KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN PERSPEKTIF ALQUR’AN: SEBUAH KAJIAN TEMATIK Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M. Ag.) pada Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis dengan Konsentrasi Tafsir Oleh: ABUZAR ALGHIFARI NIM: 2113034000020
Pembimbing: Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
JURUSAN TAFSIR TAFSIR PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR Menulis bukan hanya perkara menggorekan tinta, menyusun huruf–huruf sekedar membentuk kata-kata, namun sunyi dari ide dan gagasan yang bermakna. Dengan demikian, maka menulis adalah perkara berat yang melibatkan yang meniscayakan keterlibatan banyak hal, seperti kelengkapan intelektual, ketekunan tanpa keluhan, tunjangan finansial, serta aset kesabaran. Tanpa itu semua, rampungnya sebuah tulisan akan terperangkap dalam genggaman kemustahilan. Itu sebabnya, rasa syukur sedalam-dalamnya serta puja setinggitingginya hanya kepada Allah, akan menjadi nafas dan detak jantung kehidupan penulis seiring dengan selesainya tulisan ini. Alhamdulillah, berkat petunjuk dan ‘inayah-Nya, tesis berjudul, ‚Konsep Universalitas-kenabian Perspektif AlQur’an: Sebuah kajian Tematik‛ ini selesai. Tentu jauh dari kata sempurna, namun inilah apa adanya dari kemampuan maksimal penulis saat ini. Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok yang menjadi tauladan dalam menapaki jalan kehambaan. Semoga, tulisan sederhana nan kaya dengan kekurangan ini menjadi salah satu tanda cinta dan rindu penulis kepadanya, jembatan yang akan selalu menghubungkan antar jiwa untuk sampai kepada Yang Maha Kuasa, amin. Sebagai manusia yang memiliki kekurangan, penulis menyadari tidak mungkin dapat menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian tesis ini. Pihak pertama yang layak mendapatkan apresiasi dari penulis adalah Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA dan DR. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku pembimbing tesis yang selalu setia dan sabar, di tengah kesibukannya yang begitu padat, memberikan masukan dan koreksi sepanjang penulisan tesis ini. Semoga, keduanya selalu dijaga oleh Allah Swt, amin. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak, antara lain:
v
1. Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr. Dede Rosyada, M. A 2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masri Mansoer, M. A. 3. Ketua Program magister (S2) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Atiyatul Ulya , M. A dan Sekretaris progam magister Bapak Maulana, M. Ag. 4. Para dosen yang telah memberikan ilmu dan pencerahan kepada penulis, terkhusus selama belajar di Program Magister Fakultas Ushuluddin, yaitu: Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A, Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A, Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.A, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A, Prof. Masri Mansour, M.A, Dr. Atiyatul Ulya, M.A, Ahmad Najib Burhani, S. Ag. M.A, MSc, PhD, Dr. Akhsin Sakho M. Asyrofuddin, M.A, Dr. Faris Pari, M. Fils, Dr. Edwin Syarif, M.A, Dr. Mafri Amir, M.A, Bustamin, M.S.i, Dr. Sri Mulyati, M.A, Dr. Media Zainul Bahri, M.A. Dr. Faizah Syibromalisi, M.A, dan Prof. Dr. Ridwan Lubis, M.A. 5. Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA., selaku pimpinan Pusat Studi AlQur’an (PSQ), yang telah menggembleng penulis selama mengikuti program ‚Pendidikan Kader Mufassir‛ (PKM) angkatan XI tahun 2015. Begitu juga kepada Dewan Pakar PSQ lainnya, seperti Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Prof. Dr. Thib Raya, M.A, Prof. Dr, HD. Hidayat, MA, Prof. Dr. Yunan Yusuf, MA, Dr. Muchlish Hanafi, MA, Prof. Dr. Hamdani Anwar, Prof. Dr. Amin Suma, MA, Farid Saenong, Ph. D, M.A, Dr. Najela Syihab, Dr. Wahib Mu’thi, MA (alm.), Dr. Ahsin Sakho Muhammad, MA, Dr. Luthfi Fathullah, MA, Dr. Sahabuddin, MA, Dr. Muh. Ulinnnuha, MA, Romli yarqawi, M.A, dan sebagainya. 6. Seluruh pegawai
beserta staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin,
Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan kepada penulis, sehingga memudahkan penulis dalam
vi
menyelesaikan tesis ini. Di samping itu, kepada seluruh pegawai beserta staf di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, dan Fakultas Ushuluddin pada khususnya. 7. Kedua orang tua penulis Ibunda tercinta Halimah dan ayahanda Mahmud, yang selalu mendo’akan dan mengusahakan kebaikan untuk penulis sepanjang masa. Semoga Allah swt. selalu menjaga dan memberikan rahmat kepada keduanya, amin. 8. Keluarga besar penulis, Uwo Ahmad Masy’ari, M.A.Hk, Anga Ahmad Redho, M. Kep, Nurs, M. Irsyadul Fikri, Etek Siti Zamroti dan Apak Abdullah, serta seluruh keluarga besar penulis yang selalu mendo’akan dan memberikan semangat penulis. 9. Teman-teman seperjuangan selama belajar di Program Magister Fakultas Ushuluddin, terkhusus angkatan ke-3; Bang Khumaidi,
Ainun Najib,
Ceceng Muhajir, Aidil Fitriwan, M. Zibad, Zainal Muttaqin, Zakiyah Muthmainnah, M. Zamri, dan Daswandi, serta semua teman-teman di fakultas Ushuluddin. 10. Teman-teman diskusi Komunitas Atap Langit (KOALA); Bung Yes, Bung Rori, Uda Alven, Uda Hepta, Mas Ucup, Angga, Awfa Munawwar, Zamri, serta anggota seperjuangan KOALA lainnya. Penulis mengharapkan kepada Allah Swt. agar pihak-pihak yang telah membantu penulis, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis dibalas oleh Allah Swt. dengan kebaikan yang berlipat. Akhirnya hanya kepada Allah Swt. penulis memohon petunjuk dan berserah diri semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal kebaikan bagi penulis,
âmîn... Jakata, 26 Januari 2017 Penulis, Abuzar Alghifari
vii
ABSTRAK KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN PERSPEKTIF ALQUR’AN: SEBUAH KAJIAN TEMATIK Tidak dapat dipungkiri kemuliaan Nabi Muhammad sebagai nabi Islam. Namun
kemuliaan
kenabian
itu
dipolemikkan
apakah
mengatasi
dan
mendelegitimasi kenabian-kenabian sebelumnya atau hanya bersifat ekuivalen. Dalam hal ini, pandangan ulama terbelah kepada dua hal; kenabiannya bersifat ekuivalen atau bersifat hierarkis. Tesis ini menyimpulkan bahwa seluruh kenabian; kenabian Nabi Muhammad dan kenabian-kenabian sebelumnya, bersifat ekuivalen, baik dalam konteks delegasi maupun legitimasi. Dalam konteks historis, seluruh kenabian membawa substansi kebenaran yang bersifat universal namun mekanisme implementasinya secara absolut terproyeksi secara partikular. Dengan demikian, kenabian Nabi Muhammad yang diyakini bersifat universal adalah dalam arti tidak
bersifat
eksklusif
dan
delegitimatif
terhadap
kenabian-kenabian
sebelumnya. QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 sebagai prinsip utama dalam pendelegasian para nabi mengimplikasikan pemaknaan bahwa ayat-ayat seputar pendelegasian para nabi hanya sekedar narasi al-Qur’an terkait pentingnya peran bahasa dalam komunikasi (al-balâgh al-mubîn) pesan Tauhid
sebagai misi utama mereka.
Sehingga, nalar interpretasi limitatif (pembatasan) yang melihat kata-kata seperti al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, dan ‘Âlamîn, seakan kontras dangan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan Banî Isrâ‘îl, merupakan suatu hal yang harus dihindari. Penelitian ini mendukung Muhammad Abduh, Rashîd Ridâ, Kautsar Azhari Noer, Abû Ja’far al-Tûsî (w. 460/1067), Abd al-Jabbâr al-Hamadânî (w. 415 H/1025), serta Fred Donner (2010), yang berpandangan seluruh kenabian bersifat setara dalam status pendelegasian karena itu tidak boleh dibeda-bedakan. Seluruh agama memiliki titik temu pada dimensi esoterik meskipun berbeda pada aspek eksoterik karena tuntutan perbedaan konteks ruang dan waktu. Penelitian ini juga tidak sependapat dengan al-Tabarî, Ibn Katsîr, al-Qurtubî, al-Jîlânî, al-
viii
Râzî, Ibn ‘Âshûr, al-Suddî, Maulana Walid Khan, al-Marâghî, serta Quraish Shihab, yang berpandangan bahwa kenabian Muhammad bersifat universal sedangkan kenabian-kenabian sebelumnya hanya bersifat komunalistik-parsial. Sumber primer penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an yang secara tematik berkenaan dengan pengutusan Nabi Muhammad serta karya-karya tafsir sebagai respon atau pandangan para tokoh terhadap pembahasan inti penelitian ini. Sumber sekunder adalah karya-karya ilmiah lain yang berkaitan dengan objek formal dan objek material penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif melalui metode interpretatif, dengan menggunakan pendekatan dilâlat al-alfâz dalam usûl al-fiqh, semantik, dan hermeneutik. Semua pendekatan disinergikan untuk mendapatkan gagasan yang komprehensif dan kontekstual.
ix
ABSTRACK Universality of Prophethoods be upon them in the Qur’anic Perspective: a tematic studies This thesis concludes that the prophethood of Muhammad is equivalent to the previous prophetics, both in the context of the delegation as well as legitimacy. QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 as a core principle in the delegation of the prophets implies meaning that all of verses of the koran that closely related with the delegation of the prophets just a narrative of the Koran on the significance of the role of language in communication (albalâgh al-mubîn) of message of Tauhȋd as the primary mission of them. Thus, the diversity of reasoning interpretation that sees some words like al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, and the al- Âlamîn, contrast with some words like Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, and the Banî Isrâ‘îl, is a matter that should be avoided. This study supports Muhammad Abduh, Rashîd Ridâ, Kautsar Azhari Noer, Abû Ja’far al-Tûsî (w. 460/1067), Abd al-Jabbâr al-Hamadânî (w. 415 H/1025), and Fred Donner (2010), who hold that the entire prophetic delegation is equivalent in level should therefore not be differentiated. All religions have a common ground on the different dimensions of esoteric despite the exoteric aspect because the demands of space and time differences. Meanwhile, this study does not correspond with the opinion of al-Tabarî, Ibn Katsîr, al-Qurtubî, al-Jîlânî, al-Râzî, Ibn ‘Âshûr, al-Suddî, Maulana Walid Khan, al-Marâghî, serta Quraish Shihab, who said that the prophethood of Muhammad is universal while the prophethood of others is only partial. A primary source of this study is verses of the koran that closely related with the main topic that is delegating the prophet Muhmmad be upon of him and the books of tafsir as opinions of the interpretators to this topic. A secondary source is other academic works, relating to the formal and material objects of the research. This research is library research. The data obtained are analyzed qualitatively through interpretative method, by using approaches of dilâlat al-alfâz, semantic, and hermenutic. All of them will be synergized to get a comprehenensive idea and contextual.
x
ادللخص مفهوم عالمة نبوات األنبياء عليهم الصالة والسالم في ضوء القرآن :دراسة موضوعية وتلخص ىذه الرسالة أن نبوة حممد صلى اهلل عليو وسلم يف نفس ادلستوى مع نبوات اآلخرين من األنبياء قبلو ،سواء يف اإلرسال أم يف التشريع .إن سورة ابراىيم آية 4كادلوقف األساسي يف إرسال األنبياء يلزم أن اآليات يف اإلرسال كلها ال بد أن تفهم كتعبري القرآن يف أمهية وظيفة اللغة يف تبليغ رسالة التوحيد اليت من من أجلها إرسال األنبياء كلهم .إضافة إىل ذلك ،فالعقل التفسريي التقسيمي الذي يرى بعض الكلمات كالناس وكافة للناس والعادلني متضادة ببض الكلمات األخرى مثل قومو ومثود وعاد ومدين وبين إسرائيل ،ال بد من اإلحذار واالبتعاد عنو يف فهم ىذه اآليات. وتدعم ىذه الدراسة حممد عبد ورشيد رضا وكوثر أزىري نور وأبا جعفر الطوسي (ت464 . ه6406/م) وعبد اجلبار اذلمذاين (ت464 .ه6404/م) وفريد دونري ( ،)0464الذين قالوا أن األنبياء كلهم سواء يف اإلرسال ،لذلك حرم التفريق بينهم .إن ادللل كلها تتالقي يف ناحيتها الداخلية وىي رسالة التوحيد ككلمة سواء بينها مع أهنا ختتلف يف ناحيتها اخلارجية مقتضاة من اختالف مطالبة األمكنة واألزمنة اليت يواجهها نيب مرسل .ويف نفس الوقت ،ال توافق ىذه الدراسة مع الطربي وابن كثري والقرطيب واجليالين والرازي وابن عاشور والسدي وادلراغي وقريش شهاب وموالنا وليد خان ،الذين ذىبوا إىل أن نبيوة حممد صلى اهلل عليو وسلم أفضل من نبوات األنبياء صلوات اهلل عليهم أمجعني قبلو ،حيث نبوتو عامة ونبوهتم خاصة. وادلصادر الرئ يسية ذلذه الدراسة ىو اآليات القرآنية ادلتعلقة مبوضوع إرسال النيب حممد صلى اهلل عليو وسلم وكتب التفاسري ادلتضمنة آراء ادلفسرين يف ىذا ادلوضوع .وأما ادلصادر الثانوية فهي ادلألفات العلمية األخرى ادلتعلقة مبوضوع البحث الرمسي وادلادي معا .إن ىذا البحث حبث مكتيب .إن البيانات اليت مت احلصول عليها حتلل حتليال نوعيا من خالل أسلوب تفسريي باستخدام مقاربات دالالت األلفاظ وسيمنطيق وىرميتطيق .وتطبيق مجيع من ىذه ادلقاربات ألجل احلصول على رأي كلي موضوعي يف موضوع ىذا البحث.
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI A. Konsonan Huruf Arab ء ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda َ َ َ 2. Vokal Rangkap Tanda ي... َ و... َ C. Vokal Panjang Tanda ـــا ـــي ــــو
Huruf Latin ‘ B T Ts J H Kh D Dz R Z S Sy S
Huruf Arab ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن ة،ه و ي
Huruf Latin D T Z ’ Gh F Q K L M N H W Y
Nama Fathah Kasrah Dammah
Huruf Latin A I U
Nama A I U
Nama Fathah dan Ya Fathah dan Waw
Gabungan Ai
Nama A dan I
Au
A dan U
Nama Fathah dan alif Kasrah dan ya Dammah dan waw
Gabungan â î û
Nama a dan topi di atas i dan topi di atas u dan topi di atas
D. Kata Sandang (Alif+Lam) Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf ( )الdialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, aldiwân bukan ad-diwân. xii
E. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (ّ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورةtidak ditulis addarûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. F. Ta’ Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta’ marbûtah ()ة terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta’ marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta’ marbûtah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No Kata Arab Alih Aksara طريقة 1 tarîqah 2 الجامعة اإلسالمية al-jâmi’ah al-islâmiyyah 3 وحدة الوجود wahdat al-wujûd (ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafaz aslinya) G. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain nama bulan, nama diri, dan lain-lain. penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindî bukan Al-Kindî). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul
xiii
buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dengan alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ditulis ‘Abd al-Samad al-Palimbânî, Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî. H. Cara Penulisan kata Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas: Kata Arab Alih Aksara ذهب األستاذ dzhaba al-ustâdzu ثبت األجر sabata al-ajru الحركة العصرية al-harakah al’asriyyah أشهد أن ال إله إال هللا asyhadu an lâ ilâ ha illâ Allâh موالنا ملك الصالح Maulânâ Malik al-Sâlih يؤثركم هللا yu‘atstsirukum Allâh المظاهر العقليه al-mazâhir al-‘aqliyyah اآليات الكونية al-âyât al-kauniyyah الضرورة تبيح المحظورات Al-darûrat tubîhu al-mahzûrât
xiv
DAFTAR ISI Judul Lembar Pernyataan Persetujuan Pembimbing Kata Pengantar Abstrak Pedoman Transliterasi Daftar Isi BAB
BAB
BAB
I
II
i ii iii iv vii x xiii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Pokok Permasalahan 1. Identifikasi Masalah 2. Batasan Masalah 3. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian 2. Kegunaan penelitian D. Kajian Pustaka E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian 2. Sumber Data 3. Teknik Pengumpulan Data 4. Metode Analisis Data F. Sistematika Penulisan KENABIAN-KENABIAN DALAM WACANA AGAMA: ANTARA PROBLEM DAN SOLUSI A. Kenabian-kenabian Para Nabi 1. Sketsa biografis dan latar sosial-historis 2. Kenabian-kenabian: atara Hierarkis dan Ekuivalen a. Kenabian-kenabian Perspektif Hierarkis b. Kenabian-kenabian Perspektif Ekuivalen B. Polemik Signifikansi Kenabian dalam Wacana Agama 1. Konstruksi makna kenabian 2. Konsepsi agama
III AL-QUR’AN DAN TRADISI KENABIAN A. Paradigma Kenabian dalam al-Qur’an 1. Tradisi kenabian berlangsung belakangan dari sejarah manusia 2. Ketauhidan sebagai misi setiap kenabian
xv
1 15 15 16 17 17 17 18 19 22 22 23 24 25 28
31 31 39 40 49 56 56 63
81 82 88
3. Setiap nabi diutus dengan bahasa kaumnya 4. Para nabi ditaati atas izin Allah Swt B. Ekuisme Kenabian dalam al-Qur’an 1. Keidentikan di antara para nabi a. Aspek misi b. Aspek ambilinial C. Egalitarianisme Para Nabi BAB
BAB
IV PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG KENABIANKENABIAN A. Ayat-ayat Argumentasi Universalitas Kenabian Nabi Muhammad Saw B. Catatan-catatan terhadap Keyakinan tentang Universalitas Kenabian Nabi Muhammad Saw 1. Ayat-ayat yang multi tafsir 2. Parsialitas kesimpulan 3. Kelaziman bahasa kitab suci 4. Menggeser nalar interpretasi: dari limitative kepada naratif-historis V
PENUTUP: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS
94 99 106 106 107 113 120
125 135 135 147 153 155
166 168 170 179
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai konflik keagamaan―atau yang distigmakan sebagai konflik agama―akhir-akhir
ini
menghiasi
berbagai
media
dan
semakin
memprihatinkan. Tidak hanya bersifat lokal, tapi juga berskala internasional. Tidak terlalu sulit untuk menyebut contoh, mulai dari konflik di Palestina yang tak kunjung berakhir, pecah dan memanansnya konflik di Suriah, penyerangan Saudi di Yaman, hingga konflik dalam negeri seperti insiden di Tolikara, pemboman gereja di Samarinda, penyerangan vihara di Tanjung Balai, pembubaran acara Kebaktian jemaat Protestan di Bandung, huru-hara pilkada Jakarta tentang isu pemimpin non-Muslim, dan sebagainya. Semuanya ini menonjolkan agama yang bersifat ambivalen.1 Di tengah fakta-fakta intoleransi yang kian merebak, dan aktivisme kekerasan atas nama agama dan moralitas yang berlangsung dalam eskalasi yang tinggi, pertanyaan fundamental muncul, ‚Jika tak ramah, melegitimasi intoleransi, kezaliman, dan penindasan atas manusia, apakah agama masih dibutuhkan?‛2 pertanyaan ini direspon dengan sikap yang beragam, seperti justifikasi atas hal tersebut sebagai kehendak suci agama, memilih untuk
1
Agama ditampakkan oleh pemeluknya dengan dua wajah, ramah dan marah. Agama bisa sebagai aturan sebagaimana juga dapat menjadi pemicu konflik. Penampakan yang kontras inilah yang disebut sebagai ambivalensi agama. 2 Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Agama kepada MahaguruPencerahan (Bandung: Mizan, 2011), h. xi.
1
2
ateis (tidak beragama), dan melakukan studi kritis atau reinterpretasi terhadap agama itu sendiri. Dalam perspektif Islam misalnya, di antara studi kritis tersebut adalah reinterpretasi terhadap makna ‚Islam‛, kajian tentang toleransi beragama, pluralisme agama, eksistensi agama pra-Islam, dan sebagainya. Dalam semangat yang sama, penulis berinisiatif untuk melakukan kajian tentang kenabian yang dalam diskursus keagamaan arus utama sering diposisikan sebagai para meter inti dalam menimbang validitas suatu agama, sebagaimana terlihat dalam teori klasifikasi normatif agama kepada agama wahyu dan non-wahyu. Selain itu, sebagaimana ditegaskan Hans Kung, pakar perbandingan agama berkebangsaan Prancis, bahwa tidak ada dialog antar agama tanpa masuk ke pondasi agama-agama,3 maka kenabian sebagai konsep krusial-fundamental dalam wacana agama menjadi semakin layak untuk dikaji. Melalui kajian kritis terhadap konsep kenabian ini diharapkan tergalinya sebuah perspektif baru yang dapat melihat struktur agama sebagai sebuah entitas secara lebih jelas dan proporsional. Dengan ini diharapkan munculnya sikap keberagamaan yang tidak hanya atas dasar emosional belaka, tetapi juga ditunjang oleh sikap yang rasional dan penuh dengan kesadaran terhadap segala perbedaan dalam konteks agama.
Selain itu,
agama yang sering diyakini sebagai sesuatu yang sudah sempurna dan
3
Ibnu Mujib dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog; Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis Teologi Humanis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. I, h. 7.
3
mapan,4 dapat kembali dipahami dalam kerangka objektivitas konteks historis yang mengitari pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam hal ini perbedaan dalam konteks agama menjadi lebih mudah untuk dipahami dan disikapi secara lebih arif dan bijaksana.5 Dalam literatur Islam, kenabian adalah pesan atau informasi khusus yang Allah berikan kepada seseorang di antara hamba-hamba-Nya dan mengistimewakan hamba tersebut dari manusia lainnya,6 sedangkan wahyu adalah pemberitahuan petunjuk oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya secara sembunyi dan cepat (tertutup).7 Dengan demikian, maka Nabi adalah orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya.8 Wahyu-wahyu inilah yang kemudian dipahami oleh sementara pakar sebagai agama.9 Hasan al-Turabi, pemikir dan arsitek utama Republik Islam Sudan, menyatakan ciri utama agama adalah bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia.10 Abdurrahman Badawi, Sarjana berkembangsaan Mesir, menegaskan bahwa menganulir kenabian sebagai dasar berarti menganulir agama itu sendiri.11
4
Agama sering diyakini sebagai sesuatu yang sudah mapan. Lihat, Daniel L. Pals (ed),
Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), h. 1. 5
Keseragaman dapat dimaknai sebagai kekuasaan Tuhan dalam pengertian otoritas-Nya yang absolut, sedangkan keberagaman dapat pula dipahami sebagai kekuasaan Tuhan dalam konteks kreatifitas-Nya yang luar biasa, termasuk dalam perkara agama. 6 Muhammad ibn Khalîfah ibn ‘Alî al-Tamîmî, Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî fî Daw‘ alKitâb wa al-Sunnah (Riyad: Adwâ‘ al-Salaf, 1997), h. 63. 7 []إعالم هللا تعالى من يصطفي من عباده ما أراد من هداية بطريقة خفية سريعة. Lihat, Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. XI, h. 27. 8 W.J.S. Porwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 679. 9 M. Sayuthi, Metodologi Peelitian Agama; Pendekatan teori dan Praktik (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002), h. 1. 10 Lihat, Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis; Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Penerbit Arasy, 2003), h. 14. 11 Lihat, Abdurrahman Badawi, Min Târîkh al-Ilhâd fî al-Islâm (Kairo: Maktabah alNahdah al-Misriyyah, 1945), h. 208.
4
Kenyataan di atas melihat bahwa agama adalah keutuhan dari segala yang lahir dari tradisi kenabian tanpa membedakan antara agama dan syariatnya. Karena itu, dalam perspektif ini sulit untuk menerima keberadaan agama lain lantaran adanya perbedaan konsepsi dan ritual.12 Hal ini kontras dengan apa yang ditegaskan Qatâdah, seorang ahli tafsir terkemuka dari kalangan tabi’in, []الدين واحد والشريعة مختلفة, ‚agama itu hanya satu, jalannya saja yang berbeda-beda.‛13 Dengan pernyataan ini, Qatâdah memperlakukan agama sebagai pesan kebenaran absolut atau ajaran hanif dari Tuhan yang berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah yang beragam, maka kemudian secara eksoterik dan operasional terbungkus dalam struktur budaya dan gaya (style) yang ditempatinya.14 Dengan demikian, bagi Qatâdah perbedaan syariat atau dimensi eksoterik agama bukanlah suatu persoalan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa ilustrasi kenabian dan wahyu di atas, secara sinergis menunjukkan terjadinya komunikasi antara yang Trasenden (Tuhan) dengan yang profan (manusia). Sehingga, tidak heran jika dalam wacana agama istilah-istilah tersebut (wahyu dan kenabian) sering dijadikan sebagai parameter inti dalam menilai validitas suatu agama. Dalam hal ini, agama diasumsikan dengan wahyu-wahyu yang diterima seorang nabi. 12
Komaruddin Hidayat menyebut hal ini dengan istilah kebingungan ‚psikologisteologis‛. Lihat, Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 127. 13 Lihat, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî; Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, Ed. Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, t. th), Jilid VIII h. 494. 14 Jadi, Tuhan yang berada di luar waktu empiris dan substansi agama bersifat transhistoris, ketika ditangkap manusia yang terbingkai waktu empiris, maka ia keluar dari bentuk supraformalnya dan lantas berdialog dan berkompromi dengan nilai-bilai dan simbol-simbol yang bersifat sekuler. Lihat, Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis; Menggungat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Memmbatu (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13.
5
Dengan demikian, maka agama yang benar adalah yang perintisnya dikenal sebagai nabi,15 suatu istilah yang menegaskan terhubungnya seseorang dengan Tuhan sehingga agama yang dibawanya diyakini bersumber dari Tuhan. Padahal, seperti yang ditegaskan Qatâdah di atas, agama dan syariat adalah dua hal yang berbeda. Selain itu, QS. al-Rȗm [30]: 30 secara implisit menyebutkan bahwa agama sama sekali tidak bersumber dari kenabian tetapi dianugerahkan secara langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia.16 Meskipun demikian, signifikansi kenabian dalam wacana agama yang bersifat epistemologis tidak jarang teraktualisasi dalam bentuk teori-teori tertentu. Misalnya, teori klasifikasi normatif agama kepada agama langit dan agama bumi. Agama langit disebut juga dengan agama wahyu (revealed
religion), yaitu agama yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya, sedangkan agama bumi atau yang dikenal juga dengan agama bukan-wahyu (non-revealed religion) adalah agama hasil ciptaan manusia.17 Berdasarkan asumsi wahyu sebagai bukti legalitas suatu agama, maka dengan mudah dapat dipahami bahwa agama bumi atau non-wahyu pada klasifikasi
15
Tuhan dan manusia secara ontologis berada pada hirarki wujud yang tidak setara. Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), hlm. 77-78. Kenabian adalah upaya menjembatani keberjarakan tersebut. Lihat, Wan Zailan Kamaruddin, ‚Konsep Nabi dan Rasul Perspektif al-Qur’an‛. Jurnal Ushuluddin, Universitas Malaya, Bil. 5, Desember (1996): h. 33. 16
‚Maka hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada dîn secara langsung (pure), yaitu fitrah (ketetapan) Allah yang telah menciptakan manusia di atasnya. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah itu. Itulah agama yang teguh, namun sayang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.‛ QS. al-Rûm [30]: 30. 17
Pengertian di atas adalahpandangan Endang Saifuddin Anshari yang dikutip oleh Kautsar Azhari Noer. Lihat, langit dan bumi bersifat sewenang-wenang dan subjektif, karena tidak memiliki nilai ilmiah. Lihat Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-agama,‛ Titik-Temu; Jurnal Dialog Peradaban, vol. 3, no. 2 (Januari-Juni 2011): h. 72.
6
di atas dipandang sebagai kategori agama yang ilegal, tidak sejati, atau tidak benar.18 Ahmad Abdullah al-Masdoosi, seorang sarjana Muslim Pakistan, sebagaimana dikutip oleh Kautsar Azhari Noer, memaparkan tujuh perbedaan utama antara agama wahyu dan agama non-wahyu, di antaranya adalah agama wahyu beriman kepada nabi, sedangkan agama bukan-wahyu tidak demikian.19 Selain itu, al-Madoosi juga menyebutkan bahwa komponenkomponen yang termasuk ke dalam kategori agama wahyu yang bercirikan kenabian tersebut berkaitan dengan ras Semitik, yaitu terdiri dari Yudaisme, Kristen, dan Islam.20 Sedangkan agama non-wahyu lahir dari empat ras;
pertama, Mongolia, darinya lahir tiga agama, yaitu Konfusianisme, Taoisme, dan Shintoisme, kedua, Arya, darinya muncul empat agama, yaitu Hinduisme, Jainisme, Sikhisme, dan Zoroastrianisme, ketiga, Miscellaneous, darinya lahir Buddhisme, dan keempat, Paganisme yang lahir dari selain rasras di atas.21 Fungsi verifikatif dari teori klasifikasi normatif agama sebelumnya, menghasilkan kesimpulan Yudaisme, Kristen, dan Islam sebagai agama18
Sa’dullah Affandy, Abrogasi Agama-agama Pra-Islam (Magelang: PKBM ‚Ngudi Ilmu‛, 2014), h. 220-222. Klasifikasi normatif ini pada dasarnya bersifat polemis dan debateble, karena oleh sebagian pakar, misalnya Charles Adams-, dinilai sewenang-wenang, tidak objektif, dan tidak memiliki bobot ilmiah. Lihat, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 78. Lihat juga, Rusydȋ ‘Ulyȃn dan ‘Abd al-Rahmȃn al-Daurȋ, Usȗl al-Dȋn al-Islȃm (Baghdȃd: Dȃr al-Hurriyah, 1978), h. 17. 19 Ahmad Abdullah al-Madoosi, Living Religions of the World: A socio-Political Study, Rendered by Zafar Ishaq Ansari (Karachi: Begum Aisha Bawany Wakf, 1962), h. 118. Bandingkan, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 73. 20 Ahmad Abdullah al-Madoosi, Living Religions of the World, h. 11. 21 Burhanuddin Daya, ‚Sejarah Agama-agama: Beberapa Pengertian‛, dalam Djam’annuri, Ed, Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta&LESFI, 2000), h. 27-28. Bandingkan, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 74-75.
7
agama yang sejati dan berasal dari Tuhan.22 Namun, pada perkembangannya Yudaisme dan Kristen dinilai sebagai agama yang mengalami distorsidistorsi karena sikap pemeluknya yang secara sengaja mengotak-atik kitab suci mereka yang notabene adalah wahyu Tuhan.23 Sikap dan perbuatan mereka tersebut kemudian berimplikasi kepada eksistensi Yudaisme dan Kristen sebagai agama sudah tidak lebih dari agama bumi atau non-wahyu.24 Bahwa
beberapa
kitab
suci
sebelumnya
mengalami
distorsi
merupakan kenyataan yang memang ditegaskan oleh beberapa ayat alQur’an.25 Namun, pada saat yang sama tak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an (misalnya, QS. al-Mȃ‘idah [5]: 44) juga menegaskan di dalam Taurat dan Injil tersebut, sebagai kitab suci Yudaisme dan Kristen, terdapat petunjuk (hudan) dan cahaya (nȗr), sehingga Allah memerintahkan agar masing-masing pemeluknya senantiasa menjadikannya sebagai pedoman hidup serta mengaplikasikan pesan-pesan yang dikandungnya dalam kehidupan seharihari.26 Dalam hal ini, al-Zamakhsyarȋ menegaskan bahwa hudan adalah
22
Berdasarkan penelusuran Charles Joseph Adams, seperti dikutip Kautsar, menyebutkan bahwa klasifikasi normatif agama pertama kali terjadi pada abad ke-13 dan diinisiasi oleh Thomas Aquinas, filsuf dan teolog abad pertengahan. Hal ini dilakukan untuk meneguhkan Kristen sebagai agama yang dianutnya serta menegasikan agama-agama lain sebagai rivalnya. Hal ini kemudian diadopsi dan diamini oleh sementara sarjana Islam. Lihat, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 77-78. 23 Meskipun demikian, sebuah klarifikasi tentang hal ini misalnya disebutkan bahwa Injil merupakan pesan-pesan Yesus yang ditulis oleh murid-muridnya sehingga dengan demikian kedudukannya pada dasarnya sama dengan hadis Nabi. Karena itu, bagi kalangan Kristen kekuatan Kitab Injil tidak pada autentisitas kodifikasi, melainkan pada substansi pesan yang dikandungnya. Lihat, Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Ȃlamȋn (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h. 258. 24 Misalnya yang menegaskan ini, sebagaimana dikutip Kautsar, adalah Endang Saifuddin Anshari. Lihat, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 74. 25 Misalnya, QS. Al-Baqarah [2]: 75, 79, QS. Al-Nisȃ‘ [4]: 46, QS. Al-Mȃ‘idah [5]: 13, 41, dan sebagainya. 26 QS. Al-Mȃ‘idah [5]: 44, 46, 47.
8
petunjuk untuk merealisasikan kebaikan dan keadilan di kalangan mereka, sedangkan kata nȗr adalah keterangan tentang hukum-hukum yang masih mereka ragukan.27 Dengan demikian, upaya-upaya sementara mereka untuk melakukan distorsi terhadap kitab suci tidak serta merta membuat kitab suci tersebut kehilangan kredibilitas serta kualifikasinya sebagai kitab suci. Dalam hal ini, Allah secara tegas mengatakan, ‚mereka hendak memadamkan cahaya Allah, namun Allah justru hanya berkehendak untuk senantiasa menyempurnakannya‛ (QS. Al-Taubah [9]: 32). Tidak cukup sampai di situ, eksistensi Yudaisme dan Kristen sebagai agama digeser dan semakin dipinggirkan oleh teori lain seputar kenabian. Teori tersebut adalah teori normatif kenabian Islam. Berbeda dengan tema distorsi kitab suci sebelumnya, dua agama ini ‚diserang‛ dengan menjustifikasi bahwa seluruh kenabian para nabi sebelum nabi Islam bersifat terbatas dan temporal. Sedangkan nabi Islam sebagai penutup rantai kenabian
(khȃtam al-nabiyyȋn) sangat lengkap dan sempurna sehingga bersifat universal.28
Dengan
begitu
terstruktur,
teori
ini
secara
sistematis
mengantarkan Islam sebagai agama mampu ‚menyingkirkan‛ Yudaisme dan Kristen, meskipun sama-sama terlahir dari tradisi kenabian. Universalitas kenabian yang disandang oleh Nabi Muhammad Saw sebagai nabi Islam, diyakini tidak hanya bergerak ke depan (li tundzira
27
Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, Tafsȋr al-Kasysyâf (Beirȗt: Dȃr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), Juz III, cet. I, h. 623. 28 Sayyid Muhammad ibn ‘Alwȋ ibn ‘Abbȃs al-Mȃlikȋ al-Makkȋ al-Hasanȋ, Khasȃ‘is alUmmah al-Muhammadiyah (al-Madȋnah al-Munawwarah: Maktabah al-Malik Fahd alWataniyah, 2000), Cet. 2, h. 25.
9
qauman mȃ undzira ȃbȃ‘uhum),29 tetapi juga ke belakang menundukkan segala aktivitas keagamaan yang ada dan terafiliasi dengan kenabiankenabian sebelumnya. Kesempurnaan dan terang-benderangnya cahaya Islam diposisikan tidak cukup sekedar menenggelamkan pesona cahaya-cahaya yang ada tapi sekaligus telah ‚mematikan‛nya. Sehingga, tidak ada lagi cahaya yang tersisa selain cahaya Islam itu sendiri. Pendeknya, tanpa Islam artinya adalah kegelapan. Segala aktifitas hubungan hamba dan Tuhan hanya dianggap legal jika berlangsung secara ala kenabian Muhammad Saw. Jika tidak demikian halnya, maka tidak sah sehingga tidak diterima di sisi Tuhan.30 Teori klasifikasi normatif kenabian Islam yang dimaksud, seperti disebutkan dalam Tafsir Tematik Kementrian Agama RI, terdiri dari tiga tingkatan hierarkis kenabian. Pertama, para nabi yang diutus secara terbatas dalam konteks ruang dan waktu (khâssah/qaumiyyah). Seperti kenabian Musa dan Isa, karena keduanya hanya diutus kepada Bani Israil (QS. al-Isrâ‘ [17]: 2 dan QS. al-Saff [61]: 6). Kedua, para nabi yang diutus secara tidak terbatas dalam konteks ruang namun terbatas dalam konteks waktu. Kenabian seperti ini di antaranya dimiliki oleh Nuh, yaitu berdasarkan pada QS. Hûd [11]: 44 dan QS. al-Qamar [54]: 12. Sedangkan yang ketiga, nabi yang diutus secara 29
QS. Yȃsȋn [36]: 6, atau (li tunzira qaman mȃ atȃhum min nadzȋr min qablik) QS. alSajadah [32]: 3. 30 Yahudi berlaku sampai diutusnya Isa dan Kristen sampai diutusnya Muhammad. Begitu komentar Ibn Katsîr ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 62. Ia melanjutkan, ‚tatkala Muhammad saw. diutus Allah sebagai penutup rantai kenabian dan rasul kepada manusia (banî Âdam) secara keseluruhan, maka mereka wajib membenarkan dan mentaatinya. Mereka inilah (yang mengikuti Muhammad) yang dimaksud dengan orang beriman yang sejati.‛ Ibn Katsîr alDimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, jilid I, hlm. 430-432. Sedangkan Ibn ‘Abbâs berpandangan bahwa QS. al-Baqarah [2]: 62 ini sudah diabrogasi (mansûkh) oleh QS. Âli ‘Imrân [3]: hlm. 85.
10
tidak terbatas, baik oleh konteks ruang maupun konteks waktu, bahkan kepada seluruh makhluk. Kenabian tipe ini adalah kenabian yang secara eksklusif hanya ada pada sosok Nabi Muhammad Saw (QS. al-Saba‘ [34]: 28 dan QS. al-Ahqâf [46]: 29.31 Terlepas dari subjektivitas atau objektivitas teori di atas, universalitas kenabian Nabi Muhammad di atas ditegaskan banyak mufassir, baik klasik maupun kontemporer. Misalnya, al-Tabarî, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia; ‘Arab dan ‘Ajam, berkulit merah dan hitam.32 Pendapat yang sama dikatakan oleh al-Qurtubî,33 Ibn Katsîr,34 al-Marâghî,35 Quraish Shihab,36 dan sebagainya. Seperti yang terlihat sebelumnya, pandangan tersebut didasarkan pada sejumlah ayat dari alQur’an yang di antaranya misalnya adalah QS. al-Sabâ‘ [34]: 28:
31
Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam AlQur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012), cet. I, h. 5-7. Bandingkan dengan, A. Hamid ‘Izz al-‘Arab et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah (Kairo: Kulliyat al-Dirâsah alIslâmiyyah, 1990), h. 140. 32 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî; Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, Ed. Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, t. th) , h. 288. 33 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân; wa al-Mubayyin li Mâ Tadammanahu min al-Sunnah wa Âyi al-Furqân, Ed. Dr. ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Muhsîn al-Turkî, dkk -Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Beirût, Mu’assasah al-Risâlah, 2006), jilid XIX, cet. I, h. 314-315. 34 Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Jezah: Mu’assasah Qurtubah, t.th), jilid XI, hlm. 287. 35 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ al-Bâbî alHalabî wa Awlâdih, 1946), Juz IX, cet. I, h. 84. 36 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., h. 48.
11
‚Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‛37 Sepintas dipahami bahwa pandangan tersebut terbangun dari basis interpretasi yang skriptual-tekstual. Dalam hal ini, redaksi al-Nâs, Kâffah li
al-Nâs, dan ‘Âlamîn, dipahami sebagai indikator-indikator ketakterbatasan kenabian Nabi Muhammad, sementara kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd,
‘Âd, Madyan, dan Banî Isrâ‘îl diposisikan pula sebagai indikator-indikator keterbatasan serta temporalitas kenabian-kenabian sebelumnya. Indikatorindikator tersebut dipahami secara paradoks sehingga dalam proses memahaminya kemudian disikapi dengan nalar interpretasi yang bersifat limitatif (pembatasan)38 yang melihat pengertian setiap indikator di atas berdasarkan luas atau sempitnya cakupan makna tekstualnya. Dalam hal ini, komponen kata-kata yang disebutkan pertama lebih luas maknanya dari komponen yang disebutkan kedua. Namun, jika konsisten dengan nalar interpretsi (nalar limitatif) yang digunakan dalam membangun teori klasifikasi normatif kenabian Islam di atas, maka sulit dipungkiri bahwa pada saat yang sama al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat yang menegaskan sebaliknya, yaitu tentang kenabian Muhammad Saw yang terbatas dan partikular, serta kenabian sebelumnya yang universal. Hal ini berdasarkan kenyataan yang ditemukan bahwa
37
Ayat-ayat lain adalah QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107, QS. al-A’râf [7]: 158, QS. al-Nisâ‘ [4]: 79, dan QS. al-Taubah [9]: 33. 38 Limit berarti batas (sebanyak-banyaknya atau sekurang-kurangnya. Lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 862.
12
masing-masing dari kata-kata indikator di atas, sebagai basis interpretasi, digunakan oleh al-Qur’an untuk setiap kenabian, baik kenabian Nabi Muhammad sendiri maupun kenabian-kenabian sebelumnya. Kata qaum misalnya, pada konteks kenabian-kenabian sebelumnya dipahami sebagai indikator keterbatasan kenabian. Misalnya, QS. al-A’rȃf: [7]: 59;[...]وأرسلنا نوحا إلى قومه, dipahami bahwa ayat tersebut menegaskan bahwa Nuh hanya diutus secara terbatas, yaitu kepada kaumnya. Namun tidak demikian halnya ketika kata qaum jika berkaitan dengan konteks kenabian Nabi Muhammad Saw. Misalnya, QS. Yȃsȋn [36]: 6; [ لتنذر قوما ما أنذر ]آباؤهم, meskipun menegaskan bahwa Nabi Muhammad ditugaskan secara terbatas,39 yaitu untuk memberi peringatan kepada kaum yang nenek moyangnya belum diperingatkan,40 namun tidak diakui sebagai argumentasi bagi keterbatasan kenabiannya. Bukan karena menolak pesan ayat tersebut, tetapi pesannya selalu diperhadapkan kepada keyakinan universalitas kenabian Muhammad yang dipahami dari ayat-ayat tertentu yang diasumsikan sebagai basis argumentasinya (misalnya, QS. al-Sabâ‘ [34]: 28). Contoh lain adalah kata al-Nȃs yang dipahami sebagai genus atau ism
al-jins, misalnya pada QS. al-Sabâ‘ [34]: 28 di atas, yang pada konteks 39
Ayat lain yang menegaskan hal yang sama adalah QS. Al-Qasas [28]: 46 dan QS. AlSajadah [32]: 3 yaitu ‚li tundzira qauman mȃ atȃhum min nadzȋrin min qablika‛ [‚agar kamu memberi peringatan kepada suatu kaum yang belum pernah datang kepada mereka pemberi peringatan seorang pun sebelum kamu‛]. 40 Para ulama tafsir memahami kaum yang dimaksud adalah penduduk Mekkah, bahkan interpretasi yang lebih spesifik memahaminya dengan kaum pagan atau orang-orang musyrik Mekkah. Misalnya, al-Jȋlȃnȋ yang menafsirkannya dengan ‚penduduk Mekkah‛ yang terdiri dari orang-orang paganis (musyrikȗn) dan belum memiliki suatu kitab suci (ummiyyȗn). Lihat, Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghawts al-Rabbânî wa al-Imâm al-Samdânî, Ed. Syaikh Ahmad Farîd al-Mazîdî (Pakistan: al-Makatabah al-Ma’rufiyyah, 2010), Jilid IV, h. 166167.
