VOLUME 23
e
No. 2 Juni 2011
-125-139
KONSEPSI SOSlO KULTURAL ETNlS JAWA DAN MADURA DI EKS-KARESIDENAN BESUKI TENTANG PANGAN
Especialfywfththe ldunching of the
rewdution pmgam, the& h a
pm&d rewson, a colnbinationof emlagid, economical, and this shift. KeywwdE: cuhuc~lGO~K-
ethnk.
Staf Pengajar Jurusan Ssjerah, Fakuitas Sastra, Universitas Jember.
-
Humaniora, Vol. 23,No. 2 Juni 2011: 125 $30
*
PENGANTAR Kelangsungan hidup bangsa menuntut kemampuan mewujudkan ketahanan pangan yang kokoh. Tidak ada yang menyangsikan bahwa manusia secara individumaupun kolektif memerlukan ketersediaan pangan. Banyak wntoh dalam sejarah mengilustrasil
penanganan ketahanan pangan selama ini tampak lebih banyak difokuskan pada sisi produksi, sedangkan sisi kQnsumsimasih relatif terabaikan. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan kebhanan pangan lebih diperbesar lagidengan tingginya kemgamanetnik dan konsepsi budaya etnik tentang pangan. Dalam berbagai kelompdcetnik dan bahkan bangsa, pangan (foodsdfs) sering terkait erat dengan budaya. Hal ini secara jelas ditunjukkan dalam karya Pamela G Kittler dan Kathryn I? Sucher (2008) berjudul Foodand Cuhm, yang menyoroti pangan dalam konteks budaya di kawasan Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Menurut Kittler dan Sucher (2008:3-5) pilihan bahan pangan bukan semata-mata didasarkan pada pertimbangankandungan nutrisi atau nilai gizi, melainkanjuga melibatkan pertimbanganpertimbanganyangjauh lebih kompleks sifatnya: penanda diri (self-identity), fungsi simbolis, dan identitaskultural kdompokyang dimanifestasikan dalam tata nilai, kepercayaan, dan praktek yang secara kolektif dipegang anggota komunitas. Berangkat dari pemikiran ini, pembangunan ketahanan pangan yang kokoh memerlukan dipahaminya pula konsepsi kelompok etnik tentang pangan. Dengan konsepsi yang berbeda, masing-masing kelompok etnik berpotensi menawarkan peluang, kesulitan dan tahngan tersendiri dalam pelibatan mereka mewujudkan diversifikasipangan dan ketahananpangan. Artikel ini membahas konsepsi etnis Jawa dan Madura di wilayah eks-karesidenan Besuki rnengenaipangan, baik dalam arti k h a n pangan (foodstuffs) maupun tanarnan pangan (food crops). Etnis Jawa dan Madura dipilih sebagai fokus didasari pertimbangan bahwa dalam konteks wilayah eks-karesidenan Besuki, keduanya merupakan etnis dominan. Dalam konteks Indonesia, etnis Jawa me~pakan suku bangsa denganjumlah populasi terbesar dan di kalanganini terdapat tradisi kuat konsurnsiberas. Sernentara itu, pilihan pada etnis Madura dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelompok ini secara kuantitas merupakan populasi besar ketiga di Indonesia, selain fakta bahwa secara
-
Konsepsi Sosio KuItural Etnis Jawa dan Madura di Eks-Karesidenan &SUM tentang Pan@tW~
f
i I
I
1
historisetnis inidikenal serrrakaipemakanjagung bahan panganlain bdkbetupa dan pada masa kini merekajuga temsuk kon- seperti kacang tanah, kacang h i , koro, dm sumen beras. Wilayah eks-enan &esuki kedele, maupun buah-buahant e r m k sukun dipilh dengan pertimbanganm i&h satu dan pisang (Moertjipto, 1993/1994:54-57). Kontras dengan pengetahwan akan fagam lumbung padi terpenting di Indonesia b i n g g a statusnya ini memberi kendalaping bbii besar bahan pangan yang cukup kaya, pengetahuan untuk meninggalkan beras$sebagai bahan masyarakatetnikJawa rnengenaiasahrsul bahaPl pangan sangat terbatas. Hampir semua respangan pokok. ' Permasalahanyang dikaji dalam artikel ini pondenmeyakini bahwa tanaman panganyang adalah bagaimana pandangan (views), penge- rnerekakenal adalahtanaman asli n q p l sendid. tahuan ,)-( dan kepecayadIceyakinan Keterbatasanpengetahuan mengenai aslal-usul (Beliefs) men~.naipangan dan mengapa etnis pangan ini tampaknya tidak terlepas dari fakta hAadura melakukan konversi tanamanlbahan bahwa rneskipunsebnamya rnerupakantanam makanan pokok dari jagung ke beras?Adapun an asing yang didatangkan dari luar, proses tujuan artikel ini adalah mengeksplorasikonsepsi adopsi tersebut telah berlangsung bebe-rapa sosio kultural etnik Jawa dan Madura di wilayah abad dam sehingga tidak diketahui lagi karena eks-karesidenan Besuki tentang pangan, serta tidak adanya sumber sejarah yang rnerekam, memberi penjelasan tentang faktor-faktor yang serta tekanan yang terlalu kuat pada sejarah menjelaskan tejadinya konversi tanaman dan politik. Pejalanan waktu yang