KONSTRUKSI IDEOLOGIS GERAKAN ISLAM HIZBUT TAHRIR Mutimmah Faidah1 Abstrak Kehadiran Hizbut Tahrir (HT) di Perguruan Tinggi telah mengubah konfigurasi gerakan keagamaan mahasiswa. Sebelum hadirnya HT, dan kelompok keagamaan lainnya seperti Tarbiyah, al-Haramain, Jamaah Tabligh, dan Salafi, afiliasi organisasi keagamaan mahasiswa terkonsentrasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Setelah hadir di Perguruan Tinggi (PT), HMI dan PMII tidak lagi menjadi mainstream (arus utama). Penelitian ini lebih spesifik akan mengkaji konsep, tujuan, dan metode dakwah gerakan fundamentalis Islam Hizbut Tahrir.
1. Pendahuluan Memasuki tahun delapan puluhan, wacana pemikiran Islam di Indonesia mengalami perkembangan signifikan. Indikator untuk membuktikan hal tersebut adalah munculnya karya-karya pemikiran dan penerbitan buku-buku keislaman di Indonesia. Indikator lain adalah lahirnya pemikir-pemikir muslim Indonesia yang secara kuantitas juga secara kualitas pada beberapa segmen semakin bertambah. Indikator terakhir adalah maraknya gerakan, komunitas, jamaah atau kelompok keislaman. Lahirnya gerakan-gerakan ini sebagai konsekuensi logis dari adanya perkembangan wacana keilmuan Islam yang menimbulkan gesekan dialektika intelektual dan pada akhirnya mengarah pada terbentuknya pola pemikiran yang khas, distinktif bahkan berimplikasi pada terwujudnya kelompok-kelompok atau jamaah-jamaah tersebut. Mengkaji lebih jauh tentang indikator terakhir, dapat dilihat dengan maraknya organisasi atau gerakan yang mempunyai kecenderungan penyandaran eksistensinya pada Islam meski dengan variasi dan derajat yang berbeda seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Hizbut Tahrir (HT), Tarbiyah, Jamaah Tabligh (JT), dan kelompok Salafi. Jaringan Islam Liberal sering diidentikkan dengan kelompok muslim liberal. Sedang Gerakan Hizbut Tahrir dan kelompok Salafi sering disebut sebagai kelompok fundamentalis (Afandi Agus, 2000:117). Kelompok-kelompok Islam tersebut selain mempunyai pemikiran-pemikiran yang dipegang teguh para ¹ Penulis adalah dosen tetap jurusan PKK FT Unesa
1
pengikutnya, juga mempunyai cara-cara atau metode dakwah yang digunakan dalam penyebaran ide, komunikasi, dan penetrasinya ke masyarakat (Damanik, 2002: 56). Kehadiran HT di kampus-kampus Perguruan Tinggi telah mengubah konfigurasi gerakan keagamaan mahasiswa. Sebelum hadirnya HT, dan kelompok keagamaan lainnya seperti Tarbiyah, al-Haramain, Jamaah Tabligh, dan Salafi, afiliasi organisasi keagamaan mahasiswa terkonsentrasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tulisan ini lebih spesifik akan mengkaji konsep, tujuan, dan metode
dakwah gerakan
fundamentalis Islam Hizbut Tahrir.
