SENTRALITAS KRISTUS DALAM PERGUMULAN GEREJA DAN MISI PEMBERITAAN INJIL Oleh: Pdt. Dr. Daud A. Pandie, M.Th, M.Mis1
Abstraksi Dari perspektif biblical, adalah suatu keniscayaan gereja terpisah dari Yesus. Mengapa demikian? Yesus Kristus adalah Pendiri Gereja (Mat 16:18), karena itu Yesus disebut Kepala Gereja. Istilah Kepala mengandung arti tentang “superioritas” Kristus, yaitu berkenaan dengan kuasa, pemerintahan, dan wewenang-Nya atas Gereja (1 Kor 11:3; Ef 1:22; 4:15; 5:23; Kol 1:18; 2:10). Sebutan Kristus sebagai Kepala ini bukan sekedar gelar kemuliaan atau kehormatan umum. Tetapi Kristus sungguh-sungguh menjadi Kepala atas Jemaat-Nya. Bahkan Kristus adalah Kepala dari segala yang ada, sebab segala sesuatu telah diletakkan di bawah kaki-Nya (Ef 1:22-23). Sebutan Kepala Gereja bagi Kristus secara praktis setara dengan sebutan Raja. Sebab Kepala dan Raja sama-sama memiliki otoritas. Oleh karena Kristus adalah Kepala Gereja, Ia memerintah sebagai Raja. Keadaan Kristus sebagai Kepala setara dengan keberadaan-Nya sebagai Raja. Roh yang diberikan Kristus kepada Gereja, juga merupakan alat di mana Ia melaksanakan kuasa kerajaan-Nya di dalam dan atas Gereja. Paulus menjelaskan pengakuan terhadap ke-Tuhanan Yesus sebagai tolok ukur komunitas Kristiani (1Kor 12:3). Tidak semua orang yang mengaku Yesus adalah orang Kristen, tergantung pada Yesus (2 Kor 11:4) maupun injil (Gal 1:7-8) mana yang mereka percayai. Seorang yang tidak menerima ajaran para rasul tidak boleh diterima dan diperlakukan sebagai seorang saudara (2Yoh 1:10). Seorang yang terus-menerus tidak mau menunjukkan tingkah laku sebagai seorang Kristen harus dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah (Mat 18:17; 1Kor 15:34; Tit 1:16).
Kata Kunci Sentralitas, Kristus, Misi Gereja, pemberitaan Injil Pendahuluan: Kristus yang dipinggirkan atau Gereja tanpa Yesus? Judul dalam tulisan ini terinspirasi dari tema Simposium XX PASTI (Persekutuan Sekolah Tinggi Teologi Injili di Indonesia) yang diselenggarakan di Hotel Midtown Surabaya pada 18 - 20 Oktober 2016 yang lalu. Adapun Tema dari Simposium tersebut adalah: “Sentralitas Kristus Dalam Pergumulan Pendidikan Tinggi Teologi di Indonesia”. Tema ini dalam pandangan penulis mengindikasikan beberapa hal. Pertama, telah terjadi pergeseran posisi Kristus dalam pergumulan pendidikan teologi di Indonesia. Dalam konteks tulisan ini, persoalan utama yang menjadi bahan kajian adalah apakah dalam pergumulan misi gereja dalam konteks Pluralisme di Indonesia, telah terjadi pergeseran posisi Kristus? Apakah Kristus masih berada pada posisi sentral pergumulan misi gereja kekinian? Dari perspektif biblical, adalah suatu keniscayaan gereja terpisah dari Yesus. Mengapa demikian? Yesus Kristus adalah Pendiri Gereja (Mat 16:18), karena itu Yesus disebut Kepala Gereja. Istilah Kepala mengandung arti tentang “superioritas” Kristus, yaitu berkenaan dengan 1
Pendeta Sinode IECC anggota ke 10 Gereja Protestan Indonesia, Direktur PPS STT Apollos Jakarta, Ketua BPMI STT Pelita Dunia dan Dosen Tidak Tetap STT Pelita Dunia. Mengampu Mata Kuliah Apologetika, Teologi Agama-agama & Teologi Kontemporer.
