Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
KONSEP WINDGENERATED HOUSING PADA DAERAH PANTAI SEBAGAI STRATEGI UNTUK MENDINGINKAN SELUBUNG BANGUNAN Aulia Purnamasari*1, I Gusti Ngurah Antaryama**2, Bambang Soemardiono***3 1 Student School of Architecture and Design, Institute of Technology Sepuluh Nopember Surabaya(ITS), Surabaya, Indonesia, 2,3 Lecturer School of Architecture and Design, Institute of Technology Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Surabaya, Indonesia, * E-mail:
[email protected] ** E-mail:
[email protected] *** E-mal:
[email protected] Abstrak Permasalahan desain mengenai kenyamanan termal dalam bangunan muncul ketika dihadapkan pada suatu daerah yang memiliki kondisi iklim dengan suhu tinggi, salah satu daerah yang memiliki karakteristik tersebut adalah daerah pantai.Salah satu strategi desain untuk mengurangi suhu di dalam bangunan adalah dengan memanfaatkan angin untuk mendinginkan permukaan bangunan. Kulit bangunan selalu dikaitkan dengan kenyamanan termal dalam bangunan karena kulit bangunan merupakan media perantara panas pada luar dan dalam bangunan.Bentukan-bentukan foldingdiharapkan dapat menciptakan turbulensi pada permukaan selubung bangunan, sehingga permukaan selubung bangunan tidak mudah panas. Ketika permukaan selubung bangunan tetap dingin, maka kenyamanan termal dalam bangunan dapat terjaga. Metode yang digunakan dalam paper ini adalah metode folding architecturesebagai teknik pencarian bentuk yang paling ideal dalam pengendalian suhu termal dalam bangunanpada bangunan di daerah pantai.Hasil dari perancangan ini adalah sebuah preposisi kampung nelayanmenggunakan teknik folding sebagai strategi adaptif terhadap potensi angin dengan kecepatan tinggi di daerah pantai. Kata kunci: daerah pantai, kampung nelayan,kenyamanan termal, folding architecture. 1.
Latar Belakang Permasalahan utama dalam perancangan bangunan pada daerah pantai adalah suhu udara yang rata-rata relatif lebih tinggi, sedangkan potensi iklim yang dapat dimanfaatkan adalah daerah pesisir yang memiliki kecepatan angin tinggi.Permasalahan mengenai meningkatnya teperatur udara pada daerah pantai memiliki kecenderungan untuk mendesain bangunan yang memperhatikan thermal performance sebagai adaptasi dalam rangka menciptakan kenyamanan termal dalam bangunan.Desain bangunan yang adaptif terhadap kondisi tersebut merupakan strategi desain yang dapat digunakan untuk menciptakan kenyamanan termal dalam bangunan. Kondisi bangunan pada daerah pantai (khususnya bangunan hunian) saat ini hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan sebagai bangunan yang dapat memberikan perlindungan pada manusia terhadap hujan dan panas, serta memberikan ruang untuk manusia melakukan aktivitas, tetapi tidak memperhatikan kenyamanan terhadap faktor-faktor iklim yang ekstrim yang menjadi karakteristik iklim di daerah pantai. Hal ini dapat terlihat pada material yang digunakan pada beberapa bangunan rumah nelayan yang masih menggunakan material sederhana. Beberapa rumah panggung yang berada di atas air menggunakan material kayu dan seng sebagai dinding, serta asbes sebagai atap bangunan. Dengan kondisi demikian, kenyamanan termal dalam bangunan tidak dapat tercapai. Terdapat 2 prinsip dasar untuk mendesain kampung nelayan dalam penelitian desain ini, yaitu adaptive architecturedan folding architecture. Dalam buku “Climate change adaptation by design: a guide for sustainable communities” oleh Colley and Connell (2007) dijelaskan strategi desain bangunan adaptif dipengaruhi oleh lokasi bangunan tersebut akan dibangun. Ditinjau dari lokasi 249
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
