KONSTITUSI BACKGROUND DAN KARAKTER FENOTIPIK GALUR-GALUR TOLERAN TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR DARI POPULASI BC2F6 TANAMAN PADI (Oryza sativa L.)
SUWAJI HANDARU WARDOYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Konstitusi Background dan Karakter Fenotipik Galur-galur Toleran terhadap Defisiensi Fosfor dari Populasi BC2F6 Tanaman Padi (Oryza sativa L.)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014
Suwaji Handaru Wardoyo NIM P051100171
RINGKASAN SUWAJI HANDARU WARDOYO. Konstitusi Background dan Karakter Fenotipik Galur-galur Toleran terhadap Defisiensi Fosfor dari Populasi BC2F6 Tanaman Padi (Oryza sativa L.). Dibimbing oleh MIFTAHUDIN dan SUGIONO MOELJOPAWIRO. Kemasaman, defisiensi P dan kekeringan merupakan masalah utama dalam pertanian padi di tanah Ultisol di Indonesia. Pengembangan galur padi yang toleran terhadap masalah tersebut diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk P. Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi dan mengevaluasi galurgalur padi yang telah mendapatkan sisipan lokus Pup1. Penelitian ini terbagi dalam 3 percobaan, yaitu 1) Analisis konstitusi background, 2) Evaluasi populasi BC2F6 dibawah kondisi cekaman Al, dan 3) Pengaruh lokus Pup1 pada kondisi kekeringan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Molekular dan Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) mulai November 2011 sampai Mei 2013. Analisis molekuler dilakukan dengan menggunakan seleksi foreground dan background, evaluasi cekaman Al menggunakan larutan hara Yoshida dengan rancangan petak terpisah, danevaluasi cekaman kekeringan menggunakan rancangan acak lengkap untuk uji PEG 8000 dan rancangan petak tepisah untuk uji DTA (daya tembus akar). Hasil evaluasi foreground menunjukkan bahwa lokus Pup1 telah terintegrasi, walaupun beberapa galur (SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20) menunjukkan integrasi yang tidak sempurna. Evaluasi background mengindikasikan bahwa proporsi maksimum pengembalian genom Situ Bagendit pada galur-galur turunan mencapai 95,7%. Evaluasi cekaman Al memperlihatkan bahwa pada kondisi kurang P dan cekaman Al, galur turunan SN lebih toleran dari galur turunan SK. Lokus Pup1 terlihat terekspresi dengan baik pada kondisi kurang P dan tanpa adanya cekaman Al. Beberapa galur toleran terhadap larutan PEG 8000 konsentrasi 20%. Pada percobaan DTA diperoleh satu galur turunan SK dan turunan SN yang daya tembusnya relatif sama dengan Cabacu (kontrol toleran kekeringan). Kata kunci:Cekaman Al, defisiensi P, DTA, Kekeringan, Lokus Pup1, PEG 8000, seleksi background, seleksi foreground
SUMMARY SUWAJI HANDARU WARDOYO. Constitutional Background and Phenotypic Character of Tolerant Lines to Phosphorus Deficiency on Rice BC2F2 Population (Oryza sativa L.).Supervised by MIFTAHUDDIN and SUGIONO MOELJOPAWIRO. Acidity soil, Phosphorus deficiency, and drought stress are major problems in Indonesia’s Ultisol rice farming. Development of rice lines tolerant to those are expected to reduce the consumption of P fertilizer. This objectitves of the research were to verify and evaluate Pup1 locus integration in BC2F6 rice lines. This research was divided into three experiments, i.e: 1) Analysis of constitutional background, 2) Evaluation of the BC2F6 population under Aluminium (Al) stress, and 3) The role of Pup1 locus on rice tolerance to drought stress. This research was conducted at Molecular Biology Laboratory and Greenhouse Indonesian Center for Agricultural Biotechnologi and Genetic Resources Research and Development (ICABIOGRAD) from November 2011 to May 2013. Molecular analysis was performed using foreground and background selection, evaluation of Al stress was performed using Yoshida nutrient solution on split plot design, and evaluation of drought stress was performed using a completely randomized design for PEG 8000 test and split plot design for root penetration test (DTA). The results of foreground analysis showed that Pup1 locus has been integrated into the genome of BC2F6 lines, eventhough some lines (SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20) showed the incomplete integration. Background analysis indicated that majority (95,7%) of the Situ Bagendit background has been recovered in the BC2F6 rice lines. Al stress evaluation showed SN lines were more tolerant to P deficient and Al stress than that of SK lines. Pup1 locus showed good expression under low P and no Al stress. There were several rice lines that tolerant to 20% PEG 8000 solution, while DTA test was obtained 1 SK and 1 SN lines that have similar root penetration ability to variety Cabacu, a drought-tolerant control rice. Keywords: Al stress, P deficiency, DTA, drought, Pup1 locus, PEG 8000, background selection, foreground seletion
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONSTITUSI BACKGROUND DAN KARAKTER FENOTIPIK GALUR-GALUR TOLERAN TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR DARI POPULASI BC2F6 TANAMAN PADI (Oryza sativa L.)
SUWAJI HANDARU WARDOYO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Joko Prasetiyono, SP, MSi
Judul Tesis : Konstitusi Background dan Karakter Fenotipik Galur-galur Toleran terhadap Defisiensi Fosfor dari Populasi BC2F6 Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Nama : Suwaji Handaru Wardoyo NIM : P051100171
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Miftahudin, MSi Ketua
Prof (R) Dr Ir Sugiono Moeljopawiro, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian Terbuka : 7 Juli 2014
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puja-puji penulis haturkan kepada Allah Swt, Tuhan Yang Menggenggam Langit dan Bumi, atas anugerah Karunia dan Cahaya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena adanya bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Dr Ir Miftahudin, MSi, Bapak Prof (R) Dr Ir Sugiono Moeljopawiro, MSc dan Bapak Dr Joko Prasetiyono, SP, MSi atas segala jerih payah, waktu dan pengorbanannya yang telah dicurahkan dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi penyelesaian penelitian ini. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Ketua Progam Studi Bioteknologi, Prof Dr Ir Suharsono, DEA atas izin dan rekomendasinya.Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada Kepala LPMP DKI Jakarta, Drs Abdul Mu’id Zein, MPd atas dorongan moril, bantuan biaya dan izinnya. Secara khusus, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada kedua Bapakku, kedua Ibuku, my beloved, dan seluruh keluargaku atas segala perhatian, pengertian, kasih sayang dan bantuannya Penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya pula kepada Bu Tasliah MSi, Pak Mahruf, Pak Endang Ibrahim, Pak Ahmad Dadang SSi, Mbak Yuri SSi, dan Pak Suganda serta seluruh karyawan Laboratorium BM dan Rumah Kaca BB Biogen atas segala bantuan selama penulis melaksanakan penelitian. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan, teman BTK-2010, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan pengetahuan kemampuan dan pengalaman penulis sendiri. Semoga Karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Suwaji Handaru Wardoyo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian
11 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Unsur Fosfor (P) pada Tanah Ultisol Peranan Unsur P pada Tanaman Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Ultisol Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Kekeringan di Tanah Ultisol Polyethylene Glycol Simple Sequence Repeat Lokus Pup1
4 4 4 5 6 8 8 9
1 ANALISIS KONSTITUSI BACKGROUND GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL PERSILANGAN SITU BAGENDIT X KASALATH DAN SITU BAGENDIT X NIL-C433 PADA POPULASI BC2F6 Abstrak 11 Abstract 11 Pendahuluan 12 Bahan dan Metode 12 Hasil dan Pembahasan 14 Simpulan 20 Daftar Pustaka 20 2 EVALUASI GALUR Pup1 PADI TURUNAN VARIETAS SITU BAGENDIT TERHADAP DEFISIENSI P DAN CEKAMAN ALUMINIUM PADA LARUTAN HARA YOSHIDA Abstrak 22 Abstract 22 Pendahuluan 23 Bahan dan Metode 23 Hasil dan Pembahasan 24 Simpulan 31 Daftar Pustaka 31
3PENGARUH LOKUS Pup1 GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL PERSILANGAN SITU BAGENDIT X KASALATH DAN SITU BAGENDIT X NIL-C433 PADA POPULASI BC2F6 TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Abstrak 34 Abstract 34 Pendahuluan 35 Bahan dan Metode 35 Hasil dan Pembahasan 37 Simpulan 50 Daftar Pustaka 50 4 PEMBAHASAN UMUM
53
5 SIMPULAN DAN SARAN
58
DAFTAR PUSTAKA
59
LAMPIRAN
63
RIWAYAT HIDUP
105
DAFTAR TABEL 1. 2.
3.
4.
5.
6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13.
Hasil tabulasi polimorfisme marka SSR pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 14 Proporsi pengembalian genom Situ Bagendit pada generasi BC2F6 turunan SK dan turunan SN berdasarkan hasil analisis background menggunakan beberapa marka 18 Analisis sidik ragam (Uji F hitung) beberapa peubah karakter agronomis dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan Yoshida 26 Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) panjang akar (PA) terhadap defisiensi P dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada uji larutan hara Yoshida 29 Analisi sidik ragam (uji F hitung) beberapa peubah karakter agronomis dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v) 39 Nilai rataan peubah panjang akar (PA) dan panjang plumula (PP) pada berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v) 39 Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) panjang akar (PA) dan bobot kering kecambah (BKK) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan PEG 8000 (w/v) 40 Nilai korelasi antar peubah dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan PEG 8000 (w/v) 41 Analisis sidik ragam (uji F Hitung) beberapa karakter agronomi dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA 44 Rataan panjang akar tembus lilin (PATel) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada uji daya tembus akar (DTA) 45 Rataan jumlah akar tembus lilin (JATel) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada uji daya tembus akar (DTA) 46 Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) tinggi tanaman (TT) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA 48 Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) panjang akar total (PATo) dan bobot kering tanaman (BKT) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA 49
DAFTAR GAMBAR 1. 2.
Peta keberadaan lokus Pup1 10 Contoh elektroforegram hasil seleksi foreground galur-galur BC2F6 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan marka Kas30n-1 (322 bp) pada gel poliakrilamid 5% 15 3. Contoh elektroforegram hasil seleksi background galur-galur BC2F6 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan marka RM (196 bp) kromosom 2 pada gel poliakrilamid 8% 16 4. Contoh elektroforegram hasil seleksi background galur-galur BC2F6 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan marka RM 324 (147 bp) kromosom 2 pada gel poliakrilamid 8 % 17 5. Konstitusi background hasil analisi GGT 2.0 populasi BC2F6 19 6. Proporsi genom galur SK2 19 7. Proporsi genom galur SN2 20 8. Perbedaan respon galur-galur Pup1 populasi BC2F6 dan kontrol dalam larutan hara Yoshida pada minggu ke-4 25 9. Histogram perbandingan JA, BKA dan BKTajuk dari tetua (Situ Bagendit) dengan turunannya pada berbagai kondisi larutan hara Yoshida 28 10. Respon karakter panjang akar (PA) pada berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 pada hari ke-10 38 11. Respon karakter panjang akar (PA) pada uji DTA pada minggu ke-4 42 12. Pemilihan galur yang mempunyai kemampuan toleran terhadap kemasaman (Al), defisiensi P dan kekeringan 56
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Uji marka spesifik lokus Pup1 dari galur-galur BC2F6 persilangan Situ Bagendit x Kasalath 64 Uji marka spesifik lokus Pup1 dari galur-galur BC2F6 persilangan Situ Bagendit x NIL-C433 65 Komposisi larutan hara Yoshida 66 Hasil uji Dunnet pada taraf α=0,05 beberapa karakter agronomi dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan hara Yoshida 67 Nilai ITC panjang akar (PA) pada larutan hara Yoshida 69 Nilai ITC tinggi tanaman (TT) pada larutan hara Yoshida 71 Rataan jumlah anakan pada larutan hara Yoshida 73 Nilai ITC bobot kering akar (BKA) pada larutan hara Yoshida 75 Nilai ITC bobot kering tanaman (BKT) pada larutan hara Yoshida 77 Hasil uji Dunnet pada taraf α=0.05 dari beberapa karakter agronomi pada larutan PEG 8000 (w/v) 79 Nilai ITC panjang akar (PA) pada larutan PEG 8000 (w/v) 81 Nilai ITC panjang plumula (PP) pada larutan PEG (w/v) 83 Nilai ITC bobot basah kecambah (BBK) pada larutan PEG 8000 (w/v) 85 Nilai ITC bobot kering kecambah (BKK) pada larutan PEG 8000 (w/v) 87 Hasil analisa tanah Ultisol dari Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten 89 Hasil analisa tanah Latosol dari tanah Desa Cimanggu, Bogor 90 Hasil uji Dunnet pada taraf α=0.05 dari beberapa karakter agronomi dari galur turunan SK dan turunan SN pada percobaan DTA 91 Nilai rataan panjang akar tembus lilin (PATel) pada percobaan DTA 93 Nilai rataan jumlah akar tembus lilin (Jatel) pada percobaan DTA 95 Nilai ITC panjang akar total (PATo) pada percobaan DTA 97 Nilai ITC tinggi tanaman (TT) pada percobaan DTA 99 Nilai ITC bobot kering akar (BKA) pada percobaan DTA 101 Nilai ITC bobot kering tanaman (BKT) pada percobaan DTA 103
PENDAHULUAN Latar Belakang Laju konversi wilayah lahan pertanian (lahan sawah) di Indonesia terutama di pulau Jawa menjadi lahan non pertanian (pemukiman dan kawasan industri) terus meningkat setiap tahunnya sebesar 8% (Tambunan 2008). Rasio lahan sawah di Indonesia menunjukkan penurunan sebesar 28,6% selama kurun waktu 36 tahun, yakni dari 700 m2/jiwa pada tahun 1971 menjadi 500 m2/jiwa pada tahun 2007 (Wisayantono 2009). Agus dan Irawan (2004) mengasumsikan jika produktivitas lahan sawah sebesar 6,0 ton/ha gabah kering panen (GKP), maka tiap tahun telah terjadi kehilangan produksi sebesar 9,6 juta ton GKP. Kondisi ini akan menjadi tantangan yang berat dalam mewujudkan program swasembada pangan nasional yang dicanangkan oleh pemerintah. Salah satu upaya pemerintah yang harus dilakukan dalam penanganan masalah tersebut adalah pemanfaatan lahan marginal atau lahan kering untuk lahan pertanian. Luas lahan kering Indonesia sekitar 114,4 juta ha atau 58,5% dari luas total daratan Indonesia (Notohadiprawiro 1989), dan sekitar 47,8 juta ha atau 25% dari luas total daratan Indonesia berupa tanah Ultisol (Subagyo et al. 2004). Tanah Ultisol tersebut tersebar 43,5% di Sumatera, 29,9% di Kalimantan, 9,6% di Irian Jaya dan 8% di Sulawesi (Hidayat dan Mulyani 2002). Luas lahan tersebut yang layak untuk dimanfaatkan dalam pengembangan tanaman pangan, khususnya padi gogo kurang-lebih 5,1 juta ha (Puslitanak 1998). Luas panen padi gogo nasional pun hanya 1,2 juta ha (sekitar 10% dari luas panen padi nasional) dengan produktivitas 2,6 ton/ha (BPS 2005). Rendahnya produktivitas padi gogo di tanah Ultisol ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kesuburan tanah yang rendah, tingkat kemasaman tanah yang tinggi, keracunan unsur alumunium (Al), kekeringan dan defisiensi unsur fosfor (P) (Notohadiprawiro 1989, Marchsner 1995, Prasetyo dan Suriadikarta 2006, Chairuman 2008, Toha dan Darajat 2008, Hanafiah 2010). Tingginya kelarutan Al pada tanah Ultisol (cekaman Al) menyebabkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara mineral dan air menjadi menurun, akibatnya tanaman mengalami defisiensi hara mineral dan pertumbuhannya terhambat (Marchsner 1995). Penurunan ketersediaan unsur P pada tanah Ultisol tidak hanya disebabkan oleh ketersediaan unsur P pada bahan induk tanah yang memang sudah rendah, tetapi juga disebabkan adanya pengkelatan oleh Al dan atau Fe (Prasetyo dan Suriadikarta 2006). Penurunan ketersediaan P ini tidak hanya dijumpai pada tanah Ultisol tetapi juga hampir semua jenis tanah (Prasetiyono 2011). Kondisi ini mengakibatkan lebih banyak pupuk P yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan haranya (Syarif et al. 2010). Pemberian pupuk fosfat anorganik pada tanah Ultisol mempunyai kendala, yaitu rendahnya efektivitas penyerapan pupuk P oleh tanaman karena keracunan Al atau Fe. Dengan demikian, pemberian pupuk P pada tanah Ultisol yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan dan ketersediaan P tanah, menjadi tidak efisien karena adanya fiksasi dan presipitasi yang tinggi pada tanah Ultisol.
2 Defisiensi unsur P dapat dikendalikan dengan berbagai cara. Salah satu pendekatan yang efisien, efektif dan ramah lingkungan adalah melalui perakitan varietas tanaman yang dapat tumbuh pada tanah yang mengalami kekahatan/defisiensi unsur P (Ahloowalia et al. 1994). Sejak tahun 2005, BB Biogen telah mengembangkan varietas padi gogo yang toleran terhadap defisiensi P. Langkah tersebut yaitu dengan memasukkan lokus Pup1 dari padi lokal Kasalath dan NIL-C443 (hasil persilangan silang balik Nipponbare dengan Kasalath) ke dalam varietas unggul yang sudah populer dikalangan petani Indonesia (Situ Bagendit, Batur dan Dodokan) (Prasetiyono 2010). Lokus Pup1 (P uptake 1) merupakan lokus yang berisi banyak gen dan bertanggung jawab secara tidak langsung di dalam penyerapan P, sehingga tanaman padi yang mengandung lokus tersebut akan toleran terhadap defisiensi hara P (Wissuwa et al.1998, Heuer et al. 2009). Introgresi lokus Pup1 ke dalam padi Indonesia (Situ Bagendit dan Batur) telah dievaluasi hingga populasi BC2F3 dan beberapa galur positif mengandung lokus tersebut (Prasetiyono 2010, Chin et al. 2011, Prasetiyono et al. 2012), sedangkan pada populasi BC2F6 yang telah didapatkan belum dilakukan pengujian dan pengevaluasian. Untuk itu, pengujian dan pengevaluasian populasi BC2F6 penting dilakukan untuk mendapatkan galur yang diinginkan. Virk (2006) melaporkan bahwa semakin banyak gen atau karakter yang akan digabungkan ke dalam varietas tanaman maka akan semakin besar populasi yang digunakan bila menggunakan pemulian konvensional. Penggunaan marka molekuler dalam seleksi dapat memasukkan beberapa gen sekaligus dalam satu tanaman, serta menghilangkan efek gen-gen lain yang tidak diinginkan (linkage drag) (Collard et al. 2008). Prasetiyono (2008) menambahkan bahwa penggunaan marka molekuler dapat digunakan bersamaan dengan pengujian fenotipik atau dilakukan terlebih dahulu baru kemudian menguji tanaman yang terpilih secara molekuler dengan pengujian fenotipik. Seleksi galur-galur padi hasil persilangan antara Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6, yang diharapkan mempunyai sifat toleran terhadap defisiensi P pada kondisi cekaman Al dan kekeringan, dilakukan dengan memadukan pengujian marka molekuler dan pengujian fenotipik sehingga akan lebih efektif dan akurat. Evaluasi menggunakan marka molekuler pada galur-galur padi gogo hasil persilangan dalam penelitian ini dilakukan dengan seleksi foreground dan seleksi background, dan dilakukan juga evaluasi berdasarkan karakter fenotipik. Hal ini diharapkan akan diperoleh galurgalur yang diinginkan.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Memverifikasi konstitusi background galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6, dan (2) Mempelajari karakter agronomi dari galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6 yang mempunyai sifat toleran terhadap defisiensi P pada kondisi cekaman Al dan kekeringan. .
3 Hipotesis Penelitian Galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6 yang mengandung lokusPup1 dan konstitusi background-nya Situ Bagendit mempunyai sifat toleran terhadap defisiensi P pada kondisi cekaman Al dan kekeringan yang lebih baik dari pada tetua pemulihnya (Situ Bagendit).
Manfaat Penelitian Galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit xKasalath dan Situ Bagendit xNIL-C433 yang mempunyai sifat toleran terhadap defisiensi P diharapkan mempunyai sifat toleran terhadap cekaman Al dan kekeringan sehingga galur tersebut dapat tumbuh optimum dan memiliki produktivitas tinggi di tanah Ultisol.
4
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Unsur Fosfor pada Tanah Ultisol Pada kondisi tanah yang masam atau pH yang rendah, kelarutan Al dan Fe sangat tinggi. Pada pH dibawah 4,0 kelarutan Al dalam bentuk ion Al3+ bersifat sangat toksik bagi tanaman, dan pada pH 4,0-5,5 kelarutan Al dalam bentuk Al(OH)2+ atau Al(OH)+ tidak terlalu meracuni tanaman. Pada kondisi ini proporsi pertukaran kation semakin meningkat dengan dijenuhinya oleh Al dan menggantikan kation polivalen seperti Ca2+ dan Mg2+, kemudian Al yang bebas akan mengikat P dan Mo. P yang difiksasi dan dipresipitasi oleh ion Al3+ membentuk variscit (AlPO4.2H2O). Pada kondisi seperti ini (pH yang rendah), P dapat pula difiksasi dan dipresipitasi oleh ion Fe2+/Fe3+ membentuk strengit (FePO4.2H2O). Presipitasi P tidak hanya terjadi pada tanah yang masam (pH yang rendah) tetapi juga bisa terjadi pada tanah yang netral dan subur. Pada tanah yang netral atau berkapur, P dipresipitasi oleh ion Ca2+ membentuk kalsium trifosfat (Ca3(PO4)2). Pada tanah yang subur seperti di daerah pegunungan, P dipresipitasi oleh allovan (sejenis mineral tanah/bahan amorf). Pada tanah alkalin (Vertisol), P difiksasi oleh ion Ca2+ atau Mg2+ menjadi senyawa yang kurang larut (Marschner 1995, Nursyamsi dan Suprihati 2005, Hanafiah 2010). Dengan demikian penanganan keracunan Al pada tanah Ultisol tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan defisiensi P, begitu pula sebaliknya. Peranan Unsur P pada Tanaman Fosfor (P) merupakan unsur yang penting dan diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif besar (sebagai makronutrien) (Campbell et al. 2003). P ini juga menjadi salah satu nutrisi penting kedua setelah N yang dibutuhkan oleh tanaman (Batjes 1997). Keberadaan unsur ini dalam tanah sangat terbatas dan tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tanaman mengambil unsur P dalam bentuk ion orthofosfat primer dan sekunder (H2PO4- atau HPO42-). Proporsi penyerapan kedua ion ini dipengaruhi oleh pH pada area perakaran tanaman. Pada pH yang lebih rendah tanaman lebih banyak menyerap ion orthofosfat primer, sedangkan pada pH yang lebih tinggi tanaman lebih banyak menyerap ion orthofosfat sekunder. Ketersediaan ion H2PO4- atau HPO42- maksimum pada pH 6-7,2, jika pH di atas 8,3 maka P akan terikat oleh unsur Ca atau Mg. Pada pH rendah, P tidak tersedia karena terikat oleh Al dan Fe. Bentuk P lain yang dapat diserap oleh tanaman adalah pirofosfat dan metafosfat, dan P-organik hasil dekomposisi bahan organik seperti fosfolipid, asam nukleat dan phytin (Marschner 1995, Hanafiah 2010). Lambers et al. (2008) melaporkan bahwa beberapa spesies seperti Lupinus albus (White lupin), Carex acutiformis (pond sedge), Trifolium subterraneam (subclover), Triticum aestivum (wheat) bisa menggunakan asam nukleat, fosfolipid, glucose 1-phosphate dan glycerophosphate, sebagai Pi (inositol phosphate), dalam kaitan aktivitas phosphatase di tanah. Phosphatase merupakan enzim yang menghidrolisis senyawa yang mengandung P organik menjadi Pi,
5 sehingga Pi bisa diabsorbsi oleh akar tanaman. Kebanyakan senyawa P organik adalah ester dari asam fosfat (H2PO4) dan telah diidentifikasi terutama seperti inositol fosfat, fosfolipid dan asam nukleat. Proporsi senyawa ini dalam total P organik adalah inositol fosfat 10-30%, fosfolipid 1-5%, dan asam nukleat 0,22,5% (Havlin et al. 1999). Pemanfaatan fosfat dalam sel-sel tanaman terjadi melalui 3 tahap, yaitu: (1) P-anorganik diserap akar dan diinkorporasikan ke molekul-molekul atau dengan P-radikal lainnya, (2) transfosforilasi, proses transfer gugus fosforil dari senyawa P ke molekul lain, dan (3) proses pelepasan energi kimiawi melalui hidrolisis senyawa-senyawa P yang melepaskan fosfat atau pirifosfat dan energi kimiawi, atau melalui proses substitusi P-radikal pada molekul-molekul organik (Hanafiah 2010). Peran unsur P bagi tanaman menurut Hanifah (2010), yaitu: (1) sebagai komponen beberapa enzim dan protein, ATP, RNA, DNA dan phytin, (2) sebagai aktivator enzim dan regulator reaksi biokimiawi, unsur P berperan dalam mengatur reaksi-reaksi enzimatis seperti pada sintesis amilase lewat peran enzim fosforilase, yang bersifat bolak-balik, (3) sebagai pembawa dan sumber penyimpanan energi dalam proses fotosintesis dan respirasi, dan (4) sebagai komponen penyusun biji dan buah. Defisiensi P sangat berkaitan dengan keracunan Al terutama pada tanah Ultisol, karena pada tanah tersebut P dijerap oleh Al dan atau Fe sehingga tanaman tidak mampu menyerapnya. Tan et al. (1993) melaporkan bahwa tanaman yang mengalami keracunan Al maka akar yang terbentuk pendek-pendek dan menyebabkan sistem perakaran menjadi abnormal. Pada kondisi seperti ini, kemampuan akar menyerap hara lebih rendah dan tanaman mengalami defisiensi hara. Prasetiyono (2011) menambahkan bahwa kekurangan unsur P pada tanaman padi akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, jumlah anakan berkurang, waktu berbunga lebih lambat, banyak gabah hampa dan penurunan jumlah gabah per malai. Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium danDefisiensi Fosfor di Tanah Ultisol Permasalahan utama yang terjadi pada tanah Ultisol adalah keracunan Al dan kekeringan (Notohadiprawiro 1989, Prasetyo dan Suriadikarta 2006). Keracunan Al menyebabkan penyerapan unsur hara oleh tanaman menjadi berkurang sehingga mengakibatkan defisiensi hara makro maupun mikro seperti P, Mg, Zn, Cu dan Mo. Pada umumnya, defisiensi unsur hara yang sering terjadi pada tanah Ultisol yaitu defisiensi P. Defisiensi P menyebabkan produktivitas tanaman menurun (Alluri 1986, Kaher 1993, Ae dan Shen 2002). Keberadaan unsur P dalam tanah Ultisol selain dipengaruhi oleh kelarutan unsur Al juga dipengaruhi oleh kelarutan unsur Fe (Hanafiah 2010), sehingga ketersedian P menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Yamamoto et al. (1992) mengatakan bahwa Al mengakibatkan kebocoran pada membran sel akar, mengurangi K dalam jaringan akar dan merusak viabilitas protoplasma. Marschner (1995) juga melaporkan bahwa mobilitas ion Al yang tinggi pada apoplas sel akar merupakan kompetitor utama bagi beberapa kation polivalen seperti Mg2+, Ca2+, Zn 2+ dan Mn2+ sehingga kandungan hara di dalam
6 tanaman berkurang yang akibatnya tanaman mengalami defisiensi unsur hara tersebut. Sistem perakaran menjadi target awal kerusakan akibat keracunan Al (Ryan et al. 1993), kemampuan suatu tanaman untuk mengekskresikan asam organik pada daerah ini seperti sitrat dan malat dapat melindungi dirinya dari keracunan Al (Kochian et al. 2004). Delhaize dan Ryan (1995) menambahkan bahwa Al dapat menyebabkan kerusakan membran akar sehingga akar menjadi tebal, menggulung dan pendek. Ion Al juga mengganggu proses metabolisme yang membutuhkan Ca2+, seperti regulasi pembelahan dan pemanjangan sel, sehingga pemanjangan akar menjadi terhambat. Tanaman padi yang toleran Al akan mempunyai perakaran yang lebih panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah bila dibandingkan dengan tanaman padi yang peka Al (Ma 2000, Ma et al. 2004). Akar tanaman yang mengalami kerusakan akibat keracunan Al berkorelasi dengan akumulasi Al pada daerah ujung akar terutama pada daerah 0-5 mm dari ujung akar (Matsumoto 1991, Delhaize dan Ryan 1995). Demikian pula hasil penelitian Miftahudin et al. (2007) menyebutkan bahwa daerah akar tanaman padi yang mengalami kerusakan akibat keracunan Al berada pada 1 mm dari ujung akar. Beberapa tanaman beradaptasi terhadap cekaman Al maupun defisiensi P dengan mengeluarkan senyawa pengasam (asam organik) dan atau pengkelat seperti asam sitrat dan asam malat. Senyawa pengkelat seperti sitrat dan malat akan menempati tempat yang mengikat P (penukar ligan), dan kemudian melarutkan P yang dijerap oleh partikel tanah (Lambers et al. 2008). Senyawa pengkelat (senyawa organik) tersebut akan mengikat Al, Fe dan Ca sehingga P menjadi bebas, yang akhirnya dapat diserap oleh akar tanaman. Coronel et al. (1990) melaporkan bahwa pada padi peka, Al cenderung diakumulasi didaerah akar di dalam sel epidermis dan korteks serta di dinding sel yang berikatan dengan gugus karboksil dari matrik pektin, akan tetapi akumulasi ini tidak dijumpai di dalam sistem pembuluh. Marschner (1995) dan Kochian et al. (2004) menjelaskan bahwa senyawa pengkelat (asam organik) membantu ketersediaan P secara tidak langsung dengan cara mengkelat Al, sehingga P yang terikat Al bisa diserap oleh tanaman. Mekanisme tingkat seluler ini dengan melakukan kompartemensasi di dalam vakuola, mengikat unsur tersebut dengan unsur lain dan remobilisasi P. Swasti (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa galur padi gogo yang toleran terhadap keracunan Al dan kekurangan P mampu mengekskresikan asam oksalat sehingga Al dapat dikelat dari komplek Al-P yang selanjutnya P dapat diserap oleh tanaman. Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Kekeringan di Tanah Ultisol Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat. Selain itu, tanah ini mudah mengalami kekurangan air, sehingga kekeringan juga menjadi pembatas pertumbuhan tanaman pada tanah Ultisol. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah menjadi berkurang (Prasetyo dan Suriadikarta 2006). Levitt (1980) dan Bray (1997) melaporkan bahwa cekaman kekeringan dapat disebabkan dua faktor, yaitu 1) kekurangan suplai air di daerah perakaran
7 dan 2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah cukup tersedia. Fitter dan Hay (1991) menjelaskan bahwa cekaman air menyebabkan penurunan turgor pada sel tanaman dan berakibat menurunnya proses fisiologi. Gangguan fisiologi akibat cekaman air akan menghambat translokasi hara mineral dan asimilat, transpirasi dan fotosintesis, yang secara visual ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan daun, pertumbuhan akar yang pesat, menutupnya stomata dan daun menggulung (tanaman gramineae). Perubahan tersebut dikendalikan oleh sinyal kimia yang diproduksi di akar pada kondisi kekeringan, yaitu asam absisat (ABA) (Kirkham 1990, Bahrun 2002). Penelitian mengenai tanaman kedelai yang mendapat cekaman Al dan cekaman kekeringan telah dilakukan oleh Hanum et al. (2007), hasilnya bahwa penurunan kadar air tanah dari 80% kapasitas lapang (KL) menjadi 40% kapasitas lapang (KL) menyebabkan penurunan bobot kering akar kedelai mencapai 20-60%. Fageria (1992) mengelompokkan mekanisme tanaman terhadap kekeringan menjadi dua, yaitu: mekanisme menghindar (avoidance mechanism) dan mekanisme toleransi (tolerance mechanism). Kemudian Boyer (1996) mendefinisikan tanaman toleran terhadap kekeringan (drought tolerance) adalah tanaman yang memiliki pertumbuhan lebih baik bila ditanam dengan air terbatas. Sedangkan tanaman menghindar dari kekeringan (drought avoidance) adalah tanaman yang mempunyai fungsi atau kemampuan beradaptasi dengan mengurangi dampak tanah dan/atau kekeringan udara, sehingga kekurangan air pada tanaman dapat dihindari. Tanaman beradaptasi terhadap cekaman kekeringan dengan menghasilkan senyawa-senyawa osmoregulasi yang dapat menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim serta menjaga turgor sel. Selain memproduksi ABA, tanaman yang mengalami cekaman kekeringan juga menghasilkan dehidrin protein yang berfungsi osmoprotektan (Yamaguchi-Shinozaki et al. 2002), molekul organik (gula terlarut, betain, polyol dan prolin) yang berfungsi untuk menjaga ion osmotik seimbang (Fageria et al. 2005). Mackill et al. (1996) melaporkan bahwa tanaman yang toleran terhadap kekeringan akan mempunyai perakaran yang dalam, padat dan kuat sehingga memberikan jaminan kelancaran pengiriman air dan hara dari tanah menuju ke tanaman. Yu et al. (1995) juga melaporkan bahwa terdapat hubungan antara daya tembus akar tanaman padi dengan toleransi kekeringan yang menggunakan simulasi kekerasan tanah. Simulasi kekerasan tanah tersebut, yaitu dengan membuat campuran antara parafin (60%) dan vaselin (40%) dengan ketebalan 3 mm yang kekerasannya setara 12 bar. Metode lapisan lilin dari Yu et al. (1995) ini selanjutnya digunakan oleh Suardi dan Moeljopawiro (1999) untuk menguji daya tembus akar varietas Salumpikit dan Kalimutu. Varietas Salumpikit mampu menembus lapisan lilin dengan ketebalan 3 mm, sedangkan varietas Kalimutu mampu menembus lapisan lilin dengan ketebalan 4 mm. Kemudian Suardi (2001) melaporkan bahwa tanaman yang mempunyai perakaran dengan kemampuan daya tembus akarnya pada metode lapisan lilin (metode daya tembus akar/DTA) lebih dari 10 cm dan jumlah akar yang relatif banyak akan lebih toleran terhadap kekeringan.
