KONSTRUKSI INTEGRASI UNSUR-UNSUR PEMANFAATAN LAUT WILAYAH INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KADASTER KELAUTAN Yackob Astor, ST.,MT Geodesy and Geomatic Engineering Study Program, Faculty of Earth Sciences and Technology, Bandung Institute of Technology. Email:
[email protected] Prof.Dr.Ir. Widyo Nugroho SULASDI Coastal Zone Science and Engineering System Research Group, Faculty of Earth Sciences and Technology, Bandung Institute of Technology Dr.Ir.S. Hendriatiningsih, MS Surveying and Cadastre Research Group, Faculty of Earth Sciences and Technology, Bandung Institute of Technology Dr.Ir. Dwi Wisayantono, MT Coastal Zone Science and Engineering System Research Group, Faculty of Earth Sciences and Technology, Bandung Institute of Technology
Abstrak Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah laut yang lebih luas dari wilayah darat,13.466 pulau (Badan Informasi Geospasial, 2013) dengan garis pantai sepanjang 99.093 km (Badan Informasi Geospasial, 2013) menjadikan Indonesia memiliki sumber daya alam laut yang lebih banyak dibandingkan dengan sumber daya alam di darat. Kondisi potensi sumber daya laut ini dipandang sebagai peluang Indonesia sebagai negara berkembang untuk membangun keunggulan dibidang pesisir dan kelautan. Tetapi selama 69 tahun bangsa ini merdeka, sektor kelautan ternyata belum dapat menunjukkan sebagai sektor yang dapat diunggulkan oleh bangsa dan diandalkan oleh rakyat Indonesia. Berdasarkan studi pustaka, ternyata masalah utama yang terjadi di laut Indonesia salah satunya adalah penentuan dan penetapan batas-batas di laut (marine boundaries). Belum adanya kepastian batas-batas kegiatan pengusahaan dan pemanfaatan ruang laut secara kelembagaan (sektoral), daerah serta penyelenggaraan pengelolaan laut di wilayah Indonesia bagian timur yang lebih sering dihadapkan pada eksistensi pengelolaan laut secara adat (ulayat laut) menyebabkan tumpang tindih klaim (overlapping claim) wilayah laut yang dapat memicu konflik sengketa batas wilayah laut antar daerah, sektor maupun adat.Tulisan ini membahas mengenai konsep konstruksi integrasi unsur-unsur pemanfaatan laut wilayah Indonesia. Konsep integrasi unsur-unsur pemanfaatan laut dapat dibangun menggunakan unsur-unsur kadaster (right, restriction, responsibility), asas keterpaduan dan kepastian hukum yang tercantum di dalam UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan UU No.27 Tahun 2007 yang baru saja diamandemen oleh UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kata kunci: right, restriction, responsibility, asas keterpaduan, asa kepastian hukum, networked government 1.Karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan Istilah Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah hasil keputusan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional Tahun 1982 (United Nations on the Law of the Sea/ UNCLOS ke-2). Konsep kepulauan (archipelago) dituangkan dan diatur dalam Pasal 46(b) yang dijelaskan sebagai suatu gugusan pulau, temasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis/kesejarahan dianggap demikian.
