MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
KONSEP NEGARA HUKUM DALAM ISLAM DAN RELEVANSINVA DI INDONESIA Yusuf Faisal Ali1 ABSTRAK Diskusi mengenai negara hukum selalu menarik untuk dikaji. Secara sederhana, negara hukum berarti negara berdasar atas hukum dan bukan berdasar kekuasaan belaka. Istlah negara hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, dan juga digunakan untuk menunjukkan konsep negara hukum yang diterapkan Di Eropa Kontinental seperti di Belanda, Jerman dan Perancis. Istlah lain adalah rule of law yang digunakan di negara-negara Anglo Saxon atau yang menganut sistem common law antara lain Inggris dan Amerika. Di negara-negara sosialis dan Uni Soviet digunakan istilah sosialis. Konsep negara hukum dalam Islam atau yang disebut dengan nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang mengacu pada hukum Islam dan memiliki prinsip-prinsip umum yaitu: (1) prinsip kekuasaan sebagai amanah; (2) prinsip musyawarah; (3) prinsip keadilan; (4) prinsip persamaan; (5) prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia; (6) prinsip peradilan bebas; (7) prinsip perdamaian; (8) prinsip kesejahteraan; dan (9) prinsip ketaatan rakyat. Gagasan mengenai nomokrasi Islam merupakan pemetaan dan konsep siyasah diniyah yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun.
Kata Kunci : Hukum Islam, Negara Hukum, Syariat islam PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Diskusi mengenai negara hukum selalu menarik untuk dikaji. Secara sederhana, negara hukum berarti negara berdasar atas hukum dan bukan berdasar kekuasaan belaka. Istlah negara hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, dan juga digunakan untuk menunjukkan konsep negara hukum yang diterapkan di Eropa Kontinental seperti di Belanda, Jerman dan Perancis. Istilah lain adalah rule of law yang digunakan di negaranegara Anglo Saxon atau yang menganut sistem common law antara lain Inggris dan
Amerika. Di negara-negara sosialis dan Uni Soviet digunakan istilah sosialis legality (Senoadji, Oemar. 1980: 11-23, Wahyono, 1984: 67, Hartono. 1982: 85). Pemikiran negara hukum di Barat dimulai sejak Plato (427-347 SM) dengan konsepnya “bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebut dengan istilah Nomoi. Kemudian ide tentang negara hukum atau rechtsstaat mulai populer kembali pada abad 17 sebagai akibat dari situasi sosial politik yang didominir oleh absolutisme (Azhari, 2007: 89).
Yusuf Faisal Ali adalah Dosen Jurusan Pendidikan IPS, Prodi. PPKn Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi. 1
107
yusuf Faisal ali Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinva di Indonesia
Dua orang sarjana Barat yang berjasa dalam pemikiran negara hukum yaitu Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl telah mengemukakan buah pikiran mereka. Kant memahami negara hukum sebagai negara penjaga malarn “Nachtwaker atau Nachtwachterstaat” yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan negara hukum menurut Kant mi dinamakan negara hukum liberal (Gautama, Sudargo. 1973: 1973: 7). Konsep Stahl tentang negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu: (1) adanya pengakuan dan perlindungan hakhak asasi manusia; (2) negara didasarkan pada teori trias politica, (3) pmerintahan diselenggarakan berdasarkan undangundang; dan (4) peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (Budiardjo, 1982: 57-58, Ismatullah, 2006: 39). Menurut Scheltema, unsur rechtsstaat adalah (1) kepastian hukum; (2) persamaan; (3) demokrasi; dan (4) pemerintahan yang melayani kepentingan umum. Karena konsep rechtstaat di Eropa Kontinental sejak semula didasarkan pada sifat liberal, maka ciri individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum menurut konsep Eropa kontinental itu (Wahyono, 1984 : 2-3). Negara hukum atau rechtsstaat menurut Philipus H. Hadjon Ciri-ciri: (1) adanya UUD atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat; (2) adanya pembagian kekuasaan negara; (3) diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Hadjon, 1987: 76). Konsep berkembang
negara hukum di negara-negara
yang Anglo