kuasa, pemerintahan, dan wewenang-Nya atas Gereja (1 Kor 11:3; Ef 1:22; 4:15; 5:23; Kol 1:18; 2:10). Sebutan Kristus sebagai Kepala ini bukan sekedar gelar kemuliaan atau kehormatan umum. Tetapi Kristus sungguh-sungguh menjadi Kepala atas Jemaat-Nya. Bahkan Kristus adalah Kepala dari segala yang ada, sebab segala sesuatu telah diletakkan di bawah kaki-Nya (Ef 1:22-23). Sebutan Kepala Gereja bagi Kristus secara praktis setara dengan sebutan Raja. Sebab Kepala dan Raja sama-sama memiliki otoritas. Oleh karena Kristus adalah Kepala Gereja, Ia memerintah sebagai Raja. Keadaan Kristus sebagai Kepala setara dengan keberadaan-Nya sebagai Raja. Roh yang diberikan Kristus kepada Gereja, juga merupakan alat di mana Ia melaksanakan kuasa kerajaan-Nya di dalam dan atas Gereja. Dari perspektif historis, posisi dan hakekat Kristus dalam pergumulan teologi dan gereja selalu menjadi pokok yang sering diperdebatkan? Sejak abad 19, di kalangan Liberal muncul metode Kritik Sastra Tinggi (Higher Criticism) yang sampai sekarang menjadi salah satu ciri khas utama teologia modern2. Salah satu masalah utama di kalangan Barthianisme atau Neo Ortodoks adalah penerimaan mereka terhadap metode Kritik Sastra Tinggi, sehingga ada usaha untuk memulihkan beberapa doktrin fundamental dari kekristenan, tetapi dasarnya labil sekali, karena banyak data-data dalam Alkitab mereka sendiri tidak mempercayai kebenarannya. Selaras dengan pandangan mereka yang tidak mempercayai hal-hal yang supranatural, maka kepercayaan ortodoks tentang Kristus yang berbau supranatural dibuang oleh mereka. Hal kelahiran Yesus dari anak dara, dwi - sifat Yesus sebagai manusia dan Allah, kebangkitan tubuh, juga mujizat-mujizat yang pernah dilakukan Yesus disangkalinya. Dengan demikian Yesus hanya menjadi teladan yang patut diikuti oleh manusia. Seorang tokoh liberal Adolf Van Harnack dalam bukunya "What is Christianity" yang terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 1901, mengatakan bahwa Kristus bukan anak Allah yang berinkarnasi mati bagi dosa dunia, melainkan Dia adalah satu-satunya yang di dalam kehidupan kerohanian dan kesalehan-Nya menunjukkan kepada kita apa artinya menjadi anak Allah, dikatakan bahwa doktrin Kristologi yang dianut para teolog konservatif adalah penyimpangan yang terjadi belakangan. Sebetulnya kalau kita mengamati teologia modern ada suatu kontradiksi di dalam Kristologi mereka. Di satu segi mereka tidak mempercayai Yesus sebagai anak Allah, hal ini konsisten dengan presuposisi naturalisme mereka, tetapi di lain segi mereka juga tidak berani membuang Yesus sama sekali dari iman kepercayaan Kristen. Sebetulnya kesaksian dalam Alkitab jelas sekali, bahwa Yesus dan supranatural terkait menjadi satu. Di dalam logika yang sederhana, Paulus mengatakan kalau Yesus tidak bangkit maka - sia-sialah kepercayaan kita (I Kor. 15:17). Kaum modenisme (termasuk neo ortodoks!) kalau mau konsisten harus memilih apakah mereka menerima Yesus dengan kesaksiankesaksian Alkitab tentang supranatural yang terkait dengan dirinya atau tidak sama sekali! Justru di sinilah masalahnya, sering kali orang awam agak tertipu atau tidak sadar karena teolog modern memakai terminologi yang sama dengan kaum Injili, misalnya Pengakuan Iman Rasuli, tetapi sebetulnya yang mereka maksudkan di balik terminologi tersebut adalah sesuatu yang jauh berbeda dan bahkan sulit dikatakan apakah itu kepercayaan Kristen atau bukan.
2
Lihat Jurnal Pelita Zaman, Volume 1 No 1 Tahun 1986, hlm 78. Metode ini dikembangkan berdasarkan presuposisi bahwa Alkitab adalah buku biasa yang mempunyai nilai karena mencatat banyak kesaksian atau pengalaman orang-orang suci Zaman dahulu, sehingga bisa menjadi keteladanan bagi kita. Namun data-data dalam Alkitab banyak sekali yang salah, karena itu Kritik Sastra Tinggi mencoba mencari siapa penulis-penulis Alkitab yang sesungguhnya, tanggal penulisan, komposisi dan sebagainya. Misalnya Pentateukh dikatakan tidak ditulis oleh Musa; Yesaya ditulis oleh beberapa orang, dalam Perjanjian Baru banyak perkataan atau ajaran yang sebetulnya tidak ajarkan oleh Yesus sendiri. Hal ini tentu saja meniadakan konsep pengilhaman oleh Allah terhadap para penulis Alkitab, sehingga kebenaran yang mereka tuliskan tidak mungkin salah, yang jelas sekali diajarkan dalam Alkitab (misalnya: II Tim. 3:16; I Pet. 1:21 dan sebagainya).
