operator seluler 3 yang bergerak di bidang jasa komunikasi, iklan dengan konsep isu gender tersebut tidak ada hubungannya sama sekali. Pada tayangan akhir dari iklan operator seluler 3, tampak terlihat teknik iklan yang digunakan adalah teknik hard selling. Produsen operator seluler 3 menawarkan produknya dengan
menampilkan berbagai keunggulan yang akan didapat oleh calon konsumen di bagian akhir iklan. Sehingga yang dimaksud keseluruhan tanda dan narasi dalam iklan yang dilekatkan dengan identitas laki-laki adalah kebebasan mengakses internet. Iklan sejenis ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan, hanya representasi semacam ini hanya untuk melanggengkan ideologi dan kekuasaan di balik semua. Bahwa ide dan gagasan konsep iklan dengan isu gender akan membuat melanggengkan ketimpangan gender. Dominannya laki-laki dalam segala sektor kehidupan membuat para kaum perempuan terus bergerak menyampaikan kesetaraan. Langgengnya ide-ide patriarkhi yang memberikan peluang pada laki-laki dan segala maskulinitasnya ini pada akhirnya memposisikan perempuan di media semakin termarjinalkan. Isu dominannya laki-laki di media massa berujung pada maskulinitas kapitalistik. Dominasi Identitas Laki-Laki di Ruang Publik Pada analisis ini menunjukkan keaktifkan laki-laki dalam ruang publik. Dengan segala tanda di atas selaras antara keterkaitan fisik, bahwa seorang laki-laki sering menggunakan fisiknya untuk berkegiatan yaitu salah satunya olahraga, laki-laki memegang tang, ini ditandai dengan urat-urat yang timbul ditangannya, sekumpulan anak laki-laki bermain bola, seorang anak laki-laki dengan bahasa tubuhnya menjadi super hero atau pahlawan, dan yang terakhir yakni terlihat sekumpulan komunitas motor vespa mengarungi jalan raya di malam hari. Dengan keseluruhan setting diatas menggambarkan seorang laki-laki mendominasi di ranah publik. Merujuk pernyataan Kurnia (2007: 26), aktifitas laki-laki lebih banyak berkaitan dengan kegiatan fisik seperti olahraga. Keaktifan laki-laki inilah yang membawa ciri yang sama pada pemilihan lokasi yang digunakan sebagai latar belakang setting dalam iklan. Lokasi yang jarang sekali mengambil setting rumah melainkan ke tempat-tempat publik seperti kantor, gunung, sirkuit balap, bengkel, kafe, pantai, dan lain-lain dianggap lebih ‘pas’ untuk laki-laki. Berdasarkan keseluruhan setting dalam iklan 3 versi laki-laki, Kemas Rudy digambarkan laki-laki di era 90-an. Laki-laki kemudian menyatakan dirinya dalam label konsumerisme dalam bentuk yang lebih macho (Beynon, 2002, p. 71). Menariknya, dari keseluruhan setting dalam iklan 3 versi laki-laki dianggap lebih pas untuk laki-laki yaitu dominannya di ruang publik.
KESIMPULAN Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa teknik beriklan yang digunakan 3 pada iklan televisi sangat menarik, yaitu teknik soft selling. Teknik ini digunakan dengan tidak menjual
atau memasarkan produknya secara langsung. Melainkan 3 sebagai operator seluler 3 mengangkat konsep isu gender. Dalam penelitian ini adalah peneliti mendapatkan hasil representasi idenititas perempuan dalam iklan 3 adalah perempuan diperlihatkan dengan bebas dalam segi fashion. Yaitu tampak fashionable dan modern. Ini terlihat dari baju yang dipakai dalam iklan 3, yakni kaos, kaos tanpa lengan, dan mini dress. Selain itu, peneliti juga melihat simbol-simbol dimana perempuan digambarkan dengan stereotip gender tradisional, yaitu berada di ranah domestik dan dimarjinalkan (terpinggirkan). Perempuan juga digambarkan melawan terhadap pandangan gender tradisional. Misalnya saja, perempuan berada di depan jendela, menari di diskotik, dan memilih jodohnya sendiri. Sehingga ini adalah sebuah ideologi gerakan feminisme liberal, dimana perempuan digambarkan melawan atau memberontak ideologi patriarki. Pada identitas laki-laki direpresentasikan dengan sosok maskulin. Misalnya saja dari gaya busana yang digunakan, yakni terlihat simple dan apa adanya dengan didominasi warnawarna konservatif yakni hitam dan putih. Selain itu, laki-laki dalam iklan 3 digambarkan dengan stereotip gender tardisional. Contohnya saja, laki-laki digambarkan berotot yakni dari bidang tubuh yang kekar, berada di dunia otomotif, bermain sepak bola, sebagai super hero, dan laki-laki sebagai pemimpin. Untuk karakter kebebasan pada identitas laki-laki tidak begitu menonjol, yakni laki-laki tetap digambarkan sebagai identitas yang mendominasi di segala sektor kehidupan dan publik. Berdasar seluruh gambar dan narasi pada kedua versi iklan 3 tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa konstruksi kebebasan yang dimaksud oleh kedua identitas yaitu dengan menggunakan produk operator seluler 