Konsep Progress dan Hukum Islam1 (Noel J. Coulson) Terjemah dan Komentar: Amhar Rasyid Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Pengantar: N .J. Coulson adalah seorang guru besar hukum Islam kenamaan di Barat. Bukunya yang terkenal adalah A History of Islamic Law (Sejarah Hukum Islam), Edinburgh University Press, 1964. dan ia juga telah menulis banyak artikel mengenai sejarah hukum Islam. Khusus artikel ini, penulis mengcopynya pada waktu menyelesaikan S2 di McGill University, Canada tahun 1994. Dalam terbitan jurnal Innovatio kali ini, penerjemah sengaja melakukan (barangkali) terjemahan ulang dan menyadurnya pada beberapa bahagian yang dianggap penting. Nilai pentingnya, menurut pengamatan penerjemah sebagai dosen Tarikh Tasyri’ di IAIN STS Jambi, bukan terletak pada sekedar menyimak ide-ide guru besar tersebut, tetapi lebih untuk melihat bagaimana ia menilai hukum Islam pada masa-masa awal serta bagaimana perkembangan selanjutnya pada zamannya, dan bagaimana seorang sejarawan hukum memiliki perspektif dan metodologi yang berbeda. Tentu saja isi, data dan tahun dalam buku ini telah jauh berbeda dari apa yang sekarang terjadi di dunia Islam umumnya dan Timur Tengah khususnya, namun sebagai buku sejarah ada beberapa hal yang patut secara akademis untuk diketahui dan direnungi. Dengan demikian, pembaca diharapkan akan mendapatkan pandangan bahwa ada bahagian-bahagian dalam hukum Islam yang telah melangkah jauh maju kedepan di berbagai negeri Muslim, disamping juga ada yang berjalan di tempat karena berbagai faktor: sosial, politik, dan kekuatan tarik menarik modernis-tradisionalis. Yang perlu diingat, kata Bung Karno, adalah jangan sekali-kali melupakan sejarah! Selamat membaca.
1 Artikel ini berasal dari buku Readings on Islam in Southeast Asia. Eds, Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Hussain. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
395
Noel J. Coulson
Abstract: Coulson, using an historical approach in this article, tries to describe the strength of two groups: the Traditionalist and the Modernist. The first believes that God’s law is final, and man is only the guardian of it, and their doctrine is protected by the concept of Ijma’: for Coulson, this stand does not present the true historical dimension, because the genesis of Islamic law rooted in the historical process as well as the condition of 3centuries of post-Hijra. While the second, the Modernist, tries to interpret the Islamic law in the light of the doctrine of Siyasa to meet the modern Muslim social needs. They, however, exercised it, like in Turkey, Egypt, Syria, etc, not on legislative but on administrative level: the capacity to regulate and to restrict the jurisdiction of religious courts. In the beginning, they worked cooperatively in the shadow of the doctrine of taqlid, but in the long run, they insisted on practising ijtihad, so that the Traditionalist regarded their contribution as bid’ah because it is contradictory to Ijma’. Coulson finally concludes that in the concept of progress, the reformation of Islamic law had found its legal basis in the early period, as mentioned above, rooted in the variety of local traditions. Therefore, here Modernism is not seen as a deviation but a contemporary expression, yet a multi-sided variant. Keywords: Islamic law, the Traditionalist, the Modernist
I. Pendahuluan “Semua bid’ah adalah kerja setan”. Kata-kata yang diduga berasal dari pendiri agama Islam ini, Nabi Muhammad, tidak hanya mencerminkan sifat konservatisme yang melekat dan kuatnya tradisi yang dipegang teguh di kalangan orang-orang Arab, sebagai pengikut yang pertama masuk Islam. Ia juga menampakkan dasar yang menjadi aksioma pokok keyakinan beragama bagi umat Islam di manapun mereka berada---yaitu, bahwa semua norma prilaku yang diatur oleh Syari’ah telah baku dan final dalam ketentuannya, dan dengan demikian, setiap modifikasi tentu dipandang sebagai pembangkangan dan menyalahi standar aturan yang sah. Oleh karena itu, di kalangan kaum Muslimin kita mengenal apa yang disebut dengan istilah konsep hukum Islam tradisional atau klasik, serta peranannya di tengah masyarakat yang merupakan rintangan paling berat ke arah kemajuan (progres). Jurisprudensi Barat telah memberikan sejumlah jawaban yang berbeda terhadap permasalahan dan bentuk hukum tersebut, ada yang menemukan sumbernya dari berbagai fenomena seperti kekuasaan politik, atau 396
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
dari balik meja peradilan, dari balik ‘kekuatan terpendam yang tak terdikenal’ dari masyarakat yang sedang berkembang, maupun dari keadaan yang sesungguhnya dari alam itu sendiri. Namun demikian, bagi Islam seluruh pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan satu jawaban saja sebagaimana yang telah diberikan oleh agama itu sendiri. Hukum adalah aturan Tuhan, maka jurisprudensi Islam dari semula hanyalah bertugas menemukan maksud sebenarmya dari perintah Tuhan tersebut. Setelah ditemukan, semua aturan prilaku norma agama tersebut dipandang sudah lengkap dan mencakup segala aspek, sampaisampai setiap aspek hubungan manusia diatur dengan sangat rinci. Selanjutnya, hukum tersebut, segera setelah mencapai bentuk sempurnanya, pada prinsipnya ia statis dan tak berobah: sebab Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir, dan setelah wafatnya tahun 632 M tidak ada lagi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada manusia. Oleh sebab itu, hukum Islam mengambang di atas kaum Muslimin bagaikan ruh tanpa jasad, menampakkan cita-cita abadi yang sah kearah mana umat Islam seharusnya berpedoman. Dengan demikian, dalam teori klasik hukum Islam, hukum tidak tumbuh dari atau berkembang dari dalam masyarakat seperti halnya pandangan Barat, tetapi ia telah ditentukan dari atas. Dalam konsep Islam, pemikiran manusia, sebelum dapat petunjuk wahyu, tidak mampu membedakan hal-hal yang benar dan salah dan juga mengatur norma prilaku: pengetahuan semacam itu hanya dapat diraih melalui wahyu Tuhan. Maka suatu pekerjaan dinilai baik atau buruk adalah semata-mata karena Allah telah menentukan demikian sebelumnya. Oleh sebab itu, hukum Islam mendahului masyarakat bukan didahului olehnya. Hukum mengontrol, bukan dikontrol oleh manusia. Jika dalam hukum Barat, hukum dibentuk oleh masyarakat, di dalam Islam malah sebaliknya. Hukum agama dalam Islam memberikan master plan yang utuh, berasal dari Tuhan dan sah secara abadi, ia harus selalu menjadi pedoman ideal bagi struktur negara dan masyarat. Dengan demikian jelas apapun bentuk pertentangan yang terjadi antara diktum hukum agama yang statis dan kaku tersebut dengan bermacam bentuk inspirasi kearah perobahan atau kemajuan yang akan mungkin ditempuh masyarakat niscaya akan bertabrakan Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
397
Noel J. Coulson
dengan masalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam. Berbagai negeri Muslim baik di Timur Dekat atau Timur Tengah telah berupaya mencari solusi melalui proses yang dapat dikategorikan sebagai modernisme hukum, yang menjadi tujuan tulisan ini untuk menganalisa secara garis besar bentuk dan keberhasilan yang telah dicapai.Untuk hal tersebut, saya mengusulkan agar kita fokus kepada satu aspek saja, yaitu reformasi hukum tertentu yang pernah diterapkan di Tunis pada tahun 1957. Ini menyangkut penolakan mentah-mentah terhadap poligami, yang bertolak belakang samasekali dengan tradisi hukum di 13 negara Muslim lainnya. Alasan saya memilih topik ini bukan lantaran masalah poligami merupakan masalah yang paling mendesak di dunia Muslim dewasa ini, pada umumnya tidaklah demikian, tetapi karena, pertama, ia terkait masalah status keluarga dimana pengaruh hukum Fiqh hingga masa ini sangat kuat; kedua, ia menampakkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan reformasi hukum yang tengah melanda berbagai dunia Muslim, dan terakhir, karena ia merupakan salah satu contoh yang paling ekstrim dan menonjol di bidang modernisasi hukum, yang tidak hanya akan merobah secara radikal bentuk masyarakat Muslim, tetapi boleh jadi akan berdampak pada jati diri agama Islam itu sendiri. Pendekatan yang akan saya pakai terhadap masalah ini jelas pada intinya historis, sebab hanya melalui analisa masa lampau signifikansi modernisasi hukum serta peranan utamanya dalam perkembangan kedepan umat Islam bisa dianalisa dengan sewajarnya.