2. Pembahasan a. Hizbut Tahrir: Konstruksi Historis dan Ideologis Lahirnya suatu kelompok fundamentalis tidak hanya didasarkan pada pertimbangan keagamaan, melainkan juga karena adanya proses dialektis dengan kehidupan sosial. Dalam konteks ini HT dapat dijadikan contoh. HT dilahirkan oleh al-Nabhani setelah merevisi metode dakwah Ikhwan al-Muslimin di Mesir, tidak hanya mendasarkan pada pertimbangan moral agama. Bagi al-Nabhani, pendirian HT merupakan jawaban konkret terhadap persoalan empirik umat Islam. Aktivitas HT adalah mengemban Islam sebagai sarana mengubah realitas masyarakat yang rusak dan mentransformasikan menjadi masyarakat yang Islami. Hal ini dilakukan dengan cara mengubah pemikiran yang tidak Islami menuju pemikiran Islami, yang akhirnya permikiran tersebut menjadi public opinion di masyarakat yang mampu menggiring masyarakat untuk mengimplementasikannya. HT
merupakan
organisasi
politik
yang
mendasarkan
dirinya
pada
pemikiran-pemikiran Islam. Artinya, dalam aktivitasnya HT selalu memperhatikan dan memelihara serta memecahkan urusan masyarakat agar sesuai dengan hukum-hukum Shara'. Salah satu bentuk yang menonjol sekaligus komitmen HT di bidang politik adalah aktivitasnya dalam menentang sistem kekufuran, keyakinan yang keliru dengan menjelaskannya kepada umat akan kekeliruannya
2
dan kerusakannya serta menjelaskan hukum Islam dalam masalah tersebut (Hizbut Tahrir, 1964: 44).
b. Hizbut Tahrir: Eksemplar Islam Fundamentalis Memasukkan HT ke dalam kategori kelompok fundamentalis Islam sebenarnya bukan hal mudah. Dalam pemahaman yang bersifat common sense istilah fundamentalisme terlanjur diberi label negatif. Fundamentalisme, misalnya, dengan begitu mudahnya dikaitkan dengan praktik kekerasan yang menggunakan agama. Pencitraan tersebut sulit dibantah. Di Indonesia bisa dijadikan contoh. Setidaknya ada dua peristiwa besar yang selalu dirujuk untuk memperjelas praktik kekerasan yang menggunakan agama, yaitu peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan pengeboman Hotel J.W. Marriot di Jakarta pada Agustus 2003. Dari sejumlah analisis diantaranya menempatkan agama sebagai faktor pembenar dan pendorong aksi tersebut. Bagi sementara kalangan, dilibatkan agama pada sejumlah aksi kekerasan seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis dipandang sebagai bentuk anomali dan esoteris agama yang justru menghendaki hal sebaliknya, yaitu perdamaian. Dari telaah sosiologis, adanya kecenderungan agama dilibatkan dalam praktik kekerasan dipandang sebagai kelanjutan dari proses konstruksi terhadap doktrin agama yang tidak pernah sepi dari berbagai kepentingan, contoh doktrin jihad. Konstruksi terhadap konsep ini, ada yang memahaminya secara tegas (firm); jihad sebagai doktrin suci (holy war) dan kekerasan suci (sacred violence). (Samudra Imam, 2004: 17). Tetapi ada juga yang memahami konsep jihad secara lebih lunak. Tentu saja konstruksi tersebut akan melahirkan tindakan sosial yang berbeda. Bagi yang memahami jihad sebagai kekerasan dan perang suci, dibenarkan melakukan tindakan penyerangan terhadap kelompok lain, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan suatu alasan yang dibenarkan oleh doktrin agama. Salah satu bentuk kekerasan yang didorong oleh makna jihad adalah terorisme. (Rapoports, 2003: 132). Dengan adanya citra yang melekat kuat pada sebagian masyarakat bahwa fundamentalisme suka melakukan aksi kekerasan agama seperti teroris, tentu
3