Hakekat Gereja: Yesus Kristus Pada hakekatnya Gereja adalah Yesus Kristus, sehingga Gereja sering digambarkan sebagai tubuh Kristus. Kolose 1:8 mengatakan: “Kristuslah kepala Gereja”. Semua anggota menjadi satu persekutuan dalam Kristus, seperti yang dikatakan oleh Harun Hadiwiyono: Semua anggota dipersatukan di dalam Dia menjadi satu persekutuan. Jika jemaat disebut Gereja, maka Gereja harus dipandang di dalam fungsinya dan di dalam cara hidupnya, yang harus menampakan hidup Kristus, diterangi oleh terang Kristus di bawah kuasa Kristus.3 Berhubungan dengan hakekat Gereja yang telah diuraikan, G. L. Van Niftrik dan B. J. Boland mengatakan : “Gereja sebagai tubuh Kristus mengaku bahwa ia sudah dipilih menjadi umat-Nya serta menjadi alat-Nya di dunia, Gereja dipilih, dipanggil-Nya, dibenarkan-Nya untuk mempermuliakan nama Allah”. 4 Gereja ada bukan hanya sebagai suatu organisasi, tetapi Gereja juga organis sifatnya. “Organisasi adalah penting, tetapi tidak berakhir di situ. Gereja adalah alat Kristus. Keadaannya bukan seperti perkumpulan sosial semata. Gereja adalah Tubuh Kristus, yang melaluinya Ia menyelesaikan misi-Nya di dunia ini”.Gereja dimaksudkan sebagai garam dunia, sebagai suatu surat terbuka, yang dialamatkan kepada dunia untuk menjelaskan, menyampaikan, memperlihatkan maksud-maksud Allah dengan dunia. Gereja ada dalam dunia ini untuk menjadi duta perdamaian. 5 Gereja ada bukanlah atas kehendak manusia semata. Gereja ada bukan untuk membentuk kerohanian di kalangan sendiri. Di antara banyak gambaran (pemahaman) tentang pengungkapan hakekat Gereja ada lima pemahaman mendasar yang dikemukakan dalam Konferensi Nasional PWG PGI 1976, yaitu; a. Gereja sebagai arak-arakan: menggambarkan persekutuan dan dinamika jemaat dengan struktur Gereja yang tidak ketat, di mana tidak diadakan perbedaan tajam antara pejabat gerejawi dan warga Gereja biasa, lagipula kepada semua diberi kesempatan untuk mengembangkan talenta masing-masing dan melayani secara cocok. b. Gereja sebagai kawan sekerja Allah : menggambarkan partisipasi umat Kristen dalam pembangunan masyarakat, selain dari partisipasi dalam pembangunan tubuh Kristus (Gereja). Di sini kesetiaan serta ketaatan warga Gereja kepada Amanat Kristus mendapat tekanan penting. c. Gereja sebagai garam dunia : menggambarkan kehadiran daya kreatifitas jemaat di tengah dunia yang dapat menciptakan perubahan dan pembaharuan. Artinya, Gereja tidak membiarkan dunia sekitarnya sebagaimana adanya, juga tidak menerima dunia dalam kenyataan azasi yang tak bisa berubah, melainkan Gereja melayani dunia agar dunia mengalami tindakan penyelamatan Allah. d. Gereja sebagai terang dunia : menggambarkan sifat kenabian dari Gereja di tengah dunia dan masyarakat. Gereja mengungkapkan yang tersembunyi, jebakan-jebakan dan kepalsuan. Tetapi juga arah dan tujuan sejarah diberitakan, baik segi keselamatan maupun segi penghakiman. e. Gereja sebagai surat Kristus : menggambarkan sikap dan tingkah laku sosial, serta tata hidup kekristenan yang membawa kesejahteraan yang dilandasi oleh kasih Allah. Sikap dan tingkah laku ini penuh dengan berita pembebasan dan pemersatuan, dan bukan bujukan-bujukan moral.6
Sentralitas Kristus : Tanda Sejati dari Gereja yang Sejati 3
Harun Hadiwiyono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 371. Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 371. 5 J. Verkuyl, Amanat Pembebasan Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), 107. 6 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Membina Bersama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), 174
19.
