BAHAYA LISAN DAN PENCEGAHANNYA DALAM AL-QUR’AN (Sebuah Kajian Tematik)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: DIKALUSTIAN RIZKIPUTRA NIM:107034001545
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
BAHAY A LISAN DAN PENCEGAHANNYA
DALAM AL-QUR'AN (Sebuah Kajian Tematik)
Skipsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (s.Th.r)
Oleh:
DIKALUSTIAN RIZKIPUTRA NrM. 107034001545
Di bawah Bimbingan
:
Mbstut.
[t..q.n. NrP. 19721 024 2003121 002
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN T]NIVBRSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2011M
PEI\GESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi ini berjudul Baltaya lisan dan Pencegahannyu dulum ul-Qur'un (Sebuuh
Kttjiun Tematik) telah di ujikan dalam sidang munaclasah
Fakultas
lJshuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 I)csember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th.l) pada Jurusan Tafsir Hadits. Jakarta" 13 l)csember 2011
SIDANG MUNAQASAI{
ry
Ketua Sidang"
Sekrclaris Sidang,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum. MA NIP. 19711003 r99903 2 001
Dr. M. Suryadinata. MA NrP. 19600908 198903 I 00s
Anggota,
J
Dr. Liliktlllnmi Kaltsdm. MA NIP. 19711003 199903 2 001
A
NIP: 19680901
Pembimbing I
Muslih. MA
NIP. 19721024 2003121 002
I
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata 1 (S1), di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 08 Desember 2011 Penulis,
( Dikalustian Rizkiputra )
ABSTRAK Dikalustian Rizkiputra, “Bahaya Lisan dan Pencegahannya Dalam al-Quran; Sebuah Kajian Tematik” Dalam al-Quran kata lisan itu sendiri mengandung lima makna, yaitu : (1) lisan sebagai pancaindera, (2) lisan sebagai alat bicara, (3) lisan sebagai alat untuk mentrasformasikan pikiran kepada pendengar, (4) lisan sebagai kesan yang baik, dan (5) lisan sebagai do’a. Salah satu kelebihan yang diberikan Allah Swt. kepada manusia selain akal adalah lisan. Lisan merupakan anggota tubuh yang amat penting bagi manusia, dengan lisan seseorang dapat berkomunikasi antar sesamanya dengan baik, dengan lisan juga seseorang dapat berkomunikasi dengan hewan, alam dan dengan tuhannya. Namun dibalik itu semua, lisan mempunyai bahaya yang sangat besar jika lisan seseorang tak terjaga dengan baik. Salah satu bahaya lisan yang sudah mendarah daging dan juga sudah menjadi tradisi di setiap kalangan yaitu menggunjing, dusta, sumpah palsu, menuduh dan mengolok-olok. Pada zaman sekarang ini masih banyak orangorang yang belum mengetahui bahaya lisan tersebut, masih banyak orang-orang yang menyepelekan bahaya tersebut. Mereka berbicara sana-berbicara sini, menggunjing sana-menggunjing sini, mengejek sana-mengejek sini tapi mereka tak sedikitpun menyadari bahwa akan ada bahaya yang menghampirinya. Dengan kata lain, tanpa disadari mereka menjerumuskan diri sendiri ke dalam neraka. Selain itu, masih banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi, seperti tawuran antar mahasiswa, keributan dalam rumah tangga, keributan antar warga, dan bahkan keributan-pun terjadi dikalangan pejabat. Semua itu tak lepas dari lisan yang tak terjaga.Itulah lisan, dibalik kelembutannya terdapat bahaya yang sangat besar. Semua permasalahan di atas dapat di cegah dengan berbagai cara, Rasulullah Saw. memberikan alternatif kepada ummatnya agar tidak terjerumus ke dalam bahaya lisan, yaitu dengan diam. Karena diam merupakan salah satu cara yang sangat mudah dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, seperti apakah bahaya-bahaya yang akan mereka terima? bagaimanakah cara pencegahannya?. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari penulis untuk membahas tentang bahaya lisan dan pencegahannya berdasarkan al-Quran yang dihimpun secara tematik. Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui bahaya lisan dan pencegahannya dalam al-Quran sehingga penelitian ini dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai pelajaran oleh setiap ummat muslim, khususnya dalam setiap perbuatan dan tingkah laku sehari-hari sehingga setiap orang dapat bertanggungjawab dan mengetahui dampak yang terjadi terhadap apa yang telah diperbuatnya.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sanjungkan hanya kepada Allah Swt., yang dengan rahmat-Nya, taufiq-Nya, hidayah-Nya, penelitian berjudul “Bahaya Lisan Dan Pencegahannya Dalam Al-Qur’an (Sebuah Kajian Tematik)” ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Segala karya tulis yang da’if, tentunya di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Untuk itu penulis sangat menerima kritikan dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada di masa datang. Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingin-tahuan penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang keislaman. Penulis juga menyadari bahwa, penelitian ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik moril maupun materil. Maka pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus kepada:
ii
1.
Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih M.A (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir Hadis), dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits).
2.
Bapak Muslih, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang dengan keikhlasan dan kesabarannya membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.
3.
Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khusunya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan.
4.
Pimpinan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Imanjama’ beserta jajaran pengelola perpustakaan tersebut yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini hingga selesai.
5.
Yang tercinta Ayahanda H. Syamsul Anwar, S.Ip dan Ibunda Hj. Rahmadiah yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan yang tidak lelah untuk terus mendoakan ananda untuk mencapai kesuksesan dimasa depan. Sungguh ananda belum bisa membalas semua kebaikan mama-papa, hanya do’a yang dapat penulis sampaikan kepada mama-papa. Semoga Allah Swt. selalu melindungi mama-papa dan semoga ananda selalu dapat berbakti kepadanya. Kakak-kakakku (Bang Asgi, Mas Andre, dan Teh Suci) serta saudara-saudaraku tercinta yang memberikan motivasi dan membantu penulis baik materil maupun inmaterial sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. I love My Family.
iii
6.
Untuk teman-teman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya temanteman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2007/2008, khususnya kelas TH-B: yang tidak bisa disebutkan semuanya. Teman-teman senior TH (Qurthubi, S.Th.I, Umam, S.Th.I, Haikal, Encin, S.Th.I, Zami, S.Th.I dan Irfan, S.Th.I) yang telah memberikan bantuan, masukan-masukan tentang skripsi ini. “gak ada lo gak rame”. dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ungkapan yang singkat ini.
7.
Buat sahabat-sahabatku H. Ismail Amir, S.Th.I (Bule), Mu’min, Zainal Fathoni, Faiz, Zamroni, Arfan Akbar dan Arma yang senantiasa memberikan banyolan-banyolan yang menghibur penulis di saat penulis sedang “Bt”, suntuk dan lain-lain. Dan buat Arma “kapan kita main petasan lagi?. Hhee…”. Dan semua rekan-rekan seperjuangan yang selalu memberi support dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8.
Segenap kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (HMI-KOMFUF), yang telah memberikan banyak pelajaran mengenai ke-HMI-an, keorganisasian, perpolitikan, dan Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Terutama untuk Aqib, Daud, Pipit, Ryan AF, dan lainlain, yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi di sela-sela waktu kosong. Sukses untuk semuanya dan Yakin Usaha Sampai (Yakussa)
9.
Seluruh alumni Ma’had Al-Zaytun 2001 angkatan tiga (GANGGA), terutama untuk tedy novian (Irex), Daniel, Nobel, Bangga, Aan (Idunk), Musthopa (Pa’De), Arief Rizqi, Said Muchsin, dan lain-lain. Terimakasih atas semua dukungan dan kebersamaannya yang telah kita bina dari mulai di al-Zaytun
iv
hingga kini. Semoga kita tetap selalu bersilahturahmi atas nama Al-ZaytunGANGGA. 10. Kepada sang pujaan hati Siti Arfah Nasytaiyah yang selalu menemani penulis di saat susah maupun senang, yang selalu setia mendengarkan curahan hati penulis ketika penulis mempunyai masalah, yang selalu memberikan perhatian lebih kepada penulis dan yang selalu mengisi hari-hari penulis dengan senyum dan tawa. I miss you 11. Para rekan kerja di Al-Azhar Peduli Ummat. Semoga kita dapat bekerja dengan solid sesuai visi dan misi lembaga sosial ini. Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis. Amin
Jakarta, 08 Desember 2011 Ttd,
Dikalustian Rizkiputra Penulis
v
PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan tidak dilambangkan
b
be
t
te
ts
te dan es
j
je
h
h dengan garis bawah
kh
ka dan ha
d
de
dz
de dan zet
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s
es dengan garis bawah
d
de dengan garis bawah
t
te dengan garis bawah
z
zet dengan garis bawah
„
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik -Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)- yang di susun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008/2009, hal. 492 – 495.
vi
gh
ge dan ha
f
ef
q
ki
k
ka
l
el
m
em
n
en
w
we
h
ha
„
apostrof
y
ye
Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
______َ
a
fathah
___ِ___
i
kasrah
______ُ
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
__َ__ي
ai
a dan i
َ____ و
au
a dan u
vii
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ــَا
â
a dengan topi di atas
ــي
î
i dengan topi di atas
ـــو
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
viii
Contoh: no
Kata Arab
Alih aksara
1
tarîqah
2
al-jâmî ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
Huruf Kapital Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid AlGhazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................. i KATA PENGANTAR…………………………………………………………... ii PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………………. vi DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. x
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………...1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………….... 9 C. Tinjauan Pustaka……………………………………………. 10 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………...... 11 E. Metode Penelitian…………………………………………... 11 F. Sistematika Penulisan………………………………………. 13
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG LISAN............................. 15 A. Pengertian Lisan ……………………………………………. 15 B. Manfaat Penciptaan Lisan ………………………………….. 22 C. Pendapat Ulama Mengenai Lisan …………………………... 23
BAB III
MACAM DAN DAMPAK BAHAYA LISAN DALAM ALQUR’AN……………………………………….……….......….. 26 A. Menggunjing………………………………...........……….... 26 B. Menuduh…………………..................................................... 34
x
C. Mengolok-olok………………………...……………………. 39 D. Dusta atau Bohong.................................................................. 51 E. Sumpah Palsu…………………...…………………………... 58
BAB IV
MENCEGAH BAHAYA LISAN …….....……………............. 63 A. Metode Pencegahan……………...……...………………....... 63 B. Manfaat Menjaga Lisan ……………….................................. 77
BAB V
PENUTUP……………………………………………………… 80 A. Kesimpulan………………………………………………….. 80 B. Saran………………………………………………………… 80
DAFTAR PUSTAKA……………………..…………………………………… 82
xi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan manusia dengan berbagai keistimewaan dibandingkan
dengan
makhluk-makhluk
ciptaan
lain-Nya.
Salah
satu
keistimewaan yang diberikan Allah Swt. kepada manusia adalah kemampuan berbicara dan memahami berbagai bahasa. Allah Swt. berfirman:
“Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”. (QS. al-Isrâ' : 70) Dalam ayat lain, difirmankan:
“(Tuhan) yang maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara”. (QS. al-Rahmân/55: 1-4) Para mufassir, seperti al-Suddi, al-Hasan, Abu 'Aliyah, dan Ibnu Zayd berpendapat mengenai firman Allah Swt. yang berbunyi ’allamah al-bayân, adalah bahwa Allah Swt. mengajarkan manusia berbicara, menulis, memahami, dan mengerti apa yang diucapkannya dan yang diucapkan orang lain kepadanya.1
1
Ahsin Sakho Muhammad, dkk., ed., Tematis Ensiklopedi Al-Quran, jilid. 3. Terjemah al-Mausu’ah al-Qur’âniyah (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, t.t.), h. 38-39.
1
2
Lisan manusia bukanlah lisan seperti burung beo yang tidak memahami apa yang diucapkannya. Lisan bagaikan pedang bermata dua. Lisan bisa dipergunakan untuk bertakwa kepada Allah, menyebarkan kebaikan kepada sesama dan juga bisa dijadikan alat untuk mencegah kemungkaran di tengah umat. Selain itu, lisan ternyata bisa sangat berbahaya apabila dipergunakan untuk mengikuti kehendak setan, memecah belah kaum muslimin dan perbuatan lainnya yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.2 Lisan atau lidah memang tak bertulang dan ini merupakan karunia yang amat vital dan sangat penting pada manusia. Karena dengan lisan seseorang dapat berkomunikasi antar sesama dengan baik, dengan lisan seseorang dapat berkomunikasi dengan hewan, alam dan bahkan dengan tuhannya. Namun, masih banyak orang yang kurang menyadari akan bahaya lisan ini, sehingga banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi disebabkan oleh lisan itu sendiri, seperti kasus pembakaran rumah, pembakaran kios, kerusuhan, tawuran massal, baku hantam antar warga masyarakat, sampai keributanpun terjadi di kalangan pejabat. Hal ini terjadi karena lisan yang tak di jaga dengan baik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial dalam bermasyarakat.3 Lisan seringkali membuat seseorang dicampakkan ke dalam api neraka, karena lisan sangat memberikan kontribusi bagi akhir amalan seorang hamba. Seorang manusia akan terjerumus ke dalam jurang neraka yang jaraknya antara Timur sampai Barat ketika ia tidak bisa menjaga lisannya. Walaupun mungkin amalan ibadah ritualnya sangat baik, tapi tatkala lisannya kurang mendapat tempat
2
Sa‟id bin „Ali bin Wahf al-Qahthani, Bahaya Lidah; Penyakit Lisan dan Terapinya. Penerjemah Eko Haryono, Aris Munandar (Jogjakarta: Media Hidayah, 2003), cet. 10, h. 5. 3 http://endahngawi.blogspot.com/2010/08/urgensi-akhlak-lisan.html. Diakses pada tangggal 27 Januari 2011
3
yang cukup untuk dijaga, maka sudah barang tentu akibatnya akan merusak ibadah4 yang lainnya. Sebagaimana Nabi Saw. bersabda di dalam hadisnya:
5
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara Timur dan Barat”. (HR. Mutafaq „alaih). Di sisi lain, Nabi memberikan alternatif kepada ummatnya untuk tidak terjerumus dalam bahayanya lisan, yaitu dengan diam. Karna diam merupakan usaha yang paling minimal dari manusia tanpa menguras tenaga dan mengorbankan materi, bahkan tanpa pemikiran mendalam.6 Nabi bersabda:
7
“Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah. Bercerita kepada kami Abu al-Ahwas dari Abi Hasin dari Abi Salih dari Abi Hurairah berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya dan barang siapa beriman 4
Ibadah adalah penghambaan diri kepada Allah Swt. dengan mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala perintah-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw. “dan inilah hakekat Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah Swt. semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan cinta”. Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun bathin yang dicintai dan diridhoi Allah. Dan suatu ibadah hanya diterima Allah Swt. apabila diniati dengan ikhlash dan semata-mata karena Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Lihat: Syekh Muhammad AtTamimi, Kitab Tauhid (Jakarta: QALAM, 1995), cet. I, h. 15. 5 Mahyuddin Abî Zakariâ Yahya ibn Syarf al-Nawawi, Riyâdhus Shalihin, bâb Tarjim alGhibah wa al-„Amru Bihafidz. Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994) h. 176. 6 Eneng Maria Ulfah, "Etika Menjaga Lisan Dalam al-Quran; Kajian Terhadap QS. AnNisâ ayat 114 dan QS. Al-Hujurat ayat 12" (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), no. 429, h. 15. 7 Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabûri, Sahîh Muslim, jilid I (Beirut: dâr al-Fikri, t.t.), h. 68
4
kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memulyakan tamunya dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR. Muslim) Salah satu bahaya lisan yang telah menyebar di kalangan masyarakat Islam dan telah menjadi kebiasaan adalah menggunjing. Dalam setiap pertemuan, perkumpulan atau yang lainnya, tanpa disadari selalu saja ada orang yang membicarakan keburukan orang lain. Bahkan, orang yang menggunjing pada umumnya memiliki hubungan kerabat dengan orang yang digunjingnya. Mereka tampak menikmati membicarakan orang lain, mereka tampak asyik menggunjing orang lain ketika ada perkumpulan arisan, pengajian, atau kegiatan yang lainnya. Padahal tanpa disadari siksa pedih telah mengancam mereka di depan mata akibat menggunjing orang lain. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencaricari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”. (QS. AlHujurât/49: 12) Kebiasaan menggunjing sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat Islam saat ini, menggunjing tidak hanya merajalela pada setiap perkumpulanperkumpulan atau pengajian-pengajian saja. Bahkan, dengan kecanggihan teknologi dewasa ini seolah-olah memaksa manusia untuk berbuat ghibah dalam wujud apapun, baik itu melalui chatting lewat Yahoo Massenger, Facebook,
5
Twitter, atau lewat SMS sekalipun, semua tak lepas dari menggunjing, dan juga tak ketinggalan tayangan televisi seperti Insert, Sensasi Artis, Kiss, dan beritaberita gosip lainnya yang menjadi tontonan sehari-hari juga memberikan informasi plus bumbu-bumbu penyedap agar berita menjadi sedap di dengar dengan menggunjing ini. Menurut KH. Said Agil Siradj (pengurus besar NU), beliau mengatakan bahwa 70% acara infotainment adalah menggunjing, dan beliau juga mengatakan hal tersebut berdasarkan musyawarah ulama NU Juli 2006 yang menyimpulkan bahwa berita infotainment mengarah kepada menggunjing dan fitnah. Hal yang sama juga dinyatakan oleh guru besar Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof.