3 kedua identitas dapat bebas mengakses internet. Lebih spesifik lagi kedua identitas dapat bebas menampilkan identitasnya di social media tanpa dibayangin oleh mitos atau budaya tradisional. Menariknya, peranan ideologi kekuasaan juga berperan aktif melanggengkan isu gender tersebut. Bahwa 3 selaku produsen iklan yang mengangkat isu gender ke ranah publik, yaitu melalui media iklan televisi. Konstruksi semacam ini di media massa hanya menjadi sebuah kepentingan kapital semata. Sungguh ironi, jika hanya kemunculan pembagian peran sosial dilekatkan dengan sebuah produk operator seluler. Bahwa dari seluruh tanda dan teks yang diproduksi dalam iklan 3 hanya untuk demi kepentingan kekuasaan yaitu kapitalistik. Sehingga peneliti beranggapan, jika media massa melanggengkan citra negatif perempuan, semakin positiflah citra laki-laki, dan dengan demikian semakin dominannya peran laki-laki dibandingkan perempuan. Sehingga dengan simbol-simbol semacam ini sejalan dengan
meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari tanda-tanda dalam iklan yang bertema “Bebas itu Nyata”.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2003. Sangkaan Paran Gender. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Barnard, Malcom. 2011. Fashion sebagai komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Barthes, Roland. 1977. Image Music Text, Translation Sthepen Heath 1977. London: Fontana Press. Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. _____________. 2006. Membedah mitos-mitos Budaya Massa. Bandung: Jalasutra. Berger, Peter L. and Luckman, Thomas. 1966. The Social Contruction of Reality: A Treatise it’s the Sociology of Knowledge. New York: Anchor Books. Beynon, Jhon. 2000. Masculinities and Culture (Issues in Cultural and Media Studies). Danesi, Marcel. 2012. Pesan tanda, dan makna: buku teks dasar mengenai semiotika dan teori komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. The Critical Study of Language: Longman. Faruk,. 1999. Konsep dan Analisis Wacana Althusserean. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fiske, Jhon. 2005. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komperehensif. Yogyakarta: Jalasutra Hall, Stuart. 2002. “The Work of Representation” dalam Hall, Stuart (editor). 2002. Representation; Cultural Representations and Signfying Practices. London: Sage Publication. Head, Keith & Ries, John, 2003. Heterogeneity and the FDI versus export decision of Japanese manufacturers. Vol. 17(4), pages 448-467. Hidayati, Vida. 2013. Gambaran Maskulin Dalam Majalah K-Pop Terbitan Indonesia. Universitas Airlangga. Tidak Diterbitkan Hollows, Joanne. 2010. Feminisme, Feminitas dan Budaya Populer. Jalasutra. Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popspace dan Mediaspace di Indonesia Kontemporer. Bandung: Jalasutra. Ida, Rachmah. 2011. Metode Penelitian Kajian Media dan Budaya. Surabaya: Airlangga University Press. Jurnal Studi Indonesia. 2004. Vol 14, No.2. Kurnia, Novi. 2004. Representasi Maskulinitas Dalam Iklan. Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan Kurnia, Nisa. 2008. Wacana Istri Dalam Film Indonesia Paska-Reformasi di Tahun 2008. Universitas Airlangga. Tidak Diterbitkan Majalah Marketing – Edisi 03/V O’Shaughnessy, Michael & Stadler, Jane. 2005. Media and Society: an Introductions Third Edition. Oxford University Press. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra. Rahmadani, A. 2012. Studi Analisis Wacana Kritis Terhadap Konstruksi Musisi Wanita Dalam Majalah Rolling Stone Indonesia. Universitas Airlangga. Tidak Diterbitkan Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
__________. 2004. Analisis tex media: suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotic, dan analisis framing. Bandung: PT Remaja Rodaskarya. Strinati, Dominic. 2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. ______________. 2009. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Tim Penulis Program Studi DKV FSR ISI Yogyakarta dan Studio Diskom. 2007. Irma Visual: Dari Toekang Reklame sampai Komunikator Visual. Yogyakarta: Jalasutra. Video Tri (3) – Bebas Itu Nyata (versi perempuan). http://www.youtube.com/watch?v=r6_E3z2rpao, (Diakses pada tanggal 4 Maret 2013) Tri (3) – Bebas Itu Nyata (versi laki-laki). http://www.youtube.com/watch?v=5XWyaaNYgo, (Diakses pada tanggal 4 Maret 2013) Internet Chandler, Daniel. 2001.‘The ‘Grammar’ of Television and Film’. http://www.aber.ac.uk/media, (Diakses pada tanggal 25 November 2013) Dharma, Agus. 2013. Semiotika Dalam Arsitektur. http://staff.gunadarna.ac.id/agus_dh/, (Diakses pada tanggal 3 Desember 2013) http://www/Three.co.id/whois3, (Diakses pada tanggal 30 Mei 2013)