II. Pembahasan Hukum Fiqh Islam adalah suatu contoh produk hukum yang sama sekali terpisah dari berbagai pertimbangan historis. Aliran Sunni melihat bahwa elaborasi hukum sebagai proses upaya skolastik yang sama sekali terlepas dan tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan ruang dan waktu. Sementara itu, apa yang telah dilakukan oleh para fuqaha secara pribadi pada masa pembentukan dahulu diukur dengan standar tunggal tentang nilai intrinsiknya dalam proses penemuan maksud perintah Tuhan. Para pendiri ma398
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
zhab diikuti oleh para murid yang berusaha kemudian menyusun rancangan; generasi sesudahnya masing-masing memberikan sumbangan sesuai dengan bidang keahliannya, mencocokan dan mepercantik bagian dalam sampai hukum fiqh tersebut lengkap dan utuh, sehingga para fuqaha (ahli hukum) yang hidup belakangan hanya sekedar menjadi para penjaga pasif bangunan yang abadi. Gambaran tentang elaborasi sistem hukum Tuhan ini akhirnya kurang menampakkan kedalaman dimensi sejarah yang sebenarnya. Kendati demikian, beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa genesis hukum Islam terletak pada proses yang kompleks dari pertumbuhan sejarah yang sangat terkait dengan kondisi sosial sekarang dan dengan apa yang terjadi dalam kurun waktu 3 abad pasca Hijrah.2 Langkah pertama yang pernah diambil dalam jurisprudensi Islam adalah apa yang terjadi pada tahun-tahun pertama abad ke 2 Hijrah,sekitar tahun 750 M, oleh para ulama yang tinggal di berbagai belahan negeri, diantaranya mereka yang tinggal di Kufa (Irak), Medina dan Hijaz. Bagi para fuqaha ini, aksioma dasar dalam Islam – penyerahan diri total kepada Allah- menunjukkan bahwa semua bentuk hubungan antar manusia harus tunduk kepada normanorma Ilahiyah. Karena tujuan mereka ialah untuk mengelaborasi sistem hukum seperti itu, yang akan mencerminkan, dalam kerangka hak dan kewajiban umat kepada allah, kehendak Allah atas umat, suatu sistem yang kemudian dinamai Syari’at. Namun bagi fuqaha yang berdiri sendiri-sendiri seperti ini, yang kita namai sebagai mazhab-mazhab awal, usaha mereka ini dipandang tak lebih dari penilaian tentang praktek hukum yang ada dalam sinaran prinsipprinsip yang termaktub dalam al-Qur’an. Sekarang diketahui, dalam pengertian apapun, bahwa al-Qur’an tidak mengandung aturan hukum. Ia mulanya hanya sekedar mereformasi hukum adat Arabia 2 Untuk membuktikan pernyataan di atas, Coulson memberikan beberapa contoh perkembangan hukum Islam yang terjadi di lapangan. Al-Qur’an yang pada dasarnya lebih berisi norma-norma etis, menurutnya, kemudian memberi ruang gerak pada munculnya berbagai aktifitas ijtihad, dimana corak fikir hukum yang berkembang kemudian jelas berinteraksi dengan praktek-praktek lokal: sebagai realisasi ‘menggapai’ makna sesungguhnya tujuan hukum-hukum Allah (penerjemah). Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
399
Noel J. Coulson
yang telah ada sebelumnya dalam beberapa hal tertentu, melalui kalimat-kalimat yang lebih bernuansa ajakan ketimbang perintah, dan ia lebih sangat bernuansa norma-norma akhlaq, dimana jumlahnya secara keseluruhan sekitar seratus ayat. Pada kenyataannya, legislasi Qur’an menampakkan sedikit lebih dari preambul bagi suatu kitab aturan prilaku, kearah mana generasi mendatang harus merujuk aturan pelaksanaannya. Dengan demikian, terdapat peluang besar untuk merealisasikan penggunaan akal – atau ijtihad sebagai istilah yang kemudian dipakai- dalam kerangka formulasi doktrin. Sehingga tidak mengherankan bila kebebasan penggunaan akal ini telah berakibat pada munculnya beragam doktrin di berbagai tempat: karena di luar dari segelintir aturan yang ada di dalam al-Qur’an, pemikiran para ulama secara alami dipengaruhi oleh kondisi sosial tertentu yang terdapat di lingkungan mereka, sementara praktek hukum adat setempat dipandang sebagai bahagian dari skema ideal dari segalanya, sejauh tidak melanggar beberapa aturan eksplisit (zahir) al-Qur’an. Di bawah ini kita ambil satu contoh yang menarik dari perbedaan tersebut.
