286
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 KONSEP UKURAN BAIK DAN BURUK DALAM PERPSPEKTIF AKHLAK
Lukman SS. Abstract: The size is good and bad based on morals that are essential and universally applicable, and of all time. This is because the character comes from the foundation comes from divine revelation and direct exemplified by the Prophet. as the model of humanity and being human benchmark in improving the character, temperament, behavior and character that really match akhlakul karimah. Good size in perspective morality based on religious teachings. If you think religion is good, then let something that, on the contrary, if by bad faith, then there is either something was done. Size both in morals that have truth values and can provide reassurance, comfort, delicacy, and a joy to be guided by morality as a role model in life. Size is good and bad in society sometimes sources of customs or habits prevailing in the society ('urf). Customs or habits truth value is relative, local and temporal, so not all admit it. Reasoning as a source for determining good and evil are relative, one side of the ahl sunnah say the mind has no power to provide the right size to know good and evil, while knowing good and evil Mu'tazila it is the duty of the mind. Opinion pribadiatau conscience also not pure, because basically though conscience is based on a clean heart, but conscience has become to outside influences, including environmental influences and the influence of education. Kata Kunci: akhlak, hati nurani, adat istiadat/kebiasaan (‘urf), baik dan buruk. A. Pendahuluan Secara etimogis (lughatan) akhlak berasal dari bahasa arab jama’ dari bentuk mufradnya khuluqun () ﺧﻠﻖ
yang berarti budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengadung segi-segi penyesuaian dengan perkataan khalkun ( )ﺧﻠﻖyang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan Khaliq ( )ﺧﺎ ﻟﻖyang berarti pencipta dan Makhluk () ﻣﺨﻠﻮق.i Akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melaksanakan proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Disebut akhlak baik, jika keadaan tersebut melahirkan perbuatan baik dan terpuji menurut pandangan akal dan syara’. Sebaliknya jika perbuatan-perbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk.ii Ukuran baik dalam perspektif akhlak adalah mampu memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan serta mempunyai nilai
286
Lukman. SS, Konsep Ukuran Baik Dan Buruk
287
kebenaran yang bersumber pada kitab suci al-Qur’an, sunnah nabi. Ukuran baik dan buruk yang didasarkan pada akhlak ini bersifat universal dan dapat dijadikan sebagai tolok ukur yang bersifat hakiki. Sedangkan ukuran baik dalam persepektif hati nurani tidak sepenuhnya benar, karena hati nurani (fitrah) itu sudah dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan, begitu juga akal pikiran yang hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Begitu juga adat istiadat (‘urf) yang dijadikan sebagai salah satu untuk menentukan ukuran baik dan buruk dalam suatu masyarakat itu bersifat relatif, lokal dan temporal. B. Pembahasan Ukuran ialah standar perhitungan dalam bentuk panjang-lebar, tinggirendah, besar-kecil, isi dan berat. Mempersoalkan baik dan buruk pada perbuatan manusia, ukuran karakternya selalu dinamis dan sulit dipecahkan.iii Dalam menetapkan sesuatu dibutuhkan ukuran agar terhindar dari perselisihan dan pertentangan. Perselisihan tersebut terletak pada penilaian bahwa ada yang melihatnya baik dan ada yang melihatnya buruk. Dipandang baik oleh suatu masyarakat atau bangsa, dipandang buruk oleh yang lain, dipandang baik pada waktu ini, dinilai buruk pada waktu lain. Oleh karena itu, orang berusaha mendidik anak-anaknya agar dapat mengikuti adat istiadat yang ada dan dikatakan buruk bila menyalahinya. Menurut
Ahli sunnah wal jama’ah baik itu adalah apa yang
dikatakan baik oleh agama. buruk itu apa yang ditentukan buruk oleh agama. akal pikiran tidak kuasa memberikan ukuran yang pas bagaimana akhlak baik dan akhlak buruk. Berbeda dengan Mu’tazilah mengetahui baik dan buruk akhlak
seseorang
termasuk
kewajiban
akal.