perancangan bangunan yang dilakukan pada paper ini berada pada daerah pantai, maka strategi desain adaptif yang dilakukan untuk mengatasi berbagai dampak iklim yang terjadi dalam skala lingkungan dan bangunan. Strategi desain adaptif dalam paper ini berfokus pada strategi adaptif untuk mengatasi suhu udara yang tinggi dan strategi adaptif untuk mengatasi kecepatan udara yang tinggi. Strategi adaptif untuk mengatasi suhu udara yang tinggidapat dilakukan dengan memperhatikan desain mengenai bentuk massa bangunan, thermal mass dan cross ventilation. Sedangkan strategi adaptif untuk mengatasi kecepatan udara yang tinggi dapat dilakukan denganmengontrol pergerakan angin dapat dilakukangan dengan perancangan unsur-unsur bangunan dalam orientasi bangunan, tinggi bangunan, lebar bangunan, overhang, permukaan atap, dan bentuk arsitektur lain tanpa pengaruh faktor lingkungan (Boutet, 1987). Dalam paper ini akan dijelaskan konsepfolding architecture sebagai teknik menciptakan turbulensi angin sebagai stategi desain adaptif terhadap potensi iklim mikro pantai dengan kecepatan angin yang tinggi untuk mendinginkan selubung bangunan. Semakin banyak bagian yang dapat menciptakan turbulensi angin maka semakin besar kemungkinan permukaan bangunan yang didinginkan, dengan demikian kenyamanan termal di dalam bangunan dapat tercipta dengan baik.Memaksimalkan area turbulensi angin pada bagian-bagian bangunan dengan teknik folding ini adalah strategi adaptif untuk mendinginkan permukaan bangunan. Sesuai dengan jurnal arsitektur Origami – Folded Plate Structures, Architecture (Buri and Weinand, 2008), bentukan dasar sebuah lipatan adalah lipatan pararel yang mengombak membentuk gunung dan lembah yang sering disebut dengan parallel corrugations.
Figure 1 Basic folding is a corrugation of parallel mountain and valley folds (Buri and Weinand, 2008) Bentuk lipatan pararel bisa bermacam-macam, perpanjangan luasan adalah parameter utama yang menjadi karakteristik lipatan paralel. Arah perpanjangan dan besarnya luasan lipatan dapat bermacam-macam: lurus, bengkok, lengkung tidak beraturan ataupun berbentuk poligonal. Dengan sudut gunung dan lembah yang berbeda-beda menentukan arah lipatan. Beberapa variasi bentuk lain juga dapat diaplikasikan untuk mendapatkan luasan yang bebeda pada tiap satu parallel corrugation. Semakin kecil sudut yang terbentuk maka semakin besar luasan bidang yang didapatkan dan semakin tinggi jarak vertikal yang dihasilkan. 2.
Metode Perancangan Metode perancangan yang digunakan dalam paper ini adalah teknikfolding architecture sebagai metode kreatif untuk mendapatkan ide desain solutif. Dalam buku Design Methods oleh Jormaka, dikatakan bahwa folding merupakan teknik untuk mentransformasikan bentuk. Sesuai dengan Sophia Vyzoviti dalam buku Folding Architecture(2004), berdasarkan kedinamisan bentuk serta kefleksibelannya, fungsi dari folding tersebut dapat diartikan sebagai generator perancangan dengan fase-fase transisi. Empat fase perancangan tersebut adalah:
250
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
Figure 2
ISSN: 2442-9082
4 phase of folding architecture design (Vyzoviti, 2004)
Tahap pertama metode ini adalah mentransformasikan bentukan-bentukan folding ke dalam keadaan yang lebih bermassa sesuai dengan kriteria perancangan. Kemudian pada tahap selanjutnya melakukan ekplorasi lebih lanjut terhadap bentukan geometri yang di dapat dari proses sebelumnya. Tahap terakhir dimaksudkan untuk menyertakan kelengkapan arsitektural kedalam diagram yang mengenalkan material, program, serta konteksnya. 3. Analisa Pembahasan 3. 1. Tinjauan Tapak Rancangan Objek rancang terletak pada salah satu kampung di daerah Pantai Kenjeran yang berada di tepi pantai dan berbatasan langsung dengan laut. Batasan objek rancang dalam tesis ini adalah merancang kawasan dalam satu RT sebagai sampel desain alternatif rumah nelayan yang adaptif terhadap iklim mikro daerah pantai. Luas area lahan yang menjadi objek rancang adalah ±18.000m2. Kondisi rumah yang dihuni oleh para nelayan dapat diklasifikasikan menjadi dua kondisi sesuai dengan material yang digunakan sebagai selubung bangunan: Table 1 Tabel kondisi hunian di kampung nelayan Sukolilo Lor, Pantai Kenjeran, Surabaya. Bangunan Panggung di Atas Air Bangunan di Atas Tanah
Atap
Dinding
Pondasi
Sebagian besar rumah panggung yang berada di atas air menggunakan atap seng gelombang, dibeberapa rumah juga ditemukan atap asbes. Dinding rumah menggunakan material papan kayu(tripleks), beberapa juga menggunakan anyaman bambu sebagai dinding. Pondasi rumah panggung yang berada di atas air menggunakan batang bambung yang ditancapkan langsung ke dasar pantai, tanpa menggunakan umpak.