Saxon semula dipelopori oleh Albert Venn Dicey dengan sebutan rule of law. Konsep ini menekankan pada tiga unsur utama yaitu (1) supremasi hukum (supremacy of law); (2) persamaan di hadapan hukum (equality before the law); dan (3) konstitusi yang didasarkan atas hak perorangan (the contitunon based on individual right). Ciri yang menonjol pada konsep ini ialah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (Hadjon, 1987: 76). Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan rule of’ law ialah pada konsep yang pertama “peradilan administrasi negara” merupakan sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang menonjol pada rechtsstaat itu sendiri. Sebaliknya pada rule of’ law, peradilan administrasi tidak ditetapkan karena kepercayaan masyarakat yang begitu besar pada peradilan umum (Hadjon, 1987: 76). Socialist Legality yang dianut negara-negara komunis/sosial hendak mengimbangi konsep rule of law yang dipelopori negara-negara Anglo Saxon. Inti socialist legality berbeda dengan konsep Barat. Karena dalam socialist legality hukum ditempatkan di bawah sosialisme. Hukum adalah sebagai alat untuk mencapai sosialisme. Hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan (Senoadji, 1980: 18). Patut dikemukakan bahwa socialist legality ada suatu jaminan konstitusional tentang propaganda anti agama yang memang merupakan watak dan negara komunis /sosialis yang diwarnai oleh doktrin komunis bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa komunisme mengajarkan sikap anti Tuhan (Senoadji, 1980: 18). Dan sini
108
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
dapat diketahui bahwa konsep socialist legality sulit untuk dapat dikatakan sebagai suatu konsep negara hukum yang bersifat universal. Tetapi mungkin konsep ini dilihat dan segi kepentingan negaranegara komunis merupakan konsep yang mereka pandang sesuai dengan doktrin komunisme. Berbeda denga konsep Barat yang bertujuan ingin melindungi individu sebagai manusia yang bermartabat terhadap tindakan yang sewenang-wenang dan pemenntah, maka dalam socialist legality yang terpenting sosialisme itu sendin (Senoadji, 1980: 23). Setelah memperhatikan uraian singkat di atas mengenai konsep negara hukum yang dikemukakan dalam konsep Barat (rule of law dan rechtsstaat), lalu bagaimana konsep negara hukum dalam Islam dan konsep negara hukum yang diterapkan di Indonesia. Dan stressing dalam tulisan ini meliputi kedua konsep tersebut dengan identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep negara hukum dalam Islam? 2. Bagaimana konsep negara hukum yang dikembangkan di Indonesia? 3. Bagaimana relevansinya di antara kedua konsep tersebut? Pembahasan Konsep Negara Hukum dalam Islam Negara hukum dalam Islam dimaksudkan negara hukum menurut alQur’an dan Sunnah. Untuk konsep tersebut, Muhammad Tahir Azhary cenderung menggunakan istilah “nomokrasi Islam” dan Malcom H. Kerr. Demikian juga, Majid Khaddun menggunakan istilah nomokrasi untuk konsep negara dan sudut Islam. Dalam pandangan Muhammad Tahir Azhary, penggunaan istilah nomokrasi
Islam itu dinilai lebih tepat, karena di samping untuk memperlihatkan kaitan nomokrasi atau negara hukum itu dengan hukum Islam, juga untuk membedakan dengan konsep negara hukum menurut konsep Barat (Senoadji, 1980: 24). Gagasan tentang negara hukum telah dikemukakan oleh pemikir muslim yaitu Ibn Khaldun. Menurutnya, negara hukum itu ada dua macam: (1) siyasah dinniyyah dan (2) siyasah ‘aqliyyah. Kedua bentuk negara hukum tersebut diterjemahkan dengan nomokrasi Islam dan nomokrasi sekuler. Ciri pokok yang menjadi pembeda di antara keduanya ialah pelaksanaan hukum Islam untuk nomokrasi Islam dan rasio untuk nomokrasi sekuler. Dalam nomokrasi Islam, baik syari’at maupun hukum yang didasarkan pada rasio manusia, kedua-duanya berfungsi dan berperan dalam negara. Sebalikya, dalam nomokrasi sekuler manusia hanya menggunakan hukum semata¬mata sebagai hasil pemikiran mereka (Azhary, 2007: 85). Wagar Ahmad Husami menamakan siyásah diniyyah atau nomokrasi Islam dengan istilah “Negara Syari’ah”. Dan nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal baik di dunia maupun di akhirat (al-Mashãbh al-Kfiffah) (Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983: 217) Menurut Muhammad Tahir Azhary, nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-pnnsip umum yaitu: (1) prinsip kekuasaan sebagai amanah; (2) prinsip musyawarah; (3) prinsip keadilan; (4) prinsip persamaan; (5) prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia; (6) prinsip peradilan bebas; (7) prinsip perdamaian; (8) prinsip kesejahteraan; dan (9) prinsip
109