Sedangkan
Al-Ghazali
mengatakan alat pengukur akhlak ialah: al-Qur’an; sunnah Rasul; akal (ijtihad). Akal yang sehat, suara hati yang steril, nafsu yang terbimbing dapat mengetahui akhlak yang baik dan yang jelek.iv Secara teoritis (faham teoritis) terdapat beberapa faham yang mengungkap masalah ukuran baik dan buruk, berkenaan dalam bidang
288
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 akhlak, diantaranya: Faham Hedonis, faham utilitarisme, faham kebahagiaan (eudemonisme), paham kewajiban (deontologi).v Faham hedonis menyatakan bahwa ukuran baik dan buruk adalah perasaan bahagia atau senang. Bahagia yang dimaksud adalah kelezatan dan sepi dari kepedihan. Bahagia itu merupakan tujuan akhir dari hidup manusia, maka perbuatan yang mengandung kelezatan adalah perbuatan yang baik, dan perbuatan yang mengandung kepedihan adalah perbuatan yang buruk. Sehingga manusia perlu mencari sebesar-besarnya kelezatan, bahkan apabila dihadapkan kepada pilihan beberapa perbuatan, yang paling besar kelezatannya itulah yang harus dipilih. Kelemahan faham ini antara lain: faham ini hanya mendatangkan hasil dari suatu perbuatan, tanpa melihat pada niat dan cara pembuat dalam menjalankan perbuatannya.
Hal ini tidak
dibenarkan dalam etika. Pendapat yang mengatakan bahwa tujuan hidup itu hanya mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah merendahkan martabat manusia. Faham utilarisme, ini menyatakan bahwa sebesar-besar kelezatan untuk bilangan yang terbesar, yaitu kebahagiaan harus menjadi pokok pandangan setiap orang,
dan keutamaan disebut keutamaan apabila
membuahkan kelezatan bagi manusia banyak. Kelezatan yang dipakai ukuran menurut faham ini mencakup kelezatan lahir dan batin, tubuh dan akal. Faham kebahagiaan (Eudemonisme), faham ini diperkenalkan oleh Aristoteles, di mana semua orang ingin mencapai tujuan tertinggi dan itu adalah kebahagiaan, dan dapat dicapai dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Untuk menjalankan fungsinya, manusia harus disertai keutamaan, yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Faham ini juga menyatakan bahwa manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihanpilihan rasional yang tepat dalam perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam
penalaran intelektual, maka orang itu bahagia,
kebahagiaan itu disertai kesenangan. Faham kewajiban, dalam hedonisme dan utilarisme, baik buruk suatu perbuatan dilihat berdasarkan hasilnya. Dalam deontology, baik buruknya perbuatan dilihat dari maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.
Lukman. SS, Konsep Ukuran Baik Dan Buruk
289
Artinya tidak bertumpu pada aspek hasil saja, tetapi proses pencariannya juga menjadi suatu penilaian. Immanuel Khan mengatakan yang disebut baik dalam arti sesungguhnya adalah kehendak yang baik. Sebagai contoh, kesehatan, kekayaan dan intelegensi adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, dan bila dipakai oleh yang jahat, semua itu adalah buruk. Pada faham ini manusia mampu menemukan otonomi kehendak pada diri sendiri manusia, yaitu membuat hukum moral dan kehendak menaklukkan diri kepadanya (kehendak yang menundukkan diri pada hukum moral), dan menyandarkan kita betapa pentingnya kewajiban dalam menjaga moral. Beberapa faham secara teoritis tersebut sebenarnya merupakan tahapan secara evolutif dari perkembangan dan pemikiran manusia, yaitu semula melihat baik dan buruk itu mengandung nilai manfaat, terutama berhubungan dengan kenikmatan dan kelezatan pada diri manusia, tanpa memperhatikan proses pencariannya. Sehingga sesuatu pekerjaan/perbuatan yang dilakukan itu apakah memperhatikan nilai-nilai kebaikannya, legal atau tidak, dan ini sesungguhnya yang membawa faham materialistik (faham menguntungkan secara materi atau tidak). Suatu faham yang menjadi tolok ukur menguntungkan secara materi saja. Pada paham selanjutnya tidak hanya melihat hasil saja, tetapi juga melihat proses pencarian sesuatu sebelum mencapai hasil yang baik. Dan tidak hanya menguntungkan secara pribadi, tetapi juga memberikan aspek kemaslahatan bagi orang banyak. Persoalan baik dan buruk berkaitan dengan soal nilai. ukuran baik dan buruk ini dalam perspektif filsafat adalah dilihat dari aspek aksiologi (tujuan/kegunaanya). membedakan
ukuran
Perbedaan
pandangan
baik-buruknya
sesuatu.