panjang rnembuat makanan pokok di kalangan etnik Madura dari pengetahuan akan asal-usul pangan semakin jagung ke beras. Kajiantentang pangandengan kabur dan rnelahirkananggapan sebagaitanamperspektif budaya etnik dipandang instrumental an asli Indonsesia, apalagi sejak kecil terbiasa karena dapat ikut memberi kontribusi penting dengan keberadaantanaman-tanaman pangan dalam rangka rnengembangkan pola konsumsi tersebut di lingkunganterdekat mereka. Kenyatabahan makanan pokok yang beragam demi annya harus diakui bahwa banyak tanaman terwujudnya ketahanan pangan nasional yang bahan panganterpenting di Jawa dan di wilayah kokoh dalam konteks masyarakatIndonesiayang Indonesialainnyaadalah tanarnan asing.Seperti dikemukakan Purse-glove dalam karyanya multietnik. bejudul Tropical Crops, padi berasaldari wilayah India, jagung dari Amerika Tengah, ketela dan KONSEPSI KULTURAL ETNlS JAWA ubi jalar berasal dari Amerika Tmpis. Tanaman Kalangan etnik Jaw, termasuk yang ber- pangan lain juga berasal dari luar, misalnya mukim di wilayah Besuki, mengenal beragam ganyong dari Amerika Selatan dan gadurllg dari bahan pangan pokok, yakni beras, jagung, dan Asia Selatan (Semangun, 1991:2). ketela. Secara umum beras mendudukitempat OrangJ a w a t r a d i i mempunyaikorrsepsi tetpenting dalam kelompokbahanpanganpokok. yang kompleksatas tanarnandan bahanpangan. Namundemikian, terdapat beberapavariasi Iokal Konsepsimereka tidak melulu behenti pada segi sebagai konsekuensikondisi ekologis setempat fisik yang bersifat denotatif atau mengacu pada yang berdampak pada tidak mencukupinya kenyataan lahiriah semata, melainkan juga bahan pangan beras, sebagaimana ditunjukkan menembus esensi atau bagian dalamnya. Bagi dalam studi mengenai masyarakat etnik Jawa di mereka bahan pangan bukan hanya barang Yogyakarta (Moertjipto, 1993/1994:42-49).Di luar pemenuhan kebutuhan fisiologis, tetapi juga ketiga bahan makanan pokoktersebut, kalangan rnempunyaiarti dan ternpat sangat khusus dalam etnik Jawa juga mengenal bahan pangan kehidupan mereka. Kekhususan ini tampak rneskipunsekunder kedudukannya: talas, bethe, dalam pengkaitan makanan dan bahan pangan kimpul, ubijalar, kentang hitam, gembl, tombo- dengan berbagai aspek simbolis-ritual maupun roso, gadung, ganyong, dan garut. Ada pula terapeutis dalam rangka pencegahan serta
H m m , Vd. 23,No. 2 Juni2011: 125- 139
pengobatan terhadap berbagai macam. Padi adalah tanaman dan bahan panganter-penting yang dapat memberi ilustrasi paling jelas dan nyata mengenaikompleksitas konsepsi kultural masyarakatJawa tersebut. Dalam cerita tradisional Jawa, padi diyakini terkait dengan Dewi Sri, istri Dewa Whisnu dan ~ e t n ~umilah a ataulisnawati, anak &tam GUN. Salah satu versi cerita mengisahkan bahwa Dewi Sri pada akhinya berubah wujud menjadi padi untuk menghindari Kala Gumarang yang selalu mengejamya karenaingin rnemaksakananta dan memperisttinya. Padi kngqawantahanDewi Sri adalahjenis padi yang tumbuh pada lingkungan ekologis sawah. Sementara itu, padi titisan Dewi Tisnawati menghendaki area tumbuh pada lingkungan ekologis lahan kering atau tegalan. Dalam kedua jenis tanaman padi ini, secara tradisional dipercayai bahwa jiwa Dewi Sri atau Dewi Tisnawati bersemayam sehingga sepantasnya dihormati (SollewijnGelpke, 1986: 8-9). Kepercayaan akan padi mempunyai roh juga dijumpai di kalangan penduduk asli yang mendiami wilayah Karesidenan Besuki pada masa lampau khususnya Blambangan atau Banyuwangi sekarang (De Stoppelaar, 1925: 417). Ada versi lain mengenaiasal-usul mitologis padi. Versi inijuga mengaitkanpadidengan Dewi Sri, meskipun dengan kisah yang agak berbeda, sebagaimana dijumpai di kalangan orang Jawa di Yogyakarta. Dalamversi ini cerita asal-usul padi diawali dengan keinginan Batara Guru untuk menurunkan benih kehidupan (wiji widayat). Semua dewa hams hadir untuk menerimanya. Karena ada satu dewa yang tidak hadir, benih kehidupan tersebut meluncur ke bumi dan tertelan Dewa Anamtaboga. Atas perintah Batara Guru, Dewa Anamtaboga memuntahkan biji tersebut, tetapi yang keluar dua orang bayi. Mereka diberi nama Sri dan Sadana. Setelah beranjak dewasa, Sadana ingin memperistriSri. Batara Guru melarang. Karena memaksakan kehendak, Sadana mati terkena kutukan Batara Guru. Sepeninggal Sadana, Dewi Sri menjadi sedih dan untuk melupakan kesedihannya, dia nkminta gamelan kayu kepada Batara Guru.