yusuf Faisal ali Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinva di Indonesia
ketaatan rakyat (Azhary, 2007: 105-106). Untuk uraian ringkas sebagai berikut: Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah Dalam nomokrasi Islam, kekuasaan merupakan sebuah amanah dengan landasan normatif sebagaimana berdasarkan firman-Nya Q.S. a1Nisa14:57. Dalam konteks kekuasaan negara, amanah dapat dipahami sebagai suatu “pendelegasian” atau “pelimpahan kewenangan”. Atas dasar itu, kekuasaan dapat disebut sebagat mandat yang berasal dart Allah, karena Ia adalah sumber dari segala kekuasaan (Azhary, 2007: 105-106). Prinsip kekuasaan sebagai amanah akan berimplikasi adanya prinsip pertanggungjawaban kekuasaan. Prinsip tersebut bermakna bahwa setiap pribadi yang mempunyai kedudukan fungsional dalam kehidupan politik dituntut agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya (jujur dan adil), dan bahwa kelalatan terhadap kewajiban tersebut akan mengakibatkan keruglan bagi dirinya sendiri (Ahmad, Musnad AI-Imam Ahmad, ; Muslim, al-Jami. al-Shahib) Dan sini dapat dapat dipahami bahwa kekuasaan dalam nomokrasi Islam adalah kewenangan dan kewajiban di satu sisi dan pertanggungjawaban di sisi lain. Prinsip Musyawarah Musyawarah sebagat salah satu prinsip dasar dari nomokrast Islam dapat ditemukan dalarn al-Qur’an pada dua locus yaitu surat al-Syura/142:38 dan surat Ali ‘Imran/3:159. Dilihat dan sudut kenegaraan, musyawarah ialah suatu prinsip konstitusional dalam nomokrasi Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan
yang merugikan kepentingan umum (ElAwa, 1983: 114). Sebagai suatu prinstp konstitusional, maka dalam nomokrasi Islam, musyawarah berfungst sebagat pencegah adanya kekuasaan yang absolut dart seorang penguasa atau kepala negara (al-Buraey, 1983: 114). Prinsip Keadilan Tema pembahasan mengenai keadilan banyak dijelaskan dalam ayat-ayat alQur’an, begitu pula dalam Sunnah Nabi saw. Prinsip keadilan apabiladikaitkan dengan nomokrasi Islam, maka to harus dilihat dart fungsi kekuasaan negara. Fungst tersebut mencakup tiga kewajiban pokok bagi pcnyelenggara negara atau pemegang kekuasaan, yaitu: (1) kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur dan bijaksana. Semua rakyat harus dapat memperoleh hak-haknya secara adil tanpa suatu diskriminasi. (2) kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya. (3) kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Hal int berkaitan dengan keadilan sejahtera (Azhary, 2007: 123) Pnnsip keadilan dalarn nomokrasi Islam mengandung satu konsep yang bernilai tinggi. Ia tidak identik dengan keadilan yang dibuat oleh manusia. Keadilan buatan manusta dengan doktrin humanisme telah melangsungkan nilai-nilai transendental dan terlalu mengagungkan manusta sehingga manusia menjadi titik sentral. Sebaliknya konsep keadilan dalam nomokrast Islammenempatkan manusia pada kedudukannya yang wajar baik sebagat individu maupun sebagai masyarakat. Manusia bukan merupakan titik sentral, melainkan ia. hamba Allah
110
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
yang nilainya sangat ditentukan oleh hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia (Azhary, 2007: 123). Prinsip Persamaan Prinsip ini dalam Islam dapat dipahami antara lain dari Q.S. al-Hujurat/49:13. Apabila dikaitkan dengan nomokrasi Islam, prinsip persamaan merupakan salah satu tiang utama dalam bangunan negara hukum. Prinsip ini dalam nomokrasi Islam mengandung aspek yang luas. Ia mencakup persamaan dalam bidang kehidupan yang meliputi bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan persamaan dalam bidang hukum memberi jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama terhadap semua orang tanpa diskriminasi (Yamani, 1980: 75). Prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia. Dalam nomokrasi Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Karena itu dalam hubungannya ini ada dua prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Terkait dengan prinsip ini secara tegas digariskan dalam firman-Nya Q.S. alIsra’/17:70. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya, yang dalam nomokrasi Islam ditekankan pada tiga hal: (1) persamaan manusia; (2) martabat manusia; dan (3) kebebasan manusia (Azhary, 2007: 130-144). Prinsip Peradilan Bebas Pnnsip ini berkaitan erat dengan prinsip erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam nomokrasi Islam seorang halum memiliki kewenangan
