Konsep Sentralitas dalam Jaringan Teks Studi Editorial Media atas Politik Luar Negeri Indonesia terkait isu Terorisme dan Kiprah Internasional Amerika Serikat Hokky Situngkir [
[email protected]] Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute Research Fellow, Surya Research International Agustus 19, 2007 Abstract The paper discusses the exploitation of eigen vector centrality in the modeling of corpora in the fashion of textual networks. This concepts help analysts to categorize the concepts as being reflected by the textual vertices and edges in the graph model. The paper implements the model to observe how Indonesian mass media analyze the issue of terrorism and the recent international policies of the Administration of the United States of America. We discover that Indonesian mass media tends to reflect the issue into national actuals regarding to terrorism and the national security issues as well as the critical stance to the international policies of the Bush’s Adminstration in Middle East. The discussions also incorporate the similar analytical method to spontaneous public short message as one of Indonesian television broadcasted its editorial live. Keywords: text analysis, textual network, media analysis, terrorism and foreign policy. 1
A witty statesman said, you might prove anything by figures. Thomas Carlyle (1795‐1881)
1. Prologia Dalam kajian sosiologis, tak bisa dipungkiri besarnya peran media massa dalam membentuk opini, meski mesti diakui pula dalam pemberitaannya, media penerbitan juga memiliki constraint yang luas berkenaan dengan pembaca yang ditujunya di samping tentunya pewartaan berita mengikuti pula berbagai standar baku dalam produksi teks yang nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat luas [13]. Dengan pemahaman ini, kita memahami bahwa representasi dari teks‐teks dalam pewartaan media sedikit banyak merupakan bentuk kemasan dari konteks yang memang ingin dihadirkan di tengah‐tengah konsumen teks: penonton, pendengar, atau pembaca. Hal ini merupakan inti kajian kritis yang sangat menarik dalam sosiologi media massa, karena apa yang pada akhirnya memberikan konstruksi wacana di kalangan konsumen media merupakan bentuk hasil brojolan (emergence) dari interaksi kompleks antara teks dan konteks di meja redaksi. Keterkaitan antara teks dan konteks merupakan sebuah kajian yang penting dalam sosiologi media yang membentuk pola genre pada berbagai artifak kebudayaan seperti musik dan film. Dalam hal ini genre dapat dipandang sebagai semacam kontrak antara teks dan pembaca, di mana ekspektasi teks atas pembaca dan ekspektasi pembaca terhadap teks bersesuaian [cf. 2]. Dalam khazanah kebudayaan yang lebih umum, konsep genre ini dapat direferensikan sebagai bentuk diskursus, yang juga berperan sebagai bentuk ikhwal kontraktual antara teks dengan pembacanya secara umum [15]. Dari perspektif teks yang diketengahkan oleh media, kita tentu dapat bersepakat bahwa sebagai sebuah elemen konstitusional yang penting dalam pembentuk realitas sosial [17] maupun kultural [17], terdapat keterkaitan yang erat antara bahasa, dalam artian pemilihan kata, metafora, analogi, dan sebagainya dengan situasi dari emosi (emotional states) dalam kehidupan sehari‐hari [cf. 23]. Secara umum. melalui motif inilah kita berangkat dalam penelitian yang diketengahkan dalam makalah ini. Keinginan dasarnya adalah bagaimana agar kita memiliki perangkat yang secara sederhana dapat merepresentasikan konteks yang ingin diketengahkan melalui sederetan teks yang ditampilkan. Representasi ini sedapat mungkin menggambarkan interaksi antar konsep‐konsep yang ingin dibawakan oleh korpora sedemikian sehingga secara kasar diperoleh pola dari konteks yang ingin disampaikan. Hal ini dilakukan dalam analisis teks yang dilakukan dengan mengakuisisi model jaringan sebagaimana telah diperkenalkan pada [21]. Melalui analisis jaringan teks ini diharapkan beberapa pola yang tidak dapat ditunjukkan hanya dengan membaca teks‐teks secara biasa dapat terlihat dengan jelas sehingga memungkinkan kita untuk melakukan analisis kritis terhadap pemberitaan media massa. Pentingnya analisis kritis terhadap teks‐teks yang senantiasa menjadi bacaan masyarakat sehari‐hari sadar atau tidak sadar menjadikannya sebuah representasi kultural [5]. Ketiadaan analisis kritis ini mengakibatkan banyak konformisasi sosial yang berdampak kepada berterimaan sebagaimana ditunjukkan dalam [15]. Pada pekerjaan terdahulu [21], kita telah menggunakan analisis jaringan teks ini untuk melihat pola atas keterhubungan konteks dalam pemberitaan media massa dengan obyek headline harian Kompas. Hal ini dilakukan dengan merepresentasikan teks pada model jaringan. Pada 2