1
Dalam archipelago tersebut rasio laut atau air adalah lebih besar daripada daratan (pulau), tetapi keduanya dianggap sebagai suatu kesatuan. Dengan demikian, pengertian yang paling penting dalam konsep archipelago adalah kesatuan antara laut dan darat (serta udara di atasnya), dimana rasio wilayah laut lebih besar dari rasio wilayah darat. (Djalal, 1979). Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah suatu negara yang seharusnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Sebuah kepulauan akan dianggap sebagai satu kesatuan, sehingga perairan disekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau-pulau (terlepas dari luas dan dimensi yang berbeda) merupakan bagian dari perairan internal negara. Selanjutnya hakekat sebagai Negara Kepulauan adalah suatu kesatuan utuh wilayah (ruang darat, ruang laut, ruang udara) yang batas-batasnya ditentukan oleh laut dan di dalamnya terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau. Penyebutan Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan masih harus ditambahkan dengan bercirikan nusantara, yaitu sesuai dengan apa yang ditulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 25. Bercirikan Nusantara atau yang lazim disebut Wawasan Nusantara yakni Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.(SULASDI, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa NKRI sebagai negara kepulauan memiliki unsur-unsur sebagai berikut, yakni Kedaulatan, Tata Ruang Geografik, Kepemerintahan, Kebangsaan yang Multikultural, Sumber daya alam dengan keanekaragaman hayati, Rawan Bencana, serta Pertahanan dan Keamanan. 2. Permasalahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia sebagai negara kepulauan Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, bentuk Negara Indonesia adalah: Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1), Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18), Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 25). Untuk penetapan batas-batas daerah diatur dalam UU No.2 Tahun 1999 diamandemen UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Permendagri No.1 Tahun 2006 diamandemen Permendagri No.76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Sedangkan untuk penetapan hak diatur dalam UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan dikeluarkannya UU No.32 Tahun 2004, pemerintah pusat memberikan kewenangan atau otoritas kepada daerah tidak hanya sebatas urusan pemerintahan semata namun juga dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan sumberdaya yang dimilikinya termasuk sumberdaya kelautan. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia sebagai negara kepulauan yang berbasis pada sistem otonomi daerah ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi mengingat jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia sebanyak 497 kabupaten/kota, 324 kabupaten/kota tersebut memiliki wilayah pesisir (Kemendagri, 2010), oleh karena itu penetapan dan penegasan batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/kota menjadi sangat penting. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Implementasi dari undang-undang ini ternyata belum dapat diwujudkan oleh tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota yang terletak di wilayah pesisir dan laut Indonesia dikarenakan keterbatasan sumber daya manuasia dan sumber dana yang belum memadai untuk menyelenggarakan penentuan dan penegasan batas laut daerah. Implikasi belum dilakukan penetapatan dan penegasan batas laut antar daerah menyebabkan terjadi tumpang tindih klaim (overlapping claim) wilayah laut yang dapat memicu konflik sengketa batas wilayah laut antar provinsi, 2
antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antar kabupaten/kota. Berikut beberapa contoh persoalan batas laut wilayah:
(Peta Administrasi Provinsi Jawa Timur, 2010) (Peta Administrasi Provinsi Jawa Timur, 2010)