Penggunaan kata “sejati” menyiratkan dua hal: (1) ada gereja yang tidak sejati; (2) ada tanda dari gereja yang tidak sejati. Topik ini merupakan isu yang krusial sepanjang sejarah gereja. Apakah persekutuan para bidat bisa disebut sebagai gereja? Mengapa? Apakah gerakan ekumenikal yang cenderung inklusif merupakan gejala yang positif atau negatif? Bagaimana membedakan bahwa suatu gereja [lokal] termasuk bagian dari gereja sejati (universal)? Pada zaman para rasul isu ini sudah muncul. Para rasul juga memberikan beberapa batasan untuk membedakan orang Kristen yang sejati dan yang tidak. Paulus menjelaskan pengakuan terhadap ke-Tuhanan Yesus sebagai tolok ukur komunitas Kristiani (1Kor 12:3). Tidak semua orang yang mengaku Yesus adalah orang Kristen, tergantung pada Yesus (2 Kor 11:4) maupun injil (Gal 1:7-8) mana yang mereka percayai. Seorang yang tidak menerima ajaran para rasul tidak boleh diterima dan diperlakukan sebagai seorang saudara (2Yoh 1:10). Seorang yang terus-menerus tidak mau menunjukkan tingkah laku sebagai seorang Kristen harus dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah (Mat 18:17; 1Kor 15:34; Tit 1:16). Dari beberapa teks di atas terdapat justifikasi untuk menilai, sekalipun penilaian yang paling sempurna tetap ada di tangan Allah (2Tim 2:19). Gereja memang pernah salah menilai, ketika Gereja Katholik Roma lebih menekankan sifat dan tanda yang eksternal berupa pengaturan administratif/organisasional di bawah satu bishop/paus 7, namun kesalahan ini tidak boleh membawa gereja pada ekstrim yang lain, yaitu terlalu inklusif. Para teolog Reformed umumnya membedakan antara atribut (attribute) dan tanda (mark) gereja. Atribut berhubungan dengan hal-hal yang menjadi bagian integral dari suatu gereja (hal-hal yang inherent). Tanda lebih berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh gereja. Walaupun keduanya dapat dibedakan, tetapi keduanya sangat berkaitan erat. Apa yang dilakukan gereja (tanda) berangkat dari hakekat gereja (atribut). Tanda sejati (true marks) Topik tentang tanda sejati dari gereja merupakan salah satu isu sentral selama reformasi. Para reformator tidak hanya bergumul dengan isu “pembenaran melalui iman” (justification by faith), tetapi juga posisi Gereja Katholik Roma. Apakah gereja pada waktu itu layak dikategorikan sebagai gereja sejati? Dalam tradisi Reformed ada sedikit perkembangan konsep tentang tanda sejati dari gereja yang sejati. Calvin mula-mula hanya menyebutkan dua tanda: pemberitaan firman Tuhan dan pelaksanaan sakramen. Pengakuan Iman Prancis (Gallic Confession) yang dipercaya sangat dipengaruhi oleh Calvin juga hanya menyebut dua tanda ini. Beberapa kredo Reformed kemudian menambahkan satu tanda lagi, yaitu disiplin gereja. Perbedaan ini tidak berarti bahwa Calvin mengabaikan disiplin. Sebaliknya, dia sangat menekankan hal ini. Hanya saja, dia tidak menganggap poin ini sebagai salah satu tanda sejati dari gereja. -
Pemberitaan firman Tuhan Tanda ini merupakan tanda utama dari gereja yang benar. Salah satu karakteristik reformasi Reformed di Genewa adalah pemberitaan firman yang melimpah. John H. Leith dengan tepat menyatakan, “preaching was at the very center of the Reformation in Geneva with sermons scheduled fo different hours on Sunday and on most of the days of the week”8. Dari tiga tanda sejati gereja, para pemikir Reformed selalu meletakkan pemberitaan firman Tuhan di urutan pertama. Di
7 8
Louis Berkhof, Systematic Theology, (Wm. B. Eerdmans, Grand Rapids, 1972), 562. John H. Leith Introduction to the Reformed Tradition, (Atlanta, Georgia: John Knox Press, 1977),79.