makalah ini dilaporkan tentang model yang sama untuk pemberitaan beberapa editorial media massa seputar satu isu spesifik yang kita pilih, dalam hal ini adalah seputar politik luar negeri Indonesia terkait dengan isu terorisme dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang belakangan ini memang menghangat dalam kehidupan sosial dan masyarakat Indonesia. Sebuah konsep yang ingin diperkenalkan dalam makalah ini adalah konsep sentralitas dalam jaringan. Konsep ini tentu menjadi penting untuk melihat dalam model jaringan teks yang dibangun, sejauh mana sebuah konteks memiliki nilai kepentingan relatif terhadap konteks‐koteks lain di dalam teks yang sama. Makalah disusun dalam kerangka sebagai berikut. Pada bagian selanjutnya kita mendiskusikan tentang hal‐hal yang berkaitan dengan konsep sentralitas dalam jaringan dan hubungannya dengan jaringan teks yang kita bangun. Bagian ini diikuti dengan studi kasus kita dalam kajian editorial media nasional terkait isu yang menjadi studi kasus kita. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam [21], hal‐hal yang kita dapati melalui studi editorial media massa ini akan kita kaitkan dengan bagaimana respon spontan masyarakat terhadap isu spesifik ini melalui kajian dengan model sentralitas terhadap data pesan pendek (SMS) pemirsa yang dikirimkan ketika sebuah media televisi nasional menayangkan editorialnya di layar kaca. Makalah ditutup dengan gambaran upaya kita dalam menarik beberapa benang merah untuk mendapatkan konvergensi dalam studi kasus ini. 2. Sentralitas: Seberapa penting sebuah konsep dalam teks Berbicara tentang sentralitas, maka pertanyaan yang ingin dijawab adalah “seberapa penting sebuah konsep dalam sebuah teks”. Dalam analisis jaringan sosial, terdapat beberapa model yang terkait dengan hal ini [3, 11, 16]. Dalam analisis sosial dikenal konsep sentralitas yang berkaitan dengan kekuatan pengaruh satu aktor sosial (direpresentasikan sebagai node dalam model jaringan) terhadap aktor‐aktor sosial yang terhubung dengannya. Pengukuran atas konsep sentralitas ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Friedkin [6] dapat dikategorikan dalam tiga bentuk pengukuran, antara lain pengukuran berdasarkan efek total interpersonal (dengan memperhatikan jumlah total keterhubugan dengan satu aktor sosial), efek kesertamertaan dalam jaringan sosial (sejauh mana satu agen sosial memiliki pengaruh terhadap agen sosial dengan keterhubungan tak langsung), dan efek mediasi (sejauh mana satu agen terkait dengan keterhubungannya dengan aktor lain dalam pengaruhnya pada jaringan sosial yang ada secara umum). Yang jelas, dalam analisis sosial terdapat kategorisasi antara agen yang menjadi sentral pengaruh dan agen‐agen sosial lain yang memiliki tempat sebagai agen perifer (pinggiran jaringan sosial yang ada) sebagaimana ditunjukkan dalam [12]. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana satu agen sosial dapat memberikan pengaruhnya pada sistem pertetanggaannya (orang‐orang yang terhubung dengannya), sehingga secara umum, kita memiliki perspektif global tentang dinamika satu opini dalam totalitas sebuah keterhubungan antar agen secara umum [19]. Jika dalam analisis jaringan sosial yang menjadi fokus perhatian utama adalah bagaimana satu agen memberikan pengaruh pada jaringan di level agen yang terhubung dengannya termasuk ke total keterhubungan global, analisis jaringan teks lebih menekankan pada ikhwal satu konsep mendominasi konsep lain dalam pemaknaannya di kalangan pembaca. Yang jelas adalah bahwa untuk memodelkan keterhubungan satu konsep dengan konsep lain di dalam jaringan teks, model yang kita gunakan adalah model graf berbobot (weighted graph). Dalam hal ini, satu node menjadi penting jika ia terhubung dengan satu node lain yang juga penting, sementara ia menjadi kurang penting jika ternyata node dalam jaringan tersebut terhubung pada node yang juga kurang penting. 3
Di sisi lain, nilai kepentingan sebuah node ditentukan pada semakin tingginya keterhubungan satu node tersebut dengan node lain. Observasi yang dilakukan pada [20] menunjukkan bahwa penggunaan satu kata atau frasa dalam sebuah teks membentuk probabilitas hukum pangkat yang artinya terdapat satu atau sekumpulan kata atau frasa yang memang mendominasi di dalam sebuah korpora. Dalam konteks ini, jenis kata tersebut tentunya bukanlah kata yang terkait langsung dengan grammatika dari bahasa yang digunakan (misalnya kata depan, kata sifat, kata kerja, kata sandang, dan sebagainya) melainkan kata benda. Kita mengagregasi korpora ke dalam meta‐teks di mana tiap metateks merepresentasikan artikel dari