Dr.
Din
Syamsuddin
(Ketua
Umum
Pimpinan
Pusat
Muhammadiyah), mengatakan bahwa berita yang tujuannya merusak orang lain atau keluarga adalah bentuk dari menggunjing dan hukumnya haram. 8 Sebagai manusia yang beriman dan meyakini ajaran Islam sebagai pedoman hidup, maka setiap manusia harus pandai-pandai menjaga lisan dari bahayanya. Baik itu bahaya yang berhubungan dengan kehidupan sosial seperti berakhlak dengan manusia ataupun bahaya yang berhubungan dengan persoalan ukhrowi seperti melafazkan sesuatu yang bukan untuk Allah seperti misalnya bersumpah bukan atas nama Allah, sumpah palsu maupun sebutan-sebutan kesyirikan lainnya.9 Dari permasalahan di atas akan berdampak pada akhlak seseorang. karena akhlak merupakan pondasi terhadap sikap baik-buruknya seseorang. akhlak
8
http://firmanazka.blogspot.com/2010/07/bahaya-lisan-terhadap-ghibah-hukum.html. Diakses pada tanggal 27 Januari 2011 9 http://endahngawi.blogspot.com/2010/08/urgensi-akhlak-lisan.html. Diakses pada tangggal 27 Januari 2011
6
merupakan bentuk plural dari al-khuluq yang artinya budi pekerti dan kata ini biasa digunakan untuk mengistilahkan sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan manusia.10 Dilihat dari segi bentuk dan macamnya, akhlak tersebut dapat dibagi kepada dua bagian. Pertama, akhlak yang terpuji atau akhlak mahmudah seperti berlaku jujur, pemaaf, sabar dan sebagainya. Kedua, akhlak yang tercela atau akhlak madzmumah seperti pemarah, pembohong, mencuri, dan sebagainya.11 Dari contoh permasalahan di atas mengenai bahaya lisan, maka sudah dipastikan semua sifat atau perbuatan yang berkaitan dengan bahaya lisan ini termasuk kategori akhlak madzmumah. Menurut Ibnu Taimiyah, akhlak berkaitan erat dengan iman karena iman terdiri atas beberapa unsur berikut:12 1. Berkeyakinan bahwa Allah Swt. adalah sang pencipta satu-satunya, pemberi rizki dan penguasa seluruh kerajaan. 2. Mengenal Allah dan meyakini bahwa hanya Allah Swt. yang patut di sembah. 3. Cinta kepada Allah Swt. melebihi segala cinta terhadap semua makhluk-Nya. Tidak ada cinta yang dirasakan seorang hamba, kecuali didasarkan atas cintanya kepada Allah Swt..
10
Mahmud al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul Amin, dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009), cet. 1, h. 4 11 Siti Hidayah, "Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran (Studi Analisis QS. Al-A’râf/7: 199202)", (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009), h. 5 12 Mahmud al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul Amin, dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009), cet. 1, h. 6
7
4. Cinta hamba terhadap Tuhannya akan mengantarkannya pada tujuan yang satu, yaitu demi mencapai ridha Allah Swt., baik terhadap hal-hal kecil maupun hal-hal besar dalam kehidupan sehari-hari. 5. Arahan ini mengalahkan egoisme pribadi, nafsu keji dalam diri, dan segala tujuan semu dunia. Kekuatan dasar ini yang memudahkan seseorang untuk melahirkan perspektif objektif dan langsung atas pandangan terhadap esensi segala sesuatu. Ini merupakan pondasi yang utama dalam tataran akhlak. 6. Ketika telah berhasil tercipta suatu pandangan objektif dan langsung akan esensi sesuatu maka perilaku dan perbuatan seseorang telah menjadi bagian dari akhlak. 7. Jika perbuatan seseorang telah menjadi bagian dari akhlak, hal itu merupakan pertanda bahwa seseorang telah melalui jalan-jalan yang harus di tempuh menuju kesempurnaan manusia. Dalam realita kehidupan sekarang ini, ternyata masih banyak sekali orang yang tidak tahu tentang bahaya lisan dan tidak memperhatikan terhadap masalah kecil ini. Bahkan masih banyak orang-orang yang tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya telah menggunakan lisannya dengan tidak baik di dalam setiap pembicaraan sehingga tanpa disadari akan mengakibatkan bahaya bagi dirinya sendiri. Al-Quran sebagai hudâ al-linnâs sudah selayaknya menjadi referensi utama dalam hal apapun. Ketika al-Quran dihubungkan dengan permasalahanpermasalahan yang ada dalam segala aspek kehidupan manusia di dunia ini, maka pada saat itulah al-Quran berada pada posisi sebagai bayyinât min al-Hudâ yang
8
menjelaskan tentang petunjuk tersebut. Namun, penampilan al-Quran yang bersifat global membuat setiap permasalahan/tema yang dikandungnya tidak dapat dipahami secara menyeluruh tetapi diperlukan penafsiran berdasarkan metodemetode yang disepakati oleh para ulama tafsir,13 mengingat al-Quran sebagai pedoman hidup, jalan keselamatan, maka segala sesuatu yang terkandung dalam al-Quran haruslah dipahami agar manusia tidak tersesat pada akhirnya nanti. Para ulama tafsir dalam memahami kandungan al-Quran berdasarkan suatu masalah/tema menggunakan metode tematik, yaitu menafsirkan al-Quran berdasarkan masalah/tema yang dibicarakan dengan cara menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari berbagai surat yang berbicara tentang tema yang sama untuk kemudian dikaitkan dengan ayat yang lainnya, sehingga pada akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan tentang masalah/tema tersebut menurut al-Quran. Banyak tema yang diteliti dalam kerangka metode tafsir tematik, diantaranya adalah mengenai bahaya lisan. Penulis beralasan, karena bahaya lisan termasuk dalam suatu bentuk kerusakan dalam akhlak sehingga Rasulullah saw di
13
Dari segi metode, penafsiran al-Quran dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Abdul Hayyi al-Farmawi membagi metode penafsiran al-Quran menjadi empat macam, yakni tahlili, ijmali, muqarran dan maudu’î. Metode tahlili ialah metode penafsiran yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Metode ijmali ialah cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menyajikan makna-maknanya secara global, yakni dengan menyajikan ayat demi ayat sesuai urutan mushaf dan bacaan serta menjelaskan maksud lafal-lafal yang dikandungnya sehingga maksud dari setiap ayat menjadi lebih jelas. Metode Muqarran atau perbandingan ialah metode penafsiran dengan membandingkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, atau berbicara dengan redaksi yang berbeda tentang masalah yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadis Nabi saw yang tampaknya bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsîr yang berkaitan dengan ayat al-Quran. Metode maudu’î atau tematik ialah cara menafsirkan al-Quran melalui penetapan topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari berbagai surat yang berbicara tentang topik tersebut untuk dikaitkan dengan ayat yang lainnya, lalu diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Quran. Lihat : Muhammad Chirzin, Permata Al-Quran (Yogyakarta: QIRTAS, 2003), h. 81- 82
9
utus bertujuan untuk menyempurnakan akhlak kepada ummatnya. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw. bersabda:
14
)
Maka dari penjelasan singkat di atas, itulah sebabnya penulis ingin membahas tentang bahaya lisan dengan judul skripsi “BAHAYA LISAN DAN PENCEGAHANNYA DALAM AL-QURAN” (Sebuah Kajian Tematik).
B. Perbatasan dan Perumusan Masalah 1. Perbatasan Masalah Masalah lisan merupakan masalah yang cukup luas dan penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan di dalam al-Quran banyak sekali yang menjelaskan mengenai bahaya lisan. Namun demikian, untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini yakni lebih menitikberatkan pada permasalahan-permaslahan yang sering terjadi di kalangan masyarakat, seperti menggunjing, menuduh, dusta, mengolok-olok, dan sumpah palsu. Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah ini adalah QS. alHujurât/49 ayat 12, QS. al-Qalam/68 ayat 11, QS. al-Humazah/14 ayat 1, QS. al-
14
Abî Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn „Ali al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, bab Bayâni Makârim al-Akhlâq, Juz. 10 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.) h. 191.
10
Nisâ/4 ayat 20, 112, QS. al-Ahzab/33 ayat 58, QS. al-Mumtahanah/60 ayat 12, QS. al-Baqarah/2 ayat 14-15, QS. al-Mâ‟idah/5 ayat 58, QS. al-Nisâ/4 ayat 140, QS. al-An‟âm/6 ayat 10, QS. at-Taubah/9 ayat 79, QS. Luqman/31 ayat 6, QS, alHujurât/49 ayat 11, QS. al-Nisâ/4 ayat 50, QS. al-An‟âm/6 ayat 93, QS. al-A‟râf/7 ayat 36, 40, QS. at-Taubah/9 ayat 77, QS. al-Nahl/16 ayat 62, QS. al-Ankabut/29 ayat 68, QS. ali „Imrân/3 ayat 77, QS. at-Taubah/9 ayat 42, 107.
2. Perumusan Masalah Dari pembatasan tersebut, kemudian penulis merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini dirumuskan dengan, Bagaimana pandangan al-Quran terhadap bahaya lisan dan pencegahannya?
C. Tinjauan Pustaka Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada satu karya yang membahas permasalahan ini, yaitu : Skripsi oleh Eneng Maria Ulfah dengan judul “Etika Menjaga Lisan Dalam Al-Quran; Kajian Terhadap QS. An-Nisâ ayat 114 dan QS. Al-Hujurat ayat 12”, tahun 2005, no. 429. Dari tinjauan di atas, dapat penulis katakan bahwa pembahasan skripsi ini berbeda dengan karya di atas, karna penulis membahas bahaya lisan serta
11
pencegahannya berdasarkan ayat-ayat al-Quran secara umum dan dikumpulkan secara tematik dan kemudian diambil kesimpulannya berdasarkan ayat-ayat tersebut.
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bahaya lisan yang dikabarkan dalam al-Quran. 2. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai metode mencegah bahaya lisan. 3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan penambahan informasi mengenai bahaya lisan dengan harapan dapat menjadi bahan kajian keislaman, khususnya di bidang tafsir. Sekaligus penulis dapat memberikan sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam.
E.
Metodologi Penelitian Metode penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode Library
Research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu metode dengan mengadakan studi kepustakaan terhadap buku-buku/kitab-kitab, kamus, majalah, koran, artikel dan sebagainya yang ada hubungan dengan masalah yang akan dibahas.
12
Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu al-Quran al-Karim. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung berupa buku-buku, kitab-kitab tafsir, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini. Teknik pembahasan dalam skripsi ini, adalah tematik yaitu salah satu metode penafsiran dalam al-Quran yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan mengacu pada satu pokok bahasan tertentu sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih utuh dan lebih sistematis.
Ada enam langkah yang
dilakukan penulis dalam menerapkan metode tematik ini, yaitu: 1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (tema/topik). 2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut. 3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan kronologisnya disertai dengan asbâb an-Nuzûl 4. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna 5. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan 6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama sehingga kesemuanya bertemu dalam satu analisa tanpa ada perbedaan. Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku “Pedoman Akademik –Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)- yang disusun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center for
13
Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2008 – 2009
F.
Sistematika Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-
sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut : Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Bab kedua membahas tentang gambaran umum tentang lisan yang meliputi : pengertian lisan, hikmah penciptaan lisan, dan pendapat ulama tentang lisan. Bab ini berusaha menjelaskan tentang lisan secara umum baik ditinjau dari segi kebahasaan, istilah maupun kedokteran. Selain itu juga, bab ini berusaha menjelaskan hikmahnya dan pendapat dari para ulama tentang lisan tersebut. Output yang diharapkan pada bab ini adalah pembaca dapat memahami pengertian lisan serta hikmahnya secara baik dan benar. Bab ketiga membahas tentang ayat-ayat yang berkaitan tentang bahaya lisan yang meliputi : ayat-ayat tentang menggunjing, ayat-ayat tentang menuduh, ayat-ayat tentang dusta, ayat-ayat tentang mengolok-olok, dan ayat-ayat tentang sumpah palsu. Bab ini berusaha menjelaskan pokok pembahasan dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan bahaya lisan berdasarkan metode
14
tematik. Adapun output yang diharapkan adalah pembaca dapat memahami bahaya lisan dengan berbagai bentuk dan dampaknya berdasarkan dalil yang ada sehingga dapat memberikan dorongan kepada pembaca untuk mencegahnya. Bab empat membahas tentang mencegah bahaya lisan yang meliputi : mencegah bahaya lisan dalam al-Quran, metode pencegahan bahaya lisan, dan manfaat menjaga bahaya lisan. Bab ini berusaha menjelaskan tentang cara pencegahan berdasarkan al-Quran dan manfaatnya sehingga para pembaca dapat memahami dengan baik dan mempraktekkannya dengan benar. Bab lima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dan juga memuat saran-saran yang diperlukan. Bab ini berusaha menjawab pertanyaan yang dibuat pada perumusan masalah sehingga para pembaca dapat mengetahui jawaban dari masalah tersebut. Selain itu juga, bab ini memberikan saran kepada para pembaca agar mereka mempunyai motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan ini.
15
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LISAN
A. Pengertian Lisan 1. Lisan Menurut Bahasa Lisan “ ”لــسانberasal dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf; lam - sin – nun yang dihubungkan menjadi “ ”لــسـنdan mempunyai makna dasar yaitu panjang yang agak lembut. Dalam lisân al-‘Arabi, kata lisan “ ”لــسانdiartikan “ ”جـارحة الكــالمjârihat al-Kalâm, yaitu anggota badan yang bisa mengeluarkan perkataan. Sedangkan bentuk jamak dari lisan adalah alsun “ْ ”أَلْسُــنdan alsinah “”ألســنه. Samin Halabi, penulis buku kosakata al-Quran, ‘Umdat al-Huffaz fi Tafsîr Asyraf al-Alfaz, membedakan dua bentuk jamak tersebut. Jika kata lisan diposisikan sebagai muzakkar maka bentuk jamaknya adalah “ ”ألســنهalsinah, tetapi jika lisan diposisikan sebagai mu’annats maka bentuk jamaknya adalah “ْ ”أَلْسُــنalsun. Para ahli bahasa memaknai lisan sebagai salah satu organ tubuh yang terdapat di bagian mulut yang menghasilkan kekuatan berbicara yang dapat dimengerti oleh sesama manusia atau disebut juga “ ”بـتحريــك الــفـصاحةbi tahrîk alfasâhat, yaitu ketajaman lisan oleh pengguna bahasa Arab disebut “ ”اللســنallasan.1
1
Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi), h. 275276. Lihat juga: Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. II (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 520
15
16
Kata lisan dalam bentuk tunggal dan jamak disebut dalam al-Quran sebanyak 25 kali. Menurut para pakar penyusun Mu’jam Alfâzh Al-Qur’ân alKarîm, kata lisan sendiri mengandung lima makna, yaitu:2 1.1. Lisan sebagai salah satu pancaindera, seperti dalam QS. Al-Balad [90] ayat 9, yang berbunyi:
“Lidah dan dua buah bibir”. Kata lisan yang dimaksud ayat di atas adalah salah satu pancaindera yang mendatangkan banyak manfaat seperti alat perasa untuk mencicipi makanan, mengatur suara, menggerakkan makanan di dalam mulut agar mudah dikunyah dan ditelan. 1.2. Lisan sebagai alat berbicara, seperti dalam QS. An-Nahl [16] ayat 116, yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengadaadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. Kata lisan/alsinatikum yang dimaksud ayat di atas adalah salah satu fungsi lisan yang bisa dijadikan untuk berbicara baik atau bohong. Ayat ini menjelaskan tentang peringatan Allah Swt. kepada umat Nabi
2
Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. II (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 520-521
17
Muhammad Saw. agar tidak membuat kebohongan dengan lisannya tentang hukum halal dan haram dengan tidak berlandaskan pada pikiran sehat dan wahyu agama. 1.3. Lisan sebagai bahasa atau ucapan yang berfungsi mentransformasikan pikiran seorang pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembaca. Lisan yang bermakna ucapan ditemukan dalam ungkapan Nabi Musa yang menyatakan bahwa Harun, saudaranya yang mampu berbicara secara fasih, seperti dalam QS. Al-Qasas [28] ayat 34, yang berbunyi:
“Dan saudaraku Harun Dia lebih fasih lidahnya daripadaku,3 Maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku. Sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku". 1.4. Lisan sebagai citra atau kesan baik. Kata lisan mencerminkan demikian jika disandingkan setelahnya dengan kata sidqin, seperti dalam QS. Maryam [19] ayat 50 dan asy-Syu‟ara [26] ayat 84, yang berbunyi :
“Dan kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi”.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”.