terilalu berisiko memasukkan HT ke dalam kategori kelompok fundamentalisme. Apalagi beberapa tokoh HT bersikap kritis, bahkan ada yang menolak penggunaan fundamentalisme terhadap Islam. Tokoh HT yang secara terang-terangan menolak fundamentalisme adalah Abd Qadim Zallum. Alasan penolakan Zallum ada dua. Pertama, fundamentalisme tidak ditemukan dalam kosa kata Islam. Pada awalnya istilah fundamentalisme digunakan dalam agama Protestan yang menolak terhadap penafsiran terhadap Injil. Dengan mempertimbangkan konteks historis munculnya istilah. Kedua, Zallum menolak istilah fundamentalisme, karena fundamentalisme sering diidentikkan dengan terorisme (Zallum Abdul Qadim: 1993). HT sendiri menolak penggunaan kekerasan fisik untuk meraih target perjuangannya. Alasan yang digunakan HT karena daulah khilafah Islam belum berdiri. Selama daulah khilafah Islam belum berdiri, menurut aktivis HT tidak dibenarkan menggunakan kekerasan. Kekerasan hanya digunakan setelah daulah khilafah Islam berdiri sebagai metode menyebarkan aqidah dan syariah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tetapi penggunaan kekerasan dalam pandangan HT bukan satu-satunya cara. Kekerasan
hanya
digunakan
dalam keadaan yang terpaksa jika pada
tahapan-tahapan sebelumnya mengalami kegagalan. Daulah khilafah Islam oleh HT dipandang bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai metode (tariqah) dalam mengembalikan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. (Haikal, 1996: 40). Meskipun unsur kekerasan tidak begitu menonjol dalam gerakan terutama sekali ketika daulah khilafah Islam belum berdiri, HT tetap diikategorikan sebagai kelompok fundamentalis Islam. Istilah fundamentalis dalam penelitian ini digunakan semata-mata sebagai tipe ideal yang menggambarkan karakteristik HT yang berbeda dengan kelompok lain dalam Islam. Para ahli seperti Roxanne L. Euben, Barry Rubin, dan Tibi berpandangan tentang fundamentalisme sebagaimana dikutip Arifin (2006: 3), menurtut Euben, fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religio politik yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem yang didasarkan pada agama. Pandangan Euben senada dengan pandangan Tibi yang mengidentifikasikan fundamentalisme sebagai ideologi politik didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan
4
sosiopolitik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Orientasi gerakan fundamentalisme seperti digambarkan oleh Euben dan Tibi tersebut merupakan kelanjutan belaka dari cara pandang kelompok fundamental terhadap doktrin agama yang dipeluknya. Dalam memahami suatu teks, kelompok fundamentalisme lebih menekankan pada makna harfiah untuk menemukan landasan yang otentik dalam menawarkan agamanya sebagai alternatif pemecahan masalah publik. Jika dilihat dari pandangan ini, HT dapat diikategorikan sebagai kelompok fundamentalisme. Sejak awal berdirinya sampai dalam perkembangannya saat ini, khittah gerakan HT adalah politik. Bagi HT, politik merupakan instrumen yang sangat penting dalam mengentas persoalan keterpurukan umat Islam dan membawanya kembali seperti pada masa kejayaannya. Politik yang dikehendaki HT adalah suatu sistem yang memiliki landasan kuat dalam al-Qur'an dan alHadith. HT menyebut khilafah sebagai satu-satunya sistem politik yang wajib ditegakkan kembali oleh umat Islam. Penerimaan secara total terhadap institusi khilafah merupakan kelanjutan belaka dari cara memahami doktrin Islam yang cenderung skriptual. Pandangan HT tentang kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada firman Allah dalam al-Quran seperti dalam surat al-Ma-'idah ayat 48-49 dan al-Nisa' ayat 59 (Karunia, 2005: 47). Selain didasarkan pada al-Qur'an, HT juga mendasarkan pendiriannya pada sejarah Islam, bahwa sejak zaman Nabi Muhammad sampai pada zaman Daulah Uthmani, daulah khilafah Islam telah menjadi fakta sejarah yang berhasil memajukan peradaban Islam. Tentu saja, cara pandang HT tersebut berseberangan dengan pandangan yang kritis terhadap institusi khilafah.