tersebut. Dalam hal ini, meta‐teks merupakan teks di mana kata‐kata yang terkait dengan tata bahasa dalam penyusunan kalimat telah dihilangkan sehingga hanya kata‐kata tertentu yang kita representasikan sebagai konsep saja yang ada di dalamnya. Satu kata kita diefinisikan terhubung dengan kata lain ketika kedua kata tersebut digunakan dalam satu kalimat yang sama. Dari sini, kita membentuk matriks keterkaitan antar kata (adjacency matrix), A(i, j ) , yang berukuran n × n di mana n adalah jumlah seluruh konsep (kata/frasa) dalam jaringan kita. Sebagaimana diterangkan dalam [14], pola yang paling tepat dalam menunjukkan tingkat sentralitas berdasarkan prinsip satu konsep penting terhubung ke konsep penting lain dalam graf berbobot ialah konsep sentralitas vektor eigen. Dalam pendekatan ini, sentralitas dari node ke‐i dalam graf dapat dituliskan sebagai,
x(i) =
1
λ
∑
x( j )
(1)
j:( j ,i )∈℘
di mana j merupakan node yang terhubung dengan i dalam himpunan ℘, dan λ sebuah konstanta. Persamaan ini dapat ditulis dengan menggunakan matriks keterhubungan sebagai
x(i) =
1
n
∑ A(i, j) x( j ) λ
(2)
j
yang dalam notasi vektor dapat dituliskan sebagai,
G 1 G x = Ax
λ
(3)
(4)
atau
G G Ax = λ x
yang menunjukkan bentuk persamaan vektor eigen standar. Secara umum, dari persamaan (4) kita bisa mendapati beberapa nilai eigen yang berbeda‐beda untuk vektor‐vektor eigen yang mungkin. Dalam hal ini kita menggunakan Teorema Perron‐Frobenius [cf. 8] agar diperoleh nilai elemen vektor eigen yang senantiasa positif, yakni pada kondisi di mana hanya nilai eigen terbesar yang akan G menghasilkan ukuran sentralitas tersebut. Dalam hal ini, elemen ke‐i dari vektor eigen x merupakan nilai sentralitas dari konsep ke‐i dalam jaringan teks yang terbentuk. Dalam hal ini, kita dapat 4
mengadaptasi penyederhanaan dari model graf berarah sebagaimana diusulkan dalam [10] untuk pemberian skor pada node dalam model jaringan internet. Dari sini kita mendapati ranking kata‐kata antara satu konsep dengan konsep lain dalam perspektif arti penting konsep tersebut di dalam teks yang kita observasi. Secara sederhana, metode keterkaitan antara satu kata dengan kata lain dalam konsep sentralitas ini pada dasarnya menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip PageRank keterhubungan antar situs internet sebagaimana yang digunakan sebagai konsep ranking dari situs mesin pencari paling terkemuka saat ini, Google [4]. Persamaan tersebut menyiratkan bahwa sebuah kata menjadi penting jika ia terhubung dengan kata lain yang juga memang penting relatif terhadap kata‐kata lain yang juga terhubung dengan kata lain tersebut. Dari observasi yang kita lakukan sebelumnya [20] terhadap berbagai korpora ditemukan fakta tentang adanya rezim hukum pangkat pada penggunaan kata‐kata non‐gramatikal dalam berbagai teks lintas bahasa. Penggunaan konsep sentralitas dalam memahami isu utama yang ingin diangkat dalam sebuah korpus (atau korpora) tentunya menjadi sebuah konsep yang sangat menarik. Beberapa kata atau frasa akan memiliki sentralitas yang tinggi di dalam sebuah teks, dan “interaksi”‐nya dengan konsep‐konsep lain di dalam teks menjadi tervisualisasi dengan apik dan mudah untuk menganalisisnya lebih jauh. Hal inilah yang akan kita lakukan dalam bagian analisis data empiris berikutnya. 3. Isu Terorisme dan Kebijakan Luar Negeri AS di mata media nasional Semenjak tragedi kemanusiaan atas menara kembar WTC 11 September 2001 di Amerika Serikat yang diikuti dengan tragedi nasional bom Bali setahun setelahnya serta peristiwa pemboman di tanah air beberapa waktu kemudian, isu terorisme merupakan hal yang menjadi pusat perhatian publik. Media massa berupaya keras dalam memberikan liputan yang sekomprehensif mungkin. Liputan media ini sebagaimana dicatat juga pada [5] pada akhirnya menyentuh banyak aspek dalam kehidupan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Isu seputar fundamentalisme Islam, kebijakan perang atas terorisme oleh Amerika Serikat termasuk implementasinya dalam peristiwa serangan terhadap Irak dan hukuman mati atas diktator Saddam Hussein, isu tentang Al‐Qaeda sebagai pelaku peristiwa 11 September, dan Jamaah Islamiyah yang merupakan dalang atas berbagai serangan teroris di tanah air menghiasi media dan sekaligus merubah perspektif dunia atas hal‐hal tersebut. Memandang peran media sebagai industri berita dan opini, bagaimanapun media massa memiliki peran atas opini publik yang terbentuk atas berbagai kasus terorisme yang ada bahkan mungkin atas berbagai tindakan teror yang muncul kemudian [22]. Dalam hal ini, kajian analitik atas editorial media sebagai ekspresi redaksi media massa atas sebuah kasus tertentu