8 Polyethylene Glycol Polyethylene glycol (PEG) merupakan senyawa yang stabil, non ionik. Senyawa ini larut dalam air, tidak toksik terhadap tanaman dan tidak mudah diserap oleh tanaman. Larutan PEG dilaporkan mampu mengurangi potensial air atau menahan air pada larutan nutrisi tanpa menyebabkan keracunan sehingga air menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Besarnya kemampuan larutan PEG dalam menahan air tergantung pada bobot molekul dan konsentrasinya. Kondisi ini, larutan PEG digunakan untuk menginduksi cekaman kekeringan (Lestari 2005, Widoretno 2002). Larutan PEG dengan potensial air -0,5 MPa dapat dibuat dengan melarutkan 198 g PEG 8000 ke dalam 1 L larutan (akuades) (Michel, 1983), Mexal et al (1975) menambahkan konsentrasi PEG 10% dan 20% setara dengan potensial air 0,19 MPa dan -0,67 MPa. Widoretno et al. (2002) melaporkan bahwa penggunaan PEG 20% untuk pengamatan indeks potensial tumbuh maksimum (PTM) dan PEG 5% untuk pengamatan panjang hipokotil (PH) dapat digunakan untuk menilai respon kedelai terhadap cekaman kekeringan. Larutan PEG 15% dan 20% merupakan komponen yang sangat efektif untuk skrining atau penapisan benih yang tahan terhadap kekeringan (Lestari 2005). Simple Sequence Repeat Simple Sequence Repeat (SSR) merupakan salah satu marka molekuler berbasis DNA yang memiliki sekuen DNA berulang yang sederhana antara 1-6 pasang basa, terdapat dalam jumlah sangat banyak dan menyebar di dalam genom. SSR ini banyak dijumpai pada genom eukariotik dan umumnya terdistribusi membentuk motif yang unik pada suatu jenis organisme. Simple Sequence Repeat (SSR) atau Simple Tandem Repeat (STR) dikenal dengan nama mikrosatelit (Pandin, 2010). Powell et al. (1996) mengemukakan bahwa penggunaan marka SSR (mikrosatelit) mempunyai banyak kelebihan dibandingkan marka molekuler lain, yaitu: (1) memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi, (2) bersifat kodominan dan memiliki variabilitas yang sangat tinggi, (3) dapat mendeteksi keragaman alel yang tinggi, (4) bersifat ekonomis dan aplikatif, dan (5) dapat menyeleksi genotipe yang akurat. SSR DNA terdapat dalam jumlah yang banyak dan menyebar di dalam genom. Sekuen SSR DNA yang pendek dengan sekuen pengapit bersifat conserved, memungkinkan mendesain primer untuk mengamplifikasi situs-situs spesifik menggunakan PCR (Pandin, 2010), sehingga hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan memverifikasi suatu varietas tanaman. Susanto et al. (2009) mengemukakan bahwa peta genetik dan fisik dari sekuensing genom memudahkan pencarian marka molekuler yang secara kuat terpaut dengan sifat yang menjadi target dalam pemulian tanaman. Pemanfaatan marka molekuler ini dalam seleksi materi pemulian tanaman dikenal dengan Marker Assisted Selection (MAS). Perkembangan selanjutnya MAS dipadukan dengan program pemulian silang balik yang dikenal dengan nama Marker Assisted Backcrossing (MABc). Perkembangan lanjut dari metode MABc ini adalah penggunaan marka-marka diseluruh kromosom selain marka yang terpaut
9 dengan gen yang diinginkan. Metode ini dikenal dengan sebutan Advanced Marker Assisted Backcrossing (AdvMABc). Ada dua tahapan dari metode AdvMABc, yaitu (1) seleksi hasil persilangan dengan marka terpaut erat dengan gen yang dinginkan, ini dikenal seleksi foreground (foreground selection) dan seleksi rekombinan (recombinant selection), (2) seleksi hasil persilangan dengan menggunakan marka sebanyak-banyaknya yang tersebar diseluruh kromosom, ini dikenal seleksi background (background selection). Lokus Pup1 Hasil penelitian Wissuwa et al. (1998) menyebutkan bahwa sifat toleransi terhadap defisiensi P pada daerah perakaran padi telah dipetakan untuk pertama kalinya pada kromosom 12 dengan menyilangkan Kasalath (toleran) dan Nipponbare (peka). Selanjutnya Wissuwa et al. (2002) melanjutkan kembali penelitiannya dengan mempertajam peta QTL dan memfokuskan pada lokus Pup1 (P uptake 1), hasilnya bahwa dipetakan lebih akurat pada kromosom 12 dengan jarak 3 cM di antara marka S14025 dan S13126 (Gambar 1). Posisi Pup1 ini dipetakan pada posisi 14,95-15,91 Mb dan marka spesifik telah dibuatnya. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa marka Pup1 merupakan lokus yang mengatur mekanisme terhadap defisiensi P yang posisi ukurannya 15,31-15,47 Mb. Sekuen sebesar 278 bp pada daerah tersebut hanya dijumpai pada Kasalath dan tidak dijumpai pada Nipponbare (Heuer et al. 2009). Kasalath dan NIL-C433 (NIL-Pup1) merupakan padi yang menjadi sumber Pup1 (donor segmen Pup1). Kasalath adalah padi lokal (landrace) yang berasal dari India. Kasalath dikelompokkan ke dalam padi Indica (sebagian ada yang memasukkan ke dalam sub spesies Aus). Kasalath memiliki figur yang tinggi besar dan anakan yang banyak. Bulir padinya memiliki bulu dan bentuknya agak lonjong. Padi ini termasuk padi lahan kering yang memiliki sifat toleran terhadap defisiensi P, tetapi peka terhadap cekaman Al. Kasalath mempunyai dua mekanisme dalam menghadapi kondisi defisiensi P, yaitu mekanisme eksternal dan mekanisme internal. NIL-C433 merupakan padi hasil persilangan silang balik antara Nipponbare (kelompok Japonica) dengan Kasalath, yang sebagian besar genomnya adalah padi Japonica. NIL-C433 memiliki figur agak pendek dan anakan sedikit. Bulirnya tidak memiliki bulu dan bentuknya agak bulat (Prasetiyono 2010). Situ Bagendit merupakan varietas ungul Indonesia yang dikenal sebagai padi gogo yang ditanam di lahan kering. Padi ini dikelompokkan ke dalam padi Indica. Fenotipik padi ini memiliki figur sedang. Bulirnya tidak berbulu dan bentuknya lonjong. Padi ini digunakan sebagai varietas penerima (recipient) segmen Pup1. Persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C433 dilakukan dengan metode silang balik (BC2) (Prasetiyono 2010). Pada pengujian generasi BC2F3 dari persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan NIL-C433 telah diperoleh segmen Pup1 dalam keadaan homozigot.
10
Posisi lokus Pup1
Gambar 1. Peta keberadaan lokus Pup1 (Wissuwa et al. 1998)
11
1
ANALISIS KONSTITUSI BACKGROUND GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL PERSILANGAN SITU BAGENDIT x KASALATH DAN SITU BAGENDIT x NIL-C433 POPULASI BC2F6
Abstrak Introgresi lokus Pup1 ke dalam padi Indonesia dilakukan dengan metode silang balik Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433. Lokus Pup1 ini berperan secara tidak lansung di dalam penyerapan P. Penelitian ini bertujuan menyeleksi dan mengevaluasi galur-galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada BC2F6 yang telah mendapat sisipan lokus Pup1. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Molekular BB Biogen mulai November 2011 sampai Mei 2013 dengan menggunakan analisis foreground dan background. Hasil evaluasi foreground menunjukkan bahwa galur-galur turunan BC2F6 telah terintegrasi lokus Pup1. Evaluasi background mengindikasikan bahwa proporsi maksimum pengembalian genom Situ Bagendit pada galur-galur turunan BC2F6 mencapai 95,7%. Kata kunci: background, foreground, introgresi, lokus Pup1, silang balik.
Abstract Introgression of Pup1 locus into Indonesian rice was carried out using two backcross population derived from crosses betwen Situ Bagendit x Kasalath and Situ Bagendit x NIL-C433. The Pup1 locus has indirect role in P uptake. This study aimed to select and evaluate of the BC2F6 rice lines from two backross population of Situ Bagendit x Kasalath and Situ Bagendit x NIL-C433 which had been inserted by Pup1 locus. This research was conducted at Molecular Biology Laboratory of BB Biogen from November 2011 to May 2013 using the foreground and background analysis. The results of foreground evaluation showed that Pup1 locus had been integrated in genom of the BC2F6 rice line. The result of background evaluation indicated that maximum (95,7%)Situ Bagendit background had been recovered in the BC2F6 rice lines. Keywords: background, foreground, introgression, Pup1 locus, backcross.
12 Pendahuluan Lokus Pup1 merupakan lokus yang berisi banyak gen dan beberapa diantaranya berperan secara tidak langsung di dalam penyerapan P, sehingga tanaman padi yang mempunyai lokus tersebut akan toleran terhadap kondisi defisiensi P (Wissuwa et al. 1998, Heuer et al. 2009). Lokus Pup1 ini terletak dalam kromosom 12 pada tanaman padi dan beberapa marka spesifik untuk daerah tersebut telah di desain (Chin et al. 2010, Chin et al. 2011). Pada saat ini telah diketahui gen PSTOL1 yang berada di dalam lokus tersebut memegang peran sangat penting di dalam peningkatan penangkapan P (Gamuyao et al. 2012). Gen tersebut berperan di dalam peningkatan volume akar secara eksponensial, sehingga peluang penangkapan P yang tersedia di tanah menjadi semakin besar. Introgresi lokus Pup1 ke dalam padi Indonesia dengan metode silang balik antara Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433. Penyeleksian tersebut menggunakan marka (Marka Assisted Backcrossing/MAB) telah dilakukan sejak tahun 2005 (Prasetiyono 2010, Prasetiyono et al. 2012). Proses evaluasi ini telah mencapai generasi BC2F3 dan telah diperoleh beberapa galur yang positif mengandung lokusPup1 (Prasetiyono 2010, Chin et al. 2011). Penelitian persilangan padi dengan menggunakan metode MAB sangat baik dan sangat menguntungkan karena dapat mempersingkat waktu. Metode MAB ini dapat mengembalikan genom galur hingga 98% seperti tetua pemulih dalam dua kali silang balik, sedangkan cara konvensional diperlukan 4-5 kali silang balik untuk mencapai tersebut (Ribaut dan Hoisington 1998). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi konstitusi background galur-galur hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada generasi BC2F6 dengan menggunakan marka molekuler, yaitu seleksi foreground dan seleksi background.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 3A Bogor, mulai November 2011 sampai dengan Mei 2013. Bahan Penelitian Bahan tanaman padi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) galurgalur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit xKasalath (turunan SK) sebanyak 24 galur dan Situ Bagendit xNIL-C433 (turunan SN) sebanyak 22 galur pada populasi BC2F6, 2) galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada F1, 3) tetua [Situ Bagendit, Kasalath dan NILC433]. Total marka SSR (mikrosatelit) yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 313 marka SSR, terdiri dari 276 marka SSR untuk seleksi background dan 37 marka SSR untuk seleksi foreground.
13 Prosedur AnalisaData Isolasi DNA. DNA diisolasi dari daun muda tanaman padi tetua, F1 dan galur-galur hasil persilangan populasi BC2F6 yang berumur 14 hari. Isolasi DNA dilakukan menurut metode Dellaporta (Dellaporta et al. 1983) yang dimodifikasi (β-Mercaptoetanol diganti SDS dan Potasium asetat diganti dengan ChloroformIsoamilalkohol) (Prasetiyono 2010). DNA yang diperoleh kemudian dilakukan pengujian kuantifikasi DNA dengan alat spektrofotometer dan pengujian kualitas DNA dengan alat elektroforesis DNA (Sambrook et al. 1989; Sulandari dan Zein 2003). Amplifikasi DNA. DNA dari galur-galur populasi F1 dan populasi BC2F6 serta tetua yang telah diperoleh diamplifikasi dengan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Reaksi PCR dilakukan pada volume 15 µl yang mengandung 2 µl 10Xbufer PCR, 2 µl 1 mM dNTP, 2 µl 5 µM primer (F dan R), 1 µl 1 unit Taq DNA Polymerase (IRRI taq), 6 ddH2O, 2 µl DNA. Progam PCR yang digunakan adalah 5 menit pada suhu 940C untuk denaturasi permulaan, selanjutnya dilakukan 35 siklus yang terdiri dari: 60 detik pada suhu 940C untuk denaturasi, 60 detik pada suhu 550C untuk penempelan primer, dan 2 menit pada suhu 720C untuk perpanjangan primer. Perpanjangan primer terakhir selama 7 menit pada suhu 720C. Analisis Foreground. DNA dari galur-galurF1 dan populasi BC2F6 serta tetua diampifikasi menggunakan marka SSR foreground untuk lokus Pup1. Progam amplifikasi seperti pada kegiatan amplifikasi diatas. Hasil PCR kemudian dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5% (denaturing gel). Pewarnaan DNA dilakukan dengan metode silver staining. Skoring hasil PCR dilakukan secara visualisasi dengan melihat pita-pita DNA yang terbentuk pada kaca. Analisis Background. DNA dari galur-galurF1 dan populasi BC2F6 serta tetua diamplifikasi menggunakan marka SSR background. Untuk analisis background dipilih marka SSR yang polimorfik dengan jarak 5-10 cM. Progam amplifikasinya seperti pada amplikasi marka foreground. Hasil PCR dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 8% (non-denaturing gel). Pewarnaan DNA dilakukan dengan larutan EtBr (Ethidium Bromida) 0,5 µg/ml kemudian diamati di atas UV-transiluminator dan didokumentasikan menggunakan foto gel wise©Gel Documentation system (alat Gel-Doc). Skoring hasil PCR dengan melihat pita-pita DNA yang dihasilkan dari hasil dokumentasi. Analisis Data. Marka SSR yang menghasilkan pita yang berbeda posisi pada kedua tetua (tetua pemulih dan tetua donor) digunakan untuk mengevaluasi galur-galur BC2F6. Skoring pita yang terbentuk disimbulkan dengan A (pola pitanya sama dengan tetua Situ Bagendit), B (pola pitanya sama dengan tetua Kasalath atau NIL-C433), dan H (pola pitanya sama dengan kedua tetua). Data yang diperoleh dari seleksi foreground dan seleksi background kemudian dianalisis dengan menggunakan software GGT 2.0.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Polimorfisme Marka-marka SSR Surveipolimorfisme marka-marka SSR antar tetua sangat diperlukan untuk menentukan marka yang polimorfik dan yang akan digunakan selanjutnya dalam menyeleksi galur turunan serta untuk meningkatkan kerapatan marka SSR. Marka SSR yang digunakan dalam seleksi foreground dan background dipilih yang polimorfik antar dua tetua dari hasil survei polimorfisme. Marka yang monomorfik antar dua tetua tidak digunakan untuk kegiatan seleksi populasi BC2F6. Berdasarkan hasil survei polimorfisme marka SSR, rata-rata jumlah marka SSR yang polimorfik tiap kromosom berbeda (Tabel 1). Rata-rata tertinggi marka SSR yang polimorfik terdapat pada kromosom 5, sedangkan rata-rata terendah terdapat pada kromosom 9. Marka SSR kromosom 4, 6,7 dan 9 perlu penambahan marka SSR baru, untuk meningkatkan kerapatan marka molekuler sehingga dapat mengurangi terjadinya efek linkage drag (Prasetiyono 2010). Tabel 1. Hasil tabulasi polimorfisme marka SSR pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendil x NIL-C433 1 Jumlah Pita Kromosom
Situ Bagendit x Kasalath
Situ Bagendit x NIL-C433
P
M
TT
P
M
TT
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
15 12 14 9 17 7 7 10 7 10 12 10
14 17 15 15 11 4 2 7 5 3 7 6
4 3 1 1 4 11 5 5 2 1 0 3
18 21 16 10 19 10 10 12 6 12 14 10
11 9 11 12 9 2 0 4 4 1 4 4
4 2 3 3 4 10 4 6 4 1 1 5
Jumlah Marka SSR 33 32 30 25 32 22 14 22 14 14 19 19
Jumlah
130
106
40
158
71
47
276
10.8
8.8
3.3
13.2
5.9
3.9
23.0
Rata2
Keterangan: P=polimorfik, M=monomorfik, TT=tidak teramplifikasi
Analisis Foreground Populasi BC2F6 Seleksi foreground merupakan kegiatan penting dalam analisis molekuler sebelum masuk dalam seleksi background, karena berguna untuk menyeleksi individu yang mengandung lokus Pup1 atau tidak. Analisis foreground menggunakan tujuh marka SSR, yaitu Lu-SSR3, Kas30n-1, Kas30n-2, Kas30n-4,
15 primer 40, primer 42 dan primer 50. Marka-marka SSR tersebut terpetakan pada posisi lokus Pup1 (Chin et al. 2011, Prasetiyono et al. 2012). Marka Kas30n-1 mengamplifikasi pita berukuran 322 bp pada genotipe Kasalath dan pita berukuran 315 bp pada genotipe NIL-C433, marka Lu-SSR3 mengamplifikasi pita berukuran 344 bp pada genotipe Kasalath dan pita berukuran 368 bp pada genotipe NIL-C433, serta primer 50 mengamplifikasi pita ukuran 505 bp baik pada genotipe Kasalath maupun genotipe NIL-C433.Teramplifikasi pita berukuran 322 bp dengan marka Kas30n-1 dan pita berukuran 344 bp dengan marka Lu-SSR3 pada galur-galur BC2F6 persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) menunjukkan bahwa lokus Pup1 terintegrasi dengan baik pada galur-galur tersebut (Gambar 2). Demikian juga, teramplifikasi pita berukuran 315 bp dengan marka Kas30n-1 dan pita berukuran 368 bp dengan marka Lu-SSR3 pada galur-galur BC2F6 persilangan Situ Bagendit x NIL-C433 (turunan SN) menunjukkan bahwa lokus Pup1 juga terintegrasi dengan baik pada galur-galur tersebut.
322 bp 400 bp Marka Kas30n-1
300 bp
M--SB--N--K---24--------------19--------------------------------------9—-8—7—6----------------1---M
Gambar 2. Contoh elektroforegram hasil seleksi foreground galur-galur BC2F6 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan marka Kas30n-1 (322 bp) pada gel poliakrilamid 5%. M=marker (100 bp DNA ladder), SB=Situ Bagendit, N=NIL-C433, Kasalath, 1=SK1, 2=SK2....24=SK24.
Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa galur-galur hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C433 pada generasi BC1F1 dan BC2F1 hanya ada dua kemungkinan komposisi genomnya, yaitu homozigot ke Situ Bagendit atau heterozigot. Tipe genotipe yang homozigot ke tetua donor (Kasalath atau NILC433) tidak mungkin ditemukan. Prasetiyono et al. (2012) melaporkan bahwa dengan menggunakan marka Kas19-C2 dan marka Kas30n-1 diketahui galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C433 telah terintegrasi lokusPup1 dengan baik. Berdasarkan marka-marka Kas30n-1, Kas30n-2 dan primer 50 diketahui bahwa lokusPup1 telah terintegrasi dengan baik pada galurgalur persilangan Situ Bagendit x Kasalath BC2F6 (turunan SK) dan persilangan Situ Bagendit x NIL-C433 BC2F6 (turunan SN), kecuali SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20 (Lampiran 1 dan 2). Adanya beberapa galur turunan SK yang tidak terintergrasi lokus Pup1 dengan baik disebabkan, 1) galur hasil persilangan tersebut membawa lokus Pup1 tidak secara utuh, atau bagian ujungujungnya terpotong, 2) kemungkinan telah terjadi kontaminasi benih BC2F6 dengan benih BC1 atau BC2 pada saat pemanenan (walaupun kemungkinan sangat kecil).
16 Penggunaan marka molekuler untuk kegiatan MAB pada penelitian sebelumnya dilakukan hanya sampai generasi BC2F2, dan seleksi generasi berikutnya dilakukan di lapang/secara visual serta tidak dilakukan lagi analisis molekuler. Setelah empat generasi (BC2F6) dilakukan analisis molekuler lanjutan hasilnya masih ada variasi alel lokus Pup1, baik berasal dari alel tetua donor (Kasalath atau NIL-C443) ataupun dari tetua pemulih (Situ Bagendit). Peristiwa pindah silang yang terjadi secara acak barangkali telah menggantikan segmen homozigot tetua donor pada generasi BC2F3 menjadi segmen Situ Bagendit, atau kemungkinan juga bisa terjadi tercampurnya serbuk sari generasi BC2F3 dengan Situ Bagendit di lapangan, yang selanjutnya terjadi segregasi selama empat generasi. Namun demikian, kalau melihat Gambar 4 kejadian kontaminasi tersebut peluangnya sangat kecil karena background genetik dari individu yang mememiliki lokus Pup1 terpotong-potong sebagian besar telah kembali ke tetua Situ Bagendit, dimana hal ini tidak mungkin terjadi pada kondisi persilangan sendiri dari generasi BC2F3 sampai BC2F6. Analisis Background Populasi BC2F6 Pemilihan marka SSR yang polimorfik dalam seleksi background sangat penting untuk dilakukan karena genom galur-galur turunan SK dan turunan SN semaksimal mungkin mendekati genom Situ Bagendit. Semakin banyak marka SSR yang polimorfik yang digunakan dalam seleksi background akan semakin besar peluang untuk melihat background genetik yang dimiliki turunan SK dan turunan SN. Sebanyak 276 marka SSR digunakan pada penelitian ini. Namun demikian, hanya 130 (47%) marka SSR yang polimorfik pada turunan SK dan 158 (57%) marka SSR yang polimorfik pada turunan SN. Contoh elektroforegram hasil seleksi background disajikan pada Gambar 3 dan 4. Persilangan silang balik akan mengembalikan proporsi genom tetua pemulih (resipien) 50% tiap generasi atau (1/2)t setiap t generasi silang balik (Babu et al. 2004). Seleksi persilangan dengan metode konvensional pada generasi BC2 diperoleh proporsi genom tetua pemulih sekitar 82% dan untuk memperoleh proporsi genom pemulih sebesar 99,2% diperlukan silang balik sebanyak 6 generasi (BC6). Seleksi dengan menggunakan marka molekuler proporsi genom tetua pemulih 87,5% dapat diperoleh generasi BC2 (Babu et al. 2004, Collard et al. 2005).
200 bp 196 bp 100 bp Marka RM1324 RM324KKKKKKK
Gambar 3.
KKas30n-1 Contoh elektroforegram hasil seleksi background galur-galur BC2F6 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan marka RM324 (196 bp) kromosom 2 pada gel poliakrilamid 8%. M=marker (100 bp DNA ladder), K=Kasalath, SB=Situ Bagendit, 1=SK1, 2=SK2....24=SK24
17 Pada generasi BC2F6 galur turunan SK rata-rata telah memiliki 90,6% genom Situ Bagendit, dengan 14 galur telah memiliki genom Situ Bagendit di atas 90% (Tabel 2). Enam diantara keempat belas galur tersebut tidak membawa lokus Pup1, sehingga hanya ada 8 galur yang telah memiliki lokus Pup1. Kedelapan galur tersebut, yaitu: SK1, SK2, SK3, SK4, SK13, SK17, SK18 dan SK21. Galur SK2 memiliki proporsi genom Situ Bagendit yang tertinggi (95,7%) dengan proporsi genom Kasalth sebesar 3,2% (Gambar 6). Genom Kasalath pada galur SK2 terdistribusi di kromosom 5, 10 dan 11. Galur SK2 juga memiliki genom yang bersifat heterozigot sebesar 0,1 %, segmen tersebut kemungkinan bisa berubah menjadi homozigot Situ Bagendit pada generasi berikutnya (Prasetiyono 2010).
200 bp 147 bp 100 bp
Marka RM1237 RM1237KKKKKK
Gambar 4.
KKKas30n-1
Contoh elektroforegram hasil seleksi background galur-galur BC2F6 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dengan menggunakan marka RM1237 (147 bp) kromosom 2 pada gel poliakrilamid 8%. M=marker (100 bp DNA ladder), K=Kasalath, SB=Situ Bagendit, 1=SK 1,
2=SK2.... 24= SK24 Galur turunan SN rata-rata telah memiliki 89,4% genom Situ Bagendit, dengan sepuluh galur telah memiliki genom Situ Bagendit diatas 90%. Kesepuluh galur tersebut, yaitu SN1, SN2, SN7, SN8, SN9, SN13, SN14, SN15, SN17 dan SN19 (Tabel 2). Galur SN2 memiliki proporsi genom Situ Bagendit yang tertinggi (93,6%) dengan proporsi genom NIL-C433 sebesar 2,4% dan genom yang bersifat heterozigot sebesar 3,7% (Gambar 7). Genom NIL-C433 pada galur SN2 terdistribusi di kromosom 2, 3, 5, 9 dan 10. Proporsi pengembalian genom ke Situ Bagendit pada galur-galur turunan SK lebih tinggi dibandingkan dengan galur-galur turunan SN, karena Situ Bagendit dan Kasalath termasuk padi Indica, sedangkan NIL-C433 termasuk padi Japonica (Silitonga 2004, Prasetiyono 2010). Kesamaan genetik antara Situ Bagendit dengan Kasalath lebih tinggi dibandingkan antara Situ Bagendit dengan NIL-C433, sehingga memungkinkan pengembalian proporsi genom Situ Bagendit lebih cepatdiperoleh dari persilangan silang balik antara Situ Bagendit dengan Kasalath. Berdasarkan Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7 terlihat hampir semua individu, baik turunan SK atau turunan SN masih mengandung segmen tetua donor (Kasalath/NIL-C443), walaupun seleksi tersebut telah menggunakan marka molekuler (marka foreground dan background). Hal ini menunjukkan seleksi menggunakan marka molekuler tidak bisa menghilangkan kontaminasi segmen tetua donor pada daerah yang tidak diinginkan. Pengaruh linkage drag masih
18 terjadi pada seluruh individu tersebut. Namun demikian, uji lapang hanya menyeleksi tanaman dengan penampilan yang diinginkan dan menunjukkan ekspresi lokusPup1. Tabel 2. Proporsi pengembalian genom Situ Bagendit pada generasi BC2F6 turunan SK dan SN berdasarkan hasil analisa background menggunakan beberapa marka SSR.
Galur
Pemulihan GenomSitu Bagendit (%)
Jarak Genetik (cM)
Galur
Pemulihan Genom Situ Bagendit (%)
Jarak Genetik (cM)
SK 1
93.7
1440.9
SN1
93.1
1335.3
SK 2
95.7
1471.1
SN2
93.6
1342.1
SK 3
91.2
1402.8
SN3
84.2
1207.9
SK 4
94.9
1459.3
SN4
84.3
1207.2
SK 5
92.4
1421.0
SN5
87.9
1261.0
SK 6
94.3
1456.3
SN6
88.5
1269.6
SK 7
94.9
1459.7
SN7
90.3
1295.0
SK 8
94.2
1448.1
SN8
90.2
1293.6
SK 9
88.0
1353.1
SN9
93.3
1338.0
SK 10
88.7
1364.6
SN10
88.3
1267.0
SK 11
85.7
1318.6
SN11
87.0
1248.1
SK 12
87.9
1351.0
SN12
89.4
1282.1
SK 13
90.6
1393.8
SN13
92.3
1324.3
SK 14
82.2
1264.1
SN14
92.5
1326.4
SK 15
84.3
1295.7
SN15
92.8
1330.8
SK 16
89.0
1368.5
SN16
88.6
1270.5
SK 17
90.4
1389.5
SN17
91.5
1312.0
SK 18
92.6
1424.7
SN18
88.6
1271.0
SK 19
95.6
1469.6
SN19
93.0
1334.4
SK 20
90.5
1391.9
SN20
89.9
1288.9
SK 21
90.8
1396.9
SN21
87.1
1249.7
SK 22
88.0
1353.9
SN22
80.5
1155.0
SK 23
88.8
1365.9
-
-
-
SK 24
89.2
1371.1
-
-
-
Rata-rata
90.6
1393.0
Rata-rata
89.4
1282.3
19 BC2F6 Situ Bagendit x Kasalath Kr1
Kr2
Kr3
Kr4
Kr5
Kr6
Kr7
Kr8
Kr9 Kr10 Kr1 1Kr 12
SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24
BC2F6 Situ Bagendit x NIL-C433 Kr1
Kr2
Kr3
Kr4
Kr5
Kr6
Kr7 Kr8
Kr9 Kr10 Kr11 Kr12
SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22
Gambar 5. Konstitusi background hasil analisis GGT 2.0 pada populasi BC2F6 = Situ Bagendit = Kasalath/NIL-C443 = Heterozigot = Kosong/tidak ada amplifikasi = Berbeda dengan yang lain , Kr= Kromosom
0
1. 10
R M211
14. 40
R M1
29. 70
R M283
31. 40
R M153
0. 00
R M1248
3. 00
11. 50 R M551
R M508
0. 00
R M589
3. 20
R M588
7. 40
R M330A
25
50
61. 30
R M582
66. 40
R M24
79. 70
R M129
83. 00
R M1155
R M324
68. 90
R M262
81. 40
R M7
64. 00
R M232
76. 70
R M181
0. 00
R M3717
4. 80
R M419
42. 10
R M105
R M4A
3. 70
R M19
10. 00
R M6998
19. 00
32. 10
R M310
57. 00
R M331
69. 00
R M223
80. 50
83. 00
R M1340
82. 90
R M1132
83. 30
R M434
57. 70
R M242
73. 30
R M553
76. 70
R M3249
88. 90
R M171
55. 00
R M304
73. 00
R M552
40. 60
R M287
68. 60
R M209
73. 90
R M229
77. 80
R M21
85. 70
Kas 30n-1
62. 00
R M28102
63. 60
R M519
79. 80
82. 70
R M1352
145. 60
R M426
157. 80
R M168
171. 20
R M186
188. 20
R M85
231. 00
R M241
106. 20
R M303
116. 90
96. 10
R M420 R M178
118. 80
R M31
134. 90
R M406
156. 30
150 R M559
156. 80
88. 20
R M528
121. 80
R M400
134. 50
115. 50
R M80
103. 70
R M433
116. 00
R M264
128. 60
R M333
110. 40
R M496
113. 00
R M590
117. 20
R M254
110. 00
R M1226
109. 20
chrom5
chrom4
chrom1
175
R M208
186. 40
R M207
191. 20
chrom2
200
225
chrom3
cM
Ind no:2 [2] -
Gambar 6. Proporsi genom galur SK2 (95,7% genom Situ Bagendit dan 3,2% genom Kasalath). = Situ Bagendit = Kasalath = Tidak diketahui = Heterozigot , Chrom = Kromosom
H
136. 30
R M1187
R M473C
D
127. 50
R M526
93. 70
chrom12
R M263
R M459
chrom11
155. 90
17. 60
chrom10
153. 50
R M265
15. 00
R M216
chrom9
148. 70
R M486
34. 00
chrom8
R M212
R M501
chrom7
134. 80
24. 80
67. 50
chrom6
R M128
11. 30
R M244
37. 20
R M1237
100
125
R M125
58. 90
R M1018 R M341
R M222
B
51. 00
R M579
2. 40
3. 20
A
R M490
R M1089
75
R M481
20. 00
.