tentang
aksiologi
Misalnya
akan
prakmatisme
memandang nilai dari filosofi utilitarianisme yang memandang sesuatu baik atau buruk ditinjau nilai gunanya secara kontan (cash value). Hedonisme yang merupakan kelanjutan dari utilitarianisme memandang nilai dari segi menyenangkan (comfortable) berkaitan dengan kebutuhan duniawi.vi
290
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 Secara praktis, penilaian baik dan buruk yang ada dalam suatu masyarakat biasanya menerapkan hukum adat, undang-undang postif, pendapat nurani dan ajaran-ajaran agama atau wahyu Allah. Sebagaimana dijelaskan bahwa secara praktis orang melihat baik dan buruk itu didasarkan pada:
(1) adat (al-‘Urf), (2) undang-undang positif (al-Qawanin al-
Wadh’iyah), (3) pendapat pribadi, (4) ajaran-ajaran agama.vii Penilaian secara praktis di atas dapat dirinci sebagai berikut: (a). Pengaruh Adat-istiadat (al-‘Urf). Setiap suku bangsa mempunyai adat istiadat tertentu yang diwariskan nenek moyang mereka. Aturan menurut adat istiadat ini suatu perbuatan baik bagi mereka yang menjaga dan melaksanakannya dan dipandang buruk bagi yang melanggarnya. Adat istiadat itu tidak dapat sepenuhnya digunakan sebagai ukuran untuk menetapkan buruk baiknya perbuatan, karena ada perintah atau larangan yang berdasarkan adat kebiasaan tidak dapat diterima oleh akal sehat.viii
Adat istiadat itu dianggap baik,
apabila diikuti dan ditanamkan dalam hati bagi masyarakat yang dapat membawa kepada kesucian. Berpegang adat istiadat itu biasanya meskipun tidak benar, juga ada faedahnya. Ada juga orang-orang yang tidak mau melanggar adat istiadat yang baik. Hal ini ditunjukkan bahwa banyak orangorang yang tidak mau mencuri, minum-minuman keras, zina dan sebagainya karena mengikuti adat-istiadat, takut dari lingkungan mengecam dan mencemoohkannya. (b) Undang-undang positif (al-Qawanin al-Wadh’iyah). Di manapun manusia berada, akan selalu ada undang-undang yang mesti dijunjungnya dengan penuh kepatuhan.
Undang-undang akhlak
sebagai undang-undang positif, dicirikan oleh:
undang-undang akhlak
berkekuatan tetap, bersifat kebaikan, tidak merugikan. Undang-undang akhlak dalam Islam melihat perbuatan manusia, maupun pendorongnya (niatnya), dan dilaksanakan oleh kekuatan batin (jiwa), yaitu hati nurani. (c). Penilaian pribadi. Baik dan buruknya perbuatan dapat juga ditentukan oleh pendapat pribadi, walaupun pendapat pribadi tersebut bersifat subyektif. Pendapat pribadi, didasarkan pada hati nurani seseorang yang cenderung kepada kebaikan, tatanan moral yang berlaku di lingkungannya, pengetahuan serta
Lukman. SS, Konsep Ukuran Baik Dan Buruk
291
pengalaman yang dimilikinya. Hati nurani dapat memberikan peringatan kepada manusia untuk selalu berbuat baik, dan mencegah untuk berbuat buruk, sebab hati nurani berbentuk keinginan untuk selalu mengikuti panggilan yang mengarah kepada kebaikan. Perbuatan buruk yang dilakukan merupakan bentuk penyimpangan dari hati nurani. Penilaian pribadi ini juga didasarkan oleh intuisi (intuition). Intuisi merupakan kekuatan batin yang dapat mengenal sesuatu. Setiap diri manusia mempunyai hati nurani, (hati nurani adanya yang menyebutnya kata hati, suara hati, dan suara batin), adalah kesadaran untuk mengendalikan atau mengarahkan perilaku seseorang pada hal-hal yang baik dan menghindari tindakan yang buruk.ix Hati nurani atau fitrah dalam bahasa al-Qur’an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia memang diciptakan oleh Allah Swt memiliki fitrah bertauhid. Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Hati nurani selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Tuhan. Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena ada pengaruh dari luar, baik pengaruh pendidikan maupun pengaruh lingkungan.