Gambar 1. Contoh persoalan batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Dari 324 kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir akan sangat memungkinkan memiliki kebijakan dan instrumen kelembagaan yang tidak sama. Hal ini tentunya akan berpengaruh juga dalam penyediaan data dan informasi mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut di masing-masing daerah akan berbeda-beda (beragam). Oleh karena itu pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.27 Tahun 2007 yang kemudian diamandemen UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengatur secara spesifik mengenai proses pengelolaan wilayah pesisir mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, hingga pengendalian yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain dikelola oleh daerah, sumber daya laut nasional juga dikelola secara sektoral. Laut dapat dipartisi dalam persil-persil untuk pengusahaan dan pemanfaatannya, contoh untuk ruang usaha ekonomis seperti budidaya ikan, rumput laut, kerang, penambangan dasar laut, sebagai ruang laut konservasi dan taman nasional, wisata dan rekreasi, serta ruang laut publik seperti alur pelayaran, pelabuhan dan sebagainya (Rais, 2002). Saat ini ada 17 kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan, kondisi yang terjadi adalah masing-masing kementerian (perikanan kelautan, pertambangan, perhubungan, lingkungan, pariwisata, pertahanan keamanan, energi sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian dan lainnya) memiliki peraturan perundangan, sistem dan kebijakan yang berdiri sendiri. Implementasi dari beberapa peraturan perundangan yang ada seringkali menciptakan suatu kenyataan bahwa sumber daya laut nasional dikelola secara parsial (berdasarkan sektoral), tidak terintegrasi dan diselenggarakan tanpa perencanaan bersama yang jelas. Kondisi ini dapat menumbuhkan konflik kewenangan pemanfaatan laut antar sektor/kementerian. Berikut contoh peraturan perundangan sektoral yang tidak terpadu terkait penyelenggaraan pemanfaatan laut:
3
1. Pemberian izin pemanfaatan antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Departemen Kehutanan (Dephut) dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Dephut mengacu pada UU No. 5 tahun 1960 tentang Konservasi Sumber Daya Alama Hayati dan Ekosistemnya, serta UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara itu DKP mengacu pada UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2. Kasus pencemaran: (a) oleh PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Kasus ini menunjukkan ketidaksinergisan antara UU No.11 tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan dengan UU No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. (b) kebocoran pipa minyak/gas milik Pertamina. Kasus ini menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara UU No.9 tahun 1985 tentang Perikanan dengan UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 3. Dicabutnya Pasal 1 angka 18, Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 ayat (4) dan (5), Pasal 50, 51, 60 ayat (1), Pasal 71 dan 75 atau dengan kata lain seluruh pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di dalam UU No.27 Tahun 2007 dinyatakan tidak berlaku berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3/PUU-VIII/2010 dikarenakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dalam merumuskan peraturan perundangan yang berkaitan dengan kepesisiran dan kelautan selama ini belum komprehensif menyebabkan kegiatan pemanfaatan laut antar sektor saling tumpang tindih, Berikut konflik pemanfaatan wilayah pesisir dan laut antar sektoral yang terjadi di Selat Madura Provinsi Jawa Timur:
(Peta Administrasi Provinsi Jawa Timur, 2010)
Gambar 2. Contoh persoalan batas laut wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
4
Berbicara mengenai batas-batas laut (marine boundaries) maka sangat berkaitan dengan aspek kewilayahan/keruangan/geospasial. Unsur utama dari geospasial adalah sistem koordinat, sistem proyeksi, datum horizontal dan vertikal serta skala peta. Berdasarkan hasil identifikasi mengenai sistem referensi geospasial yang digunakan oleh sektor perikanan (kementerian kelautan dan perikanan), pertambangan (kementerian energi dan sumber daya mineral), perhubungan (kementerian perhubungan) dan otonomi daerah (kementerian dalam negeri) dalam penyelenggaraan kegiatan pemanfaatan laut adalah bahwa selama ini kegiatan-kegiatan pemanfaatan laut diselenggarakan berdasarkan sistem referensi geospasial yang berbeda. Perbedaan sistem referensi geospasial ini menunjukkan bahwa pemanfaatan laut termasuk penetapan dan penengasan batas-batas kegiatan diselenggarakan berdasarkan sistem-sistem sektoral. Kondisi ini dapat menimbulkan tumpang tindih batas-batas kegiatan pemanfaatan laut antar sektor yang dapat memicu terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut. Tabel 1 Sistem referensi geospasial yang digunakan oleh sektor perikanan, pertambangan, perhubungan dan otonomi daerah N o