yang bebas dalam makna bahwa setiap putusan yang la ambil bebas dan pengaruh siapapun. Hakim wajib menerap prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun—sebagaimana dipahami dalam Q.S. an-Nisa/4:57 Prinsip peradilan bebas dalam nomokrasi Islam tidak boleh bertentangan tujuan hukum Islam24 jiwa al-Qur’an dan Sunnah. Dalam melaksanakan prinsip peradilan bebas hakim wajib memperhatikan pula prinsip amanah, karena kekuasaan kehakiman yang berada di tangannya adalah suatu amanah pula dan rakyat kepadanya yang wajib dipelihara sebaik-baiknya (Ali, 1990: 19). Prinsip Perdamaian al-Qur’an sangat menjunjung tinggi dan mengutamakan perdamaian, dan nomokrasi Islam harus ditegakkan atas dasar pnnsip tersebut. Hubungan dengan negara-negara lain harus dijalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya sikap bermusuhan atau perang merupakan sesuatu terlarang dalam alQur’an. Perang hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensif atau membela diri. al-Qur’an hanya mengizinkan tindakan kekerasan atau perang apabila pihak lain memulamya. Pengaturan hukum perang telah digariskan dalam Q.S. al-Bagarah/2:190 dan 194. Prinsip kesejahteraan. Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat (rakyat). Pengertian keadilan sosial dalam nomokrasi Islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materil, akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual seluruh rakyat. Dalam nomokrasi Islam
111
yusuf Faisal ali Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinva di Indonesia
keadilan sosial dan keadilan ekonomi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penimbunan harta di tangan seseorang atau sekelompok orang sementara anggota masyarakat lainnya mengalami kemiskinan. Untuk mewujudkan prinsip kesejahteraan ini al-Qur’an menggambarkannya dengan ungkapan “baldat(un) thayyibat (un) wa Rabb(un) ghafur(un) (Q.S. Saba’/34:15). Prinsip Ketaatan Rakyat Untuk menata menata hubungan antara pemerintah dengan rakyat, alQur’an telah menetapkannya suatu prinsip yang dinamakan prinsip ketaatan rakyatsebagaimana ditegaskan dalam firmanNya Q.S. al-Nisa’/4:59. Prinsip ketaatan mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali berkewajiban mentaati pemerintah. Dan melalui prinsip ini pula rakyat berhak untuk mengoreksi setiap kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa. Dalam nomokrasi Islam, pemerintah atau penguasa wajib mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian ketaatan rakyat terhadap penguasa atau pemerintah mengandung suatu asas timbal balik. Konsep Negara Hukum di Indonsia Dalam UUD 1945 pasal I ayat (3) disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”Yaitu negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel) (Al Rasid, 2002: 2). Pasal tersebut dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa Indonesia adalah “negara hukum” baik dalam penyelenggaraan negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
(MPR RI, 2012: 29). Atas dasar bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, ini artinya baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum. Dan sini dipahami pula, bahwa negara Indonesia bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (Kencana, 2011: 66). Kekuasan negara dibatasi oleh, dan juga berdasarkan atas hukum. Tujuan pembatasan terhadap kekuasaan negara oleh hukum ini ialah agar kepentingan rakyat atau hak-hak asasi rakyat dapat terjamin atau dijaga terhadap kemungkinan tindakan kesewenangan dan penguasa. Sehingga dengan demikian terdapat keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, dan dimana warga negara atau penguasa tunduk kepada ketentuan yang berlaku (Darmodihaijo dkk, 1991: 68). Sehubungan dengan negara Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam kaitan ini timbul pertanyaan, negara hukum yang bagaimanakah yang dianut di Indonesia? Apakah identik dengan konsep negara hukum Eropa Kontinental atau tidak? Pertanyaan ini tentu saja cukup beralasan, karena negara Indonesia adalah negara hukum dengan latar belakang tradisi Eropa kontinental dengan menggunakan istilah rechtsstaat. Demikian pula dalam penjelasan UUD ‘45 dikemukakan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat) belaka (Alrasid, 1983: 15). Bahkan ada pula kecenderungan interpretasi yang mengarah pada konsep rule of law sebagaimana yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon (Kaelan M.S. dan Zubaidi, 2010: 133-4). Terkait dengn persoalan tersebut, Oemar Senoadji berpendapat bahwa