3
Nabi Musa a.s. selain merasa takut kepada Fir'aun juga merasa dirinya kurang lancar berbicara menghadapi Fir'aun. Maka dimohonkannya agar Allah mengutus Harun a.s. bersamanya, yang lebih fasih lidahnya. Lihat al-Quran digital versi 2.1
18
Pada
ayat
yang
pertama
dinyatakan
Nabi
Ibrahim
dan
keturunannya diberikan kesan dan pujian baik dari orang lain karena ketegarannya memperjuangkan ajaran tauhid. Sedangkan pada ayat kedua, diungkapkan doa Nabi Ibrahim agar ia dijadikan kenangan yang baik bagi orang setelahnya. 1.5. Lisan sebagai do‟a, seperti dalam QS. Al-Mâidah [5] ayat 78, yang berbunyi :
“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”.
2. Lisan Menurut Istilah Lisan adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lisan berada di dalam mulut manusia, dan bertetangga dengan gigi dan gusi. Lisan hanyalah segumpal otot lentur yang melintang dan panjang sehingga dapat digerakkan atau dijulurkan. Normalnya, lisan memiliki ukuran 5-6 cm. Lisan juga dikenal sebagai indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap4. Lisan juga turut membantu dalam tindakan bicara.5
4
Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papila, terdiri dari dua sel yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor. Sedangkan sel penyokong berfungsi untuk menopang. Terdapat lebih dari 10.000 tunas pengecap pada lidah manusia usianya hanya seminggu. Tunas itu akan mati dan segera digantikan oleh sel-sel yang baru. Sel-sel reseptor (tunas pengecap) terdapat pada tonjolan-tonjolan kecil pada permukaan lidah (papila). Sel-sel inilah yang bisa membedakan rasa manis asam, pahit, dan asin. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah dan lihat juga http://www.anneahira.com/anatomi-lidah.htm. 5 http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. di akses pada tanggal 06 Maret 2011
19
Lisan merupakan nikmat Allah Swt. yang sangat besar dan luar biasa bagi manusia. Lisan juga merupakan karunia besar yang harus disyukuri oleh manusia, karena dengan lisan manusia dapat merasakan berbagai citra rasa masakan, dengan lisan manusia dapat berkata-kata dan berbicara, dengan lisan manusia menjadi makhluk yang paling mulia dan istimewa dibandingkan dengan makhlukmakhluk lain yang telah diciptakan-Nya. Perkataan yang diucapkan lisan tidak akan keluar dari empat hal berikut ini. Pertama, ucapan yang seluruhnya mengandung mudarat. Kedua, ucapan yang seluruhnya mengandung manfaat. Ketiga, ucapan yang mengandung manfaat dan mudarat. Keempat, ucapan yang tidak mengandung manfaat ataupun mudarat.6 Adapun ucapan yang seluruhnya mengandung mudarat, maka sudah seharusnya seseorang menjaga diri dari bahaya lisan, demikian pula terhadap ucapan yang aspek mudarat-nya lebih banyak daripada aspek manfaatnya. Sedangkan ucapan yang tidak mengandung manfaat dan tidak mengandung mudarat hanya menghasilkan kesia-siaan waktu saja. Tiga dari empat macam perkataan telah nyata kerugiannya, sehingga tinggallah yang ke empat yang sudah jelas manfaatnya, yaitu perkataan yang aspek manfaatnya lebih besar dari aspek mudarat-nya. Inilah jenis perkataan yang harus dibiasakan dan hendaknya seseorang menyibukkan diri dengannya, karena di dalamnya terdapat tazkiah an-Nafs (pensucian jiwa).7
6
Abdullah bin Jaarullah, Awas! Bahaya Lisan. Penerjemah Abu Haidar, Abu Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. VI, h. 8. 7 Abdullah bin Jaarullah, Awas! Bahaya Lisan. Penerjemah Abu Haidar, Abu Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. VI, h. 8.
20
3. Lisan Menurut Ilmu Kedokteran Dalam ilmu kedokteran, lisan merupakan organ tubuh yang tersusun atas otot-otot yang berada di dalam rongga mulut.8 Lisan terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar lisan dan tubuh lisan. Akar lisan terdiri atas tonsil lisan (amandel) dan jendela buntu yang terletak pada tulang lisan, rahang bawah, dan katup jakun oleh otot-otot. Sedangkan, tubuh lisan terdiri atas celah lisan, punggung lisan, dan ujung lisan yang terletak pada bagian bawah lisan yang dihubungkan dengan dasar mulut oleh urat di bawah lisan.9 Bila lisan digulung ke belakang, maka tampaklah permukaan bawahnya yang disebut frenulum linguae, sebuah struktur urat halus yang mengaitkan bagian belakang lisan pada dasar mulut. Bila dijulurkan, maka ujung lisan meruncing, dan bila terletak tenang di dasar mulut, maka ujung lisan berbentuk bulat.10 Lisan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan indera khusus pengecap. Lisan sebagian besar terdiri dari dua kelompok otot. Otot intrinsik lisan melakukan semua gerakan halus, sementara otot extrinsik mengaitkan lisan pada bagian-bagian sekitarnya serta melaksanakan gerakan-gerakan-kasar yang sangat penting pada saat mengunyah dan menelan. Lisan mengaduk-aduk makanan, menekannya pada langit-langit dan gigi. dan akhirnya mendorongnya masuk farinx.11
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. di akses pada tanggal 06 Maret 2011 http://www.anneahira.com/anatomi-lidah.htm. Di akses pada tanggal 06 Maret 2011. 10 Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri Yuliani Handoyo (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet. 28, h.310. 11 Farinx adalah pangkal tenggorokan atau kerongkongan. Lihat Pius Abdillah, Kamus Ilmiah Populer Lengkap (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 145, dan lihat juga Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri Yuliani Handoyo (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet. 28, h.310. 9
21
Lisan memiliki permukaan kasar yang berwarna merah dan berbintikbintik kecil yang tumbuh pada lisan. Bintik-bintik ini disebut dengan papilla yang berfungsi sebagai pengecap rasa. Terdapat tiga jenis papila yaitu:12 1. Papila Filiformis (fili=benang), adalah yang terbanyak dan menyebar pada seluruh permukaan lisan yang berbentuk seperti benang halus dan terletak pada 2/3 bagian lisan. Organ-ujung untuk pengecapan adalah puting-puting pengecap yang sangat banyak terdapat dalam dinding Papila Sirkumvalata dan Papila Fungiformis. 2. Papila Sirkumvalata atau Circum Valata (sirkum/circum=bulat), adalah jenis papilla yang terbesar dan masing-masing dikelilingi semacam lekukan seperti parit yang tersusun berjejer membentuk seperti huruf “V” di belakang lisan. 3. Papila Fungiformis (fungi=jamur), berbentuk seperti jamur dan terletak pada bagian sisi lidah dan ujung lisan.
Gambar 1. Struktur Lisan Sumber dari http://oyariaflorentina.blogspot.com
12
Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri Yuliani Handoyo (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet. 28, h.311.
22
B. Manfaat Penciptaan Lisan Dengan lisan, manusia bisa merasakan manis, pahit, pedas, asam, asin, hambar ataupun tawar. Maha besar Allah Swt. yang menciptakan hanya dalam satu batang lisan yang tak bertulang, manusia bisa merasakan begitu banyak rasa. Dari ujung lisan, tengah lisan, tepi lisan sampai dengan pangkal lisan. Masingmasing mampu mendeteksi rasa yang berbeda-beda dalam satu lisan yang sama.
Gambar 2. Pengecapan Rasa Sumber dari Pustekkom Depdiknas Di dalam lisan juga terdapat ribuan zat yang sangat membantu dalam pencernaan dan melemahkan zat-zat yang berbahaya bagi lambung. Lisan juga mempunyai fungsi sebagai pendeteksi masuknya racun ataupun virus ke dalam tubuh, sehingga dengan lisan juga dokter pun akan sangat terbantu dalam mendiagnosa pasiennya yang terserang penyakit.13 Selain sebagai alat deteksi rasa dan penyakit, lisan juga bermanfat untuk membantu manusia dalam mengeluarkan kata-kata. Seorang manusia tidak dapat bersuara atau berbicara dengan jelas apabila tidak dilengkapi dengan lisan. Lisan mampu membentuk suara seseorang jadi kencang atau pelan. Lisan juga mampu mempengaruhi merdu tidaknya suara seseorang. Maka tidak heran jika banyak 13
William F. Ganong, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 20. Penerjemah Djauhari Widjayakusumah, ed. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003), h.184
23
penyanyi yang rela mengasuransikan lisannya hingga jutaan dollar, karena dengan lisannya juga ia bisa mendapatkan jutaan dollar. Selain itu, seorang penceramah juga mampu mendapatkan ratusan juta rupiah dalam sekali tampil. Semuanya itu karena kepandaian seseorang dalam berceramah. Lisan juga dapat bermanfaat sebagai perantara untuk menyampaikan perasaan hati seseorang. Sanjungan atau celaan, rasa cinta, rasa kesal, rasa marah, rasa malu, dan lain-lain. Semuanya dapat diekspresikan melalui lisan. Oleh karena itu sudah sepatutnya seseorang mewaspadai lisannya sendiri dari bahaya lisan. Dengan demikian, tanpa disadari lisan manusia yang diciptakan Allah SWT mempunyai manfaat yang sungguh luar biasa. Oleh sebab itu sangatlah wajar apabila manusia diperingatkan untuk berhati-hati terhadap lisannya.
C. Pendapat Ulama Tentang Lisan „Ali bin Abi Tâlib14 berkata : 15
“Lisan itu sebagai ukuran yang tidak dimengerti oleh kebodohan dan dikuatkan oleh akal pikiran”
14
Beliau adalah khalifah yang terakhir (keempat) dari khulafâ’ ar-Râsyidîn. Ayah beliau bernama Abu Tâlib bin Abdul Mutâlib bin Hasyim bin Abd. Manaf, adalah kakak kandung dari ayah Nabi SAW, yaitu Abdullah bin Abdul Mutâlib. Ibunya bernama Fatimah binti As‟ad bin Hasyim bin Abd. Manaf. Ali merupakan orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anakanak atau sepupu Nabi SAW yang kemudian menjadi menantunya. Ali ibn Abi Tâlib di bunuh oleh Ibnu Muljam, ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan menunaikan shalat shubuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan nafas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai khalifah selama kurang lebih empat tahun. Lihat Kafrawi Ridwan, dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet. III, h. 111 15 Abul Hasan Ali Al Mawardi, Mutiara Akhlak Al-Karimah, terj: Adâb an-Nafs (Jakarta: Pustaka Amani, 1993), h. 134.
24
Berkata seorang fushaha’ :
16
“Ikatlah lisan-mu kecuali karena kebenaran yang akan kamu jelaskan atau karena kebatilan yang akan kamu patahkan, atau karena hikmah yang akan kamu sebar-luaskan atau karena kenikmatan yang akan kamu sebut-sebutkan”. Abdullah ibnu Mas‟ud17 berkata, 18
“Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia. Tidak ada sesuatu yang lebih membutuhkan penjara dari pada lisan" . Syair dari Sayyidina Ibnu Abi Muthi,
.
, ,
“Lisan seseorang ibarat singa dalam kandang, jika dilepas pasti menerkam. Jagalah mulut dari ucapan kotor dan kendalikanlah, niscaya kendali itu akan menjadi dinding dari segala perkataan”19 Muhammad bin Wasi‟ berkata bahwa menjaga lisan itu lebih berat tanggungannya daripada menjaga dinar dan dirham.20 Menurut KH. Mawardi Labay El-Sulthani di dalam bukunya yang berjudul “Lidah Tidak Bertulang”, ia mengatakan bahwa lisan ibarat mata pedang tajam
16
Abul Hasan Ali Al Mawardi, Mutiara Akhlak Al Karimah, terj: Adâb an-Nafs (Jakarta: Pustaka Amani, 1993), h. 136. 17 Nama lengkapnya adalah Abdullah ibnu Mas‟ud ibnu Gafil ibnu Hubaib. Beliau dilahirkan di Mekkah dan termasuk kelompok pertama yang masuk Islam. Abdullah Ibnu Mas‟ud merupakan seorang sahabat Rasulullah dan juga seorang pelayan Rasulullah yang setia dan dipercaya dalam memegang rahasia dan beliau selalu menemani Rasulullah dalam setiap perjalanannya. Oleh sebab itu ia banyak sekali mengetahui hal-ihwal Rasulullah SAW. Lihat Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), 371. 18 Al-Ghazali, Mutiara Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Penerjemah Irwan Kurniawan (Bandung: Mizan, 1997), cet. I, h.235. 19 Imam al-Ghazali, Wasiat Imam al-Ghazali; Minhajul Abidin (Jakarta: Darul Ulum press, 1986), h. 140-142 20 Said Hawwa, Induk Pensucian diri. Penerjemah Syed Ahmad Semait, dkk. (Singapura: Pustaka Nasional, t.t.), h. 1172
25
yang siap menghujam ke mana saja ia mau. Karena lisan, walaupun kecil tapi ia mampu menjangkau segala sesuatu, baik itu yang haq maupun yang bathil, yang taat maupun yang maksiat, bahkan lisan-pun bisa mengubah seseorang dari iman ke kufur, dan sebaliknya. Abu Bakar as-Siddiq r.a21 pernah meletakkan batu pada mulutnya untuk mencegah dirinya dari berbicara dan kemudian ia menunjuk pada lisan-nya seraya berkata, “inilah yang menjerumuskanku ke dalam kesulitan dan kebinasaan”.22 Al-Ghazali23 mengatakan anggota tubuh yang paling durhaka kepada manusia adalah lisan. Sungguh lisan itu merupakan alat perangkap setan yang paling jitu untuk menjerumuskan manusia.24 Demikianlah beberapa pendapat ulama mengenai lisan dan begitu banyak yang harus diberikan perhatian untuk menjaga lisan dari bahayanya. Dengan berkenalan terhadap semua bahaya lisan, maka seseorang dapat menahan diri dari hal-hal yang dapat menjermuskan seseorang ke dalam neraka hanya karena lisan yang tak terjaga.