Karenagamdantersebut tidak pemahada, tetapi Sriterus merengek maka murkalahBatara Guru. Dewi Sri pun matiterkena kutukan. Oleh Narada mayat Dewi Sri diserahkan kepada petani, yang bertapa rnenantikanturunnya b i h kehidupan. Atas perintahNarada, petani tersebut memakamkannya dan menyiramimakamtiap pagidan sore. Dari makam ini tumbuh padi yang kemudian menjadi tanaman panganyang sangat berguna bagi kehidupan manusia (Surnarsih, 1977:104105). Bukan hanya rnenyangkut asal-usulnya, cara menanak nasi dalam cerita rakyat yang berkembangdi kalanganorang Jawa tradiibnal dipercayai sebagai resep yang diwariskan oleh Dewi Nawangwulan, seorang bidadari yang kawin dengan Jaka Tarub (Kantor Perkebunan, 1953:9). Terkait dengan adanya kepercayaanmistis tersebut, bukanlah suatu kebetulan apabila banyak aspek terkait dengan padi semenjak dari penanamanhingga konsumsidalam masyarakat Jawa tradisiinalselalu disertaidengan serangkaian kegiatan ritual (selamatan). Kegiatan ritual meliputi berbagai tahap dalam budidaya padi sejak awal penanaman hingga panen, bahkan penyimpanannya. Kegiatan ritual pertama dilakukan saat akan dilakukan penebaran benih (ngurit), yang harinya pun tidak sembmngan ditentukan, melainkan didasarkan pada pertimbangan hari baik. Dalam selamatan ini ada perlengkapan sesajian berupa: nasi, panggang ayam, lauk pauk, dan jajan pasar. Sebelum dibagikan, sesajian tersebut diletakkan di sawah yang akan disebari benih dengan harapan rohroh penunggutidak mengganggupekejaan yang dilakukan, para pekerja selamat, dan tanaman padi dapat tumbuh subur serta terhindar dari serangan hama (Sumarsih, 1977:108). Secara khusus mengenai upacara panenpadiatau yang secara lokal oleh penduduk setempat biasa disebut "sunting", sebuah kajian kontemporer masih rnemperlihatkankeberadaannya di kalangan masyarakatJawa yang berrnukimdi wilayah Jember, serta pengaruh praktek ini terhadap sebagian masyarakat Madura yang tinggal berdekatan (Hafid, 2001:6-7).
;
Nawiyanto, Konsepsi So& Kuttural Etnis Jew8 dan Madm d
engan kekuatansrsbuahmcsrffa etnik Jwa,
t Kala Gumarang yang membusuk git, dan bert.>agaiserangga darahyang kelmrdari lukatimbul hama londoh dan gas-gas (Sollewijn Gelpke, 1986:9). Hama tikus ering merusak padi juga dipercayai isalah satu dari empal puluh anak Putut a, penjelmaan roh Kala Gumarang, kan burungemprit yangjuga merupakan yang padi di sawah dipercayai sebagai @#njefmaan Raden PritAnma (WkwijnGelpke, l@88:9). DikalanganaangBWtmgm,bahkan rsh-roh tikus yang d i b m h dipercayai dapat membunuh roh padi yang memka M n (De SbppeIaar, 1925417). Di kalwtgarr sebagian orang Jawa, ada kepermyaan bahwa tikus mmpakanpenjelmaansetan, yang akan marah bib dibunuh. Ketakutan akan tikm membuat mng-orang Jawa tidak berani menyebutkan secara langsung nama tikus, ttapi dengan menjulukinya sebagai "Den Bagusw(Anggora, 1939:69; Subroto, 1941:85). Dalam Serat Cebolek hama padi )rang dikenal dengan sebutan mentek dan banyak mdatangkan kwugiandiprcayaipenduduk dk-n deh untow"rjoy, 2006:95). gangguan hama da dengan pementasan
hari. Berbedadengan p e r t u n w w&yang kulit biasa, perfengkapan untuk r u m dimdialcan oleh dalang sendiri, diantaranya berupa: dua
dipersiapkan pementasan lakon kemathrn BeQjrrr W, macam hama )fang m g g a
sejumlah ham. Untuk tikus, mblnya, babgai dan buburWatul beFtilitbemmgd!lemparkanb parit dlsertai d q a n pnguapan manfm: "Qya diutus Kyai Gede mdempahmrrlahn ke parit untuk menwnpas Wish af%tbila kaCan merusak tanaman DeM S f (S@hMjnGel@@, 1986:52). Namun, tidak sgmsrat x h n dengana s a k ~Etan ~ laura misti initidak d i halSral jagung clan kete6a. Kedua bahan makanan pdkok Jawa dan ditanam lebih k m a aW&ah Wak tenukupinya kebutuhan pengaban (Raffles, 2008: 80). Merrr;hg,&ring
rakat Jawa. Pada mma h iWak Sri. Pemdaran kepercayaan ms i-ks ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor: penggunaan teknologi bant dahn kaitrannya dengan bibit padi wnggul untuk m ~ g a r r ~ n vatjetas lokal, penggantian aliat p a mpadi ani-ani ke sabi, penggunaan w i n ~ E S padi (huller3 sebagai ganti Imung, dan I(Irbih pentinglagi, prosesMarnisasi yangsermkh laat mempengaruhim y a r a k t JM rnemmdam kepempm smacam ini ssbagai rffsrk I sirik yang hiilms dNngg~tkan(WIiXw0 d$n Suhatno, 199511996:lW).