Sebagian besar rumah yang berada di atas tanah menggunakan material genteng sebagai atap. Terdapat baberapa rumah masih menggunakan atap asbes. Sebagian besar rumah menggunakan bata merah sebagai material dinding. Pondasi rumah menggunakan pondasi menerus batu kali.
Topografi area tapak merupakan dataran rendah dengan ketinggian tanah berkisar antara 23meter di atas permukaan laut dan kemiringan 0-2%. Karakteristik air lautnya sangat tenang (tidak berombak) dan saat terjadi pasang, ketinggian air dapat mencapai 1,5meter hingga 3meter 251
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
sedangkan saat surut mencapai 0,1 hingga 1,5 meter. Pada bagian timur tapak terdapat batas antara pantai dengan darat dengan ketinggian 2 meter dari permukaan laut.
Figure 3
Lokasi kampung nelayan di daerah kenjeran Surabaya. (sumber : Google Earth, imagery 2015)
3. 2. Analisa Angin Tapak
Figure 4
Data statistik arah dan kecepatan angin yang diobsevasi pada 01/2012 - 02/2015 setiap hari dari pukul 07.00 hingga 19.00 (Sumber: http://www.windfinder.com/windstatistics/surabaya_perak_Ii)
Sebagian besar bangunan pada area tapak merupakan bangunan rumah tinggal dengan ketinggian satu lantai, maka penyebaran aliran udara merata pada setiap bangunan tanpa terhalangi bangunan lain. Selain itu pada tapak juga mendapat angin yang berasal dari akses menuju laut yang membentuk lorong, sehingga kecepatan angin pada bagian ini lebih kencang. Analisis mengenai arah angin pada tapak, menentukan bentuk bangunan pada kampung nelayan. Sesuai dengan ide perancangan yaitu angin membantu pendinginan pada permukaan bangunan.Sehingga desain pengendalian termal di dalam bangunan didesain berdasarkan arah angin dan kecepatan angin yang terjadi pada tapak. Konfigurasi tatanan masa pada kampung nelayan ini didesain sesuai dengan arah angin pada siang hari untuk mendinginkan permukaan bangunan.
Figure 5
Lokasi kampung nelayan dengan potensi arah agin (sumber : Google Earth, imagery 2015) 252
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
4.
Pengembangan Konsep Folding Architecture pada Daerah Pantai Metode folding dalam paper ini dilakukan dengan menggunakan maket model dan bantuan software untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Berikut merupakan hasil ide rancang yang dilakukan sesuai dengan kriteria rancang: 4. 1 Fungsi konsep foldedpada bentuk bangunan
Figure 6
Bentuk bangunan akibat perlakuan folding dapat menciptakan putaran udara pada permukaan bangunan.
Bentuk bangunan mempengaruhi perilaku gerak angin pada bangunan, dengan membuat lipatan pada bangunan dapat menyebabkan turbulensi angin pada permukaan bangunan. Hal ini menjadi penting karena angin membuat permukaan bangunan tidak mudah panas. Arah angin yang terjadi pada tapak pada siang hari berhembus dari arah timur laut. Bentuk atap banguanan mempengaruhi perilaku angin yang terjadi. Konfigurasi atap-atap yang membentuk lereng dan gunung menjadi potensi angin untuk membentuk turbulensi pada bagian tersebut.
Figure 7
Turbulensi angin pada permukaan bangunan
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku angin pada kampung nelayan adalah ketinggian bangunan. Setelah melakukan analisa mengenai luasan bangunan yang diperlukan untuk satu unit rumah, luasan bangunan dapat didesain sesuai dengan kebutuhan ketinggian bangunan. Dengan demikian angin dapat diarahkan dan dibelokkan sesuai dengan kebutuhan pendinginan pada tiap bangunan.