13
kenabian
Muhammad
dipahami
sebagai
argumentasi
universalitas
kenabiannya. Jika memang demikian adanya, maka sulit rasanya untuk memahami sikap al-Qur’an yang juga menggunakan kata al-Nȃs ini pada konteks kenabian lain, yaitu kata al-Nȃs yang diucapkan Sulaiman ketika berinteraksi dengan kaumnya.41 Sepanjang ilustrasi di atas, terlihat bahwa teori klasifikasi normatif kenabian Islam di atas, yang melihat kenabian-kenabian tidak bersifat ekuivalen, relatif masih rapuh. Tidak hanya karena beberapa faktor, seperti terbangun dari hegemoni corak interpretasi tekstual-skriptual, masih parsial, serta dengan nalar interpretasi limitatif (bersifat membatasi) yang dipakai, tetapi sebuah kontradiksi juga terjadi pada konstruks teori klasifikasi normatif kenabian itu sendiri. Kontradiksi yang dimaksud adalah status kenabian Nuh, yang berdasarkan QS. al-A’rȃf: [7]: 59 seharusnya termasuk kenabian kategori pertama (terbatas dalam konteks ruang dan waktu), namun pada teori tersebut diposisikan pada kategori kedua (terbatas hanya dalam konteks waktu dan tidak dalam konteks ruang). Hal ini berdasarkan ayat-ayat seputar peristiwa banjir pada masa Nuh yang terjadi secara massif meliputi seluruh permukaan bumi.42 Nalar interpretasi limitatif yang diproyeksikan dalam menyikapi ayatayat seputar pendelegasian para nabi di atas memiliki semangat untuk
41
Hal ini terdapat pada QS. Al-Naml [27]: 16 yaitu ‚wa waritsa Sulaimȃnu Dȃwȗda wa qȃla yȃ ayyuha al-nȃsu ‘ullimnȃ...‛ [‚dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan berkata, ‘wahai manusia, kami telah diberi pengertian tentang...‛]. 42 Lihat, Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik, h. 5-7. Lihat juga, A. Hamid ‘Izz al-‘Arab et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, h. 140.
14
mengkapling masa berlaku rangkaian kenabian yang pernah ada sepanjang sejarah. Barangkali, di antara yang mengilhami nalar interpretasi ini adalah hadis Nabi Saw yang berbicara tentang keistimewaan Nabi Muhammad dibandingkan dengan para nabi sebelumnya. Di antara keistimewaan tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia, sedangkan para nabi sebelumnya diutus secara terbatas kepada kaum mereka masingmasing. Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
ان َقا َل َح َّد َث َنا ُه َش ْي ٌم َقا َل َح َّد َث َنا َسيَّا ٌر ه َُو أَبُو ْال َح َك ِم َقا َل َح َّد َث َنا َي ِِزي ُد ٍ َح َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ سِ َن َّ صلَّى ُ ِهللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أُعْ ط يت َ هللا ِ َّ هللا َقا َل َقا َل َرسُو ُل ِ َّ ْال َفقِي ُر َقا َل َح َّد َث َنا َج ِاب ُر بْنُ َع ْب ِد ْ َير َة َشه ٍْر َوجُ ِعل ُ َْخمْ سً ا لَ ْم يُعْ َطهُنَّ أَ َح ٌد مِنْ ْاْلَ ْن ِب َيا ِء َق ْبلِي ُنصِ ر ت لِي ِ ْت ِبالرُّ ع َ ِب مَس ْ َُّص ِّل َوأ ُ ِحل ت لِي ْال َغ َنائِ ُم َ ْاْلَرْ ضُ َمسْ ِج ًدا َو َطهُورً ا َوأَ ُّي َما َرجُ ٍل مِنْ أ ُ َّمتِي أَ ْد َر َك ْت ُه الص ََّالةُ َف ْلي ُ ان ال َّن ِبيُّ ُيب َْع ُ ِاس َكا َّف ًة َوأُعْ ط ُ ث إِلَى َق ْو ِم ِه َخاص ًَّة َو ُبع ِْث .اع َة َ يت ال َّش َف َ َو َك ِ ت إِلَى ال َّن
Aku telah diberi lima keistimewaan yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para nabi sebelumku. Pertama, Aku diberi pertolongan dengan rasa takut yang ditanamkan dalam musuh dalam jangka sebulan (sebelum berperang). Kedua, bumi dijadikan masjid dan suci bagiku. Siapa pun ketika masuk waktu shalat dapat menjalankannya di mana saja. Ketiga, ghanimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku. Sedangkan ghanimah tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabi pun sebelumku. Keempat, Aku diberikan syafa'at. Kelima seorang nabi hanya diutus terbatas untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk semua umat manusia.43 Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan dalam hal ini adalah
mestikah kenabian-kenabian tersebut dikapling-kapling, bukankah sikap membeda-bedakan (tafrîq)44para nabi merupakan sesuatu yang dilarang oleh al-Qur’an? Apakah keyakinan tentang universalitas kenabian itu tidak bertentangan dengan pesan QS. al-Baqarah [2]: 285 serta kandungan 43
HR. Bukhari no. 438. Lihat Abȗ ‘Abd Allȃh Muhammad ibn Ismȃ’ȋl al-Bukhȃrȋ, al-
Jȃmi’ al-Sahȋh (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H) Cet. I, Juz I, h. 158. 44
QS. al-Baqarah [2]: 285. []ال نفرق بين أحد من رسله.
15
universal QS. Ibrȃhȋm [14}: 4],45 yang menegaskan bahwa setiap nabi diutus kepada kaumnya, yaitu orang-orang yang memiliki bahasa yang sama dengannya? Hingga sampai kepada mempertanyakan secara fundamental sejauh mana signifikansi kenabian itu dalam tradisi beragama? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas perlu dilakukan kajian terhadap eksistensi kenabian-kenabian, yaitu dalam konteks delegasi dan legitimasnya dalam perspektif al-Qur’an. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkaji ayat-ayat al-Qur’an seputar pendelegasian para nabi secara komprehensif. Dengan demikian, diharapkan akan diketahui pandangan holistik al-Qur’an terkait dengan status setiap kenabian yang pernah ada sepanjang sejarah, termasuk Nabi Muhammad Saw sebagai nabi Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan sebuah penelitian yang kemudian dibingkai dengan judul, Konsep Universalitas Kenabian-Kenabian Perspektif Al-Qur’an
(Sebuah Kajian Tematik).
B. Pokok Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Sepanjang ilustrasi dalam latar belakang di atas, terdapat berbagai persoalan dan pembahasan yang beragam. Persoalan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: a. Bagaimana konsep agama sebagai sebuah entitas?
45
QS. Ibrȃhȋm [14}: 4], berbunyi: [...]وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه ليبين لهم, yaitu, ‚Dan Kami tidaklah mengutus seorang rasulpun selain dengan bahasa kaumnya, demi rasul tersebut dapat menjelaskan kepada mereka…‛.
16
b. Bagaimana konsep kenabian dalam wacana agama? c. Sejauh mana signifikansi kenabian dalam wacana agama? d. Bagaimana validitas teori klasifikasi normatif agama? e. Bagaimana validitas teori klasifikasi normatif kenabian Islam? f. Apa saja ayat yang terkait dengan pendelegasian para nabi? g. Bagaimana mekanisme serta formulasi kompromi untuk menyikapi ‚kontradiksi qur’anik‛ terkait dengan ayat-ayat tersebut? h. Benarkah ayat-ayat tersebut harus dilihat dengan perspektif nalar interpretasi limitatif? i. Bagaimana konsep holistik al-Qur’an tentang status delegasi serta legimitasi setiap kenabian menurut perspektif al-Qur’an, serta bagaimana implikasinya? 2. Batasan Masalah Memperhatikan identifikasi masalah sebagaimana dipaparkan di atas, banyak sekali permasalahan yang bisa muncul dalam penelitian ini. karena itu, penulis membatasinya sebagai berikut: a. Studi ini ingin memetakan posisi kenabian dalam wacana agama. b. Penelitian
ini
meninjau
kembali
validitas
pandangan
yang
mengatakan mengklasifikasi kenabian secara hierarkis dalam konteks delegasi dan legitimasinya. c. Studi ini meneliti gagasan holistik al-Qur’an terkait dengan status delegasi serta legimitasi setiap kenabian yang telah diutus Tuhan sepanjang sejarah.
17
3. Rumusan Masalah Melihat pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi ‚bagaimana konsep holistik al-Qur’an terkait dengan status delegasi serta legimitasi setiap kenabian para nabi yang diutus oleh Tuhan sepanjang sejarah‛.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini berorientasi pada dua tujuan yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan yang bersifat umum adalah menginduksi konsep holistik al-Qur’an tentang universalitas kenabian Muhammad Saw. Sementara tujuan yang bersifat khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk membuktikan sejauh mana validitas pandangan yang mengatakan bahwa terdapat hierarki di antara kenabian-kenabian para nabi yang diutus Tuhan sepanjang sejarah. b. Menemukan gagasan holistik al-Qur’an terkait dengan status delegasi serta legimitasi setiap kenabian yang telah diutus Tuhan sepanjang sejarah.
18
2. Kegunaan Penelitian Setidaknya ada dua hal yang hendak penulis sampaikan mengenai signifikansi atau kegunaan penilitian ini: a. Dari segi keilmuan, dalam hal ini penulis ingin mengeksplorasi kembali wacana universalitas kenabian Muhammad yang sudah menjadi keyakinan mainstream umat Islam, dan sering digunakan sebagai argumentasi untuk menilai ketidakbenaran dan kadaluarsanya
(expired) agama-agama lain. Sementara pandangan-pandangan yang anti-mainstream masih belum begitu tersosialisasi di kalangan umat Islam. Namun, penelitian ini lebih fokus untuk menemukan gagasan holistik al-Qur’an terkait dengan keyakinan atas universalitas kenabian Muhammad. Sulit dipungkiri bahwa gagasan mainstream tersebut belum menemukan argumentasi yang kokoh. Selain itu, ia tidak sejalan dengan kemajemukan
manusia sebagai
sebuah
keniscayaan yang dirancang Tuhan. b. Pada aspek praktis, diharapkan agar penelitian ini akan berguna bagi kehidupan masyarakat dalam mengkaji dan memahami khazanah keislaman, terutama yang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an. Setidaknya mampu memberikan secercah pencerahan terkait dengan tema universalitas kenabian Muhammad Saw. terutama dalam konteks masyarakat yang plural hari ini.
19
D. Kajian Kepustakaan Tulisan tentang para nabi relatif sudah cukup banyak. Namun kajian seputar status delegasi dan legitimasi kenabian mereka bisa dikatakan masih sangat terbatas sekali. Di antara penelitian seputar hal tersebut yang penulis temukan adalah; ‚Kenabian Muhammad SAW menurut Al-Qur’ân (Kajian
Tematik Tentang Misi Kenabian Muhammad SAW,‛ Tesis PPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005, karya Muhammad Yusfik. Tesis ini memaparkan misi-misi kenabian Muhammad, seperti menyeru manusia agar menyembah Allah, menyampaikan ajaran-Nya kepada manusia, memberi petunuuk kepada manusia, menjadi teladan yang baik, memperingatkan manusia tentang akhirat, pemberi syafa’at kepada manusia, serta menjadi rahmat bagi semesta alam. Tesis ini sama sekali tidak membicarakan perihal universalitas kenabian Muhammad Saw. Tulisan yang relatif relevan dengan tema ini ialah ‚Konsep Wahyu
dan Nabi dalam Islam‛, makalah Dr. Anis Malik Thoha yang disampaikan pada Workshop on Islamic Epistemology and Education Reform yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Kasim Pekanbaru, Riau, pada tanggal 27 Maret 2010. Kesimpulan besar makalah tersebut adalah mengukuhkan universalitas kenabian Muhammad, sedangkan kenabian-kenabian sebelumnya hanyalah bersifat tempo-lokal. Sehingga, berbagai macam kodifikasi syariah yang pernah ada dari kenabian-kenabian sebelumnya telah diabrogasi oleh kenabian Muhammad yang holistik dan universal. Rangkaian para nabi dan rasul dengan wahyu dan risalah sepanjang
20
zaman,
oleh
Thoha,
dijadikan
argumentasi
mendasar
bahwa
ketidakseragaman teologis tidak mungkin lagi akan terjadi di sepanjang sejarah dalam bentuk apapun. Selain berbentuk karya ilmiah, terdapat juga tulisan dalam bentuk buku. Misalnya, al-Nubuwwah al-Muhammadiyah: al-Wahy, al-Mu’jizah, al-
Âlamiyyah, karya Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, yang kemudian diterjemahkan oleh Kamran As’at Irsyady dan Hadiri Abdurrazaq ke dalam bahasa Indonesia menjadi, Nabi Muhammad Saw.; Argumen Puncak tentang
Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, diterbitkan oleh Penerbit Erlangga, Jakarta,
tahun
2006.
Kesimpulan
besar
buku
ini
adalah
bahwa
keuniversalanan risalah Muhammad mengkristal dalam bentuk keharusan mengimani dan melaksanakan apa yang menjadi konsekuensi keimanan terhadap risalah tersebut. Keharusan mengimani risalah Muhammad ini meliputi segala bangsa di dunia. Mereka adalah ahl al-kitâb, bangsa Arab dan non-Arab, manusia dan jin serta segenap alam semesta. Semua ini dideduksi dari redaksi-redaksi sejumlah ayat yang memang bisa saja digunakan sebagai argumentasi walaupun sangat lemah.46 Terdapat juga buku, Muhammad A Prophet for All Humanity, karya Maulana Wahid Khan,47 yang kemudian diterjemahkan oleh Irwanti ke dalam bahasa Indonesia menjadi, Muhammad Nabi untuk Semua, diterbitkan oleh 46
Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Nabi Muhammad Saw.; Argumen Puncak tentang Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, terj. Kamran As’at Irsyady dan Hadiri Abdurrazaq (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 338-339. 47 Dr. Wahiduddin Khan, lahir di Azamgarh, Uttar Pradesh, India, pada tahun 1925. I merupakan pemikir Muslim modernis dan nasionalis India. Salah satu karya fundamentalnya adalah ‚Islam and the Modern World.‛ Karyanya ini sempat menjadi best-seller di negara-negara Arab dan bahkan dijadikan sebagai salah satu bacaan wajib di universitas-universitas Arab.
21
Pustaka Alvabet, Jakarta tahun 1998. Berbeda dengan yang lain, Khan, dalam buku ini menegaskan universalitas kenabian Muhammad dengan mengatakan bahwa kenabian-kenabian sebelum Muhammad belum ada yang berhasil mengemban misi kenabiannya. Kesuksesan sejati, menurut Khan, hanya ada pada diri Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Baginya, Nabi Muhammad bukan hanya sebagai utusan yang menyebarkan agama, tetapi juga bertugas untuk memuliakan Allah lebih dari agama lain.48 Pandangan Khan terkait universalitas kenabian Muhammad memakai paradigma rigid, bahwa agama berevolusi ke arah kesempurnaannya dan masa kesempurnaannya adalah masa kenabian Muhammad. Agama bukanlah suatu hal yang dinamis yang bisa beradaftasi, berkolaborasi, dan berakulturasi dengan kearifan lokal tertentu. Terakhir, penulis menemukan pembahasan dengan tema, al-Syubhah
al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Saw. fî ‘Umûm Risâlatih, dalam buku, Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât, tahun 2012, yang ditulis oleh Tim yang terdiri dari para ulama besar. Sebagaimana terlihat pada judul di atas, tulisan ini memposisikan ‚gugatan‛ terhadap universalitas kenabian Muhammad sebagai syubhat (heresi). Tulisan yang terdiri dari delapan halaman ini menyimpulkan bahwa universalitas kenabian Muhammad merupakan suatu pengkhususan dari Tuhan, sedangkan kenabian-kenabian sebelumnya bersifat terbatas. Dengan
48
Maulana Wahiduddin Khan, Muahammad nabi untuk Semua, terj. Irwanti (Jakarta: Pustaka Alvabet, 1998), cet. I, h. 12.
22
demikian, kenabian Muhammad bersifat universal menembus ruang dan waktu,49 sedangkan kenabian para nabi lainnya bersifat partikular-temporal. Sepanjang uraian tersebut, bisa ditegaskan bahwa persoalan status delegasi dan legitimasi kenabian-kenabian para nabi masih jarang dilakukan dan kerap dibicarakan hanya secara ringkas dan parsial. Karena itu, distingsi penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini berupaya menemukan gagasan holistik al-Qur’an tentang status delegasi dan legitimasi kenabian-kenabian para nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Data yang akan digali adalah hal-hal yang berkaitan dengan informasi seputar status delegasi dan legitimasi kenabian-kenabian para nabi. Mengingat penelitian ini bersifat teoritis, maka metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif.50 Adapun metode kualitatif secara umum didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang dapat diamati.51 Jenis penelitian ini adalah penelitian
49
Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân alIslâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167. 50 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma, 2010), h. 134. 51 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), h. 4.
23
kepustakaan (library research), dengan pengertian data-data yang menjadi objek penelitian terdiri dari bahan-bahan kepustakaan.52 2. Sumber Data Sumber primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an itu sendiri, yaitu ayat-ayatnya yang berkaitan topik utama penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan literatur-literatur yang kiranya memiliki kontribusi informasi dalam pengayaan dan pendalaman kajian seputar tema inti, khususnya literatur-literatur tafsir, baik klasik maupun kontemporer. Mewakili masa klasik misalnya, tafsir Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur‘ân karya al-Tabarî, Tafsîr al-Qur‘ân al-Karîm karya Ibn Katsîr, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân karya al-Qurtubî, dan lain sebagainya. Sedangkan yang mewakili masa kontemporer misalnya, al-
Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân karya al-Tabâtabâ’î, Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm karya Muhammad Rasyîd Ridâ, Fahm al-Qur‘ân al-Hakîm karya al-Jâbirî, dan lain sebagainya. Selain itu, karya-karya lain yang juga bersinggungan dengan tema pembahasan penelitian ini juga turut memperkaya bobot data-data penelitian ini, seperti al-Sîrah al-Nabawiyyah karya Ibn Ishâq,
Hayât Muhammad karya Husain Haikal, Qasas al-Anbiyâ‘ karya Ibn Katsîr, Atlas al-Qur‘ân karya Dr. Syauqî Abû Khalîl dan lain sebagainya. Keragaman sumber data tersebut menunjukkan bahwa penelitian tafsir dalam penelitian ini bersifat tekstual-rasional (al-atsarî al-nazarî).
52
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner , h. 134.
24
Sedangkan penyebutan beberapa referensi di atas tidak bermaksud sebagai pembatasan. Dengan demikin, maka data-data penelitian ini secara umum bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu primer dan sekunder. Data primer merupakan data-data yang menjadi objek utama penelitian ini, yaitu al-Qur’an itu sendiri. Sedangkan data sekunder merupakan data yang memberikan keterangan terhadap informasi yang ada pada data primer, yang terdiri dari literatur-literatur tafsir, baik klasik maupun kontemporer, serta sumber lainnya. 3. Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research), maka pengupulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi.53 Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai dokumen terkait objek penelitian yang di dapat dari perpustakaan. Selain itu, karena objek utama penelitian ini terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat tematis, maka teknik spesifik dan identik yang akan digunakan adalah tafsir maudû’î (tematik),54 yaitu berdasarkan topik tertentu.55
53
Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi, interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi, dan triangulasi (gabungan keempatnya). Lihat, Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 240. 54 Al-Farmâwî mengklasifikasi metode tafsir al-Qur’an kepada empat kategori, yaitu tahlîlî, ijmâlî, muqâran, dan maudû’î. Lihat, Abd al-Hay al- Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr alMaudû’î (Kairo: al-Hadârah al-‘Arabiyyah, 1997, h. 23. 55 Mustafâ Muslim membagi metode maudû’î dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an kepada maudû’î kata, maudû’î surah, dan maudû’î topik. Sedangkan dalam penelitian ini akan menggunakan maudû’î topik. Lihat, Mustafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al- Maudû’î (Beirût: al-Dâr al-Syâmiyyah, 2000), h. 23-29.
25
4. Metode Analisis Data Dalam proses analisis data, penelitian ini menggunakan metode tafsir tematik serta beberapa pendekatan, yaitu usûl al-fiqh, semantik, dan hermeneutik. Metode tafsir maudû’î meskipun sangat efektif dalam proses akumulasi ayat-ayat tematis, tapi tidak bisa dipungkiri pada sisi lain juga berkontribusi dalam proses interpretasi atau analisis, karena, sebagaimana ditegaskan banyak mufassir, ayat-ayat al-Qur’an itu terkadang saling menafsirkan satu sama lain.56 Dalam hal ini, langkah yang dilakukan adalah adaptasi dari formulasi metodis al-Farmawî tentang tafsir tematik (maudû’î), yaitu; pertama, menetapkan tema,
kedua, membatasi ayat-ayat yang berkaitan dengan tema, ketiga, mengelompokkan serta menyusun ayat-ayat tersebut secara tematis dalam bingkai atau kerangka yang cocok dan berkesinambungan,
keempat, memperkaya pembahasan dengan hadis-hadis Nabi Saw dan pandangan-pandangan para pakar, dan kelima, studi terhadap ayat-ayat tersebut secara holistik dan komprehensif, dengan mempertimbangkan aspek kronologis dan sebab turun ayat, serta dilâlat al-alfâzh yang melingkupinya, sehingga muncullah satu pemahaman utuh tanpa adanya unsur kontradiktif satu sama lain.57 Karena metode tafsir tematik kerap kali dipandang terlalu normatif-idealistik karena terlalu membatasi diri pada aspek tekstualitas 56
Lihat, Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, hlm. 19. Di antara inspirasi tafsir tematik adalah ungkapan ‚Istantiq al-Qur’ân‛ (ajaklah al-Qur’an berbicara/biarkan ia menguraikan maksudnya). Lihat, Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an..., h. 87. 57 Abd al-Hay al- Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al- Maudû’î, h. 61-62.
26
al-Qur’an sehingga terjebak dalam tindakan pengisolasian teks dari konteks yang mengitari kemunculannya,58 maka untuk membaca kemungkinan pemaknaan lain, perlu digunakan pendekatan lain, yaitu usûl al-fiqh, semantik, dan hermeneutik. Dalam pendekatan usûl al-fiqh, teori yang digunakan adalah teori
dilâlat al-alfâz,59 yang berperan dalam proses pengukuhan makna ‘objektif’ ayat-ayat al-Qur’an melalui berbagai aturan dan ketentuan teknis seputar permasalahan kata beserta berbagai penggunaan dan klasifikasinya yang berkaitan erat dengan kaidah-kaidah linguistik dan
syar’î (formal).60 Salah satu fungsi kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai instrument untuk mendapatkan pemahaman yang reliable mengenai sistem dogma Islam.61 Dalam konteks tesis ini, pendekatan usûl al-fiqh digunakan untuk mendeduksi makna ayat-ayat yang berkaitan dengan pengutusan para nabi.62
58
Paradigma ini disebut juga dengan ‚teologis-ontologis‛. Lihat, Hamid Dabashi,
Islamic Liberation Theology, h. 21-25. 59
Penguasaan terhadap ilmu usûl al-fiqh merupakan pra-syarat utama bagi seseorang untuk melakukan interpretasi al-Qur’an. Lihat, Nûr al-Dîn al-‘Itr, ‘Ulûm al-Qur‘ân (Damaskus: Maktabah al-Sabbâh, 1996), hlm. 88. Adapun dilâlat al-alfâz yang dijadikan pendekatan dalam konteks ini adalah al-dilâla al-lughawiyyah, seperti âm-khâs, mutlaq-muqayyad, haqîqah-majâz, mutarâdif-musytarak, dan sebagainya. Lihat, Wahbah al-Zuhaylî, Usûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986), h. 198. Pada konteks ini, Quraish Shihab menegaskan, usûl al-fiqh merupakan salah satu ilmu alat yang sangat dibutuhkan dalam rangka memahami al-Qur’an, khususnya persoalan lafaz dalam kaitannya dengan makna lafaz itu, baik ketika berdiri sendiri sebagai satu kosakata, ataupun setelah terangkai dalam satu susunan kalimat. Lihat, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 155-156. 60 ‘Âbid al-Jâbirî, Takwîn al’Aql al-‘Arabî (Beirût: Markaz Dirâsât al-Wahdah al‘Arabiyyah, 20012), h. 55. 61 ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh (Qâhirah: Dâr al-Qalam, 1978), hlm. 140. 62 Pada dasarnya, usûl al-fiqh merupakan metodologi deduksi hukum yang diturunkan dari al-Qur’an maupun al-Sunnah. Lihat, Munawir Haris, ‚Metodologi Penemuan Hukum Islam,‛ Ulumuna: Jurnal Studi Islam, Vol. 16, No. 1 (Juni, 2012), h. 1-19.
27
Kemungkinan makna lain semakin diperluas dengan pendekatan semantik, sebuah disiplin yang kajiannya berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari sekedar kata atau redaksi yang mewadahinya.63 Hal ini berangkat dari asumsi kuat bahwa al-Qur’an tidak turun pada ruang yang hampa dari historisitas dan sosial-kultural dari masyarakat yang dihadapinya.64 Dalam konteks penelitian ini, konsep kenabian akan dielaborasi dari titik fokus kebahasaannya, yang kemudian melibatkan makna-makna relasinya serta kondisi sosial-kultural aktual yang membentuk makna kata tersebut. Sedangkan untuk upaya kontekstualisasi pada konteks kekinian, digunakan pendekatan hermeneutika yang ditawarkan Nasr Hâmid Abû Zayd. Hermenetika sendiri, seperti yang ditekankan Rudof Bultmann, merupakan upaya untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini.65 Dalam teori hermenetika Nasr Hâmid, teks memiliki makna historis (historical meaning) dan makna signifikansi (significance). Makna historis merupakan makna original yang dipahami oleh generasi pertama (Nabi dan para sahabat), sedangkan makna signifikansi terkait 63
Studi al-Qur’an dengan pendekatan semantik pertama kali dipopulerkan oleh Toshihiku Izutsu. Menurut Izutsu, semantik adalah kajian analitik atas istilah-istilah kunci bahasa dengan pandangan yang sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunkan suatu bahasa, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Dari uraian Izutsu tersebut, tampak bahwa sejak awal, analisis semantik hendak melibatkan kajian lintas disiplin ilmu seperti linguistik, sosiologi, antropologi, filsafat, psikologi, ilmu sejarah, dan sebagainya. Lihat Dadan Rusmana, M. Ag, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 73-74. 64 ‚‛الوحي ليس خارج الِزمان ثابتا ال يتغير بل داخل الِزمان يتغير بتغيره. Hassan Hanafî, Dirâsah Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Anjilu al-Misriyyah, t.th), h. 71. 65 Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis AlQur’an (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2016), h. 25.
28
dengan makna yang secara spesifik seseorang pahami dalam konteks sekarang.66 Senada dengan itu, Fazlurrahman berpendapat, hermeneutika adalah kerja pencarian untuk menemukan pesan-pesan moral universal dari teks-teks al-Qur’an dengan cara memperhatikan kondisi objektif Arab, sebagai tempat teks itu lahir. Setelah pesan moral sebuah teks diperoleh, baru ditransformasikan ke dalam konteks kekinian.67 Dalam penelitian
ini,
pendekatan
hermeneutika
akan
digunakan
untuk
mengidentifikasi realitas aktual kondisi sosial-kultural dari ayat-ayat yang memuat redaksi pengutusan Muhammad Saw sebagai nabi Islam.
F. Sistematika Pembahasan Garis besar pembahasan tesis ini adalah sebagai berikut: Bab satu merupakan pendahuluan studi ini. Di dalamnya dijelaskan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Bab ini menjelaskan dinamika globalisasi yang menuntut para penganut agama mampu berpikir inkusif agar ekuilibritas dan kohesi sosial tetap berjalan dengan baik. Di antara hal yang bisa dilakukan untuk itu adalah mengkaji ulang konsep-konsep krusial fundamental agama, seperti doktrin universalitas kenabian Muhammad. Agama harus tampil digarda terdepan dalam menjamin keberlangsungan hidup bersama ke depan dan seterusnya. Bab ini juga
66
Nasr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an (Kairo: Hay’ah al-Misriyyah al-‘âmmah, 1993), h. 28. 67 Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis AlQur’an, h. 25.
29
mengurai penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, tujuan yang hendak dicapai, signifikansi penelitian dan metodologi yang digunakan. Bab dua mengurai seputar kenabian-kenabian dalam wacana agama: antara problem dan solusi. Sketsa biografis dan latar sosial-historis kenabiankenabian
perlu
diuraikan
sebagai
pertimbangan
historisitas
dalam
mengimbangi aspek normativitas ayat-ayat seputar pendelegasian Nabi Muhammad selanjutnya. Hal ini adalah dengan tujuan diperolehnya pembacaan yang lebih proporsional dan kontekstual dengan konteks kekinian. Selain itu, pada bab ini juga ditampilkan uraian seputar dua kelompok, yaitu yang mengusung gagasan universalitas kenabian Muhammad serta yang mengusung gagasan seluruh kenabian bersifat ekuivalen. Selain itu, bab ini diakhir dengan dua pembahasan fundamental, yaitu seputar signifikansi kenabian dalam tradisi agama serta konsepsi agama itu sendiri. Bab tiga secara fokus mengulas seputar al-Qur’an dan tradisi kenabian. Dalam hal ini dipaparkan paradigma pendelegasian kenabian dalam al-Qur’an, yang berlaku dan menjadi semacam prinsip umum terhadap semua proses pendelegasin tersebut. Pembahasan selanjutnya adalah ekuisme kenabian yang terbagi kepada aspek misi dan ambilinial (keturunan), serta egalitarianisme antara para nabi dan kenabian. Pembahasan ini sengaja dihadirkan untuk menepis kebingunan ‚psikologis-teologis‛ sehingga terhindar dari membeda-bedakan para nabi dan kenabian. Bab empat membicarakan tentang perspektif holistik al-Qur’an tentang kenabian-kenabian. Berangkat dari teori klasifikasi normatif
30
kenabian Islam, ayat-ayat seputar pendelegasian seluruh kenabian secara holistik dibahas dan dianalisis. Hal ini dilakukan untuk menemukan gagasan holistik al-Qur’an terkait dengan kenabian Muhammad dan para nabi lainnya. Disini akan tergambar jawaban inti dari tesis ini, yang kemudian akan digunakan untuk melihat posisi kenabian Muhammad di antara kenabian para nabi yang lain serta implikasinya dalam konteks keberlakuan syariat. Bab lima berisi kesimpulan dari penelitian tesis ini. Bab ini menyimpulkan
seluruh
pembahasan
yang
dipaparkan
pada
bab-bab
sebelumnya, sebagai jawaban terhadap masalah utama penelitian ini. Bab akhir ini juga dilengkapi dengan sejumlah saran dan rekomendasi yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan kajian selanjutnya, khususnya seputar universalitas kenabian Muhammad.
BAB II KENABIAN-KENABIAN DALAM WACANA AGAMA: ANTARA PROBLEM DAN SOLUSI A. Kenabian-kenabian Para Nabi 1. Sketsa biografis dan latar sosial-historis Sepanjang sejarah, Tuhan telah mengutus orang-orang tertentu di antara hamba-Nya sebagai medium dialogis yang menjembatani diri-Nya dengan manusia yang lain (QS. al-Syȗrȃ [42]: 51). Dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda, mereka kemudian tersebar ke berbagai penjuru bumi sebagai pembawa kebenaran dan pemberi peringatan kepada kaum mereka masing-masing (QS. al-Ra’d [13]: 7). Perbedaan konteks historis tersebut membuat suatu masyarakat cenderung memiliki pola pikir dan kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan masyarakat lain, disebabkan berbedanya tantangan dan permasalahan yang dihadapi masing-masing.1 Perbedaan konteks historis tersebut meniscayakan penanganan yang cenderung berbeda pula antara satu masyarakat dengan yang lainnya karena dituntut oleh adanya penyesuaian-penyesuaian dalam menyampaikan misi kebenaran. Karena itu, dalam persoalan pengutusan para nabi kepada masyarakat-masyarakat tertentu Tuhan berprinsip bahwa pemberi peringatan tersebut mesti seseorang dari kalangan mereka sendiri yang memiliki bahasa
(lisȃn); pemikiran serta kebudayaan yang sama dengan mereka (QS. Ibȃhȋm 1
Segala hal yang bersifat historis bersifat partikular dan temporal sebagai kehendak sejarah itu sendiri yang meniscayakan perubahan-perubahan.
31
32
[14]: 4).2 Maka kemudian, muncullah berbagai ritual dan konsepsi agama yang cenderung berbeda antara satu dengan yang lainnya sepanjang sejarah. Perbedaan konteks historis yang terdiri dari siapa saja nabi yang diutus, kepada siapa mereka diutus, di wilayah mana mereka ditugaskan, banyak atau sedikitnya masyarakat yang dihadapi, status sosial seorang nabi; apakah rakyat biasa atau penguasa, serta bagaimana ritual dan konsepsi agama yang dibangun, semuanya secara absolut merupakan wewenang Tuhan. Ini merupakan kehendak Tuhan sendiri (sunnatullah) yang tidak menginginkan
keseragaman
tetapi
justru
merekayasa
keberagaman
sedemikian rupa sebagai ujian serta ajang kompetisi antara satu dengan yang lainnya dalam kebaikan (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 48). Dalam hal ini, Tuhan tidak hanya ingin memperlihatkan otoritas kekuasaan dalam bentuk keseragaman tetapi juga berkehendak memperlihatkan kreatifitas kekuasaan-Nya dalam bentuk keberagaman. Seiring dengan perjalanan sejarah, maka para nabi kemudian menghadapi realitas sosialnya tersendiri yang tingkat kompleksitasnya juga cenderung berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adam misalnya, sebagai manusia pertama tentu memiliki konteks sosial yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan para nabi setelahnya. Pada saat itu, Adam hanya mengayomi keluarganya sebagai masyarakat pertama di bumi. Persoalan
2
Izutsu menyebutkan bahwa al-Qur’an memiliki kesadaran yang tinggi terhadap peran bahasa. Antara masyarakat dan bahasanya terdapat ikatan yang tidak dapat dipisahkan. Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk. (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), h. 205.
33
yang dihadapinya belum terlalu kompleks, misalnya terkait dengan persoalan pernikahan yang dilakukan secara silang, kurban dan pembunuhan. Dalam persoalan pernikahan misalnya, pada saat itu pernikahan dengan saudara masih diperbolehkan yaitu secara silang, karena memang hanya mereka manusia yang ada pada saat itu. Tindakan pembunuhan juga belum diberlakukan Qisȃs, karena manusia masih sedikit (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 7). Ketentuan pernikahan silang tersebut juga masih mungkin dinegosiasi seperti telah dilakukan Qabil sehingga permintaannya tersebut diputuskan dengan kuban siapa yang diterima. Selain itu, apa yang dikurbankan juga belum diatur secara detail.3 Fakta ini mendeskripsikan kesederhanaan konteks sosio-historis pada saat itu. Begitu juga dengan Nuh, yang berdasarkan riwayat Qatȃdah merupakan nabi pertama yang diutus.4 Meskipun ada riwayat yang menceritakan Nabi Nuh sudah pernah melakukan puasa5 dan haji,6 namun bisa jadi itu bukan sebagai syariat yang mengikat masyarakat yang dihadapinya secara keseluruhan melainkan lebih kepada kehendak pribadinya sendiri untuk melakukannya. Hal ini karena berdasarkan riwayat Ibn ‘Umar, Nuh hanya pernah mewasiatkan dua hal dan melarang dua hal kepada anaknya. Dua hal pertama yang diperintahkan adalah tauhid dan ungkapan
3
Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘ (Kairo: Dȃr al-Tabȃ’ah wa al-Nasyr al-Islȃmiyah, 1997), h. 62-63. 4 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, ( Kairo: Dâr Hijr, 2001), Juz II, h. 261. Lihat juga, Sȃmȋ ibn ‘Abd Allȃh alMaghlȗts, Atlas Tȃrȋkh al-Anbiyȃ‘ wa al-Rusul (Riyȃd: Maktabah al-‘Abȋkȃn, 2005), h. 67. 5 Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘, h. 118. 6 Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘, h. 119.
34
‚subhȃnallȃh wa bihamdih‛, sedangkan dua hal kedua yang dilarang adalah syirik dan sombong.7 Secara formal (syar’an), ibadah haji dan kurban baru dikukuhkan pada masa kenabian Nabi Ibrahim. Masing-masing, ibadah haji sebagaimana disebutkan pada QS. al-Hajj [22]: 27, dan ibadah kurban pada QS. al-Saffȃt [37]: 102). Nabi Ibrahim juga dikenal sebagai bapak para nabi, karena para nabi setelahnya merupakan keturunan-keturunannya.8 Selain itu, para nabi berikutnya juga sering dihimbau untuk mengikuti serta mencontoh agama
(millah) Nabi Ibrahim ini yang sekaligus menjadi common platform atau titik temu bagi dinamika perbedaan ajaran kenabian setelahnya (QS. al-Baqarah [2]: 135). Hukum Qisȃs baru diberlakukan pada masa Nabi Musa, yaitu sebagaimana terdapat dalam Taurat, kitab suci Yudaisme (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 45), yang nantinya diadopsi oleh syariat Nabi Muhammad Saw (QS. alBaqarah [2]: 178-179). Begitu seterusnya. Fakta-fakta ini menunjukkkan bahwa pengutusan para nabi serta formulasi ritual dan konsep keberagamaan mereka terbentuk secara historis sering dengan perjalan dan kehendak sejarah itu sendiri. Meskipun demikian, mereka pada dasarnya membawa pesanpesan universal yang sama.9 Begitu juga halnya dengan kemukjizatan sebagai bukti penguat bagi kebenaran seorang nabi. Ketika realitas sosio-historis yang dihadapi pada 7
Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘, h. 120. Sȃmȋ ibn ‘Abd Allȃh al-Maghlȗts, Atlas Tȃrȋkh al-Anbiyȃ‘ wa al-Rusul, h. 100. 9 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 166. 8
35
saat itu berupa sihir, maka mukjizat yang didatangkan bersifat materi pula, seperti tongkat menjadi ular dan sebagainya. Namun, ketika sosio-historisnya berubah, misalnya tentang maraknya nalar kausalitas, maka mukjizat nabi yang ditugaskan untuk menghadapi masyarakat tersebut adalah hal-hal yang menentang hukum kausalitas tersebut. Misalnya kelahiran Isa tanpa seorang ayah, kemampuan Isa dalam menyembuhkan penyakit kusta dan buta, serta mampu menghidupkan orang yang sudah mati.10 Berbeda pula dengan konteks sosio-historis yang dihadapi Nabi Muhammad Saw berupa masyarakat yang sangat unggul dalam puisi dan sastra, maka mu’jizat yang diberikan kepadanya berupa al-Qur’an (bacaan sempurna).11 Berbeda dengan realitas sosio-historis para nabi sebelumnya yang relatif sederhana, Nabi Muhammad menghadapi realitas sosial yang terdiri dari pluralitas yang kompleks. Makkah sebagai kota kelahirannya merupakan kota metropolitan dengan mobilitas sosial yang sudah sangat massif. Ia merupakan jalur perdagangan internasional tempat persinggahan para pedagang dari berbagai wilayah dan pelosok negeri. Di sana, berbagai kebudayaan dan kepercayaan saling bertemu dan berkumpul. Realitas sosial pada saat itu terdiri dari pluralitas dalam banyak aspek, berbeda dengan masyarakat yang dihadapi para nabi sebelumnya yang cenderung bersifat seragam dan hidup secara komunalistik.
10 11
QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 49. QS. al-Ra’d [13]: 31.
36
Sebelum diangkat menjadi nabi, Nabi Muhammad sudah bergaul dengan masyarakatnya lebih kurang selama 40 tahun.12 Peristiwa yang mengawali kenabiannya adalah ketika turunnya wahyu pertama (QS. al-‘Alaq [96]: 1-5).13 Dalam rentang waktu 40 tahun tersebut, Nabi Muhammad menerima banyak informasi terkait dengan Yudaisme, Kristen, Sabiah, Zoroaster, Majusi, serta kepercayaan lain yang ada di sekitarnya. Tercatat, Nabi Muhammad pernah melakukan ekspedisi ke Syam sebanyak dua kali.14 Di daerah Syam, Nabi Muhammad pernah berjumpa dengan dua orang pendeta Nasrani, Buhairâ dan Nestor. Keduanya menegaskan prediksi kenabiannya di masa yang akan datang. Di Mekkah, Waraqah ibn Naufal, seorang Kristen yang juga merupakan sepupu Khadijah, juga telah menegaskan bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang ditunggu-tunggu untuk umat pada saat itu.15 Selain di Mekkah, dalam menjalankan misi kenabiannya Nabi Muhammad juga mengunjungi Madinah yang di sana terdapat komunitas bangsa Yahudi. Dilihat dari aspek geografis, bangsa Yahudi adalah tetangga bangsa Arab. Sedangkan dari sisi ras, kedua bangsa
12
Safiy al-Rahmân al-Mubârakfûrî , al-Rahîq al-Makhtûm..., h. 65-66. Terdapat diskursus tentang umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi nabi. Lihat, Mun’im Sirry, Kontroversi Islam Awal...,h. 249. 13 Namun menurut al-Mubârakfûrî kenabian sudah berlangsung tiga tahun sebelum itu. Nabi Muhammad selalu bermimpi melihat cahaya seperti cahaya waktu subuh selama enam bulan. Mimpi seperti inilah yang termasuk kategori seperempat puluh enam kenabian. Tiga tahun setelah itu, tepatnya pada bulan Ramadhan, barulah turun wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw. Safiy al-Rahmân al-Mubârakfûrî , al-Rahîq al-Makhtûm..., h. 66-67. 14 Ibn Hishâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Lebanon: al-maktabah al-‘Asriyyah, 2003), Juz I, h. 219. William Montgomery Watt, Muhammad, Prophet and Statman (Oxford: Oxford University Press, 1961), h. 1. Mahdî Rizq Allâh Ahmad, al-Sîrah al-Nabawiyyah fî Daw‘ alMasâdir al-Asliyyah..., h. 119. 15 Mahdî Rizq Allâh Ahmad, al-Sîrah al-Nabawiyyah fî Daw‘ al-Masâdir al-Asliyyah..., h. 133. Ada yang mengatakan bahwa Waraqah adalah seorang Kristen. Ia memiliki banyak ilmu pengetahuan dari ahli kitab. Lihat, Ibn Ishâq, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 163.
37
ini berasal dari rumpun yang sama, yaitu rumpun Semit.16 Mereka menetap di sana setelah Palestina dikuasai Romawi dan Raja Titus menghancurkan Yerussalem pada tahun 70 M.17 Kelompok Yahudi yang ada di madinah dan terkenal ada tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqâ’, Bani Quraizah, dan Bani Nadîr.18 Belakangan, datang pula ke Madinah dua suku dari Bani Azad dan Qahtân di Yaman, yaitu ‘Aws dan Khazraj, dalam keadaan miskin.19 Adapun dalam kehidupan beragamaan di Hijaz pada saat Islam muncul, sedikitnya secara global terdapat dua kelompok; ahli kitab dan ummi (tidak memiliki kitab). Ahli kitab terdiri dari Yahudi dan Kristen. Sedangkan yang tidak memiliki kitab terdiri dari paganis Arab atau penyembah berhala
(musyrik).20 Ada juga masyarakat religius lain seperti Sabi’in dan Majusi. Karena itu, tidak mengherankan ketika ada ayat al-Qur’an yang menyebut dan membicarakan agama-agama ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Muhammad dalam menjalankan kenabiannya berinteraksi dengan setiap golongan ini. Sedangkan dalam konteks ilmu pengetahuan, orang Arab sangat terkenal dengan kemampuan syairnya. Penyair bagi mereka adalah orang yang berpengetahuan luas. Selain itu, juga terdapat kâhin atau dukun yang memiliki kemampuan untuk meramal, melakukan komunikasi supranatural dengan roh-roh dan jin, sehingga mengira hal ini jugalah yang di alami 16
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), cet. I, h. 40. 17 Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 61 dan 104. 18 Ibn Katsîr, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1978), Juz I, h. 11. 19 Ibn Hishâm, Sîrat al-Nabî..., Juz I, h. 9. 20 Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian, h. 213.