c. Dakwah Aktivis Hizbut Tahrir Dakwah HT diorientasikan untuk membentuk masyarakat yang sadar khilafah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fikr al-Islami penting untuk memberi kesadaran kepada umat bahwa kemaslahatan di dunia akan terjadi bila Islam dijadikan acuan, sehingga harus ditekankan bahwa penyelamatan dunia
5
tanpa Islam adalah mustahil. Dan harus dijelaskan kepada masyarakat bahwa mewujudkan Islam di gelanggang kehidupan manusia tanpa al-Dawlah al-Islamiyah adalah khayalan. Mewujudkan negara Islam tanpa umat Islam adalah waham. Dan menjadikan umat Islam agar merealiasikan al-Dawlah al-Islamiyah tanpa kesadaran politik adalah khayalan. Dengan demikian, kesadaran polilik bagi seluruh umat adalah penting (Ismail, 1958: 36). Sementara itu, dalam kitab Nizam al-Hukm dijelaskan bahwa dakwah untuk masa sekarang ini adalah dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan mengupayakan terwujudnya dawlah al-Islam yang mampu menerapkan hukum Islam (Hizbut Tahrir, 1953: 123). Semua langkah yang dipilih tersebut dilakukan dengan keras dan tegas menentang kekufuran dan adat kebiasaan yang sesat. Demikian juga Hizbut Tahrir dalam langkahnya menentang penguasa dengan tegas, jelas, tidak basa-basi, tidak pura-pura dan tidak mengambil muka. Hanya saja, segala aktivitas tersebut dilakukan sebatas aktivitas politik yang tidak akan menggunakan sarana-sarana fisik dan senjata. Langkah seperti ini pun juga meniru Nabi yang ketika di Makkah tidak menggunakan kekuatan fisik atau senjata hingga hijrah ke Aqabah kedua agar dibolehkan memerangi penduduk Mina dengan pedang karena telah menghalangi dan menyakiti Nabi, namun Nabi menjawab dengan jelas (Hizbut Tahrir, 1999: 87). Dari pemaparan tersebut dapat diambil konklusi bahwa upaya dakwah untuk menyadarkan umat akan pentingnya politik adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar. Terlebih lagi kesadaran politik yang terkait dengan penegakan khilafah adalah hal urgen yang harus segera direalisasikan. Sehingga wajar jika Khilafah bagi aktivis Hizb al-Tahrir tersebut adalah urusan hidup dan mati (Ismail, 1958: 55). Adapun metode dakwah HT dengan penyadaran masyarakat ada tiga langkah yang harus dilakukan yaitu :
(1) Langkah pembinaan/penyadaran (al-Thathqif) (2) Langkah interaksi dengan umat (al-Shira ma al-Ummah)
6
(3) Langkah penegakan kekuasaan dengan hadirnya dawlah Islam sekaligus penerapan nilai-nilai Islam di dalamnya (al-Nabhani, 1995: 55). Pertama; pembinaan umat. Pada langkah ini terdapat benih-benih awal yang tersusun dalam kelompok diskusi yang sering disebut HT dengan halaqah. Kelompok ini akan berinteraksi dengan masyarakat secara individual dengan pengisian ide-ide atau pemikiran-pemikiran dari Hizbut Tahrir. Siapa saja yang menerima ide HT, mereka akan dihimpun secara intensif di halaqah-halaqah, sampai mereka menyatu dengan ide-ide dan hukum-hukum yang telah ditetapkan HT. Mereka adalah aktivis HT yang mempunyai pola pikir Islami, sehingga menjadikannya
ketika melihat, berbuat dan memutuskan kejadian dan
menyelesaikan masalah berdasarkan ide-ide tersebut. Dengan demikian, dalam pembinaan ini bukan sekedar taklim atau transfer ilmu semata, tetapi yang harus diperhatikan adalah dalam pembinaan ini harus ditekankan pentingnya praktik dan gerak di masyarakat dengan ilmu yang dimiliki.( Hizbut Tahrir, 1999: 38). Selain aktivis HT akan memiliki pola pikir Islami, mereka juga akan mempunyai pola jiwa dan emosi yang Islami. la akan menjadikan dan mengikuti kemanapun Islam melangkah. la akan ridha terhadap apa yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya, dan ia akan marah dan menolak segala hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Jika seorang individu telah sampai pada level ini, dia sendirilah yang akan mendorong dan menjadikan dirinya bergabung dengan HT (Al-Qassas Ahmad, 1995: 58). Langkah pertama dari dakwah HT ini diklaim sebagai hal yang meniru Nabi. Nabi pada tahap pertama dari dakwahnya yang berlangsung selama tiga tahun menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat secara perorangan dengan menawarkan apa yang telah diberikan Allah. Nabi memperlihatkan perhatian yang besar terhadap individu yang dibina ini. Nabi terbiasa bertemu secara rahasia kepada para binaannya di tempat tertentu. Nabi juga melakukan ibadah secara sembunyi hingga berita Islam ini tersebar di Makkah di mana masyarakat mulai membicarakan tentang Islam dan sejumlah kelompok masuk agama ini.(Hizbut Tahrir, 1964: 78).