21
Nama aslinya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamimi. Beliau termasuk khalifah pertama dari khulafâ’ ar-Râsyidîn dan juga sahabat Nabi Muhammad SAW yang terdekat dan termasuk orang-orang yang pertama masuk islam (as-Sâbiqûn al-Awwalûn). Gelar Abu Bakar diberikan Rasulullah SAW karena ia seorang yang paling cepat masuk Islam, sedangkan gelar asSiddiq yang berarti “amat membenarkan” adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia sering kali membenarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama pada peristiwa Isra‟ Mi‟raj. Lihat Kafrawi Ridwan, dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet. III, h. 37. 22 Said Hawwa, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun-Nafs terpadu. Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. (Jakarta: Robbani Press, 1999), cet.II, h. 469 23 Nama aslinya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Imam Abu Hamid alGhazali, yang terkenal dengan gelar Hujjatul Islam. Beliau lahir di Thus sebuah tempat di Khurasan (Iran), pada tahun 450 H/1058 M. Kitab beliau yang sangat popular dan terbesar ialah kitab Ihya Ulumuddin dan Minhajul ‘Abidin sebuah kitab tasawuf. Pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H, beliau wafat setelah beliau berwudhu dengan sempurna, kemudian berbaring, dan meluruskan kakinya, lalu menghadap ke kiblat. Lihat Mahyudin Ibrohim, Nasehat 125 Ulama Besar (Jakarta: Darul Ulum, 1987), cet. I, h. 188-192 24 Imam al-Ghazali, Bahaya Lidah (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. II, h. 1
26
BAB III MACAM DAN DAMPAK BAHAYA LISAN DALAM AL-QUR’AN
Lisan adalah suatu anugerah Allah Swt, kenikmatan dari Allah Swt. dan termasuk pula ciptaannya yang halus dan penuh dengan keajaiban. Lisan itu bentuknya kecil, tetapi sangat besar manfaatnya. Besar ketaatannya kepada Allah dan besar pula dosanya kepada Allah. Adapun bahaya lisan yang sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat saat ini adalah menggunjing, menuduh, mengolok-olok, dusta, dan sumpah palsu. Kelima hal tersebutlah yang melatarbelakangi permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini. Selain itu juga, masih banyak orang-orang yang tidak mengetahui dampak dari perbuatan kelima tersebut. Oleh sebab itu, pada bab ini penulis berusaha menjelaskan kelima macam bahaya lisan tersebut dan dampaknya berdasarkan al-Qur‟an. Berikut uraian kelima macam bahaya lisan tersebut :
A. Menggunjing Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm ditemukan beberapa bentuk kata yang mengandung makna menggunjing, antara lain: “ ــــــــؽــزـــــتٝ ” dalam QS. al-Hujurât (49) ayat 12, “ ” ٕـــــَّبصdalam QS. al-Qalam (68) ayat 11, dan “ ” َٕـــــــضحdalam QS. alHumazah (104) ayat 1.1
1
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 643, 904.
26
27
1. Memakan Bangkai Dalam QS. al-Hujurat/49 Ayat 12
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.” Asbabun Nuzul Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang berkata, “Orang banyak menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salmân al-Fârisî. Suatu ketika, Salman memakan sesuatu kemudian tidur lalu mengorok. Seseorang yang mengetahui hal tersebut langsung menyebarkan perihal makan dan tidurnya Salmân al-Fârisî kepada orang banyak. Oleh sebab itu turunlah ayat ini” 2 2. Menghambur Fitnah Dalam QS. al-Qalam/68 Ayat 11
“yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah”. 3. Neraka Wail Dalam QS. al-Humazah/104 Ayat 1
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”.
2
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 204.
28
Asbabun Nuzul Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Ishâq yang berkata, “Setiap kali Umayyah bin Khalaf melihat Rasulullah, maka ia selalu menghina dan mencaci maki beliau. Maka Allah menurunkan ayat-ayat dalam surah ini secara keseluruhan.3 Kata (ػــدةٝ) yaghtab terambil dari kata (ثخٛ )غــghîbah yang berasal dari kata (ةٛ )غــghayb, yakni tidak hadir. Ghîbah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan tersebut tidak terdapat oleh yang bersangkutan, maka itu termasuk buhtân/kebohongan besar.4 Dalam kitab lisân al-„Arabi, ghîbah
berasal dari kata “بةٞ ”اإلؼــزـــal-
Ightiyâb, “ ”إؼـزـــبةIghtâba, “بثــبٞ ”إؼــزـــIgtiyâbân, yang berarti menggunjing atau menuturkan keburukan orang lain yang tidak disukai. Jika yang digunjingnya itu memang benar adanya pada diri seseorang. Maka itulah ghîbah . Dan jika yang digunjingnya itu tidak terdapat pada seseorang, maka itu disebut buhtân.5 Nabi Muhammad Saw telah menerangkan definisi ghîbah sebagai berikut :
: 6
3
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 242. 4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 256 5 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 10 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 152 6 Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabûri, Sahih Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ‟I al-Turâts al-„Arabi, t.t.), vol.4, hadis 2589, h. 201.
29
“Diceritakan dari Yahya ibn Ayub dan Qutaibah dan Ibn Hajar berkata diceritakan dari Ismâ‟îl dari al-„Alâ‟ dari bapaknya dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda: Tahukah kalian apakah ghîbah itu ? para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu beliau melanjutkan: yaitu kamu menceritakan saudaramu tentang hal yang tidak disukainya. Kemudian seseorang bertanya: bagaimana pendapat tuan jika yang aku ceritakan itu memang ada pada diri saudaraku yang aku ceritakan itu?. Beliau menjawab: bila apa yang kamu ceritakan itu memang ada pada diri saudaramu, maka kamu telah melakukan ghîbah terhadapnya. Dan apabila yang kamu ceritakan itu tidak ada pada diri saudaramu, berarti kamu telah mengada-ada tentangnya” (HR. Muslim) Dalam hal ini perlu di garisbawahi pada ayat " ػــدة ثعـضنٌ ثعـضبٝ ( " ٗالDan janganlah menggunjingkan satu sama lain). Yang dimaksud dengan menceritakan, menyebut-nyebut atau menggunjing dalam ayat ini adalah menggunjing secara terang-terangan atau dengan isyarat, dan lain-lain yang bisa menyakiti hati seseorang karena perkataannya. Dan bagi orang-orang yang menggunjing wajib bertaubat kepada Allah Swt dan meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya.7 Dalam ayat ini Allah Swt. memberikan perumpamaan mengenai menggunjing agar hambanya menjauhi dan berhati-hati terhadap perbuatan keji ini, yaitu dengan perumpamaan "َٓ٘زب فنشٓ ـرٝٔ ً ـٝأمو ىحٌ أخ ـٝ ُحـة أحذمٌ أٝ( "أAdakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?). Maka ada beberapa penekanan pada ayat ini untuk menggambarkan betapa buruknya menggunjing. Pertama, pada gaya pertanyaan yang dinamai istifhâm taqrîri yakni yang bukan bertujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya untuk membenarkan. Kedua, ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, 7
dilukiskan
sebagai
hal
yang
disenangi.
Ketiga,
ayat
ini
Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, jilid 9 (Mesir: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 139
30
mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan “sukakah salah seorang di antara kamu”. Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia melainkan daging saudara sendiri. Dan kelima, ayat ini menyatakan bahwa daging saudara tersebut dalam keadaan mati yang tidak dapat membela diri sendiri.8 Pada ayat 11 dalam QS. al-Qalam/68, Allah Swt menyebutkan menggunjing dengan kata “ ”ٕــَّــبصHammâz. Kata ini terambil dari kata “ ”اىَٖضalHamzu yang artinya tekanan dan dorongan yang keras atau bisa juga diartikan mendorong/menusuk dengan tangan atau tongkat. Dalam kitab lisân al-„Arabi, kata “ ”ٕــَّــبصHammâz berasal dari kata “ ”اىَٖضal-Hamzu, bisa diartikan dengan beberapa arti, yaitu “ ”اىؽــضal-Ghaddu (yang halus), ” ”اىنـــسـشal-Kasru (bilangan), “ “ال ـ عـ يبal-„Aybu (aib, cacat, cela), “ “ال ع صرal-„Asaru (debu), dan “ “ال غ ي بةal-Ghîbah.9 Dari beberapa pengertian tentang kata “ ”اىَٖضal-Hamzu, maka penulis berkesimpulan bahwa “ ”اىَٖضal-Hamzu adalah suatu tekanan dari lidah yang mendorong orang lain untuk mengucapkan secara halus tentang aib orang lain. Dari sinilah kata tersebut dipahami dalam arti menggunjing, mengumpat, atau menyebut sisi negatif orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan/tidak dihadapan orang yang bersangkutan, atau dengan kata lain yang menunjukkan persamaan makna yaitu ghîbah. Dari penafsiran di atas, penulis sepakat dengan penafsiran Quraish Shihab bahwa kata ghîbah dan hammaz dapat diartikan juga sebagai menggunjing, karena 8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 257 9 Ibnu Mandzûr, Lisân al-„Arabi, juz 15 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 132. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 384
31
kedua-duanya mempunyai kesamaan dalam perbuatan buruk yang disebabkan oleh lidah. Dengan kata lain, sinonim dari ghîbah adalah hammâz. Pada ayat 1 dalam QS. al-Humazah, Allah Swt. menyebutkan menggunjing dengan kata “ ”اىَٖضحhumazah. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata “ ”ٕــَّــبصhammâz yang terambil dari kata “ ”اىََْٖضal-Hamzu yang artinya tekanan dan dorongan yang keras atau bisa juga diartikan mendorong/menusuk dengan tangan atau tongkat. Sebagaimana kalimat “ِـــٞــبطّٞ ”َٕـََضَادُ اىشyang artinya dorongan-dorongan/bisikan
setan
untuk
melakukan
kejahatan
(QS.
al-
Mu‟minûn/23:97). Kata “ ”ىَضحlumazah adalah bentuk jamak dari “ ”ىــــَّبصlammâz yang diambil dari kata “ ”اىيَــَْضal-Lamzu, yang digunakan untuk menggambarkan ejekan yang mengundang tawa atau bisa juga diartikan mengejek dengan menggunakan isyarat mata atau tangan yang disertai dengan kata-kata yang diucapkan baik secara berbisik-bisik, di hadapan maupun di belakang orang yang diejek. Dengan kata lain “ ”اىيَــَْضal-Lamzu bisa juga disebut dengan “بةٞ”اإلؼــزـــ al-Ightiyâb 10 Sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya, bahwa sinonim dari ghîbah adalah hammâz atau humazah. Namun pada ayat ini ada sedikit tambahan kata, yaitu kata “ ”ىَضحlumazah atau “ ”اىيَــَْضal-Lamzu setelah kata “”اىَٖضح humazah. Kata ini merupakan sebuah penekanan dari kata “ ”اىَٖضحhumazah atau hammâz, yang bisa penulis katakan bahwa menggunjing tidak hanya dilakukan
10
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 326. Lihat juga: Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 278. Dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 513
32
oleh lidah saja, tetapi dengan isyarat mata atau tangan atau meniru tingkah laku seseorang dengan maksud merendahkannya, maka inipun sudah termasuk dalam kategori menggunjing. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, bahwa ghîbah tidak terbatas hanya dengan kata-kata saja, tetapi bisa juga dengan tulisan, perbuatan, sindiran atau isyarat yang menggambarkan atau memberikan pengertian tentang keburukan atau kekurangan orang lain.11 Perlu digarisbawahi bahwa maksud dari kata (ــوٝٗ) pada ayat 1 dalam QS. al-Humazah adalah hanya untuk menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Dalam kitab lisân al-„Arabi kata ini diartikan sebagai “ ”ميــَخ اىــعــزاة kalimah al-„Adzab. Artinya kata ini bisa juga dijadikan ancaman bagi pengumpat dan pencela sehingga sang pengancam dapat mendoakan seseorang agar mendapatkan kecelakaan, kehinaan atau adzab dari Allah Swt. Sementara para ulama berpendapat bahwa “wail” adalah salah satu nama di neraka dan bagi yang melakukan pelanggaran tertentu akan mendapat siksa di neraka “wail”.12 Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut : 1. Ghîbah selain diartikan dengan (ةٛ )غــghayb, ( بةٞ ) اإلؼــزـــal-Ightiyâb, bisa juga diartikan dengan ( )ٕــَّــبصhammâz, yang mempunyai kesamaan dalam perbuatan buruk yang disebabkan oleh lidah. Begitu juga dengan kata “ ”ىَضحlumazah, yang merupakan sebuah penekanan dari kata ( )ٕــَّــبصhammâz.
11
Tim penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, jilid I (Bandung: Angkasa, 2008), cet. I, h. 405. Lihat juga: Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah Tidak Bertulang (Jakarta: AlMawardi Prima, 2002), cet. I, h. 120-122. 12 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 15 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 422. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 511
33
2. Perumpamaan orang yang suka menggunjing itu seperti orang yang makan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Karena menggunjing itu berarti merobek-robek kehormatan seseorang yang artinya sama saja dengan merobek-robek daging saudaranya yang telah mati. 3. Menggunjing merupakan salah satu faktor terjadinya fitnah. Allah Swt. menyatakan bahwa orang yang suka menggunjing itu lebih cenderung kepada fitnah. Maka tidak heran jika banyak terjadi fitnah, perselisihan sesama manusia yang disebabkan menggunjing. 4. Menggunjing adalah perbuatan buruk yang diancam dengan adzab. Allah Swt. mengancam dan bahkan mendoakan kepada hambanya yang suka menggunjing yang dilakukan oleh lidah dengan kata “celakalah”. 5. Neraka “wail” yang apinya akan menjilat sampai ke hulu hati adalah tempat bagi orang-orang yang suka menggunjing. 6. Selain lidah, menggunjing juga bisa dilakukan dengan perbuatan lainnya, seperti menggunakan isyarat mata, tangan, dan perbuatan lainnya yang bertujuan merendahkan orang lain 7. Salah satu cara untuk mendapat ampunan dari Allah adalah dengan bertaubat dan setelah itu bertakwalah kepada-Nya. Karena Allah maha penerima taubat dan maha penyayang bagi hamba-Nya yang mau bertaubat.
34
B. Menuduh Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1. Penulis menemukan dua bentuk kata buhtân dalam al-Quran, antara lain: kata “ ُ” ثـٖــزــب dalam QS. al-Nûr (24) ayat 16 dan QS. al-Mumtahanah (60) ayat 12. Dan kata “ ”ثـٖــزــبّبdalam QS. al-Nisâ‟ (4) ayat 20, 112, dan 156.13. Namun, penulis tidak semua mencantumkan ayat-ayat di atas, karena ada beberapa ayat yang tidak mengandung dampak bahaya lisan. 1. Menanggung Dosa Yang Nyata QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 20 dan 112, QS. alAhzab/33 Ayat 58
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,14 sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 20)
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 112)
13
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 177. 14 Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan. Lihat al-Quran digital versi 2.1
35
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. alAhzab/33 Ayat 58) 2. Bai‟at Dalam QS. al-Mumtahanah/60 Ayat 12
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka adaadakan antara tangan dan kaki mereka15 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” Kata buhtânân pada ayat-ayat di atas diterjemahkan dengan tuduhan dusta. Kata ini terambil dari kata bahata, yabhutu, bahtan, dan buhtânan - ثٖزب-جٖذٝ - (ثٖذ )ٗثٖزبّب. yang artinya mengherankan. Sama dengan kata dahsy ( )دٕــشdan kata hayrah (شحٞ )حyang artinya tercengang dan heran. Kata buhtân (ُ )ثٖزبbisa juga diartikan bohong. Bohong disebut buhtân karena membuat pendengarnya merasa
15
Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka itu Maksudnya ialah Mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara pria dan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya dan sebagainya. Lihat alQuran digital versi 2.1
36
heran.16 Tuduhan atau ucapan yang tidak benar akan menyebabkan yang dituduh menjadi heran.17 Menurut Abu Ishâq sebagaimana dikutip Ibnu Manzûr di dalam bukunya lisân al-„Arabi mengatakan bahwa buhtân berarti al-bâtil alladzî yatahayyaru min butlânih ( ّٔش ٍِ ثطالٞزحٝ ٙ“ )اىجبطو اىزkebatilan yang mengherankan seseorang”. Kata “ ”اىجٖذal-buht dan “ٔزٞ ”اىجٖـal-bahîtah diartikan sebagai “ ”اىنــزةdusta atau bohong. Beliau menguatkan pendapat itu dengan hadis mengenai ghîbah yang telah disebutkan di atas.18 Dalam QS. al-Nisa/4 ayat 112, kata )ئخٞ (خطkhathi‟ah biasa diartikan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi karena ayat di atas menggunakan kata yaksib yang berarti melakukan, maka ini mengisyaratkan bahwa kesalahan yang tidak disengaja itu dilakukan karena adanya kelalaian dan tanggung jawab pelakunya. Namun, ada juga yang memahami kata khathi‟ah dalam arti dosa yang tidak menyentuh orang lain, seperti meninggalkan kewajiban shalat atau puasa, melakukan perbuatan yang haram, dan lain-lain. Sedangkan kata ” ”إصَبitsman yang diambil dari kata “ٌ ”اإلصـal-Itsm yang berarti “ ”اىـزّـتal-Dzanbu, yaitu dosa atau kesalahan. Namun kata ” ”إصَبitsman yang dimaksud pada ayat ini adalah dosa yang berdampak terhadap orang lain, seperti membunuh atau mencuri.19 Dalam QS. al-Ahzab/33 ayat 58, Kata “ ”امــزسـج٘اiktasabû terambil dari kata
“امزست-رنسّت-مسـجب-نستٝ-”مــسـت
16
kasaba-yaksibu-kasbân-takassaba-iktasab,
Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 148 17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 367 18 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz I (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 514. 19 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz I (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 74. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 557.