samping itu, dua tanda lain harus berpijak pada firman Tuhan. Sakramen tanpa pemberitaan firman adalah tanpa makna. Disiplin gereja tanpa dasar firman merupakan arogansi gereja. Alkitab pun mengajarkan pentingnya pemberitaan firman. Paulus memerintahkan Timotius untuk memberitakan firman dengan kalimat: “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman” (2Tim 4:1-2). Pemberitaan firman Tuhan yang dimaksud dalam tradisi Reformed sedikit berbeda dengan konsep populer tentang khotbah. Pertama, pemberitaan firman ini mencakup doktrin murni dari injil. Injil berarti kabar baik dari Allah tentang anugerahNya yang mau menyelamatkan orang berdosa melalui karya Kristus di atas kayu salib (Rom 3:21-26; 1Kor 15:1-3). Gereja Katholik pada masa reformasi tetap menjadikan kotbah sebagai salah satu bagian dari ibadah, namun mereka tidak pernah memberitakan injil yang murni dalam kotbah-kotbah tersebut. Gereja-gereja Reformed menegaskan bahwa kotbah yang tidak menyinggung tentang salib bukanlah firman Tuhan. John Piper mengatakan, “kotbah tidak akan sah tanpa salib”9. Ada beberapa alasan mengapa khotbah harus memberitakan injil menurutnya, yaitu: 1) Problem utama manusia adalah dosa dan solusi satu-satunya bagi problem ini adalah injil. Kotbah maupun konseling yang hanya diisi dengan nasehat moral atau tip-tips praktis mengatasi masalah hidup tidak akan efektif dalam arti yang sesungguhnya, kecuali seseorang diperhadapkan pada injil. Problem manusia bukanlah tidak tahu kebenaran, tetapi menindas kebenaran (Rom 1:18). Sebagus apapun seorang pengkhotbah menguraikan suatu teks dan membawakan sebuah kotbah, kalau tanpa kuasa injil di dalamnya akan menjadi sia-sia. Manusia tetap akan menolak kebenaran, sampai mereka akhirnya ditaklukkan oleh kuasa injil (Rom 1:16-17). 2) Tanpa salib sebuah khotbah akan kehilangan kekuatannya. Kuasa khotbah tidak terletak pada kemampuan retorika dalam pembicara tapi pada kuasa injil (1Kor 1:17, 24; 2:1-5). 3) Salib merupakan titik tolak dari semua etika Kristiani. Semua pergumulan hidup harus dilihat dari perspektif salib, misalnya perzinahan (1Kor 6:20), keluarga (Ef 5:22-33), penggunaan keuangan (2Kor 8:9), ketekunan dalam penderitaan (1Pet 2:19-25), dsb10. Pemberitaan salib melalui khotbah sekarang menjadi kebutuhan yang jauh lebih mendesak daripada masa sebelumnya, karena telah terjadi pergeseran dalam budaya dunia dan sudah berimbas pada mimbar-mimbar gereja. a) Hedonisme dan materialisme yang menempatkan kenyamanan manusia sebagai pusat. b) Etika relatif (postmo): “hilangnya” batasan antara benar dan salah. c) Seeker sensitive: toleransi yang berlebihan sampai enggan memberitahu dosa orang lain. Dosa hanya disebut kesalahan normal, unsur manusiawi, dan sebagainya. 9
John Piper, Supremasi Allah dalam Khotbah, (Surabaya: Momentum, 2008), 21. Ibid.