7
Kedua, interaksi aktivis HT bersama umat. Setelah terwujud pembinaan terhadap individu-individu yang telah menerima ide-ide HT maka para aktivis ini berinteraksi
dengan
umat
atau
masyarakat
untuk
menyebarkan
pemahaman-pemahaman baik berupa hukum, pendapat atau opini yang ditetapkan oleh HT (al-Nabhani, 1953: 90).Dalam langkah interaksi dengan masyarakat terdapat beberapa aktivitas yang harus dilakukan (1) Pembinaan
terpusat
(al-
Thaqafah al-Murakkazah) bagi individu-individu untuk menumbuhkan kerangka gerak Hizbut Tahrir, memperbanyak aktivis, menciptakan kepribadian Islam dalam diri individu yang tangguh sebagai bekal dalam perang pemikiran di masyarakat (Hizbut Tahrir, 1964: 43); (2) Pembinaan secara kolektif (al-Thaqafah al-Jamaiyyah) terhadap masyarakat dengan pemikiran dan hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Hizbut Tahrir baik dari kitab-kitab, lembaran maupun nashrahnya. Tempat-tempat pembinaan ini bisa di masjid, perkuliahan atau tempat-tempat berkumpulnya orang. Tujuan pembinaan ini adalah untuk menciptakan kesadaran umum yang dengannya Hizbut Tahrir mampu memimpin rakyat dalam usahanya menegakkan khilafah Islam (Hizbut Tahrir, 1964: 47); (3) Merobohkan dan memotong pemikiran yang batil (al-Sira’ al-Fikr) seperti aqidah, pemikiran dan aturan-aturan kufur, juga terhadap ideologi, pemahaman dan pemikiran yang salah dengan membuka kedok kepalsuan serta kontradiksinya dengan Islam. Hal ini semua dilakukan untuk membebaskan umat dari belenggu perang pemikiran Ghazw al-Fikr yang dilancarkan Barat (Hizbut Tahrir, 1964: 48); (4) Perjuangan politik (al-Kifah al-Siyasi) seperti melawan negara-negara penjajah baik dalam ekonomi, politik, militer maupun budaya serta mengungkap strategi-strateginya, membongkar persekongkolannya untuk membebaskan umat dari genggamannya. Perjuangan politik juga ditujukan kepada negara-negara Arab dan negara-negara yang penduduknya muslim dalam hal mengungkap penindasan dan perampasan hak-hak rakyat serta aturan-aturan dan perbuatan penguasa yang bertentangan dengan Islam. Perjuangan politik ini juga diikuti dengan menetapkan
8
pemeliharaan urusan mereka dan kemaslahatannya berdasar hukum shara' (Hizbut Tahrir, 1964: 49); (5) Memilih dan menetapkan kemaslahatan umat, melayani dan mengatur seluruh urusan umat sesuai dengan hukum shara' (Hizbut Tahrir, 1999: 86). Di dalam langkah kedua ini terdapat fase yang disebut dengan mencari pertolongan dan perlindungan (talab al-nusrah). Fase ini akan ditempuh bila ternyata masyarakat bersifat jumud atau diam terhadap seruan Hizbut Tahrir, bahkan berusaha menyakiti .dan menyiksa pengikutnya, maka dalam kondisi demikian, Hizb al-Tahir akan berusaha mencari pertolongan dan perlindungan kepada tokoh-tokoh yang mampu melindunginya. Dikatakan perilaku seperti ini juga merupakan uswah dari Nabi yang ketika itu disakiti masyarakat Arab sehingga mencari pertolongan kepada suku-suku di Arab (Hizbut Tahrir, 1964: 65). Ketiga, meraih kepemimpinan. Dalam langkah ini, Hizbut Tahrir mampu mendapatkan kekuasaan melalui umat dan selanjutnya mengemban ideologi mabda' secara revolusif dan menyeluruh bukan secara parsial dan gradual pada masyarakat. Dalam langkah ini adanya usaha mengemban dakwah ke seluruh dunia dengan Khilafah Islam sebagai pilar utama ( al-Nabhani, 1953: 87).