Cam pembinsrnian hama tanamandqpn Wi tumpeng setelah dilengbpi m a n pemM&n ritualistik brnbat launjuga berkurang, seperangkatsesajianyang lainmbagai kelengc&antilcan dengan cara-carayang lebi rasional. kapanselamatanmenjadiungkapan Hd ini t i k terlepas dari inisiatif pernerintah dan kesuburan (Susanto, 199154). kdonial khususnya di lingkungan Jawatan FWanian(Sollewijn Gelpke, 1986:54). Ada dua cam yang diperkenalkanyakni cara Icjmiawidan mkanis. Pendekatankirniawid i i p k b dengan penggunaan racun untuk mernbunuh harna. Pada awal1900an para pengusahaperkebunan dilaporkan telah rnenggunakan racun untuk memberantas babi h u mdan untuk mernbasrni tikus pada 1930-an (jclawiyanto, 2007:121). Efeknya, larnbat laun kaurn tani rnulai akrab dengan penggunaan racun. Penggunaanracun ditaporkanikut menyurnbangterbunuhnya tidak kurang dari 1000babi hutan di Banywangipada 1952. Cara rnekanis diwujudkan dalarn bentuk gmpyokan, yakni memberantas tikus secara bersarna-sarna dengan rnenghancurkan sarang-sarangnya dan rnernbunuhi tikus yang dijurnpai. Kegiatan penggropyokan tikus di wilayah Besuki sering rnuncul dalarn laporan suratkabar dan majalahpertanianpada 1-n dan 1960-an (Nawiyanto, 2007: 121-122). Kegiatan sernacarn ini tidak jarang rnasih dijurnpai hingga sekarang. Selain berfungsi dalarn pernenuhan kebutuhan hidup secara fisiologis, dalarn konsepsi masyarakatJawa bahan pangan dan makanan tertentu rnernpunyai rnakna khusus dalarn kegaiatan ritual. Bahan pangan, rnisalnya, sering kalimenjadibagiinkelengkapandalarn kegiatankegiatan ritual dan dipercaya mernpunyaifungsi magis. Sebagaikelengkapanupacaradan sesaji, beras setelah digabung dengan bahan lain rnisalnya kunyit akan dihasilnya nasi kuning dipercaya dapat rnenjadi penangkal ancaman dan bahaya yang bersifat gaib (Wibowo dan Suhatno, 199511996). Sebagaimana dikatakan antrolopotog Arnerika, Clifford Geertz, dalarn karya tersohornyayang bejudul The ReJQion of Java, bau penganan dalarn kepercayaan tradisional Jawa dianggap sebagai rnakanan untuk mhkluk-makhluk halusagar mereka tidak mengganggu manusia(Geertz, 1989:18).
wantahkan secara ragawi fibfat Linggasme, turnpeng nasiyang seblu &a dalarn ~8famatan Jawa mempunyairnaknasetzag;aipengingatpara hidirin akan awl-usul dan akhir kehidupan manusia (Herlingga, 1987:66). SemsnEara itu, nasi golong, yakni yang dibentuk bukt-bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa, d a m berbagai amra selarnatan bmakna sebagai p w j u d a n berkurnpul dan bwsatunya dpta, rasa dan karsa untuk rnenghadapi kehidupan dalarn dunia rnetafisisdan keabadian (Herlirrgga, 198737). Dalam selamatan awal bulan Sura, nasi golong dan nasi rorno rnenjadi ungkapan penghormatan terhadap makhluk halus yang tinggal di tempat-tempat keramat dan W t a r ternpat tinggal (Herlingga, 1987:79). Di luar kegiatan ritual yang bersifat nrtin, nasi wuduW gurih, nasi arnbengan, nasi golong, tunpeng putih adat, dipakaidalarn ritual untuk menangkal wabah penyakit di Yogyakarta (Soewandono, 1960:33-34). Terkaiidengan fungsi mgis bahan pangan, dalarn cerita pewayangan dikisahkan mengenai bayi Bima yang lahir terbungkus ariari. Senjata sakti apapun tidak rnempan untuk rnengeluarkansang bayi dan baru d~lpatcdiatasi setelah ari-ari diiris dengan gabah ketan h i m . Bahan pangan tertentu juga dipercayai mernpunyai khasiat rnedis sebagai salah satu elernen penting dalarn sistern pengobatan tradisional. Beras dicarnpur dengan kencur dan beberapa bahan lain seperti kedawung, jahe, rnadu, telur ayarn karnpung dan jemk nipis setelah diprosesdengan cam tertentud@emyai masyarakatJawa tradisional sebagai rninuman yang berkhasiat dalam pmgdmtan pegel linu (Urniati dan Susanto, 199011991:106-187). Dernikian pula, setelah diproses bersama dengan minyakkesarnbi, beraasmerahd i m rnasyarakat Jawa rnerupakan elernen yang berkhasiat dalam pengobatan beri-beri wbagai bahan hreh tubuh (Urniati dan thisanto, 19901 1991:42-43). Sernentara itu, jagung rnuda
I
!
i
!
<
-
A.
*,
*;
-..y4ze*
Nawiyento, Konsepsi Soslo KuffmI ESnis Jawa den Madurn di E k S - K a e a n
dipercayai mempunyai khasiat medis dalam an, dan kernatian. Menyangkut rangka pengobatan radang ginjd (Umiati dan bangan beras, tidak ada keseragarnim*anWSa individu yang satu dengan lainnya, rrreSaiptkgn Susanto, 199011991:113). Tidak kalah pentingnya, bahanpangantidak berbeda-beda sesuai dengan status sr~sirrl jarang dihubungkan dengan fungsi simbolis. msing-masing dalam masyarakat. Sumbangan Dalam acara perkawinan Jawa, misalnya, beras oleh perangkat desa dan orang kaya desa seuntai padi dipakai sebagai qlah satu penghias berbeda dengan sumbangan yang diberikan pada sebelah kiri dan kanan pintu masuk, warga kebanyakan. Perbedaan besarnya sumbersama dengan berbagai kelengkapan lain. bansanbetasyang dWmr=ijuga tergantung ~ a d a Seuntai padi ini meyimbolkan pangan, dengan ada tidaknya hubungan sanak-keluarga antara maksud bahwa orang yang berkeluarga ber- penyumbangdan pihak yang disumbang. Tradii kewajibanmengwhakan ketercukupanpangan sumbang-rnenyumbang dalam masyarakatJawa (Adisasmita, 19733357-358). Pada bagian lain tradisional rnerupakanbagiandari kelembagaan dalam prosesi perkawinan Jawa tersebut, danjaringan wsial