112
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal mi sangat berbeda dengan misalnya di Amerika yang memahami konsep freedom of religion baik dalam art positif maupun negatif. Sementara itu, di Uni Soviet dan negara komunis lainnya freedom of religion memberikan pula jaminan konstitusional propaganda anti agama. Ciri berikutnya dan Negara Hukum Indonesia ialah tiada pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara. Karena agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis, hal demikian sangat berbeda dengan Amerika Serikat yang menganut doktrin pemisahan antara agama dan gereja secara ketat (Senoadji, 1980: 24-58). Pandangan serupa dikemukakan pula oleh Padmo Wahyono. Ia menelaah Negara Hukum Pancasila dengan bertitik tolak dan “asas kekeluargaan” yang tercantum dalam UUD ‘45. Dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia dihargai”. Hal tersebut direfleksikan dalam pasal 33 UUD ‘45 yang menjelaskan bahwa yang terpenting itu adalah kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran perseorangan. Akan tetapi perseorangan itu berupaya sejauh tidak mengenai haiat hidup orang banyak.
Negara Hukum Pancasila dapat dipahami melalui penelaahan pengertian negara dan pengertian hukum dilihat dari sudut asas kekeluargaan. Dalam kaitan ini, Padmo Wahyono mengemukakan bahwa hukum adalah suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan menyelengarakan kesejahteraan sosial (Wahyono, 1984: 4-19). Terhadap asas kekeluargaan, sebagaimana telah disinggung di atas, Muhammad Tahir Azhary menambahkan satu asas lags yaitu “asas kerukunan”. Kedua asas itu “asas kekeluargaan” dan “asas kerukunan” mencerminkan bangsa dan negara Indonesia merupakan satu persatuan dan kesatuan dengan semangat kekeluargaan dan kerukunan hidup. Setiap manusia Indonesia berkewajiban memelihara persatuan bangsa dan kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia. Asas kekeluargaan ini harus selalu dikaitkan dengan konotasi yang positif dan mendorong terwujudnya suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, dalam makna menikmati keadilan dan kemakmuran itu. Dengan menggunakan asas kekeluargaan dan kerukunan—sebagai dua asas yang terpadu—hal-hal yang bersifat negatif dan akan merugikan kehidupan bangsa dan negara kiranya dapat dihindari (Azhary, 2007: 97) Dengan merujuk pada dua pendapat pakar hukum di atas dapat disimpulkan bahwa konsep Negara Hukum yang dianut di Indonesia bukan konsep negara hukum Barat atau Eropa Kontinental dan bukan pula rule of law darn Anglo Saxon melainkan konsep Negara Hukum Pancasila yang bercirikan: (1) ada hubungan erat antara agama dan negara; (2) bertumpu pada Ketuhanan yang Maha Esa; (3) kebebasan
113
yusuf Faisal ali Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinva di Indonesia
beragama dalam arti positif; (4) ateisme tidak dibenarkan clan komunisme dilarang; dan (5) asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun yang menjadi unsur pokok negara hukum R.I adalah (1) Pancasila; (2) MPR; (3) sistem konstitusi; (4.) persamaan; dan (5) peradilan bebas (Ismatullah, 2006: 7274) Patut untuk dikemukakan, bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam Negara Hukum Pancasila: (1) kebebasan beragama harus mengacu pada makna positif sehingga pengingkaran terliadap Tuhan YME (ateisme) ataupun sikap yang memusuhi Tulian YME tidak dibenarkan, seperti terjadi di negara-negara komunis yang membenarkan propaganda anti agama; dan (2) ada hubungan yang erat antara negara dan agama, karena itu baik secara rigid atau mutlak maupun secara longgar atau nisbi Negara Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD ‘45. Adapun lima unsur utama, sebagaimana telah dijelaskan di atas bertumpu pada suatu prinsip yang sangat mendasar bagi segenap bangsa Indonesia yaitu sila pertama darn Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena sila pertama ini mempunyai “posisi yang istimewa”, ia “terletak di luar ciptaan akal budi manusia (Hazairin, 1973: 5). Dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Pancasila memilik bukan hanya suatu ciri tertentu tetapi ciri yang paling khusus dams semua konsep negara hukum, baik konsep Barat (rule of law dan rechtsstaat) maupun apa yang disebut sebagai socialist legality. Sila pertama dart Pancasila itu mencerminkan konsep monoteisme atau tauhid (unitas). Hal ini sesuai dengan doktrin al-Qur’an dalam