d. Konsep dan Tujuan Gerakan Fundamentalis Islam Hizbut Tahrir Tujuan berdirinya Hizbut Tahrir melanjutkan kehidupan Islam dan dakwah Islam dengan cara mengaplikasikan aturan-aturan Islam dalam masyarakat yang dinaungi dalam bentuk negara Islam internasional (Daulah Islam atau Khilafah Islam). Dengan cara mendirikan negara Islam ini, umat Islam akan mampu membebaskan diri dari cengkraman Barat baik secara politik maupun kultural. Lebih dari itu, pada realitasnya seluruh tanah dan negeri muslim, terutama di Timur Tengah, menerapkan undang-undang dan sistem kufur, hanya pada hukum-hukum tertentu yang menggunakan hukum Islam seperti hukum perkawinan, perceraian, warisan dan lain-lain, maka kembali mengaplikasikan aturan Islam secara total adalah suatu keniscayaan (Hizbut Tahrir, 1999: 37).
9
Aktivitas politik yang lain adalah pertarungan HT dengan negara-negara kufur yang telah mendominasi negeri-negeri muslim dengan berupaya membebaskan mereka dari cengkraman dan hegemoninya. Sekalipun HT mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi politik, namun HT tidak mau berpartisipasi dalam sistem pemerintahan yang sedang berjalan (ruling system). Sebab ruling system yang ada sekarang ini berdasarkan hukum kufur dan ini adalah pantangan bagi muslim. Selain itu, hal tersebut juga tidak akan membantu muslim meningkatkan ekonomi, sosial, pendidikan dan moral, bahkan akan memperkuat dan memperpanjang sistem kufur dan tiran yang sedang berjalan. Dengan deklarasi bahwa HT adalah organisasi politik, HT sekaligus menegaskan bahwa organisasinya bukan kelompok keruhanian, juga bukan organisasi pendidikan dan saintifik, demikian pula bukan organisasi yang bergerak di bidang sosial-kesejahteraan (Hizbut Tahrir, 1999: 38). Selain terdapat pandangan kritis yang membatasi riwayat khilafah hanya sampai pada masa khalifah rashidah, ada pandangan kritis lainnya yang menempatkan khilafah tidak lebih sebagai institusi sosial dan profetik kesejarahan (historical property) masa silam, serta sebagai konsep yang tidak memiliki landasan tekstual yang konklusif dalam Islam. Dengan wataknya yang demikian, institusi politik dalam Islam, seperti khilafah, akan terus mengalami perubahan mengikuti perubahan properti sosio-kultural pengisinya. Pendapat ini, di sisi lain ingin mematahkan argumen yang memposisikan institusi khilafah pada derajat yang lebih tinggi dengan institusi politik modern seperti kepresidenan (Subagio Agung Ari: 2004). HT tetap bersikukuh dengan pendiriannya bahwa khilafah memiliki watak universal yang diterapkan di dalam suatu rentang waktu sejarah yang panjang. Pendirian tersebut semakin kuat manakala melihat fakta umat Islam pada saat ini yang amat menyedihkan menyusul berakhirnya institusi khilafah pada 1924 Pasca kejatuhan khilafah Islam, umat Islam menurut HT menghadapi keadaan menyedihkan, Pertama, kehidupan politik umat Islam didominasi sistem politik kufur. Kedua, hukum-hukum Allah terlantar. Ketiga, umat Islam tidak memiliki
10
payung politik yang bisa melindungi nasib umat.