Adat Kebiasaan Penduduk Medina & Kufah: Ahl Ra’yu Dihadang oleh Kelompok yang Berlindung di Bawah Otoritas Sunnah Aturan di Medina menentukan bahwa setiap wanita dibawah umur atau dewasa, hanya dapat melangsungkan perkawinan dengan seizin walinya (maksudnya keluarga laki-laki terdekat seperti ayah atau kakek). Bila sang wali tidak bersedia melangsungkan atas namanya, maka batallah pernikahan tersebut. Selain itu, sang wali memiliki hak untuk menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penggantinya terlepas dari persetujuan si calon mempelai wanitainipun juga diterapkan kepada wanita di bawah umur atau dewasa. Aturan seperti ini memang cukup lumrah dalam masyarakat Medina yang paternalistik dan kesukuan, di mana status wanita yang inferior, ditambah dengan keinginan dan kebanggaan suku di balik jalinan perkawinan guna memberikan kewenangan di tangan pihak lelaki suku tersebut. Tetapi aturan tersebut di Kufa malah berbeda secara 400
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
fundamental. Di sini, wanita dewasa bebas sama sekali melangsungkan perkawinan tanpa ikut campur tangan perwalian apapun, dan tak pernah ditunjuk baik atas restu calon mempelai wanita tersebut atau bukan. Aturan ini pada gilirannya dipengaruhi oleh khususnya iklim sosial Kufa, dimana atmosfir kosmopolitan sebagai akibat dari berbagai campuran penduduk suatu kota yang terletak di lingkungan kebanyakan suku Persia, secara alami telah memberikan porsi kebebasan lebih besar kepada wanita serta kedudukan hukum yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, selama sebahagian besar abad ke 8, hukum Islam direpresentasikan oleh sejumlah sistem hukum yang berbeda yang di dasarkan atas akal (ra’yu) sekitar hal-hal yang biasa diatur oleh al-Qur’an – sistem-sistem tersebut dirancang guna penyesuaian dengan berbagai kondisi dan berbagai tempat. Namun demikian, pendekatan praktis ini tidak selamanya sepi dari berbagai tantangan. Opposisi semacam itu kemudian tumbuh dalam bentuk kelompok yang berupaya memperluas cakupan hukum yang secara spesifik telah diatur oleh norma-norma Ilahiyah. Langkah ini mereka lakukan dengan cara mencari perlindungan kepada otoritas Rasul. Mereka berdalih bahwa aturanan hukum seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul tersebut harus diyakini sebagai berdasarkan wahyu, makanya contoh tauladan yang telah diberikan Rasul tersebut yang telah menampakkan manifestasi positif dari Iradah Tuhan, bukan adat kebiasaan setempat, dan inilah kemudian satu-satunya yang menjadi penjelas ayat-ayat al-Qur’an. Segera setelah terbentuk, pandangan hukum seperti ini meluas hingga tak tertahankan, di mana kemudian semangat para tokohnya berujung pada penemuan dan pengumpulan sejumlah besar periwayatan dan aturan-aturan yang diduga berasal dari Nabi yang dinamakan Hadits. Bahkan hasil penelitian modern berpendapat bahwa Hadits bukan hanya apa-apa yang memang senyatanya telah dilakukan atau dikatakan Nabi, tetapi juga mencakup apa-apa yang diyakini oleh kelompok tersebut, senyatanya, bahwa Nabi telah mengatakan atau telah melakukan permasalahan terkait.3 Sebelum masa ini, semua 3
Di sini pengarang mengkonfirmasikan lagi bahwa tidak semua Hadist de-
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
401
Noel J. Coulson
bukti menunjukkan bahwa ‘Kemunculan’kelompok orang-orang semacam itu pada masa mazhab-mazhab awal dahulunya berkeyakinan bahwa Nabi sebagai penafsir al-Qur’an tak lepas dari hal-hal yang manusiawi, menduduki posisi hulunya primus inter pares sebab beliau yang paling dekat dalam hal waktu dan spirit kepada alQur’an, namun karena sifat manusiawinya maka Nabi bisa saja salah sebagai penafsir.Kelompok tersebut tak bisa bertahan lama mempertahankan keabsahan argumentasi rationalnya dalam menangkis apa yang dinamai pada masa itu sebagai kelompok oposisi doktriner, yang mana sepak terjangnya beralaskan wahyu, dan kemudian mereka bereaksi secara berangsur-angsur dengan cara menyatakan bahwa ajaran mereka tersebut dalam bentuk Hadits dari Nabi. Sejak masa ini hingga seterusnya jurisprudensi Islam mengembangkan teori hukum yang menampakkan kesempurnaan konsep hukum Syari’ah sebagai sistem hukum yang dilandasi oleh wahyu. Teori ini mengatakan bahwa terdapat dua sumber hukum dan hanya ada dua. Sumber pertama, tentu saja, wahyu Allah itu sendiri sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an. Dan sumber kedua terdapat dalam berbagai contoh-contoh terdahulu yang telah dilakukan oleh Nabi dan tercatat dalam Hadits, yang dikenal secara kolektif dengan istilah Sunnah Nabi. Contoh-contoh tersebut mengandung nilai-nilai wahyu sekalipun bukan dalam bentuknya tetapi substansinya, dimana tugasnya ialah menjelaskan, menerjemahkan, dan melengkapi aturan-aturan Qur’an yang bersifat umum. Hal-hal yang belum diatur secara khusus dalam kedua sumber ini, sementara masalah-masalah baru bisa saja timbul, maka ia dipecahkan dengan cara qiyas- yaitu dengan cara mendeduksi dari hal-hal yang setara yang diatur oleh al-Qur’an dan Sunnah, maka dasar-dasarnya diterapkan kepada kasus-kasus baru ini. Dengan demikian, teori ini mencapai sintesisnya pada penyatuan wahyu dengan akal dalam bidang hukum, namun sebelum teori ini diterima secara umum, konflik mengenai prinsipprinsip dasar tersebut terus berkembang menjadi mazhab-mazhab fiqh,sebagai rentetan dari yang sudah ada sebelumnya.
wasa ini berasal dari Nabi Muhammad saw (penerjemah). 402
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