26. 20
Legend
OSR 17
R M1332 R M84
20
0
1. 10
6. 90
R M307
R M508
0. 00
R M589
3. 20
R M588
7. 40
0. 0
0. 00 R M1248
R M523
3. 00
11. 00
R M13
-1. 00 R M408
R M481
3. 20
R M125
24. 80
R M501
30. 10
R M286
0. 00
R M3137
4. 80
0. 50
R M4A R M222
11. 30
R M216
17. 60
R M1375
42. 70
R M467
46. 80
R M171
55. 00
R M271
59. 40
31. 40 R M314
33. 60
5. 20
12. 80
19. 20
R M7003
27. 10
R M179
57. 60
Kas 30n-1
62. 00
R M28102
63. 60
R M519
79. 80
.
R M247
R M6998
Legend
R M17
R M110
25
R M490
R M1089
51. 00 R M517
50
R M575
52. 00 R M417
56. 20
R M1155
58. 90
R M310
61. 30
66. 40
R M324
68. 90
R M129
78. 40
R M262
80. 00 R M251
66. 00
R M1237
67. 50
79. 10 R M1340
R M24
R M341
79. 70
R M5
82. 70 R M1187
96. 10
R M161
96. 90
R M351
75. 00
R M505
78. 60
R M1132
83. 30
82. 90
57. 00
R M331
69. 00
R M339
72. 20
R M223
R M434
54. 00
57. 70
R M242
73. 30
R M553
78. 70
R M3249
88. 90
R M287
68. 60
R M229
77. 80
R M206
102. 90
R M254
110. 00
B
R M581
R M249
R M202
A
R M579
75
37. 20
42. 90
80. 50
94. 90
127. 50
R M526
136. 30
131. 50
156. 80
121. 80
R M340
133. 50
145. 60
R M135
157. 30
R M168
171. 20
R M186
188. 20
R M85
231. 00
168. 00
R M205
115. 50
R M264
chrom6
R M425
134. 90
128. 60
114. 70
R M496
113. 00
R M590
117. 20
109. 20
chrom4
155. 90
chrom1
153. 50
R M265
130. 60
R M31
chrom5
R M1352 150 R M486
126. 50
R M480
chrom7
134. 80
175
R M208
186. 40
chrom2
200
225
chrom3
cM
Ind no:2 [2] -
Gambar 7. Proporsi genom galur SN2 (92,4 % genom Situ Bagendit dan 2,4 % genom NIL-C433). = Situ Bagendit = NIL-C433 = Tidak diketahui = Heterozigot , Chrom = Kromosom
Simpulan 1.
2.
Lokus Pup1telah terintegrasi ke dalam galur-galur hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433, walaupun ada beberapa galur(SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20) menunjukkan integrasi yang tidak sempurna Proporsi terbaik genom Situ Bagendit dari turunan SK (galur SK2) mencapai 95,7%, sedangkan proporsi terbaik genom Situ Bagendit dari galur turunan SN (galur SN2) mencapai 93,4%.
Daftar Pustaka Babu R, Nair SK, Prasanna BM, Gupta HS. 2004. Integrating marker-assisted selection in crop breeding-prospects and challanges. Curr Science 87 (5): 607-619 Chin JH, LU X, Haefele SM, Gamuyao R, Ismail AM, Heuer S. 2010. Development and application of gene-based markers for the major rice QTL Phosphorus uptake 1. Theor. Appl. Genet. 120: 1073-1086 Chin JH, Gamuyao R, Dalid C, Bustaman M, Prasetiyono J, Moeljopawiro S, Wissuwa M, Heuer S. 2011. Developing rice with high yield under phosphorus deficiency: Pup1 sequence to application. Plant Physiol 156: 1202-1216. Collard BCY, Jahufer MZZ, Brouwer JB, Pang ECK. 2005. An introduction to markers, quantitative trait loci (QTL) mapping and marker-assisted selection for crop improvement: The basic concept. Euphytica 142: 169196. Dellaporta SL, Wood J, Hicks JB. 1983. A plant DNA minipreparation: Version II. Plant Mol Biol Rep 1 (4):19-21 Gamuyao R, Chin JH, Tanaka JP, Pesaresi P, Catausan S, Dalid C, Loedin IS, Mendoza EMT, Wissuwa M, and Heuer S. 2012. The protein kinase
H
R M559
R M528
R M420
R M263
R M411 R M128
R M1226
chrom12
135. 40
R M274 125
chrom11
129. 60
R M348
108. 30
chrom10
R M1272
R M162
chrom9
110. 00
chrom8
R M255
D
100
21 Pstol1 from traditional rice confers tolerance of phosphorus deficiency. Nature 488:535-541. Heuer S, Lu X, Chin JH, Tanaka JP, Kanamon H, Matsumoto T, Leon TD, Ulat VJ, Ismail AM, Yano M, Wissuwa M. 2009. Comparative sequene analysis of the mayor quantitative trait locus phosphorus uptake 1 (Pup1) reveal a complex genetik structure. Plant Biotech J 7: 456-471 Prasetiyono J. 2010. Studi Efek Introgresi Pup1 (P Uptake 1) untuk Meningkatkan Toleransi Padi terhadap Defisiensi Fosfor [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor. 185p. Prasetiyono J, Suhartini T, Soemantri IH, Tasliah, Moeljopawiro S, Aswidinnoor H, Sopandie D, dan Bustaman M. 2012. Evaluasi Beberapa Galur-Pup1 Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Larutan Hara dan Lapangan. J. Agron. Indonesia 40 (2): 83-90 Ribaut JM, Hoisington D. 1998. Marker-assisted selection: new tools and strategies. Trends in Plant Sci 3: 236-239. Sambrook J, Fritch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual (2 rdEd.). Volumes 1-3. Spring Harbor Laboratory Press. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bogor. Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI. 125p. Wissuwa M, Yano M, Ae N. 1998. Mapping of QTLs for PhosphorusDeficiency Tolerance in Rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 97:777783. Wissuwa M, Wegner JN, Ae N, Yano M. 2002. Substituion Mapping of Pup1: a Mayor QTL Increasing Phosphorus Uptake or Rice from a Phosphorus Deficient Soil. Theor Appl Genet 105:890-897.
22 2 EVALUASI GALUR-GALUR Pup1 PADI TURUNAN VARIETAS SITU BAGENDIT TERHADAP DEFISIENSI PHOSPHOR DAN ALUMUNIUM PADA LARUTAN HARA YOSHIDA Abstrak Kemasaman dandefisiensi P menjadi masalah utama produksi padi di tanah Ultisol di Indonesia. Pembentukan galur yang toleran terhadap defisiensi P merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter agronomi tanaman padi yang telah diintegrasi lokus Pup1 terhadap cekaman Al dan defisiensi P. Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca BB Biogen mulai November 2012 sampai Mei 2013 dengan menggunakan larutan hara Yoshida. Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah. Petak utamanya dosis Al (0 dan 45 ppm Al3+) dan anak petaknya dosis P (0,5 dan 10 ppm P). Hasil evaluasi agronomi menunjukkan terjadi peningkatan karakter agronomi pada galur-galur Pup1 populasi BC2F6 dibandingkan tetua pemulih (Situ Bagendit). Hasil evaluasi cekaman Al menunjukkan bahwa turunan SN lebih toleran terhadap defisiensi P dan cekaman Al dibandingkan turunan SK. Kata kunci: cekaman Al, defisiensi P, larutan hara Yoshida, tanah Ultisol Abstract Soil acidity and phosporus (P) deficiency was major problem in rice production in Indonesia’s Ultisol rice farming. Development of tolerant lines to P deficiency was one approach to overcome these problems. This study aimed to evaluate the agronomic character of the rice lines that carried Pup1 lokus to Al stress and P deficiency. The research was conducted in the greenhouse BB Biogen from November 2012 to May 2013 using Yoshida nutrient solutions. The research was designed as a split plot. The main plot wasAluminium (Al) doses (0 and 45 ppm Al3+) and the subplot was Phosphorus (P) doses (0,5 and 10 ppm P). The result of agronomic evaluation showed an increase of agronomic character in BC2F6 lines compared to parental restorer (Situ Bagendit). Al stress evaluation showed SN lines were more tolerant to P deficient and Al stress than that of SK lines. Key word: Al-stress, P deficiency, Ultisol soil, Yoshida nutrient solution
23 Pendahuluan Luas lahan kering Indonesian sekitar 114,4 juta ha atau 58,5% dari luas total daratan Indonesia (Notohadiprawiro 1989), dan sekitar 47,8 juta ha atau 25% dari luas total daratan Indonesia berupa tanah Ultisol (Subagyo et al. 2004). Kendala utama pada tanah ini adalah tingkat kemasaman yang tinggi, keracunan Al dan defisiensi P. Pemanfaatan tanah seperti ini dengan penggunaan varietas yang beradaptasi baik pada tanah tersebut merupakan faktor penting dalam sistem pertanian yang berkelanjutan dengan input rendah. Salah satu pendekatan yang efisien, efektif dan ramah lingkungan terhadap masalah tersebut adalah dengan perakitan varietas tanaman yang dapat tumbuh baik pada kondisi cekaman Aluminium (Al) dan defisiensi Fosfor (P). Langkah tersebut dengan memasukkan lokus Pup1 dari padi lokal Kasalath dan NIL-C443 ke dalam varietas unggul yang sudah populer dikalangan petani Indonesia (Situ Bagendit) (Prasetiyono 2010). Lokus Pup1 (P uptake 1) merupakan lokus yang berisi banyak gen dan bertanggung jawab secara tidak langsung di dalam penyerapan P, sehingga tanaman padi yang mengandung lokus tersebut akan toleran terhadap defisiensi hara P (Wissuwa et al.1998, Heuer et al. 2009). Introgresi lokus Pup1 ke dalam padi Situ Bagendit telah dievaluasi hingga populasi BC2F3 dan beberapa galur positif mengandung lokus tersebut (Prasetiyono 2010, Chin et al. 2010, Prasetiyono et al. 2012). Seleksi dan evaluasi galur-galur padi gogo hasil persilangan antara Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dan Situ Bagendit x NIL-C433 (turunan SN) pada populasi BC2F6 dengan menggunakan larutan hara Yoshida. Pengujian ini dilakukan untuk mengevaluasi dan mempelajari karakter agronomi dari galurgalur hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C433 pada populasi BC2F6 yang terintrogresi lokus Pup1 terhadap cekaman Al dan defisiensi P. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 3A Bogor, mulai November 2011 sampai dengan Mei 2013. Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: 1) galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit xKasalath [turunan SK] sebanyak 24 galur dan Situ Bagendit xNIL-C433 [turunan SN] sebanyak 22 galur pada populasi BC2F6, 2) tetua [Situ Bagendit, Kasalath dan NIL-C433], 3) kontrol toleran untuk cekaman Al [Dupa dan Hawara Bunar], 5) kontrol peka untuk cekaman Al [ITA131].
24 Pengujian Al dan P dalam larutan ini dilakukan dengan mengikuti standar IRRI (IRRI, 1996). Bak plastik dengan kapasitas 10 L diisi larutan hara Yoshida dengan komposisi larutan seperti pada Lampiran 3. Prosedur Analisis Data Percobaan Cekaman Al dan Defisiensi P. Percobaan cekaman Al dan defisiensi P dilakukan menurut metode Yoshida et al. (1976). Biji padi dikecambahkan dengan air selama tiga hari dalam petridish kemudian diletakkan di atas styrofoam berlubang yang bagian bawahnya telah dilapisi kain kasa nyamuk yang dijahit dengan benang nilon. Masing-masing lubang diisi dengan dua butir benih yang telah berkecambah, setelah satu minggu hanya satu tanaman yang dibiarkan tumbuh. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design), sebagai petak utamanya konsentrasi Al [0 dan 45 ppm Al3+], dan sebagai anak petaknya konsentrasi P [0,5 dan 10 ppm P]. Seluruh sampel diulang sebanyak enam kali. Kadar kemasaman (pH) larutan diatur setiap dua hari sekali dengan menggunakan pH meter sekitar 4,0 ± 0,2. Kemasaman pH diatur dengan menambahkan 1 N NaOH atau 1N HCl sesuai kebutuhan. Penggantian larutan hara Yoshida untuk semua perlakuan dilakukan setiap satu minggu sekali. Tanaman dipelihara sampai berumur 4 minggu. Pada akhir minggu keempat dilakukan pengamatan panjang akar, tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot basah akar dan tanaman, dan bobot kering akar dan tanaman. Analisis Data.Data yang diperoleh pada percobaan larutan hara Yoshida dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (uji F hitung), dilanjutkan uji Dunnet taraf α=0,05 dengan program SAS versi 9.Skoring indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) defisiensi P dilakukan dengan mengikuti metode Fernandez (1993) cit Iriany et al. (2005) dan Hanum et al. (2010), sebagai berikut: ITC = (Yd/Yn)X(Yd/Hyd) ITC = Indeks Toleransi terhadap Cekaman Yd = Perlakuan tanaman pada kondisi terkena cekaman defisiensi P Yn = Perlakuan tanaman pada kondisi normal Hyd = Perlakuan tanaman pada kondisi cekaman defisiensi P yang tertinggi Dimana, ITC > 0,5 = Toleran (T) ITC < 0,5 = Peka (P)
Hasil dan Pembahasan Profil agronomi hasil pengujian di larutan hara Yoshida Kasalath, NILC433, dan Situ Bagendit, serta turunannya dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. Dupa sebagai cek toleran Al (45 ppm Al) dan ITA131 sebagai cek peka Al. Dupa terbukti toleran terhadap toksisitas Al sampai 60 ppm Al dalam perlakuan larutan hara Yoshida (Prasetiyono et al.2003).Berdasarkan Gambar 5dan 6 menunjukkan bahwa profil akar ITA131, Kasalath dan Situ Bagendit mengalami penghambatan
25 pertumbuhan akar selama perlakuan cekaman Al (45 ppm Al). Pada kondisi cekaman Al, ketiga genotipe tersebut memiliki akar yang tebal, pendek, kaku dan akar lateral yang tidak berkembang dengan baik
SK SN KS NL SB HB IT DP NP
0,5 ppm + 0 ppm Al
10 ppm P + 0 ppm Al
SK SN KS NL SB HB IT DP NP
0,5 ppm P + 45 ppm Al Gambar 8.
SK SN KS NL SB HB IT DP NP
SK SN KS NL SB HB IT DP NP
10 ppm P + 45 ppm Al
Perbedaan respon galur-galur Pup1 populasi BC2F6 dan kontrol dalam larutan hara Yoshida pada minggu ke-4. SK=galur SK1, SN=galur SN22, KS=Kasalath, NL=NIL-C433, SB=Situ Bagendit, HB=Hawara Bunar, IT=ITA131, DP=Dupa, NP=Nipponbare.
Karakter Agronomi Berdasarkan analisis sidik ragam (uji F hitung) pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan Al dan P berpengaruh sangat nyata terhadap peubah karakter agronomi panjang akar (PA), tinggi tanaman (TT), jumlah anakan (JA), bobot basah tanaman (BBT), dan bobot kering tanaman (BKT) pada galur turunan SK dan turunan SN, sedangkan peubah bobot kering akar (BKA) hanya menunjukkan berbeda nyata untuk perlakuan Al dan tidak nyata untuk perlakuan P. Ini membuktikan bahwa seluruh karakter agronomi dipengaruhi oleh konsentrasi Al dan P.
26 Tabel 3. Analisis sidik ragam (uji F hitung) beberapa peubah karakter agronomi dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan hara Yoshida Sumber
Karakter Agronomis PA
TT
JA
BBT
BKT
BKA
BC2F6 Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit (turunan SK) 27.88** 35.89** 7.96** 2.23** Galur
3.32**
1.01tn
P
223.19**
1487.92**
546.04**
154.10**
380.78**
0.29tn
Al
4432.87**
1411.46**
267.72**
236.30**
606.22**
4.53*
Galur*P
2.79**
6.75**
3.03**
1.08tn
0.83tn
1.20tn
Galur*Al
14.30**
3.65**
2.30**
1.70*
2.04**
1.13tn
P*Al
768.70**
0.00tn
61.11**
2.46tn
21.30**
0.54tn
Galur*P*Al
2.97**
1.51*
1.31tn
1.45tn
1.32tn
1.58*
2.41**
1.42tn
BC2F6 Situ Bagendit x NIL-C433 dan Situ Bagendit (turunan SN) 67.13** 17.69** 9.32** 5.69** Galur P
152.12**
488.89**
748.73**
150.69**
187.97**
0.00tn
Al
862.89**
431.30**
81.77**
105.59**
177.26**
3.91*
Galur*P
2.15**
5.16**
2.87**
1.90**
1.29tn
0.50tn
Galur*Al
32.22**
2.98**
3.15**
3.23**
1.86**
1.92*
P*Al
102.13**
13.11**
12.01**
0.25tn
8.92**
1.09tn
Galur*P*Al
5.25**
1.06tn
1.11tn
0.91tn
1.17tn
0.54tn
Gabungan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C433 dan Situ Bagendit (Gabungan SK dan SN) 45.69** 21.88** 6.44** 2.81** 2.09** 1.30tn Galur P
331.70**
1423.91**
1204.04**
427.33**
0.11tn
309.43**
210.21** * 268.18**
Al
4055.31**
1349.95**
572.52**
7.75**
Galur*P
2.19**
5.51**
2.44**
1.22tn
1.04tn
0.71tn
Galur*Al
33.69**
3.92**
2.87**
2.67**
2.11**
1.65**
P*Al
628.24**
0.11tn
71.50**
2.49tn
28.41**
0.23tn
Galur*P*Al
7.30**
1.14tn
1.57**
1.19tn
1.18tn
0.87tn
Keterangan:PA=Panjang Akar, TT=Tinggi Tanaman, JA=Jumlah Anakan, BBT=Bobot Basah Tanaman, BKT=Bobot Kering Tanaman, BKA=Bobot Kering Akar. **=beda nyata pada taraf 1%, *=beda nyata pada taraf 5%, tn=tidak beda nyata.
Panjang Akar Tanpa adanya cekaman Al (0 ppm Al), Kasalath memiliki profil akar yang lebih panjang dari NIL-C433, Dupa dan Hawara Bunar baik pada kondisi kurang P (0.5 ppm P) maupun kondisi cukup P (10 ppm P). Sebaliknya pada kondisi adanya cekaman Al (45 ppm Al), Kasalath lebih sensitif dari NIL-C433 bahkan dari ITA131 baik kurang P maupun cukup P. Hasil ini sejalan dengan penelitian
27 Ma et al. (2002), dan Prasetiyono et al. (2012) yang menunjukkan bahwa Kasalath sebagai genotipe yang sensitif terhadap toksisitas Al. Cekaman Al yang tinggi dapat merusak sistem perakaran tanaman (Kochian et al. 2004) dan pertumbuhan akar semakin terhambat (Wang & Kao 2004). Tingginya cekaman Al juga menyebabkan defisiensi unsur P. Karena pada kondisi tersebut, unsur P dikelat oleh Al3+ sehingga terbentuk kompleks Al-P baik di dalam media larutan maupun di dalam sel tanaman, akibatnya unsur P menjadi tidak tersedia (Ryan et al 1993). Hasil evaluasi pertumbuhan panjang akar (PA) dengan melihat nilai ITC (Indeks Toleransi terhadap Cekaman) terhadap Fosfor (P) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa panjang akar beberapa galur turunan SK dan turunan SN lebih panjang dibandingkan Situ Bagendit. Pada kondisi tanpa cekaman Al (0 ppm Al), nilai ITC panjang akar Kasalath, NIL-C433 dan Situ Bagendit menunjukkan toleran (T) terhadap Fosfor (P). Pada kondisi ini sebaran turunan SK, yaitu 91,67% bernilai toleran (T) dan 8,3% bernilai peka (P) terhadap P, sedangkan turunan SN semuanya bernilai peka (P) terhadap P. Pada kondisi adanya cekaman Al (45 ppm Al), nilai ITC panjang akar Kasalath dan Situ Bagendit menjadi bernilai peka (P) terhadap P, sebaliknya NILC433 bernilai toleran (T) terhadap P. Pada kondisi ini, turunan SK bernilai peka semuanya terhadap P, sedangkan turunan SN bernilai peka (P) 59,1% dan toleran (T) 40,9% terhadap P. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi tanpa adanya cekaman Al (0 ppm Al), aktivitas pemanjangan akar galur turunan SK lebih toleran terhadap defisiensi P dibandingkan turunan SN, tetapi sebaliknya pada kondisi cekaman Al (45 ppm Al) galur turunan SN lebih toleran terhadap defisiensi P dibandingkan galur turunan SK. Kasalath dan NIL-C433 memperlihatkan pertumbuhan panjang akar yang lebih responsif pada kondisi kurang P (0,5 ppm P) dibandingkan pada kondisi cukup P (10 ppm P) (Shimizu et al. 2004, Prasetiyono 2010), sehingga galur turunan dari hasil persilangan tersebut memungkinkan memiliki kedua sifat tersebut. Ketersedian P pada media tanam berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan akar. Kondisi defisiensi P akan membatasi pertumbuhan tanaman termasuk akar dan akan memberi respons yang berbeda-beda, tergantung jenis tanaman (Wissuwa 2003, Wissuwa 2005). Respon tanaman padi yang toleran terhadap defisiensi P dicirikan dengan pemanjangan akar (Wissuwa 2005), sistem perakaran lebih responsif terhadap defisiensi P dan lebih efisien dalam menyerap P (Ge et al. 1999, Lynch & Brown 2001), serta perakaran tanaman lebih mampu menyebar dalam tanah (Rao et al. 1999). Wissuwa et al. (1998) dan Wissuwa (2003) melaporkan bahwa tiga hal yang bisa dijadikan indikator tanaman padi toleran terhadap kurang P, yaitu bobot kering tanaman, ukuran dan sistem perakaran, dan jumlah anakan. Karena panjang akar berhubungan dengan daya jelajah akar, maka panjang akar dapat dijadikan sebagai kriteria peningkatan ketoleranan terhadap defisiensi P dengan menggabungkan sifat jumlah akar yang banyak (Syarif 2005). Pada kondisi kurang P dan tanpa adanya cekaman Al, galur-galur yang mengandung lokus Pup1 (turunan SK dan turunan SN) dalam penelitian ini cenderung memperpanjang akarnya dalam menyerap P. Dengan melihat nilai proporsi genom Situ Bagendit dan nilai ITC panjang akar (PA), diperoleh 6 galur turunan SK (SK3, SK4, SK13, SK17, SK18 dan SK21) pada kondisi tanpa cekaman Al dan 3
28 galur turunan SN (SN1, SN2, SN7, SN9, SN13, SN14, SN15 dan SN19) pada kondisi cekaman Al, yang lebih toleran terhadap defisiensi P dari tetua pemulih (Situ Bagendit). Pada kondisi adanya cekaman Al, ada tiga galur turunan SK yang nilai ITC PA menunjukkan lebih toleran dari Situ Bagendit yaitu SK1, SK2 dan SK21. Pada kondisi tanpa ada cekaman Al, ada 3 galur turunan SN yang nilai ITC PA-nya menunjukkan lebih baik dalam satu populasi, yaitu SN7, SN9 dan SN13.
cm
0,5P + 0Al
0,5P + 0Al
10P + 0Al
10P + 0Al
0,5P + 45Al
0,5P + 45Al
10P + 45Al
10P + 45Al
Gambar 9. Histogram perbandingan JA, BKA dan BKTajuk dari tetua [Situ Bagendit] dengan turunannya pada berbagai kondisi larutan hara Yoshida.SB=Situ Bagendit, SK=BC2F6 Situ Bagendit x Kasalath, SN=BC2F6 Situ Bagendit x NIL-C443, PA=panjang akar (cm), TT=tinggi tanaman/tajuk (cm), JA=jumlah anakan, BKA=berat kering akar (gram), dan BKTajuk=Berat kering tajuk (gram)
Tinggi Tanaman Tinggi tanaman menjadi salah satu indikator pertumbuhan, karena ia merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan (Taiz & Zeiger 2002). Pada kondisi tanpa adanya cekaman Al dan kondisi cukup P, Kasalath menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman yang paling tinggi diantara genotipe lain. Berdasarkan uji Dunnet taraf α=0,05 peubah tinggi tanaman menunjukkan ada enam galur turunan SK yang signifikan (Lampiran 4). Tiga galur dari keenam
29 galur tersebut memiliki proporsi genom Situ Bagendit kurang 90% dan tidak membawa segmen Pup1, sehingga hanya ada tiga galur yang signifikan, yaitu SK3, SK4 dan SK21. Tabel 4. Nilai Indeks Toleransi terhadap Cekaman (ITC) panjang akar (PA) terhadap defisiensi P dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada uji larutan hara Yoshida. Genotipe
0 ppm Al 0.5P 10P 32.33 24.47 18.75 14.42 21.83 14.10 43.50 22.88 36.75 27.03 41.45 24.28 41.25 25.57 46.33 25.97 41.83 27.38 21.33 14.17 17.92 12.33 18.75 10.90 16.50 12.67 18.92 14.25 18.40 14.10 16.92 11.67 17.83 12.50 18.58 13.17 17.25 12.25 62.13 43.13 47.00 27.45 50.42 32.05 30.00 23.40
ITC
Tingkat toleransi T P P T T T T T T P P P P P P P P P P T T T P
45 ppm Al 0.5P 10P 8.17 13.40 8.58 6.58 7.92 6.33 5.78 8.90 5.85 9.08 9.98 16.97 9.08 13.50 6.67 13.72 9.08 11.45 12.50 11.92 13.50 12.50 11.00 9.17 11.70 12.17 12.67 11.08 10.83 7.53 11.75 11.50 11.08 9.25 8.83 9.50 9.10 6.87 2.10 6.45 19.97 25.80 21.25 29.40 5.48 8.67
ITC
Tingkat toleransi P P P P P P P P P P T P P T T P P P P P T T P
0.52 0.18 SB 0.30 0.40 SK1* 0.35 0.36 SK2* 0.70 0.14 SK3* 0.59 0.14 SK4* 0.67 0.21 SK13* 0.66 0.22 SK17* 0.75 0.12 SK18* 0.67 0.26 SK21* 0.34 0.47 SN1* 0.29 0.52 SN2* 0.30 0.47 SN7* 0.27 0.40 SN8* 0.30 0.52 SN9* 0.30 0.56 SN13* 0.27 0.43 SN14* 0.29 0.48 SN15* 0.30 0.30 SN17* 0.28 0.43 SN19* A 1.00 0.02 Kasalath A 0.76 0.56 NIL-C433 A 0.81 0.55 DUPA 0.48 0.12 ITA121 Hawara 57.50 39.33 0.93 T 27.83 18.67 1.49 T BunarA 31.50 24.00 0.51 T 15.53 22.87 0.38 P NipponbareA A Keterangan: * = proporsi genom Situ Bagendit telah mencapai di atas 90%, = signifikan pada uji Dunnet taraf 5%, 0.5P= 0.5 ppm P, 10P= 10 ppm P. T=toleran, P=peka. Hyd 0,5 P-0Al=62,13, Hyd 0,5P-45Al=27,83 Berdasarkan nilai ITC tinggi tanaman (TT) terhadap defisiensi P, galur SK1, SK2, SK3, SK4, SK21, SN1, SN2, SN7, SN8, SN9 dan SN14 memiliki nilai ITC yang konsisten tinggi dan mendekati Dupa (kontrol toleran Al) baik pada kondisi tanpa cekaman Al maupun adanya cekaman Al. Namun demikian, pengaruh perlakuan cukup P dalam penelitian ini hanya menaikkan tinggi tanaman sebesar 15%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Syarif (2005) yang menunjukkan bahwa
30 perlakuan konsentrasi cukup P (10 ppm P) pada kondisi tanpa adanya cekaman Al hanya menaikkan tinggi tanaman sebesar 12%, sedangkan penelitian Prasetiyono (2010) menaikkan hingga sebesar 30%. Ini berarti peubah tinggi tanaman kurang sensitif terhadap perlakuan P sehingga tinggi tanaman belum bisa dijadikan seleksi ketoleranan terhadap defisiensi P. Jumlah Anakan Pada kondisi tanpa adanya cekaman Al, jumlah anakan turunan SK dan turunan SN lebih banyak dari genotipe Situ Bagendit baik pada kondisi kurang P (0,5 ppm P) maupun cukup P (10 ppm P), sedangkan pada kondisi cukup P dan adanya cekaman Al, jumlah anakan turunan SN lebik banyak dari Situ Bagendit dan turunan SK (Lampiran 7). Pada kondisi cukup P baik adanya cekaman Al maupun tidak adanya cekaman Al, semua genotipe tanaman mempunyai anakan yang lebih banyak dibandingkan pada kondisi kurang P. Ini menunjukkan bahwa jumlah anakan tanaman sangat dipengaruhi oleh konsentrasi P. Prasetiyono (2010) melaporkan bahwa tanaman padi yang kekurangan P akan menampakkan gejala dengan terhambatnya pembentukan jumlah anakan. Berdasarkan uji Dunnet taraf α=0,05 menunjukkan bahwa tidak ada genotipe yang signifikan pada uji tersebut (Lampiran 4). Nilai ITC jumlah anakan tidak bisa ditentukan dan nilai ratan jumlah anakan juga memperlihatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kontrol toleran dengan kontrol peka (Lampiran 7). Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa peubah jumlah anakan dalam penelitian ini belum bisa dijadikan kriteria ketoleranan terhadap P rendah. Untuk itu, pemilihan galur terbaik dalam penelitian ini tidak menggunakan jumlah anakan sebagai kriteria ketoleranan terhadap defisiensi P. Bobot Kering Akar dan Bobot Kering Tanaman Bobot kering tanaman dan bobot kering akar dipengaruhi oleh kemampuan tanaman dalam membentuk biomassa tanaman. Kedua bobot kering tersebut juga dipengaruhi oleh konsentrasi Al dan P. Ada beberapa galur turunan SK dan turunan SN mempunyai bobot kering akar lebih tinggi dari Situ Bagendit (tetua pemulih), baik pada kondisi tanpa adanya cekaman Al maupun adanya cekaman Al. Berdasarkan nilai ITC bobot kering akar (BKA) pada kondisi tanpa adanya cekaman Al, ada lima belas galur Pup1 (proporsi genom Situ Bagendit diatas 90%) nilainya mendekati Hawara Bunar (kontrol toleran Al), dan ada satu galur nilainya mendekati Dupa (kontrol toleran Al) (Lampiran 8). Sebaliknya pada kondisi adanya cekaman Al, tidak ada satu galur pun nilai ITC BKA-nya mendekati kontrol toleran Al. Pada kondisi cekaman Al, galur turunan SK dan turunan SN sebagian besar bernilai peka dan sangat peka. Namun demikian, hasil uji Dunnet taraf α=0,05 untuk peubah BKA menunjukkan bahwa ada dua galur yang signifikan (Lampiran 4). Nilai ITC bobot kering tanaman (BKT) pada kondisi tanpa adanya cekaman Al, ada empat galur nilai ITC-nya mendekati kontrol toleran Al (Dupa), yaitu SK18, SN1, SN7 dan SN14. Sebaliknya pada kondisi adanya cekaman Al, turunan
31 SK dan turunan SN nilai ITC BKT-nya tidak ada yang mendekati kontrol toleran Al. Hasil uji Dunnet taraf α=0,05 untuk peubah BKT juga menunjukkan tidak ada galur-galur yang signifikan. Kasalath sebagai sumber donor Pup1 pada kondisi adanya cekaman Al menunjukkan nilai ITC BKA dan BKT-nya sangat peka. Ini berarti bahwa Kasalath sangat sensitif terhadap pengaruh cekaman Al (Prasetiyono 2010). Karakter panjang akar menjadi kriteria yang cukup handal dalam pemilihan galur yang toleran terhadap defisiensi P (Wissuwa 2003, Syarif 2005). Tanaman padi yang toleran Al akan mempunyai perakaran yang lebih panjang, sedangkan padi yang peka Al akan mempunyai perakaran yang pendek dan kemampuan menyerap hara rendah (Ma 2000, Ma et al. 2004, Tan et al. 1993). Karakter agronomi yang diamati dalam penelitian ini, seperti tinggi tanaman (TT), jumlah anakan (JA) dan bobot kering tanaman (BKT) menunjukkan penurunan pada kondisi adanya cekaman Al dibandingkan dengan yang tanpa adanya cekaman Al. Hal ini membuktikan bahwa untuk mengatasi defisiensi P, tidak cukup hanya lokus Pup1 saja akan tetapi harus dibantu dengan gen-gen lain yang bisa melepaskan ikatan P dengan unsur lain, misalnya Al. Ikatan Al-P harus dilepas oleh gen toleransi keracunan Al (gen Alt), sehingga P yang telah terlepas bisa dengan mudah diserap oleh Pup1. Lokus Pup1 sangat mempengaruhi penampilan tanaman BC2F6 turunan SK dan turunan SN lebih baik dibanding dengan tetua pemulih (Situ Bagendit) (Gambar 6). Pemilihan galur-galur terbaik di dalam penelitian ini juga didasarkan karakter panjang akar. Berdasarkan proporsi pengembalian genom Situ Bagendit dan karakter panjang akar pada percobaan larutan hara Yoshida diperoleh beberapa galur pilihan, yaitu SK3, SK4, SK13, SK17, SK18, SK21, SN1, SN2, SN7, SN9, SN13, SN14, SN15 dan SN19.