Dalam pandangan HT, hanya
ada satu solusi agar umat Islam bisa keluar dari keadaan yang menyedihkan tersebut, yaitu dengan menegakkan daulah khilafah Islam. Dengan demikian, khilafah bagi HT merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar lagi. HT juga berpandangan mengembalikan daulah khilafah merupakan kewajiban kolektif (Kassim, 1994: 34). HT selain mempunyai pemikiran di atas, juga memiliki pemikiranpemikiran keislaman yang lain; mulai cara menegakkan khilafah yang telah ambruk, metode memasuki dan mempengaruhi masyarakat, hingga pemikiran teologi, usul fiqh, fiqh, sosial kemasyarakatan, politik dan pemikiran-pemikiran cabang yang lain. Beragamnya pemikiran HT tidak terlepas dari keberadaan jamaah itu yang mengklaim bahwa Islam sebagai solusi seluruh problem hidup manusia. Dari beragam pemikiran HT, terdapat ide penting yang merupakan mainstream
pemikirannya,
bahkan
menjadi
penopang
eksistensi
dan
perjuangannya yang menarik untuk dikaji. Pemikiran tersebut adalah model negara versi HT yang sering disebut dengan khilafah. Khilafah menurut HT merupakan hal yang urgen untuk diwujudkan di muka bumi. Untuk menunjukkan urgensi khilafah, aktivitas kaum muslimin seluruh dunia yang paling utama dan mendesak dilakukan sekarang adalah masalah khilafah. Mendirikan khilafah merupakan suatu kewajiban fardu kifayah. Sekalipun menegakkan khilafah suatu fardu kifayah, namun selama khilafah belum
berdiri,
maka
setiap
individu
muslim
mempunyai
kewajiban
menegakkannya tanpa pandang bulu hingga khilafah berdiri. Selama belum berdiri, semua kaum muslimin terkena kewajiban tersebut. Untuk lebih menguatkan bahwa menegakkan khilafah dan melantik seorang khilafah adalah wajib, HT masih menambahi dengan pernyataan bahwa khilafah merupakan mahkota dari segala kewajiban dari Allah, menegakkannya merupakan kewajiban yang utama, bahkan berjuang menegakkan HT merupakan kewajiban yang paling agung dalam agama. Barangsiapa yang menyepelekan,
11
maka hal tersebut adalah maksiat, bahkan maksiat yang paling besar yang akan disiksa oleh Allah dengan siksa yang amat pedih (Ismail: 1998: 23) Selain HT menjelaskan tentang urgensi khilafah, kelompok ini juga menegaskan dalam berbagai karyanya bahwa pemikiran khilafah adalah model negara Islam yang khas, distinktif, tersendiri dan sangat berbeda dengan model kenegaraan yang ada saat ini seperti model kerajaan, republik, kekaisaran, federasi atau model-model yang lain. Perbedaan ini menyangkut asas yang darinya muncul aturan atapun pemikiran, pemahaman dan standar acuan yang digunakan untuk mengatur rakyatnya; demikian juga dari bentuk, maupun perundang-undangan yang diberlakukannya. Lebih dari itu, model kenegaraan yang ada saat ini selain tidak sama dengan khilafah, juga telah melenceng dan tidak bisa ditolelir eksistensinya karena menyalahi aqidah Islam. Secara lebih sistematis konsep, tujuan dan metode dakwah Hizbut Tahrir dapat diringkas dalam tabel berikut :
Tabel 4.2.1 Tabel konsep, tujuan, dan metode dakwah HT Konsep Membebaskan
Tujuan Memulai
Umat Islam dari dengan kekufuran sistem kufur
dan melalui
kehidupan
Metode Islam Tahap - tahapnya ;
menegakkan
syariah (1) Pembinaan umat
Sistem
Khilafah (2) Perang pemikiran
Islamiyah
dan aktivitas politik (3) Penegakan khilafah
Adapun tahapan dakwah HT dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.2.2 Tabel tahap, metode, dan strategi dakwah HT No
Tahap
Metode
Strategi
12
1.
Pertama
Pembinaan Ummat
(1) Penjaringan calon kader( Halaqah, diskusi, dialog) (2) Halaqah intensif kader dan anggota HT
2.
Kedua
Perang
Pembentukan opini publik (kritisi kebijakan
pemikiran
pemerintah,
menyerang
ide-ide
kafir
dan aktivitas kapitalistik, pemberian alternatif solusi Islam) politik 3.