Eksposisi Fiqh oleh Imam Syafi’i, Tradisi Kufa dan Medina Uraian sistematis pertama kali dalam teori baru sumber-sumber hukum ini ialah karya fuqaha’ ternama al-Syafi’i, yang wafat di awal abad ke 3 H. Mulanya, terdapat penolakan besar-besaran terhadap teorinya oleh mazhab-mazhab hukum yang sudah ada di Kufa dan Madina, dimana keduanya terus memberikan dukungan lebih banyak bagi penggunaan ratio dalam perumusan hukum dibandingkan dengan desakan Syafi’i untuk lebih membatasi diri dalam penggunaan metode deduksi analogis. Akibatnya, murid-murid Syafi’i yang dekat dan sepaham dengannya kemudian membentuk kelompok tersendiri, dan berdasarkan ajaran-ajaran Syaf’i mereka mengelaborasi ajaran yang jauh berbeda dari kelompok yang diakui oleh Kufa dan Medina.Di segi lain, terdapat pula unsur-unsur ekstrimis yang menolak sama sekali validitas apapun dalam penggunaan ratio, mereka menolak penggunaan deduksi analogis dan mengumandangkan keyakinan semata-mata kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum. Pada akhir abad ke 3 Hijrah, kelompok ini malah membentuk mazhab Hanbali, mengambil nama dari pendirinya Ahmad bin Hanbal, dimana dasar-dasar jurisprudensinya yang agak berbeda kemudian berdampak pada sebahagian besar ciri-ciri hukum posistifnya yang khas dan individual, jelas-jelas sangat berseberangan dengan mazhab-mazhab fiqh yang lainnya. Sebuah ciri khasnya yang agak menonjol perlu dijelaskan di sini, sebab ia sangat terkait dengan masalah poligami. Masalah inipun terkait dengan perjanjian. Hukum perjanjian secara umum, menurut pendapat Jumhur Ulama, terdiri dari sekumpulan bentuk-bentuk perjanjian yang sifatnya tersendiri dan sudah diatur secara ketat. Segera setelah seseorang masuk kepada salah satu hubungan perjanjian yang telah disebutkan, maka serta merta timbullah hak dan kewajiban, dan secara umum ia tidak memberikan peluang bagi kelompok-kelompok terkait untuk merobah atau menghindari hak dan kewajiban tersebut karena kesepakatan bersama sebagaimana yang telah diatur dalam bentuk perjanjian tersebut. Dalam hal perjanjian perkawinan, ketentuan ini memberi makInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
403
Noel J. Coulson
na bahwa hubungan perkawinan, sebagai akibat dari adanya perjanjian, diatur oleh hukum dalam kerangka hak dan kewajiban yang terkait kepada suami dan isteri secara berurutan. Salah satu hak yang diberikan hukum tersebut kepada suami adalah hak berpoligami, maksudnya hak untuk menikahi empat orang wanita pada waktu bersamaan. Dengan demikian, seandainya merereka menyetujui dalam kontrak tersebut bahwa sang suami tidak akan melangsungkan pernikahan dengan istri kedua selama dalam ikatan perkawinannya, ini artinya mereka telah mencoba menyangkal suatu ketentuan yang oleh hukum dianggap sebagai hak inti seorang suami. Mereka tidak dibenarkan bertindak demikian. Ketentuan tersebut batal demi hukum dan tidak mengikat si suami. Bila sang suami yang melanggarnya dan kemudian menikahi isteri kedua, maka isteri pertama tidak bisa berbuat apa-apa. Cara seperti ini, yang sebahagian besar melanggar konsep kebebasan perjanjian dalam bentuk apapun, bukan berasal dari dalam al-Qur’an. Ia hanyalah semata-mata hasil ijtihad bebas para fuqaha masa-masa awal, yang didasarkan atas adat setempat dan sangat dipengaruhi oleh konsep hukum Romawi yang berlaku di daerah-daerah bekas Kekaisaran Byzantium Romawi. Bagi para fuqaha pelopor Mazhab Hanabilah, ketentuan hukum semacam itu, sebagaimana telah kita lihat, tidak mengikat sama sekali. Dengan bersandar semata-mata kepada al-Qur’an dan Hadits, terutama sekali kepada bunyi nash: “Kaum Muslimin wajib menghormati hukum mereka”, tentang ayat ini mereka berpendapat bahwa pengadilan harus mecarikan jalan agar ketentuan tersebut dapat diterapkan, sehingga para pihak yang mengadakan kontrak perjanjian dapat mencapai kata sepakat, selama ketentuan tersebut tidak melanggar apa-apa yang secara jelas dilarang oleh hukum, dan tidak bertentangan dengan hubungan perjanjian tertentu yang disebutkan. Dampak ketentuan ini atas perjanjian perkawinan sudah jelas. Ia tidak dilarang secara jelas, juga tidak bertentangan dengan institusi perkawinan yang membatasi seorang suami hanya boleh menikahi seorang isteri. Jika kemudian sang suami ingin untuk menikahi isteri kedua, fiqh Hanabilah akan memandang ketentuan ini sebagai sesuatu yang boleh-boleh saja-bukan dalam arti bahwa sang suami akan dilarang untuk menikah kali yang kedua, tetapi dalam arti bilamana dia me404
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
mang melakukan nikah kedua, maka isteri pertama berhak mengajukan tuntutan cerai atas dirinya.4 Sebagaimana bertolak belakang dengan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah, dimana fiqh mereka dirancang secara formal dari sumber-sumber yang telah ditentukan dalam teori hukum, maka mazhab-mahab lama yang ada di Medina dan Kufah telah lebih dahulu mengembangkan satu corpus hukum positif sebelum teori hukum tersebut disusun. Kedua mazhab lama ini sekarang dikenal dengan sebutan Malikiyah dan Hanafiyah, yang mengambil namanya dari Ulama besar mereka; kalaupun belakangan mereka juga mengadopsi teori Syafi’iyyah tentang sumber-sumber hukum, namun mereka tetap saja mempertahankan cikal bakal hukum ini, dan hanya sedikit merevisi di sana-sini,dengan menuruti jalur teori hukum. Bagi Malikiyah dan Hanafiyah, yang dimaksud teori hukum adalah rasionalisasi formal dan post-facto dari doktrin hukum yang ada. Dan akibatnya adalah doktrin-doktrin yang dulunya senyatanya memang berasal dari adat setempat dan ra’yu , maka sekarang direpresentasikan sebagai bentuk perintah Allah. Dan hal yang sama juga terjadi pada fiqh Syafi’iyyah dan Hanabilah, sebab apa-apa yang diakui sebagai preseden dari Nabi yang merupakan soko-guru fiqh mereka, pada kenyataannya sebahagian besar berasal dari preseden kebiasaan setempat dan pendapat individual para ulama. Misalnya, apa yang telah kita sebutkan di atas bahwa kenyataan fiqh penduduk Medina mengatur agar setiap wanita yang hendak melaksanakan perkawinan harus seizin walinya, sedangkan fiqh Kufa sebaliknya: tidak mengharuskan adanya izin wali. Di sini fiqh Hanafi bertumpu pada tradisi Kufa, dan fiqh Maliki pada tradisi Medinah. Karena tradisi Medinah ini digolongkan sebagai Hadits dari Nabi, lantas ia dipercayai oleh mazhab Syafi’i dan Hanbali. Dengan demikian, di mana saja sekarang ditemui ajaran Hanafiyah, seperti halnya di anak benua India, seorang wanita dewasa berhak melaksanakan perkaw4 Di sini Coulson ingin mengulangi bahwa ada peran kelompok Tradisionalis sejauh terkait hal pernikahan (polygami) yang diatur oleh al-Qur’an dan hukum perjanjian. Bila kelompok ini beralaskan ra’yu dan adat istiadat lokal, namun kelompok berikut (Malikiyah dan Hanafiyah) malah secara resmi merationalkan teoriteori hukum Islam yang sudah ada (penerjemah). Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
405
Noel J. Coulson
inannya sendiri, tetapi tidak demikian halnya di mana dijumpai fiqh Syafi’iyyah seperti di Asia Tenggara- perbedaan yang muncul akibat praktek sosial tertentu di Kufa dan Madina pada abad ke 7 Masehi.