desa yang mengandungasas terdapat adegan yang memeragakanmempelai timbal-balik dan dikembangkan untuk melaki-laki menuangkan beras ke kain selendang ringankan beban satu sama lain yang muncul yang dipegang pangantin perempuan. Prosesi sehubungan dengan kegiatan hajatan (duwe ini menyimbdkan kewajiban laki-lakimemberikan gawe) yang tentu saja rnemedukanbiya ekstra rejeki pada istrinya(Adisasmita, 1973:364-365). besar ( W i W dan Suhatno, 1995/1996:94-95). Bahan panganpun ikut mernbentuk bert>agai Padisering dipakai pula untuk menggambarkan masa makmur, yang dikontraskan dengan ekspresi kulturalJawa dalam bidang kebahasaketela atau gaplek yang identik dengan rrasa- an. Hal ini dapat diketahui misalnya dari karya masa susah (paceklik). Pada masa lalu gaplek Mardiwarsito (1980) berjudul Peribehasa dan merupakan simbol kekurangan gizi dan kemis- Saloka Bahasa Jawa. Ada sejumlah ungkapan kinan (Susanto dan Suparlan, 1989:391). Dalam yang menggunakan unsur nasi (segakekul), bukunya tentang cerita rakyat dari Jember, misalnya 'sekul pamir: "sekul urug: dan "sekul Santosa dan Wibisono secara jelas meng- tan urup".Sekul parnit" [nasi berpatnit], berarti ilustrasikan posisi ketela dengan menunjulckan terlambat rnengerjakan sesuatu can tidak menbagaimana ketela digambarkan sebagai satu- dapat upahnya. 'Sekul urug" [nasi untuk mesatunya bahan makananterakhir yang ada untuk ngurug], artinya segala sesuatu yang tidak ada dikonsumsi ketika kaum petanisetempat meng- manfaatnya, sedangkan "sekultan unjr",rarti alami kemarau panjang dan kekurangan air orang yang memberikansesuatu yang tidak ada irigasi untuk kegiatan pertanian (Santosa dan rnanfaatnya, misalnya memberi sesuatu pada Wibisono, 200446). Sebaliknya, masa kemak- orang orang kaya (Mardiwarsito, 1980: 143). muranwilayah Besuki pada masa lampausering Dalam konteks merantau untuk mencari rezeki, dikaitkan dengan berlimpahnya bahan pangan masyarakat Jawa mengenal ungkapan 'lungo dan kemampuan wilayah Besuki mengekspor gdek upo" [ pergi mencarisesuap nasi]. Ada juga beras dalam jumlah besar ke berbagai wilayah ungkapanlain, "anadina ana u p " [ada hari ada lain di Indonesia (Arifin, 1995278; Nawiyanto, rezeki], artinya orang tidak perlu kuatir tentang rezeki. Ungkapan ini mengajarkan tentang 2003:94). Selain fungsi magis, medis, dan simbolis, pentingnya sikap optimis menghadapi had-hari bahanpangan sering dipergunakan dalam tradisi mendatang (Soepanto dan Wibowo, 1985surnbang-menyumbangmasyarakatJawa. Halini 1986:49). Selain itu, dikenal pula ungkapan, terlihat jelas khususnya dalam kasus beras. 'tnambu-mambu yen sega [biar sudah berbau Penggunaan sumbangan bsras dijumpai dalam basi asal nasi], yang menasehatkan untuk berbagai kegiatan ritual menyangkut siklus memperlakukan secara baik keluarga, masyakehidupansejak kehamilan, kefahiran, perkawin- rakat, atau bangsa sendiii betapapun buruknya
-
Humanim, MI. 23, No. 2 Juni 2011: 125 139
.,
sifat-sifat yang dimillki (Soepanto dan Wibowo, 1985-1986:117). Terkait dengan beras, disebutkan misalnya ungkapan "beras wutah arang mulih marang [beras tumpah tidak pemah kembali ke wadahnya], yang berarti segala sesuatu yang sudah pindah, apabiladikembalikanjarang dapat pu&hseperti sedia kala (Mardiwarsito: 1980:33). Ada pula ungkapan, "duduberast5 ditempurake* [bukan berasnya dijual], yang artinya ikut memberisaran, tetapi menyimpangdari masalahyang tengah dibicarakan (Mardiwarsito, 1980:46). Untuk menggambarkan kebingungan dan kekacaubalauanmassa dalam upaya menyelamatkan diri, misalnya, orang Jawa sering rnenyatakannya dengan ungkapan "koyo beras diinteti" [bagai beras diayak]. Dalam hubungandengan padi yang belum diselep atau biasa disebut gabah, terdapat ungkapan "gabah sinawuf' [gabah ditabur], artinya orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu, hanya berkeliling, sepertigabah ditaburkan, tcertiup angin, jatuh di sembarang tempat (Mardiwarsito, 1980:51). Disebutkan pula ungkapan "sugihpan angawak-awakake: yang berarti orang berkemampuan tinggi dalam bahasa yang suka menjelek-jelekan orang lain dengan mempersamakannyadengan barang, binatangatau halha1 lain yang serba buruk (Mardiwarsito, 1980:150). Terkait dengan tanaman padisebagai tanaman, disebutkan ungkapan "idhep-idhep nandur pan gon(seperti menanam padi hijau), yang berartiberbuat kebaikankepada orang yang tidak dapat atau lama sekali dapat membalas (Mardiwarsito, 1980:60). Meskipun tidak sebanyak ungkapan yang berhubungan dengan padi dalam beragam bentuknya, bahan pangan lainjuga masuk dalam sejumlah ekspresi kulturalJawa. Untuk melukiikan betapa singkatnya penjajahan Jepang di Indonesiadibanding kolonialismeBetanda, orang Jawa suka rnenganalogikznnyadengan ungkapan "hanya seumur jagung* (mung sak umur jagung). Masihterkait denganjagung, orangyang mandi keringat setelah bekerja keras membanting tulang sering digambarkan sebagai "keringatnya sebesar butiran jagung" (luingete