10
d) Pluralisme: “hilangnya” finalitas Kristus dalam keselamatan. Di samping deretan masalah di atas, kesalahan juga dilakukan oleh para pengkhotbah yang terlalu melihat teks secara partikularis, secara khusus pada saat mengkhotbahkan teks-teks PL atau teks lain yang tidak terlalu berkaitan langsung dengan salib. Mereka yang menguasai biblika cenderung melakukan kesalahan jenis ini. Mereka terpaku pada apa yang dikatakan teks pada waktu teks itu diberikan (what did this text mean at the time it was given?). Mereka lupa melihat Alkitab secara keseluruhan dan bagaimana orang-orang Kristen melihat seluruh kitab suci dari perspektif wahyu yang progresif dalam karya Kristus (Luk 24:27; Yoh 5:39). Akibatnya, khotbah yang dihasilkan tidak memiliki nuansa penebusan Kristus sama sekali. Masalah lain terletak pada hilangnya keyakinan pada kuasa salib. Berita injil dianggap terlalu sederhana dan klisé. Berita tentang salib bukanlah yang dicari oleh manusia modern karena dianggap kebodohan dan kelemahan (bdk. 1Kor 1:22-23). Demi melayani konteks, pengkhotbah seringkali menjual teks. Salib tidak diberitakan dengan penuh keyakinan, kalau pun diberitakan, itu hanya sekedar formalitas dan upaya melepaskan diri dari rasa bersalah. Seperti Paulus kita seharusnya mengatakan “sebab aku tidak malu terhadap injil” (Rom 1:16, LAI:TB “aku memiliki keyakinan yang kokoh”; bdk. 2Tim 2:15). Kedua, pemberitaan firman mencakup penjelasan teks (expository). Kebiasaan khotbah dari Calvin adalah menjelaskan teks secara detil dan berurutan sampai suatu kitab selesai dibahas seluruhnya. Khotbah harus bersifat text-centered. Khotbah bukanlah kumpulan nasehat praktis yang didukung oleh ayat firman Tuhan. Khotbah bukan sekadar mengaplikasikan firman. Khotbah terutama adalah penjelasan firman Tuhan. Ketiga, pemberitaan firman harus dilakukan dengan bersandar pada kuasa Roh Kudus. Walaupun khotbah dan sakramen menyatakan kehendak Allah, tetapi dua hal ini akan menjadi percuma tanpa karya Roh Kudus. Calvin mencatat: I admit, indeed, that faith is the proper and entire work of the Hoy Spirit, enlightened by whom we recognize God and the treasures of his grace, and without whose illumination our mind is so blind that it can see nothing, so stupid that it has no relish for spiritual things...he illumines our mind by the light of His Holy Spirit, and opens up an entrance into our hearts for his word and sacraments, which would otherwise only strike our ears, and fall upon our sight, but by no means affect us inwardly”11. Di bagian yang lain Calvin juga mengemukakan pendapatnya secara tegas bahwa: No man can hesitate to acknowledge that he is able to understand the mysteries of God, only insofar as illuminated by his grace. He who ascribes to himself more understanding than this, is the blinder for not acknowledging his blindness12. Keempat, pemberitaan firman mencakup kesungguhan dari pengkhotbah dan pendengar. Calvin memakai istilah “the word of God sincerely preached and heard”. Kesungguhan pengkhotbah dengan panjang lebar dijelaskan Calvin. Di samping isi 11
Calvin, Institutes of the Christian Religion (ed. John T. McNeill; trans. Ford Lewis Battles; Philadelphia; Westminster, 1960) 4.14.8. 12 Ibid, 2.2.21
pemberitaan harus ajaran yang benar, tetapi cara penyampaian juga harus sesuai firman Tuhan: a) Dengan rajin (Kis 18:25): baik atau tidak baik waktunya (2Tim 4:2) b) Dengan jelas (1Kor 14:19): bukan dengan kata-kata manusia yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan terhadap kuasa Roh (1Kor 2:4) c) Dengan setia (Yer 23:28; 1Kor 4:1-2): memperkenalkan seluruh rencana Allah (Kis 20:27; Kol 1:28; 2Tim 2:15) d) Dengan berhikmat (1Kor 3:2; Ibr 5:12-14; Luk 12:42): memperhatikan kebutuhan dan kemampuan pendengar (Kis 18:25) e) Dengan bersemangat: kasih yang menyala-nyala terhadap Allah (2Kor 5:13-14; Flp 1:15-17) dan jiwa umat-Nya (Kol 4:12; 2Kor 12:15) f) Dengan maksud-maksud yang murni (2Kor 2:17; 4:2): demi kemuliaan Allah (1Tes 2:4-6); Yoh 7:18), pertobatan umat (1Kor 9:19-22), membangun mereka dalam iman (2Kor 12:19; Ef 4:12), demi keselamatan mereka (1Tim 4:16; Kis 26:16-18) Tentang pentingnya kesungguhan dari pihak pendengar, Calvin menulis, “I say not that wherever the word is preached fruit immediately appears; but that in every place where it is received, and has a fixed abode, it uniformly displays its efficacy”13. Sama seperti pada jaman para nabi orang-orang lebih menyukai berita firman yang palsu dan menghibur (1Raj 22:8; Yer 6:14), demikian pula sekarang orang menyukai berita yang memuaskan telinga (2 Tim 4:3). Gereja yang benar adalah yang siap menerima firman dengan sungguh-sungguh sebagai teguran maupun nasehat (bdk. 2Tim 4:2). Selanjutnya dijelaskan tuntutan untuk yang mendengarkan firman sebagai berikut: (1) menghadiri pemberitaan dengan rajin (Ams 8:34); (2) dengan persiapan yang baik (1Pet 2:1-2; Luk 8:18); (3) dengan doa (Mzm 119:18; Ef 6:18-19); (4) menyelidiki apa yang mereka dengar dengan Alkitab (Kis 17:11); (5) menerima kebenaran sebagai firman Allah (1Tes 2:13) dengan penuh iman (Ibr 4:2), kasih (2Tes 2:10), lemah-lembut (Yak 1:21) dan kerelaaan hati (Kis 17:11); (6) merenungkan (Luk 9:44; Ibr 2:1); (7) dan membicarakannya (Luk 24:14); (8) menyimpannya dalam hati (Ams 2:1; Mzm 119:11); (9) mengeluarkan buahnya dalam kehidupan mereka (Luk 8:15; Yak 1:25). Sentralitas Kristus dalam Pergumulan Misi Gereja Gereja yang hidup adalah gereja yang bermisi, gereja yang dengan sungguh-sungguh dan setia mencoba menjalankan setiap aspek kebenaran firman Tuhan di dalam kesehariannya. Memang itu bukan hal yang gampang, tetapi bukan tidak mungkin dicapai dan dilakukan. Pasti ada konflik dan pertentangan yang akan terjadi, tetapi kalau kita semua mau setia dan tunduk diri di bawah kebenaran firman Tuhan dan bersama-sama menjalankannya, niscaya pertentangan itu dapat diselesaikan bersama-sama. Dalam bagian ini, kita tidak akan menyoroti tentang kehidupan gereja secara keseluruhan, tetapi lebih mengamati kepada sentralitas Kristus dalam pergumulan misi yang harus dilakukan oleh gereja. David W. Ellis dalam bukunya, "Gumulan Misi Masa Kini", memberikan suatu definisi misi sebagai berikut: Misi adalah panggilan yang tritunggal untuk menyatakan Kristus kepada dunia dengan jalan proklamasi, kesaksian, dan pelayanan supaya dengan kuasa Roh Kudus, Allah, dan firman-Nya, manusia dibebaskan dari egoisme dan dosanya dan dengan tindakan 13
Ibid, 4.1.10
Allah dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah dengan jalan percaya akan Dia melalui Yesus Kristus, yang diterimanya sebagai Juru Selamat pribadinnya, dan dilayaninya sebagai Tuhannya dalam persekutuan tubuh-Nya, yaitu gereja, untuk kemudian menyatakan Dia kepada dunia. Definisi ini tampaknya sudah merupakan definisi yang sederhana, ringkas, tetapi juga padat. Di dalam definisi ini sudah tercakup hal-hal yang tergolong sebagai tindakan misi, yaitu: 1. Proklamasi (gereja terpanggil untuk memproklamirkan Kristus kepada dunia). 2. Kesaksian (gereja terpanggil untuk hidup seperti Kristus di dunia dengan kesalehan dan keesaan-Nya), dan 3. Pelayanan (gereja terpanggil untuk melayani dan menjalani aksi-aksi sosial dengan kasih Kristus bagi dunia). Hakekat Misi: Manifestasi Kristus Kepada Dunia Misi adalah manifestasi Kristus kepada dunia. Kristus datang memproklamasikan fiman Allah, hidup Kristus, bahkan Kristus sendiri adalah firman Allah yang diproklamasikan. Pelayanan Kristus merupakan ungkapan firman dalam tindakan sosial yang aktif. Perhatikan ayat yang dipilih Tuhan Yesus dalam permulaan pelayanan-Nya, yaitu ayat dari Kitab Yesaya, "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik ... dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan ..." (Lukas 4:16-17). Bentuk-Bentuk Serangan Dalam Misi Gereja Bagaimana bentuk-bentuk konflik yang dapat terjadi dalam misi? 1. 2. 3. 4.