surat al-Kahfi/18:10 yang mengajarkan bahwa Tuhan bagi seluruh manusia adalah Allah Yang Maha Esa. Sila pertama merupakan pula dasar kerohaniaan dan dasar moral bags Bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat. Artinya, bahwa penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat wajib mengimplementasikan petunjuk¬petunjuk Tuhan YME (Basyir, 1985: 9-10). Atas dasar itu, dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dengan empat sila lainnya setiap orang yang arif dan bijaksana akan melihat banyak persamaan antara nomokrasi Islam dengan konsep Negara Hukum Pancasila. Persamaan itu antara lain tercermin dan lima sila Pancasila yang sudah menjadi Asas Bangsa dan Negara Indonesia. Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa “negara hukum” yang dimaksud dalam UUD ‘45 pasal I ayat (3) sama sekali tidak identik dengan konsep negara hukum Eropa Kontinental dan juga tidak identik dengan konsep negara hukum Anglo Saxon, bahkan sangat berbeda dengan konsep socialist legality. Namun demikian apabila memperhatikan UUD ‘45 hasil amandemen, terlihat bahwa meskipun konsep “Negara Hukum” Indonesia tidak identik dengan konsep negara hukum Eropa Kontinental, di lain sisi Indonesia menerima dan melembagakan adanya peradilan tata usaha negara (PTUN) di dalam sistem peradilannya sebagaimana tradisi Eropa Kontinental. Ini terbukti, berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD ‘45 bahwa negara hukum Indonesia mengenal adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagar salah satu lingkungan peradilan di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan.”
114
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
Sementara itu penggunaan istilah rechtsstaat dihapus clan Undang-Undang Dasar sejalan dengan ditiadakannya unsur “penjelasan” setelah UndangUndang Dasar negara dilakukan empat kali perubahan. Istilah resmi yang dipakai sekarang, seperti yang dimuat dalam pasal 1 ayat (3) adalah “negara hukum” yang bisa menyerap unsur rechtsstaat dan rule of law sekaligus.” Unsur konsepsi negara hukum yang berasal dan tradisi Anglo Saxon (rule of law) di dalam UUD ‘45 terlihat dan bunyi pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Konsekuensi ketentuan itu adalah setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Ketentuan itu sekahgus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenangan-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik di lakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk. Paham negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan “negara kesejahteraan” (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan pasal 34 UUD ‘45. Pelaksanaan paham negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan di Indonesia (MPR RI, 2012: 70) Negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan herarti terdapat tanggungjawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara dalam berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum yang baik melalui penyediaan berbagai
fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat (MPR RI, 2012: 139). Relevansi antara Nomokrasi Islam dan Negara Hukum Pancasila Indonesia adalah suatu negara nasional yang memililu dasar dan filsafat Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD ‘45. Dalam pembukaan UUD ‘45 alinea keempat dijumpai rumusan Pancasila sebagai berikut: “... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Dan rumusan ini melahirkan Pancasila yang terdiri dan lima sila atau dasar yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Darmodihardjo, 1991: 25-32) Dilihat dan sudut hukum Islam, sila pertama dapat dipahami identik dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa dalam ajaran Islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama lain untuk melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing. Sila pertama itu ditegaskan kembali dalam pasal 29 butir (1) UUD ‘45 “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
115
yusuf Faisal ali Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinva di Indonesia