Sektor
1
Perikanan
2
Pertambangan
3
Perhubungan
4
Otonomi Daerah
Sistem Referensi Geospasial Sistem Koordinat Sistem Datum Proyeksi Geodetik (LBH) UTM DGN 95 (WGS84) MSL Geodetik (LBH) UTM, Polyeder DGN 95 (WGS84) Chart Datum (LWS) Geodetik (LBH) UTM, TM DGN 95 (WGS84) Chart Datum (LWS) Geodetik (LBH) dan UTM DGN 95 (WGS84) Geosentrik (XYZ) MLWS
Gambar 3. Visualisasi kegiatan pemanfaatan laut secara sektoral menggunakan sistem referensi geospasial yang berbeda.(Modifikasi dari Natural Resources Canada, 2009)
5
Dari aspek kebudayaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki etnik multikultural. Terdapat sebanyak 10.640 desa (lebih dari 14%) dari jumlah desa di Indonesia (69.249 desa, BPS 2012) adalah desa pesisir dengan luas 35.949.021,30 ha atau 19% dari luas keseluruhan desa-desa di Indonesia. Sekitar 92% desa pesisir di wilayah timur Indonesia adalah desa adat yang mempraktikan pengelolaan sumber daya alam berbasis budaya lokal (Grand Design Pembangunan Desa, 2009) dimana penyelenggaraan pengelolaan laut di wilayah Indonesia bagian timur lebih sering dihadapkan pada eksistensi pengelolaan laut secara adat (ulayat laut). Persoalan yang terjadi adalah adanya eksklusifitas wilayah ulayat laut yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan peraturan adat yang berlaku di wilayah tersebut. Sebagai contoh di Pulau Haruku (Desa Haruku) Provinsi Maluku, batas-batas ulayat laut antar desa ditentukan berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari batas darat lurus ke arah laut, sedangkan untuk menentukan batas ulayat laut desa dengan laut milik umum (public property) atau laut milik bersama (common property) adalah garis imajiner yang berada antara laut dangkal dan laut dalam. Implikasi penetapan batas laut secara adat menimbulkan konflik batas ulayat antar desa adat, contoh: • •
Konflik batas laut adat antar Desa Tutrean dengan Desa Sather di Pulau Kei Besar. Konflik batas laut adat Desa Dian dan Desa Debut perihal izin kontrak Pulau Oiwa kepada pengusaha mutiara PT. Pear Nusantara pada tahun 1994.
Persoalan adat dan kearifan lokal tidak bisa dihindari karena adat dan kearifan lokal merupakan bagian dari sistem kebudayaan di Indonesia. 3. Unsur-unsur Kadaster Kelautan, Asas Keterpaduan dan Asas Kepastian Hukum Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pengelolaan laut di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem otonomi daerah, sistem sektoral maupun sistem adat, kondisi ini merupakan salah satu implikasi Indonesia sebagai negara kepulauan. Membahas mengenai pengelolaan sumber daya laut di Indonesia, maka salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan membandingkan pengelolaan sumber daya laut di beberapa negara maju seperti Australia, Kanada dan Amerika melalui definisi kadaster kelautan (marine cadastre) yang ada di ketiga negara non-kepulauan tersebut. Di Australia pada tahun 1999, Hoogsteden, Robertson, dan Benwell merumuskan definisi marine cadastre sebagai berikut: marine cadastre is a system to enable the boundaries of maritime rights and interests to be recorded, spatially managed and physically defined in relationship to the boundaries of other neighbouring or underlying rights and interests. Kemudian pada tahun 2004 Anderw Binns merumuskan definisi marine cadastre is a spatial boundary management tool which describes, visualises and realises legally defined boundaries and associated rights, restrictions and responsibilities in the marine environment. Kadaster kelautan di Australia digunakan untuk mewujudkan Australia’s Marine Management System yang pada saat itu digunakan untuk mengatur kegiatan oil and gas sector, fisheries, aquaculture, shipping, conservation, marine heritage, cable and pipelines, coastal zone. Konsep kadaster kelautan di Australia sudah diterapkan dibeberapa negara bagian seperti di Queensland dan Victoria. Di Kanada pada tahun 2000 menyelenggarakan kegiatan Good Governance of Canada’s Oceans untuk menyelesaikan masalah batas sebagai langkah awal mewujudkan pengelolaan laut yang efektif dan adil. Marine cadastre didefinisikan oleh Nichols, Monahan dan Sutherland sebagai berikut: a marine cadastre is a marine information system, encompassing both the nature anda spatial extent of the interests and property rights, with respect to ownership and various rights and responsibilities in the marine jurisdiction.