Perkembangan Terakhir: Ijma’ dan Ijtihad Tahap terakhir perkembangan historis konsep hukum klassik Islam ini agaknya merupakan akibat yang tidak dapat dielakkan dari sikap idealistik yang mengaitkan setiap hukum dan setiap istilahnya kepada hukum Tuhan, ditambah sikap kaku yang belakangan turut berpengaruh. Sumber-sumber material wahyu Qur’an dan Sunnah, kemudian dibakukan dan final dalam bentuknya. Selanjutnya timbul pembatasan terhadap penggunaan sumber-sumber tersebut dengan cara interpretasi dan deduksi logika (ra’yu),sehingga pada awal abad ke 19 timbul kesadaran bahwa kinerja intelektual dengan metode ijtihad ini sebenarnya dahulu telah rampung, tidak ada lagi celah yang tersisa. Barangkali faktor utama yang menyebabkan terjadinya proses ossifikasi ini ialah perkembangan konsep ijma’,atau kesepakatan para fuqaha. Dalam menyelami apa sebetulnya maksud-maksud Allah, yang merupakan esensi fiqh Islam, maka ijtihad perorangan bersifat manusiawi, oleh sebab itu lumrah bila terjadi kekhilafan. Hasil ijtihad semacam itu hanya dipandang sebagai upaya terakhir ikhtiar manusia dalam menyelami kemungkinan maksud Allah. Namun fiqh Islam juga menentukan bahwa bilamana didapati suatu ketentuan yang merupakan hasil kesepakatan bersama fuqaha, ini lantas menjadi landasan utama bagi pembenarannya, sehingga dengan demikian ia merupakan ekspressi pernyataan kehendak Allah yang tak terbantahkan. Prinsip ini jelas akan mementahkan kembali pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Lebih jauh lagi, bilamana masih didapati adanya perbedaan pendapat antar mazhab, lantas konsep ijma’ dibawa untuk menengahi perbedaan paham tersebut seadil mungkin, dan dalam kerangka penafsiran hukum yang bisa diterima berbagai pihak,tetapi juga pada waktu bersamaan ditegaskan untuk menolak apapun bentuk solusi yang timbul belakangan. Ini dikarenakan para fuqaha sebelumnya telah sepakat untuk berbeda, sehingga keempat mazhab tersebut diakui sama-sama sah 406
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
menafsirkan hukum Allah. Dengan demikian, setiap mazhab memiliki setumpuk aturan hukum yang termaktub dalam berbagai kitab kuning, hasil goresan pena masa-masa awal abad pertengahan, akhirnya dipandang sebagai bentuk hukum Allah yang sudah final dan sempurna. Peranan fuqaha di masa datang terbatas pada konsolidasi doktrin ini. Tidak ada lagi keperluan untuk melakukan ijtihad. Akhirnya sikap yang diambil ini dinyatakan sebagai kesepakatan bersama yang sudah final dan menentukan bahwa ‘pintu ijtihad sudah ditutup’. Dengan demikian, semua fuqaha akhirnya dikategorikan sebagai muqallid atau pengikut, yang diikat dengan doktrin taqlid: harus mengikuti saja semua hukum-hukum yang telah tertera di dalam kitab-kitab mazhab.5
Kembali ke Masalah Poligami Sebagai bahagian dari wujud hukum yang sudah mengkristal ini, doktrin tentang poligami pada dasarnya sama bagi semua mazhab. Dalam ketentuan izin berpoligami, al-Qur’an telah menekankan kemampuan suami menafkahi isteri-isterinya dan bersikap adil terhadap mereka. Namun secara alami karena berbagai faktor sosial yang ada, pesan inti al-Qur’an ini diminamilisir melalui penafsiran, sehingga secara umum pesan tersebut dipandang hanya sebagai kewajiban moral bagi suami yang berpoligami. Atas pelanggaran yang dilakukan suami, hukum jelas menentukan beberapa sanksi. Si is5 Pembaca boleh saja setuju dengan pendapat Coulson ini tentang tertutupnya pintu ijtihad, bahkan Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law menggaris bawahi peran Imam Syafi’i dalam ‘mengidealisasikan’ Imam terdahulu yang jauh memiliki kualifikasi dan otoritas. Artinya, ada peran sang Imam dalam diskontinuitas generasi otoritas pada hukum fiqh. Sedangkan Wael B. Hallaq (pembimbing tesis penerjemah di McGill tahun 1994) berpendapat bahwa hingga 5 abad pertama Hijrah praktek ijtihad masih tetap berlangsung walau dalam skala kecil. Bandingkan dengan pendapat Muhammad Iqbal tentang adanya 3 faktor penyebab kebekuan berfikir pada masa itu. Pertama, sebagai dampak negatif serangan kaum konservatif atas ajaran Mu’tazilah, sehingga memaksa mereka mengunci rapat-rapat kreatifitas umat di bidang hukum.Kedua, kekhawatiran kepada ajaran Sufi yang mana pemahamannya dalam banyak hal berbeda dari kaca mata fiqh. Dan ketiga, kehancuran Abbasiyah akibat serangan Mongol tahun 1258 M, sehingga para Ulama fiqh berupaya menjaga kondisi umat dengan produk-produk fiqh yang telah dibukukan (penerjemah). Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
407
Noel J. Coulson
teri dapat dibebaskan dari kewajiban hidup bersama atau si suami bisa dijatuhi hukuman ringan tertentu. Namun apapun bentuknya sanksi tersebut tidak membatasi hak penuh suami untuk melaksanakan poligami. Dalam hal ini, sebagaimana dalam banyak hal lainnya, sekarang hukum muncul dalam bentuk yang kaku – bukan karena akibat axioma hukum Islam yang tak terbantahkan, sebagaimana yang akan saya buktikan nanti, tetapi karena proses historis yang kompleks, yang muncul dari keinginan agar setiap segi aktivitas kehidupan dilihat dari segi halal-haram. Oleh karena itu, konsep hukum Islam klasik akhirnya muncul dalam bentuk hukum totaliter dalam setiap ketentuannya dan bersifat permanen, nilai otentiknya dijamin oleh ijma’ yang ma’sum. Adalah konsep hukum yang telah mendominasi pemikiran kaum Muslimin hingga beberapa dekade terakhir zaman kita ini.
Periode Modern Pada zaman modern ini, masalah yang muncul nampak pada pertikaian pendapat antara norma-norma sistem hukum yang didasarkan atas pola masyarakat awal Abad Pertengahan, bahkan dianggap berlaku sepanjang zaman, dengan tuntutan masyarakat Muslim modern yang secara alami menjadi akut. Pada abad ini, hukum pidana dan hukum dagang syari’ah sudah hampir ditinggalkan sama sekali di Timur Tengah dan sebagai gantinya adalah kode-kode hukum yang disusun berdasarkan model Barat. Namun demikian, dalam bidang hukum keluarga, yang mana dahulu selalu dipandang sebagai bahagian yang vital dan integral dari ajaran Islam, solusi yang ditawarkan seperti di atas tidak bisa diterima. Namun Turki secara terang-terangan telah meninggalkan hukum keluarga Islam pada tahun 1927, dan kemudian menggantinya dengan Hukum Perdata Swiss. Tetapi fakta yang menarik ialah bahwa selama kurun 40 tahun yang lalu, ketika perhatian begitu besar tertuju kepada persoalan ini, belum ada satupun negara Muslim yang merasa cocok mengikuti contoh ini. Malah usaha yang sungguh-sungguh diarahkan kepada menyesuaikan Syari’ah dengan berbagai kebutuhan masyarakat modern. Ini merupakan proses modernisme hukum, dan 408
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