Dilihat dan struktur Pancasila itu sendiri, sila pertama menempati posisi yang paling tinggi dalam urutannya itu. Ini artinya bahwa sila pertama menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lainnya (Azhary, 2007: 195-196). Dengan demikian, sila pertama mempunyai hubungan organik dengan sila-sila lainnya. Dan sini terlihat jelas, bahwa antara nomokrasi Islam dengan negara hukum Pancasila ditemukan beberapa persamaan (Bakry, 2010: 21). Prinsip-prinsip pokok yang terdapat dalam nomokrasi Islam seperti musyawarah, keadilan, persamaan dan kebebasan secara konstitusional, balk secara eksplisit maupun secara implisit dapat dijumpai dalam UUD Prinsip musyawarah, dirumuskan dalam sila keempat dan Pancasila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” memiliki karakterstik tersendiri. Karena itu, maka kerakyatan disini tidak otomatis identik dengan demokrasi Barat, meskipun jiwa demokrasi terdapat di dalamnya. Demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila. Yaitu demokrasi sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh semua pihak-pihak Bangsa Indonesia semenjak dahulu kala dan masih dijumpai sekarang ini dalam praktek hidup masyarakat-masyarakat hukum adat (Hazairin, 1973: 21-22) Terdapat pokok perbedaan antara demokrasi Barat dan demokrasi Indonesia. Dalam demokrasi Barat kekuatan golongan atau kekuatan partai politik sangat ditonjolkan, sehingga perbedaan antara yang berkuasa dan yang dikuasai menonjol ke depan dan pertandingan adu kekuatan antara partai-partai merupakan hal yang umum. Demokrasi Indonesia lebih menekankan aspek persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia (Hazairin, 1973: 23). Ide persatuan adalah suatu gagasan yang banyak diajarkan baik dalam al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, tujuan musyawarah itu sendiri adalah untuk kemaslahatan umum dan untuk memelihara persatuan dan kesatuan manusia. Dan sudut ini, dapat dilihat adanya persamaan dalam penerapan musyawarah yang dijumpai dalam demokrasi Pancasila. Persamaan itu terletak terutama pada esensi musyawarah yang kooperatif dan bukan kompetitif. Semangat musyawarah, baik dalam nomokrasi Islam maupun dalam demokrasi Pancasila adalah kerjasama dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Prinsip musyawarah ini digunakan balk dalam kehidupan publik (kenegaraan) maupun dalam kehidupan privat (kekeluargaan). Karena itu dapat dikatakan, bahwa prinsip musyawarah telah memberikan warna budaya spesifik bagi rakyat dan Bangsa Indonesia yang menurut kenyataan religo¬sosio-kultural sebagian besar bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam (Azhary, 2007; 201-202). Prinsip musyawarah dalam nomokrasi Islam merupakan suatu pnnsip yang sangat penting. Prinsip mi tidak dapat berdiri sendiri. Ia ditunjang oleh prinsip¬pnnsip lamnya seperti keadilan, persamaan dan kebebasan. Pada dasarnya prinsi¬prinsip tersebut dicantumkan balk dalam pembukaan UUD ‘45 maupun dalam batang tubuhnya. Pnnsip keadilan telah ditranformasikan ke dalam pembukaan UUD ‘45 yaitu melalui sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan dan sila kedua itu ialah “ingin menempatkan manusia sesuai denga harkatnya sebagai
116
MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014)
makhluk Tuhan”. Prinsip yang terkandung dalam sila kedua itu merupakan suatu pandangan filosofis bangsa Indonesia yang tidak menginginkan “adanya penindasan manusia oleh manusia lain; baik secara lahiriah maupun secara batiniah, baik oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa lain. Dengan melalui sila kedua itu pula tercermin suatu sikap yang tegas bahwa bangsa Indonesia yaitu anti penjajahan, karena penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Sila kedua tersebut tidak hanya bersifat nasional tetapi sesuai dengan universal yang diakui oleh masyarakat internasional (Jantnika, 1987:175-185). Tentang prinsip persamaan dan kebebasan, keduanya dengan tegas dijamin dalam UUD ‘45. Melalui pembukaan UUD ‘45 alinea pertarna bangsa Indonesia dengan tegas menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia hams dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaa dan peri keadilan” Pernyataan ini mengandung nmakna bahwa semua manusia memiliki persamaan dan kebebasan. Keduanya merupakan hak asasi manusia. karena tidak ada seorang pun manusia atau satu kelompok manusia yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih tmggi dan yang lain. Persamaan dan kebebasan merypakan hakhak universal, karena hak-hak tersebut wajib Terkait dengan pnnsip kebebasan dapat dilihat melalui pasal 28 UUD ‘45 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.” Tujuan dari ketentuan ini ialah untuk menciptakan suatu masyarakat yang demokratis berdasarkan Pancasila.