6
Tahun 2002 United States Departemen of Communication (U.S DOC)-National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) merumuskan definisi marine cadastre sebagai berikut: The U.S Marine Cadastre is an information system, encompassing both nature and spatial extent of interests in property, value and use of marine areas. Marine or maritime boundaries share a common element with their land-based counterparts in that, in order to map a boundary, one must adequately interpret the relevant law and its spatial context. Marine boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical evidence of the boundary. Kadaster kelautan dalam pengertian sederhana dapat dikatakan sebagai penerapan prinsipprinsip kadaster di wilayah laut. Secara umum kadaster kelautan bertujuan untuk mengadministrasi ruang laut dan sumberdaya laut termasuk semua kepentingan, hak-hak (rights), batasan (restrictions) dan tanggung jawab (responsibilities) yang ada di wilayah laut. Secara garis besar kadaster kelautan berkaitan dengan bagaimana suatu negara, khususnya Indonesia sebagai negara kepulauan dalam mengelola dan mengatur administrasi sumber daya laut. Kondisi inilah yang menyebabkan definisi-definisi kadaster kelautan dari negara-negara benua (non-kepulauan) seperti Amerika, kanada dan Australia tidak bisa diterapkan seutuhnya di wilayah perairan laut Indonesia. Oleh karena itu diperlukan definisi kadaster kelautan untuk Indonesia yang sesuai karakteristik NKRI sebagai negara kepulauan. Unsur hak di dalam kadaster kelautan ditempatkan di dalam pemanfaatan laut di Indonesia adalah bahwa pemberian hak/ izin kegiatan pemanfaatan laut harus memperhatikan batas kewenangan pengelolaan laut wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota serta batas pemanfaatan laut secara adat. Begitu pula dengan unsur tanggung jawab (responsibility) yang melekat di setiap kegiatan pemanfaatan laut diberikan berdasarkan perundangan negara, peraturan pemerintah daerah, perundangan sektoral, dan tetap memperhatikan hukum adat yang berlaku.Integrasi antara batas laut wilayah provinsi, kota/kabupaten dan adat dapat dilakukan dengan cara memetakan lebih dulu batas pemanfaatan laut adat yang ada di daerah untuk kemudian diakui keberadaannya oleh pemerintah daerah (kota/kabupaten) setempat. Selanjutnya dilakukan penetapan batas kewenangan pengelolaan sumber daya laut sejauh 12 mil untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota yang saling berdampingan maupun berhadapan, sehingga terwujud keharmonisan antara masyarakat adat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan integrasi batas-batas pemanfaatan laut sektoral secara teknis dapat dilakukan menggunakan asas keterpaduan yang tercantum di dalam UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan UU. No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengertian Asas Keterpaduan dalam UU No.27 Tahun 2007 (UU No.1 Tahun 2014) yakni asas ini digunakan untuk mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan pemerintah daerah;dan mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai perbandingan, Asas Keterpaduan berdasarkan UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan informasi geospasial dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang, yang harus saling mengisi dan saling memperkuat dalam memenuhi kebutuhan informasi geospasial, menghindari terjadinya duplikasi, dan mendorong pemanfaatan informasi geospasial bersama. Asas Keterpaduan ini diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan pemanfaatan sumber daya laut secara menyeluruh (holistik) dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholders, baik instansi sektoral, pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, dunia usaha serta masyarakat. Asas keterpaduan selanjutnya dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk implementasi asas keberlanjutan, konsistensi, kemitraan, dan keterbukaan.
7
Asas keterpaduan dapat diwujudkan dengan menggunakan sistem referensi geospasial yang sama untuk beragam kegiatan pemanfaatan di laut. Yang dimaksud dengan sistem referensi geospasial adalah datum geodesi, sistem referensi koordinat dan sistem proyeksi. Menggunakan sistem referensi geospasial yang sama bukan berarti bahwa semua sistem referensi geospasial yang berbeda harus disatukan. Pasal 34 (a) UU No.4 Tahun 2011 menyebutkan bahwa: “sistem proyeksi dan sistem koordinat yang dengan jelas dan pasti dapat ditransformasikan ke dalam sistem koordinat standar nasional.” Pasal ini mengandung pengertian bahwa diperbolehkan dalam hal penggunaan sistem referensi geospasial yang berbeda, dengan ketentuan bahwa sistem referensi geospasial tersebut dapat ditransformasikan ke dalam sistem referensi geospasial nasional. (Gambar 4) Selain penggunaan sistem referensi geospasial nasional, untuk mewujudkan keterpaduan perlu diatur standarisasi informasi geospasial yang mencakup sistem referensi, sistem proyeksi peta, batas wilayah, garis pantai, skala peta dan sebagainya. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) dapat digunakan sebagai acuan beragam kegiatan pemanfaatan laut untuk masing-masing sektor maupun daerah, dan juga sebagai dasar pembuatan Peta Kadaster Kelautan Indonesia.