sekarang akan kita coba membuat garis besar ciri-ciri utamanya sebagaimana ia berkembang hingga kini di Timur Tengah. Karena sangat kuatnya konsep hukum klasik, para reformis mulanya mencoba bertahan pada dataran doktrin tradisional yang bernama taqlid, seraya mendasarkan usaha pembaruan yang diusungnya di atas prinsip-prinsip yang diakui sah oleh fiqh klasik. Basis perjuangan mereka adalah pada doktrin siyasa, doktrin yang mengatur kedudukan otoritas politik vis a vis hukum syari’ah. Doktrin ini mengajarkan bahwa selama otoritas politik tidak memiliki kekuasaan legislatif untuk memodifikasi atau mengganti Syari’ah, kendati ia berwenang, namun ia berkewajiban untuk membuat aturan administratif tambahan guna memperlancar jalannya proses administrasi secara umum. Terdapat dua tipe utama aturan administratif semacam itu yang telah menarik minat beberapa tokoh pembaharu. Pertama, wewenang yang tengah berkuasa untuk mengatur jurisdiksi peradilannya. Secara umum, menurut para pembaharu tersebut, kekuasaan ini memungkinkan mereka untuk mengkodifikasi syari’ah, dan secara khusus, bilamana timbul perbedaan pendapat antara fuqaha dalam hal tertentu, untuk mengadopsi dan memasukkan kedalam Code tersebut pendapat hukum tertentu diantara sekian banyak pendapat yang ada, yang dianggapnya paling tepat untuk diterapkan. Perbedaan pendapat dalam soal Syari’ah, sebagaimana telah kita lihat, tercermin dari keberadaan 4 mazhab fiqh, di mana varian ajarannya dipandang sesuai dengan hukum Allah. Maka terbukalah peluang bagi pemerintah yang mengikuti mazhab Hanafiyah di Timur Tengah untuk memilih, dan memerintahkan pengadilannya untuk menerapkan ajaran salah satu mazhab fiqh yang lain pada satu kasus tertentu. Atas dasar juristik inilah Undang-Undang Hukum Keluarga Turki Usmani tahun 1917 mengambil langkah pertama kearah pembatasan poligami dengan cara ‘memilih’ ajaran fiqh Hanabilah yang mengatur ketentuan kontrak perkawinan, dengan alasan ia lebih cocok dari pada doktrin fiqh Hanafiyah dilihat dari kebutuhan pada masa itu. Sebagaimana telah kita ketahui, mazhab Hanbali adalah satu-satunya mazhab yang memberikan hak kepada isteri untuk mengajukan gugatan cerai, sekiranya sang suami berisInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
409
Noel J. Coulson
teri kedua dimana dia melangkahi kesepakatan awal, berjanji tidak akan berbuat demikian. Luasnya penggunaan prinsip ini sejak tahun 1917 telah membawa banyak perobahan di bidang hukum yang diterapkan secara tradisional di Timur Tengah. Mereka yang secara resmi bermazhab Hanafiyah, sekarang diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan talfiq (eclectic amalgam) dari keempat ajaran mazhab. Adapun poin kedua ketentuan administratif yang sukses diberlakukan oleh para tokoh reformasi yaitu hak sah penguasa untuk membatasi jurisdiksi peradilannya, dalam arti bahwa ia berhak membatasi kompetensi peradilan syari’ah dengan cara melarang peradilan tersebut mengadili beberapa bentuk kasus tertentu atas alasan prosedural. Untuk melihat contoh detail penerapan prinsip ini pada modernisme hukum, kita sekarang lebih baik menoleh ke ranah hukum keluarga, dari pada masalah poligami, yaitu persoalan hak kekuasaan (legitimacy). Satu aspek legitimacy dalam hukum syari’ah yang menarik perhatian kita di sini ialah arti pentingnya bagi suksesi. Bagi seorang anak sah, ia berhak secara hukum atas harta peninggalan almarhum ayahnya, sementara anak tak sah tidak berhak sama sekali atas hak apapun. Bilamana si anak terlahir dari ibunya yang janda, apakah ia diakui atau tidak sebagai anak sah dari bapaknya yang telah wafat, akan bergantung kepada keputusan hukum apakah ia dipandang sebagai sudah dikandung ibunya atau belum semasa hidup bapaknya. Oleh karena itu, hukum merujuk kepada jangka waktu menyusui (gestasi) terlama – yang diperkirakan dari masa mulai kehamilan hingga kelahirannya. Seandainya sang bayi lahir dari ibunya yang berstatus janda dalam masa yang disebutkan ini, maka ia akan diakui sebagai anak sah dari almarhum bapaknya. Batas maksimum gestasi ini dijumpai dalam berbagai kitab fiqh, mazhab Hanafiyah menentukan 2 tahun, sementara mazhab-mahab selainnya menentukan 4 tahun lebih. Bila dilihat dari ilmu pengetahuan kedokteran modern tentang gestasi, dampak dari sifat keras dan tidak imbangnya ketentuan fiqh ini kentara sekali. Terutama dalam kasus harta peninggalan seseorang yang telah wafat dapat diberikan kepada anak yang boleh jadi bukan anak biologisnya sendiri. 410
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
Oleh karena itu, hukum Mesir tahun 1929 mengatur bahwa tidak diperkenankan mengadakan sidang pengadilan terhadap kasus penetapan hak atas perkara, dimana dapat dibuktikan bahwa si anak yang bersangkutan telah berusia lebih dari satu tahun, setelah penetapan masa cerai ibu kandungnya dengan lelaki yang diyakini sebagai bapaknya. Singkat kata, jurisdiksi peradilan dalam kasus penetapan hak ini dibatasi pada tahap mendengarkan kasus-kasus,dimana kejadian yang sebenarnya cocok dengan ilmu kedokteran modern. Jadi, aturan syari’ah tidak dilanggar atau disangkal, tetapi berkat kebijakan prosedural, kewenangan peradilan tidak diberi peluang bagi penerapan aturan tersebut. Dengan metode-metode seperti itu, modifikasi besar-besaran telah terjadi dalam hukum Syari’ah yang diterapkan secara tradisional. Namun secara formal, reformasi tersebut telah berlangsung dalam kerangka doktrin taqlid: sebab yang diberlakukan hanyalah hukum-hukum sebagaimana yang diatur di dalam teks-teks abad pertengahan dengan otoritas yang eksklusif dan mengikat. Kendati demikian,batasan-batasan terhadap metode tersebut nampak disadari, sehingga akhirnya reformasi yang diinginkan tidak bisa didukung oleh bayangan tradisional apapun. Pada tahap ini, kaum pembaharu terpaksa tidak lagi berpura-pura taqlid. Mereka akhirnya menantang otoritas kitab-kitab fiqh yang mengikat beserta segala bentuk interpretasi sumber-sumber asli yang tercantum di dalam kitab-kitab tersebut: mereka menuntut hak yang melampaui corpus spekulasi hukum ini dan kemudian mencoba menafsirkan al-Qur’an secara murni sesuai dengan kebutuhan zaman modern; singkatnya, mereka menolak taqlid dan menginginkan ijtihad.6 6 Artinya, kebijakan pemerintah dalam konteks ini secara administratif masih mengikuti pengembangan ajaran taqlid yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh.Ketidak puasan atas kebijakan seperti ini, sebagai tesis, melahirkan golongan Modernis yang menekankan pentingnya semangat ijtihad (anti tesis), namun usaha mereka ini dicap oleh Ulama sebagai tidak setia kepada konsep Ijma’. Yang menarik dari kajian Coulson ini ialah adanya kekuatan tarik menarik dalam mengimplementasikan hukum Allah, namun karena konsep cita-cita hukum Allah tersebut tidak empirik dan lebih banyak konsep etika, maka kekuatan tarik-menarik tersebut tidak membangun fondasi hukum yang kokoh sebagaimana di Barat. Maka anjuran Coulson pada bahagian Kesimpulan tulisan ini, sebagai jalan keluarnya, kepada golonInnovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