Simpulan 1.
2.
Pada kondisi tanpa adanya cekaman Al (0 ppm Al), aktivitas pemanjangan akar galur turunan SK lebih toleran terhadap defisiensi P dibandingkan turunan SN, tetapi sebaliknya pada kondisi cekaman Al (45 ppm Al) galur turunan SN lebih toleran terhadap defisiensi P dibandingkan galur turunan SK. Berdasarkan proporsi pengembalian genom Situ Bagendit dan nilai ITC panjang akar (PA) diperoleh beberapa galur pilihan yang mempunyai kemampuan lebih toleran terhadap defisiensi P dibandingkan tetua Situ Bagendit, yaitu SK1, SK2, SK3, SK4, SK13, SK17, SK18, SK21, SN1, SN2, SN7, SN9, SN13, SN14, SN15 dan SN19.
Daftar Pustaka Chin JH, Lu X, Haefele SM, Gamuyao R, Ismail AM, Wissuwa M, Heuer S. 2010. Development and application of gene-based markers for the mayor rice QTL phosphorus uptake 1. Theor Appl Genet 120:1073-1216.
32 Ge Z, Rubio G, Lynch JP. 1999. The importance of root gravitropism for inter root competition and phosphorus acquisition efficiency: results from a geometric simulation model. Plant and Soil 218: 159-171. Hanum T, Swasti E, Sutoyo. 2010. Uji Toleransi Beberapa Genotipe Padi Beras Merah Lokal (Oryza sativa L.) terhadap Kekeringan Selama Fase Semai. Jerami 3 (3): 182-192. Heur S, Lu X, Chin JH, Tanaka JP, Kanamon H, Matsumoto T, Leon TD, Ulat VJ, Ismail AM, Yano M, Wissuwa M. 2009. Comparative sequene analysis of the mayor quantitative trait locus phosphorus uptake 1 (Pup1) reveal a complex genetik structure. Plant Biotech J 7: 456-471. Iriany RN, Takdir A, Yasin M, Mejaya MJ. 2007. Maize Genotypes Tolerance to Drought Stress. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26 (3): 156-160. IRRI. 1996. Standard Evaluluation System for Rice. Fourth Edition. Philip. 52p. Kochian LV, Hoekenga OA, Pineros MA. 2004. How do crop plants tolerate acid soils? Mechanisms tolerance and phosphorous efficiency. Ann Rev Plant Biol 55: 459. Lynch JP, Brown KM. 2001. Topsoil foraging an architectural adaptation of plants to low phosphorus availability. Plant and Soil 237: 225-237. Ma JF. 2000. Role of organic Acid in detoxification of aluminium in higher plants. Plant Cell Physiol 41: 383-390. Ma JF, Shen R, Nagao S, Tanimoto E. 2004. Aluminium target elongation cells by reducing cell wall extensibility in wheat roots. Plant Cell Physiol 45 (5): 583-589. Ma JF, Shen R, Zhao Z, Wissuwa M, Takeuchi Y, Ebitani T, Yano M. 2002. Response of rice to Al stres and identification of quantitative trait loci for Al tolerance. Plant Cell Physiol 43 (6): 652-659. Notohadiprawiro T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija; Bogor, 6-8 Desember 1989. hlm 1-15. Prasetiyono J, Tasliah, Aswidinnoor H, Moeljopawiro S. 2003. Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi terhadap keracunan Al pada padi persilangan Dupa x ITA131. J Biot Per 8 (2): 35-48. Prasetiyono J. 2010. Studi Efek Introgresi Pup 1(P Uptake 1) untuk Meningkatkan Toleransi Padi terhadap Defisiensi Fosfor [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor. 185p. Prasetiyono J, Suhartini T, Soemantri IH, Tasliah, Moeljopawiro S, Aswidinnoor H, Sopandie D, Bustaman M. 2012. Evaluasi Beberapa Galur-Pup1 Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Larutan Hara dan Lapangan. J Agron Indonesia 40 (2): 83-90. Rao IM, Friesen DK and Osaki M. 1999. Plant adaptation to phosphorus Limited tropical soils. Dalam Pessarakli M (ed) Handbook of Plant and Crop Stress. New York. Marcel Dekker. Ryan PR, DiTomaso JM, Kochian LV. 1993. Alumunium toxicity in roots: an investigation of spatial sensitivity and the role of the root cap. J Exp Bot 44: 437-446.
33 Shimizu A, Yanagihara S, Kawasaki S, IkehashimH. 2004. Phosphorus deficiency-induced root elongation and its QTL in rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 109:1361-1368 Subagyo H, Suharta N, Siswanto AB. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Dalam: Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Syarif AA. 2005. Adaptasi dan Ketenggangan Genotipe Padi terhadap Defisiensi Fosfor di Tanah Sawah [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi. Institute Pertanian Bogor. Taiz L and Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associates, Publishers. Sunderland, Massachusetts. 690p. Tan K, Keltjens WG, Findenegg GR. 1993. Aluminium Toxicity with Sorgum Genotypes in Nutrien Solution and Its Amelioration by Magnesium. J Plant Nutr 155: 81-86. Wang JW, Kao CH. 2004. Redution of Aluminium-inhibited Root Growth of Rice Seedlings with Supplemental Calcium, magnesium and Organicc Acids. Crop Env Bioinf 1: 191-198. Wissuwa M., Yano M, Ae N. 1998. Mapping of QTLs for PhosphorusDeficiency Tolerance in Rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 97:777783. Wissuwa M. 2003. How do plant achieve tolerance to phosphorus deficiency? Small causes with big effects. Plant Physiol 133: 1947-1958. Wissuwa M. 2005. Combining a modeling with genetic approach in establishing association between genetic and physilogical effects in relation to phosphorus uptake. Plant and Soil 269: 57-68. Yoshida, S, Forna DA, Cock JH, Gomez KA. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice (3 rdEd.). Manila, Philippines. IRRI. 83p.
34
3 PENGARUH LOKUS Pup1 GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL PERSILANGAN SITU BAGENDIT X KASALATH DAN SITUBAGENDIT X NIL-C433 PADA POPULASI BC2F6 TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Abstrak Kekeringan, kemasaman, dan defisiensi P merupakan masalah besar dalam produksi padi di tanah Ultisol di Indonesia. Pembentukan galur padi yang toleran terhadap kondisi tersebut merupakan salah satu pendekatan untuk mengurangi penggunaan pupuk P. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter agronomi galur-galur BC2F6 yang telah diintrogresi lokus Pup1 terhadap cekaman kekeringan.Penelitian ini menggunakan uji polyethylene glycol (PEG) 8000 dan uji daya tembus akar (DTA). Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca BB Biogen mulai November 2012 sampai Mei 2013. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap untuk uji PEG 8000 dan rancangan petak terpisah untuk uji DTA. Petak utamanya jenis tanah (tanah Ultisol dan tanah Latosol) dan anak petaknya pemberian pupuk P (dipupuk P dan tanpa dipupuk P). Hasil evaluasi larutan PEG 8000 (w/v) menunjukkan bahwa beberapa galur turunan padi populasi BC2F6 toleran terhadap larutan PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20%. Hasil evaluasi daya tembus akar (DTA) menunjukkan bahwa terdapat 1 galur turunan SK dan 1 galur turunan SN yang nilai daya tembus akarnya mendekati varietas Cabacu (kontrol toleran kekeringan). Kata Kunci: DTA, kekeringan, PEG 8000, lokus Pup1, tanah Latosol, tanah Ultisol Abstract Drought stress, acidity soil, and Phophorus (P) deficiency are major problems in Indonesia’s Ultisol rice farming. Development of rice lines tolerant to those stress were expected to reduce the consumption of P fertilizer. This study aimed to evaluate agronomic character of BC2F6 rice lines which had beed intrograted by Pup1 locus to drought stress. This study used a Polyethylene glycol (PEG) 8000 test and root penetration test (DTA). This research was conducted in the greenhouse BB Biogen from November 2012 to May 2013 using a completely randomized design for PEG 8000 test and split plot design for DTA test. The main plot was type of soil (Latosol and Ultisol soil) and the subplot was fertilizer distribution (P fertilized and non-fertilized P). The PEG 8000 (w/v) evaluation showed that several rice lines were tolerant to 20% PEG 8000 (w/v) Solutions, and DTA evaluation was obtained 1 SK and 1 SN lines that have semiliar root penetration ability to variety Cabacu, a drought-tolerant control rice. Keywords: DTA, drought, Latosol soil, PEG 8000, Pup1 locus, Ultisol soil.
35 Pendahuluan Laju konversi lahan sawah di Indonesia terutama pulau Jawa, yang merupakan lahan subur ke lahan non pertanian terus bertambah, seiring dengan bertambahnya tahun. Disisi lain, produktivitas lahan sawah mengalami kejenuhan karena penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Kondisi ini mengakibatkan produksi padi tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat Indonesia. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi tersebut adalah dengan memanfaatkan lahan kering yang masih potensial untuk dikembangkan. Lahan kering di Indonesia pada umumnya didominasi oleh tanah Ultisol (Subagyo et al. 2004) yang memiliki tingkat kemasaman dan kekeringan yang tinggi (Minardi 2009). Dua kondisi ini merupakan cekaman yang cukup berat bagi tanaman. Secara langsung, kondisi ini menyebabkan pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah menjadi berkurang (Prasetyo dan Suriadikarta 2006), akibatnya pertumbuhan dan produksi tanaman menjadi terganggu. Varietas-varietas padi gogo yang populer di masyarakat pada saat ini cenderung toleran dengan satu atau dua jenis cekaman tertentu, misalnya kemasaman, kekeringan atau defisiensi unsur hara. Pada kenyataan dilapangan proses terjadinya cekaman tersebut terjadi secara bersamaan dan simultan. Pengembangan padi gogo ditanah Ultisol dihadapkan pada kendala tingkat kemasaman yang tinggi, keracunan aluminium, defisiensi unsur hara P dan kekeringan. Untuk itu padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NILC433 populasi BC2F6 yang telah mendapat sisipan lokus Pup1 perlu dilakukan pengujian terhadap kondisi cekaman ganda, yaitu kekeringan, kemasaman dan defisiensi P. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 3A Bogor, mulai November 2012 sampai Mei 2013. Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: 1) galur padi gogo hasil persilangan Situ Bagendit xKasalath [turunan SK] sebanyak 24 galur dan Situ Bagendit xNIL-C433 [turunan SN] sebanyak 22 galur pada populasi BC2F6, 2) tetua [Situ Bagendit, Kasalath dan NIL-C433], 3) kontrol toleran untuk cekaman kekeringan [Gajah Mungkur dan Cabacu], 4) kontrol peka untuk cekaman kekeringan [IR20]. Tanah yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu tanah Latosol yang diambil di sekitar BB Biogen Bogor dan tanah Podsolik Merah Kuning (=Ultisol) yang diambil di Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Tanah Ultisol yang diambil pada lapisan atas (± 20-30 cm) dan tanah tersebut belum pernah dilakukan pemupukan sebelumnya.
36 Prosedur Analisa Data Percobaan Polyethylene Glycol (PEG) 8000. Biji dari galur-galur turunan SK dan turunan SN pada populasi BC2F6, tetua dan kontrol dipilih yang mempunyai ukuran dan penampakan seragam. Biji tersebut dikecambahkan pada petridish yang mengandung larutan PEG 8000 (w/v). Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v), yaitu 0%, 10%, 20% dan 30%. Perlakuan tersebut setara dengan 0, 0.25, -0.5, dan -0.75 Mpa atau 0, 3.7, 7.4 dan 12 bar (Mexal et al. 1975, Michel 1983, Suardi 2000). Masing-masing petridish diisi biji padi sebanyak 10 butir dan tiap perlakuan diulang tiga kali. Petridish yang telah berisi biji diinkubasi pada suhu ruang. Setelah hari ke-10 dilakukan pengamatan. Peubah yang diamati, yaitu panjang tunas (panjang plumula), panjang akar, bobot basah kecambah dan bobot kering kecambah. Percobaan Daya Tembus Akar (DTA).Biji dari galur-galur turunan SK dan turunan SN, tetua dan kontrol dipilih yang mempunyai ukuran dan penampakan seragam. Biji padi dikecambahkan dengan air dalam petridish selama 3 hari, kemudian benih dipilih 2 buah yang mempunyai ukuran seragam dan akar yang tidak terlalu panjang untuk ditanam dalam media DTA (daya tembus akar). Percobaan DTA ini menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design), dengan petak utamanya perlakuan tanah (tanah Latosol dan tanah Ultisol) dan anak petaknya perlakuan pupuk (tanpa dipupuk P dan dengan dipupuk P). Sumber P yang digunakan berasal dari pupuk SP36 (Superphosphate36), dengan dosis menurut IRRI (1996) dan Prasetiyono (2010) 25 kg P/ha [setara 159,06 kg SP36/ha]. Pupuk dasar yang digunakan 113 kg N/ha [setara 250 kg urea/ha], dan 60 kg K2O/ha [setara100 kg KCl/ha]. Seluruh sampel diulang sebanyak tiga kali. Tanah Latosol dan tanah Ultisol dikering-anginkan kuranglebih selama 2 bulan dirumah kaca.Media tanah dibuat dengan mencampur tanah:pasir:pupuk organik=6:3:1. Pot yang digunakan berukuran ± 230 cc yang bagian dasarnya dilapisi campuran parafin dan vaselin (60%:40%) dengan ketebalan 3 mm, yang mempunyai tingkat kekerasan setara 12 bar. Benih yang telah berkecambah ditanam di masing-masing pot. Pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam, pot-pot percobaan ditempatkan diatas pot plastik yang telah diberi larutan hara Yoshida. Setelah tanaman berumur empat minggu, tanaman dicabut dengan hati-hati kemudian akarnya dibersihkan dari lapisan dasar pot serta tanah yang menempel. Peubah yang diamati, meliputi: jumlah akar yang menembus lapisan lilin, panjang akar yang menembus lapisan lilin, panjang akar total tanaman, tinggi tanaman, bobot basah akar, bobot basah tanaman, bobot kering akar dan bobot kering tanaman. Analisis Data.Data yang diperoleh pada percobaan PEG 8000 dan percobaan DTA dianalisis dengan analisis sidik ragam (uji F hitung), dilanjutkan uji Dunnet pada taraf α= 0,05 dengan menggunakan program SAS versi 9. Skoring toleransi terhadap cekaman kekeringan pada percobaan PEG 8000 dan DTA ditentukan berdasarkan skoring indeks toleransi terhadap cekaman (ITC)
37 kekeringan dilakukan dengan mengikuti metode Fernandez (1993) cit Iriany et al. (2005) dan Hanum et al. (2010), sebagai berikut: ITC = (Yd/Yn)X(Yd/Hyd) ITC = Indeks Toleransi terhadap Cekaman Yd = Perlakuan tanaman pada kondisi terkena cekaman kekeringan Yn = Perlakuan tanaman pada kondisi normal Hyd = Perlakuan tanaman pada kondisi cekaman kekeringan yang tertinggi Dimana, ITC > 0,5 = Toleran (T) ITC < 0,5 = Peka (P)
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan PEG 8000 Pengujian benih galur-galur turunan SK dan turunan SN dengan menggunakan larutan PEG 8000 (w/v) merupakan salah satu cara untuk menyeleksi daya tumbuh benih padi pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil pengujian genotipe Kasalath dan NIL-C433, yang merupakan tetua donor lokus Pup1, dan kontrol, serta galur turunannya menggunakan larutan PEG 8000 (w/v) dapat dilihat pada Gambar 7. Gajah Mungkur dan Cabacu sebagai kontrol toleran kekeringan, dan IR20 sebagai kontrol peka kekeringan. Kasalath dan NIL-C433 sebagai tetua donor Pup1 menunjukkan panjang akar yang lebih baik dari IR20 (peka kekeringan) dan Situ Bagendit (tetua pemulih). Hasil sidik ragam (uji F hitung) menunjukkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v) yang diberikan pada benih berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar (PA), panjang plumula (PP), dan bobot kering kecambah (BKK) tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah kecambah (BBK) pada turunan SK dan turunan SN baik dipisah maupun digabung (Tabel 5). Perlakuan larutan PEG 8000 (w/v) pada berbagai konsentrasi menunjukkan bahwa pemanjangan akar lebih dominan dibandingkan dengan pemanjangan plumula. Panjang Akar dan Panjang Plumula Panjang akar umumnya digunakan sebagai peubah penting dalam seleksi daya tumbuh benih yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan metode seleksi larutan PEG 8000. Pada percobaan ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan panjang akar (PA) dan panjang plumula (PP) untuk semua genotipe mengalami penurunan setiap konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v) dinaikan, kecuali genotipe Kasalath dan turunan SK. Pada perlakuan konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v) 10% justru Kasalath dan turunan SK terjadi kenaikan panjang akar dan panjang plumula lebih baik bila dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi (Tabel 6).
38
NP GM IR
CB SB
NL KS SN
SK
[PEG 8000] 0%
NP GM
IR
CB
[PEG 8000] 20%
NP GM
IR
CB
SB NL KS
SN
SK
[PEG 8000] 10%
SB
NL KS SN SK
NP GM IR CB
SB NL KS
SN SK
[PEG 8000] 30%
Gambar 10. Respon karakter panjang akar (PA) pada berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 pada hari ke-10. NP=Nipponnbare, GM=Gajah Mungkur [kontrol toleran kekeringan], IR=IR20 [kontrol peka kekeringan], CB=Cabacu [kontrol toleran kekeringan], SB=Situ Bagendit, NL=NIL-C433, KS=Kasalath, SN=SN22 [turunan SN], SK=SK1 [turunan SK]. Hasil perbandingan panjang akar (PA) dengan menggunakan uji Dunnet taraf α=0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan untuk galur turunannya, tetapi ada perbedaan yang signifikan untuk kontrol toleran kekeringan (Cabacu dan Gajah Mungkur) dan tetua donor Pup1 (Kasalath dan NIL-C433) (Lampiran 10). Rataan PA turunan SK dan turunan SN pada perlakuan konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v) 20% juga menunjukkan nilainya lebih rendah dari tetua donor Pup1 (Kasalath dan NIL-C433). Namun demikian, rataan galurgalurturunan SK dan SN menunjukkan masih lebih baik dari kontrol peka kekeringan (IR20) dan tetua pemulih (Situ Bagendit) (Tabel 6). Berbeda dengan panjang akar, hasil perbandingan panjang plumula (PP) dengan menggunakan uji Dunnet taraf α=0,05 menunjukkan ada perbedaan yang signifikan untuk galur turunan SK dan turunan SN. Hasil uji Dunnet taraf α=0,05 peubah panjang
39 plumula dan proporsi pengembalian genom Situ Bagendit diperoleh tiga galur, yaitu SK1, SK3 dan SK21. Ada lima galur turunan SK dan SN yang nilai ITC panjang akar (PA) mendekati nilai ITC PA kontrol positif (Cabacu), yaitu SK1, SK2, SK3, SK21 dan SN7 (Tabel 7). Galur-galur turunan SK dan SN yang mempunyai nilai ITC panjang akar dan bobot kering kecambah yang konsisten tinggi, yaitu galur SK1, galur SK2, galur SK21 dan galur SN7. Tabel 5. Analisis sidik ragam (uji F hitung) beberapa peubah karakter agronomi dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v). Sumber Turunan SK dan Situ Bagendit Galur
PA
PP
BBK
BKK
8.28**
4.01**
1.15tn
3.29**
Perlakuan
288.92** 595.41**
89.97**
11.68**
1.05tn
3.17**
Turunan SN dan Situ Bagendit 1.26tn
Galur
10.06**
Perlakuan
224.13** 914.56**
101.01** 4.87**
Gabungan turunan SK, turunan SN dan Situ Bagendit 7.84**
Perlakuan
504.57** 1344.54** 165.70** 12.37**
Keterangan:
3.25**
0.87tn
Galur
2.40**
PA=Panjang Akar, PP=Panjang Plumula, BBK=Bobot Basah Kecambah, BKK=Bobot Kering Kecambah. **=beda nyata pada taraf α=0.01, *=beda nyata pada taraf α=0.05, tn=tidak beda nyata.
Tabel 6. Nilai rataan peubah panjang akar (PA) dan panjang plumula (PP) pada berbagai konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v). [Larutan PEG 8000] PA 0% 10% 20% 0% Kasalath 7.32 7.71 6.04 3.65 NIL-C433 7.50 7.28 3.78 4.33 Situ Bagendit 3.03 2.81 2.62 3.67 Cabacu 6.78 5.83 4.78 4.70 IR20 3.96 3.77 1.20 5.35 Gajah Mungkur 9.40 8.67 4.33 5.69 Nipponbare 5.97 7.44 4.79 5.80 Turunan SK 3.78 4.00 2.67 4.89 Turunan SN 3.22 3.15 2.19 4.95 Keterangan: PA=Panjang Akar, PP=Panjang Plumula. Genotipe
PP 10% 4.15 3.32 2.93 3.52 4.88 4.49 5.05 5.00 4.63
20% 1.82 1.45 1.66 1.51 1.07 1.38 1.76 1.95 1.63
40 Berdasarkan proporsi pengembalian genom Situ Bagendit, uji Dunnet taraf α=0,05 peubah panjang plumula, nilai ITC PA dan BKK diperoleh empat galur yang toleran terhadap PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20%, yaitu SK1, SK2, SK21 dan SN7. Hal ini menunjukkan bahwa galur yang mengandung lokus Pup1 mempunyai kemampuan lebih toleran terhadap kekurangan air. Lokus Pup1 merangsang pemanjangan akar galur turunan SK dan turunan SN dalam meningkatkan penyerapan dan pencarian air untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tanaman. Sebagaimana halnya penelitian yang dilakukan Prasetiyono et al. (2012) bahwa segmen Pup1 dapat meningkatkan panjang akar tanaman. Tabel 7. Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) kekeringan untuk panjang akar (PA) dan bobot kering kecambah (BKK) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada uji larutan PEG 8000 (w/v) PA BKK Genotipe Tingkat Tingkat ITC ITC toleransi toleransi 0.72 T 0.63 T Situ Bagendit 0.70 T 0.60 T SK1* 0.62 T 0.96 T SK2* 0.42 P 0.20 P SK3* 0.23 P 0.39 P SK4* 0.26 P 0.35 P SK13* 0.17 P 0.56 T SK17* 0.31 P 0.23 P SK18* 0.53 T 0.53 T SK21* 0.09 P 1.58 T SN1* 0.40 P 0.71 T SN2* 0.46 P 0.77 T SN7* 0.14 P 0.15 P SN8* 0.27 P 0.47 P SN9* 0.19 P 0.43 P SN13* 0.14 P 0.32 P SN14* 0.09 P 0.54 T SN15* 0.24 P 0.54 T SN17* 0.21 P 0.98 T SN19* 0.82 T 0.35 P Kasalath 0.31 P 0.48 P NIL-C433 0.56 T 0.93 T Cabacu 0.20 P 0.12 P IR20 0.33 P 0.61 T Gajah Mungkur 0.49 P 0.10 P Nipponbare Keterangan: T=Toleran, P=Peka.*=proporsi genom Situ Bagendit telah mencapai diatas 90%.
41 Hasil analisis korelasi antara panjang akar (PA) dan panjang plumula (PP) menunjukkan korelasi positif (r=0.77**) (Tabel 8). Peningkatan panjang akar berpengaruh terhadap peningkatan panjang plumula. Hasil ini sejalan penelitian Afa et al. (2012) dalam menyeleksi padi hibrida terhadap kekeringan dengan PEG 6000. Tabel 8. Nilai korelasi antar peubah dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan PEG 8000 (w/v).
Nilai
PA
PP
BBK
PA
1
PP
0.77**
1
BBK
0.48**
0.62**
1
BKK
0.13**
0.10*
0.24**
BKK
1
Keterangan: PA=panjang akar, PP=panjang plumula, BBK=bobot basah kecambah, BKK=bobot kering kecambah. **=beda nyata pada taraf 1%, *=beda nyata pada taraf 5%, tn=tidak beda nyata.
Apabila konsentrasi larutan PEG 8000 (w/v) ditingkatkan hingga konsentrasinya 30%, benih tidak ada yang tumbuh baik genotipe yang diuji maupun kontrol. Semakin pekat konsentrasi larutan PEG maka semakin banyak sub unit-etilena yang mengikat air, akibatnya tanaman mengalami cekaman kekeringan (Verslues et al. 2006). Larutan PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20% cukup efektif dalam menyeleksi galur-galur Pup1 terhadap kekurangan air. PEG 8000 (w/v) yang dilarutkan dalam air menyebabkan molekul air (H2O) akan tertarik ke atom oksigen pada sub unit-etilena oksida melalui ikatan hidrogen sehingga potensial air menurun.PEG 8000 ini dapat menghambat penyerapan air oleh sel atau jaringan tanaman sehingga menyebabkan tanaman kekurangan air. Dengan adanya kekurangan air (cekaman air) pada saat benih berkecambah maka metabolisme benih terganggu akibatnya air yang diperlukan tidak cukup. Percobaan DTA (Daya Tembus Akar) Hasil pengujian genotipe Kasalath, NIL-C433 dan kontrol, serta galur-galur BC2F6 menggunakan percobaan DTA dapat dilihat pada Gambar 8. Gajah Mungkur dan Cabacu sebagai kontrol toleran kekeringan, dan IR20 sebagai kontrol peka kekeringan. Kasalath dan NIL-C433 sebagai tetua donor Pup1 menunjukkan panjang akar yang lebih baik dibandingkan dengan IR20 (kontrol peka kekeringan) dan Situ Bagendit (tetua pemulih). Hasil analisis tanah Latosol dan tanah Ultisol (Lampiran 15 dan 16) menunjukkan bahwa kondisi tanah Ultisol sangat kurus dengan pH sangat masam. Kadar Al tanah Ultisol sekitar 12,42 me/100 setara dengan 124,2 ppm. Kejenuhan Al tanah Ultisol sangat tinggi (61,09 %) dan pH-nya sangat masam (<5). Kondisi
42 tanah Latosol pun tampak kurus dan masam. Kadar Al tanah Latosol 0,59 cmol (+)/kg setara 5,9 ppm dan pH-nya 4,8. Tanaman padi akan mengalami keracunan Al bila tanah memiliki pH (H2O) kurang dari 5, kejenuhan Al>30% dan kandungan Al>1-2 mg Al/L (ppm) (Dobermann dan Fairhurst 2000). Kemasaman tanah Latosol hampir sama dengan tanah Ultisol, keduanya mempunyai pH pada kisaran 4-5. Kondisi ini menyebabkan unsur P pada kedua tanah tersebut mudah dikelat oleh Al, sehingga ketersedian P-nya menjadi terbatas.
SK SN KS
NL SB GM IR CB
M1 [Latosol + 0 P]
SK SN KS NL SB GM IR CB
N1 [Latosol + 100 P]
SK SN
KS
NL SB GM
IR CB
M2 [Ultisol + 0 P]
SK SN
KS
NL SB GM IR CB
N2 [Ultisol + 100 P]
Gambar 11. Respon karakter panjang akar (PA) pada percobaan DTA pada pengamatan minggu ke-4. SK=SK1, SN=SN22, KS=Kasalath, NL=NIL-C433, SB=Situ Bagendit, GM=Gajah Mungkur [kontrol toleran kekeringan], IR=IR20 [kontrol peka kekeringan], CB=Cabacu [kontrol toleran kekeringan]. M1=tanah Latosol+ 0% pupuk P, N1=tanah Latosol + 100% pupuk P, M2=tanah Ultisol + 0% pupuk P, N2= tanah Ultisol + 100% pupuk P.