sakjagungjagung). Sementara itu, orang yang tidak konsisten dan sangat mudah berubah penditiansehingga keinginan dan kata-katanya sulit dipegang pihak lain biasa dipotret masyarakat Jawa dengan ungkapan, "pagi kedele sore tempen(esuk dele sore temp). Uraian di atas menggambarkan betapa kompleks konsepsietnik Jawa mengenaipangan dan besamya pengaruh pangandalam ekspresi kultural mereka. Pada bagian berikut akan dipaparkan isu serupa dalam konteks etnik Madura. KONSEPSI KULTURAL ETNlS MADURA Di kalanganetnik Madura dikenal beragam bahanmakanan, di antaranyayang seringdikebut adalahjagung, padi, dan ketela. Mengenai komunitas etnik Madura yang berrnukim di Besuki, Residen Bondowoso A.H. Neys yang membawahkan Kabupaten B o n d o m dan Panarukan pada 1929 menyebut produksijagung, padi, dan ketela di kalanganmereka (Kartodirdjo ed., 1978:cxxviaxvii). Sumber lain menyebut peran gadung (Dioscorea hispida) sebagai bahan pangan di kalangan orang Madura. Dalam penelitiannya di wilayah Asembagus, Djojopranoto (1958:196) menyatakan bahwa sejak permulaan abad ke-20 setiap musim k m r a u banyak penduduk Madura datang ke wilayah ini untuk rnencari ubigadung, fenornena yang masih dijumpai pada tahun 1950-an. Di antara berbagai bahan panganyang ada, jagung (pernah) mempunysi tempat paling khusus di kalangan orang Madura. Jagung (maize atau corn) sering dipandang sebagai bagian integral dari identitas tradisional etnis Madura.Jagung merupakantanaman tradisional masyarakat Madura dan sulit membayangkan kehidupansubsistensimasyarakat Madura tanpa jagung. Keadaan Besuki agaknya tidak berbeda denganyang digambarkanVan Heyst pada 1928 mengenai PulauMadwa bahwa bagi masyarakat etnik Madurajagungrnempunyai arti lebih penting dibanding padi, meskipun pengenalanjenis padi yang cocok dengantanah tadah hujankhususnya varietas skn'mivank~ffimemberikan peningkatan
wpun 'kwt identitas keislamannya, blangan etnik Wladura d h melakukan sejmlah ritualselamatandan di dalamnya dipakai n pangan sebagai kelengkapan sesajian. m pembuatanperahu, misalnya, pekej a m dlawali dengan ritual selamatan yang dipimpin serarang kyai dengan sesajian termasuk empat buahnasitumpeng, bubur berwarnatauh (putih, hitam, merah, kuning, hijau, kelabu, dan biru (Hatib, 1960:27). Penggunaan sesajian juga dijumpai dalam upacara selamatan pendirian rumah. Setelah menentukan lokasi tanah untuk didirikan rumah di ahsnya, terlebih dahulu diiakan selarnatanyang disebuttajin senaporan atau bubur penolak bala. Maksudtlya adalah untuk mengatasi pengaruh roh-mh j-ahat yang mendiami tanah agar tidak menggangguproses pendirian rumah maupun saat rumah ditinggali. Dalam proses selanjutnya, diletakkan padi, jagung, dan tanaman pisang berbuah, serta bendera kuningatau merah putih (Moelyono dan Murniatmo, 198411985:123). Dalam acara lain, nasi tumpeng dijumpai sebagai kelengkapan selamatan sesudah pemakaman (mdan) dari tiga, tujuh, empat puluh, seratus hingga seribu hari (Moelyono dan Mumiatmo, 198411985: 121 123). Fenomenatersebut menampakkan kemiripan dengan etnik Jawa. Akan tetapi dalam kaitan dengan ekspresi kultural, pengaruh pangan terhadap etnik Madura dapat dikatakan sangat kering. Darikumpulanungkapantradisionaletnik Madurayang diiimpun Moetyonodan M o e m i i (198411985: 124-126). tidak satu pun mengandung bahanpanganatau makanansebagai bagian dari unsur penyusunnya. Hal ini sangat kontras dengan dengan etnik Jawa yang kaya akan ungkapan tradisional yang mengadopsi bahan pangan atau makanan sebagai unsur pembentuk, khususnya berbagai varian padi. Ungkapan tradisonal Madura lebih banyak mencerminkan aspek religiositas, adat, serta beberapa aspek kehidupan sehardhari, tetapi tanpa memasukkan elemen bahan pangan di dakrmnya. Ungkapantradisional tersebut antara fsb7 abantalsadat, sapofman, papayungAllah, dan -fa1 omba'asapo angen). Di antara sedikit
-
pengaruhbahanpangan dan makananterhadap ekspresi kultural, salah satunya tampak dalarn narna permainan anak-anak Madura yang disebutBbb&an, yang berasald& kata obi, yang berarti ubi. Parmainan ini b w n y a diadakan di luar rumah pada saat terang bulan khususnya pada musim kemarau (Soekawati, 1960:99). PERBANDINGANJAWA DAN MADURA Baik etnik Jawa maupun etnik Madura mengenal bahan panganyang dapat dikatakan sama, seperti tampak dalam ha1beras, jagung, dan ketela. Namun demikian, dalam kdudukan sebagai bahan pangan pokok, secara umum masing-masing mempunyai sejareh dan signifikansi yang relatif berbeda di kalangan kedua kelompok etnik. Beras diadopsi sebagai bahan makanan pokok pada masa pra-kobnial, terbukti dari kedudukan wilayah Besuki (Blambangan) sebagai lumbung padi pada masa Majapahit. Pada masa kolonial Belanda dan Jepang peranan Besukisebagai lumbung b r a s terus berlanjut (Nawiyanto, 2003:94-100). KontinuitasposisiBesukisebagailumbung beras pada masa kolonial tidak terlepas dari berlangsungnya migrasi etnik Jawa ke wilayah ini yang berlangsung sejak akhir abad ke-19 (Nawiyanto, 2009: 182-183). Sementara itu, gdopsi jagung dan ekspansinya di kalangan etnik Madura di Besuki baru berlangsungpada masa kdonialBelanda. Hinggatahun 1950-anjagung masih menjadi k h a n makananpokok di kalangan etnik Maduradi Besuki. Surveiyang dilakukan pada 1954denganjdas menunjukkanbahwa 50 % penduduk Jember dan 25 % penduduk Siubondo menjadikan jagung sebagai makanan pokok. Jagung dicampur dengan beras sebagai tambahan, dikonsumsi oleh 30 % penduduk Jember, 60 % penduduk Bondowoso dan 62 % penduduk Situbondo (Nawiyanto dan Andang, 2011:17). Perbedaan menonjollainnyaterkait dengan tingkatan pengaruh bahan pangan dalam ekspresi kultural. Di kalangane t n i JElwa pengaruh tanaman dan bahan pangan dabm berbagai bentuk ekspresi kultural tampak sangat kaya. Tarraman dan bahan pangan dimaknai dalam