253
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
Figure 8
ISSN: 2442-9082
Tinggi bangunan mempengaruhi arah angin.
4. 2 Eksplorasi bentuk bangunan Kriteria rancangan sesuai dengan bagaimana bentukan geometri bangunan dapat mengarahkan angin ke seluruh bagian paremukaan bangunan. Perbedaan tinggi bangunan membuat seluruh permukaan bangunan dapat dilewati angin secara maksimal, dengan demikian pendinginan pada permukaan bangunan dapat dimaksimalkan dengan baik.
Figure 9
Seluruh selubung bangunan terlewati angin.
254
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
4. 3
ISSN: 2442-9082
Konteks
Figure 10
Membuat turbulensi angin pada tapak, sehingga tapak mendapatkan angin secara maksimal untuk mendinginkan permukaan bangunan
Kriteria rancangan sesuai dengan konteks lokasi tapak adalah bagaimana membuat turbulensi angin pada tapak, sehingga tapak mendapatkan angin secara maksimal untuk mendinginkan permukaan bangunan.Tatanan massa bangunan kampung nelayan ini merupakan proses yang menggambarkan antara pergerakan angin dengan tinggi bangunan sehingga tapak mendapatkan angin secara maksimal. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menentukan posisi dan tinggi bangunan pada tapak, kemudian mengaplikasikan metode folding pada hubungan antar massa pada tapak. Setelah itu, perlakuan folding kembali dilakukan untuk mendapatkan luasan yang lebih besar. Dengan bentukan segitiga pada bagian atap memiliki banyak keuntungan untuk membuat turbulensi di beberapa bagian bangunan dan menciptakan pembayangan, sehingga kenyamanan termal dalam bangunan dapat dapatkan secara maksimal. 5.
Kesimpulan Daerah pantai memliki karakteristik iklim mikro dengan kecepatan angin tinggi dan suhu udara yang rata-rata relatif lebih tinggi pula. Konsep folding architecture dilakukan dengan pemanfaatan angin sebagai unsur iklim yang dapat mendinginkan permukaan bangunan dengan menciptakan turbulensi angin pada permukaan selubung bangunan.Sesuai dengan pernyataan Boutet (1987),mengontrol pergerakan angin dapat dilakukangan dengan perancangan unsur-unsur bangunan dalam orientasi bangunan, tinggi bangunan, lebar bangunan, overhang, permukaan atap, dan bentuk arsitektur. Maka kriteria perancangan bangunan daerah pantai dengan konsep folding yaitu merancang bentukan-bentukan arsitektur yang adaptif terhadap iklim pantai untuk menciptakan turbulensi pada permukaan selubung bangunan, sehingga permukaan selubung bangunan tidak mudah panas. Pemanfaatan angin dalam desain bangunan di daerah pantai ini dilakukan dengan memperhatikan 2 skala perancangan, skala bangunan dan skala kampung. Dalam sekala bangunan, metode folding dilakukan untuk mendapatkan turbulensi angin sebesar mungkin sehingga 255
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
kenyamanan termal dalam bangunan didapatkan secara maksimal. Dalam skala kampung, ketinggian bangunan merupakan aspek penting untuk menciptakan turbulensi angin pada setiap bangunan. Kecepatan angin dan arah angin menentukan bentuk bangunan, sehingga permukaan bangunan tidak mudah panas dan dapat mendinginkan bangunan secara maksimal. Daftar Pustaka Frick, Heinz, 2006.Dasar-dasar Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: KANISIUS Frick, Heinz, 2007.Ilmu Fisika Bangunan. Yogyakarta: KANISIUS Frick, Heinz, 2007.Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: KANISIUS Shaw, R., Colley, M., and Connell, R., 2007.Climate change adaptation by design:a guide for sustainable communities. London: TCPA. Boutet, Tery S., 1987.Controlling Air Movement Manual for Architect and Builders.USA: Mc Graw-Hill Book Company. Mark Snow and Deo Prasad, 2011. Climate Change Adaptation for Building Designers: An Introduction, EDG 66 MSa: February 2011, pp 2.
256