37
yang berarti “ ”طيت اىشصقTalab al-Rizq (mencari rizki) atau bisa juga “ رصشّؾ ”ٗاجزٖـذTasarrafa wajtahad (kelakuan, tingkah laku dan berusaha dengan sungguh-sungguh). Namun yang dimaksud “ ”امــزسـج٘اiktasabû dalam ayat ini adalah untuk menunjuk perbuatan manusia yang disengaja.20 Dan kata " "احزَي٘اihtamalû terambil dari kata “-ٗحَالّب-حَال-حَوٝ-حــَـو ”ٍحَ٘هhamala-yahmilu-hamlân-humlânân-mahmûlun, yang
berarti “”ؼـضـت
ghadib (marah). Namun yang dimaksud " "احزَي٘اihtamalû pada ayat ini adalah mereka yang membebani diri mereka sendiri dengan suatu beban yang mestinya mereka tidak perlu memikulnya, akan tetapi karena mereka melakukan penghinaan, tuduhan, dan lain-lain, maka terpaksalah mereka memikul beban tersebut dengan susah payah.21 Dalam QS. al-Mumtahanah/60 ayat 12 terdapat kalimat “walâ ya‟tîna bi buhtânin yaftarînahu baina aydîhinna wa arjulihinna” mengandung beberapa kemungkinan makna. Sebagaimana yang dikutip M. Quraish Shihab dari Thâhir ibn „Âsyûr, yaitu: 1. Jika yang dimaksud dengan buhtân adalah berita bohong, maka kalimat di atas bermakna mengada-ada dan berbohong secara langsung di hadapan yang dituduh. 2. Jika yang dimaksud dengan buhtân adalah sesuatu yang merupakan bahan kebohongan, maka kalimat ayat di atas bermakna mengaku hamil, yang kemudian dia memungut anak dan menyatakan bahwa anak itu adalah
20
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t), h. 87. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 319. 21 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 3 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 331. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 319.
38
anak
sah
dari
suaminya,
dengan
tujuan
agar
suaminya
tidak
menceraikannya atau dengan tujuan lainnya. 3. Jika kata buhtân diartikan sebagai kedurhakaan, maka makna ini bermakna membolehkan pria selain suaminya melakukan sesuatu kedurhakaan pada diri mereka, misalnya mencium, memegang-megang, meraba-rabanya, inilah yang dimaksud “dengan mengadakan-adakan antara tangan-tangan mereka”, sedangkan berzina dengannya, inilah yang dimaksud “dengan mengada-adakan antara kaki-kaki mereka”22 Dalam ayat-ayat di atas mengenai buhtân sebagian besar dihubungkan dengan kata itsmân mubinân dan „Adzhimân. Artinya Allah telah menetapkan bahwa buhtân salah satu perbuatan dosa besar dan Allah telah mengancam bagi hambanya yang suka menuduh dengan menanggung dosa yang besar pada hari kiamat kelak. Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Haram bagi seorang suami yang mengambil mahar dan harta lainnya dengan cara menuduh sang istri. 2. Janganlah menuduh seseorang yang tidak bersalah dengan tuduhan yang tidak benar. 3. Orang
yang
menuduh
seseorang
yang
tidak
bersalah
akan
mendapatkan dua dosa. Yaitu, dosa atas kejahatannya dan dosa atas tuduhannya kepada orang lain. Inilah yang dimaksud menanggung beban yang berat.
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 177-178
39
4. Menyakiti orang mu‟min berarti sama saja menyakiti Rasul Saw, meyakiti Rasul berarti mengundang kemurkaan Allah, karena menghina Rasul SAW sama dengan menghina Allah Swt. 5. Suatu konsekuensi dalam berbai‟at atau ucapan janji setia adalah: a. Janganlah menyekutukan Allah dengan apapun. b. Tidak mencuri. c. Tidak berzina. d. Tidak membunuh anak-anak e. Tidak berdusta yang di ada-adakan antara tangan dan kaki f. Tidak durhaka 6. Tuduh-menuduh merupakan salah satu poin terpenting untuk dihindarkan, karena hal ini bila dilakukan bisa menyebabkan gugurnya bai‟at yang telah diucapkan.
C. Mengolok-olok Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1. Penulis menemukan beberapa bentuk kata yang mengandung makna mengolok-olok atau mencela, mulai dari fi‟il madi, fi‟il mudâri‟, fi‟il „amr, masdar, dan lain-lain. Antara lain: Kata “ ُٗ ” رــســزــٖــضءterdapat dalam QS. al-Taubah (9) ayat 65. Kata “ ـــســـزـــٖـــضئٝ ” terdapat dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 15. Kata “ ُٗــســزــٖــضءٝ ” terdapat dalam QS. al-An‟âm (6) ayat 5 dan 10, QS. Hûd (11) ayat 8, QS. Hijir (15) ayat 11, QS. an-Nahl (16) ayat 34, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 41, QS. alSyu‟arâ‟ (26) ayat 6, QS. al-Rûm (30) ayat 10, QS. Yasîn (36) ayat 30, QS. al-
40
Zumar (39) ayat 48, QS. Ghâfir (40) ayat 83, QS. al-Zukhruf (43) ayat 7, QS. alJâtsiyah (45) ayat 33, QS. al-Ahqâf (46) ayat 26. Kata “ ” إســـزـــٖـــضءٗاterdapat dalam QS. al-Taubah (9) ayat 64. Kata “ ” اســـزـــٖـــضئterdapat dalam QS. alAn‟âm (6) ayat 10, QS. al-Ra‟d (13) ayat 32, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 41. Kata “ ـــســـزـــٖـــضأٝ” terdapat dalam QS. al-Nisâ‟ (4) ayat 140. Kata “ ُٗ” ٍــســزــٖــضء terdapat dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 14. Kata “ ِــٝ ” اىَــســزــٖــضءterdapat dalam QS. al-Hijir (15) ayat 95. Dan kata “ ”ٕــضٗاsendiri terdapat dalam QS. alBaqarah (2) ayat 67 dan 231, QS. al-Mâ‟idah (5) ayat 57, QS. al-Kahfi (18) ayat 56 dan 106, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 36, QS. al-Furqân (25) ayat 41, QS. Luqmân (31) ayat 6, QS. al-Jâtsiyah (45) ayat 9 dan 35.23 Namun, penulis tidak semua mencantumkan semua ayat-ayat di atas, karena banyak redaksi ayat yang mempunyai kesamaan makna maupun teks. Jadi penulis mencantumkan hanya beberapa ayat saja yang kiranya bisa mewakili dari ayat-ayat tentang mengolok-olok. Penulis juga mencantumkan ayat-ayat yang berkaitan dengan mengolok-olok dari buku indeks alquran.24 1. Terombang-ambing dalam kesesatan pada QS. al-Baqarah {2}ayat 14-15
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya Kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. Allah akan 23
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 905-906. 24 Azharuddin Sahil, Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata Dalam Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007), cet. 1, h. 240
41
(membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombangambing dalam kesesatan mereka.” Asbabun Nuzul Diriwayatkan al-Wâhidî dan al-Tsa‟labî dari jalur Muhammad ibn marwân dan al-Sady al-Saghîr dari al-Kalbi dari Abi Sâlih dari Ibn „Abbas, berkata bahwa ayat ini diturunkan berkaitan tentang „Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya yang pada suatu hari di saat mereka bertemu dengan beberapa sahabat Nabi SAW, „Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya: "Lihatlah, bagaimana caranya aku mempermainkan mereka yang bodoh-bodoh itu!" Ia pun mendekat dan menjabat tangan Abu Bakar sambil berkata. "Selamat penghulu Bani Taim dan Syaikhul Islam dan orang kedua beserta Rasulullah di gua (Tsaur) yang mengurbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah." Kemudian ia menjabat tangan Umar sambil berkata: "Selamat penghulu Bani Adi bin Ka'b yang mendapat gelaran al-Fâruq, yang kuat memegang Agama Allah, yang mengurbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah." Kemudian ia menjabat tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata: "Selamat saudara sepupu Rasulullah, mantunya, dan penghulu bani Hasyim sesudah Rasulullah." Setelah itu mereka berpisah dan berkatalah Abdullah bin Ubay kepada kawan-kawannya. "Sebagaimana kamu lihat perbuatanku tadi, jika kamu bertemu dengan mereka, berbuatlah seperti apa yang telah kulakukan." Kawan-kawannya pun memuji-muji Abdullah bin Ubay.
42
Setibanya Kaum Muslimin (Abu Bakar, Umar dan Ali) kepada Nabi Saw. mereka memberitahukan peristiwa tadi, maka turunlah ayat di atas.25 2. Tidak memfungsikan akal dalam QS. al-Mâ‟idah {5} ayat 58
“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” 3. Neraka Jahanam dalam QS. al- Nisâ‟{4} ayat 140
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam.” 4.
Balasan (adzab) yang tak bisa dihindarkan dalam QS. al-An‟âm/6 Ayat 10
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, Maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokan mereka”.
25
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 7. Lihat juga: al-Quran digital versi 2.1
43
5. Ancaman adzab pedih dalam QS. at-Taubah {9} ayat 79
“(Orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih”. Asbabun Nuzul al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam bâb al-Zakâh dari Ibnu Mas‟ûd berkata, “Ketika turun ayat sedekah, kami memikul harta benda kami di atas punggung kami. Lalu datanglah seseorang yang menyedekahkan hartanya yang banyak. Dan orang-orang pun berkata, “Dia mau pamer”. Kemudian datang pula seseorang yang menyedekahkan satu sâ‟ dan mereka berkata, “sungguh Allah tidak memerlukan sedekah orang ini”. Maka turunlah ayat ini. 26 6. Adzab yang menghinakan dalam QS. Luqmân/31 Ayat 6
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan. Dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.
26
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbâb an-Nuzûl; Sebab Turunnya Ayat al-Quran, penerjemah Tim Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani, 2009), h. 295
44
Asbabun Nuzul Juwaibir meriwayatkan dari Ibnu Abbâs bahwa Ayat ini turun tentang al-Nasr ibn al-Harits yang membeli seorang budak wanita penyanyi. Setiap kali ia mendengar ada orang yang hendak masuk Islam, ia membawanya kepada penyanyinya itu dan berkata, “beri ia makan dan minum serta nyanyikan lagu untuknya. Ini lebih baik dari apa yang diserukan oleh Muhammad kepadamu: shalat puasa, dan berperang untuk membelanya.” Maka turunlah ayat ini. Jalaluddin as-Suyuthi mengutip dari al-Qurthubi, bahwa ayat ini turun tentang al-Nasr ibn al-Harits sebab ia membeli buku-buku bangsa asing yang berisi kisah-kisah tentang Rustum dan Spandiar dari Persia. Dia bangga dengan kandungan buku itu, sehingga ia mengundang orang untuk mendengarnya agar mereka berdalih dari alQuran. Dan kalau orangorang Quraisy mengatakan bahwa Muhammad berkata ini-itu, dia tertawa lalu Ia mengatakan, “kisahku ini lebih baik daripada perkataan Muhammad.” Hal ini dituturkan oleh al-Kalbi.27 7. Mengolok termasuk perbuatan dzhalim dalam QS. al-Hujurât {49} ayat 11
27
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 172. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir alMisbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 114
45
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang lakilaki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri28 dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman29 dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. Asbabun Nuzul Dari Abu Jabir Ibn al-Dahâk berkata, “Adakalanya seorang lakilaki memiliki dua atau tiga nama panggilan. Boleh jadi ia kemudian dipanggil dengan nama yang tidak disenanginya. Sebagai responnya, turunlah ayat, “...dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk....”. Imam at-Tirmidzî menyatakan bahwa riwayat ini berkualitas hasan. Dalam riwayat lain dari Imam Ahmad yang juga dari Abu Jabirah disebutkan, ayat ini turun berkenaan dengan kami, Bani Salamah. Pada saat Nabi Saw. Sampai di Madinah, setiap laki-laki dari Bani Salamah memiliki dua atau tiga nama panggilan. Suatu ketika, Nabi saw. memanggil salah seorang dari mereka dengan nama tertentu, kemudian orang-orang berkata kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, sesungguhnya
28
Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin itu seperti satu tubuh. Lihat al-Quran digital versi 2.1 29 Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya. Lihat al-Quran digital versi 2.1
46
ia marah dengan panggilan tersebut.” Maka tidak lama kemudian turunlah ayat ini.30 Dalam kitab lisân al-„Arabi kata “ســزـٖـضءٝ” yastahzi‟u terbentuk dari kata “ ”رٖـضّأ–اسـزٖــضأtahazza‟a-istahja'a, yang di ambil dari kata “ٕـضءا-ــٖــضأٝ-”ٕــضأ haza‟a-yahja‟u-huz‟ân, yang artinya adalah “ ّٛ اىسّخش,ٔٝ اىسّخش, ”سـخشsakhira, alSukhriyah, al-Sukhriyyu, yaitu olok-olokan, ejekan atau ejekan yang menimbulkan tertawaan orang, atau bisa juga diartikan perkataan pedas yang menyakitkan hati.31 Dalam ayat lain juga terdapat dua kata yang berbeda namun mempunyai arti yang sama, yaitu: kata “ ”اســزـــٖضئistuhzi‟a terbentuk dari kata “”رٖـضّأ–اسـزٖــضأ tahazza‟a-istahja'a, yang di ambil dari kata “ٕـضءا-ــٖــضأٝ- ”ٕــضأhaza‟a-yahja‟uhuz‟ân, yang mengandung arti ejekan. Dan kata “ ”ســخـشٗاsakhirû terambil dari kata “خٝســخـش- ّبٝسخش-ّبٝسخش- ”سخشحsukhratan-sikhriyyân-sukhriyyân-sukhriyah, yang mempunyai arti “ ٔ ضحنذ ٍْٔ ٗضحنذ ث, ”ٕـضئhuz‟u, dahiktu minhu wa dahiktu bih, yaitu ejekan yang menjadi bahan tertawaan orang atau bisa juga diartikan ejekan yang disertai pelecehan dan penghinaan terhadap yang dicemoohkan.32 Maksud firman Allah Swt. Dalam QS. al-Baqarah/2 ayat 15, “….Allah memperolok-olok mereka…”, ini merupakan pernyataan Allah terhadap orang munafik, bahwa Allah sendiri yang akan membalas mereka setimpal dengan apa yang mereka lakukan. Jika mereka memperolok-olok dengan berbagai sikap dan
30
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 203. 31 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 15 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 84. 32 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 6 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 203. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 8 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 456.
47
tingkah, maka Allah pun akan mengambil tindakan yang serupa dengan memperolok-olokan mereka. 33 Dalam hal ini perlu penulis garisbawahi, bahwa Allah akan membalas dengan tindakan serupa, bukan berarti Allah mengolok-olok mereka dengan perkataan-Nya. Kata memperolok-olok disini hanya merupakan majaz dari kata memperolok-olok sebelumnya, karena untuk mengisyaratkan bahwa sanksi itu setimpal dengan dosa yang mereka lakukan. Salah satu cara Allah Swt. memperolok-olok mereka adalah Allah membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan di dunia sehingga mereka tidak mampu sadar akan kesesatannya. Namun Allah tetap memperlakukan mereka sama dengan perlakuan Allah terhadap orang-orang beriman, tetapi di akhirat nanti mereka akan mendapatkan siksa yang amat pedih. Dalam QS. al-Nisa/4 ayat 140, terdapat kata )خ٘ض٘اٝ( yang berarti masuk ke dalam sesuatu yang cair. Artinya seseorang yang terjerumus ke dalam ejekan atau olok-olokan mereka, maka ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jalan kebahagiaan itu selalu tertutup karena terhalang oleh pembicaraan yang tidak pernah memberikan solusi terbaik. Hal ini diumpamakan ketika seseorang menepuk air sungai, maka air tersebut tidak membelah. Air itu langsung menyatu kembali tanpa ada kesempatan untuk membuat celahan atau belahan dari hasil tepukan seseorang. Inilah yang dimaksud dengan kata yakhûdû.34 Kata “ ٌٖ( ”إّنٌ إرا ٍضيtentulah kamu serupa dengan mereka). Maksudnya, jika seseorang duduk bersama orang-orang yang sedang mengolok-olok, mencela 33
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. I, h. 110-111. 34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 598.