Kandungan P total (P potensial) tanah Ultisol tergolong sedang (31,98 me/100 g) dan kandungan P tersedianya yang bisa dimanfaatkan tanaman juga sangat rendah (0,17 ppm), sedangkan kandungan P total pada tanah Latosol cukup tinggi (109 me/100 g) dan kandungan P tersedianya yang bisa dimanfaatkan juga cukup tinggi (14,6 ppm). Kandungan Al pada tanah Ultisol sangat tinggi, ini menjadi salah satu faktor penjerap P yang mengakibatkan P tidak tersedia. Demikian pula pada tanah Latosol kandungan Al-nya tinggi, sehingga P menjadi
43 tidak tersedia. Tanah Ultisol sebetulnya memiliki kandungan P yang cukup, karena P terjerap oleh Al mengakibatkan P tidak tersedia bagi tanaman. Karakter Agronomis Hasil analisis sidik ragam (Tabel 9) turunan SK dan turunan SN menunjukkan ada beda nyata untuk peubah panjang akar tembus lilin (PATel) dan tinggi tanaman (TT) pada perlakuan pemberian pupuk P. Adanya interaksi antara galur, pupuk dan tanah peubah BKA (bobot kering akar) dan BKT (bobot kering tanaman) untuk turunan SK dan data digabung. Perlakuan tanah hanya memberikan beda nyata untuk peubah tinggi tanaman (TT). Panjang Akar Tembus Lilin (PATel) dan Jumlah Akar Tembus Lilin (JATel) Pada kondisi kurang P (tanpa pupuk P) di tanah Latosol, rataan panjang akar tembus lilin (PATel) untuk galur turunan SK, turunan SN, dan Kasalath lebih panjang dibandingkan pada kondisi cukup P (dengan pupuk P), sedangkan di tanah Ultisol pada kondisi kurang P genotipe Cabacu dan turunan SK memiliki akar yang lebih panjang dibandingkan kondisi cukup P (Tabel 10). Daya tembus akar genotipe IR20, NIL-C433 dan Nipponbare pada percobaan ini menunjukkan kemampuan yang cukup rendah baik di tanah Latosol maupun tanah Ultisol. Sebaliknya, genotipe Cabacu dan Gajah Mungkur menunjukkan panjang akar tembus lilin yang lebih panjang dibandingkan dengan genotipe-genotipe lainnya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Suardi (2002) yang melaporkan genotipe Cabacu mempunyai daya tembus akar yang cukup tinggi dan relatif toleran terhadap kekeringan. Demikian juga, daya tembus akar Gajah Mungkur menunjukkan kemampuan yang tinggi (Suardi 2000), genotipe ini merupakan genotipe padi toleran kekeringan yang diintroduksi dari Pantai Gading (Lestari 2006) dan genotipe ini dilepas ke masyarakat pada tahun 1994 (Harahap et al. 1995). Berdasarkan nilai rataan pada Tabel 10 diketahui bahwa panjang akar tembus lilin (PATel) galur turunan SK dan turunan SN tidak ada yang melebihi genotipe Cabacu pada tanah Latosol maupun tanah Ultisol. Namun demikian, di tanah Ultisol terdapat satu galur turunan SK dan satu galur turunan SN yang rataan PATel-nya melebihi genotipe Gajah Mungkur, yaitu galur SK13 dan SN13. Galur turunan SK dan turunan SN yang rataan PATel-nya melebihi Situ Bagendit, yaitu SK1, SK2, SK4, SK13, SK17, SK18, SK21, SN7 dan SN13. Galur-galur tersebut yang nilai rataan PATel-nya konsisten tinggi di tanah Latosol dan tanah Ultisol, yaitu galur SK18. Seperti halnya PATel, jumlah akar tembus lilin (JATel) genotipe Cabacu, Gajah Mungkur, dan Kasalath pada kondisi kurang P di tanah Latosol lebih banyak jumlahnya dibandingkan pada kondisi cukup P. Pada tanah Latosol maupun tanah Ultisol, genotipe Cabacu menunjukkan JATel yang paling banyak. Pada tanah Latosol, terdapat 4 galur turunan SK (SK1, SK2, SK17 dan SK18) dan 4 galur turunan SN (SN7, SN9, SN13 dan SN17) yang JATel-nya diatas JaTel Situ Bagendit. Pada tanah Ultisol, terdapat 3 galur turunan SK (SK2, SK13 dan SK21) dan 4 galur turunan SN (SN1, SN2, SN13 dan SN 19) yang JATel-nya melebihi JATel Situ Bagendit dan Gajah Mungkur (Tabel 11). Pada perlakuan kedua tanah tersebut galur turunan BC2F6 yang nilai rataannya konsisten tinggi dan mendekati Gajah Mungkur adalah galur SK2 dan SN13.
44
Tabel 9. Analisis sidik ragam (Nilai uji F hitung) beberapa karakter agronomis dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA. Karakter Agronomis Sumber PATel
JATel
PATo
TT
BBT
BKA
BKT
BC2F6 Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dan Situ Bagendit Galur
9.32**
3.62**
5.23**
8.57**
2.65**
2.60**
4.41**
Tanah
0.21tn
0.51tn
0.41tn
61.99**
0.18tn
0.81tn
0.04tn
Pupuk
2.64tn
2.27tn
1.08tn
7.98*
20.9**
2.25tn
1.88tn
Galur*Tanah
1.22tn
1.18tn
1.60*
1.48**
0.92tn
2.07**
2.41**
Galur*Pupuk
3.50**
1.42tn
0.79tn
1.13tn
1.10tn
1.76*
2.11**
Tanah*Pupuk
2.18tn
6.31*
2.50tn
0.13tn
0.001tn
1.01tn
3.53tn
2.86**
3.75**
0.64tn 1.28tn 0.63tn 1.44tn 1.06tn Galur*Tanah*Pupuk BC2F6 Situ Bagendit x NIL-C433 (turunan SN) dan Situ Bagendit Galur
10.5**
4.65**
8.62**
8.15**
3.28**
4.52**
5.83**
Tanah
0.12tn
1.11tn
0.06tn
108.5**
3.59tn
0.87tn
0.74tn
Pupuk
7.60**
3.92*
1.30tn
6.72**
31.6**
3.08tn
1.66tn
Galur*Tanah
1.36tn
1.16tn
2.16**
2.12**
1.46tn
2.05**
1.69*
Galur*Pupuk
3.61**
1.50tn
0.59tn
1.18tn
0.93tn
1.04tn
0.95tn
Tanah*Pupuk
0.10tn
2.52tn
1.29tn
9.09*
0.35tn
1.09tn
0.65tn
0.84tn 1.48tn 0.63tn 0.93tn 1.41tn Galur*Tanah*Pupuk Gabungan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C433 dan Situ Bagendit
0.93tn
1.16tn
Galur
8.42**
3.38**
5.04**
7.01**
2.36**
2..77**
4.23**
Tanah
0.78tn
2.62tn
0.50tn
168.7**
4.19*
1.56tn
0.46tn
Pupuk
4.91*
2.98tn
2.09tn
19.11**
65.6**
3.20tn
3.15tn
Galur*Tanah
1.21tn
1.08tn
1.47*
1.46*
1.11tn
2.07**
2.26**
Galur*Pupuk
3.07**
1.26tn
0.81tn
1.05tn
1.09tn
1.79**
2.00**
Tanah*Pupuk
0.84tn
5.60*
4.20*
4.84*
0.34tn
0.36tn
1.38tn
Galur*Tanah*Pupuk
0.89tn
1.26tn
0.67tn
1.34tn
1.09tn
2.91**
3.58**
Keterangan: PATel=Panjang Akar Tembus Lilin, JATel=Jumlah Akar Tembus Lilin, PATo= Panjang Akar Total, TT= Tinggi Tanaman, BBT=Bobot Basah Tanaman, BKA= Bobot Kering Akar, BKT=Bobot Kering Tanaman. **=beda nyata pada taraf α=0.01, *=beda nyata pada taraf α=0.05, tn=tidak beda nyata.
45 Tabel 10. Rataan panjang akar tembus lilin (PATel) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada uji daya tembus akar (DTA). Genotipe SB SK1* SK2* SK3* SK4* SK13* SK17* SK18* SK21* SN1* SN2* SN7* SN8* SN9* SN13* SN14* SN15* SN17* SN19* Kasalath NIL-C433A CabacuA IR20 Gajah MungkrA NipponbareA
Tanah Latosol 0P 100P 0.00 1.55 4.80 7.00 0.50 0.20 0.00 0.10 0.00 0.10 0.50 0.10 0.30 0.10 0.10 3.55 0.00 0.70 0.10 0.00 0.00 0.00 9.80 0.00 0.20 0.00 0.20 0.60 0.00 0.55 0.10 0.00 0.10 0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 4.37 2.73 0.00 0.25 9.50 20.00 0.00 0.00 9.03 10.33 0.00 0.00
Rataan 0.78 5.90 0.35 0.05 0.05 0.30 0.20 1.83 0.35 0.05 0.00 4.90 0.10 0.40 0.28 0.05 0.05 0.05 0.00 3.55 0.13 14.75 0.00 9.68 0.00
Tanah Ultisol 0P 100P 0.20 0.30 0.10 0.10 1.05 0.10 0.15 0.00 0.10 1.60 0.30 5.40 1.20 1.00 0.10 2.73 0.10 2.87 0.10 0.10 0.10 0.10 0.00 0.10 0.10 0.00 0.20 0.10 0.10 6.00 0.10 0.10 0.10 0.00 0.10 0.10 0.10 0.10 8.00 8.37 0.00 0.00 17.00 7.73 0.00 0.00 0.15 2.88 0.00 0.10
Rataan 0.25 0.10 0.58 0.08 0.85 2.85 1.10 1.42 1.48 0.10 0.10 0.05 0.05 0.15 3.05 0.10 0.05 0.10 0.10 8.18 0.00 12.37 0.00 1.52 0.05
Keterangan: * = proporsi genom Situ Bagendit telah mencapai di atas 90%, A=signifikan pada uji Dunnet taraf α=0.05, 0P= tanpa pupuk P, 100P= dipupuk P. Genotipe yang memiliki panjang akar yang mampu menembus lapisan lilin tinggi dapat saja memiliki bobot kering akar (BKA) atau bobot kering tanaman (BKT) rendah apabila jumlah dan diameter akarnya terbatas atau kecil. Mackill et al. (1996) melaporkan bahwa tanaman yang toleran terhadap kekeringan akan mempunyai perakaran dalam, padat dan kuat sehingga memberikan jaminan kelancaran pengiriman air dan hara dari tanah menuju tanaman. Demikian pula, Syarif (2005) melaporkan bahwa panjang akar berhubungan dengan jelajah akar dalam menyerap air dan unsur hara yang dapat digunakan untuk meningkatkan ketenggangan terhadap P rendah. Untuk itu, panjang akar yang menembus lapisan lilin dalam penelitian ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat
46 toleransi kekeringan dengan menggabungkan jumlah akar dan diameter akar yang menembus lapisan lilin. Suardi (2000) melaporkan bahwa jumlah akar tanaman yang menembus lapisan lilin semakin banyak maka air yang ditranspirasikan akan semakin besar. Tanaman yang akarnya tebal dan panjang serta cabang akarnya besar, akan meningkatkan densitas panjang akar dan kemampuan penyerapan air (Ingram et al. 1994). Tanaman yang dapat menyerap air dengan volume lebih besar maka akan dapat mempertahankan potensial airnya (Cabuslay et al. 1999), sehingga genotipe yang perakarannya mampu menembus lapisan tanah relatif keras maka bisa meningkatkan hasil karena terhindar dari kekeringan (Boling et al. 2000). Tabel 11. Rataan jumlah akar tembus lilin (JATel) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan daya tembus akar (DTA). Genotipe
Tanah Latosol 0P 100P 0.00 1.00 2.00 2.00 1.00 1.00 0.00 1.00 3.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 1.00 1.23 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 8.00 0.00 1.00 0.00 1.00 2.00 0.00 1.50 1.00 0.00 1.00 0.00 0.00 3.00 0.00 0.00 0.91 0.39 2.00 1.00 0.00 0.50 8.00 2.00 0.00 0.00
Rataan
Tanah Ultisol 0P 100P 1.00 1.00 1.00 1.00 1.50 2.00 1.50 0.00 1.50 1.00 1.00 2.00 1.00 1.00 2.00 1.00 1.03 0.93 1.00 1.33 2.00 1.00 0.00 1.00 2.00 0.00 1.00 1.00 1.50 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 1.00 1.00 2.00 1.50 0.95 0.87 2.67 4.00 0.00 0.00 8.00 1.67 0.00 0.00
Rataan
SB 0.50 1.00 SK1* 2.00 1.00 SK2* 1.00 1.75 SK3* 0.50 0.75 SK13* 2.00 1.25 SK17* 1.00 1.50 SK18* 1.00 1.00 SK21* 0.50 1.50 Rataan SK 1.11 0.98 SN1* 0.50 1.17 SN2* 0.00 1.50 SN7* 4.00 0.50 SN8* 0.50 1.00 SN9* 1.50 1.00 SN13* 0.75 1.25 SN14* 0.50 1.00 SN15* 0.50 0.50 SN17* 1.50 1.00 SN19* 0.00 1.75 Rataan SN 0.65 0.91 A Kasalath 1.50 3.33 NIL-C433 0.25 0.00 A Cabacu 5.00 4.83 IR20 0.00 0.00 Gajah 3.67 1.67 2.67 1.00 1.33 1.17 MungkurA Nipponbare 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.50 Keterangan: * = proporsi genom Situ Bagendit telah mencapai di atas 90%, A= signifikan pada uji Dunnet taraf 5%, 0P= tanpa pupuk P, 100P= dipupuk P.
47 Untuk itu, pemilihan galur terbaik dalam penelitian ini didasarkan panjang akar dan jumlah akar yang menembus lilin yang telah dimiliki dari galur-galur yang terseleksi dengan konstitusi genetiknya (genom) Situ Bagendit. Galur turunan SK dan turunan SN yang memiliki panjang akar dan jumlah akar tembus lapisan lilin dengan nilai rataannya konsisten tinggi di perlakuan tanah Latosol dan tanah Ultisol serta mendekati rataan Gajah Mungkur adalah SK2, SK18 dan SN13. Tinggi Tanaman dan Panjang Akar Total (PATo) Konsentrasi P dalam pupuk dan kondisi tanah yang digunakan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada galur-galur turunan SK dan turunan SN. Pada kondisi dipupuk, tanaman memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi yang tidak dipupuk. Demikian juga tanah yang digunakan, tinggi tanaman di tanah Latosol memberikan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan di tanah Ultisol. Hasil evaluasi pertumbuhan tinggi tanaman (TT) dengan menggunakan uji Dunnet taraf α=0,05 menunjukkan bahwa ada perbedaan galur-galur yang signifikan (Lampiran 17), yaitu SK3, SK18, dan SK21 Berdasarkan Tabel 12 dan uji Dunnet taraf α=0,05 peubah tinggi tanaman diperoleh delapan galur BC2F6 yang nilai ITC tinggi tanaman konsisten tinggi di tanah Latosol dan tanah Ultisol, yaitu SK3, SK4, SK13, SK18, SK21, SN7, SN8 dan SN9. Tinggi tanaman berkaitan dengan sistem perakaran, tanaman yang dapat meningkatkan pemanjangan akar akan meningkatkan penyerapan air dan hara, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tabel 13 menunjukkan bahwa ada tujuh galur turunan SK dan turunan SN dengan nilai ITC panjang akar total (PATo) konsisten tinggi pada tanah Latosol maupun tanah Ultisol, yaitu SK1, SK2, SK3, SK13, SK17, SN7 dan SN9. Selain itu ada dua galur turunan BC2F6 yang nilai ITC PATo pada tanah Latosol nilainya mendekati genotipe Cabacu (kontrol toleran kekeringan), yaitu SK1 dan SN7. Suatu varietas atau galur yang menunjukkan pertumbuhan akar yang lebih baik, cenderung juga akan menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman yang lebih baik karena varietas atau galur tersebut mampu untuk meniadakan cekaman (Swasti 1993, Swasti 2004). Pada kondisi kurang P dan tanah yang sangat masam (tanah Ultisol), galur-galur turunan SN menunjukkan pertumbuhan panjang akar dan tinggi tanaman yang lebih baik. Akan tetapi, pada kondisi kurang P dan kemasaman tanah yang lebih rendah (tanah Latosol) justu galur-galur turunan SK yang lebih baik.
Bobot Kering Akar (BKA) dan Bobot Kering Tanaman (BKT) Pemberian pupuk P meningkatkan bobot kering tanaman secara nyata dengan besaran 20-35%. Nilai ITC BKT galur turunan SK dan turunan SN pada tanah Latosol ternyata tidak ada yang melebihi genotipe tetua donor Pup1 (Kasalath dan NIL-C433) baik pada kondisi dipupuk P maupun tidak dipupuk P. Namun demikian pada tanah Ultisol,ada beberapa galur Pup1 yang mengalami peningkatan BKT dibandingkan tetua pemulih. Ditanah Ultisol, galur-galur Pup1 mengalami peningkatan bobot kering tanaman (BKT) sebesar 29-75%
48 dibandingkan tetua pemulih (Situ Bagendit). Bobot kering tanaman (BKT) sangat dipengaruhi oleh bobot kering akar (BKA), dan BKA sendiri dipengaruhi oleh dosis P. Semakin panjang perakaran yang tembus lilin dan semakin banyak akar yang tembus lilin maka semakin tinggi bobot kering tanaman. Berdasarkan nilai ITC PATo dan BKT diperoleh galur yang mempunyai kemampuan tinggi tumbuh di tanah Latosol yaitu SK1, SK13, SK17 dan SN7, sedangkan di tanah Ultisol yaitu SK2 dan SN9. Tabel 12. Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) tinggi tanaman (TT) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA. Genotipe SB SK1* SK2* SK3*A SK4* SK13* SK17* SK18*A SK21*A Rataan SK SN1* SN2* SN7* SN8* SN9* SN13* SN14* SN15* SN17* SN19* Rataan SN KasalathA NIL-C433 CabacuA IR20 Gajah Mungkur Nipponbare
Tanah Latosol 0P 100P 15.00 24.50 29.50 29.67 22.83 25.83 28.33 36.67 25.07 25.53 25.17 23.93 21.53 24.57 29.30 30.00 32.67 30.33 24.48 25.33 23.43 22.17 30.43 22.10 28.27 23.83 24.93 25.00 24.47 28.17 26.03 26.00 23.50 27.33 25.90 23.63 21.33 26.57 21.60 20.33 23.82 24.15 33.17 21.50 15.00 18.35 35.57 31.67 19.47 18.00
0.26 0.82 0.57 0.62 0.69 0.74 0.53 0.80 0.99 0.66 0.70 1.18 0.94 0.70 0.60 0.73 0.57 0.80 0.48 0.65 0.66 1.44 0.34 1.12 0.59
Tanah Ultisol Tingkat toleransi 0P 100P P 14.23 13.67 T 15.57 22.27 T 15.83 18.00 T 24.27 26.23 T 20.17 29.00 T 18.33 22.33 T 14.40 15.90 T 20.00 26.50 T 19.17 32.00 T 18.09 21.31 T 15.67 19.67 T 15.73 23.30 T 18.77 26.00 T 20.17 18.37 T 17.57 17.83 T 14.90 21.20 T 13.33 19.33 T 12.75 18.87 T 13.83 18.33 T 12.67 12.77 T 16.04 19.41 T 32.00 29.17 P 17.00 10.50 T 33.33 31.47 T 15.10 15.93
ITC
ITC
Tingkat toleransi
0.44 0.33 0.42 0.67 0.42 0.45 0.39 0.45 0.34 0.46 0.37 0.32 0.41 0.66 0.52 0.31 0.28 0.26 0.31 0.38 0.40 1.05 0.83 1.06 0.43
P P P T P P P P P P P P P T T P P P P P P T T T P
33.90
28.17
1.15
T
14.50 21.67
0.29
P
33.00
16.67
1.84
T
19.50 20.57
0.55
T
Keterangan: T=Toleran, P=Peka. *=proporsi genom Situ Bagendit telah mencapai diatas 90%. A= signifikan pada uji Dunnet taraf 5%, 0P=tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis 100%.
49 Tabel 13. Nilai indeks toleransi terhadap cekaman (ITC) panjang akar total (PATo) dan bobot kering tanaman (BKT) dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada percobaan DTA. PATo Genotipe
SB SK1* SK2* SK3* SK4* SK13* SK17* SK18* SK21* SN1* SN2* SN7* SN8* SN9* SN13* SN14* SN15* SN17* SN19* KasalathA NIL-C433A CabacuA IR20 Gjh MungkurA Nipponbare
Keterangan:
BKT
Tanah Latosol Tingkat ITC toleransi 0.35 P 0.91 T 0.46 P 0.45 P 0.53 T 0.41 P 0.58 T 0.34 P 0.50 T 0.37 P 0.37 P 1.28 T 0.40 P 0.49 P 0.31 P 0.42 P 0.33 P 0.29 P 0.19 P 0.77 T 0.34 P 1.09 T 0.23 P
Tanah Ultisol Tingkat ITC toleransi 0.34 P 0.61 T 0.63 T 0.49 P 0.32 P 0.41 P 0.61 T 0.33 P 0.27 P 0.37 P 0.41 P 0.42 P 0.52 T 0.44 P 0.41 A 0.38 P 0.46 P 0.29 P 0.39 P 0.88 T 0.48 P 0.90 T 0.39 P
Tanah Latosol Tingkat ITC toleransi 0.43 P 0.42 P 0.32 P 0.35 P 0.31 P 0.58 T 0.43 P 0.42 P 0.77 T 0.51 T 1.11 T 0.98 T 0.38 P 0.26 P 0.31 P 0.31 P 0.62 T 0.28 P 0.29 P 1.44 T 1.30 T 1.58 T 0.56 T
Tanah Ultisol Tingkat ITC toleransi 0.23 P 0.21 P 0.56 T 0.31 P 0.09 P 0.14 P 0.30 P 0.14 P 0.14 P 0.33 P 0.14 P 0.23 P 0.89 T 0.60 T 0.12 P 0.15 P 0.14 P 0.13 P 0.15 P 0.30 P 1.21 T 1.56 T 0.40 P
0.87
T
0.33
P
1.21
T
0.15
P
0.54
T
0.38
P
1.03
T
0.29
P
T=Toleran, P=Peka. *=proporsi genom Situ Bagendit telah mencapai diatas 90%. A= signifikan pada uji Dunnet taraf α=0.05, 0P= tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis 100%.
Efek masuknya lokusPup1 pada Situ Bagendit merangsang pembentukkan akar yang tinggi. Heuer et al. (2009) melaporkan Pup1 berperan dalam pembentukan volume akar. Pembentukan akar yang responsif akan meningkatkan penyerapan air, P dan unsur-unsur lainnya. Peningkatan penyerapan air dan hara akan meningkatkan laju fotosisntesis (Dwijosaputro 1992). Oleh karena itu, pemilihan galur yang dapat tumbuh di tanah Ultisol dipilih galur yang memiliki kemampuan toleran terhadap kekeringan, cekaman Al (kemasaman) dan defisiensi P. Galur tersebut dipilih dengan melihat nilai ITC panjang akar yang konsisten tinggi dalam beberapa pengujian. Berdasarkan hasil uji PEG dan DTA, diperoleh galur-galur yang memiliki nilai ITC panjang akar konsisten tinggi, yaitu galur SK1, SK2, SK3, SK13, SK17, SK21, SN7 dan SN9. Nilai ITC PA dan BKT yang
50 konsisten tinggi di tanah Latosol, yaitu SK1, SK13, SK17 dan SN7, sedangkan di tanah Ultisol yaitu SK2, SN7 dan SN9.
Simpulan 1. Beberapa galur turunan SK dan turunan SN toleran terhadap larutan PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20%. Galur-galur tersebut mempunyai nilai ITC panjang akar (PA) dan bobot kering kecambah (BKK) yang mendekati kontrol toleran kekeringan (Cabacu), yaitu SK1, SK2, SK21, dan SN7. 2. Beberapa galur turunan SK dan turunan SN yang mempunyai kemampuan toleran terhadap kekeringan dan defisiensi P ditanah Latosol, yaitu galur SK1, SK13, SK17, dan SN7, sedangkan di tanah Ultisol yaitu SK2, SN7 dan SN9.
Daftar Pustaka Afa LO, Purwoko BS, Junaidi A, Haridjaja O, Dewi IS. 2012. Pendugaan Toleransi Padi Hibrida terhadap Kekeringan dengan Polyetilen Glikol (PEG) 6000. J. Agrivigor 11 (2): 292-299. Boling A, Tuong TP, Bouman BAM, Murty MVR, and Jatmiko SY. 2000. Climate agrohydrologi and Management of rainfed rice production in Central Java: a modelling approach. In IRRI Report Progam for 1999. IRRI. Los Banos. 38-39 Cabuslay G, Ito O, Alejar A. 1999. Genotipic differences in physiolological responses to water defisit in rice. In Ito O, O’Toole J dan Hardy B (Ed). IRRI. 99-116. Dobermann A and Fairhurst T. 2000. Rice Nutrient disorders and nutrient Management. IRRI. 191p. Dwijosaputra D. 1992. Ilmu Tanah. Jakarta. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Hanum T, Swasti E dan Sutoyo. 2010. Uji Toleransi beberapa Genotipe Padi Beras Merah Lokal (Oryza sativa L) terhadap Kekeringan selama Fase Semai. Jerami 3 (3): 182-192. Harahap Z, Lubis E dan Susanto TW. 1995. Padi Unggul Toleran Kekeringan dan Naungan. Pusat penelitian dan pengembangan Tanaman Pangan Bogor. 21p. Heur S, Lu X, Chin JH, Tanaka JP, Kanamon H, Matsumoto T, Leon TD, Ulat VJ, Ismail AM, Yano M, Wissuwa M. 2009. Comparative sequene analysis of the mayor quantitative trait locus phosphorus uptake 1 (Pup1) reveal a complex genetik structure. Plant Biotech J 7: 456-471. Ingram KT, Buano FO, Namuco OD, Yambao EB, and Beyronty CA. 1994. Rice root for drought resistance and their genetic variation. in Kirk GJD (Ed). Rice Roots: Nutrient and Water use. IRRI. Los Banos. Philippines. 67-77. Iriany RN, Takdir A, Yasin M, Mejaya MJ. 2007. Maize Genotypes Tolerance to Drought Stress. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26 (3): 156-160.
51 IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Fourth Ed. Philippines. 52p. Lestari EG. 2006. Hubungan antara Kerapatan Stomata dengan Ketahanan Kekeringan pada Somaklon Padi Gajahmungkur, Towuti dan IR 64. Biodiversitas 7 (1): 44-48. Mackill DJ, Coffman WR, Garity DP. 1996. Rainfield Lowland Rice Improvement. Los Banos, Philippines. IRRI. 242p. Mexal J, Fisher JT, Osteryoung J, Patrick-Reid CP. 1975. Oxygen availability in polyethylene glycol Solutions and its implication in plant-water relation. Plant Physiol 55: 20-24. Michel BE. 1983. Evaluation of The Water Potential of Solution Polyethylene Glycol 8000 both in The Absence and Presence of other solute. Plant Physiol 72: 66-70. Minardi S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Tanah (Pengelolaan Tanah) pada Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Sebelas Maret. Prasetiyono J. 2010. Studi Efek Introgresi Pup1(P Uptake 1) untuk Meningkatkan Toleransi Padi terhadap Defisiensi Fosfor [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor. 185p. Prasetiyono J, Suhartini T, Soemantri IH, Tasliah, Moeljopawiro S, Aswidinnoor H, Sopandie D, Bustaman M. 2012. Evaluasi beberapa Galur-Pup1 Tanaman Padi (Oryza sativa l.) pada Larutan Hara dan Lapangan. J.Agron. Indonesia 40 (2): 83-90 Prasetyo BH, Suriadikarta DA. 2006. Karakteristik, Potensi dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2): 39-46. Suardi D. 2000. Kajian Metode Skrining Padi Tahan Kekeringan. Buletin AgroBio 3 (2): 67-73. Suardi D. 2002. Perakaran Padi dalam Hubungannya dengan Toleransi Tanaman terhadap Kekeringan dan Hasil. Jurnal Litbang Pertanian 21 (3): 100-108. Subagyo H, Suharta N, Siswanto AB. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Dalam: Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Susanto GWA dan Sundari T. 2011. Perubahan Karakter Agronomi Aksesi Plasma Nutfah Kedelai di Lingkungan Ternaungi. J. Agron. Indonesia 39 (1): 1-6. Swasti E. 1993. Pengujian Ketegangan terhadap Keracunan Aluminium pada Beberapa Varietas dan Galur Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.) [Tesis]. Pascasarjana KPK IPB-UNAND. Padang. Swasti E. 2004. Fisioogi dan Pewarisan Sifat Efisiensi Fosfor pada Padi Gogo dalam Keadaan Tercekam Alumunium [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi. Institut Pertanian Bogor. Syarif AA. 2005. Adaptasi dan Ketenggangan Genotipe Padi terhadap Defisiensi Fosfor di Tanah Sawah [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi. Institute Pertanian Bogor.
52 Verslues PE, Agarwal M, Agarwal KS, Zhu J. 2006. Methods and Concepst in quantifying resistance to drought, salt and freezing, abiotic stres that affect plant water status. Plant J. 45: 523-539.