38
Muhammad tehadap apa yang diklaimnya sebagai wahyu. Karena itu, sejumlah ayat al-Qur’an menyebutkan tuduhan-tuduhan mereka terhadap Muhammad sebagai penyair atau kâhin.21 Nabi Muhammad Saw wafat pada usia 63 tahun, yaitu pada waktu dhuha, Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 H. Pada waktu itu, Islam sudah tersebar ke berbagai negeri di luar semenanjung Arab. Setelah bangsa Arab di semenanjung Arabia, Nabi Muhammad semasa hidupnya juga pernah mengirim utusan dengan surat ke Raja Persia, Raja Ethiopia, penguasa Aleksandria, Muwaqis, dan Gubernur Bizantium di Busra.22 Dengan demikian, Islam pada saat itu tidak hanya sekedar agama lokal tetapi sudah menjadi keyakinan manusia dalam konteks internasional. Ilustrasi di atas mendeskripsikan bahwa perbedaan sosio-historis yang menjadi realitas aktual yang dihadapi oleh para nabi, terutama antara Nabi Muhammad dengan para nabi sebelumnya, berkontribusi dalam proses formalisasi ritual dan konsep keagamaan sebagai ajaran kenabian, serta berpotensi dalam membentuk titik persamaan dan perbedaan antara satu ajaran kenabian dengan yang lainnya. Merespon kenyataan ini, al-Rȃzȋ merumuskan bahwa syariat itu ada dua; syariat yang mengalami perubahan dan syariat yang abadi sehingga tidak perlu diubah.23
21
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap AlQur’an, terj. Agus fahri Husein, dkk (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), cet. II, h. 185186.
22
Lihat Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), cet. I, h. 32. 23 Lihat, Abd. Moqsith Ghazali, Argumen..., h. 183. Bandingkan dengan, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIV, h. 158.
39
Dengan menyadari sepenuhnya, bahwa perbedaan syariat antara satu kenabian dengan kenabian yang lain yang sepenuhnya merupakan tuntutan konteks ruang dan waktu di mana kenabian itu berada, maka seharusnya dipahami bahwa perbedaan syariat tersebut tidak berarti perbedaan agama itu sendiri. Sehingga, aktifitas keberagamaan seharusnya boleh saja berlangsung melalui corak kenabian manapun tanpa harus dibatasi dengan kenabian tertentu. Dalam hal ini, al-Tabȃtabȃ’ȋ berkomentar, jika agama tidak mungkin dinasakh, maka syariat mungkin saja dimodifikasi bahkan dinasakh.24
2. Diskursus Kenabian-kenabian: antara Hierarkis dan Ekuivalen Seluruh aliran Islam menerima konsep nubuwwah atau kenabian, meskipun terkadang pada tingkat wacana terjadi perdebatan-perdebatan krusial tentangnya.25 Islam memiliki sebuah doktrin yang sangat menekankan keimanan kepada para utusan Allah. Umat Islam dalam hal ini meyakini bahwa Allah telah mengutus banyak nabi sebelum Nabi Muhammad. Hanya saja, terdapat perbedaan dalam memahami status pendelegasian setiap kenabian tersebut, apakah bersifat hierarkis26 atau ekuivalen27 antara satu
24
Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr alQur‘ân, Jilid V, h.358. 25 Hajam, Falsafah Nubuwwah Ibn ‘Arabi (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2014), h. 1.
26
Hierarkis berarti berbentuk atau bersifat hierarki. Sedangkan hierarki berarti bertingkat-tingkat. Lihat, Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: CV Pustaka Agung Harapan, t.t), h. 204. 27 Ekuivalen berarti mempunyai nilai (ukuran, arti, atau efek) yang sama; seharga; sebanding; sepadan. Lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 381.
40
dengan yang lainnya. Masing-masing pandangan ini memiliki dinamika dan implikasinya tersendiri.
a. Kenabian-kenabian dalam Perspektif Hierarkis Yang dimaksud dengan perspektif hirarkis dalam penelitina ini adalah pandangan yang membedakan kenabian Nabi Muhammad dengan kenabiankenabian sebelumnya. Menurut perspektif ini, Nabi Muhammad sebagai nabi diutus kepada seluruh manusia dan bahkan alam semesta, sehingga kenabiannya bersifat universal (‘âlamiyyah).28 Sedangkan para nabi sebelumnya hanya diutus secara terbatas kepada kaum-kaum tertentu saja, sehingga masing-masing dari kenabian mereka hanya bersifat komunalistik
(qaumiyyah).29 Pandangan di atas melihat bahwa kenabian Nabi Muhammad sebagai delegasi Tuhan telah mendelegitimasi ajaran-ajaran kenabian sebelumnya. Karena itu, segala aktivitas kebertuhanan harus diseragamkan menjadi ala kenabian Muhammad. Singkatnya mereka harus masuk Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad. Jika tidak demikian, maka aktivitas-aktivitas
28
Dalam menunjukkan universalitas kenabian Muhammad ini digunakan berbagai istilah, diantaranya ialah istilah âlamiyyah yang dipakai oleh Muhammad Sayyid Ahmad alMusayyar dalam bukunya, al-Nubuwwah al-Muhammadiyyah, al-Wahy, al-Mu’jizah, alÂlamiyyah. Lihat, Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Argumen Puncak tentang Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, terj. Kamran As’at Irsyadi dan Hadiri Abdurrazaq (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 338. Ada juga yang menggunakan Istilah umûm dan âmmah. Lihat, Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167. 29 Komunalistik disebut juga dengan qaumiyyah. Istilah ini digunakan oleh ‘Izzah Darwazah. Lihat Muhammad ‘Izzah Darwazah, Sîrat al-rasûl Sallâ Allâh ‘alaih wa Sallam..., Juz I, h. 22.
41
tersebut dipandang tidak sah dan bahkan dianggap sebagai bentuk kesesatan atau penyimpangan. Pernyataan tegas tentang hal ini, misalnya diutarakan Ibn Katsîr;
وهو اتباع الرسل فٌما بعثهم هللا به،ال دٌن عنده ٌقبله من أحد سوى اإلسالم فً كل حٌن حتى ختموا بمحمد صلى هللا علٌه وسلم الذي سد جمٌع الطرق إلٌه إال من فمن لقً هللا بعد بعثة محمد صلى هللا علٌه وسلم بدٌن.جهة محمد صلى هللا علٌه وسلم .على غٌر شرٌعته فلٌس بمقبل ‚Tidak ada agama apapun yang akan diterima oleh Allah dari siapapun selain Islam, yaitu mengikuti ajaran para rasul yang telah diutus oleh Allah di setiap masa sampai diakhiri dengan Muhammad Saw. yang telah menutup semua jalan kepada-Nya selain dari jalur Muhammad. Maka, barangsiapa yang menjumpai Allah setelah diutusnya Muhammad dengan agama tertentu yang bukan syariatnya tidak akan diterima.‛30 Pandangan yang senada dengan itu juga ditemukan diutarakan oleh alTabarî yang mengharuskan umat-umat sebelumnya agar melakukan konversi kepada ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Karena hanya dengan cara demikian mereka akan dapat menerima pahala dan balasan dari amal kebaikan yang mereka lakukan. Dalam hal ini, al-Tabarî berkata:
وأما إٌمان الٌهود والنصارى والصابئٌن فالتصدٌق بمحمد صلى هللا علٌه وسلم فمن ٌؤمن منهم بمحمد وبما جاء به والٌوم األخر وٌعمل صالحا فلم ٌبدل.وبما جاء به ولم ٌغٌر حتى توفً على ذلك كله فله ثواب عمله وأجره عند ربه كما وصف جل .ثناؤه ‚Adapun keimanan Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in adalah membenarkan Muhammad Saw dan ajarannya. Maka, barangsiapa di antara mereka yang beriman kepada Muhammad beserta ajarannya, hari akhir, serta beramal saleh, setelah itu ia tidak meubah atau mengganti apapun hingga wafat dalam keadaan demikian, ia akan mendapatkan pahala serta balasannya di sisi Tuhannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah.‛31
30
Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm, Jilid III, h. 36. Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl ây al-Qur‘an ( Kairo: Dâr Hijr, 2001), Juz II, h. 39. 31
42
Hal yang sama juga ditegaskan oleh al-Suddî, yang menjelaskan pandangannya berupa pengilustrasian lebih lanjut bagaimana seharusnya proses konversi agama itu terjadi. Al-Suddî menuturkan:
فكان إٌمان الٌهود أنه من تمسك بالتوراة وسنة موسى كان مؤمنا حتى جاء فلما جاء عٌسى كان من تمسك بالتوراة وأخذ بسنة موسى فلم ٌدعها وٌتبع.عٌسى وإٌمان النصارى أنه من تمسك باإلنجٌل منهم وشرائع عٌسى كان.عٌسى كان هالكا فمن لم ٌتبع محمدا صلى هللا.مؤمنا مقبوال منه حتى جاء محمد صلى هللا علٌه وسلم .علٌه وسلم منهم وٌدع ما كان علٌه من سنتة عٌسى واإلنجٌل كان هالكا ‚Keimanan Yahudi itu adalah seseorang berpegang teguh dengan Taurat dan sunnah Musa, maka dia adalah orang beriman sampai kedatangan Isa. Ketika Isa sudah datang tetapi dia tidak meninggalkan Taurat dan sunnah Musa, maka dia akan celaka. Begitu juga dengan iman Nasrani, seseorang yang berpegang teguh kepada Injil serta syariat Isa, maka dia adalah orang yang beriman lagi diterima amalannya sampai datangnya Muhammad Saw. Maka, barangsiapa di antara mereka yang tidak mengikuti Muhammad Saw. karena tidak meninggalkan sunnah Isa dan Injil, maka dia adalah orang yang celaka.‛32 Pandangan al-Suddî di atas penegasan terjadinya abrogasi wahyu serta ajaran kenabian secara kronologis. Yang paling menarik adalah al-Suddî bahkan sedikitpun tidak menyinggung isu-isu perubahan yang terjadi pada kitab suci sebelumnya, yang barangkali bisa dijadikan sebagai argumentasi dari pandangannya. Namun, dengan alur berpikir yang sama, ajaran Nabi Muhammad juga akan diabrogasi jika seandainya masih ada kenabian setelahnya. Pandangan di atas kemudian melahirkan paradigma hierarkis dalam melihat seluruh rangkaian kenabian. Kenabian Muhammad kemudian disuperiorkan atas kenabian-kenabian sebelumnya, karena ini merupakan rantai terakhir kenabian dan tidak akan ada lagi kenabian setelahnya yang 32
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî..., Juz II, h. 40-45.
43
akan mendelegitimasinya. Dalam hal ini kenabian Muhammad kemudian dipandang sebagai kenabian universal yang diperuntukkan kepada seluruh makhluk alam semesta. Dalam perspektif ini, sebagaimana disebutkan dalam tafsir tematik Kementrian Agama, Kenabian (Nubuwwah) dalam al-Qur’an, kenabian diklasifikasikan kepada tiga hal.33 Pertama, para nabi yang diutus kepada kaum dan umat tertentu, seperti Musa dan Isa, karena keduanya diutus hanya untuk Bani Israil. Hal ini berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, di antara sebagai berikut:
‚Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.‛34
‚Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan
33
Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam AlQur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012), cet. I, h. 5-7. Bandingkan dengan, A. Hamid ‘Izz al-‘Arab et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah (Kairo: Kulliyat al-Dirâsah alIslâmiyyah, 1990), h. 140. 34 QS. al-Isrâ‘ [17]: 2.
44
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata."35 Kedua, nabi-nabi yang diutus untuk masa tertentu kepada umat manusia secara keseluruhan seperti Nuh, karena topan yang terjadi di masanya menenggelamkan keseluruhan bumi seperti dinyatakan dalam QS. al-Qamar [54]: 12.36 Ini berarti risalah Nuh—meskipun terbatas untuk waktu tertentu—tidak terbatas kepada umat tertentu, tetapi kepada seluruh umat manusia di masanya yang mendiami bumi ini. oleh karenanya, setelah topan tersebut menenggelamkan semua orang yang menentang risalah Nuh, QS. Hûd [11]: 44 menyatakan bahwa yang ditenggelamkan itu adalah seluruh umat manusia yang ada di bumi ini.
‚Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ."37 Ketiga, khusus Nabi Muhammad Saw. yang diutus kepada seluruh umat dari kalangan manusia dan jin (al-khalq/seluruh makhluk). Hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an, di antaranya ialah:
35
QS. al-Saff [61]: 6. Teks ayat tersebut adalah []وفجرنا األرض عٌونا فالتقى الماء على أمر قد قدر. Artinya: ‚Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, Maka bertemu- lah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan.‛ 37 QS. Hûd [11]: 44 36
45
‚Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‛38
‚Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.‛39 Demikianlah, pengkotakan rangkaian kenabian secara umum, jika dilihat dalam perspektif hirarkis ini. Kenabian Muhammad bersifat universal ditegaskan oleh banyak ulama. Misalnya, Cendikiawan India, Maulana Wahid Khan.40 Dalam argumentasinya, Khan mengilustrasikan kegagalan-kegagalan kenabian sebelumnya. Nabi Yahya (John The Baptist) memiliki pengikut yang berjumlah sedikit sekali, bahkan ia meninggal sebagai syuhada. Ketika Nabi Luth meninggalkan umatnya, ia hanya ditemani oleh dua orang anak perempuannya. Khan menambahkan, menurut Kitab Perjanjian Lama, hanya delapan orang yang ikut berlayar dalam bahtera Nabi Nuh. Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Irak, tanah tumpah darahnya, beliau hanya ditemani 38
QS. al-Saba‘ [34]: 28. QS. al-Ahqâf [46]: 29. 40 Dr. Wahiduddin Khan, lahir di Azamgarh, Uttar Pradesh, India, pada tahun 1925. I merupakan pemikir Muslim modernis dan nasionalis India. Salah satu karya fundamentalnya adalah ‚Islam and the Modern World.‛ Karyanya ini sempat menjadi best-seller di negara-negara Arab dan bahkan dijadikan sebagai salah satu bacaan wajib di universitas-universitas Arab. 39
46
oleh istrinya, Sarah, dan kemenakannya, Luth, walaupun kelak kedua anak laki-lakinya, Ismail dan Ishak, bergabung dengan rombongan beliau. Bahkan setelah usaha besar-besaran Nabi Isa (Yesus), para pendeta dan penguasa keagamaan lain yang menjadi pendengar ajaran-ajarannya tidak mau mengikuti ajaran beliau. Kedua belas karib beliau pun kadang-kadang meninggalkannya pada saat-saat penting.41 Maulana Wahid Khan bukan tidak menyadari bahwa tidak semua nabi yang bernasib sama seperti yang disebutkannya di atas. Khan menyebutkan beberapa di antaranya seperti Yusuf, Sulaiman, dan Daud. Namun ia memberi catatan bahwa kekuasaan dan prestasi nabi-nabi tersebut bukan bersumber dari hasil mereka menyebarkan agama atau karena popularitas mereka, melainkan dari sumber-sumber yang lain.42 Kesuksesan sejati, menurut Khan, hanya ada pada diri Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Baginya, Nabi Muhammad bukan hanya sebagai utusan yang menyebarkan agama, tetapi juga bertugas untuk memuliakannya lebih dari agama lain. Lebih lanjut Khan mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan akan membantu sang nabi menaklukkan musuh-musuhnya. Sebuah agama sejati dapat didirikan di atas landasan yang kuat dan sabda Tuhan dapat diabadikan, seperti tertulis dalam Injil, ‚Dan bumi akan dipenuhi pengetahuan mengenai keagungan Tuhan. Begitu pula seluruh air
41
Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad nabi untuk Semua, terj. Irwanti (Jakarta: Pustaka Alvabet, 1998), cet. I, h. 9-10. 42 Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad nabi untuk Semua, h. 11.
47
yang memenuhi samudera.‛43 Dengan demikian, bagi Khan agama sejati itu baru muncul pada masa kenabian Muhammad, sehingga bersifat universal. Sedangkan sebelumnya tidak demikian adanya. Anis Malik Thoha, termasuk yang berpandangan Muhammad berkenabian universal. Dalam hal ini, ia mengklasifikasi Islam kepada al-
Islâm al-‘Âmm dan al-Islâm al-Khâss. Yang dimaksud al-Islâm al-‘Âmm dalah Islam primordial atau fitrah, yang menjadi landasan kesatuan seluruh agama para nabi. Dalam operasionalnya dipanggung sejarah, al-Islâm al-
‘Âmm senantiasa disesuaikan dengan kondisi ke-kini-an dan ke-di sini-an. Dalam hal ini, Allah mengirim para nabi dengan wahyu yang spesifik dan relevan dengan tuntutan ruang dan waktu masing-masing (tempo lokal). Namun, ketika masa pengutusan Nabi Muhammad—menurutnya—berpadu dua hal yang universal, yaitu Islam primordial serta syariat yang juga universal. Karena itu, kenabian Muhammad adalah kenabian pamungkas dan bersifat universal.44 Sebelumnya, kalangan mufassir klasik juga tidak sedikit yang menegaskan universalitas
kenabian
Muhammad. Misalnya
al-Tabarî,
mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia; ‘Arab dan ‘Ajam, berkulit merah dan hitam.45 Selanjutnya disusul al-Qurtubî yang
43
Maulana Wahiduddin Khan, Muahammad nabi untuk Semua,h. 12. Anis Malik Thoha, ‚Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam‛ , dalam Workshop on Islamic Epistemology and Education Reform, di UIN SUSKA Pekanbaru, tanggal 27 Maret 2010, h. 10-19. 45 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 288. 44
48
menuturkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia.46 Dengan redaksi yang agak berbeda, Ibn Katsîr mengutarakan hal yang sama bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh makhluk yang mukallaf (manusia).47 Sedang al-Jîlânî menyebut Nabi Muhammad sebagai rasul yang paling sempurna yang memiliki risalah umum yang mencakup seluruh manusia (risâlah ‘âmmah shâmilah li qâtibat al-anâm).48 Pandangan klasik tersebut juga diamini oleh sejumlah mufassir kontemporer. Misalnya al-Marâghî, menyebutkan bahwa Muhammad bukan hanya diutus untuk kaumya, tetapi merupakan Nabi dan Rasul untuk seluruh manusia, baik Arab maupun non-Arab.49 Quraish Shihab menyatakan bahwa kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat.‛50 Jika diamati, secara umum argumentasi pandangan mereka adalah lafazh-lafazh al-Qur’an seperti kata-kata al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, dan
‘Âlamîn
(konteks
pengutusan
Nabi
Muhammad),
yang
kemudian
dikontraskan dangan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan
46
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân; wa al-Mubayyin li Mâ Tadammanahu min al-Sunnah wa Âyi al-Furqân, Ed. Dr. ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Muhsîn al-Turkî, dkk -Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Beirût, Mu’assasah al-Risâlah, 2006), jilid XIX, cet. I, h. 314-315. 47 Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, Jilid XI, h. 287. 48 Muhyiy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghauts al-Rabbânî wa alImâm al-Samadî (Pakistan: Maktabah al-Ma’rûfiyyah, 2010), Juz 4, h. 125. 49 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ al-Bâbî alHalabî wa Awlâdih, 1946), Juz IX, cet. I, h. 84. 50 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., h. 48.
49
Banî Isrâ‘îl (konteks pengutusan nabi-nabi sebelumnya). Ini mereka nilah sebagai sebuah pengkhususan. Sebagaimana Allah mengutamakan para nabi sebelumnya dengan keutamaan-keutamaan tertentu, maka Nabi Muhammad diberi keutamaan berupa kenabian universal.51
b. Kenabian-kenabian dalam Perspektif Ekuivalen Berbeda dengan perspektif hierakis sebelumnya, perspektif akuivalen ini melihat seluruh kenabian secara equal dan egaliter serta tidak membedakan status pendelegasian Nabi Muhammad dengan para nabi sebelumnya. Menurut perspektif ini, Muhammad sebagai nabi diutus kepada kaum tertentu sebagaimana para nabi sebelumnya. Hal itu tidak dimaknai sebagai sebuah pembatasan tetapi lebih sebagai tuntutan sejarah yang menghendaki hal itu. Ajaran-ajaran kenabian tersebut kemudian dapat berkembang dengan alurnya masing-masing tanpa mengharuskannnya bersifat universal atau membatasinya menjadi sekedar bersifat komunalistik. Pandangan ini juga tidak melihat Nabi Muhammad sebagai delegasi Tuhan telah mendelegitimasi ajaran-ajaran kenabian sebelumnya. Pada konteks ini, agama diperlakukan sebagai pesan kebenaran absolut atau ajaran hanif dari Tuhan yang berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah yang beragam, maka kemudian secara eksoterik dan operasional
51
Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân alIslâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167.
50
terbungkus dalam struktur budaya dan gaya (style) yang ditempatinya,52 sehingga satu sama lain terlihat berbeda. Namun secara esoterik tetap memiliki titik temu, meskipun perbedaan masih bisa terjadi dalam hal rumusan atau konsepsional. Ibarat cahaya, agama itu satu. Tetapi spektrum kilatannya beraneka warna. Hakikat agama yang benar secara substansial itu hanya satu dan berifat perennial, tetapi karena ia muncul dalam bingkai ruang dan waktu yang tidak stimultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak dapat dielakkan dalam realitas sejarah.53 Karena itulah mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai umat yang seragam dalam segala aspek (ummah wâhidah). Tanpa harus mempertentangkan perbedaanperbedaan tersebut, manusia justru dituntut untuk berkompetisi dalam menyumbangkan kontribusi positif sebagai hasil dari keberagamaannya.54 Kautsar Azhari Noer, pakar perbandingan UIN Jakarta, dalam sebuah penelitiannya menyimpulkan bahwa para sufi merupakan kelompok Islam yang paling toleran, paling simpatik, paling terbuka, dan paling ramah terhadap agama-agama lain. Di antara argumentasi yang ia sampaikan adalah karena para sufi berkeyakinan bahwa risalah (message) seorang nabi dan rasul bersifat universal dan esensinya sama, yaitu tauhid , ‚tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku‛ (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 25, namun di sampaikan 52
Jadi, Tuhan yang berada di luar waktu empiris dan substansi agama bersifat transhistoris, ketika ditangkap manusia yang terbingkai waktu empiris, maka ia keluar dari bentuk supraformalnya dan lantas berdialog dan berkompromi dengan nilai-bilai dan simbol-simbol yang bersifat sekuler. Lihat, Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis; Menggungat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Memmbatu (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13. 53 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis..., h. 13. 54 QS. al-Baqarah [2]: 213.
51
‚dengan bahasa umatnya‛ (QS. Ibrâhîm [14]: 4.55 Dalam hal ini para sufi secara adil melihat kesatuan agama secara esoterik, serta keniscayaan perbedaan pada aspek eksoteriknya sebagai implikasi dari upaya dinamis mengkomunikasikan pesan tauhid. Seorang
ulama
klasik,
Abû
Ja’far
al-Tûsî
(w.
460/1067),
menyebutkan bahwa ‚Tuhan tidak akan menarik janji keselamatan-Nya ketika ia telah berjanji‛.56 Janji-janji Tuhan itu terangkum dalam wahyuwahyu yang diturunkannya kepada para nabi. Jika demikian adanya, maka ini merupakan isyarat tegas bagi berlakunya wahyu-wahyu tersebut sepanjang masa, atau dengan kata lain risalah setiap kenabian itu bersifat universal, tanpa mengenal istilah kadaluarsa. Dengan demikian, seluruh kenabian, termasuk di dalamnya kenabian Muhammad sendiri, sama-sama bersifat universal dan tidak saling menegasikan. Pemikir besar beraliran Mu’tazilah, Abd al-Jabbâr al-Hamadânî (w. 415 H/1025) termasuk yang mempertanyakan gagasan kenabian universal Muhammad Saw. Sebagaimana diungkapkan Jane Dammen, ‚he felt it
necessary to remonstrate against the view tahat if Muhammad had been sent to all humanity, he shoul have adressed them all in their own languages.‛57 Basis kritik al-Hamadânî adalah QS. Ibrâhîm [14]: 4, yang mengeksplisitkan bahwa semua utusan Allah diutus sesuai dengan bahasa kaumnya. Karena itu, bagi al-Hamadânî, gagasan universalitas kenabian Muhammad tersebut 55
Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis..., h. 17. Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 68. 57 Lihat Jane Dammen Mc Auliffe (ed), The Cambridge Companion to the Qur’an (New York, Cambridge University Press, 2006), hal. 155. 56
52
bertolak belakang dengan kandungan QS. Ibrâhîm [14]: 4, yang justru memuat pesan atau ketentuan yang bersifat universal. Muhammad Abduh, pemikir dan mufassir kontemporer, lebih menitikberatkan perhatiannya pada substansi agama itu sendiri daripada manifestasi-manifestasinya yang beragam dalam tradisi kenabian. Dalam hal ini, Abduh berkomentar:
وأما أنساب الشعوب وما تدٌن به من دٌن وما تتخذه من ملة فكل ذلك ال أثر له بل عماد الفالح،فً رضاء هللا وال غضبه وال ٌتعلق به رفعة شأن قوم وال ضعتهم ووسٌلة الفوز بخٌري الدنٌا واآلخرة إنما صدق اإلٌمان باهلل تعالى بأن ٌكون التصدٌق .سطوعا على النفس من مشرق البرهان أو جٌشانا فً القلب من عٌن الوجدان ‚Adapun bangsa, agama, dan millah apapun, sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap suka ataupun murkanya Allah, tidak pula berarti apaapa terhadap kemuliaan atau kehinaan suatu kaum. Tetapi kebenaran iman kepada Allah yang menerangi segenap jiwa sebagai refleksi dari jelasnya bukti-bukti (burhân) atau bergeloranya hati oleh pengalaman spiritual terdalam, itulah yang menjadi pilar dan faktor keselamatan dunia dan akhirat.58 Pandangan Abduh di atas mendapatkan afirmasi kuat dari muridnya, Rashîd Ridâ. Terhadap pandangan Abduh tersebut, dalam hal ini, Ridâ menegaskan:
ً ألن الكالم ف،ال إشكال فً عدم اشتراط اإلٌمان بالنبً صلى هللا علٌه وسلم معاملة هللا تعالى لكل فرق أو األمم المؤمنة بنبً ووحً بخصوصها ‚Tidak ada masalah terkait dengan tidak disyaratkannya beriman kepada Nabi Muhammad saw., karena komunikasi Allah kepada setiap kelompok dan umat-umat beriman, masing-masing dengan nabi dan wahyunya tersendiri.‛59 ‘Izzah Darwazah juga sempat membicarakan tentang status kenabian Muhammad. Dalam hal ini, ‘Izzah mengomentari pandangan yang 58
Selengkapnya silahkan konfirmasi langsung dalam Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ,
Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm (Kairo: Dâr al-Manâr, 1947), juz 1, cet. 2, h. 334-335. 59 Lihat Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm, h. 336.
53
mengatakan kenabian Muhammad bersifat komunalistik (risâlah qaumiyyah). Di antara ayat yang diutarakan sebagai dasar argumentasi pandangan tersebut adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi peringatan bagi kaumnya serta bahwa ia juga merupakan saksi (shahîdan) bagi orang Arab. Hal ini dengan sangat keras disangkal oleh Izzah dan mengatakan pandangan tersebut sebagai sesuatu yang sangat keterlaluan. Namun, menyadari bahwa pandangan itu cukup argumentatif (berdasarkan ayat-ayat sebagai landasan normatif) Izzah kemudian menyebutkan bahwa kenabian Muhammad pada awalnya memang bersifat lokal, namun kemudian berkembang menjadi universal. Dalam hal ini, Izzah Darwazah menjelaskan:
وال ٌمنع هذا بطبٌعة الحال القول إن الرسالة المحمدٌة قد استهدفت كخطوة ًأولى إنهاض األمة العربٌة وتخلٌصها من جاهلٌتها وتوحٌدها وطبعها بالطبع اإلسالم .الذي أهلها لحمل مشعل الهداٌة للعالم ‚Dan tidak ada hambatan untuk mengatakan bahwa dalam konteks ini risalah Nabi Muhammad pada awalnya bertujuan untuk kebangkitan masyarakat Arab, membebaskan mereka dari kejahiliahan, membuat mereka bertauhid, serta membentuk mereka dengan kehidupan yang islami yang dipersiapkan untuk membawa obor hidayah kepada dunia.60 Sarjan non-Muslim, Fred Donner, seperti diulas Mun’im Sirry dalam bukunya Kontroversi Islam Awal, pernah mencoba membuktikan bahwa Nabi Muhammad semenjak awal tidak memiliki gagasan menjadikan Islam sebagai identitas atau sebagai agama distingtif. Menurut Donner, pada masa awal pengikut Muhammad hanya disebut sebagai ‚mukmin‛ bukan ‚muslim‛ yang kita pahami sekarang. Mukmin dalam pengertian ini menunjukkan arti inklusivisme serta ekumenisme komunitasnya (community of believers). 60
Lihat Muhammad ‘Izzah Darwazah, Sîrat al-rasûl..., Juz I, h. 26-27.
54
Artinya, mereka belum menjadi sebuah komunitas keagamaan terpisah dari komunitas keagamaan yang sudah mapan, seperti Yahudi dan kristen. Komunitas tersebut terdiri dari mereka yang mempunyai kesamaan dengan keyakinan Nabi Muhammad tentang monoteisme, hari akhirat, dan pentingnya amal saleh.61 Dalam bukunya, Muhammad and the Believers, sebagaimana dikutip Mun’im
Sirry,
Donner
menyertakan
sejumlah
argumentasi
atas
pandangannya tersebut. Pertama, kata ‚muslim‛ muncul di dalam al-Qur’an jauh lebih sedikit (sekitar 75 kali) dari kata ‚mu’min‛ (hampir 1000 kali). Ini merupakan indikasi bahwa perhatian al-Qur’an adalah untuk membangun
community of believers. Kedua, dalam QS. al-Baqarah [2]: 62 dan QS. alMâidah [5]: 69, Allah berfirman: ‚mereka yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Kristen, siapapun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir kemudian beramal saleh, maka tidak ada ketakutan bagi mereka dan tidak juga kesedihan.‛ Berdasarkan ayat ini, faktor krusial untuk mencapai keselamatan bukanlah seseorang harus bergabung ke dalam satu kelompok agama tertentu, melainkan keimanannya terhadap Tuhan, Hari Akhir, dan amal saleh. Implikasinya adalah sebagian Yahudi, sebagian Kristen, sebagian Sabi’in, dan sebagainya, dapat dikatakan mukmin dan bergabung di bawah payung besar komunitas beriman (community of believers).62
Ketiga, bukti historis berupa ‚Piagam Madinah‛. Di dalamnya diebutkan bahwa kaum Yahudi, Kristen, dan pengikut Nabi merupakan satu 61 62
Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 120-121. Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 121-122.
55
komunitas (ummah). Hal ini, menurut Donner, merupakan indikator kuat bagi gagasan tentang community of believers di atas. Keempat, terdapat dua catatan awal (papyrus), yang menyebut Mu’awiyyah sebagai ‚amîr al-
mu’minîn‛, dan yang lain tertulis, ‚sanah itsnain wa arba’în min qadâ‘ almu‘minîn‛ (tahun empat puluh dua dari kekuasaan kaum mukminin). Hal yang menarik, dua dokumen awal itu masih menggunakan istilah mu‘minûn bukan muslimûn. Hal ini dapat dimaknai sebagai indikasi bahwa identitas kaum beriman sebagai Muslim yang terpisah dari komunitas Yahudi dan Kristen belum sepenuhnya mengkristal.63 Pandangan Fred Donner, beserta argumentasi-argumentasinya di atas, setidaknya afirmatif dengan pandangan yang tidak membedakan kenabian yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Donner mencoba mendeskripsikan bahwa Nabi Muhammad sebagai delegasi Tuhan tidak mendelegitimasi kenabian-kenabian sebelumnya, tetapi justru merangkul serta meneguhkan orang-orang yang masih menjaga tradisi-tradisi dan ajaranajaran mereka. Berdasarkan ilustrasi di atas, Donner menyimpulkan bahwa Islam sebagai agama distingtif baru terjadi pada masa belakangan, bukan semenjak awal masa kenabian. Sebagai seorang yang konsen dalam studi semantik al-Qur’an, Izutsu melihat kenabian Muhammad lewat perspektif bahasa. Izutsu yang secara tegas menyebut bahwa semua nabi yang diutus sebelum Muhammad berbicara dengan kaumnya dengan bahasa yang mereka miliki. Hal yang sama 63
Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 122-123.
56
juga terjadi pada Muhammad. Karena beliau merupakan Nabi yang berasal dari Arab dan Rasul untuk orang Arab, maka Kitab yang diturunkan kepada beliau pun berbahasa Arab. Jika tidak demikian, maka tidak ada alasan mengapa bahasa Arab yang dipilih—untuk wahyu tersebut—, dan bukan bahasa lainnya.64 Dalam hal ini, Izutsu memahami bahwa al-Qur’an sangat menyadari bahwa bahasa dan masyarakat dua hal yang tidak bisa dipisahkan.65
B. Polemik Signifikansi Kenabian dalam Wacana Agama 1. Konstruksi makna kenabian Kenabian merupakan istilah religius yang secara fundamental diposisikan sebagai suatu hal yang substansial dan signifikan dalam wacana agama. Ia sering digunakan sebagai parameter inti dalam menilai validitas sebuah agama, bahkan jantung bagi eksistensi agama itu sendiri. Kenyataan ini sebagaimana terlihat dalam tradisi agama langit, atau yang sering juga disebut dengan istilah agama wahyu. Baik istilah langit maupun wahyu, keduanya menegaskan pemaknaan tentang agama yang berasal dari tradisi profetik atau kenabian. Meskipun demikian, kenyataan ditemukan bahwa kenabian hanya identik dengan agama-agama yang muncul di Timur Tengah. Sedangkan pemimpin-pemimpin agama dunia, yang melahirkan agama baru atau memperbarui suatu agama dari kawasan lain tidak lazim disebut nabi. Tokoh64 65
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan manusia..., h. 211. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan manusia..., h. 205.
57
tokoh seperti Konfusius, Lao-tse, dan Mencius dari Cina atau Sidharta Gauthama dari India, tidak disebut sebagai nabi, karena memang tidak mengklaim diri sebagai penerima wahyu atau diutus oleh Tuhan.66 Dengan demikian, maka kenabian dapat dimaknai dalam dua hal; agama wahyu atau agama Timur Tengah. Kedua makna tersebut dapat diintegrasikan dengan sebuah klaim bahwa agama wahyu hanyalah agama yang lahir di Timur Tengah. Pada perkembangannya, agama profetik juga dikenal dengan istilah agama semitik. Kata semitik merujuk kepada bangsa Semit yang merupakan keturunan salah seorang dari tiga putrah Nabi Nûh, yaitu Sâm ibn Nûh.67 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kenabian adalah sifat (hal) Nabi atau yang berkenaan dengan Nabi. Sedangkan Nabi sendiri adalah istilah yang ditujukan kepada orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya.68 Pemaknaan yang sama dapat dijumpai dalam banyak literatur Islam. Dalam Tafsir Tematik Kementrian Agama: Kenabian
(Nubuwwah) dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa definisi terbaik (jâmi’ mâni’) adalah apa yang telah dirumuskan oleh Sa’d al-Dîn al-Taftazânî, pakar telogi Islam yang otoritatif, bahwa kenabian ialah, ‚sifat (hal) yang berkenaan dengan manusia (al-insân) yang diutus oleh al-Haq (Allah) kepada
66
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002), Cet. II, h. 297. 67 Mustafâ Sâdiq al-Râfi’î, Târîkh Âdâb al-‘Arab (al-Mansûrah: Maktabah al-Aymân, 1997), cet. I, h. 37. 68 W.J.S. Porwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 679.
58
al-Khalq (makhluk).‛69 Kemudian, dalam buku Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî fî Daw‘ al-Kitâb wa al-Sunnah, disebutkn bahwa kenabian adalah pesan atau informasi khusus yang Allah berikan kepada seseorang di antara hambahamba-Nya dan mengistimewakan hamba tersebut dari manusia lainnya (dalam bentuk pengabdian), serta mentaati syariat Allah, apakah hal tersebut dalam hal perintah, larangan, bimbingan, janji baik atau ancaman.70 Dari keterangan ini, dipahami bahwa penjelasan seputar nabi dan kenabian mengandaikan pelibatan satu konsep teknis yang tanpanya mustahil nabi dan kenabian dapat dibicarakan. Konsep yang dimaksud adalah konsep wahyu, yaitu salah satu bentuk relasi komunikatif yang terbangun antara Tuhan yang Transenden dengan manusia sebagai makhluk-Nya yang profan. Inilah yang menjadi pertimbangan mengapa kenabian diposisikan sebagai epistemologi agama, yaitu sebagai garansi bagi validitas terjadinya kontak dengan Tuhan, yaitu lewat proses pewahyuan. Terkait dengan pewahyuan, Nûr al-Dîn ‘Itr mengutip Ibn Fâris, menyebutkan bahwa kombinasi wâw, hâ, dan harf mu’tal (wahy) adalah penyampaian informasi kepada orang lain secara sembunyi-sembunyi. Berangkat dari makna ini, Nûr al-Dîn ‘Itr kemudian memahami wahyu sebagai isyarat yang cepat 71 Senada dengan itu, berangkat dari dua makna dasarnya, yaitu al-khafâ‘ (tersembunyi) dan al-sarî’ah (cepat), al-Qattân 69
Lihat Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 5, sebagaimana dikutip dari, Sa’d al-Dîn al-Taftazânî, Syarh al-Maqâsid, ‘Abd al-Rahmân ‘Umairah (ed.) (Beirut: ‘âlam al-Kutub, 1989), Jilid V, h. 25. 70 Muhammad ibn Khalîfah ibn ‘Alî al-Tamîmî, Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî fî Daw‘ al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyad: Adwâ‘ al-Salaf, 1997), h. 63. 71 Nûr al-Dîn ‘Itr, Ulûm al-Qur‘ân al-Karîm (Damaskus: Matba’ah al-Sabl, 1993), h. 14.
59
memaknai wahyu sebagai pemberitahuan terhadap komunikan yang berlangsung secara tersembunyi, cepat, serta eksklusif, karena tersembunyi dari pihak lain.72 Atas kenyataan ini, wahyu dalam pengertian religiusnya kemudian dimaknai oleh al-Qattân dengan ‚pemberitahuan petunjuk oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya secara sembunyi dan cepat (tertutup).73 Dalam wacana agama, pihak yang menerima pesan secara eksklusif dari Tuhan inilah yang kemudian disebut sebagai nabi. Setelah menerima pesan tersebut, maka para nabi selaku delegasi Tuhan akan menyampaikan pesan tersebut kepada komunitas di mana mereka berada. Hal ini karena—sebagaimana ditegaskan oleh Ubay ibn Ka’ab, Ibn Zayd, dan al-Tabarî, —kemunculan setiap tradisi kenabian dilatarbelakangi oleh adanya perselisihan sosial (ikhtilâf) di tengah masyarakat.74 Proses penyampaian inilah yang disebut sebagai tablîgh, sehingga seorang nabi dalam hal ini memiliki fungsi berikutnya sebagai rasul atau utusan.75 Ilustrasi penjelasan seputar pewahyuan di atas pada dasarnya sedang mendeskripsikan fenomena kenabian itu sendiri. Pewahyuan dan kenabian yang dibedakan oleh sudut pandang saja. Pewahyuan mendeskripsikan proses dari sumber, yaitu Allah, sedangkan kenabian proses tersebut dilihat dari penerimanya, yaitu sosok nabi tertentu. Sedangkan istilah rasul, berkaitan
72
Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân,h. 26. []إعالم هللا تعالى من ٌصطفً من عباده ما أراد من هداٌة بطرٌقة خفٌة سرٌعة. Lihat, Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân,h. 27. 74 Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Jilid III, h. 624. 75 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 197. 73
60
dengan fungsi seorang nabi ketika menyampaikan kepada manusia apa yang telah diterimanya dari Tuhan. Namun, jika kita konfirmasi kepada al-Qur’an, term wahyu dipakai dalam pengertian yang sangat luas. Dalam al-Qur’an kata wahyu juga dihubungkan—misalnya— dengan ibu Musa (perempuan), lebah, syaitan, dan sebagainya.76 Korelasi kata wahyu dengan manusia pada umumnya, disebut oleh Izutsu sebagai ilhâm atau ‚inspirasi‛ (bersifat lebih umum dan nonverbal). Ini menunjukkan bahwa Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya secara langsung kepada manusia tanpa perantara, hanya saja ini dilakukan tanpa formulasi pemikiran linguistik apapun. Tuhan, dalam hal ini, menghidupkan pikiran manusia sedemikian rupa sehingga manusia segera memahami kehendak Tuhan.77 Kenabian dalam pengertian yang disebutkan Izutsu di atas, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh kaum rasionalis Islam, seperti al-Farabî w.950 M), Ibn Sinâ w.1037), Ibn ‘Arabî, dan sebagainya. Misalnya, al-Farabî dan Ibn Sinâ, menyebutkan bahwa manusia yang memperoleh kenabian itu dianugerahi akal yang hebat dan kuat serta berdaya suci (al-hads al-qudsî). Dengan akal yang istimewa itu mereka dapat berhubungan (ittisâl) dengan akal aktif (al-‘aql al-fa’âl) yang disebut Jibril dan dapat menerima cahaya atau wahyu ilahi. Dengan kata lain, menurut kedua filsuf ini, manusia yang memperoleh akal mustafâd tanpa melalui usaha dengan daya imajinasi kompositifnya (al-quwwah al-mutakahyyilah) itulah manusia yang menerima 76 77
Lihat, Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân,h. 26-27. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia...,h. 177.
61
nubuat yang selanjutnya disebut nabi.78 Pandangan ini mendapat kritik dari para teolog dan ahli fikih muslim, karena dianggap merendahkan kenabian serta menjadikan kenabian terkesan bisa diusahakan (iktisâb).79 Sementara itu, kenabian yang bersifat iktisâb juga ditonjolkan dalam filsafat kenabian Ibn ‘Arabî. Menurutnya, dalam diri manusia dan semesta terdapat aspek makrokosmik dan mikrokosmos. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, jiwa manusia merupakan mikrokosmos, yaitu mengandung semua realitas semesta dalam dirinya.80 Dari kenyataan ini, konstruks pemikirannya tentang kenabian terdiri dari tiga tahapan; wilâyah atau kewalian (kesudian dan kedekatan diri kepada Allah, maqâmât (tahapan pengalaman rohaniah), dan terakhir nubuwwah (kemampuan komunikasi dengan Tuhan).81 Dengan melewati tahapan-tahapan tersebut, seseorang akan dapat menggapai derajat kenabian tersebut. Sepanjang uraian di atas, maka kenabian menjadi tidak hanya terbatas kepada makna mainstream seperti agama langit, agama Timur Tengah, atau agama semitik saja. Mengingat hampir setiap figur perintis atau pemimpin agama dunia melakukan aktifitas yang terangkum dalam konstruk makna kenabian
tersebut.
Mereka
menerima
pencerahan
dari
Tuhan
lalu
menyebarkannya kepada manusia yang ada di sekitarnya. Sehingga, dalam
78
Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam AlQur’an, h. 7. Bandingkan dengan, Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi (Bandung: Mizan, 2003), h. 49. 79 Lihat, Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 8-9. 80 William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, Pengetahuan Spiritual Ibn al’Arabi, terj. Achmad Nidjam (jakarta:Qalam, 2001). 81 Hajam, Falsafah Nubuwwah Ibn ‘Arabi, h. 11.