48
ayat-ayat Allah atau tentang syari‟at Islam, maka ia termasuk ke dalam kelompok mereka, karena telah rela mendengar kebatilan dan kekufuran yang mereka ucapkan.35 Akibatnya, Allah akan mengumpulkan mereka bersama-sama di dalam neraka jahanam. Inilah balasan orang yang suka menghina, mencela, memperolok-olok ayat-ayat Allah. Dalam QS. al-An’am/6 ayat 10, Kata “ ”حــبقhâqa yang artinya menimpa, beberapa ulama tafsir ada yang memahaminya dalam arti “menjadi kepastian” yang tidak bisa dihindarkan. Namun, ada juga yang memahaminya dalam arti “meliputi”. Artinya apa yang menimpa mereka tidak hanya sentuhan atau siksa yang mengenai bagian tertentu dari diri mereka atau hanya mengenai sebagian dari mereka, tetapi siksa itu menimpa secara keseluruhan yang terlibat dalam olok-olok dan tidak satupun yang dapat lolos dari siksa-Nya.36 Kata “شٝ ”ىــٖ٘اىحــذlahw al-Hadîs dalam QS. Luqman/31 ayat 6 adalah kalimat murakkab yang terdiri dari dua kata, yaitu lahw yang berakar dari fi‟il madi lahâ, yang mempunyai arti “ ”اىيّــعـتal-La‟ib, yaitu permainan, bermainmain, senda gurau, tidak berguna atau bisa juga diartikan sembarangan. Sedangkan al-Hadîs diambil dari kata “ حذٗصب-حذسٝ- ”حذسhadatsa, yahdutsu, hudûsân, yaitu omongan, perkataan, pembicaraan, obrolan, dan sejenisnya.37 Dalam koneks ayat di atas, Allah sedang menjelaskan bahwa di antara manusia lainnya masih banyak yang menggunakan perkataaannya untuk hal-hal yang tidak berguna, main-main, sembarangan, untuk menyesatkan manusia 35
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwi, Tafsîr as-Sya‟râwi, jilid 5 (Kairo: Akhbâr al-Yaum, t.t.), h. 2730-2731 36 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 27 37 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 3 dan 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 75 dan 347. Lihat juga: Departemen agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), jilid 7 (Jakarta: Departemen agama RI, 2004), h. 537
49
lainnya dari jalan Allah Swt. Kebanyakan mereka menggunakan perkataannya dengan tidak dilandasi pengetahuan yang benar sehingga menyebabkan ajaran Allah Swt dijadikan bahan olok-olokan.38 Kata “ ”رــيَــضٗاdalam QS. al-Hujurat/49 ayat 11 ini terambil dari kata “ ”اىيــَــض. Quraish Shihab mengutip dari Ibnu „Asyur, mengartikan dengan arti ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Berbeda dengan kata “ ”رــْبثضٗاtanâbazû (saling memberi gelar buruk) yang terbentuk dari kata “ ”اىــْـّـجـزal-Nabzu (gelar buruk) dan diambil dari kata “ ”ّـجـزnabadza, yang artinya membuang. Namun dalam lisân al-„Arabi kata “ ”ّـجـزnabadza diartikan “
ّٜ األجسبً ٗاىَـعبٚنُ٘ ثبىفعو ٗاىق٘ه فٝ ,ذك أٍبٍلٝ ٍِ ”طشحل اىشــئ, yaitu melemparkan
atau
mengutarakan
kejelekan
seseorang
tentang
kedudukannya,
baik
dihadapannya ataupun dibelakangnya. Dan bisa juga diartikan dengan melakukan perbuatan ataupun dengan perkataan tentang yang ada pada dirinya.39 Ada tiga kandungan yang terdapat pada kalimat “ٌؾسن أُ ــ ”ٗال دــىَضٗا ـ, yaitu: a. Janganlah mengejek orang lain, karena mereka sama dengan dirimu sendiri, ejekanmu terhadap mereka berarti ejekan terhadap dirimu sendiri. b. Jangan mengejek orang lain, karena ejekan itu dapat mengundang yang diejek untuk mengejek kamu pula
38
Departemen agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), jilid 7 (Jakarta: Departemen agama RI, 2004), h. 537 39 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 14 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 1819. Lihat juga: Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 278. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 251-252.
50
c. Jangan mengejek dirimu sendiri, dengan jalan melakukan suatu perbuatan
yang
mengundang
orang
lain
menertawakan
dan
mengejekmu. Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Bagi orang yang suka mengolok-olok orang mukmin, mukminat, dll,. maka Allah akan membalas olok-olokan mereka dengan cara menyesatkan mereka di dunia dan adzab yang pedih. 2. Mengolok-olok orang lain dianggap tidak mempunyai akal. 3. Orang yang sudah terjerumus dalam perkumpulan tersebut, maka termasuk dalam golongan mereka, yaitu golongan orang-orang munafik dan orang-orang kafir. 4. Ancaman bagi orang yang suka mengolok-olok agama Allah adalah di masukkan ke dalam neraka jahanam bersama orang-orang munafik dan orang-orang kafir 5. Siapa pun yang mengolok-olok, maka akan mendapatkan balasan berupa adzab dari Allah Swt. 6. Mengejek orang lain baik dengan perkatan, perbuatan atau isyarat sekalipun, berarti sama saja mengejek diri sendiri 7. Siapa saja yang tidak bertaubat dari kesalahan-kesalahan di atas, maka mereka termasuk golongan orang yang dzalim.
51
D. Dusta atau Bohong Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm ditemukan banyak sekali bentuk kata yang mengandung makna dusta. Namun untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi ayat-ayat dusta ini yakni lebih menitikberatkan pada ayat-ayat yang berkenaan dengan balasan dari dusta itu sendiri, yang penulis ambil dari buku indeks alquran40 dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1 tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan balasan dari perbuatan dusta. 1. Dosa Yang Nyata Dalam QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 50
“Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka)”. 2. Siksa Yang Sangat Menghinakan Dalam QS. al-An‟âm/6 Ayat 93
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." 40
Azharuddin Sahil, Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata Dalam Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007), cet. 1, h. 178
52
Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” Asbabun Nuzul Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman-Nya, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya"......”. Ia berkata, Ayat ini turun berkenaan dengan Musailamah, sedangkan ayat, “....dan orang yang berkata, Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah....." turun berkenaan dengan Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarh. Dia dahulu menulis surat kepada Nabi Saw., berisi ungkapan “„Azîzun hakîm”, lalu Nabi Saw. membalas surahnya dan berisi ungkapan “ghafûrun rahîm”. Tatkala surat balasan itu dibacakan kepadanya, dia berkata, “ya, sama saja”. Maka dia pun keluar dari Islam dan bergabung dengan orang-orang kafir Quraisy. Al-Suddi meriwayatkan hal senada dan ia menambahkan bahwa Abdullah ini berkata, “kalau Muhammad diberi wahyu, akupun diberi wahyu. Kalau Allah menurunkan wahyu kepadanya, akupun menerima seperti apa yang diturunkan Allah itu, Muhammad berkata, “samî‟ân „alîmân”, akupun berkata, „alîmân hakîmân.”41
41
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 101.
53
3. Kekal Di Dalam Neraka dan Tidak Akan Masuk Surga Dalam QS. alA‟râf/7 Ayat 36, 40
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.” 4. Kemunafikan Dalam Hati Dalam QS. at-Taubah/9 Ayat 77
“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.” 5. Disegerakan Masuk Ke Neraka Dalam QS. al-Nahl/16 Ayat 62.
“Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, Yaitu bahwa Sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan. Tiadalah
54
diragukan bahwa nerakalah bagi mereka, dan Sesungguhnya mereka segera dimasukkan (ke dalamnya).” 6. Neraka Jahannam Dalam QS. al-Ankabut/29 Ayat 68
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” Kata “ ”اىنــــزةal-Kadzib di sini adalah sesuatu yang diucapkan lisan, namun pada kenyataannya tidak sesuai dengan isi hati. Kata “ ”اىنــــزةal-Kadzib sendri berasal dari kata “مــزثب-نــزةٝ- ”مزةkadzaba-yukadzibu-kadzibân, yang artinya “ ”ضـذّاىـصّذقdiddu al-Sidq, yaitu tidak benar.42 Kata “ ”غــً ــسا دghamarât yang diartikan sakarat al-maut atau al-Harb al-Maut adalah bentuk jamak dari “ ”غــً ــسحghamrat yang diambil dari akar kata “اىؽَش- ”ؼــَــشghamara-al-Ghamru yang artinya “شٞ ”اىَــبء اىنـــضal-Mâ‟u al-Katsîr, yaitu banyak air, membanjiri, atau menggenangi. Maksudnya adalah memenuhi sesuatu, atau menutupi dan menghilangkan bekas-bekasnya. Kata ini mengandung makna kesungguhan dan ketiadaan ampun yang diberikan oleh para malaikat yang sedang mencabut nyawa seorang pendusta. Hal ini menggambarkan betapa kasar dan kejamnya malaikat ketika menghadapi seorang yang pendusta, dan lain-lain, sambil berkata “keluarkanlah nyawamu untuk menghadapi siksaan yang akan kamu hadapi”. Inilah balasan bagi orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah.43
42
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 50. Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 10 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 116. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 196-197. 43
55
Maksud mendustakan ayat-ayat Allah pada ayat 40 surat al-A’raf adalah mendustakan pokok-pokok dan hukum-hukum agama, seperti yang berhubungan dengan adanya Allah dan ke-Esaan-Nya, dan yang berhubungan dengan kenabian, hari kiamat, hari kebangkitan dan lain-lainnya. Maka orang seperti inilah yang tidak akan dibukakan pintu langit dan tidak akan masuk surga.44 Ada beberapa pengertian tentang tidak dibukakannya pintu langit, diantaranya adalah tidak akan diterima amal mereka dan tidak akan sampai kepada Allah. Bahkan bukan saja amal dan usahanya yang tidak sampai kepada Allah, do‟a dan permintaan pun tidak akan sampai kepada Allah. M. Quraish Shihab mengutip dari Thahir Ibn Âsyûr yang berpendapat bahwa kalimat abwâbas sama‟ atau pintu-pintu langit ini hanya untuk mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan memperoleh aneka limpahan karunia ilahi yang bersifat ruhaniah atau spiritual.45 Demikianlah istilah tersebut menggambarkan keadaan mereka yang mendapatkan kesesatan sehingga tidak menemukan kemudahan untuk masuk surga. Sedangkan maksud perumpamaan kata “hingga unta masuk ke dalam lubang jarum” dalam ayat tersebut, penulis berpendapat bahwa ini adalah sebuah penekanan bahwa tidak akan dibukakan pintu langit dan tidak akan masuk surga selama-lamanya. Sebagaimana unta tidak akan pernah masuk selama-lamanya ke dalam lubang jarum tersebut. Kalimat ini juga berkaitan erat dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat QS. al-A‟râf {7} ayat 36, yang mengatakan bahwa penghuni bagi orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt. adalah di neraka dan 44
Departemen agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), jilid 3 (Jakarta: Departemen agama RI, 2004), h. 413. 45 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 94.
56
ia kekal di dalamnya. Maka jelas ini adalah sebuah penekanan yang diumpamakan dengan unta dan jarum. )“ (ال جشً أُ ىٖــٌ اىـْــبسtiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka”. Dalam QS. al-Nahl/16 ayat 62, maksudnya adalah tidak ada keraguan pada mereka untuk memasukkan mereka ke dalam neraka disebabkan karena mereka selalu melemparkan segala hal yang tidak mereka senangi kepada Allah dan juga kedustaan mereka yang menyebabkan mereka pantas masuk ke dalam neraka. Kata lâ jarama sendiri diambil dari kata jarim/orang yang melakukan kejahatan dengan arti mujrim. Lâ jârimata berarti tidak ada salahnya menghukum mereka, karena memberikan hukuman kepada orang yang bersalah bukanlah sebuah pelanggaran. Jadi, lâ jarama mempunyai dua arti, yaitu: mereka berhak mendapat neraka, dan tidak ada salahnya juga memasukkan mereka ke dalam neraka sebagai balasan atas perbuatan mereka.46 Kata (ٌ )ظــيzulum dalam ayat 68 surat al-Ankabut, mempunyai arti sebenarnya adalah penganiayaan, maksudnya adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Zulum merupakan suatu perbuatan tercela, bahkan besar dan kecilnya dosa ditentukan oleh besar kecilnya zulum. Semakin besar sasaran kezaliman, maka semakin besar pula dosa kezalimannya. Kezaliman terhadap Allah merupakan kezaliman yang paling besar. Ada tiga penekanan pada ayat ini tentang keburukan kaum musyrikin. Pertama, kata (ٙ )إفــزــشiftarâ, yang artinya mengada-ada, berbohong. Kedua, kebohongan yang dimaksud bukan kebohongan terhadap makhluk, tetapi terhadap
46
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 9 (Kairo: Akhbâr al-Yaum, t.t.), h. 6234
57
Allah Swt.. Ketiga, kebohongan ini bukan kebohongan yang kecil tapi ()مــزثــب kadzibân atau kebohongan besar.47 Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Orang yang suka berdusta kepada Allah diancam dengan siksaan yang pedih, terutama ketika sakarat al-Maut dan menjadi penghuni neraka jahanam bersama orang munafik dan kafir selama-lamanya 2. Ada dua macam kedzaliman, yaitu: a. Membuat kedustaan terhadap Allah Swt. b. Menantang terhadap wahyu dengan membuat serupanya untuk menandingi al-Quran. 3. Pintu langit (amal, usaha, doa, dan rohnya) tidak dibukakan bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berlaku sombong terhadap-Nya. Selain pintu langit tidak dibukakan, Allah juga tidak akan memasukkan mereka ke dalam surga selama-lamanya. 4. Allah akan menutup hati mereka untuk kebenaran dan mereka selalu dinaungi oleh kemunafikan sampai mereka menemui Allah Swt. 5. Makhluk yang paling aniaya, paling dzalim adalah orang yang berdusta kepada Allah Swt.
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 543.
58
E. Sumpah Palsu Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur‟an al-Karîm ditemukan beberapa bentuk kata yang mengandung makna sumpah. Namun untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi ayat-ayat sumpah ini yakni lebih menitikberatkan pada ayat-ayat yang berkenaan dengan dampak sumpah palsu, yang penulis ambil dari buku indeks alquran48 dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1 tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan balasan dari perbuatan dusta. 1. Tidak akan dilihat oleh Allah Swt. dalam QS. ali „Imrân/3 Ayat 77
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkatakata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang pedih.” Asbabun Nuzul Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Huyai bin Akhtab, Ka‟ab ibn al-Asyraf, dan orang-orang Yahudi lainnya yang menyembunyikan Taurat asli yang diturunkan oleh
48
Azharuddin Sahil, Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata Dalam Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007), cet. 1, h. 425-426.
59
Allah. Lalu mereka mengubahnya dan bersumpah bahwa itu adalah dari Allah.49 2. Membinasakan Diri Sendiri dan Allah yang menjadi saksi atas sumpah seseorang Dalam QS. at-Taubah/9 Ayat 42, 107
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka. mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau Kami sanggup tentulah Kami berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri mereka sendiri50 dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.”
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.51 Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” 49
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 47. 50 Maksudnya mereka akan binasa disebabkan sumpah mereka yang palsu. Lihat alQuran digital versi 2.1 51 Yang dimaksudkan dengan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu ialah seorang pendeta Nasrani bernama Abu 'Amir, yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya dari Syiria untuk bersembahyang di masjid yang mereka dirikan itu, serta membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslimin. akan tetapi kedatangan Abu 'Amir ini tidak Jadi karena ia mati di Syiria. dan masjid yang didirikan kaum munafik itu diruntuhkan atas perintah Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan wahyu yang diterimanya sesudah kembali dari perang Tabuk. Lihat al-Quran digital versi 2.1.