53
4 PEMBAHASAN UMUM Penelitian mengenai introgresi lokus Pup1 dan pengaruhnya ke dalam varietas unggul Indonesia (Situ Bagendit) belum banyak dilaporkan. Berdasarkan marka Kas19-C2 dan marka Kas30n-1 diketahui bahwa galur-galur BC2F2 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dan Situ Bagendit x NIL-C433 (turunan SN) menunjukkan lokus Pup1 telah berada dalam kondisi homozigot ke tetua donor Pup1 (Prasetiyono et al. 2012), Sedangkan hasil analisis molekuler lanjut terhadap galur-galur BC2F6 turunan SK dan turunan SN dengan menggunakan tujuh marka spesifik untuk Pup1 menunjukkan bahwa ada 8 galur dari 46 galur yang lokus Pup1 tidak terintegrasi dengan sempurna. Galur-galur tersebut, yaitu SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20. Adanya beberapa galur turunan SK yang lokus Pup1 tidak terintegrasi dengan sempurna diduga galur hasil persilangan tersebut membawa lokus Pup1 tidak secara utuh, atau bagian ujung-ujungnya terpotong. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa penggunaan marka molekuler untuk kegiatan MAB (Marker Assisted Backcrossing) ini hanya dilakukan sampai generasi BC2F2, setelah itu dilakukan seleksi di lapang dan tidak dilakukan analisis molekuler. Setelah empat generasi berikutnya (BC2F6) dilakukan analisis molekuler lanjutan. Hasilnya menunjukkan masih ada variasi alel lokus Pup1, baik berasal dari alel tetua donor (Kasalath atau NIL-C443) ataupun dari tetua pemulih (Situ Bagendit). Peristiwa pindah silang dengan pola yang tidak beraturan barangkali telah menggantikan alel homozigot tetua donor pada generasi BC2F3 menjadi Situ Bagendit, atau kemungkinan juga bisa terjadi tercampurnya serbuk sari generasi BC2F3 dengan Situ Bagendit di lapangan, yang selanjutnya terjadi segregasi selama empat generasi. Namun demikian, kemungkinan tersebut peluangnya sangat kecil karena background genetik di luar lokus Pup1 dari individu yang mememiliki lokus Pup1 terpotong-potong sebagian besar telah kembali ke tetua situ Bagendit, dimana hal ini tidak mungkin terjadi pada kondisi persilangan sendiri dari generasi BC2F3 sampai BC2F6 . Pada analisis background tanaman BC2F6, digunakan marka-marka SSR sebanyak mungkin untuk melihat komposisi genotipe yang dimiliki galur turunan SK ataupun galur turunan SN. Semakin banyak marka SSR polimorfik yang digunakan dalam seleksi background akan semakin besar peluang melihat background genetik yang dimiliki galur turunan SK dan turunan SN. Marka SSR yang digunakan untuk analisis background genetik BC2F6 dalam penelitian ini sebanyak 276 marka. Namun demikian, hasilnya menunjukkan bahwa hanya 130 (47%) marka polimorfik pada turunan SK dan 158 (57%) marka polimorfik pada turunan SN. Pada generasi BC2F6 galur turunan SK rata-rata telah memiliki 90,6% genom Situ Bagendit, dengan 14 galur telah memiliki genom Situ Bagendit di atas 90%. Galur SK2 memiliki proporsi genom Situ Bagendit yang tertinggi (95,7%). Galur-galur turunan SN rata-rata telah memiliki 89,41% genom Situ Bagendit, dengan 10 galur telah memiliki genom Situ Bagendit diatas 90%. Galur SN2 memiliki proporsi genom Situ Bagendit yang tertinggi (93,6%). Galur-galur turunan SK dan turunan SN masih mengandung segmen DNA dari tetua donor (Kasalath atau NIL-C433), walaupun telah diseleksi
54 menggunakan marka molekuler (marka foreground dan marka background). Hal ini menunjukkan seleksi menggunakan marka molekuler tidak bisa menghilangkan kontaminasi segmen DNA dari tetua donor pada daerah yang tidak diinginkan. Pengaruh linkage drag masih akan terjadi pada seluruh individu dari hasil persilangan. Oleh karena itu, kegiatan dalam analisis molekuler ini perlu dikombinaskan dengan uji lapang untuk menyeleksi tanaman dengan penampilan yang diinginkan dan menunjukkan ekspresi dari lokus Pup1. Namun demikian, proporsi pengembalian genom pemulih dalam penelitian ini menunjukkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi, yang mencapai 95,7% (galur SK2) dan 93,6% (galur SN2). Collard et al. (2005) melaporkan bahwa proporsi pengembalian genom pemulih untuk persilangan pada generasi BC2 mencapai 82% bila menggunakan metode konvensional dan mencapai 87,5% bila menggunakan metode marka molekuler. Kasalath dan NIL-C433 merupakan tetua sumber lokus Pup1 yang memiliki karakteristik yang berbeda. Kasalath sebagai asli sumber Pup1 yang merupakan padi lokal (landrace) yang berasal dari India. Kasalath dikelompokkan ke dalam padi Indica (sebagian ada yang memasukkan ke dalam sub spesies Aus). Padi ini termasuk padi lahan kering yang memiliki sifat toleran terhadap defisiensi P, tetapi peka terhadap cekaman Al. Kasalath mempunyai dua mekanisme dalam menghadapi kondisi defisiensi P, yaitu mekanisme eksternal dan mekanisme internal. NIL-C433 merupakan padi hasil persilangan silang balik antara Nipponbare (kelompok Japonica) dengan Kasalath, yang sebagian besar genomnya adalah padi Japonica. Situ Bagendit merupakan varietas ungul Indonesia yang dikenal sebagai padi gogo yang ditanam di lahan kering. Padi ini dikelompokkan ke dalam padi Indica. Padi ini digunakan sebagai varietas penerima (recipient) lokus Pup1. Persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NILC433 dilakukan dengan metode silang balik (BC2) (Prasetiyono 2010). Sifat Pup1 hanya membantu dalam perbanyakan permukaan akar dalam menangkap P dengan memperbanyak tumbuhnya akar-akar yang secara otomatis akan memiliki permukaan serapan yang lebih banyak dalam menangkap P. Akar yang lebih banyak akan memperluas permukaan penyerapan P. Pup1 sama sekali tidak mengeluarkan eksudat seperti asam organik yang dapat menangkap Al3+ atau Fe2+ dalam upaya mengurangi keracunan Al atau besi, walaupun Kasalath sendiri sebagai sumber Pup1 mengeluarkan asam organik dalam jumlah yang sangat kecil (Ma et al. 2002). Pada cekaman Al (45 ppm Al), genotipe Kasalath lebih sensitif dari genotipe NIL-C433 bahkan dari genotipe ITA131, baik pada kondisi kurang P maupun kondisi cukup P. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ma et al. (2002), Prasetiyono (2010, 2012) yang menunjukkan bahwa Kasalath sebagai genotipe yang sensitif terhadap toksisitas Al. Cekaman Al yang tinggi dapat merusak sistem perakaran tanaman (Kochian et al., 2004) dan pertumbuhan akar semakin terhambat (Wang and Kao, 2004). Tingginya cekaman Al juga menyebabkan defisiensi unsur P. Untuk mengatasi defisiensi P, tidak cukup hanya lokus Pup1 saja tetapi harus dibantu dengan gen-gen lain yang bisa melepaskan ikatan P dengan unsur lain, misalnya Al. Ikatan Al-P harus dilepas oleh gen toleransi keracunan Al (Alt), sehingga P yang telah terlepas bisa dengan mudah diserap oleh Pup1. Dengan tambahan gen yang toleran terhadap keracunan Al diharapkan lokus Pup1 dapat
55 bekerja dengan efektif sehingga penampilan tanaman turunan SK dan SN lebih baik dibanding tetua pemulih (Situ Bagendit) bahkan kontrol toleran Al. Berdasarkan proporsi genom Situ Bagendit dan nilai ITC panjang akar (PA) terhadap defisiensi P di pengujian larutan hara Yoshida, diperoleh 6 galur turunan SK (SK3, SK4, SK13, SK17, SK18 dan SK21) pada kondisi tanpa cekaman Al, dan 8 galur turunan SN (SN1, SN2, SN7, SN9, SN13, SN14 dan SN15) pada kondisi cekaman Al yang lebih toleran terhadap defisiensi P dari tetua pemulih (Situ Bagendit).Enam galur terpilih dari galur turunan SK menunjukkan karakter agronomi seperti tetua donor (Kasalath), yaitu toleran terhadap defisiensi P dan peka terhadap cekaman Al. Begitu juga delapan galur terpilih dari galur turunan SN menunjukkan karakter agronomi seperti NIL-C433, yaitu menunjukkan kondisi yang lebih toleran terhadap defisiensi P pada kondisi cekaman Al. Dari kondisi ini, galur terpilih dari turunan SK lebih toleran terhadap defisiensi P pada kondisi tanpa adanya cekaman Al, sedangkan galur turunan SN lebih toleran terhadap defisiensi P pada kondisi adanya cekaman Al. Penelitian padi gogo ditanah Ultisol di Indonesia tidak bisa terlepas dengan cekaman Al (kemasaman), defisiensi P dan kekeringan. ketiga kondisi ini merupakan cekaman yang cukup berat bagi tanaman. Varietas-varietas padi gogo yang populer di masyarakat pada saat ini pun cenderung toleran dengan satu atau dua jenis cekaman tertentu. Pada kenyataan dilapangan proses terjadinya cekaman tersebut terjadi secara bersamaan dan simultan. Pengembangan padi gogo ditanah Ultisol dihadapkan pada kendala tingkat kemasaman yang tinggi, keracunan aluminium, defisiensi unsur hara P dan kekeringan. Pengujian PEG 8000 dan DTA berguna untuk mendapatkan galur yang toleran terhadap kekeringan. Galur-galur turunan SK dan turunan SN yang toleran terhadap larutan PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20% menggambarkan bahwa galur-galur tersebut toleran terhadap kondisi kekurangan air (cekaman kekeringan). Berdasarkan nilai ITC panjang akar (PA) dan bobot kering kecambah (BKK) serta proporsi pengembalian genom Situ Bagendit diperoleh empat galur yang toleran terhadap larutan PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20%. Galur-galur tersebut, yaitu SK1, SK2, SK21 dan SN7. Galur-galur yang menunjukkan toleran terhadap kekeringan pada pengujian PEG 8000, belum sepenuhnya menggambarkan toleran terhadap kekeringan di lapang. Untuk itu, perlu dilakukan pengujian kekeringan yang menggambarkan seperti di lapang. Pengujian DTA disimulasi untuk menggambarkan tanaman mendapatkan cekaman kemasaman (keracunan Al), defisiensi P dan kekeringan secara simultan. Tanaman yang toleran pada pengujian DTA dalam tanah Ultisol menunjukan bahwa tanaman tersebut akan mempunyai kemampuan toleransi terhadap ketiga cekaman tersebut secara simultan. Tanah Ultisol dari Desa Kentrong menunjukkan bahwa tanah tersebut mengalami keracunan Al yang tinggi dan hara P yang rendah. Kondisi ini membuat unsur P terikat oleh Al. Efek masuknya lokus Pup1 pada Situ Bagendit merangsang pembentukan akar yang tinggi. Heuer et al. (2009) melaporkan Pup1 berperan dalam pembentukan volume akar. Pembentukan akar yang responsif akan meningkatkan penyerapan air, P dan unsur-unsur lainnya. Peningkatan penyerapan air dan hara akan meningkatkan laju fotosisntesis (Dwijosaputro 1992). Oleh karena itu, pemilihan galur yang mempunyai kemampuan toleran terhadap kekeringan, cekaman Al (kemasaman) dan defisiensi P dalam penelitian ini dilakukan dengan
56 memilih panjang akar yang konsisten tinggi dalam beberapa pengujian. Berdasarkan proporsi pengembalian genom pemulih (Situ Bagendit), konsistensi nilai ITC panjang akar total (PATo) dan bobot kering tanaman (BKT) diperoleh beberapa galur yang mempunyai kemampuan tumbuh baik di tanah Ultisol, yaitu SK2, SN7 dan SN9, sedangkan di tanah latosol diperoleh galur SK1, SK13, SK17 dan SN7. Pengujian larutan hara Yoshida pada 45 ppm Al dan tanah Ultisol menggambarkan adanya cekaman Al dan defisiensi P. Berdasarkan hasil uji larutan hara Yoshida, uji PEG 8000 dan DTA (Gambar 11) diperoleh galur-galur dengan nilai ITC panjang akar yang konsisten tinggi pada kondisi cekaman Al, defisiensi P dan kekeringan, yaitu galur SK3 dan SN7. Kedua galur ini berpotensi menjadi galur yang toleran untuk ditanam ditanah Ultisol. Uji larutan hara Yoshida (Uji kemasaman dan defisiensi P)
SK13, SK17 SN9
SK3 SN7
SK21
SK1 SK2
Uji DTA (Uji kemasaman, kekeringan dan defisiensi P)
Uji PEG 8000
(Uji kekeringan)
Gambar 12. Pemilihan galur yang mempunyai kemampuan toleran terhadap kemasaman (cekaman Al), defisiensi P dan kekeringan. Galur dengan pengembalian proporsi genom Situ Bagendit sudah diatas 90% sebanyak 16 galur, uji larutan hara Yoshida sebanyak 14 galur, Uji PEG 8000 sebanyak 5 galur, dan Uji DTA sebanyak 7 galur.
57
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Semua galur-galur hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dan Situ Bagendit x NIL-C433 (turunan SN) telah membawa lokus Pup1 secara utuh, kecuali SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20. 2. Proporsi terbaik genom Situ Bagendit dari turunan SK (galur SK2) mencapai 95.7%, sedangkan proporsi terbaik genom Situ Bagendit dari galur turunan SN (galur SN2) mencapai 93.4%. 3. Berdasarkan proporsi genom, pengujian larutan hara Yoshida, pengujian PEG dan pengujian DTA, diperoleh delapan galur yang mempunyai kemampuan toleran terhadap defisiensi P dan kekeringan, yaitu SK1, SK2, SK3, SK13, SK17, SK21, SN7 dan SN9. Galur SK3 dan SN7 berpotensi menjadi galur terpilih untuk pengujian di tanah Ultisol.
Saran Perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui daya toleransi terhadap cekaman Al, defisiensi P dan kekeringan dilapang serta uji multilokasi galurgalur terpilih dari galur turunan SK dan turunan SN.
58
DAFTAR PUSTAKA
Agus F, Irawan B. 2004. Alih Guna dan Aspek Lingkungan Lahan Sawah: Tanah Sawh dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitan dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Deptan. hlm 305-328. Ahloowalia BS, Kumarasinghe KS, Sigurbjoernsen B, Maluszynski M. 1994. Genotype selection for Improved Phosphorous Utilization. In Genetic Manipulation of Crop Plant to Enhance Intergrated Nutrient Management in Cropping System. 1 Phosphorous. ICRISAT. 49-54p. Ai NS, Tondais SM, Butarbutar R. 2010. Evaluasi Indikator Toleransi Cekaman kekeringan pada Fase Perkecambahan Padi (Oryza sativa. L). Jurnal Biologi 14 (1): 50-54. Akmal. 2008. Strategi Pemulian Jagung untuk Karakter Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan. Percikan 92: 77-85. Alluri K. 1986. Screning rice varieties in acid upland soil. Progress in upland Rice Research. IRRI. Los Banos, Philippines. 263-270p. Batjes NH. 1997. A Word Data Set of Derived Soil Properties by FAO-UNESCO Soil Unit for Global Modeling. Soil Use Manag 13: 9-16 Badan Pusat Stastistik. 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 604p. Badan Pusat Statistik. 2010. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bahrun A. 2002. Deteksi Dini yang mengalami Kekurangan Air untuk Menentukan Waktu Pengairan. Bul. Agron 30 (3): 75-81. Bray AE. 1997. Plant responses to water defisit. Trendi in Plant Sciece 2(2): 4853. Boyer JS. 1996. Advances in drought tolerance in plants. Ad. Agron. 56: 187-218. Campbell NA, Reece JA, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah; Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta. Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Biology. Chairuman N. 2008. Efektivitas Cendawn Mikoriza Arbuskula pada Beberapa Tingkat Pemberian Kompos Jerami terhadap Ketersediaan Fosfat serta Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo di Tanah Ultisol [Tesis]. Medan: Progam Studi Ilmu Tanah, Universitas Sumatera Utara. Collard BCY, Jahufer MZZ, Brouwer JB, Pang ECK. 2005. An introduction to markers, quantitative trait loci (QTL) mapping and marker-assisted selection for crop improvement: The basic concept. Euphytica 142: 169-196. Coronel VP, Akita S, Yoshida S. 1990. Aluminium toxicity tolerance in rice (Oryza sativa L.) seedling. In: Van Beusichem ML (ed). Plant NutritionPhysiology and Application. Kluwer Acad Publ. The Nedherlands. 357-566. Daradjat AA, Silitonga S, Nafisah. 2010. Ketersedian Plasma Nutfah untuk Perbaikan Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. hlm: 1-27. Dekker JCM, Hospital F. 2002. The use of molecular Genetics in the improvement of agricultural populatins. Nature Review Genetics 3: 22-32.
59 Dellaporta SL, Wood J, Hicks JB. 1983. A plant DNA minipreparation: Version II. Plant Mol Biol Rep 1 (4): 19-21. Delhaize E, Ryan PR. 1995. Aluminium toxicity and tolerance in plants. Plant Physiol 107:: 315-321. Fageria NK. 1992. Maximizing Crop Yields. New York. Marcel Dekker. Fageria NK, Baligar VC, Clark RB. 2005. Physiology of Crop Production. New York. Food Products Press. 345p. Fitter AH and Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. (Penerjemah: Sri Andani dan ED Purbayanti dari Environmental Physiology of plant). Gajah Mada Press. Yogyakarta. 417p. Gamuyao R, Chin JH, Tanaka JP, Pesaresi P, Catausan S, Dalid C, Loedin IS, Mendoza EMT, Wissuwa M, and Heuer S. 2012. The protein kinase Pstol1 from traditional rice confers tolerance of phosphorus deficiency. Nature 488:535-541 Hanafiah K.A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta. Penerbit Rajawali Pers. 360p. Hanum C, Mugnisjah WQ, Yahya S, Sopandy D, Idris K, Sahar A. 2007. Pertumbuhan Akar Kedelai pada Cekaman Aluminium, Kekeringan dan Cekaman Ganda Aluminium dan Kekeringan. AGRITROP 26 (1): 13-18. Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah (Edisi ke-3). Jakarta. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Hardjowigeno S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta. Akademika Pressindo. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, and Nelson WL. 1999. Soil Fertility and Fertilizer. Sixtd Ed.Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Heur S, Lu X, Chin JH, Tanaka JP, Kanamon H, Matsumoto T, Leon TD, Ulat VJ, Ismail AM, Yano M, Wissuwa M. 2009. Comparative sequene analysis of the mayor quantitative trait locus phosphorus uptake 1 (Pup1) reveal a complex genetik structure. Plant Biotech J 7: 456-471. Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan kering untuk Pertanian. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Penyunting: A. Adimihardja, Mappaona dan Arsil Saleh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Deptan, Bogor. Hal. 1-34. Irawan B, Priyanto S, Supriyatna A, Anugrah IS, Kirom NA, Rohman B, Wiryana B. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertaniaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaniaan, Deptan. Iriany RN, Takdir A, Yasin M, Mejaya MJ. 2007. Maize Genotypes Tolerance to Drought Stress. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26 (3): 156-160. Kaher A. 1993. Status Perbaikan Varietas Padi Gogo untuk Lahan Kering Marginal. Disajikan sebagai Makalah Penunjang dalam Simposium Penelitian Tanaman Pangan II, Puslitbangtan. Jakarta/Bogor, 23-25 Agustus 1993. Kirkham MB. 1990. Plant response to water deficits. Di dalam Stewart BA, Nielsen DR, editor. Irrigation of Agricultural Crops. Wisconsin. Madison. Kochian LV, Hoekenga OA, Pineros MA. 2004. How do crop plants tolerate acid soils? Mechanisms tolerance and phosphorous efficiency. Ann Rev Plant Biol 55: 459.
60 Lambers H, Pons TL, Chapin III FS. 2008. Plant Physiological Ecology (2 rdEd). New York. Springer. Lestari EG. 2006. Hubungan antara Kerapatan Stomata dengan Ketahanan Kekeringan pada Somaklon Padi Gajahmungkur, Towuti dan IR 64. Biodiversitas 7 (1): 44-48. Levitt J. Respon of Plants to Enviromental Stress Water, Radiation, Salt and Other Stresses. Vol II. New York. Academic Press. Ma JF. 2000. Role of organic Acid in detoxification of aluminium in higher plants. Plant Cell Physiol 41: 383-390. Ma JF, Shen R, Nagao S, Tanimoto E. 2004. Aluminium target elongation cells by reducing cell wall extensibility in wheat roots. Plant Cell Physiol 45 (5): 583589. Mackill DJ, Coffman WR, Garity DP. 1996. Rainfield Lowland Rice Improvement. Los Banos, Philippines. IRRI. 242p. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Hinger Plants. San Diego. Acad Press. 889p. Matsumoto H. 1991. Biochemical mechanism of the toxicity o aluminium and the sequestration of aluminium in plant cells. In R.J Wright (ed). Plant Soil Interaction at Low pH. Dordrech: Kluwer. Mexal J, Fisher JT, Osteryoung J, Patrick-Reid CP. 1975. Oxygen availability in polyethylene glycol Solutions and its implication in plant-water relation. Plant Physiol 55: 20-24. Michel BE. 1983 Evaluation of The Water Potential of Solution f Polyethylene Glycol 8000 both in The Absence and Presence of other solute. Plant Physiol 72: 66-70. Miftahudin, Nurlaela, Juliarni. 2007. Uptake and distribution of aluminium in root apices of two rice varieties under aluminium stress. Hayati 14 (3): 110-114. Notohadiprawiro T. 1986. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertaniannya. Buletin Pusat Penelitian Marihat (6): 1-13 Notohadiprawiro T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija; Bogor, 6-8 Desember 1989. hlm 1-15. Nursyamsi D, Suprihati. 2005. Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan Kebutuhan Pupuk untuk Padi (Oryza sativa), Jagung (Zea mays), dan Kedelai (Glycine max). Bul Agron 33 (3): 40-47. Pandin DS. 2010. Penanda DNA untuk Pemulian Kelapa (Cocos nucifera L.). Perspektif 9 (1): 21-35. Prasetiyono J. 2008. Perkembangan Marka Molekular untuk Seleksi Tanaman. Warta Biogen 4 (1): 9-12. Prasetiyono J. 2010. Studi Efek Introgresi Pup 1(P Uptake 1) untuk Meningkatkan Toleransi Padi terhadap Defisiensi Fosfor [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor. 185p. Prasetiyono J. 2011. Galur Padi Pup 1: Bisa menekan Penggunaan Pupuk P. Agroinovasi 41 (3397): 4-7. Prasetyo BH, Suriadikarta DA. 2006. Karakteristik, Potensi dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2): 39-46.
61 Puslitanak. 1998. Laporan Hasil Penelitian Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Deptan. 386 hal. Powell W, Morgante M, Andre C, Hanafey M, Vogel J, Tingey S, Rafalski A. 1996. The Comparison of RFLP, RAPD, AFLP and SSR (microsatellite) Markers for Germplasm Analysis. Mol. Breed 2: 225-238. Rao IM, Friesen DK and Osaki M. 1999. Plant adaptation to phosphorus Limited tropical soils. Dalam Pessarakli M (ed) Handbook of Plant and Crop Stress. New York. Marcel Dekker. Ryan PR, DiTomaso JM, Kochian LV. 1993. Alumunium toxicity in roots: an investigation of spatial sensitivity and the role of the root cap. J Exp Bot 44: 437-446. Sambrook J, Fritch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual (2 rdEd.). Volumes 1-3. Spring Harbor Laboratory Press. Shimizu A, Yanagihara s, Kawasaki S, IkehashimH. 2004. Phosphorus deficiency-induced root elongation and its QTL in rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 109:1361-1368 Silitonga TS. 2004. Pengelolaan dan PemanfaatanPlasma Nutfah Padi di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 10 (2): 56-71. Suardi D. 2001. Pemilihan Galur Padi Toleran kekeringan Berdasarkan Uji Daya Tembus Akar dan Hasil gabah. Berita Puslitbangtan 20: 4-5. Suardi D, Abdullah B. 2003. Padi Liar Tetua Toleran Kekeringan. Buletin Plasma Nutfah 9 (1): 33-38. Suardi D, Moeljopawiro S. 1999. Daya tembus akar sebagai kriteria ketahanan kekeringan pada padi I. Pengaruh Tingkat Kekeringan dan ketebalan lapisan Media campuran Parafin dan Vaselin terhadap Daya Tembus Akar. Penelitian Tanaman Pangan 18 (1): 29-34. Subagyo H, Suharta N, Siswanto AB. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Dalam: Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bogor. Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI. 125p. Suprihatno B. 2006. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Suprihatno B, Suardi D. 2007. Kemampuan Tembus Akar Galur-galur Padi Sawah Generasi menengah. Apresiasi hasil penelitian Padi: 611-616. Susanto U, Sutrisno, Aswidinnoor H. 2009. Pemanfaatan Teknik Markah Molekuler untuk Perbaikan Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. hlm 353-365. Swasti E. 2004. Fisioogi dan Pewarisan Sifat Efisiensi Fosfor pada Padi Gogo dalam Keadaan Tercekam Alumunium [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi. Institut Pertanian Bogor. Syarif AA. 2005. Adaptasi dan Ketenggangan Genotipe Padi terhadap Defisiensi Fosfor di Tanah Sawah [Disertasi]. Bogor: Progam Studi Agronomi. Institute Pertanian Bogor.
62 Syarif AA, Sopandie D, Chozin MA, Idris K, Suwarno. 2010. Evaluasi Toleransi Plasma Nutfah Padi terhadap P Rendah di Tanah Sawah. Buletin Plasma Nutfah 16 (1): 8-16. Tambunan, TTH. 2008. Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri. Jakarta. PT. Rajagrafindo. Tan K, Keltjens WG, Findenegg GR. 1993. Aluminium Toxicity with Sorgum Genotypes in Nutrien Solution and Its Amelioration by Magnesium. J Plant Nutr 155: 81-86. Toha HM, Daradjat AA. 2008. Keragaan Varietas Unggul dan Galur Harapan Padi pada Budidaya Padi Gogo dan Padi Sawah. Seminar Nasional Padi 2008. hlm 645-665. Taiz L and Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associates, Publishers. Sunderland, Massachusetts. 690p. Virk PS. 2006. Genetik enhancement for the nutrional quality of rice. Ladha JK, editor. Proceeding of the second international rice congress. New Delhi, 9-13 October 2006. Widoreno W, Guhardja E, Ilyas S, Sudarsono. 2002. Efektivitas Polietilena Glikol untuk Mengevaluasi Tanggapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Kekeringan pada Fase Perkecambahan. Hayati 9 (2): 33-36. Wisayantono D. 2009. Optimisasi Spasial Rasio Lahan dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan [Disertasi]. Bandung: Progam Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung. Wissuwa M., Yano M, Ae N. 1998. Mapping of QTLs for Phosphorus-Deficiency Tolerance in Rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet 97:777-783. Wissuwa M, Wegner JN, Ae N, Yano M. 2002. Substituion Mapping of Pup1: a Mayor QTL Increasing Phosphorus Uptake or Rice from a Phosphorus Deficient Soil. Theor Appl Genet 105:890-897. Yamaguchi-Shinozaki k, Kasuga M, Liu Q, Nakhashima K, Sakuna Y, Abe H. 2002. Biological Mechanism of Drought Stress Respone. In Genetic Engineering of Crop Plant for Abiotic Stress. JIRCAS Working Report 23: 1-8. Yoshida, S, Forna DA, Cock JH, Gomez KA. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice (3 rdEd.). Manila, Philippines. IRRI. 83p. Yu LX, Ray JD, O’Toole, Nguyen HT. 1995. Use of wax-petrolatum layers for screening rice root penetration. Cop Sci. 35: 684-687.
63
LAMPIRAN
64 Lampiran 1. Uji marka spesifik lokus Pup1 dari galur-galur BC2F6 persilangan Situ Bagendit x Kasalath. Marka Spesifik LuKas30n-1 Kas30n-2 Primer 40 SSR3 B B B B SK1 B B B B SK2 B B B B SK3 B B B B SK4 B B A B SK5 B A A B SK6 B A A B SK7 B A A B SK8 B A B B SK9 B B B B SK10 B B B B SK11 B B B B SK12 B B B B SK13 B B B B SK14 B B B B SK15 B B B B SK16 B B B B SK17 B B B B SK18 B A A B SK19 B B B B SK20 B B B B SK21 B B B B SK22 B B B B SK23 B B B B SK24 A A A Situ Bagendit A B B B B Kasalath Keterangan: A=Kasalath, B=Situ Bagendit Galur
Primer 42
primer 50
B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B A B
B B B B B B B A A A B B B B B B B B B A B B B B A B
65 Lampiran 2. Uji marka spesifik lokus Pup1 dari galur-galur BC2F6 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443. Marka Spesifik Galur Lu-SSR3
Kas30n-1
Kas19C-2
SN1
B
B
B
SN2
B
B
B
SN3
B
B
B
SN4
B
B
B
SN5
B
B
B
SN6
B
B
B
SN7
B
B
B
SN8
B
B
B
SN9
B
B
B
SN10
B
B
B
SN11
B
B
B
SN12
B
B
B
SN13
B
B
B
SN14
B
B
B
SN15
B
B
B
SN16
B
B
B
SN17
B
B
B
SN18
B
B
B
SN19
B
B
B
SN20
B
B
B
SN21
B
B
B
SN22
B
B
B
Situ Bagendit
B
B
B
NIL-C433
A
A
A
Keterangan: A=NIL-C433, B=Situ Bagendit
66 Lampiran 3. Komposisi larutan hara Yoshida Unsur
Bahan Kimia
Gram/Liter
Konsentrasi Final (ppm)
Unsur Makro N
NH4NO3
91.4
40
P
NaH2PO4.2H2O
40.3
0.5 dan 10
K
K2SO4
71.4
40
Ca
CaCl2
88.6
40
Mg
MgSO4.7H2O
324
40
Unsur mikro Mn
MnCl2.4H2O
1.5
0.5
Mo
(NH)6.Mo7O2.4H2O
0.074
0.05
B
H3BO3
0.934
0.2
Zn
ZnSO4.7H2O
0.035
0.01
Cu
CuSO4.5H2O
0.031
0.01
Fe
FeCl3.6H2O
7.7
2
Al
AlCl3.6H2O
201.35
0 dan 45
Citric Acid
11.9
Sumber: Yoshida S, Forno DA, Cock J, Gomez KA. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. IRRI. Los Banos. Philippines. 83p
67 Lampiran 4. Hasil uji Dunnet taraf α=0,05 beberapa karakter agronomis dari galur turunan SK dan turunan SN serta kontrol pada larutan hara Yoshida.
Perbandingan Galur SB SK1-SB SK2-SB SK3-SB SK4-SB SK5-SB SK6-SB SK7-SB SK8-SB SK9-SB SK10-SB SK11-SB SK12-SB SK13-SB SK14-SB SK15-SB SK16-SB SK17-SB SK18-SB SK19-SB SK20-SB SK21-SB SK22-SB SK23-SB SK24-SB SN1-SB SN2-SB SN3-SB SN4-SB SN5-SB SN6-SB SN7-SB SN8-SB SN9-SB SN10-SB SN11-SB
Nilai Perbedaan Rataan PA -7.367 -7.493 0.817 0.229 -0.300 0.642 2.413 -0.246 2.892 1.292 2.175 2.842 3.721 3.354 1.041 0.800 2.900 3.721 2.904 3.450 2.988 1.811 3.012 1.913 -6.471 -5.388 -8.950 -5.846 -5.617 -6.875 -6.015 -5.233 -5.221 -6.783 -6.689
Nilai Perbedaan Rataan TT -4.212 -9.078 8.508a 9.383a -3.167 -4.617 -6.175 -6.183 -2.571 -3.571 12.256a -2.675 1.633 -0.642 -5.369 -8.704 -3.658 11.296 9.404a -1.138 13.600a 8.970a -3.858 -7.129 -3.179 4.363 -3.429 -0.929 0.383 0.008 -1.299 0.292 1.637 -5.575 -8.856
Nilai Perbedaan Rataan JA 0.042 -0.420 -0.871 -0.821 -0.250 -0.500 -0.375 -0.375 -0.208 -0.292 -0.791 -0.208 -0.042 -0.417 -0.300 -0.667 -0.583 -0.958 -0.667 -0.208 -0.767 -0.507 -0.488 0.167 -0.333 -0.375 -0.708 -0.292 -0.167 -0.417 -0.681 -0.246 -0.208 -0.417 -0.420
Nilai Perbedaan Rataan BKA -0.033 1.956 -0.044 -0.023 -0.025 -0.033 -0.019 -0.030 -0.013 -0.015 -0.024 -0.027 -0.007 -0.018 1.609 -0.029 -0.014 -0.022 -0.020 -0.016 -0.018 2.674 -0.021 -0.026 -0.025 -0.022 -0.050 -0.030 -0.025 -0.034 1.178 1.701 -0.026 -0.043 1.387
Nilai Perbedaan Rataan BKT -0.010 0.048 -0.083 -0.043 -0.050 -0.098 -0.059 -0.079 -0.033 -0.025 -0.046 -0.063 0.013 -0.059 -0.009 -0.089 -0.046 -0.041 -0.039 -0.041 -0.016 -0.030 -0.054 -0.055 -0.010 -0.004 -0.078 -0.025 0.014 -0.023 -0.077 0.059 0.017 -0.079 -0.012
68 Lanjutan.......... Nilai Nilai Nilai Nilai Perbedaan Nilai Perbandingan Perbedaan Perbedaan Perbedaan Rataan Perbedaan Galur SB Rataan PA Rataan TT Rataan JA BKA Rataan BKT SN12-SB -3.764 5.672 -0.652 4.203a -0.006 SN13-SB -5.214 -4.603 -0.606 4.408a 0.0610 SN14-SB -6.492 -2.013 -0.404 -0.032 -0.038 SN15-SB -6.783 -1.417 -0.583 -0.036 -0.034 SN16-SB -6.167 -6.578 0.042 1.478 -0.058 SN17-SB -6.929 -4.663 -0.542 -0.036 -0.048 SN18-SB -5.115 -5.126 -0.507 2.173 -0.008 SN19-SB -8.083 -9.429 -0.375 -0.052 -0.111 SN20-SB -7.388 -5.075 -0.417 -0.040 -0.069 SN21-SB -8.433 -1.846 -0.750 -0.051 -0.082 SN22-SB -5.724 0.314 -0.486 -0.030 -0.017 Kasalath-SB 9.004a 8.713a -0.917 0.007 0.037 NIL-C433-SB 10.654a 6.079 -0.167 0.026 0.099 DUPA-SB 13.875a 17.329a -1.333 0.049 0.122 ITA131-SB -2.563 -6.063 1.125 -0.003 0.025 Hawara Bnar-SB 16.383a 16.029a -0.958 0.032 0.130 Nipponbare-SB 4.025a 4.363 -0.208 0.005 0.042 Keterangan: PA = panjang akar, TT = tinggi tanaman , JA=jumlah anakan, BKA= bobot kering akar, BKT= bobot kering tanaman, SB= Situ Bagendit. Pada satu kolom, angka yang diikuti huruf a menunjukkan bahwa nilai perbandingan tersebut nyata pada uji Dunnet taraf α= 0.05.