Gambar 4. Visualisasi keterpaduan kegiatan pemanfaatan laut dalam sistem koordinat nasional .(Modifikasi dari Natural Resources Canada, 2009) Asas Kepastian Hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil (UU No. 1 Tahun 2014). Sedangkan yang dimaksud dengan Asas Kepastian Hukum di dalam UU No.4 Tahun 2011 adalah bahwa penyelenggaraan Informasi Geospasial berlandasakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hak dan kewajiban bagi para pemangku kepentingan. 8
Untuk menjamin kepastian hukum terkait kegiatan pemanfaatan di laut dapat dilakukan dengan menempatkan unsur-unsur kadaster kelautan (right, restriction dan responsibility) untuk seluruh kegiatan pemanfaatan laut yang diselenggarakan langsung oleh masyarakat, maupun melalui pemerintah daerah dan pemerintah pusat (kementerian). Right maupun izin di laut akan diberikan berdasarkan jenis kegiatan pemanfaatan, letak kegiatan pemanfaatan, ruang laut yang digunakan, pola kegiatan pemanfaatan, dan waktu (lamanya) kegiatan pemanfaatan berlangsung. Restriction ditetapkan berdasarkan batas kewenangan laut negara, provinsi, kota/kabupaten dan batas adat yang diakui pemerintah. Responsibility dilakukan berdasarkan perundangan negara, peraturan pemerintah daerah, perundangan sektoral, dan tetap memperhatikan hukum adat yang berlaku. 4. Konsep Networked Goverment Secara kelembagaan untuk membangun integrasi unsur-unsur pemanfataan laut di Indonesia dapat menggunakan pendekatan konsep Networked Government. Networked Government didefinisikan oleh Commonwealth Association for Public Administration and Management/ CAPAM tahun 2004 adalah sebagai berikut: Networked Government is a means of improving performance in government activities, and ultimately community welfare, by way of: 1. Improved cooperation between government agencies, 2. More active and effective consultation and engagement with citizens, and 3. In this globalised world, greater engagement at the international level, including through regional and less formal activities. Dari definisi di atas, dapat diketahui tujuan dari networked government adalah untuk meningkatkan kinerja pemerintah dan kesejahteraan masyarakat diantaranya melalui peningkatan kerjasama antar instansi pemerintah dan keterlibatan masyarakat. Konsep networked government ditempatkan di dalam perspektif tingkat pemerintahan/ kelembagaan yang berbeda adalah bagaimana menyelaraskan prioritas antara pemerintah nasional, regional dan lokal melalui kerjasama antara instansi pusat dan daerah. Networked government dapat diwujudkan diantaranya dengan cara: 1. Membangun jaringan dari pemerintah berdasarkan organisasi dan infrastruktur yang terikat bersama oleh teknologi informasi dan komunikasi. 2. Menghubungkan jaringan berupa sistem berbagai tingkat dan lembaga pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih terintegrasi. Membangun networked government harus didasarkan pada maksud, tujuan dan stategi yang jelas dan memiliki struktur, proses, dan mekanisme yang tepat. Network yang baik akan melibatkan koordinasi, kerjasama, dan konsultasi, tidak kompetisi internal antara lembaga, diperlukan monitoring, evaluasi dan perbaikan secara terus-menerus. Konsep networked government di dalam integrasi unsur-unsur pemanfaatan laut wilayah digunakan untuk memadukan kegiatan-kegiatan pemanfaatan laut oleh beberapa kementerian dan bagaimana mengkaitkan kegiatan pengelolaan laut lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota sehingga membentuk keterpaduan, keharmonisan dan sinergi kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut antar sektor/ kementerian, maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daftar Pustaka Abdulharis, R., Djunarsjah, E., and Hernandi, A. (2008): Stakeholder Analysis on Implementation of Marine Cadastre in Indonesia, Proceedings FIG Working Week, Stockholm, Swedia.