menjadi diskusi yang menarik. Dari kumpulan korpus yang terdiri dari berbagai editorial media nasional (ditunjukkan pada apendiks), kita membersihkan korpora dengan membangun sebuah leksikon kata‐kata yang dapat merepresentasikan konsep yang ingin kita lihat secara umum pada editorial. Dalam beberapa hal, sebuah konsep dapat diwakili dengan beberapa kata, misalnya konsep “JAMAAH‐ISLAMIYAH”, “GEORGE_W_BUSH”, dan sebagainya. Dari sini keterhubungan antara satu konsep dengan konsep lain menghasilkan matriks keterhubungan antar konsep. Persamaan 4 kita terapkan untuk menghasilkan vektor eigen dari konsep‐konsep. Gambar 1 menunjukkan bahwa urutan kata menjadi berubah, dari yang tadinya sekadar berdasarkan perhitungan seberapa sering kata digunakan menjadi bentuk sentralitas berdasarkan nilai eigen: sebuah konsep menjadi penting ketika ia 5
terhubungkan dengan konsep lain yang juga sangat penting meski konsep tersebut jarang disebutkan dalam jaringan yang ada. Gambar 1. Ilustrasi perbandingan ranking nilai sentralitas: hanya memperhatikan keterhubungan kata (kanan) dan memperhatikan vektor eigen (kiri)
Pada gambar 2 ditunjukkan hasil overall dari sentralitas konsep vektor dalam rankingnya dengan membandingkan hasil dari pengurutan kata berdasarkan seringnya satu kata terkait dengan kata lain dalam penggunaanya dalam kalimat dan ranking kata berdasarkan sentralitasnya. Terlihat bahwa gap antara kelompok kata yang “penting” dan kelompok kata yang relatif “kurang penting”. Hal ini tentu memudahkan kita dalam melakukan analisis terhadap teks‐teks yang ada. Melalui ranking berdasarkan sentralitas vektor eigen, kita melihat bahwa tiga konsep yang mendominasi sangat tinggi adalah “Amerika Serikat”, “George W. Bush”, dan “Indonesia”. Hal ini menunjukkan bahwa kesemua korpora editorial media yang kita analisis terfokus pada tiga hal ini, yakni politik luar negeri Indonesia terkait dengan kebijakan pemerintahan Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden George W. Bush. Tiga hal ini terkait dengan isu yang memang menjadi alasan analisis kita dalam makalah ini yakni sikap pemerintah kita, isu terorisme dan berbagai kejadian 6
pemboman di tanah air serta kasus perang Irak yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Gambar 2. Beberapa kata menjadi sangat tidak penting setelah di‐ranking berdasarkan sentralitas keterhubungan vektor eigen. Fit biru menunjukkan fit hukum pangkat x ~ r
−α
dengan α
= 1.0308 dan R=0.947.
Korpora editorial Indonesia tentu akan terdiri dari banyak sekali konsep dan untuk menganalisisnya, pola ranking berdasarkan sentralitas menjadi hal yang penting dalam analisis kita. Di sinilah letak peran dari sistem ranking yang kita konstruksi pada persamaan 4: kita dapat menghilangkan sebagian dari populasi konsep yang ada untuk memudahkan analisis sesuai dengan kebutuhan akan apa yang ingin kita observasi melalui teks‐teks yang banyak tersebut. Dalam kasus pemberitaan media massa dan sikap editorial media nasional untuk kasus kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait isu terorisme, kita akan melihat bagaimana satu konsep terkait dengan konsep lain. Secara umum, sebagaimana telah kita lihat pada gambar 1, dalam korpus editorial kita tiga konsep yang sangat dominan adalah “Amerika Serikat”, “George W. Bush”, dan “Indonesia”. Dari seratus konsep terpenting yang ada dalam korpus yang kita observasi, hampir seluruhnya terhubung dengan ketiga konsep yang menjadi tema dasar editorial tersebut. Hal ini ditunjukkan pada gambar 3. Konsep‐konsep dengan keterhubungan yang kuat (digambarkan dengan garis yang lebih tebal) adalah keterkaitan antara isu Amerika Serikat dengan perang “Irak”, hubungan AS‐“Iran”, peran AS di “dunia”, ikhwal “Saddam Hussein”, dan kunjungan presiden AS ke “Bogor”. Hal‐hal ini mewarnai editorial media massa dalam tema korpora editorial yang kita pilih. Beberapa hal cukup menarik untuk dilihat juga adalah ekspresi konsep “agama” dan konsep “Amerika Serikat”, serta pengaitan isu “Poso” dengan tema editorial terorisme dan seputar kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dari pola keterhubungan ini, kita dapat melihat bahwa isu terorisme dan kebijakan luar negeri AS di mata media erat kaitannya dengan kehidupan beragama. Dari sini kita memahami bahwa dalam 7
responnya terhadap kehidupan internasional, media nasional cenderung mengkaitkannya dengan konsep ke‐beragama‐an yang tergambar dalam korpora editorial yang kita amati. Gambar 3. Tiga konsep terpenting dan interaksinya dengan 50 konsep terpenting lain
Gambar 4. Penyempitan keterhubungan konsep: penggambarkan keterhubungan dengan intensitas interaksi yang tinggi.