69 Lampiran 5. Nilai ITC panjang akar (PA) pada larutan hara Yoshida
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13
0 ppm Al
ITC
45 ppm Al
Tingkat toleransi
0.5P
10P
ITC
Tingkat toleransi
0.5P
10P
20.75
11.38
0.61
T
8.25
5.75
0.43
P
18.75 21.83 43.50 36.75 36.08 36.25 41.83 33.08 40.25 39.83 42.33 44.70 41.45 43.75 42.50 39.58 41.25 46.33 42.70 45.58 41.83 40.84 37.33 42.67 21.33 17.92 15.42 18.42 17.33 16.50 18.75 16.50 18.92 16.75 16.33 20.70 18.40
14.42 14.10 22.88 27.03 20.62 26.27 27.07 25.55 25.83 25.25 24.42 27.78 24.28 25.17 28.92 26.12 25.57 25.97 25.32 26.02 27.38 27.78 25.78 24.05 14.17 12.33 12.83 12.83 13.17 12.80 10.90 12.67 14.25 12.22 10.83 11.80 14.10
0.30 0.35 0.70 0.59 0.58 0.58 0.67 0.53 0.65 0.64 0.68 0.72 0.67 0.70 0.68 0.64 0.66 0.75 0.69 0.73 0.67 0.66 0.60 0.69 0.34 0.29 0.25 0.30 0.28 0.27 0.30 0.27 0.30 0.27 0.26 0.33 0.30
P P T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T P P P P P P P P P P P P P
8.58 7.92 5.78 5.85 7.88 6.50 7.50 6.48 9.18 6.97 6.77 6.28 9.98 9.02 6.52 7.65 9.08 6.67 8.20 7.42 9.08 8.75 7.03 7.20 12.50 13.50 8.58 12.50 12.75 11.08 11.00 11.70 12.67 10.75 11.00 12.52 10.83
6.58 6.33 8.90 9.08 12.02 11.35 11.05 11.70 14.10 10.92 12.98 10.40 16.97 13.28 12.37 7.65 13.50 13.72 13.20 12.58 11.45 13.93 19.70 11.53 11.92 12.50 5.17 10.67 12.08 9.92 9.17 12.17 11.08 10.67 7.92 10.75 7.53
0.40 0.36 0.14 0.14 0.19 0.13 0.18 0.13 0.21 0.16 0.13 0.14 0.21 0.22 0.12 0.27 0.22 0.12 0.18 0.16 0.26 0.20 0.09 0.16 0.47 0.52 0.51 0.53 0.48 0.45 0.47 0.40 0.52 0.39 0.55 0.52 0.56
P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P T T T P P P P T P T T T
70 Genotipe SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalath NIL-C433 DUPA ITA131 Hawara Bunar Nipponbare BC2F6SK BC2F6SN
0 ppm Al
ITC
Tingkat toleransi
45 ppm Al 0.5P
10P
ITC
Tingkat toleransi
0.5P
10P
16.92 17.83 17.50 18.58 18.42 17.25 17.25 16.50 17.17 62.13 47.00 50.42 28.15
11.67 12.50 13.08 13.17 12.52 12.25 12.92 12.50 12.92 43.13 27.45 32.05 16.67
0.27 0.29 0.28 0.30 0.30 0.28 0.28 0.27 0.28 1.00 0.76 0.81 0.77
P P P P P P P P P T T T T
11.75 11.08 11.58 8.83 12.68 9.10 10.75 8.53 12.67 2.10 19.97 21.25 5.75
11.50 9.25 7.67 9.50 8.67 6.87 7.33 6.53 11.87 6.45 25.80 29.40 3.75
0.43 0.48 0.63 0.30 0.67 0.43 0.57 0.40 0.49 0.02 0.56 0.55 0.32
P P P P T P T P P P T T P
57.50
39.33
0.93
T
27.83
18.67
1.49
T
31.50 39.21 17.76
24.00 24.73 12.66
0.51 0.63 0.29
T T P
15.53 7.60 11.29
22.87 11.89 9.58
0.38 0.19 0.49
P P P
Keterangan: T= toleran, P= peka. ITC= indeks toleransi cekaman. 0.5P= 0.5 ppm P, 10P= 10 ppm P
71 Lampiran 6. Nilai ITC tinggi tanaman (TT) pada larutan hara Yoshida
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13
0 ppm Al 0.5P 10P
ITC
Tingkat toleransi
45 ppm Al 0.5P 10P
ITC
Tingkat toleransi
34.00
43.75
0.44
P
23.03
29.17
0.44
P
39.95 35.00 50.50 54.33 37.25 38.13 35.17 33.33 36.00 37.67 49.42 35.42 38.68 39.23 38.46 34.93 34.65 52.75 48.08 38.00 49.78 56.02 35.08 33.38 38.00 43.17 38.42 41.67 43.58 41.33 42.32 40.00 41.17 35.50 30.50 43.50
47.58 47.10 69.72 77.67 53.08 53.08 51.65 53.48 56.28 57.27 75.48 57.42 59.77 54.92 54.45 52.27 53.22 71.75 67.28 55.00 78.42 71.47 54.80 50.23 47.25 54.67 47.75 51.00 47.50 48.83 47.90 53.00 53.48 41.92 40.60 48.90
0.56 0.44 0.61 0.64 0.44 0.46 0.40 0.35 0.39 0.41 0.54 0.37 0.42 0.47 0.45 0.39 0.38 0.65 0.58 0.44 0.53 0.74 0.38 0.37 0.51 0.57 0.52 0.57 0.67 0.59 0.63 0.51 0.53 0.50 0.38 0.65
T P T T P P P P P P T P P P P P P T T P T T P P T T T T T T T T T T P T
25.25 24.67 28.87 26.48 20.98 17.33 17.62 18.37 21.78 19.55 30.32 20.93 25.52 23.27 19.05 20.02 21.12 28.03 31.55 23.33 31.25 27.83 19.60 17.25 27.08 32.58 27.17 26.08 29.33 29.08 30.83 30.50 31.37 25.92 24.50 28.08
32.42 28.92 47.00 41.10 38.07 35.03 32.92 32.13 37.70 33.28 55.87 37.58 44.62 42.07 35.25 20.02 38.43 54.70 52.75 41.17 57.00 53.87 37.13 32.67 37.00 45.17 35.00 39.58 43.17 42.83 41.75 44.33 42.58 36.42 35.00 37.75
0.48 0.51 0.43 0.42 0.28 0.21 0.23 0.26 0.31 0.28 0.40 0.28 0.36 0.31 0.25 0.49 0.28 0.35 0.46 0.32 0.42 0.35 0.25 0.22 0.48 0.57 0.51 0.42 0.49 0.48 0.56 0.51 0.56 0.45 0.42 0.51
44.10
52.30
0.62
T
28.58
38.58
0.52
P T P P P P P P P P P P P P P P P P P P P p P P P T T P P P T T T P P T T
72 Genotipe SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalath NIL-C433 DUPA ITA131 Hawara Bunar Nipponbare BC2F6SK BC2F6SN Keterangan:
0 ppm Al 0.5P 10P 38.33 49.58 40.63 52.42 38.00 47.00 38.08 43.83 39.65 48.50 33.17 40.25 36.58 45.75 39.15 52.25 37.08 53.08 48.83 76.28 41.45 61.72 51.67 75.53 27.38 37.33
ITC
Tingkat toleransi
0.50 0.53 0.51 0.55 0.54 0.46 0.49 0.49 0.43 0.52 0.47 0.59 0.46
T T T T T T P P P T P T P
45 ppm Al 0.5P 10P 26.92 39.17 24.17 39.17 25.17 31.92 24.42 37.07 25.08 38.67 18.33 32.58 26.25 33.17 27.10 36.17 30.58 40.75 18.37 53.42 29.12 53.90 36.88 66.64 17.25 21.17
ITC
Tingkat toleransi
0.45 0.36 0.48 0.39 0.40 0.25 0.51 0.50 0.56 0.15 0.38 0.50 0.34
P P P P P P T T T P P T P
59.73
67.60
0.88
T
41.00
57.83
0.71
T
38.83
60.95
0.41
P
29.83
46.00
0.47
P
40.8 59.4 0.47 P 23.3 40.1 0.33 P 39.2 48.5 0.53 T 27.2 38.5 0.47 P T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman. 0.5P= 0.5 ppm P, 10P= 10 ppm P
73
Lampiran 7. Rataan jumlah anakan pada larutan hara Yoshida
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12
0 ppm Al 0.5 ppm P 10 ppm P
Rataan
45 ppm Al 0.5 ppm P 10 ppm P
Rataan
1.17
2.67
1.92
0.00
1.50
0.75
1.00 1.00 0.00 0.17 0.17 0.50 0.83 0.33 0.33 0.50 0.00 0.17 1.00 0.50 0.60 0.50 0.17 0.17 0.33 0.83 0.00 0.40 0.33 0.83 0.33 0.33 0.17 0.33 0.67 0.00 0.17 0.17 0.33 0.17 0.50 0.00
2.67 2.40 1.50 1.83 2.50 2.33 2.50 3.00 2.67 2.83 1.83 3.00 2.50 1.67 2.50 2.17 2.00 1.17 2.00 2.83 2.17 2.33 2.33 3.00 2.17 1.83 1.50 2.00 2.17 2.17 1.20 2.33 2.50 1.67 1.67 1.60
1.83 1.70 0.75 1.00 1.33 1.42 1.67 1.67 1.50 1.67 0.92 1.58 1.75 1.08 1.55 1.33 1.08 0.67 1.17 1.83 1.08 1.37 1.33 1.92 1.25 1.08 0.83 1.17 1.42 1.08 0.68 1.25 1.42 0.92 1.08 0.80
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17 0.17 0.00 0.17 0.00 0.17 0.00 0.00 0.17 0.33 0.00 0.00
1.83 0.83 0.33 0.00 1.67 0.50 0.50 0.50 1.50 0.83 0.33 1.33 1.67 1.50 1.00 0.00 0.83 0.17 0.33 0.83 0.00 0.33 0.67 2.17 1.33 1.50 0.83 1.67 1.83 1.33 1.00 1.67 1.50 1.50 1.33 1.17
0.92 0.42 0.17 0.00 0.83 0.25 0.25 0.25 0.75 0.42 0.17 0.67 0.83 0.75 0.50 0.00 0.42 0.08 0.17 0.42 0.00 0.17 0.33 1.08 0.75 0.83 0.42 0.92 0.92 0.75 0.50 0.83 0.83 0.92 0.67 0.58
74 Genotipe SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalath NIL-C433 DUPA ITA131 Hawara Bunar Nipponbare BC2F6SK BC2F6SN
0 ppm Al 0.5 ppm P 10 ppm P 0.00 2.00 0.33 1.50 0.17 1.67 0.60 2.33 0.17 1.67 0.50 1.60 0.67 1.67 0.17 2.00 0.00 1.83 0.00 2.17 0.00 1.67 0.50 2.50 0.00 0.00 2.17 5.33
1.00 0.92 0.92 1.47 0.92 1.05 1.17 1.08 0.92 1.08 0.83 1.50 0.00 3.75
45 ppm Al 0.5 ppm P 10 ppm P 0.00 1.17 0.05 1.83 0.00 1.17 0.33 1.83 0.00 1.33 0.00 1.50 0.00 1.50 0.00 1.50 0.00 0.50 0.20 0.83 0.00 0.00 0.00 1.67 0.00 0.00 0.00 2.33
Rataan
Rataan 0.58 0.94 0.58 1.08 0.67 0.75 0.75 0.75 0.25 0.52 0.00 0.83 0.00 1.17
0.00
0.83
0.42
0.00
0.67
0.33
0.50 0.44 0.26
2.17 2.32 1.87
1.33 1.38 1.07
0.00 0 0.08
1.83 0.82 1.36
0.92 0.41 0.72
Keterangan: 0.5P= 0.5 ppm P, 10P= 10 ppm P
75 Lampiran 8. Nilai ITCbobot kering akar (BKA) pada larutan hara Yoshida
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13
0 ppm Al 0.5P 10P
ITC
Tingkat toleransi
45 ppm Al 0.5P 10P
ITC
Tingkat toleransi
0.082
0.057
0.61
T
0.029
0.048
0.14
P
0.123 0.126 0.110 0.159 0.119 0.116 0.165 0.123 0.126 0.137 0.133 0.126 0.144 0.158 0.155 0.149 0.144 0.153 0.160 0.154 0.131 0.183 0.127 0.127 0.127 0.121 0.091 0.131 0.108 0.096 0.119 0.081 0.111 0.088 0.108 0.118
0.121 0.114 0.119 0.156 0.136 0.138 0.143 0.158 0.162 0.176 0.127 0.139 0.145 0.121 0.179 0.151 0.142 0.121 0.127 0.151 0.143 0.140 0.142 0.144 0.106 0.111 0.087 0.092 0.108 0.105 0.080 0.109 0.112 0.085 0.070 0.085
0.55 0.61 0.45 0.71 0.45 0.43 0.83 0.42 0.43 0.46 0.61 0.50 0.63 0.91 0.59 0.64 0.64 0.84 0.89 0.69 0.53 1.05 0.49 0.49 0.66 0.57 0.42 0.81 0.47 0.39 0.77 0.27 0.48 0.40 0.72 0.72
T T P T P P T P P P T T T T T T T T T T T T T T T T P T P P T P P P T T
0.038 0.035 0.018 0.018 0.034 0.026 0.029 0.022 0.039 0.029 0.026 0.025 0.041 0.034 0.028 0.027 0.032 0.027 0.030 0.030 0.042 0.030 0.034 0.027 0.054 0.059 0.039 0.043 0.054 0.046 0.049 0.042 0.054 0.050 0.043 0.048
0.057 0.044 0.046 0.043 0.081 0.058 0.055 0.048 0.092 0.068 0.087 0.071 0.111 0.086 0.066 0.027 0.095 0.081 0.074 0.071 0.080 0.083 0.084 0.069 0.081 0.090 0.052 0.086 0.097 0.084 0.074 0.094 0.089 0.074 0.065 0.074
0.24 0.27 0.07 0.07 0.13 0.11 0.14 0.10 0.16 0.12 0.07 0.08 0.14 0.13 0.12 0.26 0.10 0.08 0.12 0.12 0.21 0.10 0.13 0.10 0.34 0.37 0.28 0.20 0.29 0.24 0.30 0.18 0.31 0.33 0.27 0.30
0.116
0.121
0.48
P
0.043
0.065
0.27
P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P
76 Genotipe
0 ppm Al 0.5P 10P 0.112 0.089 0.107 0.103 0.122 0.106 0.111 0.094 0.113 0.084 0.093 0.075 0.103 0.099 0.089 0.098 0.099 0.101 0.180 0.239 0.165 0.154 0.195 0.168 0.133 0.155
ITC
Tingkat toleransi
45 ppm Al 0.5P 10P 0.048 0.092 0.041 0.074 0.045 0.055 0.044 0.077 0.045 0.069 0.031 0.061 0.051 0.057 0.031 0.049 0.052 0.072 0.010 0.067 0.093 0.157 0.125 0.170 0.041 0.050
ITC
Tingkat toleransi
SN14 0.61 T 0.24 P SN15 0.48 P 0.22 P SN16 0.61 T 0.36 P SN17 0.58 T 0.23 P SN18 0.66 T 0.28 P SN19 0.50 T 0.15 SP SN20 0.47 P 0.43 P SN21 0.36 P 0.18 P SN22 0.42 P 0.36 P Kasalath 0.59 T 0.02 P NIL-C433 0.77 T 0.53 T DUPA 0.99 T 0.88 T ITA131 0.59 T 0.27 P Hawara 0.180 0.194 0.73 T 0.105 0.119 0.88 T Bunar Nipponbare 0.135 0.145 0.54 T 0.065 0.146 0.28 P BC2F6SK 0.139 0.142 0.59 T 0.030 0.070 0.12 P BC2F6SN 0.107 0.100 0.50 T 0.050 0.074 0.32 P Keterangan: T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman. 0.5P= 0.5 ppm P, 10P= 10 ppm P
77
Lampiran 9. Nilai ITC bobot kering tanaman (BKT) pada larutan hara Yoshida
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13
0 ppm Al 0.5P 10P
ITC
Tingkat toleransi
45 ppm Al 0.5P 10P
ITC
Tingkat toleransi
0.216
0.264
0.41
P
0.088
0.188
0.15
P
0.348 0.337 0.246 0.354 0.255 0.281 0.367 0.280 0.265 0.304 0.293 0.267 0.317 0.323 0.334 0.314 0.295 0.348 0.351 0.333 0.305 0.422 0.265 0.276 0.348 0.336 0.271 0.343 0.316 0.283 0.306 0.242 0.323 0.237 0.294 0.319 0.330
0.642 0.573 0.554 0.669 0.582 0.453 0.539 0.580 0.602 0.696 0.556 0.557 0.613 0.452 0.641 0.572 0.535 0.535 0.527 0.580 0.626 0.586 0.592 0.596 0.524 0.554 0.449 0.491 0.583 0.528 0.377 0.562 0.609 0.399 0.371 0.440 0.596
0.37 0.39 0.21 0.37 0.22 0.34 0.49 0.27 0.23 0.26 0.30 0.25 0.32 0.45 0.34 0.34 0.32 0.45 0.46 0.38 0.29 0.60 0.23 0.25 0.45 0.40 0.32 0.47 0.34 0.30 0.49 0.21 0.34 0.28 0.46 0.46 0.36
P P P P P P P P P P P P P P P P P P AT P P T P P P P P P P P P P P P P P P
0.114 0.108 0.068 0.053 0.093 0.069 0.074 0.065 0.099 0.081 0.079 0.072 0.113 0.093 0.071 0.073 0.084 0.083 0.091 0.084 0.115 0.085 0.086 0.065 0.158 0.169 0.129 0.122 0.151 0.138 0.149 0.125 0.164 0.141 0.110 0.144 0.126
0.246 0.189 0.191 0.141 0.261 0.193 0.175 0.148 0.293 0.210 0.279 0.242 0.398 0.287 0.205 0.073 0.291 0.259 0.265 0.231 0.281 0.275 0.233 0.232 0.321 0.315 0.228 0.333 0.395 0.348 0.298 0.375 0.363 0.294 0.240 0.286 0.274
0.19 0.22 0.09 0.07 0.12 0.09 0.11 0.10 0.12 0.11 0.08 0.08 0.12 0.11 0.09 0.26 0.09 0.10 0.11 0.11 0.17 0.10 0.11 0.07 0.28 0.33 0.26 0.16 0.21 0.20 0.27 0.15 0.27 0.24 0.18 0.26 0.21
P P SP P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P SP P P P P P P P P P
78 Genotipe SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalatht NIL-C433 DUPA ITA131 Hawara Bunar Nipponbare BC2F6SK BC2F6SN Keterangan:
0 ppm Al 0.5P 0.309 0.300 0.317 0.295 0.317 0.253 0.276 0.255 0.267 0.365 0.407 0.413 0.370
10P 0.443 0.537 0.540 0.479 0.436 0.359 0.470 0.500 0.542 0.872 0.626 0.644 0.802
0.433
0.702
ITC
Tingkat toleransi
0.43 0.33 0.37 0.36 0.45 0.35 0.32 0.26 0.26 0.30 0.52 0.52 0.39
P P P P P P P P P P T T P
45 ppm Al 0.5P 10P 0.132 0.354 0.114 0.301 0.129 0.228 0.123 0.300 0.127 0.264 0.093 0.241 0.145 0.225 0.097 0.208 0.155 0.285 0.038 0.264 0.234 0.510 0.278 0.530 0.142 0.256
0.53
T
0.277
0.498
ITC
Tingkat toleransi
0.18 0.16 0.26 0.18 0.22 0.13 0.34 0.16 0.30 0.02 0.39 0.52 0.28
P P P P P P P P P P P T P
0.55
T
0.349 0.572 0.42 T 0.168 0.469 0.22 P 0.311 0.577 0.33 P 0.084 0.233 0.11 P 0.297 0.491 0.35 P 0.134 0.294 0.59 T T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman. 0.5P= 0.5 ppm P, 10P= 10 ppm P
79 Lampiran 10. Hasil uji Dunnet taraf α=0.05 beberapa karakter agronomis pada larutan PEG 8000.
Perbandingan Galur SB SK1-SB SK2-SB SK3-SB SK4-SB SK5-SB SK6-SB SK7-SB SK8-SB SK9-SB SK10-SB SK11-SB SK12-SB SK13-SB SK14-SB SK15-SB SK16-SB SK17-SB SK18-SB SK19-SB SK20-SB SK21-SB SK22-SB SK23-SB SK24-SB SN1-SB SN2-SB SN3-SB SN4-SB SN5-SB SN6-SB SN7-SB SN8-SB SN9-SB SN10-SB
Nilai Perbedaan Rataan PA 0.900 0.353 1.349 0.124 0.219 -0.060 -0.466 0.730 0.218 0.127 0.560 0.550 0.220 -0.019 0.210 -0.183 -0.001 0.218 0.634 -0.003 0.096 -0.046 0.255 -0.643 -0.472 0.361 -0.313 -0.114 -0.043 -0.158 -0.081 -0.342 -0.108 -0.456
Nilai Perbedaan Rataan PL 2.169a 0.702 1.510a 0.688 0.611 0.389 -0.446 0.561 0.377 0.214 0.981 -0.408 0.372 0.193 0.974 0.165 0.804 0.723 1.336a 0.354 1.426a 0.663 0.490 -0.216 0.478 0.726 0.304 0.554 0.498 0.738 0.764 0.287 0.633 0.509
Nilai Perbedaan Rataan BBK 0.127 0.016 0.060 -0.007 0.150 0.098 0.026 0.020 0.062 0.062 -0.003 0.027 0.063 -0.025 -0.038 -0.003 -0.070 -0.014 0.021 -0.093 -0.011 0.006 0.005 0.00 0.111 0.040 0.032 0.132 0.079 0.025 0.113 0.001 0.110 0.078
Nilai Perbedaan Rataan BKK 0.010 -0.013 -0.013 -0.029 -0.040 0.014 0.001 -0.010 -0.040 0.038 -0.056 -0.023 0.003 -0.056 -0.032 0.035 -0.014 0.008 0.006 -0.033 -0.034 -0.019 -0.008 -0.021 0.072 0.016 -0.017 0.004 0.006 -0.048 -0.015 -0.024 -0.011 -0.014
80
Perbandingan Galur SB SN11-SB SN12-SB SN13-SB SN14-SB SN15-SB SN16-SB SN17-SB SN18-SB SN19-SB SN20-SB SN21-SB SN22-SB Kasalath-SB NILC433-SB Cabacu-SB IR20-SB Gajah MungkurSB Nipponbare-SB
Nilai Perbedaan Rataan PA -0.271 0.073 -0.501 -0.445 -0.389 -0.143 -0.135 0.568 0.078 0.091 0.232 -0.279 2.902a 2.315a 1.979a 0.116
Nilai Perbedaan Rataan PP 0.230 0.684 0.301 0.648 0.448 0.448 0.510 0.591 0.448 0.442 0.413 0.294 0.088 -0.041 0.118 0.757
Nilai Perbedaan Rataan BBK 0.020 0.047 0.060 0.033 0.079 0.083 0.083 0.174 0.069 0.119 0.043 0.006 -0.132 0.021 0.163 -0.090
Nilai Perbedaan Rataan BKK -0.045 -0.001 -0.007 -0.008 0.010 0.018 0.003 0.041 -0.048 0.040 -0.013 -0.016 -0.064 0.027 0.099 -0.080
3.233a
0.575
0.280
0.122
2.633a
0.838
0.215
0.037
Keterangan: PA = panjang akar, PP = panjang plumula, BBK= bobot basah kecambah, BKK= bobot kering kecambah, SB= Situ Bagendit. Pada satu kolom, angka yang diikuti huruf a menunjukkan bahwa nilai perbandingan tersebut nyata pada uji Dunnet taraf α= 0.05.
81
Lampiran 11. Nilai ITC panjang akar (PA) pada larutan PEG 8000
Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12
3.03 4.43 3.52 5.26 4.01 3.95 3.67 1.32 4.14 3.25 4.09 5.27 5.15 4.38 4.07 3.32 3.70 4.06 3.48 4.81 3.04 3.28 3.63 3.27 1.63 2.67 3.93 2.99 2.67 3.10 2.80 2.76 3.25 3.08 2.52 3.01 2.55
3.62 4.32 3.63 3.64 2.34 2.24 1.55 1.82 3.17 2.33 2.43 2.37 2.03 2.64 2.29 2.80 1.89 2.03 2.57 2.92 2.17 3.24 2.49 2.85 2.00 1.19 3.09 2.30 2.75 2.53 2.50 2.78 1.68 2.26 2.36 2.29 2.79
0.72 0.70 0.62 0.42 0.23 0.21 0.11 0.41 0.40 0.28 0.24 0.18 0.13 0.26 0.21 0.39 0.16 0.17 0.31 0.29 0.26 0.53 0.28 0.41 0.41 0.09 0.40 0.29 0.47 0.34 0.37 0.46 0.14 0.27 0.37 0.29 0.51
T T T P P P P P P P P P P P P P P P P P P T P P P P P P P P P P P P P P T
82 Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah Mungkur Nipponbare BC2F6 SK BC2F6 SN
2.80 3.17 3.00 3.98 3.38 4.61 3.78 3.68 3.70 3.36 7.32 7.67 6.78 3.96 9.40 7.77 3.78 3.22
1.81 1.65 1.31 1.51 2.22 1.84 2.19 2.10 3.08 1.84 6.04 3.78 4.78 2.20 4.33 4.79 2.57 2.18
0.19 0.14 0.09 0.10 0.24 0.12 0.21 0.20 0.42 0.17 0.82 0.31 0.56 0.20 0.33 0.49 0.29 0.25
P P P P P P P P p P T P T P P p P P
Keterangan: T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman
83 Lampiran 12. Nilai ITC panjang plumula (PP) pada larutan PEG 8000
Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
SB
3.67
2.66
0.69
T
SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12
6.38 4.69 5.60 5.44 4.86 4.89 2.13 4.83 4.48 4.68 6.13 5.19 4.95 4.51 5.54 4.85 5.39 5.19 5.94 4.85 6.36 4.05 4.14 2.20 4.92 5.36 4.89 4.71 4.95 5.15 4.73 4.70 4.91 4.96 4.39 4.97
2.78 2.43 2.76 2.29 1.50 1.01 0.99 1.58 1.61 1.18 1.61 0.96 1.41 1.78 2.68 1.33 2.02 1.89 2.72 1.12 2.45 2.03 1.88 1.76 0.71 1.70 1.51 1.98 1.61 2.06 1.92 1.17 1.97 1.80 1.78 1.48
0.44 0.45 0.49 0.35 0.17 0.08 0.16 0.19 0.21 0.11 0.15 0.06 0.14 0.25 0.47 0.13 0.27 0.25 0.45 0.09 0.34 0.37 0.31 0.51 0.04 0.19 0.17 0.30 0.19 0.30 0.28 0.11 0.28 0.24 0.26 0.16
P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P T P P P P P P P P P P P P
84 Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah Mungkur Nipponbare BC2F6 SK
5.02 5.48 5.29 5.19 4.65 5.49 5.12 4.45 4.61 4.99 3.65 4.33 4.70 5.35
1.44 1.73 1.40 1.24 1.77 1.48 1.63 2.02 1.86 1.52 1.82 1.45 1.51 1.07
0.15 0.20 0.13 0.11 0.24 0.14 0.19 0.33 0.27 0.17 0.33 0.18 0.17 0.08
P P P P P P P P P P P P P P
5.69
1.38
0.12
P
5.80 4.89
1.76 1.82
0.19 0.25
P P
BC2F6 SN
4.95
1.63
0.19
P
Keterangan: T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman.
85 Lampiran 13. Nilai ITC bobot basah kecambah (BBK) pada larutan PEG 8000.
Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12
0.930 1.003 0.918 0.988 0.927 1.043 0.977 0.828 0.952 0.970 0.961 0.890 0.932 0.780 0.778 0.906 0.973 0.830 0.946 1.056 0.812 0.918 0.929 0.872 0.876 0.940 0.924 0.985 1.044 0.966 0.886 1.051 1.029 0.991 0.954 0.902 0.899
0.450 0.797 0.489 0.396 0.473 0.400 0.453 0.398 0.329 0.383 0.420 0.358 0.364 0.460 0.397 0.461 0.424 0.482 0.412 0.484 0.360 0.437 0.352 0.450 0.467 0.571 0.472 0.423 0.476 0.436 0.346 0.574 0.281 0.622 0.531 0.431 0.371
0.27 0.79 0.33 0.20 0.30 0.19 0.26 0.24 0.14 0.19 0.23 0.18 0.18 0.34 0.25 0.29 0.23 0.35 0.23 0.28 0.20 0.26 0.17 0.29 0.31 0.44 0.30 0.23 0.27 0.25 0.17 0.39 0.10 0.49 0.37 0.26 0.19
P T P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P
86 Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah Mungkur Nipponbare BC2F6 SK BC2F6 SN
0.954 0.913 1.003 1.011 0.936 1.028 0.960 1.158 0.897 1.015 0.786 0.881 1.234 0.818 1.358 1.515 0.919 0.975
0.432 0.422 0.445 0.443 0.394 0.569 0.498 0.538 0.493 0.451 0.310 0.451 0.549 0.258 0.516 0.298 0.435 0.465
0.25 0.24 0.25 0.24 0.21 0.39 0.32 0.31 0.34 0.25 0.15 0.29 0.31 0.10 0.25 0.07 0.26 0.28
P P P P P P P P P P P P P P P P P P
Keterangan: T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman.
87 Lampiran 14. Nilai ITC bobot kering kecambah (BKK) pada larutan PEG 8000
Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12
0.239 0.299 0.190 0.242 0.237 0.252 0.310 0.256 0.314 0.247 0.326 0.199 0.199 0.213 0.164 0.265 0.325 0.288 0.296 0.285 0.229 0.196 0.268 0.192 0.245 0.246 0.235 0.293 0.209 0.244 0.160 0.186 0.301 0.259 0.252 0.220 0.203
0.243 0.263 0.266 0.138 0.190 0.113 0.216 0.215 0.168 0.164 0.231 0.203 0.241 0.169 0.198 0.186 0.213 0.251 0.162 0.240 0.201 0.201 0.151 0.236 0.228 0.389 0.254 0.238 0.227 0.240 0.196 0.236 0.131 0.218 0.250 0.208 0.204
0.63 0.60 0.96 0.20 0.39 0.13 0.39 0.46 0.23 0.28 0.42 0.53 0.75 0.35 0.61 0.33 0.36 0.56 0.23 0.52 0.45 0.53 0.22 0.75 0.55 1.58 0.71 0.50 0.63 0.61 0.62 0.77 0.15 0.47 0.64 0.50 0.52
T T T P P P P P P P P T T P T P P T P T P P P T T T T T T T T T P P T T T
88 Genotipe
PEG0%
PEG20%
ITC
Tingkat toleransi
SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah Mungkur Nipponbare BC2F6 SK BC2F6 SN
0.294 0.312 0.270 0.307 0.203 0.328 0.154 0.327 0.212 0.260 0.215 0.306 0.386 0.207 0.375 0.477 0.251 0.249
0.221 0.198 0.237 0.217 0.206 0.267 0.242 0.232 0.285 0.245 0.171 0.239 0.373 0.099 0.297 0.138 0.202 0.234
0.43 0.32 0.54 0.39 0.54 0.56 0.98 0.42 0.98 0.59 0.35 0.48 0.93 0.12 0.61 0.10 0.42 0.56
P P T P T T T P T T P P T P T P P T
Keterangan: T= Toleran, P=Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman.
89 Lampiran 15. Hasil analisis tanah Ultisol dari Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. No Peubah 1 PH
2 3 4 5 6
C Organik N total Rasio C/N P tersedia Ion-ion: Ca Mg K Na total 7 KTK 8 KB 9 Al3+ 10 H+ 11 Tekstur: Pasir Debu Liat 12 P total 13 Ion Mikro: Fe Cu Zn Mn 14 Kejenuhan Al * Lab Keterangan:
Metode H2O CaCl2 KCl Wakley&Blak Kjedahl Bray I-II
Satuan % % ppm
Nilai 4.2 3.7 2.21 0.29 7.6 0.17
Kriteria Sangat masam Sangat masam sedang sedang rendah Sangat rendah
NH4OAc 1N NH4OAc 1N NH4OAc 1N NH4OAc 1N
me/100g me/100g me/100g me/100g
Rendah Sedang Sedang tinggi
KCl 1 N KCl 1 N
% me/100g me/100g
4.28 1.21 0.48 0.93 6.9 27.01 25.5 12.42 1.01
Hidrometer Hidrometer Hidrometer HCl 25%
% % % mg/100g
6.3 21.3 72.4 31.98
------sedang
0.05N HCl 0.05N HCl 0.05N HCl 0.05N HCl
ppm ppm ppm ppm %
61.09
--------Sangat tinggi
Tinggi rendah -----
Seameo Biotrop, Jl. Raya Tajur km. 6, POBOX 116, Bogor, 17 Februari 2009. ** Kriteria tanah umum yang diterbitkan oleh Balittanah 2005. --- = kriteria tidak tersedia.