Fitrah hanyalah
merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan, sehingga ukuran baik dan buruk tidak dapat serahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata.x Ukuran-ukuran di atas belum memberikan kepastian karena hanya bersifat subyektif, lokal dan temporal. Dan oleh karena itu nilainya bersifat relatif. Sehingga untuk menilai baik dan buruk secara universal dan obyektif, perlu bersumber dari wahyu Ilahi, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Agama memiliki hubungan erat dengan moral. Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Ajaran moral yang terkandung dalam suatu agama meliputi dua macam aturan. Pertama aturan yang bersifat teknis, seperti tata cara makan, tata cara shalat, zakat dan sebagainya. Dan yang kedua bersifat etis, aturan yang lebih umum, seperti jangan berdusta, jangan berzina dan sebagainya.xi Kedua aturan itu baik yang bersifat teknis maupun yang bersifat etis dapat memberikan ukuran sejauhmana kita dalam bersikap, berperilaku yang sesuai dengan aturan-aturan dalam agama, sehingga
292
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 pemahaman baik dan buruk berhubungan pula dengan sejauhmana kita memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama, terutama yang berkenaan dengan penilaian tentang baik dan buruk dalam perspektif akhlak. Di dalam ajaran agama, pemahaman dan pengalaman tentang kebaikan (ikhsan)
berhubungan dengan keimanan seseorang, dan secara
lahiriyah iman seseorang dapat juga dapat dilihat dari perilaku atau akhlaknya. Sehingga untuk melihat kekuatan dan kelemahan iman, dilihat dari tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia memiliki iman yang kuat, dan jika perbuatannya buruk, seseorang dapat dikatakan mempunyai iman yang lemah. Dalam ajaran Islam, substansi baik dan buruk itu bukan hanya dinilai dari hasilnya saja, misalnya halalnya sesuatu, tetapi juga halal dalam proses pencariannya serta niat ikhlas dalam melakukan suatu pekerjaan, supaya apa saja yang diusahakan dapat bernilai ibadah. Sehingga mencari kebahagiaan dan tujuan-tujuan baik lainnya, harus menggunakan jalan yang baik dan benar, yaitu jalan yang hanya bisa ditempuh manusia dengan mengikuti aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh Allah swt. Aturan-aturan dari syara’ tersebut sesuai dengan akal manusia, dan tidak berlawanan dengannya, karena akal (melalui rasio) turut menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Menentukan baik dan buruknya perbuatan pertama kali adalah nash, yaitu Al-Qur’an (yang berisi hukum dan ketentuan Allah), kemudian Hadits (perkataan, perbuatan nabi), akal (rasio) dan niat seseorang dalam melakukannya. Setiap perbuatan manusia yang dapat dinilai, lahir dari suatu kehendak (keinginan). Kehendak/keinginan itu selalu menuju kepada suatu tujuan. Maka sebenarnya dalam menilai perbuatan seseorang terletak pada kehendak dan tujuan dari perbuatannya, karena sangat sukar dibayangkan ada sebuah perbuatan yang lahir atau muncul diluar kehendak dan keyakinannya. Untuk memberi nilai suatu perbuatan, faktor kehendak dan tujuan perbuatan tersebut menjadi tolok-ukur penilaian. Atau, niat seseorang sebagai dasar terbitnya perbuatan adalah menjadi standar pengukurannya. Oleh karena itu dalam ajaran agama Islam perbuatan itu dapat diberi nilai
Lukman. SS, Konsep Ukuran Baik Dan Buruk
293
baik atau buruk karena dilihat dari niat orang yang melakukannya itu.xii Rasulullah SAW bersabda:
(اﻧﻤﺎ اﻻﻋﻤﺎل ﺑﺎﻟﻨﯿﺎت واﻧﻤﺎ ﻟﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﻨﻮى )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ “Segala perbuatan selalu mempunyai niat. Dan perbutan itu dinilai sesuai dengan niatnya” (HR. Bukhari-Muslim). Pada dasarnya setiap perbutan tidak dapat dinilai baik atau buruk sebelum diketahui niat orang yang melakukannya. Seperti orang yang membantu orang lain karena niatnya ikhlas dan tulus, itu dapat dikatakan perbuatan baik, tetapi jika orang yang membantu karena ingin diakui sebagai orang yang kaya dan membuat orang supaya tunduk padanya, maka ini dapat bernilai buruk. Dalam menetapkan nilai perbuatan manusia, selain memperhatikan niat ikhlas seseorang karena Allah, (akhlak yang mendasarinya), Kriteria lain yang harus diperhatikan adalah cara melakukan itu. Meskipun seorang mempunyai niat baik, tetapi dia melakukan dengan cara yang salah, dia dinilai tercela karena salah melakukannya, bukan tercela karena niatnya. Manusia merasa bahwa di dalam jiwanya ada suatu kekuatan yang mewajibkan untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan. Jika dia berbuat baik, dia merasakan ketenangan dan lega karena sesuai dengan bisikan hati sanubari (hati nuraninya). Hal ini biasanya didasarkan pada hati nurani seseorang yang cenderung pada kebaikan, tatanan moral yang berlaku di lingkungannya, pengetahuan serta pengalaman yang dimiliki. Namun ada kalanya sesuatu yang dikatakan baik oleh seseorang, tetapi tidak sesuai (buruk) bagi pihak lainnya, karena terkait masalah subjektivitas seseorang. Untuk
menekan
subyektivitas
tersebut,
diperlukan
pendidikan
dan
pengetahuan sehingga mampu menghadirkan objektivitas yang mampu diterima mayoritas manusia. Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlak, baik berupa perintah untuk berbuat akhlak baik serta pujian dan pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mematuhi perintah itu, maupun larangan berakhlak yang baik serta celaan dan dosa bagi orangorang yang melanggarkan. Akhlak yang baik adalah buah dari ibadah yang baik, ibadah yang baik dan diterima oleh Allah SWT tentu akan melahirkan
294
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 akhlak yang baik dan terpuji.xiii buruknya akhlak seseorang
Bahkan Rasulullah menjadikan baik
sebagai ukuran kualitas imannya. Sabda
Rasulullah Saw.
(اﻛﻤﻞ اﻟﻤﺆﻣﻨﯿﻦ اﯾﻤﺎﻧﺎ اﺣﺴﻨﮭﻢ ﺧﻠﻘﺎ )رواه اﻟﺘﺮﻣﺬى Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (HR. Tirmidzi). Rasulullah
juga
memuji
orang
yang
berakhlakul
karimah,
sebagaimana dalam sabdanya:
اﻻ اﺣﺒﺮﻛﻢ ﺑﺎﺣﺒﻜﻢ واﻗﺮﺑﻜﻢ:ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل : ﻗﺎل. ﻧﻌﻢ ﯾﺎرﺳﻮل اﷲ: ﻗﻠﻮا.ﻣﺠﻠﺴﺎ ﯾﻮم اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ ؟ ﻓﺎﻋﺎدھﺎ ﻣﺮﺗﯿﻦ اوﺛﻼﺛﺎ (اﺣﺴﻨﻜﻢ ﺧﻠﻘﺎ )رواه اﺣﻤﺪ “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Maukah kalian aku beritahukan siapa diantara kalian yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya denganku nanti pada hari kiamat? Beliau mengulangi perkataan itu dua atau tiga kali: lalu sahabat-sahabat menjawab: “tentu ya Rasulullah”, Nabi bersabda: yaitu yang paling baik akhlaknya diantara kalian” (HR. Ahmad). Nabi Muhammad saw selalu berdoa agar Allah SWT membaikkan akhlak beliau. Salah satu doanya, yaitu:
واﺻﺮف. ﻓﺎﻧﮫ ﻻ ﯾﮭﺪى ﻻﺣﺴﻨﮭﺎ اﻻ اﻧﺖ,اﻟﻠﮭﻢ اھﺪﻧﻰ ﻻﺣﺴﻦ اﻻﺧﻼق ( ﻓﺎﻧﮫ ﻻ ﯾﺼﺮف ﻋﻨﻰ ﺳﯿﺌﮭﺎ اﻻ اﻧﺖ )رواه ﻣﺴﻠﻢ.ﻋﻨﻰ ﺳﯿﺌﮭﺎ “(Ya Allah) tunjukilah aku (jalan menuju) akhlak yang baik, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat memberi petunjuk (menuju jalan) yang lebih baik selain Engkau. Hindarkanlah aku dari akhlak yang buruk, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat menghindarkan aku dari akhlak yang buruk kecuali Engkau” (HR. Muslim). Berdasarkan hadihts-hadits di atas menujukkan bahwa Islam memberikan kedudukan tinggi pada akhlak, sehingga akhlak dapat dijadikan standar
untuk
menentukan
nilai
baik
dan
buruknya
sesuatu
perbuatan/pekerjaan. Baik dan buruk yang dibicakan dalam akhlak sudah barang tentu sesuai dengan hati nurani, adat Istiadat dan undang-undang,
Lukman. SS, Konsep Ukuran Baik Dan Buruk
295