62
hal ini tidak ada hambatan apapun untuk menyebut mereka juga sebagai nabi. Kenyataan ini diperkuat oleh adanya sanggahan kuat terhadap teori klasifikasi normatif agama kepada agama langit dan agama bumi yang dinilai tidak argumentatif sama sekali.82 Di antara yang menggugat teori tersebut adalah Ali Syari’ati (19331977), cendikiawan dan sosiolog Iran, yang mengatakan bahwa para nabi secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: nabi-nabi nonSemitik (Iran, China, dan India, yaitu orang-orang Arya atau Chrysalis) dan nabi-nabi Semitik. Dalam pandangan Ali Syari’ati, tokoh seperti Zoroaster, Buddha, Konfusius, Laotse, Mahavira, dan sebagainya, termasuk di antara nabi-nabi besar.83 Selain itu, jika pembacaan terhadap kenabian dengan perspektif etimologis kata wahy berimplikasi kepada kenabian sebagai sesuatu hal yang sifatnya ikhtisâs (penunjukan), maka pembacaannya secara filosofis justru mengesankannya menjadi bersifat iktisâb (bisa diusahakan). Jika kenabian dipandang sebagai sesuatu hal yang dapat diusahakan, maka ia merupakan suatu hal yang tetap terbuka dan terus berlangsung hingga akhir zaman,
82
Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-agama,‛ Titik-Temu; Jurnal Dialog Peradaban, vol. 3, no. 2 (Januari-Juni 2011): h. 78. 83 Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi…, h. 89. Bandingkan, Ali Syari’ati. The Visage of Islam, terj. Abdulaziz Abdulhussein Sachedina (Tehran: Committee for Intenational Propagation of the Islamic Revolution in collaboration with Soroush Publications, 1981), h. 8.
63
meski tidak membawa syariat baru. Hal ini sebagaimana menjadi keyakinan Ahmadiyah, baik aliran Lahore maupun aliran Qadyan.84 Pandangan ini identik dengan gagasan tokoh Yahudi, Maimonides atau Rabi Moses ibn Maimon, seorang filosuf Yahudi, lahir di Kordova pada 1135 atau 1138 M, yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd (w. 594 H/1198 M). Maimonides memperkenalkan istilah nubuwwah minor, yaitu kenabian yang muncul sebagai repetisi atau paling jauh penyempurna terhadap yang sebelumnya. Ia tidak hadir sepenuhnya dengan ajaran atau syariat baru. Kenabian minor ini bisa dicapai oleh siapa saja, dan fenomenanya masih terus berlanjut sehingga siapapun kemudian bisa menjadi ‚Nabi‛.85
2. Konsepsi agama Agama merupakan sebuah entitas yang belum terdefinisikan secara tuntas dan hadir dalam penampakan yang bermacam-macam. Mulai dari sekedar ajaran akhlak hingga ideologi pergerakan, sejak perjalanan spiritual yang sangat individual hingga tindakan kekerasan yang massal, sejak ritusritus khidmat yang menyejukkan hingga ceramah-ceramah demagog yang
84
Pandangan kenabian seperti ini sering diposisikan sebagai penodaan terhadap Islam dan menandingi kenabian Muhammad Saw. Lihat, Mirza Ghulam Ahmad, Haqîqat al-Wahy (t.tp: t.p, 1907), h. 97. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (New Delhi: National Publication and Printing House, 1890), h. 263. Maulana Muhammad, Gerakan Ahmadiyah, terj. Tbg. Muhammad Syarif E. Koesnadi (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2002), h. 19-20. Syarif Ahmad Lubis, Jemaat Ahmadiyah: Sebuah Pengantar (Parung: JAI, 1994), h. 13. Bandingkan dengan A. Fajar Kurniawan, Teologi Nubuwwah Ahmadiyah (Jakarta: RM Books, 2006), h. 87-88. 85 Ibrâhîm Madzkûr, Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya, terj. Yudian Wahyudi (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), h. 151-152. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London dan New York: Rouledge, 1996), h. 730-731.
64
menyesakkan.86 Di antara yang menegaskan ini misalnya, Wilfred C. Smith, pakar studi agama-agama dunia, yang menyatakan bahwa sejauh ini tidak satu definisi pun tentang religi (agama) yang pernah diajukan terbukti meyakinkan; tidak satu generalisasi pun yang agak memadai.‛87 Kenyataan ini tentu saja merupakan suatu hal yang krusial sekali, mengingat agama merupakan sebuah entitas yang memiliki kontribusi serta peran yang sangat besar dan signifikan sepanjang sejarah manusia, baik itu dulu, sekarang maupun nanti. Karena itu, upaya serius untuk menemukan konstruks batasan agama yang proporsional mutlak diperlukan. Upaya tersebut dapat di awali dengan berangkat dari fakta bahwa agama lebih dominan dipahami sebagai sebuah institusi sosial. Eksistensi sejumlah istilah seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu, dan sebagainya, adalah membuktikan hal demikian. Agama dalam hal ini adalah seperti yang didefinisikan Emile Durkheim (1858-1917M), yaitu sebagai sistem yang dipadukan mengenai kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal suci (sacred things), yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang, kepercayaan-kepercayaan dan praktikpraktik yang menyatukan semua pengikutnya ke dalam satu komunitas moral tunggal yang disebut umat.88
86
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2003), cet. I, h. 20. 87 Wilfred C. Smith, Memburu Makna Agama, terj. Landung Simatupang (Bandung: Penerbit Mizan, 2004), hlm. 19. 88 Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 2008), h. 130.
65
Hal yang tidak jauh berbeda ditemukan dalam The Encyclopedia of
Philosophy ketika menguraikan seputar karakteristik agama (characteristic features of religio). Unsur-unsur tersebut terdiri dari; keyakinan terhadap wujud supranatural, klasifikasi objek sakral dan profan, aktivitas ritual kepada objek sakral, ajaran moralitas dari Tuhan, perasaan khas agama (takut, takjub, misterius, bersalah, dan sebagainya), sembahyang dan bentukbentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan, pandangan dunia atau gambaran umum tentang dunia secara keseluruhan, sikap hidup yang bersifat menyeluruh yang didasarkan pada pandangan dunia tersebut, serta kelompok sosial yang dilingkupi oleh kesamaan-kesamaan dari hal-hal di atas.89 Meskipun tidak bermaksud memberikan batasan terhadap agama, namun beberapa poin dari karakteristik-karakteristik tersebut lebih menegaskan agama sebagai sebuah institusi sosial. Karakteristik-karakteristik
itu
kemudian
disederhanakan
oleh
Moqsith menjadi tiga hal pokok.90 Pertama, adanya seorang perintis atau pendiri yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual dan telah mendapat wahyu dari Tuhan sehingga sangat dihormati bahkan disakralkan. Orangorang inilah yang biasa disebut nabi, rasul, dan semacamnya, yang kemudian membentuk komunitas atau umat pertama. Yahudi dibawa oleh Musa, Kristen
89
oleh Yesus, Islam oleh Muhammad Saw., Budha oleh Sidharta
Paul Edwards (Ed), The Encyclopedia of Philosophy (USA: Macmillan Reference, t.t), Volume VII, h. 141. Lihat juga, Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 51. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar, h. 20. 90 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama..., h. 51-53.
66
Gautama, dan sebagainya. Para nabi itu kemudian menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada sahabat-sahabatnya. Pada periode rintisan, semua agama yang kini berkembang menjadi agama dunia biasanya hadir pertama kali sebagai agama lokal; di anut dan diyakini segelintir manusia.
Kedua, adanya doktrin yang dijadikan pegangan para pengikut agama. Dalam rumpun atau tradisi agama Abrahamik, doktrin itu dibukukan sebagai kitab suci, dan begitu juga sabda nabinya. Islam menyebutnya al-Qur’an, Kristen menyebutnya Alkitab, Yahudi menyebutnya Torah atau Taurat. Dalam kitab-kitab tersebut biasanya dijelaskan pokok-pokok ajaran agama yang meliputi tata cara ritual berhubungan dengan Tuhan, perihal kehidupan akhirat, berbicara tentang surga dan neraka, juga tata cara sosial berhubungan dengan manusia. Agama-agama besar di luar tradisi Abrahamik juga memiliki kitab-kitab suci serupa, misalnya Weda, Tripitaka, Zanda Avesta. Sedangkan ajaran-ajaran agama lokal atau primitif biasanya tidak dibakukan atau dikodifikasi dalam sebuah kitab, melainkan disampaikan dari lisan ke lisan secara turun-temurun sebagaimana tergambar dalam tradisi-tradisi dan upacara-upacara.
Ketiga, adanya komunitas atau umat yang mengikuti dan mempercayai nabi dan ajarannya. Anggota komunitas tersebut bisa berjumlah sedikit, bisa juga mencapai jutaan orang. Komunitas inilah yang menentukan kelestarian sebuah agama dengan menjalankan ritual peribadatan. Untuk tujuan peribadatan itu, didirikan rumah-rumah ibadah, seperti masjid, gereja, wihara, dan candi.mereka juga berperan menyampaikan dan menyebar ajaran
67
agamanya ke kelompok, individu dan bangsa lain sehingga agama tersebut dianut bukan oleh kelompok terbesar melainkan juga oleh banyak kelompok secara luas, mulai dari kalangan miskin hingga kalangan kaya, dari rakyat jelata hingga penguasa. Berdasarkan keterangan Moqsith di atas, maka agama sebagai sebuah institusi sosial dapat dikatakan sebagai perpaduan antara tiga hal pokok, yaitu sosok perintis, doktrin, serta komunitas (para pengikut). Faktanya, realitas memang membuktikan bahwa setiap agama memiliki tiga hal tersebut, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Atas kenyataan
ini,
Komaruddin
Hidayat
misalnya,
mengatakan
bahwa
penjelmaan agama menjadi sebuah institusi sosial merupakan satu perkembangan historis yang tidak bisa dihindarkan.91 Dengan demikian, bagi Komaruddin, agama institutif bukanlah sebuah definisi tetapi hanya kehendak mutlak perkembangan sejarah yang sulit dielakkan. Pandangan Komaruddin Hidayat di atas dapat dijadikan pijakan awal untuk mengelaborasi agama sebagai sebuah entitas secara lebih kritis. Dalam perspektif ini, hal ini dapat dilakukan dengan upaya menanggalkan unsurunsur potensial pembentuk makna institutif itu sendiri dari sebuah batasan agama. Tiga unsur pokok di atas, yaitu tokoh perintis, doktrin, dan komunitas, secara keseluruhan potensial mengarahkan agama ke arah pengertiannya yang institutif. Selain itu, distingsi antar agama pada tiga aspek ini membuktikan hal-hal tersebut bukan suatu hal yang paling 91
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu Di Bumi; Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 62-63.
68
fundamental dan substansial dalam agama. Sesuatu yangpaling substansial dan fundamental itu adalah sesuatu hal yang selalu ada pada setiap agama di tengah perbedaan-perbedaan yang ada. Hal tersebut tidak lain adalah kepercayaan kepada Tuhan, bukan pada tataran konsep, tetapi yang tertanam dalam jiwa manusia. Hal ini merupakan suatu hal yang langsung dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia, sehingga setiap mereka meilikinya. Dengan demikian, agama bukan suatu hal yang diperoleh dari orang lain atau dari proses tertentu apapun. Dalam perpektif di atas, maka pandangan yang mengatakan agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada manusia92 merupakan suatu hal yang keliru. Seharusnya, dalam hal ini agama dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah, bersifat abadi, dan diberikan sekali untuk selamanya,93 atau seperti yang ditegaskan John Locke (1632-1704), agama merupakan sesuatu bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku sendiri tidak memberitahu kepadaku.94 Anggapan agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada para nabi untuk disampaikan kepada segenap umat manusia mendapat catatan kritis dari Kautsar Azhari Noer, pakar perbandingan agama. Dalam hal ini, secara tegas Kautsar mengatakan bahwa al-Qur’an dan hadis tidak 92
M. Sayuthi, Metodologi Peelitian Agama; Pendekatan teori dan Praktik (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002), h. 1. 93 Burhanuddin Daya, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda (Jakarta: INIS, 1992), h. 24. 94 Dikutip oleh Quraish Shihab dalam M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an…,h. 209
69
pernah mengatakan bahwa Allah telah mewahyukan atau menurunkan agama kepada para nabi-Nya. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa Allah telah menurunkan Injil (Q 3: 3, 65; 5: 46), Taurat (Q 3: 3, 65), Zabur (Q 4: 163; 17: 55), dan al-Qur’an (Q 3: 3, 7; 4: 113; 16: 44).95 Dengan demikian, gagasan agama wahyu (revealed religion) yang mengandung arti bahwa yang diwahyukan adalah sebuah agama,96 secara otomatis juga tertolak. Secara teoritis, penolakan terhadap gagasan bahwa agama adalah sesuatu yang diwahyukan dapat dijelaskan lewat perspektif tiga kata qur’anic yang sering diidentikkan bermakna agama. Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga kata yang sering dimaknai para mufassir sebagai agama. Kata-kata tersebut terdiri dari dîn, millah, dan ummah.
Pertama; kata dîn. Secara etimologis, dîn mencakup arti ketaatan dan kemaksiatan, kemuliaan dan kehinaan, paksaan dan kesalehan, perhitungan dan pembalasan, putusan, kekuasaan, pengaturan, tingkah laku, adat, kebiasaan, hal, keadaan, perkara, urusan, kepercayaan, tauhid, ibadah, millah, mazhab, dan nama bagi semua sarana untuk menyembah Allah.97 Kenyataan
95
Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi…, h. 84. Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi…, h. 86. 97 Muhammad ‘Abd Allah Darrâz, al-Dîn; Buhûts Mumahhadah li Dirâsat Târîkh alAdyân (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1974), cet. III, 30. Lihat juga, Ahsin Wijaya Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), h. 65. 96
70
ini menunjukkan dîn bukan hanya sekedar kata ambigu (mushtarak)98 tetapi juga ambivalen atau bermakna kontradiktif (addâd).99 Problem tersebut kemudian dianalisis oleh Abdullah Badran, guru besar al-Azhar, dalam bukunya al-Madkhal ilâ al-Adyân. Dari analisisnya, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, Badran sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh kata yang terbentuk dari asal kata dal, ya’, dan nun, seperti
dain yang berarti utang atau dana yadinu (dîn) yang berarti menghukum, taat, dan sebagainya, semuanya menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan interaksi seperti yang tergambar dalam makna-maknanya.100 Ambivalensi makna yang terkandung pada kata dîn di atas, membuatnya tidak lengkap (parsial) jika hanya memaknainya dengan
tâ’ah dan inqiyâd.101 Dalam hal ini Izutsu berkomentar, ‚kepatuhan‛ hanya mewakili satu aspek dari persoalan tersebut. Hal ini karena dîn merupakan kata yang ambivalen (addâd), yaitu memiliki dua wajah yang berlawanan; positif dan negatif, yang bisa digunakan dalam waktu yang bersamaan tanpa pembedaan. Konsep dîn menjadi komprehensif dengan
98
Sibawaih mendefinisikan musytarak dengan [ً]إتفاق اللفظ واختالف المعان, yaitu kata yang sama namun bermakna berbeda. Sedangkan ulama Usul al-Fiqh mendefinisikannya dengan [ اللفظ وضعا أوال من حٌث هما كذلك،]الموضوع لحقٌقتٌن مختلفتٌن أو أكثر, yaitu suatu kata yang dari awal memiliki makna hakiki dua atau lebih. Lihat Muhammad Nûr al-Dîn al-Munjid, al-Isytirâk al-Lafzy fî alQur`ân al-Karîm Bain al-Nazriyyah wa al-Tatbîq (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998), h. 29 dan 56. 99 Addâd (ambivalen), yakni kata-kata yang memiliki dua makna yang berlawanan. Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 247. 100 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), cet. VI, h. 209. Bandingkan dengan Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 21. 101 Misalnya, seperti yang dilakukan al-Sahrastânî. Lihat, Abû al-Fath Muhammad ibn ’Abd al-karîm al-Sahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Juz I, h, 33-34.
71
dua arah yang berlawanan ini.102 Pernyataan Izutsu ini menegaskan pandangan Badran di atas. Dengan demikian, dîn yang biasa diterjemahkan ‚agama‛ dipahami oleh Badran dan Izutsu sebagai kata yang menggambarkan hubungan eksklusif antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua, yang tentu saja dalam konteks agama maksudnya adalah Tuhan sebagai pihak pertama dan personal manusia sebagai pihak kedua.103 Kenyataan di atas dikonfirmasi oleh friman Allah di dalam alQur’an, sebagaimana berbunyi:
‚Maka hadapkanlah dirimu kepada dîn secara langsung (pure), itulah fitrah (ketetapan) Allah yang telah menciptakan manusia di atasnya. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah itu. Itulah agama yang teguh, namun sayang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.‛104 Ayat tersebut menegaskan bahwa agama merupakan karya Tuhan langsung yang ditanamkan di setiap jiwa manusia yang disebut al-Qur’an
102
‚Inilah sebabnya dalam beberapa kasus kata dîn yang sama dapat ditafsirkan baik sebagai qahr ‚menggunakan kekuatan superiornya untuk menundukkan orang lain‛, dan tâ’ah ‚kepatuhan‛, tanpa kita dapat mengatakan mana di antara dua cara penafsiran tersebut yang benar.‛ Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 247. 103 Izutsu memvisualisasikan interaksi dua pihak itu (Tuhan dan personal manusia) dalam bentuk sebuah lingkaran yang mengalienasi keduanya dari yang lain. Sehingga hal itu menjadi benar-benar eksklusif. Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 77-78. 104 QS. al-Rûm [30]: 30.
72
dengan istilah fitrah, bukan suatu hal yang
didapatkan dari tardisi
kenabian.105 Pada ayat tersebut, Allah menyebut fitrah sebagai keterangan (badal) dari dîn yang disebutkan sebelumnya, bahkan menegaskannya kembali pada kesempatan selanjutnya sebagai agama yang teguh (al-dîn al-qayyim). Suatu hal yang menarik, Tuhan menyebut hal ini merupakan kenyataan yang tidak disadari kebanyakan manusia. Karena, tidak jarang kompleksitas atribut eksoterik agama justru mengaburkan
pandangan
manusia,
membuat
mereka
sulit
mengidentifikasi bagian sejati dari agama itu sendiri. Dengan demikian, agama sebagai entitas yang mengungkapkan hubungan langsung yang eksklusif antara Tuhan dan personal manusia, memposisikan selain keduanya dalam wacana agama hanya sebagai pihak-pihak eksternal, bukan pihak internal yang menjadi bagian inti. Dalam hal ini, pernyataan bahwa agama bukanlah suatu hal yang diwahyukan menjadi lebih mudah dipahami. Agama sebagai institusi sosial bukanlah realitas objektif yang menggambarkan sebuah entitas agama apa adanya, tetapi lebih merupakan sebagai sebuah konfigurasi formalisasinya. Di antara argumentasi bahwa agama itu adalah fitrah dan bukan dari kenabian adalah terkait dengan kasus bayi-bayi yang lahir namun meninggal sebelum mukallaf, baik dari orang tua Muslim maupun
105
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan potensi ma’rifat alîmân (mengenal iman) pada diri manusia sudah ada semenjak atau berbarengan dengan waktu penciptaan dirinya. Hal ini karena kata fatara berarti penciptaan yang penekanannya pada penciptaan dari permulaan, sejak awal, tanpa ada contoh sebelumnya. Lihat, M. Quraish Shihab, ed., ‚Fâthir‛, dalam Ensiklopedia Al-Qur’an..., Jilid 1, h. 224.
73
musyrik sekalipun. Dalam hal ini, Nabi menyebutkan mereka selamat dan masuk surga.106 Padahal, tentu saja dalam keadaan itu mereka belum mengenal dan bersinggungan sedikitpun dengan persoalan kenabian.
Kedua; kata millah. Salah satu kata yang juga sering diartikan sebagai agama oleh para mufassir adalah kata millah. Tidak jarang, ketika menafsirkan kata millah, para mufassir hanya menukarnya dengan kata
dîn, begitu juga sebaliknya.107 Hal ini sebagaimana juga disebutkan oleh para pakar bahasa. Ibn Manzûr misalnya, berpandangan bahwa millah sama persis dengan syarî’ah dan dîn.108 Sedangkan al-Râghib al-Asfahânî hanya menyebut millah itu sesuatu yang mirip dengan agama.109 Dengan demikian, terdapat sedikit perbedaan antara Ibn Manzûr dan al-Asfahânî dalam melihat kata millah, antara sama persis dengan hanya sekedar mirip. Agama bukan satu-satunya makna yang dimiliki kata millah. Ibn Ishâq, sebagaimana dikutip Ibn Manzûr, menyebutkan bahwa millah
106
Terdapat sebuah hadis yang menceritakan bahwa ‘Aisyah menanyakan kepada Nabi perihal anak-anak orang-orang musyrik. Nabi menjawab, []هم من آبائهم. Tidak puas dengan jawaban itu, ‘Aisyah kembali bertanya, Nabi menjawab, []هللا أعلم بما كانوا عاملٌن. Masih tidak puas, ‘Aisyah bertanya untuk ketiga kalinya, Maka turunlah ayat [ ]وال تزر وازرة وزر أخرىkepada Nabi, lalu menjawab, [ ]إنهم على الفطرةatau pada riwayat lain []فً الجنة. Hal ini merupakan pendapat jumhur, di antaranya al-Nawâwî. Ia mengatakan ini adalah pendapat yang benar (al-sahîh al-mukhtâr). Lihat, Jalâl al-Dîn ‘Abd. Al-Rahmân al-Suyûtî, al-Ta’zîm wa al-Minnah fî anna Abaway Rasûl Allâh fî al-Jannah (t.tp: Dâr Jawâmi’ al-Kalim, t.th), h. 33-34. 107 ), Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Juz III, cet. I, h. 620621. Juz XVI, h. 392-393. Juz XVII, h. 60-61. 108 [ الشرٌعة والدٌن:]الملة, lihat, Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab..., h. 4271. 109 Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad (al-Râghib al-Asfahânî), al-Muradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘âlamiyyah, 2008), Juz II, h. 610. Pendapat ini senada dengan salah satu pandangan yang dikutip dan disebutkan oleh Ibn Manzûr, bahwa millah adalah [ وجملة ما ٌجئ به الرسل،]هً معظم الدٌن. Lihat Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab..., h. 4271.
74
secara etimologis berarti sunnah atau tarîq. Sedangkan Abû al-Haitsam mengungkap makna lain dari kata millah adalah diyah.110 Dengan demikian, jelas bahwa millah merupakan kata yang ambiguistik
(mushtarak), yaitu memiliki lebih dari satu makna. Meskipun demikian, sepertinya para mufassir lebih dominan mengartikannya dengan agama dan hampir tidak ada menafsirkannya dengan selain bermakna agama. Di dalam al-Qur’an,111 ditemukan kata millah disebutkan sebanyak 15 kali, dengan klasifikasi; 7 kali dinisbahkan kepada Ibrahim,112 1 kali kepada Ibrahim dan nabi-nabi lain secara bersamaan,113 dan selebihnya kepada kaum-kaum tertentu.114 Sekilas kalau diamati, terlihat bahwa kata millah di dalam al-Qur’an berlaku secara umum; dapat disandingkan kepada nabi dan juga kepada selain nabi. Hanya saja, perbedaannya adalah penyandingan tersebut berkonotasi positif hanya ketika disandingkan kepada para nabi, sedangkan kepada selain nabi penyandingan tersebut berkonotasi negatif. Identifikasi lain terhadap kata millah disebutkan oleh al-Râghib al-Asfahânî. Ia menjelaskan bahwa distingsi antara kata millah dengan kata dîn adalah kata millah tidak disandarkan (idâfah) kecuali kepada para nabi atau pembawa syariat, dan bahkan tidak disandarkan kepada
110
Lihat Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr al-Sadr, 1968), h. 4271. 111 Lihat Muhammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras..., h. 676. 112 QS. al-Baqarah [2]: 130, 135, QS. Âli ‘Imrân [3]: 95, QS. al-Nisâ’ [4]: 125, QS. alAn’âm [6]: 161, QS. al-Nahl [16]: 123, QS. al-Hajj [22]: 78. 113 QS. Yûsuf [12]: 38. 114 QS. al-Baqarah [2]: 120, QS. al-A’râf [7]: 88, 89, QS. Yûsuf [12]: 37, QS. Ibrâhîm [14]: 13, QS. al-Kahfî [18]: 20, QS. Sâd [38]: 7.
75
Allah ataupun kepada personal umat nabi. Karena itu, tidak ditemukan misalnya, ‚millat Allâh‛, ‚millatî‛, ‚millah zaid‛, sedangkan ungkapan ‚dîn Allâh‛, ‚dîn zaid‛, dan lain sebagainya, ditemukan pemakaiannya.115 Dengan demikian, terlihat bahwa millah erat sekali kaitannya dengan kenabian. Hal ini terlihat dari beberapa definisi millah yang diutarakan para pakar. Ibn Manzûr misalnya, mengatakan millah adalah agama besar dan totalitas apa yang dibawa oleh para rasul. 116 Senada dengan itu, al-Râghib al-Asfahânî bertutur, ‚millah mirip (tidak sama persis) dengan dîn, yaitu nama bagi segala hal yang telah disyariatkan Allah atas hamba-hamba-Nya melalui lisan para nabi, agar membimbing mereka dekat dengan Allah.‛117 Berbeda dengan itu, al-Sahrastânî dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal mengilutrasikan makna millah, ‚ketika manusia butuh untuk hidup bersama dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhan, maka kehidupan bersama tersebut mesti berpolakan tamânu’ dan ta’âwun. Dengan tamânu’ ia bisa menjaga apa yang sudah dimiliki, sedangkan dengan ta’âwun ia bisa memperoleh apa yang tidak ia miliki. Pola inilah yang disebut dengan millah.‛118 Sekilas, definisi al-Sahrastânî
115
610
116
Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad (al-Râghib al-Asfahânî), al-Muradât..., h.
bahwa millah adalah [ وجملة ما ٌجئ به الرسل،]هً معظم الدٌن. Lihat Abû al-Fadl Jamâl alDîn Muhammad ibn Mukram Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab..., h. 4271. 117 Redaksi aslinya adalah [ الملة كالدٌن وهو اسم لما شرع هللا تعالى لعباده على لسان األنبٌاء لٌتوصلوا به .]إلى جوار هللا. Lihat, Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad (al-Râghib al-Asfahânî), al-Muradât fî Gharîb al-Qur‘ân, Juz II, h. 610. 118 Teks aslinya adalah [ ، فً إقامة معاشه،ولما كان نوع اإلنسان محتاجا ً إلى اجتماع مع آخر من بنً جنسه وٌحصل، حتى ٌحفظ بالتمانع ما هو له،االستعداد لمعاده؛ وذلك االجتماع ٌجب أن ٌكون على شكل ٌحصل به التمانع والتعاون الملة:ً]بالتعاون ما لٌس له؛ فصورة االجتماع على هذه الهٌئة ه. Lihat, Abû al-Fath Muhammad ibn ’Abd alkarîm al-Sahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), Juz I, cet. II, h. 34.
76
tidak mengaitkannya dengan kenabian. Namun, perlu digarisbawahi bahwa
al-Qur’an
menginformasikan
bahwa
tatkala
kompleksitas
kehidupan terjadi pada saat itulah dimulainya pengutusan para nabi (QS. al-Baqarah [2]: 213). Namun, meskipun penyandingan kata millah dengan yang lain selain nabi dikonotasikan oleh al-Qur’an secara negatif, setidaknya hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Kenyataan ini penting dalam pengembangan pemahaman tentang millah dalam al-Qur’an itu sendiri. Setidaknya, dari fakta itu dipahami bahwa kata millah memiliki tekanan makna pada percontohan atau sesuatu yang ditiru apa adanya. Karena itulah, mengapa kata millah selalu dipadankan dengan kata ittibâ’. Dalam hal ini tentu saja para nabi adalah contoh terbaik,—sehingga al-Qur’an menarasikannya secara positif—jika dibandingkan dengan selain mereka (sehingga al-Qur’an mengungkapkannya secara negatif). Ilustrasi di atas diafirmasi oleh kata dasar millah, sebagaimana disebutkan al-Râghib al-Asfahânî, berasal dari kata [ ]أمللت الكتابyang artinya ‚saya mendiktekan kitab.119 Sehingga sebagai mashdar atau
gerund, kata millah dapat diartikan dengan ‚diktean‛. Dengan demikian, maka misalnya, ungkapan millah ibrâhîm diartikan dengan ‚diktean Ibrahim‛ atau ‚contoh/tauladan dari Ibrahim‛. Pada konteks ini terdapat kesesuain antara pemaknaan ini dengan pengertian millah yang telah diutarakan oleh Ibn Manzûr dan al-Râghib al-Asfahânî sebelumnya. 119
al-Râghib al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân..., Juz II, h. 260.
77
Masih dalam konteks keintiman korelasi millah dengan kenabian, kita dapat memahami bahwa sebelum berlangsungnya kenabian maka gagasanmillah juga belum ada. Sehingga pada titik ini perlu ditemukan motif atau latar belakang munculnya gagasan tersebut. Kata kunci sementara untuk menemukan motif tersebut adalah, sebagaimana diungkapkan al-Sahrastânî bahwa manusia dalam kesendiriannya tidak mengenal kata millah,120 atau dibahasakan oleh Izutsu dengan tidak berkonotasi personal, ia mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif, dan formal, serta selalu mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada suatu agama yang lazim.121 Sebatas ini, dipahami bahwa gagasan millah muncul dalam konteks sosial (hidup bersama secara komunal), bukan dalam konteks personal-individual. Penting untuk diingat bahwa kehidupan sosial adalah manifestasi dari kelemahan manusia secara personal, bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Dalam interaksi sosial tersebut, perlu adanya aturan yang tegas, objektif, dan formal. Konteks ini berkesesuaian dengan pengertian
millah yang diusung oleh al-Sahrastânî di atas. Adapun dalam konteks agama, lahirnya gagasan millah tidak terlepas dari tema dîn dalam arti
fitrah sebagaimana pada pembahasan sebelumnya. Ketika kehidupan manusia masa awal sudah mulai bergeser ke arah yang lebih kompleks, maka
h, 35.
fenomena
kompleksitas
kehidupan
tersebut
kemudian
120
Abû al-Fath Muhammad ibn ’Abd al-karîm al-Sahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Juz I,
121
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 254.
78
‚mengganggu‛ vitalitas fitrah tersebut. Karena itu, perlu dilakukan stimulus-stimulus tertentu untuk penyegaran bagi fitrah tersebut, yaitu dengan mengutus para nabi. Hal ini berkesesuaian dengan firman Allah, ‚Dulu (awalnya) manusia itu umat yang satu ( kemudian mereka saling berselisih), maka mulailah Allah mengutus para Nabi untuk memberikan kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama para nabi tersebut al-kitâb (aturan-aturan formal),,,.‛122 Pada kesempatan lain, al-Qur’an mempertegas hal di atas, bahwa kompleksitas kehidupan sosial berpengaruh terhadap dîn atau vitalitas
fitrah tersebut. Bahwa agama yang sejati lebih mudah ditemukan dalam kesendirian, bukan dalam keramaian. Dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah menarasikan orang-orang yang dalam keadaan terdesak dan genting di tengah lautan karena akan digulung ombak yang besar, akan sangat mudah menemukan ‚agama‛ yang sejati (fitrah sesungguhnya). Namun setelah itu, jika selamat dan kembali ke darat fitrah tersebut kembali terganggu dan bahkan ditenggelamkan oleh kemusyrikan.123 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa agama tidak diperoleh dari kenabian. Agama merupakan fitrah yang sudah ditanam oleh Allah dalam setiap jiwa manusia. Kenabian dengan millahnya hanyalah berperan sebagai stimulan yang akan memberikan pengaruh positif kepada fitrah manusia sehingga menemukan vitalitasnya kembali. Pada
122
QS. al-Baqarah [2]: 213. Misalnya, QS. Yûnus [10]: 22, QS. al-‘Ankabût [29]: 65, QS. Luqmân [31]: 32, dan QS. Ghâfir [40[: 14. 123
79
dasarnya, para nabi hanyalah duta manusia dan delegasi Tuhan, yang bagaimanapun kemuliaannya tetap berada dalam wilayah makhluk dan hamba Tuhan, sebagaimana manusia lainnya. Semua manusia hanya mengabdi kepada Tuhan semesta alam.
Ketiga: kata ummah. Para mufassir juga sering memaknai kata ini dengan agama. Misalnya, Ibn ‘Abbâs yang memahami kata ummah pada QS. al-Baqarah [2]: 213 dengan dîn.124 Hal ini dielaborasi oleh al-Tabarî, bahwa kata ummah pada ayat tersebut pada dasarnya bermakna al-
jamâ’ah tajtami’ ‘alâ dîn wâhid, yaitu suatu komunitas yang terbentuk didasari atas kesamaan agama. Hanya saja, karena keintiman makna maka kata ummah dimunculkan untuk merepresentasikan kata dîn tersebut.125 dengan demikian, kata ummah hanya sekedar pengganti, bukan sebuah kata yang memang berkonotasi agama. Kata ummah ( )أمةmerupakan bentuk gerund (masdar) dari ‘amma-
ya‘ummu ( ٌَؤُ م- )أَمyang berarti ‘menuju’, ‘menjadi’, ‘ikutan’, dan ‘gerakan’. Kata ini mengandung beberapa arti, antara lain; (1) suatu golongan manusia, (2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada seorang nabi, misalnya umat Nabi Muhammad saw., umat Nabi Musa as., dan (3) setiap generasi manusia yang menjadi umat yang satu (ummah
wâhidah).126 Sumber lain menyebutkan kata ummah bermakna, ‚kelompok manusia yang berhimpun karena didorong oleh ikatan-ikatan; 124
Abû Ja’fâr Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân..., Juz III, h. 621. Abû Ja’fâr Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân..., Juz III, h. 622. 126 Quraish Shihab (Ed), Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 1035. 125
80
(1). persamaan sifat, kepentingan, dan cita-cita, (2) agama, (3) wilayah tertentu dan waktu tertentu.127 Dalam buku Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata, terdapat uraian seputar klasifikasi makna ummah dari perspektif makiyyah-
madaniyyah. Pandangan tersebut mengatakan bahwa pada konteks Makkah, kata ummah lebih banyak mengacu kepada ide kesatuan dengan mengakomodir berbagai kelompok primordial masyarakat ketika itu, sedangkan dalam konteks Madinah, ia banyak dihubungkan dengan Islam.128 Sepanjang ilustrasi di atas, terlihat bahwa kata ummah bukanlah kata yang secara tegas menunjukkan arti agama. Kata ummah yang berkonotasi agama menunjuk kepada kelompok manusia yang tebentuk atas dasar kesamaan agama. Dalam hal ini, kata ummah adalah sekelompok orang yang memiliki orientasi keagamaan yang sama.‛129 Dengan demikian, ‚umat nabi‛ tertentu berarti pengikut nabi itu sendiri, sedangkan umat suatu agama berarti penganut agama tersebut.130
127
Ibrâhîm Anîs, al-Mu’jam al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th), Jilid I, h. 27. Lihat, Quraish Shihab (Ed), Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata..., h. 1035. 129 Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), vol. VI, h. 93. 130 Hal ini berdasarkan; []وكل قوم نسبوا إلى شٌئ وأضٌفوا إلٌه فهم أمة. Lihat Aẖmad ibn al-Hasan ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah..., Juz I, h. 28. 128
BAB III AL-QUR’AN DAN TRADISI KENABIAN A. Paradigma Kenabian dalam al-Qur’an Paradigma berarti pola atau model.1 Seperti disebutkan Biklen, ia dapat berupa sekumpulan hal-hal logis yang longgar seperti asumsi, konsep, atau preposisi yang berfungsi untuk mengarahkan cara berpikir dan riset.2 Atas kenyataan ini, maka pembahasan mengenai paradigma kenabian dalam al-Qur’an menjadi perlu dirumuskan. Langkah ini diharapkan akan dapat memberi orientasi berpikir dan riset dalam menemukan tema inti penelitian ini. Dalam hal ini, pola atau model tersebut dirumuskan dari lafazh-lafazh umum (alfâz al-‘âm) al-Qur’an yang bercerita tentang pengutusan para nabi. Dalam studi Ulûm al-Qur‘ân, konsep al-‘âm adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.3 Dengan demikian, suatu ketentuan yang ada akan mengikat
seluruh
satuan-satuan
tersebut
secara
bersamaan.
Sehingga
memungkinkannya untuk dirumuskan sebagai pola atau model. Sedangkan indikator yang dapat dijadikan sebagai acuan makna umum, misalnya, seperti yang disebutkan Khâld al-Sabt, adalah kata kullu, kata jamî’, bentuk jamak yang 1
http://www.gurupendidikan.com/10-pengertian-paradigma-menurut-para-ahli/. Diakses pada hari Senin, 09 Januari 2017. 2 Pandangan yang sama banyak disebutkan para pakar. Lihat, Vian Ahmed, dkk (Ed), Research Methodology in the Built Environment: A Selection of Case Studies (New York: Routledge, 2016), h. 22. 3 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2013), hlm. 179. Keumuman di sini juga berkorelasi dengan waktu yang tidak terbatas. Lihat Mannâ‘ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. XI, h. 212.
81
82
ber-alif-lâm al-istighrâqiyyah, bentuk jamak yang ma’rifah dengan idâfah, bentuk
mufrad yang ber-alif-lâm al-istighrâqiyyah, asmâ’ al-syart, asmâ’ al-istifhâm, nakirah yang terletak setelah siyâq al-nafî, nakirah yang memiliki sifat umum, dan al-asmâ’ al-mausû’ah.4.
1. Tradisi kenabian berlangsung belakangan dari sejarah manusia.
Terdapat pandangan yang sangat kuat bahwa kenabian merupakan suatu hal yang signifikan dan fundamental dalam wacana agama. Dalam pandangan ini kenabian diposisikan sebagai epistemologi agama itu sendiri. Antara keduanya terdapat korelasi yang bersifat inheren, sehingga adanya agama karena adanya kenabian dan agama tidak akan ada tanpa kenabian. Singkatnya, kenabian dianggap prinsip dalam agama. Pola seperti ini adalah mekanisme yang berlangsung sebagaimana dalam teori klasifikasi agama kepada agama langit dan agama bumi. Pandangan bahwa kenabian adalah prinsip dalam agama memang ditegaskan oleh banyak ulama. Seorang sarjana berkembangsaan Mesir, Abdurrahman Badawi, melakukan kritik keras terhadap pandangan Abu Bakr Muhammad ibn Zakarya al-Razi yang menolak konsep kenabian. Badawi mengatakan, jika al-Razi menganulir dasar, yakni kenabian, berarti ia juga menganulir agama itu sendiri.5 Senada dengan itu, Hasan al-Turabi, pemikir
4
Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut: Dâr alNafâ’is, 1982), cet. II, h. 381-383. 5 Abdurrahman Badawi, Min Târîkh al-Ilhâd fî al-Islâm (Kairo: Maktabah al-Nahdah alMisriyyah, 1945), h. 208.
83
dan arsitek utama Republik Islam Sudan, menyatakan bahwa ciri utama agama adalah bahwa ia bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia.6 Terlepas dari pandangan di atas, al-Qur’an justru menginformasikan bahwa tradisi kenabian bukanlah suatu hal yang sudah berlangsung dari awal. Terdapat fase sejarah manusia yang kosong dari kenabian, yaitu masa-masa awal sejarah manusia. Jika demikian adanya, maka dari kenyataan ini dapat dipahami bahwa tradisi kenabian berlangsung lebih merupakan kehendak perkembangan historis itu sendiri dari pada alasan teologis. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an:
‚Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.‛7 6
Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis; Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Penerbit Arasy, 2003), h. 14. 7
QS. al-Baqarah [2]: 213.
84
Abû Muslim al-Ashfahânî dan al-Qâdî ‘Abd al-Jabbâr, berpandangan bahwa kata al-Nabiyyîn pada ayat tersebut bermakna umum dan istighrâq, sedangkan huruf fa sendiri bermakna al-tarâkhî. 8 Dengan demikian, dipahami bahwa pengutusan para nabi baru terjadi belakangan, dan bukan suatu hal yang sudah berlangsung dari awal. Pandangan ini semakin ditegaskan oleh alTabâtabâ’î ketika mengamati kata ba’atsa yang digunakan pada ada ayat
tersebut, bukan kata irsâl, sebagai penunjuk awal mula berlangsungnya pengutusan para nabi. Menurutnya, penggunaan kata tersebut adalah untuk menginformasikan keadaan awal sejarah manusia yang tenang dan sunyi, sehingga dipilihlah kata al-ba’ts yang berarti bangun tidur, mulai mendiami sebuah daerah, dan sebagainya.9 Pertanyaan yang muncul adalah apakah pada fase tersebut berarti agama belum ada dan manusia pada saat itu tidak dapat dikatakan beragama lantaran belum berlangsungnya tradisi kenabian? Bagaimana kondisi manusia pada saat itu? Adalah al-Râzî, ketika menjelaskan pandangan Abû Muslim alAshfahânî dan al-Qâdî ‘Abd al-Jabbâr di atas, mengatakan bahwa manusia pada saat itu bertopang sepenuhnya kepada rasionalitas; mereka meyakini adanya Pencipta dan sifat-sifat-Nya, berjibaku dalam berkhidmat dan mensyukuri ni’mat-Nya, serta menjauhi hal-hal yang tercela, seperti kezaliman, kebohongan, kebodohan, dan sebagainya. Setelah kehidupan
8
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Musytahar bî al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib (Beirût: Dâr al-Fikr, 1971), Jilid VI, cet. III, h. 11-14. 9 Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assasat al-A’lamî li al-Matbû’ât, 1997), h. 129.
85
berkembang semakin kompleks, mereka berselisih (ikhtilâf) dan Tuhan pun mengutus para nabi.10 Selain itu, kata (ummah) pada ayat tersebut ditafsirkan secara
variatif oleh para mufassir. Di antara mereka banyak yang memahaminya
identik
dengan
agama.
Qatâdah
misalnya,
memahaminya dengan al-hudâ (petunjuk), sedangkan Ibn ‘Abbâs secara tegas memahaminya dengan al-dîn (agama). Dalam hal ini kata ummah dipandang sebagai ganti (badal) dari al-dîn.11 Lebih tegas dari itu, kata
(ummah) dipahami oleh al-Zamakhsyarî dengan dîn al-islâm.12 Dengan demikian, ilustrasi penafsiran-penafsiran ini dapat dijadikan pijakan bahwa meskipun kosong dari kenabian, namun tidak berarti pada fase tersebut agama tidak ada sehingga manusia pada saat itu tidak beragama.13 Terkait dengan keterangan berapa lama fase tersebut berlangsung, para mufassir juga berbeda pendapat. Di antaranya, al-Qurtubî, menyebutkan bahwa Ibn Abî Khaitsamah berpendapat (ummah wâhidah) itu berlangsung
10
Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr
al-Râzî, Juz VI, cet. III, h. 11-14. 11
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid III h. 621-622. Lihat juga, Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‘wîl (Riyâd: Maktabah al‘Abîkân, 1998), Juz I, cet. I, h. 421. 13 Dalam hal ini, muncul pertanyaan bagaimana status Adam, apakah ia seorang nabi atau tidak. Berdasarkan riwayat Qatȃdah yang menyebut Nuh sebagai nabi pertama yang diutus, maka Adam bukanlah seorang nabi melainkan sebatas nenek moyang manusia saja. Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, ( Kairo: Dâr Hijr, 2001), Juz II, h. 261. Lihat juga, Sȃmȋ ibn ‘Abd Allȃh al-Maghlȗts, Atlas Tȃrȋkh alAnbiyȃ‘ wa al-Rusul (Riyȃd: Maktabah al-‘Abȋkȃn, 2005), h. 67. 12
86
dari sejarah awal manusia sampai masa Idris.14 Ibn ‘Abbâs menyebutkan fase tersebut adalah sepuluh generasi (‘asyratu qurûn) dalam rentang waktu antara Nuh dan Adam.15 Sebagian lagi, seperti al-Kalabî dan al-Wâqidî mengatakan bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Nuh dan orangorang yang bersamanya di dalam bahtera pada saat banjir besar. 16 Riwayat lain dari Ibn ‘Abbas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah manusia pada masa sebelum pengutusan Ibrahim, setelah ia dilahirkan lalu diutuslah ia dan para nabi setelahnya.17 Ilustrasi penafsiran ini menunjukkan gerakan ke arah semakin belakangannya pengutusan kenabian itu baru mulai berlangsung dari awal sejarah manusia. Sepanjang uraian di atas, jelaslah bagaimana posisi para nabi dengan kenabian mereka dalam wacana agama. Agama sudah ada seiring dengan berlangsungnya sejarah manusia, sedangkan kenabian baru muncul jauh setelahnya. Ternyata agama dan ‚beragama‛ justru sudah berlangsung tanpa tradisi kenabian. Dengan demikian, meskipun besarnya peran kenabian dalam wacana agama tidak dapat dipungkiri, namun tetap saja ia bukan prinsip yang membuat agama sepenuhnya menjadi tergantung kepadanya tanpa bisa dipisah dan dipilah sama sekali.