8
Dalam keterhu ubungan anttar konsep yaang ada, kettika kita hanyya ingin melihat intensitaas pemberitaaan yang adaa, kita membu uang pola ketterhubungan yang tidak tiinggi (keterhu ubungan < 10 0), dan munccullah pola jaringan sebagaimana digam mbarkan pada gambar 4. D Di sini, terlihaat bahwa tem ma yang dibaawa oleh kum mpulan editorrial media maassa nasional terkonsentraasi pada kete erkaitan antara isu teroriisme, perangg Irak, peran ng di Irak daan Afghanistaan, konflik A AS dengan Iran, kunjungaan presiden A AS ke Bogor, ikhwal warga negara Indonesia di AS, dan beberap pa kasus tero or di Indonesia, seperti Bo om Bali dan b bom di Jakartaa. Gaambar 5. Keterhub bungan konsep p dengan sentralisme yang tid dak terlalu tingggi menunjukkkan tiga kategori konsep yangg diekspreesikan ketika berbicara soal issu terorisme d dan kebijakan lu uar negeri AS.
p jaringan dan teori graf dikenal konssep “kerusakaan” jaringan akibat adanyya Dalam konsep penghilan ngan satu atau dua node, bahkan secarra implementtatif, beberap pa konsep sentralitas dapat dihitung melalui m konsep ini [11]. Jika J keterhub bungan dalam m sebuah graaf G = (V , E ) ditunjukkaan sebagai su usunan antarra himpunan node/verteks ( v ∈ V ) dan keterhubun ngan di antarranya ( e ∈ E ), maka jikaa kita hilangkkan satu atau u lebih nodee tertentu akkan diperoleh h struktur graaf G = (V , E ) dimana node n yang dihilangkan vI ∉V di maana I ∈ V maaka dikatakan kerusakan jaringan yan ng ditimbulkan sebagai
δ ( I ) =| vI | − | vI |
5) (5
maka terbentu uk Gambar 5 di attas menunjukkkan bahwa kketika 3 besar konsep kita hilangkan, m ungan yang berbeda anttara konsep‐kkonsep dalam m korpora yyang sama. Terlihat T bahw wa keterhubu kerusakan n (damage) yyang ditimbulkan malah m memberikan in nsight baru akan apa yangg dikemukakaan dalam ed ditorial mediaa nasional kitta tersebut. TTerdapat tigaa kategori ko onsep dari ko orpus editoriial yang kita observasi terrkait isu terorrisme dan keb bijakan luar negeri Amerika Serikat, yakkni: 9 Issu kunjungan n Bush ke Indo onesia 9
9 Isu aksi terorisme di Indonesia 9 Isu teror, perang, dan kiprah politik AS di Timur Tengah dan Afghanistan. Hal ini tentu sangat menarik dan menunjukkan benang merah yang kuat bahwa media nasional mengekspresikan bahwa tiga isu ini sangat penting dalam pemberitaan dan sikap yang terkait dengan kasus terorisme dan kebijakan luar negeri AS. Gambar 6. Keterhubungan konsep “Terorisme” dengan konsep lain.
Gambar 7. Ekspresi media atas pimpinan politik Indonesia (konsep “SBY” dan “JUSUF KALLA”) di tengah pemberitaan tentang terorisme dan kebijakan luar negeri AS dalam kehidupan internasional.