411
Noel J. Coulson
Tentu saja, sikap ini mendapat tantangan dari unsur-unsur ulama tradisionalis yang mengatakan bahwa sikap tersebut bertentangan dengan ijma’, dan ini sama artinya dengan bid’ah. Tetapi para pembaharu bersikukuh bahwa ijma’semacam itu tidak pernah ada sama sekali – jelas tidak ada gunanya untuk mengurai setiap pandangan individual hukum fuqaha di mana-mana selama rentang waktu abad ke 9 – atau, kalaupun ijma’ pernah ada namun tidak bersifat mengikat, sebab ia akan diartikan sebagai sikap angkuh otoritas manusia secara sepihak terhadap hak hukum yang pada hakekatnya hanya milik Allah. Namun demikian, walaupun ulama sekaliber Muhammad Abduh dari Mesir pada penghujung abad ke 20 beserta Iqbal dari Pakistan telah merekomendasikan adanya penafsiran al-Qur’an yang dinamis sebagai basis bagi reformasi hukum yang menyeluruh, namun para pembaharu sangat sadar akan kenyataan bahwa apa yang mereka lakukan sama artinya dengan penolakan mentah-mentah terhadap tradisi praktek fiqh yang sudah berusia selama 10 abad, oleh sebab itu gebrakan mereka nampak sedikit raguragu dan masih bersifat coba-coba. Pendekatan mereka terhadap masalah poligami bertumpu pada anjuran al-Qur’an bahwa seorang suami harus mampu secara finansial menafkahi isteri-isterinya dan juga harus berlaku adil. Pada tahun 1953, Hukum Status Perorangan Syria menafsirkan persyaratan kemampuan finansial tersebut sebagai persyaratan mutlak guna membatasi hak berpoligami. Bersamaan dengan itu ditambahkan pula aturan administratif yang menentukan bahwa semua pernikahan harus dicatat dan bahkan diperlukan pula izin pengadilan sebagai prasyarat utama dalam pendaftaran tersebut. Dengan demikian,pengadilan tidak akan mengeluarkan izin untuk beristeri kedua jika sekiranya tidak bisa dibuktikan bahwa si suami memang mampu akan menafkahi isteri-isterinya secara finansial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa satu-satunya aspek praktis reformasi hukum ini adalah menjadikan hak berpoligami semata-mata hak orang kaya. Namun arti penting yang sebenarnya gan Modernis ialah agar mencontoh blue-print para Salaf dalam merumuskan dan mengembangkan konsep-konsep hukum fiqh (penerjemah). 412
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
dari reformasi hukum Syria terletak pada dasar yuridisnya dan kenyataan dimana suatu interpretasi model baru telah dilakukan terhadap teks/nash al-Qur’an. Begitu dibukakan, maka ‘pintu ijtihad’ terbuka seluas-luasnya bagi Hukum Status Perorangan Tunisia tahun 1957. Hukum Tunisia ini menempuh cara menafsirkan ayat al-Qur’an yang menyangkut perlakuan tidak adil terhadap isteriisteri sama dengan cara-cara yang ditempuh hukum Syria dalam menafsirkan persyaratan kemampuan finansial – maksudnya, sebagai suatu persyaratan hukum yang mendahului segala pelaksanaan hak berpoligami itu sendiri, dan biasanya ini akan diterapkan tanpa memandang pertimbangan finansial. Namun sekarang bukan lagi wewenang pengadilan untuk memberikan izin berpoligami bahwa yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan tersebut. Sebab hukum selanjutnya menyatakan bahwa di dalam masyarakat modern sungguh tidak mungkin bagi seorang suami untuk memperlakukan isteri-isterinya dengan adil sesuai dengan kepuasan sang isteri-isteri: dalam bahasa teknis, ada asumsi hukum yang meyakinkan atau tak dapat dibantah bahwa prasyarat inti yang ditentukan di muka mustahil terwujud. Jadi, praktek poligami jelas dilarang.
III. Kesimpulan Demikianlah fenomena perkembangan dewasa ini tentang hukum yang dipercayai sebagai hukum abadi di beberapa negeri berpenduduk Muslim di Timur Tengah. Ada dua pertimbangan yang harus diingat. Pertama, reformasi ini tidak dipahami sebagai deviasi (penyimpangan) dari hukum Islam yang ideal akibat kebutuhan praktis; atau hilah, tetapi sebagai ekspresi kontemporer dari hukum yang ideal tersebut. Dan kedua, tidak terdapat keseragaman dalam metode modernisme hukum atau dalam tujuannya pada semua kawasan Timur Tengah. Dan nampaknya proses tersebut pada mulanya akan cenderung mengarah kepada keberagaman dalam praktek hukum Islam sebagai akibat dari berbagai reaksi di berbagai wilayah dalam merespon kehidupan modern. Hal ini terlihat jelas dalam tiga aturan modernis hukum Islam yang paling baru, termasuk ketentuan berpoligami. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
413
Noel J. Coulson
Undang-Undang Maroko tahun 1958 hanya memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk turut campur melalui pembatalan perkawinan kesekian kalinya bilamana si suami yang berpoligami ternyata hingga saat itu tidak mampu berbuat adil kepada semua isteri yang sudah ada. Undang-Undang Iraq tahun 1960 sedikit lebih maju dibanding Undang-Undang Syria dalam mengatur bahwa izin pengadilan hanya diperlukan pada pernikahan kedua, dan izin tersebut akan diberikan bilamana si suami senyatanya memiliki kondisi finansial yang kokoh serta ‘tidak dikhawatirkan akan timbulnya ketidakadilan’. Terakhir, Ordonansi Undang-Undang Keluarga Pakistan yang disahkan tahun 1961, menganggap penting izin Dewan Arbitrase yang sengaja dibentuk untuk menangani kasus perkawinan kedua yang terkena sanksi pidana berat dan lainnya, dan izin Dewan tersebut akan diberikan dalam hal mana Dewan merasa yakin bahwa ‘pernikahan yang diusulkan tersebut dianggap penting dan patut.’ Dalam hal, bila perkawinan kedua tersebut dipandang ‘perlu dan patut’, jelas bahwa izin atau apapun bentuknya dari isteri pertama akan sangat relevan, namun faktor-faktor seperti mandul, cacat fisik atau gila yang terdapat pada isteri pertama dinyatakan sebagai hal-hal yang pantas untuk dipertimbangkan. Sekarang tiba saatnya bagi kita dalam posisi mengapresiasi secara umum makna di balik reformasi Tunisia dalam konteks fenomena modernisme hukum. Dalam bentuknya yang paling sederhana, masalah yang tengah dihadapi negeri-negeri muslim dewasa ini adalah problem yang sama sejak masa dahulu dan ia sangat melekat pada sifat hukum tersebut – maksudnya kebutuhan untuk menentukan hubungan antara patokan dan standar yang ditetapkan oleh ajaran agama dengan hal-hal duniawi yang dihadapi masyarakat. Pada satu sisi, solusi yang diberikan oleh fiqh klasik berupa nomokrasi Tuhan dimana prinsip-prinsip agama dielaborasi menjadi skema yang komprehensif dan kaku guna mengatur aspek-aspek eksklusif dalam norma prilaku masyarakat. Dan di sisi lain, solusi tersebut berkaitan dengan sekularisme, sebagaimana telah diadopsi oleh Turki, yang mengantarkan prinsip-prinsip agama ke ranah akal sehat perorangan, kemudian membiarkan berbagai kekuatan masyarakat sebagai 414
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