14
Hal ini dibantah oleh Ibn Katsîr karena menurutnya yang benar adalah bahwa Idris diutus setelah masa Nuh. Lihat, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr alQurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, Juz III, cet. I, h. 404. 15 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid III h. 621. 16 Lihat juga, Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf..., Juz I, cet. I, h. 421. 17 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm alQurân li mâ Tadammanahû min al-Sunnah wa Ây al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assat al-Risâlah, 2006), cet. I, Juz III, cet. I, h. 404-405.
87
Agama dan ‚beragama‛ sudah ada dan berlangsung seiring dengan terciptanya eksistensi manusia itu sendiri. Karena agama sejatinya adalah sesuatu yang dari awal langsung dianugerahkan dan diterima oleh manusia dari Tuhan kepadanya. Ini merupakan sesuatu yang pure dan genuine sekali. Al-Qur’an menyebutnya sebagai fitrah (QS. al-Rûm [30]: 30), sesuatu yang tertanam begitu kuat dalam lubuk jiwa setiap manusia, streril dari segala intervensi, dan menjadi semacam wilayah eksklusif antara dirinya dengan Tuhan.18 Sedangkan tradisi kenabian, seperti yang dikatakan oleh alTabâtabâ’î merupakan awal terjadinya formalisasi agama (tashrî’) yang
dipicu oleh perkembangan sejarah yang semakin kompleks sehingga memicu terjadinya perselisihan di antara manusia yang sebelumnya bersatu dan kompak (ummah wâhidah).19 Sealur dengan perkembangan sejarah manusia yang mengarah ke arah yang semakin kompleks dan berkembang tersebut, Tuhan kemudian menginisiasi pengutusan banyak nabi. Agama sebagai fitrah itu perlu dimanifestasikan secara terus menerus dan kontekstual, mengikuti kehendak dan tuntutan konteks ruang dan waktu sejarah yang mengitarinya. Sebaliknya, penyesuian juga perlu terjadi terhadap
18
Agama adalah sesuatu yang tidak dapat berubah, bersifat abadi, dan diberikan sekali untuk selamanya. Burhanuddin Daya, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda (Jakarta: INIS, 1992), hlm. 24. John Locke (1632-1704), agama merupakan sesuatu bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku sendiri tidak memberitahu kepadaku. Dikutip oleh Quraish Shihab dalam M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…,hlm. 209. 19 al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assasat al-A’lamî li al-Matbû’ât, 1997), Juz II, h. 113.
88
upaya-upaya tertentu yang mengarah kepada revitalisasi fitrah tersebut. Dalam hal ini, segala hal yang bersifat historis tidak mungkin bersifat statis dan tetap tanpa adanya perubahan-perubahan atau penyesuaianpenyesuaian. Atas pengertian tersebut, maka yang ahistoris adalah keyakinan (dîn), sedangkan manifestasinya bersifat historis yaitu berupa syarî’ah (konsep dan tradisi agama). Sebagaimana dikatakan Husein Muhammad, dîn adalah berkaitan dengan keyakinan, sedangkan syarî’ah merupakan cara atau jalan mendekati Tuhan dalam bentuknya yang lahiriah.20 Dîn sejati adalah pengabdian kepada Tuhan, sehingga ia bukanlah khazanah dari kelompok
(firqah) manapun.21 Dengan demikian, kenabian bukanlah prinsip dalam wacana agama. Ia hanya sebagai proses formalisasi agama yang dapat mengambil bentuk (konsepsi dan tradisi) sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang mengitarinya.
2. Ketauhidan sebagai misi setiap kenabian Kata ‚Tuhan‛ dalam al-Qur’an diungkapkan dengan dua varian kata, yaitu ilâh dan rabb. Terkait dengan distingsi makna antara keduanya, alZamakhsyarî menyebut bahwa al-ilâh merupakan genus yang meliputi segala sesembahan (ma’bûd), dalam konteks kebenaran maupun tidak.22 Sedangkan 20
Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan (Bandung: Penerbit Mizan, 2011), h. 11-12 21 Abul Kalam Azad, Tarjumân al-Qur‘ân, Ed. Dr. Zakir Husayn (New Delhi: Sahitya Academy, 1964), h. 169. 22 Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf..., Juz I, cet. I, h. 108.
89
al-rabb bermakna al-mâlik (pemilik). Makna ini sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan Safwân kepada Abû Sufyân; [ ألن ٌربنً رجل من قرٌش أحب إلً من ]أن ٌربنً رجل من هوازن, ‚saya lebih suka dimiliki oleh laki-laki Quraisy daripada laki-laki Hawâzin‛.23 Meskipun demikian, ketika diucapkan istilah ‚kalimat tauhid‛, maka yang dimaksud tidak lain adalah ungkapan [ ال إله إال ]هللا, yaitu ‚tidak ada Tuhan selain Allah‛. Jika ingin ditegaskan lebih lanjut berdasarkan makna ilâh sebelumnya, yaitu ma’bûd, maka makna [ ]ال إله إال هللاmenjadi ‚tidak ada sesembahan selain Allah.‛ Dari kenyataan ini dapat dikembangkan bahwa ‚hamba Allah‛ berarti ‚penyembah Allah‛, dan ‚beribadah‛ kepada Allah berarti ‚menyembahNya‛. Sedangkan misi ‚tauhid‛ berarti seruan untuk ‚menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan.‛ Berdasarkan ilustrasi ini, dapat dipahami bahwa tauhid sebagai misi utama para nabi bermakna bahwa tugas utama mereka adalah menyeru manusia agar hanya menyembah Allah, hanya menjadi hamba Allah, atau menjadi hamba Allah sejati. Sebagai utusan Tuhan, maka para nabi memiliki misi ketauhidan sebagai misi utama, yaitu menyeru manusia agar hanya mengabdi (menjadi abdi atau hamba) kepada Allah Swt. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
23
114.
Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf..., Juz I, cet. I, h. 113-
90
‚Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.‛24 Ayat tersebut diawali dengan redaksi yang terdiri dari al-nakirah al-
manfiyah ()وما أرسلنا من قبلك من رسول. Dalam studi ulûm al-qur‘ân, al-nakirah al-manfiyah adalah salah satu di antara pola-pola yang memberikan keumuman makna.25 Pada ayat ini, keumuman makna tersebut ditegaskan lagi (taukîd) oleh keberadaan min yang melekat pada nakirah tersebut.26 Dengan demikian, ayat tersebut bermakna bahwa tidak seorang nabi pun yang diutus oleh Tuhan tanpa misi tauhid []ال إله إال هللا. Menurut al-Marâghî, ayat tersebut merupakan penegasan Allah tentang tugas utama setiap utusan-Nya, seolah-olah Allah berkata, ‚Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasulpun kepada suatu umat dari umat-umat yang lain kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan
(ma’bûd) di langit maupun di bumi selain Aku. Karena itu, murnikanlah penghambaan (‘ibâdah) kalian hanya untuk-Ku serta khususkanlah ketuhanan
24
QS. al-Anbiyâ’ [25]: 25. Sebuah kaidah mengatakan []النكرة بعد النفً تفٌد العموم, yaitu ism nakirah (kata benda tanpa alif-lam) yang terdapat dalam susunan nafy menunjukkan keumuman makna. Mannâ‘ alQattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. XI, h. 214. 26 Adapun [ ]مِنyang terdapat dalam al-Qur’an itu banyak sekali macamnya. ‚Min alZâ’idah‛ merupakan salah satunya. Yang dimaksud dengan ‚Min al-Zâ’idah‛ ialah [ دخولها فً الكالم ]كسقوطها, yaitu ada atau tidaknya ‚min‛ tersebut tidak merubah pengertian selain penekanan atas pengertian tersebut. Ia terdiri dari dua fungsi; al-tansîs ‘alâ al-‘âm dan tawkîd al-âm. Lihat Muhammad ‘Abd al-Khâliq ‘Adîmah, Dirâsât li Uslûb al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th), Juz III, h. 398-411. 25
91
(ulûhah) hanya untuk-Ku.‛27 Sedangkan Ibn Katsîr berpendapat, ayat ini menegaskan bahwa para nabi yang diutus Allah, semuanya menyerukan pemurnian penghambaan hanya kepada Allah.28 Pada ayat lain, hal yang senada ditegaskan oleh Allah Swt. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya:
‚Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).‛29 Perintah untuk menyembah Allah pada ayat tersebut dipahami oleh al-Qurtubî sebagai seruan mentauhidkan Allah Swt. Sedangkan al-tâghût ia pahami sebagai semua sesembahan selain Allah (kullu ma’bûd min dûn
Allâh), seperti syaitan, peramal, berhala, dan semua yang berpotensi menyesatkan.30Sedangkan al-Râzî menyebutkan makna al-tâghût itu ada dua;
pertama, hampir mirip dengan al-Qurtubî, yaitu penyembahan terhadap sesembahan selain Allah (‘ibâdat mâ ta’budûna min dûn Allâh). Kedua, 27
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ al-Bâbî alHalabî wa Awlâdih, 1946), Juz XVII, cet. I, h. 21. 28 Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Jezah: Mu’assasah Qurtubah, t.th), Jilid IX, h. 398. 29 QS. al-Nahl [16]: 36. 30 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân…, Juz XII, h. 322.
92
mentaati syaitan lantaran dia telah mendoakan (tâ’at al-shaitân fî du’â’ih
lakum).31 Dengan demikian, segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, baik secara tegas ataupun tidak, termasuk dalam pengertian al-tâghût. Sealur dengan tauhid sebagai misi utama para nabi, maka Allah menyebut tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah (QS. alDzâriyât [51]: 56), yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang disembah. Hal ini karena kata ilâh, sebagaimana disebutkan sebelumnya berlaku untuk hal yang benar [هللا
]هواه.32
]ال إله إال
maupun salah [
من اتخذ إلهه
Sehingga, tawhîd dapat dipahami sebagai upaya menghindarkan
manusia dari menyembah diri sendiri untuk kemudian hanya menyembah Allah Swt. Namun, perlu dicatat bahwa ketauhidan bukanlah suatu hal yang baru bagi manusia, dengan pengertian bahwa manusia mengenalnya baru ketika disampaikan lewat pengutusan para nabi. Tauhid merupakan kehendak fitrah yang dari awal sudah ditanam dalam-dalam oleh Tuhan pada lubuk jiwa setiap manusia. Di sini adalah ketika setiap manusia sudah selesai dengan ‚Tuhan‛ dalam makna rabb. Hal ini sebagaimana ditegaskan QS. al-A’râf [7]: 172, yang berbunyi: [
]عن هذا ؼافلٌن,
أن تقولوا ٌوم القٌامة إنا كنا، قالوا بلى شهدنا،ألست بربكم
‚bukankah Aku ini Tuhanmu?‛ Mereka menjawab: ‚benar,
31
Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî al-Musytahar bî al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Jilid XX, Cet. III, h. 29. 32 QS. al-Furqân [25]: 43 dan QS. al-Jâtsiyah [45]: 23.
93
kami menjadi saksi‛. Agar nanti di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‚sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini.‛ Kata [شهدنا
]بلى
pada ayat tersebut mendeskripsikan berbobotnya
jawaban tersebut. Sebuah jawaban yang sudah menjadi kesadaran sempurna bagi seseorang. Muhammad Abduh, mengomentari bagian ini dengan mengatakan [لعبادتنا
]بلى أنت ربنا والمستحق وحده,
‚benar, Engkau Tuhan
kami dan satu-satunya yang layak kami sembah‛.33 Sehingga, sebagaimana disebutkan Ibn Katsîr, seruan tauhid para nabi merupakan suatu hal yang sangat disadari oleh kefitrahan manusia bahkan oleh orang-orang musyrik sekalipun.34 Karena itulah mengapa al-Qur’an menyebut fungsi para nabi sebagai utusan Tuhan dengan mundzirîn (QS. al-Baqarah [2]: 213), yaitu untuk mengingatkan manusia kembali terhadap kenyatan tauhid yang ada di setiap jiwa mereka. Sebagaimana mereka sudah mampu menempatkan makna rabb secara sempurna, maka dalam kehidupan ini mereka harus berusaha untuk menempatkan makna ilâh sampai pada level sempurna (syahâdah). Dalam hal ini, misi tauhid adalah tujuan utama setiap pengutusan para nabi, sedangkan jalan perwujudannya (syarî’ah) pasti akan berbeda karena kehendak mutlak dari konteks ruang dan waktu yang dihadapi. Dengan demikian, jalan tidaklah persoalan meskipun berbeda-beda. Justru yang jadi persoalan adalah ketika tujuannya yang sudah tidak sama. 33
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz IX, h. 387. Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Jezah: Mu’assasah Qurtubah, t.th), Jilid IX, h. 398. 34
94
3. Setiap nabi diutus dengan bahasa kaumnya Para nabi sejatinya merupakan delegasi-delegasi Tuhan kepada umat manusia,35 yaitu sebagai pemberi kabar gembira (mubasysyirîn) sekaligus sebagai pemberi peringatan (mundzirîn) (QS. al-Baqarah [2]: 213). Dalam kaitannya dengan misi tauhid, kabar gembira adalah bagi mereka yang menerimanya dan peringatan kepada yang menolaknya. Baik itu ‚kabar gembira‛
maupun
‚peringatan‛,
dua-duanya
meniscayakan
adanya
komunikasi yang baik dalam penyampaian. Hal ini agar pesan atau informasi yang ingin disampaikan dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh audiens sebagai tujuan. Oleh al-Qur’an, hal ini dibahasakan dengan al-balâgh
al-mubîn.36 Kenyataan ini sepertinya menjadi kesadaran fundamental dalam alQur’an. Hal ini sebagaimana terlihat ketika al-Qur’an menginformasikan sikap Tuhan yang sangat memperhitungkan faktor bahasa dalam penentuan pendelegasian para nabi. Kesamaan bahasa dijadikan sebagai poros utama dalam pertimbangan siapa dan kepada siapa seorang nabi akan diutus. Hal ini tidak lain dan tidak bukan kecuali agar pesan yang ingin disampaikan terkomunikasikan dengan baik. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah Swt dengan berfirman:
35
Yusuf H. R. Seferta, ‚The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad ‘Abduh and Rasyîd Ridâ,‛ Islamic Studies, Vol. 24. No. 2 (Summer 1985), h. 3. 36 Misalnya QS. al-Mâ’idah [5]: 92. []فإن تولٌتم فاعلموا أنما على رسولنا البالغ المبٌن.
95
‚Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.‛37 Gagasan ayat tersebut adalah bahwa setiap nabi—tanpa terkecuali— diutus kepada kaum yang memiliki bahasa yang sama dengannya. Kenyataan ini dipahami dari redaksinya yang terdiri dari al-nakirah al-manfiyah,38 salah satu pola yang menghasilkan makna yang umum.39 Tidak sedikit para mufassir yang menegaskan ini. Sebut misalnya al-Jîlânî, yang mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan bahwa setiap rasul selalu diutus Tuhan sesuai dengan bahasa kaum di mana ia diutus.40 Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, menegaskan bahwa Tuhan tidak mengutus seorangpun dari utusanNya dengan suatu bahasa selain bahasa kaum dimana dia diutus, bukan dengan bahasa kaum yang lain.41 Senada dengan itu, al-Syinqitî menyebutkan bahwa Tuhan selalu mengutus utusan-Nya dengan bahasa kaumnya, karena
37
QS. Ibrâhîm [14]: 4. Sebagaimana kaidah mengatakan []النكرة بعد النفً تفٌد العموم. Lihat, Mannâ‘ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân, h. 214. 39 Muhammad Abduh menyebut redaksi ini sebagai redaksi nafy yang terbaik. Lihat Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz V, cet. I, h. 233. 40 Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghawts al-Rabbânî wa al-Imâm al-Samdânî, Ed. Syaikh Ahmad Farîd al-Mazîdî (Pakistan: al-Makatabah al-Ma’rufiyyah, 2010), Juz II, h. 409. 41 Muhammad Tâhir ibn ‘Asyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr alTûnîsiyah li al-Nasyr, 1984), Juz XIII, h. 186. 38
96
mereka tidak diutus kecuali kepada kaumnya, bukan kepada kaum yang lain.42 Prinsip ini begitu ditekankan al-Qur’an adalah semata-mata demi kepentingan komunikasi untuk menjelaskan []لٌبٌن لهم, yang memang diemban oleh setiap nabi yang didelegasikan. Dalam hal ini, tentu saja bahasa menjadi faktor yang sangat menentukan. Karenanya, kata lisân pada ayat tersebut dipahami tidak sedikit ahli tafsir dengan bahasa (lughah).43 Dalam hal ini, alTabâtabâ’î menegaskan bahwa lisân (bahasa) yang dimaksud di sini adalah bahasa kaum di mana nabi tersebut hidup, berbaur, dan berinteraksi dengan mereka, bukan berdasarkan asal-usul; nasab atau keturunan. Dalam hal ini Tabâtabâ’î berkata: [ والمراد بإرسال الرسول بلسان قومه إرساله بلسان القوم الذٌن ٌعٌش
] فٌهم وٌخالطهم وٌعاشرهم ولٌس المراد به اإلرسال بلسان القوم الذٌن هو منهم نسبا. Pandangan tersebut didasarkan oleh Tabâtabâ’î pada kasus pengutusan Nabi Luth kepada kaumnya. Luth sendiri merupakan seseorang yang berasal dari Kaldan dan berbahasa Suryani lalu eksodus ke daerah al-mu’tafikât yang berbahasa Ibrani.44 Meskipun demikian, al-Qur’an secara eksplisit menyebut mereka sebagai kaum Luth, sebagaimana terlihat dalam ayat [ ولوطا إذ قال
]لقومه, QS. al-‘Ankabut [29]: 28.45 42
Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Mukhtâr al-Jakanî al-Syinqitî, Adwâ‘ alBayân fî Îdâh al-Qur‘ân bi al-Qur‘ân, (t.tp: Dâr ‘Âlam al-Fawâ‘id, 1980), Jilid III, cet. II, h. 123. 43 Misalnya, lihat Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‘wîl, Juz III, cet. I, h. 362. Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, cet. I, h. 14. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid XIII h. 953. ً]إلى رب.
44
Eksodusnya Luth ini dikisahkn dalam al-Qur’an; QS. al-‘Ankabut [29]: 29. [ إنً مهاجر
45
Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, cet.
I, h. 14-15.
97
Dengan demikian, jelaslah bahwa bahasa yang dimaksud pada QS. Ibrâhîm [14]: 4 di atas bukanlah suatu hal yang sederhana yang dapat diatasi hanya dengan proses transliterasi, melainkan lebih dari itu, secara utuh juga melibatkan pemikiran, kognisi, gaya wicara, emosi yang ditunjukkan melalui isyarat paralinguistik, penanda sosial dalam wicara, etnisitas, kedwibahasaan dan pemerolehan bahasa kedua, dan sebagainya. Karena itu, para ahli menemukan bahwa suatu pemahaman penuh tentang komunikasi hanya terjadi dengan menggabungkan komunikasi verbal dan non-verbal.46 Hal ini pulalah yang dimaksud al-Qur’an dengan komunikasi yang efektif (al-balâgh
al-mubîn). Sebagaimana yang disebutkan Izutsu, al-Qur’an memiliki kesadaran yang tinggi terhadap peran bahasa, karena antara masyarakat dan bahasanya terdapat ikatan yang tidak dapat dipisahkan.47 Pemaknaan seperti di atas, dibuktikan oleh kenyataan banyak ayat alQur’an yang menginformasikan historisitas pendelegasian para nabi, termasuk Nabi Muhammad sendiri. Secara konsisten, setiap mereka diutus kepada kaum tertentu. Terkait dengan para nabi sebelum Nabi Muhammad, misalnya; []لقد أرسلنا نوحا إلى قومه,48 []وإلى عاد أخاهم هودا,49 [ وإلى ثمود أخاهم
]صالحا,50 []ولوطا إذ قال لقومه,51 []وإلى مدٌن أخاهم شعٌبا,52 [ وأتٌنا موسى الكتاب
46
H. Giles dan W. P. Robinson (Ed), Handbook of Language and Social Physicology (Oxford: Oxford University Press, 1993), h. 35. 47 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap AlQur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), h. 205. 48 QS. al-A’râf [7]: 59. 49 QS. Hûd [11]: 50. 50 QS. Hûd [11]: 61. 51 QS. al-A’râf [7]: 80. 52 QS. al-A’râf [7]: 85.
98
]واجعلناه هدى لبنً إسرائٌل,53 [ وإذ قال عٌسى بن مرٌم ٌبنً إسرائٌل إنً رسول هللا ]إلٌكم,54 dan sebagainya. Sedangkan ayat-ayat terkait dengan Nabi Muhammad, misalnya; []لتنذر قوما ما أنذر آباؤهم,55 [ إن قومً اتخذوا هذا القرآن ]مهجورا,56 []هو الذي بعث فً األمٌٌن رسوال,57 []لتنذر أم القرى ومن حولها,58 [ ألنذركم به ومن ]بلػ,59 dan sebagainya. Semua ayat di atas secara bersinergi menegaskan signifikansi peran bahasa dalam terwujudnya al-balâgh al-mubîn, yaitu komunikasi efektif yang menjadi tanggung jawab setiap nabi yang diutus. Dalam hal ini, yang ditegaskan adalah bahwa antara bahasa dan masyarakatnya terdapat ikatan yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini sejalan dengan istilah al-kalâm al-balîgh yang dikenal dalam disiplin ilmu Balaghah, yang mengatakan bahwa suatu pesan hanya akan sampai dengan baik (al-wusûl wa al-‘intihâ‘) jika memenuhi dua syarat, yaitu pertimbangan muqtad al-hâl (kondisi audiens) yang perwujudannya adalah masyarakat, dan fasâhat al-alfâzh (kondisi bahasa) yang dalam hal ini perwujudannya adalah bahasa itu sendiri.60 Sepanjang ilustrasi di atas, secara keseluruhan dapat dipahami bahwa misi utama setiap nabi adalah ketauhidan. Adapun cara utama dalam melaksanakan hal tersebut adalah dengan mewujudkan komunikasi efektif
(al-balâgh al-mubîn), yang secara global berupa dua hal; kabar gembira dan 53
QS. al-Isrâ’ [17]: 2. QS. al-Saff [61]: 6 55 QS. Yâsîn [36]: 6. 56 QS. Al-Furqân [25]: 30. 57 QS. Al-Jumu’ah [62]: 2. 58 QS. Al-Syu’arâ‘ [42]: 7 dan QS. Al-An’âm [6]: 92. 59 QS. Al-An’âm [6]: 19. 60 Al-Sayyid Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-balâghah fî al-ma’ânî wa al-bayân wa albadî’ (Beirût: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1999), h. 40. 54
99
peringatan.
Sedangkan
komunikasi
efektif
hanya
terjadi
dengan
mempertimbangkan korelasi tak terpisahkan antara masyarakat dan bahasanya. Setiap masyarakat tentu memiliki kondisi sosial dan kehendak bahasa masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kenyataan inilah yang menuntut para nabi menyampaikan misi tauhid dengan konsepsi dan tradisi (syarîah) yang cocok dengan masyarakat yang mereka hadapi. Sehingga, sangat wajar jika tradisi dan konsepsi yang mereka sampaikan berbeda satu sama lain. Kewajaran akan perbedaan ini bahkan mendapat garansi langsung dari Tuhan, dengan menegaskan bahwa kemajemukan ini merupakan kehendak-Nya sendiri (QS. al-Mâ‘idah [5]: 48). Dalam hal ini, pada dasarnya Ia dapat saja menciptakan manusia seragam tanpa perbedaan, namun hal itu tidak Ia lakukan. Tuhan lebih memilih untuk menciptakan kemajemukan. Dalam hal ini, Tuhan lebih ingin untuk menunjukkan kreatifitas kekuasaanNya dibandingkan hanya sekedar menonjolkan otoritas kekuasaan-Nya. Karena itu, Tuhan memberi peluang sebesar-besarnya bagi perbedaan ini dengan mengatakan bahwa kelak di akhirat Ia sendiri yang akan menjelaskannya. Dengan demikian, setiap upaya penyeragaman dapat dipandang sebagai upaya melawan kehendak Tuhan itu sendiri.
4. Para Nabi ditaati atas izin Allah swt. Semenjak awal penciptaan, manusia sudah dipiranti oleh Tuhan dengan potensi ketauhidan, yaitu menyembah semata-mata hanya kepada
100
Allah Swt QS. al-A’râf [7]: 172.61 Untuk menjaga konsistensi hal tersebut, Tuhan kemudian mengirim para nabi untuk menyampaikan pesan atau misi tauhid kepada manusia. Dalam hal ini, mereka perlu diingatkan dan disadarkan akan kenyataan yang tertanam jauh dalam lubuk setiap jiwa mereka tersebut. Dengan demikian, maka para nabi yang diutus sejatinya sedang membawa titah Tuhan. Sehingga, mentaati para nabi adalah dalam rangka mentaati titah Tuhan tersebut, bukan para nabi an sich. Para nabi sebagai utusan Tuhan tentu saja harus dihormati dan dimuliakan, namun jangan sampai bertindak secara berlebih-lebihan sehingga berimplikasi kepada persoalan ketauhidan yang justru merupakan misi utama kehadiran mereka. Maka dalam konteks ini, Allah Swt. menerangkan kedudukan para nabi yang diutusnya, yaitu lewat firman-Nya:
‚Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Seandainya mereka ketika menganiaya diri sendiri datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.‛62 Menurut Muhammad Abduh, kata illâ bi idznih pada ayat tersebut adalah sebagai bentuk kewaspadaan (al-ihtirâs), untuk mengusir anggapan bahwa para Nabi itu ditaati karena diri mereka sendiri, tanpa ada faktor 61 62
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz IX, h. 387. QS. al-Nisâ’ [4]: 64.
101
tertentu. Ketaatan secara murni (pure) hanya untuk Allah, Tuhan Pencipta manusia. Sedangkan taat kepada rasul itu bukan suatu hal yang berdiri sendiri, tetapi menjadi sebuah kemestian atas perintah dan restu-Nya.63 Hal yang sama ditegaskan oleh Nâsir Mâkarim al-Syairâzî, bahwa ketaatan kepada para nabi bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri (bi al-dzât).64 Sedangkan al-Marâghî mengatakan, ayat ini menegaskan ketentuan bahwa setiap utusan Allah ditaati atas izin-Nya. Dengan demikian, tidak mematuhi dan tidak suka terhadap keputusan mereka sama dengan melanggar hukum dan ketentuan Allah itu sendiri. Hal ini merupakan perbuatan dosa terbesar.‛65 Keterangan di atas menegaskan bahwa para nabi sejatinya murni sebagai wasîlah (sarana atau jalan) semata, tidak boleh diposisikan mendekat dan hampir menjamah wilayah ghâyah (tujuan). Dalam hal ini, ghâyah hanya satu yaitu ketauhidan. Sedangkan wasîlah tidak hanya satu sebagaimana termanifestasi dari banyaknya para nabi yang diutus. Dengan demikian, setiap manusia pada dasarnya hanya selalu berinteraksi dengan Tuhan. Jika ketataannya kepada nabi merupakan ketaatannya kepada Tuhan [ إال لٌطاع بإذن
]هللا, maka kedurhakaannya kepada nabi juga merupakan kedurhakaannya kepada Tuhan. Karena itulah, ayat tersebut meredaksikannya dengan
63
232-233.
64
Lihat Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz V, cet. I, h.
Nâsir Mâkarim al-Syairâzî, al-Amtsal fî Tafsîr Kitâb Allâh al-Munazzal (Iran: Madrasah al-Imâm ‘Alî ibn Abî Tâlib, 1421 H), Jilid III, h. 303. 65 Lihat Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz V, cet. I, h. 80.
102
[]فاستؽفروا هللا, bahwa mereka minta ampun kepada Allah, bukan kepada nabi.66 Hal ini penting sekali untuk ditekankan, karena para nabi hanyalah manusia biasa yang kemudian ditunjuk oleh Tuhan sebagai delegasi-Nya. Dalam hal ini, mereka hanyalah instrumen, transmiter wahyu, sekaligus sebagai penyeru manusia kepada Tuhan. Di luar kapasitas itu, para nabi sama seperti manusia kebanyakan yang juga harus berjuang memurnikan ketaatan hanya kepada Tuhan.67 Dalam hal ini, penyimpangan memang bisa saja terjadi. Hal ini sebagaimana terekam dalam beberapa ayat al-Qur’an, seperti perilaku orang-orang Yahudi (al-Yahûd) yang menuhankan ‘Uzair,68 orang66
Tauhid dipahami oleh al-Marâghî sebagai pemurnian ibadah serta pengkhususan ketuhanan hanya untuk Allah Swt. Lihat, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz XVII, cet. I, h. 21. 67 Banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa para nabi hanyalah manusia biasa yang kemudian diberi wahyu oleh Allah. misalnya, QS. al-Hajj [22]: 52 dan QS. al-Furqan [25]: 52: ‚Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.‛ ‚Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha melihat.‛ 68 Dalam sejarah Yahudi, ‘Uzair (Ezra) adalah salah seorang tokoh karismatik yang sangat besar jasanya dalam memperbarui agama dan mengumpulkan naskah-naskah Taurat serta menuliskannya kembali. Oleh karena jasanya yang besar itu, orang-orang Yahudi menyebutnya ‚Anak Allah‛, meskipun tidak sampai seperti kepercayaan orang-orang Nasrani terhadap Isa. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa tidak semua orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah. Akan tetapi, karena kalimat tersebut diucapkan oleh orang Yahudi, timbul kesan hal itu sebagai ucapan semua orang Yahudi. Lihat Quraish Shihab, Ensiklopedia AlQur’an; Kajian Kosakata, Jilid III, h. 1027. ‘Abîd Ibn ‘Umair menyebutkan bahwa hal ini adalah pernyataan seorang Yahudi bernama Fanhâs ibn ‘Âzûrâ‘. Sedang Ibn ‘Abbas berdasarkan riwayat
103
orang Nasrani (al-Nasârâ) yang menuhankan Isa,69 serta pengkultusan terhadap para tokoh dan pemuka agama (QS. al-Taubah [9]: 30-31). Pernyataan-pernyataan tersebut oleh al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu hal yang berlebihan (ghuluw) dan melampaui batas (QS. al-Nisâ‘ [4]: 171 dan QS. al-Mâ‘idah [5]: 77), sehingga secara tegas dibantah oleh Allah bahwa para nabi tidak mungkin menyarankan demikian. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an:
‚Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [80] Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".70
Sa’îd ibn Jubair dan ‘Ikrimah menyebutkan pernyataan tersebut merupakan pernyataan sekelompok Yahudi yang mendatangi nabi. Mereka adalah Salâm ibn Masykam, al-Nu’mân ibn Awfâ, dan Mâlik ibn al-Saif. Lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid XIV, h. 35. 69 Terkait dengan pandangan penuhanan Isa, para ulama tafsir terbelah kepada dua kelompok. Pertama; kelompok yang menganggap pernyataan itu sebagai keyakinan kolektif umat Nasrani. Dalam hal ini misalnya, lihat al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Juz II, h. 16, dan Fakhr alDîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid VI, h. 195. Kedua; kelompok yang berpandangan bahwa pernyataan tersebut bukan keyakinan kolektif. Misalnya al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl alQur’ân, Jilid VI, h. 350, al-Qurtubî, al- Jâmi‘ li Âhkâm al-Qur’ân, Jilid IV, h. 459, dan Muhammad Nawâwî al-Bantanî al-Jâwî, Marâh Labîdz (Indonesia: Dâr Ihyâ‘ al-Kutub al‘Arabiyyah, t.th), Juz I, h. 336-337. 70 QS. Âli ‘Imrân [3]: 79-80.
104
Terkait ayat ini, Sa’id ibn Jubair meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abû Râfi’ al-Qurazî, pemuka Yahudi, dan al-Ribbîs, pemuka Nasrani Najran, yang bertanya kepada Nabi apakah ia ingin disembah. Ayat ini sendiri turun sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.71 Dengan jawaban ini, al-Qur’an tidak hanya ingin menjawab pertanyaan yang mereka ajukan kepada Nabi Muhammad, tetapi pada saat yang sama juga melakukan kritik simpatik terhadap teologi mereka. Fakhr al-Dîn al-Râzî, mengulas makna rabbâniyyîn pada ayat tersebut dengan mengutip pandangan Sîbawaih, bahwa kata rabbâniy pada ayat tersebut merupakan nisbah (penghubungan) kepada al-rabb (Tuhan) yang maknanya adalah seseorang yang memiliki ilmu mendalam tentang Allah serta berjibaku dalam ketaatan kepada-Nya. Penambahan alif dan nûn pada kata tersebut menunjukkan kesempurnaan hal tersebut, sama seperti ungkapan sya’rânî untuk menunjukkan orang yang memiliki rambut lebat,
lihyânî untuk menunjukkan orang yang memiliki jenggot panjang, dan seterusnya.72 Paralel dengan pernyataan di atas, Muhammad Abduh memahami kata rabbâniyyîn sebagai sebuah perintah supaya seseorang terhubung langsung dengan Tuhan, tanpa perantara apapun, termasuk para nabi itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan terus mengajarkan al-kitâb dan mempelajarinya. Dalam hal ini, berikut pernyataan Abduh:
71 72
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid VIII h. 524-525. Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid VIII, h. 122-123.
105
(ولكن كونوا ربانٌٌن بما كنتم تعلمون الكتاب وبما كتنم تدرسون) أي ولكن ٌأمرهم النبً الذي أوتً الكتاب والحكم بأن ٌكونوا منسوبٌن إلى الرب مباشرة من ؼٌر توسطه هو وال التوسل بشخصه وإنما ٌهدٌهم إلى الوسٌلة الحقٌقٌة الموصلة إلى ذلك فبعلم الكتاب وتعلٌمه والعمل به ٌكون اإلنسان ربانٌا.وهً تعلٌم الكتاب ودراسته والرسول هو الواسطة، فالكتاب هو واسطة القرب من هللا تعالى.مرضٌا عند هللا تعالى فال ٌمكن ألحد أن ٌتقرب إلى هللا.)المبلؽة للكتاب كما قال تعالى (إن علٌك إال البالغ .بشخص الرسول بل بما جاء به الرسول ‚ []ولكن كونوا ربانٌٌن بما كنتم تعلمون الكتاب وبما كتنم تدرسون, maksudnya ialah tetapi justru seorang Nabi yang telah diberi al-kitâb dan al-hukm itu memerintahkan mereka supaya terhubung langsung kepada Allah tanpa perantaraan dirinya. Nabi hanya menunjukkan kepada mereka sarana sejati yang akan menyampaikan mereka kepada hal tersebut, yaitu mengajar dan belajar al-kitâb. al-kitâb merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah, rasul hanya sebatas penyampai al-kitâb, seperti firman Allah [ إن علٌك إال ]البالغ. Karena itu, tidak mungkin seseorang akan mendekatkan diri kepada Allah melalui diri Nabi, tetapi adalah melalui apa yang dibawa seorang Nabi.‛73 Apa yang disebutkan Abduh di atas sejalan dengan QS. al-Rûm [30]: 30, yang memerintahkan agar manusia selalu menghadapkan dirinya kepada
al-dîn yang merupakan fitrah manusia [... فطرت هللا،]فأقم وجهك للدٌن حنٌفا. Kata aldîn mendeskripsikan relasi eksklusif antara dua pihak,74 yang dalam hal ini adalah Tuhan dan hamba. Dengan demikian, dîn merupakan wilayah privat di mana di sana hanya ada seseorang dengan Tuhan. Kenyataan ini menegaskan bagaimana posisi para nabi dalam agama, bahwa mereka hanyalah sarana dan bukan tujuan sehingga harus selalu ada dan kekal. Sebagai sarana, kenabian bisa saja berbilang. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan berbilangnya para nabi yang diutus sebagai kehendak historis sejarah. Banyaknya para nabi berarti banyaknya tradisi dan konsepsi 73
Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz III, cet. I, h 348. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), cet. VI, h. 209. Bandingkan dengan Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 21. Lihat juga, Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 77-78. 74
106
(syarî’ah). Karena itu, ketidakseragaman syarî’ah tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting adalah sarana yang dipakai dapat menyampaikan kepada tujuan. Dalam hal ini, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa legalitas kebenaran hanya ada dalam satu tradisi dan konsepsi tertentu saja. Tindakan eksklusif seperti ini dikecam oleh al-Qur’an, seperti yang termuat dalam QS. al-Baqarah [2]: 111-112. Sikap eksklusif dapat dipahami sebagai indikator ketika seseorang masih belum sampai kepada wilayah tujuan (ghâyah), namun masih sibuk berkutat di wilayah jalan (wasîlah).
B. Ekuisme Kenabian dalam al-Qur’an 1. Keidentikan di antara para nabi Tidak
hanya
sekedar
menginformasikan
bahwa
Tuhan
mendelegasikan para nabi kepada manusia, al-Qur’an juga menerangkan keidentikan-keidentikan di antara mereka. Secara global, keidentikan tersebut dapat rumuskan kepada dua aspek; misi dan ambilinial (hubungan kekerabatan). Misi adalah aspek yang mendeskripsikan perjuangan keagamaan para nabi,75 sedangkan ambilinial adalah aspek yang menjelaskan hubungan kekeluargaan yang terjalin di antara mereka.76 Hal ini menjadi penting untuk dibahas sebagai langkah
75
Misi dapat diartikan sebagai tugas yang dirasakan seseorang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi, dan patritisme. Lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 961. 76 Ambilinial berarti kelompok kekerabatan yang berorientasi pada nenek moyang bersama, ditelusuri berdasarkan garis ayah atau pun ibu. Lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 51.
107
antisipastif bagi terjadinya sikap diversifikatif (tafrîq) dalam merespon variatifnya kenabian karena dorongan emosional keagamaan.77 Perpaduan serta sinergisitas kedua aspek ini merekonstruksi sebuah pengertian sebagaimana tersimpul dalam kandung hadis yang dituturkan oleh Nabi Saw. yaitu:
.ت أ ُ ام َها ُتهُم َش اتى َودٌِ ُنهُم َوا ِح ٌد ٍ َواألَن ِب ٌَا ُء إِخ َوةٌ ل َِع اال
‚Para nabi adalah bersaudara meskipun ibu-ibu mereka berbeda, dan agama mereka satu (sama).‛78 a. Aspek misi Setiap delegasi tentunya pasti membawa misi tertentu dari pihak yang mendelegasikannya. Misi sendiri pada dasarnya adalah titah yang diembankan kepada setiap delegasi untuk kemudian mereka laksanakan. Tugas utama setiap delegasi adalah merealisasikan misi atau titah tersebut. Berhasil atau tidaknya seorang delegasi, diukur dari sejauhmana ia dapat mewujudkan apa yang menjadi misi tersebut. Dalam hal ini, pola kerja atau mekanisme proses dalam perwujudan misi bersifat dinamis dan fleksibel. Sedangkan yang statis atau tetap hanya satu, misi itu sendiri. Terkait dengan konteks kenabian, Tuhan hanya memiliki satu titah yang kemudian menjadi misi setiap nabi yang didelegasikannya kepada manusia. Titah tersebut adalah misi ketauhidan (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 25 dan QS. al-Nahl [16]: 36). Misi inilah yang secara konsisten diserukan dan diteruskan oleh para nabi kepada para penerusnya. 77
Al-Qur’an melarang sikap membeda-bedakan para nabi. Hal ini sebagaimana terdapat pada QS. al-Baqarah [2]: 136, 285, dan QS. Âli ‘Imrân [3]: 84. 78 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, ed. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirut: Dâr ibn Katsîr, 1987), Juz 3, cet. III, h. 1270.
108
Kenyataan ini, misalnya terlihat dari sikap Ya’qub kepada anak-anaknya sebagaimana terekam dalam ayat al-Qur’an berikut ini;
‚Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".79
‚Dan aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada Kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).80 Masing-masing ayat tersebut menginformasikan bahwa misi tauhid tidak hanya berlangsung secara terbatas dari Ya’qub kepada anakanaknya, melainkan sudah ditransmisikan semenjak lama dari nenek moyang mereka, yaitu Isma’il, Ishaq, dan Ibrahim. Penisbahan Tuhan kepada mereka, seperti yang dijelaskan Rasyîd Ridâ, adalah karena
79 80
QS. al-Baqarah [2]: 133. QS. Yûsuf [12]: 38.
109
merekalah yang melakukan dan memperjuangkan misi tauhid tersebut.81 Adapun penggunakan kata ( وصىQS. al-Baqarah [2]: 132) dan kondisi menjelang kematian Ya’qub (QS. al-Baqarah [2]: 133) dapat dipahami sebagai indikator yang menunjukkan kesungguhan mereka dalam mengemban misi tersebut. Ibrahim, Isma’il, Ishaq, maupun Ya’qub, mereka merupakan para nabi. Meskipun diutus pada konteks ruang dan waktu yang berbeda, namun mereka disatukan oleh ketauhidan sebagai misi utama. Dalam hal ini dipahami suatu hal bahwa mereka lebih dilihat dari aspek misi dari pada perbedaan-perbedaan yang mengitari masing-masing. Perbedaan latar historis berupa konteks ruang dan waktu tertentu, tentu saja meniscayakan terciptanya sejumlah perbedaan-perbedaan di antara mereka, baik dalam bentuk yang sederhana maupun pada tingkat ekstrim sekalipun. Namun, itu tidaklah menjadi persoalan ketika misi masih tetap sama, yaitu ketauhidan. Terkait dengan tema ketauhidan, secara eksplisit istilah tawhîd tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Di antaranya, al-Qur’an hanya menggunakan bentuk-bentuk lain dari akar kata yang masih sama, seperti ungkapan []هللا أحد82, []إله واحد,83 []وحده,84 dan sebagainya. Terhadap hal ini, misalnya al-Râzî memahami kata ahad dengan nafy al-musyârakah wa al81
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz I, h. 477. QS. al-Ikhlâs [114]: 1. 83 QS. al-Baqarah [2]: 163, QS. al-Nisâ‘ [4]: 171, QS. al-Mâ‘idah [5]: 73, QS. al-An’âm [6]: 19, QS. Ibrâhîm [14]: 52, dan QS. al-Nahl [16]: 22. 84 QS. al-A’râf [7]: 70, QS. al-Isrâ‘ [17]: 46, QS. al-Zumar [39]: 45, QS. Ghâfir [40]: 12, 84, dan QS. al-Mumtahanah [60]: 4. 82
110
mumâtsalah, yaitu ketidakadaan partner secara eksistensial maupun otoritas.85 Ibn Sînâ, sebagaimana dikutip Ibn ‘Asyûr, memahami ahad dengan wâhid min jamî’ al-wujûh, yaitu satu-satunya dari segala aspek. Adapun Ibn ‘Asyûr sendiri, secara etimologi, menyamakan pengertian
ahad dengan wâhid. Meskipun demikian, pada kesempatan selanjutnya ia mencoba mendistingsikan antara keduanya, dengan mengatakan bahwa
ahad maksudnya adalah munfarid bi al-ulûhiyyah, yaitu satu-satunya yang bersifat ketuhanan, dan wâhid berarti wâhid la muta’addid fa man
dûnahû laisa bi ilâh, yaitu satu tanpa berbilang.86 Mengacu kepada ilustrasi makna di atas, secara sederhana tauhîd dapat dipahami sebagai proses atau upaya untuk mengesakan Tuhan, baik secara eksistensial maupun secara otoritas. Hamka, dalam hal ini mengatakan bahwa ‚Yang Tuhan itu ialah Mutlak kuasa-Nya, tiada terbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan tiada tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur.‛87 Para filosuf sudah mencapai pemaknaan seperti ini ketika mencita-citakan penemuan apa yang mereka istilahkan dengan ‚materi tunggal yang tak terbagi‛ (al-
jauhar al-fard al-ladzî lâ yatajazza’). Namun, dalam perspektif materialistis hal ini tidak dapat mereka temukan.88
85
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Juz VII, h. 211. Muhammad Tâhir ibn ‘Asyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XXX, h. 613-614. 87 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: pembimbing Masa, 1970), Juz XXX, h. 65. 88 Jamâl al-Bannâ, al-Ta’addudiyyah fî Mujtama’ Islâmî (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 86
t.t), h. 6.