10
Terakhir kita ingin melihat sejauh mana sebenarnya isu terorisme dikaitkan oleh media nasional dengan berbagai konsep dan hubungannya dengan kebijakan luar negeri AS. Hal ini ditunjukkan pada gambar 6. Pada gambar 6, terlihat bahwa isu terorisme terkait sangat erat dengan konsep yang bertalian dengan isu “bom”. Konsep terorisme ini juga terkait erat dengan situasi politik “Timur Tengah” dan kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan “George W. Bush”. Secara sederhana, kita dapat mengatakan bahwa media nasional dalam kurun waktu observasi kita mendefinisikan “terorisme” dalam hubungannya dengan konsep‐konsep sebagaimana digambarkan dalam gambar tersebut. Selanjutnya, sejauh mana pemimpin politik Indonesia dalam kaitannya dengan ekspresi media atas isu kebijakan luar negeri Indonesia ini? Gambar 7 menunjukkan polanya. Dalam ekspresi media terhadap politik luar negeri AS, kita meng‐isolasi konsep presiden kita, “SBY” dan wakil presiden “Jusuf Kalla” dan mendapati bahwa dalam ekspresi media, peran Jusuf Kalla justru lebih kepada kebijakan yang terkait dengan ekonomi nasional (terlihat melalui keterhubungan konsep‐ konsep “investasi”, “bisnis”, “Exxon”, dan sebagainya. Di lain pihak, terlihat bahwa dalam ekspresi media, aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup variatif, beberapa konsep yang terkait politik luar negeri Indonesia (melalui keterkaitan konsep “PBB”, Global”, dan sebagainya) disertai dengan konsep‐konsep lain yang tidak begitu terkait dengan kasus terorisme seperti konsep “Microsoft”, “teknologi”, “kesehatan”, dan sebagainya. Dari sini terlihat bahwa dalam ekspresi media massa cetak nasional, kiprah kepala negara cenderung dominan namun masih menunjukkan citra akan lingkupan yang luas. Pemerintahan Indonesia diekspresikan tidak terjebak pada stigmatisasi sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia. 4. Diskusi: Membedah Respon Spontan Masyarakat Pada bagian sebelumnya kita telah melihat bagaimana media nasional secara umum mengekspresikan sikapnya dalam hal isu terorisme dan kebijakan politik luar negeri AS. Hal yang ingin kita bandingkan dengan temuan pada bagian sebelumnya tersebut tentunya adalah sikap politik yang muncul di kalangan masyarakat seputar isu ini. Dalam kaitan dengan metodologi jaringan teks ini, kita melakukan analisis yang kurang lebih sama pada pesan pendek (SMS=short message service) yang dikirimkan secara spontan oleh publik ketika editorial Media Indonesia ditayangkan di layar kaca pada tanggal 13 November 2006. Editorial Media Indonesia pada tayangan ini bertajuk “Bom dan Kedatangan Bush”, sebuah topik yang memang sedikit banyak semestinya memberikan gambaran tentang persepsi spontan masyarakat atas isu terorisme dan kebijakan luar negeri AS. Hasil garis besarnya ditunjukkan pada gambar 8. Dari 165 pesan pendek yang masuk terlihat bahwa isi SMS pemirsa didominasi oleh konsep yang berkaitan dengan citra presiden AS, George W. Bush, kebijakan Amerika sebagai sebuah negara, Indonesia sebagai sebuah negara, dan isu bom dan kasus‐kasus seputar terorisme. Dalam pandanga sekilas pada graf teks yang terbentuk terlihat bahwa citra diri presiden AS, George W. Bush cukup negatif di kalangan pengirim SMS dan hal ini terkait dengan kebijakan politik luar negerinya di Irak dan respon administrasi yang dipimpinnya dalam hal terorisme. Konsep “Bush” dan “Indonesia” secara menarik terhubung dengan konsep “Islam” yang menunjukkan ekspresi kejengkelan publik Indonesia yang mayoritas Islam terhadap administrasi pemerintahan Bush. Ketidaksukaan pada citra Bush ini sedikit banyak, langsung atau tak langsung, tentu berkaitan dengan temuan kita akan ekspresi editorial media massa nasional yang memang senantiasa mengaitkan isu agama Islam dan terorisme, serta sikap kritis media atas 11
berbagai kebijakan luar negeri AS di kawasan Timur Tengah. Hal ini ditambah pula dengan berbagai perlakukan khusus pada saat kedatangan Bush ke Indonesia sebagaimana tergambar pada bacaan teks editorial jika kita membaca rentetan data korpora yang ditunjukkan pada apendiks makalah ini. Gambar 8. Gambaran ekspresi publik terhadap isu terorisme dan kebijakan AS sebagaimana terekam dalam korpus pesan pendek pemirsa Metro TV ketika Editorial Media Indonesia yang berjudul “Bom dan Kedatangan Bush” disiarkan pada pukul 06.30 WIB tanggal 13 November 2006.
Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa meski terdapat ekspresi yang tidak persis sama antara respon spontan publik dan ekspresi editorial media massa terhadap isu ini, keduanya pada umumnya bertalian. Hanya saja, beberapa perbedaan yang dominan masih terlihat. Konsep yang berkenaan dengan citra presiden Bush dan kebijakan luar negeri AS dicakup oleh media massa dengan tak sekadar memperhatikan aspek kebijakan luar negeri AS namun juga terkait dengan ekspresi media akan kebijakan luar negeri Indonesia yang cenderung lebih luas terkait dengan hubungan bilateral kedua negara. Pemimpin Indonesia tergambar memiliki agenda‐agenda yang lebih luas daripada isu terorisme dan kebijakan perang administrasi pemerintahan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah yang sedikit banyak memberikan dampak solidaritas bagi publik Indonesia yang memang mayoritas muslim. 12
5. Catatan Simpulan dan Epilogia Dalam hal sentralitas dalam jaringan teks, kita telah menunjukkan teknik pemodelan yang dapat kita gunakan untuk membuat sistem ranking dari konsep‐konsep yang tercatat dalam graf yang ada. Konsep sentralitas yang kita gunakan ialah konsep sentralitas vektor eigen yang secara prinsipil memberikan ranking yang tinggi pada sebuah konsep ketika terhubung degan konsep yang memang tinggi nilai sentralitasnya, dan demikian pula sebaliknya. Konsep yang yang penting bukan sekadar konsep yang sering muncul dalam korpus/korpora melainkan memperhatikan sejauh mana konsep tersebut terkait dengan konsep lain di dalam jaringan yang terbentuk. Dari sisi isu yang kita observasi dalam model kita, yakni ikhwal terorisme dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, kita melihat bahwa ekspresi media massa nasional dalam menanggapi isu ini senantiasa terhubungkan dengan refleksi redaksi media massa tersebut dalam memandang berbagai kasus terorisme yang muncul di Indonesia disertai sikap kritis aktualnya terhadap kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Hal ini merupakan pola unik yang ditemui di media Indonesia, bahwa dalam kaitannya dengan isu terorisme, media massa nasional akan cenderung mengaitkan hal ini dengan sikap kritis atas isu aktual hubungan bilateral Indonesia‐Amerika (misalnya isu kedatangan Bush ke Indonesia), maraknya tindakan kekerasan dan terorisme di Indonesia (misalnya kasus Poso dan kasus teror anti Amerika di Indonesia), serta berbagai refleksi kritis kebijakan AS di kawasan Timur Tengah. Urutan prioritasnya pun sedikit banyak mengikuti urutan tersebut. Satu hal yang menarik untuk dicermati tentunya adalah bahwa dalam ekspresinya, media massa nasional juga merekam sikap pemerintahan Indonesia yang tidak serta‐merta didominasi oleh isu ini. Di dalam korpora editorial yang khusus berbicara soal terorisme dan kebijakan luar negeri AS pun, terekam pemerintahan Indonesia yang cukup variatif dan multi‐aspek dalam sikap hubungan bilateral antara kedua negara. Literatur yang Disebutkan: [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
Albert, R. & Barabási. A‐L. (2002). “Statistical Mechanics of Complex Networks”. Rev. Mod. Phys. 74: 47‐ 97. Blum‐Kulka, S. (2005). “Rethinking Genre: Discursive Events as A Social Interactional Phenomenon”, dalam Fitch, K. L. & Sanders, R. E. (editor). Handbook of Language and Social Interaction pp. 275‐300. Lawrence Erlbaum Associates. Borgatti, S. P., Everett, M. G. (2006). "A Graph‐Theoretic Perspective on Centrality". Social Networks 28: 466‐84. Brin, S. & Page, L. (1998) “The Anatomy of a Large‐Scale Hypertextual Web Search Engine”. Computer Networks 30: 107‐17 Dooley, K. & Corman, S. (2004). "Dynamic Analysis of News Streams: Institutional versus Environmental Effects". Nonlinear Dynamics, Psychology, and Life Sciences 8 (3): 259‐84. Friedkin, N.E. (1991). “Theoretical Foundations for Centrality Measures”. American Journal of Sociology 96: 1478‐1504. Gergen, K. J. (1999). An Invitation to Social Construction. Sage.