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul adalah hak-hak dasar manusia. demikian pula kemerdekaan mengeluarkan pendapat dan pikiran baik secara lisan maupun tulisan dan dengan cara-cara lain adalah salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Kesimpulan Dengan memperhatikan uraian singkat sebagaimana telah dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa: 1. Konsep negara hukum dalam Islam atau yang disebut dengan nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang mengacu pada hukum Islam dan memiliki prinsip-prinsip umum yaitu: (1) prinsip kekuasaan sebagai amanah; (2) prinsip musyawarah; (3) prinsip keadilan; (4) prinsip persamaan; (5) prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia; (6) prinsip peradilan bebas; (7) prinsip perdamaian; (8) prinsip kesejahteraan; dan (9) prinsip ketaatan rakyat. Gagasan mengenai nomokrasi Islam merupakan pemetaan dan konsep siyasah diniyah yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun. 2. Konsep negara hukum yang dianut di Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila, yang secara philosofis jelas berbeda dengan konsep negara hukum Barat yang liberal dan sekuler. Meslupun secara philosofis berbeda dengan konsep negara hukum Barat, namun di sisi lain negara Indonesia dalam sistem hukumnya menyerap unsur rechtstaat dengan melembagakan “Peradilan Administrasi” (di Indonesia PTUN) sebagaimana tradisi Eropa kontinental dan unsur rule of law dengan menerapkan prinsip “equality before the law.
117
yusuf Faisal ali Konsep Negara Hukum dalam Islam dan Relevansinva di Indonesia
3. Negara Hukum Pancasila memililu banyak persamaan dengan nomokrasi Islam dalam hal prinsip-prinsip umum sebagai sebuah negara hukum. Prinsip¬prinsip umum dalam nomokrasi Islam di Indonesia diimplementasikan dalam UndangUndang Dasar Negara 1945. DAFTAR PUSTAKA Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad Jilid III. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr Al-Buraey, Muhammad. 1983. Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam. Surabaya: Bina Ilmu Ali, M.Daud. 1990. Asas-Asas Hukum Islam (Hukum Islam 1): Penganrat Ilmu dan Tata hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press Al Rasid, Harun. 2002. Naskah UUD Negara Republik indonesia Tahun 1945.Jakarta: UI Press Al Rasid. 1983. Himpunan Peraturan Hukum Tata negara. Jakarta: UI Press Azhari, Muhammad Tahir. 2007. Negara Hukum. Jakarta: Kencana Bakry, Noor M.S. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Puskata pelajar Basyir, Ahmad Azhar. Hubungan Agama dan Pancasila. Yogyakarta: UII Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Darmodiharjo, Darmo. 1991. Santiaji Panasila (Suatu Tinjauan Filosofis, historis, dan yuridis Konstitusional. Surabaya: Konstitusi nasional El-Ewa, Muhammad S. 1983. Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam. Surabaya: Bina Ilmu
Gautama, Sudargo. 1973. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni Hartono, Sunaryati. 1982. Apakah the Rule of Law. Bandung: Alumni Hadjon, Philipus. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu Hazairin. 1973. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tintamas Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam. Bandung: Pustaka Salman ITB Ismatullah, Dedi. 2006. Gagasan Pemerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah. Bandung: Pustaka Attadhir Jatnika, Rahmat. 1987. Filsafat hukum Islam dalam Berbagai Bidang dalam Filsafat Islam.Jakarta: Depag RI Kealan, M.S dan Zubaidi. 2010. Pendidikan Kewargangeraan. Yogyakarta: Paradigma Kencana, Inu. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka CipTa MPR RI. 2012. Panduan Pemasyarakatn UUD 1945 dan ketetatapan MPR RI Muslim. Al-Jami al-Shohih Jilid III. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr Praja, Juhaya. 2011. Teori Hukum dan Aplikasinya. Bandung: Pustaka Setia Senoadji, Oemar. 1980. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga Wahyono, Padmo. 1984. Beberapa Teori Ketatanegaraan. Jakarta: UI Press Yamani, Ahmad Zaki. 1980. Syariat Islam yang Abadi: Menjawab Tantangan Masa kini. Bandung: Al Maarif
118