alat kontrol yang tak terkekang terhadap format hukum. Nanti akan terlihat, tidak satupun cara-cara pemecahan ini yang bisa diterima oleh Muslim kontemporer secara umum. Sebab, solusi yang pertama tidak realistis sama sekali, sementara solusi yang kedua terpaksa dipandang tidak Islami. Oleh sebab itu, jelas jawabannya terletak antara keduanya, maksudnya terletak dalam satu konsep hukum sebagai norma prilaku yang disusun atas prinsip-prinsip dasar agama yang abadi, namun dalam batas-batas ini tidak menutup mata atas adanya faktor perobahan, sehingga memungkinkan mengadopsi semacam standar-standar baru yang akan bisa lebih dapat diterima oleh pendapat kaum Muslimin dewasa ini dari pada kebiasaan setempat. Hukum, untuk bisa menjadi kekuatan sosial yang hidup, harus merefleksikan jiwa masyarakat.7 Sementara jiwa masyarakat Muslim dewasa ini bukan tercermin dari apapun bentuk penolakan atas sekularisme, juga bukan pada penolakan atas ajaran kitab-kitab fiqh klasik. Dalam upayanya memecahkan masalah pertentangan antara aturan hukum tradisional dengan tuntutan masyarakat modern, semangat modernisme hukum sebagaimana yang terlihat pada tahap yang paling menonjol dalam reformasi Tunisia, terletak atas premis bahwa kehendak Tuhan (Iradat Allah) bukanlah sebagaimana yang diajarkan oleh fiqh-fiqh klasik dalam bentuknya yang kaku dan komprehensif, tetapi Iradat Allah tersebut mengatur dalam bentuk garis-garis besar yang memungkin timbulnya berbagai interpretasi dan berbagai penerapan sesuai dengan kebutuhan masanya. Oleh karena itu, modernisme hukum adalah suatu pergerakan kearah penafsiran historis Kitab Suci, dan dengan demikian ia dapat menemukan fondasinya yang kokoh dengan cara melihat perkembangan historis masa-masa awal aturan Syari’ah, sebagaimana telah kita bicarakan di bahagian depan tulisan ini. Sebab studi dan riset modern telah membuktikan bahwa hukum syari’ah berasal dari implementasi norma-norma wahyu Allah dalam kerangka kondisi sosial masa 7 Pandangan Coulson ini nampaknya sejalan dengan teori L. A. Hart, dan juga sudah diadopsi oleh Rifyal Ka’bah (sekarang Hakim Agung RI) dalam disertasinya Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU di Universitas Islam Indonesia, Jakarta 1998 (Penerjemah). Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
415
Noel J. Coulson
itu, dan dengan demikian ia memberikan dasar fakta sejarah untuk mendukung ideologi yang diusung oleh modernisme hukum. Sekali terlihat teori klasik dalam perspektif historis yang sesungguhnya, artinya sebagai satu tahap dalam evolusi hukum syari’ah, maka apa yang dilakukan oleh kaum modernis tidak lagi akan terlihat sebagai penyimpangan total dari apa yang dianggap sah, namun ia menyimpan semacam sifat kelangsungan (continuity) tradisi hukum Islam dengan cara meniru kembali sikap bijak para fuqaha zaman silam, serta menghidupkan kembali pelaksanaan isi corpus yang telah tersendat pertumbuhannya sebelumnya dan kini ia telah tak berdaya selama masa 10 abad. Namun demikian, belum bisa dikatakan bahwa modernisme hukum telah mencapai tahap jawaban yang memuaskan sama sekali dalam hal masalah hukum dan masyarakat kehidupan Islam dewasa ini. Kubu tradisionalis menvonis berbagai kegiatan kaum Modernis sebagai upaya memanipulasi ayat-ayat Allah yang tak berdasar guna memaksakan dari pihak mereka suatu arti yang sudah dirancang sebelumnya, agar cocok dengan maksud para pembaharu dan tepat sasaran: dan kegiatan ini pada intinya kalaupun bukan pada bentuknya, menurut pandangan kaum Tradisionalis, adalah sekularisasi hukum Islam. Kenyataannya jurisprudensi kaum modernis memang mengandung bau aroma oportunisme, dengan cara mengadopsi cara-cara solusi ad hoc dalam menghadapi masalah yang mendesak, dan belum berdasarkan atas fondasi yang sistematik atau prinsipprinsip yang terlaksana secara konsisten. Sungguh kaum Modernis bisa dianggap sebagai ‘agen-agen perubahan sosial’ sejauh sepak terjang mereka mengarah kepada pembentukan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun bila jurisprudensi Islam mau tetap setia kepada cita-cita dasarnya, ia tidak boleh memandang kebutuhan dan aspirasi masyarakat sebagai sesuatu yang eksklusif di luar pembicaraan hukum. Semua ini dapat beroperasi secara sah untuk membentuk hukum hanya dalam kerangka batasan normanorma seperti itu yang jelas-jelas tak dapat dibantah sebagaimana telah diatur oleh perintah Tuhan. Oleh karenanya, kedepan nampaknya merupakan tugas utama jurisprudensi Islam untuk menentukan batasan yang pasti dan 416
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Konsep Progress dan Hukum Islam
implikasi terdalam dari pada wahyu. Dan ini barangkali akhirnya akan membujuk re-orientasi sikap tradisionalis terhadap Sunnah, tidak hanya menyangkut keasliannya, tetapi juga bertalian dengan sifat otoritasnya bila masalah keasliannya betul-betul mau dipertahankan. Nampaknya akan menjadi sebuah aksioma bahwa bilamana ketentuan dalam wahyu Tuhan sudah begitu mengakar, maka ia akan membentuk basis utama yang seirama terhadap sistem hukum apapun yang dinyatakan sebagai manifestasi kehendak Tuhan. Memang tidak dapat disangkal bahwa beberapa ketentuan alQur’an, seperti misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, menimbulkan masalah dalam kontek kehidupan modern, yang mana hingga kini solusi kearah ini belum juga nampak. Namun secara umum ketentuan al-Qur’an bersifat norma-norma etik, dan ini cukup gamblang untuk mendukung struktur hukum modern dan memungkin timbulnya berbagai interpretasi dalam menjawab berbagai kebutuhan waktu dan tempat. Atas dasar ini, nampaknya jurisprudensi Islam akan mampu mengimplementasikan, dalam istilah realistik praktis dan modernis, pandangan hidup yang prinsip dan unik yang didasarkan atas perintah Allah. Terlepas dari adanya pendapat yang menyebutkan bahwa hukum agama bersifat totaliter dan memaksa, namun jurisprudensi akan mendekati masalah hukum dan masyarakat dari sudut yang berbeda. Ketimbang bertanya pada hukum itu sendiri, sebagaimana telah terjadi sejak 10 abad yang lalu dan malah masih berlangsung hingga kini, apa bentuk konsesi yang harus direbut dari hukum dalam menjawab kebutuhan masyarakat, tentu kerangka acuannya yang baru jelas sebaliknya; yaitu menentukan apa batasan yang dibuat oleh ketentuan agama atas pengakuan sejujurnya terhadap kebutuhan masyarakat. Namun betapapun besarnya masalah yang tengah dihadapi jurisprudensi Islam sekarang, sekurangnya modernisme hukum telah meniupkan roh baru dan perkembangan kepada batang tubuh syari’ah serta membebaskan arterinya yang membeku dari pola pendekatan sekonyong-konyong yang berujung pada rigor mortis. Zaman taqlid, yaitu zaman dimana umat mengikuti saja tanpa alasan semua ajaran fuqaha masa abad pertengahan, kini nampak sebagai moratorium tak berujung dalam sejarah hukum Islam. Stagnasi Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
417
Noel J. Coulson
hingga kini telah menampakkan vitalitas dalam bentuk baru yang potensial bagi pertumbuhan.
418
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012