13
[8] [9]
[10]
[11]
[12] [13] [14] [15] [16]
[17] [18] [19]
[20]
[21] [22]
[23]
[24]
Horn, R. A., & Johnson, C. R. (1990). Matrix Analysis. Cambridge UP. Kepplinger, H. M. (2007). "Reciprocal Effects: Toward a Theory of Mass Media Effects on Decision Makers". The Harvard International Journal of Press/Politics 12: 3‐23. Kleinberg, J. M. (1999). “Authoritative Sources in a Hyperlinked Environment”. Journal of the ACM 46 (5): 604‐32. Knorn, F. (2005). Ranking and Importance in Complex Networks. Otto Von Guericke Universität Magdeburg. Mizruchi, M. S. & Potts, B. B. (1998). "Centrality and Power Revisited: Actor Success in Group Decision Making". Social Networks 20: 353‐87. McQuail, D. (1992). Media Performance. Sage. Newman, M. E. J. (2004). “Analysis of Weighted Networks”. Physical Review E 70. Parker, I. (1992). Discourse Dynamics: Critical Analysis for Social and Individual Psychology. Routledge. Poulin, R., Boily, M‐C, & Mâsse, B. R. (2000). "Dynamical Systems to Define Centrality in Social Networks". Social Networks 22: 187‐220. Searle, J. R. (1995). The Construction of Social Reality. Free Press. Simonsen, I. "Diffusion and Networks: A Powerful Combination!". Physica A 357: 317‐70. Stauffer, D. & Sahimi, M. (2007). "Can a Few Fanatics Influence the Opinion of a Large Segment of A Society?". The European Physical Journal B 57: 147‐52. Situngkir, H. (2007a). “Regimes in Babel are Confirmed: Report on Findings in Several Indonesian Ethnic Biblical Texts”. Paper Series WPC2007. Situngkir, H. (2007b). “Model Jaringan dalam Analisis Media”. BFI Working Paper Series WPQ2007. Tan, Z. C. W. (1989). “The Role of Media in Insurgent Terrorism: Issues and Perspectives”. Gazette 44: 191‐215. Tham, R. A. (2006). “The Classification of Emotion”, dalam Stets, J. E. & Turner, J. H. (editor). Handbook of the Sociology of Emotions pp. 11‐37. Springer. Vasterman, P. L. M. (2005). "Media‐Hype: Self‐Reinforcing News Waves, Journalistic Standards and the Construction of Social Problems". European Journal of Communication 20: 508‐30.
14
Apendiks Korpora editorial media nasional yang disertakan dalam analisis pada makalah yakni:
Nama Media
Waktu Penerbitan
Judul Editorial
Majalah Tempo Republika Republika Suara Pembaruan Suara Pembaruan Republika Media Indonesia Republika Suara Merdeka Media Indonesia Republika Media Indonesia Republika Kompas Republika Suara Pembaruan Kompas Media Indonesia Suara Pembaruan Republika Kompas Republika Media Indonesia Media Indonesia Republika Media Indonesia Majalah Tempo Kompas Republika Suara Merdeka Republika Republika Kompas Kompas Republika Suara Pembaruan Republika
11 ‐ 17 September 2006 27 September 2006 29 September 2006 2 Oktober 2006 14 Oktober 2006 6 Nopember 2006 8 November 2006 8 Nopember 2006 11 Nopember 2006 13 November 2006 13 Nopember 2006 15 November 2006 16 Nopember 2006 18 November 2006 18 Nopember 2006 19 November 2006 20 November 2006 20 November 2006 20 November 2006 20 Nopember 2006 21 November 2006 21 Nopember 2006 21 November 2006 21 November 2006 23 Desember 2006 1 Januari 2007 1 ‐ 7 Januari 2007 3 Januari 2007 3 Januari 2007 6 Januari 2007 8 Januari 2007 10 Januari 2007 12 Februari 2007 17 Februari 2007 20 Juni 2007 25 Juni 2007 25 Juni 2007
Teroris Baru Akhir Kisah Al‐Faruk Setelah Jusuf Kalla dari Amerika Peringatan Bom Bali II Bukan Kesedihan tetapi Rekonsiliasi Mewaspadai Kebijakan AS Overdosis untuk Bush Tamu yang Memudar Jangan Berharap AS Serta‐merta Berubah Bom dan Kedatangan Bush Bom Jelang Kedatangan Bush Mengemas Kunjungan Bush agar Bermanfaat Jangan Mengulang Kebodohan Demo, Demokrasi, Damai Manfaatkan Bush Menunggu Pujian Presiden Bush Panggung Kerja dan Kinerja Pelajaran dari Kunjungan Bush Setelah Bush Datang Selamat Datang, Tuan Bush! Pengorbanan Masyarakat Bogor Kerugian Ekonomi Bogor Setelah Bush Pergi Mesra di Istana Mencekam di Jalan Keadilan Bagi Ba’asyir Eksekusi Mati Saddam Hussein ’Error’ Proyek Microsoft Saddam Dieksekusi, Dunia Terguncang Irak Setelah Eksekusi Saddam Amerika Bermain Api di Teluk Persia Prospek Perdamaian Palestina Kunjungan Syekh Qaradhawi Ancaman Iran terhadap AS Ancaman Baru Al Qaeda Hukum Vs Teror Lagi‐lagi WNI Ditahan di AS Perlunya Sensitivitas
Data ini diperoleh dari web yang memang telah mengkategorikan editorial‐editorial tersebut di atas ke dalam kategori “Kunjungan Bush”, “Terorisme”, “Timur Tengah”, “Amerika”, “Kunjungan JK ke AS”, “Politik AS”, “Saddam Husein”, dan “Anti Amerika”. URL: http://opini.wordpress.com
15