60
Asbabun Nuzul Ayat 107 ini diturunkan kepada Bani Ghunum bin Auf dari suku Khazaj yang membangun masjid dhirar atas perintah pendeta Abu Amir sebagai ungkapan rasa dengki kepada Bani Amru bin Auf dari suku „Aus yang telah membangun masjid Quba. Mereka meminta Nabi Saw. untuk shalat di dalamnya sebagaimana beliau telah shalat di masjid Quba‟. Nabi meminta maaf tidak bisa shalat di sana sampai sekembalinya beliau dari perang tabuk. Maka kemudian ayat ini turun kepada beliau yang memberitahukan
maksud
didirikannya
masjid
dirar
itu,
dan
memerintahkan kepada beliau untuk merobohkan serta membakar masjid itu. 52 Pada kata “ ”ثــعــٖــذ اهللjanji dengan Allah dalam QS. ali Imran/3 ayat 77, mempunyai dua kemungkinan. Pertama, janji fitrah. Kedua, janji yang diberikan kepada ahli kitab, yaitu mereka mengetahui kedatangan Nabi Saw dan akan menyatakan beriman kepadanya. Sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi, 53
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: "Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima 52
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl (al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 242. Lihat juga: Wahbah Zuhaili, dkk. Ensiklopedia Al-Qur‟an. Penerjemah; Tim Kuwais (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. I, h. 205. 53 Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 3 (Kairo: Akhbâr al-Yaum, t.t.), h. 1553
61
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".” Jadi, sifat dusta dilekatkan pada diri mereka ketika menyatakan beriman, lalu keimanan mereka ditukar dengan makanan dan pakaian. Perbuatan ini berarti mereka telah meninggalkan janji Allah. Karena itu Allah berfirman, “mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak pula akan mensucikan mereka. Bagi mereka siksa yang pedih.” Kata ( )أٗىـئلini kembali kepada kalimat (... ُٗشـزشٝ ِـٝ)إُ اىز, artinya ayat ini ditujukan tidak hanya kepada mereka yang membeli ayat-ayat Allah Swt., namun juga berlaku untuk mereka yang menyatakan keimanan kepada Rasul Saw kemudian mengingkarinya. Dan ayat ini berlaku juga bagi seluruh manusia di setiap waktu.54 Maksud dari kalimat “dan Allah tidak akan berkata-berkata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat” adalah bahwa Allah tidak akan memperdulikan mereka, dan Allah menjauhkan mereka dari rahmat dan ridha-Nya, dan Allah tidak mau membersihkan dosa-dosanya. Maka akibatnya mereka mendapatkan ganjaran yang setimpal.55 Orang-orang munafik mengira bahwa sumpah palsu yang mereka ucapkan menguntungkan bagi mereka dan dapat menutupi sifat kemunafikan mereka, padahal perbuatan ini hanya mencelakakan diri mereka sendiri, yaitu secara tidak
54
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 3 (Kairo: Akhbâr al-Yaum, t.t.), h. 1554 55 Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 3 (Kairo: Akhbâr al-Yaum, t.t.), h. 1554
62
langsung mereka telah memasukkan diri sendiri dalam kebinasaan. Sumpah palsu termasuk salah satu dosa besar sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:
56
“Bercerita kepadaku Muhammad ibn Basyâr, bercerita Muhammad ibn Ja‟far, bercerita Syu‟bah dari Firâs dari as-Sya‟bî dari „Abdullah ibn „Amru dari Nabi Saw. bersabda: Dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh diri seseorang, dan bersumpah palsu.” Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Allah langsung yang menjadi saksi terhadap sumpah palsu mereka. 2. Seseorang yang sengaja mengingkari sumpahnya, janjinya akan mendapatkan murka dari Allah Swt dan mendapatkan siksa yang berat. 3. Ada empat hukuman yang diberikan Allah Swt. kepada orang yang suka mengingkari janji dan sumpahnya, yaitu: a. Allah tidak akan memberi rahmat dan ridha kepadanya b. Allah tidak akan memperdulikan mereka pada hari kiamat. c. Allah tidak akan menghapus dosa-dosanya. d. Allah memberikan siksa yang pedih. 4. Perbuatan ini termasuk perbuatan yang harus di jauhi karena merupakan dosa besar.
56
„Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Matan al-Bukhârî Masykûl, jilid 4 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h.186
63
BAB IV MENCEGAH BAHAYA LISAN
A. Metode Pencegahan Dalam bab sebelumnya penulis telah memaparkan tentang pengertian lisan dan ayat-ayat yang berkaitan dengan bahaya lisan. Sedangkan dalam bab ini penulis menjelaskan tentang hal yang mendasar dan sangat penting dalam upaya mencegah atau mengobati penyakit ini serta manfaatnya dalam al-Quran dan hadis. Al-Qur‟an adalah obat penawar atas segala penyakit, baik yang ada pada dada manusia maupun yang ada pada lisan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt. yang berbunyi,
“Dan kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Isra‟/17: 72) Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat tentang mencegah, mengobati penyakit lisan. Dan ini juga bisa dijadikan sebagai pengobatan dalam Islam untuk menyembuhkan semua aspek psikopatologi yang bersifat khusus (berdasarkan nilai-nilai agama). Di antaranya sebagai berikut: 1. Membaca al-Quran
“Dan kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Isra‟/17: 72)
63
64
Allah Swt. mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada RasulNya Shallallahu „alaihi wa sallam yaitu Al-Qur`an yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya baik dari sisi depan maupun belakang yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji bahwa sesungguhnya Al-Qur`an itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin, yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Al-Qur`an-lah yang menyembuhkan itu semua. Di samping itu, al-Quran merupakan rahmat yang membuahkan keimanan yang selalu mendorong untuk melakukan kebaikan. Hal ini tidaklah didapatkan kecuali oleh orang yang mengimani, membenarkan serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini Al-Qur`an akan menjadi penyembuh dan rahmat. Adapun orang kafir yang mendzalimi dirinya sendiri maka tatkala mendengarkan Al-Qur`an tidaklah bertambah baginya melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Sebab ini ada pada orang kafir itu sendiri, bukan pada Al-Qur`annya. Seperti firman Allah Swt,
... “... “Katakanlah, Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orangorang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”. (QS, fussilat/41: 44 ) Membaca Al-Qur‟an merupakan ibadah yang paling utama dan dicintai Allah. Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa hukum membaca Al-Qur‟an adalah wajib ‘ain. Artinya setiap individu yang mengaku dirinya muslim harus mampu baca Al-Qur‟an dengan baik dan benar. Kalau tidak, maka ia berdosa.
65
2. Melakukan shalat malam
“ Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatanperbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Hûd/11: 114) Shalat malam atau yang biasa disebut dengan shalat tahajud adalah shalat yang diwajibkan kepada Nabi SAW sebelum turun perintah shalat wajib lima waktu. Shalat malam merupakan shalat yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan karena dengan mengerjakan shalat ini seseorang dapat terjaga dari setiap bahaya yang ada. Ada sembilan keutamaan shalat malam bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh, antara lain :1 1. Dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana. 2. Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan dimukanya. 3. Dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh semua manusia. 4. Lisannya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah. 5. Dijadikan orang bijaksana yang diberi pemahaman dalam agama. 6. Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti. 7. Mendapat keringanan ketika di hisab. 8. Dapat melewati jembatan shirotol mustaqim dengan sangat cepat. 9. Catatan amalnya diberikan ditangan kanan. 1
http://tahajudcallmq.wordpress.com/2007/08/20/“-keutamaan-shalat-tahajud-”/. akses pada tanggal 27 Desember 2011
Di
66
3. Bergaul dengan orang baik dan shaleh
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. al-Nisâ‟/4: 144) Salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan dalam menghindari bahaya lisan adalah dalam pergaulan. Teman yang soleh akan membawa kepada kebaikan, sebaliknya teman yang buruk akan menjerumuskan kita ke jurang kenistaan. Rasulullah saw bersabda tentang pentingnya memilih teman, “Perumpamaan teman yang soleh dan teman yang buruk adalah ibarat penjual minyak wangi dan peniup tungku. Penjual minyak wangi bisa memberimu tanpa kita harus membeli, atau (paling tidak) engkau akan mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan peniup tungku bisa membakar pakaianmu atau engkau akan mencium bau busuk darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam menjelaskan hadits ini Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini berbicara tentang keutamaan bergaul dengan orang-orang yang soleh, pelaku kebaikan, tata krama, akhlak mulia, wara‟, berilmu, dan mempunyai sopan santun. Sebaliknya, hadits ini melarang kita bergaul dengan pelaku kejahatan, pembuat bid„ah, suka menggunjing, berbuat dosa, dan sikap tidak terpuji lainnya.”2 Berteman dengan seorang yang soleh seperti para ulama, ahli ibadah, ahli dzikir dan yang lainnya, maka akan mendapatkan hal yang positif. Misalnya ketika berteman dengan orang yang senang mengunjungi majlis dzikir, maka 2
http://syafiiakrom.wordpress.com/2009/06/18/bergaul-dengan-orang-orang-soleh/. Di akses pada tanggal 27 Desember 2011.
67
otomatis akan ikut senang mendatangi majlis dzikir, berteman dengan orang yang selalu berbicara baik, sopan dan lisannya penuh dengan kalimat thoyibah, maka secara perlahan sifat tersebut akan menempel kepada temannya yang selalu bergaul dengannya. Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada kebaikan. 4. Melakukan puasa
... “... laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, lakilaki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Ahzâb/33: 35) Sesungguhnya di antara amal shaleh yang agung sisi Allah adalah berpuasa, dan sungguh syara' telah menganjurkan dan menghimbau kaum muslimin untuk melaksanakannya dan menjadikannya sebagai salah satu rukun Islam yang agung. Allah Swt telah memberitahukan bahwa umat-umat terdahulu tidak pernah terlepas dari puasa tersebut, sebab puasa dapat mendidik akhlak, menyucikan jiwa dan mendidik kesabaran. Maka inilah alasan penulis untuk
68
mencantumkan puasa sebagai metode untuk mencegah dari bahaya lisan. Ada enam keutamaan dalam berpuasa3 : 1. Puasa merupakan salah satu sebab turunnya ampunan dan curahan pahala 2. Puasa merupakan salah satu sebab untuk menyelamatkan diri dari siksaan api neraka 3. Puasa merupakan salah satu sebab untuk masuk ke dalam surga 4. Puasa merupakan sebuah amalan yang sangat istimewa yang disandarkan Allah kepada diri-Nya 5. Puasa merupakan benteng dari perbuatan jelek 6. Puasa akan mendatangkan kegembiraan di hati orang yang beriman; yaitu di dunia ketika dia berbuka/berhari raya dan di akherat ketika dia berjumpa dengan Allah dengan membawa amalannya 5. Dzikir
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. al-Ra‟d/13: 28) Sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi,
4
“Diceritakan dari Muhammad ibn Basyar, diceritakan dari Muhammad ibn Yazîd ibn khunais al-Makiy berkata saya telah mendengar dari Sa‟id ibn Hasan al3
http://abumushlih.com/keutamaan-puasa.html/ Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, kitâb al-Futun, bâb kaf al-Lisân fi al-Fitnah, no. 3971, juz ke-II (Beirut:Dâr al-Fikr, 1995), h. 487. 4
69
Makhzûmî berkata diceritakan dari ummu Salih dari Sofiyyah binti Syaibah dari Ummu Habibah istri Nabi Saw dari Nabi Saw bersabda: Setiap perkataan bani Adam akan membahayakan dirinya sendiri, tidak ada yang bermanfaat baginya kecuali menyeru kepada kebaikan, melarang yang mungkar atau berdzkir kepada Allah Swt. (HR. Ibnu Mâjah) Barang siapa yang mampu melakukan salah satu dari kelima tekhnik tersebut maka Allah Swt. akan mengabulkan permintaan dengan menyembuhkan penyakit yang dideritanya.5 Menurut Syahminan Zaini,6 metode pencegahan seluruhnya ada tujuh point, namun di sini penulis hanya membatasi enam point dan ditambah dengan beberapa point dari buku yang lain. Di antaranya adalah : 1. Penyadaran Yaitu sadar atas kesalahan yang dilakukan dan mengerti, menghayati ajaran agama dan serta mengamalkannya sehingga dapat disadari atas apa yang dilakukannya tersebut. Jika manusia telah menyadari
serta
menghayati
pokok-pokok
ajaran
Islam
serta
mengamalkannya dengan baik dan benar. Maka manusia akan jauh dari bahaya lisan. Penyadaran diri terhadap suatu perubahan dalam diri manusia sangatlah penting karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki pada setiap diri manusia agar perubahan itu dapat tercapai. Dengan adanya kesadaran yang dimiliki setiap individu, maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan masalah dan penyadaran merupakan langkah awal untuk mengobati semua kesalahan yang terjadi pada diri seseorang.
5
Mujib dan Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Pers, 2001), h. 218 6 Syahminan Zaini, Penyakit Rohani dan Penyebabnya (Surabaya: al-Ikhlas, 1990), cet. II, h. 125-142.
70
2. Waspada (mawas diri) Waspada artinya selalu memandang diri di dalam setiap gerakgeriknya, baik gerak-gerik jasmani, maupun gerak-gerik batin. Orang yang waspada akan selalu mengamati dan memperhatikan dirinya sendiri terlebih dahulu dalam setiap melakukan perbuatan. Waspada ini bukanlah perbuatan yang boleh dilakukan sesekali waktu saja ataupun dalam waktu tertentu saja, melainkan kewaspadaan harus dilakukan setiap saat, sebab jika manusia lengah terhadap kewaspadaannya sendiri, maka dengan mudah setan akan menjerumus manusia ke dalam perbuatan yang buruk, baik yang dilakukan oleh lisan ataupun hati. Oleh karena itu kewaspadaan harus selalu ada disetiap saat. Firman Allah Swt. yang berbunyi,
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpinpemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-A‟raf/7: 27) 3. Tobat Metode ini merupakan metode yang harus dilakukan oleh setiap manusia, ketika manusia telah menyadari atas kesalahannya. Agar manusia memiliki rohani dan jasmani yang bersih dari segala dosa-dosanya dan
71
berjanji akan tidak mengulanginya kembali.
Hal ini berdasarkan firman
Allah Swt. yang berbunyi,
… “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” (QS. alTahrîm/77: 8) Setiap manusia pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik manusia adalah yang mau bertobat atas kesalahannya tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi,
7
“Diceritakan dari Ahmad ibn Manî‟, diceritakan Zaid ibn alHubâb, diceritakan „Ali ibn Mas‟adah dari Qatâdah dari Anas berkata, bersabda Rasulullah Saw: Setiap keturunan Adam pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik kesalahannya adalah orang yang mau bertaubat“. (HR. Ibnu Mâjah) 4. Memperbanyak Amal Saleh Untuk membetulkan akhlak seseorang adalah dengan memperbanyak amal saleh. Karena dengan amal saleh semua penyakit yang disebabkan lisan dapat dicegah dengan baik. Dan dengan perbuatan amal saleh juga dapat mencegah, menghapus, menghilangkan dan mengobati perilaku yang buruk.
7
Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, kitâb al-Zuhud, bâb dzikr al-Taubah, no. 4251, juz ke-II (Beirut:Dâr al-Fikr, 1995), h. 577.