Ketiga
Penegakan
Meminta
bantuan
Khilafah
khilafah Islam
penguasa
menegakkan
3. Simpulan Dari pemaparan data tentang Gerakan Islam Hizbut Tahrir, dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Hizbut Tahrir adalah organisasi politik berdasar Islam yang memiliki tujuan menegakkan shariah Islam melalui berdirinya khilafah Islamiyah yang memimpin seluruh umat Islam di bawah satu bendera Islam. (2) Metode dakwah HT menempuh tiga tahap yaitu pembinaan umat, perang pemikiran dan aktivitas politik umat untuk menumbangkan ide-ide dan sistem kufur serta penegakan khilafah. Fenomena maraknya dakwah HT merupakan bentuk risaunya masyarakat menghadapi problem sosial yang menyentuh seluruh lini kehidupan di Indonesia. Solusi alternatif dari HT walaupun belum terbukti secara empiris ternyata dapat memberikan pesona kepada sebagian kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian mendalam terkait relasi Islam dan negara. Tawaran HT dengan pendirian khilafah Islam sebagai solusi dari problematika hidup masyarakat masih debatebel dan perlu dikaji kebenaran teoritisnya.
13
Daftar Rujukan Afandi, Agus. 2000. “Melihat Sisi-Sisi Kelompok Keagamaan di Perguruan Tinggi Umum” Paramedia, Vol. 1 No 2 (Juli, 2000). Al-Nabhani, Taqiyuddin. 1995. Nizam al-Islam. Beirut: Dar al-Mashriq. Arifin, Syamsul. 2006. “Pertautan Agama Dalam Ideologio dan Gerakan Sosial: Pengalaman Hizbut Tahrir” Akademia. Vol 18, nomor 2 (Maret 2006). Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approachs. London: Sage Publications Ltd. Damanik, Ali Said. 2002. Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 tahun Gerakan Tarbiyah Islam di Indonesia. Jakarta: Teraju. Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama, ter. A. Sudiazja, dkk Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Haikal, Muhammad. 1996. al-Jihad wa al-Qital fi al-Siyasah al-Sariah. Beirut: Far al-Mashriq. Hizbut Tahrir. 1953. Mafahim Hizb al-Tahrir fi al-Taghyir. Beirut: Dar alMaktabah al-Ilmiyyah. ____________. 1964. Manhaj Hizb al-Tahrir. Amman : Maktabah Hizbiyyah. ____________. 1983. Mithaq al-Ummah. Amman : Maktabah Ilmiyyah ____________. 1999. al-Daulah al-Islamiyah. Amman: Maktabah Hizbiyah. Ismail, Muhammad. 1958. al-Fikr al-Islami. Beirut: al-Maktabah al-Wa’ie. Koentjaraningrat, Suripan Sadi. 1982. “Metode Wawancara” dalam MetodeMetode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, hal 129-132. Kurnia, MR. 2005.“Tiga Isu Utama Dakwah Islam” al-Wai’ie. No 57 Tahun V, (1-31 Mei). Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Regemonik. Surabaya Lembaga Pengkajian Agarna dan Masyarakat. Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
14
Newman, Isadora dan Carolyn R. Benz. 1998. Qualitative-Quantitatative Research Methodology: Exploring the Interactive Continuum. USA: Southern Illinois University Press. Rapoports, David. 2003. “Teror Suci: Contoh Terkini dari Islam”,Origins of Terorism. Jakarta: Grafindo. Samudra, Imam. 2004. Aku Melawan Teroris Solo : Jazeera Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Sunarto. 2001. Metodologi Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan. Surabaya: UNESA University Press. Taqiuddin, al-Nabhani. 1995. al-Takattul al-Hizbi. Beirut: Dar al-Ummah. Wibisono, Koento. 2004. Filsafat Ilmu. Surabaya: Modul Kuliah Program Pascasarjana IAIN S.Ampel. Zallum, Abdul Qadim. 1993. The Metodology of Hizbut Tahrir For Change. London: al-Khilafah Publications.
15