Hum*,
I*
-
Vd. 23, No. 2 Juni 2011: 125 139
periode yang sama area penanaman padi di bresidenan Besuki meningkat sekitar 70,000 hektar (Nawiyanto, 2003:95,103). Di Madura sendiri perluasan tanaman padi atau yang diistilahkan Kuntowijoyo sebagai "proses pem berasan", tidak terlepas salah satunya dari introduksi pomp air untuk pertaniandan djtemukannya berbagai varietas padi berusia pendek (Kuntowijoyo, 1991:21). Berkurangnya areal penanaman jagung rnencerrninkanbergesemyapreferensikonsum si makanan pokok di kalangan orang Madura. Posisi jagung sebagai' makanan pokok mulai digeser oleh beras. Pergeseranini dapat dikenali dengan membandingkan dua fenomena yang bertolak belakang kecendenmganya. Disatu sisi jumlah penduduk etnik Madura terus bertambah besar dan kebutuhan pangan tentu mengalami peningkatan pula. Pada sisi lain, penanaman jagung justru mengalami kernemsotan luasan arealnya dan sebagai konsekuensi, kuantitas produksijagung juga tcmrn. Mempertimbangkan hal-ha1demikian, maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan pangan orang Madura dicukupi dengan konsurnsibahanpangannonjagung, dan dalam ha1ini beras. Pergeserankonsumsi bahanpangan pokok dari jagung ke beras di kalangan orang Madura secara jelas tercermin dalam hasil penelitian Sasmita dkk. (2004:21) rnengenaietnik Madura di wilayah eks-Karesidenan Besuki. Dalam laporandikatakan bahwa: "Merekayang lahir sesudah tahun 1980 umumnya sejak awal mengkonsumsi beras sebagai bahan makan pokok....mereka lebih memilih nasiputih (beras)....karena nasijagung rasanya lebih kasar, lebih keras, dan kurang enak".... Nasijagung mereka anggap sebagai selingan saja, dan sangat jarang." [Apalagi] dalam berbagaikesempatan makan di luar (misalnva warung. depot, atau dalam suatu pesta)mereka hampir selalu hanya menemukan nasi beras, dan sangatjarang menemukan nasijagung."
Mengenai pergeseranke beras di kalangan etnik Madura di Pulau Madura, seorang sejarawan terkemuka yang ahli mengenai Madura, Kuntowijoyo (1991:22) melukiskan, Wrung-
warung di Madwa &arang inijuga sudah tldak lagi menyed'ikanmakamjagungbtapi nasi...". Selain karena perubahanekologii, p q p e r an konsumsibahan makananpokok darijagung i t dengan ke berasdi kalanganmnglbbdumW sejumlah faktor. Secara ekonamis kebijakan pemerintah menyediakan subsidi sarana produksi (pupuk dan pestisida) serta mematok harga b r a s di pasaran, ymg ditapang pula dengan kebijakan impor bras berhasilmenekan secara maksimal fluktuasi musiman harga beras. Dengan demikian harga beras menjadi relatif stabil dan, yang tidak kalah pentingnya, dapat tejangkau daya beli rakyat kebanyakan termasuk kalangan orang Madura. Kombinasi berbagai kebijakan menjadi insentif pentingyang mendorong berlangsungnya peralihan pola makandengan bems sebagaikomponenpangan utama (Van der Eng, 1993:17). Darisudut pmgolahan, beras mempunyai kelebihan dari segi waktu dan kemudahandalam prosespenyiapan dibandingkan denganjagung yang membutuhkan waktu lebih lama serta kompleks. Di Madura sendiri pergeseranke beras terkait pula dengan lokasi Madura yang dekat dengan Jawa dan dengan adanya arus migran Madura ke Jawa yang pada saat mudik biasanya membawa beras dan memperkenalkan budaya hems ke tempat asalnya (Kuntowijoyo, 1991:21). lbarat terinfeksi "virus", standar pangan Madura lambat laun begeser darijagung ke beras. Dari sudut sosiologis, konsumsi beras dipandang mempunyai prestise lebih tinggi ketimbang jagung. Beras rnempunyai kedudukan istimewa. Meskipun ada masa jagung menjadi rnakanan pokok sehari-hari, "untuk keperluan upacara, selamatan, atau mantu, standamya tetap beras" (Kuntowijoyo, 199120-21). Jagung agaknya tidak jauh berbeda dengan gaplek. Secara simbolis konsumsijagung seperti halnya gaplek sebagai komponen pokok diet sering dianggap dalam masyarakat Indonesiadi masa lampau sebagai pertanda kemiskinan (Booth, 1998:322). Halsenada secara eksplisit ditegaskan pula dalam sebuah pemyataanyang muncul ' sekitar 60 tahun yang silam, "pergantian beras dengan ubi-ubian itu didalam makanan rakjat
'
dimaksudkan mlakukw untuk tanda
dalam j*
dengan lingkungan sosio-ekonomi yang lebih luas. Adopsi darn pergeseran makanan pokak dapat bwkmgsungsemra pertahan-lahan dalam jangka waMu yang panjang, tetapi juga m t balangsungdakam rentangwaktu relatif t. Pergaswan ke beras di kalangan etnik Mzedwra di bsuki secara jdas memperlihatkan kuatnysl pengaruhrevolusihijauyang diprakah perm rintah Orde Baru lewat pembangunan sarana irigasi yang membawa perubahan ekologisdan pola produksipangan. Perubahanpola produksi membawa perubahan dalam pola konsumsi pangan dari jagung ke beras, yang dinilai lebih m p a t dan praktis dalam penyiapan. Lagipula sejak revdusi hijau, persediaan bahan pokok beras dengan harga tejangkau menjadi lebih tetjamin dibandingrnasa sebelurnnya yang sering langkadanrnahal. Semuanya ini menjadiinsentif menarik bagi orang Madura yang biasa makan jagung beralihke beras.