111
Dengan demikian, terlihatlah bahwa misi para nabi sesungguhnya tidak lain adalah penegasan terhadap fitrah yang sebelumnya sudah tertanam dalam lubuk jiwa setiap manusia semenjak masih berada di alam ruh, ketika manusia masih jauh berada dalam blueprint (cetak biru) ilahi atau yang bisa disebut juga archetypal word (QS. al-A’râf [7]: 172).89 Karena kelak mereka akan ditanya kembali tentang hal ini, karena itu pula lah Tuhan kemudian mendelegasikan para nabi kepada setiap umat manusia untuk meneguhkan mereka kembali terhadap kenyataan tersebut (QS. Yûnus [10]: 47/QS. al-Ra’d [13]: 7). Setelah peneguhan ini, maka Tuhan akan memberikan penilaian tentang berhasil atau gagalnya seseorang dalam menjaga konsistensi fitrah tersebut (QS. al-Nisâ‘ [4]: 165/QS. al-Isrâ‘ [17]: 15). Tidak hanya manusia yang akan ditanya tentang ketauhidannya, para nabi pun yang memang sengaja didelegasikan Tuhan untuk meneguhkan ketauhidan manusia, juga akan ditanya tentang tugas tersebut. Di antara ayat yang menjelaskan bahwa kelak manusia akan ditanya tentang ketauhidan adalah seperti; [ أن تقولوا ٌوم القٌامة إنا كنا عن هذا ( ]ؼافلٌنQS. al-A’râf [7]: 172), [ وٌوم نحشرهم جمٌعا ثم نقول للذٌن أشركوا أٌن ( ]شركاؤكم الذٌن كنتم تزعمونQS. al-An’âm [6]: 22), [ وٌوم نحشرهم جمٌعا ثم نقول ( ]للذٌن أشركوا مكانكم أنتم وشركاؤكمQS. Yûnus [10]: 28), dan sebagainya. Sedangkan di antara ayat yang menjelaskan bahwa kelak para nabi akan ditanya tentang tugas mereka, yaitu terkait dengan ketauhidan adalah 89
Tim Ahli, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 16.
112
seperti; [( ]وسئل من أرسلنا من قبلك من رسلنا أجعلنا من دون الرحمن ألهة ٌعبدونQS. alZukhruf [43]: 45), [ وإذ قال هللا ٌعٌسى ابن مرٌم أأنت قلت للناس اتخذونً وأمً إلهٌن من ما قلت لهم إال ما أمرتنً به أن اعبدوا هللا ربً وربكم... قال سبحانك،( ]دون هللاQS. alMâ‘idah [5]: 116-117), dan sebagainya. Berdasarkan
fakta
di
atas,
bukanlah
suatu
hal
yang
mencengangkan ketika al-Qur’an menarasikan bahwa setiap nabi yang diutus selalu mengawali tugas mereka dengan mengajak manusia kepada tauhid. Dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa para nabi yang disebutkan dalam al-Qur’an, seperti Nuh, Hud, Saleh, Syu’aib, dan sebagainya, semuanya mengajak kaumnya untuk mentauhidkan Allah [ ٌا ]قوم اعبدوا هللا ما لكم من إله ؼٌره.90 Tidak ada hal fundmental yang dapat disimpulkan dari kenyataan ini selain mengatakan bahwa tauhid memang merupakan misi utama para nabi diutus. Karena itu juga, mengapa Tuhan menyebut syirik (kebalikan tauhid) sebagai dosa yang tidak akan Ia ampuni (QS. al-Nisâ‘ [4]: 48, 116). Mengantisipasi pandangan bias dalam memahami
realitas
keragaman tardisi dan konsepsi agama, sebagai implikasi logis dari akumulasi kenabian-kenabian sebelumnya, maka Abduh memandang perlu untuk kembali menegaskan ketauhidan sebagai misi utama para nabi. Sedangkan perbedaan tradisi dan konsepsi ajaran atau yang lazim dikenal sebagai syariat, hal ini terjadi lebih sebagai konsekuansi logis dari perbedaan konteks ruang dan waktu yang mereka hadapi. Sehingga, tidak 90
Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr
al-Râzî..., Juz VII, h. 228.
113
ada yang harus dipersoalkan dalam hal ini. Dengan demikian, diharapkan tidak muncul lagi sikap diversifikatif (tafrîq) dari pemeluk agama tertentu terhadap kenyataan ini. Dalam hal ini, Abduh mengatakan bahwa setiap nabi yang diutus kepada umat tertentu sepakat dalam menyerukan tiga hal (Abduh menyebutnya dengan ushûl al-dîn al-tsalâtsah); iman kepada Allah, hari akhir, serta berbuat baik. Mereka hanya berbeda dalam perincian-perincian yang dipicu oleh perbedaan umat yang mereka hadapi.91 Pada dasarnya, ketiga hal tersebut merupakan kehendak dari fitrah atau ketauhidan itu sendiri. Ketika tiga hal tersebut, yaitu iman kepada Allah, hari akhir, serta berbuat baik, terakumulasi pada jiwa seseorang, maka pada saat itulah ia dipandang berhasil dalam menjaga konsistensi kefitrahannya, tanpa disyaratkan harus dengan format tradisi dan konsepsi tunggal agama tertentu. Terhadap kenyataan ini, Tuhan menggaransikan keselamatan terhadap mereka yang berhasil (QS. al-Baqarah [2]: 62/QS. al-Mâ‘idah [5]: 69).
Sebagaimana dikatakan al-Râzî, karena itulah Tuhan selalu
menyebut setiap nabi dan para pengikutnya sebagai muslimîn, yaitu orang-orang yang berserah diri.92 b. Aspek ambilinial Tidak hanya dalam misi, para nabi ternyata juga memiliki kedekatan emosioal yang lebih dari itu, yaitu hubungan kekeluargaan
91
Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz I, h. 216 Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî..., Juz VII, h. 228. 92
114
yang sangat erat. Secara gamblang, hal ini misalnya dapat dipahami dari transmisi ketauhidan yang berlangsung dari Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub,
Yusuf,
dan
seterusnya,
sebagaimana
disebutkan
pada
pembahasan sebelumnya. Selain sebagai para nabi, mereka juga merupakan keluarga. Hal ini, secara global, dapat diuraikan dengan dua ranji keturunan; pertama, Isma’il ibn Ibrahim, dan kedua, Yusuf ibn Ya’qub, Ya’qub ibn Ishaq, Ishaq ibn Ibrahim. Jika ditarik agak lebih jauh, al-Qur’an ternyata memiliki informasi yang cukup kaya dan jelas terkait dengan asal-usul para nabi yang pernah diutus. Tidak hanya itu, asal-usul tersebut menunjukkan bahwa para nabi ternyata merupakan keluarga besar. Mereka saling memiliki kedekatan garis keturunan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu saja bukanlah suatu hal yang biasa tanpa makna, namun menunjukkan soliditas dan solidaritas yang tinggi antara seorang nabi dengan yang lainnya. Suatu hal yang dapat dijadikan pelajaran oleh para pengikut mereka masing-masing agar tidak mempertentangkan mereka satu sama lain. Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, informasi tersebut dapat diketahui dari sejumlah ayat berikut ini.
NO 1.
Q.S
AYAT
Âli ‘Imrân [3]: 33
KANDUNG AN AYAT
KETERANGA N
Adam, Nuh, Keluarga Ibrahim, dan Keluarga
Adam dan keturunan, Nuh dan
115
2.
Al-Nisâ‘ [4]: 54
‘Imran
Keluarga Ibrahim
3.
Maryam [19]: 58
4.
Al-An’âm [6]: 83-89
Keturunan Adam, keturunan penumpang kapal Nuh, keturunan Ibrahim, keturunan Israil (Ya’qub), serta keturunan orang-orang yang diberi petunjuk dan terpilih. Keluarga Ibrahim
keturunan, Keturunan penumpang kapal Nuh, Ibrahim dan keturunan; Ya’qub, Keluarga ‘Imran, dan Isma’il, dan O orangorang yang diberi petunjuk dan terpilih.
116
5.
Al-Hadîd [57]: 26
Nuh dan keturunannya, Ibrahim dan keturunannya
Ilustrasi
di
atas
menyimpulkan
bahwa
tradisi
kenabian
berlangsung pada beberapa keluarga, yaitu Adam dan keturunan, Nuh dan keturunan, keturunan Penumpang kapal Nuh, Ibrahim dan keturunan; Ya’qub, Keluarga ‘Imran, dan Isma’il, dan orang-orang yang diberi petunjuk dan terpilih. Sepintas terlihat bahwa informasi ini menunjukkan
117
informasi pergerakan pertumbuhan dan perkembangan kenabian dari masa-masa awal kesejarahannya. Beberapa catatan atas ilustrasi di atas; pertama, Adam dan keturunannya. Bahwa para nabi terdiri dari keturunan Adam merupakan suatu hal yang pasti dan tidak dipertikaikan. Namun terkait dengan kenabian Adam sendiri, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Di antara yang memandang Adam sebagai nabi pertama, misalnya adalah alMarâghî dan al-Tabâtabâ’î. Jika al-Marâghî menegaskan hal tersebut secara mutlak,93 namun al-Tabâtabâ’î memberi catatan bahwa Adam adalah nabi pertama,94 namun belum memiliki syariat. Adapun nabi pertama yang memiliki kitab dan syariat adalah Nuh. 95 Dengan demikian, masih terdapat corak pendapat dalam pandangan yang menetapkan kenabian Adam. Berbeda dengan hal di atas, terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa Adam bukanlah seorang nabi, sehingga Adam hanya dapat dikatakan sebagai manusia pertama. Dalam hal ini, misalnya Qatâdah, mufassir dari kalangan tabiin, ketika mengomentari QS. alBaqarah [2]: 213 menyebutkan bahwa nabi pertama adalah Nuh.96 Selain itu, hal ini juga berdasarkan potongan sebuah hadis yang berbunyi [ ٌا نوح ]أنت نبً هللا وأول من أرسل, ‚wahai Nuh, engkau adalah nabi Allah dan yang 93
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz III, cet. I, h. 1138-139. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang memuat pertanyaan-pertanyaan Abû Dzar alGhîfârî kepada Nabi saw. seputar kenabian. Lihat, Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, alMizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid II, cet. I, h. 147. 95 Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid V, cet. I, h. 142. 96 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid III h. 621. 94
118
pertama diutus (rasul).‛97 Dengan demikian, pandangan ini menegaskan bahwa Adam bukanlah seorang nabi, tetapi nenek moyang manusia. Terlepas dari perbedaan di atas, al-Qur’an memang tidak pernah secara eksplisit menegaskan kenabian Adam. Di dalam al-Qur’an, Adam hanya diungkapkan sebagai salah seorang manusia yang dipilih Tuhan. QS. Âli ‘Imrân [3]: 33, menyebutkan [ إن هللا اصطفى آدم ونوحا وآل إبراهٌم وآل ]عمران على العالمٌن. Jika dilihat dari perspektif al-Qur’an, kata اصطفىterlalu umum, sebab kata tersebut juga digunakan kepada selain nabi.98 Namun, penulis melihat terdapat satu ayat yang dapat dijadikan pijakan bagi penegasan kenabian Adam. Ayat tersebut adalah QS. al-Syûrâ [42]: 51, yang berbunyi; [ وما كان لبشر أن ٌكلمه هللا إال وحٌا أو من وراء حجاب أو ٌرسل رسوال إنه على حكٌم،]فٌوحً بإذنه ما ٌشاء.99 Adam adalah manusia dan al-Qur’an banyak sekali merekam komunikasi Adam dengan Tuhan. Dengan demikian, komunikasi tersebut tentunya pasti terjadi sebagaimana kandungan ayat tersebut. Berdasarkan kenyataan ini, penulis lebih cenderung mengatakan Adam sebagai nabi namun tidak memiliki syariat, seperti yang menjadi pandangan al-Tabâtabâ’î di atas. Adam sebagai nabi hanya dalam konteks cara komunikasi, bukan dalam makna teknis. Karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa Nuh adalah nabi pertama yang diutus, sebagaimana 97
Abû Hâtim Muhammad ibn Hibbân al-Tamîmî, Sahîh ibn Hibbân (Beirût: Mu‘asaat al-Risâlah, 1993), Juz XIV, h. 380. 98 Misalnya QS. Âli ‘Imrân [3]: 42, []إن هللا اصطفىك وطهرك واصطفىك على نساء العالمٌن. 99 ‚Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.‛
119
berdasarkan hadis dan riwayat Qatâdah di atas, pada dasarnya sejalan dan tidak bertentangan dengan pandangan al-Tabâtabâ’î mengenai kenabian Adam.
Kedua, Nuh dan keturunannya. Keterangan tentang kenabian Nuh sepertinya sudah cukup terang, sebagaimana terdapat pada uraian seputar kenabian Adam sebelumnya. Ketiga, keturunan Penumpang kapal Nuh. Besarnya banjir yang terjadi pada masa Nuh, ada yang memprediksi banjir tersebut terjadi secara massif, menyentuh seluruh permukaan bumi. Karena itu, manusia yang tersisa pada saat itu hanya yang ada dalam perahu Nuh, yaitu Nuh dan beberapa orang penumpang lainnya. Karena itu, sangat wajar jika al-Qur’an kemudian menginformasikan bahwa para nabi kemudian ada dari keturunan mereka. Berdasarkan informasi QS. alIsrâ‘ [17]: 2-3, keturunan mereka yang dimaksud adalah Banî Isrâ‘îl yang kelak menjadi umat Musa.100
Keempat, Ibrahim dan keturunannya; Ya’qub, Keluarga ‘Imran, dan Isma’il. Dibandingkan yang lain, Ibrahim merupakan yang paling banyak memiliki keturunan yang menjadi nabi. Hal ini karena suatu ketika ia memang pernah meminta hal demikian (QS. al-Baqarah [2]: 124). Karena itu, tiga agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang biasa dikategorikan sebagai agama langit terkadang juga disebut sebagai
100
‚Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku. (yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.‛
120
agama abrahamic, yaitu agama keturunan Ibrahim.101 Kelima, Orangorang yang diberi petunjuk dan terpilih. Tidak banyak dijumpai penjelasan dari para ahli tafsir terkait dengan ini. Di antaranya, misalnya adalah al-Râzî102 dan al-Zamakhsyarî,103 keduanya memahami bahwa yang dimaksud potongan ayat ini adalah para nabi yang disebutkan sebelumnya. Uraian aspek ambilinial para nabi ini setidaknya memberikan sebuah pemaknaan tentang soliditas dan solidaritas antara mereka. Di antara mereka ada yang diutus pada satu konteks ruang dan waktu (misalnya Musa dan Harun), ada yang pada waktu yang sama namun berbeda wilayah (Musa-Syu’aib, Ibrahim-Luth), dan ada pula pada wilayah yang sama namun sudah pada waktu yang berbeda (Ibrahim, Isma’il, dan Muhammad). Semua ini berlangsung secara natural mengikuti kehendak perjalanan sejarah berupa konteks ruang dan waktu yang dihadapi. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dilihat oleh para pengikut mereka sebagai suatu hal yang kontradiktif atau tidak bisa berjalan secara bersamaan.
C. Egaliterianisme Para Nabi Merupakan sebuah fakta bahwa tidak hanya satu orang nabi yang diutus Tuhan sepanjang sejarah manusia. Secara gamblang, QS. al-Baqarah
101
Elza Peldi Taher (Ed), Merayakan Kebebasan Beragama (Jakarta: ICRP, 2009), h. 15. Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Juz XXI, h. 235. 103 al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Juz IV, h. 31. 102
121
[2]: 213 yang di dalamnya terdapat kata al-nabiyyîn merupakan pijakan normatif bagi kenyataan tersebut. Tidak hanya itu, ayat tersebut juga menginformasikan bahwa secara egaliter mereka memainkan peran
(mubasysyirîn wa mundzirîn) dan fungsi yang sama (li yahkuma bain al-nâs fî mâ ikhtalafû fîh) serta dibekali dengan hal yang sama (wa anzala ma’ahum al-kitâba bi al-haq). Bahkan, sebagaimana ditegaskan oleh Ubay ibn Ka’ab, Ibn Zayd, dan al-Tabarî, bahwa kemunculan setiap tradisi kenabian juga dilatarbelakangi oleh faktor yang sama, yaitu perselisihan sosial (ikhtilâf) di tengah masyarakat.104 Terkait dengan jumlah para nabi yang diutus, terdapat beberapa riwayat informatif. Beberapa literatur menyebutkan bahwa jumlah mereka secara keseluruhan terdiri dari 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul.105 Ada juga yang memprediksi jumlahnya lebih dari itu.106 Hal ini wajar, karena al-Qur’an sendiri memang masih membuka peluang untuk jumlah yang lebih banyak ketika mengatakan bahwa di antara para nabi itu ada yang dikisahkan dan ada yang tidak (QS. al-Nisâ‘ [4]: 164). Sikap al-Qur’an ini dapat dipahami sebagai indikator bahwa kepastian jumlah para nabi bukanlah suatu hal yang substansial. Sedangkan yang paling substansial dan fundamental adalah misi tauhid yang mereka perjuangkan. Dalam tradisi keislaman, dikenal 25 nama yang dipandang sebagai nabi sekaligus rasul. Mereka adalah Âdam, Idrîs, Nûh, Hûd, Sâlih, Ibrâhîm, 104
Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Jilid III, h. 624. Hasan al-Saffar, al-Ta’addudiyyât wa al-Hurriyyât fî al-Islâm (Beirût: Dâr al-Bayân al-‘Arabî, 1990), h. 14. 106 Muhammad Syatâ al-Dimyâtî, I’ânat al-Tâlibîn (), Juz 1, h. 13. 105
122
Lût, Ismâ’îl, Ishâq, Ya’qûb, Yûsuf, Ayyûb, Syu’aib, Mûsâ, Hârûn, Dzu alKifli, Dâûd, Sulaimân, Ilyâs, Ilyâsâ’, Yunûs, Zakariyâ, Yahya, ‘Isâ, dan Muhammad Saw. Nama-nama ini begitu sering disebut-sebut oleh al-Qur’an, seraya menekankan keharusan mengimani kebenaran mereka serta melarang sikap ‚membeda-bedakan‛ antara mereka.107 Penekanan al-Qur’an terkait hal ini adalah karena adanya egaliterianisme yang melekat antara sesama nabi. Penekanan al-Qur’an atas keharusan keberimanan terhadap kenabiankenabian sebelumnya serta tidak membeda-bedakannya adalah juga bentuk sikap antisipatif al-Qur’an agar tidak lahirnya sikap eksklusif dari pengikut nabi tertentu terhadap pengikut para nabi yang lain. Biasanya hal ini muncul dari rasa yang diklaim sebagai emosional dan antusiasme keberagamaan. Meskipun demikian, al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan al-Qurtubî108 dan alTabâtabâ’î,109 menyebut hal ini sebagai kedengakian (baghyan) (QS. alBaqarah [2]: 213). Sikap eksklusif ini pernah terjadi dan dilakukan oleh sementara Yahudi dan Nasrani. Masing-masing saling meremehkan dan merasa unggul sendiri. Tindakan seperti ini dinilai tidak patut oleh al-Qur’an karena keduanya sama-sama sudah memiliki kitab. Hal ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpengetahuan (QS. al-Baqarah [2]: 113). Setiap Kitab adalah sumber risalah atau syariat dari kenabian tertentu. Masingmasing memiliki kedudukan yang sama antara satu sama lain. Karena itu, 107
QS. al-Baqarah [2]: 136,285, QS. Âli ‘Imrân [3]: 84. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân…, Juz III, h. 407. 109 , Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, h. 156.. 108
123
ayat yang menyebutkan bahwa Tuhan memuliakan seorang nabi antara satu dengan yang lainnya, tidak tepat jika dipahami dalam koteks syariat.110 Begitu pula dengan hadis yang membicarakan seputar kelebihan Nabi Muhammad dari nabi-nabi yang lain.111 Secara elok, dalam satu kesempatan, sinergisitas kenabian itu dipostulasikan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai ubin-ubin yang secara bersama membentuk sebuah rumah yang indah dan begitu bagus. Hanya saja, keindahan tersebut belum lengkap disebabkan adanya satu ubin yang masih belum terpasang. Nabi mengatakan, beliau lah ubin tersebut. Maka, pengutusan beliau Saw adalah peristiwa ketika ubin itu sudah terpasang pada tempatnya. Sehingga, lengkap dan sempurna lah keindahan rumah tersebut. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw;
ًحدثنا قتٌبة بن سعٌد حدثنا إسماعٌل بن جعفر عن عبد هللا بن دٌنار عن أب صلاى ا َرضِ ًَ ا- صالح َعن أَ ِبً ه َُرٌ َر َة إِنا: َقا َل-هللا ُ َعلٌَ ِه َو َسلا َم َ - هللا ِ أَنا َرسُو َل ا-هللا ُ َعن ُه إِ اال َموضِ َع لَ ِب َن ٍة مِن،ُجُل َب َنى َبٌ ًتا َفأَح َس َن ُه َوأَج َملَه ٍ َم َثلًِ َو َم َث َل األَن ِب ٌَا ِء مِن َقبلًِ َك َم َث ِل َر ُ ٌَ ُ َف َج َع َل ال اناس,ٍاو ٌَة : َه اال وُ ضِ َعت َه ِذ ِه اللا ِب َن ُة؟ َقا َل:ون َ ُ َو ٌَقُول,ُُون لَه َ َو ٌَع َجب،ِون ِبه َ ُطوف ِ َز َ ُ ا ا .ٌِّن َ ٌ َوأ َنا َخاتِ ُم الن ِب.َفأ َ َنا الل ِب َنة ‚Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, ‘perumpamaanku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seseorang yang sudah membangun sebuah rumah dengan begitu bagus dan indah, hanya saja terdapat satu bagian yang ubinnya belum terpasang. Maka, ketika orangorang mulai berkeliling melihat-lihat, mereka sangat kagum. Hanya saja mereka menyayangkan mengapa ubin yang satu ini tidak terpasang.’ Lalu 110
Ayat tersebut berbunyi []تلك اللرسل فضلنا بعضهم على بعض, ‚Para rasul itu kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain‛. QS. al-Baqarah [2]: 253. 111 ُ َو ُنصِ ر،ت جَ َوامِعَ ال َكل ِِم ُ ٌ ِ أُعط:ت ُ ضل ٍّ ِت َعلَى األَن ِبٌَا ِء ِبس Hadis tersebut berbunyi [ ًَِ َوأ ُ ِحلات ل،ِت ِبالرُّ عب ِّ ُف ُ َ ً َ ا ُ ا َ َ َ َ ُ َ ً َ َ َوخ ِت َم ِبًَ الن ِبٌُّون، َوأرسِ لت إِلى الخل ِق كافة، َو ُج ِعلت لًَِ األرضُ طهُورً ا َومَس ِجدا،]الؽنا ِئ ُم. Lihat, Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa alSyubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167. Lihat juga, Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Beirût: Dâr Ihyâ‘ al-Turâts al-‘Arabî, tt), Juz I, h. 371.
124
Nabi berkata, ‘akulah ubin tersebut, karena aku adalah penutup para nabi.‛112 Pada kesempatan lain, Nabi Saw. pernah melarang membandingbandingkan di antara para nabi. Dalam hal ini, misalnya, Nabi melarang untuk melebih-lebihkan dirinya dari Musa, sebagaimana dalam hadis berikut ini:
حدثنا ٌحٌى بن قزعة حدثنا إبراهٌم بن سعد عن ابن شهاب عن أبً سلمة َرجُ ٌل م َِن، اس َتبا َرجُ الَ ِن: وعبد الرحمن األعرج عن أبً هرٌرة رضً هللا عنه قال َف َقا َل.ٌِن َ المُسلِم َ ٌِن َو َرجُ ٌل م َِن ال ٌَهُو ِد َف َقا َل المُسلِ ُم َوالاذِي اص َط َفى م َُحم ًادا َعلَى ال َعالَم َفلَ َط َم َوج َه،ب المُسلِ ُم عِ ندَ َذل َِك َ ِ َقا َل َف َؽض،ٌِن َ ُوسى َعلَى ال َعالَم َ ال ٌَهُودِيُّ َوالاذِي اص َط َفى م َ َ ان مِن أم ِر ِه َ هللا صلى هللا علٌه وسلم َفأخ َب َرهُ ِب َما َك ِ ُول ا َ َف َذ َه، ِّال ٌَهُودِي ِ ب ال ٌَهُودِيُّ إِلَى َرس َفإِنا،ُوسى َ هللا صلى هللا علٌه وسلم " الَ ُت َخ ٌِّرُونًِ َعلَى م ِ َوأَم ِر المُسل ِِم َف َقا َل َرسُو ُل ا ُ َفأ َ ُكونُ فًِ أَ او ِل َمن ٌُف،ِون ٌَو َم ال ِق ٌَا َمة ب ِ َفإِ َذا مُو َسى بَاطِ شٌ ِب َجا ِن،ٌِق َ ُاس ٌَص َعق َ ال ان َ َ َ َ ان اس َتث َنى ا َ صع َِق َفأ َف .ُهللا َ أو َك،ًِاق َقبل َ ُوسى فٌِ َمن َ ان م َ َفالَ أد ِري أ َك،ش ِ ان ِمم ِ ال َعر ‚dua orang saling mencaci, yang satunya Muslim sedangkan yang satunya lagi Yahudi. Yang Muslim berkata, ‚Demi Yang telah memilih Muhammad dari sekalian alam.‛ Lalu yang Yahudi membalas, ‚Demi Yang telah memilih Musa atas sekalian alam.‛ Maka seketika itu yang Muslim mengangkat tangannya lalu memukul wajah si Yahudi. Lalu si Yahudi pergi menemui Nabi dan menyampaikan apa yang terjadi di antara mereka berdua. Nabi berkata, ‚Jangan kamu lebih-lebihkan aku dari Musa, sebab semua manusia jatuh pingsan lalu aku orang yang pertama kali tersadar. Namun tiba-tiba Musa sudah berdiri di sebelah ‘Arsy. Maka aku tidak tahu apakah ia tadinya juga pingsan lalu tersadar sebelum aku atau justru dia adalah orang yang dikecualikan oleh Allah (tidak ikut pingsan).‛113
Sepanjang ilustrasi di atas, jelaslah bahwa egalitarianisme merupakan suatu hal yang mendasar pada para nabi dan melekat pada kenabian mereka. Sehingga, dalam hal ini tradisi dan konsepsi dari kenabian tertentu berada pada tingkat eksistensi dan legalitas yang sama untuk dianut manusia. 112
Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, ed. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirut: Dâr ibn Katsîr, 1987), Juz 3, cet. III, h. 1300. 113 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz 2, cet. III, h. 849.
BAB IV PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG KENABIAN-KENABIAN
A. Ayat-ayat Argumentasi Universalitas Kenabian Nabi Muhammad Saw Dalam tradisi Islam, al-Qur’an merupakan sumber ajaran tertinggi dan utama.1 Hal ini karena selain al-Qur’an, terdapat sumber-sumber lain namun secara hierarkis menempati posisi di bawah al-Qur’an. Sumber-sumber tersebut, di antaranya adalah hadis Nabi Saw, Konsensus ulama (ijmȃ’), analogi (qiyȃs), dan sebagainya.2 Ilustrasi ini artinya adalah bahwa al-Qur’an paling otoritatif jika dibandingkan dengan sumber-sumber yang lain. Dengan demikian, pendapat atau keyakinan tertentu yang berbasis argumentasi berupa ayat al-Qur’an akan mendapatkan otoritas dan legitimasinya tersendiri. Pembahasan ini, selanjutnya akan memaparkan sejumlah ayat alQur’an yang sering dijadikan basis argumentasi oleh pihak-pihak yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang secara eksklusif diutus kepada seluruh manusia secara universal dan ajarannya merupakan satu-satunya aktivitas kepatuhan kepada Tuhan yang legal serta yang masih memiliki pintu keselamatan. Sejumlah ayat yang biasanya dijadikan pijakan dalam menopang keyakinan akan universalitas kenabian Muhammad Saw adalah sebagai berikut:
1
A. Atahillah, Rasyȋd Ridȃ: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manȃr (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 44 2 A. Atahillah, Rasyȋd Ridȃ: Konsep Teologi, h. 44-45.
125
126
Pertama, bahwa Nabi Muhammad Saw diutus kepada alam semesta. Dalam hal ini, diyakini bahwa kenabian Muhammad Saw bukanlah diperuntukkan hanya untuk suatu komunitas masyarakat tertentu saja, bahkan bukan pula untuk umat manusia semata, melain sebagai rahmat untuk alam semesta.3 Keyakinan ini diinterpretasikan dari QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107. Adapun redaksi lengkap ayat tersebut adalah sebagai berikut:
‚Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.‛4 Ibn ‘Âsyûr memahami kata rahmah bermakna keluesan syari’at
(tasyrî‘ ‘âm) Nabi Muhammad yang merupakan ciri khasnya secara eksklusif dibandingkan dengan nabi-nabi sebelumnya kerahmatannya hanya bersifat sangat terbatas.5 Ibn ‘Âsyûr
juga menjelaskan bahwa hal ini sengaja
dirancang Tuhan agar syariat Islam sebagai syariat terakhir dan berlaku sampai akhir zaman dapat mengakomodir dinamika perkembangan zaman tersebut. Karena itu, syariat Islam sejatinya berlaku kepada manusia secara keseluruhan (mulâzimah li jamî‘ al-nâs), bukan hanya umat tertentu saja.6 Selain Ibn ‘Âsyûr, Mustafȃ al-Marâghî juga memahami ayat tersebut sebagai penegasan syariat Nabi Muhammad Saw yang cocok dengan keadaan
3
Fauz Noor, Berpikir seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 220. 4 (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107). 5 Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tûnis: al-Dâr alTûnîsiyah li al-Nasyr, 1984), Juz XVII, h. 168. 6 Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XVII, h. 168.
127
seluruh manusia.7 Dengan penegasan ini, tentu saja al-Marâghî juga ingin mengaskan hal yang sama bahwa kenabian Nabi Muhammad bersifat universal dan mengikat seluruh manusia.
Kedua, bahwa Nabi Muhammad Saw diutus dengan membawa agama yang benar untuk kemudian melenyapkan semua agama lain yang ada. Hal ini dipahami dari QS. al-Taubah [9]: 33.8 Secara redaksional, ayat ini sering dipahami sebagai argumentasi bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia dengan segala perbedaan dan latar belakangnya. Ayat tersebut adalah sebagai berikut:
‚Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.‛9 Al-Tabarî berkata, li yuzhirahȗ ‘alȃ al-dȋn kullihȋ maksudnya adalah li
yu’liya al-islâm ‘alâ al-milal kullihâ, yaitu untuk mengunggulkan Islam atas agama-agama yang lain. Terkait dengan bentuk ‚keunggulan‛ tersebut, alTabarî menyebut salah satu penafsiran bahwa keunggulan tersebut adalah kesempurnaan atau kelengkapan syariat Islam dari agama-agama yang lain.10
7
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî (Misr: Syarikah Maktabah Mustafâ alBâbî al-Halabî wa Awlâdihî, 1946), cet. I, Juz XVII, h. 78. 8 Ayat lain yang mirip dengan ayat ini adalah QS. al-Saff [61]: 9 dan QS. al-Fath [48]: 28. 9 QS. al-Taubah [9]: 33 dan QS. al-Saff [61]: 9. 10 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, ( Kairo: Dâr Hijr, 2001), Juz XI, h. 422-423.
128
Sementara itu, Ibn Katsîr dengan ayat ini menegaskan tentang kemenangan Islam dri agama-agama lain, yaitu dengan mencantumkan riwayat-riwayat yang memuat berita gembira tentang hal tersebut.11 Keunggulan Islam dalam ayat ini dipahami secara lebih unik oleh Mutawallî Sya’râwî. Dalam hal ini, Sya’râwî lebih menyorotinya dari aspek kualitas syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Dalam hal ini, Sya’râwî berkomentar:
ٌجعله غالبا بالبرهان والحجة والحق والدلٌل:(لٌظهره على الدٌن كله) أي (لٌظهره على الدٌن كله ولو كره: ولذلك ٌقول الحق سبحانه وتعالى.على كل ما عداه المشركون) فقد ظهر هذا الدٌن وغلب فً مواجهة قضاٌا عدٌدة ظهرت فً مجتمعات ً وهو ظهور غٌر إٌمان،المشركٌن والكافرٌن الذٌن ٌكرهون هذا الدٌن وٌحاربونه . أي رغما عنهم،ولكنه ظهور إقراري Ungkapan )(لٌظهره على الدٌن كله, maksudnya adalah: Allah mengunggulkannya dari yang lain berdasarkan bukti, pijakan, kebenaran, serta dasar yang kuat. Karena itu, firman Allah: (لٌظهره على الدٌن كله ولو كره ) ;المشركونmaksudnya adalah agama ini mencuat di tengah sosial orang-orang musyrik dan kafir yang pada dasarnya mereka membenci dan memeranginya, dan terbukti berhasil menyelesaikan berbagai persoalan sosial mereka. Kemunculan Islam di sana bukan atas dasar keimanan mereka, tetapi justru atas dasar terbukti kebenarannya, sehingga celakalah mereka.12 Statmen
tersebut
disampaikan
Sya’râwî
setelah
sebelumnya
berbicara panjang lebar terkait dengan banyaknya agama-agama lain yang terinspirasi
bahkan
mengadopsi
syariat
Islam.
Sya’râwî
kemudian
menyebutkan misal seperti kebijakan Vatikan yang mengharamkan talak dan mendiskreditkan Islam yang membolehkan talak. Namun, ketika persoalan sosial marak terjadi mereka akhirnya kembali membolehkannya. Dalam hal ini, Sya’râwî menegaskan bahwa mereka membolehkannya bukan karena 180-183.
11
Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm, Jilid VII, h.
12
Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî (t.tp: tp, tt), Jilid VIII, h. 5057.
129
Islam membolehkan (syariat Islam), tetapi karena tuntutan persoalan sosial mereka yang memang tidak dapat diselesaikan kecuali dengan membolehkan talak.13 Contoh kasus lain juga disebutkan Sya’râwî, seperti kasus radâ’ah (penyusuan) dan khamar (minuman keras).14
Ketiga, bahwa Nabi Muhammad Saw diutus kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, sekompleks apapun dinamika konteks dan latar belakang yang mengitarinya. Semuanya mesti berafiliasi dan bernaung di bawah panji kenabian Nabi Muhammad Saw. Hal ini dipahami dari beberapa ayat berikut ini:
...
‚Dan Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.‛15
... ‚Katakanlah: ‚Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...,‛16
‚Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‛17
13
Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid VIII, h. 5056. Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid VIII, h. 5056-5057. 15 QS. al-Nisâ‘ [4]: 79. 16 QS. al-A’râf [7]: 158. 17 QS.al-Saba‘ [34]: 28. 14
130
Dalam tradisi ulûm al-Qur‘ân disebutkan beberapa indikator yang merefleksikan keumuman makna. Di antaranya adalah, seperti yang disebutkan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, bentuk tunggal (mufrad) yang ber-
alif-lâm al-istighrâqiyyah []المفرد المعرف بأل التً تفٌد االستغراق, yaitu kata tunggal namun ber ‚alif-lam‛ yang bermakna pencangkupan massif, serta lafazh jamî’ []جمٌع.18 Berdasarkan prinsip ini, maka kata al-nâs [ ]الناسadalah bentuk tunggal yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah‛, [ ]الناس جمٌعاadalah kolaborasi bentuk tunggal yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah dengan lafazh jamî’ (dua indikator makna umum), dan [ ]كافة للناسadalah kolaborasi bentuk tunggal yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah dengan lafazh kâffah (keseluruhan). Semuanya merefleksikan keumuman makna, yaitu dengan pengertian ‚kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.‛19 Atas kenyataan di atas, al-Tabarî, memaknai al-nâs pada ayat tersebut dengan al-khalq (makhluk), yaitu sama-sama berkonotasi umum.20 Sedangkan al-Tabâtabâ’î, redaksi []قل ٌاأٌها الناس إنً رسول هللا إلٌكم جمٌعا dipahaminya sebagai perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menginformasikan bahwa kenabiannya adalah untuk seluruh manusia dan bukan hanya terbatas untuk kaum tertentu saja. Menurut al-Tabâtabâ’î , hal
18
Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut: Dâr alNafâ’is, 1982), cet. II, hlm. 381-383. 19 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 179. 20 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî..., Juz VII, h. 245.
131
itu karena sifatnya yang sempurna untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan sejahtera, sehingga cocok di segala konteks ruang dan waktu. 21 Adapun Sya’râwî,memahami kata al-nâs jamîan pada QS. al-A’râf [7]: 158 tersebut dengan []كل من ٌطلق علٌهم ناس فالرسول مرسل إلٌهم, yaitu semua yang termasuk manusia maka Muhammad diutus kepada mereka. Karena itu, [ بٌلغ ]قومه وكافة األقوام منهج هللا فً حركة حٌاتهم, nabi menyampaikan aturan Allah terhadap aktivitas kehidupan mereka tidak hanya kepada kaumnya tetapi kepada kaum-kaum secara keseluruhan.22 Dalam hal ini, Sya’râwî menegaskan kenabian Muhammad bersifat universal.23 Dengan redaksi yang berbeda, hal yang sama ditekankan oleh Ibn Katsîr. Kata al-nâs pada ayat tersebut dipahami oleh Ibn Katsîr dengan al-
ahmâr wa al-aswad wa al-‘arabî wa al-‘ajam,24 yaitu manusia berkulit putih, hitam, Arab atau Ajam (asing). Sedangkan kata jamî’an dipahami sebagai penegasan (jamî’ikum). Berpijak atas pemaknaan ini, Ibn Katsîr kemudian menegaskan bahwa Muhammad adalah penutup para nabi sehingga diutus kepada seluruh manusia (ilâ al-nâs kâffah). Penegasan ini dipertegas oleh Ibn Katsîr dengan sejumlah riwayat yang menginformasikan hal ini sebagai keistimewaan Muhammad atas nabi-nabi sebelumnya.25
21
Redaksi asli komentar al-Tabâtabâ’î berbunyi [ تٗ إٌاطٛؼٍٓ تٕث٠ ْعٍُ أٚ ٗ١ٍ هللا ػٍُٝ صٙ١أِش ٔث َْٛ لَٚ دٛش أْ تختص تم١ؼا ِٓ غ١ّ]ج. Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, alMîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid VIII, h.289. 22 Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid VII, h.4386. 23 Teks asli: [ْاٌّىاٚ ْ]سعاٌح تؼُ اٌضِا. Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr alSya’râwî, Jilid VII, h. 4385. 24 Pemaknaan yang sama dengan al-Marâghî, [ ىُ وافح١ٌي هللا إٛ سعٟٔػجُ إٚ غ اٌثشش ِٓ ػش١ّلً ٌج خاصحِٟٛ لٌٝ]ال إ. Lihat,Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz IX, h. 84. 25 Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm, Jilid VI, h. 417.
132
Berbeda dengan yang lainnya, al-Qurtubî tidak banyak memberikan komentar terhadap QS. al-A’râf [7]: 158 ini, bahkan juga tidak membahas pemaknaan terhadap kata al-nâs dan kata jamî’an. Dalam hal ini, al-Qurtubî hanya berkomentar bahwa ayat ini merupakan perintah Allah kepada Muhammad untuk menyebutkan apa yang sebelumnya sudah dikabarkan juga oleh Musa dan Isa. Yang dimaksud oleh al-Qurtubî adalah juga tentang kenabian Muhammad yang bersifat universal.26 Bahwa kenabian Muhammad bersifat universal kepada seluruh manusia, juga menjadi pandangan mufassir moderat semisal Rasyîd Ridâ. Dalam komentarnya terhadap QS. al-A’raf [7]: 158, Ridâ menyebutkan bahwa ayat ini ditujukan kepada manusia secara umum; baik ‘Arab maupun
‘Ajam, bahwa Muhammad ibn ‘Abd Allâh, seorang nabi berbangsa Arab keturunan Bani Hasyim, adalah utusan Allah kepada mereka semua, bukan terbatas hanya kepada kaumnya saja, yaitu bangsa Arab, sebagaimana anggapan kelompok ‘Îsâwiyyah dari kalangan Yahudi. Ridâ menegaskan, orang yang meyakini kebenaran kenabian Muhammad namun hanya terbatas untuk bangsa Arab saja, berarti ia telah menabrak dan mendustakan begitu banyak teks-teks agama yang menegaskan hal tersebut.27 Unik dari yang lainnya, ketika menegaskan universalitas kenabian Muhammad, al-Tabarî, pada saat yang sama juga menegaskan keterbatasan
26
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qurân...,Jilid IX, h. 357. 27
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz IX, h. 300.
133
(komunalistik) kenabian-kenabian sebelumnya. Ketika menafsirkan QS. alA’raf [7]: 158, al-Tabarî berkomentar:
كما كان من قبلً من، ال إلى بعضكم دون بعض،قل ٌا محمد للناس كلهم ً فإن رسالت، فمن كان منهم أرسل كذلك،الرسل ٌرسل إلى بعض الناس دون بعض . ولكنها إلى جمٌعكم،لٌست إلى بعضكم دون بعض ‚Wahai Muhammad, katakan kepada setiap manusia, bukan hanya kepada sebagian mereka saja, sebagaimana dulu sebelumku para rasul hanya diutus kepada sebagian manusia dan bukan kepada sebagian yang lain. Jika mereka diutus demikian, maka risalahku (kenabian) bukan hanya kepada sebagian kamu saja, tetapi kepada semuanya.28 Dengan demikian, berdasarkan ilustrasi di atas terlihat bahwa ayatayat yang memiliki redaksi terdiri dari kata al-nȃs di atas dijadikan sebagai basis interpretasi bagi keyakinan bawa kenabian Nabi Muhammad Saw bersifat universal atau diutus kepada seluruh manusia.
Keempat, bahwa Nabi Muhammad Saw tidak hanya diutus kepada bangsa manusia tetapi juga untuk bangsa Jin. Hal ini tentu saja semakin memperkuat bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. Setidaknya, pandangan ini didasarkan pada QS. al-Jin [72]: 1, QS. al-Ahqâf [46]: 29-32, dan QS. Al-An’ȃm [6]: 130 berikut ini:
‚Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan.‛29
28 29
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî..., Juz X, h. 498. QS. al-Jin [72]: 1.