9
Astor, Y., SULASDI, WN., Herdiatiningsih, S., Wisayantono, D. (2013): Identification Problem Of Marine Cadastrein Indonesian Archipelagic Perspective, Proceeding International Seminar and Workshop Hydrography, Batam Island. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. (2006) Bappeda Provinsi Jawa Timur. (2010) Binns, A. (2004): Defining a Marine Cadastre: Legal and Institutional Aspects. Thesis. Departemen of Geomatics, The University of Melbourne, Australia. Binns, A., Rajabifard, A., Collier, P.A and Williamson, I. Developing the Concept of a Marine Cadastre: An Australia Case Study, Departemen of Geomatics, The University of Melbourne, Australia. Djunarsjah, E. (2008): The Study on the Technical and Legal Aspect of Marine Cadastre in Indonesia Toward Natural Resources Preservation and Sustainable Development, LPPM – ITB, Bandung. Hernandi, A,, Abdulharis, R., Hendriatiningsih, S., and Ling, M. (2012): An Institutional Analysis of Customary Marine Tenure in Maluku: Towards Implementation Marine Cadastre in Indonesia, Proceedings FIG Working Week, Roma, Italia. Ives, D., Yan, Y.C. (2004): A Report on Commonwealth Association for Public Administration and Management/ CAPAM’s 10th Anniversary Biennial Conference, Singapore. Natural Resources Canada, (2009): Managing Competing Uses Within Canada’s Ocean Environtment. Ng'ang'a., Nichols., Sutherland., and Cockburn. (2001): Towards A Multidimensional Marine Cadastre in Support of Good Ocean Governance, Canada. Rais, J. (2009): Pengantar Kadaster Laut di Indonesia, Jurnal ISI-UNDIP, Semarang. SULASDI, W.N. (2010): Tingkat Realisasi Pemetaan Komponen-Komponen Integralistik dalam Perekayasaan Wilayah Pesisir dan Lautan di Indonesia, Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung. SULASDI, W.N. (2007): Optimisasi Perekayasaan Hidrografi, Wilayah Pesisir dan Laut, Kelompok Keahlian Sains dan Rekayasa Hidrografi, ITB. Sulistiyo, B. (2004): Sebuah Pemikiran Kadaster Laut sebagai Langkah Menuju Penataan Wilayah Laut, Jurnal, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Tamtomo, J.P. (2004): The Needs for Building Concept and Authorizing Implementation of Marine Cadastre in Indonesia, Jurnal, Indonesia. Tamtomo, J.P. (2006): Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Sudi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau), Disertasi Program Doktor, IPB. Vaez., S. (2009): Marine Cadastres and Marine Administration, Short Course on Modern Cadastres and Land Administration, University of Melbourne, Australia. Wisayantono, D. (2009): Optimisasi Spasial Ratio Lahan dalam Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan, Disertasi Program Doktor, ITB. Widodo, S. (2004): Relationship of Marine Cadastre and Marine Spatial Planning Indonesia, Jurnal, Indonesia.
in
Yuwono. (2006): Pemanfaatan Survai dan Pemetaan Laut untuk Menyongsong Kadaster Laut (Marine Cadastre), Jurnal, Teknik Geomatika FTSP-ITS. Zaenudin, D. (2008): Kajian Aspek Legal dalam Penerapan Kadaster Kelautan di Provinsi Maluku, Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.
10