Kantor P w k e b ~ r n . 1953. ~ ~ . "Peladjaran h w i Ahncwi Serah jabosan J w a h r don 'Ibnoh Kerajam. Jakarta:ANRI. Kitder, PamelaC. dan Ka&p I! S d m r . 2008. Food and
-woTfh. PangM Mok di
Madun", Rmgm. 2 (9) &ti). Lury, C. 19%. BUdO)RI K o m m . Jabw Yipam ObOr -I Mwdhmii. 1980. Mfmh dan Sdoh 6ahm~ Jes of the Madume", Nawiyanto dan Andang Subaharianto. 20 l I.fangan, dabm KeesmDijk, Huubd e b d a n EllyTouwenMakan dan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: Bouwsrna (ed). Across Mudura Strait: Dynamic of an Galarlgpress. Insular Society. Leiden: KlTLV Press. Pearson, S.R dan W.f? Falcon. 1984. "Cassava andJaw'@, De Stoppelaar, J.W. 1925. "Een paarAanteekeninganover dalam The Cassava Economy oflava. California: Banjoewmgi", Kbloniaal Tjdschrift. Stanford University. Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri. Priyayi Dalam Santosa, Edy dan DenyWbisono. 2004. Cerita R a w &ri Masyarakat)ma. Jakarm PustakaJaya. )ember. Jakarta: Glasindo. Hafid, J.O.S. 2001. Perlawanan Petani: Kasus Tanah Sasmita, Nurhadi, Andang Subaharianto, dan Nawiyanto. lenggawah. Bogor: Latin. 2004. " M a n a n Pangan Datam Pmpekdf BudHatzaEngineeringCompany International. 1973."Proyek Eksplorasi Pandangan Maryarakat Madm tmmg lrigasi Sampean Baru Kabupaten Bondowoso & Pangad'. Lapran h h t i a n . JembwFakultas S9stra. Situbondo Propinsi Jawa Timur". Laporan Sumi. senangun, Harpno. 1991. hnyakit-penyukit T m m n Jembec AGRAR-UND Hydrutechnik. Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Hatib Ws. 1960."Mengenal Pemberontak Madura Ma'na Univetsity Press. Lesap", Adat Istiadat &n Tkrita &&jar, Brosur No. Sjafei, M. 1949. "Soal Berm di TaMh Indonesia", Pertunian 3. D m D j t a n KebudajaanDep. PP dan K Ra'iat, 4,5. Mingga, Mocharnmad Choesni. 1987. Asas finggoisme Soebroto. 1941. " h Tikoes", Pelita Gni. 3(8). Nenek Moyang Surabaya: Anta Riksa. Saekawati, Siti. 1967. "Dw Buah Permainan Anak-Anak Hutabarat, A. 1974. Usaha Mengatmi W s 6eras. Jakarta: Madura", Adat-Istiadat dun TbritaRu&@, h r No. Lembaga Pendidikandan KDtlsultasi Pers. 3. Djakarta. Djjawatan Kebudayitn Dep. PP dan K.
Nawiyanto, Konsepsi Sosio Kulfuml &is J a m dan M8dm di Eks-n
Soepanto dan H.J. Wibowo. 19W1986. Ungkqpan Trdsional sebagai Sumber InwM khdayaan Daerah lstimewa Yogyakrlcb%jakart.~):. Proyek lnventarioasi clan Dasrah, Depamen P e n d U ' i dm Kekhpan. Soemandono.1960. " Upadjara Adat Jq Diadakan Pada Waktu Ada M l x h M j d i Jc@kar@iw. Sollewijn GelpkepJ.H.F.
&wki W n g
Sumto, D j o b clan Rvsudi Supeylan, 1989. Makarwn W d i I-iadan
Sodal&rda)Rnya",ddamSeci~D.~pdan
Ane~n.'lrd 2 No.9. Tsmrrahill, Reay. 197%Food in History. N
m YcKlc Stein
w. Umiati N S dan AFT Eko Sraanta 1990/1991. Ma+la and
Penduduk Hindia
Ptnpoaitan TradiSionaI Dcreroh jowo Timur. J&am DirelanratSejaah dan N iT r a d i i , Depertemen PendWh dan W a y a a n . hderEng, P i i . I 9 9 6 . ~ h l ~ i n I ~ : Productivity Chclnfa? and Mcy Imp& skKc 1880. Bzrrillgsch FbcMilbn, 1995,
samperansystemof~ Java*'.U n p u M i PhDThesis, UnhmityofHawai. Suryadi A.G., Unus. 1995. Don' Pujangga ke is^. yogylhmmpelajar.
Pengkalian dan P m b i n m NNal-Nil& Budaya, Diwktorat Sejarah dan PliU T r a d i . Zwwd Imron,D. 1993.Grit0 Rakpt dariMebra*Jhrm Gadndo.