134
‚Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.‛30
‚Hai golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri Kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.‛31 Hal ini banyak ditegaskan para mufassir. Di antara komentar terhadap QS. al-Jin [72]: 1, misalnya al-Râzî32 dan al-Marâghî,33 mengatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya diutus kepada golongan manusia, tetapi juga kepada bangsa jin. Hal yang senada ditegaskan Rasyîd Ridâ, bahwa Muhammad diutus kepada dua
30
QS. al-Ahqâf [46]: 29-32. QS. Al-An’ȃm [6]: 130. 32 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153. 33 Lihat,Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIX, h. 95. Lihat juga, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIV, h. 35. 31
135
golongan (tsaqalain), yaitu jin dan manusia.34 Salah satu riwayat dari Ibn Mas’ûd, seperti yang dikutip al-Qurtubî, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad suatu ketika diperintah agar membacakan al-Qur’an kepada Jin, bahkan riwayat Ikrimah mengatakan dua belas ribu kalangan jin Jazîrah al-
Mûsal tersebut beriman kepada Nabi.35 Kenyataan ini, baik yang terdapat pada QS. al-Jin [72]: 1 maupun pada QS. al-Ahqâf [46]: 29-32, dipahami oleh sementara mufassir sebagai argumentasi bagi pandangan universalitas kenabian Muhammad. Interaksi dua bangsa yang berbeda tersebut, yaitu antara manusia dan jin, dipahami sebagai indikasi massifnya dakwah Nabi Muhammad, melintasi dua golongan berbeda (tsaqalain).36 Bahkan, Muqâtil, dalam hal ini menegaskan bahwa Allah belum pernah sebelumnya mengutus seorang nabi kepada dua golongan jin dan manusia sekaligus.37
B. Catatan-catatan terhadap Keyakinan tentang Universalitas Kenabian Nabi Muhammad Saw 1. Ayat-ayat yang multi tafsir Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan sejumlah ayat yang sering dijadikan pijakan argumentasi dalam merekonstruksi sebuah kesimpulan yang kemudian menjadi keyakinan bahwa Nabi Muhammad 34
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz IX, h. 300. Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm alQurân...,Jilid XXI, h. 276. 36 Misalnya, lihat Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 5-7 37 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153. 35
136
diutus secara universal kepada seluruh manusia serta kenabiannya mendelegitimasi seluruh tradisi kepatuhan yang terafiliasi kepada kenabian-kenabian sebelum Islam. Namun, jika ditelususri lebih jauh kepada kitab-kitab tafsir, ditemukan bahwa sejatinya hampir ayat-ayat tersebut secara keseluruhan multi tafsir. Sedangkan penafsiran yang berkaitan dengan tema universalitas kenabian Muhammad Saw yang disosialisasikan oleh pihakpihak yang mengusungnya hanyalah salah satu bentuk darinya. Kenyataan tidak tunggalnya penafsiran ini tentu saja membuka peluang bagi pemahman opsi lain secara sejajar. Pada waktu bersamaan, kenyataan ini tentu saja menegaskan bahwa keyakinan tentang universalitas kenabian Nabi Muhammad bukanlah suatu hal yang absolut dan aksioma. Misalnya, kata rahmah pada QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107, ada sebagian mufassir yang tidak memahaminya dengan syariat tetapi pribadi Nabi Muhammad itu sendiri. Di antara mufassir yang memahami rahmah dengan pribadi Nabi adalah al-Tabarî38 dan al-Qurtubî.39 Pemaknaan ini tidak berkorelasi dengan tema universalitas kenabian Muhammad. Karena itu, justru polemik yang muncul dalam hal ini adalah apakah kata al-
‘âlamîn mencakup orang beriman dengan orang kafir, atau khusus hanya orang beriman saja.
38
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl
Ây al-Qur‘ân, Juz XVI, h. 439-431. 39
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm alQurân li mâ Tadammanahû min al-Sunnah wa Ây al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assat al-Risâlah, 2006), cet. I, Jilid XIV, h. 302.
137
Dalam pemaknaan di atas, al-Tabarî lebih cenderung kepada pendapat Ibn ‘Abbâs yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad merupakan rahmat bagi seluruh manusia; kafir maupun beriman. Dengan perincian, rahmat bagi orang beriman berupa surga, sedangkan bagi orang kafir berupa penghindaran dari bencana-bencana seperti yang menimpa umat sebelumnya.40 Riwayat dari Ibn ‘Abbâs tersebut juga disebutkan oleh al-Qurtubî dalam tafsirnya, di samping juga memuat pandangan Ibn Zayd yang memaknai al-‘âlamîn hanya dengan orang-orang beriman saja.41 Ilustrasi ini juga membuktikan bahwa kata al-ȃlamȋn pada ayat ini ternyata tidak selamanya dipahami oleh para ulama dalam maknanya yang sangat luas, yaitu meliputi segala hal selain Tuhan itu sendiri. Konteks secara otomatis berperan dalam membentuk makna kata-kata yang secara tekstual terlihat bermakna luas dan umum. Lemahnya pandangan tersebut juga dapat dibuktikan dengan mengelaborasi makna dasar dari kata rahmah itu sendiri. Sebagaimana disebutkan Ibn Fâris dalam Mu’jam Maqâyîs al-Lughah,42 serta ditegaskan oleh al-Raghîb al-Asfahânî dalam al-Mufradât fî Gharîb al-
Qur‘ân,43bahwa rahmah bermakna dasar al-riqqah (kasih sayang), al-‘atfu (kesantunan, dan al-ra‘fah (kepedulian). Dari makna-makna rahmah yang ada, dapat dipahami bahwa karakteristik rahmah adalah sesuatu yang 40
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl
Ây al-Qur‘ân, Juz XVI, h. 439-431. 41
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qurân...,Jilid XIV, h. 302-302. 42
Aẖmad ibn al-Hasan ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1979),Juz II, h. 498. 43 al-Râghib al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân..., Juz II, h. 260.
138
abstrak (tidak konkrit) serta bersifat inklusif. Keabstarakan serta inklusifitas makna rahmah inilah yang membuatnya mampu menjangkau, tidak hanya hal-hal yang sama dengannya tapi juga hal-hal yang berbeda. Sehingga, rahmah pada intinya dapat menerima semuanya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam firman Allah, ‚dan rahmat-Ku meliputi
segala sesuatu‛.44 Dengan demikian, delegitimasi syariat-syariat kenabian sebelum kenabian Muhammad sebagai konsekuensi dan implikasi logis dari pandangan universalitas kenabian Muhammad,
seperti yang
didengungkan pengusungnya, adalah suatu hal yang tidak perlu terjadi. Karena rahmah adalah sesuatu yang bersifat massif dan luas, menjangkau persamaan dan perbedaan, sehingga meliputi segala sesuatu.45 Begitu juga dengan QS. al-Taubah [9]: 33, QS. al-Saff [61]: 9, dan QS. al-Fath [48]: 28. Teks yang berbunyi, li yuzhirahȗ ‘alȃ al-dȋn kullihȋ pada masing-masing ayat tersebut juga mendapatkan multi tafsir dari para mufassir. Di antaranya, ada yang tidak memahaminya dengan kesempurnaan syariat, tetapi seperti disebutkan oleh al-Qurtubî dalam tafsirnya, ada pandangan lain yang mengatakan bahwa keunggulan Islam yang dimaksud adalah keunggulan yang terjadi di Jazirah Arab, sebagaimana sudah terjadi.46 Hal ini terealisasi dengan keberhasilan Nabi Muhammad mengembangkan Islam di negeri asalnya tersebut.
44
Teks ayat tersebut adalah [ئ١عؼت وً شٚ ٟسحّتٚ]. Lihat, QS. al-A’râf [7]: 156. Hal ini juga dapat dipahami sebagai gejala psikologis manusia yang cenderung melakukan sabotase terhadap rahmat Tuhan yang luas. Lihat, QS. al-Isrâ‘ [17]: 100. 46 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm alQurân...,Jilid X, h. 179-180. 45
139
Kalau ingin dipaksakan juga, terdapat penafsiran lain yang memahaminya dengan Islam sebagai satu-satunya agama. Tetapi para mufassir sepakat bahwa hal ini terjadi nanti yaitu nanti ketika Isa turun.47 Dengan demikian, berdasarkan fakta ini maka pandangan yang menghendaki Islam sebagai agama tunggal yang legal perlu dikoreksi atau ditinjau ulang. Sikap seperti ini menjadi tidak lebih dari sekedar eksklusivitas yang tidak berhasil memaknai pluralitas. Untuk memaknai [ ]لٌظهره على الدٌن كلهsecara lebih kontekstual dan proporsional, perlu ditinjau dari perspektif lain sebagai pertimbangan, dan tidak hanya terpaku pada kebahasaan atau riwayat-riwayat. Perspektif lain tersebut adalah asbâb al-nuzûl (latar historis turun ayat). Latar historis ayat ini turun, sebagaimana disebutkan al-Tabarî, adalah ingin meyakinkan Nabi Muhammad dan para sahabat yang keberatan menerima Perjanjian
Hudaibiyah.
Allah
ingin
menghibur
mereka
dengan
mengatakan bahwa Ia akan menundukkan Mekkah dan negeri-negeri lainnya untuk mereka sebagai balasan atas kesedihan dan kesusahan yang menimpa mereka, yaitu dengan cara mengeluarkan mereka terlebih dahulu untuk kemudian masuk kembali dan bisa tawaf di Ka’bah.48 Berdasarkan kenyataan ini, maka interpretasi yang lebih proporsional adalah keunggulan Islam di Jazirah Arab, salah satu corak 47
Misalnya, dalam hal ini al-Tabarî secara lebih tegas mengatakan [ الٝا حتٍٙثطً تٗ اًٌٍّ و١ٌ ٗ تؼث تٞٓ هللا اٌز٠ش د١ا غٍٙاْ و٠ٕز تثطً األد١ فح،متً اٌذجاي١ ف،ُ٠ اتٓ ِشٝغ١ٕضي ػ٠ ٝ حت،رٌه واْ وزٌهٚ ،ٖاٛٓ ع٠ْ دٛى٠ اٍٙاْ و٠ األدٍٝش اإلعالَ ػٙظ٠ٚ ،ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝ]ِحّذا ص. Lihat, al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, Juz XXI, h. 320. 48 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, Juz XII, h. 320-321.
140
interpretasi yang disebutkan al-Qurtubî di atas.49 Dengan demikian, ayat ini masih dapat dimaknai secara kontekstual, terutama di tengah realitas pluralitas agama hari ini. Terkait dengan kata al-nȃs, sebagaimana terdapat pada QS. alNisâ‘ [4]: 79, QS. al-A’raf [7]: 158, dan QS.al-Saba‘ [34]: 28, yang secara tekstual berdasarkan kaidah bahasa memang merupakan sebuah kata yang bermakna umum.50 Namun, meskipun tidak dapat dipungkiri peran kaidah bahasa dalam memahami al-Qur’an namun keliru jika memahami ayatayat al-Qur’an hanya secara tekstual saja. Hal ini karena al-Qur’an memiliki konteks turun dan pada awalnya al-Qur’an bukanlah sesuatu yang skriptual tapi merupakan sesuatu yang aktual dan kontekstual pada masa turunnya. Dengan demikian, hegemoni interpretasi tekstual merupakan suatu hal yang tidak perlu dikukuhkan secara absolut. Di antara contoh kata al-nȃs yang secara tekstual merupakan kata bermakna umum namun dipahami dengan makna khusus terdapat pada QS. al-Nisâ‘ [4]: 45. Dalam hal ini, para mufassir memahami kata al-nȃs bermakna tunggal (khusus) yaitu Nabi Muhammad Saw sendiri.51 Maka, secara logis, kata-kata al-nȃs pada tema pendelegasian Nabi Muhammad dalam al-Qur’an juga tidak terlepas dari konteks ini. 49
Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qurân...,Jilid X, h. 179-180. 50
Seperti yang disebutkan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, bentuk tunggal (mufrad) yang ber-alif-lâm al-istighrâqiyyah []المفرد المعرف بأل التً تفٌد االستغراق, yaitu kata tunggal namun ber ‚alif-lam‛ yang bermakna pencangkupan massif. Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl alTafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1982), cet. II, hlm. 381-383. 51 Dalam hal ini, al-Rȃzȋ mengatakan, kebiasaan orang Arab dalam bertutur adalah menggunakan Istilah yang berkonotasi komunal, padahal yang dimaksud hanya personal tertentu. Lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid XIV, h. 35.
141
Dalam tradisi usȗl al-fiqh, kata ‘ȃm terdiri dari tiga macam; kata yang tetap pada keumuman maknanya, kata yang umum tapi bermakna khusus, dan kata yang umum tapi maknanya dikhususkan oleh dalil lain.52 Berdasarkan teori ini, maka dapat dipahami bahwa lafazh umum yang terdapat
dalam
al-Qur’an
memiliki
makna
yang
beragam
dan
berdinamika. Sedangkan kata al-nȃs pada QS. al-Nisâ‘ [4]: 45 [ أم ٌحسدون ]الناسdi atas termasuk pada kategori yang kedua.53 Kata-kata umum yang terdapat pada ayat-ayat yang dijadikan sebagai argumentasi universalitas kenabian Nabi Muhammad di atas dapat dipahami dalam kerangka teori al-‘ȃm al-murȃdu bihȋ al-khusȗs ini. Hal ini dipahami dari konteks sosio-historis yang dihadapi Nabi Muhammad sendiri. Selain itu, dalam wilayah yang historis ini sulit rasanya untuk menerima adanya sesuatu yang benar-benar universal, karena tabi’at sejarah adalah berubah-ubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu dimana sesuatu yang historis tidak akan pernah mampu melepaskan diri darinya. Keadaan inilah yang menegaskan keterbatasan pengertian tersebut. Karena itu, tidak heran jika al-Qur’an memakai istilah qaum ketika menarasikan pendelegasian setiap kenabian. Hal ini seperti ditegaskan QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 []وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه لٌبٌن لهم,
52
Mannȃ’ Khalȋl al-Qattȃn, Mabȃhits fȋ ‘Ulȗm al-Qur‘ȃn (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 215-216. 53 Contoh lain misalnya [ ]الذٌن قالهم الناس إن الناسpada QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 173. Kata al-nȃs pertama maksudnya adalah Na’ȋm ibn Mas’ȗd dan kata al-nȃs kedua adalah Abu Sufyan. Mannȃ’ Khalȋl al-Qattȃn, Mabȃhits fȋ ‘Ulȗm al-Qur‘ȃn, h. 216.
142
bahwa setiap nabi diutus kepada kaum tertentu dengan bahasa mereka sendiri. Kata qaum di sini tidak bermakna pembatasan tapi penegasan terhadap situasi dan kondisi aktual dan kontekstual yang dihadapi setiap nabi sebagai lahan dakwahnya. Sehingga, memahami kata-kata umum seperti al-nȃs, al-ȃlamȋn, dan sebagainya secara terbatas yaitu dengan manusia yang berada di lingkungan aktual seorang nabi, terlihat lebih logis daripada memahaminya dengan seluruh manusia dan alam semesta. Karena hal itu, tidak mungkin terjadi karena tidak mungkin dilakukan oleh seorang nabi sebagai manusia biasa. Berdasarkan ilustrasi di atas, maka kata-kata umum yang terdapat pada ayat-ayat yang dijadikan sebagai argumentasi universalitas kenabian Nabi Muhammad tersebut secara lebih tegas dapat dipahami dalam kerangka teori ketiga, yaitu al-ȃm al-makhsȗs, yaitu lafazh umum yang maknanya dijelaskan atau dikhususkan oleh dalil lain. Dalam hal ini, sangat banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pentakhsȋs lafazhlafazh umum tersebut. Misalnya, [ون َ ُ ف ُتسْ أَل َ ك َو َس ْو َ ك َولِ َق ْو ِم َ َّ ] َوإِ َّن ُه لَ ِذ ْك ٌر لQS. alZukhruf [43]: 43, [آن َم ْهجُورً ا َ ْ]و َقا َل الرَّ سُو ُل ٌَا َربِّ إِنَّ َق ْومًِ ا َّت َخ ُذوا َه َذا ْالقُر َ QS. alFurqân [25]: 30, [ون َ ُ ]لِ ُتنذ َِر َق ْومًا مَّا أُنذ َِر آ َباؤُ ُه ْم َف ُه ْم غَا ِفلQS. Yȃsȋn [36]: 6, [ ه َُو الَّذِي ً ٌِّن َرس َ َب َع اب َو ْال ِح ْك َم َة َوإِن َكا ُنوا مِن َ ٌه ْم َو ٌُ َعلِّ ُم ُه ُم ْال ِك َت َ ٌث فًِ ْاأل ُ ِّم ِ ُوال ِّم ْن ُه ْم ٌَ ْتلُو َعلٌَ ِْه ْم آ ٌَا ِت ِه َوٌ َُز ِّك ٌن َ ًِ ] َق ْب ُل لَفQS. al-Jumu’ah [62]: 2, [ ]أم القرى ومن حولهاQS. al-An’ȃm ٍ ض ََل ٍل م ُِّب [6]: 92 dan QS. al-Syȗrȃ [42]: 7, [ ]لتنذر قوما ما أنذر آباؤهمQS. Yâsîn [36]: 6, dan sebagainya. Semua ayat ini menegaskan sosio-historis sebagai konteks actual dan kontekstual yang dihadapi Nabi Saw.
143
Ilustrasi di atas juga ditopang oleh sebuah hadis yang menceritakan bahwa suatu ketika Nabi bersama Khalid ibn al-Walid berada di rumah istri Nabi, Maimunah, yang merupakan saudara perempuan dari ibunya. Pada saat itu, Hufaidah bintu al-Hȃrits, saudara perempuan Maimunah dari Nejad menyuguhkan makanan semacam biawak panggang. Setelah mengetahuinya, maka Nabi Saw enggan memakannya. Melihat sikap Nabi Saw tersebut, Khalid kemudian bertanya, apakah makanan tersebut haram dimakan. Pada saat menjawab pertanyaan Khalid tersebut, Nabi Saw berkata, [ ً ولكنه لم ٌكن بأرض قوم،ال ]فأجدنً أعافه, ‚tidak, hanya saja ia tidak ada di daerah kaumku, karena itu
saya enggan memakannya‛.54 Karena itu, maka hadis Nabi Saw yang menginformasikan tentang keutamaan Nabi Muhammad Saw dibandingkan dengan para nabi sebelumnya, dimana dalam hadis tersebut disebutkan bahwa salah satu keutamaan tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia sedangkan nabi-nabi sebelumnya hanya diutus secara komunalistik terbatas, dapat dipahami dalam perspektif pemaknaan di atas. Redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:
ان َقا َل َح َّد َث َنا ُه َش ٌْ ٌم َقا َل َح َّد َث َنا َسٌَّا ٌر ه َُو أَبُو ْال َح َك ِم َقا َل ٍ َح َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ سِ َن َّ صلَّى هللا ُ َعلَ ٌْ ِه َ هللا ِ َّ هللا َقا َل َقا َل َرسُو ُل ِ َّ َح َّد َث َنا ٌَ ِزٌ ُد ْال َفقٌِ ُر َقا َل َح َّد َث َنا َج ِاب ُر بْنُ َع ْب ِد ُ ٌْت َخمْ سًا لَ ْم ٌُعْ َطهُنَّ أَ َح ٌد مِنْ ْاألَ ْن ِب ٌَا ِء َق ْبلًِ ُنصِ ر ُ َِو َسلَّ َم أُعْ ط ٌر َة َشه ٍْر ِ ْت ِبالرُّ ع َ ِب مَس ْ ََوجُ ِعل ُص ِّل َ ٌت لًِ ْاألَرْ ضُ َمسْ ِج ًدا َو َطهُورً ا َوأَ ٌُّ َما َرجُ ٍل مِنْ أ ُ َّمتًِ أَ ْد َر َك ْت ُه الص َََّلةُ َف ْل 54
Syaikh M. Nashiruddin al-Albani, Mukhtasar Shahih Muslim: (Ringkasan) Hadits Kitab Shahih Muslim (t.tp: Shahih, 2006), h. 623.
144
ُ ان ال َّن ِبًُّ ٌُب َْع ْ ََّوأ ُ ِحل ُ ث إِلَى َق ْو ِم ِه َخاص ًَّة َو ُبع ِْث اس َكا َّف ًة َ ت لًِ ْال َغ َنائِ ُم َو َك ِ ت إِلَى ال َّن ُ َِوأُعْ ط .اع َة َ ٌت ال َّش َف Aku telah diberi lima keistimewaan yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para nabi sebelumku. Pertama, Aku diberi pertolongan dengan rasa takut yang ditanamkan dalam musuh dalam jangka sebulan (sebelum berperang). Kedua, bumi dijadikan masjid dan suci bagiku. Siapa pun ketika masuk waktu shalat dapat menjalankannya di mana saja. Ketiga, ghanimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku. Sedangkan ghanimah tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabi pun sebelumku. Keempat, Aku diberikan syafa'at. Kelima seorang nabi hanya diutus terbatas untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk semua umat manusia.55
ُ ان ال َّن ِبًُّ ٌُب َْع ُ ث إِلَى َق ْو ِم ِه َخاص ًَّة َو ُبع ِْث Redaksi [اس َكا َّف ًة َ ] َو َكpada ِ ت إِلَى ال َّن hadis tersebut tidak berarti bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia, karena secara logis itu tidak mungkin terjadi. Tetapi maksudnya adalah bahwa kondisi dan situasi sosial-kultural(qaum) sebagai konteks aktual-kontekstual yang dihadapi Nabi Muhammad sudah sangat berbeda dengan konteks sosio-historis yang dihadapi nabinabi sebelumnya. Pada masa Nabi Muhammad penyebaran dan akulturasi manusia sudah sangat global dan massif, khususnya Hijaz pada masa itu. Sedangkan pada masa nabi-nabi sebelumnya, sejarah manusia baru mulai bergerak dan berkembang dari titik awal sejarah yang demikian sederhana dan bersahaja. Pada perkembangannya, mereka tersebar dan hidup berkelompok-kelompok secara terpisah antara satu sama lain.56
55
HR. Bukhari no. 438. Lihat Abȗ ‘Abd Allȃh Muhammad ibn Ismȃ’ȋl al-Bukhȃrȋ, al-
Jȃmi’ al-Sahȋh (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H) Cet. I, Juz I, h. 158. 56 Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid XX, h.12328.
145
Riwayat tentang keistimewaan Nabi Muhammad di atas mendapatkan catatan tersendiri dari al-Râzî. Menurutnya, riwayat tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan argumentasi bagi keyakinan terhadap universalitas kenabian Nabi Muhammad dan sekaligus menetapkan terbatasnya kenabian-kenabian sebelumnya. Hal ini karena hematnya, bisa saja keistimewaan yang dimaksud adalah terkumpulnya lima hal tersebut secara utuh pada Nabi, sehingga tidak tertutup kemungkinan secara terpisah salah satunya dimiliki oleh nabi-nabi yang lain.57 Terhadap pernyataan tersebut, al-Râzî kemudian memberi argumentasi beberapa orang nabi yang dalam pandangannya diutus secara universal. Misalnya, Adam yang diutus kepada seluruh anak-anaknya, yang artinya adalah kepada seluruh manusia. Begitu juga dengan Nuh, ketika keluar dari perahu diutus kepada orang-orang bersamanya, sedangkan manusia yang tersisa pada saat itu hanya mereka saja.58 Demikianlah, ambiguitas demi ambiguitas akan semakin bermunculan ketika bersikukuh dengan keyakinan tersebut. Apa yang menjadi pandangan al-Râzî di atas, paralel dengan konsep nabi-nabi ulû al-‘azm dalam perspektif al-Tabâtabâ’î. Menurut alTabâtabâ’î , ulû al-‘azm adalah para nabi yang diutus kepada lebih dari satu komunitas (umat), atau dengan kata lain mereka pernah berdakwah
57 58
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XV, h. 29. Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XV, h. 29.
146
kepada kaum-kaum yang lain (tidak berbahasa sama).59 Dalam hal ini, alTabâtabâ’î menyebut empat nama; Ibrahim berdakwah ke Hijaz (Arab), Musa berdakwah kepada Fir’aun dan kaumnya, Nabi Muhammad berdakwah kepada Yahudi dan Kristen, dan Nuh yang berdakwah secara massif.60 Dengan demikian, berdasarkan kenyataan ini, setidak-tidaknya ada lima orang nabi yang pernah diutus secara universal, dan Nabi Muhammad adalah salah seorang di antaranya. Terakhir terkait dengan QS. al-Jin [72]: 1 maupun pada QS. alAhqâf [46]: 29-32, yang dipahami oleh sementara mufassir sebagai argumentasi bagi pandangan universalitas kenabian Muhammad. Interaksi dua bangsa yang berbeda tersebut, yaitu antara manusia dan jin, dipahami sebagai indikasi massifnya dakwah Nabi Muhammad, melintasi dua golongan berbeda (tsaqalain).61 Bahkan, Muqâtil, dalam hal ini menegaskan bahwa Allah belum pernah sebelumnya mengutus seorang nabi kepada dua golongan jin dan manusia sekaligus.62 Terhadap hal tersebut, ada beberapa catatan yang dapat diberikan.
Pertama, kata [ً ]أوحً إلdan [ ]صرفنا إلٌك نفراmenunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi bukan tanpa sepengetahuan Nabi, sehingga dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad tidak ada diperintahkan secara khusus untuk
59
Redaksi asli komentar al-Tabâtabâ’î berbunyi [ ِٓ َ اٌؼضٌُٛٚ٘ أٚ ذ ِٓ أِح٠أِا ِٓ أسعً أصٚ ُٙٔش أً٘ ٌغا١اِا ِٓ غْٛ ألٛذػ٠ اُٛٔ واٙٔ أًٍٝ ػ١ٌ فّٓ اٌذ.ً]اٌشع. Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, h. 15. 60 Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr alQur‘ân, Jilid XII, h. 15. 61 Misalnya, lihat Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 5-7 62 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153.
147
membacakan al-Qur’an kepada mereka. Justru, dalam hal ini merekalah yang mendatangi Nabi.63 Kedua, kata [ ]الجنpada ayat tersebut tidak dapat dimaknai bermakna umum, sebagaimana ditunjukkan oleh kata []نفر yang mengiringinya.64 Ketiga, narasi interaksi antara dua golongan berbeda tersebut tidak seharusnya dibawa kepada pengertian tentang massifnya kenabian Muhammad karena melintasi dua golongan yang berbeda; jin dan manusia, tetapi secara sederhana tidak boleh dilepaskan dari konteks geografis yang melingkupinya. Dengan demikian, kata []الجن pada ayat tersebut tidak dipahami sebagai genus, tetapi lebih kepada kenyataan Jin tersebut sebagai bagian dari cakupan geografis sebagai konteks ayat tersebut.65
2. Parsialitas kesimpulan Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam.66 Ia menjadi inspirator dan pemandu utama gerakan dan dinamika umat Islam semenjak kurang lebih empat belas abad yang lalu.67 Umat Islam selalu
63
Hal ini di antaranya, sebagaimana ditegaskan Ibn ‘Abbâs. Lihat, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid XXI, h. 272-277. Lihat juga, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 152. 64 Kata ٔفشmenunjukkan jumlah antara tiga sampai sepuluh. Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIX, h. 93. Dinamika penafsiran terhadap kata ٔفشdi antaranya dapat dijumpai dalam, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XI, h. 274, 276. 65 Sebagaimana manusia, bangsa jin juga hidup berkelompok-kelompok yang secara geografis tersebar di berbagai belahan bumi. Berdasarkan fakta ini terjadi diskursus seputar bahasa bangsa jin, apakah punya bahasa tersendiri atau mengikuti konteks geografisnya. Dinamika kehidupan jin ini di antaranya terdapat terdeskripsi dalam Tafsir al-Qurtubî. Lihat, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid XXI, h. 272-277. 66 Gerhard H. Bowering, ‚The Qur‘ân as the Voice of God,‛ Proceeding of the American Philosophical Society, Volume 147 Nomor 4, Dec 2003, h. 348. 67 Hasan Hanafî, al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr al-Dînî (Kairo: Madlûbî, 1989), h. 7.
148
berupaya untuk mendialogkan al-Qur’an sebagai teks dengan problem kehidupan sosial dan kemanusiaan yang tidak terbatas. Hal ini berangkat dari sebuah keyakinan teologis bahwa al-Qur’an baik kata maupun maknanya merupakan kalam Allah Swt. Al-Qur’an turun sebagai respon transenden terhadap fenomena dan problem kemanusiaan.68 Karena itu, umat Muslim selalu menjadikan ‚teks suci‛ ini sebagai parameter inti dalam menimbang setiap sisi realitas. Kenyataan inilah yang mendorong Nasr Hâmid Abû Zayd menyebut peradaban Islam sebagai peradaban teks.69 Interaksi al-Qur’an sebagai teks dengan realitas sebagai konteks berlangsung secara dialektis, yaitu deduktif maupun induktif.70 Dengan kata lain, interaksi tersebut beralur dari teks menuju realitas atau dari realitas kepada teks.71 Interaksi atau keterhubungan teks dengan realitas tersebut terealisasi dalam upaya penafsiran.72 Sedangkan ‘menafsirkan’ berarti melakukan gerakan ganda: pertama dari teks menuju realitas (min
al-nass ilâ al-wâqi’), tahap ini yang diterapkan adalah prinsip-prinsip 68
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 5. 69 Nasr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nâss (Kairo: al-Hai‘ah al-Misriyyah al’Âmmah li al-Kutub, 1990), h. 27. 70 Deduktif dimaksudkan untuk mendeskripsikan implementasi pesan al-Qur’an pada tataran praksis-implementatif. Sebaliknya, induktif adalah mendeskripsikan kasus pada tataran praksis-implementatif yang kemudian dikembalikan pada teks al-Qur’an. Induktif biasanya termanifetasi dalam tafsir tematik (mawdû’î), karena berangkat dari realitas kepada teks. Lihat, Uun Yusufa, ‚Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta,‛ Journal of Qur’ân and Hadi@ts Studies, Vol. 4, No. 2, (2015), h. 212. 71 Hal ini diistilahkan oleh Abdul Mustaqim dengan ‚paradigma fungsional‛ sebagai padanan dari ‚paradigma struktural. Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 67. 72 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematik M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas dengan Teks (Surabaya: Penerbit PMN Surabaya kerjasama IAIN Press Sunan Ampel, 2010), h. 26.
149
kebahasaan termasuk juga sejarah teks, dan kedua dari realitas menuju teks (min al-wâqi’ ilâ al-nass), tahap kedua ini prinsip yang digunakan adalah sensitivitas semangat zaman. Penafsiran sosiologis (ijtimâ’î) seperti ini akan dapat mentransformasi penafsiran dari sekedar mendukung dogma agama menuju gerakan perubahan dan dari tradisi menuju modernisasi.73 Dogma atau keyakinan mainstream Muslim tentang universalitas kenabian Muhammad Saw., jika diletakkan pada konstelasi paradigma hubungan
teks
dengan
realitas,—sebagaimana
yang
dibicarakan
sebelumnya—persoalan ini bisa dipetakan dalam pola gerakan ganda. Pada perspektif gerakan pertama (dari teks menuju realitas), dogma tersebut diketahui sebagai interpretasi dan implementasi dari sejumlah ayat al-Qur’an oleh para mufassir. Ayat-ayat tersebut misalnya, ‚Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam‛ (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107), ‚Dan Kami tidak mengutusmu kecuali kepada seluruh manusia...‛ (QS. Sabâ‘ [34]: 28), ‚Katakanlah: ‚Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi...‛ (QS. al-A’râf [7]: 158), dan lain sebagainya. Dogma tersebut juga sering dikoherensikan dengan sejumlah ayat yang dimaknai sebagai landasan superioritas Islam, seperti ‚Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam...‛ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 19), ‚Orang yang mencari agama selain Islam, maka 73
Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematik M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan
Realitas dengan Teks, h. 67-68.
150
sekali-kali agama itu tidak akan diterima darinya, dan di akhirat kelak dia akan termasuk orang-orang yang merugi‛ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 85), dan sebagainya.74 Pada sisi lain, dijumpai pula beberapa ayat yang memuat informasi tentang pengutusan nabi-nabi sebelumnya. Di antara ayat-ayat tersebut misalnya, ‚Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah...,‛75 ‚Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya)...,‛76 ‚Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh...,‛77 ‚Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Hud...,‛78 ‚Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib...,‛79 ‚Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil...,‛80 ‚Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: ‚Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu...,‛81 dan sebagainya. Ayat-ayat yang memuat informasi historis ini, pada sisi lain dipahami sebagai dasar keterbatasan kenabiankenabian tersebut (komunalistik). Mereka fokus pada kata-kata seperti al-
Nâs, Kâffah li al-Nâs, serta ‘Âlamîn, yang kontras dangan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan Banî Isrâ‘îl.
74
Lihat, Akram Diyâ‘ al-‘Umarî, al-Risâlah wa al-Rasûl (t.t: t.p, 1990), cet. 1, h. 38. QS. al-A’râf [7]: 59. 76 QS. al-A’râf [7]: 80. 77 QS. Hûd [11]: 61. 78 QS. Hûd [11]: 50. 79 QS. al-A’râf [7]: 85. 80 QS. al-Isrâ’ [17]: 2. 81 QS. al-Saff [61]: 6 75
151
Namun, pada perspektif gerakan kedua (dari realitas menuju teks), dijumpai sebuah kenyataan terdapatnya ayat-ayat lain yang memuat informasi sekaligus dasar atas keterbatasan (komunalistik) kenabian Muhammad Saw. Ayat-ayat tersebut, misalnya; ‚wa litunzira umm al-
qurâ wa man haulahâ‛ (dan agar kamu memberi peringatan kepada penduduk Mekkah dan sekitarnya),82 ‚wa mâ arsalnâ min rasûl illâ bi
lisâni qaumihî‛ (dan tidak Kami utus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya),83 ‚inna qaumî ittakhadzû hâdza al-qur’ân mahjûrâ‛ (sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qu’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan),84 ‚huwa alladzî ba’atsa fî al-ummiyyîna rasûlâ‛ (Dialah yang telah mengutus seorang rasul kepada orang-orang ummî (Arab),85 dan lain sebagainya. Jika dikembangkan lebih jauh, kenyataan lain juga ditemukan, bahwa al-Qur’an pada beberapa kesempatan juga memuat informasi kenabian sebelumnya yang bersifat massif dan universal. Misalnya,
pertama; kenabian Nuh, yang berdasarkan massifnya banjir yang terjadi pada saat itu dijadikan sebagai indikasi massifnya kenabiannya (QS. alQamar [54]: 12 dan QS. Hȗd [11]: 44).86 Kedua; penggunaan kata al-nȃs oleh al-Qur’an dalam konteks Nabi Sulaiman. Hal ini sebagaimana
82
QS. al-An‘âm [6]: 92 dan QS. al-Syûrâ [42]: 7. QS. Ibrâhîm [14]: 4. 84 QS. al-Furqân [25]: 30. 85 QS. al-Furqân [62]: 2. 86 Keterangan lebih lanjut, lihat, Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an,h. 5-7. Lihat juga, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr alDîn al-Râzî...,Jilid XV, h. 29, dan Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, alMîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, h. 15. 83
152
َ َو َو ِر terdapat pada QS. al-Naml [27]: 16 [ ث ُسلَ ٌْ َمانُ َداوُ و َد َو َقا َل ٌَا أَ ٌُّ َها ال َّناسُ ُعلِّ ْم َنا َّ َ]مَنطِ ق.87 Sebagaimana disinggung ُالطٌ ِْر َوأُوتٌِ َنا مِن ُك ِّل َشًْ ٍء إِنَّ َه َذا لَه َُو ْال َفضْ ُل ْالم ُِبٌن sebelumnya, kata al-nâs [ ]الناسadalah termasuk bentuk tunggal (mufrad) yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah‛ ,88 sehingga merefleksikan pencakupan makna secara massif atau umum.89 Ketiga; kata-kata al-jinn []الجن, al-ins []اإلنس, al-tair []الطٌر, dan al-naml [ ]النملyang digunakan al-Qur’an juga dalam konteks Sulaiman. Dalam hal ini, al-Qur’an sebagaimana terdapat pada QS. al-Naml [27]: 167-18,90 menginformasikan tentang terjadinya kontak atau interaksi antara Sulaiman dengan semua pihak tersebut. Mengacu kepada konstruks nalar interpretasi yang dipakai untuk memahami QS. al-Jin [72]: 1 dan QS. al-Ahqâf [46]: 29-32,91 maka kenabian Sulaiman dalam hal ini adalah juga kenabian universal.
87
‚Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.‛ (QS. al-Naml [27]: 16). 88 Salah satu kaidah keumuman makna adalah [ذ االعتغشاق١ تفٟ]اٌّفشد اٌّؼشف تأي اٌت. Lihat, Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, h. 381-383. 89 Keumuman makna maksudnya adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain. Lihat, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an,h. 179. 90 ْ ٌَ إٌَّ ّْ ًِ لَاٞا ِدَٚ ٍَْٝ ا َػَٛ ِإ َرا أَتََّْٝ َحتٛ َص ُػُٛ٠ ُْ َُٙ ِْش ف١َّاٌطَٚ ٔظ [ ًُ ّْ ٌََّٕا اُّٙ٠ََا أ٠ ٌت َٔ ٍَّْح ِ ْ َٚ ِّٓ ُدُٖ َِِٓ ْاٌ ِجُٕٛ َّاَْ ُج١ْ ٍَ ُح ِش َش ٌِ ُغَٚ ِ اإل ََُْٚ ْش ُؼش٠ ُ٘ ُْ َالَٚ ُٖ ُدُٕٛ ُجَٚ ُْ َّا١ْ ٍََحْ ِط ََّّٕ ُى ُْ ُع٠ ا َِ َغا ِوَٕ ُى ُْ َالٍُٛ]ا ْد ُخ. ‚Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.‛ (QS. al-Naml [27]: 17-18). 91 Kontak antar jin dengan Nabi Muhammad dipahami sebagai argumentasi massifnya kenabian Muhammad, meliputi dua golongan (tsaqalain);bangsa jin dan bangsa manusia. Di antara yang menegaskan hal ini, misalnya, al-Râzî; lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr alDîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153, al-Marâghî; lihat, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIX, h. 95. Lihat juga, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIV, h. 35, Rasyîd Ridâ; lihat, Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz IX, h. 300, al-Qurtubî; lihat, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid XXI, h. 276, dan sebagainya.
153
3. Kelaziman bahasa kitab suci Pada perspektif lain, lafazh-lafazh umum terkait dengan pendelegasian suatu kenabian ini dapat dikatakan merupakan suatu kebiasaan dalam bahasa kitab suci. Pernyataan-pernyataan yang dapat diinterpretasikan sebagai argumentasi dari universalitas suatu kenabian terdapat hampir dalam setiap kitab suci agama. Dalam al-Qur’an, terkait dengan kenabian Nabi Muhammad, terdapat redaksi-redaksi seperti; ‚Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam‛ (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107), ‚Dan Kami tidak mengutusmu kecuali kepada seluruh manusia...‛ (QS. Sabâ‘ [34]: 28), ‚Katakanlah: ‚Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi...‛ (QS. al-A’râf [7]: 158), dan lain sebagainya. Dogma tersebut juga sering dikoherensikan dengan sejumlah ayat yang dimaknai sebagai landasan superioritas Islam, seperti ‚Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam...‛ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 19), ‚Orang yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali agama itu tidak akan diterima darinya, dan di akhirat kelak dia akan termasuk orang-orang yang merugi‛ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 85), dan sebagainya.92 Hal yang sama juga terdapat dalam kitab suci agama lain. Misalnya, sebagaimana dikutip Moqsith, dalam kitab Ulangan Perjanjian Lama disebutkan, ‚Sebab engkaulah umat yang kudus bagi Tuhan, 92
Lihat, Akram Diyâ‘ al-‘Umarî, al-Risâlah wa al-Rasûl (t.t: t.p, 1990), cet. 1, h. 38.
154
Allahmu. Engkau yang dipilih oleh Tuhan, Allah dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesangannya.‛ Pada kitab Kejadian 19: 3-6, disebutkan pula, ‚…jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri di antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus‛.93 Begitu juga dalam Perjanjian Baru, dalam Yohanes 14: 6, Yesus berkata, ‚Akulah jalan dan keberkahan hidup. Tidak ada seorngpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui aku.‛ Dalam Kisah Para Rasul 4: 12, disebutkan, ‚Dalam keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.‛ Kemudian dalam Matius: 12: 30, ‚Siapa yang tidak bersama aku berarti menentangku, dan siapa tidak berkumpul denganku, maka tersesat.‛94 Tentu saja setiap pemeluk agama meyakini sepenuhnya ajaran Kitab suci agamanya. Semuanya bertekad untuk selalu memproyeksikan pesan dan ajaran yang dikandungnya. Menghadapi realitas ini, maka sikap eksklusif yang muncul dan tumbuh dari pembacaan setiap pemeluk agama akan berpotensi sebagai ancaman bagi keberlangsungan hidup dan
93
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 54-55. 94 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 55-56.
155
toleransi di tengah pluralitas agama. Hal ini, tentu saja kontraproduktif dengan cita-cita luhur setiap agama itu sendiri. Dengan kenyataan bahwa bahasa universal selalu ada dalam berbagai kitab suci ini, maka selayaknya setiap pemeluk agama memahaminya sebatas sebagai bahasa setip kitab suci yang memang layak menjadi petunjuk bagi seluruh manusia seiring dengan perjalanan dan perkembangan sejarah.
4. Menggeser nalar interpretasi: dari limitatif kepada naratif-historis Pada pembahasan sebelumnya,disebutkan bahwa nalar interpretasi yang dipakai oleh para mufassir ketika memaknai ayat-ayat terkait dengan pendelegasian para nabi adalah nalar limitatif (pembatasan),95 sehingga kata-kata seperti al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, serta ‘Âlamîn, dipandang kontras dangan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd,
Madyan, dan Banî Isrâ‘îl. Implikasinya adalah kata-kata tersebut perlu ditegaskan keluasan maupun keterbatasan cakupan maknanya. Hal ini juga memaksa mereka untuk menegaskan cakupan makna seperti
ummiyȗn, wa man balagh, umm al-qurȃ wa man haulahȃ, dan bahkan kata al-jȋn tidak luput dari corak pemaknaan nalar tersebut. Dengan nalar interpretasi limitatif tersebut, mereka berupa sekuat tenaga untuk membela keyakinan tentang universalitas kenabian Muhammad Saw yang terlanjur mereka bangun dari ayat-ayat tertentu. 95
Patut diduga, ini adalah implikasi dari pergeseran agama dari keyakinan personal menjadi kekuatan komunal yang menutut formalitas-formalitas dalam satu bentuk institusi sosial.