Terlalu mementingkan soal kesaksian dan pelayanan. Kompromi teologi. Terlalu menekankan aksi sosial. Penekanan perbaikan kehidupan tanpa penebusan. Bentuk-bentuk di atas adalah serangan-serangan yang dilakukan secara tidak langsung pada dasar misi. 1. Serangan langsung terhadap kewibawaan firman Tuhan. Ini adalah bentuk serangan yang paling populer dan tampaknya menjadi suatu kecenderungan yang terjadi di gereja-gereja Tuhan masa kini. Bentuk serangan ini, antara lain: a. Memberikan kesibukan dalam tugas kependetaan. b. Mengabaikan pentingnya pekabaran Injil (PI). Iblis berusaha menentang proklamasi Injil di dunia modern. Mereka "menghaluskan" tugas mengabarkan Injil dengan perkataan bahwa "gereja memang harus hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai saksi, tetapi tidak perlu terang-terangan. Itu cukup dilakukan dengan cara gereja menyatakan bahwa gereja hadir di tengah-tengah masyarakat". Cara lain yang dipakai adalah dengan mengutamakan toleransi di atas segala sesuatu. Cara lainnya lagi adalah dengan menampilkan suatu bentuk ajaran (atau dapat juga praktik kehidupan) kristiani tanpa Kristus. Cara yang terakhir ini sesungguhnya adalah upaya gereja untuk menawarkan garam dan menutupi terangnya sendiri. Tapi sayangnya orang-orang yang demikian akan begitu disanjung dan dihormati di gereja karena merekalah yang dianggap sebagai orang yang "bijaksana" dan "juru damai". Tetapi kita tidak boleh ditipu dengan cara-cara iblis yang demikian. Kita tidak boleh mengganti Mesias yang tersalib dan menderita karena kasih dengan mesias-mesias palsu yang mengobral kasih
murahan. Kita harus lebih takut pada Allah yang sudah memberikan kasih sejati di atas Bukit Golgota melalui karya Kristus di salib. c. Berita Injil tanpa salib. Bentuk serangan iblis di zaman modern ini adalah pemberitaan Injil tanpa salib. Yang ada hanyalah sukacita, kemakmuran, kepuasan, kesenangan diri, pemenuhan hawa nafsu, dan berbagai ajaran yang menghujat Allah Tritunggal. Kita harus ingat bahwa salib adalah kemenangan Allah. Karena itu sangat mustahil jika ada orang Kristen yang mengaku dapat hidup berkemenangan tanpa Salib, karena "... di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yohanes 15:5). Yang kita beritakan adalah Kristus yang disalibkan, dan "pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohoan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuataan Allah" (1 Korintus 1:18). 2. Serangan terhadap pelayanan firman Tuhan di dalam gereja. "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman, siapakah yang membangkitkan amarah Allah, sekalipun mereka mendengar suara-Nya? Bukankah mereka semua yang keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa? Dan siapakah yang Ia murkai empat puluh tahun lamanya? Bukankah mereka yang berbuat dosa dan mayatnya bergelimpangan di padang gurun? Dan siapakah yang telah Ia sumpahi, bahwa mereka tidak akan masuk ke tempat perhentian-Nya? Bukankah mereka yang tidak taat? Demikianlah kita, bahwa mereka yang tidak dapat masuk oleh karena ketidakpercayaan mereka" (Ibrani 3:15-19). Penutup Gereja tanpa Kristus adalah keniscayaan. Yesus Kristus adalah kepala Gereja dalam arti sebagai asal mula, sumber pengharapan dan pemimpin Gereja. Ia adalah asal mula dan sumber keberadaan gereja. Dialah yang menyelamatkan jemaat (Ef. 5 :23b) dan memberi hidup melului Roh Kudus. Ia pula yang memberikan rupa-rupa karunia agar anggota-anggota tubuh dapat bertumbuh dan melayani. Ia adalah sumber pengharapan orang-orang percaya. Ia bukan hanya yang pertama bangkit dari antara orang mati dan tidak mengalami kematian lagi, tetapi juga jaminan kebangkitan bagi semua orang percaya. Ia adalah pemimpin yang harus diutamakan dalam segala sesuatu. Anggota-anggota tubuh haruslah mendengarkan, mentaati dan bertindak seturut kehendak-Nya. Kristus adalah kepala Gereja. Gereja ada dari Dia, oleh Dia, dan bagi Dia. Sebagai anggota Gereja kita harus tetap hidup di dalam Dia, mentaati kehendak-Nya dan memuliakanNya. Kepala menduduki tempat yang vital dalam tubuh manusia. Kepala yang mengatur gerakgerik seluruh anggota tubuh. Kepala yang merencanakan, memerintah dan mengkoordinasi anggota-anggota tubuh untuk bekerja dengan baik sesuai dengan tujuan yang dikehendakinya.