90
No Peubah 1 PH
2 3 4 5 6
7 8 9 10 11
12 13
C Organik N total Rasio C/N P tersedia Ion-ion: Ca Mg K Na total KTK KB Al3+ H+ Tekstur: Pasir Debu Liat P total Ion Mikro: Fe Cu Zn Mn
Metode H2O CaCl2 KCl Wakley&Black Kjedahl Bray I-II
Satuan % % ppm
Nilai 4.8 4.0 0.80 0.08 10 14.6
Kriteria masam Sangat rendah Sangat rendah rendah tinggi
NH4OAc 1N NH4OAc 1N NH4OAc 1N NH4OAc 1N
me/100g me/100g me/100g me/100g
sedang sedang Sangat rendah Sangat rendah
KCl 1 N KCl 1 N
% me/100g me/100g
8.54 1.29 0.04 0.05 9.92 21.92 45 0.59 0.22
Hidrometer Hidrometer Hidrometer HCl 25%
% % % mg/100g
19 43 38 109
------Sangat tinggi
0.05N HCl 0.05N HCl 0.05N HCl 0.05N HCl
ppm ppm ppm ppm
-
---------
sedang rendah Sangat tinggi ---
14 Kejenuhan Al % Lampiran 16. Hasil analisis tanah Latosol dari tanah Desa Cimanggu, Bogor. Keterangan: * Lab Seameo Biotrop, Jl. Raya Tajur km. 6, POBOX 116, Bogor, 17 Februari 2009. ** Kriteria tanah umum yang diterbitkan oleh Balittanah 2005. --- = kriteria tidak tersedia
91 Lampiran 17. Hasil uji Dunnet pada taraf α=0.05 beberapa karakter agronomis dari galur turunan SK dan turunan SN pada Percobaan DTA.
Perbandingan Galur SB
Nilai Perbedaan Rataan PATeL
Nilai Perbedaan Rataan JATe
Nilai Perbedaan Rataan PATo
Nilai Perbedaan Rataan TT
Nilai Perbedaan Rataan BKA
Nilai Perbedaan Rataan BKT
SK1-SB
1.108
0.417
3.725
5.517
0.023
0.044
SK2-SB
-0.058
0.250
0.867
1.892
0.009
0.015
SK3-SB
-0.267
0.000
0.875
10.142a
0.000
0.008
SK4-SB
0.000
0.250
0.883
6.208
0.008
0.006
SK5-SB
-0.300
0.667
-0.114
-3.289
1.886
4.212a
SK6-SB
0.690
0.367
0.375
-2.833
0.773
2.394
SK7-SB
1.955
0.212
2.330
-0.052
1.951a
2.495
SK8-SB
0.573
0.212
-0.015
-1.533
0.721
1.185
SK9-SB
0.636
0.121
0.075
2.112
0.724
0.028
SK10-SB
1.933
0.417
3.008
3.317
0.012
0.035
SK11-SB
0.258
0.083
1.075
5.667
-0.004
-0.003
SK12-SB
3.608
0.667
4.500a
4.567
-0.027
0.019
SK13-SB
1.150
0.500
2.658
3.708
0.004
0.025
SK14-SB
0.158
0.333
1.167
2.383
0.003
0.004
SK15-SB
0.000
0.000
0.350
-1.067
-0.004
-0.010
SK16-SB
1.067
0.333
2.592
0.683
0.003
0.009
SK17-SB
-0.083
0.083
1.542
0.367
0.008
0.012
SK18-SB
1.000
0.333
2.075
7.717a
-0.002
0.005
SK19-SB
1.242
0.750
2.317
12.942a
0.007
-0.039
SK20-SB
0.058
0.167
1.458
1.858
-0.001
-0.004
SK21-SB
0.542
0.250
1.550
9.808a
-0.018
0.009
SK22-SB
1.827
0.394
0.275
1.158
0.000
2.173
SK23-SB
3.827
0.121
2.193
-0.670
0.746
1.714
SK24-SB
-0.208
-0.167
-0.025
-0.550
-0.007
-0.013
SN1-SB
-0.258
0.167
0.333
1.500
0.004
0.010
SN2-SB
-0.283
-0.083
0.250
4.158
0.007
0.017
SN3-SB
-0.108
0.000
0.200
5.808
0.016
0.039
SN4-SB
-0.275
0.000
0.742
2.258
-0.030
0.016
SN5-SB
-0.267
0.083
0.458
0.808
0.002
0.002
SN6-SB
-0.292
-0.250
0.425
2.450
0.000
0.008
SN7-SB
0.525
0.417
1.983
5.438
0.012
0.028
SN8-SB
-0.275
-0.083
0.325
3.383
0.010
0.014
SN9-SB
-0.208
0.083
1.317
3.275
0.009
0.015
92
Perbandingan Galur SB
Nilai Perbedaan Rataan PATeL
Nilai Perbedaan Rataan JATe
Nilai Perbedaan Rataan PATo
Nilai Perbedaan Rataan TT
Nilai Perbedaan Rataan BKA
Nilai Perbedaan Rataan BKT
SN10-SB
-0.033
-0.083
1.300
4.017
0.007
0.016
SN11-SB
2.982
-0.061
-0.934
-1.424
0.676
1.259
SN12-SB
-0.300
-0.333
0.183
1.517
0.004
0.006
SN13-SB
0.308
0.250
1.442
3.300
0.004
0.009
SN14-SB
-0.275
-0.083
0.317
2.142
0.001
0.004
SN15-SB
3.355
-0.061
0.039
0.494
0.405
1.835
SN16-SB
-0.258
0.083
0.525
0.058
0.001
0.001
SN17-SB
-0.275
0.083
0.817
1.283
0.006
0.009
SN18-SB
1.067
0.333
2.425
2.417
0.004
0.008
SN19-SB
-0.275
0.083
-0.108
-1.892
-0.009
-0.019
SN20-SB
-0.300
-0.333
0.825
3.192
0.002
0.011
SN21-SB
-0.300
-0.333
-0.142
-0.083
-0.009
-0.019
SN22-SB
-0.267
-0.167
-0.692
0.708
-0.002
-0.005
Kasalath-SB
5.567
2.083a
6.942a
10.225a
0.000
0.009
NIL-C433-SB
34.843a
0.667
-5.096
-14.305
4.619a
12.110a
Cabacu-SB
6.900a
2.485a
10.439a
14.667a
0.065
0.118
IR20-SB
-0.300
-0.333
-0.417
-1.608
0.003
0.003
Gajah Mungkur-SB
9.705a
1.667a
7.020a
4.467
1.659
2.407
NipponbareSB
11.489a
0.111
-0.858
-3.211
0.660
2.089
Keterangan: PATel= panjang akar tembus lilin, JATel= jumlah akar tembus lilin, PATo= panjang akar total, TT= tinggi tanaman, BKA= bobot kering akar, BKT= bobot kering tanaman, SB= Situ Bagendit. Pada satu kolom, angka yang diikuti huruf a menunjukkan bahwa nilai perbandingan tersebut nyata pada uji Dunnet taraf α= 0.05
93
Lampiran 18. Nilai ratan panjang akar tembus lilin (PATel) pada Percobaan DTA
Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 BC2F6SK SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6
Tanah Latosol 0P 100P 0.00 1.55 4.80 7.00 0.50 0.20 0.00 0.10 0.00 0.10 0.00 12.00 3.00 0.10 0.10 0.00 0.15 0.20 0.00 0.10 11.00 0.00 2.30 1.05 17.00 7.00 0.50 0.10 0.10 0.10 0.10 0.00 0.25 1.30 0.30 0.10 0.10 3.55 2.10 1.50 4.00 1.50 0.00 0.70 0.10 0.10 0.00 0.00 0.00 0.55 1.93 1.56 0.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 0.00
SN7
9.80
SN8
0.20
Genotipe
0.78 5.90 0.35 0.05 0.05 6.00 1.55 0.05 0.18 0.05 5.50 1.68 12.00 0.30 0.10 0.05 0.78 0.20 1.83 1.80 2.75 0.35 0.10 0.00 0.28 1.74 0.05 0.00 0.00 0.00 0.05 0.00
Tanah Ultisol 0P 100P 0.20 0.30 0.10 0.10 1.05 0.10 0.15 0.00 0.10 1.60 0.00 0.00 0.50 0.73 8.05 8.30 0.00 0.10 0,10 0.10 11.00 1.60 0.00 0.00 3.57 4.07 0.30 5.40 0.10 1.70 0.00 1.75 12.00 0.00 1.20 1.00 0.10 2.73 2.30 2.03 0.10 0.10 0.10 2.87 0.10 7.50 5.65 5.05 0.00 0.00 2.02 1.95 0.10 0.10 0.10 0.10 2.20 0.10 0.10 0.10 0.00 0.10 0.00 0.10
0.00
4.90
0.00
0.10
0.00
0.10
0.10
0.00
Rataan
Rataan 0.25 0.10 0.58 0.08 0.85 0.00 0.62 8.18 0.05 0.10 6.30 0.00 3.82 2.85 0.90 0.88 6.00 1.10 1.42 2.17 0.10 1.48 3.80 5.35 0.00 1.99 0.10 0.10 1.15 0.10 0.05 0.05 0.05 0.05 Rataan
94 Genotipe SN9 SN10 SN11 SN12 SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 BC2F6SN Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah Mungkur Nipponbare Keterangan:
Tanah Latosol
Rataan
Tanah Ultisol 100P 0.10 0.10 0.10 0.00 6.00 0.10 0.00 0.10 0.10 0.10 0.10 0.00 0.00 0.20 0.35 8.37 0.00 7.73 0.00
0.15 0.10 0.10 0.00 3.05 0.10 0.05 0.10 0.10 0.13 0.10 0.00 0.00 0.10 0.26 8.18 0.00 12.37 0.00
2.88
1.52
0P 0.20 3.00 0.00 0.00 0.00 0.10 0.10 0.10 0.00 16.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.35 4.37 0.00 9.50 0.00
100P 0.60 0.00 0.00 0.00 0.55 0.00 0.00 0.10 0.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.20 0.07 2.73 0.25 20.00 0.00
0.40 1.50 0.00 0.00 0.28 0.05 0.05 0.10 0.05 8.00 0.00 0.00 0.00 0.10 0.71 3.55 0.13 14.75 0.00
0P 0.20 0.10 0.10 0.00 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.15 0.10 0.00 0.00 0.00 0.17 8.00 0.00 17.00 0.00
9.03
10.33
9.68
0.15
0.00 0.00 0.00 0.00 0.10 0.05 T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman. 0P= tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis 100%.
95
Lampiran 19. Nilai rataan jumlah akar tembus lilin (JATel) pada percobaan DTA.
Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 BC2F6SK SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6
Tanah Latosol 0P 100P 0.00 1.00 2.00 2.00 1.00 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 4.00 2.00 1.00 1.00 0.00 1.00 1.00 0.00 1.00 4.00 0.00 1.50 1.00 4.00 1.00 3.00 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 2.00 1.00 0.00 1.00 2.00 1.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.23 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00
SN7
8.00
SN8
1.00
Genotipe
0.50 2.00 1.00 0.50 0.50 2.00 1.50 0.50 1.00 0.50 2.00 1.25 2.50 2.00 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.50 1.50 0.50 1.50 0.00 0.50 1.11 0.50 0.00 0.00 0.00 0.50 0.00
Tanah Ultisol 0P 100P 1.00 1.00 1.00 1.00 1.50 2.00 1.50 0.00 1.00 1.50 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 0.00 0.00 1.33 1.00 1.50 1.00 1.00 1.33 0.00 1.50 2.00 0.00 1.00 2.00 1.00 1.00 1.50 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 1.50 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 1.03 0.93 1.00 1.33 2.00 1.00 3.00 1.00 1.00 2.00 0.00 1.33 0.00 1.00
0.00
4.00
0.00
1.00
0.00
0.50
2.00
0.00
Rataan
Rataan 1.00 1.00 1.75 0.75 1.25 0.00 1.00 1.00 0.50 1.00 1.50 0.00 1.17 1.25 1.17 0.75 1.00 1.50 1.00 1.25 1.00 1.50 1.25 1.00 0.00 0.98 1.17 1.50 2.00 1.50 0.67 0.50 0.50 1.00
96
Genotipe SN9 SN10 SN11 SN12 SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 BC2F6SN Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah Mungkur Nipponbare
Tanah Latosol 0P 100P 1.00 2.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.50 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 1.00 0.00 3.00 4.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.91 0.39 2.00 1.00 0.00 0.50 8.00 2.00 0.00 0.00 3.67 1.67 0.00 0.00
Rataan 1.50 0.50 0.00 0.00 0.75 0.50 0.50 1.00 1.50 2.00 0.00 0.00 0.00 0.50 0.65 1.50 0.25 5.00 0.00 2.67 0.00
Tanah Ultisol 0P 100P 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 1.50 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.50 1.00 2.00 1.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.95 0.87 2.67 4.00 0.00 0.00 8.00 1.67 0.00 0.00 1.00 1.33 0.00 1.00
Rataan 1.00 1.00 1.00 0.00 1.25 1.00 0.50 1.00 1.00 1.25 1.75 0.00 0.00 0.50 0.91 3.33 0.00 4.83 0.00 1.17 0.50
Keterangan: 0P= tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis 100%.
97 Lampiran 20. Nilai ITC panjang akar total (PATo) pada percobaan DTA.
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 BC2F6SK SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11
Tanah Latosol 0P 100P
ITC
7.00
7.90
0.35
12.83 7.17 7.43 7.50 6.00 7.85 6.67 7.80 7.00 12.10 9.83 12.10 7.40 7.83 5.57 7.80 8.40 7.07 9.87 9.57 7.27 6.47 7.90 7.50 8.20 6.90 7.10 5.67 7.00 6.70 6.50 11.70 6.90 8.27 9.33 5.43
10.10 6.23 6.93 5.97 6.00 7.83 9.17 6.07 7.50 6.77 7.57 8.67 7.50 6.50 6.17 8.17 6.83 8.23 8.00 7.30 5.93 7.47 7.37 7.67 7.33 7.20 7.57 7.17 7.40 6.40 7.00 6.00 6.67 7.83 5.63 6.33
0.91 0.46 0.45 0.53 0.34 0.44 0.27 0.56 0.37 1.21 0.72 0.95 0.41 0.53 0.28 0.42 0.58 0.34 0.68 0.70 0.50 0.31 0.48 0.41 0.51 0.37 0.37 0.25 0.37 0.39 0.34 1.28 0.40 0.49 0.87 0.26
Tanah Ultisol 0P 100P
ITC
Tingkat toleransi
P
5.83
6.33
0.34
P
T P P T P P P T P T T T P T P P T P T T T P P P T P P P P P P T P P T P
9.23 8.67 7.67 6.83 7.17 6.33 14.25 6.17 6.07 10.33 5.50 11.17 9.17 8.17 7.10 10.33 8.73 7.67 7.67 7.23 6.83 7.50 11.40 4.00 8.13 6.43 6.33 6.50 7.50 7.33 7.30 7.67 7.33 7.43 7.83 6.25
8.67 7.50 7.57 9.00 9.00 8.50 13.87 8.00 8.35 8.93 7.50 12.17 12.67 8.27 7.83 9.83 7.83 11.00 9.83 7.83 10.83 11.25 10.33 6.83 9.31 6.90 6.10 7.57 7.17 6.83 7.00 8.67 6.50 7.83 8.50 6.73
0.61 0.63 0.49 0.32 0.36 0.29 0.92 0.30 0.28 0.75 0.25 0.64 0.41 0.50 0.40 0.68 0.61 0.33 0.37 0.42 0.27 0.31 0.79 0.15 0.44 0.37 0.41 0.35 0.49 0.49 0.48 0.42 0.52 0.44 0.45 0.36
T T P P P P T P P T P T P T P T T P P P P P T P P P P P P P P P T P P P
Tingkat toleransi
98 Tanah Latosol Genotipe
ITC
Tingkat toleransi
Tanah Ultisol ITC
Tingkat toleransi
0P
100P
0P
100P
SN12 SN13 SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 BC2F6SN Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah Mungkur Nipponbare
4.93 6.63 7.10 6.17 6.50 6.60 12.90 4.83 7.30 6.97 4.87 7.10 10.83 7.00 17.50 5.30
6.83 7.83 6.77 6.50 7.20 8.43 8.57 7.00 6.10 7.00 5.30 6.94 8.60 8.20 15.77 6.80
0.20 0.31 0.42 0.33 0.33 0.29 1.09 0.19 0.49 0.39 0.25 0.41 0.77 0.34 1.09 0.23
P P P P P P T P P P P P T P T P
7.23 7.90 6.50 7.35 8.00 6.17 6.67 6.67 7.17 5.07 5.67 6.92 16.00 7.80 15.27 6.17
7.83 9.50 7.00 7.33 6.50 8.17 7.33 7.17 8.83 6.50 7.50 7.43 18.27 8.00 16.17 6.17
0.42 0.41 0.38 0.46 0.62 0.29 0.38 0.39 0.36 0.25 0.27 0.40 0.88 0.48 0.90 0.39
P A P P T P P P P P P P T P T P
17.83
20.50
0.87
T
7.75
11.33
0.33
P
8.00
6.67
0.54
T
6.50
7.00
0.38
P
Keterangan:
T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman . 0P= tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis100%
99 Lampiran 21. Nilai ITC tinggi tanaman (TT) pada percobaan DTA.
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 BC2F6SK SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12
Tanah Latosol 100P 0P
ITC
Tingkat toleransi
Tanah Ultisol 0P
15.00
24.50
0.26
P
29.50 22.83 28.33 25.07 19.00 25.00 19.00 21.33 26.17 26.37 33.17 25.53 25.17 22.47 17.00 18.73 21.53 29.30 33.97 22.97 32.67 19.10 21.65 21.57 24.48 23.43 30.43 25.67 24.97 22.83 25.33 28.27 24.93 24.47 24.27 17.90
29.67 25.83 36.67 25.53 19.00 21.83 21.50 20.23 24.27 22.17 27.17 26.67 23.93 26.50 21.17 22.20 24.57 30.00 36.00 22.50 30.33 28.83 20.23 21.17 25.33 22.17 22.10 24.67 26.50 21.50 24.37 23.83 25.00 28.17 25.33 23.17
0.82 0.57 0.62 0.69 0.53 0.80 0.47 0.63 0.79 0.88 1.14 0.69 0.74 0.54 0.38 0.44 0.53 0.80 0.90 0.66 0.99 0.36 0.65 0.62 0.66 0.70 1.18 0.75 0.66 0.68 0.74 0.94 0.70 0.60 0.65 0.39
20.17
22.00
0.52
ITC
Tingkat toleransi
14.23 13.67
0.44
P
T T T T T T P T T T T T T T P P T T T T T P T T T T T T T T T T T T T P
15.57 15.83 24.27 20.17 17.50 13.00 21.50 15.83 18.33 17.67 18.00 19.50 18.33 18.00 15.33 16.90 14.40 20.00 28.67 17.40 19.17 17.00 18.17 13.67 18.09 15.67 15.73 22.83 15.17 16.67 16.00 18.77 20.17 17.57 18.33 15.00
22.27 18.00 26.23 29.00 24.00 17.17 21.83 13.60 19.50 22.00 19.27 21.50 22.33 17.50 17.17 19.83 15.90 26.50 28.07 19.50 32.00 23.00 19.00 16.33 21.31 19.67 23.30 25.00 17.33 17.17 19.03 26.00 18.37 17.83 23.07 16.07
0.33 0.42 0.67 0.42 0.38 0.30 0.64 0.55 0.52 0.43 0.50 0.53 0.45 0.56 0.41 0.43 0.39 0.45 0.88 0.47 0.34 0.38 0.52 0.34 0.46 0.37 0.32 0.63 0.40 0.49 0.40 0.41 0.66 0.52 0.44 0.42
P P T P P P T T T P T T P T P P P P T P P P T P P P P T P P P P T T P P
T
18.00 20.83
0.47
P
100P
100
Genotipe
Tanah Latosol 100P 0P
ITC
Tingkat toleransi
Tanah Ultisol 0P
100P
ITC
Tingkat toleransi
SN13 26.03 26.00 0.73 T 14.90 21.20 0.31 P SN14 23.50 27.33 0.57 T 13.33 19.33 0.28 P SN15 25.90 23.63 0.80 T 12.75 18.87 0.26 P SN16 23.17 22.67 0.67 T 15.00 14.33 0.47 P SN17 21.33 26.57 0.48 P 13.83 18.33 0.31 P SN18 28.90 24.27 0.97 T 14.67 16.77 0.38 P SN19 21.60 20.33 0.65 T 12.67 12.77 0.38 P SN20 22.33 24.37 0.58 T 17.33 23.67 0.38 P SN21 21.00 21.83 0.57 T 14.67 17.10 0.38 P SN22 17.60 25.43 0.34 P 13.83 20.90 0.27 P BC2F6SN 23.82 24.15 0.66 T 16.04 19.41 0.40 P Kasalath 33.17 21.50 1.44 T 32.00 29.17 1.05 T NIL-C433 15.00 18.35 0.34 P 17.00 10.50 0.83 T Cabacu 35.57 31.67 1.12 T 33.33 31.47 1.06 T IR20 19.47 18.00 0.59 T 15.10 15.93 0.43 P Gajah 33.90 28.17 1.15 T 14.50 21.67 0.29 P Mungkur Nipponbare 33.00 16.67 1.84 T 19.50 20.57 0.55 T Keterangan: T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman. 0P= tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis 100%.
101 Lampiran 22. Nilai ITC bobot kering akar (BKA) pada percobaan DTA. Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 BC2F6SK SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13
Tanah Latosol 0P 100P
ITC
Tingkat toleransi
Tanah Ultisol 0P 100P
ITC
Tingkat toleransi
0.0356 0.0348
0.52
T
0.0194 0.0241
0.12
P
0.0299 0.0248 0.0260 0.0199 0.0122 0.0214 0.0116 0.0303 0.0342 0.0290 0.0230 0.0248 0.0355 0.0237 0.0119 0.0264 0.0330 0.0194 0.0295 0.0273 0.0309 0.0114 0.0287 0.0188 0.0243 0.0308 0.0337 0.0324 0.0342 0.0290 0.0318 0.0391 0.0326 0.0267 0.0260 0.0148 0.0191 0.0236
0.33 0.28 0.35 0.36 0.17 0.20 0.09 0.66 0.73 0.40 0.78 0.24 0.62 0.30 0.08 0.54 0.59 0.36 0.59 0.47 1.05 0.07 0.65 0.31 0.36 0.57 0.78 0.57 0.46 0.50 0.59 0.88 0.49 0.27 0.29 0.12 0.21 0.20
P P P P P P P T T P T P T P P T T P T T T P T P P T T T P T T T P P P P P P
0.0475 0.0478 0.0236 0.0203 0.0222 0.0172 0.0558 0.0137 0.0114 0.0496 0.0207 0.0343 0.0253 0.0343 0.0167 0.0228 0.0359 0.0222 0.0427 0.0289 0.0212 0.0263 0.0271 0.0162 0.0285 0.0351 0.0220 0.0616 0.0227 0.0218 0.0212 0.0317 0.0507 0.0455 0.0241 0.0185 0.0354 0.0200
0.23 0.53 0.16 0.04 0.06 0.05 0.70 0.13 0.04 0.47 0.10 0.38 0.11 0.33 0.07 0.09 0.26 0.11 0.40 0.35 0.09 0.16 0.14 0.10 0.17 0.33 0.07 0.63 0.14 0.11 0.14 0.14 0.76 0.58 0.10 0.12 0.25 0.08
P T P P P P T P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P T P P P P T T P P P P
0.0389 0.0311 0.0274 0.0159 0.0122 0.0332 0.0225 0.0197 0.0227 0.0300 0.0097 0.0360 0.0291 0.0269 0.0270 0.0184 0.0262 0.0147 0.0212 0.0226 0.0130 0.0280 0.0181 0.0165 0.0234 0.0238 0.0208 0.0259 0.0363 0.0238 0.0245 0.0249 0.0308 0.0376 0.0326 0.0261 0.0251 0.0387
0.0775 0.0334 0.0263 0.0754 0.0649 0.0455 0.0347 0.0109 0.0276 0.0403 0.0330 0.0238 0.0470 0.0273 0.0317 0.0460 0.0389 0.0360 0.0351 0.0187 0.0382 0.0333 0.0402 0.0203 0.0378 0.0287 0.0517 0.0472 0.0294 0.0328 0.0249 0.0540 0.0262 0.0276 0.0453 0.0227 0.0386 0.0366
102 Genotipe
Tanah Latosol 0P 100P 0.0246 0.0403 0.0310 0.0162 0.0365 0.0293 0.0251 0.0426 0.0452 0.0239 0.0183 0.0180 0.0209 0.0233 0.0166 0.0154 0.0166 0.0181 0.0277 0.0272 0.0325 0.0115 0.0356 0.0077 0.0656 0.0503 0.0298 0.0201
ITC
Tingkat toleransi
Tanah Ultisol 0P 100P 0.0204 0.0203 0.0190 0.0217 0.0248 0.0155 0.0218 0.0372 0.0284 0.0216 0.0136 0.0161 0.0388 0.0259 0.0158 0.0169 0.0184 0.0419 0.0278 0.0310 0.0254 0.0311 0.0330 0.0044 0.1288 0.0939 0.0341 0.0279
ITC
Tingkat toleransi
SN14 0.21 P 0.16 P SN15 0.84 T 0.13 P SN16 0.65 T 0.31 P SN17 0.21 P 0.10 P SN18 1.22 T 0.29 P SN19 0.27 P 0.09 P SN20 0.27 P 0.45 P SN21 0.25 P 0.12 P SN22 0.22 P 0.06 P BC2F6SN 0.40 P 0.19 P Kasalath 1.31 T 0.16 P NIL-C433 2.34 T 1.94 T Cabacu 1.22 T 1.37 T IR20 0.63 T 0.32 P Gajah 0.0703 0.0588 1.19 T 0.0282 0.0495 0.12 P Mungkur Nipponbare 0.0328 0.0140 1.09 T 0.0252 0.0277 0.18 P Keterangan: T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman. 0P= tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis 100%.
103 Lampiran 23. Nilai ITC bobotkering tanaman (BKT) pada percobaan DTA
Genotipe Situ Bagendit SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SK8 SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 SK16 SK17 SK18 SK19 SK20 SK21 SK22 SK23 SK24 BC2F6SK SN1 SN2 SN3 SN4 SN5 SN6 SN7 SN8 SN9 SN10 SN11 SN12 SN13
Tanah Latosol 0P 100P
ITC
Tingkat toleransi
Tanah Ultisol 0P 100P
ITC
Tingkat toleransi
0.0898 0.0999
0.43
P
0.0407 0.0424
0.23
P
0.1047 0.0802 0.0830 0.0617 0.0287 0.0815 0.0439 0.0824 0.1102 0.1238 0.0964 0.0972 0.1013 0.0639 0.0474 0.0670 0.0899 0.0797 0.1021 0.0827 0.0967 0.0391 0.0825 0.0643 0.0796 0.0908 0.1219 0.1087 0.0991 0.0807 0.1011 0.1226 0.0834 0.0769 0.0832 0.0534 0.0691 0.0813
0.42 0.32 0.35 0.31 0.15 0.37 0.12 0.69 0.72 0.83 1.00 0.48 0.58 0.24 0.15 0.30 0.43 0.42 0.51 0.54 0.77 0.08 0.47 0.32 0.40 0.51 1.11 0.71 0.41 0.46 0.58 0.98 0.38 0.26 0.36 0.20 0.32 0.31
P P P P P P P T T T T P T P P P P P T T T P P P P T T T P P T T P P P P P P
0.0667 0.0750 0.0527 0.0412 0.0497 0.0321 0.1000 0.0390 0.0341 0.0915 0.0432 0.0736 0.0520 0.0668 0.0383 0.0598 0.0569 0.0434 0.0854 0.0548 0.0463 0.0461 0.0643 0.0339 0.0561 0.0594 0.0458 0.1165 0.0433 0.0530 0.0455 0.0637 0.0867 0.0731 0.0548 0.0343 0.0653 0.0371
0.21 0.56 0.31 0.09 0.14 0.09 0.75 0.31 0.13 0.57 0.19 0.53 0.14 0.50 0.16 0.24 0.30 0.14 0.57 0.43 0.14 0.18 0.29 0.16 0.26 0.33 0.14 0.78 0.20 0.28 0.23 0.23 0.89 0.60 0.21 0.15 0.35 0.12
P T P P P P T P P T P T P T P P P P T P P P P P P P P T P P P P T T P P P P
0.1390 0.1064 0.1047 0.0650 0.0287 0.0946 0.0822 0.0527 0.0905 0.0979 0.0495 0.1056 0.0942 0.0918 0.0812 0.0807 0.0993 0.0814 0.1095 0.0677 0.0644 0.1006 0.0772 0.0679 0.0847 0.0866 0.0715 0.0884 0.1261 0.0760 0.0938 0.0819 0.0977 0.1188 0.1036 0.0771 0.0788 0.1123
0.1285 0.0601 0.0536 0.1172 0.1090 0.0716 0.0798 0.0291 0.0549 0.0884 0.0597 0.0616 0.1149 0.0540 0.0557 0.0902 0.0651 0.0797 0.0763 0.0419 0.0899 0.0699 0.0844 0.0443 0.0742 0.0644 0.0903 0.1051 0.0562 0.0601 0.0540 0.1050 0.0507 0.0534 0.0860 0.0477 0.0741 0.0677
104 Genotipe
Tanah Latosol 0P 100P 0.0795 0.1096 0.0970 0.0808 0.0968 0.0917 0.0769 0.1137 0.1155 0.0864 0.0573 0.0604 0.0815 0.0884 0.0573 0.0579 0.0533 0.0790 0.0858 0.0900 0.1112 0.0458 0.0898 0.0332 0.1878 0.1187 0.0827 0.0654
SN14 SN15 SN16 SN17 SN18 SN19 SN20 SN21 SN22 BC2F6SN Kasalath NIL-C433 Cabacu IR20 Gajah 0.1763 0.1364 Mungkur Nipponbare 0.0892 0.0411
ITC
Tingkat toleransi
0.31 0.62 0.54 0.28 0.82 0.29 0.40 0.30 0.19 0.44 1.44 1.30 1.58 0.56
P T T P T P P P P P T T T T
Tanah Ultisol 0P 100P 0.0365 0.0532 0.0361 0.0540 0.0449 0.0324 0.0382 0.0678 0.0480 0.0436 0.0307 0.0385 0.0705 0.0656 0.0327 0.0400 0.0339 0.0761 0.0523 0.0630 0.0625 0.0795 0.0565 0.0159 0.2163 0.1804 0.0646 0.0634
1.21
T
1.03
ST
ITC
Tingkat toleransi
0.15 0.14 0.37 0.13 0.32 0.15 0.45 0.16 0.09 0.26 0.30 1.21 1.56 0.40
P P P P P P P P P P P T T P
0.0512 0.1021
0.15
P
0.0552 0.0625
0.29
P
Keterangan: T= Toleran, P= Peka. ITC= Indeks Toleransi terhadap Cekaman. 0P= tidak dipupuk P, 100P= dipupuk P dengan dosis 100%
105
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 14 April 1977 anak dari pasangan Surip Padmo Diharjo dan Sukinem. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Sukoharjo. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan Progam Diploma di Departemen Kesehatan. Pada tahun 2002, penulis bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 2006, penulis masuk Progam Studi S1 Biologi di Universitas Nusa Bangsa (UNB) di Bogor dan menyelesaikan studi S1 pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan studi pada Progam Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebagian dana pendidikan ini dibiayai oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DKI Jakarta.