karena akhlak mempunyai landasan yang kuat, yaitu dalil yang bersumber dari wahyu dan sunnah Rasulullah saw. Oleh karena itu,tolok ukur untuk menilai baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.xiv Akhlak dalam Islam memiliki ciri-ciri khas yaitu (1) Rabbani, (2) manusiawi, (3) universal, (4)seimbang, dan (5) realistik.xv Ciri-ciri akhlak tersebut di atas dijelaskan pada bagian berikut ini: pertama, akhlak Rabbani, ajaran akhlak dalam Islam bersumber dari wahyu Ilahi yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ciri rabbani
mengatakan akhlak dalam Islam bukanlah moral yang kondisional dan situasional, tetapi akhlak benar-benar memiliki nilai yang mutlak. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-baqarah ayat; 103):
Artinya: Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa (QS. Al-An’am: 153) Akhlak Nabi Muhammad Saw biasanya juga disebut akhlak Islam, karena akhlak ini bersumber dari wahyu Allah sehingga akhlak dalam Islam bersifat: (1) kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyyah al-mutlaqah), yaitu kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam bersifat murni, baik untuk individu maupun untuk masyarakat, di dalam lingkungan, keadaan, waktu, dan tempat apupun; (2) kebaikan bersifat menyeluruh (as-salahiyyah al‘ammah), yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia disegala zaman dan disemua tempat; (3) tetap, langgeng dan mantap, yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya bersifat tetap, tidak berubah oleh perubahan waktu dan tempat atau perubahan kehidupan masyarakat; (4) kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam almustajab), yaitu kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam merupakan
296
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 hukum yang harus dilaksanakan sehingga ada sanksi hukum tertentu bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya; dan (5)pengawasan yang menyeluruh (ar-raqabah al-muhitah), pengawasan ini lebih kuat, karena akhlak Islam bersumber dari Tuhan, maka pengaruhnya lebih kuat dari akhlak ciptaan manusia. Pengawas lainnya adalah hati nurani yang hidup yang didasarkan pada agama dan akal sehat yang dibimbing oleh agama serta diberi petunjuk.xvi Kedua, akhlak manusiawi, ajaran akhlak ini sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Fitrah manusia adalah cenderung kepada kebaikan, karena itu perbuatan buruk merupakan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas manusia.xvii
Kerinduan jiwa manusia kepada kebaikan
akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlak dalam Islam. Akhlak dalam Islam membimbing manusia untuk untuk memperoleh kebahagian yang hakiki, bukan kebahagiaan semu. Ketiga, akhlak universal, ajaran akhlak dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup segala aspek hidup manusia, baik yang dimensinya vertikal maupun horizontal. Keempat; akhlak keseimbangan, manusia menurut pandangan Islam memiliki dua kekuatan dalam dirinya, kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya dan kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Akhlak berusaha memenuhi unsur ruhani dan jasmani yang memerlukan pelayanan masingmasing secara seimbang, memenuhi kehidupan hidup di dunia dan akhirat. Bahkan memenuhi kebutuhan pribadi harus seimbanga dengan kebutuhan masyarakat. Kelima, akhlak realistik, ajaran Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Di samping manusia mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk lain, tetapi juga memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga manusia cenderung juga melakukan kesalahan-kesalahan. Ukuran baik dan buruk dalam agama (akhlak) atau norma agama ini kebenarannya lebih dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan dibanding dengan ukuran baik dan buruk di mata nurani, rasio, adat istiadat dan pandangan Individu yang bersifat relatif dan dapat berubah-ubah sesuai dengan ruang adan waktu.