156
Hal ini terlihat dari upaya mereka untuk ‚meluas-luaskan‛ cakupan makna ayat-ayat tertentu yang menunjukkan hal sebaliknya dari apa yang mereka yakini, yaitu keterbatasan kenabian Nabi Muhammad. Misalnya, redaksi ayat yang berbunyi []أم القرى ومن حولها, yang secara normatif terdapat pada dua tempat; QS. al-An’ȃm [6]: 92 dan QS. al-Syȗrȃ [42]: 7. Dalam hal ini, kata [ٜ]أَ اٌمش, para mufassir sepakat memahaminya dengan []أً٘ ِىح, ‚penduduk Mekkah‛. Di antara yang berpandangan seperti ini misalnya al-Jîlânî96, Rasyȋd Ridȃ,97 al-Rȃzȋ,98 alTabarî,99 sebagainya.
al-Tabâtabâ’î,100
dan
al-Marâghî,101
al-Qurtubȋ,102
dan
Namun, mereka kemudian memahami kata [ اٌِٙٛٓ حٚ]
dengan pengertian yang tidak dalam arti biasa (‘urf). Kata [ اٌِٙٛٓ حٚ] yang berdasarkan pemaknaan [ ]أً٘ ِىحsebelumnya, yang seharusnya hanya bermakna ‚penduduk Mekkah dan sekitarnya‛, ditafsirkan dengan pengertian yang sangat luas dan universal, mencakup bumi dengan segala belahannya. Misalnya, al-Jîlânî, membahasakannya dengan [ غ ألطاس١ّج ‚ ]األسضsemua penjuru bumi‛,
103
Rasyȋd Ridȃ dengan []أً٘ األسض وافح
‚semua penduduk bumi‛,104 al-Tabarî dengan [‚ ]شرقا وغرباtimur dan
96
Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî, Jilid II, h. 35. Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz VII, h. 621. 98 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIII, h. 86, 99 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî… Jilid IX, h. 402-404 100 Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr alQur‘ân, Jilid VII, h. 315. 101 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 190. 102 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm alQurân...,Jilid VIII, h. 457. 103 Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî, Jilid II, h. 35. 104 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz VII, h. 621. 97
157
barat‛,105 al-Rȃzȋ dengan [ٜاٌمشٚ ْ‚ ]عائش اٌثٍذاsemua negeri dan kotakota‛,106 al-Marâghî dengan [‚ ]بَلد العالم جمٌعاnegera-negara dunia secara keseluruhan‛,107 al-Qurtubȋ dengan [فاق٢غ ا١ّ‚ ]جsemua penjuru‛ ,108 dan sebagainya. Berbeda halnya dengan Tabâtabâ’î yang dalam hal ini memahaminya dalam pengertian biasa (’urf), yaitu negeri Tȃ‘if.109 Berbagai argumentasi disampaikan oleh para mufassir terkait dengan pemaknaan yang ‚tidak lazim‛ tersebut. Setidaknya, argumentasi tersebut beredar pada beberapa pertimbangan. Pertama, karena manusia yang ada di seluruh belahan bumi, baik yang dekat maupun yang jauh dari Mekkah, semuanya shalat menghadap ke sana.110 Kenyataan ini dapat dipahami sebagai bukti bahwa mereka memang sedang berada di sekitar Mekkah.111 Kedua, Mekkah merupakan sumbu atau pusat bumi, karena itulah mengapa Ka’bah menjadi kiblat.112 Ketiga, karena adanya Ka’bah sebagai bangunan pertama manusia. Keempat, karena Mekkah adalah bagian bumi yang pertama di huni. Kelima, ibadah haji (usȗl al-‘ibȃdȃt) atau perdagangan (usȗl al-ma’ȋsyah), sehingga Mekkah disebut sebagai
105
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî… Jilid IX, h. 402. Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIII, h. 86, 107 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 190. 108 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm alQurân...,Jilid VIII, h. 457. 109 Meskipun demikian, dalam hal ini al-Tabâtabâ’î menegaskan bahwa penafsiran ini sama sekali tidak menafikan pengutusan Nabi Muhammad secara universal, sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat yang lain. Penafsiran tersebut dikutif oleh al-Tabâtabâ’î dari Tafsȋr al‘Iyȃsȋ,yang mana ayat tersebut dipadankannya dengan ayat [ٓ١شته األلشت١ػشٚ]. Lihat, Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid VII, h. 315. 110 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 190. 111 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz VIII, h. 528. 112 Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî, Jilid II, h. 35. 106
158
umm al-qurȃ karena dalam hal ini semua manusia dating ke sana bagaikan berkumpulnya anak-anak kepada ibu mereka,113 dan sebagainya. Dengan demikian, melihat kepada pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan sebagai argumentasi atas tafsiran-tafsiran ‚tidak lazim‛ tersebut, dapat dipahami bahwa penafsiran-penafsiran tersebut bukan atas pertimbangan tekstualitas redaksi ayat tersebut. Karena itu, semua hal tersebut dapat dipandang sebagai sebuah sikap apologetik terhadap pemahaman tentang universlitas kenabian Muhammad yang dibasiskan pada ayat-ayat lain yang dipahami sebagai basis pandangan tersebut. Sehingga, secara sederhana dapat dikatakan bahwa penafsiran-penafsiran tersebut merupakan bentuk dari refleksi pandangan tersebut. Asumsi ini semakin dikuatkan oleh kenyataan bahwa mereka selalu menghadirkan ayat-ayat yang menunjukkan pengutusan Muhammad secara universal ketika membahas ayat-ayat yang mengesankan keterbatasan kenabian Muhammad ini.114 Hal demikian juga terlihat ketika menafsirkan ayat-ayat yang secara gamblang mengafirmasi keberadaan umat-umat lain secara simpatik. Misalnya, dalam QS. al-Baqarah [2]: 62, Allah berfirman:
113
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIII, h. 86. Misalnya sikap al-Rȃzȋ; lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIII, h. 86. Sikap al-Marâghî; lihat, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 190, , sikap al-Tabâtabâ’î; lihat, Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, alMîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid VII, h. 315, sikap Ridâ; lihat, Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr alManâr,Juz VII, h. 621. 114
159
‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛ Terkait dengan ayat ini, Ibn Katsîr berkomentar bahwa agama Yahudi hanya berlaku sampai masa diutusnya Isa, kemudian agama Nasrani berlaku pula sampai diutusnya Muhammad. Karena Muhammad adalah nabi terakhir, maka tinggallah Islam satu-satunya agama hingga kiamat datang. Dengan ilustrasi tersebut, Ibn Katsîr sampa pada kesimpulan bahwa orang-orang yang beriman hanyalah pengikut Muhammad saja.115 Ibn Abbas, salah satu tokoh tafsir di kalangan sahabat tidak mempermasalahkan ayat tersebut secara konten sebagaimana yang dilakukan Ibn Katsîr, hanya saja Ibn Abbas berpandangan bahwa QS. alBaqarah [2]: 62 ini sudah diabrogasi (mansûkh) oleh QS. Âli ‘Imrân [3]: 85.116
115
Yahudi berlaku sampai diutusnya Isa dan Kristen sampai diutusnya Muhammad. Ibn Katsîr mengatakan, ‚tatkala Muhammad saw. diutus Allah sebagai penutup rantai kenabian dan rasul kepada manusia (banî Âdam) secara keseluruhan, maka mereka wajib membenarkan dan mentaatinya. Mereka inilah (yang mengikuti Muhammad) yang dimaksud dengan orang beriman yang sejati.‛ Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, jilid I, h. 430-432. 116 Abû Ja’fâr Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, jilid 2, cet. 2, h. 154-156. Adapaun ayat yang dimaksud adalah:
160
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa jika pada ayat-ayat yang mengindikasikan keterbatasan kenabian Muhammad mereka cenderung ‚meluas-luaskan‛ makna, maka mereka melakukan pula hal sebaliknya, yaitu ‚menyempit-nyempitkan‛ makna setiap ayat al-Qur’an yang secara inklusif mengapresiasi umat lain selain umat Islam. Padahal, pada prinsipnya, ayat-ayat seputar pendelegasian para nabi tersebut tidak lebih dari sekedar narasi al-Qur’an terkait dengan pentingnya peran bahasa dalam mengkomunikasikan pesan tauhid yang menjadi misi utama pendelegasian para nabi. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu ditekankan, yaitu pesan tauhid dan peran bahasa dalam menciptakan komunikasi efektif (al-balȃgh al-mubȋn). Diutusnya para nabi sepanjang sejarah serta secara terpisah dalam konteks ruang dan waktu, menunjukkan begitu penting dan signifikannya dua hal tersebut.117 Karena misi tauhid merupakan motivasi mendasar dari pengutusan para nabi, sedangkan perbedaan tradisi dan konsepsi (syariat) adalah tuntutan historis, maka perbedaan ini tidak seharusnya menjadi kebingungan ‚psikologis-teologis‛118
bagi
seseorang
sehingga
membuatnya
berparadigma abrogatif yang termanifestasi dalam bentuknya berupa nalar limitatif.
‚Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.‛ QS. Âli ‘Imrân [3]: 85. 117 Kesadaran tinggi al-Qur’an terhadap peran bahasa dalam komunikasi pesan tauhid ini sebagaimana ditegaskan pada QS. Ibrȃhȋm [14]: 4. 118 Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 127.
161
Dengan demikian, maka QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 sebagai prinsip dalam pendelegasian adalah poros atau para meter inti yang harus dijadikan dalam memaknai ayat-ayat seputar pendelegasian para nabi tersebut secara keseluruhan, baik Nabi Muhammad sendiri maupun para nabi sebelumnya. Bukan sebaliknya, justru memahami QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 dengan gagasan universalitas kenabian Muhammad yang dibangun tidak secara holistik, tetapi hanya dari ayat-ayat tertentu saja dari ayat-ayat alQur’an. Dalam hal ini, banyak di antara mufassir yang mengecualikan Nabi Muhammad dari pesan universal QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 tersebut.119 Tidak diketahui secara pasti penyebab mereka mengecualikan Nabi Muhammad dari gagasan universal QS. Ibrâhîm [4]: 4 tersebut, selain karena memahami universalitas kenabian Muhammad berdasarkan ayat-ayat seperti yang disebutkan sebelumnya, lalu mengekspresikannya ke dalam ayat-ayat yang terkesan membatasi kenabian Muhammad tersebut. Ini dipicu oleh pemaknaan kitab suci didominasi oleh paradigma teosentris
119
atau
teo-ontologis
(teosentris-ontologis),120
yang
Di antara yang mengatakan bahwa QS. Ibrâhîm [4]: 4 mengecualikan Nabi Muhammad adalah, Ibn Jarîr al-Tabarî; al-Tabarî berkomentar [ ِٓ ا ِحّذ٠ ُِ أِح ِٓ األٌِٝا أسعٍٕا إٚ ...ِهِٛٓ لثً لٚ ]لثٍه, ‚Kami tidak mengutus kepada suatu umat dari umat-umat sebelum kamu, wahai Muhammad, begitu pula sebelum kaummu...‛. Lihat, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr alTabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Juz XIII, cet. I, h. 592, al-Qurtubî berkometar [ا ِحّذ٠ لثٍهٞ ;]أlihat, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân..., Juz XII, cet. I, h. 105. Lihat juga, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz XIII, cet. I, h. 126, dan Muhammad al-Amîn ibn ‘Abd Allâh al-‘Uramî al-‘Alawî al-Hararî al-Syâfi’î, Tafsîr Hadâ‘iq al-Rûh wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur‘ân,Jilid 14, cet. I, h. 327. 120 Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology (London: Routledge, 2008), h. 254; Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 21-25. Istilah lain, paradigma Teosentris-Eskatologis. Lihat, Aksin Wijaya, ‚Hermeneeutika al-Qur’an: Memburu Pesan Manusiawi al-Qur’an.‛ Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011, h. 209.
162
mekanismenya adalah diawali dari teks, memusat kepada teks, menjadikan teks segala-galanya, baru kemudian ke realitas.121 Jika di amati, bentuk-bentuk penafsiran dengan kesimpulan di atas merupakan penafsiran yang tidak memperhatikan historical context dari ayat tersebut. Ketika menafsirkan QS. Ibrâhîm [14]: 4, mereka tidak pernah membahasnya dengan perspektif asbâb al-nuzûl. Kemungkinan karena menganggapnya tidak ada. Namun beberapa literatur tafsir menyebutkan bahwa QS. Ibrâhîm [14]: 4 ini turun berkaitan dengan keingkaran
orang-orang
Arab
Mekah
untuk
menerima
dakwah
Muhammad. Mereka menolak karena tidak percaya bahwa al-Qur’an berasal dari Allah. Dalam keyakinan mereka, kitab suci itu diturunkan Tuhan terbatas pada bahasa tertentu, seperti Taurat dan Injil yang masing-masing terdiri dari bahasa Suryani dan Ibrani. Mereka meyakini bahasa Suryani merupakan bahasa malaikat dan arwah-arwah. Maka QS. Ibrâhîm [14]: 4 ini turun untuk meluruskan keyakinan tersebut.122 Hal yang sama diungkapkan oleh ‘Izzah Darwazah, bahwa ayat ini berkenaan dengan sikap orang Arab Mekah yang menolak al-Qur’an yang berbahasa Arab. Semua kitab suci sebelumnya tidak ada yang berbahasa Arab, seperti Taurat dan Injil. Karena itu, mereka tidak meyakini bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang berasal dari Allah.123 Muhammad Tâhir
121
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris (Jakarta: P3M, 2004), h. 95-96. Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XIII, h. 185. 123 Muhammad ‘Izzah Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts..., Juz V, cet. II, h. 216. Suatu hal yang kontras dengan al-Dahhâk yang justru mengklaim bahwa semua kitab suci diturunkan oleh Allah berbahasa Arab, untuk mempertahankan keyakinan bahwa Muhammad diutus secara 122
163
ibn ‘Âsyûr menyebutkan bahwa keyakinan ini terbentuk dari pengamatan mereka terhadap orang-orang Arab yang beragama Yahudi dan Nasrani, seperti Arab Yaman. Mereka menerjemahkan Taurat dan Injil dari bahasa aslinya kepada bahasa Arab.124 Merespon gejala kebingungan ‚psikologis-teologis‛ yang mungkin dirasakan oleh sementara orang tertentu, ada baiknya diredakan dengan menjelaskan struktur entitas agama serta pemilhahannya. Dalam konteks ini, elaborasi Rasyȋd Ridȃ seputar agama dan kaitannya dengan kenabiankenabian cukup memadai untuk menjawab hal tersebut. Dalam hal ini, Ridȃ berkomentar:
ٍٝطٍك ػ٠ٚ . عثة اٌجضاءٞع أٛاٌخعٚ اٌطاػحٚ ، اٌٍغح اٌجضاءٟٓ ف٠اٌذ ا أْ ِاٌٛلاٚ .اٌششعٚ اٌٍّحْٕٝ تّؼٛى١ا اٌؼثاد هلل فٙٓ ت٠ذ٠ ٟف اٌت١ٌع اٌتىاِّٛج عٕٛا تاػتثاس اٌخع٠ دّٝغ٠ٚ .ٗٔا١تٚ ٗظؼٚ ششػا تاػتثاسّٝغ٠ ىٍف هللا تٗ اٌؼثاد٠ ٛ٘ٚ ٍُاإلعالَ ِصذس أعٚ .ف١ٌ ٍِح تاػتثاس جٍّح اٌتىاّٝغ٠ٚ .ٗغاػح اٌشاسع تٚ ٗ١ٌتٗ إ٠ فالْ إرا أدٌٝئ إ١ماي أعٍّت اٌش٠ ،ٜ أدٕٝتّؼٚ ٍُاعتغٚ خعغٕٝ تّؼٟأت٠ ه٠اٌتحشٚ اٌغالِحٚ اٌصٍحٕٝاٌىغش تّؼٚ تاٌفتحٛ٘ٚ ٍُ اٌغٟ دخً فٕٝتّؼٚ ْٛٗ ششواء ِتشاوغ١ (ظشب هللا ِثال سجال فٌٌٝٗ تؼإِٛٗ لٚ ،ئ١اٌخاٌص ِٓ اٌش ٓ اٌحك٠ح د١ّتغٚ .ٗشاوغ٠ ِٓ ٗ١شاسوٗ ف٠ خاٌصا ٌٗ الٞسجال عٍّا ٌشجً) أٚ اٌزوش الٟش٘ا آخش٘ا فٙأظٚ اٌٍغحٟ اٌىٍّح فٝٔ ِٓ ِؼإٕٝاعة وً ِؼ٠ إعالِا ٍُٕا ِّٓ أع٠ِٓ أحغٓ دٚ( ٌٌٝٗ تؼاٛلٚ ح١ت٢ح ا٠٢ذٖ ا٠ؤ٠ٚ ،َ ٘زا اٌّماّٟا ف١ع ػذجُٟ تاإلعالَ ف١٘صف اتشاٚ لذٚ .)فا١ُٕ ح١٘اتثغ ٍِح اتشاٚ ٓ ِحغٛ٘ٚ ٗ هللٙجٚ ٓ ػٕذ٠ٌٗ (إْ اٌذٛ لٟؼٍُ تزٌه أْ اٌحصش ف٠ .ٓ تزٌه١١شٖ ِٓ إٌث١صف غٚٚ سٛع ٞ اٌزٍٝا اٌىٙحٚ سٛ٘ ٗٔاء أل١ا األٔثٙ جاء تٟغ اًٌٍّ اٌت١ّي جٚتٕا٠ )َهللا اإلعال .ْٛصٛ٠ اٛٔتٗ واٚ اٙ١س األػّاي فٛصٚ ف١ٌ اختالف تؼط اٌتىاٍٝٗ ػ١اتفمت ف ائة اٌششنٛ حىُ اٌمشآْ ِٓ واْ خاٌصا ِٓ شٟ فٟم١تزٌه وٍٗ تؼٍُ أْ اٌّغٍُ اٌحمٚ universal. Riwayat al-Dahhâk ini disebutkan dalam beberapa litertur tafsir. Namun para mufassir tidak ada yang menyepakatinya. Lihat, Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, cet. I, h. 14, dan Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf..., Juz III, cet. I, h. 363. 124 Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XIII, h. 186.
164
جذٚ ْ صِاٞ أٟفٚ ،ْ ٍِح واٞ ِٓ أ،ّْا٠ أػّاٌٗ ِغ اإلٟ ِخٍصا ف،ّٓتاٌشح ًمث٠ ٍٕٓا ف٠ش األعالَ د١ثتغ غ٠ ِٓٚ( ًجٚ ٌٗ ػضٛ اٌّشاد تمٛ٘ ٘زاٚ ،ِْىاٚ 125 .)ِٕٗ Secara etimologi, dȋn berarti jazȃ‘ (balasan). Sedangan tȃ’ah (patuh) dan khudȗ’ (tunduk) adalah penyebab adanya balasan tersebut. Segala pembebanan yang dilakoni para hamba dalam menundukkan diri kepada Allah disebut dengan millah dan syariat. Mereka berkata, semua yang dibebankan Allah kepada hamba-Nya disebut dengan syariat (syar’an) berdasarkan penetapan dan penjelasannya; disebut agama (dȋn) karena ketundukan dan kepatuhan kepada syȃri’ terlaksana dengan melakukannya; dan disebut millah dengan melihat pembebananpembebanan tersebut secara keseluruhan. Islȃm adalah asal kata dari aslama yang bermakna khada’a (tunduk) dan istaslama (menyerahkan diri) sebagaimana juga bermakna addȃ (menunaikan), misalnya; aslamtu al-syai’ ilȃ fulȃn idzȃ addaituhȗ/‛saya mnyerahkan sesuatu kepadanya ketika saya menyampaikannya‛. Islȃm juga berarti masuk kedalam kedamaian (silm). Baik berbaris fathah (salm) atau kasrah (silm) dapat berarti rekonsiliasi (sulh), keselamatan (salȃmah), dan gerakan pembebasan dari sesuatu (al-tahrȋk al-khȃlis min al-syai‘). Hal ini sebagaimana firman Allah (Allah membuat perumpamaan seorang budak laki-laki yang dimiliki oleh orang-orang yang bersekutu namun berselisih dan seorang budak yang menjadi milik penuh seorang laki-laki), maksudnya adalah murni dimilikinya tanpa ikut campur pihak yang bertikai dengannya. Penamaan agama kebenaran (dȋn al-haq) dengan islȃm cocok dengan semua makna etimologis di atas, terutama yang disebutkan terakhir ini. Hal ini terkonfirmasi dengan ayat (dan siapakah yang terbaik agamanya selain yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sedngkan dia berbuat baik dan mengikuti agama Ibrahim yang hanif). Nabi Ibrahim dan para nabi lainnya dalam beberapa surat disebut islȃm. Dari sini diketahui bahwa maksud firman Allah (sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah islam) mencakup semua agama (milal) yang dibawa para nabi, karena islȃm merupakan substansi universal (al-rȗh al-kullȋ) sebagai titik temu bagi segala distingsi pembebanan-pembebanan serta bentuk-bentuk aktifitas keberagamaan, dengan hal itulah mereka selalu diingatkan. Dari sini diketahui bahwa muslim sejati menurut ketetapan al-Qur’an adalah orang yang terbebas dari segala bentuk kemusyrikan, amal-amal yang disertai keimanan dan terbebas dari kemusyrikan, dari agama (millah) apapun itu, serta pada konteks ruang dan waktu apapun ia berada, ini pulalah yang diaksud firman Allah (siapa yang mencari agama selain islȃm, maka tidak akan diterima darinya...).
125
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz III, h. 257.
165
Karena inklusivitas tersebut, tidak heran mengapa al-Qur’an bersikap; pertama, menjamin kemajemukan (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 48),
kedua, melarang membedakan para nabi (QS. al-Baqarah [2]: 285), ketiga, menjamin keberlakuan hukum Taurat dan Injil (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 4447), keempat, Nabi Muhammad tidak bertanggung jawab terhadap mereka dalam persoalan hukum (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 42-43), kelima, Nabi Muhammad hanya mengoreksi dan mengkritik terkait dengan ketauhidan dan akhlak (QS. al-Nisȃ‘ [4]: 71 dan QS. al-Mȃ‘idah [5]: 77), keenam, hanya menawarkan common platform di tengah perbedaan dan bukan peleburan atau konversi (QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 64 dan QS. al-Baqarah [2]: 111, 112, 135), ketujuh, keselamatan untuk siapa saja yang beragama secara benar, tanpa harus dengan kenabian tertentu saja (QS. al-Baqarah [2]: 62 dan QS. al-Mȃ‘idah [5]: 59), kedelapan, tindakan atau pandangan delegitimatif terhadap syariat kenabian sebelumnya adalah termasuk perbuatan paling zalim karena sama halnya dengan memerangi agama Allah (QS, al-Baqarah [2]: 113, 114), dan sebagainya.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Seluruh kenabian―tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik masing-masing―, antara satu sama lain bersifat ekuivalen; baik dalam konteks delegasi maupun legitimasi. Hal ini disimpulkan atas beberapa hal;
pertama, ayat-ayat yang dijadikan sebagai basis interpretasi yang menghierarkiskan kenabian Nabi Muhammad bersifat multi tafsir. Kedua, kesimpulan yang parsial, ketiga, narasi universal merupakan kelaziman bahasa kitab suci, dan keempat, nalar limitatif sebagai nalar interpretasi mesti digeser kepada nalar naratif-historis. Selain itu, paradigma kenabian al-Qur’an terdiri dari bebera hal, seperti; pertama, tradisi kenabian berlangsung belakangan dari sejarah manusia, kedua, ketauhidan adalah misi setiap kenabian, ketiga, setiap nabi diutus dengan bahasa kaumnya, dan keempat, para nabi ditaati atas izin Allah (bukan suatu yang absolut dalam wacana agama). Selain itu, terdapat dalildalil yang menegaskan ekuisme dan egalitarianisme antara para nabi. Seluruh fakta ini menegaskan kesetaraan seluruh kenabian yang pernah diutus oleh Tuhan sepanjang sejarah. Adapun fakta tentang kelestarian dan kepunahan ajaran kenabiankenabian tertentu merupakan murni proses seleksi alam dan perjalanan sejarah yang sepenuhnya bersifat historis dan natural, bukan karena kenabian
166
167
yang satu melegitimasi kenabian-kenabian sebelumnya. Hal ini karena masing-masing kenabian muncul dan diutus dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda, bukan dalam konteks ruang dan waktu yang bersamaan. Dengan demikian, maka teori klasifikasi normatif kenabian Islam yang memposisikan kenabian
Muhammad lebih
superior dari
dan
mendelegitmasi syariat kenabian-kenabian sebelumnya adalah suatu gagasan yang parsial karena tidak dibangun berbasiskan pandangan al-Qur’an secara holistik. Selain itu, ayat-ayat terkait dengan pendelegasian para nabi tidak seharusnya memakai nalar interpretasi limitatif (pembatasan) sehingga katakata seperti al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, serta ‘Âlamîn, tidak seharusnya pula dikontraskan dengan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan
Banî Isrâ‘îl. Pada prinsipnya, ayat-ayat tersebut tidak lebih dari sekedar narasi
al-Qur’an
terkait
dengan
pentingnya
peran
bahasa
dalam
mengkomunikasikan pesan tauhid yang menjadi misi utama pendelegasian para nabi. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu ditekankan, yaitu pesan tauhid dan peran bahasa dalam menciptakan komunikasi efektif (al-balâgh al-
mubȋn). Diutusnya para nabi sepanjang sejarah serta secara terpisah dalam konteks ruang dan waktu, menunjukkan begitu penting dan signifikannya dua hal tersebut. Karena misi tauhid merupakan motivasi mendasar dari pengutusan para nabi, sedangkan perbedaan tradisi dan konsepsi (syariat) adalah tuntutan historis, maka perbedaan ini tidak seharusnya menjadi kebingungan ‚psikologis-teologis‛ bagi seseorang sehingga membuatnya
168
berparadigma
abrogatif
dalam
memahami
ayat-ayat
tersebut
yang
termanifestasi dalam bentuknya berupa nalar interpretasi limitatif. Dengan demikian, maka QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 sebagai prinsip dalam pendelegasian adalah poros atau para meter inti yang harus dijadikan dalam memaknai ayat-ayat seputar pendelegasian para nabi tersebut secara keseluruhan, baik Nabi Muhammad sendiri maupun para nabi sebelumnya. Bukan sebaliknya, justru memaknai QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 dengan gagasan universalitas kenabian Muhammad yang dibangun tidak secara holistik, tetapi hanya dari ayat-ayat tertentu saja dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan perspektif ini, menghasilkan kesimpulan bahwa kenabian Muhammad ekuivalen dengan kenabian-kenabian sebelumnya, baik dalam konteks pendelegasian maupun keberlakuan syariatnya. Dogma universalitas kenabian Muhammad berasal dari kesimpulan parsial, mengabaikan historisitas teks, dan dihegemoni oleh penafsiran teosentris. Dogma ini sangat tidak cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan hari ini yang semakin pluralistik di mana perbedaan-perbedaan tidak lagi berjarak sama sekali. Semuanya sudah terlibat dan hidup dalam satu lingkungan yang begitu kecil. Karena itu, paham-paham inklusif perlu diwacanakan serta dimasyarakatkan di lingkungan manusia beragama.
B. SARAN Dogma universalitas kenabian Muhammad merupakan keyakinan mainstream umat Islam. Sebagai dogma, keyakinan ini sangat signifikan
169
dalam membentuk pandangan umat Islam terhadap umat-umat lain. Karena itu, hal ini merupakan suatu hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat agar toleransi beragama dalam arti sesungguhnya dapat terwujud. Selama ini toleransi beragama hanya dimaknai sekedar menghormati, tanpa berusaha melihat adanya kebenaran dalam komunitas umat lain. Lebih dari itu, meskipun umat manusia sudah lama beragama tapi masih banyak yang belum memahami apa itu agama. padahal berbagai persitiwa dan keputusan sudah banyak diambil atas nama agama. secara mainstream, agama selama ini dipahami sebagai lembaga institutif yang distingtif dan ideologis. Hal ini adalah suatu hal yang berpotensi mengancam kerukunan antar umat beragama.
170
DAFTAR PUSTAKA ‘Adîmah, Muhammad ‘Abd al-Khâliq, Dirâsât li Uslûb al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th). ‘Itr, Nûr al-Dîn, Ulûm al-Qur‘ân al-Karîm (Damaskus: Matba’ah al-Sabl, 1996). Affandy, Sa’dullah, Abrogasi Agama-agama Pra-Islam (Magelang: PKBM ‚Ngudi Ilmu‛, 2014). Ahmad, Mahdî Rizq Allâh, al-Sîrah al-Nabawiyyah fî Dû‘i al-Masâdir alAsliyyah; Dirâsah Tahlîliyyah (Riyâd: Markaz al-Malik Faisâl lî alBuhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah, 1992). Ahmad, Mirza Ghulam, Haqîqat al-Wahy (t.tp: t.p, 1907). Ahmed, Vian, dkk (Ed), Research Methodology in the Built Environment: A Selection of Case Studies (New York: Routledge, 2016). al- Farmâwî, Abd al-Hay, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al- Maudû’î (Kairo: al-Hadârah al-‘Arabiyyah, 1997. al-‘Arab, A. Hamid ‘Izz et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah (Kairo: Kulliyat al-Dirâsah al-Islâmiyyah, 1990). al-‘Askarȋ, Abȗ Hilȃl, al-Furȗq al-Lughawiyyah (Kairo: Dȃr al-‘Ilm wa alTsaqȃfah, 1997). al-‘Ik, Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1982). al-‘Umarî, Akram Diyâ‘, al-Risâlah wa al-Rasûl (t.t: t.p, 1990). al-Asfahânî, Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad al-Râghib, al-Muradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘âlamiyyah, 2008). al-Bannâ, Jamâl, al-Ta’addudiyyah fî Mujtama’ Islâmî (Kairo: Dâr al-Fikr alIslâmî, t.t). al-Bukhârî, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, ed. Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirut: Dâr ibn Katsîr, 1987). al-Dimashqî, Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm (Kairo: Mu‘assasat Qurtubah, 2000). al-Dzahabȋ, Muhammad Husain, al-Tafsȋr wa al-Mufassirun, vol. I. Kairo: Dâr alHadȋts, 2005.
171
_______, ‘Ilmu al-Tafsȋr. T.tp.: Dâr al-Ma’ȃrif, t.t. Al-Hafidz, Ahsin Wijaya, Kamus Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006). al-Hâsyimî, Al-Sayyid Ahmad, Jawâhir al-balâghah fî al-ma’ânî wa al-bayân wa al-badî’ (Beirût: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1999). al-Hilali, Sâlim bin ‘Ied. Kisah Shahih Para Nabi. Penerjemah M. Abdul Ghaffar E. M. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‘i, 2009. Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam (New Delhi: National Publication and Printing House, 1890). al-Jâbirî, Muhammad ‘Âbid, Takwîn al’Aql al-‘Arabî (Beirût: Markaz Dirâsât alWahdah al-‘Arabiyyah, 2012). al-Jâwî, Muhammad Nawâwî al-Bantanî, Marâh Labîdz (Indonesia: Dâr Ihyâ‘ alKutub al-‘Arabiyyah, t.th). al-Jîlânî, Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghawts al-Rabbânî wa al-Imâm al-Samdânî, Ed. Syaikh Ahmad Farîd al-Mazîdî (Pakistan: alMakatabah al-Ma’rufiyyah, 2010). al-Marâghî, Ahmad Mustafâ, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ alBâbî al-Halabî wa Awlâdih, 1946). al-Munjid, Muhammad Nûr al-Dîn, al-Isytirâk al-Lafzy fî al-Qur`ân al-Karîm Bain al-Nazriyyah wa al-Tatbîq (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998). al-Musayyar, Muhammad Sayyid Ahmad, Argumen Puncak tentang Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, terj. Kamran As’at Irsyadi dan Hadiri Abdurrazaq (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). al-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî, Sahîh Muslim (Beirût: Dâr Ihyâ‘ al-Turâts al-‘Arabî, tt). al-Qattân, Mannâ‘, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000). al-Qurtubî, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr, al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur‘ân; wa al-Mubayyin li Mâ Tadammanahu min al-Sunnah wa Âyi al-Furqân, Ed. Dr. ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Muhsîn al-Turkî, dkk -Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Beirût, Mu’assasah alRisâlah, 2006). al-Râfi’î, Mustafâ Sâdiq, Târîkh Âdâb al-‘Arab (al-Mansûrah: Maktabah alAymân, 1997).
172
al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Musytahar bî al-Tafsîr alKabîr wa Mafâtîh al-Ghaib (Beirût: Dâr al-Fikr, 1985). al-Saffar, Hasan, al-Ta’addudiyyât wa al-Hurriyyât fî al-Islâm (Beirût: Dâr alBayân al-‘Arabî, 1990). al-Sahrastânî, Abû al-Fath Muhammad ibn ’Abd al-karîm, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992). al-Suyûti, Al-Hâfiz Jalâl al-Dîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. t.kt: Wazârat alSyu’ûn al-Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da’wah wa al-Irsyâd alMamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ûdiyyah, t.th. _______, Al-Rahmân, al-Ta’zîm wa al-Minnah fî anna Abaway Rasûl Allâh fî alJannah (t.tp: Dâr Jawâmi’ al-Kalim, t.th). al-Sya’râwî, Muhammad Mutawallî, Tafsîr al-Sya’râwî (t.tp: tp, tt). al-Syâfi’î, Muhammad al-Amîn ibn ‘Abd Allâh al-‘Uramî al-‘Alawî al-Hararî, Tafsîr Hadâ‘iq al-Rûh wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur‘ân (Beirut: Dâr Tauq al-Najâh, 2001). al-Syairâzî, Nâsir Mâkarim, al-Amtsal fî Tafsîr Kitâb Allâh al-Munazzal (Iran: Madrasah al-Imâm ‘Alî ibn Abî Tâlib, 1421 H)/. al-Syinqitî, Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Mukhtâr al-Jakanî, Adwâ‘ al-Bayân fî Îdâh al-Qur‘ân bi al-Qur‘ân, (t.tp: Dâr ‘Âlam al-Fawâ‘id, 1980). al-Tabarî, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr, Tafsîr al-Tabarî; Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, Ed. Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, t. th). al-Tabâtabâ’î, Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain, al-Mîzân fî Tafsîr alQur‘ân (Beirût: Mu‘assasat al-A’lamî li al-Matbû’ât, 1997). al-Taftazânî, Sa’d al-Dîn, Syarh al-Maqâsid, ‘Abd al-Rahmân ‘Umairah (ed.) (Beirut: ‘âlam al-Kutub, 1989). al-Tamîmî, Abû Hâtim Muhammad ibn Hibbân, Sahîh ibn Hibbân (Beirût: Mu‘asaat al-Risâlah, 1993). al-Tamîmî, Muhammad ibn Khalîfah ibn ‘Alî, Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî fî Daw‘ al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyad: Adwâ‘ al-Salaf, 1997).
173
al-Turabi, Hasan, Fiqih Demokratis; Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Penerbit Arasy, 2003). al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar, al-Kasysyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‘wîl (Riyâd: Maktabah al-‘Abîkân, 1998). al-Zuhaylî, Wahbah, Usûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986). Anîs, Ibrâhîm, al-Mu’jam al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th). Âsyûr, Muhammad al-Tâhir ibn ‘, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Tûnis: al-Dâr al-Tûnîsiyah li al-Nasyr, 1984). Auliffe, Jane Dammen Mc (ed), The Cambridge Companion to the Qur’an (New York, Cambridge University Press, 2006). Azad, Abul Kalam, Tarjumân al-Qur‘ân, Ed. Dr. Zakir Husayn (New Delhi: Sahitya Academy, 1964). Badawi, Abdurrahman, Min Târîkh al-Ilhâd fî al-Islâm (Kairo: Maktabah alNahdah al-Misriyyah, 1945). Bowering, Gerhard H., ‚The Qur‘ân as the Voice of God,‛ Proceeding of the American Philosophical Society, Volume 147 Nomor 4, Dec 2003. Brugmen, J., An introduction to History of Modern Arabic Literature inEgypt (Leiden, Ej Brill, 1984). Burhani, Ahmad Najib, Islam Dinamis; Menggungat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Memmbatu (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001). Chittick, William C., The Sufi Path of Knowledge, Pengetahuan Spiritual Ibn al’Arabi, terj. Achmad Nidjam (jakarta:Qalam, 2001). Dabashi, Hamid, Islamic Liberation Theology (London: Routledge, 2008). Darrâz, Muhammad ‘Abd Allah, al-Dîn; Buhûts Mumahhadah li Dirâsat Târîkh al-Adyân (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1974). Darwazah, Muhammad ‘Izzah, Sîrat al-rasûl Sallâ Allâh ‘alaih wa Sallam: Suwar Muqtabasah min al-Qur‘ân al-Karîm (Beirût: Manshûrât al-Maktabah al-‘Âsriyyah, t.t). Daya, Burhanuddin, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda (Jakarta: INIS, 1992).
174
Edwards, Paul (Ed), The Encyclopedia of Philosophy (USA: Macmillan Reference, t.t), Volume VII. Esposito, Jhon L., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), vol. VI. Faiz,
Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press, 2005).
Kontroversial
Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009). Hajam, Falsafah Nubuwwah Ibn ‘Arabi (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2014). Hanafî, Hasan, al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr al-Dînî (Kairo: Madlûbî, 1989). _______, Dirâsah Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Anjilu al-Misriyyah, t.th). Harb, ‘Alî. Kritik Nalar Al-Qur’an. Penerjemah M. Faisol Fatawi. Yogyakarta: LkiS, 2003. Haris, Munawir, ‚Metodologi Penemuan Hukum Islam,‛ Ulumuna: Jurnal Studi Islam, Vol. 16, No. 1 (Juni, 2012). Hidayat, Komaruddin dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995). Hidayat, Komaruddin, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peardaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003). Hishâm, Ibn, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Lebanon: al-maktabah al-‘Asriyyah, 2003). Hitti, Philip K., History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010). Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abû Zayd. Jakarta: Teraju, 2003. Ishâq, Ibn, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1992). Ismail,
Nawari, Perubahan Sosial Budaya (Yogyakarta: Deepublish, 2016).
Komunitas: Agama DAM
Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003).
175
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas alQur’an . Bandung: Tafakur, 2013. Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma, 2010). Kaltsum, Lilik Ummi, Metode Tafsir Tematik M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas dengan Teks (Surabaya: Penerbit PMN Surabaya kerjasama IAIN Press Sunan Ampel, 2010). Kamaruddin, Wan Zailan, ‚Konsep Nabi dan Rasul Perspektif al-Qur’an‛. Jurnal Ushuluddin, Universitas Malaya, Bil. 5, Desember (1996). Katsîr, Ibn, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1978). Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012). Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilm Usûl al-Fiqh (Qâhirah: Dâr al-Qalam, 1978). Khan, Maulana Wahiduddin, Muahammad nabi untuk Semua, terj. Irwanti (Jakarta: Pustaka Alvabet, 1998). Kung, Hans, dkk, Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim, terj. Mega Hidayati, dkk (Yogyakarta: ICRS SPs UGM, 2010). Kurniawan, A. Fajar, Teologi Nubuwwah Ahmadiyah (Jakarta: RM Books, 2006). Lee, Robert D. dalam Mohammed Arkoun, Rethinking Islam. Penerjemah Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta: LPMI, 1996. Lings, Martin, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Jakarta: Serambi, 2002). Lubis, Syarif Ahmad, Jemaat Ahmadiyah: Sebuah Pengantar (Parung: JAI, 1994). Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 2008). Madzkûr, Ibrâhîm, Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya, terj. Yudian Wahyudi (Jakarta: CV. Rajawali, 1988). Manzûr, Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr al-Sadr, 1968).
176
Mattson, Ingrid. Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah al-Qur’an. Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman, 2013. Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013). Muhammad, Husein, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan (Bandung: Penerbit Mizan, 2011). Muhammad, Maulana, Gerakan Ahmadiyah, terj. Tbg. Muhammad Syarif E. Koesnadi (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2002). Mujib, Ibnu dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat
Dialog; Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis Teologi Humanis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Muslim, Mustafâ, Mabâhits fî al-Tafsîr al- Maudû’î (Beirût: al-Dâr alSyâmiyyah, 2000). Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010). Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London dan New York: Rouledge, 1996). Nasution, Harun, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995). Nata, Abuddin, Peta Keragaman pemikiran di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2001). Noer, Kautsar Azhari, ‚Agama Langit versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-agama,‛ Titik-Temu; Jurnal Dialog Peradaban, vol. 3, no. 2 (Januari-Juni 2011). Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa alSyubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V. Osman, Mohamed Fathi, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan,terj. Irfan Abubakar (Jakarta: Democracy Project, 2012). Porwadaminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
177
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002). Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982). _______, Kontroversi Kenabian dalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi (Bandung: Mizan, 2003). Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2003). Ridâ, Sayyid Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm (Kairo: Dâr alManâr, 1947). Riyadi, Hendar, Tafsir Emansipatoris (Bandung: Pustaka Setia, 2005). Robinson, H. Giles dan W. P. (Ed), Handbook of Language and Social Physicology (Oxford: Oxford University Press, 1993). Rusmana, Dadan, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2014). Sayuthi, M., Metodologi Peelitian Agama; Pendekatan teori dan Praktik (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002). Seferta, Yusuf H. R., ‚The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad ‘Abduh and Rasyîd Ridâ,‛ Islamic Studies, Vol. 24. No. 2 (Summer 1985). Shihab, M. Quraish (Ed), Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007). _______, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006). _______, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2013). _______, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994). Sirry, Mun’im, Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis (Bandung: Mizan Pustaka, 2015). Smith, Wilfred C., Memburu Makna Agama, terj. Landung Simatupang (Bandung: Penerbit Mizan, 2004).
178
Sobary, Mohamad, Singgasana dan Kutu Busuk (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004). Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008). Syari’at,i Ali, The Visage of Islam, terj. Abdulaziz Abdulhussein Sachedina (Tehran: Committee for Intenational Propagation of the Islamic Revolution in collaboration with Soroush Publications, 1981). Taher, Elza Peldi (Ed), Merayakan Kebebasan Beragama (Jakarta: ICRP, 2009). Taufiq, Imam, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur’an (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2016). Thoha, Anis Malik, ‚Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam‛, dalam Workshop on Islamic Epistemology and Education Reform, di UIN SUSKA Pekanbaru, tanggal 27 Maret 2010. Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008). Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah Populer: Pegangan Untuk Pelajar dan Umum (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, t.th). Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris (Jakarta: P3M, 2004). Watt, William Montgomery, Muhammad, Prophet and Statman (Oxford: Oxford University Press, 1961). Whitehead, A. N., Evolusi Agama-agama; Menurut Filsafat Proses, terj. Alois Agus Nugroho (Bandung: Mizan, 2007). Wijaya, Aksin, ‚Hermeneeutika al-Qur’an: Memburu Pesan Manusiawi alQur’an.‛ Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011. _______, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzah Darwazah (Bandung: Mizan ,2016). Yusufa, Uun, ‚Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta,‛ Journal of Qur’ân and Hadi@ts Studies, Vol. 4, No. 2, (2015). Zayd, Ahmad Abû, al-Sîrah al-Nabawiyyah; Dirâsah li Tashîh al-‘Akhta‘ al-
Wâridah fî al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-Sâdirah ‘an Dâr Brîl Leiden (Beirût: Dâr al-Taqrîb bain al-Madzâhîb al-Islâmiyyah, 2004). _______, Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an (Kairo: Hai’ah alMisriyyah al-‘âmmah, 1993).
179
BIOGRAFI PENULIS
Nama Tempat/ tanggal lahir Alamat Asal
: Abuzar Alghifari : Pulau Jambu, 22 Desember 1987 : RT/RW 02/01 Dusun III Nusa Jaya, Desa Pulau Jambu Kec. Kampar, Kab. Kampar, Prov. Riau. : 081371419984 :
[email protected]
No. Hp E-mail Pendidikan Formal - S2 PPS Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, SMT-IV (Sekarang) - S1 UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Fakultas Ushuluddun, Jurusan Tafsir Hadis Kelas Internasional (2008-2013) - MA. Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah Kampar (2007) - MTs. Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah Kampar (2004) - SDN No. 011 Desa Pulau Jambu (2000) - TK Beringin Mekar (1994) Pendidikan Non Formal - Madrasah Diniyyah Awwaliiyah (MDA) (1999) - Taman Pendidikan Al-Qur’an ‚Jami’atul Huda (2000) Pengalam Organisasi dan Prestasi - Supervisor Wihdah Abu Bakar di Ma’had al-Jami’ah UIN SUSKA Riau - Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Tafsir Hadis Kelas Internasional UIN SUSKA - Sekretaris Umum Ikatan Pelajar Qori-Qori`ah Hafizh Hafizhah (IPQOH) Kecamatan Kampar Kab. Kampar Prov. Riau. - Ketua Remaja Masjid se-Desa Pulau jambu - Sekretaris Umun Osis Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah Kampar - Seksi Muzakarah OSIS Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah Kampar - Penerima beasiswa S1 Program Beasiswa DIPA Kelas Internasional Seminar dan Short Course - Mengikuti Seminar Internasional: Spirituality And Social Harmony In Religious Deiversity yang diadakan UIN Syahid Fakultas Ushuluddin - Short Course di Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Program Pendidikan kader Mufassir (PKM) di Ciputat selama 6 bulan (Agustus 2015 s/d Januari 2016)
180
Karya Tulis - Mahmud Muhammad Thaha dan Pandangannya tentang Nasakh di Dalam Al-Qur’an (Kajian Deskriptif-Analitis) - Pesan Tauhid dari Kosmos (Kontemplasi Ulul Albab) - ‚Balimau Kasai‛ (Dialektika Agama dan Budaya) - ‚Bukan Salah Bunda Mengandung‛ (Islam Mengentaskan Kemiskinan) - Konsep Universalitas Kenabian Muhammad SAW Perspektif Al-Qur’an (Sebuah kajian Tematik)