72
Dalam Islam banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai amal soleh, sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, yaitu membaca al-Quran, shalat malam, puasa, dzikir, dan masih banyak lagi amal soleh yang masih bias dijadikan sebagai pengebalan diri terhadap perbuatan-perbuatan jahat yang dapat merusak akhlak seseorang. 5. Berdoa Berdoa artinya meminta sesuatu kepada Allah dengan cara menyatakan kerendahan dan ketundukkan kepada-Nya. Islam mengajarkan manusia untuk selalu berdoa kepada sang pencipta, karena doa merupakan senjata kaum mukminin yang dapat membantu manusia agar terhindar, mengobati, menghilangkan semua penyakit yang diderita oleh manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Doa adalah senjata kaum muslimin dan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi” Namun diterima atau tidaknya sebuah doa itu ada pada kekuasaan Allah Swt. bisa jadi tidak diterimanya doa seseorang dikarenakan kurangnya ketakwaan kepada Allah Swt.. Karena Allah Swt. telah berfirman dalam al-Quran yang berbunyi,
... "…Sesungguhnya Allah hanya menerima doa dari orang-orang yang bertakwa". (QS. al-Mâ‟idah/5: 27) 6. Sabar Sabar yang dimaksud di sini adalah sabar dalam menghadapi gejolak hawa nafsu setan agar tidak terjerumus oleh bujuk rayu setan yang mengakibatkan kerusakan akhlak pada diri manusia. Firman Allah Swt yang berbunyi,
73
“Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. al-anfal/8: 46) 7. Membiasakan lisan dengan ucapan kalimat at-tayyib Kalimat at-tayyib ini terbagi menjadi tiga bagian, di antaranya:8 a. Qaulan Karima Secara harfiah adalah perkataan yang mulia. Artinya ucapan yang mengandung kemuliaan. Seperti, takbir, tahlil, tahmid, tasbih, dan lainlain. b. Qaulan Sadida Secara harfiah berarti perkataan yang benar. Artinya ucapan yang mengandung kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. dan manusia. c. Qaulan Ma’rufa Secara harfiah berarti perkataan yang membangun, perkataan yang mengandung kesopanan, kesantunan, nasehat, dan lain-lain. 8. Memperbanyak Diam Diam merupakan salah satu metode yang sangat dianjurkan Rasulullah Saw. untuk menghindari bahayanya lisan. Karena diam akan menjauhkan
8
dari
hawa
nafsu,
memberikan
kenikmatan
ibadah,
Mawardi Labay El-sulthani, Bahaya Provokasi Lidah Tidak Bertulang; Pahit dan Manisnya Dunia Karena Lidah (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2002), cet. I, h. 35-48
74
melembutkan hati dan mendatangkan kesucian diri dan kehormatan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi,
9
“Diceritakan dari Abu Bakr, diceritakan dari Abu al-Ahwas dari Abî Hasîn dari Abi Sâlih, dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah Saw: Barang siapa yang beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, hendaknya mengatakan perkataan yang baik atau lebih baik diam”. (HR. Ibnu Mâjah) Sebagian ulama mengatakan bahwa di dalam diam itu terdapat tujuh keajaiban yang tersembunyi, di antaranya adalah: 1. Diam termasuk ibadah tanpa susah payah. 2. Diam merupakan perhiasan diri seseorang tanpa harus memakainya. 3. Diam merupakan kemuliaan seseorang tanpa harus adanya kekuasaan. 4. Diam merupakan sebuah benteng seseorang tanpa adanya penjaga. 5. Diam membuat orang menjadi kaya tanpa harus bergantung kepada orang lain. 6. Diam itu menyenangkan, karena memberi kesempatan kepada malaikat pencatat amal. 7. Diam menutup aib yang berbicara, karena diam itu perhiasan untuk orang alim dan merupakan penutup aib bagi orang yang bodoh.10
9
Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, kitâb al-Futun, bâb kaf al-Lisân fi al-Fitnah, no. 3971, juz ke-II (Beirut:Dâr al-Fikr, 1995), h. 486. 10 Erwan Juhara, Suhairi Es-Shabar, Manajemen Lisân; Sarana Keselamatan DuniaAkhirat (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005), cet. II, h. 11
75
Imam al-Ghazali dalam bukunya “minhajul abidin”11 mengenai lisan menyatakan bahwa seseorang wajib untuk memelihara lisan. Sebab, di antara anggota badan dan pancaindera yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah mulut. Maka menurut al-Ghazali ada lima hal yang harus diperhatikan: 1. Lisan itu sangat berpengaruh terhadap seluruh anggota badan dalam kebaikan dan keburukan. Al-Ghazali mengutip sebuah hadis yang berbunyi, diriwayatkan oleh Abu Sa‟id al-Khudri, bahwa anggota badan anak Adam pada setiap pagi sepadan kepada lisan agar berlaku baik. Seolah-olah mereka berkata, “wahai lisan, jika engkau berlaku baik, maka kamipun akan berbuat baik. Dan jika engkau berlaku jahat, maka kamipun terpaksa berlaku jahat pula.” 2. Ucapan lisan selain dzikrullah adalah sia-sia belaka. Jadi, jangan membuang-buang waktu secara percuma dengan mengobrol yang tidak bermanfaat. 3. Menjaga lisan merupakan faktor terpenting dalam mempertahankan amal saleh. Jika lisan tak terkendali, maka ia akan cenderung membuat kerusakan amal saleh. 4. Untuk menghindari bahaya dunia, maka berbicaralah sesuai dengan tempatnya. Imam Sufyan mengatakan, “jagalah mulutmu, jangan sampai membuat ompong gigimu sendiri”. Artinya, jika seseorang berbicara seenaknya, maka ada kemungkinan orang tersebut dipukul hingga giginya ompong atau patah.
11
Imam al-Ghazali, Wasiat Imam Ghazali minhajul Abidin (Jakarta: Darul Ulum Press, 1986), h. 140-142
76
5. Hal terpenting dalam menjaga, mencegah bahaya lisan adalah dengan senantiasa mengingat ancaman-ancaman dari Allah Swt. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa siapa saja yang mengalami penyakit hati dan lisan, maka kata-kata yang baik dapat bermanfaat untuk mendorong dalam perubahan akhlak seseorang, begitu juga dengan kisah-kisah yang mendatangkan
perumpamaan-perumpamaan
atau
ancaman-ancaman
yang
semuanya itu merupakan upaya untuk mencegah adanya penyakit lisan pada diri seseorang. Sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi,
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. Al-Nisâ‟/4: 63) Sebab perkataan yang baik dan perilaku yang baik dapat mencegah, menghapus, menghilangkan dan mengobati perilaku yang buruk. Upaya seperti ini dapat menjadikan jiwa manusia suci, bersih dan fitri sebagaimana ia baru dilahirkan dari rahim ibunya. Demikianlah metode yang digunakan untuk mencegah bahaya lisan yang selama ini sudah menjadi hal yang wajar dikalangan masyarakat. Semoga penulis dan para pembaca dapat mempraktekkan metode ini dengan baik dan benar sehingga penulis dan para pembaca dapat meminimalisirkan kejelekan-kejelekan yang terdapat dalam lisan.
77
B. Manfaat Menjaga Lisan Dalam buku penyakit rohani dan pengobatannya, menurut Syahminan Zaini,12 ada empat point tentang manfaat menjaga lisan. Namun, penulis juga menambahkan beberapa manfaatnya berdasarkan hadis shahih. Di antaranya adalah: 1. Mendapat keutamaan di sisi Allah Swt dan Rasul-Nya. Dalam hadits al-Bukhari yang berbunyi,
13
“Diceritakan dari Sa‟îd ibn Yahya ibn Sa‟îd al-Qursyî berkata, diceritakan dari bapak saya berkata diceritakan dari Abu Bardah dari „Abdillah ibn Abi Bardah dari Abi Bardah dari Abu Musa Ra berkata, Rasulullah ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orangorang Islam, beliau menjawab: “(Orang Islam yang paling utama adalah) orang yang selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (HR. Al-Bukhari) 2. Mendapat jaminan surga dari Rasulullah Saw. Dalam hadis al-Bukhari yang berbunyi,
14
12
Syahminan Zaini, Penyakit Rohani dan Penyebabnya (Surabaya: al-Ikhlas, 1990), cet. II, h. 125-142. 13 Abî „Abdillah Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî bi Hâsyah alSanadî, Kitâb al-Îmân, bâb Ay‟ al-Islâm afdal, juz I (T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.), h. 11. 14 Abî Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn „Ali al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, bab Bayâni Makârim al-Akhlaq, Juz. 8 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.) h. 166.
78
“Diceritakan dari Abu Qâsim „Abd al-Rahman ibn Muhammad alSarâj imlâ‟, diberitakan dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Mu‟mil ibn alHasan, diceritakan dari al-Fadl ibn Muhammad al-Sya‟rânî, diceritakan dari Muhammad ibn Abi Bakr al-Muqaddamî bercerita kepada saya „Umar ibn „Ali dari Abi Hazim dari Sahl bin Sa‟d berkata, sesumgguhnya Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang berada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka aku akan menjamin baginya al-jannah (surga).” (HR. AlBukhari) 3. Terhindar dari penyakit-penyakit jasmani yang disebabkan oleh adanya penyakit rohani. 4. Terhindar dari ketegangan batin yang disebabkan dorongan hawa nafsu setan. Orang-orang yang sudah menjauh dari penyakit lisan, maka tidak akan berani melakukan perbuatan dosa, karena takut kepada segala ancaman di dunia maupun di akhirat. 5. Terhindar dari macam-macam bahaya. Bencana atau musibah pada dasarnya terdapat dua macam, yaitu: a. bencana yang datangnya dari Allah Swt. atau alam. Seperti, gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. b. bencana yang disebabkan karena kesombongan atau kelalaian manusia itu sendiri. Seperti, kecelakaan, kebakaran, dan lain-lain. Orang-orang yang dapat mencegah bahayanya lisan, maka akan terhindar dari segala bencana dikarenakan mereka telah mempunyai hubungan yang mesra dengan tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam. Dan juga mereka mempunyai ketakwaan kepada Allah Swt. Firman Allah Swt yang berbunyi, 6. Dipermudahkan segala urusan dan memperoleh ketentraman dalam hidup di dunia maupun di akhirat.
79
Demikianlah beberapa point tentang menjaga lisan yang dapat penulis kemukakan pada skripsi ini. Semoga ini menjadi rujukan bagi penulis khususnya dan pada masyarakat umumnya.
80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan akhir sebagai berikut: 1. Semua bahaya lisan dalam al-Qur’an ialah sifat yang sangat dibenci Allah Swt. dalam hal apapun, karena dapat merusak akhlak seseorang dan orang lain. 2. Pencegahan bahaya lisan menurut al-Qur’an, yaitu dengan cara membaca al-Quran serta memahami maknanya dan membiasakan diri dengan melakukan puasa, dzikir, dan shalat malam. 3. Pengaruh pencegahan ini dalam al-Quran memberikan kebaikan pada perilaku manusia sehingga manusia dapat menjalankan syariat agama dengan benar tanpa ada keraguan di dalam memahami agama tersebut.
B. Saran-Saran Pada awalnya penulis mempunyai impian untuk membuat satu karya penulisan yang baik dan sesuai dengan standarisasi yang ideal. Tetapi mengingat waktu yang terus berjalan dan tuntutan yang terus meningkat, maka inilah tulisan penulis yang sederhana dan yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu hanya kritik dan saran dari para pembacalah yang akan menilai kapasitas penulisan ini.
80
81
Dalam penulisan ini masih banyak sekali kekurangan-kekurangan dalam penelitian mengenai bahaya lisan, oleh karena itu saran penulis kepada para intelektual muslim agar melakukan penelitian lebih lanjut lagi terhadap bahaya lisan, karena bahaya lisan tidak hanya yang terdapat pada penulisan ini saja, masih banyak bahaya-bahaya lisan yang belum dikaji. Oleh karena itu, demi kesempurnaan peneltian ini dan untuk menambah wawasan pengetahuan keislaman dunia, alangkah baiknya diadakan penelitian lebih lanjut terhadap bahaya lisan. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit pengetahuan untuk penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.
82
DAFTAR PUSTAKA
Agama RI, Departemen. al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), Jilid 3, 4, 5, 7. Jakarta: Departemen agama RI, 2004. al-Baihaqî, Abî Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali. Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. 10, 8. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. al-Bâqî, Muhammad Fuad ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’an alKarîm. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. al-Bukhârî, ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ’îl. Matan al-Bukhârî Masykûl. Jilid 4 Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. --------. Sahih al-Bukhârî bi Hâsyah al-Sanadî. T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t. Chirzin, Muhammad. Permata Al-Quran. Yogyakarta: QIRTAS, 2003. El-sulthani, Mawardi Labay. Bahaya Provokasi Lidah Tidak Bertulang; Pahit dan Manisnya Dunia Karena Lidah. Jakarta: al-Mawardi Prima, 2002. F. Ganong, William. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 20. Penerjemah Djauhari Widjayakusumah, ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003. al-Ghazali, Imam. Mutiara Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Penerjemah Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 1997. --------, Wasiat Imam al-Ghazali; Minhajul Abidin. Jakarta: Darul Ulum press, 1986. --------, Bahaya Lidah. Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Hawwa, Said. Induk Pensucian diri. Penerjemah Syed Ahmad Semait, dkk. Singapura: Pustaka Nasional, t.t. --------, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun-Nafs terpadu. Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. Jakarta: Robbani Press, 1999. Hidayah, Siti. "Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran (Studi Analisis QS. Al-A’raf/7: 199-202)." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009. Ibrohim, Mahyudin. Nasehat 125 Ulama Besar. Jakarta: Darul Ulum, 1987.
W82
83
Jaarullah, Abdullah bin. Awas! Bahaya Lisan. Penerjemah Abu Haidar, Abu Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Juhara, Erwan dan Es-Shabar, Suhairi. Manajemen Lisân; Sarana Keselamatan Dunia-Akhirat. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005. Manzûr, Ibnu. Lisân al-‘Arabi, Juz 1, 2, 3, 6, 10, 12, 14, 15. Beirut: Dâr Ihyâ’ alTurâts al-‘Arabi, t.t. al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî, Jilid 3, 4, 6, 8, 9. Mesir: Dâr alFikr, t.t. al-Mawardi, Abul Hasan Ali. Mutiara Akhlak Al-Karimah. Terjemahan Adâb anNafs. Jakarta: Pustaka Amani, 1993. al-Mishri, Mahmud. Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul Amin, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009. Muhammad, Ahsin Sakho, dkk., ed. Tematis Ensiklopedi Al-Quran, Jilid III. Terjemah al-Mausu’ah al-Qur’âniyah. Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, t.t. Mujib dan Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Pers, 2001. al-Naisabûri, Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi. Sahih Muslim. Beirut: Dâr Ihyâ’I al-Turâts al-‘Arabi, t.t. --------. Sahih Muslim, Jilid I. Beirut: dâr al-Fikri, t.t. Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992. Nawawi, Mahyuddin Abî Zakariâ Yahya ibn Syarf al-Nawawi. Riyâdhus Shalihin, bâb Tarjim al-Ghibah wa al-‘Amru Bihafidz. Juz II. Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri Yuliani Handoyo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. al-Qahthani, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Bahaya Lidah; Penyakit Lisan dan Terapinya. Penerjemah Eko Haryono, Aris Munandar. Jogjakarta: Media Hidayah, 2003. al-Quran digital versi 2.1 al-Qazwaynî, Abî ‘Abdillâh Muhammad ibn Yazîd. Sunan Ibn Mâjah. Beirut:Dâr al-Fikr, 1995. ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. Penerjemah Drs. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani, 2008.
84
Ridwan, Kafrawi, dkk., ed. Ensiklopedi Islam, Vol. I. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, Vol. I. Jakarta: Lentera Hati, 2007. --------. Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, Vol. II. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Sahil, Azharuddin. Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata Dalam Al-Quran. Bandung: Mizan, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002. al-Suyûti, Jalâluddin ‘Abdurrahman ibn Abu Bakar. Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb anNuzûl. al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t. al-Sya’râwi, Muhammad Mutawali. Tafsîr as-Sya’râwî, Jilid 3, 4, 5, 9. Kairo: Akhbâr al-Yaum, t.t. At-Tamimi, Muhammad. Kitab Tauhid. Jakarta: QALAM, 1995. Tim penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid I. Bandung: Angkasa, 2008. Ulfah, Eneng Maria. "Etika Menjaga Lisan Dalam al-Quran; Kajian Terhadap QS. An-Nisâ ayat 114 dan QS. Al-Hujurat ayat 12." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Zaini, Syahminan. Penyakit Rohani dan Penyebabnya. Surabaya: al-Ikhlas, 1990. Zuhaili, Wahbah, dkk. Ensiklopedia Al-Qur’an. Penerjemah Tim Kuwais. Jakarta: Gema Insani, 2007. http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah http://www.anneahira.com/anatomi-lidah.htm. http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. http://endahngawi.blogspot.com/2010/08/urgensi-akhlak-lisan.html. http://firmanazka.blogspot.com/2010/07/bahaya-lisan-terhadap-ghibah hukum.html.