Lukman. SS, Konsep Ukuran Baik Dan Buruk
297
C. Kesimpulan Ukuran baik dan buruk dalam perspektif akhlak dapat diterima dari seluruh kalangan masyarakat umum (universal), karena baik dan buruk yang dibicarakan dalam akhlak itu mempunyai landasan yang kuat, yaitu bersumber dari wahyu Illahi (al-Qur’an), dan Sunnah nabi (al-Hadits). Karena itu sudah barang tentu sesuai dengan hati nurani/fitrah, adat-istiadat atau kebiasaan (al-‘urf). Baik dan buruk dalam pandangan hidonis, tidak sesuai dengan ajaran akhlak, karena segala sesuatu hanya diukur dengan aspek kenikmatan dan kelezatan saja, termasuk falam faham utilarisme kelezatan dan kebahagiaan untuk orang banyak, juga faham eudemonisme (kebahagiaan
dengan
disertai
keutamaan),
yang
semuanya
hanya
mendasarkan pada hasil, akan mengakibatkan jiwa-jiwa yang materialisme. Sehingga hanya ukuran baik dan buruk dalam perspektif akhlaklah yang mampu mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan yang bukan hanya dari aspek hasil, tetapi juga proses atau niat dari tujuan pelaku itu sendiri juga sangat penting dan diperhatikan. Penulis : Drs. Lukman. SS., M.Pd. adalah Dosen Tetap STAIN Bengkulu. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007. Acmadi. Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, 1983. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 2006.
298
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
Mustofa, H.A. Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, bandung, 1997. Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Qur’an Tafsir Temtik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan Media Utama, 2007. Zahrudin Ar dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
i
H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, bandung, 1997, h. 11
ii
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997., h. 102 iii Kalau yang menjadi ukuran itu dari faktor dalam diri manusia, maka tekanannya adalah akal pikiran dan suara hati (hati nurani), kalau alat pengukur akhlak itu harus universal, maka kehendak dari Tuhan ( )اﻟﺪﯾﻦukurannya, sedangkan undang-undang hasil produk manusia seperti adat-istiadat ( )اﻟﻌﺮفitu mempunyai kelemahan walaupun ada ‘urf yang baik disamping ‘urf yang buruk, sehingga alat pengukurnya adalah agama (akhlak). iv
2007, h.24
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Amzah,
v
Zahrudin Ar dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h. 115- 44 vi
Acmadi. Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. H. 123 vii Zahruddin AR. Dan Hasanuddin Sinaga, Op.cit. h.123-126 viii Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 29 ix Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007., h. 67 x Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 2006, h. 4 xi
Zahruddin AR. Dan Hasanuddin Sinaga, Op.cit. h.126-127
xii
Asmaran As. Ibid., h. 36 xiii Yunahar Ilyas, Op.Cit, h. 11 xiv M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Temtik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan Media Utama, 2007, h. 344 xv
Ibid. h. 12 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., h. 103 xvii Zahruddin AR. Dan Hasanuddin Sinaga, Op.cit. h.135 xvi